Ceritasilat Novel Online

Tusuk Kondai Pusaka 16


Tusuk Kondai Pusaka Karya SD Liong Bagian 16



Tusuk Kondai Pusaka Karya dari S D. Liong

   

   Selembar bulu tubuh Gong-gong-ji tak rontok, sebaliknya barisan pendam dari Leng-ciu-pay itu banyak yang benjol kepala dan bubar melarikan diri sendiri.

   Setelah ditunjuki diri Ceng-bing-cu, Gong-gong-ji segera melesat.

   Dengan beberapa loncatan saja ia sudah dapat mengejar Ceng-bing-cu.

   Tetapi Ceng-bing-cu itu murid kepala dari Leng Ciu siangjin.

   Kepandaiannya juga tinggi.

   Dalam keadaan terdesak, ia menjadi kalap.

   Sret, ia menabas ke belakang.

   Namun biar bagaimanpun juga, kepandaian Ceng-bing-cu itu masih kalah jauh dengan Gonggong- ji.

   Gong-gong-ji tak perlu memakai pedang.

   Cukup dengan tangan kosong yang menggunakan gerak Gong-chiu-jip-peh-jim (tangan kosong merampas senjata musuh), ia sudah dapat merebut pedang Ceng-bing-cu dan mencengkeram tulang pundaknya.

   "Dengan memandang muka suhuku, ampunilah aku,"

   Semangat Ceng-bing-cu serasa terbang dan dengan tersipu-sipu ia berseru. Minta ampun tapi dengan mengancam. Gong-gong-ji tertawa gelak-gelak, serunya.

   "Leng Ciu siangjin juga seorang pendiri sebuah partai persilatan. Mengapa mempunyai murid yang tak tahu malu seperti kau? Aku paling benci kepada manusia yang temaha hidup takut mati. Justeru karena kau merintih minta hidup, aku bahkan akan membunuhmu!" - Sekali kelima jarinya dikeraskan, Ceng-bing-cu pun segera berkuikkuik seperti babi hendak disembelih. Tiba-tiba Gong-gong-ji mendapat akal. Ia kendorkan cengkeramannya dan tertawa.

   "Melihat kau begitu kasihan sekali, terpaksa kuampuni jiwamu anjing. Tetapi kau harus menurut katakataku. Ceng-bing-cu mana berani membantah lagi. Dengan tersipu-sipu ia mengiakan.

   "Baik, kalau begitu ayo ikut aku,"

   Kata Gong-gong-ji yang segera menjinjing Ceng-bing-cu seperti orang menjinjing ayam saja.

   Sebelum mencapai biara rusak itu, lebih dulu harus melintasi sebuah bukit.

   Karena ada rintangan barisan pelempar batu tadi, Gong-gong-ji dan Khik-sia terlambat sampai lewat tengah malam.

   Walaupun sudah mempunyai rencana, namun Gong-gong-ji mencemaskan juga keadaan Shin Ci-koh yang sudah bertempur selama dua jam.

   Iapun segera tambah gas lari sepesat angin.

   Turunnya Khik-sia dari gunung kali ini, hendak mengurus dua buah hal.

   Tetapi semuanya gagal.

   Bik-hu tak berhasil ditemukan, pun surat dari Thiat-mo-lek kepada Se-kiat itu tiada buahnya sama sekali malah menambah permusuhan dengan Se-kiat.

   Meskipun ada juga lain hasil ialah bertemu dengan Gong-gong-ji, tetapi ia merasa telah menderita kerugian besar.

   Kerugian itu berupa hinaan moral yang difitnahkan oleh Tiau-ing.

   Benar ia tetap tak bersalah, tapi ia merasa telah melanggar pesan Yak-bwe.

   "Karena aku kembali begini telat, Yak-bwe tentu gelisah sekali. Ah, entah ia dapat menerima penjelasanku atau tidak?"

   Ia mengeluh dalam hati.

   Khik-sia hanya memikir sampai di situ, tetapi keadaan di biara ternyata jauh lebih hebat dari apa yang dikiranya.

   Bukan saja Shin Ci-koh, pun Yak-bwe juga terancam jiwanya dan tengah mengharap-harap kedatangan Khik-sia.

   Kiranya setelah minum pil dari Leng Ciu siangjin, berselang sehari semalam, luka dalam Shin Ci-koh sudah pulih seperti sediakala.

   In-nio dan Yak-bwe lega hatinya.

   Tetapi ketika malam tiba dan Khik-sia belum kelihatan muncul, Yak-bwe dan In-nio gelisah sekali.

   Bahkan kecemasan Innio lebih besar dari Yak-bwe karena memikirkan keadaan Bik-hu juga.

   Rembulan muncul dan pelahan-lahan mulai naik tinggi.

   Meskipun dirinya juga seorang iblis wanita yang telah banyak mengganas jiwa orang, tapi diam-diam Shin Ci-koh tergetar juga hatinya saat itu.

   Yang akan dihadapinya nanti, seorang tokoh persilatan kelas satu.

   Ini bukan main-main.

   Selagi mereka terbenam dalam keresahan masing-masing, tiba-tiba terdengar ketawa seorang tua.

   "Shin Ci-koh, kau sungguh-sungguh pegang janji. Tidak mau pergi dan tetap berada di sini."

   "Justeru aku kuatir kalau kau tidak datang, sehingga aku tak sempat membalas pemberian obat tadi,"

   Shin Ci-koh berseru angkuh. Ternyata Leng Ciu siangjin datang seorang diri. Memandang kepada Shin Ci-koh, gembong Leng-ciu-pay itu tertawa.

   "Karena saat ini kau sudah sembuh, kalau nanti kalah di tanganku, tentu kau tak dapat cari alasan lagi. Dengan tujuan itulah maka kuberimu obat penawar luka, agar kau mati tiada penasaran. Dan untuk itu tak usah kau membilang terima kasih lagi."

   "Tahukah kau bagaimana caraku hendak membalas kebaikanmu itu?"

   Tanya Shin Ci-koh. Leng Ciu siangjin kesima, serunya.

   "Cara apa yang hendak kau lakukan itu? Silahkan bilang!"

   

   Jilid 15

   "Maksud dan tujuanmu memberi obat itu, akupun sudah tahu juga. Tetapi budi kebaikan tetap budi kebaikan. Dan aku sudah menerima kebaikanmu, mana aku takkan membalasnya? Nanti apabila bertempur, tak nanti aku membikin kecewa harapanmu. Biarlah kau tentu menderita kekalahan yang betul-betul memuaskan hatimu. Akupun hendak mengatakan lebih dulu. Pedangku ini tak kenal akan budi kasih lagi. Namun masih dapat kuberi ampun jiwamu. Tetapi setelah lukamu sembuh, masih kau tetap tak terima dan menantang berkelahi, akupun takkan sungkan lagi untuk mengambil kepalamu."

   Leng Ciu tergelak-gelak, serunya.

   "Sungguh tak kecewa kau diberi gelar Bu-ceng-kiam. Pedangmu tak kenal ampun dan mulutmupun tak mau kalah. Bagus, bagus, memang begitulah maksudku. Keluarkan seluruh kebisaanmu. Hanya kukuatir, pedangmu tak dapat berbuat apa-apa terhadap aku. Jika masih hendak meninggalkan pesan apa-apa, silahkan menyelesaikan sekarang juga."

   "Siapa yang akan kalah dan menang. Siapa yang akan mati atau hidup, lihat saja nanti. Anak muridmu tidak tampak hadir, tentunya kau sudah mengatur beres pesan-pesanmu. Baiklah, mari kita mulai sekarang!"

   Setiap kali adu bicara, Shin Ci-koh tentu tak mau mengalah. Leng Ciu siangjin tertawa keras.

   "Semalam kemana saja perginya anak muda itu?"

   "Kau toh bertempur dengan aku, ada sangkut pautnya apa dengan anak muda she Toan itu?"

   Seru Shin Ci-koh.

   "Memang tak ada sangkut pautnya. Hanya kulihat kepandaiannya boleh juga. Beberapa jurus permainan pedangnya boleh ditandingkan dengan jago pilihan. Benar, memang aku tantang kau berkelahi sampai mati, kau boleh undang bantuan, aku tetap menghadapi seorang diri. Kalau memang ada bala bantuan, silahkan maju berbareng. Atau mau bergiliran maju, juga boleh. Adanya aku datang seorang diri agar kau jangan cemas. Eh, aku kepingin menjajal kepandaian anak muda itu."

   Shin Ci-koh anggap Siangjin itu angkuh sekali. Ia mendampratnya.

   "Main keroyok, itu keistimewaan anak muridmu. Selama hidup aku selalu bergerak seorang diri, masa sudi mencontoh kelakuan partaimu Leng-ciu-pay? Kalau mau menempur anak muda itu, besok malam sajalah."

   Karena malu, muka Leng Ciu siangjin berubah gelap.

   "Anak muridku termasuk Wanpwe (angkatan muda). Memang tak seharusnya mereka mengeroyok kau. Tapi kau menangkan mereka pun takkan ternama. Dan lagi jika sifatmu tak ganas, masakan mereka akan menggempurmu. Sekalipun mereka salah, tapi dengan membunuh mereka sampai sekian banyak, kau tetap bersalah!"

   "Aku tak sudi banyak omong tentang kelakuan anak muridmu yang manis-manis itu. Toh saat ini kita akan bertempur sampai mati. Memang anak muridmu telah kubunuh, kalau kau mau menuntut balas, silahkanlah!"

   Sahut Shin Ci-koh.

   "Baik, kau sudah membunuh dua puluh tiga muridku. Jangan menyesal, aku hendak pinjam pedangmu bu-ceng-kiam untuk membuat dua puluh tiga lubang tusukan di tubuhmu!"

   Leng Ciu siangjin marah benar. Shin Ci-koh serentak mencabut pedangnya.

   "Kalau mampu, silahkan mengambil pedang ini. Ayolah!"

   Walaupun tak tertahan lagi kemarahannya namun Leng Ciu tak mau kehilangan gengsinya sebagai seorang guru besar. Tertawalah ia.

   "Shin Ci-koh, meskipun tingkat angkatan kita sama, tapi aku lebih tua duapuluh tahun. Aku tak mau cari enak, aku akan mengalah sampai tiga jurus!"

   Shin Ci-koh kiblatkan pedangnya dalam tiga buah tusukan. Tapi bukan ditujukan pada Leng Ciu siangjin melainkan ke udara. Setelah itu berkatalah ia.

   "Telah kulakukan permintaanmu menyerang tiga kali. Sekarang giliranku untuk melihat kepandaianmu!"

   "Shin Ci-koh, berapa tingginya kepandaianmu berani mempermainkan aku?"

   Leng Ciu berteriak nyaring, seraya kebutkan kebutkan lengan baju ke arah Shin Ci-koh.

   Ujungnya seperti pedang yang memapas tangan orang.

   Shin Ci-koh putar tubuhnya dalam gerak Poan-liong-yau-poh atau naga melingkar-lingkar kemudian dengan jurus Liu-sing-kam-gwat, ia pantulkan ujung pedangnya ketiga jurusan jalan darah pek-hay-hiat di kiri, thian-tho-hiat di kanan dan suah-ki-hiat di tengah.

   Kesemuanya terletak di dada orang, merupakan segitiga.

   Permainan pedang Shin Ci-koh itu dibanding dengan ilmu pedang Wan-kong-kiam dari Gonggong- ji, masing-masing mempunyai keindahan sendiri-sendiri.

   Benar Wan-kong-kiam sekali gerak dapat menusuk sembilan buah jalan darah, tapi kesemuanya itu pada garis yang merata, baik mendatar maupun melintang.

   Tidak demikian dengan gerak pedang Shin Ci-koh.

   Meskipun jumlah tusukannya tidak banyak, tapi arahnya berlainan, kanan-kiri atas dan bawah.

   "Hebat!"

   Mau tak mau Leng Ciu siangjin memuji juga.

   Ia kebutkan lengan bajunya untuk menyampok tusukan kanan dan kiri.

   Tapi untuk yang tengah, ia tak keburu menolak lagi.

   Brat....

   ujung pedang Shin Ci-koh menggurat, meninggalkan bekas guratan tapi tak sampai merobekkan baju.

   Ternyata dalam saat-saat yang berbahaya itu, Leng Ciu dapat menyedot dadanya ke belakang.

   Begitu ujung pedang melekat pada baju, ia terus hembuskan lwekangnya untuk menolak, Shin cikoh terkejut dan buru-buru hendak menarik pulang pedangnya tapi sudah terlambat, Leng Ciu siangjin sudah mengebutkan lengan bajunya.

   Shin Ci-koh coba berusaha untuk miringkan tubuhnya kian kemari namun tak urung mukanya terasa panas kesakitan akibat sambaran angin kebutan lawan.

   Keduanya sama terkejut dan tak berani memandang rendah lawan.

   Dengan kepandaian yang lebih unggul setingkat, Leng Ciu siangjin menjalan taktik tenang.

   Ia selalu mendahului penyerangan tapi tak mau menyerang dengan gencar.

   Dalam lingkaran seluas tiga tombak, angin pukulannya tetap dapat menguasai lawan.

   Kemana saja Shin Ci-koh hendak menusuk, tetap tertolak.

   Diam-diam Shin Ci-koh mengeluh.

   Kalau pertempuran berjalan lama, terang ia yang akan kalah.

   Cepat ia rubah taktik.

   Ia mainkan pedangnya sedemikian rupa sehingga ujung pedangnya pecah menjadi beberapa belas sinar.

   Suatu hal yang membuat Leng Ciu leletkan lidah juga.

   Ia kerahkan latihannya berpuluh tahun untuk menutup dirinya.

   Setiap kali ujung pedang Shin Ci-koh menusuk tentu akan terbentur dengan dinding baja.

   Serangan Shin Ci-koh tertahan pada jarak setengah meteran.

   "Oho, kepandaianmu hanya begini sajalah?"

   Tiba-tiba Leng Ciu siangjin berseru. Dari bertahan, ia berganti menyerang. Anginnya menderu-deru hingga tubuh Shin Ci-koh terombang-ambing seperti perahu di lautan. Shin Ci-koh murka. Ia rubah lagi permainan pedangnya, kemudian tertawa mengejek.

   "Aha, kepandaianmu juga hanya begini sajalah!" -- Tangan kirinya mencabut kebut hud-tim. Dengan demikian ia memakai dua senjata. Dengan gerak permainannya yang istimewa dimana kalau melambung ke udara seperti gerak burung elang dan kalau mendak ke bawah laksana lebah mengerumun, dapatlah ia menahan serangan lawan. Bukan saja ilmu pedangnya istimewa, pun ilmu permainan kebut yang disebut Thian-kon-budkian- se-cap-liok-si, juga luar biasa. Bulu kebut itu dapat dirubah menjadi ujung-ujung jarum yang menusuk jalan darah orang. Dan dapat juga dikencangkan menjadi semacam senjata poan-boan-pit. Pokok, dapat digunakan untuk menyerang dalam segala cara. Leng Ciu siangjin melayani dengan hati-hati. Kebutan lengan bajunya disertai gerakan jari yang melancarkan hawa dingin. Ternyata ia menggunakan ilmu jahat yang disebut Hian-im-ci (jari negatif). Khusus memancarkan hawa dingin untuk menyerang jalan darah lawan. Sudah tentu jari berangin dingin itu jauh lebih sukar dihadapi dari kebut Shin Ci-koh. Sebagai ahli lwekang, sudah tentu Shin Ci-koh dapat menutup jalan darahnya dari serangan angin dingin. Tapi hanya untuk sementara waktu. Jika pertempuran berlarut lama, tentu sukar bertahan lagi.

   "Baik, aku akan mengadu jiwa padamu, lokoay!"

   Akhirnya Shin Ci-koh nekad. Ia putar kebutnya dan bolang-balingkan pedangnya mendatar. Leng Ciu siangjin segera terbungkus dalam jaring sinar.

   "Wanita siluman ini benar-benar tak kecewa bergelar Bu-ceng-kiam,"

   Mau tak mau Leng Ciu memuji dalam hati. Pertempuran hebat itu membuat In-nio dan Yak-bwe terlongong-longong. Mereka menyingkir di ujung biara, namun tubuh mereka masih terasa menggigil tersambar angin dingin Leng Ciu siangjin.

   "Leng Ciu lokoay itu benar lihay, tapi kukira Shin lo-cianpwe dapat memenangkannya,"

   Setelah menyalurkan lwekang untuk menahan hawa dingin, Yak-bwe membisiki In-nio.

   Memang pada saat itu Shin Ci-koh tengah melancarkan serangan yang hebat.

   Tapi In-nio yang lebih banyak pengalaman, dapat melihat kelemahan Shin Ci-koh.

   Belum lagi ia memberi bantahan kepada Yak-bwe, disana gerakan pedang Shin Ci-koh mulai lambat, seperti terpancang sesuatu.

   Tenaganya makin kurang lancar.

   Memang benar dugaan In-nio itu.

   Karena tak dapat bertahan lama menutup jalan darah, ketika Ci-koh hendak ganti napas, hawa dingin dari jari Leng Ciu segera menyusup ke dalam pori kulit.

   Dengan lwekangnya yang tinggi, dapatlah jago wanita itu menghalau hawa jahat itu, tapi tak urung karena lambat laun hawa dingin yang masuk itu makin banyak, gerakan Shin Ci-koh pun terpengaruh juga.

   "Orang menunggu sampai kaku, Khik-sia mengapa tak muncul,"

   Yak-bwe menggerutu.

   Tapi baru ia mengucap begitu, tiba-tiba di luar ada suara tindakan orang.

   Ia duga tentu Khik-sia, maka girangnnya bukan kepalang.

   Ia ulurkan kepala untuk melongok.

   Tiba-tiba terdengar suara orang tertawa gelak-gelak yang menusuk telinga.

   "Datang, sudah datang! Kalian berdua budak perempuan harus turut aku!" -- Ah, yang muncul ternyata bukan Khik-sia, tetapi Ceng-ceng-ji. Adalah karena mengetahui bahwa Khik-sia turun gunung, maka beranilah ia datang lagi ke biara situ. Maksudnya hendak menangkap kedua nona itu untuk diserahkan pada Se-kiat. Secepat suaranya terdengar secepat itu pula Ceng-ceng-ji sudah melesat masuk dan menyerang In-nio Yak-bwe. Untuk In-nio yang diketahui lebih lihay ia babat dengan pedang. Sedang untuk Yak-bwe cukup ia tusuk jalan darahnya dengan jari tangan kiri. Tapi taksirannya itu meleset. Selama sebulan bersama Khik-sia, kepandaian Yak-bwe maju pesat sekali hingga berimbang dengan In-nio. Cepat ia menyambut jari Ceng-ceng-ji dengan pedangnya. Ceng-ceng-ji kaget dan ganti tusukannya untuk menyelentik. Dan karena ia harus gunakan tujuh bagian lwekangnya, permainan pedangnyapun agak lemah. Sekali tangkis, dapatlah In-nio menolaknya.

   
Tusuk Kondai Pusaka Karya SD Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Ho, Leng Ciu Siangjin, bukankah kau tantang aku bertempur satu lawan satu? Sebenarnya aku tak melarang kau mengajak koncomu kemari. Tapi perlu apa kau mengumbar suara besar hanya datang seorang diri?"

   Tiba-tiba Shin Ci-koh melengking tertawa. Leng Ciu terkesiap, serunya.

   "Sahabat Ceng-ceng-ji itu bukankah sute dari Gong-gong-ji? Masakah kau tak kenal? Mengapa kau anggap dia bala bantuanku?"

   "Memang kunyuk kecil itu bukan anak muridmu. Dia tak berguna apa-apa. Tapi tetap dia lebih unggul dari murid-muridmu. Hm, jika tak kau suruh, mana dia berani datang kemari?"

   Sahut Shin Ci-koh. Ceng-ceng-ji terpaksa hentikan serangannya dan berseru.

   "Leng Ciu cianpwe, harap dengarkan keteranganku. Aku memang mempunyai sedikit permusuhan dengan kedua budak itu. Oleh karena tunggu besok pagi dikuatirkan mereka sudah pergi maka terpaksa sekarang aku hendak meringkus mereka. Sekali-kali tak bermaksud mengganggu cianpwe."

   Dengan menyebut cianpwe itu, Ceng-ceng-ji menyanjung tinggi Leng Ciu, dengan harapan siangjin itu akan membantunya, sekurang-kurangnya tidak mengusirnya.

   "Tu, dengar tidak Shin Ci-koh? Mereka mempunyai permusuhan sendiri dan kita pun mempunyai perhitungan sendiri. Mana aku dapat melarang Ceng-ceng0ji datang kemari?"

   Seru Leng Ciu.

   "Jadi, benarkah kau tak mengundang kunyuk itu?"

   Shin Ci-koh menegas.

   "Sudah tentu tidak! Mana aku sudi cari bantuan. Sudah, jangan banyak rewel, lihat pukulan!"

   Shin Ci-koh tak mau menangkis, sebaliknya ia berputar diri dan menusuk Ceng-ceng-ji, serunya.

   "Aku tak senang ketenangan kita diganggu orang. Karena kau tak mengundang, biarlah kuusirnya kunyuk ini!"

   Sama sekali Ceng-ceng-ji tak mengira kalau di bawah serangan Leng Ciu, Shin Ci-koh berani menyerang dirinya.

   Buru-buru ia menangkis.

   Leng Ciu siangjin terpaksa tarik pulang serangannya tadi karena kedudukannya sebagai ketua partai tak mengijinkan ia mengeroyok orang.

   Dan ini memang telah diperhitungkan Shin Ci-koh, makanya berani saja ia menyerang Ceng-ceng-ji.

   Sekali pukul dua lalat.

   Pertama, ia dapat menolong kedua nona.

   Kedua, ia dapat kesempatan untuk mengenyahkan hawa dingin Hian-im-ci yang menyusup dalam tubuhnya.

   Sambil bertempur, ia kerahkan lwekang untuk mengusir hawa dingin itu.

   Cepat sekali mereka sudah bertempur sampai 20-an jurus.

   Hebat sekalipun ilmu pedang Wankong- kiam itu tapi karena Ceng-ceng-ji belum sempurna latihannya, maka tetap kalah dengan Shin Ci-koh.

   Apalagi Shin Ci-koh memakai pedang, sedang tempo hari ketika bertempur di lapangan kotaraja, dengan tangan kosong saja ia dapat menampar muka Ceng-ceng-ji.

   Untung Ceng-ceng-ji tinggi gin-kangnya dan Shin Ci-koh gunakan sebagian lwekangnya untuk membersihkan hawa dingin beracun, dengan begitu pertempuran berlangsung panjang.

   Tapi setelah lewat jurus ke-21, runtuhlah perlawanan Ceng-ceng-ji.

   Ia mandi keringat dan napasnya senin kemis.

   Ceng-ceng-ji masih belum mau melarikan diri.

   Matanya memandang Leng Ciu untuk meminta bantuan.

   Tapi siangjin itu diam saja hingga Ceng-ceng-ji makin kelabakan.

   Pada saat ujung pedang Shin Ci-koh hendak bersarang ke tubuh Ceng-ceng-ji, sekonyongkonyong Leng Ciu kebutkan lengan baju untuk menyampok pedang Shin Ci-koh, sedang dengan tangan kiri ia mendorong Ceng-ceng-ji sampai terlempar keluar pintu.

   "Bukankah kau hendak bertempur dengan aku? Nah, sekarang sudah kulempar pergi orang itu!" - seru Leng Ciu kemudian meneriaki Ceng-ceng-ji.

   "Ceng-ceng toyu, carilah lain tempat yang agak jauh dari sini. Kalau kau hendak bertempur dengan kedua nona itu, aku takkan membantu siapa-siapa."

   "Baik, ayo kita mulai lagi!"

   Seru Shin Ci-koh. Tapi Leng Ciu bukannya menyerang sebaliknya berputar diri ke samping kedua nona.

   "Hai, Leng Cu lokoay, kau mau apa? Cis, tak malu menghina orang muda!"

   Shin Ci-koh berteriak kaget tapi sudah kasip. Leng Ciu siangjin sudah melemparkan kedua nona itu keluar.

   "Sudah kukatakan tak mau membantu pihak manapun. Karena Ceng-ceng-ji keluar, kedua nona itupun tak boleh tinggal di sini!"

   Memang Leng Ciu tak melukai mereka.

   Dengan tenaga kebutan yang istimewam ia lemparkan In-nio dan Yak-bwe keluar, tapi selembar rambut kedua nona itu tak ada yang rontok.

   Shin Ci-koh mau memburu keluar tapi Leng Ciu sudah menghadang di ambang pintu."Sekarang sudah tak ada orang, kau masih punya alasan apa? Mau lari? Jangan harap!"

   "Huh, kau toh belum mampu menangkan aku, mengapa bermulut besar!"

   Damprat Shin Ci-koh yang terus menyerang lagi. Karena memikiri keselamatan In-nio dan Yak-bwe, pikirannya gelisah dan cepat sekali ia terdesak. Tapi dikarenakan tadi ia sudah berhasil mengeluarkan hawa racun dingin, maka dapatlah ia bertahan diri.

   "Oho, kalian juga dilempar keluar, ha, ha, sekarang tiada orang yang melindungi kalian lagi!"

   Ceng-ceng-ji tertawa cengar-cengir sembari enjot tubuhnya melayang melewati kepala kedua nona.

   Ia turun di muka pintu.

   Maksudnya mencegah jangan sampai kedua nona itu lari ke dalam biara.

   Setelah itu barulah ia mulai menyerang.

   In-nio tahu bahwa Ceng-ceng-ji itu lebih tinggi ilmu gin-kangnya.

   Untuk lari, terang tak mungkin.

   Maka ia ambil putusan mengadu jiwa.

   Begitulah bahu-membahu dengan Yak-bwe, mereka serang Ceng-ceng-ji dari dua jurusan.

   Kepandaian mereka jauh lebih maju dari dahulu.

   Apalagi akhir-akhir ini mereka telah sama-sama menyakinkan ilmu pedang Hui-hoa-cui-yap-kiamhwat (ilmu pedang bunga gugur mengusir kupu) dari Biau Hui sin-ni.

   Dengan menyerang bersama, ilmu pedang itu lebih berbahaya lagi.

   Meskipun Ceng-ceng-ji mempunyai kepandaian 'sekali tusuk dapat menyerang tujuh buah jalan darah', namun dalam waktu yang singkat hendak mengalahkan mereka, juga tak mungkin.

   Tapi bagaimanapun kepandaian Ceng-ceng-ji tetap mainkan pedangnya.

   Ini untuk menghabiskan lwekang kedua lawannya.

   In-nio dan Yak-bwe gunakan permainan lincah.

   Namun tak urung mereka tak dapat menghindari benturan pedang Ceng-ceng-ji.

   Setiap kali berbenturan, tangan mereka terasa sakit sekali.

   Makin lama lwekang mereka makin lemah.

   In-nio yang lebih kuat lwekangnya, hanya mandi keringat saja.

   Tapi Yak-bwe yang agak lemah lwekangnya, sudah merasa pusing matanya berkunang-kunang dan napas terengah-engah.

   Permainan pedangnyapun mulai kacau.

   Dan Cengceng- ji yang mengetahui hal itu, cepat menghantamnya.

   Trang, pedang Yak-bwe mencelat ke udara.

   Ceng-ceng-ji maju mendekati.

   Ia rangsangkan kelima jarinya untuk mencengkeram tulang pi-peh di bahu si nona.

   Maksudnya hendak menghancurkan kepandaian Yak-bwe.

   Tiba-tiba telinganya terngiang suara makian Gong-gong-ji.

   "Ho, lagi-lagi kau bangsat yang hendak membikin onar di sini! Kurang ajar, kali ini tak kuberi ampun, hendak kubeset kulitmu!"

   Sebenarnya Gong-gong-ji masih terpisah sebuah puncak, bagaimana juga tak nanti ia mampu datang.

   Maka digunakannyalah lwekang Coan-im-jip-bi.

   Hal itu diketahui juga oleh Ceng-ceng-ji.

   Kalau mau ia masih ada waktu untuk meneruskan rencananya terhadap Yak-bwe.

   Tapi ia paling takut kepada suheng itu.

   Nyalinya pecah dan tangannyapun gemetar sehingga Yak-bwe sempat loncat menghindar pergi dan In-nio maju menusuknya.

   Dalam beberapa kejap saja, Gong-gong-ji dan Khik-siapun makin dekat.

   Melihat mereka, Ceng-ceng-ji segera tinggalkan kedua nona dan lari sipat kuping.

   Memang cepat sekali gerakan Gong-gong-ji dan Khik-sia itu.

   Selagi Yak-bwe belum sempat berdiri tegak dalam groginya (terhuyung-huyung) tadi, Khik-sia sudah muncul dan menyambuti Yak-bwe.

   "Adik Bwe, kau, kau mengapa?"

   "Tak apa-apa, hanya bajuku kena dikoyak kunyuk itu, tapi tak sampai terluka. Mengapa baru sekarang kau datang? Mana Pui suheng?"

   Sahut Yak-bwe.

   "Pui suheng belum ketemu. Aku, aku ...."

   "Ah, hal itu nanti saja dibicarakan. Kalian lekas-lekas masuk ke dalam. Shin lo-cianpwe dalam bahaya!"

   In-nio cepat menukas Gong-gong-ji anggap menolong Shin Ci-koh lebih penting dari menangkap Ceng-ceng-ji yang dibencinya itu.

   Apalagi ia membawa seorang tawanan (Ceng-bing-cu), dikuatirkan makan waktu lama untuk mengejar sute itu.

   Dengan kepandaiannya yang tinggi, dapatlah ia mendengarkan bahwa Shin Ci-koh memang dalam bahaya.

   Cepat ia menjinjing tubuh Ceng-bing-cu dan melangkah masuk.

   Khik-sia hendak ikut tapi dicegah.

   "Kalian tak usah turut masuk. Aku mempunyai tipu bagus untuk menghadapi lokoay itu."

   Mendengar itu legalah hati Khik-sia, karena tadi ia kuatir kalau-kalau suhengnya itu akan melanggar peraturan dunia persilatan.

   Shin Ci-koh sudah tak kuat bertempur.

   Tapi demi mendengar suara Gong-gong-ji, bangunlah lagi semangatnya.

   Kebalikannya Leng Ciu menjadi keder namun ia pura-pura mengejek.

   "Shin Cikoh, itu bala bantuanmu datang. Apa kau mau beristirahat dulu? Aku tak takut kalian gunakan siasat bergilir."

   Tepat pada saat itu Gong-gong-ji masuk membawa Ceng-bing-cu, serunya.

   "Masih ada seorang lagi. Bukankah ini murid kepala dari Leng-ciu-pay? Aku menyaksikan pertempuran dengan muridmu, jangan kuatir apa-apa!"

   "Bagus, bagus! Kedua pihak mempunyai pendukung. Adil, adil sekali. Lebih baik lagi kalau jadi saksi, siapa yang kalah atau menang tak bisa cari alasan lagi,"

   Shin Ci-koh tertawa. Kemudian ia suruh Gong-gong-ji duduk di ujung ruangan. Gong-gong-ji mengiakan. Sedang Ceng-bing-cu demi melihat suhunya, maluya bukan kepalang. Namun tiada lain jalan kecuali berseru meratap.

   "Suhu, tolonglah aku!" - Tapi secepat itu Gong-gong sudah menekan tulang bahunya sehingga Ceng-bing-cu berkuik-kuik seperti babi.

   "Mengapa berkaok-kaok tak keruan? Apa kau tak tahu peraturan bulim? Bukankah suhumu sedang bertempur, mengapa kau berteriak? Ayo, duduk yang baik di sana!"

   Bentak Gong-gong-ji.

   "Kurang ajar! Mengapa kau menghina muridku, Gong-gong-ji?"

   Leng Ciu siangjin murka sekali. Gong-gong-ji lemparkan Ceng-bing-cu ke tanah, lalu menantang Leng Ciu.

   "Tahukah kau apa perbuatan muridmu yang manis ini? Sebenarnya aku tak mau mengganggu pikiranmu, nanti setelah pertempuran selesai baru kuberitahukan. Tapi karena kau menuduh aku menghina muridmu, terpaksa aku memprotes. Ceng-bing-cu, bilanglah. Kamu sendiri yang main keroyokan atau aku yang menghina murid Leng-ciu-pay? Hm, kau bilang tidak?"

   Sekali jari tengah Gong-gong-ji menekan punggung, Ceng-bing-cu merasa seperti dicocoki ribuan jarum.

   Sakit dan gatal sekali, melebihi segala macam racun.

   Ia masih mengharap pertolongan suhunya.

   Tapi Leng Ciu siangjin sedang bertempur dengan Shin Ci-koh, tak sempat.

   Selain itu memang Leng Ciu tahu bahwa kepandaian Gong-gong-ji memang mengatur siasat.

   Kalalu ia sampai menyerang dulu berarti termakan tipu Gong-gong-ji.

   Yang melanggar peraturan dunia persilatan bukan Gong-gong-ji, tetapi ia sendiri.

   Leng Ciu siangjin benar-benar meringis.

   Mau menolong, musuhnya berat.

   Tidak menolong, ia merasa terhina sekali karena murid kesayangannya diperlakukan begitu rupa.

   Tiba-tiba muridnya yang manis Ceng-bing-cu itu meratap.

   "Gong-gong cianpwe, ya aku bilang aku bilang. Memang aku yang salah, ampunilah aku!"

   "Bicara dengan berlututlah! Karena kau menyesal, akupun suka memaafkan. Tetapi kau harus mendamprat dirimu sebagai pertanda betul-betul kau sudah bertobat,"

   Seru Gong-gong-ji. Sekali ia kebutkan lengan baju, bluk. Ceng-bing-cu pun jatuh berlutut. Sakitnya makin hebat, tubuhnya seperti digigiti ular. Pikirannya pada saat itu hanya tertuju supaya bebas dari kesakitan.

   "Ya, ya, akulah yang salah! Aku mengajak saudara-saudara seperguruan hendak mencelakai kau dan Toan siauhiap. Aku seorang busuk, orang jahat. Harap kau orang tua suka mengampuni aku seorang rendah ini!"

   Ceng-bing-cu meratap-ratap. Mendengar murid calon penggantinya bernyali seperti tikus, hampir saja Leng Ciu siangjin pingsan. Ketika ia hendak menggempur Gong-gong-ji, tiba-tiba Shin Ci-koh membentaknya.

   "Leng Ciu lokoay, awas serangan!" - Pedang disambarkan ke atas kepala orang dalam jurus Samhoan- tho-gwat yang hebat sekali. Leng Ciu siangjin terpaksa kendalikan amarahnya untuk menghadapi serangan Shin Ci-koh. Ia menangkis dengan sebuah hantaman.

   Tusuk Kondai Pusaka Karya SD Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Bagus, Ceng-bing-cu, kau sudah memaki dirimu dengan bagus. Tetapi terangkanlah duduk perkaranya yang jelas dan kutuklah dirimu yanglebih keras lagi. Mengingat kau sungguh-sungguh menyesal, tentu kuampuni."

   Ceng-bing-cu tak pedulikan segala apa. Segera ia menuturkan bagaimana ia pimpin anak murid Leng-ciu-pay menggelundungkan batu dari puncak gunung untuk mencelakai Gong-gong-ji dan Khik-sia.

   "Leng Ciu lokoay, itu dengar tidak? Apa kau masih menuduh aku yang menghina anak muridmu? Untung aku dan Toan sute dapat mengatasi dan memang anak muridmu tak becus apaapa. Ha, ha, mereka sendiri yang kehilangan beberapa jiwa, sedang aku dan Toan-sute tak kena apa-apa. Ceng-bing-cu, kau merasa menyesal atau tidak mengorban beberapa sutemu itu?"

   "Aku bukan manusia, aku kutu busuk, kantong nasi. Mencelakai orang sebaliknya mencelakai diri sendiri. Aku sungguh-sungguh menyesal sekali!"

   Sahut Ceng-bing-cu.

   Untuk mendapat kebebasan, Ceng-bing-cu tak segan-segan lagi memaki dirinya habis-habisan.

   Leng Ciu siangjin tak sudi mendengarkan tapi ia malu menutup telinganya.

   Makian Ceng-bingcu itu sepatah demi sepatah seperti pisau yang menusuk ulu hatinya.

   Ia benci kepada Ceng-bing-cu dan berduka karena beberapa anak muridnya terbunuh.

   Maunya hendak menenangkan hati tapi pikirannya kacau balau.

   Akibatnya, permainan menjadi kacau tak menurut rel lagi.

   Pada hal racun dingin Hian-im-ci itu dilancarkan dengan lwekang.

   Dan karena lwekangnya terganggu akibat kekacauan pikirannya itu, walaupun gerakan jarinya masih menerbitkan angin tetapi sudah tak mengandung racun dingin lagi.

   "Tubuhku kepanasan, mengapa angin-dingin dari jarimu itu tak meniup lagi?"

   Shin Ci-koh mengejek. Diam-diam Gong-gong-ji memuji kepandaian Leng Ciu siangjin yang walaupun pikirannya sudah kacau namun masih dapat melayani Shin Ci-koh. Untuk mempercepat kekalahannya, kembali ia menanyai Ceng-bing-cu.

   "Bagaimana kau berbuat salah terhadap Shin lo-cianpwe? Lekas ceritakan!"

   Sebenarnya Gong-gong-ji tak tahu urusan Ceng-bing-cu dengan Shin Ci-koh. Tapi dalam perintahnya itu, ia sudah menuduh kalau Ceng-bing-cu bersalah. Dihadapan Shin Ci-koh, sudah tentu Ceng-bing-cu tak berani berdusta lagi.

   "Ya, memang aku punya mata tapi tak dapat melihat gunung Thaysan. Ketika berjumpa di tengah jalan, aku terpikat dengan parasnya. Diam-diam kukuntitnya naik ke gunung dan ... kugodanya. Akhirnya aku dilabrak!"

   "Manusia rendah, lekas tampar mukamu sendiri agar tak perlu kuturun tangan,"

   Bentak Gonggong- ji dengan marahnya.

   Plak, plak, tergopoh-gopoh Ceng-bing-cu melakukan perintah.

   Ia menampar kedua pipinya sendiri.

   Bahwa Shin lo-cianpwe tak seketika mencabut nyawamu adalah karena hendak memberi muka kepada suhumu.

   Mengapa kau tak insyaf? Coba bilanglah, apakah perbuatanmu mengajak sutesutemu membalas pada Shin lo-cianpwe itu bukan melulu untuk kepentingan pribadimu?"

   Tanya Gong-gong-ji pula. Selama Gong-gong-ji tak memerintah berhenti, Ceng-bing-cu terus-menerus menampar mukanya seraya memaki diri sendiri.

   "Ya, memang aku bukan manusia, aku binatang. Shin locianpwe amat murah hati memberi ampun padaku. Adalah karena dihajar Shin lo-cianpwe, aku mendendam. Dengan alasan menerima undangan Su Tiau-gi agar dapat mengharumkan nama perguruan, kuajak para sute turun gunung, kemudian kusuruh mereka mengeroyok Shin locianpwe!"

   Setiap tamparan yang dilakukan Ceng-bing-cu, dirasakan Leng Ciu siangjin seperti pipinya yang ditampar.

   Marah, malu dan seperti mau meledak rasanya dada siangjin itu.

   Setitikpun ia tak mimpi bahwa murid kesayangannya itu sedemikian tak bergunanya sampai mengorbankan beberapa puluh murid Leng-ciu-pay.

   Memikirkan kesemuanya itu, Leng Ciu seperti hendak menyusup ke dalam bumi saja apabila ada lubangnya.

   Karena bukankah dengan peristiwa Ceng-bing-cu itu, partai Leng-ciu-pay akan kehilangan pamornya? Apakah Leng-ciu-pay masih ada muka untuk berdiri di dunia persilatan lagi? Dalam pertempuran, orang dilarang keras mengumbar kemarahan sehingga mengganggu ketenangan pikirannya.

   Leng Ciu siangjin tahu juga hal itu.

   Namun dalam saat seperti yang dihadapinya itu, bagaimana ia dapat mengingat pantangan itu lagi.

   Sekuat-kuat imannya, tetap ia tak tahan lagi melihat adegan yang menyiksa batinnya itu.

   Akibatnya ia tak dapat mengendalikan lwekangnya lagi.

   "Kena!"

   Sekonyong-konyong Shin Ci-koh menusuk bahu kanan lawan.

   Cret, darah muncrat.

   Masih mending Shin Ci-koh tak mau berlaku ganas.

   Coba ia susupkan lagi pedangnya sedikit lebih dalam, tulang Pi-Peh-kut Leng Ciu siangjin tentu kena.

   Akibatnya siangjin itu tentu menjadi seorang cacat selama-lamanya.

   Tapi Shin Ci-koh tak mau berbuat begitu dan cepat tarik keluar pedangnya.

   Leng Ciu terkejut dan marah.

   Cepat ia bersiap menghadapi serangan Shin Ci-koh tapi ternyata wanita itu mendongak tertawa keras.

   Dilemparnya pedangnya ke tanah lalu berseru nyaring.

   "Leng Ciu lokoay, kali ini aku memberi ampun padamu, ini sebagai balas budimu. Setelah lukamu sembuh, apabila kau hendak bertanding lagi, aku pun tetap sedia melayani. Nah, sekarang kita sama-sama tak menanggung budi. Aku takkan membunuhmu. Jika mau pergi, silahkanlah!"

   Seorang yang berkedudukan seperti Leng Ciu, jangankan terluka sampai tak berdaya, sedangkan kalah sejurus saja dalam pertandingan, ia tentu sudah angkat kaki karena malu.

   Gong-gong-ji tertawa gelak-gelak.

   Tangannya yang menekan punggung Ceng-bing-cupun dikendorkan, ujarnya.

   "Bagus, kau sudah memaki dirimu habis-habisan. Akupun sudah tak marah lagi dan mengampunimu. Silahkan kau pulang bersama suhumu serta para sutemu. Ha, ha, pandai menampar muka dan pintar memaki diri sendiri, di dalam dunia kepartaian silat sungguh jarang ada!"

   Terluka kemudian dihina begitu rupa, tak kuatlah Leng Ciu siangjin. Huak, ia muntahkan segumpal darah segar. Ceng-bing-cu merasa menyesal. Tak berani ia memandang suhunya. Dengan nada gemetar ia berseru memanggil.

   "Suhu!"

   "Binatang! Kau masih ada muka memanggil aku suhu ...... ini!"

   Leng Ciu mendamprat seraya menghantam. Walaupun sebelah tangannya terluka, tapi tenaganya masih cukup kuat untuk menghancurkan batu. Seketika itu juga ia hantam batok kepala Ceng-bing-cu sampai hancur lebur......

   "Ah, sudahlah. Shin Ci-koh, aku tak berniat membalas tusukan pedang ini. Hanya kuharap janganlah mengikuti jejakku, menerima murid yang tak berguna!"

   Nada Leng Ciu amat rawan.

   Pertanda luka hatinya jauh lebih parah dari luka tusukan pedang itu.

   Leng Ciu siangjin sudah ngeloyor pergi namun kata-katanya itu tetap menggurat di hati Shin Cikoh.

   Shin Ci-koh tersayat hatinya.

   Bukankah Su Tiau-ing murid yang disayanginya itu juga setali tiga uang dengan kelakuan Ceng-bing-cu? Shin Ci-koh menang bertempur tapi menderita perasaannya.

   Nasibnya serupa dengan Leng Ciu siangjin.

   Yak-bwe dan In-nio saling menghaturkan selamat kepada Shin Ci-koh atas kemenangannya itu.

   Tetapi Shin Ci-koh mengatakan bahwa kemenangan itu adalah berkat tipu daya dari suhengnya Khik-sia alias Gong-gong-ji.

   Kemudian ia bertanya kepada Khik-sia mengapa begitu terlambat datangnya.

   Sejak terpengaruh dengan pribadi In-nio, mulailah Shin Ci-koh menaruh perhatian pada urusan orang.

   Tak lagi ia sedingin seperti yang lalu.

   Khik-sia bersangsi.

   Gong-gong-ji cepat menyanggupi.

   "Ci-koh, dia takut kalau kau marahi."

   "Apa ia berjumpa dengan Tiau-ing? Apa saja yang dilakukan budak perempuan itu?"

   Shin Cikoh tergetar hatinya. Gong-gong-ji memberi isyarat mata kepada Khik-sia, ujarnya.

   "Sute, apakah kau sudah mengatakan pada nona Su?"

   "Sudah, Yak-bwe tak apa-apa padaku,"

   Khik-sia girang sekali.

   "Hus, kau memang tak tahu hati seorang gadis. Tahu kedatanganmu saja, Yak-bwe sudah girang, mana ia sempat mendampratmu,"

   In-nio yang berada di sisi Khik-sia menegurnya bisikbisik.

   Memang waktu menceritakan pengalamannya kepada Yak-bwe, Khik-sia kuatir kalau tunangannya akan mengambul lagi.

   Tapi kali ini jalan pikiran Yak-bwe berlainan.

   Justeru karena Khik-sia mendapat pelajaran pahit dari Tiau-ing, Yak-bwe lega hatinya.

   Ia tak kuatir Khik-sia akan kecantol dengan nona itu lagi.

   "Eh, apa yang sebenarnya terjadi, bilanglah! Tak nanti aku mengeloni muridku!"

   Akhirnya Shin Ci-koh buka suara. Karena Khik-sia sungkan, maka Gong-gong-jilah yang berkata.

   "Tak apa-apa, hanya setelah Khik-sia menolongi muridmu yang manis itu, malah disemprot basah kuyub olehnya!"

   Ia lantas menuturkan pengalaman Khik-sia. Marah Shin Ci-koh bukan kepalang, di samping kecewa sekali. Ia menghela napas.

   "Kecewa aku mencintainya. Tak nyana setipis itu moralnya. Setali tiga uang dengan kwalitet Ceng-bing-cu. Ai, sudahlah, anggap saja aku tak pernah punya murid semacam itu. Biar kelak kurusakkan ilmu kepandaiannya agar jangan sampai ditertawai Leng Ciu siangjin."

   "Ah, kiranya tak perlu Shin lo-cianpwe memakan hati. Turut pendapatku ia berbuat begitu karena cintanya tak dibalas oleh Khik-sia. Toh Khik-sia tak kurang suatu apa. Dan kini nona Su itu sudah menikah dengan Se-kiat. Mungkin mereka akan hidup rukun sampai tua,"

   Yak-bwe menghiburi.

   Shin Ci-koh adalah seorang wanita yang berwatak dua, ya baik ya jahat.

   Meskipun ia marah terhadap Tiau-ing tapi dalam hati kecilnya masih ada setitik kecintaan.

   Setelah amarahnya reda, ia membenarkan juga kata-kata Yak-bwe tadi.

   Kalau Khik-sia tak menampik cintanya Tiau-ing, Tiauing tentu tak kalap begitu macam.

   Diam-diam ia merasa, andaikata dahulu Gong-gong-ji berbuat seperti Khik-sia terhadap Tiau-ing, tentu sudah akan dibunuhnya.

   "Baik, jika kelak ia masih tak merubah kesalahannya, tentu akan kubikin invalid,"

   Akhirnya ia memberi pernyataan. Untuk mengalihkan permbicaraan Gong-gong-ji menegur Yak-bwe.

   "Ai, nona Su, jangan memanggil Shin Ci-koh sebagai lo-cianpwe. Aku dan Khik-sia kan suheng dan sute."

   Yak-bwe tersipu-sipu, tapi cepat ia tertawa.

   "Selamat susoh, maafkan kekhilafanku. Cici In, kita seangkatan, kau pun harus mengganti sebutan terhadap susohku."

   Shin Ci-koh diam-diam girang tapi ia pura-pura menggerutu pada Gong-gong-ji.

   "Ai, mukamu memang tebal benar. Kita toh belum kawin, mengapa kau suruh mereka memanggil susoh padaku!"

   "Toh hanya soal waktu saja. Lebih dulu saling tahu sebutan masing-masing toh tak mengapa,"

   Gong-gong-ji tertawa.

   "Kapan suheng melangsungkan pernikahan jangan lupa memberitahukan kami. Tapi ai suheng, kau gemar mengembara tak menentu tinggalnya. Kau mencari kami itu mudah, sebaliknya jika kami hendak mencarimu wah susah sekali,"

   Khik-sia turut menggoda.

   "Tapi mungkin aku yang lebih dulu akan meminum arak pernikahanmu dengan nona Su,"

   Gong-gong-ji tertawa.

   "Suheng, kita bicara soal serius, mengapa suheng mengolok-olok. Kami masih muda, masakan terburu-buru,"

   Seru Khik-sia.

   "Aku toh juga serius. Aku hendak menyelesaikan suatu pertanggungan jawab dulu, baru menikah. Setelah menikah aku tak mau keluar ke dunia persilatan lagi,"

   Sahut Gong-gong-ji.

   "Aku tak percaya kau bisa berangan-angan begitu,"

   Shin Ci-koh tertawa ewah. Atas pertanyaan Khik-sia, ternyata pertanggungan jawab yang hendak diselesaikan Gong-gongji itu ialah tentang diri Ceng-ceng-ji.

   "Akan kuminta pedang Kim-ceng-kiam untuk kukembalikan pada Coh Ping-gwan. Kemudian kuselesaikan pesan mendiang subo. Sudah bertahun-tahun kuberi kelonggaran padanya (Ceng-ceng-ji), sekarang tak bisa terus-menerus begitu."

   Katanya lebih lanjut.

   "Kalian tak perlu tunggu aku karena kalian sudah dijodohkan sejak masih dalam kandungan. Jangan ditunda lama-lama. Terus terang, aku menyesal karena sudah mensiasiakan waktu mudaku selama 20-an tahun. Ah, tapi nasi sudah menjadi bubur. Maka sekarang akupun tak mau menunda lama-lama."

   Diantara yang mendengari percakapan kedua saudara, adalah In-nio yang paling rawan. Shin Ci-koh menghiburinya supaya jangan berkecil hati. Pui Bik-hu tentu akan dapat berjumpa lagi.

   "Kalau Khik-sia tak ketemu, terang dia sudah tak berada di sini. Kupikir akan menemui ayah untuk mengatur persiapan. Rasanya tentara ayah tentu sudah dalam perjalanan,"

   Kata In-nio dan Yak-bwe nyatakan mau ikut.

   Saat itu sudah jan 3 pagi.

   Shin Ci-koh tak mau tidur.

   Selaku pembalas budi, ia mengajarkan beberapa ilmu pedang kepada In-nio.

   Karena sudah mempunyai dasar, dalam waktu sejam saja, Innio sudah dapat mempelajarinya.

   Tak lama kemudian haripun terang tanah.

   Mereka berlima pecah dalam dua rombongan dan turun gunung.

   Mereka berpisah di kaki gunung.

   Gong-gong-ji dan Shin Ci-koh mengejar jejak Ceng-ceng-ji.

   
Tusuk Kondai Pusaka Karya SD Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
In-nio, Khik-sia dan Yak-bwe hendak menyonsong tentara negeri yang dikepalai Sip Hong.

   Dalam kesempatan itu Shin Ci-koh mengembalikan kuda Cian-li-ma Bik-hu kepada In-nio.

   Pada hari kedua ketika menyusur jalanan, tiba-tiba mereka melihat sebuah pasukan besar tengah mendatangi.

   Benderanya bertuliskan huruf Sip In-nio girang sekali tapi heran juga mengapa ayahnya secepat itu sudah datang.

   Menurut perhitungan, seharusnya dua hari kemudian baru datang.

   In-nio keprak kudanya menyongsong.

   Pertama-tama ia bertemu dengan dua orang panglima ayahnya.

   Cepat-cepat ia menanyakan diri ayahnya.

   Seorang opsir muda larikan kudanya menyambut, serunya.

   "Suci, kau sudah pulang!"

   Opsir muda itu bukan lain ialah pemuda yang dipikiri siang malam oleh In-nio, yakni Pui Bikhu. Girang In-nio sampai tak dapat berkata-kata.

   "Ayahmu cemas sekali karena kau tak kembali. Dia mengirim beberapa mata-mata untuk menyirapi keadaanmu di Tho-ko-poh,"

   Bik-hu berkata dengan bisik-bisik.

   "Mana ayahku sekarang?"

   Tanya In-nio.

   "Berada di barisan belakang. Barisan ini termasuk bagian perintis. Ayahmu menempatkan aku dalam barisan ini,"

   Kata Bik-hu. Saat itu Khik-sia dan Yak-bwe pun tiba. Mereka mengucapkan selamat kepada Bik-hu atas kenaikan pangkat itu.

   "Pui suheng, kau naik pangkat. Ini berarti dobel keberuntungan jatuh di depan pintu,"

   Yak-bwe tertawa.

   "Apa keberuntungan yang kedua itu?"

   Tanya Khik-sia.

   "Hal itu bahkan yang nomor satu. Naik pangkat hanya nomor dua. Bukankah mereka kini berjumpa lagi? Inilah peristiwa yang bahagia. Tuh lihat, muka Pui suheng menjadi merah,"

   Yakbwe menggoda.

   "Sudahlah jangan mengolok orang. Apakah kalian ada lain urusan penting?"

   Tegur Bik-hu.

   "Kami berdua hanya menemani cici In saja untuk mencarimu. Karena tak melihatmu, cici In sampai tak doyan makan tak dapat tidur,"

   Sahut Yak-bwe.

   "Kami bertiga tak ada urusan lain. Tapi kemana saja kau selama ini? Mengapa tak kau laporkan tentang keadaan Tho-ko-poh pada ayah? Su Tiau-gi dan Bo Se-kiat sudah lolos dari Thoko- poh. Rasanya pasukan negeri tak perlu kesana lagi,"

   Kata In-nio.

   "Kalau kalian senggang, ayo ikut aku saja. Aku diperintahkan untuk mengejar Su Tiau-gi. Dia lari ke arah Poa-yang. Disana Li Kong-pik dengan pasukan besar sudah siap menunggu untuk mencegatnya. Tugas tentara penting sekali. Aku diberi waktu besok pagi harus sudah tiba di Poayang. Kita berjalan sambil bercakap-cakap,"

   Bik-hu menerangkan.

   Selama dalam perjalanan itu, In-nio dan Bik-hu saling menceritakan pengalamannya.

   Kiranya waktu lolos dari pertempuran di Tho-ko-poh, Bik-hu juga menderita luka ringan.

   Karena tak dapat menemukan In-nio, Bik-hu segera kembali kepada pasukan Sip Hong.

   Ia duga nona itu tentu juga pulang.

   "Eh, bagaimana dengan lukamu? Lukanya di bagian mana?"

   Tanya In-nio. Bik-hu tertawa.

   "Aku kena sebatang panah dari perempuan siluman itu (Tiau-ing), tapi tak berbahaya dan sekarang sudah sembuh. Akupun balas memanahnya. Kuduga lukanya tentu lebih berat."

   Katanya lebih jauh.

   "Tiba di dalam pasukan, ternyata ayahmu sudah mengetahui apa yang terjadi di Tho-ko-poh. Pun dia menerima berita dari Li Kong-pik yang menyatakan bahwa Su Tiaugi lari ke Poa-yang. Segera aku dinaikkan pangkat menjadi Sian-hong (operasi atau perintis). Aku diperintahkan membawa tiga ribu pasukan berkuda menuju ke Poa-yang untuk menggabung pada Li goanswe menghancurkan Su Tiau-gi. Aku merasa malu, karena pulang dengan terluka dan tak berjasa apa-apa tapi dinaikkan pangkat."

   "Ah, tak usah kau rendah hati. Jika tiada kau, aku tentu sudah mati kelelap di dalam penjara air,"

   In-nio tertawa.

   Teringat akan pengalaman mereka di dalam kamar penjara air, dimana dalam menghadapi maut itu mereka saling mencurahkan isi hati, tergetarlah hati mereka.

   In-nio memandang pemuda itu dengan penuh arti.

   Bik-hu berkata dengan bisik-bisik.

   "Aku harus berterima kasih kepada perempuan siluman itu. Jika ia tak menjebloskan kita di dalam penjara air, aku, aku, ...."

   "Sekarang kau adalah pemimpin dari tiga ribu pasukan berkuda. Dalam ketentaraan, pasukan perintis itu penting sekali. Jangan sampai kau kehilangan semangat,"

   In-nio tertawa memutusnya. Bik-hu menyatakan bahwa bagaimanapun rasanya Su Tiau-gi tentu sukar meloloskan diri lagi. Sementara Yak-bwe menyatakan bahwa Su Tiau-gi itu memang tak berbahaya. Yang paling berbahaya adalah Bo Se-kiat.

   "Kupercaya Sip ciangkun tentu sudah dapat memperhitungkan kemana mengacirnya Se-kiat,"

   Sahut Bik-hu. In-nio menyatakan bahwa kehancuran Su Tiau-gi itu psikologis mengandung arti besar. Karena hancurnya Su Tiau-gi berarti ludesnya pemberontakan gerakan pemberontak An Lok-san dan Su Khik-hwat. Bik-hu membenarkan, katanya.

   "Memang di kota Poa-yang masih terdapat seorang menteri lama dari Su Su-bing. Namanya Li Hoay-sian. Jika Su Tiau-gi sampai dapat bergabung dengannya, tentara pemerintah tentu mengalami kesulitan besar."

   "Aku sih tak tahu urusan militer. Aku hanya benci pada Se-kiat. Ingin kuhajar mampus manusia itu,"

   Yak-bwe tertawa.

   "Bagaimana dengan Su Tiau-ing? Apa kau tak benci padanya juga?"

   Tanya In-nio. Yak-bwe melirik ke arah Khik-sia, ujarnya.

   "Sekarang aku malah kasihan padanya."

   Hari kedua pada waktu siang tepat, bahkan sebelum batas waktu yang diberikan, Bik-hu dengan pasukannya telah tiba di kota Poa-yang.

   Mereka siap menghadapi pertempuran tapi di luar dugaan mereka melihat sebuah pemandangan ngeri.

   Di atas tembok kota yang tinggi, terpancang sebuah kepala orang yang masih berlumuran darah.

   Kepala itu bukan lain adalah batang kepala Su Tiau-gi.

   "Ah, kepala pemberontak sudah binasa. Sia-sia kita datang kemari,"

   Kata Bik-hu.

   "Ih, kemungkinan ada sesuatu yang tak beres,"

   Tiba-tiba In-nio kerutkan dahinya. Atas pertanyaan Bik-hu, In-nio menerangkan.

   "Opsir bermuka brewok yang berada di atas pos pintu kota itu seperti Li Hoay-sian, orang kepercayaan Su Su-bing."

   Memang karena sering ikut pada ayahnya berperang, banyaklah pengalaman In-nio. Ayahnya pernah bertempur dengan Li Hoay-sian maka ia kenal dengan orang itu.

   "Tapi dia memakai seragam opsir pemerintah. Dan kepala Su Tiau-gi itu terang bukan palsu,"

   Bantah Bik-hu.

   Dalam pada itu pintu kota sudah dibuka.

   Seorang opsir berpangkat Ki-pay-koan (ordonans) menyambut keluar.

   Ia mempersilahkan jenderal Li Kong-pik masuk ke dalam kota.

   Karena Lengciam (lencana pertandaan) yang dibawa opsir itu memang tulen, maka Bik-hu pun tak sangsi lagi dan segera membawa pasukannya masuk kota.

   Dari opsir Ki-pay-koan itu didapat keterangan bahwa memang Su Tiau-gi telah datang menggabung pada Li Hoay-sian.

   Li Hoay-sian menyambutnya dengan sebuah perjamuan.

   Tapi diam-diam ia sudah bersekongkol dengan Li Kong-pik.

   Tengah makan minum, Su Tiau-gi ditangkap dan dihukum potong kepala.

   Pun untuk menghormat kedatangan pasukan Bik-hu, Li Hoay-sian mengadakan sebuah perjamuan.

   "Aku ini sahabat berkelahi dari ayahmu. Untuk menebus kedosaanku yang lalu aku hendak menjadi menteri kerajaan yang setia. Kuharap nona suka menyampaikan hal ini kepada ayahmu,"

   Kata Li Hoay-sian kepada In-nio.

   In-nio tahu bahwa Li Hoay-sian itu seorang oportunis alias plin-plan.

   Tapi karena sudah membunuh Su Tiau-gi maka berjasa juga.

   Ia mengucap beberapa patah kata merendah dan berjanji akan mengatakan kepada ayahnya.

   Setelah beristirahat seperlunya, Bik-hu menghadap panglima Li Kong-pik.

   Karena ayahnya wakil panglima dan kenal baik dengan Li Kong-pik, maka In-nio pun ikut menghadap juga.

   Panglima itu menyambut kedatangan mereka dengan gembira.

   "Kali ini kami sudah siap-siap bertempur, tapi sayang kaum pemberontak sudah dilenyapkan. Dengan begitu sedikitpun kami tak berjasa apa-apa. Atas pemberian arak selamat dari goanswe (panglima), kami sungguh malu sendiri,"

   Kata Bik-hu. Li Kong-pik tertawa gelak-gelak.

   "Mengapa goanswe tertawa? Apakah perkataanku salah?"

   Bik-hu heran.

   "Seorang tentara masakan mengeluh tak ada kesempatan berperang? Malam ini tidurlah baikbaik. Besok pagi akan kukirim kau ke medan pertempuran. Apakah kau tak tahu kalau jenderalmu sudah mempunyai rencana?"

   Kata Li Kong-pik. Kalau In-nio coba-coba menerka adalah Bik-hu yang sudah lantas menanyakan hal itu.

   "Rencana apa? Akan bertempur dengan siapa?"

   Sahut panglima Li dengan wajah serius.

   "Kuundang kalian kemari, pertama untuk merayakan arak kemenangan. Kedua, untuk mengantar keberangkatan. Sekarang kuberitahukan tentang berita yang kuterima dari Sip ciangkun. Su Tiau-gi sudah meninggal tapi dia masih mempunyai seorang adik perrempuan yang dengan membawa tentara serta seorang penjahat besar bernama ...."

   "Bernama Bo Se-kiat,"

   Bik-hu meneruskan. ********** "Ya, benar, kabarnya Bo Se-kiat sudah menikah dengan adik perempuan Su Tiau-gi itu. Mereka mempunyai anak buah sejumlah 4-5 puluh ribu. Jauh lebih besar dari Su Tiau-gi dengan sisa pasukann,"

   Kata Li Kong-pik.

   "Apakah sudah diketahui jejak Bo Se-kiat?"

   Tanya Bik-hu.

   "Benar, mereka lari ke arah utara. Semalam Sip ciangkung sudah gerakkan pasukannya, merubah rencana perjalanan semula untuk mencegat mereka di Coat-liong-koh. Menurut perhitungan, besok pagi tentu sudah bertemu. Sip ciangkun kirim orang memberitahu padaku. Kurencanakan untuk mengirim sebuah pasukan berkuda bersama kau ke Coat-liong-koh untuk menyergap musuh dari belakang,"

   Kata Li Kong-pik. Kiranya Sip ciangkun memang telah mengatur siasat. Dari mata-mata ia mendapat tahu kalau Bo Se-kiat mengambil jalan ke utara. Tetapi ia (Sip Hong) pura-pura berangkatkan pasukannya ke Poa-yang, agar Se-kiat tidak menaruh kecurigaan.

   "Taktik militer harus selalu secara mendadak di luar dugaan musuh. Rahasia militer harus dijaga rapat. Maka tak mengherankan kalau kau sendiri tak mengetahui tentang rencana panglimamu. Ini bukan karena takut kau membocorkan tetapi kalau kau tahu bahwa kepergianmu ke Poa-yang sini hanya gerakan tipu kosong, kau tentu tak serius menjalankan tugas. Bisa juga kau buru-buru mempercepat perjalanan. Kalau sampai diantara anak buah tentara ada yang berkhianat dan membocorkan pada musuh, tentu musuh akan dapat lolos lagi,"

   Li Kong-pik menyudahi penjelasannya. Pulang ke dalam kemah, Bik-hu memberitahukan hal itu kepada Khik-sia dan Yak-bwe yang menjadi girang mendengarnya. Tapi dalam pada itu, Khik-sia mempunyai pemikiran sendiri.

   "Ah, anak buah Se-kiat terdiri dari kawan-kawan Lok-lim. Kali ini mereka tertipu. Kalau sampai mengantarkan jiwa, bukankah kasihan. Aku akan berusaha untuk memberi jalan hidup pada mereka."

   Keesokan harinya sebelum terang tanah, Bik-hu berangkat bersama pasukan berkuda.

   Karena mereka mengambil jalan singkat yang hanya 60-an li jauhnya, sebelum petang hari mereka sudah tiba di lembah.

   Ternyata pertempuran telah pecah antara pasukan Sip Hong lawan anak buah Sekiat.

   Pertempuran berlangsung dahsyat.

   Sip Hong gunakan taktik Tiang-coa-tin (barisan ular panjang).

   Kalau diserang kepalanya, ekornya menggempur.

   Kalau bagian ekor yang diserang, kepalanya menggempur.

   Kalau tengah atau bagian badan yang diserang, kepala dan ekornya berbareng menerjang.

   Tiap 300 serdadu menjadi satu pasukan.

   Setiap pasukan dipecah lagi jadi tiga lapisan.

   Lapisan muka terdiri dari 150 tentara darat bersenjata tombak dan khik.

   Tugasnya untuk menyambut barisan pelopor dari musuh.

   Lapisan tengah terdiri dari 50 tentara yang tugasnya khusus untuk menggerantol (mengait) kaki kuda musuh.

   Lapisan belakang terdiri dari 100 tentara panah.

   Tugasnya untuk melepaskan anak panah ke barisan musuh agar dapat melindungi lapisan muka maju menerjang.

   Disamping pasukan itu, masih ada sebuah pasukan berkuda yang mengapit kanan kiri pasukan itu secara mobil.

   Meskipun pihak Bo Se-kiat juga mempunyai 500-an anak buah, tapi sebagian besar adalah bekas tentara Su Tiau-gi yang sudah pecah nyalinya.

   Dalam beberapa kali pertempuran, mereka selalu dikalahkan oleh tentara pemerintah.

   Untung anak buah Se-kiat yang berasal dari kawanan Lok-lim itu, tinggi sekali daya tempurnya.

   Se-kiat mengatur barisannya secara horisontal.

   Mundur sama mundur, maju sama maju.

   Berulang kali tentara negeri hendak membobolkan pertahanan mereka, tetapi tetap gagal.

   Tusuk Kondai Pusaka Karya SD Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Namun diambil secara keseluruhannya, tentara negeri berada di pihak unggul.

   Jika bekas tentara Su Tiau-gi itu sudah dihancurkan, kawanan Lok-lim pengawal Se-kiat itu tentu mudah diatasi.

   Melihat gelagat tak menguntungkan, Se-kiat ajak Tiau-ing dan pengawalnya pasukan berkuda serta kedelapan jago dari Hu-song-to, membuka jalan darah.

   Mereka menerjang ke arah bendera Sip Hong.

   Asal dapat menghancurkan bagian tengah yang merupakan komando, atau dapat menahan Sip Hong, barisan ular panjang tentu berantakan sendiri.

   Pada saat Bik-hu dan kawan-kawan terjun dalam medan pertempuran, tepat pada waktu Se-kiat dan pasukannya menerjang ke bagian tengah.

   Mereka berkepandaian tinggi.

   Hujan anak panah yang dilancarkan tentara negeri, kena disapu jatuh semua.

   Hanya dua orang Hong-ih-jin (baju kuning dari pulau Hu-song-to) yang terluka, tapi pun tak mau mundur.

   "Hola, Se-kiat, kita bertemu lagi. Maukah kau bertempur dengan aku sampai tiga ratus jurus lagi?"

   Seru Khik-sia.

   Ia kepit perut kudanya.

   Kuda meringkik dan menerjang ke muka barisan Sekiat.

   Ia merebut sebatang busur dari seorang tentara panah.

   Sret, sret, beruntun ia lepaskan empat anak panah.

   Dua untuk Se-kiat dan dua pada Tiau-ing.

   Dua batang anak panah mengaung di sisi rambut Tiau-ing.

   Yang sebatang tepat mengenai anting-antingnya hingga jatuh.

   Khik-sia masih berlaku murah.

   Tak mau mengambil jiwanya dan hanya membikin kaget saja.

   Tapi itupun sudah untuk membuat Tiau-ing jatuh dari kudanya.

   Melihat Khik-sia memanahnya, Tiau-ing terkejut, marah dan berduka.

   Belum anak panah mengenai tubuhnya, ia sudah jatuh dari kudanya sendiri.

   Se-kiat putar pedangnya.

   Ia dapat memukul jatuh kedua anak panah dari Khik-sia walaupun tangannya terasa sakit juga.

   Tapi yang membuatnya kaget sekali adalah ketika melihat isterinya jatuh.

   Cepat ia menyambar tubuh wanita itu.

   Tetapi kuda Tiau-ing kena terpanah mati oleh tentara negeri.

   Kejadian itu cukup mematahkan semangat Se-kiat.

   Apalagi dilihatnya bagian tengah dari barisan Tiang-coa-tin itu kuat sekali, sedang di antara kedelapan pengawalnya sudah ada tiga orang yang terluka, ditambah pula dengan kedatangan Khik-sia berempat.

   Ia (Se-kiat) memperhitungkan, sukar untuk merebut bendera musuh.

   Saat itu tiga ribu pasukan berkuda yang dipimpin Bik-hu menyerbu dari belakang.

   Pasukan Sekiat sudah kehilangan komandonya hingga kena dipecah belah oleh tentara negeri.

   Pasukan Se-kiat kalut, tidak ada koordinasi satu sama lain lagi.

   Sampai pada saat itu, Se-kiat pecah nyalinya betulbetul.

   Dengan memboncengkan Tiau-ing ia ajak kedelapan pengawalnya berputar balik menerjang keluar.

   Khik-sia tak mau mengejar melainkan masuk ke dalam perkemahan menghadap Sip Hong.

   "Hiantit, kau bersama Bik-hu dan In-nio sudah datang?"

   Sip Hong girang sekali. Khik-sia mengiakan dan hendak membawa In-nio kesitu tapi Sip Hong mencegahnya.

   "Tak usahlah. Saat ini belum waktunya kami berdua ayah dan anak bertemu. Akan kuberimu seregu pasukan berkuda. Bantulah Bik-hu menjaga mulut lembah. Musuh sudah kalut, ini kesempatan bagus bagi kita. Sekalipun tak dapat memusnahkan mereka, tapi sekurang-kurangnya mereka tentu akan hancur berantakan."

   "Sip ciangkun, maaf atas kelancanganku ini,"

   Kata Khik-sia.

   "Ehm kau ada usul apa? Bilanglah, tak perlu sungkan-sungkan."

   "Pikirku hendak mohon ciangkun memberi dia sebuah jalan hidup."

   "Aku justeru hendak memusnahkan mereka sebaiknya kau berpendapat begitu. Rupanya kau hendak mengunjukkan welas asih seorang wanita di tengah medan peperangan?"

   Tegur Sip Hong.

   "Meskipun saat ini suatu kesempatan bagi ciangkun mendirikan pahala, tapi dalam membasmi, tiga ribu musuh itu apakah pihak kita juga takkan menderita kerugian beratus-ratus jiwa? Jika kelewat mendesak mereka, mereka tentu akan melawan mati-matian. Dan ini bukankah akan mengorbankan banyak jiwa? Menurut pendapatku, yang penting kita dapat mencerai beraikan musuh, mematahkan semangat mereka. Dalam hal ini aku bersedia menerima ejekan ciangkun sebagai wanita yang mengunjukkan welas asih di medan peperangan. Daripada membayar pahala dengan ribuan jiwa, rasanya lebih baik."

   Sebenarnya Sip Hong itu luas sekali pengalamannya. Tapi ia masih tak dapat lepas dari ambisinya mencari pahala. Ucapan Khik-sia tadi seperti air dingin mengguyur kepalanya. Setelah terlongong beberapa saat, barulah ia berkata.

   "Membayar pahala dengan ribuan jiwa? Hm, apakah kau anggap aku Sip Hong ini manusia yang haus darah, algojo yang mementingkan keuntungan diri sendiri?"

   "Siautit tidak berani bermaksud begitu,"

   Buru-buru Khik-sia meminta maaf.

   "Baik, tapi kuminta kau dapat melaksanakan cara-cara untuk mencerai beraikan musuh. Nah, akupun tak mau mengucurkan banyak darah dan menurut usulmu itu. Kuserahkan bendera komando kepadamu, kau boleh mewakili aku memberi komando,"

   Kata Sip Hong. Khik-sia menyambuti bendera itu terus mengundurkan diri. Dengan suara nyaring ia berseru kepada pasukan Se-kiat.

   "Hai, dengarlah. Su Tiau-gi sudah binasa. Li Hoay-sian menerima titah kerajaan untuk menerima anak buahnya. Siapa yang suka menyerah, diampuni. Yang mau mengundurkan diri dari ketentaraan boleh datang ke Poa-yang menerima uang pesangon."

   Sembilah puluh persen dari anak buah Su Tiau-gi sudah tak punya nafsu bertempur lagi.

   Mendengar itu mereka berturut-turut melemparkan senjatanya dan menyerah.

   Tapi anak buah Sekiat masih tak goyah pendiriannya.

   Se-kiat yang sudah kembali ke tengah barisannya, ajukan kudanya dan tertawa mengejek.

   "Toan Khik-sia, ha, ha, tak kira mukamu begitu tebal mau berhamba pada tentara negeri? Baik, karena kau menginginkan pangkat dan kekayaan, menakluk pada kerajaan, menjual saudara-saudara Loklim maka marilah. Saudara-saudaraku semua adalah lelaki jantan tak nanti sudi menyerah padamu!"

   Kelompok Lok-lim paling mengutamakan keperwiraan.

   Ucapan Se-kiat itu dimaksud untuk membakar hati anak buahnya.

   Dan ternyata berhasil.

   Beberapa orang berturut-turut memaki Khiksia.

   Khik-sia kendalikan kemarahannya.

   Dengan gunakan lwekang ia berseru keras menindas hamun makian orang-orang itu.

   "Bo Se-kiat, kau menipu saudara-saudara lok-lim untuk menjual jiwa padamu. Apa maksudnya? Bukankah karena kau hendak menduduki tahta kerajaan? Kalau kau cakap dan bijaksana, itu sih tak mengapa. Tapi ternyata kau kawin dengan perempuan siluman itu, mau mengundang suku Oh menyerang Tiong-goan. Coba pikir, bagaimana rakyat akan tunduk padamu? Dan para hohan yang sadar mana sudi berkorban untukmu? Ya, memang saudara-saudara yang berada di sini ini golongan hohan semua. Adalah karena mereka tergolong hohan, mereka mengerti akan peraturan menjadi penyamun. Kau hendak menyesatkan mereka, tapi mana mereka mau mengikuti jejakmu?"

   Memang di kalangan lok-lim yang menggabung pada Se-kiat itu, sudah lama ada yang tak puas kepada Se-kiat.

   Tetapi karena kebanyakan mereka itu terpaksa menjadi penyamun karena tak mau tunduk pada kerajaan, maka walaupun ucapan Khik-sia tadi diakui kebenarannya namun tiada seorang pun dari mereka yang melemparkan senjatanya.

   Merah muka Se-kiat.

   Ia tertawa nyaring.

   "Kau tuduh aku menyesatkan mereka? Tetapi coba kau tanya dirimu sendiri hendak kemana kau mengajak mereka itu? Berhamba pada kerajaan, apakah jalan yang benar?"

   Sebenarnya Se-kiat kuatir kalau anak buahnya terpengaruh dengan katakata Khik-sia tadi. Maka ia bangkitkan lagi rasa kebencian mereka terhadap Khik-sia. OooooOOOOOooooo "Tutup mulutmu!"

   Bentak Khik-sia yang tiba-tiba mencabut bendera pemberian Sip Hong dan berteriak nyaring.

   "Sama sekali aku tak bermaksud menyuruh saudara-saudara menakluk. Aku sendiripun bukan manusia yang temaha pangkat kekayaan. Jika kelak aku Toan Khik-sia sampai menjabat dalam pemerintahan, saudara-saudara boleh membelah tubuhku dan mengorek ulu hatiku!"

   Habis itu ia keprak kudanya ke muka seraya melambaikan bendera.

   "Goan-swe memberi perintah supaya saudara-saudara yang menjaga mulut lembah memberi jalan lepaskan mereka. Kecuali diserang, siapapun tak boleh turun tangan!"

   Kawanan tentara terbeliak.

   Namun perintah harus ditaati.

   Dan ada baiknya juga untuk menghindari pertumpahan darah.

   Mereka segera melakukan perintah.

   Tadi Se-kiat mengadakan usaha terakhir untuk menjebolkan kepungan musuh.

   Tapi kini kepungan itu serta merta sudah terbuka sendiri.

   Ini sungguh di luar dugaannya.

   Nyata pihak pemerintah sengaja hendak mengasih jalan lolos.

   Bagi Se-kiat sebaiknya hal itu malah runyam.

   Ia tahu sekeluarnya dari kepungan, anak buahnya tentu tak mau mendengar perintahnya lagi.

   Ia bakal menjadi seorang pemimpin Loklim yang tak punya kewibawaan lagi.

   Daripada begitu ia lebih suka mengadu jiwa untuk membuka jalan darah, agar anak buahnya tetap setia kepadanya.

   Tetapi dalam keadaan dan tempat seperti saat itu, siapa lagi yang sudi mendengar komandonya? Bagaikan air bah, mereka melanda menerobos keluar dari mulut lembah.

   Marah Se-kiat bukan kepalang.

   Dengan menggerung keras, ia serbukan kudanya ke muka Khik-sia dan menyerangnya.

   "Ha, dikasih jalan keluar kau tak mau. Baik, karena ingin bertempur, terpaksa aku harus menemanimu,"

   Teriak Khik-sia.

   Dengan jurus Lat-biat-hoa-san, ia menangkis.

   Tring, tubuh Se-kiat tergetar, kudanya pun menyurut beberapa langkah.

   Khik-sia tak mau memberi hati.

   Setelah memperingatkan lawan supaya berjaga-jaga, ia menyerang tiga kali.

   Se-kiat kelabakan menangkis.

   Hampir saja ia terjatuh dari kudanya.

   Khik-sia menang angin.

   Tapi kemenangannya itu bukan disebabkan karena ia lebih sakti tapi karena berkat keunggulan kudanya dan karena Se-kiat sudah lelah bertempur sebelumnya.

   Kedelapan pengawalnya dari pulau Hu-song-to coba hendak maju menolong.

   Tapi mereka disambut oleh Bik-hu, In-nio dan Yak-bwe.

   Seperti telah diterangkan, diantara kedelapan jago Hu song-to itu...

   Walaupun ketambahan dengan Su Tiau-ing namun mereka tetap berat menghadapi Bik-hu bertiga dengan In-nio dan Yak-bwe.

   Tiga ribu pasukan berkuda melihat pemimpinnya tarung, tanpa diperintah lagi terus maju menyerbu.

   Melihat itu Se-kiat diam-diam mengeluh.

   Ia tak kira bahwa pada hari itu ia harus menyerahkan jiwanya kepada Khik-sia.

   Se-kiat dan kudanya sudah lelah sekali.

   Rupanya kelemahan itu diketahui juga oleh Khik-sia yang terus maju menerjangnya.

   Belum lagi Se-kiat sempat putar kepala kudanya, Khik-sia sudah menusuk punggungnya.

   Tring, sekonyong-konyong dalam detikdetik yang berbahaya itu, Tiau-ing keprak kudanya menangkis seraya berseru dengan nada gemetar.

   "Bagus, Khik-sia, bunuhlah saja aku!"

   Khik-sia jauh lebih lihay dari Tiau-ing.

   Apalagi pedangnya sebuah po-kiam.

   Asal ia mau tambahi tenaga, pedang Tiau-ing tentu terpapas kutung dan orangnya terluka.

   Tapi demi tertumbuk akan wajah Tiau-ing yang berlinang air mata itu, luluhlah hati Khik-sia.

   Tiau-ing tetap dapat menguasai pedangnya.

   Kesempatan itu tak disia-siakan Se-kiat yang secepat menabas pedang Khik-sia terus putar kudanya lari.

   Tiau-ing mengikutinya.

   "Se-kiat, selama gunung masih menghijau, masakan kita kuatir tak dapat mencari kayu,"

   Katanya. Sebenarnya Se-kiat berpambek ksatria. Tapi demi Tiau-ing masih setia padanya dan bahkan menghibur dengan kata-kata bersemangat, lemaslah hatinya.

   "Ah, benar. Selama masih hidup masakan tak dapat melakukan pembalasan. Tiau-ing masih setia padaku. Aku harus memenuhi kewajiban untuk melindungi seorang isteri,"

   Pikirnya.

   Padahal Tiau-ing bersikap begitu karena sudah putus jalan.

   
Tusuk Kondai Pusaka Karya SD Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Ia insyaf bahwa Khik-sia tak nanti sudi kepadanya lagi.

   Satu-satunya tiang sandaran hanyalah Se-kiat.

   Se-kiat bersuit memanggil kedelapan pengawalnya kemudian diajak lolos.

   Bik-hu, In-nio dan Yak-bwe hendak mengejar tapi dicegah Khik-sia.

   "Tak boleh kita melanggar janji. Kalau dia mau lari, biarkanlah!"

   Bik-hu menurut dan perintahkan pasukannya mundur. Dengan demikian dapatlah Se-kiat dan kawan-kawan keluar dari mulut lembah.

   "Ah, sayang, sayang! Khik-sia, kau sia-siakan kesempatan membalas sakit hati!"

   Seru Yak-bwe. Bermula Khik-sia kuatir kalau dituduh masih ada kenangan terhadap Tiau-ing. Bahwa ternyata Yak-bwe tak mengungkat hal itu, Khik-sia pun girang sekali. Sahutnya.

   "Membalas sakit hati adalah urusan kecil. Tetapi mentaati janji adalah lebih penting. Karena sudah ada perintah, maka tak boleh kita hanya memikirkan soal sentimen terhadap Se-kiat seorang. Apalagi Thiat-toako memang tak berniat untuk membunuh Se-kiat."

   In-nio setuju dengan pernyataan Khik-sia.

   Demikianlah mereka berempat segera kembali ke perkemahan panglima untuk menghadap Sip Hong.

   Jenderal itu memerintahkan untuk membersihkan medan pertempuran dan memeriksa anak buahnya yang luka-luka.

   Setelah para penjaga kemah ditugaskan semua, barulah ia menerima kedatangan Khik-sia berempat.

   Walaupun memperoleh kemenangan tetapi wajahnya tetap tak mengunjuk seri kegirangan.

   In-nio memberi hormat kepada ayahnya.

   "Hai, mengapa kau berani berdusta kepada ayahmu? Bilang menjenguk rumah tapi ternyata diam-diam pergi ke Tho-ko-poh!"

   Tegur Sip Hong.

   "Tapi kepergian cici In kali ini juga ada faedahnya. Ia dapat menyelidiki keadaan musuh dan berhasil menarik seorang panglima wanita yang menjadi orang sebawahan Se-kiat. Wanita itu banyak sekali membantu tentara negerti kemudian ia menikah dengan putera raja suku Ki. Kali ini jiga raja suku Ki tak kerahkan tentaranya untuk mengusir Se-kiat dari Tho-ko-poh, mungkin tentara negara juga tak mudah menyerbu musuh. Paman Sip, mengingat jasa-jasa cici In, rasanya tak perlu kau mendampratnya lagi!"

   Kata Yak-bwe. Sebenarnya ia sudah mengetahui hal itu dari Bik-hu. Setelah memaki sekedarnya, hatinya pun lemas lagi, ujarnya.

   "Untung kali ini ada Pui hiantit yang berani menempuh bahaya masuk ke Thoko- poh sehingga kau tertolong. Jika tidak, entah bagaimana jadinya. Lain kali jangan berani bertindak gegabah!"

   Setelah menghaturkan maaf, berkatalah In-nio.

   "Aku merasa girang sekali kali ini ayah dapat menyelesaikan pemberontakan tanpa banyak mengucurkan darah. Besok pagi aku dan adik Bwe hendak pulang ke selatan. Kali ini aku sungguh-sungguh akan menjenguk mamah."

   Sip Hong memberi persetujuan.

   "Yah, kau sudah kelewat lama berdinas dalam ketentaraan. Seharusnya minta pensiun saja, melewatkan hari tua di rumah dengan tenteram,"

   Kata In-nio.

   "Jika selamat tak kejadian suatu apa, tentu aku senang untuk pensiun di rumah,"

   Sahut Sip Hong.

   "Kau sudah berjasa besar sekali, masakan pemerintah masih mempersalahkan apalagi?"

   Tanya Yak-bwe heran.

   "Dikuatirkan peristiwa hari ini, tak dapat dimaafkan baginya. Kawanan menteri kerajaan yang hendak menyingkirkan aku, tentu takkan mensia-siakan kesempatan ini!"

   Jawab Sip Hong.

   "O, apakah soal melepaskan Bo Se-kiat itu ....

   "

   Baru In-nio hendak meminta penjelasan kepada ayahnya, jenderal itu sudah menukasnya.

   "Toan hiantit, jangan kuatir. Urusan hari ini aku tetap berterima kasih kepadamu. Kaulah yang menggugah hati nuraniku untuk mengurangi kedosaanku mengorbankan jiwa. Sekalipun untuk itu aku harus menerima hukuman, tapi aku tetap takkan mempersalahkan kau."

   "Walaupun ciangkun lepaskan mereka, tapi anak buah Bo Se-kiat kurasa tentu tak mau mengikut Se-kiat lagi. Dengan begitu kita dapat menghapus bahaya tanpa mengorbankan jiwa. Daripada dibunuh, mereka tentu masih akan tetap mendendam, lebih baik kita memakai cara melepas budi,"

   Sahut Khik-sia. Sip Hong mengatakan mudah-mudahan pihak kerajaan terdapat orang-orang yang mempunyai pandangan seperti itu. Tiba-tiba Bik-hu melangkah maju, katanya.

   "Sip ciangkun, terima kasih atas pengangkatan ciangkun kepadaku. Tapi karena sekarang pemberontakan sudah ditindas, aku tak berhasrat masuk dalam tentara dan ijinkanlah aku pulang ke kampung. Maaf, jika aku mempunyai kesalahan selama ini."

   "Hai, kau mempunyai karir yang gilang-gemilang di kemudian hari. Mengapa hendak undurkan diri?"

   Sip Hong terkejut.

   "Ini.... ini ...."

   "Yah, luluskanlah permintaannya,"

   Cepat In-nio memotong kata-kata Bik-hu. Sip Hong sejenak memandang kepada puterinya. Ia seperti tersadar. Katanya dengan tertawa.

   "In-nio, apakah kau menginginkan Pui sutemu mengantarkan kau pulang? Kau belum menghaturkan terima kasih kepada sutemu, mengapa hendak merepotinya lagi?"

   Yak-bwe tertawa geli.

   "Paman Sip, mengapa kau khilaf?"

   "Khilaf bagaimana?"

   "Mereka berdua mana perlu berterima kasih lagi?"

   Sahut Yak-bwe. Merah padam wajah In-nio. Ia tundukkan kepala. Sip Hong tertawa gelak-gelak.

   "Oh, benar, benar. Aku memang limbung. Pui hiantit, aku hanya mempunyai seorang puteri. Perangai In-nio itu agak keras, dalam segala hal ia turut kemauannya sendiri. Ia agak membandel. Apakah kau tak menolaknya?"

   "Aha, mana ada ayah blak-blakan mengatakan keburukan dari puterinya?"

   Yak-bwe tertawa.

   Bik-hu memuja dan mencintai In-nio.

   Tapi tahu bahwa sucinya itu juga menyambut cintanya, namun ia tetapi masih tak berani meminangnya.

   Bahwa saat itu ayah In-nio terang-terangan mengijinkan perjodohan mereka, hampir saja Bik-hu tak dapat menguasai kegirangan hatinya.

   Dengan tangan dan nada gemetar ia berkata.

   "Paman...."

   "Hai, Pui suheng, mengapa kau juga limbung?"

   Teriak Yak-bwe. Bik-hu jatuhkan diri berlutut di hadapan Sip Hong.

   "Ayah mertua yang mulia, terimalah hormat menantu. Memang dalam segala apa cici In-nio lebih pandai dari aku. Apa yang ayah katakan tadi, sebaliknya adalah sifat-sifat kebaikannya. Aku seringkali mendapat nasihat darinya. Aku kuatir akulah yang tak sembabat menjadi pasangannya."

   Bik-hu seorang pemuda jujur. Apa yang hatinya memikir, mulutnyapun mengatakan. Khik-sia masih dapat menguasai diri tapi Yak-bwe sudah tertawa terpingkal-pingkal.

   "Ho, jadi selain mau mengambil isteri, kau juga memerlukan seorang guru? Selamat cici In kuucapkan padamu. Kau boleh tak usah kuatir suamimu berani menghina padamu!"

   Pun Sip Hong tertawa gelak-gelak, serunya.

   "Kalau begitu, kau suka menerimanya. In-nio, kau bagaimana?"

   Wajah In-nio makin membara. Ia tahu kalau ayahnya sengaja hendak menggodanya. Maka iapun berlutut, serunya.

   "Terserah bagaimana keputusan ayah."

   Kembali jenderal itu terbahak-bahak. Ia menarik In-nio dan Bik-hu ke dekatnya dan berkata.

   "Bik-hu, kalian berdua sudah saling setuju. Kuserahkan In-nio kepadamu. Antarkanlah pulang dulu menjumpai mamah mertuamu. Jika tak diijinkan, aku tetap akan minta cuti pulang ke kampung untuk menyelesaikan pernikahanmu."

   Lega sekali hati Sip Hong setelah menyelesaikant tugas kewajibannya sebagai seorang ayah. Keresahan hatinya tentang peristiwa Se-kiat tadi, lenyap seketika.

   "Akupun tak temaha pada pangkat dan kekayaan. Bik-hu, aku takkan memaksa jika kau keberatan masuk tentara. Semasa muda akupun juga bercita-cita menjadi pendekar kelana. Kalian setelah menikah, terserah akan menuntut penghidupan apa,"

   Kata jenderal itu kepada anak menantunya.

   Bik-hu menghaturkan terima kasih.

   Tengah mereka bicara, datanglah seorang petugas menghadap Sip Hong menerangkan bahwa ada seorang kelana persilatan mohon hendak menghadap.

   Sip Hong perintahkan membawa orang itu datang.

   Waktu petugas itu hendak mengundurkan diri "Anak tentara yang terluka hamba tak tahu jumlahnya.

   Tapi opsir-opsir yang terluka hanya belasan orang.

   Kelana itu hebat betul, setelah diberi obatnya opsir-opsir itupun tak menderita sakit lagi.

   Kemudian orang itu membagi-bagikan obat pada seluruh perkemahan kita,"

   Jawab petugas itu. Sip Hong segera suruh memanggil kelana itu. Khik-sia menanyakan siapa kelana itu. Dijawab oleh Sip Hong kalau kelana itu sebenarnya hendak mencari Khik-sia.

   "Dia bukan lain ialah sahabat dari mendiang ayahmu yaitu Toh Peh-ing,"

   Kata Sip Hong. Sudah tentu Khik-sia girang sekali.

   "Tapi ada urusan apa ia mencari aku?"

   Tanya Khik-sia.

   "Meskipun aku kenal padanya, tapi status kita berlainan maka akupun tak leluasa menanyai. Waktu hari ini aku menggempur Bo Se-kiat, dia (Toh Peh-ing) menyatakan kalau tak mau membantu perang melainkan hendak merawat serdadu-serdadu yang terluka saja. Maka kutempatkan ia di bagian perawatan. Dan dia memang banyak memberi bantuan dalam hal itu. Selama dua hari ini ia sibuk meramu obat-obatan,"

   Sip Hong menerangkan.

   Khik-sia tahu keberatan Toh Peh-ing.

   Memang sebagai kaum loklim, Toh Peh-ing tentu segan menumpas sesama kaum loklim.

   Khik-sia menduga kedatangan paman Toh itu tentu atas perintah Thiat toakonya.

   Entah telah terjadi peristiwa apa saja dengan Thiat-mo-lek.

   Dalam pada itu Kimkiam- ceng-long Toh Peh-ing pun datang seraya memberi salam terima kasih kepada Sip Hong.

   "Ai, mengapa Toh tayhiap begitu merendah,"

   Sip Hong tersipu-sipu membalas hormat.

   "Terima kasih atas kemurahan hati ciangkun yang telah membuka jalan hidup hingga tak sampai mengorbankan banyak jiwa,"

   Kata Peh -ing.

   "Ah, itu Khik-sia yang mengusulkan, aku tak berani menerima pujian."

   Setelah Khik-sia dan kawan-kawan memberi hormat kepada jago tua itu, berkatalah Peh-ing.

   "Dari tindakan Bo Se-kiat yang tetap mengadakan perlawanan itu, rupanya ia tak menghiraukan surat Thiat cecu dan rupanya kau telah menerima hinaan!"

   "Jangankan menghiraukan, melihatpun ia tak sudi,"

   Kata Khik-sia yang lalu menuturkan pengalamannya. Toh Peh-ing menghela napas.

   "Memang telah diduga kalau Bo Se-kiat tentu menolak nasehat Thiat cecu, itulah sebabnya maka aku disuruh kemari mencarimu."

   Atas pertanyaan Khik-sia, Toh Peh-ing menjelaskan.

   "Dengan menggabung pada Su Tiau-gi, walaupun Bo Se-kiat dapat mengelabuhi Kay Thian-hau, Nyo Toa-ko-cu dan sementara saudarasaudara, tapi banyak sekali cecu yang tak puas kepadanya. Kini dua orang lo-cianpwe dari kalangan loklim yakni Thiat-pi-kim-to Tang Kiam-ho dan lo-cecu dari gunung Hok-gu-san bermaksud hendak menghapuskan kedudukan Bo Se-kiat sebagai lok-lim-beng-cu."

   "Apakah itu tak berarti harus mengadakan rapat besar kaum loklim lagi?"

   Tanya Khik-sia.

   'Ya, benar.

   Tang lo-cianpwe dan kawan-kawan menghendaki Thiat-mo-lek yang menyelenggarakan rapat itu dan mengirim undangannya.

   Tempat rapat ditetapkan di Hiong-ki-goan gunung Hok-gu-san.

   Soal ini hanya menunggu persetujuan Thiat-toako saja."

   "Lalu bagaimana maksud Thiat-piauko?"

   Tanya Khik-sia pula.

   "Itulah maka ia suruh aku mencarimu kemari. Pertama untuk memperoleh kabar. Jika Bo Sekiat mau menerima nasihat Thiat cecu, usul Tang lo-cianpwe dan kawan-kawan itu ditiadakan. Thiat cecu sedia menghaturkan maaf kepada para cecu."

   "Thiat piauko benar-benar murah hati kepada Bo Se-kiat. Sayang orang itu gelap pikirannya,"

   Kata Khik-sia.

   "Thiat cecu sudah menunaikan kewajibannya terhadap seorang sahabat. Tapi bukan berarti ia memanjakannya. Ia sudah menduga klau Bo Se-kiat tentu keras kepala maka rapat kaum loklim tetap dipersiapkan. Sekalipun nanti Se-kiat menyesal dan mengakui kesalahannya, ia harus menyatakan di hadapan orang banyak, baru nanti boleh meneruskan memangku kedudukan bengcu."

   "Bagus, itulah tepat. Tetapi menurut pandanganku, Se-kiat tak nanti mau mengakui kesalahannya,"

   Kata Khik-sia.

   "Itu urusannya sendiri. Rapat kaum loklim tetap akan diadakan. Dalam rangka itulah maka aku disuruh memanggilmu pulang untuk membantu mempersiapkan rapat itu. Ia mengharap juga agar suhengmu juga hadir nanti."

   "Mengapa?"

   Seru Khik-sia.

   "Karena Thiat cecu sendiri enggan menjabat bengcu dan hendak menyerahkan kedudukan itu kepada Gong-gong-ji."

   "Toa-suheng itu biasa hidup bebas, takkan mau ia menerima kedudukan itu."

   "Hal itu boleh kau rundingkan sendiri dengan piaukomu. Aku sendiripun mengharap kali ini Thiat cecu jangan menolak lagi. Dia adalah harapan semua saudara."

   Sebagai "jenderal pelepas gerombolan penjahat", Sip Hong merasa runyam.

   Ia girang Se-kiat didepak keluar oleh kaum loklim, tapi ia cemas karena dengan diangkatnya Thiat-mo-lek menjadi bengcu baru, kaum lok-lim tentu akan lebih kuat pengaruhnya.

   Ia sebenarnya masih setia kepada kerajaan Tong, tapi ia merasa tiada kemampuan.

   Akhirnya ia ambil putusan untuk segera letakkan jabatan dan kembali ke kampung halaman saja.

   Tusuk Kondai Pusaka Karya SD Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Dengan begitu ia dapat terhindar dari segala kesulitan di kemudian hari.

   Keesokan harinya, Sip Hong kumpulkan pasukannya, setelah menggabungkan diri dengan pasukan Li Kong-pik terus akan pulang ke kotaraja.

   Toh Peh-ing, Khik-sia, Pui Bik-hu dan In-nio serta Yak-bwe juga bersama-sama pulangke selatan.

   Dengan kuda pilihan, tengah hari mereka berlima tiba di sebuah kota.

   Walaupun masih membawa bekal makanan, tapi karena perjalanan di padang rumput itu jarang bersua dengan perumahan rakyat, maka mereka pun singgah juga kekota itu untuk menambah bekal ransum.

   Tetapi ternyata kota itu sepi sekali.

   Hanya ada beberapa orang yang melongok dari jendela.

   Begitu melihat rombongan Toh Peh-ing dan kawan-kawan, mereka lantas memukul genderang dan berteriak-teriak.

   "Perampok datang lagi!"

   Beberapa orang yang berada di jalanan, segera bersembunyi.

   Pintu rumah sama ditutup.

   Ada yang bersembunyi di dalam rumah ada juga yang lari keluar tunggang langgang.

   Peh-ing heran dan turun dari kudanya.

   Ada sebuah toko yang tak keburu menutup pintu dimasuki Peh-ing.

   Pemiliknya seorang tua yang buru-buru berlutut dan meratap.

   "Harap tay-ong berlaku murah. Kemarin tokoku sudah digeranyang. Memang tak punya barang apa-apa."

   Toh Peh-ing menerangkan kalau dia bukan perampok. Sebaliknya pak tua itu malah gemetar.

   "Kalau begitu tuan ini tentara negeri?"

   "Bukan, kami adalah pelancong yang kebetulan lalu di sini dan hendak membeli makanan,"

   Kata Peh-ing. Pemilik warung itu agak lega hatinya.

   "Kemarin pun banyak serdadu yang lalu di sini. Tapi kami tak dapat membedakan mereka itu serdadu atau kawanan perampok. Yang nyata mereka itu mengambil semua bahan makanan di sini. Ai, untung mereka hanya merampas itu saja."

   Atas pertanyaan Peh-ing, pemilik toko itu menerangkan bahwa kalau perampok tentu merampas bahan makanan tapi kalau tentara kerajaan tentu sering menganiaya orang.

   "Sebenarnya kami memerlukan makanan tapi karena kalian sendiri menderita, terpaksa kami pun tak berani mengganggu lagi,"

   Akhirnya Peh-ing ajak rombongannya meneruskan perjalanan.

   "Tentu anak buah Se-kiat yang berbuat sehina itu, membikin malu nama kaum loklim,"

   Khik-sia menggerutu.

   "Tak dapat dipersalahkan. Habis kalau tak ada pimpinan perut kosong tentu sukar dikendalikan lagi. Mereka hanya merampas makanan, itu sudah cukup baik,"

   Kata In-nio. Peh-ing merenung beberapa saat, katanya.

   "Saudara-saudara yang kalah perang itu harus dipikirkan penempatannya. Kalau tidak, tentu merupakan bahaya bagi rakyat. Dan kalau mereka terpencar tentu mudah dibasmi tentara negeri."

   Kira-kira seperjalanan empat lima puluh li, mereka kesamplotan dengan sejumlah tiga empat ratus rombongan laskar yang kalah perang.

   Ternyata mereka kenal pada Toh peh-ing dan Khik-sia.

   Begitu Peh-ing turun dari kuda, orang-orang itupun segera mengerumuninya.

   Peh-ing menanyakan keterangan pada sementara thaubak yang dikenalnya.

   Ternyata apa yang diduga memang benar.

   Se-kiat sudah kehilangan kepercayaan dari orang-orang loklim yang turut dalam gerakannya.

   Sebagian besar orang-orang itu sudah benci pada Se-kiat.

   Mereka tak mau mendengar perintahnya lagi.

   Kuatir kalau terbit pemberontakan, Se-kiat tak berani berjalan bersama mereka.

   Ia bersama sejumlah kecil orang kepercayaannya larikan kudanya lebih dahulu.

   "Mana Kay Thian-hau?"

   Tanya Peh-ing. Thaubak itu menghela napas.

   "Dia tak mau berpisah dengan Se-kiat. Sebenarnya kami tak anti pada Kay Thian-hau, bahkan hendak mengangkatnya sebagai pemimpin kami. Tanpa pemimpin, kami bertindak sendiri-sendiri, sukar mencari makanan dan takut dikejar tentara negeri. Perjalanan ke Tiong-goan terpisah jarak ribuan li. Kami kehilangan daya dan putus asa."

   Peh-ing memberi peringatan.

   "Merampas makanan, tak kutentang. Tetapi harus melindungi jiwa rakyat. Rakyat yang miskin tak boleh dirampas makanannya. Kira-kira seratusan li dari sini adalah kota Leng-bu, gudang ransum dari kerajaan. Kita boleh mengambilnya, mungkin masih ada kelebihan untuk dibagikan kepada rakyat yang menderita."

   "Merampas dari yang kaya untuk menolong pada yang miskin, kita cukup mengerti. Tapi dikarenakan tiada pemimpin, kawan-kawan kita sering kehilangan disiplin, merampas yang dapat dirampas. Merampas yang kaya saja sukar apa lagi menggempur gudang pemerintah. Toh thocu dan Toan siauhiap, kuminta kalian suka memimpin kami,"

   Sahut thaubak itu. Setelah berpikir sejenak, Khik-sia meminta Toh Peh-ing tinggal untuk memimpin mereka, sementara ia hendak melaporkan itu kepada Thiat-mo-lek supaya segera mengirim orang menyambut.

   "Bagus, setuju. Toh thocu, kau tentu menjadi pemimpin yang hebat,"

   Terdengar rombongan kaum loklim itu berseru girang.

   Karena tak sampai hati melihat sesama kaum loklim sampai terlantar, mau juga Peh-ing menerimanya.

   Segera ia suruh beberapa laskar berkuda untuk mencari kontak dengan sisa-sisa rombongan kawannya yang tercerai berai.

   Setelah dapat mengumpulkan mereka, Toh Peh-ing segera akan mengajaknya pulang ke selatan.

   Sedang Khik-sia dan Bik-hu berempat segera teruskan perjalanan.

   Di sepanjang jalan mereka berpapasan dengan banyak kelompok laskar loklim.

   Kepada mereka, Khik-sia memberitahukan tentang penggabungan Toh Peh-ing.

   Mereka supaya tetap tinggal di masing-masing pos nanti akan disampir oleh Toh Peh-ing.

   Khik-sia berempat pun mengunjungi daerah orang Han, tetapi tak berjumpa dengan rombongan Se-kiat.

   Kuda mereka pesat sekali.

   Tak sampai sepuluh hari, tibalah sudah mereka di tapal batas Holam.

   Kalau ke timur menuju ke Gui-pok, kalau ke barat sampai ke gunung Hok-gu-san.

   Mereka pecah jadi dua rombongan.

   In-nio dengan diantar Bik-hu hendak pulang ke Gui-pok.

   Khik-sia dan Yakbwe hendak ke Hok-gu-san.

   Yak-bwe berat sekali berpisah dengan In-nio.

   Ia mengantar sampai jauh sekali.

   Akhirnya Innio menyuruh mereka balik dengan menjanjikan setelah menjenguk ibu nanti sepuluh hari lagi ia juga akan ke Hok-gu-san.

   Ia berniat ajak Bik-hu menyaksikan rapat besar kaum gagah atau Enghiong- tay-hwe.

   Demikian kedua pasangan anak muda itu saling berpisah.

   Pada hari itu Khik-sia dan Yak-bwe tiba di Sin-yap, sebuah dusun yang berada di daerah kaki gunung Hok-gu-san.

   Luas pegunungan Hok-gu-san yang ribuan li itu, harus ditempuh paling tidak tiga hari.

   Karena tak terburu-buru, mereka naik kuda pelahan-lahan sambil menikmati pemandangan alam yang permai.

   Di tepi jalan terdapat sebuah warung minum.

   Membelakangi gunung, menghadap sungai.

   Sungguh indah sekali letaknya.

   Khik-sia ajak masuk untuk minum.

   Yak-bwe girang sekali.

   Kuda ditambatkan dan masuklah mereka ke dalam warung itu.

   Di dalam warung tiada tampak lain tetamu lagi.

   Khik-sia memesan dua kati arak dan beberapa sayuran.

   Selagi menikmati hidangan, tiba-tiba matanya tertumbuk akan sebuah pemandangan yang mengejutkan.

   Pada pilar batu terdapat sebuah bekas tapak tangan yang masuk sampai 3 inci dalamnya.

   Anehnya telapak tangan itu kecil sekali, tak mirip dengan telapak tangan orang dewasa.

   "Hebat benar lwekang orang itu tapi masakan seorang anak kecil?"

   Pikir Khik-sia. Rupanya Yak-bwe melihat juga, katanya dengan bisik-bisik.

   "Tokoh persilatan sakti tentu tak mau sembarangan mengunjukkan kepandaiannya di tempat sesunyi ini jika tiada maksudnya. Tentu ada ceritanya yang menarik!"

   "Ah, tak perlu kita main tebak. Panggil pemilik warung tentu kita akan mendapat keterangan,"

   Khik-sia tertawa. Pengurus warung yang mendengar pembicaraan mereka, tanpa dipanggil, sudah menghampiri datang.

   "Tuan tentu heran dengan telapak tangan di pilar batu itu, bukan?"

   "Ya, memang. Bagaimana ceritanya?"

   Tanya Khik-sia.

   "Memang banyak sudah pengunjung yang heran dengan hal itu. He,he, bukankah tuan hendak tambah pesan hidangan lagi?"

   Tanya tukang warung itu. Yak-bwe mengiakan tetapi ia minta sepinggan buah-buahan segar. Ia memberi uang, kelebihannya boleh diambil pengurus warung itu. Dengan girang pengurus warung itu menerima uang perak Yak-bwe kemudian ia mulai bercerita.

   "Coba terka siapakah yang melekatkan telapak tangannya itu?"

   Ia memulai dengan sebuah pertanyaan.

   "Jika dapat menerka, tak perlu kusuruh kau bercerita lagi,"

   Yak-bwe menyahut ketawa.

   "Kalau kukatakan tentu tak dipercaya orang. Telapak tangan ini adalah dari seorang wanita!"

   Mendengar itu khik-sia dan Yak-bwe tersentak kaget. Khik-sia menduga jangan-jangan kepunyaan Biau Hui sin-ni atau Shin Ci-koh.

   "Masih muda sekali wanita itu, cantik sekali serupa dengan nona ini,"

   Pelayan itu menunjuk Yak-bwe. Yak-bwe tertawa dan menyuruhnya lekas-lekas menuturkan. Khik-sia tak percaya kalau Su Tiau-ing yang melakukan. Karena teranga kepandaian orang itu jauh melebihi dirinya (Khik-sia) sendiri.

   "Baik, aku segera berceritalah. Peristiwanya baru saja terjadi kemarin ketika seorang pemuda yang gagah usianya sebaya dengan tuan. Mengenakan mantel kulit rusa dan sepertinya menyelip pedang di pinggang."

   Yak-bwe merasa sebal dan hendak menyuruhnya bercerita ringkas, tapi karena tadi sudah terlanjurnya suruh dia bercerita yang jelas, terpaksa dibiarkan saja. Sedang Khik-sia pun mendesak supaya orang itu meneruskan ceritanya.

   "Kemudian datanglah seorang gadis. Belum sempat kutanya mau pesan apa, nona itu sudah menghampiri kemuka pemuda tadi dan melengking.

   "Hai, orang she Coh, apa masih kenal padaku?" - Nona itu garang benar. Belum si pemuda sempat menyahut, nona itu sudah memukulnya!"

   Kata pengurus warung pula.

   "Hai, orang she Coh? Dia kena terpukul atau tidak?"

   Seru Khik-sia.

   "Tidak, pemuda she Coh itu rupanya bisa ilmu sihir. Entah bagaimana tahu-tahu ia 'terbang' bersama kursinya dan melayang jatuh di muka pilar ini. Tangannya masih mencekal sebuah cawan, arak di dalamnya setetespun tak ada yang tumpah."

   Sebagai seorang ahli silat tahulah Khik-sia kalau pemuda itu meminjam tenaga pukulan orang untuk pindah tempat. Sudah tentu tak lupa pemuda itu menyalurkan lwekangnya untuk melindungi diri dari pukulan si nona.

   "Kalau begitu kepandaian pemuda she Coh itu tak di bawah si nona. Tapi mengapa ia tak mau balas memukul?"

   Tanya Yak-bwe.

   "Dia balas juga tapi bukan dengan pukulan melainkan dengan menghaturkan arak,"

   Kata si tukang warung.

   "Oh, jadi mereka sudah kenal?"

   Tanya Yak-bwe.

   "Entahlah. Tetapi pemuda itu benar-benar menghaturkan arak pada si nona seraya berseru . 'Aku tak pernah menyalahi nona, mengapa nona mendesak aku begini rupa? Tentu salah paham. Silahkan nona minum secawan arak dulu agar kemarahan nona reda, kemudian baru bicara.' - Dan habis berkata, cawan pemuda itu terbang melayang ke arah si nona. Setitikpun araknya tak menetes."

   Yak-bwe memuji sikap si pemuda yang cukup sabar.

   "Nona itu tak mau menerima suguhan arak. Dan terjadilah hal yang ajaib. Cawan arak itu berhenti di hadapan si nona, begitu mulut si nona meniup, cawan itu terbang melalui kepala si nona dan prak ... pecahlah cawan itu, araknya menumpah tepat di atas kepalaku. Celaka, arak itu panas sehingga kepala dan mukaku kicat-kicat kepanasan."

   "Semangatku serasa terbang,"

   Kata pengurus warung itu pula.

   "aku termangu-mangu seperti patung. Pada saat itu kedengaran si nona memaki . 'Apanya yang salah paham? Karena kau ini putera pertama dari keluarga Coh di Ceng-ciu, otomatis menjadi musuhku. Hm, apakah kau masih berani mengolok-olok aku?' - wut, brak .... kursi tempat duduk pemuda itu pecah berantakan. Tetapi si pemuda sudah lebih dulu loncat menyingkir. Selembar rambutnya pun tak ada yang rontok."

   Diam-diam Khik-sia membatin ilmu ginkang pemuda itu tak di bawah dia.

   "Selagi aku terlongong-longong, nona itu sudah menyerbu si pemuda,"

   Kata pengurus warung.

   "Ho, kali ini mereka tentu bertempur sungguh,"

   Rupanya Yak-bwe tertarik hatinya.

   
Tusuk Kondai Pusaka Karya SD Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Nona itu galak benar tetapi si pemuda tetap tak mau membalas. Ia berputar-putar di belakang pilar batu. Serangan si nona makin gencar. Tiba-tiba terdengar suara tamparan dahsyat. Ternyata si nona telah menghantam pilar ini dan meninggalkan bekas telapak tangannya."

   "Lalu bagaimana?"

   Tanya Yak-bwe.

   "Kemudian, heh, lalu bubar,"

   Jawab si pengurus warung.

   "Lho, mengapa bubar?"

   Yak-bwe heran.

   "Setelah memukul pilar batu, rupanya tangan nona itu kesakitan. Ia terlongong-longong. Kesempatan itu digunakan si pemuda untuk menyelinap pergi. Sesaat kemudian baru si nona mengejar. Karena mereka pergi, bukankah cerita ini sudah bubar? Bubarnya cerita juga amblasnya bayaran arakku."

   "Bayaran arak apa?"

   Tanya Yak-bwe.

   "Pemuda itu meminum tiga ratus kati arak, makan seekor ayam panggang dan dua kati dendeng sapi. Dia tak seperti tuan yang membayar uang lebih dulu. Dan nona itupun menghancurkan sebuah kursiku. Bukankah aku harus menggigit jari atas kerugian itu?"

   Yak-bwe tak sudi mengganti kerugian itu karena tak puas dengan cerita si pengurus warung yang tak berujung pangkal itu.

   Sebaliknya Khik-sia merasa kasihan dan memberinya sekeping perak selaku ganti kerugian.

   Si pengurus warung pura-pura menolak tapi Khik-sia mendesaknya supaya menerima karena ia hendak bertanya lagi.

   "Bukankah pada alis pemuda itu terdapat sebuah tahi lalat yang menonjol?"

   Tanyanya. Pengurus warung arak terkesiap, serunya.

   "Benar, mengapa kau tahu? Apakah sahabatmu?"

   "Aku kenal padanya. Maka akulah yang mengganti kerugianmu,"

   Kata Khik-sia.

   Kemudian ia berbangkit dan memeriksa bekas telapak tangan yang terdapat pada pilar.

   Mendengar pembicaraan Khik-sia, samar-samar Yak-bwe dapat menerka juga.

   Tapi karena sudah ditanyai Khik-sia, ia pun tak leluasa mencari keterangan lagi.

   "Ini tenaga pukulan istimewa. Aneh, partai Siau-lim-si tak pernah menerima seorang murid wanita, mengapa nona itu dapat memiliki pukulan lwekang kaum agama? Tetapi kepandaiannya masih belum sempurna betul. Lihatlah, pangkal tangannya melekat ke dalam tapi bagian jarinya hanya masuk sedikit. Sekalipun begitu, tak mudah mencari seorang wanita yang berkepandaian sedemikian hebatnya,"

   Kata Khik-sia. Mendengar Khik-sia dapat menilai kepandaian si nona, diam-diam pengurus warung itu terkejut dan berubah wajahnya.

   "Kalau begitu, kepandaian tuan ini tak kalah dengan si nona lihay itu. Kukira dia seorang anak pembesar, siapa tahu seorang jagoan, huh, jangan-jangan bangsa perampok."

   Tengah Khik-sia memeriksa bekas telapak tangan itu, sekonyong-konyong dua ekor kudanya yang ditambatkan pada sebatang pohon di luar, meringkik keras.

   Khik-sia cepat berpaling dan terkejutlah ia.

   Ternyata ada dua orang lelaki sedang memotong tali kendali kudanya.

   "Kurang ajar! Penjahat yang bernyali besar!"

   Makinya seraya menampar meja.

   Dengan meminjam gerakan itu, tubuhnya melesat keluar.

   Tapi sudah terlambat.

   Kedua orang itu sudah menceplak kuda.

   Salah seorang ayunkan tangannya.

   Sebuah benda berkilap melayang ke arah meja kasar.

   Kiranya sekeping perak.

   "Kemarin nona kami merusakkan perkakas warungmu. Perak itu pemberian nona untuk mengganti kerugian!"

   Teriak orang itu. Sementara kawannya yang seorang tertawa berseru.

   "Budak kecil semacam kau tak pantas naik kuda sebagus ini. Kamipun tak mau menggasak kudamu mentah-mentah. Nih, kepingan perak ini selaku uang pembeli kudamu!" - Ia pun melemparkan sekeping perak kepada Khik-sia.

   "Kurang ajar! Siapa sudi uangmu?"

   Bentak Khik-sia.

   Sekali kebutkan lengan bajunya, kepingan perak itu berputar-putar melayang kembali kepada pengirimnya.

   Ketika menyanggapi, tangan orang itu terasa kesakitan.

   Kejutnya bukan kepalang.

   Cepat ia keprak kudanya lari.

   Kedua ekor kuda itu sudah terlatih.

   Mereka sudah kenal akan tuannya, siapapun tak dapat menaikinya.

   Tetapi entah bagaimana, rupanya kedua orang itu mempunyai ilmu istimewa sehingga kedua kuda itu menurut saja.

   Khik-sia gusar sekali.

   Ia gunakan pat-paoh-kam-sian untuk mengejar.

   Ketika berpaling bukan kepalang kaget kedua orang itu demi dilihatnya Khik-sia mengejar sedemikian rapatnya, hanya terpisah beberapa tombak di belakang.

   "Budak kecil, karena kau emoh uang, baiklah kuberi thi-lian-cu saja!"

   Kedua orang itu ayunkan tangannya. Dua belas batang senjata rahasia thi-lian-cu melayang ke arah Khik-sia. Ilmu menimpuk mereka cukup lihay. Tapi karena yang ditimpuk seorang ahli silat macam Khik-sia, maka hasilnya pun malah runyam.

   "Kukembalikan kirimanmu!"

   Sekali Khik-sia lontarkan pukulan Biat-gong-ciang, kedua belas thi-lian-cu itupun melayang kembali kepada pemiliknya.

   Tapi tak dapat mengenai karena kuda yang membawa mereka itu luar biasa cepatnya.

   Ilmu ginkang pat-poh-kam-sian Khik-sia itu dalam jarak beberapa li memang ampuh sekali.

   Jika bukan kuda istimewa pemberian dari Cin Siang, tentu tadi-tadi sudah terkejar.

   Apalagi tadi Khik-sia harus kendorkan langkah karena menangkis serangan senjata tajam.

   Beberapa detik kehentian itu cukup memisahkan jarak mereka jauh sekali.

   Dan dalam beberapa kejap pula, kedua kuda itu pun sudah tak kelihatan bayangannya lagi.

   Terpaksa Khik-sia kendorkan larinya.

   Dalam pada itu tampak Yak-bwe berlarian mendatangi dengan napas terengah-engah.

   Khik-sia tertawa masam.

   "Karena tak berhasil mengejar, lebih baik kita berjalan pelahan-lahan saja."

   "Keparat sekali manusia itu! Khik-sia, biar bagaimana juga kau harus berusaha merebut kembali kuda itu. Kuda itu pemberian Cin Siang, kalau sampai kena dicuri orang, bagaimana kita ada muka untuk bertemu dengan Cin Siang nanti?"

   Yak-bwe bersungut-sungut jengkel sekali.

   "Pulangkan napasmu dulu. Biar si setan hilang, sarangnya tentu kedapatan. Asal sudah mengetahui sarangnya, masakan setan-setan itu dapat lari,"

   Khik-sia menghiburi tunangannya.

   "Ya, ya, kita harus membikin perhitungan dengan majikan mereka. Bukankah mereka tadi sudah memperkenalkan diri sebagai orangnya si nona yang meninggalkan bekas telapak tangannya di pilar batu?"

   "Siapa nona itu, kita tak kenal sama sekali. Kita perlu cari seorang dulu untuk mencari keterangan,"

   Ujar Khik-sia.

   "Eh, apakah pemuda she Coh itu bukan Coh Ping-gwan?"

   Tanya Yak-bwe. Khik-sia mengiakan. Yak-bwe menanyakan bagaimana hubungan Khik-sia dengan pemuda itu dan bagaimana pula riwayatnya.

   "Perkenalanku dengannya terjadi ketika di dalam Eng-hiong-tay-hwe yang diadakan Cin Siang. Setelah itu tak pernah berjumpa lagi. Tapi sekalipun baru berkenalan tapi bukan kenalan biasa. Seperti Thiat-toako, Coh Ping-gwan itu juga dicap sebagai pemberontak. Kurasa dia juga seorang sahabat yang menjunjung keadilan. Sayang aku tak jelas dengan dirinya,"

   Sahut Khik-sia.

   Memang pada waktu diumumkan nama-nama dari 10 tokoh pemberontak, Coh Ping-gwan termasuk daftar yang terakhir.

   Tetapi dia masih asing di kalangan loklim, maka orang pun tak tahu perbuatannya yang dianggap memberontak itu.

   Baru setelah orang she Coh itu bertemu dengan Shin Ci-koh dan Gong-gong-ji, tahulah Khik-sia kalau pemuda itu sudah kenal pada suhengnya.

   Bahkan ternyata pedang Kim-ceng-toan-kiam yang biasa dipakai Ceng-ceng-ji itu ternyata milik Coh Ping-gwan.

   Tapi pengertian Khik-sia pun hanya terbatas sampai di situ saja.

   Bagaimana tentang pribadi dan gerak-gerik Coh Ping-gwan, sama sekali ia tak mengetahui.

   "Kalau begitu baik kita bantu pada Coh Ping-gwan saja, untuk memberantas pencuri wanita itu. Tapi entah dimana kita dapat menjumpai orang she Coh itu?"

   Kata Yak-bwe.

   "Kalau dia muncul di sini terang kalau hendak hadir dalam pertemuan di Hok-gu-san. Baik kita langsung menuju ke Hok-gu-san saja. Setelah mejumpai Thiat piauko baru kita berunding lagi. Taruh kata orang she Coh itu tak datang ke Hok-gu-san, pun kita dapat menanyakan keterangan pada orang-orang gagah yang hadir dalam pertemuan itu,"

   Kata Khik-sia. Yak-bwe setuju. Mereka menuju ke Hok-gu-san. Tapi baru berjalan tak berapa lama tiba-tiba Yak-bwe berseru.

   "Khik-sia, kau lebih banyak pengalaman dari aku, apakah kau dapat meneliti?"

   "Meneliti apa?"

   "Bahwa kedua pencuri kuda itu agaknya bukan suku Han."

   "Bagaimana kau tahu?"

   Tanya Khik-sia.

   "Sekarang kan sudah permulaan musim panas, mengapa mereka berdua masih mengenakan kopiah bulu. Ini bukan cara suku Han yang tinggal di sini. Kulihat kalau bukan suku Oh, mereka tentu orang dari Se-gwa (luar perbatasan),"

   Kata Yak-bwe.

   Memang integrasi antara suku Oh dan Han di daerah situ sudah sedemikian rupa hingga sukar untuk membedakan.

   Tapi dalam adat kebiasaan, masing-masing masih memegang teguh kebudayaannya sendiri.

   Khik-sia memuji luasnya pengalaman sang calon isteri.

   "Memang aku juga melihat suatu kecurigaan ...."

   Katanya. Yak-bwe girang dipuji tunangannya. Sengaja ia hendak mempamerkan kecerdikannya, ujarnya.

   "Eh, jangan kau katakan dulu, biar aku yang menguraikan pendapatku. Coba saja apakah pandangan kita berdua ini bersamaan?"

   Khik-sia mengiakan.

   "Kedua pencuri kuda itu mahir sekali naik kuda. Gerak-geriknya kasar. Dua ciri ini cukup mengunjukkan bahwa mereka itu tentu suku Oh yang menuntut penghidupan sebagai penggembala."

   Khik-sia tertawa.

   "Benar, akupun berpendapat demikian. Hanya sayang kau bukan seorang pria ...."

   "Apa?"

   Yak-bwe terbeliak kaget. Khik-sia tertawa.

   "Jika kau seorang pria, baru boleh mengatakan kata-kata 'pandangan sesama enghiong itu tentu bersamaan'."

   "Oh, jadi kau hendak mengolok-olok aku? Tapi kau sendiri menganggap sebagai enghiong, apakah tak malu?"

   Yak-bwe bersungut-sungut. Khik-sia menyabarkan sang tunangan, toh hanya sekedar kelakar saja, perlu apa marah-marah. Begitulah mereka melanjutkan perjalanan lagi sembari bercakap-cakap.

   "Jika kedua pencuri itu benar orang Oh, urusan menjadi runyam. Entah apa hubungan Coh Ping-gwan dengan nona itu. Tapi jika bertemu dengan nona itu, jangan turun tangan dulu. Kita harus menyelidiki asal-usulnya,"

   Khik-sia mengutarakan pikirannya.

   Yak-bwe dapat menerimanya.

   Pada petang hari, mereka sudah memasuki daerah gunung.

   Khik-sia mengusulkan, karena perjalanan selanjutnya sukar terdapat rumah penduduk, mengingat hari sudah gelap dan letih berjalan, lebih baik mencari sebuah goa untuk beristirahat.

   Yak-bwe setuju malah ia lantas keluarkan ilmu ginkang istimewa yang kemarin lusa baru saja dipelajarinya dari Khik-sia.

   Khik-sia banyak memberi petunjuk yang berharga.

   Malam itu tak berbintang.

   Tapi berkat ginkang dan sepasang matanya yang dapat melihat terang di waktu malam, Khik-sia berlari di muka untuk mencari jalan.

   Yak-bwe amat gembira dan tak terasa tibalah mereka di sebuah puncak yang gelap.

   "Sudah letih?"

   Tanya Khik-sia.

   Sebenarnya ginkang itu tak perlu menggunakan tenaga banyak.

   Yak-bwe menyahut belum lelah dan mengajak terus berlari saja sampai terang tanah.

   Tiba-tiba Khik-sia melihat di atas puncak seperti ada bayangan bergerak.

   Ia terkejut dan membisiki Yak-bwe.

   "Awas, di sebelah muka ada orang, biar kutinjaunya dulu." - Ia gunakan ginkang tinggi menyusup ke dalam hutan. Sekonyong-konyong dua sosok tubuh loncat keluar dari semak rumput. Salah seorang mengucapkan beberapapatah perkataan yang tak dimengerti Khik-sia. Malam gelap sehingga tak dapat melihat wajah mereka. Hanya dari kopiah kulit yang dipakainya itu Khik-sia menduga tentu orang suku Oh. Karena Khik-sia tak menyahut, kedua orang itu sabatkan dua batang belati yang berkilau-kilau matanya. Waktu Khik-sia tak dapat menyahut teguran mereka yang diucapkan dengan bahasa daerah, kedua orang itu segera memastikan bahwa Khik-sia bukan kawan mereka. Setangkas-tangkasnya mereka menimpuk, masih tak memadai kepandaian Khik-sia. Sekali berkelit, dua batang belati itu melayang lewat sisinya dan jatuh di tempat kosong. Khik-sia pun lantas maju mendekat, berdiri di tengah mereka dan mementang sepasang tangannya. Dalam kegelapan malam, mudah sekali Khik-sia meringkus mereka. Karena hendak menanyai keterangan maka Khik-sia tak mau menutuk jalan darah mereka. Tapi dia lupa bahwa kedua orang itu tidak hanya sendiri. Padahal mereka membawa banyak kawan yang bersembunyi. Baru hendak menanyai kedua orang itupun sudah bersuit keras. Secepat itu jauga dari atas gunung terdengar suara gemuruh dan munculnya beratus-ratus pelita. Kiranya mereka memang bersembunyi di atas gunung. Jumlahnya berpuluh-puluh orang. Waktu bersembunyi itu, pelita-pelita teng mereka diselubungi dengan kain hitam. Untung kedua orang yang diringkus Khik-sia itu termasuk penyuluh atau ceculuk yang memberi warta. Jaraknya dengan rombongan kawan-kawannya masih berpuluh-puluh tombak. Jadi mereka masih belum mengetahui Khik-sia. Cepat-cepat Khik-sia menutuk jalan darah kedua orang itu.

   "Mana? Dimana?"

   Tusuk Kondai Pusaka Karya SD Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Tepat pada saat itu terdengar mereka berseru dengan berisik sekali.

   "Apakah bangsat she Coh itu lagi?" - "Hai, mengapa suitan berhenti? Oh, celaka, kedua kawan kita tentu dicelakai bangsat itu!"

   Dalam kehirukan itu tiba-tiba terdengar bentakan seorang wanita.

   "Jangan ribut saja, lekas cari!"

   Khik-sia terkesiap, pikirnya.

   "Wanita itu tentu pemimpin mereka." - Baru ia hendak unjukkan diri, tiba-tiba terdengar suara suitan nyaring dan seruan orang.

   "Benar, memang aku Coh Ping-gwan yang datang! Heh, heh, tanpa memasang barisan pendam akupun tetap datang. Aku hendak bertanya, mengapa nona selalu hendak membikin susah padaku?"

   Suara itu datangnya dari arah lain.

   Dan perhatian rombongan orang-orang itu segera beralih ke sana.

   Saat itu Yak-bwe sudah tiba di dekat Khik-sia dan dengan berbisik-bisik menanyakan keterangan.

   Khik-sia memperingatkan jangan bergerak dulu tapi tunggu saja nanti.

   Habis berkata, ia lantas menggandeng tangan sang tunangan untuk dibawa loncat ke atas pohon tinggi.

   Dari situ dapat melihat jelas apa yang terjadi di sebelah bawah.

   Di atas sebuah batu karang, tampak seorang suku Han loncat turun.

   Batu karang itu tak kurang dari belasan tombak tingginya.

   Gerakan melayang turun dari pemuda itu indah sekali.

   Ya, memang dia adalah Coh Ping-gwan.

   Diam-diam Khik-sia memuji ginkang orang she Coh itu.

   Pun rombongan orang-orang itu terkejut, sampai terlongong-longong melihat kepandaian Coh Pinggwan.

   Diam-diam nona pemimpin rombongan itu menghela napas.

   "Seorang pemuda yang cakap dan gagah, ilmu kepandaiannya jarang terdapat di dunia persilatan. Sayang dia itu anak dari musuhku."

   Begitu ujung kaki Coh Ping-gwan baru menyentuh bumi, dua orang rombongan suku Oh itu sudah menyerang.

   Yang satu dari kanan, yang satu dari kiri.

   Kedua penyerang itu bertubuh tinggi besar.

   Masing-masing mencekal thiat-jui (martil besi).

   Dalam situasi yang berbahaya itu, Coh Ping-gwan keluarkan kepandaiannya istimewa.

   Dia tak mau menghindar melainkan kebutkan lengan bajunya dengan gerak Su-chi-hwat-cian-kim atau empat tail tenaga mengeluarkan seribu kati.

   Bum, kedua martil penyerangnya saling berhantam sendiri.

   Sementara Coh Ping-gwan menerobos keluar dari tengah-tengah sela kedua penyerangnya.

   Tenaga kedua penyerang itu besar sekali.

   Oleh karenanya besar juga goncangan yang diderita akibat benturan martil itu.

   


Kemelut Di Ujung Ruyung Emas Karya Khu Lung Elang Terbang Di Dataran Luas -- Tjan Id Golok Kumala Hijau -- Gu Long

Cari Blog Ini