Ceritasilat Novel Online

Tusuk Kondai Pusaka 7


Tusuk Kondai Pusaka Karya SD Liong Bagian 7



Tusuk Kondai Pusaka Karya dari S D. Liong

   

   Tiba-tiba ia teringat sesuatu.

   "Hai, bukankah tadi Tiau-ing mengatakan kalau engkohnya menganggap aku dapat ditundukkan? Tetapi barusan Su Tiau-gi mengatakan kalau ia tak menganggap begitu. Habis siapakah yang menangkap aku kemari dan hendak menggunakan aku sebagai orang perantara itu?"

   Baru berpikir begitu, terdengarlah Su Tiau-gi tertawa gelak-gelak, serunya.

   "Moaymoay, kalau begitu nyata kau tak jatuh hati kepada badak itu?"

   "Aku hanya hendak memakainya sebagai pembantu kita, mengapa kau melantur begitu rupa?"

   Tiau-ing bersungut-sungut.

   "Badak itu berkepandaian tinggi dan menjadi tangan kanan Thiat-mo-lek. Asal ia mau membantu kita, kelak kau menikah padanyapun tiada jeleknya,"

   Kata Su Tiau-gi. Tiau-ing makin meradang.

   "Koko, makin lama kata-katamu itu makin rendah. Jika kau tetap bicara begitu, aku tak mau mempedulikan kau lagi."

   Kembali Su Tiau-gi tertawa gelak-gelak.

   "Baiklah, sekarang aku hendak bicara sungguhsungguh. Dengarlah. toh budak itu menolak membantu kita, serta kaupun tak ada minat menikah padanya, perlu apa kau menahannya? Lebih baik kutungi saja kepalanya, habis perkara, agar jangan sampai menerbitkan bahaya di kemudian hari."

   "Apa? Kau hendak membunuhnya?"

   Seru Tiau-ing. Su Tiau-gi tertawa mengejek.

   "Apa? Kau hendak melepaskannya? Tahukah kau bahwa 'menangkap harimau itu mudah, tapi melepaskannya sukar'?"

   "Kasih tempo dua hari lagi, biar kunasihatinya lagi,"

   Tetap Tiau-ing meminta waktu.

   "Tidak, budak itu berkepandaian tinggi, siapa yang berani menjamin ia tak dapat lolos? Apalagi .... ha, ha, ha, ha, hm!"

   "Apalagi bagaimana? Apakah tidak mempercayai aku?"

   Tiau-ing tak mau mundur.

   "Ya, benar, memang aku tak percaya padamu. Tahu kalau ia tak mau berpihak kita, mengapa kau tetap keberatan untuk membunuhnya,"

   Jawab Su Tiau-gi. Gemetarlah suara Tiau-ing saking gusarnya.

   "Kau tak percaya padaku, mengapa tak kau bunuh sekali aku ini!"

   Su Tiau-gi tertawa mengejek.

   "Baik, jika kau tak mengijinkan ia kubunuh, hm, jangan kira aku tak berani membunuhmu!"

   Tiau-ing balas tertawa menghina.

   "Ayah saja tega kau bunuh, apalagi membunuh aku. Tapi kukuatir kalau hendak membunuh aku, tak semudah membunuh ayah!"

   Su Tiau-gi menggembor keras.

   "Kau hendak menjadi anak perempuan yang berbakti kepada setan tua itu, bukan? Lihat golokku!"

   Cret, dan berteriaklah Su Tiau-gi dengan sengitnya.

   "Pengawal, kemarilah!"

   Kiranya Tiau-ing lebih cepat mencabut senjatanya dari sang engkoh.

   Pula ilmu silatnya lebih tinggi dari Tiau-gi, pun ia turun tangan lebih dulu.

   Sekali tusuk ia dapat melukai engkohnya.

   Mendengar kakak beradik itu saling bertengkar, diam-diam Khik-sia mengeluh.

   Tiba-tiba saat itu jendela terbuka dan sesosok tubuh loncat masuk.

   "Toan Khik-sia, selama ini kau selalu tak memandang mata pada kau ji-suhengmu. Sekarang jangan sesalkan aku seorang kejam!"

   Kedengaran orang itu tertawa dingin.

   Orang itu bukan lain ialah Ceng-ceng-ji.

   Cepat ia menyingkap kelambu terus membacok Khiksia.

   Kini barulah Khik-sia tersadar siapa yang mencuri dengar tadi.

   Tentulah Ceng-ceng-ji itu memberitahukan semua kepada Su Tiau-gi.

   Tapi pengertian Khik-sia itu sudah kasip karena saat itu pedang Ceng-ceng-ji sudah mengancam ke arah dadanya.

   Tring ....

   Ceng-ceng-ji rasakan tangannya kesemutan dan terlepaslah pedangnya jatuh ke lantai.

   Kiranya saat itu Khik-sia sudah dapat menggerakkan lwekangnya, walaupun baru 2-3 bagian saja.

   Dalam menghadapi saat-saat yang berbahaya itu, ia kerahkan seadanya tenaga ke arah ujung jari dan dengan sekuatnya ia gunakan ilmu tutukan jari tan-ci-sin-thong.

   Sekali menutuk dengan jari tengahnya, dapatlah ia membuat tangan Ceng-ceng-ji kesemutan.

   Berhasilnya tutukan Khik-sia itu, benar-benar secara kebetulan sekali.

   Pertama, karena Cengceng- ji kelewat bernafsu sekali.

   Ia kira Khik-sia sudah takmampu berkutik, apalagi balas menyerang.

   Kedua kalinya karena posisi Khik-sia itu amat menguntungkan.

   Sebenarnya dengan berbaring di atas ranjang itu, posisi Khik-sia amat berbahaya.

   Tapi dengan kecerdikannya, ia dapat merubah posisi yang berbahaya menjadi menguntungkan baginya.

   Kepandaian Ceng-ceng-ji hanya terpaut tak banyak dengan Khik-sia.

   Dalam keadaan seperti saat itu, Khik-sia pasti kalah melawan ji-suhengnya itu.

   Tapi ada beberapa hal yang menguntungkan bagi Khik-sia.

   Kesatu; Ceng-ceng-ji datang dari tempat yang terang dan melongok ke dalam pembaringan yang gelap.

   Khik-sia tahu gerakan tangannya, sebaliknya Ceng-ceng-ji tak tahu akan gerakan Khik-sia.

   Inilah faktor-faktor yang menguntungkan.

   Kejut Ceng-ceng-ji bukan kepalang, pikirnya.

   "Jangan-jangan ia sudah mendapat obat penawar, dan sengaja memancing aku untuk dibokongnya, ha?"

   Karena kepandaiannya tinggi, gerakannya pun gesit sekali.

   Begitu mendapat tutukan tadi, secara otomatis ia sudah lantas loncat ke belakang untuk bersiap.

   Tapi hal itu justeru suatu keuntungan bagi Khik-sia.

   Coba Ceng-ceng-ji menghantamnya lagi, Khik-sia tentu sudah binasa.

   Celakanya Ceng-ceng-ji sudah pecah nyalinya.

   Barulah ketika mundur beberapa langkah tapi tak nampak Khik-sia turun dari pembaringan, mulailah timbullah kecurigaannya.

   Tiba-tiba terdengar aum senjata rahasia, melayang di udara.

   Ternyata Su Tiau-ing telah menimpuk tiga batang passer sembari mendamprat.

   "Ceng-ceng-ji, besar sekali nyalimu berani masuk ke dalam kamarku melakukan pembunuhan!"

   Makian nona itu malah menimbulkan perubahan pada dugaan Ceng-ceng-ji, pikirnya.

   "Jika Su Tiau-ing telah memberikan obat penawar padanya, masakan ia begitu gugup hendak menolongnya."

   Sudah tentu ketiga batang passer Tiau-ing itu tak dapat mengenai Ceng-ceng-ji. Senjata itu dapat dikebas jatuh olehnya semua.

   "Maaf, kongcu. Suteku bersembunyi di dalam kamarmu, biar kuberi pelajaran, maka terpaksa aku lancang masuk ke kamarmu,"

   Serunya dengan tertawa. Mendengar suara Ceng-ceng-ji, Su Tiau-gi segera meneriakinya.

   "Ceng-ceng-ji, bunuh saja budak perempuan hina dan orang itu. Aku takkan mempersalahkan kau!"

   Hubungan Ceng-ceng-ji dengan keluarga Su kakak-beradik itu, hanyalah berdasarkan saling menguntungkan saja.

   Sudah tentu ia tak begitu menaruh penghormatan terhadap 'kaisar' palsu dan 'tuan puteri' tiruan itu.

   Maka tanpa mendapat perintah Su Tiau-gi sekalipun, habis memukul jatuh Su Tiau-ing, ia lantas menyerbu ke tempat Khik-sia lagi.

   Sekalipun Su Tiau-ing tak segesit Ceng-ceng-ji, namun kepandaian nona itu cukup lihay.

   Begitupun ketiga passernya itu tentu tak dapat melukai Ceng-ceng-ji, tapi sekurang-kurangnya dapat menghalanginya untuk beberapa jenak.

   Dan dalam beberapa jenak itu, cukuplah sudah bagi Su Tiau-ing untuk menerobos masuk.

   Baru Ceng-ceng-ji tiba di muka ranjang, punggungnya sudah disambar angin tabasan golok kim-to.

   Ceng-ceng-ji balikkan tangannya, dengan jurus wan-kongsia- tiau, ia tutuk jalan darah kiok-ti-hiat di lengan Tiau-ing.

   Su Tiau-ing malah merangsang maju dan tabaskan goloknya di tangan kiri.

   Serangan itu dilakukan dengan keras.

   Nona itu melakukan pertempuran nekad, biar dua-duanya menderita luka.

   Jika Ceng-ceng-ji tak menarik pulang tangannya, paling banyak ia hanya dapat membikin invalid sebelah tangan Tiau-ing.

   Tapi dengan berbuat begitu, sebelah tangannyapun pasti kena tertabas kutung oleh golok Su Tiau-ing.

   Sudah tentu Ceng-ceng-ji tak mau kehilangan sebuah lengannya.

   Memang gerakannya pun luar biasa gesitnya.

   Dengan miringkan tubuh ia menggelincir ke samping.

   Dengan begitu tabasan Su Tiau-ing itu menemui tempat kosong.

   Tapi memang maksud Su Tiau-ing hanyalah hendak memaksa lawan menyingkir saja.

   Begitu Ceng-ceng-ji menghindar ke samping, Su Tiau-ing cepat menduduki tempat Ceng-ceng-ji berdiri tadi, yakni di depan ranjang Khik-sia.

   Di situ cepat ia merogoh keluar sebuah bungkusan.

   Bluk, terus dilemparkan ke dalam ranjang, serunya.

   "Ini obat penawar, lekas minumlah! Sekarang kutolong kau, nanti aku yang akan minta tolong padamu!"

   Ceng-ceng-ji terkejut.

   Buru-buru ia hendak merebutnya, tapi Su Tiau-ing cepat lancarkan tiga kali tabasan, tiap serangannya dilancarkan dengan nekad dan dahsyat.

   Sepasang goloknya berebutrebutan maju.

   Belum yang kiri ditarik, yang kanan sudah menyusul maju.

   Tak seperti permainan golok tunggal yang harus berganti jurus lebih dulu.

   Ceng-ceng-ji gunakan ilmu merebut senjata gong-chiu-jip-peh-jim.

   Tapi hanya dapat menghindar dari tertabas saja, dan tak mampu merebut senjata si nona.

   Khik-sia mendapat kesempatan minum obat penawar.

   Seperti oran yang tersadar dari maboknya, bermula kepalanya pening, sesaat kemudian sudah sadar sama sekali.

   Biarpun begitu, lwekangnya masih belum pulih.

   Dicobanya untuk melakukan pernapasan agar hawa murninya bergerak.

   Benar darahnya sudah mulai menyalur, tapi hawa murninya masih belum dapat dipusatkan.

   Kiranya memang begitulah jalannya obat penawar itu.

   Kalau caranya menyalurkan darah tepat, juga harus menungguh sampai setengah jam, baru bisa pulih tenaganya.

   Rupanya tahu juga Su Tiau-ing akan maksud Khik-sia, buru-buru ia meneriaki.

   "Jangan turun dari pembaringan dulu. Jika turun, kau hanya akan mengantar jiwa saja. Salurkanlah darahmu terus!"

   Sudah tentu Ceng-ceng-ji tahu bagaimana berkerjanya obat penawar itu.

   Ia makin gugup karena dalam setengah jam ini ia sudah harus mengalahkan Su Tiau-ing, kalau tidak Khik-sia tentu sudah bangun.

   Tapi main gugup, makin celakalah ia.

   Sepasang golok Su Tiau-ing dimainkan dengan rapat sekali.

   Betapapun Ceng-ceng-ji melancarkan serangan yang dahsyat, paling-paling ia hanya dapat merebut, sebuah golok Tiau-ing tapi berbareng itu iapun tentu menderita luka kena golok si nona yang satunya.

   Sebenarnya jika Ceng-ceng-ji tak gugup, ia boleh gunakan siasat membikin lelah.

   Untuk mengalahkan Su Tiau-ing, tak perlu memakan waktu sampai setengah jam.

   Justeru karena gugup itu, hampir saja Ceng-ceng-ji kena dilukai Su Tiau-ing.

   Berulang kali Ceng-ceng-ji terpaksa menghindar mundur.

   Dan kesemuanya itu telah menghabiskan waktu yang tidak sedikit.

   
Tusuk Kondai Pusaka Karya SD Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Tiba-tiba mata Ceng-ceng-ji tertumbuk akan benda yang berkilau-kilauan di lantai.

   "Ah, sungguh limbung sekali aku ini. Mengapa lupa akan pedang pusakaku yang jatuh di lantai itu?"

   Pikirnya menyesali diri sendiri.

   Pedang Ceng-ceng-ji itu terpisah tak jauh dari Su Tiau-ing.

   Nona itu celi sekali matanya.

   Demi melihat mata Ceng-ceng-ji tertuju akan pedangnya yang menggeletak di lantai itu, tahulah ia maksudnya.

   Baru Ceng-ceng-ji hendak bergerak, ia sudah lantas mendahuluinya menyerang.

   "Lihat golok!"

   Pedang ditendang Su Tiau-ing, mencelat kira-kira setengah meter di depan ranjang.

   Dengan gerak kek-cit-hoan-sim atau burung merpati membalik tubuh, Ceng-ceng-ji sudah lantas ulurkan tangan hendak menyambarnya.

   Kala itu jaraknya dekat dengan pedang.

   Tahu bakal kalah dulu, Su Tiau-ing timpukkan lagi tiga batang passer.

   Yang dua ditujukan pada Ceng-ceng-ji yang sebatang ke arah pedang itu.

   Benar Ceng-ceng-ji tak jeri, tapi sedikitnya ia pun harus gerakkan tangan untuk menyambutinya.

   Layang ketiga passer itu berlainan arahnya.

   Dua batang yang hendak menyambar dirinya, dapatlah ia sambuti.

   Tapi yang sebatang lagi telah lolos lewat di sampingnya.

   Yang ini ia tak berhasil menyambarnya.

   Justeru passer inilah yang menuju ke arah pedang.

   Passer yang melayang turun dari atas, sebenarnya sukar untuk membikin mencelat sasarannya.

   Tapi Su Tiau-ing gunakan ilmu lincah.

   Begitu mengenai tangkai pedang, pedang itu menjadi terbalik miring.

   Karena lantai amat licin, maka pedang itupun menggelincir ke muka.

   Meskipun hanya meluncur setengah meter, tapi pedang itu menyusup masuk ke bawah kolong ranjang.

   Kini sukarlah bagi Ceng-ceng-ji hendak mengambil pedangya itu, kecuali ia masuk ke bawah kolong.

   Ceng-ceng-ji marah sekali, ia batalkan rencana menyambar pedang, kini ia berganti menyambar orang.

   Dengan menggerung keras ia timpukkan dua batang passer tadi kepada Su Tiau-ing, kemudian dengan sebat sekali ia lantas membuka kain kelambu dan mencengkeram Khik-sia.

   Khik-sia kala itu sedang menyalurkan lwekang, mana ia dapat melawan.

   Pun ketika Su Tiauing dapat menghindari timpukan passer tadi, tangan Ceng-ceng-ji sudah bergerak mencengkeram Khik-sia.

   Nona itu mengeluh.

   Tiba-tiba terdengar suara jeritan kesakitan.

   Tapi anehnya, bukan suara Khik-sia, melainkan Ceng-ceng-ji.

   Kiranya sewaktu hendak dicengkeram tadi, Khik-sia dapat mengisar ke samping hingga tangan Ceng-ceng-ji itu hanya mencengkeram kasur saja.

   Celakanya pedang pusaka milik Khik-sia disembunyikan di dalam selimut dan pedang itu sudah dilolos dari sarungnya.

   Begitu menyentuh benda dingin, Ceng-ceng-ji sudah kaget dan cepat-cepat tarik pulang tangannya, namun tak urung dua buah jarinya kena tergurat pecah oleh ujung pokiam Khi-sia.

   Su Tiau-ing tak tahu apa yang terjadi.

   Tapi demi melihat Ceng-ceng-ji yang menjerit sembari tarik pulang tangannya, tahulah ia kalau terjadi perubahan.

   Cepat ia sudah lantas loncat maju sembari babatkan sepasang goloknya.

   Ceng-ceng-ji tak dapat berbuat apa-apa, kecuali membiarkan Khik-sia duduk tepekur di dalam ranjang karena ia harus menghindari babatan golok Su Tiau-ing.

   Pada saat itu keadaan Khik-sia mencapai titik yang genting.

   Jika ia lantas loncat turun dari ranjang, sekali peredaran darahnya tersesat, pasti celakalah ia.

   Bukan saja jerih payahnya tadi akan sia-sia, pun ia bakal rusak jasmaninya atau dalam istilahnya disebut "co-hwe-jip-mo" (terbakar api kemasukan setan).

   Syukur Su Tiau-ing juga seorang ahli lwekang.

   Tahu ia bagimana keadaan Khik-sia nanti.

   Buru-buru ia meneriakinya.

   "Toan kongcu, meramkanlah matamu!"

   Ia kuatir jika membuka mata, Khik-sia tentu melihat bagaimana ia sedang bertempur matimatian dengan Ceng-ceng-ji.

   Kebanyakan pemuda itu tentu akan loncat turun membantunya.

   Dan ini berbahaya sekali.

   Untung karena kedua jarinya terluka, rangsangan tangan Ceng-ceng-ji tak sehebat tadi lagi.

   Dengan mati-matian Su Tiau-ing mendesaknya terus, sehingga setindak demi setindak Ceng-ceng-ji dapat dihalau mundur dari muka ranjang.

   Adalah pada saat itu, tiba-tiba paderi berjubah merah itu muncul.

   Di luar kedengaran Su Tiau-gi sudah lantas meneriaki.

   "Harap taysu jangan beri ampun lagi. Bunuh saja budak perempuan hina itu!"

   Su Tiau-ing juga berseru.

   "Suhu, monyet tua ini menghina padaku, lekaslah bantu padaku."

   Kiranya paderi jubah merah itu bergelar Hoan Gong, kepala dari biara Oh-gik-mi-si do Cenghay.

   Pada ketika Su Su-bing menduduki Ceng-hay, untuk mengambil muka pada paderi itu, ia sudah suruh kedua putera puterinya berguru padanya.

   Hanya saja kala itu Su Tiau-ing masih kecil, tak pernah belajar silat padanya, maka paling-paling ia hanya dapat disebut calon murid saja.

   Oh-gik-mi-si sebenarnya adalah tinggalan dari kaum agama Pek-kau dari Tibet.

   Adalah karena beberapa partai agama di Tibet timbul pertentangan, maka Pek-kau tak dapat mengurusi sehingga dapat diduduki oleh Hoan Gong.

   Lebih dari 10 tahun Hoan Gong menempati biara itu.

   Kala itu pertentangan agama di daerah Tibet sudah sirap.

   Ketua Pek-kau mengirim beberapa utusan ke Ceng-hay untuk mengambil pulang biara itu.

   Karena tahu tak dapat melawan, akhirnya Hoan Gong pergi.

   Waktu itu Su Su-bing sudah meninggal, Su Tian-gi lalu mengundangnya dan mengangkat menjadi kok-su atau penasehat agung.

   Su Tiau-gi dan Su Tiau-ing itu berlainan ibu.

   Umur Tiau-gi lebih tua lima tahun dari adiknya.

   Pada masa itu, Su Tiau-gi pernah belajar silat pada Hoan Gong setengah tahun lamanya.

   Sebenarnya Su Tiau-ing punya guru lain.

   Tetapi sejak Hoan Ging datang, sedikit banyak ia juga pernah mendapat pelajaran silat dari paderi itu.

   Jika menurut hubungan guru dan murid, Hoan Gong lebih rapat dengan Su Tiau-gi daripada dengan Su Tiau-ing.

   Tetapi karena dalam hal bakat, Su Tiau-ing lebih baik dari engkohnya, maka Hoan Gong lebih suka pada gadis itu.

   Bermula Hoan Gong mengira kalau kedatangan musuh gelap, maka buru-buru ia datang.

   Setelah mengetahui bagaimana keadaannya, ia menjadi serba salah.

   Akhirnya ia mendapat suatu pemecahan, serunya.

   "Sama saudara sendiri mengapa bertengkar? Kongcu, haturkanlah maaf kepada engkohmu!"

   Di luar kedengaran Su Tiau-gi berteriak-teriak.

   "Budak hina itu telah bersekongkol mengundang orang luar untuk melawan aku. Suhu, bunuh saja dia. Aku tak sudi mengakui adik lagi padanya."

   "Suhu, kau dengar tidak! Ia tetap hendak membunuh aku. Bagaimana kau suruh aku menghaturkan maaf padanya?"

   Seru Su Tiau-ing.

   "Ah, baginda itu sedang marah, biar nanti kunasehatinya,"

   Sahut Hoan Gong.

   "Suhu, sedang terhadap ayah kandungnya sendiri ia berani membunuh, apalagi terhadap aku. Percuma saja kau akan menasehatinya,"

   Bantah Su Tiau-ing. Tentang Su Tiau-gi membunuh ayah kandungnya sendiri, Hoan Gong belum mengetahui. Meskipun ia juga seorang jahat, tapi setelah mendengar hal itu, berdirilah bulu romanya juga.

   "Suhu, jangan dengarkan ocehannya. Lekas bunuh saja dia!"

   Teriak Su Tiau-gi.

   "Suhu, kau dengar tidak itu? Ia begitu bernafsu untuk lekas-lekas melenyapkan aku supaya rahasianya jangan sampai ketahuan,"

   Su Tiau-ing tetap ngotot.

   Hoan Gong lebih cenderung dengan kata-kata Su Tiau-ing.

   Ya, mengapa Su Tiau-gi begitu bernafsu sekali menyuruhnya membunuh adik perempuannya itu? "Aku tak mau mengeloni siapa-siapa, karena kalian adalah saudara kandung sendiri,"

   Akhirnya Hoan Gong memberi pernyataan. Ceng-ceng-ji turut berkata juga.

   "Akupun juga tak sengaja hendak melukai kongcu. Tetapi bangsat itu adalah seorang pemberontak. Adalah karena dia, maka kongcu bertengkar dengan baginda. Hoan Gong taysu, harap kau bunuh bangsat itu, kedua belah pihak tentu akan puas."

   Hoan Gong menimbang kata-kata Ceng-ceng-ji itu beralasan juga. Tapi ketika ia hendak turun tangan pada Khik-sia, Su Tiau-ing sudah lantas meneriakinya.

   "Suhu, jangan kena ditipu. Pemuda she Toan ini adalah sutenya. Toa-suhengnya, Gong-gong-ji, sayang sekali kepadanya. Sebaliknya monyet tua itu sendiri yang berkhianat kepada perguruannya. Jika kau bunuh orang she Toan itu, berarti kau hanya bantu menghimpaskan dendam pribadi monyet tua itu. Tetapi resikonya, Gonggong- ji tentu akan membikin perhitungan padamu."

   Hoan Gong terkesiap kaget, pikirnya.

   "Apakah keterangan itu benar atau salah, yang terang Gong-gong-ji itu tak boleh dimusuhi."

   Akhirnya tanpa berkata ba atau bu lagi, paderi itu melesat pergi. Baru Su Tiau-ing dapat bernafas longgar, sekonyong-konyong Uh-bun Jui muncul.

   "Hai, Uh-bun Jui, hendak mengapa kau? Jangan lupa, tanganku masih mencekal golok!"

   Teriak Su Tiau-ing. Ceng-ceng-ji tertawa gelak-gelak.

   "Uh-bun Jui, itu lihatlah siapa yang berbaring di dalam ranjangnya itu. Burung merpatimu sudah didahului orang, lho!"

   Kiranya adanya Uh-bun Jui sampai mengkhianati perguruannya dan mengadakan perebutan pangcu Kay-pang, adalah karena bujukan Su Tiau-ing.

   Su Tiau-ing hendak menggunakan tenaga partai Kay-pang untuk melawan tentara kerajaan Tong.

   Sementara Uh-bun Jui juga hendak pinjam tenaga nona itu untuk merebut kedudukan pangcu Kay-pang.

   Tapi faktor yang terutama, ialah karena ia tergila-gila akan kecantikan Su Tiau-ing.

   Memang paras cantik itu sering membikin orang lupa daratan.

   Kalau tidak, masakan Uh-bun Jui berani bertindak begitu rupa.

   Rupanya Ceng-ceng-ji tahu akan isi hati pemuda itu.

   Sekali berkata, ia dapat menusuk perasaan Uh-bun Jui.

   Terdorong oleh rasa cemburu, berkobarlah mafsu membunuh dalam sanubari Uh-bun Jui.

   "Kongcu, aku sekali-kali tak berani melawan kau. Tapi demi untuk menjaga nama kehormatanmu, aku takkan membiarkan kau terpikat oleh bangsat itu,"

   Kata Uh-bun Jui. Su Tiau-ing mendampratnya.

   "Jangan ngaco belo tak keruan, enyahlah!"

   Kembali Ceng-ceng-ji tertawa mengejek.

   "Uh-bun Jui, apakah kau masih punya setitik pambek lelaki jantan? Dengan mata kepala sendiri kau menyaksikan bangsat itu tidur di pembaringannya, masakan kau lantas diam-diam mau ngacir?"

   Uh-bun Jui menggerung keras. Dengan mengacungkan tongkatnya, ia berlarian menghampiri ranjang.

   "Kongcu, maafkan aku tak mendengar perintahmu. Aku tetap harus membinasakan bangsat ini!"

   Teriaknya dengan keras.

   Su Tiau-ing hendak menyabetnya dengan golok, tapi Ceng-ceng-ji tak mau memberi kesempatan.

   Ia merangsek seru, sehingga nona itu tak sempat mengurusi Uh-bun Jui lagi.

   Memang kepandaiannya masih terpaut jauh dengan Ceng-ceng-ji.

   Karena bingung, permainan goloknyapun menjadi rancu.

   Dengan beberapa rangsangan, dapatlah Ceng-ceng-ji menghalau nona itu terpisah lebih jauh dari ranjang.

   Seperti diterangkan di atas, saat itu Khik-sia sedang berada dalam keadaan yang kritis (genting).

   Ia tak dapat menangkis serangan Uh-bun Jui itu.

   Tongkat Uh-bun Jui tepat mengenai pundaknya.

   Tusuk Kondai Pusaka Karya SD Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Khik-sia cepat putar tubuhnya, sehingga membelakangi Uh-bun Jui.

   Uh-bun Jui menghantam untuk yang kedua kalinya.

   Pikirnya hendak hantam pecah kepala Khik-sia.

   Dan anehnya, Khik-sia malah gunakan jurus hong-tiam-thau (burung hong mengangguk), ia sodorkan punggungnya ke belakang.

   Dess ....

   terdengar bunyi macam rumput dipotong.

   Punggung Khik-sia terpukul tongkat, tapi seketika itu Uh-bun Jui rasakan tangannya kesemutan panas, hampir saja tongkatnya terlepas jatuh.

   Kiranya saat itu sudah lewat agak lama.

   Meskipun jalan darah Cap-ji-ciong-lo di tubuh Khiksia belum tertembus, tapi ia sudah mendapat kembali 6-7 bagian tenaganya.

   Dengan tenaga itu saja, cukup sudah baginya untuk menyengkelit Uh-bun Jui.

   Tapi kuatir usahanya tadi akan gagal seluruhnya, sehingga kemungkinan tubuhnya rusak, maka ia tak mau turun tangan.

   Sekalipun begitu, dengan paksakan diri ia dapat menyalurkan lwekangnya ke arah punggung.

   Sudah tentu pukulan Uh-bun Jui tadi sedikitpun tak menjadikan soal.

   Sebaliknya ketika mendengar suara gebukan tongkat, hati Su Tiau-ing menjadi guncang.

   Ia tahu bahwa bekerjanya obat penawarnya itu harus menunggu sampai setengah jam, atau sama dengan 2 batang dupa terbakar habis.

   Kini, kira-kira temponya baru dapat sebatang dupa terbakar habis.

   Ia duga Khik-sia tentu belum dapat melawan, jadi keadaannya tentu berbahaya.

   Hal itu disebabkan karena ia belum mengetahui sampai di mana kesempurnaan lwekang Khik-sia.

   Tidak demikian dengan Ceng-ceng-ji yang sudah kawakan.

   Demi mendengar bunyi tongkat itu agak lain, ia sudah menduga jelek.

   Kejutnya lebih hebat dari Su Tiau-ing.

   Buru-buru ia merangsek Su Tiau-ing dengan jurus pay-hun-chiu.

   Su Tiau-ing masih belum banyak pengalamannya bertempur.

   Saat itu karena memikirkan keselamatan Khik-sia, pikirannya menjadi kacau sehingga permainannyapun rancu.

   Golok di tangan kirinya kena ditampar oleh Ceng-ceng-ji sampai terlepas jatuh.

   Hilangnya satu golok itu, menyebabkan kendornya permainan Su Tiau-ing.

   Musuh utama bagi Ceng-ceng-ji adalah Khik-sia.

   Selain itu memang ia tak berniat hendak melukai Su Tiau-ing.

   Dengan kecepatan yang luar biasa, ia menyelinap dari halangan si nona menuju ke muka ranjang.

   Setelah mendorong Uh-bun Jui ke samping, ia lantas menghantam Khiksia.

   Tiba-tiba seperti bola, tubuh Khik-sia melambung ke atas.

   Brak ....

   bukan tubuh Khik-sia tetapi ranjanglah yang menjadi sasaran hantaman Ceng-ceng-ji itu hingga remuk.

   Po-kiam Khik-sia jatuh ke lantai, sementara pedang Ceng-ceng-ji yang menyurup ke bawah kolong tadi, kini teruruk oleh ranjang.

   Untung tidak seluruhnya karena tangkainya masih kelihatan menonjol di luar.

   Su Tiau-ing memburu datang dengan sebuah tabasan.

   Ceng-ceng-ji memiliki ilmu thing-hongpian- ki atau dengar anginnya mengetahui senjata.

   Tanpa menolek, ia tamparkan tangannya ke belakang untuk menyampok golok Su Tiau-ing.

   Sedang tangannya yang lain hendak menyambar pedangnya.

   Su Tiau-ing tanpa mempedulikan jiwanya lagi, terus mencecar Ceng-ceng-ji.

   "Uh-bun Jui, lekas rebut pokiam!"

   Serunya.

   Pada saat Su tiau-ing mengirim tabasan yang keempat, Ceng-ceng-ji sudah berhasil memperoleh pedangnya.

   Begitu berputar tubuh, ia lantas membacok Su Tiau-ing.

   Setelah mendapat peringatan dari Ceng-ceng-ji, Uh-bun Jui cepat memungut pokiam Khik-sia.

   Girangnya bukan kepalang.

   "Hm, sekalipun kau mempunyai ilmu kebal yang sakti, juga tubuhmu itu tetap terdiri dari darah dan daging. Masakah tak mempan ditusuk senjata,"

   Pikirnya.

   Ketika mengawasi ke muka, dilihatnya tubuh Khik-sia sudah turun di lantai dan tetap masih duduk bersila seperti tadi.

   Habis menggeletarkan pedang pusaka, ia segera menusuk.

   Yang diarah ialah tulang pi-peh-kut di bahu Khik-sia.

   Jika kena, Khik-sia tentu akan menjadi cacat seumur hidup.

   Tapi Khik-sia cepat miringkan tubuhnya ke samping.

   Cret, yang kena hanyalah secarik pakaiannya saja, sedang ujung pokiam lalu di atas pundaknya.

   Khik-sia gunakan lwekang untuk menyedot.

   Dengan goyangkan bahu, ia telah menyedot tenaga Uh-bun Jui sampai separuh bagian sehingga anak muda she Uh-bun itu tak dapat menguasai keseimbangan tubuhnya lagi.

   Hampir saja ia menyeruduk tubuh Khik-sia.

   Uh-bun Jui juga seorang ahli silat.

   Pada saat itu ia tahu kalau Khik-sia juga dapat menggunakan ilmu lwekang tinggi.

   Kejutnya bukan main.

   Takut kalau dibalas, saking gugupnya, ia lantas susuli menghantamkan tongkatnya.

   Memang pukulannya itu tepat mengenai bahu Khik-sia, tapi akibatnya malah lebih runyam.

   Daya membal yang dipancarkan bahu Khik-sia lebih besar dari tadi.

   Krek .....

   tongkat Uh-bun Jui kutung menjadi dua.

   Sedang Uh-bun Jui sendiri terpental mundur sampai beberapa langkah.

   Untung karena kencang-kencang mencekalnya, pokiam tak sampai jatuh terlepas dari tangannya.

   "Coba kulihat sampai berapa kali kau mampu menyingkir dari serangan pedang ini!"

   Ia berteriak keras seraya tusukkan ujung pokiam ke punggung lawan.

   "Lepaskan!"

   Tiba-tiba kedengaran Khik-sia buka suara.

   Dengan dua buah jarinya ia menjepit batang pokiam itu.

   Jepitannya itu tepat benar, seolah-olah punggungnya itu seperti bermata saja.

   Kejut Uh-bun Jui tak terperikan.

   Baru saja ia hendak memutarnya, tahu-tahu dengan kekuatan dua buah jarinya saja, pokiam sudah berpindah ke tangan yang empunya (Khik-sia).

   Dan tiba-tiba Khik-sia loncat bangun.

   "Kau sudah keliwat kurang ajar kepadaku. Lihat pedang!"

   Seru pemuda itu.

   Uh-bun Jui gunakan separuh kutungan tongkatnya tadi sebagai senjata.

   Tapi dengan mudahnya, dapatlah Khik-sia memapas lagi tongkatnya itu hingga hanya ketinggalan sedikit di bagian tangkai yang dicekalnya.

   Coba Uh-bun Jui tak cepat menarik tangannya, mungkin pergelangan tangannya juga ikut hilang.

   Ternyata serangan kalap Uh-bun Jui dengan tongkatnya tadi, bukannya melukai Khik-sia sebaliknya malah memberi bantuan besar kepadanya.

   Seperti diketahui, penyaluran lwekang Khiksia pada saat itu sedang dalam tingkat yang genting.

   Kebetulan Uh-bun Jui menggebuknya, ini ia pergunakan untuk mempercepat pengaliran darahnya.

   Setelah bagian Cap-ji-ciong-lo dapat menyalur, tak perlu menggunakan waktu setengah jam lamanya, tenaganya dengan cepat sudah dapat pulih kembali.

   Memang ilmu silat itu mempunyai inti keistimewaan yang indah.

   Kembali pada penuturan setelah tongkat Uh-bun Jui terpapas kutung oleh pokiam Khik-sia, kejut Uh-bun Jui serasa terbang semangatnya.

   Saat itu asal Khik-sia mau menusuk lagi, jiwa Uhbun Jui pasti melayang.

   Tapi tiba-tiba terdengar suara logam jatuh berkerontangan di lantai.

   Kiranya golok di tangan kanan Su Tiau-ing juga kena dipapas kutung oleh pedang Ceng-ceng-ji.

   Saat itu hubungan Su tiau-ing dengan Khik-sia bukan lagi sebagai musuh melainkan sebagai sahabat.

   Si nona terancam bahaya, sudah tentu Khik-sia tak mau berpeluk tangan mengawasi saja.

   Dalam pada itu Khik-sia juga berpendapat bahwa Uh-bun Jui itu adalah anak murid Kay-pang.

   Sebaiknya ia tak lancang melanggar hak partai Kay-pang untuk memberi hukuman.

   Dengan keputusan itu, secepat kilat ia sudah meluncur ke muka Ceng-ceng-ji.

   Ceng-ceng-ji cepat lancarkan jurus istimewa liu-sing-kam-gwat atau bintang jatuh mengejar rembulan.

   Tiga serangan sekaligus ia balingkan ke kiri untuk menusuk jalan darah peh-hay-hiat, ke kanan menusuk jalan darah hu-tho-hiat dan ke tengah menusuk jalan darah suan-ki-hiat.

   Tiga serangan dalam satu jurus itu, adalah jurus mematikan yang paling ia andalkan.

   Hebatnya bukan olah-olah.

   Melihat ji-suhengnya sedemikian buasnya, marahlah Khik-sia.

   Ia berseru nyaring.

   "Ceng-cengji, karena kau begitu keras kepala hendak mengambil jiwaku, jangan sesalkan aku yang tak mau mengakui kau sebagai saudara seperguruan lagi. Mulai saat ini, hubungan kita sebagai suheng dan sute, putus sampai di sini!"

   Ia lintangkan pokiamnya untuk menutup serangan lawan.

   Berulang kali terdengar bunyi mendering yang memekakkan telinga.

   Keduanya sama bergerak cepat.

   Dalam waktu Khik-sia mengucapkan kata-katanya tadi, kedua pedang mereka sudah beberapa kali saling beradu.

   Pedang pendek dari emas murni Ceng-ceng-ji, sebenarnya tak kalah dengan pedang pusaka peninggalan keluarga Toan.

   Tapi tenaganyalah yang kalah dengan bekas sutenya itu.

   Dalam beberapa benturan senjata itu, kalau Khik-sia masih tak merasa apa-apa, adalah Ceng-ceng-ji yang sudah rasakan tangannya panas kesakitan.

   Pedangnya hampir saja terlepas.

   Kini Ceng-ceng-ji tak berani adu kekerasan.

   Ia ganti siasat gunakan kelincahan.

   Mereka adalah seperguruan.

   Keduanya saling mengetahui kelemahan dan keunggulan masing-masing.

   Diam-diam Khik-sia membatin.

   "Dapat kukalahkan dia, tapi pun harus melalui seratus jurus. Musuh berjumlah banyak dan aku sendirian, kalau bala bantuan mereka datang, sukarlah untukku lolos lagi."

   Seketika ia lantas gunakan jurus sin-liong-jip-hay atau naga sakti menyusup ke dalam laut. Pokiam diputar naik turun ke kanan-kiri sehingga mau tak mau Ceng-ceng-ji harus mundur.

   "Maafkan, aku hendak pergi dululah!"

   Ia lontarkan pukulan biat-gong-ciang untuk menghancurkan jendela dan terus hendak loncat keluar.

   "Hai, apakah aku masih dapat tinggal di sini?!"

   Teriak Su Tiau-ing.

   Sebenarnya separuh tubuh Khik-sia sudah menyusup keluar jendela.

   Tapi begitu mendengar jerit keluhan si nona tadi, ia segera hentikan tubuhnya.

   Dengan gaetkan sebelah kakinya ke pinggir jendela, ia berpaling melongok ke belakang.

   Dilihatnya Su Tiau-ing pun ternyata mengikuti di belakangnya.

   
Tusuk Kondai Pusaka Karya SD Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Sedang Ceng-ceng-ji sudah tusukkan pedangnya ke pinggang gadis itu.

   Bermula Khik-sia kira kalau Ceng-ceng-ji tentu tak berani membunuh Su Tiau-ing.

   Tapi apa yang dilihatnya itu, ternyata berlainan.

   Ceng-ceng-ji benar-benar tak mau kasih ampun lagi.

   Terkilas dalam pikiran Khik-sia.

   "Ya, benarlah, seorang lelaki harus menarik garis tajam antara budi dan dendam. Gadis ini meskipun belum tentu seorang baik, tapi ia telah melepas budi menolong jiwaku. Masakan aku takkan mempedulikannya."

   Persatuan gerak tubuh Khik-sia dengan pedangnya, telah mencapai suatu tingkat yang dapat digerakkan menurut sekehendak hatinya.

   Setelah sebelah kakinya dikaitkan pada ujung jendela, ia segera ayunkan tubuhnya ke muka.

   Tangan kirinya menusuk pada Ceng-ceng-ji.

   Pedang pusaka Toan Khik-sia itu lebih dari setengah meter panjangnya.

   Sedangkan pedang Ceng-ceng-ji hanya 9 inci, jadi pokiam Khik-sia lebih panjang hampir setengah meter.

   Dengan keuntungan itu, meskipun Khik-sia bergelantungan pada jendela, namun berhasil juga ia menghalangi Ceng-ceng-ji.

   Tapi kerugiannya karena bergelantungan itu, tenaganya kalah dengan Ceng-ceng-ji.

   Begitu kedua pedang berbenturan, tergetarlah tubuh Khik-sia hampir mau jatuh.

   Tapi dengan cepat ia lengkungkan tubuhnya ke bawah untuk menyambar Su Tiau-ing terus dibawa loncat keluar.

   Gerakan Khik-sia itu termasuk ilmu gin-kang yang hebat.

   Sebenarnya sudah dari tadi, barisan bu-su (pengawal) Su Tiau-gi datang dalam jumlah besar.

   Tapi karena mereka tak mendapat perintah Su Tiau-gi, apalagi karena di dalam sudah ada Cengceng- ji, mereka anggap belum perlu turun tangan.

   Mereka tidak masuk ke dalam kamar Su Tiauing dan hanya menunggu di luar saja.

   Saat itu demi Khik-sia lolos keluar dan Su Tiau-gi pun sudah memberi perintah untuk membunuh, maka menyerbulah mereka.

   Ketika Khik-sia masih melayang di udara, puluhan tombak dan pedang serentak sudah menyambutnya.

   Khik-sia berseru keras sembari mainkan pedangnya dalam jurus ya-can-pat-hong atau malam menyerang 8 penjuru.

   Tring, tring, terdengar suara mendering susul menyusul.

   Sembari melayang turun, Khik-sia sudah memapasi kutung senjata kawanan busu itu.

   Kala itu Ceng-ceng-ji pun sudah mengejar loncat dari jendela.

   Melihat itu Khik-sia segera berikan pokiamnya kepada Su Tiau-ing.

   "Nona Su, ambillah pedangku ini! Kau buka jalan keluar dan biarlah aku yang menahan mereka."

   Su Tiau-ing menerima pokiam itu dengan rasa kejut-kejut girang.

   Benar juga dalam lain kejap saja, Ceng-ceng-ji sudah menyerang dengan pedangnya.

   Begitu merasa belakang kepalanaya ada angin menyambar, tiba-tiba Khik-sia balikkan tangannya dan gunakan sebuah jari untuk menutuk telapak tangan Ceng-ceng-ji.

   Kejut Ceng-ceng-ji tak terkira, pikirnya.

   "Suhu ternyata berat sebelah. Tutukan jari kiu-kiong-sin-ci itu, dahulu suhu tak mau mengajarkan padaku. Tetapi telah memberikan kepada anak itu."

   Di tengah telapak tangan terdapat sebuah jalan darah yang disebut lau-kiong-hiat, merupakan salah satu bagian yang mematikan orang.

   Saking gugupnya, Cng-ceng-ji cepat-cepat ganti gerakannya.

   Pedangnya dibabatkan kesamping tubuh Khik-sia untuk menusuk bagian bawah iga Khik-sia.

   Tapi saat itu Khik-sia sudah mendapat kesempatan untuk putar tubuh menghadapi lawan.

   Dalam pada itu ia berbareng hantamkan kedua tangannya.

   Yang satu untuk menghantam pedang Ceng-ceng-ji, yang satunya untuk memukul lutut Ceng-ceng-ji.

   Pukulan yang dilancarkan secara tiba-tiba dan pada jarak begitu dekat, membuat Ceng-ceng-ji tak sempat menghindar lagi.

   Ia terpelanting jatuh pedangnyapun mencelat ke udara.

   Khik-sia sambar tubuh bu-su itu.

   Sementara dalam detik-detik itu juga Khik-sia sudah menyingkir ke samping.

   Melihat Khik-sia dan Ceng-ceng-ji bertempur begitu seru, kawanan bu-su itu berteriak-teriak sembari berpencaran ke empat penjuru.

   Tak berani lagi rupanya mereka hendak mengganggu Khiksia.

   Khik-sia hanya dengan tangan kosong.

   Ceng-ceng-ji gunakan pedang.

   Untuk itu Khik-sia hanya andalkan kelincahan dan ilmu tutukan jari sakti kiu-kiong-ci-hwat.

   Mereka bertempur dengan rapat.

   Sembari melawan, Khik-sia terus main mundur.

   Su Tiau-ing yang mencekal pedang pusaka, kini mendadak garang.

   Kini kawanan bu-su yang biasanya amat garang, saat itupun tak berani menghalangi Su Tiau-ing.

   Tengah Su Tiau-ing kegirangan, sekonyong-konyong ada sebatang tombak meluncur ke arahnya.

   Ia cepat tabaskan pokiam, tring, sinar api terpercik dan batang tombak itu tergurat melowek, tapi tidak putus.

   Sebaliknya Su Tiau-ing merasa tangannya sakit kesemutan sekali hingga hampir tak kuat mencekal pedangnya lagi.

   Berpaling ke belakang ia melihat seorang bertubuh tinggi besar (tingginya sampai 2 meteran), mukanya hitam seperti pantat kuali, matanya besar rambutnya bertancap bunga.

   Dari dandanannya yang aneh itu, ia benar-benar menyerupai Hek-sat-sin atau Malaikat Maut Hitam.

   Orang itulah yang menghadang Su Tiau-ing sembari ketawa meringis.

   Su Tiau-ing terkejut dan diam-diam mengeluh.

   Kiranya orang itu adalah putera dari raja pribumi suku Ki namanya Chomulun.

   Sejak Su Tiaugi tiba di daerah situ, Chomulun itu mengandung maksud tak baik terhadap Su Tiau-ing.

   Acapkali ia mengikuti nona itu.

   Su Tiau-ing benci kepadanya, tapi karena hendak menggunakan tenaga ayah dan anak itu, terpaksa ia kekang kemarahannya.

   Chomulun memiliki tenaga pembawaan yang kuat sekali.

   Dengan tangan kosong ia dapat memukul mati harimau.

   Tombaknya itu beratnya 72 kati.

   Dimainkannya kekuatannya sama dengan puluhan orang.

   Tusukannya tadi hanya menggunakan 2-3 bagian tenaganya saja, coba tidak, Su Tiau-ing tentu sudah hancur.

   "Yan Khan (raja Yan), adikmu itu cantik benar, sayang kalau dibunuh, lebih baik kasih aku saja,"

   Serunya kepada Su Tiau-gi.

   "Bunuh dulu bangsat itu, baru nanti kuserahkan ia padamu,"

   Sahut Su Tiau-gi.

   "Apanya yang sukar?"

   Teriak pangeran itu. Ia terus angkat tombaknya hendak menyerang Khik-sia, tapi kuatir Su Tiau-ing akan merat lolos, ia lantas bersuara.

   "Hai, buanglah pokiammu itu dan ikut aku saja! Engkohmu sudah meluluskan."

   Tak mampu memapas kutung tombak si 'raksasa' dan tak dapat menerobos hadangannya, Su Tiau-ing tak dapat berbuat apa-apa. Dalam keadaan berbahaya, timbul akalnya. Pura-pura ia lantas tertawa kepada Chomulun. Girang si raksasa bukan main, serunya.

   "Orang cantik, apakah kau meluluskan?"

   Sahut Su Tiau-ing.

   "Yang kupuja adalah kaum pahlawan gagah perkasa. Asal kau dapat menangkan dia (ia menunjuk Khik-sia), mau aku menikah padamu."

   "Benarkah? Kau tak lari?"

   Chomulun menegas.

   "Tak nanti aku melarikan diri. Tapi kau harus bertanding satu lawan satu. Jika menang, barulah kuanggap gagah perkasa,"

   Seru Su Tiau-ing. Si raksasa ngangakan mulutnya yang besar dan tertawa.

   "Sudah tentu begitu, mengapa aku harus minta bantuan orang?"

   "Dan masih ada sebuah lagi. Kau harus halau monyet tua itu. Jika monyet tua itu sampai melukai aku, bagaimana nanti?"

   Chomulun berseru keras.

   "Kau adalah orangku. Siapa yang berani mengganggu selembar rambutmu saja, tentu akan kubunuhnya."

   Dengan mainkan tombak besinya, benar juga Chomulun lantas menghampiri Khik-sia. Teriaknya dengan suara menggeledek.

   "Hai, monyet tua, menyingkirlah. Biar kutempur budak ini."

   Yang disebut-sebut 'monyet tua' itu adalah Ceng-ceng-ji. Sudah tentu Ceng-ceng-ji tak terima dihina begitu. Sahutnya dengan tertawa mengejek.

   "Siau-ong-ya, jangan termakan tipunya (Su Tiau-ing). Budak itu lihay sekali."

   Chomulun menganggap dirinya itu tiada yang melawan di dunia ini. Mendengar ejekan Cengceng- ji, marahnya bukan main.

   "Bagaimana lihaynya? Apakah lebih lihay dari singa? Apakah lebih buas dari harimau? Kau sendirilah yang tak berguna, tak mampu mengalahkan lalu memujimujinya setinggi langit!"

   Saking marahnya ubun-ubun kepala Ceng-ceng-ji sampai keluar asap.

   Sebenarnya, ia tak mau menyingkir, tapi demi hasil pertempurannya dengan Khik-sia tadi berimbang saja jika Chomulun si raksasa limbung itu benar-benar akan menombaknya, tentu akan berbahaya sekali.

   Akhirnya terpaksa ia kendalikan kemarahannya dan tertawa dingin.

   "Bagus, kau benar-benar tak tahu gelagat. Karena kau hendak maju mengantarkan jiwa, silahkan majulah!"

   Chomulun membentak keras.

   "Monyet tua, kau berani menghina aku? Tunggulah setelah kuselesaikan budah ini tentu kubikin perhitungan padamu!"

   Ceng-ceng-ji tertawa mengejek dan mengundurkan diri. Maju dua langkah, Chomulun lantas putar tombaknya sehingga menerbitkan lingkaran sinar. Serunya kepada Khik-sia.

   "Kau minta senjata apa, biar kusuruh orang mengambilkan agar kau jangan mati penasaran."

   Ia yakin tentu dapat menang. Sengaja ia pamerkan kegagahannya di hadapan Su Tiau-ing. Menandaskan bahwa ia tak mau membunuh orang yang tak bersenjata. Khik-sia tak ada waktu untuk meladeni orang limbung itu. Berbareng mulutnya berseru.

   "Aku minta tombakmu ini, lepaslah!" -- Tangannyapun sudah secepat kilat menyambar ujung tombak orang.

   "Hai, budak ini kuat sekali!"

   Teriak Chomulun dengan kaget. Ia gunakan kedua tangannya untuk memegang kencang-kencang tangkai tombaknya. Khik-sia menariknya, tapi tak berhasil merebut dari tangan raksasa itu.

   "Kau tak mau melepaskan? Hm, kau sendiri yang minta sakit!"

   Teriak Khik-sia yang lantas hantamkan tangan kirinya ke arah batang tombak.

   Tar, seperti bunyi halilintar menyambar memecahkan telinga, seketika Chomulun rasakan seperti ada arus tenaga menyalur lewat batang tombaknya terus menghantam ke dadanya.

   Darahnya serasa bergolak dan gedebuk ....

   ia jatuh terbalik dengan kaki di atas.

   Sudah tentu tombaknya beralih ke tangan Khik-sia.

   Kiranya Khik-sia telah gunakan pukulan lwekang kek-but-coan-kang.

   Ia salurkan lwekang melalui batang tombak terus menghantam tubuh lawan.

   Betapapun kuatnya tenaga Chomulun itu, tapi mana ia kuat menahan gelombang lwekang yang memancar sedemikian kuatnya? Sekonyong-konyong terdengar dua kali deru angin menyambar dari kanan-kiri Khik-sia.

   Cengceng- ji dan Ma tianglo dari partai Kay-pang telah serempak menyerang Khik-sia.

   Selagi Khik-sia merebut tombak dan belum sempat menggunakannya, terus diserangnya saja.

   Memang tombak itu senjata yang sukar untuk digunakan bertempur secara rapat.

   Tapi ilmu ginkang Khik-sia itu sudah mencapai tingkat yang sedemikian rupa.

   Begitu merasa ada angin menyambar dari belakang, ia cepat lemparkan tombaknya ke udara, kemudian ia enjot tubuhnya untuk melambung.

   Sambil menyambar tombak, ia melayang turun tiga tombak jauhnya.

   Kini ia mempunyai jarak yang lapang dengan Ceng-ceng-ji dan Ma tianglo.

   Dengan tangkasnya, mulailah ia kembangkan permainan tombak.

   Trang, tangan Ma tianglo terasa kesemutan karena tongkatnya kena dihantam putus oleh tombak Khik-sia.

   Tianglo itu lekas-lekas mundur.

   Seperti telah diterangkan di atas, tombak itu beratnya 72 kati.

   Pedang Ceng-ceng-ji pun tak mampu memapas kutung.

   Khik-sia mainkan tombaknya sedemikian rupa hingga ibarat percikan airpun tak dapat menerobos masuk.

   Tusuk Kondai Pusaka Karya SD Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Dalam keadaan begini, Ceng-ceng-ji tak berdaya untuk merangseknya.

   Chomulun pun membawa pengawal sejumlah 50 orang.

   Pengawalnya itu disebut pasukan Thing-pay-chiu atau pasukan perisai rotan.

   Sebenarnya saat itu mereka sudah pecah diri berjajar menjadi formasi kipas, untuk menghadang jangan sampai Su Tiau-ing lolos.

   Begitu Chomulun terbanting ke tanah, Su Tiau-ing lantas tertawa mengejek.

   "Tuh, lihat, siau-ong-ya kalian sudah menang, aku sekarang hendak pergi."

   Anak buah pasukan Thing-pay-chiu itu masing-masing memegang golok dan perisai rotan.

   Perisai itu dapat menahan bacokan senjata tajam.

   Benar pokiam Su Tiau-ing dapat menghancurkan perisai mereka itu, tapi jumlah mereka banyak.

   Satu hancur, dua maju.

   Dua hancur, empat maju, demikian seterusnya.

   Lima puluh anak buah pasukan Thing-pay-chiu itu seperti kumbang, mengepung Su Tiau-ing dari delapan penjuru.

   Kepungan mereka itu makin lama makin rapat.

   Sulitlah bagi Su Tiau-ing untuk menerobos keluar.

   Khik-sia tak mau mengorbankan banyak jiwa.

   Tiba-tiba ia putar tombaknya dan menggembor keras.

   Ditusukkannya tombak pada sebuah tiang batu.

   Krek, bum .....

   pecahlah batu berhamburan kemana-mana dan pilar batu itu telah kena tertusuk sampai berlubang.

   Setelah itu ia putar tombaknya sampai seperti kitiran dan berseru nyaring.

   "Siapa yang menghadang tentu mati, yang menyingkir akan hidup. Coba saja kalian tanya pada diri kalian sendiri. Apakah kepala kalian itu lebih keras dari pilar batu ini?"

   Kelima puluh anak buah Thing-pay-chiu itu sebenarnya bangsa jagoan yang buas dan tak takut mati.

   Tapi demi melihat Khik-sia menyerbu dengan tombaknya, pecahlah nyali mereka.

   Dengan berteriak-teriak keras, mereka sama lari tunggang langgang ke empat jurusan.

   Sebetulnya mereka itu bukan takut mati melainkan ketakutan melihat keperkasaan Khik-sia yang mengamuk seperti banteng ketaton itu.

   Melihat tak dapat merintangi lagi, berserulah Su Tiau-gi memanggil adiknya.

   "Moaymoay, apakah kau sungguh-sungguh hendak melarikan diri bersama bangsat kecil itu?"

   Su Tiau-ing tertawa mengejek.

   "Ho, jadi kau masih menganggap aku sebagai adik? Sejak saat ini, hubungan kita sebagai kakak-adik, putuslah."

   Saat itu dengan sudah ganti toya (tongkat) baru, Uh-bun Jui menerobos maju dan berseru.

   "

   Nona Su, jika siang-siang tahu akan kejadian begini, mengapa dulu kita berjerih payah?"

   Dengan tawar Su Tiau-ing menjawab.

   "Kebaikanmu, tetap kuingat. Kini aku telah mengambil ketetapan untuk tinggalkan tempat ini. Siapapun tak dapat menghalangi aku."

   Habis berkata, Su Tiau-ing lantas menabas.

   Uh-bun Jui berteriak, lalu ngacir pergi.

   Dengan bersenjata tombak panjang yang ampuh itu, dapatlah Khik-sia dalam waktu yang singkat membuka jalan lolos.

   Ia terus menerjang ke pintu besar.

   Su Tiau-gi perintahkan pasukan panahnya untuk mengejar dan lepaskan anak panah.

   Ceng-ceng-ji pun ikut memburu.

   Bagaikan kawanan belalang, ribuan batang panah segera menghujani Khik-sia dan Su Tiau-ing.

   Tapi Khik-sia tetap putar tombaknya sedemikian gencarnya untuk melindungi Su Tiau-ing di dalam membuka jalan lari itu.

   Tiba-tiba di antara hujang anak panah itu tampak ada sekumpulan sinar perak bergemerlapan.

   Pada lain kejap sekonyong-konyong Su Tiau-ing berteriak mengaduh.

   "Celaka, aku terkena senjata rahasia!"

   Ceng-ceng-ji tertawa gelak-gelak.

   Kiranya dialah yang melepaskan jarum rahasia bwe-hoaciam itu.

   Timpukannya itu dapat mencapai jarak tiga tombak lebih.

   Yang lebih hebat lagi, jarum rahasia itu tak mengeluarkan suara sama sekali.

   Daripada panah, jarum itu jauh lebih sukar dijaganya.

   Khik-sia gunakan kecekatan tangannya untuk menyambuti 19 batang anak panah.

   Kemudian dengan gunakan ilmu timpukan Thian-li-sam-hoa atau bidadari menabur bunga, ia timpukkan anak panah itu ke arah Ceng-ceng-ji.

   Karena lwekangnya tinggi, maka timpukannya itu tak kalah lihaynya dengan kekuatan busur.

   Ana-anak panah yang ditimpukkan itu mendengung-dengung di udara.

   Ceng-ceng-ji tak berani menyambutinya, buru-buru ia putar pedang untuk melindungi diri sembari menyingkir ke samping.

   Luput mendapat sasaran Ceng-ceng-ji, anak-anak panah itu telah mengganyang beberapa orang anggota pasukan pemanah.

   Pasukan pemanah itupun tak berani merangsek dekat-dekat lagi.

   "Di bagian mana yang terluka?"

   Tanya Khik-sia.

   "Celaka, yang terluka pada bagian ujung kaki,"

   Sahut Su Tiau-ing. Ia teringsut-ingsut, larinya susah sekali. Sejenak Khik-sia kerutkan alis, terus memimpinnya diajak berlari. Tiba-tiba di muka kembali ada sepasukan berkuda menyerbu datang.

   "Ong ciangkun, apakah kau hendak membikin susah aku?"

   Su Tiau-ing menegur opsir pemimpin barisan itu.

   "Ah, aku tak berani mengganggu kongcu. Harap kongcu menyingkir, aku hanya akan membunuh maling kecil itu,"

   Sahut opsir itu.

   Dan pada waktu ia berkata itu, dengan menunggang kuda yang tegar, ia sudah menerjang Khik-sia dengan tombaknya.

   Ciangkun atau jenderal orang she Ong itu, mahir dalam ilmu permainan pat-coa-un (tombak delapan ular).

   Di antara orang sebawahan Su Tiau-gi, ia termasuk opsir yang gagah perkasa.

   Tapi apa lacur, berhadapan dengan Khik-sia, benar-benar ia ketemu dengan batunya.

   "Bagus!"

   Seru Khik-sia sembari tusukkan tombaknya.

   Tusukan itu berhasil dapat menyengkelit jatuh opsir itu.

   Kuda opsir itu sudah banyak kali dipakai dalam pertempuran.

   Tuannya jatuh, binatang itu tetap menyerbu ke muka untuk meloloskan diri.

   Tapi dengan tangkas, Khik-sia cepat menguasainya.

   Karena Su Tiau-ing terluka dan waktunya sudah kelewat mendesak, apa boleh buat, Khik-sia segera boncengkan nona itu di atas kuda.

   Pasukan berkuda itu datangnya seperti air bah.

   Khik-sia menghadapi mereka dengan sebuah taktik.

   Ia tak mau mengarah penunggang, tetapi mengincar kuda tunggangannya.

   Dalam beberapa kejap saja, ia sudah berhasil melukai belasan ekor kuda.

   Karena terluka, kuda itu menjadi binal dan lari mencongklang keras.

   Kepanikan mereka itu telah menyebabkan pasukan kawannya yang berada di belakang, menjadi terhalang.

   Su Tiau-ing dengan sebelah tangannya lagi memutar pokiam untuk melindungi anak muda itu dari serangan anak panah dari kedua jurusan (kanan kirinya).

   Tiba-tiba dari kalangan anak buah pasukan berkuda itu timbul hiruk pikuk yang menggemparkan.

   Ketika Khik-sia berpaling, dilihatnya ada asap api mengepul ke atas.

   Khik-sia girang-girang terkejut, pikirnya.

   "Cepat sekali datangnya api itu bagiku. Tapi entah siapakah yang diam-diam membantu aku itu?"

   Pertama, karena pasukan berkuda pasukan pemanah itu sudah gentar melihat kegagahan Khiksia.

   Kedua kalinya, mereka kaget menampak di markas besarnya timbul bahaya kebakaran.

   Tanpa banyak pikir lagi, mereka tinggalkan pengejarannya kepada Khik-sia, terus memburu ke arah kebakaran.

   Kini lepaslah Khik-sia dari kepungan.

   Ia congklangkan kudanya pesat-pesat.

   Ada belasan anak buah Su Tiau-gi yang masih berusaha untuk mengejarnya, tapi mereka itu dapat dihalau taburan anak panah Khik-sia.

   Yang masih mengejar, kini tinggal Ceng-ceng-ji seorang.

   Sebenarnya dengan gingkang yang dipunyai itu dalam batas jarak 10 li, dapatlah Ceng-ceng-ji menyandak larinya kuda.

   Tapi karena ia hanya sendirian saja, nyalinya menjadi kecil juga.

   Setelah kejar beberapa saat, waktu mengetahui belakang tiada seorang kawan lagi timbullah kekuatiran Ceng-cneg-ji, kalau-kalau Khik-sia akan balik dan menyerangnya.

   Terpaksa iapun putar langkahnya dan lari balik.

   Selolosnya Khik-sia dari bahaya itu, diam-diam ia malah mengeluh dalam hati.

   "Kalau nona ini tak terluka, itulah mudah. Aku bisa berpisah dengannya. Tak memperdulikan lagi, sebenarnya juga tak mengapa. Tapi sekarang ia terluka. Karena membela diriku, ia sampai putuskan hubungannya dengan engkohnya. Bagaimana aku tega tak menghiraukannya lagi?"

   Waktu masih bertempur tadi, Su Tiau-ing tak merasa kesakitan.

   Tapi kini setelah lolos dari bahaya, ia mulai mengerang kesakitan.

   Dan untuk melonggarkan nyeri sakitnya itu, ia peluk pinggang si anak muda erat-erat.

   Khik-sia kerutkan alis dan menanyainya.

   "Bagaimana, apakah kau merasa sakit sekali?"

   "Kumerasa jarum itu seperti bergerak-gerak ke atas, makin lama makin menyusup lebih dalam,"

   Jawab Su Tiau-ing. Khik-sia terkesiap kaget. Memang ia tahu bagaimana kepandaian bekas ji-suhengnya itu. Pikirnya.

   "Jika tak dicabut, dalam tujuh hari jarum itu tentu dapat menyerang ke jantung. Pada waktu itu, tiada obatnya lagi. Sekalipun tidak kena jantung dan hanya menyusup ke dalam jalan darah saja, juga akan menyebabkan invalid.

   "Ah, tak nyana Ceng-ceng-ji itu sedemikian ganasnya. Terhadap nona Su, ia juga gunakan jarum rahasia."

   Penderitaan Su Tiau-ing makin menyebabkan Khik-sia tak dapat meninggalkannya. Katanya.

   "Kau tahan dulu sebentar, biar kucari tempat untuk mengobati lukamu itu."

   Ia lari sampai 20-an li, mendaki sebuah gunung. Di situ ia berhenti dan bantu Su Tiau-ing turun dari kuda. Mereka masuk ke dalam sebuah hutan.

   "Maaf, aku telah membikin capek kau,"

   Kata Su Tiau-ing.

   "Kau telah menolong aku, seharusnya aku membalas menolongmu. Aku tak berterima kasih kepadamu dan kaupun tak usah berterima kasih kepadaku,"

   Jawab Khik-sia. Su Tiau-ing tertawa.

   "Kiranya kau berniat hendak tinggalkan aku, maka sekarang kau berusaha untuk mengobati lukaku. Jangan takut, sekalipun nanti aku tak punya sandaran siapa-siapa lagi, tapi tak nanti aku membayangi kau. Apalagi kau punya ginkang yang hebat. Setiap waktu kau tinggalkan aku, masakan aku dapat mengejarmu lagi."

   Khik-sia termekmek dengan kata-kata si nona yang membuka isi hatinya itu. Merahlah wajahnya. Sampai sekian lama baru dapat berkata lagi.

   "Aku bukan bermaksud begitu. Seorang lelaki harus dapat membedakan budi dan dendam. Aku tak suka menerima budi kebaikan orang."

   Su Tiau-ing menjawab dengan sungguh-sungguh.

   "Mana aku telah melepas budi padamu? Adalah karena kau tidak baik, maka sampai hampir mencelakai dirimu. Kuberimu obat penawar, itu sudah selayaknya. Cukup asal kau tak membenci aku lagi, aku sudah merasa berterima kasih tak terhingga."

   Khik-sia putuskan pembicaraan.

   "Perkara lama, janganlah diungkat lagi. Sekarang, harap kau duduk bersandar pada pohon ini. Kau merasa jarum itu menyusup ke bagian mana?"

   Su Tiau-ing julurkan kaki kanannya.

   "Sepertinya menyusup sampai di betis, di sebelah jalan darah sam-kwat-hiat."

   
Tusuk Kondai Pusaka Karya SD Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Khik-sia bersangsi sebentar lalu berkata.

   "Nona, maafkan kekurangajaranku." -- Tiba-tiba ia pegang ujung kaki Su Tiau-ing, terus melepaskan sepatunya.

   "Akan kuambil jarum di kakimu itu,"

   Sahut Khik-sia. Su Tiau-ing menghela napas lalu tertawa cekikikan.

   "Ai, kau ini memang ... Omong saja tak jelas. Kalau tadi-tadi mengatakan begitu kan aku tak sampai kaget dan tak perlu kau menyebutnyebut soal kurang ajar atau tidak."

   "Kau tahankan, ya, sakitnya! Hendak kucabut keluar jarum itu."

   Kata Khik-sia.

   Ia menutuk jalan darah sam-kwat-hiat di betis si nona, kemudian mencekal kencang ujung kakinya.

   Diam-diam ia kerahkan lwekangnya.

   Serangkum arus lwekang menyalur dan mendorong jarum itu keluar.

   Begitu ujung jarum menonjol, terus dipijat Khik-sia.

   Saking sakitnya Su Tiau-ing sampai mandi keringat dan tubuhnyapun gemetar.

   Tanpa terasa, karena menahan kesakitan itu, Su Tiau-ing menyandar pada tubuh Khik-sia.

   Ketika melirik, didapatinya kedua belah pipi Khik-sia merah padam, napasnya memburu.

   Memang sebesar itu, belum pernah Khik-sia berjajar rapat dengan seorang gadis.

   Meskipun saat itu untuk keperluan pengobatan, namun karena menyentuh kaki seorang gadis yang harum baunya, mau tak mau jantung Khik-sia berdebur keras.

   Sebaliknya Su Tiau-ing diam-diam merasa geli.

   "Kiranya anak muda ini lebih pemaluan dari aku."

   Dalam derita kesakitannya itu, Su Tiau-ing merasa bahagia.

   Bahkan ia malah mengharap kesakitannya itu bisa panjang waktunya.

   Dengan lwekang yang lihay, dalam sekejap saja dapatlah Khik-sia menekan jarum itu turun ke telapak kaki Su Tiau-ing.

   Begitu ujungnya menonjol keluar, Khik-sia gunakan dua buah jari untuk menariknya.

   "Aduh!"

   Su Tiau-ing menjerit kesakitan.

   Tapi jarum itu sudah dapat dikeluarkan Khik-sia.

   Setelah itu Khik-sia lalu melumuri obat.

   Su Tiau-ing bersandar pada pohon dengan napas tersengalsengal, sedangkan Khik-sia juga mandi keringat.

   Kala itu hari sudah gelap.

   Di celah gunung sang dewi malam sudah mulai mengintip.

   "Aduh, mengapa tenagaku tak ada sama sekali. Kau bagaimana, apa sekarang mau pergi?"

   Seru Su Tiau-ing.

   "Beristirahatlah dulu di sini sebentar. Aku hendak mencari makanan. Lukamu sudah sembuh. Tenagamu lemas, karena kau tentu lapar,"

   Kata Khik-sia.

   Ia sendiri hanya makan semangkuk bubur pagi tadi.

   Dalam pertempuran tadi ia sudah gunakan tenaga tak sedikit.

   Kemudian mencabut jarum di kaki Su Tiau-ing, ini membuatnya merasa lapar juga.

   Benar di hutan situ banyak binatangnya, tapi di waktu malam hari sukarlah untuk mencarinya.

   Apalagi Khik-sia tak punya pengalaman berburu.

   Dengan susah payah, akhirnya ia hanya dapat menangkap dua ekor kelinci hutan saja.

   Jilid 8 Dilihatnya Su Tiau-ing sudah membuat api dan menyambutnya dengan senyum tertawa.

   "Kukira kau tak balik lagi!"

   "Hm, jika bukan karena tenagamu masih belum pulih, aku tentu sudah pergi,"

   Demikian Khiksia membatin. Tapi Su Tiau-ing rupanya tahu apa yang dibatin anak muda itu, serunya tawar.

   "Di dunia tiada perjamuan yang tiada berakhir. Baiklah, kurangkai bunga untuk kupesembahkan Hud. Biarlah kusiapkan hidangan selaku perjamuan perpisahan kita."

   Ia menyambut kedua ekor kelinci itu, menambahi pula unggun api lalu mulai membakar kelinci itu.

   Ditingkah oleh cahaya api, wajah nona itu tampak kemerah-merahan, suatu warna yang makin menambah kecantikan wajahnya.

   Hati Khik-sia berdebar-debar, pikirnya.

   "Jika sehabis makan lantas kutinggalkan, apakah tidak kelewat menyolok. Seorang gadis yang lukanya masih belum sembuh, berada seorang diri di tengah hutan belantara, apakah tidak berbahaya? Jangan kata engkohnya akan mengirim orang untuk mencarinya, sedang kalau-kalau sampai berjumpa dengan binatang buas saja, apakah jiwanya tak terancam nanti? Ai, tetapi .... tetapi .... apakah malam ini aku harus menemaninya di sini?"

   Rembulan makin naik tinggi.

   Sinarnya menerobos di sela-sela daun pohon yang rindang membawakan suatu suasana yang rawan.

   Angin malam berhembus mengantar bau bunga hutan yang wangi.

   Keindahan suasana malam kala itu diperkaya dengan hadirnya seorang gadis jelita.

   Pikiran Khik-sia melayang-layang ....

   Tiba-tiba ia teringat akan diri Yak-bwe.

   Pada malam yang sedemikian indah inilah ia bertemu dengan nona itu.

   Di taman bunga gedung Sik Ko, untuk pertama kali ia berjumpa dengan calon isterinya itu.

   "Ai, wktu itu perjumpaan kita diramaikan dengan pertengkaran. Dan ia malah memaki aku sebagai pencuri. Tapi aku sendiri juga tidak baik, karena sikapku kepadanya juga getas-getas mengejek."

   Lain adegan terbayang lagi dalam lamunan Khik-sia. Adegan yang terjadi pada lain malam di lain taman bunga pula yaitu di taman bunga Tok-ko U. --- "Seorang diri ia mondar-mandir di taman bunga, menunggu kedatangan Tok-ko U..."

   Teringat sampai di sini, hati Khik-sia merasa pilu. Buru-buru ia putuskan lamunannya itu dan tak mau lagi ia melamun yang tidak-tidak. Di dahului dengan pecahnya sang mulut karena tertawa, berserulah Su Tiau-ing.

   "Apa yang kau pikirkan? Kau tampak asyik sekali. Ini sate kelinci sudah matang."

   Khik-sia gelagapan. Tiba-tiba teringat olehnya.

   "Pada malam dua bulan yang lalu, aku juga berjumpa empat mata dengan Su Yak-bwe. Tak nyana kalau malam ini juga menghadapi keadaan seperti itu. Sayangnya meskipun ia juga she Su tapi bukan Su Yak-bwe. Ah, janganlah mengingat dia lagi. Ia (Yak-bwe) kan sudah mendapat orang yang dipenujuinya."

   Tersipu-sipu Khik-sia menyambuti kelinci bakar itu. Karena tak hati-hati, tangannya terbentur dengan ranting yang dimasukkan ke dalam api oleh Su Tiau-ing tadi. Buru-buru ia tarik pulang tangannya.

   "Ai, bagaimana kau ini? Apa yang kau pikirkan?"

   Su Tiau-ing tertawa. Cepat Khik-sia bersikap sungguh-sungguh dan bertanya.

   "Aku hendak menanya suatu hal padamu."

   "Apa itu hingga kau harus merenungkan sekian lama?"

   Tanya Su Tiau-ing. Ia menatap pemuda itu tajam-tajam. Khik-sia batuk sebentar baru berkata.

   "Kau sudah tinggalkan sarang kaum pemberontak. Sebenarnya aku takkan mengungkat peristiwa lama lagi. Tetapi urusan ini tak dapat terlepas dari itu."

   Su Tiau-ing tersirat hatinya, pikirnya.

   "Ia memandang kerajaan Tay Yan sebagai sarang pemberontak. Ia sendiri juga bangsa penyamun, mengapa begitu memandang rendah kepada kaum pemberontak? Apalagi keluargaku itu bukan bangsa pemberontak biasa. Kalau berhasil tentu menjadi raja, kalau gagal menjadi perampok. Masakah hal itu saja ia tak mengerti."

   Ia paksakan tersenyum dan bertanya.

   "Bilanglah, tentang hal apa?"

   "Ciu Ko, pangcu dari Kay-pang apakah masih kalian tawan?"

   Tanya Khik-sia.

   "Oh, kiranya tentang hal itu. Jangan kuatir, bukankah tadi kau melihat di markas engkohku itu terbit kebakaran?"

   Su Tiau-ing balas bertanya.

   "Ha? Jadi kau tahu siapa yang melepas api itu? Apakah hubungan api itu dengan Ciu pangcu?"

   Seru Khik-sia. Su Tiau-ing tertawa.

   "Kau begini pintarnya, masakan tak dapat menerka? Api itu aku yang melepaskannya. Tempat yang terbakar itu adalah kamar tahanan Ciu pangcu."

   "Apa? Kau yang membakar? Apakah kau mempunyai ilmu Hun-sin-hwat (membagi diri)?"

   Khik-sia berseru kaget. Su Tiau-ing menertawakannya.

   "Apakah masih belum jelas? Benar aku tak punya ilmu hun-sinhwat, tapi toh aku punya budak kepercayaan?"

   Si nona masih tetap tertawa.

   "Lama sudah kuduga, bahwa lambat atau lekas, engkohku itu tentu bentrok dengan aku. Karena itu siang-siang telah kupesan orang-orang bila terjadi apa-apa harus lekas menyulut api. Pertama, agar Ciu pangcu jangan sampai jatuh ke tangan engkohku. Kedua, juga menguntungkan kita untuk lolos. Masihkah kau tak mengerti?"

   "Kalau begitu, Ciu pangcu juga sudah lolos?"

   "Sudah tentu. Memang sebenarnya aku tak berniat membunuhnya. Dengan susah payah kutawannya, masakan lantas gampang-gampang mau membakarnya mati?"

   Sahut Su Tiau-ing. Khik-sia seperti terlepas dari tindihan batu. Namun ia masih belum yakin, pikirnya.

   "Agaknya nona Su ini menjadi otak dari engkohnya di dalam merencanakan sesuatu. Merancang tipu siasat, rupanya ia pandai sekali. Menawan Ciu pangcu itu, tentu juga ia yang mengatur. Tak terluput diriku yang ditawan dan dijadikan orang perantara untuk menyampaikan maksudnya kepada Thiat toako tentu juga buah pikirannya. Tapi mengapa mendadak sontak ia merubah haluan, melepaskan Ciu pangcu dan putuskan hubungan dengan engkohnya? Apakah kesemuanya itu untuk diriku semata-mata?"

   Su Tiau-ing tertawa.

   "Pertanyaanmu telah kujawab. Ciu pangcu tidak binasa. Seharusnya kau tak usah gelisah, tapi mengapa kau masih memikirkan apa-apa lagi?"

   "Apakah kau tak menyesal putuskan hubungan dengan engkohmu?"

   Tanya Khik-sia. Su Tiau-ing tertawa menyahut.

   "Aku sebenarnya berlainan ibu dengan dia. Ia telah berbuat khianat membunuh ayah kami dan telah menyebabkan ibuku meninggal karena marah. Coba kau pikirkan, apakah aku masih dapat menganggapnya sebagai engkoh lagi?"

   "Kalau begitu, sebenarnya kau sudah lama benci kepadanya? Tetapi, mengapa, mengapa ...."

   "Kau hendak menanyakan mengapa sebelum aku melarikan diri aku mau membantu engkohku itu, bukan?"

   Tiau-ing menegas.

   "Sebenarnya tak suka aku mengungkat urusanmu yang lama. Jika kau tak suka menceritakan, ya, sudahlah."

   Su Tiau-ing tertawa.

   "Kutahu kau ini seorang anak lelaki yang kasar. Siapa nyana agaknya kau juga mengerti soal etiket (tata susila). Padahal sekalipun tak kau tanyakan, aku tentu akan memberitahukan padamu juga. Apa kau kira aku tulus ikhlas membantu engkohku? Hanya karena belum tiba saatnya, aku belum dapat melakukan pembalasan padanya. Kekuasaan engkohku lebih besar, anak buahnya lebih banyak dari anak buahku. Dari itu aku tak dapat sembarangan bergerak?!"

   Kini teranglah Khik-sia, katanya.

   "Kiranya kau memperalat Uh-bun-jui karena hendak memakai tenaga kaum Kay-pang untuk menghadapi engkohmu?"

   Sebenarnya Khik-sia masih menahan sebuah pertanyaan lagi, yakni.

   "Kau bersikap begitu juga kepadaku, apakah bukan serupa maksud tindakanmu terhadap Uh-bun Jui?"

   Dengan tegas Su Tiau-ing menjawab.

   "Benar, jika tak bermaksud menggunakan tenaga kaum Kay-pang, masakan aku sudi berkenalan dengan Uh-bun Jui. Sayang meskipun telah kugunakan bermacam jalan, namun ia tetap gagal menjadi pangcu."

   Dingin-dingin Khik-sia berkata.

   "Akulah yang merusak usahamu itu. Kala itu jika aku tak muncul melawan kalian, kemungkinan besar Uh-bun Jui tentu sudah menjadi pangcu."

   Su Tiau-ing tertawa lebar.

   "Memang kala itu aku benci benar-benar padamu. Tapi kemudian tidak lagi. Telah kunilai, meskipun Uh-bun Jui itu memiliki sedikit kepandaian, tapi ia tak dapat digembleng menjadi bahan yang bagus. Untuk mengangkatnya, juga sukar. Ada apa? Apa kau masih tak mau mengampuni dia?"

   "Aku tak punya sangkut paut dengan dia. Diberi ampun atau tidak itu urusan partai Kay-pang,"

   Sahut Khik-sia. Mata Su Tiau-ing berkeliaran. Dengan tertawa ia menatap Khik-sia, lalu berkata pelahan-lahan.

   "Kukira kau masih mengandung permusuhan padanya."

   "Tidak, sebaliknya aku malah agak merasa kasihan padanya,"

   Kata Khik-sia. Sampai beberapa saat, Su Tiau-ing berdiam saja. Lewat beberapa saat lagi, barulah ia berkata lagi.

   "Tentang bentrokanku dengan engkoh itu, memang suatu hal yang sukar dihindari. Hanya aku tak menyangka kalau secepat ini terjadinya. Aku belum siap betul-betul, sudah didesak harus mengadakan pilihan."

   Diam-diam tergetar hati Khik-sia, pikirnya.

   "Kiranya kakak beradik itu diam-diam sudah mendendam permusuhan. Nona ini masih muda sekali umurnya, tapi ternyata hatinya amat besar."

   Pikirnya pula.

   "Su Su-bing mati memang sudah selayaknya. Tapi tak seharusnya ia mati di tangan puteranya sendiri. Rupanya nona itu hendak membalas pada engkohnya, bukan semata-mata karena hendak menuntutkan balas kematian ayahnya."

   Katanya kepada Su Tiau-ing.

   "Kalau begitu, lagi-lagi akulah yang merusakkan rencanamu itu, bukan?"

   "Tapi dengan begitu malah lebih baik. Hm, apakah kau suka membantu aku?"

   Tanya Su Tiauing.

   "Telah kukatakan dari tadi, kau sudah menolong aku dan akupun juga sudah menolongmu. Kita tak usah merasa saling menerima budi. Besok apabila fajar sudah tiba, kita bakal sudah berpisah. Aku tak dapat membantumu,"

   Jawab Khik-sia. Dalam pada itu ia membatin.

   Tusuk Kondai Pusaka Karya SD Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Kamu saling bunuh dengan keluargamu sendiri dalam hal itu aku tak boleh ikut campur."

   Su Tiau-ing tertawa.

   "Aku belum bicara selesai. Bukan saja hanya membantu urusanku, pun bagimu juga ada kebaikannya."

   "Kebaikan apa saja pun aku tak memikirkan,"

   Khik-sia tetap menolak.

   "Apakah setitik saja kau tak mempunyai cita-cita untuk melakukan suatu pekerjaan besar?"

   Tanya Su Tiau-ing.

   "Kulihat dulu, pekerjaan apa?"

   Kata Khik-sia.

   "Meskipun engkohku itu menderita kekalahan, tapi ia masih punya berpuluh ribu anak buah. Selain itu aku sendiri juga punya tiga ribu pasukan wanita. Mereka hanya mendengar perintahku saja. Engkohku tak punya kekuasaan untuk memerintah mereka. Tapi jika engkohku itu meninggal, sebaliknya aku dapat menguasai anak buahnya."

   "Jadi kau mau hilangkan dia dan menggantinya? Tetapi hal itu tak ada sangkut pautnya dengan diriku. Telah kukatakan berulang-ulang, bahwa aku tak dapat membantu urusanmu,"

   Kata Khik-sia.

   "Tidak, hal itu justeru ada sangkut pautnya padamu. Coba dengarlah. Aku juga tak menghendaki kau mewakili aku membalas sakit hati karena toh sekarang ini kau sudah 'putus arang' (hubungan yang tak mungkin balik lagi) dengan Ceng-ceng-ji. Kita pulang secara diam-diam. Pasukanku itu dapat menghadapi anak buah engkohku. Engkohku itu juga bukan tandinganku. Aku hendak melakukan pemberontakan secara tiba-tiba. Urusan itu tanggung berhasil. Yang kukuatiri ialah beberapa ko-chiu (jago lihay) yang diundangnya itu. Tapi diantara mereka itu, Hoan Gong siang jin terang berdiri netral. Dalam kalangan orang Kay-pang ada Ma-tianglo dan Uh-bun Jui, tapi Uh-bun Jui tak berani berbuat apa-apa terhadap aku. Yang masih perlu dikuatirkan hanya Ceng-ceng-ji seorang. Aku hanya minta padamu, jika Ceng-ceng-ji itu sampai merintangi, harap kau bunuh saja dia itu. Jika urusanku itu selesai, kuangkat kau menjadi raja! Seluruh anak buah engkohku akan kuserahkan padamu."

   Mendengar itu Khik-sia tertawa gelak-gelak.

   "Mengapa kau tertawa?"

   Tanya Su Tiau-ing. Sahut Khik-sia.

   "Kau salah memilih orang. Aku bukan manusia yang setimpal menjadi raja."

   "Sejak dulu sampai sekarang, kerajaan mana yang tidak terdiri dari orang yang mempertaruhkan jiwanya, menang jadi raja, kalah jadi perampok? Apa kau kira seorang raja itu memang sudah ditakdirkan?"

   Jawab Khik-sia.

   "Setiap orang mempunyai cita-citanya sendiri. Karena kau bercita-citakan menjadi raja, nah, jadilah!"

   Su Tiau-ing tertawa mengikik.

   "Sayang, aku ini seorang anak perempuan."

   Khik-sia bersikap sungguh, katanya.

   "Apakah seorang perempuan tak boleh menjadi raja? Apakah Bu Cek-thian itu bukan seorang kaisar wanita? Ia telah mengganti kerajaan Tong menjadi kerajaan Ciu dan bukankah ia berhasil menikmati tahta kerajaan selama 19 tahun lamanya?"

   Su Tiau-ing kerutkan sepasang alisnya. Biji matanya berseri-seri dan tertawalah ia.

   "Kaisar Cek-thian itu seorang wanita yang pandai lagi berani. Kaisar Thay Cong saja tak lebih pintar daripadanya, mana aku dapat dipersamakan dengannya? Dan lagi jangan dilupakan bahwa kaisar Cek-thian itu juga mempunyai pembantu-pembantu yang jempol seperti Tek Jin-kiat."

   Khik-sia tertawa.

   "Sayang aku tak mampu menjadi Tek Jin-kiat. Jika kau mau jadi raja, pilihlah lain Tek Jin-kiat yang dapat membantumu."

   Su Tiau-ing menunduk dengan rasa kecewa, tapi pada lain saat tiba-tiba ia tertawa lagi.

   "Ha, kau tertawa lagi?"

   Seru Khik-sia.

   "Aku hanya omong guyon kau lantas anggap sesungguhnya. Kau adalah seorang gagah, seorang pendekar, tapi takut berangan-angankan menjadi raja. Coba pikirkan, aku seorang anak perempuan mana berani tak tahu diri? Tadi hanya sekedar guyonan saja jangan kau anggap sungguh-sungguh."

   Pada hal ia mengatakan hal itu dengan tertawa untuk memulas maksudnya yang sesungguhnya. Benar-benar nona itu licin sekali. Katanya pula.

   "Engkohku rasanya juga takkan lama menjadi raja. Tapi ia masih mempunyai puluhan ribu anak buah. Apabila orang yang pegang kekuasaan itu tidak bijaksana, akibatnya hanya akan membahayakan rakyat saja. Jika kau sendiri tak mau menindaknya, toh bukan suatu hal jelek jika kau suka membantu aku merobohkannya? Dengan begitu berarti bisa basmi perbuatannya yang merugikan kepentingan rakyat, bukan?"

   Tergerak juga hati Khik-sia mendengar ucapan nona itu. Tapi segera ia berkata.

   "Ini masalah kerajaan, tak perlu aku yang mengurusi."

   Rupanya Khik-sia sungkan untuk mengutarakan selanjutnya, bahwa "Urusanmu aku tak mau turut campur". Su Tiau-ing putus asa, tapi tak mengentarakan. Tak mau ia unjukkan kepada Khik-sia. Lewat beberapa jenak, ia menatap Khik-sia dan tertawa.

   "Ai, kau ini tidak itupun tidak. Habis kau mau jadi apa?"

   "Aku hanya bercita-cita menjadi orang seperti ayahku,"

   Jawab Khik-sia.

   "Oh, kau ingin menjadi pendekar kelana? Yang menjadikan dunia ini rumah tinggalmu, yang akan menuntut keadilan bagi rakyat dunia yang tertindas?"

   Atas pertanyaan itu, Khik-sia hanya ganda tertawa saja. Sikap itu dapat diartikan, secara diamdiam ia mengakuinya. Su Tiau-ing diam-diam menghela napas, katanya.

   "Telah kukoreksi diriku sendiri, hati ingin memeluk gunung apa daya tangan tak sampai. Aku ingin juga menjadi tokoh semacam itu, tapi kepandaianku tak mencapai. Tapi mungkin aku tetap tak dapat membiarkan engkoh berbuat kejahatan. Aku tentu harus membereskan urusan keluargaku dulu, baru dapat menurutkan citacitaku, bebas berkelana seperti burung yang bebas terbang di udara."

   "Setiap orang mempunyai cita-cita sendiri, tak dapat dipaksa. Kau senang menjadi apa, tak usah kiranya berunding padaku,"

   Kata Khik-sia. Su Tiau-ing tertawa.

   "Sedikitpun kau tak menaruh perhatian pada urusanku."

   "Bukan, aku justeru hendak bertanya padamu. Apakah semangatmu sudah pulih? Apakah luka di kakimu itu sudah sembuh? Apa besok sudah dapat lari? Baiklah sekarang kau beristirahat saja,"

   Kata Khik-sia. Su Tiau-ing bersungut-sungut.

   "Inikah yang disebut 'perhatian'? Kau kuatir aku merepotimu saja. Baiklah, biar aku mati atau hidup tak perlu kau hiraukan. Bisa berjalan atau tidak, tak perlu kau pedulikan. Aku hendak tidur sekarang! - Ia lantas meramkan mata, tak mengacuhkan Khik-sia lagi. Meskipun Khik-sia tak punya kesan baik terhadap nona itu, namun tak tega juga hatinya untuk meninggalkannya seorang diri di dalam hutan dalam keadaan seperti saat itu. Diam-diam ia menghela napas, pikirnya.

   "Perangai anak perempuan itu, memang sukar diraba. Jika menyalahi, tentu runyam. Untung kerunyaman itu hanya untuk satu malam ini saja. Besok pagi-pagi, kita sudah akan berpisah. Kelak belum tentu kita akan berjumpa lagi. Bencilah sepuas-puasmu, biarlah."

   Karena kuatir kalau ada binatang buas datang, bukan saja Khik-sia tak menyingkir, malah iapun tak dapat tidur.

   Ia tak mau dekat, tapipun tak terpisah jauh dari nona itu.

   Ia mondar-mandir di bawah pohon, menjadi penjaga malamnya Su Tiau-ing.

   Berulang kali ia berpaling mengawasi nona itu.

   Beberapa saat kemudian rembulan makin tinggi, bintang-bintang bergemerlapan dan malam pun makin dingin.

   Su Tiau-ing pun rupanya sudah tidur pulas.

   Khik-sia berindap-indap menghampirinya.

   Lapat-lapat ia mendengar suara napas nona itu, bagaikan sekuntum bunga teratai yang tidur di bawah sinar rembulan, menyebarkan hawa nan harum.

   Serangkum angin berembus, tubuh si nona agak gemetar.

   Hati Khik-sia terkesiap, pikirnya.

   "Dalam angin malam yang dingin, ia hanya memakai pakaian tipis, apakah tidak masuk angin nanti." - Tanpa terasa ia melolos bajunya lalu ditutupkan ke tubuh nona itu. Su Tiau-ing agak menggeliat, buru-buru Khik-sia menyingkir. Tiba-tiba terdengar suara ketawa yang halus tapi cukup jelas dalam telinga Khik-sia. Berbareng itu, tanpa ada angin sebuah biji siong jatuh mengenai jidatnya. Kejut Khik-sia bukan kepalang. Cepat ia melolos pokiamnya dan gunakan ginkang it-ho-jong-thian (burung bangau menerobos langit), ia loncat ke atas pohon dan menusuknya. Memang ternyata di atas pohon itu bersembunyi seseorang. Hanya saja ketika Khik-sia menusuk, orang itu sudah menyelinap loncat ke lain pohon. Gerakannya luar biasa tangkasnya. Khik-sia hanya melihat sesosok bayangan saja, tapi siapa orangnya ia tak tahu sama sekali. Kejutnya makin menjadi-jadi. Pikirnya.

   "Ginkangnya jauh lebih hebat dari aku. Jika orang itu suruhan engkohnya, sukarlah untuk menghadapinya."

   Setelah mengejar sampai tiga batang pohon, barulah orang itu melayang turun ke bumi dan melambaikan tangannya kepada Khik-sia. Serunya sambil tertawa.

   "Turunlah, kita boleh omongomong di sini."

   Khik-sia terkesiap, keluhnya dalam hati.

   "Ah, tolol benar aku ini. Seharusnya siang-siang aku ingat kepada suheng. Selain ia, siapa orangnya lagi yang memiliki ginkang sedemikian hebatnya itu?"

   Kiranya orang yang muncul itu bukan lain adalah suheng dari Khik-sia sendiri, yakni Gonggong- ji.

   Walaupun sudah mengerti, namun pada saat itu Khik-sia tak enak hatinya.

   Mengapa suhengnya membawa ia jauh dari tempat Su Tiau-ing seolah-olah takut pembicaraannya nanti didengar nona itu? - "Apa yang akan dikatakan sehingga tak mau didengar orang lain itu?"

   Pikirnya.

   Sudah beberapa tahun lamanya Khik-sia tak berjumpa dengan suhengnya itu.

   Sejak ayah bundanya meninggal, kecuali dengan Thiat-mo-lek, hanya dengan suhengnya itulah ia paling baik hubungannya.

   Sudah tentu pertemuan yang tak terduga-duga itu, ia merasa girang-girang terkejut.

   Walaupun mempunyai perasaan tak enak hati, namun ia tak mau mengurangkan kegirangannya itu.

   "Suheng, mengapa tiba-tiba kau kemari?"

   Serunya dengan girang.

   "Apalagi kalau bukan karena hendak menengok kalian. Sute, peruntunganmu sungguh besar!"

   Gong-gong-ji tertawa. Selebar muka Khik-sia merah padam. Baru ia hendak membantah, Gong-gong-ji segera berkata dengan nada tegas.

   "Memang paras cantik itu mudah memikat hati. Dalam hal ini tak dapat mempersalahkan kau. Hanya saja di kolong dunia itu banyak sekali gadis-gadis molek, tetapi mengapa pilihanmu jatuh kepada nona itu? Sute, dengar nasehatku, lebih baik jangan berhubungan dengan nona itu!"

   Khik-sia gelagapan dan goyang-goyangkan tangannya, tapi mulutnya sukar untuk mencari permulaan pembelaannya. Akhirnya, ia hanya berteriak seperti orang kepedasan.

   "Tidak! Tidak! Suheng, kau, kau salah paham!"

   Gong-gong-ji gelengkan kepala.

   "Ketika Ceng-ceng-ji mengatakan, bermula memang aku tak percaya. Tapi tadi aku telah menyaksikan dengan mata kepala sendiri. Apakah aku tak mempercayai mataku sendiri?"

   Khik-sia kaget dan berseru.

   "Ceng-ceng-ji membual apa di hadapanmu?"

   Seketika wajah Gong-gong-ji tampak kurang senang, katanya.

   "Ceng-ceng-ji tinggalkan perguruan dan galang-gulung dengan kaum penjahat, memang tidak senonoh perbuatannya itu. Tetapi bagaimanapun dia adalah suhengmu, mengapa kau tak mengindahkan lagi padanya? Sampai panggilan 'ji-suheng' saja, kau sudah tak sudi menyebutkannya? Dan begitu bertanya kau lantas menuduh ia membual?"

   "Ceng-ceng-ji mau membunuh aku. Mengapa aku harus mengakuinya sebagai suheng lagi?"

   Bantah Khik-sia.

   "Dia mau membunuhmu? Oh, kumengertilah. Tentulah karena kau tak mau mendengar nasihatnya maka ia lantas menggertakmu."

   Dada Khik-sia seperti mau meledak bahna marahnya, serunya.

   "Suheng, tahukah kau tentang perbuatannya yang belakangan ini? Apa yang dia katakan padamu?"

   "Karena mendengar bahwa ia berada dengan Su Tiau-gi, maka baru aku datang menyelidiki. Ia sudah berjumpa padaku, tetapi ia mengatakan ia berbuat begitu karena terpaksa untuk kepentingan dirimu."

   Geli-geli jengkel Khik-sia dibuatnya, segera katanya.

   "Mengapa karena diriku?"

   "Karena ia tahu kalau kau kena terpikat oleh nona siluman itu, setelah berulang kali gagal menasihati kau, barulah ia terpaksa menerima undangan Su Tiau-gi. Maksudnya tak lain karena hendak mengawas-awasi kau saja, agar jangan sampai melakukan perbuatan-perbuatan yang tak senonoh. Siapa tahu ternyata kau benar-benar melakukan hal itu. Kabarnya nona Su itu telah melarikan diri dengan kau, dicegah engkohnya tapi malah engkohnya itu ditusuk sampai terluka. Benarkah itu?"

   "Segala obrolan Ceng-ceng-ji itu bohong belaka. Suheng, mengapa kau percaya padanya?"

   Bantah Khik-sia. Gong-gong-ji kerutkan alisnya.

   "Jadi kau katakan dia membohong? Tapi diam-diam aku telah menyelundup ke kamar Su Tiau-gi dan melihat dia memang betul-betul terluka."

   "Benar, memang Su Tiau-gi dilukai adiknya itu, tapi sekali-kali bukan karena hendak melarikan diri dengan aku. Suheng, sayang siang-siang kau tak datang. Kalau tidak, tentu kau menyaksikan bagaimana aku bertempur dengan Ceng-ceng-ji."

   Kata Gong-gong-ji.

   "Tidak melarikan diri? Mengapa kalian berdua bisa berada di sini pada malam begini? Hm, sebenarnya kau ini seorang anak baik, tapi karena persoalan seorang nona siluman kau lantas berubah begini jelek. Kau tak mau mendengar nasihat ji-suhengmu itulah sudah, tapi mengapa kau berkelahi padanya?"

   "Suheng, maukah kau juga mendengarkan keteranganku?"

   Saking bingungnya Khik-sia berteriak keras.

   "Baik, bilanglah. Sejak kecil kau belum pernah berbohong kepadaku. Kini kau sudah dewasa, kuharap kau tetap seperti masa kecilmu itu,"

   Kata Gong-gong-ji yang dengan kata-kata itu seolaholah ia sudah tak begitu menaruh kepercayaan pada Khik-sia lagi.

   Tak enak sekali hati Khik-sia.

   Tapi teringat bagaimana pada saat itu ia berduaan dengan seorang nona dan pada saat ia menutupkan bajunya ke tubuh si nona, suhengnya itu kebenaran sekali telah melihatnya.

   Kalau Gong-gong-ji menganggapnya berbuat serong, itulah mudah dimengerti.

   "Apakah aku atau Ceng-ceng-ji yang bohong, silahkan nanti suheng menilainya. Dan asal suheng suka menyelidiki tentu tak sukar untuk mendapat jawaban. Karena urusan Ciu pangcu, maka beberapa hari yang lalu partai itu mengadakan rapat besar. Entah apakah suheng sudah mendengar tentang hal itu,"

   Kata Khik-sia.

   "Di tengah perjalanan, banyak aku berjumpa dengan kaum pengemis. Tentang rapat besar kaum Kay-pang, sudah lama kudengarnya. Tapi aku tak berminat mengurusi mereka. Tentang peristiwa apa yang menimpa Ciu pangcu mereka, apa hubungannya denganmu?"

   "Dengan mengandalkan pengaruh keluarga Su kakak-beradik, Uh-bun Jui melakukan pengkhianatan terhadap partainya. Ceng-ceng-ji menulang-punggungi Uh-bun Jui. Kala itu mereka telah melakukan sandiwara yang bagus. Pada saat itu kebetulan aku juga hadir. Aku tak setuju akan tindakan Ceng-ceng-ji sehingga terpaksa turun tangan membantu pihak Wi locianpwe."

   Demikian Khik-sia segera menuturkan semua kejadian, mulai dari peristiwa di Kay-pang, kemudian sampai ia ditawan oleh Ceng-ceng-ji dengan obat bius, bagaimana Su Tiau-ing bentrok dengan Su Tiau-gi lalu lolos dari kepungan. Akhirnya ia berkata.

   "Bukankah Ceng-ceng-ji mengatakan pada suheng bahwa ia terpaksa mau menerima undangan Su Tiau-gi karena hendak memata-matai perbuatanku dengan nona Su? Pada waktu Kay-pang mengadakan rapat besar, aku sama sekali tak kenal dengan Su Tiau-ing. Tapi Ceng-ceng-ji pada waktu itu sudah membantu pada Su Tiau-gi kakak-beradik. Peristiwa dalam rapat Kay-pang pada saat itu, disaksikan oleh ribuan anggotanya. Adakah aku yang bohong atau Ceng-ceng-ji yang dusta, mudahlah diketahui."

   "Jadi kalau menurut keteranganmu, dalam rapat itu anak murid Kay-pang belum mengetahui bahwa Ciu pangcu mereka ditawan oleh kakak-beradik Su?"

   Kata Gong-gong-ji.

   "Benar, mungkin begitulah, maka Ceng-ceng-ji baru berani berbohong padamu. Tetapi pada kala itu selain bertempur dengan Ceng-ceng-ji akupun berkelahi juga dengan nona Su itu. Jika siang-siang aku sudah ada hubungan baik dengan nona itu, mengapa aku merusakkan rencananya?"

   Bantah Khik-sia. Kini mulailah Gong-gong-ji tergerak kepercayaannya.

   "Ah, tak kira kalau Ceng-ceng-ji sedemikian kurang ajarnya. Jika siang-siang sudah kutahu, tentu sudah kutangkapnya dan kuhukum dia suruh menghadap tembok sampai tiga tahun!"

   Akhirnya meluncurlah pengakuan Gong-gong-ji.

   "Apakah ia sudah melarikan diri?"

   Tanya Khik-sia.

   "Sebenarnya kuajaknya ia datang kemari untuk mencari kau. Tapi ia menolak dengan alasan tak enak meninggalkan Su Tiau-gi yang sedang terluka, karena ia sudah menerima penghormatan besar dari Su Tiau-gi itu. Nanti setelah Su Tiau-gi sembuh, barulah ia dapat pergi. Sekalipun begitu, karena ia merasa telah berdusta padaku dan takut kalau kutangkapnya, maka ia tentu sudah meloloskan diri,"

   Menerangkan Gong-gong-ji.

   
Tusuk Kondai Pusaka Karya SD Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Sebenarnya Gong-gong-ji itu masih ada setitik kecurigaan terhadap Khik-sia.

   Ia percaya bahwa Ceng-ceng-ji yang berbohong, tapi ia tetap belum percaya penuh kalau Khik-sia sama sekali tak ada hubungan apa-apa dengan Su Tiau-ing.

   Pikirnya.

   "Kau benar pernah bertempur dengan dia (Su Tiau-ing) dalam rapat Kay-pang, tapi itu bukan suatu jaminan bahwa selanjutnya kau tak kena terpikat olehnya. Jika kau tak sayang padanya, mengapa kau begitu tekun menjadi penjaga malam dan menutupi tubuhnya dengan bajumu?"

   Maka katanya kemudian.

   "Kau tak terjerumus ke jalan sesat, itulah baik sekali. Bagaimanapun halnya, dara she Su itu jangan rapat-rapat didekat. Lebih baik kau lekas menyingkir dari dia, makin jauh makin baik."

   Khik-sia merasa agak jengkel tapipun agak geli juga. Pikirnya.

   "Nona itukan bukan seekor ular berbisa, asal aku tak dekat toh sudah cukup. Mengapa harus begitu ditakuti?"

   Namun sekalipun hatinya membantah, tapi Khik-sia tak mau adu bicara dengan suhengnya lagi. Katanya.

   "Harap suheng jangan kuatir. Besok pagi-pagi aku tentu berpisah dengan dia. Akupun tak mau memperdulikan urusannya lagi."

   Gong-gong-ji mengangguk, tetapi ia bertanya pula.

   "Kau hendak pergi kemana nanti?"

   "Lebih dulu aku hendak kembali melapor pada Kay-pang, setelah itu baru menuju ke Tiang-an,"

   Kata Khik-sia. Khik-sia mengiakan.

   "Benar, yang melepas api ialah anak buah dari nona Su itu. Api berkobar besar sekali, apakah di tengah jalan kau tak melihat cahayanya?"

   "Ketika tiba, api baru mulai merangsang. Cahaya api sudah tentu kulihatnya tapi, huh, tapi sedikit aneh,"

   Kata Gong-gong-ji.

   "Apanya yang aneh?"

   Tanya Khik-sia. Kata Gong-gong-ji.

   "Ciu pangcu, Ma tianglo, Uh-bun Jui dan lain-lain orang Kay-pang, aku kenal semua. Tapi ....." -- Sampai disitu Gong-gong-ji hentikan kata-katanya. Baru Khik-sia hendak menanyakan mengapa suhengnya itu mendadak berhenti bicara, begitu ia mendongak, dilihatnya Su Tiau-ing tengah berjalan menghampiri mereka. Dingin-dingin nona itu menegurnya.

   "Gong-gong-ji, bilakah kau datang? Mengapa tak memberi tahu padaku? Apa yang kalian suheng dan sute berdua omongkan secara bersembunyi di belakangku itu? Bolehkan aku mendengarinya?"

   Pikir Khik-sia bahwa suhengnya tentu akan marah, ternyata meleset. Dengan ramahnya Gonggong- ji menyahut.

   "Jangan curiga, nona Su. Karena kau tidur, maka aku tak berani mengganggumu. Karena sudah beberapa tahun tak berjumpa dengan suteku ini, maka kami saling menuturkan pengalaman masing-masing, sekali-sekali tidak ngerasani kau di belakangmu."

   Dengan tawar Su Tiau-ing berkata.

   "Benarkah? Tapi, Gong-gong-ji, aku tak terlalu percaya padamu. Khik-sia bilanglah, bukankah suhengmu mengatakan sesuatu tentang diriku?"

   Khik-sia tak biasa berbohong. Tapi karena Su Tiau-ing bertanya begitu, iapun tak mau menjawabnya. Pikirnya.

   "Suheng mengatakan kau ini seorang perempuan siluman, tapi tak mau kuberitahukan padamu."

   Maka sahutnya.

   "Kau sudah tahu dia adalah suhengku, sudah tentu kami suheng dan sute banyak sekali yang dibicarakan. Tentang apa yang kita bicarakan, itu bukan urusanmu."

   "Baik, rupanya kamu berdua suheng dan sute itu sudah saling bersepakat. Aku orang luar, tak boleh ikut campur. Tetapi, Gong-gong-ji, akan ada seseorang yang hendak mengurus dirimu. Dan orang itu segera akan tiba kemari. Memang kebetulan sekali kita berjumpa di sini, jangan kau ngacir dulu, lho!"

   Demikian Su Tiau-ing mencerocos.

   "Nona Su, jangan membikin susah padaku. Aku masih ada lain urusan, ai, benar-benar ada urusan. Maaf, terpaksa harus pergi." -- Habis berkata, Gong-gong-ji pun segera melesat pergi, tanpa meninggalkan sepatah kata kepada Khik-sia. Pada lain kejap ia sudah lenyap dari pemandangan. Su Tiau-ing cibirkan bibirnya dan ketawa riang. Muncul dan perginya Gong-gong-ji itu sungguh di luar dugaan Khik-sia. Tapi cara ia pergi secara begitu mendadak, lebih mengherankan Khik-sia daripada ketika ia muncul tadi. Gong-gongji itu seorang manusia yang tak takut segala apa. Seumur hidupnya, kecuali terhadap suhu dan subonya, ia tak pernah tunduk kepada siapapun jua. Dahulu karena peristiwa diri Ceng-ceng-ji, ia pernah bertempur dengan Hong-kay Wi Wat, itu tokoh dari Kay-pang. Tapi heran, manusia yang tak punya takut itu kini ternyata lari terbirit-birit oleh beberapa patah kata Su Tiau-ing saja. Sungguh mengherankan sekali! Dengan penuh tanda tanya, diam-diam Khik-sia menimang dalam hati.

   "Siapakah yang dikatakan oleh Su Tiau-ing itu? Pada masa ini tokoh-tokoh yang dapat mengalahkan suheng, hanya dapat dihitung dengan jari saja. Selain Bok Jong-long dari pulau Ho-siang-to di laut Tang-hay yang begitu jauhnya, mungkin hanya Kim Lun hwat-ong yang dapat menundukkan suheng. Lainlainnya, seperti Wi Wat, Mo Keng lojin dan Biau Hui sin-ni dan lain-lain, paling banyak hanya berimbang dengan dia. Sedangkan terhadap Kim Lun hwat-ong, suheng tak takut, masakan orang yang disebut Su Tiau-ing itu jauh lebih sakti dari Kim Lun hwat-ong itu?"

   Su Tiau-ing tertawa.

   "Suhengmu sudah lari jauh. Kukira ia tentu tak berani datang lagi. Mengapa kau masih mengawasi terlongong-longong saja? Bahwa tadi aku telah mengganggu pembicaraan kalian berdua suheng dan sute, sungguh aku merasa menyesal. Ha, aku sendiripun tak menyangka sama sekali bahwa Biau-chiu Gong-gong-ji begitu berjumpa padaku lantas lari terbiritbirit begitu rupa."

   Khik-sia tak dapat tiada berpikir.

   "Sudah lama sekali suhengku termasyhur namanya, maka pambeknyapun tinggi. Ia muncul pergi tanpa terduga. Terhadap kaum rendahan, bagaimana ia mau meladeni? Nona Su ini masih muda umurnya, pun puteri dari Su Su-bing yang paling dibenci oleh suheng. Tapi mengapa ia kenal pada suheng?"

   Dan keheranan hatiya itu segera disalurkan dalam sebuah pertanyaan.

   "Nona Su, bilakah kau kenal pada suhengku itu? Mengapa suheng tak pernah mengatakan padaku?"

   "Amboi, belum pernah mengatakan?"

   Sahut Su Tiau-ing.

   "Bukankah tadi di belakangku ia mengomongkan tentang diriku?"

   Tergerak hati Khik-sia.

   Teringat tadi sikap suhengnya kala menasehatinya supaya jangan bergaul rapat dengan Su Tiau-ing.

   Ditilik naga-naganya, agaknya Gong-gong-ji itu memang sudah kenal dengan nona itu.

   Hanya saja mengapa ia begitu ketakutan terhadap nona itu? Kata Su Tiau-ing pula.

   "Aku tak peduli apa yang kalian berdua bicarakan tadi. Kaupun tak usah menghiraukan bagaimana aku kenal padanya. Pokoknya, kau takut pada suhengmu, tetapi aku tak takut sama sekali kepadanya."

   Sejak dulu Khik-sia selalu mengindahkan kepada suhengnya. Mendengar kata-kata Su Tiau-ing begitu, ia tak enak hatinya.

   "Bagus, memang sebenarnya kita bukan sekaum maka tak perlu menghiraukan urusan masingmasing. Aku cukup akan bertanya padamu, apakah sekarang kau sudah sembuh sama sekali? Dapatkan kau berjalan seperti biasa lagi?"

   Su Tiau-ing kerutkan alis dan menyahut.

   "Ya, terima kasih atas pertolonganmu tadi. Aku sudah sembuh."

   Kala itu rembulan sudah remang di ufuk barat. Fajar segera akan menerangi bumi. Kata Khiksia.

   "Baik, sekarang kita akan berpisah." -- Ia terus ayunkan langkah pergi.

   "Hai, mau kemana kau? Apakah bukan hendak melapor pada kaum Kay-pang?"

   Tiba-tiba Su Tiau-ing meneriakinya.

   "Hm, bukankah telah kita katakan, kita tak boleh mengurusi urusan masing-masing? Aku hendak pergi kemana, perlu apa kau ingin tahu?"

   Sahut Khik-sia yang tanpa berpaling kepala lagi terus melangkah maju. Dari belakang kedengaran Su Tiau-ing tertawa.

   "Sebenarnya aku malas untuk bertanya urusanmu itu. Aku hanya kuatirkan apabila orang Kay-pang bertanya tentang diri Ciu pangcu, bagaimana jawabmu?"

   Dari ucapan Su Tiau-ing yang mencurigakan itu, teringatlah Khik-sia akan sesuatu.

   Tadi ketika ia menceritakan kepada suhengnya bahwa Ciu pangcu sudah lolos, sikap suhengnya agak aneh, malah mengatakan 'aneh' juga.

   Sayang suhengnya belum sempat menerangkan hal itu karena keburu Su Tiau-ing datang.

   Bahwa sekarang Su Tiau-ing mengungkat lagi hal itu, kecurigaan Khik-sia makin besar.

   Tanpa terasa ia hentikan langkah dan berpaling bertanya.

   "Nona Su, bagaimana maksudmu? Bukankah tadi kau mengatakan Ciu pangcu sudah lolos?"

   "Tentang hal itu? Boleh dikatakan ya, boleh dikatakan tidak,"

   Sahut Su Tiau-ing dengan nada yang tawar.

   "Ya bilang ya, tidak bilang tidak, mengapa tak tegas begitu? Permainan apa yang kau lakukan ini, ha?"

   Tegur Khik-sia yang sudah mulai sengit.

   "Tempat tahanan Ciu pangcu sudah musnah terbakar api. Engkohku tak mengetahui di mana Ciu pangcu itu sekarang berada. Dengan begitu ia tak dapat mencelakainya lagi,"

   Kata Su Tiau-ing.

   "Tidakkah hal itu berarti ia sudah lolos?"

   "Benar,"

   Jawab Su Tiau-ing sambil tertawa.

   "memang kau tak usah menguatirkan keselamatan jiwanya lagi. Tapi ..... ia masih berada dalam cengkeramanku! Bahaya sih sudah tidak, namun 'lolos' tetap belum. Maka untuk pertanyaanmu tentang lolosnya atau tidak, aku hanya dapat menjawab secara dualistis (dua-duanya). Jadi sekali lagi kuulangi, boleh dikata ya boleh dikata tidak."

   "Bukankah kau sudah mengatakan kalau sudah melepaskannya? Jadi kalau begitu kau hendak menipu aku?"

   Teriak Khik-sia dengan marahnya. Tapi dingin-dingin saja Su Tiau-ing menjawab.

   "Pikirlah yang terang sedikit. Bilakah kuberkata aku sudah melepaskannya? Aku kan hanya mengatakan padamu tentang kusuruh budakku melepas api? Menuduh aku sudah melepaskan dia, itulah anggapanmu sendiri."

   Khik-sia ingat-ingat kembali dan benar juga ia tak mendengar kalau Su Tiau-ing itu mengatakan sudah melepas Ciu pangcu. Kejut Khik-sia bukan kepalang. Buru-buru ia bertanya.

   "Bagaimana kejadian ini yang sebenarnya? Tapi aku ingat, kau mengatakan kalau tak membakar Ciu pangcu!"

   "Memang tidak membinasakannya. Dan mengapa aku harus membinasakan? Membiarkan ia hidup, gunanya jauh lebih besar. Dengarlah, aku hanya memindahkan tempat tahanannya saja ke lain tempat. Tempat itu, kecuali aku dan dua orang budak kepercayaanku, siapapun tak tahu."

   Khik-sia menghela napas, serunya.

   "Oh, kiranya begitu. Tapi meskipun ia tak berbahaya, mengapa masih ditahan lagi? Untuk itu aku tetap kuatir. Kay-pang mempunyai hubungan dengan aku, harap kau suka memberitahukan tempat tahanannya itu dan tolong berikan obat penyembuh untuknya agar segera dapat menolongnya."

   Su Tiau-ing tertawa dingin.

   "Bukankah kau sudah mengatakan kalau kita masing-masing tak usah saling minta pertolongan? Sejak saat ini, kau ke timur aku ke barat, kau tak pedulikan aku, aku juga tak menghiraukan kau?"

   Khik-sia terlongong-longong, serunya.

   "Ini ... ini ... janganlah kau begitu kelewatan sekali."

   "Kay-pang mempunyai hubungan padamu, tapi tak punya hubungan apa-apa dengan aku. Karena kau menganggap diriku orang asing, mengapa sekarang kau hendak minta pertolonganku supaya bebaskan Ciu pangcu? Bukankah ini juga kelewatan sekali?"

   Dengan lidahnya yang tajam, Tiau-ing dapat membalas serangan Khik-sia. Debatan itu membuat Khik-sia tersipu-sipu merah mukanya. Sampai sekian lama ia tak dapat bicara.

   "Sudahlah, bicaraku sudah habis. Bukankah kau hendak pergi? Mengapa tak jadi?"

   Su Tiauing menertawakannya. Khik-sia tegak seperti patung. Ia tak dapat berkutik sama sekali.

   "Baik, demi memandang dirimu, jika mau menjenguk Ciu pangcu, mari ikut aku ke Tiang-an,"

   Kembali Su Tiau-ing berkata dengan tenang. Khik-sia terkesiap, serunya.

   "Menemui Ciu pangcu ke Tiang-an?"

   "Benar, telah kupesan kepada budak kepercayaanku, kalau terjadi sesuatu perubahan harus lekas-lekas bawa Ciu pangcu ke Tiang-an,"

   Sahut nona itu.

   Teringat bahwa hari pembukaan dari Eng-hiong-tay-hwe di Tiang-an itu sudah dekat, karena toh ia juga memang hendak kesana, akhirnya ia menerima baik tawaran nona itu.

   Demikian mereka berdua lalu menuju ke Tiang-an.

   Belum lama berjalan, tiba-tiba dari sebelah muka tampak ada dua ekor kuda mencongklang datang.

   Ketika dekat, ternyata penunggangnya seorang laki dan seorang wanita.

   Khik-sia terkesiap kaget.

   Kiranya kedua penunggang kuda itu bukan lain adalah Tok-ko U dan Tok-ko Ing.

   Memandang dengan terlongong-longong ke arah kedua pemuda itu, hati Khik-sia serasa seperti diinjak-injak oleh kuda mereka.

   Namun ia tak dapat menahan keheranannya juga.

   "Ai, mana Yakbwe? Mengapa ia tak kelihatan bersama kedua kakak adik itu?"

   Timbul pikiran semacam itu pada Khik-sia karena ia menuduh Yak-bwe itu sudah jatuh hati pada Tok-ko U.

   Kalau begitu tentulah kemana-mana selalu ikut.

   Siapa tahu, karena Yak-bwe lenyap, maka kedua kakak beradik itu menjadi sibuk tak keruan.

   Kepergian mereka kali ini tujuannya ialah hendak mecncari jejak Yak-bwe.

   Kepergian Yak-bwe malam itu meskipun sudah meninggalkan surat, tapi suratnya itu tak jelas maksudnya alias samar-samar.

   Yak-bwe hanya menulis 'urusan ini kelak tentu jelas sendiri, sekarang masih sukar untuk memberitahukan'.

   Kata-kata dalam surat Yak-bwe itu, makin menambah kebingungan hati kedua kakak adik tersebut.

   Sebagaimana diketahui, Tok-ko Ing tetap belum tahu bahwa Yak-bwe itu sebenarnya seorang gadis.

   Untuh jangan membuat sedih hati sang adik, dan karena ia sendiri juga kepingin mengetahui persoalannya, maka Tok-ko U mau menemani adiknya pergi ke Tiang-an.

   Mereka duga Yak-bwe tentu hadir dalam pertemuan besar para enghiong yang sudah makin dekat waktunya itu.

   Jika Yak-bwe tak datang, pun mereka akan dapat bertanya kepada orang-orang gagah yang hadir dalam pertemuan besar itu.

   Dengan begitu, mereka yakin tentu akan berhasil menemukan jejak Yak-bwe.

   Saat itu kedua kakab adik she Tok-ko itupun juga melihat Khik-sia.

   Merekapun terkesiap dan serempak sama meraba pedangnya.

   Pikirnya.

   "Ah, sungguh sial, mungkin akan bertempur dengan dia!"

   Jarak kedua pihak makin lama makin dekat.

   Rupanya Tok-ko U lebih berpengalaman.

   Ia melihat Khik-sia tak bersikap bermusuhan.

   Tapi Tok-ko Ing yang melihat Khik-sia tetap berjalan di tengah jalan seperti tak mau menyingkir ke pinggir, diam-diam merasa kuatir juga.

   Pikirnya.

   "Entah siapakah bangsat itu. Hm, ditilik ia berjalan dengan seorang nona cantik, rupanya ia bukan kaki tangan pemerintah. Kebanyakan tentulah bangsa pengganggu wanita."

   Tusuk Kondai Pusaka Karya SD Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Sebaliknya Su Tiau-ing tak kenal dengan kedua kakak beradik itu.

   Kala melihat mata Khik-sia tak terkesiap memandang ke arah nona itu (padahal sebenarnya Khik-sia hanya curahkan perhatiannya ke arah Tok-ko U saja) dan nona itupun terus menerus memandang pada Khik-sia juga (sudah tentu ini hanya menurut anggapan Su Tiau-ing sendiri), diam-diam marahlah Su Tiau-ing.

   "Siapakah budak perempuan yang berani jual lagak di tengah jalan itu? Baik, biarkan kuolokoloknya, suruh ia menelan pil pahit,"

   Demikian pikirnya.

   Dalam pada Su Tiau-ing berpikir itu, kedua penunggang kuda itupun sudah tiba di sebelahnya.

   Rupanya ilmu menunggang kuda dari Tok-ko U masih belum mahir, hingga tak dapat menguasai congklang kudanya yang menerjang maju.

   Begitupun Tok-ko Ing yang sudah tak dapat menguasai kudanya menjadi gelisah.

   Buru-buru ia meneriaki Khik-sia.

   "Hai, minggirlah! Kau hendak mengapa itu?"

   Khik-sia gelagapan dan buru-buru berseru.

   "Maaf, aku sampai lupa memberi jalan." -- Ia segera menyingkir ke pinggir untuk memberi jalan pada kuda Tok-ko Ing. Tapi tidak demikian dengan Su Tiau-ing. Tiba-tiba ia tamparkan tangannya. Dua batang jarum bwe-hwa-ciam telah menyusup ke dalam paha kuda Tok-ko Ing. Sekali meringkik keras, kaki depan kuda itu segera menekuk ke bawah. Hampir saja Tok-ko Ing dilemparkan ke bumi. Memang sebenarnya Tok-ko Ing sudah berjaga-jaga kalau diserang senjata rahasia. Tapi tak menyangka sama sekali bahwa serangan itu datangnya dari Su Tiau-ing. Adalah karena sudah siap sedia sebelumnya, maka dengan cepatnya Tok-ko Ing sudah lantas mencelat ke udara. Dalam melayang turun, ia sudah gunakan jurus kim-eng-tian-ki atau burung garuda pentang sayap. Pedangnya dikembangkan di udara kemudian meluncur turun menusuk Su Tiau-ing. Tok-ko Ing adalah anak murid dari Kong-sun toanio. Ilmu pedang Kong-sun toanio itu tiada lawannya di dunia persilatan. Meskipun sucinya, ialah Li Sip-ji-nio yang memberi pelajaran padanya, tapi Tok-ko Ing sudah dapat menyakinkan dengan sempurna. Keruan Su Tiau-ing kaget. Nona yang tak dipandang mata itu ternyata memiliki ilmu pedang yang luar biasa hebatnya. Kalau ia agak ayal menyingkir tentu sudah dimakan pedang Tok-ko Ing. Sekalipun dapat menghindar, tapi karena diserang secara cepat oleh lawan, Su Tiau-ing tak sempat lagi mencabut goloknya. Tok-ko Ing menyerang secara kilat. Sekaligus ia sudah lancarkan tiga serangan. Setiap serangannya tentu mengarah jalan darah Su Tiau-ing yang berbahaya. Su Tiau-ing menjadi keripuhan dan terdesak dalam bahaya. Sebenarnya Khik-sia mendongkol kepada Su Tiau-ing yang cari gara-gara itu. Tapi demi melihat Tok-ko Ing menyerang dengan jurus-jurus yang hebat, ia kerutkan dahi. Kalau terus berlangsung begitu, terang Su Tiau-ing takkan sempat mencabut senjatanya dan kemungkinan besar tentu binasa di ujung pedang Tok-ko Ing. apa boleh buat, terpaksa ia akan turun tangan untuk memberi kesempatan Su Tiau-ing bernapas. Pada saat Khik-sia menengahi, Tok-ko Ing justeru sedang lancarkan jurus yang keempat yakni giok-li-tho-soh atau bidadari melempar tali. Tampaknya Su Tiau-ing sukar menghindar lagi. Tapi sekali jari tengah Khik-sia menjentik, cring .... pedang Tok-ko Ing kena dipentalkan ke samping. Kaget dan marah Tok-ko Ing bukan kepalang, dampratnya.

   "Bangsat jahanam, aku mengadu jiwa padamu!"

   Meskipun jelas dilihatnya bahwa tadi Khik-sia tak mengandung maksud bermusuhan sungguhsungguh, namun untuk menjaga kemungkinan yang tak diharapkan, Tok-ko U cepat putar kudanya.

   Tepat pada saat itu Khik-sia menjentik pedang Tok-ko Ing.

   Anak muda itu berdiri berhadaphadapan dengan adiknya, jaraknya amat dekat sekali, dapat menyerang apabila Khik-sia mau.

   Sudah tentu Tok-ko U terperanjat.

   Kuatir kalau anak muda itu akan berbuat jahat terhadap adiknya, tanpa banyak pikir lagi, Tok-ko U juga ikut-ikutan memaki.

   "Bangsat, lihatlah passerku!"

   Khik-sia hendak memberi penjelasan, tapi dua batang passer Tok-ko U sudah menyambarnya.

   Cepat Khik-sia ulurkan tangan untuk menyambutinya.

   Pada saat ia berhasil menjepit passer itu, pedang Tok-ko Ing pun sudah tiba.

   Khik-sia segera gunakan passer itu untuk menangkis.

   Tring ....

   passer terpapas kutung, tangan Khik-sia hampir turut terluka juga.

   Karena Khik-sia berdiri menghadapi Tok-ko Ing, jadi Su Tiau-ing berada di belakangnya.

   Tokko Ing mencekal sebatang pedang pusaka, sedang Khik-sia hanya bertangan kosong saja.

   Makin dekat jarak mereka, makin berbahaya bagi Khik-sia harus tumplek seluruh perhatian kepada pedang pusaka si nona itu.

   Dengan begitu ia tak sempat memperhatikan Su Tiau-ing lagi.

   Tadi telah dikatakan bahwa Tok-ko U telah timpukkan dua batang passer.

   Yang sebatang dapat disambuti Khik-sia, tapi yang sebatang lagi yang memang diarahkan oleh Tok-ko U untuk Su Tiauing dan tak mampu disambuti oleh gadis itu.

   Memang lain Khik-sia lain Su Tiau-ing, karena kalah lihay daripada pemuda itu, jalan satu-satunya bagi Su Tiau-ing ialah menghindar.

   Tapi meski ia sebat sekali dapat menghindar, toh tak urung tusuk kondainya yang terbuat dari batu kumala kena dihantam jatuh oleh passer itu.

   Inilah yang dinamakan 'jangan suka mengganggu anjing tidur', atau jangan suka cari perkara yang berarti mengundang bahaya.

   Kejut dan marahlah Su Tiau-ing.

   Cepat ia sudah siapkan jarum bwe-hoa-ciamnya.

   Ia bermaksud hendak gunakan siasat seperti menghadapi Tok-ko Ing tadi, yaitu merobohkan kuda tunggangan Tok-ko U.

   Tapi tiba-tiba Khik-sia putar tubuhnya dan dengan pukulan biat-gong-ciang ia hantam jarum Su Tiau-ing itu sampai tercerai berai.

   Setelah deliki mata, Khik-sia lantas menyikut dan aduh ....

   begitu sang mulut mengaduh, tubuh Su Tiau-ing pun sudah terlempar sampai tiga tombak jauhnya.

   Padahal sikutan Khik-sia itu hanya dengan gunakan tenaga kaiu-kin atau ketangkasan.

   Sebenarnya Su Tiau-ing tak menderita kesakitan apa-apa.

   Ia menjerit tadi, karena sama sekali tak menduga akan tindakan Khik-sia.

   Tapi pukuan biat-gong-ciang yang dilepas Khik-sia tadi, memang menggunakan lwekang penuh.

   Ia pernah bertempur dengan Tok-ko U dan tahu kalau Tok-ko U tak boleh dibuat main-main.

   Apalagi anak muda she Tok-ko itu jaraknya masih 6-7 tombak jauhnya.

   Taruh kata Su Tiau-ing benar lepaskan bwe-hoa-ciam, pun Tok-ko U tentu dapat mengatasinya.

   Jalan pikiran Khik-sia ialah mencegah Su Tiau-ing memperbesar perkara.

   Itulah sebabnya ia hantam jarum bwe-hoaciamnya sampai berceceran.

   Sayang dalam kesibukannya itu Khik-sia tak sempat memikir jauh.

   Ia bermaksud baik terhadap Tok-ko U, tapi karena tak memperhitungkan akibatnya, malah menjadikan salah pahamnya.

   Pukulan biat-gong-ciangnya tadi tak berarti bagi Tok-ko U, tapi kudanya, ya, kudanyalah yang tak kuat.

   Bukan saja kuda Tok-ko U yang tengah lari itu berhenti dengan tiba-tiba, pun bahkan tersurut mundur sampai beberapa langkah.

   Kuda menjadi kaget dan melonjak-lonjak sehingga Tok-ko U hampir dilemparkan ke tanah.

   Maksud baik dari Khik-sia, menjadi percuma saja.

   Bahkan hal itu diartikan sebaliknya oleh Tok-ko U.

   Dengan murkan anak muda itu loncat turun dari kudanya.

   Sekali ia rangsangkan kipasnya, jalan darah yang mematikan di tubuh Khik-sia segera diserangnya.

   Ilmu tutukan kipas dari Tok-ko U, sebenarnya merupakan ilmu sakti dalam dunia persilatan.

   Tapi ia kebentur dengan Khik-sia yang memiliki ginkang jempol.

   Tanpa menghiraukan Su Tiau-ing lagi, Khik-sia segera kembangkan ginkangnya untuk berlincahan kian kemari, naik turun menghindari tujuh buah serangan Tok-ko U.

   Jangankan kena, sedang menyentuh bajunya saja kipas Tok-ko U itu sudah tak mampu.

   Insyaf bahwa kepandaian lawan lebih tinggi dari dirinya, kini Tok-ko U menjadi kalap.

   Asal dapat menutuk saja, tak peduli apakah itu jalan darah yang fatal (mematikan) atau jalan darah yang tak berbahaya.

   Jadi ia menutuk asal menutuk saja.

   Kebencian Tok-ko Ing terhadap Khik-sia, jauh lebih besar dari engkohnya.

   Seperti engkohnya, sekali gebrak iapun sudah lancarkan serangan-serangan yang berbahaya.

   Selain itu mulutnya terus nericis memaki-maki Khik-sia sebagai maling jahat.

   


Gelang Perasa -- Gu Long Raja Naga 7 Bintang -- Khu Lung Dendam Asmara -- Okt

Cari Blog Ini