Ceritasilat Novel Online

Tusuk Kondai Pusaka 8


Tusuk Kondai Pusaka Karya SD Liong Bagian 8



Tusuk Kondai Pusaka Karya dari S D. Liong

   

   Menghadapi keroyokan kakak beradik itu, terpaksa Khik-sia keluarkan seluruh kebisaannya.

   Dalam pada itu, diam-diam ia mulai marah juga.

   Pikirnya.

   "Taruh kata pihakku yang bersalah karena mengganggu kuda kalian, toh juga tak seharusnya kalian lantas menyerang secara begitu ganas."

   Sampai sekian saat, Khik-sia belum berhasil untuk membebaskan diri dari rangsangan kedua saudara itu. Akhirnya setelah berkutetan sekian lama, barulah ia memperoleh kesempatan itu. Ia menyelinap keluar dari samping Tok-ko Ing, sembari membentaknya.

   "Berhenti!"

   Namun Tok-ko Ing sudah seperti orang kerangsekan setan. Ia terus menguber maju dan menusuk lagi.

   "Bangsat, mau lari?"

   Khik-sia tertawa dingin.

   "Jika aku seorang bangsat, tentu tadi-tadi sudah kucabut nyawamu. Bukannya aku takut pada kalian, aku hanya memandang pada diri nona Su ...."

   "Siapa yang suruh kau memandang mukaku? Kedua bangsat kecil itu kurang ajar sekali, hajar sajalah mereka itu habis-habisan. Sedikitpun aku tak kasihan pada mereka!"

   Dengan serempak Su Tiau-ing sudah lantas menyahuti kata Khik-sia.

   Yang dimaksud oleh Khik-sia diri ' nona Su' itu, adalah Su Yak-bwe.

   Dalam mengucapkan katakatanya itu, hati Khik-sia amat ramah sekali.

   Siapa tahu, Su Tiau-ing sudah salah duga, mengira kalau dirinya yang dimaksudkan si anak muda itu.

   Sudah tentu Khik-sia menjadi meringis seperti monyet tertawa.

   Adalah Tok-ko Ing yang hampir mau meledak dadanya.

   Dengan lantang ia memaki.

   "Kurang ajar, siapa yang minta kasihanmu?" -- Pedang ceng-kong-kiamnya kembali merabu Khik-sia dalam hujan serangan sin-liong-jut-hay, leng-wan-hoan-ci, hian-niau-hwat-sat dan beng-ke-toh-li. Sekaligus ia lancarkan empat buah jurus yang semuanya mengarah jalan darah mematikan. Khik-sia tak mempunyai kesempatan untuk memberi penjelasan lagi dan lagi ia sendiripun tak tahu bagaimana harus menjelaskannya. Dalam penjelasan itu, tak urung ia harus mengatakan.

   "Su Yak-bwe adalah calon isteriku yang batal. Kini ia tak mau padaku, tapi dengan masih memandang mukanya, aku tetap memberi ampun pada kalian." -- Ini runyam .... Tok-ko U lebih tenang dari adiknya, dalam pengalamannya iapun lebih banyak dari sang adik. Setelah mendengar kata-kata Khik-sia tadi, ia duga di situ tentu tersembunyi sesuatu. Belum lagi ia sempat merangkai dugaannya lebih jauh, Su Tiau-ing sudah menyelutuk tadi. Diam-diam Tok-ko U berpikir.

   "Ah, kiranya nona siluman itu juga orang she Su. Kukira ucapan anak muda itu menyangkut diri Su hiante (Yak-bwe). Hm, lucu benar."

   Namun kecurigaan Tok-ko U masih tetap belum hilang sama sekali. Pikirnya pula.

   "Dengan tanpa alasan, nona jahat itu menyerang Tok-ko Ing secara tiba-tiba. Anehnya mengapa bangsat kecil itu (Khik-sia) tak mengatakan karena 'memandang mukanya'?"

   Dan rupanya bangsat kecil itu masih belum mau mengeluarkan seluruh kepandaiannya untuk bertempur."

   Setelah menutukkan kipasnya ke punggung Khik-sia, Tok-ko U tiba-tiba hentikan serangannya dan berseru.

   "Siapakah kau ini? Kami tiada bermusuhan padamu, mengapa kau hendak memusuhi kami?"

   Apa yang diucapkan Tok-ko U itu, hanya separuh bagian yang dimengerti Su Tiau-ing.

   Kiranya bukan saja Tok-ko U itu menganggap Khik-sia dan ia (Su Tiau-ing) itu sekawan, pun memandang serangan yang dilakukannya (Su Tiau-ing) itu juga berarti perbuatan Khik-sia.

   Lebih lanjut, Tok-ko U tetap mengira kalau perbuatan Khik-sia dulu menyelundup ke dalam rumahnya itu, tentu bermaksud jahat.

   Tapi Su Tiau-ing hanya tahu akan peristiwa saat itu.

   Sama sekali ia tak tahu menahu tentang peristiwa Khik-sia menyelundup ke gedung keluarga Tok-ko tempo hari.

   Sebenarnya Khik-sia hendak memberi penjelasan.

   Tapi karena ia tak tahu bagaimana harus memulai, maka walaupun mulutnya komat-kamit tapi tak keluar suaranya.

   Adalah Su Tiau-ing yang bermulut lancar, dengan sikap mengejek sudah lantas buka suara.

   "Apakah kalian itu anak ayam yang baru pertama kali ini keluar dari kandang? Masakan pendekar muda Toan Khik-sia yang cemerlang namanya, kalian sudah tak mengetahui? Hm, apakah sekarang kalian masih berani kurang ajar padaku lagi?"

   "Apa? Benarkah kau Toan Khik-sia?"

   Teriak Tok-ko U dengan kaget.

   Saat itu Khik-sia merasa jengah dan mendongkol.

   Selagi Tok-ko U dan adiknya terkesiap, ia lantas gunakan gerak it-ho-jong-thian atau burung bangau menyusup ke udara, loncat keluar dari kepungan mereka.

   Di sana Khik-sia rangkap kedua tangannya memberi hormat.

   "Urusan hari ini, adalah pihak kami yang bersalah, dengan ini kuhaturkan maaf."

   Habis berkata ia lantas berputar tubuh dan terus menggelandang tangan Su Tiau-ing diajak pergi. Tindakan Khik-sia itu membuat Su Tiau-ing melonjak kaget, serunya.

   "Hai, bagaimana kau ini? Tidak menghajar mereka, sebaliknya kau malah minta maaf?"

   Dengan wajah keren Khik-sia mendengus dan berkata.

   "Jangan membikin onar lagi!" -- Ditariknya tangan si nona terus dibawa lari. Dicekal oleh Khik-sia erat-erat, mana Su Tiau-ing mampu berkutik. Kedua saudara Tok-ko saling berpandangan satu sama lain. Kemengkalan hati Tok-ko Ing masih belum reda, namun ia tak mau memaki-maki "bangsat"

   Lagi kepada Khik-sia.

   Tok-ko Ing amat menyayang sekali akan kudanya itu.

   Walaupun kuda kesayangannya itu kena sebatang jarum bwe-hoa-ciam, ia duga tentu tak jadi halangan.

   Asal jarum itu lekas-lekas dikeluarkan dan kuda diberi obat seperlunya, tentulah akan sembuh.

   Apalagi ia selalu membawa batu sembrani untuk alat penyedot jarum bwe-hoa-ciam.

   Tapi alangkah kejutnya ketika ia menghampiri kuda itu ternyata binatang itu mulutnya mengeluarkan busa putih.

   Dan kalau dulunya kuda itu seekor kuda putih yang tegar, kini berubah menjadi seekor kuda hitam.

   Waktu sudah dekat, Tok-ko Ing tercium bau yang busuk.

   "Itulah akibat dari kena jarum bwe-hoa-ciam yang beracun!"

   Seru Tok-ko U demi turut menghampiri. Kemarahan Tok-ko Ing tadi masih belum reda. Waktu mendengar keterangan engkohnya itu, berkobarlah lagi amarahnya itu.

   "Betul-betul seorang wanita siluman yang ganas! Kurang ajar sekali, tanpa suatu alasan apa-apa ia sudah membunuh kuda kesayanganku dengan jarum beracun. Hm, Toan Khik-sia itu juga bukan orang baik. Tak peduli dia itu seorang pendekat kecil atau besar, pokok dengan galang-gulung bersama seorang perempuan jahat, ia tentu juga bukan manusia baik!"

   Nona itu memaki-maki untuk melampiaskan kemarahannya.

   "Urusan ini memang agak aneh,"

   Kata Tok-ko U.

   "Apanya yang aneh?"

   Tanya sang adik.

   "Masih ingatkah kau kepada Sin-ciam-chiu Lu Hong-jun?"

   Tanya Tok-ko U. Tok-ko Ing merah mukanya dan bersungut.

   "Perlu apa kau sebut-sebut namanya? Apa hubungannya dengan dia?"

   "Ah, jangan marah-marah dulu, toh aku belum selesai mengatakannya. Coba jawab, apakah kau masih ingat akan beberapa hal yang dikatakannya tempo hari itu?"

   Tanya Tok-ko U pula.

   "Tentang apa?"

   "Bukankah ia pernah mengatakan tentang diri Toan Khik-sia yang katanya sudah mempunyai seorang tunangan, yaitu puteri angkat dari Sik Ko, ciat-to-su dari Lu-ciu. Dulu nona itu bernama Sik Hong-jun pula, bahwa nona Su itu juga seorang pendekar wanita. Tapi entah bagaimana, ia telah cekcok dengan Khik-sia terus lolos tak ketahuan tempat tinggalnya lagi. Kini Toan Khik-sia itu ubek-ubekan mencarinya kemana-mana."

   "Benar, Lu Hong-jun memang pernah mengatakan begitu. Ai, kalau begitu, apakah nona jahat yang melepas bwe-hoa-ciam pada kudaku itu Su Yak-bwe?"

   "Lha, itulah makanya kukatakan kalau urusan ini agak aneh,"

   Kata Tok-ko U.

   "Khik-sia berjalan bersama nona itu. Karena Khik-sia memanggilnya 'nona Su', teranglah kalau ia itu tentu Su Yakbwe. Jika mereka berdua sudah rukun kembali, biarlah, kita tak usah pedulikan. Tapi Su Yak-bwe itu seorang pendekar wanita dan seorang nona dari keluarga ternama. Mengapa tanpa suatu sebab ia membunuh kudamu dengan bwe-hoa-ciam? Ya, mengapa begitu melihat kami berdua, ia lantas bersikap memusuhi? Tidakkan hal ini aneh?"

   Tok-ko Ing cibirkan bibirnya.

   "Apa yang disohorkan orang tentang pendekar besar, pendekar kecil dan pendekar wanita itu, memang tak dapat dipercaya penuh. Siapa tahu kalau Toan Khik-sia dan Yak-bwe itu juga orang macam golongan begitu?"

   Tok-ko U gelengkan kepala.

   "Siapa yang tak tahu akan kemasyhuran nama Toan Khik-sia sebagai pendekar utama? Tentang Su Yak-bwe, walaupun tak setenar Toan Khik-sia, tapi Lu Hongjun pun mengatakan kalau ia itu seorang pendekar wanita, tentunya ia takkan berbuat hal-hal macam tingkah seorang perempuan siluman begitu."

   Tok-ko Ing tertawa menghina.

   "Yang didengung-dengungkan orang itu adalah palsu, apa yang kita saksikan sendiri barulah tulen. Kalau mereka memang ternyata jahat, apakah kita tak mau percaya?"

   "Tapi masih ada lain hal yang mencurigakan. Jika dipikirkan, sampai sekarang aku masih belum mendapat jawabannya,"

   Kata Tok-ko U.

   "Apakah mengenai peristiwa malam itu?"

   Tanya Tok-ko Ing.

   "Ya, benar. Tengah malam buta Toan Khik-sia menyelundup ke dalam rumah kita. Su toakolah yang pertama-tama mengetahuinya di dalam taman lalu menyerangnya. Itu waktu kita masih belum tahu kalau orang itu ternyata Toan Khik-sia. Kita hanya menduganya tentulah kaki tangan kerajaan yang mendapat tugas menangkap Su toako,"

   Kata Tok-ko U. Mendengar itu, mulailah timbul tanda tanya dalam hati Tok-ko Ing. Dengan seksama ia mendengari penuturan engkohnya. Setelah berhenti sejenak, Tok-ko U melanjutkan pula.

   "Dalam hal itu ada tiga buah hal yang mencurigakan. Pertama, Su toako dan Toan Khik-sia itu sama-sama tinggal di markas Kim-ke-nia. Su toako sendiri pernah mengatakan bahwa sekalipun tak kenal baik, namun ia sudah kenal dengan Toan Khik-sia ketika berada di markas Kim-ke-nia. Tapi anehnya mengapa ia menyerang Toan Khik-sia dan memakinya? Kedua, sesuai dengan pribadi seorang pendekar seperti Toan Khik-sia, seharusnya ia menggunakan aturan untuk menjumpai kita. Anehnya lagi, mengapa ia harus menyelundup masuk pada tengah malam buta? Ketiga, setelah Toan Khik-sia pergi, mengapa Su toakopun lantas tinggalkan kita tanpa pamit? Entah kepergiannya itu dengan Toan Khik-sia, ada hubungan apa?"

   Tok-ko Ing berdiam sambil berpikir. Beberapa saat kemudian barulah ia berkata.

   "Hal-hal aneh yang kau katakan itu memang sukar dipecahkan. Mungkin sebelumnya Su toako sudah tahu kalau Toan Khik-sia itu bukan orang baik-baik, maka ia tak mau mengenalnya."

   Tapi Tok-ko U gelengkan kepala.

   "Belum tentu begitu. Jika benar ia tak mau kenal pada Toan Khik-sia, seharusnya ia mengatakan pada kita."

   "Urusan ini hanya setelah kita bertemu dengan Su toako baru dapat dijelaskan,"

   Akhirnya hanya begitulah komentar Tok-ko Ing. Kata Tok-ko U lebih lanjut.

   "Su toako orang she Su. Noan kawan Toan Khik-sia tadi juga she Su ...."

   "Wanita jahat macam Su Yak-bwe mana dapat disejajarkan dengan Su toako? Orang she Su, banyak jumlahnya. Sudah tentu ada yang baik ada yang jahat. Hm, aku sungguh tak puas, mengapa perempuan jahat tadi menyamai she Su toako,"

   Menyelutuk Tok-ko Ing dengan uringuringan.

   Di kala Tok-ko Ing mengucapkan kata-kata 'Su toako' itu, nadanya penuh dengan kemesraan.

   Mimpipun tidak kiranya ia, bahwa 'Su toakonya' itu ternyata seorang wanita.

   Dan makin jauh dari alam pikirannya bahwa 'Su toakonya' yang disanjung puji itu, bukan lain adalah 'si perempuan jahat Su Yak-bwe' itu sendiri .....

   Sebenarnya Tok-ko U masih belum hilang kesangsiannya.

   Tapi karena Toan Khik-sia tadi tegas menyebut nona kawannya itu dengan panggilan 'nona Su', maka iapun keliru menduga Su Tiau-ing itu Su Yak-bwe.

   Karena itu, analisanya yang sudah hampir mendekati kebenarannya itu menjadi kalang kabut tak keruan lagi.

   "ah, koko, sudahlah jangan dipikirkan lagi. Ayo, kita lekas-lekas ke kota membeli seekor kuda lagi, agar jangan sampai terlambat tiba di Tiang-an. Asal sudah bertemu dengan Su toako, segala apa tentu jelas,"

   Akhirnya Tok-ko Ing meneriaki sang engkoh yang termangu-mangu dalam dugaan itu. Pikir Tok-ko U.

   "Jika Su Yak-bwe itu seorang lain lagi, dugaanku semula itu keliru semua. Su toako itu tentulah bukan seorang nona yang menyamar lelaki. Ah, semoga ia itu benar-benar seorang lelaki perwira, agar idam-idaman adikku itu terkabul."

   Walaupun bermula Tok-ko U menyangsikan bahwa Su toako itu seorang lelaki benar-benar, tapi selama itu belum pernah ia mengutarakannya kepada Tok-ko Ing.

   Tapi setelah terjadi peristiwa tadi, ia mulai menyangsikan 'kesangsiannya' tempo hari itu.

   Hal itu lebih-lebih ia tak berani mengatakan kepada adiknya karena kuatir ditertawainya.

   "Ya, benar, hanya setelah bertemu dengan Su toako, kita baru mengetahui jelas persoalan ini,"

   Akhirnya ia menyetujui pendapat adiknya.

   Sekarang marilah kita tinggalkan kakak beradik she Tok-ko itu untuk mengikuti perjalanan Toan Khik-sia dengan Su Tiau-ing.

   Dalam beberapa kejap saja, mereka sudah lari sejauh 6-7 li.

   Selama itu mereka tak saling bicara apa-apa.

   "Hai, apa kau hendak mematahkan tulang kakiku? Lepaskan tanganku, lepaskan tanganku!"

   Su Tiau-ing menjerit-jerit.

   Khik-sia hentikan larinya dan lepaskan cekalannya.

   Tapi kembali Su Tiau-ing menjerit kesakitan, tubuhnya terhuyung hampir merubuhi dada Khik-sia.

   Hal itu bukan karena ia memang sengaja.

   Seperti diketahui, ia diseret lari oleh Khik-sia.

   Begitu tenaga penyeret itu dilepaskan, tubuhnya tentu kehilangan keseimbangannya dan lalu mau menjorok ke muak.

   Walaupun mendongkol namun tak tega juga Khik-sia mengawasi nona itu jatuh tersungkur.

   Cepat ia jambret nona itu supaya berdiri tegak.

   Setelah itu baru ia lepaskan tangannya lagi.

   "Mengapa kau begini kasarnya? Coba lihat ini, lenganku sampai biru kau pijat!"

   Su Tiau-ing mengomel. Dengan mendongkol Khik-sia menjawab.

   "Siapa suruh kau tadi cari perkara? Hm, kalau lain kali begitu ...."

   
Tusuk Kondai Pusaka Karya SD Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Su Tiau-ing kerutkan alisnya, menukas.

   "Apa?"

   "Bukan saja hendak kuremas tulang lenganmu, pun akan kupatahkan kedua tanganmu nanti,"

   Kata Khik-sia. Sengaja Khik-sia berkata keras, agar cekcok dengan nona itu. Siapa tahu melihat ia marah sungguh-sungguh, Su Tiau-ing tak berani unjuk kekerasan kepala dan malah menghaturkan maaf.

   "Baiklah, kali ini anggaplah aku yang kurang ajar berani menyalahi kawan-kawanmu hingga membikin kau marah. Kau marah-marah sebengis ini, lain kali aku tentu tak berani berbuat lagi."

   Karena sudah mengakui salah, kemarahan Khik-sia pun reda. Katanya.

   "Memang kau yang salah, mengapa harus suruh 'menganggap salah'. Sekalipun aku tak kenal dengan mereka, tapi tak seharusnya kau berbuat begitu."

   Tiba-tiba mulut Su Tiau-ing tertawa mengikik.

   "Sebenarnya akuun bukan tanpa alasan berbuat begitu."

   "Huh, jadi kau mempunyai alasan? Orang berjalan baik-baik, apa mengganggu kau? Mengapa kau lepaskan bwe-hoa-ciam ke kuda mereka?"

   Khik-sia mendengus.

   "Sudah tentu aku mempunyai alasanku sendiri. Apakah kau mau mendengarnya?"

   "Bilanglah!"

   Kata Khik-sia dengan ketus. Su Tiau-ing jebikan mulutnya tertawa.

   "Mengapa kau memandang tak berkesiap pada anak perempuan orang? Dan mengapa budak hina itu juga memandang terus menerus padamu? Aku tak senang melihat perbuatannya itu!"

   Merah padam selebar muka Khik-sia mendengar kata-kata itu. Ia kerupukan, marah tak bisa, membantah tak dapat. Akhirnya ia hanya dapat membentak-bentak saja.

   "Ngaco, ngaco belo!"

   "Sayang tadi aku lupa memberimu sebuah kaca cermin supaya kau dapat melihat,"

   Kata Su Tiau-ing.

   "Huh, peduli apa kau? Aku memandanginya sekali atau dua kali, peduli apa kau?"

   Su Tiau-ing tertawa.

   "Ha, kiranya kau ini tak kenal susila. Aku ini kaum wanita, bukan?"

   "Kalau wanita lalu bagaimana?"

   "Kau berjalan bersama aku, tetapi mengincar gadis lain. Ini dikata tidak punya susila. Berarti kau menghina aku, tahu? Aku tak dapat menamparmu, maka mencari sasaran nona itu untuk melampiaskan kemengkalan hatiku,"

   Kata Su Tiau-ing. Pemutarbalikan Su Tiau-ing itu telah membuat Khik-sia bungkam. Pikirnya.

   "Anak perempuan memang aneh. Sudahlah, sudahlah, aku tak mau adu mulut padamu."

   Khik-sia tak mau meladeninya lebih lanjut, tapi Su Tiau-ing tetap tak mau melepaskannya. Setelah berjalan beberapa langkah, ia bertanya pula.

   "Siapa kakak beradik tadi? Kau katakan kenal, tapi mengapa mereka menanyakan siapa kau? Dan mengapa budak perempuan itu terus menerus memaki-maki kau sebagai pencuri? Mengapa ia begitu geram hendak membunuh kau? Bermula ia memandangku tanpa kesiap, kemudian tak henti-hentinya memakimu, hm, kau tentu pernah berbuat sesuatu yang menyalahi ia?"

   Pertanyaan Su Tiau-ing menyebabkan hati Khik-sia merasa pilu lagi. Pikirnya.

   "Ya, mengapa kakak beradik she Tok-ko itu benci sekali kepadaku? Sebelum kejadian tadi, mereka tak kenal aku ini siapa. Kalau mereka memaki-maki dan membenci aku, itulah disebabkan karena urusan Su Yak bwe. Yak-bwe memaki aku 'bangsat', mereka pun lantas ikut-ikutan memaki begitu. Ah, Yak-bwe, walau pun aku Toan Khik-sia mempunyai seribu satu kesalahan padamu, tapi kita toh pernah terikat dalam perjodohan sepasang tusuk kondai kumala. Mengapa kau begitu membenci padaku?"

   Melihat si anak muda merenung diam. Su Tiau-ing tertawa kegirangan.

   "Bagaimana? Katakataku itu tepat, bukan? Kau telah berbuat kesalahan apa kepadanya?"

   Dirundung oleh kepiluan hatinya, sudah tentu Khik-sia tak bernafsu untuk banyak bicara.

   Apalagi ia anggap Su Tiau-ing itu bukan orang yang patut ia curahi perasaan hatinya.

   Maka iapun diam saja dan hanya menghela napas.

   Lewat beberapa saat kemudian, barulah ia dapat menjawab.

   "Entahlah, aku sendiri tak tahu. Mungkin aku pernah berbuat salah kepada lain orang. Terserah saja bagaimana kau hendak mengatakan."

   Lagi-lagi mulut Su Tiau-ing mengikik tertawa.

   "Apakah kau suka kepada nona itu?"

   "Jangan mengurusi perkara orang,"

   Bentak Khik-sia.

   "Biar kukasih tahu padamu, aku tak suka kepada siapapun juga!"

   "Sungguh? Ah, sayang sekali! Sedikitpun kau tak mengerti hati anak perempuan,"

   Su Tiau-ing menertawakan.

   "Huh, jangan berkata yang tidak-tidak. Apanya yang disayangkan?"

   Kata Khik-sia.

   "Nona itu mulutnya memaki kau bangsat, tapi hatinya suka padamu, mengerti?"

   Kata Su Tiauing. Khik-sia terkesiap dan membentak.

   "Omonganmu makin lama makin melantur. Aku sama sekali tak kenal dengan nona itu. Ia begitu membenci aku, mengapa kau katakan suka?"

   Su Tiau-ing tertawa.

   "Kalau ia tak suka padamu, mengapa ia benci padamu? Makin ia benci, itu berarti ia makin merindukan kau. Apakah ini bukan menandakan ia suka padamu? Sedikitpun kau tak mengerti sehingga mengecewakan rasa kasih orang. Apakah itu tidak sayang sekali?"

   Pikiran hati Khik-sia seperti terbuka. Ia kira kalau Su Yak-bwe itu sungguh sudah membencinya. Kiranya apa yang dikatakan Su Tiau-ing jauh sekali bedanya dengan jalan pikirannya. Diam-diam ia membatin.

   "Benarkah hati seorang gadis itu begitu? Apakah kebencian Yak-bwe itu karena ia tak dapat melupakan aku?" -- Pikirannya melayang-layang pada peristiwa yang lampau dan wajah calon isterinya itu terbayang-bayang di mukanya .... Sudah tentu Su Tiau-ing tak mengerti isi hati Khik-sia. Khik-sia berdebat tentang Tok-ko Ing, tapi ternyata hatinya mengenangkan Yak-bwe. Maka dugaan Su Tiau-ing pun tentulah kalau Khiksia itu mempunyai hubungan yang amat mesra dengan Tok-ko Ing. Demi melihat anak muda itu termenung-menung, diam-diam Su Tiau-ing pun merasa rawan. Kiranya rangkaian kata-katanya yang dibuat berdebat dengan Khik-sia itu, adalah untuk menjajaki apakah anak muda itu tahu akan perasaannya (Su Tiau-ing) kepadanya? Karena melamun, tanpa terasa Khik-siapun hentikan langkahnya. Tiba-tiba Su Tiau-ing berseru pelahan di dekat telinganya.

   "Dan nona Su itu? Siapakah dia?"

   Khik-sia terkesiap, serunya.

   "Apa katamu?"

   Su Tiau-ing tertawa.

   "Kutanyakan siapakah nona Su itu?"

   "Apa? Jadi kau sebenarnya sudah tahu? Sudah tahu bahwa yang kusebut nona Su itu bukan kumaksudkan kau?"

   Su Tiau-ing menyahut dengan tenang.

   "Sudah tentu tahulah. Apakah kau kira aku tolol? Mana kau sudi memandang perasaan hatiku? Sudah tentu nona Su itu seorang lain lagi!"

   Khik-sia mendongkol dan tersipu-sipu.

   "Kalau sudah tahu, mengapa kau masih bingung dan mengira kalau dirimu?"

   Su Tiau-ing tertawa getir.

   "Kau memberatkan hubunganmu dengan nona Su, maka kau lantas bercidera dengan kakak beradik tadi. Tapi aku tak ada sangkut pautnya dengan mereka, maka memperolok-olokkannya. Mengapa? Apa kau tak suka hati? Mereka berdua hampir menghilangkan nyawaku, masakah aku tak boleh membalas?"

   Diam-diam Khik-sia marah, namun tak mau ia menceritakan urusannya dengan Yak-bwe kepada Su Tiau-ing.

   "Ho, sebenarnya kau suka yang mana?"

   Kembali Su Tiau-ing menggoda.

   "Nona Su apa nona tadi? Hm, kulihat kau ini tak setia pada cinta, maka tak heran kalau orang marah-marah padamu."

   "Kau ngaco belo!"

   Bentak Khik-sia.

   "Ngaco belo apa? Kau sendiri mengatakan kau tak punya kesetiaan hati?"

   Bantah Su Tiau-ing.

   "Aku hanya mengatakan siapapun aku tak suka. Jangan tanya panjang lebar lagi. Hm, hm, jika masih ribut saja, aku aku .....

   "

   "Kau mau apa?"

   Tukas Su Tiau-ing.

   "Aku takkan peduli lagi padamu,"

   Kata Khik-sia. Su Tiau-ing tertawa mengejek.

   "Huh, siapa yang minta kau mengurusi diriku? Kau mau pergi, silahkan pergilah. Bukankah untuk kepentinganmu maka kau baru mau bersama aku ke Tiang-an ini? Pertama, kau tentu mempunyai kesempatan bertemu dengan kedua kakak beradik tadi. Kedua, karena kau tak mengerti isi hati seorang gadis, jika aku berada di sampingmu, tentu dapat memberi advis."

   Khik-sia tertawa meringis lalu memutus pembicaraan itu.

   "Baik, aku tak mau bicara lagi padamu. Ayo, kita lekas berjalan. Sejak ini jangan membicarakan hal itu lagi."

   Walaupun mulut Khik-sia mengatakan begitu, tapi dalam hatinya ia masih tetap mengenangkan urusannya dengan Yak-bwe.

   Sebentar ia merasa heran 'mengapa Yak-bwe tak bersama-sama dengan Tok-ko U?' -- Sebentar lagi ia bertanya pada diri sendiri 'apakah karena terkenang padaku maka Yak-bwe benci padaku?' Kemudian sebentar lagi ia berpikir, 'Kepergian kedua engkoh adik ke Tiang-an itu, tentulah hendak hadir dalam rapat Eng-hiong-tay-hwe.

   Ya, memang aku mempunyai kesempatan berjumpa dengan mereka nanti.

   Meskipun sekarang Yak-bwe tak ikut, tapi tentulah ia sudah berjanji dengan kedua saudara itu untuk bertemu di Tiang-an.' -- Pikiran itu telah menyebabkan hatinya ingin lekas-lekas mencapai Tiang-an.

   Sekarang mari kita meninjau keadaan Yak-bwe.

   Seperginya dari rumah keluarga Tok-ko, hatinya merasa kecil.

   Tak tahu kemana harus mencari jejak Khik-sia.

   Akhirnya dalam kegelapan pikiran itu, ia teringat akan Sip In-nio.

   Pikirnya.

   "Cici in itu lebih banyak pengalaman dari aku. Baik aku kesana minta advisnya, mungkin ia dapat memberi petunjuk."

   Demikian ia bergegas-gegas ayunkan langkah menuju ke tempat Sip In-nio.

   Pada hari itu ia tiba di sebuah kota kecil.

   Dari tempat kediaman In-nio, kota itu hanya terpisah kira-kira setengah hari perjalanan.

   Yak-bwe merasa lapar lalu singgah di sebuah warung yang letaknya di tepi sungai.

   Sebenarnya ia tak biasa minum arak, tapi karena pikirannya pepat ia hendak minum arak untuk melepaskan keruwetan hatinya itu.

   Sebelumnya ia periksa dulu isi kantongnya, setelah itu baru ia berani pesan ini itu.

   Seorang tetamu yang duduk di pinggir, rupanya memperhatikan gerak-gerik Yak-bwe.

   Ia meliriknya tajam-tajam.

   Ketika Yak-bwe berpaling, dilihatnya orang itu seorang pemuda desa yang berbaju kain kasar.

   Dari sikapnya, menandakan ia itu seorang tolol, sama sekali bukan bangsa kaum persilatan.

   Yak-bwe tak pernah menaruh persangkaan apa-apa.

   Hanya ketika Yak-bwe berpaling tadi, buru-buru pemuda desa itu alihkan pandangannya.

   Teringat Yak-bwe akan pengalamannya ketika tempo hari di warung arak ia membayar dengan mas kim-to.

   Diam-diam ia merasa geli sendiri, pikirnya.

   "Ah, sekali pernah digigit ular, lain kali kalau bertemu semak belukar tentu harus berhati-hati. Setiap kali aku masuk warung, tentu lebih dulu kuperiksa kantongku ada uangnya tidak. Ini memang lucu, tapi apa boleh buat. Pemuda desa itu tentulah bukan bangsa orang jahat."

   Pengalamannya di warung arak itu.

   karena membayar dengan kim-to ia telah kesamplokan dengan dua orang benggolan penjahat.

   Dan karena peristiwa itu kenallah ia dengan Tok-ko U.

   Terkenang akan peristiwa itu, ia geli tapi kemudian merasa berduka juga.

   Bayangan Khik-sia kembali terbayang-bayang di kalbunya.

   Dari Tok-ko U, ia kembali terkenang pada Khik-sia.

   Pertemuannya dengan Khik-sia di taman keluarga Tok-ko, terlintas lagi dalam kenangannya.

   Kata-kata Khik-sia yang meminta maaf kepadanya secara sungguh-sungguh itu, kembali mengiangngiang dalam telinganya.

   Bagaimana dengan rasa putus asa Khik-sia pergi, pun tak luput dari kenangannya.

   Diam-diam Yak-bwe menghela napas.

   Hatinya gundah dan menyesali dirinya sendiri.

   "Ia begitu sungguh-sungguh kepadaku tetapi kuperlakukan ia begitu getas. Ai, seharusnya aku tak boleh bersikap demikian keterlaluan. Ah, Khik-sia, Khik-sia, tahukah kau bagaimana getaran hasratku untuk minta maaf padamu?"

   Karena kepekatan hatinya itu, tahu-tahu tanpa merasa ia sudah meneguk 5-6 cawan arak.

   Ia mulai mabuk.

   Ketika pikirannya melayang-layang dibuai oleh bekerjanya arak itu, tiba-tiba ada dua orang lelaki masuk ke dalam warung situ.

   Begitu berat langkah kaki kedua orang itu, hingga papan lantai sampai tergetar dan Yak-bwepun kaget dan tersadar.

   Bukan saja Yak-bwe, pun lain tetamu juga sama memandang ke arah kedua orang itu.

   Ternyata mereka itu, seorang hweshio dan seorang tosu.

   Orang pertapaan masuk ke dalam warung arak, itulah aneh.

   Tusuk Kondai Pusaka Karya SD Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Begitu duduk, keduanya lantas pesan arak dan makanan barang berjiwa (daging) secara royal sekali.

   Diam-diam Yak-bwe mendamprat.

   "Huh, memuakkan betul. Hweshio yang gemar makan daging minum arak, tentu bukan golongan baik."

   Habis itu ia lantas alihkan pandangan matanya, tak mau melihat mereka lagi.

   Tapi di luar dugaan, tanpa disengaja Yak-bwe telah mendengar pembicaraan mereka yang dilakukan dalam bahasa kang-ouw.

   Dulu memang ia tak mengerti, tapi setelah diajar oleh In-nio, Tok-ko U dan lainlain, kini ia sudah dapat menangkap walaupun belum seratus persen.

   Bermula ia tak begitu mengacuhkan tapi tiba-tiba terdengar hweshio itu berkata.

   "Kalau bertemu dengan budak perempuan she Su itu, apakah to-heng bisa mengenalinya?"

   Yak-bwe terkesiap, pikirnya.

   "Siapakah yang dimaksudkan itu?"

   "Waktu masih kecilnya, aku pernah melihatnya. Tapi kebanyakan anak perempuan itu kalau sudah besar tentu berubah. Kalau sekarang bertemu muka, entahlah aku dapat mengenalinya tidak. Hanya saja, wanita yang lihay amat sedikit jumlahnya di dunia persilatan. Walaupun bagaimana juga, tentulah ia mempunyai ciri-ciri yang dapat kita gunakan sebagai tanda pengenal."

   Sahut si imam (tosu).

   "Berapakah umurnya sekarang?"

   Tanya si hweshio pula.

   "Di antara 17-18 tahunan,"

   Jawab si imam.

   "waktu kecilnya cantik, konon kabarnya ia sekarang lebih hebat lagi."

   Hweshio itu tertawa gelak-gelak, serunya.

   "Aku tak peduli ia cantik atau tidak. Aku seorang pertapaan, tak ingin merusak kaum wanita. Cuma apa yang kau katakan bahwa ia berkepandaian tinggi itu, entah sampai dimana kelihayannya?"

   "Itu sih tak mengherankan, karena ia anak murid dari seorang tokoh kenamaan. Tentang siapa suhunya itu, meskipun belum pernah ketemu tapi rasanya kau tentu pernah mendengar namanya. Wanita tua itu benar-benar seorang tokoh yang jarang terdapat tandingannya. Oleh karena itu, sebaiknya kita harus berhati-hati dalam urusan ini,"

   Kata si imam. Tampak si hweshio itu kurang senang, katanya.

   "Kau ternyata bersikap seperti anjing bercawat ekor (ketakutan). Terhadap seorang nona kecil saja kau ketakutan setengah mati. Apa peduli dengan suhunya yang lihay, apakah kita tak mampu mengatasi?"

   Si imam tertawa.

   "Jangan toheng marah-marah. Aku hanya bilang supaya kita berhati-hati dan sama sekali bukan jeri padanya. Dengan keangkeran nama partaimu Leng-san-pay itu, sekalipun suhunya keluar juga belum tentu dapat menang. Tapi daripada tambah sebuah urusan, kan lebih baik berkurang satu urusan. Bisa membuat supaya suhunya tak tahu, itulah lebih baik."

   Si hweshio menghirup secawan besar arak dan berkata.

   "Nah, itu dapat diterima. Memang kita hanya diminta tolong menangkap nona itu saja. Jika dapat mengurangi urusan, sudah tentu itu lebih baik sekali."

   Tiba-tiba hweshio itu lirihkan (perlahankan) suaranya.

   "Kabarnya nona itu bertengkar dengan keluarganya karena seorang anak lelaki she Toan. Benarkah itu?"

   "Benar, justeru karena bertengkar itu, kukuatir apakah ia ikut melarikan diri dengan pemuda she Toan itu?"

   Kata si imam. Kembali si hweshio mengerut kurang senang, katanya.

   "Tak usah kiranya kau banyak kekuatiran. Cukup kalau ada orang yang patut kau sangsikan kau terus bilang, tentu nanti aku yang turun tangan. Budak she Toan itu entah baik atau jahat, pokok akan kuringkusnya dulu, urusan belakang."

   Imam itu tertawa.

   "Toheng, kau juga memandang rendah padaku. Meskipun anak she Toan itu lebih lihay dari budak tersebut, tapi sedikitpun aku tak gentar. Kukira anak she Toan itu belum tentu bersama-sama dengan budak itu. Aku melainkan hanya mempertinggi kewaspadaan saja."

   "Mengapa? Bukankah kau katakan budak itu bertengkar dengan keluarganya karena seorang pemuda she Toan. Kemudian kalau budah itu melarikan diri, mengapa tak mungkin ikut pada pemuda itu?"

   Tanya si hweshio.

   "Toheng, kau tahu satu tak tahu dua. Kabarnya budak laki itu sudah punya pacar lain,"

   Sahut si imam. Hweshio itu tertawa keras, serunya.

   "Kalau begitu tindakan budak itu meninggalkan kenikmatan kedudukan, ternyata hanya memburu bayangan kosong saja. Ha, mendiang ayahnya yang sudah menjadi setan itu ...."

   "Toheng, minum, minumlah. Jangan sembarangan menyebut nama ayahnya itu, sekarang suasananya sedang genting,"

   Cepat-cepat si imam menukasnya dan kata-katanya yang terakhir itu diucapkan dengan berbisik-bisik.

   Sekalipun begitu, Yak-bwe tetap dapat mendengarnya dengan jelas.

   Makin mendengari, Yak-bwe makin terperanjat heran.

   Pembicaraan kedua orang pertapaan itu seolah-olahnya ditujukan kepadanya.

   'Budak perempuan she Su' dan 'budak lelaki she Toan' yang dijadikan pokok pembicaraan mereka itu, siapa lagi kalau bukan ia dan Toan Khik-sia.

   Tapi Yakbwe merasa aneh akan beberapa hal yang diucapkan mereka itu tadi.

   Salah satu kalimat yang paling menusuk telinga, ialah tentang 'budak laki she Toan itu sudah punya pacar lain.' "Entah benar entah tidak ucapan itu.

   Kalau benar, mengapa malam itu ia menumpahkan perasaan hatinya kepadaku? Ya, begitu sungguh-sungguh ia mengucapkan kata-katanya itu.

   Masakan dalam beberapa hari saja sekarang ia sudah mendapat lain gadis? Hal itu tak sesuai dengan keterangan si imam 'sudah lama'.

   Ah, urusan ini tentu salah urus,"

   Pikirnya. Tapi pada lain saat pikirannya membantah sendiri.

   "Ada api tentu ada asap. Jika urusan ini hanya isapan jempol belaka, mengapa tersiar santer di dunia persilatan? Sampai pun kalangan penjahat juga mengetahui hal itu."

   Di samping hal-hal yang menyangsikan itu, masih ada lain hal yang menambah kesangsiannya menjadi makin kuat.

   Pertama, imam itu mengatakan kalau pernah melihatnya ketika ia masih kecil.

   Tapi betapapun Yak-bwe gali lubuk ingatanya, tetapi ia yakin kalau seumur hidup belum pernah bertemu dengan imam tersebut.

   Di tempat gedung kediaman ciat-to-su Sik-ko, tak pernah ada bangsa imam dan hweshio.

   Kedua, tadi si hweshio menyebut-nyebut 'mendiang ayahnya yang sudah menjadi setan'.

   Ini tentu menunjuk ayahnya (Yak-bwe) yang sudah meninggal dunia itu.

   Tentang asal-usul dirinya itu, kecuali hanya beberapa orang yang tahu, semua orang mengira kalau puterinya Sik-ko.

   Mengapa hweshio itu tahu kalau ayah sudah meninggal? "Dan ayah itu seorang cin-su dari kerajaan Tay-tong.

   Beliau meninggal karena dicelakai An Lok-san.

   Pada masa An Lok-san jaya, memang tak boleh sembarangan menyebut-nyebut nama ayah.

   Tapi toh kini An Lok-san sudah hancur, mengapa tak boleh mengatakan nama ayah? Dan apakah yang dimaksud si imam bahwa suasana sekarang ini genting?"

   Sebenarnya Yak-bwe itu seorang nona yang cerdas.

   Tapi terhadap soal-soal yang berbelit-belit, sepintas benar sepintas tidak itu, betapapun ia peras otaknya namun tetap tak dapat menemukan pemecahan yang memuaskan.

   Ya, memang dapat dimengerti kalau ia sampai bingung begitu.

   Karena yang dimaksud dalam pembicaraan kedua orang pertapaan itu bukan lain ialah Su Tiau-ing.

   Adalah karena Su Yak-bwe yang sudah mempunyai prasangka, maka 'budak perempuan she Su' itu dianggapnya tentu dirinya.

   Kebalikannya dikatakan oleh si imam dengan 'pacar budak she Toan' itu, dianggapnya lain gadis.

   Padahal, adalah dirinya itulah.

   Karena asyik mendengari, tanpa terasa Yak-bwe sampai hentikan sumpitnya, letakkan cawan araknya dan matanya terus diarahkan kepada kedua orang pertapaan itu.

   Sudah tentu sikapnya itu lekas menarik perhatian orang.

   Walaupun kala itu Yak-bwe berdandan sebagai seorang pelajar, tapi sebagai seorang kangouw yang berpengalaman, sepintas pandang tahulah mata si hweshio yang tajam siapa diri Yak-bwe yang sebenarnya itu.

   Kedua kaum agama itu saling memberi kicupan mata dan masing-masing saling berpikir dalam hati.

   "Jangan-jangan budak perempuan ini sendiri, atau sekurang-kurangnya, ia tentu mempunyai hubungan. Kalau tidak, tak nanti ia mendengari pembicaraan kita sedemikian asyiknya."

   Serempak hweshio dan imam itu berbangkit terus menghampiri ke tempat duduk Yak-bwe. Setelah memberi hormat si imam berkata.

   "Siapa she siangkong yang mulia. Sukakah memberitahukan?"

   Kalau si imam masih pakai aturan, adalah si hweshio lebih kasar lagi. Serentah ia menegur Yak-bwe.

   "Hai, engkoh kecil, apakah kau she Su?"

   Sudah tentu marahlah Yak-bwe. Bentaknya dengan keras.

   "Aku tak kenal kalian, perlu apa tanya siapa she-ku?"

   Hweshio itu terkesiap tapi pada lain saat ia lantas tertawa dingin.

   "Kau tak sudi berkenalan dengan kami, baik. Sekarang jawablah, mengapa kau terus menerus mengawasi kami berdua saja? Mengapa kau mencuri dengar pembicaraan kami?"

   "Bagaimana kau tahu aku mengawasi kau? Di dalam rumah makan apakah orang dilarang melihat kau? Kau benar-benar tak tahu adat!"

   Bentak Yak-bwe. Tiba-tiba si pemuda desa yang duduk di dekat situ mengomel seorang diri.

   "Hweshio yang minum arak makan daging, memang jarang ada. Tak heran kalau orang sama melihatinya."

   "Kentut! Peduli apa dengan hweshio minum arak makan daging? Kau berani mengurusi Hudya, hai, babi kecil!"

   Si hweshio berseru marah. Buru-buru pemuda desa itu surutkan kepala dan mengoceh sendiri.

   "Aku hanya mengatakan 'jarang ada' saja, apakah orang omong tidak boleh? Bagus, bagus, baguslah. Karena kau larang aku bicara, akupun takkan bicara lagi."

   "Ah, mengapa suheng ladeni anak desa. Sebaiknya kita bicarakan urusan penting dengan si-cu ini dulu,"

   Buru-buru si imam mencegah. Kemudian ia berkata kepada Yak-bwe.

   "Karena kedatangan kami, maka sicu sampai berhenti minum. Sekarang biarlah kupersembahkan arak padamu." -- Habis berkata ia lantas angkat poci arak dan terus hendak dituangkan pada Yak-bwe. Gerakan menyorong poci arak itu, termasuk sebuah jurus ilmu silat yang mengandung lwekang. Dengan itu ia hendak menjajaki adakah Yak-bwe itu mengerti silat. Kalau Yak-bwe pintar, seharusnya ia pura-pura kaget dan jangan menghiraukan. Dengan begitu, tentulah imam itu tak berani sembarangan melukainya. Tapi memang sejak tadi Yak-bwe sudah benci dengan tingkah laku kedua orang itu. Bahwa tiba-tiba dirinya hendak diguyur arak, sudah tentu ia marah sekali.

   "Imam bangsat, jangan kurang ajar!"

   Bentaknya dan tutukkan sumpitnya ke arah jalan darah di tangan si imam.

   Sebenarnya imam itu lwekangnya lebih tinggi daripada Yak-bwe.

   Tapi karena gerakan Yak-bwe itu dilakukan amat cepat sekali, terpaksa imam itu tarik pulang tangannya.

   Namun tak urung tangannya terasa kesemutan dan terlepaslah poci itu dari cekalannya.

   Si hweshio kebetulan berada di sampingnya dan poci itu tepat sekali melayang ke arahnya.

   Meskipun tak tepat mengenai, tak urung ia meringis kesakitan juga karena kecipratan arak.

   Dengan murkanya ia menghantam.

   Kini poci itu terbang balik melayang ke arah Yak-bwe.

   Yak-bwe agak terkesiap, batinnya.

   "Kedua hweshio jahat itu bermulut besar, tapi ternyata memang mempunyai kepandaian berisi."

   Takut tak kuat menyambuti hingga nanti menjadi buah tertawaan, buru-buru Yak-bwe menghindar saja.

   Brak, poci itu menghantam kaca jendela, terus melayang jatuh ke dalam sungai.

   Tapi araknya berhamburan kemana-mana, sampai Yak-bwe pun turut basah kuyub dengan percikannya.

   "Sayang, sayang, poci arak baik-baik, terbuang dalam sungai,"

   Kedengaran si pemuda desa mengoceh sendirian.

   Si hweshio menggerung keras terus hendak mencengkeram Yak-bwe, tapi Yak-bwe cepat menyambutnya dengan tutukan sumpit.

   Krek, sumpit patah menjadi dua.

   Kiranya hweshio itu memiliki ilmu kim-ciong-oh dan thiat-po-san atau ilmu lindung yang kebal senjata.

   Sekalipun begitu karena tutukan sumpit Yak-bwe tadi tepat mengenai jalan darah tangannya, meskipun tak sampai rubuh, hweshio itu juga merasa sakit seperti ditusuk jarum.

   Saking sakitnya ia sampai loncat ke atas.

   Si imam biasanya selalu tenang.

   Karena tadi menderita kerugian kecil, untuk sementara waktu ia hanya diam mengawasi di samping.

   Setelah menyaksikan Yak-bwe bertempur dengan kawannya (si hweshio), diam-diam ia merasa heran.

   Apakah yang menjadi keheranannya itu? Kiranya tutukan sumpit Yak-bwe tadi, belum mengenai lengannya.

   Ujung sumpit hanya baru menyentuh ujung bajunya, tapi anehnya ia rasakan lengannya sudah kesemutan sehingga tak kuat mencekal poci arak lagi.

   Dalam ilmu tutukan, yang paling lihay sendiri ialah apa yang disebut kek-gong-tiam-hiat atau menutuk jalan darah dari kejauhan.

   Hanya orang yang sempurna lwekangnya, baru dapat menggunakan ilmu tutukan itu.

   Selain itu, masih ada pula lain macam ilmu tutukan yang tak kurang lihay, yakni tak usah menutuk tepat tapi dengan gunakan lwekang dapat menutup jalan darah orang.

   Ia duga Yak-bwe tentu memiliki salah satu dari dua macam ilmu tutuk yang hebat itu.

   Jarak ujung sumpit Yak-bwe dengan jalan darah di lengan si imam, hanya terpisah selembar kertas tebalnya.

   Jadi terang bukan termasuk ilmu tutukan kek-gong-tiam-hiat.

   Suatu keuntungan bagi Yak-bwe bahwa imam itu telah keliru menyangka kalau Yak-bwe memiliki kedua macam ilmu tutuk jalan darah yang lihay.

   kek-gong-tiam-hiat dan lwe-lat-pit-hiat (lwekang untuk menutup jalan darah).

   
Tusuk Kondai Pusaka Karya SD Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Karena persangkaan itu, si imam sudah tak berani sembarangan turun tangan dan mundur ke samping.

   Selama mengawasi permainan Yak-bwe tadi, ia telah melihat suatu lubang kelemahannya.

   Tapi tak urung ia makin keheranan.

   Jika Yak-bwe memiliki ilmu tutuk seperti yang diduganya itu, sekalipun hweshio memiliki ilmu lindung kim-ciong-toh, pun tak nanti kuat bertahan.

   Tapi ternyata hweshio itu tak kena apa-apa, melainkan loncat berjingkrak-jingkrak, pula sumpit Yak-bwe pun patah dibuatnya.

   Jelas dilihatnya gerakan menutuk dari Yak-bwe tadi, meskipun hebat tapi kurang mahir, menandakan Yak-bwe itu masih trondol.

   Sudah tentu imam itu bingung memikirkannya.

   Pikirnya.

   "Bagaimana ini? Apakah memang ia sengaja tak mau keluarkan kepandaiannya sungguh-sungguh? Tapi mengapa tadi sekali turun tangan kepadaku ia lantas gunakan ilmu tutuk yang hebat?"

   Mari kita tengok kembali si hweshio.

   Ketika melambung di udara, dengan menggerung keras ia lantas menghantam dengan ilmu pukulan boh-pay-chiu.

   Dengan tangkasnya Yak-bwe berputarputar menghindar.

   Brak, bukan Yak-bwe yang kena melainkan meja yang terhantam jungkir balik.

   Melihat warung araknya dibuat medan perkelahian, si pemilik berkaok-kaok.

   Pun tetamutetamu lain, buru-buru menyingkir.

   Pukulan hweshio itu dahsyat sekali.

   Setiap kali ia memukul, anginnya menderu-deru, mangkuk piring pecah berantakan kemana-mana.

   Tring-tring, prang, prang ...."

   Yak-bwe tetap gunakan ilmu kelincahan.

   Sebentar loncat ke atas meja, sebentar ke atas dingklik, mengusup ke bawah meja, menyelinap kesana memberosot kesini.

   Betapapun hweshio itu hendak umbar kemarahannya, namun tak dapat mengapa-apakan Yak-bwe.

   Yang nyata, pukulannya itu selalu mendapat sasaran meja, kursi atau mangkuk piring saja.

   Setelah mengikuti bagaimana selama bertempur itu Yak-bwe selalu menghindar dan sudah beberapa kali hampir saja termakan pukulan si hweshio, si imam mulai menarik kesimpulan bahwa memang Yak-bwe itu tidak pura-pura dan benar-benar bukan jago keras.

   Kini hilang kekuatirannya dan dengan tertawa ia berseru.

   "Nona Su, berkelahi di dalam rumah makan sini, sungguh tak sedap dipandang. Lebih baik kita pergi ke lain tempat untuk berunding."

   Ternyata si hweshio dan si imam saat itu sudah yakin bahwa Yak-bwe tentulah Su Tiau-ing yang hendak dicarinya itu.

   Yak-bwe malu dan gusar sekali.

   Malah sehabis berkata imam itu sudah menerjangnya.

   Buruburu ia jumpalitkan sebuah meja untuk menahannya, kemudian segera mencabut pedangnya dan membentak.

   "Berani maju selangkah lagi, pokiam-ku ini tak punya mata!"

   Si imam tertawa.

   "Pokiam-mu tak bermata, tapi aku punya mata."

   Habis berkata ia lantas kebutkan lengan jubahnya untuk menampar pokiam Yak-bwe.

   Berbareng itu si hweshio dengan menggembor keras sudah pentang kedua tangannya hendak merebut pedang Yak-bwe.

   Yak-bwe tusukkan pokiamnya ke tenggorokan si hweshio.

   Meskipun si hweshio punya ilmu lindung kim-ciong-toh, tapi tenggorokan adalah bagian yang dapat mematikan.

   Buru-buru ia sambar sebuah dingklik untuk menangkisnya.

   Ternyata tusukan Yak-bwepun tak dilancarkan dengan sepenuh tenaga.

   Begitu membentur dingklik, ia lantas putar arah menusuk si imam.

   Melihat gerakan ganti jurus itu dilakukan sedemikian cepatnya, diam-diam si imam merasa kagum.

   Pikirnya.

   "Ilmu pedang budak ini jauh lebih hebat dari ilmu tutuknya. Sayang tenaganya masih belum memadai."

   Iapun tetap gunakan lengan bajunya untuk menampar, tapipun tak berani terlalu bernafsu hendak merebut pokiam Yak-bwe.

   Dengan ilmu kelincahannya dan dibantu oleh meja kursi yang malang melintang, ia mainkan pedangnya kian kemari.

   Dengan cara itu dapatlah ia melawan sampai 10-an jurus.

   Hweshio itu bertubuh gemuk.

   Meskipun ia memiliki ilmu gwakang yang hebat, namun ilmu lindungnya masih belum sempurna betul.

   Beberapa kali hampir saja ia termakan pedang Yak-bwe.

   Akhirnya marahlah hweshio itu.

   Ia lepaskan jubahnya dan berseru.

   "To-heng, ayo, kita tangkap ikan."

   Ia mainkan jubahnya.

   Jubah itu berubah menjadi semacam awan merah yang mencangkup kepala Yak-bwe.

   Si imam tetap gunakan sepasang lengan bajunya untuk menampar.

   Setiap ada kesempatan tentu ia pergunakan sebaik-baiknya untuk melibat pedang Yak-bwe.

   Kepungan kedua orang itu makin lama makin rapat.

   Permainan pedang Yak-bwe pun mulai berkurang gayanya.

   Sekalian tetamu sudah sama ngacir pergi.

   Si pemilikpun juga sudah bersembunyi di kolong mejanya.

   Mangkuk piring pecah berantakan.

   Meja kursi sungsang sumbal, gederobkan tak hentihentinya.

   "Ho, hendak lolos kemana kau?"

   Teriak si hweshio. Ia tetap perkeras permainan jubahnya yang mengancam kepala Yak-bwe. Tiba-tiba terdengar jeritan mengaduh dan ada seorang mendekap paha si hweshio.

   "Aduh, mati aku dipijaknya!"

   Teriak orang itu.

   Kiranya di ruangan situ masih ada seorang tetamu yang belum menyingkir.

   Orang itu bukan lain yakni si pemuda desa tadi.

   Marahlah si hweshio.

   Ia sepak pemuda desa itu sekuat-kuatnya sampai jungkir balik.

   Tapi pemuda itu sudah menggigit pahanya.

   Meskipun si hweshio punya ilmu lindung kim-ciong-toh, tapi tak urung pahanya kena digigit sampai berlumuran darah.

   Yak-bwe menghindari jaringan jubah si hweshio terus balas menusuk.

   Tusukannya itu tepat mengenai jalan darah ih-gi-hiat di perut si hweshio.

   Karena tusukan itu memakai tenaga penuh, maka akibatnya juga lebih hebat dari ilmu tutukan dengan jari.

   Betapapun hweshio itu seorang otot kawat tulang besi, namun tetap ia tak kuat menahan tusukan itu.

   Sekali menjerit, rubuhlah ia di lantai.

   Sewaktu ditendang jungkir balik tadi, si pemuda desa bergelundungan di lantai.

   Jatuhnya tepat menggelundung di samping si imam.

   Si imam segera angkat kakinya hendak memberi sebuah tendangan, tapi cepat pemuda desa itu mendekapnya sambil berteriak-teriak.

   "Tolong, tolong!"

   Karena dipeluk sekencang-kencangnya oleh si pemuda, hampir saja imam itu terjerembab jatuh.

   Sebenarnya kepandaian imam itu lebih tinggi dari si hweshio.

   Sekali kakinya diputar, pemuda desa itupun tak kuat mempertahankan dekapannya lagi, terpaksa ia lepaskan.

   Berbareng itu si imam cepat menendangnya.

   "Pembunuhan, tolong, tolong!"

   Teriak pemuda itu.

   Tiba-tiba ia jungkir balik dan terlempar keluar dari jendela.

   Sebenarnya tendangan si imam itu belum mengenai.

   Tapi entah mengapa, si pemuda desa sudah jumpalitan.

   Pada lain saat terdengar suara gedebuk yang keras.

   Rupanya pemuda desa itu terbanting jatuh sekeras-kerasnya.

   Masih Yak-bwe belum menginsyafi bahwa pemuda desa itu sebenarnya diam-diam telah memberi bantuan padanya.

   Ketika si pemuda menjerit-jerit minta tolong tadi, Yak-bwe menjadi gugup hendak menolongnya.

   Cepat ia tusuk si imam.

   Tadi beberapa kali pedang Yak-bwe kena disampok terpental oleh kebutan jubah si imam.

   Tapi kali itu sungguh aneh.

   Bret, lengan jubah si imam kena dipapas kutung.

   Dan ketika ujung pedang terus meluncur maju, lengan si imam tergurat luka sepanjang lima dim.

   Mengapa mendadak sontak si imam tak selihay tadi.

   Kiranya gigitan si pemuda desa yang menyebabkannya.

   Karena ujung kakinya digigit sampai terluka, bukan saja gerakan si imam itu tak setangkas tadi, pun tenaganya menjadi berkurang.

   Jika saat itu Yak-bwe terus menyerang lagi, imam itu pasti binasa atau sekurang-kurangnya tentu terluka berat.

   Tapi Yak-bwe tak mau berbuat ganas.

   Ia hanya bermaksud memberi sedikit hajaran saja.

   Demi melihat kedua orang agama itu sudah pontang panting tak keruan, diam-diam ia sudah merasa senang.

   Kedua kalinya, ia tetap menguatirkan keadaan si pemuda yang terlempar keluar jendela itu.

   Maka setelah dapat melukai si imam, ia lantas tarik pulang pedangnya.

   "Katamu kau punya mata. Tapi kulihat kau benar punya mata tapi tidak punya biji matanya. Jika lain kali berani kurang ajar lagi, apabila bertemu aku, tentu akan kukorek keluar biji matamu,"

   Kata Yak-bwe.

   Imam itu tahu kalau kepandaian lawan tak menang dengan dia.

   Tapi entah apa sebabnya, ternyata ia menderita kekalahan.

   Saking marahnya, dari tujuh lubang inderanya sampai mengeluarkan asap.

   Namun ia tak berani bercuwit lagi.

   Celaka adalah si hweshio gemuk.

   Ternyata ia menderita luka lebih parah.

   Ia tengah mengerang-erang menyalurkan jalan darahnya, sehingga tak dapat berkata-kata lagi.

   Baru Yak-bwe hendak melangkah keluar, tiba-tiba si pemilik warung menerobos keluar dari kolong mejanya dan menangis gerung-gerung.

   Kiranya ia sedi karena menderita kerugian besar, tapi ia tak berani minta ganti kerugian pada Yak-bwe.

   "Ciang-kui sudahlah, jangan menangis. Nih, kuganti uang,"

   Kata Yak-bwe sembari mengeluarkan uang tembaga dan pecahan perak.

   Mendengar itu buru-buru si pemilik warung mengusap air matanya.

   Tapi serta dilihatnya Yakbwe hanya menyodorkan sejumlah uang tembaga dan pecahan perak, kecewalah ia.

   Serunya dengan terputus-putus.

   "Tuan, ini, ini ....."

   Setelah mengatakan 'ini, ini', akhirnya ia beranikan juga untuk menerangkan bahwa uang Yakbwe itu masih belum cukup untuk mengganti kerusakan barang-barangnya. Diam-diam Yak-bwe geli sendiri.

   "Ah, aku ini benar-benar limbung. Kali ini aku hampir merusakkan sebuah rumah makan, masakan hanya membayar dengan jumlah rekening makananku tadi."

   Tusuk Kondai Pusaka Karya SD Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Akhirnya ia mengambil uang mas kim-tonya terus dilemparkan ke lantai, serunya.

   "Ini emas murni, jangan kuatir kutipu. Cukuplah kiranya!"

   Habis berkata ia lantas loncat keluar jendela.

   Melihat keroyalan Yak-bwe, imam dan hweshio tadi makin yakin kalau Yak-bwe itu tentulah Su Tiau-ing.

   Tampak pemuda desa tadi tengah berjalan di tepi sungai dengan langkah pincang.

   Hati Yak-bwe serasa longgar dibuatnya.

   Ia meneriaki pemuda desa itu.

   "Hai bung, aku hendak menghaturkan maaf padamu. Dalam perkelahian tadi, aku telah membikin susah kau. Apakah kau terluka?"

   "Tidak, tidak apa-apa. Syukur Tuhan masih adil, tidak suruh aku menjadi makan ikan sungai. Hanya melecet sedikit saja dan terluka di bagian tumit kaki. Apa kau menang? Kiong-hi, kionghi,"

   Sahut si pemuda memberi selamat. Karena dapat berjalan, Yak-bwe menduga pemuda desa itu hanya terluka sedikit saja. Ia tak mau meladeni bicara lagi, terus mengeluarkan perak dan selembar sapu tangan serta obat. Katanya.

   "Ini adalah obat kim-jong-yok yang jempolan, bubuhkanlah pada lukamu. Dalam dua hari saja tentu sudah baik. Dan perak ini, terimalah untuk ongkos keperluanmu."

   Mengingat selama dua hari nanti si pemuda tentu tak dapat bekerja, maka Yak-bwe memberinya sedikit ongkos. Ia duga pemuda itu tentu mau menerimanya dengan girang. Tapi di luar dugaan, tiba-tiba wajah pemuda desa itu berubah. Serunya.

   "Apa maksudmu ini? Apakah aku ini dianggap sebagai pengemis?"

   Kemerah-merahanlah wajah Yak-bwe. Ia merasa serba salah apa mesti menyimpan kembali perak itu atau tidak. Kebetulan sekali saat itu ada seorang pengemis berjalan lalu di situ. Tiba-tiba si pemuda desa itu tertawa.

   "Ya, sudahlah, mana perakmu itu, biar kuwakilkan kau memberi sedekah padanya."

   Diberi sekian banyak perak, pengemis itu melongo. Setelah tersadar, ia tersipu-sipu menyambutinya dan tak henti-hentinya menghaturkan terima kasih.

   "Perak itu kepunyaan tuan ini. Kau berterima kasihlah kepadanya. Ai, tubuhmu juga penuh dengan luka-luka, ini, obat untukmu. Juga dari tuan itu,"

   Kata si pemuda desa. Yak-bwe tak dapat berbuat apa-apa kecuali tertawa meringis. Tanpa berkata apa-apa ia lantas pergi. Lewat beberapa jenak, keadaan menjadi hening. Tiba-tiba Yak-bwe teringat sesuatu.

   "Hai, gerak gerik pemuda desa tadi sungguh luar biasa, pun wataknya juga aneh!"

   Makin teringat akan pemuda desa itu, makin timbul kecurigaan. Tapi ketika ia berpaling ke belakang, ternyata pemuda desa itu sudah tak tampak bayangannya lagi. Sudah tentu Yak-bwe terbeliak kaget. Pikirnya.

   "Kuejek imam tadi punya mata tapi tak punya biji mata. Ternyata aku sendiri juga salah lihat pada orang. Jika pemuda desa itu tak punya kepandaian tinggi, masakan ia tak sampai terluka parah dilempar keluar jendela begitu rupa? Ah, tak nyana aku kembali tak sengaja berbuat salah pada orang."

   Memang apa yang disesalkan Yak-bwe itu tepat sekali.

   Tapi iapun tetap masih belum insyaf bahwa adanya ia dapat memenangkan imam dan hweshio tadi adalah berkat bantuan secara diamdiam dari pemuda desa itu.

   Tengah hari lewat sedikit, tibalah sudah Yak-bwe di muka pintu gedung Sip Hong.

   Penjaga pintu yang sudah tua dengan keheranan mengawasi Yak-bwe, tegurnya.

   "Kau hendak cari siapa?"

   Yak-bwe tertawa mengikik, sahutnya.

   "Ong tua, apakah kau tak kenal lagi padaku?"

   "Ai, kiranya nona Sik. Dalam dandanan begitu, apabila tak kau katakan, sudah tentu aku tak mengenal kau lagi,"

   Seru si penjaga pintu.

   Dahulu keluarga Sip dan Sik itu tinggal berdekatan.

   Sewaktu kecilnya, boleh dikata saban hari Yak-bwe tentu main-main dengan In-nio.

   Penjaga pintu tua itu sudah bekerja selama berpuluhpuluh tahun pada keluarga Sip.

   Ia mengikuti kedua nona itu dari kecil sampai berangkat dewasa.

   Maka sekali Yak-bwe buka suara, cepat ia sudah mengenalinya.

   "Lo-ya sedang bepergian, tapi nona ada di rumah, sedang berlatih ilmu pedang di dalam taman. Mari kuantar kau ke sana,"

   Kata si penjaga.

   "Tak usah, aku dapat kesana sendiri,"

   Sahut Yak-bwe.

   "Ai, nona Sik, dalam dandanan sebagai pemuda, kau benar-benar tampak cakap sekali. Aku sampai tak mengenal kau sama sekali. Ah, sayang kau bukan pemuda sesungguhnya. Jika sungguh, tentu merupakan pasangan yang setimpal dengan nona majikanku,"

   Kata penjaga tua itu dengan bergurau. Yak-bwe girang karena penyaruannya itu telah dapat mengelabuhi mata pak tua itu, sahutnya.

   "Jangan kuatir, nonamu itu sudah ada yang punya."

   "Nona sudah mendapat jodoh? Mengapa aku tak tahu sama sekali?"

   "Sabarlah, nanti sedikit waktu tentu kau bakal tahu sendiri. Sekarang ini aku justeru hendak menjadi comblangnya,"

   Jawab Yak-bwe terus melangkah masuk.

   Tiba di taman, benar juga In-nio sedang asyik berlatih pedang.

   Dilihatnya sinar pedang In-nio itu berkelebatan pergi datang dengan cepatnya.

   Setiap kali pedang itu berkelebat, tentu meninggalkan percikan pedang berbentuk seperti taburan bunga.

   Ternyata In-nio tengah mainkan jurus hui-hoa-cui-yap atau bunga bertebaran memburu sang kupu-kupu.

   Jurus itu sebuah permainan dari ilmu pedang Hian-li-kiam-hwat.

   Apabila dilatih sampai tingkat sempurna, dapatlah dibuat memapas bunga tanpa merusak tangkainya sedikitpun juga.

   Dapat memapas sayap seekor kupukupu tapi tanpa menyebabkan kematiannya.

   In-nio belum dapat mencapai tingkatan itu, tapi sudah tak banyak terpautnya.

   "Permainan pedang yang bagus!"

   Yak-bwe memuji sembari menghampiri. Sebat sekali In-nio sudah tarik pulang pedangnya. Tapi iapun mengawasi Yak-bwe dengan pandangan yang lain dari biasanya.

   "Hai,kau melihat apa saja? Apa kau juga tak mengenali aku?"

   Tegur Yak-bwe sambil tertawa.

   "Lihatlah sendiri keadaanmu itu. Apakah kau barusan habis berkelahi dengan orang?"

   Seru Innio. Yak-bwe cepat menghampiri ke tepi empang teratai. Begitu melongok ke permukaan air, barulah ia tersadar. Katanya.

   "Ah, makanya tadi pak tua penjaga pintu itu pentang mata lebar-lebar memandang aku."

   Kiranya rambut Yak-bwe kusut masai, pakaiannya kacau risau, banyak debu yang melekat. Wajahnya tak keruan warnanya, banyak bekas-bekas noda arak, air kuah, kecap dan lain-lain. Yakbwe mendongkol tapi geli juga.

   "Hm, pak tua itu memperolok-olok aku. Katanya aku ini seorang pemuda tampan,"

   Katanya. In-nio ambil sapu tangan, setelah dicelup air, ia lantas mengusapi noda-noda kotoran di wajah Yak-bwe. Ujarnya.

   "Jangan buru-buru tukar pakaian dulu. Tuturkan ceritamu itu. Mengapa kau begitu nakal, sebelum datang kemari berkelahi dulu dengan orang?"

   "Ho, kau juga hendak memperolok-olok aku, ya? Bukan cerita yang baik, tapi menjengkelkan hati,"

   Sahut Yak-bwe. Ia lantas menuturkan kejadian yang dialaminya di warung arak itu.

   "Aku tak kenal pada imam hidung kerbau dan si hweshio busuk itu, tapi entah bagaimana mereka itu hendak cari perkara padaku. Coba kau timbang, apakah itu tidak menjengkelkan?"

   Katanya. In-nio heran dibuatnya, tanyanya.

   "Masa ada kejadian begitu, apakah kau tak salah dengar? Atau mungkin mereka mengatakan tentang lain orang?"

   "Meskipun aku tak paham seluruhnya akan bahasa kangouw, tapi aku dapat mendengarkannya dengan jelas. Coba pikirkan, mana di atas dunia ini ada seorang budak perempuan she Su yang galang-gulung dengan budak laki-laki she Toan itu?"

   Bantah Yak-bwe yang lantas menceritakan omongan si imam. Dalam bercerita itu, wajahnya menjadi kemerah-merahan.

   "Ah, hal itu benar-benar aneh. Siapakah yang membocorkan keluar? Mengapa dalam kalangan orang luar yang tak ada hubungannya sama sekali mengetahui bahwa kau tinggalkan rumahmu karena urusan Toan Khik-sia?"

   In-nio tertawa.

   "Malah mereka tahu juga akan sumber perguruanku dan tingkat kepandaianku. Tapi memang ada beberapa bagian yang tidak benar,"

   Kata Yak-bwe.

   Iapun menerangkan tentang hal-hal yang menimbulkan kecurigaannya kepada In-nio.

   In-nio memang lebih berpengalaman.

   Memang ia anggap dalam urusan itu tentu terselip sesuatu, tapi seperti halnya dengan Yak-bwe, iapun juga tak mengetahui tentang adanya seorang nona yang bernama Su Tiau-ing itu.

   Maka dugaannyapun, sama dengan Yak-bwe, yakni yang dimaksud si imam dengan 'budak perempuan she Su' itu, siapa lagi kalau bukan Yak-bwe.

   Dalam penuturannya itu, Yak-bwe sudah lupa menyebut tentang diri si pemuda desa.

   "Ai, kau toh sudah memberi hajaran pada mereka, ini sudah cukup melonggarkan kemendongkolan hatimu. Rupanya mereka itu hanya bangsa jagoan kelas 2-3 saja. Masakan mereka berani mencari kau lagi. Sudahlah, jangan kau pikirkan lagi. Sekarang mari kita bicarakan soal Khik-sia. Sebetulnya kalian berdua ini bagaimana, ya?"

   Dengan suara berbisik, Yak-bwe menyahut.

   "Justeru aku hendak minta advismu ...."

   Baru ia berkata begitu, tiba-tiba si penjaga pintu tadi bergegas-gegas mendatangi, serunya.

   "Nona Sip, ada tetamu hendak minta bertemu loya. Waktu kuberitahukan kalau loya sedang pergi, ia lantas keluarkan karcis nama suruh aku berikan pada nona. Ia minta keterangan, apakah nona mau menjumpainyakah?"

   Waktu menyambuti dan membaca karcis nama itu, In-nio berseru.

   "Oh, kiranya Sin-cian-chiu Lu Hong-jun. Baik, silahkan dia duduk di ruangan tetamu. Sebentar aku ganti pakaian dulu."

   Yak-bwe tertawa mengikik.

   "Hai, mengapa kau tertawa itu?"

   Tegur In-nio.

   "Tahukah kau apa maksud kedatangan Lu Hong-jun kemari?"

   Yak-bwe balas bertanya.

   "Bagaimana aku mengetahui? Kalau begitu, rupanya kau tentu sudah tahu, bukan?"

   "Dia hendak menjadi comblang untukmu. Comblang datang, calon yang akan dipinang itu harus menyembunyikan diri tapi sebaliknya kau hendak menjumpainya. Lucu tidak ini?"

   "Kau memang pandai menggerakkan lidahmu. Masakan seorang pendekar muda dituduh menjadi comblang. Biar kutemuinya. Kebanyakan ia datang kemari karena kau. Kau telah menghina adiknya, ia tentu hendak mencarimu,"

   Sahut In-nio yang tak percaya akan keterangan Yak-bwe.

   "Tidak, aku sungguh tak membohongimu. Lu Hong-jun dimintai tolong Thiat-mo-lek untuk melamar bagi Bo Se-kiat. Jika kau tak percaya, dengarkan saja bagaimana omongannya nanti."

   "Sudahlah, jangan berolok-olok lagi. Lekas ganti pakaian dan ikut aku menemui tetamu itu, tukas In-nio.

   "Ah, aku bukan tuan rumah dan kedua kalinya, jika ada aku, ia tentu tak leluasa bicara,"

   Bantah Yak-bwe.

   "Apa kau kuatir kalau ia sebenarnya hendak mencarimu? Baik, jika kau takut, biarlah aku sendiri yang menyambutnya. Aku tak mau terpengaruh oleh olok-olokmu tadi hingga sampai menelantarkan tetamu,"

   Kata In-nio. Yak-bwe tertawa.

   "Ya! Memang, memang! Jauh-jauh orang datang hendak menjadi comblang, masakan tak disambut baik-baik."

   "Lekas ganti pakaian dan tunggu di sini. Nanti aku hendak bikin perhitungan padamu,"

   Bentak In-nio.

   Setelah pesan seorang budak untuk melayani keperluan Yak-bwe, ia lantas ganti pakaian dan keluar menyambut sang tetamu.

   Yak-bwe pun lantas mandi dan berganti pakaian In-nio.

   Ternyata Yak-bwe itu lebih pendek dari In-nio.

   Bujang segera menyediakan pakaian In-nio yang dibuat pada dua tahun yang lalu.

   Ternyata ukurannya pas dengan Yak-bwe.

   Yak-bwe menunggu di dalam taman.

   Tak berapa lama kemudian, datanglah In-nio.

   Wajah nona itu agak berbeda dengan tadi.

   Kiranya benar apa yang dikatakan Yak-bwe kepadanya tadi.

   Hongjun telah membicarakan tentang diri Bo Se-kiat.

   Benar secara terang-terangan Hong-jun tidak menyatakan jadi comblang, tapi ia menuturkan tentang pertemuan dengan Bo Se-kiat dan Thiat-molek.

   Kemudian ia sampaikan salam Se-kiat kepada In-nio.

   Dalam pembicaraan selama itu, secara samar-samar Hong-jun menyatakan sudah mengetahui tentang hubungan Se-kiat dengan In-nio.

   Pun tahu juga dia (Hong-jun) akan kemungkinan bahwa Sip Hong tak suka kepada Se-kiat.

   Selanjutnya Hong-jun menyatakan kesediaannya hendak membicarakan hal diri Se-kiat itu kepada Sip Hong.

   "Nah, bagaimana? Kan aku tidak omong kosong doang?"

   Tegur Yak-bwe sambil tertawa.

   "Heran, bilakah kau berjumpa dengan Lu Hong-jun itu? Mengapa tadi ia tak mengatakan sebaliknya malah menanyakan tentang dirimu?"

   Kata In-nio. Yak-bwe tetap tertawa saja.

   "Aku bertemu padanya, tapi ia tak tahu kalau aku. Kejadian itu memang lucu sekali, nanti akan kuceriterakan juga padamu. Coba kau tuturkan dulu, apa saja yang ia tanyakan tentang diriku tadi?"

   
Tusuk Kondai Pusaka Karya SD Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Kini ganti giliran In-nio yang tertawa.

   "Dia juga membantu Thiat-mo-lek mencari jejakmu untuk kepentingan Khik-sia. Thiat-mo-lek dan Bo Se-kiat juga sangat perihatin akan urusan kamu berdua itu. Kukatakan pada Lu Hong-jun bahwa kau sudah berada di sini dengan aku. Mendengar itu girangnya bukan kepalang. Ia mengatakan hendak lekas-lekas menyampaikan hal itu kepada Khik-sia dan Thiat-mo-lek, agar mereka terbebas dari kecemasan selama ini. Tadi sebenarnya aku berniat hendak memanggilmu keluar ...."

   "Aku sih tak suka menemuinya,"

   Sahut Yak-bwe.

   "Itulah! Kutahu sudah bagaimana perangaimu. Menduga kau tentu tak suka menemuinya, akupun tak mengatakan hal itu juga,"

   Kata In-nio. Tiba-tiba Yak-bwe bertanya.

   "Apakah ia tahu kalau baru hari ini aku tiba di sini?"

   "Tentang itu tak kuutarakan. Dengan Lu Hong-jun baru pertama kali ini aku bertemu muka. Waktu ia menanyakan dirimu, segera kuberitahukan kau berada di sini. Lain-lain hal aku tak mau mengatakan lagi."

   "Mendinganlah. Kalau ia tahu baru hari ini aku tiba di sini, tentu ia menaruh kecurigaan. Diriku yang sebenarnya, tentu akan ketahuan olehnya,"

   Kata Yak-bwe.

   "Ai, kau mainkan sandiwara apa saja? Mengapa kau takut dirimu ketahuan dia?"

   Tanya In-nio.

   "Tentang diriku menyaru jadi pemuda itu, lho,"

   Kata Yak-bwe.

   "Belum lama ini, aku berjumpa dengan Lu Hong-jun. Kuperhatikan kala itu ia sudah mencurigai diriku, tapi rupanya ia pun masih belum yakin betul bahwa aku ini seorang anak perempuan."

   Ia lalu menuturkan pengalamannya selama berpisah dengan In-nio. Bagaimana di tengah jalan terluka panah, bagaimana perkenalannya dengan Tok-ko U serta bagaimana pada suatu hari Lu Hong-jun datang berkunjung ke rumah Tok-ko U, diceritakan semua.

   "Aku memakai nama palsu Su Ceng-to, berbohong mengaku salah seorang gagah dari Kim-ke nia. Tak kusangkah bahwa sebelum datang kesitu, Lu Hong-jun berjumpa dulu dengan Thiat-molek. Mungkin ia tentu merasa keteranganku itu sedikit mencurigakan. Tapi syukur, aku dapat mengatasi kesemuanya itu. Jika tadi ia tahu kalau baru hari ini aku datang kemari, mungkin ia tentu akan menghubungkan diri 'pemuda Su Ceng-to' itu. Dan diriku tentu bakal ketahuan."

   Habis mendengar, In-nio tampak kerutkan alisnya. Tegurnya.

   "Perbuatanmu itu kurasa tidak tepat. Mengelabuhi mata Lu Hong-jun, itu sih tak mengapa. Tapi masakan kau juga mau menyelomoti Khik-sia juga?"

   "Tidak, siang-siang Khik-sia sudah tahu. Setelah Lu Hong-jun pergi, malamnya Khik-sia juga datang ke rumah Tok-ko U dan bertemu dengan aku,"

   Kata Yak-bwe.

   "Bagus, bagus! Khik-sia tentu tahu dan apakah kau memberitahukan siapa dirimu itu kepadanya? Kupercaya ia tentu tak mencemburui kau. Kalian sudah berbaik, bukan?"

   "Celaka, karena kubikin marah, ia pergi dengan putus asa. Memang kala itu aku masih marah kepadanya, maka akupun tak mau berkata padanya."

   Waktu mendengar cerita Yak-bwe tentang pertemuannya dengan Khik-sia, In-nio bantingbanting kaki.

   "Ai, mengapa kau berlaku kelewatan begitu?"

   Yak-bwe menyatakan penyesalannya.

   "Ya, sekarang aku sudah tahu kesalahanku. Jika nanti bertemu lagi, aku akan menghaturkan maaf padanya. Tapi entah sekarang ini dia berada di mana. Enci In, bagaimana adpismu? Apa sebaiknya cari dulu dianya, lalu kau katakan kepadanya."

   In-nio tertawa.

   "Ya, enak saja kau mengomong. Dengan begitu tak perlulah kiranya kau minta maaf lagi kepadanya, bukan? Hanya saja, kau sudah membuat urusan itu kacau balau, dikuatirkan tak cukup dengan sepatah dua patah penjelasan dapat membuatnya mengerti."

   Mendengar itu angot pula perangai kaum siocia (gadis orang hartawan atau berpangkat) pada Yak-bwe. Ujarnya.

   "Ya, aku memang berlaku kelewatan kepadanya. Tapi iapun juga berulang kali tanpa suatu alasan, menghina padaku. Kalau ditimbang-timbang, dua-duanya mempunyai kesalahan. Jika setelah kau nasehati, ia tetap tak mau menerima penjelasanku, akupun tak mengharap padanya lagi."

   In-nio tertawa.

   "Ah, bukan begitulah. Tapi jawablah pertanyaanku ini. Apakah Tok-ko U pernah curiga padamu?"

   "Curiga apa? Curiga kalau aku ini seorang anak perempuankah?"

   "Kau tinggal hampir setengah bulan di rumahnya itu, tentunya setiap hari kau berjumpa padanya. Sebagai seorang yang suka berkelana dan banyak pengalaman, masakan ia tak melihat sedikitpun tanda-tanda yang mencurigakan pada dirimu?"

   Dengan bangga, Yak-bwe menerangkan.

   "Kepandaianku menyaru jadi pemuda, meskipun tak seperti kau, tapi rasanya lebih dari cukup untuk mengelabuhi mata kedua kakak beradik itu. Bukan saja kuberhasil mengelabuhi mereka, malah adiknya yang bernama Tok-koI Ing itu sudah jatuh hati padaku."

   Yak-bwe segera menceritakan tentang sikap Tok-ko Ing yang menyintainya itu. Sudah tentu dalam ceritanya itu, ia tambahi dengan bumbu secukupnya hingga In-nio tak kuat lagi menahan gelinya. Puas tertawa, berkatalah In-nio.

   "Janganlah kau kelewat melanggar susila. Tidakkah perbuatanmu itu menyebabkan penderitaan seorang gadis?"

   "Nanti apabila sudah tiba saatnya, aku tentu akan memberi penjelasan padanya. Tapi pada waktu itupun aku hendak mengolok-olok Lu Hong-jun juga. Tahukah kau bahwa Lu Hong-jun itu sebenarnya juga akan meminang nona Tok-ko?"

   "Itu kan tak ada jeleknya, mengapa kau hendak mengolok-oloknya?"

   "Aku tak suka dengan adik perempuan dari Lu Hong-jun. Karena aku sayang akan Tok-ko Ing, maka aku tak suka kalau sampai ia mendapat ipar perempuan semacam itu."

   "Gila, bila benar kau ini. Ia kan menikah dengan Lu Hong-jun, bukan dengan adik perempuannya. Sekalipun taruh kata kedua ipar itu tak rukun, toh tak ada sangkut pautnya dengan kau? Apalagi Lu Hong-jun itu seorang lelaki yang lapang dada, sekali-kali bukan orang busuk."

   "Tak usah kau damprat, belakangan akupun tahu kesalahanku itu juga. Tadi kan telah kukatakan padamu, lambat atau laun aku tentu akan menjelaskan pada Tok-ko Ing. Hanya sekarang ini belum tiba saatnya,"

   Ujar Yak-bwe tertawa. Sejak kecil In-nio sudah bergaul dengan Yak-bwe, jadi ia cukup kenal perangainya. Tertawalah ia.

   "Saat yang kau pilih itu, terus terang saja tentulah setelah kau berbaik lagi dengan Khik-sia, agar jangan belum-belum apabila sampai ketahuan dirimu seorang anak perempuan, Tok-ko Ing akan mengutuk kau."

   Yak-bwe tertawa.

   "Terhadap kau aku tak dapat menutup isi hatiku. Itulah makanya aku lekaslekas kemari, perlu minta adpismu."

   Dengan sungguh-sungguh In-nio berkata.

   "Untunglah karena tak melihat penyaruanmu, Tok-ko U tak sampai merayu kau. Tapi halitu tak mengurangkan cemburunya Khik-sia. Apakah kau tak memikir sampai di situ?"

   Yak-bwe terkesiap, serunya.

   "Kau maksudkan Khik-sia akan mencemburui aku, aku ...."

   "Benar, ia mencemburui kau punya hubungan istimewa dengan Tok-ko U,"

   Tukas In-nio.

   "Kurang ajar! Kalau ia benar mempunyai pikiran begitu, tandanya ia berhati serong sendiri,"

   Yak-bwe menyeletuk sengit.

   Sebagai puteri dari pembesar tinggi, Yak-bwe biasa memandang segala hal secara subyektif atau menurut anggapannya sendiri.

   Itulah sebabnya maka ia tak memikirkan kemungkinan Khik-sia akan menaruh persangkaan jelek terhadap tindakannya di rumah keluarga Tok-ko.

   "Mengapa menyalahkan Khik-sia? Andaikata aku, pun juga akan menaruh persangkaan begitu. Ketahuilah bahwa Tok-ko U itu termasuk golongan anak muda seperti kita. Dia jauh berlainan dengan 'putera manis' dari Tian peh-peh,"

   Bantah In-nio.

   "Hm, kau masih mengungkat hal itu. Apakah tidak karena Tian-pepeh hendak memaksa kau menjadi menantunya, maka Khik-sia sampai marah-marah dan menghina habis-habisan padaku? Baik, jika karena peristiwa di rumah Tok-ko U itu ia sampai marah-marah lagi, biarkan sajalah,"

   Yak-bwe makin sengit. In-nio menggeleng kepala, ujarnya.

   "Apakah kau benar-benar hendak membikin dia marah? Kalau begitu, aku tak dapat mengurusi urusan kalian lagi."

   Wajah Yak-bwe berubah agak gelisah, katanya.

   "Kelihatannya ketika ia tinggalkan aku, sikapnya amat sedih sekali. Maka, maka kemarahankupun berkuranglah separuh."

   Dengan menirukan gaya bicara Yak-bwe itu, In-nio berkata.

   "Maka, maka kau pun lantas minta aku menjadi orang perantaranya."

   

   Jilid 9 Yak-bwe tertawa mengikik dan sandarkan diripada tubuh In-nio. Bisiknya.

   "Siapakah Yang suruh kau menjadi ciciku? Aku sudah tak punya sanak kadang lagi, kalau tak minta tolong padamu habis minta tolong siapa?"

   "Ucapanmu Yang menyajat hati itu, mau tak mengurus pun terpaksa harus mengurus. Baik, bangunlah,"

   Kata In-nio. Ia mengatur rambut Yak-bwe Yang terurai, kemudian berkata pula.

   "Dalam pertengahan bulan ini, Cin Siang akan menjelenggarakan rapat besar kaum enghiong. Tentunya kau sudah mengetahui hal itu. Turut pendapatku, Khik-sia tentu akan datang untuk melihat-lihat. Taruh kata ia tak datang, pun disana kita tentu dapat bertemu dengan kawankawannya Yang bisa memberi keterangan."

   "Kau artikan kita akan pergi juga? Tapi aku pernah bertempur dengan tentara negeri. Walaupun Cin Siang telah mengumumkan takkan menangkap orang-orang Yang pernah melanggar hukum, tapi kitapun tak boleh mempercajainya seratus persen. Dan jangan lupa, bahwa kita ini anak perempuan. ya, meskipun kita dapat menyaru sebagai anak lelaki dengan bagas, tapi ditempat dimana kaum persilatan Yang kasar sama berkumpul, rasanya gerak gerik kita tetap tak leluasa juga,"

   Bantah Yakbwe. In-nio menertawakan.

   "Tak usah banyak kekuatiran. Hal itu telah kupikirkan semua. Aku dapat menjaminmu Ayahku sekarang sedang pergi ke Gui-pok. Nah, akan kuambil cap kebesarannya dan kucapkan pada sepucuk surat keterangan. Kita akan menyaru jadi opsir sebawahannya Yang ditugaskan mengurus suatu pekerjaan ke Tiang-an. Siapa Yang berani mengganggu-usik pada kita lagi? Di Tiang-an, ayah mempunyai sebuah pesanggrahan. Kita tak perlu tinggal dihotel, tapi bermalam dipesanggrahan itu saja. Dengan selalu menjauhi kawanan orang persilatan itu, masakan kita takut apa lagi."

   Yak-bwe kegirangan dan menjetujui rencana itu.

   "Jika berjumpa dengan Khik-sia, aku dapat memberi penjelasan padanya. Juga terhadap urusanmu dengan Tok-ko Ing, karena akupun kenal dengan kakak beradik she Lu, biarlah kuminta bantuan Lu Hong-jiu untuk menyampaikan halmu kepada Tok-ko Ing. Dengan demikian, dapatlah urusanmu itu dibebaskan."

   Yak-bwe makin girang dibuatnya. Mulutnya tak henti-hentinya menghaturkan terima kasih.

   "Tahukah kau mengapa ayahku pergi ke Gui-pok?"

   Tanya In-nio.

   "Bagaimana aku tahu?"

   Sahut Yak-bwe.

   "Ialah untuk urusanmu juga. Setelah kotak emas Tian pehpeh kauambil, ia menjad. ketakutan setengah mati. Bukan saja ia batalkan pernikahanmu itu. pun ia berjanji takkan mengganggu wilayah Lu-ciu lagi. Ia menyalakan mau menjadi serekat ayah angkatmu. Kepergian ayahku ke Guipok itu, ialah hendak menjadi orang perantara mereka. Ha, adik Bwe, kau sungguh hebat. Peristiwa kau merampas cap kebesaran Tian Pehpeh itu, kelak tentu bakal menjadi buah tutur Yang indah,"

   Kata In-nio.

   "Jangan keliwat memuji setinggi langit,"

   Yak-bwe tertawa, .......tentang kepandaian, aku tak nempil padamu.

   Ilmu permainanmu hui hoa-cu-tiap tadi, sampai membuat aku mengiler benar.

   Beberapa tahun aku belajar ilmu pedang, tetap tak mampu bermain sedemikian sempurnanya.

   Cici.

   dimasa kecil kau sering memberi petunjuk padaku, sekarang aku hendak minta petunjukmu lagi."

   Suasana pertemuan dan pembicaraan dgn In-nio itu, telah memberi banyak kegembiraan pada Yakbwe.

   Karena hari masih belum' gelap, ia lantas cabut pedangnya dan mainkan ilmu pedang hui-hoacu- tiap.

   la minta In-nio memberi petunjuk dibagian Yang masih kurang baik.

   Baru bermain sampai 10-an jurus lebih, tiba-tiba terdengar orang berseru.

   "Ilmu pedang Yang bagus!"

   Cepat-cepat Yak-bwe hentikan permainannya. Dilihatnya di dalam taman muncul seorang pemuda. Dan pemuda Itu, astaga ........ kiranya sipemuda desa Yang dijumpainya dirumah makan itu. Pemuda itu tertawa berkata.

   "Orang hidup tentu sering berjumpa. Sungguh tak nyana disini kita saling berjumpa lagi."

   Yak-bwe dekki mata dan membentaknya.

   "Mengapa kau berani masuk kedalam taman Ini?"

   "Tadi ketika diluar pagar, kudengar suaramu. Mengingat bahwa kau telah memberi persen aku setahil perak, ya. walaupun uang itu telah kuberikan pada pak pengemis, tapi aku tetap meiasa menerima sesuatu dari kau. Karena belum meniatakan terima kasih, maka aku masuk kemari. He, mengapa kau sekarang berubah menjadi seorang nona?"

   Walaupun Ya k bwe masih hijau pengalamannia, tapi pada saat itu, ia pun dapat merasa tingkah laku pemuda desa Itu bukan pemuda biasa. Cepat ia menghaturkan maaf.

   "Tadi karena hilaf, aku telah memandang rendah padamu, maafkanlah. Tapi mengapa kau kenal akan ilmu pedang Yang kumainkan tadi?"

   Tertawalah sipemuda itu.

   "Kau memberi persen perak, tetapi malah m'nta maaf, ini aku tak berani menerimanya. Ha. ha, aku hanya bahu mencangkul sawah saja, tak mengerti apa itu ilmu pedang atau ilmu golok"

   "Tapi mengapa kau berseru memuji?"

   Tanya Yak-bwe.

   "Karena selama hidup aku belum pernah melihat seorang nona bermain, pedang. Saking heran, tanpa terasa aku berseru memuji","

   Sahut sipemuda. Melihat orang berlagak pilon, Yak-bwe menjad. kuranp senang.

   "Aku sudah minta maaf, tapi kau tetap hendak mengolok-olok ."

   Ia mendamprat dalam hati.

   "Kau lancang masuk kemari, tetapi kubiarkan saja. Kau pun jangan mengurusi urusanku,"

   Ia menyelutuk. Kata-kata itu berarti menyuruh orang pergi. Tapi rupanya pemuda itu bandel sekali. Bukannya pergi, sebaliknya ia malah beringsut-ngsut menghampiri Yak-bwe. serunya.

   "Ih, kata-katamu itu membingungkan aku. Bilakah aku menaurus. urusan nona?"

   Penyaruannya telah diketahui oleh sipemuda, Yak-bwe sudah kurang senang, tapi ia tak leluasa menjelaskan bahwa Yang dimaksud dengan urusan itu, ialah tentang hal itu.

   Sesaat hatinya bingung-bingung jengkel, tapi belum ia sempat meluapkan kejengkelannya itu, sipemuda itu sudah mengoceh seorang diri.

   "Sebenarnya, orang Yang suka usil mengurusi urusan, juga bukannya tak baik. Tadi dirumah makan, jika tak ada orang Yang suka usilan, kurasa ah, nona ah. belum tentu menang dengan si imam busuk dan sikepala gundul itu."

   Tergerak hati Yak-bwe, diam-diam ia membatm.

   "Apakah diam-diam dia Yang membantu aku? Mengapa aku tak merasa sama sekali?"

   Baru ia menimang begitu, tiba-tiba In-nio kedengaran memaki seraya mencabut pedangnya.

   "Berani lancang masuk kedalam tamanku, kau sungguh tak punya aturan sekali, ini rasakan pedangku!'' Berbareng dengan berkumandangnya kata-kata, orangnyapun sudah menyerang sipemuda dengan jurus giok-hi-joan-soh atau bidadari menyusup tali. Kejadian itu amat mengejutkan Yak-bwe. In-nio biasanya lebih sabar dari ia. Mengapa tanpa berkata sepatah pun jua, ia lantas menyerang orang. Bahkan serangannya itu menggunakan jurus Yang berbahaya. Benar Yak-bwe tak senang dengan pemuda itu, tapi ia belum sampai hati untuk menghajarnya sampai binasa. Tanpa terasa ia Segera berseru mencegah.

   "Cici, cici, kau ......."

   Belum seruannya selesai, In-nio sudah lancarkan tiga kali serangan, sehingga Yak-bwe tak dapat meneruskan seruannya lagi.

   Tiga serangan berantai dari In-nio itu dengan indahnya telah dihindari oleh sipemuda.

   Jelas tampak oleh Yak-bwe, bahwa pemuda itu takkan terancam jiwanya.

   Diamdiam ia membatin.

   Tusuk Kondai Pusaka Karya SD Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Kiranya orang ini lihay sekali dan hendak mengolok-olok kita."

   Pada lain saat ia berpikir lagi.

   "Biasanya ci In itu sabar, tentu ada sebabnya ia sampai bertindak keras."

   Yak-bwe ambil putusan akan melihat dari samping dulu.

   Tak mau ia mencegah In-nio lagi.

   Dilihatnya setiap kali pedang In-nio menyambar, pemuda itu hanya menghindari dengan gerak langkah beringsut-ngsut .

   Beberapa kali pedang In-nio tampaknya sudahberhasil menusuk, tapi dalam jarak hanya seujung rambut saja selalu dapat dihindari oleh sipemuda.

   "Kau berani menghina aku, ayo, loloslah senjatamu!"

   Bentak In-nio.

   Habis berseru, tiba-tiba ia gantikan serangannya dengan jurus hong-biau-lok-hoa (angin meniup bunga berguguran).

   Jurus itu terdiri dari 7 buah serangan berturut-turut Yang sukar diduga isi kosongnya.

   Laksana bunga gugur, sinar pedang berhamburan jatuh menyilaukan kegelapan malam.

   Jurus itu merupakan timpalan dari ilmu permainan pedang hui-hoa-cu-tiap (bunga bertebar mengejar sang kupu-kupu).

   Diam-diam Yak-bwe malu pada dirinya sendiri.

   Ia pentang mata Lebar-lebar untuk melihat bagaimana sipemuda hendak melayaninya.

   "Aduh, celaka!"

   Teriak pemuda itu.

   Tiba-tiba ia tergelincir jatuh.

   Tapi baru Yak-bwe terkesiap kaget, dilihatnya pemuda itu dua kali berputaran ditanah, kemudian loncat berjumpalitan dan jaraknya dengan ujung pedang In-nio hanya sejari saja.

   Sepintas pandang, ia seperti terpontang-panting tapi sebenarnya ia telah mainkan gerak cui-pat-sian atau Delapan dewa mabuk, Yang indah sekali.

   Sebenarnya Yak-bwe jemu dengan, pemuda itu, tapi menyaksi-kan permainannya Yang sedemikian luar biasanya, mau tak mau ia berteriak memuji juga.

   In-nio juga tak kurang tangkasnya.

   Begitu tusukannya menemui tempat kosong, ia sudah susuk lagi dengan lain serangan.

   Rupanya pemuda itu tahu juga akan llhaynya ilmu pedang In-nio.

   Ja merasa jika melajani dengan tangan kosong, lama-lama tentu akan menderita juga ahirnya.

   Ketika In-nio kembangkan serangannya Yang kedua, tiba-tiba pemuda itu berseru.

   "Karena tak dapat mengganti pedang dengan golok, terpaksa aku hendak gunakan kaju untuk melajani. Maaf, aku hendak merusak sebatang dahan pohon liu kepunyaanmu."

   Dalam berkata-kata itu,ia sudah memotes sebatang dahan liu, terus dimainkan.

   Dalam rangsangan pedang In-nio, daun-daun pada dahan pohon Yang dipakai sebagai sendiata oleh pemuda itu, berhamburan jatuh.

   Dalam sekcjab saja dahan itu sudah bersih menjadi sebatang tongkat.

   Anehnya, hanya daunnya saja Yang terkupas hilang, sedang batangnya tetap tak kena terpaKsa pedang In-nio.

   Kini pemuda itu mulai kembangkan permainannya.

   Dahan liu dimainkan dalam jurus permainan pedang.

   Ditangan sipemuda, dahan kaju itu berobah menjadi senjata Yang hebat perbawa-nya.

   Belum In-nio menghabiskan 7 jurus serangan berantainya, sudah kena disiak kesamping oleh dahan liu sipemuda.

   Diam-diam heranlah Yak-bwe.

   Bahwa kepandaian pemuda itu lebih tinggi dari In-nio, itulah sudah terang.

   Tapi Yang lebih mengagumkan lagi, jurus permainan pedang dengan menggunakan dahan pohoa itu, juga luar biasa anehnya.

   Sampai sekian lama memperhatikan barulah Yak-bwe teringat, bahwa permainan pedang kayu sipemuda itu serupa dengan pertandingan pedang antara Thiat-molek dengan Bo Se-kiat digunung Kim-ke-nia tempo hari.

   Permainan ilmu pedang itu mengutamakan tenaga lwekang Yang tinggi baru dapat dikembangkan dengan baik.

   Walaupun hvekan pemuda itu cukup lihay, tapi terang kalau masih kalah dengan Thiet-mo-lek.

   Tempo hari Thiat-mo-lek gunakan pedang Yang berat, sedang pemuda itu kini gunakan dahan pohon Yang enteng untuk melawan pedang In-nio Yang berat.

   Ini juga bukan suatu hal Yang mudah.

   Oleh karena itu walaupun In-nio kalah dalam hal lwekang, tapi ia mendapat kemurahan dalam hal senjata.

   Permainan Yang d!imaiinikan In-nio, adalah ilmu pedang Yang paling diandalkan.

   Untuk menghadapi permainan pedang kayu dari sipemuda, ia memerluka waktu Yang agak lama.

   Begitulah Berselang beberapa saat, kira-kira setelah 20-an jurus lewat, pemuda itu mulai kendor permainannya.

   Berangsur-angur mulailah ia kalah angin.

   Diam-diam Yak-hwe girang.

   "Kali ini rupanya ci In tentu akan memberi hajaran pada orang itu."

   Tapi kegirangannya itu mendadak berobah menjadi kekagetan ketika sekonyong-konyong dalam sebuah gerak menyongsong kemuka, dahan kayu sipemuda itu berhasil mendorong pedang In-nio kesamping.

   Kiranya gerak tamparan dari sipemuda itu juga menggunakan salah sebuah jurus dari ilmu pedang hui-hoa-cu-tiap.

   "Bagusi"

   In-nio berseru seraya geliatkan pedangnya untuk lolos dari libatan dahan liu.

   Sret, sret, pedangnya berkilat kian kemari aksana kupu-kupu menari diantara bunga atau burung kenari menjusup kebawah daun.

   Isi kosongnya serangan itu sukar diduga sekali.

   Memang itulah jurus Yang disebut tiap-bu-ing-hui atau kupu-kupu menari burung kenari terbang.

   Sambil memuji, pemuda itu putar dahan pohonnya berganti jurus ceng lo-siau-san, dahan liu dikiblatkan dan kakinya berlincahan.

   Gerakannya sungguh mirip dengan suasana Yang dilukiskan dalam sajak ceng-lo-siau-san-boh-liu-ing atau goyangkan kipas menangkap kunang-kunang.

   Indah sekali, ia pecahkan serangan In-nio.

   Jurus tiap-bu-ing-hui itu tak mengutamakan tenaga kekuatan.

   Dan memang Biau Hui Sin-ni telah menciptakannya kusus untuk wanita.

   Setiap gerakannya disesuaikan dengan keindahan gerak badan, maka bila dimainkan tak ubah seperti orang menari.

   Pemuda Yang mengenakan dandanan Seperti pemuda desa itu, dengan dahan kaju ikut menari-nari untuk menghalau serangan, sudah tentu gerakannya lucu sekali.

   Tapi dikarenakan luar biasanya jurus Yang dimainkan itu, maka dari merasa geli sebaliknja Yak-bwe malah mengikuti dengan penuh, perhatian.

   Pada waktu pertempuran mencapai klimaksnya, tampak bunga-bunga bertebaran gugur, suatu hal Yang lebih menyemarakkan suasana pertandingan.

   Pada lain saat pemuda itu juga menggunakan permainan ilmu pedang Yang serupa dengan In-nio.

   Pada saat itudah segera terdapat keseimbangan kekuatan.

   Dahan liu dimainkan tepat seperti sebatang pedang.

   Sedemikian mahir pemuda itu memainkannya sehingga dapat mengembangkan inti keindahan ilmu pedang, jari lemah gemulai laksana ujung tangkai itu, sigap beringas bagai burung hong kaget.

   Setiap jurus penuh mengandung perobahan-perobahan Yang sukar diduga.

   Yak-bwe tersensam sekali, ia begitu terpesona sekali ia sampai lupa soal kaiah menangnya.

   Pikirnya.

   "Kiranya ilmu pedang dari suhu itu, mempunyai banyak perobahan Yang indah."

   Setelah mengikuti sekian lama, tiba-tiba ia seperti disadarkan.

   "Aneh, mengapa pemuda itu mengerti akan ilmu pedang itu? Rupanya malah ia lebih faham dari ci In."

   Tiba-tiba pemuda itu tindihkan dahan pohonnya kepinggir pedang dan tertawa.

   "Tak perlu bertempur terus, ya?"

   In-nio tarik kembali pedangnya.

   "Apakah Pui suheng?"

   Tegurnya. Pemuda itu lemparkan dahan kayunya dan lalu memberi hormat.

   "Ya, memang benar, harap sute berdua memaafkan."

   Heran Yak-bwe dibuatnia, pikirnya.

   "Bilakah suhu menerima seorang murid lelaki? Ha, suheng dari mana ini? In-nio segera melambainya supaya datang, katanya.

   "Pui suheng ini, adalah tit-Ci (keponakan) dari suhu. Dia adalah murid dari Mo Kia lojin."

   Memang Yak-bwe tak begitu tahu tentang asal usul suhunya ketika belum menjadi nikoh (rahib).

   Kiranya Biau Hui Sinni itu orang she Pui.

   Ia mempunyai seorang adik lelaki Yang sudah meninggal.

   Adiknya itu mempunyai anak lelaki Yang bernama Pui Bik-hu.

   Biau Hui kasihan pada anak itu.

   Selain diserahkan pada Mo Kia Lojin untuk belajar silat, ia sendiripun menurunkan kepandaiannya kepada keponakannya itu.

   In-nio tahu akan hal itu karena ia lama bergaul dengan suhunya.

   Itulah sebabnya maka In-nio tahu tentang urusan itu, sebaliknya Yak-bwe tidak.

   "Apakah suhu baik-baik saja?"

   Tanya In-nio.

   "Bulan Yang lalu beliau telah genap berusia 80 tahun Beliau ambil putusan akan menutup pintu meyakinkan pelajaran agama, selanjutnya tak mau keluar kedunia persilatan lagi. Beliau menitipkan sepucuk surat padaku supaya diberikan padamu,"

   Jawab Bik-hu.

   In-nio melihat tulisan pada sampul itu benar buah tangan suhunya.

   Setelah memberi hormat, barulah ia membukanya.

   Trrnyata isi surat itu jalah hendak memperkenalkan Bik-hu kepada In-nio, Dika takan bahwa Bik-hu itu masih hijau baru saja menyelesaikan pelajaran silatnya dan hendak terjun kedunia persilatan.

   Oleh karena itu, sukalah In-nio memimpinnya dan menganggapnya sebagai adik dsb.

   Surat itu diberikan kepada Yak-bwe juga dan tertawalah In-nio.

   "Ah. suhu terlalu sungkan. Kita kan seperti orang serumah, masakan perlu pelajaran khusus?"

   Waktu melihat dalam surat itu tertera hari dan tanggal lahir Bik-hu, tahulah Yak-bwe? kalau pemuda itu lebih muda beberapa bulan dari In-nio, tetapi lebih tua setahun lebih dari ia. Diam-diam Yak-bwe geli diibuatnya, pikirnya.

   "Ai, suhu memang banyak ini itu. Cukup mengatakan Pui Bikhu ini pernah sute dan ci In itu sucinya. kan sudah jelas. Perlu apa menerangkan hari lahir, seperti orang hendak mencari hari untuk perjodoan."

   Memang Yak-bwe tak tahu kalau Biau Hui sin-ni itu justeru bermaksud begitu.

   Bik-hu itu adalah keponakannya sendiri, sudah tentu ia mengharap agar anak itu mendapat jodoh yang baik.

   Dua orang anak muridnya, Yak-bwe sudah ditunangkan pada Khik-sia, tinggal In-nio Yang masih bebas.

   Ini sudah diketahuinya.

   Menurut penilaiannya, In-nio itu lebih masak pikirannya, perangainyapun mencocoki seleranya (Biau Hui).

   Oleh karena itu ia mempunyai minat untuk menjodokan Bik-hu dengan In-nio.

   Hanya saja, Biau Hui pun tahu juga akan soal pernikahan.

   Pernikahan harus didasarkan rasa saling suka pada kedua fihak.

   Jika ia menggunakan kedudukannya sebagai suhu menjodokan mereka, dikuatirkan In-nio tak senahg dan mengatakan suhunya itu hendak menggunakan pengaruh untuk memaksanya.

   Maka dari itu, dalam surat iapun tak mau menjelaskan, melainkan titipkan keponakannya itu kepada In-nio.

   Maksudnya tak lain tak bukan, agar supaya kedua anak muda itu bisa berkenalan dari dekat dan dapat mengembangkan rasa suka mereka.

   In-nio seorang nona yang berhati lapang.

   Hatinya sudah terisi oleh Bo Se-kiat.

   Dalam membaca surat itu, walaupun agak merasa aneh atas sikap suhunya Yang begitu sungkan, tapi ia tak dapat meraba maksud suhunya itu.

   "Pui sute, kau memiliki ilmu kepandaian dari dua aliran. Aku sebagai suci sungguh merasa malu sekali. Kelak aku tentu akan minta petujuk-petunjuk dari kau. Ucapan suhu itu seharusnya ditukarbalik, baru benar,"

   Katanya dengan tertawa. Yak-bwe pun tertawa. ........Kau kan masih punya toa-suheng Thiat-mo-lek, masakan takut tak ada orang Yang merawatimu?"

   Muka Bik-hu agak tersipu merah, sahutnya. ,.......Markas Kim-ke-nia dari Thiat suheng sudah dihancurkan tenteta negeri, untuk mencarinya sungguh tak mudah. Maka paling baik kudatang kemari menemui suci berdua dulu."

   Kiranya ia sudah tahu maksud dari bibinya (Biau Hui sin-ni). Adanya ia tak mau unjukkan diri dulu; dan bertempur dengan In-nio, adalah karena ia hendak menjajal sampai dimana ilmu sifat Innio Itu. Adakah nona itu layak menjadi pasangannya atau tidak.

   "Ai, Pui suheng, kau pandai bicara. Sebenarnya kau kan hendak berkuojung pada ci In, mengapa diriku turut terbawa-bawa? Masakan kau dapat meramalkan bahwa. Hari ini aku juga datang kemari? Apa lagi aku ini bukan sucimu,"

   Yak-bwe tertawa. Bik-hu tertawa gelak-gelak, ujarnya.

   
Tusuk Kondai Pusaka Karya SD Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Kalau begitu aku harus minta maaf padamu. Tadi ketika dirumah arak aku belum mengetahui kalau kau ini sumoayku. Perbuatanku tadi juga kurang pantas, membuat kau marah."

   "Pui suheng, sekarang aku sedikit jelas. Pertempuran Yang kumenangkan itu, tentulah karena mendapat bantuanmu secara diam-diam, bukan?"

   Kata Yak bwe pula. Bik-hu ganda tertawa.

   "Begitu kau turun tangan, aku segera tahu kalau kau ini tentu murid bibiku. Dan ketika habis menjengkelit kedua bangsat itu kau loncat kebawah, sebenarnya aku hendak menjelaskan padamu. Tapi karena kulihat kau sedang kegirangan maka akupun tak mau mengganggumu."

   Yak-bwe kemerah-merahan wayahnya. Demi In-nio mengetahui peristiwanya, ia tertawa geli juga.

   "Su sumoay, mengapa kau mengikat permusuhan dengan kaum Leng-san-pay?"

   Tanya Bik-hu. Pertanyaan itu diajukan oleh Bik-hu karena ia mendengar juga percakapan antara kedua iman dan hweshio itu. Ia kira mereka tentu benar hendak menangkap Yak-bwe.

   "Aku sendiri juga tak tahu,"

   Sahut Yak-bwe.

   "Hm, apakah Leng-san-pay itu? Pui suheng, rasannya kau tentu mengetahui tentang mereka itu."

   "Aku baru saja keluar didunia kang-ouw. Orang Yang kukenal sedikit sekali. Aku tak tafiu asal usul kedua orang itu. Hanya saja, pernah kudengar dari suhu tentang kaum Leng-san-pay itu. Kau telah menggasak mereka, selanjutnya harus berhati-hati". kata Bik-hu.

   "Apa? Apakah mereka itu tak dapat diganggu? Kulihat, walau kepandaian mereka itu lebih unggul setingkat dari aku, tapi rasanya tak begitu berlebih-lebihan.

   "Yak-bwe kurang puas.

   "Dari pembicaraan hweshio itu, menunjukkan kalau ia anak murid Leng-san-pay. Benar dia itu biasa saja kepandaiannya, tapi suhunya Yang bernama Leng Ciu sangjin itu, benar-benar tak boleh dibuat main-main.

   "

   Kata- Bik-hu. Setelah berhenti sejenak, ia melanjutkan pula.

   "Leng-san-pay adalah salah satu anak cabang dari partai agama Ang-Kau di Se-ik (Tibet). Ketuanya, Leng Ciu Siangjin, itu seorang suku Han. Murid-murid yang diterimanya campur baur, ada suku peribumi ada suku Han, ada kaum paderi dari Thian Hui-kong, Kabarnya Leng Ciu siangjin itu adalah suheng dari Tian Hui-liong, seorang tokoh persilatan Yang termasyhur pada zamannya. Karena tak dapat melaksanakan cita-cita d daerah Tiong-goan, maka ia lantas,kabur kedaerah Se-ik, mencukur rambut menjadi paderi dan mendirikan sebuah partai."

   In-nio terbeliak kaget, serunya.

   "Apakah Tian Hui-Liong itu bukan suami dari Tian toanio, ayah dari Tian Goan-siu?"

   Bik-hu mengangguk "

   "Benar, pada masa itu tokoh-tokoh partai Ceng-pay (baik) telah mengepung Tian Hui-Liong, suhu dan bibiku juga turut. Dan dengan ikut sertanya juga Hong git Wi Gwat, segak- sin-liong Hong hu Ko dll...., barulah dapat mengalahkan orang She Tian itu."

   "Apalagi Leng Ciu siangjin itu suheng dari Tian Hui Liong, tentunya lebih hebat lagi...... Tetapi Leng-san-pay itu jauh sekali didaerah Se-ik. Dan Yak-bwe itu seorang nona tak ternama Yang baru keluar didunia persilatan. Sudah tentu ia tak kenal mengenal dengan orang-orang Lengsan- pay, tetapi mengapa dapat terikat permusuhan? Baik Bik-hu, In-nio bahkan Yak-bwe sendiri tak tahu sebabnya.

   "Ah, tak usah kita hiraukan hal itu lagi. Pui suheng, hendak kemana kau?"

   Kata In-nio.

   "Maksudku hendak ke Tiang-an untuk ikut dalam Eng-hiong-tay-hwenya Cin Siang. Ya, agar menambah pengalaman. In saci, apakah kalian juga berminat kesana?"

   Kata yang ditanya "Ya, Memang tadi aku dan Su Sumoay sedang merunding tentang kepergian kami ke Tiang-an. Kebetulan Pui Sute juga setujuan, jadi kita boleh bersama-sama kesana,"

   Katanya.

   Maksud Yak-bwe ke Tiang-an itu ialah hendak menyirapi diri Khik-Sia.

   Sebenarnya ia tidak suka pergi bersama Bik-hu itu, tapi karena In-Nio sudah meluluskan apalagi Bik-hu itu masih saudara seperguruan, maka iapun tak enak untuk membantah.

   Begitulah malam itu itu Bik-hu menginap di rumah In-Nio, Keesokan harinya, mereka segera berangkat.

   In-nio dan Yak-bwe menyaru menjadi opsir tentara.

   Karena menganggap dalam pakaian sebagai pemuda desa itu, Bik-hu tak layak berjalan bersama mereka, maka In-nio minta Bik-hu menyaru menjadi seorang bu-koan pengawal.

   Dan mengajarinya juga sedikit tentang hal yang patut diketahui dan tingkah laku dari seorang anak tentara.

   "Ho, selama ini aku selalu mengikuti suhu menjadi kacung pelayannya, kini tak nyana naik pangkat setinggi langit begini, menjadi anak militer. Tapi, ah, jadi seorang anak militer itu begini berabe, lebih baik jadi seorang kacung penggosok kaca sajan.

   "Bik-hu tertawa geli. Kini barulah Yak-bwe mengerti bahwa adanya pemuda itu mengenakan pakaian -sebagai orang desa, bukan tak ada sebabnya. Ternyata Bik-hu selama itu, ikut pada suhunya Mo Kia tojin mengerjakan pekerjaan tersebut (gosok kaca). Setelah membuat surat dinas yang hendak dihaturkan kepada pihak kerajaan dan memberi sabuk lencana pada Bik-hu, maka In-nio segera ajak kedua sumoay dan sutenya itu berangkat ke Tiang-an. Dalam perjalanan itu, mereka bercakap-cakap tentang cerita-cerita dan peristiwa-peristiwa didunia bulim. In-nio dapatkan, walaupun Bik-hu itu baru pertama keluar dari perguruan, tapi apa yang diketahui tentang keadaan, diluaran. tak kalah dengan ia. Kiranya Mo Kia lojin itu berlainan sekali caranya memberi pelajaran pada muridnya. Bukannya menyuruh murid tinggal di Gunung belajar silat seperti lazimnya guru-guru lain, tetapi suruh muridnya itu memikul pikulan dan ikut padanya menjelajahi kota dan desa-desa . (Gosok kaca, adalah sebuah mata pencaharian, pada jaman dahulu. Pada jaman dulu, orang memakai tong Kia (kaca tembaga) bukan kaca gelas, maka lewat beberapa waktu, tentu harus digosok sampai mengkilap). Itulah sebabnya maka pengalaman dan pengetahuan Bik-hu,cukup banyak. Diam-diam In-Nio menertawai suhunya. Bukan ia yang pantas mengurus Bik-hu, sebaliknya Bik-hu lah yang tepat mengurusnya. Tapi In-Nio hanya mengira kalau suhunya itu keliwat sayang pada kponakannya, maka keponakannya itu dikatakan sebagai anak kecil yang tak tahu apa-apa, haru diurusi orang. Ini menandakan bahwa sampai saat itu, In-Nio tetap belum mengetahui maksud yang sebenarnya terkandung dalam hati Biau Hui Sin-ni itu. Karena berkendaraan kuda, dalam tujuh hari saja,. tibalah sudah mereka dikota Hin-peng, sebuah kota yang ramai. Dari Hin-peng ke Tiang-an, kalau naik kuda hanya memerlukan waktu dua hari saja. Karena saat itu sudah menjelang petang, mereka bertiga lalu menginap disebuah hotel yang besar di Hin-Peng. Tiba dimuka pintu hotel, tiba-tiba Yak-bwe mendengus heran, uh, dari mana datangnya dua ekor kuda Yang begitu bagus u!"

   Ketika memandang, In-nio dapatkan pada tempat penambat kuda Yang terletak dihalaman hotel itu, sudah penuh dengan belasan ekor kuda.

   Diantaranya terdapat dua ekor kuda Yang menjolok mata.

   Yang seekor berbulu merah api, Yang seekor putih seperti salju.

   Sekali pandang, dapatlah diketahui bahwa Kedua binatang itu termasuk kuda bagus Yang mahal harganya.

   "Itulah kuda ternama dari jenis keturunan Gong-ki. Yang dirampas oleh Bo Se-kiat tempo hari, juga sama dengan kuda itu. Aku pernah menunggangi, tapi kurasa, tetap tak mampu menandingi ketegangan kedua ekor itu.

   "Yak-bwe berbisik-bisik. In-nio terkesiap kaget, pikirnya.

   "Apakah ada bangsa tay-lweko-Ciu disini?"

   Tay-lwe-ko-Ciu artinya jagoan istana Yang lihay.

   Setelah menambatkan kudanya.

   ln-nio berindap-indap menghampiri kedua ekor kuda bagus itu.

   Setiap kuda yang dipersembahkan untuk raja, tentu dicap pertandaan.

   Tapi kedua ekor kuda itu lak punya noda sama sekali, apalagi cap.

   Kuda itu perasa sekali.

   Begitu ada orang datang dan orang itu selalu mengimcarnya saja, iapun lantas beringas dan meringkik keras.

   Kakinya diangkat terus hendak disepakkan In-nio.

   In-nio cepat-cepat meniyingkir.

   Berbareng itu, terdengar orang miembentaknya!.

   "Hai, apa kau mau cari mampus, berani mengganggu kuda tuanmu!"

   Dari ambang pintu hotel, seorang melongok keluar, tangan menuding mulut memaki, wayahnya aneh sekali mirip dengan tokoh Ti-pat-kay dalam dongeng Se Yu.

   Hidungnya mendongak seperti hidung babi, dahi rata dan rambut berwarna kuning diikat dengan Kim-hoan (gelang emas), mirip dengan bangsa thau-to (paderi) daerah Se-ik.

   Barangsiapa melihatnya tentu akan merasa muak.

   Yak-bwe tak dapat kendalikan kemarahannya lagi, ia segera balas mendamprat.

   "Kurang ajar, apakah lihat saja tak boleh, mengapa mulutmu memaki-maki?"

   In-nio cepat menyetopnya. Ia tertawa menghaturkan maaf.

   "Harap taysu jangan marah. Karena selama ini belum pernah melihat kuda sebagus itu, maka tak kusengaja melihatnya beberapa saat."

   Melihat In-nio dan yak-bwe dalam dandanan sebagai seorang opsir apalagi ln-nio memuji kudanya serta menghaturkan maaf, redalah kemarahan paderi itu.

   Tapi terhadap Yak-bwe ia masih mendongkol, matanya berkilat-kilat memandangnya.

   Ketika keduanya masih saling pencerengan (memandang dengan sorot bermusuhan), muncul pula seseoramg Yang terus menarik thau-to itu, kata orang itu dengun tertawa.

   "Wah, tak sembarangan kedua tayjin itu mengagumi kuda kami, suheng, seharusnya kau bergirang."

   Orang iiu memberi isyarat mata kepada si thau-to. Si thauto tertegun, Tiba-tiba ia berobah kegirangan dan angkat tangan memberi hormat.

   "Maaf, aku memang berangasan sehingga tak tahu kalau tayjin berdua. Kawan si thauto itu ternyata juga orang Se-ik, tapi mengenakan dandanan sebagai orang biasa. Hidung besar seperti singa, mulut lebar macam harimau, sepintas pandang tampaknya lebih gagah dari si thauto tadi. Ciri Yang menonjol pada orang itu jalan sepasang kelopak matanya menjusun kedalam. pertanda kalau dia seorang yang licin. Setelah memandang tajam-tajam kepada In-nio dan Yak-bwe, ia segera menyampaikan salam perkenalan. ...Siapakah nama tayjin berdua Yang mulai dan hendak menuju kemana saja?"

   Yak-bwe hendak mendampratnya tapi cepat-cepat In-nio menariknya. Dengan sembarangan saja, ln-nio memberikan, nama palsu kepada orang itu.

   "Oh, kiranya tayjin berdua juga akan, menuju ke Tiang-an. Beberapa hari lagi, di Tiang-an bakal ada Eng-hiong-tay-hwe. Beruntung kita tentu dapat kesempatan, melihatnya"

   Kata orang itu.

   "Benar? Maafkan, k&mi sedang melakukan tugas, lak dapat bicara banyak-banyak".

   "tawar-tawar saja In-nio memutuskan pembicarann. Terbentur tembok, orang itu meringis dan ngeloyor pergi. Ketika In-nio, Yak-bwe dan Bik-hu masuk kedalam ruangan dalam, dilihatnya si thauto tadi kembali ribut mulut dengan ciang-kui (pengurus). Ciang-kui itu kelihatan meminta maaf.

   "Maaf, kamar kelas satu sudah ditempati orang. Tapi kamar Yang kusedediakan untuk taysu itu, juga menghadap kearah selatan. Dibanding dengan kamar kelas satu juga tak banyak bedanya. Baiklah taysu menginap disitu satu malam ini."

   "Ngaco!"

   Bentak thauto itu.

   "Mengapa kau tak berikan kamar kelas satu itu padaku? Hm, kalau ada orangnya suruhlah dia pindah!"' Tampak kerut wayah ciang-kui itu menampil kesukaran, ujarnya,.

   "Tetamu itu lebih dulu datangnya."

   "Tapi peduli dia datang lebih dulu atau belakangan, kau berani membantah perintah?"

   Bentak paderi itu dengan murkanya. Tiba-Tiba kedengaran nada seorang gadis melengking.

   "Sungguh dilarang terdapat manusia Yang begitu kurang ajar!"

   Sekalian orang Yang berada disitu. terkesiap dan mencari"

   Datangnya suara itu.

   Seorang nona Yang amat cantik, sudah tegak dihadapan thauto itu.

   Thauto itu melongo karena tak menyangka banwa Yang tinggal dikamar kelas satu itu temjata seorang nona jelita.

   Begitu kesima, ia melihat kecantikan Yang gemilang dari gadis itu, sehingga tak dapat marah-marah lagi.

   "Hm, dengan alasan apa kau hendak mengusir aku dari kamar itu?"

   Tegur nona itu.

   Thauto itu seperti terkancing mulutnya.

   Coba Yang berhadapan seorang lelaki, tentu sudah dilabraknya.

   Tapi Yang berdiri dihadapannya itu seorang jelita Yang molek.

   Sebesar-besar tinjunya namun masih nyalinya tak sebesar itu untuk menjatuhkan pukulannya"

   Seiorang hidung besar, kawan dari thauto itu, memandang dengan tak berkesiap kearah jelita itu.

   Pada lain saat ia menghampiri sithauto dan mengucapkan beberapa patah kata.

   Mungkin Yang diucapkan itu bahasa daerah Se-ik, jadi tiada seorangpun Yang mengerti.

   Jelita itu makin meradang, ia mendengus dan menantang.

   "Hm, kalian kasak kusuk apa itu? Kalau mau berkelahi, sitohkan maju!"

   Sihidung besar tertawa.

   "Ah, nona salah mengerti. Aku menasehati suhengku untuk menghaturkan maaf padamu."

   Sithauto agak terkesiap, wayahnya mengerunjut aneh. Tapi rupanya ia tak berani membantah perintah sutenya. Benar juga ia lantas memberi hormat kepada nona itu.

   "Masakan, ada orang lelaki hendak minta kamar yang dipakai wanita? Tadi karena tak tahu kalau kamar ini sudah dipakai nona, maka aku telah mengucapkan kata-kata kasar, harap nona maafkan."

   Diam-diam Yak-bwe geli dibuatnya, pikirnya.

   "Sepasang suheng dan sute ini, serasi sekali. Yang satu baik Yang satu jahat. Rupanya sithauto itu sudah biasa minta maaf pada orang."

   Setelah orang menghaturkan maaf, kemarahan jelita itu sudah berkurang, tapi masih mendongkol, la hanya ganda tertawa saja, dan tanpa membalas hormat sithauto ia lantas kembali masuk kedalam kamamja.

   Sambil .melangkah masuk, mululnya menjomel panjang pendek.

   "Mau main-main dengan aku, ya? Hm, kurang ajar benar!"

   Kamar nona itu terletak diujung gang.

   Waktu ia melangkah masuk, dan menjingkap tirai, kebetulan Yak-bwepun mengawasi kesitu.

   Samar-samar ia seperti melihat ada bayangan orang lelaki Yang pernah dikenalnya.

   Tapi karena jaraknya amat jauh dan gang itu gelap, apalagi begitu masuk sinona lantas menutup pula kamarnya, maka Yak-bwepun tak dapat melihat dengan jeias.

   Hanya saja kedengaran lelaki itu rupanya tengah menasehati siinona, maka Yak-bwepun buru-buru pasang telinga.

   Pembicaraan.

   Yang bagian muka dilakukan dengan pelahan sekali hingga tak kedengaran jelas.

   Tapi pada ahirnya, karena silelaki agaknya marah, kata-katanyapun agak keras, jadi demikian 'mereka sudah tak mau cari setori, maka kaupun janganlah cari perkara lagi."

   Dari pcmbicaraan itu jelaslah kiranya bahwa sinona bermaksud hendak melanjutkan persetoriannya dengan thauto tadi, tapi silaki anggap tak perlu karena urusan toh sudah selesai sampai disitu.

   Waktu dapat menangkap nada suara orang lelaki itu, terbeliaklah Yak-bwe.

   Ya, tak salah lagi, itulah nada suara Khik-sia.

   Sudah berulang kali ia bertengkar dengar.

   Khik-sia, maka ia pun tak asing lagi akan nada anak muda itu.

   Jangan lagi Kata-kata Khik-sia Yang diucapkan terahir itu, dapat didengarnya jelas.

   sekalipun hanya samar-samar saja, n,amun ia tetap akan dapat membedakannya sebagai nada suara pemuda itu.

   Sekalipun begitu, Yak-bwe belum berani yakin seratus persen.

   ia menimang-nimang dalam, hati.

   "Masakan dia itu Khik-sia? Masakan dia berada dalam kamar dengan, seorang wanita? Apakah lain orang yang suaranya sama dengan dia? Tapi mengapa begitu persis sekali?"

   In-nio tidak ikut pasang telinga, jadi ia tak mendengar suara.

   "pembicaraan Khik-sia tadi. Melihat Yak-hwe terbengong-bengong seperti orang Yang kehilangan semangat, ia segera menertawakannya.

   "Nona itu sungguh cantik sekali. Tidakkah kau kesima melihatnya? Ah, sayang ia sudah bersuami. Kalau kau kurang ajar memandangnya dengan, lekat awas, suaminya tentu akan membikin perhitungan padamu. Sudahlah, jangan melamun, bereskan dulu kamar kita Baru. In-nio. hendak menghampiri ciang-kui (pengurus hotel), sihidung besar sudah mendahului. Sambil berdiri disebelah ciang-kui, sihidung besar tertawa cekikikan dan berbisik-bisik.

   "Siapakah nama nona itu tadi? Pemuda itu apanya? Tahukah kau?"

   Tusuk Kondai Pusaka Karya SD Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   


Manusia Yang Bisa Menghilang -- Khu Lung Si Pedang Kilat -- Gan K L Telapak Emas Beracun -- Gu Long

Cari Blog Ini