7 Pendekar Pedang Thiansan 1
Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen Bagian 1
Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya dari Liang Ie Shen
Tiraikasih Website
http.//kangzusi.com
Tiraikasih Website
http.//kangzusi.com
Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San ( THIAN SAN CIT KIAM ) Karya .
Liang Ie Shen Saduran .
Gan KL NGO-TAI-SAN adalah sebuah gunung yang tersohor di propinsi Soa-say, bukan karena keindahan alamnya yang permai, tetapi gunung ini lebih dikenal sebagai 'tanah suci' bagi pemeluk Buddha pada zaman itu.
Kelenteng Jing-liang-si yang terdapat di atas gunung konon menurut cerita didirikan pada masa dinasti Han.
Selama ribuan tahun kelenteng ini dianggap sebagai tempat keramat dan selalu dikunjungi oleh para pemuja Buddha.
Sampai pada waktu Kaisar Khong-hi dari dinasti Boan-jing naik takhta, maharaja ini sendiri sudah beberapa kali berkunjung ke Ngo-tai-san ini, entah ada sesuatu rahasia apa di balik kunjungannya itu, yang nyata berkat kunjungannya itu tidak sedikit kerusakan dan patung-patung Buddha dalam kelenteng Jing-liang-si itu telah diperbaharui.
Dan karena itu pula, penyebaran agama Buddha di masa itu menjadi makin luas sehingga gunung itu, terutama puncak Leng-ci-hong yang indah selalu menjadi tempat wisata.
Pada tahun ketiga belas Kaisar Khong-hi naik takhta, kebetulan tahun itu dilakukan upacara peresmian patung Buddha Bu-cu Po-sat di kelenteng Jing-liang-si.
Menurut perayaan tradisional, upacara itu dilakukan pada tanggal 29 bulan 3.
Akan tetapi baru menginjak bulan pertama tahun baru, para pengunjung sudah berduyun-duyun datang dari berbagai penjuru.
Di atas gunung itu sendiri, ada lima buah pagoda perunggu yang berdiri dengan megahnya, pada tiap tingkat pagoda sudah dipasang lampu-lampu yang beraneka warna dan menyala terus menerus siang malam sejak mulai hari Sincia atau tahun baru Imlek.
Karena itu, pemandangan pegunungan yang sudah indah itu bertambah lebih indah dan semarak.
Ketika tiba hari perayaan itu, maka arus manusia semakin membanjir hingga ramainya susah dilukiskan.
Sejak pagi jalan yang menuju ke atas gunung itu penuh sesak dengan manusia, baik pemuja agama Buddha maupun pengunjung biasa yang melulu datang untuk menonton keramaian saja.
Di antara pengunjung yang berjubel itu ada seorang tua berjenggot panjang bersilang tiga, mukanya merah bercahaya dan berdandan seorang cendekiawan.
Orang yang berjalan di sampingnya adalah seorang pemuda cakap bermuka putih, hanya suara pemuda ini lebih mirip kaum wanita.
Orang tua itu bernama Pho Jing-cu, tidak saja terkenal karena ilmu pertabibannya yang tinggi tiada bandingannya, malahan ilmu silatnya, terutama ilmu pedangnya yang disebut 'Bu-kek-kiam-hoat' sudah berada di tingkat yang tiada taranya.
Selain itu, ia pun tersohor karena kemahirannya dalam seni lukis dan kesusastraan, ia terhitung salah seorang kosen yang tersohor pa-da masa peralihan antara dinasti Beng dan dinasti Jing.
Sedang pemuda ganteng itu sebenarnya adalah seorang gadis jelita yang sedang menyamar sebagai lelaki.
Ia bernama Boh Wan-lian.
Ayahnya bernama Boh Pi-kiang, juga seorang seniman terkenal pada permulaan zaman dinasti Jing, begitu dikagumi sehingga seorang seniwati pada zaman itu juga, yaitu Tang Siao-wan, jatuh hati padanya.
Tang Siao-wan juga tergolong seniwati yang pandai, baik ilmu sastra maupun seni sulam dan lain-lain.
Rupanya di antara jiwa kedua muda-mudi ini terdapat persamaan yang begitu cocok, maka mereka telah saling jatuh cinta dan mengikat janji sehidup semati.
Akan tetapi sayang, bulan tidak selalu bundar, cinta pun tidak selamanya kekal.
Karena nama Tang Siao-wan terlalu terkenal, akhirnya oleh seorang pembesar yang bernama Ang Seng-toh, Tang Siao-wan telah 'diambil' dan dipaksa dijadikan barang upeti untuk Kaisar Sun Ti, maharaja pertama dinasti Jing.
Dan karena Tang Siao-wan sangat disayangi maharaja itu, lalu ia dianugerahi gelar 'Kui-hui' atau selir agung kesayangan Kaisar.
Tentu saja Boh Pi-kiang yang kehilangan Tang Siao-wan menjadi merana, ia merasa hidupnya menjadi tak berguna lagi, maka akhirnya ia meninggal dalam keadaan yang sangat mengenaskan.
Pho Jing-cu adalah sahabat Boh Pi-kiang, waktu mendengar sahabatnya ini meninggal, dari tempat jauh ia menyempatkan datang untuk melayat.
Tatkala itu Boh Wan-lian baru berumur tiga tahun, demi melihat rumah tangga sahabatnya berantakan dan bocah itu sebatang kara, ia merasa kasihan dan akhirnya Jing-cu membawanya pergi.
Jadi sejak kecil Wan-lian sudah ikut sang paman ini dan mendapatkan pelajaran ilmu silat maupun ilmu surat yang cukup tinggi.
Pada hari itu, bersama para pengunjung lain, mereka pesiar ke Ngo-tai-san.
Dengan gembira Pho Jing-cu memandang ke kanan dan melihat ke kiri, sebaliknya Boh Wan-lian bermuka muram seperti ada sesuatu perasaan sedih yang disembunyikan.
Tengah Pho Jing-cu terpesona oleh keramaian di pegunungan itu, tiba-tiba ia berseru heran pada si gadis.
"Lian-ji, coba lihatlah kedua orang itu!"
Waktu Wan-lian memandang ke arah yang ditunjuk, seketika ia menjadi kaget.
Ternyata kedua orang yang dimaksudkan itu, yang seorang mirip setan gantung, badannya tinggi kurus bagai tiang bambu, mukanya pucat-pasi seperti mayat, sehingga menakutkan orang.
Seorang lagi sebaliknya berperawakan pendek buntek, kepalanya botak sebesar gantang.
Sebenarnya, Boh Wan-lian sedang masgul, tetapi demi melihat wajah kedua orang yang aneh ini, mula-mula ia terkejut, tapi kemudian ia tertawa geli pula oleh orang pendek buntek tadi.
Rupanya suara tawanya dapat didengar oleh kedua orang itu, dan tiba-tiba mereka berpaling dengan mata melotot seperti lagi mencari siapa orang yang tertawa.
Karena itu, lekas Pho Jing-cu menarik Wan-Iian dan menerobos pergi mencampurkan diri dengan orang banyak.
"Kedua orang ini adalah tokoh-tokoh terkenal di kalangan Kangouw,"
Kata Pho Jing-cu kemudian.
"Yang tinggi itu bernama Siang Ing dan berjuluk Song-bun-sin (malaikat pintu gerbang maut) dan yang pendek bernama Thia Thong, berjuluk Thi-tah (pagoda baja). Kita masih ada tugas penting, maka sebaiknya jangan bentrok dengan kedua manusia aneh ini."
Belum begitu jauh mereka melanjutkan perjalanan, sekonyong-konyong Boh Wan-lian melihat sesuatu.
"Lihatlah Hwe-sio itu, Pepek!"
Katanya dengan penuh keheranan pada sang paman.
Ketika Jing-cu memandang ke tempat yang ditunjuk, maka tertampak olehnya seorang Hwesio yang bermuka lebar, berkuping besar, sedang berdiri tegak di antara orang banyak yang berjubel itu, walaupun didesak dan didorong orang di sekitarnya, namun sedikitpun orang lain tak bisa menyenggol tubuhnya.
Sebaliknya ketika ia melangkah, orang-orang di sekitarnya lantas menyingkir dengan sendirinya untuk memberi jalan padanya.
"Eh, kenapa Hwesio liar inipun datang ke sini?"
Kata Pho Jing-cu heran sesudah mengenali padri itu.
"Hwesio ini selamanya tak pernah membaca kitab suci maupun sembahyang, ia pun tidak pernah pantang makanan seperti Hwesio lainnya, sebaliknya paling suka ikut campur urusan orang. Orang Kangouw memanggilnya Kuai-tau-to Thong-bing Hwesio."
Sementara itu, dari tikungan jalan sebelah timur telah datang pula serombongan orang.
Beberapa lelaki di antaranya menuntun kera, sedang di punggung mereka menggendong golok dan tombak, ada tambur dan gembreng, agaknya seperti pemain komidi.
Yang mengepalai adalah seorang wanita, walaupun kain bajunya agak kasar, akan tetapi langkahnya kuat dan sikapnya agung.
Diam-diam Pho Jing-cu berkata pada Boh Wan-lian.
"Wanita ini bukan pemain komidi sembarangan, melihat sinar matanya, sedikitnya sudah latihan dua-tiga puluh tahun."
Mereka berdua berjalan sambil bercakap, tidak terasa sudah melewati beberapa rombongan orang lagi.
Sementara itu Hwesio aneh tadi yang berjalan di depan ternyata juga sedang memandang ke sana kemari seperti lagi mencari sesuatu.
Pho Jing-cu tidak ingin bertemu muka dengan Hwesio itu, segera ia menarik Boh Wan-lian jalan ke arah lain, tiba-tiba dilihatnya seorang pemuda yang rupanya dapat melihat juga kelakuan si Hwesio yang aneh itu, pemuda ini seperti kurang percaya, maka dengan sengaja ia menubruk ke depan.
Melihat itu diam-diam Pho Jing-cu berkata.
"Wah, bisa celaka dia!"
Dan betul saja, hanya terlihat Hwesio itu sedikit mengangkat pundaknya, kontan pemuda itu terhuyung tak dapat menahan diri lagi dan beruntun menabrak beberapa orang terus menubruk pula ke arah Boh Wan-lian.
Pemuda itu agaknya menjadi gugup karena benturan itu, tanpa pikir panjang lagi tangannya lantas menjambret Boh Wan-lian dengan maksud untuk menahan dirinya, tidak terduga jambretan itu justru menuju ke dada Boh Wan-lian, keruan saja muka Boh Wan-lian menjadi merah, segera ia mengulur tangan menangkis.
Waktu kedua tangan saling beradu, segera Wan-lian merasa kekuatan pemuda ini sangat besar.
Sebenarnya ia hendak menggunakan Kim-na-jiu-hoat atau ilmu mencekal dari Bu-kek-cio untuk merobohkan orang, siapa tahu tangannya malah terpegang oleh balikan tangan pemuda tadi, ia menjadi malu sekali, segera ia sengkelit dengan keras tangan orang dan dengan menggunakan tenaga dalamnya ia memaksa pemuda itu pergi.
Dengan tenaga jambretannya tadi, pemuda itu dapat menahan dirinya, walaupun ia terdesak mundur oleh Boh Wan-lian tetapi sudah tidak tergopoh-gopoh sempoyongan lagi.
Hanya tadi waktu menjambret tangan Boh Wan-lian, ia merasakan kulit badan orang licin empuk seperti seorang wanita, ia menjadi terkejut dan sesudah dapat menahan tubuhnya, lekas ia menengok ke belakang untuk meminta maaf, dan ketika ia melihat Boh Wan-lian adalah seorang pemuda, barulah hatinya merasa lega.
Sementara itu Boh Wan-lian sudah jelas juga melihat pemuda tadi yang bermuka putih bersih, di antara sifat halusnya mengandung semangat yang gagah, tidak, lerasa kembali mukanya berubah merah pula, dan waktu pemuda itu menyatakan penyesalannya, terpaksa ia pun membalas hormatnya juga.
Dalam pada itu Hwesio tadi telah menoleh ke belakang dan tiba-tiba tertawa terbahak pada pemuda itu.
"Kubentur kau dan ternyata tidak roboh, hitung-hitung kau ada sedikit kepandaian, sampai bertemu di belakang hari,"
Demikian katanya.
Pada saat Hwesio itu menoleh ke belakang tadi, Pho Jingcu memalingkan muka ke jurusan lain, maka tidak ketahuan olehnya.
Sesudah kejadian itu, Jing-cu dan Boh Wan-lian berjalan pula sambil bercakap-cakap.
Tidak lama kemudian mereka sudah sampai di atas gunung.
Mereka melihat ada satu regu serdadu Boan yang berbaris di kanan-kiri, kelenteng itu sebaliknya kosong sepi tanpa seorang pun.
Ketika Boh Wan-lian merasa heran dan ganjil, tiba-tiba terdengar percakapan pengunjung di sampingnya.
Kata seorang tua.
"Agaknya sekali ini Hongsiang (Kaisar) tidak bisa datang sendiri, lihat tak ada kain beludru yang menggelari pelataran di luar sana, tiada pula barisan kehormatan, sampai pun penjaga di depan pintu kelenteng juga hanya beberapa puluh orang saja."
Seorang lagi yang seperti hartawan kampungan menjengek dan berkata.
"Hal ini kau harus tanya kami baru bisa tahu, Hongsiang dulu pernah beberapa kali datang sembahyang, dan tiap kali kami yang membuat penyambutan. Kali ini Ok-jin-ong To Tok yang datang mewakili Hongsiang. Ok-jin-ong memang tidak suka dengan penyambutan yang berlebihan, waktu ia berkeliling, tempo-tempo hanya membawa beberapa orang pengawal saja!"
Menyusul seorang berdandan saudagar berdialek Ciat-kang atau Kang-souw tiba-tiba bertanya.
"Ok-jin-ong yang kau sebut tadi, apakah bukan belasan tahun yang lalu pernah menjabat Liang-kang Te-tok dan bernama To Tok itu? Aku masih ingat waktu ia menikah di Hang-ciu, dimana perayaan dibikin besar-besaran. Hanya saja, pada malam sebelum hari pernikahan, bekas pengikut Loh-ong dari dinasti yang lain telah menyerbu penjara dan membikin geger seluruh kota, hari berikutnya waktu upacara pernikahan, sampai tiada orang yang berani pergi menonton."
"Laukoh, obrolanmu telah melantur, kau bilang tiada yang berani pergi menonton, tetapi bagaimana kau bisa mengetahui upacara pernikahannya ramai sekali?"
Kata hartawan kampungan tadi dengan tertawa.
"Eh, tentang perampokan penjara pada malam sebelum hari pernikahannya itu bagaimana jadinya? Coba ceritakanlah!"
Tadinya saudagar itu menjadi merah mukanya karena debatan orang, tetapi kemudian setelah mengetahui hartawan kampungan itu ternyata begitu tertarik oleh cerita tentang penyerbuan penjara, lantas saja ia mengobrol lagi dengan berseri-seri.
Melihat mereka mengobrol urusan yang tiada sangkutpautnya, Boh Wan-lian tidak menaruh perhatian lagi.
Sementara itu terdengar pula percakapan antara dua orang Siucai (pelajar) di samping sana, kata seorang di antaranya.
"Tidak diketahui mengapa Kaisar yang sekarang seperti begitu tertarik pada Ngo-tai-san, tidak lama naik takhta, beruntun sudah datang beberapa kali. Kali ini adalah hari pembukaan arca Buddha yang baru, sebaliknya malahan tidak datang. Eh, katanya penyair besar Go Bwe-joan menciptakan sebuah syair yang berhubungan dengan kedatangan Hongsiang sembahyang ke Ngo-tai-san. tahukah kau?"
"Aku datang dari kota-raja, bagaimana bisa tidak mengetahui,"
Sahut kawannya.
"Di kota-raja syair ini tersebar luas dimana-mana, cuma tiada orang yang paham maksud isi syair yang aneh itu, tetapi Go Bwe-joan adalah sastrawan kesayangan Kaisar yang dahulu, syair ini sedikitnya mengandung maksud tertentu."
Mendengar percakapan mereka, hati Boh Wan-lian tergerak, tanpa terasa ia memandang mereka sekejap, karena itu kedua Siucai itupun tersenyum dan balas memandang.
"Mengapa gerbang kelenteng sampai kini masih terus tertutup rapat, bahkan tanah lapang di depan kosong melompong tiada satu orang pun?"
Tanya Wan-lian menimbrung.
"Engkoh cilik ini mungkin baru pertama kali ini datang mengunjungi keramaian ini dan tak mengetahui peraturannya,"
Kata seorang tua lain menyela dari samping.
"Pintu gerbang itu harus menunggu dupa pertama yang disulut oleh Ok-jin-ong, kemudian haru dibuka dan Ok-Jin-ong menancapkan dupa itu di hio-io pertama Buddha, habis itu upacara sembahyang mulai diteruskan pengunjung yang datang."
Selagi bercerita, tiba-tiba dari bawah gunung terdengar suara gembreng yang riuh, bendera melambai-lambai, sepasukan tentara yang mengapit sebuah tandu yang dipikul delapan orang telah naik ke atas gunung.
Tidak lama kemudian tandu itu sudah sampai di depan kelenteng, di depan tandu ada dua buah lampion besar yang tertuliskan empat huruf besar.
"Ok-jin-ong-hu" (dari istana Ok-jin-ong). Sementara itu, di tengah jalan ke atas gunung itu kembali terjadi suara ribut. Waktu Pho Jing-cu dan Boh Wan-lian berpaling ke belakang, terlihat seorang perwira sedang menerobos di antara orang banyak dan mendesak maju dengan paksa. Ia naik ke atas gunung dengan langkah lebar, malahan di belakangnya mengikut seorang Lamma yang mengenakan jubah merah. Melihat perwira itu, Pho Jing-cu mengkerutkan kening.
"Mengapa iblis ini pun jauh-jauh datang menonton keramaian,"
Demikian katanya dalam hati. Melihat Pho Jing-cu memandang orang dengan penuh heran. Boh Wan-lian lantas bertanya.
"Siapakah dia ini? Apakah ia lebih lihai dari Thong-bing Hwesio."
"Kau sekarang tak usah bertanya dulu, lain waktu akan kuberi tahu padamu, hari ini pasti akan ada tontonan yang menggemparkan!"
Sahut Pho Jing-cu.
Waktu itu sang surya mulai memancarkan sinarnya, kabut di angkasa Ngo-tai-san sudah tersapu bersih, bola matahari pagi yang merah membara menyinari seluruh lembah gunung menyemarakkan suasana musim semi.
Sementara itu, tandu Ok-jin-ong sudah berhenti di tengah tanah lapang dekat kelenteng, di bawah sinar matahari, joli yang berlapis beludru hijau dengan hiasan batu pualam hijau menyorotkan warna-warni yang menarik.
Semua orang dengan tenang menantikan Ok-jin-ong menyulut dupa yang pertama, tiba-tiba dari samping kelenteng Jing-liang-si muncul seorang gadis dengan langkahnya yang lemah gemulai, muka si gadis itu berkedok selembar sutra tipis, ia membawa segenggam dupa dan menancapkan hio itu di depan pintu kelenteng, lalu ia bersembahyang sendiri bagaikan di sekitarnya tak ada manusia lain lagi.
Peristiwa yang tiba-tiba itu telah membikin terkejut dan kalang-kabut para pengawal yang berada di situ.
Mereka membentak dan memburu maju terus menangkap kedua tangan si gadis, gadis itu tidak melawan, ia membiarkan dirinya ditangkap bagai seekor anak ayam dan digusur ke depan joli Ok-jin-ong.
Agaknya serdadu-serdadu itu hendak meminta keputusan Ok-jin-ong sendiri.
Kejadian aneh dan mendadak itu pun membuat Pho Jing-cu terperanjat.
Dan ketika ia ragu-ragu apakah harus turun tangan untuk menolong atau tidak, sekonyong-konyong dilihatnya gadis itu telah mengangkat kedua tangannya, seketika dua orang pengawal yang memegang tangannya terbanting pergi lebih setombak jauhnya.
Dengan kecepatan luar biasa, gadis itu melolos sebatang pedang pendek mengkilap, sekali tangan kirinya memukul, ia membuat pintu joli yang berbatu permata itu hancur, pedang di tangan kanan segera ditusukkan ke dalam dibarengi dengan suara bentakan.
"To Tok, inilah hari kematianmu!"
Tiba-tiba orang yang berada di dalam joli itu berseru terkejut, dengan cepat tangannya bergerak hendak mencekal lengan si gadis.
Waktu itu si gadis hendak menusuk pula dengan sekuat tenaga, dengan mata melotot ia pandang orang, mendadak ia malah berseru kaget, cepat ia menarik kembali pedangnya dan segera mundur ke belakang.
Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pada saat itulah, tiba-tiba datang seorang pemuda melompat di antara orang banyak, hanya dengan tiga kati naik turun, bagai burung terbang cepatnya, belum sampai orangnya, senjata piau sudah dilepaskan lebih dahulu, sekali gerak beruntun tiga piau telah melaju ke dalam joli.
Gadis tadi belum hilang kagetnya, ketika mendadak melihat senjata rahasia menyambar, dengan cepat ia melompat dan menyampuk senjata rahasia itu.
Dengan kepandaiannya, sebenarnya beberapa senjata rahasia itu tidak sulit untuk disampuk jatuh semua, hanya karena perasaannya terguncang dan belum tenang kembali, maka sampirannya itu hanya berhasil mengenai dua buah piau saja, piau yang ketiga masih terus menerobos masuk ke dalam joli.
Melihat si gadis dari kawan mendadak berbalik menjadi lawan dan malah menolong To Tok, tentu saja semua orang ter-heran-heran tak mengerti, sedang piau ketiga yang menembus ke dalam joli ternyata juga tidak menimbulkan reaksi apa-apa bagaikan batu kecemplung laut.
Dalam pada itu, Thong-bing Hwesio telah tampil ke depan orang banyak, mendadak ia mengangkat tangan dan berseru.
"Jangan lepaskan To Tok!"
Orang-orang yang berdandan sebagai pemain komidi tadi, Song Bun-sin Siang Ing, Thi-tah Thia Thong dan lainnya berbareng melompat dari gerombolan orang banyak.
Dalam pada itu, pemuda yang melepaskan senjata rahasia tadi pun sudah berlari ke depan joli.
Tak terduga, kerai joli tersingkap dan menyusul dari dalam joli menyambar keluar sebuah piau secepat kilat, maka segera terdengarlah pemuda itu menjerit karena terkena piau tersebut.
Sementara itu beberapa ratus pengawal yang separoh mengelilingi joli, separah lainnya beramai melawan penyerbu-penyerbu itu, di samping itu beberapa perwira lain yang memiliki sedikit kepandaian silat segera maju hendak menangkap pemuda yang sudah roboh itu.
Boh Wan-lian dapat melihat dengan jelas bahwa pemuda yang melepas piau itu bukan lain adalah pemuda yang tadi menumbuk dirinya itu.
Waktu ia pandang lagi, ia lihat gadis yang berkedok tadi sedang memainkan pedangnya secepat angin hendak menerobos keluar dari kepungan, sekali cekal ia terus menyeret si pemuda.
Pemuda itu bahu kirinya terkena piau dan mengucurkan darah, beruntung tidak terkena tempat yang berbahaya, maka ia masih dapat bertahan.
Saat itu, di depan Jing-liang-si sudah merupakan medan pertempuran yang gaduh, pengunjung yang datang hendak menonton keramaian lari tunggang-langgang.
Thong-bing Hwesio memainkan golok tunggalnya dengan kencang sekali dan susah ditahan, tetapi serdadu-serdadu itu sudah berpengalaman banyak dalam peperangan, walaupun telah diterjang dulu oleh mereka, tapi tidak menjadi kacau dan gugup.
Song Bun-sin Siang Ing atau si malaikat gerbang maut dan Thi-tah Thia Thong, si pagoda besi, berdua dengan toya dan kapaknya, mereka bertempur sambil berteriak.
"Hai, jahanam To Tok mengapa kau masih belum keluar untuk menerima kemati-an!"
Tetapi belum hilang suara teriakan mereka, kerai joli itu tiba-tiba tersingkap dari dalam dan keluarlah seorang wanita yang anggun dan berparas elok walau sudah setengah umur, ia berjalan pelahan dengan sikap tenang, sejenak kemudian baru ia bertanya.
"Kau mencari Ok-jin-ong ada keperluan apa?"
Kejadian tak terduga ini seketika membikin keributan di depan kelenteng jadi terhenti.
Siang Ing dan Thia Thong tidak membentak dan berteriak lagi, Thong-bing Hwesio menurunkan goloknya, para pengawal pun tertegun dengan senjata masih terhunus, untuk sementara pertempuran terhenti.
Kiranya Thong-bing Hwesio dan kawan-kawan ini adalah bekas pengikut Loh-ong, kedatangan mereka kali ini ialah hendak menuntut balas pada To Tok.
Waktu bangsa Boan-jing masuk ke daerah selatan, pemerintahan Beng di selatan masih dapat meneruskan perlawanan sedikit lama, berturut-turut diangkat raja-raja Hok-ong, Loh-ong dan Kwi-ong dari keturunan lurus kerajaan Beng.
Loh-ong adalah angkatan pahlawan terkenal Thio Honggian dan Thio Bing-cin.
Loh-ong yang beribu-kota Siaohin di propinsi Ciat-kang menamakan dirinya 'Mangkubumi' dan bisa bertahan limaenam tahun atas kerajaan kecilnya ini.
Belakangan ia dapat ditaklukkan oleh jenderal bawahan To Tok yang bernama Tan Kim.
Karena itu sisa-sisa pengikut Loh-ong yang bergerak di bawah tanah bermaksud menegakkan kembali kekuasaan mereka, tetapi karena rahasianya bocor, beberapa ratus orang telah tertangkap dan dipenjarakan oleh Hang-ciu Cong-ping.
Lalu pada malam sebelum hari pernikahan To Tok, mereka dapat membobol dan melarikan diri dari penjara.
Dalam pertempuran yang ribut itu tidak sedikit kawan-kawan mereka yang menjadi korban.
Oleh karena itu, bekas pengikut Lohong dengan To Tok boleh dikata musuh bebuyutan.
{Bagian ini bisa dibaca dalam Chau Guan EngHiong, Pahlawan Padang Rumput) Peristiwa itu sudah lewat enam belas tahun, tetapi mereka masih mencoba lagi datang ke Ngo-tai-san dengan tujuan hendak menangkap To Tok dan dibuat sesajen sembahyang bagi kawan mereka yang sudah menjadi korban.
Mereka semua adalah orang-orang gagah dan ksatria sejati, mereka hanya ingin To Tok yang menjadi sasaran mereka, sanak keluarganya tidak akan mereka ganggu.
Kini melihat dari joli besar To Tok itu mendadak keluar seorang wanita yang agung, walaupun dapat diduga itu pasti adalah isteri To Tok atau Ong-hui, namun seketika itu mereka menjadi tercengang.
Begitulah kedua belah pihak merandek sebentar, keadaan menjadi sangat canggung.
Tiba-tiba Ok-ong-hui tersenyum dan kemudian berkata.
"Jika tidak ada apa-apa, bolehlah kalian bubar."
Habis berkata ia mendorong pintu gerbang kelenteng dan hendak masuk ke dalam. Mendadak Song Bun-sin Siang Ing mengangkat toyanya dan berteriak.
"Yang melukai Thio-kongcu dengan piau adalah perempuan keparat ini, kalau ia sudah bermusuhan dengan kita, masa saudara-saudara akan melepaskan dia?"
Habis berkata begitu, tangannya bergerak maka segera beberapa jarum 'Song-bun-ciam' menyambar ke belakang kepala orang.
Ok-ong-hui seperti tidak menggubris orang, waktu ia mendengar dari belakang ada suara sambaran angin, lekas ia membalikkan tangannya terus meraup hingga beberapa jarum itu dengan tepat kena ditangkapnya.
Cara ia menangkap senjata rahasia ternyata sudah terlatih betul.
Thong-bing Hwesio dan kawan-kawannya menjadi gusar sekali, segera mereka menggerakkan senjata dan menyerang maju lagi, namun dalam suasana yang ribut itu, Ok-ong-hui sudah masuk ke dalam Jing-liang-si.
Ketika itu, dari bawah gunung kembali terdengar pula suara tambur dan terompet yang riuh sekali, satu pasukan berkuda dengan cepat telah memburu naik, dan barisan depan pasukan ini telah sampai di Leng-ci-hong, di depan kelenteng Jing-liang-si.
Pasukan ini berseragam lengkap, tangan kanan mencekal golok dan tangan kiri memegang tameng, jika diserang senjata musuh mereka tangkis dengan tameng, sedang goloknya segera balas membacok.
Maka terdengarlah suara "trang-trang"
Beradunya senjata dengan tameng, tidak lama kemudian seluruh kelenteng Jingliang- si sudah dapat dikepung dengan rapat.
Pasukan ini adalah pasukan penjaga istimewa pemerintah Boan, khusus bertugas menjaga istana dan kediaman pangeran-pangeran, pasukan serba guna ini jauh lebih kuat daripada pasukan kerajaan lainnya.
Sementara itu, gadis berkedok tadi dengan pedang di tangan sedang melindungi pemuda yang terluka itu, ia masih berusaha menerjang keluar dari kepungan, ia maju dan mundur, hantam kanan dan kiri, yang jauh ditimpuk dengan senjata rahasia, yang dekat diserang dengan pedang, kecepatan dan kegesitannya luar biasa, tiap kali ia berhasil menerobos pergi dimana ada kesempatan dan tempat luang.
Dan selagi gadis itu sudah hampir lolos dari kepungan, mendadak dari depan telah mengadang pasukan berkuda tadi.
Dan ketika ia hendak mencari jalan lain, tiba-tiba terdengar olehnya suara bentakan.
"Hendak lari kema-na!"
Menyusul pedang orang sudah menyerang secepat kilat.
Lekas gadis berkedok itu menarik tubuhnya ke bawah, maka pedang musuh menyambar lewat di atas kepalanya dengan membawa sambaran angin yang keras.
Habis ini mendadak ia menegakkan tubuh, pedang pendeknya dibalikkan ke atas untuk memotong pergelangan tangan musuh.
Gerakannya ini benar-benar berbahaya sekali.
Tidak nyana musuh pun bukan lawan lemah, ia tidak menarik kembali pedangnya, tetapi hanya pergelangan tangan sedikit memutar, segera ia pun mengetok pergelangan tangan si gadis dengan gagang pedangnya.
Karenanya, masing-masing begitu bergerak lantas menarik kembali serangannya, mereka sama-sama menghindarkan serangan lawan yang berbahaya.
Keduanya terkejut.
Gadis itu mengangkat kepalanya memandang, ia lihat musuh yang bertanding dengan dirinya berperawakan kekar gagah dan keren, ia mengerti pasti bukan orang sembarangan.
Tengah ia merasa sangsi, mendadak didengarnya suara bentakan.
"Itu dia si keparat To Tok!"
Gadis itu terkejut sekali, sementara itu ia mendengar lawannya telah menjawab dengan suara angkuh.
"Ya, betul, aku adalah To Tok adanya, mau apa kau?"
Yang mengenali To Tok dan membentak tadi adalah Songbun- sin Siang Ing dan Thi-tah Thia Thong.
Mereka berdua lebih dekat dengan To Tok, maka dengan mati-matian mereka menerjang maju.
Pedang pendek si gadis tadi pun sudah menyerang semakin kencang, akan tetapi tenaga To Tok besar dan kuat, bila terbentur pedangnya, si gadis lantas merasa tangannya pedas kesemutan.
Karena itulah pemuda terluka yang berada di sampingnya menjadi kehilangan pelindung, ia telah kena dipukul roboh oleh bawahan To Tok dan tertangkap hidup-hidup.
Sementara itu.
Siang Ing dan Thia Thong sudah datang mendekat.
"Nona boleh mundur dulu!"
Demikian seru mereka hampir serentak.
Dengan gemas gadis berkedok memandang sekali lagi pada To Tok, ia mengerti dalam keadaan begitu, sukar baginya untuk bisa memperoleh kemenangan.
Maka ia menurut, ia tarik pedangnya dan mengundurkan diri lebih dulu, kemudian ia berusaha menolong pemuda tadi.
Di samping sana rangsekan Siang Ing dan Thia Thong ternyata sangat kuat sekali, berturut-turut mereka dapat memukul roboh belasan serdadu pasukan istimewa itu.
To Tok menjadi gusar, ia membentak.
"Semua mundur, biar aku menangkap kedua penjahat itu!"
Pedangnya mendadak ditangkiskan, api meletik, tahu-tahu toya Siang Ing sudah terkutung pucuknya.
Sebaliknya tameng To Tok terpecah belah oleh kapak Thia Thong.
To Tok melempar tameng yang sudah pecah itu, ia menempur kedua lawannya dengan memainkan Hong-lui-kiam-hoat dari aliran Tiang-pek-san di Kwan-gwe dengan dahsyat.
Setelah To Tok muncul keadaan lantas berubah banyak.
Thong-bing Hwesio dan kawan-kawan berduyun-duyun lantas menerjang ke tempat To Tok berada, pasukan istimewa itu walaupun cukup lihai, tetapi karena di pegunungan yang dekak-dekuk ini, maka susah untuk mengadang dan mencegat, akhirnya dengan pelahan-lahan para pahlawan itu dapat menerjang maju lebih dekat.
Thia Thong dan Siang Ing adalah orang gagah yang ternama di kalangan Kangouw, senjata mereka berat, tenaga pun besar, bertanding melawan To Tok boleh dikata setengah kati delapan tail alias sama kuat.
Dalam pertarungan seru itu, toya Siang Ing menyapu, menerjang seperti seekor naga hidup, sedang kedua kapak Thia Thong pun menyambar, membacok seperti gunung yang menindih dari atas.
To Tok bukan lawan yang lemah, pedang panjangnya begitu hebat dimainkan hingga membawa suara menderu, ia menusuk, memotong dan membabat, sinar pedangnya selalu mengitar di antara dua macam senjata lawan, sedikitpun tidak memberi kesempatan.
Nyata kekuatan kedua pihak sama kuat.
Dalam pertarungan seru itu, Thia Thong membentak dan kedua kapaknya membacok dari samping.
To Tok bersiul panjang, ia angkat pedang dan melompat serta menikam kepala Thia Thong.
Nampak kawannya terancam, Siang Ing lekas memutar toyanya, dengan jurus 'Ciang-liong-seng-thian' atau ular naga membubung ke langit, ia tegakkan toyanya dan sedikit diangkat miring ke atas terus menyodok perut To Tok.
To Tok berjumpalitan di udara dan dengan suara aneh pedangnya tiba-tiba ditimpukkan ke muka Siang Ing.
Belum pernah Siang Ing melihat serangan semacam itu, lekas ia melompat berkelit, karena itu secepat kilat pedang itu menembus tubuh seorang pengawal hingga tembus.
Waktu itu, Thi-tah Thia Thong baru mengangkat kapaknya, ia mengincar dengan tepat terus membacok dengan kapak.
Tak terduga To Tok bisa bergerak cepat sekali, ditambah pula Siang Ing tadi sudah mundur karena kaget, tekanan yang lain sudah berkurang, tiba-tiba ia memutar tubuh terus mementang tangan dan mencengkeram lengan kanan Thia Thong lalu diangkatnya.
Tubuh Thia Thong yang sebesar kerbau diputar dengan cepat, kemudian dengan tertawa ia lemparkan ke udara seperti melempar bola saja.
Thia Thong ternyata juga tidak lemah, kena diputar dan dilempar begitu, kedua kapaknya masih belum terlepas dari tangan, dengan gerak 'Le-hi-ting-sin' atau ikan lele meletikkan tubuh, ia menjejak sekali di udara untuk kemudian menukik turun ke bawah.
Nampak kawannya kena dipermainkan musuh, Thong-bing Hwesio menjadi gusar, dengan golok terhunus segera ia menubruk maju.
Sementara itu, bawahan To Tok telah menjemput dan menyerahkan kembali pedang To Tok yang ditimpukkan tadi.
Kini To Tok mulai naik darah, segera ia membacok.
Dengan kalap Thong-bing menangkis dan dengan satu bentakan ia pun balas membabat dengan goloknya, maka terjadilah pertarungan yang seru.
Bagaimana pun To Tok adalah Pangeran, Thong-bing Hwesio berani mengadu jiwa dengan serangan yang berbahaya, sebaliknya ia sendiri tidak berani.
Karena itu ia menjadi jeri menghadapi orang kalap.
Suatu waktu Thong-bing Hwesio mengangkat goloknya hendak menubruk pula, To Tok tak ingin terlibat lebih lama lagi, mendadak pedangnya diacungkan, pengawal di sampingnya segera maju membanjir menggantikan To Tok menahan serangan lawan.
Waktu itu pasukan yang To Tok bawa beruntun sudah naik gunung semua, mulai dari kaki gunung sampai tengah gunung pasukan itu berbaris panjang seperti ular naga, sedikitnya ada dua-tiga ribu orang, genderang berbunyi, seluruh gunung menjadi bergemuruh hingga menambah tegangnya suasana.
Saat itu, wanita dari rombongan pemain komidi tiba-tiba melepaskan sebuah anak panah bersuara, dengan mengeluarkan sinar api biru anak panah itu menjulang naik ke angkasa.
Panah berapi ini nyata adalah suatu tanda rahasia, begitu dilepaskan, bekas pengikut Loh-ong lantas berteriak sambil mundur, mereka berpencar menjadi dua jurusan dan memanjat ke atas gunung.
Waktu To Tok berpaling, dengan cepat ia beradu pandang dengan wanita pemain komidi itu.
Sebenarnya ia hendak mencegat Thong-bing Hwesio, kini ia berubah pikiran dan dengan cepat ia mengejar wanita itu.
Wanita itu melangkah dengan enteng dan gesit, tetapi To Tok tidak kalah cepatnya, ia mengudak dengan kencang.
Dan karena kejar mengejar ini, tanpa terasa ia telah terpancing ke tempat yang paling berbahaya di atas puncak Leng-ci-hong.
To Tok memeriksa tempat sekitarnya, ia lihat batu-batu cadas dan tebing-tebing curam bersandingkan puncak-puncak yang terjal, jalan yang ia tempuh ini berliku-liku tak rata.
Di bawah sana, pasukan pengawalnya sedang menguber bekas pengikut Loh-ong, sedang di atas puncak yang tinggi ini hanya ada dia sendiri dengan wanita tadi.
Tiba-tiba pikirannya tergerak, ia menjadi ragu harus mengejar terus atau tidak? Di lain pihak si wanita itu seperti tahu apa yang dia pikirkan, ia menoleh dan tersenyum dingin, segera tangannya bergerak, sebuah panah berapi telah menyambar mukanya.
Lekas To Tok berkelit hingga panah berapi itu menyambar lewat masuk ke jurang.
Sementara itu si wanita sudah berhenti di tempatnya, dengan pedang terhunus ia pandang To Tok dengan sikap tem-berang dan menantang.
Begitu To Tok melihat sikap orang ini, ia menjadi sangat mendongkol, ia pikir dirinya sudah beratus kali mengalami pertempuran besar maupun kecil, masakah harus jeri terhadap seorang perempuan, apalagi wanita ini nampaknya rada mirip dengan 'pemimpin penyamun wanita' dari Ciat-kang yang bernama Lauw Yu-hong.
Jika betul dia adanya dan bisa membinasa-kannya di sini, hal ini besar artinya bagi dirinya dan juga bagi kerajaan.
Kiranya di atas meja kerja To Tok bertumpuk dengan laporan yang disebut 'sisa-sisa penyamun Ciat-kang selatan', yakni bekas pengikut Loh-ong yang telah berhasil ditumpasnya sewaktu To Tok menjabat Liang-kang Te-tok (gubernur militer Ciat-kang dan Kang-souw).
Walaupun belakangan ia tak memegang jabatan itu lagi, tapi segala sesuatu yang berhubungan dengan gerak-gerik bekas pengikut Loh-ong selalu masih dilaporkan juga padanya oleh pembesarpembesar negeri yang bersangkutan.
Lauw Yu-hong yang disebut sebagai 'pemimpin penyamun wanita' ini belum lama bani dikenal, ia adalah puteri Lauw Cing-it, bekas perwira yang gagah perkasa di bawah Loh-ong, dai dia telah meneruskan perjuangan sesudah Loh-ong tewas.
Setelah Lauw Cing-it meninggal, beramai-ramai pengikut Lohong yang lain lantas mengangkat Lauw Yu-hong sebagai pemimpin mereka, waktu itu.
Lauw Yu-hong belum ada tiga puluh tahun.
Walaupun usianya masih muda, namun bekas pengikut Loh-ong itu ternyata sangat tunduk padanya.
Dalam laporan dinas yang pernah disampaikan pada To Tok tersebut, ada pula yang disertai dengan gambar Lauw Yuhong, sebab itulah, begitu bertemu, lapat-lapat ia seperti sudah kenal rupanya.
Kini secara terang-terangan To Tok diejek dan ditantang, keruan saja ia gusar, tanpa pikir lagi ia mengudak pula.
Namun Lauw Yu-hong sudah menanti, ketika To Tok membacok, dengan gesitnya Yu-hong berkelit, berbareng pedangnya menyampuk ke kanan.
Sekali menyerang tak berhasil, segera To Tok merangsek maju pula, kembali ia membabat dengan gemasnya.
Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tak ia duga, tiba-tiba Lauw Yu-hong memotong dari atas dengan pedangnya, dan begitu kedua senjata menempel, dengan sedikit memuntir terus menarik, tahu-tahu To Tok sendiri malah terbawa melangkah maju dengan terhuyung.
Beruntung To Tok juga bukan orang lemah, pada saat tubuhnya menubruk ke depan, dengan cepat ia putar pedang sekuatnya untuk melepaskan diri dari pengaruh tenaga dalam Lauw Yuhong, dengan pedangnya yang diputar cepat itu ia balas menyerang pula.
Namun Yu-hong cukup cerdik, ilmu pedang 'Bu-kek-kiamhoat' adalah kombinasi kumpulan inti sari aliran Thay-kek-pay dan Bu-tong-pay.
Pada waktu To Tok memutar pedang tadi, berbareng ia pun memutar pedangnya juga, maka terdengarlah suara "trang"
Yang nyaring, kembali dua senjata saling beradu.
Habis itu Yu-hong menarik senjatanya terus mundur walaupun belum terkalahkan.
To Tok menjadi makin sengit, ia menguber pula dengan kencang.
Saat itu mereka sudah berada di ujung suatu puncak gunung yang curam.
Mendadak Yu-hong melompat ke depan lagi seperti burung terbang cepatnya, tahu-tahu ia sudah berdiri di atas sebuah jembatan batu yang melintang menghubungkan dua puncak.
Jembatan batu ciptaan alam ini lebarnya hanya satu kaki saja dan panjangnya beberapa tombak, kedua sampingnya ada pula puncak gunung lain yang terjal dan di bawahnya adalah jurang yang dalamnya beribu tombak.
Saking kencangnya To Tok mengejar, ia menjadi tak keburu menahan dirinya, tanpa pikir ia pun melompat ke jembatan batu itu.
Di sinilah mendadak Lauw Yu-hong membalikkan tubuh, alisnya menegak, mukanya kereng, pedangnya diputar pula, kembali ia menggempur To Tok dengan sengit di atas jembatan alam itu.
Jika Yu-hong menang dalam hal kegesitan dan ilmu mengentengkan tubuh, sedangkan To Tok lebih tenang dan ulet.
Pertarungan ini sungguh seru luar biasa, kedua orang sama-sama memutar pedang mereka begitu rapat dan kencang hingga berwujud dua gulung sinar putih yang mengurung tubuh mereka masing-masing, dan meski sudah berlangsung ratusan jurus masih belum tahu siapa yang unggul atau terdesak.
Sementara"
Itu Thong-bing Hwesio dan kawan-kawan yang diuber pasukan pengawal tadi, kini pun sudah sampai di atas puncak Leng-ci-hong.
Ketika mereka tahu To Tok yang lagi bertempur dengan Yu-hong di tempat yang sangat berbahaya itu, tanpa terasa mereka ternganga.
Baik serdadu-serdadu maupun Thong-bing dan kawan-kawan seketika menjadi lupa, mereka sama melihat pertarungan mati-matian To Tok melawan Lauw Yu-hong di atas jembatan alam itu.
Dalam pada itu, Pho Jing-cu dan Boh Wan-lian sudah berada juga di atas suatu puncak gunung dan menyaksikan pertarungan sengit ini.
"Pho-pepek, lihatlah ilmu pedang yang dimainkan wanita itu apakah sama dengan Bu-kek-kiam-hoat kita?"
Tiba-tiba Wan-lian bertanya sesudah melihat sebentar. Waktu itu Pho Jing-cu seperti lagi berpikir, maka sejurus kemudian barulah ia menjawab.
"Ya, kini aku sudah ingat. Kalau diurut, kau harus memanggilnya Suci (kakak),"
Demikian sahutnya.
"Dua puluh tahun yang lalu, Suhengku Tan Su-lan bersahabat kental dengan seorang perwira Loh-ong yang bernama Lauw Cing-it, puteri Lauw Cing-it malah dia akui sebagai anak angkat. Dari mulai umur lima-enarn tahub, gadis cilik itu sudah diajarkan ilmu silat. Kini melihat kiam-hoat yang dia mainkan, tak salah lagi tentu dia adalah puteri Lauw Cing-it itu. Sayang, ia kalah ulet dari To Tok, kalau soal ilmu pedang ia lebih unggul."
Sementara mereka berbicara, pertarungan sudah tambah tegang lagi.
Suatu saat, tiba-tiba Yu-hong memindahkan pedang ke tangan kiri, sesudah melancarkan satu serangan pura-pura, dengan cepat pula ia lantas melompat mundur.
Kemudian tangan kanannya bergerak, tahu-tahu semacam benda kehitam-hitaman telah menutup ke atas kepala To Tok.
Benda itu adalah senjata rahasia tunggal Lauw Yu-hong yang disebut 'Kim-hun-tau' atau jaring sulam, terbuat dari kawat baja halus, di sekitar jaring penuh terpasang kaitan yang lembut.
Karena tak keburu berkelit, pundak To Tok telah tertutup oleh jaring itu hingga kena tercengkeram, waktu Lauw Yuhong menarik kembali sekuatnya senjata rahasia ini, maka mengucurlah darah segar dari pundak To Tok karena kaitankaitan tajam dari jaring yang menempel di pundaknya.
To Tok sedikit merintih karena sakit, tapi ia masih cukup gagah, kembali ia mainkan pedangnya hingga terbitlah angin kencang dan rapat untuk menjaga diri.
Begitu pula Lauw Yuhong, sekali senjata rahasianya berhasil, kembali ia merangsek, ia mencecar lawan dengan tipu serangan yang mematikan, mau tak mau To Tok mulai kewalahan, apalagi jaring yang masih menempel di pundaknya itu tak bisa dilepaskan.
Selagi To Tok terancam bahaya, mendadak dari puncak sebelah kiri yang terjal ada orang berteriak.
"Aku datang!"
Dan menyusul pula suara teriakan orang lain lagi.
"Hai, Coh Ciau-lam apa yang hendak kaulakukan?"
Sebelum lenyap suara teriakan itu, tahu-tahu dari atas telah terjun seorang ke atas jembatan alam itu, sebelum kakinya menancap di atas jembatan, dengan cepat sekali orang itu sudah membabat dengan pedangnya hingga tali jaring 'Kim-hun-tau' yang mencengkeram pundak To Tok pun putus.
Lalu orang ini mengadang di depan To Tok dan menggantikannya menempur Lauw Yu-hong.
Kesempatan itu dipergunakan To Tok untuk mengeluarkan kaitan-kaitan yang masih menancap di kulit dagingnya, habis itu ia bermaksud mundur ke belakang, tiba-tiba ia melihat di ujung jembatan sana seorang Hwesio telah mengadang pula dengan tertawa.
"Celaka tiga belas!"
Pikirnya begitu ia mengenali yang mengadang adalah Kuai-tau-to Thong-bing Hwesio, ia menjadi kuatir.
Tetapi segera ia menjadi gusar, daripada mati konyol, tiada jalan lain harus bertahan mati-matian, maka pedangnya diputar, segera Thong-bing dirangsek dengan kalap.
Sementara itu dengan munculnya orang yang diteriaki sebagai 'Coh Ciau-lam' itu, semua orang yang hadir di situ terkejut.
Pho Jing-cu sendiri pun mengkerutkan kening.
"Inilah orangnya si iblis yang kukatakan tadi,"
Katanya pada Boh Wan-lian.
"Ia bernama Coh Ciau-lam dan orang Kangouw menjulukinya 'Yu-Iiong-kiam', ia adalah murid Hui-bing Siansu. Pada dua puluh tahun yang lalu, bersama Njo Hun-cong, mereka berdua disebut sebagai Thian-san-ji-kiam (dua pendekar pedang dari Thian-san). Cuma sayang jiwa mereka berdua sama sekali berlainan, Njo Hun-cong jujur dan setia, selama hidupnya berjuang untuk nusa dan bangsa, sebaliknya Coh Ciau-lam gila pangkat dan kemaruk harta, akhirnya ia kena dipelet pengkhianat besar Go Sam-kui dan diangkat menjadi pelatih pasukannya. Dan sesudah Njo Hun-cong tewas secara aneh di tepi Ci-tong-kang di Hang-ciu, anak murid Thian-san yang mewariskan Thian-san-kiam-hoat boleh dikata hanya tinggal dia seorang, tak heran kalau dia menjadi berani berbuat sewenang-wenang."
Dalam pada itu, empat orang yang bertempur di atas jembatan alam itu tampaknya makin memuncak tegangnya.
Di atas jembatan sesempit itu, untuk membalik badan saja rasanya susah, apalagi kini untuk bergebrak.
Kiarn-Iioat atau ilmu pedang Coh Ciau-lam benar-benar hebat dan liliai.
Tiap kali Yu-hong menyerang dengan tipu mematikan dan bagi penonton tampaknya pasti akan mengenai sasarannya, siapa tahu Ciau-lam selalu dapat mematahkan serangan itu dengan gerak yang manis yang susah dimengerti, dan malahan bisa pula balas menyerang.
"Agaknya sudah tiba waktunya bagiku untuk turun tangan,"
Kata Pho Jing-cu pada Boh Wan-lian setelah keadaan cukup genting.
Saat itulah, ia melihat Coh Ciau-lam telah mendesak Yuhong lebih gencar lagi hingga si gadis ini tampak kewalahan dan tak berdaya.
Karena itu, Jing-cu tak berani ayal, setelah memberi pesan pada Boh Wan-lian supaya jangan sembarangan bertindak, segera ia pun terjun ke atas jembatan itu seperti burung menyambar.
Waktu itu justru Coh Ciau-lam sedang melontarkan sebuah tipu serangan menusuk ke dada Lauw Yu-hong yang tak bisa dielakkannya.
Maka kedatangan Pho Jing-cu persis tepat pada waktunya, dengan pedang Bu-kek-kiam, ia menikam dari atas, sedang tangan yang lain menjambret bahu Yu-hong dan dilemparkannya ke belakang dengan tenaga dalam yang maha besar.
Dengan meminjam tenaga lemparan itulah, sekali jumpalitan, enteng sekali Yu-hong dapat menancapkan kakinya di atas puncak terjal di sebelah sana.
Coh Ciau-lam menangkis tikaman itu, segera ia merasa tenaga dalam orang yang datang itu terlalu besar.
Sebenarnya ia bermaksud menyengkelit dan menjerumuskan orang ke dalam jurang selagi orang masih terapung di udara.
Tak diduganya, begitu kedua senjata beradu, ia merasa ditekan oleh suatu kekuatan yang maha besar hingga ia sendiri tergetar mundur dua tindak.
Keruan saja ia terkejut dan dalam hati bertanya dari-manakah mendadak muncul seorang lawan setangguh ini? Tetapi ia berpikir pula, dengan ilmu pedang Thian-sankiam- hoat yang tiada bandingannya, meski orang memiliki kepandaian tinggi dan ulet, tidak nanti bakalan lolos di bawah senjatanya.
Maka tanpa pikir lagi segera ia merangsek maju pula, ia menyerang dengan kuat dan mengarah tubuh musuh yang berbahaya.
Dengan kepandaian Pho Jing-cu yang berpuluh tahun terlatih, sekali tikam dari atas tadi luput merobohkan lawannya, betapapun juga, diam-diam Pho Jing-cu pun terkejut.
Dalam sekejap saja, kedua orang itu sudah saling gebrak hingga lima-enam puluh jurus, kedua orang sama-sama tidak memberi kesempatan sedikitpun pada pihak lawan, pedang mereka gemerlapan menyilaukan mata, makin lama makin kencang hingga akhirnya dari jauh hanya tampak dua gumpal sinar membungkus dua bayangan hitam yang naik turun.
Sekalipun Siang Ing dan Thia Thong sekalian terhitung jagoan juga, tidak urung mereka memandang dengan rasa kuatir, hati berdebar-debar dan menahan napas.
Makin lama Coh Ciau-lam semakin gagah, serangannya pun tambah cepat.
Sebaliknya Pho Jing-cu tiba-tiba merubah ilmu pedangnya, gerakannya makin pelahan, walaupun demikian, betapa pun cepatnya pedang Ciau-lam tetap tak dapat mendekatinya, kemana pedang Ciau-lam mengarah, selalu terbentur balik oleh suatu kekuatan besar, penjagaan Pho Jing-cu begitu rapat bagai dilingkari selapis tembok baja yang kukuh.
Sebagai seorang jagoan, Coh Ciau-lam mengenal itu adalah ilmu pedang dari kelas berat, tanpa terasa hatinya terkesiap.
Begitulah, maka keadaan menjadi sama kuat, Coh Ciau-lam tak mampu menembus pertahanan orang, sebaliknya Pho Jing-cu juga tak bisa lolos dari rangsekan Ciau-lam, lambat laun keduanya mulai tak sabar dan gelisah.
Sampailah pada suatu saat yang menentukan, sekonyongkonyong Pho Jing-cu menarik senjatanya dan sengaja memberi kesempatan pihak lawan.
Betul saja Coh Ciau-lam lantas menusuk, siapa tahu secepat kilat Pho Jing-cu mengegos sambil pedangnya menyampuk keras ke samping, berbareng sebelah tangannya ikut menghantam pula ke batok kepala musuh.
Karena tidak berjaga-jaga atas serangan itu, dalam kagetnya lekas Coh Ciau-lam menahan pedangnya yang disampuk, berbareng hantaman orang itu ia sambut dengan telapak tangan kirinya, maka terdengarlah suara "plok"
Yang keras disusul dengan suara jeritan orang ramai.
Karena beradunya kedua tangan itu, ternyata baik Coh Ciau-lam maupun Pho Jing-cu keduanya terjungkal ke dalam jurang bagai layang-layang putus benangnya.
Mujur bagi Pho Jing-cu, sebab sesampainya di tengah jurang ia tersangkut sebatang pohon Siong tua yang tumbuh di tebing gunung, dengan cepat Jing-cu merangkul erat batang pohon itu untuk menahan terjerumus lebih jauh.
Sebaliknya malang bagi Coh Ciau-lam, di udara terbuka itu ia berjumpalitan beberapa kali tetapi tetap terjerumus ke jurang yang sangat dalam.
Di lain pihak, waktu itu To Tok juga lagi terdesak oleh Thong-bing Hwesio hingga terus main mundur, akan tetapi di ujung jembatan yang lain, di sana sudah menunggu Lauw Yuhong dengan pedang terhunus dan mata berapi.
Dalam pada itu pasukan yang dibawa To Tok itupun sudah mengepung rapat seluruh gunung hingga suasana ramai riuh dengan suara jerit tangis rakyat pengunjung, banyak pula bekas pengikut Loh-ong yang ikut terkepung tak sempat meloloskan diri.
Sedangkan barisan pemanah dari pasukan To Tok sudah berdiri di atas puncak-puncak gunung dengan busur terpentang sedang menghujani orang banyak itu dengan panah, sungguhpun banyak batu-batu cadas dan teraling-aling oleh puncak gunung yang menonjol di sana-sini namun keadaan cukup gawat dan berbahaya.
Dalam keadaan begitu, Lauw Yu-hong harus mengambil keputusan.
To Tok yang mereka arah sudah di depan mata dan tinggal dibekuk saja, tetapi di samping itu ia mendengar suara jeritan dan tangisan rakyat yang tak berdosa karena hujan panah itu.
Tiba-tiba ia mengeluarkan lagi anak panah berapi dan dibi-dikkan ke angkasa untuk memerintahkan Thong-bing Hwesio sekalian menghentikan pertempuran.
Melihat isyarat itu, dengan heran Thong-bing Hwesio segera berhenti mendesak To Tok lebih jauh.
Ia tidak habis mengerti, To Tok yang di depan mata tinggal dibekuk ini kenapa mendadak Yu-hong memberi perintah 'gencatan senjata'? Tengah ia merasa heran dan bingung, terdengar Lauw Yuhong sudah buka suara.
"Hai, To Tok, kau masih ingin hidup tidak?!"
Demikian bentak pemimpin wanita itu. Namun To Tok menyambut orang dengan sikap angkuh dan dingin.
"Hm, kalau masih, mau apa? Dan kalau tidak, bagaimana?"
Sahutnya.
"Bila ingin hidup, lekas kau perintahkan tentaramu berhenti bertempur,"
Kata Yu-hong.
"Hari ini anggap saja kami tidak bermusuhan denganmu, sebaliknya tak boleh kau menangkap rakyat yang tak berdosa."
"Tetapi bagaimana di kemudian hari?"
Tanya To Tok setelah berpikir.
"Kemudian hari adalah urusan kemudian hari, kau tentu tak mau melewatkan kami, sebaliknya kami pun tak nanti mengampunimu,"
Sahut Yu-hong.
"Kalau begitu masih cukup adil. Baiklah, akur!"
Kata To Tok dengan gelak tertawa.
Habis itu, pedangnya diacungkan ke atas dan memberi tanda sekali.
Sungguh disiplin militer memang sangat keras, begitu perintah diberikan dan diteruskan pula berturut-turut dalam waktu sekejap saja, senjata-senjata sudah kembali ke sarungnya dan bekas pengikut Loh-ong pun bebas keluar dari kepungan, sedang rakyat pengunjung itupun berduyun-duyun turun gunung.
Dengan golok masih terhunus Thong-bing Hwesio terpaku di tempatnya sambil mengawasi To Tok yang berjalan lewat di sampingnya, saking gemasnya ia mengertak gigi, musuh yang sudah berada dalam sangkar harus dilepaskan begitu saja.
Bukan saja Thong-bing yang mengertak gigi, malah ada lagi seorang yang jauh lebih gemas dari dia, dia bukan lain adalah si gadis berkedok itu.
Waktu itu ia sedang bersandar pada sebuah batu cadas, demi melihat To Tok bebas begitu saja, diam-diam tangannya merogoh baju seperti mengambil senjata rahasia.
Kelakuan si gadis ini dapat dilihat Siang Ing yang berdiri tidak jauh, lekas ia maju mencegah.
"Jangan, nona! Pemimpin kami sudah mengeluarkan perintah, soal kepercayaan harus kita pegang teguh!"
Demikian katanya.
Gadis itui terdiam oleh teguran orang, ia heran mengapa orang gagah seperti Siang Ing yang menjadi musuh kawakan To Tok bisa begitu tunduk terhadap perintah seorang wanita? Dalam pada' itu, Pho Jing-cu sudah memanjat naik lagi.
Lauw Yu-hong dan kawan-kawan merubung memberi hormat padanya dan menghaturkan terima kasih atas pertolongan sang Susiok (paman guru) yang sudah lama tak bersua itu.
Sesudah To Tok menghilang, kemudian Yu-hong memimpin pengikutnya melintasi puncak Leng-ci-hong dan turun gunung melalui jurusan lain.
Gadis berkedok yang datangnya tidak bersama mereka, kinipun diajaknya ikut serta.
Sepanjang jalan mereka hanya bungkam saja dan lesu.
Ya, usaha gagal, tidak heran kalau mereka menjadi lemas dan gege-tun.
Akan tetapi semua orang dapat memahami tindakan Lauw Yu-hong, adalah bijaksana jiwa orang banyak yang tak berdosa ditukar dengan jiwa seorang To Tok.
Melihat paras Wan-lian yang cantik molek, Yu-hong menjadi tertarik oleh gadis ini, sepanjang jalan ia selalu mengajak bicara padanya, tetapi tidak demikian dengan Boh Wan-lian, hatinya seperti berduka, ia bicara dengan kurang bersemangat.
Begitulah mereka berjalan dengan cepat, maka sesudah menyusuri lembah dan melintasi sebuah bukit, setelah puluhan li dilalui dalam waktu singkat, akhirnya tibalah mereka di suatu perkampungan, di depan kampung itu sudah menunggu banyak orang.
"Ini adalah perkampungan Kangouw-cianpwe (angkatan tua kalangan persilatan) Bu Guan-ing,"
Demikian kata Yu-hong pada Jing-cu.
"Di sinilah kami menumpang mondok."
"Apa maksudmu Bu Guan-ing dari Cong-lam-pay yang tersohor itu?"
Tanya Jing-cu.
"Kami adalah sahabat lama."
"Ya, betul,"
Sahut Yu-hong.
Baru saja mereka berbicara, dari dalam kampung telah keluar seorang memberi laporan pada Lauw Yu-hong.
Orang itu adalah pengikut Loh-ong yang ditinggalkan di perkampungan ini.
Orang itu berbisik pada Yu-hong beberapa patah kata, lalu terlihat pemimpin wanita ini mengkerutkan kening.
"Baiklah, tahulah aku,"
Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Katanya kemudian.
"Beritahukan Cengcu (kepala kampung) bahwa kami akan mengaso dulu ke ruangan lain untuk membereskan sesuatu urusan, sesudah itu akan kami temui Cengcu dan Han-congthocu."
"Apakah Congthocu Thian-te-hwe, Han Ci-pang, telah datang?"
Tanya Thong-bing Hwesio.
"Betul,"
Sahut Yu-hong. Lalu Yu-hong membawa semua orang masuk ke dalam. Setelah masing-masing mengambil tempat duduk, kemudian ia buka suara lagi.
"Nona,"
Demikian ia berkata pada gadis berkedok.
"Hendaklah jangan kausesalkan kami, kita cukup tegas membedakan antara budi dan dendam, tadi kau telah melindungi permaisuri To Tok, tetapi kemudian kaubela Thiokongcu pula sekuat tenaga, hal ini sungguh membikin kami menjadi bingung. Nona, jika tak keberatan, sudilah kiranya kau memberitahu maksud kedatanganmu ini dan memperkenalkan muka aslimu pada kami?"
Mula-mula gadis berkedok itu ragu-ragu, ia diam saja, tetapi kemudian pelahan-lahan ia pun menarik kain kedoknya.
Pandangan semua orang terbeliak, bahkan ada yang bersuara heran.
Setelah kedok si gadis dibuka, seketika itu semua orang terkesima.
Ternyata wajah si gadis mirip benar dengan permaisuri To Tok, hanya dandanannya saja yang tidak secara bangsa Boan.
"Kau bangsa Han atau bangsa apa?"
Tanya Thong-bing Hwesio dalam herannya.
"Tentu saja aku bangsa Han,"
Sahut gadis itu sambil meliriki orang.
"Sudikah nona memberitahu nama dan siapakah guru nona?"
Thia Thong ikut bertanya.
"Sudah tentu tiap orang punya nama sebagai tanda pengenal. Agar memudahkan, kalian boleh panggil aku Ie Lancu,"
Demikian sahut gadis itu dengan tertawa.
"Mengenai perguruan, seorang gadis tak berguna seperti aku ini tak berani mencemarkan nama baiknya, maka lebih baik tak kukatakan."
Apabila si gadis atau le Lan-cu memandang sikap ragu-ragu semua orang yang ada di situ, ia pun tahu tentu orang masih curiga atas dirinya. Oleh karena itu, dengan suara keras ia pun menjelaskan lebih lanjut.
"Dan mengenai pertanyaan mengapa aku melindungi Onghui (permaisuri) To Tok, kalian semuanya adalah ksatria yang kiranya tak perlu diberi penjelasan panjang lebar, tentu kalian tahu bahwa tujuanku ialah membunuh To Tok, siapa tahu yang berada dalam joli adalah isterinya. Tentu saja aku tak bisa membunuh seorang wanita yang tak bersenjata. Dan soal Thio-kong-cu luka terkena piaunya, itu adalah kejadian sesudahnya."
Tengah le Lan-cu berbicara, Pho Jing-cu yang sejak tadi mengawasi wajah orang, diam-diam ia menulis di secarik kertas dan menyuruh Boh Wan-lian menyodorkan pada Lauw Yu-hong. Waktu Yu-hong membaca, ia melihat di kertas itu tertulis.
"Sinar mata gadis ini guram buyar, semangatnya lesu, pasti ia sedang menderita batin."
Yu-hong cukup mengenal sang Susiok ini sangat pandai dalam ilmu pertabiban, nyata apa yang ditulisnya itu cocok dengan pendapatnya. Maka sehabis si gadis itu bicara, dengan ramah ia pun menghiburnya.
"Nona, jangan kau curiga, pertanyaan kami tadi tidak lain hanya ingin mengikat persahabatan dengan orang seperti nona ini. Maka jika nona tidak menampik, aku yang beruntung lebih tua beberapa tahun, bolehlah aku memanggilmu sebagai Moy-moy (adik)!"
Habis berkata ia pun mendekati le Lan-cu, ia tarik si gadis duduk lebih dekat padanya. Gadis ini menjadi amat terharu hingga matanya tampak merah basah, dengan suara pelahan ia pun balas memanggil.
"Cici (kakak)!"
Perkenalan yang mesra ini membuat Thong-bing Hwesio dan yang lain-lain ikut merasa terharu.
Dalam pada itu demi mengetahui kedatangan Pho Jing-cu, Bu-cengcu, Bu Guan-ing senang sekali, khusus ia mengutus orang mengundang Pho Jing-cu bertemu dengannya.
Karena memang sudah belasan tahun tak bertemu, tentu saja kedua orang tua ini saling rangkul.
Mereka bercakap dengan asyiknya menceritakan pengalaman masing-masing selama ini.
"Pho-toako,"
Demikian kata Bu Guan-ing sesudah lama bicara.
"Aku ada urusan, rasanya harus minta bantuanmu!"
"Soal apakah, silakan berkata,"
Sahut Jing-cu.
"Aku minta kau menjadi comblang,"
Kata Bu Guan-ing.
"Aneh, tiada anak gadis yang kukenal, darimana aku bisa menjadi comblang?"
Ujar Jing-cu.
"Jika kau maksudkan nona Boh yang ikut datang bersamaku itu, maka dapat kukatakan bahwa usianya masih terlalu muda untuk membicarakan perjodohannya."
"Aku bukan maksudkan Boh-siocia,"
Kata Bu Guan-ing pula dengan tertawa.
"Tetapi yang kumaksudkan adalah keponakan perempuanmu si nona Lauw Yu-hong. Ia sudah piatu, juga tiada guru, kau adalah Susioknya, maka sedikitnya kau pun bisa ikut memutuskannya."
"Siapakah yang minta jasa baikmu ini?"
Tanya Jing-cu.
"Toako, kalau disebut, orang inipun kiranya tidak terlalu merendahkan diri nona Lauw,"
Sahut Guan-ing sambil mengelus jenggot.
"Dia adalah Congthocu dari Thian-te-hwe, Han Ci-pang. Orang ini berhati jujur, setia dan berbudi. Sebenarnya ia punya peternakan kuda, setelah tentara Boan menyerbu masuk, ia lantas meninggalkan usahanya itu dan menghimpun kekuatan serta mendirikan Thian-te-hwe. Oleh karena selama hidup selalu merantau kian kemari, maka sampai kini walau sudah menginjak umur empat puluh tahun masih belum berkeluarga."
"Kita adalah orang-orang tua, kita tak tahu lagi bagaimana pikiran orang muda sekarang,"
Demikian Bu Guan-ing meneruskan dengan menghela napas.
"Nona Lauw baik dalam segala hal, hanya ada sifatnya yang aneh, ialah bila orang mempersoalkan perjodohannya, segera ia menjadi tidak senang. Dahulu Han Ci-pang tidak sedikit memberi bantuan bagi pergerakannya, pernah ia mengutus kawannya mencoba untuk meminang nona Lauw, siapa tahu lamaran itu sedikitpun tak digubrisnya, padahal dengan kepandaiannya yang tinggi dan umurnya yang sudah lewat tiga puluhan, tetapi masih belum menikah dan malahan seperti tak mau menikah buat selamanya. Coba kaukatakan, bukankah ini sangat aneh?"
Mendengar cerita iri, Pho Jing-cu berpikir.
"Baiklah, aku boleh coba bertanya pada Yu-hong, tetapi dia mau atau tidak, itu adalah urusannya sendiri,"
Katanya kemudian. Setelah dua sahabat lama ini mengobrol lagi ke timur dan ke barat, tak lama kemudian Bu Guan-ing mengajak.
"Marilah sekarang kita pergi menemui Han-congthocu."
"Baiklah,"
Sahut Jing-cu. Dan sewaktu mereka sampai di depan sebuah kamar, tibatiba terdengar di dalam ada suara ngikik tertawa anak kecil, habis itu terdengar bocah itu berkata.
"Ayo, Han-sioksiok (paman Han), kau kalah, jangan kau ingkar janji, sekarang aku akan naik kuda."
Waktu Guan-ing mendorong daun pintu kamar dan melangkah masuk, maka tertampak seorang laki-laki tegap sedang merangkak di lantai, bermain kuda-kudaan dan di punggungnya menunggang seorang anak kecil belasan tahun sedang tertawa sambil bertepuk tangan.
"Sing-hua, jangan nakal!"
Lekas Guan-ing membentak. Dengan cepat bocah itu melompat turun dari punggung orang, sedang laki-laki itupun berdiri, mukanya menjadi merah jengah dan menyengir, sikapnya gagah tapi rada malu-malu.
"He, Han-toako makin lama makin kekanak-kanakan, tentu saja Sing-hua si bocah ini bertambah manja,"
Kata Bu Guaning dengan tertawa demi melihat kelakuan orang tadi. Habis itu ia pun memperkenalkan mereka pada Jing-cu.
"Ini adalah Congthocu Thian-te-hwe, Han Ci-pang, Hantoako, dan bocah ini adalah Sing-hua, puteraku satu-satunya yang kecil. Hayo, Sing-hua, lekas memberi hormat pada Phopepek dan minta sedikit hadiah perkenalannya."
Umur Bu Sing-hua baru menginjak sebelas tahun, ia dilahirkan pada waktu Bu Guan-ing merayakan ulang tahun ke lima puluh, maka bocah ini sangat dimanjakan ayahnya.
Tatkala itu dengan melompat-lompat ia hendak berlari pergi, ketika mendengar teriakan ayahnya itu, dengan cepat ia berlari balik dengan tangan membawa biji-biji catur.
"Han-sioksiok main catur denganku dan beruntun telah kalah tiga babak,"
Tutur bocah itu dengan tertawa.
"Ya, si Sing-hua ini betul lihai,"
Sela Han Ci-pang dengan bergelak tertawa pula.
"Aku baru saja belajar main dari buku petunjuk catur, siapa tahu bocah ini sama sekali tidak menurut teori, ia jalan sesukanya dan main caplok hingga aku kewalahan."
"Ini namanya kapal besar terbalik di sungai,"
Ujar Pho Jingcu ikut tertawa.
"Makanya janganlah sekali-kali berpikir menurut buku pelajaran, teori demikian ini sudah ketinggalan zaman."
Habis itu ia memanggil Sing-hua dan berkata padanya.
"Coba, sekarang kau boleh timpukkan semua biji catur di tanganmu itu padaku, biar Pepek (paman) mengajarkan main sulap padamu."
Sing-hua menjadi ragu-ragu, ia pandang ayahnya.
"Pepek suruh kau menimpuknya, maka boleh kau timpuk saja,"
Kata Guan-ing sambil tersenyum.
"Ya, timpuk saja, bahkan harus menimpuk dengan segenap tenaga dan seluruh kepandaianmu memakai senjata rahasia, agar aku bisa mengukur kepandaianmu,"
Ujar Jing-cu lagi.
Melihat sang ayah tidak mengomelinya, bahkan mendorongnya agar menimpuk, Sing-hua menjadi girang, ia mendapat hati.
Maka sekali raup, kedua tangannya penuh menggenggam biji-biji catur itu terus diayunkan, ia menggunakan gerakan 'Boan-thian-hUa-uh' atau hujan gerimis memenuhi langit, satu gerakan tipu menimpukkan senjata rahasia piau, ia hujani Pho Jing-cu dengan biji-biji caturnya itu.
"Bagus!"
Seru Jing-cu sambil tertawa.
Tiba-tiba ia pentang tangan, ia kebas lengan bajunya yang lebar itu dengan pelahan seperti penari, tahu-tahu biji catur sebanyak itu lenyap semua tanpa bekas.
Dan ketika Jing-cu membuka lengan bajunya, maka menggelindinglah biji-biji catur itu ke lantai dari lengan bajunya itu.
Semua orang tidak kepalang terkejutnya oleh kepandaian jago Bu-kek-pay ini, nyata dengan sekali kebas lengan bajunya seperti pemain opera saja, semua biji-biji catur tadi sudah digulung masuk.
Cara menangkap senjata rahasia ini betul-betul belum pernah mereka lihat.
Dan rasanya yang pating girang adalah si Sing-hua, tanpa disuruh lagi ia mendekati Pho Jing-cu dan memohon agar diajarkan kepandaian itu padanya.
"Baiklah aku turunkan kepandaian ini pada Sing-hua sekedar hadiah perkenalanku, bagaimana menurut pendapatmu?"
Kata Jing-cu kemudian pada Bu Guan-ing. Tentu saja berulang-ulang Bu Guan-ing menyatakan terima kasih, lekas ia perintahkan Sing-hua menjura pada orang tua ini. Dalam pada itu, seorang pelayan kelihatan masuk memberi laporan pada sang majikan.
"Baiklah kalau nona Lauw sudah siap, silakan antar mereka ke sini!"
Perintah Guan-ing kemudian. Maka tidak lama terdengarlah di luar kamar riuh ramai dengan suara orang banyak. Belum masuk kamar sudah terdengar Thong-bing Hwesio, Siang Ing dan Thia Thong berteriak.
"Kau sudah datang, Han-toako, sungguh kami sudah kangen padamu!"
Sembari menggembor, mereka pun masuk terus merubung Han Ci-pang.
Di belakang Thong-bing, menyusul pemimpin wanita mereka, Lauw Yu-hong.
Wajahnya tersenyum simpul, sikapnya tegas dan agung.
Di samping sana diam-diam Pho Jing-cu merasa serba susah, ia pikir urusan perjodohan memang aneh, dalam pandangannya, Han Ci-pang boleh dikata seorang laki-laki sejati, jujur dan setia kawan, seperti sekarang ini, karena tahu Yu-hong ada urusan di Ngo-tai-san, dari jauh ia sengaja datang hendak membantu, kebaikan ini tentu tidak bisa dilakukan sembarang orang.
Akan tetapi melihat sikap Yuhong, tampaknya ia adem saja terhadap orang, rasanya urusan perjodohan ini susah dirangkap.
Sedang Pho Jing-cu berpikir sendiri, menyusul dari luar telah masuk lagi dua orang.
Yang seorang pendek kecil, tetapi sorot matanya tajam, sedang yang lain bermuka hitam, sikapnya kereng dan gagah.
Sesudah Han Ci-pang memperkenalkan mereka, barulah diketahui bahwa yang pendek kecil itu bernama Njo It-wi, ia merupakan 'otak', juru pikir dari Thian-te-hwe.
Dan yang gagah itu bernama Hua Ci-san, menjabat Huthocu atau wakil ketua Thian-te-hwe.
Dari wajah kedua orang ini, tampaknya mereka agak tegang seperti ada sesuatu yang mereka hadapi.
"Maaf, sekarang marilah kita bicarakan urusan pokok,"
Kata Lauw Yu-hong memulai sesudah semua orang duduk.
"Dahulu Han-congthocu pernah merundingkan soal penggabungan denganku. Kini aku berpendapat memang pokok tujuan kita sama, maksudnya kita menegakkan negeri leluhur dengan tiada perbedaan. Maka kami bekas pengikut Loh-ong bersedia masuk ke dalam perkumpulan kalian, Thian-te-hwe."
"Itu bagus sekali,"
Tiba-tiba Njo lt-wi menyela.
"Cong-thocu dan kami akan menerima dengan segala senang hati."
"It-wi,"
Kata Ci-pang cepat.
"Bukan begitu caranya!"
Thong-bing Hwesio dan kawan-kawan menjadi heran, segera mereka pun bertanya.
"Apakah Congthocu maksudkan"
"Maksudku, soalnya bukan kami menerima kalian atau kalian yang menerima kami,"
Sahut Ci-pang.
"Apabila kita sudah bergabung, maka tidak perlu harus membedakan siapa tuan rumah dan siapa tetamu. Maksudku ialah sudah sepantasnya nona Lauw yang menjadi Congthocu (ketua umum), bukankah aku ini hanya seorang kasar? Haha!"
Begitulah Ci-pang mengakhiri pembicaraannya dengan tertawa, dan selagi hendak disambungnya, tiba-tiba Lauw Yuhong sudah menyela.
"Terima kasih atas maksud baik Han-congthocu itu, tapi aku berpendapat lebih baik jabatan itu dipangku Hancongthocu terus, Thian-te-hwe sudah mempunyai dasar yang kuat di daerah barat-Iaut, jumlah kami hanya sedikit,"
Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Demikian kata Yu-hong.
"Betul itu,"
Kata Njo It-wi.
"Memang sudah lama kami mengagumi kebijaksanaan nona Lauw, dan apa yang nona Lauw ucapkan tadi ternyata sangat tepat."
Tak ia duga, mendadak Han Ci-pang memandang padanya dengan mata melotot.
"Kauhilang kagum, jika begitu, bukankah lebih-lebih harus mengangkat dia sebagai Congthocu?"
Demikian katanya dengan suara rendah pada pembantunya ini.
Njo It-wi menjadi kikuk, mau tak mau ia membenarkan, walaupun dalam hati ia mengharap Lauw Yu-hong menolak pengangkatan itu.
Di luar dugaan, Yu-hong ternyata mempunyai perhitungan sendiri, ia tak menolak, bahkan menerima tawaran itu.
"Kalau Han-thocu begitu percaya padaku, terpaksa aku tidak dapat menolaknya,"
Demikian katanya.
Tentu saja Han Ci-pang girang sekali.
Thong-bing Hwesio sekalian pun ikut bergembira.
Hanya Njo It-wi saja yang diamdiam tidak senang.
Setelah itu lantas dirundingkan pemilihan hari baik untuk menetapkan upacara 'pembukaan gunung dan pengangkatan pengemudi'.
Malahan sebelum ada upacara tersebut atas permintaan Han Ci-pang sendiri, telah memerintahkan semua cabang-cabang dan pengikut-pengikut Thian-te-hwe supaya tunduk pada perintah Lauw Yu-hong, Congthocu yang baru.
Seterusnya mereka lantas membicarakan pertempuran seru dengan To Tok dan Coh Ciau-lam di Ngo-tai-san itu.
"Si iblis ini sungguh sukar dilawan, selain Pho-susiok, kita semua bukan tandingannya,"
Kata Lauw Yu-hong.
"Sekali ini ia dapat terpukul jatuh ke dalam jurang oleh Pho-susiok, aku harap jiwanya melayang."
"Aku pun tak dapat menundukkan dia., kukira kalian jangan bergirang dahulu, dengan kepandaian silatnya itu belum tentu ia tewas terjatuh,"
Kata Pho Jing-cu. Han Ci-pang mendengarkan percakapan itu dengan penuh perhatian, tiba-tiba ia menepuk tangan dan berkata.
"Aku jadi teringat pada seseorang yang mungkin dapat menundukkan si iblis ini."
"Siapakah dia?"
Tanya Thong-bing Hwesio.
"Aku pun belum pernah kenal dia, aku hanya tahu ia dipanggil 'Thian-san-sin-bong' Leng Bwe-hong,"
Sahut Han Cipang.
"Aneh sekali julukannya ini,"
Kata Lauw Yu-hong.
"Ya, sebab di atas Thian-san ada tumbuh semacam tumbuhan berduri 'bong' yang tajamnya luar biasa, benda inilah yang ia gunakan sebagai senjata rahasia,"
Kata Han Cipang pula.
"Ia mempunyai ilmu pedang tinggi sekali, tindaktanduknya tegas, oleh karena itu ia mendapatkan julukan itu. Malahan di daerah barat-daya sana, namanya sangat berpengaruh, sampai-sampai suku bangsa di Tibet, Mongol dan Sinkiang pun mengaguminya, rakyat penggembala dengan dia pun mempunyai hubungan yang baik, hanya ia selalu pergi datang sendirian, la menggabungkan diri dengan rakyat penggembala, untuk mencarinya tidaklah mudah. Sebelum aku datang di Soa-say sini, telah kuperintahkan beberapa saudara kita pergi mencari dia."
Mendengar ada orang yang begitu hebat dan luar biasa, semua orang menjadi kagum dan heran sekali.
"Ilmu pedang orang ini begitu lihai, apakah dia ahli waris dari Hui-bing Siansu? Mengapa aku tidak pernah mendengarnya,"
Tanya Pho Jing-cu.
"Entahlah, tapi ada juga yang menyebut dia 'Thian-sankiam', itu disebabkan ia selalu pergi-datang di daerah sekitar Thian-san,"
Tutur Han Ci-pang pula.
"Tentang Hui-bing Siansu, ia sudah beberapa puluh tahun tak pernah turun gunung, maka tidak pernah terdengar apakah ia telah menerima murid baru lagi"
"Sementara tak usah pedulikan Thian-san-sin-bong apa segala, sebaiknya kita membicarakan hal-hal yang penting dulu,"
Kata Lauw Yu-hong menepuk tangan pelahan untuk memutus percakapan orang.
"Pertama, mengenai Thio-kongcu yang telah terjebak di Ngo-tai-san, kalau tidak lekas ditolong keluar, itulah tidak enak terhadap ayahnya. Kedua, ialah To Tok yang datang hari ini dengan membawa begitu banyak pasukan, tidak sesuai dengan tindakannya sehari-hari, di dalamnya tentu ada sesuatu yang tersembunyi. Setelah bangsa Boan memasuki Kwanlwe sampai kini sudah tiga puluh satu tahun. Di daerah tengah sudah aman dan tinggal Taiwan, Mongolia, Sinkiang dan Tibet yang belum masuk dalam petanya. Taiwan terpencil di luar lautan takkan banyak gunanya dalam pergerakan, tetapi daerah barat-laut dan sekitarnya, kalau suku-suku bangsa di sana bisa bersekutu melawan pemerintah Boan dan bekerja-sama dengan Taiwan, mungkin masih ada harapan. Aku mendengar kabar pemerintah Boan berniat menjajah ke barat-laut, kedatangan To Tok ini boleh jadi ada hubungannya dengan ini. Kita tidak bisa tidak harus menyelidikinya."
"Thio-kcngcu, siapakah dia?"
Tanya Jing-cu tiba-tiba.
"Dia adalah anak Tayciangkun Thio Hong-gian almarhum, murid angkatan ketiga dari Cong-lam-pay,"
Sahut Lauw Yu-hong.
"Ia baru saja keluar pintu perguruan lantas terjebak di tangan musuh, tidak boleh tidak kita harus mencari daya upaya buat menolongnya."
Thio Hong-gian adalah panglima perkasa yang melawan pemerintah Boan, juga panglima tertinggi dari seluruh pasukan Loh-ong dulu. Karena itu, semua orang menjadi bingung.
"Kalau para saudara tak mencerca diriku yang tua bangka Ini, malam ini biar aku bersama Boh-siocia pergi menyelidiki ke atas gunung!"
Kata Pho Jing-cu sambil berdiri. Ilmu silat Pho Jing-cu sudah mencapai puncaknya, sudah tentu adalah pilihan yang paling cocok hanya semua orang belum mengetahui bagaimana dengan kepandaian Boh Wanlian, maka seketika semua terdiam.
"Lebih baik aku yang ikut pergi dengan Pho-cianpwe?"
Seru Thong-Bing Hwesio tiba-tiba.
"Kepandaianku walaupun belum sempurna, tetapi kalau pergi bersama Pho-pepek, kukira tidak sampai terjadi apaapa,"
Kata Boh Wan-lian dengan tersenyum. Waktu itu kebetulan terdengar di luar ruangan ada berisik suara burung gagak "Di atas pohon di luar sana ada seekor burung gagak, berisik suaranya membikin orang sebel,"
Kata Pho Jing-cu tertawa.
"Wan-lian, coba kautangkap burung itu!"
Wan-lian menurut, ia berdiri, tiba-tiba ia pentang kedua tangannya dan tahu-tahu orangnya sudah berada di tengah pelataran, bahkan tanpa beraksi lagi, tubuhnya lurus menaik, dengan enteng ia meloncat ke pucuk pohon di luar itu, maka terdengarlah suara.
"Gaok!". Gagak itu baru saja hendak kabur sudah keburu disambar Boh Wan-lian yang lantas melompat turun kembali. Semua orang terpesona oleh kegesitan dan kecepatan si gadis.
"Ilmu mengentengkan tubuh sebagus ini, tentu saja dapat pergi!'' seru Thong-bing Hwesio sambil mengacungkan jempolnya. Dan semua orang tertawa. Malam itu, Pho Jing-cu dan Boh Wan-lian telah bertukar pakaian berjalan malam, dalam keadaan gelap dan bintang suram mereka naik ke Ngo-tai-san dari jurusan utara. Ngo-tai-san adalah gunung tinggi yang tersohor, beberapa ribu pasukan pengawal yang To Tok bawa hanya dapat berjaga mengelilingi Jing-liang-si, dan tidak mungkin bisa merata di seluruh gunung. Pho Jing-cu dan Boh Wan-lian dengan kecepatan laksana burung terbang di malam yang gelap gulita merayap naik, tiada seorang pun yang dapat memergoki mereka. Dan sebelum sampai di tengah gunung, mendadak Pho Jing-cu berkata pada Boh Wan-lian dengan suara tertahan.
"Awas!"
Berbareng itu tubuhnya telah melayang jauh ke depan beberapa tombak, Boh Wan-lian pun segera menyusul.
Tiba-tiba mereka melihat sesosok bayangan orang yang memakai kedok berada tidak jauh di depan, sekonyongkonyong orang ini pun berpaling kepada mereka.
Dalam kegelapan Wan-lian dapat melihat yang memakai kedok itu adalah seorang gadis.
Sepasang matanya yang tak tertutup kedok itu bersinar seperti bintang yang berkelap-kelip di langit yang gelap.
Melihat Pho Jing-cu dan Boh Wan-lian berdua dapat menyusul dirinya, gadis itu tersenyum, katanya.
"Kita masingmasing menempuh jalan sendiri saja!"
Lalu ia merangkap tangan memberi hormat dan segera berlari pergi pula melalui jalan yang lain. Suara gadis ini begitu dikenal, dan ketika Boh Wan-lian hendak mengejar lagi untuk melihat siapa sebenarnya orang ini, Pho Jing-cu keburu menariknya.
"Tak usah kejar dia,"
Kata Pho Jing-cu.
"Ia adalah gadis berkedok sutra itu, Ie Lan-cu, tentu ia ada urusan lain, maka tidak bersedia jalan bersama kita."
"Mengapa tindakan gadis ini begitu aneh?"
Pikir Boh Wanlian diam-diam.
Maka cepat mereka melanjutkan perjalanan dengan menggunakan ilmu mengentengkan tubuh yang tinggi, dalam sekejap mereka sudah sampai di depan Jing-liang-si.
Waktu itu malam geiap gulita, lima buah pagoda tembaga mengitari Jing-liang-si, tiap pagoda, tingginya tiga belas tingkat, tiap tingkat di luarnya tergantung delapan belas pelita gelas, sehingga sekitar kelenteng itu tersorot terang.
Barisan pengawal meronda kian kemari, menunjukkan penjagaan dilakukan ketat dan rapi sekali, ditambah di depan pagoda yang tengah, berbaris pula pasukan pemanah yang siap dengan anak panah terpasang di busurnya, suasana kelihatannya menjadi tegang sekali.
Jing-cu dan Wan-lian mendekam di belakang batu besar, seketika tak punya akal bagaimana bisa masuk ke dalam.
Tengah mereka berpikir, tiba-tiba angin menderu keras, batu pasir beterbangan, dan pada saat itu, tiga pelita di tingkat tiga pada pagoda tembaga yang sebelah kiri mendadak padam, dalam keadaan remang-remang ada sesosok bayangan orang berkelebat melayang naik.
Pasukan pengawal mendadak berteriak, anak panah pun beterbangan seperti hujan.
Dalam keributan itu, kembali menderu pula angin keras, tiga pelita di muka tingkat tiga pagoda yang tengah ikut padam juga.
Melihat kesempatan baik itu, lekas Pho Jing-cu menarik Boh Wan-lian dan berseru tertahan.
"Lekas naik!"
Dalam keributan dan kegelapan itu mereka meloncat keluar, dengan enteng mereka melayang naik ke tingkat pertama pagoda yang tengah, yang merupakan pagoda induk, segera mereka merayap naik pula ke tingkat dua dan tiga, hanya sekejap saja mereka berdua sudah berada di atas pagoda.
"Malam ini ada jagoan berilmu tinggi dari kalangan persilatan yang datang, pelita tadi terang dipadamkan dengan timpukan senjata rahasia sebangsa batu dengan menggunakan tenaga berat!"
Demikian kata Pho Jing-cu pada Boh Wan-lian.
Sementara itu, barisan pengawal di luar setelah ribut sebentar dan tak melihat ada orang, mereka sangsi mungkin burung malam yang telah melayang lewat, dan menduga pelita gelas itu padam oleh batu pasir yang terbawa angin keras tadi, mereka bahkan menyalakan obor terus berjaga lagi dan tidak mengusut lebih jauh.
Di dalam pagoda induk itu tiap-tiap tingkat ternyata sangat luas, selain ruangan tengah yang besar, masih ada pula beberapa kamar.
Setelah masuk ke dalam, segera Pho Jing-cu dan Boh Wan-lian pun memadamkan beberapa pelita yang ada di dalam dengan senjata rahasia mereka.
Tidak lama kemudian, ada dua orang yang membawa lentera sedang mendatangi sambil sepanjang jalan mereka terus menggerundel.
"Malam ini mengapa angin begini kencang, pelita gelas di luar sirap, malahan yang di dalam pun tertiup padam juga, betul-betul ajaib!"
Jing-cu dan Wan-lian tidak ayal lagi, sekali lompat, bagaikan kilat mereka sudah berada di depan kedua orang itu, sekali jari menotok, berteriak saja belum kedua orang itu sudah tertotok urat nadi gagu mereka.
Setelah kedua orang itu dibikin tak berdaya, segera mereka diseret keluar serambi pagoda di bawah pelita yang menyorot dari tingkat empat.
Jing-cu segera memeriksa orang, hampir saja ia berseru heran setelah jelas melihatnya.
Kedua tawanan ini ternyata bukan serdadu pengawal, juga bukan orang biasa, dari dandanan mereka terlihat jelas adalah dua orang Thaykam atau orang kebiri, dayang kerajaan.
Pho Jing-cu masih kurang percaya, ia sengaja mengulur tangannya dan merogoh ke bagian bawah orang.
"Ya, tidak salah lagi!"
Katanya.
Melihat perbuatan sang paman, Boh Wan-lian memalingkan muka ke jurusan lain karena malunya.
Mendadak Jing-cu sadar bahwa Boh Wan-lian adalah seorang gadis, ia menjadi jengah.
Waktu mengulur tangan lagi, ia melepaskan totokan kedua orang tadi, lalu ia cengkeram mereka dan bertanya.
"Lekas jawab, apakah Hongsiang telah datang? Di mana dia sekarang? Jika berani berdusta, segera kudorong kau ke bawah pagoda!"
Pagoda tembaga itu tingginya berpuluh meter, dan karena ancaman itu, kedua orang Thaykam itu menjadi ketakutan.
"Hongsiang Hongsiang berada di tingkat enam,"
Demikian sahut mereka dengan tak lancar.
Segera Pho Jing-cu menggusur kedua Thaykam itu ke dalam pagoda lagi dan bersama Boh Wan-lian meloncat ke atas, beruntun mereka melewati tingkat empat dan lima.
Sesampainya di luar tingkat enam, mereka mengintip ke dalam, betul saja terlihat ada beberapa Thaykam lain sedang mengantuk, di tengah ruangan ada satu tempat tidur besar yang tertutup kelambu sutra kuning.
Yang tidur di dalam kelambu itu tentunya adalah Kaisar, demikian pikir mereka berdua.
Maka Pho Jing-cu dan Boh Wan-lian menyerbu ke dalam.
Thaykam yang ada di dalam menjadi ribut, tetapi dengan cepat Boh Wan-lian telah menyingkap kelambu terus menjambret.
Tak terduga, orang dalam kelambu itu ternyata tidak lemah, sekali badan membalik, dengan cepat orangnya sudah melompat bangun, sebuah belati mengkilap tahu-tahu malah menusuk ke hulu hati Boh Wan-lian.
Namun Wan-lian cukup cepat dan gesit, waktu tangannya membalik, ia dapat menahan tusukan orang itu yang hanya tinggal beberapa dim dari tubuhnya.
Ilmu silat orang itu ternyata tidak rendah, tiba-tiba tangannya ditarik ke bawah, walaupun belatinya terlepas, tetapi tangannya juga lepas dari cekalan musuh, menyusul dengan cepat telapak tangan kirinya memukul ke iga kiri Boh Wan-lian.
Lekas Wan-lian menangkis, ia menjadi terdesak mundur beberapa tindak.
Orang itu menggeram kalap, segera ia menubruk maju.
Tetapi ia lupa bahwa masih ada Pho Jing-cu.
Secepat kilat orang tua ini memburu maju, begitu tangannya bergerak, ia tempeleng orang beberapa kali.
Ketika orang itu bermaksud balas menghantam, namun Pho Jing-cu tak memberi kesempatan padanya, sekali cekal, dengan gerakan 'Kim-na-jiu-hoat' atau ilmu cara memegang dan menangkap, tahu-tahu pergelangan tangannya telah terpegang erat-erat terus dipencet, keruan orang itu menjadi lemas dan tak berkutik lagi.
Kiranya Jing-cu tahu, waktu Kaisar Khong-hi naik takhta umurnya tidak lebih belasan tahun, dan kini paling banyak pun baru berwujud pemuda dua puluhan tahun, padahal orang ini sudah setengah umur.
Maka dengan pandangan mata tajam segera Jing-cu mengancam para Thaykam yang berada di situ untuk mengaku di-mana Kaisar Khong-hi berada.
Dalam takutnya karena ancaman itu, semua Thaykam menatap seorang Thaykam tua yang rupanya menjadi pemimpin mereka.
Segera Thaykam tua itu didekati Pho Jing-cu, tiba-tiba ia sodok pelahan punggung dayang kebiri itu hingga ia merasa kesakitan yang meresap tulang.
Thaykam itu merintih kesakitan dan berulang berteriak.
"Baiklah, akan kukatakan!"
"Kaisar tidak berada di kamar ini,"
Demikian ia memulai, rupanya dayang ini adalah dayang pribadi sang maharaja.
"Betul ia tadi tinggal di tingkat ini, tetapi di bawah pagoda ini terdapat jalan bawah tanah yang menembus ke kamar Hwesio tua, Hwesio pengawas kelenteng Jing-liang-si ini, maka sejak tadi ia sudah pergi menemui Hwesio itu melalui jalan itu."
"Dan siapa dia?"
Tanya Jing-cu sambil menuding orang yang tiduran di dalam kelambu tadi.
Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Dia hanya seorang 'padulu' dari kerajaan,"
Sahut Thaykam tua itu. Padulu adalah gelar kebesaran pemerintah Boan yang berarti perwira.
"Baiklah, sekarang kau boleh pilih, jika kau masih ingin hidup, maka semua harus menurut apa yang kuperintahkan,"
Kata Jing-cu kemudian sesudah berpikir sejenak.
Lekas Thaykam tua itu mengangguk tanda tunduk.
Meski padulu itu bermaksud membangkang, namun di bawah cengkeraman Jing-cu, ia paham kalau tidak menyerah, sekalipun jiwanya diampuni, sedikitnya akan menjadi cacat juga, maka terpaksa ia pun takluk.
Segera Pho Jing-cu melucuti pakaian dayang itu, dan menyuruh Boh Wan-lian menyamar sebagai Thaykam.
Tingkah laku Thaykam memang mirip perempuan, tentu saja penyamaran Wan-lian menjadi sangat cocok.
"Bawa kami ke sana melalui jalan bawah tanah itu, apabila di terowongan ada penjaga yang bertanya, katakan bahwa aku adalah tabib yang diundang oleh Hongsiang,"
Perintah Pho Jing-cu pada Thaykam tua itu.
Segera pula Pho Jing-cu totok Thaykam lain yang sedikitnya harus enam jam lagi baru bisa pulih sendiri.
Sehabis itu Pho Jing-cu menggandeng padulu dan Boh Wan-lian menggandeng Thaykam tua, masing-masing menjaga seorang dan segera diperintahkan jalan.
Thaykam tua diam saja tak bersuara, mau tak mau ia mengulur tangan menekan ke tembok, maka pada tembok itu segera terbuka satu pintu hidup, di balik tembok ternyata ada tangga beratus undakan yang menghubungkan terowongan di bawah tanah.
Jalan bawah tanah itu ternyata dijaga dengan ketat, tiap jarak puluhun tindak tentu ada seorang pengawal.
Thaykam tua itu boleh jadi sudah pernah mengikuti Hongsiang keluar masuk jalan bawah tanah ini, maka pengawal-pengawal itu sedikitpun tak curiga, bahkan bertanya pun tidak dan lantas memberi jalan pada mereka.
Tidak lama, sampailah mereka di ujung jalan itu.
Jing-cu dan Wan-lian memerintahkan padulu dan Thay-kam tua itu berhenti.
Tiba-tiba terdengar ada suara orang di atas yang menembus ke bawah, walaupun tidak begitu jelas, tetapi toh dikenal bahwa itu adalah suara 'Yu-Iiong-kiam' Coh Ciau-lam.
Pho Jing-cu dan Boh Wan-lian terperanjat, ternyata iblis ini betul tidak mampus terjatuh ke dalam jurang.
Orang yang di atas agaknya sangat asyik sekali sehingga makin keras suaranya.
Pho Jing-cu dan Boh Wan-lian berdua mendengar suara seorang pemuda sedang membentak dan bertanya dengan kereng.
"Betulkah Go Sam-kui berani berbuat demikian?"
"Hamba tak berani berdusta,"
Terdengar jawaban Coh Ciaulam seperti rada gemetar.
Sehabis berkata, di atas mendadak sunyi, selagi Pho Jingcu dan Boh Wan-lian merasa heran, tiba-tiba terdengar suara gemuruh, dari kedua sisi tembok jalan terowongan itu mendadak terdorong keluar satu pintu besi, waktu Pho Jing-cu dan Boh Wan-lian berpaling, mereka terkejut, nyata mereka sudah terkurung di dalam pintu besi di suatu ujung dan ujung lain dua jago pengawal sudah mencegat.
"Siapa yang berani mencuri dengar?"
Tanya Coh Ciau-lam dari atas dengan suara keras.
Ternyata Coh Ciau-lam yang sudah tinggi dan matang ilmu silatnya, kupingnya tajam dan mata jeli.
Waktu Jing-cu datang, walau dengan langkah pelan akan tetapi toh menerbitkan suara juga, lebih-lebih suara langkah Thaykam tua itu.
Ketika Coh Ciau-lam mendengar ada suara langkah orang mendekat, lalu mendadak berhenti, dan lama tak terdengar bergerak lagi, ia menjadi curiga, maka dengan diam-diam ia melaporkan hal itu pada Kaisar.
Pikir Kaisar, pengawal di bawah yang terdekat jauhnya ada sepuluh tombak lebih dengan pintu masuk dan tidak mungkin berani sembarangan bergerak, apalagi Thaykam di pagoda induk sana, tanpa perintah rasanya pun tidak berani, andaikata datang juga berhenti di depan pintu untuk melaporkan diri.
Begitulah maka ia menjadi curiga dan segera tangannya menekan alat rahasia, menyusul pintu penghalang besi di jalan bawah tanah terdorong keluar dan mencegat di belakang orang.
"Lekas tangkap orang yang berani mencuri dengar itu ke sini,"
Perintah Kaisar pada Ciau-lam.
Tetapi Pho Jing-cu cukup cerdik, begitu pintu besi menjeplak keluar, segera ia menotok padulu dan Thaykam tua tadi, pedangnya segera dilolos keluar.
Waktu itu kedua penjaga pun sudah sadar dan tentu saja mereka menjadi terkejut berbareng mereka menubruk maju.
Tetapi mana bisa mereka menahan Pho Jing-cu dengan ilmu silatnya yang menakjubkan itu, cukup dua-tiga gebrakan lengan mereka sudah terkutung putus.
Berbareng pintu besi di jalan bawah tanah itu mendadak terbuka.
"Awas, hati-hati!"
Teriak Pho Jing-cu dan tahu-tahu dari luar senjata rahasia sudah beterbangan menyambar masuk ke dalam.
Pho Jing-cu dan Boh Wan-lian memainkan ilmu pedang mereka, dan memutar kencang senjata mereka hingga berwujud sinar putih, senjata rahasia yang berhamburan semua terpental dan mengeluarkan suara nyaring berisik karena berbenturan dengan tembok batu di samping.
"Terjang keluar!"
Seru Pho Jing-cu.
Di bawah hujan senjata rahasia segera mereka menerobos keluar dengan paksa, Bu-kek-kiam Pho Jing-cu menyambar ke depan, tubuhnya mengikuti majunya pedang, hanya terlihat gulungan sinar putih yang menggelundung keluar, lalu Boh Wan-liara pun menyusul dengan cepat meloncat keluar dari jalan bawah tanah itu.
Sedari tadi Coh Ciau-lam sudah menanti di mulut goa, begitu ia melihat ada orang keluar, pedangnya segera membacok, lekas Pho Jing-cu menangkis, maka terdengarlah suara beradunya senjata yang nyaring, kedua pihak samasama terbentur pergi.
Setelah Coh Ciau-lam menegasi dan mengetahui yang datang adalah lawan kerasnya, Pho Jing-cu, ia menjadi mendongkol dan gusaT.
"Tua bangka, hari ini biar aku tentukan mati-hidup denganmu!"
Bentaknya dan segera pedangnya menusuk dengan gemas.
Berada di sarang harimau, mau tak mau Pho Jing-cu pun menempur orang dengan mengadu jiwa, waktu itu Boh Wanlian pun sudah meloncat keluar, ia melihat dalam ruangan itu ada seorang pemuda sedang hendak kabur, segera ia melompat maju dan menjambret.
Sementara itu, pengawal yang berjaga di luar waktu mendengar bentakan Coh Ciau-lam, berduyun-duyun menerobos masuk, mana bisa mereka menghalangi Boh Wanlian menjambret Kaisar si pemuda, sekejap saja beberapa senjata mereka sudah menerjang.
Terpaksa Wan-lian balik menangkis, maka kesempatan itu digunakan Kaisar Khong-hi untuk lari masuk ke kamar lain.
Pho Jing-cu mengeluarkan seluruh kemahirannya, serangannya cepat dan tangkas.
Beberapa kali Coh Ciau-lam menyerang dan merangsek dengan pukulan-pukulan lihai, tetapi selalu gagal, bahkan beberapa kali dua pedang beradu, pedang Coh Ciau-lam sendiri terpental balik.
Diam-diam Pho Jing-cu merasa heran, tetapi juga terkejut, kalau melihat keuletan dan kematangan Coh Ciau-lam adalah sebanding dengan dirinya, tetapi mengapa pada pertempuran kali ini tenaganya seperti sudah berkurang banyak? Walaupun ia dapat menahan Coh Ciau-lam, namun ia kepayahan juga karena sendirian harus menandingi orang banyak, sedang di antara jago pengawal kerajaan tidak kurang yang pandai.
Dalam kegugupannya ia mendapatkan akal, tiba-tiba ia mengincar seorang di depannya dan mendadak pedangnya membabat secepat kilat, karena tak sempat menghindarkan diri, pengawal itu terkutung tangannya.
Orang itu menjerit dan jatuh terguling, Pho Jing-cu tidak ayal lagi, begitu musuh roboh segera ia melompat keluar dari kepungan itu dan dengan sekali loncat ke atas panggung arca Buddha yang berada di tengah ruangan kelenteng itu.
Panggung arca itu luas sekali, di atasnya ada enam patung Cun-cia dan Cap-pek-lohan.
Arca Buddha besar itu semuanya terbuat dari besi mentah yang berjajar tidak rata.
Pho Jing-cu berlari kian kemari menggunakan arca-arca Buddha itu sebagai tameng, seketika Coh Ciau-lam dan para pengawal ternyata tidak berdaya untuk mengepungnya lagi, terpaksa mereka hanya mengejar ke sana-sini seperti anak kecil bermain kucing-kucingan.
Dalam pada itu, di sebelah sana Boh Wan-lian juga sedang dikejar oleh para pengawal dengan gemas.
Beruntung jagojago yang lebih kuat di antaranya sudah pergi membantu Coh Ciau-lam menghadapi Pho Jing-cu, sebaliknya Boh Wan-lian justru paling mahir ilmu mengentengkan tubuh, ia berlari cepat menerobos ke sana kemari, dengan licin laksana ikan, para pengawal kelabakan sendiri dipermainkan si gadis.
Ketika keadaan mulai gawat, tiba-tiba Pho Jing-cu yang berada di atas panggung arca berseru.
"Lian-ji, serang mereka dengan 'Tok-soa-ci'!"
Tok-soa-ci artinya pasir beracun.
Kiranya Pho Jing-cu yang paham tentang ilmu tabib walaupun ia sendiri tidak suka menggunakan senjata rahasia, tetapi ia telah mengajarkan pada Boh Wan-lian semacam senjata rahasia, Toat-beng-sinsoa atau pasir sakti pencabut nyawa, pasir terbuat dari besi.
Pasir besi ini terbagi pula dua macam, yang direndam dengan racun dan yang lain tidak berbisa.
Waktu Pho Jing-cu menurunkan ilmu senjata rahasia itu, ia telah memperingatkan Boh Wan-lian kalau bukan pada saat yang paling berbahaya, ia tidak diperkenankan memakai pasir beracun itu.
Kini perintah itu datang dari Pho Jing-cu sendiri, mata boleh dikata inilali untuk pertama kalinya ia menggunakan senjata rahasia itu.
Begitu pula haru pertama kali ini Boh Wan-lian mengalami pertempuran dahsyat, dalam tegangnya ia sampai lupa bahwa ia masih membekal senjata rahasia yang lihai, dan kini sesudah diingatkan oleh Pho Jing-cu, ia menjadi girang sekali, tangan kiri segera memakai sarung kulit menjangan, ia merogoh kantong yang berisi senjata rahasia itu, ia meraup segenggam pasir beracun Toat-beng-sin-soa dan lantas dihamburkan ke pihak musuh.
Pasir sakti itu seketika tersebar menjadi beberapa garis hitam dan menuju ke arah musuh yang datang mengejar, tidak ampun lagi, segera beberapa orang terkena muka dan kepala mereka, walaupun tidak merasa sakit, akan tetapi tidak lama lantas merasa seluruh badan gatal pegal.
Pengawal-pengawal itu semua sudah berpengalaman di kalangan Kangouw, waktu mendengar Pho Jing-cu berkata "Tok-soa-ci"
Mereka sudah berhati-hati, kini sewaktu merasakan senjata rahasia yang aneh itu, tentu saja mereka menjadi gugup dan jeri.
Mereka tak berani lagi terlalu mendesak si gadis.
Sin-soa atau pasir sakti itu hanya bisa menyerang jarak dekat, jika jauh tiada gunanya lagi.
Maka sesudah para pengawal itu berada di luar jarak serangan Sin-soa, kembali mereka balas menyerang dengan senjata rahasia pada Boh Wan-lian.
Dan karena si gadis hanya sendirian, ia menjadi sulit melayani serangan itu.
"Kau tak usah kuatirkan aku, kau terjang keluar dahulu!"
Tiba-tiba terdengar teriakan Pho Jing-cu.
Kembali Boh Wan-lian mengayun tangan dan menghamburkan dua genggam Toat-beng-sin-soa, sebagian pengawal itu menghindar, dengan cepat ia membalik badan terus berlari, secepat anak panah ia menerobos keluar melalui jendela dan dengan menggunakan ilmu memanjat Pia-hou-yujio atau cecak merambat tembok, dengan kecepatan luar biasa Wan-lian memanjat ke atas genteng kelenteng besar itu.
Genteng ruangan besar Jing-liang-si terbuat dari genteng gelas keluaran Peking, permukaan genteng halus licin, susah untuk menancapkan kaki di atasnya.
Terpaksa Wan-lian berganti gaya, ia tidak berjalan lagi tapi meluncur di atas genting, sekejap saja ia sudah sampai di tengah wuwungan.
Waktu itu pelita dan lampion di sekitar Jing-liang-si terang benderang seperti siang hari, maka Boh Wan-lian yang meluncur di atas genteng, dengan jelas dapat dilihat oleh penjaga di bawah, keruan seketika senjata rahasia bagaikan hujan menghambur pula ke arah dirinya, dalam keadaan begitu lebih sulit berkelit daripada waktu di dalam ruangan kelenteng, Boh Wan-lian menjadi repot berkelit, dalam gugupnya tudung angin yang ia pakai tiba-tiba terkena satu anak panah dan jatuh, segera rambutnya yang panjang terurai, ia menjadi tambah gugup.
Dalam keadaan begitu, tiba-tiba dari bawah menyambar pula sebuah senjata rahasia yang bundar bulat dan mengeluarkan suara mendenging, lekas Wan-lian meluncur pergi, siapa tahu genteng di depannya mendadak pecah berantakan karena kejatuhan senjata rahasia yang berat itu, kiranya senjata rahasia tadi bukan lain adalah sebuah bola besi.
Dan karena Boh Wan-lian tak keburu menahan diri, ia terjeblos ke bawah.
Dengan jatuhnya itu, kebetulan ia menimpa salah satu arca Buddha besar di ruangan kelenteng yang lain, sekuat tenaga Boh Wan-lian menarik tangan arca Buddha itu dengan maksud menghentikan laju jatuhnya.
Tak terduga, arca itu ternyata dapat bergerak, waktu Boh Wan-lian menarik lagi sekuat tenaga, dengan mengeluarkan suara bercit-cit arca itu berputar setengah lingkaran, tiba-tiba di belakang arca itu tampak sebuah pintu.
Untuk menghindarkan pengejaran, tanpa pikir panjang lagi Boh Wan-lian segera masuk ke dalam pintu itu.
Tapi begitu ia masuk, ia menjadi terperanjat sekali.
Kiranya itu adalah kamar yang terawat rajin bersih, di tengah duduk seorang Hwesio tua berjenggot putih, di sampingnya berdiri seorang pemuda dengan kedua tangan lurus ke bawah.
Tidak salah lagi pemuda itu adalah Khong-hi yang tadi hampir tertangkap olehnya di ruang depan.
Hwesio tua itu duduk bersila dengan mata terpejam dan diam saja tak bersuara, sedang Kaisar Khong-hi mulurnya kemak- kemik seperti sedang memohon sesuatu.
Perasaan Wan-lian tiba-tiba tergerak, ia pikir, apakah kabar yang pernah didengarnya adalah sesungguhnya? Pada saat itu juga, dari belakang mendadak ada sambaran angin, dalam keadaan tak sadar.
Boh Wan-lian tak sempat berkelit, lengannya tahu-tahu terpegang kencang oleh tangan seorang, kelima jari orang itu begitu kuat serupa kaitan besi hingga Boh Wan-lian tak bisa berkutik.
Orang itu menyeret Boh Wan-lian ke depan Hongte atau Kaisar, waktu Khong-hi mengenali Wan-lian adalah orang yang tadi mengejar dan hendak menangkap dirinya itu, ia menjadi gusar sekali.
Dan ketika dilihatnya rambut orang panjang terurai memenuhi kepala, jelas adalah seorang gadis, tapi pakaian yang dipakai sebaliknya adalah pakaian Thay-kam, dalam hati ia menjadi heran.
"Siapa kau sebenarnya?"
Segera ia membentak. Sementara Hwesio tua itu telah membuka kedua matanya, sekonyong-konyong ia seperti menemukan sesuatu, mukanya tiba-tiba berubah seperti merasa girang bercampur heran, kedua matanya bersinar.
"Likisu (wanita budiman) ini kukenal!"
Katanya tiba-tiba. Dengan termenung ia pandang Boh Wan-lian sampai lama, kemudian ia kemak-kemik seperti menggumam.
"Kau sebenarnya manusia atau arwah halus? Ai, mukamu persis seperti dia! Kalau kau bukan arwah halusnya, tentu adalah jelmaannya!"
Sesaat itu, Boh Wan-lian menjadi jelas, sedih dan juga benci.
"Kau tentunya adalah Sun-ti Hongte, dan bagaimana dengan ibuku? Sebetulnya ia masih hidup atau sudah meninggal? Berada di sini atau dalam istana? Hendaklah kausampaikan bahwa Lian-ji (anak Lian) telah datang mencarinya!"
Tanya Wan-lian dengan perasaan bergolak. Sementara itu karena pengacauan Boh Wan-lian yang tibatiba, Kaisar Khong-hi tak tahan amarah lagi, tiba-tiba ia membentak gusar.
"Dia adalah perempuan gila. Giam Tiongthian, seret pergi dia!"
Giam Tiong-thian adalah pengawal yang tadi menangkap Boh Wan-lian itu, ia adalah pengawal pribadi Khong-hi yang perkasa, pada waktu Hwesio tua berbicara tadi ia telah menyingkir pergi diam-diam, hanya tangannya siap dengan senjata rahasia dan berdiri jauh, maksudnya menghindarkan kecurigaan.
Kini demi melihat Khong-hi marah, dengan perasaan kebat-kebit ia mendekat, di luar dugaan ia telah dapat mengetahui rahasia kerajaan itu, ia tidak mengerti hal ini bakal beruntung atau celaka baginya.
"Kau jangan menakuti dan menggertak dia, waktu kau masih kecil, ibumu pun pernah menggendong dia,"
Kata Hwesio tua itu pada Khong-hi. Setelah itu, dengan pelahan ia tarik Boh Wan-lian, lalu katanya lagi dengan menghela napas.
"Ayahmu kehilangan dia, aku pun tidak mendapatkannya. Memang ia bukan manusia dari dunia fana ini. bagaimana aku bisa menyampaikan pesanmu itu?"
"Kalau begitu, jadi ibuku sudah meninggal?"
Tanya Boh Wan-lian dengan mata membelalak.
"Hidup manusia seperti mimpi, Tang-ok-hui (ibu Wan-lian, selir Sun-ti) kebetulan meninggalkan bekas kecantikannya, kini semua sudah lenyap dilupakan orang, apa gunanya kau begitu kukuh pada pendirianmu?"
Kata Hwesio tua lagi seperti sabda Buddha.
"Aku tidak mengerti kata-katamu yang berfilsafat tinggi ini, aku hanya ingin lekas kauberitahukan padaku bagaimana keadaan sebenarnya ibuku?"
Kata Wan-lian tak sabar.
"Baiklah,"
Kata Hwesio tua itu akhirnya.
"Kalau kau begitu terkenang pada ibumu, biar kubawa kau pergi melihatnya!"
Sesudah itu, ia pelahan bangkit, ia gandeng tangan Boh Wan-lian dan berjalan keluar.
Mau tak mau Khong-hi dan Giam liong-thian mengikuti dari belakang, perasaan mereka mendongkol.
Hwesio tua itu membawa Boh Wan-lian keluar dari pintu pojok, waktu lewat ruangan besar, terdengar di dalam sana masih ada suara beradunya senjata dan bentakan.
Suara itu berasal dari Pho Jing-cu yang sedang main kucing-kucingan di antara patung sembari menempur para pangawal.
"Siapa dia, apakah ia datang bersamamu?"
Tanya si Hwesio tua pada Boh Wan-lian.
"Ia ternama Pho Jing-cu, betul ia datang bersamaku,"
Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Jawab si gadis.
"Hian-hua, perintahkan mereka untuk berhenti. Pho Jing-cu adalah sahabat karib Boh-siansing, ia juga terhitung orang ternama, jangan persulit dia,"
Kata Hwesio tua pada Khong-hi.
Hian-hua ialah nama kecil Kaisar Khong-hi.
Walaupun dalam hati ia tidak suka, tetapi ia tidak berani membantah permintaan itu, terpaksa ia mengeluarkan perintah.
Sesudah Pho Jing-cu menyimpan kembali pedangnya, ia kebut debu di tubuhnya dan melompat turun dari panggung arca, ia manggut pada Hwesio tua itu, tetapi tidak menghaturkan terima kasih dan tak berkata apa pun.
Pedang Pusaka Dewi Kahyangan Karya Khu Lung Golok Kumala Hijau -- Gu Long Pedang Tanpa Perasaan -- Khu Lung