7 Pendekar Pedang Thiansan 10
Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen Bagian 10
Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya dari Liang Ie Shen
Sekonyongkonyong timbul perasaannya bahwa suaminya harus 'dikasihani' juga.
Karena itu ia lalu membersihkan air mata dan dengan tersenyum ia bertanya.
"Kau maksudkan"
"Memungut seorang anak lelaki atau perempuan! Kaupilih mana yang lebih baik?"
To Tok menegas. Remuk rendam hati Nilan-onghui, tiba-tiba ia berkata.
"Aku tidak mau semua, aku ingin"
"Ingin apa?"
Tanya To Tok cepat. Onghui meraba pelahan muka dan kepala sang suami.
"Ongya, aku ada sebuah permohonan, dapatkah kau memenuhi?"
Katanya lirih.
"Apapun akan kupenuhi!"
Jawab To Tok tegas.
"Ten tentang 'penyamun wanita' itu, maukah kau berjanji bahwa kau tak akan mencelakainya, maukah kau?"
Kata Ong hui tak lancar. Terkejut sekali To Tok oleh permintaan itu, matanya terbuka lebar.
"Sebab apa?"
Tanyanya heran.
"Katakanlah dulu, maukah kau berjanji?"
Kata Onghui.
"Baiklah, aku berjanji padamu!"
Sahut To Tok pasti.
"Aku akan perintahkan Coh Ciau-lam menghentikan pengejarannya, malahan, kecuali dia menggunakan pedangnya untuk menusuk tubuhku, aku pasti tak akan bergebrak lagi dengannya!"
"Ia memakai pedang?"
Tanya Nilan-onghui.
"Ya, bahkan ilmu pedang anak perempuan ini bagus sekali, hanya tenaganya sedikit kurang, kalau tidak, pasti aku bukan tandingannya,"
Sahut To Tok menjelaskan.
"Menurut Coh Ciau-lam, ilmu pedangnya itu dinamakan Thian-san-kiam-hoat dan sama-sama seperguruan dengannya."
Nilan-onghui bersandar pada sebuah tiang rumah, ia memandang jauh, jauh sekali keluar rumah, ke lautan mega di langit, gumpalan mega yang terapung di langit itu dilihatnya seperti puncak Thian-san yang letaknya di tengah gurun pasir itu.
la teringat pada putrinya yang baru berusia dua tahun sudah direbut oleh Njo Hun-cong, apabila penyamun wanita ini adalah anaknya itu, maka seharusnya tahun ini ia sudah gadis remaja yang berusia dua puluh tahun.
Dimanakah dia selama delapan belas tahun ini? Siapakah yang telah memelihara dan membesarkan dia? Kesemuanya ini Onghui sangat haus akan mengetahuinya.
Ya, apa saja yang bersangkutan dengan putrinya itu asal bisa diketahuinya, pasti akan membikin senang hatinya, walaupun hanya sedikit saja.
Namun waktu mendengar bahwa yang dipelajari gadis ini ialah Thian-san-kiam-hoat, dalam hatinya mendadak timbul perasaan ngeri.
"Oh, Hun-cong! Betulkah kau mati pun tak akan meram hingga kau menyuruh putrimu mempelajari baik-baik ilmu pedangmu untuk membalas sakit hatimu?"
Ratapnya dalam hati.
la berpikir dan berpikir terus, la bergidik ngeri.
Tiba-tiba ia teringat, pada suatu malam yang sunyi di padang rumput, dimana Njo Hun-cong pernah berkata, 'Bangsa kita saling bertempur, namun kau bukan musuhku, aku berjanji selamanya tak akan mencelakaimu.
Akan tetapi bila sampai kaujatuh ke dalam rangkulan orang lain, maka kau akan membawa bencana juga padanya, akibat itu ialah .
Mati!'.
Sungguh itu adalah cinta yang picik.
Kematian Njo Huncong telah membuat ia merana selama delapan belas tahun, masa mudanya selama delapan belas tahun itu telah dilewatkannya dengan penuh penderitaan batin dan kekosongan jiwa, sedikitnya ini sudah cukup buat menebus dosanya yang 'mengingkari janji' itu, demikian pikirnya.
Ya, kadang-kadang ia membenci To Tok juga, tetapi tempo-tempo pun mencintainya.
Betapapun toh suami istri selama delapan belas tahun.
Sering ia berpikir.
"Yang menganiaya hingga kematian Njo Hun-cong toh bukan To Tok, bahkan soal ini sedikitpun To Tok tidak mengetahui, walau mereka adalah musuh besar yang tak dapat hidup bersama!"
Demikianlah ia sering menghibur diri sendiri dengan cara berpikir semacam itu.
Akan tetapi kini, putrinya telah datang, ilmu pedang yang dipelajarinya selekasnya akan diwujudkan di atas tubuh suaminya! Betapa mengerikan adegan itu.
Tiba-tiba ia menutup mukanya.
Tidak! Ia tidak memperbolehkan To Tok mencelakai putrinya, sama halnya juga ia tidak memperbolehkan putrinya mencelakai To Tok.
Akhirnya ia menghela napas.
Sementara itu dengan penuh rasa heran To Tok menyaksikan sang istri termenung bersandar tiang, ia tak berani mengejutkannya.
Kini tiba-tiba mendengar orang menghela napas pelahan, ia lekas mendekatinya.
"Kenapakah kau?"
Tanyanya pelahan sambil memegang pundak sang istri.
"Aku pun tak memperkenankan dia mencelakaimu!"
Kata Nilan-onghui tiba-tiba sambil berpaling muka. Kejut To Tok sekali ini melebihi tadi, sampai ia mundur beberapa langkah.
"Kau kau kenal dia? Ia akan menuruti perkataanmu?"
Tanyanya dengan suara terputus-putus.
"Coba, kau menjadi begitu terkejut,"
Sahut Onghui dengan tertawa, akan tetapi keringat dingin sudah membasahi tubuhnya ketika sadar telah kelepasan mulut.
"Tadi aku mendengar kaubilang bahwa anak perempuan itu mirip aku, maka dalam hatiku lalu timbul semacam pikiran, 'Alangkah baiknya apabila ia adalah putri kita', Kau sangat mencintaiku, pikirku, kau tentu tak akan mencelakai orang yang berwajah mirip aku, makanya aku memberanikan diri memohon padanya. Kupikir, kalau secara diam-diam aku begitu sayang padanya, bila seumpama ia mengetahuinya, mungkin ia juga akan menurut perkataanku."
"Ming-hui,"
Kata To Tok menghela napas.
"Sungguh kau seperti seorang anak saja, pikiranmu masih begitu kekanakkanakan!"
Dan sejak itulah Nilan-onghui banyak berubah lebih baik terhadap To Tok daripada biasanya, ia seperti mendapat semacam firasat 'Malaikat elmaut sudah mementang sayap beterbangan di atas kepala mereka.
Ketenangan di depan mata sementara ini hanya merupakan malam sebelum angin badai'.
Dan akhirnya tiba juga pada suatu hari yang demikian ini.
Hari itu secara resmi To Tok menerima titah Kaisar agar mengumpulkan pasukan darat dan sungai dari seluruh negeri untuk menggempur Go Sam-kui dan menumpas Li Lay-hing.
Sebenarnya soal ini sudah lama dibicarakan Kaisar dengannya, hanya ia tidak ingin diketahui Onghui.
Padanya juga timbul semacam firasat, ia merasa jiwanya sudah dekat ajal, parasaan semacam itu tidak pernah timbul sebelumnya.
Ia bukan takut pada Go Sam-kui, dalam pandangannya ia hanya serupa api lilin yang tertiup angin, cukup asal ia maju dan menambahi sekali tiup, api lilin itu akan segera padam.
Lebih-lebih ia bukan takut peperangan, perang adalah hal yang biasa baginya.
Memang aneh, rasa takut itu tidak diketahui sebabnya, rasa takut itu timbul sejak perubahan Onghui yang lain dari biasanya.
Ia seperti merasakan semacam 'alamat jelek' dari sinar mata Onghui yang aneh.
Kadang ia terjaga di tengah malam, ia lihat biji mata Onghui berkelap-kelip bagai batu permata yang bersinar di malam gelap, dan ia terkejut hingga mandi keringat dingin.
Hari itu sesudah ia menerima titah raja, ia lalu kembali ke rumah untuk memberitahu Onghui.
"Ongya, sungguh kukuatir ditinggalkanmu!"
Kata Onghui parau.
"Selekasnya aku akan kembali,"
Ujar To Tok. Onghui terdiam, lewat sejenak, tiba-tiba ia berkata pula.
"Baik juga kau pergi agar gadis itu tidak merecokimu terus."
"Mengapa kau selalu bercerita tentang gadis itu?"
Tanya To Tok berkerut kening. Onghui tidak menjawab.
"Kapan kau berangkat?"
Tanyanya kemudian.
"Besok melakukan inspeksi, lusa berangkat,"
Jawab To Tok.
Dan karena itu, semalam suntuk To Tok tidak bisa tidur.
Di lain pihak, Ie Lan-cu pun seperti mendapat firasat yang aneh.
Dalam beberapa hari ini ia telah berlatih Thian-san-kiam-hoat dengan giat tanpa menghiraukan urusan lain, tetapi bila selesai berlatih, tanggul kuat dalam hatinya tak mampu lagi menahan pergolakan perasaannya.
Ia merasa gembira, tapi juga merasa berduka.
Ia sangat mencintai ayahnya, walaupun hakikatnya ia tak ingat lagi bagaimana wajah sang ayah itu, sebab waktu ayahnya mangkat, ia baru berusia dua tahun.
Namun hikayat ayahnya turun temurun telah menjadi buah bibir rakyat di padang rumput luas sepanjang masa.
Selalu didengarnya cerita rakyat gembala yang begitu memuja jasa ayahnya.
Ayahnya pernah membantu bangsa Kazak melawan pasukan Boan-jing, rakyat gembala kalau bercerita tentang Njo Hun-cong Tayhiap, sungguh seperti mereka bercerita tentang sanak keluarga mereka sendiri.
Ia bangga mempunyai ayah pahlawan yang begitu gagah, oleh karena itu 'surat darah' ayahnya yang ia terima dari Leng Bwe-hong pada waktu ia berusia enam belas tahun selalu tersimpan baik-baik dalam bajunya dan bagai benda ribuan kati beratnya terus menindih dalam hatinya.
Apabila ia tidak dapat melaksanakan pesan terakhir sang ayah, selama itu juga hatinya akan selalu tertekan.
Kini ia telah memutuskan menerima ke-matian, dengan mengorbankan jiwa untuk melaksanakan pesan terakhir ayahnya.
Keputusan ini membikin tekanan hatinya mendadak menjadi enteng, maka ia merasa girang secara aneh.
Namun ia juga merasa berduka yang ia sendiri tak dapat mengerti.
Cintakah ia kepada ibunya? Ia sendiri tak bisa menjawab, la dibesarkan dalam keadaan sebatang kara, 'Jinlang' (keluarga teidekat) hanya ada seorang, ialah Leng Bwehong.
Ia sangat haus akan cinta ibu, tapi cinta itu ternyata bercampur rasa dendam.
Sungguh ia ingin bisa menemukan ibunya untuk bertanya padanya bagaimana keadaan sebelum ia berusia dua tahun.
Ia mendapat firasat bahwa keberangkatannya untuk 'berjibaku' ini untuk selamanya tak akan bisa bersua pula dengan ibunya, juga sangat mungkin ibunya sampai kini masih belum tahu bahwa ia adalah putrinya.
Selain itu, akhir-akhir ini, dalam hatinya yang sunyi mendadak telah melekat masuk sesosok bayangan.
Bayangan itu adalah bayangan Thio Hua-ciau.
Ia sendiri pun tak jelas, sejak kapan telah timbul cintanya yang begitu mendalam terhadapnya.
Dalam kekusutan pikiran Ie Lan-cu itu, akhirnya tiba juga suatu hari yang menggemparkan.
Hari itu, Thio Jing-goan dan kawan-kawan sudah mendapat kabar bahwa To Tok akan memeriksa pasukannya, bahkan juga mendapat tahu bahwa Nilan-onghui akan bersembahyang ke Ho-hut-si.
Ciok Cin-hui yang mengenal betul keadaan kotaraja, diam-diam sudah banyak mata-mata yang ia pasang.
Hari pertama Ok-onghui memberitahu pengurus kuil Ho-hut-si, hari kedua segera mereka mendapat tahu.
Sebab Onghui hendak datang sembahyang, dengan sendirinya pengurus kuil memberitahukan kepada para Hwesio untuk bersiap, justru di antara Hwesio-hwesio itu terdapat mata-mata Ciok Cin-hui.
Ini adalah kesempatan terakhir untuk membunuh To Tok.
Tetapi pada kesempatan terakhir ini, ternyata sangat sulit untuk turun tangan.
Dilakukan pada waktu parade militer, itulah jelas tidak mungkin.
Melakukan pembunuhan di depan ratusan ribu tentara ibaratnya hanya akan mengantar nyawa belaka, sedang untuk memasuki lapangan militer saja orang biasa tidak diperkenankan sembarangan masuk.
Dalam perundingan, berbagai pendapat bersimpang-siur, Ie Lan-cu hanya membisu aneh.
Waktu Thio Hua-ciau memandang gadis ini, tiba-tiba timbul perasaan berat untuk berpisah, la insyaf betapa pentingnya membunuh To Tok bagi perjuangan mereka yang maha besar, tetapi ia sungguh tidak tega membiarkan seorang gadis yang dibesarkan dalam kancah penderitaan dan kesunyian menuju ke lembah kematian pada waktu masanya yang masih muda belia dan mulai masak ini.
Karena itu, ia lalu buka suara.
"Kalau sudah tiada jalan untuk turun tangan, biarlah urusan ini ditangguhkan dulu,"
Katanya.
"Siapa bilang tiada jalan untuk turun tangan?"
Sela Lan-cu dengan dingin.
"Bukankah kita bisa datang dan menunggu di Se-san, di Ho-hut-si!"
"Sesudah memeriksa pasukan, entah To Tok masih ada urusan besar apa yang harus diselesaikannya, dapatkah kau memastikan dia akan datang ke Ho-hut-si?"
Ujar Boh Wanlian.
Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Menurut perasaanku pasti ia akan datang,"
Kata Lan-cu.
"Lagipula, tak peduli ia datang atau tidak, kita juga hanya ada kesempatan ini untuk mencobanya. Bila kalian tidak mau pergi, biarlah aku seorang diri yang pergi!"
"Kau anak dara ini bernyali besar, masakah kami malah takut?"
Teriak Thong-bing Hwesio.
"Hayolah, kalau mau pergi biar kita pergi bersama, aku nanti yang menghadang pengawalnya, dan membiarkan kau yang pertama-tama turun tangan!"
Mendengar itu, Lan-cu tersenyum.
Sebaliknya Hua-ciau bungkam, sedang Siang Ing dan Thia Thong bertepuk tangan menyatakan setuju, dan begitulah urusan itu telah diputuskan.
Pada hari itu, To Tok memeriksa pasukannya di lapangan militer, ratusan ribu tentaranya dengan bersenjata lengkap tampak siap sedia menghadapi pertempuran dengan semangat.
"Tayswe, dengan pasukan sekuat ini, Go Sam-kui dan Li Lay-hing tidak nanti tahan sekali pukul,"
Ujar seorang ajudan di sampingnya.
Tapi To Tok hanya menyahut dingin, ia memacu kudanya pelahan memeriksa pasukan itu, sikapnya tawar sekali.
Para perwira tinggi seorang demi seorang maju memberi laporan padanya, ia pun mengangguk-angguk dingin saja.
Karena sikapnya yang luar biasa itulah membuat para perwira merasa heran, Mereka tak mengerti, panglima mereka ini bisa berubah begitu banyak, sedikitpun tidak mengunjuk sikap gagah dan berwibawa seperti biasanya.
Karena itulah diam-diam mereka menggerundel bahwa akan ada alamat jelek.
Dan karena cara memeriksanya yang tidak bersemangat itu, maka belum sampai lohor sudah berakhir.
"Tayswe, apakah akan mengumpulkan para perwira untuk diberi petuah?"
Seru sang ajudan.
"Tidak usah!"
Kata To Tok sambil menggoyang kepala. Heran juga ajudannya, ia membungkuk dan bertanya pula.
"Kalau begitu, kapan akan dilakukan 'Tiam-ciang'?"
Menurut peraturan, sebelum pasukan bergerak harus dilakukan Tiam-ciang dulu. Upacara Tiam-ciang atau penunjukkan panglima ialah untuk membagi tugas pada para perwira. Tak terduga, kembali To Tok menggeleng kepala.
"Untuk apa buru-buru? Sekeluamya dari kota masih bisa dilakukan!"
Katanya.
"Apakah Tayswe buru-buru hendak pergi ke istana untuk mohon diri pada Hongsiang?"
Tanya ajudannya pula.
"Besok masih ada tempo, tak usah menghadap sekarang,"
Kata To Tok berkerut kening mulai tak sabar. Dan selagi ajudan hendak bertanya pula, To Tok sudah mendahului membentak.
"Tak usah banyak mulut lagi, aku masih ada urusan lain!"
Ajudannya kuncup tak berani buka suara lagi, tetapi makin menambah herannya atas sikap atasannya ini.
Sebenarnya pekerjaan mengatur Tiam-ciang dan lain-lain adalah tugas ajudan, ia tak menduga begitu bertanya malah didamperat.
Setelah To Tok membubarkan pasukan, ia berkata pada ajudannya.
"Kaubawa pasukan pengawal pribadi dan bersamaku pergi sembahyang ke Ho-hut-si!"
"Sekarang juga pergi sembahyang?"
Tanya sang ajudan yang terheran-heran.
"Ya, apa tidak boleh?"
Damperat To Tok pula.
Keruan ajudan itu tak berani bersuara pula.
Tak lama kemudian, tiga ratus pengawal pribadi yang lengkap persenjataannya dan belasan jago pengawal pilihan sudah bersiap, dengan berduyun-duyun mengelilingi To Tok dan segera menuju ke Se-san (pegunungan di barat kota-raja).
Semangat To Tok lesu, perasaannya hampa.
Hanya satu hal yang terus diingat olehnya.
Harus bertemu dengan istriku! Lain tidak.
Saat itu, ia merasa istrinya jauh lebih penting daripada segala urusan perwira dan tentaranya, bahkan sekalipun Kaisar.
Dalam beberapa hari ini ia merasa sungguh-sungguh telah mendapatkannya, tetapi juga seperti akan kehilangan dia.
Sang istri itu mau pergi sembahyang dan berdoa agar menang dalam pertempuran nanti serta kembali dengan selamat penuh kejayaan, inilah betul-betul luar biasa dan belum pernah terjadi.
Maka kini ia hanya mempunyai satu keinginan, ialah bias selekasnya berhadapan dengan sang istri agar bisa mengutarakan rasa terima kasihnya.
Musim rontok di Se-san pemandangannya sangat indah, puncak gunung biru kehijauan, daun rontok kuning kemerahan, air terjun Giokcwan- san menggerujuk bagai pelangi yang menggelantung di langit memutih perak, gumpalan awan yang mengelilingi puncak bagai ombak samudra yang bergulung-gulung.
Pemandangan indah itu sedikitpun tak sempat dinikmati To Tok.
Sesudah sampai di kaki gunung, ia turun dari kudanya lalu berjalan naik.
Dari jauh ia sudah melihat asap debu mengebul tebal.
Dengan penuh gembira ia berjalan menuju Ho-hut-si.
Pasukan pengawal berjaga di kedua samping jalan sambil mengusir pergi pengunjung demi keselamatan panglima mereka.
Sesudah naik sampai di tengah gunung, Ho-hut-si sudah di depan mata, sekonyong-konyong dari samping jalan muncul seorang nenek yang sudah ubanan dengan menundukkan kepala menangis sedih.
Waktu tentara membentak dan mengusirnya, ia masih tak mau menyingkir.
"Enyahkan dia!"
Bentak ajudan To Tok. Tapi mendadak nenek itu menangis menggerung-gerung.
"O, suamiku!"
Teriaknya berulang-ulang. To Tok berkerut kening oleh ratapan orang.
"Jangan usir dia!"
Perintahnya sembari berjalan maju dan bertanya.
"Mengapa kau menangis?"
"Suamiku meninggalkanku selama delapan belas tahun dan kemarin dulu baru pulang lantas jatuh sakit keras, aku hendak bersembahyang untuknya agar Buddha melindunginya supaya selamat,"
Kata nenek itu. Terguncang hati To Tok, ia menggumam sendiri.
"Kau juga delapan belas tahun "
"Ya, delapan belas tahun, dosa selama delapan belas tahun,"
Sambung si nenek. Tangannya yang memegang tongkat gemetaran, dan karena itu suaranya juga terputusputus. To Tok bergidik, ia tergetar.
"Dosa apa?"
Tanyanya lagi.
"Sebenarnya ia tak menyukai aku, karena dipaksa orang tua baru mau menikahiku,"
Si nenek menutur sambil tersedusedu.
"Setelah menikah, segera ia lari pergi ke tempat jauh hingga delapan belas tahun, kini sesudah ia insyaf dan berbalik pikiran, siapa tahu terkena penyakit jahat. O, Tayjin, apakah ini kalau bukan dosa?"
Makin mendengar makin merasa tak enak, mendadak To Tok merasa suara orang meski lagu suara orang tua, tetapi suara itu seperti sudah pernah dikenalnya.
"Coba maju ke sini!"
Panggilnya sambil melambaikan tangan.
Rambut uban si nenek itu bergerak-gerak tertiup angin, tangan yang mencekal tongkat makin gemetar, setindak demi setindak ia maju mendekati To Tok pelahan.
Dengan penuh heran pasukan tentara dan pengawal mengawasinya, mereka heran mengapa Ongya bisa membiarkan seorang nenek mendekati dan berbicara dengannya, sungguh hal ini sangat luar biasa.
"Kalian menyingkir sedikit, biarkan dia datang kemari!"
Perintah To Tok pula. Jangan kata para tentara dan pengawal itu terheran-heran, bahkan para pahlawan yang menyamar dan bersembunyi di sekitarnya pun merasa heran.
"Anak dara ini sungguh berbakat, ia telah memainkan perannya begitu wajar sekali!"
Puji mereka dalam hati. Dan begitulah setindak demi setindak si nenek terus melangkah maju ke depan To Tok, napasnya kelihatan tersengal-sengal payah.
"Coba angkat kepalamu!"
Kata To Tok.
Tapi mendadak nenek itu menggerakkan tangannya, tongkat di tangannya tahu-tahu putus menjadi dua, di dalam tongkat itu tersembunyi sebilah pedang pendek yang bersinar mengkilap menyilaukan! Secepat kilat pedang itu menusuk To Tok.
Karena kejadian yang tiba-tiba dan di luar dugaan itu, walaupun To Tok berusaha berkelit dengan cepat, namun lengan kirinya sudah kena tertusuk.
Dalam pada itu, To Tok pun mencabut pedangnya, cepat ia membabat, nenek itu menundukkan kepala menghindarkan diri, tapi karena goncangan angin pedang, rambut palsu di kepalanya itu lantas terjatuh.
Maka tertampak jelas nenek itu telah berubah menjadi seorang gadis jelita.
Pada saat itu juga, para pahlawan yang sudah bay-hok (bersembunyi) di atas gunung beramai-ramai lantas menyerbu keluar.
Lekas pasukan pengawal menahan serbuan musuh sekuatnya.
"Lekas tahan serangan dari luar, tak usah membantu ke sini!"
Seru To Tok ketika beberapa jago pengawal hendak membantunya.
Jago-jago pengawal itu tahu To Tok sangat perkasa, kepandaiannya pasti tidak di bawah mereka, untuk menangkap seorang anak dara tentunya tidak susah.
Sebaliknya orang-orang yang menyerbu dari atas gunung itu jauh lebih ganas dan gagah.
Maka mereka menuruti perintah To Tok, mereka balik tubuh untuk maju menempur sengit para pahlawan.
Karena terluka lengannya, To Tok menjadi gusar, pedangnya diputar sedemikian rupa hingga angin menyambar keras.
Gadis yang menyamar sebagai nenek ubanan itu tiada lain daripada Ie Lan-cu.
Begitu pedangnya berhasil melukai musuh, segera tubuhnya melesat, pedang pendeknya yang enteng dan cepat menusuk ke kiri dan tikam ke kanan, dalam sekejap saja mereka sudah bergebrak lebih dua puluh jurus, To Tok bertenaga besar bagai kerbau, maka tak berapa lama pedang Ie Lan-cu tertekan di bawah hingga ia mandi keringat, minyak cat di mukanya menjadi lengket dengan air keringatnya, terasa agak risi, dalam seribu kerepotannya itu Lan-cu membesut mukanya dengan lengan bajunya hingga guratan dan keriput wajahnya dalam samarannya itu terseka bersih dan wajah aslinya tertampak jelas, dalam kagetnya demi mengenali orang, To Tok menjerit.
Dan pada saat itulah pintu Ho-hut-si terpentang lebar, dari dalam tertampak sebuah joli besar berhiaskan batu pualam manikam hijau digotong keluar.
"Berjanjilah padaku, janganlah kau mencelakai dia, maukah kau?"
Tiba-tiba suara Onghui yang diucapkan malam itu berkumandang dalam telinga To Tok.
Tiba-tiba pandangannya kabur dan pikirannya remang-remang.
Karena itu beruntun Ie Lan-cu melancarkan beberapa tusukan lagi, kembali To Tok menderita beberapa luka.
Dengan mata melotot beringas, sekuat tenaga To Tok berusaha balas menggempur musuh, namun sekilas dilihatnya si gadis di hadapannya ini mirip istrinya pada malam pengantin dahulu, sesaat terasa dingin hatinya, lagi-lagi dadanya kena tertusuk sekali.
Tak tahan lagi To Tok oleh luka-lukanya, ia menjerit keras, pedangnya mendadak ditimpukkan ke depan, ketika Lan-cu berkelit, dengan tepat pedang itu menembus dada seorang pengawal yang memburu datang hendak menolong To Tok.
Betapa lihai Kiam-hoat le Lan-cu, begitu berkelit segera ia merangsek maju lagi.
Meski To Tok mengangkat tangan hendak menangkis, tapi terdengarlah suara "kraak,"
Lima jarinya tertabas kutung semua.
Ujung pedang le Lan-cu yang tadinya mengarah tenggorokan orang sedikit tergoncang menceng hingga menembus leher To Tok, tapi jalan napasnya masih belum terputus.
To Tok menjerit ngeri, darah segar muncrat, orangnya roboh, hanya belum mati seketika.
Dan ketika Lan-cu hendak menambahi sekali tusuk lagi, joli tadi sudah berhenti di depannya, dari dalam keluar dengan cepat seorang wanita agung terus menahan pelahan tangan Lan-cu.
Seketika tergoncang tubuh Lan-cu oleh pegangan tangan orang, pedangnya tahu-tahu jatuh ke tanah.
Dan karena itu jago-jago pengawal yang sudah datang mengepung itu segera dapat menangkapnya.
Lan-cu tak melawan, ia menyerah dirinya ditangkap, mukanya putih pucat dan matanya terpaku memandang wanita agung itu sambil tertawa seram.
"Onghui yang agung, aku telah membikin susah kau!"
Demikian katanya pelahan.
Wajah Nilan-onghui pucat bagai mayat, tak sanggup ia mengucapkan sepatah katapun.
Tiba-tiba ia merasa kakinya dirangkul orang, ia lihat dengan bermandi darah To Tok merangkul kakinya erat-erat sambil menengadah.
Lekas Onghui berjongkok hendak memayang sang suami, namun didengarnya suara To Tok yang amat lemah berkata padanya.
"Terima kasih, isteriku!"
Tak tahan lagi Onghui oleh pukulan perasaan itu, ia menjerit dan roboh tak sadarkan diri tagi.
Sementara itu pertempuran sengit sudah terjadi antara para pahlawan dengan pasukan pengawal.
Dengan gagah berani Thong-bing Hwesio dan kawan-kawan berusaha mendekati Ie Lan-cu untuk menolongnya.
Tadi mereka sudah girang melihat le Lan-cu berhasil merobohkan To Tok, siapa tahu tiba-tiba datang Onghui dan gadis itu pasrah diringkus musuh begitu saja, mereka kuatir dan gugup, maka segera mereka menerjang maju untuk menolong, namun mereka lantas dikerubut pasukan pengawal yang jauh lebih banyak dan menyaksikan Ie Lan-cu diseret musuh ke dalam Ho-hut-si tanpa berdaya.
Dalam pada itu To Tok dan Onghui sudah digotong masuk ke dalam kuil itu juga oleh orang-orangnya.
Rombongan Thong-bing Hwesio masih berusaha hendak menerjang ke dalam kuil itu, tapi jago-jago pengawal tidak lemah juga, pula dalam jumlah lebih banyak, dalam pertarungan sengit itu Siang Ing terluka lebih dulu pundaknya oleh sambitan pisau terbang musuh, Thia Tong pun terluka oleh panah.
Sedang Thio Hua-ciau dengan penuh noda darah memutar pedang menerjang musuh mati-matian.
Thong-bing Hwesio berusaha memburu maju untuk menggabungkan diri dengan pemuda ini, siapa duga begitu berhadapan, tahu-tahu Hua-ciau mengayun pedang terus menusuk ke arahnya sambil berteriak.
Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Biarlah aku mengadu jiwa denganmu!"
"Hai, orang sendiri!"
Seru Thong-bing kaget sembari mengelakkan serangan itu. Namun pandangan Hua-ciau kelihatan kabur, orangnya ternuyung-huyung hendak roboh.
"Celaka!"
Keluh Thong-bing dalam hati.
Kawpn-kawannya sudah banyak yang terluka, cara bagaimana kini bisa keluar dari kepungan musuh?.
Ketika keadaan berbahaya, tiba-tiba pasukan pengawal yang mengepung itu kelihatan menyingkir ke samping, tertampak Kui Tiong-bing memutar kencang pedangnya menerobos datang menolong.
"Mari lekas terjang keluar!"
Seru pemuda ini.
Habis itu, ia mendahului memutar tubuh terus menerjang kembali ke arah datangnya tadi sambil menyeret Thio Huaciau terus diikuti Thong-bing Hwesio dan lain-lain dengan rapat.
Di sebelah sana, di bawah iringan Thio Jing-guan dan kawan-kawan, Wan-lian menghamburkan pasirnya yang berbisa dan mati-matian menerjang keluar kepungan hingga pasukan pengawal itu tak mampu menahannya.
Karena itu tak lama kemudian mereka berhasil lolos semua ke balik gunung sana.
Di lain pihak, sesudah Nilan-onghui digotong masuk kuil dan sadar kembali, namun ia tak mendapatkan lagi adanya Ie Lan-cu.
"Penyamun wanita itu sudah dikerangkeng dan dijaga rapat,"
Demikian seorang perwira coba memberi laporan padanya "Sementara ini telah dipanggil juga tabib kerajaan, maka Onghui jangan kuatir."
"Kalian keluar semua!"
Kata Onghui tiba-tiba sambil mengebaskan tangannya. Namun perwira itu masih ragu-ragu dan tetap di tempatnya.
"Kalian keluar semua!"
Bentak To Tok yang tiba-tiba tersadar dengan suara serak.
Nampak Ongya mereka tak bertenaga lagi dan suaranya berat, seluruh tubuh pun bermandi darah, perwira itu dan pengawal- pengawal lain tahu betapapun cepat tabib kerajaan bisa datang, tak akan bisa menghidupkan Ongya mereka, mereka menduga ada pesan terakhir yang hendak To Tok bicarakan pada Onghui, maka tak berani lagi mereka ayal, segera mereka mengundurkan diri keluar.
"Ongya,"
Kata Nilan-onghui kemudian sambil merangkul sang suami erat-erat dengan air mata bercucuran.
"Sudah sekian lamanya aku mendustai kau sesuatu bahwa si gadis pembunuh itu ia ialah puteriku sendiri"
"In ini su sudah lama kuketahui,"
Sahut To Tok terputusputus dan tersenyum getir.
Tak tahan lagi hati Onghui, ia menangis menggerunggerung, sungguh hancur luluh rasanya.
Tiba-tiba To Tok merangkak hendak bangun, ia tahan tubuhnya dengan siku sambil memegang tangan sang isteri kencang-kencang.
"Ming-hui,"
Katanya parau.
"Aku merasa puas, barulah hari ini kuketahui bahwa sesungguhnya kau pun mencintai aku!"
Pedih sekali bagai disayat-sayat hati Nilan-onghui.
Apa betul ia mencintai To Tok? Tidak.
Cintanya itu lebih tepat dikatakan kasihan.
Namun kini, pada saat sang suami sudah dekat ajalnya, tiba-tiba terasa juga olehnya seakan-akan memang mencintainya.
Ia menunduk tak menjawab, pelahanlahan ia mengecup pipi sang suami sekalipun darah menodai mulut dan rambutnya.
"Nasib puterimu itu biarlah kuserahkan kebijaksanaanmu,"
Kata To Tok pula dengan lemah.
"Ya, Ming-hui, aku sangat puas,"
Makin lama makin lemah dan semakin lirih suaranya, pelahan-lahan tangan yang memegang sang isteri pun menjadi kendor, matanya sudah tertutup rapat, nyata ia telah menghembuskan napasnya yang penghabisan.
Ngeri Nilan-onghui oleh suasana seram itu, lekas ia membuka kamar dan berteriak memanggil orang.
Karena itu para pengawal di luar beramai berkerumun, dan demi mengetahui Pangeran mereka sudah tak bernyawa lagi, seketika mereka pun menjadi ribut.
"Ongya sudah wafat, tentang penyamun wanita itu biarlah boleh dibebaskan saja,"
Kata Onghui pelahan.
"Hendaklah Onghui istirahat dahulu,"
Sahut ajudan To Tok cepat.
Segera juga para pelayan maju hendak memayang, siapa duga terdengar Onghui menjerit ngeri dan orangnya kembali pingsan.
Para pengawal bawahan To Tok mengira pikiran Onghui sudah kacau, maka perintahnya 'membebaskan' pembunuh wanita tadi dengan sendirinya mereka anggap tak sehat.
Kemudian setelah datang pula panglima lain yang mendapat kabar terbunuhnya To Tok, tak ampun lagi le Lan-cu digusur ke dalam penjara kerajaan yang dijaga rapat.
Tentu saja peristiwa terbunuhnya To Tok itu membuat kota-raja menjadi gempar.
Akan tetapi herannya, sudah lewat setengah bulan perkara itu belum juga diperiksa.
Menurut biasanya, peristiwa hebat itu seharusnya Kaisar sudah memberi titah memeriksa pesakitannya, tapi tiada seorang pembesar pun yang menerima perintah.
Keruan saja hal itu menimbulkan berbagai pertanyaan dan dugaan di antara pembesar-pembesar negeri itu.
Nyata mereka tak tahu bahwa Kaisar Khong-hi sesungguhnya sangat tak senang karena peristiwa itu.
Nilanonghui sendiri yang telah memohon dengan perantara ibu-suri untuk minta kelonggaran Kaisar agar pemeriksaan penyamun wanita itu ditunda setelah ia sembuh dari sakitnya.
Karena alasan sakit, Khong-hi menyangka Onghui terlalu berduka dan terpukul batinnya oleh kematian sang suami, pula menduga Onghui akan memeriksa si pembunuh sendiri bila telah sembuh, maka Khong-hi telah meluluskan permohonan itu.
Akan tetapi sudah setengah bulan dan kesehatan Nilanonghui masih belum pulih kembali, sungguhpun tabib-tabib kerajaan ikut memeriksanya, namun tiada diketahui juga dimana letak sebab-sebab penyakit Onghui, dugaan hanya karena hati Onghui sedih hingga menjadi sakit.
Dan karena waktunya sudah berlarut-larut, Khong-hi mulai tak sabar, namun Ok-jin-ong besar sekali pahalanya terhadap negara, permaisurinya adalah bibi Nilan Yong-yo pula, meski mendongkol, sungkan juga diutarakannya.
Dan selama setengah bulan itu siang-malam Nilan-onghui benar-benar tenggelam dalam kancah derita, la menutup diri dalam kamar, selain tabib kerajaan yang terpaksa harus dilayaninya, orang lain tiada lagi yang ditemuinya.
Pernah ia berpikir hendak bunuh diri saja, tapi masih ada cita-citanya yang belum terkabul.
ia masih ingin bertemu dengan puterinya.
Namun cara bagaimanakah bisa bertemu? Kecuali kalau ia membebaskannya dari penjara.
Atau sebaliknya, apabila sehari lebih cepat ia bertemu dengan putrinya, itu berarti sehari lebih dekat pula mengirim putrinya itu ke gerbang kematian.
la tahu Kaisar menyangka ia hendak memeriksa sendiri penyamun wanita itu, dan sesudah itu segera juga orangnya akan dihukum mati.
Akan tetapi dapatkah ia membebaskan puterinya itu? la tak berkuasa.
Ya, bahkan tiada seorang pun, dari Kaisar sampai perwira-perwira bawahan To Tok, tiada yang rela panglima mereka terbunuh begitu saja.
Dan karena itulah, tiada jalan lain ia hanya mengulur waktu saja.
Keadaan ganjil itu tidak saja mengherankan para pembesar, bahkan para pahlawan di rumah Ciok Cin-hui juga diliputi berbagai tanda tanya.
Hari itu sesudah berhasil lolos kembali, tiada henti Thongbing Hwesio menggerutu, katanya.
"Permaisuri To Tok betulbetul wanita siluman. Anak dara itu sudah bisa mampuskan To Tok dan sebenarnya dengan mudah bisa menerjang keluar, bila mau Onghui bisa juga sekalian dibereskannya waktu berhadapan sebab orang hanya bertangan kosong. Tapi aneh bin ajaib, anak dara itu seperti kena guna-guna, ia berdiri tegak tanpa berkutik dan membiarkan dirinya diringkus begitu saja!"
Begitu pula para pahlawan lainpun penasaran, hanya Boh Wan-lian yang dapat menerka beberapa bagian, cuma tak berani dikatakannya.
Kemudian para pahlawan itupun berdaya hendak menolong Ie Lan-cu, tapi sejak peristiwa itu penjagaan di kota-raja telah diperkeras dan dilakukan penggeledahan rumah-rumah penduduk.
Baiknya Ciok Cin-hui menyembunyikan mereka di kamar rahasia di bawah tanah dan berkat hubungannya yang luas dan baik dengan kalangan polisi dan pejabat negeri, maka semuanya dapat dilalui dengan aman.
Sebaliknya karena tak bisa keluar untuk menolong kawan, para pahlawan menjadi tambah kuatir.
Berbagai pendapat telah dikemukakan, tapi tiada yang bisa diterima.
"Aku ada suatu usul yang bodoh,"
Demikian kata Wan-lian akhirnya.
"Cuma harus ada seorang yang bernyali besar dan bisa berlaku hati-hati yang dapat melakukannya. Tiong-bing cukup tinggi ilmu silatnya, tapi kurang kecerdikannya. Maka paling baik kalau Leng Bwe-hong atau Pho Jing-cu bisa datang di sini."
"Dari sini ke Sucwan pulang pergi harus makan waktu berbulan-bulan, mana bisa kita menunggu begitu lama,"
Ujar Thio Jing-guan.
"Coba katakan usulmu itu,"
Kata Thong-bing Hwesio.
"Ah, susah dijalankan, nanti hanya akan membikin kusut pikiran orang banyak saja,"
Sahut Wan-lian.
"Anak dara itu sangat menyenangkan, masakah kita harus menyaksikan dia menuju gerbang kematian begitu saja?"
Ujar Thong-bing gegetun.
Di sebelah sana wajah Thio Hua-ciau kelihatan pucat muram dan membisu.
Lekas Ciok Cin-hui mengedipi Thongbing agar jangan banyak omong lagi.
Di pihak lain sana, sehabis To Tok terbunuh, pernah Nilan Yong-yo pergi menghibur sang bibi, meski Onghui menolak bertemu dengan orang, namun Yong-yo ternyata ditemuinya.
Cuma hatinya masih sedih dan batin tertekan, maka ia tidak banyak bicara.
Waktu Yong-yo mengetahui bahwa si pembunuh adalah si gadis yang dahulu dikenalnya di Jing-liang-si di atas Ngo-taisan itu, ia terkejut luar biasa.
"Ya, masih ingat aku pada sorot matanya yang tajam dingin,"
Katanya pada sang bibi.
"Cuma aneh, sebab apakah ia harus membunuh Kohtio (paman), dendam dan sakit hati apakah yang membikin dia berlaku nekad?"
Onghui tak menyawab, sejenak kemudian dikatakannya sambil menghela napas.
"Tapi ia pun sangat harus dikasihani!"
Tiba-tiba Yong-yo ingat akan wajah dan perawakan gadis pembunuh itu sangat mirip sang bibi, tanpa merasa ia ikut ngeri, lekas ia mohon diri pulang.
Pada suatu malam yang sunyi, seorang diri Yong-yo duduk termenung di kamarnya di atas Thian-hong-lau, pikirannya bergolak, la adalah bangsawan Boanciu, tapi jiwanya mulia, ia memandang rendah bangsawan-bangsawan lain yang kotor, hanya terhadap To Tok ia masih mempunyai rasa hormat dan kagum, karena itu atas tewasnya To Tok ia pun ikut berdukacita, namun begitu ia pun menaruh simpati pada si gadis pembunuh itu.
"Ya, seorang gadis jelita rela menghadapi bahaya untuk membunuh seorang saja, pasti di dalamnya tersangkut urusan sakit hati yang maha besar yang harus dilakukannya,"
Demikian pikir Yong-yo.
"Cuma aneh, mengapa Kokoh (bibi) sebaliknya tak menjadi benci pada gadis pembunuh suaminya itu?"
Begitulah ia berpikir sendiri pergi-datang, namun tak dapat pula ia menarik sesuatu kesimpulan atas peristiwa itu.
"Apa terlahir dalam keluarga kerajaan memang merupakan semacam dosa?"
Demikian ia bergumam sendiri.
Tengah Nilan Yong-yo termenung seorang diri dalam kesepiannya, tiba-tiba sinar lilin terlihat bergoyang, tahu-tahu daun jendela terpentang lalu melompat masuk dua orang.
Seorang dikenalinya adalah Thio Hua-ciau dan yang lain seorang gadis remaja, parasnya juga sudah dikenalnya cuma tak ingat seketika.
Dan selagi ia hendak menegur, tiba-tiba si gadis itu telah mendahului menyapa dengan gaya menarik.
"Kongcu, apakah masih ingat pada si penjaga taman?"
Karena itu barulah Nilan Yong-yo teringat, lalu ia tertawa.
"Ia bernama Boh Wan-lian, puteri Boh Pi-kiang Siansing,"
Segera Hua-ciau memperkenalkan mereka.
"Aku sangat mengagumi ilmu sastra Boh-siansing, pantas nona Boh juga pandai bersajak dan mahir seni suara,"
Ujar Yong-yo.
"Dan sebab apakah tempo hari harus menyamar untuk menghamba di rumah kami?"
"Soal itu biarlah kelak kita bicarakan,"
Sahut Wan-lian tersenyum.
"Kedatangan kami sekarang ini justru ada urusan penting yang perlu bantuan Kongcu."
"Silakan menerangkan,"
Kata Yong-yo.
"Kami minta bantuan agar bisa menemui Sam-kiongcu,"
Kata Wan-lian.
"Keadaan sekarang sudah berubah, sejak geger tempo hari, Kiongcu dilarang keluar kerajaan lagi,"
Sahut Yong-yo.
"Jika begitu, kaubawa kami masuk ke kerajaan menemuinya,"
Pinta Wan-lian. Berubah wajah Yong-yo karena permintaan itu, ia terdiam.
"Apakah berlebihan permintaan kami ini?"
Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tanya Wan-lian.
"Untuk apa kalian ingin bertemu Sam-kiongcu?"
Tanya Yong-yo tiba-tiba.
"Kami hendak menolong seseorang,"
Kata Wan-lian.
"Kau maksudkan si gadis pembunuh Ok-jin-ong itu?"
"Benar, dialah yang ingin kami tolong,"
Sahut Hua-ciau.
"Ok-jin-ong adalah pamanku, apakah kalian tak tahu?"
Tanya Nilan Yong-yo kurang senang.
"Banyak sekali orang-orang tak berdosa yang dibunuh pamanmu itu apakah kau pun tidak tahu?"
Balas Wan-lian bertanya.
"Ia adalah panglima kerajaan, tempat dimana pasukan lewat tentulah meninggalkan noda, tetapi semua itu tak bisa juga menyalahkan dia seorang saja,"
Sahut Yong-yo.
"Jika begitu, apakah rakyat jelata yang salah?"
Debat Wanlian tertawa dingin.
"Juga bukan begitu,"
Sahut Yong-yo.
"Lalu? Apa dia boleh sembarang membunuh orang, dan orang lain tak boleh membunuh dia?"
Kata Wan-lian pula.
"Balas membalas cara begitu, darah dibayar darah, sampai kapankah baru berakhir?"
Sahut Yong-yo menghela napas.
"Sebenarnya kami tidak dendam pada bangsa Boanciu umumnya, tapi orang seperti To Tok yang memimpin bangsamu membunuh bangsa kami, sudah tentu tak bisa kami diamkan begitu saja,"
Ujar Boh Wan-lian. Yong-yo membisu, ia tak menyawab.
"Dan bila gadis tak berdosa itu hendak kalian bunuh pula, itu berarti darah disiram lagi dengan darah,"
Kata Wan-lian lebih lanjut dengan bersemangat. Nilan Yong-yo masih tetap bungkam. Tiba-tiba Wan-lian bergelak tertawa, dengan suara lantang kemudian ia berkata lagi.
"Kami tadinya menyangka Kongcu adalah seorang yang berjiwa besar, tampaknya kami telah salah lihat. Maka biarlah terus terang saja, kami adalah komplotan si gadis pembunuh. Jika Kongcu tak menahan kami, sekarang juga biarlah kami mohon diri!"
Mendadak Yong-yo mengebas lengan bajunya terus bangkit berdiri.
"Baik, besok juga kau boleh ikut aku masuk istana,"
Katanya kemudian sambil menunjuk Boh Wan-lian. Tentu saja Wan-lian sangat girang.
"Dan bagaimana dengan dia?"
Tanyanya menuding Hua-ciau.
"Istana begitu keras penjagaannya, lelaki asing tidak nanti diperbolehkan masuk,"
Sahut Yong-yo.
"Kalau begitu, biarlah kupinjam alat tulismu saja,"
Kata Hua-ciau.
Dan setelah alat tulis yang diperlukan disediakan, segera Hua-ciau bekerja cepat, ia menulis sepucuk surat dan diserahkannya pada Boh Wan-lian dalam sampul tertutup.
Habis itu, ia memberi hormat pada Nilan Yong-yo, lalu ia pun melesat pergi.
Nilan Yong-yo sangat suka bergaul dengan kaum cerdikpandai, lebih-lebih seorang nona manis seperti Boh Wan-lian yang mahir ilmu silat dan surat.
Ketika dilihatnya Boh Wan-lian dengan bersenyum simpul lagi memandang padanya, hatinya tergoncang.
Tiba-tiba ia pun teringat pada 'si penjaga taman' lainnya yang kasar itu.
"Mana kawanmu yang lain itu?"
Tanyanya segera.
"Ia menunggu Ciau-long di luar sana,"
Sahut Wan-lian.
"Ia tak kuatir lagi kau masuk istana seorang diri?"
Tanya Yong-yo.
"Meski ia kasar, tapi orangnya tulus jujur,"
Sahut Wan-lian tertawa.
"Aku sering memuji Kongcu di hadapannya, kelak tentu ia akan berterima kasih juga padamu."
"Kalian sama-sama gagah perkasa, sungguh pasangan yang setimpal,"
Yong-yo memuji.
Sungguhpun berkata demikian, namun dalam hati ia berpikir lain, ia gegetun nona cantik seperti Boh Wan-lian bagai burung Hong mendapat jodoh burung gagak, tapi ia pun tahu cinta Wan-lian amat mendalam pada 'si penjaga taman' yang kasar itu.
"Apa kalian sudah menikah?"
Tanyanya kemudian.
"Belum,"
Jawab Wan-lian.
"Bila kelak menikah, pasti aku tak sempat memberi selamat pada kalian, maka biarlah sekarang juga aku, memberikan sedikit tanda-mata yang tak berarti padamu,"
Kata Yong-yo tertawa. Habis itu, dari dinding ditanggalkannya sebatang pedang pendek dan diangsurkan pada Boh Wan-lian.
"Pedang ini bernama 'Thian-hong-kiam' yang didapat ayahku dari hadiah seorang gubernur, katanya adalah pedang pusaka buatan di zaman Cin, sukalah kau menerimanya untuk dipergunakan,"
Demikian katanya.
Waktu Wan-lian coba melolos pedang itu, ia lihat sinar tajam menyilaukan mata, dengan girang ia pun menghaturkan terima kasih.
Kembali mengenai peristiwa terbunuhnya To Tok.
Berita itu dengan cepat tersiar ke dalam kerajaan.
To Tok adalah orang yang dikenal baik oleh Sam-kiongcu, meski berita kematian To Tok itu menggetarkan hatinya juga, namun saat itu hatinya justru sedang penuh pikiran, yang dia pikir sekarang ini malahan bukan To Tok, tapi bayangan Thio Hua-ciau yang telah bersarang dalam hati sanubarinya.
Rasa kagum dan serba baru serta rasa ingin mencari kepuasan belaka yang dipikirnya, mula-mula waktu bertemu dengan pemuda itu, kini lambat-laun sudah berubah, kini setiap gerak-gerik, suara dan tertawa Hua-ciau sudah terukir dalam lubuk hatinya, bayangan pemuda ini sudah melengket rapat dalam jiwanya.
Suatu hari di waktu pagi, Sam-kiongcu merasa kesepian, ia menyingkap kerai kamarnya dan memandang jauh, ia lihat suasana taman sunyi-senyap hanya beberapa Thaykam lagi membersihkan taman di kejauhan.
Dalam kesalnya, Sam-kiongcu merasa iseng, ia coba mengambil secarik surat yang berisikan sajak dan dibacanya pelahan.
Sajak ini adalah gubahan Nilan Yong-yo yang seakanakan melukiskan isi hatinya yang berkeluh-kesah tapi penuh harapan.
Dan selagi ia tenggelam oleh isi sajak itu, tiba-tiba datang dayang memberitahu bahwa Nilan-kongcu telah datang.
Nyata karena terpesona oleh isi sajak itu sampai penciptanya sudah berada di depan kamarnya ia masih belum tahu.
"Sam-mcayrnoay, kau giat sekali,"
Sapa Yong-yo tertawa segera sesudah masuk.
Waktu Sam-kiongcu menegasi, ia lihat di belakang Yong-yo masih ada seorang gadis jelita yang parasnya seperti sudah dikenalnya.
Dan sesudah ia mengingat, tak tahan lagi hatinya berdebar.
Ya, gadis itu adalah Boh Wan-lian yang dulu pernah dijumpainya di Thian-hong-lau dalam samarannya sebagai jejaka.
Dan karena dalam kamar masih ada dayang, lekas Kiongcu mengedipi Nilan Yong-yo.
"Aku diminta Hongsiang (Sri Baginda) menemani membaca, malam ini aku tak pulang, maka pelayanku ini biarlah kutitipkan padamu di sini,"
Kata Nilan Yong-yo kemudian dengan berpura-pura. Dan setelah Yong-yo berlalu, segera Sam-kiongcu menyuruh pelayan lain membawa Boh Wan-lian ke kamar tidurnya.
"Boh-cici, sungguh aku sangat merindukan dikau,"
Katanya cepat sambil merangkul Wan-lian.
"Ah, kukira bukanlah merindukanku,"
Goda Wan-lian tertawa.
Habis itu, ia pun mengeluarkan sampul surat Huaciau.
Girang luar biasa Sam-kiongcu melihat surat itu, tanpa pikir lagi ia menyambar surat itu dari tangan orang terus dibukanya.
Nyata surat Hua-ciau itu memang ditujukan pada Sam-kiongcu.
Mula-mula Wan-lian melihat Sam-kiongcu membaca surat itu sambil tersenyum, tetapi lambat-laun mukanya kelihatan berubah, tangan yang memegang surat itupun mulai gemetar hingga surat yang dipegangnya tergoncang bagai tertiup angin.
Kiranya surat Hua-ciau itu mula-mula menyatakan betapa terima kasihnya karena pemberian obat Sam-kiongcu hingga lukanya telah sembuh kembali.
Kemudian pemuda itu menyatakan syukurnya bisa berkenalan dengan Kiongcu dengan karib dan menyesalkan tak bisa membalas budi kebaikan orang.
Hangat dan manis sekali rasa Sam-kiongcu oleh rayuan surat itu, maka ia berpikir apa saja yang diminta si pemuda itu pasti akan dipenuhinya.
Siapa duga, surat itu kemudian menceritakan tentang diri si gadis pembunuh To Tok dan antara lain dikatakannya, meski gadis itu musuh besar keluarga kerajaan, tapi adalah teman akrab Hua-ciau.
Kerajaan menginginkan kematiannya, Huaciau justru mengharap akan hidupnya.
Kalau ia (si gadis) celaka, Hua-ciau pasti tak bisa hidup sendiri.
Maka bila Kiongcu suka mengulurkan tangan menolong, selama hidup Hua-ciau pasti tak akan melupakan budi yang maha mulia itu.
Dan setelah menyelami lebih dalam isi surat tersebut, Samkiongcu tahu cinta Thio Hua-ciau kepada si gadis pembunuh sudah mendarah-daging melebihi terhadap dirinya.
Tanpa terasa air matanya meleleh, remuk-rendam hatinya, surat itupun akhirnya terjatuh ke lantai.
Meski Wan-lian tak tahu bunyi surat itu, namun melihat gelagatnya ia telah dapat menerka.
"Kiongcu!"
Ia memanggil sembari mengusap rambut puteri itu untuk menghiburnya. Dengan perasaan hancur Kiongcu menjemput kembali surat tadi, ia duduk di atas kursi dengan lemas.
"Tidak, soal ini aku tak bisa mengurus, juga tiada jalan buat mengurusnya!"
Katanya kemudian dengan ketus.
"Apakah sudah pasti keputusan Kiongcu ini?"
Tanya Wan lian sambil memandang orang tanpa berkedip.
Tatkala itu dalam perasaan Kiongcu terbayang akan suatu gambaran, ya, tentu sesudah aku menolong si gadis pembunuh itu, lalu Thio Hua-ciau akan menggandeng tangannya dan kabur pergi bersama dengan tertawa tanpa memandang sekejap pun padaku.
Karena lamunan itu, dengan rasa gemas ia jawab pertanyaan Wan-lian tadi.
"Tidak, aku tak bisa menolong!"
"Sayang bila begitu,"
Kata Wan-lian pula menghela napas.
"Sayang apa?"
Tanya Kiongcu cepat.
"Thio Hua-ciau sudah berhutang budi pada Kiongcu, jika Kiongcu sudi memenuhi permohonannya, dapat dipastikan ia akan berterima kasih selama hidup,"
Demikian sahut Wan-lian.
"Tapi kini Kiongcu tidak mau membantu urusannya, ini berarti hubungan baikmu dengan Hua-ciau yang sudah-sudah akan hilang terhanyut, bukankah itu sangat harus disayangkan?"
Kiongcu terdiam oleh perkataan itu. Lama dan lama sekali tiba-tiba ia bertanya.
"Kau sendiri punya kekasih tidak?"
"Punya,"
Jawab Wan-lian.
"Dan bagaimana perasaanmu bila seumpama ia mencintai orang lain pula?"
Tanya Sam-kiongcu.
"Dengan rasa cinta yang sama aku tetap membantunya,"
Kata Wan-lian pasti.
"Sungguh?"
Jengek Sam-kiongcu.
"Mengapa tidak?"
Kata Wan-lian.
"Bila aku cinta padanya, pasti segalanya aku berpikir untuk kepentingannya, hanya bila ia bahagia barulah aku pun merasa bahagia. Biarlah aku ceritakan, pernah aku menghadapi bahaya tapi dengan kesabaran yang tak pernah putus aku telah menolong kekasihku lolos dari elmaut. Tatkala itu, sungguhpun setiap saat aku dapat dibunuh olehnya, namun sedikitpun tak terpikirkan olehku, apalagi gentar!"
Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Betulkah begitu?"
Tanya Kiongcu ragu-ragu.
"Baiklah, malam nanti kautidur bersamaku dan ceritakanlah kisahmu itu."
Malam itu, betul saja Boh Wan-lian menceritakan kisahkasihnya dengan Kui Tiong-bing yang dengan segala kesabaran dan pengorbanan murni menyembuhkan penyakit ingatan pemuda itu.
Setelah mendengar cerita itu, Samkiongcu termenung diam sambil menghela napas panjang.
Besok paginya, tiba-tiba Kiongcu berkata pada Boh Wanlian.
"Kau tunggu di sini, sebentar segera aku kembali!"
Sekilas Wan-lian melihat sinar mata orang seperti telah mengambil suatu keputusan yang pasti untuk sesuatu tugas.
Dan setelah puteri itu pergi, Wan-lian sendiri menjadi kesepian, pelahan ia menyingkap tirai kamar menikmati keindahan taman bunga.
Dan ketika gadis ini terpesona oleh pemandangan indah itu, mendadak didengarnya ada suara tindakan orang naik ke atas loteng disusul dengan suara orang sedang bercakap.
"Begini pagi Kiongcu sudah keluar?"
Terdengar seorang bertanya.
"Ya, kami pun tak tahu kemana tuan puteri pergi, mungkin pergi menjenguk ibu-suri,"
Demikian jawab suara wanita.
"Ibu-suri sangat sayang pada tuan puterimu,"
Kata yang duluan tadi.
"Tempo hari ia datang ke sini dan melihat kamar Sam-kiongcu terlalu sederhana, kemarin ia lantas memerintahkan kami agar hari ini menghias kamar Kiongcu semewah mungkin. Kini bila Sam-kiongcu tiada di kamar, tentu kami bisa bekerja lebih leluasa."
Setelah orang itu merepek ke barat dan ke timur, kemudian terdengar suara tindakannya berhenti di depan pintu kamar, menyusul terdengar lagi tindakan beberapa orang lain ikut naik ke atas, mungkin orang-orang yang membawa barangbarang hiasannya.
Wan-lian mencoba mengintip dari lubang pintu, ia lihat di luar ada seorang Kiongli (dayang istana) dan seorang Thaykam (dayang kebiri), dan Kiongli itu sedang mengeluarkan anak kunci hendak membuka pintu kamar.
Seketika Wan-lian terkejut demi melihat muka si Thaykam seperti sudah dikenalnya.
Setelah ia mengingat-ingat, barulah ia teringat Thaykam ini dulu pernah tertangkap Pho Jing-cu di Jing-liang-si ketika malam-malam mereka menyelidiki Ngo-taisan.
Lekas Wan-lian bersembunyi di belakang kelambu sembari menggenggam beberapa gelintir pasir lembut, kemudian ia menyentil pasir itu ke arah muka si Thaykam yang telah melangkah masuk kamar.
"He, kenapa kalian begini jorok sampai debu saja tak pernah dibikin bersih!"
Segera Thaykam itu berteriak sambil tangannya mengucek matanya yang kelilipan oleh pasir Boh Wan-lian.
"Ah, mana ada debu?"
Sahut dayang wanita tadi. Tapi baru saja ia ikut masuk, tahu-tahu ia sendiri pun mengucek mata senasib dengan sang kawan.
"Eh, ya, aneh, bukankah kamar saban hari disapu, kenapa ada debu?"
Demikian ia pun mengomel.
Dan pada waktu kedua orang itu mengucek mata, dengan cepat dan gesit sekali Boh Wan-lian menyingkap tirai jendela terus melesat keluar tanpa diketahui Thaykam dan Kiongli itu.
Tapi baru saja ia menancapkan kaki di luar, sekonyongkonyong ada suara teriakan orang kaget.
"He!"
Menyusul kemudian dari semak-semak sana muncul dua orang Thaykam memburu ke jurusannya, tampaknya langkah kedua Thaykam ini enteng dan cepat, tentu berilmu silat tidak lemah.
Tahu dirinya sudah kepergok, tanpa pikir lagi segera Boh Wan-lian menyambut kedua Thaykam itu dengan segenggam pasirnya.
Karena tak menduga akan diserang, mata seorang di antaranya menjadi buta tertimpuk dan yang lain daging mukanya menjadi burik oleh hamburan pasir tersebut.
Saking sakitnya kedua Thaykam itupun berteriak-teriak.
"Ada penjahat, lekas tangkap!"
Lekas Wan-lian angkat kaki mengitari jalan kecil yang berliku-liku dalam taman kerajaan yang jauh lebih luas daripada taman istana Perdana Menteri itu.
Sementara itu para Thaykam penjaga telah mengejar datang dari berbagai jurusan, cuma bayangan Boh Wan-lian sudah tak kelihatan lagi.
Namun begitu, karena kuatir Wanlian masih berlari terus, setelah sebuah gunung-gunungan indah dilintasinya, tiba-tiba dilihatnya sebuah rumah kuno yang sudah bobrok dengan pintu tertutup dan kelihatan kotor meski gedung-gedung lain di sekitarnya terawat baik dan bersih.
Wan-lian heran, ia menduga rumah itu pasti tiada penghuninya, segera ia melompat masuk melintasi pagar tembok di samping.
Tiba-tiba tercium olehnya bau wangi semerbak, makin masuk ke dalam bau wangi itu makin tebal, ia mencari tempat datangnya bau wangi itu dan akhirnya sampai di sebuah kamar tidur.
Meski kamar itu penuh debu, namun pajangannya tertata rajin dan indah dengan perabotannya yang mewah.
Kemudian dapat diketahuinya bau wangi tadi teruar dari sebuah almari buku yang terbuat dari kayu cendana wangi.
Setelah kamar itu diperiksa, ia mendapatkan di dekat almari buku ada sebuah ranjang bagus dengan kelambu berhiaskan mutiara yang terurai rendah, di depan ranjang itu masih tergeletak sepasang sepatu wanita.
Di dekat jendela ada sebuah almari buku yang lebih besar merangkap meja baca dan di atas meja terserak beberapa
Jilid kitab.
Di dinding kanan tergantung sebuah lukisan, waktu Wanlian membersihkan debu di atasnya, ia lihat lukisan itu adalah seorang gadis jelita yang sedang tersenyum simpul padanya.
Nampak lukisan ini, seketika hati Wan-lian tergetar, ia coba ber-cermin pada sebuah kaca di situ, lalu dipandangnya lagi lukisan itu, ia merasa lukisan itu begitu mirip dengan wajah diri sendiri, ia coba memeriksanya lebih teliti, ia lihat di pojok kiri lukisan itu ada sebaris huruf-huruf kecil.
Tak tertahan lagi air mata Boh Wan-lian meleleh setelah membaca tulisan itu sambil menyebut.
"Ibu!"
Kiranya tulisan itu ialah catatan pelukisnya, Boh Pi-kiang, ayah Boh Wan-lian, sebagai kenang-kenangan setelah lima tahun menikah dengan Tang Siao-wan, ibu Wan-lian.
Ketika ibunya dirampas masuk istana, lukisan ini telah dibawa serta sebagai tanda cintanya yang tak pernah terlupakan pada Boh Pi-kiang.
Kemudian Wan-lian memeriksa kitab-kitab di atas meja, ia lihat sebuah di antaranya masih tersingkap dan ditindih sebuah Hi (kotak tinta Tionghoa).
Setelah kitab itu dibersihkan dan Wan-lian memeriksa yang lain, ternyata itupun berisi syair-syair gubahan ayahnya sebelum berpisah dengan ibunya, pantas ibundanya masih suka membacanya berulang-ulang sebagai kenang-kenangan.
Karena merasa sayang akan barang peninggalan orang tua, Wan-lian memasukkan kitab itu ke dalam bajunya.
Dan selagi ia hendak menanggalkan lukisan sang ibu di dinding itu, tiba-tiba didengarnya suara pintu luar didorong disusul dengan suara tindakan orang, ia terkejut, lekas ia bersembunyi di belakang almari buku tadi.
Tak lama, masuklah dua orang laki-laki.
Terkejut sekali Boh Wan-lian setelah mengenali orang-orang itu dari belakang almari.
Kiranya kedua orang itu seorang dikenalnya ialah Kaisar Khong-hi, dan yang lain kelihatan tulang pilingannya menonjol tinggi, matanya dekuk, sebaliknya biji matanya melotot kekuning-kuningan, terang sekali seorang jago Lwekeh yang hebat.
Tentunya ia ini adalah pengawal pribadi Kaisar Khonghi.
Wan-lian coba menenangkan diri, ia menyiapkan pedang pusaka hadiah dari Nilan Yong-yo.
Sementara pengawal itu telah membersihkan debu meja kursi, lalu Khong-hi duduk di atas sebuah kursi goyang di samping meja baca dan menghadap dinding yang terdapat lukisan tadi.
Maharaja ini tertawa dingin ketika nampak lukisan itu.
Tapi setelah melihat dan meneliti lagi, tiba-tiba ia heran.
"Aneh, kamar ini sudah ditutup hampir 20 tahun, mengapa lukisan ini masih begini bersih?"
Demikian katanya. Segera pengawal itu memandang sekeliling kamar itu. Dengan menahan napas Boh Wan-lian mengkerut di tempat persembunyiannya.
"Hongsiang,"
Kata pengawal itu kemudian.
"Hamba kuatir kamar ini pernah dimasuki orang."
"Siapa berani?"
Ujar Khong-hi tertawa.
"Sejak budak hinadina itu mati dihajar Thayhou (ibu-suri), lalu ayah baginda memantek pintu kamar ini untuk melarang orang lain memasukinya sampai sekarang ini. Sekalipun kedatanganku inipun aku harus minta perkenan Thayhou dahulu."
Habis itu, kembali ia tertawa dingin dan menjengeki lukisan itu dan lanjutnya.
"Sesungguhnya ayah Baginda juga agak terlalu sayang padanya. Menurut cerita Thayhou, ketika kamar ini dipantek, seluruh isinya tiada satupun boleh dipindah, bendabenda berharga tak satu pun boleh dikeluarkan."
Mendengar itu, diam-diam Wan-lian makin berduka dan pilu.
"Apa ada sesuatu yang hendak Hongsiang ambil dari sini?"
Terdengar pengawal tadi bertanya.
"Aku tak ingin barang-barang berharga ini ada di dalam sini,"
Sahut Khong-hi.
"Kedatanganku ini pertama-tama hanya ingin tahu apa ada benda peninggalan ayah Baginda atau tidak. Kecuali itu hanya ingin melihat almari buku yang katanya terbuat dari kayu wangi, pula coba mencari bila terdapat kitab-kitab kuno yang susah didapat."
Kiranya Kaisar Khong-hi yang terkenal kejam mempunyai hobi membaca.
Setelah menganiaya hingga ayah Bagindanya tewas (si Hwesio tua di Ngo-tai-san), karena ciri inilah sebenarnya ia tak berani masuk ke kamar bekas Tang Siaowan ini.
Tapi belakangan ia mendengar dari Thaykam tua bahwa di dalam kamar masih banyak tersimpan kitab-kitab kuno dengan almari bukunya yang berharga, ia menjadi tertarik.
Dan beberapa hari ini ia justru sedang kesal hati karena terbunuhnya To Tok, maka iseng-iseng ia hendak mencari beberapa kitab berharga untuk melewatkan tempo senggang.
Tapi di samping itu, ia pun kuatir mendiang ayah Bagindanya meninggalkan testamen atau surat wasiat dalam kamar itu, maka ia berharap bisa menemukannya.
Maka cepat ia membuka laci-laci meja dan almari serta mengobrak-abrik isinya, namun tiada sesuatu yang diperolehnya.
"Kata orang almari buku ini sangat bagus, coba aku mau tahu betul tidak kebenarannya,"
Kata Khong-hi kemudian sembari bangkit.
"Bila ia mendekat ke sini, segera akan kupersen dia sekal i tusukan,"
Diam-diam Wan-lian membatin di belakang almari buku.
Tapi baru saja Khong-hi berdiri, tiba-tiba dilihatnya lukisan Tang Siao-wan yang tergantung di dinding itu seakan-akan tersenyum mengejek dan matanya mengerling hina padanya.
Seketika ia rada mengkirik dan tak jadi melangkah maju.
"Tanggalkan lukisan itu dan sobek saja,"
Perintahnya pada sang pengawal itu.
Hati Wan-lian menjadi panas, tak nanti ia antapi lukisan ibundanya dirusak orang.
Ketika tangan pengawal itu hampir menyentuh lukisan itu, cepat sekali mendadak Wan-lian melompat keluar dari tempat persembunyiannya sambil menggertak keras dan pedang terus menusuk.
Namun jago pengawal itupun tidak lemah, ketika didengarnya angin tajam menyambar dari belakang, segera ia bergeser ke samping berbareng menyambar sebuah kursi terus menangkis ke belakang.
Maka terdengarlah suara "kraak,"
Empat kaki kursi itu terkuning semua oleh pedang Boh Wan-lian.
Mendadak kursi buntung itu ditimpukkan ke depan oleh pengawal itu sembari membentak.
Tentu saja pedang Wanlian membuat kursi buntung itu terbelah menjadi dua, dengan membalikkan pedangnya segera ia menusuk sekalian.
Karena itu lekas pengawal itu mengkeret mundur, tapi karena sedikit lambat pergelangan tangannya sudah berkenalan dengan ujung pedang Boh Wan-lian.
Keruan saja bayangkara itu menjadi gusar, Wan-lian ditubruknya dengan nekad terus dihantam kedua belah pilingannya.
Karena serangan hebat ini, mendadak Wan-lian melompat ke samping, secepat kilat tahu-tahu Khong-hi yang diincar.
Tentu saja Khong-hi menjerit kaget terus merebahkan diri ke lantai dan menyelusup ke bawah meja.
Dalam pada itu pengawal tadipun amat terperanjat, ketika mendadak dilihatnya Wan-lian melompat ke samping, segera ia tahu gelagat jelek, maka cepat ia memburu maju dan waktu mendengar Khong-hi menjerit, ia sangka maharaja itu sudah terluka.
Dalam kuatirnya, jiwa sendiri tak terpikir lagi olehnya, ia pentang kedua tangannya terus menubruk maju.
Namun sekali mengegos Wan-lian telah menyingkir ke samping.
Karena menguatirkan keselamatan junjungannya, maka pengawal itu sebelah tangannya melindungi Khong-hi dan tangan yang lain membalik menjambret musuh.
Tak ia duga jambretannya mengenai tempat kosong, sebaliknya lantas terasa sakit tidak kepalang, tahu-tahu tangannya sudah tertabas kutung oleh senjata Boh Wan-lian.
Sebenarnya jago pengawal itu tidak nanti kalah tangguh daripada Wan-lian, cuma gadis ini memakai pedang pusaka, pula ia harus menjaga keselamatan Kaisar.
Kini setelah tangannya terkutung, ia menjadi lebih payah.
Namun pengawal ini tidak menyerah mentah-mentah, ia menjadi kalap dan menyerang se-abutan.
Tapi dengan kesehatan luar biasa, sejurus kemudian Wan-lian telah berhasil menambahi sekali tikaman lagi di atas punggung pengawal itu hingga menembus dada.
Pelahan-lahan Wan-lian membersihkan pedangnya, lalu lukisan sang ibu ia gulung dengan hati-hati dan penuh rasa sayang.
"Keluar!"
Bentaknya kemudian pada Khong-hi yang masih meringkuk di kolong meja.
Maharaja itu gemetar ketakutan ketika melihat pengawalnya terbunuh, ia pikir hari ini jiwanya pasti akan melayang juga.
Dan karena pikiran ini ia menjadi lebih tenang daripada tadi, pelahan ia pun merangkak keluar.
"Berani kau menganiaya Kaisar?"
Demikian ia masih coba menggertak.
"Hm,"
Jengek Wan-lian sembari pedangnya berkelebat di muka Khong-hi.
"Membunuhmu sama saja menyembelih babi, apa susahnya?"
"Tapi kau pun jangan harap bisa keluar istana dengan selamat,"
Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Khong-hi masih menggertak. Tiba-tiba hati Wan-lian tergerak, teringat olehnya Ie Lan-cu yang masih meringkuk dalam penjara itu.
"Kau masih ingin hidup tidak?"
Gertaknya dengan pedang mengancam.
"Mau apa kau?"
Sahut Khong-hi.
"Harus kaubebaskan dulu 'penyamun wanita' itu, lalu aku dihantar keluar istana,"
Kata Wan-lian dengan syaratsyaratnya.
Diam-diam Khong-hi geli oleh permintaan si gadis.
Pikirnya, penjahat wanita ini benar-benar masih hijau, kalau aku menerima syaratmu, apakah kau bisa mengawasiku sungguhsungguh membebaskan gadis pembunuh itu? Pula bila aku sudah terlepas dari genggamanmu, segera jago-jago pengawalku akan segera membereskanmu.
Namun demikian ia pura-pura berpikir sejenak.
"Baiklah, sebagai Kaisar tak nanti berdusta,"
Demikian katanya kemudian.
"Segera aku perintahkan orang membebaskan dia."
"Hm, aku tahu musiihat apa yang sedang kaupikir,"
Ujar Wan-lian menjengek.
"Tapi kalau aku mati dalam istana sini, tentu si Hwesio tua dari Jing-liang-si itu akan membacakan kitab suci untukku."
"Hwesio tua apa katamu?"
Bentak Khong-hi mendadak dan mukanya berubah hebat.
"O, ya, Hwesio tua apa ya?"
Sahut Wan-lian mengolok-olok.
"Ya, aku benar-benar sudah pikun, Hwesio tua itu siang-siang sudah mati, sudah tak bisa lagi membacakan kitab suci untukku."
Habis itu dari bajunya ia keluarkan serenceng mutiara, ia mengebas mutiara itu hingga bersinar mengkilap, lalu katanya lagi.
"Mutiara ini adalah milik bekas penghuni kamar ini. Hwesio tua itu masih terhitung baik hati, sebelum ajalnya ia telah menyerahkan kembali padaku. Ai, sungguh kematiannya itu sangat mengenaskan!"
Seperti diketahui di permulaan cerita ini, ketika malammalam Boh Wan-lian menyelidiki Ngo-tai-san, dimana tanpa sengaja ia menemukan Kaisar Sun-ti yang sudah menjadi Hwesio.
Dengan sebelah tangan menggandeng dirinya dan tangan lain menggandeng Khong-hi, Kaisar Sun-ti mengajak mereka berziarah ke makam sandang-kudung Tang Siao-wan.
Dan serenceng mutiara ini adalah pemberian Sun-ti tatkala itu.
Dalam pada itu barulah Khong-hi tahu dengan siapa ia berhadapan sekarang, keruan ia mati kutu.
"Kematian pengawal ini sungguh tak berharga, jauh sekali bila dibanding Giam Tiong-thian,"
Tiba-tiba Wan-lian berkata pula sambil menunjuk mayat jago pengawal tadi. Muka Khong-hi semakin pucat dan tubuh agak gemetar.
"Jika sedikit saja kau mencelakai aku, segera kubeberkan kejadian-kejadian itu dalam kerajaan sini,"
Ancam Wan-lian tertawa. Khong-hi menjadi semakin takut, memangnya ia sangat kuatir rahasianya diketahui orang-orang dalam kerajaan.
"Sudahlah, aku terima syaratmu dan akan kuantar kau keluar istana, kenapa kau masih tak percaya?"
Katanya kemudian, ia benar-benar tak berkutik.
"Lekas tulis kalau begitu,"
Perintah Wan-lian dengan sorot mata tajam.
"Lekas tulis surat perintah pembebasan si gadis pembunuh To Tok itu."
Terpaksa Khong-hi menggosok bak dan angkat mopit serta mulai menulis. Tapi dalam hati ia pun terus memikirkan dayaupaya untuk bisa lolos dari cengkeraman orang. Tiba-tiba terdengar di luar ada suara tindakan orang ramai mendatangi.
"Apakah Hongsiang berada di dalam?"
Terdengar segera seorang berteriak di luar kamar. Nyata itulah suara Coh Ciau-lam.
"Ya, aku di sini,"
Sahut Khong-hi cepat.
"Larang dia masuk!"
Bentak Wan-lian tertahan sembari pedangnya mengancam tenggorokan Khong-hi. Dalam pada itu suara tindakan Ciau-lam sudah sampai di depan pintu.
"Tunggu saja di luar, sebentar segera aku keluar!"
Seru Khong-hi terpaksa.
"Ok-onghui mohon menghadap Sri Baginda, ia menunggu di luar sana,"
Lapor Ciau-lam. Tiba-tiba Khong-hi meremas surat yang belum selesai ditulisnya itu terus dibuang ke lantai.
"Apa yang hendak kaulakukan?"
Bentak Wan-lian tertahan.
"Pikiranku tak bisa bekerja lagi,"
Sahut Khong-hi. Dan ketika Wan-lian hendak mengancam orang pula, tibatiba didengarnya seorang Thaykam melapor lagi di luar.
"Paduka yang Mulia, Thayhou (ibu-suri) datang."
"Nah, bila Thayhou datang, tak mungkin aku bisa melarangnya masuk ke sini,"
Kata Khong-hi dengan senyum getir. Wan-lian mengkerut kening, tapi segera ia pun mendapatkan akal, ia masukkan pedangnya sembari menggusur Khong-hi.
"Keluar!"
Bentaknya tertahan.
Ketika Khong-hi membuka pintu dan melangkah keluar, Coh Ciau-lam melihat di belakang sang maharaja ini mengikut seorang Kiongli (dayang) yang paras mukanya seperti sudah dikenalnya.
Namun ia tak berani mengamati lebih lama.
Sementara itu, begitu melangkah keluar, dengan cepat Boh Wan-lian merapatkan pintu kamar lagi, dan segera ia pun berbisik mengancam Khong-hi.
"Ingat si Hwesio tua itu!"
"Ada apa kalian datang ke sini? Ayo, semua ikut aku keluar!"
Khong-hi mengomel sembari memberi tanda pada Coh Ciau-lam dan bawahan lainnya.
Habis itu ia pun berjalan keluar dengan cepat diikuti Boh Wan-lian.
Dalam pada itu Coh Ciau-lam telah dapat mengenali siapa adanya Wan-lian, keruan ia amat terkejut.
Setelah keluar dari rumah itu, betul saja Thayhou sudah sampai juga di depan rumah bobrok ini.
"Kerja apa kau di sini?"
Tegurnya segera pada Khong-hi.
"Ananda coba mencari sedikit kitab-kitab kuno,"
Sahut Khong-hi.
"Itukah yang diambil dari dalam sana?"
Tanya Thayhou pula ketika dilihatnya Wan-lian membawa segulungan lukisan. Khong-hi mengangguk. Tapi sebelum Thayhou memberi perintah hendak melihat lukisan itu. Tiba-tiba Ok-onghui telah datang juga hendak menghadap Khong-hi.
"Ia sudah tak sabar menunggu,"
Kata Thayhou tersenyum.
"Ia bilang sakitnya sudah baikan, maka ia bermaksud mendatangi penjara buat memeriksa pembunuh itu!"
"Baiklah, boleh dia ke sana,"
Kata Khong-hi. Segera Okonghui menghaturkan terima kasih atas firman itu.
"Aku hendak keluar bersama Ok-onghui,"
Tiba-tiba Wan-lian berbisik di telinga Khong-hi.
Nyata gadis ini berpikir akan lebih aman bila ikut pergi bersama Ok-onghui, ia kuatir akan timbul kesukaran lagi bila tinggal lebih lama dalam istana, mungkin malah akan membuat susah juga pada Nilan Yong-yo dan Sam-kiongcu.
"Sungguh aku ikut berduka atas tewasnya Ok-jin-ong secara menyedihkan itu,"
Demikian lantas Khong-hi berkata lagi.
"Di sini ada seorang Kiongli yang cerdik lagi pandai, biarlah aku hadiahkan kepada Onghui sebagai pelipur duka."
Tanpa menunggu perintah, segera Wan-lian maju menjura ke hadapan Ok-onghui dengan penuh sopan dan hormat.
Lekas Onghui menghaturkan terima kasih pula pada Sri Baginda, kemudian ia menarik bangun Wan-lian.
Dalam hati ia pun heran, mengapa mendadak hari ini Sri Baginda bisa menghadiahi seorang Kiongli padaku? Sebenarnya Kaisar menghadiahi dayang pada kaum Pangeran dan Permaisurinya adalah hal biasa dalam kerajaan, cuma biasanya dihantar secara penuh kehormatan dan diiringi Thaykam dengan kereta agung ke kediaman Pangeran yang bersangkutan.
Kini meski agak luar biasa dan mengherankan, namun Onghui menganggap juga tidak terlalu aneh.
"He, kenapa Sam-moaymoay (adik ketiga) juga datang,"
Kata Khong-hi tiba-tiba sambil menunjuk ke depan. Betul saja, baru beberapa langkah Wan-lian mengikut Onghui berjalan pergi, tertampak Sam-kiongcu mendatangi dari depan. Lekas Wan-lian mengedipi memberi tanda padanya.
"Pagi-pagi Onghui sudah masuk istana?"
Terdengar Samkiongcu menyapa Ok-onghui sembari melirik Wan-lian. Onghui mengangguk pelahan.
"Apakah Sam-kiongcu mengenal dia?"
Tanyanya kemudian sambil menunjuk Wanlian.
"Hongsiang bilang dia cerdik dan pandai, tentu selanjurnya aku bakal punya teman baik."
"O, jadi Hongsiang telah menghadiahkan dia padamu?"
Tanya Sam-kiongcu terus menarik tangan Wan-lian,dan purapura menggoda.
"Marilah coba aku melihatnya. Wah, sungguh cantik! Siapa namamu? Mengapa tadinya tak pernah aku melihatmu?"
Begitulah puteri itu pura-pura mengajak bicara, tapi diamdiam sesuatu benda telah berpindah dari tangannya ke tangan Wan-lian dengan cepat.
Wan-lian cukup cerdik, ia pura-pura me-ngebas sedikit lengan bajunya dan benda itu sudah masuk ke dalam bajunya.
Di sebelah sana Thayhou rupanya tak sabar menunggu, ia memanggil Sam-kiongcu.
"Bila ada yang belum paham, tanyalah pada Ok-onghui,"
Demikian Sam-kiongcu masih berpesan dengan senyuman manis.
Wan-lian dapat menangkap maksud kata-kata orang paling akhir ini.
Ia mengikuti Onghui naik ke atas kereta kebesarannya dan secara gampang ia telah keluar dari daerah terlarang itu.
Duduk berendeng dengan Ok-onghui dalam kereta, Wanlian bisa melihat wajah orang lebih jelas, ia merasa paras Onghui tidak saja serupa dengan Ie Lan-cu, bahkan lagaklagunya di waktu bicarapun amat mirip.
Lebih-lebih bila teringat olehnya peristiwa di Ngo-tai-san dahulu, dimana le Lan-cu bermaksud membunuh To Tok, tapi kemudian malah menangkis piau yang mengarah ke dalam joli Onghui.
Maka ia pun makin mengerti ada hubungan apa di antara mereka itu.
Nampak Wan-lian memandang dirinya dengan terkesima tanpa merasa takut seperti Kiongli biasanya, mau tak mau Okonghui menjadi heran juga.
"Berapa lama sudah kau masuk istana? Di bagian mana kau ditugaskan Hongsiang?"
Tanyanya sesudah berada dalam kamar di istananya sendiri.
"Dua hari saja belum ada aku masuk istana,"
Sahut Wanlian tertawa.
"Ah, kau memang bukan Kiongli?"
Tanya Onghui kaget. Wan-lian mengangguk.
"Bila begitu, untuk apa kau masuk istana?"
Tanya Onghui pula.
"Sama tujuannya denganmu,"
Sahut Wan-lian singkat. Berubah hebat wajah Onghui seketika.
"Untuk menolong seseorang,"
Sambung Wan-lian pula.
"Si siapa kau sebenarnya?"
Bentak Onghui tak lancer dan mata melotot gusar.
"Aku adalah kawan Ie Lan-cu,"
Sahut si gadis tawar sembari maju mendekat.
"la ia telah memberi memberi tahu segalanya padamu?"
Tanya Onghui cepat dengan terputus-putus dan wajah pucat lesu. Wan-lian mengelak menjawab pertanyaan orang.
"Onghui, apa betul kau akan membunuhnya untuk membalas dendam kematian suamimu itu?"
Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ia berbal ik bertanya. Remuk rendam hati Onghui.
"Janganlah kau terlalu mendesakku!"
Serunya sambil mendekap muka.
"Maafkan bila aku salah omong, Onghui,"
Kata Wan-lian pula.
"Ia dipenjarakan, tentu kau lebih kuatir daripada kami dan lebih giat berusaha menolongnya, bukan?"
"Tapi apa yang aku bisa perbuat?"
Tangis Onghui terisak.
Wan-lian mengeluarkan benda yang diterimanya dari Samkiongcu tadi, waktu bungkusan kain dibuka, ia lihat isinya berupa dua tangkup buah-buahan yang berwarna kemerahan terbuat dari batu giok bening, di atas benda itu berukir naga yang indah sekali, ia tak mengerti apakah benda ini.
Tapi mata Onghui tiba-tiba terbeliak bersinar demi nampak benda itu.
"Apakah benda ini pemberian Hongsiang?"
Tanyanya cepat. Wan-lian menggeleng.
"Aku sangka inilah maksud Hongsiang, tak tahunya kau dapat mencurinya,"
Kata Onghui agak kecewa.
"Jangan kau urus dulu darimana aku mendapatkan benda ini, tapi sukalah kau lekas menerangkan padaku benda apakah ini?"
Kata Wan-lian kemudian.
Benda itu diambil Onghui, ia periksa sekitar benda yang berbentuk buah ini, ia tekan pinggirannya, tiba-tiba benda itu terbelah menjadi dua, di dalamnya ternyata ada biji buahnya dan ketika Onghui mengetok ujung biji buah pada secarik kertas, maka tampak timbul huruf cetak yang tak dikenal Wan-lian, nyata itu huruf Boan.
Dan ketika Onghui melepaskan jarinya yang menekan buah itu, segera kedua belah buah tadi menjeplak rapat kembali.
"Ya, memang tulen,"
Kata Onghui kemudian.
"Cuma percuma saja meski bisa mendapatkan benda ini. Benda ini disebut "Cu-ko-kim-hu' (jimat pusaka berbentuk buah merah) dan adalah pusaka pujaan kerajaan, biasanya hanya dipakai bila Kaisar memberi perintah rahasia, lalu benda ini digunakan sebagai bukti tugas kepada salah seorang pembesar atau jago pengawal kepercayaannya."
"Ha, kalau begitu, dengan benda ini bukankah kita dapat menolong keluar Ie-cici dengan mudah,"
Seru Wan-lian girang.
"Percuma,"
Kata Onghui menggeleng kepala.
"Tidakkah kaudengar aku bilang benda ini hanya diserahkan pada pembesar atau jago pengawal kepercayaan Kaisar. Bahkan kadang di samping bukti benda ini oleh Kaisar masih ditambahi lagi surat keterangan atas diri pembawa Cu-ko-kimhu."
"Ya, pahamlah aku kini,"
Kata Wan-lian setelah berpikir.
"Maksudmu tentunya kita tak nanti bisa berbuat karena bukan pembesar negara juga bukan jago pengawal, lebih-lebih tak punya surat keterangan tanda pemegang benda ini dari Kaisar, bukan?"
"Begitulah memang,"
Sahut Onghui lesu.
"Pembesar negeri memang kita tak bisa memalsu,"
Kata Wan-lian pula.
"Tapi apakah jago pengawal kita juga tak bisa memalsukannya?"
"Ha, betul, kau sungguh cerdik,"
Seru Onghui girang.
"Memang, pembesar kepercayaan yang terbatas beberapa orang saja tentu susah dipalsukan, tapi jago pengawal kerajaan memang seringkali tak pernah dikenal orang luar, maka untuk memalsukannya dengan sendirinya tidaklah susah!"
La terdiam sejenak, kemudian ia berkata lagi.
"Tapi nyali siapakah yang begitu besar berani melakukannya?"
"Siapa begitu berani!"
Mendadak terdengar bentakan orang di luar sana dengan kerasnya.
Waktu Onghui dan Wan-lian melongok keluar melalui jendc la.
terlihat seorang wanita berbaju hijau dengan pedang diputar kencang sedang merangsek empat jago pengawal yang berjaga di bawah gedung Nilan-onghui sana.
Meski seorang diri melawan empat orang, namun pengawal itu ternyata kewalahan oleh rangsekan pedang wanita itu hingga terpaksa mereka mundur ke atas undakan istana setindak demi setindak sembari membentak.
Tapi wanita itu tak menggubris kaokan mereka, ia mendesak terlebih keji dengan ilmu pedang yang lihai sekali.
Sejurus kemudian, dibarengi suara jeritan ngeri, seorang pengawal tahu-tahu sudah terjungkal ke bawah.
Begitu cepat kejadian itu hingga Boh Wan-lian tidak jelas cara bagaimana wanita baju hijau itu merobohkan pengawal itu.
Dan ketika Wan-lian tercengang, ia lihat wanita itu sudah menubruk maju lagi tanpa menghiraukan senjata ketiga lawannya yang diayun begitu cepat.
Ketika seorang pengawal dengan toya menyabet ke bawahnya, wanita itu meloncat ke atas, dengan gerak tipu 'Hong-kui-lok-hua' atau angin badai merontokkan bunga, didahului pedangnya mendesak kedua musuh yang lain dari atas, mendadak sebelah kakinya terus mendepak ke bawah, baru saja toya pengawal itu menyambar lewat di bawah kaki orang, tahu-tahu ia sendiri telah terdepak terguling juga.
Empat jago pengawal itu kini sudah tinggal separah, keruan dua orang yang masih ketinggalan ini menjadi gugup, segera mereka melompat ke atas sembari berteriak.
"Onghui, lekas bersembunyi!"
Tapi belum sempat mereka berteriak lebih jauh, tahu-tahu wanita baju hijau itu sudah menyusul sampai di belakang mereka, ketika kedua tangannya menjambret, satu tangan satu orang, kedua pengawal itu telah dibanting mampus ke bawah loteng.
Sudah banyak jago kelas tinggi yang dilihat Boh Wan-lian sejak ia mengembara ikut Pho Jing-cu.
Tapi menyaksikan betapa cepat dan lihai kepandaian wanita baju hijau ini, mau tak mau ia sangat terkejut.
Nyata ilmu pedang wanita ini sekali-kali tidak di bawah Leng Bwe-hong dan masih di atas Kui Tiong-bing.
Namun heran, belum pernah ia mendengar bahwa di kalangan Kangouw masih terdapat seorang kosen seperti dia ini.
Begitulah, maka diam-diam Wan-lian melolos pedang pusaka 'Thian-hong-kiam' hadiah Nilan Yong-yo itu untuk menjaga segala kemungkinan.
Sementara itu sesudah membereskan keempat lawannya, wanita baju hijau tadi bersiul panjang, cepat sekali ia pun melompat ke atas loteng dan masuk ke kamar Nilan-onghui.
Lekas Wan-lian menarik mundur Onghui dan ia sendiri lantas menghadang di depannya dengan pedang terhunus.
"Cian-pwe siapakah yang datang ini?"
Tegurnya segera. Siapa duga wanita itu sama sekali tak menggubrisnya.
"Kau inikah Nilan Ming-hui?"
Tanyanya malah terhadap Onghui.
Onghui menyahut sekali.
Samar-samar ia seperti teringat bahwa wanita ini pernah dilihatnya lama berselang.
Dalam pada itu demi tahu pasti Nilan Ming-hui yang berhadapan dengannya, wanita itu mendadak mengayun tangannya, ternyata sebuah cambuk panjang telah menyambar.
Lekas Wan-lian mewakilkan menangkis, dan walaupun pucuk cambuk wanita itu kena tertabas putus sebagian, namun tidak urung ia sendiri kena diseret maju beberapa tindak hingga hampir jatuh menubruk.
Dan karena itu, cepat luar biasa wanita baju hijau itu sudah menyelinap lewat sembari sedikit menyontek Wan-lian ke samping, menyusul pedang di tangan yang lain segera menusuk Nilan-onghui.
Sesungguhnya Onghui bukan orang lemah, cepat sekali ia berkelit, bahkan berbareng itu dengan tipu 'Liong-thing-houyao', atau naga meluncur dan macan melompat, sebelah tangannya menepuk pergelangan tangan lawan, sedang tangan yang lain balas menghantam ke atas buat merebut pedang lawan.
Wanita itu bersuara heran oleh serangan balasan Onghui, namun begitu ia tarik pedangnya, segera ia merangsek lebih hebat lagi, kedua macam senjatanya, cambuk dan pedang, bekerja berbareng menyabet dan menusuk bertubi-tubi hingga Onghui terdesak mundur terus, kedudukannya sangat berbahaya.
Nampak itu, lekas Wan-lian maju mengeroyok, ia menusuk orang dari belakang.
"Kau cari mampus?"
Damprat wanita itu.
Dan ketika sedikit mengegos mengelakkan tusukan Wan-lian, kemudian dengan pedang dan pecutnya ia mengurung kedua lawannya di suatu sudut kamar.
Sungguhpun Wan-lian memakai Pokiam atau pedang pusaka, tapi lawan terlalu tangguh baginya, jangan kata hendak menyerang, untuk menjaga diri saja sekarang ia merasa repot.
Sebaliknya Nilan-onghui malahan bisa bertahan dengan Cio-hoat atau ilmu pukulan yang dipelajarinya dari Njo Hun-cong, bekas kekasihnya itu.
"Siapa kau? Apa keinginanmu lekas katakan dulu!"
Teriak Nilan-onghui berulang-ulang.
"Hm, sudah tentu kau tak ingat lagi padaku, Onghui Yang Agung,"
Jengek wanita itu sengit sembari merangsek lebih kencang dengan kedua macam senjatanya.
Di lain pihak Boh Wan-lian sudah kewalahan menghadapi pecut lawan yang menyambar hebat.
Dengan tanpa berdaya ia menyaksikan Onghui tercecar dan tampaknya segera akan tewas di bawah pedang musuh.
Dalam keadaan kepepet itu, sekonyong-konyong Onghui mengeluarkan tipu serangan berbahaya yang disebut "Kimsian- hi-long"
Atau katak emas bermain ombak, ia melompat naik terus mencengkeram dari atas hendak mencolok kedua mata wanita baju hijau itu.
"Kau cari mampus!"
Bentak wanita itu dingin, berbareng pecutnya menyabet membuat Wan-lian terpaksa mundur, habis itu tangannya segera membalik menangkis jari Onghui yang hendak mencengkeram itu, sedang tangan lain dengan pedang tahu-tahu menyusul menusuk tenggorokan orang.
Terperanjat sekali Onghui oleh perubahan tipu lawan yang luar biasa ini, tak mungkin lagi ia bisa menghindarkan diri dari tusukan itu, ia sudah memejamkan mata terima nasib ketika mendadak ia merasa ada suatu tenaga yang maha besar mendorong dirinya ke belakang hingga dengan begitu ia lantas bisa berjumpalitan untuk kemudian menancapkan kaki kembali, dan karena itu juga bisa lolos dari ancaman maut tadi.
Dalam pada itu ia pun sudah mendengar suara nyaring beradunya senjata dibarengi suara wanita baju hijau itu yang sedang memaki-maki.
Kejadian hebat itu dapat disaksikan Boh Wan-lian dengan jelas karena ia berdiri di samping, ia lihat orang yang menolong jiwa Onghui itu melayang turun dari belakang suatu papan merek yang tergantung di atas kamar loteng itu, ia terkejut luar biasa.
Sungguh tak pernah diduganya bahwa di atas sana, di jarak yang begitu dekat, ternyata bersembunyi seseorang.
Dan bila orang ini adalah musuh, bukankah keadaan bisa berabe? Tapi sesudah ia mengamat-amati lebih jauh, seketika hatinya berdegup, dari terkejut tadi ia menjadi girang.
Sekalipun orang itu memakai kedok di mukanya, tetapi dari perawakannya dapatlah Wan-lian mengenali dengan baik, siapakah dia kalau bukan Leng Bwe-hong? "Leng-tayhiap!"
Serunya girang sambil berlari maju. Tapi tiba-tiba pecut wanita tadi berkelebat dari depan hingga Wan-lian dipaksa mundur kembali ke tempatnya semula.
"Wan-lian, jangan kau maju!"
Seru orang berkedok itu.
Nyata memang benar suara Leng Bwe-hong.
Begitulah, dengan ilmu silat yang tinggi Leng Bwe-hong menempur wanita baju hijau itu yang tidak kalah tangguh dan sama cepatnya hingga pandangan Wan-lian kabur dibuatnya.
Suatu ketika tiba-tiba pecut wanita itu melilit pedang Bwehong, sedang pedang di tangan yang lain melintang di dada untuk menjaga diri, cepat ia mundur setindak terus membentak.
"Apakah kau 'Thian-san-sin-bong'?"
"Betul, dan tolong tanya siapakah Cianpwe (angkatan tua) ini?"
Sahut Bwe-hong sembari menarik senjatanya, ia menduga setelah wanita itu mendengar namanya yang tersohor tentu akan menghentikan pertarungan ini, siapa tahu dugaannya meleset.
"Ehm, Thian-san-sin-bong, memang nyata bukan omong kosong, biar aku menjajal kau beberapa jurus lagi,"
Kata wanita itu sembari mengangguk-angguk dan tertawa. Lalu pecutnya menyabet pula dan pedangnya ikut menusuk cepat, ia merangsek pula dengan ilmu silatnya yang ternyata dari suatu aliran tersendiri.
"Aneh, kenapa orang ini begini tak kenal aturan?"
Diamdiam Bwe-hong membatin dan mendongkol juga.
Namun sedikitpun ia tak berani ayal, pedangnya berputar cepat, ia layani lawan dengan sama hebatnya.
Wanita baju hijau ini sungguh luar biasa, kedua tangannya bisa memainkan dua macam senjata sekaligus dengan tiputipu yang berlainan tapi bisa bekerja sama dengan sangat rapatnya.
Selamanya Leng Bwe-hong hanya pernah menemukan seorang yang bisa memainkan dua macam senjata berbareng, yaitu Khu Tong-lok yang menggunakan golok dan pedang sekaligus dan yang dianggapnya luar biasa.
Tapi kini kalau dibandingkan wanita baju hijau ini, Khu Tong-lok boleh dibilang belum masuk hitungan.
Meski 'Thian-san-kiam-hoat' atau ilmu pedang dari Thiansan milik Leng Bwe-hong luar biasa hebatnya, namun kini hanya cukup untuk menempur orang dengan sama kuatnya saja.
Diam-diam Bwe-hong terkejut dan heran.
Dan karena menemukan tandingan sembabat, Bwe-hong menjadi bersemangat juga, segera pedangnya dimainkan sedemikian rupa hingga gemerlapan menyilaukan dan kemudian sinarnya bergulung-gulung memenuhi seluruh kamar mengurung kedua sosok bayangan tubuh yang saling labrak.
"Bagus!"
Seru wanita itu, ia pun tak mau kalah, pecut di tangan kiri dan pedang di tangan kanan menyambut setiap serangan Bwe-hong dengan sebat sekali.
Sejak Leng Bwe-hong merantau Kangouw, belum pernah ia bertemu orang kosen setangguh dan seulet wanita ini.
Mulamula ia heran, tapi kemudian tiba-tiba teringat olehnya diri seseorang.
"Apakah mungkin ia masih hidup di dunia ini?"
Demikian pikirnya terkejut.
Tanpa berkata mendadak ia perkencang pedangnya, suatu ketika cepat sekali ia memukul miring ke samping, dan karena angin pukulannya yang hebat ini, kain ikat kepala wanita itu tersingkap ke bawah.
Kembali Wan-lian terperanjat, ia lihat wanita baju hijau yang berparas elok ini ternyata berambut ubanan semua, di bawah ikat kepalanya itu ternyata ada pula sehelai selendang merah yang melambai menggontai kena angin.
Dan karena tersingkapnya ikat kepala wanita itu, mendadak Leng Bwe-hong melompat keluar kalangan pertempuran dan cepat ia memberi hormat sambil pedang melintang di dada.
"Maaf, maaf, kiranya adalah Hui-ang-kin Lihiap!"
Demikian ia menegur orang. Dan karena itulah wanita baju hijau cepat menarik kembali senjatanya sembari bergelak tertawa.
"Memang hebat, tidak malu kau sebagai Sute Njo-tayhiap. Melihatmu, sama seperti bertemu dengan dia lagi!"
Demikian katanya.
Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tapi habis berkata, mendadak wajahnya yang tertawa tadi seketika berubah guram dan tampak berduka sekali.
Kiranya 20 tahun yang lalu nama Hui-ang-kin tersohor dan dikenal tua dan muda di padang rumput sekitar Thian-san.
Bersama Njo Hun-cong (ayah Ie Lan-cu), dua sejoli, mereka disebut rakyat penggembala sebagai sepasang pendekar dari padang rumput.
Sesudah perlawanan suku bangsa daerah Sinkiang yang patriotik dilumpuhkan pemerintah Boan, segera Njo Hun-cong menyusul Nilan Ming-hui yang sementara itu telah ikut ayannya berpindah ke kota Hangciu dan kemudian Hun-cong gugur bersama Nikulo secara mengenaskan di tepi Ci-tong-kang (cerita ini dapat dibaca dalam Cau Guan Eng Hiong).
Dan semenjak itu Hui-ang-kin mendadak lenyap juga dari padang rumput, tiada seorangpun yang tahu kemana ia telah pergi.
Namun begitu, selama ini kisah kepahlawanannya masih tetap hidup dan dipuja oleh rakyat penggembala di padang rumput.
Waktu Leng Bwe-hong datang ke Thian-san, ia pun banyak mendengar nama Hui-ang-kin yang besar dan dipuja itu.
"Baikkah kau!"
Kata Hui-ang-kin tiba-tiba setengah mengejek terhadap Nilan-onghui. Pedih sekali rasa Nilan-onghui, kedua matanya tak bersemangat.
"Sudah 18 tahun Hun-cong meninggal, apa yang masih kaukehendaki lagi?"
Katanya kemudian pilu.
"Baiklah, bila kau mau membunuhku, lekaslah bunuh, memangnya aku pun tak ingin hidup lebih lama lagi."
"Fui,"
Damprat Hui-ang-kin gusar.
"Apa kaukira aku berebut lelaki denganmu? Hm, aku justru hendak membunuhmu!"
Habis itu, segera pedang bergerak dan orangnya hendak menubruk maju kalau tidak keburu dicegah Leng Bwe-hong.
"Onghui sendiri tidak bermusuhan apa-apa dengan kita,"
Kata Bwe-hong. Namun Hui-ang-kin tak menghiraukannya, ia berkata lagi pada Onghui.
"Dimana puteri Hun-cong? Lekas serahkan dia padaku!"
"Serahkan padamu?"
Onghui menegas dengan tertawa dingin.
"Sangkut-paut apa kau dengannya? Kenapa harus diserahkan padamu?"
"Ya, ya, aku tahu kaulah ibunya, tapi ibu semacam kau ini justru tak pernah mengurus dirinya,"
Damprat Hui-ang-kin gusar.
"Hm, kiramu aku tak tahu? Ia telah membunuh suamimu yang tercinta itu, bukan? Lalu kau menggusurnya ke dalam penjara, bukan? Kau ingin menyiksanya pelahan-lahan, bukan?"
Hancur luluh hati Onghui oleh nista itu, ia menangis sedih, mendadak ia menumbukkan kepalanya ke dinding. Syukur keburu ditarik Leng Bwe-hong.
"Lihiap, dari manakah kau mendapat keterangan itu?"
Kata Bwe-hong kemudian.
"Sekali-kali bukan Onghui tidak mau menolongnya, soalnya karena belum mendapat jalannya."
"Apa sungguh-sungguh katamu itu?"
Tanya Hui-ang-kin sangsi.
"Anak dara itu aku sendiri yang membesarkannya, mengapa aku harus berdusta?"
Sahut Bwe-hong pasti. Dan karena penegasan Bwe-hong ini barulah Hui-ang-kin mau percaya, ia masukkan pedangnya dan pelahan ia pun hendak berjalan pergi sambil berkata.
"Ming-hui, kalau begitu, akulah yang telah salah menduga jelek atas dirimu!"
Tapi baru beberapa tindak ia berjalan, sekonyong-konyong ia berhenti dan berseru tertahan.
"Di luar ada musuh datang!"
Tanpa bertanya lagi, secepat kilat Bwe-hong telah mendahului melompat keluar melalui jendela.
Kiranya sesudah kaisar Khong-hi diancam oleh Wan-lian hingga gadis ini kemudian kabur keluar istana, dalam hati maharaja itu amat gusar.
Begitu ia berpisah dari Thayhou, segera juga ia mengumpulkan jago-jago pengawalnya dan memilih delapan orang di antaranya yang paling kuat untuk memburu Boh Wan-lian dengan perintah gadis itu segera dibunuh tanpa perkara.
Ketika para pengawal itu sampai di depan istana Ok-jinong, mendadak mereka mendapatkan empat mayat sudah menggeletak di situ dengan anggota badan tak lengkap.
Keruan saja mereka terkejut.
Dan pada saat itulah tiba-tiba terdengar suara bentakan dari atas, menyusul mana seorang berkedok aneh bagai burung cepatnya menubruk dari atas loteng, belum tiba orangnya, tahu-tahu senjata rahasia sudah berhamburan lebih dulu, dan karena itu dua jago pengawal telah tertembus oleh dua sinar hitam keemasan dan terguling mampus.
Tentu saja jago-jago pengawal lain menjadi kacau, tapi segera mereka pun maju lagi mengembut.
Sejurus kemudian, dari atas loteng sesosok bayangan hijau berkelebat juga, Hui-ang-kin sudah menyusul datang dengan cepat, begitu pedangnya menyambar, kontan pergelangan tangan seorang jago pengawal yang hendak memapaknya sudah tertabas kutung.
"Leng-tayhiap, marilah kita berlomba siapa bisa membunuh lebih banyak!"
Demikian sem Hui-ang-kin pada Leng Bwe hong.
"Baik,"
Sahut Bwe-hong.
Habis ini, cepat Sekali pedangnya bergerak, sekaligus ia tangkis semua senjata lawan yang menyerang, berbareng itu sebelah tangannya balas menggablok musuh yang mencoba mendekat.
Tak terduga musuh itu ternyata bukan sembarangan, ia bisa berkelit terus menangkis.
Keruan Bwe-hong heran, segera ia putar pedangnya menusuk lagi.
"Bagi tiga orang menempur perempuan keparat itu dan The-hiante bersamaku melayani yang ini,"
Kata pengawal itu pada kawan-kawannya.
Sementara itu tusukan Bwe-hong tadi telah dekat tubuhnya, namun pengawal itu ternyata tidak gugup, senjata Boan-koan-pit atau potlot jaksa terbikin dari baja dapat menangkis terus balas menyerang malah.
Kiranya pengawal ini bernama Seng Thian-ting berjuluk Thi-pit-boan-koan atau jaksa potlot baja, kepandaiannya tidak di bawah Coh Ciau-lam terutama ilmu menotoknya yang lihai.
Ialah salah seorang pengawal yang diperintahkan untuk menangkap ' penyamun wanita' oleh kaisar Khong-hi itu.
Mula-mula Thian-ting menertawai sang Kaisar yang menjadi geger karena seorang penjahat wanita kecil yang tak berarti.
Siapa duga, penjahat wanitanya belum diketemukan tahu-tahu dua orang kawannya sudah terbinasa dulu oleh Thian-san-sinbong senjata rahasia Leng Bwe-hong.
Dan karena senjata rahasia inilah segera Thian-ting insyaf telah menemukan tandingan tangguh yang namanya menggetarkan Kangouw itu.
Begitulah, maka ia menjadi jeri, apalagi kemudian Hui-angkin datang pula dan sekali gebrak pergelangan tangan seorang kawannya tertabas putus, keruan Thian-ting semakin gugup.
Namun keadaan sudah terpaksa, dengan jumlah yang lebih banyak di pihaknya, ia mencoba membagi tiga kawannya pergi mengembut Hui-ang-kin dan ia sendiri bersama seorang pengawal she The mengeroyok Leng Bwe-hong.
Sekalipun nama Leng Bwe-hong yang tersohor membikin nyalinya rada ciut, namun Thian-ting tergolong jago pengawal kelas utama dalam kerajaan, dengan sendirinya ia pun ingin berjasa, maka sekuat tenaga ia menempur musuh, susul-menyusul ia melontarkan serangan-serangan lihai.
Waktu beruntun Bwe-hong membalas tiga kali serangan dan tidak berhasil mendesak mundur Seng Thian-ting, diamdiam ia pun naik darah.
Mendadak ia menepuk potlot orang yang sedang menotol datang hingga menceng ke samping, menyusul pedang di tangan lain tems menusuk cepat ke leher musuh dengan tipu 'Liong-ting-ti-cu' atau menyambar mutiara di atas kepala naga.
Serangan berbahaya ini memaksa Seng Thian-ting lekas melompat ke samping.
Tapi menyusul potlot bajanya tems menyabet lagi dengan gerakan 'Hing-sau-cian-kun' atau menyapu bersih seribu serdadu, pedang Bwe-hong hendak dibenturnya.
Namun Leng Bwe-hong terlebih cepat lagi, begitu senjata ditarik kembali, segera ia menusuk pula iga musuh dengan gerak serangan 'Liong-kui-tay-hai' atau ular naga kembali ke laut.
Serangan ini adalah tipu lihai dari Thian-san-kiam-hoat hingga tiada jalan lain bagi Thian-ting kecuali melangkah mundur menghindarkan diri.
Sementara itu jago pengawal she The juga tidak tinggal diam, ia memakai dua perisai besi yang berat.
Dengan senjata pengawal ini Seng' Thian-ting berpikir bisa digunakan sebagai tameng dan ia sendiri bisa melontarkan serangan-serangan lebih leluasa.
Siapa duga gerakan Leng Bwe-hong bisa berubah cepat dan susah diraba.
Perisai orang yang menghantam dari samping tak dihiraukan Bwe-hong, sebaliknya ia terus mencecar Thian-ting seorang, sungguhpun beberapa kali hantaman perisai dari samping cukup keji, tapi entah cara bagaimana dengan gampang saja ia bisa berkelit, sedang pedangnya masih terus merangsek terlebih kencang mengincar Seng Thian-ting, keruan saja Thian-ting dibikin kalang kabut tak tahan.
"The Thi-pay, kau bergeser ke sini dan menghadapinya dari depan,"
Seru Seng Thian-ting pada kawannya itu, yang ternyata bernama Thi-pay atau perisai besi, sesuai dengan senjata yang dipakainya.
Dalam pada itu Leng Bwe-hong telah menyerang pula terlebih hebat sedang Thian-ting bertahan sekuat mungkin.
Kini ia tidak mengharap bisa menyerang lawan lagi, ia sudah bersyukur bila sanggup bertahan bersama The Thi-pay.
Dan karena perubahan kedudukan mereka, yakni The Thipay berjajar bersama Seng Thian-ting menghadapi Leng Bwehong dari depan dengan kerja-sama lebih rapat, keadaan mereka baru membaik dan mampu mengimbangi rangsekan Bwe-hong.
Bwe-hong tak sabar lagi setelah beberapa jurus kemudian masih belum bisa merobohkan musuh, apalagi didengarnya dari jauh ada suara ramai tindakan orang banyak, ia pikir tentu penjaga istana Pangeran telah datang setelah terjadi ribut-ribut ini.
Mendadak ia menusuk Seng Thian-ting hinggi lawan ini dipaksa mundur, menyusul ia mengumpulkan tenaga pada telapak tangan kiri terus menggablok perisai The Thi-pay yang sementara itu telah menghantam dari samping sembari menggertak keras, begitu hebat tenaga yang dikeluarkannya hingga perisai orang kena dihantam mencelat, tanpa ayal pula, ketika telapak tangannya membalik, batok kepala The Thi-pay kena digablok hingga remuk berantakan.
"Leng Bwe-hong, apa kau baru berhasil satu?"
Tiba-tiba didengarnya seruan Hui-ang-kin sembari tertawa.
Ternyata ketangkasan Hui-ang-kin tidak menjadi berkurang meski kini usianya sudah bertambah 20-an tahun.
Tadi ketika tiga jago pengawal maju mengembunnya, karena memandang rendah Hui-ang-kin hanya seorang wanita, maka dengan berani mereka terus menerjang dari tiga jurusan.
Tak terduga Hui-ang-kin menanti dengan tenang saja, ia menunggu sampai musuh sudah dekat, mendadak pecutnya menyabet cepat hingga seorang pengawal segera kena terbelit oleh pecutnya yang panjang itu dan terangkat ke udara, sekali Hui-ang-kin mengayun pecutnya, tahu-tahu pengawal itu kena dilempar pergi jauh dan mampus karena kepalanya tertumbuk batu dan otaknya hancur berantakan.
Menyusul kemudian pecutnya menyambar dan pedangnya berkelebat cepat pula, kedua jago pengawal yang lain menjadi silau dan bingung oleh senjata Hui-ang-kin yang berlainan itu.
Meski kedua jago pengawal ini tidak lemah, namun kepandaian mereka masih di bawah Seng Thian-ting, apalagi begitu maju seorang kawannya sudah terbanting mampus oleh pecut Hui-ang-kin, keruan mereka tambah kalang kabut kena dicecar.
Sejurus kemudian, ketika pedang Hui-ang-kin menyampuk cepat, golok salah seorang pengawal itu tahu-tahu dibentur terbang, berbareng itu pecut Hui-ang-kin telah menyabet juga dan dapat menahan pengawal lain yang sedang menyerang, ketika balikan pedangnya berkelebat pula, tanpa ampun lagi kepala pengawal yang goloknya terpental tadi sudah berpisah dengan tuannya.
Waktu Hui-ang-kin sedikit mencukit dengan kakinya, kepala musuh yang menggelinding ke tanah itu mencelat naik pula terus disambut mulurnya dan digigit kuncir kepalanya sembari berteriak menghitung.
"Nah, inilah satu!"
Keruan saja semangat jago pengawal yang masih ketinggalan itu serasa terbang ke awang-awang, dalam takutnya ia memutar tubuh bermaksud hendak angkat langkah seribu.
Namun sudah telat, menyusul pecut Hui-ang-kin telah menyambar pula hingga tubuhnya kena terlilit dan terseret kembali, dan ketika pedang Hui-ang-kin berkelebat lagi, sebuah kepala telah tertabas pula.
"Ini, satu lagi!"
Teriak Huiang- kin menghitung lagi.
Habis itu Hui-ang-kin menyimpan kembali pedangnya, La ikat kuncir kedua buah kepala manusia itu menjadi satu gandeng, ia ayun-ayun pecutnya hingga mengeluarkan suara petasan dibarengi suara tertawanya yang nyaring panjang.
Dan pada saat itulah ia melihat The Thi-pay baru dibinasakan Leng Bwe-hong.
"Lihiap memang sangat hebat, perlombaan kita telah dimenangkan olehmu,"
Kata Bwe-hong demi dilihatnya Huiang- kin sudah berdiri menganggur dengan menjinjing dua buah kepala.
Dan pada saat Leng Bwe-hong berbicara, mendadak Seng Thian-ting pura-pura menyerang sekali, habis ini segera ia melompat pergi jauh untuk melarikan diri.
Melihat musuh hendak kabur, Hui-ang-kin tidak tinggal diam, cepat ia melesat menyusul orang, segera pecutnya menyabet dari belakang.
Namun Seng Thian-ting berjumpalitan di atas terus memutar balik, ujung pecut Hui ang-kin kena dipegangnya.
Mendongkol Hui-ang-kin karena serangannya luput, apalagi senjatanya dipakai orang sebagai batu loncatan untuk putar balik.
Tapi ketika ia hendak melontarkan serangan lagi, tahutahu Seng Thian-ting yang membalik itu telah menotok ke pundak Hui-ang-kin dengan senjata pot lotnya.
Baiknya Huiang- kin tidak kalah sebalnya, sebelah kakinya sudah mendahului menendang.
Terpaksa Thian-ting mengegos, namun tidak urung tangannya kesrempet sepatu orang hingga luka dan darah mengucur.
Sebaliknya Hui-ang-kin pun merasakan angin tajam senjata lawan yang menyambar lewat di tepi telinganya.
Dan pada kesempatan saling gebrak itulah, segera Seng Thian-ting melesat pergi lagi dengan cepat untuk kemudian menggabungkan diri dengan pengawal-pengawal istana Pangeran yang sementara itupun sudah membanjir datang.
"Mari kita pergi!"
Seru Leng Bwe-hong ketika dilihatnya Huiang- kin masih hendak mengejar.
Sementara itu Boh Wan-lian juga sudah turun dari loteng kamar Onghui dan menyaksikan pertarungan sengit tadi dengan segenggam pasir berbisa siap di tangannya.
Ketika pengawal-pengawal istana sudah membanjir dekat, tanpa pikir lagi pasir beracun itu lantas dihamburkannya.
Begitu pula susul-menyusul Leng Bwe-hong menyambitkan tiga buah Thian-san-sin-bong hingga tiga orang musuh tertembus tenggorokannya.
Karena serangan senjata rahasia ini, keruan para pengawal istana Pangeran itu menjadi kacau.
Di lain pihak Hui-ang-kin juga telah menimpakan kedua buah kepala yang dipenggalnya tadi ke arah musuh sembari tertawa terbahak-bahak.
Kemudian bersama Leng Bwe-hong dan Boh Wan-lian, mereka pun melayang cepat keluar dari istana Pangeran itu.
"Sampai bertemu lagi, Leng-tayhiap!"
Kata Hui-ang-kin memberi salam sesudah tiba di suatu tempat sepi terus hendak berlari pergi ke arahnya sendiri.
"Nanti dulu,"
Seru Bwe-hong tiba-tiba.
"Apa yang hendak kaubicarakan lagi?"
Tanya Hui-ang-kin menoleh.
"Jauh-jauh Cianpwe datang kemari untuk menolong anak piatu almarhum pendekar, maka sukalah bekerja-sama dengan kami saja?"
Kata Bwe-hong. Mendadak muka Hui-ang-kin berubah oleh ajakan itu.
"Kau adalah Sute Njo Hun-cong, kenapa sudah tahu sengaja bertanya?"
Demikian sahurnya marah-marah.
"Kau boleh menolong dengan caramu sendiri dan aku menolong dengan caraku, tak perlu banyak omong!"
Habis berkata, secepat terbang ia melesat pergi dan sekejap saja sudah menghilang dari pandangan.
Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sesaat itu Leng Bwe-hong masih bingung karena didamprat orang tanpa mengerti sebabnya.
Nyata meski Leng Bwe-hong adalah Sute (adik seperguruan) Njo Hun-cong, namun pada hari mereka bertemu untuk pertama kalinya juga merupakan saat terakhir hidup Njo Hun-cong.
Pedang Ular Emas -- Yin Yong Si Pedang Kilat -- Gan K L Si Pedang Kilat -- Gan K L