7 Pendekar Pedang Thiansan 15
Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen Bagian 15
Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya dari Liang Ie Shen
Ajak Bwe-hong kemudian.
Kembali mengenai Ce Cin-kun, sejak di kota-raja ia menempur sengit Leng Bwe-hong, kemudian namanya menggon-cangkan jago-jago silat di seluruh ibukota.
Karena itu Khong-hi lalu memberikan kedudukan padanya sebagai kepala bayangkara kerajaan dan Seng Thian-ting yang menjadi wakilnya malah.
Sedangkan Coh Ciau-lam tetap menjadi komandan pasukan pengawal kota-raja.
Ketika Khong-hi bersiap hendak mengerahkan tentaranya masuk Sinkiang, Tibet dan Mongolia.
Ce Cin-kun diutus sebagai duta khusus untuk menaklukkan kepala suku Tagar, Bing Lok, dan dengan mudah saja telah berhasil.
Bing Lok dan tiga kelompok suku lainnya menyerah pada pemerintah Boanjing, bahkan dipilih seribu serdadu yang dipimpin anak Bing Lok, Bing San, untuk ikut Ce Cin-kun pergi menyambut kedatangan bala tentara Boan.
Tak terduga di tengah jalan bertemu Seng Thian-ting yang lari kembali dengan mengenaskan keadaannya, waktu ditanya, barulah diketahui telah kena dihajar oleh dua anak dara.
Ce Cin-kun sangat marah, diam-diam ia mengomeli Seng Thian-ting terlalu tak becus, segera ia mendesak Thian-ting menunjukkan jalan dan memutar balik untuk mencari kedua gadis itu.
Dan secara kebetulan memergoki pertempuran sengit yang sedang terjadi.
Ce Cin-kun menerjang ke bukit itu melawan Ciok-toanio dan Bu Ging-yao, sedang seribu orang Uigor yang dibawa Bing San telah bergabung dengan dua ribu serdadu yang dipimpin Coh Ciau-lam terus mengepung musuh dengan rapat.
Bercerita tentang Coh Ciau-lam.
Setelah merasakan dua kali serangan Han Hing, lukanya ternyata tidak enteng, berkat Lwekangnya yang hebat ia mengatur pemapasannya ditambah menelan pula obat pil 'Pik-ling-tan' terbuat dari teratai salju Thian-san, waktu ia mengumpul semangat, maka terasalah hawa hangat naik dari pusarnya, diam-diam iabergirang sendiri, nyata selama ini Lwekangnya sudah bertambah banyak.
Tapi bila teringat olehnya kemahiran Leng Bwe-hong masih lebih tinggi lagi, diam-diam ia pun lesu kembali.
Dan selagi Ciau-lam hendak pergi memeriksa keadaan pertempuran, tiba-tiba dilihatnya Sin Liong-cu berlari kembali dengan mengalami kekalahan, pundaknya lecet penuh darah, keruan ia terkejut.
"Kenapakah kau?"
Tanyanya cepat.
"Kenapa? Masih kau tanya?"
Sahut Sin Liong-cu gusar.
"Gara-garamu menyuruhku merebut pokiam apa segala, siapa tahu musuh adalah jagoan tinggi, sampai seorang wanita tua bangka saja dapat menusukku sekali, baiknya hanya luka enteng, bila tidak, mungkin tulang rongsokku ini sudah terkubur di gurun pasir ini. Hm, tak mau lagi aku menggubris padamu!"
Sembari berkata ia pun merobek bajunya dan membubuhi lukanya dengan obat "Persahabatan kita selama berpuluh tahun ini, apakah sedikitpun tak kau pikirkan lagi dan pasti akan kautinggal pergi?"
Kata Ciau-lam.
"Ya, aku akan pulang ke Thian-san untuk berlatih pedang, siapa telaten ikut pembesar sepertimu,"
Sahut Sin Liong-cu dingin. Habis itu lengan bajunya mengebas, orangnya lantas hendak berlalu.
"Sin-toako, nanti dulu!"
Seru Ciau-lam mendadak.
"Jangan harap kau bisa menahanku lagi,"
Kata Sin Liongcu sambi] menoleh.
"Aku tidak menahanmu, tapi kau telah merasakan sekali tusukan perempuan tua itu, dan kau kenal tidak siapa gerangan perempuan tua itu?"
Kata Ciau-lam pula.
"Dia bukan lain adalah ipar seperguruanmu, isteri Ciok Thian-sing, pedangnya sudah direndam dengan obat berbisa, meski lukamu tidak berat, tapi dalam 12 jam bila racunnya menjalar pasti tidak tertolong lagi."
"Ha, apa betul? Lalu bagaimana baiknya!"
Teriak Sin Liongcu kuatir dengan wajahnya berubah hebat Nyata Sin Liong-cu menjadi percaya sungguh pada obrolan Coh Ciau-lam itu, dan betul saja ia merasa pundaknya rada gatal pegal.
"Makanya aku minta kau suka tinggal sementara lagi di sini,"
Demikian sahut Ciau-lam kemudian dengan tertawa "Aku punya obat pemunahnya, cuma harus diminum bersama arak panas, biar sekarang juga aku menyuruh orang mengambilkan arak panas."
Habis itu, ia lantas memerintahkan seorang pengawalnya lekas pergi menyeduh sepoci arak panas.
Sebenarnya apakah maksud tujuan Coh Ciau-lam? Kiranya karena dilihatnya gerak ilmu silat Sin Liong-cu luar biasa anehnya betapa tinggi kepandaiannya kini sudah jauh di atas ketika mereka masih di Thian-san, sekalipun umpama gurunya Toh It-hang, hidup kembali juga tak bisa menimpali lagi, sedang gerak tubuhnya lebih tak mirip ajaran aliran Bu-tongpay, maka Ciau-lam sangat curiga, ia justru ingin memancing orang buat bertanya duduknya perkara Karena itu lantas berkatalah Coh Ciau-lam.
"Sin-toako,"
Demikian ia memancing.
"Obat pemunahku meski dapat menghilangkan racun di tubuhmu, tapi ilmu silatmu ini dapat tidak dipertahankan, itulah aku tak berani menjamin. A i, perempuan tua bangku itu sesungguhnya terlalu keji, bila terkena oleh racun pedangnya, sesudah sembuh mungkin orangnya pe lahan-lahan a-kan menjadi lumpuh juga. Ai, Sintoako, jika benar kau akan menjadi cacad, sungguh sebagai saudaramu harus malu tak mampu membalaskan sakit hatimu, sebab ilmu pedangku bukan tandingan mereka. Ai, coba bila seumpama aku dapat mempelajari ilmu silat setinggi kau, tentunya segala apa akan menjadi beres."
Mendengar obrolan Coh Ciau-lam itu, Sin Liong-cu menjadi kaget bagai disambar petir di tengah hari bolong.
"Jika benar aku akan menjadi cacad, segera aku turunkan ilmu pedangku padamu, biar kau menjadi ahli pedang nomor satu di jagad ini, malah akan lebih lihai dari gurumu!' demikian kata Sin Liongcu penuh sesal. Dalam hati Ciau-lam girang luar biasa tapi lahirnya ia purapura adem saja katanya pula "Ah, sebagai saudaramu tentu akan berusaha menyembuhkanmu sebisanya dan tidak nanti mengharap balas budimu. Cuma maafkan aku ingin bertanya padamu sedikit saja yakni tentang kiam-hoat yang kau sebut belum pernah aku melihatmu memainkan pedang, apakah kau baru saja dapat memahami semacam ilmu pedang dan belum sempat diunjukkan?"
"Eh, kenapa kau tak percaya padaku?"
Kata Sin Liong-cu dengan mata mengerling aneh.
"Ketahuilah dalam dua tahun ini aku telah memperoleh 108 jurus ajaran asli dari Tat-mo, Tat-mo-kiam-hoat belum tentu di bawah Thian-san-kiam-hoat perguruanmu!"
Coh Ciau-lam adalah tokoh silat terkemuka dari Bu-lim atau dunia persilatan, sudah tentu ia tahu tentang Tat-mo-kiamhoat yang menghilang lama itu.
Keruan saja girangnya sekali ini luar biasa, ia pikir bila benar ia berhasil melatih Tat-mokiam- hoat hingga bisa menggabungkan kedua macam ilmu pedang di tangan satu orang, maka sudah pasti ia bakal tiada tandingannya lagi di seluruh jagad.
Tidak antara lama, arak panas yang diminta telah dibawakan.
Ciau-lam menuang sebungkus obat bubuk ke dalam arak itu dan menyuruh minum Sin Liong-cu.
Tanpa pikir, segera Sin Liong-cu menurut dan meneguk habis secangkir arak panas itu.
Tak terduga hanya sejenak saja tiba-tiba matanya terasa berkunang-kunang, perut sakit bagai di-puntir-puntir.
"Nah, robohlah, roboh!"
Tahu-tahu Coh Ciau-lam berteriakteriak.
Berbareng tangan mengulur terus hendak mencengkeram.
Luar biasa terkejutnya Sin Liong-cu, sekonyong-konyong ia menggeram sekali, sedikit ia mengegos, menyusul orangnya menubruk maju terus memukul sekaligus dengan kedua telapak tangannya hingga Coh Ciau-lam kena dihantam roboh.
Tapi dengan sedikit menggelundung di tanah, cepat sekali Ciau-lam melompat bangun lagi sembari pedang pusakanya terus dilolos juga dan menyabet "Keji amat kau, Coh Ciau-lam!"
Teriak Sin Liong-cu gemas.
Berbareng itu sekali enjot secepat terbang orangnya pun meloncat keluar kemah dan berlari pergi.
Setelah menaruh racun di dalam arak panas itu, Ciau-lam menaksir Sin Liong-cu pasti akan mampus terkena racun, maka dengan terburu-buru ia hendak merebut kitab rahasia pelajaran ilmu silat Tat-mo itu.
Tak disangka Sin Liong-cu ulet luar biasa, meski sudah terkena racun, namun ingatannya sadar secara mendadak, secepat kilat ia menubruk maju terus menghantam, dan karena tak berjaga-jaga, Ciau-lam kena digenjot roboh.
Tapi Sin Liong-cu juga tahu kepandaian Coh Ciau-lam selisih tidak jauh dengan dirinya, sekali hantam ia bisa berhasil sesungguhnya sangat beruntung, maka tak berani ia terlibat lebih lama, lekas ia melarikan diri menuju tempat sepi.
Pasukan Boan kenal Sin Liong-cu sebagai sobat komandan mereka, dengan sendirinya tiada yang berani merintangi.
Kembali lagi pada Leng Bwe-hong dan kawan-kawan.
Sesudah setengah hari pula mereka tempuh, tiba-tiba didengarnya di kejauhan ada suara orang bertempur.
Dan ketika mereka hendak mengeprak kuda memburu ke tempat itu, tiba-tiba tertampak Sin Liong-cu sedang mendatangi secepat terbang dengan baju sudah sobek.
Lekas Leng Bwe-hong melompat turun dari kudanya untuk kemudian dengan tepat menghadang di depan Sin Liong-cu sambil membentak.
"Bagus, belum aku mencarimu, kini kau malah datang mencariku. Hayolah, mari kita bergebrak 300 jurus pula!"
Kiranya Bwe-hong menyangka orang membawa pasukan musuh hendak datang menangkapnya. Sebanknya Sin Liong-cu bagai banteng ketaton saja terus melontarkan beberapa kali serangan.
"Bagus, kalian bersaudara seperguruan memang bukan orang baik-baik semua, kini meski jiwa Sin Liong-cu harus tewas di tangan kalian, namun pasti juga para ksatria seluruh jagad akan menertawaimu!"
Demikian j awabnya kemudian.
Kenal betapa lihainya orang, maka dengan penuh perhatian Leng Bwe-hong melayani pukulan musuh.
Siapa duga, baru beberapa gebrakan, mendadak Sin Liong-cu menggelongsor jatuh ke tanah, rupanya racun dalam tubuh mulai bekerja dan tenaganya juga sudah habis, belum kena pukulan Leng Bwehong, ia sendiri sudah roboh lebih dulu.
Dan karena mendengar kata-kata Sin Liong-cu tadi mengandung arti tertentu, lekas Bwe-hong membangunkan orang dan bertanya cepat.
"Ada apa? Perbuatan apa yang memalukan pada diriku?" .
"Hm, Coh Ciau-lam meracuni aku, kini di waktu berbahaya kau pun datang hendak memaksa diriku, tapi aku justru tidak membiarkan tujuan kalian terkabul!"
Demikian seru Sin Liongcu sambil meronta Berbareng itu ia merogoh keluar kitab pelajaran Tat-mo terus hendak d i sobeknya dengan kedua tangan.
Namun sekali menggablok, cepat Leng Bwe-hong telah menepuk jatuh kitab yang dipegang orang, waktu ia periksa keadaan Sin Liong-cu, dilihatnya wajah orang sudah hitam guram, lekas ia mengeluarkan sebutir 'Pik-ling-tan' terus dijejalkan ke dalam mulut orang, Sin Liong-cu masih hendak meronta, tapi sekali Bwe-hong memencet dagunya, tanpa kuasa Sin Liong-cu membuka mulurnya hingga obat pil itu dengan sendirinya menggelinding masuk tenggorokannya.
Selang agak lama, beberapa kali Sin Liong-cu membuang hawa busuk, dadanya terasa juga lebih lega, wajahnya lambat-laun juga bercahaya kembali.
Setelah bisa sadarkan diri, dengan mata membelalak Sin Liong-cu memandang Leng Bwe-hong rada tercengang.
"Baiklah sudah kini, racun dalam tubuhmu sudah ditolak keluar semua,"
Kata Bwe-hong kemudian.
Dalam hati Sin Liong-cu amat berterima kasih, tapi ia masih tak mau menghaturkan terima kasih, hanya matanya mengerling aneh dan berkata "Nyata kau berbeda dengan Suhengmu, Coh Ciau-lam keparat itu.
Namun tetap aku masih akan bertanding pedang denganmu."
"Tak perlu buru-buru,"
Ujar Bwe-hong tertawa.
"Bila sudah pulih kesehatanmu seluruhnya pasti aku akan mengiringi keinginanmu itu. Dan kini hendaklah kaubawa aku pergi mencari si keparat Coh Ciau-lam itu."
Sementara itu Kui Tiong-bing sudah mendekat juga dan memanggil padanya.
"Susiok."
"Habaha,"
Sin Liong-cu bergelak tertawa.
"Ilmu pedang ibumu sangat hebat, mempunyai keponakan sepertimu masih tidak menghilangkan pamor Susiokmu ini. Baiklah, melihat muka Leng-sioksiokmu ini, biarlah kuakui kau sebagai Sutit (keponakan perguruan). Kini ayah-bundamu sedang dikepung musuh, marilah kita pergi menolongnya lebih dulu."
Bercerita lagi tentang Li Jiak-sim dan kawan-kawan.
Setelah bisa bergabung dengan rombongan Pho Jing-cu lagi, tentu saja kekuatan mereka menjadi banyak bertambah.
Dikeroyok oleh Ciok-toanio dan Bu Ging-yao, betapa lihai Hong-lui-kiam-hoat Ce Cin-kun tetap tak bisa memperoleh keuntungan apa-apa Dalam pada itu, Seng Thian-ting juga kena didesak mundur oleh Pho Jing-cu.
Sebaliknya karena dikepung rapat oleh serdadu Boan dan bangsa Uigor, ditambah pula tiga jagoan kelas satu yang memimpin pertempuran itu, para pahlawan seketikapun tak mampu membobol kepungan, mereka hanya memperkuat penjagaan pada bukit itu, siapa yang berani mendekat segera ditusuk dengan pedang dan yang jauh mereka panah.
Perubahan cuaca di gurun pasir memang hebat sekali, sesudah hari menjadi magrib, walaupun di tempat dekat Turfan yang terkenal sebagai 'benua berapi' itu, toh di waktu malam terasakan pula hawa dingin yang menusuk tulang.
Untuk menghangatkan badan, serdadu-serdadu Boan menyalakan api unggun, sinar api yang berkobar menyinari sekelilingnya hingga terang benderang bagai siang hari.
Dari jauh Lauw Yu-hong memandang ke Thian-san yang samar-samar tertampak puncak esnya yang menjulang tinggi mencakar langit, kelap-kelip di angkasa malam gelap.
Tibatiba ia merasa kedinginan, ia merangkul diri Ie Lan-cu.
"Dekat benua berapi ini, di malam hari masih demikian dinginnya kalau di atas Thian-san, entah akan berapa kali lebih dingin?"
Demikian bisiknya.
"Aku dibesarkan di Thian-san, Cici adalah orang daerah Kanglam, tentu tidak biasa dengan hawa di sini,"
Sahut Lan-cu tersenyum.
Dalam keadaan demikian, tiba-tiba Yu-hong teringat pada Leng Bwe-hong.
Pikirnya apabila ia betul-betul adalah kawanku di waktu muda itu, dan sebab aku hingga terpaksa ia harus menyingkir merantau ke tanah asing yang terpencil jauh dan menderita kedinginan di Thian-san, dan karena itu ia dendam pada diriku, hal inipun tak bisa menyalahkannya.
Oleh karena pikiran itu, ia menjadi berduka "Apabila pada suatu hari aku bisa naik ke Thian-san juga betapa aku akan merasa senang,"
Katanya dalam hati sambil menghela napas. Waktu itu Bu Ging-yao mendampingi Li Jiak-sim dengan pedang terhunus sedang mengawasi gerak-gerik musuh, ketika tiba-tiba dilihat Lauw Yu-hong lagi melamun, ia menjadi heran.
"Lauw-toaci, apa yang sedang kaupikirkan?' tanyanya segera. Tapi Yu-hong diam tak menjawab pertanyaan orang.
"Lihatlah, siapa yang datang lagi itu!"
Tiba-tiba terdengar teriakan Li Jiak-sim.
Waktu mereka menegasi, terlihat keadaan pasukan Boan agak kacau-balau, dengan mengepalai beberapa ratus bangsa Uigor, Ce Cin-kun kelihatan telah maju hendak mencegat.
Di bawah sinar api, Lauw Yu-hong bisa melihat dengan jelas, ia lihat pemimpin rombongan yang membikin kalang-ka but barisan serdadu Boan itu sangat mirip sekali dengan Leng Bwe-hong.
"Eh, aneh sekali,"
Kata Jing-cu.
"Sungguh bisa begini kebetulan, Leng Bwe-hong betul-betul datang!"
Waktu mereka menegasi lagi, tertampak Leng Bwe-hong hanya diiringi beberapa orang saja dan sementara itu sudah mulai bergebrak dengan Ce Cm-kun.
"Serdadu musuh terlalu banyak, walaupun ilmu silat Leng Bwe-hong sangat tinggi, mungkin juga tak mampu menerjang masuk ke sini,"
Ujar Jiak-sim.
"Lebih baik kita menerjang turun saja menggabungkan diri dengan mereka!"
Selagi para pahlawan hendak bertindak, mendadak terlihat Ce Cin-kun angkat kaki dan segera kabur pergi, bangsa Uigor yang dipimpinnya itu terdengar berteriak riuh-rendah, mereka mendukung Leng Bwe-hong dan dalam sekejap saja mereka telah berontak di garis depan, keruan saja pasukan Boan menjadi kocar-kacir.
Kiranya pada waktu Leng Bwe-hong, Hui-ang-kin dan kawan-kawan sampai di medan pertempuran itu, mereka segera dipapak Ce Cin-kun bersama beberapa ratus bangsa Uigor yang dibawanya itu.
Leng Bwe-hong mengangkat pedangnya menangkis sepasang pedang Ce Cin-kun yang sementara itu sudah lantas menyerang, dalam pada itu Huiang- kin mendadak menepuk pundak Leng Bwe-hong sambil berseru.
"Kau mundur saja!"
Habis itu, dengan pecutnya yang panjang itu ia menuding ke depan sambil membentak.
Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Hai, apakah kalian masih kenal padaku? Akulah Hui-ang-kin adanya!"
Melihat kelakuan orang, cepat Ce Cin-kun menusuk dengan pedangnya, namun Hui-ang-kin hanya berkelit dan tidak balas menyerang, ia melanjutkan seruannya pula.
"Patuhlah pada perintahku, bunuhlah lebih dulu si tua bangka ini!"
"Hidup Hui-ang-kin!"
Tiba-tiba pahlawan-pahlawan Uigor yang berusia sedikit tua pada bersorak girang.
Orang-orang Uigor lainnya yang lebih muda, meski mereka belum kenal Hui-ang-kin, tapi mereka sudah pernah mendengar cerita tentang diri Hui-ang-kin yang maha besar, dalam sekejap saja, mereka ikut bersorak riuh-rendah dan berbareng itu senjata mereka berbalik diarahkan ke diri Ce Cin-kun.
Keruan Ce Cinkun menjadi gugup, dengan cepat ia dapat merobohkan dua orang, sementara itu pecut Hui-ang-kin telah menyambar sampai di belakang punggungnya juga, lekas ia angkat kaki dan lantas kabur.
Leng Bwe-hong tidak tinggal diam, ia memburu dengan pedang terhunus.
Saat itu juga, para pahlawan di bukit pasir tadi secara beramai-ramai pun sudah menerjang turun, Bing San coba memimpin pasukannya hendak menghadang dan berteriak hendak menundukkan bangsanya yang mendadak berontak itu, siapa tahu, setelah bangsa Uigor itu mendapat tahu yang datang ini adalah Hui-ang-kin, kebanyakan di antara mereka tak mau tunduk pada perintahnya lagi, terpaksa Bing San pun angkat kaki alias buron kalau ia sendiri tidak ingin dihajar oleh bekas pasukannya itu.
Keadaan yang demikian itu dengan segera lantas berubah menjadi pasukan penunggang kuda bangsa Uigor itu saling tempur dengan pasukan Boan.
Sin Liong-cu yang ikut menerjang ke dalam pertempuran itu, cepat sekali ia berpapasan dengan Coh Ciau-lam yang sementara itu hendak kabur dengan mengambil jalan yang sepL "Bangsat, hendak lari kemana kau!"
Bentak Sin Liong-cu.
Menyusul itu tiba-tiba Ciau-lam merasa angin keras menyambar dari belakang, kedua tangan Sin Liong-cu berbareng telah menghantamnya Lekas Ciau-lam mengegos ke samping dan pedangnya lantas menusuk juga, Sin Liong-cu tak berhasil dengan pukulannya yang pertama ia rnerangsek pula namun Ciau-lam pun tidak lemah, ia menghindarkan tiap serangan lawan, di samping itu pedangnya balas menyerang dan tangannya memukul tak kalah hebatnya.
Betapapun lihainya Sin Liong-cu, namun ia bertangan kosong, ia harus waspada akan pedang musuh.
Maka secepat kilat mereka berdua sudah saling gebrak beberapa jurus.
Sementara itu Seng Thian-ting bersama beberapa jago pengawal pun sudah memburu tiba.
Nampak keadaan berbahaya itu, lekas Leng Bwe-hong pun memburu datang untuk membantunya Dikerubut oleh musuh yang jauh lebih banyak itu, Sin Liong-cu kena ditusuk sekali oleh Coh Ciau-lam di pundaknya.
Waktu Leng Bwe-hong memburu datang dan memutar pedangnya memainkan 'Han-to-kiam-hoat', sinar pedang gemer-depan laksana hujan, baru Coh Ciau-lam bisa menangkis, tetapi belakang punggungnya sudah kena digablok oleh Sin Liong-cu, lekas ia menarik pedang dan segera kabur.
Ketika Bwe-hong memutar pedangnya melindungi Sin Liong-cu yang terluka itu.
"Bagaimana lukamu?"
Tanyanya kuatir.
"Tak usah kualirkan diriku, kejar saja keparat itu!"
Sahut Sin Liong-cu. Nampak pundak orang sudah bermandi darah, Bwe-hong tahu lukanya tentu tidak enteng.
"Hui-ang-kin dan yang lain sudah mengejar, tentu mereka akan menang,"
Ujarnya. Setelah itu secara paksa ia menarik mundur Sin Liong-cu. Dalam pada itu, sekonyong-konyong terdengar pekikan Ie Lan-cu, menyusul itu terlihat Kui Tiong-bing sedang mendatangi.
"Kau lindungi Susiokmu saja"
Kata Bwe-hong pada pemuda itu, habis mana ia menerjang lagi dengan pedangnya.
Sin Liong-cu berniat ikut menerjang juga, tapi segera ia merasa seluruh tubuhnya sakit pegal, Tiong-bing memutar pedangnya membuka jalan baginya dan tak memperbolehkan dia ikut bertempur.
Kiranya tadi waktu Hua-ciau nampak Lan-cu sedang bertempur di antara pasukan musuh yang kocar-kacir itu, hatinya menjadi kegirangan, dengan mati-matian ia menerjang maju hendak memapakinya Dalam pada itu, Coh Ciau-lam dan Seng Thian-ting yang sedang kabur, dari depan mereka justru berpapasan dengan Pho Jing-cu, Ie Lan-cu dan Bu Ging-yao bertiga.
Tiga pedang yang bersinar gemerlapan mencegat jalan lari mereka Ciau-lam mengerti bahaya yang sedang mengancam dirinya itu, lekas ia hendak menerjang ke jurusan lain, akan tetapi kembali ia dipapaki oleh suami-isteri Ciok Thian-sing.
"Celaka!"
Keluh Ciau-lam dalam hati.
Dalam keadaan yang genting itu, tiba-tiba ia melihat Thio Hua-ciau sedang mendatangi, ia menjadi girang, ia putar haluan, dengan satu tipu yang lihai, secepat kilat ia menusuk ke bawah iga Thio Hua-ciau.
Waktu itu Hua-ciau lagi mencurahkan seluruh perhatiannya atas diri Ie Lan-cu, ia tidak menduga dirinya akan diserang secara begitu, dalam gugupnya ia coba mengelakkan diri, tapi tahu-tahu ia merasa pergelangan tangannya telah kena dicekal o-rang dan urat nadinya terpencet kencang oleh tiga jari Coh Ciau-lam, dan segera diangkat pula ke atas untuk kemudian diayunkan.
Sementara itu Ciok-toanio sedang menusuk dengan pedangnya segera Ciau-lam menyambut orang dengan tubuh Thio Hua-ciau yang ia ayunkan itu.
"Boleh kau menusuknya!"
Katanya dengan tertawa sinis.
Dan karena melihat kekasihnya dalam ancaman bahaya itulah Ie Lan-cu berteriak kuatir.
Lekas Ciok-toanio menarik kembali tusukannya tadi, dan karena itu telah memberi kesempatan pada Coh Ciau-lam untuk menerjang pergi hendak bergabung dengan pengikutnya.
Bagai terbang cepatnya Leng Bwe-hong melayang maju coba memburu.
"Lepaskan orangnya!"
Bentaknya keras.
Menyusul terlihat Lauw Yu-hong telah mencegat juga dari samping, senjata rahasia yang tunggal 'Kim-hun-tau', yakni jaring kawat dengan kaitan halus yang tajam, mendadak dilemparkan ke atas kepala musuh.
Cepat Ciau-lam melompat menghindarkan diri, tetapi sekonyong-konyong ia merasakan pergelangan tangannya menjadi pegal linu, menyusul Leng Bwe-hong telah mengulur tangan dan dua jarinya segera hendak mencolok matanya Keruan Ciau-lam gugup, dan karena tangannya sakit linu tadi, cekalannya menjadi kendor, hingga terpaksa ia harus melepaskan Thio Hua-ciau.
Lekas Leng Bwe-hong membangunkan Hua-ciau yang terlempar jatuh itu, sedang Lauw Yu-hong dan Ie Lan-cu berbarengpun sudah memburu datang.
Sementara itu terlihat Bu Ging-yao lagi bergelak tertawa dengan mengelus pedangnya sebaliknya Coh Ciau-lam juga sudah bisa lolos kabur.
"Bu-cici, apa yang kau tertawai?"
Tanya Lan-cu heran demi nampak sikap orang.
"Ia telah terkena aku punya 'Pek-bi-ciam', tentu ia akan merasakan untuk selamanya,"
Kata Bu Ging-yao.
'Pek-bi-ciam' adalah semacam senjata rahasia ciptaan Pekhoat Mo-li, rupanya halus lembut laksana bulu binatang, oleh karena itu dinamakan 'Pek-bi-ciam' yang berarti jarum alis putih.
Senjata rahasia semacam ini meski tidak membahayakan jiwa musuh, tetapi cukup keji, apabila telah meresap ke dalam tubuh, maka susah sekali untuk bisa mengambilnya keluar.
Dua jarum yang mengenai Coh Ciau-lam itu, kesemuanya telah meresap ke dalam tubuh, sehingga kekuatannya di kemudian hari banyak menjadi berkurang pelahan-lahan.
Setelah Coh Ciau-lam dan Seng Thian-ting melarikan diri, sudah tentu sisa serdadu Boan juga lari tunggang-langgang.
Hui-ang-kin tidak mengejar musuh, waktu ia menoleh, ia lihat dengan mesra Thio Hua-ciau sedang memegang kedua tangan Ie Lan-cu dan sedang saling pandang penuh arti, kegaduhan di medan pertempuran itu seperti tak mereka hiraukan.
Dengan senyum simpul Hui-ang-kin mendekati mereka Waktu mendadak Lan-cu melihat Hui-ang-kin muncul di antara mereka, hatinya tergoncang hebat.
"O, ibu, bu bukan aku sengaja meninggalkanmu "
Katanya dengan suara terputus-putus. Tapi sebelum ia mengucapkan lebih lanjut, Hui-ang-kin sudah menyambungnya dengan tertawa.
"Lan-cu, aku pun tidak ingin berpisah denganmu, oleh sebab itu aku telah menyusul kemari,"
Kata Hui-ang-kin.
"Marilah sekarang kita hidup kumpul bersama seperti suatu keluarga bahagia yang melewatkan hari-hari menggembirakan."
Saking terharunya, Lan-cu mengucurkan air mata, ia menubruk maju dan merangkul Hui-ang-kin erat-erat.
"Ibu! O, ibu, sungguh aku sangat berterima kasih padamu, sayangmu padaku melebihi anak kandung sendiri,"
Demikian katanya meratap.
"Ya tidak saja kau adalah anakku, tetapi juga keponakan Leng-sioksiok dan sahabat baik mereka pula,"
Ujar Hui-angkin. Waktu ia mengucapkan kata-kata terakhir itu, sengaja ia menuding diri Thio Hua-ciau, hingga Lan-cu menunduk kepala malu.
"Eh, mengapa rambutmu telah banyak putih!"
Tiba Hua-ciau berteriak terkejut Waktu semua orang memandang kepala Lan-cu, betul saja memang tertampak banyak rambutnya yang sudah ubanan tercampur di antara rambut hitam lainnya "Kita guru dan murid tiga turunan, ternyata kesemuanya belum tua sudah ubanan!"
Kata Hui-ang-kin menghela napas. Mendadak Thio Hua-ciau tergerak pikirannya "Jangan kuatir, aku nanti mengobatimu!"
Katanya tiba-tiba Segera ia mengeluarkan kotak berbungkus sutera sulam yang menguarkan bau harum semerbak itu.
Ie Lan-cu memang mempunyai kesukaan pada bungabungaan, waktu tiba-tiba nampak ada dua tangkai bunga raksasa berwarna merah-putih itu, ia jadi sangat tertarik.
Dalam pada ini Hua-ciau telah mengangsurkan pula padanya kantong air.
"Lan-cu, lekas kau makan kedua tangkai bunga ini!"
Kata Hua-ciau kemudian. Nampak sikap orang, Lan-cu tertawa geli.
"Sungguh kekanakan sekali kau!"
Katanya dengan suara rendah.
"Bunga seindah ini, apakah tidak sayang dirusak begitu saja?"
"Sedikitpun aku tidak kekanakan, aku mengharap kau memakannya,"
Demikian Hua-ciau menegas.
"Sudahlah, boleh kau makan saja seperti yang diminta,"
Hui-ang-kin ikut bicara "Waktu di Thian-san, bukankah kau juga suka memetik teratai salju untuk kemudian dibuat menyeduh teh?"
Melihat cara mereka berkata dengan sungguh-sungguh, le Lan-cu merasa agak aneh, sebenarnya ia sangat suka pada kedua tangkai bunga itu, tetapi ia juga suka memakan daun bunga yang segar, sesudah dengan rasa sayang memainkan bunga itu sebentar, kemudian ia mengunyah dan menelan kedua tangkai bunga itu yang dirasakannya sangat segar dan meninggalkan bau harum yang berbekas di mulutnya.
"Em, enak sekali! Masih adakah?"
Katanya kemudian sambil kecap-kecap mulutnya.
"Nah, tadi tidak mau, kini malah minta lagi, tapi aku sudah tak punya lagi,"
Hua-ciau menggoda dengan tertawa.
"Kalau ingin lagi, maka harus menunggu sampai 60 tahun kemudian,"
Ujar Hui-ang-kin tertawa.
Lan-cu menjadi bingung mendengar percakapan mereka, dan Hui-ang-kin juga tidak menerangkan apa artinya itu.
Melihat cara Hua-ciau memberi bunga pada Ie Lan-cu, tak tertahan Li Jiak-sim bersajak seorang diri dengan suara pelahan.
Sajak yang diucapkannya itu adalah gubahan Nilan Yong-yo yang waktu itu sangat digemari di seluruh negeri.
Bu Ging-yao tertawa geli melihat sikap pemuda itu, La memandangnya dan berkata padanya pe lahan.
"Bagaimana Li-kongcu? Kau sedang mengagumi orang atau lagi merasa iri?"
Jiak-sim menjadi jengah, mukanya merah, ia lihat sinar mata Bu Ging-yao seperti penuh mengandung arti, maka ia pun membalasnya dan berkata "Ada kau di sampingku, tak perlu aku kagum juga tak perlu iri pada orang lain."
Keruan saja wajah Bu Ging-yao kini menjadi merah.
Pada saat itu pula Lauw Yu-hong juga sedang saling mengutarakan rasa rindunya dengan Leng Bwe-hong selama berpisah.
Nampak Lauw Yu-hong banyak lebih kurus, Bwehong menjadi pedih hatinya tapi ia tetap bungkam saja "Tadinya aku mengira tak akan bisa berjumpa pula denganmu,"
Kata Yu-hong kemudian.
"Aku sudah berjanji akan mendaki Thian-san bersamamu, janji ini belum terlaksana, mengapa kita tak akan berjumpa pula?'' ujar Bwe-hong tertawa buatan. Dan setelah para pahlawan bisa berkumpul kembali, mereka lantas melanjutkan perjalanan, kini Bu Ging-yao yang menjadi penunjuk jalan mereka "Baik-baikkah ayahmu selama ini?"
Tanya Pho Jing-cu padanya "Justru ayah yang menyuruhku datang kemari buat menyambut kedatangan Pho-pepek sekalian!"
Sahut Ging-yao.
Pho Jing-cu dan Bu Goan-ing adalah sahabat karib sehidupsemati, kini akan segera bertemu, ia merasa gembira sekali.
Tengah mereka bercakap-cakap, tiba-tiba dari depan tertampak debu mengepul tinggi, kembali ada ratusan orang penunggang kuda mendatangi ke jurusan mereka.
"Apakah keparat Coh Ciau-lam itu masih berani kembali lagi?"
Kata Pho Jing-cu menduga. Tapi bila ia menegasi lagi, yang memimpin rombongan itu ternyata adalah seorang anak tanggung. Jing-cu menjadi heran. Sementara itu terdengarlah Ging-yao telah berseru memanggil.
"Adik, adik!"
Ketika sudah dekat, sekali berjumpalitan si anak tanggung itu melompat turun dari kudanya terus mendekati Pho Jing-cu sambil menarik lengan bajunya.
"Pho-pepek, apakah kau tak mengenali aku lagi?"
Demikian tegurnya.
"Eh, Sing-hua, kau sudah begini besarnya,"
Kata Jing-cu bergelak tertawa setelah akhirnya mengenali anak tanggung itu adalah Bu Sing-hua.
"Untuk apa kau membawa orang demikian banyak?"
Seperti diketahui Bu Sing-hua adalah putera Bu Goan-ing satu-satunya dan pernah diajari menangkap 'senjata rahasia dengan lengan baju' oleh Pho Jing-cu, waktu itu ia baru berumur 11-12 tahun, tapi kini umurnya sudah 15-16 tahun.
Dan karena pertanyaan Pho Jing-cu tadi, berulang-ulang Sing-hua menarik Pho Jing-cu.
"Pho-pepek, lekas kau menjenguk ayahku, semalam ia telah kena dibokong orang!"
Katanya dengan kedua mata tampak merah bendul banyak menangis.
"Bisa terjadi begitu?"
Tanya Jing-cu kaget.
Ia cukup mengenal Bu Goan-ing memiliki ilmu silat yang tinggi dan adalah tokoh ternama dari golongan Cong-lam-pay, sungguh ia tak mengerti di daerah perbatasan terpencil ini ada orang berani membokongnya.
Ging-yao menjadi kuatir karena berita adiknya itu, ia mendesak agar adiknya lekas menerangkan duduknya perkara.
"Semalam, selagi aku tidur nyenyak, sekonyong-konyong aku terjaga oleh suara bentakan ayah,"
Demikian Sing-hua bercerita "Dan waktu aku melompat bangun, kulihat ada dua orang penjahat menerobos keluar dari kamarmu "
"Dari kamarku?"
Tanya Ging-yao tidak habis mengerti.
"Ya dari kamarmu,"
Sing-hua menegas.
Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ayah gusar sekali, ia memutar golok ' Kim-pwe-gam-san-to* dan lantas melabrak kedua penjahat itu, satu di antaranya kalau berbicara suaranya kecil dan kelakuannya lenggang-lenggok seperti wanita, sangat lucu. Sedang yang lain ialah seorang kakek. Aku telah menghamburkan segenggaman biji caturku, tetapi tidak mengenai mereka dan tiba-tiba terdengar ayah menjerit dan kemudian melompat keluar dari kalangan pertempuran, sementara itu Njo-sioksiok pun sudah memburu datang, kedua penjabat itu kemudian berhasil kabur. Waktu ayah membuka bajunya, tertampak sebagian dadanya telah hitam bengkak, hari ini masih belum bisa turun dari pembaringan. Sementara itu ia mendapat laporan dari saudara-saudara Thian-te-hwe, bahwa di gurun pasir sejauh ratusan li ada pasukan yang sedang bertempur sengit, maka aku diperintahkan datang ke sini dengan membawa orang-orang kita untuk melihat apakah Pho-pepek yang lagi dikepung musuh."
Tiga tahun yang lalu, Bu Goan-ing bersama dua pemimpin Thian-te-hwe yang lain, Hoa Ci-san dan Njo It-wi, telah menjelajahi Sinkiang dan mendirikan perkampungan di padang rumput, dua Sioksiok atau paman yang dikatakan Bu Sing-hua itu maksudnya adalah mereka berdua Sementara itu mereka pun sudah maju menemui Congtohcu atau ketua perkumpulan mereka, Lauw Yu-hong, dan setelah itu memberi hormat pada Pho Jing-cu.
"Boh-cici, jika menurut penuturan saudara cilik ini tadi, agaknya siluman manusia Hek Hui-hong juga telah sampai di Sinkiang,"
Kata Kui Tiong-bing pada Boh Wan-lian.
"Tetapi dengan ilmu silatnya mana ia mampu mencelakai Bu-cengcu?"
"Berlagak-lagu seperti wanita, ya, tentunya manusia siluman Hek Hui-hong itulah,"
Kata Jing-cu sependapat dengan Tiong-bing.
"Eh, Sing-hua, bukankah dia memakai sebuah kipas baja?"
"Betul, malahan keduanya memakai kipas semua,"
Sahut Sing-hua mengangguk.
"Keduanya memakai kipas semua? Jangan-jangan siluman tua itupun sudah datang ke sini?"
Ujar Jing-cu sambil mendesak yang lain lekas berangkat Bwe-hong heran oleh kata-kata Pho Jing-cu tadi tentang 'siluman tua', maka ia lantas bertanya gerangan siapakah yang dimaksud.
"Sian Hun-ting, Pangcu (ketua) dari Tiat-sian-pang. Tak pernah kau dengar namanya?"
Sahut Jing-cu.
"O, kiranya dia"
Kata Bwe-hong.
"Kabarnya siluman tua itu memiliki ilmu silat tunggal dan selamanya tidak mengenal ampun, dari kalangan apa saja tak mau dia memberi muka, meski terkenal busuk, tapi belumlah terlalu jahat dan kenapa sekarang bisa berada bersama dengan Hek Hui-hong yang terkutuk itu? Pula sebab apa telah datang mencari gara-gara pada Bu Goan-ing, inilah sungguh aneh?' Dalam pada itu mereka telah mengeprak kuda secepat terbang hingga tiada setengah hari sudah sampai di tempat tujuan. Penghuni perkampungan itu sibuk menyambut kedatangan tamu, dan ibu Sing-hua kegirangan juga "Beruntung Pho-pepek datang, ayah Sing-hua dapatlah tertolong!"
Demikian katanya Segera juga Pho Jing-cu dan Bu Ging-yao masuk ruang dalam menilik keadaan Bu Goan-ing, ternyata wajah orang tua itu sudah guram, napasnya lemah, melihat kedatangan Jingcu, tampaknya ia ingin bicara, tapi hanya bibirnya saja sedikit bergerak dan tak sanggup bersuara.
Lekas Jing-cu memeriksa nadi orang.
"Ah, tak apa, tak berhalangan,"
Demikian katanya kemudian.
Habis ini cepat ia pun mengurut segala urat nadi yang bersangkutan dan memencet lukanya agar darah berbisa mengalir keluar, lalu diberikannya sebutir obat buatannya agar dimakan Bu Goaning.
Selang tak lama tiba-tiba wajah Goan-ing berubah segar kembali.
"Ha, keji sekali bangsat tua itu!"
Teriaknya segera Lalu dari bawah bantalnya dikeluarkannya sebatang panah hitam berbisa dan berkata pula "Inilah senjata rahasianya, kalau tulangku yang rongsok ini kurang keras, mungkin tak dapat berjumpa lagi dengan kalian."
Nyata Bu Goan-ing tidak mengenali siapa gerangan Sian Hun-ting itu, sebab Goan-ing selamanya tinggal di daerah barat-laut, sebaliknya Sian Hun-ting malang melintang di daerah selatan, maka mereka belum pernah bertemu.
Maka kemudian ia pun menceritakan kejadian semalam, katanya.
"Semalam waktu aku melawan kedua penjahat itu, bangsat tua itu meski lihai, masih dapat kutahan, kipasnya itu mulamula dipakai untuk menotok saja, tak terduga kemudian makin bertempur makin sengit dan akhirnya ujung golokku membentur kipasnya, maka tiba-tiba dari senjatanya itu menjeplak dan menyambar keluar beberapa panah berbisa. Sungguh susah diduga bahwa senjata rahasianya bisa disembunyikan dalam kipasnya itu."
Panah berbisa yang dihamburkan Sian Hun-ting itu sebenarnya bila sudah meresap ke dalam darah, maka orangnya seketika bisa sesak napas terus mati.
Syukur keuletan Bu Goan-ing selama berpuluh tahun melatih diri ini lain dari yang lain, maka masih sanggup bertahan sampai datangnya Pho Jing-cu.
Dan bila melihat orang sudah segar kembali, diam-diam Pho Jing-cu bersyukur juga, tadi ia bilang 'tak apa-apa', tujuan sebenarnya melulu buat menghibur Bu Ging-yao saja.
Kini benar-benar melihat Bu Goan-ing tak apa-apa, barulah ia merasa lega.
Lalu ia pun melarang Bu Goan-ing banyak bicara, ia suruh Ging-yao merawat sang ayah agar mengaso baikbaik, sedang ia sendiri lalu keluar.
Sementara itu Bu-toanio atau nyonya Bu dan para saudara Thian-te-hwe sudah memotong beberapa ekor kambing dan menyediakan daharan lain serta arak untuk menyambut kawan-kawan yang baru tiba itu.
Memangnya sudah bosan Pho Jing-cu, Kui Tiong-bing dan kawan-kawan memakan rangsum kering yang dibawanya dalam perjalanan, kini bisa makan besar sepuas-puasnya, tentu saja mereka makan dengan sangat gembira.
"Pho-pepek,"
Diam-diam Bu-toanio berkata pada Pho Jingcu.
"Menurutmu, kedua penjahat itu bakal datang kembali tidak?"
"Tentu saja, malahan aku kuatir kalau mereka tidak datang lagi!"
Sahut Jing-cu. Dan sesudah berpikir sejenak, lalu ia minta Bu-toanio memanggilkan Bu Ging-yao dan menyuruh gadis itu bersama Ie Lan-cu tanpa bersenjata pergi jalan-jalan keluar, perkampungan. Kemudian katanya pula pada Bu-toanio.
"Maafkan enso, bila kau setuju, aku minta kau pura-pura memasang tanda berkabung dan menyediakan meja sembahyang seperti orang lagi kesusahan kematian keluarga."
"Apa maksudmu?"
Tanya Bu-toanio tercengang.
"Ya, sebagai umpan untuk memancing kedatangan musuh,"
Kata Jing-cu.
"Kedua manusia rendah itu, lebih-lebih manusia siluman itu, memang sudah lama aku ingin membasminya."
Karena penjelasan itu, Bu-toanio masih ragu-ragu, ketika dirundingkan dengan Bu Goan-ing, orang tua ini ternyata bergelak tertawa.
'Halia, nyawaku ini saja direbut kembali dari elmaut oleh Pho-toako, kenapa aku mesti pakai pantangan apa segala.
Kalau mau pura-pura hendaklah dibuat semiripmiripnya, suruh sekalian Ging-yao pergi memberi tahu berita duka-cita pada setiap rumah tetangga"
Dan setelah mengambil keputusan itu, segera Pho Jing-cu mengatur siasat.
Ia menyuruh Ging-yao dan Lan-cu tidur bersama di kamarnya semula, ia sendiri dan Ciok Thian-sing tidur di kamar sebelah, sedang Ciok-toanio dan Bu-toanio satu kamar, hanya Leng Bwe-hong ditugaskan meronda di luar.
Penjagaan telah diatur rapat sekali, tak terduga berturutturut dua malam musuh masih tak datang.
"Aku yakin musuh pasti akan datang, jangan kita lengah,"
Demikian kata Jing-cu.
Dan betul saja, malam ketiga lewat tengah malam, benarbenar musuh telah datang, bahkan Bu Ging-yao hampir menjadi korban.
Tentang Sian Hun-ting, Pangcu dari Tiat-sian-pang, kenapa bisa jauh-jauh datang ke Sinkiang bersama Hek Hui-hong yang disebut manusia siluman itu, kiranya ada sesuatu sebab di dalamnya, ialah karena didesak dan diuber-uber oleh Beng Bu-wi yang dibantu Ciok Cin-hui.
Seperti diketahui, Beng Kian, putera Beng Bu-wi telah dibikin malu di bawah tangan Hek Hui-hong ketika ia dipedayai mengawal 36 puteri ayu untuk Perdana Menteri Nilan, maka sejak itu Beng Bu-wi lalu membawa puteranya menjelajahi daerah Kanglam, malahan mengajak pula bantuan Ciok Cinhui, dan telah mengobrak-abrik sarang Tiat-sian-pang.
Dalam pertarungan sengit itu, Sian Hun-ting dikalahkan ilmu pedang Ciok Cin-hui yang hebat, sedang Hek Hui-hong juga hampir mampus di bawah pipa tembakau Beng Bu-wi yang panjang.
Berkat ilmu silatnya yang lihai, begitu kalah satu gebrakan, segera Sian Hun-ting melepaskan diri terus melindungi Hek Hui-hong untuk kemudian melarikan diri.
Belakangan mereka masih terus diuber-uber dan susah menancapkan kaki pula di daerah Kanglam, maka terpaksa mereka lari ke daerah gurun luas ini.
Kembali tadi, ketika Leng Bwe-hong meronda di luar, setelah tengah malam, keadaan masih sepi tiada terjadi sesuatu, maka ia menjadi iseng rasanya, ia coba melorot keluar pedang pusaka pemberian Asta tempo hari sebelum mangkat, ia lihat warna pedang itu lorang-loreng, tapi bersinar tajam, bentuknya juga berlainan dengan pedang buatan Tiongkok asli, maka ia menjadi tertarik dan memainkannya sejenak untuk melewatkan waktu senggang.
Tiba-tiba dilihatnya dari arah jalan perkampungan sana berkelebat bayangan orang, cepat ia memburu maju dengan pedang terhunus.
Setelah dekat, Leng Bwe-hong rada terkejut karena yang datang itu adalah tiga padri asing, ia menjadi ragu-ragu pula, pikirnya, walaupun belum pernah kenal Sian Hun-ting dan Hek Hui-hong, tapi tidaklah mungkin ada padri asing seperti ini? Dan selagi ia hendak menegur, didengarnya padri yang rupanya menjadi pemimpin bersuara heran, lalu Bwe-hong didekatinya terus bertanya dengan kerlingan mata yang aneh.
"Hai, kau, darimana kau dapatkan pedang itu?"
"Ada sangkut-paut apa pedang ini denganmu?"
Berbalik Bwe-hong bertanya.
"Hm, apa kau kenal asal-usul pedang ini?"
Sahut padri itu menjengek.
"Asal-usul apa segala aku tak peduli, yang kuketahui ini adalah barang Njo Hun-cong,"
Kata Bwe-hong ketus.
"Hm, barang Njo Hun-cong? Njo Hun-cong adalah perampok, tahu?"
Kata padri itu tiba-tiba sengit.
"Jika dia tidak mampus di daerah Kanglam, pasti aku akan menggali tulangnya dan menyabetnya 300 kali dengan cambuk."
Gusar sekali Bwe-hong mendengar orang berani mencaci Suhengnya yang paling dicinta dan dihormatinya Tapi ia coba bersabar diri dan bertanya pula.
"Apakah kau ini Thian-bong Siansu adanya?"
"Eh, kiranya kau pun kenal nama tuan Buddhamu ini?"
Ujar padri itu tertawa senang.
"Jika begitu, tentunya kau pun tahu bahwa pedang ini adalah milikku. Maka lekas kauserahkan kembali baik-baik padaku agar aku mengampuni jiwamu. Bila tidak, hm, biaraku mengirim kau pergi mencari Njo Hun-cong!"
Melihat lagak orang, diam-diam Bwe-hong berpikir.
"Dahulu Thian-bong Siansu ini pernah memimpin anak muridnya mengembut Njc-suheng dan senjata mereka malah kena dilucuti semua oleh Sulteng, termasuk pula pedang pusakanya yang diberikan Asta ini, maka pantaslah bila ia masih penasaran. Cuma kejadian itu sudah lebih 20 tahun, entah selama ini ia bisa memperbaiki diri atau menjadi jahat? Jika ia sudah berubah baik, sedangkan pasukan Boan segera akan menjajah ke sini, seharusnya aku mempersatukan semua suku-suku bangsa dan segala tenaga di daerah Tibet, Mongol dan Sinkiang untuk melawan musuh, tiada harganya karena sebilah pedang malah bermusuhan dengannya."
Dan ketika ia berpikir dan ragu-ragu, mendadak padri asing itu membentak pula.
"Hayo, kau mau menyerahkan tidak pedang itu? Siapa kau? Berani kau membantah perintah Tuan Buddha?"
"Aku adalah Sute Njo Hun-cong,"
Sahut Bwe-hong.
"Ha, Sutenya Njo Hun-cong?"
Padri itu menegas sambil menarik muka.
"Aku hanya tahu Njo Hun-cong punya seorang Sute, yaitu Coh Ciau-lam, kenapa sekarang bisa muncul lagi seorang Sute yang lain? Bagus bila begitu, jika kau adalah Sute Njo Hun-cong, maka sekarang kau juga harus mendengar perintah Suhengmu yang masih hidup."
"Apa kau bilang?"
Tanya Bwe-hong mengkerut kening.
"Hahaha, apa kau masih belum tahu atau pura-pura tidak tahu? Mungkin juga kau palsu hanya mengaku Sutenya Njo Hun-cong?"
Kata Thian-bong Siansu bergolak tertawa "Coh Ciau-lam membawa pasukan Boan telah sampai di Sinkiang sini dan mengirim orang ke Tibet meminta maaf padaku untuk mengampuni Suhengnya yang sudah mati itu dan minta aku membantu dia mengamankan Mongol dan Tibet, ia malah berjanji akan mencarikan pedangku, bila tidak bisa ketemu, pedang Yu-liong-kiam akan diberikan padaku sebagai gantinya Kini pedangku itu ternyata berada padamu, apalagi yang hendak kaukatakan? Lekas kau serahkan saja!"
Karena penjelasan itu, sekonyong-konyong mata Leng Bwe-hong mendelik.
"Thian-bong,"
Bentaknya segera.
"Sebenarnya aku tidak menginginkan pedangmu ini, tapi kini aku justru tidak mau memberikan padamu, bila kau mampu, hayclah maju mengambilnya sendiri!"
"Tangkap keparat ini, muridku!"
Teriak Thian-bon g mendadak. Menyusul mana kedua padri asing lain yang muda segera menubruk maju dari kanan-kiri. Namun Bwe-hong tetap berdiri saja di tempatnya ketika empat kepalan musuh mengenai tubuhnya maka terdengarlah suara "bluk-bluk"
Yang keras, yang roboh bukan Leng Bwehong, sebaliknya kedua padri muda itulah yang telah menggelongsor.
Tidak kepalang gusar Thian-bong Siansu, dengan menggeram, tiba-tiba ia mencopot jubahnya yang berwarna merah terus diayun ke atas bagai segumpal awan menutup ke atas kepala lawan.
Melihat gaya serangan orang cukup hebat, lekas Bwe-hong menggeser tubuh dan melangkah ke samping menghindarkan serangan, berbareng itu tangannya terus menjambret ujung jubah musuh, tapi segera terasa olehnya seperti memegang sepotong papan besi saja maka tahulah dia Lwekang Thian bong sudah mencapai puncaknya dan tak boleh dipandang enteng.
Diam-diam ia pun mengumpulkan tenaga dalam terus menarik.
Maka terdengarlah suara berebet sobeknya kain, jubah padri itu telah terobek sebagian.
Namun dengan separah kain jubahnya yang masih ketinggalan, mendadak Thian-bong menggunakannya buat menyabet lagi, berbareng itu telapak tangan kiri tahu-tahu menghantam juga dari bawah kain jubah.
Tapi sekali Bwe-hong mengkeretkan tubuh, hampir saja ia kena terpukul, sebaliknya karena luput mengenai sasaran, Thian-bong menjadi kehilangan keseimbangan badan hingga tubuhnya rada sempoyongan.
Cepat sekali Bwe-hong menendang, tak terduga Thian-bong Siansu masih bisa mencelat ke atas setinggi lebih dua tombak, lalu dengan kain jubahnya yang masih dipegang itu kembali menubruk pula dari atas.
Thian-bong Siansu adalah Sute atau adik-guru dari Thianliong Siansu, cikal-bakal Thian-liong-pay di Tibet Sejak dikalahkan Njo Hun-cong 20 tahun yang lalu, ia kembali ke Tibet dan giat melatih diri, setelah lewat 20 tahun, sudah tentu kepandaiannya sudah jauh lebih maju, maka sesudah saling gebrak dengan Leng Bwe-hong masih belum ada tanda bakal kalah.
Sementara itu Bu Ging-yao yang tidur sekamar dengan Ie Lan-cu, setelah lewat tengah malam masih belum terjadi apaapa maka ia berkata.
"Mungkin akal Pho-pepek ini tiada berhasil, belum tentu musuh mau masuk perangkapnya"
"Tapi tiada jeleknya kita berjaga,"
Ujar Lan-cu.
"Di luar ada Leng-tayhiap yang meronda, bila musuh benar-benar datang, mungkin belum sampai menerobos masuk kampung sudah kena dibereskan olehnya masakah kita punya bagian lagi?"
Kata Ging-yao pula.
Karena sudah tiga malam berturut-turut berjaga, maka Ging-yao rada letih dan mengantuk.
Sebaliknya Ie Lan-cu tetap mengumpulkan semangat menjaga dengan pedang terhunus.
Selang tak lama ketika Lan-cu merasa mengantuk, tiba-tiba tercium olehnya ada bau wangi yang sayup-sayup tertiup masuk dari luar hingga membikin orang mabuk.
"Celaka!"
Teriak Lan-cu mendadak. Dan saat itulah dari luar lantas melompat masuk dua orang melalui jendela "Hahaha, inilah dia, dua nona cantik berada di sini semua!"
Kata seorang di antaranya dengan suara banci sambil tertawa.
Nyata ialah Hek Hui-hong.
Dalam pada itu cepat sekali pedang Lan-cu sudah menusuk dan ketika Hek Hui-hong menangkis dengan kipasnya mendadak terdengar suara gemerincing, rusuk kipasnya telah terta-bas kutung semua, berbareng beberapa puluh jarum lembut yang tersembunyi di dalam kipas itupun menyambar keluar.
Tapi Lan-cu memutar pedangnya hingga semua jarum itu tergoncang balik.
Sama sekali Hek Hui-hong tak menduga Ie Lan-cu bisa begitu lihai, keruan ia menjadi kelabakan malah melayani jarum sendiri yang hendak makan tuannya itu.
Dari samping lekas Sian Hun-ting mengebas lengan bajunya hingga jarum-jarum itu tersapu jatuh, menyusul tubuhnya mendadak melompat ke atas dengan tipu 'Jong-engbok- tho' atau elang tua menyambar kelinci, lihai sekali Bu Ging-yao hendak dijambretnya.
Sebagai seorang ahli silat yang selamanya waspada, baru saja Ging-yao layap-layap mengantuk tadi, karena keributan itu segera ia pun sadar kembali, cuma pandangannya menjadi rada kabur dan tenaga seakan hilang, ketika jambretan Sian Hun-ting tiba, dalam ancaman bahaya itu tiba-tiba Ging-yao ingat pada tipu lihai yang tunggal ciptaan Pek-hoat Mo-li yang disebut 'Bu-siang-toat-beng' atau setan jahat mencabut nyawa, cepat ia menjatuhkan diri ke lantai, dan kedua kakinya terus menendang 'Pek-ji-hiaf di lutut musuh.
Ketika Sian Hun-ting mengkeretkan tubuh menghindarkan tendangan itu, segera juga Bu Ging-yao menggelinding pergi ke samping.
Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dalam pada itu dari belakang pedang Ie Lan-cu telah menusuk pula Tanpa membalik, Sian Hun-ting meraup ke belakang, kelima jarinya bagai catok hendak menangkap pergelang-an tangan si gadis.
Namun Lan-cu pun tidak kalah cepatnya, sedikit memutar ke samping, kembali ia menusuk lagi.
Tapi Sian Hun-ting juga gesit luar biasa, ketika kipasnya ia gunakan, tahu-tahu iga si gadis hendak ditotoknya pula Sementara itu Lan-cu merasakan kepalanya sakit seakanakan pecah, meski ilmu pedangnya amat bagusnya, tapi untuk melawan Sian Hun-ting sesungguhnya tak sanggup lagi, terpaksa ia harus main berkelit terus.
Melihat gadis itu sudah menghisap asap dupa pemabuk masih begitu hebat ilmu silatnya, mau tak mau Sian Hun-ting terperanjat juga Di lain pihak Hek Hui-hong telah menggunakan kesempatan baik itu hendak menggerayangi Bu Ging-yao.
Tapi belum tangannya menyentuh tubuh si gadis, tiba-tiba terdengar di luar jendela ada suara tertawa dingin orang.
Menyusul mana tahu-tahu Hek Hui-hong sendiri yang terjungkal malah.
Sebagai jagoan, cepat luar biasa Sian Hun-ting mengayun tangannya, satu sinar emas mencelat kembali keluar hingga ia terhindar senasib dengan sang kawan, habis itu segera ia pun membentak.
"Perempuan keparat, berani membokong?"
Saat itu Ciok-toanio yang menyambitkan senjata rahasia anting emas dari luar itu sudah bisa berkelit terhadap anting yang disampuk balik oleh Sian Hun-ting tadi itu.
Dalam pada itu bagai burung Hun-ting sudah melayang keluar jendela juga.
Tentu saja Ciok-toanio tidak membiarkan orang lolos, kontan ia sambut musuh dengan sekali bacokan ke atas kepala dengan Ngo-kim-kiam-hoat yang lihai.
Namun Sian Hun-ting ternyata tidak berkelit, sebaliknya terdengar ia menggertak.
"Kena!"
Berbareng itu kipas bajanya malah digunakan menotok pergelangan tangan Ciok-toanio.
Ciok-toanio bukanlah lawan lemah, ia tertawa dingin sambil menarik kembali pedangnya dan lantas membabat pula dari jurusan lain, dalam sekejap saja beruntun ia sudah memberondong musuh dengan empat kali serangan.
Baru kini Sian Hun-ting kenal lihainya nyonya tua ini, ia terperanjat, dan segera hendak angkat langkah seribu alias kabur.
Namun belum ia melangkah jauh, dari pojokan yang gelap mendadak muncul seorang tua berpakaian rajin bagai kaum cendekiawan yang lemah gemulai, dan berjenggot panjang melambai.
Tanpa bicara Sian Hun-ting mengangkat kipas bajanya lantas menotok, orang tua itu menggeraki pedangnya pelahan, tetapi membawa tenaga tersembunyi yang luar biasa besarnya.
Begitu kipas Sian Hun-ting menempel pedang, segera ia berpikir hendak membarengi dengan tipu 'Sun-cuitui- ciu' atau mendorong perahu menurut arus air, yakni mendorong kipas ke atas untuk memotong jari tangan lawan.
Tak ia duga, kipasnya ternyata seperti melekat pada pedang lawan, jangan kata disurung memotong ke atas, sedang untuk menggeser saja susah.
Lekas Sian Hun-ting mengumpulkan seluruh tenaganya, kipasnya ia coba tarik, berbareng mana ia menyerang pula dengan satu tipu 'Kim-najiu' atau gerakan mencekal dan menangkap, dengan begitu ia dapat melepaskan diri, lalu tubuhnya melesat, segera ia pun melompat turun.
Si orang tua itu adalah Pho Jing-cu.
Dengan senyum simpul tersungging di bibirnya, bersama Ciok-toanio segera mereka mengejar musuh.
Dan ketika Sian Hun-ting melompat ke bawah, baru saja menancapkan kakinya di bawah loteng, tahu-tahu ia sudah dinantikan oleh Hui-ang-kin.
Dengan pecut panjang yang diayunkan hingga menerbitkan suara keras, segera Hui-angkin hendak melilit kipas baja Sian Hun-ting.
Dengan ilmu silatnya yang memang cukup sempurna, Sian Hun-ting menangkis beberapa kali serangan, akan tetapi lebih dari itu, ia sudah merasa payah sekali, ia mengerti tak akan ung-gulan buat melawan terus, maka tiba-tiba jarinya menekan kipasnya yang mempunyai alat rahasia beberapa anak panah beracun secepat kilat lantas menyambar.
Waktu Hui-ang-kin menyabet dan menyapu dengan pecutnya untuk membersihkan serangan panah itu, dengan cepat Sian Hun-ting telah melompat pergi pula, dan selagi ia hendak menerobos keluar pintu, tiba-tiba terdengar suara gertakan, berbareng mana muncul seorang tua beroman merah, orangnya belum sampai, tapi kakinya telah melayang lebih dahulu, kedua kalanya beterbangan menendang dengan 'Lian-goan-wan-yang-tui', hingga Sian Hun-ting dipaksa mundur ke dalam lagi.
Orang yang muncul mendadak ini bukan lain daripada Ciok Thian-sing.
Melihat sekelilingnya penuh dengan jago-jago yang jarang ditemui selama hidupnya, Sian Hun-ting mengerti bahaya apa yang bakal menimpa dirinya, namun sebaliknya ia lantas tinggal diam berdiri saja dengan kipasnya melintang di dada, kemudian dengan bergelak tertawa ia berkata.
"Haha, menang dengan mengandalkan orang banyak, aku Sian Hun-ting hanya punya satu kepala, jika kalian menginginkan, sekali-kali aku takkan berkerut kening."
Akan tetapi Pho Jing-cu, Ciok-toanio, Hui-ang-kin dan Ciok Thian-sing bungkam, mereka tidak menggubris ocehan orang, melainkan terus berdiri di empat penjuru.
"Hm, jangan kau jual lagak,"
Mendadak terdengar suatu suara seram menggema di pinggir telinga memecah kesunyian.
"Cukup bila kau mampu menerima tiga kali seranganku, segera aku akan melepaskanmu, pasti tidak mempersulit"
Suara itu kecil, tetapi menusuk telinga, tiap perkataannya sangat jelas.
Sian Hun-ting memandang dengan mata membelalak, tapi ia hanya mendengar suaranya dan tak nampak orangnya.
Dan ketika ia sedang heran dan terkejut, mendadak suara aneh itu menggema pula di pinggir telinganya.
"Sepasang mata anjingmu yang lamur ini, mana bisa kau melihatku."
Dan baru suara itu lenyap, tiba-tiba di tengah-tengah kalangan telah bertambah seorang tua kurus kecil.
Orang ini ialah Sin Liong-cu, ia berperawakan pendek kecil, gerak tubuhnya aneh dan cepat, secara mendadak ia telah menongol di tengah kalangan, keruan saja membikin Sian Hun-ting sangat terperanjat.
Sian Hun-ting sudah biasa malang melintang selama beberapa puluh tahun di Kanglam, dengan sendirinya adalah ahli dalam membedakan 'kwalitet' orang, maka ia pun tahu Sin Liong-cu mempunyai latihan Lwekang yang mendalam sekali, cukup tentang kemahiran cara mengumandangkan suara tadi, belum tampak orangnya, suaranya telah menggema di pinggir telinga erang, kekuatan dalam ini saja sudah sampai di puncaknya yang belum pernah ia jumpai.
Tetapi Sian Hun-ting sendiri juga mempunyai keuletan latihan selama beberapa puluh tahun, walaupun ia tahu dirinya bukan tandingan Sin Liong-cu, tetapi kalau untuk tiga gebrakan atau serangan saja betapapun kau tak nanti bisa merobohkan aku, demikian pikirnya.
Setelah mengambil keputusan itu, maka dengan suara lantang segera ia membentak.
"Betulkah katamu tadi?"
"Siapa yang berguyon denganmu,"
Sahut Sin Liong-cu.
"Nah, hitunglah yang betul, serangan pertama segera aku akan membuatmu menubruk tanah."
Menyusul itu, tiba-tiba Sian Hun-ting merasa bayangan orang berkelebat di depannya, lengan baju Sin Liong-cu yang panjang lebar beterbangan mirip tangan raksasa dari atas lantas menyambar ke mukanya berbareng mana sikut kirinya pun menyodok ke dada dan kakinya menendang ke lututnya Serangan aneh dari Sin Liong-cu ini, sekaligus telah menyerang tiga tempat lawan, bagian atas, tengah dan bawah, untuk bisa menghindarinya tiada jalan lain terkecuali harus menggunakan gerakan 'Gun-te-tong' atau bergulung di tanah, salah satu dari gerakan 'Yam-Jing Capwe-hoan' atau delapan belas jumpalitan dari Yan Jing, lebih dari itu tiada jalan lain lagi buat menghindarkan serangan tadi.
Oleh karena itu, Sian Hun-ting tak sempat berpikir panjang lagi lantas merobohkan diri menggelundung ke bawah untuk kemudian disusul dengan satu gerakan 'Le-hi-pak-ting' atau ikan lele meletik, lalu ia pun bangkit kembali.
Dengan begitu ia betul-betul telah dibikin menubruk tanah seperti dikatakan Sin Liong-cu tadi.
Dalam pada itu suara aneh tadi kembali menggema pula "Dan kini serangan kedua akan membikin kau bolak-balik berputar!"
Belum Sian Hun-ting tenang oleh serangan tadi, tiba-tiba tertampak Sin Liong-cu dengan tangan kiri mengepal dan tangan kanan mengulur jari sedang kaki kiri agak berjinjit, dengan gerakan 'Kim-keh-tok-lip' atau ayam emas berdiri satu kaki, telah berdiri di sampingnya dengan kepalan siap untuk memukul ke dada dan jarinya mengarah ke bawah iga, kakinya yang berjinjit berubah dengan gerakan Sip-ji-pai-iian' atau menyebar teratai ke empat penjuru, dengan kuda-kuda yang siap sedia ini dapat segera dibuat menendang selangkangan atau mendupak perut, asal sekali bergerak saja segera bisa membuat musuh roboh tak berkutik.
Sian Hun-ting mengerti bahaya yang mengancam jiwanya, terpaksa berdiri tak bergerak, seperti tidak bersiap-siap, tetapi sebenarnya berjaga-jaga dengan ilmu silat yang tinggi untuk melindungi seluruh tubuhnya Tetapi Sin Liong-cu tertawa dingin, ia melembungkan dada dengan lagak seperti hendak menubruk maju.
Karena itu Sian Hun-ting mengira dirinya akan diserang, secepat kilat ia memutar kakinya, dan betul saja ia telah berputar bolak-balik yang sebenarnya adalah gerakan ' Pat-kwa-yu-bin-hoat' atau berputar tubuh menurut pat-kwa, untuk melayani serangan musuh yang serentak.
Dan kecuali gerakan ini, memang tiada jalan lain lagi untuk mengelakkan serangan.
Tak tahunya Sin Liong-cu tadi hanya bergerak pura-pura saja, ia tidak menubruk sungguhan, tapi ia menunggu setelah Sian Hun-ting sudah agak lambat memutar tubuhnya barulah mendadak ia menggertak pula.
"Sekarang serangan ketiga segera akan kulemparkan kau keluar pintu!"
Setelah itu kedua tangannya bergerak, secepat kilat di antara angin pukulan dan bayangan tubuhnya, sekonyongkonyong terdengar Sian Hun-ting menjerit terus mencelat pergi beberapa tombak jauhnya Sungguhpun begitu, dalam keadaan bahaya itu, masih sempat juga Sian Hun-ting melontarkan satu serangan balasan yang lihai, diam-diam ia mengumpulkan tenaganya untuk menghancurkan kipasnya sendiri, dalam mana belasan panah beracun segera menyambar ke arah Sin Liong-cu semua.
Sin Liong-cu tidak menduga bahwa musuh masih bisa balas menyerang, maka ia pun terkejut, lekas dengan tipu 'It-hochiong- thian* atau burung bangau menjulang ke langit, ia meloncat tinggi ke atas.
Pada kesempatan itulah Sian Hun-ting kabur keluar yang segera dikejar oleh Pho Jing-cu dan Hui-ang-kin dengan kencang.
Kembali mengenai Leng Bwe-hong yang sedang menempur Thing-bong Siansu dengan sengit itu, karena se tanding dan sembabat, maka sudah lama masih belum tampak siapa unggul atau asor.
Lama-lama Leng Bwe-hong menjadi tak sabar, ia mengubah gerak tubuhnya, sepotong robekan jubah orang yang diso-beknya tadi ia puntir kencang hingga mirip sepotong toya pendek, ia memainkan kiam-hoat yang baru saja dapat dipelajarinya dari sang guru di waktu akan wafat itu.
Kiam-hoatnya yang baru ini ternyata sangat hebat, ia memainkan menurut gerakan senjata tajam, potongan toya dan kasa atau jubah padri itu di tangannya lantas mirip seperti sebatang pedang yang bisa menusuk, membabat dan membacok.
Sampai suatu saat yang menentukan, tiba-tiba terdengar suara robekan yang keras, sepotong jubah di tangan Leng Bwe-hong itu telah dapat melilit bagian lain yang ada pada Thian-bong Siansu.
Ketika Bwe-hong memuntir dengan kuat, tahu-tahu potongan jubah di tangan Thian-bong hancur menjadi robekan kain yang kecil.
Bwe-hong masih tidak berhenti, mendadak ia menghantam pala dengan sebelah tangannya, menyusul itu terdengarlah jeritan ngeri Thian-bong Siansu, ia terus membalik tubuh dan segera hendak kabur.
Dan selagi Bwe-hong bermaksud mengejar, pada saat itulah ia merasa dari belakang ada angin berkesiur, maka ia urung mengejar, sebaliknya ia membalikkan tangannya lantas menghantam ke belakang.
"Aduh!"
Terdengar jeritan orang di belakangnya Sebaliknya Leng Bwe-hong pun merasa tenaga orang ini sangat besar.
Kiranya orang ini bukan lain ialah Sian Hun-ting yang hendak buron dengan dikejar Pho Jing-cu dan Hui-ang-kin.
Karena pukulan Leng Bwe-hong tadi, seluruh tubuhnya menjadi lemas sakit, belum beberapa langkah ia berlari, Pho Jing-cu sudah keburu menyandaknya, jarinya menotok dan segera Sian Hun-ting dibikin tak berdaya dan terguling.
Dalam pada itu, dengan membawa kedua muridnya, Thianbong Siansu berhasil kabur.
Karena harus menempur Thian-bong dengan sengit, Bwehong menjadi lengah sehingga Sian Hun-ting dapat menerobos masuk ke kampung, ia lalu minta maaf pada Pho Jing-cu.
"Dua penjahat sudah dapat ditangkap, buat apa Leng-tayhiap memikirkan lagi,"
Kata Jing-cu.
Habis itu mereka beramairamai lalu menggiring Sian Hun-ting kembali ke dalam kampung.
Sementara itu Ciok-.toanio sedang duduk di ruangan tengah dan memeriksa Hek Hui-hong.
Setelah berada di dalam, Pho Jing-cu menekan pundak Sian Hun-ting dengan kedua tangannya sambil menggertak.
"Untuk tujuan apakah kalian datang ke barat-laut sini?"
Tanyanya "Dan mengapa berani menerobos ke Bu-keh-ceng sini? Lekas kau mengaku, kalau tidak, kedua tanganku sedikit bertenaga saja aku akan meremukkan tulang pundakmu dan memusnahkan ilmu silatmu dahulu!"
Sian Hun-ting mengenal Pho Jing-cu sebagai tokoh ternama dari Bu-kek-pay, karena itu ia lantas berteriak.
"Pho Jing-cu, tak perlu kau mendesakku!"
Setelah itu ia memandang sekejap pada Hek Hui-hong yang diringkus itu, kemudian ia berkata pula dengan menghela napas panjang.
"Pendeknya, binatang inilah yang membikin celaka aku!"
Habis mana, sekuatnya ia mengunyah lidahnya sendiri, dan setelah menjerit beberapa kali, ia menyemburkan darah dan roboh terguling, nyata ia telah membunuh diri.
Pelahan Pho Jing-cu menghela napas, mendadak ia teringat sesuatu, ia mengulur tangan dan meremas ke bawah rahangnya Hek Hui-hong.
Keruan saja yang disebut belakangan ini menjerit kesakitan karena giginya telah rompal semua oleh remasan keras Pho Jing-cu, dan darah bercampur gigi yang rontok itu ia muntahkan ke tanah.
Kiranya Pho Jing-cu kuatir kalau Hek Hui-hong meniru cara Sian Hun-ting menggigit lidah sendiri untuk membunuh diri, maka ia telah mendahului meremas rahangnya "Lebih baik kau bunuhlah aku!"
Jerit Hek Hui-hong saking sakitnya. Akan tetapi Pho Jing-cu malah menepuk tengkuknya sambil menggertak pula "Kau mau mengaku atau tidak?"
Karena tepukan itu, Hek Hui-bong menjerit ngeri, suara perkataannya menjadi samar-samar tapi masih bisa ditangkap apa yang dikatakannya.
Katanya "Aku datang ke daerah perbatasan ini terpaksa oleh karena diuber-uber Ciok Cin-hui dan Beng Bu-wi.
Dan Thian-bong Siansu yang menyuruh kami ke sini!"
"Thian-bong yang menyuruhmu ke sini?"
Tanya Bwe-hong.
"Ke sini untuk keperluan apa?"
Hek Hui-hong bungkam, ia tidak menjawab pertanyaan orang, ia hanya memandang sekejap ke arah Bu Ging-yao untuk kemudian menundukkan kepalanya.
Karena itu, Bu Ging-yao menjadi merah mukanya ia menjadi gusar juga, dengan sekali gablok ia memukul remuk batok kepala Hek Hui-hong.
"Ya, nona Bu, memang tak bisa menyalahkanmu yang menjadi gusar, tapi masih terlalu murah bagi jahanam ini,"
Kata Bwe-hong tertawa Ketika mayat Hek Hui-hong digeledah, dapat diketemukan sepucuk surat yang Thian-bong kirim padanya isinya menyuruh dia mengacau ke Bu-keh-ceng, kemudian membawa surat itu pergi menemui Coh Ciau-lam.
$ Kiranya Coh Ciau-lam juga tahu bahwa Bu Goan-ing telah mendirikan perkampungan pula di padang rumput, tetapi ia pandang arang sebagai 'penyakit kulit' yang tak berarti, maka ia tidak ingin membereskannya sendiri, ia minta Thian-bong dan kawan-kawannya yang membereskan Bu-keh-ceng.
Sebaliknya Thian-bong Siansu telah berkomplot pula dengan Sian Hun-ting yang sementara itu juga telah buron sampai di daerah perbatasan ini, ia minta Sian Hun-ting dan kawankawan pergi menyelidiki dahulu.
Tak tahunya Hek Hui-hong menjadi nekat karena tabiatnya yang memang suka akan paras elok, pada hari pertama ia masuk perkampungan itu, ia telah melihat Bu Ging-yao.
Karena itu tidak sempat menunggu kedatangan Thian-bong Siansu, ia lantas mendatangi kampung itu malam-malam bersama Sian Hun-ting dengan maksud akan 'petik bunga'.
Tetapi ia hampir dibacok mampus oleh Bu Goan-ing, beruntung ada panah beracun Sian Hunting, sehingga bisa menyelamatkan diri.
Waktu untuk kedua kalinya mereka kembali lagi hendak main gila sesudah bergabung dengan Thian-bong, mereka telah membagi dalam dua kelompok.
Tak terduga lagi terbentur pula dengan banyak ahli silat dan akhirnya tamatlah riwayatnya.
"Melihat cara Coh Ciau-lam mengumpulkan orang pandai dari berbagai penjuru, agaknya tidak terlalu lama lagi pasukan Boan tentu akan menjajah kemari secara besar-besaran, kita harus berjaga-jaga dengan baik,"
Ujar Bwe-hong akhirnya sesudah berpikir sejenak.
"Besok aku segera akan memerintahkan orang pergi mengundang semua kepala suku bangsa di Sinkiang selatan dan tunduk pada perintah Li-kongcu,"
Segera Hui-ang-kin berkata dengan bersemangat.
"Pahlawan wanita kita telah bersedia mencurahkan tenaganya kembali, itulah bagus sekali, aku bersedia menyumbangkan seluruh tenagaku yang tak berarti sebagai perintis,"
Kata Li Jiak-sim merendah sambil menghormat.
"Kalian tak usah saling sungkan pula,"
Kata Bwe-hong tertawa.
"Semua orang telah letih dalam beberapa hari ini, baiknya besok saja dirundingkan lagi."
"Kalian semua adalah orang-orang yang selalu sibuk dengan apa yang disebut urusan negara, sebaliknya aku adalah orang yang sudah biasa hidup sepi dan menganggur, mengenai urusan kalian itu sedMtpun aku tidak tertarik,"
Tibatiba terdengar Sin Liong-cu berkata dengan kerlingan matanya yang aneh.
"Maka aku akan kembali ke Thian-san saja untuk meyakinkan ilmu pedang. Nah, maafkan aku tidak tinggal lebih lama lagi."
Akan tetapi segera ia ditahan Leng Bwe-hong.
"Sin-toako, jika kau akan pulang juga tak perlu harus buru-buru,"
Katanya.
"Tunggulah sampai besok, aku masih ada sesuatu yang akan kuberitahukan padamu."
"Ya, sudah, mengingat kau pernah menolong jiwaku, aku menurut kau,"
Ujar Sin Liong-cu.
"Tetapi kalau kau ingin aku ikut campur urusan tetek-bengek, itulah aku tidak sudi."
Dan semalam telah lewat pula, besok paginya, baru saja fajar menyingsing, Ie Lan-cu sudah berjalan-jalan di lapangan rumput di luar kampung.
Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sesudah turun gunung, perasaan si gadis menjadi bergolak, padang rumput luas di Sinkiang ini adalah tempat perjuangan mendiang ayahnya dahulu, boleh dikata selama hidupnya ayahnya melewatkan di padang rumput Oleh karena itu, terhadap padang rumput luas di Sinkiang, ia pun merasa ada semacam kesan yang mendalam sekali yang susah diutarakan, mirip seperti perasaan terhadap ayahnya.
Pagi sekali ia sudah bangun, perlunya ialah untuk menanti Leng Bwe-hong buat mengutarakan rasa rindunya kepada ayahnya almarhum dan perasaan sayangnya terhadap padang rumput Selagi Ie Lan-cu termenung melamun sendirian, tibatiba dilihatnya di padang rumput itu ada seorang lain lagi yang juga sedang berjalan-jalan sendirian, waktu ia mendekatinya, orang itu telah memanggilnya.
"Lan-cu, demikian pagi kau sudah bangun!"
Orang ini ternyata Thio Hua-ciau adanya. Maka pemuda itupun berlari-lari memapak si gadis. Sesampai di depan Lan-cu, mendadak ia berdiri tegak dan memandang terkesima.
"Eh, apakah kau menjadi gendeng, apa yang kau lihat?"
Tanya Lan-cu heran.
"Rambutmu, Lan-cu, rambutmu ini"
Seru Hua-ciau tiba-tiba. Lan-cu menjadi bingung, ia membelai rambutnya sendiri dengan tak mengerti.
"Rambutku? Rambutku kenapa?"
Tanyanya.
"Rambutmu sudah hitam semua, seujung rambut putih jua. tiada lagi!"
Teriak Hua-ciau pula kegirangan. Setelah itu, ia menarik gadis itu bercermin ke tepi sebuah kolam, maka jelas terlihat rambut yang hitam gombyok mengkilap. Karena itu, Lan-cu sendiri terkesima hingga tak sanggup berkata-kata.
"Adik Lan, sungguh kau manis sekali!"
Kata Hua-ciau memuji sambil memegang tangan si gadis dengan mesra. Tak terduga tiba-tiba terdengar Lan-cu menghela napas.
"Peduli apa rambut putih atau rambut hitam, semua itu tiada pengaruhnya atas diriku,"
Demikian katanya "Rambut putih tak usah sedih dan rambut hitam pun tak perlu dibuat-girang, yang pasti ialah aku harus mengikuti jejak Hui-ang-kin."
Thio Hua-ciau menjadi heran mendengar kata-kata orang.
"He, bukankah kau telah lari keluar dari pegunungan sunyi itu karena kau tidak ingin dikurung olehnya?"
Tanyanya cepat.
"Nyata sedikitpun kau tak memahami aku, juga tidak memahami Hui-ang-kin,"
Kata Lan-cu.
"Kini Hui-ang-kin sudah bukan Hui-ang-kin yang dulu lagi, aku dan dia kini sudah tidak berada di pegunungan sunyi lagi, tetapi berada di padang rumput. Kini aku sangat menjunjung dan menghormati dia, sama seperti aku menghormati Leng-sioksiok."
Kiranya sesudah mengalami pukulan hebat oleh peristiwa dulu itu, Lan-cu telah terpengaruh oleh perkataan Leng Bwehong hingga diam-diam telah lari dari Thian-san.
Cinta kasihnya terhadap Thio Hua-ciau walaupun belum lenyap, tetapi rasa cintanya sudah diselimuti oleh suatu perasaan lain yang luar biasa perasaan itu ialah perasaan cinta terhadap padang rumput, ia akan mewarisi cita-cita ayahnya untuk menolong dan menghindarkan rakyat penggembala di padang rumput dari penderitaan.
Begitulah cita-cita itu telah membakar jiwanya rindu kasih terhadap mendiang ayahnya yang mendalam itu telah merebut hatinya, rasa cinta asmaranya sebaliknya telah terdesak ke sudut lain.
Maka kini ia belum sempat mempersoalkan cinta asmara, tentang rambutnya yang putih telah kembali menjadi hitam, lebih-lebih tidak mendapat tempat di hatinya.
Maka Hua-ciau terdiam dengan paras muram, tetapi pelahan ia pun dapat memahami perasaan kekasihnya itu.
"Adik Lan, mengertilah aku sekarang!"
Katanya kemudian sambil menarik tangan si gadis.
"Waktu ayahku tewas di tangan musuh, hatiku tatkala itu juga penuh api yang berkobar-kobar ingin membalas dendam tanpa memikirkan hal-hal lain. Tetapi, bila kita selalu berada bersama toh itu juga tidak merintangi perjuangan kita."
Karena kata-kata terakhir ini paras Lan-cu agak kemerahan.
"Sudahlah! Lihat itu, Leng-sioksiok telah datang!"
Katanya sembari melepaskan tangan orang. Ketika itu terlihat Leng Bwe-hong berjalan berendeng bersama Sin Liong-cu sedang menuju lapangan rumput, tak lama kemudian tertampak Pho Jing-cu dan yang lainpun menyusul datang.
"Pagi sekali, Lan-cu,"
Sapa Bwe-hong waktu nampak si gadis.
Dan ia pun tersenyum melihat juga Hua-ciau berada di situ.
Tetapi bila melihat Hua-ciau bermuka muram tak berkatakata, Bwe-hong merasa heran juga "Leng Bwe-hong, kau mengajakku ke sini ada urusan apa, lekas katakan!"
Sementara terdengar Sin Liong-cu bertanya Tapi Bwe-hong tak menjawab, hanya diambilnya pedang yang menyelip di pinggangnya dan diangsurkan pada Sin Liong-cu.
"Coba lihatlah, bagaimana pendapatmu tentang pedang ini?"
Katanya kemudian. Sin Liong-cu mengamati pedang itu dengan teliti, habis itu ia menyentilnya beberapa kali sambil bersiul panjang.
"Ini adalah pedang pusaka golongan Thian-liong-pay di Tibet, darimana kau bisa memperolehnya?"
Tanyanya kemudian.
"Kiranya kau juga kenal asal-usul pedang ini,"
Kata Bwehong tertawa.
"Apakah kau suka akan pedang ini?"
"Jika pedang ini berada di tangan si kepala gundul Thianbong itu, mungkin aku akan merebutnya,"
Ujar Sin Liong-cu.
"Tetapi kini berada di tanganmu, tak nanti aku merebutnya"
"Kalau memang kau suka, boleh lantas kuberikan nadamu!"
Ujar Bwe-hong tertawa terbahak-bahak.
"Sungguh?"
Sin Liong-cu menegas dengan ragu.
"Tentu saja Hanya sebatang pedang, apa yang perlu disayangkan? Aku selamanya tak pernah menggunakan pokiam, juga tak pernah dikalahkan orang!"
Kata Bwe-hong pula Tiba-tiba Sin Liong-cu mengayunkan pedang di tangannya itu sambil biji matanya yang aneh itu berputar.
"Ha, Leng Bwe-hong, agaknya kau kuatir aku tidak mau menerima pedang ini, lantas kau sengaja memancing aku,"
Serunya kemudian.
"Baik, aku terima kebaikanmu ini, tapi tetap aku masih akan bertanding pedang denganmu!"
"Bagus! Kita boleh bertanding sekarang juga,"
Bwe-hong menerima tantangan itu.
"Kita berhenti asal salah satu bisa me-nutul dan tak usah memikirkan tentang kalah atau menang."
Sementara itu Kui Tiong-bing telah membawakan satu ember kapur. Leng Bwe-hong mengeluarkan 'Jing-kong-kiam' yang biasa ia pakai, lantas ia mencobloskan ke dalam kapur, kemudian melompat pergi sambil berseru.
"Nah, marilah sini!"
Nampak mereka akan bertanding, le Lan-cu dan Bu Gingyao terheran-heran, hanya Pho Jing-cu yang tersenyum saja sambil mengelus jenggotnya Leng Bwe-hong tahu ilmu silat Sin Liong-cu sangat tinggi, lebih-lebih paling belakang ini ia telah memperoleh pelajaran Tat-mo-kiam-hoat pula, kalau tidak diuruk dengan budi dan diatasi dengan kewibawaan, tak mungkin bisa menaklukkannya Oleh karena itu, sesudah diberi pedang, ia tepat pula dengan janji yang dulu untuk bertanding pedang dengan orang.
Pho Jing-cu sudah berpengalaman, sudah tentu ia dapat menangkap maksud Leng Bwe-hong.
Adalah sebaliknya Ie Lan-cu dan Bu Ging-yao diam-diam kuatir, mereka pernah menyaksikan ilmu silat Sin Liong-cu yang lihai, dengan berdua mereka mengeroyok saja masih tak bisa mengalahkan Sin Liong-cu yang bertangan kosong.
Kini Sin Liong-cu bertambah memakai pedang, tentu saja seperti harimau tumbuh sayap, mereka kuatir Leng Bwe-hong tak sanggup melawannya Oleh karena kekuatiran mereka, maka mereka bersiap berdiri di luar kalangan agar bila perlu segera memberi pertolongan.
Begitulah dengan pedang melintang di dada Sin Liong-cu berdiri berhadapan dengan Leng Bwe-hong, kedua matanya memandang tak berkedip, tetapi lama sekali masih belum tampak mereka bergebrak.
Selagi semua merasa heran oleh sikap mereka itu, sekonyong-konyong Sin Liong-cu duduk ke bawah malah, dengan cepat ujung pedangnya mencukil ke atas, segera Leng Bwe-hong tekan pedangnya menahan serangan lawan, tetapi secepat kilat Sin Liong-cu lantas berputar beberapa kali di bawah.
Gerak serangan kilat ini, kecuali beberapa orang tertentu, yang lain pada hakikatnya tidak mengetahui bilakah ia telah bangkit berdiri kembali.
"Tat-mo-kiam-hoat memang ajaib sekali,"
Kata Pho Jing-cu melelet lidah pada Ciok-toanio.
"Dalam gerakan naik-turun tadi, sekejap saja ia sudah melontarkan belasan serangan aneh, kalau bukan Leng .Bwe-hong, memang sungguh sukar untuk menahannya"
Waktu mereka memandang kalangan pertempuran, keadaan kembali telah berubah, Sin Liong-cu kini mirip seperti seorang mabuk keras, langkahnya sempoyongan, kadang melompat ke atas bagai garuda yang hendak menerkam dari atas, tempo-tempo ia menubruk ke bawah seperti kupu-kupu menari di antara tangkai bunga, pedangnya menusuk ke kiri dan menggores ke kanan, kelihatannya bukan cara orang bersilat, tetapi sebenarnya tiap gerakannya membawa banyak perubahan.
Di pihak lain Leng Bwe-hong melayani lawannya dengan tenang, ia memainkan 'Si-mi-kiam-hoat' dari Thian-san yang hebat, menyerang sambil berjaga.
Kalau menyerang ia memutar pedangnya demikian kencang, dan kalau berjaga ia membikin lawannya tak berdaya.
Karena itu, Tat-mo-kiamhoat yang begitu aneh dan hebat tetap tak bisa melukai Leng Bwe-hong se-dikitpun.
Sampai pada saat Sin Liong-cu sudah tak sabar lagi, mendadak ia berseru aneh, gerak kiam-hoatnya berubah lagi, di seluruh penjuru kalangan pertempuran kini hanya tampak bayangan Sin Liong-cu saja pedangnya bersinar berkilauan bagai bintang berkelip-kelip di langit dan seperti salju yang menghambur turun.
Dalam keadaan demikian ini, bayangan tubuh Leng Bwe-bong terkurung rapat oleh sinar pedangnya bahkan Pk"
Jing-cu sekalipun tak bisa lagi melihat jelas entah dengan cara bagaimana kini Leng Bwe-hong harus menjaga diri.
Jika orang lain menguatirkan Leng Bwe-hong, adalah Sin Liong-cu sendiri sebaliknya menarik napas dingin.
Kelihatannya Leng Bwe-hong terkurung oleh sinar pedangnya tetapi sebenarnya dengan kiam-hoat yang tiada taranya Leng Bwe-hong membalas tiap serangan lawan.
Sin Liong-cu merasa di depannya seperti terbentang tembok baja dan pagar tembaga yang tak mempan oleh serangannya, dimana pedangnya sampai, di situ lantas terbentur kembali oleh suatu kekuatan yang luar biasa besarnya malahan sebaliknya kadang ia harus menghindarkan daya melekat dari kiam-hoat Leng Bwe-hong yang hebat Dengan begitu, pertempuran itu telah berjalan ratusan jurus.
Pandangan orang yang menonton telah menjadi kabur dan mata berkunang-kunang.
Pada saat itu juga, mendadak Leng Bwe-hong melompat keluar, sedang Sin Liong-cu meloncat tinggi disusul dengan segalung sinar perak telah menyapu ke pinggang Leng Bwe-hong.
Ie Lan-cu dan Bu Ging-yao sama menjerit terkejut keduanya sama-sama memburu maju, tetapi Ciok Thian-sing lebih cepat dari mereka, ia mengangkat kedua tangannya dan mendahului di depan sambil membentak.
"Sin Liong-cu, binatang kau, berani kau mencelakai Leng-tayhiap?"
Tak tahunya belum berhenti suaranya tiba-tiba dilihatnya Leng Bwe-hong sudah berdiri di tempatnya sambil tersenyum simpul tenang, sebaliknya Sin Liong-cu bagai ayam jago yang telah keok, dengan lesu berdiri di tempat sejauh tiga tombak dari Leng Bwe-bong.
"Kiam-hoat Leng-tayhiap betul-betul hebat aku mengaku kalah,"
Demikian Sin Liong-cu berkata sambil memberi hormat.
Sungguh tidak kepalang tercengangnya Ciok Thian-sing hingga mulutnya ternganga tak sanggup bersuara.
Waktu ia menegasi, ternyata di baju Sin Liong-cu terdapat banyak bintik-bintik putih.
Karena inilah baru ia mengerti duduknya perkara, kiranya bintik-bintik putih itu adalah kapur yang ditinggalkan oleh ujung pedang Leng Bwe-hong yang telah kena menotal badannya.
Apabila dalam pertandingan tadi benar-benar Leng Bwe-hong memandang Sin Lioag-cu sebagai musuh, mungkin jiwa Sin Liong-cu sejak tadi sudah melayang di bawah pedangnya.
Di lain pihak sambil mengangkat pedangnya melintang di dada, dengan tersenyum Leng Bwe-hong membalas hormat orang dan menjawab.
"Ah, kiam-hoat Sin-toako juga hebat luar biasa setelah lebih 300 jurus, barulah kebetulan meleng sekali, sungguh aku luar biasa kagumnya."
Di antara para penonton itu, ilmu pedang dari Thian-san yang dipelajari Ie Lan-cu sudah ada delapan bagian masak, tapi dilihatnya hanya memenangkan sejurus saja Leng Bwehong telah sanggup meninggalkan belasan tanda di tubuh Sin Liong-cu dalam waktu sesingkat itu, sungguh ia menjadi terkejut sampai ternganga sama sekali tak dikiranya ilmu pedang perguruan sendiri sebenarnya ada begitu hebat Sesaat itu Sin Liong-cu merasa kagum tak terhingga dan merasa kikuk juga Ia tak mengerti cara bagaimana harus bicara pula sekonyong-konyong Ciok Thian-sing membentak lagi padanya "Sin Liong-cu, laki-laki sejati harus bisa membedakan budi dan benci, ada budi tak kaubalas, ada benci tak kautuntut, lalu kau anggap ksatria macam apa dirimu?"
Mendadak Sin Liong-cu berpaling sambil mengangkat pedangnya membungkuk.
"Aku terima petuahmu, Suheng,"
Demikian katanya.
"Ilmu silat Leng-tayhiap tiada bandingannya, aku hendak membalas budi susah juga hendak melakukannya tiada jalan lain aku harus ikut padanya dan bersedia menerima bantuannya untuk menuntut balas pembokongan Coh Ciau-lam atas diriku, habis itu segera aku akan pulang gunung tak kembali lagi"
Thian-sing menjadi kurang senang, ia sangat mendongkol oleh kebebalan Sin Liong-cu yang tak kenal adat itu.
Dan selagi ia hendak berkata pula, tiba-tiba dari jurusan lain di padang rumput itu beberapa penunggang kuda sedang mendatangi secepat terbang, setelah dekat orang itu segera melompat turun dan memberi hormat ke hadapan Bu Goan ing sambil melapor.
"Pasukan Boan telah masuk daerah Sinkiang secara besar-besaran!"
Kiranya beberapa orang ini adalah mata-mata yang dikirim Bu Goan-ing untuk menyelidiki perbatasan, di sana dari atas Hong-hwe-tay yang tinggi, dari jauh mereka sudah melihat pasukan besar musuh sedang bergerak masuk Sinkiang, maka cepat mereka melaporkan.
"Perjalanan pasukan besar sangat lambat, sepanjang jalan tentu ada partisan penggembala.yang menyergap mereka juga, maka sedikitnya harus belasan hari barulah mereka bisa menyerang sampai di sini,"
Kata Pho Jing-cu sesudah berpikir.
"Dan dalam sepuluh hari ini, aku tanggung bisa menghimpun semua suku-suku bangsa di seluruh Sinkiang selatan ini,"
Kata Hui-ang-kin.
"Tetapi pihak Bing Lok itulah yang merupakan cacing dalam perut,"
Kata Bu Goan-ing.
"Bing Lok adalah kepala suku Tagar, dan bersama suku Kazak semuanya menetap di padang rumput Garsin, di padang rumput ini ada lagi belasan kelompok suku lain, tapi suku Kazak dan Tagar yang paling banyak. Meski Bing Lok hanya mendapat dukungan 3-4 kelompok suku saja tapi pengaruhnya cukup besar, bila pasukan Boan datang, mungkin ia akan mengancam sukusuku bangsa lain agar tunduk pada perintahnya."
"Aku paling kenal orang Kazak, kami berdua saudara seperguruan selalu membantu bangsa Kazak bertempur, maka aku bersedia pergi ke padang rumput Garsin sana,"
Ujar Bwehong ikhlas.
"Biarlah aku menghubungi orang Kazak dulu, kemudian barulah Bing Lok ditaklukkan ke pihak kita."
Mendengar itu, semua orang menganggap usul Leng Bwehong itu terlalu berbahaya.
"Pengaruh Bing Lok di sana terlalu besar, kau seorang diri saja, mungkin akan kena tipu muslihatnya."
Kata Goan-ing.
"Ha selama hidupku entah sudah berapa banyak bahaya yang pernah kualami, kenapa harus takut pada seorang Bing Lok?"
Sahut Bwe-hong tertawa "Apalagi aku masih mempunyai banyak kawan orang Kazak."
"Aku sendiri adalah suku Kazak,"
Timbrung Sin Liong-cu tiba-tiba.
"20 tahun lalu pernah aku berbuat sesuatu yang tak enak terhadap suku bangsaku, tatkala itu aku tak tahu salah, tapi kini sudah insyaf. Biarlah aku bersedia ikut Leng-tayhiap ke sana, pertama untuk membalas budi Leng-tayhiap, kedua boleh juga buat menebus dosaku dulu itu."
Melihat Sin Liong-cu bersedia ikut pergi, semua orang menjadi girang.
Mereka pikir kedua tokoh ini memiliki ilmu silat yang tiada bandingannya tentunya tidak sampai terjadi hal-hal yang tak terduga Karena itu, keputusan itulah yang dijalankan.
Malamnya, Leng Bwe-hong berjalan-jalan bersama Lauw Yu-hong di padang rumput sunyi itu.
Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Baru berkumpul, besok segera kau akan pergi lagi,"
Demikian kata Yu-hong pelahan.
"Ya tapi pasti aku akan kembali,"
Sahut Bwe-hong tertawa paksa "Namun kau masih tetap tak mau bicara terus terang,"
Ujar Yu-hong.
"Segala apa yang telah lalu sudah kukubur semua, kenapa kau berkeras ingin tahu yang sudah lampau mengenai diriku?"
Sahut Bwe-hong.
"Tetapi, tetapi kawanku masa kanak-kanak itu dalam lubuk hatiku masih belum pernah mati,"
Kata Yu-hong.
"Bwe-hong, sungguhkah kau begini kejam, tak mau kauceritakan padaku apa yang terjadi sesungguhnya di waktu dahulu itu?"
Suara srigala lapar di padang rumput yang menyalak seram dan tiupan Ohka (semacam alat tiup suku bangsa daerah utara) sayup-sayup terdengar. Pelahan Bwe-hong melepaskan tangan Yu-hong yang memegangnya.
"Biarlah aku ulangi sekali lagi, pada sebelum ajalku, pasti aku akan ceritakan kejadian sesungguhnya padamu,"
Demikian katanya kemudian lirih.
Berita tentang penyerbuan pasukan Boanjing ke Sinkiang itu dengan cepat telah tersebar ke seluruh padang rumput, rakyat padang rumput, terutama kaum mudanya bila bertemu lantas berbicara tentang berita itu.
Api amarah telah menyala di dalam hati mereka, siapa berani menyuapkan api ini, siapa juga pasti akan terbakar mati oleh api itu.
Di padang rumput G arsiri itu, orang tak berani mempersoalkan berita itu secara terbuka tapi bila sang surya sudah terbenam dan senja tiba setelah rombongan domba masuk kandang, lantas rakyat gembala mudanya berjalanjalan di padang rumput itu sambil asyik berunding dalam kelompok kecil di tempat sepi.
Dan di antara orang-orang itu terdapat pula puteri Bing Lok, Bing Manlis, dan kepala suku bangsa Kazak yang masih muda Fuad.
Ayah Fuad adalah sahabat baik Njo Hun-cong.
Ketika Fuad masih kecil, pernah ia diculik Coh Ciau-lam sebagai barang jaminan, belakangan berkat Hui-ang-kin dan Njo Hun-cong yang telah menolongnya kembali dari sarang macan.
Oleh sebab itu, di antara suku bangsa di padang rumput Garsin itu, Fuad merupakan satu-satunya orang yang paling kuat setuju supaya melawan musuh.
Tapi pengaruh Bing Lok terlalu besar, pula dibantu oleh jago-jago yang dildrim oleh pemerintah Boan.
Sebab itulah terpaksa Fuad menyekap api yang membakar hendak menuntut balas itu dalam hati dan tak sampai kentara di hadapan Bing Lok.
Senja hari itu, Fuad dan Manlis sedang berjalan-jalan menyusuri tepi sebuah sungai kecil di padang rumput itu, paras Manlis yang elok bersemu merah karena sorotan matahari senja kedua matanya berkilat bagai kedipan bintang di langit, pada sinar matanya tertampak rasa suka dan duka.
"Ayahmu semalam telah mengirim Kiai untuk membicarakan perjodohanmu padaku, dan malam nanti ia akan mengadakan musyawarah dengan para kepala suku,"
Demikian Fuad berkata.
"Aku sudah tahu,"
Sahut Manlis lirih.
"Kedua urusan itu dilakukan berbareng, tentu tiada maksud baik."
"Aku bukan orang tolol, tentu aku pun tahu maksud tujuannya"
Ujar Fuad.
"la tahu bahwa aku cinta padamu, dahulu diam-diam ia merintangi hubungan kita tapi kini malah mengirim orang buat menjodohkan kita, bukankah tujuannya ingin malam nanti aku menyokong pendiriannya?"
"Sebab itulah sedikitpun aku tak senang,"
Kata Manlis munun.
"Makin tua ayahku menjadi makin tersesat, bahkan hendak menjadi orang berdosa 'memancing srigala masuk rumah', kukira kelak pasti ia akan menebus dosanya ini tanpa terkirakan, aku menjadi sedih entah cara bagaimana harus menolongnya."
"Sungguh kau adikku yang baik, Manlis,"
Kata Fuad sambil menggenggam kencang sang kekasih.
"Percayalah padaku, malam nanti tidak mungkin harapan ayahmu bisa terlaksana ia dijagoi orang yang dikirim pemerintah Boan, tapi di pihak kita sini juga telah datang dua orang kosen."
"He, orang kosen?"
Tanya Manlis heran.
"Kenapa sedikitpun aku tak tahu. Orang kosen macam apakah? Tapi aku justru kuatir para kepala suku malam nanti akan tunduk di bawah pengaruh ayahku hingga makin menambah dosanya."
"Orang kosen macam apa malam nanti kau sendiri akan mengetahuinya,"
Ujar Fuad.
"Begitu dirahasiakan? Sampai aku tak kau berhatur?"
Sahut Manlis mengomel.
"Ya biar kau pun ikut terkejut nanti,"
Kata Fuad tertawa "Bila demikian, tentunya kau sudah yakin pasti akan menang bukan?"
Tanya Manlis.
"Ya semuanya berkat kedua orang kosen itu yang telah mengaturnya untukku,"
Kata Fuad.
"Lalu bagaimana cara mengatur ayahku?"
Tanya Manlis kuatir. Segera Fuad menyodorkan sebungkus obat bubuk dan berbisik di telinga Manlis.
"Ya sudah, terpaksa harus begini,"
Kata Manlis akhirnya.
Senja berlalu, bulan sabit menongol di atas padang rumput.
Para kepala suku bangsa Kiai-kiai dan orang-orang yang berpengaruh lain telah berkumpul mengelilingi suatu lapangan hijau yang dilingkari kemah.
Bing Lok membawa beberapa pengawal didampingi pula dua orang tua dan empat jagoan pemerintah Boan.
Padang rumput luas itu sunyi senyap, dengan mata melirik penuh lagak Bing Lok memandang seluruh hadirin dan tampaknya amat senang.
"Pasukan besar pemerintah kerajaan sudah melintasi perbatasan, dimana tempat yang didatangi tiada pernah ada yang bisa. merintangi, dan tak lama lagi juga akan sampai ke sini, lalu para saudara bagaimana akan mengambil keputusan?"
Demikian ia mulai buka suara.
Tapi semua kepala suku tak menjawab, pandangan mereka terpusat semua ke diri Fuad, kepala suka Kazak yang muda itu.
Siapa duga Fuad hanya tersenyum sambil menopang dagu saja, juga tak buka suara.
Tadinya para kepala suku itu menyangka Fuad pasti akan menolak ajakan menyerah itu, tapi demi nampak sikap Fuad sekarang ini, mereka menjadi kecewa.
Seketika mereka pun berbisik-bisik, ada pula yang mengetahui Bing Lok telah menawarkan perjodohan puterinya kepada Fuad, mereka menjadi bertambah curiga Karena itu, kepala suku Dasan yang juga masih muda tak tahan lagi, ia yang pertama berdiri.
"Sesudah 30 tahun lebih pasukan Boan masuk pedalaman, terhadap Sinkiang beberapa kali pernah menggunakan kekerasan juga,"
Demikian teriaknya.
"Tapi berkat persatuan di antara suku-suku bangsa kita dan melawannya dengan sepenuh tenaga pasukan musuh paling banyak hanya mampu menduduki beberapa kota besar saja seperti Ui dan lain-lain, kita masih tetap bisa menggembala bebas di padang rumput. Kini tanpa bertempur lalu hendak menyerah dan terima membudak, sungguh kakekmoyang kita akan mengutuknya juga!"
"Hm, berapa usiamu sekarang, berani kau berkata tentang bertempur segala?"
Jengek Bing Lok sengit.
"Lebih 20 tahun yang lalu, pahlawan wanita padang rumput Hui-ang-kin pernah menghimpun seluruh suku bangsa di Sinkiang selatan dan masih tak sanggup melawan pasukan Boan, akhirnya hancur kekuatannya dan ia sendiripun lari ke gunung sunyi tak berani muncul lagi. Kini pasukan Boan yang masuk ke sini berpuluh kali lebih kuat dari dulu, sebaliknya orang kita masih tiada satu pun yang dapat menimpali Hui-ang-kin masa itu. Lalu jawablah, dengan daerah terpencil ini ditambah tenaga lemah, cara bagaimana harus melawan lentera kerajaan?"
Gusar sekali kepala suku Dasan itu dengan darah seakan mendidih.
"Kami lebih suka menjadi giok yang retak daripada menjadi bata yang utuh!"
Teriaknya segera Bing Lok tertawa dingin melihat sikap orang. Dalam pada itu dua jago kerajaan Boan di sampingnya sudah maju ke muka "Pahlawan ini sungguh sangat mengagumkan, marilah kita berkenalan,'"
Kata mereka segera Dengan kepalan tergenggam kuat, segera kepala suku Dasan itu sudah siap hendak menerima tantangan orang. Tapi Fuad telah berdiri terus menghadang ke depan kepala suku Dasan sambil tersenyum.
"Terkumpulnya kita di sini adalah untuk berunding dan bukan hendak berkelahi,"
Demikian kata Fuad.
"Maka marilah minum dulu untuk mendengarkan pendapat ketua serikat kita."
Dengan gemas kepala suku Dasan itu melotot sekali pada Fuad, sebaliknya Bing Lok menjadi senang, segera ia memanggil kembali kedua jago pemerintah Boan itu dan berkata.
"Aku pun tiada pendapat apa-apa. Cuma sejak tentara Boan masuk pedalaman, seluruh negeri Tiongkok telah tunduk di bawah perintahnya, masakah daerah kita yang terpencil ini mampu melawannya? Maka baiknya kita mengangkat sumpah berserikat untuk keselamatan negeri dan rakyat kita buat menyambut kedatangan tentara kerajaan saja Lagipula, kerajaan sesungguhnya juga sangat menghargai kita, lihatlah mereka telah mengirim dua utusan yang namanya tersohor di seluruh jagad ke tempat kita ini, lalu apa yang akan kalian katakan lagi!"
Habis berkata, ia memberi hormat meminta dua utusan yang berada di sampingnya itu berdiri.
Kedua utusan itu ternyata adalah kakek-kakek semua berambut alis memutih perak.
''Nah, inilah bapak pendiri Tiang-pek-san-pay, Hong-luikiam, Ce Cin-kun yang namanya terkenal di seluruh jagad,"
Demikian Bing Lok mulai memperkenalkan mereka dengan sangat menghormat.
"Dan yang ini adalah Thian-hiong Siangjin, Sute Thian-bong Siansu dari Tibet, juga seorang tokoh terkemuka dari dunia penilaian, tentunya para hadirin juga sudah mengenal nama mereka"
Thian-hiong Siangjin yang diperkenalkan itu ternyata sangat sombong, wataknya pun paling keras, setelah ia mengerling rata semua kepala suku di situ, lalu ia berjalan ke tengah lapangan hijau itu, pada lapangan itu ada sebuah batu besar yang dipakai menambat seekor banteng liar (yak) Tibet yang disediakan Bing Lok untuk diambil darahnya bercampur arak guna bersumpal) dengan mereka.
Mendadak Thian-hiong menggertak keras, sebelah kakinya tahu-tahu menyerampang, seketika batu tadi mencelat ke angkasa dan pecah belah menjadi beberapa potong.
Keruan banteng tadi terlepas dari tali tambatannya dan mengamuk, cepat sekali binatang ini menerjang ke tempat berkumpulnya orang banyak.
Karena tak berjaga-jaga, para kepala suku itu pada berteriak kaget Namun Ce Cin-kun hanya tersenyum tenang saja, tiba-tiba ia mengulur kedua jarinya terus menahan ke atas leher banteng yang sedang menyeruduk ke arahnya.
Saking sakitnya banteng itu menguak keras dan keempat kakinya pun bertekuk lutut Ketika Ce Cin-kun menambahi pula dengan sekali menjojoh dengan jarinya ke perut banteng itu, segera juga perut binatang itu berlubang dan darah segera muncrat keluar.
Lekas Bing Lok membawa kuali buat menadah darah segar banteng itu hingga penuh terisi tiga kuali.
Harus diketahui bahwa kulit banteng (yak) dari Tibet tebal luar biasa dan kuat tak tembus panah biasa tapi kini dengan pe-lahan Ce Cin-kun bisa menusuknya hingga tembus dengan jarinya, maka dapat dibayangkan betapa hebat tenaganya yang berpuluh kali lebih lihai dari senjata biasa.
Tentu saja tenaga raksasa begitu belum pernah disaksikan para kepala suku itu hingga mereka ternganga dan mata membelalak terkesima Rasanya yang paling senang adalah Bing Lok seorang, ia mencampurkan darah banteng tadi dengan arak dan menuangnya ke hadapan kepala-kepala suku itu masingmasing secawan.
"Nah, silakan mengeringkan secawan ini untuk tugas kita yang maha besar!"
Demikian ajaknya Tapi meski para kepala suku itu terkejut dan menjadi jeri tadi, namun mereka masih tetap duduk tak bergerak tak mau menerima ajakan Bing Lok.
Keruan Bing Lok gusar.
Dan selagi ia hendak umbar amarahnya, tiba-tiba Manlis maju ke depan dari samping dan dengan tersenyum simpul berkata pada Bing Lok.
"Ayah, sungguh kau sudah pikun, seharusnya tuan rumah yang mesti minum dulu! Nah, minumlah kau dulu, nanti anak yang mempersilakan para paman minum juga.1' Habis itu, Manlis mengambil secawan arak penuh dan dibikin hangat dulu di atas api unggun yang berkobar itu dan kemudian diberikan kepada sang ayah. Tanpa ragu-ragu Bing Lok menerimanya terus sekali ceguk ia keringkan isi cawan dan membanting cawannya ke tanah sambil bergelak tertawa "Hayo, Lis, berikan arak pada para paman!"
Demikian serunya pula. Gusar luar biasa kepala suku Dasan menyaksikan kejadian itu hingga matanya merah berapi, ia melotot kepada Fuad dan menyindirnya.
"Hm, begitulah nona yang kaucintai!"
Namun masih tetap Fuad tersenyum tak menjawab.
"Kau minum dulu, Fuad!"
Tiba-tiba Bing Lok menunjuk padanya. Tapi cepat Fuad berdiri.
"Nanti dulu, Bing-losiutiang (kepala suku tua)"
Demikian katanya "Di sini ada dua tetamu yang ingin belajar kenal dengan kepandaian hebat dari ksatria Boan-ciu tadi itu!"
Thian-hiong bergelak tertawa mendengar ada orang berani menantang mereka.
"Hahaha, bagus, kamu bangsa orang liar ini kalau belum merasakan gebukan tentunya belum mau takluk!"
Demikian teriaknya. Sebaliknya Bing Lok menjadi kurang senang oleh. kata-kata Fuad tadi.
"Kau benar-benar tak mau minum, Fuad?"
Tegurnya segera "Hanya minum arak apa artinya? Ada lebih baik melihat keramaian ini dulu!"
Sahut Fuad tertawa Sementara itu Thian-hiong sudah menanggalkan kasa merah yang dipakainya terus melompat ke tengah kalangan.
"Hayo, majulah, dimana koncomu itu?"
Tantangnya segera.
Masih Fuad tersenyum tak menjawab, hanya tangannya sekali menggapai, lalu dari sampingnya mendadak berdiri dua orang, tak terlihat bagaimana bergeraknya, tapi tahu-tahu orangnya sudah sampai di tengah kalangan.
Ketika seorang di antaranya melepaskan kerudung yang menutupi mukanya tadi, segera tertampak mukanya penuh codet belas goresan senjata tajam yang sangat menyolok pandangan.
Sedang seorang lainnya adalah kakek kurus kecil lak menarik.
Tadi kedua orang itu bercampur orang banyak di situ secara diam-diam, maka Bing Lok mengira mereka adalah pengikut Fuad yang biasa saja tak menarik perhatiannya Tapi kini setelah wajah asli mereka diunjukkan, seketika itu juga ia terkejut terus berteriak.
"He, kau, Leng Bwe-hong!"
Sebagian besar di antara kepala suku yang hadir itu juga mengenali Leng Bwe-hong, tentu saja mereka bersorak gembira.
Sebaliknya muka Ce Cin-kun pucat lesi.
Hanya Thianhiong Siangjin yang belum pernah kenal kepandaian Bwehong, meski mula-mula terperanjat juga, tapi masih tetap ia melirik berlagak.
"Eh, jadi kau inikah yang bernama Leng Bwe-hong?"
Tanyanya kemudian sambil bersiap.
"Kau ingin bertempur satu lawan satu denganku atau dua-duanya hendak maju sekaligus? "Kenapa harus buang tenaga begitu banyak?"
Sahut Bwehong dingin.
"Kami berdua justru ingin berkenalan dengan kepandaian kalian berenam sekaligus. Kami ingin tahu betapa besar kemampuan kalian hingga berani malang melintang tidak semena-mena di padang rumput ini? Nah, katakan saja jika kalian berenam mau maju berbareng, kami berdua juga yang menerimanya Tapi jika satu saja yang akan maju, boleh kalian pilih satu di antara kami sesukamu. Hai! Ce Cin-kun, hayolah kau pun maju sekalian, kau suka pilih yang mana?"
"Untuk apa kau ikut campur urusan di sini?"
Sahut Ce Cinkun terpaksa "Orang lain mungkin takut padamu, tapi aku tak nanti gentar."
Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Katanya tak takut, padahal hatinya amat ketakutan.
"Bagus, jika tak takut, nah, lekas maju!"
Jengek Bwe-hong.
Tapi Ce Cin-kun masih ragu, ia justru lagi memikirkan dayaupaya untuk meloloskan diri.
Ada dua jago bayangkara kelas satu yang baru masuk kerajaan dari daerah Kanglam, mereka belum kenal nama Leng Bwe-hong yang besar, diam-diam mereka mendongkol oleh sikap Ce Cin-kun yang katanya tiada tandingannya di kolong langit ini, tapi di hadapan musuh kenapa menjadi begitu jeri? Tatkala itu Ce Cin-kun sudah diangkat menjadi komandan bayangkara kerajaan, Thian-hiong Siangjin baru saja diundang dari Tibet Maka kedua bayangkara itu berpikir jika tidak menjatuhkan Leng Bwe-hong di sini, bukan saja wibawa bayangkara kerajaan akan lenyap, mungkin Thian-hiong Siangjin juga akan memandang hina mereka Kedua bayangkara itu ternyata serupa pikiran, maka tanpa berjanji mereka menubruk keluar semua ke depan.
"Hayolah, biar kami berdua keluar pada babak ini dulu!"
Teriak mereka.
"Kalian ingin pilih lawan yang mana?"
Tanya Bwe-hong adem.
"Pilih kau!"
Bentak kedua bayangkara itu berbareng terus menerjang ke arah Leng Bwe-hong.
Tapi disertai suara tertawa yang panjang, tiba-tiba Bwehong melesat sambil kedua tangan dipentang dengan tipu 'Thi-so-hing-ciu' atau gembok besi merantai perahu, musuh pertama belum sempat melihat jelas, tiba-tiba pergelangan tangannya sudah tertangkap.
Gerakan Bwe-hong cepat luar biasa, dengan enteng sekonyong-konyong ia memutar hingga bayangkara yang tertangkap itu terbanting mampus.
Dan ketika musuh kedua baru saja melontarkan serangan, mendadak ia menjerit kaget dan mengelakkan tubuh kawan sendiri yang terbanting itu, saat itulah tahu-tahu Leng Bwehong sudah menubruk datang pula hingga dada bayangkara itu merasa tersambar angin keras bagai dikampak, nyata ia telah terkena pukulan tenaga raksasa Leng Bwe-hong hingga tulang dadanya patah, ia menjerit ngeri lalu roboh tak berkutik, darah mancur membasahi padang rumput Begitulah dengan Thian-san-cio-hoat atau ilmu pukulan dari Thian-san yang cepat luar biasa, dalam sekali dua gebrakan saja Leng Bwe-hong telah membinasakan dua jago bayangkara, keruan semua orang yang menyaksikan itu ternganga tak terka-takan.
Pendekar Pendekar Negeri Tayli -- Jin Yong Rahasia Hiolo Kumala Karya Gu Long Naga Kemala Putih -- Gu Long