7 Pendekar Pedang Thiansan 3
Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen Bagian 3
Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya dari Liang Ie Shen
Nyata, karena sudah pernah merasakan sekali pukulan orang, maka ia masih penasaran dan hendak membalas rasa malunya itu.
Bwe-hong tertawa dingin, ia tidak lantas maju, melainkan lantas pasang kuda-kuda dan menanti musuh.
Karena itu, segera Coh Ciau-lam merangsek maju, tetapi mendadak salah seorang pengawal di sampingnya telah mendahului menerjang Leng Bwe-hong.
"Potong ayam tak perlu pakai golok, biar aku menghadapinya dahulu."
Demikian seru pengawal itu.
Jago pengawal ini bernama Ku Guan-liang, ahli Tiam-hiat atau menotok jalan darah dari Holam, lihainya ilmu totokannya itu karena dikombinasikan dengan ilmu pukulan, maka tingkatannya dalam pengawal kerajaan tergolong kelas satu.
Ciau-lam tak mencegah, ia pikir majunya Ku Guan-liang kebetulan baginya sebagai umpan untuk menjajal sampai dimana kepandaian Leng Bwe-hong.
Ku Guan-liang memang lagi gusar karena sepatunya tadi kena terbidik senjata rahasia Leng Bwe-hong, maka begitu maju segera ia menantang.
"Aku hanya mau belajar kenal Ciohoat denganmu, kalau kau mau bertanding am-gi sebentar lagi aku pun bersedia melayani!"
Dari suaranya, Leng Bwe-hong tahu orang jeri terhadap am-gi miliknya, maka orang sengaja menonjolkan peraturan Kangouw supaya pertandingan itu menggunakan ilmu pukulan saja dan bila perlu kemudian baru ganti ilmu kepandaian yang lain.
"Tanpa am-gi aku pun bisa membikin kau melompat-lompat seperti monyet,"
Ejek Bwe-hong.
Tentu saja Ku Guan-liang gusar, dibarengi suara geraman, segera ia menerjang, sekali pukul mengarah muka Leng Bwehong.
Melihat serangan itu cukup hebat dan tepat juga berbahaya, Bwe-hong tak berani ayal, dengan cepat ia melangkah minggir, berbareng tangannya lantas memotong pergelangan tangan Ku Guan-liang.
Tetapi Ku Guan-liang melompat pergi agar tangannya tidak terpotong patah, namun dengan cepat sekali Bwe-hong sudah menyusul sampai di belakangnya terus mencengkeram bagian punggung musuh.
Tetapi Guan-liang tidak menyerah mentahmentah, mendadak ia merendah ke bawah terus memutar balik secepat roda, berbareng kedua telapak tangannya terus memukul urat nadi 'Ling-coan-hiat' di pinggang lawan, nyata ia sudah kepepet dan menjadi nekad.
Melihat serangan ini, dalam kagetnya sampai Ci-pang menjerit, sebaliknya terdengar Coh Ciau-lam malahan berseru.
"Awas !"
Dan sebelum Ci-pang bisa melihat jelas, tahu-tahu Ku Guan-liang malah sudah terguling pergi beberapa tombak jauhnya dengan wajah pucat.
"Kau sudah kalah kenapa masih di situ?"
Bentak Ciau-lam demi dilihatnya Ku Guan-liang masih terpaku di tempatnya itu.
Akan tetapi Ku Guan-liang masih belum mau menerima.
Bagai seekor kerbau gila saja, kembali ia menyerang maju dengan serangan gencar yang mematikan dan berbahaya, terutama ilmu menotoknya yang di kalangan persilatan di daerah Holam sangat dipuji, siapa tahu baru sekali gebrak sudah kena digulingkan Leng Bwe-hong, tentu saja ia menjadi kalap, ia gunakan ilmu menotok bersama ilmu pukulannya secara bertubi-tubi mengarah ke tiga puluh enam urat nadi penting di tubuh lawannya.
Namun Leng Bwe-hong masih terlalu kuat baginya, setiap serangannya selalu dipatahkan dengan mudah saja, meski sudah sekian lama serangan Ku Guan-liang tetap tak berhasil mengenai sasarannya.
Akhirnya, mendadak Leng Bwe-hong membentak dan ia merubah cara bersilatnya, tangan kanan ia gunakan 'Cat-jiuhoat' atau ilmu memotong tangan yang paling lihai untuk menghadapi setiap totokan lawan, sedang tangan kiri membalas serangan orang dengan ilmu Tiam-hiat juga yang tidak kalah lihainya.
Keruan saja Ku Guan-liang ketemu batunya, ia betul-betul mati kutu, ilmu totokannya telah ditandingi ilmu totokan juga, sedangkan lawannya masih terus menyelingi dengan serangan 'Cat-jiu-hoat' yang sangat lihai, asal sedikit meleng saja, dapat dipastikan ia sendiri bisa termakan oleh totokan jari Leng Bwehong, dan justru karena Ku Guan-liang adalah ahli menotok, maka ia pun lebih tahu bahayanya ilmu itu, ia menjadi kelabakan dan tak bisa berkutik, saking terkejutnya hingga ia mandi keringat dingin.
Leng Bwe-hong juga sangat jahil, setiap kali ia hendak menotok, pasti ia sebutkan nama tempatnya seperti 'Sam-lihiat', 'Yong-coan-hiat', 'Thian-guan-hiat' dan lain lagi terus menerus, hingga Ku Guan-liang dibikin kelabakan dan terpaksa harus melompat ke sana kemari dan berjingkrak seperti monyet kena terasi.
Nampak keadaan Guan-liang yang mengegos lucu itu, para penonton yang lain menjadi tertawa geli.
Melihat keadaan yang makin lama makin konyol itu, Coh Ciau-lam berkerut kening.
"Hayo, sudahlah lekas mundur!"
Segera ia meneriaki kawannya, habis itu ia bergegas maju.
Tetapi sudah terlambat, tiba-tiba terdengar Leng Bwe-hong membentak, dengan kecepatan luar biasa tahu-tahu ia sudah memutar sampai di belakang Ku Guan-liang, ketika tangannya mencengkeram, sebelah lengan musuh telah kena dipegang, berbareng tangan Bwe-hong yang lain telah menyodok ke pinggang lawan.
Tanpa ampun lagi seketika Ku Guan-liang kaku lumpuh, lalu Bwe-hong membentak lagi, tubuh pecundangnya ini dilemparkannya.
Lekas; Ciau-lam menangkap tubuh sang kawan, waktu ia periksa, ia lihat kedua mata Guan-liang meram rapat, tubuhnya kaku, maka lekas Ciau-lam menotok nadi 'Hok-thohiat' di punggungnya, dan terdengarlah Guan-liang menjerit dibarengi darah kental hitam menyembur dari mulutnya, lalu dengan lemas ia roboh terkulai tak bisa berkutik.
Nyata tadi 'Yi-gi-hiat' di pinggangnya telah kena ditotok Leng B-v^e-hong dan kini walaupun sudah tertolong, namun untuk selamanya ia akan cacat.
Ciau-lam tak tahan lagi, begitu bergerak segera Leng Bwehong ditubruknya, namun secara gampang saja Bwe-hong berkelit.
Segera Ciau-lam melontarkan serangan kedua, telapak tangan kanan cepat membelah ke depan, tetap Bwe-hong tak menyambut pukulan itu, ia hanya sedikit menurunkan badan terus menerobos lewat di bawah tangan orang.
Tentu saja Ciau-lam semakin sengit, sambil membentak ia memutar tubuh terus menjambret lawan, tetapi lagi-lagi Bwehong tak menyambut serangan orang, ia melompat lagi ke samping dengan ringannya.
"Lari kemana?"
Ciau-lam membentak sambil mengejar, dirasakannya Bwe-hong hendak melarikan diri. Tak tahunya mendadak Leng Bwe-hong berhenti, dengan sorot matanya yang tajam segera ia pun berseru.
"Tahan dulu! Aku menghormatimu sebagai Suheng, maka telah mengalah tiga kali serangan padamu. Jika kau masih belum kenal adat, terpaksa aku harus menghajarmu. Kalau aku kalah, sekarang juga aku kembali ke Thian-san, tetapi bila kau yang kalah, apa janjimu?"
"Sik-li-ci ini boleh kau ambil sesukamu,"
Sahut Ciau-lam.
"Baik, dan sekarang seranglah!"
Kata Bwe-hong lagi.
Segera Ciau-lam pasang kuda-kuda dengan kuat, mendadak kedua telapak tangan memukul lawan sekaligus dengan membawa sambaran angin keras.
Namun Leng Bwe-hong telah menangkisnya dengan cepat sekali.
Dan begitulah seterusnya, pertarungan itu dilakukan secara hebat dan cepat luar biasa, dimana pukulan tiba, di situ segera menyambar angin keras hingga debu yang tertimbun bertahun-tahun dalam goa itu kini bertambah debu yang menyambar dan menghambur seperti kabut, keadaannya menjadi remang-remang dan seram.
Api unggun yang berkobar di jalan lorong goa itu bergoyang-goyang juga terkena sambaran angin hingga sebentar menyala dan lain saat gelap akan padam, suasana seram itu jadi menambah tegang.
Selang tak lama, tiba-tiba kedua orang sama-sama mundur beberapa tindak ke belakang.
Semua heran ketika melihat kedua orang saling melotot bagai ayam jago aduan saja.
Sekonyong-konyong Ciau-lam membentak dari jauh, berbareng telapak tangannya memukul ke depan dan segera Leng Bwe-hong menangkis juga dari jauh, mereka saling serang dari jarak jauh, pukulan-pukulan mereka tiada yang menyenggol ujung baju lawan, lebih mirip saudara seperguruan yang sedang berlatih.
Yu-hong dan Ci-pang tergolong ahli, mereka tahu setiap pukulan Leng Bwe-hong dan Coh Ciau-lam itu selalu membawa perubahan, meski jarak mereka terpisah beberapa tindak, tetapi setiap gerakan senantiasa menyerang sembari menjaga diri, siapa yang sedikit meleng, pasti akan memberi kesempatan kepada lawannya untuk merangsek maju.
Pertandingan demikian tidak hanya mengadu kebagusan ilmu pukulan masing-masing, tetapi juga mengadu Lwekang atau tenaga dalam, karena saling hantam dari jarak jauh, pukulannya lebih berat dan tajam.
Sesudah beratus jurus masih tiada tanda siapa bakal unggul atau asor.
Dan selagi semua orang menjadi bingung oleh pertandingan mereka itu, mendadak terdengar Leng Bwehong menggertak, sedang Coh Ciau-lam kelihatan mundur ke belakang, dengan cepat Bve-lwMLg mendesak maju pula terus memukul dada lawan.
Karena tak sempat menangkis lagi, lekas Ciau-lam melompat ke atas, dengan tepat ia singgah di atas tangan arca Buddha yang sangat besar itu, dari situ secepat kilat bagai elang ia menyambar ke bawah, kedua tangannya memukul kepala Leng Bwe-hong sekuat tenaga.
Terpaksa Leng Bwe-hong menyambut hantaman itu dengan kedua tangannya, keras lawan keras, maka terdengarlah suara "plak-plak"
Yang keras dua kali, menyusul kedua orang itu terpental pergi setombak jauhnya.
Kalau membandingkan masa belajar, Ciau-lam memang jauh lebih lama daripada Leng Bwe-hong, tetapi yang dilatih Leng Bwe-hong adalah 'Tong-cu-kang', yakni ilmu dasar kanak-kanak, sejak kecil fondamennya sudah terpupuk kuat.
Sebaliknya waktu muda Coh Ciau-lam banyak berfoya-foya hingga tenaganya banyak terganggu, ditambah lagi Coh Ciaulam terlalu puas dengan kedudukannya dan menelantarkan latihan, maka kini demi berhadapan dengan lawan tangguh, walaupun kekuatan kedua belah pihak sebenarnya seimbang, namun ia malah kena terdesak di bawah angin.
Sebenarnya Leng Bwe-hong mendapat kesempatan untuk menghantam dengan pukulan berat yang paling lihai dari ilmu pukulan Thian-san-pay, tak terduga Coh Ciau-lam dapat meloncat ke atas, kalau pukulannya itu diteruskan, tentu patung Buddha itu akan hancur dipukulnya, hal mana bukan tujuan Bwe-hong hendak merusak barang peninggalan kuno di dalam goa Hun-kang itu, maka gaya pukulannya itu telah ditariknya kembali, tetapi karena itu juga Coh Ciau-lam mendapat kesempatan untuk menyerangnya dari atas hingga kedua belah pihak kelihatannya seperti sama kuatnya.
Coh Ciau-lam sendiri cukup tahu bahwa Sute atau adik seperguruan yang baru dikenalnya ini sebenarnya masih lebih tangguh dari dirinya.
Tentu saja ia menjadi gusar dan gugup pula, tetapi rasa angkara murkanya sudah menggelapkan pikirannya, ia tak rela menyerah begitu saja.
Maka ia merangsek maju lagi, segera pedang 'Yu-liong-kiam' pun dilolosnya.
Yu-liong-kiam adalah satu di antara dua pedang pusaka Thian-san-pay, satu lainnya disebut 'Toan-giok-kiam' yang biasa dipakai Njo Hun-cong, dan sesudah Hun-cong meninggal, ia menyerahkan pedang itu pada si pemuda Leng Bwe-hong di tepi Ci-tong-kang bersama puterinya agar dibawa ke Thian-san.
Maka kemudian pedang pusaka itu telah dipakai puterinya, le Lan-cu.
Dalam hal ilmu pedang Ciau-lam paling dalam mempelajarinya, ditambah lagi dia menggunakan pedang pusaka, maka ia ingin bertanding lagi dengan Leng Bwe-hong untuk merebut kembali keasorannya tadi.
"He, Pokiam (pedang pusaka) bagus!"
Seru Lauw Yu-hong kaget demi nampak pedang Coh Ciau-lam bersinar tajam mengkilap.
Namun Leng Bwe-hong tak gentar, ia pun segera mencabut pedangnya, ia serang dulu pundak musuh, tetapi Ciau-lam mengegos pergi, berbareng ia balas menyerang tiga kali susul menyusul ke bagian bawah Bwe-hong, ia mengandalkan pedang pusakanya yang tajam, maka ia berani mengeluarkan tipu serangan yang sangat berbahaya.
Namun Bwe-hong menandinginya dengan gesit sekali hingga setiap serangan Coh Ciau-lam dapat dihindari.
Dan sebelum lawannya merubah serangan, secepat kilat Bwe-hong melancarkan serangan balasan sampai lima kali hingga Ciaulam terdesak kerepotan, meskipun pedang pusaka ada di tangannya, namun tak sempat lagi digunakannya untuk memotong serangan Bwe-hong.
Namun sebagai jago ilmu pedang kawakan dengan sendirinya Ciau-lam bukan lawan enteng, apalagi setiap serangan Bwe-hong dapat dikenali karena memang berasal dari perguruan yang sama, maka betapapun juga ia masih bisa bertahan dengan sama kuatnya.
Suatu kali mendadak Leng Bwe-hong menarik senjata terus melangkah mundur, dengan sendirinya ia menubruk maju, ia menggeram sekali sembari menusuk.
Tetapi secepat kilat Bwe-hong memutar kembali pedangnya terus menyampuk ke atas, maka terdengar suara nyaring beradunya kedua senjata.
Yu-hong menjerit kaget, ia menyangka sekali ini tentu Leng Bwe-kong tak bisa menghindarkan patahnya pedang, tak terduga, sehabis suara nyaring itu, segera keadaan menjadi sunyi kembali, sampai langkah kaki juga tak terdengar.
Kiranya tadi Leng Bwe-hong telah menggunakan suatu tipu yang berbahaya, ia sengaja memancing serangan Ciau-lam untuk kemudian pedangnya mendadak diayun dan menempel senjata lawannya itu, kedua pedang telah saling beradu, jadi bukan mata pedang yang tajam, sehingga pedang Bwe-hong tidak sampai terkuning oleh pedang pusaka Coh Ciau-lam.
Sekuat tenaga Ciau-lam hendak menarik kembali senjatanya, tetapi terasa olehnya kedua pedang seperti sudah melengket saja.
Maka insyaflah dia keadaan demikian tak dapat dipaksakan, sebab kalau senjatanya ditarik mentahmentah, hal mana berarti memberi kesempatan pada Bwehong untuk menghujani serangan padanya, maka terpaksa ia harus adu tenaga dalam dengan lawan, ia bertahan sebisanya.
Cara pertandingan pedang menempel pedang ini sungguh jarang diketemukan dalam dunia persilatan, karena itu semua orang ikut menahan napas, seketika dalam goa itu menjadi sunyi sepi sampai suara jatuhnya jarum mungkin akan terdengar.
Selang tak lama, napas Ciau-lam mulai tersengal-sengal, jidatnya mulai berkeringat, tampaknya kedua saudara seperguruan ini sudah tiba pada saat yang menentukan matihidup masing-masing.
Begitulah sewaktu semua orang mencurahkan seluruh perhatiannya pada pertandingan mati-matian itu, sebaliknya Thio Thian-bong, perwira rombongan Lamma dan bekas kawan Ciau-lam itu, secara diam-diam telah mendekati salah seorang Lamma, mendadak ia menotok, maka terdengar Lamma itu menjerit dan terguling, dengan cepat Thian-bong terus menyambar sebuah kotak kecil dari kayu cendana di baju orang, habis itu diiringi suara tertawanya yang seram, cepat sekali ia kabur keluar goa.
"Sik-li-ci telah dibawa kabur dia!"
Demikian para Lamma itu berkaok-kaok.
Mendadak Leng Bwe-hong menggeram sembari menarik pedang sekuatnya terus memburu keluar, dan karena kehilangan imbangan tenaga lawan, Coh Ciau-lam terhuyung ke depan, tetapi segera ia melompat dan ikut mengejar dari arah belakang.
Begitulah Thio Thian-bong telah dikejar dari belakang oleh Leng Bwe-hong.
Waktu Ciau-lam ikut melompat keluar, ia memutar senjatanya hingga Ci-pang dan kawannya terpaksa menyingkir menghindar, dan karena itu pula Ciau-lam dapat mendahului yang lain, hanya Leng Bwe-hong saja yang tak mampu ia kejar.
Ginkang atau ilmu meringankan tubuh Leng Bwe-hong terlalu bagus sekali, maka tidak berapa lama, jarak Thianbong sudah semakin dekat.
Pada suatu kesempatan, tiba-tiba Bwe-hong menggenjot maju sekuatnya, berbareng itu pedangnya terus menusuk punggung Thian-bong.
Namun Thian-bong sudah menyiapkan senjatanya sejak tadi yang berwujud 'Liong-bun-so-kut-pian' atau ruyung lemas berukir ular naga, senjata ini dapat digunakan untuk membelit senjata lawan dan dapat dibuat menyabet pula.
Pangkat Thian-bong di bawah Go Sam-kui dan setingkat dengan Ciau-lam, dengan sendirinya ilmu silatnya tidak rendah, maka ketika mendengar ada sambaran angin di belakangnya, tanpa menoleh ia mengayun ruyung itu ke belakang hingga dengan tepat pedang Bwe-hong kena terbelit.
Thian-bong menjadi girang, ia membalik tubuh dan menarik sekuatnya, tak terduga sedikitpun ia tak sanggup menyeret lawannya, sebaliknya gagang pedang Bwe-hong tahu-tahu mengetok ke dadanya dan ujung pedang hendak memotong per-gelangan tangannya.
Terkejut sekali Thian-bong, lekas ia mengendorkan ruyungnya dan melangkah mundur, tetapi cepat sekali Bwehong sudah merangsek lagi, terpaksa Thian-bong melompat pergi, tapi senjata ruyungnya itu kena dikuningi oleh lawan.
Leng Bwe-hong mencecar lagi, terpaksa Thian-bong bertahan mati-matian sambil mundur terus, hingga tanpa terasa ia sudah terdesak sampai di tepi jurang d i mana terdengar suara anyang gemuruh.
Kiranya itu adalah air terjun yang lagi meng-gerujuk dengan derasnya, di bawah sana adalah sungai Songkang-ho yang tak terkirakan dalamnya.
Dalam pada itu Ciau-lam juga sudah memburu datang.
Tiba-tiba Thian-bong menyabet beberapa kali dengan ruyungnya, habis itu ia lantas meloncat ke samping, waktu Bwe-hong hendak menubruknya, mendadak dilihatnya Thian-bong mengayun tangan, sebuah benda lantas menyambar lewat di atas kepalanya.
Semula Bwe-hong menyangka orang menyerang dirinya dengan senjata rahasia, tetapi demi mendengar sambaran angin, segera ia tahu telah salah menduga, lagi pula benda itu tidak disambirkan padanya melainkan ke belakangnya, tentu saja ia bertambah heran.
"Tangkap barang ini !"
Demikian Thian-bong berseru pada Coh Ciau-lam, menyusul dengan tertawa dingin ia mengejek Leng Bwe-hong.
"Nah, sekarang boleh kaubunuh diriku, soal Sik-li-ci jangan kau harap lagi!"
Maka Leng Bwe-hong menjadi sadar, ia segera melompat balik terus memburu Ciau-lam, dapat dilihatnya waktu Ciaulam hendak memasukkan barang yang disambutnya tadi ke dalam baju, sekilas Bwe-hong dapat melihat barang itu adalah sebuah kotak kecil yang terbungkus kain sulam.
Tanpa bicara lagi ia menyerang Ciau-lam sembari menggereng, ia cecar orang dengan tipu serangan hebat, maka sekejap saja beberapa puluh jurus telah berlangsung lagi, sementara itu Han Ci-pang dan kawan-kawan telah menyusul tiba.
Di lain pihak dengan bebas Thio Thian-bong berhasil meloloskan diri, ia memanjat terus ke atas gunung melalui tebing yang curam, kebetulan tebing itu persis di atas kepala Leng Bwe-hong dan Coh Ciau-lam yang lagi saling labrak itu.
Mendadak sekuat tenaga Thian-bong mendorong sebuah batu padas yang besar ke bawah, keruan saja suara gemuruh segera terdengar dibarengi dengan menghamburnya pasir dan batu beterbangan, menyusul beberapa batu padas yang lain pun beruntun menggelinding ke bawah.
Tatkala itu Leng Bwe-hong lagi melabrak Ciau-lam dengan serunya di tepi jurang hingga tak keburu menyingkir, terpaksa mereka melompat ke depan hingga terjerumus masuk jurang dan jatuh ke dalam sungai.
Saking gemasnya oleh kekejian Thian-bong itu, Bwe-hong mengenjot tubuhnya selagi terapung di udara, pedangnya ia timpukkan ke atas gunung, maka tanpa ampun lagi suara jeritan Thian-bong terdengar, nyata dengan tepat pedang Leng Bwe-hong itu telah menembus badannya.
Dan dengan ilmu meringankan tubuh yang tinggi, Leng Bwe-hong menukik ke bawah, waktu dekat permukaan sungai, ia tekuk tubuh dan kedua kakinya untuk menggaet sebuah batu tebing yang menonjol, dan waktu ia memandang ke bawah, ia lihat Coh Ciau-lam sudah jatuh ke dalam sungai, separoh tubuhnya sudah tenggelam, hanya sebelah tangannya masih menahan kencang sebuah batu di tebing sungai itu dan sedang meronta-ronta berusaha menyelamatkan diri, nyata keadaan mereka berdua sama-sama dalam keadaan berbahaya.
Dalam keadaan yang menguatirkan itu, Bwe-hong masih menggelantung di atas batu yang menonjol itu, segera ia mengulur tangan dan dengan tepat dapat menjambret leher baju Ciau-lam, bagaikan anak ayam saja ia mengangkat Ciaulam ke atas di tempat batu yang menonjol itu.
Meski Ciau-lam masih bersenjata, tetapi karena sudah kenyang minum air dan kehabisan tenaga, ia menjadi mati kutu tak bisa berkutik, cepat Bwe-hong merampas pedangnya terus membekuk pula leher Ciau-lam dengan tangan yang lain.
"Aku serahkan Sik-li-ci padamu!"
Kata Ciau-lam dengan suara terputus-putus.
"Mana lekas!"
Bentak Bwe-hong sambil melepaskan cekalannya.
Cepat Ciau-lam mengeluarkan kotak kecil yang sudah basah kuyup itu dari dalam baju dan dengan cepat diterima oleh Leng Bwe-hong.
Inilah untuk pertama kalinya Coh Ciau-lam mengaku kalah di hadapan orang.
Selagi Bwe-hong bermaksud hendak naik ke atas tebing yang curam itu, tiba-tiba didengarnya suara letusan di sampingnya dibarengi dengan berkobarnya api, karena terlalu dekat letusan itu, seketika tubuh Bwe-hong terjilat api, bahkan mukanya ikat terbakar letikan api, lekas Bwe-hong menggosok-gosokkan tubuhnya pada batu tebing hingga api itu dapat dipadamkan, namun rasanya sudah tidak kepalang sakitnya.
Dalam pada itu di atas tebing sana sudah terjadi juga pertempuran gaduh yang ramai.
Kiranya api itu disebabkan anak panah berapi yang dibidikkan oleh Hek Tay-siu, salah seorang jago pengawal kawan Coh Ciau-lam, seorang lainnya adalah Ku Guan-liang yang sudah cacat terkena totokan Leng Bwe-hong tadi.
Waktu Thian-bong dikejar Bwe-hong dan Ciau-lam tadi, Hek Tay-siu juga ikut mengejar di antara orang banyak.
Dan waktu nampak Ciau-lam dan Bwe-hong terjerumus ke dalam jurang dan masih dapat menyelamatkan diri, segera timbul maksud kejinya, ia melepaskan sebuah 'Co-yam-ci' atau anak panah berapi, panah ini bila membentur benda keras segera meletus dan terbakar hingga tidak mungkin ditangkap dengan tangan.
Serangan Hek Tay-siu ini bertujuan membinasakan Leng Bwe-hong, tetapi Coh Ciau-lam terpaksa harus tewas juga, hal ini pun kebetulan juga baginya.
Tentu Ci-pang dan Yu-hong sangat gusar melihat kekejian orang, maka ia memburu dengan senjata rahasia 'Kim-huntau', dengan begitu Lauw Yu-hong dapat melukai Hek Tay-siu, menyusul mana goloknya pun kena disampuk jatuh oleh Han Ci-pang.
Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Melihat gelagat jelek, dengan bermandi darah segera Hek Tay-siu bermaksud kabur, namun baru beberapa tindak ia lari, dari depan sudah dihadang oleh dua orang Lamma.
Kedua padri itu memang sedang mendongkol dan belum terlampiaskan karena direbutnya 'Sik-li-ci' mereka, maka sekali mereka menggeram, dengan cepat sekali Hek Tay-siu ditubruknya, waktu kedua Lamma ini berjongkok, tahu-tahu kedua kaki Hek Tay-siu telah kena dipegang terus diayun ke atas, setelah diayun pergi-datang beberapa kali, ketika mereka menggertak, tanpa ampun lagi Hek Tay-siu dilemparkan ke dalam jurang pula.
Tatkala itu Coh Ciau-lam sedang gelisah karena tertahan di tengah tebing dan demi dilihatnya dari atas melayang turun seseorang, tentu saja ia sangat girang, ia tak pedulikan lagi apakah kawan atau lawan, ia mengulurkan tangan menerima tubuh orang itu terus dilemparkan lagi ke dalam permukaan air terlebih jauh, dan selagi tubuh orang itu masih terapung di atas air, dengan cepat sekali ia pun melompat ke tengah sungai, sebelah kakinya menginjak tubuh yang masih belum tenggelam itu, lalu ia enjot lagi sekuatnya dan tibalah dia di seberang sungai sana, dengan gesit dan cepat luar biasa ia pun merangkak dan memanjat ke atas bagaikan kera saja.
Melihat kaburnya Ciau-lam, beruntun Ci-pang mencoba membidik dengan beberapa buah 'Thi-lian-ci' atau pelor besi, tetapi karena jaraknya belasan tombak, maka semuanya tak mengenai sasaran.
"Beruntunglah jahanam itu!"
Ci-pang mencaci-maki dengan gemas melihat Ciau-lam berhasil melarikan diri.
"Biarkan saja, mari kita periksa dulu keadaan Leng Bwehong, malam ini tentunya dia terlalu letih,"
Ujar Yu-hong.
Ci-pang terdiam, tetapi akhirnya ia ikut pula mendekati tepi jurang dan melongok ke bawah, mereka melihat di antara gelombang sungai yang mendampar itu, di pinggir tebing sana ada sesosok bayangan orang yang sedang merangkak pelahan, waktu Ci-pang menyalakan api dengan batu ketikan, maka dapatlah Yu-hong melihat jelas keadaan Leng Bwe-hong yang sudah sangat payah dan sedang berusaha merembet naik.
"Ha, tentu ia terluka,"
Seru Yu-hong tak tahan.
"Jika tidak, dengan ilmu silatnya yang tinggi, tidak nanti ia lemas sedemikian rupa."
Lekas ia mengeluarkan senjata 'Kim-hun-tau' yang bertali panjang itu, ia mengulurkan tali baja senjata itu ke bawah sambil tubuhnya menggelantung dengan kedua kaki menggaet tepi tebing itu, dalam pada itu Bwe-hong sudah merangkak sampai setengah jalan, maka dengan tepat tali baja 'Kim-huntau' dapat dipegang olehnya.
Ketika Yu-hong berseru, sekuat tenaga ia mengayun tubuh, seperti main ayunan saja, dengan beberapa kali ayunan Yuhong dapat berdiri dan segera menggulung talinya, akhirnya Bwe-hong berhasil dikereknya ke atas.
Waktu Yu-hong memeriksa keadaan Leng Bwe-hong, ia lihat pundak dan punggung Bwe-hong luka lecet terbakar, daging merah berdarah.
Ketika Leng Bwe-hong berpaling, mendadak para Lamma itu menjerit.
Kiranya muka Leng Bwe-hong yang memang sangat jelek karena codet bekas luka, kini terbakar lagi oleh api belerang anak panah, seketika mukanya menjadi hangus bengkak, wajahnya menjadi semakin jelek.
"Ah, tak apa, memang aku sudah jelek,"
Kata Bwe-hong.
"Bagaimana dengan lukamu?"
Tanya Yu-hong kuatir.
"Tak apa-apa, hanya lecet luar saja,"
Sahut Bwe-hong menahan sakit sembari mengeluarkan kotak kecil hasil rampasannya tadi dari Ciau-lam, lalu ia serahkan kepada salah seorang Lamma dan berkata pula.
"Berkelahi hingga semalaman, beruntung masih dapat merebut kembali barangmu ini"
Karena itu, beramai-ramai para Lamma mengucapkan terima kasih.
Tetapi waktu Lamma yang menjadi pemimpin mereka membuka kotak dan memeriksa, ia lihat di dalam kotak itu terdapat beberapa butir benda bersinar mengkilap bagaikan mutiara.
Setelah diperiksa dan diteliti lagi, mendadak Lamma itu berteriak.
"Celaka Sik-li-ci kita telah ditukar mereka!"
Tentu saja Leng Bwe-hong terkejut, lalu tanyanya cepat.
"Apa katamu? Ini bukan Sik-li-ci?"
"Ya, ini hanya mutiara biasa, Sik-li-ci tulen tidak sebening dan mengkilap seperti ini,"
Sahut Lamma itu.
Kiranya Thio Thian-bong itu sangat licin dan banyak tipu dayanya, pada waktu Go Sam-kui menyerahkan barang suci itu kepada para Lamma, Sik-li-ci itu dapat dilihatnya pula, lalu secara diam-diam ia telah membikin kotak palsu yang coraknya sama dan di dalamnya berisikan mutiara.
Tindakan itu ia persiapkan sebenarnya untuk berjaga-jaga bila sampai terjadi apa-apa di jalan agar dapat mengelabui musuh dengan barang tiruan itu.
Tapi setelah didengarnya cerita Coh Ciau-lam tentang akan memberontaknya Go Sam-kui, segera timbul pikirannya yang baru yakni membawa sendiri Sik-li-ci itu kepada Kaisar Khonghi.
Siapa tahu kemudian ia keburu dikejar Leng Bwe-hong, segera ia mengeluarkan akal-bulusnya untuk mengelabui lawan dengan melemparkan kotak Sik-li-ci tiruan itu pada Coh Ciau-lam, untuk mengalihkan perhatian Leng Bwe-hong atas dirinya.
Begitulah, maka sesudah mendengar kena tertipu, seketika Leng Bwe-hong menjadi bungkam.
"Keparat, kalau ketemu aku lagi, pasti aku beset kulitnya,"
Demikian katanya dalam hati dengan gemas.
Lalu ia pun minta maaf atas khilafnya itu.
Tetapi para Lamma itu masih menghaturkan terima kasih berulang-ulang, mereka menghibur Leng Bwe-hong agar jangan memikirkan soal itu lagi dan menyatakan tak akan melupakan budi kebaikan orang yang telah membantu mereka dengan sepenuh tenaga.
Habis itu, mereka buru-buru kembali ke Tibet untuk melaporkan kejadian itu, maka mereka mohon diri berangkat dulu sebelum subuh tiba.
Kemudian Lauw Yu-hong dan Han Ci-pang memayang Leng Bwe-hong yang terluka ke dalam goa lagi.
Dan setelah direbahkan, mulai merintihlah Leng Bwe-hong kesakitan oleh luka terbakar itu.
"Kenapa kau?"
Tanya Yu-hong dan lekas mendekatinya.
"Bawalah buntalanku ke sini,"
Pinta Bwe-hong. Lalu dari buntalannya Bwe-hong mengeluarkan dua butir pil berwarna hijau dan diminumnya.
"Sudahlah, tak apa-apa lagi,"
Katanya kemudian.
"Panah berapi itu terbuat dari belerang dan racun api menyerang ke dalam badan, maka rasanya agak pegal, tetapi pil yang terbuat dari teratai salju dari Thian-san justru paling mustajab untuk menyembuhkan serangan racun api."
Namun begitu Yu-hong masih kuatir, ia lihat muka Bwehong keluar bintik-bintik merah karena terbakar, maka dikeluarkannya obat salep untuk luka itu, tetapi dengan cepat Bwe-hong memalingkan muka, tampaknya ia tak mau dan malu.
"Jangan bergerak, kita orang Kangouw, kenapa harus berlaku sungkan segala?"
Ujar Lauw Yu-hong sambil terus memoles obat Tetapi sejenak kemudian, mendadak tangannya gemetaran lingga botol obatnya jatuh ke lantai.
"Kau tentu sudah lelah, biar aku menggantikanmu memoles dia,"
Sela Han Ci-pang dari sebelahnya. Yu-hong masih terdiam, sebaliknya Leng Bwe-hong malah berkata.
"Sudahlah tak usah, biarkan saja!"
Lama sekali Yu hong terpaku seperti patung, hanya sorot matanya yang tajam terus menatap Leng Bwe-hong.
"Dahulu wajahmu pasti tidak semacam ini,"
Kata Yu-hong kemudian.
"Sudah tentu tidak,"
Sahut Bwe-hong sembari tertawa, sambungnya lagi.
"Mukaku sudah ada luka golok, kini ditambah terbakar api, muka yang memang jelek tentu saja tambah jelek."
"Tidak!"
Kata Yu-hong tiba-tiba sambil menggeleng kepala.
"Sekali ini aku dapat melihat dengan jelas dahulu kau pasti sangat cakap bahkan mirip benar dengan kawanku di Hang-ciu itu."
Sekonyong-konyong Ci-pang menjengek demi mendengar kata-kata itu. Sebaliknya Bwe-hong malah bergelak tertawa.
"Tetapi selamanya aku tak pernah pergi ke Hang-ciu,"
Kata Bwe-hong tetap tertawa untuk menutupi derita perasaannya.
Sudah tentu Lauw Yu-hong tak mau percaya, ia setengah sangsi.
Waktu ia berpaling diketahuinya Ci-pang sedang memandang padanya dengan sinar mata tajam, sikapnya seperti kurang senang.
Maka sadarlah Yu-hong, ia ingat kalau Leng Bwe-hong bukan kawannya yang dia maksudkan, dan ia berkata tentang bagus dan jeleknya seorang lelaki, hal ini sebenarnya bisa menurunkan derajat seorang Congthocu suatu perkumpulan besar dan juga akan dipandang hina oleh Han Ci-pang, maka lekas ia kembali berkata.
"Ah, aku hanya heran karena ilmu silatmu yang begini tinggi, tetapi kenapa bisa mendapat luka di muka begini?"
"Lukaku ini kudapat ketika aku baru saja datang di Sinkiang, di sana aku lantas bertemu musuh besar Njo Hun-cong, Njo-tayhiap. Karena dilihatnya aku membawa anak perempuan, orang itu lantas menggoreskan goloknya di mukaku, kalau tidak kebetulan datang seorang penolong, mungkin jiwaku sudah tewas juga,"
Kata Leng Bwe-hong.
"Ada sangkut-paut apakah antara kau dengan musuh Njotayhiap?"
Tanya Yu-hong.
"Dan kenapa kau membawa seorang anak perempuan jauh-jauh pergi ke Sinkiang? Berapa besar anak perempuan itu?"
Sambung Yu-hong pula menegas. Dan karena pertanyaan ini, seketika Leng Bwe-hong sadar bahwa telah kelepasan mulut. Maka cepat ia menjawab.
"Mengenai ini biar kelak kuceritakan lagi. Tentang anak perempuan itu tatkala itu baru berumur dua bulan."
"Hanya berumur dua bulan! Nah, Lauw-thocu, kau kau tentu tak perlu merecoki dia lagi bukan?"
Sela Han Ci-pang, sebenarnya ia hendak menyindir dengan kata-kata "Kau tak perlu kuatir lagi", cuma saja ia urung bicara, sebab ia kuatir menyinggung perasaan Yu-hong dan membuatnya marah.
Walaupun begitu, sekejap Lauw Yu-hong melotot padanya dengan rasa kurang senang, dan ia pun merasa aneh dengan sikap Han Ci-pang yang lain daripada biasanya ini.
Besok paginya, luka Bwe-hong sudah agak baikan dan sudah dapat berjalan.
Yu-hong tetap merawat dengan penuh perhatian, sebaliknya Ci-pang sepanjang hari jarang berbicara dan tertawa.
Hari ketiga, waktu Yu-hong bangun pagi ia tidak mendapatkan Ci-pang lagi, hanya dilihatnya di atas tanah ada beberapa goresan seperti tulisan yang sengaja ditulis dengan tangan dan kurang baik.
Beberapa baris tulisan itu ternyata berbunyi.
Lauw-congthocu Yth, Aku adalah seorang kasar dan tak kenal aturan.
Walau kawan lama, tetapi kalah dengan kenalan baru.
Urusan Thiante- hwe ada Toaci yang mengatur dan dibantu Leng-enghiong, tentu segalanya akan dapat diatur dengan baik, hasilnya pasti gilang gemilang.
Selamat tinggal dan mudah-mudahan dapat sukses.
Dari aku yang kasar, Han Ci-pang Seketika Yu-hong terdiam setelah membaca tulisan itu.
"Sebenarnya ia adalah laki-laki yang jujur, cuma sayang salah pahamnya terlalu mendalam dan dipendam,"
Demikian ujar Leng Bwe-hong.
"Hakikatnya kenalan baru seperti aku ini sekali-kali tiada maksud hendak merenggangkan hubungan antara kawan lama!"
"Ya, pikirannya terlalu sempit,"
Kata Yu-hong menghela napas, sambungnya.
"Aku hanya kuatir kepergiannya seorang diri ini mungkin akan mengalami kesukaran di jalan."
Karena tak tahu ke jurusan mana Ci-pang pergi, dan pula Leng Bwe-hong baru sembuh dari lukanya, maka mereka pun tak mencarinya lagi.
Tentang Han Ci-pang, setelah hari itu ia mendapat pelototan mata dari Lauw Yu-hong, malamnya semalam suntuk ia tak dapat pulas, makin dipikir semakin pahit rasanya.
Mulamula ia merasa penasaran dan dendam pada Lauw Yu-hong yang baru saja mendapatkan kenalan baru dan lantas dingin pada kawan lama, tetapi setelah berpikir lagi dirinya hanya seorang kasar, soal ilmu silat jauh bukan tandingan Leng Bwehong, mana bisa setimpal berjodoh dengan si dia.
Karena pikiran ini, diam-diam ia berkata dalam hati.
"Ya, buat apa aku harus menjadi batu penghambat di tengah mereka?"
Dalam keadaan remang-remang, Ci-pang tak tahu kemana ia harus pergi, ia hanya berjalan terus tanpa tujuan di lereng pegunungan itu.
Tengah ia melanjutkan perjalanan dalam suasana pagi yang sejuk, tiba-tiba didengarnya ada suara rusa mengembik, waktu ia memandang, terlihat di tempat jauh sana ada seekor rusa kecil sedang minum air di selokan pegunungan, habis minum kembali rusa itu mengembik lagi, Ci-pang berpikir tentu rusa ini terpencar dari induknya, maka minum air sendiri dan mengembik mencari sang induk, sungguh harus dikasihani.
Dan karena ia sendiri juga sedang risau hati, maka pelahan- lahan ia mendekati binatang kecil itu dan berkata.
"Ooo, rusa kecil, aku pun sebatang kara, kalau kau suka marilah kita berkawan."
Tetapi pada saat itu juga, tiba-tiba didengarnya pula suara menggereng yang keras, tahu-tahu dari semak alang-alang yang lebat sana telah melompat keluar seekor harimau tutul dan rusa kecil itu terus diterkamnya.
"Kurang ajar, rusa kecil itu begitu kasihan, tetapi kau masih hendak menerkamnya,"
Demikian Ci-pang membatin dengan gusar.
Maka dengan cepat ia pun memburu maju, beruntun ia membidikkan dahulu beberapa anak panah dan dengan tepat mengenai sasarannya, cuma sayang karena jaraknya agak jauh, sedang kulit macan tutul itu cukup tebal, maka raja hutan itu hanya menggereng kesakitan, namun masih belum terguling dan rusa kecil yang sementara itu sudah kena digigit kaki belakangnya masih sempat melarikan diri, tentu saja macan tutul mengejar dengan kencang tak mau melepaskan mangsanya.
Ci-pang yang memang lagi masgul, menjadi tambah gusar seakan-akan hendak melampiaskan rasa dongkolnya atas macan tutul itu, maka dengan cepat ia pun memburu dari belakang dengan menggunakan Ginkang atau ilmu meringankan tubuh.
Setelah kejar mengejar, dalam gugupnya akhirnya rusa itu telah masuk ke dalam sebuah goa kecil disusul pula oleh macan tutul itu.
Sementara itu Han Ci-pang juga sudah dekat di belakang macan itu, cepat ia membidikkan sebuah anak panah pula hingga dengan tepat kena lubang pantat binatang buas itu.
Saking sakitnya, macan itu menggereng keras dan terguling, sebelum sempat bangun kembali, cepat sekali Han Ci-pang sudah melompat maju terus mencekik leher macan itu dan dipuntir sekuatnya, maka tanpa ampun lagi tulang leher raja hutan itu kena dipuntir patah.
"Hm, apa kau masih berani menerkam rusa kecil itu?"
Jengek Ci-pang dengan bangga atas kemenangannya itu.
Kemudian bangkai macan tutul itu ditendangnya masuk ke dalam goa, ia sendiri pun masuk ke dalam pelahan-lahan, ia mendengar suara rusa kecil tadi mengembik lagi dengan ngerinya, seketika hatinya tergerak.
Ketika ia mendekati rusa kecil itu, mendadak didengarnya ada suara orang membentak dari dalam.
"Siapa kau?"
Waktu Ci-pang menegasi, ia lihat rusa kecil tadi telah ditangkap orang dan tanduknya yang masih muda dan kecil itu hendak dipotong.
Dan demi nampak masuknya Ci-pang, tibatiba orang itu melompat bangun dibarengi sambitan sebuah Hui-to atau pisau terbang.
Dengan cepat Ci-pang berkelit, ketika ia mengamati lagi, ternyata orang ini bukan lain adalah Thio Thian-bong adanya.
Kiranya sesudah Thian-bong kena dilukai oleh timpukan pedang Bwe-hong hingga banyak mengeluarkan darah, lalu ia bersembunyi di dalam goa ini untuk merawat lukanya.
Ci-pang menjadi gusar bila teringat kekejian Thian-bong yang hampir menewaskan Leng Bwe-hong, tanpa pikir lagi golok 'Ci-kim-to' dicabut keluar, kontan ia balas menyerang orang dengan sekali tusukan, di lain pihak Thian-bong mengeluarkan senjata ruyungnya dan menyerang pula, namun Ci-pang terlebih tangkas, ia bisa melompat ke sana kemari untuk melancarkan berbagai tipu serangan, karena itu Thianbong mulai kewalahan, gerak-geriknya tampaknya juga susah karena lukanya, akhirnya ia hanya sanggup menangkis saja.
Dan selagi Ci-pang mulai berada di atas angin, tahu-tahu Thian-bong membentak, tubuhnya mendoyong ke belakang hingga golok Ci-pang kena terbelit oleh ruyungnya dan terbetot lepas dari tangan, berbareng itu Thian-bong terus memutar balik lagi ruyungnya dan dada Han Ci-pang dengan tepat kena dipukul, maka tergulinglah Han Ci-pang dan tak bergerak lagi.
Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tentu saja Thian-bong amat girang, cepat ia ingin menambahi lagi sabetan ruyungnya, maka diburunya Ci-pang yang sudah roboh itu.
Siapa duga ketika sudah dekat, tiba-tiba Ci-pang menggertak, bagaikan hujan Thi-lian-ci atau pelor besi, senjata rahasianya yang ampuh itu telah dihamburkan hingga kepala dan muka Thian-bong terkena beberapa peluru.
Lekas Thian-bong melompat ke samping, tetapi mendadak ia menjadi lemas, ternyata lukanya telah kambuh kembali hingga mengeluarkan darah.
Waktu Ci-pang melompat bangun, ia lihat Thian-bong jatuh terduduk, ruyungnya tergeletak di samping, ia menjadi heran.
Sekalipun Ci-pang orang kasar, tetapi kadang ia bisa berlaku cerdik juga, maka sebelum mendekati orang, kembali ia hantam lawannya dulu dengan beberapa Thi-lian-ci lagi.
"Hm, kau juga bisa licik,"
Teriak Thian-bong gusar.
Kini ia sudah siap sedia, dengan senjata rahasia yang ia tangkap dengan kedua tangan kontan ia sambitkan kembali ke arah Ci-pang.
Dengan sendirinya Ci-pang kerepotan, ia melompat sini dan berkelit ke sana, tetapi dalam hal melepas am-gi agaknya Thian-bong masih lebih unggul, maka terkenalah Ci-pang pada lengan kanannya oleh sebutir peluru besi itu.
Namun demikian, Ci-pang malah tertawa terbahak-bahak.
Kalau tadi merasa sakit oleh sabetan ruyung orang, tetapi kini Thi-lian-ci itu dianggapnya seperti sambitan anak-anak, sedikit-pun tidak merasa sakit.
Maka ia tahu bahwa tenaga Thian-bong sudah habis, tanpa kuatir lagi ia menubruk orang terus dihantamnya, tetapi Thian-bong pun balas menyikut dan menggebuk, maka kedua orang itu lantas saling bergumul dan saling hantam.
Kalau dibandingkan ilmu silatnya, Thian-bong sedikit di bawah Coh Ciau-lam dan tentu masih di atas Han Ci-pang, cuma kini ia terluka parah hingga tak bisa menahan tenaga Cipang yang besar bagai kerbau, maka setelah bergumul ke sana kemari, akhirnya ia kena ditindih oleh Ci-pang di bawah.
Namun ia tidak terima mentah-mentah, ia berusaha menyerang musuh sebisanya, maka mendadak pundak orang ia gigit sekuatnya hingga Ci-pang menjerit kesakitan, berbareng itu sebelah tangannya berhasil memegang pergelangan tangan kiri Ci-pang dan menggunakan 'Kim-najiu- hoat' atau ilmu memegang dan menawan, ia tekuk dan puntir tangan orang sekuatnya.
Memang Ci-pang sudah kesakitan digigit, kini menjadi lebih sakit karena tangannya dipuntir, dengan sendirinya tangan kanannya menjadi kendor, dan kesempatan itu digunakan Thian-bong untuk menangkap sekalian memencet urat nadinya dengan kuat.
Ci-pang tak bisa berkutik karena kedua tangannya sudah kena dicekal orang, hanya tubuhnya yang masih menindih di atas badan lawan, tiba-tiba ia balas menggigit tenggorokan lawairnya sekuat tenaga dengan mata meram, keadaan itu entah sudah berlangsung berapa lama, akhirnya ia merasa bau anyir darah menyembur ke mulutnya dan terasa memuakkan.
Dan waktu Ci-pang memuntahkan darah itu, ia lihat leher Thian-bong sudah berlubang besar.
Darah mancur bagai air leding saja, hanya kedua tangannya masih terus memegang erat pada Ci-pang.
Menghadapi keadaan di depan mata ini, mau tak mau Cipang merasa ngeri juga sekali pun ia sudah banyak mengalami pertarungan besar.
Lekas ia melepaskan tangan dari pegangan Thian-bong dan bermaksud meninggalkan goa ini, tetapi baru beberapa tindak, ia merasakan kaki dan tangannya lemas dan pegal, ia tak tahan lagi, terpaksa ia rebah kembali untuk mengaso.
Sementara itu rusa kecil yang luka digigit macan tutul tadi agaknya tahu kalau Ci-pang adalah sahabatnya, maka dengan pelahan ia mendekati orang.
Dalam keadaan sadar tak sadar, Ci-pang merasa rusa itu menggosok-gosok pelahan di atas dadanya, ia menjadi sadar kembali, dan dengan pelahan ia mengelus rusa itu sambil berkata.
"O, rusa, macan itu sudah mati, orang jahat pun sudah binasa, kini kau tak perlu takut lagi!"
Sewaktu berkata, terasa olehnya ada semacam cairan yang manis dan berminyak mengalir ke mulutnya terus masuk tenggorokannya.
Tidak lama kemudian, tubuhnya terasa timbul hawa hangat, ia merasa lebih segar daripada tadi.
Kiranya barang cair tadi adalah darah rusa dari lukanya yang tergigit macan serta yang diiris golok Thio Thian-bong itu.
Darah rusa bagus untuk obat penguat tenaga, maka beruntunglah Ci-pang yang sudah kehabisan tenaga itu, rusa kecil itu dapat meneteskan darah seakan-akan sengaja membalas budi.
Sesudah Han Ci-pang sadar, ia lihat di dekat mayat Thio Thian-bong penuh banjir darah dan di antara ceceran darah itu terdapat sebuah kotak kecil.
Seketika pikiran Ci-pang tergerak, dengan cepat ia mengambil kotak itu dan sesudah dibersihkan, segera ia buka dan memeriksa isinya, ia lihat di dalam kotak itu terdapat beberapa butir benda semacam mutiara, hanya warnanya tidak sebening dan mengkilap seperti mutiara, di pinggir kotak itu penuh tertulis huruf-huruf aneh yang tak dikenal, yakni huruf Hindu kuno.
Meskipun Ci-pang tak paham tulisan itu, tetapi ia pun tahu pasti itu Sik-li-ci adanya, keruan saja ia sangat girang, lekas ia tutup kembali kotak itu dan dimasukkan ke dalam buntalannya.
Karena banyak bergerak itu, Ci-pang merasa matanya berkunang-kunang lagi, maka tahulah dia keadaannya belum me-ngijinkan untuk berjalan.
Waktu ia meraba rusa kecil di sampingnya, ternyata binatang kecil itu sudah tak bernyawa lagi, rupanya mati karena terlalu banyak mengeluarkan darah.
Tiba-tiba Ci-pang merasa sangat kesepian, ia merasa sebatang- kara, hatinya hampa dan pikirannya kesal, lama kelamaan dalam keadaan angin semilir, akhirnya ia pun rebah kembali dan tertidur.
Waktu ia melihat sinar sang surya sudah menembus masuk, tatkala itu sudah siang hari kedua.
Ia mencoba berdiri, terasa tangannya masih belum cukup kuat, perutnya pun keru-yukan terasa lapar, cuma semangatnya sudah bertambah segar daripada kemarin.
Ia pikir bila sekarang ia keluar sedang tenaga belum pulih, jika di luar bertemu musuh lagi, tentu dirinya bisa celaka, maka terpaksa ia mengaso beberapa hari lagi di dalam goa ini, tetapi kemana harus mencari makanan? Padahal rangsum kering yang dibawa hanya tinggal sedikit, sedang ia tak tega makan daging rusa kecil itu.
Selagi bingung, tiba-tiba Ci-pang seperti mendapatkan sesuatu.
"Ha, kenapa aku melupakan macan tutul itu, dimanakah sekarang?"
Ia berseru kegirangan ketika teringat bangkai macan tutul yang dibinasakan kemarin dan dilempar masuk ke goa ini.
Segera Ci-pang mendapatkannya dan diseretnya bangkai macan itu, ia menyalakan api lalu daging macan itu dipotong terus dipanggang dan dimakannya.
Sinar api unggun yang ia nyalakan itu dapat menerangi seluruh goa dengan jelas, waktu Ci-pang mendongak memandang sekelilingnya, terlihat pada dinding batu goa itu banyak terukir lukisan manusia dengan bermacam gaya, ada yang diukir duduk sambil merangkap kedua tangan sedang menunduk, ada yang sedang menggosok telapak tangan dan yang bergaya menubruk bagai karimau, ada pula yang mencengkeram bagai garuda, di samping itu ada lagi yang membawa senjata dengan gaya membacok dan menusuk.
Gaya-gaya lukisan itu sangat aneh.
Hanya umurnya mungkin sudah terlalu tua, maka banyak ukiran yang sudah hampir tak terlihat, bahkan ada yang lenyap sama sekali tinggal bekasnya saja.
Dalam isengnya Ci-pang coba mengitari dinding goa itu dan menghitung ukiran itu, ia mendapatkan ukiran yang masih terang dan dapat dikenali tiga puluh enam buah, sedang yang sudah rata dan remang-remang ada tujuh puluh dua buah.
Di antara tiga puluh enam gambar yang masih terang itu ada enam buah yang berwujud sedang bersemedi, tiga di antaranya bergaya duduk bersila dengan tangan lurus ke bawah menghadap ke depan seperti tiada perbedaan, sedang tiga lainnya ada sedikit perbedaan, ada yang duduk miring, ada yang merangkap tangannya di dada dan ada lagi yang membungkuk hendak bangkit.
Setelah makan daging macan itu, tenaga Ci-pang sudah tambah kuat, maka dalam isengnya ia coba menirukan gaya yang dilihatnya menurut ukiran di dinding itu.
Enam gambar pertama yang bergaya semedi itu tak bisa dipahaminya, maka Ci-pang mencoba memilih ukiran yang dapat dimengertinya.
Mula-mula ia hanya menirukan beberapa gaya Cio-hoat saja, tetapi aneh, baru sebabak ia berlatih, ia merasa jalan darah dalam tubuhnya mengalir lancar hingga badan bertambah segar, semangat pun bertambah kuat.
Makin berlatih makin bersemangat, dan karena kesehatannya memang belum pulih betul, maka ia mengambil keputusan tinggal beberapa hari lagi dalam goa dan menghafalkan ketiga puluh macam gaya serangan dengan tangan, golok dan pedang itu, ia berlatih dan mengulanginya, maka tidak sampai tiga hari, ia sudah hafal semua.
Pagi hari keempat daging macan sudah termakan habis, kayu kering dalam goa pun sudah terbakar semua, ia mengumpulkan tenaga, dirasakan kini sudah pulih seluruhnya, ia menjadi girang, kemudian ia bebenah bantalannya untuk berangkat.
Tetapi sebelum berjalan keluar, tiba-tiba terdengar dari luar ada suara langkah orang sedang mendatangi goa dimana ia berada, lekas ia bersembunyi di belakang arca.
Sementara itu, orang yang datang sudah sampai di mulut goa, Han Ci-pang mendengar suara orang berkata.
"He, kenapa seperti bau mayat !"
Mendengar itu barulah Ci-pang ingat bahwa mayat Thio Thian-bong masih belum dipendam, ia sudah berdiam beberapa hari dalam goa, hidungnya sudah terbiasa dengan bau itu, hawa dalam goa pun dingin, maka ia tidak merasa.
Orang itu datang dari luar, dengan sendirinya lantas tercium bau busuk itu.
Tak lama kemudian, dua orang kelihatan masuk dengan membawa obor, dan sewaktu melihat mayat Thio Thian-bong, mereka berteriak kaget.
"Orang ini bukankah perwira bawahan Go Sam-kui yang dikatakan Coh Ciau-lam itu?"
Kata seorang di antara mereka.
"Menurut ceritanya, ilmu silat orang ini sangat tinggi, mungkinkah ia terbunuh oleh Leng Bwe-hong?"
Mendengar kata orang, diam-diam Han Ci-pang tersentak, pikirnya.
"Hm, agaknya kau hanya mengenal seorang Leng Bwe-hong saja!"
Dalam pada itu, kedua orang tadi tampaknya agak takut, mereka saling ragu tak berani menggeledah.
"Kalau orang lain masih tak apa, tetapi celakalah jika Leng Bwe-hong yang bersembunyi di dalam!"
Kata seorang lainnya. Han Ci-pang mendongkol, ia menggeram dan mendadak melompat keluar dari tempat persembunyiannya.
"Bukan Leng Bwe-hong pun dapat juga memusnahkan kamu!"
Bentaknya tiba-tiba.
Keruan kedua orang itu tersentak kaget, obornya dilemparkan ke depan.
Dengan sebat Ci-pang berkelit, dan begitu kedua tangannya bergerak segera ia merangsek maju pula.
Kiranya kedua orang ini adalah Kauthau atau pelatih pasukan pengawal.
Hari itu sesudah Coh Ciau-lam kena dihajar dan buron, ia pergi mencari Thio Sing-pin, dan minta dikirim bawahannya yang terkuat mengejar lagi dari beberapa jurusan, dan sekitar pegunungan Hun-kang lebih mereka perhatikan, maka Kauthau itu telah memergoki Han Ci-pang di dalam goa.
Setelah Ci-pang menubruk maju, kedua Kauthau itu dapat melihat jelas bahwa muka lawan tak terdapat codet bekas luka, mereka tahu tentu bukan Leng Bwe-hong, maka nyali mereka menjadi besar, segera mereka sambut serangan itu.
Han Ci-pang pernah menjabat Congthocu atau ketua perkumpulan Thian-te-hwe, ilmu silatnya sudah tentu tidak lemah, tipu serangan yang ia mainkan berasal dari suatu cabang tersendiri.
Akan tetapi musuhnya lawan tangguh juga, malahan mereka mengeroyok dari kiri-kanan, satu dengan kepalan dan yang lain dengan telapak tangan, mereka menyerang dengan kerja-sama yang rapat.
Karena itu, Han Ci-pang tak dapat merangsek maju malahan pelahan-lahan terdesak, terpaksa ia mundur sambil menjaga diri.
Sampai pada suatu saat, musuh di sebelah kiri dengan kepalan menjotos ke muka Ci-pang, waktu Han Cipang menangkis, musuh di sebelah kanan pun menghantam pundak kirinya dengan keras, serangan kedua ini sangat berbahaya sekali.
Dalam keadaan kepepet itulah dengan tiba-tiba dan tanpa terasa, Han Ci-pang mengeluarkan tipu pukulan dari ukiran di tembok goa yang baru ia pelajari.
ia bukannya mundur, tetapi terus mencekal kepala musuh di sebelah kiri, berbareng ditariknya dan dengan sekali gertakan.
"Naik!"
Ia angkat musuh itu ke atas dan diayun cepat.
Pada waktu itulah, musuh di sebelah kanan justru menyerang, ia kena disapu oleh ayunan Ci-pang ini, hingga terpaksa melompat pergi, tetapi dengan kecepatan luar biasa Ci-pang lantas melemparkan musuh yang ia cekal tadi, dan dengan tepat membentur musuh yang hendak lari itu, orang itu menjerit terus roboh, sedang musuh yang kena dilempar masih terus nyelo-nong, kepalanya menumbuk patung hingga pecah dan otaknya berantakan.
Setelah serangannya berhasil, Ci-pang tak ayal lagi, dengan cepat ia maju, musuh yang roboh tadi, baru saja mau bangkit sudah kena dipukul terguling dan belum sempat berteriak sudah tamat riwayatnya.
Hanya dalam dua-tiga gebrakan sudah dapat mengalahkan musuh tangguh dengan tipu yang baru saja dipelajarinya itu, tentu saja Ci-pang girang bukan kepalang.
Ia lihat patung yang tertumbuk itu hendak roboh, maka lekas ia menyanggah tapi matanya menjadi terbeliak, ternyata di bawah patung itu terlihat ada sebuah kitab, ia menjadi tertarik, diambilnya kitab itu, ia tiup bersih debunya dan membalik lembaran kitab, tulisan di dalamnya ternyata sangat aneh dan mirip sekali dengan tulisan di dalam kotak Sik-li-ci yang tak dimengertinya itu.
Sampai pada lembar terakhir, baru nampak ada dua baris huruf Han, kedua huruf itu berbunyi .
"Tat-mo-yi-kin-keng, ditinggalkan pada yang berjodoh."
Di bawahnya ada pula beberapa baris huruf kecil berbunyi sebagai berikut.
"Seratus delapan gaya, tiap gaya menunjukkan keistimewaan, sembilan gambar enam patung, pertama adalah memupuk dasar."
Dalam satu huruf kecil pula yang terakhir adalah tanggal dan tahun zaman dinasti Tong.
Setelah membaca itu, Han Ci-pang masih tidak paham, ia lihat kitab tua ini mungil dan menyenangkan, maka sekalian ia masukkan ke dalam buntalannya.
Barulah beberapa tahun kemudian ia mengetahui, bahwa Tat-mo Siansu adalah seorang padri berilmu tinggi pada zaman dinasti Lam Pak-tiau, dan terhitung salah seorang pencipta ilmu silat yang tersohor, lukisan seratus delapan macam gaya di tembok itu adalah seratus delapan jurus ajaran asli Tat-mo-kun-hoat yang tersohor dalam ilmu silat.
Sayang Han Ci-pang hanya mempelajari tiga puluh macam pukulan itu, sedang yang paling penting, enam gambar bersemedi di depan yang mengutamakan 'memupuk dasar' sama sekali tidak dipelajarinya, sehingga walau pun ia kini memperoleh penemuan aneh, tapi di belakang hari masih tetap banyak mendapat kesukaran.
Dengan tindakan pelahan kemudian Ci-pang keluar dari goa, ia lihat sang surya terang benderang, bunga-bunga mekar semerbak menunjukkan keindahannya di lembah pegunungan itu Ci-pang telah beberapa hari bersembunyi dalam goa dan tidak nampak sinar matahari, di bawah langit nan biru dan di tengah bunga pegunungan yang indah, rasa hatinya menjadi lapang.
Hatinya yang masgul selama beberapa hari kini bagai asap mulai buyar, ia berjalan terus sambil menikmati pemandangan pegunungan di sekitarnya.
Tiba-tiba dilihatnya di antara tebing pegunungan itu, tiap jarak tertentu pasti ada ukiran pucuk panah yang diukir orang dengan golok, bahkan masih ada pula tanda dan isyarat lain yang aneh.
la terheran-heran, mendadak terdengar suara ribut dan bentakan yang berkumandang dari atas bukit berbareng itu ada pula debu dan batu beterbangan turun dari atas.
Ci-pang tahu pasti ada beberapa orang sedang bertempur di atas sana, ia ingin mengetahui, maka segera ia merambat naik menggunakan akar rotan pegunungan di situ untuk naik ke atas.
Sesampainya di atas, tampak olehnya ada empat jago pengawal kerajaan berbaju hitam sedang mengeroyok tiga orang Lamma, mereka bertempur dengan seru sekali.
Demi melihat itu, Ci-pang terheran-heran.
Di antara ketiga Lamma itu, ia mengenal salah seorang yang dulu bersama Thio Thian-bong mengawal Sik-li-ci itu.
Lewat tak lama, Ci-pang melihat keempat pengawal itu makin lama makin kuat, ketiga Lamma itu dibuat kelabakan dan hanya dapat menangkis saja dan tak mampu balas menyerang.
Ci-pang tidak tahan lagi, dengan sekali menggeram ia melolos goloknya dan menerjang maju membantu para Lamma.
Lamma yang mengenali Han Ci-pang kegirangan, ia memanggilnya.
Selagi Ci-pang hendak memberi sahutan, dilihatnya dua pengawal keluar dari kalangan pertempuran dan mencegatnya.
"Kiranya siapa? Tak tahunya adalah Han-congthocu!"
Demikian kata mereka dengan tertawa sinis.
Kedua jago pengawal ini yang seorang memakai senjata.
Boan-koan-pit dan yang lain menggunakan Ku-gi-to, begitu mendekat mereka lantas menyerang dengan keji, pit dipakai me-notok, sedang Ku-gi-to, yakni semacam golok yang bergerigi seperti gergaji, lantas membacok.
Sebenarnya Ci-pang bermaksud melayani mereka dengan ilmu pukulan yang baru dipelajari.
Tetapi kemudian ia mengurungkan, ia tetap memakai kepandaian aslinya Pat-kwaci- kim-to-hoat untuk menempur mereka.
Ia ingin mencoba ilmu golok aslinya dengan ilmu pukulan yang baru, bagaimana perbedaannya? Ia sudah siap, apabila terpaksa, baru ia mengeluarkan ilmu pukulannya yang baru.
Ilmu golok Ci-pang seluruhnya ada enam puluh empat gerakan dan hasil ciptaan guru silat ternama, Tan Su-lam, di zaman dinasti Beng.
Kalau ilmu golok ini dimainkan secara cepat sungguh tidak kurang lihainya, tetapi ia menghadapi dua lawan dengan senjata aneh, lebih-lebih lawan yang memakai Boan-koan-pit itu gerakannya gesit dan cepat, yang diarah selalu jalan darah yang berbahaya.
Kalau satu lawan satu, dengan kepandaian Han Ci-pang masih dapat memenangkannya, tetapi kini satu harus lawan dua, meskipun Ci-pang sudah mengeluarkan seluruh kemampuannya, barulah bisa sama kuat.
Dan sesudah agak lama, Ci-pang mulai kewalahan, waktu ia melirik pihak sana, ia lihat meski sudah berkurang daya tekanan musuh, namun para Lamma itu masih belum bisa mengalahkan musuh mereka.
Ci-pang menjadi nekad, ia tunggu waktu musuh yang menggunakan Ku-gi-to itu membacok, dengan cepat ia berkelit terus menubruk maju, ia ayun goloknya mengarah muka musuh yang bersenjatakan Boan-koan-pit.
Dalam kagetnya musuh ini lekas menarik senjata potlot bajanya hendak menangkis, di luar dugaan ilmu golok Ci-pang ternyata cepat dan aneh luar biasa, tahu-tahu ujung goloknya berputar balik dan sudah menerobos lewat di antara senjata musuh, maka tanpa ampun lagi pundak musuh itu tertusuk tembus.
Tanpa melihat hasil serangannya itu, Ci-pang tidak pula membalik, ketika ia mendengar ada angin menyambar dari belakang, mendadak ia memutar ke samping dan goloknya ia ayun kembali, dengan cepat ia membacok.
Musuh yang memakai golok bergerigi ini serangannya tak mengenai sasaran, sebaliknya ia telah kena dibacok, goloknya sampai terpental dan ketika Ci-pang memutar lagi goloknya sekali, maka terkurunglah tubuh orang itu menjadi dua.
Melihat kawannya melayang jiwanya, musuh yang memakai Boan-koan-pit yang terluka pundaknya itu ketakutan setengah mati, ia merangkak bangun terus berlari pergi.
Ci-pang tak mengejarnya, dengan golok masih terhunus ia pun menerjang ke dalam kalangan pertempuran untuk membantu ketiga Lamma.
Tatkala itu pertempuran mereka sedang serunya, ketika mendadak diserbu Ci-pang, dalam kagetnya salah seorang pengawal itu tak sempat menangkis sehingga kena dibacok terguling.
Seorang lagi terperanjat, ia menggunakan senjata tombak, maka cepat menangkis serangan Ci-pang yang diarahkan padanya.
Tak terduga, mendadak Ci-pang malah melompat maju, ia tahan tombak orang dengan goloknya sambil melangkah ke samping, berbareng sebelah tangannya memegang pergelangan tangan orang dan segera dipuntir sekuatnya, keruan saja orang itu kesakitan hingga menjerit, dan karena urat nadinya dipencet Ci-pang, maka jago pengawal ini tak dapat berkutik lagi, ia diseret Ci-pang bagaikan menuntun kambing.
Dalam sehari Ci-pang dapat mengalahkan enam jago pengawal, pukulan yang ia gunakan semuanya dari ilmu pukulan yang baru dipelajari dari ukiran di tembok goa itu, tiap pukulan yang ia keluarkan ternyata membawa hasil yang ajaib.
Ia heran dan juga girang.
Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kau biasanya pintar menindas rakyat, kini biar tahu rasa juga,"
Katanya sambil membekuk perwira tadi. Sambil berkata ia memencet dengan keras.
"Ampun, tuan!"
Teriak orang itu kesakitan.
"Kalau kau ingin hidup, itupun tidak mudah, kau harus memberitahukan padaku, untuk urusan apa kamu datang ke sini!"
Tanya Ci-pang.
"Kami mendapat perintah untuk mengikuti jejak Leng Bwehong,"
Jawab orang itu.
"Dengan aku saja tak mampu menang, malah berani mengejar Leng Bwe-hong?"
Kata Ci-pang.
"Kau Loyacu (tuan besar) punya ilmu silat jauh lebih tinggi daripada Leng Bwe-hong!"
Sahut perwira itu memuji.
"Siapa perlu kaupuji?"
Ci-pang dengan lantang mendamprat. Walaupun dalam mulut ia mendamprat tetapi dalam hati timbul juga semacam rasa senang, pikirnya.
"Hm, baru kini kamu kenal siapa aku!"
"Baiklah, karena kau sudah berterus-terang, biarlah kuampuni jiwamu!"
Bentaknya kemudian sambil mendorong orang itu.
Keruan saja perwira itu seperti mendapat lotere, dengan cepat ia berlari ngibrit tanpa menoleh lagi.
Sementara itu ketiga Lamma itu menghaturkan terima kasih, lebih-lebih Lamma yang sudah mengenal Han Ci-pang, ia merangkulnya dan mencium jidatnya.
"Sudahlah, sudah, bukankah kalian datang untuk mencari Sik-li-ci?"
Tanya Ci-pang dengan tertawa kikuk karena tak biasa dengan cara menghormat tadi.
Lamma yang dikenalnya ini bernama Congtat Wancin, ia menceritakan bahwa sesudah kehilangan Sik-li-ci, sebelum kembali ke Tibet mereka bertemu dengan padri yang khusus datang hendak menyambut benda suci itu.
Maka tiap hari mereka keluar mencari jejak Thian-bong.
Walaupun mereka tahu Thian-bong sudah kabur jauh, tetapi mereka masih belum putus harapan.
Lamma itu baru ingin mencari di sekitar Hun-kang, tak terduga malah bertemu dengan para pengawal tadi.
"Keyakinan kalian dalam mencari benda suci itu sungguh hebat betul. Lihatlah ini!"
Kata Ci-pang kemudian dengan tertawa sambil mengeluarkan kotak cendana dan diperlihatkan kepada para Lamma itu.
"He, inilah Sik-li-ci!"
Seru Congtat Wancin kegirangan.
Dengan segera ia bertekuk lutut dan menjura terus diikuti dua Lamma yang lain.
Ci-pang menjadi bingung tak tahu apa yang harus diperbuatnya.
Ketiga Lamma itu bangkit dan masing-masing mengel uarkan sebuah handuk bersulam, dengan kedua tangan mereka mempersembahkan ke hadapan Han Ci-pang.
Ci-pang tahu ini adalah suatu cara penghormatan yang paling tinggi dalam adat kebiasaan Lamma yang disebut mempersembahkan 'Hata', maka cepat ia berkata.
"Mana aku berani menerima!?"
"Sejak kini kau adalah Tuan penolong kaum Lamma kami, harap kau dapat ikut kami ke Tibet,"
Kata Congtat Wancin mewakili Lamma yang lain.
Semula Ci-pang masih menolak dengan merendah, tetapi sesudah ia berpikir lagi, kemudian dengan tersenyum ia terima juga ajakan orang.
Dan dengan kepergiannya ke Tibet ini, baru beberapa tahun lagi ia bertemu kembali dengan Leng Bwe-hong dan Lauw Yu-hong.
Sementara Han Ci-pang bersama Lamma itu melintasi dataran tinggi menuju Tibet, maka Leng Bwe-hong bersama Lauw Yu-hong juga sedang berkelana di dataran tinggi daerah sekitar Hun-lam dan Ku-ciu.
Dalam perjalanan selama belasan hari itu di antara mereka telah timbul perasaan yang sangat aneh.
Lauw Yu-hong merasa sikap Leng Bwe-hong terhadap dirinya kadang seperti seorang sahabat dekat, tetapi kadang juga seperti orang yang asing sekali.
Sepanjang jalan Bwehong bersikap sangat angkuh, tetapi dalam keangkuhan itu tanpa terasa nampak juga rasa simpatik dan semacam rasa kasih.
Selama hidup Lauw Yu-hong belum pernah mendapat perlakuan sedingin itu, tetapi juga tidak pernah memperoleh perhatian orang yang begitu simpatik.
Bercampurnya perasaan yang begitu ruwet dan bertentangan itu, dan juga begitu aneh, walaupun ia sudah lama berkelana di Kangouw dan terhitung pahlawan wanita yang sudah kenyang menghadapi segala ujian, tapi dalam jaringan perasaan yang begitu rupa, ia seperti laba-laba yang rela mengikat diri.
Ia pernah menyangsikan Leng Bwe-hong adalah sahabatnya di waktu muda itu, akan tetapi bagaimana hal ini terjadi? Pada malam peristiwa itu terjadi, jelas dilihatnya baju dan sepatunya terapung di Ci-tong-kang, boleh jadi mayatnya sudah terapung ke samudra raya dan berkawan dengan ikan besar.
Lagi pula wajah Bwe-hong dan suaranya pun tak sama dengan bayangan yang masih terekam dalam hati sanubarinya.
Hanya ada satu hal yang mirip dengan si 'dia', ialah kalau Leng Bwe-hong sedang memikirkan sesuatu, samasama mempunyai kebiasaan menekuk-nekuk jari tangannya.
Bagaimanapun Lauw Yu-hong adalah seorang Congthocu, ia tak berani dengan terus terang mengutarakan kesangsiannya, ia hanya mengamati Leng Bwe-hong sepanjang perjalanan, ia mengharap darinya bisa memperoleh titik persamaan yang lebih banyak.
Leng Bwe-hong pun seperti mengetahui dirinya diperhatikan, kadang kala ia memberi balasan dengan tersenyum tawar.
Perjalanan belasan hari dengan perasaan kesal telah dapat dilalui.
Hari itu mereka sampai di Hua-ling, jarak ke Kun-bing hanya tiga ratusan li saja.
Hari itu pagi-pagi betul mereka sudah melanjutkan perjalanan lagi.
"Dengan cara kita berjalan, waktu magrib nanti mungkin kita sudah bisa sampai di Kun-bing,"
Seru Leng Bwe-hong tertawa sambil menuding ke tempat jauh.
Waktu itu, mereka sedang memasuki suatu lembah sunyi, cuaca mendung gelap, di atas lembah gunung itu tertutup halimun yang makin lama makin tebal, lambat laun udara menjadi gelap gulita, jalan di depan pun tak jelas lagi.
"Ini adalah halimun tebal dari gunung Oh-bong-san,"
Seru Leng Bwe-hong.
"Biasanya disusul dengan gas racun, kita harus hati-hati!"
Mereka mengatur pemapasan dan maju merayap, tak lama kemudian sesampainya di atas, mereka terbeliak, di depan mereka terdapat sebuah telaga besar dikelilingi puncak gunung yang indah, keindahan telaga itu agaknya pembawaan alam, di atas telaga terdapat gumpalan awan putih yang terapung mengelilingi puncak gunung.
Sekitar kaki gunung penuh dengan pepohonan yang hijau segar.
Waktu itu, meskipun halimun di udara cukup tebal, tetapi air telaga di bawahnya begitu tenang dan nyaman.
Yu-hong mengeluarkan sebuah peta dan memeriksanya.
"Ini adalah telaga 'Bu-sian-oh', di sini hawa beracun agak tidak begitu kuat, lebih baik kita istirahat sebentar, nanti bila keadaan mengijinkan kita bisa lanjutkan kembali,"
Kata Yuhong.
Dalam pada itu, betul saja hawa beracun telah datang menyusul halimun tebal, meskipun di dekat telaga ada air yang dapat menolak hawa beracun itu, tetapi pernapasan mereka terasa sesak juga.
Dan selagi me-eka hendak berhenti mengaso, tiba-tiba dari jauh angin silir membawa bau wewangian, dan hawa beracun itu segera buyar oleh bau wangi itu.
Mereka menjadi girang, mereka mendatangi tempat tersebut.
Tidak lama kemudian mereka melihat ada segundukan api unggun, di sekitar api itu berkerumun banyak orang lelaki dan perempuan yang memakai ikat kepala.
Leng Bwe-hong sudah banyak pengalaman, ia mengerti itu adalah orang suku bangsa Yi sedang membakar semacam rumput wangi yang khusus tumbuh di Hun-lam untuk menghindari serangan hawa beracun.
Boleh jadi di tepi telaga itu ada perkampungan, maka begitu ada halimun tebal disertai hawa beracun, penduduk di situ lantas berkumpul membakar rumput wangi untuk menolak hawa beracun.
Cepat Leng Bwe-hong dan Lauw Yu-hong menghampiri ke sana, ia memberi salam kepada penduduk di situ dan dengan menuding udara serta gerakan tangan untuk memberi tanda maksud kedatangannya.
Suku bangsa Yi mempunyai adat sopan dan suka bersahabat, melihat kedatangan Bwe-hong berdua, mereka lantas mengerti maksud orang, maka segera ada yang memberi tempat, dan mempersilakan mereka duduk.
Sewaktu Leng Bwe-hong hendak duduk, sekilas dilihatnya di antara kelompok orang itu ada tercampur dua orang bangsa Han, dan dengan pandangan tajam sedang mengamati dirinya.
Bwe-hong tergerak perasaannya, ia pura-pura menunjang janggut dengan tangannya untuk menutupi bekas luka di mukanya dan menundukkan kepala.
Lewat tak lama, halimun makin tebal, orang suku Yi itu menambah pula rumput wangi untuk dibakar lebih besar di api unggun itu.
Dan pada waktu itu juga dari tepi telaga datang seorang dengan cepat.
Melihat tindakannya yang gesit, Leng Bwehong tahu pasti dia adalah jago silat, akan tetapi setelah dekat ternyata orang ini berdandan sebagai sastrawan yang sangat cakap, melihat umurnya tentu sekitar dua puluhan tahun.
Orang itu ternyata paham bahasa Yi, begitu datang lantas mengajak bicara dan bersenda-gurau dengan penduduk Yi, agaknya ia mempunyai kenalan di sini.
Sebentar kemudian, dari lembah sunyi sana kembali muncul beberapa orang tinggi besar dan berbaju kuning.
Demi nampak mereka, Leng Bwe-hong berseru heran, ia senggol Lauw Yu-hong supaya berpaling ke sebelah sini dan jangan berpapasan dengan orang itu.
Orang ini ternyata amat sombong dan sewenang-wenang, begitu tiba tanpa bersalaman dengan penduduk di situ, lantas mendesak ke tengah dan dengan tepat duduk di samping dua orang Han yang duluan tadi.
Saat itu juga di antara halimun dan hawa beracun yang tebal itu, terdengar riuh burung yang ketakutan.
Ada segerombolan burung menerobos halimun tebal terbang merendah mengitari gundukan api unggun.
Mungkin karena tak tahan oleh hawa beracun itu, maka burung itu terbang rendah sekali.
Ada beberapa orang suku Yi dengan galah bambu menanti bila burung terbang rendah, tiba-tiba menghantam dengan galahnya, ada belasan burung yang segera kena dipukul jatuh.
Akan tetapi sesudah beberapa kali, burung itu pun menjadi cerdik, untuk menghindari hawa beracun terpaksa burung itu terbang rendah tetapi mereka menyambar dengan cepat, begitu melihat bayangan galah, segera mereka terbang pergi lagi, lama-lama orang suku Yi itu menjadi kewalahan.
Tiba-tiba dua orang Han yang duluan tadi tertawa terkekeh-kekeh, mereka minta sebatang galah dari penduduk dan lantas berdiri, mereka mengayunkan galah dengan cepat, burung yang terbang rendah bila terbentur lantas jatuh ke bawah, hanya sekejap saja sudah banyak burung yang terpukul jatuh.
Akhirnya burung-burung itu menjadi ketakutan dan ribut, mereka terbang tinggi hingga galah tak membenturnya.
Tak terduga, orang berbaju kuning yang datang belakangan menyindir, seorang di antaranya menjemput sebutir batu dan lantas berdiri.
"Untuk apa begitu banyak membuang tenaga, lihat aku ini!"
Kata orang itu.
Dengan kuat lalu ia meremas batu di tangannya, menyusul kedua tangan diayun, terlihat batu kerikil beterbangan, burung di angkasa beruntun jatuh.
Dua orang yang duluan lekas menarik kembali galah mereka dan dengan menghormat mereka menyapa.
Orang berbaju kuning kembali menampakkan tawa dinginnya.
"Kim Khe,"
Katanya kepada seorang di antara dua orang Han tadi, sambungnya.
"Kau tidak mengenaliku lagi? Tetapi aku masih dapat mengenalimu, kudengar kau sangat bahagia di tempat Ping-lam-ong Siang Ci-sin, dan sobat yang satu ini, tentunya juga orang kuat dari Ong-hu!"
Orang yang disebut Kim Khe itu memandangnya sejenak, kemudian katanya.
"Cianpwe apakah betul Khu Tong-lok Siansing?"
"Sepuluh tahun yang lalu seperti pernah bertemu di Lik-sia, Cianpwe selama ini bernaung dimana?"
Mendengar orang berulang-ulang menyebut Cianpwe padanya, lagak Khu Tong-lok sedikit menjadi halus, akan tetapi ia mendesak lagi.
"Kaudatang dari tempat Siang Ci-sin, barang apa yang kaubawa untuk Go Sam-kui, coba perlihatkan kepadaku!"
Tanyanya cepat. Muka Kim Khe berubah keras.
"Mengenai hal ini, maafkan Wanpwe tidak dapat menurut!"
Sahutnya.
"Geledah dia!"
Perintah Khu Tong-lok pada ketiga orang kawannya dengan tegas.
Ketiga orang itu berbareng menubruk maju, tetapi Kim Khe sudah lebih dulu memukul orang yang paling depan.
Orang itu berkelit ke samping, dengan cepat luar biasa Kim Khe segera menerobos keluar, tetapi ketiga orang tegap berbaju kuning itu mana mau membiarkannya, serentak mereka mengepung.
Kawan Kim Khe baru saja hendak turun tangan, tiba-tiba sudah teitotok oleh sambitan sebutir batu kerikil Khu Tong-lok, segera ia roboh tak berkutik.
Dan karena keributan ini, penduduk Yi lantas bubar menyingkir.
Leng Bwe-hong pun kini terpaksa ikut berdiri bangun.
Justru waktu itu juga beberapa orang yang bertempur itu sudah dekat di sampingnya.
Orang berbaju kuning itu ternyata sangat gagah, mereka mengepung dari tiga jurusan, kepalan mereka menyerang dengan cepat, Kim Khe berulang menggeser pergi, sambil menangkis ia menyingkir masuk di antara orang banyak, karena itu suku Yi menjadi kacau dan berlari bubar, maka sekejap saja mereka sudah mendekati Leng Bwe-hong yang masih berdiri di situ.
Ketika seorang berbaju kuning itu menggertak, sebelah tangannya memotong dari samping, Kim Khe berjongkok untuk menghindari serangan itu, maka dengan cepat lewatlah pukulan itu di atas kepalanya, tetapi karena itu juga tubuh Leng Bwe-hong yang kena terpukul.
Sebenarnya Leng Bwe-hong tidak ingin menampakkan diri, maka ia tadi hanya ikut orang banyak menyingkir saja, ia tidak ingin memperlihatkan dirinya sebagai seorang ahli silat.
Kini mendadak kena pukulan orang tegap itu, dengan sendirinya secara reflek ia mengeluarkan ilmunya yang tinggi untuk menghindari pukulan itu, sedikit tubuhnya bergerak, orang itu seperti memukul kapas, hingga tubuhnya mendadak mendoyong ke depan, Kim Khe mengambil kesempatan itu untuk menendang, maka orang itu segera tertendang pergi dua tombak lebih.
Khu Tong-lok terkejut menyaksikan kejadian itu, cepat ia memburu ke hadapan Leng Bwe-hong.
"Aha, kukira siapa, tak tahunya adalah kau!"
Kata Khu Tong-lok dengan suara aneh dan tertawa.
"Selamat bertemu,"
Jawab Leng Bwe-hong dengan lagak angkuh. Sambungnya kemudian.
"Enam belas tahun yang lalu aku telah menerima dua kali goresan golokmu, beruntung saja tidak terbunuh mampus!"
"Aku sedang mencarimu untuk membikin perhitungan baru, ternyata kau malahan hendak bikin perhitungan lama?"
Kata Dalam pada itu Kim Khe sedah mengenali Leng Bwe-hong juga, ia menjadi kaget, ia tahu Leng Bwe-hong adalah pendekar yang malang-melintang di Kongouw dan selalu dibuat bahan cerita dalam dunia persilatan.
Sebaliknya Khi Tong-lok juga dike nalnya sebagai jago terkemuka di kalangan Kangouw.
Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kedua orang ini lak boleh dibuat main-main.
"Khu-locianpwe, aku bukan kawan seperjalanan mereka,"
Kata Kim Khe kemudian ketika ia melihat dirinya hendak dikepung.
"Baik"
Sahut Khu Tong-lok tertawa.
"Urusan kita, nanti kita bicarakan, sekarang cukup kautinggal diam dulu, soal itu nanti bisa dirundingkan."
Nyata Khu Tong-lok yakin dirinya sanggup menandingi Leng Bwe-hong, hanya kepandaian Lauw Yu-hong yang belum diketahui, maka sengaja menggertak Kim Khe agar berlaku netral sementara dan membereskan Bwe-hong dahulu.
Seperti diketahui, Khu Tong-lok ini adalah Susiok To Tok dan saudara seperguruan Nikulo yang tewas bersama Njo Hun-cong.
(Baca PAHLAWAN PADANG RUMPUT) Di waktu mudanya Khu Tong-lok pernah dihajar Njo Huncong di pegunungan Mahsar dimana ia bersama sang Sute, Liu Se-giam, hendak merebut peta wasiat dari Asta, seorang Kazak, saudara angkat Hun-cong.
Tong-lok adalah murid ketiga Hong-lui-kiam Ce Cin-kun dari aliran Tiang-pek-san, tetapi ilmu silatnya yang paling hebat di antara ketiga saudara seperguruannya.
Sebenarnya ia adalah bangsa Boan, cuma memakai nama Han untuk memancing jago silat lain supaya mengabdikan diri pada pemerintah Boan-jing, di samping itu ia pun memata-matai gerak-gerik para pahlawan dunia persilatan.
Setelah Nikulo tewas, Tong-lok tak tahu kalau Hun-cong juga tewas bersamanya, maka jauh-jauh ia sengaja datang ke Thian-san hendak menuntut balas pada Njo Hun-cong, baik untuk kematian Suhengnya itu maupun untuk sakit hati diri sendiri.
Tatkala itu kebetulan Leng Bwe-hong baru datang ke Sinkiang, ilmu silatnya masih randah, maka ia telah merasakan goresan golok Khu Tong-lok pada mukanya hingga berwujud codet itu, syukur Hui-bing Siansu keburu dating menolongnya, Hui-bing memperlihatkan ilmunya dengan meremas batu menjadi bubuk hingga Khu Tong-lok dibikin lari ketakutan.
Kini kedatanganya ke Hun-lam bertujuan mengejar Leng Bwe-hong yang diketahui memasuki daerah ini dari laporan Coh Ciau-lam, sedang ketiga orang kawannya itu adalah Si-wi atau jago pengawal kelas satu dari kerajaan.
Memang penguberan mereka ini atas titah Kaisar Khong-hi yang keder terhadap orang pandai seperti Leng Bwe-hong ini, di samping itu dua jago lainnya sudah dikirim lebih dulu langsung ke Kun-bing.
Mula-mula Khu Tong-lok hanya membawa seorang teman, tetapi sesampainya di pegunungan Hun-kang, di antara tebing yang curam itu dapat dilihatnya tulisan yang ditinggalkan Lauw Yu-hong untuk Han Ci-pang yang seorang diri itu.
Maksud tulisan itu adalah meminta Ci-pang supaya terus ke barat agar dapat bersama-sama melaksanakan pergerakan.
Pesan ini tak terbaca oleh Ci-pang, sebaliknya terbaca oleh Khu Tong-lok.
Tong-lok cukup cerdik, dari tulisan itu ia menduga orang pasti masuk ke daerah Hun-lam, maka cepat ia menyusulnya, di daerah perbatasan kebetulan mereka bertemu dengan dua jago yang dikirim duluan itu, lalu mereka berempat menempuh perjalanan bersama, dan tiba di tepi telaga Busian- oh karena rintangan halimun dan hawa beracun, secara kebetulan pula mereka pun menjumpai Leng Bwe-hong.
Kini secara terang-terangan Khu Tong-lok menantang Leng Bwe-hong, tentu saja Leng Bwe-hong menjadi gusar, ia melolos pedang dan melangkah maju, tetapi mendadak ia berputar balik, ia cabut pedang di pinggang Lauw Yu-hong sedang pedang Yu-liong-kiam yang dapat direbutnya dari Coh Ciau-lam itu ia berikan kepada Yu-hong.
"Ini, kaupakai pedang ini,"
Katanya pada Yu-hong.
Lauw Yu-hong heran, dan selagi hendak bertanya, Bwehong sudah melangkah maju lagi.
Tak lama kemudian Yuhong baru mengerti, ia tahu Bwe-hong kuatir musuh terlalu kuat, maka pedang pusaka itu sengaja diberikan padanya untuk menjaga diri.
Ia menjadi berterima kasih sekali, sambil memegangi pedang pusaka itu ia termangu di tempatnya, saking terharu matanya menjadi' basah.
Sementara itu Khu Tong-lok sudah mulai bergerak, dia sekal igus memakai dua senjata yang berlainan, tangan kiri menggunakan golok dan tangan kanan memakai pedang, dalam sekejap saja ia menyerang beberapa kali dengan tipu yang aneh serta berbahaya.
Sebenarnya kedua senjata Tong-lok itu biasa saja, tetapi sekaligus menggunakan dua macam senjata berbareng, inilah yang luar biasa dan sangat sulit dipelajari dalam ilmu silat.
Tetapi Khu Tong-lok bisa memainkan kedua senjatanya secara begitu bagus dan rapat, setiap perubahannya pun susah diraba.
Sekalipun Thian-san-kiam-hoat atau ilmu pedang dari Thian-san yang dimainkan Leng Bwe-hong sangat hebat, tetapi pada belasan jurus permulaan ia kerepotan juga melayani rangsekan Tong-lok.
Tetapi Leng Bwe-hong bukan sembarangan orang, setelah belasan jurus lewat, ia pun dapat memahami gerak serangan Khu Tong-lok.
Mendadak permainan pedangnya berubah cepat, ke-mana pedangnya mengarah, tubuhnya pun berada di sana, ia balas merangsek dengan serangan yang baru dan aneh serta dilakukan berganti-ganti.
Meski Hong-lui-to-kiam atau ilmu permainan golok guntur dan pedang angin yang dilontarkan Khu Tong-lok begitu hebat, tetapi ilmu pedang Leng Bwe-hong ternyata jauh lebih lihai dan susah dilawan.
Makin lama pertarungan kedua orang ini semakin seru hingga untuk sementara orang lain susah menentukan siapa bakal unggul dan siapa asor.
Lambat-laun terlihat Khu Tong-lok mulai berkeringat, sungguh tak pernah diduganya bahwa Kiam-hoat atau ilmu pedang Leng Bwe-hong bisa begitu hebat dan luar biasa.
Dalam sibuknya itu, dilihatnya Lauw Yu-hong setindak demi setindak melangkah maju dengan penuh perhatian menyaksikan pertarungan itu.
Sedang dirinya terang kewalahan, ia menjadi mendongkol melihat kawannya tidak lantas turun tangan.
"Hayo, kawan-kawan, kenapa tidak lekas menangkap penjahat perempuan itu!"
Segera ia membentak.
Dan karena bentakan itu, dengan cepat ketiga jago pengawal tadi lantas mengembut maju.
Ketiga pengawal ini masing-masing bernama Thio Gui, Peng Kun-lim dan Hek Kehbing.
Thio Gui bersenjata golok perunggu, sedang Peng Kunlim menggunakan toya panjang dan Hek Keh-bing bersenjatakan sepasang cakram besi bertali, dan dia inilah yang paling lihai di antara mereka bertiga.
Waktu mengembut maju, Peng Kun-lim mengemplang paling dulu dengan toyanya, tak terduga tangkisan pedang Lauw Yu-hong telah membuat ujung toyanya terkutung sebagian.
"Ia menggunakan pedang mestika,"
Teriaknya kaget.
Hek Keh-bing tidak banyak bersuara, ketika tangannya terayun, sepasang cakram terbangnya telah dilontarkan dengan, cepat.
Dengan pedang Yu-hong bermaksud memotong tali senjata lawan.
Tetapi Hek Keh-bing ternyata cukup licin, baru saja Yu-hong bergerak, tiba-tiba cakram menyambar ke bawah, dan ketika Yu-hong hendak menebas ke bawah, cakram menyambar dari kanan dan kiri.
Sepasang cakram besi itu ternyata dapat dimainkan begitu hidup dan lihai sekali.
Untung Yu-hong menggunakan Pokiam hingga musuh tak berani terlalu mendesak, namun tidak urung ia kerepotan juga melayani keroyokan orang.
Dan ketika melihat ada kesempatan, dengan cepat Peng Kun-lim dan Thio Gui lantas merangsek maju.
Sekali ini Peng Kun-lim sudah berpengalaman, ia tidak menyerang sendiri lagi, tetapi bekerja-sama dengan cakram besi kawannya dan berhati-hati supaya toyanya tidak terkurung lagi.
Sebaliknya golok perunggu Thio Gui tebal dan berat, namun gumpil juga bila terbentur pedang pusaka Yu-liong-kiam, tetapi untuk menabas kutung, Yu-hong juga tak bisa.
Dengan begitu Yu-hong harus melawan tiga macam senjata, cakram besi selalu menyambar dari tempat jauh sedang golok dan toya merangsek dari jarak dekat, lama kelamaan Yu-hong merasa payah juga, syukur karena keder terhadap pedang pusakanya, ketiga musuh tak berani terlalu gegabah.
Tatkala itu Leng Bwe-hong sudah di atas angin, ia mendesak musuhnya selangkah demi selangkah, ia mendengar juga Yu-hong sudah turun tangan, ketika mendengar suara benturan senjata, segera ia pun tahu Yuhong sedang dikeroyok, diam-diam Leng Bwe-hong mengeluh.
Dalam seribu kerepotannya itu sekilas ia melirik ke sana, ia lihat Yu-hong lagi memutar pedangnya dengan kencang, cuma keadaannya sudah payah sekali, tampaknya hanya bisa menangkis saja dan tak sanggup balas menyerang.
Sungguh tidak kepalang rasa kuatirnya, ia menjadi gopoh dan berulang kali menyerang dengan tipu yang berbahaya dengan maksud supaya lekas dapat membereskan Khu Tonglok agar dapat membantu Lauw Yu-hong.
Tetapi pertandingan antar ahli pedang sedikitpun tidak boleh terburu napsu, dan karena gugupnya ini, Bwe-hong telah memberi kesempatan kepada Khu Tong-lok untuk melontarkan serangan balasan dengan Hong-lui-kiam-hoat yang sangat lihai hingga Leng Bwe-hong berbalik kena dicecar.
Karena itu, Bwe-hong sadar serangan cepat bukan cara yang betul, lekas ia menenangkan diri dan memusatkan perhatian, sembari melayani musuh, pelahan ia bergeser mendekati Yu-hong.
Di samping sana makin lama Lauw Yu-hong semakin payah, jidatnya mulai berkeringat, tangannya pedas dan panas, napasnya mulai memburu, setiap gerak-geriknya selalu terkurung musuh hingga tak bisa bebas lagi.
Pada saat yang menguatirkan tiba-tiba cakram besi Hek Keh-bing kembali mencengkeram dari atas, lekas Yu-hong menangkis dengan gerak tipu 'Ki-hwe-liau-thian' atau mengangkat obor menerangi langit, tetapi toya Peng Kun-lim dengan cepat menyodok dari depan.
Maka cepat Yu-hong memutar kembali pedangnya menabas ke bawah.
Agar toyanya tidak terkutung, lekas Kun-lim menarik senjata dan melompat pergi, tempatnya segera digantikan oleh Thio Gui yang membacok dengan golok.
Karena terpaksa, Yu-hong menyampuk golok yang berat itu hingga mata golok itu gumpil, namun sebelum Yu-hong sempat menarik kembali pedangnya, tahu-tahu cakram besi musuh yang lain sudah menyambar lagi dari atas, dan tampaknya ia tak mampu lagi menangkis serangan itu.
Pada saat yang berbahaya itulah, tiba-tiba terdengar Hek Keh-bing bersuara heran, cakramnya sekonyong-konyong terpental pergi.
"Hm, macam orang gagah darimanakah ini, tidak berani terang-terangan, tetapi main sembunyi membokong dari samping!"
Dampratnya dengan gusar. Belum habis perkataannya, ia mendengar ada suara seorang pemuda telah menyindir.
"Hm, tiga orang laki-laki mengembut seorang wanita, dan ini macam orang gagah darimana pula?"
Mengincar tempat datangnya suara, mendadak Hek Kehbing menimpukkan dua buah bor terbang.
Pemuda itu kembali memperdengarkan tawa dinginnya, menyusul terdengar dua suara mencicit di angkasa, maka dua buah bor itu telah saling bentur tems jatuh ke tengah telaga.
Sementara itu Lauw Yu-hong dapat melihat jelas senjata rahasia yang digunakan pemuda itu coraknya seperti kupukupu, jika dilepaskan mengeluarkan suara.
Bor pertama Hek Keh-bing telah kena dibentur oleh senjata rahasia itu dan tems membentur pula bor yang kedua.
Lauw Yu-hong mengenal itu adalah senjata rahasia Oh-tiap-piau atau piau kupu-kupu, ciptaan khusus keluarga Tong di Su'cwan.
Diam-diam ia menjadi heran, pemuda ini masih muda belia, tapi sudah mahir menggunakan senjata rahasia yang berbentuk aneh itu.
Hek Keh-bing menjagoi kalangan silat karena kedua senjatanya yang terkenal, yakni cakram terbang dan bor terbangnya, tetapi kini dengan mudah saja kena dipecundangi orang, ia menjadi gusar dan gugup.
Ia mempunyai senjata bor itu adalah senjata yang paling berat di antara senjata rahasia lainnya, kini dapat dipukul jatuh oleh sebuah Oh-tiap-piau yang kecil, maka kekuatan pemuda itu dapatlah dibayangkan.
Walaupun gusar, ia tak berani sembrono lagi, segera ia mainkan cakram terbangnya sedemikian mpa rapatnya, yang sebelah melindungi diri, sebelah lainnya menyerang musuh.
Sebaliknya senjata pemuda itu pun aneh, sepasang Liusingtui, bandul dengan tali baja, senjata ini kalau tak dipakai diikat di pinggang sebagai tali pinggang, bila dipakai dapat dilemparkan seperti bola terbang dan dapat dimainkan secara hidup.
Kedua orang itu bertarung dari jarak lima tombak, cakram dan bandulan saling bentur di udara, empat tali bagaikan ular naga yang menari-nari, kadang terbang miring, kadang ditimpuk-kan I urus, pemandangan ini sangat menakjubkan.
Dan karena berkurang satu lawan yang paling kuat, semangat Lauw Yu-hong menjadi berkobar kembali, pedangnya menyambar secepat kilat, ia mendesak Thio Gui dan Peng Kun-lim dan tak lama kemudian toya musuh kembali terkurung sebagian.
Di lain pihak, Leng Bwe-hong yang menggempur Khu Tonglok juga sudah sampai pada puncaknya, Bwe-hong tidak kuatir lagi melihat Lauw Yu-hong sudah terhindar dari bahaya, maka permainan pedangnya bertambah hebat Sebaliknya Hong-luito- kiam Khu Tong-lok meski lihai, tetapi serangannya selalu dapat dielakkan oleh Bwe-hong, hingga akhirnya kedua senjatanya malah berhasil dikurung oleh pedang Bwe-hong.
Sampai pada suatu saat yang menentukan, mendadak terdengar Bwe-hong menggertak, pedangnya membabat, tahu-tahu golok di tangan kiri Khu Tong-lok sudah terlepas dari cekalan, Leng Bwe-hong segera mengangkat pedangnya lagi dan menggores muka Khu Tong-lok, lalu ia menggores lagi ke kanan, maka kuping kiri Khu Tong-lok segera berpisah dengan tuannya.
"Nah, ini adalah pokok berikut rente dari golok pertama!"
Demikian bentak Leng Bwe-hong. Dengan menahan sakit Khu Tong-lok berjumpalitan beberapa tombak jauhnya, segera ia lari pergi terbirit-birit.
"Ingat, masih ada pokok berikut rente dari golok kedua!"
Bentak Leng Bwe-hong pula.
Setelah itu ia tertawa terbahakbahak namun ia tak mengejar.
Dulu ia dilukai dua kali di mukanya oleh Khu Tong-lok, kini ia baru membalas sekali dengan memberi rente sebelah kupingnya, maka Khu Tong-lok masih ada utang sekali lagi.
Di waktu Khu Tong-lok lari ngibrit, ia masih berteriak pada kawannya.
"Angin kencang !"
Artinya keadaan berbahaya. Dalam keadaan begitu ia masih sempat memberi sekali sambitan batu pada pemuda yang menempur Hek Keh-bing dan memanggil.
"Hek-lo-ji, lekas Lari!"
Melihat Khu Tong-lok hanya memanggil Hek Keh-bing seorang saja, Leng Bwe-hong menjadi curiga Dengan cepat ia bersiap mencegat.
Betul saja Hek Keh-bing pura-pura melontarkan serangan dan kemudian angkat kaki hendak menit, akan tetapi dengan tepat ia sudah dihadang Leng Bwe-hong.
Dalam bingungnya ia cepat mengayun tangan, dua cakram terbangnya telah menyerang Leng Bwe-hong.
Namun Bwehong tidak berkelit, ia menanti setelah cakram itu sudah dekat di atas kepalanya, pedangnya diangkat naik hingga kena dililit oleh cakram itu, berbareng Leng Bwe-hong mendoyongkan tubuhnya ke belakang, maka tak tahan lagi Hek Keh-bing kena ditarik maju beberapa tindak ke depan.
Sementara itu cakram kedua pun sudah menyambar dengan cepat, dengan memiringkan kepalanya, Leng Bwehong mengulur tangan mencekal ke atas, tali baja cakram itu segera kena ditangkapnya dan mendadak ia membentak.
"Naik!"
Tangan kirinya mengayun sekuatnya, sedang pedang di tangan kanan yang masih dililit tali cakram itu dihentakkan ke samping, Hek Keh-bing tak pernah menduga akan kejadian ini, ia kena terangkat oleh cakramnya sendiri yang diayun Leng Bwe-hong itu.
Meski tubuh Hek Keh-bing sudah terapung di udara namun ia tidak menjadi gugup, ia melepaskan tangan dan dengan sekali jumpalitan ia dapat turun dengan selamat di atas tanah, setelah itu kembali tiga buah bor disambitkan pada Leng Bwehong.
Tatkala itu Bwe-hong masih memegangi cakram orang maka dipakainya sebagai senjata untuk menyampuk ketiga buah bor yang menyerang itu hingga kena disapu terpental ke angkasa dan terlempar jauh ke tengah telaga.
Pada waktu Leng Bwe-hong menghajar Hek Keh-bing.
Lauw Yu-hong yang seorang diri melawan Peng Kun-lim dan Thio Gui juga sudah berada di atas angin.
Thio Gui menggunakan goleknya pura-pura menyerang dari samping, namun Yu-hong sudah mengetahui tipu musuh, ia sambut dengan tertawa dingin, ia biarkan musuh menerjang dekat, lalu dengan cepat ia barengi menyerang memotong pergelangan tangan musuh, Thio Gui sudah telanjur mengulur tangan, dan ia hendak menghindari serangan itu, namun sudah terlambat, tangan kanannya dari bahu terbabat putus oleh Yu-liong-kiam, ia menjerit ngeri, darah muncrat dan roboh.
Melihat itu, Peng Kun-lim segera hendak buron, tetapi dari depan ia telah dipapak oleh sastrawan muda tadi, dua bandulannya sudah tiba di batok kepalanya dan segera menyusul kawannya ke akhirat.
Di pihak lain Hek Keh-bing yang tadi sedang menimpuk Leng Bwe-hong dengan senjata rahasia bor, ia tahu serangannya tidak nanti kena sasaran, maka sambil menimpuk, segera ia pun angkat langkah seribu alias kabur.
Dan karena Leng Bwe-hong harus menangkis serangan itu, maka Hek Keh-bing keburu berlari pergi berpuluh tombak jauhnya.
"Kalau terima tanpa memberi itu kurang hormat!"
Tiba-tiba Leng Bwe-hong berteriak.
Menyusul sebuah benda hitam keemasan tahu-tahu sudah disambitkan secepat kilat.
Mendengar adanya sambaran angin dari belakang, Hek Keh-bing tahu dirinya diserang, tanpa menoleh ia pun menimpukkan sebuah bor lagi ke belakang dengan tujuan membentur jatuh senjata rahasia Bwe-hong.
Tak diduganya tenaga senjata rahasia Bwe-hong yang hitam kecil seperti anak panah ternyata keras luar biasa, ketika kedua am-gi atau senjata rahasia saling bentur, am-gi Leng Bwe-hong yang kecil lembut telah ambles masuk ke dalam bornya dan terus membentur balik ke arah Hek Kehbing.
Sungguh tidak kepalang kaget Hek Keh-bing, ia hendak berkelit, namun tak keburu lagi, tahu-tahu bahunya sudah ditembus oleh bornya sendiri.
Dalam pada itu cepat sekali Lauw Yu-hong sudah menyusul, sewaktu Hek Keh-bing hendak menyerang dengan bornya pula, tiba Lauw Yu-hong sudah membentak.
"Lihat senjata!"
Menyusul sebuah benda bagai jala sudah mengurung di atas kepalanya hingga Hek Keh-bing tercengkeram oleh benda itu.
Ketika Yu-hong menarik senjatanya, yaitu Kim-hun-tau yang istimewa itu, Hek Keh-bing terseret mendekat, segera Yu-liong-kiam ia angkat dan kepala Hek Keh-bing hendak dipenggalnya.
"Tahan dulu !"
Seru Leng Bwe-hong sebelum Lauw Yu-hong mengayunkan tangan.
Yu-hong heran dan ia melepaskan juga senjata Kim-huntau dari tubuh Hek Keh-bing.
Bwe-hong menggeledah orang, dari baju Hek Keh-bing ia mendapatkan sepucuk surat yang di sampulnya terdapat tulisan 'An-se-ciangkun LP.
Waktu Bwe-hong membuka surat itu dan membaca sekedarnya, ia tertawa dingin sambil menyimpan surat itu, lalu ia berseru.
"Kini keparat ini dapat dibereskan!"
Habis itu ia mengangkat Hek Keh-bing terus dilempar jauh sekenanya, bagai layangan putus saja tubuh Hek Keh-bing melayang lewat di atas kepala penduduk Yi, kemudian terjebur ke telaga.
Halimun mulai buyar, hawa beracun telah hilang, pertarungan sengit tadi sudah berakhir, lembah kembali sunyi dan di tepi telaga itu pun tenang kembali.
Penduduk Yi sangat terpesona oleh pertarungan dahsyat tadi, tetapi dengan tatapan mata yang agak curiga mereka memandangi beberapa orang yang tak dikenalnya itu.
Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tetapi pemuda tadi lantas mendekati mereka dan memberi penjelasan, bahwa orang yang terbunuh itu adalah orang jahat, supaya mereka jangan takut.
Dalam pada itu, dengan agak gemetar Kim Khe sudah berdiri dan segera memberi hormat pada Leng Bwe-hong.
"Aku bukan komplotan mereka, kau orang tua menyaksikan sendiri tadi mereka hendak membinasakanku!"
Demikian ia berkata.
"Ya, aku tahu kau bukan kawan mereka, kau ini utusan Ping-lam-ong, bukan?"
Sahut Leng Bwe-hong dengan tertawa. Kim Khe mengangguk tanda membenarkan.
"Dan aku pun tahu kau adalah seekor kalong,"
Sambung Leng Bwe-hong lagi dengan tertawa menyindir. Dengan kata 'kalong', ia maksudkan Kim Khe hidupnya suka gelap-gelapan dan mengikuti gelagat. Karena sindiran itu, muka Kim Khe menjadi merah karena malu.
"Kini aku ingin tahu barang apa yang kaubawa dari Ongya?"
Tanya Bwe-hong dengan tertawa sembari mendekati.
Kim Khe menyaksikan sendiri ilmu silat Leng Bwe-hong masih di atas Khu Tong-lok, ia mengerti, andaikata lari pun tak mungkin lagi, maka ia menjadi ketakutan, mukanya pucat dan bibirnya biru, ia mundur terus.
Dan pada saat itulah dari lembah gunung sana tiba-tiba berkumandang suara kelenengan disusul suara derapan kuda yang makin mendekat.
"Jangan urus dia dulu, dia bukan orang penting "
Kata si pemuda tadi pada Leng Bwe-hong. Leng Bwe-hong tertawa, ia berpaling dan berkata.
"Mengingatmu, baiklah aku tidak turun tangan dulu."
Habis berkata begitu ia terus mendekati pemuda itu hendak mengatakan sesuatu padanya, tapi belum sempat Leng Bwehong bersuara, pemuda itu telah menunjukkan sebuah bor padanya, karena tak paham maksud orang, Leng Bwe-hong tercengang dan mundur ke belakang.
"Ini adalah bor yang kupungut,"
Kata pemuda itu dengan tertawa. Ternyata di pucuk bor itu masih terjepit sebuah benda mirip anak panah kecil, setelah pemuda itu mencabutnya, lalu diangsurkan pada Leng Bwe-hong.
"Ini senjata rahasiamu,"
Katanya lagi, menyusul ia tertawa terbahak-bahak dan berkata.
"Jangan kauberitahu namamu dulu, biar aku menerkanya. Berdasarkan senjata rahasiamu ini kuyakin kau adalah Thian-san-sin-bong!"
Senjata rahasia yang Leng Bwe-hong gunakan adalah semacam duri tajam tumbuhan yang khusus tumbuh di Thiansan, bentuknya begitu keras melebihi baja.
Pemuda itu pernah mendengar cerita dari gurunya, bahwa Hui-bing Siansu pada lima puluh tahun yang lalu pernah menggunakan senjata rahasia semacam ini untuk melukai delapan belas buaya darat di daerah selatan.
Melihat orang bisa mengenal asal-usulnya, diam-diam Bwehong terkejut, katanya dalam hati.
"Orang ini masih begini muda, tetapi pengetahuannya ternyata sudah luas!"
Maka ia pun bertanya nama pemuda itu, tetapi orang ini hanya tertawa sembari berkata.
"Tampaknya ada pasukan yang sedang mendatangi, mari kita tunggu, nanti kita masih bisa bercakap-cakap lebih lama lagi!"
Melihat orang tak mau berterus terang, Leng Bwe-hong pun tidak bertanya lebih jauh.
Ketika mereka bicara, dari lembah gunung sana sudah muncul serombongan penunggang kuda, pemimpinnya memegang tiang bendera yang bertuliskan 'Ping-se-ong-hu', tentara berkuda itu semuanya memakai kerudung muka, agaknya di tengah jalan mereka bertemu juga dengan halimun tebal itu, maka memakai kerudung untuk menghindari hawa beracun.
Demi melihat kedatangan pasukan ini, Kim Khe menjadi girang, segera ia memanggil dan memapak pasukan yang datang ini.
"Utusan Ping-lam-ong menyembah pada Ping-se-ong!"
Demikian seru Kim Khe sembari memberi hormat.
Perwira di atas kuda itu memandang sekejap padanya, ia sedikit mengangguk, kemudian ia memberi perintah bawahannya untuk melayani Kim Khe, ia sendiri tidak berhenti, ia cambuk kudanya pula terus berlari menyusuri tepi telaga seperti mencari sesuatu.
Tiba-tiba ia melompat turun dari kudanya, terus menghampiri pemuda sastrawan tadi, dengan merendah ia memberi hormat dan berkata.
"Ping-se-ong mengetahui Paduka Yang Mulia hari ini bakal datang, maka sengaja memberi perintah untuk menyambut ke tempat yang tiga ratus li jauhnya ini!"
Habis berkata, regu musik pasukan berkuda itu lantas membunyikan musik mereka sebagai tanda penghormatan. Leng Bwe-hong sangat terkejut demi mendengar percakapan mereka itu.
"Ah, jangan banyak pakai adat!"
Kata si pemuda tadi sambil tersenyum, sikapnya dingin saja. Sementara itu sudah ada yang membawakan seekor kuda putih dan berkata nada si pemuda.
"Silakan Li-kongcu naik kuda!"
Pemuda sastrawan itu memandang sekejap pada Leng Bwe-hong dan Lauw Yu-hong, ia berkata pula pada perwira itu.
"Bikin repot kalian saja. harap pinjam dua ekor kuda lagi. mereka adalah sahabatku."
Ia berbicara dengan perwira itu, tetapi matanya terus menatap Bwe-hong, di antara sinar matanya mengandung maksud menunggu dan penuh kepercayaan. Leng Bwe-hong mengedipi dulu Yu-hong sebagai tanda.
"Baik!"
Katanya kemudian tanpa ragu-ragu.
Seorang perwira telah melayani mereka dengan baik dan memberi cambuk kuda, waktu hendak berangkat bahkan memberi hormat secara militer.
Kim Khe berdua pun sudah diberi dua ekor kuda, tetapi pelayanan yang mereka dapat, jauh kalau dibandingkan Leng Bwe-hong, Kim Khe menjadi malu, dan tak habis mengerti.
Pikirnya dalam hati.
"Aku adalah utusan Ping-lam-ong, dan Ping-lam-ong dengan Go Sam-kui adalah sama-sama raja muda, malahan mereka berkepentingan dari kami, tapi tampaknya pasukan ini bukan datang menyambutku, tetapi seperti khusus dikirim untuk menyambut pemuda sastrawan itu. Apakah mungkin kedudukan pemuda sastrawan ini bisa lebih tinggi daripadaku?"
Dan karena mendongkol dan kurang senang, maka sepanjang jalan ia membisu terus.
Kuda mereka dilarikan dengan cepat, pada waktu magrib mereka sudah sampai di Kun-bing.
Perwira itu membawa mereka mengaso dalam istana Ping-se-ong.
Istana ini dibangun membelakangi gunung dan kelihatan bersusun, jalanan berliku-liku, pemandangan sangat indah.
Congkoan atau kepala pelayan istana menempatkan pemuda sastrawan bersama Leng Bwe-hong di suatu tempat, sedang Lauw Yu-hong disediakan pelayan wanita yang khusus melayaninya, sebaliknya Kim Khe ditempatkan pada suatu tempat lain.
Pemuda sastrawan itu ternyata tak tertarik meski berada dalam istana semegah itu, sehabis makan-minum dan membersihkan badan, ia segera pergi tidur.
Sungguhpun Leng Bwe-hong adalah orang Kangouw kawakan, ia tak dapat menerka siapakah sebenarnya pemuda ini? Hari kedua dan ketiga para panglima Go Sam-kui mengiringi mereka pesiar menikmati keindahan kota Kun-bing.
Sepanjang jalan pemuda sastrawan itu selalu obral dengan pendapatnya tentang siasat militer yang strategis di mana tempat yang dia datangi dan dilihatnya.
Tetapi memang begitu jitu dan hebat pendapatnya itu hingga para panglima Go Sam-kui harus mengangguk-angguk sependapat.
Sebaliknya diam-diam Bwe-hong merasa aneh mengapa pemuda ini menonjolkan diri? Ia tidak tahu bahwa pemuda itu ada tujuan tertentu datang ke Kun-bing, ia justru sengaja menonjolkan diri akan kemahiran ilmu kemiliteran untuk mengejutkan Go Sam-kui dan panglimanya.
Malam hari ketiga, si pemuda sastrawan dan Leng Bwehong, Lauw Yu-hong serta Kim Khe diundang Go Sam-kui pada suatu perjamuan besar yang khusus diadakan untuk mereka.
Untuk menjaga segala kemungkinan, Leng Bwe-hong dan kawannya membawa senjata lengkap dan bawahan Go Sam-kui tiada yang berani merintanginya.
Pendekar Kembar Karya Gan KL Golok Kumala Hijau -- Gu Long Bakti Pendekar Binal Karya Khu Lung