Dua Musuh Turunan 12
Dua Musuh Turunan Karya Liang Ie Shen Bagian 12
Dua Musuh Turunan Karya dari Liang Ie Shen
Belum lama ia mengayun perahunya, atau lantas tampak puncak Say Tongteng San.
Memang gunung itu tidak dapat menandingi Ngogak, ke lima gunung ternama dari Tionggoan, akan tetapi karena letaknya di antara telaga, gunung ini mempunyai keistimewaan sendiri, tebingnya curam, banyak batu yang aneh-aneh rupanya, yang menerbitkan berbagai kesan.
Begitu lekas ia tiba di kaki bukit, Tan Hong segera mendarat.
Ia tampak di kaki bukit, sawah berjejer, sedang di atas gunung, banyak macam pohon-pohonan, yang rapat tumbuhnya, ada buahnya, ada bunganya, yang menyiarkan bau harum.
"Sungguh tenang dan nyaman jikalau di sini orang mendirikan gubuk untuk bertinggal,"
Tan Hong melamun.
Setelah mencari jalan, Tan Hong mulai mendaki bukit.
Ia berjalan sambil berpikir, ke arah mana ia mesti cari tempat rahasia harta itu, tiba-tiba ia lihat dua bocah tukang angon kerbau tengah mendatangi ke arahnya bersama dua ekor binatang angonnya.
Dua bocah itu sudah lantas mengawasi anak muda ini, sinar mata mereka menunjukkan keheranan atau bercuriga.
Tan Hong segera menghampiri mereka untuk mengajak mereka bicara.
"Kedua engko kecil, aku numpang tanya,"
Dia kata.
"Aku datang kemari untuk pesiar. Untuk naik ke atas gunung, adakah di sini jalan yang baik?"
Kedua bocah itu saling memandang.
"Aku tidak tahu!"
Sahut satu di antaranya, suaranya keras.
"Heran,"
Pikir Tan Hong.
"kenapa kedua bocah ini begini tidak tahu adat, mereka beda jauh daripada penduduk Tamtay Tjoen?"
Selagi Tan Hong berpikir demikian, ia heran mendapatkan kedua bocah angon itu tiba-tiba berselisih mulut, sama-sama mereka mementang mulut lebar.
Yang di belakang berkata bocah yang di depan sengaja menginjak lumpur hingga lumpur sawah muncrat mengenai pakaiannya, yang di depan bilang, kawannya itu sengaja membikin kerbaunya menendangi batu hingga ada batu yang terbang ke batok kepalanya.
"Lucu,"
Pikir pemuda ini, yang berniat memisahkan mereka itu.
Dari berselisih mulut, kedua bocah itu sudah lantas saja berkelahi.
Tidak cuma demikian, mereka juga menganjurkan kerbau mereka masing-masing untuk turut berkelahi juga.
Hingga sebentar saja, keadaan menjadi kacau.
Celaka untuk Tan Hong, selagi jalanan sempit, kedua kerbau itu saling seruduk dan saling uber, ke arahnya.
Ia sampai menjerit ketika ia hampir kena diterjang, terpaksa ia pentang kedua tangannya, dengan gerakan "Yama hoentjong,"
Atau "Kuda hutan membuka suri,"
Ia tolak kedua kerbau itu ke kiri dan kanan.
Ia dapat lindungi dirinya, kedua kerbau itu ngusruk dan rubuh.
Saking kaget, kedua bocah itu menjerit keras.
Kalau mau, Tan Hong dapat melukai kedua kerbau itu, tapi ia telah menggunakan hanya tiga bagian dari tenaganya, maka itu, ia menjadi heran, ia menjadi kaget mendengar jeritan kedua bocah itu.
"Adakah aku memakai tenaga terlalu besar hingga kedua bocah itu turut terluka?"
Ia tanya dirinya. Lantas ia awasi kedua ekor kerbau. Kembali ia menjadi terkejut. Kedua kerbau itu tengah berlarian, kedua bocah angonnya tidak nampak.
"Ah, ke mana mereka pergi?"
Pikir Tan Hong. Pada saat ia hendak mencari, dari sebuah tikungan tampak dua orang tani baharu saja muncul, hanya, untuk herannya, ia dengar mereka itu segera berseru.
"Setan, hari terang benderang, dari mana datangnya penjahat ini?....."
"Kedua engko, dengar dulu,"
Kata Tan Hong dengan cepat. Ia menyangka pasti bahwa orang telah mencurigai padanya.
"Aku bukannya orang jahat....."
"Kau bukannya orang jahat?"
Bentak salah satu petani itu sebelum orang berhenti bicara.
"Kenapa kau lukai kerbau kami dan menculik juga kedua anak kami?"
Tan Hong heran.
"Aku menculik anakmu?"
Dia tegaskan.
"Mereka..... mereka....."
Dua petani itu tertawa dingin.
"Mereka..... mereka kenapakah?"
Katanya mengejek.
"Kenapa mereka itu lenyap? Jikalau bukannya kau yang menyembunyikan mereka, pasti kau telah menyerahkan mereka kepada koncohmu, untuk segera dibawa pergi, buat dijual!"
Mau atau tidak, Tan Hong tertawa.
"Mana bisa terjadi demikian?"
Ia kata.
"Coba periksa dahulu kerbaumu, binatang itu terluka atau tidak, habis itu baharu kamu pergi cari kedua bocah itu!"
Kedua petani itu menjadi murka, tanpa banyak omong lagi, mereka angkat pacul mereka masing-masing, dengan itu mereka menyerang! Tan Hong terkejut, apapula ketika ia saksikan kesebatan orang.
Walaupun dia bertenaga besar, orang tani biasa tidak nanti demikian sebatnya.
Terpaksa Tan Hong berkelit dengan gerakan "Poanliong djiauwpou,"
Atau "Naga melilit."
Tapi ia tidak cuma berkelit. Berbareng dengan itu ia pun mengangkat kedua tangannya, akan menyambuti pacul orang itu, untuk disamber dan dirampas.
"Tolong! Tolong!"
Teriak kedua petani itu.
"Tolong, ada rampok! Ada rampok bunuh orang!"
Tan Hong mendongkol berbareng geli dalam hatinya.
"Jikalau aku berniat membunuh kamu, siang-siang jiwamu sudah akan melayang!"
Ia kata pada mereka itu.
"Tidak nanti aku biarkan kamu membuat keributan!"
Segera ia ayunkan kedua tangannya, akan melemparkan kedua pacul orang.
Pada waktu itu pula, muncul lagi delapan orang, yang datang dari mana kedua orang tani tadi keluar, mereka juga membawa pacul, dan tanpa banyak omong lagi, mereka maju mengeroyok Tan Hong, dari depan dan belakang, dari kiri dan kanan.
Mau atau tidak, Tan Hong jadi mendongkol.
"Tidak keruan-keruan aku mesti berkelahi, sungguh naas,"
Pikirnya.
Ia lompat berkelit, ia memikir untuk meloloskan diri, meninggalkan mereka itu, atau mendadak ia jadi heran.
Ia telah dikurung ke delapan orang itu, ke mana saja ia noblos, di situ ada petani yang menghalang dan pacul yang melayang ke mukanya.
"Inilah cara berkelahi yang terlatih,"
Pikirnya kemudian.
Karena ini, ia jadi bersungguh-sungguh, ia tunjukkan kehebatannya.
Ia lantas peroleh hasil, tak lama berselang, ia dapat membuat orang kewalahan, hingga mereka itu main mundur, hanya pada saat itu, belum dapat ia mengalahkan mereka itu, kecuali apabila ia menggunakan kekerasan.
Latihan mereka itu sempurna, masih dapat mereka mengurung, tidak mau mereka mengalah.
Akhir-akhirnya Tan Hong bertindak juga, sambil berseru, ia desak mereka, hingga mereka mundur satu tombak lebih.
"Jikalau kamu masih tidak hendak berhenti, jangan salahkan aku, aku tidak akan berbuat sungkan-sungkan lagi!"
Ia mengancam. Tapi ia tertawa.
"Apa artinya tidak sungkan-sungkan?"
Tanya satu petani, yang rupanya menjadi pemimpin.
"Bangsat anjing, apakah kau kira kami takut?"
Tan Hong jadi mendelu juga.
"Baik aku gunakan pedangku, untuk membuat pacul kalian kutung, hendak aku lihat, kamu jeri atau tidak....."
Pikir dia. Lantas dia lindungi diri dengan tangan kiri, tangan kanannya dipakai merabah pedangnya. Justeru itu, dari atas gunung, terdengar suara pertanyaan.
"Hai, kenapa kamu berkelahi?"
Tan Hong mendongak, akan melihat ke atas, hingga ia tampak satu orang dengan kumis jenggot panjang, jidatnya lebar, hidungnya besar, dan dandannya seperti anak sekolah akan tetapi romannya seperti seorang yang mengerti silat.
"Penjahat ini melukai kerbau dan menculik anak kami!"
Sahut petani yang menjadi kepala itu.
"Kerbau kita tidak terluka,"
Kata orang itu, yang terus memanggil-manggil.
"A Tjiauw! A Seng!"
Tan Hong melirik kepada kedua ekor kerbau.
Sekarang ia lihat, kedua binatang itu tidak lagi saling kejar, hanya berhenti berlari dan berdiri diam, dan dari bawah perutnya muncul kedua bocah angon tadi, keduanya sambil tertawa berkakakan! Terhadap Tan Hong, mereka pun mengejek secara Jenaka, hingga pemuda ini tersenyum.
"Aku juga heran kenapa kedua kerbau itu berputaran tak hentinya, kiranya mereka ini yang main gila,"
Katanya di dalam hati.
"Kepandaian mereka menungang kerbau nyata terlebih liehay daripada orang Mongolia menunggang kuda. Mereka muncul secara tiba-tiba, mereka berbuat itu dengan sengaja atau bukan? Baiklah aku berlaku waspada."
Orang di atas gunung itu, yang usianya telah lanjut, terdengar pula berkata.
"Orang-orang tani desa biadab dan tidak tahu aturan, ini pun salah pengertian, maka itu aku harap kau tidak berkecil hati tuan. Eh, kenapa kamu tidak lekas- lekas menghaturkan maaf kepada tuan itu? Lekas! Setelah itu kamu lekas pergi meluku!"
Ke delapan petani itu, berikut kedua bocah, yang telah berkumpul menjadi satu, lantas menghadap Tan Hong, untuk memberi hormat. Sesudah mana, mereka semua ngeloyor pergi, hingga di situ Tan Hong berada seorang diri saja.
"Apakah siangkong datang untuk pesiar?"
Tanya si orang tua kemudian.
"Benar,"
Sahut Tan Hong, singkat.
"Tujuh puluh dua puncak tak mudah habis dipandang, sawah yang luas juga dapat menghilangkan duka, maka kalau siangkong datang untuk pesiar, kau mesti berdiam di sini sedikitnya beberapa hari,"
Berkata pula si orang tua. Tan Hong lihat orang berlaku sopan, ia pun bersikap hormat.
"Aku ingin bertanya mengenai she dan nama iootiang,"
Ia mohon.
"Tak usah kau tanyakan namaku, cukup kau memanggilnya aku iootiang,"
Sahut orang tua itu.
"Aku juga, cukup memanggil kau siangkong. Tidakkah ini sederhana?"
Tan Hong setuju dengan sifatnya orang tua itu.
"Benar,"
Ia jawab.
"Aku si orang tua tinggal di atas gunung ini,"
Kata pula orang tua itu.
"Beberapa sahabatku menamakan tempat kediamanku ini Tongteng San tjhoeng. Siangkong akan berpesiar beberapa hari di sini, apabila siangkong tidak berkeberatan, baiklah siangkong beri ketika bagiku untuk aku jadi si tuan rumah. Bagaimana siangkong pikir?"
"Kau baik sekali, iootiang, terima kasih,"
Sahut Tan Hong.
"Aku kuatir aku nanti mengganggu padamu....."
Dua Musuh Turunan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Orang tua itu tertawa lebar.
"Sama sekah tidak, siangkong1."
Ia kata.
"Siangkong berpesiar, setelah lelah, kau datang ke gubukku, untuk beristirahat, jikalau ada jodoh, kita berkumpul, kalau tidak, sudah saja. Tidak ada gangguan bagiku....."
Tan Hong girang, ia hampirkan orang tua itu, untuk memberi hormat, yang mana dibalas si orang tua.
Ia merasa puas dengan perkenalan ini.
Ia memang berniat mencari seseorang yang mungkin bantuannya bisa diharapkan untuk mencari tempat menyimpan harta, sekarang ada si orang tua, inilah kebetulan.
Si orang tua menunjuk kelereng gunung, ia berkata.
"Di sana tidak ada apa-apa, akan tetapi sedikit sayur dan ikan tersedia juga. Kalau siangkong hendak pesiar, silahkan. Sebentar malam siangkong mampir padaku, akan aku sediakan ikan segar dan arak putih untuk teman kita pasang omong."
"Terima kasih,"
Tan Hong mengucap, tangannya dirangkapkan. Di dalam hatinya, ia berpikir pula.
"Kalau orang tua ini tidak menyembunyikan sesuatu maksud, ia mestinya seorang kangouw yang luar biasa, maka berhubung dengan kedatanganku ini, andaikata aku tidak berhasil mencari harta, senang aku dapat bersahabat dengan dia. Rombongan petani itu juga bukan sembarang orang, ada baiknya juga untuk berkenalan dengan mereka....."
Sampai di situ, mereka berpisahan, Tan Hong pun mendaki terus, untuk berpesiar katanya, sedang sebenarnya ia memasang mata, mencari sesuatu.
Selama berdiam di atas gunung, terus sampai lohor, dengan matanya yang awas, Tan Hong merasa bahwa kadang-kadang ada seorang petani, atau penduduk gunung itu, yang sedang mengambil kayu atau memetik buah hutan, memasang mata kepadanya.
Ia heran, ia jadi bercuriga.
Tapi ia tidak jeri.
Ia tetap perhatikan tempat yang ia kunjungi, ia ingat baik-baik.
Kemudian, ketika matahari sudah mulai turun, ia menetapi janji terhadap si orang tua, ia bertindak ke lamping gunung, ia pergi ke apa yang si orang tua sebutkan kampung Tongteng San tjhoeng.
Justeru waktu itu, pintu pekarangan telah dibuka dengan perlahan-lahan, yang membukakannya adalah satu nona, yang kedua matanya bersinar dan kulit mukanya halus seperti nona Kanglam atau nona Utara yang manis.....
"Heran,"
Pikir Tan Hong.
"Kecantikan In Loei ada bagaikan bunga tjielan, kecantikan nona ini ada seumpama bunga mawar atau hoeyong. Kalau mereka berdua direndengkan, sungguh sulit untuk memilihnya....."
Tan Hong baharu hendak membuka mulut, atau si nona telah mendahului. Lebih dahulu nona itu tertawa manis.
"Siangkong, adakah kau siangkong yang datang berpesiar di gunung ini?"
Demikian dia menanya.
"Ayah telah berbicara tentangmu kepadaku. Silahkan masuk!"
Tan Hong mengucap terima kasih, terus ia ikuti nona itu masuk ke dalam pekarangan di mana tertanam pohon rotan, rupa-rupa pohon bunga, paseban dan empang.
Itu adalah sebuah taman yang menarik yang tak kalah dengan Koaywa Lim, hanya kalah besar.
Taman ini pun nyaman.
Si orang tua, atau tuan rurnah, tampak tengah berdiri di depan paseban di mana telah tersedia arak, melihat tetamunya, ia menyambut dangan manis.
"Bagaimana keindahan telaga dan gunung di sini?"
Ia menanya.
"Telaga Thayouw ini jauh lebih indah daripada Tonggouw,"
Jawab Tan Hong.
"Airnya, gunungnya, bagaikan lukisan saja. Hal ini pun telah dibenarkan oleh orang-orang jaman dahulu. Boanseng kagum sekali."
Orang tua itu tertawa.
"Hanya sayang,"
Katanya.
"ada orang-orang yang memandang telaga dan gunung ini hingga mereka melupakan nama besar dan kedudukan tinggi, sampai di otak mereka hanya terdapat kuningan yang busuk saja. Tidakkah itu lucu dan mereka harus dikasihani?"
Mendengar itu, berdenyut hati Tan Hong.
"Mungkinkah dia ketahui bahwa aku datang kemari untuk mencari harta terpendam itu!"
Ia tanya dirinya sendiri. Tapi segera ia tertawakan dirinya, yang ia katakan banyak kecurigaannya. Tapi ia masih berpikir lebih jauh.
"Leluhurku menyimpan harta, itulah satu rahasia. Aku juga ketahui harta disimpan di sini sesudah aku dapatkan anak kunci emas. Maka, cara bagaimana orang tua ini mengetahuinya? Perkataannya barusan mungkin kebetulan saja....."
Tuan rumah silahkan tetamunya duduk, ia mengundang minum, lantas mereka pasang omong terlebih jauh, mengenai pemandangan alam dari telaga dan gunung, dari hal ilmu surat dan seni lukis.
Nyata mereka cocok satu dengan lain.
Cuma sampai sebegitu jauh, mereka pantang menanyakan asal-usul mereka masing-masing.
Setelah tenggak beberapa cangkir arak, orang tua itu kelihatan sudah pusing.
"Siangkong, aku sudah pusing, aku ingin tidur,"
Berkata dia.
"Pemandangan Thayouw di waktu malam indah sekali, jikalau siangkong ingin menyaksikan, silahkanlah. Tempatku ini ada pintunya yang senantiasa terbuka. Siangkong boleh minta ditemani anakku atau dapat juga pergi seorang diri. Kalau pulang, tidak usah siangkong mengetok pintu, asal ditolak, pintu akan terbuka."
"Baik sekali orang tua ini,"
Pikir Tan Hong.
"Ia seolah-olah mengetahui isi hatiku. Memang Thayouw mestinya indah di bawah cahaya Puteri Malam."
Ia lantas menghaturkan terima kasih. Orang tua itu pun lantas mengundurkan diri. Si nona tertawa manis, ia menanya.
"Adakah ini yang pertama kali siangkong pesiar kesini?"
"Ya,"
Sahut Tan Hong.
"
"Siangkong kata, siangkong datang dari Utara, aku lihat kau seperti orang Kanglam,"
Kata pula si nona, sambil tertawa.
"Eh, ya, aku seperti pernah lihat siangkong, entah di mana, aku seperti kenal kau....." ' "Kau omong main-main, nona!"
Tan Hong pun tertawa.
"Sebenarnya ingin aku lebih siang mengenal kau, maka sayang, baharu sekarang ada ketika bagiku datang kemari untuk menyaksikan keindahan telaga dan gunung di sini."
Nona itu tertawa, ia tidak bilang suatu apa.
"Silakan siangkong ambil tempat di sini,"
Kata dia.
"Tempat kami buruk, harap siangkong tidak mencelanya."
Tan Hong sebaliknya melihat sebuah kamar yang bersih yang berada di tengah- tengah empang teratai, yang bunganya sedang mekar, warnanya merah dadu, hingga indah dipandangnya, semerbak harumnya.
Sambil tertawa, nona itu mengundurkan diri, akan tetapi masih terdengar suaranya yang halus.
"Benar-benar, kalau melihat orang dari romannya, dia akan keliru mengenal Tjoe Ie. Menghadapi pemandangan bukit dan telaga ini, orang bicara dari hal manusia, sekalipun dibanding dengan kaisar, berapakah harga satu kati dari kaisar itu?"
Tan Hong lantas berpikir.
"Benar-benar, ada ayahnya, ada puterinya! Nona ini sangat sederhana dan polos....."
Lantas ia ingat In Loei, karena mana, bayangan si nona seperti tertindih.
Ia mengawasi bunga teratai, ia ingat akan pengalamannya hari ini.
Ia merasa aneh, ia merasa melayang, hingga tak ada keinginannya untuk tidur.
Tanpa merasa, tak tahu ia berapa lama ia berdiam di dalam kamar itu, Tan Hong tiba-tiba melihat sinar rembulan memasuki jendela, ia pun dengar suara halus dari gelombang telaga itu.
Ia lantas kerebongi dirinya dengan baju luarnya, ia tolak daun pintu belakang, untuk pergi keluar kamar, untuk mendaki bukit.
Dari sebelah atas, sangat menarik memandang telaga yang indah itu, yang disinari cahaya Puteri Malam.
Gunung Tongteng San Barat nyata berdiri agung di tengah- tengah telaga, yang luasnya delapan ratus lie.
Tak dapat dilukiskan kepermaian alam itu.
Selagi kesengsem dengan pemandangan itu, tiba-tiba Tan Hong dengar nyanyian si nona.
"Mega abu-abu menggulung, maka bersihlah langit keperak-perakan, Angin yang halus datang meniup gelombang sang rembulan, Pasir diam, air berhenti, lenyap juga suara dan bayangan. Dengan secawan aku menghaturkan, aku bernyanyi untuk tuan, Bagaikan air jernih cukup untuk mencuci bersih kekotoran. Dalam hidupnya untuk apa manusia menyatakan penyesalan. Emas, perak dan mutiara, semua merupakan benda penghalang, Semua itu harus dihabiskan di antara gelombang! Aku nasihati tuan-tuan Ada arak, minumlah hingga mabuk sendirian, Ada arak tak diminnm, sayanglah sang rembulan."
Merdu nyanyian itu, terbawa angin menjelajah telaga Thayouw..... Thio Tan Hong termenung lalu ia berpikir.
"Nona ini menyanyikan syair dari jaman Tong. Bukankah dengan itu ia tengah menasehati aku untuk jangan bercapai hati dan tenaga mencari harta simpanan itu? Ah, mana dia tahu cita-citaku! Aku tak berminat menguasai harta besar itu! Mana sudi aku segala benda busuk itu?"
Lalu timbul keinginannya untuk membalas si nona. Maka ia menyambutnya.
"Tuan, berhentilah bernyanyi, dan kau dengar nyanyianku Puncak ini mendadak menjulang, menunjang "langit perak". Di dalam dunia ini juga ada laki-laki sejati, Berdiri dengan tegak dan gagah, dengan pedang dilintangkan! Gelar kebangsawanan dan permata, semua itulah kotoran, Cita-citanya ialah satu kali menggulung pemerintahan!"
Begitu lekas suara Tan Hong lenyap maka di sana, di antara batu-batu berdiri bagaikan ujung rebung, si nona, wajahnya tersungging senyuman.
Dia memandang kepada si anak muda, tangannya dilambai-lambaikan dengan perlahan.
Tanpa merasa, anak muda ini bertindak menghampiri.
"Apakah benar kau hendak kukuhi cita-citamu?"
Tanya si nona tiba-tiba.
"Tak tahu aku, cita-cita apakah yang nona maksudkan,"
Jawab Tan Hong.
"Akan tetapi, kalau satu laki-laki melakukan sesuatu, mana dapat dia gampang-gampang merubahnya?"
Wajah si nona berubah.
"Kau datang kemari dengan pikiran untuk mencuri harta!"
Dia kata sambil tertawa dingin.
"Itulah kau jangan harap!"
Dengan sekonyong-konyong nona itu menghunus sebatang pedang pendek, yang sinarnya hijau berkelebat, dengan apa ia menikam dada si anak muda di depannya. Tan Hong kaget, akan tetapi ia dapat berkelit.
"Nona, kau siapa?"
Ia tanya. Nona itu tidak menyahuti, sebaliknya, dengan kegesitannya, ia menikam pula berulang kali. Tan Hong tidak melakukan perlawanan, ia hanya berkelit, karenanya ia jadi terdesak sampai di tempat di mana terdapat banyak batu.
"Nona, tunggu,....tunggu!"
Ia berkata, berulang-ulang.
"Dengarkan dahulu....."
Ia belum menutup mulutnya, juga si nona belum menjawab dia, atau mendadak dari antara sela-sela batu yang banyak itu, muncul beberapa orang, di antara siapa terdapat si tuan rumah, yang usianya sudah lanjut dan tangannya menyekal sebatang tempuling, ketika dia lompat ke atas sebuah batu, dia langsung menikam ke arah uluhati si pemuda.
Hebat sambaran tempuling itu, maka tahulah Tan Hong bahwa orang tua itu liehay ilmu silatnya.
Suara sambaran itu membuktikan orang terlatih baik.
"Lootiang, kau kenapa?"
Tan Hong masih menanya.
"Kenapakah sikap kau ini?"
"Hrn! Apakah benar kau sendiri masih belum mengerti?"
Jawab tuan rumah itu.
"Mulanya aku sangka kau seorang terhormat, kiranya kau ada satu manusia jahat yang dipengaruhi harta!"
Sementara itu Tan Hong kenali beberapa orang di antaranya adalah petani-petani yang tadi siang ia lihat.
"Memang telah kami lihat, kau bukannya orang baik-baik!"
Berkata beberapa orang itu.
"Lihat! Lihat pedang! Lihat tombak cagak!"
Memang benar, senjata mereka itu banyak macamnya, ada pacul juga.
Tan Hong gentar juga karena orang segera mengepung dia, lebih-lebih tempuling si orang tua dan pedang pendek si nona.
Ia tidak diberi kesempatan untuk bicara.
Tentu saja, tanpa perlawanan yang berarti, ia bisa terkurung terus di tempat itu, yang banyak batunya.
Maka terpaksa ia hunus pedangnya dengan apa segera ia tabas kutung senjatanya dua petani.
"Tahan!"
Ia berteriak, begitu lekas kedua orang itu mundur, mereka kaget sebab senjata mereka kena dibabat kutung. Si orang tua tertawa berkakakan.
"Dengan terkurungnya kau di dalam barisan ini, percuma saja pedang mustikamu!"
Kata dia dengan wajar tetapi jumawa.
Dua Musuh Turunan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Lantas dia maju pula, menikam dengan tempulingnya.
Tan Hong masih pandang orang tua ini, tidak mau ia mendesak, tidak ingin ia memapas senjata orang, ia hanya melawan yang lainnya.
Akan tetapi, kalau yang satu mundur yang lain maju, atau mereka meluruk, atau mereka pun seperti menghilang di belakang batu.
Kali ini, mereka itu berlaku sangat licik, tidak sudi mereka membuat senjata mereka bentrok.
Setelah berkelahi sekian lama, Tan Hong lantas dapat perhatikan sikap orang.
Berikut si orang tua dan si nona, ayah dan anak dara, lawan berjumlah delapan orang, dan kedudukan mereka pun di delapan penjuru, dan caranya mereka bertempur ialah tiap-tiap kali mereka mundur, akan berkelit di belakang batu, akan kemudian muncul lagi untuk melakukan serangan secara tiba-tiba.
"Coba aku arah satu orang,"
Pikir anak muda itu.
"Ingin aku lihat, cara bagaimana kau sembunyikan dirimu....."
Pikiran itu diwujudkan, Tan Hong desak satu petani, yang ia lihat kepandaiannya biasa saja.
Petani itu berlari-lari di batu, lantas dia lenyap, sebagai gantinya, si nona dengan pedangnya dan satu petani lain dengan tumbaknya, menyerang dengan tiba-tiba dari kiri dan kanan dari mana mereka itu muncul secara mendadak.
Ketika ia desak si nona, nona itu pun mundur menghilang, lalu si orang tua muncul sebagai gantinya, dan orang tua itu menyerang dengan hebat.
"Bagaimana harus aku layani mereka ?"
Pikir Tan Hong sambil terus melawan musuh- musuhnya.
Dari delapan lawan itu, kecuali si nona dan ayahnya, yang enam berkepandaian cukup untuk masuk dalam dunia kangouw, cuma di mata Tan Hong, mereka adalah orang-orang biasa saja, hanya yang aneh adalah caranya mereka berkelahi, main mundur dan menghilang, untuk dengan tiba-tiba muncul pula, menyerang separuh membokong.
Pertempuran luar biasa ini berlangsung sekian lama, tetap Tan Hong tidak bisa desak terus satu musuh, tidak mampu lagi ia menabas kutung senjata orang.
Di lain pihak, tetap ia terkurung, tiap-tiap kali ia diserang.
Lama kelamaan ia jadi kewalahan juga.
Syukur untuknya, ia mempunyai pedang yang tajam luar biasa itu, yang ditakuti musuh, hingga musuh tak dapat mendesak ia habis-habisan.
Lama juga Tan Hong berpikir, sampai tiba-tiba ia seperti tersadar.
Tidakkah kurungan itu mirip dengan kurungan barisan istimewa Pat Tin Touw, atau "Delapan Barisan."
Dari Khong Beng? Ingat ini, ia lantas perhatikan lebih sungguh- sungguh, ia perhatikan letaknya berbagai batu. Ia lantas dapat lihat "delapan pintu"
Ialah "hioe" = berhenti.
"seng" = hidup.
"siang" = luka.
"touw" = tutup.
"soe"=mati.
"keng" = pemandangan, dan "kheng" = kaget. Ia tidak sangka bahwa ia akan menemui Pat Tin Touw di Say Tongteng San di Thayouw ini, sedang panglima- panglima perang, dahulu dan sekarang, hanya beberapa orang yang berhasil melihat itu. Memperhatikan lagi sesaat, Tan Hong tahu pintu "seng" =hidup dijaga oleh si nona yang bersenjatakan pedang pendek itu. Ia lantas saja berpikir bagaimana caranya memukul pecah tin itu, untuk membebaskan dirinya. Lalu, dengan tidak bersangsi sedikit juga, ia lompat mencelat. Dari pintu soe ia lompat ke pintu kheng, dari sini ia melejit ke pintu siang, terus memutar ke pintu touw, akan lebih jauh melesat ke pintu seng1. Dengan cara penyerangan itu, barisan Pat Tin Touw itu lantas menjadi gempar, keadaan menjadi kacau, hingga si nona menjadi kaget sekali. Karena Tan Hong mendesak ia, berulangkah ia main berkelit saja. Sebenarnya tidak sampai hati anak muda ini, akan tetapi ia ingin nerobos keluar, ia ingin, maka terpaksa ia mendesak terus, ujung pedangnya senantiasa bergerak- gerak di bebokong si nona. Dengan cara ini ia hendak paksa si nona keluar dari pintu "hidup" (seng) itu, untuk memimpin atau mengantarkan ia keluar. Segera orang sampai di pintu keluar, si nona mendadak menjerit dengan tajam, agaknya ia sangat ketakutan. Tan Hong melengak, ia menyangka, karena kurang hati-hati, ia telah melukai si nona. Karena ini, terhentilah serangannya. Tapi justeru itu, bagaikan "bumi terbalik, langit berputar, terdengarlah satu suara nyaring, di muka bumi itu terbukalah suatu lobang besar, dan sebelum tahu apa-apa, tubuhnya sudah terjeblos ke dalam lobang itu! Nyatalah, tempat di mana barusan Tan Hong berhenti, adalah lobang jebakan. Atas tanah itu ada urukan pasir. Dalam keadaan biasa, karena liehaynya ilmu enteng tubuhnya, sebenarnya dapat Tan Hong lompat untuk menyelamatkan diri, akan tetapi jeritan si nona membuatnya ia tercengang, hingga ia merandak, dari itu, tak keburulah ia mencelat lagi. Walaupun ia telah terjeblos, Tan Hong tidak lantas jatuh. Ia masih dapat kesempatan untuk lompat jumpalitan, maka ketika kakinya menginjak dasar lobang, ia jalan dengan perlahan. Ia hanya berada dalam gelap gulita, hingga sekalipun ke lima jari tangan di depan matanya, tidak dapat ia lihat. Dalam sekejap ia kaget, lantas ia dapat kuasai pula dirinya. Yang paling dulu ia lakukan ialah merogo ke dalam sakunya, untuk mengeluarkan serenceng mutiara yabeng tjoe-nya, yang ia cantelkan diujung pedangnya, maka, cahaya mutiara itu, yang bentrok dengan cahaya pedang, segera menerbitkan sinar terang, hingga sekarang ia dapat melihat dengan nyata. Lobang itu dalam sekali, kelihatannya sukar bagi orang merayap naik ke atas untuk keluar dari situ. Dasarnya juga tidak rata, dan tanahnya demak, bau demak itu tidak sedap. Untung bagi Tan Hong, lobang itu tidak buntu, ada lobang lainnya yang merupakan terowongan atau lorong. Karena mempunyai api istimewa itu, ia lalu bertindak mengikuti terowongan itu yang jalannya tidak rata, demak semua. Ketika ia tiba pada akhir terowongan, ia berhadapan dengan tembok batu. Jadi sampai di situ habislah terowongan itu. Tanpa merasa, anak muda ini menghela napas.
"Tidak kusangka bahwa di sinilah tempat ajalku,"
Katanya dengan perlahan.
"Secara begini, aku akan menemui kematianku secara kecewa....."
Tapi ia bukan seorang yang mudah putus asa. Selagi hilang harapan itu, timbul kemurkaannya. Sekonyong-konyong ia ayunkan kepalannya ke arah tembok.
"Duk!"
Begitulah terdengar suara keras. Tiba-tiba, tembok itu tampak bergerak sedikit.
"Hai!"
Berseru anak muda ini, yang timbul pula harapannya.
Ia lantas saja bekerja.
Tidak lagi ia gunakan kepalannya, hanya ujung pedangnya untuk mengorek- ngorek dan menggurat-gurat.
Harapannya makin besar ketika ia dapat kenyataan tembok itu gempur sedikit-sedikit, gempurannya meluruk jatuh.
Nyatalah batu itu ditambal, dengan gempurnya tambalan itu, batunya pun nampak bergerak sedikit.
Melihat itu, Tan Hong menjadi dapat harapan.
Segera ia pasang kuda-kudanya, menghadapi batu itu, setelah mengerahkan tenaganya, ia menolak dengan keras kepada batu itu.
Dan.....
terdengarlah satu suara keras dan nyaring batu itu rubuh ke lain arah, yang meninggalkan sebuah liang yang hanya muat tubuh satu orang! Tanpa bersangsi, Tan Hong memasuki liang itu, hingga sejenak saja ia telah berada di lain sebelah.
Yang hebat adalah kedua matanya lantas menjadi silau.
Ia meramkan matanya, ia buka lagi dengan perlahan, untuk meneliti cahaya yang membuat matanya itu silau.
Apabila ia sudah melihat tegas, ia menjadi girang bukan kepalang.
Di sana terdapat sebuah terowongan, cahaya itu datangnya dari terowongan itu.
Ia lantas bertindak ke dalam terowongan itu, yang lebih pendek, dari yang semula tadi, maka itu, sebentar kemudian, sampailah ia di tempat yang buntu.
Di situ terdapat sebuah pintu batu, bukan batu biasa, tetapi seluruhnya pekgiok, batu kumala warna putih.
Batunya sendiri tidak aneh, yang aneh adalah besarnya.
Maka dapatlah dimengerti jikalau kumala putih itu berharga besar bukan main.
Sekarang Tan Hong simpan yabeng tjoe-nya, ia rabah pintu kumala itu, yang licin.
Ia merabah-rabah ke sekitarnya sampai jari tangannya menyentuh suatu liang kecil.
Ketika ia awasi, ia dapat kenyataan liang itu adalah liang kunci.
Kembali ia dapat harapan.
Tan Hong keluarkan anak kuncinya, ia masukkan itu ke dalam liang kunci itu, apabila ia memutarnya, pintu kumala itu terbuka.
Dengan girang ia masuk ke pintu itu, hingga ia berada di lain ruangan.
Sambil melewati pintu, tangannya mendorong ke belakang daun pintu, atas mana, pintu itu tertutup pula.
Sambil menyimpan anak kuncinya, Tan Hong pentang kedua matanya.
Di hadapannya sekarang nampak sinar terang, yang bercahaya berkilauan, itulah sinar dari emas dan perak serta barang permata lainnya.
Sekejap itu, ia dapatkan suatu perasaan.
Bukankah ia tengah menghadapi suatu harta besar? Tan Hong gunakan tangannya, akan mengangkat berbagai permata itu, sampai di bawahnya ia dapatkan sebuah kotak kumala.
Kotak itu tidak dikunci, hingga mudah dapat dibuka.
Isinya adalah sehelai peta bumi yang lebar.
Ia lantas beber peta itu, ia memandangnya dengan menggunakan sinar pelbagai barang permata itu.
Peta itu melukiskan dengan jelas setiap tempat, ada gunungnya, ada kalinya.
Untuk tempat-tempat yang harus dibelai, atau diserang, ada petunjuk-petunjuk yang berupa catatan.
Melihat jamannya, sangat lengkap peta itu.
Tan Hong tahu, itulah peta yang dicari-cari.
Itulah peta Pheng Hoosiang, yang dibuatnya tentu dengan susah payah dan memakan waktu, untuk Thio Soe Seng memperebutkan negara dengan Tjoe Goan Tjiang.
Mengawasi peta itu, dengan sendirinya Tan Hong mengucurkan air mata.
Selagi mengawasi kotak kumala, di atas itu Tan Hong lihat ukiran huruf-huruf yang berbunyi.
"Bila peta ini muncul, maka bangkitlah pula Kerajaan Tjioe yang besar."
Tan Hong duga bahwa leluhurnya, yaitu Thio Soe Seng, percaya turunannya akan dapat menemui harta dan peta itu, maka ditinggalkannya pesan itu supaya turunan itu nanti mengusahakan untuk mewujudkan cita-citanya merubuhkan kerajaan Beng, untuk membangun pula kerajaan Tjioe.
Sambil menghadapi kotak kumala itu, Tan Hong paykoei sampai delapan kali, sambil memberikan hormatnya itu, ia angkat kepalanya, mendongak, seraya mengucap.
"Thio Tan Hong, turunan yang tidak berbakti, mohon maaf leluhurnya, bahwa mungkin sekali Tan Hong tak dapat mewujudkan pesan memusnakan kerajaan Beng guna menghidupkan pula kerajaan Tjioe....."
Dengan mencari harta dan peta itu, Thio Tan Hong sudah mempunyai suatu maksud tertentu, yaitu peta dan harta itu hendak ia serahkan kepada Kokloo Ie Kiam, supaya Ie Kokloo menggunakannya untuk menangkis penyerbu, petanya untuk pembelaan dan penyerangan, dan uangnya guna membeayai angkatan perang dan membeli alat senjata dan rangsum.
Setelah meneliti peta itu, Tan Hong menggulungnya pula.
"Sekarang aku mesti pergi ke mulut gua, untuk perdengarkan suara nyaring, guna membeber cita-citaku, guna memperlihatkan kecintaanku terhadap negara, mungkin Tongteng Tjhoengtjoe dapat mendengarnya dan akan insaf pada cita-citaku itu. Semoga dia nanti menurunkan dadung untuk aku naik ke atas....."
Begitu ia berpikir, begitu Tan Hong bertindak ke pintu kumala.
Tadi ia telah menutup pula pintu itu, sekarang ia mesti membukanya kembali.
Ia terkejut, ketika ia dapatkan pintu terkunci, hingga tak dapat ia membukanya.
Ia mencoba dengan anak kuncinya, akan tetapi terbukti, itu bukanlah anak kunci yang tepat.
Nyata pintu itu mempunyai dua macam kunci, satu untuk di luar, dan yang lain untuk yang di dalam.
"Celaka!....."
Ia mengeluh.
Kali ini benar-benar hebat.
Pintu itu tidak dapat digempur seperti pintu batu tadi.
Di situ cuma ada emas dan perak serta permata, tidak ada barang makanan, itu artinya bahaya lapar mengancam padanya.
Di situ pun tidak ada air, hingga tenggorokannya akan lekas menjadi kering.
Leher kering sama bahayanya dengan perut kosong.
"Kelihatannya pasti aku akan mati kelaparan dan berdahaga di sini....."
Pikirnya pula kemudian.
Menghadapi ancaman maut adalah sangat hebat, maka itu, dalam putus asanya.
Tan Hong berteriak-teriak di muka pintu, ia harap suaranya itu terdengar sampai di luar.
Tapi ia pentang suara tanpa ada hasilnya, suara itu cuma terdengar oleh kupingnya sendiri, hingga ia merasa tuli.....
"Orang kata, seseorang dapat bertahan selama tujuh hari jikalau ia tidak dahar, tapi aku terlatih ilmu silat, mungkin aku dapat bertahan selama sepuluh hari,"
Pikir ia kemudian, menghibur diri.
"Selama sepuluh hari, aku mesti berpikir untuk mendayakan sesuatu....."
Pikiran Tan Hong lantas saja melayang, ke-permusuhan antara kedua keluarga Thio dan Tjoe, yang berjalan turun temurun, atau di lain saat ia ingat In Loei, wajah siapa segera terbayang dihadapan matanya.
Ia lihat tegas nona itu cantik dan manis tapi berbareng dengan itu pun bengis, bagaikan tengah murka.....
"Oh, adik kecil, sukar bagi kita bertemu pula....."
Tan Hong mengeluh.
Tan Hong tahu, sudah beberapa kali In Loei berniat membinasakan dia, tetapi ia tidak bersakit hati karenanya.
Ia malah sangat tertarik terhadap nona itu, yang, kecuali sedang murka, juga manis dan menarik hati, karena gerak-geriknya yang halus.
"Memang dia berniat membunuh aku, tapi ada kalanya dia sangat lemah lembut,"
Pikirnya pula.
"Ya, halus budi pekertinya. Yang kurang padanya adalah kekerasan hati berlainan dengan anak daranya Tongteng thjungtjoe, aku percaya dia berani berbuat dan berani bertanggung jawab, hingga alangkah baiknya apabila sifat mereka berdua dapat digabung menjadi satu. Dengan begitu jadilah dia satu manusia yang sempurna....."
Terkurung dalam guha itu, Tan Hong menjadi tidak keruan rasa.
Untuk tungkuli diri, ia periksa semua harta leluhurnya itu, ia angkat sana dan angkat sini, ia balik-balikkan.
Tiba-tiba tertindih oleh setumpuk mutiara, ia dapatkan satu kotak pualam lainnya.
Ia angkat itu.
Di atas kotak itu ia baca ukiran berikut.
"Surat-suratnya guru marhum. Soe Seng simpanlah dengan perhatian."
Dengan lekas Tan Hong buka kotak itu, untuk melihat isinya, ia dapatkan peta bumi yang masih terpisah satu dengan lain dan sejumlah catatan.
Ia mengerti, terang sudah, semua itu adalah berbagai catatan dari Pheng Hoosiang ketika dia mulai dengan pembuatan peta buminya itu, yang dicatat di setiap tempat ke mana dia telah pergi, ketika semua itu telah dihimpunkan menjadi satu, terjadilah peta yang orang berebut mencarinya.
Tentu saja sekarang ini, peta kasar itu sudah tidak ada perlunya, kecuali itu pelbagai catatan lain, tentang penduduk sesuatu tempat dan kebiasaannya masing- masing, perihal keletakan pelbagai gunung dan sungai yang mengenai pergerakan tentera.
Semua itu pun menyatakan ketelitian Pheng Hoosiang, kesungguhan hatinya, yang sudah bercapai hati untuk mengumpul dan membuat itu.
"Semua ini harus aku simpan dan kumpulkan dengan rapih, inilah bagus bila dibuat menjadi satu
Jilid buku istimewa,"
Demikian Tan Hong pikir. Tapi, bukan bagian petanya, hanya tulisannya. Kali ini ia lihat catatan tersusun, yang merupakan se
Jilid buku tipis. Buku ini berkalimat "Hiankong Yauwkoat"
Atau "Rahasia ilmu silat."
Ia baca lembaran pertama, tentang ucapan Khong Tjoe perihal "iie"= dasar.
Dua Musuh Turunan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"khie"= hawa, dan "siang"=roman. Ia heran. Dari mana Khong Tjoe mengerti tentang hiankong atau Iweekang, ilmu silat bagian dalam? Maka ia membaca terus. Ia dapatkan penjelasannya.
"Roman itu bersifat iimu siiat; hawa itu pengaruhnya iimu siiat; dan dasar adalah buahnya iimu siiat. Kaiau ketiganya diperoleh dengan lengkap, gerakan tangan dan kaki tak akan menyeleweng."
Lalu, lebih jauh, ada berbagai penjelasan lainnya lagi. Maka, setelah membaca itu, Tan Hong menghela napas saking kagum. Seorang diri ia kata.
"Setelah membaca ini, baharu aku kenal akan diriku. Dibanding dengan guru besar ini, aku tak lain daripada sinar kunang-kunang."
Karena ini, ia menjadi sangat tertarik, kemudian ia lanjutkan terus.
Harus diketahui, Pheng Hoosiang itu bukan sembarang orang.
Ia pun telah menjadi guru dari dua kaisar - Tjoe Goan Tjiang dan Thio Soe Seng - maka dapatlah dimengerti yang ia mempunyai kepandaian istimewa, yang melebihi kebanyakan orang.
Kebetulan sekali, Tan Hong adalah orang yang mendapatkan kitab warisan itu, dengan kecerdasannya ia dapat menginsyafi isi kitab itu.
Kakek guru dari Tan Hong, Hian Kee Itsoe, telah mendidik empat murid, kepada tiap muridnya ia telah mewariskan masing-masing serupa kepandaian.
Tan Hong ketahui, toasoepee Tang Gak mendapatkan Taylek Kimkong Tjioe, dan djiesoepee Tiauw Im Hweeshio mendapatkan Gwakang, ilmu silat bahagian luar, atau Ngekang - ilmu keras.
Sekarang, setelah ia membaca kitab ini, tanpa petunjuk lisan dari guru lagi, mengertilah ia isi dari kedua ilmu silat itu, hingga ia jadi girang tak kepalang.
"Dengan memiliki kitab ini, apabila aku meyakinkannya dengan sungguh-sungguh, bukankah aku akan mengerti maksud setiap ilmu silat dan mudah mempelajarinya sesuatu ilmu?"
Demikian ia kata seorang diri. Tapi begitu lekas ia sadar bahwa ia tengah terkurung, dengan tiba-tiba saja ia menjadi lesu pula....."
Dengan cara bagaimana ia dapat keluar dari gua ini? -ooo0dw0ooo- Bab XVIII Biar bagaimana juga, Tan Hong adalah seorang yang keras hatinya, yang cerdas, maka setelah memikir sebentar, dapat ia legakan hatinya.
Ia anggap tak usah ia pikirkan soal bisa keluar atau tidak, ia hanya harus meyakinkan dahulu kitab itu.
Demikian ia bertekun dengan kitab itu.
Mulanya Tan Hong mulai merasa lapar, akan tetapi setelah meyakinkan kitab, ia merasa lega, hingga selama setengah hari, ia dapat merebahkan diri dan tidur pulas.
Ketika ia mendusin, tidak tahu ia sudah jam beberapa waktu itu.
berbagai batu permata bersinar terang sekali.
"Coba aku melatih diri,"
Pikir Tan Hong kemudian.
Ia ingat Taylek Kimkong Tjioe dari toasoepee-nya, maka lantas saja ia hajar pintu kumala dengan kepalannya.
Pukulan itu menerbitkan suara yang keras, pintu tidak terbuka, tapi suara itu sudah menyatakan bahwa ia telah peroleh hasil.
Kelaparan satu hari, Tan Hong rasakan ia masih dapat melawannya, yang hebat adalah keringnya kerokongannya disebabkan dahaganya.
Umumnya siapa kelaparan terus menerus, dalam tempo tujuh hari baharulah ia akan terbinasa sendirinya, tapi apabila orang tidak minum, kekuatan bertahannya cuma tiga hari atau ia akan meninggal dunia.
Sekarang ia mencoba menguatkan hati, untuk menahan serangan lapar dan haus itu.
Sementara itu, ia telah selesai membaca kitab "Hiankong Yauwkoat"
Itu, ia sudah sanggup menghafal di luar kepala.
Hasilnya luar biasa, yaitu ia dapat mengurangkan rasa haus dan laparnya itu.
Selagi Tan Hong menghafal terus, tiba-tiba kupingnya mendengar satu suara perlahan.
Segera ia memasang kuping.
Ia dengar suara seperti orang sedang menggali tanah, sedang membongkar.
Ia perhatikan arah dari mana suara itu datang.
"Siapa?"
Ia berseru sambil lompat setelah ia ketahui tempat asalnya suara itu, ialah arah pintu.
Itu pun suara seperti orang tengah membongkar batu keras.
Tidak ada jawaban dari luar, kecuali suara membongkar batu itu, yang masih tetap terdengar.
Dalam penasarannya, Tan Hong kerahkan tenaga di tangannya, lalu ia hajar pula pintu batu kumala itu.
Pukulannya itu mendatangkan suara keras sekali, akan tetapi pintu tidak rubuh, bergeming pun tidak.
Sebaliknya, tangan si penyerang dirasakan sangat sakit, seperti tangan itu hendak copot.
"Tidak sembarang alat besi dapat menggempur rubuh pintu ini."
Ia pikir kemudian.
"Siapa itu di luar?"
Kembali ia tanya.
"Kalau kamu hendak menolong aku, kenapa kamu tidak menjawab pertanyaanku?"
Tetap tidak ada suara yang menyahuti. Cuma terus terdengar suara menggali tanah itu.
"Inilah hebat,"
Pikir Tan Hong.
Dari suara galian itu, ia duga orang yang bekerja cuma bersendirian.
Apakah artinya tenaga satu orang? Bukankah ia tetap terancam bahaya kelaparan dan kehausan itu? Tengah ia berpikir, Tan Hong lihat tanah gempur di bawah pintu, lantas ia gunakan pedangnya, akan mengorek ke arah itu, habis mana terlihat satu sinar kecil masuk dari bawah pintu.
Teranglah, orang di sebelah luar sudah berhasil membongkar dan membuat lobang itu, yang besarnya sejari tangan.
Ia menjadi lega, tapi ia pun heran.
"Apakah artinya ini?"
Ia menduga-duga.
"Mungkinkah orang membuat liang supaya dia dapat menceploskan barang makanan untukku? Tapi liang ini masih terlalu kecil....."
Ia memasang kuping.
Ia dengar suara menggali di sebelah luar telah berhenti.
Sebagai gantinya terdengar suara lain, seperti orang mendorong dengan suatu benda keras.
Ia lantas saja mengawasi.
Tiba-tiba terlihat suatu sinar berkilau, warnanya kuning emas.
Segera tertampak diceploskan satu kunci emas.
Ketika Tan Hong sambuti itu, ia dapat kenyataan anak kunci itu mirip dengan kepunyaannya.
Sebagai seorang yang cerdas, ia lantas dapat menerka maksud orang.
Maka tanpa membuang waktu sedetik juga, ia coba masukkan anak kunci itu keliang kunci pintu batu kumala itu.
Begitu lekas ia memutar, daun pintu menjeblak dan satu nona cantik, dengan wajah tersungging senyuman manis, tengah berdiri di muka pintu, mengawasi kepadanya.
Ketika ia lihat tegas roman orang, Tan Hong merasa ia bagaikan tengah bermimpi.
Nona itu, ia kenali, adalah puterinya Tongteng Tjhoengtjoe, yang mukanya kemerah-merahan, yang senyumannya tidak segera lenyap.
Nona itu berdiri dengan tangan kirinya menyekal pedang, tangan kanan memegang linggis.
Pada ujung pedangnya masih terdapat sisa lumpur.
Di mulut gua, sebelah atas, tergantung sebuah tengloleng, hingga karenanya, barang-barang permata itu lantas bersinar di antara cahaya api.
"Terima kasih untuk pertolongan kau ini, nona!"
Kata Tan Hong sambil menjura kepada nona itu. Ia tahu, tidak dapat ia diam dan mengawasi saja. Nona itu tertawa dengan tiba-tiba, lekas-lekas ia tutup mulutnya.
"Tuan muda, keluargaku telah menantikan kau selama tiga turunan,"
Berkata ia, suaranya halus dan merdu.
"Tadi malam belum tahu kami bahwa kau adalah tuan muda kami, hampir saja kami celakai jiwamu, maka itu, bukannya kau menyalahkan kami, sebaliknya kau menghaturkan terima kasih terhadap kami!"
Mendengar demikian, Tan Hong insyaf dengan tiba-tiba. Ia tertawa berkakakan.
"Janganlah kau memanggil tuan muda kepadaku,"
Ia mencegah.
"Ada hubungan apakah antara aku dengan leluhurku itu yang kebetulan saja mengangkat dirinya menjadi raja? Aku adalah orang she Thio dan namaku Tan Hong, kau panggil aku Tan Hong saja!"
"Sejak dua bulan yang lalu aku telah ketahui she dan namamu itu,"
Berkata pula si nona.
"Ketika itu telah aku memikirnya, nama itu bagus sekali. Di pekarangan rumah kita ditanam banyak pohon hong, adakah kau melihatnya pohon itu?"
Masih si nona suka bersenyum, wajahnya berseri-seri.
Ia tak pemaluan, ia bicara dengan si anak muda bagaikan kenalan lama, yang sudah biasa bergurau.
Tan Hong lantas saja berpikir.
Ia lantas ingat In Loei.
Nona ini nyata sangat bebas.
Ia awasi nona ini, ia seperti melirik.
"Jangan kau kesusu untuk memberitahukan she dan namamu padaku,"
Ia kata.
"Kau biarkan aku menerkanya. Bukankah she-mu she rangkap Tamtay dan namamu memakai kata Beng di antaranya?"
"Kau menerka tepat,"
Sahut si nona.
"Bukankah kau ketahui she dan namaku ini karena kau diberitahu oleh Tamtay Biat Beng?"
"Tantai Tjiangkoen belum pernah berbicara denganku bahwa dia mempunyai adik perempuan yang cerdik sebagai kau ini,"
Jawab Tan Hong. Si nona tertawa.
"Aku kuatir, sebelumnya ini ia memang belum mengetahui bahwa ia mempunyai adik perempuan yang bodoh sebagai aku ini!"
Ia kata.
"Baharu bulan yang lalu ia datang kemari secara sangat kesusu, untuk belajar kenal dengan keluarga kami, untuk perkenalkan diri dan mengakui pamili, habis itu, cuma menginap satu malam, dia sudah kabur pula!"
Tan Hong segera menghitung hari.
Hari ketika Tantai Mie Ming datang ke Thayouw adalah harian si pangeran asing hendak pulang ke negerinya.
Nyatalah setelah Mie Ming dan ia pergi menghadap Ie Kiam, Mie Ming terus secara diam-diam meninggalkan kota raja tanpa diketahui orang, sedang di kota raja terdapat banyak pahlawan kimie wie.
"Kalau begitu,"
Berkata si nona.
"seberlalunya Biat Beng dari sini, dia tidak bertemu pula dengan kau. Ketika itu hari dia datang, dia telah berbicara mengenai kau yang secara diam-diam nelusup masuk ke Tionggoan, katanya mungkin kau akan pergi ke Souwtjioe untuk mencari harta benda warisan leluhurnya, karenanya, dia suruh kami perhatikan kau. Sayang dia datang dan pergi secara kesusu begitu rupa, sampai dia tidak sempat melukiskan tampang dan potongan kau. Kita mulanya percaya kau serupa seperti dia, setelah tinggal bertahun-tahun di Mongolia, romanmu seperti orang Mongolia saja. Siapa sangka, kau cakap ganteng melebihi pemuda-pemuda Souwtjioe dan Hangtjioe....."
Habis mengucap, si nona bersenyum pula, kedua bibirnya dibuat main.
Rupanya dengan mendadak ia telah insyaf bahwa ia telah berbicara secara terlepasan, akan tetapi ia tak malu seperti nona-nona lainnya.
Tan Hong pun tertawa di dalam hatinya.
Tantai Mie Ming, atau Tamtay Biat Beng, rupanya seperti orang Ouw, orang Mongolia, itulah disebabkan engkong dan ayahnya telah menikah dengan orang Mongolia, jadi roman itu bukan disebabkan karena tinggal terlalu lama di Mongolia dan karenanya, wajahnya bisa berubah.
Nona ini nampak cerdas akan tetapi kali ini, ia menduga keliru....."
"Ketika pertama kali kau datang pesiar, kami sudah curiga,"
Berkata pula si nona.
"Selama belakangan ini kami tengah menghadapi suatu urusan, yaitu kabarnya ada orang jahat yang telah mendapatkan sehelai salinan peta kota Souwtjioe, karena peta itu, mereka menduga tempat menyimpan harta adalah taman Koaywa Lim, maka selama setengah bulan yang lalu, tak putusnya datang orang ke Koaywa Lim untuk melakukan pemeriksaan. Rahasia kami di sini, tidak diketahui orang luar, akan tetapi tak dapat kami tidak bersiaga. Begitulah kami menyangka jelek padamu."
Hong tertawa .
"Coba kau pandang aku, adakah aku mirip penjahat?"
Dia tanya.
"Itulah sebabnya,"
Sahut si nona.
"Kalau tidak, mungkin kau telah kehilangan jiwamu! Ayah telah melihat romanmu dan dengar suaramu yang halus, ia tak dapat menerka-nerka asal-usulmu. Ayah telah memikir untuk segera mencari tahu, apakah kau benar tuan muda kami atau bukan, ia masih ragu-ragu, ia kuatir nanti gagal dan karenanya, tanpa diinginkan, rahasia di sini terbuka sendirinya, maka itu, ia bersabar. Begitu ayah ambil putusan, biar kau terkurung, jangan kau sembarang kabur. Dikurung di dalam Pat Tin Touw ini, kau tidak diganggu, sebab ayah tak sudi mencelakai orang baik-baik. Kau tahu, meskipun kau kenal Pat Tin Touw dan dapat meloloskan diri, kau tidak dapat kabur terus."
Tan Hong mengawasi.
"Habis, kenapa akhirnya kamu kenali juga aku?"
Dia tanya. Si nona juga tertawa.
"Di kolong langit ini, kecuali kau seorang, siapa lagi yang sanggup membuka pintu kumala ini dari luar?"
Dia menjawab. Juga Tan Hong tertawa pula. Ia kata.
"Di kolong langit ini, kecuali kau seorang, siapa lagi yang sanggup menolongi aku keluar dari sini?"
Nampaknya nona itu sangat puas. Kembali ia tertawa.
Dua Musuh Turunan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Memang seharusnya demikian, bukan?"
Kata dia.
"Kedua anak kunci kita ada luar biasa, tapi pun kebetulan sekali. Tanpa kedua anak kunci ini, pintu tak dapat dibuka dan ditutup kembali....."
Habis berkata, muka si nona menjadi merah sendirinya. Ia nampak malu. Inilah tidak heran. Dengan tiba-tiba ia ingat akan kata-kata ibunya. Waktu ia masih kecil, pernah ibunya berkata padanya.
"Jodoh itu ada seumpama anak kunci. Suatu anak kunci mesti ada suatu biang kuncinya, suatu kunci tak dapat dibuka dengan anak kunci lainnya."
Dan sekarang, kedua anak kunci itu telah menemui biangnya..... Maka ia menjadi jengah, sendirinya. Tan Hong heran akan kelikatan orang. Ia tidak melihat alasannya untuk itu. Tentu saja, tak tahu ia akan kata-kata ibunya itu. Lalu ia mendehem.
"Dari she dan namamu, telah aku ketahui yang tiga,"
Ia kata sambil bersenyum.
"Masih ada satu lagi yang aku belum tahu....."
"Kau lihat, benar-benar aku tolol!"
Kata nona itu.
"Sampai pun she dan namaku belum aku beritahukan padamu. Aku ialah Tamtay Keng Beng, ayahku Tamtay Tionggoan, dan kakekku Tamtay Kwie Tjin. Kakekku adalah panglimanya kakekmu, Kaisar Thio itu....."
Tan Hong tertawa.
"Nama kakekmu itu aku kenal,"
Ia kata.
"Secara begini benar-benar aku harus berterima kasih kepada keluargamu. Oleh karena kakekmu itu turut kakekku, dia mendendam penasaran, dia menerima penghinaan. Tidakkah dia telah ikut pindah ke negara asing dan karenanya menjadi orang asing juga? Di pihak lain, keluargamu ini, selama beberapa turunan, telah menjagai gunung ini....."
Tamtay Keng Beng tertawa.
"Apakah jeleknya untuk tinggal di sini?"
Dia tanya "Setiap pagi dan sore kami memandangi telaga dan gunung. Apakah itu tidak cocok dengan kau?"
Ditanya begitu, Tan Hong bersenyum. Si nona pun bersenyum, lalu ia berseru.
"Ah! Kau lihat, kembali aku lupa suatu hal!"
"Apakah yang kau lupakan?"
Tanya Tan Hong.
"Aku lupa bahwa kau telah terkurung di sini satu hari satu malam!"
Sahut si nona.
"Kau lihat, di sini aku telah membawa makanan untuk kau."
Dia bertindak keluar, dia ambil sebuah naya yang tadi dia tunda di luar pintu. Dia tenteng itu ke dalam. Isi naya itu ialah buah peksee piepee dari Tongteng San dari Thayouw serta rangsum kering berikut daging.
"Mari cobai!"
Ia kata kepada si anak muda.
Lebih dahulu Tan Hong dahar piepee, kemudian ia makan daging.
Ia rasakan makanan itu lezad sekali, yang ia belum pernah merasakannya.
Tentu saja, untuk makanan itu, ia haturkan terima kasihnya.
Selagi orang dahar, Tamtay Keng Beng memandang kesekitar ruangan, ia juga membuat main berbagai mutiara.
"Tidaklah heran kalau sejak dahulu kala sampai sekarang ini, banyak orang yang ingin sekali menjadi raja,"
Kata dia kemudian sambil tertawa.
"Lihat leluhurmu ini. Dia menjadi raja baharu beberapa tahun, dia sudah lantas dapat mengumpulkan harta begini besar....."
Bagaikan batu, dia lempar-lemparkan beberapa butir mutiara yang besar. Dia bagaikan anak kecil yang gembira dengan barang mainan. Dia pun suka tertawa.
"Semua barang ini indah dan bagus untuk dibuat main,"
Kata ia kemudian.
"hanya sayang tidak dapat dipakai menghilangkan dahaga dan lapar. Aku lihat, mutiara ini tak seperti piepee-ku!....."
Tan Hong tertawa.
"Maka itu, aku lebih suka piepee-mu, tak ingin aku mutiara ini!"
Ia kata.
"Enak didengarnya kata-katamu ini,"
Berkata si nona.
"Jikalau kau tidak menghendaki mutiara ini, perlu apa kau melakoni perjalanan yang penuh bahaya, jauh dari Mongolia kau datang ke Thayouw ini?"
"Itulah lain,"
Terangkan Tan Hong.
"Mutiara ini hendak aku serahkan kepada lain orang."
Tamtay Keng Beng heran.
"Siapakah orang itu?"
Dia tanya.
"Dialah kaisar dari ahala Beng."
Keng Beng terkejut.
"Apa?"
Tanyanya.
"Kau hendak serahkan kepada kaisar Beng? Bukankah kaisar itu musuh besar dari keluargamu?"
"Benar, kaisar Beng itu musuh keluargaku,"
Tan Hong akui.
"Habis, kenapa kau hendak serahkan harta ini kepada musuh itu?"
Si nona tegaskan.
"Memang niatku untuk menyerahkan harta ini padanya."
"Ah, tidak, tidak!"
Seru si nona.
"Harta ini benar kepunyaan keluargamu akan tetapi keluarga kami, telah beberapa turunan mewakili keluargamu menjagainya. Apabila harta ini kau hendak serahkan pada orang lain, untuk itu kau perlu menanyakan dahulu sikap kami!"
"Bila aku menyebutkannya, kau tentu setuju,"
Kata Tan Hong, tenang. Dan ia tuturkan cita-citanya untuk melindungi negara, sekalipun kaisar berasal dari keluarga lain, malah musuhnya. Tamtay Keng Beng tertawa.
"Kalau begitu bukannya kau langsung memberikan kepada kaisar Beng!"
Dia kata.
"Kau hendaknya menyerahkan kepada orang yang akan menggempur bangsa asing! Ah, kau bikin aku kaget....."
Tan Hong dahar terus piepee hingga habis hampir separuhnya, selama itu Tamtay Keng Beng terus mengajak dia pasang omong, hingga nona ini seperti melupakan bahwa di luar guha, di atas liang, ada orang, yang mengharap-harap mereka berdua.
Dengan begini, Tan Hong mengetahui banyak tentang keluarga Tamtay itu.
Ternyata dahulu Thio Soe Seng, pada malaman dari keruntuhannya, sudah meninggalkan pesan dan pertanggungkan puteranya kepada Tamtay Kwie Tjin, panglima yang setia itu, habis itu, Kwie Tjin menyingkir jauh ke Mongolia.
Tentang Koaywa Lim, yaitu petanya, Thio Soe Seng menitipkan kepada satu pahlawannya yang ia sangat percaya, seorang she Tjio, ialah leluhur Hongthianloei Tjio Eng.
Pun secara rahasia, Thio Soe Seng sudah meminta adiknya Tamtay Kwie Tjin, ialah kakeknya Tamtay Keng Beng, untuk tinggal dan menjagai bukit Tongteng San Barat itu, di dalam gunung mana harta besarnya disimpan, untuk pintu rahasianya ia tinggalkan cuma sepasang anak kunci yang dapat membuka pintu itu.
Semua itu telah dilakukan secara sangat rahasia.
Tantai Mie Ming dengan Tamtay Keng Beng adalah kakak beradik sepupu, saudara tjintong, tapi mereka terpisah jauh satu sama lain, satu di Mongolia, gurun pasir Utara, yang lain di Kanglam, Selatan, sudah begitu, selama beberapa turunan, mereka tidak pernah surat menyurat satu pada lain, baharu bulan yang lalu, Tantai Mie Ming datang secara tiba-tiba, dengan menggunakan ketika itu untuk mengantarkan pangeran asing.
Baharu setelah itu, keluarga Tamtay ini ketahui bahwa junjungannya telah meninggalkan keturunan di Mongolia.
Senang hati Tan Hong mengawasi Nona Tamtay ini, yang wajahnya bercahaya di antara sinar batu-batu permata, hingga ia teringat sesuatu.
"Kalau nanti adik kecilku melihat kau, pasti ia senang sekali!"
Ia kata.
"Apa? Adik kecilmu?"
Tanya si nona.
"Kenapa ia senang padaku?"
"Adik kecilku itu sejak kecil telah kehilangan ayah bundanya,"
Sahut Tan Hong sambil tertawa.
"Dia yatim piatu, bersendirian saja, tidak ada orang yang bermain dengan dia. Kau dengan dia seumur. Bukankah kamu berdua dapat menjadi sahabat-sahabat kekal?"
Tiba-tiba Tamtay Keng Beng menjadi gusar.
"Apa? Aku harus menemani adik kecilmu bermain?"
Dia tegur.
"Hm! Aku tidak suka bermain dengan bocah busuk!"
Baharu ia ucapkan kata-kata itu, nona ini lalu menjadi jengah sendirinya. Ia telah terlepasan berbicara. Bukankah Tan Hong juga satu "bocah busuk"? Dengan sendirinya, air mukanya menjadi bersemu dadu. Tan Hong tertawa.
"Adik kecilku itu bukan satu bocah busuk,"
Ia beritahu.
"Kalau bukan bocah busuk tentu bocah harum!"
Kata si nona.
"Hm! Bocah harum pun aku tak sukai!"
"Dia juga, bukannya bocah harum!"
Tan Hong masih tertawa.
"Dia, kau tahu, dia adalah satu nona kecil....."
Keng Beng agaknya tercengang.
"Satu nona kecil?"
Dia tegaskan.
"Ya, satu nona kecil,"
Sahut Tan Hong.
"Hanya ketika pertama aku bertemu dengan dia, dia dandan sebagai seorang priya, lalu karena kebiasaan, terus aku panggil dia adik kecil, panggilan ini tak dapat dirubah hingga sekarang ini."
Entah kenapa, mendengar orang menyebut "adik kecil,"
Nona Tamtay mendapat perasaan luar biasa.
Agaknya orang telah berhubungan erat satu pada lain.
Setahu kenapa, ia seperti merasa jelus atau cemburu.
Ia merasa, seumurnya, belum pernah ia dapatkan perasaan semacam ini.
Maka ia jadi heran sendirinya.
Tan Hong juga seperti merasakan sesuatu mengenai nona ini, maka itu, keduanya membungkam saja, sampai sekian lama, mereka terbenam dalam kesunyian.
Adalah kemudian, ketika ia ingat sesuatu, Tan Hong pecahkan kesunyian itu.
"Kenapa ayahmu tidak datang kemari!"
Dia tanya.
"Ayah dapatkan ada satu musuh mendaki gunung, dia tentunya telah mengatur Pat Tin Touw,"
Sahut si nona, suaranya wajar, bagaikan tak ada ancaman bahaya. Tidak demikian dengan Tan Hong. Pemuda ini agaknya terkejut.
"Jikalau ada musuh mendaki gunung, itulah tentu musuh yang tanggu,"
Ia kata.
"Mari kita lekas pergi melihat!"
"Apa sih yang disebut musuh yang tanggu?"
Berkata si nona, masih dia acuh tak acuh.
"Musuh itu tidak nanti sanggup melawan tempuling ayahku! Atau kalau dia sanggup melawan ayah, dia toh masih tak sanggup lolos dari barisan batu....."
Pat Tin Touw adalah barisan dengan tonggak-tonggak batu yang letaknya seperti tak teratur, maka itu si nona menyebutnya barisan batu.
Dua Musuh Turunan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Nona ini juga nampaknya sangat mengandalkan kegagahan ayahnya itu, hingga ia tak berkuatir sedikit juga.
Di dalam hati kecilnya, Tan Hong berkata.
"Ah, nona cilik, kau mana ketahui, di luar langit ada langit lainnya, di samping orang ada orang lainnya lagi! Musuh yang datang kali ini, kalau bukannya pahlawan-pahlawan dari istana, tentu sebangsa Anghoat Yauwliong....."
Tapi, ia kata kepada si nona.
"Lebih baik marilah kita pergi melihat!"
"Baiklah!"
Kata Tamtay Keng Beng.
Lalu berdua mereka keluar dari guha, mereka kunci pintu kumala itu.
Setibanya di mulut guha, di sana tergantung sehelai dadung, dengan itu keduanya, dengan saling susul, mendaki naik, hingga Tan Hong lihat pula sinar matahari.
Ia bernapas lega.
Menurut letak matahari, ketika itu adalah tengah hari.
Pintu dari Tongteng Santjhoeng telah ditutup rapat, di lereng gunung, di antara batu-batu tampak tubuh orang bergerak-gerak bagaikan bayangan.
Dari sana pun terdengar bentrokan keras dari senjata-senjata tajam.
Melihat itu, Tan Hong percepat tindakannya, ia hendak lari untuk memberikan bantuannya.
"Untuk apa kesusu?"
Berkata Nona Tamtay Keng Beng.
"Ibu dan adik perempuanku pun telah tiba, musuh tangguh apa lagi yang dijerikan?"
Tan Hong heran mendengar perkataan nona ini. Ketika ia bermalam di Tongteng Santjhoeng, ia tidak lihat nyonya rumah.
"Oh, kiranya kau masih punya ibu?"
Tanyanya.
"Kenapa tidak?"
Keng Beng membaliki "Hanya ibuku tidur di lain tempat, setiap sepuluh hari atau setengah bulan sekali, baharu ia datang kemari. Ketika tadi aku melihat ibu mendaki gunung, lekas-lekas aku susul kau, untuk menolongi padamu."
Tan Hong menjadi lebih heran, kali ini mengenai sikap nyonya rumah.
"Di sini tersedia tempat bagaikan tempat dewa, bukannya suami isteri tinggal bersama-sama, tetapi mereka berpisahan, tinggal berjauhan rumah, kenapakah?"
Ia berpikir.
Dalam keadaan seperti itu, ia tidak sempat menanyakan keterangan.
Maka itu, bersama-sama mereka lari terus.
Setibanya di muka Pat Tin Touw, baharulah keduanya - atau lebih benar Tamtay Keng Beng - terkejut.
Musuh-musuh yang terkurung di dalam tin, adalah barisan istimewa, yaitu musuh-musuh yang liehay sekali.
Yang satu adalah seorang tua, yang lain satu toodjin, atau imam.
Si orang tua memegang sebatang senjata luar biasa, tongkat panjang berkepalakan seperti naga dengan di bahagian kepalanya ditambah pula dua rupa alat lainnya, yaitu yang satu menyerupai telapakan tangan dengan jeriji-jerijinya lancip sebagai gaetan, yang lainnya merupakan duri-duri yang tajam, maka selagi tongkat itu diputar, nampaknya seperti lengan orang hutan yang berbulu, seperti orang menerkam.
Dan si imam memegang sebuah pedang panjang, yang tidak luar biasa, hanya apabila digerak- gerakkan, pedang itu mengeluarkan sinar sebagai bunga pedang, hingga membuat lawan jeri.
Masih ada seorang lainnya, musuh yang ketiga, yang tampak dari dandanannya, nyata dia seorang perwira, yang masih muda.
Ia mempunyai kepalan yang liehay, yang menyambar-nyambar sambil memperdengarkan suara angin yang keras.
Tamtay Keng Beng mengawasi dengan saksama.
Ia lihat ayahnya menjaga pintu "mati."
Ayahnya terkurung musuh tetapi penjagaannya masih tetap kuat.
Ia ingin membantui ayah itu, maka sambil menghunus pedangnya, ia berseru.
Waktu ia hendak lompat menyerbu, ia tampak Tan Hong berdiri menjublak, matanya mendelong.
Tentu saja ia jadi heran.
"Hai, kau kenapa?"
Tegur si nona.
"Tadi kau sendiri yang tegang tidak keruan, sekarang kenapa kau diam saja? Kau hendak membantui ayahku, apa kau hendak tunggu?"
"Celaka!....."
Tan Hong, mengeluh dalam hatinya.
Ia kenali si orang tua dan si imam, ialah Tiatpie Kimwan Liong Tjin Hong bersama Samhoa Kiam Hian Leng Tjoe.
Ia tidak pusingkan kedua orang itu, tetapi yang membuatnya ia bersangsi adalah si perwira muda, yang tidak lain daripada In Tiong kakak In Loei, itu Boe tjonggoan baru.
Ia saksikan hebatnya pertempuran, ia kuatirkan ada jiwa yang melayang.
Tan Hong pun masih berpikir terlebih jauh.
"Secara diam-diam aku telah membantui In Tiong peroleh gelarnya itu, meski demikian, aku tahu betul, dalam hatinya, ia masih membenci aku, rasa permusuhannya terhadapku masih belum lenyap. Aku telah memberikan penjelasan kepadanya, tapi ia tidak mau percaya, habis bagaimana sekarang? Jikalau sekarang aku maju membantui keluarga Tamtay ini, tidakkah itu akan membikin salah faham menjadi bertambah hebat?"
Inilah yang menyebabkan pemuda she Thio ini berdiam saja. Justeru itu Samhoa Kiam Hian Leng Tjoe, yang sinar pedangnya memain secara liehay, menerjang kepada si nona tua yang menjaga pintu "touw,"
Atas mana, si nyonya berikan perlawanan dengan tongkatnya, tetapi baharu dua gebrakan, In Tiong sudah maju membantui Hian Leng Tjoe, begitu hebat kepalannya itu, hingga si nyonya mesti mundur keluar dari pintu jagaannya itu.
Tentu saja, menyaksikan itu, Tan Hong menjadi terlebih kaget lagi.
Di lain pintu, yaitu di pintu "kheng,"
Nona yang menjaganya telah dibikin repot oleh musuhnya yang mendesak hebat sekali.
"Adakah mereka itu ibu dan adikmu?"
Akhirnya Tan Hong tanya si nona dengan tidak mempedulikan tegurannya.
"Hai, bagaimana? si nona balik menanya, dengan gusar.
"Kau hendak tunggu apa lagi?"
Tapi kali ini, sambil bicara, Tamtay Keng Beng sudah lari jauh beberapa tombak. Pada waktu itu, Tan Hong sudah mendapatkan ketetapan hatinya.
"Kiranya orang-orang dikenal!"
Serunya sambil tertawa. Dan begitu ia lompat, ia sudah dapat menyandak nona Tamtay, untuk dilalui, hingga dialah yang terlebih dahulu menyerbu ke dalam tin.
"Tamtay Toanio, lindungi pintu touw"
Ia berseru kepada si nyonya tua, sedang kepada si nona, ia berteriak.
"Adik Giok Beng, kau mutar ke pintu hioe. Aku datang!"
Lagi sekali Tan Hong lompat, ia lewati kepala Tiatpie Kimwan, ia nerobos ke pintu seng, maka di lain saat ia sudah ambil kedudukan didampingnya Tamtay Tionggoan, tjhoengtjoe atau tuan rumah dari Tongteng Santjhoeng, untuk menjaga pintu Pat Tin Touw.
Sebenarnya ketika hari itu In Tiong nampak kegagalan di Koaywa Lim, ia sangat mendongkol.
Surat Tan Hong, yang merupakan nasehat, dipandang olehnya seperti sindiran.
Ketika pulang ke kantor soenboe, besoknya ia bertemu dengan ke tujuh jago dari kota raja, yang telah datang lengkap.
Mereka lantas ketahui bahwa Tan Hong sudah pergi ke Thayouw, mereka pun - berjumlah delapan orang - lantas menyusul.
Mereka mendaki Tongteng San Barat pada hari kedua dari terjeblosnya Tan Hong ke dalam liang harta rahasia.
Adalah di saat mereka tengah mencari Tan Hong, tiba-tiba mereka dengar tertawa ejekkan dari samping mereka, begitu mereka berpaling, mereka tampak satu nyonya tua, yang rambutnya telah putih seluruhnya, tengah melambaikan sehelai kain sulam, yang bersulamkan sepuluh tangkai bunga merah yang besar, di antaranya, tujuh terkurung sulaman benang merah yang menyolok mata.
Satu siewie menjadi heran ketika ia mengawasi si nyonya tua.
"Eh, apakah dia bukannya si perempuan tua dari warung teh di Tamtay Tjoen?"
Berkata ia.
"Ah, mana dia anak perempuannya? Ketika hari itu aku lewat di warung tehnya, nona itu sedang menyulam bunga ini....."
"Benar,"
Kata pahlawan yang satunya lagi.
"Ketika itu hari aku lewat di warung, aku juga lihat si nona sedang menyulam bunga merah itu, malah aku dengar dia mengatakan, itu adalah bunga yang ke sepuluh."
Mendengar kedua kawan itu, In Tiong bercekat. Ia ingat, ketika ia lewat di warung teh yang dimaksudkan itu, ia tampak sulaman baharu selesai delapan tangkai.
"Bukankah hari itu kamu telah menanyakan tentang Thio Tan Hong?"
Ia tanya kedua siewie itu.
"Betul,"
Sahut kedua siewie.
"Apakah hubungannya dia dengan bunga sulaman merah itu?"
"Wanita tua ini pasti konconya Thio Tan Hong,"
In Tiong jawab. Dan segera ia lompat ke arah si nyonya tua. Nyonya tua itu melambaikan pula sulamannya.
"Ah, sayang, sayang, kau juga telah datang!....."
Katanya, suaranya tak enak didengarnya.
"Tiga tangkai bunga merah ini pun akan dipetik Beng-cijie!....."
Dengan "Beng-cijie"
Itu ia artikan "anak Beng."
Tiatpie Kimwan si Kera Emas tangan besi menjadi gusar.
"Hai, perempuan siluman, kau tengah main gila!"
Ia bentak.
Lantas ia ajak kawan- kawannya, akan menyusul si nyonya tua, yang sementara itu telah menyingkirkan diri, gesit gerakannya, dan larinya pun berliku-liku tak hentinya, hingga dalam tempo yang pendek, ia sudah pancing In Tiong serta ke tujuh toakhotjioe pahlawan pilihan dari istana, sampai di muka tin.
In Tiong segera lihat batu-batu bertumpuk tak teratur, bagaikan pintu-pintu.
Ia menjadi curiga.
Ia tidak kenal Pat Tin Touw, tetapi ia lebih mengerti dibanding dengan ke tujuh rekannya, ia telah membaca kitab-kitab ilmu perang, maka ia jadi ragu-ragu.
Ia merandek sebelum ia maju terlebih jauh, matanya dibuka dengan lebar.
Segera juga di antara tumpukan-tumpukan batu itu muncul satu nona.
"Hai, kamu telah datang?"
Berkata nona itu sambil tertawa.
"Mereka itu tengah menantikan rekan-rekannya, mereka sudah tidak sabaran!....."
Terus dia menunjuk.
Maka di sebelah kiri, di atas tumpukan-tumpukan batu, terlihat berbaris tujuh buah tengkorak.
Entah dengan obat apa semua tengkorak itu direndamnya, semuanya mempunyai biji-biji mata dan kulit muka yang hidup.
In Tiong terkejut ketika ia kenali roman salah satu kepala orang itu, ialah kepala satu penunggang kuda yang telah melewati warung teh, sedang Tiatpie Kimwan dan Samhoa Kiam kenali kedua yang lainnya ialah pahlawannya Soelee Thaykam Ong Tjin.
Malah satu jago lagi mengenali juga satu kepala lainnya ialah kepalanya hoepangtjoe atau ketua muda dari Hayliong Pang! Dalam sedetik itu, semua pahlawan ini sudah lantas menduga bahwa ke tujuh orang itu mestinya sudah datang di Thayouw untuk mencari Thio Tan Hong tetapi celaka, mereka, rubuh di tangan si nyonya tua dan puterinya itu.
Tentu saja, mereka jadi sangat gusar.
Karena mereka semua bernyali besar, dengan serentak mereka menyerbu ke dalam tumpukan batu itu, yang mereka tidak ketahui barisan rahasia Pat Tin Touw adanya.
Malah In Tiong, tanpa ayal lagi, sudah turut menyerbu juga.
Dari dalam barisan segera terdengar suatu suara, yang disusul dengan munculnya seorang tua yang berkumis jenggot panjang terpecah tiga, yang tangannya menyekal hietjee, yaitu tempuling ikan, siapa lalu diturut oleh beberapa petani, yang semua bersenjatakan golok, tombak dan pacul, hanya mereka itu selanjutnya menghilang dan muncul dengan bergantian, secara mendadak.
Tiatpie Kimwan gusar menampak gerak-gerik orang itu.
"Baiklah bekuk dulu si tua bangka!"
Dia berteriak.
Tongteng Tjhoengtjoe dengar suara besar itu, ia tertawa berkakakan, terus ia mendahului menyerang dengan tempulingnya.
Dengan satu sampokan tongkatnya, Tiatpie Kimwan tangkis tempuling itu, tetapi baharu satu gebrakan saja atau si orang tua telah melesat ke samping dan segera lenyap dari pandangan si Kera Emas Lengan Besi.
Hanya, baharu sedetik, tiba-tiba terdengar sambaran angin di belakangnya si Kera Emas, atau segera terlihat munculnya si nona dengan sepasang goloknya.
Nona ini menyerang dengan dahsyat.
In Tiong maju akan tangkis serangan si nona, ia menggunakan tangan kosong.
"Sungguh liehay!"
Seru nona itu, yang terus lompat mundur, hingga ia lenyap pula.
Samhoa Kiam lompat, menolongi In Tiong mengejar nona itu, atau ia dicegat si nyonya tua, yang seperti tak ketahuan dari mana munculnya, dan dengan sepuluh jari tangannya, nyonya itu mencengkeram ke arah kepala! Samhoa Kiam terperanjat melihat sambaran orang itu, yang ia kenali adalah tipu silat Taylek Engdjiauw Kang, dengan lekas ia mainkan pedangnya, guna menangkis sambaran itu.
Si nyonya tua lihat serangannya gagal, ia lantas menyusul dengan serangan lain.
Ia berlaku sangat gesit, ia dibantu dengan saksama oleh kawan-kawannya, maka juga In Tiong berdelapan seperti telah terkurung di dalam tin itu.
Dua Musuh Turunan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tujuh jago dari istana itu, bersama In Tiong, adalah orang-orang liehay, akan tetapi mereka tidak kenal Pat Tin Touw, mereka dipermainkan hingga mereka terlepas dari hubungan mereka satu dengan lain.
Dengan begitu, tak dapat mereka perlihatkan kegagahan mereka.
In Tiong cerdas, ia lantas dapat melihat bahwa keadaan mereka telah menjadi kacau karenanya, segera ia teriaki kawan-kawannya.
"Perhatikan! Mereka ada berdelapan, kita juga berdelapan, mari kita lawan satu dengan satu! Jangan kita kalutkan diri sendiri!"
Teriakan ini ditaati ke tujuh pahlawan, mereka itu lantas mencari masing-masing satu musuh, maka itu, pertempuran segera berganti rupa.
Pat Tin Touw adalah tin yang liehay, sayang bagi Tongteng Tjhoengtjoe, dia cuma tahu tiga bagian saja, karenanya tidak dapat dia bergerak dengan bebas, sedang di antara kawannya cuma dia sendiri, isterinya dan puterinya, yang cukup liehay untuk melayani musuh, yang lainnya bukannya tandingan setimpal dari pahlawan istana itu.
Karena ini, walaupun musuh telah terkurung, mereka tidak menghadapi ancaman bencana langsung.
Kedua pihak nampak berimbang.
Adalah pada saat yang tegang itu, In Tiong perlahan-lahan mulai mengerti kedudukan mereka, tapi justeru Samhoa Kiam mendesak si nyonya tua, tiba-tiba muncullah Tan Hong dengan pedangnya yang hebat.
"Awas!"
Teriak In Tiong, yang menjadi kaget.
Samhoa Kiam dan Tiatpie Kimwan lantas kenali Tan Hong, yang pernah permainkan mereka, maka sekarang, kedua pihak saling berhadapan, mereka jadi mendongkol, keduanya maju dengan berbareng, menyerang si anak muda.
Tan Hong putar pedangnya hingga terdengar suara menderu-deru, dengan itu ia layani kedua musuhnya.
Ia bergerak-gerak sangat gesit, hingga baju putihnya berkibar-kibar di dalam tin itu.
Ia melesat ke kiri dan ke kanan, ke depan dan ke belakang, pedangnya selalu merupakan tusukan atau tikaman, atau ia main berkelit dari senjata-senjata lawannya itu.
Cara berkelahi ini membikin ke lima pahlawan jadi berpencar pula, cuma In Tiong bertiga Samhoa Kiam dan Tiatpie Kimwan yang bisa menghadapi betul-betul musuh-musuhnya.
"Bagus!"
Teriak Tamtay Keng Beng, yang kagum dan girang menyaksikan cara berkelahinya Tan Hong itu. Tongteng Tjhoengtjoe pun girang sekali, Ia dapat kenyataan si anak muda mengerti lebih banyak daripadanya tentang tin itu. Maka ia berseru.
"Bagus, majikan tua ada turunannya! Pasti Kerajaan Tjioe yang besar akan bangkit pula!"
Sudah delapan puluh tahun sejak Thio Soe Seng meninggalkan dunia yang fana akan tetapi keluarga Tamtay tetap memanggil ia sebagai "laotjoekong"
Atau majikan tua, hingga Tan Hong pun dipanggil "siauwtjoe"
Atau majikan muda. Dengan "majikan"
Itu diartikan junjungan.
Pheng Hoosiang pandai mengenai Pat Tin Touw, ia mewariskan kepada Thio Soe Seng, dan Thio Soe Seng, yang menghendaki keluarga Tamtay melindungi harta bendanya, sudah memberikan pelajaran pada keluarga ini.
Demikian, pengetahuan tentang tin turun kepada Tamtay Tionggoan, tapi melihat kepandaian Tan Hong, tidak bersangsi lagi ia bahwa si anak muda ini adalah junjungannya yang muda.
Demikian ia perdengarkan seruannya secara gembira itu.
Dengan nyeburnya Tan Hong dan Tamtay Keng Beng ke dalam medan pertempuran, suasana berubah dengan lantas, kalau tadinya ke delapan pahlawan istana menang di atas angin, sekarang mereka jadi terdesak, dari pihak penyerang, mereka menjadi pihak yang membela diri.
Tamtay Keng Beng berlaku sangat gesit, ia menerjang ke segala arah, akan desak setiap pahlawan yang kena dipermainkan, Tan Hong membuat mata mereka itu seperti kabur dan kepala pusing.....
Pembela dari pintu "kheng"
Adalah Tamtay Giok Beng, ialah adiknya Keng Beng. Dia tadi kena terserang In Tiong hampir rubuh, hanya tubuhnya terhuyung, sekarang ia saksikan musuh yang balik diserang, segera dia lompat keluar dari pintu jagaannya.
"Entjie."
Dia berteriak.
"mari kita kepung satu musuh ini! Tadi dia menghina aku!"
Dan dia tuding In Tiong. Keng Beng sambut adiknya itu sambil tertawa.
"Baiklah!"
Jawab ia.
"Kau injak letak kian, maju ke letak kam, seranglah bagian kanannya!"
Dan ia sendiri segera maju ke letak iie, untuk menuju letak tjin, lalu dengan jurus "Pekhong koandjit" = "Bianglala putih menutupi matahari,"
Ia menikam pemuda she In itu.
In Tiong tangkis serangan itu, hingga pedang si nona terpental, setelah mana, hendak ia melakukan pembalasan, atau mendadak di sampingnya berkelebat satu sinar hijau, karena dengan pedangnya, Giok Beng yang gesit itu sudah taat kata- kata kakaknya untuk menyerang dari arah kanan.
Ke arah kanan ini, angin hebat dari kepalannya pemuda itu tak sampai pengaruhnya.
In Tiong berkelit dengan lincah.
Keng Beng juga berlaku sangat gesit, setelah tarik pulang pedangnya, ia menyerang pula, tikamannya mengarah muka, karena mana, In Tiong terdesak di antara dua tonggak batu, hingga ia cuma dapat berkelit pula.
Tapi ia tetap dalam bahaya, karena sempitnya tempat, untuk berkelit pun sukar.
Maka ia tetap terancam.
Sebenarnya seorang diri In Tiong sanggup layani kedua nona Tamtay kakak beradik itu, Keng Beng dan Giok Beng, tetapi kalau sekarang ia kena terdesak, itu disebabkan ia hadapi tin batu dan kedua nona itu sudah terlatih bertempur di dalam t/n-nya itu.
Memang sengaja mereka itu mendesak terlebih dahulu, baharu hendak mereka turun tangan.
Dalam saat In Tiong terancam bahaya maut itu, tiba-tiba terdengar suara nyaring dari bentroknya dua senjata, di situ Tan Hong mendadak muncul dari arah samping, pedangnya dipakai menangkis pedang si nona, hingga pedang itu berubah arah tujuannya, dengan demikian In Tiong telah ketolongan.
Inilah Keng Beng tidak sangka, ia menjadi sangat heran.
"Apakah yang kau lakukan?"
Dia tegur si anak muda.
"Kau pandang mukaku, luputkanlah tusukanmu kali ini,"
Tan Hong bilang.
Keng Beng tetap heran, akan tetapi ia berlega hati karena ia tampak si anak muda mengawasi ia dengan wajah tersungging senyuman, sinar matanya anak muda itu pun seperti mengandung suatu maksud.
Ia tarik pulang pedangnya, tidak lagi ia ulangi serangannya.
Tongteng Tjhoengtjoe juga turut menjadi heran.
"Siapakah perwira itu?"
Dia tanya.
"Dialah yang bilang bahwa aku adalah musuh besarnya,"
Tan Hong jawab tuan rumahnya. In Tiong mendongkol, ia gusar sekali.
"Siapa kesudian kau menaruh belas kasihan atas diriku!"
Kata dia dengan nyaring.
"Keluarga kita berdua adalah musuh-musuh besar, di jaman ini, semasa kita masih hidup bersama, jangan kau harap bahwa permusuhan itu dapat disudah habiskan!"
Dan dengan kepalannya yang dahsyat, pemuda ini maju menyerang.
Tongteng Tjhoengtjoe menjadi terlebih-lebih heran.
Ia peroleh kesan, orang benar-benar memandang Tan Hong sebagai musuh besar, maka heran, kenapa Tan Hong itu sebaliknya senantiasa melindungi perwira itu.
Tan Hong ulur tangannya yang kiri, kelihatannya ia bergerak dengan ayal, akan tetapi ketika ia kena tangkis tangan In Tiong, perwira ini terkejut sendirinya.
"He, ia pun telah pelajari Taylek Kimkong Tjioe?"
Ia kata dalam hatinya. Selagi begitu, ia mesti mundur tiga tindak, kedua tangannya dilintangkan satu dengan lain. Tan Hong juga mundur tiga tindak.
"Kakak In Tiong, mundur adalah jalan utama,"
Tan Hong berkata. Tapi In Tiong menjadi bertambah gusar.
"Siapakah kakakmu?"
Ia membentak. Dan kembali ia menyerang dengan tangannya yang liehay. Tan Hong elakkan diri.
"Hendak aku tanya kau, untuk apa kau datang kemari?"
Ia tanya. Kali ini Tiatpie Kimwan adalah yang campur bicara.
"Kau serahkan harta pendaman kepada kami, nanti kami pergi dari sini!"
Demikian si Kera Emas Lengan Besi dengan suaranya yang keras.
Tapi ini adalah gertak belaka, yakni kata-kata untuk lindungi muka sendiri.
Ia sudah lantas ketahui, dalam pertempuran ini, pihaknya tidak akan peroleh hasil, maka itu, ia minta harta pendaman itu sebagai pelabi.
Tan Hong melenggakkan tubuh, dia tertawa berkakakan.
"Jadinya kamu datang untuk harta pendaman leluhurku?"
Dia tegaskan, mereka itu.
"Memang harta itu aku niat menghadiahkannya kepada raja dari ahala Beng, sekarang ada kamu yang hendak tolong mengambilnya, untuk membawanya, sungguh inilah jalan paling baik!"
Mendengar perkataan itu, kecuali Tamtay Keng Beng, semua orang menjadi kaget.
"Siauwtjoe, apa kau bilang?"
Tanya Tongteng Tjhoengtjoe. Belum lagi Tan Hong menjawab, In Tiong telah mendahuluinya. Pemuda ini yang masih gusar, kata pada pemuda she Thio itu.
"Satu laki-laki terlebih baik mampus daripada terhina, maka itu, Tan Hong, kenapa kau berulang kali menghina aku?"
Dalam kemurkaannya itu, tak pernah In Tiong hendak memahami Tan Hong, yang omong dengan sebenar-benarnya. Tan Hong tidak jadi gusar karena sikap orang itu.
"Apakah yang kau kehendaki supaya kau dapat mempercayainya?"
Ia tanya.
In Tiong tidak menjawab dengan perkataan, ia hanya menyahuti dengan kepalannya tiga kali beruntun, hingga Tan Hong repot mengelakkan dirinya.
Pemuda ini mendongkol juga akan tetapi tak dapat ia turuti amarahnya itu.
Ia mesti berlaku sabar.
Dalam suasana sedang tegang dan sulit itu, selagi In Tiong belum dapat menjawabnya, mendadak terdengar suara berisik di empat penjuru mereka, lalu dari pinggang gunung, di antara pohon-pohon dan batu-batu besar, tertampak munculnya banyak orang dengan potongan tubuhnya tak rata, ada yang kurus, ada yang gemuk, dan semuanya orang itu tengah mendatangi ke arah mereka.
Segera juga Tan Hong lihat seorang dengan rambut merah seluruhnya, yang awut- awutan numpuk di kepalanya, orang mana ia kenali sebagai Anghoat Yauwliong Kwee Hong, orang yang pernah main dadu dengannya.
Tapi yang membuatnya ia terperanjat, adalah ketika ia kenali seorang lain yang tubuhnya tinggi tujuh kaki lebih, yang berhidung bengkung dan matanya kelabu, yang gegamannya sepasang kampak besar.
Sebab orang itu adalah Chalutu, pahlawan nomor 1 dari guru negara dari bangsa Watzu, yang kekosenannya, untuk di seluruh Watzu, cuma kalah setingkat dari Tantai Mie Ming.
Saking heran, ia sampai kata dalam hatinya.
"Kwee Hong adalah orang kepercayaannya Ong Tjin, sekarang kenapa berdua mereka ini berada dan bekerja sama? Apakah mungkin bangsa Watzu sudah menyerang Tionggoan?"
Ketika Tiatpie Kimwan lihat rombongan itu, dia berteriak-teriak.
"Bagus kamu telah datang! Pengkhianat Thio Tan Hong justeru ada di sini!"
Kwee Hong tertawa dingin, sembari maju mendatangi, ia memberi tanda kepada rombongannya, untuk mereka itu mengurung, tidak dikecualikan tujuh pahlawan dari istana berikut In Tiong si Boetjonggoan, yang bertugas istimewa untuk raja.
Tiatpie Kimwan menjadi kaget sekali.
"Eh, eh, apakah kamu sudah tidak kenali kami?"
Dia berteriak-teriak pula, sekarang saking heran dan kuatir.
"Kami berdelapan adalah orang-orang Sri Baginda sendiri!"
Kwee Hong tertawa pula dengan sama dinginnya ketika ia berikan penyahutannya.
"Dan kami, kami semua bukan suruhannya raja kami! - Hm! Lekas kamu serahkan harta pendaman serta peta buminya!"
In Tiong menjadi sangat gusar.
"Apakah kamu berani mendurhaka?"
Dia tegur.
"Harta pendaman dan peta bumi itu adalah barang-barang yang dikehendaki Sri Baginda!"
"Pergi kamu ke negeri Watzu, akan cari Sri Bagindamu itu!"
Dia jawab dengan jumawa.
"Harta dan peta bumi itu adalah Ong Kongkong yang menghendakinya!"
Dengan Ong Kongkong itu, Kwee Hong maksudkan Soelee Thaykam Ong Tjin, si dorna kebiri. In Tiong tercengang.
"Apa kau bilang?"
Dia tanya.
"Bagaimana dengan Sri Baginda?"
Lagi-lagi Kwee Hong tertawa.
"Tidak apa-apa!"
Jawabnya, sembarangan.
"Angkatan perang Watzu sudah masuk ke dalam kota Ganboenkwan dan raja kamu sudah jadi tawanan bangsa Watzu!....."
Tan Hong segera mengerti segala apa, tanpa tunggu In Tiong layani orang she Kwee itu, ia mendahului buka mulutnya.
"Kakak In Tiong, insafkah kau sekarang?"
Dua Musuh Turunan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Katanya.
"Kita bergabung melawan musuh, itu yang utama!"
Lalu, tanpa tunggu jawaban pula, ia lompat maju akan segera serang Kwee Hong.
Dengan tiba-tiba pun In Tiong naik darahnya.
Ia berseru dengan keras, ia lompat ke arah si orang asing, untuk lantas menyerang dengan kedua-dua tangannya, yaitu tangan kiri dengan kepalan, tangan kanan dengan goloknya - golok Ngohouw Toanboen too.
Chalutu gerakkan sebelah tangannya untuk menangkis, atas mana, In Tiong menjadi kesakitan dan kaget.
Pecah telapak tangannya yang menyekal golok, tangan itu berdarah-darah, hingga hampir saja goloknya terlepas dari cekalannya.
Tapi orang asing itu bukannya tidak menjerit.
Dia telah menangkis dengan sepasang kampaknya, dia berhasil, tetapi pukulan Taylek Kimkong Tjioe dari In Tiong juga membuat tubuhnya tersampok terpelanting.
"Bagus, anak, kau liehay!"
Demikian jeritannya.
Sehabis itu, dengan kerahkan semua tenaganya, ia maju mengampak, untuk membalas menyerang.
Ia berlaku sangat bengis.
Kwee Hong sebaliknya, karena ia kenal liehaynya si anak muda, tidak berani tangkis serangannya Tan Hong.
Ia berkelit, ia memutar tubuh, setelah itu baharulah ia balas menyerang.
Tan Hong menyerang dengan ancaman belaka, begitu ia tampak gerakan lawan, ia berlompat berbalik, hingga di lain saat ia telah dekati Chalutu si orang asing yang kuat, untuk ditikam, di saat kampak kirinya mendesak In Tiong, hingga karenanya, In Tiong jadi terhindar dari bahaya.
Mau atau tidak, diam-diam pemuda ini mesti bersyukur terhadap "musuh besarnya"
Itu..... Chalutu pentang lebar kedua matanya kapan ia telah lihat tegas, siapa yang merintangi padanya.
"Ha, Thio Kongtjoe, kiranya kau!"
Dia berseru.
"Kau bukan berdiam di Watzu, mengapa kau datang kemari, apa perlunya?"
Tan Hong balik menanya.
"Kau harus ketahui, di sini bukanlah tempatmu! Kau lekas pergi!"
Tapi orang asing itu tidak sudi pergi.
"Keluargamu telah sering terima budi besar dari raja kami, apakah benar kau berani berontak?"
Dia pun balik tanya.
"Biarpun aku terbakar menjadi abu, aku tetap bangsa Tionghoa!"
Sahut Tan Hong.
"Tak mungkin aku bekerja untuk rajamu!"
Chalutu menjadi gusar.
"Memang telah aku lihat kau berhati serong!"
Katanya.
"Sekarang teranglah sudah, kau lari pulang secara diam-diam ke negaramu melulu untuk jadi musuh kami! Hm! hm! Mari makan kampakku!"
Tan Hong tidak tunggu sampai ia diserang.
Ia mendahului menyerang orang kosen dari Watzu itu.
Dua kali ia mendesak dengan tikamannya.
Chalutu berkelit, dia mainkan kampaknya, yang bagaikan gunung Tay San turun dengan berat ke arah batok kepalanya si anak muda.
Tan Hong ketahui tenaga besar musuh, tidak mau ia adu kekuatan.
Ia segera perlihatkan kegesitannya untuk mengimbangi orang kuat itu.
Kekuatan Chalutu tak di sebawahan Tantai Mie Ming, dalam hal enteng tubuh, ia kalah dari Tan Hong, maka itu, guna layani anak muda ini, ia ambil sikap membela diri, sepasang kampaknya melindungkan tubuhnya.
Hingga sinar pedang dan kampak saling berkilauan.
Sampai di situ, terjadilah satu pertempuran yang kalut.
Kwee Hong datang dalam jumlah kira-kira empat puluh orang, mereka itu adalah orang-orangnya Ong Tjin, di antaranya orang-orang kangouw dari Hektoo, Jalan Hitam, malah juga orang-orang Hayliong Pang yang turut dalam perebutan Koaywa Lim.
Dengan jumlah yang lebih besar, bisa Kwee Hong kurung lawannya.
Tapi semua lawan adalah orang-orang pilihan, tidak mudah untuk segera dapat dikalahkannya, mereka ini cuma dapat dibikin mengeluarkan tenaga lebih banyak.
Thio Tan Hong yang cerdik segera melihat suasana.
"Semua mundur ke dalam Pat Tin Touw!"
Ia berseru setelah ia layani dahulu untuk beberapa puluh jurus. Chalutu tertawa bergelak.
"Semua barisan batu, apa dia dapat berbuat terhadapku?"
Katanya dengan jumawa. Dan ia menyerang dengan kampaknya, membuat setumpuk batu gempur. Dua pahlawan istana maju, untuk rintangi orang kuat dari Watzu ini, tetapi mereka tidak kenal Pat Tin Touw, mereka justeru masuk ke pintu "mati."
Tan Hong kaget.
"Lekas mundur!"
Dia teriak-teriak.
Chalutu tidak mau memberi ketika, dia mendesak, kampaknya bergerak liehay dari kiri dan kanan.
Dua pahlawan itu terdesak di antara tumpukan batu, mereka jadi tak leluasa bergerak, maka itu, ketika kampaknya Chalutu turun dengan hebat, mereka tidak berdaya, tubuh mereka terkampak menjadi dua potong.
Karena kemenangannya ini, orang kuat itu tertawa berkakakan.
Tiba-tiba ia rasakan desiran angin di bebokongnya, sambil memutar tubuh, ia menangkis ke belakang.
Ia menangkis angin tapi berbareng dengan itu, ia dengar suara memberebet, ialah tanda dari ujung bajunya yang kena disabet robek pedang Tan Hong, sebaliknya, tubuh Tan Hong sendiri tak tertampak.
Karena ini, ia memikir untuk lompat keluar.
Tapi justeru itu, kembali sinar putih dari pedang berkelebat, ia tampak Tan Hong dengan air muka berseri-seri muncul di kiri, dari antara tumpukan batu.
Dengan sebat ia angkat sepasang kampaknya, guna menangkis dan teruskan menyerang juga.
Tapi ia kalah sebat, lengan kirinya terlanggar ujung pedang hingga bajunya robek dan dagingnya mengucurkan darah.
Tentu saja ia jadi sangat gusar, maka sambil berteriak, ia lompat akan mengampak pemuda itu.
Tan Hong berada di antara tumpukan batu, ia dapat hindarkan diri, sebaliknya tumpukan batu yang menghalang di hadapannya menjadi gempur runtuh kena kampakan yang dahsyat itu, batu hancurannya terbang berhamburan.
Menggunai ketika itu, kembali Tan Hong menyerang, menikam pundak orang.
Chalutu hendak membalas menyerang tapi ia tidak berdaya.
Dengan batu hancur berhamburan, sukar untuk ia melihat tegas tubuh si anak muda yang lincah.
Iapun terhalang oleh tin yang ia tidak kenal, sedang Tan Hong dapat bergerak dengan merdeka di antara pelbagai tonggak batu itu.
Sesudah tiga kali kena tertikam, walaupun luka-lukanya tidak berbahaya, baharu Chalutu insyaf, percuma ia andalkan kampaknya atau tenaganya yang besar, maka itu, ia lantas lompat ke tempat yang lebih lega, untuk dari situ putar kampaknya guna bela diri.
Tan Hong kenali ilmu silat Chalutu, yaitu dua jurus tipu yang digabung menjadi satu, di atas Chalutu mainkan "Soathoa khayteng" = "Kembang salju menutupi kepala,"
Dan di bawah "Kouwsie poankin" = "Pohon tua rubuh akarnya."
Ia biarkan orang bersilat sendiri, ia hanya tertawa terbahak-bahak, di lain pihak, ia berkelebatan ke sana sini, untuk hajar lain lawannya, hingga ia berhasil melukai beberapa orang lagi.
Akan tetapi karena musuh berjumlah besar, mereka tidak dapat dipukul mundur, sedang dipihaknya, dua lagi pahlawan telah terbinasa di tangan musuh itu.
In Tiong, yang gunai Taylek Kimkong Tjioe, telah perlihatkan liehaynya pukulannya yang dahsyat.
Beberapa musuh telah rubuh binasa.
Ia tengah berkelahi terus ketika ia tampak Anghoat Yauwliong Kwee Hong sedang didesak Tongteng Tjhoengtjoe, si Naga Siluman Rambut Merah itu mendatangi dekat padanya.
Ia kenali si Rambut Merah itu, yang ia benci, maka dengan sekonyong-konyong ia tinggalkan lawan-lawannya sendiri, ia mencelat ke arah Kwee Hong itu, untuk segera menyerang dengan tangan kosongnya ke batok kepala orang.
Berbareng dengan itu terdengar teriakan Tan Hong.
"Awas, tangannya jahanam itu ada racunnya!"
In Tiong tahu teriakan itu ditujukan terhadap ia, ia terkejut, karena dalam keadaan seperti itu, tidak sanggup ia menarik pulang kepalannya itu.
Kwee Hong lihat orang menyerang padanya, dia menangkis dengan putar tangannya, yang dia buka kepalannya, hingga terlihat tegas telapak tangannya berwarna merah.
Dengan segera kedua tangan bentrok keras, disusul dengan jeritannya Anghoat Yauwliong, yang lengannya kena terpukul parah dan patah seketika, hingga lengannya itu mesti dikasi turun tanpa ia berdaya.
In Tiong juga menjadi kaget sekali.
Dengan lantas ia merasakan tangannyapun kaku.
Karena ini, bukannya ia menerjang terus tapi ia lekas-lekas mundur.
"Kakak In, empos semangatmu!"
Tan Hong teriaki Boetjonggoan itu.
"Tahan napas, jangan kasih hawa beracun naik melewati lenganmu!"
In Tiong berpaling kepada anak muda itu, lalu segera ia jatuhkan diri, untuk duduk numprah di tanah. Thio Tan Hong bersuara pula.
"Keng Beng, kau lindungi dia! Jangan ijinkan musuh ganggu meskipun selembar rambutnya!"
Keng Beng pun menoleh kepada Tan Hong, untuk melirik, setelah itu dengan tidak bilang suatu apa, ia dekati In Tiong, untuk menjadi pelindung.
Kwee Hong sementara itu merasakan sakit bukan main, hebat akibat serangan Taylek Kimkong Tjioe dari In Tiong, rupanya ia tidak sanggup menderita lebih lama, maka tiba-tiba, dengan kesehatannya, ia rampas golok seorang kawannya terus dengan itu ia tabas kutung lengannya yang terluka itu sebatas lukanya, setelah mana, seorang diri ia obati lukanya itu.
Ia robek bajunya untuk membungkus lukanya.
"Aku tidak akan mati!"
Dia teriaki kawan-kawannya.
"Perhebat serangan!"
Semua orang heran dan kagum atas kegagahan si rambut merah ini, semua lantas berkelahi pula dengan hebat.
Di pihak rombongan Kwee Hong ini, kekurangan satu Kwee Hong memang kurangnya satu tenaga yang berarti tetapi itu tidak membuatnya mereka menderita kerugian sangat besar, itu tidak mengurangkan sangat kurungan mereka.
Di pihak Tan Hong hal ada sebaliknya.
Kurang satu In Tiong sudah berarti kerugian besar, lalu ditambah dengan Keng Beng, yang seperti ditarik pulang, karena nona ini mesti melindungi In Tiong saja.
Di mana jumlah mereka kurang, kehilangan tenaganya Keng Beng besar sekali artinya.
Kwee Hong benar-benar ulet.
Ia duduk numprah, tetapi ia masih punya sebelah tangan untuk terus pegang pimpinan, melanjutkan penyerangan, hingga ia berbalik menjadi berada di atas angin.
Tan Hong mesti saksikan pertempuran yang tak selayaknya itu.
Ia mengerti, kalau terus ia bertempur secara demikian, di akhirnya ia bakal nampak kerugian.
Ia bersusah hati.
Sejenak itu, belum tahu dengan cara bagaimana ia bisa kalahkan musuh, untuk gempur pengurungannya.
Ia telah berhasil merubuhkan lagi beberapa musuh, akan tetapi pihaknya sendiri, kembali rubuh satu jago pilihan dari istana dan dua tjhoengteng.
Keadaan nampaknya makin berbahaya untuk pihaknya.....
Di saat-saat dari kesukaran itu, tiba-tiba dari kejauhan terdengarlah suara seruling, mulanya sayup-sayup, lalu perlahan-lahan menjadi terang, ialah suara itu datangnya dari arah pohon-pohon bunga di lamping bukit.
Sang angin telah membawanya suara itu, berikut suara nyanyian yang menimpali irama seruling itu.
"Siapakah yang ramai-ramai menyanyikan lagu-lagu Souwtjioe dan Hangtjioe? Bunga teratai tersiarnya sepuluh lie, Bunga koeihoa mekarnya tiga bulan. Siapa tahu, pohon-pohon adalah benda tak berbudi, Dia menyeret bagaikan sungai Tiangkang, Menyebabkan kedukaan dari laksaan tahun! Ya, ya, dia menyeret bagaikan sungai Tiangkang, Dia menyebabkan kedukaan dari laksaan tahun....."
Halus tetapi terang nyanyian itu, tarikannya bagaikan tarikan penasaran atau keluhan.
Kata-kata nyanyian itu justeru adalah kata-kata tulisannya Tan Hong pada gambar lukisannya! Sejenak saja, bagaikan terkontakkan hawa listrik, Tan Hong tercengang.
Tapi ia tak usah tergugu lama atau menanti lama-lama.
Segera juga dari antara pohon- pohon bunga, yang banyak bunganya, ia tampak munculnya satu nona remaja yang tangannya menyekal sebuah seruling pendek, tindakannya perlahan.
Nona itu mengenakan pakaian warna mirip dengan airnya telaga, ujung baju dan celananya tertiup-tiup angin.
Ia beroman cantik sekali, setimpal dengan tindakannya yang elok, hingga ia bagaikan seorang dewi.
Terkejut Tamtay Keng Beng menyaksikan nona itu, sedang ia sendiri adalah satu anak dara yang cantik manis, di dalam hati kecilnya, ia menanya.
"Adakah dia dewi dari telaga Thayouw ini yang terbang naik ke puncak gunung?"
Ia menjadi malu sendirinya, sebab ia biasa merasa angku sekali dengan kecantikannya, sekarang ia kalah pamor..... Beda daripada si nona Tamtay itu, Thio Tan Hong, yang telah sadar dengan segera, sudah segera memanggil.
"Adik kecil!"
"Oh!....."
Seru Keng Beng, tertahan.
Tak dapat ia mengatakan sesuatu, ia sudah lantas dapat merasakan suatu perasaan, entah perasaan apa itu.....
Pada matanya In Tiong juga sudah lantas tampak suatu sinar terang.....
Dua Musuh Turunan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Datangnya si cantik secara mendadak itu, menyebabkan pertempuran jadi terlambat, karena semua orang, mau atau tidak, dengan sendirinya, sudah menoleh mengawasi nona itu.
"Ah, perempuan ini tentunya perempuan sesat!....."
Seru Kwee Hong.
"Lekas membagi diri! Cegat kepadanya! Jangan kasi dia menyerbu!"
Si nona sendiri, sebaliknya tetap bungkam, hanya tindakan kakinya, yang perlahan, tak ia hentikan.
Ia maju terus, tetap dengan perlahan.....
Semangatnya Tan Hong terbangun secara tiba-tiba.
Dengan mendadak dia perdengarkan suitan panjang, berbareng tubuhnyapun mencelat, lompat dari batu yang satu kepada batu yang lain! Sambil berbuat demikian, ia terjang musuh- musuhnya.
Dengan cepat ia telah melukai beberapa di antara mereka itu.
Dengan waktu tidak lama, ia sudah lantas berada di luar kurungan di mana, dengan cepat ia lompat kepada si nona yang baharu datang itu, tangan siapa ia segera sambar! "Ah, adik kecil!"
Serunya.
"kau pun datang juga!....."
Ia ada demikian bernapsu dan gembira, hingga ia melelehkan air mata. Si nona kibaskan tangannya, untuk lepaskan cekalannya si anak muda. Tetapi ia bukannya bergusar, ia bukannya tak menyukainya, ia hanya pakai tangannya itu untuk menghunus pedangnya.
"Sret!"
Demikian pedangnya itu bersuara.
"Mana kakakku?"
Tanyanya.
Nona ini adalah In Loei.
Dia telah tiba di Kanglam, wilayah Selatan yang beda sekali daripada tanah Utara, maka juga setibanya ia di sini, ia telah salin pakaian - tidak lagi ia menyamar sebagai satu pemuda.
Maka menterenglah kecantikannya itu.
"Kakakmu terkurung di dalam tin itu!"
Tan Hong beritahu.
"Marilah lebih dahulu kita pecahkan kurungan musuh, baharu kita bicara!"
Kwee Hong sementara itu sudah berhasil dengan pemecahan tenaganya.
Dia telah tugaskan lima jago pilihan untuk rintangi Tan Hong dan In Loei.
Lima jago itu tidak kenal si pemudi, mereka memandang enteng pemudi itu, tiga di antaranya sudah lompat menerjang, mendahului dua yang lain.
Dan si pemudilah yang mereka serang! In Loei sudah hunus pedangnya, dengan sebat ia menangkis.
Maka berkelebatlah suatu sinar pedang yang hijau, menyusul mana, nampak pula cahaya putih yang berkilau, dari pedangnya Tan Hong, ia mendahului sinar hijau itu, hingga kedua sinar, berbaling silih ganti.
Dan dengan tergabungnya kedua sinar, yaitu kedua pedang, hebatlah akibatnya.
Di mana dua jago yang lain pun telah tiba dengan cepat dan sudah lantas menerjang juga, dalam dua gebrakan saja, ke limanya rubuh semuanya, tanpa mereka sempat menjerit lagi, tubuh mereka bergulingan ke kaki bukit! Kwee Hong saksikan terjangan jago-jagonya, ia lihat kesudahannya pertempuran itu, ia menjadi sangat kaget.
Bagaikan dua bayangan, Tan Hong dan In Loei sudah lantas tiba di dalam Pat Tin Touw, keduanya sudah lantas beraksi.
Ke kiri dan kanan tubuh mereka bergerak, dengan lincah serta rapi, erat perhubungannya.
Di antara tonggak-tonggak batu mereka nyeplos sana dan nyeplos sini, bagaikan capung menyambar air atau kupu-kupu menembus bunga-bunga, sinar pedang mereka tak hentinya berkilau, berkelebatan.
Tubuh mereka bagaikan berada di empat penjuru, di delapan persegi, kedua sinar pedang putih dan hijau bergulungan berpencaran, bergulungan pula.
Ke mana sinar pedang menyambar, di situ ada musuh yang terluka atau rubuh, maka juga, dalam tempo yang cepat, orang-orangnya Anghoat Yauwliong telah menjadi berkurang lebih daripada separuhnya.
Chalutu menjadi bermata merah bahna murka dan mendongkolnya.
Ia lompat menerjang, ia mengampak Tan Hong dengan sepasang kampaknya.
Thio Tan Hong tertawa, tangannya yang menyekal pedang diputar dari kiri ke kanan, sedang pedangnya In Loei, yang bergerak berbareng, digeser dari kanan ke kiri.
Maka bersatulah kedua pedang! Dan terdengarlah satu suara keras dan nyaring, atau kedua kampaknya Chatutu telah tertangkis terpental, hampir terlepas dari cekalan, sebab telapak tangan si pemilik kampak dirasakan sangat sakit, telapak tangan itu bermandikan darah! Chalutu sangat agulkan kekuatannya, dia jumawa sekali, sekarang insyaflah ia, sepasang pedang dari kedua lawannya itu nyatalah ada jauh terlebih hebat daripada sepasang kampaknya itu! Tan Hong pun kagum akan menyaksikan kampak lawan tidak terpental terlepas.
Ia lantas tertawa pula! "Nah, marilah sambut lagi ini!"
Seru dia kepada lawannya itu, lalu sambil miringkan sedikit tubuhnya dari arah samping, ia menikam.
Chalutu masih sanggup tarik pulang sepasang kampaknya, masih kuat ia menyekal senjatanya itu, untuk menangkis serangan.
Kalau tadi ia yang menyerang, sekarang ia jadi si pembela diri.
Ia memecah kampaknya, ke atas dan kebawah, dengan tipu silat "Tjiethian watee,"
Atau "Menundukkan langit, menggores bumi."
Di atas ia menangkis untuk bela diri, di bawah ia membabat ke arah kaki.
Berbareng dengan itu, juga pedangnya In Loei bergerak, mengimbangi gerakan pedangnya Tan Hong, maka setelah ke empat senjata bergerak berbareng, terdengarlah pula suara nyaring dari bentroknya kedua pasang senjata itu.
Begitu hebat kampaknya Chalutu, kedua kampaknya turun terus, mengenai tonggak batu, hingga tonggak itu gempur, batunya hancur, terbang berhamburan! Tapi Tan Hong berdua In Loei, telah berkelit diri.
"Kau pergilah pulang!"
Demikian suara si anak muda, setelah ia maju pula dengan satu lompatan pesat, hingga ujung pedangnya segera dapat diarahkan ke bebokong musuh, ke arah urat besar! Chalutu segera perdengarkan jeritan keras, berbareng dengan terlepas dan terlemparnya sepasang kampaknya, ia menyemburkan darah hidup dan dalam mulutnya, lalu dengan terhuyung-huyung tubuhnya rubuh ke tanah, tanpa bergerak lagi.
Melayanglah jiwanya! Kwee Hong yang melihat itu, kaget bukan main, hatinya menjadi ciut.
Sekarang tak ingat lagi ia kepada tugasnya memegang pimpinan, malah melupakan lengannya yang sakit, ia ulur tangannya yang satunya pula, ditempel kepada tanah, untuk ia kerahkan tenaganya mengenjot diri, untuk berlompat jumpalitan, untuk setelah itu, mencari jalan menyingkirkan diri.
Pedang Tetesan Air Mata -- Khu Lung Iblis Sungai Telaga -- Khu Lung Renjana Pendekar -- Khulung