Dua Musuh Turunan 13
Dua Musuh Turunan Karya Liang Ie Shen Bagian 13
Dua Musuh Turunan Karya dari Liang Ie Shen
Ia gunai kedua kakinya dan tubuhnya juga, ialah habis berlompat, ia bergulingan.....
"Ke mana kau hendak kabur?"
Bentak Tamtay Keng Beng, yang lihat aksi musuh itu.
Sambil berseru, si nona berlompat, pedangnya menuding ke arah musuh, tepat menancap di dada ujungnya tembus ke bebokong, hingga si Naga Sakti Rambut Merah tak dapat bernapas terlebih jauh! Lagi sejenak, maka berhentilah pula pertempuran yang dahsyat itu.
Di pihak Kwee Hong, orangnya habis musnah.
Di pihak Tan Hong, empat pahlawan istana binasa dan satu terluka.
Syukur bagi Tiatpie Kimwan dan Samhoa Kiam, mereka tidak kurang suatu apa.
Pada pihaknya Tongteng Tjhoengtjoe ada kerugian beberapa orang binasa dan luka.
Dengan tidak membuang tempo lagi, Tan Hong ajak In Loei lari kepada In Tiong yang terluka parah, mereka lihat anak muda itu separuh meram, dan tangannya bengkak seumpama lodong.
In Loei lantas bercucuran air mata.
"Koko"
Dia lompat kepada kakaknya itu. Tan Hong segera maju menghampirkan.
"Adik kecil, adik kecil!"
Tan Hong berkata.
"biarkan kakakmu beristirahat! Mari kita gendong dahulu ia, untuk dibawa pulang ke rumah!....."
In Loei sangat menyayangi kakaknya itu, ia berkuatir, dari itu, ia seperti tidak gubris nasihatnya Tan Hong itu.
Syukur bagi In Tiong, dia telah dapat empos semangatnya, bisa ia menahan napas, walaupun lengannya parah, namun racun, tidak berhasil mendesak sampai kehati.
"Koko, bagaimana kau rasa?"
In Loei tanya kakaknya itu.
"Toa..... Tan Hong, apakah lukanya kakakku ini berbahaya?"
Si nona tanya kakaknya, lalu tanpa tunggu jawahan, ia balik menanya Tan Hong, yang hampir saja ia panggil toako.
Memang telah biasa ia menggunakan kata-kata toako itu, hanya sekarang dihadapan In Tiong dan beberapa orang lainnya, tiba- tiba ia merasa likat.
Karena menyebut nama Tan Hong itu, dengan sendirinya wajahnya menjadi bersemu dadu.
"Tidak, tidak apa-apa....."
Tan Hong jawab.
"Hanya terlebih baik biarkan dia beristirahat....."
In Tiong sendiri telah tidak jawab adiknya itu, sewaktu ditanya, dia tengah memejamkan mata, ia seperti tak sadar akan dirinya. Baharu kemudian, mendadak ia buka kedua matanya.
"Kau siapa?"
Ia balik tanya adiknya.
"Koko, akulah adik kandungmu,"
In Loei jawab. In Tiong lirik Tan Hong, lalu ia tertawa dingin.
"Kau adik kandungku? Apakah kau tidak keliru kenali orang?"
Dia tanya adiknya. In Loei menangis.
"Koko, kau tega."
Kata dia.
"Betapa sengsara aku mencari kau....."
"Adakah aku mempunyai adik perempuan yang sedemikian baik hatinya?"
In Tiong masih mengejek.
"Memang aku adalah adik kandungmu."
Sang adik bilang.
"Jikalau kau tidak percaya....."
"Bukti apa kau ada punya?"
Kakak itu tanya, keras. In Loei kertek giginya, tangannya merogo ke dalam sakunya dari mana ia keluarkan surat wasiat kulit kambing yang bertuliskan dengan darah.
"Koko, kau lihat ini!"
Ia kata. Dua saudara ini memang masing-masing ada punyai separuh dari surat wasiat itu, itu adalah bukti paling kuat. In Tiong lirik surat wasiat itu, lalu ia lirik juga si nona. Ia lihat dua butir air mata jatuh dari kedua matanya adik itu.
"Hm,"
Katanya.
"masihkah kau ada punya muka untuk keluarkan surat wasiat engkong?"
Tahu sudah In Tiong akan adiknya ini tetapi sengaja ia bawa sikapnya itu, untuk paksa si adik keluarkan surat wasiat itu.
Sakit rasanya hati In Loei, tetapi karena sikap aneh dari kakaknya ini, ia tidak jadi menangis, air matanya tak mengucur terlebih jauh.
Sehabis mengejek adiknya itu, In Tiong pandang Tan Hong, sekonyong-konyong ia angkat tangannya untuk menuding.
Di saat ia hendak buka mulut, untuk mengatakan sesuatu, sekonyong-konyong juga Tan Hong berlompat, dengan jari-jari tangannya yang kuat bagaikan tombak cagak, ia totok lengannya In Tiong itu.
In Loei kaget bukan kepalang.
"Hai, kau berbuat apa?"
Dia tanya. Tan Hong belum menjawab, atau In Tiong sudah menghela napas.
"Thio Tan Hong, tidak usah kau berlaku baik hati, tak usah kau berpura-pura,"
Ia kata.
"Aku, walaupun aku mesti terbinasa, tidak nanti aku kesudian menerima budi kebaikanmu....."
Mendengar ini, In Loei lantas insyaf.
Nyatalah Tan Hong bukan serang kakaknya itu, yang sedang sakit dan tidak berdaya, tapi Tan Hong justeru menggunakan kepandaiannya untuk tolong sang kakak.
Serangan itu adalah semacam pukulan untuk mencegah jalan darah, guna mencegah racun menjalar naik.
"Adik kecil, marilah kita lekas pulang!"
Tan Hong kata tanpa mempedulikan sikap kasar dari si Boetjonggoan.
"Mari, mari, kita, bicara!"
Dan dengan ulur tangannya, ia tarik tangan baju si nona.
In Loei melirik kepada kakaknya, lantas ia putar pergelangan tangannya, dengan begitu loloskan cekalannya si anak muda.
Mukanya menjadi pucat pias, ia berdiri tanpa sepatah kata.
Tan Hong jadi sangat bersusah hati, ia pun jengah, maka dengan membungkam ia menjauhkan dirinya.
Tamtay Toanio, yang sejak tadi berdiam saja, menggeleng kepala.
Tamtay Keng Beng jadi sangat heran, hingga di dalam hati kecilnya, berkata.
"Jikalau kata-kata Tan Hong yang aku dengar di dalam guha, terang sekali dia sangat erat hubungannya dengan nona ini, mestinya si nona adalah jantung hatinya, maka heran, kenapa nona ini bersikap begini tawar terhadapnya?"
Sambil berpikir demikian, Keng Beng menoleh kepada Tan Hong, justeru si anak muda angkat tangannya, menggape kepadanya.
Dengan hati bimbang, Nona Tamtay menghampiri anak muda itu.
Tan Hong tunggu orang telah datang dekat sekali padanya, ia berkata dengan perlahan.
"Lukanya In Tiong bercampur racun tangan liehay, luka itu tidak dapat dia mengobatinya sendiri. Aku ada punya obat mustajab warisan leluhurku, hendak aku ajarkan kau cara mengobatinya, untuk kau obati dia hingga menjadi sembuh....."
Sambil berkata Tan Hong sambil serahkan obatnya yang lantas diterima oleh Keng Beng.
"Siapakah nona itu?"
Keng Beng tanya. Tan Hong menyeringai ketika ia jawab.
"Aku adalah musuh dia!"
Nona Tamtay melengak.
"Apa? Dia itu musuhmu?"
Ia tanya.
"Bukan! Akulah musuh dia!"
Sahut Tan Hong.
"Oh, bukan! Dia anggap aku adalah musuhnya....."
"Kalau begitu, kenapa tidak kau sendiri yang obati dia?"
Nona Tamtay tanya. Ia masih heran.
"Tidakkah dengan begitu, permusuhan dapat dibikin habis?"
Tan Hong tertawa.
"Aku justeru tidak ingin dia ketahui bahwa akulah yang menolongnya,"
Ia jawab.
"Aku tak ingin nanti dia mengatakan, aku tolong dia justeru dia tengah terancam bahaya maut, supaya aku jadi melepas budi terhadapnya."
Sementara itu Tongteng Tjhoengtjoe sudah lantas suruh satu orangnya gendong In Tiong untuk dibawa pulang.
Ketua Tongteng Santjhoeng ketahui pentingnya waktu, jadi tak dapat mereka berdiam lama-lama di dalam tin itu.
In Loei lantas berjalan mengikuti, tapi satu waktu ia menoleh ke belakang, maka matanya segera bentrok dengan satu pemandangan, yang membuat hatinya tergerak.
Ia tampak Tan Hong jalan berendeng dengan Keng Beng, pemuda dan pemudi itu tengah berbicara satu dengan lain, muka mereka dekat sekali satu pada lain, hingga mulut si anak muda bagaikan nempel kepada rambut di samping kupingnya si nona.
Mereka pun bicara sambil tertawa- tawa, agaknya mereka tengah bergurau.
Tak keruan rasa hatinya Nona In ini.
"Baiklah, kau tidak pedulikan aku, aku juga tak akan pedulikan kau!"
Pikirnya.
"bila diumpamakan saja sebagai orang yang belum pernah kenal satu pada lain, kita berpisah saja, habis perkara!....."
Tiba-tiba saja muncul kesedihannya si nona, tanpa dapat ia pertahankan lagi, air matanya turun mengetes.
"Nona, luka kakakmu tidak berbahaya,"
Berkata Tongteng Tjhoengtjoe, membujuk.
"Jangan kau menangis....."
Ketua rumah ini tak tahu hati orang, ia menyangka si nona kuatirkan keselamatan jiwa kakaknya, maka itu ia menghiburkannya.
In Loei berdiam, ia seperti tidak mendengarnya.
Ia sekarang menangis dengan tersedu-sedu.
Ketika di akhirnya orang sampai di Tongteng Santjhoeng, itulah waktunya asap mulai mengepul dari dapurnya setiap rumah.
Tongteng Tjhoengtjoe pernahkan In Tiong dalam sebuah kamar bersih dan sunyi, ia tugaskan satu orangnya untuk menjaga dan melayaninya.
Di lain pihak, ia perintahkan lekas mensajikan barang hidangan.
Tiatpie Kimwan dan Hoasam Kiam menjadi tak enak hati.
Tuan rumah sangat manis budi dan ramah tamah sekali, ia juga tidak hendak sebut-sebut halnya mereka itu datang untuk mencari harta simpanan.
Selagi bersantap, dua orang itu menghaturkan terima kasih kepada Tan Hong yang telah tolongi mereka.
Tak lama sehabis dahar, semua orang undurkan diri untuk beristirahat.
Tamtay Keng Beng taati pesan Tan Hong.
Sehabis bersantap, seorang diri ia pergi ke kamar In Tiong.
Dari luar kamar ia sudah tampak sinar api, yang memperlihatkan bayangannya In Loei.
Ia hentikan tindakannya di muka pintu.
"Koko, kakek kita bukanlah dia yang mencelakainya,"
Begitu ia dengar Nona In bicara kepada kakaknya.
"Tentang itu, Ie Kokioo sudah membicarakannya dengan jelas sekali. Maka itu, sakit hati itu baiklah jangan dibalas lagi."
"Habis apa kau hendak bilang tentang sakit hati selama dua puluh tahun kakek mesti menggembala kuda?"
Terdengar In Tiong, sang kakak.
Dua Musuh Turunan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Itulah perbuatan ayahnya,"
In Loei bilang.
"Memang perbuatan itu tidak selayaknya. Itu juga bukannya suatu permusuhan yang hebat sekali."
In Tiong tertawa dingin.
"Pandai kau membelai musuh!"
Katanya, tajam. In Loei lantas menangis.
"Koko....."
Katanya, tertahan.
"Apa?"
Sang kakak bilang.
"Gadisnya Keluarga In dilarang tidak bersemangat jantan!"
In Loei gigit giginya atas dan bawah, ia seka kering air matanya.
"Koko, gurumu sendiripun mengatakan bahwa Thio Tan Hong itu adalah orang kaum kita,"
Berkata ia, sungguh-sungguh.
"Yang mesti diutamakan adalah musuh luar, musuh asing, maka segala apa yang dapat disudahi, baiklah dibikin habis saja....."
Berulangkah In Tiong perdengarkan suara tawarnya.
"Hm! Hm!"
Kemudian dengan tiba-tiba, ia kata dengan keras.
"Aku tahu kau memang cintai bocah she Thio itu!"
In Loei sudah pertahankan sedapat-dapat untuk tidak menangis, tetapi mendengar suara kakaknya itu, ia menangis pula menangis dengan merasa malu dan mendongkol.
"Siapa bilang aku cinta ke padanya?"
Dia tanya dengan keras.
"Dia..."
"Kau cinta dia, baik! Kau tidak cinta dia pun baik!"
Kakak itu memotong.
"Tapi, pendek kata, aku larang kau menikah dengan dia!"
"Diapun telah punyakan orang yang dia penujui!"
In Loei berseru.
"Seumurku, tidak akan aku menikah, maka tak usahlah kau capekan hati untukku!"
In Tiong melengak. Ia juga mendongkol. Di dalam hati kecil, ia kata.
"Kiranya karena kau tidak dapat menikah dengan Tan Hong, kau jadinya tidak sudi menikah....."
Sebenarnya hendak kakak ini tegur adiknya itu, atau ia lihat kedua mata adiknya merah, ia jadi batal sendirinya.
Sesaat itu ia ingat bahwa adik ini adalah adik satu-satunya, sedang pertemuan mereka ini adalah yang pertama sejak perpisahan mereka belasan tahun.
Ia menjadi tak tega hati.
Di akhirnya, ia menghela napas sendiri.
Adalah di saat itu, mereka dengar suara pintu berkeletek, disusul oleh suara batuk-batuk perlahan, lalu daun pintu terpentang, tertolak dari luar, dari mana terlihat Nona Keng Beng bertindak masuk.
In Loei jengah sendirinya.
Baharu ia bicarakan nona itu, sekarang si nona sendiri muncul.
Tapi ia paksakan hati, untuk menyambutnya sambil tertawa.
"Terima kasih, nona,"
Kata In Tiong.
"Sebenarnya tidak berani aku mengharap kedatanganmu ini....."
Nona Tamtay berlaku polos.
"Mari ijinkan aku lihat lukamu,"
Ia kata, langsung.
"Lukaku tidak berarti, terima kasih untuk perhatianmu,"
Kata pula In Tiong.
"Loei, tolong kau antarkan nona ini."
Sebenarnya mendongkol Keng Beng melihat sikap dan mendengar perkataan In Tiong itu, akan tetapi ia dapat atasi dirinya. Ia melirik, ia lantas bawa sikap seperti tak terjadi sesuatu. Malah ia tertawa tertahan.
"Benarkah tidak apa-apa?"
Tanyanya, masih tertawa.
"Cobalah kau menyedot napas, ingin aku lihat!"
Tadi In Tiong bentrok sama adiknya, karena bangkitnya kemurkaannya, lukanya kambu tanpa ia merasa, racun bekerja, maka itu, waktu ia menarik napas, ia merasakan dadanya sesak, iapun ingin tumpah-tumpah. Keng Beng lihat itu, segera ia kata.
"Jikalau kau tidak obati lukamu ini, kau tak akan dapat lewatkan malam ini jam dua belas! Untuk satu laki-laki, walaupun ada dibilang, dia pandang kematian bagaikan berjalan pulang, akan tetapi kematianmu secara begini, sungguh-sungguh sangat tidak berharga! Kalau aku, hm, tidak nanti aku sudi menjadi laki-laki semacam itu!....."
Mendadak wajahnya In Tiong menjadi pucat pias. Ia rasakan lukanya mendatangkan rasa sangat sakit yang sangat.
"Nona Tamtay, tak dapatkah dia diobati?"
In Loei tanya nona rumah.
"Aku hanya kuatir kakakmu menolak orang hingga satu lie lebih!"
Sahut Keng Beng. Penyahutan ini ada mengandung dua maksud. Satu menyindir In Tiong, dan kedua, mengenai juga penolakan In Tiong itu untuk Tan Hong. In Tiong tidak menginsafi itu, ia kata.
"Terima kasih, nona. Di sini aku telah menjadi tetamumu, sebenarnya tidak berani aku membuatnya kau berabe....."
In Loei sebaliknya mengarti akan maksud kata-kata itu.
"Kiranya Tan Hong telah bicara segala apa kepada nona ini....."
Pikirnya. Ia jadi berduka. Tapi di sini ada mengenai keselamatan kakaknya, suka ia menindas perasaan hatinya. Maka ia kata.
"Jikalau nona dapat menolong kakakku ini, kita berdua saudara akan bersyukur tak habisnya."
"Tak usahlah kamu bersyukur,"
Bilang Nona Tamtay, yang sebenarnya hendak mengatakan.
"Sudah cukup untukku asal kau tidak benci dan mencaci aku....."
Tiba-tiba ia merasa seperti melihat Tan Hong lirik ia, maka pikirnya terlebih jauh.
"Perlu apa aku melukai hati kekasihnya?"
Ia lantas lirik pula In Loei, di dalam hatinya dengan menyesal ia kata.
"Nyatalah nona ini ada jauh terlebih beruntung daripada aku....."
Segera nona ini keluarkan obatnya, yang ada dua rupa, yaitu satu untuk dimakan, satu lagi untuk dipakai di luar. Ia juga membekal sebilah pisau perak serta segumpal kapas.
"Entjie, kau tolong bantu aku,"
Ia mohon kepada In Loei.
Tangan baju In Tiong segera digulung naik.
Tempat yang luka, yang bengkak, lantas digurat dua kali, merupakan segi empat, kemudian, dengan cekal lengan orang, Nona Tamtay gunai jari-jari tangannya akan menekan, atas mana, dari luka guratan itu sudah lantas mengucur keluar darah yang hitam, yang berbau bacin.
Sebat bekerjanya nona rumah ini.
Setelah merasa darah sudah keluar cukup, ia sekai luka itu untuk bersihkan darahnya, lalu ia memborehkan obat, yang lebih jauh ia tutup pula dengan kapas untuk terus dibalut.
Lengan In Tiong itu sebenarnya kaku dan ba'al, tidak mendatangkan rasa sakit, akan tetapi setelah perawatannya Keng Beng itu, sebentar kemudian, anak muda ini merasakan tekanan, atau pencetan, sepuluh jari si nona, membuatnya ia merasa sakit sedikit, sakit-sakit enak.....
Selama di gurun pasir Utara, jarang In Tiong melihat nona-nona remaja, sekarang ia menghadapi nona ini, yang cantik manis luar biasa, tanpa merasa hatinya tergerak, jantungnya berdenyut dan goncang bagaikan berlompatan.
Kulit mukanyapun ia rasakan panas sendirinya.
"Budimu yang sangat besar ini, nona, tidak nanti aku melupakannya,"
Kata ia akhirnya.
"Menyesal aku telah membuatnya kau bercape lelah....."
Tamtay Keng Beng tidak angkat mukanya ketika ia berikan penyahutannya.
"Aku lihat kau adalah satu laki-laki sejati, mengapa sekarang kau bawa sikapmu sebagai satu nona pemaluan?"
In Tiong adalah satu laki-laki, jikalau di waktu-waktu biasa ada orang mengatakan ia bersifat bagaikan perempuan, ia tentu akan gusar, sebab ia anggap itu suatu penghinaan besar, tetapi sekarang Tamtay Keng Beng yang mengatakan itu, sebaliknya, ia jadi merasa sangat senang.
Begitulah ia merasa mukanya panas.....
"Terima kasih, entjie,"
Kata In Loei setelah nona itu selesai dengan tugasnya.
"Biarlah selanjutnya aku yang merawati kakakku ini."
Memang niat Keng Beng, sehabis mengobati, hendak ia lantas undurkan diri, maka ketika mendengar perkataan itu, ia tinggalkan sisa obat, ia berikan petunjuk terlebih jauh, setelah kesemuanya itu, tanpa mengucap sepatah kata, cuma dengan manggut perlahan kepada Nona In itu, ia bertindak pergi.
Heran In Loei menyaksikan sikap itu.
"Nona ini datang untuk menolongi, kenapa sikapnya begini dingin?"
Ia berpikir.
"Mungkinkah dia telah dengar perkataan-perkataanku tadi?....."
Karena ini, ia menjadi merasa kurang tenang. In Tiong tunggu sampai suara tindakan kaki orang mulai lenyap, baharu ia buka mulutnya.
"Nona Tamtay itu baik sekali!"
Bilangnya.
Pada sinar matanyapun nampak tanda bahwa ia merasa puas, sinar mata itu bersorot halus.
Mendengar ini, melihat sinar mata kakak itu, hati In Loei tergerak.
Segera teringat ia akan pertemuannya tadi dengan Tan Hong.
Ia pandang kakaknya itu, hendak ia bicara, atau ia batal sendirinya.
In Tiong lihat wajah adiknya itu, kelakuan mana agak luar biasa, ia menjadi heran.
Bibir adik itu sudah hendak bergerak, lalu urung.
Sinar mata adik itupun yang semula bercahaya, lalu guram.
Nampaknya adik itu berkuatir atau tegang.
Paras adik itu mendatangkan rasa kasihan orang.....
Nona Tamtay di lain pihak sudah berjalan terus, ia melintasi lorong, ia mutar ke gunung-gunungan palsu, dari mana ia hendak langsung pergi kepada Tan Hong, untuk melaporkan bahwa tugasnya telah selesai.
Tan Hong tetap bertempat di dalam kamar indah di tengah empang teratai itu.
Ketika itu sang rembulan dari tanggal muda baharu saja mulai muncul, menyinari bunga teratai, membuatnya suasana di situ sangat tenang.
Ketika itu si pemuda tengah menyenderkan tubuh kepada loneng.
Ia mengenakan pakaian serba putih, yang putih mulus bagaikan salju.
Matanya memandang jauh ke depan, dari mulutnya terdengar suara bersenanjung perlahan.
Keng Beng menghentikan tindakannya ketika ia dengar suara orang, yang telah terbawa angin.
Ia mengawasi sambil memasang kuping.
Yang disuarakan itu adalah syair "Lim Kang Sian"
Atau "Dewi turun ke sungai"
Dari Lok Kian Ie dari negeri Houw Siok, Siok Belakangan, dari jaman Ngo Tay. Tamtay Keng Beng kenal syair itu, di dalam hati kecilnya, ia kata.
"Dia pinjam syair itu, inilah sangat tepat. Tepat tempatnya, tepat suasananya. Dari telaga ini ia memandang keselatan, di sanalah kota Souwtjioe. Kota Souwtjioe itu dahulu adalah tempat letaknya istana Thio Soe Seng, hanyalah sekarang, istana itu telah menjadi tanah belukar, gempur temboknya, lebat lumut dan rumputnya. Pantas dia teringat akan itu semua....."
Setelah berdiam sejenak, nona ini berpikir pula.
"Dia mengenangkan negaranya begini rupa, toh dia hendak serahkan peta buminya dan harta pusakanya kepada musuh dari leluhurnya, yaitu kaisar ahala Beng, sikapnya dan perbuatannya itu, sungguh ada hal yang ganjil....."
Selagi ia bagaikan melamun, nona ini dengar lebih jauh suara orang, yang di akhiri tangisan sesegukan.
Ia menjadi heran sekali.
Tidak ia sangka, pemuda yang gemar tertawa itu pun bisa menangis.
Ia turut menjadi terharu.
Dua Musuh Turunan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tapi, sehabis menangis, tiba-tiba Tan Hong tertawa, akan akhirnya dia bersenanjung pula.
"Tali baju menjadi longgar, tidak aku menyesal, untuk dia aku menjadi kurus layu, aku pun puas. Apakah yang hendak dibuat duka? Ya, adik kecil, adik kecil, walaupun kau menyiksa pula padaku, tidak nanti aku gusar dan sesalkan kau....."
Mendengar itu, Keng Beng menjadi tidak keruan rasa, perasaannya pun menjadi campur aduk.
Ia berduka.
Ia tersadar dengan terkejut ketika kemudian ia tampak bayangan bunga telah bergeser, sedang dari luar pekarangan, ia dengar suara kentongan, yang berbunyi tiga kali.
Tidakkah ia datang ke situ untuk memberi laporan kepada Tan Hong? Kenapa ia berdiam saja di tengah jalan, seperti ia takut menemui Tan Hong itu? "Nyatalah sangat sekali cintanya ia terhadap In Loei,"
Ia berpikir.
"Untuk In Loei itu, ia rela menderita. Seandainya ada lain orang yang menyinta aku seperti cintanya dia itu, oh, matipun aku puas..... Ah, sayang sekali mereka ada dari keluarga-keluarga yang saling bermusuh. In Tiong ada demikian berkeras hati, bagaimana nanti -ooo00dw00ooo- Bab XIX Nona Tamtay terus berdiri diam, pikirannya terus bekerja keras, hingga tak sadar ia bahwa sang waktu telah berjalan terus, sampai kemudian, ketika ia angkat kepalanya memandang ke arah Tan Hong, anak muda itu telah lenyap dari tempatnya meloneng tadi.
"Rupanya sia-sia ia menantikan aku, ia sudah lantas pergi tidur,"
Ia berpikir.
Karena ini, Keng Beng lantas membalik tubuh, untuk jalan kembali.
Tengah ia keluar dari gunung-gunungan, ia lihat satu tubuh berkelebat di antara pohon- pohon bunga, segera ia lompat maju untuk memapaki, segera In Loei tampak di depannya.
"Oh, entjie."
Ia membuka suara.
"Sudah begini malam, kenapa kau masih belum tidur?"
Nona In melengak.
"Aku baharu saja tunggui kakak tidur,"
Ia menyahut kemudian.
"Aku keluar untuk mencari angin....."
"Bagaimana keadaannya kakakmu?"
Keng Beng tanya pula.
"Terima kasih, entjie. Sungguh kau pandai mengobati, sekarang bengkaknya lengan kakakku telah kempes delapan atau sembilan bagian. Aku percaya, besok kakakku akan sudah dapat turun dari pembaringan."
Selagi mengucap demikian. In Loei merasa sangat heran. Ia berpikir.
"Tadi di waktu merawat kakak, dia bersikap sangat tawar, mengapa sekarang dia sangat ramah tamah terhadap aku?"
Keng Beng bersenyum. Ia seperti tidak ambil pusing bahwa orang heran, ia malah ulur tangannya ke pundak nona itu, ia dekatkan mulutnya kekuping si nona. Terus saja ia berbisik.
"Entjie, jangan kau mengucap terima kasih terhadap aku..... kau seharusnya bersyukur kepada Tan Hong....."
In Loei makin jadi heran.
"Apa?"
Tanyanya.
"Obat adalah kepunyaannya, pun cara mengobatinya dialah yang mengajarinya padaku,"
Nona Tamtay jawab.
"Oh!"
In Loei berseru, lalu ia bungkam, matanya mendelong. Untuk sejenak itu tak dapat ia berkata-kata. Keng Beng melanjutkan perkataannya. Ia kata.
"Kemarin dia lihat In Toako memaksa kau keluarkan itu surat wasiat kulit kambing yang berdarah, dia tidak menghendaki kau dan kakakmu ketahui bahwa dialah yang memberi obat, maka dia pinjam tanganku."
Mendengar itu, di dalam hatinya, In Loei kata.
"Kiranya kemarin mereka bicarakan urusan ini, nyatalah anggapanku itu keliru."
Karena ini, ia jadi bersyukur kepada Tan Hong, ia menginsyafi perhatiannya anak muda itu.
"Ah, mengapa ia mesti berbuat demikian?"
Katanya, menanya.
"Umpama akupun menyukai satu orang, aku akan berbuat demikian juga,"
Ia bilang.
"Asal saja orang akan merasa beruntung, tidak ada artinya kalau kita sendiri rugi sedikit....."
Kembali In Loei melengak.
"Nona ini baharu kenal aku, kenapa dia bergurau begini rupa?"
Ia pikir.
Tapi ia merasa bahwa orang rupanya bersungguh-sungguh, maka ia menatap, hingga sinar kedua pasang mata jadi bentrok satu pada lain.
Ia lantas lihat bahwa pada senyuman nona itu ada apa-apa yang dingin.
Nona Keng Beng ada cerdik sekali, melihat wajahnya In Loei, ia menduga bahwa orang masih bercuriga, maka itu, ia gigit kedua baris giginya dengan keras, untuk menguasai dirinya, guna cegah berdenyutnya jantungnya.
"Kakakmu adalah satu laki-laki, entjie, hanya sayang ia sedikit keras kepala,"
Ia bilang. Kembali heran In Loei akan dengar kata-kata itu, akan tetapi kakaknya dipuji, ia lantas tertawa. Apakah kau hanya punya satu kakak?"
Keng Beng tanya pula, secara mendadak.
"Ya, aku hanya punya seorang kakak,"
In Loei jawab.
"Apakah ada lain orang lagi dalam rumahmu?"
Lagi-lagi Keng Beng tanya.
"Masih ada ibuku, tetapi sekarang ia berada di Mongolia, entah di mana,"
In Loei jawab.
"Di belakang hari, akan aku cari ibuku itu....."
"Kecuali ibu, apakah tidak ada lagi sanak terdekat?"
Keng Beng tanya pula. Ia seperti tak habisnya menanya.
"Tidak ada lagi. Kakakku masih belum menikah."
"Oh, entjie belum punya enso?"
Sampai di situ, keheranan In Loei bersalin rupa.
Terang si nona tengah mencari jalan untuk bicara tentang kakaknya.
Mulanya ia menyangka, nona itu menaruh hati kepada Tan Hong, tapi nyatanya sekarang bahwa dia sebenarnya memperhatikan kakaknya itu.
Hampir saja ia mengatakannya.
"Jikalau kau sudi jadi enso-ku, itulah baik sekali!"
Tapi masih dapat ia mengatasi diri, terhadap seorang yang baharu dikenal, tidak berani ia sembarang bergurau. Hanya pada alisnya sajalah tampak tegas kegirangannya. Ia awasi nona itu, ia bersenyum.
"Ya, aku masih belum punya enso....."
Ia jawab.
In Loei tidak tahu bahwa sebenarnya, dengan paksakan diri, Keng Beng ucapkan kata-katanya melulu untuk melenyapkan kecurigaan, atau cemburu terhadap ia.
Di antara sinar rembulan, yang nyeplos antara daun-daun pohon-pohonan, kelihatan kedua nona itu saling menjabat tangan, keduanya bertindak dengan perlahan dengan hati mereka masing-masing bergoncang sendirinya.
Mereka berjalan di tepi pengempang teratai, hingga di lain saat, di antara tedengan gorden, mereka lihat suatu bayangan tubuh.
"Tan Hong masih belum tidur!"
Kata Keng Beng sambil tertawa.
"Dia tengah menantikan kau, entjie1."
"Cis"
Seru In Loei, yang segera merasakan mukanya panas sendirinya.
Ketika tadi ia keluar dari kamar In Tiong memang hatinya pepat, ingin ia melegakannya.
Ia bimbang.
Adalah niatnya untuk menyingkir dari Tan Hong, akan tetapi, adalah niatnya juga, untuk tengok anak muda itu, maka ia telah bertindak ke arah pengempang.
Adalah di luar dugaannya bahwa rahasia hatinya itu dapat dibade Keng Beng.
Maka ia menjadi jengah.
Keng Beng sudah lantas tertawa geli, ia terus putar tangannya untuk dapat terlepas dari cekalannya si Nona In, setelah mana, ia lari mutar ke gunung- gunungan akan kemudian lenyap dalam semak-semak pohon bunga.
In Loei awasi orang menyingkir.
Kapan kemudian ia menoleh ke arah paseban di tengah empang, ia tampak Tan Hong sudah pentang daun jendela dan kepalanya ditongolkan keluar.
"Adik kecil! Adik kecil!"
Demikian suaranya anak muda itu, perlahan tetapi tedas di antara kesunyian malam itu.
In Loei tidak jawab panggilan itu.
Ia seperti terhilang rasa, tetapi dengan perlahan-lahan, ia bertindak ke arah empang teratai itu.
Keng Beng dari tempatnya sembunyi saksikan pemandangan itu, ia menjadi girang berbareng sedih, hingga tanpa merasa, ia mengucurkan air mata.
In Tiong sementara itu dapat tidur nyenyak selama satu malam, ketika keesokannya ia mendusi, ia tampak matahari sudah naik tinggi.
Ia ingat kepada lukanya, ia lantas menggerak-gerakkan lengannya yang sakit.
Untuk kegirangannya, ia dapat bergerak dengan leluasa, seperti biasa.
Melainkan tubuhnya, ia rasakan masih sedikit lemah.
Ia berdahaga, ia lantas ceguk secawan air.
Kemudian ia berbangkit akan rapikan pakaiannya, untuk bertindak keluar dari kamar, dengan begitu dengan lantas ia dapat saksikan keindahannya Tongteng Santjhoeng dengan gunung dan gua palsunya, dengan tamannya, dengan pengempangnya dan lain-lainnya lagi.
Dengan pikiran terbuka, In Tiong jalan terus, tindakannya lambat.
Ketika ia tiba di depan gunung-gunungan, tiba-tiba ia dengar suara orang bicara di arah belakang gunung palsu itu.
Suara itu keras.
Itulah suara orang bertengkar, berebut omong.
"Harta simpanan ini telah kita jagai untuk iaotjoekong selama beberapa turunan,"
Demikian satu orang.
"kenapa sekarang harta itu hendak diserahkan kepada musuhnya, kepada kaisar keluarga Tjoe? Di alam baka, pastilah Iaotjoekong tak akan meram mata!" ("Laotjoekong"
Ialah "majikan atau junjungan yang tua").
"Duduknya hal tidak demikian,"
Terdengar satu suara orang tua, yang tegas dan nyata.
"Benar seperti katanya siauwtjoe, dahulu adalah dua keluarga memperebutkan negara, akan tetapi sekarang adalah suatu bangsa asing hendak datang menyerbu! Dalam hal ini kita mesti menimbang berat dan entengnya, maka itu mestilah kita bersatu hati dan bersatu tenaga, untuk menangkis musuh luar!"
Seorang lagi berkata.
"Aku tidak percaya kaisar keluarga Tjoe hendak bersungguh- sungguh hati menangkis serangan musuh luar itu!"
Kembali terdengar suara angker dari si orang tua tadi.
"Dalam keadaan hebat seperti ini, dia tidak melawan juga tak mungkin! Kita harus ingat, di samping kaisar itu, ada Ie Kiam dan lain menteri besar yang setia kepada negara. Sekarang telah pasti keputusanku, hendak aku turut perkataannya siauwtjoe, maka kamu semua jangan banyak omong pula!" ("Siauwtjoe"
Ialah "tuan atau junjungan yang muda.") In Tiong kenali, orang tua itu adalah Tongteng Tjhoengtjoe, tuan rumah dari Tongteng Santjhoeng itu, maka yang lainnya tentulah orang-orangnya si tuan rumah. Hatinya lantas saja bercekat.
"Sri Baginda telah menganggap Thio Tan Hong mencari harta simpanan dan peta bumi itu hendak dipakai memberontak melawan pemerintah,"
Ia berpikir.
"tetapi sekarang buktinya, harta besar itu justeru hendak dipersembahkan kepada Sri Baginda!"
In Tiong merasa aneh, ia menjadi kagum, hatinya goncang keras. Dalam saat seperti itu, ia tak bisa berbuat lain daripada berdiri terpaku bagaikan patung. Atau mendadak.
"Hai Tjonggoan thaydjin kau pun telah datang kemari?"
Demikian satu teguran, yang datangnya dari arah lorong, teguran mana diberikuti suara tertawa.
Dengan terkejut In Tiong menoleh.
Maka dilorong itu, ia tampak dua orang tengah mendatangi ke arahnya.
Ia segera kenali, mereka itu adalah si ibu dan anak daranya yang ia ketemukan di warung teh.
Tentu saja sekarang tahulah ia siapa ibu dan anak itu.
"Peebo"
Ia lantas memanggil sambil terus memberi hormat. Tamtay Toanio lantas tertawa.
Dua Musuh Turunan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Bagaimana, kau telah sembuh?"
Tanya nyonya itu.
"Sungguh kau beruntung!"
Dan si nona atau Tamtay Giok Beng, telah bawa kejenakaannya. Ia tertawa haha- hihi ketika ia berkata kepada ibunya.
"Aku telah dengar entjie mengatakan bahwa kemarin dia masih berlagak menjadi satu laki-laki!....."
Paras In Tiong menjadi merah sendirinya.
Nona yang jail itu tidak memperdulikannya, dia malah tertawa dingin sekarang.
Dengan sebat dia rogo sakunya, untuk tarik keluar sehelai saputangan tersulam, dengan satu gerakan tangan, ia kibaskan itu yang membuatnya terbeber, maka di dalam saputangan itu tertampaklah sulaman dari sepuluh tangkai bunga merah, yang berkibar secara menyolok mata! In Tiong lihat saputangan dengan sulaman bunganya itu, kembali hatinya bercekat.
Tamtay Toanio tertawa.
"Anak Beng, jangan kau bikin kaget tetamumu!"
Dia kata. Masih Giok Beng tertawa cekikikan. Dengan dua jari tangannya yang sebelah, ia gulung tujuh tangkai bunga merah itu, sambil menggulung ia berkata dengan wajar.
"Ini tujuh butir telur busuk yang hendak bikin celaka toako Tan Hong telah aku petik! Tinggal tiga lagi tetapi Toako Tan Hong larang aku mengganggunya, di larang sekalipun disentuh saja!....."
In Tiong bercekat pula. Ia tahu, tiga tangkai itu dimaksudkan terhadap dia bersama Tiatpie Kimwan dan Samhoa Kiam. Tamtay Toanio tertawa pula.
"Sejak di paseban teh telah aku lihat In Siangkong adalah orang baik-baik,"
Ia bilang.
"Sudahlah, anak Beng, aku larang kau bergurau pula!"
Keluarga Tamtay ini bertugas melindungi harta simpanan, oleh karena itu Tongteng Tjhoengtjoe Tamtay Tionggoan telah wajibkan diri menduduki Tongteng San Barat itu.
Selaku persiapan, bagaikan mata-mata, telah diadakan warung teh itu, yang dilakukan Tamtay Toanio serta puterinya, untuk mengawasi setiap orang yang mendaki bukit di tengah telaga itu.
Sebelum ia masuk ke Tongteng Santjhoeng, Tan Hong sendiri tidak tahu bahwa nyonya dan nona itu adalah isteri dan anaknya Tamtay Tionggoan.
Tamtay Toanio tidak pedulikan orang heran atau bingung.
"In Siangkong,"
Ia berkata pula kepada tetamunya itu.
"mari aku ajak kau melihat-lihat sesuatu!"
Dalam keadaan seperti itu, tak dapat tidak, In Tiong lantas ikuti nyonya itu.
Mereka jalan di lorong, memutari gunung-gunungan, sampai di suatu tempat di mana - begitu berkilau sinar terang mengkilap - In Tiong tampak tumpukkan emas dan perak, dari barang-barang permata lainnya! Di sana pun berdiri Tongteng Tjhoengtjoe bersama beberapa petani, mendampingi harta besar itu.
"Ha, In Thaydjin, bagus kau datang!"
Seru tuan rumah begitu ia tampak tetamunya itu. Kemudian, menoleh kepada satu orangnya, ia menitahkan.
"Pergi kau undang Thio Siangkong datang kemari!"
Tongteng Tjhoengtjoe biasa memanggil siauwtjoe, tuan muda, kepada Thio Tan Hong, akan tetapi Tan Hong keras menampik, maka kesudahannya dia mengubahnya panggilan itu, dari siauwtjoe menjadi siangkong.
Tidak berselang lama, tampak Tan Hong datang bersama-sama In Loei.
Mereka itu bertindak di antara jalanan yang berbariskan pohon-pohon bunga.
Waktu In Loei lihat kakaknya, ia segera kendorkan tindakannya, dari berendeng, ia jadi ketinggalan di sebelah Tan Hong.
In Tiong saksikan pemandangan itu, diam-diam ia menghela napas, ia merasa likat sendirinya.
Tapi sekarang ia tidak lagi bergusar seperti kemarinnya.
"Bagaimana dengan lukamu, saudara In?"
Tanya Tan Hong begitu lekas ia telah datang dekat. Sebenarnya In Tiong tidak niat menjawabnya, akan tetapi kesopanan memintanya, maka ia manggut dengan tawar.
"Tak usah kau kuatirkan, aku masih hidup,"
Ia jawab. Tan Hong tidak marah, ia malah bersenyum.
"Bagus!"
Katanya. Ia menanya pun dengan sengaja, karena ia tahu kemujaraban obatnya, yang begitu dipakai tentu bakal menyembuhkan lukanya. Tongteng Tjhoengtjoe tidak pedulikan ketegangan di antara kedua anak muda itu.
"Harta ini aku telah menjaganya selama beberapa turunan,"
Ia berkata, maka sekarang telah tiba saatnya untuk aku melepaskan pikulanku yang beratnya ribuan kati! In Thaydjin, aku minta sukalah kau beristirahat sedikitnya dua hari lagi di sini, setelah itu hendak aku mohon agar kau angkut harta ini ke kota raja, untuk dipersembahkan kepada junjunganmu supaya dipakai sebagai belanja tentera."
Tan Hong tidak tunggu jawabannya In Tiong lagi, berkata.
"Apa yang dikatakan Anghoat Yauwliong kemarin bukan kedustaan belaka,"
Ia bilang.
"Telah aku peroleh kabar pasti, angkatan perang Watzu benar-benar sudah menerjang ke Ganboenkwan, di sana telah terbit perang di antara kedua negeri!"
In Tiong dengar itu, ia menjadi sangat gusar, hingga dengan tangannya ia sampok batu gunung-gunungan dihadapannya.
"Jikalau aku tidak sapu habis tentara Watzu, aku sumpah tak akan jadi manusia!"
Tiba-tiba ia terhuyung, dari mulutnya ia muntah-kan darah hidup. In Loei kaget, ia lompat akan tubruk kakak itu, untuk pegangi tubuhnya Tan Hong pun sambar tangan orang akan periksa nadinya.
"Jangan kuatir,"
Kata ia setelah memeriksa.
"Ini cuma disebabkan kemurkaan disatu saat. Saudara In,"
Ia tambahkan.
"lagi dua hari, kau akan sembuh pula. Jangan kau pikirkan tentang bahaya perang, walau keadaan sangat genting, peperangan bukannya urusan dua tiga hari. Yang penting adalah harta besar ini, di waktu diangkut, kau harus mohon bantuannya Tjhoengtjoe, supaya nanti di tengah jalan tak sampai ada yang begal!"
"Dan kau?"
Tongteng Tjhoengtjoe tanya anak muda itu, menegasi.
"Aku masih punyakan lainnya yang jauh lebih penting dari harta ini,"
Jawab Tan Hong.
"Ah, peta bumi, kau maksudkan?"
Tanya Tongteng Tjhoengtjoe.
"Benar,"
Sahut Tan Hong.
"Sekarang ini musuh tangguH dan kita lemah, peta itu penting bagi pihak kita. Bukankah kita jadi berada di tempat terang dan musuh di tempat gelap? Itu artinya lebih berfaedah daripada tambahan sepuluh laksa serdadu!"
Mendengar itu, Tongteng Tjhoengtjoe tiba-tiba menggeleng kepala, pada wajahnya pun lantas tampak roman berduka.
"Kenapa ha?"
Tanya Tan Hong.
"Thio Siangkong,"
Sahut orang tua itu.
"walaupun kau gagah dan cerdas, dengan kau hanya seorang diri, hatiku tidak tenteram. Peta itu ada mengenai nasibnya negara kita, dan dorna Ong Tjin telah ketahui halnya itu! Benar rombongannya Anghoat Yauwliong telah dapat kita tumpas, tetapi tak dapat kita pastikan bahwa dia tidak akan mengirim lain rombongan lagi! Perjalanan ada ribuan lie jauhnya, kau berjalan seorang diri, jikalau terjadi sesuatu di tengah jalan kami tentunya tidak ketahui itu....."
Tan Hong rupanya menginsyafi itu, ia bungkam.
"Selayaknya aku titahkan orang untuk temani siangkong,"
Tongteng Tjhoengtjoe berkata pula.
"akan tetapi, sayang aku tak dapat lakukan itu. Orang-orang di sini, semua kepandaiannya ada di bawahan siangkong, maka jikalau siangkong menghadapi musuh tanggu, siangkong tidak ada orang yang membantuinya....."
"Memang juga perjalananku kali ini agak berbahaya,"
Tan Hong akui.
"tetapi aku cuma membawa sehelai peta bumi, itu tidaklah terlalu menyolok mata. Adalah kau, yang mengangkut harta besar, kau memerlukan banyak tenaga. Maka untuk aku, janganlah kau memecah-mecah tenaga."
In Tiong yang mendengar orang "adu mulut"
Jadi berpikir keras. Tapi lekas sekali ia telah dapatkan pikiran. Maka ia angkat kepalanya.
"Adik Loei, kau pergilah bersama dia!"
Tiba-tiba dia kata, suaranya nyaring. Mendengar itu, semua orang tercengang. In Loei sendiri girang berbareng kaget, hatinya goncang. Inilah ia tidak sangka. Rupanya In Tiong tahu keheranan semua orang, berikut adiknya itu.
"Aku tahu kamu berdua mempunyai ilmu silat pedang yang tergabung menjadi satu,"
Ia tambahkan.
"maka itu, walaupun musuh ada jauh terlebih liehay, masih kamu dapat melayaninya. Dengan kau yang pergi, hatiku tenang."
Dengan "ilmu silat pedang yang tergabung menjadi satu"
Itu, In Tiong maksudkan "Siangkiam happek,"
Yang ringkasnya.
"sepasang pedang terangkap."
Tan Hong segera menjura dalam kepada orang she In itu.
"Terima kasih, saudara In!"
Ia mengucap.
"Hm!....."
In Tiong perdengarkan suara dingin.
"Terima kasih apa? Aku tidak memikir untuk kau!"
"Aku tahu maksudmu kepada peta bumi,"
Sahut Tan Hong.
"Bagaimana jikalau aku menghaturkan terima kasih kepadamu atas namanya negara kerajaan Beng?"
"Baik!"
Jawab In Tiong.
"Karena kau hendak bekerja untuk Kerajaan Beng, suka aku membalas hormatmu!"
Dan ia lantas menjura. Mau atau tidak, In Loei jadi bersenyum.
"Loei, mari!"
In Tiong panggil adiknya itu.
In Loei hampirkan kakaknya, lalu berdua, sambil bergandengan tangan, mereka bertindak ke arah pohon-pohon yang lebat.
Di sini In Tiong usap-usap rambut yang halus dari adiknya itu, sinar matanya pun menyatakan ia sangat mengasihi adik itu.
"Adikku, adakah kau gusar kepadaku?"
Ia tanya, perlahan, suaranya halus.
"Koko, aku justeru sangat girang!"
Sang adik jawab.
"Sejak kita berpisahan, tiada satu saat yang aku tidak pikirkan kau,"
Kata kakak itu pula.
"Aku kangen terhadap kau, Loei, sehingga kadang, aku bermimpi menemui kau..... Aku mimpikan kau bagaikan kau baharu berumur tiga tahun, dengan tiga untai kuncirmu, bagaimana dipadang rumput kau mengawasi ibu mengembala kambing....."
In Loei girang dan terharu, hingga ia mengeluarkan air mata.
"Koko, aku tahu, kau memang menyayangi aku, mengasihi aku....."
Katanya. In Tiong menghela napas panjang.
"Kemudian,"
Katanya, meneruskan.
"tatkala untuk pertama kali kita bertemu di Tjengliong Kiap, ketika itu kau menyamar sebagai laki-laki, kau justeru membantui musuh menentang pihakku. Itu waktu aku telah berpikir, di mana pernah aku lihat orang ini? Ah, dia mirip dengan saudaraku..... Karena itu juga waktu itu aku tidak memikir untuk berlaku telengas."
"Ya, kita yang bersaudara, perasaan kita memang sama."
Kata In Loei.
"Ketika itu, koko, aku juga berpikir seperti kau pikir itu."
"Kemarin,"
Tiba-tiba In Tiong bicara getas.
"tahulah aku bahwa kau adalah adikku, aku jadi sangat girang, tetapi berbareng akupun berduka, sakit hatiku..... Ya, kau nampaknya bergaul sangat erat dengan dia itu!"
Hati In Loei memukul, ia lantas tunduk, air, matanya pun segera mengucur dengan deras.
"Adikku,"
In Tiong berkata pula.
Dua Musuh Turunan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"ilmu pedangmu sudah cukup untukmu menjelajah dunia kangouw, hanya sayang, hatimu terlalu lemah. Kau sebagai gadisnya keluarga In, sekarang aku ingin supaya kau kuatkan hatimu dan jawab satu hal."
Parasnya In Loei menjadi pucat, tetapi ia menyahuti.
"Silahkan bilang, koko,"
Katanya. In Tiong awasi adik itu.
"Sakit hati terhadap Thio Tan Hong boleh aku tidak membalasnya,"
Ia bilang.
"akan tetapi, walau bagaimanapun, dia tetap seorang putera dari musuh kita yang kakek paling bencikan, maka itu kau, selama hidupmu sekarang, di jaman ini, tak dapat kau dan dia menjadi suami isteri! Kalau sekarang kau pergi bersama ia, untuk mengantarkannya, itu melulu untuk mengantar peta bumi itulah untuk Kerajaan Beng kita yang terbesar! Selama di tengah jalan, tak dapat kau kasi dirimu ditipu dengan kata-katanya yang manis. Jikalau sampai kejadian kau benar-benar sukai dia, baiklah persaudaraan kita kakak beradik dibacok kutung saja menjadi dua potong! Loei, sekali lagi aku peringatkan aku larang kau dan dia menjadi suami isteri! Ini adalah apa yang hendak aku katakan. Dapatkah kau meluluskan atau tidak? Bilang, bilanglah! Bilanglah!"
In Loei jadi sangat serba salah.
Iapun ada sangat berduka.
Kalau kakak itu bicara seperti kemarin, keras dan kasar, mungkin ia segera berikan jawabannya yang sama kerasnya, menuruti napsu amarahnya.
Tapi sekarang.....
sekarang kakak ini menatap ia dengan sinar mata yang memohon sangat.....
Ia mencoba kuatkan hatinya.
Ia angkat kepalanya, untuk membalas menatap kakak itu.
Di akhirnya, ia menjawab dengan perlahan.
"Baiklah, koko, aku berjanji....."
Sehabis bersantap pagi, Thio Tan Hong bersama In Loei pamitan dari orang banyak, mereka turun dari bukit, untuk menyeberangi telaga.
Keluarga Tamtay, ayah dan gadisnya, mengantar sampai di tepi telaga.
Sebuah perahu telah tersedia di tepi telaga, di bawah sebuah pohon yanglioe, itulah sebuah perahu yang enteng, yang di dalamnya itu telah disiapkan arak harum buatan Tongteng San, berikut daging kering dari ayam dan lainnya.
Semua itu adalah hasil dari perhatian yang besar dari Tongteng Tjhoengtjoe.
Tamtay Keng Beng, dengan tangan memegangi cabang yanglioe yang meroyot turun, mengawasi orang naik keperahu.
Dengan perlahan sekali, ia mengucapkan.
"Ribuan oyot yanglioe tak dapat mengikat menghentikan sebuah perahu yang berlayar....."
Wajahnya tampak suram.
"Entjie Keng Beng,"
Berkata In Loei kepada nona itu.
"tolong kau perhatikan kakakku! Lain hari nanti kita bertemu pula di kota raja!"
Keng Beng tertawa.
"Entjie In Loei,"
Ia menjawab.
"tolong kau perhatikan siauwtjoe kami!"
Tongteng Tjhoengtjoe juga nimbrung.
"Aku pujikan supaya kamu selamat di perjalanan, supaya peta bumi dapat dibawa ke kota raja, supaya tidak sia-sialah yang keluarga kami telah melindunginya selama beberapa turunan!"
Di mukanya In Loei tertampak warna merah, tetapi tjhoengtjoe itu bicara secara sungguh-sungguh, ia lantas angkat kedua tangannya, untuk membalas hormat sambil mengucapkan terima kasih.
Thio Tan Hong telah kenyang melawan gelombang, sekarang dapat ia berkumpul berdua dengan In Loei, ia girang bukan kepalang.
Maka juga, selagi membuatnya perahunya laju, ia menepuk-nepuk irama untuk bernyanyi.
Tapi, ketika ia menoleh ke tepi tadi, ia tampak Tamtay Keng Beng masih memegangi cabang yanglioe dan matanya si nona mengawasi kepadanya.....
"Eh, saudara kecil, mengapa kau tidak tertawa?"
Tanya Tan Hong, yang lihat orang diam membungkam.
"Apakah yang mesti ditertawainya?"
Tanya In Loei sambil membuat main tali bajunya.
"Kita dapat membuat perjalanan bersama, apakah itu bukan suatu hal yang menggirangkan?"
Tanya Tan Hong.
"Jaraknya perjalanan tapinya terlalu pendek,"
Kata si nona. Untuk sejenak, Tan Hong melengak. Tapi segera ia insyaf. Maka ia pikir dalam hatinya.
"Memang, perjalanan hidup manusia ada jauh tetapi perjalanan kita terlalu pendek....."
Lalu ia kata.
"Tidak usah kau mengatakannya, aku dapat menerka apa katanya kakakmu kepadamu. Tentang itu kau tidak usah kuatir. Tujuan kakakmu sama dengan tujuan kita, mungkin akan datang waktunya yang ia nanti ijinkan kita melakukan perjalanan jauh bersama-sama....."
Mendengar ini, hati In Loei tergerak.
"Memang, sikap kakak kemarin dan hari ini beda sekali,"
Pikir ia.
"Sebelumnya ia sangat keras mencegah aku berjalan bersama Tan Hong. Dahulu ia membenci sangat Tan Hong, ia berkukuh hendak membalasnya, tetapi sekarang, permusuhan itu telah berkurang banyak. Benar seperti kata toako, dalam dunia ini tak ada benda yang selamanya tak berubah....."
Baharu nona ini berpikir demikian, atau lain pikiran datang pula.
"Apa yang pagi ini koko katakan, semuanya beralasan,"
Demikian pikirnya pula.
"Aku kuatir setelah ini, untuk selanjutnya, ia tak dapat mengalah lebih jauh....."
Karena ini, ia jadi bertambah duka.
Tapi, hendak ia hiburkan diri.
Maka ia pikir, baiklah ia ke sampingkan dahulu urusan pernikahan, lebih baik ia mementingkan kejadian yang ia hadapi.
Bukankah sudah cukup asal ia sering bertemu muka sama Tan Hong, bertemu muka bukan sebagai musuh? Tan Hong biarkan orang berpikir, ia mengawasi sambil bersenyum.
Ia telah menerka apa yang si nona pikirkan, ia sengaja membiarkannya saja, tak mau ia mengganggunya.
Dengan membungkam, orang bisa dapatkan sesuatu yang baik.....
Di waktu magrib, kedua anak muda ini telah seberangi telaga Thayouw.
Mereka bermalam di kota Souwtjioe.
Ketika pertama kali ia mendaki Tongteng San, Tan Hong telah titipkan kudanya, Tjiauwya saytjoe ma, pada satu keponakannya Tamtay Toanio, sekarang ia ambil kudanya itu, untuk di hari kedua ia bersama In Loei lakukan perjalanan ke Utara.
Di sepanjang jalan mereka lihat banyak kuda kereta berjalan bererot mengangkut rangsum, tahulah mereka artinya kegentingan ketenteraan.
Begitu lekas mereka memasuki wilayah propinsi Hoopak, Tan Hong dan In Loei saksikan suasana yang terlebih tegang.
Mereka yang menuju ke Utara sedikit sekali, sebaliknya mereka yang menuju ke Selatan, makin lama makin banyak, mereka menyingkir untuk mengungsi.
Lagi dua hari mereka berjalan, kecuali mereka berdua, tidak tampak orang lainnya lagi.
Di jalan besar, di jalan kecil, sampai di gili-gili sawah, yang tampak adalah mereka yang tengah mengungsi, berisik suara mereka itu.
Orang-orang tua dipayang, anak-anak kecil dituntun.....
Dan anak-anak yang lebih kecil ada yang memanggil-manggil ayah dan ibunya.....
Mereka itu sangat mengharukan dipandangnya.
Kabar angin juga berbareng ada tersiar luas.
Ada yang mengatakan bahwa pasukan perang Mongolia sudah menerjang masuk ke kota Kieyongkwan atau telah tiba di Hoaydjoe atau Bitin, dua kecamatan di utara kota raja.
Ada lagi yang bilang musuh sudah lintasi Patatleng.
Yang lebih hebat lagi adalah kabar burung bahwa ibu kota Pakkhia sudah dikurung musuh.
Sejumlah rakyat pengungsi itu ketika ketahui Tan Hong berdua hendak pergi ke Pakkhia, semua mereka menunjukkan roman heran dan kaget, lalu mereka memberi nasehat untuk keduanya mengurungkan niat mereka, sebab katanya itulah perjalanan mengantarkan jiwa.....
Mau atau tidak, Tan Hong jadi berduka juga.
Ia mesti pergi ke Pakkhia, walaupun keadaan genting dan berbahaya.
Tidak bisa lain, ia ubah ambil jalan, yaitu ia tak lagi ambil jalan besar, ia hanya ambil jalan kecil untuk memotong jalan ini, baharu dua hari, mereka sudah tidak bertemu seorang jua.
Di kampung-kampung dalam sepuluh, sembilan orang telah pergi menyingkir.
Terang sudah, siapa yang dapat mengungsi, dia telah singkirkan dirinya dari daerah perang.
Segera Tan Hong dan In Loei tiba di sebuah desa dekat Pong San.
Di sini mereka berputar-putar mencari rumah penduduk yang ada penghuninya, setelah setengah harian, baharu mereka ketemui satu keluarga tani yang belum mengungsi.
Keluarga ini terdiri dari satu nyonya tua dan satu anak muda, ibu dan anak.
Si ibu sudah tua dan lemah, tak kuat jalan, dan si anak tak tega meninggalkannya.
Tan Hong minta dikasi menumpang.
Nyonya tua itu baik budi, suka ia memberi tempat meneduh, tetapi ia bilang, tak dapat ia menyediakan beras atau nasi.
"Tidak apa,"
Kata Tan Hong, yang terus berikan separuh dari bekalan sekantong berasnya.
Malah iapun obati nyonya itu, yang dapat sakit mejen.
Ia memang ada membekal obat-obatan.
Si orang tua bersyukur, karena dengan lekas ia telah sembuh dari sakitnya itu.
Ditanya tentang keadaan perang, nyonya tua itu tidak dapat memberi keterangan kecuali katanya menurut kabar bahwa kota Hoaydjoe sudah jatuh, sedang kota itu terpisah dari kampungnya cuma kira-kira seratus lie.
Kabar itu ia dengar dari sanaknya yang lewat mengungsi di kampungnya itu.
Nyonya rumah tidak punya kamar lebih, Tan Hong dan In Loei terpaksa rebahkan diri di kamar yang dijadikan gudang kayu.
In Loei telah menyamar sebagai satu pemuda, ia tak usah kuatir mendatangkan kecurigaan orang.
Tetapi mereka tak dapat tidur pules, mereka kuatirkan urusan negara.
Tepat jam tiga, Tan Hong dengar pintu depan didobrak terbuka, ketika ia lompat keluar, ia dapati tuan rumah yang muda sedang dicekal keras oleh satu perwira yang mukanya berlumuran darah.
"Lekas masak nasi untukku, atau aku bunuh kau!"
Demikian si perwira mengancam.
"Berlakulah murah hati, tuan, lepaskan anakku,"
Memohon si nenek.
"Baik, tapi lekas masak nasi!"
Kata perwira itu.
"Di sini ada dua ekor kuda, mari kasikan yang satu padaku. Anakmu pun mesti gendol barangku!.....
"Akan aku masak nasi, tuan,"
Kata pula si nenek.
"Tapi kasihani anakku yang tinggal satu-satunya ini. Dari tiga anakku, yang dua sudah dipaksa dibawa pergi oleh kamu. Kasihani kami, tuan, bebaskanlah dia....."
"Tua bangka tolol"
Bentak perwira itu.
"Tentara Mongolia sudah menerjang, siapa juga mesti pergi perang!..... Tiba-tiba ia menoleh, ia lihat Tan Hong di pojokan yang suram, karena api pelita yang kelak-kelik. Ia lantas saja tertawa, terus ia kata.
"Hai, babi tua, kau mendustai Lihat di sana, apa bukan masih ada satu lagi anakmu?"
Sambil pegangi tangan si anak muda, yang ia pencet nadinya, perwira itu maju kepada Tan Hong, untuk jambak pemuda kita itu. Tan Hong mengawasi dengan dingin.
"Bukannya kau pergi berperang, kau sebaliknya mengganggu rakyat!"
Katanya dengan bengis.
Ia menangkis sambil berniat cekal tangan perwira itu.
Si perwira tarik tangannya, ia lantas menyerang.
Tapi Tan Hong dapat menangkis pula.
Setelah dua tiga gebrak, Tan Hong heran.
Ilmu silat si perwira ternyata adalah ilmu silat dari Tiamtjhong Pay.
Terpaksa ia mendesak, untuk bikin perwira itu lepaskan cekalannya kepada tuan rumah, setelah mana, ia mendesak lebih jauh.
Masih si perwira melawan, sampai kemudian dia berteriak "Aduh!"
Dan tubuhnya rubuh terguling, karena tak dapat dia bertahan lama.
Dua Musuh Turunan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Eh, eh, kau toh Thio Tan Hong?"
Dia berseru selagi dia rebah dan matanya mengawasi orang yang merubuhkan padanya.
"Kau, kau..... ampunilah aku, jangan kau tangkap aku dan bawa ke Mongolia!....."
Tan Hong heran, ia mengawasi.
"Jangan ngaco!"
Katanya.
"Siapa mau tangkap kau untuk dibawa ke Mongolia?"
Ia maju akan cekal tangan orang, untuk menyeka mukanya yang penuh darah itu, setelah meneliti, iapun melenggak. Perwira itu nyata adalah Taylwee Tjongkoan Kong Tiauw Hay, pantas dia liehay.
"Memang, segala pembesar banyak yang galak....."
Kata si nenek. Ia menghela napas.
"Tapi kasihan dia ini, dia terluka begini rupa....."
Tubuh Tiauw Hay itu terlukakan belasan anak panah, dua antaranya belum tercabut. Kecuali mukanya, pakaiannya pun berlepotan darah. Dia ada sangat lelah, kedua matanya pun hilang sinarnya.
"Dia benar tangguH, walanpun dia terluka parah, masih sanggup dia melayani aku beberapa jurus,"
Pikir Tan Hong. Tapi, ketika ia periksa luka orang, kebanyakan luka itu tidak berbahaya, kecuali dua yang anak panahnya masih menancap. Ia lantas cabut terus ia memberikan obat.
"Apakah dia sahabatmu?"
Si orang tua tanya.
"Ya,"
Sahut Tan Hong sembarangan. Tapi ia jengah untuk mengucap demikian. Di dalam hati kecilnya, ia berkata.
"Apabila orang tahu dia ini Taylwee Tjongkoan, sekalipun raja akan turut dapat malu....."
Setelah itu, si nenek hendak pergi masak nasi.
"Tidak usah,"
Tan Hong cegah.
"nanti aku sendiri yang layani dia."
Benar-benar Tan Hong pergi untuk memasak nasi.
"Kong Tjongkoan, kau dahar seadanya saja,"
Ia bilang kemudian.
Di waktu pieboe, Tiauw Hay telah menitahkan orang bekuk Tan Hong, sekarang ia lihat orang bersikap baik, kepadanya dengan diobati dan dikasi makan, tidak berani ia banyak omong.
Ia dahar dengan cepat dan banyak, hingga dengan cepat juga ia mulai pulih kesegaran tubuhnya.
"Kong Tjongkoan, kenapa kau tidak ikuti Sri Baginda?"
Tanya Tan Hong kemudian.
"Kenapa kau menyingkir seorang diri kemari?"
Tjongkoan itu perlihatkan rupa berduka.
"Panjang untuk berceritera,"
Ia jawab. Ia menghela napas.
"Sebenarnya aku memang mengiringi Sri Baginda, tentera kita berjumlah lima puluh laksa jiwa, tetapi pasukan itu termusnah semua, jikalau aku tidak lekas lari, sudah pasti jiwaku pun turut lenyap....."
Tan Hong terkejut, hingga ia memotong.
"Apa?"
Tanyanya.
"Benarkah kau ikuti Sri Baginda? Mungkinkah tentara Mongolia sudah masuk ke Pakkhia?"
"Bukan,"
Tiauw Hay jawab, cepat.
"Sebenarnya Sri Baginda mengepalai sendiri angkatan perangnya, sekarang dia berada di luar kota Hoaydjoe di mana dia telah dikurung rapat-rapat oleh musuh....."
Kembali Tan Hong terkejut.
"Apa? Sri Baginda pimpin sendiri angkatan perang?"
Dia tanya.
"Usul siapakah itu?"
"Itulah kehendak Ong Kongkong....."
Sahut Tiauw Hay. Tan Hong ada demikian gusar hingga ia hajar meja di depannya sehingga ujung meja itu pecah.
"Ong Tjin, itu jahanam!"
Teriaknya.
"Sunguh dia sangat jahat!"
Tiauw Hay tidak berani buka mulut, ia bungkam. In Loei, yang sejak tadi diam saja, datang menghampirkan.
"Jangan kau bergusar,"
Ia menyabarkan.
"Cobalah tanya dia lebih jauh."
"Kenapa tidak dititahkan Ie Kiam Ie Thaydjin yang mengepalai angkatan perang?"
Tan Hong tanya.
"Itu ada urusan pemerintah, aku tahu apa?"
Tiauw Hay jawab.
"Apa yang aku dengar, orang mengatakan Ie Kiam adalah menteri sipil, dia tidak mampu memimpin tentara."
"Hm! Sekarang mereka itu yang pegang pimpinan, bagaimana dan jadinya?"
Tiauw Hay tidak menjawab, tetapi dia menutur.
"Sri Baginda bersama Ong Kongkong yang pegang pimpinan, mereka berangkat dari Pakkhia pada tanggal enam belas bulan tujuh, tanggal sembilan belas mereka lewat di Kieyongkwan, tanggal dua puluh tiga tiba di Soanhoa, lalu pada tanggal satu bulan delapan mereka memasuki kota Taytong. Selama itu, beberapa hari lamanya, terbit hujan angin besar, tentara menderita kedinginan. Karena tidak ada persiapan baju dingin. Di kota Taytong itu, beberapa laksa jiwa mati beku, maka belum mereka menghadapi musuh, barisan itu sudah kacau sendirinya. Celakanya, Pengpou Siangsie Kong Tim telah jatuh dari kudanya dan terluka parah. Oleh karena kejadian-kejadian tidak diingin itu, Hoepouw Siangsie Ong Tjo mengusulkan untuk menarik pulang angkatan perang. Ong Kongkong tolak usul itu, malah ketika angkatan perang diberangkatkan lebih jauh, Hoepouw Siangsie dihukum berlutut di tanah berumput. Pada tanggal dua bulan delapan, Sianhong Tjio Heng telah mulai menghadapi tentara Watzu di Vanghookauw, dia kalah dan barisannya musnah. Pangeran Boetjinpek Tjoe Bian merangkap tjongpeng dan Pangeran Seelenghouw Song Eng merangkap tjongtok dari Taytong telah terbinasa bergantian dalam pertempuran itu. Atas itu Tjongpeng Kwee Teng dari Taytong mengasi pikiran kepada Sri Baginda untuk mundur dari kota Tjiekengkwan, tetapi kembali Ong Kongkong menolak. Ong Kongkong adalah orang asal Wietjioe, dia hendak ajak Sri Baginda pergi ke rumahnya, karena mana, angkatan perang lantas di pimpin ke kota Wietjioe itu. Orang baharu jalan empat puluh lie, tiba-tiba tujuan diubah ke arah timur, alasannya ialah Ong Kongkong kuatirkan sawah ladangnya nanti ludas terinjak-injak pasukan tentera. Kesudahannya orang ambil jalan bekas, untuk kembali ke Soanhoa. Ketika pada tanggal sepuluh pasukan tentara tiba di kota Soanhoa, pasukan musuh telah dapat menyandak. Pertempuran terjadi di bukit Yauwdjieleng. Di sinilah angkatan perang kena dipukul rusak dan buyar. Baharu kemarin dahulu Sri Baginda menyingkir ke Touwbokpo. Pasukan depan dari musuh sementara itu, dengan ambil jalan kecil, sudah mendahului Sri Baginda, maka itu pasukan musuh itu dapat balik kembali, untuk terus melakukan pengurungan."
Thio Tan Hong menjadi terlebih-lebih gusar.
Tahulah ia sekarang bahwa orang yang menganjurkan raja maju perang sendiri, yang pimpin tentara, yang mengajaknya mundur, semua adalah dorna Ong Tjin seorang.
Terang sudah, Ong Tjin sudah merencanakan semua itu, hingga karenanya, angkatan perang Kerajaan itu menjadi hancur lebur.
Selagi anak muda ini mencoba menenangkan diri, Kong Tiauw Hay telah bicara pula.
Kata dia.
"Syukur aku dapat melihat gelagat, diam-diam di waktu malam, aku nerobos keluar dari kepungan. Seandainya aku terus terkurung di Touwbokpo itu, jikalau aku tidak terbinasa dalam peperangan, tentulah aku mati kelaparan....."
Tan Hong perdengarkan suara dingin "Hm!"
"Di bebokongmu ini ada tergendol bungkusan besar yang agaknya berat, barang apakah itu?"
Ia tanya sambil menunjuk ke belakangnya tjongkoan itu.
Kong Tiauw Hay tidak segera menjawab, tetapi mukanya menjadi pucat.
Sebet bagaikan kilat, tangannya Tan Hong menyambar ke bebokong orang, hingga dalam sedetik bungkusan itu telah berpindah tangan, lalu terus si anak muda membantingnya di tanah, sehingga bungkusan itu pecah dan isinya berhamburan.
Untuk herannya semua orang, isi bungkusan itu adalah goanpo atau uang emas potongan semua.
Tan Hong tertawa dingin.
"Jadinya kaburmu ini ialah untuk harta besar ini!"
Katanya. Kong Tiauw Hay turut tertawa.
"Harta ini semua adalah hadiah Sri Baginda kepadaku,"
Ia berikan, keterangan.
"Semua ini bukannya harta tidak halal. Hari ini kau telah tolong aku, suka aku untuk kita membagi dua harta ini....."
Kembali Tan Hong tertawa dingin. Tapi setelah itu, mendadak ia unjuk roman bengis.
"Kecewa kau menjadi Taylwee Tjongkoan1. Kecewa kau menyebut-nyebut budinya Sri Baginda!"
Kata dia.
"Sri Baginda telah berlaku baik hati terhadap kau, kenapa di saat Sri Baginda terancam bahaya, kau tinggal dia lari?"
Kong Tiauw Hay melengak. Ia tahu Thio Tan Hong ini musuh raja, maka ia heran kenapa anak muda itu menegur ia secara demikian. Ia berani majukan usulnya itu pun karena menganggap pemuda ini musuh junjungannya.
"Malam ini kau berdiam di sini,"
Kata Tan Hong.
"Besok pagi kau turut aku pergi ke Touwbokpo."
"Apa? Pergi untuk mengantarkan jiwa?"
Tiauw Hay tanya.
"Kau gegares gaji negara, sekalipun nyata-nyata ada untuk antarkan jiwa, itu sudah seharusnya!"
Tan Hong bilang.
"Kenapa kau takut? Kau toh antarkan jiwa bukannya sendirian saja? Kamipun antarkan jiwa bukannya sendirian saja? Kamipun turut antarkan jiwa bersama?"
Wajahnya Tiauw Hay menjadi pucat sekali.
Ia tidak bilang apa-apa lagi, hanya lantas ia membungkam, untuk terus punguti uang goanpo itu, untuk dikumpulkan.
Tan Hong bersama In Loei tertawa dingin, mereka mengawasi tanpa mencegah.
Kuda putih dari Tan Hong dan kuda merah dari In Loei berada didekat mereka, ada goanpo yang mencelat ke kuda itu, maka Tiauw Hay terus punguti semua uangnya.
Di saat ia datang dekat kuda putih, mendadak ia lompat akan sambar lehernya kuda itu! Tjiauwya saytjoe ma bukan kuda sembarangan, dia kaget dan berontak, lantas dia menyentil berulang-ulang, dia meringkik tak hentinya.
"Hai, apa kau bikin"
Bentak Tan Hong. Tiauw Hay tidak menjawab, karena dia tidak bisa takluki kuda putih itu, ia terus lompat naik ke bebokongnya kuda merah. Ia lantas saja tertawa.
"Aku Kong Tiauw Hay masih ingin hidup senang lagi beberapa tahun, maka maafkan aku, tidak dapat aku antarkan kamu!"
Kata dia, yang terus gunakan goloknya menumblas kempolan kuda, saking kaget dan sakit, kuda itu sudah lantas berlompat lari, kabur keluar, hingga sesaat kemudian kuda dan penunggangnya lenyap di malam yang gelap itu. In Loei jadi kaget.
"Toako, mari kita kejar!"
Dia berteriak. Tan Hong tapinya menggeleng kepala.
"Orang semacam dia, dicandak pun tidak ada faedahnya....."
Ia bilang. Ia terus menarik napas panjang, dengan lesu ia jatuhkan diri ke kursi, ia kata.
"Dahulu Gak Boe Bok pernah bilang, 'Pembesar sipil doyan duit, pembesar militer sayang jiwa, kalau begitu, apakah artinya urusan penting?1 Dan sekarang ini, pembesar sipil, pembesar militer, semuanya doyan duit! Kejahatannya Ong Tjin itu nyata tak kalah daripada kejahatannya Tjin Kwee, karenanya aku kuatir hikayat Ahala Song bakal terulang pula, kehinaannya Baginda Hwie Tjong dan Baginda Kim Tjong, yang tertawan musuh, akan terlihat pula hari ini!....."
"Di dalam kerajaan ada Tjin Kwee, di sana pun ada Gak Boe Bok,"
Berkata In Loei.
"Di mana Ie Kokloo tidak kalah daripada Gak Boe Bok itu, aku harap toako tidak menjadi tawar hati."
"Hanya sayang Ie Kokloo itu tidak punya kekuasaan atas tentara,"
Bilang Tan Hong, yang masih berduka.
"Menyesal aku tidak punya sayap untuk terbang ke Pakkhia, supaya aku bisa bantu Ie Kokloo itu....."
Dua anak muda ini jadi sangat bersusah hati.
Karena ini, tidak tunggu sampai pagi, mereka sudah lantas pamitan dari si nenek dan anaknya, dengan menunggang kuda putih, mereka berangkat pergi.
Belum lama mereka jalan mereka lantas dengar suara tambur dan terompet yang datangnya dari arah depan.
Tan Hong larikan kudanya mendaki tanjakan, dari situ ia memandang jauh ke depan, hingga ia tampak banyak bendera, boleh dibilang di seluruh bukit dan tegalan, tertampak tentara Mongolia.....
"Tidak dapat kita lewati mereka itu....."
Kata In Loei, lesu.
"Aku ada akal,"
Kata Tan Hong.
"Kau turunlah dan tunggu di sini."
In Loei menurut.
"Kau umpetkan diri,"
Tan Hong kata pula.
Dua Musuh Turunan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Lalu ia larikan kudanya turun gunung, ia menghampirkan dan masuk ke dalam pasukan musuh! In Loei kaget bukan main, mukanya pucat sekali.
Syukur ia tak usah ketakutan terlalu lama.
Sebab segera juga ia lihat Tan Hong telah kembali bersama dua perwira bangsa Watzu.
Tentu saja, ia sekarang menjadi sangat heran.
Nona In tidak ketahui bahwa Tan Hong pandai bahasa Mongolia, bahwa di dalam sakunya pemuda ini ada menyimpan sehelai lengtjhie, bendera pertandaan militer, yang dia curi ketika dahulu dia keluar dari Mongolia, untuk menyusup masuk ke Tionggoan.
Sekarang lengtjhie itu dia gunakan, dia akui bahwa dirinya adalah mata-mata Watzu yang diutus ke Tionggoan semenjak sebelumnya perang.
Dan dia dipercaya dua perwira Mongolia itu.
Tan Hong mendusta terlebih jauh, katanya di bukit itu dia lihat seorang yang mencurigakan, dia ajak kedua perwira, untuk memeriksa, maka itu, mereka datang bersama.
Tapi, begitu lekas mereka sudah mendaki bukit di mana In Loei berada, dengan sekonyong-konyong dia hajar dua perwira itu hingga mereka rubuh binasa sebelum tahu apa-apa.
Bukit itu terpisah dari barisan Mongolia beberapa lie jauhnya, maka itu, tidak ada satu serdadu Mongolia yang lihat apa yang terjadi dengan kedua perwira mereka.
In Loei telah saksikan kejadian itu, ia lantas muncul.
"Bagus!"
Kata Tan Hong kepada kawannya itu.
"Sekarang mari kita menyamar sebagai dua perwira Mongolia ini. Bukankah kau belum lupa akan bahasa Mongolia?"
"Ya, aku masih belum lupa!"
Sahut In Loei sambil tertawa.
"Aku tidak sangka bahwa sekarang bahasa itu berguna bagi kita..."
"Aku telah cari keterangan jelas,"
Tan Hong berkata pula.
"Mereka ini adalah pasukan tangga ketiga dari resimen kedua, dan kemarin, barisan ini baharu saja melakukan pertempuran hebat. Mungkin barisan ini telah bentrok dengan Gielim koen di bawah Thio Hong Hoe dan mendapat kerugian besar maka sekarang mereka sedang disiapkan untuk dipersatukan dengan pasukan lainnya. Maka cocoklah kalau kita menyamar jadi kepala barisan mereka. Ingat, kau bernama Hawa dan aku Talai."
In Loei manggut, ia bersedia akan iringi kawannya itu.
Keduanya lantas lucuti seragam kedua perwira Mongolia itu, untuk mereka pakai.
Syukur bentuk tubuh mereka tidak beda jauh.
Tan Hong tunggu sampai sudah magrib, baharu ia ajak In Loei turun dari tempat sembunyi itu, untuk larikan kuda mereka ke dalam barisan Mongolia itu, untuk campurkan diri.
Mereka tidak tampak kesukaran, karena pemuda she Thio itu ketahui baik segala aturan tentara Mongolia.
Mereka dapat tempat dalam satu pasukan yang baharu saja disusun rapi.
Keesokan paginya, barisan ini sudah lantas dimajukan pula.
Mereka di kirim ke Touwbokpo sebagai bala bantuan.
Lewat tengah hari, mereka tiba di medan perang.
Begitu melihat keadaan pihak Beng, Tan Hong kaget sekali.
Barisan Beng itu telah kena dihajar hingga hancur menjadi sejumlah barisan-barisan kecil, yang berserabutan ke timur dan barat.....
-ooo00dw00ooo- Bab XX Dengan berisik terdengarlah suara terompet di dalam pasukan perang Watzu, disusul gemuruhnya suara tambur perang, lalu di atas gunung terlihat berkibarnya sehelai bendera besar dengan tanda hurufnya "Komandan."
Dan satu perwira Mongolia,yang dandan sebagai pangeran, kelihatan bercokol di atas kudanya di atas gunung itu.
Dengan cambuknya, pangeran itu menunjuk ke arah depan.
Dia itu adalah Thaysoe Ya Sian, orang yang pegang kekuasaan besar atas bala tentera Watzu.
Dia sedang pimpin barisannya, akan hajar tentera kerajaan Beng itu, yang dicegat sana sini, hingga tentera itu jadi kalut sekali.
Dalam keadaan kacau itu, sekonyong-konyong di sebelah timur, muncul satu pasukan Beng yang mengibarkan bendera naga, ketika tentera Watzu lihat bendera itu, mereka lantas saja berteriak-teriak.
"Ha, raja Bengtiauw ada di sana!"
Menyaksikan itu Tan Hong kertek gigi.
"Sungguh Ong Tjin jahat sekali!"
Kata dia dalam hatinya.
"Nyatalah dia masih kuatir musuh tidak tahu di mana adanya Sri Baginda!"
Sebab maksud dikibarkannya bendera raja itu adalah untuk memberi tanda kepada musuh, agar musuh ketahui di mana adanya raja.
Kaisar Kie Tin dari Kerajaan Beng telah terkurung satu hari dan satu malam di benteng Touwbokpo, ia berkuatir bukan main.
Ia telah saksikan angkatan perangnya telah dihajar rusak oleh musuh, sampai ia tidak sanggup mengumpulkan dan menyusunnya pula dengan sempurna.
Ia sekarang hanya mengandalkan kepada Thio Hong Hoe serta pasukan pengawalnya sendiri.
Begitulah ia ajak komandan dari Kimie wie itu membicarakan soal menoblos kurungan musuh.
Raja dan pahlawannya ini tengah berbicara tatkala mereka lihat Ong Tjin berlari- lari datang dengan muka terpucat-pucat, dan begitu tiba di hadapan raja, orang kebiri itu perdengarkan suaranya yang tak wajar.
"Sri Baginda, celaka! Tentera lapis besi musuh sudah sampai di muka kubu-kubu! Lekas Sri Baginda titahkan Thio Tongnia pergi menangkis mereka!....."
Selagi raja tercengang, Thio Hong Hoe sudah perdengarkan suaranya.
"Jangan kaget, Sri Baginda!"
Demikian pahlawan ini.
"Hari ini, meski mesti kurbankan jiwa, hambamu akan lindungi Sri Baginda menoblos kurungan!"
Sehabis mengucap demikian, pahlawan ini segera lari keluar, untuk wujudkan kata- katanya, guna memukul mundur musuh.
Seberlalunya pahlawan itu, tiba-tiba saja Ong Tjin tertawa menyeringai.
Tidak lagi ia bermuka pucat dan beroman sangat ketakutan seperti tadi.
Ia malah bergembira.
"Sri Baginda,"
Berkata dia.
"hari ini habis sudah harapan kita, kecuali kita menyerah dan menakluk, tidak ada lain jalan hidup pula. Hambamu mohon agar Sri Baginda sudi pergi ke tangsi Watzu untuk mohon perdamaian....."
Kaisar kaget bukan main mendengar perkataan hambanya ini.
"Cara bagaimana aykeng dapat mengatakan begini?"
Dia tanya.
"Aykeng"
Berarti "menteri yang dicintai."
Ong Tjin tidak menjawab rajanya itu, yang masih menghargai padanya. Dengan tiba- tiba ia perlihatkan roman bengis.
"Mana pahlawanku?"
Dia memanggil.
Atas panggilan itu, dari luar kemah muncul pahlawan dorna kebiri itu, dan raja, tanpa berdaya, sudah lantas saja diringkus.
Hong Hoe sendiri, selekasnya dia tiba di luar kemah, dia kaget bukan main.
Dia telah saksikan dikereknya bendera naga.
Seperti Tan Hong, segera dia insyaf akan akal muslihatnya Ong Tjin yang jahat itu.
Sebenarnya ingin dia kembali ke dalam kemah, akan tengok junjungannya, akan tetapi tentara Watzu benar-benar sudah menerjang, terpaksa ia maju terus, untuk melakukan perlawanan.
Hebat untuknya, dengan lekas ia telah kena dikurung musuh, yang telah memutuskan jalannya kembali kepada rajanya.
Sementara itu, darah In Loei bergolak-golak saking murkanya.
"Toako, mari kita bunuh Ong Tjin, untuk menolong Sri Baginda!"
Ia ajak Tan Hong.
Bersama-sama Tan Hong, In Loei ini memimpin satu barisan tengah, dari itu, di depan mereka terdapat lain barisan, yang berjumlah besar, maka, untuk bisa menyerbu ke arah kaisar Beng, adalah sulit sekali.
Mungkin mereka tidak mampu berbuat demikian sekalipun mereka mempunyai kuda-kuda jempolan.
Tan Hong tertawa meringis.
"Di saat seperti ini tidak lagi kita dapat berlaku nekat,"
Katanya, masgul.
"Mari kita naik ke tempat tinggi, untuk melihat keadaan....."
Dan dari tempat yang tinggi, mereka saksikan Ong Tjin menaikkan Kaisar Kie Tin ke atas kuda dengan tubuh terbelenggu.
Dengan tangannya sendiri, dorna kebiri itu mengangkat naik bendera putih, untuk dilambai-lambaikan, hingga bendera tanda menakluk itu berkibar-kibar di antara sampokan angin.
Beberapa pahlawan yang setia telah mencoba maju, untuk menolongi raja, akan tetapi mereka dirintangi oleh pahlawan-pahlawannya si dorna.
Dipihak lain, barisan musuh sudah datang mendekati raja yang tak beruntung itu.
Dalam saat seperti itu, sekonyong-konyong terdengar suara teriakan keras bagaikan guntur, lalu tertampak Hokwie Tjiangkoen Hoan Tiong, dengan sepasang gembolan di tangan, mengaburkan kudanya ke arah raja.
Panglima ini seperti kalap, tak lagi ia menghiraukan dirinya.
Tapi ia pun segera dicegat dan dikepung oleh pahlawan-pahlawannya Ong Tjin dibantu tentara watzu yang melepaskan anak panah.
Hoan Tiong mengenakan lapisan baja di depan dadanya dan kopiah di kepalanya, kedua belah anggota tubuh itu bebas dari anak-anak panah, tidak demikian dengan pundak dan bebokongnya, maka itu, belasan anak panah, telah menancap di tubuhnya itu, tetapi ia tangguh sekali, ia tak rubuh karenanya.
Ia paksa maju terus ke arah junjungannya, hingga ia datang dekat si dorna kebiri.
Ong Tjin terkejut menyaksikan kegagahan orang itu.
"Hoan Tjiangkoen, marilah kita bicara!"
Ia serukan. Ia sangat berkuatir. Jawaban Hoan Tiong adalah teriakan berguntur.
"Hari ini aku akan mewakili negara membasmi penghianat!"
Dan teriakan itu dibarengi dengan turunnya sebilah gembolannya yang berat itu, menimpa Ong Tjin, hingga tubuh si dorna rubuh dari atas kudanya.
Sementara itu, dia sendiri pun tidak bebas dari beberapa bacokan musuh.
Dalam keadaan luka parah itu, Hoan Tiong tertawa berkakakan, lalu tiba-tiba ia ayunkan gembolannya ke arah kepalanya sendiri, maka sedetik saja, ia rubuh dari kudanya dengan kepalanya pecah, jiwanya melayang.
Ia lebih suka bunuh diri daripada tertawan atau terbinasa ditangan musuh.
Bagaikan air bah, demikian serbuan tentara Watzu, maka sejenak kemudian, kaisar Beng yang sudah tidak berdaya itu telah menjadi orang tawanan, sedang menteri- menterinya, yang turut ke medan perang, seperti Siangsie Kong Tim, Ong Tjoh, Haksoe Tjo Teng dan Thio Ek, pangeran Enqkok-kong Thio Hoe dan lainnya, telah berkurban untuknya.
Juga di antara pahlawan-pahlawan Ong Tjin, ada delapan atau sembilan yang terluka dan terbinasa.
Kejadian yang menyedihkan dalam hikayat Kerajaan Beng ini adalah yang dinamakan "Peristiwa di Touwbok."
Thio Hong Hoe telah lihat junjungannya tertawan, mendadak saja ia muntahkan darah hidup.
Kemurkaannya tak terkira.
Dengan nekat ia lantas terjang musuh, dalam tempo pendek ia telah rubuhkan belasan musuhnya, tetapi ia pun tetap terkurung, jumlah musuh yang besar membikin mereka merupakan seperti tembok besi dinding tembaga, tidak dapat ia pecahkan kurungan itu.
Akhir-akhirnya ia berteriak.
"Raja terhina, menteri terbinasa!"
Dan ia balikkan goloknya, untuk menabas batang lehernya sendiri.
Tapi anak panah musuh mendahului ia, lengannya kena terpanah, goloknya terlepas dari cekalan, jatuh ke tanah, hingga di lain saat, ia pun menjadi orang tawanan.
Dengan kemenangan besar itu, dengan membunyikan gembreng, tentera Watzu telah menyelesaikan peperangan.
Daerah Touwbokpo itu yang luasnya beberapa ratus lie lantas dibersihkan dari musuh, di situ didirikan kemah.
Segera pun babi dan kerbau disembelih, untuk membikin pesta besar, untuk merayakan kemenangan.
Di dalam tentera itu, terdapat Thio Tan Hong dan In Loei.
Mereka tak dikenal dalam penyamaran mereka.
Maka itu mereka dapat mendengar pembicaraan di antara beberapa perwira.
"Malam ini di dalam kemah jenderal akan diadakan keramaian yang istimewa,"
Kata satu perwira.
"sayang aku hanya berpangkat kapten, aku tak berhak untuk turut hadir dalam pesta itu....."
"Keramaian apakah itu?"
Tanya satu perwira lain. Perwira yang pertama bicara itu menyahuti.
"Aku dengar malam ini jenderal kita hendak paksa kaisar Beng menjadi pelayannya, untuk melayani dia minum arak. Tidakkah itu luar biasa bagus?"
"Ya, benar bagus!"
Kata perwira yang menanya.
"Kaisar Beng telah kita tawan, aku lihat peperangan akan segera berakhir, dengan begitu, lekas juga kita akan pulang,"
Dua Musuh Turunan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Berkata satu perwira lain lagi.
"Kita akan merayakan tahun baru kita!"
"Tetapi kita masih belum masuk ke Pakkhia,"
Kata satu perwira rekannya.
"Tionggoan itu luas tanahnya, banyak rakyatnya, mereka tak dapat dibunuh habis, maka itu tidak mudah urusan peperangan ini dapat diselesaikan?"
Perwira yang pertama itu tertawa.
"Bangsa Han pandang rajanya sebagai naga sejati,"
Kata dia pula.
"kalau rombongan naga tidak ada kepalanya, mana mereka dapat berperang? Kalau rajanya itu sayangi jiwanya, dia mesti menakluk dengan baik-baik, dia mesti umumkan pernyataannya suka menjadi taklukkan kita. Setelah itu baharulah negara Beng itu menjadi kepunyaan kita."
Mendengar pembicaraan itu, hati Tan Hong panas berbareng duka.
"Memang sungguh celaka kalau Sri Baginda suka menyerah,"
Pikir dia.
"Aku harap saja Sri Baginda bukannya raja yang takut mati....."
Perwira yang pertama berbicara itu masih mengatakan pula.
"Tentera Beng itu tidak harus dibuat takut. Lain halnya dengan Kimtoo Tjeetjoe di luar kota Ganboenkwan, dia masih saja bergelandangan di luar kota itu, sebentar muncul, sebentar menghilang, sukar untuk menumpas padanya. Dia baharulah yang dinamakan bahaya di dalam tubuh!"
Tapi satu perwira lain tertawa.
"Tapi pesanggrahannya telah kita serbu hingga rata dengan tanah!"
Katanya.
"Bangsat tua Kimtoo itu serta anaknya, meskipun mereka dapat lolos, mereka tak lebih tak kurang seperti penyakit di kulit saja! Lagi pula sekarang Jenderal Tantai telah menempatkan tenteranya di kota Ganboenkwan, sudah pasti dia tidak akan dapat mengacau pula, maka itu, untuk apa kita kuatirkan dia?"
Mendengar pembicaraan itu, lega juga hati Tan Hong dan In Loei.
Sekarang mereka ketahui halnya Tjioe Kian ayah dan anak, yang tak kurang suatu apa, sedang mereka pun mendapat tahu di mana adanya Tantai Mie Ming.
Pada waktu itu kaisar Beng sebagai tawanan musuh, oleh Yasian, perdana menteri Watzu, telah di tempatkan di dalam kemah yang terjaga kuat hingga tiga lapis, sedang di dalam kemah sendiri, dia diawasi oleh tiga pahlawan pilihan, yang setiap saat meletakkan tangan di gagang pedang.
Di antara tiga pahlawan itu, yang satu adalah Ngochito, pahlawan harimau dari Yasian sendiri.
Dia ini selainnya liehay ilmu silat pedang Hongloei kiam yang terdiri dari tujuh puluh dua jurus, orangnya pun cerdik sekali.
Maka itu, berduka kaisar itu, yang melihat tidak mempunyai harapan untuk kabur.
Tapi yang membikin Kie Tin sangat berkuatir adalah ketika ia dengar malam itu Yasian hendak mewajibkan dia melayani perdana menteri itu minum arak.
Dia jadi mendongkol dan malu, dia jadi sangat bingung.
"Aku hadiri pesta itu atau jangan?"
Dia tanya dirinya berulang-ulang.
Dia insyaf, kalau dia hadir, dia akan jadi kedua Kaisar Hwie Tjong dan Kim Tjong dari ahala Song, yang mesti hinakan diri di hadapan musuh.
Perbuatan itu tidak saja merendahkan dirinya dan negaranya, dia pun akan menjadi buah tertawaan berabad-abad.
Kalau dia tidak hadir, dia kuatirkan keselamatan jiwanya.....
Tengah kaisar ini berputus asa, tiba-tiba di luar kemah terdengar suara panggilan, katanya.
"Thaysoe undang Jenderal Ngochito datang ke markas untuk berbicara!"
"Thaysoe"
Adalah sebutan untuk Perdana Menteri Yasian.
Berbareng dengan itu satu perwira bertindak masuk dengan tangannya menyekal sebatang lengtjhie, panah titahan.
Ngochito sangat teliti, ia sambut lengtjhie itu untuk diperiksa dulu, hingga ia peroleh kenyataan keasliannya.
Panah titahan itu cuma dipakai oleh pembesar paling tinggi dalam suatu angkatan perang, sebab itu adalah hadiah dari raja Watzu sendiri, terbuatnya pun dari kemala hijau.
Percaya bahwa Yasian mempunyai urusan penting hendak dibicarakan dengannya, Ngochito lantas saja tinggalkan kemah jagaannya itu.
Perwira yang membawa lengtjhie itu, begitu ia lihat Ngochito sudah pergi jauh, dengan mendadak ia putar tubuhnya sambil mengayunkan kedua tangannya, masing- masing diarahkan kepada kedua pahlawan lainnya, yang berdiri dekat dengannya.
Luar biasa sebat gerakannya, tidak peduli kedua pahlawan itu liehay, mereka toh kena ditotok, tanpa bersuara lagi, keduanya jatuh rubuh.
Lekas sekali si perwira pembawa lengtjhie membuka kopiahnya, sambil bersenyum, dia kata kepada Kie Tin.
"Sri Baginda, masih ingatkah Sri Baginda kepadaku?"
Raja Beng memang heran atas kejadian itu, ia mendelong mengawasi perwira itu.
Akhirnya, ia jadi terperanjat.
Ia lantas kenali siapa orang itu yang berdiri dihadapannya, ialah Thio Tan Hong.
Ayahnya Tan Hong, yaitu Thio Tjong Tjioe, menjadi Yoesinsiang, Menteri Muda dari raja Watzu, dengan begitu kedudukannya seimbang dengan kedudukan To Huan, Tjosinsiang, yang menjadi ayahnya Yasian.
Mereka sama pengaruhnya, mereka disayangi Raja Watzu, dan keduanya pun berkuasa mencampuri urusan ketenteraan.
Maka itu raja memberikan mereka masing-masing sebatang lengtjhie dengan apa mereka berhak memanggil setiap perwira menghadap mereka.
Adalah kemudian, setelah kedudukan To Huan turun kepada puteranya, Yasian, pengaruhnya ini meningkat, hingga dia mengangkat dirinya menjadi Thaysoe, Mahaguru.
Thio Tjong Tjoe sebaliknya, untuk menjaga dirinya, tidak perhatikan urusan tentera, maka itu, sudah sepuluh tahun belum pernah ia pakai lengtjhie itu.
Ketika Tan Hong berlalu dari Watzu, dia curi lengtjhie ayahnya itu, tidak pernah ia menyangka, kali ini, di sini, dapat dia pakai panah titahan itu untuk mengelabui Ngochito.
"Di harian pieboe di atas loeitay, telah aku kirimkan kau sepucuk surat, sudahkah kau baca itu?"
Tan Hong tanya pula.
"Kau? Kau jadinya Thio Tan Hong?"
Raja tegaskan, suaranya menggetar.
"Tidak salah!"
Tan Hong jawab..
"Aku adalah musuhmu yang kau hendak tawan!"
"Baiklah!"
Kata raja itu, yang hatinya menjadi mantap.
"Hari ini aku terjatuh ke dalam tanganmu, tidak usah kau banyak omong lagi, lekas-lekas kau bunuh aku!"
Tapi Tan Hong tertawa.
"Jikalau aku hendak bunuh kau, apa kau kira aku menanti sampai hari ini?"
Kata dia.
"Sekalipun aku memakai pakaian asing, hatiku adalah hati Han!"
"Kalau begitu, kau tolonglah aku!"
Kata raja. Kie Tin seperti lupa bahwa ia tengah dikurung berlapis-lapis. Bagaimana gampang untuk buron..... Tan Hong awasi raja itu, ia tertawa pula.
"Sri Baginda,"
Katanya.
"hari ini cuma kau sendiri yang dapat menolong dirimu."
Raja heran.
"Apakah kau kata?"
Dia tanya.
"Malam ini Yasian akan memaksa kau menyatakan menakluk,"
Kata Tan Hong.
"Jikalau kau menakluk, bukan saja dengan itu kau lenyapkan negara Kerajaan Beng yang terbesar yang luasnya sembilan laksa lie, juga jiwamu sendiri tidak akan terjamin. Tapi jikalau kau menolak, maka Kokloo Ie Kiam akan membangun angkatan perang suka rela, untuk berperang membelai negara. Di dalam negara Watzu tidak ada persatuan, maka itu Yasian akan terserang musuh dalam dan luar. Hal ini diketahui baik sekali oleh Yasian, karenanya, mana dia berani bunuh kau? Oleh karena itu, sekarang ini, kau bersabarlah, kau pertahankan diri untuk menderita. Dengan bersabar, bukan saja negara akan dapat dilindungi, kami juga kemudian akan mendapat jalan untuk menolongi kau. Kau bukannya seorang tolol, hal ini tentunya kau dapat pikir sendiri....."
Raja tidak menjawab, ia perdengarkan suara perlahan sekali.
"Harta pusaka leluhurku berikut peta buminya, telah berhasil aku cari dan mengambilnya,"
Tan Hong beritahu.
"harta dan peta itu tengah diangkut ke Pakkhia, bersama dengan itu, aku sendiri akan menghabiskan tenagaku untuk membantu Ie Kokloo. Masih ada lagi yang kami dapat lakukan, dari itu, jangan kau berduka."
Thio Tan Hong perlihatkan sinar matanya yang tajam, yang menandakan kekerasan hatinya, yang membuatnya orang menaruh kepercayaan terhadap dirinya.
Bibir raja sudah bergerak seperti ia hendak mengucap sesuatu, tetapi ia urung.
Tan Hong awasi raja itu, matanya mencilak.
"Menteri besarmu In Tjeng telah menggembala kuda di negara asing selama dua puluh tahun, selama itu dari awal hingga akhirnya, ia tidak bertekuk lutut!"
Katanya dengan nyaring.
"Kau adalah orang yang paling agung dari satu negara, apakah kau mesti kalah dengan menterimu?"
Raja pun mengawasi.
"Baik!"
Dia jawab akhirnya.
"Aku juga tidak akan pikirkan pula kehidupanku, akan aku perbuat seperti katamu!"
Tan Hong masih hendak berbicara ketika.
"Bret!"
Dan robeklah tenda kemah, terbelah dua, dari situ tampak Ngochito lompat masuk, pesat bagaikan angin puyuh. Ketika dia lihat siapa yang rebah di tanah, kemurkaannya bertambah meluap.
"Bangsat bernyali besar, mari makan pedangku!"
Dia mendamprat sambil menikam dengan pedangnya, dengan tipu silat "Geledek menyambar batok kepala".
Tan Hong terkejut ketika ujung pedang menjurus ke tenggorokannya.
Ia pun tidak menyangka Ngochito bisa kembali demikian lekas, walaupun ia tahu, ia hanya dapat mengabui untuk sementara waktu saja.
Sudah dibilang, Ngochito adalah seorang yang cerdik.
Baharu saja ia sampai di luar kemah, ia lantas dapat pikiran.
Ia telah berpikir.
"Thaysoe menghendaki aku mengawasi kaisar Beng. Tidakkah tugas itu sangat penting? Mungkinkah dia hendak menukar tugasku itu? Lagi pula perwira pembawa lengtjhie itu sangat asing untukku. Kalau Thaysoe mengutus orang membawa lengtjhie padaku, ia mestinya menitahkan orang di kiri kanannya, yang ia percayai. Juga, kenapa perwira itu tidak turut aku keluar? Inilah mencurigakan....."
Keras Ngochito berpikir, kecurigaannya jadi semakin besar, maka akhirnya ia putar tubuhnya, untuk balik ke dalam kemah, begitu sampai, ia tidak lagi ambil jalan pintu kemah, tapi ia merobek kain tenda.
Karenanya ia segera dapat lihat kedua kawannya rebah di tanah.
Ia lantas menduga, mereka itu tentu telah kena ditotok, bahwa si perwira mestinya orang jahat, dari itu, ia menyerang tanpa buang tempo lagi.
Tan Hong kaget tetapi ia tidak gugup, dengan sebat ia berkelit.
"Sungguh Hongloei Kiamhoat yang liehay?"
Ia serukan.
Ilmu silat pedang Ngochito benar-benar liehay.
Lolos tikaman yang pertama, segera menyusul yang kedua, yang ketiga, cepat dan bengis.
Tan Hong menjadi repot juga.
Ia tidak sempat membuat perlawanan, ia selalu egoskan diri.
Apamau kemah itu tidak terlalu luas, tak merdeka ia berlompat ke kiri dan ke kanan.
Sementara itu di luar pun segera terdengar suara riuh.
Mestinya itu adalah bala bantuan untuk Ngochito.
"Trang!"
Demikian terdengar sekonyong-konyong.
Ujung pedang Ngochito telah mengenai kopiah perang Tan Hong, tetapi serangan itu tidak tepat, pedang meleset ke samping.
Tan Hong telah menggunakan tipu yang berbahaya.
Ia sengaja memberikan kopiahnya ditikam, selagi tertikam, ia miringkan kepalanya.
Karena pedangnya meleset, Ngochito tak dapat unjuk kesehatannya untuk segera menarik pulang, malah saking heran, ia melengak sebentar.
Ketika yang baik itu digunakan Tan Hong dengan sebat sekali, selagi ia ditikam, ia gunakan kesempatan akan menghunus pedangnya, pedang Pekin kiam hadiah dari gurunya, pedang mana tadi tak sempat ia mencabutnya karena ia didesak terus- menerus.
Sekarang, setelah menghunus pedang, ia teruskan itu, ia pakai menabas ke arah pedang musuh.
"Trang!"
Kembali suara terdengar, tetapi tak sekeras, tadi.
Dua Musuh Turunan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Karena kali ini, kedua pedang beradu sepintas lalu, dan ujung pedangnya Ngochito kena tertabas kutung! Panglima Watzu itu kaget tidak terkira.
Ia tahu tajamnya pedangnya, yang terbuat dengan campuran bahan emas, sudah tajam, pedang itu jauh lebih berat daripada pedang-pedang seumumnya.
Tapi pedang itu kutung dengan satu kali bentrok saja! Tan Hong gunakan ketikanya, ia tunjukkan kecerdikannya.
Selagi lawan berdiam, ia lompat ke samping sambil memutar pedangnya.
Dengan satu tabasan saja, ia bikin tenda terbelah, menyusul mana, selagi dengan tangan kiri ia menyambar, akan pentang tenda itu, tubuhnya mencelat lebih jauh, noblos keluar dari lobang pecahan itu.
Ngochito heran menampak kecerdikan musuh, untuk kesehatannya itu.
Mengertilah ia bahwa musuh ini liehay sekali.
Tapi ia pun satu pahlawan Watzu, tidak sudi ia menunjukkan kelemahannya.
Maka sambil memutar pedangnya, ia juga noblos keluar dari liang tenda dari mana Tan Hong nerobos keluar.
Setibanya di luar, ia lihat musuh sudah melintasi dua undakan kemah.
"Tangkap penjahat!"
Ia berteriak. Ia lompat, untuk mengejar.
"Sar ser!"
Demikian terdengar suara ketika Ngochito lihat musuh memutar tangannya ke belakang, terayun, menyusul mana tertampak sinar-sinar kecil berwarna perak menyambar ke arahnya.
Itulah senjata rahasia jarum dari Tan Hong, yang ia gunakan untuk menahan musuh yang mengejarnya.
Ngochito insyaf kepada malapetaka itu, ia putarkan pedangnya, untuk menangkis.
Gagal serangan Tan Hong itu.
Gagal separuhnya.
Sebab dengan repot menangkis, majunya Ngochito tercegah, hingga terlambat.
Dan kelambatan ini digunakan Tan Hong untuk lari lebih jauh, ke lapis tenda yang ketiga.
Cuaca malam itu gelap, cuaca ini menolong banyak pada Tan Hong.
Ia dengar suara riuh dari tanda bahaya, ia lari terus.
Segera juga anak-anak panah menyambar saling susul, tetapi tidak ada satu yang mengenai sasarannya.
Ia terus lari, hingga melintasi belasan tenda.
Ngochito mengejar terus, tapi ia kalah dalam ilmu enteng tubuh, ia tidak dapat menyandak, meski begitu, Tan Hong toh repot, sebab suara tanda bahaya telah membangunkan tentera Watzu dipelbagai tangsi, sedang seluruh tangsi luasnya kira-kira seratus lie.
Ketika ia sudah melewati puluhan tangsi, Tan Hong tiba di suatu tempat yang merupakan tanah kosong, di situ ada dua baris tangsi, yang berjejer di kedua tepi.
Di tenda, atau kemah sebelah depan, api dipasang terang-terang, samar- samar tertampak serdadu ronda.
Apa yang beda, dari tangsi di depan itu tidak merubul serdadu-serdadu Watzu seperti dari tangsi-tangsi lainnya.
Heran juga Tan Hong, karena ia tahu, tata tertib tentera Watzu biasanya keras sekali, begitu ada pertandaan, semuanya mesti bergerak.
Tetapi ini satu tidak.
"Mungkinkah di sini ada dua jenderal yang masing-masing memegang pimpinan?"
Bertanya hati kecilnya.
"Walaupun ada dua pemimpin, mereka tetap berada di bawah satu pemerintah, tidak seharusnya mereka berlainan pimpinan....."
Tidak peduli ia heran atau bersangsi, Tan Hong insyaf ia tidak boleh membuang- buang tempo, maka itu, ia lompat, untuk lari terus.
Ia dapat kenyataan, di belakangnya ada pengejar-pengejar yang menunggang kuda.
Ia tiba di tengah tegalan itu di mana terdapat banyak tumpukan rumput yang tinggi bagaikan bukit kecil.
Itulah tumpukan rangsum kuda, yang tentera Watzu paksa penduduk setempat mengumpulkannya.
"Baiklah aku menyusup kesalah satu tumpukan, untuk sembunyikan diri,"
Pikir Tan Hong.
"Aku mesti tunggu, sampai semua sudah sirap, baharu aku berlalu dengan diam-diam."
Tan Hong pikir, kalau toh tumpukan-tumpukan rumput itu hendak digeledah, orang mesti menggunakan banyak serdadu, karena ia memakai seragam tentera Watzu, ia mengharap akan ada kemungkinan untuk bercampur dengan mereka itu, untuk turut menggeledah bersama-sama.....
Demikian ia nelusup masuk ke dalam sebuah tumpukan, akan menantikan saatnya.
Tapi, begitu ia masuk, begitu lekas juga ia terkejut.
Kupingnya telah menangkap suara tertawa geli, dekat sekali, menyusul mana bebokongnya terasa ditekan barang keras bagaikan besi, yang dingin seperti es.
"Aku telah nantikan lama padamu!"
Demikian sekonyong-konyong ia dengar suara, yang halus dan menggiurkan.
"Jangan kau bergerak! Bila kau bergerak, akan aku menjerit-jerit!....."
Tan Hong kaget dan heran. Ia berada di medan perang, di dalam tangsi, dari mana datangnya satu wanita, mungkin satu nona? Karena itulah suaranya seorang perempuan. Ia merasa lega juga, karena orang mengancam secara lunak.
"Baik, aku tidak akan bergerak,"
Ia jawab. Wanita itu tertawa pula, dengan terlebih geli. Sekarang ia lemparkan sebuntal pakaian.
"Lekas kau loloskan seragammu,"
Ia kata.
"Lekas kau tukar itu dengan pakaian ini. Kau tunggu sebentar, aku akan segera kembali."
Habis berkata, wanita itu keluar dari tumpukan rumput.
Segera terdengar suara berisik, dari serdadu-serdadu dan kuda mereka.
Suara berisik itu melintasi tegalan, tiba ke dekat tumpukan di mana Tan Hong menyembunyikan diri, tempat dari mana barusan si wanita muncul.
"Keke, adakah keke melihat satu perwira lari lewat di sini?"
Demikian Tan Hong dengar pertanyaan satu orang.
"Ya, aku lihat dia,"
Jawab si wanita tadi.
"Dia lari sangat cepat, aku tak dapat menyandak dia. Dia lari dari sini, terus kesana. Mungkin sekarang dia sudah melewati tangsi wanita dan telah sampai di depan."
Dengan berteriak-teriak.
"Mari! Mari!"
Serdadu pengejar itu lari ke arah yang ditunjuk, sebentar saja, suara mereka menjadi kurang berisiknya dan akhirnya lenyap, hingga kesunyian kembali di situ.
Tan Hong dapat menenangkan diri, ia mengintai dari tumpukan rumputnya itu.
Ia ditolong oleh cahaya api dari tangsi yang terdekat.
Ia periksa pakaian yang diberikan kepadanya.
Ia kenali itu adalah seragam dari serdadu wanita Mongolia.
Ia menjadi heran.
Teringat akan panggilan tentera tadi kepada si wanita, ia pun menjadi bingung.
Ia tahu apa artinya panggilan "keke"
Itu. Orang Mongolia, begitupun orang Manchu, kalau ia memanggil nona anggauta keluarga raja, maka mereka memanggilnya keke. Jadi wanita itu, nona itu, adalah dari keluarga agung. Sementara itu, ia bersangsi untuk pakaian itu.
"Apakah aku mesti menyamar sebagai serdadu wanita?"
Ia berpikir. Tapi ia ingin lolos dari kepungan, ia tidak bersangsi lama.
"Apakah kau sudah salin?"
Tak lama ia dengar suara si nona.
"Nah, sekarang kau sudah boleh keluar."
Tan Hong buntal pakaiannya, sambil bawa itu, ia munculkan diri. Si nona tertawa geli sekali.
"Mari turut aku!"
Katanya.
Terus dia bertindak.
Sekarang Tan Hong merasa bahwa ia seperti kenal nona ini, bahwa pernah ia melihatnya, hanya entah di mana, sesaat itu, tidak dapat ia mengingatnya.
Nona itu pergi kesebuah kemah ke dalam mana ia terus bertindak masuk.
Di dalam situ, semuanya adalah serdadu-serdadu wanita.
Sekarang baharulah Tan Hong insyaf kenapa ia disuruh salin pakaian.
Di tangsi wanita, tak boleh ada pria mencampurkan diri.
Pantas tadi pengejar-pengejarnya tidak menggeledah di situ.
Hanya sekarang, biar bagaimana, ia merasa jengah juga sebab begitu banyak mata wanita mengawasi padanya, agaknya mereka itu heran.
Terpaksa ia tunduk.
"Oh, keke sudah kembali?"
Demikian si nona ditanya beberapa serdadu wanita itu.
"Ada terjadi apakah di luar?"
"Kabarnya mereka menawan satu orang jahat,"
Jawab si nona.
"Kamu jangan usilan!"
Serdadu-serdadu wanita itu mengawasi pula Tan Hong tetapi mereka tidak ada yang berani menanyakan sesuatu.
Nona itu ajak Tan Hong ke sebuah kemah lain, begitu tenda dipentang, dari situ tersiar bau harum semerbak, yang membuat hatinya jadi terbuka.
Tan Hong lihat sebuah pedupaan kayu gaharu.
Di situ ada sebuah meja marmer serta satu meja kecil dari batu pekgiok.
Di atas meja kecil itu ada beberapa tangkai bunga bwee dalam sebuah tempat bunga.
Orang berada di tangsi tentera, tapi kemah diperlengkapi bagaikan kamar wanita, hanya sederhana.
Begitu berada di dalam, nona itu membuka ikat kepalanya.
Ia berpaling kepada si anak muda, matanya berkerling hidup.
"Tan Hong, masihkah kau kenal aku?"
Tiba-tiba ia menanya. Tan Hong memandang dengan tercengang. Sinar lilin di situ terang sekali, wajah si nona tampak tegas. Orang tengah mengawasi ia dengan sunggingan senyuman berseri-seri. Dengan lantas ia ingat.
"Kaulah Topuhua!"
Ia jawab. Nona itu manggut.
"Benar,"
Sahutnya.
"Sudah banyak tahun sejak kita berpisah, kau masih belum melupakan aku!"
Di dalam hatinya, Tan Hong mengeluh.
Topuhua adalah puterinya Yasian, kepala perang Watzu itu.
Dimasa kecilnya, Tan Hong pernah bermain-main bersama nona ini.
Setelah umur mereka tiga atau empat belas tahun, baharu mereka berpisahan.
Sebabnya ialah, di antara Thio Tjong Tjioe dan Yasian, mereka cuma baik di mulut, di hati berlainan, sedang mereka - Tan Hong dan Topuhua - sudah mulai mengerti urusan orang dewasa.
Nona itu tertawa ketika ia berkata.
"Aku ingat betul suatu kejadian semasa kita kecil. Itu hari aku dan kau pergi berburu di tepi air Yuching di kaki bukit Wuwang, selagi memandang air di mana ada bayangan kita, kau mengatakannya aku mirip pria dan aku bilang kau mirip wanita. Ingatkah kau itu?"
"Ya", sahut Tan Hong, cara sembarangan saja. Baharu saja ia menyahuti atau tiba- tiba si nona menarik tangannya, untuk membawa ia ke muka kaca.
"Kau lihat!"
Katanya sambil tertawa.
"Sekarang kau pakai pakaianku, kau lebih mirip lagi dengan wanita! Lihatlah!"
Wajah Tan Hong menjadi merah. Di dalam hatinya, ia kata.
"In Loei salin pakaian menjadi pria, aku justeru menyamar jadi wanita, jikalau dia ketahui perbuatanku ini, tidakkah ia mentertawakan aku?"
Topuhua tertawa pula.
"Pada malam di muka keberangkatan angkatan perang kita, ia berkata.
Dua Musuh Turunan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"aku telah dengar kabar kau sudah mencuri masuk ke Tionggoan. Hal kepergian kau itu ditanyakan kepada Thio Sinsiang, dia tidak mau memberi keterangan. Aku telah menyangka, selama hidup kita ini, kita tidak akan bertemu pula satu dengan lain, akan tetapi Allah telah memberkahinya, kita justeru bertemu di sini. Sudah banyak tahun kita tidak pernah bertemu, maka itu kali ini kau mesti berdiam untuk beberapa hari bersama aku di sini."
Tan Hong terperanjat.
"Mana dapat itu dilakukan?"
Katanya.
"Kenapa tidak?"
Topuhua tanya.
"Aku jamin tak akan ada orang yang ketahui kau! Umpama ada juga yang mengetahuinya, mereka semua ada orang kepercayaanku, tidak nanti mereka berani membuka rahasia."
Tan Hong menggoyangkan tangannya berulang-ulang. Mendadak saja nona itu perlihatkan roman sungguh-sungguh.
"Jikalau kau menampik, sekarang juga aku berteriak!"
Ia kata. Pemuda itu tidak membiarkan dirinya digertak.
"Baik, kau berteriaklah!"
Ia kata.
"Dengan sebenarnya aku beri tahu padamu, hari ini aku menjadi musuhmu, kau boleh belenggu aku, kau boleh serahkan aku kepada ayahmu! Aku telah memberanikan diri mendatangi tangsi tenteramu, karena aku tidak memikirkan pula jiwaku!"
Mendengar itu, si nona tertawa pula, nampaknya ia sangat manis dan menarik.
"Kau tertawakan apa?"
Tanya Tan Hong, gusar.
"Kau masih tetap bawa sifatmu semasa kanak-kanak,"
Sahut Topuhua.
"Kau selamanya suka jaili aku. Kau bilang kau adalah musuhku, aku sebaliknya tidak pandang kau sebagai musuh. Kau bilang kau tidak sayangi jiwamu, baiklah, sekarang aku tanya, kau pikirkan jiwa ayahmu atau tidak?"
Diam-diam Tan Hong terkejut.
"Ayahku masih ada di Watzu, dan di sana Yasian-lah yang berkuasa,"
Ia berpikir.
"Lagi pula, kalau nanti aku hendak mengacaukan bahagian dalam dari Watzu, aku membutuhkan bantuannya ayahku. Mengurbankan diri adalah perkara gampang, untuk membangun negara sesungguhnya sulit. Baiklah, aku bersabar."
Ia lantas tunduk. Topuhua mengawasi, ia menyangka orang telah menurut, kembali ia tertawa.
"Sebenarnya, apa sih yang tak baik untukmu tinggal bersama aku di sini?"
Dia tanya, suaranya manis.
"Tempatku ini, di mana juga dalam kalangan tentera Watzu, tidak nanti kau dapatkan keduanya terlebih menyenangkan."
Tan Hong berjingkrak.
"Apa?"
Tanyanya.
"Kau hendak suruh aku berdiam di sini?"
"Jikalau kau tidak tinggal di sini, habis di mana lagi?"
Si nona tertawa pula.
"Apakah kau hendak tinggal di luar rumah bercampur dengan serdadu-serdadu wanita? Kau tak usah takut ditertawai!"
Tan Hong berpikir keras.
Ia benar menghadapi kesulitan.
Memang, kalau mesti berdiam di dalam tangsi, ia mesti berdiam sama si nona.
Ia lantas ingat pula In Loei, kembali ia mengeluh dalam hatinya.
Topuhua lantas teriaki satu serdadunya untuk ambil setahang air panas.
"Pergi kau mandi di belakang kemah ini", katanya pada anak muda kita.
"Kau bersihkan tubuhmu dari kotoran tanah dan rumput, supaya tidak ada orang yang mencurigai kau. Tak usah kau malu-malu, di sini tidak ada orang melihat padamu."
Ia menarik tenda dari apa yang disebut kemah belakang itu, ke situ ia tolak masuk tubuh Tan Hong, habis mana, tenda itu ditutup pula rapat-rapat, sampai angin pun tak dapat masuk.
"Sekarang baharulah hatiku tetap!"
Masih menggoda si nona.
"Kalau sebentar kau telah selesai mandi, aku masih hendak bicara denganmu."
Tan Hong sementara itu mengasah otaknya, guna memikirkan daya untuk meloloskan diri.
Sekian lama ia telah berpikir, belum juga ia memperoleh akal.
Hal ini membuatnya ia masgul.
Pada waktu itu ia dengar tanda waktu dalam tangsi, kentongan dibunyikan dua kali.
Jadi sudah jam dua.
Berbareng dengan itu, satu serdadu wanita bertindak masuk.
"Keke, Thaysoe datang menjenguk,"
Dia memberitahukan.
"Silakan Thaysoe masuk", sahut Topuhua. Baharu saja serdadunya keluar, nona ini sudah tertawa pula.
"Kau jangan terbitkan suara apa-apa, aku tak akan memberitahukan ayah tentang kau!"
Ia kata. Tentu saja kata-kata ini ditujukan kepada si anak muda. Jantung Tan Hong memukul. Ia memasang kuping. Sebentar kemudian terdengarlah tindakan kaki. Itulah Yasian.
"Ayah,"
Topuhua sambut ayahnya itu.
"kabarnya malam ini ayah hendak menyuruh raja Beng melayani kau minum arak, kenapa sekarang kau sempat menjenguk aku? - Ah, ada urusan apakah, ayah? Kau nampaknya tidak gembira....."
Tan Hong menahan napas. Ia dengar suaranya Yasian.
"Apa yang terjadi malam ini sungguh di luar dugaanku!"
Kata menteri itu.
"Bagaimana, ayah?"
"Aku tadinya anggap kaisar Beng seorang yang takut mati,"
Berkata pula Yasian.
"aku percaya, bila dia sudah menakluk, dapat aku gunakan ia sebagai kaisar untuk mempengaruhi menteri-menterinya. Aku pikir, itu waktu, kita sudah punyakan wilayah kerajaan Beng. Tapi dugaanku itu keliru. Dia membangkang atas titahku itu, dia tidak menghadiri pesta....."
Topuhua heran.
"Benarkah dia begitu bernyali besar?"
Dia tanya.
"Benar,"
Jawab sang ayah.
"Sungguh aku tidak sangka."
Mendengar itu, Tan Hong girang bukan kepalang.
"Kie Tin masih punyakan semangat,"
Ia berkata di dalam hatinya.
"Dia menang banyak dibanding dengan dua kaisar ahala Song. Nyata dia tidak mensia-siakan lelahku ini."
"Tidak sukar bagiku membinasakan dia,"
Neraka Hitam -- Khu Lung Bara Maharani -- Khu Lung Raja Naga 7 Bintang -- Khu Lung