Ceritasilat Novel Online

Dua Musuh Turunan 16


Dua Musuh Turunan Karya Liang Ie Shen Bagian 16



Dua Musuh Turunan Karya dari Liang Ie Shen

   

   Ouw Bong Hoe sangat mendongkol, karena mana tiga kali ia membalas menyerang secara dahsyat, secara berani ia mendesak, jari-jari tangannya yang liehay bekerja.

   Ia selalu mencari jalan darah Tan Hong.

   Anak muda itu cerdik, selagi didesak, ia perkecil kalangan pembelaannya, ia membuat dirinya seperti terkurung pedangnya, hingga biarpun dia sangat kosen, tidak dapat Ouw Bong Hoe memecahkan kurungan itu, hingga sia-sia saja penyerangan membalas itu.

   Sang waktu berjalan cepat, kedua pihak telah berkelahi sampai kira-kira delapan puluh jurus.

   Di pihak Thian Hoa, dia dapat membuat Lim Sian In main mundur.

   Adalah dipihak Ouw Bong Hoe, Tan Hong yang main mundur, tetapi dia tetap kuat dengan pembelaan dirinya.

   Kembali Thian Hoa tertawakan orang she Ouw itu.

   "Bagaimana, Ouw Laodjie?"

   Serunya mengejek.

   "Sudah hampir seratus jurus! Apa masih tetap kau tidak sanggup mengalahkan muridku?"

   Ouw Bong Hoe menjadi malu sendirinya, karena tak dapat merubuhkan satu lawan dari tingkatan lebih muda.

   Ia pun menjadi berkuatir karena menampak Lim Sian In didesak musuh yang mulutnya jail itu.

   Maka ia pikir baiklah jangan dilanjutkan pertandingan itu.

   "Tjia Thian Hoa,"

   Ia lantas menyahuti.

   "muridmu ini memang tidak kecewa! Hanya aku lihat, kepandaianmu juga tak lebih tinggi daripadanya! Kau tahu, aku biasa menyayangi anak-anak muda yang kepandaiannya sempurna, dan itu suka aku membiarkan dia dapat bernapas. Sudah, Thian Hoa, hari ini baiklah pertandingan jangan dilanjutkan. Lain hari saja hendak aku mohon pengajaran dari kau sendiri..."

   Untuk membuktikan kata-katanya itu. Ouw Bong Hoe lompat mundur, untuk keluar dari kalangan. Perbuatannya ditelad Lim Sian In, habis mana, bersama-sama mereka lantas menyingkir ke arah barat utara. Tjia Thian Hoa biarkan orang angkat kaki.

   "Eh, Tan Hong, dari mana kau peroleh kepandaianmu?"

   Guru ini tanya muridnya. Ia bicara sambil tertawa.

   "Lagi dua tahun maka aku tidak berani menjadi gurumu pula!"

   Lalu ia teruskan kepada Tiauw Im Hweeshio, soeheng-nya itu.

   "Hari ini kita menang di atas angin, tetapi ilmu silat mereka benar-benar jarang nampak di dalam Rimba Persilatan. Muridnya demikian liehay, maka dapatlah dimengerti entah bagaimana liehaynya Siangkoan Laokoay sendiri! Guru kita tidak sudi bertempur dengan Siluman Tua itu, maka aku kuatir, aku berdua soemoay-mu pun mungkin rubuh di tangannya..."

   Tan Hong hendak tuturkan gurunya bahwa ia telah mendapatkan kitab Pheng Hoosiang, akan tetapi sebelum ia sempat bicara, ia heran menampak muka Tiauw Im Hweeshio menjadi suram dengan mendadak.

   "Hm, kau masih ingat soehoe?"

   Katanya, suaranya dalam. Thian Hoa heran.

   "Soeheng, apa katamu?"

   Dia tanya.

   "Aku tadinya menyangka hari ini kau tidak akan datang..."

   Kata soeheng itu. Ia tidak gubris pertanyaan orang.

   "Apakah soeheng sesalkan aku datang terlambat?"

   Tanya soetee itu. Masih Tiauw Im tidak sahuti adik seperguruan itu, ia hanya menoleh kepada In Loei, keponakan muridnya itu.

   "Eh, In Loei, kebetulan sekali kau datang kemari!"

   Katanya.

   "Kau tahu hari ini tanggal berapa?"

   Si nona tercengang.

   Ia berada di dalam perjalanan, ia sampai lupa tanggal.

   Ia ingat sudah dua malam rembulan bercahaya terang, maka ia menduga, kalau bukan tanggal lima belas tentu tanggal enam belas.

   Belum sampai ia menyahut, Tan Hong telah mendahuluinya.

   "Hari ini tahun Tjengtong Capgwee Caplak!"

   Kata keponakan murid yang lelaki.

   Sekonyong-konyong saja In Loei ingat hari ini, Capgwee Caplak, tanggal enam belas bulan sepuluh, adalah hari dari tahun yang ke sepuluh meninggalnya kakeknya yang sangat menderita itu.

   Ia sudah seperti melupakan hari peringatan itu, atau sekarang hari itu nampak sangat nyata, maka tidak terasa lagi, air matanya turun bercucuran...

   Baharu sekarang Tiauw Im menoleh kepada adik seperguruannya.

   "Tjia Thian Hoa,"

   Ia berkata.

   "pada sepuluh tahun yang lampau itu, apakah yang kita bicarakan di sini?"

   Tanpa bersangsi, Tjia Thian Hoa menjawab.

   "Hari itu kita berdua berjanji saling menepuk tangan! Kita berjanji, yang satu merawat si anak piatu, yang satu lagi menuntut balas. Kau berjanji untuk membawa cucu perempuan dari In Tjeng kepada soemoay, untuk dirawat sampai menjadi manusia, dan aku berjanji akan pergi ke Watzu untuk membunuh Thio Tjong Tjioe!"

   Tiauw Im angkat kepalanya dengan jumawa, ia tertawa dingin.

   "Jadi kau masih ingat janji kita dengan terang sekali!"

   Katanya pula.

   "In Loei, mari sini!"

   Nona In menghampiri dua tindak.

   "Kau lihat!"

   Berkata pendeta itu kepada adik seperguruannya.

   "Inilah bocah cilik yang dahulu dan sekarang telah menjadi begini besar dan kenamaan sebagai ahli pedang! Dengan begini selesailah tugasku! Kau? Bagaimana dengan kau? Kau bawa atau tidak kepala Thio Tjong Tjioe?"

   "Tidak!"

   Sahut Thian Hoa dengan tenang.

   "Hm!"

   Si pendeta perdengarkan ejekannya.

   "Nyatalah kau kemaruk kekayaan dan kemuliaan, tanpa tahu malu kau telah bekerja untuk musuh!"

   Membarengi kata-katanya itu, Tiauw Im serang soetee-nya dengan tongkatnya. Hebat serangan itu, tongkat sampai perdengarkan angin menderu. Thian Hoa berkelit, ia lolos dari serangan tongkat itu.

   "Sabar!"

   Ia berkata.

   "Mana soemoay? Datangkah dia kemari?"

   Tapi Tiauw Im menjadi bertambah gusar, meluap hawa amarahnya.

   "Kau berani mengandalkan kepandaianmu untuk menghina soeheng-mu?tt dia berteriak.

   "Aku tidak membutuhkan bantuan soemoay1. Aku hendak menghajar kau dengan tiga ratus tongkatku ini! Jikalau benar kau berani melawan yang lebih tua, hunuslah pedangmu, bunuhlah aku!"

   "Bukan, bukan maksudnya,"

   Jawab Thian Hoa, sang soetee.

   "Aku duga kau dan soemoay datang bersama. Kenapa dia tidak kelihatan?"

   Memang Tiauw Im telah menjanjikan soemoay-nya, adik seperguruannya, Yap Eng Eng, guru In Loei, untuk pergi ke Ganboenkwan, guna mencari Tjia Thian Hoa, oleh karena kudanya lebih kuat larinya, ia sampai terlebih dahulu daripada soemoay itu.

   Tapi ia menjadi heran, mengapa sang soemoay masih belum tiba, sedang seharusnya dia sudah mesti sampai.

   Maka itu ditanya Thian Hoa, ia melengak.

   "Mari kita tunggu tibanya soemoay, baharu kita bicara pula!"

   Kata Thian Hoa.

   "Nanti dapat kita bicara jelas."

   Kembali bangkit hawa amarahnya si pendeta.

   "Ha, kiranya di matamu sudah tidak ada soeheng-mu ini!"

   Dia berteriak.

   Dia sangka, karena soetee itu mendesak menantikan Vap Eng Eng, dia jadi tidak dipandang.

   Dan sambil membentak, dia menyerang pula.

   Menuruti tabeatnya itu, Tiauw Im menyerang terus menerus sampai tujuh atau delapan kali, hingga Thian Hoa hanya menyeringai, berduka dan malu.

   Dengan terpaksa soetee ini gunakan kepandaiannya, untuk menghalau diri, dengan berkelit atau menangkis, akan achirnya, menahan turunnya tongkat.

   "Tan Hong, kebetulan kau datang di sini!"

   Katanya pada muridnya.

   "Coba kau bicara dengan djiesoepee-mu ini!"

   "Urusan Tan Hong telah aku mengetahuinya lebih dari separuhnya"

   Tiauw Im mendahului keponakan muridnya.

   "Dia memang tak kecewa menjadi satu laki-laki sejati! Akan tetapi ayah adalah ayah, anak adalah anak, di mana naga beranak sembilan macam, ayah, anak dan saudara-saudara pun berbeda satu sama lain! Thio Tjong Tjioe sudah menakluk kepada bangsa Watzu, dia menjadi menteri muda, dialah penghianat dan dorna yang telah bekerja sama dengan musuh! Perbuatannya itu tidak ada sangkut pautnya dengan Tan Hong! Aku cuma hendak menegurmu karena kesalahanmu, yang sudah melanggar janji dan sumpah kita!"

   Merocos bagaikan petasan demikian kata-kata si pendeta, yang mengumbar isi perutnya yang panas.

   Dan belum habis ia bersuara, tongkatnya sudah menyerang pula! Memang Hokmo thunghoat, sekali dipakai menyerang, mesti saling susul tak hentinya, umpama gelombang menyusun gelombang, maka juga Tiauw Im ini, agaknya, kecuali tongkatnya dirampas, tidak akan mau berhenti.

   Thian Hoa terus menerus berkelit, ia masih saja tertawa meringis.

   Tan Hong pun bingung, tak tahu ia mesti mengucapkan apa.

   Selagi Tjia Thian Hoa berada dalam kesulitan, tiba-tiba terdengar suatu suara luar biasa, yang seperti mengaung lewat di udara.

   Suara itu mirip dengan terompet orang Ouw akan tetapi terlebih keras.

   Mendengar suara itu, muka In Loei menjadi pucat.

   "Toako, mari turut aku!"

   Ia segera berkata kepada Tan Hong.

   "Ada apakah?"

   Tanya si anak muda.

   Selagi anak muda ini menanya In Loei, Tjia Thian Hoa telah menyampok tongkat Tiauw Im Hweeshio, setelah mana ia enjot tubuhnya, untuk lompat mencelat, bagaikan burung menembusi rimba, demikian ia tiba di samping kudanya Tiauw im.

   Kuda putih itu nampaknya kaget, dia angkat kepalanya, dia merangsang dengan kedua kaki depannya, tetapi Thian Hoa, tanpa pedulikan itu, sudah lompat naik ke bebokongnya, sedang pundaknya, yang dicekal, lantas ditepuk perlahan-lahan.

   Segera kuda itu lari, sambil meringkik tak hentinya, seperti orang yang tidak suka tunduk kepada penunggangnya yang asing ini.

   Tiauw Im menjadi sangat gusar.

   "Kau berani bawa kabur, kudaku!"

   Dia berteriak.

   Thian Hoa merasa lucu mendengar suara soeheng-nya.

   Kuda itu toh ia yang mencurinya, untuk si soeheng menyingkirkan diri dari bahaya, sekarang soeheng itu membuka mulutnya tanpa berpikir lagi! In Loei pun sudah lompat naik ke kudanya, yang ia kaburkan keras, selagi kabur, tak hentinya ia berpaling ke belakang, kepada Tan Hong, berulang-ulang, untuk diajak lari bersama, seperti tadi ia mengajak sahabat itu.

   "Tan Hong, mari pinjamkan kuda putihmu kepadaku!"

   Kata Tiauw Im pada keponakan muridnya itu. Ia hendak pinjam kuda orang, untuk mengejar Thian Hoa. Tan Hong sahuti paman guru itu sambil tertawa.

   "Djiesoepee, hari ini kau sangat lelah, baiklah kau beristirahat"

   Demikian keponakan murid ini.

   "Sebentar aku datang menengok pula padamu!"

   Dan ia lompat naik ke atas kudanya, untuk terus kabur, guna menyusul In Loei.

   Bukan kepalang mendongkolnya paman guru ini, karena ia merasa tidak dihiraukan, saking penasaran, terpaksa ia lari kepada kuda Thian Hoa, untuk dipakai mengejar.

   Ketiga kuda itu jempolan, bukan saja larinya sudah terlebih dahulu, juga larinya sangat pesat, maka itu, meski kuda Thian Hoa bukan kuda jelek, kuda ini tidak sanggup menyusul ketiga kuda itu.

   Inilah menyebabkan si pendeta mendongkol terus menerus.

   Tjiauwya saytjoe ma adalah yang paling kencang larinya, dalam sekejap saja Tan Hong sudah dapat menyandak gurunya, habis itu ia disusul In Loei.

   Kuda putih Thian Hoa ini jempol, dia pun dapat mengendalikannya, tetapi kuda itu sendiri masih penasaran rupanya, di sepanjang jalan masih membandel saja, demikian maka In Loei pun dapat menyandaknya.

   "Soehoe, ada apa?"

   Tan Hong tanya gurunya itu.

   "Pergilah kau terlebih dahulu bersama Nona In"

   Sahut sang guru.

   
Dua Musuh Turunan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Sekarang ini kau, jangan terlalu banyak bertanya..."

   Tan Hong menurut, ia tepuk kudanya, untuk dilarikan, guna menyusul In Loei, siapa telah lari terus, hingga pada saat itu, ia telah melewati jauh kedua guru dan murid itu.

   Diudara masih terdengar suara luar biasa tadi, satu panjang dan satu pendek, terdengarnya makin lama makin nyata.

   In Loei lari terus, didampingi Tan Hong.

   Tjiauwya saytjoe ma sudah lantas menyusul kuda merah si nona.

   Suara aneh itu masih terdengar baharu kemudian lenyap...

   In Loei heran, mukanya pucat pasi.

   "Eh, toako, kenapa suara itu lenyap?"

   Ia tanya Tan Hong. Ia awasi pemuda itu, ia pasang kupingnya. Tan Hong heran, tak dapat ia berdiam lebih lama lagi.

   "Adik kecil,"

   Tanyanya.

   "Urusan apakah ini sebenarnya? Kenapa kau nampaknya sangat ketakutan?"

   "Guruku menghadapi malapetaka!..."

   Sahut si nona akhirnya. Tan Hong kaget sekali.

   "Gurumu?"

   Ia balik menanya.

   "Benar!"

   Jawab In Loei.

   "Itulah tanda bahaya dari guruku. Cuma aku dan samsoepee yang kenal suara pertandaan itu!"

   Tan Hong tetap heran.

   "Gurumu sangat liehay, di jaman ini, cuma beberapa orang saja yang sanggup menempur dia maka heranlah aku, kenapa dia dapat menghadapi bahaya?"

   Berkata Tan Hong.

   "Aku pun tidak mengerti, tetapi itu benar tanda bahaya daripadanya!"

   In Loei menyahuti.

   Di gunung Siauwhan San tumbuh semacam pohon bambu, kalau batang bambu itu dibuatnya sebagai seruling, kalau ditiup, suaranya nyaring dan tajam, suara itu dapat didengar sampai sepuluh lie jauhnya.

   Hoeithian Lionglie liehay tenaga dalamnya, maka dengan meniup seruling itu, dia dapat perdengarkan hingga dua kali lipat jauhnya, sampai kira-kira dua puluh lie, sedang suara itu diperdengarkan di tanah pegunungan yang sunyi.

   Tadinya, semasa ia belum berlatih dengan duduk bercokol menghadapi tembok, untuk menjalankan hukuman gurunya, Yap Eng Eng gunakan seruling itu sebagai alat tetabuhan biasa, sebagai mainan saja.

   Waktu itu secara memain ia berkata pada Thian Hoa, umpama kata dikemudian hari ia menemui sesuatu bencana, akan ia tiup serulingnya itu sebagai tanda bahaya, untuk memohon bantuan.

   Kemudian, ketika In Loei naik ke gunung untuk menuntut pelajaran pada gurunya ini, selama sepuluh tahun, antara mereka berdua, guru dan murid, tidak ada soal yang tidak dibicarakan, maka itu, In Loei mengetahui hal seruling itu.

   Itulah suara seruling yang In Loei dan Tjia Thian Hoa dengar sebagai suara yang luar biasa, yang mengalun jauh diudara, maka itu keduanya menjadi kaget, lantas mereka lari kabur meninggalkan Tiauw I m Hweeshio.

   Suara seruling itu berhenti dengan tiba-tiba, itulah tanda bahwa Yap Eng Eng mungkin sudah menghadapi bencana hebat atau jiwanya telah melayang, kalau tidak, mesti dia masih sanggup meniupnya terus.

   Tan Hong bercekat apabila ia mendengar keterangan Nona In.

   Tiba-tiba ia ingat Siangkoan Thian Ya berada di gunung di perbatasan antara Mongolia dan Thibet.

   Ia merasa pasti, kecuali gurunya sendiri, Hian Kee Itsoe, cuma Siangkoan Thian Ya seorang yang sanggup lawan Hoeithian Lionglie.

   Mungkinkah Siangkoan Thian Ya berada di sini dan dia menyusahkan Yap Eng Eng? Tapi dia berkedudukan di tingkat atas, sulit untuk mempercayai kedatangannya dari tempat ribuan lie hanya untuk mengganggu gurunya In Loei.

   Habis, kalau bukan dia, siapa lagi? Apa yang ia pikirkan, Tan Hong utarakan pada Nona In.

   In Loei pun sependapat dengannya.

   Keduanya menjadi sangat bingung, apapula In Loei, yang menjadi berkuatir.

   Dengan berhentinya suara seruling, sukar untuk mereka mencari arah dari mana tadi suara seruling itu datang.

   "Toako, bagaimana sekarang?"

   In Loei tanya.

   Yang sukar, suara tadi mengalun di udara, coba datangnya dari bawah, tentu lebih mudah mencarinya.

   Dalam keadaan bingung dan berkuatir, tiba-tiba mereka lihat dua penunggang kuda di depan mereka.

   Mereka kenali, kedua orang itu adalah Ouw Bong Hoe dan Lim Sian In.

   Kuda mereka lari sangat pesat, dengan tidak disengaja, mereka telah dapat menyusul soeheng dan soemoay itu.

   Ouw Bong Hoe berpaling, dia tertawa.

   "Eh, Thio Tan Hong, apakah kamu menyusul kami untuk bertempur pula?"

   Dia tanya. Tan Hong tidak menjadi gusar.

   "Tidak,"

   Ia menjawab dengan tenang.

   "Aku hanya ingin bertanya apakah di wilayah ini berdiam seorang berilmu..."

   Masih orang she Ouw itu tertawa.

   "Mana mungkin orang berilmu dapat kau ketemukan?"

   Katanya, mengejek.

   "Aku tidak peduli dia suka menemui aku atau tidak, aku hendak minta kau ajak aku pergi padanya, itu juga kalau kau suka menjadi pengantar kami,"

   Kata Tan Hong.

   "Kau sungguh seorang yang kenal adat istiadat!"

   Berkata Ouw Bong Hoe. Ia kewalahan karena orang tidak dapat dipancing kegusarannya. Ia lantas berpaling kepada Lim Sian In, lalu berkata.

   "Sammoay, coba kau tolong menanyakannya."

   Kimkauw Siantjoe tidak menjawab soeheng itu, ia hanya perdengarkan suitan panjang, atas mana, tak lama berselang, ia mendapat penyahutan yang bersamaan, hanya suara ini jauh lebih nyaring dan berpengaruh, suatu tanda, bahwa orang yang mengeluarkan suara itu sempurna tenaga dalamnya.

   Mendengar jawaban itu, Lim Sian In menggelengkan kepala.

   "Hari ini orang berilmu itu tidak sudi menemui siapa juga!"

   Ia kata. Tan Hong tidak bilang suatu apa, akan tetapi ia telah mendengar nyata. Suara itu datangnya dari bukit yang berdekatan.

   "Terima kasih untuk kebaikanmu!"

   Katanya pada kedua orang itu sambil menunjukkan hormatnya. Terus ia menoleh pada In Loei.

   "Mari, soemay"

   Ia mengajak. Keduanya lantas meninggalkan Ouw Bong Hoe dan Lim Sian In.

   "Hai!"

   Si Nona Lim memanggil.

   "Kamu belum mendapat ijin, tetapi sudah lancang hendak mendaki bukit, apakah kamu hendak cari mampus? Ingat, kamu masih berusia sangat muda, sayang jikalau kamu sampai mati..."

   Tan Hong dan In Loei tidak pedulikan kata-kata orang itu, mereka larikan terus kuda mereka, hingga di lain saat tibalah mereka di kaki bukit yang mereka tuju.

   Sekarang sesudah berjauhan dengan Ouw Bong Hoe dan Lim Sian In, mereka jalankan kuda mereka perlahan-lahan, dan akhirnya mereka lompat turun dari kuda mereka, untuk mendaki bukit dengan berlari-lari dan berlompatan, dengan menggunakan kepesatan tubuh mereka.

   Sebentar kemudian sampailah mereka di tengah perjalanan memanjat, mereka merasakan siuran angin halus, yang membawakan harum bunga segar, hingga hati mereka menjadi rawan.

   "Inilah bau harum yang biasa dipakai guruku,"

   Berkata In Loei, yang hatinya menjadi sedikit lega.

   "Untuk mendapatkan harum wangi yang ia gemari, soehoe membuatnya sendiri air wangi Pekhoa hiang."

   Lega hati Tan Hong mendengar keterangan In Loei ini.

   Teranglah Hoeithian Lionglie berada di gunung itu.

   Maka tidak ayal lagi, terus lari naik.

   In Loei lari mengikuti, sampai mereka tiba di puncak gunung.

   -ooo00dw00ooo- Bab XXIV Di atas gunung itu ada sebuah kelenteng, di samping kelenteng ada sekelompok hutan bambu, yang terkurung dengan tembok merah.

   Bagus pohon-pohon bambu itu yang tingginya melewati tembok.

   Suasana di situ sangat tenteram.

   Dan di situ, pemuda dan pemudi ini dapat mencium harum tadi, semakin keras.

   "Kenapa tidak terdengar suara senjata beradu?"

   Tanya Tan Hong. Ia seperti bicara seorang diri. Nona In juga heran sekali, ia menjadi curiga, maka ia lantas hunus pedangnya, setelah mana ia enjot tubuhnya untuk meloncat naik.

   "Di sini ada orang berilmu yang tertua, jangan sembarangan..."

   Tan Hong nasehati. Tapi sudah kasip. Ingin ia menjambret si nona, tetapi tidak keburu. In Loei sudah sampai di atas tembok. Berbareng dengan gerakan In Loei terdengar tertawa dingin disusuli bentakan.

   "Lepaskan pedangmu!"

   Itulah bentakan yang suaranya halus, seperti suara wanita.

   In Loei terkejut, pedangnya seperti tersampok, tubuhnya pun limbung, hampir ia rubuh terpeleset, syukur ia sudah cukup terlatih, pedangnya tidak terlepas, tubuhnya tidak rubuh.

   Ketika ia berpaling, ia lihat Tan Hong pun sudah lompat naik dan roman si anak mudapun berubah seperti ia sendiri.

   Juga pemuda itu mendengar bentakan "Lepaskan pedangmu!"

   Dan merasakan sampokan, akan tetapi ia lebih liehay daripada In Loei, ia tidak sampai terhuyung.

   Hanya ia dibarengi dengan serangan senjata rahasia, hingga ia mesti berkelit sambil menangkis.

   Untuk herannya dan kagetnya, ia dapatkan senjata rahasia itu adalah daun bambu, yang ujungnya lancip seperti bekas diraut, dan karena serangan itu, tangan bajunya sampai berlobang! Tan Hong kaget dan bergidik, karena tentang senjata rahasia semacam itu, pernah ia mendengar dari gurunya.

   Senjata rahasia daun bambu itu dibubuhi kata-kata "Memetik daun, menerbangkan bunga, sekali melukai, mesti orang mati segera."

   Dan inilah baharu pertama kali ia melihat senjata rahasia yang istimewa itu, yang membutuhkan latihan tenaga dalam yang luhur sekali.

   Ketika Tan Hong lihat pedangnya In Loei, kembali ia jadi heran.

   Bahagian yang tajam dari pedang si nona itu seperti dilapok daun bambu.

   Itulah aneh, mengingat ketajaman pedang itu, yang dapat dipakai memapas besi, tetapi daun saja tak dapat dipotong...

   Kemudian terdengar dari dalam pohon bambu helaan napas seperti yang mengagumi kepandaian pemuda dan pemudi itu.

   Tan Hong yang tahu diri sudah lantas perdengarkan suaranya.

   "Teetjoe adalah Thio Tan Hong dan In Loei,"

   Demikian ia berkata.

   "Kebetulan saja kami lewat di sini, tidak tahu kami bahwa ada tjianpwee, maka itu kami mohon maaf untuk kelancangan kami..."

   Menyahuti suara Tan Hong itu, terdengar pertanyaan dan titah yang keluar dari suara yang membentak tadi.

   "Apakah kamu murid-muridnya Hian Kee Itsoe? Baik, kamu boleh lompat turun!"

   "Maaf!"

   Kata Tan Hong meski ia belum melihat rupa orang, lalu bersama-sama In Loei ia lompat turun ke sebelah dalam tembok.

   Segera setelah tiba di dalam kelompok pohon bambu itu, di mana ada lapangan terbuka, kedua orang ini menyaksikan pemandangan yang mengherankan mereka.

   Mereka tampak dua orang wanita sedang bertarung.

   Yang satu seorang wanita dari usia pertengahan yang romannya cantik, yang lainnya satu nyonya tua yang rambutnya beruban! Tapi In Loei menjadi sangat girang.

   "Soehoe"

   Dia berseru.

   "Apakah soehoe baik! Inilah teetjoe."

   Si nyonya usia pertengahan, yang sedang bertempur hebat, cuma perdengarkan suara "Ai..."

   Lalu ia berkelahi, agaknya tidak berani ia mengganggu pemusatan pikirannya.

   Dengan mendengar panggilan In Loei, tahulah Tan Hong bahwa si nyonya usia pertengahan itu adalah Hoeithian Lionglie Yap Eng Eng, guru kawannya itu.

   Sudah lama ia dengar namanya bibi guru itu, yang ilmu pedangnya kesohor seperti ilmu pedang gurunya, baharu sekarang ia lihat romannya, maka dengan sendirinya ia lantas menaruh perhatian.

   Yap Eng Eng menggunakan pedang Tjengkong kiam yang umum, cara bersilatnya sama seperti cara In Loei, dia cuma menang gesit dan pesat, menang berlipat kali daripada muridnya itu.

   Pun aneh, pedang dimainkan begitu sebat tetapi suara anginnya tidak terdengar, jadi gerakan itu mirip dengan "hengin lioesoei"

   Atau "mega melayang air mengalir."

   "Benar-benar hebat!"

   Tan Hong memuji dengan kekaguman.

   "Sayang soehoe belum tiba, kalau tidak, dengan siangkiam happek, mesti si nyonya tua dapat dipecundangkan..."

   Dua Musuh Turunan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Memang, Yap Eng Eng sudah liehay luar biasa, akan tetapi lawannya, tak perduli usianya telah lanjut, masih menang di atas angin, sedang senjata nyonya tua itu pun adalah sebatang bambu yang diraut mirip dengan pedang yang tajam.

   Kelihatannya si nyonya tua didesak, dikurung sinar pedang, akan tetapi sebenarnya, dialah yang lebih membahayakan lawannya! Cara bagaimana Hoeithian Lionglie bisa sampai di rimba bambu itu? Sebenarnya pikirannya sedang kusut.

   Dia turun gunung atas ajakan Tiauw Im Hweeshio, adik seperguruannya.

   Dia diminta Tiauw Im untuk mencari Tjia Thian Hoa, guna menegur soetee itu.

   Tiauw Im memberitahukan, apabila terbukti Tjia Thian Hoa telah berhianat, mendurhakai gurunya dengan menakluk kepada musuh, dia mesti membantu soeheng itu mengepung Thian Hoa, untuk disingkirkan dari dunia.

   Dengan Thian Hoa itu dia justeru mempunyai perhubungan istimewa.

   Sudah dua belas tahun keduanya berpisah, masih mereka memikirkan satu pada lain.

   Dia ketahui baik sifatnya Thian Hoa, seorang halus budi pekertinya dan teliti, berpikir panjang, tidak seharusnya Thian Hoa menakluk kepada musuh.

   Atau bila itu benar ia menghamba kepada Thio Tjong Tjioe, itu mesti ada sebabnya.

   Tapi, sebelum dia peroleh kepastian, tidak dapat dia menolak ajakan Tiauw Im si sembrono itu.

   Maka, tanpa membelai Thian Hoa lagi, ia turut Tiauw Im turun gunung.

   Setibanya Yap Eng Eng di kota Ganboenkwan, pikirannya menjadi bertambah kusut.

   Kesatu karena segera dia harus bertemu dengan kekasihnya itu, dan kedua dia kuatirkan kesudahannya apabila Thian Hoa menjelaskan segala apa.

   Jikalau Tiauw Im turun tangan, apa dia mesti turun tangan juga, atau berdiam saja? Inilah yang membikin dia sulit.

   Akhirnya dapat juga dia gunakan otaknya.

   Dia lantas menggunakan akal.

   Malam itu di rumah penginapan dalam kota Ganboenkwan, Eng Eng beritahu Tiauw Im bahwa dia kurang sehat pertama disebabkan dia telah melakukan perjalanan jauh, kedua karena pertukaran hawa udara, yang kurang tepat untuk dirinya.

   Maka malam itu dia hendak bersamedhi, untuk memusatkan pikirannya, guna memulihkan kesehatannya itu.

   Karenanya, dia kuatir dia nanti tidak dapat bangun pagi-pagi.

   Maka andaikata dia kesiangan, dia minta Tiauw Im suka berangkat terlebih dulu, nanti dia menyusul.

   Tapi sebenarnya, malam itu belum jam empat, dia telah mendahului Tiauw Im meninggalkan rumah penginapan.

   Dia ingin sampai lebih dahulu di tempat yang dijanjikan, supaya dia dapat bertemu dengan Tjia Thian Hoa berdua saja, agar dia dapat ketika meminta keterangan jelas dari Thian Hoa mengenai duduknya hal, supaya dia dapat menimbang dan mengambil putusan.

   Dia percaya Thian Hoa tengah melakukan tugas yang dirahasiakan, yang tak dapat diberitahukan kepada Tiauw Im.

   Dia percaya, terhadap dirinya, Thian Hoa suka menuturkan segala apa.

   Tiauw Im toh seorang yang sembrono, tidak seperti soemoay ini yang teliti.

   Tiauw Im turuti kehendak soemoay itu, ketika besoknya ia berangkat, ia menyangka Yap Eng Eng masih tidur di dalam kamarnya...

   Dalam hal enteng tubuh, antara saudara-saudara seperguruannya, Yap Eng Eng adalah yang paling liehay, maka itu, waktu berangkat jam empat, setelah terang tanah dia sudah sampai di Ganboenkwan.

   Dia berjalan terus, karena ingin segera bertemu dengan Thian Hoa.

   Dia berangkat terlalu pagi, dia pun lari dengan cepat, ini dia ketahui, dari itu dia tertawa sendirinya karena dia masih belum bertemu saudaranya meski dia sudah maju terlebih jauh.

   Ketika dia perlahankan tindakannya, dia mulai memasuki sebuah lembah, ialah lembah atau selat yang merupakan jalan penting untuk wilayah Watzu memasuki daerah Ganboenkwan.

   Bagus hawa udara di dalam lembah itu, permai juga pemandangannya.

   Bunga-bunga bwee tengah mekar.

   Sambil memandangi keindahan alamnya, di situ Yap Eng Eng diam menantikan Tjia Thian Hoa.

   Dia menjadi lebih tertarik ketika hidungnya mencium bau harum yang terbawa angin halus, yang membuat hatinya lega.

   Eng Eng ingat harum bau itu pernah memasuki kamar bersemedhi Hian Kee Itsoe, gurunya.

   Ketika itu, Eng Eng merasa heran atas kesukaan gurunya itu.

   Guru itu sudah berusia tujuh puluh tahun, mengapa dia masih gemar akan bau-bauan? Tentu saja, sebagai murid, tidak berani ia minta keterangan dari gurunya itu.

   Sekarang, di dalam lembah, Eng Eng dapat mencium bau yang ia kenal baik itu.

   Ia menjadi heran sekali.

   Ia dongak, akan melihat cuaca.

   Ia dapatkan waktu masih jauh untuk sampai kepada tengah hari, maka ia lantas bertindak, akan mengikuti bau harum itu.

   Setelah sampai di atas ia tampak sebuah rumah berhala untuk niekouw, pendeta wanita, dan di samping rumah suci itu ada hutan bambunya.

   Dari dalam hutan bambu itulah keluarnya bau harum itu.

   Dengan perlahan Yap Eng Eng bertindak ke arah rimba.

   Tiba-tiba dia peroleh pengalaman seperti In Loei dan Tan Hong.

   Dengan sekonyong-konyong orang membokong ia dengan senjata rahasia - senjata rahasia daun bambu itu.

   Tentu sekali, ia tidak dapat dilukai.

   Karena ini tahulah ia, di dalam rimba itu, mesti berdiam seorang berilmu, mungkin dia sedang bertapa.

   "Teetjoe adalah murid Hian Kee Itsoe,"

   Ia lantas perkenalkan diri. Ia pun hentikan tindakannya.

   "Teetjoe mohon bertanya she dan nama atau gelaran tjianpwee..."

   Di luar dugaan Eng Eng, di hadapannya segera muncul seorang wanita tua, romannya bengis, dia perdengarkan tertawa dingin. Tentu saja ia menjadi heran, hingga melengak.

   "Apakah kau murid Hian Kee Itsoe?"

   Tanya si uwak sambil tertawa dingin dan mengejek.

   "Hian Kee Itsoe katanya liehay ilmu silatnya, di kolong langit ini dialah yang nomor satu, sekarang kau berani datang kemari dengan membawa pedang, pasti kau juga pandai ilmu pedang! Baik, ingin aku mencoba kamu! Daripada muridnya, ingin aku mencoba gurunya, ingin aku ketahui, bagaimana istimewanya ilmu silat pedang Hian Kee Itsoe itu!..."

   Eng Eng heran. Ia juga tidak berani turun tangan. Dari perkataan orang, rupanya orang tua ini sudah kenal gurunya.

   "Teetjoe tidak tahu aturan tjianpwee di sini,"

   Katanya sambil memberi hormat.

   "teetjoe tidak ketahui orang dilarang memasuki rimba dengan membawa pedang, harap tjianpwee memberi maaf kepada teetjoe yang lancang ini." -ooo00dwkz00ooo- (bersambung

   Jilid 3) CATATAN halaman 449 - Puteri Ie Kiam, Ie Sin Tjoe kelak akan menjadi murid Thio Tan Hong dan In Loei, Ie Sin Tjoe adalah salah satu peran utama dalam cerita-cerita berikutnya, Pendekar Wanita Penyebar Bunga (Sanhoa Lihiap) dan Kisah Pedang Bersatu Padu (Liankiam Hongin).

   halaman 452 - Taman Koaywa Lim (Saycu Lim) ini kelak terpaksa dijual Thio Tan Hong (dalam cerita Liankiam Hongin), dan dalam cerita Pendekar Pemetik Harpa (Khongling Kiam), anak keturunan Kiutauw Saytjoe (Singa Kepala Sembilan) In Thian Sek muncul lagi dan menguasai kembali taman tsb.

   Karena dendam pada Thio Tan Hong, keturunan Kiutauw Saytjoe membalas dendam kepada keturunan/ murid dari Thio Tan Hong dan In Tiong.

   Seri ke 2 Thiansan Karya .

   Liang Ie Shen Saduran .

   OKT Sumber txt otoy Ebook oleh .

   Dewi KZ
http.//kangzusi.com

   atau
http.//dewikz.byethost22.com

   

   Jilid 3 Tetapi nyonya tua itu tidak sudi pakai aturan.

   "Tidak bisa!"

   Katanya dengan kaku. Dia menjadi semakin gusar.

   "Hunus pedangmu, mari kita mencoba-coba!"

   Dia mendesak dan memaksa. Yap Eng Eng menjadi kewalahan, ia sudah cukup merendah tetapi tidak ada hasilnya, terpaksa ia cabut pedangnya.

   "Kalau tjianpwee memaksa, silakan tjianpwee beri pengajaran padaku,"

   Ia kata. Perempuan tua itu ambil sebatang bambu, ia raut itu dengan telapakan tangannya hingga menjadi serupa pedang-pedangan.

   "Baiklah!"

   Katanya.

   "Jikalau kau sanggup menahas kutung selembar bambu ini, akan aku ijinkan kau turun gunung, kalau tidak, mesti kau berdiam di sini untuk menemani aku, sampai nanti gurumu datang untuk mengajak kau pulang!..."

   Biar bagaimana, Yap Eng Eng juga ada semangatnya, dari itu, ia mendongkol juga akan kejumawaan orang. Dalam hati kecilnya, ia pikir.

   "Pekpian Hian Kee Kiamhoat-ku sudah liehay sekali, mustahil aku tidak mampu menabas kutung pedang bambu ini? Sebenarnya aku hormati kau, orang tua! Apakah kau sangka aku jeri terhadapmu?"

   Sampai di situ, mereka sudah lantas bertarung.

   Baharu saja bergebrak, Yap Eng Eng sudah mendesak hingga tiga kali beruntun, membabat ketiga jurusan, sebab keras sekali keinginannya untuk menabas pedang bambu itu.

   Nyonya tua itu nyata liehay sekali, ia sangat gesit.

   Pedangnya seperti dikurung sinar, lantas ia selamatkan diri sambil berbalik mendesak, untuk merapatkan pedang lawan, yang dibikin seperti membayanginya.

   Yaitu dengan mengikuti gerak- gerik pedang Eng Eng.

   Tidak peduli ia sudah tunjukkan kesehatannya, Eng Eng tidak berhasil menghalau pedang bambu itu.

   Juga baju lawan, ia tidak sanggup menyentuhnya.

   Ia menjadi kaget, heran dan kagum.

   Ia menjadi penasaran, ia mencoba bergerak lebih cepat lagi.

   Orang tua itu berkelahi cepat, tetapi ia berlaku tenang.

   Semua serangan dapat ia singkirkan.

   Berulangkah ia tertawa mengejek.

   "Begini saja ilmu pedang Hian Kee Itsoe!..."

   Ia menyindir.

   "Kelihatannya kau sudah ditakdirkan berdiam di sini menemani aku si tua bangkai..."

   Selagi bertempur, Hoeithian Lionglie melihat cuaca berubah.

   Tengah hari sudah mulai mendatangi.

   Ia menjadi tegang sendirinya, mendongkol dan masgul, juga berkuatir...

   Ia tidak dapat membabat pedang musuh, ia pun tidak mampu meloloskan diri.

   Maka akhirnya, ia keluarkan seruling istimewanya dan meniupnya.

   "Hai, menarik serulingmu ini!"

   Berkata si nyonya tua.

   "Kenapa di dalam rimbaku ini tidak terdapat bambu yang bagus seperti serulingmu? Merdu suara serulingmu, bolehkah aku meminjamnya?"

   Eng Eng tidak pedulikan perkataan orang itu, yang mengejek sambil berkelahi terus, masih ia meniup serulingnya, meniup dengan terlebih keras lagi, hingga suara seruling itu mengalun jauh.

   Oleh karena permintaannya tidak digubris, sekarang si nyonya tua berkelahi sambil mencoba merampas seruling orang.

   Dua belas tahun Eng Eng bersemedhi menghadapi tembok, kecuali memahamkan lebih jauh ilmu pedangnya, ia juga meyakinkan dua macam ilmu lainnya yang liehay.

   Yang pertama dinamakan "Lioein Kiamhoat", yaitu ilmu pedang "Mega Melayang".

   Yang dinamakan pedang tetapi bukannya pedang melainkan ujung tangan baju, kalau tangan baju itu dipakai mengibas atau menyambar, ia dapat melibat senjata musuh, untuk dirampas.

   Yang kedua ialah "Kioeseng Tengheng Tjiam"

   Atau "Jarum Sembilan Bintang", jarum mana bisa dipakai menyerang sekaligus, dengan jalan darah sebagai sasarannya.

   Sekarang Yap Eng Eng melihat orang hendak merampas serulingnya, ia menjadi habis sabar, terpaksa ia kibaskan tangannya, untuk menyambar pedang bambu itu.

   Ia pikir, kalau berhasil melibat, ia hendak patahkan pedang itu.

   Tiba-tiba terdengar suara memberebet, untuk kagetnya Eng Eng dapatkan tangan bajunya berlobang dan robek, terkena dua jari tangan si nyonya tua, berbareng mana, serulingnya pun kena dirampas.

   "Inilah kepandaianmu yang baik,"

   Berkata si uwak.

   "sayang latihan tenaga dalamnya masih kurang. Kau masih belum berhasil mematahkan pedangku! Maka tidak ada lain jalan, kau mesti berdiam di sini untuk temani aku bermain!"

   Eng Eng tidak berhasil mematahkan pedang bambu si uwak, tapi ia dapat melibat sebentar dan menyampok pedang itu, ke samping.

   Di samping itu, ujung bajunya robek, serulingnya berpindah tangan.

   Ini berarti, dia kalah, si nyonya tua yang menang di atas angin.

   Tapi di samping itu, ia termasuk kaum muda, si nyonya kaum tua, tinggi kedudukannya, ia tak usah malu.

   Nyonya tua itu diam-diam mengagumi juga lawan yang muda ini.

   Walaupun dia kalah Hoeithian Lionglie tidak berhenti sampai di situ.

   Ia juga penasaran sekali.

   Sekarang ia melanjutkan menggunakan kepandaian yang kedua.

   
Dua Musuh Turunan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Ia menuding dengan jari tangannya, lalu memanah dengan sembilan batang jarumnya.

   Sehabis merampas seruling itu, si nyonya tua bawa seruling itu ke mulutnya.

   "Menarik seruling ini,"

   Katanya.

   "nanti aku tiup..."

   Lalu ia meniup, memperdengarkan suara yang halus, lebih sedap didengarnya daripada lagunya Eng Eng. Tapi yang heran, angin seruling itu pun berbareng meniup kembali ke sembilan batang jarum rahasia, hingga tak sebatang jua yang mengenai si uwak itu.

   "Ilmu senjata rahasiamu belum terlatih sempurna,"

   Kata pula si uwak sambil tertawa.

   "Mari kita mengadu pedang lagi seperti bermula..."

   Dia segera menyerang.

   Ketika Hoeithian Lionglie melayani, pedangnya terkurung pula seperti tadi.

   Selama pertempuran itu, sang waktu telah berlalu terus.

   Eng Eng berkuatir sekali.

   Ia pikirkan Thian Hoa.

   Mungkin soeheng itu sudah tiba di tempat yang dijanjikan mereka.

   Adakah Thian Hoa mendengar suara seruling itu? Inilah sangat diharapkan.

   Kalau Thian Hoa datang, ia percaya ia dapat ditolong.

   Begitu, dalam saat ketegangannya itu, ia lihat orang berlompat kepada mereka.

   Mulanya ia menyangka Tjia Thian Hoa, tidak tahunya, orang itu adalah muridnya yaitu In Loei, bersama satu pemuda yang cakap tampan.

   Ia tidak kenal anak muda itu, akan tetapi melihat roman orang, ia percaya orang itu gagah, mungkin melebihi muridnya.

   In Loei heran menyaksikan gurunya tidak sanggup melawan nyonya tua itu, ia melirik kepada Tan Hong, terus ia maju.

   "Soehoe,"

   Ia berkata kepada gurunya.

   "suka muridmu berbuat sesuatu untuk soehoe, dari itu harap soehoe perkenankan muridmu main beberapa jurus bersama lootjianpwee ini, supaya muridmu dapat menambah pengetahuan..."

   Hoeithian Lionglie bersangsi, hingga ia awasi murid serta kawannya itu. Ia sendiri kalah, apakah muridnya dapat mengalahkan orang tua itu? Apakah murid itu tidak tahu "langit tinggi"

   Dan "bumi rendah"? Oleh karena datangnya kedua anak muda itu, si nyonya tua lantas lompat mundur, hingga pertempuran terhenti.

   "Bagus"

   Katanya sambil tertawa.

   "Aku memang senang pada anak-anak muda yang nyalinya besar! Adakah kamu murid-murid golongan ketiga dari Hian Kee Itsoe? Pelajaran apa saja yang kamu telah yakinkan? Hayo kamu coba, ingin aku menyaksikannya!"

   Hoeithian Lionglie mengeluarkan napas lega. Dari kata-kata si orang tua itu, teranglah dia tidak mengandung maksud jahat, hingga ia percaya, terhadap sepasang anak muda itu dia tidak akan berlaku kejam.

   "Baiklah,"

   Katanya kepada muridnya dan kawannya.

   "pergi kamu melayani lootjianpwee untuk beberapa jurus. Kamu harus berlaku hati-hati!"

   Nyonya tua itu, dengan sembarangan saja, sudah siap dengan pedang bambunya, yang dia bawa ke depan dadanya.

   "Eh, mengapa kamu masih belum mulai?"

   Ia tegur mereka apabila ia lihat orang masih berdiam saja. Tan Hong dan In Loei, dengan pedang ditangan-nya masing-masing, lantas memberi hormat.

   "Harap lootjianpwee memberikan pengajaran kepada kami,"

   Berkata Tan Hong.

   Lalu, dengan sebat sekali, dengan berbareng, keduanya menggerakkan pedang mereka.

   Mulanya pedang dibuka ke kiri dan kanan, lalu dirapatkan satu pada lain, habis mana, dengan secara tiba-tiba, keduanya dipakai menyabet ke arah pinggang! Nyonya tua itu memandang enteng.

   Bukankah mereka itu dari generasi ketiga dari Hian Kee Itsoe? Biar mereka pandai, sampai di manakah kelihayan mereka itu? Maka ia bersikap acuh tak acuh.

   Tapi, setelah penyerangan datang bagaikan kilat, baharulah ia terperanjat.

   Ia pun kaget karena jarak antara mereka dekat sekali.

   Ia juga tidak sempat lagi menangkis.

   Maka dengan terpaksa ia lompat mencelat tinggi! Menampak demikian, dengan sikutnya, Tan Hong bentur In Loei, sampai si nona terhuyung mundur, ia sendiri mundur juga.

   Nyonya tua itu, yang telah menginjak bumi pula di hadapan mereka, tertawa manis.

   "Bagus, anak-anak muda! Nah, marilah kamu maju pula!"

   Dia melompat tinggi untuk menolong dirinya, habis itu dia turun sambil membabat dengan pedangnya, tetapi dia kecele, karena kedua lawannya sudah mundur pula.

   Mau atau tidak, dia mesti puji kecerdikan kedua lawan itu.

   Dia tidak mendongkol, sebaliknya, dia senang melihat orang cerdas.

   Tan Hong lihat cara orang berlompat, ia mengerti ancaman bahaya akan segera datang, karenanya, ia bentur In Loei, sebab lain jalan daripada itu sudah tidak ada lagi.

   Mulanya In Loei heran tetapi segera dia mengerti, maka dia tidak berkecil hati.

   Setelah itu si nyonya tua maju untuk menyerang, begitu lekas sepasang anak muda itu melayani dia, dia mencoba mempengaruhi pedang orang.

   Dia sekarang insaf akan keliehayan kedua anak muda itu, maka tidak mau dia berlaku sembarangan, malah sebaliknya, dia lebih bersungguh-sungguh daripada waktu melawan Hoeithian Lionglie tadi.

   Oleh karena ini, Tan Hong dan In Loei mengeluarkan seluruh kepandaiannya.

   Setelah melalui kira-kira lima puluh jurus, si nyonya tua masih tak dapat menang di atas angin.

   Juga Hoeithian Lionglie berdiri menjublak mengawasi sepasang anak muda itu.

   Ia kagum dan heran melihat Tan Hong, yang ilmu pedangnya demikian tepat mengimbangi pelbagai gerakan In Loei, muridnya itu.

   Semua gerakan si anak muda itu wajar, seperti boleh melatih.

   "Ah, rasanya aku kenali ilmu silat pemuda ini..."

   Pikirnya kemudian. Ia kenal tetapi tak dapat ia menyebutkannya.

   "Dahulu soehoe mempunyai dua macam ilmu pedang, ia ajarkan itu masing-masing kepada Thian Hoa dan aku dan kita dilarang saling mengajari satu pada lain. Apakah ilmu pedang anak ini, ilmu pedangnya Thian Hoa, yang belum pernah aku lihat?..."

   Pertempuran masih berlangsung terus, adalah setelah itu, dengan perlahan-lahan baharulah si nyonya tua mulai menang di atas angin, pedangnya - walaupun pedang bambu - mulai memperlihatkan pengaruhnya.

   Tan Hong dan In Loei menjadi heran.

   Sejak mereka kenal satu pada lain, dengan paduan ilmu pedang mereka Siangkiam Happek, belum pernah mereka menemui tandingan, sekalipun Ouw Bong Hoe dan Kimkauw Siantjoe Lim Sian In bergabung menjadi satu, kedua pihak sama tangguhnya, mereka tidak sangka nyonya tua ini sangat liehay.

   Semua serangan mereka dengan mudah dapat dielakkan.

   Mereka menjadi berkuatir ketika mereka tak dapat lagi melakukan penyerangan membalas, malah untuk membela diri saja, mereka kewalahan.

   Pada saat Tan Hong memikir untuk menyerah saja, tiba-tiba ia dengar bentakan si nyonya tua.

   "Siapa itu yang datang? Letakkan pedangmu!"

   Lalu nyonya itu lompat, untuk menyambar daun bambu dengan apa dia mulai menyerang dengan rapat, seperti "boanthian hoaie,"

   Atau "seluruh langit penuh dengan hujan bunga."

   Menyusul itu terdengar suara bentroknya daun-daun bambu itu, yang terus jatuh berserakan, menampak mana, si nyonya tua menjadi heran.

   Nyata dia tengah menghadapi orang yang terlebih liehay daripada Hoeithian Lionglie.

   Bahwa orang mestinya kosen, inilah sudah diduga, karena itu, dia lantas menyerang dengan hebat.

   Setelah serangan daun bambu itu, di atas tembok terlihat munculnya seorang yang terus lompat turun dengan gerakan enteng sekali.

   Ketika Hoeithian Lionglie melihat orang itu, ia tercengang bahna herannya.

   Itulah orang yang selama dua belas tahun ia pikirkan tak sudahnya.

   Yaitu Tjia Thian Hoa, soehengnya dan orang yang dicintainya.

   "Soemoay, kau baik!"

   Tegur Thian Hoa selagi ia bertindak menghampiri.

   "Shako, kau baik!"

   Ia membalik.

   "Apakah shako telah bertemu djiesoeheng?"

   Baharu Thian Hoa hendak menjawab adik seperguruannya, atau si nyonya tua telah menegur padanya.

   "Apakah kau juga muridnya Hian Kee Itsoe? Mari, mari, kau pun boleh mencoba-coba denganku!"

   Tjia Thian Hoa tertawa.

   "Soemoay,"

   Ia kata pada Yap Eng Eng.

   "baik kita tunda pembicaraan tentang kita, mari kita penuhi dahulu kehendak nyonya yang terhormat ini yang sangat pandai, sambil melatih pedang kita. Tan Hong, kamu bukan tandingan lootjianpwee ini, kenapa kamu tidak hendak lantas mengaku kalah?"

   Tan Hong dengar perkataan gurunya itu, berbareng dengan In Loei, ia menarik kembali pedangnya sambil berlompat mundur. Dengan tetap menyekal pedangnya, mereka memberi hormat kepada si nyonya tua sambil berkata.

   "Terima kasih banyak untuk pengajaran Lootjianpwee, hingga tak sedikit kami peroleh kefaedahan."

   Nyonya tua itu bersenyum.

   "Kamu dapat melayani aku sampai lima puluh jurus, kamu bukannya kalah,"

   Katanya dengan tenang.

   "Baiklah, kamu boleh mundur, untuk digantikan oleh gurumu!"

   "Kami juga akan maju berdua,"

   Berkata Hoeithian Lionglie, yang mendapat ketika untuk beristirahat.

   "Itulah baik sekali,"

   Jawab si orang tua.

   "Memang aku ingin menyaksikan kepandaian murid-murid Hian Kee Itsoe."

   Thian Hoa tidak lantas maju, hanya sambil mengawasi nyonya tua itu, ia berkata.

   "Lootjianpwee, sudikah kau memberitahukan kami tentang hubungan lootjianpwee dengan guru kami?"

   Demikian ia tanya. Tiba-tiba si nyonya tua menunjukkan roman gusar.

   "Hian Kee Itsoe agulkan dirinya sebagai orang nomor satu di kolong langit ini, aku si tua bangka, mana berani aku bersahabat dengannya?"

   Sahutnya, kaku.

   "Kamu juga tak usah menyebut-nyebut tentang persahabatan, baik kamu keluarkan saja semua kepandaianmu yang telah kamu peroleh dari Hian Kee Itsoe!"

   Hoeithian Lionglie heran. Dari kata-kata orang tua ini, mestinya antara dia dan guru mereka ada sesuatu sangkutan, hanya entah urusan apa itu. Thian Hoa tidak menjadi gusar atau kecil hati karena suara keras itu, ia malah bersenyum.

   "Kalau begitu, kami turut perintah saja,"

   Katanya.

   "Harap lootjianpwee memberi maaf kepada kami..."

   Kata-kata ini disusul dengan gerakan pedang yang pertama, yang sebat sekali, yang diturut pula oleh Yap Eng Eng.

   Hoeithian Lionglie bersilat seperti biasa, ia tidak harap dengan satu kali gebrak saja akan peroleh kemenangan, akan tetapi Siangkiam Happek benar-benar liehay, ketika kedua pedang bergerak berbareng, tanpa merasa si nyonya tua yang liehay itu mesti mundur tiga tindak.

   Eng Eng menjadi girang sekali, di dalam hatinya, ia berkata.

   "Ilmu pedang ciptaan soehoe ini benar-benar istimewa!..."

   Ilmu pedang yang Thian Hoa dan Eng Eng gunakan adalah sama dengan ilmu pedang Tan Hong dan In Loei, akan tetapi perbedaan di antara mereka besar sekali, dan itu disebabkan latihan atau tenaga dalam mereka.

   "Sekarang baharu aku saksikan kepandaian Hian Kee Itsoe!"

   Berkata si nyonya tua setelah dia maju pula, sambil memainkan pedang bambunya.

   Lalu terlihatlah tubuhnya bergerak-gerak dengan sangat lincah, tangan bajunya seperti berkibar- kibar.

   Thian Hoa tidak menjadi gugup, ia juga berlaku gesit untuk melayani orang tua itu.

   Erat kerja samanya dengan Yap Eng Eng, hingga karenanya, pertandingan menjadi sangat seru.

   Kedua pihak sangat gesit, hingga dalam sekejap saja, lima puluh jurus telah lewat.

   "Maaf!"

   Seru Thian Hoa, yang lantas saja mengubah gerakannya, hingga ia menjadi lebih gesit, dalam hal mana, ia terus diimbangi Yap Eng Eng.

   Dalam gerakan kali ini, terdengarlah suara dari beradunya pedang-pedang dan, memberebetnya suara baju robek.

   Itulah suara pedang bambu dari si nyonya yang tertabas kedua pedang lawannya, hingga pedang itu terkutung menjadi empat, dan robeknya kedua ujung baju si nyonya! "Maaf!"

   Berkata pula Thian Hoa, dan Yap Eng Eng, sambil menarik kembali pedang mereka. Nyonya tua itu melemparkan sisa pedang bambunya.

   Dua Musuh Turunan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Tak dapat aku menahan kamu, pergilah!"

   Berkata-dia, yang romannya menjadi lesu.

   Beberapa puluh tahun dia telah keram diri di rimba pohon bambu ini, dia percaya dia akan dapat menandingi Hian Kee Itsoe, tidak disangka, dia rubuh di tangan murid orang.

   Thian Hoa berempat memberi hormat, tanpa bilang apa-apa lagi, mereka mengundurkan diri dari rimba bambu itu.

   "Liehay ilmu silat nyonya tua itu,"

   Berkata Eng Eng di tengah jalan.

   "Kita masih berbeda jauh sekali daripadanya. Aku lihat di jaman kita ini kecuali guru kita dan Siangkoan Thian ya, dialah jago yang ketiga."

   "Bila mereka itu mengadu kepandaian, itulah baharu suatu pertandingan yang hebat,"

   Berkata In Loei.

   "Mungkin mereka pernah mengadu kepandaian,"

   Kata Thian Hoa sambil tertawa.

   "Sayang kita dilahirkan belakangan hingga kita tidak dapat menyaksikan mereka!"

   "Aku rasa dia mempunyai perhubungan erat dengan guru kita,"

   Eng Eng utarakan dugaannya.

   "Shako, mendengar perkataanmu tadi, kau agaknya ketahui siapa nyonya tua itu..."

   "Di pihak kita,"

   Sahut Thian Hoa.

   "yang mengetahui tentang dia, selainnya soehoe, mungkin toasoeheng. Pernah aku dengar samar-samar toasoeheng mengatakan, pertentangan antara soehoe dengan Siangkoan Thian Ya, tidak hanya disebabkan perebutan menjadi kepala dari kaum Rimba Persilatan, tetapi juga tersangkut hal seorang nona yang gagah luar biasa. Aku telah minta penjelasan padanya tetapi toasoeheng sungkan memberitahukannya. Toasoeheng tidak sudi berkata-kata perihal soehoe."

   "Bagaimana dengan toasoeheng sendiri?"

   Tanya Eng Eng.

   "Sudah lama aku tidak melihat dia,"

   Jawab Thian Hoa.

   "Aku dengar desas-desus, kamu semua telah mendapat salah pengertian terhadapku..."

   "Itulah benar,"

   Yap Eng Eng akui.

   "Sepuluh tahun lamanya kau berdiam di negeri Watzu, sebenarnya apa saja yang kau kerjakan di sana? Kenapa kau pernahkan dirimu di bawahan Thio Tjong Tjioe?"

   Tjia Thian Hoa tertawa. Ia tidak jawab pertanyaan itu.

   "Tan Hong, mari aku ajar kau kenal!"

   Katanya kepada muridnya.

   "Soemoay, dia adalah puteranya Thio Tjong Tjioe, ialah murid yang aku terima di Watzu."

   Tan Hong lantas maju, untuk memberi hormat. Eng Eng menjadi heran.

   "Kau telah mendapatkan murid yang pandai!"

   Kata dia.

   "Pantas tadi dia bersama- sama In Loei sanggup melayani orang tua itu selama lima puluh jurus..."

   Hoeithian Lionglie merasa heran sekali, ia menjadi curiga.

   Mustahil cuma sebab hendak mengambil satu murid, Thian Hoa jadi tidak merasa terhina untuk bekerja di bawahannya Thio Tjong Tjioe, orang Han yang menjadi menteri bangsa asing itu? Thian Hoa dapat menduga kecurigaan soemoay itu.

   "Ceritaku panjang, maka itu, marilah kita cari dulu soeheng kita,"

   Berkata Thian Hoa.

   Berempat mereka turun gunung.

   Untuk melanjutkan perjalanan, In Loei ajak gurunya naik di atas kudanya, dan Tan Hong bersama gurunya naik atas Tjiauwya saytjoe ma, maka itu, dengan cepat mereka dapat lakukan perjalanan mereka, belum sampai setengah jam mereka sudah tiba di luar Ganboenkwan di tempat di mana mereka sudah berjanji untuk bertemu.

   Akan tetapi di situ, mereka tidak lihat Tiauw Im Hweeshio.

   "He, ke mana perginya djiesoeheng?"

   Kata Eng Eng.

   "Kuda kita dapat lari keras, mari kita cari padanya,"

   Mengajak Thian Hoa.

   "Mari kita cari dia di sekitar sini."

   "Baiklah kita mencari dengan berpencaran,"

   Tan Hong usulkan.

   "Tak usah kau terus turut kita,"

   Kata Thian Hoa pada muridnya.

   "Di dalam negeri Watzu akan terjadi suatu perubahan besar, mungkin ayahmu berada dalam bahaya. Kalau tidak untuk bertemu dengan djiesoeheng, tidak nanti aku datang kemari. Kau pergilah bersama In Loei, kudamu dapat lari keras."

   Tan Hong menjadi berkuatir.

   "Ada ancaman bahaya apa, soehoe?"

   Tanyanya.

   "Yasian mencurigai ayahmu berhati dua,"

   Thian Hoa jelaskan.

   "maka itu setelah dia menarik kembali angkatan perangnya, niatnya menjadi semakin keras untuk merampas pemerintahan. Cita-citanya sebagai Soema Tjiauw, semua orang telah mengetahuinya. Aku hanya kuatir, niatnya itu akan diwujudkan dalam satu hari satu malam..."

   Tan Hong menjadi berkuatir.

   Memang ayah terancam bahaya, apapula ayah itu mengandung maksud membantu kerajaan Beng.

   Karena ini, tak sempat ia bertanya banyak-banyak, habis memberi hormat kepada gurunya dan juga kepada Yap Eng Eng, ia segera berlalu dengan mengajak In Loei.

   Tjia Thian Hoa awasi kedua anak muda mengaburkan kuda mereka.

   "Mereka lebih beruntung daripada kita!"

   Katanya sambil bersenyum.

   Muka Yap Eng Eng menjadi bersemu dadu.

   Ia merasa, Tan Hong dan In Loei itu bagaikan bayangan mereka berdua - ia dan Thian Hoa.

   Tan Hong bersama In Loei melarikan kuda mereka sekeras-kerasnya, maka dengan segera mereka memasuki daerah Watzu, setelah tujuh hari, tibalah mereka di tanah datar Tjumushentji, sesudah melintasi tanah datar ini, kira-kira dua ratus lie lagi, mereka akan sampai di kota raja negara Watzu itu.

   "Lagi dua hari, kita sudah akan sampai!"

   Kata Tan Hong sambil bersenyum, karena setelah berjalan demikian jauh, hatinya mulai menjadi lega.

   Ia tahu benar, kudanya, dan kuda In Loei juga, bisa lari setiap hari lima ratus lie.

   Ia tarik sebuah buli-buli yang digantung di pelana kudanya, di dalamnya ia simpan minumannya yang dinamakan "manaitjiu"

   Atau arak susu kuda, yang dapat dibeli di sepanjang jalan. Ia menambahkan.

   "Sudah sekian lama aku tidak pernah merasakan pula minuman ini. Adik kecil, apakah kau hendak minum juga sedikit?"

   Keluarga Thio ini sudah lama tinggal di Watzu, maka itu tahulah Tan Hong segala makanan atau minuman bangsa asing itu, dan manaitjiu ini meskipun tidak dapat melawan arak Tiongkok tetapi rasanya boleh juga. In Loei menggelengkan kepala.

   "Tidak, aku tidak mau,"

   Jawabnya.

   "Tak suka aku pada sarinya yang asam."

   Tan Hong buka sumpal buli-buli itu, lalu ia bawa buli-buli itu ke mulutnya sendiri, untuk digelogokkan isinya.

   "Lihat, adik kecil, bagaimana indahnya pemandangan alam di sekitar sini,"

   Ia kata kepada kawannya. In Loei tertawa.

   "Lihatlah, salju tengah beterbangan,"

   Katanya.

   "Sekarang sudah jauh musim dingin, perjalanan akan menjadi lebih sukar, maka marilah kita mengejar waktu!"

   Tan Hong pun tertawa.

   "Sekarang sudah jauh musim dingin, itu artinya musim semi akan segera datang!"

   Katanya. Ia tenggak pula minumannya, terus ia bernyanyi. Ia menyanyikan syair "Berperang ke Barat"

   Dari Gim Som.

   "Di negeri Hsiungnu, rumput kuning artinya kuda sedang gemuknya, di Barat bukit Kim San tampak debu beterbangan, itu tandanya jenderal besar bangsa Han tengah maju berperang ke Tanah Barat! Hai, adik kecil, meskipun kita, bukannya jenderal besar Han itu, tetapi pentingnya perjalanan kita ini tak kalah dengan majunya jenderal besar itu!"

   In Loei pun tertawa, ia berkata.

   "Siapa berandalan, siapa gagah, dialah orang kenamaan. Siapa bisa menangis, siapa bisa bernyanyi, dia melebihi orang biasa. Kau bukannya orang kenamaan, kau hanya seorang gagah, tidakkah itu sayang?"

   Tan Hong tertawa pula.

   "Berapa harganya orang kenamaan? Menjadi orang gagah pun aku sungkan!"

   Kata dia.

   "Aku hanya ingin bekerja menuruti kehendak hati sendiri, supaya di saat ajal hampir tiba jangan meninggalkan penyesalan. Dengan begitu tidaklah kecewa kita hidup!..."

   Dengan ini samar-samar Tan Hong menunjuk kepada perjodohannya dengan In Loei, supaya jodoh itu dilangsungkan secara wajar, jangan sampai terhalang karena rintangan lain orang, hingga karenanya mereka jadi melakukan sesuatu yang bertentangan dengan hati sendiri.

   Mendengar itu, In Loei membungkam.

   "Eh, adik kecil, apa yang kau pikirkan?"

   Tegur Tan Hong. Si nona paksakan diri untuk tertawa.

   "Aku sedang pikirkan... aku sedang pikirkan..."

   Sahutnya, tak lancar.

   "Ya, kita telah berjalan selama beberapa hari, tapi kita tidak pernah melihat pengembala- pengembala yang pergi ke Selatan untuk menghindarkan diri dari musim dingin. Bukankah syair Gim Som itu mengatakan di Barat bukit Kim San tampak asap dan debu beterbangan? Kenapa kita cuma melihat debu yang beterbangan saja dan asapnya tidak?"

   Di Mongolia itu, setiap musim dingin, biasanya rakyat pengembala pergi mengungsi ke Selatan, untuk menyingkir dari penderitaan hawa dingin, sambil mengungsi mereka berusaha mengumpulkan barang keperluan sehari-hari untuk pada musim semi membawa pulang barang itu untuk dijual.

   Sebenarnya, Tan Hong pun heran karena selama beberapa hari itu, ia tidak pernah melihat mengungsi kaum pengembala, sedang biasanya, yang tampak paling dahulu adalah kuda mereka yang berkelompok.

   Ia mesti benarkan pendapat In Loei itu, tetapi walaupun demikian, ia toh memikirkan pula.

   Tiba-tiba mereka dengar suara kelenengan.

   "Nah, lihat, lihat itu!"

   Serunya sambil tertawa.

   "Bukankah itu kaum pengembala yang tengah menuju ke Selatan?"

   Ia lantas palingkan kepalanya. In Loei segera menoleh. Di kejauhan mereka tampak seekor onta tengah mendatangi. Itulah binatang yang perdengarkan suara kelenengan. Berombongan dengan onta itu ada beberapa ekor kuda.

   "Kelihatannya yang mengungsi itu cuma satu keluarga,"

   Berkata si nona.

   "Biasanya mereka membuat perjalanan dalam rombongan-rombongan besar."

   "Lihat!"

   Kata TanHong.

   "Lihat di belakang mereka itu, masih ada rombongan lainnya... Eh, mereka bukannya kaum pengembala, hanya serdadu Mongolia!"

   Memang, dengan menerbitkan debu mengepul-ngepul, belasan serdadu Mongolia tengah mendatangi.

   Atau lebih tepat lagi, serdadu-serdadu itu sedang mengejar rombongan gembala di sebelah depannya.

   Mereka mengaburkan kuda mereka, tidak heran jikalau mereka segera dapat menyusul.

   Dan mereka sudah lantas bersikap keras terhadap rombongan itu, yang rupanya mau ditangkapi, mereka main tarik.

   Maka sejenak itu terdengarlah ratap tangis dari lelaki atau perempuan dari rombongan pengungsi itu.

   "Eh, itulah paksaan ketentaraan!"

   Seru In Loei. Kenapa wanita hendak ditangkap juga? Kita telah saksikan mereka, tak dapat kita diam saja!"

   Nona ini menjadi sangat mendongkol. Tan Hong, yang telah dipengaruhi sedikit oleh araknya, menyahuti.

   "Baiklah! Mari kita binasakan beberapa serdadu Mongolia, kita rampas kudanya untuk diberikan kepada kaum pengembala itu!"

   "Jangan, jangan kau binasakan mereka!"

   Mencegah In Loei.

   
Dua Musuh Turunan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Seorang serdadu pun jangan kau binasakan. Kita usir saja mereka!"

   Tan Hong bersenyum. Ia tahu In Loei pemurah hati, ia pun bicara dengan maksud bergurau.

   "Baiklah, aku turut kau!"

   Katanya. Lalu mereka larikan kuda mereka, akan menghampiri rombongan serdadu Mongolia serta pengungsi itu. Pada saat itu seorang serdadu telah menangkap seorang wanita, dan beberapa serdadu lainnya, dengan panahnya, sedang mengancam dua pria.

   "Kenapa kamu tidak mendengar titah Thaysoe?"

   Demikian terdengar satu serdadu.

   "Kenapa kamu lancang?"

   Dua pengungsi pria itu, yang satu sudah berusia lanjut, yang lainnya masih muda.

   "Baik, kami akan turut kamu kembali,"

   Berkata yang tua.

   "Akan tetapi anakku ini tak dapat kamu tangkap!"

   Ia maksudkan anak perempuannya.

   "Kamu telah melanggar titah Thaysoe, kamu semua akan dihukum!"

   Bentak serdadu tadi. In Loei dengar pembicaraan itu, ia menjadi lebih gusar. Ia keprak kudanya untuk maju mendekati.

   "Ah, itulah dua ekor kuda yang bagus!"

   Berseru serdadu Mongolia itu.

   "Eh, ada lagi dua orang Han!..."

   Lalu mereka maju, untuk mendekati In Loei berdua.

   "Apakah kamu menghendaki kuda ini?"

   Tanya Tan Hong sambil tertawa.

   "Nanti aku menghadiahkannya kepadamu! Hanya aku kuatir kamu tidak nanti sanggup mengendalikan kuda ini..."

   Kuda Tjiauwya saytjoe ma sudah lantas mengamuk.

   Ia terjang serdadu-serdadu Mongolia itu, ia mendupak sana-sini, hingga serdadu-serdadu itu jatuh bangun.

   Orang yang menjadi kepala tak memandang mata kepada In Loei, ia maju kepada si nona, dengan mengulurkan sebelah tangannya, ia hendak menangkap nona itu.

   In Loei tangkis tangan orang itu, begitu keras, hingga perwira itu terjungkal dari atas kudanya.

   "Benar-benar kamu berani mengganas!"

   Bentak Tan Hong.

   "Lihatlah kuda ini!"

   Dan ia ayunkan tangannya, tampaknya ia tidak memakai tenaga, tetapi kuda si perwira lantas saja rubuh dengan batok kepalanya pecah.

   Semua serdadu Mongolia itu kaget, hingga mereka berdiri menjublak.

   Itulah tangan yang liehay sekali.

   In Loei, yang kemurkaannya sudah berkurang, tertawa menampak tingkah serdadu- serdadu itu.

   "Kenapa kamu masih tidak hendak pergi dari sini?"

   Ia tanya mereka.

   "Apakah kamu hendak mencari mampus?"

   Benar-benar rombongan serdadu itu menjadi sangat ketakutan, dengan satu teriakan mereka lari kepada kuda mereka masing-masing untuk segera kabur.

   Celaka bagi si perwira, yang kudanya telah terbinasa, saking takutnya ia pun angkat kaki, larinya terhuyung-huyung.

   Si pengembala tua lantas menghampiri Tan Hong, untuk memberi hormat, untuk menghaturkan terima kasih mereka.

   "Mereka tadi menyebut-nyebut titah dari Thaysoe, titah apakah itu?"

   Tanya Tan Hong.

   "Sekembalinya Thaysoe dari luar negeri, ia telah mengumumkan sebuah titah,"

   Sahut si pengembala.

   "Dengan titah itu, sejak musim dingin, kami dilarang pergi mengungsi ke Selatan, katanya kami mesti menunggu sampai selesainya pengumpulan tentera baru. Sekarang ini sudah banyak anak-anak muda yang telah diambil dengan paksa, untuk dijadikan serdadu. Aku telah berusia lanjut, anakku cuma satu laki- laki satu perempuan, jikalau anakku yang lelaki diambil, pasti sekali bersama anakku yang perempuan aku akan mati sengsara. Oleh karena itu, dengan terpaksa kami melarikan diri. Jika perbuatan kami ini diketahui, pasti kami akan dituduh sudah berangkat mengungsi, dan itu artinya, kami akan kehilangan jiwa kami. Tapi kejadian tadi adalah lain, rombongan serdadu itu bukannya menuduh aku telah melanggar titah, tetapi mereka justeru hendak merampas gadisku..."

   Mendengar keterangan itu, Tan Hong segera dapat pikiran, dengan mengumpulkan tentera baru, terang sudah Yasian, si thaysoe, telah mengandung maksud untuk berontak, guna merampas tahta kerajaan Watzu.

   Karena ini, ia kuatirkan keselamatan ayahnya.

   Karena ini juga, ia tidak mempunyai kegembiraan lagi untuk bertanya banyak pada pengembala itu, ia ingin segera pamitan...

   Akan tetapi tidak demikian dengan In Loei.

   "Kamu orang mana?"

   Tanya si nona In, sambil memegangi tangan gadis pengembala tua itu.

   "Siapakah namamu?"

   Kedua matanya menatap tajam wajahnya gembira.

   "Kami dari suku Ngolo,"

   Sahut nona itu.

   "Kami tinggal di lembah selatan gunung Tangkula. Namaku Tjitjelo..."

   "Tjitjelo Anmei!"

   Kata In Loei, meneruskan.

   "Entjie Anmei, kau baik!"

   Gadis pengembala itu menjadi heran, hingga ia berdiri tercengang, kemudian ia tatap wajah Nona In.

   Ia heran kenapa orang mengetahui namanya dan memanggil ia entjie (kakak).

   Ia mencoba akan mengingat-ingat akan tetapi sejenak itu, tak dapat ia mengingatnya.

   Tan Hong pun heran, maka ia awasi kawannya itu.

   In Loei menunjukkan roman sangat tegang, ketika ia bicara pula, suaranya pun menggetar.

   "Bagaimana dengan Antjilo, nyonya tua Mi In?"

   Demikian pertanyaannya pula.

   "Apakah nyonya tua itu masih ada di sana?"

   Nona Ngolo itu masih mengawasi.

   "Apakah kau maksudkan nyonya tua yang menikah dengan seorang Han?"

   Dia tegaskan.

   "Benar,"

   Sahut In Loei dengan cepat.

   "Oh!..."

   Seru si nona tertahan.

   "Kau jadinya In... In..."

   "Ya, aku In Loei !"

   Jawab Nona In.

   "Masih ingatkah kau padaku? Waktu kita masih kecil, bersama ibuku sering aku pergi ke lembah menyaksikan kamu menggembala kambing..."

   In Loei meninggalkan Mongolia dalam usia tujuh tahun, maka itu, segala apa ia ingatnya samar-samar.

   Nona pengembala ini adalah kawannya semasa kecil.

   Dan nyonya tua Antjilo Mi In itu, yang ia tanyakan adalah ibunya.

   Selama ayahnya, In Teng menyembunyikan diri di Mongolia, ayah itu telah menikah dengan satu nona Ouw, ialah sukunya nona pengembala ini.

   In Teng pandai sekali menyimpan rahasia, sampaipun isterinya tak diberitahukan hal kepergiannya itu.

   Bukan main girangnya si nona pengembala, melihat kawan semasa kecilnya sekarang sudah menjadi seorang nona yang gagah, hanya bila ia dengar In Loei bertanya tentang ibunya, ia nampaknya bersusah hati.

   "Ketika tahun itu kamu lenyap secara mendadak,"

   Berkata si orang tua, yang mewakili gadisnya.

   "ibumu telah menangis siang dan malam sampai kedua matanya rusak hingga ia tak dapat melihat dengan terang. Kepala bangsa kita merasa kasihan melihat nasib ibumu itu, ia telah memberikan pekerjaan sebagai tukang pelihara kuda padanya. Sekarang ini mungkin ibumu itu masih ada di rumah kepala bangsa kita itu. Karena ini kepala bangsa kita mengatakan bahwa semua orang Han tak dapat dipercaya, sejak itulah ia mengumumkan larangan, wanita-wanita bangsanya menikah dengan orang Han."

   In Loei lantas saja menangis menggerung-gerung. Pilu rasa hatinya mendengar penderitaan ibunya itu, ia lantas bayangkan bagaimana ibunya hidup sengsara.

   "Sabar, adik kecil,"

   Tan Hong menghibur.

   "Tunggu sampai kita sudah selesai dengan tugas kita, kemudian kita cari ibumu itu. Syukur yang peebo masih ada di dalam dunia ini dan kita telah mendengar perihalnya, inilah suatu keuntungan dalam kesusahan... Sudahlah, jangan kau menangis."

   In Loei tatap Tan Hong.

   Ia nampaknya mendongkol, akan tetapi, ia suka mendengar nasihat orang itu, maka ia seka air matanya, setelah pamitan dengan bekas kawannya, orang tuanya dan saudaranya, ia naik ke atas kudanya, untuk melanjutkan perjalanan mereka.

   Lenyap kegembiraan Tan Hong.

   Ia pun berduka, menyesal sekali, mendengar nasib ibu In Loei itu.

   Ia insaf, penderitaan Nyonya In itu, biar bagaimana, disebabkan karena sikap ayahnya dahulu.

   Maka diam-diam ia ambil putusan untuk melakukan sesuatu guna menebus kesalahan ayahnya itu.

   Di sepanjang jalan ke Utara itu, Tan Hong dan In Loei tampak semakin banyak tentera Mongolia, akan tetapi karena kuda mereka dapat lari pesat, mereka senantiasa menyingkir dari mereka itu, walaupun mereka dapat dilihat serdadu- serdadu itu, untuk mengejarnya, mereka itu tidak sanggup.

   Selang dua hari lagi, tibalah pemuda dan pemudi ini di kota raja negara Watzu.

   Mereka itu sudah salin pakaian, mereka telah dandan sebagai kaum pengembala yang memasuki kota untuk belanja musim dingin...

   Untuk dapat bertinggal, Tan Hong menyewa kamar di sebuah rumah penginapan kaum pertengahan, setelah pernahkan kuda mereka, mereka keluar dari hotel.

   Tan Hong hendak pergi ke rumah, yang ada sebuah sianghoe-nya, yaitu gedung menteri muda, yang letaknya didekat istana, di bahagian depannya terdapat jalan perapatan di mana banyak kendaraan berlalu lintas, hingga jalan besar itu menjadi ramai sekali.

   Akan tetapi hari itu, sedikit sekali orang yang mondar-mandir di situ, hingga keadaan menjadi sangat sunyi.

   Menginjak jalan perapatan itu, hati Tan Hong tegang sendirinya, ia mendapat suatu perasaan luar biasa.

   Di dalam hati kecilnya ia berseru "Celaka!..."

   Sebenarnya, bila ia lintasi jalan besar itu, Tan Hong akan segera tiba di gedungnya, akan tetapi ia sudah lantas dapat pikiran, maka ia tarik tangan In Loei, untuk membawa kawan ini memasuki sebuah gang kecil di mana keduanya seperti bersembunyi di pojok.

   Dari sini Tan Hong dapat memandang ke depan sianghoe, hingga ia dapat melihat sejumlah serdadu yang rupanya bertugas menjaga di situ.

   Apa yang ia anggap luar biasa ialah, tidak ada seorang serdadu juga yang ia kenali.

   Jadi mereka itu bukanlah serdadu-serdadu dari gedung itu.

   Kembali Tan Hong menarik tangan si Nona In, untuk mengajak nona ini melintasi beberapa jalan, dan akhirnya mereka berhenti di sebuah warung arak.

   "Marilah kita dahar dan minum dahulu,"

   Katanya pada kawannya. In Loei manggut, ia menurut. Tan Hong pesan sekati daging serta dua kati arak Mongolia yang paling kesohor, yang dinamakan "arak merah rumput wangi."

   "Menyesal sekali, di sini tidak tersedia arak itu,"

   Kata pelayannya.

   "Kalau begitu, pergi tolong belikan,"

   Kata Tan Hong, yang terus menyerahkan sepotong perak.

   Pelayan itu heran mendapatkan seorang pengembala dengan banyak uang, tetapi ia pergi tanpa bilang suatu apa, waktu ia kembali, ia sudah lantas sajikan arak yang diminta itu.

   Selagi hendak mengembalikan uang kembaliannya, ia berkata.

   "Arak ini harganya sekati satu tail empat tjhie, maka itu dua kati jadi..."

   "Tak usah kau kembalikan, ambil saja untukmu,"

   Kata Tan Hong memotong.

   Kembali pelayan itu menjadi heran.

   Jumlah harga arak itu cuma dua tail delapan tjhie, tapi uang perak tadi berharga sepuluh tail, maka persenan itu besarnya tujuh tail dua tjhie.

   Tidak heran kalau ia menjadi girang luar biasa, berulang- ulang ia haturkan terima kasihnya.

   Kebetulan waktu itu tidak ada lain-lain tetamu, hanya ia dapat mendampingi kedua tetamu itu, untuk siap sedia melayani terlebih jauh.

   Tan Hong keringkan beberapa cawan arak.

   "Gedung di depan itu gedung siapa?"

   Ia tanya jongos itu, sikapnya acuh tak acuh.

   Dua Musuh Turunan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Oh, tuan tidak mengetahuinya?"

   Si pelayan balik menanya, agaknya ia heran.

   "Itulah gedung dari Yoesinsiang Thio Tjong Tjioe."

   "Ah, pantas gedungnya besar dan mentereng!"

   Kata Tan Hong dengan tingkah dibikin-bikin tapi tampaknya wajar.

   "Di depan gedung itu juga terdapat banyak serdadu yang menjaga, sampai orang tidak berani lewat di depannya. Tentu mereka yang dagang di dekat situ mengalami nasib malang, bukan?"

   "Dulunya tidak ada penjagaan demikian banyak serdadu,"

   Berkata si pelayan.

   "Katanya Thaysoe Yasian yang mengirim serdadu-serdadu penjaga itu..."

   "Begitu? Mungkinkah Thio Sinsiang berbuat sesuatu kesalahan terhadap Thaysoe maka gedungnya itu dijaga?"

   "Tentang itu, aku tidak tahu,"

   Pelayan itu menggelengkan kepalanya.

   "Hanya aku lihat masih saja ada hamba-hamba gedung itu, dengan ditilik serdadu-serdadu, pergi keluar untuk berbelanja sayuran dan lainnya. Kabarnya Thio Sinsiang masih ada di dalam gedung itu."

   "Ah, kau pandai mendengar kabar!"

   Tan Hong puji. Si pelayan, girang sudah dipersen besar, sekarang dipuji juga.

   "Karena kami cuma terpisah satu jalan besar dengan sianghoe, kami bisa dianggap juga sebagai tetangga,"

   Berkata ia pula.

   "Biasanya, kalau Thio Sinsiang hendak pergi ke istana, dia mesti lewat di depan rumah makan kami, tetapi sudah sejak beberapa hari, kita tidak pernah lihat Sinsiang pergi ke istana. Sinsiang suka sekali akan hati kambing, selama beberapa hari ini dia masih tetap membeli pada kami."

   Lega juga hati Tan Hong mendengar keterangan ini.

   "Jikalau begitu, ayahku tentu telah ditahan secara halus oleh Yasian,"

   Pikirnya.

   "Yasian tidak menurunkan tangan jahat, apa perlunya ia mengurung ayah secara begini? Itulah penahanan rumah... Untuk sementara, keterangan itu sudah cukup, maka habis dahar dan minum, Tan Hong ajak In Loei kembali ke hotel. Selama di rumah makan tadi, In Loei kebanyakan diam saja.

   "Adik kecil,"

   Berkata Tan Hong.

   "sekarang pergilah kau ke rumah penginapan di sebelah untuk minta sebuah kamar. Sebentar malam, apabila tidak terjadi sesuatu, akan aku pergi padamu untuk mengajak kau menyelidiki sianghoe."

   "Kenapa kau bertindak begini?"

   Tanya In Loei, yang kurang mengerti.

   "Bersiap sedia ada terlebih baik daripada tiada,"

   Jawab Tan Hong.

   "Adik kecil, kau dengar saja perkataanku."

   "Kalau begitu, baiklah,"

   Si nona menurut.

   "Malam ini akan aku nantikan kau. Tapi untuk pergi ke rumahmu, aku tidak mau..."

   Tan Hong tahu orang menjadi malu, ia tertawa.

   "Baik,"

   Katanya.

   "Hal itu nanti saja kita bicarakan pula. Sekarang aku hendak minta kau melakukan sesuatu. Yaitu kau mesti secara diam-diam meninggalkan tanda-tanda di tembok-tembok dari rumah-rumah di sekitar jalan besar dan gang- gang di sini."

   In Loei terima tugas ini, maka Tan Hong ajarkan dia tanda-tanda yang mesti dicoretkan itu, ialah tanda dari perguruan si pemuda.

   Waktu itu juga si nona mengundurkan diri.

   Habis bersantap, waktu sudah magrib.

   Tan Hong hendak mencari In Loei ketika jongos memberitahukan ada tetamu pembesar negeri yang datang berkunjung padanya.

   "Heran..."

   Pikir pemuda ini. Ketika pintu kamar dipentang, di situ muncul satu perwira. Dia adalah Ngochito pahlawannya Yasian.

   "Thio Tan Hong, kau sungguh bernyali besar!"

   Kata pahlawan itu sambil tertawa.

   "Bagaimana kau berani datang kemari?"

   Tan Hong juga tertawa.

   "Kau juga bernyali besar sekali!"

   Jawabnya.

   "Bagaimana kau berani datang ke sini! Telah sembuhkan lukamu?"

   Di pesanggrahan See To, Ngochito telah dilukai Tan Hong, dan dia pun telah dihajar Tjio Eng, tidak peduli dia mengenakan baju berlapis baja, dan karena lukanya dia harus merawat diri hampir setengah bulan, tetapi sekarang dia telah sembuh kembali.

   "Terima kasih untuk hadiahmu!"

   Sahutnya sambil bersenyum.

   "Syukur tulang- tulangku masih dapat pertahankan diri, hingga tak usahlah aku sampai ditertawakan kau..."

   Tan Hong pun bersenyum.

   "Apa kehendakmu sore ini kau datang kemari?"

   Ia tanya.

   "Disini bukannya tempat untuk bertempur."

   "Aku datang bukan untuk mencari kau guna menuntut balas,"

   Jawab Ngochito.

   "Tentu saja, bila kau menghendakinya, di belakang hari mungkin kita akan melakukan pertempuran pula. Aku datang untuk memberi selamat padamu!"

   "Selamat untuk apakah itu?"

   Tan Hong tegaskan.

   "Kau sungguh beruntung, bocah!"

   Kata Ngochito sambil tertawa.

   "Thaysoe telah ketahui segala tindak tandukmu, dia bersikap sangat murah hati terhadapmu, maka malam ini dia undang kau menghadiri perjamuannya."

   "Ha! Mengundang aku berjamu?"

   Tanya Tan Hong.

   "Benar! Lekas kau salin pakaian! Sampai sekarang ini, tak usah kau main sembunyi-sembunyi lagi, tak usah kau menyamar terus sebagai satu pengembala!"

   Tanpa ragu-ragu, Tan Hong sudah lantas tukar pakaian.

   "Sungguh liehay kuping dan mata thaysoe1."

   Katanya selagi salin pakaian. Ngochito tertawa.

   "Kau cerdik, lain orang tidak tolol!"

   Katanya.

   "Thaysoe kata kau cerdas seumur hidupmu, tetapi suatu waktu kau pun berlaku sembrono!"

   "Bagaimanakah itu?"

   "Kau menggunakan tanganmu terlalu sembronoiBukankah kau telah mencari keterangan dari seorang jongos rumah makan? Dia telah memikirkan sikapmu itu? Dapatkah dia tidak memberi laporan kepada pihak polisi?"

   Tan Hong tidak terkejut. Kejadian itu telah diduganya. Ia malah menduga, mungkin Yasian akan mengundang padanya. Maka itu, siang-siang ia sudah menyuruh In Loei memisahkan diri.

   "Eh, ke mana nyonya manismu?"

   Tanya Ngochito.

   "Kau ngaco! Dia adalah soemoay-ku!"

   "Peduli apa dia isterimu atau soemoay-mu Mana dia!"

   Thio Tan Hong tidak segera menjawab, ia hanya tertawai pahlawan itu.

   "Thaysoe pandai menghitung-hitung, apakah dia tidak dapat menghitung-hitung tentang soemoay-ku itu?"

   Dia tanya.

   "Soemoay-ku itu jauh terlebih cerdik daripadamu! Aku sendiri telah datang kemari dengan pertaruhkan jiwaku, akan tetapi dia, dia masih sayangi jiwanya untuk beberapa tahun lagi - dia takut nanti terbawa-bawa olehku, siang-siang dia telah angkat kaki!"

   Ngochito sudah cari keterangan, dia dapat kepastian, In Loei telah pergi sejak tadi siang, maka itu, dia percaya akan perkataan Tan Hong ini. Ia tertawa.

   "Memang dia sangat cerdas, akan tetapi pastilah Thaysoe tidak mengijinkan dia berdiam di kota raja ini! Mari kita berangkat! Thaysoe berlaku baik sekali terhadapmu, tidak usah kau mengadu jiwamu!..."

   Tan Hong telah selesai salin pakaian, ia tidak usah membayar lagi uang sewa kamar, sudah ada Ngochito yang mendahului membereskannya, maka itu ia lantas keluar dari hotel di depan mana sudah menantikan beberapa pahlawan lainnya, yang datang bersama-sama Ngochito itu.

   Ia segera naik kereta kuda yang disiapkan untuk menyambut padanya.

   Tidak sampai setengah jam, tibalah mereka di gedung perdana menteri, yang jauh terlebih mentereng daripada gedung Menteri Muda Thio Tjong Tjioe.

   Di sini, pintu luarnya tiga lapis, pintu dalamnya juga tiga lapis, dan ke enam pintu itu berkunci besi.

   "Tetamu telah tiba!"

   Seru seorang pahlawan setelah mereka memasuki pintu ke enam. Segera juga pintu tengah dipentang, di dalam tampak cahaya api bergemerlapan. Di dalam ruangan itu pun di bahagian tengah, tampak Thaysoe Yasian tengah berduduk.

   "Silakan tetamu itu masuk!"

   Dia berikan titahnya, di mana disampaikan oleh pengiringnya. Dengan bersikap tenang dan wajar, Tan Hong bertindak diundakan tangga. Seorang pahlawan datang menghampiri, untuk memimpin.

   "Undakan tangga di sini tinggi, hati-hati sedikit!"

   Berkata pahlawan itu. Tan Hong bermata celi, ia lihat gerakan tangan Taylek Engdjiauw kang-nya, maka itu, ia bersenyum.

   "Aku dapat berjalan sendiri, kaulah yang berhati-hati!"

   Katanya.

   Ia kerahkan lengannya yang dicekal, atas mana pahlawan itu mundur beberapa tindak dengan tubuhnya terhuyung.

   Meski begitu, di bagian lengan yang dicekal itu, si anak muda merasakan sakit.

   Maka mau atau tidak, ia bercekat di dalam hatinya.

   Teranglah pahlawan ini lebih liehay daripada Ngochito, siapakah pahlawan ini? Lalu, tanpa memberi tanda apa-apa, ia bertindak terus mendaki tangga sampai di ruangan tengah.

   Segera juga terdengar tertawanya Yasian.

   "Baharu dua tahun kita tidak bertemu, kau telah menjadi begini besar, hiantit1.' berkata perdana menteri itu.

   "Kau telah pandai dalam ilmu surat dan silat, sungguh kau harus diberi selamat!"

   Tan Hong berikan hormatnya kepada menteri agung itu.

   "Dua tahun kita tidak bertemu, Thaysoe pun telah bertambah agung!"

   Ia menimpali, dengan suara nyaring tetapi sikapnya wajar.

   "Thaysoe telah berkedudukan tinggi dan berpengaruh besar, hingga rakyat cuma tahu ada Thaysoe tetapi tidak Sri Baginda Raja! Sungguh Thaysoe juga harus diberi selamat!"

   Tepat kata-kata Tan Hong itu, akan tetapi untuk mereka yang tahu, itu justeru suatu ejekan. Yang pertama untuk kegagalan Yasian menyerbu ke Tionggoan, dan kedua untuk cita-citanya merampas tahta kerajaan.

   "Bagus, bagus!"

   Berkata Yasian sambil tertawa.

   "Hiantit telah kembali dari tempat yang jauh, silakan duduk, mari minum!"

   Di samping Yasian duduk seorang pendeta yang tubuhnya tinggi dan besar, dia telah menuang penuh sebuah cawan, sambil berbangkit, dia berkata.

   "Mari, lebih dahulu aku beri selamat kepada Thio Kongtjoe1."

   Dia pegang cawan itu dengan kedua jari tangannya, dia putar cawan itu, yang isinya penuh, akan tetapi arak itu tidak tumpah keluar, lalu diangsurkan ke muka si anak muda.

   Tan Hong heran menyaksikan gerakan tangannya, itulah tenaga yang dikerahkan pada jari-jari tangan.

   Lekas-lekas ia menyambuti.

   "Maaf, aku belum ketahui gelaran tayhoatsoeV berkata ia. Ia buka tangannya, untuk menyambut cawan itu dengan telapak tangannya, lalu dengan melemahkan telapak tangan itu, ia buyarkan tenaga menekan orang. Begitu lekas ia menyekal cawan, terus saja ia minum. Wajah si pendeta berubah dengan tiba-tiba, tetapi dalam sejenak itu, Tan Hong juga telah menunjukkan roman heran, karena ia rasakan tenaga dalam orang yang hebat sekali. Bila ia tidak mendapat latihan menurut "Hiankong Yauwkoat,"

   Niscaya ia bisa terluka serangan gelap dari si pendeta itu, atau sedikitnya, arak itu akan tumpah keluar.

   "Ah, dia terlebih liehay pula dari si pahlawan tadi..."

   Katanya dalam hatinya.

   "Pahlawan itu masih aku sanggup layani, tetapi dia ini, sukar mengatakannya. Entah dari mana Yasian kumpulkan orang-orang kosen ini?"

   
Dua Musuh Turunan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Belum lagi si pendeta menjawab, Yasian sudah mendahuluinya.

   "Hiantit, mari aku ajar kenal,"

   Demikian katanya.

   "Inilah Tjeng Kok Hoatsoe dari Ang Kauw dari Seetjhong, dan ini,"

   Ia menoleh, akan menunjuk pahlawan yang tadi.

   "adalah Ma I Tjan, orang kosen suku Tuyuhun!"

   Bersama dua orang itu, Tan Hong keringkan secawan arak. Sekarang tahulah dia, si pendeta berasal dari Agama Merah (Ang Kauw) dari Thibet (Seetjhong), dan si pahlawan adalah orang Tuyuhun. Masih Yasian berkata pula.

   "Aku tadinya menduga hiantit pesiar jauh hingga lupa pulang! Tentu banyak tempat yang hiantit telah kunjungi?"

   "Dari utara ini aku berangkat ke Kanglam,"

   Sahut Tan Hong sambil tertawa.

   "di sana aku dapat kenyataan Tionggoan adalah daerah makmur dan rakyatnya jelita. Sungguh Tionggoan adalah satu dunia yang indah, suatu negara bersulam. Maka sayang bagi Thaysoe yang baru saja tiba di luar Pakkhia sudah lantas kembali pulang."

   Wajah perdana menteri itu berubah mendengar perkataan orang itu.

   "Tanah Tionggoan itu pastilah lain kali akan aku kunjungi pula untuk membuka mataku!"

   Berkata dia kemudian.

   "Hiantit, aku akan minta kau turut serta untuk menjadi pengantarku."

   "Hm!"

   Tan Hong perdengarkan suara perlahan, lalu ia kata.

   "Tadi malam dalam mimpiku aku telah pergi pula ke Tionggoan, hanya sayang mimpiku itu tidak lama, lantas aku sadar."

   Yasian dapat kendalikan dirinya, ia tertawa. Ia tutupi kelikatannya dengan menenggak araknya.

   "Hiantit, kau menjadi lebih pandai bicara,"

   Ia kata.

   "Usiaku telah lanjut, apa yang aku pikir lantas aku ucapkan, maka itu aku minta hiantit jangan menaruh kata-kata itu dalam hati bila tidak pantas didengarnya..."

   "Tidak apa, Thaysoe,"

   Jawab Tan Hong.

   "Silakan Thaysoe katakan apa yang hendak diucapkan. Senang sekali aku menerima pengajaran dari Thaysoe."

   "Hiantit baharu saja kembali, kau tentunya belum bertemu dengan ayahmu,"

   Berkata perdana menteri itu.

   "sekarang aku mendahului ayahmu menyambut kau, aku percaya ayahmu tidak akan menjadi kurang senang hati."

   "Sebaliknya, hendak aku mewakilkan ayahku untuk menghaturkan terima kasih untuk budi kebaikan Thaysoe,"

   Kata Tan Hong. Yasian heran, hingga ia mengawasi pemuda itu.

   "Menghaturkan terima kasih untuk apakah?"

   Ia tanya.

   "Seumur hidupnya ayahku selalu repot,"

   Sahut Tan Hong.

   "tapi sekarang dengan kecintaan Thaysoe , dia telah dibebaskan dari tugasnya, hingga dia mendapat ketika untuk berdiam di rumah, untuk beristirahat. Sebenarnya inilah suatu hal yang tak dapat diminta, dari itu, bagaimana aku bisa tidak menghaturkan terima kasih kepada Thaysoe?"

   Mendengar itu, Yasian tertawa terbahak-bahak. Tan Hong perlihatkan roman heran.

   "Mungkinkah keponakanmu telah keliru berbicara hingga Thaysoe mentertawakannya?"

   Ia tanya.

   "Hiantit tidak salah omong, hanya kau pandai sekali berbicara,"

   Sahut perdana menteri itu.

   "Benarlah bunyi pribahasa, yang kenal anak tak ada yang melebihi ayahnya, sebaliknya, yang kenal ayah juga tak ada yang melebihi anaknya. Memang aku berniat pergi ke Tionggoan, akan tetapi ayahmu itu, bagaimana bisa dia tak menghendaki pulang ke negeri asalnya? Hiantit, marilah kita bicara secara terus terang. Dapat atau tidaknya ayahmu pulang ke Tionggoan, itulah tergantung padamu sendiri!"

   Tan Hong berlaku tenang.

   "Silakan Thaysoe bicara dengan jelas,"

   Ia minta.

   "Kali ini aku pergi ke Pakkhia, sia-sia saja hasilnya, Yasian akui.

   "Kebandelan Ie Kiam si Bantjoe sungguh di luar sangkaanku, sedang suasana di dalam negara kita juga adalah salah satu sebab lain yang memaksa aku mesti lekas pulang kembali. Hiantit, kau seorang diri, tidak ada halangannya untuk aku menjelaskannya."

   "Adakah ayahku yang Thaysoe maksudkan dengan suasana di dalam negeri itu?"

   Tanya Tan Hong. Yasian tertawa.

   "Aku bukan maksudkan ayahmu, aku bicara mengenai Tiewan Atzu,"

   Ia terangkan.

   "Di Barat, Atzu mempunyai tentera sendiri, tapi dia tidak mentaati titah pusat. Apakah benar hiantit masih belum tahu halnya dia itu?"

   "Aku baharu saja pulang, aku masih belum tahu,"

   Jawab si anak muda yang di panggil hiantit itu. (Hiantit = keponakan) "Sekarang ini Watzu terpecah dalam tiga bahagian,"

   Yasian berbicara terlebih jauh.

   "Sri Baginda sangat lemah, tak dapat dia mengendalikan negara, maka itu untuk dapat menjagoi di luar tapal batas, untuk memberi minum kuda di sungai Tiangkang, hanya aku atau Atzu-lah yang dapat melakukannya..."

   Tan Hong tidak bilang suatu apa, ia cuma tertawa tawar.

   "Atzu itu gagah tetapi ia tidak berbudi,"

   Berkata pula Yasian.

   "Bukannya aku tekebur, untuk menggunakan kata-kata bangsa Han, orang gagah yang sebenarnya adalah Lauw Pie bersama Tjo Tjoh. Aku tidak pandai tetapi aku berani membandingkan diriku dengan Tjo Tjoh itu..."

   "Habis, siapakah yang menjadi Lauw Pie itu?"

   Tan Hong tegaskan.

   "Ayahmu yang terhormat itu ialah Lauw Pie,"

   Yasian jelaskan.

   "Ayahmu adalah boenbee tjoantjay, sudah lama dia memegang kekuasaan, dia tahu betul keadaan dalam negeri Watzu, maka bila dia berserikat bersamaku, tak sukar untuk kita bersama-sama menyingkirkan Atzu, sesudah itu baharulah kita bersama-sama juga memimpin angkatan perang kita ke Selatan. Sampai waktu itu pastilah ayahmu yang terhormat itu akan dapat memberi minum kudanya di Tiangkang, hingga terwujudlah cita-citanya untuk pulang ke negaranya sendiri."

   Tan Hong gusar mendengar perkataan itu, tetapi ia masih dapat atasi dirinya. Selagi ia menahan sabar, Perdana Menteri itu sudah melanjutkan pula pembicaraannya.

   "Pada lima hari yang lalu, pernah aku menulis surat secara rahasia kepada ayahmu, untuk mengajak dia berdamai,"

   Demikian perdana menteri itu.

   "akan tetapi sampai sekarang, ayahmu masih belum memberikan jawabannya. Hiantit, kau adalah seorang yang cerdas, maka itu telah aku pikir untuk meminta bantuan kau, supaya bila nanti kau pulang ke rumah, sukalah kau mewakilkan aku untuk membujuk ayahmu itu."

   Sekarang jelaslah bagi Tan Hong, Yasian hendak bersekutu dengan ayahnya untuk bersama "menghukum"

   Atzu, untuk menyingkirkan pangeran yang dipandang sebagai musuh itu.

   Terang sudah, habis itu, Yasian akan mengangkat dirinya menjadi raja Watzu dengan jalan merampas tahta.

   Inilah sebabnya, atau lebih tepat lagi karena ayah belum memberikan jawaban, hingga ayah dikenakan tahanan rumah.

   Oleh karena ini, ia lantas berpikir keras.

   Ia insyaf, kekuasaan berada di tangan Yasian itu artinya, juga jiwa ayahnya berada dalam genggaman perdana menteri ini.

   Kalau sekarang ia bersikap keras, ancaman bencana di belakang hari tak dapat dipikirkan besarnya.

   Pada itu pun tersangkut nasibnya Tionggoan.

   Maka haruslah ia berhati-hati.

   "Sekarang ini, Pangeran Atzu bukanlah tandingan Yasian,"

   Ia berpikir lebih jauh.

   "umpama kata Yasian tidak bersekutu dengan ayah, dia pun masih dapat mewujudkan cita-citanya untuk mengangkat dirinya menjadi raja. Bahwa dia toh minta bantuan ayah, itulah tak lebih tak kurang agar dia dapat memastikan berhasilnya usaha itu. Tidak ada lain jalan, sekarang perlulah aku menggunakan siasat memperlambat diri, untuk menunggu sampai Ie Kokioo sudah selesai dengan penyempurnaan ketenteraannya. Maka itu, andaikata Yasian telah berhasil, dia tak usah dikuatirkan."

   Yasian sementara itu menantikan jawaban, ia mendesak.

   "Kedua pihak telah bersahabat turun temurun, antara kita tak ada kata-kata yang tak dapat diucapkan,"

   Demikian perdana menteri itu.

   "Bagaimana pikiranmu, hiantit? Aku minta sukalah kau menjelaskannya."

   Sekonyong-konyong saja Tan Hong tertawa bergelak.

   "Rembulan demikian permai, arak lezat tengah menanti, kalau sekarang kita bicarakan urusan besar dari negara, tidakkah kita telah mensia-siakan malam yang indah ini?"

   Berkata Tan Hong.

   "Marilah kita keringkan dahulu tiga cangkir! Thaysoe, mari, aku beri selamat kepadamu dengan tiga cawan! Silakan minum!"

   Yasian tercengang, hatinya tak puas.

   Akan tetapi untuk kesopanan, tidak dapat ia menolak, maka itu, terpaksa ia tenggak araknya hingga tiga cawan.

   Habis minum, baharu ia hendak bicara, atau kupingnya mendengar suara beradunya gelang tangan dibarengi dengan tersingkapnya gorden, lalu muncul satu nona yang cantik, yaitu puterinya, Topuhua.

   "Ah, Thio Toako, benar-benar kau!"

   Berkata si nona sambil tertawa. Sama sekali ia tidak tunjukkan sikap likat.

   "Aku tadinya menyangka ayah memperdayakan aku!..."

   Nona ini berbicara dengan sungguh-sungguh.

   Ayahnya mengetahui rahasia hatinya, ayah itu menjanjikan akan merekoki jodohnya dengan Tan Hong, untuk itu, ayahnya hendak mencari Tan Hong, tetapi dia kalah perang, dia mesti berangkat pulang.

   Topuhua sudah menyangka, seumurnya ia tidak akan bertemu pula dengan Tan Hong, hal itu membuatnya ia berduka, lalu mendadak, malam itu ayahnya memberitahukan padanya bahwa "orang yang ia hendak menemuinya itu akan datang menghadiri pesta,"

   Hingga ia menjadi girang berbareng ragu-ragu, ia sangsi kalau-kalau ayah itu mendustai padanya, tetapi buktinya sekarang, ia lihat si pemuda pujaannya itu! Sebenarnya Yasian telah pesan puterinya, kalau nanti pesta mendekati akhirnya, baharu si nona boleh muncul, akan tetapi Topuhua tak sanggup mengendalikan hatinya, maka juga belum sampai waktunya, ia sudah keluar.

   Tan Hong tidak terkejut dengan datangnya si nona, malah untuknya, inilah ketika yang baik sekali.

   Selagi nona itu berlaku demikian polos, ia pun lekas-lekas berbangkit, untuk memberikan hormatnya.

   Lalu ia berkata.

   "Sungguh beruntung yang hari ini aku dapat bertemu pula dengan nona! Terlebih dahulu aku mesti memberi selamat padamu dengan tiga cawan!"

   Dan segera ia isikan cawannya.

   Topuhua tertawa, wajahnya jadi sangat terang.

   Dengan tidak malu-malu, ia terima pemberian selamat si anak muda itu, dengan diiringi pemuda itu, ia minum araknya.

   Selama itu terus menerus ia bersenyum manis.

   Tan Hong benar-benar gunakan ketikanya.

   Ia tidak berikan Yasian ketika untuk membuka mulutnya, kemudian ia berkata pula.

   "Aku bersyukur untuk pelayanan kau selama di Touwbokpo, maka untuk itu, silakan kau keringkan tiga cawan pula!"

   "Tetapi kau mesti temani aku minum!"

   Kata Topuhua dengan manis.

   "Tentu!"

   Sahut Tan Hong. Lantas ia isikan pula tiga cawan, bersama si nona, ia keringkan cawannya sendiri. Yasian kerutkan alisnya melihat kelakuan puterinya ini.

   "Anakku, jangan minum terlalu banyak, nanti kau pusing,"

   Katanya.

   "Nanti toakomu tertawai kau, kau akan dikatakan tidak tahu adat..."

   Perdana menteri ini bicara kepada anaknya, tetapi maksud yang sebenarnya adalah untuk menegur Tan Hong. Topuhua tak dapat menangkap maksud ayahnya itu, ia tertawa.

   "Cuma beberapa cangkir arak, mana dapat membuatnya aku pusing!"

   Katanya.

   "Aku justeru girang sekali yang Thio Toako demikian baik hati..."

   Tanpa malu-malu nona ini memanggil "toako" - artinya "engko" - kepada si anak muda, terutama ayahnya pun menyebut "toako"

   Juga. Kembali Yasian kerutkan alisnya, ia masgul dan bingung.

   "Ah, ayah!"

   Kata Topuhua, ketika melihat roman ayahnya itu.

   "Baiklah, aku tidak akan minum pula. Thio Toako, hendak aku membalas memberi selamat tiga cawan kepadamu!"

   "Bagus, bagus!"

   Dua Musuh Turunan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Kata Tan Hong tanpa menunggu orang menuangkan arak untuknya.

   "Akan aku terima kebaikanmu ini!"

   Terus ia isi cawannya, terus ia minum, hingga tiga cawan. Topuhua sangat girang hingga ia seperti melupakan dirinya.

   "Sungguh kau manis, Thio Toako1."

   Ia berkata.

   "Aku kata, kau mesti minum lagi tiga cawan! Semasa di Touwbokpo kau berlalu tanpa pamitan. Tidakkah untuk itu kau harus didenda?"

   "Memang! Memang aku harus didenda!"

   Sahut Tan Hong, yang menerima salah... Ia sambar poci arak, yang hendak diambil si nona, ia tuangkan isinya, lagi sekali ia tenggak habis tiga cawan pula! "Arak sudah cukup!"

   Akhirnya Yasian campur bicara. Ia heran menampak sikap wajar dari Tan Hong. Tidakkah pemuda dan pemudi itu berada dihadapannya? "Mari kita dahar sup ikan untuk menghilangkan sedikit pengaruh arak!"

   Mendadak Tan Hong buka kancing bajunya, terus ia tertawa besar.

   "Jikalau arak bertemu penggemarnya, seribu cawan juga masih kurang!"

   Katanya.

   "Sebaliknya, kalau kata-kata tak cocok, setengah patah juga terlalu banyak! Ya, ya, kalau kata-kata tidak cocok, setengah patah juga terlalu banyak! Lihat, seribu cawan arak masih belum cukup, apakah aku sudah hendak dilarang meminumnya terlebih jauh?"

   "Ah, Thio Sieheng sudah mabuk!"

   Berkata Yasian. Tan Hong mainkan kaki tangannya.

   "Siapa kata aku sudah mabuk?"

   Katanya.

   "Siapa kata aku sudah mabuk? Lihat, akan aku minum pula, kamu saksikan!"

   Ia lantas sambar poci arak. Yasian kedipkan matanya kepada pahlawannya, Ma I Tjan, atas mana, pahlawan itu maju, untuk mencegah.

   "Kongtjoe sudah, jangan minum pula!"

   Kata dia. Ia tekan tangan orang.

   "Hai, kau berani melarang aku minum?"

   Tan Hong membentak, tangannya dipakai mengibas, atas mana, pahlawan itu mesti mundur tiga tindak. Poci arak pun terlepas dan jatuh. Karena ini merah muka dan kuping si pahlawan.

   "Hiantit, hati-hati,"

   Kata Yasian.

   "Arak dapat merusak badan, baik kau jangan minum pula!"

   Tan Hong tertawa berkakakan.

   "Sejak jaman purbakala hingga sekarang ini,"

   Katanya.

   "aku cuma dengar tuan rumah yang menganjurkan tetamunya minum arak tetapi belum pernah aku dengar tuan rumah mencegah tetamunya minum! Inilah tidak ada aturannya! Haha-haha! Haha nana!"

   "Ah, benar-benar Thio Sieheng sudah mabuk,"

   Berkata pula Yasian.

   "Lekas sajikan hidangan yang dapat melenyapkan pengaruh arak itu!"

   Tan Hong gerak-gerakkan kaki tangannya, seperti orang menari-nari, ia berlaku berandalan.

   "Aku belum mabuk! Aku belum mabuk!"

   Katanya berulang-ulang, akan tetapi lagaknya seperti orang sinting.

   Mendadak pula ia rubuh, dari mulutnya keluar air liur, lalu keluar juga arak yang tadi ia tenggak.

   Maka bau arak itu membuatnya orang hendak muntah-muntah! Yasian menggeleng-gelengkan kepala.

   "Ah, anak yang baik, kau berpura-pura mabuk!"

   Katanya perlahan.

   "Apakah dengan keadaanmu begini rupa akan aku lepaskan kau?"

   "Eh, ayah, kau bilang apa?"

   Tanya Topuhua.

   "Inilah bukan urusanmu,"

   Sahut orang tua itu.

   "Bila dia suka dengar aku, tidak nanti aku bunuh padanya!"

   Si nona terkejut.

   "Walaupun dia tidak dengar kata, tidak selayaknya dia dibunuh!"

   Katanya.

   "Sudah, jangan banyak bicara!"

   Berkata ayah itu.

   "Sekarang lekas kau suruh bawa dia ke kamar belakang untuk beristirahat."

   Tan Hong masih rebah di lantai, tubuhnya nampak lemas, mulutnya menganga, dari situ tersiar baunya susu macan.

   Mukanya telah menjadi merah seluruhnya, hingga mirip dengan setan arak yang lupa daratan...

   Tetapi, meskipun demikian, ia sebenarnya sadar.

   Demikian ia dengar suara tindakan ketika Tjeng Kok Hoatsoe dengan perlahan-lahan menghampiri padanya, tangan pendeta itu merabah nadinya.

   Ia lantas saja mainkan ambekannya menurut pengajaran kitab "Hiankong Yauwkoat,"

   Dengan begitu, ia tutup jalan napasnya, ia buat main, hingga nadinya jadi berdenyut tidak keruan, jalan napasnya pun menjadi kacau.

   "Ah, benar-benar bocah ini sudah mabuk!"

   Berkata pendeta itu setelah ia periksa nadinya.

   "Bocah ini sangat licin, aku lihat mungkin dia sengaja meloloh dirinya,"

   Berkata si pahlawan Ma I Tjan.

   "Ayahnya berada dalam genggamanku, aku tidak kuatir dia nanti dapat terbang pergi,"

   Berkata Yasian.

   "Sekarang dia mabuk, besok toh dia mesti memberi jawaban padaku. Perintahkan dua orang gotong dia ke belakang! Anak Hua, pergilah kau rawat dia..."

   "Baik, ayah,"

   Terdengar si nona berikan penyahutan.

   Menyusul itu Tan Hong rasakan dua orang memegang kaki dan tangannya, untuk mengangkat tubuhnya, untuk dibawa pergi.

   Diam-diam ia tertawa dalam hatinya.

   Ia lantas sengaja membikin dirinya seperti tengah tidur nyenyak karena mabuknya itu, ia perdengarkan suara menggeros yang keras.

   "Tjeng Kok Hoatsoe, selama beberapa hari ini aku telah membuat kau cape,"

   Terdengar suara si perdana menteri.

   "Bukankah di dalam istana tidak ada apa-apa yang menimbulkan kecurigaan?"

   Tan Hong dengar itu, hendak ia mendengarkan terlebih jauh, maka ia lantas mengerahkan kepandaiannya supaya tubuhnya menjadi berat. Itulah ilmu yang dinamakan "Tjiankin twie = Jatuh seribu kati."

   Kesudahannya hebat bagi kedua pahlawan yang menggotong tubuhnya itu, mereka sampai sukar bertindak, karena malu terhadap Yasian dan kuatir nanti dikatai tidak berguna, mereka memaksa menggotong terus, tapi tindakannya sangat ayal.

   Tjeng Kok Hoatsoe menjawab perdana menteri itu.

   Ia kata.

   "Istana berada di bawah pengawasanku, perhubungan antara dalam dan luar telah terputus, maka itu tidak ada orang yang berani datang masuk untuk membuat pembicaraan rahasia dengan Sri Baginda. Tentang itu, jangan Thaysoe kuatir."

   Hati Tan Hong bercekat.

   "Nyata, benar-benar Yasian berniat merampas tahta kerajaan,"

   Pikirnya.

   "Dia sampai berani bertindak begini macam, hingga raja Watzu pun dikekang kemerdekaannya!"

   Lalu terdengar pula suara Yasian, sambil tertawa.

   "Aku percaya dia pun tidak akan berani membuat perhubungan dengan pihak luar, tapi meskipun demikian, berlaku hati-hati adalah terlebih baik. Maka malam ini baiklah kau dan Ma I Tjan berdua yang bergilir menjaga istana. - Eh, kenapa kamu jalan perlahan sekali? Apakah kamu kuatir nanti melukai dia?"

   Perkataan yang belakangan ini merupakan teguran kepada kedua pahlawan yang ditugaskan menggotong Tan Hong, yang masih saja sangat ayal tindakannya.

   Tapi begitu lekas Yasian berhenti bicara, begitu lekas pula Tan Hong menghentikan pengerahan tenaganya, maka tubuhnya menjadi enteng pula seperti biasa, hingga kedua pahlawan itu menjadi lega hatinya.

   Mereka ini lantas menjawab perdana menteri itu.

   "Benar, Thaysoe. Thio Kongtjoe sudah mabuk, kami kuatir nanti melukai dia..."

   "Apa yang mesti dikuatirkan?"

   Terdengar pula Yasian.

   "Dia pandai ilmu silat, tubuhnya telah terlatih! Apakah kamu sangka dia bertubuh dari kertas?"

   Kedua pahlawan itu menyatakan mengerti, lalu mereka berjalan dengan cepat, membawa Tan Hong ke kamar belakang.

   Di dalam hati, mereka itu mencaci si anak muda, yang dikatakan sudah main gila.

   Biar bagaimana, mereka adalah pahlawan pilihan, kalau tidak, Yasian tidak akan pakai mereka, hanya mereka adalah yang terendah, maka itu, meskipun mereka curigai Tan Hong, tidak berani mereka membuka rahasia atau memberitahukan itu kepada Yasian.

   Mereka malu, mereka hanya bisa mendongkol saja...

   Tan Hong merasa senang rebah di atas pembaringan di atas mana ia diletakkan.

   Pembaringan itu empuk, sepre atau kelambunya menyiarkan bau harum.

   Ia pun merasakan hangat.

   Maka di dalam hatinya, ia tertawa.

   "Sungguh senang orang-orangnya Yasian,"

   Kata ia di dalam hatinya.

   "Kamar mereka pun harum sekali."

   Belum lama Tan Hong rebah, atau Topuhua telah bertindak masuk ke dalam kamar itu, si nona sudah lantas menghampiri pembaringan di tepi mana ia duduk.

   "Apakah benar kau mabuk sampai begitu rupa?"

   Katanya, dengan suara manis.

   Tan Hong berpura-pura pules, tidak ia menyahuti, akan tetapi hidungnya telah mencium bau harum yang hebat, hingga mau atau tidak, lantas saja ia berbangkis.

   Si nona sudah memberikan ia semacam wangi-wangian buatan Mongolia, wangi-wangian mana adalah untuk melenyapkan pengaruh air kata-kata.

   "Bangun, bangun!"

   Kata si nona sambil tertawa.

   "Aku akan suguhkan kau sup untuk menghilangkan mabukmu."

   Tan Hong telah membalik tubuhnya. Ia perdengarkan suara tidak nyata. Lalu ia tertawa.

   "Ha, malam ini aku tidak dapat berangkat!"

   Katanya seorang diri.

   "Di luar, tulang-tulang manusia bertumpuk bagaikan gunung... Aku takut, aku takut!..."

   "Eh, kau bangunlah!"

   Si nona berkata pula.

   "Di sini bukannya Touwbokpo! Di sini di mana ada tumpukan tulang-tulang manusia?"

   "Siapa bilang ini bukannya Touwbokpo?"

   Kata Tan Hong, yang masih terus bersandiwara.

   "Kau dengar! Bukankah di luar orang- orang sedang berperang dengan hebat?" -ooo00dw00ooo- Bab XXV Topuhua tertawa.

   "Suara berisik itu adalah suaranya pahlawan-pahlawan yang sedang bekerja,"

   Ia bilang.

   "Kau jangan takut."

   Ia merabah jidat orang untuk rasai kepalanya si anak muda panas atau tidak.

   Sekonyong-konyong Tan Hong muntah, keluarlah barang makanan yang tadi ia dahar, muntah itu mengenai pakaiannya si nona, justru pakaian baharu yang dia paling sayang.

   
Dua Musuh Turunan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Selagi muntah, tangannya menarik, memegang baju, hingga baju itu menjadi robek! Karena itu, kotoran pun mengenai dada yang putih halus dan montok dari si nona itu.

   Walau bagaimana, nona ini mengerutkan alisnya juga.

   "Ah, mengapakah kau mabuk hingga begini?"

   Katanya. Tak dapat ia gusar, ia menjadi masgul. Ia pencet hidung orang, ia mencekoki adukan air jinsom. Tan Hong menolak dengan mengibas-ngibaskan tangannya.

   "Aku mabuk, ingin aku tidur, pergilah kau!"

   Ia berkata.

   "Oh, oh, kalau kau tidak hendak pergi, mari, mari kita minum pula tiga cawan!..."

   Air jinsom kena tersampok, tumpah ke pakaiannya si nona, cangkirnya pun jatuh pecah.

   Karena tangannya kena tersampok, Topuhua rasai tangannya itu sakit.

   Tan Hong letakkan kepalanya di atas bantal, ia tidur secara sembarangan, kedua tangannya rapa-repe ke tepi pembaringan.

   "Hebat mabuknya dia, obat yang manjur pun masih tidak memberikan hasil..."

   Berkata si nona di dalam hatinya. Oleh karena pakaiannya pecah dan kotor, baunya pun keras sekali, terpaksa akhirnya ia undurkan diri.

   "Buka jendela!"

   Terdengar suaranya Tan Hong, bagaikan ngelindur.

   "Jangan padamkan api! Aku takut kepada gelap petang, kau tahu?"

   Topuhua menoleh, justru Tan Hong muntah pula.

   "Ah!..."

   Mengeluh nona ini, yang terus bertindak keluar.

   Tapi ia suruh pelayannya untuk bersihkan kotoran bekas muntah itu...

   Bukan main leganya hati Tan Hong setelah ia dapat kenyataan ia sudah terlepas dari libatannya nona puterinya perdana menteri Watzu itu, akan tetapi, begitu lekas ia ingat sepak terjangnya Yasian, lenyap kegembiraannya itu.

   Ia berbalik mesti berpikir keras.

   Sudah terang keras sekali minatnya Yasian untuk merampas negara.

   Itu pun berarti ancaman bahaya juga bagi kerajaan Beng.

   Untuk sementara itu, tak dapat ia memikir jalan guna menentangi tindakannya perdana menteri ini.

   Ia jadi berduka.

   Ia pikir, mungkin tak sukar untuk ia bunuh Yasian, tetapi kesudahannya pasti itu tidak akan membawa banyak perubahan, dan di antara kedua negeri, peperangan tidak akan dapat dihindarkan.

   Lagipun dengan begitu, kaisar Beng yang tertawan musuh, mungkin akan terlebih sukar untuk dimerdekakan.

   Tan Hong sendiri, begitu juga Ie Kiam, bercita-cita supaya kedua negara hidup akur dan rukun.

   Karena ini, tak sudi Tan Hong ambil peranan sebagai satu pembunuh terhadap Yasian itu.

   Terus Tan Hong rebahkan dirinya sambil terus berpikir.

   Sama sekali tak dapat ia tidur.

   Begitulah ketika kentongan berbunyi tiga kali, ia dengar pertanda waktu itu.

   Ia memandang ke arah jendela, ia tampak si Puteri Malam yang baharu muncul.

   Pada pepohonan ada gerakan dari angin halus.

   Masih ia tidak peroleh daya.

   Tiba-tiba terlihat cabang pohon di muka jendela bergoyang, lalu satu bayangan orang berkelebat, belum sempat si anak muda membuka mulutnya, untuk menegur, bayangan itu sudah berdiri di depannya.

   Luar biasa sehatnya bayangan itu.

   Akan tetapi ketika Tan Hong telah melihat roman orang, ia girang tak kepalang.

   Bayangan itu adalah gurunya sendiri.

   "Aku lihat tanda-tanda kau di dalam kota,"

   Berkata Tjia Thian Hoa dengan perlahan, mendahului muridnya itu kepada siapa ia menggoyangkan tangan.

   


Kilas Balik Merah Salju -- Gu Long Elang Pemburu -- Gu Long /Tjan Id Maling Romantis -- Khu Lung

Cari Blog Ini