Ceritasilat Novel Online

Dua Musuh Turunan 3


Dua Musuh Turunan Karya Liang Ie Shen Bagian 3



Dua Musuh Turunan Karya dari Liang Ie Shen

   

   Tjioe Kian beri keterangan.

   "Begitu dia saksikan golokku, dia mesti dapat menduga aku siapa. Cuma tadinya dia berpura-pura tidak tahu. Pun biasanya, setiap kali aku tempur tentera negeri, aku selalu pakai topeng, maksudku ialah agar mereka tidak mengenali aku."

   "Kenapa begitu, soesioktjouw?"

   "Jikalau tenteranya mengetahui aku adalah bekas tjongpeng dari kota Ganboenkwan."

   Sahut si orang tua.

   "ada kemungkinan sebagian dari tenteranya itu akan lari ke pihakku. Ganboenkwan adalah kota perbatasan, sudah semestinya kota itu mempunyai pasukan penjaga yang kuat, karena ini aku cuma terima orang-orang melarat, aku tolak tentera negeri."

   In Loei masih muda sekali, tidak pernah ia pikirkan siasat semacam itu, karenanya ia melengak mendengar pembicaraan Kimtoo Tjeetjoe, yang dalam maksudnya itu.

   "Bagus, dia telah mendusin"

   Tiba-tiba Tjioe Kian berseru. Memang benar si orang luka itu membalikkan tubuhnya.

   "Kamu siapa"

   Tanya dia pertama kali dia membuka mulutnya, suaranya serak.

   "Lekas pimpin aku, aku hendak bertemu dengan Kimtoo Tjeetjoe!....."

   Tjioe Kian girang.

   "Akulah Kimtoo Tjeetjoe,"

   Ia perkenalkan dirinya. Orang itu segera menanya.

   "Apakah kau tahu cucu perempuan dari In Tjeng yang bernama Loei? Tahukah kau di mana dia berada?"

   In Loei terkejut.

   "Aku adalah In Loei!"

   Ia segera menjawab. Dengan mendadak orang itu pentang lebar matanya.

   "Kau In Loei?"

   Katanya.

   "Bagus! Bagus! Mati pun aku meram! Kakakmu masih hidup, sekarang dia telah pergi ke kota raja untuk turut dalam ujian, maka lekaslah kau pergi susul dia!"

   Kembali si nona terkejut.

   Memang ia tahu yang ia masih mempunyai satu saudara lelaki, dan usianya lebih tua, namanya In Tiong, akan tetapi waktu kakaknya itu berumur lima tahun, ayahnya telah mengirimkan dia pada satu soehengnya, kakak seperguruan, untuk dijadikan muridnya.

   Hal ini ia baharu tahu kemudian, sesudah ia dengar keterangan gurunya.

   Sama sekali Hian Kee Itsoe, gurunya In Teng, mempunyai lima murid.

   In Teng keluar dari perguruan sebelumnya tamat, dia pergi ke negeri asing untuk menolongi ayahnya, In Tjeng.

   Empat murid lainnya, masing-masing mendapat serupa kepandaian istimewa.

   Tiauw Im adalah murid yang kedua, dia mendapat ilmu tongkat Hokmo thung serta gwakang, ilmu tenaga luar.

   Tjia Thian Hoa yang ketiga, bersama Hoeithian Lionglie yang ke empat, berdua mereka peroleh ilmu pedang.

   Murid kesatu adalah Tang Gak, dia diberi pelajaran Taylek Engdjiauw kong, Tenaga Cengkraman Garuda, dan ilmu silat Kimkong tjioe, Tangan Arhat.

   In Tiong telah dikirim kepada Tang Gak ini.

   Sejak Tang Gak tiba di Mongolia, dari mana ia berpesiar keperbatasan Thibet, untuk selama sepuluh tahun, selama itu tidak pernah ada kabar ceritanya, maka itu apakah In Tiong sudah mati atau masih hidup, orang tidak mengetahuinya.

   Siapa tahu sekarang mendadak datang kabar dari orang yang tidak dikenal ini.

   In Loei menjadi girang berbareng heran.

   "Kau siapa?"

   Ia tanya.

   "Aku adalah soeheng dari kakakmu,"

   Ia berikan jawaban.

   "Ah! Kalau begitu, kau juga ada soeheng-ku....."

   Ia beritahu. Tadinya ia niat menanyakan lebih jelas, tiba-tiba ia tampak matanya menjadi putih mencilak, lalu dengan lebih serak, soeheng itu berkata.

   "Masih ada kabarku yang lebih pentang pula. Bangsa Tartar berniat mengurung gunungmu, untuk merusak bendungan air....."

   "Tentang itu, aku telah ketahui dari siang-siang,"

   Tjioe Kian beri keterangan.

   "Dapatkah kau dengar suara ledakan? Itu tandanya pihakku telah peroleh kemenangan."

   Orang itu tersenyum, ia perlihatkan roman girang.

   "Musuh juga akan mengerahkan angkatan perangnya untuk menggempur kerajaan Beng,"

   Dia masih menerangkan lebih jauh.

   "Kau..... kau mesti berdaya untuk memberi kisikan kepada Sri Baginda. Di..... di..... dihadapanku ada sepucuk surat untukmu..... Bagus, aku telah bertemu dengan kamu, bolehlah aku pergi....."

   Suaranya semakin perlahan, begitu ia berhenti bicara, ia tersenyum pula, habis itu, kedua matanya dimeramkan kembali....."

   Secara demikian dia berpulang ke alam baka. Tjioe Kian terharu, ia menghela napas. Ia ambil surat yang dimaksudkan, ia menekes batu untuk menyalakan api.

   "Inilah suratnya toasoepeh-mu."

   Ia kata. Surat itu ditulis dengan huruf "Tjodjie", suatu tanda ditulisnya lekas-lekas. Tjioe Kian lantas sobek sampulnya, untuk membaca suratnya. Mula-mula ia baca.

   "Gak adalah seorang gunung, ia titipkan dirinya di padang pasir, citacitanya besar, akan tetapi akhirnya, dengan arak ia membuat dirinya sinting selalu. Seumurnya tidak ada yang Gak buat menyesal kecuali belum pernah berkenalan dengan tuan....."

   Di dalam hatinya, Tjioe Kian berpikir.

   "Tang Gak ini mempunyai cita-cita luhur."

   Ia membaca terus.

   "Walaupun tuan dengan aku belum pernah bertemu, akan tetapi dari saudara Thian Hoa, tahulah aku tentang kegagahan tuan yang kaum kangouw mengaguminya. Benar tuan telah berdiri sendiri dengan menduduki sebuah gunung, dengan menolak bangsa Han dan menentang bangsa asing, akan tetapi aku tahu pasti tuan tak sudi melihat bangsa asing meluruk ke Selatan untuk menggembala kuda hingga kesudahannya Tionggoan nanti berubah Han menjadi asing....."

   Tjioe Kian menghela napas.

   "Sungguh orang ini mengenal diriku,"

   Ia kata. Ia membaca pula.

   "Di negara Watzu setelah perdana menteri To Hoan menutup mata, puteranya yang bernama Ya Sian telah menggantikannya, mulanya sebagai menteri, belakangan dia angkat dirinya guru negara, hingga dia pegang kekuasaan atas pemerintahan dan tentera. Dia telah menyiapkan angkatan perangnya dengan maksud menyerbu Tionggoan. Sekarang dia mengumpulkan rangsum dan lain lainnya, hingga rasanya tak lama lagi ia akan mulai menggerakkan tenteranya itu. Musuh tangguh sudah seperti di depan pintu kota perbatasan akan tetapi di dalam pemerintahan, menteri-menteri tengah bermabuk-mabukan, mereka seperti tengah bermimpi adakah itu bagus?....."

   Jago tua itu berpikir keras. Memang kelihatan, kaum dorna tengah main gila. Ia membaca lebih jauh.

   "Muridku In Tiong berniat keras membalas dendam, dia telah berangkat pulang ke dalam negeri, tetapi dia masih muda dan pengalamannya kurang, dia tak tahu bahwa yang berkuasa adalah kaum dorna, aku kuatir dia nampak kegagalan. Maka itu, semoga tuan ingat kepada sahabat lama, sukalah kau mendidik dia. Gak pun dengar saudara In Tjeng masih mempunyai satu anak perempuan bernama Loei, andaikata tuan ketahui di mana adanya anak itu, tolong beritahukan padanya tentang kakaknya ini. Aku menyesal mengenai soetee Thian Hoa, sejak pertemuan kita di perbatasan pada sepuluh tahun yang lalu, sampai sekarang ini terputuslah perhubungan kita. Ceritera di luaran mengatakan dia telah terbinasa ditangan penghianat she Thio atau ia telah tertawan dan terkurung di dalam istana bangsa asing. Gak sekarang bersendirian saja, aku tidak sanggup berbuat suatu apa, dari itu Gak mohon sukalah tuan mengabarkan kepada soetee Tiauw Im dan soemoay Eng Eng agar mereka lekas berangkat ke negara asing. Semua ini, aku mohon bantuan tuan, untuk itu, tak berani aku menghaturkannya terima kasih."

   Habis membaca, Tjioe Kian menghela napas.

   "Jikalau demikian adanya,"

   Kata In Loei.

   "baiklah aku pergi dulu ke kota raja untuk mencari kakakku."

   Orang tua itu lirik si nona, ia berpikir.

   "Begitupun baik,"

   Sahutnya, setelah lama berpikir. In Loei heran melihat wajah orang tua itu.

   "Rasanya aku dapat menduga niatan kakakmu itu,"

   Kata Tjioe Kian kemudian.

   "Kabarnya raja yang sekarang sedang mencari orang-orang pintar dan gagah, untuk itu ia berminat memberi hadiah yang istimewa pada mereka yang tahun ini turut ujian, ialah setelah ujian umum, ia lantas mengadakan ujian tjonggoan. Pastilah kakakmu hendak ambil jalan ujian itu guna memajukan dirinya, supaya kemudian dapat ia pinjam tenaga pemerintah untuk mewujudkan pembalasan bagi engkong nya itu. Maksud ini baik, saying kawanan dorna tengah berkuasa, dari itu aku kuatir, dia tidak akan mendapat hasil....."

   Orang tua ini dongak, akan melihat bintang-bintang. Tiba-tiba ia memandang In Loei.

   "A Loei, pernahkah kau baca surat balasannya Lie Leng kepada Souw Boe?"

   Tiba tiba ia tanya. Si nona manggut. Memang ia pernah baca surat itu. Inilah disebabkan karena engkong-nya membandingkan dirinya dengan Souw Boe, maka ia telah minta engkong itu mengajarkannya.

   "Masa dahulu Lie Leng, dengan tenteranya telah melawan bangsa Ouw,"

   Berkata Tjioe Kian.

   "Serdadunya cuma lima ribu jiwa tapi dia lawan musuh dengan tentera sepuluh laksa jiwa, bisa dimengerti kelemahannya, walaupun demikian, masih bisa ia membinasakan panglima dan merebut benderanya, mengejar sana mengejar sini, hanya pada akhirnya, karena yang sedikit tidak dapat melawan yang banyak, ia kehabisan tenaga dan kena ditawan juga. Kalau diingat, besar jasanya Lie Leng, tetapi pemerintah tidak menghargainya, malah dia dihukum mati serumah tangganya, maka itu, ia jadi putus asa, tak ada ingatannya lagi untuk pulang ke negerinya. Dalam suratnya pada Souw Boe itu, ia teringat kepada ibunya, kepada anak isterinya, ia sesalkan nasibnya yang buruk. Maka itu, Lie Leng itu sungguh harus dibuat menyesal....."

   Ia dongak pula, ia menghela napas.

   "Soesioktjouw,"

   Berkata In Loei.

   "kau tetap menentangi tentara bangsa Ouw, mana bisa kau dipadu dengan Lie Leng?"

   "Kau belum tahu tentang aku, anak,"

   Kata Tjioe Kian.

   "Dalam usiamu tujuh tahun, kau telah dengar riwayatnya engkong-mu, maka sekarang, akan aku tuturkan kau hal diriku. Dahulu dimasa aku menguasai kota Ganboenkwan, pernah aku melakukan peperangan besar dan kecil sampai beberapa puluh kali, setiap kali berperang, tentu aku peroleh kemenangan, maka sungguh tak diduga, oleh karena dengar hasutan, raja telah memecat aku. Untukku, kejadian itu tidak berarti suatu apa. Tapi engkong-mu? Dia bandingkan dirinya dengan Souw Boe tapi dia mengalami lebih hebat, dia dihadiahkan kematian! Adakah ini adil? Karena itu, aku lantas tinggalkan Ganboenkwan. Mulanya aku tak mempunyai pikiran untuk menduduki gunung, siapa tahu, raja Beng berbuat sama seperti raja Han terhadap Lie Leng. Keluargaku semua telah dihukum mati! Syukur satu bujangku yang setia berhasil menolongi puteraku. Dialah orang yang pancing kau mendaki gunung."

   In Loei terharu hingga ia mengalirkan air mata. Ketika ia pandang jago tua itu, wajahnya Tjioe Kian muram, jago itu membungkam. Tapi kemudian, dengan goloknya, Tjioe Kian tunjuk benderanya yang melambai-lambai ditiup angin malam yang dingin.

   "Lihat di sana, benderaku tetap bendera Djitgoat Kie!"

   In Loei angkat kepalanya, ia turut memandang bendera itu dengan matahari dan bulan sabitnya. Yang luar biasa adalah huruf "djit" - "matahari"

   Dan huruf "goat" - "rembulan,"

   Apabila keduanya direndengkan, digabung menjadi satu, kedua huruf itu menjadi huruf "Beng" - "terang,"

   Tetapi di sini diartikan "beng"

   Dari kerajaan Beng.

   "Kiranya sekalipun soesioktjouw menjadi berandal, masih kau tak melupakan kerajaan kita!"

   Ia kata. Tjioe Kian tidak menjawab, ia hanya berkata.

   "Kalau nanti kau dapat cari kakakmu itu, katakan padanya supaya dia jangan turut dalam ujian boe tjonggoan, tapi lebih baik dia kembali, untuk datang padaku di sini. Pemerintah sangat tidak berbudi, buktinya, lihat yaya-mu itu! Apakah itu tak cukup dijadikan contoh untuk hati menjadi ciut?"

   Si nona mengangguk.

   "Soesioktjouw benar,"

   Sahutnya. Tjioe Kian lipat suratnya, ia masukkan itu ke dalam sakunya.

   "Samsoesiok Tjia Thian Hoa mu gagal, dia juga orang yang aku kagumi,"

   Dia berkata pula.

   "Aku ingat pada sepuluh tahun yang lampau, bersama-sama Tiauw Im Taysoe dia telah membuat janji, yang satu memelihara anak tunggal, yang lain menuntut balas. Sekarang ini Tiauw Im Taysoe sudah menitipkan kau kepada adik seperguruannya yang perempuan untuk merawat kamu, akan tetapi tentang pembalasan dari Thian Hoa, entahlah! Tidakkah ini membuatnya orang berduka?"

   "Nanti aku beritahukan guruku,"

   Kata In Loei.

   "biar ia bersama djiesoepee pergi ke perbatasan untuk mencari samsoepee."

   "Kau, sendirian saja, mana dapat kau bekerja untuk dua jurusan?"

   Kata Tjioe Kian.

   "Begini saja. Pergi kau cari kakakmu, aku yang akan memberitahukan kepada gurumu."

   "Itulah lebih baik. Baiklah besok akan aku berangkat."

   Tjioe Kian tertawa.

   "Kau masih mempunyai waktu beberapa hari,"

   Katanya.

   "Dalam hal ilmu silat, kau lebih pandai, tapi tentang pengalaman, kau perlu belajar dari aku....."

   Waktu cuaca makin terang dan dentuman sudah mulai sepi, Tjioe Kian dan In Loei kembali ke pesanggrahan.

   Tepat tengah hari, tentara yang bersembunyi di empat penjuru sudah kembali dengan warta kemenangannya yang besar, tentera Mongol dihajar kucar-kacir dan banyak yang tertawan berikut kudanya.

   Karena itu, Tjioe Kian menitahkan untuk memberi hadiah, hingga ia menjadi repot untuk beberapa saat.

   "Kau benar gagah, tetapi mengenai seluk-beluk kaum kangouw, kau masih kurang,"

   Berkata pula Tjioe Kian sambil tertawa.

   "Nanti aku suruh, San Bin mengajarkan padamu."

   In Loei cerdas, dengan gampang ia dapat mengerti, maka baharu tiga hari, ia sudah tahu baik segala apa mengenai kaum kangouw.

   Tjioe Kian masih kuatirkan orang kurang pengalaman, kenalan pun ia tak mempunyai banyak, dari itu ia serahkan sebuah benderanya, bendera Djitgoat kie.

   "Semua orang kaum kita di lima propinsi Utara, baik dari kalangan darat maupun sungai, apabila mereka lihat bendera ini, pasti mereka akan suka mengalah,"

   Ia beri keterangan.

   
Dua Musuh Turunan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Umpama kata kau menghadapi ancaman bahaya, kau keluarkan saja bendera ini. Cuma ingat, tidak dapat kau keluarkan secara sembarangan."

   In Loei terima bendera itu, ia haturkan terima kasihnya, akan tetapi, di dalam hatinya, ia berpikir.

   "Aku hendak merantau, aku membutuhkan pengalaman, perlu apa aku dengan perlindungan bendera ini?....."

   Tapi tidak ia utarakan pikirannya ini. Tjioe Kian juga keluarkan beberapa potong pakaian orang lelaki, emas dan perak serta permata. Sambil tertawa, ia kata.

   "Satu nona tunggal membuat perjalanan ke kota raja, kau mudah membangkitkan perhatian orang, maka itu perlulah kau salin pakaian, untuk menyamar sebagai satu pemuda. Uang dan permata ini, kau boleh simpan untuk dipakai di tengah perjalanan."

   In Loei anggap salin pakaian adalah benar, maka ia tidak membantah. Ia dandan dengan lantas. Ia terima bekalan itu. Segera ia memberi hormat, untuk pamitan.

   "San Bin, pergi kau antar serintasan!"

   Tjioe Kian titahkan. Demikian In Loei keluar dari pesanggrahan, ia menunggang kuda pilihannya, maka itu, pada waktu tengah hari ia sudah melintasi Ganboenkwan.

   "Siokhoe silakan kau kembali!"

   Ia minta pada pengantarnya. San Bin mengawasi dengan tajam.

   "Kau harus lekas kembali,"

   Katanya, suaranya dalam. Ia tidak lantas putar kudanya, sebaliknya, ia jalan terus berendeng dengan si nona, agaknya ia berat untuk berpisah.

   "Siokhoe, terima kasih untuk kebaikanmu,"

   Kata In Loei.

   "Silakan kembali!"

   Tiba-tiba wajahnya San Bin bersemu merah, lalu ia tertawa sendirinya.

   "Sebenarnya perbedaan usia kita berdua tidak seberapa,"

   Berkata dia.

   "Di antara kita ada tingkat, karenanya kita bukan lagi saudara. Coba kita bicara hanya hal umur, lebih tepat kita menjadi kakak dan adik."

   In Loei menjadi heran. Tiba-tiba ia ingat, selama beberapa hari, San Bin berlaku luar biasa baik terhadapnya. Di dalam hatinya, ia kata.

   "Paman ini seorang yang baik, sayang cara bicaranya tidak ada batasnya....."

   Muda usianya si nona, ia tidak dapat berpikir lebih dalam.

   "Siokhoe, adakah kau cela aku memanggil paman padamu?"

   Tanya dia sambil tertawa.

   "Baiklah kalau lain hari aku kembali, aku nanti bicara dengan soesioktjouw supaya kita ubah cara panggilan kita"

   Kembali mukanya San Bin merah.

   In Loei tertawa pula, terus ia pecut kudanya untuk dilarikan.

   Ketika ia berpaling, ia tampak Tjioe San Bin masih duduk diam di atas kudanya mengawasi padanya.

   Tiga hari In Loei lakukan perjalanannya, pada hari ketiga itu ia tiba di Yangkiok yang ramai, sesampainya di dalam kota, ia tampak banyak rumah makan.

   Ia lantas merasa lapar.

   "Sudah lama aku dengar, arak hoentjioe dari Shoasay kesohor, hari ini baik aku mencobanya,"

   Pikir nona ini.

   Lantas ia hampirkan sebuah rumah makan di depan mana ia tampak ditambat seekor kuda putih, putih juga ke empat kakinya, roman kuda pun bagus.

   Ia menghampiri lebih dekat.

   Justeru itu matanya berbentrok dengan satu tanda rahasia orang kangouw di pojok tembok, ia jadi heran.

   Dengan tenang ia bertindak masuk, hingga ia dapatkan di pojok selatan, dekat pada jendela, duduk satu anak sekolah yang sedang minum seorang diri, sedang di sebelah timur duduk dua orang laki-laki yang tubuh dan romannya kasar, yang satu kurus, yang lain gemuk, keduanya minum dengan asyik.

   Tetapi di mata si nona, mereka itu ternyata sering-sering melirik pada si mahasiswa.

   Anak sekolah itu indah pakaiannya, dia mirip dengan seorang putera hartawan.

   Dia juga minum seorang diri, secawan demi secawan, sampai tubuhnya nampak sedikit limbung, suatu tanda bahwa ia telah menenggak terlalu banyak.

   Tiba-tiba saja anak muda ini menyanyi.

   "Tuhan wariskan kita kepandaian, itu mesti ada gunanya. Kalau seribu emas dihabiskan, itu mesti dapat balik kembali. Memasak kambing, menyembelih kerbau, untuk berpesta bersenang-senang, maka itu haruslah diminum habis tiga ratus cangkir....."

   Ia lantas goyang-goyangkan kepalanya, nampaknya ia tolol. Kembali ia ceguk satu cawan, hingga tenggorokannya berbunyi. Di dalam hatinya, In Loei berkata.

   "Sioetjay ini benar-benar tolol ia tidak insaf bahwa ini membahayakan perjalanannya. Dua penjahat sedang pasang mata terhadapnya, tapi ia masih tungkuli araknya saja....."

   Si kurus di timur itu terdengar berseru.

   "Minum habis tiga ratus cangkir! - bagus! Hai, saudara, lain orang minum tiga ratus cangkir, kau sendiri, tiga cangkir kau masih belum tenggak!"

   Sang kawan, si gemuk, berjingkrak.

   "Kau ngaco!"

   Tegurnya.

   "Kau cuma minum satu cawan, kau suruh aku habiskan tiga!"

   "Tapi kau harus ingat, kau lebih besar tiga kali lipat daripadaku!"

   Kata si kurus.

   "Aku minum satu cawan, kau sendiri mesti tiga, tak boleh kurang!"

   "Angin busuk ! Angin busuk!"

   Si terokmok mendongkol.

   "Tidak, aku tidak mau minum!"

   "Eh kau tidak mau minum?"

   Tanya si kurus. Dia angkat poci arak itu, untuk digelukgukkan. Gusar si terokmok, ia menolak dengan keras, maka arak tumpah menyiram tubuhnya. Si kurus melawan, mereka berdua jadi bergumul, keduanya terhuyung hingga melanggar si mahasiswa.

   "Kurang ajar!"

   Anak sekolah itu membentak.

   Ia gusar, ia berbangkit.

   Berbareng dengan itu terdengar suara barang jatuh, itulah kantong sulam si anak muda dari mana meletik keluar sepotong emas serta serenceng mutiara.

   Emas masih bagus tapi mutiara itu, di antara sinar matahari, sudah bercahaya terang sekali.

   Si anak muda angkat kakinya, untuk menginjak kantongnya, lalu ia membungkuk untuk menjemput emas dan mutiara itu.

   "Kamu hendak merampas?"

   Ia berseru. Dua orang itu berhenti bergumul.

   "Siapa yang merampas barangmu?"

   Bentak mereka.

   "Kau berani tuduh orang? Nanti aku hajar padamu!"

   Beberapa tetamu lain lantas maju, untuk memisahkan.

   In Loei tertawa menyaksikan pertunjukan itu.

   Di matanya, sudah terang si gemuk dan si kurus itu ada dua penjahat, mereka sengaja bergumul untuk menjatuhkan kantong uang orang untuk dirampas, sedikitnya untuk mengetahui lebih dulu, kantong itu kosong atau berisi, akan tetapi tak kesampaian maksud mereka.

   Di dalam hatinya, ia pun berkata.

   "Di sini ada aku, tidak nanti aku biarkan kamu mencapai maksudmu....."

   Nona ini berbangkit, untuk menghampiri. Dengan kedua tangannya, ia tolak si gemuk dan si kurus itu.

   "Kamu mabuk arak, kenapa kamu bergumul hingga ke tempat lain orang?"

   Ia tegur mereka.

   Sambil berkata begitu, dengan sebat tangannya meraba sakunya kedua orang itu, akan rampas uangnya.

   Tidak ada orang yang lihat perbuatannya ini.

   Ditolaknya dada kedua orang itu, mereka merasa sakit, hingga mereka jadi kaget, karena mana, tidak berani mereka beraksi terlebih jauh.

   "Siapa suruh dia menuduh kita merampas....."

   Mereka mendumal.

   "Sudah, sudahlah!"

   Kata seorang tetamu.

   "Kamu telah menubruk orang, kamu yang bersalah. Baiklah kamu pulang, untuk minum arak di rumah saja."

   Si mahasiswa angkat cawannya.

   "Saudara, mari minum!"

   Ia mengundang, suaranya menyiarkan bau arak yang keras.

   "Terima kasih,"

   Sahut In Loei.

   Ia duduk pula di kursinya, dari situ ia awasi kedua orang itu.

   Kedua orang ini terang masih mendongkol, mereka memandang orang dengan sorot mata tajam.

   Lalu satu di antaranya teriaki tuan rumah untuk membuat perhitungan.

   Orang yang kedua, si kurus, meraba sakunya.

   Rupanya ia hendak mengeluarkan uang.

   Tiba-tiba ia melengak, wajahnya menjadi pucat.

   Si gemuk lihat roman orang, ia terkejut.

   Ia lantas raba sakunya.

   Ia pun melongo dengan mendadak.

   Sebab ia pun dapatkan sakunya kosong.

   Keduanya lantas saling mengawasi, mulut mereka bungkam.

   "Sama sekali satu tail tiga tjhie,"

   Kata tuan rumah, yang menghampiri kedua tetamunya itu. Kedua orang itu menyeringai, tangan mereka masih belum ditarik keluar dari saku mereka.

   "Tuan-tuan, semua menjadi satu tail tiga tjhie,"

   Kata pula si tuan rumah.

   "Apakah boleh kami membayar lain hari saja?"

   Tanya si kurus akhirnya. Tuan rumah memperlihatkan roman heran, habis itu ia tertawa dingin.

   "Kalau setiap tetamu berhutang, tidakkah kami bakal makan angin?"

   Kata dia. Jongos, yang tidak senang turut bicara.

   "Apakah kamu berdua bukannya sengaja hendak mengganggu kita? Kamu sudah minum dengan puas, lalu berkelahi, menubruk orang sekarang kamu juga hendak menganglap! Jikalau kamu tidak punya uang, buka saja bajumu!"

   Kasar suaranya jongos ini tetapi ia membuatnya lain-lain tetamu tertawa, hingga ruangan menjadi riuh ramai.

   "Memang mereka berdua yang salah....."

   Ada orang yang turut bicara. Melihat suasana buruk, kedua orang itu membuka bajunya.

   "Dua potong baju saja belum cukup!"

   Kata si jongos yang tahu-tahu sudah menyambar kopiah orang, lalu dia menambahkan.

   "Dasar kita yang lagi sial! - Nah, sudah pergilah kamu!"

   Merah mukanya kedua orang itu, terpaksa mereka ngeloyor pergi. Puas In Loei menyaksikan kejadian itu, ia keringkan lagi dua cawan. Ketika ia menoleh pada si anak sekolah, dia itu masih duduk minum. Tiba-tiba ia ingat suatu apa.

   "Terang sudah kedua orang itu adalah orang-orang jahat, mereka mesti orang orang sebawahan, kena dihina mereka tidak bisa berbuat suatu apa, tetapi sepulangnya mereka mungkin mereka mengadu kepada kepalanya. Aku sendiri tidak takut tapi bagaimana dengan anak sekolah itu? Ia terancam bahaya....."

   Karenanya ia berbangkit, ia teriaki tuan rumah.

   "Berapa aku telah minum?"

   Ia sudah ambil putusan akan susul kedua orang itu. Tuan rumah menghampir dengan wajah berseri-seri. Ia telah lihat pakaian orang yang indah.

   "Semuanya satu tail dua tjhie,"

   Ia jawab.

   In Loei merogo sakunya.

   Di situ ia taruh uang dari Tjioe Kian.

   Tiba-tiba ia bercekat.

   Sakunya itu kosong.

   Dua Musuh Turunan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Maka lekas ia rogo saku kiri.

   Di sini ia taruh uangnya dua orang tadi.

   Kembali ia terkejut.

   Juga uang copetannya itu lenyap.

   Tanpa merasa, ia keluarkan keringat dingin.

   Tuan rumah mengawasi orang merogo dan merogo lagi kedua sakunya.

   Dari dandanannya, ia tidak percaya bahwa ia sedang menghadapi seorang tukang anglap lain.

   "Apakah tuan tidak punya uang kecil?"

   Dia tanya.

   "Uang goanpo juga boleh, dapat aku menukarnya."

   Bingung In Loei. Takut ia nanti disuruh buka pakaian! Itulah hebat. Tuan rumah mengawasi, orang merogo dan merogo lagi ke kedua sakunya, akhirnya ia menjadi curiga.

   "Kau kenapa, tuan?"

   Dia tanya, suaranya tawar. Justeru itu si mahasiswa menghampiri, sambil tertawa ia berkata.

   "Di empat penjuru lautan semua orang bersaudara..... Uang seribu tail dibuyarkan pun bisa dapat kembali..... Biarlah aku yang tolong bayarkan uang araknya engko kecil ini."

   Ia rogo sakunya, akan keluarkan sepotong perak berat kira-kira sepuluh tail. Ia lemparkan perak itu pada tuan rumah.

   "Ini uangnya,"

   Katanya.

   "Lebihnya kau boleh ambil."

   Luar biasa girangnya si tuan rumah.

   "Terima kasih! Terima kasih!"

   Ia mengucap berulang-ulang. Merah mukanya In Loei.

   "Terima kasih,"

   Ia pun menghaturkan.

   "Tak usah."

   Kata si anak muda, tenang.

   "Aku hendak mengajarkan kau satu rahasia. Yaitu lain kali kalau pergi minum arak, harus kau pakai baju dua rangkap, dengan begitu, jangan kuatir apa-apa lagi di waktu hendak membayar uang arak."

   Di waktu bicara, kembali mulutnya berbau arak keras. Ia tetap berlaku tenang, habis berkata, tanpa pedulikan lagi si anak muda, ia ngeloyor pergi. In Loei mendongkol bukan main, ia jengah.

   "Satu anak sekolah tidak tahu aturan....."

   Pikirnya.

   "Coba tadi aku tidak tolong padamu, pasti uangmu telah orang rampas....."

   Kemudian ia mengawasi kesekitarnya, ia tidak lihat satu tetamu jua yang mencurigakan.

   Ia jadi putus asa.

   Dengan masih mendongkol dan masgul, ia pun lantas angkat kaki, dengan menunggang kudanya, ia lanjutkan perjalanannya.

   Bingung juga ia, karena sekarang ia tidak punya uang.

   Setibanya di luar kota, In Loei lihat si anak muda, yang bersama kudanya yang putih, berada di sebelah depan.

   "Bukankah dia yang telah main gila?"

   Tiba-tiba ia bercuriga.

   "Tapi dia tak mirip sama sekali....."

   Ia larikan kudanya, untuk menyandak mahasiswa itu, lalu dengan menyambuk seperti juga ia ingin kaburkan kudanya, ujung cambuknya ia arahkan keiganya si anak sekolah.

   Inilah satu ujian.

   Kalau si anak muda seorang lihay, ia mesti dapat egoskan tubuhnya, akan menyingkir dari ancaman bencana.

   Sekonyong-konyong si anak muda menjerit, ia tidak berkelit dari cambuk itu, tubuhnya lantas saja terhuyung, hampir ia jatuh dari atas kudanya.

   "Maaf, aku kesalahan!"

   Berkata In Loei.

   "Aku tidak sengaja."

   Mahasiswa itu menoleh.

   "Ah, orang yang hendak menganglap....."

   Katanya.

   "Jangan kau arah aku karena aku mempunyai uang, dengan uangku aku hanya hendak ikat persahabatan..... Orang semacam kau, yang sudah menganglap dan sekarang juga memukul orang, denganmu tak suka aku bersahabat!"

   In Loei mendongkol berbareng merasa lucu.

   "Apakah kau masih sinting ?"

   Ia tanya. Si mahasiswa tidak menyahuti, ia hanya ngoceh seorang diri.

   "Dengan golok membacok air, air tak terputus hanya mengalir terus. Angkat cawan meminum arak, untuk melenyapkan kedukaan, tapi kedukaan tambah kedukaan. Memang hidup di dalam dunia sukar mendapatkan kepuasan maka lebih baik besok pergi main perahu!..... Eh, eh, tak sudi aku minum arak bersama kau, tak sudi aku!"

   Kelihatan nyata sintingnya mahasiswa ini.

   Bingung juga In Loei.

   Ia maju, ia ingin pegang tubuhnya yang limbung di atas kuda itu.

   Atau mendadak si mahasiswa jepit perut kudanya hingga kuda itu lompat kabur.

   Kudanya In Loei adalah kuda Mongolia pilihan, akan tetapi ketika ia kaburkan kudanya, untuk menyusul, tidak dapat ia candak si anak muda.

   "Dia tidak mengerti silat tetapi kudanya jempol sekali..."

   Pikirnya.

   Terpaksa ia jalan terus seorang diri, pikirannya pepat.

   Lama In Loei lanjutkan perjalanannya, sampai ia lihat matahari merah mulai condong ke arah barat dan dari sana-sini mulai terlihat asap mengepul, tandanya orang sudah mulai menyalakan api.

   Ia memikir untuk singgah pada seorang tani.

   Tapi ia bersangsi.

   Bukankah ia sudah tidak punya uang? Ia masih jalan terus, sampai mendadak ia dengar kuda meringkik.

   Nyata di sebelah depannya ada pohon-pohon yang lebat, di situ ada sebuah kuil, dan di muka kuil itu seekor kuda putih sedang makan rumput.

   Ia segera kenali kuda itu.

   "Eh, ia pun ada di sini?"

   Pikirnya, heran.

   "Orang-orang beribadat adalah orang- orang yang murah hati, baik aku singgah di sini saja....."

   Ia tambat kudanya di luar, ia bertindak masuk ke dalam kuil setelah menolak daun pintunya yang tertutup rapat.

   Segera ia tampak mahasiswa lagi nongkrong di depan tabunan, dia sedang menambus ubi.

   Melihat si nona, atau lebih benar si anak muda, anak sekolah itu perdengarkan suaranya.

   "Di mana hidup bisa tak bertemu denganmu? Ah, ah, kembali kita bertemu pula!"

   In Loei awasi.

   "Apakah kau telah sadar dari sintingmu?"

   Dia tanya.

   "Eh, kapan aku sinting?"

   Si anak sekolah mem-baliki.

   "Aku tahu kau adalah si orang yang menganglap....."

   In Loei mendongkol.

   "Kau tahu apa?"

   Katanya nyaring.

   "Ada orang jahat mencopet uangku!"

   Berjingkrak si mahasiswa, dia lompat bangun.

   "Apa?"

   Serunya.

   "Ada orang jahat? Dikuil ini tidak ada pendetanya, kalau penjahat datang, sungguh hebat! Tidak, aku tidak mau berdiam di sini....."

   In Loei mendongkol berbareng geli dalam hatinya.

   "Kau hendak pergi ke mana?"

   Dia tanya.

   "Begitu kau keluar dari sini, penjahat akan membegal padamu! Tidak ada orang yang dapat menolongi kau! Dengan ada aku di sini, seratus penjahat pun aku tidak takuti."

   Si mahasiswa pentang matanya lebar-lebar. Sekonyong-konyong ia tertawa.

   "Jikalau kau mempunyai kegagahan seperti itu, kenapa kau anglap barang makanan orang?"

   Dia tanya.

   "Sebab ada copet yang mencuri uangku,"

   In Loei akui. Mahasiswa itu tertawa terpingkal-pingkal, lantas dia tunjuk orang dihadapannya ini.

   "Kau tidak takuti seratus penjahat, tetapi uangmu dicopet orang!"

   Katanya.

   "Hahahaha! Nyata kepandaianmu mendusta ada terlebih esay daripada kepandaianmu menganglap...!"

   Nampaknya dia hendak berlalu, tetapi dia batal sendirinya. Dia tambahkan.

   "Tak sudi aku dengar kau! Dunia begini aman, di mana ada segala tukang copet?"

   Dan dia balik-balikkan ubi bakarnya. Bukan kepalang mendongkolnya In Loei. Tak dapat ia gusar karena katakata orang itu beralasan. Tapi tak dapat ia diam saja menahan kemendongkolannya.

   "Kau tidak percaya, ya sudahlah!"

   Katanya.

   "Aku pun tak perlu kau mempercayainya!"

   Ubi bakar itu harum sekali, terseranglah napsu daharnya In Loei.

   Ia memang telah melarikan kudanya lama dan telah datang rasa laparnya, harum ubi itu menambah hebatnya napsu daharnya.

   Ia menelan ludah tetapi tidak berani ia membuka mulutnya.

   Orang sudah mengatakan ia si tukang anglap.

   Tapi itu ada satu kuil kosong, tidak ada pendetanya, di mana di situ ia bisa cari barang makanan untuk tangsel perutnya? In Loei menderita, apapula ketika ia tampak orang mulai menggayem ubinya yang harum itu.

   Sambil makan, mahasiswa itu ngoceh seorang diri.

   "Arak memang dapat membuat orang sinting..... Ikan dan daging memang lezad, tetapi ubi juga enak..... Sungguh wangi, sungguh wangi!"

   In Loei deliki orang itu, lantas ia melengos. Tiba-tiba si mahasiswa berkata.

   "Eh, tukang anglap, aku bagi kau ubi ini!"

   Dan lantas ia lemparkan sepotong ubi yang masih panas.

   "Siapa kesudian makan ubimu?"

   Bentak In Loei. Ia tidak sambuti ubi itu, hanya sambil telan ludah, ia duduk bersila, matanya melihat hidung, hidungnya "melihat"

   Hati.

   Dengan begitu, sambil bersamedhi, dapat ia kuasai rasa laparnya.

   Ia malah cepat merasa lega hati, hingga ia bisa buka kedua matanya.

   Sekarang ia dapatkan si mahasiswa sedang rebah tidur, ubinya terletak di sampingnya.

   Menampak demikian, In Loei ulur lidahnya.

   Ia juga hendak ulur tangannya ketika ia tampak si anak sekolah membalikkan tubuhnya.

   Dia tidak bangun, tapi dia tidur pula.

   
Dua Musuh Turunan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Setan alas!"

   Kata In Loei dalam hatinya.

   "Biar aku kelaparan satu malaman, toh tidak jadi apa!....."

   Si mahasiswa tidur dengan menggeros, suaranya sangat berisik. In Loei ingin tidur tetapi tidak bisa. Ia awasi tubuh orang itu.

   "Tetapi dia ini aneh,"

   Ia pikir tentang anak sekolah itu.

   "Dia berpakaian indah, uangnya pun nampaknya banyak. Kenapa dia membuat perjalanan tanpa ada pengantarnya? Kenapa dia berani mondok di kuil ini, di tempat begini sepi? Kenapa dia justeru makan ubi yang tidak ada harganya? Apa mungkin dia mengerti silat tetapi dia sengaja berpura-pura? Melihat romannya, tak mestinya dia mengerti ilmu silat....."

   In Loei berbangkit. Timbul di otaknya pikiran untuk menggeledah anak sekolah itu. Justeru itu, kembali si anak muda membalikkan tubuhnya.

   "Jikalau ia mendusi, bukankah ia akan sangka aku hendak mencuri uangnya?"

   Ia ragu-ragu.

   Ia sudah maju tiga tindak, atau ia mundur lagi dua tindak.

   Tiba-tiba terdengar satu suara keras dari luar kuil, entah suara apa itu.

   In Loei menoleh, ia tidak lihat suatu apa, ketika ia berpaling kepada si mahasiswa, dia ini tetap tidur mendengkur bagaikan babi.....

   "Sebenarnya aku tak mau ambil mumat padamu,"

   Pikirnya kemudian.

   "akan tetapi aku kasihan padamu..... Hitung saja untungmu bagus, baiklah, akan nonamu talangi kau menangkis si orang jahat!"

   Tanpa ragu-ragu, In Loei lari keluar, kemudian ia lompat naik ke atas sebuah pohon, di atas itu ia sembunyikan diri sambil memasang mata.

   Ia curigai suara itu.

   Ketika itu cahaya rembulan tampak remang-remang dibantu sinar bintang, In Loei segera tampak datangnya dua orang, muka siapa ditutupi topeng.

   "Dengan melihat kuda putih itu, terang sudah dia ada di sini,"

   Begitu terdengar seorang berkata.

   "Bagaimana andaikata dia tidak suka menurut?"

   Tanya yang lain.

   "Jikalau tak dapat dengan cara baik, terpaksa kita mesti ambil batok kepalanya!"

   Menyatakan orang yang pertama bicara.

   "Bagaimana dapat kita berbuat begitu?"

   Berkata pula kawannya.

   "Apakah tak cukup kita lukai saja padanya?"

   In Loei gusar mendengar pembicaraan itu.

   "Sungguh jahat kamu!"

   Pikirnya.

   "Sudah hendak merampas harta orang juga kamu menghendaki jiwanya!..."

   Tiba-tiba salah satu di antaranya berseru.

   "Awas! Di atas pohon itu ada orang!"

   In Loei berlaku sebat, dua batang piauw-nya - Ouwtiap piauw, atau piauw Kupu- kupu - telah dilepaskan.

   Dua orang bertopeng itu gesit, mereka berhasil berkelit.

   In Loei penasaran, sambil hunus pedangnya, ia lompat turun, untuk serang dua orang yang ia percaya ada orang-orang jahat itu.

   Dua orang itu, yang satu menyekal tongkat besi, yang lain sepasang gaetan, menangkis serangan itu.

   Maka bentroklah pelbagai senjata itu.

   Mereka lantas saja menjadi kaget.

   Sebab yang bersenjatakan tongkat, tongkatnya sempoak, yang menggenggam gaetan, gaetannya tersampok mental, sukur tidak sampai terlepas dari cekalan.

   "Mereka lihay juga,"

   Begitu pikir In Loei, yang merasakan tangkisan keras.

   Kedua orang itu kaget, mereka hendak tanya lawannya ini, tetapi mereka tidak punyakan kesempatan.

   In Loei sudah lantas menyerang pula, dengan gencar.

   Pedang In Loei adalah pedang Tjengbeng, salah satu dari sepasang pedangnya Hian Kee Itsoe, pedang ini tajam dan biasanya dapat membabat kutung genggaman biasa, tetapi karena tongkat itu besi belongkotan, tongkatnya si orang bertopeng tak kena dibabat kutung, sedang sepasang gaetannya hanya kena tersampok.

   Orang yang bersenjatakan gaetan itu sebat sekali, bagus juga permainan gaetannya, karena mengetahui pedang lawan tajam, ia tidak mau membuat gaetannya kena ditabas.

   Ia membalas menyerang, ia lebih banyak berkelit daripada menangkis.

   In Loei berkelahi dengan gunakan ilmu silat "Hoeihoa poktiap", atau "Bunga terbang menyambar kupu-kupu."

   Ia pun senantiasa menyingkir dari kedua macam senjata lawan itu, yang mencoba mendesak padanya.

   Belum lama atau kedua orang bertopeng itu sudah kewalahan, tidak peduli mereka ada berdua dan mendapat ketika baik untuk mengepung, terpaksa mereka main mundur, akan tetapi karena mereka licin, tidak lantas mereka kena dipecundangkan.

   In Loei menjadi penasaran, hingga ia kertak giginya.

   Kalau tadinya ia tidak memikir untuk ambil jiwa orang, sekarang ia tak gentar untuk melakukan itu.

   Begitulah, satu kali ia serang orang yang menggenggam sepasang gaetan dengan tipu silat "Toatbeng sin"

   Atau ""Malaikat menyabut jiwa,"

   Yang ia peroleh dari Hoeithian Lionglie.

   Ia ingin rubuhkan lawan yang satu dulu, baharu nanti yang kedua.

   Di luar dugaan nona ini, orang bertopeng itu perlihatkan kelicinannya.

   Dia loloskan diri dari tikaman, berbareng dengan itu, dia membalas dengan gaetannya - gaetan yang kanan.

   Yaitu selagi pedang lewat, tidak mengenai gaetan kiri, gaetan kanan dipakai menggaet menarik dengan keras.

   Si nona kaget, hampir saja pedangnya terlepas dari pegangannya.

   Ia kenali tipu silat gaetan itu adalah salah satu dari tipunya Tantai Mie Ming.

   "Hai, apakah kamu murid-muridnya Tantai Mie Ming?"

   Ia tegur mereka. Ia desak yang memegang tongkat sambil menyingkir dari orang yang menggenggam gaetan itu. Orang yang pegang gaetan itu menyahut dengan seruannya.

   "Nyata kau ketahui kita siapa! Karena itu, lain tahun pada hari ini adalah hari peringatanmu mampus satu tahun!"

   Dan seruan itu disusul dengan serangan hebat. Merah matanya In Loei, ia jadi sangat gusar.

   "Orang Tartar bernyali besar! Cara bagaimana kamu berani nyelundup masuk ke Tionggoan? Apakah kamu sangka Tionggoan sudah tidak ada manusianya?"

   Dia berteriak.

   Dia pun balas menyerang dengan dahsyat.

   Pertempuran berjalan seru, akan tetapi selang sekian lama, In Loei jeri sendirinya.

   Ia lapar dan kurang tidur, selang seratus jurus, ia menjadi lelah.

   Keringatnya pun mulai keluar.

   Di luar sangkaannya, kedua musuh ada tangguh, rapi kepungan mereka.

   Dengan sendirinya, ia jadi kena dikurung, percuma agaknya ia mempunyai pedang yang tajam itu.

   "Pedang bocah ini bagus,"

   Kata lawan yang pegang tongkat.

   "bolehkah sebentar pedang itu diberikan padaku?"

   "Boleh, boleh sekali!"

   Sahut kawannya.

   "Aku suka mengalah, suka aku berikan pedang itu kepada kau, akan tetapi kau mesti berjanji, kalau sebentar kita bekuk dia, dia mesti diserahkan padaku, kau mesti dengar perkataanku!"

   In Loei mendongkol mendengar ocehan itu, lebih-lebih perkataannya orang yang bersenjata gaetan itu. Kata-kata itu bisa bermaksud busuk. Karenanya, ia ulangi serangannya yang dahsyat, ia desak lawan yang bersenjatakan tongkat itu.

   "Aduh!"

   Teriak lawan ini ketika satu kali ia tangkis serangan-serangan dari tipu silat "Hoeipauw lioetjoan" - "Air tumpah terbang mengalir jadi solokan,"

   Dan tangannya pun diturunkan.

   In Loei gunakan ketikanya yang paling baik, ia tunjuk kesehatannya, ialah menyusul itu, pedangnya menyambar ke tenggorokan.

   Tak sampai menjerit lagi, lawan itu rubuh binasa.

   Kaget lawan yang menggenggam gaetan itu.

   Inilah hebat untuknya, sebab selagi ia berdiri ternganga, pedang sudah menyambar pula, hingga gaetannya yang kiri kena terbabat kutung.

   Kali ini ia tidak tercengang pula, lantas ia lompat mundur, untuk putar diri, buat angkat langkah panjang.

   In Loei sedang murka, ia menyerang dengan tiga batang Bweehoa Ouwtiap piauw, ia arah bebokongnya akan tetapi terdengarlah suara nyaring beruntun, lantas ketiga piauw runtuh sendirinya, entah kena terhajar apa.

   Maka dalam sekejap saja, musuh sudah lenyap di tempat gelap.

   Nona ini tak mengerti sendirinya.

   Tak mengerti ia kenapa lawan yang bersenjata tongkat itu begitu gampang menurunkan tangannya mestinya dia masih sanggup berdaya.

   "Apakah ada orang yang membantu aku secara diam-diam ia berpikir. Ia juga heran atas runtuhnya piauw-nya barusan. Apa benar ada orang yang bantui dan berbareng menolongi juga lawannya itu? Tapi itu nampaknya sangat tak beralasan - dugaannya ini bertentangan dengan kenyataan..... Lantas In Loei hampirkan korbannya, topeng siapa ia singkap dengan pedangnya. Ia lihat benar, orang itu adalah orang Tartar. Maka terang sudah, orang ini bukan sembarang penjahat. Siapa dia? Apa maksud mereka berdua? Dengan tidak pikir-pikir lagi, In Loei geladah tubuhnya. Tapinya ia tidak dapatkan apa-apa kecuali beberapa tail perak hancur serta rangsum kering.

   "Inilah kebetulan untukku!"

   Kata si nona, yang jadi tertawa sendirinya. Maka ia simpan uang dan makanan rangsum kering itu. Tidak lama, dari tempat pohon-pohon lebat terdengar pula suara aneh seperti tadi, lalu muncul lagi dua orang bertopeng, yang berlari-lari ke arah kuil.

   "Sahahat sekawan, air semangkok mesti di minum bersama!"

   Demikian suara yang terdengar dari satu di antara dua orang itu. Itu artinya, kedua orang itu mau minta bagian. In Loei jadi mendongkol.

   "Baik!"

   Jawabnya.

   "Kamu berjumlah berapa orang? Mari semua samasama minum!"

   Sebenarnya niat ia mengatakan.

   "Mari rasakan pedangnya nonamu!"

   Tapi mendadak ia sadar bahwa ia sedang menyamar maka ia mengubahnya. Kedua orang bertopeng itu tertawa terbahak-bahak.

   "Haha-haha! Ini barulah sahabat baik! Kita harus sama-sama kalau punya makanan!"

   Orang yang berkata-kata itu, yang sudah lantas datang dekat, segera mengulurkan tangannya, untuk dipakai menanggapi bagiannya.

   In Loei tertawa dingin, ia menyabet dengan pedangnya.

   Orang bertopeng itu terkejut, ia tarik kembali tangannya sambil lompat mundur.

   Tapi begitu ia lolos dari bahaya, mendadak ia maju menyerang, tangannya merupakan bacokan.

   Sebab yang ia gunakan adalah tipu silat "Toakim natjioe" - "Tangkapan Tangan."

   Ia bertangan kosong, lain dari kawannya, yang menyekal sebilah golok. In Loei terkejut, ia sodorkan pedangnya guna menangkis sambaran itu.

   "Awas, dia liehay!"

   Beseru orang yang pegang golok, yang terus membacok. In Loei bela dirinya dengan tipu silat "Tjoanhoa djiauwsie"

   Atau "Menembusi bunga dengan mengitari pohon", dengan begitu ia dapat jauhkan diri dari lawannya yang pertama itu. Nyata kedua lawan itu bukan lawan-lawan yang ringan, syukur pedangnya In Loei liehay, hingga mereka itu kewalahan.

   "Baiklah!"

   Berseru lawan yang bertangan kosong sesudah melalui lima puluh jurus.

   "Biarlah kau yang menelannya sendiri! Tapi kau mesti beritahukan she dan namamu agar kemudian kita bisa menjadi sahabat!"

   "Siapa kesudian bersahabat dengan kamu?"

   Bentak In Loei.

   "Kejahatanmu hendak merampas barang dapat dimaafkan, tetapi yang hebat adalah kamu telah berkongkol dengan musuh untuk mencelakai negara!"

   Kata-kata ini dibarengi dengan serangan "Hoen-hoa hoetlioe"

   Atau "Memecah bunga, mengebut pohon", ujung pedangnya menyambar ke kiri tetapi agaknya seperti menikam ke kanan.

   Tipu ini membuatnya musuh bingung, hingga orang yang menyekal golok lantas saja berkaok keras, karena lengannya kena tertikam, sampai goloknya jatuh terlempar.

   Lawan yang bertangan kosong itu licin, dengan ciutkan diri, ia lolos dari serangan yang saling susul, tapi ia masih diserang berulang-ulang.

   In Loei membuat orang tidak berdaya, di saat ujung pedangnya hendak menusuk bebokongnya, tiba-tiba ia rasakan lengannya seperti digigit semut besar, karena mana, tak lurus lagi serangannya, maka lawannya itu dapat berkelit pula, kali ini dia berkelit untuk terus kabur, disusul kawannya yang terluka itu.

   Keduanya terus lenyap di antara pohon-pohonan yang lebat.

   Dua Musuh Turunan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Bangsat tukang bokong, keluar kamu!"

   Berteriak In Loei, yang tidak niat mengejar musuh-musuhnya itu.

   Tahulah ia sekarang bahwa ia telah dibokong orang yang tidak dikenal.

   Tidak ada jawaban untuk cacian itu, di sekitarnya keadaan sunyi.

   Masih In Loei menanti sebentar, apabila tetap tidak ada yang menyahuti, ia lihat lengannya yang terasa digigit semut itu.

   Di situ ada sekelumit daging munjul, bengkak sebesar kacang kedele.

   Teranglah, itu adalah hasil serangan gelap dari semacam senjata rahasia, hanya, entah siapa penyerang yang bersembunyi itu, dia terus tidak sudi perlihatkan diri.

   Tidak puas In Loei sekalipun ia peroleh dua kali kemenangan, karena orang telah membokong padanya, maka itu ia kembali ke dalam kuil dengan perasaan mendongkol berbareng lesu.

   Tiba di dalam, ia dapatkan si mahasiswa masih rebah tidur, napasnya masih menggeros keras.

   "Hai, orang mampus!"

   Ia menegur.

   "Sungguh senang kau tidur!"

   Mahasiswa itu membalikkan tubuhnya, ia perdengarkan dua kali suara ngulet.

   "Ada penjahat!!"

   In Loei teriaki pula. Si anak sekolah membuka kedua matanya, ia berkesap-kesip. Dengan malas ia bangkit duduk.

   "Impian sedap, siapakah yang lebih dahulu merasai?"

   Katanya seperti orang ngigo.

   "Itulah aku, aku yang mengetahui....."

   "Kau ketahui apa?"

   Kata In Loei, dengan dingin, sambil tertawa tawar.

   "Ada penjahat datang kemari!"

   Mahasiswa itu kucak-kucak matanya.

   "Tengah malam buta kau ganggu orang sedang mimpi,"

   Katanya.

   "He, engko kecil, mengapa sih kau selalu ganggu aku?"

   Sama sekali ia tidak percaya In Loei, bukan saja ia tidak menyatakan terima kasih, malahan ia menyesalinya.

   "Jikalau kau tidak percaya, kau keluar melihatnya,"

   Kata In Loei. Anak sekolah itu ngulet pula.

   "Umpama kata benar ada penjahat datang, toh buktinya tidak terjadi apaapa"

   Katanya kemudian, sambil tertawa.

   "Buat apa kau bangunkan aku?"

   In Loei mendongkol berbareng merasa lucu.

   "Akulah yang pukul mundur mereka itu!"

   Katanya, sengit.

   "Apakah itu benar?"

   Tanya si mahasiswa.

   "Sungguh bagus! Sungguh bagus! Kau makan sepotong ubi, kali ini kau bukannya menerima upah tanpa jasa, tidak mau aku mengatakan kau menganglap lagi!"

   Dan "Plok"

   Ia lemparkan sepotong ubi pada si pemuda tetiron, yang menyampok dengan mendongkol.

   "Siapa yang main-main denganmu?"

   Dia menegur.

   "Eh, aku tanya kau, kau she apa dan namamu siapa? Kau datang dari mana?"

   Mahasiswa itu mainkan kedua biji matanya. Tiba-tiba ia ikuti teladan orang, sebelah tangannya dipakai menuding.

   "Eh, aku tanya kau, kau she apa, namamu siapa? Kau datang dari mana?"

   Demikian pertanyaannya. In Loei jadi sangat mendongkol, ia gusar.

   "Apa? "katanya. Tapi si anak muda tertawa tawar.

   "Kau tanya aku seperti kau memeriksa, mustahil akupun tak dapat menanya padamu?"

   Ia jawab.

   "Apakah kau hakim tukang periksa orang?"

   In Loei mendongkol tetapi ia bungkam. Anak muda itu berkepala batu tapi dia benar juga.

   "Mana dapat aku beritahukan tentang diriku?"

   In Loei berpikir. Mahasiswa itu melirik, sikapnya sungguh membuat In Loei sangat mendelu. Meski demikian, nona ini masih dapat memikir.

   "Tentang diriku tidak dapat aku beritahukan dia, tentang dirinya mungkin juga tak dapat diberitahukan padaku! Kalau sendiri tak suka, kenapa mesti paksa lain orang? Tentang dua orang Tartar itu, mereka datang dari tempat ribuan lie, bukankah mereka sedang mencari orang seperti yaya-ku, yang kabur dari Mongolia? - Ialah anak sekolah ini!"

   Menerka demikian, tiba-tiba In Loei jadi ingin menghargai mahasiswa itu, cuma ketika ia lirik orang itu, kembali ia merasa jemu.

   Tetap tingkah polanya si mahasiswa itu sangat menjemukan dia mengawasi dengan wajah tertawa bukanya tertawa, matanya dikecilkan.....

   Masih In Loei berpikir.

   Akhirnya ia keluarkan bendera Djitgoat kie dari Tjioe Kian, ia lemparkan itu pada si mahasiswa.

   "Ni, aku berikan kau ini!"

   Katanya.

   "Tak mau aku jalan sama-sama kau!"

   Mahasiswa itu melirik.

   "Aku toh bukannya anak wayang!"

   Katanya.

   "Perlu apa aku dengan benderamu ini yang dua mukanya?"

   "Kau berjalan sendirian, kau terancam bahaya,"

   Berkata In Loei. Terpaksa ia berikan keterangan.

   "Dengan adanya bendera ini, orang jahat nanti tak berani ganggu padamu."

   "Apa?"

   Tanya si mahasiswa.

   "Apakah bendera itu ada suatu firman?"

   Mau tak mau, In Loei tertawa.

   "Mungkin ini lebih berpengaruh daripada firman raja! ia jawab.

   "Ini adalah bendera Djitgoat kie dari Kimtoo Tjeetjoe. Kau datang dari Utara, mustahil kau tidak pernah dengar namanya tjeetjoe itu? Kimtoo Teetjoe mirip dengan kepala penjahat di Utara, di kalangan Rimba Hijau, semua orang menghormati dia."

   Maksud In Loei baik-baik menyerahkan bendera bulan sabit itu. Tetapi si anak muda, wajahnya berubah dengan tiba-tiba. Ia jemput bendera itu, mendadak ia tertawa dingin.

   "Satu laki-laki, yang hendak bangkit berdiri, mana dapat ia mengharap perlindungan orang lain?"

   Katanya, jumawa.

   "Apakah kau pernah baca Khong Tjoe atau Beng Tjoe?"

   Mendadak ia gunakan tangannya, di antara suara memberebet, bendera Djitgoat kie itu robek menjadi empat helai! -ooo0dw0ooo- BAB IV Merah padam wajahnya In Loei, kegusarannya bukan alang kepalang besarnya.

   "Kimtoo Tjeetjoe sangat terkenal, dia ada satu laki-laki sejati, kau berani menghina terhadapnya?"

   Dia berteriak, lain sebelah tangannya melayang ke arah kuping orang. Justeru itu ia lihat kulit muka orang yang putih dan halus, bagaikan kulit telur, ia ingat.

   "Tidakkah tanganku akan membuat mukanya balan? Tidakkah itu hebat?"

   Karenanya, ia segera tahan tangannya itu. Lantas ia berkata dengan sengit.

   "Aku tidak mau berlaku sebagai kau, anak sekolah busuk! Baik, baiklah, suka aku memberi ampun padamu kali ini! Kalau besok lusa kau dibegal dan dibunuh orang jahat, bukankah itu karena kau mencari mampus sendiri? Baiklah, aku tak mau pedulikan lagi padamu!"

   Lantas ia putar tubuhnya, dengan cepat dia lari keluar.

   Ia sangat menyesal karena maksud hatinya yang baik tidak diterima orang.

   Ia jadi merasa tak enak sendirinya.

   Si mahasiswa mengawasi orang dengan sepasang matanya yang tajam, ketika ia tampak orang sudah keluar dari pintu, ia berbangkit dengan perlahanlahan.

   Nampaknya ia hendak memanggil tetapi ia batal sendirinya, sebaliknya, ia tertawa dingin.

   Sekeluarnya dari kuil, In Loei lompat naik ke atas kudanya yang ia terus larikan.

   Ia baharu sampai di tempat yang lebat dengan pohon-pohonan tatkala ia dengar satu suara menyambar di atasan kepalanya.

   Ia lantas tahan kudanya.

   "Bangsat tukang membokong, jikalau ada nyalimu, mari keluar!"

   Ia berseru.

   Kembali terdengar satu suara seperti tadi, atas itu, In Loei tarik kepala kudanya, untuk berkelit.

   Menyusul itu sebatang pohon jatuh di depannya, pada cabang itu diikatkan satu bungkusan dari saputangan sulam.

   Ia lantas menjadi kaget.

   Ia kenali, itulah bungkusannya yang lenyap.

   Ia segera menjemput, untuk membuka bungkusannya, maka di situ ia dapatkan uang dan permata bekalan Tjioe Kian berikut uangnya boleh mencopet! Heran dan penasaran, dari atas kudanya, In Loei lompat menyambar pohon untuk naik ke atasnya, lalu ia melihat kesekitarnya.

   Tidak ada orang di dekat situ, ada juga sinar bintang-bintang yang sudah guram dan angin bersiursiur.

   ""Sudahlah....."

   Akhirnya ia menghela napas.

   "Benarlah kata-kata, di luar langit ada lagi langit lainnya..... Siapa sangka di sini aku bertemu dengan orang lihay....."

   Ia lantas larikan kudanya, sampai di luar rimba, fajar sedang mendatangi.

   Menggunakan ketika pagi, ia larikan kudanya maju terus ke barat.

   Segera ia melihat ada orang-orang yang menunggang kuda, yang romannya gagah.

   Ia percaya, mereka itu adalah orang-orang kangouw.

   Ia teringat akan ajaran Tjioe Kian tentang kaum kangouw itu.

   "Kelihatannya mereka ini hendak menghadiri su- atu upacara besar atau sedikitnya pertemuan kaum Rimba Persilatan,"

   Ia menduga- duga.

   Mereka itu melewati nona ini, sama sekali mereka tidak menaruh perhatian.

   Mungkin mereka anggap mereka hanya bertemu satu pemuda biasa saja.

   Setelah jalan serintasan, In Loei merasa lapar.

   Ia segera mampir pada tukang bubur di tepi jalan yang juga menjual teh.

   Ia lantas tangsel perutnya.

   "Hari ini perdagangan ramai,"

   Kata ia pada tukang teh, yang tengah memasak dua panci teh.

   "Tuan, apakah tuan hendak pergi ke Hektjio tjhoeng?"

   Tanya tukang the itu sambil tertawa.

   "Apa itu Hektjio tjhoeng?"

   In Loei balik menanya.

   "Kalau begitu, tuan ada orang luar,"

   Sahut tukang teh itu.

   "Hari ini Tjio Toaya dari Heksek tjhoeng merayakan ulang tahunnya, banyak sekali sahabat kenalannya yang datang untuk memberi selamat."

   In Loei ingat suatu apa.

   "Apakah kau maksudkan Hongthianloei Tjio Eng Tjio looenghiong?"

   
Dua Musuh Turunan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Ia tegaskan. Segera tukang teh itu perlihatkan sikap menghormat.

   "Oh, kiranya tuan sahabatnya Tjio Toaya,"

   Katanya.

   "Siapakah yang tidak tahu Tjio looenghiong?"

   Kata In Loei.

   "Aku memang berasal dari lain propinsi tapi pernah aku dengar namanya Tjio looenghiong itu."

   Tukang teh itu manggut.

   "Benar! Tjio Toaya itu luas pergaulannya, semua orang dari pelbagai kalangan, kenal atau tidak, asal datang ke rumahnya, tidak ada yang tidak disambut secara baik."

   In Loei pun manggut.

   Tentang Tjio Eng itu, ia dengar dari Tjioe Kian.

   Katanya Tjio Eng terkenal dengan pedangnya, pedang Liapin kiam, dan senjata rahasianya, batu Hoeihong sek.

   Adalah karena senjata rahasia ini, Tjio Eng peroleh julukan itu, Hongthianloei - Geledek menggetarkan langit.

   Sebab bila mengenai tubuh orang, senjata rahasia itu perdengarkan suara nyaring.

   Tjio Eng gagah dan gemar bergaul, akan tetapi toh tabeatnya aneh.

   "Siapa tahu dia tinggal di luar kota Yangkiok ini,"

   Pikir In Loei.

   "Baiklah aku pun pergi memberi salamat padanya. Di sana ada banyak orang, mungkin juga ada si orang lihay yang telah permainkan aku."

   Karena ini, ia pinjam pit dan minta kertas dari tukang teh, untuk menuliskan karcis pemberian selamatnya.

   "Aku tidak tahu looenghiong merayakan ulang tahunnya, inilah kebetulan"

   Katanya sambil tertawa.

   Terus ia tanyakan letaknya Hektjio tjhoeng, setelah membayar uang teh, ia naik ke atas kudanya, akan menuju ke rumahnya Hongthianloei.

   Sudah banyak tetamu di rumahnya Tjio Eng.

   Setelah In Loei serahkan karcis namanya, ia diterima dengan tak ditanya ini dan itu, terus ia diantar ke taman bunga di mana pesta diadakan, justeru perjamuan hendak dimulai.

   Ia dipersilakan duduk di meja pojok, kawan-kawan semejanya adalah orang yang ia tidak kenal, hingga ia mesti dengarkan saja mereka itu berbicara.

   "Hari ini Tjio looenghiong tidak saja merayakan ulang tahunnya, kabarnya, ia hendak memilih juga babah mantu,"

   Kata seorang antaranya.

   "Bisa pusing kepalanya orang tua itu,"

   Kata seorang yang lain.

   "Aku dengar See Tjeetjoe, Han Totjoe dan Lim Tjhoengtjoe berbareng memajukan lamaran! Bagaimana mereka hendak dilayani?"

   Orang yang ketiga tertawa.

   "Mau apa kau pusingkan kepala?"

   Ujarnya.

   "Pasti sekali Hongthianloei mempunyai dayanya sendiri!"

   Ia lantas menunjuk.

   "Kau lihat!"

   In Loei berpaling ke arah yang ditunjuk orang itu, maka ia tampak sebuah loeitay - panggung untuk pertempuran yang besar dan tingginya dua tombak lebih. Orang itu tertawa, ia menambahkan.

   "Hongthianloei telah berlaku terus terang, dia adakan pertandingan untuk pilih menantu, siapa yang menang, dialah babah mantunya itu, untuk ini, ia tidak pandang sanak atau sahabat, karenanya, ketiga pelamar itu, tak dapat berkata suatu apa."

   "Kalau begitu, pasti bakal ramai!"

   Kata yang lain. In Loei tertawa di dalam hatinya.

   "Inilah cara aneh!"

   Demikian ia pikir.

   "Kalau yang menang seorang yang jelek, apa tidak kasihan anak gadisnya.....?"

   Selagi matahari condong ke barat, lantas terdengar ucapan-ucapan selamat yang riuh, di sana-sini orang pada berbangkit.

   In Loei pun bangun, sambil berdjingke, ia mengawasi ke arah di mana suara ucapan itu terdengar.

   Seorang tua, yang mukanya merah, kelihatan muncul, ia menuntun satu nona.

   Ia minta jalan di antara orang banyak, terus dia lompat naik ke atas loeitay, perbuatannya ditelad si nona.

   In Loei lihat satu nona yang cantik, wajahnya seperti tersungging senyuman, alisnya lentik dan panjang hampir melekat pada ujung rambutnya.

   Untuk melihat lebih nyata, ia maju mendekati.

   Ia dapatkan nona itu polos, tidak pemaluan, tidak jengah dia berhadapan dengan banyak tetamunya.

   Dari pembicaraan orang banyak, In Loei tahu orang tua muka merah itu adalah tuan rumah, ialah Hongthianloei Tjio Eng, dan nona adalah puterinya, yang bernama Tjoei Hong.

   "Heran juga,"

   Pikir pemuda tetiron ini.

   "Tjio Eng bermuka bagaikan Loei Kong tetapi ia punyakan anak dara begini elok....."

   "Loei Kong"

   Yaitu Malaikat Geledek. Tidak sempat In Loei berpikir lebih jauh, atau ia tampak Tjio Eng tengah memberi selamat pada para tetamunya, kemudian terdengarlah suaranya yang keras.

   "Hari ini adalah hari ulang tahunku, aku berterima kasih pada saudara-saudara yang telah datang mengunjungi. Sebagai hormatku, marilah minum dahulu tiga cangkir!"

   "Bagus!"

   Seru sekalian tetamunya, terus mereka keringkan cawan mereka masing- masing. Tjio Eng, urut-urut kumis jenggotnya, ia tertawa.

   "Hektjio tjhoeng adalah satu desa yang sepi, tidak ada keramaian apa-apa di sini, tetapi saudara-saudara telah datang kemari, harap saudara-saudara jangan tertawakan!"

   Kata pula tuan rumah, melanjutkan.

   "Anakku ini mengerti ilmu silat kasar, baiklah dia pertunjukkan beberapa jurus, sebagai hidangan saudara-saudara minum arak!"

   Kembali orang-orang berseru.

   "Bagus! Bagus"

   Suatu tanda persetujuan. Tjio Eng tertawa pula.

   "Akan tetapi, bersilat seorang diri saja tidak menarik hati,"

   Ia menambahkan.

   "maka itu aku persilakan putera-putera dari See Tjeetjoe, Han Totjoe dan Lim Tjhoengtjoe untuk naik ke panggung untuk memberi pengajaran pada anakku itu. Aku ingin lihat, siapa di antaranya yang permainannya paling bagus, kepadanya hendak aku hadiahkan sesuatu yang tidak berarti. Samwie sieheng, bagaimana pikiranmu?"

   Dengan "samwie sieheng" - "tiga kekanda", tuan rumah maksudkan ketiga tetamunya yang disebutkan itu See Tjeetjoe, Han Totjoe dan Lim Tjhoengtjoe.

   Tuan rumah ini tidak mengatakan terang-terang bahwa pertandingan itu untuk memilih menantu, akan tetapi semua tetamunya sudah mengerti maksudnya itu.

   "Bagus, bagus!"

   Han Totjoe dan Lim Tjhoengtjoe menyatakan akur.

   Lalu keduanya, dengan masing-masing mengajak anaknya, minta jalan di antara para tetamu, sesampainya di depan panggung, dengan saling susul mereka lompat naik.

   Tampak nyata kegesitan mereka itu.

   See Tjeetjoe bersangsi sedetik saja, ia pun ajak puteranya lompat naik.

   Ia dapat melompat dengan sempurna, tapi puteranya, ujung kakinya kena membentur pinggiran panggung, hampir saja ia tergelincir.

   Menampak ini, semua tetamu heran.

   Untuk kalangan "Hektoo" - "Jalan Hitam" - See Tjeetjoe terkenal terutama tentang ilmu silatnya, orang percaya puteranya telah mewariskan kepandaiannya itu, karena putera ini pun sudah tersohor menyandak nama ayahnya, maka ada yang menduga, anak itu pasti akan peroleh kemenangan, siapa tahu, dalam hal melompat, dia kalah dengan putera-puteranya Han Totjoe dan Lim Tjhoengtjoe.

   See Tjeetjoe kerutkan alis, dia hendak bicara tapinya batal, cuma mulutnya kemak kemik.

   Putera dari Han Totjoe, yaitu Han Toa Hay, sudah lantas maju ke tengah, untuk memberi hormat pada tuan rumah.

   "Tjio Laopee berlaku baik sekali, aku pun tak sungkan-sungkan lagi,"

   Berkata anak muda ini.

   "Baiklah, aku ingin menerima pelajaran beberapa jurus dari Tjio Siemoay, asal siemoay suka berlaku murah hati....."

   "Bagus, bagus!"

   Tertawa Tjio Eng.

   "Memang aku senang pada orang yang berlaku terus terang! Sekarang ini siapa juga tak usah sungkan-sungkan, silakan keluarkan semua kepandaianmu, siapa yang terluka, aku sedia obatnya."

   "Baik, laopee,"

   Kata Toa Hay, yang terus rangkapkan kedua tangan- nya, untuk memberi hormat dengan sikap "Tongtjoe pay Koan Im"

   Atau "Kacung suci menghormat Dewi Koan Im."

   "Bagus!"

   Tjio Eng memuji.

   See Tjeetjoe lihat itu, ia menoleh pada puteranya, yang pun berpaling kepadanya, keduanya lantas menyeringai.

   Ayah ini hendak bicara, kembali ia batalkan.

   Segera pertandingan dimulai, Toa Hay menyerang lebih dulu.

   Tjoei Hong berlaku tenang tetapi gesit, waktu diserang, ia tidak menangkis, ia hanya berkelit ke samping, terus ia lompat ke belakang penyerang itu.

   Lincah sekali tubuhnya itu.

   Toa Hay segera putar tubuhnya, ia menyerang pula, apabila ini pun gagal, terus ia merabah, menyerang ke depan, ke kiri dan kanan, akan tetapi, sebegitu jauh, tidak ia peroleh hasil, malah melanggar baju orang pun tidak.

   "Eh, pelajaran dia sama dengan pelajaranku....."

   Kata In Loei dalam hatinya apabila ia lihat gerak-geriknya Nona Tjio. Itulah ilmu silat "Patkwa Yoesintjiang"

   Yang bergerak ke delapan penjuru.

   "Tjoanhoa djiauwsie"

   Yang ia pelajari adalah salah satu tipu silat dari Patkwa Yoesintjiang itu. Toa Hay lantas juga merasakan matanya kunang-kunang, karena ia seperti dilibat si nona, yang seperti berada di "empat muka dan delapan penjuru,"

   Melainkan bayangannya saja yang nampak berkelebatan. Diam-diam In Loei tertawa di dalam hatinya. Masih Toa Hay berputaran, masih ia menyerang, walaupun tiap-tiap kali ia serang sasaran kosong, tak sudi ia berhenti. Han Totjoe kerutkan alisnya.

   "Anak tolol!"

   Akhirnya dia berseru.

   "Kau bukannya tandingan dari Nona Tjio! Apakah kau tidak hendak undurkan diri?"

   Mendengar suaranya Han Totjoe itu, Tjio Tjoei Hong segera perlambat gerakannya, tapi justeru itu, Toa Hay lompat menyerang, kedua kepalannya menyambar saling susul. In Loei lihat serangan itu, ia tertawa dalam hati, pikirnya.

   "Orang tolol yang tidak tahu mundur atau maju! Orang sudah mengalah, dia masih belum tahu....."

   Atas desakan itu, Tjoei Hong melejit ke samping, sikut kirinya dilonjorkan untuk dipakai membentur tubuh Toa Hay, atas mana tubuh besar dari putera Han Totjoe segera terhuyung, rubuh terbanting. Tjio Eng lompat maju, guna membangunkan pemuda itu.

   "Hong-djie, lekas haturkan maaf!"

   Kata tuan rumah ini.

   "Tidak apa,"

   Kata Toa Hay.

   "Nona Tjio, kau liehay sekali, aku..... aku....."

   Nyata pemuda ini tolol dan polos, hampir ia mengatakan ".....aku tidak berani ambil kau sebagai isteriku....."

   Baiknya Han Totjoe awasi dia dengan mata melotot dan ia melihatnya, hingga tak jadi ia berbicara terus.

   Begitu Toa Hay mundur, ia digantikan oleh Too An, puteranya Lim Tjhoengtjoe.

   Pemuda ini maju dengan perlahan, sambil menggoyang-goyangkan kipasnya.

   "Aku juga ingin menerima pelajaran beberapa jurus, harap kau suka mengalah, siemoay,"

   Kata dia, suaranya seram dan luar biasa.

   Nampaknya ia, halus bagaikan wanita, demikian juga lagu suaranya.

   Tapi ia mengerti Tiamhiat hoat, ilmu menotok jalan darah, maka setelah dilipat kipasnya, tahu-tahu kipas itu dipakai menyodok iga si nona.

   Tjoei Hong berkelit, terus saja ia bersilat pula dengan "Patkwa Yoesintjiang,"

   Untuk membuat lawan itu lelah dan kabur matanya, seperti tadi ia berbuat terhadap Toa Hay.

   Too An cerdik, tidak mau ia menyerang sembrono, sebaliknya, dengan tenang ia lindungi dirinya.

   Ia pun tidak gencar putar tubuhnya seperti Toa Hay tadi, ia Cuma memasang mata, maka juga, sewaktu-waktu dapat ia balas menyerang dengan totokkannya.

   Nona Tjio menjadi hilang sabar.

   Dua Musuh Turunan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Dia pasti bukan orang benar,"

   Ia pun berpikir.

   "Lihat matanya yang demikian lihay! Dia menjemukan, tidak boleh dia dibiarkan mencapai maksudnya....."

   Nona ini tak sudi menikah dengan pemuda lawannya itu, ia pun lantas perhebat serangannya, tubuhnya bergerak sangat lincah mengitari si anak muda.

   Too An benar-benar liehay, ia tabah dan teliti, dengan sabar ia jaga dirinya.

   Lima puluh jurus sudah lewat, Tjoei Hong tetap belum berhasil menjatuhkan lawan ini, siapa dalam ketenangannya itu, telah berpikir.

   "Aku, hendak lihat, berapa banyak kau punya tenaga untuk melayani aku."

   Dan ia terus berlaku sabar.

   Mereka bertempur terus sampai, tiba-tiba, selagi ia merangsak, Tjoei Hong tersenyum, hingga tampak kedua baris giginya yang putih halus dan sepasang sujennya yang manis.

   Sebagai orang cantik, dengan senyumnya, tentu sekali nona ini kelihatan sangat menggiurkan.

   Hatinya Too An goncang, ia sangat tertarik, hingga ia berpikir.

   "Orang sebagai aku, yang berkepandaian silat tinggi, pasti aku membuat hatinya kagum....."

   Maka ia anggap nona itu tentu menaruh hati padanya, nona itu mungkin suka mengalah, karenanya, di waktu ia menutup diri, ia pun tersenyum. Sekonyong-konyong saja Tjoei Hong berseru.

   "Maaf!"

   Lalu dengan mendadak kedua tangannya dimajukan kemuka Too An, tangan yang satu menyusul yang lain, hingga si anak muda terperanjat.

   Ia kaget waktu pempilingannya, kena ditekan si nona, sampai ia berkaok, matanya pun kabur, tidak tempo lagi, ia rubuh di lantai panggung.

   Lim Tjhoengtjoe mendongkol bukan main menyaksikan puteranya, yang tinggal menangnya saja, dengan mendadak kena dikalahkan, akan tetapi ia tidak bisa berbuat suatu apa.

   Pertandingan telah dilakukan secara terang.

   "Tidak apa, tidak apa!"

   Tjio Eng cepat berkata.

   "Eh, anak Hong, kenapa kau gerakkan tanganmu secara sembrono sekali?"

   Justeru itu Too An berbangkit.

   "Nona Tjio, aku terima pengajaranmu!"

   Katanya sambil tertawa dingin. Lalu, tanpa berkata suatu apa, berbareng dengan ayahnya, ia lompat turun dari panggung. Menampak itu, Tjio Eng menggeleng-gelengkan kepala. Tapi kemudian, sambil mengurut-urut kumisnya dan tertawa, ia kata.

   "Anakku telah beruntung menangkan dua pertandingan, maka sekarang ada gilirannya Boe Kie Sieheng yang memberikan pengajaran padanya, supaya dia jangan jadi terlalu berkepala besar....."

   Boe Kie adalah nama putera See Tjeetjoe.

   Tjio Eng kenal baik sekali anak muda itu, baik kepandaiannya maupun tabeatnya.

   Pemuda itu telengas, di dalam Rimba Hijau, dia terkenal tanpa kebijaksanaan.

   Meski demikian, jago tua ini insaf, manusia tak ada yang seratus bahagian sempurna, maka ia anggap, tidak terlalu kecewa ia dapatkan Boe Kie sebagai babah mantunya.

   Tjio Eng juga pikir, pastilah Boe Kie senang sekali dengan pertandingan ini, karena anak muda itu pasti berada di atas angin, akan tetapi kesudahannya ia menjadi heran sekali.

   Tiba-tiba saja Boe Kie kerutkan alisnya dan berkata.

   "Sudahlah, tak usah aku turut bertanding lagi, karena akhirnya aku mesti kalah!....."

   Semua tetamu terkejut bahna herannya, mereka melongo. Tjio Eng menjadi tidak puas.

   "Tjio Hiantit, mengapa kau mengatakannya demikian?"

   Ia tegur.

   "Mungkinkah anakku tak dapat diajar?"

   Boe Kie tertawa meringis, dengan perlahan ia angkat lengannya, lalu ia gulung tangan bajunya, maka tampaklah tanda luka yang panjang dan dalam pada lengannya, sampai tulangnya kelihatan.

   "Kau kenapa, hiantit?"

   Tanya Tjio Eng terperanjat. Boe Kie memandang sekelebatan ke bawah panggung.

   "Kemarin ini perahuku karam di dalam sungai,"

   Ia menjawab, suaranya menyatakan penasarannya.

   "Hm! Aku telah dicurangi satu bangsat tidak dikenal!....."

   See Tjeetjoe, yang bernama To, melanjutkan puteranya itu.

   "Kemarin aku titahkan Ouw Loodjie bersama dia pergi mengejar seekor kambing dari Utara. Tapi tak disangka, kambing itu dengan diam-diam dilindungi satu piauwsoe yang lihay sekali dan Boo Kie kena dilukai....."

   Dengan "kambing,"

   See To maksudkan orang yang ia hendak jadikan kurban pembegalan.

   Tjio Eng terperanjat, ia heran sekali.

   Ia tahu, Ouw Loodjie itu adalah seorang Hoetjeetjoe, sebawahannya See Tjeetjoe, dan kepandaiannya adalah lebih tinggi daripada See Boe Kie.

   Ini adalah luar biasa yang mereka berdua kena dikalahkan satu piauwsoe.

   "Nah, Tjio Toako, bagaimana pendapatmu?"

   Tiba-tiba See To menanya. Tjio Eng berdiam sebentar, kemudian ia tertawa.

   "Nyatalah piauwsoe itu seorang pandai!"

   Katanya.

   "Entah siapa dia itu dan di mana adanya dia sekarang? Ingin sekali aku menemui dia itu, supaya dapat aku mengadakan perdamaian di antara kamu kedua pihak."

   Wajah See Boe Kie berubah padam.

   "Belum pernah aku diperhina secara begini, di sini tidak ada perdamaian!"

   Katanya nyaring. Terang ia sangat sengit. Tiba-tiba ia memandang ke bawah panggung, tangannya segera menuding, dengan keras, ia menambahkan.

   "Binatang itu nyata telah gegares jantung srigala dan nyali macan tutul, dia sangat berani, dia sekarang ada di sini!"

   See To sudah lantas berseru.

   "Kami ayah dan anak ingin menemui kau, orang pandai! Ke mana kau hendak pergi?"

   Bagaikan bayangan, kedua orang segera lompat turun dari panggung. Semua hadirin heran dan kaget.

   "Di mana dia?"

   Terdengar orang bertanya.

   Dia adalah sahabatnya See To dan karenanya niat membantu tjeetjoe itu.

   Waktu itu juga, See To telah lompat ke depannya In Loei, dengan sebelah tangannya, yang semua jerijinya terbuka, ia menyambar kepala orang.

   In Loei sudah lantas berkelit, tapi justeru ia berkelit, tikaman pisau belati dari See Boe Kie telah sampai kepadanya.

   Ia tidak kaget atau takut, malah sambil menangkis, ia kata sambil tertawa.

   "Oh, kiranya kamu penjahat yang bertopeng itu?"

   Di antara satu suara nyaring, pisau belatinya Boe Kie terlepas dan jatuh.

   Hampir berbareng dengan itu, dengan gerakan susul menyusul dengan sikut dan dupakannya, nona dalam penyamaran ini sudah merubuhkan dua penyerang lain, yang menjadi sahabat kedua orang she See itu, habis mana dia lompat naik ke atas sebuah meja.

   See To hunus goloknya, dia lompat untuk menyerang.

   "Orang tidak tahu malu, kamu main kerubut!"

   Teriak In Loei.

   Ia lompat turun, untuk terbalikkan meja, hingga piring mangkoknya jatuh pecah berhamburan.

   See To tidak dapat berkelit, ia tersiram kuwa, bajunya basah.

   Tentu saja ia menjadi bertambah gusar, maka ia ulangi serangannya.

   Ia sangat sebat.

   In Loei terpaksa cabut pedangnya dengan apa ia tangkis bacokan itu.

   See To tarik kembali goloknya, lalu ia mendak, untuk membabat ke bawah.

   "Orang kejam!"

   Teriak In Loei sambil lompat dengan tipu "Yantjoe Siahoei," - "Burung walet terbang nyamping."

   Dengan begitu ia lolos dari bahaya, setelah mana, pedangnya menikam dada lawan.

   See To terperanjat, ia menangkis sambil berkelit, maka kedua senjata jadi bentrok, dengan keras, dengan kesudahannya golok kena terpapas kutung! In Loei tidak niat melakukan pembunuhan, tidak demikian dengan See To, walaupun dia terperanjat, dia tidak mundur, sebaliknya, dia menyerang pula dengan sambarannya.

   Maka si nona sambut tangannya dengan satu babatan, hingga dia menjadi kaget, terpaksa dia tarik kembali tangannya itu.

   Dia jeri terhadap pedang orang yang tajam, karenanya, dia siap sedia.

   Masih dia tidak mau menyingkir, dia melawan terus dengan lincah, hingga sukar bagi In Loei untuk memukul mundur tjeetjoe ini, yang sementara itu telah dibantu pula oleh beberapa sahabatnya.

   "Kau rasakan!"

   Seru See To ketika ia kirim serangannya yang berbahaya.

   In Loei awas, ia terkejut menampak tangannya merah.

   Tahulah ia yang tjeetjoe itu pernah meyakinkan Toksee tjiang - Tangan Pasir Beracun.

   Pantas dia berani sekali dengan tangannya itu.

   Celaka siapa terkena tangan jahat itu.

   Maka untuk menolong dirinya, ia tarik satu musuh di sampingnya, guna dipakai menalangi ianya.

   See To batalkan serangannya itu, untuk tidak mencelakai kawannya.

   Kesempatan ini dipakai In Loei untuk melompati sebuah meja, lalu dari lain sebelah meja itu, ia sambar mangkok dengan apa ia lempar kalang kabutan hingga ada beberapa sahabatnya See To yang matang biru mukanya, yang pun tersiram sajur.

   "Hebat! hebat!"

   Lalu terdengar beberapa seruan.

   Memang, keadaan sangat kacau.

   See Boe Kie sambar sebuah kursi, dengan itu ia merangsak, berulang kali ia menyerang, tapi In Loei telah membabat kutung kursi itu.

   Pada waktu itu, See To menyerang pula.

   Di saat In Loei hendak melayani tjeetjoe itu, satu bayangan berkelebat di antara mereka berdua, dengan pentang kedua tangannya, bayangan itu membuatnya kedua musuh mundur dua tiga tindak.

   "See Toako, coba pandang padaku!"

   Demikian suara bayangan itu - ialah Tjio Eng si tuan rumah.

   "Dan kau, engko kecil, coba kau berhenti dulu!"

   "Toako, aku mohon keadilan kau!"

   Kata See To.

   "Muka kami ayah dan anak bergantung pada sepatah katamu!"

   Tjio Eng pandang In Loei, ia heran dan kagum.

   "Apa benar ada pemuda begini cakap?"

   Katanya di dalam hati.

   "Jikalau bukannya aku telah saksikan sendiri, sungguh aku tidak percaya dia dapat mengalahkan Boe Kie dan membuat ayah dan anak kewalahan."

   "Tjio Tjhoengtjoe, maafkan aku,"

   Berkata In Loei.

   "Aku telah bentrok dengan tetamumu yang mulia. Aku sebenarnya datang untuk memberi selamat, tidak kusangka sekarang terjadi perkara ini. Tentu saja aku tidak berani turun tangan kalau tidak terpaksa. Sekarang terserah pada tjhoengtjoe, kau hendak hukum aku atau bagaimana....."

   Menurut aturan kaum kangouw, In Loei adalah tetamunya Tjio Eng, maka dalam segala hal, Tjio Eng sebagai tuan rumah harus memegang semua tanggung jawab. Maka itu, mendengar perkataan orang itu, See To mendongkol bukan kepalang.

   "Manusia licin!"

   Ia mendamprat dalam hatinya, matanya pun mendelik. Tapi tiba-tiba ia dapat daya. Ia lantas hadapkan tuan rumahnya.

   "Toako, apakah she dan nama engko kecil ini"

   Demikian ia tanya.

   "Siapakah gurunya?"

   Tjio Eng melengak ditanya begitu.

   "Aku tidak tahu,"

   Sahutnya, terpaksa. Maka tertawalah See To berkakakan.

   "Kiranya toako tidak kenal dia siapa!"

   Katanya, puas.

   
Dua Musuh Turunan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Saudara-saudara hadirin, siapakah yang kenal engko kecil ini?"

   Dia tanya semua tetamutetamunya. Semua orang datang berkerumun, tidak satu di antara mereka yang kenal anak muda ini, mereka itu membungkam atau menggelengkan kepala. Kembali See Tjeetjoe tertawa sekarang ia tertawa dingin.

   "Baiklah toako ketahui,"

   Kata ia pada tuan rumah.

   "jahanam ini sudah sengaja mengaku jadi tetamu, namanya saja dia datang untuk memberi selamat, sebenarnya dia hendak menyingkirkan diri! Tidak apa dia datang makan di sini, makan tanpa membayar, tetapi perbuatannya ini merusak kaum Hektoo di Shoasay ini!"

   Tjio Eng menjadi bingung, ia pun tidak senang.

   "Habis, apakah See Toako pikir?"

   Dia tanya.

   "Mesti diminta supaya dia keluarkan semua barang berharga dari orang yang dia lindungi!"

   Jawab See Tjeetjoe.

   "Suruh dia serahkan itu kuda Tjiauwya saytjoe ma! Habis itu, dia mesti dipaksa menyerah untuk Boe Kie tikam lengannya seperti dia tikam lengan Boe Kie! Dengan begitu baharulah urusan dapat diselesaikan. Bercekat In Loei mendengar orang menyebut nama kuda Tjiauwya saytjoe ma. Memang sejak lama ia sudah dengar nama kuda jempolan asal Mongolia itu, yang tak dapat dibeli dengan uang seribu tail emas. Maka tidak ia sangka, kuda si mahasiswa adalah kuda jempolan itu. Lantas saja, di depan matanya, terbayang tampangnya si mahasiswa yang cakap dan sikapnya yang sangat polos. Ia pun jadi semakin curigai mahasiswa itu. Menampak orang diam saja, Tjio Eng sangka si anak muda kaget, maka ia tepuk pundaknya.

   "Eh, engko kecil, apa kau kata?"

   Dia tanya. In Loei bukannya tidak sadar.

   "Dia begal orang, aku tolongi orang itu, demikian duduknya hal"

   Sahut ia dengan tenang.

   "Apa lagi yang hendak dikatakan? Jikalau mereka tidak puas, silakan mereka maju! Asal mereka, ayah dan anak, dapat mengalahkan aku, jangan kata baharu dibacok satu kali lenganku, enam kali mereka tikam tubuhku, masih boleh, tidak nanti aku lari!"

   Hati tuan rumah itu menggetar.

   "Nyatalah dia anak ayam yang baharu menetas,"

   Pikirnya.

   "Dia tidak ketahui, dalam urusannya seperti ini, akulah yang berkuasa atas dirinya. Dia menantang mereka, bukankah itu sama artinya dengan menantang aku?"

   See To pun tertawa berkakakan mendengar perkataan orang itu. In Loei mendelik.

   "Kau tertawakan apa?"

   Dia tegur.

   "Kamu ayah dan anak, silakan kamu maju! Apakah kamu sangka aku jeri terhadap kamu? Hm!"

   Dengan mengucap demikian, In Loei ingat pesannya Tjioe Kian, yaitu kalau menghadapi musuh banyak, terutama musuh kesohor, mesti dijaga supaya musuh itu sendirilah yang mesti ditantang, untuk bertempur satu sama satu.

   Ia pun merasa, ayah dan anak itu pasti bukan tandingannya, jadi ia tidak perlu takut, ia jadi senang dapat menantang ayah dan anak itu.

   Ia hanya tidak tahu, pesan Tjioe Kian tidak mengenai urusan seperti kali ini.

   "Tjio Toako, kau dengar tidak?"

   Tanya See To pada Tjio Eng.

   "Di mata bocah ini tidak saja tidak ada aku juga tidak ada kau!"

   Wajah tuan rumah kembali berubah.

   "Aku tahu!"

   Ia menjawab. Terus ia hadapi si anak muda.

   "Eh, engko kecil, kau mau adu pedang atau adu kepalan?"

   Dia tanya.

   "Apa? Bertanding dengan kau?"

   In Loei tegaskan.

   "Tjhoengtjoe, Lianin kiam-mu kesohor di kolong langit, cara bagaimana aku yang muda berani melawan kau? Aku hanya hendak main-main dengan mereka berdua!"

   "Tutup mulutmu!"

   Tiba-tiba Tjio Eng membentak.

   "Siapa yang ingin bertempur di tempatku ini? Kau lihat!"

   Dan sinar matanya menyapu. Kata-kata ini dikeluarkan di depan In Loei tapi sebenarnya ditujukan kepada See To ayah dan anak. Kembali In Loei melengak, tak tahu ia bagaimana harus menjawab. Tjio Eng tidak gubris orang berdiam.

   "Jikalau kau jeri terhadap pedangku, nah mari kita bertanding dengan tangan kosong saja!"

   Tjio Eng berkata pula.

   "Aku yang rendah tidak berani,"

   In Loei menyahuti. Wajah tuan rumah ini berubah pula.

   "Tidak bertanding, itulah tidak bisa!"

   Dia kata.

   "Tapi mengingat kau satu anak muda, baik, aku memberi ketika, aku tidak melayani kau. - Eh, anak Hong, mari! Coba kau wakilkan aku melayani dia beberapa jurus! Anak, lekas kau naik ke panggung!"

   Sikapnya Tjio Eng membuatnya semua hadirin heran, malah See To dan anaknya jadi mendongkol, hingga wajah mereka merah padam.

   Tahulah semua orang, mengapa Tjio Eng menyuruh gadisnya melawan anak muda itu.

   Itu - terangnya - ada pertandingan untuk memilih jodo untuk gadisnya itu.

   Tjio Eng melirik, ia tetap bersikap tak mem-pedulikannya.

   Ia, hanya desak si anak muda.

   "Eh, bocah bila kau punya nyali untuk menyelundup ke dalam Hektjio tjhoeng ini, kau juga harus punya nyali untuk naik ke panggung!"

   Demikian katanya.

   "Eh, apakah kau masih tidak mau naik? Apakah kau ingin paksa aku nanti melemparkan tubuhmu?"

   Desakkan orang tua ini, membuat romannya jadi bengis sekali.

   Tapi di dalam hatinya semua tetamu tertawa.

   Semakin terang saja, tuan rumah ini penuju anak muda itu.

   In Loei berpaling ke atas panggung, di sana ia lihat wajahnya Tjio Tjoei Hong, dengan muka merah dadu, matanya mengawasi ke bawah panggung loeitay, hingga mata mereka berdua jadi bentrok.

   Tiba-tiba saja ia dapat satu pikiran.

   Maka lekas lekas ia angkat bajunya.

   "Baiklah aku turut perintah, aku nanti naik ke panggung untuk terima pengajaran dari siotjia,"

   Ia kata. Habis itu, orang banyak sudah membuka jalan, ia bertindak ke arah loeitay ke atas mana lantas ia lompat naik. Tjio Eng segera bicara dengan beberapa pembantunya, kemudian ia duduk menemani See To.

   "See Toako,"

   Katanya sambil tertawa dan mengurut-urut kumisnya, kita bersahabat sudah bertahun-tahun tidak nanti aku membuatnya kau malu."

   Tjeetjoe itu berdiam ia sedang mendongkol, tak dapat dia bicara, dia pun tak dapat mengutarakan kegusarannya. Tjio Eng tersenyum.

   "Biar bagaimana, anak-anak muda tak dapat tidak dipupuk,"

   Katanya pula.

   "Jikalau anak muda mesti dibunuh, sungguh, kita jadi menunjukkan pandangan yang cupat....."

   Tjio Eng adalah pemimpin Rimba Persilatan di dua propinsi Shoasay , dan Siamsay, karenanya See To mesti menahan sabar.

   "Toako benar,"

   Ia kata.

   "Aku telah terima pengajaran dari kau. Sekarang ingin aku pamitan."

   Baru ia hendak berbangkit tapi Tjio Eng telah menekannya.

   "Kita saksikan dulu pertandingan ini, masih ada tempo,"

   Katanya.

   "Lihat, mereka sedang serunya!"

   Memang di atas panggung.

   "pemuda"

   Dan pemudi itu tengah bertempur, tubuh mereka berkelebatan bagaikan bayangan, karena pesatnya mereka bergerak-gerak.

   Pakaian mereka sangat menarik, yaitu In Loei berbaju putih, dan Tjio Tjoei Hong berbaju hijau dan celana merah, hingga nampaknya bagaikan awan putih yang terseling sinar layung merah di antara laut hijau.

   Dengan kepandaiannya, In Loei dapat rubuhkan si nona dalam tempo tiga puluh jurus, akan tetapi ia ingin saksikan ilmu silat "Liapin pouw-nya", dari itu ia tidak segera berlaku keras.

   Liapin pouw ada bertangan kosong, sedang Liapin kiam memakai pedang.

   "Baik permainannya, sayang belum sempurna,"

   Pikir In Loei kemudian. Itu waktu mereka sudah melalui seratus jurus. Tjoei Hong sementara itu telah berpikir juga. Ia lihat bagaimana si "anak muda"

   Melayani ia seperti sedang bermain-main.

   "Aku mesti perlihatkan kepandaianku, kalau tidak, setelah menikah nanti, ia bisa pandang enteng padaku,"

   Berpikir ia lebih jauh.

   Ia lantas tertarik pada anak muda itu, sedang maksud ayahnya, dapat ia duga.

   Benar saja, habis berpikir demikian, nona ini menyerang dengan dahsyat.

   Ia telah keluarkan kepandaiannya, yaitu ilmu silat Liapin pouw - Tindakan Mengejar Mega.

   Gesit gerakannya, berat tangannya - baik bacokannya, maupun totokannya.

   In Loei gentar juga menyaksikan perubahan itu, ia lantas melayani dengan ilmu silat Pekpian Hiankee - ilmu pedang yang ia ubah menjadi bertangan kosong.

   Maka ia pun jadi bergerak sangat lincah.

   Sebentar saja, pemuda ini telah menguasai pula pertempuran, akan tetapi, ketika si pemudi melihatnya, hatinya menjadi rawan.

   "Akhirnya dapat juga aku paksa kau keluarkan kepandaianmu,"

   Pikirnya.

   Lalu si nona paksakan berkelahi terus, ia seperti berlaku nekat, ia merangsak, begitu rupa, sampai akhirnya ia masuk ke dalam pelukan orang.

   Dipihak lain, ia mencoba memegang lengan In Loei.

   Kaget juga pemuda tetiron itu, sampai ia menjadi bingung.

   Mau atau tidak, ia terpaksa merangkul dengan tangan kiri, lalu dengan jari tangannya ia pegang iganya, hingga Tjoei Hong rasakan tubuhnya menggetar.

   Karena jengah, In Loei keluarkan seruan tertahan.

   Tapi dengan kemalumaluan, di bawah panggung, penonton telah bertampik sorak.

   Maka lekaslekas ia totok pula si nona, untuk menghidupkan pula jalan darahnya, habis mana ia tolak tubuh nona itu, ia sendiri lompat mundur.

   "Maaf, nona!"

   Katanya sambil memberi hormat. Tjio Eng perlihatkan wajah berseri-seri, ia urut-urut kumisnya. Tapi sahabatnya, See Tjeetjoe, padam mukanya.

   "Kionghie, toako, kau telah pilih menantumu!"

   Katanya sambil memberi hormat.

   "Nah, ijinkanlah aku pulang!"

   Tjio Eng panggil pembantunya yang tadi.

   "See Hiantee, toako-mu memohon maaf,"

   Ia kata.

   "Di sini ada sebungkus mutiara, hitunglah sebagai penggantian kerugian. Tentang kuda Tjiauwya saytjoe ma, harap kau tidak buat pikiran pula, karenanya silakan kau pergi ke istalku, akan pilih sepuluh ekor yang paling baik untuk dijadikan gantinya. Hiantee, aku minta sukalah kau berlaku murah hati, untuk membebaskan piauw yang ia lindungi itu."

   Tuan rumah mengatakan demikian karena ia percaya perkataannya See To bahwa In Loei telah menjadi "piauwsoe diam-diam."

   See Tjeetjoe tertawa tawar.

   "Terima kasih, toako,"

   Katanya.

   "Aku masih punyakan hartaku, tidak berani aku memiliki kepunyaan kau. Aku melainkan minta kau suka mentaati undang-undang Golongan Hitam. Dalam hal ini, aku minta toako memberi maaf padaku."

   Habis berkata, tjeetjoe ini menjura dalam pada tuan rumahnya, lalu ia tarik tangannya Boe Kie untuk diajak berlalu.

   Tjio Eng menjadi sangat tidak puas, tetapi ia tidak bisa berbuat lain, maka setelah menyuruh pembantunya antar tetamunya, ia sendiri lantas lompat naik ke atas panggung.

   Tjoei Hong merah wajahnya, melihat ayahnya naik, ia tunduk, tangannya membuat main ujung bajunya.

   In Loei pun menyeringai, ia jengah.

   Orang tua itu tertawa berkakakan.

   "Inilah yang dikata, gelombang sungai Tiangkang yang belakangan menolak gelombang yang terdepan, atau orang yang baharu menggantikan orang yang lama!"

   Dua Musuh Turunan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Katanya.

   "Kau adalah satu pemuda gagah, kau adalah seorang yang sukar dicari bangsanya....."

   Sekarang Tjio Eng sudah ketahui she dan nama orang ini. Tadi ia telah titahkan pembantunya memeriksa karcis namanya. Maka sambil tertawa ia meneruskan berkata.

   "In Siangkong, kau mempunyai kepandaian, buat apa kau menjadi piauwsoe?"

   "Sama sekali aku tidak menjadi piauwsoe,"

   In Loei menyangkal.

   "Kemarin ini di tengah perjalanan aku berkenalan dengan satu sahabat, aku tolongi dia menolak penjahat, aku tidak tahu karenanya aku jadi bentrok dengan See Tjeetjoe ayah dan anak."

   Lega hatinya Tjio Eng mendengar keterangan ini.

   "Oh, begitu,"

   Katanya.

   "Di rumah kau masih ada siapa lagi? Apakah kau sudah mengikat jodoh?"

   In Loei bersangsi sedetik ketika ia menjawab.

   "Aku punya satu kakak,"

   Sahutnya.

   "Aku belum mengikat jodoh....."

   Tuan rumah itu tertawa.

   "Biasanya anak muda, bila ditanya hal jodohnya, dia jengah!"

   Katanya.

   "Kau telah peroleh kemenangan, hendak aku berikan hadiah padamu!"

   Berkata pula Tjio Eng. Ia keluarkan sebuah cincin batu giok hijau yang ditaburkan dengan dua butir permata "mata kucing,"

   Yang cahayanya berkilauan.

   "Ini adalah peninggalan ibunya Tjoei Hong yang diberikannya di waktu ia hendak menutup mata, sekarang aku haturkan ini padamu."

   "Karena itu barangnya si nona, tidak berani aku terima,"

   In Loei menampik dengan merendah. Tjio Eng tertawa bergelak.

   "Ini adalah tanda mata untuk pertunangan kamu, mengapa kau tidak mau terima?"

   Ia kata.

   "Sebenarnya aku tidak berani terima kehormatan itu."

   In Loei menolak pula. Mendadak saja wajahnya tuan rumah itu menjadi padam.

   "Apakah kau cela anakku?"

   Tanyanya, tetapi dengan perlahan.

   "Mana berani aku mencela,"

   Sahut si anak muda.

   "Aku hanya tak dapat menuruti kehendak loopeh."

   Tjioe Eng menjadi tidak senang.

   "Mengapa?"

   Ia tanya, mendesak.

   In Loei melirik kepada Tjoei Hong, ia lihat si nona, yang pegangi ujung celananya, merah mukanya, kedua matanya yang besar dan bunder diarahkan kepadanya, pada matanya tampak air mata yang berlinang.

   Tiba- tiba saja ia mendapat satu pikiran.

   "Baiklah, aku terima dia sampai nanti datang ketikanya aku menggeser."

   Demikian pikirnya. Ia menyahuti, tapi ia masih berpura-pura. Ia kata.

   "Aku belum dapat izin dari orang yang lebih tua, cara bagaimana aku dapat dengan diam-diam mengikat jodoh?"

   "Di manakah kakakmu sekarang?"

   Tanya Tjio Eng.

   "Aku tak tahu ia berada di mana,"

   Jawab In Loei.

   "Dengan saudaraku, aku berpisah sewaktu kami masih kecil....."

   Tjio Eng kerutkan alisnya.

   "Habis, pada siapa kau hendak beritahukan hal ini, untuk memohon perkenan?"

   Dia tanya pula.

   "Ayah dan ibuku telah menutup mata, yang masih ada hanya tjeekong,"

   Sahut In Loei.

   "Tjeekong perlakukan aku sebagai cucunya sendiri, maka ingin aku beritahukan padanya urusan perjodohanku ini."

   "Siapakah nama tjeekong-mu itu?"

   "Tak dapat aku menyebutkan nama tjeekong di sini,"

   Jawab In Loei.

   "Dia seorang kenamaan dalam Rimba Persilatan."

   Tjio Eng heran, ia tertawa.

   "Kalau dia seorang kenamaan, mesti dia tahu namaku!"

   Katanya dengan gembira.

   "Atau sedikitnya dia kenal aku. Maka baiklah kau jangan kuatir suatu apa."

   In Loei kena terdesak, ia lantas memberi hormat sambil berlutut pada "bakal mertua"

   Yang ia panggil "gakhoe", habis mana dari sakunya ia keluarkan sepotong batu permata, untuk diserahkan.

   Tjio Eng terima tanda mata itu, yang ia terus serahkan pada anak daranya, setelah mana ia pimpin bangun babah mantunya, untuk disuruh berdiri di tengah panggung.

   "Sejak ini, In Siangkong ini adalah bagaikan setengah anakku,"

   Ia kata pada tetamu-tetamunya, maka itu aku mengharap, kalau nanti dia membuat perjalanan, sukalah saudara- saudara membantu melihat-lihat padanya."

   Riuh suara para tetamu menyambut pernyataan itu, mereka pun memberi selamat. Tjio Eng tunggu sampai reda, lalu ia berkata pula.

   "Aku telah berusia lanjut, dan justeru saudara-saudara berada di sini, baiklah sekarang saja pernikahan dirayakan! Secara begini dikemudian hari tidak usah aku mengundang pula saudara- saudara, yang mana membikin berabe saja!"

   Orang banyak lantas bertepuk tangan.

   "Bagus! Bagus!"

   Mereka berseru. Malah seorang lantas menghampiri In Loei dengan arak di tangan, untuk memberi selamat.

   "Usiaku masih terlalu muda, baiklah pernikahan ditunda dulu....."

   Kata In Loei. Ia terdesak, ingin ia mengelakkannya.

   "Aku ingin dapat mendampingi kau, maka itu perlu pernikahanmu dirayakan siang- siang", Tjio Eng mendesak.

   "Aku Hongthianloei seorang sederhana, aku mengadakan loeitay untuk memilih mantu, sekarang mantu telah aku dapatkan, baik sekarang juga pernikahan dilangsungkan! Dengan begini kita tak usah dipersulit segala adapt istiadat....."

   Semua tetamu tertawa, mereka puji cara sederhana ini.

   Maka In Loei dipaksa menjalankan upacara yang sederhana, yaitu berdua Tjoei Hong ia memberi hormat pada langit dan bumi, lalu pada Tjio Eng, habis mana banyak orang memberi selamat dengan arak! Bukan main masgulnya In Loei, ia mengeluh dalam hatinya.

   Tak dapat ia meloloskan diri.

   Inilah main-main menjadi sungguhan.

   Ia pun tak dapat menolak pemberian selamat dengan arak itu.

   Ketika ia telah tenggak belasan cawan arak, ia gunakan tenaga dalamnya, lalu dengan suara keras, ia muntahkan itu.

   Tubuhnya pun lantas limbung.

   Maka kupingnya lantas dengar teriakan orang banyak.

   "In Siangkong mabuk!"

   Memang In Loei tidak kuat minum, sedikitnya susu macan telah mempengaruhi dia, maka selagi berpura-pura sinting, yang orang percaya, sengaja ia, terhuyung kepada Tjoei Hong! "Anak muda tidak biasa minum, dia pun tidak tahu aturan,"

   Berkata Tjio Eng, yang juga kena dikelabui babah mantunya itu.

   "Anak Tjoei, pergi kau bawa dia ke dalam."

   Lalu pada orang banyak, ia tambahkan.

   "Aku girang, aku tidak pakai aturan lagi! Saudara-saudara, mari, mari kita minum!"

   In Loei pejamkan kedua matanya, ia letakkan kepalanya di pundak Tjoei Hong, ia biarkan dirinya dipayang ke dalam, terus ke kamar di mana ia rebahkan diri tanpa salin pakaian lagi.

   Mulanya ia berpura-pura mabuk, tapi karena pusing dan lelah, ia tertidur sendirinya.

   Ketika ia mendusin, ia lihat kamar sudah terang dengan cahaya api, tandanya sudah malam.

   Ia lihat Tjoei Hong duduk di tepi pembaringan, si nona tidak salin pakaiannya, rupanya dia terus menemani.

   Menampak orang membuka matanya, nona ini tertawa.

   "Kau mabuk, siangkong?"

   Dia tanya. Lantas dia suguhkan secangkir the tua, katanya.

   "Inilah teh Sinkiok untuk menghilangkan rasa mabuk. Tidak usah siangkong bangun, aku nanti meminumkan....."

   Benar-benar, ia angkat sedikit tubuhnya In Loei, ke mulut siapa ia bawakan cangkir tehnya itu.

   In Loei merasa segar sehabisnya minum air teh itu yang harum.

   Sekarang ia dapat lihat tegas, kamar yang dihias rapi.

   Dupa mengepulkan asap di atas sebuah meja kecil, pendupaannya berkaki tiga dan bagus sekali.

   Menampak perhatian orang itu, Tjoei Hong tertawa.

   "Turut katanya ayah, inilah pendupaan jaman Tjioe,"

   Katanya.

   "Tapi di mataku, aku tidak melihat perbedaannya. Pun meja kecil itu, katanya terbuat dari kayu wangi asal Lamhay"

   Heran In Loei.

   Pendupaan tua dari jaman Tjioe dan meja kayu wangi dari Lamhay? Sungguh itu barang-barang yang mahal sekali harganya.

   Tapi si nona pandang barang itu sebagai barang biasa saja! Di situ pun kedapatan lain-lain barang berharga, seperti batu giok, mutiara dan lainnya, yang indah adalah pohon karang.

   "Tjio Eng satu jago silat, siapa tahu, iapun hartawan besar,"

   Pikir babah mantu ini. Tjoei Hong dampingi "suaminya"

   Ini.

   "Siangkong, kau sebenarnya dari keluarga mana?"

   Dia tanya.

   "Ayah dan ibu menutup mata waktu aku masih kecil sekali,"

   Jawab In Loei.

   "Menurut keterangan, kita adalah dari keturunan keluarga berpangkat."

   Nona itu mengawasi, alisnya agak mengkerut.

   "Siangkong, apa benar kau menyintai aku?", ia tanya, perlahan.

   "Kau cantik sekali, kau juga gagah, bukan cuma aku, setiap pemuda yang melihat kau pasti menyintai kau,"

   Jawab In Loei.

   "Ah, apakah kau kata?"

   "Aku punya satu saudara angkat, baik roman maupun kepandaiannya, dia melebihi aku,"

   In Loei sahuti. Heran si nona, alisnya sampai bangun.

   "Saudara angkatmu itu mempunyai hubungan apa dengan aku?"

   Dia tanya.

   "Ah, aku tahu sekarang..... Tadi kau berulang-ulang menampik, kau sebenarnya tak suka menikah dengan aku....."

   
Dua Musuh Turunan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
In Loei pandang nona itu.

   "Bukannya aku tidak suka....."

   Katanya.

   "Kau dengar dulu omonganku. Saudara angkatku itu....."

   Mendadak saja Tjoei Hong menangis.

   "Bagaimana pandanganmu terhadapku?"

   Dia tanya, gusar.

   "Kalau kau sebutsebut pula tentang saudara angkatmu itu, nanti aku bunuh diri dihadapanmu! Jikalau kau tidak suka padaku, katakanlah terus terang! Memang aku tahu kamu bangsa pembesar negeri, kamu pandang rendah orang sebangsa kami....."

   "Ah, mengapa kau ngaco?"

   Berkata In Loei.

   "Sebenarnya kau bangsa apa? Aku tidak tahu....."

   Si nona mengawasi.

   "Apa benar-benar kau tidak tahu?"

   Tanyanya.

   "Aku adalah anak tunggal dari satu penjahat besar!"

   In Loei tersenyum.

   "Itulah tidak berarti apa-apa!"

   Dia kata.

   "Saudara angkatku itu juga ada satu penjahat besar....."

   Bukan main mendongkolnya Tjio Tjoei Hong.

   "Kau selalu sebut saudara angkatmu itu, sebenarnya, apakah maksudmu?"

   Dia tanya. Melihat orang murka, In Loei berpikir. Memang tak tepat pada malaman pengantin berbicara tentang seorang lelaki lain.

   "Aku hendak jodohkan paman San Bin, tidak dapat aku terburu napsu,"

   Ia berpikir pula.

   "Kau belum kenal aku!"

   Kata si nona.

   "Sejak kecil aku telah ikuti ayah merantau, selama itu entah berapa banyak orang yang telah melamar aku, akan tetapi aku sendiri telah bersumpah, tidak mau aku menikah kecuali pada orang yang aku penuju! Kalau ada orang yang aku penuju tetapi dia tidak suka padaku, tidak ada lain jalan daripada mengorbankan jiwaku! Tadi di atas loeitay, kau telah berlaku ceriwis terhadapku, dan sekarang, setelah kita menikah, kenapa kau tidak pandang aku sebagai isterimu? Apakah memang kau sengaja hendak perhina aku?"

   In Loei tidak sangka orang berhati demikian keras. Maka kembali ia berpikir.

   "Dia belum pernah lihat paman San Bin, apakah dia penuju pada paman itu?"

   Demikian ia beragu-ragu.

   "Kalau begini, tidak boleh aku sembarang timbulkan niatku menggeser pernikahanku ini....."

   "Katakan!"

   Tjoei Hong mendesak.

   "sudikah kau mengambil aku sebagai isterimu?"

   Lantas saja dia menangis. Kewalahan juga In Loei didesak secara demikian.

   "Siapa kata aku tidak sudi mengambil kau sebagai isteriku?"

   Dia membaliki.

   "Jangan kau menangis. Kau ingin aku berbuat bagaimana supaya aku membikin kau puas?"

   Tjoei Hong hendak mengatakannya tetapi batal, ia malu sendirinya. Cuma air matanya yang mengalir. In Loei cekal tangan orang, untuk ditarik. Ia tersenyum.

   "Entjie, berapa usiamu?"

   Ia tanya.

   "Delapan belas tahun,"

   Sahut Tjoei Hong dengan ringkas.

   "Kalau begitu, kau lebih tua satu tahun dari-padaku,"

   Menerangkan nona In.

   "Benar-benar aku mesti panggil entjie padamu. Entjie, adikmu....."

   Dengan kata "adik"

   Itu ia maksudkan "moay-moay"-"adik perempuan."

   Tjoei Hong heran, hingga ia mengawasi.

   "Apakah kau belum sadar betul dari mabukmu?"

   Dia tanya.

   "Bukankah tadi telah aku terangkan bahwa aku tidak punya adik perempuan?....."

   In Loei melengak. Untuk sedetik, ia lupa bahwa ia tengah menyamar. Lalu ia tertawa sendirinya.

   "Benar gila!"

   Katanya.

   "Entjie, bolehkah aku jadi adikmu yang lelaki? Entjie, adikmu ini tidak pandai bicara, aku minta kau tidak persalahkan dia....."

   Dengan perlahan ia usap-usap tangannya. Tjoei Hong tertawa.

   "Benar-benar kau anak tolol!"

   Katanya.

   "Baiklah! Sekarang kau mesti dengar perkataan ent}ie-mu\ Lekas kau salin pakaianmu, baharu kau tidur pula! Kau lihat, kau tidak loloskan sepatumu! Ah, ini sepre mesti ditukar....."

   Kalau tadi si nona masih malu, sekarang ia menjadi berani. Melihat orang tidak mau berbangkit, ia kata.

   "Apakah kau inginkan entjie-mu yang menukarkan pakaianmu"..... Ia lantas tertawa, mukanya menjadi merah. Ia merasa bahwa ia telah kelepasan berbicara. In Loei berdiam. Ia benar-benar sangsi. Tiba-tiba ada pertanyaan dari luar, dari budak perempuan.

   "Apa babah mantu sudah sadar dari mabuknya?"

   "Sudah,"

   Sahut Tjoei Hong.

   "Looya minta nona dan babah mantu menemuinya,"

   Kata pula budak itu.

   "Oh, ya, aku sampai lupa!"

   Kata si nona. Terus ia menambahkan dengan perlahan.

   "Adikku, mari bangun. Tak usah kau salin pakaian dulu....."

   Lega hatinya In Loei. Ia singkap selimutnya lalu lompat turun. Tjoei Hong membuka pintu kamar.

   "Kau tukar seprenya!"

   Ia perintahkan budaknya.

   Budak itu lihat sepre bertapakkan sepatu kotor, ia tertawa sambil menutup mulutnya.

   Tjoei Hong ambil lentera, sambil bawa itu, ia tarik tangannya In Loei, untuk diajak keluar.

   Mereka mesti melewati beberapa ruangan, untuk sampai di sebuah loteng besar, yang tingginya lima tingkat.

   Tingkat ke lima itu merupakan satu ruangan, ada meja, dan kursinya.

   Di atas meja, In Loei lihat, banyak barang permata.

   Tjio Eng duduk dengan ditemani empat orang di kiri dan kanannya.

   Menampak babah mantunya, Tjio Eng tertawa.

   "Anak Tjoei! Anak Loei!"

   Katanya.

   "Mari kamu pilih ini, masing-masing ambil satu rupa, yang selebihnya adalah untuk sahabat-sahabatku ini!"

   In Loei heran, ia berdiam.

   "Inilah aturan kami yang tertentu,"

   Tjoei Hong beritahu.

   "Kau turut perkataan ayah. Kau pilih satu rupa!"

   In Loei ambil satu singa-singaan dari batu giok, dan Tjoei Hong mengambil sebatang tusuk konde dari giok juga.

   Habis itu In Loei pandang ruang itu, yang sangat sederhana, sebab kecuali sebuah lemari besi, perabotan lainnya tidak ada, melainkan di tembok tergantung sebuah gambar yang besar di mana terlukis sebuah kota yang dikitari air, kota itu ada pesebannya, ranggonnya, tamannya, dan penduduknya.

   Dilihat dari romannya, itu adalah sebuah kota di Kanglam.

   "Apakah kau suka pada gambar itu?"

   Tanya Tjio Eng sambil tertawa.

   "Besok akan aku tuturkan kau tentang kota itu. Sekarang kembalilah kamu."

   Tjoei Hong ajak suaminya undurkan diri, selagi keluar dari kamar, ia masih dengar kata-katanya salah satu tetamu.

   "Harus sangat disayangkan, ini adalah perdagangan kita yang terakhir....."

   Tjio Eng tertawa, ia kata.

   "Di dalam dunia di mana ada bunga yang tak rontok dalam seratus tahun? Usiaku telah, lanjut, aku pun tidak ingin melakukan perdagangan semacam ini. Baiklah kita pakai cara lama, kamu boleh taksir harganya."

   In Loei heran, ia ingin mendengar lebih jauh tapi Tjoei Hong sudah menarik tangannya, mengajak ia turun dari loteng.

   Setibanya di kamar, mereka tampak sepre sudah ditukar dengan yang baru, hingga pembaringan itu nampaknya lebih indah.

   Pada saat itu dari kejauhan terdengar suara kentongan.

   "Ah, sudah jam tiga!....."

   Kata Tjoei Hong.

   "Sekarang ini aku tidak ingin tidur,"

   Kata In Loei.

   "Baik kau beritahukan aku, urusan apakah sebenarnya urusan ayahmu tadi?"

   "Ayah adalah satu penjahat tunggal,"

   Tjoei Hong menjawab dengan terus terang.

   "setiap tahun ia cuma bekerja satu kali. Penduduk sini tidak ketahui perbuatan ayah itu. Sudah menjadi kebiasaan, setiap habis bekerja, ayah menyuruh aku memilih salah satu barang hasil kerjanya, yang lainnya lantas dijual habis."

   "Barang boleh merampas bagaimana dapat dijual?"

   Tanya In Loei.

   "Sudah tentu dapat, untuk itu ada pembelinya. Begitulah ke empat orang tadi, mereka biasa membeli barang dari ayah. Mereka itu liehay, barang asal utara mereka jual di selatan demikian sebaliknya. Belum pernah mereka itu gagal. Uang yang ayah dapatkan dari penjualan itu, yang sebagian kecil ia tahan untuk dijadikan harta benda, selebihnya ia pakai menolongi sahabatsahabat kangouw yang kesusahan."

   In Loei heran dan kagum.

   "Begitu?"

   Katanya.

   "Pantas ayahmu diberi gelar Say Beng Siang."

   "Say Beng Siang"

   Berarti "Melebihi Beng Siang", dan "Beng Siang"

   Itu adalah Beng Siang Koen, seorang kenamaan yang biasa mengumpulkan banyak tetamu, dermawan dan berharta besar. Tjoei Hong tersenyum pada "suaminya"

   Itu. Tidak lama terdengar pula suara kentongan satu kali.

   "Apakah kau ingin aku bicara terus sepanjang malam?"

   Sang isteri Tanya "suaminya"

   Itu sambil melirik dengan tajam dan manis.

   "Hendak aku menanyakan lagi,"

   In Loei jawab.

   "Tentang gambar lukisan tadi. Adakah ceritanya mengenai gambar itu?"

   "Aku tidak tahu. Tentang itu, belum pernah ayah berkata padaku."

   Dua Musuh Turunan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Ia berdiam sebentar.

   "Aku pun merasa aneh. Segala apa ayah beritahukan padaku, Cuma gambar itu belum pernah ia menyebutkannya."

   Tak lama, kembali terdengar kentongan.

   "Nah, apa lagi kau hendak tanya?"

   Tanya Tjoei Hong sambil tertawa. In Loei berpikir, tidak ia dapatkan daya untuk memperlambat waktu. Tanpa alasan, tentu tak dapat ia bicara terus dengan "isterinya"

   Itu. Maka ia jadi sibuk sendirinya.

   "In Siangkong,"

   Akhirnya Tjoei Hong tanya, perlahan.

   "apakah benarbenar kau tidak cela aku?"

   "Untuk selamanya kau akan menjadi entjie-ku, bagaimana dapat aku cela padamu?"

   In Loei baliki.

   "Baik!"

   Kata si nona, suaranya halus.

   "Besok saja kita bicara pula, sekarang kau perlu beristirahat."

   In Loei raba kancing bajunya.

   "Benar, sekarang sudah waktunya tidur,"

   Katanya. Tapi tangannya Cuma meraba kancing, tidak ia membukanya. Justeru itu, di luar terdengar berisiknya suara banyak orang, antaranya ada yang berteriak-teriak.

   "Tangkap penjahat! Tangkap penjahat!"

   Di rumah Hongthianloei ada penjahat, itulah lucu.

   


Pendekar Setia Karya Gan KL Kilas Balik Merah Salju -- Gu Long Telapak Emas Beracun -- Gu Long

Cari Blog Ini