Dua Musuh Turunan 4
Dua Musuh Turunan Karya Liang Ie Shen Bagian 4
Dua Musuh Turunan Karya dari Liang Ie Shen
Di antara tetamu-tetamunya Tjio Eng ada yang numpang bermalam di rumahnya, mereka ini terkejut mendengar teriakan itu, lantas mereka memburu keluar, guna mencari penjahat itu.
In Loei tidak kaget, sebaliknya, ia tertawa.
"Kita bakalan tak dapat tidur!"
Katanya.
"Penjahat itu tentu datang sebab ayahmu mempunyai banyak barang permata."
Tjoei Hong tidak menjawab, dia hanya lari keluar, untuk kabur ke loteng tempat menyimpan permata itu. In Loei ikuti "isterinya"
Itu. In Loei sempurna ilmu enteng tubuhnya, ia berada di atas kebanyakan orang lain, maka itu kecuali ia telah lombai bujang-bujang dan tetamu-tetamu, ia pun telah tinggalkan Tjoei Hong jauh di sebelah belakang. Hal ini membuat "isteri"
Itu girang berbareng mendongkol. Girang sebab "suami"
Ini lihay dan kelihatannya membela betul keluarga Tjio, dan mendongkol karena dipanggilpanggil, dia tidak mau kembali atau menunggu.
Luas pekarangan Tjiokee tjhoeng itu, letak loteng tempat menyimpan barang berharga ada di pojok timur, di sana In Loei sampai dalam tempo yang cepat sekali, ketika ia menoleh, ia lihat Tjoei Hong baharu tiba di atas genteng dari rumah besar.
Ia tidak mau menantikan, sambil hunus pedangnya, ia lompat untuk sambar payon di mana terus ia cantelkan kakinya, akan ayunkan tubuhnya dengan dibantu oleh tekanan sebelah tangannya, dengan begitu ia sampai di loteng kedua.
Di sini ia pasang kuping, hingga ia dengar suara seperti suara setan.....
"Bangsat, kau mainkan lelakon iblismu untuk menakut-nakuti aku!"
In Loei kata di dalam hatinya.
Ia dengar suara dari dalam loteng, untuk masuk ke dalamnya, terlebih dahulu ia nyalakan sumbu bekalannya, yang ia sulut dengan api tekesan.
Sebentar kemudian ia sudah berada di dalam, terus ke tangga dari loteng ketiga.
Ketika ia angkat kepalanya melihat ke atas, ia tampak bayangan dari empat orang yang tubuhnya besar, mereka itu berdiri dengan sebelah kaki masing-masing, agaknya mereka sedang bertindak untuk lari turun, hanya, seperti dipengaruhi dengan "Tengsin hoat,"
Yaitu ilmu "mendiamkan diri,"
Mereka jadi berdiri diam, cuma mata mereka mendelong dan tenggorokan mereka perdengarkan suara tak nyata.
Yang hebat adalah wajah mereka, daging muka mereka pada mengkerut, hingga mereka mirip iblis-iblis bengis dan jahat.....
Terkejut juga In Loei setelah dia melihat dengan tegas, tapi dia hunus pedangnya, dia lari naik di tangga, niatnya menyerang mereka itu, yang dia duga adalah si orang-orang jahat.
Dia baharu hendak menikam, atau dia batalkan maksudnya.
Tiba-tiba saja dia menduga, ke empat orang itu tentu telah jadi korban totokan, sedang dia belum mendapat kepastian mereka itu ada "lawan atau kawan".....
Maka dia lantas suluhi mereka, dia mengawasi.
Tidak peduli wajah orang itu jelek, tapi dia kenali, mereka itu adalah orang-orang yang tadi siang menjadi pembeli-pembeli dari barang-barangnya Tjio Eng.
Dia menjadi heran, sebab dia percaya, walaupun mereka saudagar, mereka tentunya pandai silat.
Kenapa mereka kena ditotok? Siapakah yang menotoknya? "Belum pernah aku saksikan ilmu totokan lihay seperti ini?"
In Loei berpikir pula.
"Jikalau aku gunakan kepandaianku, dapatkah aku membebaskan mereka ini?"
Ia awasi mereka terlebih jauh, ia selidiki dengan teliti. Ia duga orang telah ditotok urat "moa Nafnya atau "ah hiat."
Totokan di urat itu bisa menyebabkan tubuh orang seperti mati atau gagu. Ia masih mengawasi sekian lama, baharu ia mencobanya menotok mereka.
"Aduh!"
Mereka itu menjerit setelah kena ditotok, terus mereka rubuh.
In Loei lompat minggir.
Menyusul itu terdengar suara berisik, dari batu-batu permata yang jatuh dari kantung ke empat orang itu, yang berhamburan di lantai.
Itulah harta yang berharga lebih dari sepuluh laksa tail.
In Loei melengak.
Terang baginya sekarang, penyerang ke empat orang ini bukannya hendak mengambil harta itu.
Kalau tidak, harta itu pasti sudah dirampas.
"Apakah penyerangmu sudah pergi?"
Ia tanya ke empat saudagar itu.
Ke empat orang itu masing-masing menekan dadanya, dengan sebelah tangan yang lain, mereka menunjuk ke atas.
Tidak dapat mereka bicara, napas mereka sesak.
Dengan berani In Loei lompat keluar jendela, untuk naik ke loteng ke empat, setibanya di payon, dari atas wuwungan ia dengar suara nyaring dari Tjio Eng.
"Kami dua turunan sudah menantikan enam puluh tahun. Apakah benar kau tidak sudi perlihatkan wajahmu terhadap kami?"
In Loei naik terus, ia segera nampak bayangan orang, yang telah perdengarkan suaranya "Mari!"
Itulah suara yang ia pernah dengar, entah di mana, ia lupa.
Tjio Eng ambil gambarnyaij, ia gulung itu, atas mana si bayangan ulurkan kedua tangannya, ia menyambut dengan tangan yang satu, sedang tangan yang lain, agaknya menepuk ke arah kepala tuan rumah.
Menampak demikian, In Loei membentak, tubuhnya naik ke genteng, tapi berbareng dengan itu, ia diserang senjata rahasia.
Ia menyampok dengan pedangnya, lantas ia rasakan satu dorongan tenaga yang kuat sekali.
Benar senjata rahasia itu hancur dan menyemburkan lelatu, tapi nona ini tak dapat pertahankan diri, tubuhnya terhuyung jatuh.
Syukur ia masih dapat menyantelkan kakinya ke payon, dengan begitu ia tidak jatuh terus kebawah loteng.
Malam itu gelap.
Kembali datang senjata rahasia yang kedua, yang perdengarkan sambaran angina seperti yang pertama.
Dengan pedangnya, In Loei tangkis pula senjata rahasia itu, yang kembali hancur dan lelatunya meletik berhamburan.
Sekarang ternyata, senjata rahasia itu adalah sepotong batu.
Pada saat itu, Tjio Eng tongolkan kepalanya.
"Siapa?"
Dia menegur. Belum In Loei menjawab, atau ia dengar suara yang berubah - suara yang agak terkejut.
"Anak Loei di situ? Ini bukan urusanmu, lekas kau menyingkir!"
Itulah suara Tjio Eng. Mendengar itu, In Loei heran. Sudah terang "penjahat"
Itu hendak merampas barangnya, kenapa Tjio Eng - si "mertua" - membantu pencuri itu? Kenapa Tjio Eng menyerang dengan batu hoeihongsek untuk mencegah dia membantui? Waktu itu di bawah loteng terlihat beberapa tetamu yang datang untuk memberikan bantuan mereka.
Tjio Eng lihat mereka itu, tidak tunggu sampai In Loei menyingkir, ia sudah lompat keluar, sambil berkata dengan nyaring.
"Penjahat telah aku usir sudah tidak ada apa-apa lagi! Saudara-saudara, silakan kembali!"
Tapi In Loei bermata awas, ia lihat si pencuri lompat keluar dari belakang jendela, pesat sekali gerakannya.
Tanpa sangsi lagi, ia pun lompat ke lain arah.
Dengan sebat si penjahat sudah sampai di tembok pekarangan.
Masih In Loei menyusul, ia juga tunjukkan kesehatannya.
Selagi hendak lompat dari tembok, orang yang disangka penjahat itu berpaling, tangannya dilambaikan pada si nona.
Nyata ia memakai topeng, sepasang matanya bersinar tajam.
Tanpa melihat tegas, In Loei lompat mengejar terus.
Di luar tembok pekarangan ada pohon-pohonan lebat, dari sana terdengar suara kuda berbenger, lalu di antara cahaya rembulan, tampak muncul seekor kuda putih.
Melihat kuda itu, In Loei terkejut.
Ia kenali itu adalah kuda putih dari si mahasiswa.
Ia jadi menjublak, ia tak mengerti.
Bukankah ia telah uji dan si anak sekolah tidak mengerti silat? Kenapa sekarang dia datang mencuri? Adakah benar orang bertopeng itu si mahasiswa adanya dan dia datang bukan untuk mencuri? Kalau dia benar mencuri, kenapa dia biarkan harta besar di tangan ke empat saudagar itu dan dia cuma ambil gambar lukisan saja, meskipun gambar itu berharga besar sekali.
Tapi anehnya, kalau benar si pencuri adalah si mahasiswa, dia baharu berumur dua puluh lebih, kenapa Tjio Eng mengatakan sudah menantikan enam puluh tahun? In Loei masih tercengang terus kalau ia tidak diganggu suara berisik diarah belakangnya, disusul dengan suaranya Tjio Eng yang nyaring.
"Jangan kejar penjahat yang sudah kabur! Anak Loei, lekas kembali!"
Masih In Loei terbenam dalam keheranan, sebab sikap aneh dari "mertuanya"
Ini.
Terang sudah, Tjio Eng tengah melindungi si penjahat - si orang bertopeng.
Karena ini, ia tidak pedulikan panggilannya orang tua itu, ia justeru terus lompat keluar tembok, ke arah pohon-pohonan lebat.
Tapi di sini lagi-lagi ia hadapi kejadian yang membuatnya sangat heran.
Suara seekor kuda lain terdengar pula, apabila In Loei sudah melihat, ia tercengang.
Itulah kuda berbulu merah, kudanya sendiri! Kuda itu, ia tahu benar, ditambatkan di depan kampung.
Kenapa kuda itu sekarang berada di dalam rimba? Ketika itu si orang bertopeng sudah duduk di atas kudanya.
Ia tidak segera lari, hanya kembali ia menoleh, tangannya menggape kepada si nona.
Sekarang In Loei merasa pasti, orang itu adalah si mahasiswa.
Tiba-tiba saja ia jadi tidak senang.
"Hai, binatang, kenapa kau berulang kali mempermainkan aku?"
Bentaknya.
Terus ia lompat naik ke atas kudanya, ia jepit perut kudanya, untuk mengejar.
Kuda putih telah kabur pesat di sebelah depan.
Dari suara banyak kuda di sebelah belakang, In Loei percaya Tjio Eng beramai juga mengejar, akan tetapi mereka ini juga ketinggalan jauh.
Kuda putih kabur terus, kuda merah tetap menyusul, maka itu, dari Yangkiok, tak lama kemudian, keduanya mengambil jalan besar ke kota raja.....
Jarak antara kedua kuda ada kira-kira setengah lie, sampai di situ, kuda putih dikendorkan larinya.
In Loei mendongkol berbareng heran, ia penasaran, dari itu, ia keprak kudanya untuk mengejar terus.
Malam itu diterangi hanya oleh sisa rembulan.
Tanpa diketahui lima puluh lie lebih telah dilalui, dan tanpa merasa sang fajar telah mendatangi.
Entah di mana mereka berada, cuma tahu-tahu di depan mereka ada sebuah rimba.
"Maaf, tak dapat aku menemani lebih lama!"
Terdengar suara si orang bertopeng, habis berkata dia larikan kudanya masuk antara pohon-pohonan yang lebat.
"Walaupun kau lari keujung langit, akan aku menyusulnya!"
Teriak In Loei dalam murkanya.
Benar saja, ia kaburkan terus kudanya untuk memasuki rimba.
Akan tetapi baharu ia sampai di tepian atau ia dengar kuda putih berbunyi nyaring, disusul dengan seruan orang.
Ia terkejut dan heran, dengan tiba-tiba ia tahan kudanya.
Berbareng dengan itu, tampaklah kuda putih lari keluar tanpa penunggangnya dibebokongnya.
In Loei terkejut.
Si orang bertopeng mestinya liehay, apa mungkin orang telah mencelakai dia - dengan membokong - hingga tinggal kudanya saja yang lari keluar? Setelah seruan itu, di dalam rimba itu menyusul terdengar teriakan-teriakan.
Cuma sedetik In Loei bersangsi, atau ia sudah lompat turun dari kudanya, untuk lari masuk ke dalam rimba itu, untuk lompat naik ke atas sebuah pohon.
Segera juga tertampak beberapa orang memburu keluar rimba.
"Sayang, sayang!"
Kata mereka.
"Kuda putih itu lolos!..... Eh, eh, ada kuda merah!..... Ah, ah, sayang, dia juga kabur!....."
In Loei tidak kuatirkan kudanya itu, yang jinak dan mengerti.
Ia tahu, kudanya telah lari menyingkir.
Ia percaya, bila sebentar ia panggil, kuda itu akan kembali.
Karena ini, dengan gunakan ilmu enteng tubuhnya, ia melapai dan berlompatan dipohon-pohon itu, dari yang satu kepada yang lain, hingga di lain saat ia telah sampai di dalam rimba.
Di sana terdengar suara berisik sekali.
Dengan hati-hati In Loei maju terus, lalu ia umpetkan diri, untuk mengintai.
Ia lantas saksikan satu pemandangan yang membuatnya heran, yang kesudahannya memberikan penerangan padanya.
Di atas sebuah batu besar tampak si mahasiswa berdiri, dia telah melucuti topengnya.
Di sekitarnya, di bawah batu, mengurung delapan orang, tubuh siapa tinggi dan rendah tak rata.
Dua Musuh Turunan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dua orang segera In Loei kenali, ialah See To dan puteranya.
Yang menjolok mata adalah dua orang lain, ialah satu tauwto yang rambutnya terurai, dan satu imam berjuba hijau.
(Tauwto adalah pendeta yang piara rambut).
Terdengarlah suara Tjeetjoe See To, suara yang dingin.
"Meskipun kau sangat licin, binatang, tidak nanti kau lolos dari tanganku! Apakah kau masih mengharap jiwamu?"
Si mahasiswa menggeleng-gelengkan kepala.
"Sekalipun semut masih menyayangi jiwanya, apapula manusia?"
Katanya dengan sabar.
"Jikalau begitu,"
Kata See Tjeetjoe.
"lekas kau panggil kembali kuda Tjiauwya saytjoe ma-mu! Tentang barang-barang permata, biarlah, tak aku inginkan itu, tidak demikian dengan kudamu!"
Mahasiswa itu tetap menggelengkan kepalanya.
"Kuda itu ada kuda jempolan, dia tidak mudah berpindah tangan?"
Dia kata. See To tertawa dingin.
"Pembelamu telah menjadi tamu agung di Heksek tjhoeng, di sini siapa yang akan menolong kamu?"
Katanya mengejek. Anak muda itu tiba-tiba menunjuk.
"Kau mana tahu, orang sasterawan!"
Katanya.
"Pembelaku itu telah datang!"
Lalu dengan tiba-tiba, ia perdengarkan seruan nyaring.
"Pembelaku, kenapa kau tidak lekas, turun untuk menolongi tuanmu!" -ooo0dw0ooo- BAB V In Loei mendongkol bukan main. Tidak ia sangka, tibanya di situ telah diketahui si mahasiswa. Mau atau tidak, terpaksa ia lompat turun dari tempatnya sembunyi di atas pohon itu. Si tauwto kaget, tapi dia tabah, dengan lantas dia menyerang memakai senjata rahasia, ialah tiga batang piauw, yang menyambar dengan beruntun. In Loei terkejut. Ia tengah lompat turun, waktu itu ia belum hunus pedangnya, ia jadi serba salah. Tidak bisa ia menangkis, tak mampu ia berkelit. Justeru itu dengan perdengarkan suara nyaring, ketiga piauw dari si tauwto jatuh ke tanah saling susul, hingga si tauwto jadi kaget. Dengan cepat dia merogo pula sakunya.
"Tunggu dulu!"
Berseru See To.
"Biar dia punya sayap, bocah ini tidak nanti mampu terbang?"
Terus dia memberi tanda dengan gerakan tangannya, maka In Loei lantas dikurung delapan orang itu.
Merah matanya See To Boe Kie menyaksikan si anak muda yang ia pandang bagaikan jarum di biji matanya.
Ia jelus dan mendongkol.
Dengan tertawa aneh, dia membentak.
"Binatang, bukannya kau berdiam di Heksek tjhoeng sebagai tamu, apa perlunya kau datang kemari? Kau tahu, meski tangan Hongthianloei panjang, tangan itu tidak nanti dapat diulur sampai di sini untuk melindungi kamu!"
Lantas dia angkat goloknya, hendak dia maju. See To tarik puteranya itu.
"Apakah Tjio Eng yang menitahkan kau datang kemari?"
Tjeetjoe itu tanya. Dia jeri terhadap tuan dari Heksek tjhoeng, tanpa penjelasan, tak berani dia berlaku lancang. Mendahului In Loei, si mahasiswa, yang bercokol di atas batu besar, perdengarkan tertawanya yang nyaring. Dia menggantikan menjawab.
"Apakah kamu tidak dengar perkataanku barusan? Akulah yang panggil dia dating kemari! Dialah piauwsoe, pembelaku! Kamu hendak merampas uangku, kamu juga hendak ambil jiwaku, cara bagaimana dia bisa tidak datang? Eh, pembelaku!"
Dia teruskan berkata kepada In Loei.
"kau makan dariku, kau minum dari aku juga, sekarang aku mendapat susah kenapa kau masih tidak hendak turun tangan?"
"Apakah benar-benar kamu tidak mempunyai hubungan dengan Hongthianloei?"
Tanya See To dengan bentakannya. In Loei mendongkol bukan main terhadap mahasiswa itu, akan tetapi, dalam keadaan seperti itu, tidak dapat ia tidak turun tangan untuk orang yang ia pernah lindungi itu, maka ia hunus pedangnya sambil terus membentak.
"Perlu apa kau sebut-sebut Hongthianloei? Aku cuma andalkan pedangku ini untuk pergi ke mana aku suka, pergi sendirian saja, tanpa main gila, liciklicikan, cuma bisa menyuruh lain orang turun tangan!"
Dengan kata-kata ini, dengan menyindir In Loei tegur si mahasiswa. Si mahasiswa tertawa terbahak-bahak.
"Bagus! Bagus!"
Serunya.
"Inilah piauwsoe yang tak kecewa untuk diundangnya! Dia benar-benar satu piauwsoe laki-laki!"
"Binatang!"
See To menjerit.
"Karena kau tidak punya hubungan dengan Hongthianloei, tibalah saatnya kau mampus!"
Lalu dengan menggerakkan sepasang tangannya, dia lompat maju.
Si tauwto dan si imam, juga turut maju, untuk mengepung.
Dengan berani In Loei layani tiga lawan, ketika ia lompat, ia barengi menikam pundaknya See To, tapi si tauwto menalangi kawannya menangkis, dengan goloknya, golok kaytoo, dia bentur pedang orang hingga si nona terperanjat.
Keras sekali benturan itu, sampai ia rasakan tangannya gemetar.
Justeru itu, si imam menusuk dengan pedangnya, hingga ia mesti berkelit, sebab buat menangkis, ia tak punya kesempatan.
"Bret!"
Demikian terdengar suara yang menyusuli tusukan si imam, ujung pedang siapa mengenai bajunya si pemuda tetiron. Sementara itu si tauwto serukan kawan-kawannya.
"Awas pedangnya, itulah pedang mustika!"
Sebab ia dapat kenyataan, goloknya kena terpapas sedikit. Si imam tidak takut, dia malah tertawa besar.
"Bagus!"
Dia berseru.
"Pedang mustika, kuda pilihan, itulah kepunyaan kita!"
Terus saja dia menyerang pula. In Loei menangkis. Licin imam ini, ketika ia ditangkis, mendadak saja ia tarik kembali pedangnya, untuk dibalikkan, dipakai menikam terus. Dia pun berseru.
"Kena!"
In Loei tidak jadi kaget. Melihat orang demikian gesit, ia pun berlaku tak kurang sehatnya. Ia teruskan menikam perut orang sambil berseru pula.
"Kena!"
Itulah serangan "Tengto imyang", atau "Memutar balikkan im dan yang". Itulah satu nama lain dari ilmu pedang Hian Kee Itsoe yang nama lengkapnya "Pekpian Imyang Hiankee kiam"
Yang banyak perubahannya, yang diciptakan berbareng dengan satu ilmu pedang lainnya "Banlioe Tiauwhay Goangoan kiam."
Kaget si imam, kesatu, sebab tikamannya gagal, kedua karena datangnya serangan membalas itu.
Ia sebenarnya gesit, ia sudah lantas berkelit, tapi tidak urung, ikat jubanya kena disambar juga hingga putus, hingga ia mandi keringat dingin.
In Loei kecewa karena gagalnya serangan itu, apapula di lain pihak ia mesti tangkis goloknya si tauwto, yang sudah merangsak pula, sedang dari sambarannya See To, yang tangannya lihay, ia mesti egoskan tubuhnya.
Si imam juga sangat bengis, habis itu, dia maju pula.
Selagi orang dikeroyok, See Boe Kie berteriak.
"Jikalau dia tidak dapat dibekuk hidup-hidup, mati pun boleh! Mari maju, kita cincang tubuhnya!"
Benar-benar In Loei segera dikurung dengan rapat.
See To dan puteranya tak dapat dipandang ringan.
Si tauwto dan si iman juga lihay, malah si tauwto menggunakan sepasang golok, maka itu In Loei menjadi repot, dia mesti berlaku sangat gesit dan sebat untuk menangkis sesuatu serangan.
Boe Kie merangsak dengan hebat rupanya ia sangat penasaran karena tidak dapat memiliki Nona Tjio.
Begitulah kejadian, selagi banyak alat meluruk, Boe Kie membacok dengan golok Kwietauw too-nya.
Ia kertek giginya, ia gunakan seluruh tenaganya.
Tapi, tiba- tiba ia menjerit keras sekali dan goloknya pun terlepas, terlempar karena ia merasakan sikutnya sakit sekali seperti tertusuk jarum.
In Loei terperanjat menampak golok melayang ke arah kepalanya, dengan sebat ia berkelit.
Berbareng dengan itu satu penyerang, yang bersenjatakan tombak gaetan seperti arit, juga menjerit seperti Boe Kie, malah dia terus rubuh tanpa bangun lagi, karena dia juga merasa dirinya tertusuk jarum, sampai gaetannya, yang terlepas, menyambar dadanya sendiri.
"Bagus! Bagus!"
Si mahasiswa berseru dengan pujiannya sambil tertawa, apabila dia saksikan "piauwsoenya"
Lolos dari bahaya dan dua lawannya terluka.
"Hai, piauwsoe-ku yang baik, senjata rahasiamu bagus sekali!"
Mendengar teriakan itu, In Loei sadar dengan mendadak.
"Musuh banyak, aku sendirian, tidak dapat tidak, mesti aku gunakan senjata rahasia!"
Demikian ia pikir. Maka ketika ia sedang bebas, tangan kirinya merogo kesakunya, untuk meraup piauw Bweehoa Ouwtiap piauw-nya. Dengan itu segera ia menyerang. Belum lama In Loei muncul di dunia kangouw, ia sudah mendapat julukan "Sanhoa Liehiap,"
Itulah karena pandainya ia menggunakan piauw-nya, ini kali ia gunakan senjata rahasia itu, dalam sekejap saja ia membuat musuhmusuhnya kaget dan repot.
Berulang kali terdengar suara nyaring dari bentroknya pelbagai piauw dengan senjata-senjata lawan, yang mengadakan penangkisan, sebagai kesudahannya, kecuali See To, si imam dan tauwto, yang lainnya rubuh sebagai korban.
Tauwto dan imam itu adalah orang-orang lihay undangannya See To untuk membantu tjeetjoe ini, mereka heran melihat senjata-senjata rahasia.
Mereka insaf bedanya senjata rahasia In Loei dari senjata rahasia yang bermula.
Mereka tiba-tiba mengerti, selagi dikepung rapat, bagaimana In Loei dapat kesempatan akan menggunakan senjata rahasianya itu.
Tapi, kalau senjata itu bukan dilepaskan In Loei, mesti di situ bersembunyi seorang liehay lain yang membantu pemuda ini.
Akhirnya si tauwto berseru.
"Siong Sek Tooheng, kau tahan dia, libat padanya! See Tjeetjoe, kau rampas pedangnya! Hendak aku melihat-lihat!"
Dan "Sret!"
Terdengar suara halus atau lengan si tauwto kena tertusuk! Si imam berbaju hijau adalah orang terlihay di antara tiga orang ini, ia telah memasang mata sejak tadi, maka kali ini ia dapat lihat si mahasiswa yang sedang bercokol di atas batu telah bergerak tubuhnya.
Tidak tempo lagi, ia berseru.
"Soeheng, itu kambing yang main gila!"
Lalu ia lompat melewati In Loei, guna menyerang anak sekolah itu.
"Tolong! Tolong!"
Si mahasiswa menjerit-jerit, tubuhnya gemetar.
Siong Sek Toodjin ada satu murid tingkatan kedua dari Boetong pay, partai yang kesohor dengan ilmu pedang Tjicapdjietjioe Lianhoan Toatbeng kiam, maka itu bisa dimengerti bagaimana hebatnya ketika ia tikam si mahasiswa, akan tetapi kali ini, ujung pedangnya lewat di dekat iga, sama sekali tidak mengenai atau, menyinggung bajunya.
Karena itu, ia lantas ulangi serangannya, beruntun sampai empat kali! Bukan main repotnya si mahasiswa, dia berteriak-teriak, dia berlompatan, untuk menyingkir dari ancaman sasarannya, kelihatannya dia seperti sedang bermain- main.
In Loei terkejut mendengar jeritan si mahasiswa.
Ia sekarang menjadi ringan karena Siong Sek Toodjin meninggalkan padanya, akan tetapi, meski demikian, ia mesti berkelahi secara sungguh-sungguh, sebab si tauwto lihay dengan goloknya, dan See Tjeetjoe berbahaya dengan tangannya.
"Apakah aku keliru melihat orang?"
Nona ini berpikir.
"Benar-benarkan si mahasiswa tidak mengerti silat?"
Karena ia berpikir, ia jadi alpa, maka satu kali, hampir ia kena dibacok si tauwto. Ia jadi sangat mendongkol terhadap si mahasiswa itu, maka juga di dalam hatinya ia berkata pula.
"Menjemukan mahasiswa itu! Aku tolongi dia, dia sebaliknya permainkan aku! Biar habis ini tak akan aku pedulikan lagi padanya1....."
Nona ini mendelu, ia tak tahu, Siong Sek terlebih mendelu pula menghadapi mahasiswa itu, hingga dia seperti kalap.
Sebab setiap kali dia menikam, setiap kali juga dia gagal, sasarannya senantiasa meleset.
Dan si mahasiswa sendiri, masih saja ia berteriak-teriak.
"Tolong! Tolong!"
Kemudian dengan mendadak si mahasiswa tertawa terbahak-bahak.
"Ha, kiranya kau sedang permainkan aku?"
Dia berseru. Terus saja dia menghitung "Satu! Dua! Tiga!"
Terus sampai "Dua puluh!"
Dia menghitung setiap kali dia ditikam.
Di saat dia menghitung sampai dua puluh.
Boe Kie yang terkena jarum tetapi tidak parah lukanya, sudah merayap bangun, terus ia ambil goloknya, lantas ia menghampiri dengan diam-diam pada si anak sekolah.
Anak sekolah ini berkelahi sambil tiap-tiap kali kelitkan diri.
Ia tidak melihat ke kiri dan kanannya.
Maka leluasa Boe Kie mendekatinya, untuk lantas lompat dibarengi dengan bacokannya.
Tapi mendahului itu, tangan si mahasiswa melayang ke belakang, tepat mengenai hidung orang, hingga hidung itu menyemburkan darah hidup! "Manusia tolol!"
Bentak si mahasiswa.
"Telah aku tolongi kau, kau sebaliknya menghendaki jiwaku, jikalau aku tidak hajar padamu, kau tidak akan insaf! Apakah kau tidak diajar aturan? Apakah si bangsat tua she See mengajar kau membalas kebaikan dengan kejahatan?"
Dua Musuh Turunan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Boe Kie kelabakan karena hidungnya bercucuran darah, ia mesti bekap hidungnya itu.
Gagalah bokongannya.
Tapi kata-kata si mahasiswa membuat See To, Boe Kie dan In Loei menjadi sadar.
Ketika malam itu Boe Kie bersama hoetjeetjoe membokong di kuil tua, dia mestinya terbinasa diujung pedang In Loei, akan tetapi secara menggelap ada orang menolongnya, tangan In Loei kena dihajar senjata rahasia, hingga ujung pedangnya nyasar, dan Boe Kie lolos dari bencana.
Tentang kejadian itu, Boe Kie telah katakan pada ayahnya, mereka menduga-duga, sama sekali mereka tidak menyangka si mahasiswalah yang menolongnya.
Karena ini, See To jadi melengak.
Tapi justeru itu, In Loei menyerang, ia kena dibacok kopiahnya hingga rusak.
Ia jadi sangat gusar.
Di dalam hatinya, tjeetjoe ini berpikir.
"Aku hendak mencuri permata dan kudanya, dia sebaliknya diam-diam membantu aku! Tidakkah ini aneh?"
Ia tidak berpikir lama, ia sudah lantas sambar muka In Loei. Juga si tauwto turut menyerang, sebab tauwto ini panas hatinya. Dia satu jago di Jalan Hitam tetapi hampir dia celaka ditangan "pemuda"
Ini.
Tauwto ini telah berpikir, In Loei mesti dirubuhkan dulu, baharu nanti mereka kepung si mahasiswa.
Repot In Loei didesak secara hebat, sampai tak sempat ia memperhatikan si anak sekolah, lebih-lebih ketika See To menyambar dadanya dan si tauwto membacok mukanya.
Tapi justeru itu, bentrokan senjata terdengar keras dan lelatu api muncrat, dibarengi dengan jeritan si tauwto yang kemudian disusul dengan teriakannya si mahasiswa.
"Hai, pendeta, kaulah yang paling menjemukan, hendak aku berikan tanda mata padamu!"
Setelah ini tidak ayal lagi, si tauwto lari kabur, diikuti oleh See To. Pada saat si "pemuda"
Itu terancam bahaya, si mahasiswa sudah tunjukkan kesehatannya yang luar biasa, ia lompat ke arah si tauwto, golok siapa ia tangkis dengan pedang Siong Sek Toodjin yang ia rampas.
Hebat tangkisan itu, golok kaytoo menjadi kutung karenanya.
Tauwto itu kaget dan jeri, begitu juga See Tjeetjoe, maka keduanya segera angkat kaki.
Si mahasiswa lantas tertawa berkakakan, lalu sambil melemparkan pedangnya kepada Siong Sek Toodjin, dia berkata dengan logat anak sekolah.
"Menipu uang dan merampas jiwa, itulah perbuatan tak berprikemanusiaan, dan tidak tahu tenaga diri sendiri, itu namanya tolol. Manusia tak berprikemanusiaan dan tolol, bukankah perbuatannya onar belaka? Ini, aku kembalikan pedangmu, supaya kau belajar lebih jauh lagi sepuluh tahun!....."
Imam itu menjadi sangat lesu.
"Tolong kau sebutkan namamu,"
Ia minta. Si mahasiswa tertawa.
"Apakah kau berniat membalas dendam kepadaku?"
Dia tanya.
"Tidak,"
Sahut si imam.
"Jikalau tidak, untuk apa kau tanya namaku? Aku tidak berani bermusuh dengan kau, aku juga tidak ingin bersahabat denganmu, karena kita bukannya musuh dan bukannya sahabat, buat apa kita saling berkenalan?"
Siong Sek Toodjin membungkam, ia menghela napas, tapi karena ia sangat mendongkol, ia patahkan pedangnya itu, sesudah mana ia ngeloyor pergi.
Seorang diri ia bersumpah untuk selanjutnya tidak lagi menggunakan pedang! Kembali si mahasiswa tertawa besar.
"Baik, pergilah kamu semua!"
Katanya sambil terus mendekati sekalian lawannya, untuk mendupak pergi.
Orang-orang yang diserang senjata rahasia In Loei terkena urat-uratnya hingga mereka tak dapat bergerak, sekarang setelak didupaki si mahasiswa, darahnya jalan pula, hingga mereka dapat bergerak lagi.
In Loei heran yang si anak muda dapat menyadarkan orang-orang itu sedang ia tahu, totokan piauw-nya adalah totokan istimewa.
Si mahasiswa rupanya dapat melihat keheranan orang, sambil tertawa, dia kata.
"Kemarin ini kau pecahkan totokanku, sekarang aku pecahkan kepunyaanmu, tidakkah itu sama saja?"
Tapi tetap In Loei heran. See Boe Kie telah saksikan perbuatannya si anak sekolah, seperti lupa pada hajarannya si anak sekolah tadi, ia lantas menghampiri, untuk memberi hormat sambil menjura. Ia pun berkata.
"Kau telah menolongi jiwaku, kau telah hajar aku dengan tanganmu, maka itu di belakang hari, aku pun hendak memberi ampun satu kali pada jiwamu dan menghajar kau satu kali juga!....."
Mendengar itu dan melihat kelakuan orang, si anak sekolah tertawa.
"Aku tolong kau karena aku pandang muka si bangsat tua she See, dari itu tidak usah kau ingat budi,"
Ia kata.
"Kau hendak memberi ampun satu kali pada jiwaku, itulah tidak usah, tetapi bahwa kau hendak membayar satu tanganmu, untuk itu aku menanti. Kau kalah dari Siong Sek Toodjin, kau mestinya pulang dulu untuk belajar lagi dua puluh tahun! Nah, pergilah lekas!"
See Boe Kie itu cupat pandangannya, bisa dimengerti bagaimana ia mendongkolnya. Ia pandang si mahasiswa dan In Loei dengan mata mendelik, lalu ia ajak kawan- kawannya berlalu. Si mahasiswa menggeleng-gelengkan kepala, ia tertawa melenggak.
"Orang she See itu mempunyai nama kosong belaka di Jalan Hitam,"
Katanya.
"maka aku tidak sangka dia demikian tak berguna!"
Ia nampaknya jadi sangat kecele. In Loei sebenarnya niat berlalu, akan tetapi mendengar perkataan orang itu, ia menoleh. Ia anggap orang telah menghina golongan Jalan Hitam itu.
"Bagaimana dengan Kimtoo Tjeetjoe dari Ganboenkwan luar?"
Dia tanya.
"Apakah dia tak dapat dihitung sebagai satu orang gagah?"
Berubah wajahnya si mahasiswa, tetapi cepat sekali, ia bersenyum. Ia menggoyang- goyangkan kepala pula.
"Kimtoo Tjeetjoe dan See Boe Kie, ayah dan anak, tak dapat dipandang sama,"
Sahutnya.
"Mengenai mereka itu ada perbedaan waktunya. Untuk menyebut dia sebagai seorang gagah, itulah belum dapat!"
Mendongkol In Loei.
"Baiklah!"
Serunya.
"di kolong langit ini rupanya cuma kau saja seorang yang gagah!"
Karena tetap masih mendongkol, ia lantas bertindak pergi, akan berlalu dari rimba itu. Belum jauh ia berlalu atau satu bayangan orang berkelebat dihadapannya.
"Saudara kecil, perlahan sedikit!"
Demikian suara bayangan itu - ialah si mahasiswa.
"Menurut aku, kaulah si orang gagah!"
In Loei melengak tapi segera ia angkat kakinya, untuk pergi terus.
Ia bertindak ke kiri, si mahasiswa cegat ia, ia bertindak ke kanan, masih ia dihalangi.
Ia bertindak pula ke kiri dan ke kanan, tetap ia dirintangi.
Si mahasiswa bergerak dengan sebat sekali.
"Kenapa kau cegat aku?"
Bentak si "pemuda,"
Hatinya panas sekali. Kali ini ia terus lompat, untuk dengan mendadak melewati si mahasiswa itu. Si mahasiswa ulur tangannya, ke arah dada orang, maksudnya untuk mencegah pula. Maka gusarlah si "pemuda", hingga ia mendelik.
"Kau..... kau berani menghina....."
Bentaknya. Hampir ia mengatakan ".....nonamu!"
Syukur dapat ia cegah itu ditenggorokannya, habis mana terus saja dengan pedangnya ia tikam tenggorokannya si mahasiswa, hingga orang menjadi kaget, baiknya dia dapat lompat mundur. Menyusul tikamannya itu, si "pemuda"
Perdengarkan seruan kaget, terus ia meringis.
Tangan kanannya, yang menyekal pedang, telah turun sendirinya.
Begitu hebat tikamannya itu, ketika tikaman itu tidak mengenai sasarannya, tangannya terlonjorkan kaget sekali, sedang tubuhnya tertahan kuda-kudanya.
Tiba-tiba saja ia merasakan sakit karena lengannya bagaikan copot dari pundaknya.
Si mahasiswa lihat itu.
"Mari aku tolong sambung lenganmu,"
Katanya, sambil maju, dengan niat memberikan pertolongannya.
"Jangan kau pedulikan aku!"
Bentak si "pemuda."
Ia cekal lengan kanannya itu dengan tangan kiri, ia mendorong dengan dikagetkan, dengan begitu, ia sambung pula lengan itu, kemudian dengan membalik tubuh, membelakangi si mahasiswa, ia buka tangan bajunya, terus ia obati lengan yang seperti copot itu.
Sebenarnya ia ingin lantas berlalu dari situ, baharu ia berniat angkat kaki, untuk berlari pergi, atau sekonyong-konyong ia rasakan tubuhnya lemah.
Segera ia insaf, karena telah bertempur terlalu lama, tenaganya menjadi habis sendirinya.....
Si mahasiswa mendekati, ia menjura.
"Aku mohon maaf,"
Katanya, perlahan.
"Saudara kecil, hatimu polos dan baik, kau dapat menolong sesamanya, ingin aku bersahabat denganmu. Sekian lama, baharu aku ketemukan orang dengan pribadi, sepertimu ini. Aku biasa beradat tinggi, andaikata aku telah berbuat salah terhadapmu, sukalah kau memaafkannya."
Dengan matanya yang bersinar hidup, ia awasi wajah orang. Mukanya In Loei bersemu dadu. Di matanya, di dalam hatinya, ia merasa si mahasiswa ini luhur budi pekertinya, kelakuannya dapat membuat orang kagum.
"Kenapa kau mencaci Kimtoo Tjeetjoe?"
Akhirnya ia tanya, sambil tunduk. Tertawa anak sekolah itu.
"Orang yang kau kagumi belum tentu dikagumi juga olehku,"
Katanya.
"Kenapa kau seperti hendak memaksakan supaya orang turut padamu? Lagi pula, aku tidak mencaci dia. Mungkin dia mempunyai bahagian-bahagian yang membuatnya orang kagum, akan tetapi..... sudahlah, terlalu panjang untuk diuraikan, lebih baik aku tidak mengatakannya."
Tergerak hatinya In Loei.
"Apakah kau datang dari luar Ganboenkwan?"
Dia tanya. Si mahasiswa mendongak, ia tertawa.
"Sang kupu-kapu terumbang-ambing karena tak ada gunanya, dia terhanyut sampai di sungai dan telaga, tak usahlah tuan menanyakan sebabnya,"
Ia bersenandung seorang diri. Lalu ia tertawa pula, suaranya mengharukan.
"Mestinya dia punyakan riwayat sedih,"
Pikir In Loei.
"riwayat yang sama dengan lelakon hidupku. Aku tak sudi orang mengetahui tentang diriku, maka buat apa aku menanyakan tentang dia?"
Oleh karena ini, dengan tiba-tiba nona ini menaruh rasa simpati terhadap si anak sekolah.
"Baik,"
Katanya kemudian, tak nanti aku ganggu pula padamu. Di sini kita berpisah!"
Si mahasiswa tertawa pula.
"Saudara kecil,"
Katanya.
"hari ini kau telah menjadi piauwsoe-ku, sudah seharusnya aku undang kau minum arak. Kali ini kau telah berjasa, wajib kau menerima hadiah, dan tidak lagi aku mengatakan kau penganglap!"
In Loei tidak menjadi gusar. Ia anggap biasa saja seperti orang sedang bersenda gurau. Ia lantas memandang ke sekitarnya.
"Di hutan sebagai ini di mana ada arak?"
Tanyanya kemudian.
Si anak muda tidak menjawab, dia hanya perdengarkan suitan nyaring dan panjang, setelah itu terdengar jawaban yang berupa bengernya kuda, habis mana, dalam sekejap saja, tampak dua ekor, kuda lari muncul dari dalam rimba.
Itulah kuda putih dari si mahasiswa disusul kuda merah si nona.
"Lihat, mereka telah mendahului bersahabat!"
Kata si anak sekolah sambil tertawa. Kuda putih itu menghampiri majikannya, dan si mahasiswa lantas mengulurkan tangannya, guna menurunkan satu kantong kulit dari bebokongnya, dari dalam kantong itu ia keluarkan satu gendul arak warna merah.
"Kau telah lelah, silakan kau minum lebih dahulu,"
Katanya seraya mengangsurkan gendul itu kepada si nona. In Loei sambuti gendul itu, ia irup araknya. Tiba-tiba ia kerutkan alisnya.
"Ah, kiranya benar kau datang dari Mongolia!"
Ia kata.
Arak itu ada arak susu dari Mongolia - arak yang keras sifatnya dan sarinya agak asam.
In Loei kenali arak ini, karena semasa kecilnya pernah ia turut ayahnya meminumnya.
Ia tidak suka arak yang keras, karenanya, tak dapat ia melupakan arak ini.
Dua Musuh Turunan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dengan sepasang matanya yang jeli, si mahasiswa mengawasi.
"Apakah kau juga datang dari Mongolia?"
Ia tanya.
"Melihat kau begini lemah lembut, mestinya kau kelahiran daerah Kanglam yang indah."
Tersenyum In Loei karena pujian itu. Tiba-tiba si mahasiswa bertepuk tangan hingga menerbitkan suara nyaring. Terus ia tertawa.
"Kapu-kapu telah hanyut, untuk apa menanyakan tentang sumber asalnya?"
Katanya.
"Bukankah air mengalir dan mega yang melayang harus dibiarkan sekehendak hatinya? Kau tak usah bertanya aku, aku juga tak usah bertanya perihalmu. Dalam halku ini, keliru aku sudah menanyakan kau berasal darimana....."zj In Loei heran, hingga tak dapat ia kendalikan hatinya.
"Pada malam itu, apakah kedua orang Tartar itu hendak paksa kau pulang?"
Dia tanya tanpa merasa. Si anak muda tenggak araknya, ia bersenyum, tidak ia menjawab. In Loei tidak mendesak, hanya seorang diri, ia berkata.
"Di antara Watzu dan Tiongkok akan terbit perang, karena kau satu putera Tiongkok, kau telah lari dari wilayah Tartar itu, bukankah begitu?"
Si mahasiswa tertawa meringis. Ia tenggak pula araknya, ia tidak menjawab, ia seperti membiarkan si "pemuda"
Menduga-duga. In Loei angkat mukanya, ia tatap wajah orang.
"Dua orang Tartar itu mengejar kau untuk ditawannya, kenapa kau bantui aku membunuh yang satu dan sebaliknya kau tolongi yang lainnya?"
Tanyanya. Lagi-lagi si mahasiswa tenggak araknya. Tiba-tiba saja ia tertawa.
"Saudara kecil, sungguh kau gemar menanya!"
Katanya.
"Tahukah kau, orang macam apa yang telah aku tolongi?"
"Dialah muridnya Tantai Mie Ming!"
Sahut In Loei cepat. Dia seperti keterlepasan buka mulut. Si mahasiswa melirik orang dihadapannya, nampaknya ia merasa aneh. Ia lalu tertawa tawar.
"Yang terbinasa adalah salah satu pahlawannya To Hoan,"
Katanya, perlahan. Dan begitu ia berkata, terus ia tutup mulutnya. In Loei heran. Ia berpikir.
"Tantai Mie Ming adalah pahlawan paling tanggu dan paling dipercaya dari Thio Tjong Tjioe dan yang mati itu adalah pahlawan To Hoan..... Thio Tjong Tjioe dan To Hoan adalah menteri-menteri dari Watzu, apakah bedanya antara kedua menteri itu? Kenapa sekarang, pahlawan To Hoan dibinasakan dan pahlawan Thio Tjong Tjioe dilepaskan?"
Benar-benar si nona tidak mengerti, hingga ia ingin menanyakannya.
Akan tetapi ketika ia nampak orang repot menenggak susu macannya, ia batalkan niatnya itu, ia anggap percuma saja untuk menanyakannya pula.
Masih si mahasiswa menenggak araknya, lalu ia goyang-goyangkan gendulnya, nampaknya ia terkejut.
"Ah, tinggal separuh lagi....."
Katanya. Ia nampaknya menyesal.
"Apa sih lezatnya arak itu?"
Kata In Loei tertawa. Di mana-mana di Tiongkok ada orang yang menjual arak! Apakah itu semua tak cukup banyak untuk kau minum?"
Berduka nampaknya si anak sekolah, ia kata.
"Orang meninggalkan kampong halamannya, rendah terpandangnya, barang-barang meninggalkan tempat asalnya, mahal harganya, itulah sebabnya kenapa aku hargakan arak ini"
Ia bawa gendulnya ke hidungnya dan menciumnya.
Melihat kelakuan orang itu, In Loei ingat halnya semasa kecil - selagi berumur tujuh tahun.
Itu waktu bersama engkong-nya, ia baharu balik ke Tionggoan.
Setibanya di luar kota Ganboenkwan, engkong-nya meraup tanah, berulang kali tanah itu diciumnya, romannya sangat bersungguh-sungguh.
Ingat ini, tiba-tiba ia tanya si mahasiswa.
"Apakah kau orang Han?"
Agaknya heran anak sekolah itu.
"Kau lihat aku - apakah aku tak mirip orang Han?"
Dia balik menanya.
In Loei menatap muka orang.
Ia dapatkan orang beralis kereng dan mata jeli, romannya sangat ganteng, jangan kata di Mongolia, sekalipun di Kanglam, sukar untuk mencari orang secakap dia.
Menatap wajah orang, mukanya menjadi dadu sendirinya.
"Biar kau telah menutup mata dan menjadi abu, kau tetap orang Han!"
Ia kata. Tiba ia menjadi jengah sendirinya, ia insyaf bahwa ia telah kelepasan berbicara. Kedua mata si mahasiswa bersinar.
"Benar, benar sekali!"
Katanya.
"Meski aku mati menjadi abu, tetap aku seorang Han! Mari minum!"
Ia buka tutup gendulnya itu, kembali ia menenggak. In Loei tertawa menampak kelakuan orang itu.
"Kau minum bagaikan ikan lodan atau kerbau, dengan beberapa ceguk saja, arakmu kering, apakah tidak sayang?"
Dia tanya. Memain mata si anak muda, terus ia tertawa bergelak.
"Hari ini adalah hari yang paling menyenangkan bagiku, sudah seharusnya aku minum sampai puas!"
Katanya.
"Apakah itu yang paling menyenangkan kau?"
Si mahasiswa tertawa.
"Pertama-tama aku dapat bersahabat dengan orang semacam kau, dan kedua karena aku peroleh mustika yang langka!"
Sahutnya.
"Mari, mari, saudara kecil! Aku undang kau minum arak sambil memandang gambar yang indah!"
Ia rogo kantong kulitnya, akan keluarkan se-gulung kertas, yang mana, ia beber di antara sampokan angin, terus ia gantung dicabang sebuah pohon.
"Kau lihat!"
Katanya pula.
"Bukankah ini mustika yang langka?"
Dengan "mustika"
Ia maksudkan gambar yang ia anggap berharga itu.
In Loei ada turunan orang berpangkat, engkong-nya pernah menjadi hamba negeri kelas satu dan bertanggung jawab sebagai satu utusan, sedang ayahnya, mulanya satu pembesar sipil kemudian menjadi seorang peperangan, maka ayah itu pandai ilmu surat.
Demikian In Loei, sejak ia masih kecil, sudah ia belajar surat, sudah ia mengenal gambar-gambar lukisan, maka tahulah ia gambar mana yang berharga dan mana yang tidak.
Sedang gambar ini adalah gambar yang Tjio Eng gantung di Engtjhong lauw, loteng tempat menyimpan barangbarang berharga.
Tadi malam ia tak lihat nyata gambar itu, sekarang dapat ia memandangnya dengan tegas.
Itu ada pemandangan alam di dalam kota, ada airnya, pepohonan, dan ada juga orangnya, lukisannya bagus, mirip karyanya satu pelukis pandai, hanya bila dipandang terlebih lama, masih ada kekurangannya.
Maka itu, ia tertawa di dalam hatinya.
"Mahasiswa ini masih kurang pemandangannya tentang seni lukis,"
Pikirnya. Si mahasiswa tenggak habis araknya yang terakhir, ia tertawa.
"Apakah kau tak tampak keindahan pada gambar ini?"
Dia tanya. In Loei belum menyahuti atau si mahasiswa sudah menghampiri gambar itu, untuk terus diusap-usap, untuk dipandang dan dipandang pula, kemudian ia bernyanyi dengan nada tinggi.
"Siapakah yang menyanyikan lagu 'Souwtjioe dan Hangtjioe1? Bunga teratai menyiarkan harumnya sepuluh lie dan kembang koeihoa tiga musim, tetapi rumput dan pohon kayu tidak kekal, mereka mengenangkan penderitaan sungai Tiangkang dari berlaksa tahun! Ya, ya, penderitaan sungai Tiangkang dari berlaksa tahun....."
Kata-kata yang terakhir itu diucapkan secara bersenandung. In Loei berpikir.
"Orang-orang tua dahulu mengatakan, bernyanyi keterlaluan menyebabkan tangisan, sekarang mendengar nyanyian ini, itu sama hebatnya seperti mendengar tangisan....."
Ia tengah berpikir begitu atau di luar dugaannya, benar-benar si mahasiswa menangis, tangisannya keras dan menyedihkan sekali, hingga umpama kata menyebabkan "daun-daun rontok dan burung-burung terbang pergi"
Bingung In Loei, tak tahu ia, kenapa si mahasiswa berduka, kenapa dia menangis, begitu sedih.....
Hebatnya, lama anak sekolah ini menangis, hingga si nona menjadi tambah bingung.
Bukankah anak sekolah ini orang asing baginya? Bukankah dia satu anak muda? Cara bagaimana ia dapat menghiburnya? Ia pun tidak dapat meninggalkannya, itulah perbuatan tidak pantas.
Habis, apa yang mesti dilakukan? Masih si mahasiswa menangis, makin lama makin sedih, mengenaskan mendengarnya, hingga tanpa merasa, si nona turut mengucurkan air mata di luar keinginannya.....
Si mahasiswa lihat orang menangis, ia lantas seka air matanya, dengan tibatiba ia berhenti menangis, ketika ia angkat kepalanya, mendongak, dengan tiba-tiba pula ia tertawa terbahak-bahak.
"Foei!"
In Loei berseru.
"Apakah kau telah mabuk?"
Tegurnya.
"Kenapa kau tertawa dan menangis tidak keruan? Apakah sebabnya?"
Si mahasiswa mengawasi orang, ia menunjuk.
"Kau juga sudah mabuk!"
Katanya.
"Toh sama saja, bukan?"
In Loei tunduk, ia lihat bajunya, yang pun basah dengan air mata. Ya, tanpa alasan, ia turut orang menangis. Ia jengah sendirinya, tetapi segera ia tertawa. Si mahasiswa tertawa pula, bergerak-gerak, lalu ia bersenandung pula.
"Makin kalap, makin gagah, itu baharulah orang kenamaan sejati - Bisa menangis, bisa tertawa, itulah bukannya orang yang biasa..... Kalau mestinya menangis, menangislah kalau mestinya tertawa, tertawalah! Kenapa mesti malu-malu tak ada perlunya? Kita adalah orang-orang dari satu golongan, kita menangis, kita tertawa, apakah anehnya?"
Dengan kedua tangannya, ia gulung gambarnya itu, kembali ia bersenandung.
"Sungai Tiangkang terus-menerus mengalir ke timur..... menaruh kaki di tanah daerah asing tetapi cita-cita belum tercapai..... Bila memandang kembali kepada enam puluh tahun yang lampau, di sungai di Selatan, di padang pasir di Utara, tidakkah itu sangat mendukakan orang?"
Tergerak hatinya In Loei mendengar itu. Ia berpikir pula.
"Ketika tadi malam si mahasiswa ini pergi ke Heksek tjhoeng mengambil gambar, Tjio Eng mengatakan sudah menanti enam puluh tahun, sekarang dia menyebut-nyebut juga hal enam puluh tahun. Kenapa jumlah tahun itu akur satu dengan lain? Teka-teki apakah tersembunyi di dalam ini? Si mahasiswa baharu berumur dua puluh lebih, dan usianya Tjio Eng belum lewat enam puluh, maka apakah yang diartikan dengan enam puluh tahun itu?"
Ia pikirkan, ia pikirkan pula, masih ia tidak mengerti, sampai ia dengar pula kata kata perlahan dari si mahasiswa.
"Hari ini aku tertawa puas, menangis pun puas, sayang sekali, araknya sudah habis....."
Demikian katanya.
Rupanya dia sangat menyesal atau sengit, dia banting gendul araknya ke tanah hingga gendul itu pecah hancur.
Aneh kelakuan si mahasiswa ini, tetapi pada itu In Loei lihat suatu tenaga menarik yang luar biasa.
Waktu itu, matahari sudah menunjukkan lewat tengah hari.
"Ah, sudah waktunya kita berpisah....."
Kata si nona. Tapi ia mengatakan ini dengan agak sedih. Ia seperti merasa berat untuk berpisahan.....
"Kau hendak pergi ke mana?"
Tanya si mahasiswa.
"Apa kau hendak kembali ke Heksek tjhoeng?"
"Tak perlu kau ketahui itu,"
Jawab In Loei. Si mahasiswa tertawa.
"Apa yang kau perbuat tadi malam, semua telah aku, lihat!"
Katanya. Teringat pada kejadian di dalam kamar, muka In Loei menjadi merah.
"Nona Tjio itu cantik luar biasa,"
Kata si mahasiswa.
"dia juga mengerti ilmu silat. Saudara kecil, mengapa kau menampik, tak mau kau menikah dengannya?"
"Aku mau atau tidak, apa sangkutannya dengan kau?"
In Loei balik menjawab. Mahasiswa itu tertawa pula.
"Jikalau malam itu aku tidak mengacau, tidak nanti kau dapat lolos dari Heksek tjhoeng", dia kata.
"Kenapa kau tidak menghaturkan terima kasih terhadapku?"
Mau atau tidak, In Loei tersenyum.
"Kita bangsa orang gagah, kita memang tak boleh terjeblos dalam jebakan sang cinta,"
Berkata si mahasiswa.
"Imanmu teguh, saudara kecil, aku kagum terhadapmu."
Kembali merah wajah In Loei.
Dua Musuh Turunan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ia jadi jeri untuk bicara lebih lama dengan anak muda ini, ia kuatir rahasianya nanti terbuka, maka tanpa berkata suatu apa lagi, ia lompat ke atas kudanya, yang terus dikaburkan.
Baharu ia keluar dari rimba, atau di belakangnya, ia dengar suara kelenengan kuda, hingga ia mesti berpaling, rupanya kuda putih si mahasiswa telah menyandak padanya.
"Saudara kecil, aku ingin bicara denganmu!"
Kata si mahasiswa itu. In Loei tahan kudanya.
"Bicaralah!"
Katanya. Si mahasiswa perlambat jalan kudanya, hingga berendeng dengan kuda si "pemuda".
"Di dalam wilayah Shoasay ini, Tjio Eng dan See To sangat berpengaruh,"
Kata si mahasiswa sambil bersenyum.
"maka bila kau berjalan seorang diri saja, pada akhirnya kau bukannya dicandak Tjio Eng, untuk dibawa pulang untuk dijadikan babah mantunya, melainkan kau akan dibekuk si orang she See ayah dan anak itu, untuk disiksa mereka. Karenanya, baiklah kau berjalan bersama-sama aku, aku akan menjadi piauwsoe-mu, pembelamu....."
In Loei anggap, berjalan bersama itu ada alasannya, akan tetapi, belum sempat ia menjawab, si anak muda sudah menanya pula kepadanya.
"Sebenarnya ke mana kau hendak pergi?"
"Ke Pakkhia,"
Jawab In Loei.
"Sungguh kebetulan!"
Seru si anak sekolah.
"Aku juga hendak pergi ke kota Pakkhia. Baiklah kita mengaku engko dan adik satu sama lain."
In Loei tertawa, ia anggap orang lucu.
"Aku belum tahu she dan namamu, mana dapat kita berbasa secara demikian?"
Katanya.
"Apa aku mesti selalu panggil engko saja padamu?"
Anak sekolah itu tersenyum.
"Aku she Thio, namaku Tan Hong,"
Jawabnya.
"Tan dari tansim - putih bersih dan Hong dari pohon hong."
In Loei tertawa.
"Satu nama yang bagus!"
Pujinya. Akan tetapi di Mongolia tidak ada pohon hong, maka itu, dari mana kau ambil namamu ini?"
"Hiantee, namamu?"
Tanya si anak sekolah, yang tidak menjawab. Ia pun sudah lantas berbasa "hiantee" - adik.
"Aku orang she In dan namaku cuma satu, Loei,"
Sahut si "pemuda".
"Loei dari pweeloei - pusuh bunga."
"Sungguh satu nama yang indah!"
Tertawa si mahasiswa. Ia pun balik memuji.
"Cuma nama itu sedikit berbau nama wanita. Di perbatasan tanah asing di mana ada es dan salju jarang tertampak pusu bunga, dari itu, dari arti apa namamu diambil?"
Wajah In Loei berubah.
"Cara bagaimana kau ketahui aku menjadi besar di perbatasan tanah asing yang ber-es dan bersalju itu?"
Dia tanya. Si anak sekolah tertawa.
"Dari arakku!"
Sahutnya.
"Begitu kau ceguk arakku, aku mengetahuinya. Bukankah caramu tadi membeber sendiri tentang asal-usulmu?"
In Loei berpikir, lantas ia tertawa sendirinya.
Tapi, biar bagaimana, ia merasa kurang tenang hatinya.
Dilihat dari sikap anak sekolah itu, mungkin dia masih mengetahui terlebih banyak tentang dirinya.....
Dengan berbicara terlebih jauh maka tahulah In Loei bahwa Thio Tan Hong ini luas pengetahuannya, tentang ilmu bumi, perihal ilmu alam begitupun pengetahuan ilmu surat, syair dan ilmu silatnya.
Dengan sendirinya ia jadi merasa sangat tertarik, hingga tanpa merasa, ia kurang akan penjagaan atas dirinya.
Selama berjalan, asyik sekali mereka pasang omong.
Tanpa merasa, sang sore telah datang pula.
Thio Tan Hong menunjuk dengan cambuknya.
"Di depan sana ada sebuah dusun,"
Katanya.
"sudah tiba saatnya untuk kita bermalam."
Ia bunyikan cambuknya untuk melarikan kudanya. In Loei telad anak sekolah itu, maka kaburlah kuda mereka, hingga sebentar kemudian tibalah mereka di tempat yang ditunjuk anak sekolah itu. Dengan lantas mereka cari rumah penginapan.
"Berikan kami sebuah kamar besar yang meng- hadap ke selatan,"
Tan Hong minta.
"Kita inginkan dua kamar!"
In Loei campur bicara. Kuasa hotel menggeleng-gelengkan kepala.
"Yang betul, satu atau dua?"
Ia tegaskan.
"Dua kamar!"
Sahut In Loei, cepat dan keras.
"Dua kamar!"
Kuasa hotel itu mengawasi si mahasiswa. Thio Tan Hong mengawasi juga, ia tertawa.
"Baiklah, dua kamar!"
Sahutnya.
"Apakah tuan-tuan cuma berdua saja?"
Masih pengurus hotel itu menanya.
"Ya, cuma kita berdua,"
Jawab si anak sekolah.
Pengurus itu heran, ini tampak pada wajahnya.
Akan tetapi dua kamar ada terlebih banyak daripada satu kamar, sewanya jadi bertambah, maka ia tidak menegaskan terlebih jauh.
Ia lantas ajak kedua tetamunya untuk periksa kamarnya, habis mana, ia undurkan diri untuk menyediakan barang santapan bagi mereka.
Di dalam kamarnya, Thio Tan Hong tertawa.
"Hiantee, bukannya aku pelit mengeluarkan lagi beberapa potong perak,"
Kata dia.
"Dengan berada berdua kita dapat pasang omong. Tidakkah itu lebih baik? Kenapa kau menghendaki dua buah kamar?"
"Kau tidak tahu, hianheng,"
Sahut In Loei, yang pun berbasa "kakak" - hianheng.
"Seumurku paling takut aku tidur bersama-sama orang lain."
Tan Hong tertawa pula.
"Pantas di Heksek tjhoeng kau tak mau tidur sama-sama Tjio Siotjia1."
Katanya.
Merah wajahnya In Loei, lantas ia alihkan pembicaraannya.
Si anak sekolah juga tidak menanyakan lebih jauh.
Habis bersantap malam, dua sahabat ini tidur dalam kamarnya masing-masing.
In Loei tidak tenang hatinya, ia palang pintu kamarnya, ia tutup jendelanya, malah di waktu merebahkan diri, ia tidak salin pakaian.
Tidak dapat ia lantas tidur nyenyak, masih ia pikirkan si anak sekolah - ia ingat akan katakatanya dan tertawanya.
Ia malah tidak rapatkan matanya.
Ketika terdengar kentongan tiga kali, hotel sudah sangat sunyi.
Sampai saat itu, baharu In Loei merasakan hatinya tak terlalu tegang lagi, ia merasa lega, ia malah tertawa sendirinya.
"Tampaknya anak sekolah itu, walaupun ia berandalan, ia bukannya seorang ceriwis....."
Ia berpikir.
Oleh karena hatinya lega dan merasa ngantuk, In Loei lantas saja tidur pulas.
Tidak tahu ia, berapa lama ia sudah tidur, tiba-tiba secara layap-layap ia tampak si anak sekolah mendatangi, mendekati pembaringannya, sambil membungkuk, dia bersenyum.
Ia kaget, ia hunus pedangnya, berbareng mana, si anak sekolah menjerit, lalu dalam sekejap saja, dia bermandikan darah seluruh tubuhnya.
In Loei kaget sekali, hingga ia berseru.
Adalah pada waktu itu, ia dengar ketokan pada jendela.
"Hiantee, lekas kemari!"
Demikian suaranya Thio Tan Hong.
In Loei berbangkit, ia kucek-kucek matanya.
Insyaflah ia bahwa ia sedang bermimpi.
Ia dengar suranya Tan Hong, ia kenali.
Ia menjadi heran, hingga ia ragu-ragu, ia tengah bermimpi atau bukan.
Kembali terdengar suara Tan Hong, kali ini disusul dengan ringkikan kuda yang berirama sedih.
Maka tak ayal lagi, ia lompat turun.
Syukur untuknya, ia tidur tanpa salin pakaian.
Dengan lantas ia dapat buka pintu, untuk lari keluar.
Dari wuwungan rumah, terdengar Thio Tan Hong berseru.
"Orang telah mencuri kuda kita! Mari lekas, kita kejar! Lekas!"
Kuda Tjiauwya saytjoe ma dan kuda merah dari Thio Tan Hong dan In Loei ada kuda- kuda pilihan, tidak sembarang orang dapat mendekati kedua binatang itu, malah kuda Tan Hong bengis sekali dan mengerti, kecuali tuannya, lain orang tidak dapat mengendalikannya.
Karena itu, Tan Hong sangat percaya kudanya itu, barangnya yang berharga pun ia biarkan dibebokong kuda, sama sekali ia tidak kuatirkan apa-apa, maka itu adalah di luar sangkaan, kali ini ada orang mencuri kedua kuda itu.
Pastilah pencurinya seorang yang sangat cerdik atau suatu ahli.
Tidak peduli ia bernyali besar dan tabah, Tan Hong toh gentar juga.
In Loei lompat naik ke atas genteng.
"Dapatkah kita susul mereka?"
Ia tanya.
"Kuda kita tentu tak sudi turut lain orang, mesti dapat kita susul,"
Jawab Tan Hong. Ia rogo sakunya, akan keluarkan sepotong perak, yang mana ia lemparkan ke dalam rumah. Sampai pengurus hotel itu mendusi, mendengar suara yang berisik.
"Uang sewa kamarmu di lantai!"
Teriak Tan Hong, habis mana, ia lompatpergi.
In Loei segera ikuti kawan ini.
Di sebelah depan mereka masih terdengar ringkiknya kuda.
Pengejaran dilakukan terus sampai di sebuah tegalan.
Di bawah rembulan yang remang-remang, dibantu dengan cahaya bintang-bintang, segera tertampak kedua kuda-kuda itu, - kuda merah di sebelah depan, kuda putih di sebelah belakang.
Kedua kuda itu lari dengan berjingkrakan, terang keduanya tak sudi lari, keduanya berontak.
Dua Musuh Turunan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pun si pencuri kuda tampak juga.
Mereka mengenakan pakaian biru, muka mereka ditutupi topeng.
Masing-masing memegang sebatang hio, yang apinya menyala, hingga sinar api itu mirip dengan cahaya bintang, terutama di tempat yang gelap tampak tegas.
Dan dengan hio itu, tiap kali mereka suluti tubuh kuda.
Itulah cara paksaan untuk membikin kuda lari, tidak peduli kuda itu meringkik kesakitan dan terus berjingkrakan.
Kedua pencuri itu menjepitkan kaki mereka dengan keras, hingga kuda jadi tidak berdaya, saking sakitnya, mau juga kuda itu lari.
Disebabkan sering berjingkrak, kedua kuda itu tak dapat lari jauh, atau segera Tan Hong dan In Loei dapat menyusul.
Sakit hati Tan Hong dan In Loei mendengar suara kuda mereka yang tersiksa itu, sambil mengejar, mereka memanggil-manggil.
Tjiauwya saytjoe ma sudah lantas dengar suara majikannya, dia berjingkrak keras, karena mana, si penjahat lagi-lagi menyulut tubuhnya.
Selagi mengejar terus, Thio Tan Hong perdengarkan seruannya yang nyaring, menyusul mana tangannya terayun, hingga belasan sinar perak menyambar ke arah kedua pencuri kuda itu.
Tapi mereka seperti punya mata dibatok kepala mereka, atas datangnya serangan itu mereka jatuhkan diri, akan sembunyi diperut kuda.
Thio Tan Hong sayangi kudanya, ia tidak mau serang kudanya itu, ia cuma serang si pencuri, karenanya, serangan senjata rahasia itu jadi gagal, tidak ada sebuah jua dari jarumnya yang mengenai sasarannya.
Oleh karena sakitnya, kedua kuda itu kabur keras, ke arah gunung.
Berdua In Loei, Tan Hong mengejar terus, sampai tiba-tiba terdengar kedua pencuri kuda itu tertawa berkakakan, iramanya seperti tertawa wanita.
Tentu saja, In Loei jadi terperanjat bahna herannya.
Di atas tanjakan pun segera terlihat cahaya api berkelap-kelip bagaikan kunang kunang bermain di antara gombolan rumput.
Tanjakan itu sunyi dan seram nampaknya, sampai In Loei bergidik sendirinya.
Tiba-tiba saja Tan Hong tertawa nyaring.
"Apakah benar ada si cantik manis yang menjadi pencuri dan di tengah malam buta berkawan dengan iblis?"
Katanya, nyaring.
"Kembalikan kudaku! Tidak sudi aku bertempur dengan wanita!"
Ia lantas lompat, untuk mendaki tanjakan itu, In Loei ikuti padanya. Sementara itu terdengar suara nyaring dari wanita "Eh, besar juga nyali si pencuri mustika!"
In Loei lantas lihat dua ekor kuda, yang mengangkat tinggi kaki depannya, hingga kedua binatang itu bagaikan orang tengah berdiri ditanjakan yang satu di depan, yang lain di belakang.
Kedua kuda itu tidak berbunyi juga tidak bergerak, maka di bawah sinar rembulan yang suram, nampaknya aneh dan luar biasa.
Tanpa merasa, In Loei perdengarkan seruan tertahan.
Thin Tan Hong, sebaliknya, tertawa dingin.
"Oh, kiranya kamu yang main gila!"
Demikian si mahasiswa.
In Loei tenangkan dirinya, ia pasang matanya.
Kali ini ia dapat melihat lebih tegas.
Ia tampak empat orang tengah berdiri ditanjakan, masing-masing mengangkat sebelah kakinya, sebagi orang sedang menindak turun ditangga loteng, akan tetapi wajah mereka "diam,"
Mereka bagaikan patung-patung saja.
Mereka adalah empat saudagar barang permata yang sedang berurusan dagang dengan Tjio Eng, keadaan mereka sekarang ini mirip benar dengan keadaan mereka tadi malam setelah mereka ditotok Tan Hong.
Meiihat keadaan orang itu, In Loei menghela napas lega.
Ia kagum untuk orang yang pandai menotok itu, yang dapat menotok orang-orang ini tanpa mereka ini bisa berdaya.
Ia menduga, mereka ini adalah pencuri-pencuri kuda, rupanya mereka mencuri untuk membalas dendam yang kemarin mereka telah ditotok.
Tanpa kuatir suatu apa, In Loei segera hampir-kan ke empat saudagar itu.
"Tadi malam aku telah membebaskan kamu dari totokan, kenapa sekarang kamu berbalik mengganggu kuda kami?"
Ia tegur mereka itu. Empat saudagar itu tidak menjawab, mereka tetap diam sebagai patung. Tiba-tiba dari atas tanjakan terdengar suara.
"Apakah tetamu sudah datang? Bawa mereka ke dalam kuburan!"
Meneliti suara itu, seolah-olah datangnya dari dalam tanah, seperti jauh, seperti dekat.
Mendengar itu, In Loei terperanjat.
Itulah suara yang menandakan bahwa orang yang berkata-kata itu mempunyai Iweekang - ilmu dalam - yang sempurna.
Menduga orang itu tentulah musuh, In Loei lantas bayangkan ia tengah menghadapi lawan yang merupakan memedi....."
Menyusul suara dalam itu, dari antara tumpukan batu-batu gunung segera tampak munculnya dua tubuh bagaikan bayangan.
Mereka ini mengenakan baju hijau, mata mereka masing-masing mencorot tajam.
Karena muka mereka ditutupi topeng, mata mereka pun mirip dengan kunang-kunang, yang bercahaya di tempat gelap.
Mereka tak mirip wanita Tionghoa.
Tapi keduanya terus menekuk lutut mereka, untuk memberi hormat.
"Silakan!"
Demikian mereka mengundang.
"Lebih dulu tolongi kuda kita, baharu kita bicara!"
Kata Tan Hong.
"Tuan kami pesan supaya tuan jangan berkecil hati,"
Kata salah satu penyambut ini.
"Katanya, tanpa diambilnya tindakan ini, tidak nanti kita dapat pimpin tuan dan kawanmu datang kemari."
"Siapa tuan kamu itu?"
Tanya In Loei karena ia lihat, orang bersikap hormat. Salah satu penyambut itu tertawa, ia menoleh pada kawannya.
"Ya, aku sampai lupa pada aturan kamu kaum Rimba Hijau dari Tionggoan."
Katanya.
"Djieso, tolong serahkan karcis undangan kita!"
Penyambut yang kedua itu, yang berada di sebelah belakang, sudah lantas putar tubuhnya, kemudian setelah berbalik pula, ia serahkan apa yang dinamakan karcis undangan, ialah dua potong tulang kepala manusia.
Melihat kartu nama semacam itu, wajah Tan Hong berubah.
In Loei juga terperanjat akan tetapi ia kuasai dirinya.
"Kartu undangan ini istimewa sekali!"
Katanya. Kedua penyambut itu tidak menjawab, mereka cuma bersenyum.
"Mari!"
Mereka mengundang, terus mereka jalan di sebelah depan. Tan Hong dekati In Loei di kuping siapa ia segera berbisik.
"Lekas kau singkirkan diri! Majikan mereka adalah Hek Pek Moko!....."
"Hek Pek Moko....."
In Loei ulangi, lalu dalam sekejap saja, ia sadar. Ia segera ingat keterangannya Tjioe San Bin tentang dua orang aneh dari kaum kangouw pada jaman itu, dua "manusia aneh"
Yang paling ditakuti.
Hek Pek Moko itu katanya berayah orang India, yang datang ke Seetjhong atau Thibet, untuk berniaga, lalu dia masuk kebangsaan Thibet, dia menikah dengan satu nona Thibet dari siapa dia peroleh sepasang anak kembar, yang masing-masing berkulit putih dan hitam, yang romannya luar biasa.
Menurut bahasa Hindu tua, iblis jahat dipanggil "moko"
Karenanya orang memanggil kedua anak itu, sang kakak Hek Moko, dan sang adik, Pek Moko.
Ayah mereka pandai ilmu silat India, mereka dapat mewariskan kepandaian ayah mereka itu, yang dicampur dengan ilmu silat Thibet dan Mongolia juga, maka mereka mempunyai rupa-rupa ilmu silat, hingga kesudahannya mereka jadi lihay sekali.
Katanya, setelah memasuki umur belasan tahun, Hek Moko dan Pek Moko pergi berpesiar, sampai di Tionggoan di mana kabarnya, di Kwietjioe (Canton) mereka telah menikah dengan anak seorang saudagar hartawan bangsa Iran.
Untungnya untuk kedua saudara ini, mereka juga pandai bahasa Tionghoa, Iran, Thibet dan Mongolia di samping bahasanya sendiri, bahasa India.
Mereka seperti dapat "keluar dan masuk"
Tanpa ketentuan.
Di beberapa tempat mereka mempunyai rumah, hingga mereka bisa tinggal dan berdiam di mana mereka suka.
Mereka mempunyai banyak harta dan barang permata, umpama kata ada pembesar Rimba Hijau rakus yang menginginkan permata mereka, pasti mereka akan mendapat bagian, setelah disiksa, dia baharu dibinasakan.
Maka kaum Jalan Putih dan Jalan Hitam pandang mereka ini sebagai bintang bencana.
Apa sebabnya mereka suka membawa-bawa barang permata, tidak ada orang yang ketahui jelas, orang cuma bisa duga, permata itu berasal curian atau memangnya barang dagangan.
Tidak ada orang yang berani menanyakannya.
Sedang sebenarnya, mereka adalah tukang-tukang tadah, mereka bisa beli permata dari begal tunggal, yang mereka biasa jual ke India atau Iran, hingga mereka menjadi aman.
Maka itu, mereka kenal baik banyak begal atau penjahat tunggal.
Demikian Hongthianloei Tjio Eng adalah langganan mereka.
Empat saudagar, yang malam itu In Loei lihat, ada pembelinya.
Tentu sekali In Loei, juga Thio Tan Hong tidak ketahui rahasianya Tjio Eng serta tukang tadah itu.
Walaupun demikian, Tan Hong tahu tanda rahasia dari Hek Pek Moko, ialah tengkorak manusia, karena mana, ia kisiki In Loei untuk lari menyingkir.
Tapi In Loei berpikir lain, bukan dia kabur, dia justeru bersenyum.
"Bukankah tadi kau menyuruh aku menjadi piauwsoe?"
Katanya.
"Maka sekarang, tak dapat tidak, aku mesti menyertai kau!"
Tan Hong percaya orang tak tahu lihaynya Hek Pek Moko, ia memikir untuk menjelaskannya, akan tetapi, untuk itu, ketikanya tidak ada.
Untuk itu, ia mesti bicara banyak.
Ia lihat tegas, kedua wanita Iran itu tiap-tiap kali berpaling ke arahnya.
Karenanya, ia jadi mengeluh sendirinya.
"Ah, kau belum tahu lihaynya kedua hantu itu....."
Demikian keluhnya dalam hati.
Tan Hong keliru apabila ia menduga In Loei tidak tahu ancaman bahaya, In Loei justeru tak hendak meninggalkan dia pada saat seperti itu.
Ia ingin turut bersama.
Kedua wanita Iran itu jalan di muka untuk memimpin mereka melalui jalan belukar yang banyak batunya, di antara pelbagai kuburan, sesaat kemudian tibalah mereka di depan sebuah kuburan besar luar biasa.
Segera terdengar suara nyaring dari dalam kuburan itu.
"Apakah yang datang itu dua bocah cilik?"
Kedua wanita itu tertawa.
"Benar!"
Sahut satu di antaranya.
"Tapi kedua bocah ini besar sekali nyalinya!"
"Baik!"
Terdengar pula suara dari dalam kuburan itu.
"Bawa mereka masuk!"
Satu wanita mendekati pintu kuburan, ia gunakan sebelah tangannya untuk menekan, atas itu terdengarlah suara berisik pada daun pintu. Justeru itu, dengan mendadak Thio Tan Hong menyerang daun pintu.
"Brak!"
Demikian terdengar suara nyaring dan berisik, karena daun pintu itu segera rubuh menggabruk. Dia terus tertawa, dia pun berkata.
"Tidak usah kau nengundang lagi, aku sendiri dapat datang!"
Kuburan itu mempunyai thia yaitu ruang muka, yang indah perabotannya, yang mirip dengan ruang suatu istana.
Di sini dipasang dua puluh empat lilin yang besar, yang membuat ruangan menjadi sangat terang.
Rupanya itu adalah suatu istana di dalam tanah, yang ada hubungannya dengan dunia luar, karena dengan berada di dalam ruang itu orang tidak bernapas sesak.
In Loei segera lihat sebuah meja besar di tengah ruangan itu.
Meja itu adalah meja marmer.
Di tengah meja duduk dua orang, yang romannya benarbenar luar biasa.
Rambut mereka bergelintir, hidung mereka bengkung, muka mereka, yang satu putih meletak, yang lain hitam legam, hingga perbedaan antara kedua orang itu sangat tegas.
Di kedua sisi mereka duduk masingmasing dua orang Han, yaitu ke empat saudagar barang permata itu.
Maka, mengenal mereka itu, In Loei berkata dalam hatinya.
Dua Musuh Turunan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Terang sudah, kuburan ini mempunyai pintu belakang....."
"Apakah mereka berdua ini yang mencuri permata?"
Tanya Hek Pek Moko, kedua orang dengan roman luar biasa itu.
"Itulah yang usianya terlebih tua,"
Sahut satu saudagar.
"Yang lebih muda itu ada babah mantunya Tjio Eng, dia tidak turut mencuri, dia malah telah menolongi kami dengan membebaskan kami dari bekas totokan."
Hek Moko manggut.
"Kau berdiri dipinggir!"
Kata dia pada In Loei, tangannya menunjuk. Tapi In Loei membangkang.
"Aku datang bersama-sama dia,"
Katanya.
"Kenapa aku mesti berdiri di pinggir?"
Pek Moko kerutkan alisnya.
"Bocah cilik, kau tidak tahu apa-apa!"
Katanya. Hek Moko menuding Tan Hong.
"Eh, bocah gede, besar nyalimu!"
Katanya.
"Kenapa kau berani datangdatang ke Heksek tjhoeng untuk mencuri permata dan melukai orang? Kenapa kau pun berani menghajar rubuh pintuku ini? Apakah kau anggap kami dapat dibuat permainan?"
Thio Tan Hong tidak menjawab, dia hanya balik menanya.
"Berapa lama sudah kamu sampai di Tionggoan?"
Demikian pertanyaannya.
"Apakah maksudmu?"
Tanya kedua hantu ini, dengan murka.
"Pernahkah kamu dengar, satu pepatah Tionghoa yang mengatakan "Dendam ada kepalanya, hutang ada tuannya?"
Tan Hong tanya pula.
"Jangan kata aku memang tidak pergi ke Heksek tjhoeng untuk mencuri, taruh kata benar apa hubungannya dengan kamu berdua? Tjio Eng toh tidak menginginkan kamu yang campur tahu perkara itu?"
Muka kedua hantu itu mendadak berobah. Thio Tan Hong tak menggubris, ia hanya menambahkan.
"Adalah kamu yang mencuri kuda kami, kenapa sekarang kamu herankan yang aku hajar rusak daun pintumu? Lagi pula tempat ini bukannya tempatmu, tempat ini adalah tempat orang mati!"
"Bagus, kau pandai memutar lidahmu!"
Bentak Hek Moko.
"Kau sekarang hendak menguasai kami!"
"Apakah kamu kira cuma kamu sendiri yang boleh menguasai lain orang?"
Tan Hong tertawa.
"Aku lihat, lebih baik kau tutup rapat pintu kuburanmu ini, jangan kau pergi keluar lagi!"
"Apa katamu?"
Tegaskan Pek Moko, si Hantu Putih.
"Ini adalah kuburan suatu pangeran!"
Kata Tan Hong.
"Ia ada Pangeran dari kerajaan Tjhin. Habis kau hendak apa?"
Tanya Pek Moko.
"Ada pepatah yang mengatakan, - Menutup pintu besar untuk menjadi raja"
Sahut Thio Tan Hong.
"maka itu, jikalau sekarang kamu tutup kuburan ini, bukankah kamu pun boleh menjadi raja di sini? Atau, andaikata kamu batal menjadi raja, sedikitnya kamu bisa menjadi pangeran Tjhin! Sebenarnya, untuk menjadi raja tidak ada artinya....."
Murka kedua hantu itu dipermainkan secara demikian.
Tanpa terlihat gerakan mereka, tahu-tahu mereka sudah mencelat dari kursi mereka masing-masing sampai kepada Tan Hong, empat tangan mereka menyambar ke arah batok kepala orang! In Loei terkejut hingga ia keluarkan seruan tertahan.
Menyusul sambaran empat tangan itu, terlihatlah berkelebatnya satu sinar putih bagaikan rantai.
Sebab Thio Tan Hong, dengan kesebatannya, telah hunus pedangnya, yang berkelebat mirip bianglala.
Kedua hantu Hitam dan Putih ini perdengarkan seruan.
"Pedang yang bagus!"
Di antara satu suara "Bret!"
Terlihat tubuh mereka bergerak-gerak bagaikan bayangan. Pada saat itu juga terdengar tertawanya Thio Tan Hong, yang menyambungi.
"Bagus, bagus! Hek Moko dan Pek Moko mengerubuti satu bocah!"
Mendengar ejekan itu, kedua hantu itu sudah lantas jumpalitan mundur, hingga di lain saat keduanya sudah duduk bercokol pula dikursi mereka masingmasing, muka mereka menyeringai.
Mereka ini tidak pandang Thio Tan Hong sebagai tandingan mereka, barusan mereka menyerang disebabkan hawa amarah mereka yang meluap dengan tiba-tiba, hingga mereka melakukan sesuatu yang melanggar hukum Rimba Persilatan.
Mereka percaya, dengan satu kali turun tangan, mereka dapat mencekik si bocah gede itu.
Tidak tahunya, meleset dugaan mereka, hingga mereka jadi malu sendirinya, mereka jadi jengah.
Luar biasa sebat Tan Hong menghunus pedang, cepat sekali ia gerakkan pedangnya itu, meskipun selagi berkelit, bajunya kena disambar hingga baju itu kena disambar hingga baju itu robek, di lain pihak, pedangnya sudah memapas kopiah orang sampai rambutnya ikut terpapas pula.
Dan hebatnya, karena perbuatannya itu, Hek Pek Moko pun akan tercela karena mereka telah menghina orang yang terlebih muda.....
Hek Moko, si Hantu Hitam, lantas mengawasi Tan Hong.
"Bagus ilmu pedangmu!"
Katanya.
"Mari, mari kita mencoba-coba!....."
Kali ini hantu itu tidak lagi memandang orang sebagai "bocah", ia anggap sekarang bocah itu adalah pantarannya, maka itu, ia telah ubah sikapnya, ia sudah lantas menantang. Thio Tan Hong bersenyum, ia awasi kedua hantu itu.
"Bagaimana kehendakmu?"
Ia tanya.
"Kamu berdua hendak maju berbareng atau melayani satu dengan satu". Bagaimana kalau menang. Bagaimana kalau kalah? Dalam hal ini, perlu kamu mengatur terlebih dahulu!"
Hek Moko gusar sekali.
"Kamu berdua, kita juga berdua, tidakkah itu berimbang?"
Katanya. Hek Moko kesohor, sekarang ia ingin bertanding satu sama satu, itu artinya ia sudah lantas merasa agak jeri. Akan tetapi Thio Tan Hong kata.
"Urusanku ini tidak ada hubungannya dengan saudaraku ini! Adalah aku seorang diri yang akan melayani kamu....."
"Jikalau demikian,"
Kata Hek Moko.
"baik aku sendiri yang melayani kau."
Tapi In Loei campur bicara.
"Kita datang berdua, maka itu aku juga hendak melayani kamu!"
Demikian katanya.
"Bagus, bagus!"
Pek Moko, turut berbicara.
"Jikalau kamu turun tangan berbareng, aku suka turut menemani kamu!"
"Sudahlah, jangan terlalu banyak omong!"
Hek Moko menjadi tidak sabaran.
"Aku akan layani kau seorang!" - ia maksudkan Thio Tan Hong.
"Jikalau saudaramu tidak turun tangan, saudaraku juga tidak akan turun tangan! Tidakkah ini jelas?"
In Loei masih hendak bicara tetapi Tan Hong cegah dia.
"Sudahlah, saudara yang baik! Kau biarkan aku yang mencoba-coba dulu. Umpama kata aku tidak berdaya, baharulah kau turun tangan. Apakah itu tak terlambat?"
Hek Moko tidak pedulikan kedua saudara itu sedang berebut omong, ia ulurkan sebelah tangannya ke arah tembok, dari situ ia menarik sebatang tongkat kemala, yang mengeluarkan sinar terang bercahaya hijau, setelah itu ia berbangkit dari kursinya, ia bertindak ke ruang yang lega.
"Mari, mari!"
Ia menantang.
"Jikalau aku menang maka kuda dan permatamu, semua itu akan menjadi kepunyaanku!"
"Jikalau kau yang kalah, bagaimana?"
Tanya Tan Hong.
"Jikalau aku yang kalah, maka tempat ini akan menjadi kepunyaanmu!"
Hantu itu berjanji.
Kuburan itu adalah tempat Hek Pek Moko menyimpan harta besar mereka, di antaranya ada barang berharga yang hampir semahal sebuah kota.
Hek Moko anggap, taruhan ini adalah taruhan yang pantas sekali.
Akan tetapi Thio Tan Hong berpikir lain.
Dia tertawa.
"Siapa kesudian menjadi tuan dari guha hantu ini?"
Katanya mengejek.
"Habis, apa yang kau kehendaki?"
Tanya si Hantu Hitam.
"Kau mesti obati kuda kami hingga sembuh!"
Dia menjawab. Hek Moko juga tertawa bergelak.
"Inilah gampang!"
Jawabnya. Aku biasa berdagang, aku hargakan perkataanku. Baik kita omong secara pantas. Aku pun tidak menginginkan bandamu. Di antara banda kita, sukar untuk menetapkan harganya. Sekarang terserah kepadamu! Nah, majulah!"
Thio Tan Hong lantas rapikan dandanannya. Ia loloskan baju panjangnya, yang kena dirobek kedua hantu itu.
"Dengan dandananku ini, aku mirip dengan satu pengemis....."
Katanya, yang terus merobek baju panjangnya itu.
Ia sekarang dandan dengan singset, nyata ia telah pakai baju kutang yang tersulamkan dua ekor naga emas tengah bertarung di tengah laut yang bergelombang.
Di antara cahaya lilin, baju kutang itu nampaknya indah.
In Loei lihat baju kutang itu, ia heran.
"Apakah benar di Mongolia juga ada sulaman Souwtjioe?"
Tanya ia pada dirinya sendiri. Tapi ia tidak sempat berpikir lama, atau pertandingan sudah lantas dimulai.
"Kau yang mulai!"
Tan Hong tantang lawannya, setelah ia selesai dandan dan beri hormat sambil menjura.
Hek Moko dapat kesan baik untuk kelakuan dan kesopanan orang itu, ia merasa puas hingga ia bersenyum, akan tetapi meskipun demikian, dengan tiba-tiba saja ia mulai dengan serangannya, tongkatnya menyambar ke arah muka.
Thio Tan Hong tidak menjadi kaget karena serangan mendadak itu, malah dengan gesit ia telah angkat pedangnya, untuk menangkis, hingga tidak ampun lagi, kedua senjata telah beradu satu sama lain hingga terdengar suara yang keras dan nyaring.
Sinar pedang pun menyilaukan mata.
-ooo0dw0ooo- BAB VI In Loei terperanjat melihat bentroknya kedua senjata itu.
"Aku tidak sangka, tongkat kemala itu ada barang mustika juga,"
Pikirnya.
Kedua senjata seperti menempel satu dengan lain, karena masing-masing tidak menarik kembali tangan mereka, sebaliknya, mereka saling menekan.
Kedua pihak berdiri tegak dengan kuda-kuda mereka, keduanya samasama empos semangat, untuk mengerahkan tenaga mereka.
Karena ini, dalam sekejap saja, keduanya mulai mengalirkan keringat di jidat mereka.
Tegang hati In Loei menyaksikan pertempuran adu tenaga dan keuletan itu.
Dua Musuh Turunan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Secara begini, tidakkah keduanya akan sama-sama bercelaka?"
Demikian ia piker pula.
Ia jadi berkuatir.
Tak lama kemudian terdengar seruan Hek Moko, tubuh siapa terus mencelat.
Menyusul itu terdengar pula suara kedua senjata.
Dipihak lain Thio Tan Hong pun mencelat mundur, dengan begitu senjata mereka jadi terlepas dan terpisah.
Selagi lompat, Tan Hong perdengarkan seruan.
"Celaka!"
In Loei terkejut hingga hendak ia hunus pedangnya, cuma sebelum ia sampai berbuat begitu, ia segera dengar tertawanya Tan Hong.
"Tidak apa, tidak apa!"
Demikian Tan Hong buka mulutnya.
"Kiranya kau adalah seekor keledai tua! Sekian lama senjata kita sudah bentrok tapi kau tidak mampu berbuat suatu apa! Haha haha! Namamu kosong belaka! Nyata kau tidak sanggup memukul mundur satu bocah! Haha-haha! Haha-haha!"
Suara tawa itu belum berhenti atau Hek Moko, dalam murkanya yang hebat, sudah berseru nyaring sekali.
"Bocah, kau tidak tahu mampus!"
Lalu tubuhnya mencelat maju, sinar hijau dari tongkatnya pun berkelebat, sinar itu menyambar ke arah jidat orang she Thio. Sebenarnya In Loei ingin tertawa mendengar kata-katanya Tan Hong, tapi ia terhenti di tengah jalan, sebaliknya, ia menjerit.
"Oh!"
Disebabkan serangan si hantu yang sangat dahsyat itu. Tiba-tiba terdengar pula tertawa nyaring dari Tan Hong, yang terus berkata dengan keras.
"Lihat, lihat! Si bocah akan kemplang kepala si keledai tua!"
Atas datangnya serangan dahsyat itu, Tan Hong menyamping satu tindak, sambil mundur ia angkat pedangnya, dengan itu ia membalas menabas ke arah lengan orang.
Hek Moko pun sangat awas dan gesit sekali, lekas-lekas ia tarik kembali tangannya.
Tan Hong tahu orang liehay, sengaja ia mainkan lidahnya, guna membikin orang mendelu.
Ia dapat menduga, Hek Moko mulanya tidak pandang mata padanya, maka ia dipanggil bocah, dari itu, sengaja ia gunakan perkataan bocah itu untuk membuat orang panas hati.
Dalam hal ini, ia berhasil membakar hatinya si Hantu Hitam.
Menuruti hawa amarahnya, Hek Moko menyerang pula, secara kalap.
Bukan main gencarnya serangan itu.
Terang ia lupa pantangan bergusar untuk orang yang tengah berkelahi, nyata ia sudah kena terjebak lawannya itu.
Satu kali Tan Hong menabas lengan orang, untuk herannya, pedangnya merosot di antara lengan itu.
Ia tidak tahu, lawannya mempunyai ilmu silat India yang dinamakan "djiekee", yang membuat tangannya jadi kuat dan licin.
Gusar Hek Moko karena serangan itu, hingga dia berteriak.
"Bocah, akan aku adu jiwaku dengan jiwamu!"
Terus saja dia lompat sambil menyerang dengan tongkatnya.
Dengan berani Tan Hong tangkis serangan itu, lalu ia membalas.
Hek Moko berlaku cerdik, ia berkelit sambil lompat jumpalitan, waktu ia menaruh kakinya di lantai, ia barengi dengan merubuhkan diri, kemudian menyusul itu - dengan kesebatannya - ia balas menyerang, ujung tongkatnya menyambar lawannya, yang ia sodok hebat sekali.
Untung bagi Tan Hong, ia telah berlaku waspada, celi matanya, lincah gerakannya maka itu ketika serangan sampai, ia sempat egoskan tubuhnya.
Tentu saja, ia pun tidak mau diam - habis berkelit, ia maju menyerang.
In Loei telah saksikan satu pertarungan yang dahsyat sekali.
Kedua belah pihak tidak mau menyerah satu pada lain, itulah yang hebat.
Sinar hijau dari tongkat kemala seperti bersaing dengan sinar putih dari pedang.
Kalau si Hantu Hitam nampaknya ganas, lawannya berlaku tenang, sekarang ini tidak lagi si orang she Thio bersenyum, sebaliknya, ia berlaku sungguh-sungguh.
Sebenarnya Hek Moko telah bersilat dengan ilmu tongkat "Thianmo thung" - "Tongkat Iblis,"
Ia andalkan ilmu tongkatnya itu, akan tetapi kali ini, ia kecele.
Sudah seratus jurus lebih ia layani Tan Hong, sama sekali ia tidak peroleh hasil, maka akhirnya, ia sedot hawa dingin.
Pek Moko, si Hantu Putih, telah saksikan pertempuran itu, ia lihat saudaranya berkecil hati, tetapi karena di antara mereka sudah ada janji, tidak bisa ia nyerbu ke dalam kalangan, untuk membantu saudara itu.
Maka ia Cuma bisa menonton saja.
Selagi pertempuran berjalan terus, tiba-tiba terdengar suara ayam berkokok dan burung-burung berkicau di luar kuburan.
Itulah tanda bahwa sang malam sudah lewat dan sang fajar telah datang menggantikan tugas alam.
Hek Moko menjadi tegang sendirinya karena ia tidak dapat peroleh hasil, saking penasaran, ia coba menyerang dengan terlebih dahsyat pula, hingga pertarungan menjadi lebih hebat.
Thio Tan Hong berlaku tenang, ia tidak biarkan dirinya dipengaruhi kekalapan orang.
Ia berlaku waspada, matanya awas, gerakannya sebat.
Ia menangkis dan berkelit dengan beraturan, ia membalas menyerang setiap ada ketikanya.
In Loei terus menonton dengan hati tertarik.
Sejak masih kecil ia telah belajar silat kepada Hoeithian Lionglie Yap Eng Eng, karena sekarang ia telah berusia tujuh belas tahun, tepat lamanya sepuluh tahun ia menuntut ilmunya itu.
Di samping itu, berkat didikan gurunya, ia juga kenal pelbagai ilmu silat pedang dari lain kaum, hingga ia bisa dianggap sudah ulung juga.
Hanya kali ini, heran ia atas ilmu pedangnya Thio Tan Hong.
Ia sudah mengawasi begitu lama, ia telah memperhatikannya dengan seksama, tapi tidak juga ia ketahui, dari golongan mana ilmu silat pedang itu.
Ia merasa ada persamaannya dengan ilmu pedangnya sendiri ia pun merasakan ada perbedaannya.
Ia merasa ia seperti pernah lihat ilmu silat itu akan tetapi tak pernah ia dengar gurunya menceritakannya.
Karenanya, ia jadi bersangsi, ia jadi heran.
"Ah, mesti ada hubungannya antara ilmu pedang itu dengan ilmu pedangku,"
Akhirnya In Loei ambil kesimpulan sesudah ia mengawasi pula sekian lama.
Karena ini, ia seperti tenggelam dalam pikirannya sendiri, hingga ia tidak perhatikan jalannya pertempuran.
Tiba-tiba saja ia ingat kata-kata gurunya pada malam sebelumnya ia turun gunung.
Hari itu, adalah malam Tiesek, satu malam sebelumnya tahun baru, di puncak bukit Siauwhan San di Soetjoan Utara, di dalam sebuah guha batu, dinyalakan dua belas batang lilin besar.
Dan lilin itu sama rupanya dengan lilin yang ia saksikan sekarang.
Ketika itu di antara cahaya lilin, yang mengitarinya, ada duduk seorang wanita dari usia pertengahan serta satu nona yang cantik sekali bagaikan bunga.
Mereka itu adalah Hoeithian Lionglie Yap Eng Eng dan murid satu-satunya yang dia sayangi, ialah In Loei.
Di dalam guha itu telah disediakan barang makanan, tetapi bukan untuk pesta menyambut tahun baru, hanya guna perjamuan perpisahan antara guru dan muridnya itu.
Pelajaran si nona dianggap sudah sampai pada batasnya dan sang guru menitahkan muridnya turun gunung, untuk mencari pengalaman.
In Loei terima titah itu, besoknya hendak ia meninggalkan rumah perguruan.
Dari gurunya itu, In Loei telah ketahui asal-usulnya, tentang sakit hati keluarganya.
Itu adalah sakit hati yang hebat sekali, bagaikan "laut yang berdarah."
Ia senantiasa memikirkannya, ia selalu memikir untuk melampiaskanya.
Untuk itu, ia mesti turun gunung.
Untuk itu, perlu ia sempurnakan dahulu ilmu silatnya.
Adalah di luar sangkaannya, sang guru menjamu ia malam itu dan ia diharuskan turun gunung besok paginya.
Kenapa guru itu tidak menyebutkannya, menerangkannya, sejak siang-siang? Kenapa demikian mendadak? Maka itu, selagi menerima titah, In Loei berpikir, pada wajahnya tampak roman heran.
Yap Eng Eng telah lihat tegas roman muridnya itu, ia diam saja, cawan demi cawan ia keringkan dan setelah menghabiskan yang ketiga, tiba-tiba ia menghela napas.
"Satu tahun akan dilewatkan dalam satu malam,"
Katanya, perlahan.
"Pada dua belas tahun yang lampau telah aku antarkan satu orang - bukan, hanya telah aku usir, - dan pada malam ini, kembali hendak aku mengantar kau pergi....."
In Loei berdiam.
Tak mengerti ia akan kata-kata gurunya itu, kata-kata yang ia anggap tidak keruan juntrungannya.
Ia melainkan awasi gurunya itu.
Habis mengucap, Hoeithian Lionglie menghela napas pula, terus ia tatap muridnya.
Dengan sekonyong-konyong, ia berkata kepada muridnya itu.
"Setelah kau turun gunung, kalau nanti kau tiba di Mongolia, apabila kau menemui seseorang, kau katakan padanya bahwa aku menyuruh dia pulang....."
"Siapakah orang itu, Soehoe?"
Tanya In Loei, setelah ia berdiam sekian lama. Ditanya muridnya, tiba-tiba Hoeithian Lionglie tertawa. Setelah itu, segera wajahnya menjadi merah.
"Itulah Samsoepee Tjhia Thian Hoa-mu,"
Katanya, dengan perlahan. (Samsoepee ialah paman guru lebih tua yang ketiga.) "Samsoepee Tjhia Thian Hoa?"
In Loei ulangi.
"Bukankah samsoepee telah pergi ke Mongolia, untuk menolongi aku membalas dendam kakekku, ialah guna membinasakan Thio Tjong Tjioe?"
"Benar!"
Sahut sang guru.
"Ketika dia pergi ke Mongolia, itu adalah kejadian pada sepuluh tahun yang lalu, akan tetapi waktu dia berpisah dari aku, itu ada pada malam seperti ini pada dua belas tahun yang lampau..... Ilmu silatnya sudah sempurna, diapun pendiam tetapi cerdas. Dia mengatakan dia hendak membalas sakit hati kakekmu, pasti dia telah mewujudkan maksud hatinya itu, malah untuk itu, tak usah dia tunggu sampai sepuluh tahun....."
"Kalau begitu, kenapa setelah pergi sepuluh tahun lamanya, dari dia tidak ada kabar ceritanya?"
Tanya In Loei. Sang guru menghela napas pula.
"Aku duga dia memang tidak berniat kembali,"
Sahutnya.
"Kenapa begitu, soehoe?"
Sang murid benar-benar tidak mengerti. Hoeithian Lionglie tidak menjawab, ia hanya menyimpang.
"Semua ilmu silat pedang dari pelbagai partai telah aku ketahui,"
Berkata guru ini.
"Partai banyak sekali jumlahnya. Melainkan satu macam ilmu pedang dari suatu partai, belum pernah aku melihatnya. Kau katakan, tidakkah ini aneh?"
In Loei berdiam, akan tetapi hatinya berpikir.
Memang jumlah partai ada sangat banyak, dari itu apa yang dibuat heran kalau ada ilmu silat suatu partai yang belum diketahui.
Akan tetapi, setelah ia dengar lebih jauh perkataan gurunya, ia menjadi heran sekali, hingga ia terkejut.
Dengan sungguh-sungguh, guru itu menambahkan.
"Itu adalah ilmu silat pedang dari kaum kita sendiri....."
Karena herannya, In Loei jadi melongo.
Ketika itu, api lilin di dalam ruangan tengah memain, dalam keadaan seperti itu, teringat In Loei pada gurunya, pada kata-kata gurunya itu.
Ia seperti nampak pula wajah menyesal dari gurunya.
Ketika itu, ia telah minta penjelasan pada gurunya.
Dan gurunya itu menjawab.
"Kau tidak tahu, pelajaranmu sekarang ini memang ada dari partai kita, akan tetapi sebenarnya, apa yang kau dapatkan baharu saja sebagian, separuhnya."
"Bagaimana, soehoe?"
In Loei ingat ia telah menanya gurunya, karena benar-benar ia sangat tidak mengerti.
Bukankah aneh yang ia baharu dapat kepandaian separuhnya saja? Hoeithian Lionglie telah memberikan keterangan terlebih jauh kepada muridnya itu.
Duduknya hal adalah disebabkan tabeat dari Hian Kee Itsoe, yaitu tjouwsoe atau kakek guru In Loei.
Kakek guru ini di antaranya mempunyai dua macam ilmu pedang "Banlioe Tiauwhay Goangoan Kiamhoat"
Atau ringkasnya "Goangoan Kiamhoat,"
Dan "Pekpian Imyang Hian Kee Kiamhoat."
Dan kedua ilmu pedang itu diturunkan masing-masing kepada guru dan paman guru yang ketiga dari In Loei.
Namanya saja mereka telah mewariskan penuh, sebenarnya baharu separuh kakek guru itu memberi penjelasan bahwa dengan susah payah ia telah meyakinkan kedua ilmu pedang itu, yang tidak dapat berbareng diwariskan kedua-duanya kepada satu murid saja.
Menurut kakek itu, bila kedua ilmu pedang dipadu satu dengan lain, maka Goangoan Kiamhoat dapat diumpamakan sebagai "naga tidur"
Dan Hian Kee Kiamhoat bagaikan "burung hong."
Dua Musuh Turunan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Katanya, kalau kedua ilmu pedang diyakinkan oleh satu orang akibatnya adalah ancaman marah bahaya.
Maka itu kedua muridnya dilarang saling mengajarkan satu kepada lain.
Selagi pikiran In Loei melayang kepada hal kedua ilmu pedang itu, tiba-tiba ia dengar Thio Tan Hong tertawa bekakakan, yang mana disusul dengan seruannya Pek Moko.
Ia terkejut, segera ia awasi kedua orang yang tengah bertempur itu.
Nyata tertawa dan seruan itu disebabkan mereka menghadapi saat yang berbahaya.
Pek Moko telah menyerang secara dahsyat, tongkatnya menyambar melintang, tapi serangan itu tak memberi hasil, sebaliknya, ia kena ditikam pada iganya oleh Thio Tan Hong.
Maka Tan Hong tertawa dan ia berseru.
Karena ini, tidak berani Pek Moko berlaku sembarangan lagi.
Mengawasi gerak-geriknya Thio Tan Hong, tiba-tiba In Loei sadar.
"Bukankah ilmu pedang Tan Hong ini ada ilmu pedang yang guruku belum pernah lihat dan pelajarkan? Mungkinkah selama di Mongolia, samsoepee telah mendapatkan satu murid? Inilah kepandaian yang tak nanti bisa didapatkan kecuali dengan meyakinkan belasan tahun. Samsoepee bertujuan mewakilkan kakekku membalas dendam, tidak mungkin begitu ia tiba di Mongolia lantas ia terima murid....."
Lantas In Loei ingat juga surat dari paman gurunya yang kesatu, yaitu Toasoepee Tang Gak, surat yang di kirim kepada Kimtoo Tjeetjoe Tjioe Kian. Maka berpikirlah ia terlebih jauh.
"Kabarnya samsoepee telah ditawan musuh dan telah dipenjarakan di dalam istana bangsa Tartar, maka itu mana bisa jadi dalam tempo yang pendek ia telah menerima murid dalam istana Mongol itu? Dan umpama kata benar ia terima murid, pastilah bukan bangsa Han yang ia terima. Sebenarnya, bagaimanakah duduknya hal?"
Maka ia menjadi sangat bingung.
"Guruku sangat puji kepandaian samsoepee dan katanya samsoepee bertabeat sangat keras, apa yang dia katakan mesti dia jalankan, maka itu setelah ia berjanji akan mencari balas untuk kakekku, pastilah sakit hati itu sudah terbalaskan, malah tentu telah dijalankan sebelum sampai sepuluh tahun....."
In Loei berpikir demikian, ia tidak tahu, sampai pada saat itu, Thio Tjong Tjioe masih ada di Mongolia, musuh itu masih hidup dan berkuasa besar, sedang samsoepee-nya, paman guru yang ketiga itu, entah bagaimana nasibnya.
Di kepala In Loei segera terbayang keadaan pada malam perpisahan itu.
Ia bayangkan gurunya minum puas-puasan, dengan memakai cawan yang besar pula, sampai tanpa merasa, guru itu sinting.
Adalah pada waktu itu, sang guru telah menggulung tangan bajunya hingga pada lengannya tampak tapak luka bekas guratan pedang, yang merupakan setangkai bunga merah.
Dengan sedih, guru itu berkata pada muridnya.
"Anak Loei, satu manusia tak dapat dia umbar adatnya. Siapa yang umbar adatnya, satu kali dia berbuat salah, dia akan menyesal sesudah kasip. Pada dua belas tahun yang lampau, aku telah mengusir samsoepee-mu, setelah itu setiap malam Tiesek, aku jadi menyesal dan berduka sekali, sakit hatiku bagaikan disayat-sayat, sampai tak dapat aku bertahan, aku hunus pedang Tjengbeng kiam dan mengguratnya di lenganku ini. Hahaha! Nyata itu adalah obat yang mujarab sekali! Begitu aku merasa kesakitan, begitu juga kedukaanku menjadi berkurang, lalu aku gurat-gurat menjadi rangkaian bunga ini..... Kau lihat! Tidakkah bunga merah ini, bunga darah, ada indah?"
Ketika itu In Loei coba menghitung guratan bunga itu, benar jumlahnya ada dua belas, tanpa merasa, ia bergidik. Selagi ia tercengang, ia dengar gurunya melanjutkan kata-katanya.
"Sudah sepuluh tahun kau ikuti aku, untuk belajar silat, selama itu, belum pernah kau dengar aku tuturkan kau lelakon ini. Kau tahu, pada tiga belas tahun yang lampau, aku mirip dengan kau - aku adalah satu nona yang bergembira, malah aku ada terlebih bebas, hingga dengan merdeka dapat aku turuti adatku. Umpama ada sesuatu yang aku tidak ketahui, mesti aku gunakan segala daya untuk mencari tahu. Soehoe melarang kita saling mengajari ilmu kepandaian, sampai di waktu berlatih, kita dipisahkan, tetapi semakin keras larangan guru, semakin keras juga niatku untuk mengetahui keanehan itu. Thian Hoa dan aku ada bagaikan saudara kandung, maka dapatlah kau mengerti adanya persahabatan kita. Kakek gurumu mempunyai lima murid, kecuali ayahmu, In Teng, yang keluar dari perguruan sebelum tamat dan pergi ke Mongolia, kita berempat telah mendapatkan masing-masing satu macam ilmu kepandaian. Maka itu, sekeluarnya kita dari rumah perguruan, kita seolah-olah mempunyai satu partai tersendiri. Sudah kukatakan, pergaulanku dengan Thian Hoa adalah yang paling rapat, maka selama beberapa hari telah aku desak ia, supaya ia perlihatkan ilmu kepandaiannya itu, tapi ia selalu menampik. Sebetulnya tidak ada niatku akan pelajari kepandaiannya itu, aku melainkan ingin melihatnya, guna menambah pengetahuan. Biasanya Thian Hoa selalu menuruti kehendakku, tapi bila kita bicara tentang ilmu kepandaian, lantas ia bungkam. Pernah pada malaman tahun baru ia dating padaku di gunungku ini, Siauwhan san, selagi pasang omong, aku kembali minta ia mempertunjukkan ilmu silatnya itu, aku malah mendesak. Atas desakan itu, ia tetap pada sikapnya seperti dahulu, ia cuma tertawa, tak mau ia menjawabnya. Aku menjadi tidak senang, hingga aku tegur padanya. Aku katakan padanya.
"Kau mengatakan bahwa kau sangat sayangi aku, nyata semua itu palsu belaka!"
Ditegur begitu, pucat mukanya, beberapa kali bibirnya bergerak, tetapi akhirnya, tetap ia membungkam.
Dalam sengitku, aku cabut pedangku, aku tikam dia pada dadanya.
Adalah maksudku mengancam dia, supaya dia menangkis dengan ilmu silatnya yang aku ingin lihat itu, tapi dugaanku meleset.
Dia nyata tidak menangkis, dan tidak berkelit juga.
Maka pedang, yang tak sempat aku tarik kembali, sudah mengenai lengannya, hingga darahnya menetes jatuh ke salju yang putih meletak, hingga salju itu jadi bercacat dengan titik-titik merah, mirip dengan permata mulus bertotolkan merah sebesar kacang kedele.
Aku melengak.
Selagi aku berdiam, tiba-tiba dia tutup mukanya, dan menjerit satu kali, habis itu, tanpa pedulikan lukanya, dia lari turun gunung.
Beberapa hari sejak itu, kakek gurumu datang padaku, dia umbar hawa amarahnya terhadapku, hampir saja dia hajar mati padaku, sukur toasoeheng, yaitu toasoepee mu, yang datang bersama, dapat mencegah dan membujuk padanya, dengan begitu baharulah aku bebas dari kematian.
Meski begitu, aku telah dihukum bathin, yaitu selama lima belas tahun, aku dimestikan bertapa menghadapi tembok, selama lima belas tahun itu, aku dilarang turun gunung, tak boleh sekalipun dengan mencuri berlalu.
Selama lima belas tahun itu, aku diperintahkan melakukan dua hal.
Kesatu aku dimestikan mempelajari dua rupa ilmu silat yang paling sulit untuk diyakinkan.
Kedua aku dimestikan mendidik satu murid yang mesti pandai ilmu silat pedang Pekpian Imyang Hian Kee Kiamhoat.
Untuk mendapatkan murid itu, soehoe titahkan orang- orang kaum kita tolong mencarikannya.
Padaku diberitahukan, apabila aku telah selesai melakukan dua hal itu, muridku akan diberikan pedang Tjengbeng kiam.
Sekarang sudah dua belas tahun, belum dapat aku selesaikan dua rupa iimu silat itu.
Adalah murid yang mengerti ilmu pedang Hian Kee Kiamhoat telah aku berhasil mendidiknya....."
Adalah setelah mendengar keterangan itu, In Loei baharu mengerti kenapa Hoeithian Lionglie Yap Eng Eng, gurunya itu, telah mengambil ia sebagai muridnya. Waktu itu, gurunya masih menerangkan lebih jauh.
"Kau tahu, pergaulanku dengan Toasoeheng Tang Gak juga ada baik sekali. Tiga tahun setelah perkaraku itu, pada suatu waktu atas titahnya kakek gurumu, dia pergi ke perbatasan Mongolia dan Thibet untuk suatu tugas. Belum lama sekembalinya dia dari Thibet, kembali dia lakukan perjalanannya yang kedua kali. Kali ini, sebelumnya dia berangkat, dia ambil tempo untuk sambangi aku. Dia nasehati aku untuk bersabar, akan meyakinkan ilmu silat di atas Siauwhan san. Dia kata, mungkin karena kesabaranku, aku peroleh keberuntungan. Dia tanya aku.
"Tahukah kau kenapa soehoe melarang demikian keras kau dan soetee Thian Hoa saling menukar kepandaian? Tahukah kau kenapa soehoe jadi demikian gusar?"
Atas itu, aku jawab.
"Mana aku tahu? Apa yang aku ketahui, adalah kebiasaan soehoe yang ia suka melakukan sesuatu yang berada di luar sangkaan. Hanya pernah satu kali aku dengar soehoe berkata, kedua ilmu silat pedang itu ada bagaikan "naga tidur"
Dan "burung hong,"
Bahwa naga dan burung hong tak dapat berada bersama-sama pada satu majikan, bahwa bila berada bersama mereka berdua dapat mendatangkan bencana. Rupa-rupanya itu adalah suatu ramalan dari soehoe, kata-kata itu aku tidak mengerti."
Mendengar keteranganku, toasoeheng tertawa. Dia tanya aku.
"Tahukah kau bahwa pada dua puluh tahun yang lalu, soehoe pernah berebut kedudukan kepala Rimba Persilatan dengan satu hantu? Bahwa karena itu, soehoe dan hantu itu sudah bertempur di puncak gunung Ngobie san selama tiga hari dan tiga malam tanpa ada keputusan siapa menang dan siapa kalah?"
Aku jawab.
"Aku tahu."
Memang aku ketahui tentang pertempuran soehoe itu. Toasoeheng lantas menjelaskan pula.
"Hantu itu adalah seorang she rangkap Siangkoan, namanya Thian Va. Dia adalah satu begal besar dari Rimba Hijau. Setelah pertempuran itu, Siangkoan Thian Ya lantas menghilang, orang tak tahu di mana dia sembunyikan diri. Sejak itu, selama dua puluh tahun, soehoe tak pernah berhati tenang mengenai hantu itu. Begitulah aku pergi ke perbatasan Mongolia dan Thibet atas titah soehoe, tugasku itu tak lain tak bukan untuk mencari tahu tentang Siangkoan Thian Ya."
Kataku setelah aku dengar, penjelasan toasoeheng itu.
"Hantu itu demikian liehay, setelah kau pergi selidiki dia, umpama kata dia pergoki kau, bagaimana nanti jadinya?"
Kembali toasoeheng tertawa. Dia jawab.
"Hantu itu sederajat dengan soehoe, dia juga sangat jumawa, maka itu, andaikata benar dia ketahui sepak terjangku, aku percaya tidak nanti dia sudi melayani aku, orang dari golongan muda."
Keterangan ini membuat hatiku tetap.
Sampai ketika itu, masih belum jelas, bagiku apa hubungannya urusan soehoe itu dengan si hantu dengan soal larangan kita saling menukar kepandaian, maka karena ingin mengetahui, aku Tanya toasoeheng.
Toasoeheng tertawa, lalu dia menjawab.
"Menurut sangkaanku, mungkin soehoe menghendaki kau dan soetee Thian Hoa nanti pergi menghadapi hantu itu, supaya si hantu kena dikalahkan kamu berdua, supaya kekalahannya itu diketahui oleh orang- orang gagah dari seluruh negara. Rupanya soehoe hendak perlihatkan, tidak usah soehoe turun tangan sendiri, cukup dengan muridmuridnya saja yang mempunyai kepandaian liehay."
Terperanjat aku dengan keterangan itu.
"Bagaimana itu bisa terjadi, toasoeheng?"
Aku kata.
"Kalau kepandaian kita dipadu dengan kepandaian soehoe, itu adalah seumpama terangnya kunang-kunang dengan sinarnya matahari atau rembulan! Mana dapat kita dibandingkan dengan soehoe? Soehoe sendiri tidak sanggup mengalahkan hantu itu, sekarang kita yang dititahkan mewakilkan soehoe, apa itu tak sama saja dengan mengantarkan jiwa? Ah, toasoeheng, tidakkah kau tengah bergurau?"
Toasoeheng tertawa berkakakkan. Ia kata.
"Jikalau soehoe tidak punya kepercayaan, mustahil dia nanti biarkan kamu pergi untuk mengantarkan jiwa secara cuma-cuma? Kau cerdik sekali, akan tetapi kau tak nanti ketahui maksud soehoe1."
Waktu itu aku benar-benar tidak mengerti. Toasoeheng rupanya dapat melihatnya, maka toasoeheng berkata pula.
"Goangoan Kiamhoat itu, bersamasama Hian Kee Kiamhoat, adalah ilmu silat yang soehoe ciptakan dan yakinkan dengan susah payah sesudah ia perhatikan ilmu silat pelbagai partai lainnya, yang semuanya ia gabung menjadi satu. Dari kedua ilmu silat itu, bila satu saja orang dapat menguasainya, dia sudah menjagoi dalam dunia kangouw, apalagi kalau orang pandai dua-duanya, maka tak akan ada tandingannya di kolong langit ini. Apa yang luar biasa dari kedua ilmu pedang itu, bertentangan nampaknya, sebenarnya ada bersatu. Dua orang tak usah melatih diri lagi, bila menggunakan dengan berbareng, asal menggunakannya dengan cocok dan tepat. Maka aku percaya, inilah sebabnya mengapa soehoe melarang kamu berdua saling menukarnya. Soehoe tentunya kuatir, bila kamu sudah saling mengetahui, pemusatan pikiranmu bisa terpecah. Tidakkah kemampuan sesuatu orang ada batasnya masing-masing? Kedua ilmu silat itu sangat sulit, untuk mempelajari yang satu saja, orang harus memusatkan seluruh pikirannya, atau orang akan gagal. Orang pun membutuhkan tempo lebih daripada sepuluh tahun. Dari itu, bila mempelajari kedua-duanya dengan berbareng, kesukaran tentu sampai di puncaknya. Lagi pula harus diingat, kedua ilmu pedang itu diperuntukkan dua orang, maka itu, tak usah orang mendapatkan dua-duanya. Masih ada satu soal lain. Siangkoan Thian Va itu sangat liehay, pasti sekali soehoe kuatir dia mengetahui lebih dahulu yang soehoe telah meyakinkan suatu ilmu kepandaian untuk mengalahkan dia."
Baharu sekarang dapat aku menginsafinya.
Terang sudah, soehoe kuatirkan kita yang masih berusia muda, menuruti nafsu hati kita yang muda itu.
Umpama kalau kita tahu kita bisa menjagoi, mungkin kita dapat menerbitkan onar.
Atau nanti rahasia bocor dan Siangkoan Thian Ya mengetahuinya, hingga dia dapat bersiap- siap untuk membuat perlawanan.
Sampai di situ, aku tidak menanyakan terlebih jauh lagi.
"Pada esok harinya, toasoeheng lantas berangkat jauh keperbatasan Mongolia dan Thibet itu. Lalu selang dua tahun lagi, Thian Hoa juga pergi ke Mongolia. Aku tahu sekarang, kedua ilmu pedang itu dapat dipakai bersamasama, akan tetapi belum pernah aku mencobanya. Malah pedang dari Thian Hoa itu, satu jurus pun aku tak mengerti."
Kaki Tiga Menjangan -- Chin Yung Peristiwa Merah Salju -- Gu Long Seruling Samber Nyawa Karya Chin Yung