Dua Musuh Turunan 9
Dua Musuh Turunan Karya Liang Ie Shen Bagian 9
Dua Musuh Turunan Karya dari Liang Ie Shen
"Tunggu dulu!"
Kembali Hong Hoe mencegah. In Loei menoleh, ia menjadi tidak sabaran.
"Ada apa lagi?"
Tanyanya.
"Sekarang ini Tjinsamkay Pit To Hoan ada di mana?"
Hong Hoe tanya. Kaget In Loei.
"Apakah ia telah ketahui sepak terjangnya Pit Looenghiong?"
Ia menduga-duga. Karena kesangsiannya, ia tidak segera memberi penyahutan. Hong Hoe awasi kelakuan orang, ia tertawa.
"Kau tidak hendak menerangkannya, tidak apa,"
Katanya.
"Sekarang aku hendak mohon perantaraanmu untuk menyampaikan kepadanya, bahwa dia adalah beda daripada Kimtoo Tjeetjoe, karena itu, sebab aku telah terima titah untuk membekuk dia, andaikata dia kena tertawan, tidak dapat aku ambil sikap perseorangan dan merdekakan dia. Dia ada seorang gagah, aku hargai padanya, aku minta sukalah dia pergi jauh, supaya tak usah dia bertemu muka dengan aku. Cukup sudah, untuk sahabat baik, cuma sampai di sini saja dapat aku bertindak. Kau pergilah!"
In Loei lantas berlalu.
Tak habisnya ia memikirkan sikap luar biasa dari Thio Hong Hoe.
Itulah sikap di luar dugaannya.
Memikir terlebih jauh, ia sayangi orang she Thio itu, yang demikian kosen dan cerdik tapi telah sediakan tenaganya untuk satu kaisar Beng.
Itulah tujuan hidup yang tidak ada harganya di matanya.
Karena ini juga, ia menjadi ingat engkong-nya, yang disebabkan kesetiaannya sebagai utusan kerajaan Beng, sudah mesti bersengsara puluhan tahun di negara asing, akan akhirnya menghembus napas secara kecewa.
"Itulah kesetiaan tolol!"
Kata si nona perlahan.
"Entah berapa banyak penyinta negara yang dikurbankan kesetiaan keliru ini....."
Masih muda nona ini, tak memikir ia soal yang demikian berat yang telah berabad- abad usianya.
Ada sangat sulit untuk membedakan kesetiaan terhadap negara dengan kesetiaan terhadap raja.
Di jaman feodal siapa tidak sangat cerdas dan tabah, tak dapat dia membedakannya.
Tapi ia telah kenal Tan Hong sekian lama, tanpa merasa, ia kena juga terpengaruh anak muda itu, ia dapat juga menganggap rendah sikap engkong-nya yang bersetia secara membuta kepada kaisar Beng.
Walaupun hatinya tidak tenteram, In Loei tidak pernah hentikan tindakannya, tidak ia berlambat sejenak jua.
Sebentar saja sudah ia berlalu dari hotel.
Sampai di seberang, ia lompat naik ke atas genteng dari rumah di sebelah depan.
Ia awasi bintang-bintang, ia menerka sudah jam empat.
Ia tidak lihat Pit To Hoan, sekalipun ia ketahui, jago tua itu bertugas memasang mata terhadapnya.
Ia lantas menepuk tangan tiga kali, perlahan tetapi terang.
Ia percaya To Hoan akan mendengarnya kalau kawan itu masih menantikan padanya, karena sangat terang pendengarannya.
Akan tetapi, ia tidak peroleh jawaban tidak ada orang yang muncul.
Sia-sia ia menantikan sekian lama.
Akhirnya, ia menyedot napas dingin.
"Ah ke mana perginya. Pit Looenghiong?"
Ia kata dalam hatinya.
"Dia seorang kangouw yang ulung, tidak nanti orang tipu padanya. Apakah dia telah lihat San Bin? Kalau begitu, mestinya dia tunggu atau cari aku, untuk bekerja sama..... Tak seharusnya dia pergi seorang diri dengan diam- diam..... Ke mana dia pergi?"
Si nona mengawasi pula ke sekelilingnya, kembali ia menyedot napas dingin.
Karena penasaran, ia lantas mencari di sekitar tempat itu sejauh satu lie persegi.
Dua kali ia ulangi untuk mencari, matanya dibuka lebar-lebar, kupingnya dipasang.
Sia-sia saja, tetap ia tak tampak bayangan si orang tua.
"Ah, apakah Hong Hoe telah lihat dia dan telah menjebaknya sehingga kena ditawan?"
Nona ini mau menduga.
"Tidak, itulah tak mungkin! Sebegitu jauh Hong Hoe tetap berada di dalam kamarnya! Kecuali Hong Hoe, tidak ada satu pahlawan lainnya yang sanggup layani Pit Looenghiong1. Sekalipun Hong Hoe sendiri, sebelum lewat lima ratus jurus, tidak nanti ia dapat peroleh kemenangan atasnya! Kenapa dia tak nampak bayangannya? Mustahil dia benar-benar kena tertawan musuh? Apakah ada lain orang gagah, yang telah rubuhkan padanya - merubuhkannya secara curang? Tak bisa jadi Pit Looenghiong dapat dirubuhkan tanpa suara apa-apa....."
Tegang hatinya nona ini, ia berkuatir.
Terpaksa ia lari ke pintu kota utara.
Dengan cepat ia telah sampai di luar kota, di tempat yang Hong Hoe sebutkan.
Di sana katanya Hoan Tiong dan San Bin menantikan ia.
Ia lantas pergi ke tempat yang tinggi, ia tepuk kedua tangannya selaku tanda.
Dengan mata dibuka lebar, ia tampak jagat yang tertaburkan bintang-bintang dan cahayanya si Puteri Malam.
Malam yang tenang, kecuali suara kutu-kutu.
Suasana sunyi senyap.
Di sana tak ada Hoan Tiong dan San Bin.....
Sekian lama In Loei menanti, akhirnya ia jadi kuatir berbareng mendongkol.
"Apakah Thio Hong Hoe sedang mainkan akal muslihatnya?"
Ia jadi curigai pahlawan Kimie wie itu. Kenapa aku gampang mempercayai dia? Mungkinkah dia tidak memerdekakan Tjioe Toako? Tapi, untuk apa dia dustai dan memperdayai aku?"
Dalam keragu-raguannya yang sangat, akhirnya In Loei lari kembali ke dalam kota.
Dengan cepat ia tiba di muka hotel.
Ia lihat pintu besar cuma dirapatkan.
Ia heran.
Dengan berani ia menolak pintu dan bertindak masuk.
Di dalam pekarangan ada belasan ekor kuda, tapi kuda-kuda itu berdiri diam bagaikan manusia, kedua kaki depannya masing-masing terangkat naik.
Kuda itu tidak bergerak, tidak berbunyi, sekalipun mereka didupaki.
Maka itu, di bawah sinar rembulan, mereka tampaknya menyeramkan.
Sejenak In Loei berdiam, segera ia ingat kepandaiannya Hek Pek Moko untuk menakluki kuda.
Ia menjadi terperanjat.
Ingat ia kepada dua iblis istimewa itu.
Kedua mereka itu, jikalau orang tidak ganggu padanya, tidak akan mereka ganggu orang lain.
Benar di Tjengliong kiap mereka telah bantui ia secara diam-diam, tetapi itu adalah bantuan sambil lalu, mereka itu tidak tempur terang-terangan tentara negeri.
Sekarang, kenapa malam-malam mereka datang kemari dan mempermainkan belasan kuda itu? Itu tandanya merekapun mempermainkan tentara negeri!.....
"Jikalau benar Hek Pek Moko yang datang kemari, urusan pasti mesti ada ekornya,"
In Loei menduga kemudian.
Karena ini ia lompat naik ke atas rumah, ia pasang kupingnya.
Dalam hotel itu, berikut tentara negeri, penumpangnya berjumlah kira-kira tujuh puluh orang, tetapi waktu itu, tak terdengar satupun juga suara dari mereka, suasana sangat sunyi, sampaipun suara dekur tidak terdengar, hingga kesunyian mirip seperti pekuburan.....
Dengan hati-hati, In Loei lompat masuk ke tjimtjhe dalam.
Adalah niatnya untuk cari si jongos.
Ia tampak pintu besar terbuka terpentang.
Dan ia dapatkan, jongos yang pernah jadi penunjuk jalannya, pengantarnya, sedang tidur nyenyak bagaikan mayat.
Ia tolak tubuh jongos itu, masih dia itu tak sadar dari tidurnya.
Ia taruh tangannya di depan hidung orang, ia merasai hembusan napas.
Ia mencoba menguruti jalan darahnya, akan tetapi nampaknya jongos itu bukan bekas kena totokan tiamhiat hoat.
Heran dan penasaran, In Loei memeriksa terlebih jauh.
ia jadi semakin heran.
Beberapa jongos lainnya, jongos dari lain-lain kamar, rebah diam seperti jongos itu.
Malah kuasa hotel, yang ia tahu mengerti ilmu silat, tidak menjadi kecuali, rebah seperti semua jongos itu.....
"Aku dengar dalam dunia kangouw ada satu penjahat tukang petik bunga yang ada punya asap lupa istimewa,"
Pikir si nona.
"siapa terkena asap itu, dia akan tak sadarkan diri sebagai orang telah mati. Mungkinkah mereka ini telah terkena macam obat tidur itu?"
Segera In Loei cari air, dengan itu ia sembur mukanya si kuasa hotel.
Cuma kedua lengannya si kuasa bergerak sedikit tapi dia tetap tak sadar.
Dia nampaknya bukan terkena obat tidur.
Walaupun ia bernyali besar menghadapi kejadian itu, si nona bingung juga.
Di akhirnya, ia lari keluar, akan periksa lain-lain kamar.
Semua pintu kamar terpentang lebar, semua penghuninya, rombongan serdadu, pada tidur nyenyak sekali.
Begitu juga serdadu yang rebah menggelar di ruangan tengah.
Malah ada yang tidur dengan kaki tangan terpentang merupakan huruf "tay" - "besar."
Ada juga mereka yang nyender ngelehek di tembok, kepalanya tunduk, pundaknya turun.
Yang paling lucu ialah mereka yang mulutnya mengangah.....
Seorang diri, In Loei bermandikan keringat dingin.
Ia coba berteriak.
Tidak ada jawaban manusia hanya suara kumandang.
Ia merasa sangat tegang.
Di situ, ia jadi seperti berada seorang diri saja, ia bagaikan hidup sendirian.....
Dengan perlahan-lahan In Loei tenangkan dirinya.
Ia mengingat-ingatkan akan Thio Hong Hoe yang liehay, juga si perwira muda yang tidak dapat dipandang enteng.
Dua orang itu kosen, melayani mereka, belum tentu Hek Moko dapat dengan mudah menang di atas angin.
Maka aneh sekali kenapa terjadi demikian rupa terhadap seluruh hotel? Dengan penasaran In Loei lari ke belakang.
Di sana ia lihat enam buah kereta kerangkeng.
Sekarang semua kerangkeng itu telah terbongkar, jeruji besinya memberi tanda bekas dikutungi senjata tajam.
Kosong semua kereta itu, tak ada perantaiannya.
In Loei jadi semakin heran.
Senjatanya Hek Moko bukan senjata mustika.
Siapakah yang telah melakukan semua ini? Benarkah Hong Hoe ramai kena dikelecei secara demikian gampang? Dengan perasaan heran In Loei lari ke kamarnya Hong Hoe.
Kalau semua kamar lainnya pintunya terpentang lebar, adalah kamarnya komandan Kimie wie ini, tertutup rapat.
Untuk membuka kamar itu, In Loei mendupak dengan kakinya.
Begitu lekas daun pintu menjeblak, kamar itu terlihat kosong - Thio Hong Hoe tak nampak dalam kamarnya itu! Memandang ke sekitar kamar, tembok tertampak lukisan dari dua buah tengkorak manusia, yang dilukis dengan arang.
Itulah tandanya Hek Pek Moko! Adakah Thio Hong Hoe tercelaka oleh kedua iblis dari Barat itu? Tetapi tidak ada tanda darah di lantai kamar.
Hong Hoe liehay, umpama ia kalah terkepung Hek Pek Moko, itu baharu akan terjadi sesudah satu pertempuran yang seru.
Sekarang ini keadaan kamar tak berubah sedikit jua, kursi tidak terbalik, meja tak terjungkal.
Tidakkah itu aneh? Masih In Loei memandang seluruh kamar, hingga ia tampak, di tembok berhadapan dengan gambar kedua buah tengkorak itu, ada bertuliskan sesuatu yang lain.
Yaitu yang satu adalah sebaris huruf, dan yang lain, yang di tengah, ada lukisan seekor kera bertangan panjang, mukanya bengis sekali.
Di kiri ini ada lukisan sebatang pedang panjang,yang ujungnya tertusukkan sekuntum bunga merah, didampingi dikedua sampingnya dengan bunga putih.
Sebaris huruf itu yang besar- besar, berbunyi.
"Tiatpie Kimwan Hoasam Kiam hendak memapas kepalanya Hek Pek Moko! Siapa yang berlaku curang, dia bukannya satu enghiong! Siapa bernyali besar, silahkan datang keselat Tjeng Liong Kiap."
Dua Musuh Turunan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
In Loei ulangi itu tujuh huruf "Tiatpie Kimwan Hoasam Kiam,"
Atau Hoa Sam Kiam si Kera Berlengan Besi.
Ia lantas ingat penuturan gurunya tentang orang-orang liehay dari Rimba Persilatan jamannya itu.
Ketua partai Thiamtjhong Pay, yang bernama Leng Siauw Tjoe mempunyai dua murid terpandai, ialah Tiatpie Kimwan Liong Tin Hong dan Hoasam Kiam Hian Leng Tjoe.
Kedua murid ini mempunyai masing-masing kepandaiannya yang istimewa, tadinya hidup mereka ada di antara kalangan benar dan sesat, akan tetapi sudah belasan tahun lamanya mereka berdiam "bertapa"
Di atas gunung Thiamtjong San, untuk melatih lebih jauh kepandaian mereka, hingga mereka tak tampak pula dalam dunia kangouw.
Maka adalah aneh, kenapa mereka berdua menantang Hek Pek Moko? Ada perselisihan apakah di antara kedua pihak itu? Memikirkan terlebih jauh, In Loei mau menduga, Hek Pek Moko adalah yang sampai terlebih dahulu di rumah penginapan itu, kemudian baharulah muncul Tiatpie Kimwan dan Hoasam Kiam.....
In Loei menjadi terlebih bingung lagi.
Kejadian yang satu disusul kejadian yang lain.
Yang satu aneh, yang lain terlebih aneh pula.
Tak tahu ia apa yang harus dilakukan.
Maka ia tinggalkan kamar dan pergi keluar, akan melihat-lihat.
Ia seperti merondai hotel itu, sampai setibanya ia di belakang, di pintu samping, ia tampak pula satu hal aneh lainnya.
Di situ terlihat si perwira muda, goloknya melintang di depan dada, kaki depannya terangkat naik, seperti tengah membuka tindakan lebar.
Dia seperti terkena Tengsin hoat, ilmu "Mendiamkan tubuh", kedua matanya dipentang lebar.
Dari tenggorokannya terdengar suara gerogokan.
Inilah pemandangan mirip dengan yang In Loei tampak di rumah Tjio Eng, ketika Thio Tan Hong totok ke empat saudagar barang permata.
"Apakah dia pun datang kemari?"
In Loei tanya dirinya sendiri.
Ia ingat pada Tan Hong, si mahasiswa berkuda putih.
Hatinya jadi berdenyut.
Ia berdiri menjublak.
Perwira itu tak dapat berkutik, kaki tangan dan tubuhnya juga, akan tetapi kedua matanya bisa ditujukan kepada si nona.
Oleh karena ia ingat ilmu totoknya Tan Hong, yang ia mengerti cara membebaskannya, dengan berani In Loei hampiri si anak muda, dengan lantas ia tekan kedua jalan darahnya , ialah "thiansoan" - "teeekie."
Sekejap saja perwira itu berseru, menyusul mana, kaki dan tangannya dapat bergerak juga.
Tapi, yang hebat, adalah ketika dengan mendadak goloknya menyambar membacok kepada In Loei! Tidak terkira kagetnya si nona, syukur ia tidak gugup, di saat bahaya maut mengancam dirinya itu, dengan kesebetannya ia dapat berkelit.
Iapun segera hunus pedangnya, untuk menjaga diri.
Perwira muda itu menjadi gusar.
"Hai, binatang! Kiranya kau berkomplot dengan si penghianat!"
Demikian dampratnya. In Loei menjadi mendongkol.
"Kenapa kau balas kebaikan dengan kejahatan?"
Ia tegur.
"Sebab tangan jahat dari si penghianat adalah justeru kau yang mengerti ilmu membebaskannya!"
Bentak pula si anak muda.
"Jikalau kau dan dia bukannya asal satu guru, kamu tentulah bersahabat kekal satu pada lain, karenanya kau diajari ilmu membebaskan totokan itu! Apakah kau masih hendak berlaku licik dan menyangkalnya?"
In Loei menjadi gusar, hingga ia maju menyerang, beruntun tiga kali.
"Kau kurang ajar!"
Ia membentak.
"Jikalau aku kandung maksud jahat, mustahil aku membebaskan kau?"
"Kalau bukan sahahat, ada hubungan apa di antara kau dan dia?"
Membandel perwira muda itu.
"Lekas kau bicara!"
In Loei tetap murka.
"Kau siapa? Pernah apa aku terhadapmu hingga aku mesti turut kata-katamu?"
Ia bentak pula. Anak muda itu tetap gusar, malah ia balas membacok, dua kali.
"Kau tahu siapa yang telah membokong aku?"
Katanya sengit.
"Dia adalah puteranya Thio Tjong Tjioe si perdana menteri muda dari negara Watzu! Aku lihat kau seorang gagah perkasa, maka itu, setelah kau ketahui siapa dia itu, kau mesti bantu aku menuntut balas!"
Mendengar itu, di dalam hatinya, In Loei kata.
"Sejak siang-siang telah aku ketahui puteranya Thio Tjong Tjioe itu. Untuk apa aku tunggu sampai kau memberitahukannya?....."
Akan tetapi ia merasa aneh, ingin ia mendapat tahu.
"Ada permusuhan apa di antara kau dan dia?"
Ia tanya.
"Panjang untuk menuturkan soal itu,"
Jawab si anak muda.
"Aku dan dia bukan cuma bermusuh, aku malah hendak basmi semua anggauta keluarganya, tak peduli tua dan muda! Dia adalah puteranya Thio Tjong Tjioe si penghianat benar! Dia menyelusup masuk ke Tionggoan, pastilah dia kandung maksud tidak baik! Karena itu, sebab kau ada satu orang gagah perkasa, kau juga mesti bermusuh dengannya!"
Diam-diam In Loei bergidik.
Dari omongan orang ia dapat membayangkan bunyi surat wasiat kulit kambing yang berbau bacin.
Dan, mengawasi si anak muda, rasanya ia makin kenal, makin kenal.....
Dan di akhirnya, ia rasakan hatinya dingin, tubuhnya menggigil, giginya bercatrukan.
"He, kau kenapa?"
Tanya si perwira, heran. Ia mengawasi dengan tajam. In Loei kuatkan hatinya untuk mencoba berlaku tenang.
"Tidak apa-apa,"
Sahutnya perlahan.
"Syukur!"
Si anak muda kata. Lalu ia menambahkan.
"Kita bertempur, sekarang baiklah kita berdamai. Kau beritahukanlah asal-usulmu, nanti aku beritahukan riwayatku kepadamu....."
"Tentang dirimu, tak usah kau tuturkan padaku,"
In Loei kata.
"Aku tahu, kau datang dari Mongolia....."
"Bagaimana kau ketahui itu?"
Tanya si anak muda.
"Kemarin kau serang si pangeran asing, kau menyamar sebagai pengembala bangsa Mongolia,"
Sahut In Loei.
"Dalam segala-galanya, kau mirip sekali."
"Oh begitu?"
Si anak muda tertawa tawar.
"Leluhurku, selama dua turunan memang sebagai pengembala dari Mongolia....."
Tiba saja In Loei rubuh sendirinya, ia bagaikan pingsan.
Kakeknya In Loei hidup mengembala kuda dua puluh tahun di Mongolia, dan ayahnya, untuk menolongi kakek itu, tinggal di Mongolia juga dengan sembunyikan she dan namanya, selama itu hidupnya sebagai pengembala kambing.
Memang, mereka itu adalah pengembala-pengembala di Mongolia, namun mereka adalah pengembala- pengembala yang terpaksa.....
Sejenak In Loei merasa bagaikan kontak seluruh tubuhnya, hingga ia menggetar, menjadi seperti beku, habis tenaganya.
"Dia inilah kakakku,"
Demikian pikirnya sesaat itu, begitu lekas ia dengar jawaban si anak muda itu.
"Tidak salah lagi, pasti dia kakakku! Ah, apakah benar dia kakakku?....."
In Loei datang ke kota raja untuk dengar-dengar perihal kakaknya.
Sekarang, setelah bertemu, tiba-tiba saja ia dapat perasaan, ia mengharap, pemuda itu bukan kakaknya itu.....
Ia terbenam dalam keragu-raguan.
Di waktu menyebut Thio Tjong Tjioe ayah dan anak, nyata sekali kebencian pemuda itu terhadap ayah dan anak itu.
Bagaimana kalau pemuda ini benar kakaknya? Bagaimana anggapan kakak ini apabila dia ketahui pergaulannya dengan Thio Tan Hong? Apa akan terjadi kelak? Apakah memang In Loei tidak berniat mencari balas? Bukan! Tak lenyap dari pandangan matanya itu surat wasiat kulit kambing yang berdarah dan berbau bacin.
Tapi, ia benci Thio Tan Hong berbareng menyintainya juga.....
akan tetapi ia tak menginginkan lain orang membenci Tan Hong itu.....
Inilah pertentangan hebat dalam hatinya itu.
Inilah yang membuatnya ia, tanpa merasa, rubuh sendirinya.
"Kau siapa?"
Tanya anak muda itu, keras. Masih kalut pikirannya nona ini.
"Untuk sementara baiklah aku tidak segera perkenalkan diriku?"
Ia bersangsi.
"Jikalau dia bukan kakakku, tidakkah aku jadi buka rahasiaku sendiri? Bukankah dia seorang perwira....."
In Loei sambar sebatang rumput, lantas ia lompat bangun.
"Aku datang mencari Tjioe San Bin!"
Akhirnya ia jawab. Agaknya pemuda itu heran.
"Aku tahu kau datang untuk menolongi Tjioe San Bin,"
Ia bilang.
"Pada waktu pertama kali kau datang, kau mendekam di atas gentengnya Thio Thaydjin. Ketika itu sekira jam tiga. Aku telah lihat kau, tetapi aku membiarkannya, tak ingin aku pergoki kau. Yang aku tanyakan bukannya urusan itu....."
"Jikalau kau tanya lainnya hal, tak sudi aku bicara,"
In Loei bilang.
"Apakah kau tidak ketahui, urusan ada yang penting dan tidak penting? Kau lihat, cara bagaimana kau sudah mengacau! Bagaimana kau masih hendak menanyakan sesuatu kepadaku? Aku justeru hendak tanya kau, di mana Tjioe Toako itu? Kecuali kau, siapa pernah datang kesini? Apa yang kau bicarakan dengan Thio Hong Hoe, telah aku dengar semua, dari itu aku ketahui, kau juga datang untuk menolongi Toako San Bin itu."
Nampaknya pemuda ini bagaikan ingat sesuatu, ia seperti sadar.
"Kau benar,"
Ia akui kemudian.
"Sekarang mari kita masuk ke dalam untuk melihat- lihat. Mengapa Thio Thaydjin tidak muncul?"
Tiba-tiba ia berhenti, akan kemudian menambahkan.
"Sebenarnya apa yang kita bicarakan ini bukannya urusan tidak berarti..... Kau mirip dengan itu orang yang aku sedang cari. Sayang kau adalah seorang pria..... Ah, panjang untuk menutur, tak dapat itu dijelaskan dalam tempo satu hari satu malam. Baiklah lain waktu saja kita membicarakannya pula....."
In Loei telah menindakkan kakinya, ia jalan di sebelah depan. Ia tak ingin pemuda itu melihat air mukanya.
"Apakah kau masih belum ketahui di dalam telah terjadi kekacauan?"
Ia tanya, tawar.
"Semua serdadumu telah orang buatnya hingga bagaikan mayat-mayat hidup! Thio Thaydjin-mu juga tak nampak....."
Terkejut anak muda itu, hingga ia berseru, lantas ia lari mendahului, hingga ia tampak kejadian di dalam, yang membuatnya ia bergidik.
Benar katanya anak muda ini yang ia tidak kenal.....
Dan ketika ia masuk ke dalam kamar Thio Hong Hoe, di situ ia dapatkan lukisan tengkorak, kera dan pedang.
"Benar-benar mereka yang datang!"
Katanya seorang diri.
"Mereka? Mereka siapakah?"
In Loei menegasi.
"Itulah Hek Pek Moko bersama kedua paman guru dari Kong Tjongkoan dari keraton,"
Dua Musuh Turunan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sahut si anak muda.
"Oh, kiranya Tiatpie Kimwan Liong Tin Hong serta Hoasam Kiam Hian Leng Tjoe adalah paman guru dari Tjongkoan1."
In Loei bilang.
"Aku harus beri selamat kepadamu yang telah dapatkan lagi dua orang kosen yang liehay!....."
Tidak senang si anak muda mendengar perkataan itu.
"Kau tidak tahu keadaan di sebelah dalamnya"
Ia bilang.
"Apabila Tiatpie Kimwan dan Hoasam Kiam ketahui kita yang merdekakan Tjioe San Bin, sudah pasti jiwanya Thio Thaydjin tidak akan dapat dilindungi....."
In Loei heran.
"Apakah benar-benar Tjioe San Bin telah dimerdekakan?"
Tanyanya, menegaskan.
"Semula memang aku menyangka Thio Thaydjin tidak niat melepaskannya,"
Jawab si anak muda.
"Tak disangkanya, dia telah atur segala apa. Dia telah suruh membawa San Bin keluar dengan diam-diam....."
"Tapi sekarang San Bin dan Hoan Tiong tak tahu ada di mana dan entah bagaimana keselamatan mereka,"
In Loei mengutarakannya. Ia unjuk apa yang ia telah alami. Perwira muda itu menghela napas.
"Siapa juga tak dapat menyangka kejadian tak diduga-duga ini....."
Bilangnya. Hendak In Loei menanya jelas, atau si anak muda telah menambahkannya.
"Hoan Tiong dan Tjioe San Bin keluar secara diam-diam dari pintu belakang,"
Demikian katanya.
"Selama mereka berlalu, akulah yang memasang mata untuk berjaga-jaga. Tiba-tiba sang angin berkesiur masuk dengan membawa suatu bau harum. Aku segera menahan napas tetapi bau wangi itu sudah masuk juga sedikit ke dalam hidungku, telah kena aku sedot. Hebat bau harum itu, meskipun aku menyedotnya sedikit, segera aku merasakan tubuhku menjadi lemas. Di saat itu aku tampak satu tubuh melayang turun dari atas tembok. Aku kenali dialah si penghianat Thio Tan Hong yang selama di Mongolia aku telah mengenalinya. Begitu dia turun tangan, dia totok aku dengan ilmu totoknya yang liehay. Aku menahan napas, untuk melawan, percuma saja, aku tak sanggup bertahan, aku malah tak dapat berteriak. Dengan paksa aku lawan padanya, tapi baharu enam jurus, segera aku terpengaruh bau harum itu. Begitulah aku kena ditotok olehnya....."
"Kiranya demikian duduknya hal, pantas dia dapat lekas dirubuhkan Tan Hong,"
In Loei pikir.
"Anehnya, apa perlunya Tan Hong berlaku demikian rupa terhadap dia? Apakah maksudnya?....."
"Setelah aku kena ditotok,"
Si anak muda melanjutkan.
"aku lantas tidak ketahui apa juga yang terjadi di dalam hotel ini. Aku juga tidak tahu berapa lama sudah berselang, tiba-tiba dari luar datang masuk dua orang, datangnya pesat bagaikan terbang. Yang satu adalah seorang tua dengan "pinggang biruang dan bermuka kera"
Yang lainnya satu imam yang menyoreng pedang panjang di pinggangnya.
Mereka ini mencoba menotok aku, untuk bebaskan aku dari totokannya Thio Tan Hong, mereka tidak berhasil.
Mereka jadi mendongkol, mereka tinggalkan aku masuk ke dalam sambil mereka mengutuk.
Sebenarnya kecewa mereka menjadi ketua-ketua dari Thiamtjhong Pay, tak mampu mereka membebaskan totokannya lain kaum, seharusnya mereka mengutuk diri sendiri.....
Tidak lama semasuknya mereka, keduanya segera keluar pula, dengan sengit sekali mereka itu mencaci Hek Pek Moko, lalu bagaikan terbang mereka melesat ke atas tembok dan pergi.
Ah, kalau saja mereka ketemu dua iblis itu, pasti akan terjadi satu pertempuran dahsyat....."
"Sekarang mari kita pergi ke Tjengliong Kiap untuk lihat mereka,"
In Loei mengajak.
"Baik!"
Jawab si perwira muda seraya ia terus bertindak keluar. Ketika ia telah saksikan keadaan semua kuda-kuda itu, ia tertawa sendirinya, ia menjadi mendelu.
"Lihat dua iblis itu!"
Katanya, sengit.
"Mereka juga turunkan tangan jahat mereka sebagai pencuri-pencuri kuda yang liehay! Syukur aku telah tinggal buat banyak tahun di Mongolia, tahu aku caranya menyembuhkan kuda-kuda yang diperlakukan demikian....."
Sambil mengucap, anak muda ini hampirkan dua ekor kuda, yang ia uruti bergantian, ditepuk-tepuk pulang pergi, hingga darahnya kedua binatang itu berjalan pula seperti biasa, hingga di lain saat, kedua kuda itu dapat pulih kebebasan mereka.
Maka berdua mereka naiki kuda itu, untuk kabur keluar kota.
Waktu itu sudah jam empat, sang fajar tengah mendatangi.
Kedua kuda dilarikan keras, tidak lama kemudian, mereka sudah dapat memandang selat Tjengliong Kiap.
Begitu tiba di sebuah tikungan, dari kiri mereka dengar suara bentroknya alat senjata, sedang di sebelah kanan, mereka tampak satu penunggang kuda asik kabur.
"Mari kita melihat berpisahan,"
Si anak muda usulkan.
"Aku ke kiri, kau ke kanan."
In Loei menurut tanpa banyak bicara, ia lari ke kanan.
Tidak lama, ia sudah mulai candak penunggang kuda yang satu itu.
Ia lantas perdengarkan suitan yang nyaring.
Penunggang kuda itu hentikan kudanya dengan tiba-tiba, dengan cepat dia membalik diri.
In Loei segera kenali penunggang kuda itu ialah komandan dari Gielim koen atau ahli silat nomor satu dari kota raja yaitu Thio Hong Hoe! Segera In Loei menggape, kudanya dikasi dari terus untuk menghampirkan.
Karena Hong Hoe terus tahan kudanya, sebentar saja mereka sudah datang dekat satu pada lain.
"Mana sahabatmu?"
Hong Hoe mendahului menanya. Si nona terkejut.
"Apakah kau telah ketemu dengan dia?"
Tanyanya, heran.
"Aku baharu saja pergi dari tempatmu di sana....."
Hong Hoe berdiam, agaknya ia berpikir keras.
"Kalau begitu, kejadian sungguh aneh!"
Ia bilang kemudian.
"Kenapa dia pancing aku keluar? Kenapa kita mesti main petak di tegalan ini, main putar-putaran?"
Heran In Loei.
"Apa?"
Ia tanya.
"Diakah yang pancing kau datang kemari? Bagaimana dengan Hek Pek Moko?"
"Apakah kau maksudkan itu dua mahluk aneh yang kemarin kita ketemukan di dalam lembah?"
Hong Hoe menegaskan.
"Aku tidak bertemu dengan mereka. Sehabis aku antar kau, aku duduk diam di dalam kamarku, selagi aku pikirkan daya untuk menghadapi segala kemungkinan dari akibatnya tindakanku ini, aku dengar tiga kali ketokan perlahan pada jendela kamarku.
"Saudara, kau sudah datang!"
Demikian aku dengar. Terang dia sangat enteng tubuhnya, karena kedatangannya itu tak aku ketahui sama sekali. Aku lantas lompat keluar. Dia telah lantas berada di atas genteng dari mana dia gapekan aku. Diapun bersenyum berseri-seri....."
Ingin In Loei tanya, siapa orang itu, atau Hong Hoe potong padanya.
"Apa? Kau masih hendak menanyakannya? Pasti sekali dia sahabatmu yang menunggang kuda putih itu! Apakah namanya dia? Ya, Thio Tan Hong! Sungguh aneh gerak-geriknya itu, tak dapat aku menerkanya. Sebenarnya aku sangat ingin berkenalan dengannya, dari itu, aku segera hampirkan dia. Dalam sekelebatan saja, dia telah melintasi dua wuwungan rumah. Tak dapat aku lukiskan kegesitannya, aku hanya bisa memuji dia. Aku menduga-duga, mungkin dia panggil aku keluar sebab tidak leluasa untuknya akan bicara di dalam kamar. Aku susul dia sampai melewati dua jalan besar, di pojok jalanan aku lihat dua ekor kuda.
"Naik kuda!"
Dia itu kata padaku.
Lantas dia mendahului lompat naik atas kudanya yang putih itu.
Aku lompat atas kuda yang kedua.
Sama-sama kita kabur keluar kota.
Semula aku menyangka dia akan hentikan kudanya untuk bicara dengan aku, tetapi dia kabur terus.
Aku teriaki dia berulang-ulang, dia seperti tidak mendengarnya.
Aku coba menyusulnya, tapi tak berhasil aku menyandaknya.
Ketika aku tidak menyusul terlebih jauh, dia justeru perlahankan larinya kudanya, hingga dia membikin aku sangat heran.
Demikian di tempat ini, dia pancing aku berlari-lari tidak keruan juntrungan.
Sungguh aku tidak mengerti....."
"Sekarang?"
In Loei tanya. Ia pun heran.
"Sekarang ini dia telah melintasi tepi bukit sana,"
Sahut Hong Hoe sambil menunjuk ke arah depan.
"Karena aku dengar panggilan kau, aku tidak susul dia lebih jauh. Ya, kau sendiri, dari mana kau datang? Apakah ada orang yang ketahui perbuatan kita?"
In Loei tertawa.
"Orang yang mengetahuinya?"
Katanya.
"Sebaliknya daripada sadar, semua orangmu telah dibikin mampus oleh Hek Pek Moko!"
Hong Hoe berjingkrak.
"Apakah benar Hek Pek Moko ada punya nyali demikian besar?"
Dia tanya. In Loei bersenyum pula. Tapi ia bersungguh-sungguh.
"Bukan mampus benar-benar, tapi tak bedanya dengan mampus,"
Ia bilang.
Si nona tuturkan apa yang ia lihat di hotel.
Hong Hoe heran.
Kenapa orang yang tak sadar tak dapat disadarkan dengan semburan air? Sungguh hebat bau harum itu! Tapi ia tidak berpikir lama, untuk perbuatannya Hek Pek Moko! Di Barat ada semacam obat pingsan itu, yang sangat liehay, biasanya disebut "asap mengembalikan semangat waktu jam lima ayam berkokok."
Rupa-rupanya Thio Tan Hong bekerja sama Hek Pek Moko, yaitu Thio Tan Hong yang pancing aku keluar, Hek Pek Moko yang melepaskan bau harum itu.
Aku tidak mengerti! Dengan Hek Pek Moko aku tidak bermusuhan, dengan Thio Tan Hong pun aku hanya bentrok kecil sekali, mengapa sekarang mereka berlelucon demikian hebat denganku?"
"Akupun sangat tidak mengerti,"
In Loei turut mengutarakan perasaan hatinya. Ia lantas jelaskan lebih jauh apa yang ia tampak di hotel. Thio Hong Hoe terkejut mendengar Tiatpie Kimwan datang bersama Hoasam Kiam.
"Apakah mereka bukan kawanmu?"
In Loei tanya.
"Kenapa kau takut?"
Thio Hong Hoe menggeleng kepala, ia menyeringai.
"Jangan tanya dulu. Kau bicara terus,"
Ia bilang. Nona In lanjutkan keterangannya, ia menutur dengan jelas. Mengetahui si anak muda juga rubuh di tangan "lawan", Hong Hoe meringis.
"Aku tak mengerti kenapa perwira muda itu sangat benci dia?"
Tanya In Loei. Dengan "dia"
Ia maksudkan Tan Hong, tetapi tidak mau ia omong jelas, tentang puteranya Tjong Tjioe itu. Hong Hoe berdiam, agaknya ia berpikir.
"Dilihat dari romannya, Thio Tan Hong itu mesti bukan seorang busuk,"
Kata ia kemudian.
"Sebetulnya kenapa In Tongnia sangat benci padanya, aku tidak tahu, mengenai ini, nanti aku tanyakan keterangannya."
Baharu sekarang In Loei dengar si perwira muda dipanggil she In.
Karena mendengar ini, segera mukanya menjadi pucat, tubuhnya limbung hampir rubuh.
Inipun suatu keterangan tambahan, yang menguatkan dugaannya mengenai perwira muda itu.
Hong Hoe tidak mengerti kenapa orang jadi terhuyung, lekas-lekas ia ulur tangannya, untuk menyambar.
"Kau kenapa?"
Ia tanya. In Loei singkirkan dirinya.
"Tidak apa-apa,"
Dua Musuh Turunan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ia menjawab.
"Apakah namanya perwira itu?"
"Ia she In, namanya Tjian Lie,"
Hong Hoe menerangkan.
"Kenapakah?"
Kembali wajahnya In Loei menjadi tambah pucat. Sekarang ia peroleh kepastian. Nama Tjian Lie itu pasti bukan nama benar, itulah nama bikinan, pecahan dari huruf "Tiong"="berat"
Atau penghargaan atas diri sendiri. Huruf "Tiong"
Ini, apabila dipecah, menjadi "tjian lie"="seribu lie".
In Tiong itu adalah kakaknya In Loei akan tetapi dua saudara ini, engko dan adik, telah terpisah sejak mereka masih kecil, namun In Loei masih ingat kakaknya itu, malah ia mencarinya.
Sekarang ia merasa pasti atas kakak ini, hatinya goncang, saking girang dan kuatir.
Ia girang sebab akhirnya ia ketemu juga kakaknya itu.
Yang membikin ia kuatir adalah persahabatannya dengan Thio Tan Hong, yang nampaknya dibenci sangat kakaknya itu.
Soal ini bisa sangat menyulitkan dia.....
"Apakah kau kenal In Tjian Lie?"
Hong Hoe tanya.
"Dia mirip dengan sahabatku ketika kami masih sama kecil.
"
In Loei jawab.
"Eh, ya, kapankah dia kembali?"
"Kembali?"
Mengulangi Hong Hoe.
"Ah, apakah kau juga ketahui dia telah kembali dari Mongolia? Dia memasuki pasukan Gielim koen belum ada satu bulan. Aku menjabat Tjiehoei dari Kimie wie merangkap Tongnia dari Gielim koen, karenanya dengan sendirinya aku menjadi pemimpinnya. Perkenalan kami berjalan belum lama akan tetapi cita-cita kami sama, cocok satu pada lain. Turut saudara In itu, leluhurnya selama dua turunan adalah orang-orang Han yang tinggal di negeri Watzu di mana mereka sangat menderita penghinaan dan kesengsaraan, karenanya dia buron ke Tionggoan, niatnya untuk mencari kedudukan, umpama sebagai kepala perang, menanti kelak tiba harinya memimpin suatu pasukan besar untuk menyerbu dan memusnakan negeri Watzu itu. Demikian karenanya, lebih dahulu ia ceburkan diri dalam pasukan Gielim koen. Sekarang ia tengah bersiap-siap untuk turut dalam ujian umum militer tahun ini, agar ia dapat lulus dan keluar sebagai Boe tjonggoan. Kalau ia berhasil, pasti sekali ia akan dapat capai cita-citanya itu."
Mendengar ini, In Loei menghelah napas.
"Dia bercita-cita mencari balas dengan jalan memangku pangkat, aku kuatir dia tidak akan berhasil dengan pengharapannya itu,"
Ia bilang.
"Thio Thaydjin, harap kau tidak berkecil hati jikalau aku omong terus terang. Untuk melawan bangsa Ouw itu, pemerintah Beng tak dapat dibuat harapan!"
Hong Hoe tidak mengerti maksud orang, dia bungkam.
"Mungkin sekali kata-katamu ini tak tepat,"
Dia bilang kemudian.
"Di dalam pemerintahan kita ada menteri-menteri besar yang jujur dan setia yang berangan- angan menentang bangsa Ouw itu, umpamanya Kokioo Ie Kiam, dialah satu menteri setia yang pantas dihormati."
In Loei tidak kenal keadaan pemerintah, tidak ingin ia berdebat.
Hong Hoe sementara itu heran juga yang In Loei sangat perhatikan In Tjian Lie, tadinya hendak ia menanyakannya, ketika tiba-tiba ia dengar ringkiknya kuda, menyusul mana ia tampak kuda putih dari Thio Tan Hong telah lari balik, penunggangnya ada bersama, ialah si mahasiswa.
"Hai, kau sedang bersandiwara apa?"
Tegur Hong Hoe.
"Sahabatmu ada di sini! Jangan kau main teka-teki pula!....."
Kuda putih itu lari bagaikan terbang, sekejap saja dia telah tiba.
"Maaf!"
Kata penunggangnya kepada komandan Kimie wie itu, lalu terus ia pandang In Loei, akan tanya.
"Kau baik?"
In Loei pegangi pelana.
"Terima kasih untuk perhatianmu....."
Katanya, tawar. Heran Hong Hoe akan saksikan kedua orang itu bersikap bagaikan bukan sahabat- sahabat kekal, akan tetapi karena ia ingin peroleh keterangan dari Tan Hong, tidak sempat ia untuk menanyakan In Loei akan sikapnya itu.
"Saudara Thio,"
Katanya pada mahasiswa itu.
"kau dengan aku dapat dikatakan bersahabat erat, kenapa kau sebaliknya telah ajak Hek Pek Moko datang kepadaku untuk mengacau?"
Tan Hong melengak, ia tertawa nyaring.
"Inilah yang dikatakan, kesulitan orang, tuan tak mengetahuinya dan sia-sia belaka di depan orang yang tersangkut sendiri untuk bicara tentang hutang budi!"
Katanya.
"Sekarang ingin aku tanya kau, tahukah kau siapa yang telah datang menyelidiki kau?"
Wajah Hong Hoe menjadi pucat dengan tiba-tiba.
"Oh, kau juga ketahui halku itu?"
Tanyanya.
"Memang Tiatpie Kimwan Liong Tin Hong serta Hoasam Kiam Hian Leng Tjoe telah datang kesini."
"Memang!"
Sahut Tan Hong.
"Tahukah kau apa maksud sebenarnya mereka datang kesini?"
Tiatpie Kimwan dan Hoasam Kiam adalah soesiok atau paman guru dari Kong Tiauw Hay, tjongkoan atau kuasa besar dari keraton kaisar dan Kong Tiauw Hay itu adalah murid kepala dari Leng Siauw Tjoe ketua dari partai persilatan Thiamtjhong Pay, dia bertenaga sangat besar, liehay ilmu silatnya bahagian luar, gwakang, tetapi karena dia selalu berdiam di dalam keraton di mana dia in merawati dan melindungi kaisar, dalam dunia kangouw namanya tak terkenal.
Dia tidak puas terhadap Thio Hong Hoe yang kesohor sebagai jago silat nomor satu untuk kota raja, pernah tiga kali dia tantang Hong Hoe adu silat, kesemuanya itu dia kena dirubuhkan, karenanya dia menjadi jelus, di mulut dia mengatakan takluk terhadap Hong Hoe, tapi di dalam hatinya dia berdendam, maka itu, dengan diam- diam dia cari jalan untuk singkirkan tjiehoei dari Kimie wie dan Gielim koen itu.
Hong Hoe bukannya tidak tahu Tiauw Hay mendendam terhadapnya, akan tetapi karena kedudukan tjongkoan itu ada terlebih kuat daripada kedudukannya, ia hanya bisa berlaku hati-hati saja untuk menjaga diri.
Sekarang ia dengar keterangannya Tan Hong itu, tidak heran ia jadi terkejut, hingga mukanya menjadi pucat.
"Bukankah Kong Tiauw Hay yang secara diam-diam undang kedua paman gurunya itu datang kemari untuk mencelakai aku?"
Dia kata. Thio Tan Hong tertawa.
"Untuk apa dia berlaku secara diam-diam?"
Katanya.
"Sekarang ini saja dia telah pegangi kakimu yang sakit....."
Hong Hoe jadi semakin heran.
"Apa?"
Katanya.
"Kau maksudkan apa?"
Tan Hong bersenyum.
"Sebenarnya Tiatpie Kimwan dan Hoasam Kiam keluar dari kota raja bukan untuk urusanmu,"
Ia bilang.
"hanya kebetulan saja mereka ketahui tentang halmu itu. Apakah kau ingin ketahui hal ihwalnya?"
"Aku minta kau sudi menceriterakannya,"
Hong Hoe mohon.
"Hek Pek Moko telah menadah serupa barang curian yang berharga besar,"
Tan Hong berikan keterangannya.
"Itu adalah pusakanya satu pangeran di kota raja, ialah sepasang singa-singaan dari batu kumala. Cukup untuk menyebutkannya saja sepasang matanya singa-singaan kumala itu. Sepasang mata singa-singaan itu terbuat dari mutiara sejati, yang harganya ada seumpama harganya sebuah kota. Pencurian itu sangat menghebohkan. Kong Tiauw Hay insyaf dia bukanlah tandingannya dari Hep Pek Moko, karenanya dia undang kedua paman gurunya itu, yang diminta bantuannya untuk selidiki kedua Moko. Mereka menduga Hek Pek Moko menyingkir pulang ke Barat, karenanya mereka menyusul. Kebetulan bagi mereka, mereka lihat kau berada di sini, maka sekalian mereka awasi kau juga. Lebih kebetulan lagi, kau justeru dapat menawan puteranya Kimtoo Tjeetjoe, hal mana mereka dapat mengetahuinya. Yang hebat adalah, selagi kau belum tahu jelas tentang siapa adanya tawananmu itu, Kong Tiauw Hay sendiri sudah lebih dahulu menerima laporan yang jelas. Harganya Tjioe San Bin itu ada di atas harganya sepasang singa-singaan kumala itu, jikalau dia dapat dibawa ke kota raja, itu artinya satu jasa sangat besar, maka itu Kong Tjongkoan segera bertindak. Ia telah ke sampingkan dahulu tentang barang curian itu. Begitulah disatu pihak dia kirim kabar kilat, di lain pihak, dengan berbareng dia undang datang kedua paman gurunya itu untuk menyusul kemari, untuk ambil alih orang tawananmu itu. Kesudahannya, baharu saja kaki depan San Bin menindak keluar dari pintu, atau kaki belakang dari mereka telah tiba....."
Thio Hong Hoe terkejut hingga ia berseru.
"Jikalau mereka dapat tahu aku sudah merdekakan Tjioe San Bin, itu artinya bagiku hukuman mati seluruh keluargaku!"
Katanya. Tan Hong kembali tertawa.
"Jangan kau takut!"
Katanya, tenang.
"Aku telah gunai akal memancing mereka ke lain jurusan. Tentang tindakanmu ini, mereka tidak nanti ketahui untuk selama- lamanya!"
Hong Hoe bagaikan sadar.
"Jadinya kau sudah gunai Hek Pek Moko sebagai umpan untuk pancing mereka itu menyingkir dari arahku?"
Katanya.
"Kau bisa pengaruhi kedua iblis itu, sungguh aku kagum! Tapi, apakah artinya kau mengacau di rumah penginapan itu?"
"Sabar, sahabatku,"
Sahut Tan Hong.
"Walaupun benar mereka tidak tahu kau telah merdekakan Tjioe San Bin, akan tetapi karena kau telah loloskan seorang tawanan yang penting, dosamu tetap bukannya kecil. Saudara Thio sahabatku, kau pernah baca masak-masak kitab ilmu perang, kau tentunya ketahui kouw djiok kee dari Oey Khay, itu akal mempersakiti diri sendiri....."
Hong Hoe benar-benar sadar, segera ia rangkap kedua tangannya, ia angkat, untuk memberi hormat kepada si mahasiswa berkuda putih itu.
"Terima kasih untuk budimu yang besar ini, tak nanti aku melupakannya."
Ia mengutarakan isi hatinya. In Loei mendengari saja pembicaraan orang, ia tak mengerti.
"Hai, sebenarnya kamu tengah bersandiwara apa?"
Tanya dia, tak sabaran.
"Mereka telah bongkar kerangkeng, mereka telah merdekakan perantaian,"
Jawah Hong Hoe.
"Karena itu, tak dapat aku lolos dari tanggung jawabku. Yang datang itu adalah musuh-musuh yang liehay sekali, orang-orang kami telah dipengaruhinya, telah kami keluarkan antero tenaga, masih kami tidak berdaya. Sama sekali kami tidak berpura-pura kalah dan membiarkannya perantaian kabur. Karena kami telah melakukan perlawanan, dosa kami bisa menjadi entengan....."
"Tetapi itu belum semuanya,"
Tan Hong bilang.
"Melihat nama kamu, dengan nampak kekalahan saja, kamu sudah bersalah. Andaikata musuh dapat mengalahkan orang yang terlebih liehay daripada kamu, mungkin Kong Tjongkoan tak enak hatinya untuk menghukum kau....."
"Adakah ini sebabnya kata-katamu bahwa kau hendak mengasi rasa kepada Tiatpie Kimwan dan Hoasam Kiam?"
Hong Hoe tanya.
"Sudah pastikah kau dapat mengalahkan orang-orang Thiamtjhong Pay itu?"
Thio Tan Hong tertawa.
"Kau dengarlah dengan saksama!"
Ia kata. Waktu itu juga dari kejauhan, dari tepi bukit, ada terdengar suara riuh rendah dari pertempuran, agaknya orang tengah mendatangi ke arah mereka.
"Masih ada seperjalanan tiga lie!"
Kata Tan Hong pula.
"Thio Thaydjin, hendak aku membingkiskan sesuatu yang tidak berharga kepadamu....."
Tangannya Tan Hong menyekal satu bungkusan merah yang bundar, seperti bungkusannya sebuah semangka, bungkusan itu diangsurkan kepada Hong Hoe yang segera menerimanya dan dibukanya.
Ia terkejut hingga wajahnya pucat apabila ia telah saksikan isinya bungkusan itu, ialah sebuah kepala orang.
Bahna murkanya, dengan goloknya Hong Hoe segera tabas si mahasiswa berkuda putih itu.
"Kenapakah kau bunuh adikku yang kedua?"
Teriaknya.
"Adakah ini yang kau namakan kouw djiok kee, tipu muslihat mempersakiti diri itu?"
In Loei di samping mereka pun sudah lantas kenali kepala orang itu, ialah kepalanya Khoan Tiong, Lweeteng Wiesoe yang menjadi salah satu dari tiga jago silat nomor satu dari kota raja! Serangannya Hong Hoe itu ada sangat tiba-tiba, hebat serangan itu, atas itu Thio Tan Hong perdengarkan jeritan "Ayo!"
Dan tubuhnya pun terhuyung! -ooo0dw0ooo- BAB XIII Tapinya pemuda she Thio itu tidak menjadi kurban, dia pun sangat gesit, dengan mendahului sambaran golok, tubuhnya terhuyung ke arah tujuan serangan, berbareng dengan itu kaki dan tangannya digerakkan bagaikan orang ketakutan sangat.
Terang sudah bahwa ia berpura-pura belaka, hingga Hong Hoe menjadi bertambah-tambah murka.
"Sengaja kau permainkan aku, apakah maksudmu?"
Dia membentak pula. Tan Hong tertawa terbahak-bahak.
"Sudah bagus kau tidak menghaturkan terima kasih padaku, kenapa kau sebaliknya menjadi demikian gusar"
Katanya.
"Kau lihat, apakah ini?"
Dan ia lemparkan sehelai kertas yang bersampul merah.
Dua Musuh Turunan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Surat itu adalah sepucuk surat dinas, karena hanya selembar, enteng sekali sampul itu, akan tetapi ketika dilemparkan, timpukannya sangat berat dan keras.
Jarak di antara kedua orang hanya setombak lebih, di waktu Hong Hoe menyambutinya, walaupun ia salah satu jago nomor satu dari kota raja, ia pun terperanjat.
Lemparan itu bagaikan timpukan senjata rahasia.
Dengan sangat bernapsu Thio Hong Hoe beber surat dinas itu untuk dibaca isinya, atas mana, kagetnya bukan kepalang.
Itu adalah sebuah surat rahasia Khoan Tiong untuk Tjongkoan Kong Tiauw Hay, terang di situ Khoan Tiong mencatat segala apa sejak dia ikut Hong Hoe keluar dari kota raja, jelas dia menulis sesuatu sepak terjangnya Hong Hoe, sang sep atau toako itu, sampai halnya Hong Hoe dikalahkan Tan Hong dan In Loei dalam lima jurus, dalam mana Hong Hoe melarang orang membantuinya, yang lebih hebat adalah catatan halnya San Bin tertawan, bagaimana San Bin diiring, dicampur di antara orang-orang tawanan lainnya.
Setelah Hong Hoe habis membaca, Tan Hong berkata.
"Soalnya sudah jelas, Khoan Tiong telah kenali San Bin akan tetapi dia tidak memberitahukannya kepadamu. Waktu itu dia tidak keburu tulis laporan rahasianya, sebaliknya, dia kirim orang kepercayaannya untuk menyampaikan berita ke kota raja. Laporan orang itu tidak lengkap, itulah tidak terlalu membahayakan, akan tetapi surat rahasia ini, apabila ini sampai di tangan Kong Tjongkoan, celakalah kau!"
Hong Hoe menjadi lesu sekali dia sampai lemparkan goloknya.
"Memang aku tahu saudaraku yang kedua ini sangat rakus dan temaha akan pangkat besar, aku hanya tidak sangka bahwa dia ada demikian hina dina.....!"
Bahwa dia ada sangat menyesal, itu terbukti dari air matanya yang segera keluar bercucuran, sedangkan dia sangat percaya saudara angkat yang kedua itu.
"Orang semacam dia, untuk apakah kau tangisi?"
Kata In Loei apabila ia telah ketahui duduknya hal.
"Walau bagaimana, kami pernah menjadi saudara angkat,"
Sahut Hong Hoe lemah.
"Sekarang tidak aku sesalkan kau bahwa kau telah bunuh dia,"
Ia tambahkan pada Tan Hong "Nah, kau pergilah!"
Suara riuh rendah terdengar semakin mendekati.
Dengan sebat Hong Hoe bungkus pula kepalanya Khoan Tiong, yang terus ia gantung dipelananya.
Selagi berbuat demikian, dia membalik belakang terhadap Tan Hong dan In Loei.
Sekonyong-konyong Tan Hong hunus pedangnya yang terus ditikamkan kepada komandan Kimie wie itu.
In Loei kaget bukan main "Hai kau, bikin apa?"
Dia menegur.
Hong Hoe sementara itu telah perdengarkan jeritan keras, di waktu In Loei lihat padanya, ia menjadi kaget.
Hong Hoe berpaling dengan mata dibuka lebar, romannya ketakutan.
Tapi In Loei menjadi lega juga hatinya apabila ia dapat kenyataan orang cuma terluka sedikit bahu kirinya, luka itu tidak berbahaya.
"Bagus!"
Teriak Hong Hoe, murka dan masih kaget. Tapi Tan Hong, dengan suara perlahan, kata padanya.
"Lekas kau jumput golokmu, mari kau tempur aku!....."
Kata-kata ini menyadarkan komandan itu, dia lompat kepada goloknya, golok Bianto untuk dipungut, lalu dengan golok itu dia terjang Thio Tan Hong, siapa berikan perlawanan, maka mereka jadi bergumal hebat.
Luka di bahu kiri Hong Hoe itu tidak sempat dibalut, luka itu masih mengucurkan darah hidup.....
In Loei telah saksikan itu semua, akhirnya iapun insaf, maka seorang diri ia tertawa geli.
"Thio Tan Hong ini benar-benar licin!"
Katanya di dalam hati.
"Tipu kouw djiok kee-nya membikin aku kaget sekali..... Kalau Hong Hoe tidak "terlukakan"
Musuh, dan apabila dia tidak telah dibokong, dosanya memang bukan kecil....."
Tan Hong masih melakukan perlawanan karena Hong Hoe masih terus serang ia secara hebat, walaupun demikian, sambil tertawa, dengan perlahan, ia kata kepada lawannya itu.
"Tadi kau bacok aku tapi gagal, sekarang aku menikam kau, dapat aku melukai padamu, maka sekarang baiklah kau menyerah kalah....."
Hong Hoe mendongkol bukan main.
Itulah godaan hebat untuknya sekalipun ia tahu mereka sedang main sandiwara, karena itu, permainan goloknya menjadi kalut.
Tidak demikian dengan Tan Hong, yang bersilat separuh main-main, separuh benar- benar, hingga perlawanannya atau penyerangannya jadi berbahaya, hampir saja muka si komandan kena tertikam pula.
Sesudah ini baharu Hong Hoe takluk benar- benar.....
Suara riuh yang mendatangi telah datang semakin dekat, di tikungan sudah lantas tertampak terangnya api obor dan serombongan orang telah memburu, dan di antara terangnya api itu kelihatan yang terdepan adalah Hek Pek Moko, di belakang mereka satu toodjin atau imam berserta seorang tua, ialah kedua paman-paman guru dari Tjongkoan Kong Tiauw Hay.
Hek Moko dan Pek Moko berkelahi sambil lari, mereka kelihatannya kalah, mereka terdesak sangat, akan tetapi sekalipun demikian, permainan silat mereka tidak menjadi kalut.
Begitu sudah datang lebih dekat, Samhoa Kiam Hian Leng Tjoe telah dapat lihat Thio Hong Hoe repot melayani satu anak muda dengan pakaian serba putih, ia jadi lebih kaget karena tampak komandan Kimie wie itu sudah terluka, lengannya mandi darah.
"Ah, siapakah anak muda itu?"
Pikirnya.
"Dia masih muda sekali tetapi sangat gagah, hingga Thio Hong Hoe dapat dia buatnya menjadi kacau balau? Mungkinkah Kong Tiauw Hay telah omong dilebih-lebihkan tentang kegagahannya Thio Hong Hoe ini?....."
Walaupun dia berpikir demikian, Samhoa Kiam toh tinggalkan Pek Moko yang "terdesak"
Itu untuk memburu kepada si orang she Thio, malah sambil berseru dia berkata.
"Thio Thaydjin, kau mundurlah, nanti aku yang hajar padanya!"
Tidak kecewa Wan Leng Tjoe menjadi salah seorang kenamaan dari Thiamtjhong Pay, permainan silatnya hebat sekali, begitu ia dekati Thio Tan Hong, sinar pedangnya segera berkilau-kilau, ujung pedangnya lantas menusuk ke kiri dan kanan dengan cahayanya bergemerlapan.
Rupanya itulah yang membuatnya ia peroleh gelarannya, Samhoa Kiam - Pedang Berbunga Tiga.
Begitu lekas ia dikepung Hian Leng Tjoe, begitu lekas juga Thio Tan Hong menjerit-jerit.
"Celaka, celaka!"
"Kau tahu celaka, itulah bagus!"
Teriak Hian Leng Tjoe dengan hinaannya.
Dia tertawa dingin.
Dan diapun perhebat serangannya.
Thio Tan Hong bagaikan terputar-putar, tubuhnya lincah mendahului tikaman, walaupun ia terdesak tetapi ia tidak dapat dilukai.
Kejadian ini terulang sekian lama, hingga akhirnya Hian Leng Tjoe menjadi heran.
"Hebat keentengan tubuhnya orang ini....."
Demikian dia berpikir.
Karena ini, ia jadi tidak berani lagi memandang enteng seperti bermula tadi.
Sebaliknya, ia gerakkan pedangnya lebih gencar, ke atas dan ke bawah, ke kiri dan ke kanan, karenanya, ia membuat enam gerakan saling susul, sinar pedangnya berkilauan.
Di antara serbuan itu, tiba-tiba terdengar Thio Tan Hong tertawa terbahak-bahak, menyusul mana, pedangnya juga bercahaya putih mulus, memain di antara sinar pedang lawan yang liehay itu, tak kalah gesitnya.
Baharu saja Hian Leng Tjoe terkejut, karena ia dapat lihat tegas permainan pedang lawan, atau ia telah terlambat, cuma terdengar saja jeritannya.
"Bagus!"
Teriak In Loei, yang masih saja menonton.....
Hian Leng Tjoe tidak berani tangkis bacokan Tan Hong, tahu bahwa satu bentrokan antara kedua pedang, pedangnya sendiri akan terpapas kutung, karenanya, ia unjuk kesebetannya, dengan satu gerakan, ia tempel pedang lawan.
Inilah yang menyebabkan pujian dari si Nona In itu.
Tan Hong juga terperanjat dapatkan lawan sanggup elakkan bahaya dan sebaliknya dapat menempel pedangnya itu, oleh karena ini insaflah ia bahwa lawan ini berkepandaian terlebih tinggi daripada Thio Hong Hoe.
Karena ini, tidak sudi ia berlaku sembarangan.
Bertempur terlebih jauh, Tan Hong unjuk kelonggaran, artinya, ia mengalah terhadap desakan Sam Hoa Kiam, menggunai saatnya, sekonyong-konyong ia membungkuk sedikit, ujung pedangnya menyambar ke arah pinggang lawan.
Hian Leng Tjoe tengah membabat kepala musuhnya ketika ia diserang di bahagian bawah itu, tapi masih ia dapat ketika untuk berkelit dengan mundur satu tindak, namun masih ia kurang sebat sedikit, walau pinggangnya terhindar sambaran pedang, ujung bajunya kena terpapas kutung! Bahaya pun sebenarnya mengancam Tan Hong, tapi karena ia keburu membungkuk, ia lolos dari bencana, lalu sebaliknya, ia ancam lawannya itu.
Hian Leng Tjoe kaget berbareng gusar.
Beberara kali ia gagal, ia menjadi mendongkol sekali.
Maka itu ia menyerang pula, ia jadi semakin sengit dan penasaran sekali.
Dalam menghadapi lawan biasa, cahaya pedangnya dapat membuat mata lawan silau dan kabur.
"Dalam seratus jurus, masih aku bisa lawan seri padanya,"
Tan Hong berpikir.
"selewatnya itu, rahasiaku bisa bocor dihadapannya..... Karena ini segera ia berseru nyaring.
"Kita lawan satu sama satu sampai kapan kita bisa selesaikan pertempuran ini? Kau masih ada punya kawan, suruhlah dia maju berbareng untuk kepung aku! - Eh, Hek Pek Moko, kamu biarkan tua bangka itu, kamu tinggalkan dia pergi!"
Soeheng, atau kakak seperguruannya Samhoa Kiam Hian Leng Tjoe, yaitu Tiatpie Kimwan Liong Tin Hong tengah dikepung Hek Pek Moko, satu melawan dua, dia telah jadi sangat repot, napasnya sampai sengal-sengal, tubuhnya pun bermandikan keringat dingin, maka bagaimana lega hatinya ketika dia lolos dari kepungan hebat.
Hek Moko dan Pek Moko tertawa dengan berbareng.
"Orang tua, kau berumur panjang!"
Kata dua hantu ini dengan riang gembira.
"Kau dengarlah, di sana sahabatku yang muda telah pertanggungkan jiwamu supaya jiwamu ini tak mampus di tangan kami! Nah, kau pergilah, kami ijinkan padamu!"
Liong Tin Hong mendongkol bukan main, walaupun dia sudah lelah, masih hendak dia maju menyerang.
Akan tetapi dia didahului Hek Moko, yang rabu dia dengan layangkan tongkatnya, hingga mau atau tidak, mesti dia mundur dua tindak! Tetapi dia tak dapat lolos dengan selamat! Hek Pe Moko biasa bertempur berdua dengan teratur, sempurna kerja sama mereka, demikian juga kali ini.
Ketika Hek Moko layangkan tongkatnya, Pek Moko tidak berdiam diri, bagaikan sudah dijanji, dia membarengi merangsak, percuma Tiatpie Kimwan si Kera Emas Berlengan Besi, selagi dia dapat berkelit ke kiri, tongkat Pekgiok thung dari si Hantu Putih sudah mampir dibebokongnya! "Hai, kera tak tahu diri, aku ajar adat padamu!"
Tertawa si iblis putih itu.
Hajaran itu tidak parah, tapi setelah itu, keduanya lantas saja memutar tubuh, untuk berlalu sambil tertawa panjang.....
Tidak terhingga mendongkolnya Tiatpie Kimwan, hampir dia rubuh pingsan, masih bagus, melainkan tubuhnya sedikit terhuyung.
Dia punyakan Iweekang yang terlatih baik, tidak urung dia merasakan sakit bekas hajaran tongkat lawan itu, terpaksa dia empos semangatnya, untuk bertahan diri.
Thio Tan Hong lihat orang terhajar, sambil berkelahi, masih sempat ia memasang mata.
Maka juga ia tertawa besar.
"Hai, kera bangkotan, apakah tulang punggungmu terhajar patah?"
Demikian godaannya. Tiatpie Kimwan adalah seorang kenamaan sejak puluhan tahun, belum pernah dia terhina, sekarang dia dapat hinaan ini, sudah tentu dia tidak mau mengerti. Maka juga dia berseru nyaring sekali.
"Bangsat kecil, kau sangat menghina?"
Teriaknya lalu dia berlompat maju menghampirkan kawannya, untuk hajar anak muda itu.
Dan begitu dia sudah datang dekat, begitu juga dia menyerang, dengan senjatanya yang luar biasa, yaitu tongkat panjang berkepala naga, sedang ujungnya lancip mirip telapak tangan yang berjari lima, yang semuanya tajam bagaikan gaetan, sedang batang tongkat penuh dengan cagak tajam seperti duri.
Maka, kecuali kepala naganya serta tempat pegangannya, bahagian-bahagian lainnya tak kena tercekal atau terlanggar tangan kosong.
Karena ini juga, selagi digunakan, tongkat itu mirip dengan tangan-tangan kera yang berbulu.
Melayani satu Samhoa Kiam, Tan Hong sudah kewalahan, sekarang ditambah lagi satu musuh yang tidak kurang tanggunya, segera dia menjadi repot.
Tetapi dia tidak jeri, karena musuh ini sengaja dia undang, hanya pada mulanya, hampir saja batok kepalanya hancur luluh terkena kemplangan tongkat istimewa dari si Kera Emas Bertangan Besi itu.
Dalam kagetnya, dia lantas berkelit, terus dia bersilat dengan jurus "Hoenhoa hoetlioe" - "Memecah bunga mengebut yanglioe,"
Untuk perlihatkan kegesitannya.
Dia melawan kedua musuh seperti tidak keruan juntrungannya tak tentu arahnya.
Tiatpie Kimwan, yang sedang mendongkol jadi semakin mendongkol, ia bersuit dengan pelahan ketika ia mulai pula dengan serangannya.
Dengan saling susul ia mendesak tiga kali dengan gegamannya yang luar biasa itu.
"Tidak kecewa Tiatpie Kimwan peroleh nama besarnya."
Pikir Tan Hong, yang harus memuji lawannya itu.
"Dia telah berkutat dengan Hek Pek Moko dan telah rasai juga senjata si iblis, sekarang dia masih begini tanggu....."
Pedang Samhoa Kiam dari Hian Leng Tjoe juga telah diperhebat, ujung pedang itu selalu mencari tempat-tempat yang berbahaya, hingga Tan Hong jadi repot. Tapi si mahasiswa ini tidak takut, bahkan sebaliknya, ia tertawa.
"Bagus, bagus!"
Serunya.
"Dua tua bangka maju berbareng, mereka boleh di kirim pulang sekalian saja! Eh, adik kecil, mari maju!"
In Loei tahu bahwa ia dipanggil, akan tetapi ia masih diam menonton.
Tiba-tiba Thio Tan Hong limbung hampir saja ujung pedang Hian Leng Tjoe mengenai tubuhnya, sesudah mana dalam keadaan berbahaya itu, iapun hampir saja tertotok toya-nya Tiatpie Kimwan, syukur ia masih bisa berkelit, hingga tenggorokannya jadi bebas dari totokan itu.
Hebat pemandangan itu.
Hong Hoe juga menonton, ia mundur kepinggiran.
In Loei tetap masih bersangsi, agaknya ia hendak membuka mulut akan tetapi saban-saban urung.
Tapi sekarang, mendadak pedangnya yang bersinar hijau telah berkelebat, tubuhnya sudah lompat maju.
"Bagus!"
Seru Tan Hong kegirangan, sesudah mana, pedangnya yang bercahaya putih mengkilap turut bersinar pula.
Dua Musuh Turunan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Maka sejenak kemudian, kedua sinar hijau dan putih itu bergabung menjadi satu, bergeraknya cepat, pengaruhnya tersebar.
Segera juga Tiatpie Kimwan dan Samhoa Kiam merasai pengaruhnya kedua pedang lawan itu, hingga tidak lama mereka dapat desak Tan Hong, malah sebentar kemudian mereka mesti terpaksa main mundur.
Percuma Hian Leng Tjoe mencoba mengintai lowongan, baginya kedua pedang hijau dan putih itu ada terlalu kerap, tiada tempat lowong yang dapat ditoblos.
Celakanya, asal ia mencoba maju, kontan pedangnya kena terjepit.
Demikian satu kali, ketika ia terlambat, pedangnya kena tertabas pedang lawan hingga kutung menjadi empat potong, hampir saja jari tangannya turut terbabat juga! Tiatpie Kimwan terkejut menyaksikan bahaya yang mengancam kawannya itu, karena itu ia juga lengah, maka begitu terdengar suara senjata-senjata beradu, ujung tongkatnya kena ditabas kutung kedua pedang lawannya itu.
Syukur bagi Liong Tin Hong, walaupun ia terhuyung ke depan, ia tidak disusuli tikaman oleh Thio Tan Hong, pemuda ini melainkan mentertawai ia sambil mengejek.
"Sungguh seekor kunyuk bangkotan yang tidak tahu diri!"
Akan tetapi, sebaliknya daripada menikam atau menahas, Tan Hong ulur sebelah kakinya, dupakannya itu tepat mengenai lutut orang, karena mana tidak ampun lagi, tubuh si Kera Emas Berlengan Besi lantas terpelanting jatuh jauhnya lima enam tindak! Dengan mengeluarkan suara "Bruk!"
Ia jatuh terlentang, tubuh di bawah, kaki di atas! Dan apes untuk dirinya, sudah bebas dari senjata musuh, ia tidak lolos dari senjatanya sendiri, karena tergulingnya itu, pahanya membentur tongkatnya hingga ia tertusuk duri cagak beberapa lobang! Keduanya Hoasam Kiam dan Tiatpie Kimwan telah tersohor kosen untuk banyak waktu, sekarang mereka dipecundangi dalam tempo belum ada sepuluh jurus, malah mereka rubuh di tangan dua anak muda yang mereka anggap tidak ternama, bukan main mendongkol dan malunya, karena ini, tidak tunggu sampai Tan Hong dan In Loei terjang mereka lebih jauh, mereka segera ambil langkah panjang! Thio Tan Hong tertawa hingga terlenggak.
"Adik kecil, lekas kejar!"
Dia serukan kawannya, tangannya pun dikibaskan.
"Kau bekuklah kedua kunyuk tua itu!....."
Bukan kepalang takutnya Hoasam Kiam dan Tiatpie Kimwan, mereka lari ngacir tanpa berani menoleh pula.
Sebenarnya Thio Tan Hong hanya menggertak mereka belaka, kalau mereka dikejar betul-betul, dengan gampang mereka dapat dicandak, karena mereka sedang terluka.
Hong Hoe tunggu sampai orang sudah kabur jauh, lalu ia tertawa terpingkal- pingkal, begitu juga In Loei yang saksikan pemandangan yang lucu itu.
"Aku harus haturkan terima kasih kepadamu,"
Kata komandan Kimie wie itu kemudian pada si pemuda she Thio.
"Telah aku rasai pedangmu tapi itu ada harganya. Kalau nanti kau datang ke kota raja, aku undang kau untuk berkunjung ke gubukku."
Dan ia sebutkan alamatnya. Lalu ia menambahkan.
"Saudara Thio! Saudara In! Sungguh hebat ilmu pedangmu yang tergabung itu, di kolong langit ini tidak ada tandingannya. Pedang kamu dapat berkumpul tak dapat berpisah, maka di antara kamu, kedua sahabat, apabila ada sesuatu pertentangan, haruslah dilenyapkan!"
Hong Hoe mengucap demikian tanpa ia ketahui di antara kedua anak muda itu justeru ada "urusan hebat"
Yang mengganjali ia cuma menyangka hanya bentrok kecil saja..... Iapun mengucap kata-katanya yang belakangan ini hanya sambil mengawasi In Loei seorang. Merah mukanya In Loei, ia tunduk, ia bungkam.
"Aneh In Siangkong ini,"
Pikir Hong Hoe menampak orang likat.
"Dia gagah, kenapa dia jengah tidak keruan? Dia mirip dengan satu nona remaja....."
Sebenarnya komandan ini berniat memberi nasihat, atau "Lihat, mereka tengah mendatangi!"
Seru Tan Hong, tangannya menunjuk.
Hong Hoe menoleh dengan segera, hingga ia tampak In Tiong bersama Hoan Tiong, yang muncul dari tikungan bukit.
Tadi malam Hoan Tiong bawa San Bin pergi, baharu ia keluar dari pintu belakang, di luar dugaannya, ia telah dibikin tak berdaya oleh Thio Tan Hong dan Hek Pek Moko.
Ketika Tan Hong pancing Hong Hoe, kedua iblis Putih dan Hitam itu lantas gunakan obat pules mereka yang mustajab membikin tentara Gielim koen mati kutunya, kemudian, mereka umpetkan diri, untuk bekerja terlebih jauh.
Kebetulan bagi mereka berdua, mereka ketemu Tiatpie Kimwan dan Hoasam Kiam, yang keluar dari hotel, maka mereka pancing dua orang ini ke Tjeng Liong Kiap di mana mereka bertempur.
Ketika itu Hoan Tiong, yang kena mereka tawan, telah dibawa juga ke selat itu di mana dia ditambat di atas sebuah pohon besar.
Pertempuran itu sangat seru, sehingga berlangsung sampai tengah malam, kekuatan mereka berimbang.
In Loei bersama In Tiong berada dipersimpangan tiga di mana mereka dengar suara pertempuran berisik di sebelah kiri, ketika In Tiong menyusul kesana, hari sudah terang tanah, di sana segera ia ketemukan Hoan Tiong yang masih, terikat tergantung, sedang Hek Pek Moko bersama Tiatpie Kimwan dan Hoasam Kiam tengah bertanding hebat.
Ia tidak mau sembarang nyebur dalam pertempuran itu, ia hanya perlukan menolongi Hoan Tiong.
Orang she Hoan ini tidak terluka, dia cuma kaku kaki tangannya bekas lama terikat dan tergantung, hingga In Tiong perlu menguruti dia untuk membikin darahnya jalan kembali seperti biasa.
Selama In Tiong tolongi Gietjian siewie itu.
Hek Pek Moko telah pancing Tiatpie Kimwan dan Hoasam Kiam ke lain arah.
Maka, ketika dua orang ini muncul, Hian Leng Tjoe dan Liong Tin Hong telah dikalahkan Tan Hong dan In Loei, mereka sudah lari kabur.
Atas datangnya kedua orang itu, Hong Hoe lantas menyambut.
Sebenarnya ia niat memberi keterangan, tetapi In Tiong sudah lantas unjuk kemurkaannya yang sangat, dia berseru keras kedua matanya bersinar bagaikan api marong itulah tanda kebencian terhadap Tan Hong.
"Kau kenapa, In Tongnia?"
Hong Hoe tanya "Kenapa kau sangat benci dia?"
In Tiong tidak menjawab, ia hanya hunus goloknya dengan apa ia terjang orang she Thio itu, yang lantas dihantui juga oleh Hoan Tiong yang mainkan sepasang gembolannya.
Tan Hong melayani dengan kelincahan tubuhnya.
In Loei jadi sangat bersusah hati, hingga ia berdiri menyender saja di lamping bukit, matanya mendelong mengawasi pertempuran.
Ia sangat berkuatir.
"Tahan!"
Teriak Hong Hoe akhirnya sesudah ia tak berdaya menyabarkan In Tiong dan Hoan Tiong.
Hoan Tiong menurut, ia berhenti menyerang, tidak demikian dengan In Tiong, masih dia menyerang dengan seru dengan golok di tangan kiri dan tangan kanan yang tanpa senjata.
Malah dia mendesak hebat.
"Toako1."
Serunya sambil berkelahi.
"Dia ini adalah puteranya penghianat Thio Tjong Tjioe! Tak dapat dia dikasih lolos"
Mendengar itu, Hoan Tiong maju pula, untuk mulai lagi dengan serangannya. Thio Hong Hoe sudah lantas berlompat maju.
"Shatee, jangan sembrono!"
Dia berteriak.
"Dalam kejadian tadi malam, dialah penolong kita! Tunggu dulu, hendak aku tanyakan keterangannya!"
Dia lantas ulapkan goloknya.
"Thio Tan Hong, benar atau tidak apa yang dikatakan In Tongnia?"
Dia tanya. Thio Tan Hong melenggak, dia tertawa.
"Harus ditertawai yang manusia di dalam dunia banyak yang matanya putih, sedang bunga teratai keluarnya dari dalam lumpur!....."
Dia bersenanjung.
"Kau telah saksikan sepak terjangku, apakah benar kau masih belum bisa menginsafinya aku orang macam apa? Kenapa kau mesti ngoce tak sudahnya? Perlu apa kau tanya lagi asal-usulku?"
Hong Hoe melengak.
"Inilah benar,"
Pikirnya.
"Meski benar dia puteranya Thio Tjong Tjioe dengan dia pribadi ada apakah sangkut pautnya?"
Maka segera ia berseru pula.
"In Tongnia tahan! Dia benar kandung maksud baik terhadap kita! Jangan kita balas kebaikan dengan kejahatan!"
Masih In Tiong menyerang dua kali.
"Toako, kau tidak tahu!"
Dia berseru.
"Dia adalah musuh besar dari keluargaku! Sakit hati tidak dibalas, adakah itu perbuatannya satu taytianghoe?"
Dengan ilmu Taylek Kimkong Tjioe, In Tiong perhebat serangannya. Thio Hong Hoe menjadi tidak senang.
"Baik"
Serunya.
"Kau balas sakit hatimu, aku tidak peduli!"
Mendadak terdengar satu suara nyaring, lalu tertampak goloknya In Tiong kena dibabat kutung pedangnya Tan Hong! In Loei kaget, dia lompat maju dengan pedangnya ia menghalau di tengah-tengah kedua jago, ia halangi pedangnya si orang she Thio.
Tan Hong tidak niat melukai In Tiong, ia berhenti menyerang, malah lantas ia lompat mundur keluar kalangan.
Hong Hoe terperanjat ketika ia tampak In Loei lompat maju dengan pedangnya, ia menyangka orang hendak gunakan ilmu pedang gabungannya untuk kepung In Tiong, ia juga lompat maju pula.
Ia baharulah melengak tatkala ia dapati pemuda itu justeru maju untuk memisahkan.
Di akhirnya, ia tertawa.
"Bagus, bagus!"
Katanya.
"Memang, permusuhan harus dibikin habis, tak mestinya diperhebat! Bagus kau maju disama tengah!"
Ia lantas tarik tangan In Tiong sambil berkata.
"Kau telah menyaksikannya, bukan? Apa masih kau tidak niat undurkan diri?"
In Tiong awasi Tan Hong dengan mata mendelik, nyata sekali kebenciannya.
Ia merasa sangat menyesal, sesudah belajar silat sepuluh tahun, masih ia tidak mampu kalahkan anak musuhnya.
Karena Hong Hoe menariknya, terpaksa ia menurut diajak pergi.
Menampak kakaknya berlalu, mendadak In Loei menangis, iapun jatuh di tanah.
In Tiong dengar suara itu, ia menoleh, ia menjadi heran.
Hong Hoe kuatir rekan ini kembali, ia mengajak terus.
"Untuk apa kau pedulikan urusan lain orang?"
Katanya, tertawa. Dan ia menarik terus, membawa orang berlalu dari lembah. Ketika kemudian In Loei angkat kepalanya, ia tak tampak kakaknya, tapi ini membuatnya ia menangis terlebih sedih.
"Koko....."
Ia memanggil. Tiba-tiba ia rasakan tangan yang halus mengusap-usap rambutnya, lalu suara yang lemah lembut terdengar di kupingnya.
"Adik kecil, kau menangis, kau menangislah! Setelah menangis, hatimu baharu lega....."
Itulah suaranya Thio Tan Hong, yang telah menghampirinya. In Loei berhenti menangis dan bangun berduduk. Ia tolak tangan si anak muda dari rambutnya.
"Aku menangis sendiri, siapa ingin kau campur tahu?....."
Katanya. Tan Hong tertawa.
"Adik kecil, kenapa kau bersikap begini?"
Katanya, manis.
"Bukankah di kolong langit ini ada sangat banyak urusan yang dapat membuat orang bersedih hati? Dan kau..... kau punyakan berapa banyak air mata?"
In Loei menjadi terlebih sedih, air matanya bercucuran terlebih deras.
"Sebenarnya manusia hidup tak sampai seratus tahun,"
Tan Hong kata pula.
"Urusan besar bagaimanapun yang tak dapat dihabiskan? Apakah artinya budi dan permusuhan itu? Kenapa kau memandangnya demikian hebat?"
Tiba-tiba In Loei mencelat bangun. Ia menjadi gusar.
"Enak benar kau bicara!"
Tegurnya, nyaring. Mendengar orang bicara, hatinya Tan Hong sebaliknya menjadi lega.
"Ayahku memaksa engkong-mu mengembala kuda dua puluh tahun, kejadian itu membuatnya aku menyesal,"
Ia kata pula.
"Akan tetapi kejadian sudah terjadi, kejadian itu tak dapat ditarik pulang..... Tentang meninggalnya engkong-mu itu, tiada sangkut pautnya dengan keluargaku..... Berulangkah aku telah menjelaskannya, apakah kau tetap tidak percaya aku?"
In Loei ingat surat wasiat engkong-nya, itu surat kulit kambing yang bertuliskan darah dan berbau bacin.
Ingat itu ia berpendapat, meski engkong-nya bukan terbinasa di tangan musuh, untuk itu iapun harus menuntut balas.....
Hal ini membuatnya ia bertambah sedih.
Tan Hong menghela napas.
"Ilmu silat Taylek Kimkong Tjioe kakakmu itu lihay,"
Ia bilang, untuk simpangi pembicaraan.
"Pernah aku dengar guruku mengatakan, di jaman ini, yang mengerti ilmu silat itu cuma ada beberapa orang saja, di antaranya adalah Tang Soepee yang paling lihay. Turut penglihatanku, kakakmu itu tentulah muridnya Tang Soepee itu....."
Setelah mengucapkan kata-kata itu, kembali Tan Hong menghela napas.
"Memang ilmu silat kakakku itu ada ajarannya Tang Soepee,"
Sahut In Loei, yang ketarik dengan pembicaraan itu.
"Apakah itu ada hubungannya dengan kau? Kenapa kau menghela napas?"
Dua Musuh Turunan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Aku menyesal atas apa yang telah terjadi....."
Sahut Tan Hong.
"Kita bertiga adalah saudara seperguruan, kita bagaikan satu keluarga, tak disangka-sangkanya, orang yang telah meninggal dunia telah membuatnya urusan bersangkut paut dengan mereka yang masih hidup, hingga sekarang kita jadi berkedudukan sebagai musuh satu dengan lain. Kita sekarang jadi tak dapat hidup damai, apakah itu tidak menyedihkan?"
In Loei merasakan seperti terpukul, ia lekas-lekas menyingkir dari pandangan matanya si anak muda, yang mengawasinya dengan tajam. Pikirannya pun kusut, tidak dapat ia mengucap sesuatu. Sekian lama si anak muda mengawasi, lalu ia menghela napas pula.
"Oleh karena kau tidak dapat memaafkannya, baiklah kita berpisahan saja....."
Ia kata pula, suaranya perlahan.
"Secara begini maka tak usahlah kita saling berduka....."
"Eh, tunggu dulu....."
Mendadak In Loei mencegah. Tan Hong sudah membalik tubuh, mendengar mana ia berpaling pula.
"Ah,"
Katanya.
"kau memangnya cerdas, otakmu bening bagaikan es dan salju. Adakah kau telah dapat menginsyafinya?"
Kembali In Loei menyingkir dari mata orang yang tajam itu.
"Di antara kita sudah tak ada apa-apa lagi yang dapat diperkatakannya,"
Kata si pemuda tetiron kemudian.
"Bagaimana dengan Tjioe Toako? Ke mana kau buang dia? Bagaimana dengan Pit Lootjianpwee? Apakah kau telah ketemu dia?"
Di dalam hatinya, Tan Hong tertawa. Adakah itu yang dimaksudkan sudah "tidak ada apa-apa lagi yang dapat diperkatakan"? Toh yang ditanyakan ada demikian banyak..... Ia tertawa.
"Tjioe Toako itu sangat memusuhi aku, telah aku hajar rubuh padanya,"
Jawab Tan Hong.
"Apa katamu?"
In Loei terkejut.
"Ketika dia dibawa keluar oleh Hoan Tiong, Tiatpie Kimwan dan Hoasam Kiam juga hampir sampai kepadanya,"
Si anak muda terangkan.
"Aku kuatir dia kepergok, itulah berbahaya, maka itu aku telah beri nasehat pada Pit Lootjianpwee supaya dia ajak Tjioe Toako lekas-lekas menyingkirkan diri. Untuk itu aku telah berikan kuda putihku. Tjioe Toako tidak sudi turut nasehatku. Dalam keadaan seperti itu, terpaksa aku totok padanya hingga dia tidak berdaya. Selagi aku titahkan Hek Pek Moko rintangi Tiatpie Kimwan dan Hoasam Kiam, aku ajak Pit Lootjianpwee membawa dia menyingkir dari tempat yang berbahaya itu. Bertiga kami naik atas kuda putihku. Sebentar saja, kami telah antar dia ke rumah keluarga Na. Ilmu totokku ada yang berat, dan ada yang enteng, yang enteng itu membutuhkan tempo hanya satu jam, orang akan sadar sendirinya, karena itu sekarang ini mungkin Tjioe Toako sedang menghadapi perjamuan arak untuk bikin lenyap kagetnya....."
In Loei berdiam. Ia kagum berbareng heran.
"Sungguh hebat dalam satu malam saja kau telah lakukan demikian banyak,"
Ia kata, tawar.
"Kuda putihku bisa lari seribu lie dalam satu hari, apakah artinya semua itu?"
Sahut si anak muda, sikapnya tetap tenang.
Kembali In Loei tutup mulut.
Kembali ia menyingkir dari pandangan matanya si anak muda.
Ketika itu sang matahari sudah berada di atas Tjengliong Kiap, memberikan pemandangan pagi yang indah dari akhir musim ketiga, pelbagai bunga hutan sedang mekar, segar dan indah, dan bunga lay putih bagaikan salju.
Suasana pun tenteram sekali.
Dalam keadaan sebagai itu, tiba-tiba Tan Hong keluarkan sepucuk surat.
"Tolong kau sampaikan surat ini kepada Nona Tjoei Hong,"
Ia minta.
In Loei menyambutinya tanpa berpaling.
Ia insyaf tak dapat tidak, mesti ia berpisah dari si anak muda, akan tetapi ia coba atasi diri, supaya tak usah ia tengok pula wajah orang, hal mana cuma-cuma akan menambah kedukaannya.
Tan Hong menghela napas, suaranya terdengar si nona, terus ia naik atas kudanya - si kuda putih - yang ia kasi jalan dengan ayal-ayalan keluar dari selat, kaki kuda menginjak pelbagai lembaran bunga yang rontok.....
Dengan perlahan Tan Hong bernyanyi, menyanyikan syairnya Ong Pong Hoay di jaman Song ketika dia ini mengenangkan isterinya yang telah menikah pula.
Berduka In Loei kapan ia dengar nyanyian itu, hingga ia kata di dalam hatinya.
"Walaupun aku jemu terhadapmu tetapi di jaman ini, tidak nanti aku nikah lain orang!..... Oh, mengapakah Thian berlaku begini kejam terhadap aku?....."
Ketika kemudian suara nyanyian berhenti, maka lenyap juga Tan Hong serta bayanganya, tinggal si nona seorang diri, matanya mengembeng air - air matanya itu bersinar di antara sorotnya matahari.
Setelah ini, iapun berlalu dari lembah yang sunyi itu.
Tepat di waktu tengah hari In Loei sampai di Imma tjoan di rumahnya Na Thian Sek, di mana ia dapatkan San Bin benar seperti katanya Tan Hong, yaitu pemuda she Tjioe itu baharu saja dijamu, diberi selamat yang dia telah lolos dari ancaman bahaya, dan waktu itu dia tengah pasang omong bersama kawan-kawannya.
Melihat In Loei, Pit To Hoan tertawa besar.
"Sebenarnya aku kuatir ketika tadi malam aku tinggal pergi padamu seorang diri,"
Berkata orang tua itu.
"tetapi begitu aku ingat ada Thio Tan Hong yang melindungi kau secara diam-diam, hatiku lantas menjadi lega, aku tak berkuatir lagi."
Kata-kata itu membuktikan, jago tua ini percaya penuh pada Tan Hong.
"Kami telah berpikir keras, kami telah bekerja hebat, namun kami tak dapat tolong orang,"
Thian Sek turut bicara.
"akan tetapi Thio Tan Hong, begitu dia datang, pertolongan telah dapat dilakukan secara sangat gampang. Sepak terjangnya dia itu sungguh hebat, luar biasa, mengagumkan!"
"Teranglah dia satu laki-laki sejati,"
Kata Tjek Po Tjiang, yang tadinya berkesan jelek terhadap Tan Hong, malah memusuhinya.
"Nyatalah bahwa kita telah bersikap keliru terhadapnya."
San Bin dengar itu semua, ia lirik In Loei.
"Maka sayang sekali, dia adalah musuhnya In Siangkong,"
Ia bilang.
"Kalau tidak demikian, sungguh harus sekali kita bersahabat erat dengannya....."
Bersemu dadu wajahnya In Loei, ia bungkam.
"In Siangkong,"
Kata Tjoei Hong.
"dalam hal menolong toako San Bin, kau juga berjasa, mengapa kau diam saja?"
"Apa jasaku?"
In Loei sahuti.
"Umpama permainan catur, aku adalah satu serdadu yang menyerah untuk orang kendalikan sesuka-sukanya saja....."
Tjoei Hong nampaknya tidak senang.
"Siapakah yang berbuat sesukanya terhadap dirimu?"
Dia tanya. Penyahutannya In Loei tadi hanya sekena-kenanya saja. Ditanya begitu, ia insyaf, tapi lantas ia tertawa.
"Aku maksudkan aku dipermainkan nasib, tak lagi aku berkuasa atas diriku,"
Ia menambahkan kemudian. Orang semua heran. Kenapa "pemuda"
Ini mengatakannya demikian putar balik.
"Kau benar!"
Berkata San Bin, yang tak heran seperti yang lain.
"Mengenai permusuhanmu dengan Thio Tan Hong, itu memang ada permainannya sang takdir!"
San Bin berduka kapan ia ingat permusuhan di antara dua orang itu, karena terhadap Thio Tan Hong, ia berkesan baik.
"Eh, mengapa kamu bicarakan urusan nasib saja?"
Tjoei Hong campur bicara.
"In Siangkong, bukankah kau berniat pergi ke kota raja?"
Sebenarnya nona ini hendak mengutarakan maksudnya untuk turut serta tapi In Loei segera memotong pembicaraannya.
"Ah, hampir aku lupa!"
Kata "pemuda"
Ini.
"Ada sepucuk surat yang mesti disampaikan kepadamu! Surat dari Tan Hong....."
"Untuk apa ia menyampaikan surat padaku?"
Tanya Tjoei Hong, heran. Terus ia menambahkan.
"Kau dengan dia bermusuhan, kenapa kamu nampaknya seperti sahabat- sahabat kekal? Tidakkah ini aneh sekali?"
Sambil berkata begitu, Nona Tjio toh buka suratnya Tan Hong itu.
"Kiranya surat dari ayahku!"
Katanya kemudian.
"Ah, ada urusan apakah maka ayah minta aku lekas-lekas pulang? Eh, In Siangkong, dalam surat ini ada terlampirkan sepucuk surat lain untuk disampaikan kepadamu..... bukan untuk kau sendiri..... hanya ini diminta kau tolong sampaikan kepada Kokioo Ie Kiam. Ah, inilah bukan tulisannya ayah!"
Dan ia melihatnya dengan teliti. Lalu ia menambahkan.
"Nyata surat ini ditulis oleh lain orang..... Kenapa orang main minta surat-surat saling disampaikan?....."
In Loei menyambuti surat yang dikatakan untuknya. Ia tampak tulisan yang sifatnya bagaikan "naga terbang atau burung hong menari."
Memang surat itu diminta disampaikan kepada Ie Kiam.
Berdenyut berulang kali hatinya In Loei apabila ia telah kenali siapa yang membuat buah kalam itu.
Itulah tulisan yang bagus dari Thio Tan Hong.
Mungkin Tan Hong kuatir orang menampik permintaan tolongnya, atau dia ada kandung maksud lain.....
Tjoei Hong sendiri menjadi kecele apabila ia sudah baca habis surat dari ayahnya itu.
"Dalam surat ayahku menyatakan ada urusan penting sekali karena mana ia minta aku lekas pulang,"
Ia bilang.
"dan kau hendak pergi ke kota raja. Entah kapan kita bisa bertemu pula....."
In Loei sebaliknya girang bisa "lolos"
Dari Nona Tjio ini.
"Asal ada jodoh, dapat kita bertemu pula!"
Katanya sambil tertawa.
San Bin semua tertawa, mereka menyangka itulah sepasang suami isteri tengah bergurau, karenanya, merah mukanya Tjoei Hong, yang menjadi likat sekali.
Pada keesokan harinya, orang semua ber-pisahan, masing-masing menuju kepada arah tujuannya sendiri-sendiri.
Pit To Hoan pergi menyingkirkan diri ke Hoasan.
San Bin tidak berani berdiam lama di Kwanlwee, siap ia untuk kembali ke sarangnya.
Dan In Loei, dengan menunggang kuda, menuju ke kota raja.
Tjoei Hong bersama San Bin mengantar orang she In ini.
Nampaknya berat sekali "isteri"
Ini mesti berpisahan dari "suaminya"
Itu..... Sekonyong-konyong, In Loei berkata.
"Entjie Hong, pergi kau pulang lebih dahulu, hendak aku bicara kepada Tjioe Toako....."
Merah matanya Nona Tjioe itu.
Seandainya In Loei berkata demikian sebelum pengalaman mereka yang paling belakang ini, tentu ia jadi tidak senang dan akan beranggapan bahwa di mata In Loei cuma ada San Bin, tapi sekarang San Bin pernah berkorban untuk menolong padanya, dapat ia bersabar, dengan terpaksa ia pulang seorang diri.
"Tadinya aku pandang Tan Hong sebagai penghianat,"
Kata San Bin sesudah mereka berada berduaan.
"sekarang aku anggap dia sebagai satu pemuda gagah dan luar biasa. Maka kalau nanti kau sampai di kota raja, kau selidikilah dengan seksama, apabila benar engkong-mu bukan keluarga Thio yang menganiaya dan menyiksanya hingga menderita selama dua puluh tahun, aku anggap tak usah kau bunuh dia untuk menuntut balas."
Satu malam sudah San Bin telah berpikir keras, tentang takdir, ia menjadi tawar hatinya.
Setelah pengalamannya ini, ia menjadi lebih terbuka pandangannya perihal penghidupan.
Begitulah, maka bisa ia mengucap demikian.
Dua Musuh Turunan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tertarik hati In Loei mendengar perkataan orang itu.
"Baiklah hal ini kita bicarakan pula lain kali,"
Ia bilang.
"Aku punyakan serupa barang untuk haturkan kepadamu..... bukan! Barang ini sebenarnya memang kepunyaanmu!"
Ia lantas keluarkan permata sanhoe, sambil menyerahkan itu, ia kata pula.
"Sekarang sanhoe ini harus dipulangkan kepada pemiliknya!"
Melihat batu itu, berubah parasnya San Bin.
"Kau..... kau maksudkan apakah?"
Dia tanya gugup. -ooo00dw00ooo- BAB XIV Sanhoe itu adalah barang tanda mata, atau pesalin, dari In Loei untuk Tjoei Hong, San Bin ketahui itu, maka cara bagaimana dapat ia menerimanya. Tapi In Loei tertawa.
"Memang benar sanhoe ini berasal kepunyaanmu, yang aku cuma pinjam,"
Si "pemuda"
Terangkan lebih jauh.
"Apakah bukan selayaknya kalau barang kembali kepada pemiliknya?"
"Adik In,"
Katanya dengan perlahan.
"kita sekarang akan berpisah, mengapa kau bergurau begini rupa terhadapku?"
Dengan "adik"
Ia menyebutnya adik perempuan. Iapun nampaknya sedikit tak puas. In Loei mengawasi, ia unjuk roman sungguh-sungguh.
"Toako, hendak aku mohon sesuatu kepadamu, kau sudi meluluskannya atau tidak?"
Ia tanya.
"Kita adalah bagaikan kakak dan adik sejati,"
Jawab San Bin.
"segala apa yang aku bisa pasti suka aku berbuat untukmu, tak peduli mesti aku serbu api!"
In Loei tertawa.
"Tetapi permintaanku ini tidak meminta tenaga sedikitpun jua!"
Ia bilang. San Bin bukannya seorang tolol, dalam sejenak itu sudah ia dapat menerka. Ia jadi agak mendongkol berbareng berduka. Maka, di dalam hatinya ia kata.
"Di dalam hatimu sudah ada lain orang yang menempatinya, itulah tidak apa, kenapa sekarang kau hendak menggunai akal memindahkan bunga ke lain pohon?....."
Tadinya hendak ia unjuk tak puasnya itu, atau In Loei telah dului ia.
"Nona Tjio menyintai aku secara membuta, ia harus dikasihani,"
Demikian si nona.
"Tak dapat aku dustakan ia untuk selama-lamanya yang akan mensia-siakan usia mudanya."
"Itu ada sangkut paut apa dengan aku?"
Tanya San Bin, mendongkol. Matanya In Loei menjadi merah.
"Aku sudah tidak punya ayah dan ibu, di waktu aku nampak kesulitan, jikalau aku bukan minta pertolonganmu, kepada siapa lagi dapat aku memintanya?"
Dia tanya.
"Begitulah kesulitanku ini, melainkan kau yang dapat memecahkannya. Sioktjouw dengan Hongthianloei Tjio Eng kenal baik satu pada lain, maka itu kaulah orang yang paling tepat....."
"Apa? Bukankah dengan begini kau jadi memaksa aku?"
San Bin tanya.
"Kau desakkan soal apa yang orang tak inginkan....."
"Kau ketahui apa yang hendak aku minta dari-mu?"
Balik tanya In Loei.
"Aku juga tidak minta kau segera menikah! Kenapa kau bimbang tidak keruan? Aku hanya minta kau terima sanhoe ini untuk disimpan. Kau tunggu sampai nanti telah tiba ketikanya, akan aku bicara kepada Nona Tjio untuk menjelaskan segala-galanya. Apakah untuk ini kau tetap masih tak dapat menerimanya?"
San Bin berdiam, ia mengawasi.
Ia merasa kasihan terhadap nona ini.
Bukankah permintaan itu tidak berat? Maka itu, dengan terpaksa, akhirnya ia terima juga.
Sepasang alis In Loei segera terbuka, dari masgul, hatinya menjadi rawan.
Ia lantas bersenyum.
Segera ia lompat naik atas kudanya yang dilarikan pergi.....
Dengan mendelong San Bin awasi orang berlalu, pikirannya tidak keruan rasa.
Tak tahu ia mesti bersedih atau bagaimana.....
Tidak ada halangan bagi In Loei selama dalam perjalanannya itu, lewat beberapa hari tibalah ia di kota raja, kota mana menjadi tempat kedudukan kaisar sejak pertengahan kerajaan Kim.
Dulu memang kota itu sudah indah, setelah pindahnya Kaisar Beng Sengtjouw dari Lamkhia, segala apa telah diperbaiki dan ditambah, hingga sekarang Pakkhia menjadi kota besar dan indah tanpa bandingan.
In Loei saksikan Tjiekim shia, Kota Terlarang, ia tampak jalan-jalan besar yang lebar, ia lihat pelbagai toko yang besar-besar dan beraneka warna.
Tapi tak sempat ia menikmati keindahan kota, yang paling dulu ia lakukan ialah mencari rumah penginapan.
"Di kota raja ini aku tidak kenal seorangpun jua,"
Ia berpikir.
"Ie Kiam sebaliknya adalah seorang menteri besar. Sudikah dia menemui aku? Aku juga belum tahu alamatnya....."
Karena ini, ia jadi berpikir.
"Terang sudah si perwira muda adalah kakakku,"
Pikir ia kemudian.
"ia sekarang berada di kota raja ini, mengapa aku tidak hendak cari ia saja?....."
Tiba-tiba berkelebat diotak In Loei halnya kakaknya itu bermusuh dengan Thio Tan Hong. Ia jadi sangat mangui. Tanpa ia kehendaki ia menghela napas.
"Sayang itu hari, saking kesusu, tak bisa aku memberi keterangan kepada kakakku itu,"
Ia sesalkan diri.
"Di dalam dunia ini, melainkan dia orang satu-satunya yang terdekat denganku. Harus aku ketemui dia. Untuk ini aku tak hiraukan bahwa aku bakal ditegur dan didamprat. Akan tetapi apabila kakakku itu mendesak aku bantui ia mencari balas, bagaimana? Beberapa kali Thio Tan Hong sudah tolongi aku dari marah bencana, cara bagaimana aku bisa binasakan dia?..... Tidak bisa lain, aku mesti bisa melihat gelagat....."
Berupa-rupa perasaan memenuhi otak In Loei. Ia girang mengetahui tentang kakaknya, ia berduka mengenai permusuhannya dengan Tan Hong. Ia terbenam dalam keragu-raguan. Sampai sekian lama ia berpikir, tidak juga ia dapatkan pemecahannya.
"Di mana berdiamnya kakakku sekarang?"
Kemudian ia tanya dirinya sendiri.
"Tidak sukar! Lebih dahulu aku mesti cari Thio Hong Hoe!"
Ia ingat perkataannya Hong Hoe baru-baru ini, yaitu kalau ia dan Tan Hong datang ke kota raja, dia hendak undang mereka berdua datang ke rumahnya sebagai tetamu.
Ia ingat juga alamatnya Hong Hoe, yang pernah memberitahukannya.
Tiga hari lamanya In Loei tinggal di hotel, selama itu ia sering keluar seorang diri, hingga ia jadi kenal baik kota raja, di hari ke empat, ia langsung menuju ke rumahnya Thio Hong Hoe.
Komandan Kimie wie itu bukannya seorang hartawan akan tetapi karena kedudukannya baik, ia ada punya sebuah rumah yang besar pekarangannya dan terkurung tembok, di dalamnya ditanami banyak rupa pohon-pohonan.
Hanya aneh, di samping pekarangan lebar itu, rumahnya adalah rumah biasa saja yang terdiri dari empat lima ruang.
Apakah perlunya pekarangan lebar dan kosong itu? "Ah, dia sebagai komandan Kimie wie, sudah tentu dia membutuhkan lapangan luas untuk melatih barisannya....."
Pikir si nona kemudian. Lantas ia hampirkan pintu dan mengetoknya. Satu hamba, yang membukakan pintu, mengawasi sekian lama.
"Maaf, engko kecil,"
Dia kata kemudian.
"hari ini thaydjin kami tidak menerima tetamu....."
Bicaranya tidak lancar. In Loei lantas jadi mendongkol.
"Cara bagaimana kau bisa ketahui dia tidak akan menemui aku?"
Dia tanya.
"Thio Thaydjin telah memerintahkannya, selama beberapa hari ini kecuali rekannya dari Kimie wie, lain orang tak dapat ia menerimanya,"
Sahut hamba itu.
"Tetapi aku adalah orang undangan thaydjin-mu, bagaimana dia tak terima aku?"
In Loei membandel. Hamba itu mengawasi pula tetamunya ini, ia menggelengkan kepala.
"Aku tidak percaya!"
Ia kata. Ia nampaknya memandang enteng. Di dalam hatinya seperti hendak ia mengatakan "Kau orang macam apa sampai thaydjin-ku undang padamu?"
In Loei habis sabar.
"Jikalau kau tidak wartakan kedatanganku, nanti aku masuk sendiri!"
Dia bilang, suaranya keras. Dia cekal loneng besi dan menariknya, hingga jeruji sebesar jari tangan lantas jadi melengkung. Kaget juga si hamba.
"Harap jangan gusar, engko kecil,"
Katanya kemudian.
"Kau tunggu, nanti aku laporkan kedatanganmu ini. Bahwa thaydjin sudi terima kau atau tidak, itu terserah kepada thaydjin....."
Ia lantas bertindak masuk. Ia keluar pula tak berselang lama.
"In Siangkong, thaydjin undang kau masuk,"
Katanya sekarang sikapnya berbeda.
"Silakan kau ambil jalan sebelah kanan itu, lalu memutar ke kiri, setelah kau tampak pintu batu yang hanya dirapatkan, kau tolak saja. Thaydjin kami ada di lapangan di sana. Aku sendiri mesti terus menjaga pintu ini, maafkan aku, tidak dapat aku antar kau."
Sambil berkata demikian, ia membukakan pintu loneng. In Loei bertindak masuk tanpa bilang suatu apa, masih ia mendongkol.
"Banyak juga tingkahnya Hong Hoe!"
Ia pikir.
"Selama di Tjengliong Kiap, ia bersikap manis budi, kenapa sekarang, selagi aku mengunjungi padanya, dia tidak sambut aku? Hm, dasar satu orang berpangkat!"
Sebentar kemudian sampailah In Loei di sebelah luar apa yang si hamba tadi sebutkan sebagai lapangan, segera ia memikirkan kata-kata untuk diucapkan kepada tuan rumah yang ia anggap besar kepala itu. Tiba-tiba ia dengan suara tertawa.
"Hihi! Haha! Hm! Awas!....."
Ia terkejut.
Ia kenali, itulah suaranya Tantai Mie Ming! Tapi ingin ia lekas mengetahuinya, maka tanpa berpikir lagi, ia tolak daun pintu.
Maka untuk herannya, ia tampak banyak anggota-anggota Gielim koen dan Kimie wie, di depan mereka itu berdiri Thio Hong Hoe, sang komandan.
Begitu ia lihat In Loei, Hong Hoe lantas manggut.
Di tengah lapangan tampak Tantai Mie Ming yang menghadapi satu pahlawan, mereka saling lonjorkan tangan, yang menempel satu dengan lain, tiba-tiba si pahlawan Mongolia itu tertawa, kaki kirinya menyambar.
Dan.....
"Bruk!"
Tergulinglah si pahlawan. Tantai Mie Ming tertawa pula.
"Mari, mari, lagi satu kali!"
Katanya. Satu pahlawan lain lompat maju.
"Ingin aku mencoba-coba Tantai TjiangkoenV pahlawan itu bilang. Ia membahasakan "Tjiangkoen" - "jenderal."
"Bagus, bagus!"
Ada jawabannya Mie Ming. Pahlawan itu sudah lantas pasang kuda-kudanya, lalu ia kirim serangannya yang berupa kepalannya. Itulah suatu pukulan dari "Sippatlouw Tiangkoen,"
Atau "Kepalan Panjang Jurus Delapan belas."
Dengan kuda-kuda yang kokoh kuat, nampaknya hebat jurus ini.
Tantai Mie Ming menangkis dengan dua kali dorongan, ia cuma bikin tubuh si pahlawan bergeming tetapi tidak rubuh.
In Loei jadi sangat heran.
Bukankah Tantai Mie Ming pengantarnya pangeran Watzu itu? Kenapa dia berada di rumahnya Thio Hong Hoe? Kenapa dia uji diri dengan pahlawan-pahlawan kaisar? Heran juga sikapnya Hong Hoe, yang agaknya sangat ketarik hati.
Karena ini In Loei tidak segera menghampirkan komandan itu, ia hanya campurkan diri antara orang banyak, untuk menonton terus.....
Pelbagai pahlawan Gielim koen dan Kimie wie itu bicara satu dengan lain, tentang Tantai Mie Ming, perihal latihan itu, maka kemudian, In Loei tahu juga duduknya hal.
Ialah Mie Ming sudah datang sekian lama di kota raja, dia sudah lantas bergaul rapat dengan rombongan pahlawan, tidak heran apabila kedua pihak suka bicara tentang ilmu silat.
Karena Mie Ming adalah pahlawan nomor satu dari Watzu, orang suka mencoba-coba dengannya.
Dua Musuh Turunan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Mie Ming sendiri, yang gemar bergaul dan manis budi, ingin juga ketahui kegagahan pihak pahlawan, maka ia telah minta perantaraannya Hong Hoe untuk cari kenalan, katanya untuk "melatih diri sambil main-main,"
Hanya ia tidak sangka, di antara pahlawan ada orang-orang yang benar-benar berniat merubuhkan padanya.....
Selama itu, latihan persahabatan sudah berjalan tiga hari, hari ini adalah hari terakhir.
Selama tiga hari, Tantai Mie Ming telah merubuhkan delapan pahlawan, dan pada hari penghabisan ini, tetap ia menang terus.
Karena pihak pahlawan nampak kekalahan, akhirnya sikap mereka semua menjadi tegang sendirinya.
Lawan terakhir dari Tantai Mie Ming adalah Yo Wie, hoetongnia atau komandan pembantu dari Gielim koen, dia kesohor dalam kepandaian Tiatpou san-nya, yaitu ilmu "Baju Besi,"
Yang termasuk kalangan luar, Gwak.ee.
Yo Wie percaya betul dia bakal sanggup bertahan, maka itu, dia telah melayani dari sepuluh jurus hingga jurus kedua puluh.
Benar-benar pukulan-pukulan dari Sippatlouw Tiangkoen ada hebat.
Untuk melayani musuh yang tanggu ini, Tantai Mie Ming gunakan jurus-jurus dari "Tiat Piepee"
Atau "Piepee Besi"
Yang biasa saja, meski begitu dengan leluasa ia dapat "temani"
Pahlawan dari kota raja itu. Adalah sesudah sampai pada jurus ke tiga puluh, Yo Wie mandi keringat sendirinya.
"Yo Tongnia, silakan beristirahat!"
Kata Mie Ming sambil tertawa.
Walaupun ia mengucap demikian, ia bukannya mundur, sebaliknya, ia lompat maju, ia menyerang beruntun tiga kali, ketika ia menangkis kedua tangan lawannya, ia merangsak maju dan membentur tubuh orang.
Dengan satu gebrakan saja, Yo Wie rubuh terguling.
"Maaf!"
Kata panglima Mongolia itu. Ia maju menghampiri, untuk membangunkan, lalu sambil tertawa, ia menambahkan.
"Ini adalah giliran yang ke sepuluh! Apakah masih ada saudara lainnya yang sudi beri pengajaran padaku?"
Sampai di situ, Hong Hoe habis sabar. Ia maju.
"Suka aku menerima pelajaran dari Tantai Tjiangkoen1."
Ia kata sambil memberi hormat, suaranya manis. Tantai Mie Ming tertawa lebar.
"Sudah lama aku dengar Thio Thaydjin adalah ahli nomor satu dari kota raja ini,"
Dia berkata.
"sekarang thaydjin sudi majukan diri, sungguh aku merasa sangat beruntung!"
Suara itu manis dan hormat tetapi nadanya agak tinggi, tanda dari kejumawaan yang tak dapat dilenyapkan. Kali ini benar-benar pertandingan adalah yang terakhir, umpama kata Hong Hoe kalah, pahlawan lainnya tidak nanti ada yang berani maju lagi.
"Suka aku menerima pengajaranmu,"
Hong Hoe ulangi, yang terus berdiri berhadapan dengan panglima Mongolia itu, setelah mana ia memberi hormat dengan tiatjoe, dengan tangan kiri dikepal, tangan kanan dibuka, ditaruh di depan dadanya.
Sebenarnya itu bukan cuma tanda memberi hormat, berbareng itu ada persiapan untuk mulai pertempuran.
Tantai Mie Ming tahu diri, dengan bersenyum ia membalas hormat sambil merangkap kedua tangannya, tapi setelah itu, sebat sekali, ia mulai dengan serangannya tanpa membuka lagi kedua tangannya itu, karena ia menyerang dengan "Pekwan tamlouw"
Atau "Lutung putih tanya jalan."
Serangan dengan kedua tangan dirangkapkan itu diarahkan ke atas, ke umbun-umbun, dari atas turun ke bawah.
Thio Hong Hoe buka kedua tangannya, tubuhnya digeser nyamping sedikit, tangan kanan dipakai menangkis, tangan kiri membarengi menyabet, maka, sejenak saja, keduanya sudah saling serang.
Tantai Mie Ming berlaku tenang.
Ia tarik kembali kedua tangannya, untuk menyingkir dari tangkisan, guna menangkis juga.
Tapi ia tidak cuma menangkis, dengan sebelah tangannya yang lain, dengan dua jari, ia menotok ke tulang lemas di pinggang lawannya itu! Kalau totokan ini mengenai tepat, mestinya Hong Hoe rubuh dengan segera, disebabkan tenaganya habis dengan tiba-tiba.
Tapi ia ada jago kenamaan, ia juga telah banyak pengalamannya, tak dapat ia diperdayakan secara demikian gampang.
Kelihatannya ia majukan diri, tak tahunya, menyusuli serangan lawan yang berbahaya itu, ia juga menyerang, sebelah kepalannya menuju ke uluhati! Itu artinya, apabila kedua pihak sama-sama mengenai sasarannya, mereka bakal terluka dan celaka, sebab Mie Ming akan muntahkan darah! "Sungguh liehay!"
Berseru Tantai Mie Ming.
"Inilah Toota Kimtjiong!"
"Toota Kimtjiong"
Berarti "Menggempur rubuh genta emas"
Sama sekali Mie Ming tidak lompat mundur, hanya berbareng dengan seruannya itu, tubuhnya menggeser sedikit, sebelah kakinya menginjak "tiongkiong" (garis tengah), sebelah tangannya "membacok"
Lengan Hong Hoe.
Semua pahlawan berseru bahkan kaget.
Nyaring suaranya ketika kedua tangan bentrok satu dengan lain, habis mana baharulah keduanya lompat mundur dengan berbareng, sama-sama memasang kuda-kuda, untuk bersiap sedia kembali.
Menampak demikian, semua, penonton bernapas lega.
Tapi mereka berlega hati tak lama, atau mendadak mereka lihat tubuh besar dari Tantai Mie Ming merangsak ke depan, seperti rubuh terpelanting, bagaikan runtuhnya sebuah balok besar, kedua tangannya maju sambil menerbitkan angin.
Sebab dengan cara luar biasa itu, panglima Mongolia ini sudah mulai pula dengan serangannya! Beda daripada serangan yang datangnya ganas, Hong Hoe sebaliknya berlaku ayal- ayalan, ia menangkis kedua tangan itu bagaikan ia telah kehabisan tenaga.
Semua orang heran, tak terkecuali In Loei.
Tapi Mie Ming segera berseru.
"Inilah Biantjiang Kanghoe yang lihay!"
"Biantjiang Kanghoe"
Ialah ilmu silat "Tangan Kapas,"
Yang lemas.
Lalu, sambil tertawa, Mie Ming elakkan dirinya, hingga ia bebas dari serangan membalas dari komandan Gielim koen itu.
Hingga kembali mereka lewatkan tiga jurus dengan keduanya tak kurang suatu apa.
Hong Hoe tahu ia kalah tenaga akan tetapi ia adalah Lweek.ee, ahli dalam, ia pandai "Biankoen,"
Ilmu silat "Tangan Kapas", ia lawan kekerasan dengan kelembekan.
Namanya saja lembek, sebenarnya bukan tangan yang lembek atau tenaga yang lemah, melainkan macamnya, sedang sebenarnya, siapa terkena Biankoen, tangannya bisa remuk seperti batu terpukul hancur.
Mie Ming insyaf akan ancaman bahaya itu, tak mau ia menerjangnya.
Semua pihak Gielim koen gembira menyaksikan kesudahan itu, akan tetapi, setelak pertempuran dilanjutkan, In Loei tak tenang hatinya.
Ia telah tampak, makin lama pertandingan berjalan, Hong Hoe makin tegang wajahnya, tidak demikian dengan jago Mongolia, yang tenang sekali.
Dia ini seolah-olah tidak menggunakan tenaga, serangannya enteng, tapi cepat.
Pertandingan tidak segera memberikan kesudahan yang memutuskan, cuma Hong Hoe mulai mandi keringat, suatu tanda bahwa ia telah bekerja sungguh-sungguh untuk membela namanya.
Kalau lain-lain orang tidak melihatnya, In Loei ketahui itu dengan baik, maka itu, nona ini menjadi berkuatir.
"Kepandaian Hong Hoe dibanding dengan kepandaian Tan Hong, ada berimbang,"
Nona ini berpikir.
"Selama pertandingan di dalam kuburan, Tan Hong cuma bisa melayani Mie Ming sampai lima puluh jurus, maka itu, Hong Hoe pasti tidak dapat bertahan sampai tujuh puluh jurus. Sekarang sudah lewat lima puluh jurus, mestinya tak lama lagi, Hong Hoe bakal kena dikalahkan....."
Benar, baharu lewat lagi tujuh atau delapan jurus, tampak Hong Hoe sudah sulit bernapas.
"Jikalau aku kalah, tak apa untuk nama pribadiku,"
Ia berpikir.
"yang celaka adalah nama Tionggoan runtuh karenanya....."
Karena ini, di saat terakhir itu, ia mencoba menggunakan ketikanya.
Ia empos semangatnya, ia kumpulkan tenaganya ke tangan, waktu Tantai Mie Ming dengan dahsyat menyerang padanya, mendadak ia berseru, ia menyambuti dengan sekuat tenaganya.
Serangan membalas ini sangat berbahaya andaikata mengenai sasaran kosong.
Mie Ming adalah seorang yang cerdik, tak sudi ia membiarkan dirinya dipedayakan.
Maka walaupun ia sedang terancam, dapat ia menghindarkan diri.
Ia membalas dengan satu tangan yang berat.
Hong Hoe tidak menduga sama sekali lawannya ada demikian licin dan tanggu, ia kaget sekali merasakan dadanya seperti tertindih keras, sampai napasnya sesak dan tubuhnya berhawa panas.
Syukur untuknya, ia masih dapat ketika akan mundur teratur, dengan elakkan diri, ia membuatnya tenaga lawan tinggal separuh, hingga ia tak terserang hebat.
Dalam keadaan seperti itu, kedua lawan seolah-olah tengah menunggang harimau, duduk terus salah, turun berbahaya.
Mie Ming menang di atas angin, tapi ia kagum akan Tangan Kapas yang liehay itu.
Ia kaget ketika ia dapat kenyataan, tangannya seperti dilihat, tak dapat segera ia loloskan tangannya itu.
"Inilah hebat....."
Ia mengeluh.
Ia tidak berniat melukai lawannya itu, satu jago, akan tetapi ia terancam bahaya.
Daripada bercelaka sendiri, lebih baik ia cari keselamatan.
Karena ini, ia mencoba kerahkan tenaganya.
Semua penonton kembali menjadi tegang, semua berdiam dengan menahan napas.
Kedua lawan memasang kuda-kudanya masing-masing, kedua tangan mereka nempel satu pada lain.
Hong Hoe bertahan diri, walaupun napasnya terdengar nyata, keringatnya ngucur dijidatnya.
Sedapat-dapatnya ia terus melindungi dirinya.
Dalam sibuknya, In Loei berpikir keras.
"Bagaimana aku bisa memisahkan mereka?"
Demikian otaknya bekerja.
Hong Hoe akan terbinasa atau terluka parah.
Hong Hoe adalah hamba negara tapi dia ada satu laki-laki, jiwanya harus disayangi.
Sunyi sekali suasana waktu itu, hingga bila ada jarum jatuh, dapat orang mendengarnya.
Semua penonton mengawasi dengan mendelong, hati mereka tegang sekali.
Dalam keadaan yang sunyi senyap itu, tiba-tiba terdengar satu suara batuk yang perlahan sekali.
Itulah tanda bahwa di situ telah tambah satu orang lain.
Kemudian ternyata, tambahan satu orang itu adalah seorang yang mukanya kuning, kumis jenggotnya panjang dan terpecah tiga, usianya lebih kurang lima puluh tahun, bajunya panjang, tangannya menyekal sebuah kipas rusak.
Rahasia Hiolo Kumala Karya Gu Long Raja Naga 7 Bintang -- Khu Lung Pendekar Setia Karya Gan KL