Ceritasilat Novel Online

Pedang Inti Es 1


Pedang Inti Es Karya Okt Bagian 1



Pedang Inti Es Karya dari Okt

   


   

   Tiraikasih WEBSITE
http.//kangzusi.com

   

   Tiraikasih WEBSITE
http.//kangzusi.com PEDANG INTI ES (Peng Pok Han Kong Kiam) OKT Kisah Pedang Inti Es ini merupakan bagian dari serial kisah Pendekar Thian San, yang disadur oleh OKT.

   Akibat kekalahan yang dialami oleh Pendekar Koei Hoa Seng dalam suatu pibu, telah mendorong dia untuk meninggalkan Tionggoan merantau ke Tibet dan Nepal.

   Dalam perantauan itu, Koei Hoa Seng yang telah memiliki ilmu silat yang bersumber dari Tat-mo Pit-kip menghadapi berbagai intrik dalam mewujudkan keinginannya untuk menyunting si Gadis Baju Putih misterius.

   Ketertarikan dua anak manusia berlainan jenis tumbuh ketika mereka berjuang bersama untuk mendapatkan Kumala Inti Es di Kota Iblis yang ditakuti rakyat Tibet.

   Perjodohan yang melalui perjuangan berat akhirnya dapat diwujudkan setelah Koei Hoa Seng mampu mengalahkan saingan pemuda-pemuda dari berbagai negara lainnya.

   01.Pelancong Wilayah Tibet Bagaikan jarum lenyap dan kemudi hilang, Demikian gunung Koen Loen dibuat jeri.

   Tinggal di dalam guha, berdiam di dalam Gubuk sarang, apakah artinya itu semua? Dengan tongkat rotan hitam di tangan, Di puncak gunung Leng San menggedor pintu langit ...

   Seumpama seorang raksasa yang rebah berbantal bumi dan menyender kepada langit, demikian gunung Koen Loen San bercokol melintang di perbatasan kedua wilayah Sinkiang dan Tibet, dengan puncak-puncaknya yang sambung-bersambung seperti tak ujung pangkalnya seantero tahun tertutup salju yang putih-mulus, yang memutuskan hubungan daratan antara Tibet dan Tiongkok Asli.

   Itulah jalan yang tersohor sulit dan berbahaya, yang tak banyak orang melaluinya, baik dahulu maupun sekarang.

   Tetapi pada saat ini, kita melihat seorang pelancong telah melintasi gunung itu serta tengah memasuki wilayah Tibet.

   Ketika ia berpaling ke belakang, ia mendapatkannya gunung itu sudah ketinggalan jauh di sebelah belakangnya.

   Ia berdiam memandangi, lalu tanpa merasa ia bersiul panjang.

   Ia mengingatnya bagaimana selama dalam perjalanannya ini ia telah bernaung di dalam guha-guha atau di dalam gubuk-gubuk bagaikan sarang burung.

   Menghadapi sang angin, ia lalu bersenandung .

   Pelancong ini adalah seorang pemuda yang usianya baru duapuluh tahun lebih.

   Ialah Koei Hoa Seng, ciangbunyin atau ahliwaris, yang menggantikan menjadi pemimpin atau ketua, dari partai persilatan Boe Tong Pay cabang Utara.

   Ia pun adalah putera nomor dua dari Koei Tiong Beng, satu di antara Thian San Cit Kiam Tujuh jago pedang dari Thian San.

   Ia dandan dengan sederhana akan tetapi dandanannya itu tak menutupi romannya yang gagah.

   Tengah memandangi gunung maha besar itu, tiba-tiba Koei Hoa Seng tertawa dan berkata dengan nyaring.

   "Kata-katanya Hoei Beng Siansoe memang bukan gertakan belaka untuk menakut-nakuti orang, akan tetapi kalau dibilang, dengan mendaki gunung Koen Loen San orang dapat dengan tongkatnya menggedor terbuka pintu langit, itulah berlebihlebihan!"

   Memang, syair yang disenandungkan Hoa Seng ini adalah syair karyanya Hoei Beng Siansoe itu, yang dikarangnya di puncak gunung Koen Loen San ini.

   Hoei Beng adalah seorang pendeta yang menjadi pembangun dari partai persilatan Thian San Pay dan dia berkenamaan di jaman akhirnya kerajaan Beng atau permulaan dinasti Ceng.

   Koei Hoa Seng terdidik sempurna, ia ternama sejak usia muda.

   Di antara tiga saudara, dialah yang paling pandai.

   Akan tetapi beberapa tahun yang lalu, dalam sebuah gelanggang pertempuran, ia kena dirobohkan suami-isteri Tong Siauw Lan dan Phang Eng, yang menjadi ahliwaris turunan keempat dan Thian San Pay.

   Sebenarnya, karena ayah Hoa Seng tergolong dalam Thian San Cit Kiam, ia ada mempunyakan hubungan yang baik dengan Thian San Pay itu, akan tetapi ia tidak sanggup menelan kekalahannya ini dengan begitu saja, maka dengan menuruti ambekannya, ia lantas melakukan perjalanan, mendaki gununggunung, melayari sungai-sungai, maksudnya ialah mencari orang yang berilmu tinggi untuk meyakinkan ilmu silat terlebih jauh.

   Ia bercita-citakan mewarisi ilmu kepandaian yang istimewa untuk dapat membangun satu partai persilatan baru! Kembali Hoa Seng menoleh, mengawasi gunung Koen Loen San itu, habis itu baru ia memutar tubuhnya, akan memandangi sebuah gunung lain, yang sekarang berada di sebelah depannya.

   Itulah gunung Nyenchin Dangla, yang tingginya dapat menyaingi gunung Koen Loen San.

   Sambil memandang, ia tertawa lebar.

   "Benarlah, sebuah gunung tinggi, masih ada lain gunung yang lebih tinggi pula!"

   Katanya seorang diri.

   "Ketika pertama kali aku tiba di Thian San, aku menganggapnya gunung Thian San itu gunung tinggi yang tak termendaki, akan tetapi sekarang aku melihatnya gunung Koen Loen San dan Nyenchin Dangla ini tak ada terlebih kate dari padanya Katanya di perbatasan di antara Tibet dan Nepal ada sebuah gunung Himalaya ialah gunung yang paling tinggi di dalam dunia ini, maka itu benarlah itu pembilangan, di luar langit ada langit lainnya, di samping orang ada orang lainnya lagi, artinya, yang tinggi ada yang terlebih tinggi, yang pintar ada yang terlebih pintar. Di dalam Rimba Persilatan selama seratus tahun ini, umum mengenalnya ilmu pedang Thian San Kiam-hoat yang tak ada tandingannya, tetapi aku -- hm! tak aku mau mempercayainya! Ketika dulu hari itu Hoei Beng Siansoe menciptakan ilmu pedangnya, katanya ia memilih dan mengumpulnya dari sarinya ilmu pedang pelbagai partai lainnya. Siapakah itu pelbagai partai lainnya? Termasukkah didalam situ partai atau partai-partai yang berada di dalam wilayah Tibet atau lain wilayah lagi di luar Tiongkok Asli?"

   Maka, memandangi gunung raksasa dihadapannya itu, pada otaknya Koei Hoa Seng terkilas suatu angan-angan yang luar biasa.

   Ia melamun untuk melintasi gurun pasir yang besar, guna mendaki gunung yang tinggi, guna menjelajah dunia, buat melihat daerah-daerah yang asing untuknya, supaya ia bisa mendapatkan suatu ilmu silat yang menyampaikan puncaknya kemahiran! Tengah lamunannya itu, tiba-tiba kuping Hoa Seng menangkap suara terompet mengaung di udara, lama dan mengalun, suaranya serupa, nadanya sedih.

   Ketika itu sudah dekat magrib, sinar layung tengah bersorot, mega nampak merah bagaikan darah, maka juga, di waktu demikian terdengar suara aneh itu, walaupun dia bernyali besar, hati Hoa Seng tergetar juga, ia merasakan bulu romanya bagaikan bangun berdiri .

   Mengikuti suara terompet itu, Hoa Seng membuka tindakannya.

   Sebentar kemudian, tibalah ia di mulut lembah yang terjepit gunung di kiri dan kanan.

   Di dalam lembah itulah tertampak rombongan orang Tibet dengan terompet mereka yang panjang.

   Mereka itu tengah mengarak-arak sebuah patung malaikat, yang berkepala tiga, setiap kepala patung itu warnanya putih, hitam dan merah.

   Orang-orang Tibet itu mengitari patung itu, mereka menari-nari sambil bernyanyi-nyanyi.

   Sebelum Koei Hoa Song melakukan perjalanannya ke Tibet ini, pernah ia membalik-balik sejumlah kitab mengenai adatkebiasaan bangsa Tibet serta pernah juga mempelajari bahasanya dari beberapa pelancong ke Tibet, maka tahulah ia patung itu patung siapa.

   Itulah patungnya Chietupa, malaikat pelindung dari agama Lhama.

   Jikalau bukan di hari raya besar, atau ada permohonan apa-apa, tidak nanti patung malaikat itu dikeluarkan untuk diarak-arak.

   Memasang kupingnya untuk nyanyian orang-orang Tibet itu maka mengertilah Koei Hoa Seng yang mereka itu tengah menyanyikan lagu "Memanggil Roh,"

   Yang maksudnya kirakira.

   "Kami memohon Malaikat yang suci dan mulia, sudi apalah mengasihani orang-orang dari lain kampung, yang datangnya dari tempat jauh, supaya roh mereka dirampas pulang dari tangannya hantu-iblis, agar dengan demikian hati kami pun tenang-tenteram!"

   Dan nyanyian itu diulangi dan diulangi terus-menerus. Hoa Seng terperanjat, ia lantas saja, berpikir.

   "Orang lain kampung? Itulah mesti orang asing ."

   Demikian pikirnya.

   "Orang asal dari manakah mereka itu? Mereka mendapat penyakit berat ataukah lain bencana? Kenapa mereka menyebabkan orang-orang Tibet ini mengarak malaikatnya untuk memohon pertolongan, supaya roh mereka dapat dirampas pulang? Tidak sia-sia belaka permohonan mereka ini! Mana dapat roh mereka dipanggil pulang secara begini? Aku sendiri ada membawa obat obatan, baiklah aku tengok mereka, jikalau mereka benar jatuh sakit, mungkin aku dapat menolong mereka. Bukankah menolong satu jiwa lebih menang daripada membangun sebuah menara tujuh tingkat?"

   Segera juga orang-orang Tibet yang mengarak patung malaikatnya itu melihat seorang asing lain mendatangi ke arah mereka.

   Mereka agaknya menjadi heran.

   Seorang tua sudah lantas bertindak memapaki orang asing ini.

   Ia membawa satu cawan yang terbuat dari tengkorak manusia, di dalam situ ada terisi arak yang warnanya hijau.

   Inilah arak yang biasa dijadikan minuman suguhan setiap ada upacara keagamaan, untuk menyambut setiap tetamu.

   Rasanya arak ada sedikit pahit.

   Koei Hoa Seng mencegluk arak itu.

   "Tetamuku yang mulia"

   Berkata si orang tua.

   "bukannya kami tidak berlaku hormat kepada tetamu kami tetapi kami terpaksa hendak memohon kepada tuan. Di antara kami ini ada dua orang yang rohnya telah ditarik setan-setan dari Kota Iblis, oleh karena kami kuatir pengaruh jahat setan-setan itu nanti mengganggu kepada tuan, kami minta sukalah tuan lekas-lekas menyingkir dari tempat ini."

   Hoa Seng menjadi heran sekali.

   "Kota Iblis apakah itu?"

   Ia menanya. Justru itu mendadak datang angin meniup keras.

   "Nah, kau lihat!"

   Berkata si orang tua.

   "Bukankah itu Kota Iblis tersebut?"

   Ia bicara dengan suara tergetar, tangannya menunjuk ke atas.

   Hoa Seng dongak mengangkat kepalanya.

   Di udara ia menampak segelempang mega di dalam mana samar-samar terlihat wujud bagaikan sebuah kota, dengan rumah-rumah dan jalan-jalan besarnya, dengan menaranya dan tembok kotanya, atau sejenak kemudian, semua itu bersalin rupa warnanya, atau lagi sesaat, lenyaplah seluruhnya, udara kembali biasa seperti tadinya.

   Selagi tertampaknya apa yang mereka menyebutnya Kota Iblis, semua orang Tibet itu berikut si orang tua, yang rupanya menjadi tertua mereka, pada bertekuk lutut menghunjuk hormat mereka dengan segala kesujudan.

   Hoa Seng sebaliknya, tanpa merasa, ia tertawa sendirinya.

   Tidak lebih tidak kurang itulah permainan sang alam, ciptaan dari perubahan warna mega atau sinar layung.

   Memang aneh pemandangan itu tetapi tidak ada artinya suatu apa.

   Di pesisir atau di gurun pasir, tidak sukar mendapati pemandangan mega berubah seperti itu yang disebabkan pantulan sinar matahari.

   Ia bukannya seorang ahli alam akan tetapi selagi melintasi padang pasir di Sinkiang, Turkestan Tionghoa, beberapa kali ia telah menampak keanehan alam itu.

   Si orang tua heran ketika ia mengangkat kepalanya mendapatkan si orang asing tetap berdiri tegak dengan mata memandang ke "Kota Iblis,"

   Sama sekali tetamu ini tidak berlutut sebagai mereka itu.

   "Hai!"

   Katanya, hatinya cemas.

   "Kota Iblis telah memperlihatkan diri, kenapa kau tidak lekas berlutut untuk memohon ampun? Kau tahu, sekalipun Chietupa tidak nanti dapat melindungi padamu"

   Hoa Seng mengawasi kepada orang tua itu yang bertahayul, ingin ia memberikan penjelasannya, ketika sang alam mendatangkan perubahan pula secara tiba-tiba.

   Dengan sekonyong-konyong muncul pula sang angin, yang menderu keras, di dalam situ tercampur beberapa suara aneh, yang luar biasa, yang mirip dengan suara tambur perang, bunyinya guntur, atau seperti orang hutan menangis atau bagaikan orangorang peperangan tengah bernyanyi dengan nada tinggi.

   Suara campur-aduk itu benar dapat menggoncangkan hati orang.

   Sebentar kemudian, angin dahsyat itu telah mendatangkan juga serbuannya pasir atau batu halus, menyambar kepada patung malaikat Chietupa itu, maka tanpa ampun lagi, malaikat pelindung kesejahteraan itu lantas roboh ke tanah, tubuhnya hancur lebur! Semua orang Tibet itu kaget bukan buatan, serentak mereka menjerit, serentak juga mereka kabur ke segala penjuru tanpa menghiraukan serbuannya pasir dan batu halus itu.

   Chietupa ialah malaikat pelindung mereka, sekarang malaikat itu roboh, itulah tandanya bahwa sekalipun malaikat mereka kalah dari setan dari Kota Iblis yang sangat liehay itu.

   Kalau si Raja Iblis yang menang, bagaimana mereka dapat tidak lari tumpang siur? Angin dahsyat itu menyebabkan jagat menjadi remang-remang.

   Koei Hoa Seng hampir saja kena tertiup roboh angin hebat itu, hingga ia pun menjadi heran.

   "Benar-benar angin ini luar biasa hebat,"

   Katanya di dalam hati.

   "Dan suara angin pun luar biasa sekali. Di mana angin datangnya dari arah Kota Iblis itu, tidaklah heran jikalau orangorang Tibet ini menjadi sangat ketakutan, mereka menyangka telah diserbu angin puyu ."

   Syukur sekali begitu mendadak datangnya angin, begitu lekas sirnanya.

   Maka selang tak lama, suasana menjadi tenang seperti biasa.

   Angin berhenti, pasir tak beterbangan pula.

   Cuaca pun menjadi terang jernih.

   Hanya apa yang kacau adalah reruntuhnya Chietupa serta pelbagai alat keagamaan, yang tersebar memulahan di sekitar situ.

   Sekarang Koei Hoa Seng dapat melihat dua sosok tubuh rebah di tanah, tubuh berikut mukanya ketutupan pasir kuning.

   Ia mendapatkan orang dandan sebagai orang Han.

   Ia merasa pasti mereka inilah yang orang-orang Tibet itu menyebut si orang asing yang menjadi kurbannya setan-setan dari Kota Iblis.

   Tidak ayal lagi ia menghampirkan dua orang itu, setelah mengasi turun kantung airnya, ia menyingkirkan pasir di muka mereka itu, terus ia mencucinya dengan air, maka dalam tempo yang pendek, terlihatlah wajahnya mereka.

   Begitu ia telah melihat tegas, ia menjadi kaget dan heran.

   Dari dua orang itu, yang satu ialah seorang yang tubuhnya tinggi-besar dan berewokan, umumya kira-kira empat puluh tahun.

   Yang lainnya ada seorang bocah usia tiga atau empat belas tahun, kulitnya putih-bersih, romannya cakap.

   "Dia toh Tong Leng putera angkat dari Tong Say Hoa?"

   Kata Hoa Seng seorang diri setelah ia mengawasi pula wajah si anak tanggung.

   Tong Say Hoa ialah anak perempuan dari Tong Jie Sianseng ahli senjata rahasia di propinsi Soe-coan.

   Suaminya, yaitu Ong Go yang menjadi congpoutauw atau kepala seksi dari kantor soenboe di Hoolam, telah terbinasakan Thian San Lie-hiap Phang Lim, jago wanita dari gunung Thian San atau Thian San Pay.

   Oleh karena tidak mempunyai anak laki-laki, Say Hoa telah memelihara Tong Leng ini sebagai anak-angkatnya.

   Benar dia anak-angkat akan tetapi disayangnya bagai anak kandung sendiri.

   Mengenai bocah ini, ada satu hal yang Koei Hoa Seng tidak mengerti.

   Dengan keluarga Tong itu, keluarganya bergaul rapat turun-temurun, dengan begitu, tahulah ia tentang keluarga itu, akan tetapi sampai sebegitu jauh, belum pernah ia mendengar Tong Jie Sianseng atau Tong Say Hoa sendiri menceritakan asal-usulnya si anak angkat.

   Tong Leng sendiri ialah satu anak manis dan cerdik, siapa pun suka padanya.

   Maka pernah kejadian, selama Koei Hoa Seng berada di rumah keluarga Tong itu, prnah ia mengajarkan si bocah beberapa jurus ilmu silatnya.

   Mengawasi si orang tinggi besar, Koei Hoa Seng mengenali dia sebagai Kat Teng Liong, pahlawan yang kosen yang sangat dipercaya dari almarhum Ceng See Tayciangkoen Lian Keng Giauw, itu kepala perang pemerintah Boan yang telah ditugaskan berperang ke Barat.

   Sebenarnya, bicara dari hal ilmu silat, di antara pahlawanpahlawannya Lian Keng Giauw, Kat Teng Liong bukanlah yang terkosen, kalau toh ia ada sangat dipercaya dan diandali, itulah disebabkan kecerdikannya dan banyak akalnya, karena ia mengerti baik ilmu perang berkat ia telah membaca banyak kitab ilmu itu.

   Karena kepintarannya itu, dengan sendirinya ia mengatasi pahlawan-pahlawan lainnya.

   Tidak beruntung untuk Lian Keng Giauw, setelah berjasa besar dan kedudukannya naik tinggi, oleh Kaisar Yong Ceng ia dibuang ke kota Hangcioe di mana ia diberi tugas menjaga pintu kota, setelah mana, ia tak luput dari hukuman mati yang dihadiahkan pemerintah kepadanya.

   Tempo Lian Keng Giauw dibuang, bubarlah semua orang sebawahannya.

   Mengenai Kat Teng Liong, orang menyangka dia bakal turut majikannya ke Hangcioe, untuk tinggal bersama di tempat pembuangan.

   Kemudian ternyata dugaan itu meleset.

   Berbareng dengan dibuangnya panglima perang besar ini, lenyap juga pahlawannya, si orang she Kat ini, lenyap tidak keruan paran, hingga kaum kang-ouw, atau Sungai Telaga, menyangka jelek terhadapnya.

   Pedang Inti Es Karya Okt di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Mereka itu menjadi percaya bunyinya pepatah.

   "Kalau pohon roboh, buyarlah sang kera."

   Maka sungguh tidak disangka sama sekali, sekarang Kat Teng Liong kedapatan di Tibet ini dan bersama Tong Leng juga ..

   Sungguh tak dapat dipikirkan.

   Kenapa Tong Say Hoa rela melepaskan anak-pungutnya mengikuti Kat Teng Liong si pahlawan kepercayaan dari Lian Keng Giauw almarhum? Keluarga Tong tidak mencampuri urusan pemerintahan, dengan Lian Keng Giauw tidak ada sangkut-pautnya, maka itu, mengapa Tong Leng bolehnya mengenal si orang she Kat ini? Jikalau mau dibilang, bocah ini buron, mustahillah ia mempunyai nyali demikian besar? Pula, dapatkah ia meninggalkan ibu angkatnya itu yang sangat mencintai ia? Dan, yang paling aneh, mengapa mereka berada di gurun pasir ini dalam keadaan tak sadarkan diri hingga mereka menyebabkan penduduk Tibet itu mengarak malaikatnya untuk memanggil pulang roh mereka, yang katanya dirampas setansetan dari Kota Iblis itu? Dengan teliti Hoa Seng memeriksa tubuhnya kedua orang yang pingsan itu.

   Ia tidak mendapatkan sesuatu luka apa juga.

   Ia mengatakannya pingsan karena nadi mereka itu berjalan dengan baik, tldak ada tanda sekalipun yang mereka telah kena totokan tangan liehay.

   Sebaliknya, wajah mereka merah, seperti mereka habis menenggak air kata-kata.

   Tempo tubuh mereka digoyang pergi-datang, tetap mereka tidak mendusin.

   Sebagai ahli, Hoa Seng tidak melihat apa-apa yang luar biasa, yang mencurigai .

   Sekian lama Hoa Seng menjublak saja, mendadak ia ingat suatu apa.

   "Kenapa aku tidak hendak mencoba dengan Thian San Soatlian?"

   Katanya di dalam hatinya.

   Thian San Soat-lian itu, teratai-salju dari gunung Thian San, mempunyai khasiat dapat menyembuhkan banyak macam penyakit disebabkan pelbagai racun atau bisa.

   Sangat sukar mendapatkan teratai istimewa itu.

   Ketika Hoa Seng pesiar di Sinkiang, beruntung sekali ia mendapatkan tiga kuntum di puncak utara tertinggi dari Thian San.

   Di waktu mekar, bunga itu ada sebesar mangkok, warnanya warna sinar layung, setelah kering, masih ada sebesar kepalan.

   Begitu bunga itu dikeluarkan dari saku, berserakanlah harumnya yang halus semerbak.

   Dengan lantas Hoa Seng menempelkan soat-lian di hidungnya dua orang itu.

   Tidak lama, lantas terdengar suara bernapas mereka.

   Ia menjadi girang, ia jadi mendapat harapan.

   Lewat lagi sekian lama, Teng Liong mulai mendusin lebih dulu.

   Ketika ia membuka kedua matanya, ia agaknya terperanjat.

   Ia dapatkan di depannya ada orang berdiri dengan tangan di gagang pedang, orang mana mengawasi ia dengan roman murka.

   "Kau siapa? Tempat apakah ini?"

   Ia menanya.

   "Hm!"

   Menjawab Hoa Seng.

   "Tunggulah sampai bocah ini mendusin, baru kita bicara!"

   Teng Liong berdiam, ia mengawasi orang dan bocah di sisinya itu. Tidak lama, Tong Leng pun sadar. Begitu ia melihat Koei Hoa Seng, ia berseru dengan kegirangan.

   "Paman Koei, adakah ini Kota Iblis?"

   Hoa Seng heran.

   "Kota Iblis?"

   Ia balik menanya.

   "Apakah itu?"

   Tapi hanya sejenak, ia lantas memperlihatkan wajah sungguh-sungguh. Ia menanya.

   "Tong Leng, tunggu dulu! Hendak aku menanya ini orang!"

   Dan ia lantas berpaling kepada Kat Teng Liong, yang ia bentak.

   "Kau bernyali besar, kau berani menculik puteranya Keluarga Tong."

   Sementara itu telah pulih ingatannya Kat Teng Liong, maka itu mendengar panggilan Tong Leng kepada orang yang menegurnya, ia pun lantas mengenalinya. Ia tertawa sambil berlenggak.

   "Oh orang gagah si pembela keadilan!"

   Katanya.

   "Dengan sembrono kau menuduh orang! Sekarang kau tanyalah bocah ini, apa benar aku telah menculik dia!"

   "Memang bukan, paman Koei,"

   Tong Leng lekas berkata.

   "Yang benar akulah yang ikut dia."

   Hoa Seng tercengang.

   "Mengapa kau meninggalkan ibumu dan mengikuti dia ini?"

   Ia menanya selang sesaat.

   "Tahukah kau dia siapa?"

   "Dialah paman Kat Teng Liong,"

   Menyahut Tong Leng cepat.

   Tapi ia mengelakkan diri dari pertanyaan mengapa ia meninggalkan rumahnya.

   Melihat sinar matanya, yang tak tenang, ia mirip seorang tua yang tengah berpikir keras, ia bukan miripnya seorang bocah.

   Hoa Seng menjadi heran dan bercuriga.

   Tidak dapat ia menerka Teng Liong menggunai akal apa untuk membujuk bocah ini mengikut padanya.

   "Serahkan anak ini padaku!"

   Kata ia kemudian, tangannya memegang gagang pedangnya, wajahnya bengis.

   "Kau sendiri, pergilan kau ke rumah Keluarga Tong untuk memohon maaf!"

   "Yangan!"

   Tong Leng berkata.

   "Aku suka sendiri mengikut Paman Kat. Jangan kau menyusahi dia, Paman Koei."

   Hoa Seng tidak mempedulikan bocah itu.

   "Aku tidak tahu bagaimana caranya kau membujuk bocah ini!"

   Katanya, tetap bengis.

   "Pendek, jikalau kau tidak serahkan anak ini kepadaku, hendak aku menjalankan kebiasaan kita kaum kang-ouw, ialah kita berdua bertempur untuk memastikan siapa tinggi dan siapa rendah!"

   "Aku bukannya tandinganmu!"

   Kata Kat Teng Liong tawar.

   "Di dalam hal ini, aku tahu diriku siapa."

   Dulu hari ketika Lian Keng Giauw mengajukan pasukan perangnya ke Cenghay, di sana Koei Hoa Seng telah menunjuki kegagahannya tempo ia menolongi seorang touwsoe atau kepala suku meloloskan diri dari kepungan, untuk itu ia telah membinasakan beberapa pahlawannya panglima perang besar itu.

   Kat Teng Liong ketahui baik peristiwa itu, maka sekarang tak suka ia menempur orang kosen ini.

   "Kalau begitu, nah, kau serahkan ini bocah padaku!"

   "Tidak!"

   Jawab Teng Liong.

   "Bocah ini tidak dapat diserahkan padamu!"

   Hoa Seng menjadi gusar sekali.

   "Kecewa kau menjadi orang kang-ouw kelas satu!"

   Serunya.

   "Kenapa kau begini tidak tahu malu? Apakah kau takut mampus?"

   Teng Liong tertawa sambil melenggak.

   "Jikalau aku takut mampus, tidak nanti aku melakukan perjalanan jauh dan sesukar ini!"

   Katanya lantang.

   "Tidak nanti aku bawa bocah ini ke Tibet sini! Aku bukannya takut mampus, hanya aku kuatir, setelah aku mati, nanti tidak ada orang yang melindungi dan menunjang padanya!"

   "Ngaco!"

   Hoa Seng membentak.

   "Anak ini toh ada ibu angkatnya yang nanti merawatnya! Perlu apa kau mencapaikan hati untuknya?"

   Dengan memegang gagang pedangnya, jago ini mengancam untuk menyerang.

   "Paman Koei!"

   Berseru Tong Leng.

   "jikalau paman menyanyangi aku, aku minta kau jangan bikin susah padanya!"

   Hoa Seng heran.

   "Kenapakah?"

   Ia tanya.

   "Sebab seumur hidupku, sudah pasti aku akan mengikuti Paman Kat ini,"

   Menyahut si bocah.

   "Jikalau paman mambunuh mati padanya, habis aku harus mengandal pada siapa lagi?"

   "Ah!"

   Hoa Seng bersuara. Ia heran untuk bocah yang pandai bicara itu.

   "Bukankah tahun ini kau masuk usia empat belas tahun?"

   Katanya, mengawasi dengan tajam.

   "Kenapa kau agaknya begini sangat tak tahu urusan? Apakah tak cukup rawatannya kakek dan ibumu she Tong itu? Kenapa kau tidak ingat lagi budi mereka yang sudah memelihara dan mendidikmu?"

   Airmatanya Tong Leng mengembang hendak bercucuran. Ia sebenarnya tidak hendak berbicara tetapi ia kuatir ini paman Koei benar-benar membinasakan Paman Kat-nya itu. Maka memainlah biji matanya, berputar-putar. Sekonyong-konyong.

   "Bukan! Aku bukannya anak keluarga Tong!"

   Ia berseru. Hoa Seng terkejut, untuk segera menjadi murka.

   "Ingat!"

   Katanya, bengis.

   "Sejak masih kecil sekali kau telah dipiara dan dirawat Keluarga Tong, kau harus ketahui budinya ibu angkatmu melebihkan budi ibu kandungmu sendiri!"

   "Akan tetapi aku masih mempunyai ayahku sendiri!"

   Kata Tong Leng, gagah. Hoa Seng bercekat hati.

   "Siapakah dia?"

   Ia tanya. Tong Leng mengangkat kepala dan tubuhnya, sikapnya bangga.

   "Ayahku ialah Tayciangkoen Lian Keng Giauw yang pernah memimpin angkatan perang dari seratus laksa serdadu!"

   Jawabnya nyaring.

   Hoa Seng benar-benar terkejut.

   Inilah di luar dugaannya.

   Ia mau percaya bocah ini.

   Maka aneh sekali, anak-angkatnya Tong Say Hoa sebenarnya ada puteranya itu panglima perang besar she Lian yang kesohor! Selagi ia tercengang, ia mendengar tangisan seduh-sedan dari si bocah.

   "Memang besar sekali budinya ibu-angkat dan itu tidak dapat dilupakan,"

   Dia berkata.

   "akan tetapi juga sakit hatinya ayahku, aku si anak tidak dapat tidak membalasnya!"

   Hoa Seng mengerutkan keningnya.

   Ia kenal baik Lian Keng Giauw terutama semasa panglima itu berperang ke timur dan ke barat, membantu pemerintah Boan menindas sesama orang Han dan suku lainnya.

   Perbuatan itu membangkitkan kemarahan dan kebenciannya setiap penyinta negara.

   Ketika kemudian dia dibinasakan Kaisar Yong Ceng, kaisar mana pun terbinasa di tangannya pendekar wanita Lu Soe Nio, semua orang merasa girang dan puas sekali.

   "Ah, kau hendak membalas musuh apa?"

   
Pedang Inti Es Karya Okt di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Tanyanya kemudian. Tong Leng menyusut air matanya.

   "Sakit hati ayah dan ibu besar luar biasa!"

   Sahutnya nyaring.

   "Mungkinkah ayahku itu pantas mati penasaran?"

   "Memang juga ayahmu mati pantas,"

   Kata Hoa Seng di dalam hatinya. Ia hendak mengucapkan itu tetapi akhirnya dapat ia membatalkannya. Ia berpikir pula.

   "Lian Keng Giauw berdosa terhadap bangsa, bocah ini tidak. Dia pun, setelah dewasa nanti, akan menginsafi ayahnya itu orang macam apa .... Sekarang dia masih terlalu kecil, jikalau sekarang aku menjelaskannya, hatinya tentulah tak kuat mempertahankan diri,"

   Karena memikir begini, ia menghela napas. Lantas ia bersenyum.

   "Bagaimana caranya kau hendak menuntut balas?"

   Ia bertanya. 02. Kembang Iblis di Kota Iblis Tong Leng melirik Hoa Seng berulangkali. Kalau tadi sinar matanya seperti sangat bermusuh, sinar itu sekarang menjadi berkurang tajamnya.

   "Paman Kat membilangi aku,"

   Ia menyahut.

   "wilayah Tibet ini terlalu jauh dari Tionggoan, pengaruhnya pemerintah Boan sukar sampai di sini, maka di sini kami hendak memasang pokok dasar untuk nanti membangun usaha, supaya kami bisa menggeraki angkatan perang. Syukur jikalau kita menang, kalau toh kita gagal, kita boleh menetap di sini memperkokoh kedudukan kita!"

   Di waktu bicara, Tong Leng bersikap gagah mirip ayahnya dulu memerintah pasukan perangnya.

   "Sungguh tidak kecewa dia menjadi puteranya Lian Keng Giauw,"

   Memuji Hoa Seng, kagum.

   "Kat Teng Long ini pun tidak kecewa menjadi juru pemikir dari Lian Keng Giauw, dia dapat memikir dan memandang demikian jauh! Tapi, soal mereka ini tidak dapat aku tidak mencampurnya tahu!"

   Maka ia cekal tangannya Tong Leng, untuk ditarik dengan perlahan-lahan. Ia tertawa.

   "Kau bersemangat, anak!"

   Katanya, sabar.

   "Meski begitu, kau mesti dapat membedakan mana yang benar mana yang salah, mana yang baik mana yang busuk."

   "Bagaimana itu, paman?"

   Tanya Tong Leng.

   "Coba paman tolong menjelaskan."

   "Sekarang ini kau tengah terserang racun harum, kau harus tidur beristirahat dulu,"

   Kata paman itu.

   "Sebentar, setelah kau mendusin, aku nanti bicara pula denganmu."

   Dengan perlahan Hoa Seng menekan, menotok jalan darah pulas, maka berdiamlah bocah itu. Ia terus menoleh kepada Teng Liong, untuk menunjuki roman murka.

   "Bagus, ya!"

   Serunya.

   "Seorang bocah baik-baik kau telah membujuknya ke jalan sesat! Kau tahu, dosamu ini melebihkan dosa membunuh orang dan membakar rumah!"

   "Aku mengajari dia membalas sakit hati ayahnya, adakah itu dosa?"

   Balas tanya si orang she Kat.

   "Lian Keng Giauw itu, seluruh negara membilangnya. dia pantas binasa!"

   Kata Hoa Seng.

   "Pantaskah orang membalaskan sakit hatinya?"

   "Kalau lain orang yang membinasakan Lian Keng Giauw, masih ada alasannya,"

   Berkata Teng Liong, tenang.

   "Tetapi Yong Ceng ialah orang yang dibela dan ditunjang Lian Keng Giauw hingga dia bangun, pantaskah dia membunuh penunjang dan pembelanya itu? Kalau aku tidak menuntut balas untuk Lian Tayciangkoen, mana dapat aku melampiaskan dadaku yang sesak ini? Di masa hidupnya, Tayciangkoen perlakukan aku baik sekali, sudah sewajarnya aku membalas budinya itu. Apa yang lain orang anggap atau bilang, aku tidak ambil perduli!"

   Hoa Seng berpikir.

   "Orang bilang Co Coh pun mempunyai sahabat karibnya, itulah benar."

   Maka ia menatap orang she Kat itu dan berkata.

   "Bukankah Yong Ceng itu telah terbinasakan Lu Soe Nio? Kau membilang hendak menuntut balas, bukankah sakit hati itu sudah terbalas?"

   "Memang Yong Ceng sendiri telah terbinasakan akan tetapi negara kita ini masih tetap dikangkangi oleh kaum keluarga Aisin Gioro!"

   Seru Teng Liong. Mau atau tidak, semangatnya Hoa Seng terbangun.

   "Bagus,"

   Ia pun berseru.

   "Aku tidak sangka kau, pahlawannya Lian Keng Giauw, dapat bersuara sebagai orang gagah kaum kang-ouw! Baiklah, jikalau kau hendak membalas sakit hatinya bangsa Han, untuk mengusir bangsa asing itu, urusanmu ini aku tak akan campur tahu lagi! Tapi tentang bocah ini, kau harus membawanya dia pulang kepada ibunya, tunggu sampai ia sudah dewasa, kita nanti membiarkan dia pilih jalannya sendiri! Kau akur atau tidak?"

   Teng Liong cuma berpikir sebentar ketika ia memberikan jawabannya.

   "Baiklah! Mengingat budi ini hari sudah menolongi kami berdua, suka aku menurut perkataanmu."

   Di mulut Teng Liong mengucap demikian, sebenarnya citacitanya beda dengan cita-citanya orang gagah kaum kang-ouw seperti dimaksudkan Koei Hoa Seng.

   Dia justru hendak menggunai puteranya Lian Keng Giauw ini untuk memberontak, buat memenuhkan cita-citanya sendiri menanjak tinggi.

   la melihatnya Tong Leng cerdas sekali, hendak ia mendidiknya hingga orang dapat digunai sebagai perkakas.

   Maka itu, tanpa jerikan capai lelah dan kesengsaraan, ia membawanya si bocah ke perdalaman ini.

   Koei Hoa Seng sendiri berpikir.

   Orang ini bersemangat, benar kesetiaannya terhadap Lian Keng Giauw ada kesetiaan tolok, tetapi ia mencintai negara, dia dapat dihargai juga."

   Ia hanya tidak tahu orang sebenarnya kouw-katie, mementingkan diri sendiri saja.

   "Baiklah,"

   Ia berkata, kata-katanya seorang ksatria ......."

   "Bagaikan kuda pesat dicambuk satu kali!"

   Teng Liong menyambuti. Hoa Seng tertawa terbahak-bahak.

   "Bagus, aku percaya kau!"

   Katanya.

   "Sekarang kau antar bocah ini pulang ke rumah keluarga Tong, nanti aku menulis sepucuk surat untuk Tong Jie Sianseng, akan menjelaskan padanya dan supaya dia tidak menyalahkan kau."

   Di situ ada sehelai kulit kambing yang ditinggalkan orang Tibet, Hoa Seng pungut itu, untuk dijadikan kertas istimewa, di atas itu ia mencoret-coret dengan ujung pedangnya, menulis surat untuk Tong Jie Sianseng itu.

   Kat Teng Liong menyambuti surat itu, untuk disimpan dengan rapi di dalam bajunya, tetapi sementara itu, ia sudah menetapkan pikiran lain........

   Hoa Seng hendak segera menotok bangun kepada Tong Leng ketika ia ingat suatu apa, lantas ia menundah niatnya itu.

   "Bukankah barusan kamu omong tentang suatu Kota Iblis?"

   Katanya.

   "Bagaimana makanya kamu kena keracunan hingga pingsan?"

   "Ya, kita pernah menyebut tentang Kota Iblis itu,"

   Menyahut Teng Liong.

   "Mengenai kota itu, sudah beberapa kali aku mencoba membuat penjelidikan, saban-saban aku gagal. Sebabnya ialah aku tidak berani mendatanginya sampai dekat, aku melainkan sampai di puncak di depan itu di mana aku hanya mendampinginya. Adalah kali ini yang aku mencoba datang lebih dekat, atau mendadak kena cium angin yang berdesir, yang baunya beda, lalu kami pingsan."

   Hoa Seng heran.

   "Benar-benarkah ada itu Kota Iblis?"

   Ia menegaskan.

   "Setiap orang Tibet di sini dapat berbicara tentang Kota Iblis itu, aku tadinya menyangsikan,"

   Teng Liong mengutarakan pikirannya.

   "Aku sebaliknya mau menduga di sana ada berdiam satu atau lebih orang yang liehay. Selama memandangi dari puncak, gunung itu, satu atau dua kali pernah aku melihat mengepulnya asap yang mumbul ke atas, atau kapan muncul angin hebat, dari sana terdengar itu suara yang beraneka-ragam yang mendenjutkan jantung "

   "Aku pun telah mendengarnya suara aneh itu,"

   Hoa Seng membenari. Mendengar hal angin aneh itu, pemuda ini tidak terbangkit rasa herannya, tidak demikian dari halnya asap. Ada asap mesti ada api. Dari mana asalnya api itu? "Apakah kau melihatnya di dalam gunung itu ada kotanya?"

   Ia menanya.

   "Tadi malam aku telah mencoba memasuki lembah itu,"

   Menjawab Teng Liong.

   "Samar-samar aku melihatnya di puncak gunung satu menara bundar yang ujungnya lancip, belum lagi aku melihat tegas, datanglah sambaran angin dengan baunya yang luar biasa itu, lalu kami tidak ingat apaapa lagi sampai sekarang kau menyadarkan kami."

   "Mestinya Kota Iblis itu aneh,"

   Pikir Hoa Seng.

   "Mesti ada rahasianya. Di mana sekarang aku telah tiba di sini, tidak dapat aku tidak melihatnya"

   Ia lantas mengulur tangan kanannya, menotok sadar pada Tong Leng.

   Bocah itu mendusin untuk terus membuka matanya.

   Ia mengasi lihat roman girang kapan ia menyaksikan Hoa Seng dan Teng Liong berdiri berhadapan tanpa sikap bermusuh lagi, bahkan bersahabat.

   "Paman, adakah kamu berdua telah mencapai perdamaian?"

   Tanya ia tertawa.

   "Sebenarnya pamanmu itu tidak bermusuh apa-apa denganku,"

   Menyahut Teng Liong.

   "Setelah sekarang semua jelas, tentu sekali dia tidak bakal membikin susah pada kami!"

   Sengaja Teng Long menyahut "kami."

   Di depan si bocah, ia hendak mengesankan itu dengan tajam. Ia hendak mengambil simpatinya bocah ini, supaya dia lebih rapat dengannya dan sebaliknya menjauhkan si orang she Koei.

   "Paman Koei, kau sungguh seorang baik!"

   Kata Tong Leng girang.

   "Bukankah kau tidak hendak mencegah lagi aku membalaskan sakit hati ayahku?"

   Kembali Hoa Seng mengerutkan kening. Dengan perlahan ia berkata.

   "Yang benar dan yang keliru, yang baik dan yang busuk, tidak gampang-gampang untuk membedakan itu. Seorang yang berlaku baik terhadapmu belum tentu umum menganggap baik juga. Untuk mendapat tahu perbuatan sendiri tepat atau tidak, kita mesti mencoba mendengar suaranya orang banyak. Sudahlah, apa yang aku katakan sekarang belum tentu kau dapat tangkap artinya, maka itu baiklah kau pulang, disana kau dapat menyesuaikan kakek dan ibumu. Lewat lagi beberapa tahun, dengan kecerdasanmu, setelah kau dewasa, kau nanti mengerti jelas."

   Tong Leng pepat hatinya. Ia benar-benar kurang mengerti.

   "Pulang-pergi kau toh menyuruhnya aku pulang ke rumah?"

   Katanya kemudian, suaranya nyaring. Teng Liong segera mengedipi mata.

   "Anak Leng, pamanmu ini bermaksud baik,"

   Ia berkata cepat.

   "Mari kami berangkat sekarang. Dengan kau mengikuti aku, aku tanggung tidak akan keliru."

   Orang she Kat ini sudah lantas menuntun tangannya anak itu.

   Koei Hoa Seng mengawasi orang berlalu melintasi lembah hingga mereka tak nampak lagi.

   Sejenak ia merasa, tidaklah sempurna akan membiarkan bocah itu mengikut Teng Liong.

   Akan tetapi ia sendiri tengah pesiar di Tibet ini, tidak leluasa untuknya mengajak-ajak bocah itu.

   Bukankah Teng Liong berjanji mengantarkan Tong Leng pulang? Habis beristirahat sebentar dan menangsal perut dengan rangsum keringnya, di waktu mana matahari sudah silam di barat dan sang rembulan mulai muncul di timur, pemuda ini segera berangkat ke arah yang dikatakan orang Tibet sebagai Kota Iblis Setelah melintasi serintasan padang rumput, di sebelah depan jalan gurun pasir.

   Syukur gurun itu luasnya cuma belasan lie sekitarnya, tidak terlalu lama, dapatlah dilalui.

   Habis itu kembali padang rumput.

   Berjalan sampai tengah malam maka di depan Hoa Seng nampak gunung Nyenchin Dangla.

   Ia terus memasuki lembah yang mirip terompet.

   Sekarang ia melihat aliran es malangmelintang di atas gunung, di tengah malam seperti itu, sinarnya rada kebiru-biruan muda.

   Tengah pemuda ini memandang, tiba-tiba kupingnya mendengar guruh angin hebat.

   Benar saja angin itu membawa bau halus yang luar biasa, hingga ia merasakan kepalanya sedikit pusing, ia seperti kantuk ingin tidur.

   Karena ia insaf, lekas-lekas ia mengeluarkan soat-lian, ia bawa itu ke hidungnya untuk menyedot bernapas.

   Cepat sekali, lenyap rasa pusing dan kantuknya itu.

   Maka ia bertindak terus, tanpa menghiraukan angin yang meniup makin keras.

   Sekarang pun ia mendengar pula suara aneh yang ia dengar tadi siang.

   Benarlah, suara itu aneh dan banyak ragamnya, seperti yang di siang hari, bahkan kali ini lebih dahsyat lagi.

   Pedang Inti Es Karya Okt di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Hoa Seng menutup kupingnya, ia jalan maju di lamping bukit.

   Sinar rembulan terang, ia dapat melihat dengan nyata.

   Maka terlihatlah di tembok gunung itu banyak sekali liang-liang kecil, yang mirip dengan sarang tawon.

   Selagi ia memperhatikan itu, tiba-tiba ia mendengar suara ting tong ting tong di bawahan kakinya, seperti lagu tetabuan Sekonyong-konyong pemuda ini tertawa sendirinya.

   "Ha, kiranya inilah sumber suara aneh yang terbawa angin itu!"

   Katanya dalam hati.

   Semasa di Thian San di mana ia pesiar kelilingan, Hoa Seng pernah mendengar juga suara semacam ini yang datangnya dari bawah gunung.

   Mulanya ia heran, sesudah meneliti, tahulah ia sebabnya atau asal dari mana suara itu datang.

   Di sekitar apa yang dinamakan nadi gunung dari gunung Thian San itu ada kedapatan bukit es yang besar sekali, karena gempa bumi, gunung yang tinggi di bagian belakang longsor, menindih bukit es itu, lalu hari ketemu hari, es itu lumer sendirinya, maka dengan lumemya es, terjadilah tanah gerohong, kosong.

   Di tempat yang kosong itu air es mengalir memperdengarkan suara.

   Inilah suara yang berirama sebagai musik atau sebagai tindakan kaki, demikian rupa suara itu, hingga dapat mengejutkan hati orang yang baru pertama kali mendengarnya.

   Sambil meneliti pelbagai liang itu yang mirip sarang tawon, sambil menempel kupingnya di beberapa liang, yang besarkecilnya tak rata, Hoa Seng mendengar suara yang disebabkan siuran angin.

   Suara itu berbeda-beda.

   Liang itu sudah terjadi karena sampokan pasir yang terbawa angin dahsyat, sedikit demi sedikit, akhirnya menjadi pelbagai liang.

   Serangan angin menjadi lebih hebat karena lembah itu panjang dan sempit.

   Penduduk gurun pasir atau padang rumput, yang cupat pandangannya, yang terpengaruh takhjul, tidak berani mencari tahu sebab-sebabnya suara itu, dengan gampang saja mereka menduga kepada sepak terjang iblis, tidak heran kalau mereka jadi ketakutan.

   Walaupun segala apa telah menjadi terang baginya, Hoa Seng masih heran dan bercuriga karenanya.

   Kenapa di situ ada orang bertinggal berumah-tangga? Apakah maksudnya orang berdiam di dalam lembah itu? Mungkinkah di dalam gunung itu benar ada kotanya? Bukankah soal Kota Iblis itu telah lama tersiarnya mungkin semenjak dulu kala? Maka makin bernapsulah pemuda ini hendak menyelidiki.

   Bagus untuknya, angin pun telah berhenti, jadi ada terlebih leluasa untuk ia mendaki dengan perlahan-lahan.

   Beberapa puncak telah dapat dilewati.

   Setelah itu tibalah ia di suatu tempat, yang mirip dunia lain.......

   Di hadapannya sekarang terbentang tanah datar di mana ada sisa-sisa genting dan tembok, reruntuhnya kuil-kuil satu menara yang telah lama ambruk dan lainnya.

   Maka teranglah itu suatu bekas kota tua.

   Hanya apa yang aneh, segala reruntuh itu seperti bekas dikumpulkan seperti juga belum terlalu lama ada orang yang telah mengumpulkannya.

   Hoa Seng melalui bekas kota tua itu.

   Dari situ ia memandang ke atas gunung.

   Segera ia menampak sesuatu yang terlebih mengherankan.

   Di atas gunung itu ada sebuah, menara putih yang utuh, tingginya belasan tombak.

   Di samping menara itu ada dua petak rumah dengan wuwungannya bundar mirip dengan daun teratai.

   Itulah rumah yang modelnya beda dari kebanyakan rumah bangsa Tibet.

   Di sebelah itu masih ada dua rumah lainnya, yang mendatangkan cahaya berkilau, entah dari bahan apa dibuatnya.

   Dari tempat jauh, taklah itu dapat dilihat tegas, melainkan bisa diduga, itu bukannya rumah dari jaman dulu kala, bahkan itu adalah bangunan baru.

   Koei Hoa Seng tidak mempercayai adanya Kota Iblis tetapi toh ia merasa aneh.

   Ada rahasia apakah di atas gunung itu? Oleh karena nyalinya yang besar, pemuda ini berjalan terus, sampai tiba-tiba hidungnya merasakan angin yang membawa semacam bebauan harum semerbak, walaupun ia menyiapkan soat-lian, matanya sedikit berkunang dan hatinya rada goncang.

   Ia lantas memasang matanya.

   Sekarang terlihat di sana banyak sekali pohon bunga, yang luar biasa, yang warnanya merah, putih dan biru, di terangnya sinar rembulan, indah sekali dipandangnya.

   Sambil mengemu dua lembar soat-lian, Hoa Seng bertindak di antara pohon-pohon bunga itu.

   Karena ini tahulah ia, bau harum yang terbawa angin itulah bau harum dari bunga-bunga ini.

   Ia menghentikan tindakannya, untuk memandangi semua bunga itu, yang berada di sekitarnya.

   Tidak lama atau mendadak ia mendengar suara tindakan kaki orang.

   Ia menjadi sangat heran.

   Dari antara pohon-pohon bunga itu, ia mengintai.

   Ia lantas menampak tiga orang.

   Orang yang pertama adalah seorang pahlawan yang mengenakan pakaian serba hitam, yang berewoknya panjang seperti jenggot kambing gunung.

   Dia ini memimpin, atau diikuti dua lhama, atau pendeta Tibet, yang berpakaian serba putih.

   Mereka lagi berjalan menuju ke arahnya.

   Si pahlawan bertubuh besar dan kekar, melihat romannya, dia bukannya orang Tibet.

   Hoa Seng pun memperhatikan dua lhama baju putih ini.

   Di Tibet, agama lhama itu terbagi dalam tiga golongan.

   Sebelum jaman kerajaan Ceng, yang berkuasa ialah lhama golongan Merah.

   Di jaman Ceng, golongan Kuning yang dijadikan agama negara.

   Kemudian golongan Merah ini tak memperoleh kemajuan tetapi diijinkan tetap di Tibet.

   Golongan yang ketiga ialah golongan Putih.

   Pemimpin tertinggi dari golongan Lhama Putih ini dipanggil hoat-ong atau raja agama atau buddha hidup.

   Di jaman kerajaan Beng, golongan Putih dan golongan Merah sama kedudukannya dan oleh Kaisar Beng Thay-couw pernah dianugerahkan kehormatan sebagai Koan-teng Kok Soe, ialah Guru Negara, serta dihadiahkan firman untuk menguasai ketiga golongan.

   Pada masanya Kaisar Cong Ceng di akhir kerajaan Beng, Dalai Lama V dari golongan Kuning bersama-sama Panchen Lama IV telah meminjam pasukan perang dari Kushih Khan, kepala suku bangsa lainnya.

   Selama seratus tahun lebih, golongan Putih ini tidak pernah berani meninjak pula tanah daerah Tibet.

   Oleh karena ketiga agama itu terbedakan warna jubah mereka, teranglah kedua lama berbaju putih ini adalah dari golongan Putih.

   Karenanya, Hoa Seng menjadi berpikir.

   "Kedua golongan Putih dan Merah adalah musuh-musuh besar, kenapa mereka ini, berani menyelundup masuk ke mari?"

   Demikian pikirnya. Lantas juga ia mendengar suaranya si pahlawan pakaian hitam itu.

   "Putera raja kami mendengar kabar kedatangannya utusan dari Hoat-ong, dengan sengaja ia datang ke mari untuk melakukan penyambutan dengan segala kehormatan. Juga ada beberapa touwsoe yang bakal turut datang ke mari. Ha ha! Inilah jodoh yang langka, pertemuan yang sukar didapatkannya!" (Touwsoe ialah kepala suku). Koei Hoa Seng menjadi semakin heran.

   "Putera raja siapakah itu?"

   Tanya ia pada dirinya sendiri.

   "Kalau dia putera raja Tibet, mengapa dia tidak menjanjikan pertemuan di Lhasa hanya di ini gunung yang penuh keanehan?"

   Pula suara kaku bahasa Tibet dari si pahlawan baju hitam itu mendatangkan kecurigaannya pemuda ini.

   Kedua lhama Putih itu mengucapkan beberapa kata-kata akan tetapi karena mereka sudah berjalan semakin jauh, katakatanya itu tidak terdengar nyata.

   Mereka jalan mendaki, lalu tak lama, Hoa Seng tidak melihat lagi tubuh mereka bertiga.

   Ketika ia hendak keluar dari tempatnya sembunyi, tiba-tiba ia menampak seorang lhama Putih datang sambil berlari-lari, ketika dia hampir sampai di pohon bunga itu, mendadak saja dia roboh terguling, sampai sekian lama, dia tak bangun pula, mungkin dia pingsan.

   Untuk sejenak Hoa Seng melengak, atau segera ia sadar.

   "Mengertilah aku sekarang,"

   Katanya dalam hati.

   "Dua lhama Putih yang pertama itu mempunyai obat pemunah, dia ini tidak, maka dia roboh karena dapat mencium harumnya bunga di sini. Kenapa dia tidak mempunyainya? Kenapa dia tanpa pengantar jalan? Ini pun aneh!"

   Segera pemuda kita, berlompat keluar dari tempatnya sembunyi.

   Ia melihat si lhama Putih dalam keadaan bagaikan orang mabuk, sifat keracunannya sama benar dengan sifatnya Kat Teng Liong dan Tong Leng.

   Kat Teng Liong berdua roboh baru saja mereka tiba di lembah,"

   Hoa Seng berpikir.

   "dia ini roboh setibanya di depan pohon bunga, inilah menandakan kemahiran tenaga dalamnya."

   Oleh karena ia mengandung maksud, Hoa Seng masuki dua lembar soat-lian ke dalam mulutnya lhama Putih itu, setelah mana, ia menantikan.

   Tidak lama, sadarlah pendeta Tibet itu, bahkan segera ia berlompat bangun.

   Tapi lantas saja ia menjadi gusar, dalam bahasanya, bahasa Tibet, ia mendamprat.

   "Ha, kau menggunai ilmu siluman apa?"

   Ia menegur, yang mana dibarengi sama melayangnya tinjunya.

   Hoa Seng menangkis.

   Ia lantas merasakan tenaga orang yang besar.

   Ia sebenarnya hendak mengajukan pertanyaan, atau lhama itu menghentikan serangannya, bahkan dia berdiri menjublak, mengawasi orang yang diserangnya itu.

   Sebab dia mengenali, orang adalah orang Han.

   "Eh, kau siapa?"

   Ia menanya, tinjunya ditarik pulang. Hoa Seng tidak menjadi gusar atau tidak senang, ia malah tertawa.

   "Tanpa aku, sampai sekarang kau masih belum sadar!'' katanya.

   "Kau siapa?"

   Lhama itu berdiam. Ia pun heran karena ia merasakan mulutnya mengemu dua lembar bunga teratai. Ketika juga ia melihat bunga-bunga dengan warna-warna biru, putih dan merah itu, ia terkejut, hingga ia keterlepasan berkata.

   "Ah, kiranya ini bunga asura! Cuma di dalam kitab aku mengetahui bunga ini, tidak kusangka di sini aku dapat menenemukannya! Kau siapa? Mengapa kau begini pandai hingga kau dapat menolongi aku?"

   "Aku hanyalah orang Han biasa,"

   Menyahut Hoa Seng sabar.

   "cuma kebetulan saja aku membawa soat-lian asal gunung Thian San dengan apa aku dapat menyembuhkanmu. Inilah tidak ada artinya. Kenapa ini bunga asura membuatnya kau kaget sekali?"

   "Kau tidak tahu, itulah sebabnya kau heran,"

   Menyahut si pendeta Tibet.

   "Asura itu dalam bahasa Sangsekerta berarti iblis, maka bunga ini dinamakan juga bunga iblis. Dalam kitab Kerajaan Buddha, kalau bunga asura sedang mekar, siapa kena mencium baunya, dia sama juga menemui iblis, dia akan segera roboh pingsan. Sekarang terbuktilah keterangan kitab itu. Bunga ini cuma terdapat di puncak es yang paling tinggi, tetapi sekarang orang menanamnya di sini, sungguh si penanam pandai sekali! Eh, kau sebenarnya siapa? Bukankah kau orangnya mereka itu?"

   "Siapa mereka itu?"

   Hoa Seng balik menanya.

   "Kau sendiri siapa?"

   Pendeta itu nampaknya heran sekali.

   "Kau tidak tahu siapa mereka itu?"

   Katanya.

   "Habis perlu apa kau datang ke mari?"

   "Aku berniat mencari tahu tentang Kota Iblis,"

   Hoa Seng menjawab.

   "Kota Iblis... Kota Iblis..."

   Pendeta itu kata tak tegas.

   "Kota Iblis?"

   "Benar. Orang Tibet menyebutnya tempat ini Kota Iblis."

   Lhama itu tertawa.

   "Di dalam Kota Iblis ada bunga iblis, ah, pantaslah di sini ada rombongan iblis pada menari!"

   Katanya.

   "Kalau begini, kau benarlah bukannya orang mereka itu. Karena kau bukannya, baiklah kau lekas-lekas pergi turun gunung!"

   Koei Hoa Seng menggeleng kepala. Pendeta itu menatap.

   "Jikalau kau tidak pergi, mungkin kau dapat menolong aku tetapi aku tidak nanti dapat menolongmu!"

   Katanya sungguhsungguh.

   "Lekas pergi, lekas!"

   Hoa Seng heran melihat orang demikian sungguh-sungguh. Ia bersenyum.

   "Baiklah, sebentar lagi aku akan berlalu secara diam-diam,"

   Sahutnya.

   Justru itu ada melayang segumpal mega hitam, yang menutupi si rembulan sisir, dan angin pun mulai menderu pula.

   Melihat demikian, pendeta Tibet itu lantas lari mendaki.

   
Pedang Inti Es Karya Okt di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Menggunai saat cuaca gelap itu, Hoa Seng lari menguntit.

   Hanya, ketika selang tak lama mega hitam lenyap dan langit menjadi terang pula, si pendeta sudah nampak lagi.

   Hoa Seng mencari tempat untuk menyembunyikan diri, dari situ ia memandang ke arah depan.

   Ia mendapat kenyataan, ia telah sampai di depannya menara putih tadi.

   Menara itu luar biasa modelnya.

   Bagian bawahnya merupakan kuil persegi.

   Di dalam kuil ada sebuah menara tinggi yang di bawahnya, di empat penjuru tembok luarnya, ada diukirkan dua buah mata masing-masing, di atas mata ada alisnya, dan di bawah mata ada benda seperti hidung, mirip dengan tanda tanya?"

   Bangunan semacam ini belum pernah Hoa Seng melihatnya, pula belum pernah ia membacanya di dalam buku apa juga.

   Dua rupa bangunan yang bercahaya gemerlapan, yang tadi ia melihatnya dari jauh-jauh, letaknya di samping menara putih ini.

   Di muka menara ada dua pahlawan berbaju hitam, yang berdiri berhadapan, yang berjalan maju ke depan masingmasing, setibanya mereka hingga dekat satu pada lain, sebelumnya bersamplokan, lantas mereka berhenti bertindak, untuk membalik tubuh, buat berjalan balik ke tempat dari mana tadi mereka mulai berangkat, hingga mereka jadi berjalan sambil saling membaliki belakang.

   Tempat mereka berangkat semula ialah di ujung kuil.

   Demikian mereka jalan bulak-balik secara lucu itu.

   Teranglah mereka tengah meronda di situ.

   Sesudah mengawasi sekian lama, Hoa Seng lantas bekerja.

   Ia menunggu sampai orang mulai berbalik, dengan pesat ia berlompat tinggi melewati kepala mereka itu, untuk menaruh kakinya di samping bangunan yang terang berkilau itu.

   Ia berlompat dengan ilmunya "Burung belibis putih menyerbu langit."

   Ketika ia meraba dengan tangannya kepada bangunan itu, ia merasakan hawa yang dingin.

   Maka, tahulah ia sekarang, rumah itu terbuat dari es yang keras.

   Rumah yang satunya lagi tidak demikian dingin, akan tetapi ketika ia bawa jari tangannya ke mulutnya ia merasakan sari asin.

   Jadi inilah rumah yang terbuat dari garam kristal.

   Hoa Seng heran berbareng lucu.

   "Kota Iblis ini benar-benar luar biasa,"

   Pikirnya.

   "Tempatnya, rumahnya, dan orangnya, semua aneh-aneh!"

   Dari tempat di mana ia berdiam, pemuda ini memandang kepada dua orang ronda tadi.

   Kebetulan mereka sampai di ujung dan belum membalik tubuh, ia lantas berlompat pula.

   Kali ini ia lompat naik ke menara putih, di tingkat pertama.

   Di sini ia menyembunyikan diri di payon pojok, untuk memandang ke bawah di antara genteng beling di wuwungan kuil.

   Di dalam pendopo ada sebuah patung Buddha yang besar sekali, tingginya beberapa tombak.

   Di depan patung itu ada berdiri seorang dari usia pertengahan yang romannya bengis, sebab dia bermata celong, berhidung bengkung, rambutnya teriap hingga ke pundaknya, sedang bajunya ialah jubah merah yang besar yang ditabur dengan mutiara.

   Di kedua sampingnya, sebaris ada sejumlah pendeta, sebaris yang lain ialah rombongan boe-soe atau pahlawan.

   Ketika itu kebetulan ada tiga orang Tibet, yang dandan sebagai pembesar, tengah menghunjuk hormat kepada orang yang romannya bengis itu.

   Seorang pendeta, yang berjubah hitam, terdengar berkata.

   "Utusan dari Raja Shaka, utusan dari Raja Lungchan, dan utusan dari Raja Atung, menghadap kepada Pangeran!"

   Dengan "pangeran"

   Itu diartikan putera raja. 03. Persekutuan Pangeran Nepal Koei Hoa Seng lantas berpikir.

   "Ah, kiranya dialah si putera raja. Dilihat dari roman dan dandanannya, dia bukan miripnya orang Tibet. Dia putera raja dari manakah?"

   Sia-sia ia menerka. Putera raja ini dan itu beberapa pendeta, bahasa Tibetnya lancar sekali.

   "Sama sekali aku tidak mengharapi pembalasan budi,"

   Terdengar si putera raja.

   "Maksudku yang utama ialah membantu dengan sungguh-sungguh kepada ketiga raja kamu supaya bisa menjadi raja-raja jago seperti perapian kaki tiga di Tibet ini! Asal kamu melayani baik-baik utusanku, di belakang hari aku pun akan mengirim pasukan perang untuk membantu kamu. Adakah raja kamu telah mengerti?"

   "Sudah, sudah mengerti,"

   Menyahut ketiga pembesar Tibet itu.

   "Kita datang ke mari memang istimewa untuk membuat perjanjian dengan tuan pangeran."

   Putera raja itu, yang dipanggil tuan pangeran, tertawa lebar.

   Pendeta yang terdepan lantas menghampirkan dengan membawa cawan tengkorak yang memuat arak darah, dengan hormat ia mengangsurkan itu kepada si putera raja, siapa menyambutnya, untuk diangkat tinggi seraya ia berkata-kata dengan nyaring dalam bahasa Tibet, maksudnya .

   "Meminum sisa arak kamu adalah satu kehormatan, apakah kamu sudi meluluskannya?"

   Hoa Seng mendengar kata-kata itu tetapi ia tidak menangkap artinya yang benar, rnaka itu ia terus memasang mata.

   Utusan dari Hoan-ong atau Raja Shako, lantas mengangguk, ia menyambuti cawan arak dari putera raja itu, ia mengirupnya secegluk.

   Habis itu si anak raja menyambuti pulang cawan itu, untuk ia pun meminumnya.

   Setelah itu cawan, dengan bergantian, diangsurkan kepada utusan-utusan dari Raja Lung-than dan Raja Atung, yang masing-masing minum seperti utusan dari Shaka, dan si putera raja pun meminumnya bergiliran seperti bermula tadi.

   Di akhirnya putera raja itu tertawa terbahak.

   "Mulai saat ini dan selanjutnya, kita adalah seperti satu keluarga!"

   Katanya nyaring.

   "Lebih dulu aku akan mengirim orangku untuk mendidik pasukan perang kamu."

   Sampai di sini barulah Hoa Seng sadar.

   Jadinya mereka ini baru saja menjalankan upacara perserikatan menurut cara bangsa Han, yaitu dengan minum arak tercampur darah.

   Si utusan yang minum lebih dulu, baru si putera raja, demikian mereka bergantian.

   Setelah minum arak darah, ketiga utusan mengundurkan diri ke tempatnya masing-masing.

   Belum lama, pendeta-pendeta di kedua samping mengasi dengar suaranya.

   "Utusan Hoat-ong tiba!"

   Mendengar itu, putera raja berbangkit dengan air muka berseriseri, ia sendiri yang menyambut utusan itu, ialah utusan hoatong atau raja agama.

   Yang datang itu adalah si pahlawan berbaju hitam, yang memimpin kedua pendeta lama Putih tadi.

   Nampak nyata, putera raja itu menyambut kedua utusan hoat-ong ini lebih hormat daripada perlakuannya terhadap ketiga utusan hoanong.

   Sambil membungkuk, putera raja membalas hormatnya kedua utusan Lhama itu.

   "Adakah Hoat-ong sehat-sehat saja?"

   Dia menanya.

   "Dengan berkah perlindungan Buddha kami, Hoat-ong kami sehat tak kurang suatu apa,"

   Menyahut kedua utusan itu sambil menjura.

   "Selama beberapa tahun ini Hoat-ong telah meninggalkan tanah suci, hal itu membuatnya hatiku tidak tenteram,"

   Berkata pula putera raja. Ini pun sebabnya kenapa sekarang aku bersedia menyambut Hoat-ong kembali ke Tibet. Mengenai maksudku ini yang setulusnya, mengertikah Hoat-ong?"

   Pendeta lhama yang pertama menyahuti, katanya .

   "Tuan pangeran berkenan melindungi Agama kami, atas itu bukan main bersyukurnya Hoat-ong, maka juga kami sekarang diutus datang ke mari untuk menyampaikan ucapan terima kasih beserta sekalian mengikat janji."

   Mendengar ini, kembali Hoa Seng terkejut.

   Ia ingat bahwa sudah semenjak seratus tahun yang belakangan ini di Tibet telah terjadi kekacauan agama, sebab pelbagai golongan saling berebut kekuasaan, hingga karenanya pernah terjadi beberapa kali pertempuran.

   Kalau sekarang juga agama Putih dari Cenghay hendak kembali ke Tibet, untuk melakukan penyerbuan, tidakkah itu berarti bencana perang terlebih hebat pula? Kembali terdengar tertawa nyaring dari putera raja itu.

   Ia mengangkat cawan tengkoraknya, ia mengucapkan pula katakatanya tadi dalam bahasa Tibet, ialah meminta supaya si utusan lama ini minum arak perserikatan itu lebih dulu, bahwa ia sendiri akan meminum sisa arak.

   Utusan lama yang menjadi pemimpin itu menyambut cawan arak istimewa itu, untuk meminumnya, ia membungkuk dengan hormat, akan tetapi belum lagi pinggiran cawan itu nempel sama bibirnya, mendadak pahlawan-pahlawan di kedua pinggiran pada mengasi dengar bentakan-bentakan yang berisik.

   "Siapakah itu yang datang?"

   Putera raja menegur dengan bengis.

   "Kenapa kau berani lancang memasuki kuil yang suci?"

   Koei Hoa Seng segera menoleh, akan melihat siapa itu si lancang, yang seperti tidak menghormati tempat suci.

   Segera ia mengenali si pendeta Lhama Putih, yang tadi ia tolongi hingga sadar dari pingsannya.

   Dia ini membawa tongkatnya, tongkat Kioe-hoan Sek-thung, sembari mengangkat itu tinggi-tinggi, ia memperkenalkan dirinya dengan nyaring .

   "Akulah Maskanan utusan dan Hoat-ong Agama Putih!"

   Keterangan ini membuat terperanjat pendeta-pendeta dan pahlawan-pahlawan di kiri dan kanan, mereka lantas mengawasi dengan mata mendelong. Si putera raja pun mengkerutkan keningnya.

   "Utusan Hoat-ong berada di sini sekarang!"

   Ia berkata.

   "Kau sendiri siapa maka kau berani memalsukan diri mengaku utusannya Hoat-ong?"

   Utusan lhama Putih ini mengibaskan tongkatnya Kioe-hoan Sek-thung itu.

   Di ujung tongkat itu ada dua renceng mutiara terbikin dari emas, dengan dikibaskan, terdengarlah suara mutiara itu nyaring.

   Sambil berbuat begitu, dia angkat kepalanya dan tertawa, hingga karenanya di lehernya nampak tergantungnya sebuah patung Buddha emas yang kecil, yang memperlihatkan sinar bergemerlapan.

   Dia pun berkata pula dengan nyaring.

   "Di sini ada bukti-bukti dari barang-barang suci milik Hoat-ong, adakah aku memalsukannya?"

   Kedua pendeta lhama yang pertama menjadi heran sekali.

   "Kenapa Hoat-ong pun mengirim kau ke mari?"

   Mereka tanya.

   Tidaklah heran kalau mereka ini berdua menjadi bingung.

   Merekalah orang-orang kepercayaannya Hoat-ong, diutusnya mereka ke Kota Iblis ini untuk membuat persekutuan adalah secara rahasia, yang mengetahuinya cuma berbatas dengan beberapa orang.

   Di samping itu Maskanan, dalam Agama Putih, kedudukannya sangat rendah, dia pun bukannya sebagai pelindung, menurut pantas, dia tak berhak mengetahui urusan rahasia itu, maka aneh, dia sekarang mengaku menjadi utusan serta pun memegang bukti-bukti itu tongkat dan patung emas mungil.

   Putera raja menyaksikan kebingungan kedua utusan lhama itu, ia mengerti pada itu mesti ada sebabnya yang baru, entah perkembangan apa itu, tetapi ia cerdik dan tabah, tahulah ia apa yang ia mesti lakukan.

   Maka juga ia tertawa.

   "Bagus!"

   Katanya nyaring.

   "Hoat-ong telah menambah perutusannya, itu menandakan bagaimana pentingnya urusan kita ini! Bukankah kau datang untuk memperkuatkan ikatan kita? Nah, silahkan minum araknya!"

   Dengan arak, putera raja ini maksudkan arak campur darah itu.

   Ia pun menyebutnya itu tetap dalam bahasa Tibet seperti tadi.

   Kedua matanya Maskanan berputar, tanpa sungkan-sungkan ia mengulur tangannya, akan menyambuti cawan arak tengkorak itu.

   Setelah ia memegangnya, bukannya ia bawa cawan itu ke mulutnya, hanya dengan tiba-tiba ia menghajarnya dengan tangannya yang sebelah lagi.

   Maka tak ampun, cawan itu pecah-hancur dan araknya berhamburan.

   Ia pun berseru.

   "Perserikatan apakah yang hendak dibikin? Hoat-ong justru menitahkan kamu untuk lekas kembali, supaya kamu jangan bercampuran sama segala kaum sesat!"

   Kedua utusan yang datang lebih dulu itu menjadi kaget, dari bingung mereka menjadi gusar, airmuka mereka berubah.

   "Benarkah Hoat-ong menitahkan begini?"

   Menegaskan yang satu.

   "Kau bernyanyi besar!"

   Membentak yang lain.

   "Surat titahnya Hoat-ong berada ditanganku! Bukankah kau main gila dengan titahmu ini?"

   "Kau membawa titahnya Hoat-ong yang mana?"

   Maskanan tanya.

   "Kau ngaco!"

   Membentak pendeta yang ditanya itu.

   "Memangnya ada berapa Hoat-ong? Aku membawa titahnya Hoat-ong ke-XV!"

   Tapi Maskanan menjawab nyaring.

   "Hoat-ong ke-XV itu sudah mengundurkan diri, dia sudah menyerahkan kedudukannya! Sekarang ini aku mendapat tugas dari Hoat-ong ke-XVI!"

   Di dalam kalangan ketiga agama Lhama di Tibet, yaitu Golongan Merah, Kuning dan putih, cuma golongan Putih yang mempunyai aturan menyerahkan kedudukan Hoat-ong kepada penggantinya.

   Pedang Inti Es Karya Okt di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Meski begitu adalah aneh, generasi yang ke-XV ini, yang sedang makmumya, secara mendadak sudah digantikan oleh generasi ke-XVI.

   Maka itu, kalau mulanya mereka kaget dan heran, kedua Lhama itu menjadi murka.

   Mereka lantas menduga kepada duduknya hal.

   "Bagus betul!"

   Mereka berseru.

   "Jadinya kamu kawanan iblis, kamu sudah memberontak merampas kedudukan Hoat-ong kami! Tuan pangeran, utusan ini utusan yang palsu!"

   "Kamu berdualah yang palsu!"

   Maskanan pun membentak. Putera raja berdiri di pihak dua Lhama yang pertama. Ia tertawa dingin.

   "Tak usah ditanya lagi, segala apa sudah menjadi terang!"

   Katanya.

   "Utusannya Hoat-ong mana berani berlaku kurang ajar dan mengacau di ini tempat suci?"

   Habis berkata, ia lantas mengibaskan tangannya.

   Melihat tanda itu, kedua lhama berikut si pahlawan baju hitam sudah lantas bergerak, hampir berbareng mereka menubruk lhama yang mereka tuduh utusan palsu itu.

   Hebat Maskanan, ialah yang ditubruk, tetapi ia juga yang turun tangan terlebih dulu.

   Dengan sebat ia menangkis kedua lhama penyerangnya, sambil menangkis ia menghajar demikian hebat, hingga seketika itu juga robohlah dua penyerang itu, roboh dengan pingsan.

   Si pahlawan jadi gusar sekali, sambil berseru ia menghunus goloknya yang berupa mirip bulan sisir, dengan itu ia lantas membabat batang lehernya si lhama.

   Maskanan tidak berkelit, ia hanya menangkis dengan tongkat kebesaran di tangannya.

   Kedua senjata bentrok nyaring, ujung tongkat kebangkol golok, lelatu apinya berhamburan.

   Dengan cepat ia menarik pulang tongkatnya, untuk membalas menyerang, maka lagi sekali dua senjata beradu.

   Hebat akibatnya dua kali bentrokan itu.

   Baik tajamnya golok, maupun ujung tongkat, dua-duanya gompal dan kentop.

   Si pahlawan menjadi penasaran agaknya.

   Ia menarik pulang goloknya, begitu sebat ia menarik, begitu sebat juga ia membacok pula.

   Goloknya itu menyambar ke bawah.

   Maskanan tidak takut, ia mainkan tongkatnya untuk membuat perlawanan.

   Maka dahsyatlah pertempuran mereka ini, anginnya tongkat dan golok seperti turut saling menyambar.

   Koei Hoa Seng, yang menyaksikan pertempuran itu, berkata di dalam hatinya.

   "Goloknya pahlawan berbaju hitam ini beroman luar biasa tetapi ilmu silatnya tidak ada bagian-bagiannya yang istimewa, adalah ilmu tongkat dari Maskanan, benar-benar bukan sembarang ilmu, gerakannya sangat cepat dan tangkas, mirip dengan ilmu silat tongkat Hok Mo Thung-hoat."

   Hok Mo Thung-hoat ialah ilmu silat tongkat Menakluki Iblis.

   Dugaannya Hoa Seng tepat sekali.

   Setelah lagi beberapa jurus, sambil berseru Maskanan telah menyampok golok lawannya sampai terlepas dari cekalan dan mental melayang! Si putera raja mengasi dengar suara "Hm!"

   Dan terus mengatakan sesuatu. Ia bukannya omong Tibet tetapi katakatanya tidak terdengar nyata. Atas itu seorang pendeta asing yang berdiri di paling muka muncul dari dalam barisannya.

   "Letaki tongkat itu untukku!"

   Ia berkata nyaring kepada Maskanan. Ia maju dengan bertangan kosong. Maskanan tidak sudi menyerahkan, bahkan ia mendongkol.

   "Kalau kau bisa, kau ambillah!"

   Bentaknya.

   Ia tidak takut, bahkan ia lantas putar tongkatnya itu mengurung si pendeta asing, yang berjubah kuning.

   Pendeta itu tertawa dingin.

   Ia tidak membilang apa-apa lagi, ketika ia mengasi kerja kedua tangannya, tongkatnya Maskanan lantas kena dipancing, berbareng dengan mana, lengannya pun digempur.

   Bagus bersilatnya pendeta ini, dan sebat gerakannya itu.

   Ia pun membangkitkan kekagumannya Hoa Seng.

   Sekarang terlihat tegas, kalau tongkat Maskanan dimainkan dengan tenaga luar, yaitu keras, tangannya si pendeta lama Kuning bergerak dengan tenaga dalam, yang lemas.

   Belum ada setengah jam, perbedaan mulai terlihat.

   Yaitu si pendeta lhama Putih mulai mengeluarkan keringat dan gerakan tongkatnya tak secepat mulanya.

   Menyaksikan perubahan itu, Hoa Seng bergelisah sendirinya.

   Inilah sebab simpatinya berada di pihaknya si pendeta Putih.

   Lalu terlihat si pendeta Kuning memutar tangannya, mirip dengan gerakan tipu-silat Tionghoa "Hoay tiong pauw goat,"

   Yaitu "Merangkul rembulan."

   Ujung tongkatnya Maskanan lantas saja kena disambar.

   Hoa Sang terkejut.

   Ia percaya tongkat itu bakal kena dirampas.

   Maskanan sendiri tidak kaget karenanya.

   Dengan sebat ia menggentak tongkatnya itu, menggeraki kaget kepala tongkat.

   Atas itu dengan tiba-tiba terlihat menyambarnya dua buah sinar kuning berkilau.

   Dari kepala tongkat itu melesat dua renceng mutiara emas, yang merupakan senjata rahasia yang luar biasa.

   Pendeta Kuning itu kaget bukan main, benar ia keburu melepaskan tangannya kepada tongkat lawan seraya berkelit juga, akan tetapi datangnya serangan hebat sekali, sebutir mutiara mengenai juga matanya, hingga ia lantas menjerit keras sambil menutupi mukanya.

   Si putera raja menjadi sangat gusar, ia geraki tangannya akan memberi tanda.

   Atas ini kedua baris pendeta dan pahlawan maju semua, untuk mengurung si pendeta Putih yang liehay itu.

   Maskanan memutar tongkat sucinya hebat sekali, lalu beberapa puluh mutiaranya menyambar-nyambar, akan tetapi hasilnya itu tidak seberapa, cuma beberapa orangnya saja yang terluka.

   Inilah disebabkan kecuali orang sudah bersiap sedia, di antara mereka tidak sedikit orang-orang yang liehay.

   Oleh karena terkepung rapat, biarnya ia gagah sekali, Maskanan segera terbacok dua kali dan pundaknya pun terhajar satu kali tangannya si lhama Kuning.

   Dia ini sangat mendongkol dan gusar karena sebelah matanya terhajar mutiara hingga buta, dari itu tetap ia mendesak dengan sengit.

   Mengetahui ia terancam bahaya, habis menyerang dengan senjata rahasianya itu, Maskanan menggunai ketika untuk berlompat keluar dari kuil, guna menyingkirkan diri.

   Akan tetapi musuhnya penasaran, si lhama Kuning terus mengejar, di belakangnya menyusul dua orang lain.

   Lhama Kuning ini liehay sekali, tubuhnya sangat lincah, bagaikan melayang di udara, ia menyambar ke arah lawannya dengan satu lompatan pesat, atau sekejab saja tangannya yang besar sudah menjambak ke punggungnya Maskanan.

   Lhama Putih itu juga tidak kurang liehaynya, dia merasakan datangnya sambaran angin, untuk membela diri, dia tidak berkelit atau lari terus, hanya, sebat luar biasa, tongkatnya menyerang ke belakang! "Aduh!"

   Demikian jeritannya si lhama Kuning, menyusuli mana dia roboh terguling. Maskanan heran hingga ia tercengang.

   "Kenapakah dia jatuh?"

   Pikirnya.

   "Tongkatku toh belum mengenai tubuhnya? Mustahilkah Sang Buddha telah membantui aku?"

   Selagi ia berpikir demikian, dua kali ia mendengar jeritan susulan, dan dua lhama lain pengejarnya roboh saling-susul seperti si lhama Kuning itu.

   Dalam sesaat itu, riuhlah keadaan karena dari dalam kuil semua orang memburu keluar, untuk turut mengejar, tetapi setibanya di luar, mereka semua heran dan kaget akan menyaksikan robohnya tiga lhama itu.

   Tidak seorang jua yang melihat bagaimana robohnya mereka.

   Dalam saat itu maka terdengarlah satu seruan nyaring sekali.

   Maskanan terperanjat, matanya seperti kabur ketika ia menampak berkelebatnya dua bayangan bagaikan awan merah yang melesat ke arahnya, sesudah ia melihat tegas, ia mengenali si putera raja serta seorang lhama Merah.

   Ia terperanjat karena ia tahu betul dua orang itu liehay sekali.

   Lama Merah itu sudah lantas mengasi lihat kepandaiannya.

   Ketika ia menyambar dengan tangan bajunya, Maskanan lantas terpelanting jungkir balik! "Tinggallah Kioe Hoan Sek-thung padaku!"

   Si putera raja berseru sambil menggeraki tangannya, untuk menyambar gelang emas di kepala tongkat suci dari si lhama Putih.

   Berbareng sama serangannya pangeran ini, dua kali terdengar suara sambaran angin disusul sama teriakan keras dari si pangeran, agaknya dia telah mendapat luka, akan tetapi walaupun demikian, dia berhasil merampas tongkat itu.

   Menyusul si putera raja ini adalah merangsaknya seorang lhama Merah, yang dengan sebat sekali telah melakukan penyerangannya, karena mana, Maskanan merasakan kepalanya pusing dan matanya kabur, lalu sejenak itu juga, tubuhnya pun dirasakan menjadi enteng sekali, bagaikan orang angkat tengteng dibawa terbang di atas mega.

   Pendeta lhama Putih ini tidak tahu bahwa dia telah disambar Koei Hoa Seng, untuk dibawa kabur, sedang ketiga lhama Merah tadi pun terhajar ini penolongnya yang tidak dikenal olehnya.

   Putera raja itu melihat ada pertolongan untuk si lhama Putih, segera dia berkaok-kaok, terus sambil memperdengarkan suaranya itu, dia berlompat naik ke menara guna menyusul.

   Hoa Seng menjadi heran.

   Tadi ia telah menotok pangeran itu, siapa tahu sekarang dia masih dapat bergerak dengan leluasa.

   Oleh karena ini, sambil sebelah tangan mengempit Maskanan, dengan tangannya yang lain ia menyerang, menyambuti pangeran itu, untuk mengundurkan dia.

   Putera raja itu diserang Hoa Seng dengan tangan kiri, hebat serangan itu, tidak perduli dia tangguh sekali, dia kena juga tertolak mundur hingga jatuh turun dari atas menara.

   Selagi pangeran itu roboh, seorang lhama Merah berlompat sampai, dengan lantas dia melakukan penyerangan.

   Sudah kepalang, Hoa Seng menyambutnya juga.

   Dengan begitu, tangan mereka bentrok satu pada lain.

   Hanya sedetik, tubuh si pendeta Tibet itu terhuyung-huyung.

   Atas ini dia mengeluarkan suara luar biasa dan nyaring, jubahnya digeraki seperti menungkrap kepala! Hoa Seng berlompat untuk menyingkir, tetapi ia tidak dikasi hati, ia lantas disusul dan diserang si lhama Merah itu, yang jubahnya liehay sekali.

   Tentu sekali ia kena didesak.

   Ia pun lagi mengempit satu orang yang sedang pingsan.

   Sekarang mereka berada di tingkat kedua.

   Lhama Merah yang liehay itu menekan payon, ia berlompat ke tingkat ketiga dari menara itu, dengan begitu ia jadi berada di sebelah atas, dan dengan berada di atas, leluasa sekali ia menungkrap dengan jubahnya yang merah api.

   Ketika ia menyerang pula, dari bawah berkelebat suatu sinar putih bagaikan kilat.

   Sinar itu disebabkan Koei Hoa Seng terpaksa menghunus pedangnya, pedang Theng-kauw-kiam, atau si Ular naga.

   Inilah pedang warisan ayahnya, Koei Tiong Beng.

   Dengan pedang itu Tiong Beng telah mengangkat nama hingga ia menjadi salah satu di antara tujuh jago pedang dari Thian San.

   Pedang adalah pedang mustika, dan tenaga dalam dari Hoa Seng mahir sekali, maka itu tak perduli si lhama Merah liehay luar biasa, jubahnya toh kena juga disontek hingga menjadi berlubang dua.

   Lhama itu gusar sekali, ia berseru, ia menyerang pula.

   Ia menggunai dua tangannya berbareng.

   Hoa Seng belum tahu siapa pendeta ini, ia tidak mau sembarangan melukakan, maka itu ia mainkan pedangnya di muka orang, untuk membikin silau mata orang, karena mana, si pendeta menjadi menubruk tempat kosong.

   Ketika ini digunai dengan baik.

   Dengan ujung pedang, dada si pendeta ditowel, tetapi ini pun sudah cukup untuk membuat pendeta itu roboh dari tingkat ketiga itu.

   Hoa Seng tertawa nyaring dan panjang, dengan menggendong Maskanan ia lari ke muka menara, untuk berlompat turun, akan dari situ lari terus menuju ke puncak gunung.

   Di atas gunung ada mega dan puncak-puncak bersalju, dengan rembulan bersinar indah, pemandangan di situ sebenarnya mentakjubkan, akan tetapi untuk Hoa Seng, tidak ada ketikanya guna mengicipi keindahan alam itu.

   Sambil terus menggendong Maskanan, ia lari terus.

   Sesudah sekian lama, napasnya mulai sengal-sengal juga.

   Ia berdiri diam seraya memandang ke bawah.

   Bagaikan di bawahan kakinya, Kota Iblis itu, yang tertutup mega, nampak wuwungan menaranya saja.

   Disebelah atas, puncak gunung tak nampak sama sekali.

   Sekarang sempat Hoa Seng memeriksa Maskanan.

   Lhama ini masih pingsan, nadinya berjalan keras, bukan tandanya ia terluka di dalam, bukan juga disebabkan totokan.

   Ia menjadi heran.

   Lalu ia membawanya pula berjalan sekian lama, hingga ia tiba di satu bagian tempat yang hawanya luar biasa, yaitu hawa dingin tercampur dengan hawa hangat.

   Ia maju lagi sedikit, sampai ia melihat satu selat yang mirip paso.

   Di situ ada sumber air, yang terus memuntahkan air mancur, ialah air hangat yang terbawa angin, pantas tadi Koei Hoa Seng merasakan hawa dingin-dingin hangat itu.

   Di bawah sinar rembulan, air mancur itu nampak bagus.

   Berada di dekat sumber hawa ada terlebih hangat.

   Hanya apa yang aneh, di dekat situ, di mana ada es, ada tumbuh juga sejumlah pohon bunga yang indah, yang entah apa namanya.

   "Kalau mereka menyusul aku, untuk tiba di sini, mereka memerlukan waktu sekian lama,"

   Hoa Seng berpikir.

   "Baiklah aku beristirahat di sini .."

   
Pedang Inti Es Karya Okt di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Ia bertindak ke samping air mancur itu, di situ ia letaki tubuh Maskanan.

   Ia mencoba memeriksa dengan seksama.

   Pendeta itu tetap pingsan, tak ketahuan lukanya.

   Ia, mencoba mengasi orang membaui soat-lian, ini pun tidak ada hasilnya.

   Jadi orang bukan terkena racun.

   Heran juga Hoa Seng, ia menjadi berpikir keras.

   Tidak ada jalan lain, terpaksa ia mencoba menyalurkan tenaga-dalamnya dengan jalan mengurut perlahan-lahan di sekitar jalan darah thian-kie-hiat.

   Menurut kitab "Tat-mo Cin-Keng,"

   Inilah jalan untuk menolong diri dari totokan bagaimana liehay juga. Benar saja, Hoa Seng berhasil. Selang sekian lama, Maskanan sadar.

   "Oh, kiranya kaulah yang menolongi aku!"

   Ia berkata .

   "Sekarang kau lekas melancarkan jalan darahku yang tertutup!"

   Sambil berkata, lhama ini menggeraki tubuhnya tetapi ia tak dapat bergeming.

   "Apa itu jalan darah yang tertutup?"

   Tanya Hoa Seng.

   "Di mana adanya itu?"

   "Aku tidak tahu,"

   Menjawab Maskanan.

   "Kalau aku tahu, tidak nanti aku minta bantuanmu. Coba kau menotok seperti cara ilmu totok kamu."

   Luas pengetahuannya Koei Hoa Seng tetapi ia tetap tidak mengerti.

   "Apakah kau pernah pelajarkan ilmu menutup jalan darah tengah malam dan tengah hari?"

   Maskanan tanya pula.

   Hoa Seng menggeleng kepala.

   Tapi ia meminta keterangan.

   Maka tahulah ia, ilmu itu mulanya dari Eropah, lalu masuk ke Arabia dan dari Arabia ke India dari mana terbawa terus ke Nepal dan lainnya, hanya setibanya di India, ilmu itu dicampur sama ilmu yoga.

   Maskanan ketahui ilmu itu dari raja agamanya yang sekarang.

   Ilmu itu mirip sama ilmu Tionghoa, cara bekerja dengan mengikuti sang waktu (jam), dengan begitu darah bisa ditutup dan dialirkan seperlunya.

   Celakanya Maskanan ketahui itu tetapi tidak mampu menggunainya.

   Sebisanya Hoa Seng mencoba menolongi tetapi tidak ada hasilnya, bahkan napas si lhama Putih menjadi terasakan sakit.

   "Sudahlah, tidak ada daya lagi..."

   Kata Maskanan akhirnya sambil tertawa menyeringai, karena ia rela.

   Justru ia berkata begitu, justru sebuah batu kecil menyambar padanya, hingga ia menjadi kaget sekali.

   Ia tidak dapat bergeming, ia tidak bisa berkelit.

   Tapi begitu ia kena tertimpuk, begitu juga ia menjerit dan lompat mencelat, di saat mana pulihlah kesehatannya.

   Koei Hoa Seng heran sekali.

   "Ha, kiranya kau mengerti!"

   Kata Maskanan sambil menarik tangan orang, sedang Hoa Seng sebenarnya hendak menggeser tubuhnya.

   "Kau membohongi aku, kau sengaja hendak membikin aku ketakutan tidak keruan!"

   Pendeta Putihh ini menyangka Hoa Seng karena ia tidak tahu dari mana datangnya sambitan batu kecil itu.

   Hoa Seng lompat naik ke atas tumpukan es, akan melihat kelilingan.

   Ia hanya mendapat pohon-pohon bergoyang, daunnya rontok terbawa angin.

   Di situ tidak ada orang lain, tidak ada bayangannya juga.

   "Hebat ilmu menimpuknya orang itu,"

   Ia berpikir.

   "Dengan timpukan dia dapat menotok jalan darah dengan tepat sekali. Siapakah dia? Dia juga bertubuh sangat ringan, hingga dalam sedetik saja dia dapat menyingkirkan dirinya..."

   "Eh, kau lagi melihat apa?"

   Maskanan menanya.

   "Apakah ada musuh mengejar kita?"

   Hoa Seng lompat turun, ia menggelengkan kepala. Sampai di sini, keduanya lantas belajar kenal satu dengan lain.

   "Nah, sekarang dapatlah kau memberi keterangan padaku!"

   Kemudian kata Hoa Seng tertawa.

   "Sebenarnya mereka itu orang-orang macam apa?"

   "Putera raja itu ialah putera raja Nepal,"

   Menyahut Maskanan dengan terus terang.

   "Yang lain-lainnya ada rombongan pendeta dan pahlawannya."

   Hoa Seng terkejut.

   "Kalau begitu, besar sekali angan-angannya putera raja itu!"

   Katanya.

   "Memang. Katanya dia bukan putera mahkota hanya keponakan dari raja Nepal, disebabkan raja itu tidak punya turunan, dia dipungut menjadi putera. Tapi dia menghendaki lekas-lekas menduduk takhta kerajaan, dari itu dia menghimpun komplotan. Dia mempunyai pahlawan-pahlawan bangsa Arabia dan Eropah juga, sedang antara tetamutetamunya ada orang-orang liehay dari kalangan Brahmana. Untuk memperkuat kedudukannya, dia bermaksud mendirikan jasa di luar negaranya, ialah dia hendak membasmi dan merampas Tibet, untuk dijadikan jajahannya."

   "Kalau demikian, tidaklah heran dia telah memilih tempat luar biasa ini sebagai sarangnya!"

   Berkata Hoa Seng kagum. 04. Peniup Seruling di Kota Iblis "Menurut cerita, Kota Iblis ini asalnya ialah sebuah kota tua,"

   Maskanan menerangkan.

   "Sang tempo membuatnya kota jadi seperti sekarang ini, di depannya ada gurun pasir, di belakangnya ada gunung es. Karena suara-suara aneh yang terbawa angin itu, yang terdengarnya selalu di waktu malam, penduduk sini takut datang ke bekas kota tua ini, bahkan mereka membilangnya inilah Kota Iblis. Itulah si pangeran Nepal yang membangun rumah, kuil dan menara putih itu. Dia berdiam di sini sudah semenjak beberapa tahun, maka kecewalah pembesar-pembesar pemerintah Boan, mereka tidak mendapat tahu apa-apa!"

   "Dia berkonco sama beberapa hoan-ong, dia pun mencoba membujuk kaum agama Putih kami menerjang kembali ke Tibet."

   Berkata Hoa Seng.

   "inilah ketikanya yang baik untuk ia menangkap ikan dalam air keruh!"

   "Hanya raja agama kami yang sekarang tidak kena terpedayakan!"

   Kata Maskanan, yang menjelaskannya terlebih jauh.

   Nyatalah di dalam kalangan Lhama Putih pun ada terdapat dua golongan Hoat-ong, atau raja agama, yang lama adalah kaum kolot.

   Dia bercita-cita merampas Tibet dengan cara kekerasan, dari itu tak segan dia berserikat sama pangeran Nepal itu.

   Dia bersedia meminjam tenaga asing untuk mencapai maksudnya itu.

   Sebaliknya adalah cita-cita raja agama yang sekarang, yang baru.

   Dia berasal hoat-soe, guru agama, tugasnya ialah mengurus kitab-kitab dan surat-surat, dalam kedudukan, ia cuma berada di bawahan hoat-ong, tetapi karena pandai ilmu surat, dari sebuah kitab kuno, ia dapat mempelajari ilmu silat yang liehay.

   Karena ia pun mengerti Bahasa Sangsekerta dan Nepal, bahkan dia pernah berziarah ke tanah suci di India, dia jadi dapat sejumlah pengikut.

   Beda dari raja agama yang lama, dia justru ingin membuat pembicaraan sama pihak agama Kuning yang berkuasa di Tibet itu.

   Karena sikapnya ini, dia disebut partai baru, beda dari kaum kolot.

   Karena ada itu pertentangan tujuan, kedua kaum jadi bentrok.

   Partai baru ketahui sepak terjang kaum kolot, hendak dia menghalang-halanginya.

   Tapi kaum kolot bekerja terus, dia mengirim utusannya kepada pangeran Nepal.

   Karena ini, di hari kedua dari dikirimnya si utusan, oleh partai baru ia disingkirkan.

   Maka kejadianlah Maskanan diutus dengan tugasnya ini.

   Hoa Seng senang pada pihak agama Putih ada orang sadar seperti itu hoat-ong yang baru, maka itu ia lantas menawarkan tenaganya kalau itu dibutuhkan.

   "Jikalau kau sudi membantu, tuan, aku sangat bersyukur,"

   Menyahut Maskanan menghela napas.

   "Aku telah menjalankan tugasku, aku merasa beruntung yang aku berhasil mencegah dibikinnya perjanjian di antara mereka itu, tetapi di samping itu, aku menyesal sekali karena aku telah kehilangan tongkatku. Itulah suatu malu besar untukku. Mengenai ini, aku mesti lekas memberikan laporan kepada Hoat-ong. Kalau tuan suka membantu, harap tuan tolong mewakilkan aku pergi ke Lhasa menghadap kepada Buddha Hidup Dalai Lama, kepadanya tuan tuturkan segala peristiwa di sini sekalian menyampaikan cita-cita kami."

   "Kabarnya Dalai Lama dan Panchen Lama itu tidak biasa menemui sembarang orang,"

   Berkata Koei Hoa Seng Maskanan mengangguk. Ia meloloskan patung Buddha kecil di lehernya.

   "Kau bawalah ini sebagai tanda kepercayaan,"

   Ia berkata.

   "Dengan kepandaian yang kau punyakan, kau dapat masuk secara diam-diam ke dalam istana Potala."

   Ia menyerahkan patung Buddha emas itu. Hoa Seng menyambuti patung itu. Tengah ia mengangkat kepalanya, ia mendapat lihat sejumlah bayangan orang di dua arah selatan dan utara mereka. Ia berkata sambil tertawa .

   "Lihat di sana, dapat juga orang-orangnya si pangeran Nepal mencari kita .!"

   Belum berhenti suaranya orang she Koei ini atau mendadak suara nyaring terdengar di samping mereka, dari jatuhnya batu besar yang digelindingkan dari sebelah atasan mereka.

   Sebab di atas situ ada orangnya si pangeran Nepal, yang melihat mereka, dan orang itu segera menyerang dengan batu besar itu.

   "Sungguh jahat!"

   Seru Hoa Seng dengan murka.

   Ia menarik Maskanan, untuk diajak lompat menyingkir.

   Syukur mereka tidak terluka.

   Ketika itu tertampak munculnya seorang pahlawan dengan pakaiannya serba hitam.

   Rupanya dialah yang tadi membokong dan sekarang beraksi untuk membokong terlebih jauh.

   "Baiklah!"

   Hoa Seng tertawa tertawa mendongkol. ,,Kau pun rasai batuku ini!"

   Ia menjumput sebutir batu, dengan dua jari tangannya ia menyentilkan itu, maka melesatlah batu itu, menyambar ke arah si pahlawan.

   Dia tidak menyangka suatu apa, dan umpama kata dia ketahui, dia pun tidak menduga batu bisa disentilkan jauh dan tinggi sampai belasan tombak.

   Dia baru kaget ketika tahu-tahu serangan itu mengenai tepat padanya, bahkan segera dia roboh terguling.

   Di situ ada beberapa pahlawan lain, melihat kawannya itu roboh, mereka tidak berani turun untuk mengejar, mereka cuma mengulangi serangan mereka dengan batu gunung.

   Maka itu nyaringlah suara batu itu jatuh tak hentinya ke bawah gunung.

   "Inilah hebat,"

   Berkata Hoa Seng kemudian.

   "Mereka itu menyerang kita sambil berbareng memberikan tanda kepada kawan-kawannya. Pula, kalau terus-menerus mereka menyerang secara begini, gunung es pun bisa longsor!"

   Memang juga, musuh masih menyerang terus.

   Hoa Seng omong dari hal yang benar.

   Belum lama, atau potongan es yang besar telah meluncur ke bawah.

   Kejadian itu biasa, hanya sekarang jatuhnya es dipercepat jatuhnya banyak batu besar itu.

   Es itu pun bisa longsor kalau ada angin dahsyat atau bumi gempa.

   Celakalah siapa kena ketimpa dan keuruk longsoran es itu.

   Sebab tidak dapat membuat perlawanan, Hoa Seng ajak Maskanan berlari-lari menyingkir dari ancaman bahaya itu.

   Mereka kelit sana dan kelit sini.

   Ia merasakan sulit karena ia pun mesti melindungi Maskanan, yang kesehatannya belum pulih betul.

   Serangan batu oleh kawanan pahlawan pangeran Nepal itu membawa akibat hebat.

   Dengan sendirinya serangan itu seperti merupakan gempa bumi.

   Meluncurnya es menjadi terlebih dahsyat.

   Dalam keadaan yang sangat mengancam itu, tiba-tiba kuping Hoa Seng mendengar mengalunnya suara seruling yang terbawa angin, walaupun suara jatuhnya es berisik sekali, suara seruling itu tetap terdengar nyata.

   Ia menjadi heran sekali.

   "Hebat orang itu,"

   Pikirnya.

   Pedang Inti Es Karya Okt di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Sudah terang peniup seruling itu mempunyai tenaga dalam yang istimewa.

   Di sebelah itu, lagunya pun luar biasa, sedap sekali bagi telinga.

   Itulah lagu orang Kanglam, yang untuk di tapal batas adalah lagu yang langka, bahkan Hoa Seng belum pernah mendengarnya selama ia merantau.

   Sebentar kemudian, lagu itu membawa perubahan, dari halus menjadi nyaring, dari nada lemah-lembut menjadi bersemangat, hingga Hoa Seng merasa darahnya tegang.

   Pula yang aneh, setelah terdengar suara seruling, timpukan batu menjadi berkurang secara perlahan.

   Hanya selang sedikit lama, riuhlah terdengar jeritan kawanan pahlawan jeritan kekagetan.

   Habis itu, lalu sirap dan tenanglah gunung es itu.

   Sebab turunnya es pun berhenti.

   Masih lewat lagi sekian lama, Baru terdengar suara nyaring dari arah Kota Iblis.

   Itulah suaranya genta dalam kuil.

   Maskanan kenal suara itu.

   "Itulah tanda mereka mengumpul kawan,"

   Ia bilang.

   Benar pembilangannya pendeta Putih ini, suaranya disusul sama suara panggilan di sana-sini, ialah suara pahlawanpahlawan itu saling memanggil mengajak pulang.

   Lagi sesaat, sirap juga suaranya sekalian pahlawan itu, maka tenanglah lembah sebagaimana tadinya.

   "Sungguh aneh,"

   Kata Maskanan kemudian.

   "Kenapa mereka agaknya jeri terhadap suara seruling itu?"

   Hoa Seng tengah berpikir, ia berdiam saja. Maskanan menghela napas.

   "Sebenarnya di tengah jalan pun pernah satu kali aku mendengar suara seruling seperti tadi,"

   Ia menambahkan sesaat kemudian.

   "Ketika itu kebetulan aku mendapat lihat dua orang menyusul aku. Merekalah dua pendeta yang dandanannya luar biasa sekali. Sebenarnya aku berniat mempergoki mereka, supaya mereka tak usah main sembunyi-sembunyi lagi, untuk sekalian menghajar mereka itu, atau mendadak terdengarlah suara seruling itu, yang datangnya dari arah padang rumput. Cuma suara itu tak sepanjang dan selama kali ini. Begitu mendengar suara seruling, kedua pendeta itu lantas lari menghilang. Bukankah barusan, karena seruling itu, semua pahlawan musuh tidak menyerang terlebih jauh?"

   Hoa Seng heran. Ia telah banyak pendengar dan pengalamannya, tetapi belum pernah yang seaneh ini. Benarbenar ia tidak mengerti, percuma saja ia kerjakan otaknya untuk menduga-duga .

   "Mereka takut akan suara seruling itu."

   Kata Hoa Seng setelah berpikir sejenak.

   "justru di Kota Iblis itu orang membunyikan genta, sekaranglah waktunya untuk kau menyingkirkan diri. Nah, kau pergilah!"

   "Kau sendiri?"

   Tanya Maskanan. Orang yang ditanya bersenyum.

   "Aku masih memikir untuk mencoba menyelidiki Kota Iblis,"

   Sahutnya.

   "Bahkan aku mengharap sekali nanti ada ketika atau jodohnya untuk bertemu dengan si peniup seruling itu."

   Maskanan mengangguk.

   "Baiklah, akan aku pergi,"

   Katanya.

   Ia mengulangi pesannya, lalu ia mengucap terima kasih dan berlalu.

   Hoa Seng mengawasi kepergian pendeta Putih itu, lalu ia lari kembali ke kuil tadi, yang si putera raja Nepal menyebutnya tempat suci.

   Ia berlari-lari dengan ilmunya ringan tubuh.

   Sekarang la mendapat kenyataan pintu kuil ditutup rapat dan penjaganya pun tidak ada barang satu jua.

   Tanpa bersangsi ia lompat naik ke atas menara, di undak pertama.

   Di sini kembali ia sembunyikan diri di bawah payon ujung, maka itu, ia bisa mengintai pula ke dalam kuil dengan perantaraan genteng kaca di wuwungan kuil.

   Di sana nampak si putera raja tengah berbicara sama sekalian pendeta dan pahlawannya.

   Dia mengerutkan kening, suatu tanda dia tengah berduka.

   Teranglah mereka lagi membicarakan urusan penting.

   Karena mereka bicara dalam bahasa Nepal, tak mengerti Hoa Seng akan pembicaraan mereka itu tentulah mengenai suara seruling tadi.

   Tidak lama terdengarlah tiga kali suara suitan, yang sekali panjang, yang dua kali pendek, lalu suara itu disusul sama bunyinya suara gelang pintu, tiga kali juga, bahkan sama lagunya, ialah sekali panjang dan dua kali pendek.

   Putera raja itu mengerutkan pula keningnya, lalu ia mengasi dengar suaranya, suara yang dalam.

   Yang diucapkan hanya dua patah kata.

   Segera juga pintu kuil terbuka, disusul sama bertindak masuknya seorang pahlawan pakaian hitam diikuti seorang pendeta lhama berjubah merah yang tubuhnya tinggi besar.

   Dilihat dari romannya, pendeta lhama Merah ini telah berumur enampuluh tahun lebih, di jidatnya terlihat kisut-kisut, tetapi walaupun demikian, mukanya bercahaya merah menandakan ia sehat sekali dan bersemangat.

   Begitu berada di dalam, ia tertawa lebar, lalu dengan bahasa Tibet, ia berkata nyaring .

   "Tuan pangeran berkenan memanggil padaku, seharusnya aku mesti datang siang-siang, sayang sekali ada sesuatu urusan yang memperlambat aku, maka itu aka mohon sudi apakah kiranya aku diberi maaf!"

   Putera raja Nepal itu berbangkit dan kursinya, untuk bertindak menyambut. Ia menyambutnya dengan hormat sekali.

   "Adakah Siangjin baik?"

   Dia bertanya.

   "Siangjin telah sudi berkunjung ke mari, itulah menandakan kebahagiaan negaraku. Tjhong Leng Siangjin, sudikah kau merendahkan diri akan datang ke negaraku untuk menjabat guru negaraku yang nomor satu?"

   Mendengar disebutnya nama itu, Koei Hoa Seng terperanjat.

   Ayahnya, yaitu Koei Tiong Beng, semasa hidupnya, telah merantau ke seluruh Mongolia dan Tibet, dan ayah itu pernah menceritakan kepadanya bahwa di Tibet ada seorang pendeta dari golongan Merah yang bernama Tjhong Leng Siangjin, yang pandai ilmu silat Bit Cong, bahwa ilmu luar dan ilmu dalamnya liehay sekali.

   Pendeta ini dapat dikalahkan le Lan Coe, salah seorang jago wanita dari Thian San Cit Kiam, sesudah mereka bertempur lebih daripada seratus jurus.

   Dan sekarang, pendeta lama yang liehay ini diundang putera raja Nepal itu, dan bersama dia ada utusan-utusan dari ketiga raja Shaka serta juga utusan dari lama Putih dari Cenghay.

   


Bulu Merak -- Gu Long Lentera Maut -- Khu Lung Pedang Gadis Yueh Karya Jin Yong

Cari Blog Ini