Ceritasilat Novel Online

Pedang Inti Es 6


Pedang Inti Es Karya Okt Bagian 6



Pedang Inti Es Karya dari Okt

   

   Jatsingh lantas memberi keterangan kepada Hoa Seng, kemudian sambil bersenyum ia menambahkan.

   "Sekarang urusan yang penting. Inilah urusan pemilihan menantu raja, yang temponya tinggal tiga hari lagi. Mengenai itu raja Nepal telah mengambil putusan, pemilihan mesti dilakukan, umpama tak ada calon yang cocok seperti kehendak tuan puteri, akan dipilih siapa saja yang menang. Maka itu, saudara Koei, ketika yang baik ini tidak dapat dihilangkan. Sekarang ini aku telah mengetahui jelas duduknya hal, pemuda idam-idamannya tuan puteri ialah kau seorang!"

   Hoa Seng tertawa berduka.

   "Aku telah lolos dari bahaya maut, ini aku sudah merasa beruntung bukan main,"

   Katanya.

   "oleh karena itu mengenai soal jodoh, tidak berani aku memikirkannya pula."

   "Kenapa begitu, saudara?"

   Tanya Jatsingh.

   "Tidak dapat kau memikir demikian! Jikalau kau benar mau menganggap aku sebagai sahabat, aku minta kau jelaskanlah kesulitanmu kepadaku!"

   "Ke satu aku belum mendaftarkan diri,"

   Sahut Hoa Seng terpaksa.

   "Ke dua, temponya tinggal lagi tiga hari, tentu sudah tidak keburu .."

   Mendengar itu, Jatsingh tertawa lebar.

   "Tentang pendaftaran, kau jangan kuatir, telah aku mendaftarkannya untukmu!"

   Ia berkata.

   "Laginya teratai salju sebagai pesalin sudah diterima tuan puteri! Baiklah kau ketahui, saudara Koei, di matanya raja Nepal, kau sudah jadi menantunya!"

   Pangeran ini tidak mendusta.

   Segera setelah ia sembuh, di depan raja Nepal ia telah pujikan Hoa Seng.

   Raja Nepal tahu, Jatsingh bakal pulang ke negaranya, pangeran ini tidak dapat diharap lagi, dari itu, ia mengalah kepada puterinya, ia membiarkan si puteri memperoleh kemerdekaannya.

   Jatsingh tertawa pula ketika ia berkata.

   "Saudara kuatir nanti tak keburu berhubung sang tempo tinggal tiga hari lagi. Inilah tidak menjadi soal. Untukmu, asal kau sehat, perjalanan beberapa ratus lie ke kota Katmandu tidak ada artinya! Saudara, karena aku, kau mendapat bahaya, dari itu, kau serahkan segala apa padaku, akan aku membikinnya, dari bahaya kau akan mendapatkan kebahagiaan!"

   Sampai di situ, Liong Yap Siangjin pun turut bicara.

   "Adik seperguruanku telah mengurung kau di dalam lembah hingga tenagamu menjadi lenyap."

   Ia berkata.

   "untuk itu kau jangan kuatir, nanti loolap membikin kau mendapatkan kembali semua itu, untuk tanda penghaturan maafku."

   Pendeta tua ini lantas meletaki tangannya di punggung si anak muda, atas mana lekas sekali Hoa Seng merasakan ada hawa panas yang masuk ke dalam tubuhnya, terus ke seluruh anggotanya.

   "Inilah cara kita kaum Buddha menambah tenaga dalam,"

   Berkata Liong Yap Siangjin dengan keterangannya.

   "Cara ini lebih berhasil dari pada ilmu mengurut dalam ilmu silat Tionghoa. Tentang tenaga dalam, di antara pihak Tionghoa dan India ada perbedaannya, akan tetapi dasarnya sama saja. Bedanya ialah kita mempunyai yoga."

   "Teecoe telah mendapat pimpinan setengah bulan dari Akara Taysoe, rasanya teecoe telah dapat mengerti itu,"

   Hoa Seng berkata.

   "Bagus!"

   Berkata Liong Yap Siangjin.

   "Kau cerdas sekali. Tahukah kau sikap dedak yang dinamakan Mengangkat Sumber air dalam ilmu yoga?"

   "Teecoe mengerti kulitnya saja,"

   Menjawab Hoa Seng.

   Mendadak pendeta itu mencekal si anak muda, yang tubuhnya ia terus angkat dengan kepala di bawah dan kaki di atas, kedua tangan orang ditempel pada tengah-tengah telapakan kakinya.

   Itulah cara untuk mempulihkan kesahatan.

   Jalan darah di kaki itu dinamakan yong-coan atau giok-coan, artinya sumber umbul atau sumber air kumala, dan karena tubuh orang diangkat, kepala di atas dan kaki di bawah, maka sikap dedak itu dinamakan sikap Mengangkat Sumber air.

   Sambil berbuat begitu, Liong Yap Siangjin juga menjelaskan sarinya pelajaran yoga.

   Hoa Seng cerdas sekali, dengan cepat ia mengerti, maka ketika ia mengempos semangatnya, untuk meluruskan pernapasannya, guna mengasi darahnya mengalir, ia lantas merasakan segar sekali.

   Kesehatannya, atau lebih benar tenaganya, pulih dengan luar biasa cepat.

   "Sekarang kau cobalah tenagamu, kiesoe!"

   Berkata Liong Yap sambil tertawa.

   Ia terus melepaskan cekalannya.

   Semenjak tadi, anak muda itu terus diangkat tubuhnya.

   Hoa Seng lantas lompat mencelatkan tubuhnya.

   Begitu ia berdiri, ia menyambar sepotong batu, yang terus remas.

   Batu itu remuk seketika.

   Benarlah, bukan saja ia telah sembuh, bahkan tenaganya bertambah.

   Maka ia girang bukan main.

   Inilah jalan yang di belakang hari membuatnya menjadi satu jago silat yang kenamaan.

   "Terima kasih, taysoe,"

   Ia mengucap sambil memberi hormatnya.

   "Jangan menggunai banyak peradatan,"

   Mencegah si pendeta.

   "Kau justeru mesti lekas mengejar tempomu. Kalau kau ambil itu jalanan di belakang lembah, karena jalanannya sukar, kau meminta banyak waktu, dari itu, kau ambillah jalan air, kau keluar dari tabir air tumpah di mulut guha."

   Mendengar itu, Hoa Seng menoleh kepada Papo.

   Ia pikirkan, bagaimana tabib tua itu sanggup menerjang air tumpah itu.

   Untuk ia dan yang lainnya, itulah tidak menjadi soal.

   Biarnya digendong, untuk Papo masih sulit Liong Yap rupanya dapat membade pikiran si anak muda.

   "Jangan kuatir,"

   Katanya bersenyum.

   "Mari turut aku!"

   Baru sekarang Hoa Seng ingat bahwa pendeta itu dan Jatsingh muncul dari depan, bahwa baju dan sepatu mereka, meskipun tidak basah tetapi toh sedikit demak.

   Biar bagaimana ia heran.

   Liong Yap Sianjin berjalan di depan, sampai di depan air tumpah.

   Ia berdiri diam, kedua tangannya dirangkapi, lalu mendadak, ia membukanya, mementang dengan kaget.

   Hebat kesudahannya itu, air tumpah seperti juga terpisah, terbagi dua.

   Menyaksikan itu, si anak muda mengulur lidahnya, mulutnya celangap.

   "Kepandaian seperti ini, walaupun Tayhiap Leng Bwee Hong menjelma pula, belum tentu dia dapat melakukannya .."

   Pikirnya.

   Di saat itu juga, lima orang itu lompat melewati air tumpah itu.

   Papo digendong oleh Liong Yap Siangjin, Setelah itu mereka mendaki, kaki mereka menginjak, menjejak, kedua tangan mereka melapai, menyambar-nyambar pohon oyot.

   Kemudian ternyata, Liong Yap Siangjin yang sampai paling dulu di atas, selang sedikit lama, baru Hoa Seng, lalu Akara, dan akhirnya Jatsingh.

   Hoa Seng merasakan ia sebagai menjelma pula.

   Sebab rasanya lama sekali ia terkurung di dalam lembah itu, meski sebenarnya ia cuma melewati waktu satu bulan lebih.

   "Saudara,"

   Berkata Jatsingh.

   "aku merasa beruntung sekali yang aku dapat berkenalan sama kau, peristiwa ini tidak nanti aku melupakannya."

   Lalu, dengan merasa sangat berat, ia meminta diri dari sahabatnya ini. Hoa Seng juga mendapat serupa perasaan, hatinya dirasai berat sekali. Sebagai pesan terakhir, Jatsingh berkata.

   "Di antara caloncalon menantu raja, lawan yang paling tangguh ialah seorang Persia, maka itu, kalau menghadapi dia, baiklah saudara berhati-hati."

   "Terima kasih,"

   Hoa Seng mengucap.

   Untuk merebut tempo, Hoa Seng lantas memberi hormat kepada Liong Yap Siangjin semua, dengan terpaksa ia berangkat meninggalkan mereka itu.

   Ia ternyata dapat tiba di Katmandu satu malam sebelumnya hari pemilihan.

   20.

   Pesta Kemenangan Calon-calon Hoe-ma Hoa Seng tetap menumpang di rumah Papo.

   Di hari ke dua, ialah besoknya, ia lantas turut ambil bagian dalam ujian.

   Semuanya calon ada seratus dua puluh empat orang dan acara ujian ada tiga rupa, ialah ke satu memanah sambil menunggang kuda, ke dua mengangkat batu berat seribu kati, dan ke tiga, menempur singa dari kebun binatang istana.

   Sepuluh kali Hoa Seng melepaskan anak panah, semuanya mengenai sasaran yang berupa titik merah.

   Mengangkat batu ia lakukan dengan hanya sebelah tangan.

   Dan singa ia taklukkan dalam tempo terbakar habisnya sebatang hio, binatang itu ia pakai sebagai binatang tunggangan.

   Calon-calon lainnya roboh sebagian lebih, hingga di hari pertama itu tinggal empat puluh tujuh orang.

   Di hari pertama itu, Hoa Seng di rumahnya Papo dikunjungi putera raja, yang memberi selamat padanya seraya menghaturkan bingkisan terdiri dari rupa-rupa barang.

   Ia terima itu semua dengan wajar meski ia tahu pangeran itu hendak mengambil hatinya, bahwa si pangeranlah yang mau mencelakai ia di dalam lembah.

   Karena malang terhadap raja, ia tidak mau membuka rahasia.

   Biar bagaimana, ia pun ada seorang asing.

   Tapi sepulangnya si pangeran, ia minta Papo mengamalkan semua hadiah itu kepada orang miskin, sedang barang makanan, yang dikuatir dicampuri racun, dibuang ke solokan.

   Pertandingan yang ke dua kali, ulangan, beracara satu, ialah pertandingan pedang, semua calon mesti melayani empat dayangnya puteri.

   Keempat dayang itu ada murid-muridnya puteri sendiri serta pandai juga menggunai senjata rahasia yang merupakan pengpok-sintan, ialah peluru inti es.

   Hebat pertandingan kali ini.

   Dari empat puluh tujuh calon, dua puluh tujuh jatuh dalam pertandingan pedang dan tiga belas roboh karena terkena peluru inti es.

   Hoa Seng lulus.

   Ia berhadapan sama dayang, yang bernama Wanran, yang itu malam dari villa si cong-koan Gie-lim-koen menyambut ia ke dalam keraton.

   Dengan sentilan Kim-kongcie ia menjatuhkan empat butir peluru dan di jurus ke dua belas membuatnya si dayang menyerah.

   Selagi mau turun dari panggung, sembari bersembunyi dayang itu kata dengan perlahan.

   "Tuan puteri memesan agar kau membaca apal kitabkitab yang ia kirimkan padamu."

   Di sebelah Hoa Seng, telah lulus enam calon lain.

   Mereka itu ialah seorang kosen dari Persia, yang telah disebutkan Jatsingh, seorang pangeran dari sebuah negara kecil di Yunani, seorang dari Nepal sendiri, seorang dari India, seorang pemilik peternakan dari Afghanistan, dan seorang pemuda bangsawan dari Samarkand di Asia Tengah.

   Beda dengan yang sudah-sudah, kali ini jago-jago yang tinggal tujuh ini telah ditampung di sebuah gedung istimewa di kaki gunung di depan kota Katmandu, gedung mana menghadapi sebuah kali yang indah pemandangan alamnya.

   Pula di malam pertama itu, raja Nepal sendiri yang menghadiahkan mereka arak pilihan, supaya mereka dapat berpesta bersenang-senang.

   Ini juga ada yang pertama kali mereka itu tinggal bersamasama.

   Tatkala Hoa Seng bertindak masuk ke dalam ruang pesta, di sana sudah berkumpul enam calon lainnya itu.

   Ia menghampirkan mereka, untuk berbicara sebagaimana layaknya orang yang baru bertemu.

   Ia pun yang datang terbelakang.

   Di detik itu juga ia melihat sinar mata orang, sinar yang mengandung kebencian sebagai saingan atau musuh, kecuali pangeran dari Yunani yang nampaknya cuma sedikit jumawa.

   Pangeran ini terlihat rada asing di antara mereka itu.

   Di waktu berjabat tangan dengan jago dari Persia, Hoa Seng berlaku sabar sekali tetapi waspada.

   Ia mendapatkan sinar mata yang tajam diarahkan kepadanya.

   Ia menjadi menyesal.

   "Mengapa dia agaknya istimewa membenci aku?"

   Ia berpikir.

   "Apa mungkin dia telah mendapat tahu yang hatinya tuan puteri telah dicurahkan kepadaku? Kebencian dia ini melebihkan yang lain-lain ."

   
Pedang Inti Es Karya Okt di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Begitu kedua tangan saling berpegangan, Hoa Seng merasakan tekanan tenaga yang besar sekali, maka tahulah ia, saingan itu rupanya mencoba memencet untuk membikin ia terluka di dalam, melukai ototnya yang bersambungan sama nadi.

   Tentu sekali ia berlagak pilon, diam-diam ia pun mengerahkan tenaga di tangannya, hanya, kalau lain orang menggunakan tenaga keras, ia yang lunak; dari itu tangannya menjadi lemas bagaikan kapas, sedang pada mukanya tidak terlihat paras kesakitan.

   Nampak nyata jago Persia itu menjadi sangat heran, sedang pangeran Yunani, yang telah menaruh perhatiannya, telah dapat menduga apa yang terjadi antara dua orang itu.

   Diamdiam ia tertawa sendirinya.

   Untuk menyelimutkan diri, lekas-lekas jago Persia itu menyuguhkan arak.

   Semua calon menantu raja itu mengharapi tangannya puteri Nepal, dari itu mereka semua pada mempelajari bahasa Nepal, sekarang selagi berkumpul, mereka menggunai bahasa Nepal itu, dengan begitu, mereka jadi dapat bicara satu dengan lain.

   Kalau tidak, pastilah mereka menemui kesulitan bahasa.

   Yang lucu, karena sebisa-bisa mengendalikan diri, untuk menyembunyikan kesirikan mereka, paras mereka nampak likat.

   "Kelihatannya menantu raja adalah kau, tuan!,"

   Berkata si jago Persia tertawa.

   "Kita semua cuma menemani kau berlatih ."

   "Ah, mana bisa jadi ."

   Kata Hoa Seng merendah.

   "Tuan puteri liehay sekali, aku kuatir begilu naik di panggung, dalam segebrakan saja aku bakal kena dirobohkan."

   "Mungkin tidak, tuan Koei,"

   Berkata jago Nepal.

   "Sebaliknya, aku merasa aku bukan tandingannya tuan puteri. Kemarin aku menang dari dayang lawanku, kemenanganku itupun seret sekali ."

   Pangeran Yunani tertawa ketika ia campur bicara.

   "Aku merasa beruntung dapat turut dalam ujian ini,"

   Katanya.

   "Untukku, asal aku dapat melihat wajahnya tuan puteri, sudah puaslah aku. Ahli filsafat bangsaku, Plato, telah mengatakan, 'Benda yang paling permai ialah benda yang kamu tidak dapat memilikinya. Benda yang bisa didapatkan, setelah didapatinya, akan berkurang kepermaiannya. Kecantikan tuan puteri sangat kesohor, aku mengharap setelah melihat wajahnya, lantas aku tak dapat melupakan lagi untuk selama-lamanya. Bicara dari hal menikah dengan tuan puteri, untukku, memikirnya pun aku tidak berani ."

   "Hm, ahli syair!"

   Jago Persia mengejek. Hoa Seng sebaliknya berkesan baik terhadap orang Yunani itu.

   "Sebenarnya aku kurang cocok dengan pendapatnya tentang kecantikan,"

   Pikirnya.

   "Kecantikan itu membutuhkan dua hati menjadi satu, dengan begitu, hati ketemu hati, kecantikan akan tetap kekal abadi sekarang cantik, kelak di kemudian hari, cantik juga. Untuk adik Giok, biar nanti ia telah ubanan, dimataku, ia akan tetap cantik! Biar bagaimana, orang Yunani ini toh memuji kecantikannya adik Giok, filsafatnya itu menarik hati juga .."

   Di dalam pesta itu hadir utusan raja.

   "Aku menghaturkan terima kasih yang tuan-tuan telah memuji puteri kami,"

   Berkata dia.

   "Sekarang sebagai wakil negaraku, hendak aku memberi selamat kepada tuan-tuan. Mari minum!"

   Paling dulu utusan ini mengangkat cawannya terhadap Hoa Seng.

   Anak muda ini mengeringi cawannya dengan wajar.

   Ketika datang gilirannya jago Persia diberi selamat, dia minum araknya sambil memperlihatkan senyum yang tak wajar.

   Melihat itu, Hoa Seng heran.

   Lekas-lekas ia mencoba meluruskan napasnya, ia merasa pernapasannya itu sedikit sesak.

   Kemudian, ketika pesta hampir ditutup, datanglah Wanran dayangnya puteri.

   Ia mengatakan ia diutus tuan puteri untuk memberi selamat.

   Semua orang menjadi girang sekali, semua minum dengan gembira.

   Tempo tiba gilirannya Hoa Seng, selagi cawan membentur cawan, anak muda ini merasa dayang itu menyesapkan segulung kertas kecil kepadanya, yang ia sambuti.

   Segera setelah meminum araknya ini, dengan alasan ia tak kuat minum, bahwa ia merasa sedikit pusing, ia meminta diri untuk pergi ke kamarnya, guna beristirahat.

   Begitu lekas ia berada bersendirian di dalam kamarnya, ia buka surat itu, yang membungkus selembar bunga teratai salju, kertasnya sendiri bertuliskan halus.

   "Arak pemberian selamat ayahandaku diurus oleh kakakku sepupu, aku mencurigai itu, maka di sini aku mengirimkan bunga teratai. Lain kali aku minta sukalah kau berhati-hati."

   Pemuda ini terkejut.

   Ia pun lantas merasa dirinya lesu.

   Karena curiga, ia lantas makan bunga soat-lian itu, habis mana ia melatih diri menurut ilmu yoga.

   Ia memerlukan tempo setengah jam, baru ia merasa segar pula seperti biasa.

   Memang juga utusan raja itu telah bekerja sama dengan pangeran, yang sebenarnya bernama Wasemah, hanya kali ini pangeran itu tidak berani menggunai racun yang berbahaya.

   Di mana ada lain calon, pangeran kuatir nanti terbit onar kalau ia menggunainya, maka itu, sebagai gantinya, ia pakai arak yang dinamakan arak "Tidur seratus hari."

   Poci arak yang digunai ada pesawat rahasianya, dari itu, arak untuk Hoa Seng adalah arak yang keras sifatnya, untuk yang lainnya arak biasa.

   Sekalipun orang yang liehay tenaga dalamnya, biar ia tidak mabuk, ia toh akan menjadi lesu dan berkurang tenaga sebelum lewat beberapa hari.

   "Sungguh berbahaya!"

   Kata Hoa Seng dalam hatinya.

   Meski begitu, ia tidak terus berdiam di dalam kamarnya hanya pergi bertindak keluar.

   Di ruang pesta orang masih melanjuti pesta itu, dan Helois si pangeran Yunani justru lagi mementil alat tetabuhannya, semacam gitar tali tujuh.

   Lagu itu mulanya halus, lalu bernada tinggi, tadinya seumpama muda-mudi berkasih-kasihan, lalu seperti suasana malaman mau pergi berperang.

   Saking asyik, pangeran itu menari sendirinya sambil memeluki gitarnya itu, suara nyanyiannya mengiringi.

   Suaranya itu menarik untuk didengari.

   "Lagu apa itu?"

   Tanya Rakandu si jago Nepal.

   "Inilah syair karyanya seorang penyair bangsaku yang tak dikenal,"

   Sahut pangeran itu, yang senang ada orang menyukai lagunya itu.

   "Syair ini memujikan Ratu Helen yang cantik di jaman dulu karena siapa telah terjadi peperangan belasan tahun."

   "Nyanyianmu merdu, sayang aku tidak mengerti artinya,"

   Berkata Rakandu.

   "Bisakah kau menyanyikan itu lagi sekali dalam bahasa Nepal?"

   Pangeran Yunani itu seorang penyair, ia meluluskan, lantas ia bernyanyi pula dalam bahasa yang diminta. Memang bunyinya syair bagus sekali. Hoa Seng turut memasang kuping, bahkan diam-diam ia menyalin itu ke dalam bahasa Tionghoa. Begini syair itu.

   "Kaulah bunga harum dari Milan, cinnamon dari Gaul, Kaulah batu akik dari Afrika Selatan, pohon bodhi dari India, Semua benda di dunia, tak dapat dibandingi denganmu, Dewi di atas langit, karena kau lenyap sinarnya. Senyuman di pipimu mirip dengan bunga mawar baru mekar, Sepuluh laksa serdadu gagah perkasa, ikhlas mati untukmu "

   Belum lagi habis lagu itu dimainkan, atau mendadak terdengar suara ,.Praang!"

   Dan "Triiing!"

   Saling-susul.

   Dengan mendadak itu, semua tujuh lembar tali gitarnya pangeran Yunani itu putus! Sebab Dirhamshah si jago Persia, yang telah memencet pecah cawan araknya, dengan pecahan itu menimpuk ke arah gitar.

   Helois tidak menyangka sama sekali, tidak sempat ia menyingkirkan alat tetabuhannya itu.

   Hoa Seng ada di mulut tangga dari mana ia mengawasi orang berpesta itu.

   Ia menjadi terperanjat.

   Hebat kepandaiannya jago Persia itu.

   Tenaganya kuat, timpukannya jitu, sebab tepat mengenai setiap tali yang demikian kecil.

   Itulah kepandaian lebih hebat dari ilmu menimpuk senjata rahasia Tionghoa yang dinamakan "Goan thian hoa ie,"

   Atau "Hujan bunga di seluruh langit."

   Helois kaget hingga ia tercengang. Segera terdengar caciannya jago Persia itu.

   "Jeritan setan apa itu? Kalau kau mau mampus, kau mampuslah, tuanmu tidak sudi menemanimu!"

   Sekarang Helois sadar, ia menjadi gusar sekali.

   "Jikalau kau tidak suka dengar, tutup kupingmu!"

   Ia membentak.

   "Kenapa kau menghajar rusak gitarku?"

   Jago Persia itu jadi semakin gusar.

   "Kau mengucap lebih banyak satu patah, nanti aku menghajarmu bonyok seperti gitarmu itu!"

   Dia mengancam. ,Ah, kau berani?"

   Helois menantang. Masih ia memegangi gitarnya itu.

   "Kenapa aku tidak berani?"

   Menantang pula si jago Persia, sebelah tangannya terus diulapkan, menimpuki dua buah apel yang besar, hingga gitarnya si pangeran Yunani terlepas dan jatuh! Menon bersimpati kepada Helois, ia menjumput pisau dan garpu di atas meja dengan apa ia terus menimpuk pengacau pesta itu.

   Rana dari Afghanistan pun tidak senang.

   "Kurang ajar!"

   Dia membentak.

   "Di dunia di mana ada makhluk begini tidak tahu aturan?"

   Dirhamshah tertawa terbahak.

   "Mari aku pun menabu mengasi kau mendengar!"

   Ia berseru, lalu ia menimpuk dengan pisau dan garpu, yang tadi ia tanggapi dari Rana si pemilik peternakan dari Afghanistan itu. Ia menggunai sepuluh jeriji tangannya. Rana tidak keburu berkelit, sebelah kupingnya kena dibikin somplak.

   "Bagus! Bagus!"

   Jago Persia itu berteriak-teriak.

   "Baiklah malam ini kita mendahulukan melakukan ujian yang memutuskan! Kau, Kabat, apakah kau mempunyai nyalimu?"

   "Dirhamshah, aku bantu kau!"

   Menjawab si pemuda bangsawan dari Samarkand.

   Demikian, kacaulah ruang pesta itu.

   Cuma jago Nepal yang tidak turut mengambil bagian.

   Ialah tuan rumah, yang mesti memegang derajat.

   Maka ia lari keluar sambil berseru-seru.

   Hoa Seng heran kenapa orang jadi gila demikian rupa.

   Ia lari turun di tangga, untuk melihat.

   Maka ia menyaksikan Dirhamshah, dengan mata bengis, berkelahi dengan bengis juga.

   Rana kena ditinju hingga dia ter-huyung-huyung mau roboh.

   Menon menghajar jago Persia itu, gagal, sebaliknya, tinjunya mengenai mukanya Kabat.

   Dirhamshah lantas membalas menyerang Menon, jago India yang pandai ilmu yoga, maka dia berkelit, karena mana, tinju jago Persia itu mengenai pot bunga sampai pot itu hancur! Kabat dari Samarkand menjadi murka, ia terus membantu Dirhamshah, melihat jago Persia itu melayani Menon si jago India, ia pergi menyerang Helois, pangeran dari Yunani yang tubuhnya lemah lembut tetapi ilmu silatnya sempurna, tujuh atau delapan kali ia meninju, tak satu juga yang mengenai sasarannya.

   Dalam sengitnya, ia menubruk.

   Helois menangkis dengan kedua tangannya, sembari menangkis, ia membangkol lengan penyerangnya itu, terus ia menekuk ke belakang.

   "Apa masih kau hendak berkelahi?"

   Dia menanya.

   "Bagus!"

   Diam-diam Hoa Seng memuji pangeran Yunani itu.

   "Ilmu silat menangkap tangannya ini mirip sama tipu silat Kim-na-cioe dari partai Eng Jiauw Boen."

   Kabat nampaknya bakal roboh, tetapi nyata dia pandai ilmu peluk banting, sebelah kakinya menggaet, maka kontan Helois roboh, maka dia terus menyambar dengan tangan kiri, untuk menangkap tangan.

   Karena ini, keduanya jadi bergulingan.

   Segera juga kupingnya Kabat kena dihajar, sedang Helois kena tertinju rusuknya.

   Habis itu mereka sama-sama berlompat bangun.

   Kabat lantas menyemburkan darah, sebab giginya kena dihajar rontok dua buah.

   Helois marah, dia menubruk.

   Dari itu, kembali mereka saling menerjang.

   Pedang Inti Es Karya Okt di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Pertempuran di antara jago-jago Persia dan India pun hebat.

   Ilmu yoga Menon sudah delapan bagian mahir tapi tinju Dirhamshah dahsyat sekali.

   setelah kena ditinju delapan kali, dia bermandikan peluh dan batok kepalanya menghembuskan hawa panas.

   Melihat keadaan Menon, Hoa Seng mengerti orang sudah letih sekali.

   Demikian, ketika dia dihajar satu kali lagi, dia terhuyung.

   Dirhamshah lagi gusar, dia maju untuk menyerang terus.

   "Sampai di situ, Hoa Seng mengambil putusan buat turun tangan. Kalau tidak, ia kuatir nanti terjadi onar hebat, mungkin ada perkara jiwa. Ia lompat turun dari atas tangga, tepat tiba di dekat Dirhamshah dan Menon, maka dengan tangan kanan ia menangkis pukulan, menahan tangannya si jago Persia, dengan tangan yang lain ia menolak Menon.

   "Bagus betul!"

   Berteriak jago Persia itu sengit.

   "Kamu main keroyok, ya?"

   Ia lantas menyerang, dengan tangan kiri, dengan tangan kanan juga.

   Hoa Seng menangkis dengan sebelah tangan tetapi ia kalah desak, terpaksa ia menggunai dua-dua tangannya.

   Justru itu, Kabat dan Rana lompat menyerang.

   Sebenarnya ia hendak bicara, terpaksa ia membatalkan niatnya itu.

   Ia heran untuk sikapnya Rana.

   Tadi jago Afghanistan ini membantui Helois, sekarang dia berbalik, sedang orang bangsawan dari Samarkand itu memang membantui si jago Persia, demikian, selagi ia dapat berkelit dari Kabat, tinjunya Rana mengenai punggungnya.

   "Kau busuk!"

   Helois mencaci Rana, yang terus dia serang dengan satu tinjunya.

   "Aku minta, tahan dulu!"

   Hoa Seng berteriak, di saat pangeran Yunani itu mau menyerang Kabat.

   "Kita semua tetamu di sini, sekarang kita mengacau, apa tidak malu?"

   "Kau mengerti tidak aturan bertempurnya orang gagah?"

   Tanya Dirhamshah tertawa dingin.

   "Bertempur untuk si cantik itulah keagungan kita! Malu apa? Hm! Kau yang tak bernyali, kau berani mentertawakan kita? Kamu orang Tionghoa semuanya setan-setan cilik yang bernyali kecil ."

   Ia tidak menanti habisnya ejekannya itu, mendadak ia meninju dada orang! Hoa Seng mendapat lihat bokongan itu.

   la hendak mencoba tenaga orang.

   Ia lantas menangkis.

   Menyusuli benterokan yang keras, Dirhamshah mundur tiga tindak.

   Hoa Seng sendiri bergoyang tubuhnya, meskipun gojangan sedikit, ia toh berpikir.

   "Dia telah bertempur lama tetapi dia masih kuat, dia tidak boleh dipandang enteng."

   Lebih kaget adalah jago Persia itu.

   Kekacauan ini dialah yang atur bersama pangeran Nepal, untuk dapat mengganggu Koei Hoa Seng.

   Ada dua konconya, ialah Kabat si orang bangsawan dari Samarkand dan Rana si pemilik peternakan dari Afghanistan.

   Mereka hendak mengarah Hoa Seng tetapi Hoa Seng lantas mengundurkan diri sebelum pesta berakhir, terpaksa mereka menukar siasat dan mengganggu Helois, maksudnya tak lain guna memancing Hoa Seng muncul pula.

   Sengaja Rana dititahkan membantu Kabat, guna menipu Hoa Seng hingga ia ini tidak bersiaga.

   Menon tidak tahu apa-apa, dia membantu Helois cuma disebabkan dia penasaran, dia hendak menjunjung keadilan.

   Begitulah Dirhamshah menggunai ketikanya, dia menghajar Menon dan Kabat hingga mereka ini terluka parah.

   Dirhamshah sangat percaja dirinya sebagai jago Persia yang nomor satu, pula ia telah ketahui Hoa Seng sudah menenggak arak Seratus Hari Mabuk, yang dapat mengakibatkan orang kehilangan tenaga, selagi Rana pun bakal membantu padanya.

   la merasa pasti pemuda Tionghoa itu tidak akan bertahan untuk satu hajarannya saja.

   Maka kagetlah ia ketika ia ditangkis hingga terpental sedang orang yang diserang melainkan terhuyung sedikit.

   Hoa Seng mengawasi sambil tertawa mengejek.

   "Dirhamshah, aku menerima baik tantanganmu!"

   Katanya dingin.

   "Mari kita bertempur satu sama satu, untuk memastikan menang dan kalah!"

   Matanya jago Persia itu memain, dengan sendirinya ia gentar juga.

   "Baiklah!"

   Ia, menerima tantangan. Ia malu untuk kalah gertak.

   "Mari kita bertaruh dengan itu lilin merah sebagai batas temponya. Kalau lilin itu habis dan aku masih belum dapat merobohkan kau, maka sukalah aku mengambil kau sebagai sahabatku!"

   Hoa Seng tidak takuti tantangan itu. Ia lantas ingat pertandingannya sama Timotato baru ini.

   "Kau, binatang, dapatkah kau dibanding sama Bapak Daud?"

   Pikirnya.

   "Bagaimana kali berani menelad contoh orang!"

   Bedanya pertaruhan itu ialah, kalau Timotato sebelum api lilin padam, Dirhamshah sampai habisnya sebatang lilin itu.

   Jago Persia ini kuatir lawannya dapat bertahan lama maka ia meminta tempo yang terlebih lama.

   Ia mengharap, makin lama Hoa Seng nanti makin berkurang tenaganya....

   "Baik, aku terima pertaruhan ini!"

   Hoa Seng menyambut.

   "Kalau lilin sudah habis dan kita masih belum dapat memutuskan kalah atau menang, aku juga suka bersahabat denganmu."

   Dirhamshah girang sekali hingga ia lantas berteriak.

   "Kabat! Rana! Kuminta sukalah kamu menjadi saksi-saksi! Aku hendak bertanding sama Tuan Koei ini. Siapa menggunai alat senjata atau senjata rahasia, dialah yang tidak menghargai dirinya sebagai ksatria, dia diputuskan kalah!"

   Dirhamshah mengatakan demikian karena dari pangeran Nepal ia telah mendapat kisikan bahwa Hoa Seng mempunyai pedang yang tajam, sedang menurut kitab-kitab persilatan yang ia telah baca, ia ketahui dalam ilmu silat Tionghoa ada apa yang dinamakan senjata rahasia, yang banyak macamnya.

   Ia sendiri mengerti juga senjata rahasia akan tetapi dia jeri untuk menempur ahli-ahli senjata rahasia bangsa Tionghoa.

   Maka itu siang-siang ia mengajukan syaratnya itu.

   Kabat memberikan jawabannya akan tetapi suaranya parau dan menggetar.

   Itulah sebab ia dihajar parah oleh Helois dan dua buah giginya rontok.

   Cuma dengan membesarkan hati dapat ia muncul juga.

   Sebaliknya, Rana tidak nampak batang hidungnya.

   Dengan jalan terhuyung, Helois memunculkan diri.

   "Mari aku menjadi saksi!"

   Ia berkata.

   "Eh, Kabat, kau sahabatnya Dirhamshah, sedang Koei Hoa Seng adalah sahabatku, maka itu kita berdua tidak boleh berat sebelah, tidak boleh mengeloni siapa juga!"

   Lukanya Helois ini tak kalah hebat dari pada lukanya Kabat.

   Tapi toh ia masih mempertahankan diri.

   Dua-dua Hoa Seng dan Dirhamshah lantas bersiap sedia.

   Mereka tinggal menantikan isyarat dari wasit, yang berbareng menjadi saksi-saksi mereka.

   Helois bersenyum ketika ia mengangkat sebuah tetampan perak serta sebuah pisau meja pesta.

   "Tuan Koei,"

   Ia berkata kepada Hoa Seng.

   "sebelum aku melakukan tugasku sebagai wasit, hendak aku, dalam kedudukanku sebagai sahabat, memujikan kemenanganmu! Untukmu nanti, aku bersiap akan memainkan sebuah lagu!"

   Lantas.

   "Traang!"

   Ia memalu satu kali, terus ia berkata pula nyaring.

   "Untuk kehormatannya Tiongkok dan Yunani, sahabatku, aku minta kau berkelahilah dengan bersemangat!"

   Jago Persia itu mementang kedua matanya.

   "Baiklah kau nantikan saja musik orang mati!"

   Bentaknya. Pangeran Yunani itu tertawa.

   "Janganlah kau ketakutan tidak keruan!"

   Katanya mengejek.

   "Sahabatku ini tidak nanti menghajar kau hingga mampus!"

   Lalu terdengar tiga kali suara "Traang!"

   Dari ditabuhnya tiga kali tampan perak, diiringi suara menghitungnya.

   Dengan mendadak Dirhamshah menggeraki kedua tangannya, yang ia pentang, guna mencekal sepasang tangannya Hoa Seng.

   Pemuda she Koei itu mengasi lihat kelincahan tubuhnya.

   Jangan kata tangannya, ujung bajunya pun tidak kena terlanggar.

   Setelah memutar tubuh sebat sekali, ia menyerang ke nadi lawannya itu.

   Dirhamshah sekarang mengeraki kedua tangannya menyambuti serangan itu, untuk menggencet tangan orang.

   Ini pun ada serangan untuk memecah penyerangan lawan.

   Setelah ini ia menyerang pula, guna merangsak.

   Kedua tangan dan kakinya bergerak dengan sebat.

   Hoa Seng hendak mencoba-coba, ia memperlihatkan keringanan tubuhnya.

   Ia menggunai tipu silat "Pat-kwa Yoe Sin Ciang-hoat."

   Ialah ilmu kelincahan tubuh yang bergerak merdeka ke delapan penjuru.

   Tubuhnya lantas berkelebatan di samping kepalannya yang bersuara sar-ser juga.

   Menampak permainan silat lawannya, si jago Persia menyedot hawa dingin di mulutnya.

   Kalau tadi ialah si penyerang, sekarang ia mesti mengubah siasat.

   Ia meringkaskan tubuh, untuk menutup diri.

   Ia merasa bahwa ia telah membela diri baik sekali, tidak urung beberapa kali kepalan Hoa Seng mampir juga di tubuhnya, hanya karena bertubuh kuat, ia tidak roboh karenanya, cuma setiap kali kena diserang, ia merasakan sakit.

   21.

   Kejujuran Menghasilkan Musuh Menjadi Kawan Sambil bertempur itu, Hoa Seng menggunai kesempatan akan sewaktu-waktu melihat ke sekitarnya.

   Maka itu ia heran ketika.

   ia mendapatkan parasnya Helois si pangeran Yunani menjadi bergelisah.

   Maka ia lantas memandang ke lilin, yang telah terbakar separuh lebih.

   "Pangeran ini mengharapi aku menang, tidak dapat aku membikin dia kecewa,"

   Ia berpikir, menyusul mana, ia membuat perubahan. Sekarang serangannya dicampur sama bacokan atau totokan, ialah ilmu silat yang ia peroleh dari Tatmo Pit-Kip, kitab rahasia Bodhidharma. Dengan lantas jago Persia itu keteter.

   "Kena!"

   Kemudian Hoa Seng berseru, ia telah melihat lowongan dan lantas menggunai ketikanya.

   Dengan beruntun ia menotok di lima jalan darah thian-kie, tee-kwat, kwie-tjhong, hong-hoe dan giok-cim.

   Kalau orang biasa, satu saja jalan darahnya ditotok, dia tentu roboh, akan tetapi lawannya anak muda ini benar-benar hebat, tubuhnya kuat luar biasa, ia cuma terhuyung mundur beberapa tindak, ia tidak roboh.

   Inilah disebabkan ia pun mengerti ilmu menutup jalan darah, semacam ilmu yang berada di Persia dan Eropa.

   Namanya itu ialah "Menutup jalan darah tengah hari."

   Sebenarnya dengan ini ia hendak merebut kemenangan tetapi kelincahan lawan membikin ia tidak memperoleh kesempatan untuk menurunkan tangan terlebih dulu.

   Biar bagaimana, ilmu menutup jalan darah itu tidak sempurna seperti ilmu Tionghoa, maka juga, ketika kena ditotok, Dirhamshah merasakan tubuhnya sesemutan hingga ia terhuyung-huyung.

   Ia menjadi terkejut.

   Ia tahu sekarang liehaynya totokan lawan itu, maka hatinya menjadi kecil.

   Ia mau menang tempo dengan api lilin itu, kalau ia ditotok terusterusan, ia bisa celaka.

   
Pedang Inti Es Karya Okt di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Karena ini, ia memikir untuk menukar siasat.

   Segera ia mencari ketikanya, terus ia bersikap hendak menyerang.

   Untuk itu ia menanti lawannya menyerang kepadanya.

   Ia membuka kepalannya, ia pun berseru.

   Melihat sikapnya, ia hendak menangkap tangan lawan.

   Mulanya Hoa Seng terperanjat tetapi segera ia menerka maksud musuh.

   "Terang sudah dia mau mengadu tenaga denganku, untuk dia menang tempo seapi lilin itu,"

   Pikirnya.

   Dengan lantas tangan kedua pihak bentrok, tangannya jago Persia itu menahan.

   Dengan begitu, mereka mulai mengadu tenaga.

   Hoa Seng berlaku waspada dan tenang.

   Di satu pihak ia mengumpulkan tenaga di tangan, di lain pihak ia mencoba mengelakan tenaga lawannya itu.

   Setelah lewat sekian lama, Dirhamshah mulai bermandikan keringat dan napasnya memburu, setindak dengan setindak, ia mundur.

   Ia menggunai tenaga besar di kakinya, setiap ia menindak itu, batu lantai melesak meninggalkan tapak kakinya.

   Helois melihat itu, ia terkejut.

   Ia jadi berpikir.

   "Jago Persia ini begini liehay, dia masih kena dimundurkan Koei Hoa Seng, dilihat dari sini, ilmu silat Tionghoa benar-benar yang nomor satu di dalam dunia!"

   Selagi api lilin mendekati ujungnya, tenaganya Dirhamshah pun seperti sudah kurang.

   Pasti sekali dia tidak bakal dapat bertahan.

   Helois mengangkat garpunya, ia bersikap hendak memukul tampan.

   Di saat tegang itu mendadak terdengar suara berisik dari tindakan banyak kaki.

   Segera ternyata jago Nepal, Rakandu, telah mengundang putera raja, dan pangeran itu lantas menggoyang-goyang tangannya sambil berteriak.

   "Eh, eh, kamu bikin apa di sini? Dengan memandang kepada tuan rumah, aku minta janganlah kamu merusak persahabatan!"

   "Sebenarnya tidak apa-apa!"

   Berkata pangeran dari Yunani.

   "Tuan Koei ini bersama Dirhamshah tengah bertanding menurut aturan bangsa pahlawan untuk mendapatkan si cantik!"

   Hoa Seng mengendorkan tenaganya dengan tiba-tiba, atas mana si jago Persia, yang kehilangan ke seimbangannya, lantas roboh sendirinya. Helois, dalam kegembiraannya, mengetok-ngetok tampan perak seraya bernyanyi.

   "Harimau dari Persia nyata tak dapat melawan singa dari Tiongkok! Oh, sahabatku, maka buah apel emas dari gunung Olympus bakal dilahirkan kepadamu dan kaulah kekasihnya Venus!"

   Itu artinya, karena Koei Hoa Sang menang, dia bakal memperoleh tangan puteri Nepal.

   Setelah roboh, Dirhamshah berlompat bangun, mukanya merah.

   Ia sekarang bersyukur kepada Hoa Seng.

   Kalau umpama ia mau dibikin celaka Hoa Seng, tentulah ia terbinasa atau sedikitnya terluka parah.

   Sekarang ia cuma malu tapi tubuhnya selamat.

   Hoa Seng lantas berkata kepada pangeran Nepal.

   "Terima kasih untuk hadiah arakmu! Kami telah minum itu, lantas kami mengacau sedikit, hingga kami berlaku kurang tahu aturan!"

   Ia pun memberi hormat. Mukanya pangeran itu merah.

   "Jago-jago bertanding, itulah tidak apa,"

   Sahutnya jengah.

   "Sekarang cukup sudah, karena sama-sama tidak ada yang terluka, jangan kamu bertanding pula. Silahkan kamu beristirahat."

   Di mulut ia mengatakan demikian, di hati ia berpikir.

   "Sekarang ini sudah terang Hoa Seng mengetahui rahasiaku. Karena sudah pasti dia bakal menjadi menantu raja, aku suka atau tidak, aku mesti terima dia. Baiklah, sekarang tidak boleh aku melayani dia. Hari pun masih panyang .."

   Ia lantas memberi selamat malam, terus ia mengundurkan diri. Baru pangeran ini pergi atau "Bruk!"

   Ada seorang yang roboh ke lantai ."

   Itulah Kabat yang roboh. Dia terluka parah, dia menjadi wasit saking terpaksa. Hoa Seng lantas mengasi bangun orang bangsawan dari Samarkand itu.

   "Inilah sahabatku, tak usah kau mencapaikan hati untuknya,"

   Berkata Dirhamshah.

   "Baiklah kau menolongi sahabatmu saja."

   Hoa Seng segera menoleh.

   Maka terlihatlah olehnya Menon lagi duduk bersila, dari embun-embunannya keluar hawa berupa putih, sedang parasnya mulai sedikit bersemu dadu.

   Terang jago India itu lagi menggunai ilmu yoga untuk mengumpul tenaga, guna mengobati luka di dalam tubuhnya.

   Karena merasa, tanpa pertolongan juga orang India itu dapat menolong diri, ia lantas berpaling kepada Helois, pangeran dari Yunani.

   Dia ini telah keluar otot-otot biru di jidatnya, nampaknya dia letih dan lemah, tandanya lukanya tak enteng.

   "Baiklah,"

   Ia kata kepada Dirhamshah, jago dari Persia itu.

   "mari kita sama, mengurus sahabat masing-masing. Sahabatmu itu terluka di dalam, kau harus menyalurkan jalan darahnya serta mengurutnya."

   "Tak usah kau mengajari, kami orang Persia ketahui bagaimana harus mengobati lukanya,"

   Kata Dirhamshah, jumawa. Menyaksikan orang demikian besar kepala, Hoa Seng membatalkan niatnya untuk memberi penjelasan lebih jauh. Ia lantas minta Helois merebahkan diri, untuk ia menolongi.

   "Tunggu dulu,"

   Berkata pangeran Yunani itu.

   "Ada orang yang terluka lebih hebat dari padaku ."

   Hoa Seng pun lantas mendengar suara rintihan yang terputusputus.

   Ketika ia berpaling, ia melihat Rana, jago dari Afghanistan.

   Dia ini telah menyerang pemuda kita, dia terserang tenaga membal dari si anak muda, mulanya dia tidak merasakan seberapa, hanya makin lama rasa nyerinya makin hebat, sampai dia seperti tak kuat bertahan diri lagi.

   Hoa Seng lantas memberikan sebutir obatnya.

   "Aku tidak melukakan kau di bagian dalam, jiwamu tidak terancam bahaya. kau jangan takut,"

   Pemuda ini menghibur.

   "Kau makan obat ini, lantas kau rebah tiga hari, lantas kau akan sembuh."

   Hoa Seng membenci orang ini membokong padanya, maka itu ia suruh orang rebah selama tiga hari.

   Sekalipun si puteri tidak melihat cara ia melukainya.

   Sebenarnya Rana tidak suka menerima obat itu, tetapi dia merasakan lukanya hebat sekali, terpaksa dia menebalkan muka dan menerimanya juga, bahkan dia terus menelannya.

   Obatnya Hoa Seng itu ada pel Pek Leng Tan warisan dari Hui Beng Siansoe, couw-soe atau pendiri dari Thian San Pay, di antara bahan obat-obatannya ada juga soat-lian, teratai salju yang langka itu.

   Ia mempunyai lima butir tetapi karena kemuliaan hatinya, ia suka mengurbankan itu untuk Rana.

   Hampir sehabisnya dia menelan obat itu, Rana lantas merasai sakitnya lenyap separuhnya, tangan dan kakinya yang belum dapat digeraki, dari itu ia lantas minta tolong orang menggotong padanya untuk beristirahat di pembaringan.

   Hoa Seng lantas memusatkan kepandaiannya terhadap Helois.

   Setelah mendapat petunjuk dari Liong Yap Taysoe, pesat kemajuan tenaga dalamnya, maka itu dalam tempo yang cepat luar biasa, ia dapat menyalurkan jalan darahnya bangsawan dari Yunani itu, yang juga ia berikan sebutir Pek Leng Tan.

   "Sekarang ini,"

   Berkata Helois kemudian sambil tertawa.

   "aku merasa diriku lebih segar dari pada sebelumnya aku terluka. Liehaynya ilmu silat dan ilmu tabib Tionghoa sungguh membuatnya aku kagum!"

   Kemudian orang melihat Menon, Jago India itu sudah dapat bangun berdiri hanya sepasang alisnya masih berkerut, tanda dia merasakan sesuatu kesulitan.

   "Saudara jangan kuatir,"

   Kata Hoa Seng.

   Dengan mendadak ia menyambar tubuh orang untuk diangkat dengan dibalik, hingga menjadi kakinya di atas, kepalanya di bawah, menyusul mana, telapakan tangannya ditempelkan kepada jalan darah Giokcoan di telapakan kaki orang itu! Helois kaget.

   "Eh, kau bikin apakah?"

   Ia tanya. Hoa Seng tengah mengerahkan tenaganya, ia tidak menjawab hanya melainkan tertawa. Ia tidak mengambil tempo lama, lantas ia memutar pula tubuh orang untuk lantas dilepaskan. Menon berlompat untuk bendiri.

   "Terima kasih!"

   Katanya dengan sikap sangat menghormat.

   "Kau hebat sekali, kau dapat juga mengobati aku dengan ilmu yoga dari India!"

   Memang juga Hoa Seng menggunai ilmu pengajarannya Liong Yap Taysoe.

   "Kau telah sembuh, tenagamu telah pulih,"

   Berkata Hoa Seng.

   "maka itu kau tak usah kuatirkan lagi urusan pertandingan besok. Sebenarnya, dengan tenagamu sendiri, tanpa bantuanku, di dalam tempo dua hari, kau akan sembuh kembali seperti sediakala."

   Menon agaknya jengah.

   "Sebenarnya juga aku memikirkan ujian besok hari,"

   Ia berkata terus terang.

   "Tetapi sekarang walaupun aku telah sembuh, besok aku tidak akan turut mengambil bagian."

   "Kenapa begitu, saudara?"

   Hoa Seng menanya.

   "Pertama kali aku tiba di Katmandu ini,"

   Menyahut Menon.

   "aku telah bertemu sama pangeran Jatsingh. Pangeran itu telah menyebut-nyebut namamu, yang dia puji tinggi. Sekarang aku bertemu sendiri denganmu, nyata pujiannya pangeran itu bukan pujian belaka. Bukan saja kau gagah, kau pun tampan, maka itu kecuali kau, siapa lagi yang dapat dijodohkan dengan tuan puteri? Dengan mendapat sahabat dalam dirimu, aku sudah puas, karenanya aku tidak memikirkan lagi kebahagiaan sebagai seorang hoe-ma. Besok pagi-pagi aku akan berangkat pulang ke negeriku, semoga di lain kali kita dapat bertemu pula!"

   Melihat orang telah berkeputusan tetap, Hoa Seng terpaksa menyambuti tangan Menon itu, untuk berjabatan tanda selamat berpisah.

   Kapan kemudian ia kembali ke atas lauwteng, Hoa Seng memikirkan sesuatu, dari itu ia menyenderkan dirinya di loteng seraya memandang si Puteri Malam.

   Katanya di dalam hati.

   "Di waktu pertama kali mereka itu melihat aku, semua bersikap bermusuh, tetapi sekarang ini sedikitnya Menon dan Helois telah menjadi sahabatku. Benar sekali, asal orang berlaku jujur, musuh pun dapat berubah menjadi kawan ."

   Tengah ia berpikir itu, Hoa Seng mendengar satu suara di sebelah belakangnya. Ia menoleh dengan cepat. Maka ia melihat Helois dengan gitarnya. Paras pangeran Yunani itu tersungging senyuman.

   "Telah aku bikin benar gitarku ini,"

   Katanya tertawa.

   "Aku menyiapkan ini untuk besok bernyanyi untuk kemenanganmu!"

   "Sayang aku tidak pandai bersyair sebagai kau,"

   Kata si anak muda bersenyum.

   "kalau tidak tentu aku akan membuatnya satu untukmu! Mengapa kau mengatakan begini?"

   Pangeran itu tertawa.

   "Kau tahu, besok aku hanya seorang penonton!"

   Katanya.

   "Jadinya kau tidak turut ujian?"

   Hoa Seng menegaskan.

   "Kami bangsa Yunani paling gemar menonton pertunjukan,"

   Menyahut Helois.

   "dari itu dari pada bercapai lelah menjadi pemain-pemain sandiwara, lebih baik kami berdiam tenangtenang di bawah pentas selaku penonton. Dalam dongeng bangsa kami ada satu dewa matahari bernama Apollo, yang gemar sekali akan segala apa yang baik di dalam dunia ini, maka aku pun ingin sekali meneladnya. Sebegitu jauh yang aku pernah lihat, kaulah pria paling tampan, sedang hatimu mulia sekali. Puteri Nepal juga wanita tercantik di kolong langit ini, maka itu kalau kamu berdua dapat merangkap jodoh, itulah perjodohan paling tepat dan manis. Adalah hal yang paling menggirangkan aku akan menyaksikan perangkapan jodoh kamu berdua. Laginya, ketika pertama kali aku bertemu denganmu, pernah aku mengatakan akulah pengikut atau pemuda dari Plato, maka dalam soal asmara, aku mempunyai pandanganku sendiri."

   Hoa Seng tertarik kepada tingkah lakunya pangeran ini, maka itu ia menjabat tangan orang erat-erat sambil ia menghaturkan terima kasihnya.

   "Cuma ada satu hal yang ingin aku mengatakan kepada kau,"

   Berkata Helois kemudian.

   "Terhadap apa yang bagus, kita harus menjaga dan melindunginya. Sudahkah kau berpikir dan bersedia-sedia akan melindungi tuan puterimu itu?"

   Hoa Seng bersenyum. Di dalam hatinya ia kata.

   "Kata-kata semacam ini aku cuma dapat mengutarakannya kepada tuan puteri sendiri "

   Helois tidak menanti orang menyahuti ia, ia menambahkan.

   Pedang Inti Es Karya Okt di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Wanita cantik itu ada bagaikan bunga kenamaan, maka dia haruslah dijaga agar tidak sampai jatuh ke dalam lumpur! Mengertikah kau akan maksudku ini? Kalau kau membiarkan dia menjadi ratu, itulah hebat sekali! Untuk menjadi raja saja, suatu usaha gila, aku si manusia biasa merasakan kepalaku sakit. Tapi buat gunamu, mungkin aku akan merasakan menjadi raja juga, supaya kalau nanti kau datang ke negeriku, bisa aku menyambut kau di dalam perahu terhias paling indah guna kau dapat mengicipi kemanisannya laut asmara!"

   Hoa Seng tertawa.

   "Baiklah!"

   Katanya.

   "Sekarang terlebih dulu aku menghaturkan terima kasihku! Oh, pangeran penyair yang baik, semoga inilah bukan khayalan belaka!"

   Sampai di situ mereka saling memberi selamat malam, untuk beristirahat.

   Besoknya ialah hari ujian yang terakhir.

   Acara pertama ialah menguji ilmu silat pedang dan itu bakal dilakukan oleh tuan puteri sendiri.

   Tempatnya ialah di dalam taman.

   Jumlah calon hoe-ma, atau menantu raja, tinggal tiga.

   Pagi-pagi sekali, Menon sudah berangkat pulang ke negerinya.

   Helois telah menyatakan mengundurkan diri.

   Rana masih rebah di atas pembaringannya, lukanya belum sembuh.

   Kabat si pangeran dari Samarkand telah terluka, benar dia dapat ditolong Dirhamshah hingga jiwanya tidak terancam bahaya tetapi dia masih lemah, tidak dapat dia turut terus dalam ujian.

   Ketiga calon itu ialah Hoa Seng dari Tiongkok, Dirhamshah dari Persia, dan Rakandu dari Nepal.

   Menurut undian, yang maju paling dulu ialah Rakandu, baru Dirhamshah, dan yang terakhir, Hoa Seng.

   Ketika Hoa Seng memandang panggung yang menjadi gelanggang pertempuran di dalam taman itu, hatinya berdenyutan.

   Ketika saat ujian mendekati, di dalam taman telah hadir banyak penonton.

   Merekalah jago-jago yang telah roboh di hari-hari pertama, mereka penasaran, mereka ingin menyaksikan akhirnya.

   Umumnya mereka itu tidak dapat menguasai diri, dari itu melihat tiga calon terakhir, sinar mata mereka mengandung sinar kejelusan.

   Kapan telah tiba saat yang dinanti-nantikan, di sana terdengarlah bunyinya musik.

   Menyusuli itu, panggung yang ditutup dengan layar yang indah, layarnya mulai disingkap disingkirkan.

   Maka di lain saat lagi, puteri Nepal, yang menjadi taycoe, ialah si penguji, muncul perlahan-lahan dari belakang panggung.

   Segala apa sunyi di dalam taman itu.

   Tuan puteri memakai cala akan tetapi dari sela-selanya, cala itu toh terlihat sinar matanya yang celi dan tajam berpengaruh.

   Matanya semua jago mengawasi kearah puteri itu, meskipun mereka tidak melihat tegas karena teraling cala, mereka merasakan kecantikan yang menggiurkan.

   Helois berkata didalam hatinya.

   "Ahli filsafat mengatakannya, kecantikan itu tidak dapat dilihat hanya dengan mata tetapi pun harus dengan hati, inilah benar sekali!"

   Begitu lekas musik berhenti, maka terdengarlah suara si pengacara.

   "Calon pertama, Rakandu, jago Nepal, silahkan maju untuk menerima ujian dari tuanku puteri! Yang diuji ialah ilmu pedang!"

   Rakandu lantas bertindak maju. Lebih dulu ia menekuk kakinya, untuk memberi hormat kepada puteri itu. Ketika itu terlihat yang tubuhnya bergemetaran. Melihat itu, puteri bersenyum dan berkata dengan halus .

   "Seorang pahlawan yang menghadapi medan pertandingan, dia harus gagah dan tenang. Kemenangan atau kekalahan adalah yang nomor dua. Yang paling utama ialah dia harus menunjuki semangat kejantanannya!"

   Mendapat anjuran semangat itu, Rakandu dapat menetapkan hatinya. Ia terus menghunus pedangnya.

   "Akan aku melakukan sebisanya,"

   Katanya.

   "Silahkan tuan puteri memberi petunjuk."

   Jago Nepal ini telah dapat menenangkan diri, tidak urung suaranya masih sedikit tergetar.

   Puteri raja itu, dimatanya bangsa Nepal, ada bagaikan wanita suci atau dewi, sekarang Rakandu dapat berdiri mendampinginya, tidak heran, walaupun ia girang hatinya toh bertiktokan, ia merasa jeri juga ..

   Kembali puteri itu bersenyum, tangannya mengeluarkan sebatang seruling kumala.

   "Akan aku menggunai seruling ini sebagai gantinya pedang,"

   Katanya manis.

   "Kau menyambutlah dengan sungguhsungguh!"

   Habis berkata, puteri itu segera menggeraki tangannya, dengan serulingnya itu ia menotok.

   Monyaksikan gerakan tangan puteri itu, semua penonton lantas bersorak.

   Mereka mengenali gerakan yang lincah itu, suatu jurus yang terindah dalam ilmu pedang.

   Rakandu mengangkat pedangnya, guna menutup diri, akan tetapi "Bret!"

   Maka ujung tangan bajunya kelanggar ujung seruling hingga robek! "Berlakulah lebih tenang!"

   Berkata puteri.

   Rakandu menjadi malu, mukanya bersemu merah.

   Ia menyingkir dari sinar mata berpengaruh dari puteri itu, terus ia melayani sebagai juga ia bukan lagi menempur puteri rajanya.

   Dengan begini bisalah ia melayani sang puteri.

   Jago Nepal ini bukan seorang lemah, buktinya lebih dulu dari pada ini ia telah menangkan pelbagai pertandingan.

   Ia bisa bergerak dengan sebat, setiap gerakan pedangnya memperdengarkan suara keras.

   Akan tetapi di depan ia, puteri itu dapat melayani padanya tak kalah gesitnya, seruling kumala bagaikan terbang menari-nari mengimbangi pedang.

   Semua penonton menjadi kagum sekali, malah ada yang berpikir.

   "Kalau aku menjadi Rakandu, jangan-jangan aku sudah kalah .."

   Selama pertempuran berjalan sekira sepasangan sebatang hio, Rakandu sudah tiga kali kena ditowel ujung seruling.

   Syukur seruling bukannya pedang, kalau tidak, tentulah ia akan memperoleh tiga liang yang mengucurkan darahnya.

   Maka lantas ia melemparkan pedangnya, sambil menekuk lutut, ia berkata.

   "Tuan puteri, aku tidak berhasil, aku malu ."

   "Tetapi kau telah melakukan apa yang kau bisa,"

   Berkata puteri, suaranya menghibur.

   "Di dalam pahlawan kita, tidak ada lainnya yang dapat menandingimu. Pantaslah kau menempati kedudukannya komandan pasukan pengiring Sri Baginda!"

   Mendengar perkataan itu, bukan kepalang girangnya Rakandu.

   Ia benar kalah tetapi segera ia memperoleh pangkat.

   Inilah di luar dugaannya! Bagaimana agung untuk menjadi congkoan dari pasukan Gie-lim-koen! Maka dengan kegirangan ia turun dari panggung.

   Sekarang gilirannya calon yang ke dua.

   Dirhamshah mau mempertontonkan kegagahannya, begitu namanya disebut, dia berlompat naik.

   Tinggi panggung ada tiga tombak, tetapi hampir tak nampak kakinya menjejak, dia sudah sampai di atas ring.

   Dia lantas memberi hormat kepada puteri, tetapi dia tidak lantas menghunus pedangnya hanya terus mengawasi seruling puteri itu.

   Puteri Nepal berlaku tawar ketika ia berkata.

   "Aku tetap akan menggunai serulingku ini. Silahkan kau menghunus pedangmu!"

   Jago Persia itu besar kepala, ia angkuh sekali ia pun belum pernah menerima semacam perlakuan menghina, hatinya panas, hampir ia tak sudi memberikan penyahutannya ketika mendadak ia pikir.

   "Dia menggunai seruling, dia pasti bakal kena terkalahkan olehku! Dengan aku bakal terpilih, perduli apa aku dengan sikap jumawanya ini?"

   Maka ia lantas menghunus pedangnya, dengan suara nyaring ia berkata.

   "Kalau begitu baiklah, aku menurut titah tuan puteri! Maaf!"

   Sambil maju setindak, Dirhamshah membabat lengan puteri.

   Serangan itu hebat.

   Ketika ia berkelit, puteri agak terkesiap hatinya.

   Ia lantas membalas, menotok ke pundak jago itu.

   Hebat ilmu pedang pahlawan Persia ini.

   Pedangnya itu, selain dipakai menikam dan menabas, dapat juga digunai untuk menggaet, seperti biasa dilakukan dengan houw-tauw-kauw, ialah gaetan, dalam ilmu silat Tionghoa.

   Maka itu, ia mendatangkan kekaguman para penonton.

   Puteri Nepal berlaku tenang tetapi lincah.

   Ia bersilat dengan ilmu silatnya yang ia baru menciptakannya, ialah Peng-coan Kiam-hoat, ilmu pedang Sungai Es.

   Di antara sorotan matahari, serulingnya berkilauan menyilaukan mata dan mendatangkan hawa adem pula.

   Maka itu, ia pun mendatangkan kekaguman dari semua calon yang gagal itu.

   Inilah untuk yang kedua kali puteri Nepal menggunai ilmu silat pedangnya itu.

   Mulanya ia masih kurang lancar, setengah jam berselang baru ia dapat menggunainya dengan sempurna.

   Sekarang Dirhamshah diam-diam menyedot hawa dingin dari mulutnya.

   Ia tidak menduga yang puteri demikian liehay.

   Lagi sekian lama, puteri mainkan pedangnya dengan cara lain lagi.

   Ia bergerak ke segala penjuru seperti tanpa perhatian, bagaikan tidak menggunakan tenaga.

   Inilah disebabkan ia memakai tenaga lunak, hingga ia nampak menjadi lemah.

   Melayani cara berkelahi ini, Dirhamshah kena dipengaruhkan, dia merasa dirinya keteter.

   "Inilah hebat,"

   Pikirnya kemudian.

   Maka ia berteriak, terus ia membacok dengan keras.

   Ia telah memikir akan menghajar patah seruling kumala di tangan si nona.

   Atau, kalau puteri itu tidak dapat menangkis, mungkin jiwanya melayang.

   Ia sudah tidak menghiraukannya apa-apa lagi, asal ia menang .

   Di bawah ring orang terkejut melihat cara berkelahinya jago Persia itu.

   Dia nampaknya nekat dan kejam.

   Di antaranya orang yang darahnya panas, lantas mengeluarkan cacian.

   Meski sudah gagal, mereka ini umumnya bangsa laki-laki dan berkesan baik terhadap puteri.

   Akan tetapi tuan puteri tidak menghiraukan serangan dari kematian itu.

   Bahkan selagi di bawah panggung riuh dengan cacian, di atas ring Dirhamshah menjerit keras, tubuhnya terlempar jatuh ke bawah panggung yang tingginya tiga tombak.

   Dia roboh terbanting, terus dia bergulingan, rupanya dia berdaja untuk berlompat bangun.

   Ketika dia akhirnya berhasil berdiri, mukanya pucat pias, tubuhnya bergemetaran.

   Puteri Nepal melihat ancaman bahaya, sebelum pedang tiba, ia mendahulukan menyerang.

   Dari dalam serulingnya ia meniup keluar tiga butir Pengpok-Sintan, peluru inti es.

   Karena orang berlaku ganas, ia tidak bisa berbuat lain.

   Ia menggunai tiga butir, la pikir lawannya tentu dapat mempertahankan diri, siapa tahu, jago Persia itu tidak lagi setangguh semula.

   Dirhamshah tidak menyangka bakal diserang senjata rahasia, ia pun lagi bernapsu sekali.

   Tadi malam ia telah mengeluarkan banyak tenaga, istirahat satu malam belum cukup untuk mempulihkan kesehatannya.

   Sebab yang ketiga ialah peluru mengenai tepat jalan darahnya, ia terserang hawa dingin yang hebat sekali, yang masuk hingga ke uluhatinya.

   Maka ia menjerit dan roboh.

   Ia tidak mati seketika tetapi ia telah mendapat luka berat.

   Selagi orang masih heran dan terbengong, maka juru acara, sudah mengasi dengar suaranya yang ketiga kali.

   "Calon yang terakhir, jago dari Tiongkok, Koei Hoa Seng, silahkan naik ke panggung untuk bertanding pedang dengan tuan puteri!"

   Dia ini seperti tak hendak mengasi ketika untuk puterinya itu beristirahat dulu ..

   Hoa Seng sudah lantas naik dari tangga di samping panggung, ia mendaki dengan perlahan-lahan.

   Sebenarnya ia bisa naik hanya dengan satu kali lompat akan tetapi ia tak mau membanggakan kepandaiannya itu di depan tuan puteri.

   Ia berlaku tenang, akan tetapi ketika mata kedua pihak bentrok, tanpa merasa hatinya tergetar, suatu perasaan aneh menyerang kepadanya, hingga ia berdiam saja.

   "Silahkan menghunus pedangmu!"

   
Pedang Inti Es Karya Okt di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Puteri Nepal mempersilahkan sambil ia bersenyum. Hoa Seng merasa bagaikan ia baru sadar. Lekas-lekas ia memberi hormat.

   "Tetamu tidak dapat melancangi tuan rumah, maka itu silahkan tuan puteri yang mulai,"

   Ia berkata.

   "Begitupun baik,"

   Berkata puteri seraya ia melemparkan serulingnya kepada dayangnya seraya ia menitahkan.

   "Wanran, ambillah pedang Pengpok Han-kong-kiam!" 22. Lumernya Salju Himalaya Dayang yang disebutkan namanya itu sudah siap, maka itu dia lantas bisa menyerahkan pedang yang diminta itu, pedang inti es. Dia menyerahkan berikut kotak di dalam mana pedang itu disimpan. Sambil bersenyum, puteri menghunus pedangnya itu, hingga di situ lantas terlihat sinar yang berkilau dan terasa hawa yang dingin. Kejadian itu membuatnya heran semua jago karena mereka merasakan hawa dingin itu. Hoa Seng sudah lantas menghunus juga pedang, yang pun pedang mustika, ketika ia mengibaskan itu, pedangnya mengasi dengar suara angin mengalun. Maka pedangnya itu juga mendatangkan kekaguman sekalian jago tadi. Hingga ada yang mengatakan di dalam hatinya.

   "Jikalau aku yang berada di panggung, jangan pula mengadu pedang, hawa dingin itu saja tentulah sukar dilawan .."

   "Silahkan!"

   Berkata Hoa Seng setelah melihat puteri sudah siap sedia.

   Pundaknya puteri itu segera juga bergerak, maka pedangnya lantas menyambar si anak muda.

   Luar biasa cepat pedang itu membabat ke arah batang leher.

   Hoa Seng terkejut melihat datang-datang si nona berlaku demikian bengis, lekas-lekas ia berkelit dengan gerakannya "Mega melintang di bukit Cin Nia,"

   Yang ia terus susul dengan jurus "Salju menumpuk kota Lan-kwan."

   Dengan begitu maka bebaslah ia dari ancaman bahaya. Puteri itu tidak berhenti sampai di situ. Ia menyerang pula, ia mendesak.

   "Sambutlah!"

   Katanya perlahan sesudah ia mendesak terus hingga Hoa Seng mesti main mundur.

   Anak muda ini merasa bahwa ia seperti ditegur dengan katakata halus itu.

   Mungkin itu disebabkan ia memberi ketika dirinya didesak mundur.

   Ia menjadi sadar, maka ia berkata di dalam hatinya.

   "Jikalau aku tidak memperlihatkan kepandaianku, walaupun benar dia suka mengalah, tapi apa nanti kata semua calon jago dari pelbagai negara yang hadir di sini? Meskipun aku menang, tentulah kemenangan itu bukan dengan cara yang terhormat .."

   Oleh karena ini, ia lantas melayani dengan sungguh-sungguh, hingga ia tidak lagi terdesak, dan dengan kadang-kadang membalas menyerang, ia membuatnya mereka jadi sebanding, masing-masing ada maju dan ada mundur.

   Puteri itu puas, ia bersenyum.

   Berselang setengah jam, puteri Nepal masih belum kalah.

   Atau lebih benar, ia belum mau menyerah kalah.

   Sebab ini, Hoa Seng mesti keluarkan lagi kepandaiannya.

   Hebat pertandingan ini, pedang mereka berkilauan, menyilaukan mata.

   Semua jago menjadi kagum.

   Mata mereka kabur.

   Ada yang tidak dapat membedakan, mana si puteri, mana si pemuda lawannya, saking gesitnya tubuh mereka bergerak-gerak.

   Hoa Seng bertarung sambil berpikir.

   "Coba aku tidak mengenal Peng-coan Kiam-hoat, ada kemungkinan aku telah lantas kena dikalahkan .."

   Puteri Nepal telah menciptakan Peng-coan Kiam-hoat selama ia dan Hoa Seng berada di gunung Nyenchin Dangla, dan selama itu, berdua mereka sama-sama memahamkannya.

   Memang suatu ilmu harus dipahamkan bersama, sebab biar bagaimana, suka ada kelemahannya.

   Sekarang Hoa Seng melayani ilmu pedang si nona agung, ia telah mengenalnya, tanpa menanti si nona mengalahkan, bisalah ia mendesakkan diri hingga ia menjadi terlebih unggul.

   Hal ini pun sudah lantas dapat dilihat pelbagai jago yang menjadi penonton.

   Lewat lagi sekian lama, Hoa Seng lantas melakukan penyerangan membalas.

   Puteri Nepal itu merasakan bahwa perlahan-lahan ia mulai terdesak, maka segera juga ia mengayun tangannya yang sebelah dengan jurusnya "Boan thian hoa ie,"

   Atau "Hujan bunga di seluruh langit."

   Dengan sekali pukul, ia melepaskan belasan Pengpok sin-tan, peluru inti esnya yang liehay.

   Di dalam hal ini, ia dapat melepaskannya dengan sempurna.

   Hoa Seng sudah siap sedia, ia tidak menjadi jeri.

   Dengan sebat ia menggunakan lima jeriji tangannya, untuk menyentil setiap peluru yang sampai padanya.

   Ia pun sekalian berkelit sana dan berkelit sini, menjauhkan diri dari ancaman bahaya itu.

   Di samping itu, dengan pedangnya tetap ia melayani pedang orang.

   Setiap peluru es yang kena disentil lantas jatuh terbanting ke lantai panggung dan pecah, berkilau memancarkan sinarnya dan menyiarkan hawanya yang dingin, karena mana banyak jago pada mengundurkan diri supaya terhindar dari hawa dingin itu.

   Di saat yang genting itu, mendadak Hoa Seng berlompat maju, ujung pedangnya menyontek ke muka lawannya, maka sekejab itu juga cala puteri Nepal itu kena dibikin tersontek terbuka.

   Hingga segera juga suasana menjadi sangat sunyi senyap.

   Kalau sebatang jarum jatuh, mungkin suara jatuhnya itu kedengaran! Semua penonton heran dan kagum.

   Tepat sekali sontekan pedang Hoa Seng, ujung pedangnya tidak mengenai pipi yang putih dan halus dari puteri itu.

   Cuma sebentar orang berdiam, atau segera terdengar gemuruh tempik sorak dari para hadirin.

   Sudah kesudahannya pertandingan demikian mentajubkan, juga sekarang orang menampak romannya puteri itu yang cantik sekali.

   Jadi orang bersorak sorai berbareng, untuk liehaynya Hoa Seng, untuk cantiknya si puteri! Helois si pangeran Yunani lantas saja berbangkit berdiri, dengan sebelah kakinya diletaki di atas kursi, ia segera mementil gitarnya, sebagaimana ia telah berjanji, lantas ia mengasi dengar lagu pujiannya yang diiringi suara nyanyiannya yang bernada tinggi.

   Pokok kata-kata dari nyanyian itu adalah syair "Gembira"

   Sebagai berikut.

   "Kau telah melintasi puncak tertinggi di dunia, Bersama itu kau membawanya impian asmara. Dengan pedangmu kau menyontek cala puteri, Kau menanam bibit asmara di dalam hatinya. Oh, tusukan pedangmu ini yang hebat, Itu melebihkan anak panahnya Cupido!"

   Nyanyiannya Helois ini tenggelam di dalam hiruk-pikuknya tempik-sorak orang banyak, tetapi sinar matanya bentrok sama sinar matanya Koei Hoa Seng, sebab si anak muda justru berpaling kepadanya, untuk mengutarakan rasa syukurnya dengan perantaraan sinar matanya itu.

   Puteri Nepal sendiri, sambil bersenyum berkata pada si anak muda .

   "Kau telah memenangkan aku!"

   Tentu saja kata-kata itu ada dua artinya, yang terang ialah menang bertanding, yang tersembunyi ialah menang orangnya .

   Kemudian dengan air muka bersemu dadu, puteri itu memberi hormat ke bawah panggung, habis mana ia mengundurkan diri ke belakang gorden.

   Menyusul itu mendengunglah suara pengumuman bahwa Koei Hoa Seng lulus dari ujian ilmu silat, hingga tinggal menanti ujian ilmu surat, yang mana akan dilakukan besok.

   Kalau ujian ini pun berhasil dilewatkan, maka jago ini bakal diangkat menjadi hoe-ma, menantu raja! Dengan diiring semua jago pelbagai negara, Hoa Seng kembali ke gedung tetamu yang menjadi pondokan mereka.

   Helois sekali lagi memberi selamat kepada sahabatnya ini.

   Untuk tidak mengganggu, agar si pemuda dapat beristirahat, maka lekas sekali orang pada mengundurkan diri.

   "Selamat malam!"

   Berkata mereka itu.

   Tapi Hoa Seng tidak dapat pulas dengan gampang.

   Otaknya bekerja keras.

   Ia memikirkan bagaimana ia bakal mendapatkan dirinya puteri Nepal, ia memikirkan juga cita-citanya ketika ia mulai berangkat dari negerinya.

   Ia ingin mengumpul ilmu silat pelbagai negara, supaya semua itu dapat digabung menjadi satu, menjadi suatu ilmu silat baru, ilmu silat dari partai baru yang ia niat mendirikannya.

   Sekarang ia telah dapatkan memahamkan ilmu tenaga dalam dari India.

   ilmu pedang dari Nepal, dari Persia, dari Yunani, dari Arabia juga.

   Maka semua itu dapat dicampur sama ilmu silatnya sendiri serta Peng-coan Kiam-hoat dari si puteri Nepal.

   Di hari ke dua, ujian dilakukan di istana, dengan disaksikan oleh raja.

   Semua pertanyaan sang puteri dapat dijawab dengan lancar oleh Hoa Seng.

   Raja menjadi heran sekali.

   Tentu sekali raja tidak ketahui rahasia yang tersembunyi.

   Banyak pertanyaan berasalkan kitab yang puteri telah mengirimkannya kepada si anak muda, yang mengapalkannya dengan baik, sedang sebagian kecil pertanyaan, Hoa Seng telah mengetahuinya dari pembicaraannya sama puteri selama mereka berkumpul bersama.

   Adalah di dalam pertanyaan tentang sastera Tionghoa, Hoa Seng benar-benar memamerkan kepandaiannya.

   Guru dalam bahasa Tionghoa di dalam istana pun diberikan ketika untuk mengajukan beberapa pertanyaan, jawabannya semua membikin guru itu kagum, sebab ada juga yang si guru sendiri belum pernah mendengarnya.

   Baru sekarang raja Nepal puas.

   Tepat pemuda Tionghoa itu menjadi menantunya, meskipun orang bukan dari turunan agung.

   Orang mahir sekali dalam kedua ilmu, silat dan surat, sedang orangnya sendiri, muda dan tampan.

   Kalah semua calon lainnya.

   Hoa Seng girang bukan main ketika akhirnya raja Nepal memaklumkan bahwa dia telah lulus dari ujian dan terpilih sebagai hoe-ma, hingga hampir ia pingsan saking girangnya itu.

   Begitu lekas hari pernikahan telah dipilih dan ditentukan, dengan titahnya raja, Hoa Seng diberi tempat sementara di villa raja, istana musim panas, di gunung di depan ibukota Katmandu.

   Hari nikah itu lagi tiga hari, bertepatan sama hari raja bersuka ria setahun sekali yang biasa diadakan di Nepal, ialah pesta tengloleng.

   Tempo tiga hari itu dirasakan Hoa Seng seperti tiga tahun.

   Selama itu ia tidak dapat memikirkan apa kecuali menantikan sang waktu.

   Maka bagaimana lega ketika tibalah hari yang dinanti-nanti.

   Upacara suci dilakukan di bihara negara, dikepalai oleh pendeta agung, yang memberikan doa restunya.

   Ketika naskah pernikahan telah dibubuhkan tanda tangan, Hoa Seng diantar kembali ke istana musim panas.

   Ia menantikan sampai datangnya sang malam, baru raja akan mengutus orang menyambut dia ke istana, untuk masuk ke dalam keraton di mana dilangsungkan upacara nikah.

   Hari itu Hoa Seng merasakan ia bagai bermimpi.

   Bahkan mimpi pun tak mungkin terjadi! Bukanlah ia telah menjadi hoe-ma.

   menantunya raja Nepal? Magrib itu dan istana musim panas, di mana ada panggung peranti berangin, Hoa Seng memandang ke bawah bukit.

   Ia melihat di dalam taman telah digantungkan pelbagai macam tengloleng yang memakai kaca, yang terang dan indah.

   Juga ada barang hiasan lainnya, yang menambah keindahan.

   Ketika ia memandang ke ibu kota, di sana pun kota bagaikan api lentera-lentera terhias itu, seperti binatang-binatang berkelak-kelik.

   Dari sana samar-samar terdengar lagu-lagu dan nyanyian.

   Pesta tengloleng ini, untuk Nepal, berbareng menjadi hari raja asmara juga.

   Di hari itu, setiap rumah memajang rumahnya dengan pelbagai tengloleng, dan setiap pria atau wanita, dengan pakaian pilihannya, pada bersuka ria dengan bernyanyi dan menari.

   Walaupun di dalam bihara-bihara orang turut bernyanyi-nyanyi.

   Hari raja tahun ini berbareng sama pernikahan puteri raja, tidaklah heran kalau pesta dilangsungkan secara meriah sekali, sepuluh lipat lebih ramai dari pada tahun-tahun yang biasa.

   Tidak lama datangnya kereta istana untuk menyambut mempelai.

   Itulah kereta yang baru ini dipakai menyambut Hoa Seng juga, kudanya pun sama.

   Bedanya, kalau dulu Hoa Seng diundang untuk mengobati raja, sekarang untuk menjadi menantu raja itu! Wakil yang menyambut ialah seorang perwira muda dari pasukan pengiring raja.

   Ketika kereta pengantin ini tiba di selat gunung, di sana terdengar suara larinya kuda diberikuti suara beradunya golok dan tombak.

   Hoa Seng heran.

   Ia lantas menanya ada terjadi apa.

   Belum lagi ia mendapat jawaban, karena berhenti dengan tibatiba.

   Segera terlihat datangnya satu barisan penunggang kuda dengan pakaian hitam, dibarengi sama teriakan-teriakan.

   "Kami tidak dapat mengijinkan orang asing menikah puteri kami!"

   "Kalau tuan puteri menikah dengan dia, tentulah negara kita bakal dirampas!"

   "Tidak bisa, tidak bisa! Dia mesti diusir pergi!"

   "Mustahil negara kita tidak ada puteranya yang laki-laki?"

   "Kami tidak menyukai pengantin Tionghoa!"

   Perwira pengantar itu nampak menjadi ketakutan.

   "Celaka, celaka!"

   Serunya.

   "Kau tidak disukai mereka, mereka berontak! Lekaslah kau lari!"

   Tapi Hoa Seng telah mengambil ketetapan.

   "Aku tidak mau menyingkir!"

   Ia berkata.

   "Kalau kau tidak mau menyingkir, tidak apa!"

   Kata perwira itu.

   Pedang Inti Es Karya Okt di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Aku sendiri tidak dapat menemani kau mengantar jiwa!"

   Lantas dia menggeraki kedua tangannya, untuk menolak roboh si anak muda.

   Kalau dorongannya tepat, tentulah Hoa Seng terjungkal jatuh dari kereta itu.

   Tanpa pikir lagi, Hoa Seng menangkis sambil meneruskan menotok, hingga perwira itu pingsan seketika.

   Justru itu barisan kuda itu sudah sampai dan telah lantas mulai mengurung.

   Hoa Seng berbangkit, niatnya untuk bicara sama mereka itu, tetapi suara mereka ada sangat berisik, maka terpaksa ia menyedot napasnya, untuk mengeluarkan suaranya yang diempos tenaga dalam.

   Ia berkata dengan nyaring.

   "Jikalau benar aku tidak dapat diterima oleh rakyat negeri kamu, pasti aku akan pulang ke negeriku! Akan tetapi sedikitnya aku mesti pergi dulu ke kota raja kamu untuk memperoleh kepastian di sana!"

   Suara itu dapat menindih suara kacau dan berisik itu. Segera terdengar suaranya seorang perwira.

   "Kita jangan kasi diri kita dipedayakan. Dia tentu hendak menemui Tuan Puteri untuk minta dilindungi!"

   Lantas dia mengangkat tombaknya dan menombak anak muda kita itu! Hoa Seng menyambar tombak itu, untuk dipegang.

   "Aku tidak memikir juga untuk mengangkangi takhta rajamu, mengapa kamu melarang aku menemui isteriku?"

   Dia menanya. Perwira itu gusar sekali. Sia-sia belaka ia menarik tombaknya.

   "Kamu dengar!"

   Ia menghasut.

   "Dia masih menyebut-nyebut puteri kita! Puteri kita ialah mustika negara kita, mana dapat kita mengijinkan dia dibawa pergi orang asing?"

   Kata-kata itu besar pengaruhnya, sebagai penyambutan, lantas belasan tombak dan pedang dipakai menyerang Hoa Seng! Melihat ancaman bahaya itu, Hoa Seng menolak tombak yang ia pegang itu dan melepaskannya, maka si perwira lantas terjungkal roboh.

   Habis itu ia menghunus Theng-kauw-kiam, pedangnya yang ia bekal.

   Dengan itu ia menangkis, gerakannya memutar di sekitar dirinya, maka terdengarlah suara "trangtrang"

   Berulang-ulang, tanda dari kutungnya pelbagai senjata yang diarahkan ke tubuhnya! Kawanan penyerang itu tidak menjadi jeri hatinya meskipun senjata mereka telah dibabat putus.

   Mereka itu mundur untuk menukar senjatanya, yang lainnya menggantikan maju, guna menyerang terus.

   Hoa Seng menghadapi kesulitan juga.

   Itulah hari baiknya, di hari baik itu ia segan berkelahi apa pula menumpahkan darah.

   Ia juga tidak ingin melukai bangsa Nepal sebab itu bisa mendatangkan kesan yang tak diinginkan.

   Orang tidak mundur karena senjatanya terusak, mereka terus mengepung dengan bergantian maju, Karena ini, hampirhampir ia kena ditikam tombak atau tergores pedang .

   Sedang pertempuran berlangsung, di sana terdengar pula suara datangnya pasukan lain.

   Hoa Seng kaget hingga ia mengeluh.

   Kalau terpaksa, ia mesti menerobos keluar atau mengadu jiwanya.

   Dalam keadaan sulitnya itu, ia mendengar seruanseruan yang tegas.

   "Kami menyambut hoe-ma masuk ke istana! Tentara pemberontak, lekas kamu menyerah untuk ditawan!"

   Mendengar itu, barulah hati Hoa Seng lega.

   Jadi tadi ia telah dipedayakan, sedang pasukan penyambut yang tulen adalah yang datangnya belakangan ini.

   Pula pasukan penyambut ini jauh berjumlah lebih besar dari barisan penunggang kuda berseragam hitam itu.

   Mereka itu bertempur tidak lama, lantas kaum pengacau itu dapat dihentikan pengacauannya, bahkan semuanya kena ditawan.

   Segera setelah itu, kepala pasukan penyambut itu mendatangi Hoa Seng, untuk menyambut secara resmi.

   Dialah gie-lim-koen congkoan, pemimpin dari pasukan pengiring raja, bahkan dialah Rakandu! Pertemuan ini menggirangkan kedua pihak.

   "Terima kasih!"

   Hoa Seng mengucap.

   "Aku telah ditolong tuan puteri, aku telah diberikan jabatanku ini,"

   Berkata. Rakandu.

   "Budi itu sangat besar, meski tubuhku hancur-lebur, belum tentu aku dapat membalasnya. Hoe-ma, aku menyesal atas kelambatanku ini, hingga kau menjadi mendapat kaget. Sebenarnya aku bersyukur sekali yang hoe-ma tidak menegur padaku."

   "Sebenarnya, akulah seorang tidak berharga,"

   Berkata Hoa Seng merendah.

   "Aku telah dijodohkan dengan tuan puteri, aku merasa itulah kurang tepat, maka itu tidak heran jikalau mereka ini menentangi aku. Aku malu untuk berdiam lebih lama pula di dalam negara kamu ini."

   "Tidak demikian, hoe-ma,"

   Berkata Rakandu yang lantas meneruskannya dengan perlahan.

   "Hoe-ma gagah dan pintar, kau pula mulia hati, bukan saja orang-orang gagah dari pelbagai negara tunduk kepadamu, juga bangsaku sendiri, di dalam seratus ada sembilan puluh sembilan yang menyambutmu dengan girang, semua memujikan keberuntungan tuan puteri. Tentang kawanan pengacau ini, merekalah orang-orangnya pangeran kita. Sebenarnya pangeran itu telah mengajaki aku untuk aku turut dalam usahanya ini, berpura-pura menerima baik, diam-diam aku lantas pergi melaporkan kepada Sri Baginda."

   Sekarang barulah Hoa Seng jelas.

   "Sekarang aku memohon pertimbangan hoe-ma,"

   Rasandu berkata pula.

   "Bagaimana dengan kaum pengacau ini. Baiklah hal mereka diberitahukan Sri Baginda atau jangan?"

   Hoa Sang pikir, kalau perkara dibikin panjang, mungkin terbit huru-hara. Maka ia menjawab.

   "Peristiwa telah terjadi, baiklah disudahi saja. Tentang mereka ini, kau dapat memutuskannya sendiri. Menurut aku baiklah mereka tidak dihukum."

   Selagi mereka ini bicara, ke situ ada datang satu rombongan lain yang kecil. Itulah si putera raja, pangeran yang licin dan ambekannya besar. Dia keras melarikan kudanya. Kapan dia melihat Hoa Seng, lantas dia kata.

   "Aku dengar terjadi gangguan di tengah jalan! Adakah hoe-ma kaget?"

   "Oh, tidak apa-apa!"

   Sahut Hoa Seng, tenang sikapnya.

   "Ada beberapa serdadu mencoba mengacau, tetapi mereka sudah kena ditawan paduka pe mimpin pasukan pengiring Sri Baginda Raja. Terima kasih!"

   Pengeran itu memandang wajah pemuda itu, yang tenang seperti biasa, ia tidak dapat membade hati orang. Ia lantas menoleh kepada Rakandu. untuk berkata.

   "Kali ini kau telah mendirikan jasa besar, pastilah Sri Baginda akan menghadiahkan dan menaiki pangkatmu!"

   "Aku tidak mengharapi kenaikan pangkat,"

   Sahut Rakandu merendah.

   "aku hanya mengharap semua bekerja sama, guna melindungi negara agar negara seterusnya aman santausa."

   Pangeran itu tertawa dingin.

   "Aku pun mengharap kau mendapat sambutan baik dari rakjat negeri,"

   Kata ia pada Hoa Seng kepada siapa ia berpaling pula.

   "Dengan begitu, kau pun akan puas .."

   "Terima kasih untuk pujian kau ini!"

   Hoa Sang mengucap.

   "Pengharapanku sama dengan pengharapan paduka pemimpin pasukan pengiring Sri Baginda ini!"

   Sampai di situ, mereka melanjuti perjalanan.

   Tiba di dalam kota, rakyat dalam jumlah seperti lautan manusia menyambutnya dengan gembira, dengan nyanyiannya, dengan tariannya.

   Begitu melihat kereta hoe-ma, mereka bertepik-sorak bagaikan guntur berisiknya.

   Jumlah mereka demikian banyak tetapi dengan rapi mereka lantas membuka jalan.

   "Benar perkataan Rakandu barusan,"

   Hoa Seng berpikir memandangi rakyat banyak itu.

   "Benar-benar mereka menyambut baik padaku."

   Dengan perlahan sekali kereta dikasi berjalan menuju ke istana.

   Di dekat situ ada banyak rakyat, yang merupakan satu barisan besar, yang menyambut dengan suaranya alat-alat tetabuhan mereka, sambil mereka bernyanyi tinggi .

   Angin malam dari malam ini istimewa harumnya! Di harian Asmara, siapakah yang tidak bergembira? Kami menyambut kau, tetamu yang melintasi Everest! Maka selanjutnya, kau dan kami ialah sekeluarga! Tuan Puteri dan Hoe-ma telah terikat jodohnya.

   Gunung Himalaya diikat dengan sutera merah! Katmandu-Pakkhia! Tiongkok dan Nepal, selamanya bersaudara! Hoa Seng sangat tertarik hatinya, ia bersyukur sekali hingga ia mengeluarkan air matanya.

   Ia memandang pangeran Nepal dan berkata.

   "Pujian kau tadi telah berbukti sekarang! Terima kasih kepada rakyatmu! Ya, Tiongkok dan Nepal selamanya bersaudara!"

   Parasnya Pangeran pucat, sepata kata pun tak keluar dari mulutnya.

   Ia malu berbareng panas hatinya.

   Sebenarnya dengan pengacauan barisannya tadi hendak ia membuatnya hati Hoa Seng dingin, supaya Hoa Seng mundur sendirinya, ia tidak menyangka rakyat negeri justru begini berkesan baik terhadap orang asing ini, mereka itu menyambut gembira pilihannya puteri mereka! Di dalam istana, Hoa Seng paling dulu menghadap raja, yang memberi puji selamat padanya, habis mana dayangnya puteri, Wanran, dengan membawa lentera indah, memimpin dia masuk ke keraton, terus ke kamar pengantin.

   Di dalam kamar ada dipasang lilin yang panjang serta dupa yang harum.

   Hoa Seng merasakan ia seperti bermimpi, ia mengawasi puteri dengan mata mendelong, sampai sekian lama, tidak dapat ia membuka mulutnya.

   Puteri sendiri pun berdiam saja.

   Tiba-tiba terdengar suara tertawa di luar kamar, tertawa geli.

   Segera dikenali, itulah tertawanya Wanran, yang mengintai di lubang pintu! Hoa Seng bagaikan tersadar.

   Maka sekarang ia mendapat lihat kamar diatur dan dihias seperti kamar Tionghoa.

   Di tengahtengah ada sepasang lian, tulisannya puteri sendiri yang memakai nama "Hoa Giok".

   Setelah membiarkan suaminya memandangi kamarnya itu, Hoa Giok tersenyum, terus ia mengajak sang suami pergi ke jendela, untuk sambil berendeng memandang gunung Himalaya dengan puncaknya yang bersalju, agar salju itu menjadi pelambang bahwa hati mereka berdua telah dilumerkan menjadi satu Tak dapat dikatakan lagi puasnya hati mereka berdua.

   ^^^^ Lima tahun kemudian pada suatu malam, Puteri Hoa Giok bersama Koei Hoa Seng telah berlalu secara diam-diam dari istana, meninggalkan negara, untuk berdiam di gunung Nyenchin Dangla, di mana di Thian Ouw, atau telaga Tengri Nor, mereka mendirikan istana es.

   TAMAT Guna mengikuti terlebih jauh, kami harap para pembaca sukalah membaca buku cerita penerbitan kami yang berjudul "Peng Coan Thian Lie", atau ..Bidadari dari Sungai Es.

   Penerbit.

   

   Tiraikasih WEBSITE
http.//kangzusi.com

   

   Tiraikasih WEBSITE
http.//kangzusi.com

   

   

   

   

Naga Kemala Putih -- Gu Long Rahasia Bukit Iblis -- Kauw Tan Seng Kilas Balik Merah Salju -- Gu Long

Cari Blog Ini