Ceritasilat Novel Online

Pendekar Pemetik Harpa 15


Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen Bagian 15



Pendekar Pemetik Harpa Karya dari Liang Ie Shen

   

   "Tapi persoalan itu tidak rampung sampai disini saja,"

   Tutur spion itu.

   "konon Wi-cui-hi-kiau hendak menuntut balas kematian Ui-yap Tojin, sekarang mereka sedang mengatur rencana mengundang beberapa teman mereka, masuk kota raja untuk membunuh Liong Bun-kong. Bila berita ini dapat dipercaya, maka beberapa orang yang seharusnya akan kemari, mungkin bisa membatalkan maksudnya semula."

   "Tam-toako dan lain-lain pasti akan tiba dalam waktu dekat, pihak kita disini sih tidak kekurangan orang. Tapi gerakan mereka ini terlalu berspekulasi, amat bahaya, dan lagi takkan menimbulkan perubahan situasi yang cukup fatal, jikalau aku ditanyai pendapatku, terus terang aku tidak setuju."

   "Kalau begitu, biarlah aku lekas kembali ke kota raja, akan kuusahakan menyampaikan pendapat Cecu kepada mereka."

   "Mereka sudah getol menuntut balas, aku sendiri ke sanapun belum tentu dapat membujuk mereka. Tapi dicoba juga ada baiknya. Umpama mereka gagal, kau dapat bantu mereka mengundurkan diri. Tapi aku tidak ingin kau menempuh bahaya seorang diri, besok hal ini kurundingkan dulu dengan orang banyak, biar nanti dipilih mengutus siapa lebih cocok akan tugas berat ini? Em, masih ada berita lain dari kota raja?"

   "Masih ada satu berita yang tiada sangkut pautnya dengan strategis perang, tapi ada sangkut pautnya dengan seorang teman kita."

   "Ada sangkut pautnya dengan siapa?"

   "Berita yang menyangkut keluarga Toan di Tayli."

   Tergerak hati Ciu Kiam-khim yang mencuri dengar di belakang pintu angin, lekas dia lari ke kamar serta menyeret Han Cin kemari, mereka mencuri dengar di tempat itu. Waktu Han Cin keluar kebetulan didengarnya Kim-to Cecu sedang berkata.

   "O, kiranya muslihat Liong Bun-kong pembesar anjing itu, tapi aku tidak habis mengerti kenapa sekarang baru dia ambil tindakan keji ini terhadap keluarga Toan di Tayli? Mungkinkah mereka tahu bahwa Siau-ongya keluarga Toan itu ada hubungan rahasia dengan kita?"

   Karuan Han Cin amat kaget mendengar berita buruk ini. Spion itu berkata.

   "Aku tidak tahu apakah mereka sudah tahu akan rahasia ini. Tapi kabarnya keponakan Liong Bunkong ada bermusuhan dengan Siau-ongya keluarga Toan itu, muslihat keji inipun dirancang oleh keponakannya yang bernama Liong Seng-bu itu."

   "Lho, koh aneh, bagaimana mereka bisa bermusuhan?"

   Tanya Kim-to Cecu.

   "Liong Seng-bu mendesak pamannya supaya sang paman memberi laporan palsu memfitnah keluarga Toan, dosa perkaranya sungguh teramat besar, yaitu dituduh memberontak."

   "Keluarga Toan tidak punya jabatan tidak pegang kuasa, dengan apa mereka akan memberontak?"

   "Sejak dynasti Kerajaan berdiri dulu, keluarga Toan sudah dicopot jabatan dan kekuasaannya, sampai sekarang rakyat jelata negeri Tayli masih seperti biasa menyebutnya Ong-ya."

   "Itulah rakyat setempat yang masih memberi penghargaan kepada keluarga Toan, hakikatnya tiada sangkut pautnya dengan keluarga Toan itu sendiri."

   "Itu jalan pikiran kita. Baginda yang lalim itu begitu mendengar ada orang lain juga disanjung sebagai raja, yakin dia akan percaya akan fitnah itu. Dalam tuduhan itu Liong Bun-kong menekankan keluarga Toan membeli hati dan menghasut rakyat, berhubungan dengan kaum patriot kalangan Kangouw, semua itu sudah cukup sebagai alasan untuk dicurigai sebagai berusaha memberontak."

   "Beberapa hari yang lalu Siau-ongya keluarga Toan baru saja pulang dari sini, dia menunggang kuda yang dapat menempuh seribu li sehari, tak mungkin dikejar lagi. Lalu bagaimana baiknya?"

   "Keluarga Liong sedang sibuk menyambut kedatangan Duta rahasia Watsu, untuk sementara jelas mereka tidak sempat menyelesaikan soal ini, Cecu, menurut pendapatmu, apakah kita tidak perlu mengutus orang memberi kabar ini kepada, keluarga Toan?"

   "Sudah tentu aku harap keluarga Toan dapat terhindar dari petaka ini, tapi kalau orang kita yang memberi kabar, bila meleset dan salah hitungan, urusan tentu bisa lebih celaka. Sekarang boleh kau istirahat, biar hal ini kupikir-pikir dulu."

   Setelah spion itu mengundurkan diri, tiba-tiba Kim-to Cecu tertawa tergelak-gelak, katanya.

   "Kalian tidak usah sembunyi lagi, keluarlah."

   Ciu Kiam-khim tarik tangan Han Cin melangkah keluar dari tempat sembunyinya, katanya dengan tertawa.

   "Ayah, jadi kau sudah tahu."

   Kim-to Cecu mendengus, katanya.

   "Dengan kepandaianmu sekarang memangnya bisa mengelabui aku? Lain kali kularang kau berbuat tidak tahu aturan."

   Ciu Kiam-khim melelet lidah, katanya.

   "Akulah yang menarik Han-cici kemari, jangan ayah menyalahkan dia."

   Kim-to Cecu berkata.

   "Persoalan yang menyangkut keluarga Toan tadi memang ingin kusampaikan kepada nona Han."

   Tergerak hati Ciu Kiam-khim, katanya.

   "Ayah, bukankah kau sedang bingung cara bagaimana untuk membantu kesulitan yang dihadapi keluarga Toan itu? Aku sih punya akal sekarang."

   Dalam hati Kim-to Cecu sudah menerka jalan pikiran putrinya, sengaja dia tertawa, katanya.

   "O, memangnya kau punya akal apa untuk membantu ayah, baik, coba kau jelaskan."

   "Baru beberapa hari Han-cici berada disini, orang diluar tidak tahu bahwa dia adalah orang kita. Apalagi dia masih mempunyai suatu kemahiran yang melebihi orang lain, sesuka hatinya dia bisa menyamar siapa saja yang dia inginkan, tanggung orang takkan bisa mengenalinya. Ayah, kau kuatir bila orang kita yang memberi kabar, mungkin tidak leluasa, bagaimana kalau tugas ini diserahkan kepada Han-cici."

   "Dulu pernah aku dengar bahwa ayah angkat nona Han, Khu-locianpwe pandai tata rias. Dua puluh tahun yang lalu Khu-locianpwe mendadak lenyap, aku kuatir bahwa keahliannya itu tiada yang mengisi. Kiranya nona Han sudah mewarisi kepandaiannya."

   "Cici Khim sengaja memujiku, pada hal apa yang kumiliki sekarang bila dibanding ayah, terpautnya amat jauh, Toankongcu pernah membantu aku, demi urusan dinas dan untuk hubungan pribadiku, adalah logis kalau aku balas membantu dia. Kalau Ciu-pepek belum mendapatkan orang yang cocok, biarlah tugas ini serahkan kepadaku saja."

   Ternyata Ciong Bin-siu lebih gelisah setelah tahu akan berita buruk ini, ingin rasanya dia bantu Han Cin memasang sayap supaya lekas terbang ke Tayli, maka lekas dia keluarkan kuda putihnya dan berkata dengan tertawa.

   "Kuda kami ini sepasang, Toan-toako membawa yang jantan, sekarang boleh kau naiki yang betina ini. Bukan saja manusianya bisa bertemu, pasangan kudaku inipun biar berkumpul."

   Han Cin jengah oleh godaan ini. Lekas Ciu Kiam-khim menyela.

   "Baiklah jangan berkelakar melulu. Urusan lebih penting. Han-cici, sekarang kau sudah siap turun gunung, kali ini kau hendak menyamar macam apa?"

   "Nanti juga kau akan tahu,"

   Ucap Han Cin, dia larang Ciu Kiam-khim menyaksikan dirinya berdandan, tak lama kemudian setelah dia merias diri baru keluar dari kamar.

   Begitu melihat samarannya, Ciong Bin-siu dan Ciu Kiamkhim tertawa terpingkal-pingkal sambil memeluk perut.

   Ternyata dia menyamar jadi seorang laki-laki setengah umur, mukanya kuning, memakai kumis lagi, pipinya tepos berwajah licik dan nakal, bayangan seorang gadis jelita sudah tidak kelihatan lagi.

   Ciu Kiam-khim berkata.

   "Kalau aku tidak tahu kau yang menyamar, bila aku melihat nampak macam orang ini, aku jadi sebal dan muak."

   "Memang lebih suka dibenci orang yang melihat tampangku, supaya para cakar alap-alap itu tiada yang memperhatikan aku."

   "Bila kau berhadapan dengan Toan-toako, lebih baik kau menjelaskan padanya, kalau tidak tanggung dia akan kaget setengah mati." 000OOO000 Setiba di rumah, tampak oleh Toan Kiam-ping ayahnya keluar menyambut kedatangannya, karuan hatinya kaget dan senang, namun juga heran, katanya.

   "Ayah, ternyata kau tidak sakit?"

   Ayahnya berkata;

   "Akulah yang menyuruh Ling Suhu demikian. Kalau tidak kapan kau mau pulang."

   Tahu bahwa dirinya ketipu Toan Kiam-ping hanya menyengir getir, katanya.

   "Asal ayah tidak sakit saja."

   Setelah batuk Lo-ongya memberi nasehat dengan nada sungguh-sungguh.

   "Walau beruntung aku tidak jatuh sakit, tapi kau harus selalu ingat akan wejangan para leluhur, semasa ayah bunda masih hidup, anak cucu dilarang keluar jauh. Apalagi kali ini kau jauh pergi keluar perbatasan menemui Kim-to Cecu segala, jangan kata hati ayah bundamu tidak tentram. Jikalau jejakmu diketahui orang, bagaimana nasib kita kelak? Kupanggil kau pulang supaya kau berjanji kepadaku, maukah kau dengar nasehat ayah?"

   "Ayah ada pesan apa, silahkan katakan."

   "Kau ingin bergaul dengan kaum persilatan, aku tidak akan melarangmu. Tapi setelah ayah dan ibumu meninggal baru kau boleh meninggalkan rumah. Kesehatan ibumu jauh lebih buruk dari aku, bila kau pergi ke tempat yang jauh lagi, mungkin dia benar-benar bisa jatuh sakit."

   Sudah tentu Toan Kiam-ping hanya mendengar dan mengiakan saja, katanya.

   "Kembaliku kali ini, memang sudah siap untuk mendampingi ayah bunda sampai hari tua. Baiklah aku patuh akan nasehat ayah."

   Lebar senyuman Lo-ongya, katanya.

   "Masih ada satu hal lain yang belum tercapai dalam angan-anganku, yaitu ingin kau lekas menikah. Diluar apa kau tidak berkenalan dengan perempuan yang baik dan cocok dengan kau, pandai Kungfu juga tidak soal, tapi dia bukan kaum persilatan yang ada hubungan dengan Kim-to Cecu."

   "Soal jodoh masih banyak waktu untuk membicarakan. Apalagi anak sekarang belum punya pikiran untuk berkeluarga."

   "Usiamu sudah dua puluh tujuh, sudah cukup dewasa untuk berkeluarga, kenapa tidak pingin lekas menikah?"

   "Laki-laki baru berkeluarga setelah tiga puluh, bukankah inipun nasehat orang kuno?"

   "Betul juga, tapi kau mau pulang, legalah hatiku. Soal jodohmu, bila perlu akupun bersedia mencarikan jodoh. Lekaslah kau temui ibumu."

   Sejak kembalinya itu, terpaksa Toan Kiam-ping sembunyi dalam rumah menulis, membaca dan belajar silat.

   Sudah tentu dia mengharap ayah bundanya panjang umur, tapi bila dia rindu pada Kanglam Sianghiap, Tan Ciok-sing, In San dan Han Cin, ingin rasanya dia bebas mengembara pula, hatinya jadi selalu masgul.

   Hari itu sungguh dia merasa pepat pikiran maka dia mohon izin ayahnya untuk tamasya ke Jong-san.

   Lo-ongya berkata dengan tertawa.

   "Asal kau tidak pergi jauh, tamasya di negeri sendiri tetap kuizinkan. Pada hal negri kita tidak kalah indah dan mempesona dari dunia luar, boleh kau pergi bersama Siau-ni-cu."

   "Tidak, hari ini aku tidak ingin mengajak teman, biar dia tinggal di rumah melayani ayah,"

   Karena hati risau, dia ingin pergi ketempat yang sunyi dan jalan-jalan melepas rasa rindu.

   Hari masih pagi, kabut masih mengembang rendah, seorang diri Toan Kiam-ping telah berada di puncak Jong-san, tak lama kemudian diapun sudah jalan-jalan di pesisir Ni-hay, tiba-tiba pikirannya terbayang akan Tan Ciok-sing dan In San, terakhir kali merindukan Han Cin, pikirnya.

   "Kini mereka tentu sudah kumpul di markas Kim-to Cecu."

   Lalu terpikir pula oleh Toan Kiam-ping.

   "Nasib mereka bertiga hampir mirip, tapi juga sama-sama teguh dan besar tekadnya, bukan saja aku bukan bandingan Tan Ciok-sing, dibanding Han Cinpun aku malah asor. Jalan-jalan di tempat lama yang sudah sering dikunjunginya, hati dirundung kepedihan lagi, maka Toan Kiam-ping tidak merasakan lelah. Tanpa merasa hari sudah lohor, duduk di pinggir air, pandangan Toan Kiam-ping melamun menatap ikan busur yang berenang membalik melawan arus air, dia tetap tidak kepingin lekas pulang. Hari itu cuaca baik, hawa sejuk dan nyaman, panorama di Ni-hay kelihatan lebih mempesona, tanpa merasa Toan Kiam-ping tarik suara bersenandung membawakan syair pujangga kuno yang melukiskan keindahan alam nan permai. Tengah dia tenggelam lamunannya, tiba-tiba didengarnya teriakan Siau-ni-cu.

   "Siau-ongya, Siau-ongya,"

   Waktu Toan Kiam-ping angkat kepala, dilihatnya kacungnya itu tengah berlari ke arahnya, sikapnya begitu gugup dan buru-buru lari sambil teriak, suaranyapun sudah serak. Toan Kiam-ping tertawa, katanya.

   "Siau-ni-cu, apa ayah suruh kau menyusulku pulang? Memangnya perlu kau berlari segugup ini?"

   Toh Ni sudah berada di depannya, keringat gemerobyos namun mukanya tampak menghijau mulutnya megap-megap mau bicara tapi hanya dua patah kata yang kuasa diucapkan.

   "Tidak, bukan."

   "Siau-ni-cu,"

   Ujar Toan Kiam-ping tertawa.

   "istirahat dulu, nanti kau bicara lagi."

   Tiba-tiba berlinang air mata Toh Ni, katanya.

   "Siau-ongya urusan genting, urusan celaka."

   "Urusan genting apa yang celaka?"

   "Siau-ongya dengarkan penuturanku, tapi jangan kau bingung dan gelisah, bagaimana kita harus menghadapi kejadian ini, semua tergantung keputusanmu."

   "Memangnya dunia akan kiamat? kenapa begini gugup. Agaknya perkataanmu harus kugunakan untuk menasehatimu."

   "Kira-kira sebanding dengan dunia kiamat. Lo-ongya. Loongya, beliau..."

   "Ayah kenapa?"

   Baru sekarang Toan Kiam-ping tersentak kaget, Dia kira ayahnya mendadak jatuh sakit parah. Perlahan suara Toh Ni.

   "Lo-ongya ditawan oleh pembesar anjing utusan kerajaan. Rumahpun telah disegel."

   Keluarga Toan adalah keluarga besar yang ternama di kalangan Tayli, mimpipun tak pernah terpikir oleh Toan Kiamping hari ini bencana bakal menimpa keluarganya, sesaat dia melenggong, akhirnya berkata.

   "Bagaimana mungkin terjadi petaka yang tak terduga ini? Memangnya keluargaku melanggar dosa apa?"

   "Mereka membacakan apa itu firman raja, keluarga Toan dituduh mengangkat sendiri jadi raja, berusaha memberontak dan membangkang perintah. Dalam firman itu diperintahkan untuk membekuk seluruh keluarga Toan dan digusur ke kota raja menunggu hukuman."

   Kaget dan gusar Toan Kiam-ping, sedapat mungkin dia tenangkan diri, katanya.

   "Sungguh kurang ajar, bagaimana dengan Ling Suhu dan yang lain-lain? Apakah mereka hanya menangkap ayahku?"

   "Waktu pembesar anjing menyegel rumah menangkap orang sebetulnya Ling Suhu hendak melabrak mereka. Tapi baru saja bergebrak keburu dicegah oleh Lo-ongya, Lo-ongya bilang selama hidup dia tak pernah melanggar hukum dan hidup sederhana, tidak perlu takut pergi ke kota raja untuk mencuci bersih kebesaran nama keluarga Toan. Tapi dia mengajukan dua syarat supaya pembesar anjing itu mau menyetujuinya. Pertama, rumah boleh disegel, tapi anggota keluarga lain supaya tidak diganggu gugat. Kedua, meski dia dituduh memberontak, hanya ialah yang wajib memikul dosa, tiada sangkut pautnya dengan anak isteri."

   "Di bawah sarang yang porak poranda, mana ada telur utuh? Ayah rela menyerahkan diri, masih juga ingin melindungi kita, kukira terlalu Jenaka jalan pikirannya."

   "Akhirnya pembesar anjing itu hanya menerima syarat pertama, dia memberi kesempatan pada Loya untuk membubarkan para pembantu. Tapi syarat kedua mereka tolak dengan alasan menjalankan tugas menurut firman raja, setelah tidak berhasil menemukan dirimu, maka mereka menggusur Loya ke atas kereta kurungan. Diapun berpesan supaya Siau-ongya langsung menyerahkan diri di kota raja. Agaknya mereka sudah menduga, suatu hari kau pasti akan berusaha menolong ayahmu, itu berarti kau akan masuk jaring sendiri. Siau-ongya, jangan kau tertipu oleh muslihat mereka. Ling Suhu berpesan supaya kau lari ke tempat yang jauh, bila perlu dia menganjurkan supaya kau bergabung ke markas Kim-to Cecu. Ling Suhu memohon untuk mengantar Loya ke kota raja, kini mereka sudah berangkat, mungkin mereka jeri akan keliehayan Ling Suhu, maka permintaannya dikabulkan."

   Ternyata utusan Liong Bun-kong bukan lain adalah Huwan bersaudara bersama Ciok Khong-goan dan Sa Thong-hay, ke enam orang ini adalah jago-jago kelas satu di bawah Liong Bun-kong.

   Waktu menghadapi grebekan mereka Ling Khongtik pernah adu pukulan melawan Ciok Khong-goan dan Sa Thong-hay, tapi dia terkepung didalam barisan pedang Huwan bersaudara, kalau waktu itu ayah Toan Kiam-ping tidak keluar dan menghentikan pertempuran tepat pada waktunya, mungkin kedua pihak akan gugur bersama.

   Apa yang diduga Toh Ni memang tidak meleset, mereka memang jeri pada keliehayan Ling Khong-tik maka dia diperbolehkan mengiringi junjungannya berangkat ke kota raja.

   Hampir pecah kepala Toan Kiam-ping menghadapi persoalan rumit dan genting ini, sekuatnya dia kendalikan emosinya, pikirnya dengan kepala panas.

   "Apa yang dikatakan Siau-ni-cu memang benar, dalam suasana seperti sekarang, aku harus menenangkan diri, tabah."

   Setelah dia tekan emosi dan berhasil menenangkan diri itu, dia mulai menyelusuri persoalan, tiba-tiba terasa olehnya bahwa cerita yang dikisahkan oleh Siau-ni-cu terdapat suatu yang ketinggalan, entah karena Siau-nicu lupa menceritakan, atau sengaja dia hindarkan.

   "Siau-ni-cu ada satu persoalan yang belum kau jawab kepadaku. Apakah para cakar alap-alap itu hanya , menangkap ayahku seorang?"

   "Betul, mereka hanya menggusur Loya dengan kereta kurungan."

   "Tadi kau bilang mereka hanya berjanji tidak akan mengganggu kerabat lain kecuali keluargaku. Jadi tujuan penangkapan ini hanyalah ayah bundaku dan aku bertiga, aku tidak di rumah, tapi ibu kan di rumah. Bagaimana keadaan Lohujin, lekas beritahu kepadaku,"

   Demikian tanya Toan Kiamping dengan suara gemetar. Bercucuran air mata Siau-ni-cu, katanya.

   "Maafkan aku, aku tak berani sekaligus memberitahu berita duka ini kepadamu."

   Berdiri alis Toan Kiam-ping katanya.

   "Aku sudah siap menerima kabar yang paling buruk sekalipun, aku harus tahu duduk persoalannya. Lekas katakan lekas, bagaimana keadaan ibuku?"

   Dengan sesenggukan baru Toh Ni berkata.

   "Lo-hujin tidak sudi dihina, dia, dia sudah bunuh diri."

   Bagai disambar geledek kepala Toan Kiam-ping mendengar berita buruk ini, betapapun tabah hatinya, begitu mendengar kematian ibunya yang mengenaskan, hampir saja dia jatuh semaput. Lekas Toh Ni memeluk serta menggoncang tubuhnya, teriaknya.

   "Siau-ongya, sadarlah, keluarga Toan ketinggalan kau seorang, kau harus, menjaga diri. Selama gunung tetap menghijau, jangan kau kuatirkan kehabisan kayu bakar..."

   Pukulan batin yang berat serta nasehat dan dorongan sang kacung seketika memberikan dukungan semangat dan tekad yang besar, akhirnya Toan Kiam-ping berdiri di atas kakinya sendiri, desisnya dengan kertak gigi.

   "Kalau dendam ini tidak kubalas, tiada muka aku jadi manusia? Kau tidak usah kuatir, aku takkan mencari jalan pendek. Sayang di waktu para cakar alap-alap itu datang aku kebetulan tidak di rumah, kalau tidak apapun yang bakal terjadi pasti kulabrak mereka habishabisan, akan kutentang ayah melakukan tindakan yang bodoh itu."

   
Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Laki-laki sejati menuntut balas sepuluh tahun belum terlambat, Ling Suhu berpesan supaya kau bergabung dengan laskar rakyat Kim-to Cecu, kau harus lekas berkeputusan."

   Toan Kiam-ping seka air mata sambil angkat kepala, katanya.

   "Aku tidak akan lari. Kelak mungkin aku akan bergabung dengan Kim-to Cecu, tapi sekarang belum waktunya."

   Toh Ni membujuk lagi.

   "Siau-ongya jangan kau bertindak gegabah, sakit hati ini mungkin takkan bisa kau balaskan sekarang."

   "Aku tahu Sudah tentu aku takkan meluruk kesana dan melabrak mereka sekarang."

   "Jadi maksudmu sebetulnya..."

   "Siau-ni-cu, kau mau menemani aku pergi ke kota raja?"

   "Apa kau ingin masuk jaring sendiri seperti harapan mereka?"

   "Aku tidak akan lari, tapi juga tidak akan menyerahkan diri. Kita menyamar menguntit kereta pesakitan itu, bila ada kesempatan, berusaha menolong ayah. Dari Tayli sampai kota raja, sedikitnya kereta pesakitan itu akan menempuh sebulan perjalanan. Kemungkinan besar dapat kita peroleh kesempatan untuk turun tangan."

   "Ada enam jago yang mengawasi secara ketat. Bila usaha kita gagal, jejakmu malah konangan mereka..."

   "Meski gagal juga harus dicoba. Siau-ni-cu, bila kau takut, aku akan berangkat seorang diri."

   "Siau-ongya, selama ini kau tidak memandangku sebagai orang luar, kepandaian yang kumiliki sekarang juga kau yang mengajarkan. Meski harus terjun ke lautan golok dan gunung berapi, Siau-ni-cu takkan mengerutkan alis. Aku hanya memikirkan dirimu, kata-katamu tadi hanya memandang rendah aku Siau-nicu."

   Terharu Toan Kiam-ping akan kesetiaan kacungnya, katanya merangkulnya.

   "Siau-ni-cu, kau memang saudaraku yang baik. Untuk selanjutuya baik rejeki maupun maut biar kita hadapi bersama. Tak perlu aku banyak bicara lagi. Tapi ada satu hal kau harus ingat."

   "Silahkan Siau-ongya memberi petunjuk."

   Toan Kiam-ping melotot, katanya.

   "Hal itulah yang akan kukatakan. Justeru karena orang banyak memanggil ayah Ongya sehingga hari ini dia ketimpa malang mana boleh kau masih memanggilku Siau-ongya? Dan lagi selanjutnya kau bukan kacungku lagi boleh kita saling membahasakan saudara saja."

   Untuk pulang ke Tayli dari Jong-san harus menyebrangi Nihay, tukang perahu juga kerabat keluarga Toan, di atas perahu Toan Kiam-ping merias diri berdandan dengan bentuk lain, katanya.

   "Untung tujuan kita hanya menguntit rombongan alap-alap itu, jarak tidak boleh terlalu dekat, asal tidak muka ketemu muka di siang hari, sepanjang perjalanan ini yakin tidak akan menarik perhatian orang lain,"

   Lalu dengan menghela napas dia menambahkan.

   "sayang nona Han tidak disini, bila ada dia, kita bisa merubah diri jadi bentuk lain,"

   Perahu dibawa ke suatu tempat yang sepi dan belukar, Toan Kiam-ping dan Toh Ni turun disitu, tampak seorang menuntun dua ekor kuda mendatangi.

   Orang ini adalah kacung pribadi Toan Kiam-ping yang lain, bernama Siau-an-cu.

   Salah satu kuda itu berbulu putih, yaitu milik Kwik Ing-yang yang dipinjamkan Toan Kiam-ping.

   Setelah keluarga mengalami petaka dan berantakan, kini mendadak melihat kuda putih itu, karuan hatinya kaget dan senang.

   Toh Ni berkata.

   "Di saat Ling Suhu melabrak musuh, diamdiam aku suruh Siau-an-cu menuntun kuda itu lari dari pintu belakang."

   "Siau-ni-cu, kalian memang pandai bekerja, aku amat berterima kasih akan bantuan kalian. Tapi selanjutnya aku ini seorang pedagang kecil, bila naik kuda putih ini, tentunya tidak setimpal."

   "Kalau bukan seorang ahli, orang biasa takkan tahu bahwa kuda ini kuda mustika. Asal sepanjang jalan kita hati-hati, tidak melarikan terlalu cepat, yakin tidak akan menarik perhatian orang."

   Walau Toan Kiam-ping tidak membedal kuda putih, tapi daya larinya memang jauh lebih pesat dan kuat dari kuda umumnya.

   Sebelum magrib, mereka telah meninggalkan Tayli sejauh empat lima puluhan li, kereta pesakitan itupun telah mereka susul.

   Mereka menguntit dari kejauhan dalam jarak satu li, dari kejauhan tampak yang memegang kendali kereta adalah Sa Thong-hay yang menyaru jadi kusir, sementara Ciok Khong-goan bersama ayahnya duduk didalam kereta pesakitan.

   Huwan bersaudara menunggang kuda memencar diri di empat perjuru, sementara Ling Khong-tik juga naik kuda mengintil tak jauh di belakang rombongan itu.

   Diam-diam Toan Kiam-ping menarik napas dingin, batinnya.

   "Mereka menjaga seketat itu, merampas kereta secara kekerasan jelas tidak mungkin, terpaksa harus mencari kesempatan menolong dengan akal."

   Untunglah tak lama kemudian mereka tiba di sebuah kota kecil.

   Toan Kiam-ping biarkan rombongan di depan itu masuk kota, setelah mereka menemukan hotel dan menetap, baru dia bersama Siau-ni-cu menginap di hotel yang lain.

   Ayah dan anak berada disatu tempat, namun jarak mereka seperti di ujung langit dan di bumi.

   berhadapan tapi tidak bicara, betapa pahit getir perasaan Toam Kiam-ping, sungguh harus dikasihani.

   Toh Ni seperti tahu maksud hati sang majikan, setelah makan malam dia berkata.

   "Mereka hanya pernah bergebrak dengan Ling Suhu, tiada yang tahu akan diriku yang kacung ini. Biar aku kesana mencari tahu."

   "Baiklah, tapi kau harus hati-hati."

   Menjelang tengah malam Toh Ni telah kembali, katanya.

   "Ciok Khong-goan dan Sa Thong-hay menjaga Loya tidur dalam satu kamar, sementara Huwan bersaudara terpencar di dua kamar di kanan kirinya. Ling Suhu tidur di kamar paling ujung. Penjagaan sedemikian ketat, bila kita beraksi, mereka pasti akan menyakiti Loya?"

   "Apa kau melihat Ling Suhu?"

   "Teraling jendela diam-diam aku ada kontak dengan dia, namun hanya beherapa patah kata belaka. Dia tetap menganjurkan kau lari ke tempat jauh, jangan menempuh bahaya yang tiada artinya. Dia kuatir bila jejakmu konangan mereka. Lo-ongya akan dibuat sandera untuk mengancam kau."

   "Bagaimana tega hatiku meninggalkan ayah, betapapun besar bahayanya, aku tetap akan menempuhnya."

   Dengan hati was-was selama itu telah lewat tanpa kejadian apa-apa, entah karena Sa Thong-hay dan rombongannya tumplek seluruh perhatiannya untuk menjaga Lo-ongya, atau mereka tidak menduga bahwa dirinya bakal menguntitnya, pada hal dalam kota kecil ini hanya ada tiga hotel, mereka toh tidak mengutus orang untuk memeriksa hotel-hotel yang lain, apakah ada orang yang patut dicurigai.

   Hari kedua baru saja terang tanah, mereka sudah berangkat menempuh perjalanan.

   Diam-diam Toh Ni perhatikan jejak mereka lalu pulang memberi laporan kepada majikan mudanya.

   "Mungkin aku terlalu curiga sehingga aku menaruh prasangka. Ada sesuatu mau tidak mau menimbulkan rasa curigaku."

   "Ada kejadian apa?"

   "Pagi-pagi benar rombongan alap-alap itu sudah berangkat menggusur kereta pesakitan itu, penduduk kota kecil ini banyak yang belum bangun. Di kota kecil ini ada tiga hotel, kecuali rombongan mereka, belum ada tamu lain yang berangkat sepagi ini."

   "Lalu apa keanehannya?"

   "Setelah rombongan alap-alap itu membawa kereta pesakitan menempuh perjalanan dijalan raya, aku melihat seorang penunggang kuda keluar dari kota. Kuda tunggangan orang itu berlari amat pesat dari kejauhan, kulihat setelah dia hampir meyusul kereta pesakitan itu, mendadak berhenti jaraknya kira-kira tetap dalam seratus langkah, seperti yang kita lakukan kemarin."

   "Kau curiga bahwa orang itu juga tengah mengikuti kereta pesakitan itu?"

   "Aku tidak mengharap bantuan orang lain, aku hanya kuatir orang yang tidak kita ketahui asal-usulnya ini akan tidak menguntungkan bagi kita."

   "Selanjutnya kita harus lebih hati-hati, tak perlu kau menduga-duga sebelum terbukti."

   "Bukan aku terlalu curiga, kau tidak tahu, tampang orang itu siapapun yang melihatnya akan muak, jelas dia bukan manusia baik-baik."

   Sebetulnya Toan Kiam-ping juga banyak curiga, tapi mendengar penuturan Siau-ni-cu tanpa terasa dia tertawa geli, katanya.

   "Manusia tidak boleh dinilai dari tampangnya, kukira kau memang terlalu banyak curiga, terlalu prasangka. Sudah jangan berpikir yang bukan-bukan, sarapan dulu, segera kitapun harus berangkat."

   Setelah sarapan pagi, mereka cemplak kuda melanjutkan perjalanan, kira-kira menjelang tengah hari, dari kejauhan mereka telah melihat rombongan kereta pesakitan itu, keadaan seperti kemarin.

   Sa Thong-hay tetap pegang kendali, Ciok Khong-goan duduk dalam kereta bersama ayahnya.

   Huwan bersaudara terpencar di sisi kereta.

   Ling Suhu berada paling belakang, seperti kemarin mereka menguntit dalam jarak satu li.

   Tak jauh setelah mereka menempuh perjalanan, tiba-tiba didengarnya suara derap tapal kuda di belakang, ada seekor kuda mencongklang dari belakang.

   Waktu Toh Ni menoleh, seketika dia kaget, teriaknya tertawa.

   "Aneh."

   "Apanya yang aneh?"

   Toh Ni jalan berendeng dengan dia, katanya lirih.

   "Orang di belakang itu adalah tamu yang tadi pagi kukatakan, dia berangkat satu jam lebih dini, kenapa sekarang berada di belakang malah?"

   Toan Kiam-ping hendak menoleh, orang itupun sudah mendekat di belakang mereka.

   Pada saat itulah, kuda tunggangan Toan Kiam-ping tiba-tiba berjingkrak-jingkrak sambil meringkik-ringkik.

   Kalau Toan Kiam-ping tidak mahir menunggang kuda, tanggung dia sudah terlempar dari punggung kuda.

   Tapi kuda tunggangan orang itupun berjingkrak dan bebenger.

   Mau tidak mau Toan Kiam-ping heran dibuatnya.

   Pada hal dia tahu betul tabiat kuda putih ini tanpa sebab tak mungkin tiba-tiba dia berjingkrak-jingkrak, pasti ada sebabnya sehingga dia berjingkrak-jingkrak kesenangan.

   Diam-diam tergerak pikiran Toan Kiam-ping.

   "Layaknya seperti melihat kawan lama senangnya?"

   Setelah dekat, tampang penunggang kuda di belakang itupun dia sudah melihat jelas, mau tidak mau hatinya ikut merasa sebal dan kecewa.

   Orang itu kira-kira berusia empat puluhan, mukanya kuning, memelihara kumis pendek, tampangnya yang jelek memang amat memuakkan seperti yang dilukiskan Siau-ni-cu.

   Tapi lain dengan tampang kuda tunggangannya, bukan saja gagah tapi juga perkasa, namun bulunya kuning, pelana juga biasa, berharga murah.

   Setelah beradu muka, tak urung Toan Kiam-ping mentertawai diri sendiri, pikirnya.

   "Tadi aku menggoda Siauni- cu, kenapa aku sendiri juga mencurigainya, kuda putih Ciong Bin-siu sekarang berada di markas Kim-to Cecu yang berjarak ribuan li, mana mungkin berada disini?"

   Seperti diketahui kuda tunggangan Kanglam Sianghiap yang laki dan betina itu berbulu putih mulus, tapi kuda tunggangan laki-laki setengah umur ini berbulu kuning, maka curiga Toan Kiamping jelas tidak masuk alasan.

   Orang itu mendekati langsung menyapa lebih dulu.

   "Aneh ya, kuda kita ini seperti ada jodoh, coba lihat mereka seperti kenalan lama yang sudah berpisah sekian lama?"

   Suaranya sumbang dan mengecil seperti suara seorang banci.

   "Iya, ya,"

   Ucap Toan Kiam-ping.

   "akupun heran. Saudara kau she apa?"

   "Aku she Khu. Dan kau?"

   Toan Kiam-ping berpikir.

   "Kalau dia sengaja menguntit aku siapa diriku pasti dia sudah tahu,"

   Maka sejujurnya dia sebut nama aslinya. Ingin dia menyaksikan bagaimana reaksinya. Muka orang itu kaku tidak memperlihatkan perubahan apaapa, seolab-olah dia tidak kenal siapa sebenarnya Toan Kiamping, katanya tawar.

   "Selamat bertemu, Toan-heng, kau mau kemana?"

   "Aku suka tamasya menikmati pemandangan alam, maka seenak dan sesenangku aku pergi kemana saja, jadi tanpa tujuan pula."

   "Agaknya Toan-heng seorang pecinta alam. Sayang Siaute selalu sibuk dengan pekerjaan, harapanku melulu mencari sekedar untuk ongkos hidup, tak mungkin menemani saudara bertamasya. Kudamu dapat lari cepat, boleh silahkan lebih dulu."

   "Jangan sungkan,"

   Kata orang itu.

   "aku sih tidak perlu buru-buru. Em, kebetulan kita bertemu di tengah jalan..."

   Tak nyana sebelum dia habis bicara, tiba-tiba Toh Ni menyela.

   "Kau tidak perlu buru-buru, kami justru harus lekas menempuh perjalanan, maaf ya, kami berangkat lebih dulu."

   Sengaja mereka menikung ke jalanan kecil untuk menghindari orang itu, dengan tertawa Toh Ni berkata.

   "Tanpa mendengar habis perkataannya, aku sudah menduga apa yang bakal dia katakan. Dia bilang bertemu di tengah jalan segala, tujuannya sudah jelas adalah ingin berteman dengan kita sepanjang perjalanan. Bila sudah habis menyatakan maksud hatinya, kurang enak untuk menampiknya. Karena kuatir dia berbelit-belit, maka buruburu aku mengajakmu berangkat. Tampangnya yang kuku pucat seperti mayat hidup kalau tertawa juga tidak bergeming kulit daging mukanya, suaranyapun sumbang seperti orang banci, aku jadi merinding dibuatnya."

   "Sikap dan tutur katanya iiu kukira sengaja dia lakukan Wajahnya memang kelihatan kaku dan lesu, namun sepasang bola matanya ternyata sebening kaca dan bercahaya lagi. Menilai orang matanya lebih dulu, aku yakni orang itu pasti bukan orang jahat "

   "Tadi kau sendiri bilang menilai orang tidak boleh dari tampangnya, kini melihat sorot matanya kau lantas berkeyakinan bahwa dia bukan orang jahat, bukankah kaupun menilainya dan tampangnya?"

   "Aku tidak ingin berdebat dengan kau, yang terang kita sudah tidak campur sama dia, peduli amal dia baik atau buruk?"

   Padahal dalam hati dia membatin.

   "Aneh. sorot matanya seperti pernah kukenal baik. Tapi bila kuutarakan rasa curigaku, mungkin Siau-ni-cu akan balik mencemooh aku yang serba curiga pula."

   Toh Ni sudah apal jalanan disini, dia tahu tak jauh di sebelah depan ada sebuah kota kecil, kereta pesakitan dan rombongan orangnya pasti akan bermalam di kota kecil itu, kalau tidak mereka harus menempuh perjalanan sejauh empat puluhan li lagi baru akan tiba di sebuah kota lain yang agak besar.

   Maka dia memperhitungkan tepat waktunya, seperti kemarin, setelah rombongan itu masuk kota dan mendapatkan sebuah hotel, setengah jam kemudian baru mereka masuk kota dan menginap di hotel lain.

   Kota ini sedikit lebih besar dan ramai dari kota yang semalam mereka menginap, tapi disini juga cuma ada empat hotel, hotel yang dipilih Siau-ni-cu terletak tak jauh dari hotel yang di tempati rombongan itu.

   Toan Kiam-ping minta sebuah kamar kelas satu kepada pemilik hotel dia berpesan wanti-wanti supaya merawat dan memberi makan kudanya yang baik, untuk memperoleh pelayanan istimewa dia menyogok lebih satu tahil perak.

   Harga pangan dan barang di kota ini cukup murah, maka setahil perak itu cukup besar artinya.

   Setelah terima uang pemilik hotel tertawa lebar, katanya.

   "Tuan tak usah kuatir, akan kusuruh orang khusus mengurusnya. Kecuali kalian hari ini tiada tamu yang datang naik kuda,"

   Belum habis dia bicara, tiba-tiba terdengar derap tapal kuda di jalan raya, ternyata seorang tamu menunggang kuda berhenti di depan hotelnva.

   Karuan Toh Ni membelalakkan mata dan melongo sekian lamanya, ternyata tamu yang datang ini adalah laki-laki yang dibencinya itu.

   Lekas sekali laki-laki yang menyebalkan itu sudah beranjak masuk, katanya dengan tawa lebar.

   "Manusia hidup dimana saja bisa ketemu, tak nyana disini kita bertemu."

   Pemilik hotel segera menyambut, katanya.

   "'Kiranya kalian teman yang sudah kenal baik, itu lebih baik. Kami masih menyediakan sebuah kamar kelas satu, kebetulan untuk tuan, letaknya sebelah kamar Toan-siangkong."

   Dengan tawar Toh Ni segera menimbrung.

   "Baru hari ini di tengah jalan tadi kami berkenalan."

   Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Tamu yang mengaku she Khu berkata.

   "Baik kamar itu berikan kepadaku,"

   Setelah membayar rekening kamar, dia rogoh pula setahil perak, katanya.

   "Tiam-keh, tolong kau rawat baik-baik kudaku itu,"

   Seperti apa yang dilakukan Toan Kiam-ping tadi, diapun memberi pesan dan memberi uang sogok sejumlah yang diberikan Toan Kiam-ping.

   Kala itu kuda tunggangan orang itu tengah berhadapan saling gosok menggosok kepala, sikapnya begitu mesra seperti pasangan saja.

   Pemilik hotel tertawa, katanya.

   "Seperti majikannya, kuda kalianpun mendapatkan teman juga. Biasanya kuda yang binal begitu didekati pasti ajak berkelahi, aku yakin kedua ekor kuda ini akan berkumpul dengan damai, lebih gampang diurus."

   Pemilik hotel lalu antar mereka memasuki kamar masingmasing, kuatir laki-laki sebal ini datang merecoki, maka dia sengaja berkata kepada pemilik hotel.

   "Sehari penuh kami menempuh perjalanan, badan penat, semangat luluh, setelah makan kami akan tidur. Khu-heng, selamat bertemu besok pagi,"

   Lalu dia masuk kamar serta menutup pintu.

   Entah sikap Toh Ni yang kasar itu membawa reaksi, yang terang laki-laki menyebalkan itu betul-betul tidak mengganggu mereka lagi.

   Tak lama setelah makan malam, lapat-lapat Toan Kiam-ping sudah mendengar dengkur orang di kamar sebelah.

   Dengan merendahkan suara Toh Ni berkata.

   "Betapapun kita harus hati-hati terhadapnya kukira dia sengaja hendak memata-matai kita. Bukan mustahil dia pura-pura tidur. Malam ini kita harus lebih waspada, jangan sampai kecundang tanpa sadar,"

   Lalu dia menambahkan.

   "Laki memuakkan itu agaknya menaruh perhatian pada kuda putihmu itu. Heran, kenapa kedua ekor kuda itu kelihatan begitu mesra."

   "Malam nanti kau harus sering memeriksa istal, bukan aku kuatir dia mencuri kuda kita, tapi harus berjaga-jaga, siapa tahu cakar alap-alap itu mengenali kuda itu dan kemari memeriksanya."

   Toh Ni mengiakan, segera dia merebahkan diri memupuk semangat mengendorkan urat tanpa terasa waktu sudah menunjukkan kentongan ketiga.

   Toh Ni bangun diam-diam lalu keluar memeriksa istal.

   Waktu dia lewat belakang jendela di kamar sebelah, didengarnya dengkur napasnya masih bersuara.

   Diam-diam dia menggeremet maju serta mengintip kedalam lewat celah-celah, dilihatnya tiada suatu keganjilan dalam kamar.

   Hotel kecil seperti ini tiada jaga malam, ginkang Toh Ni cukup bagus, langkahnya enteng tidak mengeluarkan suara, tanpa diketahui siapapun dia berada di istal, dilihatnya kedua kuda itu tidur pulas saling bersender dengan mesranya.

   Toh Ni jadi berpikir.

   "Sungguh aneh, dua binatang sekali bertemu lantas saling jatuh cinta, seperti sepasang kekasih layaknya,"

   Tanpa menimbulkan suara diam-diam dia tinggalkan istal. Maksudnya mau kembali ke kamar, tapi tiba-tiba didengarnya suara "tok, tok, tok"

   Tiga kali ketokan pintu, ada_orang mengetuk pintu belakang hotel kecil ini. Timbul rasa heran Toh Ni, pikirnya.

   "Malam selarut ini, tak mungkin ada tamu menginap, kalau tamu juga tidak mungkin lewat pintu belakang, entah siapa orang ini, mungkin ada gejala-gejala yang kurang benar."

   Tengah dia membatin, kacung yang tidur di kamar belakang dapur telah terjaga bangun, letak pintu belakang memang berada di sebelah dapur, maka cepat sekali si kacung sudah membuka pintu sambil menggerutu.

   "Siapa? Malam selarut ini main gedor pintu segala?"

   "Utusan dari karisidenan, lekas buka pintu,"

   Teriak orang diluar dengan suara kereng. Karuan si kacung kaget, lekas dia menyalakan obor, lalu membuka pintu, dilihat sikap dan gerak-geriknya si kacung kenal baik pengetuk pintu. Orang itu berkata.

   "Bawa aku menemui juraganmu, jangan berisik. Aku tidak ingin membuat kaget para tamu disini."

   Kacung itu mengiakan sambil munduk-munduk. Diam-diam Toh Ni berpikir.

   "Utusan karisidenan, mungkin seorang opas. Memangnya tujuannya mencari perkara dengan Siau-ongya?"

   Lalu dia menunggu setelah si kacung membawa tamu tak diundang itu memasuki kamar juragannya, lalu diamdiam dia mendekat untuk mengintip.

   Sinar lampu tampak telah dinyalakan didalam kamar, kacung itupun telah keluar pula.

   Dengan ginkang Toh-Ni yang tinggi dia gunakan gerakan menggelantung dia gantol kakinya di atas payon, sementara tubuhnya jungkir balik mengintip kedalam kamar.

   Tampak si juragan dengan sikapnya yang gopoh dan gugup berkata.

   "Ong-puthau, tengah malam buta kau orang tua datang kemari entah ada keperluan apa?"

   Dugaan Toh Ni memang tidak meleset, tamu tak diundang ini memang orang opas utusan dari karisidenan. Opas she Ong itu berkata.

   "Tiada urusan aku takkan datang malam-malam begini. Terus terang karena suatu urusan dinas yang cukup penting, aku minta juragan suka membantu."

   Juragan she Thio terkejut, katanya.

   "Jangan Ong-puthau berkata demikian, hotelku kecil tapi selamanya tak berani melanggar aturan..."

   "Urusan ini tidak menyangkut dirimu, aku hanya ingin tahu tentang dua orang tamu yang menginap disini, jangan kau bikin keributan dan tidak usah gugup."

   Dugaan Toh Ni ternyata tepat pula, dua orang yang dicurigai menurut apa yang dilukiskan opas she Ong kepada juragan she Thio memang Toan Kiam-ping dengan dirinya. Sikap juragan Thio tampak gelisah dan tidak tentram, tanyanya.

   "Siapakah mereka? Apakah begal besar?"

   "Aku juga tidak tahu siapa mereka, kedatanganku ini juga bukan hendak menangkap mereka."

   "Lalu bantuan apa yang harus kulakukan?' tanya juragan she Thio.

   "Kacung yang tadi membawaku masuk kemari, apakah dia setia kepadamu?"

   "Dia anak yatim piatu, sejak kecil aku mengasuhnya. Kusuruh dia ke timur, dia takkan berani ke barat."

   "Kulihat kacung cilik iini memang cerdik dan cekatan, kukira dia tidak akan bikin urusan iini kapiran."

   Juragan she Thio berkata.

   "Kedua tamu itu besok pagi-pagi sudah akan berangkat, tugas apa yang harus diserahkan kejraida kacung cilik itu?"

   "Aku tahu. Tentunya mereka akan berangkat setelah sampan pagi?"

   "Aku tidak berani memastikan. Apakah kau orang tua ingin menaruh sesuatu dalam makanan mereka?"

   "Umpama mereka tidak sarapan pagi juga tidak jadi soal. Setiap orang bila bangun pagi pasti akan minum teh hangat. Nah aku diberi sebungkus obat oleh Sa-tayjin, katanya adalah Soh-kut-sun buatan istana raja, boleh kau seduh didalam air teh yang kau suguhkan mereka, yakin mereka tidak akan tahu. Dan lagi kadar obat ini cukup enteng, si peminum tidak akan seketika kumat, tapi kira-kira sejam kemudian baru akan terkulai lemas. Kau cukup mencampuri sedikit saja, setelah minum mereka masih bisa melanjutkan perjalanan. Kejadian selanjutnya kau boleh tidak usah kuatir. Tapi obat ini boleh kau sendiri yang mencampurnya didalam air teh, cuma sebagai juragan jangan kau sendiri yang menyuguh air teh ini, tapi suruhlah kacungmu melayani permintaan mereka, kalau berhasil, pasti kalian bakal dapat persen besar."

   "Yang kuharapkan hotelku selamat dan tidak berani mengharapkan persen segala. Urusan sekeci!l ini gampang dilakukan, tentang rahasia ini si kacung tidak usah diberitahu."

   Sampai disini pembicaraan mereka, kebetulan kacung cilik itu masuk membawa sepoci teh, setelah mengisi secangkir penuh dia haturkan dulu kepada Opas Ong, katanya.

   "Kau orang tua silakan cicipi dulu secangkir teh panas ini."

   Opas itu tertawa, katanya.

   "Memangnya kau anggap aku ini tamu yang perlu dilayani segala."

   "Kau orang tua memang jarang datang, kapan kami dapat mengharap kehadiran kau orang tua. Semoga kau orang tua tidak menyalahkan kami para hamba ini berlaku kasar dan kurang hormat."

   Opas itu tertawa, katanya.

   "Bagus, kau memang pandai bicara."

   Setelah mencicipi seteguk, tak terasa opas Ong memuji.

   "Panas dan wangi, wah sungguh wangi, segar dan teh bagus,"

   Pelan-pelan dia taruh cangkirnya pula dan siap berdiri hendak pergi, mendadak dia berseru heran, bentaknya.

   "Lothio, kau, Liong-kin-tehmu ini..."

   Sekali jambret dia mencengkram baju di depan dada juragan Thio. Karuan juragan she Thio kaget, serunya.

   "Aku tidak berdosa terhadap kau orang tua, ada apa dengan Liong-kinteh?"

   Belum habis dia bicara, cengkraman opas Ong tiba-tiba mengendor dan "Bluk"

   Kontan dia meloso jatuh tidak sadarkan diri. Karuan juragan she Thio kaget setengah mati, lama sekali dia melongo, mulutnya menggumam.

   "Apakah yang terjadi, apakah Liong-kin-teh itu yang jadi penyebabnya? Siau-siong-ji, Siau-siong-ji..."

   Waktu dia menoleh, kacung cilik tadi sudah tak kelihatan lagi.

   Toh Ni yang mencuri dengar dan mengintip diluar jendela sudah bertindak lebih dulu, diam-diam dia sudah mengeluyur keluar sana, di gang kecil yang menjurus ke dapur dia temukan kacung cilik tadi menggeletak di lantai, namun baju luarnya ternyata diblejeti.

   Toh Ni menggoncang tubuhnya, tapi dia tidak bergerak, namun napasnya masih teratur, demikian pula denyut nadinya masih berjalan seperti biasa.

   Walau Kungfu Toh Ni belum mencapai tingkatan yang tinggi, namun dia tahu bahwa kacung ini tertutuk hiat-to pelemasnya.

   Karena kuatir jejaknya konangan si juragan, lekas Toh N i lari kedalam kamarnya.

   Toan Kiamping segera tanya.

   "Kenapa begini lama baru pulang?"

   "Kejadian amat aneh..."

   Kata Toh Ni, lalu dia tuturkan apa yang dilihatnya barusan, akhirnya dia menambahkan.

   "Kelihatannya ada seorang kosen dalam hotel ini juga yang diam-diam membantu kita."

   Toan Kiam-ping tersentak sadar, katanya.

   "Aku sudah tahu siapa dia. Kau tunggu disini, segera aku mencari orang itu."

   Diam-diam dia mengeluyur keluar mendekati jendela kamar sebelah serta mendongkelnya pula pelan-pelan tanpa mengeluarkan suara, setelah daun jendela terbuka dia melompat masuk, hatinya kebat kebit, entah dugaannya betul.

   Di saat dia melompat masuk itulah pelita dalam kamar itu mendadak menyala.

   Dilihatnya laki-laki setengah umur yang dipandang menyebalkan oleh Toh Ni kelihatan duduk bersila di pinggir ranjang, suaranya sumbang menjengek dingin.

   "Tengah malam buta rata, kau main menggerayang di kamarku mau apa?"

   Bukan kepalang kikuk dan runyam keadaan Tban Kiamping, katanya tersendat-sendat.

   "Maaf, aku, aku kira..."

   Baru saja dia mau minta maaf laki-laki bertampang menyebalkan itu tiba-tiba cekikik geli, katanya.

   "Toan-toako, aku sengaja menggodamu, aku tahu kau pasti kemari,"

   Suaranya yang semula sumbang kini berubah merdu dan enak didengar. Karuan kaget dan senang Toan Kiam-ping bukan kepalang, serunya.

   "Adik Cin, betulkah kau."

   "Bagaimana kau bisa meraba akan diriku?"

   "Kacung yang menyuguh air teh itu jelas adalah samaran orang lain, kecuali kau siapa orangnya dalam dunia ini yang mampu menyaru semirip itu? Pada hal waktu ketemu kau siang tadi, aku sudah curiga akan dirimu. Soalnya kuda tungganganmu berbulu lain, sehingga aku bimbang."

   "Bagaimana kau bisa curiga atas diriku? Memangnya samaranku ini ada lobang kelemahannya?"

   "Samaranmu tiada yang mencurigakan, tapi sorot matamu secara wajar menampilkan rasa perhatianmu terhadapku, bola matamu yang jernih dan jeli itu takkan bisa dirubah lagi bila memandang daku."

   Manis mesra hati Han Cin, katanya.

   "Tak nyana kau seteliti ini, aku; aku..."

   "Kau kenapa?"

   Lirih suara Han Cin.

   "Aku senang, kau tidak memakiku seperti Siau-ni-cu memakiku laki-laki menyebalkan,"

   Tanpa tetasa dia cekikikan geli sendiri.

   "sekarang boleh kau panggil Siau ni-cu kemari."

   Siau-ni-cu segera mengiakan dan masuk, katanya.

   "Siau-nicu punya mata tapi tidak dapat mengenali orang, harap nona Han tidak berkecil hati."

   "Kali ini pandanganmu tidak setajam Toan-toako,"

   Kata Han Cin tertawa.

   "Pertama aku tidak perhatikan sorot matamu, kedua kuda tungganganmu itu yang mengaburkan perhatianku,"

   Demikian ujar Toh Ni.

   "Sebetulnya kuda tungganganku itu juga kupinjam dari Ciong-cici."

   "Lho, bukankah kuda itu berbulu putih?"

   "Kan gampang bulunya itu kusemir dengan warna lain, tapi kalau kehujanan warna semir itu bisa luntur sendiri."

   "O, kau punya semir sebagus itu, lekas kau semir juga kuda kami supaya tidak dicurigakan orang."

   "Tadi sudah kusemir bulu kuda Toan-toako dengan warna coklat hitam. Baru saja aku kembali dari istal. Sekarang mumpung belum terang tanah, marilah kurias kalian dengan bentuk lain pula."

   Toh Ni teringat sesuatu, tanyanya.

   "Nona Han, dengan obat bius kau membius opas she Ong itu, mungkin juragan hotel ini bisa lapor kepada penguasa setempat, apa kita bisa menunda waktu dua jam lagi disini?"

   "Semuanya sudah kubereskan, memangnya kau perlu peringatkan lagi?"

   "O, jadi kaupun bikin juragan itu pulas juga?"

   "Aku menutuk hiat-to penidurnya, kira-kira dua belas jam lagi baru akan siuman."

   Legalah hati Toh Ni, katanya.

   "Nona Han, kau hendak merobah aku jadi orang apa?"

   
Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Kembali pada wajah kalian semula."

   Toan Kiam-ping kaget, katanya.

   "Kembali pada wajah semula? Bukankah jejak kami lebih gampang konangan?"

   "Pendapatku justru terbalik. Kau harus tahu, sebetulnya kau ini pemuda bangsawan, dengan menyamar pedagang kecil, meski bentuknya cukup menyerupai, tapi sikap dan tindak tanduk serta tutur katamu tak mungkin dirubah. Bagi orang Kangouw yang. berpengalaman, sekali pandang sudah tahu akan kepalsuan dirimu. Lebih baik kau menyamar pemuda perlente dan keluarga hartawan yang mau ujian ke kota raja, Siau-ni-cu tetap sebagai kacung pengiringimu. Bedanya tidak jauh dari keadaan kalian yang asli, maka sikap dan tutur kata kalian tidak perlu dibuat-buat. Yakin kawanan cakar alap-alap itu takkan menduga bahwa kalian menyamar pemuda hartawan yang mau ujian negara. Kalau mereka curiga pada para pedagang atau golongan lain, yakin tidak akan curiga pada orang-orang sekolahan."

   Toan Kiam-ping maklum dan mengerti, serunya sambil keplok.

   "Bagus, akal bagus. Inilah akal bagus dari timbal balik antara isi kosong dan kosong isi. Tapi kami tidak membawa pakaian untuk keperluan ini."

   "Sudah kusiapkan,"

   Ucap Han Cin.

   "Mari kalian coba pas tidak dengan perawakanmu."

   Senang tak terhingga Toan Kiam-ping dibuatnya, katanya.

   "Nona Han, kau umpama seorang dewi sakti? Darimana kau tahu kami bakal ketiban malang, di kala kami memerlukan tenaga dan pikiranmu, tahu-tahu kau muncul di hadapanku. Segalanya sudah kau siapkan lagi."

   Han Cin tertawa, katanya.

   "Silahkan ganti pakaian dulu, setelah salin nanti kuterangkan."

   Setelah mendengar ceritanya Toan Kiam-ping menghela napas, katanya.

   "Begitu besar perhatian orang banyak terhadapku, sungguh harus kusesalkan. Tapi nona Han, satu hal yang paling ingin kuketahui belum kau jelaskan kepadaku."

   "Soal apa?"

   "Apakah Tan Ciok-sing dan In San sudah tiba di atas gunung?"

   "Belum, kami kira, mereka berdua sudah menuju ke kota raja."

   "Kenapa merekapun mau ke kota raja?"

   "Wi-cui-hi-kiau kawan-kawannya pergi ke kota raja hendak membunuh Liong Bun-kong pembesar anjing durjana itu. Mungkin mereka tidak termasuk orang yang diundang, tapi merekapun punya permusuhan dengan pembesar anjing itu, kini setelah tahu pembesar anjing itu ada intrik dengan duta Watsu, tanpa diundang Wi-cui-hi-kiau juga pasti mereka meluruk ke kota raja, jadi maksud tujuannya seperti Wi-cui-hikiau."

   Toan Kiam-ping manggut-manggut, katanya.

   "Dugaan kalian pasti tidak salah. Tentang utusan Watsu dan terbunuhnya Ui-yap Tojin, sudah diketahui oleh In San. Satu hal belum sempat kuberitahu kepadamu, Ui-yap Tojin terbunuh oleh jago-jago Watsu yang mengiringi Dutanya, sementara Sia-cin Hwesio terluka parah dan berhasil meloloskan diri, di tengah jalan aku bersama nona In pernah bertemu dan menolong Sia-cin Hwesio yang terluka parah itu."

   "Kim-to Cecu tidak menyetujui sepak terjang Wi-cui-hi-kiau yang hendak membunuh Liong Bun-kong dengan cara demikian, akupun kuatir mereka bakal menemui kesulitan dan bahaya di kota raja."

   "Kuharap sebelum tiba di kota raja sudah bisa menolong ayah. Tapi, umpama usahaku ini berhasil, aku tetap akan berangkat ke kota raja. Siau-ni-cu boleh menghantar ayah ke markas Kim-to Cecu. Nona, masih aku mengharap bantuanmu."

   "Toan-toako, soal bantuan tidak usah kau ucapkan lagi. Bukan saja Tan Ciok-sing teman baikmu, diapun saudara angkatku. Bicara terus terang, semula aku ada maksud supaya Kim-to Cecu mengirimku ke kota raja untuk kerja sama dengan dia, namun mengingat urusanmu lebih genting, maka aku mendahulukan ke Tayli. Bila leluasa dan berhasil menolong ayahmu, kukira tiada halangan kita lanjutkan ke kota raja."

   Sembari bicara Han Cinpun sudah selesai merias mereka, waktu Toan Kiam-ping berkaca, wajahnya ternyata sudah berubah lebih ganteng, tak ubahnya pelajar lemah lembut yang getol membaca, bentuknya jelas jauh berbeda dengan muka aslinya, tak urung dia memuji.

   "Nona Han, kepandaianmu merias orang memang amat menakjubkan, jangan kata kawanan cakar alap-alap itu, umpama ayahku sendiri yakin takkan mengenaliku lagi."

   Toh Ni tertawa, katanya.

   "Nona Han, aku kuatir kau bakal merubahku jadi orang yang menjijikkan, banyak terima kasih akan make upmu yang merubahku menjadi lebih cakap dari Siau-ni-cu yang sesungguhnya."

   Mereka perhitungkan sebelum matahari tenggelam, dengan kecepatan jalan kereta pesakitan itu, pasti mereka akan menginap di sebuah kota kecil di depan sana, maka mereka mendahului singgah di kota kecil ini menunggu kedatangan mereka.

   Tak nyana dugaan mereka meleset, rombongan pesakitan itu ternyata tidak lewat kota kecil ini.

   Kuatir mereka menempuh jalan lain, maka Toan Kiam-ping suruh Toh Ni putar balik menyusuri arah datangnya tadi memeriksa lebih cermat.

   Hampir tengah malam baru Tob N i pulang ke hotel dan memberitahu kepada Toan Kiam-ping.

   "Mereka menginap di kota kecil sebelah belakang itu, bukan menempuh jalan putar lainnya."

   Hari kedua mereka memasuki kota yang sudah ditentukan untuk menginap disini. Tiba-tiba Han Cin berkata.

   "Kalian pergi cari hotel lebih dulu, aku akan menyusul dan bekerja menurut situasi."

   Penantian mereka kali ini tidak sia-sia.

   Hotel yang dicari kali ini adalah penginapan terbesar dalam kota ini, makan malampun dipercepat dari waktu biasanya.

   Kira-kira hampir petang rombongan kereta pesakitan itupun memasuki kota dan menginap di hotel besar itu pula.

   Semula rombongan kereta pesakitan ini ada 8 orang termasuk Lo-ongya dan Ling Suhu, tapi kali ini ketambahan satu orang lagi, yaitu seorang tabib kelilingan yang masih asing membawa kotak obatnya, dengan muka lesu dia menginti! di belakang Ciok-Khong-goan dan Sa Thong-hay.

   Setiba di halaman hotel Sa dan Ciok berdua membimbing ayah Toan Kiam-ping turun dari atas kereta, wajah ayah Toan Kiam-ping tampak pucat dan lusuh, mungkin karena menempuh perjalanan jauh, sehingga dia tidak tahan dan jatuh sakit.

   Toan Kiam-ping mengarti, pikirnya.

   "Kiranya sakit, tak heran dua hari ini mereka berjalan amat lambat. Ai, ayah sudah biasa hidup mewah dilayani, mana kuat menempuh perjalanan jauh yang menyiksa ini? Aku harus cepat menolongnya dari kesusahan ini."

   Begitu rombongan ini memasuki hotel, Khong-tik lantas ribut dengan mereka. Toh Ni mengintip dari celah-celah pintu lalu memberitahu Toan Kiam-ping.

   "Kedua pembesar anjing itu membimbing ayahmu masuk ke kamar seberang yang tengah itu. Em, tabib itu juga ikut masuk."

   Maka terdengar suara gedoran pintu Ling Khong-tik di kamar seberang, serunya.

   "Kalian larang aku merawat Toanlosiansing, apakah aku tidak boleh masuk."

   Agaknya Ciok Khong-goan segan bentrok dengan dia, katanya.

   "Baiklah, kau masuk boleh masuk. Tapi kau dilarang dekat-dekat dengan Toan-siansing."

   Begitu Ling Khong-tik masuk kedalam kamar suaranya ribut terdengar semakin keras. Terdengar dia tanya kepada tabib.

   "Kau yakin dapat menyembuhkan penyakit Lo-siansing?"

   "Terus terang,"

   Sahut tabib itu.

   "aku ini hanyalah tabib kampungan, penyakit ringan kutanggung tidak akan mati, kalau penyakit berat, ya serahkan saja kepada Thian yang maha kuasa."

   Ling Khong-tik mendengus, katanya.

   "Kalau tahu dirimu tidak mampu, buat apa kau masih berdiri disini?"

   Kata si tabib dengan muka meringis.

   "Bukan aku yang mau kemari, merekalah menyeretku kemari."

   "Ciok-tayjin, menolong jiwa lebih penting, lekaslah kau cari tabib lain yang lebih pandai."

   "Di kota sekecil ini kemana mau cari tabib pandai? Yang diundang paling juga tabib kampungan yang tidak mampu berbuat apa-apa."

   "Tapi bukan mustahil dapat mencari tabib yang lebih pandai apa salahnya kalau kau undang sekaligus dua tiga tabib, mumpung belum terlalu malam, kalian masih bisa lari ke kota karesidenan mengundang tabib dari sana."

   Sa Thong-hay tertawa dingin, jengeknya.

   "Kau ingin kami menyempatkan salah satu orang untuk cari tabib, kalau terjadi sesuatu bagaimana? Kau sendiri kenapa tidak mau?"

   Bahwa kawanan cakar alap-alap itu tidak mau berusaha, Ling Khong-tik sendiri juga kuatir bila dirinya pergi mencari tabib, bukan mustahil mereka main muslihat, di saat dia kebingungan, tiba-tiba didengarnya suara kelinting yang diayun maju mundur, lalu terdengar seorang bersenandung "Say-hoa-tho Khu Pan-sian, khusus menyembuhkan penyakit aneh, siapa makan obatku, tanggung sakit hilang sebalpun lenyap, jangan kuatir raja neraka akan mengundangmu."

   Ciok Khong-goan segera menyela sama tengah, katanya tertawa.

   "Baru saja kita bicara soal tabib, tabib pandai segera datang. Orang itu berani mengagulkan diri, mungkin memang punya kepandaian, baiklah undang dia supaya memeriksa sakit Toan-losiansing."

   "Tabib keliling macam jual kecap, memangnya dia punya kepandaian apa?"

   Jengek Ling Khong-tik.

   "Kalau kau pintar kenapa tidak kau sendiri mengobati. Hm, tidak ada tabib kau ribut, sekarang ada tabib datang, kau anggap dia bodoh tidak becus segala. Hehehe, di kampung sering aku mendengar pameo, tidak ada kuda kerbaupun boleh ditunggangi, belum tentu di kota ada tabib pandai, kenapa tidak mengundang tabib kelilingan itu untuk coba memeriksanya."

   Meski tidak yakin tabib kelilingan ini mampu menyembuhkan penyakit junjungannya, tapi apa boleh buat, dari pada tidak diperiksa dan diobati, terpaksa Ling Khong-tik berkata.

   "Baiklah, biar dia mencobanya."

   Tabib yang datang duluan berkata.

   "Tabib baru sudah datang, aku boleh pergi bukan? Terus terang, aku memang tidak mampu mengobatinya."

   Sa Thong-hay segera membentak.

   "Kau tabib gentong nasi, enyahlah,"

   Lalu dia tarik suara berteriak kepada Huwan Pau yang berjaga diluar supaya mengundang tabib kelilingan itu.

   Mendengar tabib kelilingan berjuluk Say-hoa-tho dan bernama Khu Pan-sian (Khu setengah dewa), tergerak hati Toan Kiam-ping yang sembunyi di kamarnya lekas dia mengintip dari celah pintu.

   Dilihatnya Huwan Pau membawa seorang tabib yang membawa kotak obat dan sebatang pentung masuk kedaiam kamar.

   Di ujung pentung itu terikat sebuah kelintingan dengan ronce kain warna warni.

   Wajah tabib kelilingan ini jauh berbeda dengan samaran Han Cin waktu menjadi laki-laki setengah umur yang bertampang menyebalkan itu.

   Diam-diam timbul rasa curiga Toan Kiamping, dalam hati dia menerka bahwa tabib ini adalah samaran Han Cin.

   Begitu tabib ini masuk ke kamar mengintil di belakang Huwan Pau, Sa Thong-hay lantas berkata.

   "Apa betul kau punya kepandaian seperti yang kau agulkan sendiri?"

   "Menyembuhkan penyakit menghidupkan jiwa adalah kemah iranku. Tapi aku baru mau turun tangan bila penderita betul-betul mau percaya padaku, kalau mengundangku tapi masih juga curiga padaku maka obatku takkan mujarab lagi."

   "Jarang kulihat tabib seaneh kau, masa sama-sama obatnya, kenapa kau yakin bahwa obatmu pasti lebih mujarab bila kami percava kepadamu?"

   "Penyakit badan mudah diobati, tapi penyakit batin susah disembuhkan; Demikian pula keadaan si sakit dengan lahir batinnya amat besar sangkutnya, bila si sakit percaya akan pertolongan si tabib baru penyakitnya akan sembuh, dia besar-benar akan terhindar dari kesulitan."

   Mendengar rangkaian kata-kata si tabib ini, Toan Kiam-ping yang mengintip di kamarnya tergerak pikirannya.

   "Bukankah kata-kata ini seperti ditujukan kepadaku?"

   "O, ya, memang masuk akal, baik silakan kau periksa. Toan-siansing ini adalah orang penting, bila penyakitnya malah parah setelah makan obatmu, kau harus bertanggung jawab seluruhnya,"

   Demikian kata Ciok Khong-goan sambil menepuk pundak si tabib kelilingan.

   Tepukan ini untuk menjajal apakah tabib kelilingan ini pandai silat atau tidak, tepukan itu tepat pada tulang pundaknya yang penting, bila tenaga dalam dikerahkan, tulang pundak akan tertepuk pecah, betapapun tinggi kepandaian silat seseorang pasti punah dan menjadi orang cacad.

   Bila tabib ini pandai main silat, tentu dia tahu bahwa tepukannya ini mengancam tulang pundaknya, maka dia pasti berusaha menghindar atau menangkis.

   Tabib kelilingan berkata.

   "Tayjin aku mau menyembuhkan penyakitnya, tapi kau menggertakku, aku jadi ragu-ragu untuk menggunakan obatku."

   Lenyap rasa curiga Ciok Khong-goan, katanya tergelakgelak.

   "Periksalah dengan seksama, kami ada menyediakan persen, persen untuk yang berhasil tapi juga persen untuk yang gagal. Bila penyakitnya sembuh, kupersen kau seratus tahil perak."

   "Kalau begitu banyak terima kasih dulu,"

   Sahut tabib kelilingan, baru saja dia menghampiri ayah Toan Kiam-ping yang rebah di atas ranjang, tiba-tiba Sa Thong-hay berseru.

   "Tunggu sebentar."

   Tabib itu melengak, tanyanya.

   "Masih ada petunjuk apa Tayjin?"

   "Waktu kau memeriksa tentunya tidak suka diganggu keributan bukan?"

   Tabib kelilingan itu melongo, batinnya.

   "Mungkin menjajalku lagi? Kalau aku turuti keinginannya, menyuruh mereka keluar semua, tentunya aku bisa dicurigai,"

   Maka setelah pura-pura berfikir sebentar dia berkata.

   "Bagi si sakit memang perlu ketenangan, tapi kalau hanya seorang diri memeriksa penyakit Lo-siansing ini, aku tak berani tanggung bila terjadi sesuatu atas dirinya. Lebih baik satu di antara kalian menemani aku disini."

   "Betul, baiklah begitu saja,"

   Seru Sa Thong-hay.

   "nah Ling Suhu, silakan keluar."

   "Kenapa aku yang harus keluar?"

   Teriak Ling Khong-tik.

   "Tabib tolong tanya, bukankah orang sendiri yang harus menjaga si penderita?"

   "Biasanya memang demikian,"

   Sahut si tabib.

   "perasaan si penderita akan lebih tenang kalau dijaga orang yang dekat padanya."

   "Nah, dengar tidak, meski aku tidak terhitung sanak familinya, tapi aku lebih dekat daripada kalian,"

   Demikian Ling Suhu berkata.

   "Tapi jangan kau lupa, disini bukan di istana, di rumahnya kau adalah orang kepercayaannya, adalah kewajibanmu untuk melayani junjungan. Tapi disini, kami yang berkuasa, kami sebagai pelaksana perintah harus lebih dekat dengan Loongya, peduli dia membenciku atau tidak, terpaksa dia harus anggap aku orang dekatnya."

   Ling Khong-tik naik pitam, serunya.

   "Kalian sebanyak ini, memangnya takut aku berkomplot dengan tabib ini menculik Toan-losiansing?"

   "Peduli amat dengan jalan pikiranmu,"

   Jengek Sa Thonghay.

   "pendek kata silakan kau keluar."

   Apa boleh buat, akhirnya Ling Khong-tik melangkah keluar. Lo-ongya menghela napas, katanya lemah.

   "Sebetulnya tidak perlu diperiksa lagi, penyakitku ini takkan bisa disembuhkan lagi."

   "Lo-siansing jangan kuatir, penyakitmu pasti dapat kusembuhkan,"

   Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Di bawah pengawasan Sa Thong-hay tabib itu mulai memeriksa nadi.

   Rekaan Toan Kiam-ping memang tidak meleset, tabib keliling ini memang samaran Han Cin.

   Seperti diketahui Khu Ti atau ayah angkat Han Cin bukan saja pandai tata rias diapun pandai ilmu pengobatan, meski Han Cin tidak mewarisi kedua ilmu ini secara sempurna, tapi kepandaiannya sudah cukup lumayan dan tinggal menambah pengalaman dalam praktek.

   Setelah dia memeriksa urat nadi, diam-diam hatinya amat kaget, ternyata penyakit Lo-ongya memang cukup parah.

   "penyakitnya timbul karena penasaran dan kemarahan yang tidak terlampias, maklum sejak lama dia hidup dalam kebesaran dengan gengsi dan pamor yang dijunjung tinggi, kapan pernah dia mengalami siksa derita sebagai tawanan yang dihina begini. Umpama dapat meloloskan diri, mungkin penyakitnya tetap takkan bisa disembuhkan,"

   Demikian pikir Han Cin.

   "Bagaimana?"

   Tanya Sa Thong-hay dari samping.

   "Tuan ini kehilangan kontrol pada dirinya sendiri, sehingga peredaran darahnya kurang lancar, hawa mengeras dalam perut sehingga menimbulkan serangan angin luar dan desakan hawa dalam,"

   Lalu dia sebutkan pula beberapa penyebab si penderita jatuh sakit yang ternyata jitu. Mendengar penjelasannya lancar dan tepat, diam-diam Sa Thong-hay berpikir.

   "Agaknya kepandaiannya memang lebih tinggi dari tabib yang kuundang kemarin,"

   Maka dia berkata.

   "Apa kau yakin dapat menyembuhkan penyakitnya? Harus berapa hari?"

   "Penyakitnya memang tidak ringan, tapi masih ada setitik harapan, cuma harus berapa hari baru dapat kusembuhkan sukar kuramalkan. Baiklah kubuka resep obatnya."

   "Baik, silakan tabib membuka resepnya dengan baik,"

   Kata Sa Thong-hay.

   Dari kotak obatnya Han Cin keluarkan alat-alat tulisnya diletakkan di atas meja, Sa Thong-hay duduk di depannya secara berhadapan.

   Dia bantu mengaduk tinta, sementara Han Cin menunduk memejam mata seperti memikirkan obat.

   Setelah tintanya diaduk kental, Sa Thong-hay berkata.

   "Sudah tabib pikirkan obatnya yang tepat?"

   "Sudah kudapatkan,"

   Ujar Han Cin.

   Mendadak tangannya menggebrak meja, gebrakan meja ini dia gunakan tenaga dalam, maka tinta yang diaduknya itu tahu-tahu muncrat dan menyembur ke muka Sa Tong-hay.

   Kejadian amat mendadak, karuan Sa Thong-hay amat kaget, baru saja mulutnya terpentang dan sempat menjerit sekali, cepat sekali Han Cin sudah mencengkram urat nadinya.

   Segera Ciok Khong-goan sudah menerjang masuk seraya membentak.

   "Apa yang kau lakukan?"

   Melihat Sa Thong-hay dibekuk orang, dia tidak hiraukan temannya, tapi langsung memburu ke arah ranjang.

   Tujuan Han Cin hendak membekuk Sa Thong-hay sebagai sandera untuk meloloskan diri, tak kira Ciok Khong-goan tidak hiraukan ancamannya, malah dia sendiri sekarang yang diancam.

   "Lekas lepaskan Sa-tayjin, Kalau tidak biar kubunuh dulu Lo-ongya,"

   Demikian bentak Ciok Khong-goan. Belum habis dia bicara.

   "Bret"

   Kelambu telah ditariknya sobek dan rontok berhamburan.

   Walau tahu Ciok Khong-guan hanya main gertak, namun mau tidak mau Han Cin kaget juga.

   Dalam keadaan segenting ini tak sempat dia banyak pikir, sekali jinjing dia lempar tubuh Sa Thong-hay ke arah Ciok Khong-goan.

   Lekas Ciok Khonggoan lompat menyingkir, terdengar "Wut", cambuk lemas di pinggang Han Cin sudah terlolos dan menyapu datang dengan tipu Wi-hong-sau-yap (angin lesus menyapu daun), kedua kaki Ciok Khong-goan dijadikan sasaran.

   Sekenanya Ciok Khong-goan membalikkan tangan, tapi ujung cambuk tidak kena ditangkap, namun gerakan tangannya menimbulkan deruan angin yang menyibak cambuk itu ke samping, namun demikian diapun merasakan tulang pergelangan tangannya kesakitan, terpaksa dia menyurut mundur, teriaknya.

   "Gasak dia..."

   Dalam pada itu Sa Thong-hay jatuh terjengkang dengan kaki tangan di atas, pantatnya kesakitan, bentaknya merangkak sambil memegang pantat.

   "Anak kura-kura, berani kau membokong aku, kalau tidak kugayang kau, aku bersumpah tidak jadi manusia."

   Han Cin kembangkan ilmu cambuknya bertahan di depan ranjang, tapi sepasang kepalan susah melawan empat tinju, hanya beberapa jurus keadaannya sudah kepepet dan terdesak di bawah angin. Terpaksa Han Cin berteriak.

   "Toantoako, lekas kemari,"

   Belum lenyap suaranya, mendadak terdengar suara "Blang"

   Jendela ditendang ambrol, Toan Kiam-pingpun telah mencelat masuk.

   "Minggirlah kalian,"

   Hardik Toan Kiam-ping, dimana kedua jarinya terjulur, tiba-tiba mengancam muka Ciok Khong-goan, bola mata orang menjadi sasaran cakarnya.

   Ciok-Khong-goan kira Pangeran raja ini adalah pemuda lemah yang biasa hidup mewah, betapa tinggi kepandaiannya? Sungguh tak terpikir olehnya bahwa gerak serangannya ternyata setangkas ini, baru saja daun jendela tertendang ambrol, tahu-tahu serangan orangpun telah tiba di depan matanya.

   Pandangannya menjadi kabur, dilihatnya jari lawan tahu-tahu sudah hampir menyentuh kelopak matanya.

   Serangan ini memaksa lawan untuk menyelamatkan diri sendiri, bila Toan Kiam-ping menekuk jari dan mencukilnya, tanggung kedua biji mata Ciok Khong-goau akan dicukil nya buta, betapapun besar nyali Ciok Khong-goan, sudah tentu tidak rela matanya buta, lekas dia melompat mundur.

   "Ayah, jangan takut,"

   Teriak Toan Kiam-ping.

   "anak datang menolongmu,"

   Menyingkap kelambu dengan sebelah tangan dia memeluk ayahnya. Tapi Ciok Khong-goan telah menyerbunya lagi seraya membentak.

   "Anak keparat, inilah yang dinamakan di sorga ada jalan kau tak mau kesana, neraka buntu justru kau terjang, lebih baik kalian ayah beranak kumpul bersama di hadapan Giam-lo-ong,"

   Mulut memaki sepasang telapak tangan memukul.

   Jurus serangan ini dinamakan Ban-liongsiang- jong-ciang, salah satu jurus yang terliehay dari ilmu pukulan Tay-cui-pi-jiu yang diyakinkannya.

   Dengan enteng seperti tidak menggunakan tenaga Toan Kiam-ping menepuk sekali, kekuatan pukulan Ciok Khong-goan yang dahsyat itu seketika dipunahkan dengan seenaknya saja, terasa olehnya tenaga lunak lawan ternyata tidak sirna begitu saja, daya pantulnya masih terus menerjang maju dengan tenaga lengket yang sangat kuat, sehingga tanpa kuasa dia berputar satu lingkar baru mampu kendalikan gerak gerik sendiri, karuan kagetnya bukan main, lekas dia cabut golok yang terselip di pinggangnya untuk berjaga di depan dada.

   Dengan napas memburu Lo-ongya berteriak.

   "Anak Ping, apa betul kau yang datang. Ai, kenapa kau menempuh bahaya sebesar ini? Usiaku sudah lanjut, apa gunanya kau menolongku. Lekas, jangan hiraukan aku, larilah sendiri. Keluarga Toan kita tinggal kau seorang yang harus melanjutkan keturunan. Selama gunung tetap menghijau, jangan kuatir kehabisan kayu bakar. Dengarkan nasehatku. lekas lepaskan aku."

   "Ayah,"

   Kata Toan Kiam-ping.

   "pejamkan mata dan jangan saksikan apa yang terjadi. Anak pasti dapat menolongmu,"

   Dengan sebelah tangannya dia kembangkan Tay-kim-na-jiu melawan rangsakan golok baja Ciok Khonggoan, ternyata Ciok Khong-goan tidak mampu mendesak maju, tapi dalam waktu dekat diapun tak mampu menerjang keluar.

   Terdengar Ling Khong-tik menghardik keluar.

   "Jangan rintangi aku, mati atau hidup kalian sendiri yang menentukan,"

   Lalu terdengar suara "Blang", kedengaran seorang telah dipukulnya roboh, belum lagi langkahnya memasuki kamar, pukulan jarak jauhnya sudah menerjang ke tubuh Ciok Khonggoan.

   Lekas Toan Kiam-ping kempit badan ayahnya terus menerjang keluar pintu.

   Han Cin ikut keluar di belakangnya, karena membawa ayahnya yang sedang sakit, Toan Kiam-ping tidak berani lari kencang dan lompat naik turun, baru saja dia tiba di pintu belakang hotel itu, dirinya sudah terkejar oleh kawanan cakar alap-alap.

   Di belakang pintu ternyata adalah tegalan yang berumput liar yang cukup luas, cepat sekali Huwan bersaudara sudah berancang dengan posisi masingmasing, Toan Kiam-ping terkepung di tengah barisan mereka.

   Sa Thong-hay biarkan Ciok Khong-goan melabrak Han Cin, sementara dia sendiri memberi aba-aba, katanya bergelak tertawa.

   "Ling Khong-tik, kami hanya membekuk pelanggar hukum, kini mereka ayah beranak sudah berada di tangan kami, terus terang aku tidak ingin mempersulit dirimu. Nah tahulah diri, lekas menyingkir yang jauh,"

   Lalu dia membentak kepada Toan Kiam-ping.

   "Kalau kau ingin menyelamatkan jiwa ayahmu, lekas menyerah."

   Pada saat itulah, sesosok bayangan orang yang kurus kecil entah menerobos dari mana tahu-tahu sudah berada di samping Toan Kiam-ping. Kejut dan girang Toan Kiam-ping teriaknya.

   "Siau-ni-cu, kenapa kau masih ada disini? Kau. lekas kau..."

   Ternyata yang menerobos mendadak ini adalah kacungnya Toh Ni, perawakan Toh Ni memang kurus kecil, perhatian Huwan bersaudara hanya terpusat pada Toan Kiam-ping, mimpi juga mereka tidak mengira bahwa pemuda ini sebesar itu nyalinya, mendadak menerobos masuk kalangan dari samping mereka.

   Toh Ni menukas perkataan Toan Kiam-ping.

   "Serahkan Loongya kepadaku."

   Di saat Toh Ni menerjang masuk kalangan, kebetulan Ling Khong-tik juga menerjang datang, Sa Thong-hay membentak.

   "Kau tua bangka ini memang tidak tahu diuntung."

   Ling Khong-tik juga menghardik.

   "Meski harus pertaruhkan jiwa tuaku ini, biar aku adu jiwa dengan kalian,"

   Di tengah gerungannya beruntun dia melontarkan tiga kali pukulan jarak jauh.

   Melihat kelakuan orang yang kalap seperti harimau mengamuk, Sa Thong-hay jadi jeri dan tidak berani melawannya dengan kekerasan, terpaksa dia terdesak masuk dalam kalangan barisan Huwan bersaudara.

   Toan Kiam-ping yang berada dalam kurungan barisan sudah tidak banyak pikir lagi, melihat kesempatan baik ini, segera dia serahkan ayahnya kepada Toh Ni, katanya pilu.

   "Saudaraku yang baik, kalau mampu lari berusahalah meloloskan diri, kalau tidak mampu lolos biar kita gugur bersama."

   Tanpa menggendong ayahnya Toan Kiam-ping tidak menguatirkan apa-apa, dengan tekad untuk gugur bersama, mendadak dia bersiul panjang dan nyaring, pedang pusakapun telah dilolosnya.

   Dengan jurus Liu-sing-kan-gwat (meteor mengejar bulan), ujung pedangnya bergetar menimbulkan gambaran berlapis-lapis, sekaligus tiga kuntum sinar pedang berpencar menyerang ketiga jurusan, ke kiri menusuk Hiathay- hiat di bawah lambung Huwan Liong, ke kanan menusuk Ji-toh-hiat di dada Huwan Pau dan di tengah menusuk Hian-kihiat di ulu hati Huwan Hou.

   Satu jurus mengincar tiga hiat-to di tiga tubuh musuhnya, hanya Huwan Kiau yang posisinya agak jauh tidak menjadi sasaran serangan ini.

   Karuan Huwan bersaudara amat kaget.

   Tak pernah mereka bayangkan bahwa Toan Kiam-ping anak raja yang disangkanya lemah dan lembut ini memiliki ilmu pedang seliehay dan seganas ini, namun barisan pedang mereka berempat hakikatnya juga amat tangguh dan tidak kalah hebatnya, meski serempak menghadapi serangan balasan yang ampuh, tapi mereka tidak berusaha secara individu untuk menyelamatkan diri sendiri, tapi saling bantu dan tolong menolong, sehingga rangsakan pedang Toan Kiam-ping berhasil dipunahkan, malah Ling Khong-tik yang hendak menerjang masuk kalanganpun berhasil dibendung di garis luar.

   Ling Khong-tik seperti banteng ketaton, menubruk seraya mengayun jotosannya merabu gencar ke arah Sa Thong-hay, tahu-tahu telapak tangannyapun menempiling ke arah Huwan Kiau yang paling dekat.

   Pukulannya sungguh seperti kampak yang mampu membelah gunung dahsyatnya, atau palu godam yang menghancurkan batu raksasa.

   Sudah tentu Sa Thonghay tidak berani melawan, lekas dia menyingkir ke samping terus menerjang kesana, sehingga Ling Khong-tik mendapat peluang melangkah satu tindak lebar.

   Tapi tempilingannya ke arah Huwan Kiau ternyata dapat dipunahkan oleh tusukan pedang Huwan Liong.

   Untung lwekang Ling Khong-tik sudah cukup tinggi, di saatsaat kritis itu, begitu merasa ujung pedang mengancam tangan, lekas dia menarik napas mengempeskan dada dan perut sehingga tusukan pedang ini tidak mengenai ulu hatinya, namun demikian, dada di bawah teteknya sebelah kiri tergores luka oleh pedang musuh.

   "Blang"

   Ternyata Ling Khong-tik yang berkelit dengan lompatan menyingkir ini sempat pula menumbuk Huwan Hou sehingga orang jatuh terguling setombak jauhnya, sayang karena tumbukan ini sehingga gerakannya sedikit tertunda sehingga dadanya terluka kulitnya.

   Barisan pedang yang rapat dan dapat bekerja sama itu, karena Huwan Hou tertumbuk jatuh, seketika pecah dan berantakan, betapa cerdik otak Toh Ni, segera dia menerjang keluar dari arah yang bobol ini.

   Disusul Toan Kiam-ping, Han Cin dan terakhir Ling Khong-tikpun telah lolos dari kepungan barisan pedang.

   Di tengah jalan Han Cin membubuhi obat di luka Ling Khong-tik, lwekangnya tangguh, dengan bantuan pentung Han Cin dia masih dapat berlari bagai terbang.

   Lekas sekali mereka sudah lari memasuki hutan.

   Toan Kiam-ping segera berteriak.

   "Siau-ni-cu."

   Maka didengarnya suara Siau-ni-cu, tapi bukan jawaban kepada dirinya, tapi berkata kepada majikan tuanya.

   "Loongya, coba buka matamu, siapa yang datang. Siau-ni-cu tidak ngapusi kau bukan?"

   Dengan langkah lebar Toan Kiam-ping memburu ke dekat ayahnya, pelan-pelan Lo-ongya membuka matanya, karuan dia kejut dan senang, teriaknya keras.

   "Anak Ping, betul-betul kaulah. Aku, aku tidak sedang mimpi?"

   Toan Kiam-ping berlutut, katanya dengan sesenggukan.

   "Anak tidak berbakti, sehingga ayah menderita."

   Lo-ongya menggigit jari sendiri, rasanya sakit, jelas ini bukan dalam mimpi, katanya dengan suara getir.

   "Terima kasih pada yang kuasa, kita ayah beranak dapat bertemu lagi. Aku dapat lolos dari cengkraman iblis, meski takkan hidup lama lagi di dunia fana ini, cukup puas juga hatiku."

   "Ayah, jangan ngomong yang tidak baik, kau akan kuat bertahan hidup."

   Ling Khong-tik juga menghampiri dan memberi salam hormat, melihat darah membasahi pakaiannya, Lo-ongya amat kaget, tanyanya.

   "Ling Suhu, kau, kau terluka?"

   "Ayah, kali ini Ling Suhu yang nekat menolong anak keluar dari bahaya."

   "Luka seringan ini terhitung apa, sungguh aku amat menyesal tak mampu menolong Lo-ongya, bicara sejujuraya kita harus banyak terima kasih kepada tabib Khu ini."

   Sorot mata Lo-ongya beralih ke arah Han Cin, Toan Kiamping sedang bingung cara bagaimana dia harus memperkenalkan Han Cin kepada ayahnya, tapi ayahnya sudah berkata.

   "Aku tahu, diapun mempertaruhkan jiwanya untuk menolongku. Tapi aku jadi curiga dan ingin tanya kepadamu."

   Han Cin sudah menerka soal apa yang ingin ditanyakan, katanya.

   "Apa yang Lopek ingin ketahui?"

   "Bahwa Ling Suhu menolongku karena dia mengingat hubungan kami sebelum ini, tapi kau belum pernah kukenal, kenapa kaupun rela mengorbankan diri untuk menolongku?"

   Toh Ni tiba-tiba tertawa geli, katanya.

   "Lo-ongya belum tahu bahwa dia..."

   "Dia kenapa?"

   "Dia kini sudah termasuk orang kita sendiri."

   
Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Maka Han Cin mencopot topinya sehingga rambutnya yang panjang terurai, katanya.

   "Siau-Ii Han Cin pernah mendapat budi pertolongan putramu, aku sedang berusaha membalas kebaikannya."

   Toh Ni segera berjongkok dan berbisik-bisik sekian lama di pinggir telinga Lo-ongya, dia ceritakan bagaimana perkenalan Toan Kiam-ping dengan Han Cin serta hubungannya sejauh ini, sudah tentu dia bumbui dengan ceritanya sendiri, secara tidak langsung dia sudah memberi kisikan kepada majikan tuanya bahwa kedua muda mudi ini sudah saling jatuh cinta, Han Cin adalah calon menantunya.

   Kaget dan senang Lo-ongya, katanya.

   "Nona Han, demi pertolonganmu sehingga aku tidak terhina di cengkraman iblis, aku amat berterima kasih kepadamu. Tapi masih ada sebuah permintaanku kepadamu, supaya selanjurnya kau baik-baik menjaga anak Ping."

   Han Cin menunduk tanpa bersuara. Lo-ongya berkata pula.

   "Nona Han, sudikah kau menerima permohonanku? Ah, ya, anak Ping, sepantasnya kau yang melamarnya secara langsung."

   Toan Kiam-ping berdiri, katanya.

   "Nona Han, aku tahu aku tidak setimpal jadi jodohmu, tapi sudi kiranya kau memandang muka ayahku, terimalah..."

   Merah muka Han Cin, katanya.

   "Bukan aku tidak menerima, sebaliknya aku yang tahu bahwa aku tidak setimpal jadi pasanganmu. Lo-ongya, aku harus terus terang kepadamu, aku anak rakyat jelata yang sudah sebatang kara. Selanjutnya hidupku sebagai perempuan Kangouw yang mungkin selalu keliaran di dunia persilatan, mungkin tidak cocok dengan keluarga kalian yang bangsawan."

   Lo-ongya batuk-batuk, katanya perlahan.

   "Jangan berkata demikian nona Han. Perkataanmu membuatku amat menyesal. Memang dulu aku kuatir kena perkara, maka aku larang anakku bergaul dengan orang persilatan. Kini setelah mengalami pahit getir ini, aku jadi sadar, urusan justru mencari perkara kepadamu. Kelak kalian suami istri senang melakukan apa boleh terserah dengan keinginan kalian. Boleh kalian kelana di Kangouw, lakukan perbuatan bajik dan berantas sebanyak mungkin kaum lalim."

   Setelah mendengar penjelasan Lo-ongya, baru Han Cin mengangguk. Lo-ongya. tertawa tergelak-gelak, katanya.

   "Nona Han sudah terima lamaranmu, anak Ping, selanjutnya kau harus melayaninya baik-baik sebagai istrimu tercinta. Semoga kalian hidup rukun dan bahagia sampai hari tua, banyak anak tambah rejeki,"

   Di tengah gelak tawanya itu dia mangkat dengan tenang.

   Maklum selama ini dia sebagai raja tanpa mahkota yang dijunjung dan dipandang agung oleh rakyat Tayli, biasanya hidup senang dan berkecukupan, kapan pernah mengalami derita dan siksa seburuk ini, kesehatannya semakin memburuk selama digusur dalam kereta, kini boleh dikata tinggal api yang sudah kering kehabisan minyak, setelah keinginan tercapai, maka jiwanyapun melayang.

   Toan Kiam-ping menangis gerung-gerung.

   Han Cin membujuknya.

   "Ping-ko, ingatlah pesan ayah, masih banyak urusan yang harus kita bereskan."

   Toan Kiam-ping sadar, lekas dia seka air mata, katanya.

   "Ayah berpesan supaya kita lebih banyak memberantas kaum dorna. Liong Bun-kong bangsat keparat itu adalah pembunuh ayah tidak langsung, setelah membereskan jenazah ayah, mari kita ke kota raja."

   Dengan berlinang air mata Ling Khong-tik berkata.

   "Ada maksud aku membantu apa daya tenaga tidak sampai. Semoga Kongcu leluasa di kota raja, dengan tangan sendiri kau penggal kepala musuh supaya arwah Lo-ongya tentram di alam baka. Ai, tapi..."

   "Tapi kenapa?"

   Tanya Toan Kiam-ping melengak.

   "Perasaanku sekarang serba kontras, ada beberapa patah kata ingin kusampaikan kepada Kongcu."

   "Ling Suhu, kupandang kau adalah angkatan tuaku sendiri, ada pesan apa boleh kau katakan saja."

   "Di samping mengharap kalian sukses dengan menuntut balas kematian ayah bunda, tapi aku juga kuatir, keluarga Toan tinggal kau seorang yang harus meneruskan keturunan, hatiku tidak lega membiarkan kau menempuh bahaya. Coba pikir pembesar anjing she Liong itu sebagai sekretaris militer dan merangkap Kiu-bun-te-tok sekelilingnya dijaga jago-jago kosen yang tidak terhitung jumlahnya. Meski menuntut balas amat penting artinya, tapi kalian jangan bertindak secara gegabah."

   "Nasehat Ling Suhu pasti selalu kuperhatikan,"

   Demikian ucap Toan Kiam-ping.

   "Aku punya seorang teman, semula dia tinggal di Gun-bing dalam keluarga Liong-bun-kiam-khek Coh Ceng-hun, karena leluhurnya dulu pernah menjabat pangkat di kota raja, sekarang masih punya peninggalan disana. Aku tahu alamatnya di kota raja, menurut apa yang kuketahui dia ada hubungan juga dengan Bu-limpat-sian, maka boleh setiba di kota raja kau mengadakan hubungan dengan dia,"

   Lalu dia menulis nama dan alamat di atas secarik kertas dandiberikan kepada Toan Kiam-ping, tak lupa diapun mencopot sebentuk cincin dari jari manisnya yang berbentuk aneh warna hijau bonteng, cincin ini sebagai tanda pengenal.

   Dengan bercucuran air mata Toan Kiam-ping memberi hormat serta menerima cincin itu, sudah tentu tidak lupa dia menghaturkan banyak terima kasih.

   Setelah mengubur jenazah ayahnya, bersama Han Cin dia melanjutkan perjalanan ke kota raja.

   Kali ini mereka sama-sama berdandan sebagai pelajar, anak sekolahan yang mau menempuh ujian di kota raja.

   Hari itu mereka sampai di kota raja, di waktu memasuki kota, tampak oleh Toan Kiam-ping Han Cin seperti termenung memikirkan sesuatu, tanyanya.

   "Eh, adik Cin, apa yang sedang kau pikirkan?"

   Han Cin menoleh, katanya.

   "Ping-ko, seharusnya kau tahu apa yang kupikirkan, semoga setelah kita berada di kota raja, selekasnya bisa bertemu mereka."

   "O, jadi kau merindukan Tan Ciok-sing dan In San?"

   "Memangnya kau tidak merindukan mereka? Ping-ko, tempo hari waktu kau mengantarku ke markas Kim-to Cecu kau tidak mau tinggal di atas gunung, apakah pada waktu itu kau sengaja hendak menghindari mereka? Sekarang tentunya kau tidak perlu kuatir berhadapan dengan mereka?"

   Merah muka Toan Kiam-ping, katanya.

   "Adik Cin, secara resmi kau kini adalah istriku tercinta, hatiku hanya kuberikan kepadamu seorang, seperti juga kau ingin selekasnya bertemu dengan mereka, supaya mereka tahu tentang pernikahan kita. Kuyakin setelah mereka tahu pasti mereka juga ikut senang."

   "Ping-ko aku hanya berkelakar, kenapa kau jadi serius ini? Sudah tentu aku percaya padamu, semoga merekapun membawa kabar baik untuk kita, entah sekarang mereka sudah tiba disini belum?" 000OOO000 Kalau Toan Kiam-ping dan Han Cin merindukan Tan Cioksing dan In San. Sebaliknya Tan Ciok-sing dan ln San juga sedang merindukan mereka. Sudah beberapa hari lebih dulu Tan Ciok-sing dan ln San tiba di kota raja. In San dilahirkan di Pakkhia, tujuh tahun lamanya dia hidup di kota raja di masa kecilnya, setelah tujuh tahun ayahnya baru membawanya pulang ke Tay-tong. Kenangan masa lalu sukar terlupakan, meski dahulu dia masih kecil, namun lapat-lapat masih dikenal olehnya dimana letak gedung tempat tinggal kakek luarnya, diapun masih ingat dimana alamat keluarga Liong, suatu hari dia mencari tahu, ternyata kakek dan nenek luarnya sudah lama meninggal. Seorang adik ibunyapun sudah lama meninggalkan Pakkhia, jadi tiada sanak kadangnya lagi di kota besar ini. Maka bersama Tan Ciok-sing, In San menyewa sebuah rumah bobrok yang terletak di belakang taman, letaknya tidak jauh dari gedung keluarga Liong. Semasa In San masih di Pakkhia dulu, ibunya belum menikah pula, tapi Liong Bun-kong sering datang ke rumah kakeknya, diapun pernah ikut ibunya main-main ke rumah keluarga Liong dan menginap disana. Maka seluk beluk rumah keluarga Liong itu sekarang masih hapal diluar kepala. Sayang malam pertama mereka menyelundup ke rumah keluarga Liong tidak menemukan bayangan Liong Bun-kong, bayangan Liong Seng-bu juga tidak kelihatan. Dari percakapan penjaga malam yang mereka curi dengar baru diketahui bahwa Liong Bun-kong sedang menghadiri undangan Duta Watsu yang mengadakan perjamuan dan ramah tamah, dua hari dia menginap disana. Hari ketiga baru Duta Watsu itu akan membalas kunjungan mertamu di rumah keluarga Liong. Seluruh penghuni gedung keluarga Liong tampak sibuk mempersiapkan segala keperluan untuk menyambut kedatangan Duta Watsu itu, karena kemungkinan Duta Watsu itu akan menginap dua malam disini. Tentang Liong Seng-bu ternyata sedang keluar entah kemana dan belum kembali, tapi dari percakapan penjaga malam itu dapat dipastikan, dalam dua hari ini pasti Liong Seng-bu akan pulang juga. Di bawah petunjuk In San, bersama Tan Ciok-sing mereka menyelidiki gedung keluarga Liong tanpa menemui rintangan apapun, bahwa mereka pulang pergi tanpa menemui halangan sedikitpun sungguh diluar dugaan. Setiba di tempat kediaman, Tan Ciok-sing tertawa, katanya.

   "Siapa nyana jago-jago pelindung gedung keluarga Liong semuanya tidak becus, kukira kita bakal kepergok oleh jagojago kosen mereka."

   "Anak buah bangsat tua yang paling lichay adalah Lenghou Yong. Pernah kau bilang kau pernah bergebrak melawannya."

   "Dia ditugaskan menangkap Khu Ti, kebetulan dia kepergok aku di Ong-gu-san, kepandaian keparat itu memang tidak lebih asor dari Thi Ciang-hu. Kalau semalam dia ada di gedung keluarga Liong, mungkin kita takkan leluasa keluar masuk."

   "Mungkin bangsat tua she Liong itu menyuruhnya mengawal selama kepergian ini. Tapi kenapa Huwan bersaudara, Ciok Khong-goan dan Sa Thong-hay koh tidak kelihatan."

   "Ke enam orang ini kemungkinan diutus pergi ke Tayli."

   "Dari mana kau tahu?"

   "Apa kau tidak ingat pembicaraan kedua penjaga malam di pinggir gunungan semalam? Waktu itu mereka sedang membicarakan kenapa Liong Seng-bu keluar di saat duta-duta Watsu itu bakal berkunjung ke rumah pamannya."

   "Aku hanya dengar akhir pembicaraan mereka. Peronda yang bertubuh tinggi waktu itu berkata.

   "Sungguh aku tidak habis mengerti, kenapa Tit-siauya begitu memandang mereka sedemikian pentingnya? Peronda bertubuh kurus itu berkata.

   "Kukira Tit-siauya sudah tidak sabar menunggu, maka dia ingin cari tahu sendiri. Maksud Tit-siauya adalah ingin dua hari lebih cepat memperoleh kabar positip, kau kira dia memandang kerja mereka yang berjerih payah itu lalu pergi menyambutnya?"

   Dari pembicaraan ini dapat disimpulkan bahwa orang yang diutus dan dikata hendak disambut itu hakikatnya berkedudukan kira-kira sepadan mereka, maka mereka merasa uring-uringan.

   Dari membayangkan percakapan kedua peronda itu, ln San lantas sadar, katanya.

   "Bukan mustahil yang disambut oleh bangsat kecil itu adalah Huwan bersaudara, Ciok Khong-goan dan Sa Thong-hay berenam."

   "Kukira memang demikian."

   "'Sebelum itu, mereka membicarakan apa?"

   "Kudengar dua patah kata lebih banyak dari kau,"

   Ternyata waktu itu Tan Ciok-sing berjalan di depan, lwekangnya lebih tinggi juga, maka pendengarannya lebih tajam.

   "Soal apa yang dibicarakan?"

   "Patah pertama diucapkan si gendut, dia bilang.

   "Mereka sudah pergi sebulan lebih selayaknya sudah pulang dari Inlam."

   "ln-lam?"

   "Si kurus itu lalu berkata.

   "Mungkin terjadi sesuatu pada mereka?"

   Diam-diam In San kaget.

   "Kalau demikian, buronan yang hendak ditangkap kawanan cakar alap-alap itu adalah Toantoako."

   "Keluarga Toan mendapat junjungan rakyat setempat, mata kupingnya luas, Kungfu Toan-toako tidak lemah, kukira kawanan cakar alap-alap itu takkan mudah berhasil. Beberapa hari lagi bangsat kecil itu toh akan pulang, tiba waktunya kita pasti dapat memperoleh kabar yang positip juga."

   "Benar, setelah bangsat cilik itu pulang baru kita turun tangan, bangsat tua dan kecil sama-sama diringkus, sebelum membunuh mereka tak terlampias dendamku."

   "Lebih baik di saat bangsat cilik itu pulang, Duta Watsu itupun berada di rumah keluarga Liong."

   "Dijaring sekalian sudah tentu memang baik. Tapi itu berarti lawan yang harus kita hadapi lebih banyak dan tangguh."

   "Memangnya aku sudah bertekad untuk berjuang sampai titik darah terakhir, aku tidak pikir pulang dengan hidup, aku tahu kaupun sependapat dengan aku. Diundur beberapa hari juga tidak jadi soal bukan?"

   Kedua orang seia sekata. In San berkata tertawa.

   "Kita bisa berkumpul beberapa hari lagi, sudah tentu aku amat senang. Dan lagi, kau belum pernah ke Pakkhia, biarlah aku menunjuk jalan, beberapa hari ini kita boleh bertamasya seriang mungkin."

   "Benar, aku sedang kuatir tidak sempat menikmati daerah pariwisata di Pakkhia, kini agaknya keinginan bakal terkabul,"

   Lalu Ciok-sing menambahkan.

   "Tempat lain tidak dikunjungi tidak jadi soal, tapi Ban-li-tiang-shia harus,"

   Tiba-tiba dilihat mimik In San guram seperti memikirkan sesuatu, dengan kaget Ciok-sing bertanya.

   "Adik San, apa yang sedang kau pikirkan? Kau tidak senang tamasya di tembok besar?"

   "Tidak apa, aku sedang pikir, akupun belum pernah ke tembok besar, kebetulan bisa kesana bersama kau,"

   Ternyata waktu kecil dia masih berada di Pakkhia, ibunya sering bertamasya bersama Liong Bun-kong, namun dia tidak pernah diajak.

   Sekali ayahnya membawanya pulang ke kampung halaman, ibunya sedang bertamasya di tembok besar bersama Liong Bun-kong.

   Terkenang akan masa lalu, dia lebih sedih dan kasihan pada ibunya yang tertipu, semakin besar pula rasa kebenciannya terhadap Liong Bun-kong sehingga sejak kecil dirinya tidak pernah mengecap cinta sejati seorang ibu terhadap putrinya.

   "Baiklah akan kuatur jadwal bertamasya, tapi tamasya ke tembok besar akan kuatur pada acara terakhir. Aih, bicara kurang pantas, setelah tamasya ke tembok besar itu, tidak sia

   

   Tiraikasih Website
http.//kangzusi.com

   sialah perjalanan dan tujuan kedatangan kita terakhir kali ini,"

   Demikian ujar In San rawan.

   000OOO000 Ban-li-tiang-shia dibangun mulai dari Kia-kok-koan sampai San-hay-koan, tembok besar ini berliku dan seperti merambat di pegunungan sejauh dua belas ribu li, sepanjang itu tak sedikit terdapat pos-pos penjagaan yang letaknya amat berbahaya.

   Ki-yong-koan dan Pat-tat-nia adalah dua di antaranya.

   Bagi pelancongan yang datang dari Pakkhia dan ingin tamasya di tembok besar kebanyakan lewat Pat-tat-nia, bagi kalangan militer Pat-tat-nia dianggap sebagai pos terdepan dari Ki-yong-koan yang strategis, tembok besar di sepanjang pegunungan ini kira-kira sejauh belasan li dari Kiyong- koan.

   Tembok besar yang terletak disini merupakan yang tertinggi dari sepanjang tembok yang dua belas ribu li itu.

   Berada di atas Pat-tat-nia akan tampak tembok besar yang legak legok seperti naga merambat.

   Sebelum berada di tembok besar, mereka sudah melewati Ki-yong-koan, letaknya di utara Lam-gau, dua sisinya diapit gunung tinggi di tengah merupakan sebuah selat sempit yang menyerupai selokan lebar.

   Kala itu adalah permulaan musim semi, kembang sedang mekar semerbak di tanah pegunungan yang belukar, seluas mata memandang seperti permadani hijau yang dihiasi kelompok kembang mekar, alam permai hawa sejuk.

   Tangan bergandeng tangan mereka berdua terus menanjak ke tembok besar yang paling tinggi, dari ketinggian ini mereka bisa melepas pandang ke empat penjuru, tampak tembok besar terus menjalar turun ke kaki bukit dan selulup timbul di atas pegunungan, di arah kota Pakkhia sana, asap tampak mengepul, lapat-lapat tampak puncak sebuah menara putih di tengah kepulan asap, itulah puncak menara putih yang berada di Pak-hay.

   ln San melihat cuaca, katanya.

   "Sudah hampir tengah hari, marilah kita pulang."

   "Lho, koh sepagi ini sudah pulang?"

   "Kalau kita menunggang kuda milik Kanglam Sianghiap, menjelang magrib juga belum terlambat. Tapi kini kita berjalan kaki."

   "Pulang lebih dini juga baik, boleh memupuk semangat untuk mempersiapkan aksi nanti malam."

   "Dalam perjalanan pulang nanti, bisa kita lewati beberapa obyek yang bisa kita nikmati."

   Mendengar In San menyinggung kuda putih milik Kanglam Sianghiap, secara langsung Tan Ciok-sing terkenang akan Toan Kiam-ping, katanya.

   "Kuda putih yang dipinjamkan aku oleh Kwik Ing-yang sudah kutitipkan Toan-toako untuk dikembalikan. Entah kuda itu sekarang masih berada di tangannya?"

   Sudah tentu mereka tidak tahu, teman yang sedang mereka rindukan bersama kedua ekor kuda itu kini sedang berada di pegunungan ini pula.

   Ternyata Toan Kiam-ping dan Han Cin juga sudah tiba di kota raja, mereka sudah kontak dengdn Liong-bun-kiam-khek Coh Ceng-hun, hari dan waktunya sudah dijanjikan untuk membunuh pembesar dorna.

   Merekapun punya tekad yang sama dengan Tan Ciok-sing, sebelum melaksanakan tugas bakti ingin mereka tamasya dulu di tembok besar.

   In San membawa Tan Ciok-sing pulang lewat jalan lain.

   Kira-kira tengah hari, mereka sudah melihat Ki-yong-koan, yang bertenggci gagah di pegunungan.

   Tengah berjalan tibatiba didengarnya suara tang ting yang merdu dan mengasyikkan, suaranya bak irama musik dewata yang bergema diangkasa, amat jelas dan lengang "Eh, darimana datangnya suara kecapi,"

   Demikian Tan Ciok-sing bersuara heran. In San tertawa geli, katanya "Ahli musik macammu ternyata juga terkecoh kali ini, itu bukan suara kecapi."

   "Aku tahu itu bukan sutra kecapi, tapi suara dan nadanya amat mirip."

   "Tempat ini dinamakan Sian-khim-sia (selat menabuh kecapi), gemericik air yang bergema didalam selat menimbulkan reflek suara yang menyerupai kecapi. Aku tahu hobimu adalah musik, maka kuajak kau lewat sini supaya dapat menikmati irama kecapi alam."

   Lama Tan Ciok-sing mematung sambil menggendong tangan menikmati irama kecapi alam yang merdu sehingga hampir lupa daratan. Tiba-tiba In San berkata.

   "Tan-toako, sudikah kau melakukan sesuatu untukku?"

   "Jangan kata sesuatu, sepuluh kali juga aku rela melakukan untuk dikau."

   "Tempat ini bernama Sian-khim-sia, aku pingin mendengar petikan kecapimu."

   "Harpa warisan leluhurku ini, dari Toan Kiam-ping sudah dikembalikan padaku, sejak itu belum pernah kupakai lagi. Coba biar kupikir, lagu apa yang pantas kupetik untuk kau?"

   Pandangannya nanar ke tempat jauh, lama sekali seperti mengenang sesuatu, akhirnya dia berkata perlahan.

   "Toantoako pernah minta aku memetik Khong-ling-san, karena lagu ini membawa firasat yang kurang baik, maka tidak pernah aku mau memetiknya. Sekarang kita tidak perlu kuatir akan segala pantangan, biarlah kupetik lagu ini."

   Khong-ling-san adalah buah karya Hoat Khong yang paling top menjelang dia menjalani hukuman matinya, musikus genius ini melimpahkan segala perasaan kemanusiaan didalam buah karyanya ini, entah itu rasa riang gembira, sedih pilu atau kebahagiaan hidup dan kerawanan hati menjelang mati, dan itu mencocoki keadaan Tan Ciok-sing sekarang.

   In San senang, katanya.

   
Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Jadi kau juga dapat memetik Khong-ling-san yang sejak dahulu sudah putus turunan, sungguh baik sekali. Mati atau hidup apa bedanya, paling penting dapat menikmati lagu yang satu ini, sudah tentu aku tidak peduli segala pantangan segala."

   Perlahan dan mengalirkan petikan harpa dari gerakan jari jemari Tan Ciok-sing, bagian depan Khong-ling-san melukiskan suasana riang gembira, mengenang betapa senang di kala bertamasya dengan kawan, bagi pendengaran In San seperti keasyikan nan mesra antara sepasang kekasih yang sedang menikmati kebesaran alam nan permai ini, tanpa terasa dia berdiri pesona, arwah seperti tersedot ke alam bebas yang memabukkan.

   Tiba-tiba nada lagu berubah, seperti dari musim semi dimana kembang tengah mekar semerbak mendadak musim rontok nan gersangpun telah tiba, suasana menjadi dalam keadaan hampa dan serba menyedihkan.

   Bila lagu dinikmati lebih lanjut, suasana seperti didalam pegunungan nan liar belukar mendengar pekik orang hutan, isak tangis seorang perempuan yang ditinggalkan suaminya.

   Sebelum habis lagu ini dipetik, In San sudah tidak kuasa mengendalikan emosi, air mata bercucuran.

   000OOO000 Suara harpa mengalun bebas di alam pegunungan tersiar luas terbawa angin, Tan Ciok-sing kira tiada orang lain di pegunungan ini, tak nyana ada juga orang yang mendengar petikan harpanya, orang itu adalah Toan Kiam-ping.

   Walau tidak jelas, namun dia sudah mulai curiga.

   Saat mana Toan Kiam-ping tengah berada di panggung Bok Kwi-ing menginspeksi pasukan bersama Han Cin, tengah dia membayangkan betapa gagah perwira patriot perempuan jaman dahulu memimpin pasukannya menggempur penjajah.

   Letak panggung ini teraling sebuah lekuk gunung dengan Sian-khim-sia dimana sekarang Tan Ciok-sing tengah memetik harpanya.

   Lwekang Toan Kiam-ping sudah tinggi, pendengarannyapun jauh lebih tajam dari orang lain, hembusan angin seperti membawa imbauan musik harpa yang sayup-sayup sampai.

   Melihat Toan Kiam-ping mendadak menghentikan langkah, seperti pasang kuping mendengarkan sesuatu, Han Cin tertegun, tanyanya.

   "Apa yang sedang kau dengarkan Pingko?"

   "Apa kau tidak dengar, seperti ada orang memetik harpa?"

   Ujar Toan Kiam-ping. Han Cin tertawa, katanya.

   "Baru saja kita meninggalkan Sian-khim-sia, yang kau dengar mungkin gema suara gericik air yang menyerupai senar-senar harpa itu?"

   "Tidak, yang kudengar kali ini yakin adalah petikan senar harpa tulen. Ah, begitu merdu mengasyikan sekali, mungkin Tan Ciok-sing sedang memetik harpanya disana."

   Maka Han Cin juga pasang kuping, sayang saat mana Tan Ciok-sing sudah memetik sampai ritme terakhir, suara harpapun telah berhenti, sudah tentu Han Cin tidak mendengar apa-apa lagi. Han Cin tertawa, katanya.

   "Siang dipikirkan, malam bisa mimpi, walau sekarang kau tidak dalam mimpi, mungkin karena kau terlalu merindukan Tan-toako sehingga timbul kayalan dalam benakmu?"

   Toan Kiam-ping masih bimbang, tiba-tiba pikirannya tergerak, katanya.

   "Adik Cin, Tan Ciok-sing pernah mendengar tiupan serulingmu bukan?"

   "Benar, kenapa kau tanya hal ini?"

   "Aku pingin mendengar tiupan serulingmu. Petikan harpa Tan-toako tak bisa kunikmati, apa bedanya menikmati tiupan lagu serulingmu."

   Han Cin cukup pintar, dia tahu kemana maksud tujuan sang suami, katanya tertawa.

   "Kau mengharap Tan Ciok-sing mendengar serulingku? Semoga tidak akan mengecewakan dirimu."

   "Jangan kau anggap meniup seruling untuk Tan Ciok-sing, tapi untuk aku dengar. Seribu kali mendengar lagu serulingmu aku juga tidak akan bosan, cuma sayang setelah hari ini berlalu, mungkin selanjutnya takkan bisa mendengar tiupan serulingmu lagi."

   Gejolak perasaan Han Cin katanya.

   "Baiklah, kutiup sebuah lagu untuk dikau,"

   Maka seruling batu jade dia keluarkan lalu pelan-pelan meniupkan lagu yang bernada sentimentil. Baru saja Tan Ciok-sing memasukkan harpanya ke kotaknya dan siap-siap meninggalkan dia berdiri melenggong.

   "E, eh, apa yang sedang kau pikir Toako? Kenapa berhenti?"

   Tanya In San.

   "Aku seperti mendengar suara seruling. Kalau bukan Kek Lam-wi pasti Han Cin yang meniup seruling."

   In San tertawa, katanya.

   "Han-cici jauh berada diluar perbatasan, tanpa sebab mana mungkin bisa berada di kota raja? Kek Lam-wi adalah salah satu tokoh dari Pat-sian kemungkinan besar dia bisa datang. Tapi mungkinkah dia punya waktu senggang untuk tamasya ke tembok besar ini?"

   Tan Ciok-sing diam saja, sesaat kemudian baru berkata.

   "Dengan seksama kuselami kekuatan nada dasar seruling itu, kemungkinan besar seruling itu ditiup oleh Han Cin."

   "Dapatkah kau mengukur berapa jauh kira-kira tempat seruling itu berada?"

   "Kalau tidak salah hanya teraling oleh lekuk gunung itu."

   "Aku sih tidak percaya bahwa Han-cici bisa mendadak berada disini dan meniup serulingnya, tapi kalau kau sudah menduga demikian, tiada halangannya kita kesana membuktikan."

   Baru saja In San hendak melangkah, tiba-tiba Tan Ciok-sing bersuara tertahan.

   "Nanti dulu, ada orang datang."

   Lwekang In San tidak setinggi Tan Ciok-sing, suara seruling yang teraling sebuah lekuk gunung tidak dapat didengarnya, tapi derap langkah kaki yang agak dekat tentu dapat ditangkap ketajaman pendengarannya, diapun sudah mendengar suara orang.

   "Tidak benar,"

   Tiba-tiba Tan Ciok-sing menggumam sambil mengerutkan kening.

   "Apanya yang tidak benar?"

   Tanya In San melengak.

   "Ada empat orang yang mendatangi, suara salah seorang seperti sudah kukenal."

   "Siapa dia?"

   "Belum teringat olehku. Eh, lebih tidak benar lagi, di antara empat orang ini seperti ada orang Watsu."

   Selanjutnya mereka tidak bicara, keduanya sama mendekam mendengarkan suara dari bumi.

   Kini In San juga sudah mendengar jelas ada empat orang yang mendatangi, tapi jarak mereka paling dekat masih satu li jauhnya.

   Terdengar oleh Tan Ciok-sing suara yang dikenalnya itu sedang berkata.

   "Siau-ongya, itu bukan suara harpa. Tempat di depan itu bernama Sian-khim-sia, yang kau dengar itu adalah gemericik air didalam selat itu."

   Dengan tertawa In San berbisik di pinggir telinga Tan Cioksing.

   "Siau-ongya memang benar Siauongya, tapi Siau-ongya yang satu ini bukan Siau-ongya yang dulu itu."

   "Benar sudah tentu bukan Toan-toako. Tadi kudengar Siauongya ini bicara dua patah kata, entah apa yang dia katakan, tapi .aku tahu dia menggunakan bahasa Watsu. Beberapa kali aku pernah bertemu dengan tentara Watsu di luar Gan-bunkoan, meski tidak paham apa yang dibicarakan, tapi aku dapat membedakan logat dan bahasa mereka."

   Tengah bicara, tiba-tiba tampak seekor burung terbang lewat di atas kepala mereka, burung ini berbulu putih bagai salju, tapi kaki dan paruhnya ternyata berwarna merah menyala. Timbul sifat kekanak-kanakan Tan Ciok-sing, katanya.

   "Indah benar burung itu, suara kicauannyapun merdu. Waktu kecil sering aku menangkap burung untuk hiburan, sayang sekarang tiada tempo lagi."

   "Burung ini dinamakan Soat-li-ang (merah dalam salju), konon setiap musim rontok pasti akan terbang ke selatan, musim semi tahun depan baru terbang balik ke utara. Burung jenis lain suka bergerombol, hanya burung ini yang suka hidup menyendiri, maka sukar orang menangkap burung jenis ini."

   Belum habis percakapan mereka, tiba-tiba langkah orang banyak itu sudah semakin dekat, jelas tujuannya ke arah mereka. Mereka diam dan mendengarkan dengan seksama, terdengar Siau-ongya itu berkata.

   "Sayang."

   Lalu disusul suara yang sudah dikenal Tan Ciok-sing berkata.

   "Siau-ongya, agaknya suka burung itu, kenapa tidak bilang sejak tadi? Kalau kutahu tentu tadi kutembak jatuh. Tapi di pegunungan ini pasti banyak burung jenis itu, nanti kalau kelihatan lagi, biar kutembak seekor untuk kau."

   Tak lama kemudian, betul juga tampak seekor Soat-li-ang terbang mendatang.

   Tan Ciok-sing dan In San masih setengah li di sebelah depan rombongan empat orang itu, sudah tentu Soat-li-ang harus terbang lewat di atas kepala mereka dahulu.

   


Dendam Iblis Seribu Wajah Karya Khu Lung Rahasia Hiolo Kumala Karya Gu Long Hati Budha Tangan Berbisa Karya Gan KL

Cari Blog Ini