Ceritasilat Novel Online

Pendekar Pemetik Harpa 19


Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen Bagian 19



Pendekar Pemetik Harpa Karya dari Liang Ie Shen

   

   "Ibu juga ikut menghela napas, katanya. 'Anak bodoh, kalau untuk soal ini kau jadi risau, kukira mungkin kau yang terlalu banyak curiga.'"

   "Ibu bilang, Piaumoaymu memang bukan dilahirkan dari rahimku, tapi sejak kecil akulah yang mengasuh dan membimbingnya, tabiat memang lembut dan penurut, aku tidak percaya kalau dia tidak punya perasaan balas budi. Seorang lagi, dia mendapat perlindungan pula di rumah kita, yakin diapun takkan berani melakukan perbuatan yang mendurhakai kita."

   "Agaknya ibu sudah menangkap adanya gejala kurang sehat di antara kami bertiga, orang lain yang dimaksud dalam perkataannya sudah jelas ditujukan kepada Sute."

   "Bagaimana aku bisa menjelaskan kepada ibu? Itu menurut pandangan beliau orang tua, dia anggap bila Piaumoay main cinta diam-diam dengan Sute itu berarti durhaka dan lupa budi pekerti. Kalau dia begitu yakin dan percaya kepada mereka, kenapa aku harus menjelek-jelekkan hubungan mereka?"

   "Ibu bilang lebih lanjut. Mungkin usia kalian sudah dewasa, Piaumoay tahu cepat atau lambat akan jadi menantuku, maka dia merasa malu dan kikuk terhadapmu, sehingga gerak gerik dan sikapnya belakangan ini seperti agak terkekang."

   "Sebetulnya ayahmu sudah memutuskan untuk menikahkan kalian di akhir tahun nanti, tapi setelah melihat keadaan sekarang, lebih baik kalau soal jodoh ini dipercepat saja supaya tidak timbul hal-hal yang tidak diinginkan. Anak bangun, jangan kau banyak pikiran lagi, ibu bisa menguruskan sampai beres. Mulai besok, kau harus mulai giat latihan lagi dengan ayahmu."

   "Aku tahu apa maksud 'mengurus sampai beres' yang diucapkan ibu, memangnya aku terlalu gegabah waktu itu, aku tinggal diam dan tiada pendapat. Ai, mungkin juga karena egoisku didalam sanubariku pada hal aku juga senang dan terhibur bahwa ayah bundaku telah mengaturnya?"

   "Hari itu akhirnya tiba, ayah bunda melakukan kesalahan, kesalahanku lebih besar lagi."

   "Kesalahan apa yang lebih besar?"

   Han Cin tidak berani tanya, terpaksa hanya menunggu cerita sambungannya.

   Dalam gemblengan derita masa lalu yang menjadi kenangan pahitnya sekarang, wajah Ti Nio tampak merah hijau dan pucat bergantian, seolah-olah dia takut menceritakan perbuatan salah apa yang menjadikan dia begitu menyesal dan malu.

   Melihat betapa sedih dan derita Ti Nio sekarang, hampir tak tertahan dia hendak berteriak.

   "Tipepek, kalau kau tidak ingin membeber masa lalu, janganlah kau teruskan ceritamu."

   Tapi setelah mengertak gigi, akhirnya Ti Nio melanjutkan ceritanya.

   "Hari itu adalah hari ulang tahun ayah, dia tidak memberitahu sanak kadang, hanya membuka sebuah meja perjamuan, orang sendiri dipanggil untuk merayakan bersama."

   "Tahun ini ayah berusia empat puluh sembilan, hidangan ulang tahun yang disiapkanpun hanya ala kadarnya saja. Kalau tidak mengundang teman-teman adalah jamak. Tapi anehnya yang menghadiri perjamuan kali ini ternyata hanya Piaumoayku seorang tanpa kehadiran Sute."

   "Sejak Sute berada di rumah kita, ayah selalu memandang sebagai keluarga sendiri, kenapa pada hari ulang tahun ayah kali ini, dia tidak diundang untuk merayakan bersama. Tapi meski hati merasa heran, lapat-lapat aku sudah menduga apa yang akan terjadi."

   "Betul juga, setelah kami masing-masing minum tiga cangkir arak, ayah membuka kata lebih dulu. 'Tahun depan aku sudah genap lima puluh tahun situasi sekarang kurang aman, kemungkinan peperangan akan geger maka aku ingin selekasnya menunaikan keinginan hatiku.'"

   "Ganti ibu yang bicara. 'Hwi-ji (nama kecil Piaumoay), ibumu dulu serahkan kau kepadaku, aku adalah bibimu, tak ubahnya ibu kandungmu juga, bukan saja aku mengangapmu sebagai putri kandungku akupun ingin kau menjadi menantuku, perjamuan malam iui di samping merayakan ulang tahun pamanmu sekaligus untuk mengikat perjodohanmu dengan anak Nio, sekarang juga kalian boleh tukar cincin. Perjodohan boleh diresmikan dulu, soal perjamuan boleh diundur untuk beberapa waktu lagi. Bisa saksikan kalian menjadi suami isteri, itu adalah cita-cita pamanmu juga keinginanku. Sejak kecil kalian dibesarkan bersama, maka kaupun tidak perlu malu.'"

   "Ibu kira Piaumoay pasti tidak menolak, apa yang dikatakan tak ubahnya sebuah perintah belaka, hakikatnya dia tidak pernah minta pendapat dan persetujuannya."

   "Tak tahunya setelah mendengar perkataan ibu, air mata Piaumoay bercucuran, air mukanyapun berubah."

   "Ibu melenggong katanya. 'Lho, kenapa, kau tidak mau?'"

   "Sambil menyeka air mata menahan isak Piaumoay berkata. 'Bibi, terima kasih akan budi kebaikanmu membesarkan aku, aku suka selamanya menjadi putrimu."

   "Ibu bilang, jadi kau tidak mau menjadi menantuku. Sejak kecil kau bergaul dengan anak Nio hanya kau saja yang terukir dalam sanubarinya, tentunya kau juga tahu. Memangnya dalam hal apa anak Nio tidak setimpal jadi suamimu? Umpama kau tidak mengingat sejak kecil aku mengasuh kau, seharusnya kau pun tidak menolak cinta murninya."

   Ti Nio menghela jiapas, menyambung ceritanya.

   "Perkataan ibu mengetuk sanubarinya, tak tertahan aku ikut mencucurkan air mata."

   "Dengan kesima aku mengawasi Piaumoay, kupikir sorot mataku waktu itu, pasti dapat membuatnya pilu karena terasa tatapanku yang menyalahkan dia."

   "Ai, aku terharu oleh perkataan ibu, namun tak terpikir olehku, bahwa perkataan ibu telah melukai sanubarinya yang suci."

   "Ai, waktu itu aku hanya pikirkan rasa sedihku sendiri, diluar tahuku dia justru lebih sedih dari aku."

   "Keadaan jadi serba runyam, sudah tentu ayah jadi kurang senang, katanya. 'Kalian mau merayakan ulang tahunku atau mau mengantar kematianku? Hmmm, kupikir hendak mendatangkan hari bahagia rangkap, kalian justeru bertangisan apa-apaan ini? Apa kehendak kalian boleh terus terang saja kepadaku,' mulutnya mengatakan 'kalian' tapi matanya justru menatap Piaumoay."

   "Ai, sudah tentu Piamoay tidak kuat menerima tekanan berat ini? Dia menjatuhkan diri berlutut di hadapan ayah ibu, katanya. 'Bila bibi dan paman tidak merawatku, mana aku bisa hidup sebesar ini, apapun kehendak kalian boleh terserah saja, mohon kalian tidak marah. Paman, bukan maksudku hendak mendatangkan rasa sebalmu, aku hanya terkenang pada ayah bunda yang telah berada di alam baka, aku hanya benci pada diriku sendiri kenapa aku bernasib sejelek ini, kenapa ayah ibu mati sejak aku masih kecil."

   "Aku tidak tahu apakah Ayah dan ibu tahu kata-katanya yang mengandung arti sampingan, tapi aku tahu kemana arah perkataannya. Bila ayah bundanya masih hidup, tidak bakal^dia harus tunduk pada perintah ayah bundaku."

   "Tapi- kalau dilanjutkan aku harus malu kepada diriku sendiri, waktu itu bukan saja aku tidak kasihan padanya, malah rasa cemburuku semakin berkobar. 'Jadi kau dipaksa menyetujui menikah dengan aku, aku menikah dengan badanmu, tapi cintamu justeru kau berikan kepada orang lain.'"

   "Tapi ibuku amat senang, mungkin memang dia tidak tahu, atau untuk menghilangkan rasa kikuk dan runyam, dia purapura tidak tahu. Dia memapah Piaumoay dan berkata. 'Anak yang baik, aku tahu kau pasti mendengar nasehatku. Kau terkenang ayah bunda yang telah lama mangkat adalah jamak dan sepantasnya. Tapi bila mereka tahu hidupmu selanjutnya sudah tidak akan kapiran, di alam baka yakin ayah bundamu juga terhibur. Hari ini hari baik, jangan kau bersedih pula, marilah dengan riang gembira kita habiskan hidangan ini, habiskan arak bahagia ini.'"

   "Piaumoay memaksakan senyum getir menuang arak, sebaliknya ingin tertawapun aku tidak bisa lagi. Tapi aku minum arak banyak sekali, arak dapat menghilangkan rasa kesal, tanpa terasa aku menenggak habis beberapa cangkir sampai akhirnya aku mabuk."

   "Ibu suruh dia memapahku masuk ke kamar tidur, dia suruh Piaumoay belajar menjadi seorang isteri yang baik, seorang isteri yang baik harus tahu bagaimana meladeni suami."

   "Begitu masuk kamar, berhadapan dengan dia, arak dalam perutku seperti membakar badan rasa jelusku mendadak berkobar pula, mataku melotot mengawasinya."

   "Sikapku membuatnya kaget. Dia bilang, Piauko, kau mabuk, lekaslah tidur. Dia bantu aku mencopot baju luar memapahku naik ke tempat tidur. Agaknya dia mengharap aku lekas tidur pulas, supaya dia lekas keluar dari kamar."

   "Sikapnya yang gopoh ternyata membakar amarahku. 'Aku kan bukan harimau, memangnya kau takut kucaplok?' demikian pikirku. Lalu aku berpikir pula. 'kau hendak menghindariku, karena apa? Bukankah untuk cepat-cepat menemui gendakmu?'"

   "Mendadak aku berjingkrak duduk, mataku melotot makin besar. Kataku. 'Aku tidak mabuk, siapa bilang aku mabuk. Aku tahu jelas, kau tak mencintai aku, kau mencintai Sute. Terus terang saja padaku, sekarang kau ingin berkencan dengan dia? Rasa sedihmu hanya bisa kau limpahkan di hadapannya?'"

   "Dia melenggong, air mata bercucuran, katanya dengan tersedu-sedu. 'Piauko, maafkan aku, aku menampik cintamu, tapi, aku, aku tidak kuasa atas diriku..."' "Angan-anganku yang terakhirpun lenyap, meski aku tahu dia mencintai Sute, tapi aku masih mengharap dia menyangkal, umpama dia menipuku juga tidak jadi soal."

   "Sekarang, justru terbalik, dia mengaku terus terang, dia tidak bisa tidak harus mencintai Sute. Hm, berani dia minta maaf kepadaku."

   "Aku tidak berani mendengar perkataannya lagi, aku menyeringai dingin. 'Sayang sekarang kau sudah menjadi istriku.'"

   "Seolah-olah dia berhadapan dengan seorang asing, sesaat kemudian baru berkata lirih. 'Memang aku sudah berjanji kepada bibi untuk menjadi istrimu, aku pun tidak ingin ngapusi kau, sekarang aku belum bisa melupakan dia. Setelah menikah, lebih baik kau membawaku ke tempat jauh. kelak aku pasti akan melupakan dia.'"

   "Dia bicara setulus hati, sayang dia lupa satu hal, aku sedang mabuk, aku sudah kehilangan kesadaranku, saat seperti itu aku lebih suka menipu diriku sendiri, mana aku mau mendengar nasehatnya."

   "Aku tidak kuasa menahan gejolak nafsu binatangku yang meledak. 'Kau tidak akan melupakan dia, aku pun tidak sudi kau menjadi isteriku karena dipaksa, hatimu tidak dapat kumiliki, biar aku merasakan kenikmatan tubuhmu.""

   "Aku, aku bukan manusia, aku binatang jalang, aku melakukan perbuatan hina dan kotor yang tidak dapat kumaafkan sendiri, perbuatan yang kusesalkan selama hidup."

   Hati Han Cin seperti mengejang, bagai diiris-iris, dia ikut sedih akan nasib Piaumoaynya, diapun ikut kasihan akan nasib Ti Nio. Setelah menyeka air matanya, lama kemudian Ti Nio berkata.

   "Aku mendengar isak tangisnya, rasa mabukku seketika buyar."

   "Aku menyesal, aku malu. kenapa aku bisa melakukan perbuatan kotor, yang melebihi binatang liar. Langsung aku gampar mukaku sampai bengkak besar, tapi aku tidak tahu apa yang harus kukatakan kepadanya."

   "Aku tidak berani mohon maaf, akhirnya malah dia yang bicara dulu. 'Piauko, aku tidak akan membencimu, aku malah kasihan padamu, tapi sukalah kau maafkan aku, kuharap kau melupakan kejadian ini, lupakan pula diriku ini."' "Setelah berkata dia dorong jendela terus lari pergi. Aku sadar dan mabukku, tapi kakiku lemas lunglai akupun malu untuk mengejarnya."

   "Sejak dia lari itulah untuk selanjutnya dia tidak pernah pulang lagi."

   "Ai, apapun yang telah terjadi, kesalahan ada padaku, sehingga aku harus berpisah dengannya untuk selamalamanya, meski hanya perpisahan hidup tapi tak pernah aku memperoleh kesempatan untuk menyatakan penyesalan hatinya."

   "Ternyata Sute lenyap bersama dia. Sejak itu aku tidak pernah melihat Suteku lagi"."

   "Menghadapi peristiwa yang memalukan dan menyedihkan ini, sudah tentu ayah bundaku amat sedih dan marah sekali. Tapi entah berpegang pada kejelekan keluarga pantang tersiar, supaya tidak menyakiti hatiku pula, ayah bunda tidak mengungkat lagi akan perbuatan mereka yang buron itu. Bukan ayah bunda saja yang bungkam, pelayan dan kacung rumahkupun tiada yang berani menyinggung mereka pula."

   "Orang mati biasanya masih dikenang, tapi orang-orang keluargaku justru anggap mereka tidak pernah ada dalam rumahku, seperti sesuatu yang mendadak lenyap tanpa bekas."

   "Meski mereka sudah pergi, walau tiada seorangpun yang membicarakan mereka lagi, tapi bayangan mereka tetap terukir dalam sanubariku, sampai sekarang tidak bisa dihapus."

   "Piaumoay ada meninggalkan dua patah kata, supaya aku melupakan peristiwa malam itu, melupakan dia. Tapi dapatkah aku melupakan dia."

   "Aku tak mampu mencari tahu berita dan jejak mereka, namun benar aku tidak berani mencari tahu mereka. Terpaksa aku hanya menyiksa diri dengan kehidupan merana dan menyepi, sering aku mondar mandir di danau, meniup serulingku, mengenang masa lalu."

   Berlinang air mata Han Cin, pikirnya.

   "Tak heran sebelum pergi Piaumoaynya bilang tidak membencinya, tapi kasihan padanya. Tapi aku harus simpati dan kasihan pada siapa?"

   Tanpa merasa dia angkat kepala dan memandang dengan air mata berlinang, serunya.

   "Ti-pepek.""

   Sejenak Ti Nio memandangnya, sesaat dia bimbang lalu katanya.

   "Jangan kau .kasihan padaku, memang pantas aku memperoleh hukuman ini."

   "Sebetuluya aku tiada hasrat melanjutkan cerita ini, tapi ceritanya belum selesai. Aku merasa aku harus membeber segala persoalan ini kepadamu."

   "Situasi tidak meleset dari dugaan ayahku, agresor Watsu telah memasuki tanah air kita, dalam pertempuran besar di Tho-bok-po, pasukan kerajaan dynasti Bing dipukul hancur berantakan, pada hal raja Ing-cong sendiri yang memimpin pasukan besar juga akhirnya menjadi tawanan musuh. Syukurlah sekretaris militer pada masa itu Ih Cian bertindak tegas, segera mengangkat junjungan baru dan sekuat tenaga mempertahankan ibu kota melawan serbuan musuh yang lagi menang, kalau tidak dynasti Bing pasti sudah runtuh dan musnah sejak dua puluhan tahun yang lalu."

   "Bahwa negara dikacau peperangan lekas sekali berhasil diamankan adalah urusan belakang. Pada hal agresor Watsu sempat mengeduk harta kekayaan negara dan rakyat, rakyat jelata tidak sedikit yang menderita oleh peperangan itu, bahwa raja ditawan dan ibu kota dikepung sudah tersiar luas sehingga rakyat di daerah Kanglampun sudah ribut dan geger sendiri, meski pasukan kuda Watsu belum tiba di Kanglam, tapi anasir-anasir pemberontak dan kaum dorna sudah kasak kusuk dengan pihak Watsu, mereka siap menyambut serbuan pasukan Watsu dari dalam."

   "Dalam suasana kacau dan geger itu, semua orang sibuk mengurus harta dan keselamatan dan siap menyambut perubahan yang bakal terjadi, meski aku amat merindukan mereka tapi rasa sedihku sudah banyak berkurang."

   "Sungguh tak nyana dalam saat-saat genting itulah aku mendapat berita mereka."

   "Suatu hari, tanpa sengaja aku mendengar percakapan ayah dan ibu, mereka sedang membicarakan Piaumoay."

   "Ibu sedang memaki Piaumoay. 'Sia-sia aku mengasuh dan membesarkan dia, setelah besar dia malah migggat bersama muridmu, kini sudah ketahuan jejak mereka, coba katakan tindakan apa yang hendak kau lakukan?'"

   "Agaknya ayah jadi ragu-ragu, katanya kemudian. 'Kau lakilaki tidak punya pendirian, memangnya kau mandah peluk tangan terhadap manusia yang tidak kenal budi dan cinta kasih, kau biarkan saja mereka merusak nama baik keluarga kita?'"

   "Ayah menghela napas, katanya. 'Umpama mereka dibekuk kembali memangnya hukuman apa yang hendak dijatuhkan pada mereka, apakah kita masih mengharap dia menjadi menantu kita?'"

   "Akhirnya ibu menghela napas, katanya. 'Walau tidak akan jadi menantuku, aku penasaran kalau kau tinggal diam. Aku tetap menentang perjodohan laki perempuan cabul itu. Aku ingin kau menangkap mereka kembali, hukum mereka dengan aturan keluarga. Apalagi dia satu-satunya keponakanku, kalau aku tidak memanggilnya pulang, aku akan berdosa pada kakak yang telah meninggal.'"

   "Akhirnya aku berlari masuk dan berteriak. 'Ayah, ibu, kuharap kalian tidak mempersulit mereka lagi, dalam hal ini akulah yang salah bukan salah mereka."' "Ayah menghela napas panjang, katanya. 'Nah, sudah kau saksikan, umpama mereka ditangkap kembali, kecuali kau menghukum mati mereka, kalau tidak anak Nio sendiri yang akan menderita lahir batin. Yakin kaupun takkan tega menghukum mati mereka bukan? Kalau demikian kenapa tidak kau biarkan saja mereka mencari jalan hidupnya sendiri.'"

   "Ibu geleng-geleng kepala, katanya kepadaku. 'Sungguh tak kira, kaupun begini tidak becus dan lemah perasaan, dia mengingkari dirimu, kau justru membela dan melindunginya. Kalau demikian, mereka memang tidak boleh masuk ke pintu rumah kita. Baiklah, anggaplah aku yang bertindak kasar, biarlah mereka mencari hidupnya sendiri.'"

   "Aku berkata. 'Bu, bukan aku ingin mengundang mereka pulang, tapi aku ingin tahu dimana jejak mereka sekarang.'"

   "Ibu bilang. 'Apa, kau masih pingin mencari dan bertemu dengan mereka?""

   "Aku berkata. 'Aku boleh tidak bertemu dengan mereka, tapi aku harus tahu kabar tentang mereka, kalau tidak hatiku tidak akan tentram.'"

   "Apa boleh buat, akhirnya ibu memberitahu. 'Mereka sembunyi di famili Sutemu dari keluarga miskin. Konon mereka sudah menikah dan berkeluarga.'"

   "Semula aku memang tidak berani mencari mereka, tapi situasi sehari demi sehari semakin buruk dan tegang serombongan pemberontak kabarnya merajalela di daerah Soh-ciu, kabarnya kaum pemberontak inipun katanya akan menyerbu Hang-ciu,"

   "Keluargaku juga sudah siap mengungsi. Aku jadi kangen dan merindukan mereka, aku ikut gugup dan gelisah akan keselamatannya. Mereka tidak memiliki Kungfu sejati dan dalam keadaan rudin lagi, berada di kota yang teracam peperangan, apakah mereka mampu menyelamatkan diri dari malapetaka? Dalam keadaan yang sudah kepepet dan kritis itu, siapa lagi yang mau membantu mereka kecuali aku?"

   "Siapa tahu setibaku di Hang-ciu, ternyata aku jadi amat kecewa."

   "Mereka tidak mau menemui kau?"

   Tanya Han Cin. Ti Nio geleng-geleng kepala, katanya.

   "Bukan."

   "O, jadi mereka berdua sudah pergi?"

   "Bukan mereka berdua, tapi mereka bertiga sudah mengungsi."

   "Lho,"

   Han Cin bersuara heran.

   "siapa pula yang satu?"

   Ti Nio pandang Han Cin lekat-lekat katanya.

   "Dengarkan ceritaku lebih lanjut, nanti kau tahu sendiri."

   "Aku berhasil menemukan famili miskin keluarga Sute, dia memberitahu kepadaku, bahwa Piaumoay sudah melahirkan orok perempuan, baru saja genap sebulan. Memangnya kondisinya amat lemah, setelah habis melahirkan lagi, namun karena situasi sudah amat tegang, kuatir peperangan menjilat kemari, orok kecil itu akan ketimpa malang. Maka dua hari sebelum aku datang, mereka sudah mengungsi. Agaknya Piaumoay sudah menduga aku bakal menyusulnya, maka dia meninggalkan sepucuk surat minta disampaikan kepadaku."

   "Sebelum aku membuka surat itu, aku sudah menduga apa isi suratnya. Memang tidak meleset, dalam suratnya itu dia memberitahu kepadaku bahwa putri yang dilahirkan itu adalah anakku, pernah timbul maksudnya hendak mengembalikan putriku itu kepadaku, tapi akhirnya dia bertekad untuk mengasuh dan merawat bocah itu meski apapun yang akan dihadapinya. Karena diapun mengharap ada nona cantik dari keluarga ternama yang akan dipersunting olehku, kalau orok ini ditinggalkan untukku, pasti akan mengganggu perjodohanku. Maka mereka berkeputusan meski keadaan serba susah, mereka akan tetap berusaha memelihara anak itu, sampaipun harus mengorbankan jiwa raga sendiri juga mereka lakukan demi keselamatan orok itu sehingga tumbuh dewasa."

   Saking terharu Han Cin berteriak.

   "Dia memang tidak menipu kau, dalam pengungsian itu, akhirnya dia memang berkorban karena anak itu, saat itu si bocah baru berumur genap setahun."

   "Ceritaku sudah tamat. Aku tidak pernah menikah lagi sampai sekarang, selama dua puluhan tahun ini aku selalu mencari anak itu, sekarang aku berhasil menemukan dia, entah anak ini, dia, dia..."

   Dengan mata berlinang Han Cin tatap Ti Nio sekian lamanya, jantung Ti Nio seperti gelombang badai yang mengamuk rongga dadanya, seperti seorang tawanan yang siap difonis hukumannya oleh hakim.

   "Aku sudah paham, segalanya sudah kumengerti,"

   Ucap Han Cin kelu.

   "aku adalah orok itu. Piaumoaymu adalah ibuku, Sutemu, dia, dia adalah ayahku."

   Seperti tenggelam hati Ti Nio, katanya berat.

   "Apa yang dia katakan memang tidak salah, hanya Han-sutelah yang pantas jadi ayahnya, aku, aku tidak setimpal jadi ayahnya."

   "Ayah,"

   Mendadak Han Cin menjerit serta menubruk kedalam pelukannya.

   "Sekarang aku sudah paham, kenapa selama ini ayah tidak mau memberitahu padaku, ternyata aku bukan anak kandungnya. Tapi aku tahu sebelum ajalnya dia ingin membeber persoalan sebenarnya, kukira di alam baka arwahnya tentu sudah tahu dan ikut senang bahwa hari ini aku sudah berkumpul dengan ayah kandungku. Ah, tidak, salah omonganku. Kau adalah ayah kandungku, diapun ayahku juga. Ayah, maukah kau maafkan perkataanku ini?"

   Dengan air mata bercucuran Ti Nio dengarkan pengakuan putrinya, betapa lega hatinya, katanya.

   "Anak Cin, kaulah yang harus memaafkan aku, vonismu terlalu ringan untuk menghukum kesalahanku,"

   Air mata bercucuran, ingus mengalir pula, tapi wajah Ti Nio dihias secerah senyum bahagia.

   "walau dia bukan ayah kandungmu, tapi dialah orang yang paling baik terhadapmu selama ini. Dia lebih kandung, lebih erat dan dekat dari ayahmu sendiri. Yang harus disesalkan adalah aku, sebagai ayah kandungmu, tapi kapan aku pernah memberikan kebaikan kepadamu, kau malah menderita lahir batin..."

   Lekas Han Cin mendekap mulut ayahnya, katanya.

   "Ayah, jangan kau menyiksa dirimu, peristiwa masa lalu sukar dikatakan kesalahan terletak pada siapa, kini aku sudah berada dalam haribaanmu, buat apa masa lalu dikenang pula? Ayah, kenapa kau bilang tidak pernah memberi kebaikan kepadaku, semalam bukankah kau telah menyelamatkan jiwaku?"

   Ti Nio menyeka air mata, katanya.

   "Anak Cin, terima kasih bahwa kau sudi memaafkan aku. Memang, marilah kita ayah beranak membuka lembaran baru, mulai hidup dari lembaran permulaan. Kau boleh tidak usah berubah she, kau paham maksudku?"

   Han Cin juga menyeka air mata, sahutnya.

   "Anak mengerti. Aku adalah putri keluarga Han tapi juga putri keluarga Ti. She apa tidak begitu penting."

   "Selama belasan tahun ini, bagaimana kalian ayah beranak hidup? Ah, terlalu banyak yang ingin kuketahui? Cara bagaimana kau bisa meyakinkan ilmu setinggi ini, bukan ayahmu yang mengajar Kungfu kepadamu bukan?"

   "Anak belajar Kungfu kepada Gi-hu, ayah belum pernah menyatakan dia pandai main Kungfu malah."

   "O, kau masih punya seorang Gi-hu lagi?"

   "Gi-huku bernama Khu Ti, beliau semayam di Ong-gu-san. Beliau adalah kawan paling karib ayah dalam masa tuanya. Ayah, soal ini biarlah kelak kuceritakan kepadamu."

   "Aku juga ada sebuah cerita yang akan kututurkan kepadamu."

   "Cerita apa?"

   
Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Tanya Han Cin, dirasakan mimik ayahnya agak aneh, seperti mau bicara tapi sungkan.

   "Tentang seruling batu pualam warisan keluarga kita itu."

   Sampai disini pembicaraan mereka, mereka mendengar irama seruling.

   Seruling yang ditiup oleh Kek Lam-wi.

   Ternyata Liok Kun-lun sudah mengatur segala sesuatu untuk pemberangkatan Tan Ciok-sing dengan In San, besok pagi sebelum fajar menyingsing mereka sudah harus masuk kota dan tinggal di rumah salah seorang murid Kaypang, maka mumpung waktu masih ada setengah hari mereka diharuskan menghafalkan gambar peta tentang seluk beluk istana raja, malam nanti mereka sudah harus masuk ke istana.

   Perjamuan perpisahan khusus diadakan tengah malam.

   Secara bergantian para hadirin menyuguh arak, waktu tiba giliran Kek Lam-wi, dia berkata.

   "Tan-toako, biar kutiup seruling untuk mengantar pemberangkatanmu, nanti akupun ingin mendengar petikan harpamu."

   "Baiklah, marilah kita sama-sama main sebuah lagu instrumental seruling dan harpa, lagu apa yang ingin kau mainkan?"

   Tanya Tan Ciok-sing.

   "Inilah lagu ciptaanku sendiri, silahkan kau periksa,"

   Ucap Kek Lam-wi. Setelah membaca lagu ciptaan Kek Lam-wi, Tan Ciok-sing berkata.

   "Bagus, gubahanmu teramat bagus,"

   Lalu dia angsurkan lagu itu kepada In San dan berkata.

   "Adik San, coba kau yang bernyanyi."

   Melihat sikap mereka wajar, riang dan mantap, menghadapi tugas berat yang kemungkinan menghadapi mara bahaya seperti berpulang keharibaan orang tua, sungguh haru Kek Lam-wi bukan main.

   Lebih haru lagi setelafi paduan lagu seruling dan harpa mengiringi nyanyian ln San yang memilukan, hadirin sama menunduk dan menghela napas rawan, pikiran mereka hanyut oleh suasana haru yang menusuk kalbu menjelang perpisahan ini, Tan Ciok-sing curahkan seluruh perasaan hatinya pada petikan senar harpanya.

   "Tak"

   Pada ritme terakhir, senar harpa putus seutas. Tan Ciok-sing dorong harpanya terus berdiri, katanya.

   "Nona Han, tolong kau simpan harpaku ini, kalau aku tidak kembali, tolong kau serahkan harpaku ini kepada Toan-toako."

   "Jangan berpikir begitu Tan-toako,"

   Ucap Han Cin.

   "aku yakin kau akan kembali bersama In-cici."

   Tan Ciok-sing tertawa tergelak gelak, katanya.

   "Semoga aku berhasil menunaikan tugas suci ini, mati atau hidup sudah tidak terpikir lagi olehku,"

   Di tengah gelak tawanya itu dia berputar sambil soja kepada seluruh hadirin, lalu dia ajak ln San berlalu dengan jalan beradu pundak.

   Liok Kun-lun sendiri mengantar mereka keluar kota.

   Sementara hadirin yang lain tetap berada di ruang perjamuan yang terang benderang, rasa haru mereka masih belum tentram, sehingga tiada seorangpun yang ngantuk dan ingin tidur.

   Kek Lam-wi masih berdiri terlongong sambil memegangi serulingnya, lama baru dia menyadari bahwa entah sejak kapan Ti Nio dan Han Cin tengah mengawasi seruling pualam yang dipegangnya seperti sedang melamunkan sesuatu.

   Kek Lam-wi jadi heran, batinnya.

   "Kenapa Susiok dan nona Han baru sekarang datang?"

   "Anak Cin, boleh kau beritahu kepada Kok-suhengmu,"

   Demikian kata Ti Nio. Kek Lam-wi melenggong, katanya.

   "Nona Han, kau angkat Susiok sebagai guru?"

   Ti Nio tersenyum, katanya.

   "Dia bukan muridku tapi adalah putriku. Kalau dibicarakan dia boleh terhitung Sumoaymu juga."

   Kaget dan heran Kek Lam-wi, namun lekas sekali dia sudah mengerti, pikirnya.

   "Tak heran, malam itu Susiok begitu matimatian melindungi dan menolong Han Cin."

   Ti Nio berkata pula.

   "Kalian tentu tidak menduga, baru hari ini aku sendiri tahu bahwa dia sebetulnya adalah putriku. Keluarga Kek dan keluarga Ti adalah seperguruan, keluarga yang sudah kental sejak beberapa generasi. Maka Lam-wi kuanggap sebagai keponakanku sendiri, selanjutnya kalian boleh akrab .seperti saudara sekandung saja."

   Maka Han Cin segera maju memberi hormat kepada Kek Lam-wi sebagai Suheng, hadirinpun maju mengucap selamat kepada mereka, kesibukan dan keramaian disini tanpa terasa telah mengesampingkan Toh So-so malah.

   Secara diam-diam dari samping Toh So-so menyaksikan dan memperhatikan, teringat kejadian malam itu, hatinya kecut, hambar tidak karuan rasanya.

   Han Cin juga teringat akan satu hal, mengawasi seruling pualam di tangan Kek Lam-wi, diam-diam dia membatin.

   "Waktu ayah bercerita, berulang kali dia menyinggung seruling pualam warisan keluarganya, seruling pualam Kek Lam-wi ini kalau ditiup juga mengeluarkan lagu yang indah dan merdu, entah apakah seruling pualam milik ayah itu?"

   Yang menjadikan pandangannya terpesona adalah seruling di tangan Kek Lam-wi, tapi Toh So-so yang memperhatikan dari samping justru tidak tahu kalau Han Cin memperhatikan seruling itu, karuan semakin ruwet pikirannya.

   Akhirnya Kek Lam-wi menyadari juga bahwa sikap dan mimik orang agak ganjil, lekas dia berkata.

   "Han-cici masih menguatirkan keadaan Toan-toako, marilah lekas kita temani dia pulang biarlah kabar baik ini dia sampaikan sendiri kepada Toan-toako,"

   Lahirnya dia seperti berolok-olok kepada Han Cin, yang terang kata-katanya ditujukan kepada Toh So-so.

   Waktu mereka tiba di rumah keluarga Coh, kebetulan Toan Kiam-ping sudah siuman, melihat mata Han Cin merah dan bengkak habis menangis.

   Toan Kiam-ping kira orang terlalu prihatin dan menguatirkan kesehatan dirinya, maka lekas dia berkata.

   "Kenyataan koh aneh, setelah tidur pulas, keadaanku jauh lebih baik. Adik Cin, tak usah kau kuatir akan diriku."

   Ti Nio berkata dengan tertawa.

   "Cara tutukan yang kugunakan tadi memang khusus untuk membantu pulihnya kesehatanmu, tanggung dalam sepuluh hari, kau sudah pulih seperti sediakala."

   "Sepuluh hari sebentar juga sudah lalu,"

   Ujar Han Cin senang.

   "Toan-toako, kau harus beristirahat dengan baik."

   "Betul, Ti-locianpwe, kau banyak bekerja demi menolong jiwaku, maaf aku belum sempat menghaturkan terima kasihku,"

   Demikian kata Toan Kiam-ping. Ti Nio berkata.

   "Urusan sekecil ini buat apa ditaruh dalam hati."

   "Aku jelas harus berterima kasih kepadamu, apalagi semalam aku tak sempat melindungi nona Han, demi pertolonganmu sehingga dia bebas dari mara bahaya, entah bagaimana aku harus membalas kebaikanmu."

   Ti Nio terkekeh geli, katanya.

   "Dia ini putriku, sepantasnya akulah yang harus berterima kasih kepadamu, mana boleh persoalan diputar balik malah?"

   Terbeliak kaget dan senang hati Toan Kiam-ping, katanya.

   "O, jadi Ti Tayhiap adalah ayahmu, kenapa kau tidak pernah ceritakan hal ini kepadaku?"

   "Aku sendiri juga baru tahu,"

   Sahut Han Cin cekikikan. Setelah mendengar penjelasan Han Cin, bukan kepalang senang hati Toan Kiam-ping, katanya tertawa.

   "Nona Han, sungguh amat menggirangkan. Baiklah aku terus terang, beberapa jam sebelum ini, aku tidak tahu kesehatanku bisa sembuh secepat ini, pernah timbul pikiranku begini, tidak jadi soal aku mati, tapi kematianku akan menjadikan kau sengsara, itu berarti aku berdosa terhadap kau. Kita, senasib sepenanggungan, tiada sanak tiada kadang, setelah aku berada di alam baka, siapa yang akan mendampingi dan menghibur kau? Kini persoalan sudah jelas, ternyata kau masih punya seorang ayah yang baik dan arif hijaksana, umpama penyakitku takkan sembuh, aku akan berangkat dengan perasaan lega dan tentram ke dunia lain."

   Berlinang air mata Han Cin mendengar limpahan perasaan Toan Kiam-ping yang blak-blakan ini, katanya.

   "Toan-toako, jangan kau berpikir yang tidak genah. Aku yakin kau akan selamat dan sehat kembali,"

   Wajahnya tampak berseri tawa dengan perasaan lega dan terhibur. Toan Kiam-ping tertawa, katanya.

   "Memangnya sekarang kau tak perlu kuatir untuk diriku, akupun tidak perlu menguatirkan kau, lalu apa pula yang kau tangisi?"

   Diam-diam Ti Nio menyaksikan dan mendengarkan percakapan muda mudi ini, sebodoh-bodohnya juga dia sudah menduga bahwa putrinya ternyata sudah cintrong sama Toan Kiam-ping, dan Toan Kiam-ping juga membalas cintanya dengan setulus hatinya.

   Hubungan mereka jelas sudah bukan merupakan hubungan sesama teman biasa.

   Setelah perjamuan usai, perasaan Ti Nio tak bisa tentram, diam-diam dia berpikir.

   "Dari pesan Tan Ciok-sing kepada anak Cin tadi, seolah-olah hubungan anak Cin dengan Toan Kiam-ping adalah pasangan kekasih yang sudah matang, entah bagaimana perasaan anak Cin bila dia memang sudah punya pujaan hati, angan-anganku mungkin tidak bisa terlaksana." lalu dia ajak Han Cin keluar dan berjalanjalan ke hutan dimana tadi mereka berbincang-bincang.

   "Ayah,"

   Kata Han Cin membuka suara lebih dulu.

   "bukankah kau ingin menceritakan sebuah kisah yang lain?"

   "Betul,"

   Ujar Ti Nio.

   "kisah ini harus di mulai dari sebatang seruling pualam."

   Tergerak hati Han Cin, katanya.

   "Seruling dalam kisahmu itu, bukankah seruling pualam yang sekarang berada di tangan Kek Lam-wi itu?"

   "Kau memang pintar, sekali tebak kena sasaran. Seruling pualam itulah dimana masa mudaku dulu kugunakan untuk didengar ibumu."

   "Bukankah seruling itu warisan keluarga kita?"

   "Betul, belum ada setahun Lam-wi datang ke Khong-goan menemui aku sebagai Susioknya. Tapi sejak dia masih orok dahulu, aku sudah pernah melihatnya sekali. Seruling pualam itu juga bukan warisan keluarga Ti kita."

   "Tapi ayah, kau pernah bilang..."

   "Dulu waktu aku minta seruling ini dari ayah aku juga kira seruling ini adalah warisan keluarga kita, padahal aku belum tahu asal-usulnya. Baru hari ini..."

   Seperti mengenang masa lalu. dia beristirahat sejenak, barulah memulai menceritakan kisah seruling pualam itu kepada putrinya.

   "Hari itu, sehari setelah aku pulang dari Hang-ciu. Gerombolan perampok ternyata mulai mengganas di daerah Soh-ciu dan Hang-ciu, terutama kota Hang-ciu sudah dikuras habis-habisan, berita buruk tersiar dari utara bahwa agresor Watsu ternyata telah mengepung kota raja, bila kota raja sampai diduduki musuh, maka dapatlah dibayangkan apa yang bakal terjadi."

   "Akhirnya ayah berkeputusan supaya aku mengungsi ke tempat lain, tapi dia hanya menyuruh aku seorang diri pergi."

   "Kenapa kakek tidak mengungsi sekalian?"

   "Ayah bilang dia harus mengurus harta warisan leluhur, katanya dia cukup mengusai situasi dan keadaan, banyak kenalan pula di kota kelahiran sendiri, meski malapetaka bakal datang, yakin berkat luasnya pergaulannya, kesulitan apapun pasti dapat diatasi, maka aku disuruhnya pergi sendiri, tak usah menguatirkan keselamatan ayah bunda."

   Yang benar ini hanya alasan ayahnya belaka.

   Setelah beberapa tahun berselang baru Ti Nio tahu akan sebab musabab kenapa ayah bundanya tidak mau mengungsi.

   Ternyata waktu itu secara rahasia ayahnya telah bergabung dalam laskar rakyat dan mengadakan gerakan bersenjata siap melawan agresor membela tanah air."

   "Ayah kuatir karena Kungfuku belum memadai di samping aku adalah anak tunggal pula, sehingga dia berpikir agak egois, mementingkan keselamatan diriku untuk menyambung keturunan kelak."

   Ti Nio melanjutkan ceritanya.

   "Sebelum berangkat, ayah menyerahkan dua barang kepadaku serta berpesan wantiwanti. Yaitu sebatang seruling pualam, dan pelajaran Tiamhiat hasil ciptaannya setelah diperdalam sekian tahun dengan segala daya dan tenaganya---yaitu gambaran pelajaran Kingsin- pit-hoat.

   "Ayah bertanya kepadaku. 'Tahukah kau asal-usul seruling pualam ini?' Waktu itu akupun bertanya seperti kau tanya kepadaku tadi. 'Apakah seruling ini bukan warisan leluhur kita?'"

   "Ayah geleng-geleng kepala, katanya. 'Bukan. Seruling ini pemberian seorang teman kepadaku. Walau aku boleh mewariskan kepadamu sebagai warisan keluarga, tapi bila keturunan temanku itu betul-betul memiliki bakat yang tinggi, aku masih mengharapkan seruling ini akan dikembalikan kepada yang berhak menerimanya.'"

   "Sudah tentu aku tidak habis heran, apakah teman ayah itu tidak terlalu royal? Seruling pusaka yang diincar setiap insan persilatan rela diberikan kepada ayah? Siapakah teman ayah itu? Timbul berbagai tanda tanya dalam benakku."

   "Ayah lantas berkata. 'Apa kau masih ingat Kek-supek? Beberapa tahun lampau pernah dia membawa putranya bertamu di rumah kita.'"

   "Lama aku mengingat-ingat baru akhirnya aku teringat, kira-kira tujuh tahun yang lalu, memang pernah datang seorang Kek-supek dengan putranya yang menginap beberapa lama di rumah kita. Putranya itu sebaya dengan aku, aku juga ingat namanya Kek Bin-yang. Hanya tiga malam mereka menginap, waktu itu karena menghadapi persoalan Piaumoay dan Sute sehingga aku terpukul lahir batin, adalah jamak kalau aku melupakan teman baik masa kanak-kanak dulu, kalau ayah tidak menyinggung, terang aku sudah melupakannya. Sampai disini Han Cin sudah paham beberapa bagian, tanyanya.

   "Jadi seruling pualam itu adalah pemberian Keksupek kepada kakek? Sementara bocah yang waktu itu bernama Kek Bin-yang, tentu adalah ayah kandung Kek Lamwi bukan?"

   "Tepat sekali. Mungkin juga lantaran berjodoh setelah berjerih payah sekian tahun lamanya, di puncak Sing-siok-hay di pegunugan Kun-lun, Kek-supek berhasil memetik segumpal batu pualam hangat serta membuatnya jadi sebatang seruling."

   "Jelas batu pualam itu sukar diperoleh, kenapa dia rela memberikan kepada kakek."

   "Soalnya bakat ayah paling baik di antara sesama saudara seperguruan, seruling pualam hangat itu bisa membantu ayah mempercepat latihan ilmu Tiam-hiat yang sedang diyakinkan, oleh karena itu apapun dia minta ayah menerima hadiah mahal yang tiada taranya itu. Beliau berkata yang diharapkan adalah kekayaan perguruan dan memperluas ajarannya, meski sukses yang dicapai kelak bukan hasil karya kedua tangannya diapun ikut bangga akan usaha dan perjuangannya lalu apa arti sebatang seruling pualam ini."

   Han Cin menghela napas, katanya.

   "Kek-supek ayah itu ternyata berjiwa besar dan berlapang dada."

   "Bukan hanya itu saja,"

   Kata Ti Nio lebih lanjut.

   "Ayah pernah bilang juga bahwa dia pernah mendapat budi pertolongau Kek-suhengnya itu. Tanpa bantuan dan dorongan Kek-suhengnya itu, ayah takkan bisa rajin dan tekun mempelajari serta memperdalam ilmunya, entah berapa kali pula mara bahaya yang telah dihindarinya selama berada di damping sang suheng. Tapi cerita sampingan ini bukan tujuanku yang utama untuk berbincang dengan kau disini, malam ini secara ringkas saja akan kukisahkan hubungan kental antara keluarga Ti kita dengan keluarga Kek, tentang seluk beluknya biarlah ditunda dulu saja pada lain kesempatan,"

   Maka pembicaraan dia putar balik ke malam itu, bagaimana ayahnya berpesan kepadanya. Sebelum berangkat ayah berpesan kepadaku.

   "Aku memperoleh bantuan dan pertolongan Kek-suheng. sampai sejauh ini tak mampu membalasnya, waktu dia menyerahkan seruling ini kepadaku kami ada janji dua hal. Sekarang aku tiada waktu mencarinya ke Kwa-ciu, terpaksa biarlah kau yang mewakili aku mencapai keinginanku."

   "Aku tanya tentang kedua hal perjanjian itu. Ayah menjelaskan. 'Waktu itu kami sama-sama tahu istri masingmasing sudah hamil. Maka perjanjian pertama antara kami ialah bila anak kita sama-sama laki-laki, mereka harus angkat saudara, bila sama-sama perempuan, harus jadi kakak beradik pula. Bila laki dan perempuan, kelak mereka harus menjadi suami isteri."

   "Tahun itu waktu dia bertandang ke rumah kita membawa anaknya, mengingat usia kalian masih kecil, dia sedang terlibat urusan penting lagi, maka dia hanya menginap tiga hari di rumah kita terus pergi ke lain tempat, maka tidak sempat mengadakan upacara untuk pengangkatan saudara kalian. Maka aku mengusulkan supaya menunda setelah kalian dewasa baru akan mengundang sanak saudara untuk menyaksikan upacara persaudaraan kalian, sekaligus akan kujelaskan pula seluk beluknya, supaya orang banyak tahu sepak terjang Kek-suheng selama ini, di samping itu maksudnya adalah supaya kalian juga tahu hubungan keluarga kita yang intim."' "'Dalam situasi seperti sekarang upacara angkat saudara yang kuharapkan dulu jelas tidak mungkin diadakan lagi. Tapi asal kau berhasil menemukan Kek-suheng dan anaknya, tak usah pakai perjamuan segala, secara sederhana boleh kalian lakukan upacara ala kadarnya saja, maksudnya juga tidak bakal luntur.'"

   "Setelah patah hati, memang aku ingin memperoleh seorang teman karib sebagai pelepas rindu dan sepi, sungguh bukan main senang hatiku setelah mendengar penjelasan ayah, peduli apapun yang bakal terjadi, aku harus mencari mereka sesuai pesan ayah."

   "Lalu ayah menjelaskan hal kedua, beliau amat berterima kasih dan merasa hutang budi akan kebaikan dan pemberian seruling Kek-suhcngnya, maka diam-diam dia bersumpah dalam hati, kapan dia berhasil meyakinkan ilmu sakti, dia akan ajarkan juga ilmunya itu secara merata kepada putra Keksuheng. Dulu Suheng mengharap dengan seruling pualam itu dapat membantu dia sukses mempelajari ilmu Tiam-hiat tingkat tinggi, kini harapan itu telah terkabul, dia sudah berhasil meyakinkan King-sin-pit-hoat dengan seruling pualam itu. maka ayah suruh aku serahkan gambar penjelasan pelajaran King-sin-pit-hoat hasil jerih payahnya kepada Keksuheng dan anaknya."

   "Ayah bilang. 'Baru tahun lalu aku berhasil menyelami seluruh pelajaran Kmg-sin-pit-hoat ini dan berhasillah kupelajari ilmu tutuk tunggal yang tiada taranya. Sayang situasi semakin gawat, jelas diriku tak mungkin pergi mencari Kek-suheng dan menyerahkan pelajaran Tiam-hiat itu kepadanya. Kau sendiri belum sempurna mempelajarinya, kau juga masih perlu mendapat bantuan seruling pualam itu, tapi sepanjang jalan kau boleh mempelajari dan mengingat gambar penjelasan ini, bila mereka ayah dan anak mau ngungsi bersama kau, kau masih boleh belajar bersama mereka.'" '"Seruling ini akupun ada maksud dikembalikan kepada pemiliknya semula. Tapi seruling ini memang barang pusaka, kau harus tepat menyerahkan kepada yang berhak. Bila putra Kek-suheng memang punya bakat belajar silat, baru boleh kau serahkan seruling ini kepadanya, kalau tidak lebih baik jangan kau kembalikan,' setelah diberi wejangan pula, hari itu juga aku berangkat membawa seruling dan Pit-kip, mengungsi ke selatan. Tapi setiba di Kwa-ciu, ternyata situasi disini juga genting dan tidak aman, dua hari sebelum aku tiba di Kwa-ciu, aku sudah tahu bahwa aku dikuntit orang. Sayang pengalamanku cetek tapi sebagai kambing yang baru keluar kandang tidak takut berhadapan dengan harimau, meski aku merasa curiga, namun aku tidak ambil di hati."

   "Setiba di Kwa-ciu, seperti rencana semula aku bekerja tanpa membuang waktu mencari Kek-supek. Keluarga Kek ternyata cukup terkenal dan disegani di daerah Kwa-ciu, sekali aku mencari tahu pada penduduk setempat lantas kucapai rumahnya."

   "Setiba aku di rumah keluarga Kek, satu peristiwa terjadi sungguh diluar dugaanku."

   Han Cin menyela.

   "Mungkin mereka juga sudah mengungsi?"

   "Bukan. Aku hanya bertemu dengan Kek Bin-yang."

   "Lho, lalu ayahnya?"

   Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Dengan pakaian blaco (pakaian duka cita) Kek Bin-yang keluar menyambut kedatanganku, ayahnya, Supekku telah neninggal."

   "Kira-kira tiga bulan yang lalu, gerombolan perampok telah beroperasi di Kwa-ciu, gerombolan perampok ini ditunjang oleh pihak Watsu, di antara anggotanya tidak sedikit terdapat jago-jago silat dari bulim. Demi melindungi rakyat sekota, Supek kerahkan tenaga yang ada, dia pimpin rakyat melawan gerombolan perampok itu, sayang seorang diri Supek kewalahan dikeroyok musuh sebanyak itu, akhirnya dia terluka parah, penyakitnya tak terobati lagi."

   "Ibu Kek Bin-yang masih hidup, dia juga sudah menikah, punya seorang anak, lahir setelah ayahnya meninggal, waktu itu usianya sudah genap dua bulan, orok itu bukan lain adalah Kek Lam-wi yang akhirnya menjadi salah satu anggota Patsian."

   "Aku singgung perjanjian Supek dengan ayah tempo dulu, bibi Kek memberi tahu kepadaku, katanya sebelum suaminya ajal dia juga memberitahu soal ini padanya. Katanya bila aku tidak datang di Kwa-ciu, mereka juga akan ke Kim-ling mencari ayah dan aku."

   "Dia amat senang karena aku sudah datang lebih dulu untuk memenuhi janji itu, malam itu kami bersembayang bersama, minum tiga cangkir arak sebagai sumpah setia untuk selanjutnya menjadi saudara angkat seperti saudara sekandung sendiri. Tapi waktu aku menyerahkan catatan ilmu silat karya ayah dan kembalikan seruling kepada mereka, ibu beranak itu menolak dan tidak mau mempelaj arinya."

   "Bercerita masa lalu bibi Kek amat sedih dan pilu, tapi juga amat senang. Dia bilang yang penting hubungan kedua keluarga tetap terjalin dengan baik, dapat menyaksikan putra angkat bersaudara dengan diriku, hatinya sudah amat tenang dan lega. Tapi bila dia menyinggung kenangan lama, dia amat sendu dan rawan, dia mengatakan..."

   Sampai disini Ti Nio berhenti sambil mengawasi putrinya seperti memikirkan sesuatu. Tak tahan Han Cin bertanya.

   "Apa yang dikatakan?"

   Heran dia kenapa sang ayah seperti bimbang. Akhirnya Ti Nio berkata.

   "Bibi Kek berkata. Besar harapannya supaya kedua keluarga kita dapat mencontoh leluhur kita, dia tanya apakah aku sudah menikah?"

   Melonjak jantung Han Cin, tanyanya.

   "Lho, untuk apa dia tanya soal ini?"

   "Dia harap aku dapat mengikat suatu perjanjian juga dengan putranya. Bila kelak sama-sama punya anak laki-laki harus angkat saudara, punya anak perempuan sebagai kakak seadik, kalau laki perempuan harus jadi suami isteri."

   Karuan Han Cin melenggong dan menjublek sekian lama. Ti Nio melanjutkan.

   "Dari cerita suaminya bibi sudah tahu bahwa ayah ada maksud mengawinkan Piaumoay dengan aku. Bibi berkata dengan tertawa kepadaku. 'Dulu waktu Bin-yang pulang dari rumahku sering dia mengomel, katanya kau selalu mengeloni Piaumoay dan sering tidak menghiraukan dia. Kini Bin-yang sudah punya anak, yakin kaupun sudah menikah dengan Piaumoaymu?'"

   Sudah tentu di samping kaget Han Cin amat gugup, namun rikuh pula menanyakan apa jawaban sang ayah terhadap bibi Kek. Ti Nio seperti tahu perasaan putrinya, sekilas dia lirik putrinya, dalam hati diam-diam dia mengeluh, katanya kemudian.

   "Sudah tentu aku malu menceritakan persoalan Piaumoay kepada bibi, terpaksa aku mencari alasan bahwa kepandaianku belum sempurna, belum ada pikiran berumah tangga. Hakikatnya aku tidak pernah menyinggung Piaumoay, tak pernah pula aku mengutarakan maksudku supaya kelak kita juga mengikat perjanjian itu, sengaja aku alihkan pokok pembicaraan. Melihat sikapku yang dingin dan tidak ambil perhatian, mungkin bibi agak salah paham padaku, maka selanjutnya diapun tak pernah menyinggung soal ini."

   Sampai disini Ti Nio tertawa getir, katanya lebih lanjut.

   "Ai, mana dia tahu bahwa mulutku tak mungkin bicara karena pengalaman pahit yang pernah kuresapi, kalau dia salah paham, yah, biarlah."

   "Terus terang waktu itu aku berpikir begini. Kalau aku bisa berkeputusan sendiri, sudah tentu aku senang mengikat perjanjian itu dengan Kek-suheng. Tapi Piaumoay adalah bini orang lain, putriku juga sudah bukan anakku lagi. Kelak apakah dia masih sudi mengakui aku sebagai ayah, aku juga tidak tahu. Kalau aku tidak setimpal jadi seorang ayah, mana berani aku sembarangan mengikat janji dengan orang lain?"

   Mendengar cerita ayahnya yang terakhir ini baru legalah hati Han Cin, pikirnya.

   "Syukur ayah tidak menerima tawaran keluarga Kek kalau terjadi urusan tentu serba runyam. Ai, ayah bukan kau tidak setimpal jadi ayahku, tapi kau tidak atau belum bisa menyelami isi hati putrimu,"

   Sudah tentu dia juga rikuh dan malu mengutarakan perasaan hatinya kepada sang ayah.

   "Situasi masih genting, tapi setelah mengalami perampokan besar-besaran itu untuk sementara Kwa-ciu boleh dihitung agak aman dan tentram. Perhitunganku semula akan menginap beberapa hari di rumah keluarga Kek, menurunkan pelajaran Kungfu yang kuterima dari ayah kepada Kek-suheng. Tak nyana hari kedua, terjadilah bencana yang tak pernah terbayang sebelumnya."

   Han Cin kaget, katanya.

   "Bencana apa?"

   "Kalau dibicarakan kesalahan ada padaku. Maklum waktu itu aku cetek pengalaman dan tidak pernah berkelana di Kangouw, kedatanganku ke rumah keluarga Kek sekaligus memancing kedatangan gerombolan perampok pula."

   Han Cin paham seketika, katanya.

   "O, jadi orang-orang yang sehari sebelumnya selalu menguntit ayah itu?"

   "Betul orang yang menguntit aku itu ternyata juga seorang ahli, dia tahu seruling yang kubawa adalah barang pusaka, tujuan mereka hendak merebut seruling pualam."

   "Mereka saksikan aku masuk ke rumah keluarga Kek, mungkin merasa kekuatan sendiri kurang ungkulan, maka malam itu mereka tidak turun tangan."

   "Tapi hari kedua mereka mengundang bantuan yang berkepandaian tinggi, permulaan yang diundang ialah tokoh yang tiga bulan lalu pernah dikalahkan Supek, tapi Supek sendiri setelah memukul mundur kambrat-kambratnya, dalam keadaan lemah kehabisan tenaga diapun terkena sekali pukulan dahsyat yang mematikan dari pentolan perampok.

   "Bersama Bin-yang aku bahu membahu melawan serbuan musuh, pertempuran amat sengit dan dahsyat, kawanan perampok kita babat dan tumpas, tidak sedikit yang kami bunuh dan lukai tapi karena harus melindungi oroknya yang masih kecil, Bin-yang juga terpukul parah oleh Toa-cui-pi-jiu pentolan perampok itu, isi perutnya tcrluka tak mungkin disembuhkan lagi.

   "Bagaimana akhirnya?"

   Tanya Han Cin tegang. Bercucuran air mata Ti Nio, suaranya sember.

   "Toa-cui-pijiu kepala rampok itu memang terhitung ilmu tunggal yang hebat di kalangan bulim, dinilai lwekangnya pada waktu itu, jelas aku bukan tandingannya, bahwa aku dapat kalahkan dia adalah berkat kesaktian seruling pualamku ini, dengan melancarkan King-sin-pit-hoat aku dapat melawannya sama kuat. Sayang lwekang dan latihan silat Kek-suheng jauh di bawahku, pukulan Toa-cui-pi-jiu itu telak mengenai dada lagi, mana kuat dia bertahan? Sungguh kasihan, setelah terluka parah, pesanpun tak bisa diutarakan, dengan air mata bercucuran dia hanya bisa menuding oroknya yang masih dalam gendongan, dengan sorot matanya yang berlinang air mata dia memohon dan melimpahkan perasaannya, setelah aku berjanji barulah dia berangkat dengan meram."

   Han Cin amat haru, katanya menghela napas.

   "Sejak kecil ternyata Kek-suheng juga sudah hidup menderita. Kalau aku setahun kehilangan ibu, dia baru dua bulan sudah ditinggalkan ayahnya."

   Ti Nio berkata.

   "Betul. Lantaran nasib kalian sama, maka aku mengharap kalian harus saling berkasih sayang."

   Entah sengaja atau tidak kata-katanya, tapi bagi yang mendengar justru tahu kemana juntrungan kata-kata ini.

   Han Cin rasakan perkataan sang ayah mengandung dua unsur, kontan jantungnya berdetak.

   Tapi diluar tahunya di balik hutan sana, ada pula seorang, yang sembunyi dan mencuri dengar pembicaraan mereka, hatinyapun terketuk mendengar perkataan Ti Nio terakhir, jantungnya juga berdebar keras.

   Orang itu bukan lain adalah Toh So-so.

   Memang sengaja dia sembunyi di tempat itu lebih dulu untuk mendengar percakapan Ti Nio dengan putrinya, karena sejak malam kemarin, dalam jangka sehari semalam ini, banyak gejala yang menimbulkan rasa was-was dalam hatinya, perasaan hatinya yang paling sensitif memberi ingat padanya, sehingga dia memperoleh suatu fisarat.

   Bahwa pertemuan ayah dan anak ini bukan melulu persoalan mereka berdua, tapi juga menyangkut hubungan langsung dengan Kek Lam-wi.

   Kini Ti Nio memang tidak membicarakan hal itu secara gamblang, namun dia sudah menduga apa yang akan dikatakan Ti Nio kepada putrinya, mendengar sampai disini, mau tidak mau timbul rasa jelusnya, dalam hati dia tertawa dingin.

   "Memangnya kalian senasib sepenanggungan, biarlah aku mengalah, silahkan kalian saling berkasih sayang."

   Tak kuasa dia menahan rasa haru dan sedihnya, semula dia sudah ingin tinggal pergi, namun dia masih kuat menahan emosinya, tempat sembunyinya di semak rumput sejauh belasan langkah, dia mendekam tanpa berani bergerak serta mendengar lebih lanjut.

   Terdengar Ti Nio sedang berkata.

   "Setelah Kek-suheng meninggal semula aku akan bawa ibu dan isteri serta putranya pindah ke tempat lain, tapi bibi bilang membawa orok kecil mengungsi amat tidak leluasa, maka dia berkukuh untuk membawa cucunya pulang ke rumah orang tuanya. Keluarga bibi tinggal di atas gunung, disana memang tepat untuk menghindari huru hara. Bibi juga mengajakku kesana, tapi karena aku masih ada urusan lain, kuharap masih bisa menemukan ibumu maka aku tolak ajakan mereka."

   "Seruling pualam dan buku gambar penjelasan King-sin-pithoat karya ayah kutinggalkan kepada mereka, sebagai hadiah untuk keponakan bila kelak dia sudah tumbuh dewasa, bibi dan Suso (isteri Bin-yang) juga mengerti sedikit Kungfu, dengan membekal seruling pualam itu, paling tidak mereka masih mampu membela diri. Apalagi seruling itu memang milik keluarga mereka, setelah kubujuk dan kujelaskan panjang lebar, akhirnya mereka mau menerima kedua barang itu."

   Baru sekarang Han Cin tahu bahwa seruling pualam itu setelah mengalami berbagai peritiwa yang rumit dan berbelitbelit akhirnya terjatuh ke tangan Kek Lam-wi. Ti Nio melanjutkan ceritanya.

   "Setelah aku menyerahkan seruling dan Pit-kip, aku berkata kepada bibi.

   "Bibi, pesan yang pernah kau sampaikan pasti takkan kulupakan. Semoga kelak bila aku kembali kesini, Lam-tit sudah tumbuh dewasa, masih ada kesempatan untuk aku menunaikan angan-angan leluhur."

   Mau tidak mau tergetar pula hati Han Cin mendengar penuturan sang ayah."

   Angan-angan apa yang hendak ditunaikan ayah? Kesempatan apa pula yang dia tunggu selama ini? Bukan secara tidak langsung perkataan ayah itu merupakan janji pula terhadap Bibi dan Susonya?"

   Han Cin tidak tahu apakah kedua janda keluarga Kek itu maklum akan tujuan perkataan sang ayah, tapi Han Cin sendiri paham.

   Itu berarti, tanpa ditanya lagi diapun sudah tahu apa jawabannya.

   Sudah tentu Han Cin tidak berani tanya, tapi Ti Nio sudah menjelaskan sendiri.

   "Aku bertekad untuk melakukan dua hal untuk membalas budi kebaikan keluarga Kek. Tugas pertama adalah menuntut balas bagi kematian Kek-supek dan Kek-suheng."

   "Lwekang kepala perampok itu teramat tinggi dan lebih unggul dari aku, maka aku harus menyempurnakan Kungfuku baru akan dapat mengalahkan dia, maka aku harus latihan lebih giat dan rajin mempertinggi ilmu, tanpa bantuan seruling pualam, aku harus dapat mengalahkan kepala rampok itu."

   "Pada hal siapa nama dan asal-usul kepala rampok itu, sedikitpun aku tidak tahu, untuk menuntut balas, aku harus mencari tahu dan menyelidiki jejaknya. Tidak lama kemudian gerombolan perampok itupun telah bubar, jejak kepala rampok itupun tak diketahui parannya."

   Han Cin masgul, katanya.

   "Wah, lalu kemana untuk menyelidiki nya?"

   "Untung walau aku tidak tahu nama dan asal-usulnya, tapi aku tahu akan Kungfunya, Toa-ciu-pi-jiu yang diyakinkan itu boleh terhitung ilmu tunggal dalam bulim, setelah beberapa tahun berselang, yakin kepandaiannya itu tentu telah diyakinkan lebih sempurna, namanya juga pasti amat tenar. Dari sini pasti dapat aku menemukan jejaknya, syukurlah akhirnya aku berhasil menemukan jejak pembunuh Keksuheng dan Kek-supek."

   "Siapakah orang itu?"

   Tanya Han Cin.

   "Dia bukan lain adalah jago nomor satu di bawah bangsat tua she Liong, yaitu Lenghou Yong."

   Han Cin tersentak sadar dan paham, katanya.

   "O, kiranya dia. Tak heran sengaja jauh-jauh kau dari Khong-goan menyusul ke kota raja. Kecuali salah seorang keponakanmu adalah satu di antara Pat-sian, tujuan yang utama adalah hendak menuntut balas. Entah apakah Kek-suheng sudah tahu bahwa Lenghou Yong adalah pembunuh kakek dan ayahnya?"

   "Dia masih belum tahu."

   "Kenapa tidak kau beritahu kepadanya?"

   "Karena sebelum kemarin malam aku bertemu dengan Lenghou Yong, aku belum yakin kalau dialah musuh kita."

   "Sebelum ini, aku sudah mencari tahu, tokoh liehay yang mahir menggunakan Toa-cui-pi-jiu dalam kalangan Kangouw hanyalah Lenghou Yong, tapi Lenghou Yong sudah disogok oleh Liong Bun-kong untuk menjadi pengawal kepercayaannya, apakah betul dia adalah kepala rampok yang dulu itu, aku harus membuktikan sendiri."

   Ti Nio berkata gregeten.

   "Dua puluh tahun lamanya aku mencari musuh besar, kemarin malam akhirnya aku dapat menemukan dia."

   "Sesuai dugaan, Toa-cui-pi-jiu yang diyakinkan Lenghou Yong jauh lebih hebat dari dua puluh tahun lalu, namun tampangnya tidak berubah besar bedanya, sekali pandang aku lantas tahu bahwa dialah memang kepala rampok yang dulu itu. Ai. tapi aku yakin, dia pasti tidak mengenali diriku lagi."

   Sampai disini dia meraba rambut kepalanya yang sudah beruban, katanya setelah menghela napas.

   "Dua puluh tahun lalu aku adalah pemuda yang gagah perkasa dan jauh lebih muda dari dia, tapi kini aku sudah jadi kakek tua yang bpruban. Mana mungkin dia masih mengenaliku?"

   Mengawasi rambut ayahnya yang sudah beruban, muka yang sudah berkeriput, Han Cin merasa ikut pilu, pikirnya.

   "Usia ayah sekarang paling baru empat puluh lebih, namun kelihatannya sudah seperti kakek reyot berusia enam puluhan lebih,"

   Han Cin tahu bukan lantaran kehidupan yang tidak kenal kasihan ini merubah sang ayah menjadi laki-laki yang loyo, tapi lantaran teramat sedih dan merana sehingga ayahnya bak kembang yang layu sebelum saatnya, demikian batin Han Cin.

   Dia dapat meresapi betapa rawan perasaan sang ayah selama ini.

   Untuk mengalihkan kepedihan hati sang ayah, dengan tawa dipaksakan Han Cin berkata.

   "Kan lebih baik kalau dia tidak mengenalimu. Bila dia tahu kau adalah musuhnya bukan mustahil dia sudah bersiap-siap sebelumnya."

   "Betul. Lantaran itulah semalam aku tidak membongkar perbuatannya dulu. Sudah tentu, dalam situasi seperti semalam, akupun tiada tempo untuk membuat perhitungan dengan musuh besar itu."

   Han Cin tertawa pula. katanya.

   "Ayah. usiamu belum tua, Kungfumu juga tidak terbengkalai bukan. Tapi Toa-cui-pi-jiu Lenghou Yong memang teramat liehay, yakin seperti apa yang ayah katakan, taraf kepandaiannya sekarang pasti jauh lebih tinggi dibanding dua puluh tahun yang lalu. Tapi ayah, Kungfumu sendiri selama dua puluh tahun ini juga pasti sudah melompat maju, walau pandangan putrimu tidak tajam tapi aku sudah tahu dan yakin demikian. Semalam waktu kau melabraknya, bukankah kau berada di atas angin. Sayang semalam bukan pertarungan satu lawan satu, kalau tidak dalam jangka seratus jurus, jiwanya pasti terenggut di tangan ayah."

   Ti Nio tertawa sambil mengelus jenggot, katanya.

   "Seratus jurus kurasa terlalu diagulkan, dalam jangka tiga ratus jurus, yakin aku dapat mengambil jiwanya. Sayang semalam aku tiada kesempatan untuk menuntut balas padanya. Tapi padri asing yang menggantikan dia itu, kepandaiannya ternyata lebih tangguh lagi. Kalau keponakan Lam-wi tidak serahkan seruling pusaka kepadaku, hampir aku tidak kuasa menghindari mara bahaya."

   Han Cin berkata.

   "Seorang Kuncu menuntut balas, sepuluh tahun belum terlambat. Ayah kau sudah menunggu dua puluh tahun, apa salahnya bersabar beberapa hari lagi. Padri asing itu datang bersama utusan Watsu, tak lama lagi pasti pulang ke negerinya. Kapan ayah mau menuntut balas kepada Lcnghou Yong, memangnya kuatir takkan berhasil?"

   Ti Nio manggut-manggut, katanya.

   "Betul. Akupun berpikir demikian. Baiklah, soal menuntut balas ini boleh dikesampingkan dulu. Kini aku akan utarakan keputusanku yang kedua pada kau."

   "Angan-angan yang kedua", mendengar perkataan sang ayah, serasa berdebar jantung Han Cin. Walau teka teki belum terjawab, namun dia sudah meraba angan-angan apa yang hendak dikatakan oleh ayahnya. Melihat perubahan mimik muka putrinya, Ti Nio menghela napas, katanya kalem.

   "Mungkin kau tidak ingin mendengarnya, tapi aku tetap akan beritahu padamu."

   "Itulah angan-angan bersama dua keluarga Kek dan Ti kita, dua puluh tahun yang lalu meski aku tidak memberi jawaban tegas kepada Bibi Kek, namun dalam hati kecilku waktu itu aku sudah berjanji, kuharap kelak bisa meneruskan perjanjian leluhur kedua keluarga kita."

   "Waktu itu aku berpikir begini. Aku yakin suatu ketika pasti akan bisa menemukan ibumu dan Suteku, akan kusampaikan maksud hatiku ini dan mohon persetujuan mereka. Waktu itu aku berpikir, kesalahan yang pernah kulakukan, tak berani aku mohon maaf kepada mereka, tapi demi masa depan putriku, apalagi keluarga Kek merupakan keluarga persilatan, umpama hubungan kedua keluarga tidak intim, perjodohan inipun boleh dikata setimpal dan sama bobotnya."

   Mulut Han Cin sudah terpentang, dia ingin bicara, tapi tidak tahu dari mana dia harus bicara.

   "Anak Cin,"

   Kata Ti Nio.

   "biarlah aku bicara sampai habis, baru kau boleh utarakan isi hatimu."

   "Dua tahun yang lalu, kudengar kabar dalam usia yang masih muda Kek Lam-wi sudah angkat nama sebagai salah satu dari Pat-sian, betapa senang hatiku. Tapi belakangan setelah aku menyaksikan Kungfunya, terus terang, aku amat menyesal dan gegetun pula. Tapi aku sendiri yang menyebabkan penyesalan itu."

   Mendengar sang ayah tiba-tiba membicarakan Kungfu Kek Lam-wi, tanpa merasa Han Cin melengak, tapi bila sang ayah tidak bicara soal jodoh, sikapnya sih tidak begitu kikuk. Pikirnya.

   "Kungfu Kek-suheng kan hebat, entah soal apa yang disesalkan ayah?"

   Ti Nio seperti dapat meraba pikiran putrinya, katanya.

   "Kalau dibanding jago silat kalangan Kangouw umumnya, kepandaian Kek-suhengmu memang terhitung kelas wahid. Tapi sayang dia tidak mempelajari ilmu silat kelas tinggi, Kungfu kelas tinggi yang betul-betul murni."

   Tak tahan Han Cin bertanya.

   "Bukankah kau sudah serahkan gambar penjelasan King-sin-pit-hoat kepadanya? Bukankah ilmu itu sudah terhitung Kungfu kelas tinggi?"

   "Waktu aku menyerahkan gambar penjelasan itu taraf kepandaianku sendiri jelas tidak setinggi latihanku sekarang, gambar penjelasan itu hanya mengajarkan cara dan pemecahan ilmu Tiam-hiat, tentang rahasia menyalurkan hawa murni dan Iwekang, kalau hanya berdasarkan gambar penjelasan itu saja tetap takkan bisa melatihnya sampai taraf yang paling tinggi. Apalagi mantra yang harus digunakan untuk melancarkan ilmu Tiam-hiat berdasarkan gambar penjelasan itu, baru beberapa tahun belakangan ini berhasil kuselami."

   "Kalau demikian, sekarang juga belum terlambat kau mengajarkan kepadanya."

   "Betul. Aku memang sudah siap mengajarkan kepadanya. Aku sudah berkeputusan dalam waktu dekat ini akan kuserahkan dua hadiah kepadanya. Kuharap kau dapat membantu ayah menunaikan harapanku itu."

   Han Cin tersentak kaget, teriaknya.

   "Ayah..."

   Ti Nio goyang-goyang tangan supaya dia tidak ribut dan biarlah dia bicara habis.

   "Kedua hadiah itu akan kuserahkan sebagai mas kawinnya. Hadiah pertama adalah batok kepala Lenghou Yong kedua adalah ilmu Tiam-hiat tunggal ajaran keluarga Ti kita. Anak Cin, aku amat senang, kau sudi mengakui aku sebagai ayah, maka aku harap kau suka membantu ayah mencapai angan-angan terakhir."

   Han Cin menghela napas, katanya.

   "Ayah, ada beberapa patah kata, entah pantas tidak ku utarakan'.'"

   "Aku justru ingin mendengar isi hatimu, boleh kau katakan. Bagaimana?"

   "Ayah, bukan putrimu tidak tunduk akan petuahmu, tapi tindakanmu ini tidak akan membawa kebaikan bagi segala pihak, termasuk Kek-suheng tentunya."

   "Kenapa? Justeru mengingat hubungan turun temurun tiga generasi dari keluarga Kek dan Ti, maka aku ingin menjodohkan kau dengan dia. Aku malah akan bantu dia menuntut balas, akan kuajarkan pula ilmu tingkat tinggi, bagaimana kau bilang akan tidak menguntungkan dia malah?"

   "Ayah, sukalah kau tidak mencampur adukan persoalan menuntut balas, meyakinkan ilmu dengan perjodohan."

   "Baik coba kau jelaskan, kenapa soal jodoh ini tidak atau kurang baik?"' "Ayah, maaf bila aku bicara terus terang dan sejujurnya. Bagi kau tindakanmu ini jelas demi kebaikanmu, untuk keluarga Kcksupek, tapi bicara dari pihak Kek-supek sendiri, mungkin dia bisa mengomel dan salahkan kau terlalu banyak mencampuri urusan anak muda."

   Ti Nio sudah tahu apa yang hendak dikatakan tapi dia tetap bertanya.

   
Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Kenapa?"

   "Dalam kalangan Kangouw, siapa tidak tahu bahwa Kek Lam-wi dan Toh So-so, dua di antara Pat-sian ini adalah sepasang kekasih yang sudah memadu cinta? Ayah, apakah kau tidak tahu akan hubungan mereka?"

   Han Cin menyinggung nama Toh So-so, dia tidak tahu pada hal Toh So-so sambunyi di semak-semak tak jauh dari tempatnya berada.

   Tapi sayang sekali dia tidak lebih dini menyebut nama Toh So-so, bila sejak tadi namanya disinggung, perkembangan selanjutnya mungkin berbeda dengan kenyataan yang bakal terjadi.

   Ternyata di kala mendengar Ti Nio hendak menyerahkan dua hadiah besar sebagai pesalin pernikahan putrinya, secara diam-diam Toh So-so lantas menyelinap pergi.

   Semenit yang lalu dia masih dekat di depan mata, namun kini, meski dia belum pergi jauh, namun percakapan Ti Nio dan putrinya sudah tidak terdengar lagi olehnya.

   "Bukan aku tidak tahu,"

   Ujar Ti Nio.

   "tapi kau hanya tahu yang satu, tidak tahu yang lain."

   "Apanya yang lain?"

   "Menurut apa yang kuketahui walau mereka sering bersama, tapi belum ada ikatan jodoh, apa lagi kulihat watak mereka berbeda. Nona she Toh itu kulihat suka membawakan perangai putri bangsawan, suka ngambek dan brengsek, sebaliknya Kek-suhengmu adalah laki-laki yang tidak suka dikekang dan dibatasi."

   Sebetulnya hati Han Cin dirundung kegelisahan, tapi mendengar perkataan sang ayah, tak urung dia cekikikan geli.

   "Apa yang kau tertawakan, anak Cin?"

   "Ayah, kukira itu hanya jalan pikiranmu yang dimabuk angan-angan belaka."

   Ti Nio kurang senang, katanya.

   "Memangnya menurut hematmu mereka adalah pasangan yang setimpal?"

   "Cinta muda mudi ibarat orang minum air panas atau dingin dapat diketahuinya sendiri. Apakah mereka cocok satu dengan yang lain, orang lain sukar memberikan putusannya. Yang penting bila mereka merasa cocok, pastilah cocok."

   Ti Nio berjingkat, pikirnya.

   "Benar, dulu aku juga berpendapat aku dengan Piaumoay adalah pasangan setimpal, Han-sute jelas tidak cocok dengan dia. Tapi akhirnya jalan pikiran mereka justru jauh berbeda dengan maksudku. Bila mengenang peristiwa masa lalu, tidak bisa tidak aku harus mengaku, bila tidak lantaran aku yang membuat mereka celaka, sekarang mungkin mereka masih hidup sebagai suami isteri yang bahagia,"

   Maka dengan tawa getir dia berkata.

   "Mungkin selama hidupku ini terlalu tekun latihan silat, sehingga tidak banyak yang kuketahui tentang sepak terjang anak-anak muda sekarang."

   Han Cin berkata lebih lanjut.

   "Asal mereka sudah saling cinta, meski tanpa ikatan jodoh apa pula halangannya? Watak berbeda juga tidak jadi soal. Memangnya tiada manusia yang mirip dalam dunia ini, asal mereka bukan manusia yang berdiri di bidang yang berlawanan meski perangai berbeda, satu sama lain bisa saling mengalah dan saling koreksi. Di depan mata kita sudah ada contohnya. Seperti Tan Ciok-sing Toako dengan In San-cici, mereka juga tiada ikatan dari orang tua, pakai mak comblang segala, sudah tentu tanpa perjanjian nikah segala. Apalagi mereka keturunan dari dua keluarga yang berbeda, tabiatnya juga berlainan. Tapi siapapun mengakui bahwa mereka adalah sepasang kekasih yang saling cinta setulus hati, memangnya siapa yang akan menentang dan mengatasi keburukan mereka?"

   Sebetulnya dia sendiri bersama Toan Kiam-ping juga merupakan contoh teladan, tapi dia rikuh untuk membicarakan awak sendiri.

   Kalau sang putri bicara panjang lebar adalah sang ayah merasa gundah dan ruwet pikiran.

   Maklum Ti Nio adalah seorang Tayhiap, selama hidupnya paling berpegang pada sumpah dan janji, oleh karena itu meski dia tahu uraian putrinya masuk akal.

   Tapi dia juga amat berat untuk mengingkari apa yang pernah diucapkan maka dia berkata.

   "Apakah betul mereka saling cinta setulus hati, aku tidak enak tanya kepada Lam-wi. Tapi soal jodoh ini adalah usul nenek dan ibunya di waktu dia masih bayi dulu. Walau waktu itu aku tidak memberi jawaban positip, namun dalam hati kecilku sudah berjanji pada diriku sendiri. Bila dia belum terikat dengan nona Toh itu, kukira apa salahnya katau dia menikah dengan gadis lain. Lebih baik begini saja, setelah aku memenggal kepala Lenghou Yong, baru akan kusuruh orang membicarakan soal jodoh ini. Kala itu bila dia tidak setuju, akupun tidak akan memaksa, terhitung aku tidak mengingkari kehendak orang tuanya."

   Han Cin berkata.

   "Kalau ayah berbuat demikian, itu berarti ayah sengaja melakukan kesalahan. Pertama, kau memberi bantuan budi kepadanya, untuk membarlas kebaikan budimu ini, meski dia menjadi menantumu juga terpaksa. Kau sudi putrimu menikah dengan laki-laki yang dipaksa baru mau menerima aku sebagai isterinya? Apalagi..."

   "Apalagi apa?"

   Urusan sudah terlanjur sejauh ini, Han Cin tidak perlu main malu-malu lagi, katanya.

   "Apalagi kau belum tanya bagaimana pendapatku?"

   Getir suara Ti Nio.

   "Tanpa kau jelaskan aku sudah tahu, kau menyukai Toan-kongcu bukan?"

   "Betul, diapun amat menyukai aku."

   "Apakah kalian sudah mengikat janji untuk hidup sampai tua?"

   Merah muka Han Cin, katanya.

   "Keluarganya kena musibah, kedatangannya ke kota raja kali ini untuk menuntut balas, mati hidup masih sukar diramalkan."

   Ti Nio menghela napas lega, katanya.

   "Kalau demikian, kalian belum ada janji pernikahan?"

   Kalem suara Han Cin.

   "Semalam waktu kami meluruk ke gedung keluarga Liong, kami sudah sumpah bersama. Meski kita dilahirkan bukan pada hari bulan dan tahun yang sama, tapi biarlah mati pada hari bulan dan tahun yang sama."

   Meski bukan sumpah setia menentukan perjodohan, namun pernyataan itu merupakan sumpah setia untuk sehidup semati. Maknanya sudah lebih gamblang. Ti Nio tertunduk diam, lama kemudian baru dia bersuara.

   "Bukan Toan Kiam-ping tidak baik tapi dia keturunan keluarga bangsawan, leluhurnya pernah jadi raja dan dia sendiri adalah seorang pangeran, aku kuatir dia akan membawa sifat jeleknya yang suka disanjung dan diladeni."

   "Kini keluarganya sudah berantakan, tiada bedanya dengan kita sebagai insan persilatan yang terlantar. Jangan kata tata kehidupannya biasa jauh berbeda dengan para pangeran umumnya, meski betul dulu dia membawa watak anak bangsawan, kini setelah mengalami musibah dan digembleng sedemikian rupa, yakin dia akan merubah pandangannya terhadap kehidupan ini. Apalagi aku justru menyenangi dia karena dia orang yang berperangai demikian, bukan lantaran leluhurnya dahulu adalah keluarga kerajaan."

   Tahu bahwa urusan tak mungkin dirobah pula, akhirnya Ti Nio menghela napas, katanya.

   "Seorang laki-laki sejati harus menepati janji, mungkin kali ini aku tidak dapat menepati janjiku dulu, sungguh aku malu terhadap arwah Kek-suheng di alam baka,"

   Tak tahan Han Cin membantah.

   "Ayah, dahulu ayah bundamu bukankah juga pernah berjanji kepada nenek luarku, supaya kau menikah dengan Piaumoay?"

   Kata-kata ini bagai godam yang memukul dada Ti Nio sampai dia berjingkat kaget roman mukanyapun seketika berubah pucat.

   "Betul, 'perintah orang tua' itulah penyebab tragedi yang menyedihkan dahulu. Akupun terlalu tunduk pada perintah orang tua, justru karena aku merasa adanya perintah itu sehingga perjodohan itu sudah resmi dan sepantasnya, maka aku melakukan perbuatan terkutuk itu. Piaumoay justru pemberani, dia melawan kehendak orang tua dan menyukai Han-sute. Kalau demikian, apa pula arti janji para leluhur? Perkataan anak Cin memang tidak salah, soal jodoh adalah urusan besar, betapapun jodoh tidak boleh dipaksa, kalau anak-anak muda sama tidak jatuh cinta kenapa perjodohan harus dipaksakan. Aku sudah membuat celaka ibu anak Cin, betapapun tak boleh mencelakainya lagi,"

   Ucapan putrinya tadi memang amat melukai gengsi dan harga dirinya, tapi sekaligus telah mencegah terulangnya tragedi yang tidak diinginkan.

   "Anak Cin terima kasih kau telah menyadarkan aku. Aku memang bukan ayah yang baik, hampir saja aku melakukan kesalahan lagi. Baiklah kalau kalian memang sudah sama cinta, akupun tidak akan memaksamu,"

   Luka lama sanubari Ti Nio kembali ditusuknya sampai darah bercucuran, namun karena rasa sakit luka lama inilah sehingga dia sadar kembali dari kesalahan, dengan berlinang air mata dia minta maaf kepada putrinya.

   Senang dan duka hati Han Cin, katanya sambil memeluk sang ayah.

   "Ayah, kau adalah ayah yang baik, ayah yang dapat membedakan kebenaran, putrimu amat berterima kasih kepadamu. Ayah sebetulnya engkau tidak perlu gelisah, masih ada cara sempurna untuk menyelesaikan persoalan ini."

   Ti Nio melenggong, katanya.

   "Cara sempurna bagaimana?"

   "Bukankah kau ingin membalas kebaikan keluarga Kek yang telah menahan budi kepada dua generasi keluarga kita?"

   "Memangnya, aku ingin melanjutkan perjanjian leluhur kita, justru karena itu. Tapi kini..."

   Han Cin menukas dengan tertawa.

   "Dua kado yang kau siapkan untuk kau berikan kepada Kek Lam-wi masih boleh kau serahkan, malah tetap boleh kau serahkan sebagai pesalin."

   "Lho, maksudmu..."

   "Boleh kau berikan sebagai kado pernikahan Kek Lam-wi dengan Toh-cici. Kau sudah anggap dia sebagai keponakan sendiri, kaupun boleh memungut Toh-cici sebagai putrimu."

   Ti Nio sadar, pikiran pepatnya terbuka, katanya.

   "Betul, tanpa mengikat perjodohan dengan pihak keluarga sendiri, aku masih pantas membalas kebaikan keluarga Kek. Memang, otakku yang bebal ini kenapa tidak bisa berpikir menyimpang, untung kau memberi ingat kepadaku. Anak Cin, kau boleh lega hati. Aku pasti bertindak seperti akal tadi."

   Saking senang, Han Cin sampai berjingkrak seraya berteriak.

   "Ayah, kau memang ayahku yang baik."

   "Jangan memuji aku,"

   Ujar Ti Nio tertawa sambil mengelus rambut anaknya.

   "sekarang mari pulang, kita tengok keadaan Kiam-ping." 000OOO000 Diluar dugaan Ti Nio dan Han Cin, saat mana ternyata Kek Lam-wi berada di pinggir ranjang Toan Kiam-ping. Toan Kiam-ping berkata.

   "Ti Tayhiap banyak terima kasih akan bantuanmu, sehingga sakitku sudah sembuh, mana berani..."

   Sebelum dia bicara habis. Ti Nio sudah menukas dengan tertawa lebar.

   "Sengaja aku kemari untuk menyampaikan berita baik."

   Toan Kiam-ping sudah menerka dalam hati, seketika sorot matanya bersinar, tanyanya.

   "Kabar baik apa?"

   Ti Nio tersenyum, katanya.

   "Anak Cin adalah anak kandungku, persoalannya dengan kau sudah dia jelaskan kepadaku. Maka menurut maksudku setelah sakitmu sembuh biarlah kalian bertunangan dulu. Setelah tiga tahun kau berkabung, baru adakan upacara pernikahan,"

   Lalu secara ringkas dia ceritakan bagaimana mereka ayah dan anak bertemu kembali setelah berpisah dua puluh tahun lamanya. Mendengar berita gembira ini sungguh bukan kepalang senang hati Toan Kiam-ping, katanya tersipu-sipu.

   "Banyak terima kasih pada paman yang sudi menyerahkan putrimu kepadaku. Mohon maaf karena Siau-tit sedang sakit, tidak bisa memberi sembah hormat kapada kau orang tua."

   "Toan-toako,"

   Sela Kek Lam-wi tertawa,"

   Kenapa kau membahasakan diri sebagai Siau-tit lagi, seharusnya kau menggunakan istilah Siau-say (menantu),"

   Pada hal dalam hati dia sedang dirundung persoalan, meski memberi ucapan selamat setulus hati, namun tawanya kelihatan agak dipaksakan.

   "Kek-toako,"

   Ujar Toan Kiam-ping.

   "jangan kau menggodaku melulu aku sih akan menunggu minum arak bahagia kau bersama nona Toh."

   Guram air muka Kek Lam-wi, katanya.

   "Jangan melibatkan diriku, aku mana punya rejeki sebesar itu."

   Toan Kiam-ping melengak, baru dia hendak tanya apa maksud perkataannya, Han Cin sudah mendahului.

   "Kek-suko, ada satu hal ayah hendak memberitahu kepada kau, tapi soal ini panjang kalau dibicarakan..."

   "Baiklah, marilah kita bicara diluar, jangan mengganggu Toan-toako yang perlu istirahat."

   Han Cin mendahului keluar, katanya.

   "Dimana Toh-cici?"

   "Entahlah. Dia meninggalkan sepucuk surat tapi tidak menjelaskan kemana dia pergi."

   Tergetar hati Han Cin, katanya tergagap.

   "Surat, apa yang dikatakan dalam surat?"

   "Dia suruh aku tanya satu hal kepada kau."

   Mendengar hal ini seperti disambar geledek kaget Han Cin, mukanya seketika merah berubah hijau bergantian, sekuatnya dia tenangkan diri, tanyanya dengan suara gemetar.

   "Soal, soal apa?"

   Untung Kek Lam-wi kira karena dia mendengar Toh So-so menghilang sehingga hati merasa kaget dan gugup, tidak terpikir akan akibat lain. Katanya.

   "Dia bilang Ti-susiok dan kau tahu siapa pembunuh ayahku. Sejak pagi tadi Ti-susiok diundang Liok-pangcu dan Lim-toako untuk berunding menyelesaikan urusan besar, pada hal aku ingin lekas tahu terpaksa aku tanya kau saja."

   Sadarlah Han Cin akan duduk persoalannya.

   "Ternyata percakapanku dengan ayah di hutan telah dicuri dengar oleh Toh-cici,"

   Setelah tahu akan hal ini, meski dia merasa rikuh dan kikuk kaget lagi, namun dari nada pembicaraan Kek Lamwi agaknya Toh So-so tidak menyinggung persoalan yang menyulitkan bagi mereka yang kini berhadapan, legalah hatinya, katanya.

   "Betul, kemarin malam ayah sudah berhasil menyelidiki dengan betul, siapa pembunuh ayahmu."

   Berita ini sementara telah menentramkan perasaan Kek Lam-wi yang tidak tentram karena kehilangan sang pujaan, hatinya memperoleh getaran baru yang menambah semangat jantannya. Lekas dia bertanya.

   "Lekas beritahu kepadaku siapakah dia?"

   Pelan-pelan Han Cin berkata.

   "Pembunuh ayahmu dulu adalah Lenghou Yong."

   Kek Lam-wi melenggong sesaat lamanya, katanya kemudian.

   "Tak heran So-so bilang demikian. Ai, tapi jalan pikirannya itu belum tentu pasti benar..."

   Tanpa merasa Han Cin melengak, sebelum orang bicara habis segera dia bertanya.

   "Apa yang dikatakan Toh-cici, boleh kau beritahu kepadaku?"

   "Dia mendorongku untuk belajar silat lebih tekun dan rajin, dengan tanganku sendiri menuntut balas kepada musuh. Dia kuatir kehadirannya di dampingku akan mengganggu pelajaranku, dia berkeputusan untuk meninggalkan aku."

   Ternyata To So-so tidak selesai mendengar percakapan Ti Nio dengan Han Cin, secara diam-diam dia tinggal pergi dengan membawa hati yang luka, hati yang rawan. Diam-diam dia berpikir.

   "Memang Lam-ko amat mencintai aku, tapi kalau cintanya dibanding kedua hadiah itu, lalu dia akan memilih diriku atau mau menerima kedua hadiah itu?"

   Sudah tentu dia tidak bisa memberikah jawaban Kek Lam-wi, tapi dia bisa meresapi derita dan goncangan hatinya.

   Dendam orang tua sedalam lautan.

   Hal ini diresapinya dengan jelas, cita-cita Kek Lam-wi yang terbesar justru menuntut balas kematian ayahnya.

   Sering kali Kek Lam-wi bilang demikian kepadanya.

   "Sia-sia aku dilahirkan di dunia ini, siapa pembunuh ayahku, sejauh ini aku masih tak berhasil menyelidikinya,"

   Setiap kali menyinggung persoalan yang satu ini, selalu dia merasa masgul dan menderita tekanan batin, seperti hampir gila rasanya.

   "Kini siapa pembunuh ayahnya sudah diketahui, tapi dengan bekal kepandaian Lam-ko sekarang, jelas dia bukan tandingan Lenghou Yong. Tanpa bantuan sang Susiok, entah kapan dia baru akan berhasil menuntut balas?"

   "Ai, kalau dia sukar berkeputusan memilih yang mana, biarlah aku saja yang memilih jalan hidupku sendiri."

   Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Lam-ko memang amat mencintai aku, akupun setulus hati mencintainya. Demi cintaku kepadanya, aku rela membantu dia mencapai cita-cita,"

   Demikianlah, setelah dia berkeputusan, dengan berlinang air mata dia menulis sepucuk surat ditinggalkan untuk Lam-wi, lalu secara diam-diam dia tinggal pergi.

   Sudah tentu Kek Lam-wi tidak percaya akan alasan yang ditulis dalam suratnya itu, setelah dipikir-pikir bolak-balik tetap dia tidak peroleh jawaban, rasa masgul yang menekan perasaan hati tak kuasa lagi dilimpahkan di hadapan Han Cin.

   "Sungguh aku tidak mengerti, kenapa dalam saat-saat seperti ini dia justru meninggalkan aku."

   Sudah tentu Han Cin tahu sebabnya.

   Bagaimana jalan pikiran Toh So-so diapun bisa menyelami.

   Ai, tapi mungkinkah dia menjelaskan secara gamblang kepada Kek Lam-wi? Hari pertama telah pergi, hari kedua telah lalu, hari ketiga juga sudah berselang.

   Toh So-so tetap tak kembali.

   Tan Ciok-sing dan In San juga tidak kunjung pulang.

   Toh So-so menghilang adalah persoalan kecil, padahal menurut rencana Tan Cioksing dan ln San hari kedua sudah harus pulang, tapi sudah tiga hari masih tidak melihat bayangan mereka, kemungkinan mereka telah mengalami musibah di istana raja.

   Sambil memindah alamat markas pusatnya, pihak Kaypang bekerja paling sibuk menyebar anak muridnya mencari tahu, namun tiga hari telah pergi, hasilnya tetap nihil.

   Lebih menguatirkan lagi karena Thaykam kecil kenalan Coh Cenghun dan biasa mengadakan kontak dengan Kaypang selama ini tidak muncul.

   Malam itu Thaykam kecil ini sudah berjanji akan membantu Tan Ciok-sing dan In San dari dalam, sebelumnya sudah dijanjikan juga bila terjadi sesuatu diluar dugaan, dalam jangka tiga hari dia akan berusaha memberi kabar kepada pihak Kaypang.

   Sebagai salah satu Thaykam yang bisa meladeni sang Raja dari dekat, sering dia mencari alasan disuruh memberi barang keperluan para selir untuk bolos keluar istana.

   Thaykam yang menjaga pintu tahu kedudukannya dalam istana yang telah dipercayai oleh Baginda maka dia bisa keluar masuk dengan bebas.

   Tapi selama tiga hari ini, bayangannya masih tidak kelihatan.

   Titip kabar kepada orang lain juga tidak.

   000OOO000 Bagaimana keadaan Tan Ciok-sing dan ln San sekarang? Pengalaman mereka harus diceritakan dari permulaan malam pertama.

   Gedung istana raja berada didalam lingkungan Jikcin- ceng.

   Jik-cin-ceng ada empat pintu, pintu tengah dinamakan du-bun, di atas tembok ada dibangun sebuah gedung berloteng yang dinamakan Ngo-hong-lau, para Wisu yang berdinas malam sebagian tinggal di atas Ngo-hong-lau ini, sudah tentu masuk dari pintu tengah ini tidak mungkin.

   Pintu timur dinamakan Tang-hoa-bun, pintu barat dinamakan Say-hoa-bun, semuanya berada dalam lingkungan aliran sungai pelindung kota, sungainya lebar airnya dalam, betapapun tinggi Ginkang seseorang tak mungkin bisa melampauinya.

   Hanya pintu utara yang dinamakan Sin-bubun, menghadap ke King-san.

   Bagi ahli silat yang memiliki Ginkang tinggi, masih mampu naik dari Sin-bu-bun dan menyelundup kedalam istana.

   Dari petang Tan Ciok-sing dan ln San sembunyi di King-san, kira-kira menjelang kentongan ketiga baru mereka mengembangkan Ginkang memanjat ke Sin-bu-bun, padahal di bawah Sin-bu-bun dijaga Wisu, namun di atas tembok tiada bangunan apapun, begitu berada di Sin-bu-bun, langsung mereka melambung ke arah Ni-an-tiam, para Wisu di bawah mimpi juga tidak mengira ada orang berani menyelundup kedalam istana, hakikatnya mereka tidak tahu sama sekali akan kedatangan Tan Ciok-sing dan ln San.

   Genteng istana terbuat dari kaca yang licin, untung Ginkang Tan Ciok-sing dan ln San sudah tinggi, setelah melampaui beberapa wuwungan istana kaca akhirnya mereka tiba di Sin-ling-kiong.

   Di sinilah letak peristirahatan permaisuri Sia-hoa-wan berada di belakang Sin-ling-kiong.

   Thaykam kecil yang berjanji hendak membantu mereka sebelumnya sudah mengadakan kontak hendak bertemu dengan mereka di Simhiang- ting.

   Mendekam di wuwungan Sin-ling-kiong, dengan seksama mereka perhatikan keadaan di bawah.

   Malam itu cuaca gelap, namun lapat-lapat terlihat bayangan para Wisu yang meronda hilir mudik.

   Ternyata pintu gerbang Sin-ling-kiong tepat berhadapan dengan pintu timur dari Giong-hoan didalam Siahoa- wan, pada setiap pintu masuk adalah pantas kalau selalu dijaga oleh kawanan Wisu.

   Dua Wisu tampak hilir mudik saling berhadapan, betapapun tinggi Ginkang seseorang, bila dia harus loncat turun dari atap genting yang tinggi, jejaknya pasti konangan oleh para penjaga itu.

   Lalu bagaimana baiknya? Berkerut alis Tan Ciok-sing, sekilas berpikir akhirnya dia mendapat akal.

   Setelah diperhatikan dilihatnya kedua Wisu itu yang satu ke arah timur yang lain ke arah barat, setelah melangkah tiga puluhan tindak, lalu sama-sama putar balik.

   Tan Ciok-sing diam-diam memelintir dua butir tanah lempung dari bawah sepatunya, di kala kedua Wisu itu memutar balik mendadak dia menjentik dengan jari, kedua butir tanah lempung itu diselentik ke arah dua pucuk pohon yang terletak di kiri kanan.

   Ternyata burung yang bersarang di pucuk pohon itu menjadi kaget dan terbang berhamburan mengeluarkan suara berisik.

   Sudah tentu kedua Wisu itu kaget mendengar suara ribut dari kicau burung yang kaget dan terbang berhamburan di malam yang gelap ini, sekilas perhatian mereka tertuju kesana, dan sebelum saatnya membalik, serempak mereka mendongak melihat burung-burung yang beterbangan itu.

   Kesempatan yang baik ini tidak disia-siakan oleh Tan Ciok-sing berdua, sigap sekali mereka melompat turun secepat kilat.

   Bak umpama selembar daun jatuh, tanpa mengeluarkan suara, bila kedua Wisu itu membalik badan, dan melangkah balik secara berhadapan pula, Tan Ciok-sing berdua sudah menyelinap kesana sembunyi di balik rumpun kembang.

   Salah seorang Wiu ternyata jadi curiga, katanya.

   "Aneh tanpa sebab masakah burung-burung di atas pohon bisa kaget beterbangan?"

   Wisu yang lain tertawa, katanya.

   "Kau ini memang sudah kenyang dan terlalu nganggur, burung mau terbang biar terbang, peduli amat dengan kau, buat apa pikirkan sebabnya mereka terbang."

   Walau curiga, tapi mengingat dari pada terembet urusan, lebih baik bersikap masa bodoh habis perkara.

   Dengan merunduk Tan Ciok-sing dan ln San terus menggeremet maju di antara rumpun kembang, berkat ketangkasan gerak-gerik mereka, akhirnya mereka berhasil menyelinap kedalam Sia-hoa-wan.

   Setelah diperhatikan disini ternyata tiada Wisu yang meronda hilir mudik, legalah hati mereka.

   Sia-hoa-wan ternyata amat besar dan luas, empat penjuru tidak kelihatan ujungnya.

   Pohon-pohon tua banyak terdapat didalam taman kembang ini, gunung-gunungan yang dibangun serba indah, telaga buatan, pepohonan yang terawat serta gardu pemandangan yang dibangun bertingkat tersebar seperti-biji

   

   Tiraikasih Website
http.//kangzusi.com

   biji catur yang sengaja disebar menurut posisi dan kedudukan yang sudah diperhitungkan.

   Berada di Sia-hoa-wan yang luas dan besar, dimanapun kau mudah mendapatkan tempat untuk sembunyi.

   Namun di tempat seluas ini cara bagaimana mereka harus menemui Thaykam kecil itu, jelas ini memerlukan tenaga dan pikiran.

   Mereka terus maju menyibak kembang menyingkirkan dahan, dengan hati-hati dan penuh perhatian mereka sedang menggeremet ke arah sebuah belumbang, tiba-tiba dilihatnya sinar api berkelebat.

   Tan Ciok-sing sembunyi di tempat gelap, waktu dia pasang mata, tampak dua Wisu menenteng lampion sedang mengiringi seorang pemuda yang berpakaian perlente dengan mantel bulu rase sedang bergontai ke arah sini.

   In San kaget, segera dia berbisik di pinggir telinga Tan Ciok-sing.

   "Toako, coba kau perhatikan, orang ini seperti bukan orang Han, seperti sudah pernah kukenal."

   "Betul, keparat ini kalau tidak salah adalah seorang Pwecu yang pernah kita temui di penginapan rumah bangsat tua she Liong itu."

   "Tidak salah,"

   In San juga ingat sekarang.

   "keparat ini malam itu pernah bergebrak melawan Wi-cui-hi-kiau Lim Tayhiap. Menurut Lim Tayhiap Kungfunya cukup liehay, taraf kepandaiannya malah lebih tinggi dari Poyang Gun-ngo dan ke empat jago-jago Watsu lainnya."

   "Kemarin baru Liok-pangcu berhasil mencari tahu, keparat ini bernama Tiangsun Co. Konon adalah putra seorang Ongya di Watsu."

   Terdengar Tiangsun Co sedang bicara.

   "Guruku semestinya akan datang sendiri, tapi setelah dia berunding dengan Ongya, dirasakan bahwa aku seorang diri mewakili dia juga sudah lebih dari cukup. Putusannya ini yakin membuat kalian kecewa bukan?"

   Wisu yang di depan berkata.

   "Ah kenapa bilang begitu, kapan kita bisa mengundang Pwecu kemari. Siang tadi Hucongkoan kebetulan juga ada membicarakan kau Pwecu..."

   Agaknya Tiangsun Co ketarik, sebelum orang bicara habis dia sudah bertanya.

   "Oh, jadi Hu-congkoan kalian juga mengenal diriku, apa yang dikatakan?"

   "Hu-congkoan memuji Pwecu sebagai tunas muda yang jarang bandingannya dalam negeri sendiri, usia muda pandai bekerja, cerdik dan tangkas serta perkasa. Kali ini sebetulnya dia ingin mengundang Pwecu bersama Milo Hoatsu, namun dia kuatir Pwecu tidak sudi memberi muka kepadanya. Apalagi karena hubungan kita baru terjalin sekali ini, maka kami juga tidak berani bertindak terlalu berani. Tapi kedatangan kau seorang juga sudah cukup. Sungguh tak nyana bahwa Pwecu sendiri sudi kemari, terus terang kita lebih senang menyambut kedatanganmu dari pada kedatangan Milo Hoatsu."

   Tiangsun Co tertawa bingar, katanya.

   "Kalian terlalu menyanjungku, mana bisa aku dibanding guruku?"

   "Bukan kami suka berolok-olok, memang begitulah Hucongkoan mengutarakan isi hatinya."

   "Kenapa demikian?"

   "Gurumu meski seorang Koksu, jabatan tinggi besar gengsinya. Tapi bicara soal urusan dinas dan kekeluargaan, mana dia bisa dibanding Pwecu yang langsung keturunan kerabat istana, di hadapan Khan Agung, jelas kau lebih mudah bicara bukan? Banyak persoalan yang tidak mungkin kami bicarakan dengan gurumu, kita bisa bebas bicara dengan Pwecu."

   "Itu memang betul,"

   Ucap Tiangsun Co.

   "banyak terima kasih akan penghargaan Hu-congkoan kalian kepadaku, terus terang sudah lama aku juga amat mengagumi Hu-congkoan kalian."

   Diam-diam Tan Ciok-sing membatin di tempat persembunyiannya.

   "Kiranya mereka telah tiba di Pakkhia, namun berani bergerak secara bebas bukan saja berintrik dengan Liong Bun-kong, kedatangan Tiangsun Co kali ini jelas ada janji pertemuan rahasia dengan Hu-congkoan yang paling berkuasa di istana raja, entah muslihat apa pula di belakang pertemuan mereka nanti? Sayang tugas berat perlu segera dibereskan, tiada tempo untuk mencari tahu ada intrik apa pula antara Tiangsun Co dengan Hu-congkoan."

   Tan Ciok-sing berkata bisik-bisik.

   "Orang macam apa Hucongkoan itu, apa kau tahu?"

   "Pernah kudengar paman Ciu membicarakan dia, konon Congkoan istana dalam bernama Hu Kian-seng, Kungfunya tidak lebih asor dibanding Bok Su-kiat,"

   Sembari menjelaskan dia gandeng tangan Ciok-sing diajak memutari sebuah gunungan, menyelinap di antara semak kembang terus merunduk ke depan.

   Tak lama kemudian tampak kemilau cahaya yang timbul dari refleks permukaan air, ternyata belumbang sudah kelihatan tak jauh di sebelah depan.

   In San berbisik di dekat telinga Tan Ciok-sing.

   "Gardu di depan itu adalah Sim-hiang-ting. Coba kau periksa lebih dulu, adakah orang di sekitarnya?"

   Ketajaman matanya melihat di tempat gelap tidak sejeli Tan Ciok-sing, maka dia suruh Ciok-sing memeriksanya.

   Tan Ciok-sing memandang ke depan dengan seluruh ketajaman matanya, namun tidak kelihatan ada bayangan seorangpun disana.

   Diam-diam hatinya kaget, pikirnya.

   "Celaka, bila Thaykam kecil itu tiba-tiba ingkar janji, cara bagaimana kita bisa bertemu dengan Baginda Raja."

   Belum habis dia berpikir, tiba-tiba dilihatnya bayangan seorang muncul di gardu di seberang sana entah dari mana dia muncul.

   Waktu Tan Ciok-sing mendongak, dilihatnya rembulan tepat di tengah cakrawala, waktu kebetulan tepat kentongan ketiga.

   Diam-diam dia tertawa geli dan lega, pikirnya.

   "Thaykam kecil ini berjanji kentongan ketiga ternyata dia muncul tepat pada waktunya, agaknya aku malah yang terlalu gelisah."

   Baru saja Tan Ciok-sing mau unjuk diri sambil menberikan tanda isyarat. Pada saat itulah, mendadak didalam gardu tahu-tahu sudah muncul pula bayangan seorang. Tampak tangan orang ini merenggut kuduk Thaykam kecil, katanya menyeringai.

   "Tengah malam buta rata, untuk apa kau berada disini, main sembunyi-sembunyi lagi?"

   Gemetar suara Thaykam kecil.

   "Aku, aku tidak bisa tidur, kemari mencari angin."

   Orang itu mendengus, jengeknya.

   "Bulan sembilan saatnya menjelang musim dingin, kau cari angin apa disini? Dan lagi mencari angin kemari kenapa tidak berjalan terang-terangan dari pintu, koh malah merangkak keluar dari lobang di bawah tanah?"

   Ternyata di samping Sim-hiang-ting terdapat sebuah gunungan palsu.

   Di bawah gunungan ini terdapat sebuah gua yang tembus ke Sim-hiang-ting.

   Thaykam kecil dan orang itu sama-sama merangkak keluar dari gua tersembunyi itu.

   Sudah tentu Thaykam kecil tak mampu menjawab.

   Orang itu berkata.

   "Terus terang sudah lama aku memperhatikan dirimu. Kau sering bolos ke pasar di pintu timur dan mampir di sebuah warung minuman mengadakan pertemuan rahasia dengan orang-orang yang tidak dikenal asal-usulnya, kau kira aku tidak tahu? Sayang sejauh ini aku tidak berhasil mendapatkan bukti. Hehe, malam ini belangmu betul-betul sudah kubongkar, hayo lekas berterus terang,"

   Habis dia bicara terdengar tenggorokan Thaykam kecil bersuara berkerutuk. Walau Tan Ciok-sing tidak melihat air mukanya tapi dia tahu Thaykam kecil itu sedang disiksa supaya mengaku.

   "Hayo mengaku terus terang,"

   Ancam orang itu.

   Di saat memperoleh kesempatan ganti napas, benak Thaykam kecil sudah berpikir putar balik.

   Dia teringat akan keluarganya yang sudah tiada, hidup menyendiri dalam keadaan melarat dan menderita, teringat betapa manis dan baik budi orang Kaypang yang telah menolongnya dari kesengsaraan, dia tahu pula betapa besar arti tugas yang sedang diembannya ini, maka dengan mengertak gigi pelanpelan dia mendongak, katanya mendesis.

   "Aku, tiada yang perlu kukatakan."

   Ternyata sejak kecil dia sudah ditinggal mati ayah bunda, tiada sanak tiada kadang dia hidup terlunta sejak kecil, suatu ketika dia ditolong orang Kaypang dan berusaha menanamnya didalam istana raja, disini dia dikebiri menjadi Thaykam.

   Sudah beberapa tahun dia hidup didalam lingkungan istana, namun sejauh ini hidupnya masih belum tentram, akhir tahun yang lalu baru dirinya diangkat ke istana dalam untuk melayani raja, barulah kehidupannya disini lebih mending, meski sudah hidup serba berkecukupan tapi dia tidak pernah melupakan kebaikan orang-orang Kaypang, tidak pernah lupa akan pesan ayah bundanya sebelum ajal mereka dahulu.

   Kini dalam benaknya dia berpikir.

   "Tio-thocu amat percaya padaku, maka dia menugaskan aku menjadi agen disini, tugasku berat tapi besar dan penting artinya. Walau aku tidak tahu untuk apa mereka mengutus orang untuk menemui Baginda Raja, namun dia menduga urusan besar ini pasti menyangkut kepentingan rakyat banyak, mana boleh aku menjual mereka."

   Agaknya orang itu yakin dengan mudah dia akan berhasil mengompres keterangannya, tak nyana dengan tegas dia menjawab.

   "Tidak", hal ini betul-betul diluar dugaannya. Setelah menjengek sekali orang itu tertawa dingin.

   "Baik, kau tidak mau bicara, biar kugusur kau kehadapan Hu-congkoan, di kantornya ada delapan belas jenis alat siksa, setiap jam boleh diganti alat siksa lain supaya derita yang kau alami bisa merata, yakin kau akan dilayani dengan puas dan santai. Coba saja waktu itu, kau mau bicara tidak?"

   Waktu dia hendak seret Thaykam kecil itu keluar dari Sim hiang-ting, baru saja langkah kakinya bertindak, mendadak dilihatnya sesosok bayangan orang seperti elang menyambar kelenci menubruk ke arah dirinya, belum lagi orang itu sempat bersuara, mendadak dadanya terasa kesemutan, Hian-ki-hiat di dada telak tertimpuk oleh tanah lempung timpukan Tan Ciok-sing.

   Sudah tentu lemas pegangan orang itu.

   "Bluk"

   Kontan dia tersungkur jatuh.

   Sementara Thaykam kecil terhuyung bebas lalu menggelendot di lankan dengan pandangan rnenjublek.

   Lekas Ciok-sing bebaskan tutukan Hiat-to di tubuh Thaykam kecil, tangan kanan terulur, di Yang-ciang dia tekan tiga kali, lalu menekan pula tiga kali di In-ciang.

   Inilah isyarat yang telah mereka janjikan sebelumnya.

   Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Sungguh kaget dan girang Thaykam kecil bukan main, katanya.

   "Kau utusan pihak Kaypang syukurlah akhirnya kau datang juga."

   "Maaf, aku datang terlambat selangkah, sehingga kau menderita,"

   Demikian ucap Tan Ciok-sing.

   "Sekarang tak usah banyak bicara, beritahu padaku, apakah orang ini wisu yang bertugas malam ini?"

   "Dia ini pimpinan barisan wisu, tapi malam ini bukan dia yang berdinas,"

   Sahut Thaykam kecil. Ciok-sing tidak perlu kualir, segera ia turun tangan, sekali remas dia gunakan Jong-jiu-hoat menggetar pecah urat nadi pemimpin barisan Wisu, tanpa mengeluarkan suara jiwa orang itu melayang seketika.

   "Dimana sekarang Baginda berada, kau tahu?"

   Tak sempat menyembunyikan mayat orang itu, segera dia tanya kepada Thaykam kecil. Thaykam kecil menjawab.

   "Baginda ada di Long-gak-kek, tadi aku melihat dia sedang membaca laporan dinas, kudengar dia berpesan kepada Thaykam yang berdinas di kamar bukunya, katanya dia malam ini hendak tidur di kamar tulis, tidak seperti biasanya dia harus tidur bergiliran di kamar selirnya. Agaknya malam nanti dia akan tidur jauh malam, mumpung ada kesempatan, kau bisa menemuinya disana. Kau tahu letak Long-sim-tiam,"

   Dalam gambar peta yang dibuat Thaykam kecil ada diterangkan dengan jelas, karena tempat itu merupakan gedung bangunan yang cukup besar, Tan Cioksing yakin tidak sulit untuk mencarinya, katanya.

   "Aku tahu."

   "Kalau demikian maaf aku tidak antar kalian kesana,"

   Ucap Thaykam kecil.

   Sementara itu In San berada diluar gardu mengawasi keadaan sekitarnya, Thaykam kecil tahu dia datang bersama Tan Ciok-sing.

   Untung dalam jangka waktu yang pendek ini tiada rombongan ronda yang lewat disini.

   Thaykam kecil ini tidak bisa main silat, jikalau dia disuruh mengunjukkan tempatnya mungkin bisa menambah beban mereka malah.

   Maka Tan Ciok-sing berkata.

   "Baiklah, kau tak usah kuatir, aku pasti dapat temukan tempat itu. Tolong mayat ini kau yang mengurusnya." - Dalam hati dia membatin, setengah jam lagi bakal bertemu dengan Baginda, umpama mayat orang ini ketemu orang juga tidak jadi soal lagi. Baru saja Tan Ciok-sing hendak berlalu, Thaykam kecil itu mendadak berkata.

   "Hiapsu, tunggu sebentar..."

   "Masih ada persoalan apa?"

   Tanya Tan Ciok-sing menoleh. Sikap Thaykam kecil agak ganjil, sesaat kemudian baru berkata.

   "Bila kau bertemu dengan Tio-thocu, tolong sampaikan kepadanya, katakan bahwa aku tidak pernah melupakan petuahnya."

   Karuan Tan Ciok-sing melenggong, pikirnya.

   "Dalam saat segenting ini, kau masih mengoceh kepersoalan yang tidak perlu,"

   Katanya.

   "Baik, pesanmu pasti kusampaikan,"

   Lalu dia ajak In San berlalu.

   Setelah meninggalkan Sim-hiang-ping baru Tan Ciok-sing menelaah pesan Thaykam kecil yang dirasakan agak ganjil, serta mimik mukanya yang aneh, mau tidak mau dia menaruh curiga, belum jauh mereka pergi, sayup-sayup tiba-tiba didengarnya suara rintihan seseorang.

   Tan Ciok-sing .

   terperanjat, katanya.

   "Lekas balik, kita lihat apa yang terjadi?"

   "Lihat apa?"

   Tanya In San heran. Maklum pendengarannya tidak setajam Tan Ciok-sing, meski dia mendengar sesuatu suara dari Sim-hiang-ting, namun dia tidak bisa membedakan suara apa itu.

   "Mungkin Thaykam kecil itu mengalami sesuatu,"

   Ujar Tan Ciok-sing.

   Tadi mereka melihat Thaykam kecil itu telah menyeret mayat orang itu kedalam gua di bawah gunungan, maka begitu tiba di Sim-hiang-ting, langsung mereka juga menyusup kedalam gua, seketika mereka terbelalak kaget, ternyata sebatang belati tampak menancap di dada Thaykam kecil, tubuhnya roboh berdampingan di samping mayat tadi dan masih kelejetan, ternyata dia menggunakan belati yang tergantung di pinggangnya mayat itu untuk membunuh diri.

   Lekas Tan Ciok-sing menubruk maju serta menutuk beberapa Hiat-to untuk mencegah darah mengalir keluar, tapi belati itu menembus jantung, mana mungkin jiwanya ditolong lagi? Pertolongan pertama yang dilakukan paling hanya memperpanjang napasnya sehingga dia masih bisa bertahan hidup beberapa kejap lamanya.

   Lambat laun Thaykam kecil membuka mata, katanya lirih.

   "Kenapa tidak lekas kau tunaikan tugasmu?"

   "Kau, kenapa kau bertindak senekat ini?"

   Ujar Tan Ciok-sing gugup.

   "Cepat atau lambat peristiwa ini pasti terbongkar, dan lagi aku kuatir bila kejadian ini terlalu cepat diketahui mereka, aku sendiri tidak yakin apakah di bawah siksaan mereka aku kuat bertahan untuk tidak mengaku."

   Tahu jiwanya tak mungkin ditolong lagi, terpaksa Tan Cioksing berkata.

   "Adakah pesanmu yang lain?"--Segera dia dekatkan telinganya di mulut orang, didengarnya suara yang keluar dari mulut Thaykam kecil selirih bunyi nyamuk.

   "Aku, aku sudah tidak punya orang tua, tiada sanak tidak punya kandang, tiada yang perlu kau repotkan. Tolong saja kau sampaikan pesanku tadi kepada Tio-thocu,"

   Habis bicara matanya terpejam, napaspun putus. Tan Ciok-sing menyembah tiga kali terhadap jenazah Thaykam kecil, katanya.

   "Walau Thaykam ini tidak pandai silat, namun dia patut disebut seorang pendekar besar."

   In San menghibur.

   "Sekarang bukan saatnya bersedih, marilah kita dengarkan pesannya, lekas mengerjakan tugas kita yang penting."

   Mereka segera mengembangkan Ginkang, sepanjang jalan ini dengan mudah mereka menghindari kawanan Wisu yang mondar mandir.

   Lekas sekali mereka sudah mengitari Yongsim- tiam, Long-gak-kekpun telah tampak di depan mata.

   Long-gak-kek merupakan gedung bertingkat dua, mereka sembunyi di tempat gelap, mendongak ke atas, tampak kamar di atas loteng memang ada sinar lampu yang menyorot keluar, bayangan seorang tampak juga di atas jendela sutra, dari gayanya tampaknya sedang membaca sesuatu, pastilah Baginda Raja sedang membaca laporan dinas.

   Di bawah loteng di depan pintu berdiri dua Wisu.

   Dalam hati Tan Ciok-sing mereka.

   "Kungfu kedua Wisu ini pasti lebih tinggi, tanah lempung kecil mungkin tak kuasa menutuk Hiat-to mereka,"

   Terpaksa dia menyerempet bahaya, dengan Kim-ci-piau (mata uang emas) menggunakan cara menimpuk menutuk Hiat-to.

   Mata uang itu memang meluncur secepat kilat, baru saja kedua Wisu itu membuka mulut hendak berteriak, Hiat-to pelemas di tubuh mereka telah tertimpuk dengan telak.

   Kontan tubuh mereka bergetar sekali, tapi mereka tetap berdiri tegak di tempat masing-masing tanpa dapat bergerak lagi.

   Kecuali seorang ahli silat yang kebetulan lewat di depan mereka, orang lain takkan tahu kalau mereka sudah dikerjai orang.

   Seluruh perhatian Baginda Raja sedang ditujukan pada laporan yang dibacanya, hakikatnya tidak ambil peduli dan tidak tahu apa yang terjadi diluar.

   Tapi diluar kamar bukunya dijaga pula seorang jago kosen dari istana, dengan jelas jago kosen ini mendengar luncuran kedua mata uang dan kedua Wisu yang jaga di bawah seketika bungkam.

   Sudah tentu timbul rasa curiga jago kosen ini, tapi mimpi juga dia tidak pernah menduga ada orang luar yang berani datang ke istana yang terlarang, sudah tentu tak pernah terbayang pula olehnya bahwa ada pembunuh hendak mengincar jiwa junjungannya.

   Tanpa bersuara atau mengganggu Baginda, diam-diam dia beranjak dari tempatnya, dengan berjinjit-jinjit dia turun dari loteng tanpa diketahui siapapun.

   Tan Ciok-sing memang menanti kedatangannya, begitu kaki orang melangkah keluar pintu, kontan dia persen orang dengan timpukan sebentuk mata uang.

   Tak nyana jago kosen ini memiliki kepandaian tinggi, mata uang itu sempat dijentiknya pergi.

   Namun demikian, walau mata uang itu dijentiknya jatuh, jari tangan sendiripun sakit bukan main, malah seluruh lengan kanannya pegal dan linu tak mampu bergerak lagi.

   


Dendam Asmara -- Okt Rahasia Bukit Iblis -- Kauw Tan Seng Medali Wasiat -- Yin Yong

Cari Blog Ini