Ceritasilat Novel Online

Pendekar Pemetik Harpa 2


Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen Bagian 2



Pendekar Pemetik Harpa Karya dari Liang Ie Shen

   

   Tapi waktu dia coba berusaha berdiri, kaki masih terasa lemas dan lumpuh tak mampu keluarkan tenaga.

   Sebagai ahli Kungfu sejenak dia melenggong, lantas dia paham duduknya persoalan.

   Ternyata siapa saja bila dalam keadaan gugup atau berbahaya dapat saja mengeluarkan tenaga besar diluar sadar.

   Padahal dia sudah terkena racun jahat, bilamana hawa murni dalam tubuh sudah buyar dan tak mungkin dihimpun lagi, tenaga terpendam didalam tubuh jelas takkan mampu dikembangkan.

   Kini bahwa dia mampu mengerahkan tenaga terpendam itu, ini membuktikan bahwa lwekang yang dia kerahkan sudah membawa hasil.

   Dalam hati In Hou tertawa getir.

   "Ternyata aku masih sebagai orang lumpuh, si lumpuh yang harus dilindungi seorang bocah. Ai, cukup asal aku dapat memulihkan sedikit tenagaku, betapa baiknya. Kini hawa murniku sudah ludes, terpaksa aku harus mulai dari permulaan lagi, tapi untuk mencapai apa yang kuharapkan paling tidak memerlukan waktu satu jam. Umpama benar aku dapat mengumpulkan sedikit tenaga itu, apa pula manfaatnya."

   Maklum enam tujuh musuh yang ada diluar semuanya berkepandaian cukup tangguh, umpama betul In Hou dapat memulihkan beberapa bagian tenaganya, juga takkan mampu menandingi mereka.

   Apalagi tenaga yang dikerahkan In Hou untuk menarik Tan Ciok-sing hanyalah tenaga alamiah yang dimiliki juga oleh manusia umumnya, hakikatnya belum terhitung tenaga lwekang.

   Maka setelah sekian saat dia berdiam diri sambil pasang kuping, didengarnya Ki Harpa sedang merintih-rintih, serta derap langkah orang banyak yang berlalu tergesa-gesa, lekas sekali suara ribut diluar sudah tak terdengar lagi.

   Musuh akhirnya sudah pergi, namun nasib Ki Harpa mungkin celaka dari pada selamat.

   Setelah mendengar musuh pergi jauh, tapi tidak mendengar suara Ki Harpa minta tolong, sungguh tak kepalang pilu hati In Hou, lekas dia lepas pegangan tangan Tan Ciok-sing, katanya.

   "Lekas, lekas keluar dan papah kakekmu masuk ke mari."

   Waktu Tan Ciok-sing memburu keluar, dilihatnya sang kakek rebah di antara ceceran darah, harpa kesayangannya itu masih dipeluknya dengan kencang.

   "Oh, kakek,"

   Teriak Tan Ciok-sing dengan kalap dan panik, lekas dia memayang kakeknya. Ki Harpa merintih lemah, bibirnya berada di pinggir telinga cucunya, katanya lirih.

   "Jangan gembar gembor, jagalah kalau penjahat datang lagi,"

   Suaranya lembut seperti bunyi nyamuk, tapi mendengar sang kakek masih mampu bicara, lega juga hati Tan Ciok-sing, lekas dia bopong sang kakek masuk kedalam kamar rahasia.

   "Sing-ji, sulutlah pelita, biar kulihat keadaan In Tayhiap, dia, apakah dia sudah baik?"

   Begitu masuk kamar rahasia Ki Harpa segara berpesan demikian. Tan Ciok-sing menurunkan Ki Harpa di pinggir In Hou, lalu menyulut pelita, katanya.

   "In Tayhiap sudah jauh lebih baik, tapi kau kek..."

   In Hou pegang tangan Ki Harpa serta meraba nadinya.

   Walau In Hou tidak mahir pengobatan, namun mendengar denyut nadi dia bisa juga, terasa denyut nadi Ki Harpa sudah kalut, luka-luka yang diidapnya agaknya sukar tersembuhkan lagi.

   Karuan seperti tenggelam sanubari In Hou, rasanya lebih dingin waktu terjatuh kedalam rawa hari itu, yakin bahwa dirinya pasti mati, namun penderitaan batin sekarang ternyata jauh lebih menyedihkan.

   Tapi Ki Harpa justru mengulum senyum, katanya.

   "In Tayhiap, keadaanmu memang jauh lebih baik. Tapi jangan kau banyak membuang tenaga percuma,"

   Suaranya lebih lantang. Timbul setitik harapan dalam benak Tan Ciok-sing, tanyanya.

   "In Tayhiap, apakah kakek masih bisa ditolong?" - sudah tentu dia tidak tahu bahwa semangat kakeknya memang kelihatan lebih segar, padahal itulah tanda-tanda akhir hayatnya. Menghibur dengan membohonginya atau bicara terus terang? Di kala In Hou sukar berkeputusan ini, Ki Harpa sudah tertawa getir, katanya.

   "Manusia akhirnya pasti mati, kakekmu sudah berusia tujuh puluh tahun lebih, mati pun tidak perlu menyesal."

   Maka pecahlah tangis Tan Ciok-sing, katanya.

   "Kakek, kau tidak boleh mati dan tidak akan mati, jangan kau tinggalkan aku."

   Entah dari mana datangnya tenaga tiba-tiba Ki Harpa membentak.

   "Sekarang bukan saatnya menangis. Sing-ji, dengarkan pesanku, setelah aku mati, bakar saja rumah ini, selekasnya kau harus menyingkir jauh ke tempat lain."

   Sambil menahan air mata Tan Ciok-sing meratap.

   "Kakek, beritahu padaku, siapakah musuhmu?"

   Berkata Ki Harpa dengan suara serak.

   "Aku tidak tahu, aku tidak mengharap kau menuntut balas sakit hatiku. Yang kuharapkan semoga kau dapat menunaikan keinginanku, lekas tolong In Tayhiap dari tempat bahaya ini bersama harpa kuno itu,"

   Suaranya semakin lemah.

   "Tidak, kek,"

   Teriak Tan Ciok-sing.

   "aku ingin tahu, kakek, kepada mereka kau bilang, It-cu-king-thian yang melukai kau, apa itu betul?"

   Sebetulnya dia tidak mendengar jelas apa yang dikatakan kakeknya, tapi dari percakapan orang-orang jahat itu tahu tentang keadaan kakeknya.

   Kini dia tahu bahwa Kiamboh yang dibicarakan kakeknya dikatakan sudah direbut It-cuking thian adalah untuk menipu para penjahat, lalu tentang It-cu-king-thian melukai dirinya, apakah juga bukan untuk mengelabui musuh? Seperti teringat sesuatu, sesaat dengan suara terputusputus Ki Harpa mengeluarkan tiga patah kata.

   "Bukan, bukan dia."

   Legalah hati Tan Ciok-sing, dalam hati dia membatin.

   "Kiranya betul hanya untuk menipu musuh. Sebenarnya aku tidak pantas curiga kepada lt-cu-king-thian. Memangnya mungkin Lui Tayhiap tega mencelakai kakek?"

   Tapi In Hou yang sudah kenyang makan asam garamnya kehidupan lain pula kesimpulannya, setelah mendengar omongan Ki Harpa bertambah tebal rasa curiganya. Pikirnya.

   "Kalau It-cu-king-thian orang baik, kenapa Ki Harpa memberitahu kepada para penjahat itu bahwa dialah yang merebut Kiam-boh? Memangnya tujuannya hendak melimpahkan petaka kepada lt-cu-king-thian?"

   "Lalu siapa yang melukai kau waktu kakek pulang dari rumah keluarga Lui?"

   Tanya Tan Ciok-sing menegas. Ki Harpa jadi marah, serunya.

   "Aku tidak ingin kau menuntut balas, maka kau tak usah turut campur."

   Tan Cioksing mengiakan, namun mimik wajahnya masih menampilkan rasa curiga dan penasaran.

   Ki Harpa menjadi luluh perasaannya, agaknya dia ingin memberi penjelasan, maka rahasia yang ingin disimpannya terpaksa dia jelaskan setelah menghela napas panjang.

   "Memang aku terluka di rumah keluarga Lui, tapi urusan tiada sangkut pautnya dengan Lui Tayhiap. Ai, sayang sekali, aku sudah tiada kesempatan menjelaskan kepadamu."

   Tan Ciok-sing berkata.

   "Kakek, apakah aku bersama In Tayhiap boleh sembunyi ke rumah keluarga Lui?"--Ternyata dia tidak curiga kepada lt-cu-king-thian, namun hanya merasa heran, bahwa kakeknya terluka parah di rumah keluarga Lui, kenapa tidak menyuruh dirinya pergi kesana minta penjelasan kepada Lui Tayhiap, tapi malah suruh dia membawa In Hou pergi ke tempat jauh. Lekas Ki Harpa berkata.

   "Tidak, jangan. Jangan kita bikin sengsara orang lain, tak perlu kau mencari keterangan kepada Lui Tayhiap."

   In Hou membatin.

   "Tadi kau bilang Kiam-boh dan diriku telah direbut oleh Lui Tin-gak, bukankah keterangan bohong ini sudah membikin susah mereka?"

   Tapi tidak enak dia utarakan isi hatinya ini. Apalagi dalam hati dia sudah maklum.

   "Dia suruh cucunya pergi ke tempat jauh, pasti kuatir It-cu

   

   Tiraikasih Website
http.//kangzusi.com

   king-thian bertindak diluar batas, cucu yang satu-satunya ini pun dibunuh It-cu-king-thian sekalian."

   Agaknya Ki Harpa sudah meraba isi hatinya ini, katanya.

   "Kukatakan bahwa Kiam-boh terjatuh ke tangan It-cu-kingthian, karena memenuhi permintaan Lui Tayhiap sendiri."

   Sudah tentu In Hou takkan mau percaya akan keterangan ini, tapi Tan Ciok-sing cukup tahu akan watak kakeknya, dia percaya sebelum ajalnya sang kakek pasti tidak akan mengapusi dirinya, maka dia bertanya.

   "Kenapa?"

   "Lui Tayhiap sudah menduga bahwa peristiwa barusan pasti akan terjadi selekas mungkin. Kalau dia memaksaku untuk berkata demikian, terpaksa aku memenuhi pesannya itu."

   Diam-diam Tan Ciok-sing berpikir.

   "Lui Tayhiap menyuruh kakek berbuat demikian, mungkin untuk menarik perhatian para penjahat itu untuk menghadapinya, sehingga orangorang jahat itu mengendorkan perhatiannya untuk mencari jejak In Tayhiap?"

   Suara Ki Harpa semakin lemah, katanya.

   "Sing-ji, jangan kau banyak tanya, aku juga tidak punya banyak waktu untuk bicara dengan kau. Aku, aku, aku ..."

   Akhir katanya suaranya sudah lirih dan tidak terdengar lagi.

   "Kakek,"

   Teriak Tan Ciok-sing dengan tersirap.

   "masih ada pesan apa lagi?"

   Perlahan jari-jarinya mengelus dada sang kakek.

   "Huuaah"

   Tiba-tiba Ki Harpa memuntahkan sekujur riak kental yang berdarah. Seperti ada sesuatu yang masih belum diselesaikan kalau tidak dikatakan rasanya hati belum puas, tiba-tiba dia menarik napas panjang membangkitkan semangat, katanya.

   "Setelah aku mati, bakar saja rumah ini, biar aku ikut diperabukan disini. Dan lagi..."

   Sampai disini pelan-pelan dia berpaling ke arah In Hou, katanya perlahan.

   "In Tayhiap, kau akan segera sembuh, kumohon sukalah kau merawat cucuku ini."

   Menahan sedih In Hou berkata.

   "In-kong (tuan penolong), legakan hatimu. Aku tidak punya putra, cucumu akan kuanggap sebagai putraku sendiri."

   Ki Harpa tersenyum simpul, katanya.

   "Baik, syukurlah, puaslah hatiku."

   Pelan-pelan mata pun terpejam.

   Lekas Tan Ciok-sing meraba hidung sang kakek, pernapasannya telah berhenti, badannya pun sudah mulai dingin.

   Seketika terasa dunia seperti berputar jungkir balik, sambil memeluk jenazah sang kakek, ingin menangis tapi tak keluar suara, sekian lama dia mematung.

   "Nak,"

   Ujar In Hou tersendat haru.

   "nangislah, nangislah sepuas hatimu."

   Sesaat lamanya baru Tan Ciok-sing memekik dan meratap gerung-gerung, air matanya bercucuran menetes di atas jazat sang kakek, tercampur dengan darah yang berlepotan di badannya.

   Betapa haru dan pilu hati In Hou, namun dia tidak menangis.

   Dalam hati dia berkata.

   "Duduk perkara yang sebenarnya memang belum jelas, tapi It-cu-king-thian tak terhindar dari kecurigaan. Jikalau Kungfuku bisa pulih kembali, pasti akan kubuat perhitungan dengan dia, jikalau kodrat telah menentukan beginilah nasibku selanjutnya, terpaksa kuturunkan kepandaianku kepada Ciok-sing. It-cu-king-thian jelas bukan tokoh sembarang tokoh, bukan mustahil seperti yang dikatakan kawanan penjahat itu, dia memang berintrik dengan Le Khong-thian untuk mencelakai diriku. Umpama Ciok-sing dapat belajar setingkat kepandaianku sekarang, mungkin dia tetap takkan mampu menuntut balas sakit hati kakeknya. Lalu bagaimana baiknya?"

   Tiba-tiba didengarnya diluar seperti ada suara orang, In Hou terkejut, katanya gugup.

   "Jangan menangis Sing-ji, seperti ada orang datang."

   Maka terdengar seorang bergelak tawa diluar, katanya.

   "Ternyata di balik dinding ini ada pintu rahasianya, untung aku cukup cerdik, diluar tahu Toako diam-diam aku putar balik ke mari lagi." -kiranya orang ini cukup ahli juga dalam bidang bangunan, tapi Toako yang dia katakan tadi tidak tahu akan kemahirannya ini. Sebetulnya tadi dia sudah merasa curiga bahwa di balik dinding pasti ada apa-apanya, karena tamak dan ingin mengangkangi Kiam-boh itu, sengaja dia diam saja. Setelah semua orang pergi, dia mencari alasan meninggalkan rombongan terus lari balik kesini secara diam-diam. Sungguh tak terperikan rasa kaget Tan Ciok-sing, setelah berjingkrak dia sudah siap meniup padam pelita, pikirnya hendak melabrak penyatron di tempat gelap. Tapi In Hou mendadak berseru.

   "Jangan padamkan pelita. Lekas petik harpa, lekas bawakan irama harpa."

   Tan Ciok-sing bingung, tapi dalam keadaan mendesak ini, dia sudah tidak banyak pikir lagi, nada suara In Hou seperti membawa tenaga yang tak dapat ditolaknya, dalam keadaan kebingungan itu, dia hanya menurut petunjuk In Hou.

   Lekas petikan senar harpa berkumandang, tapi In Hou mengerutkan kening, katanya lirih.

   "Kau harus bersikap tenang terhadap keadaan sekitarmu, anggaplah kau tidak melihat dan mendengar apa-apa, pusatkan konsentrasimu untuk memetik Khong-ling-san bagian pertama."

   Tan Ciok-sing tahu dengan bantuan irama harpa baru In Hou akan dapat mengumpulkan tenaga, lekas dia tenangkan diri dan pusatkan pikiran, maka petikan harpanya kini jauh lebih mantap dan lebih merdu.

   Di tengah alunan irama harpa yang syahdu itulah mendadak terdengar suara gedubrakan keras, pintu rahasia yang terpasang di atas dinding dijebol secara kasar oleh orang jahat itu.

   "Anak bagus, jangan takut, teruskan petikan harpamu,"

   Demikian ln Hou memberi dorongan mental.

   Langkah kaki dari jauh semakin mendekat, setelah melewati tujuh tombak lorong di sebelah kiri sana, akhirnya orang jahat itu melangkah masuk ke kamar rahasia ini.

   Sementara itu Khong-ling-san kebetulan tengah membawakan kisah pertemuan antara dua sahabat yang telah lama dimadu cinta dan kangen lalu bertamasya dalam suasana manis madu, iramanya enteng lincah dan jenaka meriangkan hati.

   In Hou tenggelam dalam suasana riang terhanyut oleh merdunya irama harpa, hatinya tenang pikiran mantap, seolah-olah dia tidak mendengar dan melihat akan kedatangan orang asing ini, perlahan setitik demi setitik hawa murninya mulai dihimpun kedalam pusar.

   Langkah kaki pendatang itu mengganggu juga ketentraman hati Tan Ciok-sing, tanpa terasa dia menoleh ke arah In Hou, sedikit lena, jari jemarinya kelihatan sedikit gemetar lagi, maka irama yang semula riang lembut dan cepat itu mendadak menjulang tinggi seperti melengking.

   Semula In Hou mengerutkan kening, tapi lekas sekali dia unjuk senyum seperti menghibur Tan Ciok-sing, katanya.

   "Nak, tak usah takut, teruskan petikanmu."

   Tan Ciok-sing tersentak sadar, sadar bahwa detik-detik genting antara mati hidup ini sekali-sekali dirinya tidak boleh lena, maka dia menuruti pesan In Hou.

   Kembali irama harpanya mengalun lembut dan ringan cepat seperti semula dalam tempo yang sama.

   Begitu masuk ke kamar rahasia, melihat keadaan ini, orang itu melenggong sejenak, mau tidak mau hatinya ragu dan was-was.

   Jazat Ki Harpa, jelas terkapar di atas lantai.

   Sementara In Hou duduk membelakangi dinding, tidak bergerak tidak menunjukkan suatu perubahan mimik mukanya yang pucat, jelas yang satu mampus yang lain luka parah.

   Tapi pemuda itu justru setenang itu memetik harpanya seperti tidak terjadi apa-apa disini.

   "Sandiwara apa yang tengah mereka lakukan?"

   Demikian batin orang itu.

   "Apakah kakek ini pura-pura mati? Apakah luka-luka In Hou tidak separah apa yang kita duga?"

   Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Setelah melenggong sejenak akhirnya dia berpikir pula.

   "Betapa taraf Kungfu In Hou, kalau dia tidak terluka parah dan mampu bergerak leluasa, mana mungkin dia membiarkan aku masuk ke mari? Hm, agaknya dia sengaja hendak menipu dan menggertak aku, kenapa aku harus jeri. Umpama kakek keparat ini betul pura-pura mati, tingkat kepandaiannya jelas bukan tandinganku, apa yang harus kutakuti?"

   Dalam keadaan kebat kebit ini akhirnya bertambah besar nyali orang itu, dua langkah dia maju, kakinya menendang jenazah Ki Harpa, dia ingin tahu apakah Ki Harpa pura-pura mati atau betul-betul sudah mati, sekaligus dia pun ingin melihat reaksi In Hou.

   In Hou tetap tidak bergeming, malah akhirnya memejamkan mata.

   Irama harpa tiba-tiba terhenti, Tan Ciok-sing membentak.

   "Jangan sentuh kakekku."

   Agaknya dia tidak kuasa menahan emosi. Padahal orang itu sudah menendang jenazah Ki Harpa sampai membalik celentang, sekali coba ternyata sudah kenyataan bahwa dia sudah mati. Mendadak Tan Ciok-sing berjingkrak berdiri, hardiknya.

   "Bangsat, aku, aku..."

   Dia ingin bilang 'aku akan adu jiwa dengan kau', tiba-tiba didengarnya In Hou menghela napas perlahan. Helaan napas perlahan, tapi bagi pendengaran Tan Cioksing seperti palu godam yang mengemplang kepalanya, hatinya tersirap, lekas dia membatin.

   "Apa gunanya aku adu jiwa dengan dia? Aku berkorban tidak jadi soal, tapi In Tayhiap akan ikut menjadi korban."

   Sekilas dia menenangkan pikiran dan hati, lalu duduk kembali mulai memetik harpanya. Orang itu terbahak-bahak, katanya.

   "Kau, kau kenapa? Baik, kau larang aku menyentuh kakekmu, biar aku menyentuhmu saja."

   Kali ini Tan Ciok-sing seperti tidak mendengar gertakan, dengan sepenuh hati dia lanjutkan petikan lagu Khong-lingsan bagian pertama sampai ritme terakhir. Karuan orang itu marah karena merasa disepelekan.

   "Setan cilik, apa yang sedang kau lakukan? Berani kau tidak hiraukan pertanyaanku, biar kucekik kau sampai mampus,"

   Kedua tangan sudah terpentang dengan gaya hendak menubruk maju dan ma mencekik leher Tan Ciok-sing. Mendadak In Hou membuka mata, katanya dingin.

   "Ada pertanyaan apa boleh kau tanya padaku, kau ingin memiliki barang yang kau incar, hanya kepadaku saja kau boleh tanya. Jangan kau sentuh bocah ini, kalau tidak jangan harap kau bisa berhasil."

   Orang itu terbahak-bahak senang, katanya menoleh.

   "Bagus, biar kutanya kau saja. Asal kau bicara jujur, memangnya aku sudi cari perkara dengan setan cilik ini. Nah katakan, dimana Kiam-boh yang diberikan kepadamu oleh Thio Tan-hong?"

   "Ke marilah dan ambil sendiri,"

   Ucap In Hou. Sudah tentu orang itu tidak menduga bahwa In Hou mau memberikan Kiam-boh itu segampang ini kepadanya, karuan hatinya kaget dan senang, pikirnya.

   "Agaknya kakek keparat ini memang menipu kita, hakikatnya Kiam-boh itu tidak dirampas oleh It-cu-king-thian. Tapi kenapa It-cu-king-thian tidak membunuh dan merebut Kiam-bohnya itu? Menurut dugaan, kakek ini jelas terluka parah setelah keluar dari rumah keluarga Lui, terang terluka waktu It-cu-king-thian mengompres keterangannya, memangnya It-cu-king-thian tidak tahu kalau In Hou berada di rumahnya?"

   Beranjak dua langkah orang itu segera menyeringai dingin.

   "Ambil ya ambil, memangnya aku takut kau menipuku,"

   Di tengah tawa sinisnya mendadak dia ayun sebelah tangannya, sebatang Kong-piau tahu-tahu melesat ke arah In Hou. Terendus bau amis oleh ln Hou, dia tahu piau baja ini berlumur racun. Karuan mencelos hatinya.

   "Akhirnya aku tak mampu melindungi bocah ini."-jelas piau baja itu sudah hampir mengenai In Hou, dalam jarak yang sudah dekat itu mendadak menjulang naik melesat ke atas, ujung piau yang runcing tajam boleh dikata menyerempet hidung In Hou dan "Trap"

   Menancap di atas dinding.

   Ternyata sambitan piau ini hanya bertujuan memancing reaksi In Hou apakah dia masih memiliki kepandaian sejati.

   Cara sambitannya tadi pun menggunakan kepandaian khusus, merupakan timpukan piau kelas tinggi.

   In Hou menekan perasaan, kini dia lebih yakin bahwa taruhan kali ini dirinya telah memungut kemenangan.

   Ternyata dia sudah mengira bahwa orang ini pasti takkan berani segera membunuhnya, karena belum memperoleh Kiam-boh yang diincarnya.

   Mendengar suara "Trap"

   Yang cukup keras itu Tan Cioksing terkejut, sebelum dia berpaling In Hou sudah keburu membentak.

   "Jangan hiraukan dia, teruskan petikanmu."

   Orang itu tergelak-gelak, katanya.

   "In Tayhiap memang bernyali besar, sungguh kagum, sungguh kagum."

   In Hou mendengus ejek, katanya.

   "Tempat dimana Kiamboh itu disimpan, hanya aku saja yang tahu, dengan maksud baik aku ingin berikan kepadamu, kau sebaliknya hendak mencelakai aku."

   Orang itu segera unjuk seri tawa ramah, katanya.

   "In Tayhiap, aku hanya mencoba keberanianmu, harap maaf dan tidak berkecil hati."

   "Di hadapan orang jujur tidak perlu kau membual,"

   Jengek In Hou pula.

   "Jelas kau tidak akan membiarkan aku hidup, memang aku juga sudah berkeputusan untuk mati. Tapi jangan kau mengusik bocah inj, kalau tidak paling aku mati lebih cepat dan Kiam-boh itu jangan harap dapat kau miliki."

   Orang itu pun sudah cukup berpengalaman sebagai insan persilatan, semula dia masih menaruh curiga, kenapa seramah ini ln Hou sudi memberikan Kiam-boh itu kepadanya, setelah mendengar permintaan In Hou baru dia tahu persoalannya. Pikirnya.

   "Jadi Kiam-boh itu ingin dia tukar dengan jiwa si bocah. He, he, biarlah aku sekedar memberi muka kepadanya, setelah Kiam-boh berada di tanganku, memangnya bocah ini mampu terbang ke langit?"

   Dengan tawa dibuat-buat segera dia berkata.

   "In Tayhiap, jangan terlalu curiga, aku Oh Lo-Sam walau bukan tokoh kenamaan, dikalangan Kangouw namaku cukup cemerlang juga, memangnya aku sudi mengurus seorang bocah? Dari pada itu hadiah pemberianmu nanti sungguh tak terhingga nilainya, oleh karena itu aku berjanji akan bantu mengobati luka-lukamu."

   Ln Hou pura-pura percaya akan obrolannya, katanya perlahan.

   "Kuharap omonganmu dapat dipercaya. Baiklah, dukunglah aku berdiri, antarkan aku ambil Kiam-boh itu."

   Bagi insan persilatan yang memiliki kepandaian tinggi, dikala jiwa terancam, secara reflek akan timbul reaksinya untuk menyelamatkan diri.

   Tadi pisau baja timpukan orang boleh dikata menyerempet hidungnya, bukan saja tubuhnya tidak kelihatan bergeming dia pun tidak berusaha menangkap piau, maka Oh Lo-sam mengira bahwa In Hou memang sudah kehabisan tenaga, legalah hatinya, bergegas dia memburu maju hendak memapah orang.

   Tak nyana dalam waktu sedetik saja,tiba-tiba Oh Lo-sam merasa pergelangan tangannya linu pegal, tahu-tahu urat nadinya sudah dicengkram oleh In Hou.

   Sekali meronta usaha Oh Lo-sam gagal membebaskan diri, baru sekarang dia insaf bahwa dirinya telah tertipu lawan, saking kagetnya, kontan dia angkat sebelah kakinya terus menendang.

   Diam-diam In Hou juga mengeluh.

   "Celaka, aku memang tidak berguna lagi."

   Mendengar suara pergumulan mereka, Tan Ciok-sing tak tahan sabar lagi, tanpa merasa petikan jarinya pada senarsenar harpa menjadi kacau, sehingga nada irama harpanya meninggi satu nada. Untung In Hou segera berteriak.

   "Teruskan petikanmu."

   Di tengah alunan suara harpa itulah mendadak In Hou gerakkan telapak tangan mengenjot, pukulan telapak tangan ini merupakan sisa-sisa tenaga dalamnya yang terpendam, bagaimanapun liehaynya Oh Lo-sam, mana dia mampu menerimanya? Lengking jeritannya terdengar mengerikan, seperti bola yang dilempar tubuhnya jungkir balik ke belakang.

   Tapi tendangan kakinya ternyata juga berhasil mengenai ulu hati In Hou.

   Seperti bola yang dilemparkan tubuh Oh Lo-sam melayang lewat dari atas kepala Tan Ciok-sing.

   "Bluk"

   Menumbuk dinding, kepalanya pecah, darah dan otaknya berceceran, mayatnya rebah celentang di kaki tembok sana.

   Tahu-tahu irama harpa pun berhenti.

   Ternyata pada detikdetik menentukan ini Tan Ciok-sing berakhir pula membawakan lagu Khong-ling-san.

   Waktu dia menoleh dilihatnya darah meleleh dari ujung mulut In Hou, mukanya pucat seperti kertas putih.

   Bergegas Tan Ciok-sing taruh harpanya terus memburu maju ke depan In Hou, tanyanya dengan Suara gemetar.

   In Tayhiap, kenapa kau?"

   In Hou menarik napas perlahan-lahan, lalu berkata.

   "Anak bagus, dengarkan kata-kataku, jangan banyak tanya,"

   Sisasisa hawa murni yang berhasil dihimpunnya boleh dikata sudah berantakan, racun yang mengeram dalam tubuhnya juga sudah kumat, umpama barusan tidak tertendang ulu hatinya oleh Oh Lo Sam, diapun sudah tahu bahwa jiwanya takkan dapat ditolong lagi.

   "Anak bagus, aku takkan bisa menuntut balas sakit hati kakekmu. Selanjutnya tergantung usahamu sendiri untuk menuntut balas."

   Mendengar kata-kata ini Tan Ciok-sing terperanjat. Wajah In Hou mengulum senyum lebar, katanya.

   "Anak baik,-tak usah sedih, kini bukan saatnya kau bersedih, dengarlah pesanku yang terakhir."

   "Anak baik, kau adalah sahabatku yang terakhir, sahabat yang paling dapat kupercaya,"

   Sampai disini tiba-tiba teringat olehnya akan Tam Pa-kun, kalau dua jam sebelum ini ada orang tanya dia siapa temannya yang terakhir, tanpa raguragu dia pasti menyebut nama Tam Pa-kun.

   Tapi setelah dia mendengar percakapan kawanan penjahat dengan Ki Harpa tadi, meski kenyataan belum bisa membuktikan bahwa Tam Pa-kun dan It-cu-king-thian berintrik mencelakai dirinya, namun kepercayaannya kepada kedua orang ini sudah luntur.

   Betapa takkan menyedihkan, bila seseorang di saat-saat ajalnya mendadak menyadari bahwa kawan yang dianggapnya paling karib ternyata mengatur tipu daya untuk mencelakai jiwanya.

   Pandangan In Hou menjadi gelap, hatinya seperti disayat-sayat, lekas dia menghirup napas, kepada diri sendiri dia menghibur dengan pikiran begini.

   "Tidak, bagaimana boleh aku mencurigai Tam-toako, Tam-toako pasti bukan manusia serendah itu. Kalau It-cu-king-thian memang sukar dikatakan."

   Lalu dia berpikir pula.

   "Bagi diriku, soal yang terpenting Sekarang adalah selekasnya memberi pesan apa yang perlu kupesan kepada anak ini. Jangan kata Tam-toako, meski It-cuking- thian itu baik atau jahat, sekarang tak perlu aku menghabiskan tenaga dan pikiran untuk mempersoalkan hal ini."

   "Aku tahu kau ingin belajar Kungfu, tapi aku kurang setimpal menjadi gurumu, karena umpama benar kau berhasil belajar setingkat diriku, mungkin kau tetap takkan mampu menuntut balas,"

   Sejenak berhenti dia lalu melanjutkan.

   "Tapi, aku bisa mewakili seseorang menerima kau sebagai murid, dia adalah Thio Tan-hong yang diakui secara mutlak oleh kaum persilatan sebagai jago nomor Satu ui jagai ini. Dia adalah pamanku."

   Tan Ciok-sing sesenggukkan, katanya.

   "In Tayhiap, aku hanya ingin kau hidup, biar tak usah aku belajar Kungfu."

   In Hou tertawa sedih, katanya.

   "Siapa tidak ingin hidup? Tapi kalau aku tidak panjang umur, anak bodoh, kalau kau tidak mau belajar Kungfu, lalu siapa yang akan menuntut balas kematian kakekmu? Aku, aku ingin kau mendengar petunjukku..."

   Tanpa terasa suaranya semakin lemah, napaspun mulai memburu. Memeluk badan orang, Tan Ciok-sing menggoyang-goyang tubuh In Hou, teriaknya.

   "In Tayhiap sadarlah kau."

   Tiba- tiba In Hou membuka mata, katanya lemah.

   "Tak usah kuatir, aku tidak akan segera mati. Tadi sampai dimana aku bicara?"

   "Katamu kau hendak mewakili Thio Tan-hong menerimaku sebagai murid,"

   Sementara dalam hati dia membatin.

   "Siapa tahu apakah Thio Tan-hong sudi menerima diriku sebagai murid?"

   In Hou seperti dapat meraba jalan pikiranya, katanya lebih lanjut.

   "Thio Tan-hong semayam di Ciok-lin, kau harus mencarinya kesana, setelah menghadapinya, tuturkan kejadian yang menimpa diriku kepadanya, barang-barang peninggalanku juga harus kau tunjukkan kepadanya, pasti dia percaya kepadamu dan menerimamu sebagai murid. Kau pernah meyakinkan Iwekang tidak?"

   "Kakek pernah mengajarkan cara bersemedhi dan mengatur napas,"

   Sahut Tan Ciok-sing.

   "Bagus, itu sudah cukup. Dalam kotak itu terdapat pelajaran pukulan ilmu golok, di samping itu ada pula beberapa lembar tulisan tangan Thio Tan-hong, yaitu pelajaran Bu-bing-kiam-hoat. Didalam buku pelajaran ilmu pukulan itu, tercantum pula pelajaran inti sari cara mempelajari Iwekang, kau harus mempelajarinya dengan rajin dan tekun, baru selanjutnya maju lebih jauh mempelajari ilmu yang lain."

   "Besok juga kau harus meninggalkan tempat ini langsung menuju ke Ciok-lin,"

   Demikian ucap In Hou lebih lanjut.

   "tapi, usia Thio Tan-hong sudah lanjut, aku kuatir mungkin kau takkan bisa menemuinya lagi. Oleh karena itu kuminta kau mempersiapkan diri untuk mempelajari ilmu Iwekang tingkat tinggi itu seorang diri. Thio Tan-hong juga meninggalkan sebuah gambar peta yang menerangkan dimana dia bakal menyimpan Kiam-boh ciptaannya, tadi ada kuselipkan didalam lempitan pelajaran Bu-bing-kiam-hoat dan semuanya sudah kuserahkan kepadamu. Umpama Thio Tan-hong sudah meninggal, kau boleh mencarinya sesuai petunjuk peta itu. Dengan bakat dan kemampuanmu, aku yakin tanpa bimbingan guru kau pun akan dapat menyelami dan mempelajarinya dengan baik dan berhasil. Setelah berhasil meyakinkan ilmu dan menuntut balas sakit hati kakek, bawalah Kiam-boh milik Thio Tan-hong itu ke Thian-san dan serahkan kepada Ciangbunjin Thian-san-pay Toh Thian-tok. Dia adalah murid besar Thio Tan-hong, atau juga Toa-subengmu. Tuturkan kepadanya apa yang terjadi, aku percaya bahwa dia akan mengakui kau sebagai Sutenya, sampai disini napasnya sudah semakin memburu dan megapmegap, setelah menguras tenaga baru dia mampu bersuara.

   "Tapi bagaimana aku bisa tahu siapa musuhku?"

   Demikian dalam hati Tan Ciok-sing berpikir.

   Melihat In Hou sudah menderita begitu, walau masih banyak pertanyaan yang ingin dikemukakan, karena tidak tega dia batalkan niatnya.

   Tiba-tiba In Hou gigit ujung lidah sendiri membangkitkan semangat pula, katanya meninggikan suara.

   "Ada satu hal perlu kuperingatkan kepadamu, kau harus selalu ingat, hati manusia sukar diraba, sekali-kali jangan kau mudah percaya kepada orang lain, meski dia seorang pendekar besar yang tersohor di seluruh jagat ini."

   Mencelos hati Tan Ciok-sing, teriaknya.

   "In Tayhiap, apakah It-cu-king-thian maksudmu?"

   "Betul, musuhku sudah jelas yaitu Le Khong-thian dan seorang gembong iblis she Siang, siapa kawanan penjahat yang meluruk datang tadi belum diketahui, tapi kedua kelompok orang itu mungkin punya hubungan dengan It-cuking- thian, dari pesan kakekmu tadi sebelum ajal, kemungkin In It-cu-king-thian lah yang menjadi biang keladinya. Tapi lantaran kuatir kau juga ketimpa bencana, maka dia tidak berani menjelaskan kepadamu."

   Beberapa patah kata ini laksana halilintar yang menggelegar sampai Tan Ciok-sing berkunang-kunang, hatinya menjadi risau dan gundah.

   It-cu-king-thian kan teman baik kakek, mana mungkin, mana bisa mungkin? Tapi kakek suruh aku merat ke tempat jauh, aku dilarang minta perlindungan kepadanya? Kakek bilang tidak ingin dia terseret dalam peristiwa ini, apakah ini kata-kata setulus hatinya? Ai, mungkin keterangan In Tayhiap lebih bisa dipercaya.

   Rintihan In Hou seketika menyadarkan lamunan Tan Cioksing, katanya kaget.

   "In Tayhiap, kau ..."

   Dengan suara terputus-putus In Hou berkata.

   "Golok pusakaku kuberikan kepadamu, kacang emas itu kau boleh ambil sebagai ongkos perjalanan, bagaimana juga harus pergi ke Ciok-lin, yakinilah ilmu, tuntutlah kematian kakek dan sakit hatiku."

   "In Tayhiap,"

   Teriak Tan Ciok-sing.

   "aku pasti menuntut sakit hatimu. Masih ada pesan apa pula kepadaku?"

   Lalu dia dekatkan kuping di depan bibir In Hou. Didengarnya suara In Hou selirih nyamuk berkata.

   "Aku punya seorang putri, bernama In San, usianya sebaya kau, kau adalah sahabatku, tak berani aku menganggapmu sebagai anakku, tapi aku harap kau menganggapnya sebagai kakak, kalian... kalian..."

   Tiba-tiba suaranya tak terdengar lagi.

   "Baiklah, aku akan mencari In-cici,"

   Seru Tan Ciok-sing.

   Waktu dia meraba hidung In Hou ternyata napasnya sudah berhenti.

   
Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Kakek sudah meninggal, In Tayhiap yang harus dia lindungi atas perintah sang kakek kini juga berangkat menyusul kakek.

   Sekian lama Tan Ciok-sing mematung mengawasi kedua sosok jenazah yang terkapar di hadapannya, seolah-olah sedang bermimpi buruk yang tidak ada gunanya.

   Seumpama sebuah perahu tanpa nakoda yang terombang-ambing di tengah lautan.

   Tan Ciok-sing sudah kehabisan akal sehat, tidak tahu apa yang harus dia lakukan, sampai rasa takut, sedihpun telah dilupakan, perasaannya hambar, ingin dia menangis, tapi air mata seperti kering.

   Sebetulnya kakek menyuruh dia menolong jiwa In Hou, tapi kenyataan justru ln Hou yang telah menyelamatkan jiwanya dan berkorban jiwa, pendekar besar yang kenamaan, demi menyelamatkan jiwa anak gunung yang miskin ini, rela berkorban jiwa raga, sampai achir hayatnya dia masih belum tahu siapa sebetulnya biang keladi yang mencelakainya.

   Detik-detik terakhir hayatnya, hanya bisa menganggap dirinya bocah yang baru saja dikenalnya - sebagai sahabat karibnya yang terdekat.

   "Ai, mungkin sampai akhir hayatnya dia takkan mati dengan meram dan tentram."

   "Kakek tugas yang kau serahkan kepadaku tak mampu kulaksanakan, aku telah menyia-nyiakan harapanmu. Kakek, makilah aku, hajarlah aku!"

   Memeluk jenazah kakeknya, Tan Ciok-sing menggoyang-goyangnya sambil meratap dan menangis. Sungguh kasihan, jazat sang kakek yang sudah dingin itu, bagaimana bisa mendengar ratapannya dan memakinya? "Klotak"

   Tiba-tiba didengar sesuatu benda jatuh di atas lantai. Ternyata itulah se

   Jilid buku pelajaran lagu Khong-lingsan yang disimpan dan dipandang sebagai pusaka oleh kakeknya. Dengan pandangan nanar Tan Ciok-sing jemput buku itu, di balik beberapa lembar, lalu berkata.

   "Kakek inilah Gim-boh (buku harpa) milikmu yang berharga, hanya bagian pertama yang kau ajarkan kepadaku. Kini aku harus berpisah dengan kau, selanjutnya tiada orang yang akan mengajar aku memetik harpa lagi Aku maklum kau tidak ingin mengajarkan Khong-ling-san bagian belakang, tapi kalau Khong-ling-san putus turunan, matipun kau tidak akan meram dengan tenang. Kakek sekarang biar kupetikkan sebuah lagu, lagu Khong-ling-san bagian belakang inilah untuk mengantar keberangkatanmu,"

   Setelah membetulkan letak harpa, dia membuka halaman buku serta mulai memetik lagu Khong-lingsan bagian belakang.

   Sang kakek memang tidak pernah mengajarkan tapi dalam keadaan sedih dan pilu sekarang, hatinya dirundung duka nestapa lagi, makna lagu Khong-ling-san bagian belakang justru cocok dan serasi dengan keadaannya sekarang.

   Belum pernah belajar tapi dia bisa membawakan lagu itu dengan baik sekali, mungkin ini merupakan pengalaman yang mengesankan selama hidupnya.

   Bila sang kakek masih hidup entah dirinya akan dipuji atau ditegor.

   Betapa kontrasnya suasana yang serba terbalik ini, pada hal usianya baru lima belas, pemuda bak kembang baru mekar.

   Tapi petikan lagunya adalah sedemikian mempesona dan mengetuk sanubari, sehingga seseorang pendatang yang tidak diundang sampai mendengarkan dengan berdiri kesima.

   Sedangkan Tan Ciok-sing tenggelam dalam petikan lagunya yang mengenaskan, hakikatnya dia tidak tahu bahwa seseorang telah berada didalam kamar rahasia itu.

   Pada bait terakhir dari petikan lagunya tiba-tiba terdengar suara "Tring"

   Salah satu dari lima senar harpanya putus, Tan Ciok-sing kaget dan tersentak sadar, waktu dia angkat kepala baru dilihatnya seorang laki-laki besar dengan jambang bauk lebat telah berdiri di hadapannya.

   Bagai mimpi buruk yang bergelombang, tamu yang tak diundang ini ternyata adalah It-eu-king-thian Lui Tin-gak.

   Sesaat Tan Ciok-sing tercengang, tiba-tiba teringat pesan In Hou sebelum ajalnya tadi bahwa It-cu-king-thian yang satu ini kemungkinan sekongkol dengan para penjahat itu, atau lebih jelasnya dialah biang keladi dari musibah yang menimpa kakeknya dan In Tayhiap.

   "Untuk apa dia ke mari? Mungkinkah dia tidak tahu kalau In Tayhiap sudah mati dan hendak membunuhnya? Apakah dia akan melepas dan mengampuni aku?"

   Darah seperti bergolak dalam tubuh Tan Ciok-sing, emosinya sudah berkobar, hampir saja dia memaki.

   "Bagus sekali, kau pendekar besar palsu yang pura-pura baik hati ini, belum cukup kau mencelakai kakekku dan In Tayhiap, nah sekarang giliranku, bunuhlah aku,"

   Tapi entah kenapa, mungkin karena terlalu berduka, seperti mimpi buruk saja, tenggorokannya tersumbat mulut sudah terpentang tapi suaranya tidak keluar.

   It-cu-king-thian sendiri juga berdiri melenggong sekian saat, seperti dalam alam mimpi yang buruk juga, tiba-tiba dia tersentak mengawasi tiga jenazah yang menggeletak didalam kamar ini, lalu menoleh mengawasi Tan Ciok-sing dengan pandangan lengang, dia kenal Ki Harpa, kenal Oh Lo-sam yang tadi terpukul mati oleh In Hou, tapi dia tidak pernah kenal siapa In Hou adanya.

   Akhirnya Lui Tin-gak dapat menguasai suasana, setelah perasaannya tenang, pandangannya yang hambar teralih dari jenazah In Hou ke arah Tan Ciok-sing, tanyanya dengan suara gemetar.

   "Kakekmu sudah mati?"

   Tan Ciok-sing tidak menjawab. Dari sorot matanya Lui Tingak dapat merasakan betapa besar dendam dan rasa permusuhan bocah ini terhadap dirinya. Dia menarik napas dingin, sedih dan pilu hati Lui Tin-gak.

   "perlukah kujelaskan kepada anak ini?"

   Sesaat dia bimbang, akhirnya tidak menjelaskan, lalu bertanya.

   "Apakah orang ini In Tayhiap? Bagaimana dia bisa mati?"

   Akhirnya meledak juga emosi Tan Ciok-sing, serunya beringas.

   "Bagaimana kematian In Tayhiap, memangnya kau sendiri belum tahu?"

   Berkaca-kaca mata Lui Tin-gak.

   "Biang"

   Tiba-tiba dia memukul dada sendiri keras-keras, teriaknya.

   "In Tayhiap, akulah yang salah dan berdosa terhadapmu, aku datang terlambat. Ki Harpa, langkahku kali ini pun juga salah, seharusnya aku tidak menyuruhmu pulang, pendekar macam apa aku ini, sahabat tuaku sendiri tidak mampu aku melindunginya."

   "Kucing menangisi tikus, pura-pura welas asih,"

   Dalam hati Tan Ciok-sing memaki, dilihatnya Lui Tin-gak menghampiri jenazah kakeknya terus membungkuk, agaknya hendak membopong kakeknya.

   "Jangan kau sentuh kakekku,"

   Walau tahu dengan seujung jari Lui Tin-gak saja orang mampu menamatkan riwayatnya, tapi entah dari mana datangnya keberanian, dengan tegas dia larang Lui Tin-gak menyentuh kakek yang dicintainya.

   Betapa tenar dan besar wibawa It-cu-king-thian didalam bulim, biasanya hanya dia yang memerintah dan memberi petunjuk, orang lain tiada yang berani membangkang perintahnya, kapan dia pernah dibentak seperti ini? Tapi hari ini dia seperti menciut nyalinya berhadapan dengan sikap keren dan beringas Tan Ciok-sing, dengan tawa getir dia menarik balik kedua tangan serta mundur dua langkah.

   "Nak, pasti kau menyangka akulah yang mencelakai kakekmu,"

   Dengan tawa kecut It-cu-king-thian berkata. Tan Ciok-sing menatapnya dengan pandangan mendelik, jengeknya.

   "Tak perlu kau menjelaskan padaku, jikalau kau tidak pernah berbuat kesalahan, tak perlu kau merasa gugup atau menyesal."

   "Bukankah kau ingin menuntut balas sakit hati kakekmu?"

   Tanya Lui Tin-gak. Tan Ciok-sing pasrah nasib, serunya membusung dada.

   "Betul, aku bersumpah menuntut balas sakit hati kakek, kalau kau takut kelak aku menuntut balas, sekarang kau bunuh aku, kalau tidak..."

   "Kalau tidak kenapa?"

   Terpukul sanubari Lui Tin-gak, meski dirundung duka, agaknya dia merasa kagum juga berhadapan dengan anak yang pemberani.

   "Kelak aku akan belajar Kungfu, datang suatu hari dengan kedua tanganku ini akan kupenggal kepala biang keladi yang membunuh kakek dan In Tayhiap,"

   Demikian sahut Tan Cioksing lantang. Agaknya Lui Tin-gak hendak berkata, namun dia tampak ragu-ragu. Sesaat lamanya baru dia berkata.

   "Bagus, semoga terlaksana cita-citamu, aku tidak akan membela diri, kalau kau anggap aku sebagai musuh boleh silakan saja. Tapi untuk membunuhku tidak akan segampang yang kau kira, oleh karena itu seperti apa yang kau katakan tadi, belajarlah Kungfu dengan rajin. Ai..."

   Dari nada bicaranya, terasa masih ada omongan yang ingin di ucapkan,tapi mendadak dia urungkan, lalu sikapnya kentara seperti tengah pasang kuping mendengarkan sesuatu.

   Memang betul, dia mendengarkan sesuatu, mendengar suitan panjang yang melengking di kejauhan.

   Letak rumah keluarga Tan ini berada di puncak gunung di belakang Citsing- giam, suitan panjang itu terdengar berkumandang dari arah Cit-sing-giam.

   Suitan keras bak pekik naga gerungan harimau, mengalun tinggi melampaui puncak gunung melintasi sungai masuk ke rumah terdengar oleh kuping It-cu-king-thian.

   Tapi terdengar dari jarak yang begitu jauh, hanya tokoh macam Lui Tin-gak yang melatih mendengar angin membedakan benda, memiliki lwekang tinggi lagi baru bisa mendengarnya dengan jelas.

   Tan Ciok-sing hanya menerka-nerka dalam hati melihat sikap orang yang aneh, namun dia membadek orang tentu mendengar apa-apa.

   Suitan itu sendiri agaknya berada diluar dugaannya, tapi tidak merasa asing mendengar suitan seperti ini.

   Sungguh kaget dan senang hati It-cu-king-thian, pikirnya.

   "Apakah itu Say-cu-hong-kang Tam Pa-kun? Kukira dia tidak akan ke mari. Tapi suitannya itu terdengar bergelombang putus-putus bernada sedih pula, dengan kadar lwekangnya tidak sepantasnya sampai begitu? Wah, celaka, mungkin Tam-toako juga terluka."

   Belum habis dia berpikir, terdengar pula suara gelak tawa gemuruh beberapa orang, letaknya tidak jauh di belakang rumah keluarga Tan ini.

   Lekas sekali langkah kaki orang-orang ini pun sudah terdengar.

   Seketika mendelik mata Lui Tin-gak, air muka pun berubah, tiba-tiba dia menerobos lari keluar.

   Gerak gerik Lui Tin-gak yang tenburu-buru secara mendadak lagi, Tan Ciok-sing kaget dibuatnya.

   Tapi lega pula hatinya, agaknya kejadian berada diluar dugaannya Semula dia sangka Lui Tin-gak takkan membiarkan dirinya hidup, suruh dirinya belajar Kungfu hanyalah kata cemoohan belaka, bak umpama kucing yang mempermainkan tikus yang hampir dicaploknya.

   Tak kira tiba-tiba Lui Tin-gak lari pergi.

   "Mungkin mendengar musuh yang lebih liehay akan datang, maka dia buru-buru melarikan diri, tapi kalau dia hendak membunuhku, segampang membalik telapak tangan, sedetik juga jiwaku sudah tamat, kenapa tidak dia bunuh aku dulu baru pergi?"

   Pikir punya pikir Tan Ciok-sing tidak habis mengerti, dia menjadi bingung bahwa Lui Tin-gak betul-betul meninggalkan dirinya dengan segar bugar.

   Tapi lekas sekali dia pun sudah mendengar suara banyak orang di belakang rumahnya.

   Yang paling menusuk pendengaran adalah gelak tawa yang keras seperti benda keras beradu.

   Itulah suara tawa sang "Toako"

   Yang semalam menggeledah rumahnya itu. Maka terdengar suara Lui Tin-gak berkata.

   "Aku sudah memeriksanya. Ki Harpa sudah mati tapi In Hou tidak kutemukan, Oh Lo-sam pun tidak ada disana."

   Kata-kata Lui Tin-gak dapat didengarnya jelas, tapi percakapan orang-orang lain justru tidak didengarnya jelas, yang kedengaran hanyalah gelak tawa mereka.

   Sudah tentu Tan Ciok-sing tdak tahu, bahwa Lui Tin-gak sengaja menggunakan ilmu mengirim suara gelombang panjang untuk didengar olehnya.

   Sayang dalam sanubarinya sudah diliputi rasa permusuhan dan dendam terhadap Lui Tin-gak, sudah tentu tak pernah terpikir oleh Tan Ciok-sing bahwa Lui Tin-gak telah membantu dirinya terhindar dari bencana lain yang bakal menimpa dirinya, sengaja dia memancing para penjahat itu ke tempat lain.

   "Hmmm, memang tidak meleset dugaan In Tayhiap, bukti sudah nyata bahwa It-cu-king-thian ternyata berkomplot dengan para penjahat pembunuh kakek, hubungan mereka terdengar begitu intim, agaknya memang segolongan,"

   Demikian pikir Tan Ciok-sing. Entah apa yang dikatakan sang "Toako", lalu terdengar pula suara Lui Tin-gak.

   "Jadi sekarang Tam Pa-kun sudah kecundang di tangan kalian? Memangnya apa pula yang kalian takuti atas dirinya? He? Hee, kalian takut balas digigit sebelum ajalnya? Baiklah, aku ikut kalian kesan a, bekerja lebih baik hati-hati, jangan sampai dia di tolong orang lagi seperti ln Hou. Umpama sudah mati, kita harus temukan jenazahnya baru hati merasa lega,"

   Sampai disini percakapan selanjutnya tidak terdengar lagi. Waktu itu sudah mendekati kentongan ke empat, suasana malam nan sunyi lengang, terdengar suara jengkrik dan kodok bersahutan.

   "Betapa jahatnya It-cu-king-thian ini,"

   Demikian batin Tan Ciok-sing.

   "entah siapa pula orang she Tam yang dibicarakan itu, kalau dianiaya kawanan penjahat ini, pasti dia dari golongan pendekar sejati. Dari nada suara It-cu-king-thian, bukan mustahil dia teman baik In Tayhiap."

   Urusan selanjutnya yang harus diselesaikan Tan Ciok-sing sudah cukup merisaukan hatinya, memangnya dia juga tahu dirinya tidak punya kepandaian untuk mencampuri urusan orang lain.

   Setelah menenangkan hati, teringat pesan kakek dan In Hou dia harus meninggalkan rumah sebelum terang tanah.

   "Tugas yang terpenting sekarang adalah mengebumikan kakek,"

   Demikian pikir Tan Ciok-sing.

   "kakek paling suka dolan di Cit-sing-giam, aku harus mengebumikan kakek disana."

   Tapi masih ada In Hou, tak mungkin sekaligus dia membawa dua jenazah keluar pintu.

   Kalau sekarang dia mengubur In Hou lebih dulu, jelas waktunya tidak keburu lagi.

   Teringat pesan In Hou segera dia berjongkok dan menyembah kepada jenazah In Hou, katanya.

   "In Tayhiap, mohon maaf bahwa terpaksa aku merabukan dirimu, abumu kelak akan aku antarkan ke rumahmu dan kuserahkan langsung kepada putrimu."

   Setelah jenazah In Hou diperabukan, abu tulang belulangnya dia simpan didalam sebuah guci kecil, lalu dia panggul sang kakek dan menyelundup keluar dari jalanan rahasia lain yang menembus diluar rumahnya.

   Api masih berkobar di rumahnya, malah tambah besar, sesuai pesan kakeknya dia bakar habis rumahnya yang dicintainya.

   Tak berani dia berpaling mengawasi kobaran api yang menyala terang, dengan menggendong sang kakek sambil memeluk harpa peninggalannya serta membawa abu In Hou, dia lewat jalanan kecil yang lebih pendek menuju ke Cit-singgiam.

   000OOO000 Dugaan Lui Tin-gak memang tidak meleset, orang yang bersuit panjang dari arah Cit-sing-giam memang Tam Pa-kun adanya.

   Kira-kira mendekati tengah malam tadi baru dia tiba di tempat perjanjian dengan In Hou.

   Sudah tentu dia tidak bertemu dengan siapa saja.

   Dalam hati Tam Pa-kun tertawa getir.

   "Aku terlambat tiga hari, memangnya In Toako harus menunggu terus disini? Hm, selama hidup baru sekali ini aku ingkar janji, untung terhadap sahabat karib, In Toako pasti juga menduga bahwa di tengah jalan mungkin terjadi sesuatu atas diriku, yah apa boleh buat."

   Justru hubungannya teramat intim dengan In Hou, walau orang sudah pergi, dia yakin In Hou pasti ada meninggalkan tanda apa-apa, supaya dirinya lekas dapat menemukan In Hou.

   Waktu dia mengetik batu api, betul juga dilihatnya di atas dinding karang ada goresan panah yang ditinggalkan In Hou dengan Kim-kong-cay-lat.

   Sesaat dia masih belum bisa menangkap arti dari goresan panah itu bahwa kini In Hou berada didalam Cit-sing-giam, apalagi percikan api dari goresan batu api itu pun hanya samar-samar saja sehingga kurang jelas, maka dia kira In Hou masih meninggalkan tulisan di dinding karang ini, maka dia maju mendekat dan mengamati.

   Baru saja dia tiba di bawah dinding, tiba tiba kakinya menginjak tempat kosong, kiranya dia menginjak lobang jebakan yang di atasnya hanya ditutupi rumput-rumput kering, karena tidak menduga dan kurang waspada maka Tam Pa-kun terjeblos jatuh kedalam lobang.

   Tapi Tam Pa-kun memang jago kelas satu yang liehay, meski kejadian amat mendadak dan kaget pula, tapi dia tidak menjadi gugup atau bingung, belum lagi kakinya menyentuh dasar lobang, sebelah kakinya segera menendang ke samping.

   "Biang"

   Dengan menjejak dinding lobang tubuhnya yang sudah amblas itu mendadak melejit ke atas, di tengah hamburan debu dan pasir, tangkas sekali dia sudah melompat keluar dari lobang jebakan.

   Pada detik-detik yang hampir menentukan mati hidupnya ini, terasa hawa dan gemerdep sinar dingin menyolok mata, ternyata di dasar lobang jebakan ada tertancap enam puluh batang golok yang mengkilap tajam, ujung golok yang runcing tajam menghadap ke atas siap menyambut badan mangsanya, kalau Tam Pa-kun betul-betul jatuh ke bawah, bagaimana akibatnya dapatlah dibayangkan.

   Tapi meski dia terhindar dari hutan golok di bawah lobang, namun tak kuasa menghindar dari hujan panah yang serabutan.

   Di kala tubuhnya melambung ke atas keluar lobang itulah belum kakinya menginjak bumi, dari atas batu-batu cadas sekitarnya telah berhamburan anak panah selebat hujan.

   Pada hal tubuhnya masih terapung, betapapun tinggi kepandaiannya, tak mungkin menangkis dan menghindar.

   Namun menghadapi saat-saat kritis ini Tam Pa-kun jumpalitan mundur ke belakang, berbareng kedua telapak tangan memukul dan menepuk, puluhan batang panah kena dirontokkan oleh angin pukulan.

   Namun demikian, masih ada tiga batang panah yang mengenai tubuhnya.

   Sebatang menembus telapak tangan kiri, sebatang menancap di pundak kanan, daif sebatang lagi lebih berbahaya, mengincar mukanya, hanya beberapa senti saja hampir matanya terpanah buta.

   Begitu kedua tangan menggentak, panah yang menancap di pundak tergetar lepas dan mencelat jatuh.

   Lalu dia cabut pula panah yang menancap di mukanya, darah bercucuran membasahi selebar muka dan tubuhnya, hardiknya murka! "Bangsat keparat rendah, yang punya nyali hayo keluar,"

   Meski terkena tiga batang panah, lukanya cukup parah, namun perbawanya masih kelihatan garang dan perkasa. Dari tengah gerombolan rumput tiba-tiba menjulur sebatang tombak panjang, seorang membentak.

   "Orang she Tam, kematian di depan mata, masih berani bertingkah,"

   Ujung tombak kontan menusuk ke arah Tam Pa-kun. Sasaran tusukan tombak adalah pusar, serangannya keji, tenaganya besar. Tam Pa-kun balas membentak.

   "Serangan bagus,"

   Sekali pegang dia tangkap ujung tombak lawan.

   Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Diluar tahunya di rumpun pohon sebelah kiri ada seorang musuh pula yang sembunyi, tanpa banyak mengeluarkan suara tiba-tiba dia menyergap maju seraya membacok dengan golok, paha kanan Tam Pa-kun terkena bacokan.

   Para pemanah yang berada di atas cadas melihat musuh luka lagi sama bersorak kegirangan.

   Di tengah sorak gembira kawanan penjahat itu terdengar Tam Pa-kun menggerung keras disusul dua kali jeritan orang yang meregang jiwa.

   Ternyata dalam keadaan terluka itu, Tam Pa-kun masih sempat angkat kaki kirinya menendang penjahat yang bersenjatakan golok itu kena ditendangnya terjungkel kedalam jurang.

   Sekali cengkram lagi, penjahat yang bersenjata tombak kena dijinjing terus dilempar beberapa tombak jauhnya, untung kawanan penjahat yang lain sempat menangkapnya beramai-ramai sehingga jiwanya tidak melayang, tapi tulang pundaknya telah teremas hancur oleh Tam Pa-kun.

   Sigap sekali Tam Pa-kun juga telah mengeluarkan golok pusaka, dengan jurus.

   Me-can-pat-hong (bertempur delapan penjuru di waktu malam), goloknya menimbulkan segulungan sinar perak untuk menyampok dan merontokkan hujan panah terus menerjang ke atas batu cadas.

   Sudah tentu kawanan penjahat sama panik dan ribut.

   Tam Pa-kun sudah puluhan tahun malang melintang di Kangouw mengandalkan tujuh puluh dua jurus Kim-na-jiu dan enam puluh empat jurus Phoan-liong-to-hoat, nama besarnya memang tidak kosong.

   Karuan kawanan penjahat itu sama ketakutan dan berteriak.

   "Minggir, jangan melawan secara kekerasan."

   "Kurcaci yang hina dina..."

   Hardik Tam Pa-kun, tapi belum habis dia memaki, terdengar suara "Tang"

   Kembang api berpijar, ternyata golok Tam Pa-kun membacok batu, untung dia juga sempat kendalikan diri, kalau tidak hampir saja dia menumbuk batu. Pentolan penjahat menjadi girang, teriaknya.

   "Tam Pa-kun, kau sudah terkena panah kita yang beracun, racun sudah bekerja dalam tubuh, coba sampai kapan kau masih segarang ini."

   Tam Pa-kun menahan emosi dan kendalikan pernapasan mengerahkan lwekang, betul juga terasa mukanya mulai kebal dan gatal sekali, pandangannya pun sudah menjadi gelap.

   Waktu itu kira-kira sudah menjelang kentongan ketiga, ada sinar bintang, biasanya mata Tam Pa-kun amat tajam, waktu dia melompat keluar dari lobang jebakan tadi, lapat-lapat masih bisa di lihatnya bayangan beberapa orang.

   Tapi sekarang segalanya serba gelap.

   Karuan mencelos hati Tam Pa-kun.

   "Mungkinkah mataku sudah buta?"

   Saking senang pentolan penjahat itu tertawa pula, oloknya.

   "Supaya kau tidak menjadi setan gentayangan, mati jangan penasaran, biarlah kujelaskan. Hehe, Tam Pa-kun, kali ini kau salah menilai, kita dari Tok-liong-pang meski bukan terhitung perserikatan besar, namun di kalangan persilatan juga ada sedikit nama, kenapa kau begitu memandang kami serendah ini."

   Tam Pa-kun menyeringai dingin, katanya.

   "O, kiranya kau inilah Thi Ou Pangcu dari Tok-liong-pang? Sungguh aku kurang hormat."

   Thi Ou tergelak-gelak, katanya.

   "Tidak berani. Tapi orang she Thi ini bukan terhitung penjahat rendah kelas kambing bukan?"

   Tam Pa-kun tertawa dingin, jengeknya.

   "Aku tahu Tok- Iiong-pang kalian malang melintang dan banyak membuat kejahatan di daerah tenggara, belakangan memperoleh tulang punggung macam Le Khong-thian. Hm, hm, ketahuilah, dalam pandangan aku orang she Tan, Tok-liong Pangcu macam tampangmu ini tidak lebih hanya segelintir belut belaka."

   Saking gusar Thi Ou malah tertawa bergelak, katanya.

   "Tam Pa-kun, matamu sudah picak tak perlu aku memakimu, kenyataan kau sudah punya mata tidak bisa melihat. Sekarang biar kau bertingkah beberapa kejap lagi, akhirnya jiwamu toh tergenggam di tanganku. Bidik dia,"

   Anak buah Tok-liong-pang segera berpencar, maka anak panah kembali beterbangan. Mendadak Tam Pa-kun membentak.

   "Apa yang kau tertawakan? Memangnya tidak terima? Baiklah, diberi tidak membalas kurang hormat, sekarang sambutlah senjata rahasiaku. Kalau kau mampu menangkap krikil kecil ini, kuangkat jempol dan kuakui kau adalah Hohan."

   Golok dipindah ke tangan kiri Tam Pa-kun mainkan senjatanya sekencang kitiran sampai hujan deraspun takkan tembus, berbareng , tangan kanan terayun, sebutir krikil yang tadi dijemputnya ditimpukkan ke atas pucuk batu cadas.

   Puncak batu karang tingginya ada tujuh delapan tombak, kerikil sekecil itu ditimpukkan dari bawah ke atas, namun daya luncurnya ternyata menderu kencang.

   Thi Ou terhitung tokoh persilatan juga, begitu mendengar deru luncuran krikil kecil ini, mau tidak mau hatinya terkejut juga, tak pernah terbayang dalam benaknya, bahwa setelah terpanah tiga batang panah beracun, Tam Pa-kun masih memiliki lwekang sekuat ini.

   Dia tahu dengan bekal lwekang yang dimilikinya sekarang jelas takkan mampu menyambut krikil kecil ini, lekas dia ayun tameng besi yang dipegangnya.

   "Tang"

   Krikil kecil itu kena disampuknya pergi.

   Tak nyana daya luncuran krikil kecil itu masih belum lenyap, ditangkis lagi maka mencelat miring kesana dan kebetulan mengenai seorang penjahat yang berdiri di samping Thi Ou.

   Kepandaian orang ini sebetulnya juga tidak rendah, jabatannya adalah Toa-thaubak didalam Tok-liong-pang, namun dia tidak meniru perbuatan sang Pangcu untuk menyampuk pergi krikil itu, karuan kepalanya seketika bocor keluar kecap, saking kesakitan dia menjerit sambil menjengking merintih-rintih.

   Sudah tentu kejadian ini menimbulkan kegemparan di antara kawanan penjahat, yang bernyali kecil seketika mengkeret dan sembunyi di belakang batu tanpa berani mengintip, apa lagi melongok keluar.

   Tapi ada juga seorang penjahat yang menyangka Tam Pa-kun sudah buta, maka dia membidik serta memanah.

   Diluar tahunya, meski matanya sudah buta, namun pendengaran Tam Pa-kun dapat membedakan datangnya serangan.

   Begitu mendengar suara busur dipentang, kontan dia timpuk sebutir krikil lagi ke arah penjahat itu.

   Kungfu penjahat yang satu ini jauh lebih rendah dari Toathaubak tadi, mana dia mampu menahan Tam-ci-sin-thong Tam Pa-kun yang dilandasi lwekang tingkat tinggi? Tahu akan datangnya mara bahaya mulutnya terpentang hendak menjerit, kebetulan dua gigi depannya seketika protol, darah memenuhi seluruh mulutnya, tapi keadaannya jauh lebih mending dibanding luka-luka yang diderita Thaubak tadi.

   Saking ketakutan, kawanan penjahat itu tak berani lepas panah lagi, Tam Pa-kun menarik napas, perlahan-lahan dia memanjat ke lamping gunung, maksudnya pura-pura hendak menghadang jalan mundur kawanan penjahat itu.

   Pimpinan kawanan penjahat segera memberi tanda gerakan tangan menyuruh anak buahnya lekas mengundurkan diri.

   Tanpa perintahnya sebetulnya kawanan penjahat itu sudah sama ngacir.

   Pimpinan itu lari sembunyi ke suatu tempat yang menurut perkiraannya tak mungkin dicapai oleh Tam Pa-kun terus pentang mulut memaki.

   "Orang she Tam, silakan kau main gagah-gagahan disini, sebelum hari terang tanah nanti, aku akan kembali mengubur tulang belulangmu."

   Tam Pa-kun mendengarkan dengan cermat, didapatinya bahwa kawanan penjahat sudah pergi jauh, tanpa merasa dia menghela napas lega, namun setelah perasaan longgar, seketika kepala terasa pusing tujuh keliling, tak kuat dia bertahan lebih lama lagi.

   Untung mengandalkan kekuatan Iwekangnya dia mampu melindungi jantung supaya tidak keracunan, dalam waktu singkat terang jiwanya belum ajal.

   Tapi rasa gatal dimukanya sungguh sukar ditahan lagi, matapun sudah tak mampu terbuka.

   Mau tak mau Tam Pa-kun tertawa getir sendiri, pikirnya.

   "Agaknya aku akan jadi buta, jikalau aku dapat bertemu dengan Lui-toako, mungkin jiwaku bisa tertolong, tapi mataku sudah buta, bagaimana bisa pergi mencarinya? Hehe, tak nyana setengah umur aku malang melintang di Kangouw, hari ini terjungkal dan menemui ajal di tangan penjahat rendah."

   Dengan pilu dia tertawa panjang, dia yakin jiwanya pasti takkan tertolong lagi. Mendadak tei gerak pikirannya, tanpa kuasa dia menjerit tertahan.

   "Celaka, goresan arah panah di dinding batu tadi pasti peninggalan In-toako dengan tenaga jarinya yang hebat, musuh justru menggunakan tanda goresannya itu untuk menjebakku masuk perangkap. Bukan mustahil In-toako juga telah celaka dibokong mereka,"

   Lalu dia berpikir pula.

   "Tak jadi soal aku mati, namun nasib .In-toako belum kuketahui, matipun takkan meram. Bagaimana juga aku harus berusaha memberifahu kepada It-cu-king-thian. Em, kini kira-kira sudah menjelang kentongan keempat."

   Karena tekadnya ini Tam Pa-kun segera mengerahkan, sisa tenaganya, golok dimasukkan ke sarungnya, dengan golok panjang sebagai tongkat dia menggeremet turun dari Cit-singgiam, yang diharapkan sebelum terang tanah, dirinya belum mati karena keracunan, bila di jalan pegunungan bisa bertemu dengan penduduk, dia bisa minta bantuan untuk mengantar dirinya ke rumah keluarga Lui.

   Entah berapa lama dan jauh Tam Pa-kun berjalan, yang nyata tenaganya sudah semakin lemah, untuk melangkah setindak juga terasa berat dan sukar.

   Akhirnya dia menghela napas panjang, pikirnya.

   "Tak kira akhirnya aku harus mati dan terkubur di gunung kenamaan ini. Tapi sekarang aku belum boleh mati, kalau aku mati, siapa akan memberi kabar kepada It-cu-king-thian? Siapa pula yang bisa mewakili aku mencari jejak In-toako?"

   Tiba-tiba kupingnya menangkap suara sesenggukan, entah siapa sedang menangis tak jauh di depan sana. Karuan hati Tam Pa-kun kaget dan girang, batinnya.

   "Thian yang maha kuasa memang adil, akhirnya kutemukan juga seseorang disini. Tapi entah siapa dia, kenapa menangis begitu sedih di tempat ini?"

   Orang yang menangis ini bukan lain adalah Tan Ciok-sing yang sedang mengebumikan kakeknya di bawah Cit-singgiam. Dengan golok pusaka milik In Hou, dia menggali liang lahat, dengan cara sederhana dia mengubur kakeknya, lalu berlutut serta berdoa.

   "Kakek di alam baka semoga kau melindungiku sehingga berhasil kuyakinkan ilmu tinggi, kelak aku akan kembali menuntut balas sakit hatimu, waktu itu baru akan kubangun pula pusaramu."

   Sebetulnya dia kuatir bila di atas Cit-sing-giam masih ada musuh yang ketinggalan, maka dia tidak berani menangis, namun sebelum berpisah ini, tak kuasa dia membendung duka nestapa ini, air matapun bercucuran.

   Tiba-tiba dia mendengar langkah orang yang mendatangi ke arahnya, sudah tentu Tan Ciok-sing kaget, bergegas dia melompat berdiri seraya berpaling, kebetulan didengarnya pula suara gedebukan, seseorang berlepotan darah roboh terkapar tak jauh di sebelah sana.

   Mendadak tergerak benak Tan Ciok-sing, teriaknya sambil memburu maju.

   "Apakah she Tam? Tam Pa-kun sudah tidak tahan lagi, namun mendengar pertanyaan Tan Ciok-sing, tercekat hatinya, lekas dia meronta bangun dengan siku menahan badan lalu berduduk melolos golok melintangkan di depan dada, katanya.

   "Siapa kau! Dari mana kau tahu akan diriku?"

   Maklum meski Tam Pa-kun amat terkenal di kalangan Kangouw, tapi dia yakin seorang penduduk pegunungan takkan mungkin kenal dirinya maka timbul rasa curiganya, kuatir kawanan penjahat meluruk datang pula, maka dia bersiaga.

   "Jawab dulu pertanyaanku. Kau kenal In Hou, In Tayhiap tidak?"

   Tanya Tan Ciok-sing. Tam Pa-kun ragu dan bingung, katanya.

   "Kalau kenal kenapa, kalau tidak kenal bagaimana? Siapa kau sebetulnya?"

   "Aku adalah sahabat In Tayhiap, jikalau kau kenal dia, sukalah kau percaya padaku, bicaralah sejujurnya."

   Kaget dan girang hati Tam Pa-kun, namun dia juga tidak berani percaya seratus persen. Dari suara Tan Ciok-sing dia yakin bahwa usianya masih terlalu muda, logat suaranya tidak mirip orang dewasa, pikirnya.

   "Kedengarannya usianya baru lima belas, bagaimana mungkin dia adalah sahabat In Tayhiap?"

   Namun dalam menghadapi jalan buntu seperti dirinya sekarang, meski memperoleh setitik harapan juga tak boleh disia-siakan, mau tidak mau dia harus percaya. Maka katanya.

   "Baik, aku mempercayaimu. Memang aku she Tam bernama Pa-kun, sahabat In Tayhiap sejak puluhan tahun yang lalu. Siapa namamu?"

   Tan Ciok-sing segera menyebut namanya. Tam Pa-kun melenggong, pikirnya.

   "Tan Ciok-sing, belum pernah aku mendengar nama ini."

   Tan Ciok-sing berkata.

   "Tam Tayhiap, apakah kau pun dibokong dan teraniaya oleh kawanan penjahat itu?"

   Kembali Tam Pa-kun kaget dibuatnya, gagang golok digenggamnya lebih kencang, tanyanya.

   "Darimana kau tahu?"

   "Lukamu parah, aku sendiri tak bisa lama berada disini, harap sukalah kau percaya kepadaku, turunkan golokmu, biar kuperiksa apakah aku mampu menolong dan mengobati lukalukamu?"

   Mendengar orang bicara secara jujur dan tulus, Tam Pakun berpikir.

   "Terang aku takkan bisa mencapai rumah keluarga Lui, apa boleh buat, biarlah kupertaruhkan jiwaku ini,"

   Lalu dia turunkan golok, katanya.

   "Tak perlu kau keburu nafsu mengobati lukaku, kalau kau adalah sahabat In Tayhiap, lekas kau beritahu kepadaku, bagaimana keadaannya sekarang?"

   Serba susah untuk menerangkan, Tan Ciok-sing berpikir.

   "Lukanya begini parah, bila kuberitahu In Tayhiap sudah ajal, mungkin..."

   Tidak mendengar jawabannya, Tam Pa-kun membentak.

   "Bagaimana keadaan In Tayhiap, kenapa kau tidak bersuara?"

   Tan Ciok-sing kertak gigi, katanya.

   "Seperti keadaanmu sekarang In Tayhiap juga dibokong dan terluka oleh musuh."

   "Dimana dia sekarang?"

   Tanya Tam Pa-kun, bahwa In Hou juga terbokong memang sudah diduganya, maka dia tidak begitu kaget dan heran.

   "Aku tidak tahu, Tam Tayhiap, sukalah kau beri kesempatan supaya aku menyembuhkan luka-lukamu dulu, setelah kau menyembuhkan iuka-iuka ini baru mampu mencarinya bukan?"

   Tam Pa-kun cukup luas pengetahuannya, dia tahu bahwa Tan Ciok-sing belum bicara sejujurnya, namun kini dia sudah percaya bahwa Tan Ciok-sing tidak akan mencelakainya, batinnya.

   "Mungkin dia tahu bahwa kawanan penjahat itu memang liehay, maka dia tidak berani banyak bicara,"

   Lalu katanya.

   "Aku tidak akan segera mati, tolong pergilah kau mengundang It-cu-king-thian ke mari."

   Ganti Tan Ciok-sing yang berjingkat kaget, katanya.

   "Apa itu It-cu-king-thian, aku tidak tahu."

   "Kalau kau sahabat In Hou, mana mungkin tidak tahu nama besar It-cu-king-thian Lui Tin-gak?"

   "Kalau kau tidak percaya, yah apa boleh buat. Tapi bagaimana juga, luka-lukamu harus disembuhkan dulu,"

   Tanpa hiraukan reaksi Tam Pa-kun, lekas dia maju membersihkan noda-noda darah di muka orang serta membubuhi Kim-jongyok.

   Kakek Tan Ciok-sing pernah belajar pengobatan, maka dia pernah membuat sendiri Kim-jong-yok dan ohat-obat pemunah racun umumnya, walau dalam hal pengobatan Tan Ciok-sing belum mendapat ajaran langsung dari sang kakek, sedikit banyak juga sudah pernah menyelaminya, waktu dia meninggalkan rumah, obat-obatan yang diperlukan juga dibawanya serta.

   Luka-luka Tam Pa-kun sudah membengkak besar dan berwarna hitam berbau amis lagi, setelah menjejalkan sebutir pil penawar racun ke mulut orang, Tan Ciok-sing berpikir.

   "Semoga racun yang mengeram dalam tubuhnya tidak sejahat racun yang mengenai In Tayhiap, syukurlah kalau pil penawar racun bikinan kakek ini dapat menyembuhkan luka-lukanya."

   Apa yang diterka Tan Ciok-sing memang tidak meleset, Tok-liong-pang atau sindikat naga beracun meski menggunakan nama "racun", betapapun dia perserikatan dari aliran kelas dua, panah beracun yang mereka pergunakan terang tidak sejahat racun yang digunakan gembong iblis she Siang yang digunakan melukai In Hou.

   Setelah menelan pil penawar itu, lekas Tam Pa-kun kerahkan hawa murni membantu khasiat obat bekerja lebih cepat, terasa dada lebih enteng dan wangi, dia tahu meski pil obat ini bukan obat penawar yang tepat untuk memunahkan kadar racun panah, namun jiwanya jelas tertolong, paling tidak dapat dipertahankan untuk beberapa kejap lagi.

   Akhirnya Tam Pa-kun menghela napas lega, katanya.

   "Adik cilik, banyak terima kasih. Sekarang sudah terang tanah belum?"

   "Belum, tapi tidak akan lama lagi."

   "Baiklah, keadaanku sekarang tidak berbahaya lagi, tolonglah kau pergi mengundang It-cu-king-thian ke mari, aku yakin kau pasti mengenalnya."

   "Tidak, jangan kau mencari It-cu-king-thian,"

   Kata Tan Ciok-sing prihatin.

   "Kenapa?"

   Tam Pa-kun menegasi.

   Sampai disini percakapan mereka, tiba-tiba dari lereng gunung sebelah sana terdengar langkah kaki serombongan orang yang turun ke mari, lekas sekali suara percakapan merekapun terdengar, dan yang sedang bicara kebetulan justru It-cu-king-thian Lui Tin-gak.

   Lekas Tam Pa-kun merebahkan diri serta menempelkan telinga di atas tanah, didengarnya It-cu-king-thian Lui Tin-gak sedang berkata.

   
Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Kenapa bayangan setanpun tidak kelihatan, kemana Tam Pa-kun menyembunyikan diri?"

   Bukan kepalang girang hati Tam Pa-kun, pikirnya.

   "Sungguh kebetulan, orang yang kuharapkan kebetulan telah datang."

   Baru saja mulutnya terpentang dan hendak berteriak memanggil Lui Tin-gak, mendadak mulutnya didekap tangan orang sehingga suaranya tak terdengar.

   Tam Pa-kun boleh dikata sudah kehabisan tenaga, meronta juga tak berhasil.

   Tapi dia tahu yang mendekap mulutnya jelas adalah Tan Cioksing.

   Didengarnya Tan Ciok-sing berbisik di pinggir telinganya.

   "Tam Tayhiap, jangan kau bersuara."

   "Kenapa? Kenapa?"

   Timbul tanda tanya dalam benak Tam Pa-kun, namun lekas sekali dia sudah mendengar suara seorang yang sudah amat dikenalnya berkata tertawa.

   "Tak usah kuatir, Tam Pa-kun terkena panah beracun kita, memangnya berapa jauh dia melarikan diri, kita cari perlahanlahan saja."

   Suara orang ini bukan lain adalah Thi Ou Pangcu dari Tokliong pang yang membokong Tam Pa-kun tadi. Karuan Tam Pa-kun jadi bingung dan tak habis mengerti, sesaat dia melenggong. Tan Ciok-sing berbisik pula di pinggir telinganya.

   "Tam Tayhiap, sudah dengar bukan? ltcu- king-thian sekomplotan dengan kawanan penjahat itu."

   Langkah mereka semakin dekat, cepat sekali mereka sudah berada di bawah gunung, cahaya oborpun telah kelihatan. Seorang penjahat mendadak berteriak.

   "Coba lihat, disini ada noda darah, kita ikuti ceceran darah ini, pasti dapat menemukan jejak Tam Pa-kun."

   Detak jantung Tan Ciok-sing seperti bandulan lonceng yang terayun pergi datang.

   "Bagaimana baiknya?"

   Saking kepepet dan kebingungan dia sampai kehabisan akal, namun dia insyaf bila jejak mereka disini ketemu oleh musuh maka akibatnya susah dibayangkan.

   Di kala Tan Ciok-sing bimbang dan gemetar inilah, mendadak Tam Pa-kun meronta menggentak kepalanya, telapak tangan Tan Ciok-sing yang mendekap mulutnya terlepas, dengan suara lirih Tam Pa-kun berkata.

   "Jangan hiraukan diriku, lekas kau pergi."

   Langkah orang-orang itu sudah semakin dekat lagi. Sekilas Tan Ciok-sing menenangkan pikiran, pikirnya.

   "Sakit hati kakek dan In Tayhiap kelak harus aku yang membalasnya. Dari pada aku disini tidak bisa berbuat apa-apa. Bukan mustahil Tam Tayhiap juga celaka di tangan musuh, apalagi aku tentu dengan mudah menyerahkan jiwa raga ini,"

   Karena itu dia kertak gigi, Tam Pa-kun berusaha dipapahnya bangun terus diseretnya kedalam semak-semak rumput, lalu berbisik.

   "Tam Tayaiap, aku akan pergi. Semoga Thian melindungimu terhindar dari petaka ini. Ada sepatah kata perlu kusampaikan kepadamu, In Tayhiap sudah meninggal, yang mencelakai In Tayhiap juga It-cu-king-thian,"

   Habis bicara segera dia mendekam terus menggeremet kesana menyusup pergi di antara semak-semak rumput. Hampir Tam Pa-kun tidak percaya akan pendengarannya.

   "Bagaimana mungkin? Lui-toako mana mungkin melukai Intoako? Tapi apa pula maksudnya mencari aku dengan Tokliong Pangcu?"

   Maklumlah Tam Pa-kun dengan Lui Tin-gak adalah sahabat karib bak kakak beradik, secara mutlak dia percaya kepada Lui Tin-gak.

   Bahwa dia suruh Tan Ciok-sing pergi, bukan lantaran kuatir Lui Tin-gak bakal turun tangan keji terhadapnya, tapi dia kuatir Tok-liong Pangcu yang akan berbuat jahat kepadanya.

   Walaupun hakikatnya dia belum lagi sempat mencari tahu kenapa Lui Tin-gak bisa bergaul dan berada dalam rombongan Thi Ou.

   Tan Ciok-sing menggeremet pergi di tengah semak rumput, meski dia sudah bertindak hati-hati, betapapun akhirnya mengeluarkan suara keresekan, begitu Thi Ou pasang kuping lalu berkata.

   "Disana seperti ada suara orang, hayo coba kita periksa kesana,"

   Seorang Thaubak berkata.

   "Pangcu harus hati-hati. Entah racun dalam tubuh Tam Pa-kun sudah kumat belum?"

   Thi Ou tertawa, katanya.

   "Ada Lui Tayhiap di antara kita, perlu apa takut?"

   "Betul, kalian tidak usah kuatir,"

   Terdengar Lui Tin-gak berkata.

   "kalau benar Tam Pa-kun sembunyi disini, biar aku menghadapinya. Kalau dia sudah terluka separah itu, yakin aku masih dapat melayaninya."

   Thi Ou segera mengumpak, katanya.

   "Umpama Tam Pakun belum terluka juga belum tentu tandingan Lui Tayhiap. Kalau Lui Tayhiap harus menghadapinya, itu berarti membunuh ayam pakai golok kerbau."

   Lui Tin-gak tertawa tergelak-gelak, katanya.

   "Ah, kau terlalu memuji,"

   Suaranya amat jumawa. Diam-diam Tam Pa-kun berpikir pula.

   "Lui-toako pasti bukan manusia serendah itu, mungkin urusan ini masih ada latar belakang yang tidak kuketahui?"

   Mendadak dia berjingkrak berdiri seraya membentak.

   "Orang she Tam ada disini, tak usah kalian susah payah mencariku, siapa ingin membunuhku, silahkan maju."

   Dia sudah nekad mempertaruhkan jiwanya, kalau Lui Tingak tidak seperti apa yang dia duga jelas jiwanya pasti melayang.

   Tapi dia sudah bertekad untuk melabrak musuh habis-habisan, tujuannya tak lain demi melindungi Tan Cioksing melarikan diri.

   Melihat Tam Pa-kun mendadak muncul di hadapan mereka, karuan Thi Ou dan anak buahnya sama kaget, perhatian semuanya tertuju kepada Tam Pa-kun, tiada yang tahu kalau di semak rumput sana ada seorang lagi menyembunyikan diri.

   Terdengar suara Lui Tin-gak yang berat keren berkata.

   "Nah, coba kalian lihat, aku akan membunuhnya,"

   Pada akhir kata-katanya mendadak telapak tangannya terayun balik memukul ke belakang.

   "Biang", diluar dugaan orang banyak, yang jadi sasaran pukulannya itu justru dada Tok-liong Pangcu. Semula Thi Ou berdiri jajar dengan dia, mimpipun tak pernah terbayang olehnya bahwa Lui Tin-gak bakal membunuhnya, kontan tubuh Thi Ou mencelat jauh'seperti bola tertendang jatuh beberapa tombak jauhnya. Padahal Bian-ciang yang dilancarkan Lui Tin-gak ini dapat memukul remuk batu, mana Thi Ou kuat menerima pukulan dahsyat ini? "Huuaaah..."

   Di tengah jerit lengking yang menyayat hati, darah berhamburan dari mulutnya, setelah terguling beberapa kali, akhirnya meringkel diam.

   Karuan seluruh anak buah Thi Ou terkesima dan pecah nyalinya.

   Tam Pa-kun sendiri juga amat haru dan senang pula, akhirnya dialah yang menang dalam pertaruhan jiwa ini.

   "Tam-toako,"

   Seru Lui Tin-gak.

   "aku datang terlambat."

   Baru sekarang anak buah Thi Ou tersentak sadar, tanpa komando serempak mereka melarikan diri.

   Hanya seorang pengawalnya yang memburu maju hendak memapah Thi Ou.

   Mendadak Thi Ou membalikkan tubuh, tiga batang panah beracun tahu-tahvi meluncur mengincar punggung Lui Tingak.

   Lekas-lekas Tam Pa-kun berteriak.

   "Awas Lui-toako, ada serangan senjata rahasia,"

   Karena berhadapan dengan Tam Pa-kun, berarti Lui Tin-gak membelakangi Thi Ou.

   "Bagus,"

   Bentak Lui Tin-gak.

   "kebetulan aku bisa pinjam panah beracun ini,"

   Sekali menggapai ke belakang, tiga batang panah beracun itu kena di tangkapnya, langsung dia sambitkan pula.

   Pengawal Thi Ou baru saja sampai di sampingnya, begitu kena timpukan panah beracun kontan dia terjungkal roboh binasa.

   Dua batang panah lagi melesat ke arah dua penjahat yang lari paling jauh, seorang lari ke selatan yang lain lari ke utara, jarak mereka sudah seratusan langkah, tak nyana jiwa mereka tak terhindar dari renggutan maut.

   Sisa beberapa penjahat yang tak mampu melarikan diri sama meratap minta ampun sambil berlutut.

   Lui Tin-gak kebacut gemes, sambil kertak gigi dia membentak.

   "Tok-liongpang sudah keliwat batas kejahatannya, matipun kalian setimpal,"

   Mengembangkan ketangkasan gerak tubuhnya, ke kiri menyapu ke kanan menendang, kepalan disusul tendangan maut, menutuk dan menjojoh pula, dalam sekejap saja mayat bergelimpangan, seluruh anak buah Thi Ou habis dibabatnya.

   Setelah memberantas kawanan penjahat, It-cu-king-thian menghela napas gegetun, katanya.

   "Tuhan memang maha pengasih, sebetulnya aku tidak ingin membabat habis mereka, tapi menilai perbuatan mereka hari ini, terpaksa aku harus bunuh mereka."

   Tam Pa-kun tahu meski Tok-liong-pang merupakan sindikat kelas dua dalam Kangouw, tapi anggotanya rata-rata pandai menggunakan racun, suka main licik dan sukar dilayani.

   Kalau mereka tahu sang Pangcu mati di tangan Lui-toako, pasti berusaha menuntut batas dengan cara keji luar biasa.

   "Ai, demi menyelamatkan diriku, Lui-toako tidak segan mencari permusuhan, tadi hampir saja aku mencurigainya,"

   Sungguh bukan kepalang haru dan menyesal hatinya, tanpa kuasa air mata berlinang.

   "Tam-toako, bagaimana luka-lukamu?"

   Seru Lui Tin-gak sambil menghampiri.

   "Haya, kenapa matamu..."

   Setelah dekat baru dia melihat jelas, kedua biji mata Tam Pa-kun membengkak besar berwarna merah seperti buah apel. Tam Pa-kun tertawa sedih, katanya.

   "Meski menderita aku terhitung beruntung juga, tadi ada orang yang telah memberi obat kepadaku, jiwaku mungkin takkan berbahaya."

   "Mana orang itu?"

   Tanya Lui Tin-gak melengak.

   "Sudah lari pergi,"

   Sahut Tam Pa-kun. Lui Tin-gak semakin heran, tanyanya.

   "Siapakah dia?"

   "Aku tidak tahu siapa dia, tapi soal ini kita bicarakan nanti, ada urusan penting yang perlu kutanyakan kepadamu."

   "Betapapun kedua matamu harus lekas diobati, hayolah dicuci dulu di sungai sana."

   "Mata menjadi buta juga tidak jadi soal, Lui toako, kenapa urusan penting tidak kau bicarakan dulu?"

   Lui Tin-gak tahu soal apa yang hendak dibicarakan, hatinya perih seperti disayat-sayat, katanya dengan tertawa dibuatbuat.

   "Urusan penting apa?"

   "In Hou sudah tiba di Kwi-lin, apakah kau sudah bertemu dia?"

   "Ya, sudah ketemu."

   "Syukurlah. Tadi aku hampir percaya omongan orang lain, kukira dia betul-betul sudah mati,"

   Sesaat dia berdiam tidak memperoleh jawaban Lui Tin-gak, walau dia tidak bisa melihat perubahan mimik muka orang, tapi dia sudah merasakan firasat jelek, tanyanya lekas.

   "Lui-toako, ada yang tidak beres?"

   Tersendat suara Lui Tin-gak.

   "Orang itu memang tidak menipumu. In Tayhiap memang sudah mati."

   Mengejang tubuh Tam Pa-kun, sekujur badan menjadi dingin, derita batinnya jauh lebih parah dari siksaan racun panah tadi, lama dia mematung, akhirnya tersentak sadar, teriaknya tak tertahan.

   "Sudah mati? Bagaimana matinya?"

   "Dia dibokong oleh kawanan penjahat di atas Cit-singgiam."

   Tam Pa-kun sudah menduga bahwa In Hou pasti juga mengalami nasib seperti dirinya, tapi mendapat keterangan langsung dari Lui Tin-gak, hatinya tetap kaget dan heran, tanyanya.

   "Siapakah yang membokongnya?"

   "Kabarnya Le Khong-thian dan Siang Po-san."

   Gemeretak gigi Tam Pa-kun, katanya.

   "Kiranya kedua orang ini, apakah mereka masih berada di Kwi-lin?"

   "Entah, kukira mereka belum pergi. Karena belum mendapatkan barang yang mereka incar, In Tayhiap mati atau hidup, mereka pasti ingin menyelidiki juga."

   "Kalau demikian, jadi mereka juga terluka?"

   "Ya, kabarnya mereka juga terluka, beberapa hari ini entah mereka sembunyi dimana menyembuhkan luka-luka itu."

   "Tak heran, waktu kawanan Tok-liong-pang mencelakai aku semalam, kedua gembong iblis ini tidak muncul, kalau mereka ikut datang, masakah aku bisa hidup sampai sekarang? Ai, Intoako aku datang terlambat empat hari, sehingga kau menjadi korban, tak nyana lagi bahwa jiwaku ini kau pula yang menolongku."

   "Memangnya aku ingin tanyakan Tam-toako,"

   Kata Lui Tin gak.

   "biasanya kau paling tepat janji, kenapa kali ini sampai terlambat empat hari. Dari percakapanmu barusan agaknya kau sudah menduga bahwa yang mencelakai In-toako adalah kedua gembong iblis itu, apa pula yang terjadi?"

   "Di tengah jalan, kudengar berita bahwa kedua gembong iblis ini datang hendak mencelakai In-toako, maka aku terus menempuh perjalanan siang malam, pikirku hendak menghadang mereka. Tak nyana di tengah jalan beruntun malah aku yang dicegat dan disergap kaki tangan mereka. Walau beruntung aku dapat lobos, namun aku sudah terlambat empat hari dari waktu yang dijanjikan."

   "Bahwa In Tayhiap hendak datang ke Kwi-lin, cara bagaimana mereka bisa tahu?"

   Tanya Lui Tin-gak.

   "Aku juga heran, selamanya tak pernah kubicarakan hal ini dengan orang lain, kukira In Hou juga tidak akan sembarang bicara dengan orang."

   "Ya, beberapa tahun yang lalu pernah kudengar bahwa In Hou ingin tamasya di Kwi-lin, tapi kedatangannya ke Kwi-lin kali ini kuketahui setelah dia terbokong musuh,"

   Lalu dengan tertawa getir dia melanjutkan.

   "Kalau dikatakan sebetulnya sedikit banyak aku juga sudah mendengar kabar angin, tapi dalam perkiraan In Tayhiap, mungkin dia merasa curiga kepadaku. Sayang di kala dia masih hidup tak sempat aku memberi penjelasan kepadanya,"

   Waktu berkata mimiknya kelihatan aneh, sayang Tam Pa-kun tidak bisa melihat keanehan ini.

   Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Lui-toako, kenapa kau bilang begitu, kau adalah teman karibku yang paling kental, memangnya aku bakal curiga kepadamu? Menurut hematku, In Hou juga tidak pantas bercuriga kepadamu."

   Lui Tin-gak geleng-geleng kepala, katanya getir.

   "Tamtoako, kau tidak tahu."

   "Tidak tahu apa?"

   "Aku memang pantas dicurigai, karena terhadap orang pernah aku mengakui bahwa aku sekongkol dengan kawanan penjahat untuk mencelakainya."

   "Kenapa kau bilang demikian?"

   "Panjang kalau dituturkan, hayolah sambil jalan sambil bicara."

   "Betul, aku juga ingin tanya kepadamu. Katamu kau pernah melihat In Hou. Kapan dan dimana?" .

   "Kemarin malam kira-kira kcntongan ketiga di rumah seorang teman. Sayang sekali yang kulihat hanyalah jenazah In Tayhiap."

   "Temanmu itu bukankah seorang pemuda tanggung berusia lima belasan, she Tan bernama Ciok-sing?"

   "Betul, darimana kau tahu?"

   "Sahabat kecil itulah yang tadi mengobati luka-lukaku."

   "Apa yang dia katakan terhadapmu?"

   "Memang betul dugaanmu, dia memang menaruh prasangka terhadapmu, dia yakin bahwa kaulah biang keladi dari kematian In Hou."

   Waktu itu mereka sudah tiba di pinggir sungai, Lui Tin-gak segera membersihkan muka dan badan Tam Pa-kun yang berlepotan darah, serta membubuhi obat pula.

   Air sungai yang bening dingin untuk mencuci mata, Tam Pa-kun merasa jauh lebih segar dan nyaman, matanya memang bisa terbuka, tapi yang kelihatan hanya samar-samar.

   "Apa kau tahu Dewa Harpa?"

   Tanya Lui Tin-gak.

   "Dewa Harpa?"

   Tam Pa-kun seperti sadar.

   "apa maksudmu Tan Kiat-gih locianpwe itu? Apa dia juga berada di Kwi-lin?"

   "Sudah dua puluh tahun dia mengasingkan diri di bawah Cit-sing-giam, tapi dia sudah mengikat janji dengan aku, aku dilarang membocorkan asal-usulnya, maka sejauh ini aku tidak pernah bercerita kepadamu tentang dirinya."

   "Kepandaian memetik harpa cianpwe ini katanya tidak bandingan di kolong langit ini, sudah lama aku mengagumi namanya. Tapi untuk apa kau menyinggung dia?"

   "Pemuda bernama Tan Ciok-sing yang menolong jiwamu itu adalah cucunya. In Hou dibokong oleh kedua gembong iblis itu didalam Cit-sing-giam dan terluka parah jatuh kedalam rawa untung Ki Harpa inilah yang menolongnya, tapi keadaannya waktu itu memang amat menguatirkan. Peristiwa ini baru kuketahui kemarin, maka kusuruh Ki Harpa bersandiwara bahwa akulah biang keladi pembunuh In Hou, malah kuminta dia berusaha supaya orang lain percaya."

   Tam Pa-kun paham, katanya.

   "Karena waktu itu mati hidup In Hou masih merupakan teka teki, kau kuatir ada kelompok lain yang berusaha mencelakai In Hou pula, maka sengaja kau terima memikul tuduhan jahat ini, supaya perhatian orangorang itu teralih atas dirimu. Ai, maksud tujuanmu kiranya cukup pahit juga..."

   "Banyak terima kasih Tam-toako atas pengertianmu kepadaku. Sayang In Tayhiap sudah mati, jelas aku tak kuasa mcmbelek hatiku untuk kutunjukkan kepadanya."

   "Lui-toako, urusan sudah terlanjur sejauh ini, sedihpun tak berguna, yang penting sekarang kita harus lekas mengurus jenazah In Hou."

   "Betul, Ciok-sing bocah itu, seharusnya aku memberikan perlindungan dan tempat berteduh."

   Lui Tin-gak kira sekarang Tan Ciok-sing tentu sudah lari pulang, hatinya masih raguragu, apakah perlu dia menjelaskan duduknya persoalan? Rumah kediaman keluarga Tan berada di Yau-kong-hong di sebelah selatan Po-tho-san, Po-tho-san memiliki empat puncak yang bernama Thian-sut, Thian-bian, Thian-ki dan Thiancwan.

   Cit-sing-giam berada di puncak Thian-ki-hong.

   Kalau Lui Tin-gak mengira Tan Ciok-sing lari pulang, tak kira waktu dia mengitari lamping gunung Po-tho-san, tampak di bawah Yau-kong-hong sana, api tampak berkobar-kobar, tempat kebakaran adalah di rumah keluarga Tan.

   Sekilas Lui Tin-gak melengak akhirnya menarik napas panjang.

   Walau kedua mata Tam Pa-kun tak terpentang, namun dia merasakan juga gemeredepnya cahaya panasnya api.

   Tanyanya kaget.

   "Lui-toako, apa yang terjadi?"

   "Rumah keluarga Tan sudah di bumi hanguskan."

   "Lalu cucu Ki Harpa itu..."

   "Ciok-sing bocah itu baru saja melarikan diri dari sini, padahal rumahnya sudah tinggal puing-puing belaka, agaknya dia sengaja membakar rumah sendiri sebelum meninggalkan rumahnya tadi. Tadi aku kira dia bakal lari pulang, kiranya dugaanku meleset."

   "Begitu lebih mending, semoga bocah ini selamat dan walafiat."

   "Tapi aku tidak tahu entah kapan baru akan bisa bertemu dengan dia, dia tentu menganggap aku sebagai musuh besarnya."

   Tiba-tiba Tam Pa-kun teringat suatu hal, katanya.

   "Soal ini mungkin kelak masih bisa dibikin terang, tapi dalam saat-saat genting ini kukira Lui-toako, kau harus meninggalkan Kwi-lin sementara. Kedua gembong iblis itu..."

   Sebelum habis penjelasannya, Lui Tin-gak sudah tahu maksudnya, katanya tertawa getir.

   "Betul, setelah luka-luka kedua gembong iblis ini sembuh, mereka jelas takkan membiarkan aku. Tadi waktu aku memberantas orang-orang Tok-liong-pang memang sudah ambil putusan."

   "Putusan apa?"

   "Meniru Tan Ciok-sing, membakar rumah tinggal, lalu pergi."

   Sedih sekali Tam Pa-kun, katanya.

   "Sayang mataku sudah buta, bikin susah kau pula untuk menyembuhkannya, jelas aku tak mampu membantu kau."

   "Harta benda terhitung apa, yang penting asal diri tidak berbuat salah, setia terhadap kawan sudah cukup dan tak perlu menyesal."

   Dalam pada itu Tan Ciok-sing sudah dalam perjalanan meninggalkan tempat kelahiran, meninggalkan kampung halaman dimana dia pernah dibesarkan, berat memang rasanya, tapi mengingat masa depan, demi menuntut balas sakit hati kakek dan In Tayhiap, dia harus belajar Kungfu.

   Pikirnya.

   "In Tayhiap suruh aku menemui Thio Tan-hong Thio Tayhiap yang bergelar pendekar nomor satu di jagat ini, semogalah Thian memberikan wahyunya supaya cita-citaku tercapai. Hm, persetan dengan It-cu-king-thian segala, tunggu saja, setelah aku kembali kelak, sekali tabas akan kupenggal kepalanya,"

   Sudah tentu mimpipun Tan Ciok-sing tidak menduga, di kala dia bersumpah dalam hati ini, rumah keluarga Lui juga sudah terbakar habis.

   It-cu-king-thian Lui Tin-gak juga tidak akan menunggu dia pulang ke Kwi-lin lagi.

   Tiga bulan kemudian, Tan Ciok-sing mulai memasuki daratan tinggi di perbatasan Hun-lam dan Kwi-ciu.

   Dalam perjalanan selama tiga bulan ini, begitu senggang dia lantas mempelajari ilmu pukulan dan ajaran golok pemberian In Hou.

   Dalam ajaran ilmu pukulan juga tertera pelajaran lwekang, maka setiap pagi dan malam, sehari dua kali Tan Ciok-sing pasti belajar dan latihan sesuai petunjuk dalam buku.

   Untung dari kakeknya dia telah diajarkan dasar latihan pernapasan, dibekali bakatnya yang baik lagi, untuk belajar lwekang tingkat tinggi, meski tanpa bimbingan guru, akhirnya dia berhasil juga.

   Setelah tiga bulan meski dia baru mencapai kulitnya dalam pelajaran lwekang tingkat tinggi ini, tapi dibanding sebelumnya, jelas bedanya teramat jauh.

   Tapi beberapa jurus pelajaran ilmu pedang yang tertulis didalam Kiam-boh karya Thio Tan-hong itu, sejauh ini masih belum berhasil diselaminya.

   Hari itu dia tiba di sebuah kota kecil, hari sudah mulai gelap, dalam kota ini hanya terdapat sebuah hotel kecil, maka Tan Ciok-sing menginap di hotel ini.

   Waktu meninggalkan rumah, Tan Ciok-sing hanya membawa dua perangkat pakaian selama menempuh perjalanan tiga bulan ini, tak sempat dia membuat atau membeli pakaian baru, maka pakaian yang dipakainya sekarang bukan saja warnanya sudah luntur, kotor dan butut lagi.

   Apa lagi usianya yang masih terlalu muda, muka kotor kena debu, menggendong sebuah kotak kayu yang sudah rombeng dan buntalan kecil yang enteng saja, keadaannya memang rada lucu.

   Pemilik hotel seorang yang mata duitan, melihat keadaannya minta kamar lagi, seketika dia mengerutkan alis, katanya.

   "Menurut peraturan hotel kami, uang makan dan uang nginap harus dibayar dimuka."

   "Boleh saja, berapa aku harus membayar,"

   Kata Tan Cioksing. Tak nyana waktu dia merogoh kantong, seketika dia berdiri tertegun, ternyata uang pecahan yang dibawanya telah habis, sisanya hanya beberapa keping uang tembaga dan kacang emas pemberian In Hou. Pemilik hotel menghitung-hitung.

   "Tarip kamar biar kuhitung tiga ketip saja, ditambah ongkos makan dua kali dan lain-lain biarlah dihitung genap satu tail saja. Hayo segera bayar."

   "Aku tidak punya uang perak, tapi..."

   Belum habis dia bicara pemilik hotel sudah mendelik gusar, serunya.

   "Uangmu hanya beberapa keping tembaga ini, memangnya kau hendak makan dan nginap gratis. Makanya, masa ada urusan segampang ini?"

   "Bukan begitu, walau aku tidak punya uang perak, tapi aku punya emas,"

   Seru Tan Ciok-sing. Pemilik hotel mendelik kaget, serunya terbeliak.

   "Kau punya emas, coba keluarkan."

   Tan Ciok-sing keluarkan sebutir kacang emas, katanya.

   "Nah terimalah kacang emas ini, nilainya kukira lebih dari satu tail perak?"

   Kota ini terletak di dataran tinggi, penduduknya rata-rata kaum miskin, yang menginap di hotel ini kebanyakan adalah kaum pesuruh atau pedagang kelilingan, kapan pernah melihat tamu yang memiliki emas? Demikian pula pemilik hotel yang kemaruk uang ini, dia pun belum pernah melihat emas.

   Sekian lama dia mengawasi pemuda tanggung yang kotor dan butut ini, mana berani dia percaya bahwa uang yang dikeluarkan ini emas tulen, segera dia menjengek dingin.

   "Sebutir tembaga kuning hendak kau gunakan menipuku, kau kira aku ini goblok?"

   "Ini emas murni, tidak percaya boleh kau bawa ke toko emas atau tukarkan ke bank."

   "Memangnya kau kira aku punya banyak waktu lari ke kota besar menukarkan tembagamu ini,"

   Ternyata kota kecil ini tiada bank.

   "Tapi emasku ini betul-betul murni, kalau ada tempo kan bisa kau pergi menukarnya."

   Pemilik hotel mendengus ejek, katanya.

   "Umpama benar emas murni, aku kan tidak tahu dari mana kau bisa memilikinya. Orang kecil seperti kami ingin berdagang secara halal, jangan nanti kami terembet urusan dengan opas."

   Tan Ciok-sing geregetan, katanya.

   "Kau kira aku mencuri?"

   "Kau sendiri yang bilang. Pendek kata aku minta pembayaran uang perak, kalau tanpa uang perak lekas kau enyah dari sini, jangan membuat ribut saja."

   Malu dan jengkel Tan Ciok-sing dibuatnya, namun mengingat pemilik hotel ini memang manusia kampungan terpaksa dia menahan amarah, katanya.

   "Baiklah, kau tidak percaya bahwa uangku ini emas, biarlah aku pergi saja."

   Tiba-tiba seorang berkata.

   "Engkoh cilik, buat apa kau marah-marah? Di kota ini hanya ada hotel ini saja, kemana kau hendak menginap? Penduduk juga takkan mau menerima orang yang tidak dikenal asal-usulnya. Marilah coba kubantu membereskan."

   Kiranya dua tamu yang sudah menginap lebih dulu keluar dari kamar mendengar keributan ini, seorang lakilaki, setengah umur berbadan pendek kekar, seorang lagi berhidung betet, mata cekung dan berjambang bauk, perawakannya tinggi keren, dilihat tampangnya jelas dia bukan orang bangsa Han.

   Yang bicara tadi adalah laki-laki setengah umur itu.

   "Aku toh bukan pengemis, kenapa harus minta-minta kepadanya,"

   Demikian kata Tan Ciok-sing.

   "Tentu, tentu,"

   Ucap laki-laki pendek.

   "siapa berani memandang rendah kau? Tapi Laopan tidak mau terima emas, kau pun tidak boleh memaksanya, betul tidak? Lebih baik begini saja, kau keluarkan salah satu barangmu sebagai tanggungan bagaimana? Emasmu itu kan bisa ditukarkan sembarang waktu untuk menebusnya. Bukankah ini cara yang paling baik untuk kedua pihak?"

   "Aku tidak punya barang apa untuk dibuat tanggungan disini,"

   Ujar Tan Ciok-sing.

   "Lalu apa isi kotakmu ini?"

   Tanya laki-laki pendek. Dalam kotak berisi harpa kuno warisan kakek Tan Cioksing, mana boleh barang berharga ini untuk barang tanggungan, maka dia berkata.

   "Ah, hanya sebuah harpa bobrok, kukira Toa laopan ini juga tidak akan mau menerimanya."

   "Coba dikeluarkan supaya dilihat, kan tidak apa-apa?"

   Pinta laki-laki pendek. Betapapun Tan Ciok-sing masih merupakan pemuda tanggung, gampang dipancing dan suka ngumbar emosi, pikirnya.

   "Kalau tidak kuperlihatkan, mungkin mereka kira yang tersimpan didalam kotak ini barang curian."

   Laki-laki brewok seperti orang asing itu menatap tajam tanpa berkedip pada kotak harpanya ini. Demikian pula tergerak hati laki-laki pendek, namun mimik mukanya tidak menunjukkan ketamakan hatinya. Pemilik hotel mendengus lagi, katanya.

   "Harpa bobrokmu ini, paling dinilai belasan keping uang tembaga atau dimasukkan dapur untuk kayu bakar. Em, lalu apa pula isi buntalanmu itu? Barang lain tidak jadi soal, tapi dalam buntalannya ini dia simpan golok pusaka In Hou. Karena kalau golok digantung di pinggang bisa menarik perhatian orang, maka sengaja Cioksing menyimpan dalam buntalannya.

   "Harpa kuno boleh dilihat orang, tapi golok pusaka ini sekali-kali tak boleh diketahui orang,"

   Maka sengaja dia pura-pura naik pitam, katanya.

   "Aku lebih suka nginap di emperan toko, dari pada kau hina disini. Batal saja."

   Pemilik hotel mengejek.

   "Buntalanmu itu paling berisi satu stel pakaian rombeng, memangnya kau kira aku sudi menerima, enyahlah."

   Baru saja Tan Ciok-sing putar badan, laki-laki brewok hidung betet itu tiba-tiba menahannya, katanya.

   "Adik cilik, kenapa kau sepandangan seperti dia?"

   Dia bicara bahasa Han, cuma logatnya kaku, jelas memang bukan orang Han. Dalam waktu yang sama laki-laki pendek itu sudah merogoh kantong mengeluarkan sebutir uang perak terus disodorkan kepada pemilik hotel, katanya.

   "Coba kau timbang, uang perak ini tentu lebih setahil? Kelebihannya boleh untukmu."

   "Pemilik hotel tertegun, tanyanya. 'Kau yang mentraktir?"

   "Aturan hotelmu ini tentunya tidak melarang orang lain mentraktir temannya bukan?"

   "Tuan ini jangan menggoda, bagi kaum pedagang seperti kita ini, memangnya menolak rejeki malah?"

   Bahwa dia hitung uang makan dan penginapan Tan Ciok-sing setahil perak sudah menggorok beberapa lipat dari tarip biasanya, agaknya dia memang sengaja hendak mempersulit Tan Ciok-sing.

   "Tuan ini justru pembawa rejeki, lekaslah kau panggil dia kembali, sediakan sebuah kamar untuk dia,"

   Demikian kata laki-laki pendek. Setelah menerima uang sikap pemilik hotel ternyata berubah, sambil berseri tawa munduk-munduk lagi, katanya.

   
Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Siangkong mohon maaf akan kekurang ajaranku tadi, harap tidak berkecil hati. Kebetulan masih ada sebuah kamar kelas satu, letaknya berdampingan dengan kamar kedua tuan ini, silahkan masuk dan beristirahat."

   Tan Ciok-sing tidak mau terima kebaikan orang, kacang emas itu dia keluarkan lagi dan berkata pada laki-laki pendek.

   "Terima kasih kau membayar rekening hotelku, nah terimalah uang emasku ini."

   "Uang setahil perak terhitung apa?"

   Ucap laki-laki pendek.

   "kalau kau kembalikan padaku berarti kau tidak pandang kami sebagai sahabat."

   "Selama ini kita belum kenal, mana boleh merogoh kantongmu untuk keperluanku,"

   Kata Tan Ciok-sing rikuh. Laki-laki pendek bergelak tawa, katanya.

   "Di empat penjuru lautan semuanya saudara. Setulus hati aku ingin bersahabat dengan kau."

   Tan Ciok-sing jadi rikuh untuk paksa orang menerima uang emasnya, tapi kuatir kedua orang ini terus ajak dia ngobrol, dia pura-pura menggeliat dan menguap terus minta diri. Laki-laki pendek itu berkata.

   "Saudara cilik, sehari ini agaknya kau menempuh perjalanan, badan tentu sudah penat, silahkan beristirahat."

   Setelah makan malam Tan Ciok-sing tutup pintu kamarnya terus merebahkan diri di atas ranjang.

   Waktu makan tadi dia kuatir kedua orang di sebelah akan datang ajak dia ngobrol pula, tak kira kedua orang itu lebih pagi menutup pintu kamarnya, tidak mengganggunya lagi.

   Rebah di atas ranjang, Tan Ciok-sing berpikir.

   "Kedua orang itu agaknya orang baik hati sekali-kali aku tak boleh menerima kebaikan orang secara percuma. Nanti setelah mereka tidur nyenyak, secara diam-diam biar kumasukkan sebuah kacang emas kedalam buntalan mereka,"

   Lebih lanjut dia berpikir pula.

   "Tapi apakah caraku itu tidak terlalu kasar. Mereka anggap aku sebagai sahabat, aku membalasnya dengan cara yang kurang sportif apakah tidak memalukan."

   Karena tak berhasil menyimpulkan cara untuk membalas kebaikan orang, lama kelamaan Tan Ciok-sing merasa kelelahan, di saat dia layap-layap hendak tertidur, tiba-tiba hidungnya mengendus bau wangi, rasa kantuknya seketika bertambah berat, karuan hatinya kaget, lekas-lekas dia gigit ujung lidah, rasa sakit membuat semangatnya.bangkit, waktu dia melongok kesana didapatinya kertas jendela telah berlobang, diluar lobang tampak setitik sinar api, asap wangi tampak dihembus masuk melalui lobang kecil itu.

   "Kurcaci, kiranya berani bertingkah disini hendak mencelakai aku si rudin ini,"

   Demikian batin Tan Ciok-sing.

   Untung Tan Ciok-sing sudah meyakinkan lwekang selama tiga bulan, meski dupa wangi yang memabukkan ini liehay, dalam waktu singkat ini masih belum membuatnya pingsan.

   Setelah menggigit ujung lidah rasa kantuk seketika lenyap, lekas dia keluarkan sebutir pil penawar racun terus ditelannya.

   Pikirnya.

   "Orang tua sering berwejang harta dan uang jangan suka dipamer di muka umum, mungkin penjahat ini melihat si rudin macamku ini memiliki kacang emas, maka mau menggerayang aku."

   Tengah dia membatin tiba-tiba terdengar suara yang sudah dikenalnya berbisik diluar jendela.

   "Mengerjai bocah yang masih berbau pupuk bawang kukira tak perlu banyak susah, kukira sudah cukuplah."

   Seorang lain berkata.

   "Berhati-hati kan lebih baik, bocah itu pandai Kungfu, tunggu lagi sebentar,"

   Percakapan mereka amat lirih merubah suara lagi, maka Tan Ciok-sing tidak yakin apakah kedua orang itu adalah tamu di sebelah yang tadi membantu dirinya Sesaat lagi, mungkin kedua penjahat ini sangka Tan Cioksing sudah pulas, pelan-pelan mereka mendorong jendela terus melompat masuk.

   Langkahnya ringan tidak mengeluarkan suara.

   Ginkang mereka ternyata tidak rendah.

   Golok milik In Hou memang sudah disiapkan di bawah bantalnya, kalau dengan golok ini secara mendadak dia bacok kedua maling ini, memang tidak sukar untuk membunuhnya, dasar dia bocah gunung yang berhati bajik, mana berani dia membunuh orang, buntalanpun dia dorong ke sebelah dalam, batinnya.

   "Kalau betul mereka tamu di kamar sebelah, mereka pernah membantu aku, cukup bila aku menggertak mereka saja."

   Cepat sekali kedua maling itu sudah tiba di depan ranjangnya, tangan di ulur terus mencengkram ke pundaknya, tapi cengkramannya luput, tahu-tahu Tan Ciok-sing bangun berduduk, katanya.

   "Kawan, kau perlu uang, ada beberapa kacang emas ini, nah, ambillah,"

   Sembari bicara dengan suatu gerakan cepat yang liehay dan cekatan dia sisipkan ketiga butir kacang emas itu ke telapak tangan sang maling terus didorongnya pergi.

   Kalau dia berhati bajik sebaliknya maling ini bermaksud jahat padanya.

   Maling yang lain sebat sekali telah menubruk maju, kelima jarinya bagai cakar mencengkram ke tenggorokannya.

   Maling yang didorongaya pergi itu lebih jahat lagi, ternyata dia mencabut golok terus membacok.

   Karuan Tan Ciok-sing gusar, kontan dia layangkan kakinya, meski dalam kegelapan tapi tendangannya ternyata telak sekali, yang ditendang pergelangan musuh.

   "Trang"

   Golok lawan mencelat terbang keluar jendela dan jatuh berkerontang di tanah.

   Tak berhasil mencengkram tenggorokannya penjahat yang lain merubah gerakan terus mencengkram ke pundak, tulang pundak merupakan titik kelemahan manusia, kalau sampai diremas hancur, betapapun tinggi ilmu silat orang, tenaga takkan mampu dikerahkan lagi.

   Saat mana Tan Ciok-sing sudah lompat turun dari atas ranjang, sedikit miringkan tubuh dengan jurus Thi-bun-san (palang pintu besi), lengan lawan hendak ditelikungnya.

   Tapi kepandaian penjahat yang itu ternyata jauh lebih tinggi dari temannya, lekas dia merendahkan pundak menyurutkan lengan, tahu-tahu tangannya terbalik melancarkan Kim-na-jiu.

   "Bret* baju Tan Ciok-sing kena dicengkramnya robek. Sementara kawannya yang kehilangan senjata telah menubruk maju pula.

   "Wut"

   Sebuah pukulan mengincar punggung Tan Ciok-sing.

   Sekaligus menghadapi keroyokan ' dua musuh, bagi Tan Ciok-sing yang belum punya pengalaman tempur ini menjadi kerepotan juga, di saat-saat genting itu, penjahat yang berkepandaian lebih tinggi itu mendadak menjerit "aduh", agaknya terluka.

   Tangan Tan Ciok-sing terayun balik dengan telak menggenjot dada penjahat yang lain, sambil mengeluarkan gerangan tertahan dia sempoyongan mundur, kebetulan tiba di depan pintu, sekali tendang daun pintu ditendangnya roboh berantakan, tanpa janji keduanya terus ngacir angkat kaki seribu.

   Diam-diam Tan Ciok-sing merasa bersyukur dan beruntung, pikirnya.

   "Penjahat yang satu berkepandaian lemah, tapi kawannya itu tinggi ilmunya, mungkin lebih unggul dariku. Aneh, aku yakin tadi tidak melukai dia, memangnya ada orang yang membantuku secara diam-diam?"

   Tujuannya memang hanya memukul mundur penjahat, setelah tujuan tercapai, diapun tidak keluar mengejar.

   Segera dia sulut pelita dan memeriksa, apakah ada barangnya yang hilang.

   Setelah keadaan jadi terang, pertama dia temukan kotak kayu terjatuh di lantai, kotak pemberian In Hou dimana tersimpan Kiam-boh karya Thio Tan-hong.

   Seperti diketahui kotak ini ada dipasang alat rahasia, kalau tidak tahu cara membukanya, tutup kotak bisa menjeplak dan di dalamnya menjulur enam batang pisau kecil yang berposisi saling silang merupakan jala pisau.

   Tutup kotak itu kini juga sudah terbuka, tapi pisau-pisau kecil itu sudah mengkeret ke tempatnya.

   Baru sekarang Tan Ciok-sing paham.

   "Jadi kotak inilah-yang telah membantuku,"

   Dia duga penjahat itu telah mencuri kotaknya ini, tapi jari tangannya terluka oleh pisau-pisau kecil yang dipasang didalam kotak.

   Untung Kiam-boh karya Thio Tan-hong dan pelajaran ilmu golok serta pukulan peninggalan In Hou tiada yang hilang.

   Tan Ciok-sing menghela napas lega, setelah ditutup, kotak dimasukkan kedalam bajunya.

   Pelita dijinjingnya memeriksa ranjang, kali ini dia betul-betul kaget, ternyata buntalannya telah lenyap.

   Pakaian rombeng dalam buntalan itu tidak jadi soal, tapi golok pusaka milik In Hou itu berada dalam buntalan juga, sekali-sekali golok itu tidak boleh hilang.

   Padahal buntalannya tadi dia dorong ke belakang ranjang serta ditutupi selimut.

   Tak nyana meski telah berlaku hati-hati tetap hilang, lebih baik kalau tadi dia sembunyikan ke bawah ranjang bersama harpanya.

   Untung harpa warisan kakeknya tidak ikut hilang.

   Dalam perjalanan dia ada membawa tiga macam barang pusaka, pertama harpa peninggalan kakeknya, kedua Kiamboh karya Thio Tan-hong dan ketiga golok pusaka peninggalan In Hou, bahwa hanya satu yang hilang dari ketiga pusakanya itu, boleh dikata dia sudah cukup beruntung.

   Namun demikian dia sudah merasa sayang dan gegetun.

   Sudah tentu keributan ini membuat kaget pemilik hotel dan tamu-tamu lainnya, beruntun mereka berbondong mendatangi kamar Tan Ciok-sing.

   Hotel kecil ini hanya memiliki lima kamar, hari itu tamu yang menginap hanya lima orang, ditambah pemilik hotel dan pembantunya seluruhnya ada tujuh orang, tapi kamar Tan Ciok-sing sudah menjadi sesak dan bejubel.

   Para tamu itu seperti berlomba tanya apa yang terjadi, sudah tentu Tan Ciok-sing segan menceritakan apa yang terjadi sebenarnya, secara gampang dia memberi jawaban, sembari melayani mereka diam-diam iapun perhatikan kedua tamu yang sore tadi membantu dirinya.

   Perhatian ini ternyata membawa hasil, tampak laki-laki brewok berhidung betet itu jari tengah tangan kanannya dibalut kain putih, darah kelihatan masih merembes keluar.

   Sementara laki pendek itu bila bicara napasnya kelihatan tersengal, setiap beberapa patah kata pasti batuk-batuk sambil meraba dada.

   Rasa curiga Tan Ciok-sing bertambah besar, pikirnya.

   "Suara kedua penjahat tadi mirip mereka, perawakannya juga satu tinggi yang lain pendek, naga-naganya pasti mereka."

   Mendengar bahwa dia hanya kehilangan sebuah buntalan berisi pakaian lama dan barang yang tidak berharga, para tamu itu lantas tidak ambil perhatian lebih lanjut, malah ada yang berolok.

   "Sebal juga maling kecil itu, kukira kau kehilangan barang berharga apa,"

   Secara tidak langsung nadanya seperti mau menyalahkan Tan Ciok-sing hanya kehilangan barang-barang sepele kok bikin geger. Pemilik hotel juga tertawa dingin.

   "Dalam hotel kecil kami ini selamanya belum pernah terjadi pencurian, kalau benar ada peristiwa pencurian disini, aneh juga kenapa maling itu tidak mengincar barang milik siapa yang berharga, tapi malah mencuri pakaian rombengmu."

   


Raja Naga 7 Bintang -- Khu Lung Neraka Hitam -- Khu Lung Duri Bunga Ju -- Gu Long

Cari Blog Ini