Pendekar Pemetik Harpa 21
Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen Bagian 21
Pendekar Pemetik Harpa Karya dari Liang Ie Shen
"Ah, soal jasa segala, aku toh hanya melaksanakan rencana orang banyak yang ditugaskan kepada kami."
"Kau tidak usah sungkan,"
Sela Han Cin.
"satu hal ingin aku memberitahu kepada kalian, dari soal ini dapat dinilai bahwa tugas telah kalian laksanakan telah membawa hasil baik."
"Soal apa?"
Tanya Tan Ciok-sing.
"Liong Bun-kong keparat tua itu pura-pura jatuh sakit dan tidak pernah lagi menghadap raja. Menurut berita yang diperoleh Liok-pangcu, katanya Baginda ? Raja sendiri yang menganjurkan dia demikian. Para begundal keluarga Liong konon juga sama saling terka dan kebingungan, kasak-kusuk bahwa majikan mereka bakal jatuh pamor dan runtuh kedudukannya. Mereka sedang berpikir-pikir untuk mencari jalannya sendiri seumpama pohon roboh kera pun bubar."
"Batas waktu yang diberikan raja adalah tiga bulan, bila dia runtuh kukira juga tidak akan selekas ini,"
Ujar Tan Ciok-sing. Han Cin tertawa katanya.
"Manusia licik yang pandai menjilat biasanya pintar melihat arah angin memegang kemudi, mungkin mereka takkan menunggu bila puncak gunung es itu runtuh baru akan mencari daya menyelamatkan diri."
"Sekarang kalian pindah kemana?"
Tanya In San.
"Pindah ke Loh-su-san salah satu dari Say-san. Markas cabang Kaypang di Pakkhia memang didirikan di Pit-mo-giam di Loh-su-san itu?"
Demikian Toan Kiam-ping menjelaskan. Waktu itu sudah lewat lohor, diam-diam In San memperhitungkan jarak perjalanan, lalu berkata.
"Siang hari tidak leluasa kita mengembangkan Ginkang, dari sini pergi ke Loh-su-san kira-kira memakan waktu setengah hari, sekarang sudah sepantasnya kita berangkat."
Tiba-tiba Han Cin berkata.
"Malam ini kami tidak akan kembali ke Loh-su-san."
"Lho, kenapa?"
Tanya In San.
"Malam ini kami ingin pergi ke Lo-gau-kio. Letak Lo-gau-kio lebih jauh dari Loh-su-san, sebelum tengah malam nanti sudah harus tiba di Lo-gau-kio, maka tiada tempo mampir ke tempat lain lagi."
Lo-gau-kio terletak tiga puluhan li dari pintu barat Khon-anbun di Pakkhia, jembatan itu melintang di atas Ing-ting-ho menghubungi jalan raya King-si sebelah barat dan timur, merupakan satu di antara delapan tempat tamasya bagi pelancongan.
Waktu masih di Pakkhia dulu, usia In San masih kecil maka dia belum pernah kesana, tapi dia tahu akan tempat tamasya itu.
In San jadi heran, katanya.
"Lo-gau-kio adalah satu obyek tamasya di Pakkhia, yakin kalian tidak ingin tamasya malam hari di jembatan bersejarah itu bukan?"
"Terus terang kami kesana hanya ingin menyaksikan orang berkelahi. Bila kalian tidak perlu beristirahat marilah malam ini ikut kami kesana?"
Tergerak hati Tan Ciok-sing, tanyanya.
"Siapa dengan siapa yang berkelahi?"
"Malam ini Kek Lam-vvi akan menuntut balas kepada Lenghou Yong,"
Tutur Toan Kiam-ping. Tan Ciok-sing kaget, serunya.
"Lho, apa yang telah terjadi?"
"Mungkin kau belum tahu seluk beluk keluarga Kek. Dua puluh tahun yang lalu ayahnya terbunuh oleh Lenghou Yong. Tapi setelah malam kita membuat keributan di rumah keluarga Liong itu, baru ayahku memberi keyakinan berdasarkan penyelidikan yang cermat bahwa musuh pembunuh ayahnya adalah Lenghou Yong."
"Apa Lenghou Yong mau menerima tantangannya berkelahi di Lo-gau-kio?"
Tanya Tan Ciok-sing.
"Ayah yang mengatur. Ayah mohon bantuan seorang yang dipercaya oleh Lenghou Yong untuk datang di Lo-gau-kio. Bagaimana duduk persoalan yang sesungguhnya, karena pagipagi tadi kami sudah berangkat dari Loh-su-san, jadi kami kurang jelas karena ayah tidak sempat menjelaskan. Tapi Lenghou Yong tidak tahu bahwa Kek Lam-wi akan menuntut balas kepadanya."
Han Cin melanjutkan ceritanya.
"Kemarin secara berutun dua hari, ayahku yang bertugas kemari menunggu kalian, hari ini dia harus mengatur pertemuan Kek-suko dengan Lenghou Yong, maka kami yang ditugaskan kemari. Terus terang, kami hanya ingin coba-coba saja mengadu untung sungguh sangat kebetulan, kalian justru pulang pada saat ini pula. Tan-toako, kalian akan pulang dulu menemui Liok pangcu, atau ikut kami ke Lo-gau-kio melihat keramaian."
Tan Ciok-sing berkata lantang.
"Kawan-kawan begitu baik terhadapku, mana boleh aku berpeluk tangan, adalah sepatutnya aku ikut membantu kesulitan teman. Maka aku akan ikut kalian pergi ke Lo-gau-kio saja."
In San tanya.
"Lenghou Yong membekal Kungfu tinggi, meski Kek Lam-wi tidak lemah, bila satu lawan satu, mungkin dia bukan tandingannya. Apa kalian sudah menjanjikan aturan perkelahian?"
"Lenghou Yong tidak tahu bahwa Kek Lam-wi yang mengundangnya,"
Ujar Han Cin.
"Maksudku bagaimana Kek Lam-wi membicarakan soal itu dengan ayahmu? Menurut aturan Kangouw, umumnya menuntut balas hanya boleh berkelahi satu lawan satu."
"Aku tidak tahu,"
Ucap Han Cin.
"Tiga hari terakhir ini, ayah selalu mengawasi latihan Kek-suheng dan mengajarkan tiga jurus ilmu kepadanya."
"Tiga jurus ilmu belum tentu dapat mengalahkan Lenghou Yong,"
Kata In San.
"Malam ini ayah pasti pergi bersamanya, aku yakin ayah tidak akan membiarkan dia menderita rugi."
Tan Ciok-sing menimbrung.
"Di samping membantu Keksukomu berhasil menuntut balas, ayahmupun tidak boleh kehilangan pamor, itulah yang sulit."
Toan Kiam-ping menyela.
"Ti-locianpwe sudah memperhitungkan soal ini dengan cermat, kukira dia sudah mempersiapkan hal ini dengan matang.' Tapi Tan Ciok-sing masih kuatir, katanya.
"Meski Tilocianpwe sudah mempersiapkan secara sempurna, Lenghou Yong juga bukan kaum kroco yang mudah ditipu. Sekarang tidak perlu menduga-duga, hayo lekas berangkat saja."
"Betul,"
In San tertawa.
"kita ini kan kaum kroco dalam Bulim, bila perlu tak usah bicara aturan Kangouw segala untuk menumpasnya." 000OOO000 Malam itu bulan purnama, suasana tenang di bawah penerangan sang putri malam di Lo-gau-kio terasa semakin indah dan mempesona. Menjelang tengah malam, sang putri malam bercokol tepat di tengah langit, di atas jembatan tampak muncul bayangan satu orang, orang ini adalah Kek Lam-wi. Ing-ting-ho di bawah jembatan dahulu dinamakan Bu-tingho, damparan ombak air sungguh menerpa-nerpa dan melanda beton kaki jembatan yang kokoh, sehingga memercikan buih-buih putih yang bergulung-gulung pergi dan sirna satu persatu. Malam purnama, arus yang deras gemuruh, ketenangan malam terasa permai dan membangkitkan jiwa kesatria. Demikian perasaan Kek Lam-wi pada saat itu. Panjang Lo-gau-kio empat puluh tujuh tombak, seluruhnya terbuat dari batu Inlam, kedua sisi jembatan dipagari batubatu putih berukir, semuanya merupakan tonggak batu yang masing-masing berjumlah seratus empat puluh batang, di atas setiap batang tonggak batu itu terdapat patung singa yang mendekam garang, bentuknya mirip satu dengan yang lain. Perasaan Kek Lam-wi sekarang tak ubahnya damparan ombak air di bawah jembatan. Malam ini dia akan menentukan mati hidup dengan musuh pembunuh ayahnya.
"Mungkinkah Lenghou Yong datang?"
Rembulan sudah merambat doyong ke barat, suasana tetap sunyi tiada gerakan apa-apa. Melamun seorang diri akhirnya Kek Lam-wi terkenang kepada Toh Soso.
"Malam seperti- ini, entah dimana dia sekarang? Apakah dia sekarang juga sedang merindukan daku?"
Dia ingin cepat-cepat menyelesaikan urusan disini untuk lekas-lekas meninggalkan Pakkhia menyusul Toh So-so ke Kanglam. Hari sudah larut malam Lenghou Yong belum juga kunjung tiba.
"Di kala menghadapi pertempuran mati hidup, mana boleh pikiran kacau, hati tidak tenang,"
Tiba-tiba Kek Lam-wi menyadari kesalahan, segera dia keluarkan serulingnya, dengan irama seruling dia ingin menenangkan hati dan memantapkan semangat juangnya.
Belum habis dia meniup seruling, dari seberang sana muncul dua bayangan orang.
Kek Lam-wi memicing mata melihat dengan seksama, dikenalnya satu di antara kedua orang itu memang Lenghou Yong adanya.
Setelah mendengar irama serulingnya, tiba-tiba Lenghou Yong mempercepat langkahnya.
Teman Lenghou Yong adalah laki-laki setengah umur, berperawakan buntak berpakaian sebagai hartawan.
Meski tubuhnya gembrot tapi langkah larinya ternyata cukup cepat, dengan kencang diapun mengintil di belakang Lenghou Yong.
Waktu di rumah Liong Bun-kong malam itu, meski Kek Lam-wi pernah melihat Lenghou Yong tapi suasana pada saat itu terlalu kacau dan ribut di tengah kancah pertempuran, sehingga Lenghou Yong tidak sempat memperhatikan dirinya.
Itu berarti Kek Lam-wi kenal dia, sebaliknya Lenghou Yong tidak mengenalnya.
Tapi setelah mendengar irama seruling Kek Lam-wi, tanpa merasa tergerak hatinya.
Segera dia berpaling tanya kepada temannya itu.
"Yang ingin mengadakan kontak dengan kita apakah pemuda peniup seruling di atas jembatan itu? Setiba disini boleh kau beritahu kepadaku siapa dia sebenarnya?"
"Lenghou Tayjin,"
Kata laki-laki gendut itu.
"sukalah kau percaya kepadaku, aku benar-benar tidak tahu siapakah orang ini. Aku hanya tahu dia memiliki sebuah benda antik yang ingin dijual kepada kita."
"Benda mustika macam apakah,"
Tanya Lenghou Yong. Laki-laki gendut itu gelagapan, katanya.
"Mustika apa aku juga tidak tahu. Tapi aku percaya temanku itu tidak akan menipuku. Bila Tayjin kuatir soal dagang ini boleh kita batalkan saja..."
Belum habis dia bicara Lenghou Yong sudah tertawa, katanya.
"Kau tidak tahu, aku justru sudah tahu. Betul yang dipegangnya itu memang sebuah mustika. Temanmu tidak menipu kau, dan kaupun tidak menipuku."
Legalah hati si gendut, katanya.
"Lenghou Tayjin, memangnya aku ingin mohon bantuanmu demi mencapai kedudukan yang lumayan mana berani aku ngapusi kau?"
Untuk hubungan dagang ini meski dia sebagai perantara mempertemukan jual beli itu di atas jembatan ini, pada hal seluk beluk persoalan sesungguhnya hakikatnya dia sendiri juga tidak tahu apa-apa, karena dia hanya dimintai bantuan orang lain.
Orang yang menjadi perencana pertemuan jual beli ini adalah Ti Nio, namun Ti Nio tidak pernah mengunjukan diri.
Laki-laki gembrot seperti hartawan ini bernama Kwik Su-to, di Pakkhia dia memang terkenal sebagai salah satu hartawan yang suka membeli barang-barang antik, didalam kota dia membuka belasan rumah gadai dan beberapa bank Sekarang adalah hartawan, pada hal dahulu dia adalah seorang begal tunggal.
Namanya yang asli sudah tentu bukan Kwik Su-to, nama itu dia gunakan setelah menyulap diri sebagai seorang hartawan yang suka menderma, nama itupun diperolehnya dari seorang guru sekolah kampungan setelah dibayarnya lima ketip.
Memang selanjutnya dia bisa hidup teratur dan disiplin, secara munafik dia pura-pura jadi dermawan.
Kali ini Ti Nio minta bantuan Tio Kan-loh, ketua Kaypang cabang Pakkhia, suatu malam dia mendatangi rumah hartawan she Kwik yang terkenal dermawan ini, dengan bujukan dan ancaman serta membentangkan untung ruginya, Kwik Su-to dianjurkan menghubungi Lenghou Yong untuk menyelesaikan jual beli sebuah benda mustika Kwik Su-to tahu jual beli ini takkan menguntungkan dirinya, pertemuan itu pasti tidak akan membawa penyelesaian yang baik pula, tapi dia tahu diri, kekuatan Kaypang teramat besar di kota raja, jangan kata mungkin orang-orang Kaypang bakal mencabut nyawanya, cukup bila asal-usulnya dibongkar di hadapan umum, kedok sendiri akan terbongkar, mana dia masih bisa bercokol di Pakkhia.
Apa boleh buat terpaksa dia rela menjadikan diri sebagai perantara ini.
Lenghou Yong juga tahu jelas riwayat hidupnya, tahu meski dia sudah menyulap diri sebagai hartawan yang dermawan, secara diam-diam dia masih sebagai tukang tadah pula, tidak sedikit keuntungan yang diperolehnya dari jual beli secara gelap ini.
Apalagi dia memang sedang mengharapkan bantuan Lenghou Yong, meski harus keluar sejumlah uang, syukur bila Lenghou Yong sudi bicara tentang kebaikan dirinya di hadapan Liong Bunkong, kepadanya dia ingin memperoleh jabatan di kalangan pemerintahan.
Kepada Lenghou Yong dia bilang, ada seorang teman Kangouw punya sebuah mustika yang hendak dijual, walau dia belum pernah bertemu teman itu, tapi seorang teman lain yang dapat dipercaya sebagai perantara, mereka menjanjikan untuk mengadakan pertemuan di Lo-gau-kio untuk menyelesaikan jual beli itu.
Mustika itu ingin dia beli dan akan dihadiahkan kepada Lenghou Yong, tapi dia minta Lenghou Yong sendiri melihat mustika itu, bila senang dan mencocoki selei.inv.i berapapun harganya ak;m di.i bayar.
Secara tidak langsung diapun menyatakan untuk menjaga segala kemungkinan yang tidak diinginkan dia mohon Lenghou Yong yang berkepandaian tinggi supaya bertindak bila mana perlu Lenghou Yong memang tamak dan loba, rakus lagi, bisa memperoleh keuntungan semudah ini sudah tentu dia amat senang dan secara suka rela dia mau mengiringi laki-laki gendut yang berusaha menjilat pantatnya ini.
Didalam persoalan jual beli ini, sekaligus menimbulkan akal bulusnya untuk suatu kepentingan sendiri.
Tersiar luas di luaran bahwa kedudukan Liong Bun-kong mulai goyah, hal ini sudah tentu sudah didengarnya pula.
Kini dia sedang giat mencari majikan baru yang patut dijadikan tulang punggung pula, dan orang yang dimaksud bukan lain adalah Hu Kian-seng, bila meleset boleh dia mengekor kepada Yu-hian-ong dari Watsu yang kini menginap di rumah kediaman keluarga Liong sebagai utusan negeri Watsu, tak lama lagi duta besar ini akan pulang ke negerinya.
Untuk ini diapun sedang memperhitungkan untung ruginya serta membandingkan satu dengan yang lain demi keuntungan pribadinya kelak, majikan mana yang dirasakan lebih menguntungkan kepada dia dirinya akan rela diperbudak.
Bila betul-betul memperoleh sebuah mustika, umpama diri sendiri tidak menyenangi juga tidak jadi soal, mustika ini boleh dia persembahkan kepada majikan baru yang akan dijunjungnya sebagai kado.
Di samping itu diapun jelas mengetahui seluk beluk kehidupan Kwik Su-to, kepada hartawan munafik asal begal tunggal yang memiliki kekayaan besar ini, dia boleh percaya dan melegakan hatinya, oleh karena itu dia ambil putusan untuk bertaruh menghadapi bahaya bila perlu.
Setiba di Lo-gau-kio, sembari berlari mendatangi Lenghou Yong segera berseru tanya.
"Apakah tuan ini yang hendak menjual barang mustikanya?"
Pelan-pelan Kek Lam-wi angkat serulingnya.
"betul,"
Sahutnya. Senang hati Lenghou Yong, tanyanya pula.
"apakah mustikamu adalah seruling ini?"
"Betul,"
Kek Lam-wi menjawab tawar.
"Tolong tanya cara bagaimana kau memperoleh seruling ini?"
Tanya Lenghou Yong.
"Mau beli boleh bayar, tidak mau boleh batal. Kenapa kau tanya sejelas ini?"
Tanya Kek Lam-wi.
"Baiklah, katakan berapa harga yang kau inginkan?"
"Aku tidak mau dibayar uang."
"O, kau ingin barter?"
"Apa betul kau ingin barter setulus hati dengan aku?"
"Sudah tentu. Boleh kau sebutkan saja apa keinginanmu,"
Diam-diam Lenghou Yong sudah merasa curiga kepada Kek Lam-wi.
"Baik, biar aku bicara secara blak-blakan, apapun aku tidak mau kecuali batok kepalamu."
Kwik Su-to berjingkrak kaget dan ketakutan. Tapi setelah mclengak sekilas Lenghou Yong malah tertawa tergelak-gelak, katanya.
"Mengandal apa kau ingin batok kepalaku?"
Jengeknya sambil melirik hina sikapnya seolah-olah tidak pandang sebelah mata kepada Kek Lam-wi.
"Dengan serulingku ini,"
Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Jengek Kek Lam-wi dingin.
"Kau kira aku sudi memenggal kepala menyerahkan kepada kau?"
"Inilah barter secara adil, kalau tidak sudi memenggal kepala sendiri, memangnya seruling mustikaku sudi kuserahkan kepadamu dengan cuma-cuma?"
Lenghou Yong terbahak-bahak, serunya.
"Barter cara begini memang menyenangkan, tapi batok kepala ditukar seruling, meski serulingmu itu senilai satu kota, kukira barter ini tetap tidak adil."
"Betul,"
Timbrung Kwik Su-to.
"Kukira agak keterlaluan."
"Keterlaluan? Aku malah belum memperhitungkan bunganya."
Mendelik mata Lenghou Yong, bentaknya.
"Siapa kau?"
"Kau tidak kenal aku, tapi aku tahu siapa kau,"
Kata Kek Lam-wi sinis.
"O, jadi kau ingin membuat perhitungan dengan aku Lenghou Yong?"
Sorot matanya tiba-tiba beralih ke muka Kwik Su-to. Kwik Su-to merinding dan gemetar, tersipu-sipu dia berkata.
"Lenghou Tayjin urusan tidak menyangkut diriku, aku hanya jadi perantara saja. Aku toh tidak tahu liku-liku permusuhan kalian."
Tiba-tiba Lenghou Yong teringat, bentaknya.
"Bukankah kau ini Kek Lam-wi salah satu dari Pat-sian?"
Maklum Kek Lam-wi terkenal sebagai pendekar yang pandai meniup seruling di kalangan Kangouw. Meski Lenghou Yong tidak mengenalnya, tapi dia pernah mendengar namanya.
"Betul,"
Ucap Kek Lam-wi.
"laki-laki sejati duduk tidak menukar nama berdiri tidak merubah she, aku inilah Kek Lamwi adalah aku."
Diam-diam Lenghou Yong berpikir.
"Pimpinan Pat-sian Lim Ih-su malam itu hanya kuat menandingi aku, Kek Lam-wi ini orang termuda dari Pat-sian, kenapa aku takut padanya?"
Segera dia tertawa, katanya.
"Pat-sian kalian berani menentang diriku, memang tidak perlu dibuat heran, tapi aku jadi ingin tahu, kenapa kau seorang diri ingin mencariku?"
"Dua puluh tahun yang lalu, di Kwi-cu kau pernah membunuh satu orang, apakah masih ingat akan peristiwa itu?"
Lenghou Yong tersentak sadar, bentaknya.
"Jadi Kek Bingyang dari Kwi-cu itu adalah bapakmu?"
Berlinang air mata Kek Lam-wi, katanya berat.
"Betul, sekarang tentu kau sudah mengerti bukan?"
Lenghou Yong menyeringai sadis, katanya.
"Ya, aku paham sekarang, jadi kau mau menuntut balas atas kematian bapakmu. Baiklah, sekalian kujelaskan kepada kau, syukur kau menampilkan diri malah, serulingmu itu demikian pula batok kepalamu biar kurenggut bersama."
Pada saat itulah sebuah suara serak tua berkata dingin.
"Mana ada jual beli secara liar dan tidak adil seperti itu di dunia ini."
Dari belakang sebuah patung singa mendadak melompat keluar satu orang, dia bukan lain adalah Ti Nio. Lenghou Yong mencelos hatinya.
"Tua bangka ini sukar dilayani,"
Tapi lahirnya dia tenang malah bergelak tertawa.
"Apa yang kau tertawakan,"
Bentak Ti Nio.
"Ti-losiansing,"
Ujar Lenghou Yong.
"hitung-hitung kau ini kan seorang ternama, kenapa tidak tahu cara menepati aturan Kangouw?"
"Siapa bilang aku tidak tahu aturan?"
Bentak Ti Nio.
"Permusuhan dengan dia, menurut aturan hanya boleh diselesaikan kami berdua. Tapi bila kau tidak menghiraukan peraturan, anggap dirimu lebih hebat dan mau membantu dia mengeroyok aku, akupun tidak gentar, hehehe, hayolah kalian maju bersama."
Ti Nio mendengus hidung, jengeknya.
"Tidak perlu aku mewakili Kek Lam-wi menuntut balas, memang pantas bagi dirimu kalau menilai orang lain dengan karaktermu sendiri,"
"Lalu untuk apa kau datang kemari mencampuri urusan orang lain?"
"Aku datang untuk menegakkan keadilan, aku akan menyaksikan jual beli ini secara adil."
"Apa maksud perkataanmu?"
"Barter harus adil, kalau kau menginginkan serulingnya, menginginkan pula batok kepalanya, itu berarti kau bertindak secara liar dan tidak tahu malu."
Lenghou Yong tertawa dingin, katanya.
"Seruling mustika ditukar batok kepala, memangnya itu terhitung adil?"
"Sudah tentu bukan tanpa syarat kau harus menyerahkan batok kepalamu. Dengarkan dulu penjelasanku, boleh nanti kau menilai apakah putusanku adil atau tidak?"
"Baik, coba jelaskan. Bagaimana caranya baru terhitung adil menurut pendapatmu?"
"Coba katakan kau yakin berapa jurus kau dapat merampas serulingnya?"
Tanya Ti Nio. Lenghou Yong berpikir sejenak, katanya.
"Sepuluh jurus,"
Maklum Pat-sian bukan jago kroco, walau dia tidak kenal Kek Lam-wi, tapi dari urutan para Pat-sian dan bagaimana taraf kepandaian masing-masing sudah lama diketahuinya jelas.
Apalagi setelah dia pernah gebrak sebanding melawan tertua dari Pat-sian Lim Ih-su.
Usia Kek Lam-wi baru likuran tahun, jago termuda diantara Pat-sian, dinilai tingkatan dia masih terhitung angkatan muda, demi menjaga gengsi dan mempertahankan pamor, adalah logis kalau dia tidak sudi memandang Kek Lam-wi sebagai musuh seangkatan.
Sekarang diingatnya pula, di kala pertempuran sengit terjadi di rumah Liong Bun-kong dulu, pernah dia bergebrak sebentar melawan Kek Lam-wi, waktu itu cukup sekali pukulannya dia bikin lawannya ini terjungkal roboh.
Kini dia membatasi sepuluh jurus, menurut anggapannya sudah terlalu banyak.
"Baik,"
Seru Ti Nio.
"kami turuti saja keinginanmu, sepuluh jurus terbatas. Bila dalam sepuluh jurus kau mampu merampas serulingnya, seruling itu boleh kau ambil, kalau kau gagal maka kau harus serahkan batok kepalamu."
"Bagus, akupun turuti caramu ini. Tapi perlu kuperingatkan, bila aku di pihak yang menang, jangan kau nanti pungkir janji serta mencampuri urusanku ini."
"Kwik Su-to,"
Ujar Ti Nio.
"mari kaupun ikut menjadi saksi bersamaku. Saksi atau wasit adalah orang yang menegakan keadilan, dilarang membelok ke pihak manapun, nah kau boleh legakan sadja hatimu."
"Kepalanku ini tidak bermata, kalau dalam sepuluh jurus aku memukulnya mampus bagaimana?"
"Seruling tetap akan menjadi milikmu."
"Bagus, baiklah kita putuskan demikian. Kau ini wasit, boleh kau mulai menghitung, nah jurus pertama kumulai,"
Di tengah seringai tawanya dia bergerak dengan jurus Yu-liong-tam-jiau, kelima jarinya tertekuk mencengkram ke tulang pundak Kek Lam-wi.
Itulah salah satu jurus Kim-na-jiu-hoat Lenghou Yong yang sudah dilatihnya sempurna, gerakannya teramat aneh dan cepat, telak dan keji.
Entah berapa banyak jago-jago silat Kangouw yang menjadi korban keganasan jurus tunggal ini.
Tak nyana hari ini cengkramannya ternyata mengenai tempat kosong, segesit kera tahu-tahu Kek Lam-wi telah berkelit ke samping.
Seperti diketahui sejak dua kali bergebrak melawan Lenghou Yong, diam-diam Ti Nio perhatikan keliehayan dan permainannya, kecuali dia mengajar tiga jurus ilmu tunggal yang mungkin bisa merobohkan lawan meski dirinya terdesak di bawah angin, diapun mengajarkan gerakan langkah yang enteng seperti melayang, gerakan langkah itu kebetulan sekarang tepat digunakan untuk menghindari serangan Lenghou Yong.
"Diberi tidak membalas kurang hormat, nah lihat serulingku,"
Demikian Kek Lam-wi membentak, mendadak serangannya terbuka mari kanan kiri, satu jurus dua gerakan, ke kiri dia menutuk Giok-kwan, ke kanan menutuk Yang-pek, kedua Hiat-to ini terletak di kanan kiri dada, merupakan tempat mematikan bila kena serangan.
Tapi meski jurus ini merupakan serangan liehay dari Kingsin- pit-hoat, namun bukan termasuk salah satu jurus dari tiga jurus liehay ajaran Ti Nio itu.
"King-sin-pit-hoat memang hebat, tapi untuk mengalahkan aku, haha, masih terlalu jauh,"
Demikian Lenghou Yong mencemooh. Sebelum dia habis bicara "Tring, tring"
Dua kali dia menjentik pergi seruling Kek Lam-wi, hampir saja Kek Lam-wi tak kuat memegang serulingnya karena jari-jarinya terasa kaku kesemutan.
Tapi jurus serangan Kek Lam-wi ini sudah cukup setimpal sehingga lawan terpaksa harus menangkis.
Tanpa berjanji Ti Nio dan Kwi Su-to berseru bersama.
"Jurus kedua."
Serangan Kim-na-jiu Lenghou Yong selanjutnya, kembali berhasil diluputkan oleh Kek Lam-wi. Tiba-tiba timbul niat jahat Lenghou Yong, pikirnya.
"Entah dari mana keparat ini mempelajari langkah yang aneh, biar aku gunakan Tay-cui-pijiu untuk menghadapinya, umpama tidak mampus biar dia terluka parah,"
Tiba-tiba gerakan telapak tangannya mengundang deru angin kencang, secara beruntun dia lancarkan dua jurus serangan yang mematikan.
Tay-cui-pi-jiu yang diyakinkan Lenghou Yong merupakan ilmu tunggal di Bulim.
Kehebatannya memang mampu membelah pilar batu dimana angin pukulannya mendampar, pakaian Kek Lam-wi tampak berkibar-kibar, koyak beterbangan, seperti tiba-tiba puluhan kupu-kupu beterbangan di udara.
Itulah adu kekuatan Lwekang, bagi yang bertenaga kuat pasti menang, yang lemah pasti kalah, untuk adu kekuatan siapapun tidak boleh main untunguntungan lagi.
Meski Kek Lam-wi mahir menggunakan langkahnya yang aneh secara tangkas, dia tetap di pihak yang dirugikan, dan kerugian yang dideritanyapun tidak kecil.
Untung meski pakaiannya tergetar pecah dan berhamburan, dia sendiri sih belum terluka parah, hal ini ternyata berada diluar perhitungan Lenghou Yong.
"Anak kurcaci, coba saja berapa jurus lagi kau kuat bertahan?"
Memperoleh angin Lenghou Yong tidak menyianyiakan kesempatan, di kala Kek Lam-wi belum berdiri tegak, mendadak dia mengenjot pula.
Genjotannya ini seperti mengarah ke bawah, Kek Lam-wi dipaksa lompat ke atas, tak tahunya segulung tenaga pukulan tiba-tiba sudah menerjang tiba di depan dada.
Ternyata Lenghou Yong menggunakan cara mendekat memukul ke tempat jauh, merupakan gerakan tunggal pula dari salah satu jurus Tay-cui-pi-jiu yang liehay itu.
Bila ilmu ini diyakinkan mencapai taraf yang tinggi, memukul batu seperti menekan tahu.
Kini jotosannya mengincar bagian bawah, namun tenaganya justru menjurus ke atas, tingkatan ilmu pukulannya ini masih terhitung kelas dua.
Tapi taraf kepandaiannya memang lebih tinggi dari Kek Lam-wi, meski ilmu yang dilontarkan ini belum mencapai tingkat yang sempurna, Kek Lam-wi toh sudah mengeluh kepayahan.
Lompatan Kek Lam-wi ke atas ini justru seperti memapak dan memberikan dadanya untuk dimakan pukulan lawan, kontan tubuhnya terjungkal jumpalitan.
Agaknya sebelumnya tak pernah terpikir oleh Ti Nio bahwa pertempuran bakal berlangsung seperti ini, karuan dia melongo kaget di tempatnya.
Beruntun Lenghou Yong sudah melontarkan tiga kali serangan, diapun lupa menghitungnya lagi.
Melihat Kek Lam-wi terjungkal jatuh, kaget dan girang Kwik Su-to bukan main, lekas dia tenangkan hati dan berteriak.
"Jurus keenam."
Jelas tampak Kek Lam-wi bakal terjungkal jatuh dengan kepala bocor, tak tahunya di kala tubuhnya terjengkang membalik itulah, tiba-tiba dia ulur serulingnya ke bawah menutul dulu ke tanah, meminjam pantulan tenaga tutulan ini, dengan tangkas dia jumpalitan pergi serta berdiri tegak di atas kakinya.
Meski tidak terjungkal jatuh, tapi kakinya goyah sempoyongan, jelas dia tidak tahan lagi, tampak serulingnya menuding seraya membentak dengan suara serak gemetar.
"Bangsat tua, biar aku adu jiwa dengan kau. Huuuaaah,"
Tiba-tiba dia memuntahkan darah segar. Lenghou Yong tertawa tergelak-gelak, katanya.
"Anak bagus, kematian sudah di depan mata masih bertingkah. Kalau kau tahu diri lekas serahkan seruling itu, kalau tidak jiwamu pasti amblas,"
Dengan langkah lebar dia mendesak maju seraya ulur tangan mencengkram ke arah Kek Lam-wi. Seperti orang mabuk langkah Kek Lam-wi gentayangan mundur, sikapnya seperti gentar dengan kedua tangannya terpaksa dia angsurkan seruling dan berkata.
"Baiklah, seruling ini kuserahkan."
Kali ini giliran Lenghou Yong yang melengak, pikirnya.
"Bocah ini jelas sudah terluka dalam, meski tidak mampus juga takkan mampu melawan lagi. Bila kubunuh dia, Ti-lothau mungkin bisa melabrak aku, baiklah, setelah kuperoleh seruling itu anggaplah pertikaian inipun lunas,"
Maka dia ulur tangan hendak menyambut.
Tak nyana di antara sambaran kilat, mendadak Kek Lam-wi memutar serulingnya sehingga Lenghou Yong tak berhasil memegangnya.
Sambil bersenandung Kek Lam-wi kerjakan seruling secepat kilat.
Seketika Lenghou Yong merasakan pandangannya berkunang-kunang, bayangan seruling seolah-olah merubungnya dari berbagai penjuru mengurung dirinya.
"Anak keparat,"
Hardiknya murka.
"berani kau menipu aku,"
Dengan menggertak kedua tangannya bergerak dengan jurus Hengsau- jian-kun.
Di tengah sambaran bayangan seruling dan gempuran kepalan tangan, tampak Kek Lam-wi gunakan gerakan Siphiong- hoan-hun (mengempeskan dada membalik mega) selincah burung walet tubuhnya menerobos pergi tiga tombak.
Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sebaliknya Lenghou Yong terdengar menggeram sekali, mukanya tampak membesi hijau.
Maka legalah hati Ti Nio, dengan girang segera dia berteriak.
"Jurus ke tujuh, jurus ke delapan,"
Ternyata baru sekarang Kek Lam-wi melancarkan serangan menggunakan jurus-jurus tunggal yang dia ajarkan.
Kenapa sejauh ini baru Kek Lam-wi melancarkan jurus serangan tunggal ini? Soalnya jurus serangan tunggal ini harus dilancarkan sesuai kesempatan yang ada, baru hasilnya bisa berlipat ganda dan akibatnya pasti fatal bagi sang lawan.
Kalau tanpa perhitungan matang, terpaut serambut saja, akan sia-sia perjuangan mengadu jiwa ini.
Harus diketahui ketiga jurus tunggal ciptaan Ti Nio yang diajarkan kepada Kek Lam-wi adalah hasil saringan yang diperolehnya dari cangkokan King-sin-pit-hoat, ketiga jurus itu khusus diciptakan untuk menghadapi ilmu andalan Lenghou Yong.
Betapapun Kungfu Kek Lam-wi memang ketinggalan jauh dibanding Lenghou Yong, bila begitu bergebrak Kek Lamwi lantas melancarkan ketiga jurus tunggal itu, dengan kekuatan ketiga jurus tunggal itu saja rasanya masih belum mampu mengalahkannya, harapan menangpun terlampau tipis.
Oleh karena itu Kek Lam-wi mencari akal dan mengatur tipu daya, dia tetap menggunakan kemampuan sendiri dikombinasikan langkah ajaib ajaran Ti Nio, memperlihatkan titik kelemahan sendiri sehingga lawan takabur dan memandang rendah dirinya, setelah tiba saat yang dinantikan baru dia menyergap dengan serangan telak.
Baru dua jurus dari tiga jurus tunggal yang dipelajari dia lancarkan, ternyata telah berhasil menutuk Jian-kin-hiat Lenghou Yong.
Untung Lenghou Yong sempat berkelit sedikit, kalau tidak tulang pundaknya pasti bolong tertembus serulingnya.
Sayang Lwekang kedua lawan terpaut amat jauh, meski dengan Jong-jiu-hoat Kek Lam-wi berhasil menutuk Hiat-tonya, namun dalam waktu sekejap Lenghou Yong berhasil kerahkan hawa murni membobol Hiat-to yang tertutuk.
Akan tetapi jurus Heng-sau-jian-kun yang dilancarkan untuk balas menyerang Kek Lam-wi betapapun mengurangi pula perbawa kekuatannya sehingga Kek Lam-wi sempat melompat jauh kesana dan siaga menunggu reaksi musuh.
Lenghou Yong murka, bentaknya.
"Anak keparat, kau main tipu daya, kalau tidak kubunuh kau, aku bersumpah takkan jadi manusia."
Kek Lam-wi menjengek.
"Seruling kuberikan, salah siapa, kau tidak becus menerimanya? Kalau tidak terima boleh maju lagi, kan belum genap sepuluh jurus, masih ada sisa dua jurus, memangnya kau mampu berbuat apa terhadapku? Hm, jika kau tidak mampu membunuhku, nah, coba saja rasakan, akulah yang akan menggorok lehermu."
Bercekat hati Lenghou Yong, pikirnya.
"Betul, tinggal dua jurus lagi, kenapa aku terburu emosi,"
Lekas dia tekan perasaan, diam-diam kerahkan Lwekang, dengan mendelik dia menatap tajam ke arah Kek Lam-wi. Sikap Kek Lam-wi kelihatan lebih tenang, tiba-tiba diangkat serulingnya terus ditiupnya. Mendadak Lenghou Yong membentak.
"Nih, sejurus saja kumampusi jiwamu, kenapa harus dua jurus,"
Kumandang suaranya orangnyapun menubruk tiba, kedua lengannya terpentang seperti burung elang yang kelaparan menyambar kelinci, Kek Lam-wi hendak diterkamnya, dimana gerakan kaki tangannya ternyata menimbulkan deru angin kencang. Ti Nio berteriak.
"Jurus ke sembilan,"
Mau tidak mau suaranya terdengar gemetar.
Ternyata dia tahu jurus ini Lenghou Yong menggunakan seluruh kekuatannya, Eng-jiau dan Tay-cui-pi-jiu dilontarkan bersama menjadi satu jurus gabungan yang liehay.
Ti Nio tahu kondisi Kek Lam-wi sekarang memang lebih sedikit menguntungkan dari gebrak tadi, serta melihat serangan Lenghou Yong yang dibakar oleh amarahnya itu, betul-betul hatinya amat kuatir akan keselamatan Kek Lam-wi, dia bertanya-tanya, apakah jurus terakhir dari tiga jurus tunggal yang dia ajarkan kepada Kek Lam-wi masih mampu untuk mengalahkan musuh.
Begitu menubruk dekat, kontan Lenghou Yong merasa segulung hawa hangat menerpa mukanya, kulit mukanya menjadi panas dan perih.
Lekas Lenghou Yong melengos dan meleng kepala, bentaknya.
"Anak keparat, main licik apa kau ini, kau kira aku takut."
Seperti diketahui seruling mustika Kek Lam-wi merupakan pusaka Bulim yang jarang ada bandingannya, hawa hangat yang ditiup keluar dari batang seruling itu ternyata dapat digunakan menyerang dan melukai musuh.
Lwekang Lenghou Yong jauh lebih tinggi dibanding Kek Lam-wi, meski dia tidak sampai terluka, mau tidak mau dia terhenyak sebentar.
Kembali Kek Lam-wi bersenandung mengiringi gerakan serulingnya, kini seruling panjang itu bergerak dengan jurusjurus ilmu pedang, secepat anak panah tiba-tiba meluncur keluar, dia lancarkan jurus terakhir dari tiga jurus tunggal yang diajarkan Ti Nio itu.
Jurus ini dinamakan Li Khong memanah batu, merupakan jurus terampuh dari jurus tunggal itu.
Terdengar "Crak"
Seruling meluncur secepat anak panah menancap amblas ke pundak Lenghou Yong, sudah tentu tulang pundak kirinya putus dan remuk.
Lenghou Yong melolong panjang, suaranya seperti serigala yang terluka, sebelum terjungkal roboh dia sempat mendorong kedua telapak tangannya, Kek Lam-wi dihantamnya mencelat sejauh tiga tombak.
Lekas Ti Nio memburu kesana serta memapahnya berdiri, wajah Kek Lam-wi pucat pias, mendadak dia menjerit dan menumpahkan darah segar sebanyak-banyaknya.
Akhir dari duel ini ternyata roboh bersama, luka-luka Kek Lam-wi kelihatannya lebih parah dari lawannya.
Tapi akhir dari pertempuran ini sungguh diluar dugaan Ti Nio dan Kek Lam-wi sendiri.
Maklum Kungfu Lenghou Yong hakikatnya jauh lebih tinggi dibanding Kek Lam-wi, bila Hiat-to di pundaknya tidak kena tutuk lebih dulu, serta wajahnya diterpa hawa panas pula, meski jurus terakhir itu Kek Lam-wi mampu melukai lawan, jiwanya pasti melayang seketika karena gempuran kedua tangan musuh.
Meski kedua pihak sama-sama roboh dan terluka, tapi batas sepuluh jurus yang dijanjikanpun telah genap.
Karena tulang pundak kiri remuk, karuan tambah murka Lenghou Yong, mukanya beringas seliar serigala, bentaknya.
"Anak kurcaci, biar aku adu jiwa dengan kau,"
Begitu menubruk maju mendadak dia menyerang pula sekali.
Karena tulang pundak kiri remuk, lengan kirinya sudah tidak mampu bergerak lagi, maka seluruh sisa kekuatannya dia himpun di lengan kanan, pukulannya ini boleh dikata sudah mengerahkan seluruh kekuatan yang pernah dilatihnya, perbawanya jauh lebih hebat dibanding tamparan kedua telapak tangannya tadi, maka pukulan ini tidak boleh dipandang remeh.
Tapi serangan dahsyat ini sudah terhitung jurus ke sebelas.
Ti Nio sedang memapah Kek Lam-wi, dengan tubuhnya dia melindunginya sembari mengebas lengan baju, bentaknya.
"Sepuluh jurus sudah genap, kau ingin berhantam lagi boleh aku iringi kehendakmu."
Jarak hanya lima langkah, kedua kekuatan dahsyat saling tumbuk maka terdengarlah suara "Pyaaaar"
Bagai ledakan halilintar.
Sambil menggandeng Kek Lam-wi, Ti Nio tergentak mundur tujuh langkah baru kuat berdiri di atas kakinya pula, pada hal Lwekangnya setingkat lebih tinggi dari Lenghou Yong, sungguh tidak pernah disangkanya bahwa gempuran terakhir Lenghou Youg sedahsyat ini, mau tidak mau tersirap darahnya.
Sebaliknya Lenghou Yong tetap berdiri tegak di tempatnya, tapi sekejap lain tampak tubuhnya limbung bergontai dua kali.
"Huuuuaaaah"
Darah segar menyembur dari mulutnya.
Lwekangnya jelas bukan tandingan Ti Nio, apalagi setelah terluka parah, setelah adu kekuatan secara kekerasan ini, keadaannya sudah tentu lebih parah.
Insaf meski nekad juga dirinya tak ungkulan mengalahkan Ti Nio, terpaksa dengan lesu dia mundur teratur, pikirnya.
"Biarlah aku berusaha mengulur waktu, biar mereka takabur sebentar."
Lekas Ti Nio jejal sebutir Siau-hoan-tan yang memang sudah dia siapkan ke mulut Kek Lam-wi, Siau-hoan-tan ini diberikan oleh Lim Ih-su yang memperoleh dari Hong-tiang Siau-lim-pay, diam-diam dia pegang urat nadi Kek Lam-wi, meski lukanya parah, namun urat nadinya syukur tidak terluka, dengan kasiat Siau-hoan-tan, yakin jiwanya bisa tertolong.
Maka dengan lega hati dia menoleh ke arah Lenghou Yong serta menjengek.
"Sepuluh jurus sudah genap, janjimu bisa dipercaya tidak?"
Kwik Su-to segera tampil ke muka, katanya.
"Kukira akan keterlaluan bila Lenghou Tayjin dipaksa bunuh diri? Apalagi Lenghou Tayjin juga telah kehilangan sebelah lengannya, kukira..."
"Kukira bagaimana?"
Bentak Ti Nio. Semula Kwik Su-to hendak bilang, kukira anggaplah urusan selesai sampai disini, tapi serta dipelototi oleh Ti Nio nyalinya kuncup seketika, dengan tergagap dia menjawab.
"Kukira, apakah Ti-siansing bisa menggunakan cara lain, syukur bisa persoalan dibikin damai. Luka Kek-siauhiap tentu tidak ringan, untuk ini aku rela mengganti ongkos pengobatannya."
"Memangnya siapa sudi menerima uang busukmu,"
Semprot Ti Nio.
"jangan kau lupa kau ini seorang wasit. Bila kau suka mengabaikan kedudukanmu dan berdiri di pihak Lenghou Yong, itupun boleh, kau boleh sebagai tambahan rentenya. Tapi rente itu tak perlu dibayar dengan uang."
Dasar pikun, atau mungkin karena ketakutan, meski dia tahu nada Ti Nio agak menyindir, tapi dia masih tidak tahu, tanyanya.
"Kalau rente tidak dibayar dengan uang lalu dibayar dengan apa, harap Ti-siansing menjelaskan."
Ti Nio berkata tawar.
"Agaknya kau suka rela membayar rentenya itu?"
Bercekat hati Kwik Su-to, katanya gelagapan.
"Kalau aku mampu mengeluarkan. Aku sih ingin mendamaikan persoalan ini."
"Baik, kau dengarkan,"
Seru Ti Nio.
"dua puluh tahun yang lalu Lenghou Yong membunuh ayah Kek Lam-wi, yaitu suhengku. Sesuai kalkulasi kaum pedagang macammu yang memberikan rente kepada peminjam, tentunya tak usah dua puluh tahun kau sudah akan memperoleh kembali modalmu yang semua dari rente itu. Sekarang biarlah kuberi muka kepada kau, rentenya tidak kutuntut terlalu tinggi, biar kuhitung satu tambah satu saja, nah lekaslah kaupun serahkan jiwamu untuk mengiringi kematiannya."
Karuan Kwik Su-to berjingkrak kaget, arwahnya serasa terbang ke awang-awang, teriaknya sambil goyang-goyang tangan.
"Wah, rentenya itu aku, aku tak berani membayarnya,"
Dengan gemetar dia melangkah mundur seperti takut dibekuk Ti Nio untuk mencabut nyawanya. Pada saat itulah sayup-sayup terdengar oleh Ti Nio di tempat kejauhan ada suara pertempuran, kuatir urusan berbuntut panjang segera dia membentak.
"Lenghou Yong, kau bereskan dirimu sendiri, atau aku yang turun tangan? Kini sebagai seorang wasit aku harus bertindak adil, kuhitung sampai tiga, bila kau masih belum bertindak, terpaksa kuwakili kau mencabut jiwamu."
Lenghou Yong tertawa getir, katanya.
"Jelek-jelek aku ini terhitung seorang kosen di Bulim, mana aku sudi mati secara terhina? Biar kugorok leherku sendiri dan kuserahkan kepada kalian,"
Di kala dia berpura-pura mencabut golok hendak menggorok leber sendiri itu, di bawah penerangan rembulan yang remang-remang, tiba-tiba tampak dua bayangan sedang berlari kencang bagai terbang mendatangi kemari.
oooOOOooo Tari Ciok-sing, In San dan Toan Kiam-ping serta Han Cin akhirnya tiba di Lo-gau-kio, karena siang kurang leluasa mengembangkan Ginkang di depan umum, maka pada kentongan ketiga baru mereka sampai di suatu tempat yang tak jauh letaknya dari Lo-gau-kio.
Kala itu mereka berada di atas sebuah bukit kecil, dari pengkolan bukit dari kejauhan mereka sudah nampak Lo-gau-kio.
Tengah malam di tanah tegalan yang sunyi.
Tiba-tiba Han Cin menghela napas, katanya.
"Lenghou Yong mungkin belum tiba di Lo-gau-kio, kebetulan kita menyusul tiba pada waktunya."
Tan Ciok-sing yang lari di paling depan mendadak mempercepat larinya, Han Cin kira orang buru-buru ingin sampai ke tempat tujuan, tapi In San justru bersuara heran, katanya.
"Agaknya ada orang di depan,"
Belum habis dia bicara, di depan memang muncul satu orang. Orang itu mendadak berhadapan dengan Tan Ciok-sing, kedua pihak sama-sama melongo, orang itu lantas berseru.
"Tiangsun Pwecu, wah aku, kau bukan..."
Tan Ciok-sing sudah menjengek.
"Poyang Gun-ngo, kau keliru menyambutku. Tapi aku yakin kau bukan khusus mau menyambut kedatangan Pwecumu bukan? Untuk apa kau sembunyi disini?"
Ternyata Poyang Gun-ngo memang diundang Lenghou Yong untuk memberi bantuan padanya.
Satu lari yang lain mengudak di belakang, lekas sekali, di keremangan malam Lo-gau-kio sudah tampak di sebelah depan.
Tapi apakah di atas jembatan ada orang, dari jarak sejauh ini masih belum kelihatan.
Di kala kedua orang adu lari dengan tancap gas, mendadak terdengar sebuah lolong jeritan yang menyayat hati.
Itulah jeritan Lenghou Yong yang pundaknya tertembus seruling Kek Lam-wi, Poyang Gun-ngo dan Tan Ciok-sing sama-sama kaget.
Karena mereka tidak bisa membedakan suara jeritan siapa.
Kedua orang hampir bersamaan mencapai jembatan.
Dalam pada itu, di atas jembatan Ti Nio sedang paksa Lenghou Yong "bunuh diri".
Karena tak mungkin mengulur waktu lagi, sudah tentu kaget dan murka pula hati Lenghou Yong, pikirnya.
"Orang yang sudah kujanjikan kenapa masih belum kunjung tiba?"
Apa boleh buat terpaksa dia pelan-pelan melolos golok dan siap menggorok leher sendiri, pada detikdetik terakhir sebelum ajalnya ini dia masih mengharap munculnya keajaiban.
Bintang penolong memang muncul secara mendadak, sebelum golok menggorok leher itulah di kala dia angkat kepala memandang kesana, dilihatnya dua orang seperti adu kecepatan lari sedang berlomba mendatangi, bayangan orang di depan sudah mencapai ujung jembatan.
Karuan bukan kepalang girang hati Lenghou Yong, pikirnya.
"Sungguh tak nyana Tiangsun Pwecu juga sudi membantu kesulitanku. Dengan kekuatan gabungan Poyang Gun-ngo dan Tiangsun Pwecu, umpama Bak-pangcu dari Hoay-yang-pang tidak datang juga tidak jadi soal, yakin mereka sudah berkelebihan untuk menghadapi Ti-lothau,"
Saking senangnya lekas dia berteriak.
"Tiangsun Pwecu, Poyang-ciangkun, tepat sekali kedatangan kalian."
Hampir dalam waktu yang sama Poyang Gun-ngo dan Tan Ciok-sing juga berteriak. Dengan suara gemetar Poyang Gun-ngo berteriak.
"Lenghou-siansing, apakah kau terluka?"
Sementara Tan Ciok-sing berteriak juga.
"Ti-lopek bagaimana keadaan Kek-toako?"
Mendengar suara Tan Ciok-sing, bukan main kaget Lenghou Yong, rasa girangnya seketika kuncup tak berbekas. Sebaliknya Ti Nio kegirangan. Dia sudah melihat jelas yang mengudak Poyang Gun-ngo adalah Tan Ciok-sing, segera dia berseru senang.
"Poyang Gun-ngo, apakah kau mau membayar rente Lenghou Yong?"
Melihat Ti Nio berada di atas jembatan, mana Poyang Gunngo berani maju, lekas dia menghentikan langkah dan bertanya bingung.
"Membayar rente apa?"
"Rente Lenghou-siansing yang hutang jiwa terhadap mereka,"
Lekas Kwik Su-to menimbrung.
"mereka menuntut jiwa sebagai rentenya."
Sudah tentu ciut nyali Poyang Gun-ngo, teriaknya berjingkrak mundur.
"Wah, maaf, aku tidak bisa membayar rentenya itu,"
Baru saja kakinya menginjak ujung jembatan, segera dia lompat turun ke pinggir sungai terus lari sipat kuping melalui gili-gili. Sementara itu Tan Ciok-sing sudah mencapai pertengahan jembatan, dia tiada niat mengejarnya. Ti Nio segera membentak.
Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Nah, tiada orang yang sudi membayar rentemu, lekas kau bereskan dirimu sendiri, masih tunggu apa lagi?"
Pada saat itulah tiba-tiba terdengar bunyi air dikayuh serta luncuran sebuah perahu di atas air, dari semak daun welingi sana, tiba-tiba muncul sebuah sampan meluncur ke arah jembatan.
Seorang laki-laki besar, berpunggung lebar, berdada bidang berdiri di depan sampan.
Ti Nio curahkan perhatiannya kepada Tan Ciok-sing yang mengudak Poyang Gun-ngo, maka setelah sampan kecil itu dikayuh sampai di bawah jembatan baru dia mendengar dan melihatnya.
Tengah malam buta rata untuk apa sampan kecil dikayuh ke bawah jembatan? Sudah tentu timbul rasa curiga Ti Nio, sayang dia sadar setelah terlambat.
Baru saja dia menoleh hendak mendesak Lenghou Yong bunuh diri pula, tiba-tiba Lenghou Yong sudah menekan batu singa di pinggir jembatan terus melompat jumpalitan dan tepat hinggap di atas sampan dengan enteng.
Laki-laki besar yang berdiri di depan sampan itu ternyata bukan lain adalah Bak Bu-wi, Hoay-yang-pang Pangcu yang dahulu sering bersekongkol melakukan berbagai kejahatan di Bulim.
Mendengar berita temannya ini hidup makmur di kota raja, maka Bak Bu-wi jadi ketarik dan sengaja menyusulnya ke kota raja, dia harap temannya suka membantu sehingga dia bisa memperoleh pangkat dan kedudukan di kota raja, baru kemarin dia tiba.
Kedatangan kawan lama yang mahir berenang ini sungguh amat kebetulan bagi Lenghou Yong.
Pada hal Bak Bu-wi belum lagi mendapat kebaikan apapun dari dia, orang justru telah memperalat dirinya lebih dulu.
Sesuai yang diduga Tan Ciok-sing, Lenghou Yong memang manusia licik yang tidak mudah ditipu? Meski dia kemaruk harta namun secara diam-diam diapun sudah mengatur teman-temannya di sekitar Lo-gau-kio.
Poyang Gun-ngo'dia pula yang mengundang, dia dimintai berjaga-jaga di atas daratan, sementara Bak Bu-wi diharuskan siap siaga dari sungai.
Rencana rapi yang diaturnya ini tenyata diluar tahu Kwik Su-to Di atas darat dan di air sudah ada teman yang siap bantu memberi pertolongan bila mana perlu, sudah tentu dia tidak perlu kuatir menghadapi bahaya.
Tak nyana perhitungannya meski sempurna-betapapun Thian memang lebih berkuasa.
Mimpipun dia tak pernah bahwa Tan Ciok-sing dan In San bisa kebetulan keluar dari istana raja di hari itu pula dan kebetulan pula di saat dirinya menghadapi jalan buntu, Poyang Gun-ngo kebentur mereka berdua.
Kini tinggal Bak Bu-wi seorang yang boleh diharapkan untuk menolong dirinya, seperti seorang yang kecebur ke air layaknya, bila bisa menangkap setangkai jeramipun dia tidak akan melepaskannya, demikian pula dia mengincar tepat waktunya untuk loncat ke atas sampan.
Sampan itu berlaju pesat mengikuti arus air yang deras.
Ti Nio tidak bisa berenang, terpaksa dia hanya mencaci maki belaka.
Tiba-tiba Tan Ciok-sing berseru.
"Kalian tak usah gugup, biar aku ringkus mereka kembali,"
Lompat ke atas batu singa di pinggir jembatan sekuat tenaga dia menjejak sekerasnya, secepat kilat tubuhnya meluncur ke depan, lalu jumpalitan dua kali di udara dan meluncur turun tepat di atas sampan.
Betapa sempurna Ginkangnya, sungguh mengagumkan, Ti Nio tak urung tepuk tangan memuji.
"Bagus, kau bocah ini mengantar jiwa,"
Bentak Bak Bu-wi, kontan dia ayun gayung terus mengemplang.
"Krak"
Kembali api berpijar.
Gayung besinya yang lebar dan tebal itu ternyata terpapas sebagian besar.
Maklum Tan Ciok-sing membawa Pek-hong-kiam warisan Thio Tan-hong.
Sayang karena rintangan ini Tan Ciok-sing tak mampu mencapai sampan, karena di kala pedang dan galah beradu, dari samping Lenghou Yong bantu membokong dengan pukulan jarak jauh.
Setelah memapas putus gayung lawan daya kekuatan luncuran tubuh Tan Ciok-sing sudah habis, kedorong oleh angin pukulan lagi, tanpa ampun dia sudah kecebur kedalam air.
Bak Bu-wi tertawa tergelak-gelak, katanya.
"Anak keparat, unjukan kegagahanmu di hadapan Hay-liong-ong di dasar air,"
Di tengah gelak tawanya dia gunakan sisa gayungnya itu mengebut sampan yang meluncur mengikuti arus, lekas sekali sampan sudah meluncur ke tengah sungai.
Namanya saja sungai ini Ing-ting-ho (sungai tenang abadi) pada hal arusnya bergelombang airnya berpusar, banyak batu-batu karang berbahaya di dasar sungai, bila tidak pandai mengendalikan sampan, salah membentur karang dan sampanpun bisa hancur dan orangpun mati kelelap di dasar air.
Beberapa kejap lagi masih belum kelihatan Tan Ciok-sing menongolkan kepalanya, karuan Ti Nio kuatir, tapi dia sendiri tak pernah belajar berenang, terpaksa hanya gugup membanting kaki dan memukul telapak tangan sendiri.
Di samping In San tertawa katanya.
"Ti-cianpwe tidak usah kuatir. Tan-toako mahir berenang, dia takkan mati tenggelam. Kini pasti sedang bekerja di dasar air untuk menghadapi musuh."
Tiba-tiba tampak kepala Tan Ciok-sing muncul di permukaan air, serunya lantang.
"Kenapa tergesa-gesa. Biar kuantar kalian menghadap raja laut saja."
Tiba-tiba tampak sampan kecil itu bergoyang-goyang meluncur melewati sela sela karang sempit.
Tampak Bak Buwi angkat gayungnya, berbareng Lenghou Yong juga memukul ke permukaan air dengan Bik-khong-ciang, dengan gabungan kekuatan kedua orang ini, meski gelombang tinggi hampir menelan sampan mereka, sampan tetap melaju ke depan.
Kali ini Tan Ciok-sing tidak kelihatan muncul lagi.
Ti Nio berkata.
"Marilah kita ikuti sampan itu, Wi-tit, kau masih bisa lari?"
Kek Lam-wi menarik napas, sahutnya.
"Aku masih mampu lari,"
Sejak menelan Siau-hoan-tan sampai sekarang sudah berselang setengah sulutan dupa, kasiat obat sudah bekerja dalam tubuhnya.
Meski hawa murninya belum pulih, Lwekang sudah berhasil dihimpunnya sedikit, untuk berlari dia masih lebih kuat dibanding laki-laki kekar biasa.
Ti Nio genggam tangan kanannya, diam-diam dia bantu salurkan tenaga dan menyeretnya pula.
Lekas sekali mereka sudah turun ke pesisir terus membuntuti sampan itu dari pinggir sungai.
Kwik Su-to cari kesempatan hendak ngacir pergi.
Ti Nio keburu membentak.
"Urusan belum selesai, kau sebagai wasit mana boleh pulang lebih dini."
In San mencabut pedang, katanya mengancam.
"Tan-toako belum kembali, kau sudah mau lari? Kalau mau lari boleh kau terjun ke air sekalian."
Han Cin menimbrung.
"Betul bila Tan-toako tidak kembali kitapun lempar dia ke air."
Apa boleh buat terpaksa Kwik Su-to ikut mereka mengudak sampan itu, dalam hati diam-diam dia berdoa supaya Tan Ciok-sing tidak mati tenggelam.
Sampan kecil itu meluncur secepat kuda dibedal kencang di tengah arus sungai yang bergolak tapi para pengejar yang berlari-lari di pinggir sungai mengembangkan Ginkangpun tidak ketinggalan.
Tiba-tiba Han Cin berteriak.
"Ayah, tuh lihat, bukankah itu Tan-toako?"
Ti Nio menoleh ke arah yang ditunjuk, tampak sesosok bayangan seperti ikan terbang melesat di permukaan air lalu lenyap pula ditelan gelombang.
Sesaat kemudian, tiba-tiba tampak sampan kecil itu berputar tidak terkendali pula di tengah sungai.
Sebentar lagi, sampan itu miring dan mulai karam.
In San tepuk tangan girang, serunya.
"Gelagatnya sampan itu akan dibikin karam oleh Tan-toako."
Terdengar Bak Bu-wi membentak.
"Kurcaci, berani kau bikin tenggelam sampanku, biar kusikat dulu jiwamu,"
Dayung kutung dibuang, segera dia keluarkan sepasang garpu besar terus terjun kedalam air.
Ti Nio dan lain-lain terpaksa berhenti dan menonton di pinggir sungai, tampak air bergolak semakin besar, pertempuran di bawah air ternyata berjalan amat seru, sehingga sukar dibedakan mana Tan Ciok-sing mana Bak Buwi, semua menonton dengan hati tidak tentram, telapak tanganpun berkeringat dingin.
Terutama Ti Nio, dia jelas tahu kemampuan Bak Bu-wi, pikirnya.
"Hoay-yang-pang adalah sindikat terbesar di perairan, sebagai Pangcu Hoay-yang-pang, terang ilmu di bawah air Bak Bu-wi amat liehay. Di atas daratan jelas Tan Ciok-sing bisa menyikatnva dengan mudah, tapi di air mana dia menjadi tandingannya."
Mendadak terdengar suara jeritan dan gaduh, Lenghou Yong berkaok-kaok.
"Bak-toako, kemarilah tolong aku."-- Kiranya perahu itu kena ditusuk bolong dasarnya oleh pedang mustika Tan Ciok-sing, arus sungai sederas itu pula, lobang itu menjadi semakin melebar dan airpun masuk semakin banyak. Akhirnya sampan itu penuh air dan air berputar semakin keras di tengah sungai, kebetulan di depan ada karang, kontan sampan itu kebentur pecah dan hancur berantakan. Dalam pada itu dua orang yang lagi berhantam di tengah sungaipun telah berakhir, tampak seorang berenang secepat ikan terbang ke seberang sana melarikan diri. Jarak cukup jauh gelombangpun besar sehingga sulit diketahui siapa yang melarikan diri itu. Lekas sekali airpun tenang kembali, orang banyak sama menunggu sambil menahan napas, namun hati gelisah bukan main. Pertama mereka melihat pakaian koyak terhanyut minggir ke tepi, In San lari meraihnya serta diperiksa, akhirnya dia menghela napas lega, katanya.
"Yang melarikan diri itu adalah Bak Bu-wi."
Belum habis dia bicara, tampak seorang menongolkan dirinya, lalu dengan langkah sempoyongan berlari di pesisir.
Semua orang jadi melenggong karena orang yang mentas ke atas daratan dengan tubuh lunglai ini ternyata adalah Lenghou Yong.
Perih hati In San, segera dia memburu maju seraya membentak.
"Kau, telah mencelakai..."
Sebelum dia sempat mengucap 'Tan-toako', tiba-tiba dia sudah mendengar suara Tan Ciok-sing berseru.
"Aku gusur keparat ini kembali, Kektoako, silahkan kau menjatuhkan vonismu,"
Lekas sekali Tan Ciok-singpun sudah berada di atas daratan.
Ternyata karena Lwekang Lenghou Yong cukup tangguh, meski tidak pandai berenang, didalam air dia kuat menahan napas.
Ilmu bermain didalam air Tan Ciok-sing jelas jauh lebih liehay dari lawannya, tapi dia hanya membekuknya tanpa melukainya pula, terus di gelandang naik ke atas darat.
Ti Nio segera membentak.
"Kau bereskan diri sendiri, atau aku yang turun tangan?"
"Susiok hutang darah ini biar aku sendiri yang menagih padanya,"
Demikian seru Kek Lam-wi, semangatnya seperti bergelora, langsung dia menubruk maju sambil mengangkat serulingnya, makinya.
"Hutang harus dibayar, tepat tidak akan menuntut bayaranmu?"
Lenghou Yong sudah lemah kehabisan tenaga, mana kuat bertempur lagi, apalagi tulang pundak kiri sudah cacad, begitu dia menangkis dengan lengan kanan.
"Krak"
Tulang lengannya terpukul remuk pula.
Seketika dia menjerit sekeras-kerasnya seperti binatang yang sekarat menjelang ajalnya, mendadak dengan beringas dia mencelat bangun terus menubruk.
Kek Lam-wi kira orang berlaku nekad hendak menubruk dirinya, maka dia menyurut selangkah sambil melintang seruling di depan dada, bila lawan benar menyeruduk dirinya, dia sudah siap hendak mengepruk batok kepalanya biar pecah Tak nyana Lenghou Yong tidak menubruk atau menyeruduk ke arah Kek Lam-wi tapi dia benturkan kepalanya di atas batu besar yang.
berada tak jauh di pinggir sungai.
Kepala pecah otakpun berhamburan, jiwapun melayang seketika.
Agaknya dia insaf jiwanya takkan bisa selamat lagi, dari pada tersiksa dan terhina, lebih baik bunuh diri, maka mumpung masih ada sisa tenaga, sebelum Kek Lam-wi menamatkan riwayatnya, dia nekad benturkan kepalanya di atas batu.
Sesaat lamanya Kek Lam-wi berdiri terlongong, akhirnya dia menjatuhkan diri berlutut serta meratap pilu.
"Ayah, hari ini sakit hatimu berhasil kutuntut balas, semoga arwahmu beristirahat tenang di alam baka,"
Setelah musuh pembunuh ayah mampus, dia sendiripun merasa seluruh tubuh sakit dan lunglai, tak kuasa lagi dia berdiri, pelan-pelan meloso jatuh lemas. Ti Nio memapahnya, katanya.
"Hiantit, patut kuberi selamat bahwa kau berhasil menuntut balas kematian ayahmu. Sudahjah, sekarang mari kita pulang."
Semua orang putar balik ke atas jembatan dengan perasaan riang gembira. Hanya Kwik Su-to yang bermuram durja. Ti Nio membentak.
"Sekarang sudah tiada urusanmu, lekas enyah."
Tiba-tiba Kwik Su-to berlutut di depannya, malah ratapnya.
"Ti-loyacu, aku mohon kepada kau, jangan kau mengusirku pergi!"
Ti Nio tidak sempat pikirkan nasib orang, sejenak dia melengak, bentaknya.
"Eh, kenapa tidak enyah?"
Pada saat itulah tampak dua ekor kuda mendatangi menarik dua kereta dan berhenti di ujung jembatan. Seorang laki-laki yang pegang kendali salah satu kereta segera melompat turun sambil tertawa tergelak-gelak, serunya.
"Selamat, kuhaturkan selamat akan keberhasilan kalian menunaikan tugas. Sayang aku datang terlambat, sehingga tidak sempat saksikan kau memenggal batok kepala musuhmu."
Laki-laki ini bukan lain adalah Tio Kan-loh, ketua Kaypang cabang Pakkhia. Ternyata dia kuatir terjadi sesuatu diluar dugaan, maka dia siapkan dua buah kereta untuk bertindak bilamana perlu. Ti Nio berkata.
"Masih ada kabar gembira perlu kuberitahukan kepada kau, kalian belum pernah kenal, nah lekas kemari kupcrkenalkan, inilah Tio thocu dan inilah Tan Ciok-sing Tan-siauhiap."
Baru sekarang Tio Kan-loh tahu bahwa Tan Ciok-sing dan In San berdua berhasil menyelamatkan diri dari istana raja, rasa girangnya lebih besar lagi setelah memberi hormat kepada Tan Ciok-sing berdua, segera dia berkata.
"Orang banyak memang sedang menunggu kau pulang bersama nona In, mari silahkan naik kereta."
Tan Ciok-sing berkata.
"Ti-locianpwe, silahkan naik dulu bersama Kek-toako."
"Tio-thocu, Tio- thocu,"
Teriak Kwik Su-to.
"tolong kau selamatkan jiwaku."
Sejak tiba Tio Kan-loh sebetulnya sudah melihat dia berlutut di tanah, baru sekarang dia menoleh dan menjengektanya.
"Eh, apa yang sedang kau lakukan? Mau jadi anak Lenghou Yong yang berbakti?"
Ti Nio berkata.
"Kusuruh dia pulang, dia tidak mau."
"Kenapa tidak mau pulang?"
Tanya Tio Kan-loh. Dengan meringis Kwik Su-to berkata.
"Tio-thocu, yakin kaupun sudah tahu. Akulah yang mengajak Lenghou Yong kemari memenuhi undanganmu, kini Lenglou Yong sudah mati, mana aku bisa pulang ke Pakkhia pula? Untung bila pihak mereka tiada yang tahu. Pada hal Poyang Gun-ngo dan Bak Bu-wi sudah melihat kehadiranku disini, bila perkara pembunuhan ini diusut, batok kepalakupun bisa dipenggal, kau suruh aku pulang, bukankah berarti aku harus menyerahkan jiwa ragaku?"
"Lalu apa kehendakmu?"
Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tanya Tio Kan-loh.
"Mohon Tio-thocu sudi menerimaku sebagai kacungmu."
"Lho, hartawan besar di kota raja yang terkenal seperti kau masa terima jadi kacung pengemis? Tapi umpama kau mau minta sedekah pada penduduk, Kaypang kami juga tidak boleh sembarangan menerima murid."
Demikian ujar Tio Kan-loh.
"Tak berani aku mengharapkan dapat diterima sebagai murid Kaypang, semoga aku bisa mendarma baktikan tenagaku untukmu saja, terserah tugas apapun aku rela melakukan. Tio-thocu, tolong kau bermurah hati mengingat kali ini akupun bekerja dengan baik..."
Tio Kan-loh menepekur sebentar, pikirnya.
"Orang ini terhitung bejat, namun dalam peristiwa ini dia memang besar andilnya, sehingga Lenghou Yong dipancing kemari dan terbunuh oleh Kek-siauhiap, kini baru sadar akan akibatnya dan kesulitannya ini juga lantaran aku yang menyeretnya."
Melihat orang diam saja, lekas Kwik Su-to mendesak.
"Aku hanya mengharap jiwa selamat, soal harta dan rumah boleh kutinggalkan seluruhnya. Bila perkara ini diusut, bukan mustahil harta benda dan rumahku pasti disita dan disegel, tapi aku punya simpanan emas di beberapa tempat yang pasti tidak mereka ketahui, dengan senang hati akan kuserahkan seluruhnya kepada kalian, semoga kalian sudi melindungi aku."
"Bedebah,"
Maki Tio Kan-loh.
"siapa sudi menerima uang busukmu, tapi mengingat kau pernah melakukan kebaikan demi kepentingan kami, baiklah sementara boleh kau berlindung di tempat kami,"
Dia datang dengan seorang murid Kaypang bergoni lima, maka dia pesan kepada murid Kaypang itu supaya membawa Kwik Su-to pergi, sementara boleh menetap di suatu tempat rahasia untuk melindungi jiwa raganya.
Kwik Su-to munduk-munduk kegirangan sambil menyatakan terima kasih.
Tio Kan-loh tidak berani membawa Kwik Su-to ke markas cabang Kaypang di Pit-mo-giam karena dia sudah tahu martabat laki-laki gendut ini, maka dia bertindak cukup hati-hati.
Tak nyana akhirnya terjadi juga peristiwa yang menyakitkan hati ibarat mengundang serigala masuk kedalam rumah, sehingga Kaypang yang berada di kota raja mengalami grebekan besar dan tertumpas hampir habis.
Tentang peristiwa ini baiklah kami kisahkan lain kesempatan.
Setelah murid Kaypang itu membawa Kwik Su-to pergi.
Tio Kan-loh bantu memapah Kek Lam-wi naik ke atas kereta, rombongan tujuh orang ini segera menuju ke Say-san.
Dua kali di tengah jalan mereka kepcrgok pasukan negeri yang memeriksa surat jalan, untung mereka semua menyamar orang-orang desa, tanya jawab secara lancar dan bebas, disogok beberapa keping uang perak lagi, untung tidak sampai menimbulkan keributan.
Bila mereka tiba di cabang Kaypang di Pit-mo-giam, haripun sudah mulai gelap.
Bukan main senang dan kaget orang-orang gagah yang berada didalam markas setelah mendapat berita menggembirakan ini, semua keluar dan merubung maju menyambutnya, dengan penuh perhatian mereka mendengar kisah perjalanan Tan Ciok-sing yang menghadap Baginda Raja.
Semua sama memberi selamat dan pujian serta mengangkat jempol.
Loh In-hu berkata.
"Apa yang pernah diucapkan raja, entah merdu atau tidak perkataannya, aku tetap tidak bisa percaya."
Lim Ih-su tertawa, katanya.
"Ucapan raja memang tidak boleh dipercaya, tapi raja kan juga takut mati. Demi keselamatannya, betapapun dia harus memperhatikan pesan tulisan berdarah yang ditinggalkan Tan-hengte itu."
Tan Ciok-sing berkata.
"Aku hanya menakut-nakutinya saja, mungkin dia betul-betul ciut nyalinya dan mau tidak mau harus berpikir dua belas kali sebelum bertindak. Tapi aku yakin yang betul-betul ditakuti adalah Kim-to Cecu, takut bila dia tidak angkat senjata melawan musuh, rakyat akan mendukung Kim-to Cecu, itu berarti kedudukannya sebagai rajapun bakal goyah."
Kaypang Pangcu Liok-kun-lun tertawa sambil mengelus jenggot, katanya.
"Apa yang kau katakan memang betul, bila dinilai secara keseluruhan Baginda Raja itu tetap takut terhadap kekuatan rakyat jelata. Tapi dalam hal ini jangan kita terlalu optimis dengan pendapat sendiri, kukira dari hasratnya ingin meneken surat perjanjian damai dengan musuh, sampai dia dipaksa untuk melawan musuh itu di dalamnya tentu terdapat banyak liku-liku yang tidak bisa dimengerti orang lain."
"Itu sudah pasti,"
Lim Ih-su mendukung pendapat ini.
"untung batas waktunva hanya tiga bulan, tiga bulan kemudian kita akan tahu apakah janji pertama dari raja bakal terlaksana tidak."
Setelah berhasil menuntut balas, perasaan Kek Lam-wi longgar dan lega, hatinya riang dan gembira, lekas sekali dalam tiga hari kesehatannya sudah hampir pulih.
Demikian pula keadaan Loh In-hu, boleh dikata sembilan puluh persen sudah sehat kembali, hanya Sia-cin Hwesio saja yang terluka paling parah, dia masih perlu banyak istirahat.
Hari ke empat seorang murid Kaypang yang berhasil lolos keluar dari kota raja membawa sebuah berita ke Pit-mo-giam.
Sesuai dugaan Liok Kun-lun, berita pertama yang dibawa murid Kaypang ini adalah.
"penjagaan"
Diperkeras di seluruh kota raja.
Berita kedua adalah, Liong Bun-kong pura-pura sakit dan minta cuti, selama beberapa hari tidak masuk istana menghadap raja.
Jabatannya sebagai sekretaris militer masih dipegangnya tapi praktek kerjanya sudah diserahkan ke sekretariat.
Sementara kedudukannya sebagai Kiu-bun-te-tok yang paling berkuasa di seluruh kota raja sudah diserah terimakan kepada Komandan Gi-lim-kun Bok Su-kiat sebagai penjabat sementara.
"Bagus, janji pertama dari raja muda itu telah dilaksanakan separo,"
Seru Lim Ih-su.
Berita ketiga adalah Duta besar Watsu secara diam-diam telah meninggalkan kota raja, tapi Poyang Gun-ngo dan Ma Toa-ha dua busu pengawalnya masih ditinggal di rumah keluarga Liong.
Kedua orang ini memang ditahan oleh Liong Bun-kong untuk bantu menjaga keselamatannya.
Liok Kun-lun berkata.
"Setelah kehilangan seorang Lenghou Yong, kini mendapat ganti Poyang Gun-ngo dan Ma Toa-ha, usaha kita untuk membunuhnya jadi lebih sulit lagi. Tapi aku jadi curiga, bahwa Duta besar rahasia Watsu mau meninggalkan kedua Busunya pasti ada latar belakangnya, bukan melulu untuk bantu melindungi keselamatan bangsat tua itu."
Sim Lan salah satu utusan Kim-to Cecu berkata.
"Itu Sudah gamblang, kedua Busu ini memang sengaja ditanam di kota raja sebagai mata-mata mereka. Aku jadi ingat akan satu hal, kukira hal ini perlu kita perhatikan juga."
"Soal apa?"
Tanya Lim Ih-su.
"Baginda jelas tidak akan membocorkan pembicaraannya dengan kita kepada siapapun, tapi konsep perjanjian damai yang telah dibuat Liong Bun-kong dengan Duta rahasia Watsu itu ditahan oleh raja, kukira Duta besar Watsu juga pasti menduga bahwa di belakang persoalan ini pasti ada terjadi perobahan yang merugikan pihaknya."
"Lalu bagaimana?"
Tanya Tan Ciok-sing.
"Setiba di negerinya mungkin Watsu akan segera kerahkan pasukannya menyerbu kemari, kukira dalam dua hari ini bersama Ciu Hok aku harus segera kembali ke markas."
"Tunggu lagi beberapa hari, setelah aku membereskan urusan dinas dalam Kaypang, ingin aku pergi bersama kalian,"
Demikian ujar Liok Kun-lun.
Berita ke empat tidak begitu penting, namun menyangkut pribadi Toan Kiam-ping.
Perkara yang menimpa keluarga Toan sehingga keluarga Toan di Tayli dicopot kedudukannya oleh penguasa setempat adalah gara-gara hasutan Liong Seng-bu yang menggosok pamannya Liong Bun-kong.
Kini setelah Liong Bun-kong sendiri sibuk mengurus nasib sendiri, maka perkara inipun terbengkalai.
"Selamat Toan Kongcu,"
Seru Sim Lan.
"sekarang kau boleh pulang ke kampung halaman dengan bebas dan leluasa."
Merah muka Toan Kiam-ping, katanya.
"Aku amat menyesal kenapa dulu kehidupanku terhimbau oleh kesenangan melulu, kini kawan-kawan sedang sibuk mondar mandir demi kepentingan nusa dan bangsa, memangnya aku harus pulang menjadi "Siau-ongya"
Yang bernama kosong belaka?"
"Bagus,"
Puji Sim Lan.
"kau punya pengertian yang obyektif, aku amat kagum padamu. Tapi aku tetap anjurkan kau pulang saja."
"Kenapa?"
Tanya Toan Kiam-ping.
"Bukan maksudku menganjurkan kau pulang menjadi Siauongya, tapi pulang untuk bantu menyelesaikan suatu tugas."
"Tugas apa yang bisa aku bantu menyelesaikan?"
"Tayli adalah kampung halaman dan tempat kelahiranmu, rakyat Tayli terhadap keluarga Toan kalian amat hormat tunduk dan patuh, sepulang kau ke kampung halaman, banyak kerja yang harus kau kerjakan. Umpamanya menjelaskan kepada rakyat jelata cara bagaimana harus melawan serangan penjajah, dengan tenaga dan darah daging sendiri melindungi kampung halaman, jangan terlalu percaya kepada kekuatan kerajaan yang sudah keropos, ini hanya salah satu contoh. Di rumah kau akan jauh lebih berguna dari pada disini. Ini bukan melulu pendapatku, tapi juga didukung oleh Kim-to Cecu."
"Betul,"
Timbrung Ti Nio.
"penjelasanmu cukup menyeluruh. Hiantit, kali ini kau pulang bukan lagi sebagai Siau-ongya, tapi pulang sebagai salah seorang teman laskar rakyat. Bila kau sudah memahami hai ini, maka kau akan hidup tentram lahir dan batin."
"Bagus sekali uraian Ti-locianpwe,"
Ucap Sim Lan.
"tapi sepatah kata kurasa kurang tepat diucapkan."
Ti Nio melengak, tanyanya. ."Perkataan yang mana?"
"Toan-kongcu bukan pulang sebagai teman kami."
Toan Kiam-ping melenggong, tanyanya.
"Apakah aku belum setimpal sebagai teman laskar rakyat?"
Sim Lan tertawa lebar, katanya.
"Kau adalah orang kita sendiri."
Toan Kiam-ping tertegun, entah haru atau saking senang, tanpa kuasa air matanya meleleh, serunya lantang.
"Terima kasih, kalian teramat menghargai diriku, baik, besok juga aku pulang ke Tayli."
Ti Nio berkata.
"Besok biar aku antar kau dan anak Cin pulang. Ucapan Sim-thauling sekaligus menyadarkan aku. Setelah mengantar kalian pulang ke Tayli, segera akupun akan kembali ke Khong-goan, disana aku yakin banyak pula yang bisa kukerjakan."
Pembicaraan selesai larut malam.
Hari kedua hadirin mengantar pemberangkatan mereka bertiga.
Sakit Kek Lam-wi sudah delapan puluh persen sembuh, setelah perjamuan usai, seorang diri dia menyatakan ingin mengantar mereka.
Sebelum berpisah Ti Nio berkata.
"Hiantit, sungguh menggembirakan sakit hatimu sudah terbalas. Kini tinggal satu saja keinginanku."
"Susiok, besar sekali bantuanmu kali ini sehingga aku berhasil menuntut balas, tak perlu aku berbincang soal budi dan kebaikan, keinginan apa yang belum kau orang tua capai, bila perlu tenagaku silakan perintahkan saja."
Ti Nio tertawa, ujarnya.
"Keinginanku ini memang hanya kau saja yang bisa menyelesaikan."
"Apakah itu?"
Desak Kek Lam-wi. Han Cin tertawa cekikikan, katanya.
"Kau sepintar ini masa tidak bisa menerkanya? Seperti juga ayah, akupun ingin supaya kau lekas mencari Toh-cici dan mengajaknya pulang."
"Betul,"
Ujar Ti Nio.
"pernikahan anak Cin tidak perlu kupikirkan lagi. Maka keinginanku yang terakhir adalah supaya selekasnya minum arak pernikahanmu dengan nona Toh."
Yang benar, tanpa disinggung Ti Nio dan putrinya, meski luka-lukanya belum sembuh seluruhnya, hati dan pikiran Kek Lam-wi sudah lama terbang menyelusuri jejak Toh So-so.
Sayang dia tidak tahu dimana kini Toh So-so berada.
Lekas sekali tiga hari telah berselang, kini luka-lukanya sudah sembuh seluruhnya.
Hari itu di atas Pit-mo-giam seorang diri dia berlatih King-sin-pit-hoat yang diajarkan Ti Nio, tiba didengarnya seorang berseru memuji.
"Bagus,"
Waktu dia menoleh, dilihatnya Tan Ciok-sing dan In San lari mendatangi.
"Kek-toako,"
Seru In San "Selamat ya kau berhasil mempelajari ilmu tutuk nomor satu di kolong langit ini, dendammu sudah terbalas, betapa riang hati Toh-cici bila tahu akan hal ini."
Di hadapan teman baik tidak perlu malu-malu, Kek Lam-wi berkata.
"Kurasakan aku sudah tak tertahan lagi, ingin rasanya sekarang aku sudah mendekapnya, cuma kemana aku harus mencarinya."
"Aku ini orang perempuan, sedikit banyak bisa menyelami perasaan sesama jenisnya,"
Demikian In San mengutarakan pendapatnya.
"aku yakin bukan maksud Toh-cici sengaja mau menjauhi kau, dia pasti berada di suatu tempat yang mudah kau temukan."
"Coba kau terka, dimana kiranya dia berada,"
Tanya Kek Lam-wi.
"Kukira kau sendiri yang harus menerkanya, coba kau pikirkan kemana saja dulu kau bertamasya umpamanya, di tempat yang paling mengesankan dan mengasyikan."
Kek Lam-wi jadi sadar, katanya.
"Betul, seharusnya aku pulang ke kampung halamannya untuk mencarinya. Di kala kami dibuai asmara dulu, dia paling suka bertamasya di Ji-sikio mendengar irama serulingku."
Kek Lam-wi dan Toh So-so adalah kelahiran Yang-ciu. Ji-si-kio adalah salah satu obyek pariwisata yang terkenal di Yang-ciu.
Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Lukamu sudah sembuh, lekaslah kau susul dia kesana?"
In San menganjurkan serta memberi dorongan mental.
"Tapi,"
Kek Lam-wi masih ragu-ragu.
"Tapi apa?"
Desak In San.
"Seorang diri aku meninggalkan orang banyak disini, apa tidak rikuh. Apalagi luka Liok-ko (Sia-cin Hwesio) belum sembuh."
Tan Ciok-sing menimbrung.
"Mungkin kami bisa mengiringi kau. Tentang luka-luka Sia-cin Taysu, banyak orang yang merawatnya, kukira tidak usah kau pikirkan."
Kek Lam-wi melengak, katanya.
"Bukankah kalian akan menetap disini sampai bangsat tua Liong digulingkan dari kedudukannya? Kenapa kalian mau menemani aku pergi ke Yang-ciu?"
"Justru lantaran persoalan itulah maka aku mencari kau,"
Ujar Tan Ciok-sing.
"Sudah bicara sebanyak ini, aku masih bingung, sebetulnya menyangkut soal apa?"
"Kau tahu di Thay-ouw ada seorang Lo-enghiong bernama Ong Goan-tin bukan?"
"Maksudmu Cong-cecu Ong Goan-tin dari 36 kepala markas perairan di Tay-ouw?"
Tan Ciok-sing mengiakan.
"Sebagai orang kelahiran Kanglam, sudah tentu aku tahu akan Bengcu para pahlawan perairan di Kanglam yang terkenal itu? Sebetulnya beliau adalah teman baik ayahku almarhum, waktu kecil aku pernah melihatnya sekali."
"Lebih bagus kalau begitu, Tan-toako, arah yang kita tuju ternyata tepat,"
Kata In San.
"Ada apa dengan Ong Goan-tin? Soal apa pula yang ingin kalian bicarakan denganku?"
Tanpa merasa sudah tiba di markas Kaypang. Tan Ciok-sing berkata.
"Setelah bertemu dengan Sim-thauling, kau akan jelas duduk persoalannya."
Di kala mereka memasuki balairung, kebetulan mendengar percakapan Liok-pangcu dengan Sim Lan.
"Urusan dinas dalam Kaypang sudah kubereskan, hari ini juga aku bisa pergi bersama kalian, aku sudah mengirim kabar dengan burung pos, supaya semua murid-murid Kaypang di berbagai cabang, bila sempat menyiapkan diri, dalam jangka tiga bulan semua sudah harus berangkat dan kumpul di markas kalian siap menunaikan tugas,"
Demikian Liok Kun-lun berkata. Kaypang adalah serikat besar, muridnya laksaan jumlahnya, tersebar di segala pelosok. Dengan pernyataan Liok Kun-lun itu. berarti kekuatan Kim-to Cecu-bertambah laksaan tenaga yang tangguh. Sim Lan kegirangan, katanya.
"Dapat memperoleh bantuan Pangcu besar ini, sungguh bukan kepalang besar artinya, kini yang masih harus kita rundingkan adalah siapa yang tepat untuk diutus ke Thay-ouw?"
Lim Ih-su berkata.
"Barusan Ciok-sing keluar mencari Lamwi. Jit-te adalah kelahiran Kanglam. Kupikir biarlah dia, dia... Nah itu kebetulan dia sudah datang. Jit-tc, ada persoalan ingin kami bicarakan dengan kau."
"Barusan Tan-toako sudah menjelaskan kepadaku, katanya aku diutus ke Thay-ouw menemui Ong Goan-tin Cong-cecu dari tiga puluh enam kepala perairan disana?"
"Betul, cuma kami kuatir kesehatanmu belum pulih,"
Ucap Lim Ih-su.
"Kesehatanku sudah pulih, To'ako tak usah kuatir. Entah untuk urusan apa kalian ingin mengadakan kontak dengan Ong Goan-tin?"
"Begini,"
Sim Lan menjelaskan.
"tanggal dua puluh dua bulan delapan adalah hari ulang lalimi Ong Goan-tin, sebelum k.mu kemari, Cecu ada pesan supaya kami hadir dalam perjamuan li.in ulang tahunnya itu mewakili beliau Tapi waktu mendesak sck.ii.ni)' tidak mungkin kami pergi kesana, tapi Cecu juga ada pesan bila perlu boleh diwakilkan orang lain yang cocok di antara kita. Mewakili pihak kita memberi selamat hari ulang tahunnya."
"Lahirnya memberi selamat ulang tahun, tugas yang nyata adalah merangkul Ong Goan-tin kedalam barisan kita untuk bergabung melawan penjajah. Jelaskan kepadanya bagaimana maksud dan tindakan kita yang sudah kita rencanakan bersama."
"Baik. Segera aku boleh berangkat."
Kata Kek Lam-wi tegas.
"tapi apakah aku boleh mewakili Cecu kalian?"
"Kitakan orang sendiri, Kek-jithiap tidak usah sungkan, tapi terus terang aku agak kuatir bila kau berangkat seorang diri, lebih baik..."
Tan Ciok-sing segera menimbrung.
"Aku bersama nona In justru ingin mohon persetujuanmu, biarlah kami menemani perjalanan Kek-toako."
Sim Lan tertawa lebar, katanya senang.
"O, jadi kalian memang sudah ada maksud?"
In San berjingkrak, serunya tepuk tangan.
"Jadi, kau setuju?"
Sim Lan berkata.
"Sebetulnya aku memang memancing kalian uutuk menampilkan diri. Menurut apa yang diketahui, di masa hidupnya ayahmu pernah menanam budi terhadap Ong Goan-tin, demikian pula hubungan kental ayahmu dengan Cecu kami, Ong Goan-tin juga tahu amat jelas."
"Tadi Kek-toako juga bercerita, katanya semasa hidupnya dulu ayahnya juga punya hubungan kental dengan Ong Goantin, waktu kecil diapun pernah melihat Ong Goan-tin,"
Demikian timbrung In San.
"Maka itu kita putuskan kalian bertiga harus berangkat, membawa nama kita untuk memberi selamat ulang tahunnya. Tan-siauhiap dan nona In boleh mewakili markas kita, sementara Kek-jit-hiap mewakili Pat-sian. Begitu terasa lebih berbobot."
Coh Ceng-hun menyela.
"Urusan sudah selesai dibicarakan, baiklah mari kita minum bersama untuk mengantar keberangkatan mereka."
"Kami juga ingin berangkat hari ini juga,"
Ucap ln San. Lim Ih-su melenggong, katanya.
"Ulang tahun Ong Goantin adalah tanggal dua puluh dua bulan delapan, hari ini baru tanggal dua puluh enam bulan tujuh, jadi masih satu bulan lebih. Setengah bulan sudah lebih cukup untuk menempuh perjalanan dari sini ke Tay-ouw, kenapa harus buru-buru, beberapa hari lagi baru berangkat juga masih belum terlambat."
In San tertawa, katanya.
"Disini kalian melarangku menuntut balas kepada bangsat tua she Liong, aku jadi sebal. Kini mumpung ada kesempatan bisa bertamasya ke Kanglam, Kek-toako kelahiran Yang-ciu, orang Kanglam cekek dia bisa ajak kami berparivvisata."
Lim Ih-su maklum, pikirnya.
"Kiranya Jit-te ingin pulang ke rumah, kenapa aku jadi pikun, bukankah dia ingin lekas-lekas menemukan Pat-moay?"
Maka cepat dia berkata.
"Baiklah, dari pada disini kalian juga terlalu iseng."
Dalam perjamuan perpisahan Sim Lan kembali memberi petunjuk yang berharga, begitu perjamuan usai masingmasing lantas berangkat ke arah tujuan sendiri-sendiri.
Supaya tidak menimbulkan kesulitan di perjalanan, In San berpakaian laki-laki.
Bertiga mereka naik kuda, siang malam menempuh perjalanan, hanya enam hari propinsi Hopak dan Soatang telah mereka lewati, kini mulai memasuki propinsi Kangsoh.
Pemandangan alam Kanglam memang permai mempersona, ln San dan Ciok-sing tidak habis memuji, mereka melek huruf, maka tidak sedikit pula syair-syair yang mereka karang dan menjadi buah pembicaraan di sepanjang jalan.
Tengah berjalan, tiba-tiba tampak di depan sana dibedal seekor kuda yang berlari kencang ditelan debu yang mengepul tinggi di belakangnya.
Tiba-tiba Tan Ciok-sing bersuara heran.
"Toako, kenapa kau?"
Tanya In San.
"apakah penunggang kuda di depan itu menimbulkan kecurigaanmu?"
"Ya, kulihat bayangan punggungnya seperti pernah kukenal,"
Sahut Tan Ciok-sing.
"Benar, aku pun merasa seperti kenal dia, siapakah dia?' sela Kek Lam-wi.
"Siapakah dia?"
Tiba-tiba tanpa berjanji mereka berdua sama berteriak.
"Seperti Poyang Gun-ngo?"
Tapi In San masih ragu-ragu, katanya sesaat kemudian.
"Menurut pandangan kalian hari itu, dia dipendam di kota raja sebagai spion, lalu untuk apa pula seorang diri dia berada di Soh-ciu?"
"Pendapat kami tetap tidak berobah, sebagai spion yang dipendam, tugasnya tidak melulu di kota raja saja,"
Demikian kata Tan Ciok-sing.
"Maksudmu kedatangannya ke Kanglam ini juga dalam rangka tugasnya?"
In San menegas.
"Kukira demikian,"
Sahut Tan Ciok-sing.
"Sayang kita hanya melihat bayangan punggungnya saja. Tidak yakin apa betul pasti dia,"
Ucap In San ragu-ragu. Kek Lam-wi berkata.
"Di depan ada sebuah gardu minuman, mari kita menghilangkan dahaga sambil tanya kepada nenek penjual wedang. Syukur orang itupun marrtpir ke gardu minuman itu."
Gardu minuman itu didirikan di pinggir jalan letaknya tepat di persimpangan jalan.
Lurus ke depan menuju ke Soh-ciu bila ke kiri dan ke kanan menuju ke kota-kota kecil di sekitarnya.
Jarak masih ada setengah li, tapi dari kejauhan mereka sudah melihat adanya gardu minuman ini.
Dalam gardu, si nenek penjual teh tengah asyik bicara dengan cucu perempuannya.
Cucunya masih berusia tiga atau empat belas tahun.
Meski jarak masih setengah li, tapi mereka sama memiliki Kungfu tinggi, pendengarannya jelas lebih tajam dari orang lain, maka pembicaraan didalam gardu minuman ini, mereka bisa mendengarkan dengan jelas.
Agaknya si nenek meski sudah tua namun pandangannya masih tajam, dari kejauhan diapun telah melihat kedatangan mereka bertiga, serunya heran.
"Eh, hari ini yang menempuh perjalanan naik kuda koh lebih banyak dari biasanya,"
Perlu diketahui orang-orang Kanglam terutama di daerah Soh-ciu dan Hang-ciu kalau bepergian suka berjalan kaki, bila menempuh perjalanan, mereka suka naik perahu. Nona kecil itu berkata.
"Laki-laki naik kuda tidak perlu dibuat heran, nona cantik yang lemah gemulai seperti hendak jatuh ditiup angin ternyata juga pandai menunggang kuda sebesar ini baru pertama kali ini aku melihatnya."
Mendengar ucapan nona kecil ini tergerak hati Kek Lam-wi, lekas dia pecut kuda dilarikan lebih kencang. Di depan sana nona kecil keplok tangan seraya berjingkrak senang.
"Ou, kencang benar lari kuda itu,"
Sementara dalam hati dia membatin.
"Orang ini agaknya memburu waktu menempuh perjalanan, mana mungkin dia bakal mampir ke warung kami, jualan kami hari ini mungkin tidak akan terjual habis lagi."
Tak kira tengah dia melamun memikirkan nasib, tiga ekor kuda tiba-tiba berhenti di depan gardu, suara ringkik kuda membuatnya berjingkrak kaget. Si nenek segera menyapa.
"Tuan-tuan, silakan mampir minum dulu barang dua cangkir. Kami menyediakan arak dan teh wangi."
Tan Ciok-sing mendahului melangkah masuk, katanya.
"Arak kami tidak mau, tapi tarip teh akan kami bayar dua kali lipat,"
Sembari bicara dia merogoh kantong mengeluarkan kepingan perak terus disodorkan kepada si nenek. Si nenek menerima uang itu, tapi dia berkata.
"Tiada aturan begitu, harga arak memang dua kali lipat tarip teh, kalian hanya minum teh mana boleh aku menerima bayaran tarip arak?"
"Nanti dulu, kami belum habis bicara,"
Sela Kek Lam-wi,"
Arak kami tidak minum, tapi kami ingin makan nyamikan atau kue apa yang tersedia disini. Apa kalian ada menyediakan bebek goreng?"
Nenek itu tertegun, katanya.
"Tuan, kiranya kau kelahiran sini? Siapa shemu?"
Ternyata Kek Lam-wi bicara dengan logat orang Soh-ciu asli.
"Aku she Kek,"
Ujar Kek Lam-wi.
"temanku ini she lan. Aku kelahiran Yang-ciu, tapi ada famili yang tinggal di Soh-ciu, maka sering aku tinggal di Soh-ciu."
"Goreng bebek memang ada, tapi tinggal beberapa potong saja, harganya juga cuma seketip saja."
"Ah, kenapa diperhitungkan sejelas itu,"
Ucap Kek Lam-wi tertawa.
"keluarkan saja seluruhnya."
Karena Kek Lam-wi pandai bicara bahasa Soh-ciu, sikap si nenek tampak lebih ramah dan simpatik. Setelah menghabiskan secangkir teh Kek Lam-wi berkata.
"Popoh, aku ingin tanya seseorang kepada kau!" '"Siapa?"
Balas tanya si nenek.
"Ada seorang nona yang berdandan begini dan potongan begitu, apa pernah lewat sini?"
Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Iya, agaknya ada, kalau tidak salah dia menunggang seekor kuda putih, kira-kira satu jam yang lewat."
Nona kecil itu menimbrung.
"Nona itu cantik benar, diapun pandai bicara bahasa Soh-ciu kita."
Semula Tan Ciok-sing melenggong, tapi lekas diapun paham.
"O, kiranya dia mencari tahu jejak Toh So-so. Ya, maklum, bila dibanding, jelas Toh So-so jauh lebih penting dari pada Poyang Gun-ngo,"
Demikian batinnya.
"'Apa betul?"
Girang Kek Lam-wi.
"arah mana yang dia tempuh?"
"Jalan di tengah itu,"
Sahut si nenek.
"Pasti dia menuju ke Soh-ciu,"
Ujar Kek Lam-wi.
"Pernah apa sih kau dengan nona itu,"
Tanya si nenek.
"Dia adalah Piaumoayku,"
Sahut Kek Lam-wi.
"tapi aku sendiri belum tahu bila hari ini dia bakal datang ke Soh-ciu."
Nona kecil ttu tertawa geli, katanya.
"Tak heran kesenangannya ternyata seperti sama kau."
Kek Lam-wi melengak, tanyanya.
"Kesenangan apa?"
"Seperti kau, diapun suka makan goreng bebek,"
Ujar nona kecil.
"diapun hanya minum teh pantang minum arak, sebelum berangkat dia minta dibungkuskan dua ekor bebek goreng. Maka sisanya, ya cuma sedikit ini."
Diam-diam Kek Lam-wi membatin.
"So-so memang suka makan goreng bebek, tapi biasanya tak pernah makan sebanyak itu. Em, ya, mungkin dia beli lebih banyak supaya menguntungkan nenek dan cucunya ini. Atau mungkin dia juga tahu aku suka makan goreng bebek, setiba di Soh-ciu, meski dia ' tidak bisa menghabiskan sebanyak itu, dia tetap membelinya juga."
Nona cilik itu tertawa pula, katanya.
"Lekaslah kau kejar Piaumoaymu itu, kalau terlambat dia mungkin terkejar seorang yang lain."
Kek Lam-wi tertegun, tanyanya.
"Siapa mengejarnya?"
"Seorang tamu yang usianya kira-kira sebaya kau tapi dia tidak mampir minum arak atau teh, begitu mendengar Piaumoaymu berangkat belum lama, segera dia cemplak kudanya terus mengudaknya."
Kek Lam-wi ragu-ragu, pikirnya.
"Siapakah pemuda itu? Teman yang dikenal So-so sebaya dengan aku hanya Cioksing Toako saja. Em, bukan mustahil cakar alap-alap telah menguntit jejaknya."
Nona cilik itu tertawa, kataaya.
"Lho, koh malah melamun, kenapa tidak lekas kau susul Piaumoaymu?"
Si nenek tertawa, omelnya.
"Budak kecil banyak ngomong saja, tuan ini toh tidak buru-buru, kenapa kau malah yang menjadi kuatir?"
"Popoh,"
Kata Kek Lam-wi.
"Aku masih ingin tahu tentang seseorang."
"O, siapa lagi yang yang ingin kau ketahui?"
Tanya si nenek.
"Seorang laki-laki yang tampangnya luar biasa,"
Lalu dia gambarkan tampang Poyang Gun-ngo dan dandanannya.
"Tidak lama setelah Piaumoaymu pergi memang ada seorang laki-laki penunggang kuda lewat, tapi dia tidak menghentikan kudanya yang dilarikan sekencang angin, mataku yang sudah tua ini tidak melihat jelas tampangnya."
"Arah mana yang ditempuhnya?"
Kek Lam-wi menegas.
"Kalau tidak salah membelok ke arah kiri."
Kek Lam-wi kuatir Toh So-so kebentrok dengan Poyang Gun-ngo, kini setelah tahu Poyang Gun-ngo membelok ke kiri, arah yang berbeda, maka legalah hatinya. Tapi ia berpikir.
"Entah apakah orang itu betul Poyang Gun-ngo? Tapi bila betul Poyang Gun-ngo, seorang diri dia meninggalkan kota raja sudah cukup mencurigakan, setiba disini tidak langsung ke Soh-ciu lalu kemana dia? Apa ini tidak lebih mengherankan."
Apa yang ingin mereka ketahui sudah diperoleh keterangan sejelasnya. Maka bergegas mereka meninggalkan gardu minum itu. Di samping merasa senang In San juga merasa curiga, katanya.
"Kek-toako menurut pendapatmu, nona penunggang kuda itu apa bukan Toh-cici?"-ternyata dia teringat pada seorang lain tapi supaya tidak mengecewakan Kek Lam-wi, maka dia tidak utarakan jalan pikirannya. Ternyata Kek Lam-wi amat yakin, sahutnya.
"Aku yakin pasti dia."
Setiba di Soh-ciu, Kek Lam-wi berkata.
"Mari kucarikan hotel lebih dulu baru berusaha menemukan So-so. Hotel terbaik di Soh-ciu berada di Say-cu-lim saja."
"Apa tidak lebih baik kami ikut kau mencari Toh So-so, setelah menemukan dia baru cari hotel?"
Kek Lam-wi menetapkan.
"Familinya itu keluarga miskin, penduduk biasa yang tidak pandai main silat. Bila sekaligus kita bertiga menunggang kuda mampir ke rumahnya mencari So-so, mungkin bisa menarik perhatian orang banyak, ini bisa mendatangkan kesulitan bagi mereka."
Mendengar penjelasannya, In San segera batalkan niatnya menemani dia mencari Toh So-so. Say-cu-lim terletak jauh diluar kota maka Kek Lam-wi ajak mereka kesana, sepanjang jalan dia ceritakan asal-usul dari Say-cu-lim yang terkenal itu.
"Sai-cu-Iim merupakan daerah wisata yang terkenal di Soh-ciu,"
Demikian Kek Lam-wi mulai bercerita.
"Konon Say-cu-lim hanya satu di antara kebon raya yang terkenal di Soh-ciu, apa betul?"
Tanya In San.
"Bukan itu saja. Kira-kira seratus tahun yang lalu, di kalaThio Su-seng angkat dirinya menjadi raja di Soh-ciu Saycu- lim pernah dipugar menjadi istananya. Belakangan setelah Thio Su-seng gugur di medan perang, Say-cu-lim disita oleh yang berwajib dan dijual kepada hartawan besar yaitu Kiuthay- say-cu In Thian-cian yang berjuluk Soh-ciu-pa (buaya Soh-ciu)."
"Kisah ini pernah kudengar dari cerita ayah,"
Ujar In San.
"Tan-toako, bila diurutkan sedikit banyak In Thian-cian ini ada sangkut pautnya dengan kau."
Tan Ciok-sing-heran, katanya.
"In Thian-cian kan sudah mati puluhan tahun yang lalu, bagaimana mungkin ada sangkut pautnya dengan aku?"
"Setelah In Thian-cian berkuasa di Say-cu-lim, kebon raya ini dia jadikan gelanggang pertandingan dan tempat mesum. Pernah suatu ketika gurumu Thio Tan-hong lewat sini, sengaja dia ingin mengajar adat buaya darat ini, suatu kali dia membuat keributan di gelanggang perjudiannya itu. In Thiancian kalah puluhan laksa tahil perak, tapi tidak mau bayar akhirnya dia pukul luka parah. Konon In Than-cian akhirnya mati saking jengkel, sejak itu gelanggang perjudian dan tempat mesum di Say-cu-lim ditutup dan pulih kembali seperti sediakala."
Tan Ciok-sing tertawa, katanya.
"Sungguh menyenangkan cara Suhu menyelesaikan peristiwa itu. Kebon raya sebaik itu mana boleh diinjak dan dirusak oleh kawanan buaya darat? Bila kejadian kebentur di tanganku akupun akan bertindak demikian."
"In Thian-cian mati lantaran dendam kepada gurumu,"
Demikian ujar In San tertawa.
"bila keturunannya tahu kau adalah murid penutup Thio Tan-hong, coba katakan apa yang bakal mereka lakukan? Yakin mereka tidak akan melupakan dendam sakit hati sejak puluhan tahun lalu itu, maka sasaran pasti ditujukan pada dirimu."
"O, jadi Say-cu-lim sekarang masih berada di tangan keturunan orang she In itu?"
Tanya Tan Ciok-sing.
"Betul,"
Ujar Kek Lam-wi.
"sekarang dikuasai oleh In Kip, cucunya In Thian-cian. Tiga puluh tahun setelah In Thian-cian mati, kira-kira sepuluh tahun yang lalu Say-cu-lim dia bangun kembali sebagai kebon wisata serta dibangun hotel-hotel."
"Bagaimana martabat In Kip itu?"
Tanya Tan Ciok-sing.
"Kabarnya tidak sewenang-wenang, seperti kakeknya dulu, tapi dia juga tamak dan loba. Hotel yang dibangun dalam Saycu- lim itu cukup terkenal di Kanglam, hotel kelas satu yang khusus menerima para hartawan atau orang yang tebal kantongnya, menyediakan pula tempat mewah untuk para pembesar atau keluarga raja. Taripnya mencekik leher, ongkos menginap semalam, cukup untuk ongkos setengah bulan keluarga sedang."
"Kalau hanya tamak harta dan tidak melakukan kejahatan sih, kita tidak usah perdulikan dia,"
Kata Tan Ciok-sing. Kek Lam-wi tertawa, katanya.
"Bagaimana mungkin mereka tahu bahwa kau adalah murid Thio Tayhiap? Dan lagi In Kip tak mungkin memegang tampuk pimpinan sendiri di hotel itu, tak gampang untuk memergokinya. Kita boleh tidak usah kuatir menginap disana."
"Bukan kita takut dia menuntut balas,"
Ucap In San.
"cuma tadi menyinggung kisah Say-cu-lim maka sekalian aku ceritakan kepada Tan-toako."
Tak terasa mereka telah tiba di Say-cu-lim.
Hotel yang dibangun di kebon raya ini memang luar biasa, bentuk bangunannya megah dan angker, jelas dikerjakan oleh arsitek yang terkenal dan berpengalaman, entah berapa duit yang ditanam untuk membangun proyek sebesar ini.
Diluar mereka tanya kepada penjaga pintu tentang kamar dan taripnya, setelah Kek Lam-wi memberi sekeping uang perak baru penjaga pintu ini mengantar mereka masuk kedalam.
Penjaga pintu membawa mereka ke kantor hotel lalu mengundurkan diri.
Seorang petugas lantas keluar menyambut, mereka bertiga minta dua kamar, petugas itu mengamat-amati mereka dengan seksama, dandanan mereka mirip pelajar, pakaiannya meski tidak mewah, kelihatannya seperti anak keluarga hartawan, baru dia mencatat nama dan alamat serta berkata.
"Disini tiada kamar yang disewakan."
Kek Lam-wi melenggong, katanya.
"Tapi kami sudah tanya jelas kepada penjaga pintu, katanya masih banyak kamar kosong."
Petugas itu berkata.
"Mungkin dia tidak menjelaskan peraturan disini."
"Peraturan apa?"
Tanya Kek Lam-wi.
"Disini kami tidak menyewakan kamar, kalau mau nginap harus menyewa sebuah villa, bagaimana kalau kusediakan villa yang ada lotengnya? Di atas atau di bawah ada kamar dan sebuah ruang tamu. Kebetulan cocok untuk tempat tinggal kalian bertiga."
"Baik,"
Kata Kek Lam-wi.
"sementara kami akan menginap dua hari."
Petugas itu berkata pula.
"Menurut aturan, tarip harus dibayar kontan sehari sepuluh tahil perak. Kuda kalian setiap ekornya dikenakan tarip makan setahil setiap hari, tarip ini termasuk ongkos perawatan dan istal."
Harga masa itu sekuintal beras putih paling baik paling mahal dua tahil perak, sepuluh tahil cukup untuk ongkos makan keluarga miskin setahun lamanya.
Diam-diam Tan Ciok-sing melelet lidah.
Kek Lam-wi mengeluarkan sekeping emas, petugas menimang, berkata.
"Emas ini berat tiga tahil lima ketip, dinilai harga pasaran adalah tiga puluh lima tahil perak."
Kek Lam-wi berkata.
"Sisanya tidak usah dikembalikan, catat saja di buku mungkin kami akan menginap lebih lama bila perlu."
Melihat orang mampu mengeluarkan uang emas, sikap si petugas lantas berubah ramah, katanya dengan seri tawa sambil munduk.
"Kalian ingin makan apa, bisa dipesan lebih dulu, segala macam masakan kami sediakan dan dikerjakan oleh koki-koki berpengalaman."
Kek Lam-wi berkata.
"Mereka berdua akan makan malam disini, aku akan keluar menyelesaikan urusan, mungkin agak malam baru kembali."
"Baiklah,"
Petugas itu mengiakan.
"nomor tembaga ini boleh kau simpan, terserah kapan kau akan kembali, tidak jadi soal."
Kek Lam-wi tertawa, katanya.
"Keras juga tata tertib kalian disini."
"Ya demi menjaga ketentraman para tamu yang menetap disini. Dengan membawa nomor tembaga sebagai bukti penginap disini, kami tidak perlu takut orang-orang yang tidak bertanggung jawab mencari keuntungan pura-pura jadi tamu disini,"
Segera dia panggil dua orang disuruhnya membawa kuda tunggangan mereka, serta mengantar mereka menuju ke sebuah rumah yang dimaksud.
Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Rumah ini terletak di tengah dua gunungan menghadap sebuah telaga buatan, pemandangan memang permai menyejukan perasaan, cocok dengan selera mereka.
Kebetulan letak rumah ini berada di pojok kebon dan berjauhan dengan villa-villa yang lain.
Setelah meletakan buntalannya, segera Kek Lam-wi keluar hendak menemui famili Toh So-so di kota Soh-ciu.
Setelah makan malam Tan Ciok-sing dan In San mengobrol panjang lebar, mereka menunggu dengan sabar, tanpa terasa kentongan kedua sudah jelang, tapi Kek Lam-wi belum juga pulang.
"San-moay,"
Kata Tan Ciok-sing.
"naiklah ke loteng, badanmu penat, tidurlah dulu."
In San tertawa.
"Sekarang hilang rasa kantukku. Aku mau menunggu Kek Lam-wi pulang, yakin dia akan kembali membawa kabar gembira,"
Tengah mereka bicara lantas terdengar suara ringkik kuda..In San berseru heran.
"Eh, malam selarut ini masih juga ada tamu yang menginap kesini?"
Maklum hotel di Say-cu-lim ini berbeda dengan hotel di kota umumnya, letaknya saja sudah jauh dari keramaian kota, yang menginap disini hanyalah para hartawan atau keluarga pembesar yang iseng dan berfoya.
Mereka yang menempuh perjalanan jauh dan memburu waktu tidak mungkin mau menginap disini, meski cetek pengalaman, namun In San menjadi curiga.
"Dari ringkik kuda itu dapat dinilai tunggangannya itu adalah kuda jempolan,"
Ujar Tan Ciok-sing, segera dia mendekam pasang kuping mendengarkan suara dari tanah.
Letak villa mereka menginap jauh dari kantor hotel, namun mereka memiliki Lvvekang tinggi, pendengarannya juga teramat tajam, dengan mendekam pasang kuping, lapat-lapat Ciok-sing mendengar percakapan orang.
"Kudaku ini kalian harus memeliharanya dengan baik. Aku perlu dua villa?"
Kata sang tamu yang baru datang.
"Ya, ya, segera kami suruh orang merawatnya dengan baik. Syukurlah Toaya hari ini sudi mampir..."
Terdengar kuasa hotel berkata. Sebelum dia habis bicara, tamu itu sudah mendengus, katanya.
"Cukup asal kau tahu siapa aku ini, tidak usah, tidak usah,..."
Percakapan selanjutnya suaranya lirih Tan Ciok-sing tidak mendengarnya lagi. Sesaat kemudian didengarnya tamu itu berkata.
"Aku ingin tahu jejak dua orang..."
Tan Ciok-sing pasang kuping mendengarkan dengan seksama, sayarg percakapan selanjutnya tidak terdengar, namun lapat-lapat dia mendengar seorang petugas hotel mengatakan.
"Oo kuda putih..."
In San berkata.
"Suara tamu ini seperti sudah kukenal, namun sukar diingat siapa dia sebenarnya. Pemilik hotel bersikap begitu hormat kepadanya, kukira dia punya asal-usul yang tidak kecil."
"Dia sedang mencari dua orang, bukan mustahil sasarannya adalah kita,"
Kata Tan Ciok-sing.
"Masa? Apa yang dia tanyakan, tadi aku kurang jelas."
"Aku juga tidak jelas, tapi kudengar seorang menyinggung soal kuda putih."
In San kaget, katanya sesaat kemudian.
"Kuda putih? Kalau begitu bisa diduga, maksud petugas itu menjawab pertanyaan itu, berarti menunjukkan bahwa salah seorang dari dua orang itu menunggang kuda putih."
"Lalu?"
"Kalau dugaanku ini tidak meleset, itu berarti yang dia cari bukan kita."
Sampai disini, mereka mendengar pula ringkik kuda, ringkik dari tiga ekor kuda.
"Kedengarannya, tiga ekor kuda sedang tarung. Tarung di istal. Karena bila datang dari luar pantasnya kita mendengar derap kakinya."
Tengah Ciok-sing bicara In San sedang menepekur.
"Adik San,"
Tanya Ciok-sing lirih.
"apa yang sedang kau pikirkan?"
"Mereka bicara tentang kuda putih, entah seekor atau dua ekor?"
"Memangnya ada sangkut pautnya?"
Ujar Tan Ciok-sing tertawa, diam-diam dia merasa heran entah kenapa dalam keadaan seperti In San justeru memikirkan hal yang tidak perlu.
In San ragu dan curiga, belum sempat dia buka suara, pembicaraan di kantor hotel kembali terdengar nyata.
Itulah suara kacung yang tadi disuruh membawa kuda ke istal, suaranya gugup.
"Celaka Toaya, kuda, kudamu itu..."
Katanya diucapkan dengan napas sengal-sengal. Tamu itu lantas membentak.
"Kudaku kenapa."
Kacung itu berkata.
"Kudamu ditendang keluar oleh dua ekor kuda putih, kini sedang mengamuk dan terlepas, lari pontang panting di kebon. Aku, aku tidak mampu mengekangnya."
In San berjingkrak girang, katanya.
"Nah, betul dugaanku, ternyata dua ekor kuda putih."
Tan Ciok-sing masih bingung, katanya.
"Kuda tamu itu jelas bukan kuda sembarangan, kenapa kalah menghadapi kedua ekor kuda putih?"
"Memangnya kau tahu bahwa kuda putih itupun kuda jempolan?"
Ciok-sing goyang tangan, supaya dia tidak bicara lagi. Agaknya tidak perhatikan perkataan In San, tapi sedang memikirkan urusan lain. Ternyata tamu itupun merasa heran, katanya.
"Masa iya, Hwe-liong-ki memang bertabiat kasar, beruntung kalau dia tidak mengusik tunggangan orang lain, mana mungkin dia yang disepak keluar oleh kuda lain orang malah?"
"Lapor Toaya,"
Kata kacung itu.
"Toaya memang tidak salah, kudamu dulu yang mengusik kuda lain, tapi dia akhirnya tidak mampu menandingi kedua ekor kuda putih itu."
"Aneh, Hwe-liong-ki masa kalah, dia terluka tidak?"
Tanya tamu itu.
"Entah, kini dia sedang blingsatan di kebon, apapun diterjangnya, aku tidak berani mendekatinya."
Kepala kantor agaknya menjadi gugup akan kejadian diluar dugaan ini, katanya kebingungan.
"Dia masih bisa lari, tentunya tidak terluka. Toaya, apakah kau perlu menemui pemilik kedua ekor kuda putih itu untuk minta ganti rugi?"
Tamu itu berkata.
"Binatang berkelahi juga sudah umum, kalau sudah berkelahi kalau tidak menang tentu kalah, buat apa harus menuntut segala? Urusan sekecil ini kenapa harus cari perkara, salah-salah aku ditertawakan orang. Baiklah, biar aku menjinakkan Hwe-liong-ki."
Sudah tentu petugas kantor munduk-munduk serta mengumpak, segera dia ikut berlari keluar menuju ke kebon belakang untuk menyaksikan sang tamu menjinakkan kuda tunggangannya.
Tan Ciok-sing dan In San sama-sama diam seperti ada yang dipikirkan, tiba-tiba Tan Ciok-sing menepuk paha, katanya.
"Ya, aku sudah tahu."
"Kau tahu apa?"
Dalam hati In San berpikir.
"mungkin dia sudah menebak siapa pemilik kedua ekor kuda putih itu?"
Tan Ciok-sing berkata.
"Tamu itu adalah Bak Bu-wi."
In San tersenyum, katanya.
"Maksudmu Bak Bu-wi yang malam itu pernah bergebrak dengan kau di Loh-gau-kio itu?"
"Betul, pasti tidak salah, tamu ini adalah Bak Bu-wi, Hoayyang- pang adalah sindikat gelap di Kanglam yang berkuasa di perairan, agaknya dia pulang dan sembunyi di sarang sendiri."
"Semula tujuannya hendak mencari tulang punggung macam Liong Bun-kong bangsat tua itu, kini terpaksa dia kembali, tapi aku jadi curiga, kembalinya kali ini pasti ada apaapa yang sedang diembannya."
"Betul. Bukan mustahil kedatangan Poyang Gun-ngo kemari juga atas undangannya."
"Betul, dia minta dua villa yang lain pasti disiapkan untuk Poyang Gun-ngo."
"Seorang diri juga tidak perlu menggunakan sebuah villa, kemungkinan dia mengundang juga beberapa orang, entah siapa?"
"Peduli apa maksud tujuannya, apakah dia sekongkol dengan Poyang Gun-ngo, manusia macam dia setelah kebentur di tanganku, aku tidak akan memberi ampun kepadanya."
"Baiklah, setelah larut malam nanti, kita selidiki keadaannya,"
Demikian usul Tan Ciok-sing. Waktu itu sudah mendekati kentongan ketiga, namun Kek Lam-wi masih belum kunjung pulang. Tan Ciok-sing mengajak.
"Mari kita selidiki dulu situasi disini, kembalinya nanti menunggu kedatangan Kek-toako pula."
Diam-diam mereka- melompat keluar dari jendela, setelah mengitari gunung-gunungan terus menuju ke timur, di sebelah timur terdapat belasan villa, letaknya tersebar tidak teratur di antara pepohonan dan gunung-gunungan.
Tiba-tiba dari depan menghembus angin lalu, hidung ln San seketika mengendus-endus, katanya tertawa.
"Toako, ada bau aneh yang terbawa angin, kau bisa membedakan bau apa?"
"Sedikit bacin, kalau tidak salah mirip bau najis kuda."
"Ringkik kuda tadi berkumandang dari arah sana, istal kuda pasti berada disana. Biar aku kesana melihatnya."
"Kau ingin melihat kedua ekor kuda putih itu?"
In San mengiakan.
"Orangnya lebih penting dari kuda, kita temukan dulu Bak Bu-wi baru nanti kita tengok binatang empat kaki itu,"
Demikian kata Tan Ciok-sing, dia kira In San hanya sekedar memuaskan rasa ketariknya saja. In San tertawa, katanya.
"Kemungkinan kedua ekor kuda putih itu justru lebih penting dari Bak Bu-wi. Mencari Bak Buwi harus memeriksa satu villa ke villa yang lain, kedua kuda putih itu justru bisa segera kutemukan di istal, biarlah aku kesana memeriksanya."
Tergerak juga hati Tan Ciok-sing, katanya.
"Baiklah, kalau kularang tentu kau uring-uringan, baiklah kita bertindak sesuai rencana tadi, pergilah ke istal, aku berjaga disini."
Diam-diam In Sin menuju ke istal, belum lagi dia memasuki pintu, kedua ekor kuda putih seperti sudah tahu kedatangannya, keduanya lantas meringkik dan berjingkrakjingkrak sambil melongokan lehernya keluar.
Melihat sikap mereka yang kesenangan, , seperti hendak menerjang keluar dari kandang.
Lekas In San ulur tangannya mengelus kepalanya, katanya tertawa.
"Kalian memang cerdik pandai dan peka perasaan, kalian tidak pangling kepadaku,"
Kedua kuda itu mengulur kepalanya menggosok-gosok lengan In San. In San berpikir.
"Bila mereka meringkik terus-terusan, mungkin bisa mengundang orang kemari,"
Maka dia berkata tertawa.
"Baiklah, setelah aku bertemu dengan majikan kalian besok aku kembali."
Cepat-cepat dia kembali ke tempat semula, dilihatnya Tan Ciok-sing menyongsongnya, mimik dan sikapnya kelihatan aneh. Tanpa berjanji mereka buka mulut bersama.
"Kau temukan apa?"
"Coba kau terka?"
"Tidak kau yang ceritakan dulu."
Akhirnya In San bercerita lebih dulu.
"Tan-toako, aku sudah bertemu dengan kedua ekor kuda putih itu. Mereka adalah milik teman kita."
"Ha, jadi kuda putih milik Kanglam Sianghiap itu?"
"Iya, kau tidak menduga bukan? Coba katakan apakah kedua ekor kuda ini tidak jauh lebih penting dari Bak Bu-wi?"
"Semula aku memang menduga akan kedua ekor kuda putih itu. Tapi mereka masih berada di markas Kim-to Cecu, sementara kedua ekor kuda itu berada di Pakkhia, bagaimana mungkin secepat ini sudah berada di Sohciu?"
"Memangnya kau lupa, Sim dan Ciu kedua Thauling sehari lebih dini meninggalkan Pakkhia, tentu dia sudah tiba di markasnya?"
Pendekar Cacad Karya Gu Long Meteor Kupu Kupu Dan Pedang Karya Gu Long Duel Dua Jago Pedang -- Khu Lung