Ceritasilat Novel Online

Pendekar Pemetik Harpa 34


Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen Bagian 34



Pendekar Pemetik Harpa Karya dari Liang Ie Shen

   

   "Kau menunggu kelahiran di Thian-san, disana ada orang yang akan merawat dan menjagamu, akupun bisa lega meninggalkan kau disana."

   "Aku pun berpikir demikian, Setelah anak kita lahir, biar dia angkat guru kepada Suhengmu. Setelah dia berusia dua belasan tahun, baru akan kuajak pulang ke Tionggoan. Tapi jangan kau biarkan aku menunggu selama itu, kuharap tahun depan atau paling lama dua tahun sudah harus menengokku ke Thian-san.

   "Kitakan belum sampai di Thian-san, kenapa kau bicarakan soal kedatangan kedua kalinya?"

   "Tidak, toako, aku minta sekarang juga kau berjanji akan menepati permintaanku."

   "Kau kira aku tega meninggalkan kalian ibu dan anak, sudah tentu selekasnya aku akan menengok kalian."

   Manis mesra hati In San, katanya.

   "Baiklah, ucapan seorang kuncu laksana kuda sekali cambuk, kuharap kau tidak lupa akan janji kita ini. Sing-ko, jangan ngapusi aku." 'Ucapan seorang kuncu laksana kuda sekali cambuk' adalah kata yang sering digunakan Tan Ciok-sing, kini In San meniru logat Ciok-sing mengikat janjinya, karuan bergolak rongga dada Tan Ciok-sing, sesaat lamanya dia hanya menyengir tak mampu bersuara. In San teringat sesuatu, tanyanya.

   "Oh, ya, hampir lupa aku tanya kau, bukankah Jalakun membicarakan perihal Kektoako dan Toh-cici?"

   "Jalakun ternyata adalah sahabat baik Wi-cui-hi-kiau, maka sekali ketemu Kek-toako seperti kenalan lama dengan dia. Kek-toako bilang kedatangannya kemari untuk menghindari tuntutan balas orang terhadap mereka."

   "Kuda kita lari cepat, yakin suatu ketika pasti dapat menyusul mereka."

   "Benar, bila ada Toh So-so di dampingmu, banyak pekerjaan yang kurang leluasa kulakukan, dapat dia membantu kau."

   Sudah tentu In San tahu apa yang dimaksud Tan Ciok-sing, seketika merah mukanya, katanya.

   "Aku sudah cukup istirahat, mari kita lanjutkan perjalanan. Bukan mustahil Kektoako dan Toh-cici sedang menunggu kita di sebelah depan."

   Tapi sehari sudah lewat, dua hari sudah berselang, ...sampai hari kelima, mereka tetap tidak berhasil menyusul Kek dan Toh atau menemukan jejak mereka.

   Hari itu mereka tengah mencongklang kuda, tiba-tiba didengarnya seekor kuda dibedal kencang memburu dari belakang begitu kencang laksana angin lesus yang mengamuk.

   Suara seorang yang sudah dikenal berkata.

   "Tan-siauhiap, kau takkan menduga aku bakal menyusulmu bukan? Teman lama sudah menyusul, kenapa tidak berhenti dan turun dari kuda, memangnya kau tidak hiraukan persahahatan lagi?"

   Tan Ciok-sing menoleh, dilihatnya yang menyusul adalah Buyung Ka.

   "Buyung Ka,"

   Damprat Tan Ciok-sing gusar.

   "tidak malu kau berani menemui aku?"

   Buyung Ka tertawa, katanya.

   "Tan-siauhiap, kenapa kau bilang demikian, tahukah kau, Ho-siu-oh ribuan tahun yang diberikan Timanor kepadamu itu sebetulnya milikku."

   Menggelora amarah Tan Ciok-sing, bentaknya.

   "Ho-siu-oh apa, beruntung aku tidak mati, karena Tok-ing-ji milikmu itu."

   "Betul, memang Tok-ing-ji,"

   Ujar Buyung Ka tertawa.

   "aku kuatir, kau takkan menempuh perjalanan sampai di Thian-san, bila mampus di tengah jalan, siapa yang akan mengubur mayatmu, maka kususul kau supaya nona In ada yang merawatnya..."

   Saking murka Tan Ciok-sing meraung sambil menubruk. Kuatir kekasihnya teledor lekas In San menariknya, katanya.

   "Membunuh manusia durjana macam begini buat apa mematuhi aturan Kangouw."

   Buyung Ka tertawa tergelak-gelak katanya.

   "Kalian tidak akan mematuhi aturan Kangouw jadi mau mengeroyok aku. Boleh saja, silahkan maju. Kitapun tidak perlu mematuhi aturan Kangouw."

   Tampak dari dalam hutan menerjang keluar tiga orang penunggang kuda, lekas sekali mereka sudah jajar di kanan kiri Buyung Ka. Tiga orang membentak bersama.

   "Tan Cioksing. Kau melukai guru kami, kami menuntut balas sakit hati guru, maaf sesuai perkataanmu kami tidak akan mematuhi aturan Kangouw."

   Tiga orang ini adalah murid Milo Hoatsu, dua padri Lama, seorang bersenjata gada adalah murid tertua adalah Toa-kiat, murid kedua bersenjata toya bernama Toa-siu.

   Seorang lagi bersenjata kipas lempit, yaitu murid penutup yang paling dibanggakan, yaitu Tiangsun Pwelek, Tiangsun Co.

   Kuatir Tan Ciok-sing tidak mati keracunan, sengaja mereka menyusul datang dan mencegat serta akan membunuhnya.

   Ketiga orang ini turun bersatu! dari punggung kuda.

   Sementara itu Tan Ciok-sing sudah melabrak Buyung Ka.

   Bahwasanya Buyung Ka memang tangan Yu-hian-ong yang sengaja ditanam di dekat Jenderal Abu sebagai agen rahasia untuk membunuhnya kuatir rahasianya terbongkar, sehari Tan Ciok-sing tidak mati, sehari dia tidak akan hidup tentram.

   Maka dia bertekad membunuh Tan Ciok-sing untuk menutup mulutnya.

   Keduanya sama-sama sengit dan bertekad merobohkan lawannya, maka serangan mereka merupakan jurus tipu ganas dan mematikan.

   Buyung Ka menyerang dengan Tay-cui-pi-jiu, Tan Ciok-sing malah mendesak maju balas menyerang dengan jurus Li Khong memanah batu, pedangnya menusuk leher.

   Di tengah berkelebatnya sinar pedang, terdengar "Cret"

   Tahu-tahu separo gelungan rambut Buyung Ka terbang berhamburan tertiup angin, tapi Tan Ciok-sing tampak sempoyongan seperti api lilin yang bergoyang-goyang hampir padam tertiup angin, setelah mundur beberapa langkah, baru berdiri tegak pula.

   Untung Buyumg Ka berkelit cepat, dia gunakan Hong-tiamthau menghindar, walau lehernya tidak tertusuk pedang, namun rambutnya terpapas dan kepalanya botak.

   Ujung pedang Tan Ciok-sing menyerempet kulit kepalanya, rasanya silir dingin.

   Hanya segebrak, Buyung Ka hampir saja terenggut nyawanya, karuan rasa kejutnya bukan kepalang, namun setelah lenyap rasa kagetnya, lekas sekali dia berseru girang.

   "Memang tidak lepas dugaanku, Lwekang bocah ini tidak setangguh dulu, lekas kalian kemari."

   Tiangsun Co mendahului melompat maju, dendamnya terhadap Tan Ciok-sing lebih besar, dengan sengit dia melabrak maju. Sebelum Tan Ciok-sing berdiri tegak. Tiangsun Co telah menubruk ke depannya, jengeknya menyeringai.

   "Anak keparat rasakan pembalasanku."

   Sembari bicara tangannya bergerak, kipas lempit yang di pinggirnya tajam tiba-tiba terkembang, dengan gerakan Ngo-hing-kiam dia menyerang gencar, suatu ketika memapas ke tulang pundak Ciok-sing.

   Kedatangan In San tepat pada waktunya, hampir bersamaan Tiangsun Co, dia menerobos ke samping Tan Ciok-sing.

   "Tiangsun Co, luka-luka di bokongmu, karena pukulan empat puluh kali itu sudah sembuh belum? Jangan karena sudah sembuh lupa akan rasa sakitnya, tempo hari kami mengampuni jiwamu, pernah kuperingatkan kepadamu, masa begini cepat sudah lupa,"

   Demikian ejek In San dengan tawa dingin, di tengah ejekannya itu.

   "Sret", beruntun tiga kali pedangnya menusuk, menyungkil dan menabas. Bahwa In San mengorek boroknya, karuan Tiangsun Co mengumpat caci tidak karuan. Maklum sebagai murid tersayang dari jago nomor satu di negeri Watsu, Milo Hoatsu, kalau dinilai kepandaiannya Tiangsun Co tidak kalah dibanding In San, tapi karena diburu hawa amarah, permainannya menjadi kacau dan didesak mencak-mencak di bawah angin oleh In San. Kembali In San mencecar dengan tiga kali serangan pedang kilat, kipas lempit di tangan Tiangsun Co berputar dengan jurus Hu-ih-hoan-ih dia berusaha memutar balik tenaga serangan lawan, gerakan ini memang keahliannya yang selama ini paling dia banggakan, tapi usahanya hanya dapat memunahkan dua jurus terdahulu serangan ln San, jurus terakhir "Ting"

   Kembang api berpijar, ternyata kipas lempitnya tertusuk bolong.

   Ceng-bing-kiam yang dipegang In San adalah pedang mustika milik isteri Thio Tan-hong di masa hidupnya.

   Dalam pada itu Toa-kiat dan Toa-siu juga telah menubruk tiba, setelah lenyap rasa kagetnya Buyung Ka kembali menerjang maju.

   Toa-siu menggerung keras toya besinya diayun dengan jurus Thay-san-ap-ting terus mengepruk.

   Bertepatan saat itu In San berputar tubuh, maka sepasang pedang bergerak serasi.

   "Tang"

   Toya kena ditangkis pergi.

   Kungfu Tan Ciok-sing memang belum pulih, tapi Siang-kiam-hap-pik memang luar biasa kekuatannya.

   Tan Ciok-sing gentayangan dua kali baru berdiri tegak pula, sementara Buyung Ka dan Tiangsun Co juga telah mendesak maju pula, empat musuh merabu dari empat penjuru.

   Tan Ciok-sing berkata.

   "Adik San, selama gunung tetap menghijau, jangan kuatir kehabisan kayu bakar. Ada seorang yang masih perlu kau jaga dan rawat, jangan kau hanya memikirkan aku, lekas kau berangkat lebih dulu."

   Teringat orok yang masih dalam kandungannya, serasa diiris-iris perasaan In San.

   "tapi tegakah dia tinggal pergi, membiarkan Tan Ciok-sing dalam kondisi selemah itu menghadapi ke empat musuhnya? Tiangsun Co tidak tahu bahwa ibu In San telah mati, maka dia kira "orang yang perlu dijaga dan dirawat"

   Oleh In San seperti yang dikatakan Tan Ciok-sing, dengan gelak tawa dia berkata.

   "Tan Ciok-sing, jangan kuatir. Bila kau mati, nona In aku yang akan menjaganya, bila dia sudah menjadi biniku, sudah tentu ibunya adalah ibu mertuaku pula. Hehe, setiap keluarganya adalah jamak kalau aku ikut merawatnya."

   Di tengah gelak tawanya, sengaja dia mengebas kipas di depan muka In San, sementara sebelah tangan diulur hendak mencengkram.

   "Kunyuk kurang ajar."

   Mendadak Tan Ciok-sing menghardik, selicin belut tiba-tiba dia mengegos maju, menerobos lewat di antara toya dan gada Toa-siu dan Toakiat yang merangsak tiba.

   "Sret"

   Tahu-tahu pedangnya telah mengancam muka Tiangsun Co. Lekas Tiangsun Co menekan dan mengebas kipasnya.

   "Cret"

   Kembali kipasnya bolong tertusuk pedang, kalau Tiangsun Co tidak cepat menarik tangan, jari-jarinya tentu sudah terpapas kutung.

   Untung dari samping lekas Buyung Ka memukul sehingga Tiangsun Co didorong mencelat ke samping.

   Serangan Tan Ciok-sing masih belum habis tenaganya, maka tanpa merobah gerakan ujung pedangnya terus menyelonong ke lingkaran pertahanan Buyung Ka.

   Padahal Buyung Ka sudah kerahkan sembilan bagian tenaganya, tapi tusukan pedang lawan tetap tak kuasa dibendungnya, mau tidak mau kaget juga hatinya.

   "Kenapa bocah ini kelihatan menjadi makin kuat malah, apakah tadi dia sengaja pura-pura untuk menipu aku?"

   Melihat In San terancam bahaya, saking gugupnya, tenaga simpanannya tanpa sadar timbul secara reflek.

   Demikian pula orang biasa, di kala menghadapi bahaya sering bisa melakukan sesuatu keajaiban yang dalam keadaan biasa mustahil bisa dilakukan, apalagi sekarang Ciok-sing sudah pulih tujuh bagian Lwekangnya.

   Bahwa Lwekang Ciok-sing lebih kuat inipun dirasakan oleh In San, segera dia berteriak.

   "Betul. Di mata ada musuh, dalam hati tiada musuh."

   Tan Ciok-sing seketika sadar, segala keruwetan dan kekhawatiran hatinya segera dia buang jauh-jauh, lekas sekali ketenangan dan kejernihan pikiran telah menjamin kemantapan batinnya.

   Apakah jiwanya bakal segera tamat? Dapatkah sebelum dirinya ajal mampu membantu kesulitan teman baik (Kek dan Toh)? Demikian pula apakah In San dan bayi dalam kandungannya bisakah selamat? Semua persoalan yang tadi berkecamuk dalam benaknya, sekarang telah disapunya bersih sementara.

   Bila hati tenang, pikiran jernih dan batinpun bening, tanpa terasa Lwekangnya bertambah lipat, lekas sekali pulih delapan bagian.

   Karena itu gerakan Siang-kiam-hap-pik semakin manunggal, cukup kuat untuk menandingi ke empat pengeroyoknya dalam beberapa lama.

   Tapi keadaan juga hanya seri alias setanding, dalam waktu dekat tidak mungkin bisa mencapai kemenangan.

   Sebaliknya melihat kekuatan kedua muda mudi ini makin kuat, pihak Buyung Ka kebat-kebit, meski gencar serangan mereka, tapi hati sudah mulai was-was.

   Pertempuran telah berjalan setengah jam tenaga kedua pihak sudah terkuras, kekuatan mereka sudah lemah.

   Terutama Toa-kiat dan Toa-siu yang bersenjata berat, keringat gemerobyos, napas tersengal-sengal.

   Suatu ketika Tan Ciok-sing melihat titik kelemahan lawan, sekonyong-konyong dengan jurus Pek-ho-liang-ci, gaya pedangnya menyelonong miring, dengan enteng dia menutulkan pedang di ujung gada Toa-kiat.

   Dalam gebrak permulaan tadi.

   Ciok-sing pernah gunakan jurus ini untuk menuntun gada Toa-kiat, tapi tidak berhasil, tapi kali ini terlaksana keinginannya.

   "Trang"

   Keras sekali, gada emas Toa-kiat membentur toya besi Toa-siu.

   Tenaga kedua orang kira-kira sebanding, bobot senjata mereka juga kira-kira sama, sehingga benturan keras yang menimbulkan daya pantul itu tak kuasa dikendalikan lagi, gada Toa-kiat mengepruk remuk kepala Toa-siu, sementara toya Toa-siu mengemplang pecah batok kepala Toa-kiat.

   Sepasang saudara seperguruan ini menjerit keras terus roboh binasa.

   Sudah tentu kejut Buyung Ka bukan kepalang, serasa arwahnya lolos dari raganya, tanpa banyak bicara segera dia putar tubuh terus ngacir.

   Tan Ciok-sing gerakan pedang dan pukulan telapak tangan, pedangnya menabas kulit daging di pundak orang, sementara telapak tangannya telak menggaplok punggungnya.

   Luka pedang agak ringan, celaka adalah pukulan telapak tangan yang telak mengenai punggung.

   "Huuuaah". Darah segar tumpah dari mulutnya. Tapi Kungfu Buyung Ka memang hebat, meski sudah terluka parah, dalam detik-detik menghadapi mati hidup ini, ternyata dia masih mampu lari secepat terbang, sayang tenaga Tan Ciok-sing sudah bertolak kembali, tusukan pedangnya yang kedua tidak mengenai sasaran, sebelum sempat menyerang lagi, lawan sudah cemplak ke punggung kuda. Kuda itu pemberian Yu-hian-ong, kuda pilihan dari negeri Turfan yang mahal harganya, kecepatan larinya tidak kalah dibanding Hwe-liong-ki milik Tan Ciok-sing, padahal kuda mereka jauh di belakang sana, untuk mengejar jelas tidak sempat lagi, terpaksa musuh dibiarkan lari. Taraf kepandaian Tiangsun Co tidak setinggi Buyung Ka, larinya agak terlambat. Tapi kudanya itupun pilihan dari Turfan yang sudah terlatih baik, sekali bersiul kuda itu sudah lari mendatangi, lekas Tiangsun Co memburu maju, saat mana kakinya sudah masuk pedal dan hendak naik ke punggung kudanya. In San amat benci akan ocehannya yang tidak genah tadi, alisnya tegak, bentaknya.

   "Bangsat, terlalu menghina kau, masih mau lari?"

   Menggunakan sisa tenaganya dia ayun lengannya terus menimpuk, Ceng-bing-kiam laksana sejalur samberan kilat meluncur ke depan.

   Baru saja Tiangsun Co duduk di punggung kuda, seketika dia melolong panjang mengerikan.

   Pedang mustika tembus dari punggung ke depan dadanya, kontan dia terjungkal roboh dan terpantek di atas tanah.

   Kuda itu tergores luka oleh ujung pedang waktu Tiangsun Co terjungkal, karena kesakitan lari sipat kuping dan tak kelihatan lagi.

   "Sayang Buyung Ka keparat itu bisa lolos,"

   Demikian ujar In San.

   "Sing-ko, tolong kau cabut pedangku itu."

   Waktu bicara tiba-tiba dia sempoyongan hampir jatuh, ternyata waktu menimpuk pedangnya tadi, dia kerahkan seluruh kekuatannya, untuk jalan sudah tidak mampu lagi. Tan Ciok-sing kaget, katanya.

   "Adik San, kenapa kau?"

   Lekas dia berlari datang memapahnya. Dia pikir pedang tertunda tercabut sebentar juga tidak jadi soal, sebaliknya kalau In San terluka perlu segera ditolong dan diobati.

   "Tidak apa-apa,"

   Kata In San.

   "hanya kehabisan tenaga saja, istirahat sebentar juga sudah baik."

   Lega hati Tan Ciok-sing, dia genggam tangannya, katanya.

   "Coba kuperiksa urat nadimu."

   In San kaget, serunya.

   "He, kenapa telapak tanganmu sedingin ini? Aku tidak apa-apa, sebaliknya kau..."

   Belum habis dia bicara Tan Ciok-sing sudah lepas pegangan, tampak dia sempoyongan terus jatuh duduk di tanah.

   
Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Ternyata setelah memeriksa urat nadi In San, dan terbukti kesehatannya tidak kurang suatu apa, legalah hatinya, maka ketahanannyapun luluh dan tak kuat berdiri lagi.

   In San buru-buru menariknya, tapi tenaganya sendiri juga lemah, sehingga mereka sama-sama jatuh terguling berpelukan.

   Lekas Tan Ciok-sing duduk dan berkata.

   "Jangan kuatir, duduk istirahat sebentar nanti juga baik."

   Perasaan In San tidak karuan, pikirnya.

   "Mungkin sisa racun dalam tubuhnya belum tuntas, tapi diam-diam mengelabui aku."

   Tak lama kemudian tampak uap putih mulai mengepul di atas kepalanya, rona mukanya juga makin merah, pelan-pelan terbuka matanya dan berkata perlahan.

   "Tenagamu sudah agak pulih bukan. Tolong kau tuntun kuda kita kemari, kita harus lekas menempuh perjalanan."

   In San juga cukup ahli dalam ilmu silat, dia tahu Ciok-sing sedang kerahkan Lwekang menyembuhkan sendiri luka-luka dalamnya, taraf pertama sudah selesai, maka dia berkata.

   "Menolong teman memang cukup penting, tapi bila Kungfumu sendiri menjadi tekor, ada niat tenagapun takkan sampai."

   Alasan yang dikemukakan ln San memang beralasan, terpaksa Ciok-sing membuang segala pikiran, kembali dia meneruskan samadinya. Setengah jam kemudian, tiba-tiba dia melompat bangun, katanya.

   "Sudah selesai."

   In San ragu-ragu, katanya.

   "Apa betul kau sudah baik?"

   Tan Ciok-sing membalikkan tangan, sebatang pohon sebesar paha bayi kena ditabasnya putus, katanya.

   "Kapan aku pernah bohong kepada kau?"

   Ternyata Kek Lam-wi dan Toh So-so juga sedang ngacir, keadaan mereka lebih runyam lagi.

   Baru mereka memasuki wilayah Sinkiang mereka lantas menemukan jejak musuh yang mengejar.

   Hari itu mereka sudah memasuki daerah bersalju, hari ke sembilan sejak mereka mulai pelarian.

   Mendongak mengawasi puncak gunung besar di depan, lega hati Kek Lam-wi, katanya senang.

   "Tak terasa kita sudah sampai di Thian-san."

   Toh So-so juga kegirangan, seruaya.

   "Apa betul? Waktu kita menginap di perkemahan suku Wana, bila membicarakan Thian-san, seolah-olah gunung itu jauh di ujung langit, tak nyana tahu-tahu sudah di depan mata?"

   "Ini hanya cabang gunung Thian-san, namanya Liam-cengtang- ku-la-san."

   Ujar Lam-wi.

   "O, jadi kau menggodaku supaya senang."

   Omel Toh So-so.

   "Meski bukan puncak Thian-san, tapi terhitung kita sudah berada di kaki Thian-san. Entah berapa hari lagi kita harus menempuh perjalanan, tapi apapun setelah kita tiba disini, Thian-san tidak jauh di ujung langit pula, kini kita sudah didalam haribaannya."

   "Betul, makin dekat Thian-san, semakin jauh kita meninggalkan bahaya. Meski kedua tua bangka itu punya nyali setinggi langit, juga tidak akan berani berbuat apa-apa terhadap kita di Thian-san."

   "Bisa bebas dari kejaran mereka memang syukur, tapi yang lebih menyenangkan hatiku ialah,'sehari kita makin mendekati Thiansan..

   "

   "Sehari kau bisa lebih cepat bertemu dengan Tan Ciok-sing dan ln San. Em, setiap saat kau merindukan mereka, untung Ciok-sing seorang laki-laki, kalau perempuan tentu aku sudah jelus."

   Entah dari mana rasa riang Toh So-so meski lelah setelah menempuh perjalanan jauh dan susah.

   "Lam-ko, aku kepingin mendengar tiupan lagu serulingmu. Sudah sekian hari kita hidup dalam pelarian yang menegangkan, sekarang tiba saatnya menghibur diri."

   Tak nyana belum habis dia bicara, tiba-tiba terdengar sebuah lengking suara yang menusuk telinga.

   "Budak busuk, coba buktikan, dapatkah kau lari dari cengkramanku."

   Orangnya belum kelihatan, tapi suaranya sudah bikin pekak telinga Toh So-so.

   Toh So-so tahu siapa yang memekik keras itu, saking kaget dia menjerit ketakutan.

   Kek Lam-wi kembangkan Ginkang berlari ke atas seperti terbang.

   Tampak dari depan "mendatangi dua orang, seorang kakek dan seorang nenek, mereka bukan lain adalah ayah bunda Kangouw Longcu Liu Yau-hong yaitu Thian-liong-kiamkhek Liu Jiu-ceng dan isterinya Yam-lo-sat Bing Lan-kun.

   "Liu-locianpwe,"

   Teriak Kek Lam-wi.

   "kau adalah seorang Cianpwe yang punya nama dan kedudukan tinggi di kalangan Bulim, kau harus berpegang keadilan dan kebenaran, putramu itu..."

   Yang benar Liu Jiu-ceng memang ternama, tapi 'kedudukan' tinggi hakikatnya tiada. Sebelum Kek Lam-wi bicara habis, Bing Lan-kun sudah membentak.

   "Orang she Kek urusan tidak menyangkut dirimu. Aku hanya ingin mendapat jawaban budak busuk itu... Ada dua jalan boleh kau pilih salah satu, kalau mau boleh menjadi menantuku, kalau tidak biar kugores mukamu beberapa jalur, seperti kau melukai putraku itu."

   Meski jeri tak urung membara amarah Toh So-so, serunya.

   "Nenek peyot galak, tahukah kau putra kesayanganmu itu..."

   "Budak busuk,"

   Sentak Bing Lan-kun.

   "kau sudah melukai putraku, berani memakiku."

   Tar, pecutnya kontan terayun. Lekas Kek Lam-wi mencegat ke depan, teriaknya.

   "Liulocianpwe, kau orang ternama, urusan harus dibicarakan dulu supaya gamblang bukan?"

   Membesi muka Liu Jiu-ceng, katanya.

   "Aku tidak memukul kau. Keluarga Liu kita mau memungutnya menjadi menantu, memangnya merendahkan derajatnya?"

   Toh So-so jelas bukan tandingan Bing Lan-kun, beberapa kali dia diancam bahaya, terpaksa Kek Lam-wi mendampinginya melawan musuh. Bing Lan-kun mengembangkan Wi-hong-sau-yap, ilmu cambuknya yang paling dibanggakan.

   "Sret, sret"

   Angin menderu menimbulkan gulungan angin yang kencang, seolaholah mendadak timbul pusaran angin lesus menggulung ke arah Kek dan Toh berdua.

   Cambuk lemas panjang itu berputar menjadi beberapa lingkaran, tegak miring datar, besar sedang dan kecil, didalam lingkaran ada lingkaran.

   Begitu hebat dan menakjubkan juga permainan cambuk Bing Lan-kun.

   Kek Lam-wi dipaksa untuk mendemontrasikan King-sin-siau-hoat yang baru dipelajarinya atas petunjuk Ti Nio, namun demikian, tak berhasil dia memunahkan lingkaran-lingkaran besar kecil itu.

   Tak lama kemudian gerak-gerik mereka sudah terbelenggu didalam lingkaran cambuk lawan.

   Di tengah kesibukannya itu mendadak Kek Lam-wi bersiul sekali lalu bersenandung membawakan dua bait syair.

   Bing Lan-kun menjengek dingin.

   "Kematian di depan mata masih bersenandung segala."

   Padahal dalam hati merasa heran, dalam detik-detik yang gawat begini, ternyata lawan masih sesantai itu berdeklamasi segala.

   Tampak permainan seruling Kek Lam-wi, tiba-tiba berobah.

   Serulingnya tegak dahulu, mendadak terayun berputar laksana angin lesus, empat penjuru suhu hawa menjadi dingin.

   Perbawanya sungguh mirip gunung bersusun dan berlapis sesuai arti syair yang dia senandungkan tadi.

   Herannya rangsakan cambuk Bing Lan-kun terbendung diluar garis.

   Ternyata King-sin-siau-hoat merupakan cangkokan dari King-sin-pit-hoat yang mengutamakan sumber syair kaya pujangga di dynasti Tang dahulu, dua jurus yang dilancarkan deklamasinya membawakan dua bait syair pula, serulingnya bergerak dari atas ke bawah terus membabat dan menyapu.

   Bing Lan-kun sudah kembangkan Wi-hong-sau-yap dari ilmu cambuknya yang paling liehay, tapi cambuk lemasnya tetap tak mampu menjebol garis pertahanan lawan.

   Habis senandung, mumpung lawan terdesak dan merobah gerakan, tiba-tiba Kek Lam-wi angkat serulingnya ke dekat mulut lalu ditiupnya sekali.

   "Suuiiiit"

   Bing Lan-kun memaki.

   "Setan, apa yang kau lakukan?"

   Mendadak serumpun angin panas menerjang muka, karuan kagetnya bukan main, dia kira lawan menggunakan senjata rahasia khusus yang ditiup keluar dari serulingnya, lekas dia tarik dan putar cambuknya untuk melindungi badan.

   Yang benar yang menerpa mukanya bukan senjata rahasia tapi serumpun hawa hangat dari tiupan serulingnya yang panas.

   Seperti diketahui, seruling Kek Lamwi itu adalah mustika dunia persilatan, bukan saja kerasnya melebihi besi atau emas, malah hawa hangat yang keluar dari seruling pualam itu dapat menyerang musuh dan menundukkan serangan Khikang lawan yang negatif.

   Sudah tentu untuk melancarkan tiupan seruling ini harus dilandasi kekuatan Lwekang yang cukup tangguh juga.

   Lwekang Bing Lan-kun lebih tinggi dari Kek Lam-wi, maka dia tidak terluka oleh tiupan hawa murni.

   Tapi muka kesampuk hawa hangat itu menjadi pedas dan perih.

   "Tua bangka,"

   Teriak Bing Lan-kun.

   "anak itu bukan milikku sendiri, kau biarkan orang menghinaku."

   Liu Jiu-ceng takut bini seperti berhadapan dengan harimau, terpaksa dia menampilkan diri.

   Begitu dia terjun ke arena, situasi segera berobah.

   Hanya beberapa jurus Kek Lam-wi telah terdesak di bawah angin, tenaga sebesar gunung menindihnya, bukan saja gerakan seruling terasa berat dan susah dimainkan secara wajar, gerak geriknyapun menjadi kurang leluasa.

   Tengah mereka menghadapi bahaya, tiba-tiba terdengar irama petikan harpa sayup-sayup sampai terbawa angin lalu.

   Mendengar petikan senar-senar harpa yang merdu itu, diam-diam Liu Jiu-ceng melengak kaget.

   "Siapa memiliki Lwekang setangguh ini, apakah Toh Thian-tok Ciangbunjin Thian-san-pay telah datang?"

   Maklum pertama irama kecapi itu terdengar, suaranya mengalun lembut sayup-sayup sampai seperti berada di tempat yang amat jauh, tapi dalam sekejap tahu-tahu sudah berkumandang jelas dan lebih dekat, Ginkang pendatang jelas sudah teramat tinggi.

   Orang yang bisa memanjat pegunungan setinggi ini, jelas bukan orang sembarangan, apalagi Ginkang pendatang itu begitu tinggi, petikan senar kecapinya begitu indah dan merdu lagi, sehingga siapa yang mendengar merasa susah diraba dan dirasakan, logis kalau Liu Jiu-ceng curiga yang datang adalah Ciangbunjin Thian-san-pay.

   Pertarungan jago kelas wahid mana boleh terpecah perhatiannya, hanya sekejab itu, Liu Jiu-ceng melancarkan serangan pedang yang dikombinasikan pukulan telapak tangan.

   "Biang"

   Kek Lam-wi kena dipukulnya mencelat dengan Bik-khong-ciang.

   Liu Jiu-ceng juga tertiup angin hangat dari seruling Kek Lam-wi, tepat mengenai Hian-khi-hiat di dadanya.

   Lwekang Liu Jiu-ceng lebih tangguh dari Kek Lam-wi, cukup tiga kali dia mengatur pernapasan, cepat sekali dia sudah segar bugar.

   Tapi dalam sekejap itu diapun tidak bisa memburu Kek Lam-wi untuk membekuknya.

   Di sebelah sana Yam-lo-sat Bing Lan-kun telah menyandak Toh So-so.

   Toh So-so menjejak kaki sekuatnya, meloncat berusaha menghindar, sayang gerakannya kurang cepat serambut.

   "Brett"

   Pakaiannya tercomot robek oleh cakar setan lawan. Tapi pada detik-detik berbahaya itu pula, Kek dan Toh memperoleh pertolongan yang tak pernah mereka duga, Toh So-so sudah terpeleset jatuh. Bing Lan-kun menyeringai.

   "Budak busuk, kau mau menjadi menantu atau suka menjadi setan burik? Lekas katakan, kuhitung tiga kali, kalau kau tidak menjawab, terpaksa akan kucacah wajahmu dengan pedangku ini.

   "Satu, dua..."

   Toh So-so merangkak mundur, belum mampu dia berdiri, sementara sambil menghitung Bing Lan-kun mendesak maju sambil ulur cakar jarinya, tapi sebelum dia sempat menghitung 'tiga'.

   Sekonyong-konyong selarik sinar kemilau laksana kilat menyambar, bersama kilat pedangnya menyambar penyerang inipun menubruk maju laksana seekor burung besar menubruk ke arah Bing Lan-kun.

   Bing Lan-kun amat kaget, lekas dia mencelat minggir ke samping sambil mengibas lengan baju.

   Maka terdengar suara robek yang panjang, ternyata kebasannya itu bukan saja tidak mampu menangkis pedang lawan, malah lengan bajunya terpapas sebagian.

   Untung Bing Lan-kun mengeluarkan cambuknya pula, dengan jurus Wi-hong-hud-liu, baru dia berhasil mematahkan dua jurus serangan ilmu pedang lawan.

   "Perempuan siluman, berani kau menyakiti Toh-cici, biar aku adu jiwa dengan kau."

   Baru sekarang Bing Lan-kun melihat jelas penyerang dirinya adalah seorang gadis belia, dia bukan lain adalah In San.

   Bahwa In San sudah tiba, sudah tentu Tan Ciok-sing juga sudah datang.

   Kedatangannya juga tepat pada waktunya, kebetulan dia tangkap tubuh Kek Lam-wi yang terpukul mencelat dan hampir terjerumus ke dasar jurang.

   Untung waktu melancarkan Bik-khong-ciang, Liu Jiu-ceng kurang konsentrasi, maka tenaga pukulannya tidak sepenuhnya.

   Beruntung pula Kek Lam-wi tidak terpukul telak, meski pukulan Bikkhong-ciang cukup keras namun Kek Lamwi tidak terluka sama sekali.

   Tapi bila Kek Lam-wi menginjak bumi, seketika dia merasa napasnya sesak, sekujur badan lemah lunglai.

   Melihat orang tidak terluka, legalah hati Tan Ciok-sing, segera dia tampil ke depan, katanya lantang sambil menjura.

   "Liu-locianpwe, kejadian luka-luka atas putramu itu, kesalahan tidak boleh ditumplekkan kepada Toh Lihiap saja. Waktu kejadian Wanpwe kebetulan juga hadir. Sudilah kau mendengar dulu penjelasanku, supaya pertikaian kalian bisa kudamaikan."

   Sebetulnya tak usah dijelaskan oleh Tan Ciok-sing, Liu Jiuceng sudah tahu bahwa kesalahan memang di pihak putranya.

   Tapi karena dia terlalu sayang dan memanjakan putranya, di samping didesak dan diomeli istrinya yang bawel dan galak itu, meski tahu di pihak sendiri yang salah, terpaksa dia berusaha menuntut balas bagi sakit hati anaknya.

   Yang dia takuti adalah Ciangbunjin Thian-san-pay Toh Thian-tok, melihat yang datang adalah pemuda tanggung usia belum genap dua puluh tahun, legalah hatinya.

   Dengan menyeringai dingin Liu Jiu-ceng membentak.

   "Bocah dari mana kau, setimpal kau jadi juru damai? Lekas menyembah tiga kali dan menggelinding turun gunung kalau tidak, hm, hm, segera kupunahkan ilmu silatmu."

   Melihat kawan baiknya dihina, sudah tentu Tan Ciok-sing amat marah, bentaknya.

   "Kalau mampu boleh silahkan kau punahkan ilmu silatku."

   Pedang tercabut terus diputar balik.

   Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Tang"

   Kembang api berpijar, dua pedang mustika bentrok keras, tiada yang cidera. Lwekang Liu Jiu-ceng jelas lebih tinggi, maka pedang mustika Tan Ciok-sing tertolak pergi, tubuhnyapun gentayangan dua langkah.

   "Kena."

   Tiba-tiba Liu Jiu-ceng menghardik, dengan jurus Li Khong memanah batu, ujung pedangnya menusuk ulu hati dari arah punggung Tan Ciok-sing.

   Di luar tahunya Bu-bing-kiam-hoat Tan Ciok-sing sekarang sudah diyakinkan sempurna, permainan sudah selaras dengan pikirannya, reaksinya juga cekatan, tiba-tiba dia gunakan Ihsing- hoan-wi, menghindar sambil balas menyerang, langkahnya gentayangan seperti orang mabuk, tapi pada hal merupakan gerak perpaduan dengan ilmu pedangnya yang mengandung isi kosong susah diraba.

   Seperti orang mabuk menggerakkan pedang saja, gerakan pedang seenaknya itu tahu-tahu sudah menusuk dari arah dan posisi yang tak terduga oleh Liu Jiu-ceng.

   Kalau yang diserang seorang yang berkepandaian agak rendah, tubuhnya pasti dihiasi tusukan pedang Tan Ciok-sing, tapi Liu Jiu-ceng mengerahkan Thian-liong-kang sekali tusukannya, arena seluas beberapa tombak seperti terbelenggu didalam kekuatan dalamnya sekokoh tanggul dan sekeras damparan ombak mengamuk, terpaut setengah inci tusukan pedang Tan Ciok-sing, ujung pedangnya tergetar pergi oleh kekuatan Lwekang lawan.

   Tapi, Tan Ciok-sing berhasil memanfaatkan kesempatan baik ini, mencelat kesana bergabung dengan In San.

   Ternyata In San sedang didesak mundur oleh rangsakan Bing Lan-kun yang gencar dan ganas.

   Siang-kiam-hap-pik kekuatannya berlipat ganda, Liu Jiuceng yang memburu datang dengan serangan pedangnya kena ditangkis cerai berai.

   Demikian pula cambuk panjang Bing Lan-kun seperti terkunci didalam lingkaran sinar pedang, buru-buru dibetotnya keluar.

   Padahal cukup tangkas reaksinya, tapi terdengar "Cras"

   Sekali, ujung cambuknya terpapas putus. Saking kaget Bing Lan-kun melompat ke dekat suaminya. Maka kedua pihak sudah sama-sama gabung dengan kawannya sendiri. Tan Ciok-sing menghentikan aksinya, katanya.

   "Liulocianpwc, berlakulah murah hati, dimana boleh diampuni, berilah pengampunan..."

   Dia masih berusaha melerai.

   "Bocah keparat."

   Hardik Liu Jiu-ceng dengan gusar.

   "kau kira aku takut menghadapi Siang-kiam-hap-pik kalian?"

   Dimana pedangnya membelah, angin kencang menderu sekeras badai, sinar pedang yang tercerai berai tiba-tiba melingkup pula, laksana mata rantai saja tahu-tahu menyapu miring terus melintir-lintir.

   Jurus ini merupakan serangan hebat dari setaker tenaganya, Thian-liong-kang dia salurkan ke ujung pedang, Siang-kiam-hap-pik yang dilancarkan Tan Ciok-sing dan In San juga hanya mampu bertahan dan menahan saja.

   Pertempuran seru berulang, ujung pedang Liu Jiu-ceng seperti diganduli barang berat, menuding ke timur menusuk ke barat, gerakannya seperti amat parah, tapi dimana ujung pedangnya menuding, kekuatannya ternyata besar luar biasa, sayup-sayup seperti terdengar gemuruh gcluduk.

   Kalau dalam keadaan biasa, dengan gabungan Tan Ciok-sing dan I n San, Liu Jiu-ceng tentu sudah dikalahkan sejak tadi.

   Tapi keadaan Tan Ciok-sing sekarang agak payah.

   Lwekangnya belum pulih.

   luka dalam, keracunan lagi, demikian pula In San sedang hamil, hingga gerak geriknya harus dibatasi, maka sekuatnya mereka masih kuat bertahan.

   Kek Lam-wi dan Toh So-so menyaksikan pertempuran diluar gelanggang, tampak sinar pedang dan bayangan cambuk samber menyamber, daun pohon pun berhamburan, kembang sama rontok bertaburan, dalam sekejap saja, daundaun dan kembang-kembang di atas pohon sekitar gelanggang telah rontok menjadi gundul kelimis, tinggal dahan-dahannya saja.

   Kek Lam-wi geleng-geleng sambil menghela napas panjang, bukan saja takjub diapun kagum dan kaget pula, rasa gegetun merasuk sanubarinya karena dirinya tidak mampu membantu.

   Pada saat itulah, tiba-tiba terdengar sebuah siulan panjang, bagai pekik naga mengalun tinggi menembus angkasa menggetar bumi.

   Tan Ciok-sing anggap tidak mendengar siulan itu, perhatiannya tertuju kepada musuh di depan mata.

   Sebaliknya Liu Jiu-ceng amat kaget, pikirnya.

   "Entah orang itu kawan atau lawan, Lwekangnya jauh lebih tangguh dari Tan Ciok-sing keparat ini."

   Tan Ciok-sing sedang mengembangkan kekuatan Bu-bingkiam- hoat pada puncaknya, sayang tenaganya tidak memadai, sebetulnya mereka sudah tidak kuat bertahan lagi, apa lagi kedatangan lawan yang Kungfunya lebih tangguh dari Tan Ciok-sing? Karena kaget dan perasaan tergetar, betapapun hebat ketenangannya, tak urung permainan pedangnya menjadi kacau.

   Kalau permainannya menurun, sebaliknya cahaya pedang Tan Ciok-sing mendadak tambah cemerlang, maka terdengarlah rangkaian benturan keras dan bunyi nyaring sederas bunyi ledakan mercon, cambuk panjang Bing Lan-kun terputus-putus menjadi delapan potong.

   Pedang Liu Jiu-ceng memang tidak kurang suatu apa, tapi bahaya yang mengancam dirinya jauh lebih besar, topinya tertusuk bolong oleh pedang Tan Ciok-sing kulit kepalanya menjadi silir.

   Memutar tubuh Liu Jiu-ceng terus melarikan diri.

   Baru sekarang Tan Ciok-sing sempat dengar seorang yang suaranya asing memuji.

   "Ilmu pedang bagus."

   Sekenanya orang itu meraih sekeping es terus tangan terayun, bentaknya.

   "Kalian berani bertingkah di Thian-san, lantas mau lari begini saja? Tinggalkan sedikit tanda mata."

   Begitu ditimpukkan, kepingan es itu lantas pecah menjadi dua dan meluncur ke arah dua sasaran.

   Bing Lan-kun lari di depan sementara Liu Jiu-ceng di belakangnya, tapi kedua orang terkena timpukan es itu berbareng.

   Kontan Bing Lan-kun menjerit terus menggelinding ke bawah lereng, Liu Jiu-ceng juga merasakan hawa dingin meresap kedalam tubuh, kaki tangan dan pori-pori seluruh tubuh seperti melepuh dan hampir meledak.

   Ternyata ilmu silat Bing Lan-kun telah punah, demikian juga Liu Jiu-ceng kehilangan Lwekang sepuluh tahun latihan.

   Untung Liu Jiuceng masih mampu mengembangkan Gin-kang, Bing Lan-kun yang menggelundung di tanah bersalju juga tidak terluka parah, tanpa berhenti Liu Jiu-ceng gendong isterinya terus lari turun gunung tanpa pamitan lagi.

   Melihat orang itu mendemonstrasikan ilmu silat yang hebat luar biasa, Tan Ciok-sing sudah tahu siapa yang datang, serunya.

   "Apakah Toh-suheng yang datang? Siaute adalah..."

   Saking kegirangan, tiba-tiba terasa hawa murninya buyar, pandangan seketika berkunang-kunang, seperti lidah api ditiup angin kencang, tubuhnya terombang-ambing.

   "Ciok-sing Sute,"

   Seru Toh Thian-tok.

   "Aku sudah tahu kau adalah murid penutup Suhu. Eh, Sute kau kenapa?"

   Tan Ciok-sing sudah tidak tahan, akhirnya meloso duduk di tanah, tapi dia tidak melupakan satu hal yang amat penting.

   "Suheng, ada sebuah hal penting perlu aku memberi tahu kepadamu, di hari tuanya Suhu telah mencipta Bu-bing-kiamhoat, sayang aku tidak sempat menjelaskan kepadamu panjang lebar."

   "Sute,"

   Ujar Toh Thian-tok.

   "jangan kau kuatirkan soal ini setelah menyaksikan ilmu pedangmu, aku sudah tahu pedangnya..."

   Sebagai maha guru silat nomor satu di jaman ini, begitu dia tekan punggung Tan Ciok-sing lantas dia tahu, ajal Tan Ciok-sing sudah tak bisa ditunda lagi, ternyata Toking- ji di tubuh Tan Ciok-sing telah kumat sehingga hawa murninya buyar seketika.

   Tan Ciok-sing turunkan harpa, katanya.

   "Kek-toako, sudah lama kau ingin mendengar lagu Khong-ling-san, belum pernah ada kesempatan aku memetik lagu itu untuk kau dengar, sekarang biarlah aku penuhi keinginanmu."

   Sebelum Kek Lamwi sempat mencegah jari-jarinya sudah mulai memetik senarsenar harpa.

   Seperti sepasang kekasih yang sedang asyik memadu cinta, seperti sesama kawan intim yang melepas rindu.

   Seperti pula berada di Kanglam di saat musim kembang mekar, laksana berdiri di puncak gunung nan tinggi dimana hembusan angin laksana siulan merdu...

   tanpa terasa In San tenggelam dalam alunan musik sehingga pikirannya melayang jauh ke belakang, akan kejadian-kejadian masa lalu di saat-saat dirinya memadu cinta bersama Tan Ciok-sing.

   Mendadak bunyi harpa berobah, seperti pekik lutung di selat sungai, laksana isak tangis seorang gadis yang ditinggal kekasih, Ciok-sing telah curahkan seluruh batinnya untuk mencurahkan isi hati dan makna suci dari Khong-ling-san di saat-saat jiwanya tinggal menuju ajal.

   Berpisah dengan teman, berpisah dengan isteri...

   mendadak "Creng"

   Senar harpa putus.

   Senar putus jiwapun melayang.

   Lama In San mematung seperti linglung, akhirnya dia tersedu sedan sambil memeluk jenazah Tan Ciok-sing.

   TAMAT Ikuti kisah-kisah serial Thiansan sebelum ini.

   1.

   Hoan Kiam Kie Tjeng (Sebilah Pedang Mustika) Kisah masa muda Hian Kie Itsoe (Tan Hian Kie), Siangkoan Thian Ya dan Siauw Oen Lan.

   Lika-liku kisah kasih di antara mereka, dan pertentangan di antara mereka.

   Dalam cerita ini dapat diikuti kisah hilangnya ilmu pedang Tat Mo Kiamhoat Boetong pay.

   2) Peng Tjong Hiap Eng (Dua Musuh Turunan) Kisah masa muda Thio Tan Hong dan In Loei.

   Kisah cinta kasih di antara mereka, yang dilatar belakangi dendam turunan keluarga.

   Selain permusuhan dengan keluarga In Loei, keluarga Thio Tan Hong juga merupakan musuh turunan dari kaisar yang berkuasa saat itu.

   Apa yang terjadi, bila permusuhan dua keluarga bercampur dengan urusan negara? 3) San Hoa Liehiap (Pendekar Wanita Penyebar Bunga) Kisah Ie Sin Tjoe, murid Thio Tan Hong.

   Dua enghiong yang berbeda sifat mencintai satu liehiap, mana yang dipilih si Pendekar Wanita Penyebar Bunga? Perseteruan keluarga kerajaan dengan keluarga Thio Tan Hong sudah selesai, ganti keluarga Pit yang juga merasa berhak atas tahta kerajaan yang melakukan pemberontakan.

   4) Lian Kiam Hong In (Kisah Pedang Bersatu Padu) Setelah menjadi pendekar besar, Thio Tan Hong akhirnya bertemu dengan musuh terberatnya.

   Cerita ilmu Sioelo Imsat Kang dari Kiauw Pak Beng akan muncul kembali dalam cerita Perjodohan Busur Kumala, bersama dengan turunan Le Kong Thian.

   

   Tiraikasih WEBSITE
http.//kangzusi.com

   

   Tiraikasih WEBSITE
http.//kangzusi.com

   

   

   

   

Amanat Marga -- Khu Lung Dendam Asmara -- Okt Medali Wasiat -- Yin Yong

Cari Blog Ini