Ceritasilat Novel Online

Pendekar Pemetik Harpa 7


Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen Bagian 7



Pendekar Pemetik Harpa Karya dari Liang Ie Shen

   

   "Persoalan apa pula?"

   In-hujin, menegas.

   "Keluarga Toan menjadi raja di Tayli sejak dinasti Song. Rakyat Tayli terdiri dari suku bangsa minoritet, bangsa Han kita jarang yang bisa hidup disana. Keluarga Toan juga dari suku minoritet, karena sudah bertahun-tahun mereka bergaul dan berhubungan dengan bangsa Han kita, maka peradaban mereka lebih ' maju dan adat istiadatpun mengikuti perilaku bangsa Han kita. Dan letak persoalannya justru keluarga Toan ini bukan suku bangsa Han. Keluarga Toan memang punya wibawa besar di kalangan rakyat Tayli, maka sejauh ini, Baginda Raja masih membiarkan mereka menjabat kedudukan tapi tanpa kekuasaan berarti, jadi kedudukan mereka boleh dikata sudah senin kemis. Jadi 'pangeran' inipun hanya nama kosong belaka."

   Berkerut kening In-hujin, katanya.

   "Untuk apa kau bicara soal ini padaku? Peduli Toan Kiam-ping itu pangeran atau orang biasa, asal ayahnya setuju dan dia sendiri juga suka, tidak jadi persoalan bagi aku."

   Liong Seng-bu tertawa, katanya.

   "Betul omongan bibi. Akupun tidak suka memandang tinggi jabatan dan kekuasaan. Tapi lebih mending kalau dia seorang rakyat jelata, celaka adalah kalau dia dicurigai sebagai kaum pemberontak, kalau adik San menikah dengan dia bukankah dia bakal ketimpa mara bahaya?"

   Sampai disini Liong Seng-bu melirik In-hujin lalu meneruskan dengan merendahkan suara.

   "Kali ini paman ada memberi kisikan sebuah rahasia kepadaku. Katanya kerajaan sedang siap-siap turun tangan kepada keluarga Toan, waktunya tidak akan lama."

   "Lebih celaka lagi, Toan Kiam-ping sang pangeran ini tidak tahu diri, dia bergaul dengan berbagai aliran kaum persilatan, malah secara diam-diam juga ada mengikat hubungan dengan Kim-to Cecu yang bercokol diluar Gan-bun-koan. Baginda sedang memerintahkan paman untuk mengutus jago-jagonya pergi kesana mengumpulkan data-data dan bukti bahwa keluarga Toan memang nyata berkomplot dengan kaum pemberontak. Tapi lantaran agresi Watsu sehingga situasi cukup genting di perbatasan, mungkin persoalan ini tertunda untuk sementara waktu lagi.

   "O, jadi karena perintah rahasia Baginda itu, maka pamanmu kuatir mungkin aku juga bisa keserempet perkara,"

   Demikian ujar In-hujin.

   "Paman ada maksud untuk menjemput adik San pulang saja dan cepat-cepat dinikahkan lebih baik. Dari omongan paman dapat kurasakan bahwa dia sudah punya calon pilihannya."

   "Siapa calon pilihannya?"

   "Paman tidak jelaskan, aku tidak enak tanya. Tapi paman ada menulis sepucuk surat untuk bibi, mungkin dalam surat dia ada menyinggung soal ini. Apa bibi ada maksud untuk membaca surat itu?"

   "Baiklah, mari serahkan aku. Tolong suruhlah pelayan memasak kuah untukku, kau tak usah repot-repot meladeniku lagi,"

   Tampak sikap kikuk dan risi Liong Seng-bu, dengan tawa lucu segera dia mengiakan terus mengundurkan diri.

   Waktu In-hujin buka surat itu dan membacanya, isi surat memang membicarakan soal pernikahan In San, tapi calon menantu yang dia penujui jusreru berada diluar dugaannya.

   Ternyata suaminya atau paman Liong Seng-bu berpendapat supaya putrinya In San dikawinkan dengan keponakannya Liong Seng-bu.

   Dikatakan dalam surat itu, bahwa In San memang puterinya, dalam arti kedudukan sekarang terhitung adik Liong Seng-bu, tapi betapapun mereka dari dua marga yang berbeda, jadi berikutnya mereka masih boleh juga terikat sebagai suami isteri.

   Dikatakan pula bahwa sang ponakan yang satu ini, kelak akan mewarisi kedudukannya, betapa baiknya kalau hubungan famili ini lebih dekat lagi dengan ikatan pernikahan ini.

   Tapi dalam pendapat In-hujin justeru berbeda, dia tidak merasakan kebaikan dari pernikahan ini, bukan karena dia kuatir melanggar peradatan atau tingkatan, tapi dari pengalaman hidupnya sendiri yang serba merana ini, dia merasakan soal pernikahan ini tidak boleh terjadi.

   Didalam keluarga Liong, lahir batinnya boleh dikata terpukul amat berat.

   Apalagi watak puterinya menuruni sifat bapaknya, sebagai seorang ibu dia cukup tahu perangai puterinya ini.

   Sungguh tak berani dia membayangkan apa jadinya bila puterinya betul-betul menjadi nyonya muda keluarga Liong.

   Apalagi puterinya itu katanya sudah punya idaman hati.

   Setelah In-hujin sudah menghabiskan semangkok bubur, dengan alasan memberi salam Liong Seng-bu datang pula dan ajak ngobrol pula padanya.

   Tanyanya.

   "Apakah bibi sudah membaca surat paman?"

   "Sudah,"

   Sahut in-hujin tawar.

   "tiada apa-apa hanya surat biasa."

   Karena tadi bilang tidak tahu apa isi surat itu, maka Liong Seng-bu hanya menyengir saja mendengar jawaban In-hujin, sudah tentu dia tidak berani membongkar jawabannya yang bohong. Tapi dasar mukanya tebal dia masih berkata.

   "Mengenai soal adik San, paman ada memberi petunjuk kepadaku."

   "Petunjuk apa?"

   "Paman ada bilang, bila bibi mau pergi sendiri membawa adik San pulang, diapun setuju. Beliau malah suruh aku menemani bibi. Kalau bibi merasa ripuh, boleh tulis surat saja anak buah paman akan membawanya kesana bersamaku menjemput adik San kemari."

   "Aku masih sakit, tak mungkin menempuh perjalanan, biarlah tunggu setelah penyakitku sembuh saja."

   Liong Seng-bu tidak berani terlalu mendesak, katanya.

   "Setelah penyakit bibi sembuh juga baik, tapi... dua tiga hari lagi keponakan akan keluar, paman memberi tugas kepadaku."

   "Kau boleh pergi, sekembalimu nanti mungkin penyakitku juga sudah sembuh."

   Maka hari kedua, Liong Seng-bu meninggalkan rumah.

   Sang waktu berselang dengan cepat tanpa terasa sebulan telah lalu, kabar yang tersiar diluar semakin kalut, konon pasukan Watsu sudah menduduki Gan-bun-koan, sementara Tay-tong sudah dikepung musuh.

   Kini In-hujin membuang segala kekuatiran, hatinya yang gugup malah menambah baik kesehatannya, entah itu untuk sementara, tapi dia sudah bisa berjalan cepat, maka seorang diri dia terjun pula di Kangouw, berangkat ke Tay-tong yang dilanda kecamuk peperangan.

   Tak nyana di rumah In Hou dia tidak menemukan puterinya, tapi bersua dengan Tan Ciok-sing yang membawa barang peninggalan dan warisan In Hou kepada puterinya.

   Mengawasi golok dan pedang pusaka yang ditaruh di meja oleh Tan Ciok-sing, pikiran In-hujin melayang-layang terutama Ceng-bing pokiam, teringat akan cerita Liong Seng-bu mengenai pangeran keluarga Toan, hatinya semakin risau.

   "Terima kasih, kau telah membawa barang peninggalan ayah San-ji kemari,"

   Ujar In-hujin.

   "Akupun datang mencarinya. Sayang kita terlambat, entah kemana dia sekarang. Lalu bagaimana sebaiknya?"

   "Ingin aku mohon Pek-bo wakilkan putrimu menerima golok pusaka, pedang pusaka dan buku pelajaran ilmu golok ini. Pasukan musuh sudah mundur, Tay-tong boleh dikata untuk sementara akan aman, cepat atau lambat putrimu pasti akan kembali,"

   Demikian pendapat Tan Ciok-sing.

   "Lalu kau mau kemana?"

   Tanya In-hujin.

   "Kupikir hendak mencari Kim-to Cecu."

   "Kau mau mencari Kim to Cecu? Apa kau kenal dia?"

   "Ada seorang teman yang kenal dia. Dia berpesan padaku, jikalau tidak berhasil menemukan puterimu, boleh aku pergi ke markas Kim-to Cecu untuk berteduh disana sementara waktu. Kemungkinan Kim-to Cecu bisa membantu untuk mencari tahu jejak putrimu."

   "Siapakah temanmu itu?"

   Tanya In-hujin melenggong.

   "Darimana dia tahu kalau kau datang ke Tay-tong hendak mencari putriku?"

   "Bukan aku memberitahu kepadanya, malah dia yang memberitahu kepadaku. Dia tahu aku bertujuan ke Tay-tong, maka dia tanya padaku apakah tahu kalau di Tay-tong ada orang In Tayhiap. Kukatakan aku tahu, tapi aku tidak ceritakan padanya bahwa aku pernah bertemu dengan ln Tayhiap. Maka dia lantas titip pesan itu untuk puterimu."

   In-hujin menjadi heran, pikirannya tergerak segera dia bertanya pula.

   "Apa dia teman anak San? Kau belum kasih tahu siapa she dan namanya?"

   "Dia bernama Toan Kiam-ping, seorang pangeran dari keluarga Toan di Tayli. Dalam perjalanan aku lewat Tayli, dalam suatu kesempatan yang kebetulan kami bertemu dan berkenalan."

   "Dia titip pesan apa padamu? Boleh beri tahu kepadaku?"

   "Sudah tentu boleh. Katanya keluarganya punya hubungan intim dengan keluarga In, maka dia pikir hendak mengundang puterimu ke rumahnya untuk mengungsi."

   In-hujin manggut-manggut, katanya.

   "Betul, keluarga Toan dan keluarga In memang sudah berhubungan intim sejak beberapa generasi. Tapi aku tidak setuju kalau anak San ngungsi ke rumah keluarga Toan."

   Karena dia tidak menjelaskan alasannya, meski Tan Cioksing merasa heran, tapi dia sungkan bertanya. Kata ln-hujin lebih lanjut.

   "Ketiga barang mustika ini, kupikir tetap harus kau simpan saja untuk sementara."

   "Mengapa?"

   "Berkat bantuan dan pertolonganmu sehingga untuk sementara penyakitku bisa sembuh. Tapi bibit penyakitnya bila tidak dilenyapkan, penyakit ini suatu ketika pasti akan kumat dan soal waktu belaka hidupku ini. Entah kapan anak San baru akan pulang, maka tidak berani aku menyimpan ketiga barang mustika. Maka sukalah kau titip simpan barang peninggalan ayahnya dan Ceng-bing-kiam ini, kelak bila ada kesempatan kau bertemu dengan dia, boleh kau serahkan padanya."

   "Pek-bo jangan banyak pikiran, aku yakin penyakitmu akan lekas sembuh."

   "Semoga seperti apa katamu, sebelum bertemu dengan anak San, matipun aku tidak akan bisa meram. Kapan kau akan berangkat, aku tidak ingin membikin repot kau lagi."

   "Syukurlah bahwa Pek-bo bisa mempercayai diriku, aku amat berterima kasih. Kuharap Pek-bo membuang segala pikiran yang merisaukan hati, rawatlah penyakit ini dengan sabar dan tekun. Setelah Pek-bo sembuh betul, baru aku berangkat juga belum terlambat."

   Sudah tentu In-hujin amat terharu, terima kasih dan menyesal pula, katanya.

   "Kau memang pemuda yang bajik, jujur dan tulus, hampir saja aku menuduh dan memfitnahmu tanpa juntrungan."

   "Tidak boleh menyalahkan Pek-bo, adalah pantas kalau aku dicurigai. Aku membawa golok In Tayhiap, pandai main ilmu goloknya lagi. Sebelum bertemu dengan Pek-bo, di tengah jalan, akupun dicurigai orang sebagai pembunuh ln Tayhiap."

   "Siapakah dia?"

   Tanya ln-hujin.

   "Seorang pemuda sebaya dengan aku, anehnya, diapun pandai menggunakan ilmu golok keluarga In,"

   Lalu dia ceritakan pengalaman dua hari yang lalu, dimana dia bertemu dengan pemuda yang hendak ditolongnya oleh serbuan pasukan kuda Watsu, akhirnya dirinya malah yang dilabrak.

   Mendengar ceritanya In-hujin malah terbeliak senang, namun sikapnya tetap biasa.

   "Untuk ini aku ingin tanya kepada Hujin, adakah In Tayhiap menerima seorang murid?"

   Merah muka In-hujin, katanya kikuk.

   "Sudah sekian tahun aku berpisah dengan dia, kejadian belakangan ini, aku tidak tahu jelas."

   "Baiklah kalau begitu. Sudilah kiranya Pek-bo memberitahu siapa orang yang memfitnah diriku itu?"

   "Adakah kau punya seorang teman she Liong?"

   Tan Ciok-sing keplok tangan, baru sekarang dia sadar, katanya.

   "O, kiranya Liong Seng-bu?"

   "Betul, memang Liong Seng-bu. Bagaimana kau bisa kenal dia?"

   Maka Tan Ciok-sing ceritakan bagaimana dia berkenalan dengan Liong Seng-bu, belakangan bagaimana mereka menempuh perjalanan dan akhirnya orang turun tangan keji atas dirinya karena hendak merebut barang-barang pusaka yang dibawanja.

   Lama In-hujin melongo akhirnya geleng-geleng, sungguh tak pernah terbayang dalam benaknya bahwa sang keponakan ternyata adakah pemuda yang culas dan tamak pula.

   Lalu katanya.

   "Jadi manusia harus bajik terhadap sesamanya, tapi kehidupan kaum persilatan memang penuh liku-liku. Maka selanjutnya kau harus selalu ingat, jangan kau mengemban keinginan hendak mencelakai orang, tapi embanlah kewaspadaan untuk menjaga keculasan hati orang lain atas dirimu?"

   "Ya, banyak terima kasih akan petuah Pek-bo."

   Ucap Tan Ciok-sing.

   "sejauh ini aku masih belum tahu orang macam apa sebenarnya Liong Seng-bu ini, dari sikap dan tutur katanya, kelihatannya dia seorang sekolahan yang sudah mendalam dalam pelajaran buku, namun tak terduga bahwa hatinya ternyata seburuk itu, bahwa dia memfitnah diriku di hadapan Pek-bo, tentunya Pek-bo mengenalnya dengan baik? Bolehkah Pek-bo memberitahu siapakah dia sebenarnya?"

   Tak urung merah pula wajah In-hujin, katanya samarsamar.

   "Dia seorang famili jauh, sifatnya memang bangor, biasanya aku tidak menyukainya. Mungkin dia mengincar golok dan buku pelajaran ilmu golok keluarga In itu, maka dia mencelakai kau."

   "Pek-bo,"

   Ujar Tan Ciok-sing.

   "waktu kau masuk kemari tadi, pernah kau perhatikan ke dua singa batu yang aneh letaknya itu?"

   Kata In-hujin.

   "Singa batu di sebelah kiri dibalik arahnya, sementara singa batu sebelah kanan ditinggali sebuah cap tangan, betul tidak?"

   "Betul, dari cap tangan di atas singa batu itu, ilmu silat orang itu memang teramat tinggi. Entah apakah dia musuh besar keluarga In?"

   Maklum Tan Ciok-sing sedang menguatirkan keselamatan In San yang belum pernah dilihatnya, di samping merasa heran juga akan sikap In-hujin.

   Kenapa setelah melihat keganjilan atas kedua singa batu itu, In-hujin agaknya tidak prihatin akan keselamatan putrinya? In-hujin berkata dengan senyum manis.

   "Aku tahu siapa orang yang sengaja main-main dengan singa batu itu, kau tidak usah kuatir, dia adalah seorang teman baik anak San. Pernah kau dengar nama Kim-to-thi-ciang Tam Pa-kun?"

   Tan Ciok-sing berjingkat, katanya.

   "O, kiranya Tam Tayhiap? Aku pernah melihatnya."

   "Dimana kau pernah melihatnya?"

   "Di malam In Tayhiap kena musibah itulah. Terlalu banyak persoalan yang kukatakan tadi, maka hal ini belum sempat kututurkan. Menurut cerita In Tayhiap, lantaran menepati janji undangan dengan Tam Pa-kun sejak tiga tahun yang lalu, maka dia datang ke Kwi-lin. Sebelumnya mereka sudah berjanji untuk bertemu di rumah It-cu-king-thian Lui Tin-gak. Sayang Tam Pa-kun terlambat datang tiga hari, waktu aku bertemu dengan dia, In Tayhiap sudah meninggal. Semula aku masih menaruh curiga, apakah dia sekongkol dengan Lui Tinggak dan Le Khong-thian untuk mencelakai In Tayhiap? Kalau tidak bagaimana mungkin Le Khong-thian bisa tahu kemana arah tujuan dan kepergian In Tayhiap? Mereka sudah mengatur tipu daya dan jebakan untuk mencelakai jiwanya secara keji."

   In-hujin geleng-geleng, katanya.

   "Tam Pa-kun adalah kenalan mati hidup In Hou, bagaimana martabatnya aku tahu jelas, betapa juga dia tidak akan berbuat jahat mencelakai In Hou. Tentang It-cu-king-thian Lui Tin-gak, memang sudah lama aku mendengar kebesaran namanya sebagai pendekar, tapi belum pernah bertemu. Tapi aku yakin dia pasti bukan biang keladi yang mencelakai In Hou."

   "Belakangan aku bertemu dengan Tam Pa-kun, aku juga tahu bahwa curigaku tidak berdasar dan kenyataan memang keliru. Waktu aku bertemu dengan dia, diapun sedang dikejar dan dilukai oleh kawanan penjahat yang mencelakai jiwa ln Tayhiap pula. Badannya terkena beberapa panah beracun, kedua matanya juga buta. Dia memberitahu padaku, katanya dia dijebak dan dicelakai musuh di tempat dimana seharusnya dia berjanji pertemuan dengan In Tayhiap."

   "Akhirnya bagaimana?"

   Tanya In-hujin tegang.

   "Ternyata It-cu-king-thian Lui Tin-gak ada di antara kawanan penjahat itu, langkah mereka semakin dekat, tapi seperti juga keadaan Pek-bo sekarang, Tam Tayhiap yakin Lui Tin-gak tidak akan mencelakai dirinya, dia suruh aku lekas melarikan diri, katanya bukan dia kuatir It-cu-king-thian akan mencelakai jiwaku, tapi dia kuatir aku terluka oleh anak buah musuh dalam keributan nanti, jelas dia tak mungkin melindungi aku. Bekal kepandaianku pada tiga tahun yang lalu memang berbeda jauh sekali, bukan saja tidak akan mampu menolong Tam Tayhiap, mungkin bisa merupakan beban dirinya untuk melindungi aku malah. Apa boleh buat, terpaksa aku lari secara diam-diam. Bagaimana akhir kejadian selanjutnya, aku tidak tahu."

   "Aku cukup kenal ilmu pukulan besi yang diyakinkan Tam Pa-kun. Dari tanda tangan yang ada di atas singa batu itu, jelas adalah peninggalannya. Kejadian selanjutnya tidak kau saksikan, tapi aku bisa membayangkannya. Aku yakin pasti Itcu- king-thian berbalik muka kerja sama dengan dia menyikat habis kawanan penjahat itu, malah luka-luka di tubuh Tam Tayhiap pun berhasil dia sembuhkan."

   Tan Ciok-sing berdiri termangu mendengar analisa In-hujin.

   "Kau sedang pikir apa?"

   Tanya In-hujin.

   "Aku memikirkan dua persoalan. Pertama untuk apa Tam Pa-kun meninggalkan telapak tangan di atas singa batu itu? Sebagai seorang pendekar yang kenamaan, tentunya dia tidak melakukan sesuatu tanpa sengaja?"

   "Memang Tam Pa-kun seorang yang tidak suka berkelakar, bahwa dia berbuat demikian pasti ada sebab dan alasannya, tapi untuk apa sebenarnya, aku juga sukar menebak."

   "Kedua siapa yang membocorkan rahasia pertemuan In Tayhiap dengan Tam Pa-kun di Kwi-lin? Yang tahu rahasia ini hanya tiga orang In Tayhiap, Tam Pa-kun dan Lu Tin-gak, kini sudah jelas bukan Tam Pa-kun, jadi kalau bukan Lui Tin-gak pula, lalu siapa?"

   
Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Pucat muka In-hujin, suaranya serak gemetar.

   "Aku berani tanggung juga bukan Lui Tin-gak, tapi kita tidak usah main teka teki sendiri, perkara ini suatu ketika pasti akan jelas duduk persoalannya, aku yakin akan datang suatu hari aku pasti dapat membekuk orang yang mencelakai dan membocorkan rahasia itu,"

   Waktu mengatakan isi hatinya ini, sanubarinya seperti ditusuk sembilu sakitnya.

   Bahwasanya dia sudah tahu siapa orang yang membocorkan rahasia itu, malah rahasia ini bocor lantaran keteledoran dirinya pula sehingga dicuri dengar oleh orang ini.

   Jadi kalau diusut secara kenyataan, secara tidak langsung diapun termasuk orang yang membocorkan rahasia ini.

   Melihat keganjilan air muka In-hujin, Tan Ciok-sing kira orang terlalu banyak bicara, sehingga kehabisan tenaga, katanya.

   "Pek bo, kau beristirahat saja. Marilah kuhibur dengan petikan sebuah lagu lagi."

   Pandangan In-hujin tertuju keluar jendela, seperti sedang memikirkan apa-apa, hakikatnya seperti memperhatikan apa yang diucapkan Tan Ciok-sing.

   Keruan Tan Ciok-sing kaget, dia kira penyakit orang kumat lagi, baru saja dia maju hendak tanya, tiba-tiba In-hujin menoleh sambil menegakkan jari telunjuknya di depan bibirnya, memberi syarat supaya dia tidak bersuara.

   Lalu dia berbisik.

   "Ada orang datang, lekas kau sembunyi, aku bisa menghadapinya."

   Tan Ciok-sing tidak tahu siapa yang datang, memang dia merasa rikuh berada di kamar perempuan, tapi waktu mendesak begini membuatnya bingung, keluar tidak mungkin, lalu dimana dia harus menyembunyikan diri.

   Lekas In-hujin menuding almari pakaian, tanpa banyak pikir Tan Ciok-sing menyelinap masuk kedalam almari, baru saja dia merapatkan almari, betul juga didengarnya suara lapat- Iapat datangnya langkah kaki yang semakin dekat, kini menaiki undakan mendorong pintu besar terus masuk kedalam rumah.

   Dari langkah kaki yang terdengar bisa di duga yang datang ada tiga orang.

   Kaget dan malu hati Tan Cioksing, pikirnya.

   "Dalam keadaan sakit tapi pendengaran In-hujin masih setajam ini, dibandingkan dia ternyata aku masih kalah jauh."

   Begitu memasuki rumah, ketiga orang itu bicara sambil bisik-bisik terus maju memeriksa dan menggeledah tempattempat yang mereka lalui. Dengan cermat Tan Ciok-sing pasang kuping, tiba-tiba didengarnya sebuah suara yang sudah amat dikenalnya.

   "Entah Kim-to-thi-ciang itu sudah pergi atau belum."

   Tan Ciok-sing kaget, tapi lantas naik pitam, orang yang bicara ternyata bukan lain adalah Liong Seng-bu. Demikian pula In-hujin, dia ke tambahan jengkel dan benci. Diapun sudah mendengar suara percakapan Liong Seng-bu diluar pintu, maka dia membatin.

   "Agaknya Hou-ko di alam baka memang memberi kesempatan padaku untuk menuntut balas, entah bagaimana bocah keparat ini diantar kemari untuk mengantar kematian. Hm, hm, memang aku hendak membuat perhitungan kebetulan dia kemari."

   Lalu terdengar seorang bersuara agak serak tua.

   "Hari itu dia sengaja pamer kepandaian, dikira kita lari kena gertakannya, kini kuyakin dia takkan mengira kita bakal kemari lagi. Lalu untuk apa dia berjaga-jaga pula disini?"

   Orang ketiga ikut menimbrung.

   "Tam Pa-kun hanya bernama kosong, kalau ada kesempatan ingin aku menjajal Kim-to-thi-ciangnya itu."

   "Hari itu hanya ada aku bersama, Ciok-tuthau, sudah jamak kalau kami gentar menghadapinya. Kini bila kalian bergabung mengeroyok dia, jelas tak usah takut padanya."

   Mendengar sampai disini, diam-diam In-hujin dan Tan Cioksing tahu duduknya perkara.

   Kiranya untuk menakut-nakuti kawanan penjahat ini masuk ke rumah keluarga In, maka sengaja Tam Pa-kun meninggalkan bekas telapak tangan itu di atas singa batu, itu berarti dia melindungi keselamatan In San pula.

   Mendadak Tan Ciok-sing mengingat sesuatu, didalam almari jari-jarinya menjentik beberapa kali.

   Lekas In-hujin dekatkan telinganya di samping almari, didengarnya suara Tan Ciok-sing selembut nyamuk, mengatakan tentang "harpa antik"-nya yang terletak di atas meja.

   Maklum Liong Seng-bu pernah melihat harpa antik milik Tan Ciok-sing ini, dia kuatir orang mengenalinya, maka dia memberi ingat kepada In-hujin.

   Pada hal langkah ketiga orang diluar sudah berada di pekarangan dalam, tak mungkin mereka banyak bicara lagi.

   In-hujin juga tersentak sadar, pikirnya.

   "Harpa ini memang cukup antik, mungkin dia kuatir Liong Seng-bu merusaknya nanti bila bergebrak disini. Sebetulnya hal ini tidak perlu dibuat kuatir,"

   Dia yakin semudah membalik telapak tangan untuk membekuk Liong Seng-bu tapi karena Tan Ciok-sing berkuatir, hati-hati sedikit memang juga baik, maka dengan gerakan terburu-buru sekenanya dia menarik secarik kain sutra merah terus dilampirkan di atas harpa antik itu.

   Sementara ketiga orang itupun sudah dekat dan sedang menuju ke kamar In San ini.

   Rebah di pembaringan, napas In-hujin sengaja dibuat berat dan tersengal.

   Kaget dan senang Liong-bu yang berada diluar pintu, serunya.

   "Siapa didalam?"

   In-hujin juga berpura-pura senang dan kaget, katanya dengan napas memburu.

   "Apakah Seng-bu diluar? Dengan siapa kau kemari?"

   Liong Seng-bu amat kecewa, katanya dengan laku hormat.

   "Betul, memang aku. Bibi, apakah penyakitmu sudah sembuh. Kenapa tidak kau rawat penyakitmu di rumah..."

   Ternyata dia kira yang ada didalam kamar adalah In San. Mendengar suara In-hujin, kedua orang diluar itu juga merasa diluar dugaan, lekas mereka berdiri tegak diluar, katanya.

   "Lapor Hujin, hamba Ciok Khong-goan dan Sa Thong-hay atas perintah Te-tok datang kemari untuk menjemput Siocia pulang ke kota raja. Tidak tahu bila Hujin ada disini, harap dimaafkan,"

   Kedua orang ini adalah dua perwira dari anak buah suaminya J^iong Bun-kong yang berkepandaian paling tinggi. Dalam hati In-hujin berpikir.

   "Jikalau aku tidak sakit, bukan soal aku menghadapi mereka. Tapi buat apa aku merendahkan derajat bergebrak dengan mereka?"

   Maka dia berkata.

   "Bu-ji, kau masuklah, Ciok-tuthau dan Sa-jongiing boleh tunggu diluar saja, jangan biarkan orang lain masuk kemari."

   Kedua orang itu mengiakan sambil munduk-munduk.

   Pelan-pelan Liong Seng-bu mendorong daun pintu, dilihatnya In-hujin sedang rebah di atas ranjang, mukanya pucat bagai kertas, napasnya yang menderu terdengar berat, agaknya penyakitnya kumat dan bertambah berat.

   Maka legalah hatinya, katanya.

   "Bibi, kenapa kau begini menyiksa diri? Bukankah bibi sudah kukasih tahu, paman sudah mempersiapkan segalanya untuk menjemput adik San pulang, kenapa bibi harus kemari sendiri?"

   Tan Ciok-sing yang sembunyi didalam almari menjadi keheranan.

   "Bagaimana mungkin Liong Sengbu ternyata adalah keponakan In-hujin? Memangnya siapa pula Te-tok Tayjin itu?"

   Dia yakin dalam hal ini pasti ada latar belakang yang cukup ruwet, terpaksa dia menahan napas mendengarkan lebih lanjut. In-hujin menghela napas, katanya.

   "Aku tahu pamanmu pasti mengutus orang membawanya pulang. Tapi dia adalah putri kandungku, sudah tentu aku amat prihatin akan dirinya. Situasi di Tay-tong amat genting lagi, terpaksa aku nekad datang kemari. Tak nyana setiba disini, San-ji tidak kuketemukan, penyakitku malah kumat lagi."

   Liong Seng-bu amat kecewa, katanya.

   "Untung bahaya sudah berselang disini, tak lama lagi adik San mungkin pulang, bagaimana keadaan bibi sekarang, perlukah kupanggil tabib untuk memeriksa?"

   In-hujin pura-pura payah, duduk bersandar di pinggir ranjang, tangannya menggapai ke arah Liong Seng-bu, katanya terputus-putus.

   "Penyakitku ini mungkin, mungkin tak bisa sembuh lagi. Kau, kemarilah kau, aku... aku hendak bicara dengan kau."

   Liong Seng-bu mengiyakan sambil menghampiri, tiba-tiba matanya melirik ke arah toilet, dilihatnya sebuah harpa kuno yang ditutupi selembar kain merah sutra, harpa kuno itu sendiri tidak dia lihat tapi dari bentuknya dia bisa memperkirakan barang apakah-di bawah kain merah sutra itu, jelas bukan perabot yang biasa dibuat dandan anak gadis, sekilas timbul rasa curiganya, tiba-tiba dia ulur tangan menyingkap kain sutra merah itu, segera dia mengenali harpa kuno milik Tan Ciok-sing itu.

   Tahu gelagat jelek tapi Liong Seng-bu masih mampu menenangkan hati, katanya.

   "Kiranya juga bibi suka main harpa? Selama ini belum pernah aku tahu."

   "Aku kesepian dalam menunggu sembuhnya penyakit ini, kadang-kadang timbul rasa isengku maka kugunakan harpa ini untuk menghibur hati."

   Pandangan Liong Seng-bu menjelajah seluruh isi kamar, dirasakan tiada mungkin orang sembunyi di kamar ini, pikirnya.

   "Kalau Tan Ciok-sing tidak pernah kemari, bagaimana mungkin harpa miliknya berada disini? Entah dia sudah pergi? Lebih baik aku berhati-hati."

   Lalu dia mundur beberapa langkah, katanya.

   "Ada sesuatu yang lupa kuberi tahu kepada mereka, segera aku kembali."

   Melihat sikap orang yang agak ganjil sudah tentu In-hujin tidak membiarkan pergi, katanya.

   "Baiklah, lekas kau kembali,"

   Menanti orang sudah putar tubuh dan berjalan hampir mendekati pintu, mendadak dengan tenaga sikut menahan ranjang, In-hujin mencelat bangun dan meluncur terapung, seperti burung elang menyambar kelinci, sekali tangan terulur dia cengkram tulang pundak Liong Seng-bu.

   Karuan Liong Seng-bu menjerit kesakitan, teriaknya.

   "Bibi, kau."

   "Jangan bersuara,"

   Desis In-hujin di pinggir telinganya.

   "berani kau berteriak, segera kucabut nyawamu."

   Sengaja In-hujin juga mengeluh sekali, lalu katanya.

   "Papah aku berdiri, jangan takut, aku hanya kebentur sedikit, tidak apa-apa,"

   Kata-katanya yang terakhir dia tujukan kepada dua orang yang berjaga diluar.

   Sesaat lagi In-hujin pasang kuping, didengarnya kedua orang itu tidak putar balik, maka legalah hatinya.

   Segera dia tekan urat nadi Liong Seng-bu, lalu menyeretnya mendekat ke ranjang.

   "Bibi,"

   Kata Liong Seng-bu suaranya lirih lembut.

   "keponakan tidak pernah berbuat salah terhadapmu..."

   "Ada urusan yang ingin kutanya kepadamu, kau harus menjawab terus terang."

   "Masak keponakan berani menipu bibi?"

   "Perkataanmu ini justru telah menipuku. Perjanjian In Hou dengan Tam Pa-kun di Kwi-lin bukankah kau yang membocorkan kepada pamanmu, lalu mengatur tipu daya menjebak mereka serta mencelakai jiwa mereka pula?"

   Liong Seng-bu berjingkat kaget, serunya.

   "Bibi, kau, apa katamu? Hakikatnya aku tidak tahu menahu soal itu."

   "Hari itu kau mencuri dengar pembicaraan kami, kau kira aku tidak tahu? Tapi waktu itu aku masih belum ada keputusan untuk meninggalkan keluarga Liong, tak pernah kuduga pula bahwa kau akan berbuat sejahat ini, maka aku diam saja tidak bertindak padamu. Aku paling benci bila ditipu orang, jikalau kau mau berterus terang, mungkin aku bisa mengampuni jiwamu."

   Terbetik setitik harapan, kata Liong Seng-bu.

   "Harap bibi maklum, bukan keponakan berani ngapusi kau, semua ini adalah putusan dan perintah paman sendiri."

   "Baik, teruskan,"

   Desak In-hujin menahan amarah.

   "kau, kenapa kau mencelakai In Hou? Kenapa pula kau memfitnah Tan Ciok-sing?"

   "Bibi, bukan aku yang mencelakai In Tayhiap, paman yang punya maksud jahat ini. Ai, yang benar paman juga bermaksud baik terhadapmu. Sebagai Te-tok Hujin. kalau bibi masih ada hubungan dengan In Hou..."

   Merah padam muka In-hujin, dampratnya melotot.

   "Aku tidak pingin mendengar obrolannya, lebih penting kau bicara secara jujur."

   Tan Ciok-sing yang mendengarkan sampai disini di tempatnya"

   Sembunyinya berpikir.

   "Jadi In-hujin sudah nikah lagi, jadi sekarang dia adalah nyonya besar. Coba saja dia masih kemaruk kehidupan serba berkecukupan atau membela dan membalas kematian In Hou."

   "Keponakan sejak kecil memperoleh banyak kebaikan paman, mana berani aku main sembunyi, apa yang kudengar semuanya sudah kulaporkan padanya, tapi aku tidak mengira bila paman bisa bertindak sejauh itu untuk mencelakai In Tayhiap."

   "Tidak perlu kau membela diri, aku tidak sabar lagi mendengar obrolanmu."

   "Ya, baiklah kuperpendek saja. Setelah paman tahu akan hal ini, segera dia mengutus orang memberitahu kepada Hekciok- ceng Cengcu le Cun-hong."

   "Ie Cun-hong yang bergelar si Raja Golok itu? Ada sangkut paut apa dia dengan pamanmu?"

   "Sudah lama dia ingin bekerja demi kepentingan kerajaan, maka sering dia berhubungan dengan paman, tapi bibi sendiri tidak pernah tahu. Paman menugaskan Ie Cun-hong mengatur rencana untuk mencelakai jiwa In Tayhiap. Tapi Ie Cun-hong di samping licik dan culas ternyata dia cukup licin pula, dalam melaksanakan tugasnya sendiri tidak mengunjuk diri.

   "Kebetulan waktu itu datang seorang tokoh yang berkepandaian tinggi bernama Le Khong-thian, konon tokoh liehay ini ada bermusuhan dengan In Tayhiap, maka Ie Cunhong lalu mengatur muslihat serta mengundang seorang temannya yang lain bernama Siang Po-san untuk membantu Le Khong-thian, di samping itu masih ada pula orang-orang Tok-liong-pang semuanya meluruk ke Kwi-Iin disana mereka melaksanakan rencana jahat itu. Semua ini baru kudengar laporan le Cun-hong kepada paman setelah peristiwa itu berselang satu bulan. Bagaimana mereka turun tangan, secara terperinci aku tidak bisa menjelaskan."

   In-hujin teringat suatu hal, tanyanya.

   "It-cu-king-thian tidak sekongkol dengan kalian?"

   Liong Seng-bu melengak, pikirnya.

   "Eh kenapa perempuan busuk ini menaruh curiga terhadap It-cu-king-thian malah, atau sengaja hendak mengorek keteranganku? Berapa banyak yang dia ketahui?"

   "Ada atau tidak, kenapa tidak bicara?"

   In-hujin mendesaknya pula. Pada hal Tan Ciok-sing sedang pasang kuping mendengarkan, tanpa terasa dia menghela napas enteng. Betapa licik dan cerdik Liong Seng-bu mendengar suara helaan napas ini, otaknya yang encer segera berputar, pikirnya.

   "Bocah itu pasti sembunyi dalam kamar ini, meski aku tidak tahu dimana dia sembunyi. Pasti dia pula yang memberi tahu kejadian yang mengakibatkan kematian In Hou. Betapa liehay dan sempurna rencana yang diatur paman dengan Ie dan Le bertiga, tidak heran kalau bocah ini sampai menaruh curiga terhadap It-cu-king-thian, pertanyaan perempuan busuk ini menitik beratkan ke persoalan ini, pasti bocah itulah yang ingin tahu. Baiklah, kutipu mereka pula dengan melimpahkan kesalahan kepada orang,"

   Sengaja dia ragu-ragu dan plegak pleguk, katanya.

   "Bibi, maksudmu...!"

   "It-cu-king-thian Lui Tin-gak, katamu suka bergaul dengan kaum persilatan, memangnya kau tidak pernah mendengar nama besarnya?"

   Liong Seng-bu pura-pura teringat, katanya.

   "Oh, ya, teringat aku sekarang. It-cu-king-thian Lui Tin-gak memang ikut merencanakan muslihat itu, malah dialah yang menjadi biang keladinya."

   "Siapa yang memberitahu kau akan hal ini?"

   "Secara kebetulan kudengar pembicaraan paman dengan utusan Ie-cengcu."

   "Apa yang mereka bicarakan?"

   "Paman berpesan pada orang itu bahwa It-cu-king-thian Lui Tin-gak adalah orang kita sendiri. Supaya mereka tidak usah takut dan jeri padanya, setiba di Kwi-lin boleh berunding dengan dia. Kudengar orang itu berkata.

   "Kalau demikian, In Hou janji bertemu dengan Tam Pa-kun di rumah Lui Tin-gak, bukankah berarti mereka masuk jaring sendiri?"

   "Apa betul kau mendengar mereka bicara demikian? Aku tidak percaya bahwa It-cu-king-thian sehaluan dengan kalian." '"Kalau bibi tidak percaya aku tak bisa berbuat apa-apa. Tapi memang waktu itu aku dengar bicara demikian."

   "Dan akhirnya bagaimana?"

   Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Kebetulan aku lewat dan mendengar pembicaraan ini, tak berani aku mencuri dengar lama-lama diluar kamar, bagaimana akhir pembicaraan mereka, aku tidak tahu."

   "In Tayhiap sudah jadi korban, kalian masih belum puas, kenapa bocah she Tan itu juga kalian kejar?"

   "Karena hanya dia saja yang tahu akan kematian In Tayhiap, golok dan buku pelajaran ilmu golok milik In Tayhiap berada di tangannya. Aku ingin rebut kembali barang-barang itu dan serahkan kepada adik San."

   "Jadi kau ini agaknya berbudi dan baik hati terhadap kami ibu dan anak?"

   "Bibi, jangan salah paham bila keponakan bicara terus terang. Tindakan paman kali ini memang agak kejam, tapi kenyataan adalah demi kepentingan. Paman sekarang adalah Kiu-bun-te-tok, tak lama lagi bakal naik pangkat, sebagai isterinya kedudukanmu akan ikut naik setingkat pula. Bahwa paman menyingkirkan In Hou, adalah mengharap kau bisa hidup tenang dan tenteram didalam keluarga Liong kita sampai hari tua."

   Hampir meledak dada In-hujin, dampratnya dengan kertak gigi.

   "Binatang, kalian paman dan keponakan memang hewan. Aku telah salah melangkah, menyesal juga sudah terlambat, meski jiwaku harus melayang, sakit hati ini harus kutuntut pada dirimu,"

   Tiga jari tangan kanan menekan urat nadi, sementara telapak tangan kiri pelan terangkat hendak menepuk batok kepala orang.

   Keruan serasa terbang arwah Liong Seng-bu, ingin dia minta tolong, tapi dia insaf bila berteriak mungkin jiwanya mati lebih cepat.

   Pada saat kepepet ini tiba-tiba timbul akalnya, serunya.

   "Bibi, tidak jadi soal aku mati, kuatirnya adik San..."

   Telapak tangan In-hujin tinggal satu dim di atas kepalanya, mendengar kata-katanya segera dia berhenti, tanyanya.

   "Anak San sudah tidak berada di Tay-tong, memangnya kalian bisa berbuat apa atas dirinya?"

   "Terus terang, paman mengutus beberapa kelompok orang kemari. Dua hari yang lalu adik San menyamar laki-laki keluar dari Tay-tong, orang kita sudah mengikuti jejaknya, untuk membuktikan laporan ini, maka bersama Ciok dan San kedua anak buah paman aku kemari memeriksa. Bibi, kau boleh membunuhku, kau sendiripun tak akan bisa lolos. Adik San ketangkap orang kita, paman pasti akan membunuhnya juga untuk menuntut balas sakit hatiku. Bibi, kau masih bisa berpikir secara sehat, kau harus memikirkan untung ruginya. Kalau bibi tidak ingin pulang ke damping paman, boleh kau lari ke tempat yang jauh, meski paman marah takkan bisa berbuat apa-apa."

   In-hujin menjadi ragu dan merandek setelah mendengar bujukan Liong Seng-bu.

   Urat nadi Liong Seng-bu sebetulnya tertekan oleh tiga jari In-hujin, tiba-tiba dirasakan olehnya jari-jari itu rada gemetar, tenaga tekanan juga rada mengendor, ini menandakan bahwa hatinya terguncang.

   Pada detik menentukan mati hidup ini, tiba-tiba timbul setitik harapan, sudah tentu Liong Seng-bu tidak sia-siakan kesempatan ini! Segera dia merendahkan pundak sambil meronta sekuatnya sehinga terlepas dari cengkraman In-hujin, malah dua jarinya balas menutuk.

   Memang In-hujin sedikit teledor sehingga berbalik kena kecundang.

   Dulu, dia pernah mengajar Kungfu kepada Liong Seng-bu, dikiranya kepandaian Liong Seng-bu yang terbatas ini, pasti takkan lolos dari tangannya.

   Diluar tahunya bahwa sejak tiga tahun yang lalu Liong Seng-bu pernah merebut beberapa lembar tulisan pelajaran Bu-bing-kiam-hoat karya Thio Tan-hong dari tangan Tan Ciok-sing.

   Walau yang diperolehnya tidak lengkap, tapi berdasar kecerdikannya sendiri selama tiga tahun ini dia pelajari dengan tekun, di kota raja dia sering ajak adu kepandaian dengan jago-jago silat pamannya, maka kepandaiannya sekarang sudah jauh lebih tinggi.

   Tapi dihadapan In-hujin dia berpura-pura rendah.

   Perasaan In-hujin sedang tergoncang, tak terpikir olehnya bahwa sang tawanan bakal berontak, karena tidak siaga tahu

   

   Tiraikasih Website
http.//kangzusi.com

   tahu jalan darah di dadanya kena ditonjok sekali, seketika dia rasakan badannya kesemutan.

   "Kunyuk kurang ajar,"

   Hardik In-hujin, sekaligus telapak tangannya terbalik, telapak tangannya mengiris keluar dengan sisa tenaganya, maka terdengar suara "Brak"

   Yang cukup keras, Liong Seng-bu kena digetar sungsang sumbel oleh tenaga pukulan ini, badannya menumbuk daun pintu.

   "Biang"

   Tahu-tahu daun pintu ditendang terpentang dari luar.

   Baru saja Liong Seng-bu hendak berteriak minta tolong, kedua perwira yang datang bersamanya itu sudah menerjang masuk.

   Ternyata kedua orang ini hanya mengiakan saja atas perintah In-hujin, sengaja dengan langkah berat berjalan pergi lalu ngeluyur balik dengan langkah ringan, serta mendekam diluar pintu mencuri dengar pembicaraan didalam kamar, mereka maklum jiwa Liong Seng-bu berada digenggaman Inhujin, maka tak berani mereka bertindak gegabah, baru sekarang tanpa pikirkan akibatnya mereka menerjang masuk.

   Meski dalam keadaan sakit, betapapun kepandaian dan lwekang In-hujin masih lebih tinggi dibanding Liong Seng-bu, cukup dia memutar tiga kali hawa murni dalam tubuh, hiat-to yang tertutuk sudah lancar kembali.

   Namun karena ini dia cukup memeras tenaga, meski hiat-to yang tertutuk sudah bebas, tapi badan bagian bawah masih dalam keadaan lumpuh.

   Sambil memapah Liong Seng-bu, Ciok Khong-goan berkata.

   "Kongcu tidak apa-apa?"

   "Tidak apa-apa,"

   Seru Liong Seng-bu sengit.

   "lekas kalian bekuk perempuan busuk itu."

   "Kurang ajar, siapa suruh kalian masuk, lekas enyah dari sini,"

   Bentak In-hujin. Tawar suara Sa Thong-hay.

   "Hujin sedang sakit, jangan mengumbar amarah. Harap Hujin ikut kami berangkat ke kota raja saja."

   "Siapa Hujin kalian itu?"

   Damprat In-hujin.

   "pulanglah kalian dan beritahu kepada Liong Bun-kong, aku tidak akan kembali pula ke rumah keluarga Liong."

   Sa Thong-hay menyeringai, katanya.

   "Kalau kau tidak sudi jadi Liong-hujin, maka jangan kau salahkan kalau kami bertindak kepadamu,"

   Sembari bicara kakinya melangkah maju mendekat di pinggir ranjang In-hujin. Tiba-tiba Liong Seng bu teringat, teriaknya.

   "Awas, dalam kamar ini ada sembunyi seorang lagi."

   Belum habis dia bicara Tan Ciok-sing tendang almari terus melompat keluar.

   Sa Thong-hay sedang mengulur tangan hendak mencengkeram In-hujin, tiba tiba dia rasakan angin kencang menyerang dari belakang, ternyata Tan Ciok-sing menyerang dengan sejurus tusukan pedang.

   Memang tidak malu Sa Thong-hay memiliki kepandaian tinggi, dalam keadaan genting ini dia masih sempat membalik tangan menangkap ke belakang, ternyata dengan balas menyerang dia lawan serangan musuh, dengan tangan kosong dia hendak merebut pedang pusaka Tan Ciok-sing.

   Jurus Kimna- jiu ini mencengkeram ke urat nadi di pergelangan tangan Tan Ciok-sing, untung Bu-bing-kiam-hoat yang diyakinkan Tan Ciok-sing memang khusus untuk menghadapi serangan secara mendadak serta dapat bergerak mengikuti perubahan yang dihadapinya, segera langkah menggeser berganti posisi, ujung pedangnya melingkar menggaris sebuah bundaran kecil memapas pergelangan tangan lawan yaug terjulur tadi.

   Cengkeraman luput Sa Thong-hay sekaligus turunkan telapak tangan kiri terus membelah ke sikut Tan Ciok-sing.

   Dengan jurus jun-hun-ka-jan, cahaya pedangnya berderai melebar dengan getaran yang menyilaukan, sehingga Sa Thong-hay kena didesaknya mundur dua langkah.

   Betapapun didalam kamar menghambat gerak-gerik, sukar untuk mengembangkan kepandaian sejati, sebagai jago Taylik- ing-jiau-kang, dengan tangan kosong tak mungkin Sa Thong-hay kuat melawan pedang pusaka Tan Ciok-sing.

   Lekas Ciok Khong-goan menubruk maju sambil mencabut golok.

   Golok Tan Ciok-sing bergerak enteng dan lincah, jurus hianniau- hoat-sa yang kelihatan sepele ini tiba-tiba dilancarkan menyerang Sa Thong-hay, tapi sasaran yang diincarnya justeru Ciok Khong-goan yang menyerang tiba.

   Di tengah deru pukulan telapak tangan dan samberan kilat pedang, tampak Tan Ciok-sing bergerak setangkas kera, badan bergerak mengikuti laju pedang, secara mendadak pedangnya menusuk ke dada Ciok Khong-goan dari arah dan posisi yang tak terpikir oleh lawan.

   Ciok Khong-goan juga termasuk jago dalam memainkan golok cepat, tapi ilmu pedang Tan Ciok-sing jelas lebih rumit dan liehay sukar dijajaki, bahwa kagetnya secara reflek dia tarik goloknya menangkis "Trang"

   Tahu-tahu ujung kepala goloknya terpapas kutung oleh Ceng-bing-kiam.

   Sebagai ahli silat Sa dan Ciok cukup tahu bergebrak didalam kamar bahayanya berlipat ganda bagi pihak mereka, apalagi lawan memakai senjata pusaka, umpama mereka tidak sampai kalah, akhirnya mungkin bisa gugur bersama.

   Adalah logis bila dua jagoan yang sedang bertempur memikirkan juga jalan mundur keselamatan dirinya sesuai situasi yang ada.

   Maka tanpa berjanji kedua orang ini berlari keluar dari kamar tidur In San, teriaknya.

   "Bangsat cilik, kalau berani hayo keluar."

   Lega hati Tan Ciok-sing, katanya.

   "Pek-bo, kau?"

   "Aku tidak apa-apa. Lekas libat mereka supaya tidak melarikan diri,"

   In-hujin yakin dalam jangka setengah jam dia sudah cukup waktu untuk melancarkan seluruh jalan darahnya, bila kedua kaki sudah leluasa bergerak, maka dia bisa membantu Tan Ciok-sing melabrak musuh-musuh itu. Terdengar Liong Seng-bu menjengek diluar.

   "Perempuan busuk, anakmu sudah sebesar itu, ternyata masih juga kau tidak malu main pat-gulipat disini, sungguh tidak tahu malu."

   Saking gusar In-hujin sampai memuntah sekumur darah, bentaknya.

   "Bunuhlah anjing keparat itu. Sungguh aku menyesal kenapa tadi tidak kucabut jiwanya."

   "Memangnya, kalau mampu hayo keluar dan bunuh kami bertiga,"

   Ejek Sa Thong-hay.

   "kalau kau tidak keluar, biar kukubur kalian sepasang laki-laki perempuan anjing ini hiduphidup."

   "Wut"

   Dengan kepalannya tiba-tiba dia menggempur ke dinding.

   Yang diyakinkan adalah Tay-Iik-ing-jiau-kang, betapa dahsyat tenaga pukulannya, seketika dinding jebol dan runtuh berhamburan, dua batu bata mencelat kesana hampir saja menjatuhi harpa yang berada di atas toilet.

   Tan Ciok-sing gusar, harpa itu segera dia buntal dan digendong, katanya.

   "Pek-bo, aturlah pernapasan dan kerahkan hawa murni tak usah pecah perhatian atas diriku. Kedua cakar alap-alap ini aku mampu menghadapi mereka,"

   Tiba-tiba dia gerakkan tangannya, dengan jurus Me-can-pathong seluruh tubuh terbungkus dalam libatan cahaya pedang terus menerjang keluar pintu. Liong Seng-bu berjingkat kaget serta putar badan menyingkir ke tempat jauh.

   "Biar bocah keparat ini tahu keliehayanku,"

   Bentak Sa Thong-hay, kini dia sudah memegang sebatang kipas lempit yang terbuat dari besi baja.

   Dengan jurus Bek-hong-koan-jit pedang Tan Ciok-sing menusuk lambung musuh.

   Dengan kipas lempitnya Sa Thong-hay menangkis serta menuntunnya keluar, secara pas-pasan dia geser tenaga serangan pedang Tan Ciok-sing ke samping sehingga pedang Tan Ciok-sing tersampuk minggir.

   Inilah tenaga lunak untuk mengalahkan kekerasan yang meminjam tenaga untuk memunahkan tenaga.

   Umumnya orang yang meyakinkan Tay-lik-ing-jiau-kang jarang yang memiliki landasan latihan lwekang.

   Tan Ciok-sing tidak menduga bahwa lawan yang satu ini ternyata mahir lwekang, hampir saja dia kena kecundang, untung Bu-bing-kiam-hoat yang diyakinkan itu khusus memang untuk melayani segala perubahan mengikuti situasi yang ada, maka meneruskan laju pedangnya tiba-tiba pedang panjang tadi melingkar sekali memunahkan daya lengket dari kipas lawan begitu berubah permainan pedangnya dari jurus Pek-hong-koan-jit dia rubah menjadi Kiau-hu-bun-Io (pencari kayu tanya jalan), pedang menyapu bagian bawah Sa Thong-hay.

   Kipas Sa Thong-hay ditarik melempit terus ditekan turun.

   "Trang"

   Pedang dan kipas beradu menimbulkan percikan lelatu api.

   Dalam jurus bentrokan ini walau Sa Thong-hay tidak mampu mengeser pedang lawan, namun tenaganya sudah terpunahkan sebagian besar, sehingga Tan Ciok-sing tidak mampu menusuk lobang kipas besi orang.

   Melihat kawan tidak kuasa mengalahkan lawan cilik ini, sudah tentu Ciok Khong-goan tidak tinggal diam, sambil menghardik sekali di bawah permainan goloknya dia selingi pukulan tangan Tan Ciok-sing dirangsaknya dengan sengit.

   Menghadapi dua musuh dari dua jurusan sedikitpun Tan Cioksing tidak merasa jeri pedang ditarikan turun naik dengan gerak kecepatan luar biasa memainkan jurus-jurus pedang ciptaan gurunya lagi, dengan leluasa dia masih mampu menghadapi keroyokan kedua orang ini.

   Malah dirabu oleh gerakan pedang cepat Tan Ciok-sing, Sa Thong-hay tidak mampu lagi mengembangkan gwakangnya, sementara Ciok Khong-goan paling juga hanya mampu bertahan saja.

   Kepandaian Ciok Khong-goan memang tidak setingkat Sa Thong-hay yang mampu meyakinkan lwekang dan gwakang, betapapun dia sudah termasuk jago liehay, sudah menjadi incaran Tan Ciok-sing hendak memukul roboh dulu pada sasaran yang lemah ini, sejauh itu usahanya tetap gagal.

   Permainan golok dicampur pukulan Ciok Khong-goan memang cocok untuk menghadapi gerak pedang kilat Tan Ciok-sing, tapi untuk balas menyerang jelas tidak mungkin, kalau untuk bertahan dalam jangka tertentu dia masih mampu membela diri.

   Liong Seng-bu sudah lari puluhan langkah, waktu dia berpaling dilihatnya Sa dan Ciok berdua tidak kelihatan lebih asor, maka dia tenangkan hati pelan-pelan dia putar balik mendekati arena pertempuran.

   Tan Ciok-sing mencegat di pintu, bentaknya.

   "Liong Sengbu, berani kau selangkah memasuki pintu ini, biar kubunuh kau lebih dulu."

   Tapi didalam In-hujin berkata dingin.

   "Biarkan saja dia masuk, tak usah kau menghalanginya, silahkan saja masuk kemari,"

   Sudah tentu Liong Seng-bu tahu betapa liehaynya In-hujin, meski dalam keadaan sakit, tadi kena tutukan jarinya lagi, namun dia masih jeri untuk mendampinginya.

   "Liong-kongcu,"

   Seru Sa Thong-hay.

   "Lekas kau lari minta bantuan, balai kota kan tidak jauh dari sini."

   Liong Seng-bu tersentak sadar oleh peringatan ini, pikirnya.

   "Ya kenapa tidak aku kerahkan tentara kemari? Kurasa militer di Tay-tong kan pengagum paman."

   In-hujin lebih terkejut mendengar percakapan ini, dalam jangka setengah jam dengan taraf lwekang In-hujin sekarang sebetulnya dia sudah mampu melancarkan hawa murninya, tapi karena pikiran gundah hati risau, hawa murni sukar dihimpun, sehingga rasa linu dan pati kedua kakinya bertambah parah.

   Sementara Tan Ciok-sing yang menghadapi kedua musuhnya di pekarangan lama kelamaan merasa payah, semangat tempur masih gigih tapi tenaga semakin terkuras.

   Suatu ketika pedangnya menusuk ke leher Ciok Khong-goan, lawan menegakkan golok menangkis "Trang"

   Pedangnya kena disampuk pergi, golok lawan ternyata tidak kurang suatu apa, sebat sekali pedang Tan Ciok-sing sudah melintir balik, maksudnya hendak menusuk hiat-to lawan dari arah yang tak terduga, hasilnya serambut lebih lambat sehingga tusukannya gagal.

   Padahal Ciok Khong-goan sudah dibuat silau oleh cahaya pedang, untuk berkelit jelas tidak mungkin.

   Tak nyana ujung pedang lawan tahu-tahu menyelonong ke samping, hanya terpaut serambut itu hiat-tonya tidak sampai tertusuk.

   Begitu tenang perasaan dan pikiran Ciok Khong-goan seketika berteriak girang.

   "Bocah ini sudah kepayahan."

   Kipas Sa Thong-hay mengetuk dan mengebas terbuka, beruntun dia bebaskan tiga jurus serangan rangkaian pedang Tan Ciok-sing.

   Tiga serangan pedang berantai ini masih cukup kencang gerakannya, tapi dibanding tadi jelas sudah jauh lebih lambat dan lemah.

   Karuan Sa Thong-hay ikut senang, serunya.

   "Betul, tak perlu kita adu jiwa dengan bocah ingusan ini, hayo kuras saja tenaganya, libat terus jangan sampai melarikan diri."

   Yang benar dengan bekal ginkang dan kemahiran ilmu pedangnya yang liehay, walau saat itu dia sudah hampir kehabisan tenaga, untuk melarikan dia masih cukup berlebihan.

   Tapi di kamar masih ada In-hujin yang tidak mampu berjalan, bagaimana mungkin dia melarikan diri tanpa memikirkan tentang keselamatan orang.

   Oleh karena itu sekuatnya dia mengempos semangat untuk bertahan matimatian.

   Jeri menghadapi permainan pedangnya yang liehay sukar diraba, Sa dan Ciok berdua juga tidak berani terlalu mendesak.

   Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Tanpa merasa pertempuran ini sudah berselang hampir setengah jam, badan Tan Ciok-sing basah kuyup keringatnya gemerobyos, gerakan pedangnya boleh dikata tanpa dilandasi kekuatan tenaga dalam lagi.

   Kiranya untuk membantu penyembuhan penyakit In-hujin, dia harus menyalurkan Iwekangnya, tidak sedikit hawa murninya yang terkuras, dalam kondisi yang semakin lemah ini, akibatnya pihak musuh semakin mengganas dan pihak sendiri semakin payah kehabisan tenaga.

   Di saat-saat tegang ini, tiba-tiba terdengar derap lari kuda yang kencang dari kejauhan.

   Derap kaki kuda yang kacau balau dan gaduh suaranya, bagi yang berpengalaman sekali dengar akan lantas tahu bahwa kuda yang dicongklang mendatangi sedikitnya ada belasan.

   Ciok Khong-goan tertawa tergelak-gelak, serunya.

   "Nah itu pasukan pemerintah sudah tiba, coba bocah keparat kau ini mau lari kemana?"

   Padahal keadaan Tan Ciok-sing sudah ibarat pelita yang sudah kekeringan minyak, umpama pasukan pemerintah tidak datang, jelas diapun takkan bisa meloloskan diri lagi.

   Belum lagi gelak tawa Ciok Khong-goan lenyap, di atap rumah tiba-tiba didengarnya kesiuran angin lambaian pakaian manusia.

   Mereka bertempur di pekarangan, Sa dan Ciok menghadap ke kamar dimana In-hujin berada, mendadak dilihatnya sesosok bayangan orang seperti elang menukik turun dari arah taman belakang sana terus meluncur lenyap kedalam kamar.

   Bayangan itu lenyap di antara paya-paya di sebelah sana dimana merupakan samping kamar yang terdapat sebuah jendela, mungkin orang itu sudah menerobos masuk kedalam.

   Sa dan Ciok tidak tahu siapa pendatang ini, tapi Liong Seng-bu sudah mengundang bala bantuan, mungkin orang itu adalah jago kosen yang diundang Liong Seng-bu, meski hati merasa kaget, namun hati mereka tidak gugup.

   Tan Ciok-sing yang membelakangi kamar sudah tentu tidak melihat berkelebatnya bayangan hitam.

   Tapi kupingnya cukup tajam, diapun mendengar lambaian baju seseorang yang melayang pesat di atap rumah.

   Seperti juga kedua lawannya, Tan Cioksing menduga orang yang menerjang masuk ke kamar Inhujin adalah bala bantuan yang diundang Liong Seng-bu untuk membekuk In-hujin.

   Karuan hatinya gugup, permainannya pun kacau balau.

   Mendadak didengarnya sebuah suara yang seperti sudah amat dikenalnya tersiar dari kamar.

   "Te-moay, tak usah gugup, mari kubawa kau keluar."

   Disusul suara In-hujin setengah berteriak dengan nada kaget dan senang.

   "Tamtoako kaukah. Tam-toako, aku, aku malu berhadapan dengan kau."

   Mendengar panggilan "Tam-toako"

   Kedua pihak yang lagi berhantam di pekarangan sama-sama melengak.

   Terutama Sa dan Ciok lantas berjingkat kaget, sebaliknya Tan Ciok-sing kegirangan setengah mati.

   Orang yang setimpal dipanggil Tam-toako oleh In-hujin, kecuali Kim-to-thi-ciang Tam Pa-kun memangnya siapa lagi? Sebetulnya kipas lempit Sa Thong-hay sudah bergerak menutuk Ih-khi-hiat di bawah ketiak Tan Ciok-sing di kala yang diserang ini lagi tertegun, namun karena sedikit melengak ini, tutukannya jadi menceng, meski menyentuh tubuh Tan Ciok-sing, namun yang kena sisi hiat-to yang tidak berbahaya.

   Kontan Tan Ciok-sing merasa ketiaknya sakit dan linu, namun gerak-geriknya tidak menjadi terhalang karenanya.

   Mendadak pedangnya malah berputar balik menyampuk kipas lawan itu terus menggaris miring kesana, baju Ciok Khong-goan kena ditabasnya sobek secuil.

   Karena kaget Ciok Khong-goan lekas melompat mundur dengan gerakan gugup.

   Dugaan Tan Ciok-sing memang tidak meleset, orang yang baru datang dan masuk ke kamar tidur In San memang bukan lain adalah Tam Pa-kun.

   Didengarnya Tam Pa-kun berkata dengan suara lirih.

   "Manusia mana yang tidak pernah berbuat salah, tahu salah bisa merubah dan mengoreksi diri, betapa bajik hatinya itu. Te-moay, urusan yang sudah lalu jangan kau singgung lagi, marilah lekas ikut aku ke markas Kim-to Cecu, sebentar lagi pasukan pemerintah sudah akan kemari."

   In-hujin tertawa kecut, katanya.

   "Jangan kata aku tidak mampu bergerak, umpama mampu bergerak aku juga tiada muka berhadapan dengan teman-teman Hou-ko."

   Baru sekarang Tam Pa-kun kaget, tanyanya.

   "Jadi Te-moay sudah terluka?"

   "Lekaslah kau bantu pemuda itu, tak usah kau hiraukan diriku,"

   Kata In-hujin. Dengan cermat Tam Pa-kun mengawasi dan memeriksa, didapatinya kaki orang yang lumpuh, katanya.

   "Ah, tidak jadi soal,"

   Jari tengahnya terulur terus menutuk ke Hoan-tiau-hiat di lutut In-hujin, seketika In-hujin merasa Siau-yang-king-meh di bagian kakinya bergetar, maka hawa murni yang sejak tadi sudah terhimpun di pusar seketika mengalir kencang ke bagian bawah tubuhnya, tanpa merasa segera dia bergerak turun dan berdiri.

   Maklum Tam Pa-kun adalah ahli silat, sekali pandang lantas dia tahu bahwa In-hujin tertutuk hiat-tonya, meski sudah berusaha menghimpun hawa murni dan hiat-to sudah terbuka, namun hawa murni itu nyasar ke arah yang berbeda, sehingga kedua kakinya menjadi lumpuh sementara.

   Bahwa In-hujin sudah memiliki kepandaian silat yang bertaraf tinggi masih mengalami kesalahan ini, dapatlah dibayangkan pasti karena pikirannya sedang kacau.

   Tam Pa-kun keluarkan golok emasnya yang masih bersarung, gagang golok dia angsurkan kepada In-hujin, katanya.

   "Jangan kau banyak pikiran, urusan tidak boleh ditunda lagi, lekas pergi bersamaku."

   Ilmu silat In-hujin belum pulih, tapi kedua kakinya sudah bisa jalan.

   Diluar terdeagar ringkik kuda dan teriakan orang banyak, ternyata pasukan kuda pemerintah telah datang dan mengepung rumah keluarga In.

   Terdengar suara Liong Seng-bu sedang berteriak.

   "Jangan terburu-buru masuk ke rumah, kita tunggu saja diluar, bila bangsat itu lari keluar, kita bidik dia dengan panah."

   Pemimpin barisan kuda, bertanya.

   "Kalau dia tidak lari keluar bagaimana?"

   Liong Seng-bu tertawa tergelak-gelak, katanya.

   "Apa susahnya, kita bakar rumahnya."

   Lalu dia berteriak lantang.

   "Sa-jongling, Ciok-tuthau, kalian sudah bekuk bangsat kecil itu belum? Kalau belum boleh kalian keluar saja."

   Tan Ciok-sing tahu Tam Pa-kun sebentar akan keluar, sudah tentu dia tidak memberi peluang kepada kedua lawannya untuk mengundurkan diri. Segera dia mengempos semangat dan labrak kedua lawannya dengan sengit.

   "Sret, sret"

   Beruntun dia lancarkan dua jurus serangan pedang, ke kiri dia tusuk perut Sa Thong-hay, ke kanan dia menusuk mata Ciok Khong-goan. Karuan Sa Thong-hay naik pitam, serunya.

   "Baiklah, kita bekuk dulu bocah keparat ini baru nanti menempur Tam Pakun."

   Belum habis dia bicara, tampak Tam Pa-kun dengan memegang ujung golok emasnya sudah berjalan keluar menyeret In-hujin. Kata In-hujin.

   "Tam-toako, jangan kau hiraukan aku, lekas kau bantu pemuda itu,"

   Dalam waktu yang mendesak begini tidak sempat dia menjelaskan siapa sebenarnya Tan Ciok-sing, terpaksa dia desak Tam Pa-kun membantu Tan Ciok-sing untuk sama-sama meloloskan diri.

   Sebagai jago kelas wahid sekilas pandang Tam Pa-kun lantas tahu, diam-diam hatinya heran, pikirnya.

   "Ilmu pedang pemuda ini amat bagus dan menakjubkan, jauh berbeda dengan ilmu pedang pada umumnya, sayang tenaganya sudah lemah, kalau tidak sejak tadi dia sudah mampu mengalahkan kedua musuhnya. Aneh, ada angkatan muda seliehay ini muncul di kalangan Kangouw, kenapa sejauh ini aku tidak tahu?"

   Maklumlah pertemuan Tan Ciok-sing dan Tam Pa-kun pada malam hari di Cit-sing-giam tempo dulu, Tam Pa-kun sudah terluka cukup parah oleh panah beracun, racun sudah menjalar sehingga kedua matanya hampir buta.

   Waktu itu Tan Ciok-sing memang bicara dengan dia, tapi wajah orang dia belum pernah melihat.

   Hakikatnya dia juga tidak pernah menduga, setelah berselang tiga tahun, bocah cilik yang dulu berkepandaian cakar ayam kini memiliki ilmu pedang taraf tinggi seliehay ini.

   Kuatir Kungfu In-hujin belum pulih, maka Tam Pa-kun tidak berani meninggalkan In-hujin, katanya.

   "Apa susahnya menghadapi kedua bangsat busuk ini,"

   Habis kata-katanya sebelah tangannya segera menghantam dengan Bik-khong-ciang, jaraknya masih tujuh langkah, namun damparaan angin pukulannya bikin golok Ciok Khong-goan tertolak minggir, kontan dia rasakan dada seperti diterjang batu raksasa, sebelum sempat berteriak, begitu mulut terpentang darah segar sudah menyembur sebanyakbanyaknya, tubuhnya mencelat sempoyongan, untung dia masih kuat menguasai tubuh hingga tidak sampai terjungkal roboh.

   Sa Thong-hay memiliki lwekang lebih tinggi toh limbung juga dibuatnya, lekas dia membentang kipas besi terus mengiris ke pergelangan tangan Tam Pa-kun yang memegang ujung golok.

   Kipas lempitnya pinggirnya tajam bagai pisau, bergerak dalam jarak dekat dapat digunakan sebagai golok bergigi.

   Dia kira Tam Pa-kun hanya mampu bergebrak dengan sebelah tangan kiri saja, maka dia berani menyerang titik kelemahan orang.

   Tak nyana gerak-gerik Tam Pa-kun cepat luar biasa, begitu tumit menggeser sambil berputar, tangan kanan tetap memegang ujung golok, sementara ke lima jari tangan kiri terangkap telapak tangan melintang terus membabat laksana golok, kebetulan sasarannya mengincar tetap ke arah kipas Sa Thong-hay.

   Tenaga dikerahkan di ujung jari terus disodokan sekerasnya.

   Betapa pun liehay lwekang Sa Thong-hay yang bisa lunak dapat keras itu, ternyata tak mampu memunahkan terjangan kekuatan tangannya ini.

   "Plak"

   Telapak tangan Tam Pa-kun yang terdiri darah daging itu ternyata tembus melobangi kipas lempit Ciok Khong-goan yang terbuat dari baja murni, hebat memang tenaganya yang masih tersisa cukup besar ini masih merenggut lengan orang, jari-jarinya yang berkuku tajam melukai lengannya sampai kulit dagingnya cecel dowel, darah bercucuran.

   Sudah tentu Sa Thong-hay tak kuasa menghadapi terjangan pukulan tangan dahsyat ini, tubuhnya seperti bola yang ditendang mencelat terbang melayang melampaui pintu luar.

   Untung ilmu silatnya cukup tinggi, di tengah udara dia masih berusaha kendalikan tubuh sekali gerak dengan gaya burung dara jumpalitan, dengan ringan kedua kakinya hinggap di tanah, namun lekas dia menungging sambil berkaok-kaok kesakitan.

   Melihat bola daging manusia mendadak terlempar keluar, belum lagi tentara pemerintah diluar melihat jelas siapa orang yang terlempar keluar, beberapa tentara yang beradat berangasan segera pentang busur terus membidik.

   Pintu besar sudah terpentang lebar, dari dalam tampak berlari sipat kuping seorang lagi, dia memutar golok bajanya meruntuhkan panah-panah yang dibidikan ke arah Sa Thong-hay, bentaknya.

   "Kalian sudah picak semua? Sembarang membidik orang."

   Liong Seng-bu terperanjat, lekas dia membentak.

   "Lekas berhenti, itulah Sa Tayjin dan Ciok Tayjin."

   Yang ikut menerjang keluar di belakang Sa Thong-hay ternyata Ciok Khong-goan adanya.

   Dadanya sesak setelah muntah darah diterjang angin pukulan jarak jauh Tam Pa-kun, karuan pecah nyalinya terus lari sipat kuping.

   Tapi Sa Thong-hay yang dilempar keluar larinya lebih cepat lagi.

   Sungguh kejut dan girang hati Ciok-sing yang masih berada di pekarangan, lekas dia memberi hormat kepada Tam Pa-kun, Tam Pa-kun tak sempat banyak bicara, dia hanya berpesan.

   "Adik cilik, tolong kau bantu membuka jalan lekas kita terjang keluar kepungan."

   Pedang yang dibawa Tan Ciok-sing adalah pedang mustika dengan bekal kepandaian ilmu pedangnya, pasti takkan terluka oleh serbuan hujan panah. Lalu dia menoleh dan berkata pula.

   "Te-moay, apakah sekuatnya kau masih mampu mengembangkan ginkang?"

   In-hujin manggutmanggut. Lwekangnya memang belum pulih, namun ginkang tidak memerlukan banyak tenaga, sekuatnya dia masih mampu mengembangkan kepandaiannya ini. Tam Pa-kun mengangguk, katanya.

   "Baiklah, mari ikut aku naik ke rumah,"

   Golok bersarung itu dia anggap sebagai tongkat untuk menggandeng In-hujin, mereka berdua berbareng menjejak bumi terus mengapung tinggi ke atas rumah, mendapat daya tuntunan dan tarikan melalui golok yang dipegangnya, dengan enteng In-hujin dapat hinggap di atas rumah.

   Dalam pada itu dengan memutar kencang pedang laksana baling-baling Tan Ciok-sing menerjang keluar secepat angin Iesus.

   Baru saja Sa Thong-hay berdiri tegak belum lagi kakinya beranjak tahu-tahu Tan Ciok-sing sudah menerjang keluar di belakangnya.

   Sudah tentu pasukan pemerintah itu tak berani sembarangan membidik lagi.

   Lekas Ciok Khonggoan gerakan golok menghadang, kini tenaga kedua pihak sudah sama-sama lemah, kalau diukur malah kekuatan Tan Ciok-sing sekarang lebih unggul.

   Begitu pedang dan golok beradu, ujung golok tebal Ciok Khong-goan kembali terpapas kutung sebagian lagi.

   Sementara rasa kaget dan jeri Sa Thong-hay belum lenyap maka dia timpukan kipas lempitnya yang sudah rusak bagai besi rombeng ini ke arah Tan Ciok-sing.

   Dengan gaya Burung Hong Mengangguk, Tan Ciok-sing menghindar, berbareng dengan sejurus gerakan pedang dia balik menyerang lengan lawan, tapi tahu-tahu ujung pedang sudah mengancam dada.

   Sa Thong-hay harus kerahkan setaker kemampuannya mengebut dengan lengan bajunya.

   "Bret"

   Lengan bajunya terpapas robek, tapi pedang Tan Ciok-sing kena disampuk miring ke pinggir.

   Tan Ciok-sing tidak ingin terlibat dalam pertempuran sengit pula, setelah berhasil membebaskan diri dari libatan kedua musuh ini, dia menerjang ke barisan pasukan pemerintah yang mengepung disekeliling pekarangan.

   Di kala perhatian pasukan pemerintah tertuju ke arah Tan Ciok-sing itulah, Tam Pa-kun telah berlompatan bagai burung terbang menubruk turun.

   Seorang perwira paling depan menjadi sasaran empuk baginya, sekali tempeleng dia pukul jatuh perwira itu terus merebut kuda tunggangannya, serta menyambut In-hujin yang ikut lompat turun di belakangnya, lekas dia telah berhasil merebut seekor kuda untuk tunggangan In-hujin.

   Ada seorang tentara tidak tahu keliehayan Tam Pa-kun, dengan kencang dia berusaha mengudak.

   Tam Pa-kun membentak.

   "Biar kau tahu keliehayan golok emasku,"

   Dimana sinar emas berkelebat, batok kepala tentara yang mengudak datang ini seketika mencelat tinggi ke udara, darah menyemprot dari lehernya yang sudah protol kepalanya. Tam Pa-kun kembalikan golok kedalam sarungnya, bentaknya sambil tertawa dingin.

   "Siapa lagi yang tidak takut mati, hayo maju,"

   Tentara yang terpenggal terhitung salah seorang pemberani dan gagah perkasa di medan laga, di kalangan tentara pemerintah dia cukup terpandang dan disanjung pula oleh temannya.

   Kini hanya sekali ayun golok musuh telah membunuhnya, karuan ciut nyali tentara yang lain, siapa lagi yang berani mengejar? Tam Pa-kun di belakang dan melindungi In-hujin melarikan diri.

   Liong Seng-bu gusar, teriaknya.

   "Takut apa lepaskan panah."

   Tam Pa-kun menyeringai dingin, sekali raih dia pegang satu batang panah, dengan gerakan menyambit dia timpuk balik panah ini dengan kekuatan jentikan jari, ini ternyata jauh lebih kuat daya luncurnya dari bidikan panah berbusur, jarak padahal sudah mencapai seratus langkah, namun panah ini masih melesat kencang ke arah Liong Seng-bu.

   Kejut Liong Seng-bu bukan kepalang, untung di sampingnya berdiri seorang perwira mengayun cambuk menyampuk panah, panah melenceng ke samping tapi daya lemparnya yang kencang membuat panah ini menyerempet dahi Liong Seng-bu dan menancap di pundak seorang perwira lain yang berdiri di belakangnya.

   Liong Seng-bu gemorobyos oleh keringat dingin, mulutnya tidak berani bercuit lagi.

   "Tam-toako, pemuda itu..."

   Seru In-hujin gugup. Tam Pa-kun tersentak sadar, segera dia tarik suara berteriak.

   "Adik cilik, setelah lolos kepungan, datanglah ke markas Kim-to Cecu untuk bertemu,"

   Dia kira Sa dan Ciok berdua sudah terluka, di antara perwira-perwira pemerintah itu tiada jago kosen lainnya, pasukan berkuda itu takkan dapat menahannya maka dia tidak ingin In-hujin ikut menempuh bahaya, lebih penting dia melindungi keluar dari mara bahaya.

   In-hujin pernah menyaksikan kepandaian Tan Ciok-sing, diapun percaya pemuda ini pasti dapat meloloskan diri.

   Tan Ciok-sing pernah bilang bahwa tujuannya ke Tay-tong adalah mencari putrinya kalau tidak ketemu akan mampir ke markas Kim-to Cecu, sayang dia lupa bahwa Tan Ciok-sing tidak tahu dimana letak markas Kim-to Cecu itu.

   Tadi Tam Pa-kun menggunakan ilmu mengirim suara gelombang panjang dilandasi lwekang yang tangguh, bicara pada kata terakhir bayangan mereka berduapun sudah tidak kelihatan.

   Pedang Tan Ciok-sing diputar secepat kitiran, jelas dia sudah hampir menjebol kepungan mendadak dirasakan angin tajam mengancam gitoknya, sebatang ruyung lemas tahu-tahu sudah melingkar datang, sebagai seorang persilatan sekali pandang lantas Tan Ciok-sing tahu penyerang ini merupakan ahli silat juga.

   Secara reflek dia membalik tangan dengan jurus Hing-huntoan- hong pedang pusakanya menepis miring.

   
Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Gerakannya sudah cukup cepat, tapi penyerang inipun tidak kalah cepat, di tengah deru angin kencang ruyung lemas itu tiba-tiba sudah menggulung balik pula, gerakannya merupakan tipu permainan ruyung liehay yang dinamakan Wi-hong-sau-liu.

   Ukuran ruyungnya ini lebih panjang dari ruyung umumnya, bila Tan Ciok-sing tidak merubah permainan pedangnya, umpama ruyung itu terpapas sebagian, tapi dia sendiri pasti juga kena terbelit.

   Oleh karena itu dia dipaksa untuk mengerahkan tenaga mendemonstrasikan kelemasan pinggangnya, dengan gaya Yan-cu-can-hun tiba-tiba dia melejit mumbul setombak tingginya.

   Penyerang dengan senjata ruyung ini ternyata bukan lain adalah perwira yang tadi berdiri di samping Liong Seng-bu serta menyampuk miring panah yang ditimpukkan Tam Pakun.

   Orang ini bernama Toh Liok-ki, salah seorang murid didik dari aliran Utti-pian-hoat.

   Taraf Kungfunya meski tidak sebanding Sa Thong-hay, tapi menghadapi Tan Ciok-sing yang sudah kehabisan tenaga ini, dia masih mampu bertahan sama kuat alias setanding.

   Baru saja beberapa gebrak Tan Ciok-sing menghadapi ruyung Toh Liok-ki, Sa Thong-hay dan Ciok Khong-goan sudah memburu tiba pula.

   Sa Thong-hay membentak.

   "Anak bagus, Tam Pa-kun takkan membantumu lagi, coba saja apa kau mampu lolos dari genggamanku?"

   "Wut"

   Begitutiba kontan dia menggenjot ke punggung Tan Ciok-sing.

   Walau Sa Thong-hay sudah terluka, tapi di antara sekian banyak pasukan yang ada kepandaiannya masih terhitung paling top.

   Menghadapi musuh di depan dan belakang, Tan Ciok-sing tahu diri, bila dirinya sampai dilibat oleh Sa Thong-hay, untuk lolos pasti sukar, tiba-tiba otaknya yang cerdik mendapat akal, pada detik-detik berbahaya ini, dia tidak hiraukan pukulan Sa Thong-hay yang membokong dari belakang, tiba-tiba dia menubruk sekuatnya ke arah Toh Liokki malah.

   "Bocah keparat, ingin mampus kau,"

   Hardik Toh Liok-ki kaget, ruyung disendai terus disapu ke pinggang lawan.

   Pada detik-detik yang menentukan ini kembali Tan Ciok-sing bertindak nekad dan untung-untungan, mendadak dia mendak tubuh sambil berputar terus menjengkang tubuh sambil miring seperti petani bercocok tanam di tengah ladang, ruyung lemas itu menyamber lewat di atas punggungnya, secara kebetulan dia berhasil menghindar dari sapuan ruyung musuh.

   Pandangan Toh Liok-ki mendadak jadi silau, saking kaget, secara reflek dia berusaha melindungi badan tanpa menghiraukan keadaan sekelilingnya.

   Dalam seribu kesibukannya mendadak dia menggunakan gerakan Ular Sanca Membalik Tubuh, tubuh bersama ruyung lemas itu berputar laksana gangsingan terus menyapu pula ke arah bayangan yang menubruk maju.

   Maka terdengar suara "Plak", orang itu membentak.

   "Lo-toh, inilah aku."--Ternyata Tan Ciok-sing sudah membresot lewat dari sampingnya. Orang yang hampir dimakan ruyungnya itu kiranya Sa Thong-hay. Cara menyelamatkan diri yang ditempuh Tan Ciok-sing memang amat berbahaya, waktu yang digunakan juga tepat. Sa Thong-hay menolak ruyung kawan sendiri yang menyapu mukanya, meski lwekangnya tinggi, tak urung dia tertolak berputar dua lingkaran, hampir saja dia saling tumbukan dengan Toh Liok-ki. Toh Liok-ki sendiri juga terhuyung-huyung hampir jatuh, karuan mukanya merah padam, lekas dia tarik ruyung lemasnya. Begitu lolos dari kepungan kedua musuh dari depan dan belakang, Tan Ciok-sing lantas kembangkan kelincahan gerak tubuhnya, laksana burung walet yang menyusup kedalam hutan, laksana burung camar bermain di antara gelombang samudra, tubuh bergerak mengikuti gerakan pedang, pesat sekali tubuhnya berkelebat dan maju terus di antara tentaratentara pemerintah. Beberapa tentara yang berada dekat dirinya pasti diberi persen goresan luka pedang atau kena ditempeleng pipinya, ada pula yang ditusuk buta matanya dan ditendangnya jungkir balik sampai patah tangan atau kaki, jerit kesakitan terdengar saling bersahutan. Jalan raya tidak seperti tanah lapang, meski jumlah tentara pemerintah banyak, mereka toh tidak bisa berjubel mengepung seorang musuh. Melihat beberapa temannya terluka sebagian besar yang lain tanpa komando telah menyingkir menyelamatkan diri. Tan Ciok-sing pura-pura hendak memburu ke arah Liong Seng-bu, bentaknya.

   "Bangsat she Liong, meski jiwaku harus berkorban, hari ini aku harus membunuhmu."

   Saking ketakutan Liong Seng-bu menjerit minta tolong.

   Lekas Ciok Khong-goan memburu tiba, dengan jurus pekhong- koan-jit Tan Ciok-sing menusuk lurus dengan pedang, di tengah jalan pedangnya mendadak berubah sasaran menusuk pula dari posisi yang tidak terduga, berbareng mulutnya menghardik.

   "Lepaskan golok."

   Memangnya Ciok Khong-goan bukan tandingan Tan Cioksing, hatinya sudah jeri dalam keadaan gugup lagi, mana dia kuasa menghadapi ilmu pedang Tan Ciok-sing yang hebat ini.

   Terpaksa dia memang harus melepaskan senjata demi menyelamatkan diri pula, sementara kaki menyurut mundur sambil berteriak gemetar.

   "Sa-toako, lekas ke mari."

   Sekali ketuk Tan Ciok-sing pukul golok lawan yang mencelat terbang itu, lalu tertawa tergelakgelak, serunya.

   "Bangsat kecil she Liong, biar kau hidup beberapa hari lagi. Maaf, tuan mudamu tidak mengiringi lebih lanjut."

   Sebelum Sa Thong-hay memburu datang, di tengah gelak tawa kemenangannya, Tan Ciok-sing sudah lompat naik ke atas rumah penduduk.

   Tiga jago kosen di antara perwira-perwira tinggi itu, hanya Sa Thong-hay yang memiliki ginkang paling tinggi.

   Seorang diri jelas dia tidak berani mengejar, karena dia yakin umpama dirinya mampu menyandak juga tidak bakal memperoleh keuntungan, salah-salah awak sendiri bisa celaka, maka dia hanya bisa perintahkan anak buahnya melepas panah.

   Dasar masih berjiwa anak-anak, Tan Ciok-sing juga tidak mau mengalah, genteng rumah penduduk dibuat senjata rahasia, karuan pasukan pemerintah menjadi kacau balau dijatuhi bom-bom genteng yang berat dan keras itu.

   Kejap lain dia sudah lari pergi mengembangkan ginkang dan tidak kelihatan lagi.

   "Entah Tam Tayhiap bersama In-hujin sudah keluar kota belum? Biar aku kembali mengambil kuda tungganganku itu,"

   Demikian batin Tan Ciok-sing.

   Dilihatnya pasukan kuda pemerintah tengah mengudak ke arah sini, sengaja dia berlari putar kayun di tengah jalan raya dalam kota untuk mengaburkan jejaknya, lalu secara diam-diam dia pulang ke rumah kakek bersama cucunya penjual teh itu.

   Kakek pemilik warung teh belum tidur, dian kecil tampak dipegang di tangannya, jendela setengah terbuka, kepalanya longok-longok keluar sambil pasang kuping.

   Mendadak didengarnya seseorang mengetuk bawah jendelanya tiga kali, karuan kagetnya seperti disengat kalajengking, tanyanya gemetar.

   "Siapa?"

   Cepat Tan Ciok-sing menjawab".

   "Tamu yang semalam datang itu."

   Pemilik kedai masih kenal suara Tan Ciok-sing, lekas dia membuka pintu. Di bawah penerangan dian yang remangremang, dilihatnya sekujur tubuh Tan Ciok-sing berlumuran darah, karuan kagetnya bukan main.

   "Siangkong, kau terluka?"

   Tanyanya gemetar.

   "Aku tidak terluka, inilah darah tentara yang menyemprot tubuhku, pasukan pemerintah itu mau mencelakai jiwa Inhujin, terpaksa aku labrak mereka. Aku bukan perampok, paman tidak usah takut. Akupun tidak ingin kau kena perkara, aku datang mengambil kudaku."

   Pemilik warung tidak segelisah tadi, katanya.

   "Tak perlu kau jelaskan lagi, aku percaya kau orang baik. Bicaralah jujur, bila kau terluka, boleh sembunyi di rumahku, aku tidak takut kena perkara."

   "Terima kasih akan kebaikan paman, aku betul-betul tidak terluka. Tolonglah kau bawa keluar kudaku itu."

   "Baiklah,"

   Sahut si kakek, dia menoleh ke arah dipan, dimana cucunya sudah tidur nyenyak, sebelum keluar dia mengemuli cucunya lalu membawa Tan Ciok-sing ke belakang.

   Anak itu tampak tersenyum dalam mimpinya, kue pemberian Tan Ciok-sing tampak masih dipegang di tangannya.

   Sambil jalan kakek itu berkata lirih.

   "Bukan lantaran siang tadi kau memberi rangsum pada kami maka kukatakan kau orang baik. Aku tahu kau adalah sahabat Tam Tayhiap, betul tidak?"

   "Aku belum setimpal menjadi sahabat baik Tam Tayhiap, tapi aku pernah mengenalnya saja. Apa kau juga tahu Tam Tayhiap?"

   "Dia adalah sahabat baik In Tayhiap, beberapa tahun lalu sering minum-minum di kedaiku. Tadi aku mencuri lihat dari celah-celah pintu, kulihat dia berlari pergi menunggang kuda bersama In-hujin. Persoalan keluarga In sedikit banyak juga pernah kudengar, cuma aku tidak tahu kapan In-hujin pulang. Pulangnya kali ini pasti secara diam-diam diluar tahu suaminya yang sekarang, tak heran pasukan pemerintah itu hendak menangkap dia. Siangkong, apa sekarang kau hendak menyusul mereka?"

   "Betul, tahukah kau jalan mana yang mereka tempuh?"

   Tanya Tan Ciok-sing.

   "Mereka lari lewat jalan raya di seberang gang yang sana itu, agaknya mereka hendak keluar kota dari pintu utara. Menurut apa yang kuketahui, penjagaan di pintu utara paling lemah,"

   "Terima kasih akan petunjukmu paman."

   Baru saja dia hendak pamitan, kakek itu tiba-tiba berkata bisik-bisik.

   "Apa kau hendak mencari Kim-to Cecu?"

   Tan Ciok-sing kegirangan, katanya.

   "Benar. Paman, apa kau tahu dimana letak markas Kim-to Cecu?"

   Lirih suara kakek pemilik kedai.

   "Terus terang, walau aku bukan anak buah Kim-to Cecu, tapi beberapa Thaubak dari markasnya sering juga datang kemari minum-minum, berkat kepercayaan mereka terhadapku, aku dipandang orang sendiri, ada kalanya mereka bercerita tentang keadaan markas mereka. Berita apa saja yang pernah kudengar dalam kota Tay-tong pasti juga kuberitahu mereka. Menurut cerita mereka, tiga bulan yang lalu, markas besar mereka berada di Sip-jit-hong di atas Tioyang-san. Sembarang waktu mereka sering berpindah tempat, cuma markas pusatnya saja yang didirikan pada suatu tempat yang cukup strategis, yakin sampai saat sekarang ini masih belum pindah ke lain tempat. Tapi tempat itu aku sendiri juga belum pernah kesana, cara bagaimana untuk kesana, aku tidak bisa menjelaskan. Tapi setiba di Tio-yang-san, boleh kau sebut nama Tam Tayhiap dan mencari tahu dari mulut para pemburu setempat, mereka pasti mau menunjukkan jalan padamu."

   Setelah mengucapkan terima kasih serta meninggalkan beberapa butir kacang emas, Tan Ciok-sing segera pamitan terus cemplak kudanya keluar dari pintu belakang.

   Hari sudah menjelang tengah malam, pasukan pemerintah juga sudah ditarik mundur.

   Tan Ciok-sing keprak kudanya berlari sekencang angin menuju ke pintu utara.

   Sepanjang jalan beberapa kali dia bersua dengan barisan ronda, dengan mudah dia robohkan mereka semua.

   Tiba di pintu utara dilihatnya pintu gerbangnya terpentang lebar, ada beberapa tentara tua sedang sibuk membetulkan daun pintu, melihat Tan Ciok-sing mencongklang kudanya secepat mungkin, beramai-ramai tentara itu lari serabutan menyembunyikan diri.

   Maklum pintu utara ini kebetulan menghadapi agresi pasukan Watsu, beberapa hari yang lalu pasukan besar Watsu sudah berada di bawah tembok, pasukan penjaga kota sudah lari menyelamatkan diri, kini yang masih ditinggal hanya beberapa orang yang sudah berusia lanjut.

   Tadi Tam Pa-kun bersama In-hujin memang lari lewat pintu utara, kunci pintu gerbang ini di tabas rusak oleh golok emas Tam Pa-kun, belum lagi rasa takut tentara-tentara itu lenyap, kini dilihatnya Tan Ciok-sing menerjang tiba pula, mana mereka berani merintangi? Setelah jauh meninggalkan kota baru Tan Ciok-sing mendengar suara trompet didalam kota, dia duga Liong Sengbu tahu dirinya lari dari pintu utara lalu mengerahkan pasukan mengejar ke arahnya ini.

   Dengan kertak gigi Tan Ciok-sing berpikir.

   "Kelak meski kau tidak mencariku, aku pasti mencari perkara padamu, sekarang tiada tempo aku melayanimu."

   Kudanya ini adalah kuda rampasan dari pasukan Watsu, meski tidak sehebat kuda putih itu, tapi dibanding kuda yang ditunggangi pasukan pemerintah di Tay-tong jelas lebih bagus.

   Entah berapa jauh sudah Tan Ciok-sing membedal kudanya, menjelang fajar pasukan yang mengejar di belakang sudah tidak kelihatan lagi.

   Pikirnya.

   "Untung bertemu dengan kakek pemilik kedai, baru aku tahu cara bagaimana untuk menemui Kim-to Cecu. Padahal kudaku ini lari secepat ini, kenapa masih belum menyandak Tam Tayhiap dar In-hujin? Memangnya mereka menempuh jalan lain?"

   Tan Ciok-sing terus menempuh perjalanan, mendekati lohor baru dia bersua dengan orang yang menempuh perjalanan, dia seorang laki-laki tua yang mengendalikan sebuah gerobak. Pada laki-laki tua ini Tan Ciok-sing tanya jalan, ternyata Tio

   

   Tiraikasih Website
http.//kangzusi.com

   yang-san tiga ratus li di sebelah utara Tay-tong, perjalanan ditempuh lewat jalan pegunungan. Kudanya ini memang lebih bagus dari kuda biasa, tapi sebelum hari petang takkan sampai-di tujuan.

   "Engkoh kecil,"

   Tanya laki-laki tua itu keheranan.

   "gunung itu belukar dan tiada penduduk yang tinggal disana, untuk apa kau kesana?"

   "Tujuanku mencari famili di Tay-tong, kebetulan familiku itu sudah pergi jauh kearah Sin-kang berdagang kuda, letak pasaran kuda konon di sebelah utara Tio-yang-san, bukankah aku harus lewat dari bawah gunung itu?"

   Setelah jelas akan jalan mana yang harus di tempuhnya, Tan Ciok-sing terus melanjutkan perjalanan, dalam hati dia merasa heran, kusir gerobak ini sudah tiga hari menempuh perjalanan di atas pegunungan ini, kenapa dia tidak pernah melihat Tam Tayhiap dan In-hujin? Kiranya Tan Ciok- sing masih terlalu hijau, kurang pengalaman, dalam tanya jawab dengan kusir gerobak tadi, banyak dia menunjukkan hal-hal yang mencurigakan, sudah tentu kusir gerobak itu mencurigai asal-usulnya, maka dia tidak bicara sejujurnya.

   Sepanjang jalan banyak juga persoalan yang dipikirkan Tan Ciok-sing namun tiada satupun yang dapat dia simpulkan jawabannya.

   Di kala pikiran masih terombang ambing itulah, tanpa terasa dia tiba di tiga persimpangan jalan.

   Ke arah mana jalan yang harus dipilih.

   Di saat Tan Ciok-sing ragu-ragu untuk menentukan pilihannya, tiba-tiba didengarnya derap lari kuda yang dilarikan kencang, seekor kuda putih tampak lari mendatangi dari jalanan kecil yang lain sana.

   Pesat sekali lari kuda ini, hanya sekejap tahu-tahu sudah tiba di depan.

   Penunggang kuda putih ini ternyata adalah pemuda itu, keduanya kesamptok secara tidak terduga, sesaat kedua sama melenggong.

   Kontan pemuda itu mencabut golok sambil mendelik gusar ke arah Tan Ciok-sing, rasanya sekali bacok dia ingin memotong tubuh Tan Ciok-sing menjadi dua, namun dia juga tahu bahwa dirinya bukan tandingan lawan, maka dia hanya memaki.

   "Bangsat cilik, akan datang suatu hari akan kubuat kau memperoleh ganjaran setimpal,"

   Tanpa menghentikan kudanya dia mencongklangnya dari sampingnya. Melihat Tan Ciok-sing, kuda putih itu seperti melihat kenalan baiknya, sambil lari dia meringkik panjang sambil berjingkrak. Tergerak hati Tan Ciok-sing, lekas dia berteriak.

   "Bukankah kau sudah pulang ke rumah dan tahu apa yang telah terjadi, baru saja kau keluar dari Tay-tong bukan? Tunggu sebentar, jangan lari, ada omongan yang ingin kubicarakan dengan kau."

   "Kalau dugaanku tidak meleset, dia pasti pernah pulang ke rumah,"

   Demikian pikir Tan Ciok-sing.

   Betul juga dilihatnya pemuda itu menarik tali kekang dan memutar balik kuda tunggangannya.

   Tapi muka si pemuda masih kelihatan murka, agaknya lebih benci dan marah dari sikapnya tadi.

   Begitu kudanya dibedal datang dia terus menerjang tanpa buka suara, mendadak goloknya terayun membacok ke arah Tan Ciok-sing, Karena tidak menduga hampir saja muka Tan Ciok-sing kesercmpet bacokan.

   Sejak mula pemuda ini sudah anggap Tan Ciok-sing sebagai pembunuh ayahnya, mending kalau Tan Ciok-sing tak bersuara memanggilnya, hawa marahnya seketika berkobar karena kira peristiwa yang terjadi di rumahnya semalam di Tay-tong adalah gara-garanya lagi.

   Diapun berpikir.

   "Kudaku larinya lebih cepat, kalau tidak kuat melawan, lari juga bukan soal,"

   Karena diburu nafsu goloknya membacok gencar sekaligus dia menyerang beberapa jurus untuk melampiaskan dendam. Betapa liehay dan cepat gerakan ilmu golok keluarga In, karena didesak terpaksa Tan Ciok-sing keluarkan juga goloknya untuk membela diri.

   "Ting"

   Sekali ketuk dia bikin golok orang menceng ke samping.

   Untung Tan Ciok-sing hanya mengetuk dengan punggung golok, kalau tidak pasti golok si pemuda tertabas kutung.

   Kuda berputar silih berganti saling terjang, kedua orang bertempur di atas kuda karena kuda sendiri kalah gagah dan garang, dia harus main bertahan atau membela diri saja, sudah tentu keadaannya semakin payah.

   Hanya beberapa gebrak kuda tunggangan Tan Ciok-sing mendadak terpeleset, kaki depannya tertekuk sambil meringkik kesakitan terus roboh di tanah.

   Maklum sehari ini dia sudah lari amat jauh dengan kecepatan tinggi, tenaganya sudah habis dan terlalu lelah, sekarang harus bertempur lagi, karuan tidak tahan lagi.

   Sebelum kudanya roboh Tan Ciok-sing sudah melompat jauh kesana, tapi karena terlalu besar menggunakan tenaga, hampir saja diapun terpeleset jatuh.

   Pemuda itu kegirangan, bentaknya.

   "Bangsat cilik, rasakan golokku."

   Diluar dugaannya, kuda putih ini ternyata juga amat cerdik, Tan Ciok-sing pernah menyelamatkan jiwanya, bergaul dan menunggangnya untuk beberapa lamanya, agaknya dia tahu pemuda yang ada di punggungnya hendak membunuh tuan penolong jiwanya, sudah tentu dia tidak mau dikendalikan lagi, mendadak dia menghentikan langkah, pemuda itu hampir saja terjorok jatuh dari punggungnya.

   Karuan si pemuda terperanjat, makinya.

   "Binatang, tidak tunduk padaku kubunuh kau."

   Dalam pada itu Tan Ciok-sing sudah berdiri tegak terus lompat maju, teriaknya.

   "Aku tidak tahu kau pernah apa dengan In Tayhiap, tapi di Tay-tong aku sudah bertemu dengan In-hujin maukah kau tahu berita dan jejaknya sekarang?"

   Pemuda itu melongo, makinya.

   "Kau mencelakai jiwa ayahku, membawa pasukan membakar rumahku lagi, aku takkan sejajar denganmu dalam bumi ini, apa pula yang harus dibicarakan?"

   Dugaan Tan Ciok-sing kini tidak meleset lagi, pemuda ini adalah samaran putri In Hou yaitu (n San adanya.

   Sungguh kejut dan senang pula hati Tan Ciok-sing, namun dalam waktu singkat ini dia jadi gelagapan, bagaimana dia harus bertindak supaya tidak menambah curiga orang terhadap dirinya.

   
Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Karena kuda putih tidak mau tunduk pada perintahnya lagi, terpaksa In San melompat turun, dampratnya.

   "Bangsat cilik, ayahku sudah kau bunuh, nah sekarang bunuh sekalian aku ini, akil akan adu jiwa dengan kau,"

   Keduanya kini bertanding di tanah berumput, untuk menghindar dan meluputkan diri dari serangan golok orang kini bukan menjadi persoalan bagi Tan Ciok-sing.

   Dengan gerakan Hong-biau-loh-yap secara tangkas dia berkelit dari tiga serangan berantai In San, katanya.

   "Nona In, kenapa tidak kau pikir, secara cermat, kalau benar aku membunuh ayahmu, kini kau ingin adu jiwa denganku, kan kebetulan malah bagiku untuk membabat rumput sampai keakar-akarnya, kenapa aku harus mengalah padamu."

   "Betul, kepandaiannya jauh lebih tinggi, memegang golok dan pedang mustika, jikalau dia ingin membunuhku, sejak mula jiwaku sudah melayang,"

   Demikian batin In San, namun rasa curiganya tetap belum hilang, jengeknya.

   "Siapa tahu tipu daya apa yang sedang kau rencanakan atas diriku?"

   "Terserah kau mau percaya tidak. Dua hari yang lalu aku pun sudah bertemu dengan ibumu. Apapun yang terjadi dia adalah ibu kandungmu, memangnya kau tidak ingin tahu keadaannya sekarang?"

   "Justru aku tidak percaya kalau dia mau pulang ke rumah?"

   Debat In San. Tan Ciok-sing menghela napas, katanya.

   "Meski ibumu salah langkah, namun sejak lama dia sudah bertobat, sudah insaf akan kesalahan. Sejak kau diajak pulang oleh ayahmu dari rumah kakek luarmu, malamnya setelah dia pulang tidak menemukan kau, pernah dia jatuh sakit sampai parah, belakangan memang dia menikah lagi, namun dia ditipu keluarganya, toh sejauh itu dia masih tetap merindukan kau. Tahun itu kau baru berusia tujuh tahun bukan? Banyak kejadian yang belum kau ketahui, hakikatnya ibumu adalah seorang yang bajik, karena tertipu sehingga dia berbuat kesalahan diluar kesadarannya. Ayahmu sendiri sudah memaafkan kesalahannya, masa kau tidak bisa memaafkan malah?"

   Karuan In San terlongong mendengar ocehan Tan Ciok-sing ini.

   Bahwa Tan Ciok-sing bisa bercerita sejelas ini akan perpisahan dirinya dengan sang ibu di masa kecilnya itu, jikalau bukan ibunya yang bercerita padanya, memangnya dari siapa dia bisa tahu liku-liku rumah tangganya? "Tiga tahun yang lalu,"

   Ucap Tan Ciok-sing lebih lanjut.

   "ibumu suruh Liong Seng-bu membawa tusuk kundai sebagai tanda kepercayaannya datang mencarimu. Katanya kau membantingnya patah, apa benar?"

   In San melengak, tanpa sadar tangannya meraba sanggul dan mencabut sepasang tusuk kundai, katanya.

   "Siapa bilang aku membantingnya patah, nah bukankah tusuk kundai ini masih baik?"

   "Liong Seng-bu yang laporan hal ini kepada ibumu. Kalau demikian dia sengaja mau menipu ibumu,"

   Ujar Tan Ciok-sing. Kata In San sedikit sengit.

   "Memang aku agak membenci ibuku, tapi aku lebih membenci orang-orang dari keluarga Liong, kau kira aku tidak tahu, segalanya aku sudah tahu dengan jelas, ayah juga pernah bicara dengan aku, ibu ditipu oleh orang-orang keluarga Liong."

   "Syukurlah kalau kau sudah tahu,"

   Kata Tan Ciok-sing lega.

   "Keparat itu minta aku pulang ikut dia,"

   Demikian tutur In San.

   "coba kau pikir patutkah aku meluluskan perintahnya? Tusuk kundai memang sudah kuterima, tapi segera aku gebah dia lari. Untung dia melarikan diri secepat setan, kalau tidak kedua kakinya pasti sudah kupukul remuk."

   "Yang membawa pasukan membakar rumahmu semalam juga bocah she Liong itu."

   In San melengak, seperti heran dan diluar dugaan, katanya.

   "O, kiranya kau juga berani memaki dia."

   "Bukan saja aku ingin mendampratnya, aku malah ingin membunuhnya,"

   Demikian ucap Tan Ciok-sing sengit.

   "semalam kalau jumlah mereka tidak banyak, aku pasti sudah membunuhnya."

   "Kenapa kau begitu membencinya?"

   Tanya In San.

   "Cukup parah dan payah aku ditipu dan hampir saja celaka oleh muslihatnya. Lebih celaka lagi dia memfitnah aku, katanya akulah pembunuh ayahmu."

   "Dari mana kau tahu kalau dia memfitnah kau?"

   Tanya In San.

   "Ibumu memberitahu padaku. Semula seperti kau begitu melihat aku dia lantas melabrakku, katanya hendak menuntut balas atas kematian suaminya. Dengan susah payah dan berbagai cara akhirnya aku dapat meyakinkan ibumu sehingga dia percaya padaku, lalu aku tuturkan duduk persoalan yang sebenarnya."

   Tiba-tiba In San berkata.

   "Kukira kau ini alap-alap kerajaan. Bukankah ayahmu punya kedudukan dalam kalangan Bhayangkari?"

   Tan Ciok-sing tertegun, tanyanya.

   "Siapa bilang? Ayahku sudah meninggal sejak aku berumur setahun, beliau adalah guru harpa yang kelana di Kangouw, jangan kata tidak pernah menjabat pangkat, melihat para pejabatpun dia sudah pusing tujuh keliling. Aku hanya hidup bersama kakek, sejak kecil beliaulah yang mengasuhku sampai dewasa. Kami bertempat tinggal di bawah Cit-sing-giam di daerah Kwi-lin, membajak sawah menjala ikan adalah kehidupan kami sehari-hari. Tiga tahun yang lalu beliaupun telah meninggal, ia, kematiannya..."

   Ingin Tan Ciok-sing menceritakan sebab musabab kematian kakeknya kepada In San, maklum kematian kakeknya punya sangkut paut yang erat dengan kematian ln Hou.

   Ayah In San.

   Tapi karena In San masih ragu terhadap dirinya kalau menceritakan kenyataan ini padanya belum tentu orang mau percaya, dan lagi ada urusan lain yang lebih penting harus segera dia bicarakan, terpaksa hal ini biar ditunda dulu.

   Katanya.

   "Perihal kakekku kelak akan kututufkan lagi. Yang memfitnah diriku pada kau ku yakin pasti bocah she Liong itu?"

   In San mengangguk, katanya.

   "Betul, memang dia yang katakan."

   "Apa katanya?"

   "Setelah kugebah lari dulu, kira-kira setahun kemudian dia datang lagi, katanya dia tahu jejak-dan berita ayah, dia minta supaya aku bersabar mendengar penjelasannya."

   "Sudah lama ayah tidak kunjung pulang, karena selama ini tidak pernah mendapat kabar dari ayah, memangnya aku sudah kebingungan dan merindukannya. Walau membencinya terpaksa aku menahan hati mendengarkan apa yang hendak dituturkan padaku."

   "Dia bilang pihak kerajaan sudah tahu bahwa ayahku ada berhubungan dengan Kim-to Cecu, kini ayah menjadi buronan dan hendak ditangkap. Akhir-akhir ini pihak kerajaan mendapat kabar, ayahmu akan ke Kwi-lin menyambangi Selam Tayhiap yang bergelar It cu-king-thian Lui Tin-gak maka jaring jebakan sudah diatur disana, sekaligus akan menjaring dan menangkap beberapa orang, di samping membeli atau menyogok Lui Tin-gak, jago-jago istana juga dikerahkan kesana."

   Dalam hati Tan Ciok-sing membatin.

   "Kiranya It-cu-kingthian Lui Tin-gak memang sudah dirangkul pihak kerajaan."

   "Dia bilang di antara jago-jago kosen yang dikerahkan dari pasukan Bhayangkari itu, satu di antaranya adalah ayahmu dan kau sendiri juga ikut."

   Dongkol dan geli juga hati Tan Ciok-sing, katanya.

   "Setan keparat. Ayahku sudah lama meninggal, bagaimana bisa jadi anggota Bhayangkari segala? Tiga tahun yang lalu aku hanyalah anak desa yang hanya memiliki kepandaian cakar ayam, memangnya kosen apa segala?"

   Sampai disini tiba-tiba hatinya tergerak pula, pikirnya.

   "Kalau keparat itu bisa memfitnah aku, bukan mustahil dia juga memfitnah orang lain, dia bilang It-eu-king-thian sudah dipelet kerajaan, kenapa aku harus mempercayai obrolannya? Memang malam itu kakek keluar dari rumah keluarga Lui dengan luka parah, tapi bukan mustahil dalam kejadian ini masih ada latar belakang lainnya?"

   "Dia bilang jago-jago yang diutus kesana sudah tentu tak boleh berpakaian seragam, semua harus menyamar jadi apa saja, selama perjalanan ayah ke Kwi-lin, jejaknya selalu dikuntit dengan ketat. Ayahmu pandai main harpa, maka dia membawa kau sebagai guru harpa yang kelana di Kangouw, sehingga ayahku tidak menaruh curiga,"

   Sampai disini serta merta dia melirik harpa yang digendong di punggung Tan Cioksing. Tan Ciok-sing tertawa, katanya.

   "Memang aku bisa memetik harpa, tapi aku diajari kakek bukan ayah. Kakekku memang seorang ahli harpa yang sudah punya nama, sebelum aku dilahirkan beliau memang sudah sering kelana di Kangouw. Kalau tidak percaya, boleh kau tanya temanmu, umpamanya Toan-siau-ongya dari Tayli."

   In San melenggong, serunya.

   "Kau kenal Toan Kiam-ping. Dia tahu perihal kakekmu?"

   "Betul. Dia ada titip pesan padaku supaya disampaikan kepadamu. Tapi panjang ceritanya."

   "Kalau panjang ceritanya, boleh kelak kau ceritakan. Sekarang biar aku selesaikan ceritaku,"

   Kata In San lebih lanjut.

   "sebetulnya tidak segampang itu aku mau percaya obrolan bocah itu, tapi dia mengeluarkan sebuah benda, mau tidak mau aku sedikit percaya padanya."

   "Barang apa?"

   Tanya Tan Ciok-sing. In San keluarkan sebuah kotak persegi, katanya.

   "Inilah barang mainan yang diberikan ayah oleh Hek-pek-moko di dalamnya ada dipasang alat rahasia, bagi yang tidak tahu cara membukanya, jari tangannya bisa terluka oleh pisau-pisau kecil yang terpasang di dalamnya."

   Dalam hati Tan Ciok-sing tertawa geli, namun dia diam saja, katanya.

   "Kenapa pula dengan kotak kecil ini?"

   "Bocah itu bilang, Bhayangkari adalah pasukan pribadi Baginda Raja, dia boleh bergerak leluasa tanpa kendali oleh pihak militer. Meski tahu bahwa pihak kerajaan hendak menangkap ayah, tapi dia tidak dapat berbuat apa-apa. Maka secara diam-diam dia menyusul ke Kwi-lin, dia harap disana bisa bertemu dengan ayah dan memberi tahu berita buruk ini padanya."

   "Tak nyana waktu dia bertemu dengan ayah, beliau sudah terluka parah, napasnya sudah kempas kempis."

   "Maka ayahmu serahkan kotak ini sebagai tanda kepercayaan dan suruh dia pulang memberi kabar kepadamu?"

   Demikian tukas Tan Ciok-sing. In San mengangguk, katanya.

   "Bocah itu bilang, ayah memberitahu padanya, dia salah minum arak beracun pemberian It-cu-kin-thian, sehingga alap-alap kerajaan punya kesempatan membokong dirinya. Dia juga membeber nama para musuhnya, kecuali It-cu-king-thian, jago kosen Bhayangkari yang melukai dia sampai parah bernama Tan Khim-ang, tapi Tan Khim-ang juga sudah dia pukul mampus pada saat itu. Peristiwa itu terjadi setelah dia meninggalkan rumah keluarga Lui, anak Tan Khim-ang mengira dia sudah mati, golok pusaka dan buku pelajaran ilmu golok itu dirampasnya terus melarikan diri, tanpa menghiraukan jenazah ayah kandungnya lagi. Anak bangsat itu juga hendak membawa kotak ini maaf, aku menggunakan istilah yang dipakai bocah she Liong waktu dia bercerita tentang ayah tapi dia tidak tahu cara membukanya, jarinya tergores luka oleh pisau kecil di dalamnya, saking kaget dan kesakitan dia buang kotak ini."

   "Ayah suruh bocah keparat itu membawa pulang kotak ini sebagai bukti, berpesan pula supaya aku berusaha menuntut balas sakit hatinya. Bocah itu juga memberitahu padaku, katanya dia sudah mencari tahu hingga jelas, orang yang membawa lari golok dan buku pelajaran ilmu golok serta ikut mencelakai ayah itu adalah putra Tan Khim-ang, namanya Tan Ciok-sing."

   Tan Ciok-sing menyeringai dingin, katanya.

   "Untuk mencari tahu memang dia cukup banyak membuang tenaga dan pikiran, tapi persoalan justeru dia putar balik. Tan Khim-ang adalah kakekku, bukan ayahku. Coba serahkan kotak itu padaku."

   "Untuk apa?"

   In San melengak, tapi dia sodorkan juga kotak itu.

   "Coba kau saksikan aku membukanya,"

   Dengan mudah dia tekan sini tarik sana sehingga kotak itu terbuka tanpa menimbulkan reaksi apa-apa.

   "Bagaimana kau juga bisa membuka kotak rahasia ini?"

   Tanya In San heran.

   "Didalam kotak ini semula ada disimpan beberapa lembar kertas tulisan tangan Thio Tan-hong yang memuat ajaran ilmu pedang karyanya, ayahmu serahkan kotak ini kepadaku, sayang aku punya mata tidak bisa membedakan manusia baik dan jahat, akhirnya kotak ini direbut oleh keparat she Liong itu." -lalu dia bercerita panjang lebar tentang pengalamannya itu. Bertambah rasa kepercayaan In San kepadanya, pikirnya.

   "Kalau bukan ayah yang mengajarkan cara membuka kotak ini, bagaimana dia mampu membuka kotak ini?"

   Tan Ciok-sing berkata lebih lanjut.

   "Waktu itu setelah berhasil merebut kotak ini, salah satu jari bocah she Liong itu tergores luka cukup parah. Tapi dia toh memperoleh beberapa lembar Kiam-boh itu, cukup setimpal juga luka yang dideritanya itu."

   "Menurut ceritamu ini, cara bagaimana pula ayah sampai dicelakai? Coba kau ceritakan padaku."-Setelah persoalan menjadi jelas, tak tertahan In San menangis sesenggukan, katanya terisak.

   "Ternyata kaulah tuan penolong ayahku, meski ayah sudah mengalami nasibnya yang jelek, aku tetap akan berterima kasih kepadamu."

   "Bahwa kau sudi mempercayai aku, itu sudah cukup. Nah inilah golok dan buku pelajaran ilmu golok ayahmu yang titip padaku untuk diserahkan kembali padamu."

   Mengingat kematian kakek Tan Ciok-sing lantaran menolong ayahnya, hati In San ikut menyesal dan haru, sesaat lamanya dia menjublek menerima barang-barang peninggalan ayahnya, tak tahu apa yang harus dia katakan kepada Tan Ciok-sing.

   "Dan pedang mustika inipun harus kuserahkan kepadamu,"

   Kata Tan Ciok-sing. In San melongo, katanya.

   "Pedang mustika ini kan bukan milik ayah."

   "Memang bukan milik ayahmu, tapi boleh dianggap sebagai barang keluargamu."

   In San melengak pula, tanyanya.

   "Bagaimana bisa begitu?"

   "Bukankah kau punya seorang bibi yang menjadi isteri Thio Tan-hong Thio Tayhiap?"

   "Ya, kenapa?"

   Tapi akhirnya In San mengerti.

   "o, jadi pedang mustika ini adalah senjata yang dipakai bibi semasa hidupnya itu?"

   "Betul, waktu aku memberi kabar ke Ciok-lin kepada Thio Tayhiap, berkat kemurahan hatinya beliau sudi mengangkat aku sebagai murid. Menjelang ajalnya, dia suruh aku menyerahkan Ccng-bing-kiam ini kepadamu."

   "Menurut apa yang kutahu, Thio Tayhiap masih punya sebilah Pek-hong-po-kiam, pedang mustika itu..."

   Mimik Tan Ciok-sing agak lucu, katanya malu-malu.

   "Pedang itu diwariskan aku oleh Suhu."

   In San belum pernah melihat kedua bilah pedang mustika ini.

   Tapi asal-usulnya sudah sering dia dengar dari cerita ayahnya, dia tahu bahwa kedua pedang ini merupakan sepasang pedang jantan dan betina, pedang yang membawa kisah rumit dan berliku-liku sehingga perjodohan Thio Tayhiap dengan bibinya bisa terangkap.

   Karuan jengah muka In San, katanya dalam hati.

   "Thio Tayhiap membagi pedang jantan dan betina ini kepadaku dan dia, mungkin, mungkin..."

   Kemana maksud dan tujuan Thio Tan-hong sudah tentu sudah dimaklumi oleh In San, namun dia tidak tahu apakah Tan Ciok-sing tahu tujuan yang tersembunyi ini.

   Sudah tentu dia malu untuk tanya soal ini, namun demikian sanubarinya yang bersih dan tulus itu kini mulai ruwet dan risau.

   "Hari sudah hampir petang, marilah kita melanjutkan perjalanan,"

   Demikian ajak Tan Ciok-sing.

   "Ya, kita harus cepat bertemu dengan Kim-to Cecu, kalau malam nanti ada rembulan, menempuh jalan di tengah malam juga tidak jadi coal. Cuma kudamu ini, apakah masih mampu jalan?"

   Sampai disini dia menjadi kikuk sendiri, katanya menambahkan.

   "Maaf ya hari itu aku merebut kudamu ini."

   "Kuda putih ini sebetulnya juga bukan milikku."

   "Aku sudah tahu. Kepunyaan Kanglam Lihiap Ciong Bin-siu bukan? Hari itu aku juga heran, kenapa kuda tunggangan Ciong-lihiap berada di tanganmu, kuda ini juga mau tunduk padamu?"

   "Akulah yang merebutnya kembali dari tangan kawanan penjahat."

   "Kudanya ini terjatuh ketangan kawanan penjahat? Hari itu, aku kira, kukira...!"

   Tan Ciok-sing tertawa, katanya.

   Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Hari itu kau kira akulah yang merebut kuda ini dari tangan Ciong-lihiap?"

   In San merasa kurang enak, katanya.

   "Maka aku lebih yakin lagi bahwa kau orang jahat. Tapi belakangan setelah ku pikir-pikir aku jadi ragu-ragu sendiri."

   "Kenapa?"

   "Kuda ini cerdik pandai, kalau kau merebut dari sang majikan, dia pasti takkan mau kau tunggangi."

   "Tapi dia juga tunduk pada perintahmu. Apa kau juga bersahabat dengan Kanglam Sianghiap?"

   "Sahabat sih bukan. Tiga tahun yang lalu bersama Toan Kiam-ping mereka pernah berkunjung ke rumahku, aku pernah mencobanya dulu. Ingatannya ternyata amat baik, dia masih mengenalku."

   "Beberapa hari yang lalu mereka sudah tiba di daerah sini, kukira bisa bertemu di rumahmu. Siau-ongya juga bilang mereka pasti ke Tay-tong dan pasti mampir ke rumahmu."

   "Mungkin mereka memang pernah kemari tapi tiga hari yang lalu aku sudah meninggalkan rumah. Oh, ya tadi kau bilang Toan Kiam-ping titip pesan padamu, ada urusan penting apa?"

   "Dia ingin mengundang nona mengungsi ke Tayli saja."

   "Banyak terima kasih akan kebaikannya, kesulitan sudah kualami dan berhasil kuhindarkan. Selanjutnya aku sudah berkeputusan untuk tinggal di markas Ciu-pepek, mungkin takkan ke Tayli lagi."

   "Siau-ongya amat merindukan kau, dia kuatir Kanglam Sianghiap tidak berhasil menemukan kau, maka dia juga titip pesan ini kepadaku."

   "Keluarga Toan memang sejak beberapa generasi aeja hubungan erat dengan keluarga In kami, Toan Kiam-ping memang cukup baik tak pernah dia agulkan diri sebagai seorang pangeran, selamanya aku pandang dia sebagai engkohku sendiri."

   Mendengar In San memuji Toan Kiam-ping, hati Tan Cioksing rada senang, tapi juga merasa kecut. Diam-diam dia mentertawakan diri sendiri, pikirnya.

   "Kedua keluarga mereka memang cocok dan serasi, adalah setimpal kalau putri In Tayhiap mendapat jodoh seorang pangeran. Sepantasnya aku ikut senang bagi terangkapnya perjodohan ini."

   Sudah tentu In San tidak tahu perasaan rumitnya ini katanya.

   "Tan-toako, kudamu jelas takkan bisa lari lagi, marilah cari tempat untuk istirahat."

   "Memangnya hari sudah hampir gelap, biar dia menempuh perjalanan sejauh mungkin, baru nanti kita cari tempat untuk istirahat."

   "Yang benar kuda ini kau rampas kembali dari tangan penjahat, adalah jamak kalau kau saling tukar tunggangan dengan aku."

   "Ah, di antara kita kenapa harus saling membedakan..."

   Setelah tercetus ucapannya, mendadak dia merasakan katakatanya kurang pantas, seketika merah mukanya. In San sendiri juga tertolong mendengar kata-katanya ini, sudah tentu mukanya lebih jengah. Lekas Tan Ciok-sing menambahkan.

   "Kupikir tujuan kita kan sama-sama mau ke markas Kim-to Cecu, lalu apa bedanya siapa yang menunggang kuda putih ini?"

   Dalam hati In San membatin.

   "Dia pasti tahu tujuan gurunya suruh dia menyerahkan Ceng-bing-kiam ini kepadaku, kalau dibicarakan dia menanam budi terhadap ayah... tapi aku baru saja mengenalnya, memangnya demi membalas budinya itu, aku lantas pasrah diriku kepada dia? hatinya menjadi gundah dan rawan, tak tahu bagaimana harus mengambil sikap. Lama-kelamaan tindak tanduknya menghadapi Tan Ciok-sing jadi agak kikuk dan rikuh tidak sewajarnya tadi. Semakin lama kuda tunggangan rampasan Tan Ciok-sing semakin lambat jalannya, padahal mentari sudah terbenam di kaki gunung. Kata Tan Ciok-sing.

   


Duel Dua Jago Pedang -- Khu Lung Rahasia Ciok Kwan Im -- Gu Long Tiga Maha Besar -- Khu Lung

Cari Blog Ini