Ceritasilat Novel Online

Pendekar Pemetik Harpa 9


Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen Bagian 9



Pendekar Pemetik Harpa Karya dari Liang Ie Shen

   

   "Urusan kami tak usah kau turut campur,"

   Semprot Liong Seng-bu. Huwan Liong malah tertawa, katanya.

   "Kongcu, araknya memang wangi. Marilah kita minum dulu sampai puas, baru nanti kerjai dia."- maklum Huwan bersaudara semua setan arak, mereka pikir Tan Ciok-sing takkan bisa lolos, maka sengaja mereka hendak mempermainkannya lebih dulu. Tanpa permisi Huwan Liong mengangkat meja kursi memindahkannya kesana kemari menjadi formasi segi tiga, jalan mundur Tan Ciok-sing berarti sudah dicegat. Mereka berempat berpencar, Tan Ciok-sing di tengah. Sementara Liong Seng-bu duduk di meja kursi yang dekat pintu. Khu Ti berkata.

   "Tuan-tuan tentunya masih akan menempuh perjalanan, bagaimana kalau kusuguh setiap orang dua poci dulu?"

   Melihat guci di atas meja Tan Ciok-sing, Huwan Liong yang setan arak ini sudah tentu tak mau kalah, katanya.

   "Jangan kuatir, ambilkan setiap orang satu guci."

   Liong Seng-bu segera menyela.

   "Aku tidak minum, cukup empat guci saja."

   Khu Ti mengiakan terus berlari masuk, tak lama kemudian dia sudah keluar menjinjing empat guci arak, setiap guci beratnya sepuluh kati, bersama gucinya, berat kotornya sedikitnya ada enam puluhan kati.

   Setiap tangan Khu Ti menyanggah dua guci, mulut guci kecil dan sempit, pantatnya lebar, maka guci bagian atas kelihatan bergoyang-goyang.

   Tapi langkah Khu Ti kelihatan mantap dan berat, mengangkat seberat itu seperti menjinjing barang enteng.

   Dalam hati Huwan Liong berpikir.

   "Tenaga kedua tangan kakek ini ternyata besar,"

   Mereka empat bersaudara termasuk jagoan kelas satu, meski merasa sedikit janggal akan pemilik kedai ini, namun mereka tidak ambil di hati. Dengan enteng Khu Ti letakkan guci-guci itu satu persatu tanpa kelihatan napasnya memburu, katanya tertawa.

   "Untung Kongcu-ya ini tidak mau minum, sisa arak yang kusimpan kebetulan tinggal empat guci saja."

   Memangnya sudah ngiler Huwan Liong segera serobot satu guci terus dibuka tutupnya, setelah dicium berkata.

   "Arak mi memang bagus, Kongcu, apa kau tidak ingin mencicipi?"

   "Nanti dulu,"

   Tiba-tiba Liong Seng-bu berteriak. Guci sudah terangkat di atas kepala, karuan Huwan Liong melengak, tanyanya.

   "Ada apa Kongcu?"

   "Suruh dia minum dulu, setelah dia mencicipi semua guci itu baru kalian boleh minum,"

   Demikian Liong Seng-bu memberi penugatan. Huwan Liong sadar katanya.

   "Betul, adalah pantas kalau kita berjaga-jaga. Kakek tua, setiap guci ini lekaslah kau minum secangkir lebih dulu."

   Khu Ti kurang senang, katanya dingin.

   "Kalian takut aku menaruh racun dalam arak? Meski kecil kedaiku, modalnya juga sedikit, tapi sudah puluhan tahun aku membuka kedai memangnya kau kira kedaiku ini warung gelap yang biasa merampok dan membunuh orang."

   Liong Seng-bu membentak.

   "Suruh kau minum, kenapa cerewet,"

   Ternyata waktu datang tadi melihat Khu Ti duduk semeja dengan Tan Ciok-sing mengiringinya minum arak, dasar suka curiga maka selalu bertindak keliwat hati-hati.

   Tanpa bicara Khu Ti segera angkat guci pertama .terus dituang di atas kepala, mulut terbuka arak seperti dicurahkan kedalam mulutnya, tanpa berhenti satu guci arak telah ditenggaknya habis.

   Kapan Huwan Liong dan adik-adiknya pernah melihat orang minum arak cara demikian sesaat mereka melongo di tempat duduk masing-masing.

   Khu Ti tidak berhenti, segera dia angkat guci kedua dengan cara yang sama dia habiskan pula guci kedua, sambil menepuk perut dia berkata dingin.

   "Kalian takut isi guci arak beracun, biarlah seluruhnya kuhabiskan saja,"

   Lalu dia menghampiri guci ketiga serta diangkat terus dituang juga kedalam perutnya.

   Bersama Tan Ciok-sing tadi sedikitnya menghabiskan setengah guci, kini menghabiskan pula dua guci, paling sedikit Khu Ti sudah menghabiskan dua puluh lima kati arak keras.

   Mau tidak mau Tan Ciok-sing terkejut dan girang, pikirnya.

   "Kiranya bukan saja dia orang sekolahan, diapun seorang jago kosen yang menyembunyikan dirinya."

   Tiba-tiba Huwan Pau teringat bahwa dalam kedai tinggal ke empat guci arak ini, maka lekas dia berteriak.

   "Jangan dihabiskan, aku tidak takut arakmu beracun, celaka kalau kau mati karena mabuk."

   "Memangnya kau kira begini saja ukuranku, manusia akhirnya pasti mati, peduli mati sakit, atau mati karena apa, mati kan sama saja?"

   Meletakkan guci kosong ketiga dia menghampiri pula guci ke empat. Timbul rasa ingin tahu Huwan Liong, katanya.

   "Jangan dicegah biarkan saja, berapa banyak dia kuat minum?"

   Perut Khu Ti sudah melembung seperti perut kerbau. Huwan Pau setan arak paling berangasan, teriaknya sambil membanting kaki.

   "Kalau dihabiskan kita akan minum apa?"

   Tangan diulur sudah hendak merebut.

   Di kala mereka terpesona melihat demontrasi minum arak Khu Ti, mendadak Tan Ciok-sing melompat tinggi ke atas bagai seekor burung langsung menubruk ke arah Liong Sengbu yang duduk membelakangi pintu luar.

   Di tengah udara pedang sudah terlolos, dengan jurus In-kik-tiang-khong, dari atas pedangnya menusuk ke bawah.

   "Brak"

   Terdengar suara keras, ternyata pada detik-detik berbahaya ini Liong Seng-bu selulup ke bawah meja sambil angkat meja menangkis sehingga tusukan pedang Tan Cioksing menusuk tembus permukaan meja.

   Memang sejak tadi tetap bersikap tenang dan waspada, akan sergapan mendadak yang dilancarkan Tan Ciok-sing.

   "Celaka,"

   Tiba-tiba Huwan Liong berteriak serempak Huwan Hou dan Huwan Kiau menendang meja di depannya ke arah Tan Ciok-sing.

   Sementara Huwan Liong sudah mencabut pedang terus menyerang dengan jurus pedang lilitan, sebelumnya dia sudah perhitungkan dimana kira-kira Tan Ciok-sing akan tancap kaki di lantai, ke sanalah pedangnya membabat.

   'Tan Ciok-sing cabut pedangnya, di tengah udara dia jumpalitan laksana burung dara, begitu kedua kaki terpentang.

   "Biang, biang"

   Dua meja yang melayang ke arahnya ditendangnya balik keluar pintu.

   Dimana ujung pedangnya menutul, secara tepat dia tangkis babatan pedang Huwan Liong yang mengincar kedua kakinya.

   Sementara sambil menyunggi meja tersipu-sipu Liong Seng-bu sudah lari keluar pintu.

   Huwan bersaudara segera membentuk barisan pedang mengepung dalam posisi segi empat.

   "Disini bukan tempat berkelahi, hayo diluar saja,"

   Tantang Tan Ciok-sing. Huwan Liong mengejek.

   "Kau masih ingin lari, jangan mimpi di siang bolong,"

   Serempak empat pedang mereka bergerak, serangan bertubi-tubi dengan gencar dan mematikan.

   "Baik,"

   Seru Tan Ciok-sing.

   "disini ya disini, memangnya aku takut mati. Aku hanya kuatir merusak perabot didalam kedai ini."

   Khu Ti menghela napas, katanya.

   "Ya, aku pasrah nasib saja. Yang terang harta bendaku ini hanya berharga berapa peser saja, besarkan saja nyalimu, kalau minta ganti akan kutuntut pada mereka pasti tidak akan merogoh sakumu."

   "Kau ini barang apa, berani menuntut kepada kami?"

   Damprat Huwan Kiau gusar.

   "nanti jiwa tuamu biar kumampusi sekalian."

   Khu Ti menggeleng kepala, katanya.

   "Wah, kau ini memang seekor kerbau dungu, agaknya kau dibesarkan tanpa makan nasi."

   Huwan Kiau mencak-mencak gusar, dampratnya.

   "Kakek sontoloyo, kau memaki aku sebagai binatang."

   "Lha, kau sendiri yang bilang, kapan aku pernah memakimu demikian,"

   Debat Khu Ti. Tanpa merasa mengerutkan kening Huwan Liong, lekas dia berkata.

   "Samte, kenapa sih kau, urusan kan harus dibedakan mana yang lebih penting, buat apa kau ribut dengan tua bangka ini?"

   Dalam pertempuran sengit itu tusukan pedang Huwan Liong mengenai tempat kosong, kepalan mendadak menjotos dari bawah pedang dengan deras, boleh dikata Tan Ciok-sing sudah hampir mepet tembok, jalan mundur sudah tiada, terpaksa dia menggeser langkah dua tindak sambil berputar.

   "Biang", tembok di belakangnya kena dijotos ambrol dan berlobang oleh kepalan Huwan Liong. Untung tembok bukan dibangun dari batu marmer, namun kepalannya sudah cecel dan berlumuran darah. Dengan gusar Huwan Liong membentak.

   "Coba saksikan berapa lama bocah keparat ini kuat bertahan lagi, bila ketangkap nanti, pasti kubeset kulitmu kupatahkan tulang kakimu."

   Khu Ti yang sejak tadi sembunyi di pojok sana dengan badan gemetar, kini mendadak berjalan keluar sempoyongan, seperti langkah orang mabuk yang gentayangan hampir roboh, teriaknya.

   "Wah, wah mati aku, mati aku saking jengkel. Sebelum tulang tuan tamu ini kalian patahkan, salahsalah rumah reyotku ini sudah kalian bongkar lebih dulu."

   Lekas Tan Ciok-sing memperingatkan.

   "Lopek, lekas kau menyingkir,"

   Walau dia tahu Khu Ti mungkin memiliki kepandaian silat, tapi barusan pedang pihak musuh terlalu liehay bagaimana juga dia tidak akan membiarkan Khu Ti menerobos masuk ke jaring barisan pedang.

   Mendadak Khu Ti memukul perutnya yang gendut seperti gentong itu seraya berteriak-teriak.

   "Aduh, celaka, arak harum, arak wangi, empat guci arak bagus, kau sudah masuk kedalam perutku, aku kan tidak bersalah terhadapmu, kenapa kau mau berontak?"

   "Setan pemabukan,"

   Bentak Huwan Liong.

   "menyingkirlah ke tempat jauh kalau sudah mabuk gila."

   "Haya kenapa tidak kau tunggu sebentar, kenapa ingin terjang keluar saja,"

   Demikian teriak Khu Ti pula.

   Mendadak dia pentang mulutnya, segumpal arak panas seketika menyembur dari perutnya.

   Huwan Liong yang berdiri paling dekat keterjang lebih dulu, sekujur badan dari kepala muka sampai ke tubuhnya basah kuyup, lekas dia pejam mata terus melompat mundur.

   Empat guci arak dihabiskan berarti ada empat puluhan kati, sekali ditekan dengan tenaga dan menyembur keluar, sungguh derasnya bagai hujan lebat.

   Karuan Huwan bersaudara menjadi kalang kabut, memutar pedang meninju menimbulkan deru angin sambil berlompatan kian kemari, tapi hujan arak tetap berjatuhan di atas mereka.

   Kejadian memang aneh, mereka berempat semuanya ada meyakinkan kekebalan badan, tapi air arak itu mengenai tubuh rasanya ternyata pedas dan sakit seperti ditusuk jarum.

   Lebih celaka lagi pakaian mereka sama berlobang-lobang kecil kena semprotan arak mirip sarang tawon.

   Bila lwekang mereka sedikit rendah lagi, pasti kulit dagingpun terluka dan berdarah.

   Yang dikuatirkan Huwan bersaudara hanyalah mata maka mereka sama memejam kencang tidak berani main ngintip, karuan satu dengan yang lain jadi saling tumbuk.

   Semula Tan Cioksing terkepung di tengah mereka, anehnya arak Khu Ti seperti punya mata dan memilih sasaran, meski ada yang menyiprat ke arahnya, tapi ilmu pedangnya dimainkan sekencang kitiran, setetespun dia tidak kecipratan.

   Karena memejam mata, Huwan bersaudara hanya mengandal ketajaman pendengaran, sambil berkelit mereka harus mainkan pedang pula.

   Sejauh ini meski mereka orang dungu juga sudah tahu bahwa pemilik kedai ini kiranya juga seorang jagoan Kungfu yang memendam diri apa lagi dalam pandangan Huwan Liong sebagai kawakan Kangouw? Lekas dia memberi aba-aba pada adik-adiknya.

   "Angin kencang, lekas menyingkir."

   Khu Ti berteriak.

   "Wah, kasihan arak wangi seperut ini, sungguh sayang. Tapi rasanya segar juga, perutku tidak sakit lagi,"

   Mendadak tangannya mencengkeram ke baju kuduk Huwat Pau yang lagi lari keluar pintu. Bentaknya.

   "Perabotanku yang rusak belum kalian ganti, mau lari? Tadi kan sudah kubilang, kalian harus mengganti kerugianku,"

   Dicengkram kuduknya ternyata Huwan Pau mati kutu tak kuasa berontak. Huwan Liong sudah lari keluar pintu, lekas dia putar balik seraya menusuk ke belakang, bentaknya.

   "Lepaskan adikku,"

   Kepandaiannya memang paling tinggi, Khu Ti tidak berani memandang rendah, sedikit menggunakan tenaga dia dorong dan putar Huwan Pau ke suatu arah sehingga tubuhnya menerjang ke ujung pedang Huwan Liong yang sedang menusuk tiba, bentaknya.

   "Tidak kau ganti, aku tidak akan lepas tangan,"

   Maka terdengarlah suara membrebet yang panjang, pakaian Huwan Pau tertusuk sobek sehingga isi kantong bajunya berantakan kocar-kacir di lantai.

   Untung Huwan Liong bertindak cukup sigap, sembari menarik pedang, dia tarik adiknya itu ke samping.

   Cepat sekali Tan Ciok-sing juga sudah memburu tiba seraya menusuk dengan pedang, serangan tetap menggunakan jurus Samcoan- hoat-lun, seorang diri sudah tentu Huwan Liong tidak kuasa melawan, sekali pelintir dan sendai kedua pedang saling tindih terus mencelat terbang dan "Trap"

   Pedangnya menancap di atas belandar. Tapi Huwan Liong berhasil menolong adiknya terus diseret lari keluar. Khu Ti berteriak.

   "Biar kuperiksa dulu, apakah uang-uang yang tercecer ini cukup untuk mengganti kerugianku, wah masih kurang sedikit."

   Entah takut dikejar oleh Khu Ti, atau karena tidak membawa senjata rahasia, kontan dia ayun tangan menyambitkan sekerat uang perak seharga sepuluh tahil ke arah Khu Ti yang tengah berdiri di samping pintu.

   Uang perak ini meluncur dengan menderu kencang, tapi Khu Ti hanya menggape sekali terus ditangkapnya, serunya tertawa riang.

   "Ketambah uang perak ini, kira-kira cukuplah uang ganti kerugianku, nah lekaslah kalian enyah dari sini."

   Kuatir dikejar dan dihajar babak belur sudah tentu Huwan bersaudara seperti berlomba melarikan diri naik kuda. Sementara Liong Seng-bu sejak tadi sudah ngacir lebih dulu. Memunguti pecahan uang yang berserakan di lantai Khu Ti gelak tertawa, katanya.

   "Tak kira hari ini aku bisa ketiban rejeki nomplok. Perabotku yang sudah bobrok ini paling seharga dua tahil, tapi aku memperoleh ganti dua puluh tahil, wah menyenangkan."

   Kejut dan girang Tan Ciok-sing, lekas dia memberi hormat, katanya.

   "Maaf Wanpwe punya mata tidak melihat tingginya gunung Taysan, harap Lopek tidak berkecil hati, dan banyak terima kasih akan bantuan Lopek."

   
Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Kau kan tamuku, tamu mengalami kesulitan, adalah jamak kalau aku sebagai tuan rumah membantu, kenapa harus terima kasih? Hehe, sekarang sudah beres, segala persoalan tidak perlu diperdebatkan, tadi kau hendak mentraktir aku, ini kau sudah memperoleh rejeki, nah minumlah sepuasmu, tanggung gratis tak usah bayar."

   "Mungkin mereka akan kembali pula,"

   Ucap Tan Ciok-sing.

   "Lopek, kedaimu ini salah-salah bisa bangkrut karena kedatanganku."

   "Memangnya sudah lama aku pingin menutup kedai ini, ongkos pindahku juga sudah tersedia sekarang, apa pula yang kukuatirkan? Lebih baik aku cari tempat mengasingkan diri. Sebetulnya aku tidak akan buru-buru pindah, apa kau tidak perhatikan, mereka lari balik ke arah datangnya semula?"

   "Pemuda itu adalah putra Kiu-bun-tek-tok yang berkuasa di kota raja, sejak dari Tay-tong mengejarku sampai disini. Nyali mereka sudah pecah oleh kegagahan paman tadi, yakin dia pasti pulang membawa pasukan pemerintah untuk menggerebekmu."

   "Sedikitnya dua hari baru mereka akan tiba disini, maka kau boleh tak usah buru-buru, hayolah temani aku minum sepuasnya."

   Tan Ciok-sing mengiakan, dalam hati dia memang ada sebuah tanda tanya, kalau ada kesempatan sebentar dia ingin tanya kepada Khu Ti biar jelas.

   "Kalau ilmu pedangmu tidak seliehay itu, arak yang semayam dalam perutku tadi juga tidak akan kuasa membubarkan barisan pedang mereka. Oh ya, tadi belum sempat kutanya, harpa antikmu ini..."

   "Untung tidak apa-apa."

   "Syukurlah. Meja kursi rusak tidak jadi sesal, tapi harpamu ini sudah barang antik yang tak ternilai harganya. Terus terang, tadi aku terpaksa ikut turun tangan bukan lantaran kau ini adalah tamuku saja, sebab yang utama adalah karena harpa antik ini."

   "Maaf Lopek, untuk ini belum sempat tadi aku memberitahu padamu, Ki Harpa atau guru harpa yang diceritakan Lopek tadi, beliau adalah kakekku."

   Khu Ti terbahak-bahak karanya.

   "Memangnya sejak tadi sudah kuduga kau pasti cucu Tan Khim ang, kecuali keturunan Tan Khim-ang, memangnya siapa lagi yang mahir memetik harpa sebagus itu? Nah, mari, mari, lekas bantu aku membereskan rumah yang berantakan ini, nanti kita minum lagi sampai mabuk."

   Meja kursi yang patah dan remuk segera disingkirkan ke pinggir, Tan Ciok-sing segera menyapu bersih ruang kedai, sementara Khu Ti masuk kedalam membawa keluar seguci arak pula, katanya tertawa.

   "Inilah arak tua yang sudah kusimpan selama 30 tahun. Tapi aku katakan empat guci terakhir, maksudku hendak ngapusi mereka,"

   Mangkok piring dia singkirkan kedalam lalu membawa mangkok besar untuk minum arak bersama Tan Ciok-sing. Setelah menenggak dua cawan, Khu Ti berkata.

   "Dua puluh tahun sudah aku berpisah dengan kakekmu, selama ini tak pernah kudengar beritanya, beberapa tahun ini, dia..."

   "Sejak aku dilahirkan, aku diasuh dan dibimbing kakek sampai sebesar ini, bertempat tinggal di Cit-sing-giam di Kwilin. Empat tahun yang lalu kakek sudah mangkat."

   "O, lalu ayah bundamu?"

   "Sejak dilahirkan aku sudah yatim piatu, ayah malah meninggal sebelum aku lahir. Karena sukar melahirkan ibu juga meninggal. Mungkin dosaku terlampau besar sehingga ayah bunda menjadi korban..."

   Khu Ti mendadak menggebrak meja, katanya keras sambil menghela napas.

   "Sayang, sayang sungguh kasihan, sungguh menyebalkan."

   Tan Ciok-sing kaget, tanyanya hambar.

   "Khu-losiansing, apa maksudmu?"

   Kalau Khu Ti merasa sayang karena kematian ayah bunda Tan Ciok-sing sejak dia masih kecil, ini dapat dimaklumi, tapi kenapa pula harus dibuai kasihan dan menyebalkan? Khu Ti melengak, katanya.

   "Apa kakekmu selamanya tak pernah menerangkan padamu?"

   Semakin bingung Tan Ciok-sing dibuatnya, tanyanya.

   "Menerangkan soal apa?'"

   Diam-diam dia mereka dalam hati.

   "Memangnya ayah bundaku juga mati dicelakai orang?"

   Sejak kecil dia hidup bersama sang kakek, jarang kakeknya bicara soal ayah bundanya, dia kira karena sejak kecil dia tidak pernah melihat ayah bundanya, maka kakek tidak ingin dia bersedih hati.

   Kini mendengar omongan Khu Ti barulah timbul rasa curiganya.

   Seperti tahu isi hatinya, Khu Ti berkata.

   "Mungkin ayah bundamu tidak langsung dicelakai orang, tapi jikalau bukan lantaran pengalaman pahit yang pernah mereka alami itu, aku yakin mereka takkan mati semuda itu."

   "Pengalaman pahit apakah yang pernah dialami ayah bundaku, kakek tak pernah menerangkan, Apakah Lopek boleh memberitahu padaku?"

   "Kejadian sudah dua puluh tahun berselang, bahwa kakekmu tidak mau menerangkan padamu pasti ada alasannya sendiri. Orang yang menjadikan keluargamu berantakan dan mengalami bencana itupun sudah lama mati, maka kupikir kaupun boleh tak usah mengusut soal ini."

   Tan Ciok-sing berdiri lalu berlutut di hadapan Khu Ti, katanya.

   "Meski urusan sudah lama berselang, sebagai seorang putra yang harus berbakti terhadap orang tua, adalah menjadi hak dan kewajibanku untuk tahu duduknya persoalannya, kalau tidak betapa hatiku bisa tenang..."

   Lekas Khu Ti memapahnya berdiri, katanya menghela napas.

   "Memang sudah kebacut kubicarakan, kau tahu sedikit adalah logis kalau ingin tahu sejelasnya. Baiklah sebentar kututurkan padamu,"

   Sampai disini dia mengisi secawan penuh lalu ditenggaknya habis, lalu katanya pula.

   "Dengan ayahmu aku hanya pernah bertemu sekali, tapi persahabatan kami sungguh teramat kental dan keliwat intim. Tadi kau tanya padaku mengapa mengasingkan diri di desa yang sepi dan terpencil ini, kejadiannya sebetulnya juga ada sangkut pautnya dengan peristiwa yang menyangkut kakek dan kedua orang tuamu."

   Kejadian yang dibicarakan Khu Ti separoh di antaranya sudah direka oleh Tan Ciok-sing, tapi separoh kelebihannya benar-benar diluar dugaannya.

   Yang sudah diduga adalah Khu Ti pasti pernah berkenalan dan berhubungan yang intim dengan kakeknya, tapi bahwa Khu Ti juga ada sangkut pautnya dengan kedua orang tuanya, ini sungguh amat mengejutkan hatinya, lekas dia tanya tentang seluk beluknya.

   Mengenang masa lalu perasaan Khu Ti kelihatan masgul, setelah menghabiskan secangkir lagi, perlahan-lahan dia bicara.

   "Dua puluh tahun yang lalu, adalah seorang perwira dari pasukan Gi-lim-kun. Orang sering bilang kalangan pejabat kerajaan merupakan sumber kantong yang paling subur, demikian pula dalam kalangan kemiliteran. Orang yang berwatak nyentrik sepertiku ini, ternyata dapat hidup dan berkecimpung sekian tahun lamanya disini. Lote mungkin kaupun takkan pernah menyangkanya?"

   Tan Ciok-sing ikut menghabiskan secangkir arak, katanya.

   "Ya, memang tak terduga."

   Khu Ti melanjutkan.

   "Waktu itu kakekmu sudah tersohor sebagai guru harpa nomor satu di dunia ini, tahun itu kebetulan dia berada di kota raja, tetapi sebelumnya aku tidak tahu."

   "Aku punya seorang kawan, bicara soal kedudukan dan Kungfu dia jauh lebih tinggi dari aku, untungnya pambek dan hobi serta sepak terjangnya ternyata selaras dengan watakku, dalam kalangan militer hanya dia seoranglah terhitung temanku yang paling dekat. Kalau kubicarakan kemungkinan kau pun sudah tahu siapa orang ini."

   "Aku terlambat dilahirkan, tokoh-tokoh gagah generasi yang dahulu banyak yang tidak kukenal. Entah siapa yang Lopeh maksudkan?"

   "Dia adalah In Jong. Bu-conggoan yang amat tersohor di masa lalu. Umumnya tiga tahun sekali diadakan pemilihan Buconggoan, tapi jabatan Bu-conggoan yang digondol In Jong lain dari yang lain. Bukan saja dia pernah membebaskan Baginda Raja yang terdahulu dari tawanan bangsa Watsu, diapun mendorong ke Ie Kiam untuk angkat senjata melawan serbuan pasukan besar Watsu sehingga negara terhindar dari jajahan bangsa asing, betapa besar pahala yang direbutnya tapi belakangan dia membuang pangkat menyibak harta benda, meletakkan jabatan mengundurkan diri kembali ke kampung halaman terima hidup bercocok tanam sampai akhir hayatnya."

   Senang dan kaget hati Tan Ciok-sing, serunya.

   "Bukankah In-conggoan yang Lopeh ceritakan ini adalah ayah In Tayhiap In Hou dari Tay-tong?"

   "Betul. Kuduga kau pasti kenal dengan keluarga In, ternyata tidak meleset,"

   Demikian ujar Khu Ti lebih lanjut.

   "Pada suatu malam tiba-tiba In Jong datang ke rumahku, dia bilang apakah aku sudi melakukan suatu hal bagi seorang yang belum pernah kukenal, resiko tugas yang kukerjakan kemungkinan bisa mengakibatkan aku kehilangan jabatan dan pangkatku di kalangan pemerintah?"

   Waktu itu aku bilang tugas yang kau serahkan padaku pasti kerja yang harus ditegakkan kebenarannya, jangan kata hanya kehilangan pangkat dan kedudukan, umpama kepalaku harus berkorban juga tidak jadi soal.

   Tapi boleh kau beritahu kepadaku, siapa orang yang harus kubantu itu?"

   Sampai disini pun Tan Ciok-sing pun sudah mengerti, katanya.

   "Orang yang dimaksudkan oleh In-conggoan pasti kakekku adanya."

   "Betul, memang kakekmu."

   Tan Ciok-sing heran, katanya.

   "Kakek hanya guru harpa, kesulitan apa yang melibatkan dirinya di kota raja, sampai Inconggoan harus menampilkan diri minta bantuan orang lain?"

   "Kalau peristiwa ini menyangkut diri orang lain, malahan merupakan urusan baik yang sukar diperoleh, tapi bagi kakekmu justeru kesulitan yang paling sulit. Waktu itu ada seorang thaykam Ong Ceng, tentunya kau juga pernah dengar cerita orang-orang tua tentang dorna jahat itu?"

   Tan Ciok-sing berkata.

   "Konon dialah biang keladinya yang paling berdosa atas kekalahan besar peristiwa To-bok-po dulu itu, Karena mendengar hasutannya maka Baginda yang berkuasa waktu itu hampir saja tewas dan negara hancur."

   "Betul, karena katanya berbuat salah terhadap dorna yang berkuasa ini sehingga kakekmu mengalami kesulitan."

   "Kakek adalah guru harpa yang kelana di Kangouw, memangnya ada sangkut paut apa dengan dorna durjana itu, kenapa kesulitan bisa nomplok pada dirinya."

   "Setiba kakekmu di kota raja, entah bagaimana kedatangannya diketahui Ong Ceng. Mendengar dia adalah ahli harpa nomor satu di dunia ini, maka Ong Ceng mengundangnya ke rumah pribadinya ingin mendengar permainan harpanya."

   "Kakek paling benci kalangan berkuasa, apalagi pejabat korup dan dorna, dia pasti menolak undangan Ong Ceng.

   "Dugaanmu memang tidak meleset, kakekmu sembunyi di sebuah hotel kecil, karena tidak berhasil mengundang kakekmu, maka dia lantas mengutus Kim-ih-wi hendak menangkapnya. Malahan ayah bundamu juga hendak ditangkapnya pula. Begitu dia mengeluarkan perintah Kim-ihwi segera melaksanakan tugas. Berita ini bocor diketahui oleh In Jong, kedudukan ln Jong amat tinggi, setiap tindak tanduknya selalu di awasi dan menjadi perhatian orang banyak, maka tidak leluasa dia bertindak atau bergerak untuk memberi kabar kepada kakekmu."

   Sampai disini Tan Ciok-sing sudah paham katanya.

   "O, kiranya begitu, maka In-conggoan minta tolong kepada Lopek."

   "Betul, sebetulnya In Jong juga tidak kenal kakekmu. Tapi dia mengagumi watak keras kakekmu yang patriotik pula maka dia merasa simpati dan tidak tega melihat kakekmu menjadi bulan-bulanan Ong Ceng."

   Haru hati Tan Ciok-sing, katanya.

   "Betapa perkasa dan baik hati In-conggoan dan Lo Pek, sungguh merupakan teladan bagi kaum muda."

   Setelah menenggak arak Khu Ti berkata pula.

   "Waktu itu sudah mendekati kentongan ketiga, urusan tidak boleh ditunda, maka aku berkata pada In Jong, baik soal ini kau serahkan padaku untuk kukerjakan, lekas kau pulang saja, supaya kaki tangan Ong Ceng tidak mengetahui jejakmu."

   "Setelah In Jong pergi, secara buru-buru aku menulis sepucuk surat yang kutujukan kepada kakekmu, maksudnya bahwa Ong Ceng hendak menangkap dia, supaya dia lekas melarikan diri. Waktu aku tiba di hotel kecil itu kakekmu sedang duduk melamun menyanding dian agaknya dia tidak bisa tidur. Maka aku gunakan kebiasaan orang Kangouw mengirim kabar dengan sambitan belati, surat kutusuk di ujung belati terus kusambitkan kedalam menancap di atas meja?"

   "Setelah melihat suratku, kakekmu tampak kaget dan raguragu, lekas dia membangunkan ayah bundamu, mereka lantas berunding. Mereka menempati dua kamar yang berdampingan, ada pintu penghubung. Ayahmu bilang Ong Ceng jahat telengas, siapapun tahu akan keganasannya. Soal ini lebih baik dipercaya dari pada kapiran. Syukurlah ada pendekar yang sudi memberitahu dan menolong kesulitan kita ini adalah lebih baik kalan kita melarikan diri saja."

   "Tapi kakekmu bilang kesehatan isterinya sedang terganggu, harapan semula kalian bisa beristirahat disini, kini harus pergi secara tergesa-gesa pula, mungkin dia bisa terserang penyakit yang lebih parah."

   "Tapi ayah bundamu tahu gelagat urusan harus dibedakan yang gawat dan yang ringan, jikalau masih ragu, bila kaki tangan Ong Ceng datang hendak menangkap mereka, kita bertiga jelas takkan sudi dihina, memangnya jiwa raga terima dikorbankan secara percuma, bagaimana kita bisa menyelamatkan diri pula?"

   "Kakekmu menghela napas, katanya.

   "Apa boleh buat, baiklah segera kita berangkat."

   "Melihat mereka pergi, legalah hatiku. Tak nyana baru saja kaki mereka melangkah keluar dari pintu belakang, kaki tangan utusan Ong Ceng juga telah melangkah masuk dari pintu depan."

   "Pimpinan kaki tangan Ong Ceng ternyata seorang yang sudah punya kedudukan tinggi dan berkepandaian Iiehay, dia adalah pimpinan barisan Kim-ih-wi bernama Ciang Thi-hu, meyakinkan Thi-sa-ciang, dia terhitung salah satu jago kosen di antara anak buah Ong Ceng. Dua orang laki yang dibawanya juga pandai menggunakan senjata rahasia.

   "Kupikir bila mereka mendapatkan kakek dan ayah bundamu melarikan diri, apalagi kakekmu belum lari jauh, pasti bisa terkejar, menolong orang harus menolongnya sampai selamat, supaya kakek dan ayah bundamu bisa lolos dengan selamat, maka aku perlu mengulur waktu. Maka secara diam-diam aku menyusup masuk ke kamar kakekmu, kupakai baju kakekmu yang tidak sempat dibawanya lalu merebahkan diri di atas ranjang, seluruh tubuh kututup kemul dan pura-pura tidur menggeros. Ciang Thi-hu ternyata termakan muslihatku, begitu datang dia menjebol pintu terus membentak.

   "Tan Khim-ang, diberi arak suguhan tidak mau, memangnya kau minta dihukum pancung. Hayo bangun, menyerahkan diri dan ikut aku."

   Begitu dia menyingkap kemul, kontan aku memberinya sebuah pukulan.

   "Thi-sa-ciang yang diyakinkannya ternyata memang liehay, tapi dia terpukul juga sampai jungkir balik keluar pintu, kepalanya bocor hidungnya ringsek."

   Tan Ciok-sing keplok tangan seraya berjingkrak senang, segera dia isi arak penuh dua cangkir, mereka sama-sama tenggak habis, teriaknya.

   "Sungguh menyenangkan."

   Khu Ti bercerita pula.

   "Sungguh menggelikan, dua anak buah Ciang Ti-hu ternyata berani mati turun tangan serempak menyerangku dengan senjata rahasia ini. Terpaksa kugunakan cara mereka untuk menghajar mereka, senjata rahasia mereka kupukul balik, bukan aku yang terluka, tapi senjata rahasia itu makan tuannya malah. Tanpa pedulikan mereka mati atau hidup segera aku tinggalkan hotel itu. Waktu itu merekapun tak berhasil menemukan jejak kakekmu."

   "Apa mereka tahu akan perbuatanmu?"

   Tanya Tan Cioksing.

   "Malam gelap gulita, hakikatnya mereka tidak melihat dan tidak tahu akan diriku, tapi aku tahu Ciang Ti-hu seorang ahli, bahwa Thi-sa-ciangnya terpukul pecah olehku, cepat atau lambat pasti dia tahu akan perbuatanku,"

   Sampai disini Khu Ti tertawa tergelak-gelak, lalu menambahkan.

   "Begitulah, dari seorang perwira Gi-lim-kun akhirnya aku berubah jadi pemilik kedai minum di dusun yang sepi dan terpencil ini, setiap hari aku minum arak buatanku sendiri, senang dan bebas juga kehidupanku disini."

   "Demi keluargaku sampai Khu-lopek kehilangan jabatan dan masa depan yang gemilang, meski kau menanam budi tanpa pikirkan balasannya, betapapun Wanpwe merasa rikuh dan hutang budi."

   Khu Ti mengerutkan kening, katanya.

   "Kenapa kau bicara demikian, masa depan apa segala, hidup dalam kalangan pemerintahan yang serba kotor itu, memangnya bisa mengembangkan bakat, pambek dan cita-citaku? Melakukan kerja yang melanggar hukum Tuhan? Memang sejak lama aku sudah ingin meletakkan jabatan. Kehidupan sekarang yang kurasakan ini, ternyata jauh lebih menyenangkan, bebas dan wajar dari pada menjadi perwira Gi-lim-kun. Hanya satu yang masih kusesalkan, aku tidak sempat pamitan kepada In Jong. Malam itu juga secara diam-diam aku meninggalkan kota raja."

   "Sayang sekali kehidupan serba sederhana dan bebas ini hari menjadi berantakan pula lantaran diriku."

   "Kau tidak usah menguatirkan diriku, walau aku tidak membuka warung minuman, arak bikinanku sendiri setiap hari tetap bisa kuminum dan kujual."

   Lain katanya lebih lanjut.

   "Sejak itu tak pernah aku bertemu dengan In Jong. Tapi diluar dugaanku, belum ada setengah tahun, aku malah bertemu dengan kakekmu."

   Seperti sedang mengingat-ingat kejadian masa lalu, beruntun dia menghabiskan tiga cangkir lagi, baru meneruskan ceritanya.

   "Belum lama setelah aku membuka kedai minum ini, hari itu datang tiga tamu yang bicara dengan logat daerah lain, mereka minta arak, selintas pandang lantas aku mengenali kakekmu. Waktu di hotel dulu aku tidak sempat melihat wajahnya, tapi dia memanggul harpanya itu. Dua pengikutnya adalah sepasang suami istri yang masih muda, merekapun membawa peralatan musik. Adik cilik, entah kau tahu tidak bahwa ibu kandungmu sebenarnya juga seorang ahli musik yang pandai memetik harpa. Dan kau, dulu sebetulnya pernah kemari, cuma kau tak tahu."

   Tan Ciok-sing melenggong, katanya.

   "Dua puluh tahun yang lalu, akukan belum lahir,"

   "Betul, kau memang belum lahir, tapi kau sudah berada dalam kandungan ibumu."

   Tan Ciok-sing tertawa, katanya.

   "Betul, usiaku tahun ini memang sembilan belas."

   "Hari itu, mereka datang bersama dan minta arak, aku betul-betul dibuat kaget."

   "Kenapa?"

   "Kakek dan ayahmu kelihatan kurus, pucat dan lesu aku dapat melihat keadaan mereka, ayahmu malah terluka dalam yang cukup parah. Demikian pula ibumu sudah mengandung tiga bulan, wajahnya juga kelihatan berpenyakitan."

   Sedih hati Tan Ciok-sing, pikirnya.

   "Mereka diburu-buru oleh menteri dorna itu, meski dunia ini cukup luas, tapi mereka pasti kehilangan akal dan tak tahu kemana mereka harus menyingkir, adalah jamak kalau mereka patah semangat dan putus asa, badan sehat dan kekarpun akhirnya pasti jatuh sakit karena kurang tidur, kurang makan, kurang istirahat, hati selalu was-was lagi. Ai, tak nyana sebelum aku lahir, ayah bunda ternyata sudah harus menderita sedemikian rupa."

   "Adik cilik, rakyat jelata masa itu, memangnya siapa yang tidak merasa ditindas oleh kaum penguasa, kejadian sudah berselang dua puluh tahun, kau tidak perlu bersedih karenanya,"

   Setelah menghela napas panjang, kembali dia menuang secawan penuh lalu ditenggak habis, katanya pula.

   "Aku silakan mereka duduk, dalam hati diam-diam aku menjadi bimbang, apakah perlu aku memperkenalkan diri dan menjelaskan duduk persoalannya? Tak kira sebelum aku sempat bicara, ternyata kakekmu sudah mengenali siapa aku ini."

   Tan Ciok-sing melengak, katanya.

   "Malam itu kakek kan tidak melihatmu, dari mana dia bisa tahu akan dirimu?"

   Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Dari seorang perwira Gi-lim-kun aku berubah jadi menjual minuman, adalah jamak kalau aku sering petingkah. Waktu aku membuka kedai ini, aku sendiri menulis sebuah syair dari pujangga Liok Yu untuk hiasan tempel dinding."

   Tan Ciok-sing lantas tahu, katanya.

   "P, kakek mengenali gaya tulisanmu?"

   "Betul, pandangan kakekmu ternyata tajam dan liehay, surat peringatan yang kutulis itu selama ini dia simpan baikbaik, padahal berapa huruf saja surat peringatan itu, namun dia sudah begitu paham dan mengenal gaya tulisanku. Setelah asal-usul diriku terbongkar, terpaksa aku mengaku terus terang."

   "Waktu di kota raja malam itu, hakikatnya kami tidak pernah bertemu, baru sekarang kami berkenalan secara akrab. Begitu kenal seperti sahabat lama saja layaknya, kami terus mengobrol panjang lebar."

   "Dalam percakapan itu baru aku tahu, ternyata kakekmu sekeluarga, bukan saja tak kuasa tinggal di kota raja karena diburu oleh Ong Ceng, ingin kelana di Kangouw juga selalu mengalami kesukaran, dua hari sebelumnya, mereka kepergok pula oleh anak buah Ong Ceng yang masih terus mengejarngejar mereka."

   "Jadi ayahku terluka dalam karena bertempur melawan anak buah Ong Ceng,"

   Ucap Tan Ciok-sing.

   "Untung mereka bukan kepergok jagoan Kim-ih-wi, dia hendak membekuk kakekmu, ayahmu segera melabraknya, akhirnya dia terluka, tapi musuh dapat digebah pergi. Tapi karena peristiwa ini ibumu kaget dan jatuh sakit. Sebetulnya ingin aku menahan mereka untuk menetap beberapa hari, setelah kesehatan pulih baru berangkat pula. Tapi mereka kuatir bila anak buah Ong Ceng memburu datang pula, apapun mereka tidak mau membuat susah aku lagi, maka hari itu kami hanya makan minum sepuasnya, sebelum berpisah kakekmu memetikkan sebuah lagu untukku."

   Diam-diam Tan Ciok-sing membatin.

   "Tak heran ayah bunda meninggal di masa muda, kiranya gara-gara Ong Ceng si durjana itu penyebabnya."

   "Setelah peristiwa To-bok-po, tak lama kemudian Ong Ceng sendiri juga mampus. Mungkin karena kejadian sudah lama berselang, maka kakekmu tidak pernah menyinggung soal ini terhadapmu."

   "Sayang menteri dorna itu sudah lama mati, aku tidak bisa menuntut balas sakit hati orang tua dengan tanganku sendiri. Lalu bagaimana dengan Ciang Thi-hu?"

   "Sampai sekarang Ciang Thi-hu masih hidup. Tapi konon dia sudah berganti seorang majikan lain. Majikannya yang sekarang adalah Kiu-bun-te-tok Liong Bun-kong."

   Tan Ciok-sing berkata geram.

   "Liong-kongcu yang datang barusan, bukan lain adalah keponakan Liong Bun-kong. Sayang kali ini dia hanya membawa Huwan bersaudara, mending kalau Ciang Thi-hu."

   Khu Ti menghela napas, katanya.

   "Orang baik di dunia ini takkan habis dibunuh, orang jahatpun takkan habis diberantas. Adalah pantas kalau selanjutnya kau berkelana sambil mendarma baktikan dirimu bagi kepentingan umum, jangan selalu kau dirundung sakit hati orang tuamu melulu. Ai, pamor kerajaan yang semakin guram, pemerintahan yang kacau balau ini, tak ubahnya seperti dua puluh tahun yang lalu?"

   Setelah menghela napas, dia melanjutkan.

   "Sebelum kakekmu pergi, diapun pernah menulis sebuah syair sebagai kenang-kenangan, apa kau mau melihatnya?"

   "Dimana?"

   Tanya Tan Ciok-sing.

   Maka Khu Ti menurunkan sebuah lembar kain sutra yang sudah luntur warnanya, di atas kain sutra ini bertuliskan syairsyair Liok Yu yang lain pula, gayanya kuat tulisannya tegas Tan Ciok-sing kenal betul akan tulisan kakeknya ini.

   Khu Ti berkata.

   "Waktu itu kakekmu sudah terpengaruh oleh air kata-kata, pernah ia menyatakan ingin mencari suatu tempat untuk mengasingkan diri, seperti makna dalam syair Liok Yu ini, bahwa akhirnya dia bersemayam di bawah Citsing- giam, agaknya sudah terlaksana juga keinginannya,"

   Sampai disini dia lantas tanya.

   "Tan-siheng, ada sebuah hal yang masih belum jelas bagiku, mohon penjelasanmu."

   "Lopek tak usah sungkan, entah soal apa yang ingin kau tanyakan?"

   "Ilmu pedangmu amat liehay dan menakjubkan. Agaknya bukan ajaran keluarga bukan?"

   "Ilmu pedangku memang kupelajari dari seorang guru ahli, pujian paman tak berani kuterima."

   "Belakangan In Jong juga meletakkan jabatan mengasingkan diri, entah dia pernah bertemu dengan kakekmu tidak?"

   "Seingatku, mereka tak pernah bertemu,"

   Demikian sahut Tan Ciok-sing, dalam hati dia membatin.

   "In Tayhiap In Hou adalah putra In Jong, kematian kakek justru disebabkan oleh In Hou."

   Seperti ada sesuatu yang dipikirkan sesaat lamanya baru Khu Ti berkata pula.

   "Aneh kalau begitu."

   "Soal apa yang paman rasakan aneh?"

   "Entah betul tidak rabaanku, ilmu pedangmu itu bukankah kau pelajari dari Thio Tayhiap Thio Tan-hong? Thio Tayhiap adalah adik ipar In-conggoan aku pernah menyaksikan ilmu pedangnya itu."

   "Pandangan Lopek memang jitu aku memang mendapat pelajaran dari Thio Tayhiap."

   "Ha, jadi Thio Tayhiap masih hidup?"

   Tanya Khu Ti terbelalak girang.

   "Suhu sudah meninggal bertepatan dengan pengangkatanku sebagai muridnya,"

   Lalu Tan Ciok-sing menceritakan kematian In Hou dan Thio Tan-hong serta pesan-pesan mereka kepada dirinya. Khu Ti menenggak pula secangkir arak katanya.

   "Dulu In Jong tidak kenal kakekmu demi menolong kakekmu dia rela mengorbankan kedudukan melawan menteri dorna yang berkuasa, kakekmu juga tidak kenal putranya In Jong, tapi sama-sama pula demi orang yanq tidak dikenalnya rela berkorban sehingga keluarga hancur berantakan. Walau tidak berhasil menolong orang tapi jiwa patriot dan keperkasaan mereka patut dipuji."

   "Khu-lopek, kau sendiri juga seorang lain yang tidak tahu apa-apa ikut terjerumus kedalam pertikaian ini, sepak terjangmu yang gagah dan budiman ini, Wanpwe patut kagum dan memujamu. Bukan lantaran paman pernah menanam budi untuk keluargaku baru Wanpwe bilang demikian."

   "Memangnya kau sendiri tidak demikian?"

   Ujar Khu Ti tertawa.

   "Kau membantu kesulitan yang menimpa keluarga In, sebelum ini kau kan tidak tahu bahwa In Jong pernah menanam budi keluargamu. Hehehe, kalau dibicarakan lebih jauh, jadi saling mengumpak belaka. Hayo minum, minum."

   "Aku sudah tak kuat minum. Waktu amat berharga, aku harus segera melanjutkan perjalanan."

   "Tunggu lagi sebentar. Aku ingin mencari tahu seseorang padamu."

   "Siapa?"

   "It-cu-king-thian Lui Tin-gak adalah penduduk Kwi-lin, tentunya kau tahu?"

   "Tahu Kakek pernah punya hubungan cukup baik dengan dia. Apa Khu-lopek kenal dia?"

   "Sudah lama kukenal namanya, tapi belum pernah ketemu. Tapi aku tahu dia seorang gagah yang suka royal merogoh kantong, maka aku merasa sedikit heran."

   "Apa yang mengherankan?"

   "Tadi kau bilang kakekmu berhubungan baik dengan dia, kini baru kuingat, dulu kakekmu bilang tidak mau mencari perlindungan pada keluarga Toan di Tayli, dia lebih percaya pada kawan-kawan Kangouw, kawan yang dia maksud mungkin adalah It-cu-king-thian Lui Tayhiap. Waktu kalian kebentur peristiwa yang menimpa In Hou itu, kenapa kalian tidak minta pertolongannya?"

   Tawar jawaban Tan Ciok-sing.

   "Mungkin kakek tidak ingin merembet orang lain."

   "Bicara soal Lui Tayhiap, aku jadi ingat akan janjiku yang belum terlaksana dulu, selama ini amat gegetun menyesal sekali."

   "Bukankah Khu-lopek tidak pernah mengenalnya?"

   "Betul, aku memang tidak pernah bertemu muka dengan dia, tapi pernah aku berjanji untuk membantu sesuatu hal baginya, selama ini belum bisa aku menepati janjiku itu."

   "Maaf kalau Siautit kurang hormat, mohon tanya soal apakah itu?"

   "Dua puluh tahun yang lalu, waktu itu Lui Tin-gak belum lama keluar kandang, di kalangan Kangouw dia masih terhitung angkatan muda. Sudah tentu niasa itu diapun belum memperoleh julukan It-cu-king-thian. Pada suatu ketika dia pernah membantu Kim-to Cecu Ciu Kian (ayah Ciu San-bin, Kim-to Cecu yang sekarang) menghadang serbuan pasukan Watsu menjaga sebuah selat penting, seluruh laskar rakyat berjuang bersamanya semuanya gugur, seorang diri dengan golok emas dia membunuh delapan belas busu musuh, terus bertahan sampai titik darah penghabisan, sehingga bala bantuanpun tiba sehingga musuh berhasil dipukul mundur, sejak itulah dia terangkat namanya. Julukan (t-cu-king-thian pun dia peroleh sejak pertempuran besar itu."

   "O, kiranya demikian. Semula kukira hanya memujikan dirinya ibarat Tok-siu-hong yang terkenal di daerah Kwi-lin itu."

   "Boleh juga dikata demikian. Sejak dia berdiam di Kwi-lin, karena kedermawanannya tidak sedikit orang-orang yang tak kuasa berdiam pula di Tionggoan dan lari di Kwi-lin mendapat perlindungannya, maka tidak sedikit pula yang berpandangan sepertimu tadi menjulukinya It-cu-king-thian. Tapi asal mula julukan itu sendiri jelas dari pertempuran besar melawan pasukan Watsu itu.

   "Kira-kira tiga bulan setelah pertempuran besar itu, aku memperoleh tugas untuk menyelesaikan urusan dinas di Tantong karena selama ini aku amat mengagumi Kim-to Cecu, setelah aku menunaikan tugas dinasku secara diamdiam aku lari ke Gan-bun-koan menemuinya. Hubungan In Jong amat intim dengan Kim-to Cecu, dari In Jong Kim-to Cecu sudah tahu akan diriku meski baru pertama kali bertemu hubungan kami sudah seperti saudara lama, tiada persoalan yang tidak menjadi topik pembicaraan kami.

   "Waktu itu Lui Tin-gak sudah lama meninggalkan markas Kim-to Cecu, tak urung kami memperbincangkan soal dirinya juga. Kim-to Cecu bilang Lui Tin-gak punya sesuatu keinginan dia mengharap suatu ketika dapat berkenalan dengan Thio Tan-hong yang memperoleh gelar jago pedang nomor satu di dunia. Dia tidak berani mengharapkan Thio Tan-hong sudi menerimanya sebagai murid dia hanya ingin mohon sedikit petunjuk beberapa jurus ilmu pedang dari Thio Tan-hong."

   "Setelah mendengar hal ini aku lantas bilang kepada Kim-to Cecu, bahwa cita-citanya yang luhur ini, kemungkinan aku bisa membantu dia. Waktu itu aku berpikir begini, Thio Tanhong adalah suami dari adik perempuan In Jong, mengingat hubungan baikku dengan In Jong, mohon bantuannya supaya dia membantu kemungkinan bisa memohon pada Thio Tanhong untuk menerimanya sebagai murid."

   "Tak kira setiba aku di kota raja dan menemui In Jong, baru tahu bahwa Thio Tan-hong sudah menghilangkan jejaknya di Kangouw. In Jong sendiri juga tidak tahu dimana sekarang Thio Tan-hong berada. Walau aku tidak pernah berjanji kepada Lui Tin-gak secara langsung, tapi aku sendiri pernah berjanji kepada Kim-to Cecu sampai sekarang aku belum bisa melaksanakan janjiku itu, maka terasa olehku masih merasa hutang terhadap It-cu-kingthian,"

   Sampai disini Khu Ti menenggak habis secawan arak terakhir katanya.

   "Lote, aku mohon bantuanmu."

   Tan Ciok-sing sudah dapat meraba beberapa bagian tapi dia tetap berkata.

   "Lopeh adalah tuan penolong keluargaku, adakah sesuatu tugas yang perlu Siautit lakukan, boleh silahkan perintahkan saja. Kalau Lopeh main sungkan. Siautit jadi rikuh dan tak enak memikulnya."

   "Kelak bila kau bertemu dengan It-cu-king-thian sukalah kau mendemontrasikan ilmu pedang ajaran Thio Tan-hong ini di hadapannya, supaya keinginannya itu terkabul."

   Kakek Tan Ciok-sing adalah sahabat baik It-cu-king-thian, tapi Tan Ciok-sing sendiri, hakikatnya tidak pernah kenal dan tidak tahu liku-liku kehidupannya.

   Kini setelah mendengar kisah masa lalu It-cu-king-thian dari Khu Ti, hatinya jadi bingung, pikirannya ruwet.

   "Ternyata dia pernah berjuang berdampingan dengan Kim-to Cecu, seorang pahlawan bangsa yang patriotik lagi, mungkin aku salah mencurigainya. Tapi hati manusia siapa bisa menduga, seorang gagah atau pahlawanpun mungkin saja melakukan kesalahan. Sesuai apa yang diceritakan paman Khu, Lui Tin-gak gemar belajar silat, cita-citanya yang terbesar adalah memperoleh ajaran ilmu pedang suhu. Kejadian itu bukan mustahil lantaran dia tahu bahwa ln Hou membawa Kiam-boh karya Suhu sementara In Tayhiap menyembuhkan luka-lukanya di rumahku, karena ingin merebut Kiam-boh maka mengatur tipu daya sehingga kakekpun ikut menjadi korban? Biarlah aku menyelidiki soal ini lebih dulu, kalau betul dia adalah musuhku, akan kutantang dia berduel setelah kukembangkan pelajaran ilmu pedang Suhu di hadapannya baru kubunuh dia, berarti aku telah menunaikan permintaan paman Khu."

   Khu Ti menggulung kain centel yang bertulisan syair-syair Liok Yu itu terus diserahkan kepada Tan Ciok-sing, katanya.

   "Seguci arak terakhir telah habis kuminum tiada sesuatu benda dalam kedai ini yang perlu kubawa lagi. Setelah kuserahkan padamu, aku boleh pergi dengan lega hati."

   Mereka beranjak keluar bersama, Tan Ciok-sing bersiul panjang, lekas sekali kuda putih itu sudah berlari mendatangi. Khu Ti memuji.

   "Kudamu ini bagus sekali, cerdik pula."

   "Kemana selanjutnya paman akan mengasingkan diri, semoga Siautit masih ada kesempatan mohon petunjukmu."

   "Di belakang gunung aku membangun sebuah gubuk, semoga aku dapat melewatkan sisa hidupku ini di tengah lebatnya awan."

   Segera Tan Ciok-sing menjatuhkan diri menyembah berulang kali setelah pamitan cemplak kuda putih terus melanjutkan perjalanan.

   Sepanjang jalan tiada kejadian apa-apa, tujuh hari kemudian dia sudah memasuki propinsi Kwi-siu, hari itu dia memasuki sebuah kota kecil, pemandangan kota seperti sudah amat dikenalnya, ternyata di sinilah letak kampung halaman Liong Seng-bu, waktu pertama kali dia datang dulu, pernah bentrok dengan kawanan penjahat hampir saja dia terlantar di perantauan, untung waktu itu dia bertemu dengan Liong Seng-bu.

   Waktu hari sudah malam, sebetulnya Tan Ciok-sing tidak ingin menginap di kota ini, terpaksa dia mencari hotel.

   Liong Seng-bu keparat itu masih ada di Tay-tong, kukira tidak akan terjadi kesulitan atas diriku, apa salahnya kalau aku pergi ke tempat dulu yang pernah kudatangi, coba apa mereka masih mengenalku!"

   Demikian pikir Tan Ciok-sing.

   Dia menginap di hotel dimana dulu dia menginap, pemilik hotel ternyata masih mengenalnya.

   Begitu melihat kedatangannya, sekilas pemilik hotel melongo tapi lekas sekali dia sudah berseri tawa sambil menyambut dengan mundukmunduk.

   "Bukankah kau Tan-siangkong yang tahun lalu menginap di hotel kami? Angin apa yang meniupmu kemari, sungguh tamu agung, silahkan, silahkan,"

   Seperti ketiban rejeki dari langit saja, sikap hormatnya yang berkelebihan ini membikin Tan Ciok-sing merasa risi malah.

   Tan Ciok-sing yang sekarang sudah tentu jauh berbeda dengan empat tahun yang lalu, naiknya kuda jempolan, meski pakaian yang dia kenakan tidak mewah, warnanya masih baru dan model mutahir lagi, tapi perubahan sikap dan pelayanan pemilik hotel ini justru jauh lebih berbeda dari dulu, ini sungguh membuatnya heran dan diluar dugaan.

   Diam-diam dia tertawa geli dan merasa kasihan pula, katanya.

   "Terima kasih, ternyata kau masih ingat diriku, apa kau tidak kuatir aku tak mampu membayar rekeningku."

   Kikuk dan menyengir kuda pemilik hotel, katanya tersipusipu.

   "Beruntung Tan-siangkong sudi mampir pula, memohonpun belum tentu dapat diterima. Semoga Tansiangkong mengizinkan kami menyuguhkan hidangan yang paling kami banggakan, berapa lama Siangkong suka menetap disini, boleh tak usah bicara soal rekening segala."

   "Lha, kan aku ini jadi buaya yang suka makan tidur gratis? Mana boleh?"

   "Ah, mungkin pelayanan kami tidak memuaskan sehingga Siangkong marah. Terserahlah berapa Siangkong suka bayar."

   Dasar anak pegunungan, Tan Ciok-sing tidak suka main nakal, maka dia berkata.

   "Baiklah, berikan sebuah kamar yang bersih pendek kata aku tidak akan makan minum gratis."

   Pemilik hotel mengiakan munduk, segera dia bawa Tan Ciok-sing ke sebuah kamar, katanya.

   "Inilah kamar kelas satu yang paling baik dari hotel kami, entah mencocoki selera Tansiangkong?"

   "Baiklah. Tak ada urusan lagi untukmu, kau boleh keluar."

   Tapi pemilik hotel tidak segera berlalu, katanya malu-malu.

   "Tan-siangkong maaf kalau hamba cerewet, mohon tanya apakah Siangkong pulang sendirian?"

   Tan Ciok-sing melengak, katanya.

   "Kau kira dengan siapa aku akan kembali?"

   "Waktu Siangkong menginap di hotel kami tahun lalu, maaf kalau kami punya mata tidak bisa membedakan orang, kami tidak tahu kalau kau adalah sahabat Liong-kongcu. Sejak hari itu Liong-kongcu meninggalkan desa bersamamu, sampai sekarang belum pulang. Kami duga, dalam dua hari ini dia pasti sudah kembali."

   "Oo, kau kira aku pulang bersama Liong-kongcu. Bagaimana kau bisa menerka kalau dalam dua hari ini dia bakal pulang?"

   Tanya Tan Ciok-sing. Pemilik hotel agaknya jadi heran, katanya.

   "Apakah Tansiangkong belum tahu bahwa Liong-tetok Liong-lotayjin sedang cuti dan kembali ke kampung halaman?"

   Selama beberapa tahun ini pengalaman dan pengetahuan Tan Ciok-sing sudah banyak maju maka dengan tawar dia berkata.

   "O, kiranya Liong-tayjin sedang cuti, aku tidak menduga kalau dia sudah tiba di kampung halaman. Kira-kira setengah bulan yang baru lalu aku bertemu dengan Liongkongcu, jadi belum tahu bahwa pamannya sudah meninggalkan kota raja."

   Berkata pemilik hotel setelah berpikir sejenak.

   "Konon karena bahaya Tay-tong sudah lenyap maka Liong-tayjin sengaja pulang ke desa untuk membersihkan pusara leluhurnya. Tan-siangkong kau adalah teman baik keponakan Liong-tayjin, perlukah kuutus orang pergi ke rumah keluarga Liong."

   "Kalau aku mau mencari Liong-tayjin, aku akan pergi sendiri,"

   Demikian tukas Tan Ciok-sing.

   "tak usah kau mencapaikan diri,"

   Sampai disini dia merogoh keluar dua butir kacang emas dan berkata pula.

   "Malam ini aku ingin tidur sepuasku, jangan ada siapapun yang mengganggu aku. Jikalau ada orang mencari tentang diriku, jangan kau katakan kalau aku ada disini."

   Setelah menerima pembayaran kedua butir kacang emas, sudah tentu pemilik hotel kesenangan, usaha Tan Ciok-sing membungkam mulutnya memang berhasil, sementara pemilik hotel sendiri memang juga tidak ingin mencampuri urusan orang lain.

   Setelah mandi dan makan malam, Tan Ciok-sing lantas tutup pintu kamarnya.

   Kuatir sesuatu terjadi, dia tidak berani tidur.

   Kirakira kentongan kedua didengarnya derap lari kuda berhenti di depan pintu hotel.

   
Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Ban Liong-tin yang kecil ini penduduknya tidak banyak, bukan kota penting yang menjadi pusat perdagangan lagi, penduduknya serba sederhana saja, begitu petang mendatang semua lantas tutup pintu, tapi malam sudah selarut ini siapa pula yang datang ke kota kecil ini? Demikian batin Tan Ciok-sing.

   Kamar yang di tempati kebetulan membelakangi sebuah taman, maka, pembicaraan orang di ruang tamu luar tak bisa didengarnya, namun diamdiam dia bersiaga.

   Tapi tak lama kemudian, derap lari kuda terdengar pula, ternyata tamu penunggang kuda itu sudah pergi puia, hal ini betul-betul diluar dugaannya, agaknya sang tamu hanya bertanya beberapa patah kata saja dengan pemilik hotel.

   Karuan Tan Ciok-sing keheranan, di saat dia kebingungan, didengarnya pintunya diketuk dari luar, suara pemilik hotel berkata.

   "Tan-siangkong tolong buka pintu."

   Begitu Tan Ciok-sing membuka pintu, pemilik hotel berkata.

   "Maaf aku mengganggu, kulihat masih ada sinar pelita dalam kamar, kukira Tan-siangkong belum tidur, maka berani aku mengetuk pintu."

   "Apa ada urusan?"

   Tanya Tan Ciok-sing.

   "Ingin kulaporkan suatu hal. Memang seperti yang diduga Siangkong, tadi ada seorang yang mencari tahu tentang diri Siangkong."

   "Siapa dia?"

   "Logatnya luar daerah, seorang asing yang belum pernah kulihat."

   "Orang luar daerah?"

   "Betul, aku jadi heran, semula kukira utusan keluarga Liong yang hendak menjemputmu. Tapi aku yakin orang yang dia cari pasti Siangkong adanya."

   "Bagaimana bentuk dan wajah orang itu, apa dia menyebut namanya?"

   "Seorang pemuda sebaya dengan Siangkong, dia tidak memberitahu namanya. Tapi kuda putih yang dia naiki itu, eh aneh juga kalau dikatakan, kudanya itu mirip sekali dengan kuda tunggangan Siangkong."

   Tan Ciok-sing terperanjat, serunya.

   "masa begitu kebetulan?"

   "Dia tanya padaku, adakah tamu she Tan yang sebaya dengan dia, menunggang kuda putih yang menginap di hotelku? Dia bilang hendak mencari temannya itu."

   "Bagaimana kau menjawab?"

   "Semula aku jadi serba susah, jikalau dia betul-betul temanmu, kalau aku tidak bicara sejujurnya, mungkin kau akan menyalahkan aku."

   "Kan sudah kupesan padamu, peduli siapa yang datang, malam ini aku takkan menemuinya. Maka jangan kau katakan kalau aku menetap disini."

   Mendengar ini pemilik hotel lega dan bersyukur bahwa apa yang dilakukan memang betul, lekas dia bersikap mengumpak, katanya sembari tawa.

   "Memangnya, mana aku melupakan pesanmu. Maka..."

   "Maka kenapa?"

   Tanya Tan Ciok-sing dalam hati dia merasa was-was.

   "Maka kukatakan padanya bukan saja aku tidak pernah melihat orang yang dia cari, juga kukatakan hotel kami sudah penuh, sehingga dia tidak jadi menginap disini. Entah betul tidak tindakanku ini?"

   "Bagus, tindakanmu memang tepat,"

   Lalu dirogohnya dua butir kacang emas pula.

   "nah uang ini untuk persen jasamu."

   Dengan cengar-cengir pemilik hotel berkata.

   "Ah, rikuh juga untuk menerimanya,"

   Tapi mulut-bicara tangan sudah disodorkan untuk menerima kedua butir kacang emas itu.

   "Siangkong masih ada pesan lainnya?"

   "Kuingat dalam kota ini ada dua hotel bukan?"

   "Betul- Ingatan siangkong memang tajam. Masih ada sebuah lagi adalah Hun-lay-khek-tiam, letaknya di pojokan jalan di seberang sana. Siangkong apakah kau ingin mencari tahu siapa pemuda tadi, besok pagi bisa kucari tahu pada pemilik hotel Hun-lay, mungkin dia menginap disana."

   Berkerut alis Tan Ciok-sing, katanya.

   "Tidak jangan kau lakukan itu."

   "Baiklah, silahkan Siangkong istirahat, aku mohon diri."

   Setelah pemilik hotel pergi, Tan Ciong-sing menutup pintu kamarnya.

   Hatinya menjadi bingung dan resah.

   Siapakah pemuda dengan logat luar daerah, menunggang kuda putih? Kalau di mulut pemilik hotel pemuda itu dianggapnya 'asing' tapi dalam benak Tan Ciok-sing sudah terbayang bentuk wajah seseorang yang sudah amat dikenalnya baik.

   Bentuk wajah In San yang menyamar jadi laki-laki.

   Pelan-pelan dia membuka daun jendela, bulan sabit bergantung di atas langit, sinarnya redup, bintang kelap-kelip tersebar tidak menentu.

   Kini sudah mendekati kentongan ketiga.

   Cuaca seperti ini memang mencocoki selera orang untuk berjalan malam.

   "Biar aku pergi menengoknya, apakah dia In San adanya?"

   Tak kuasa Tan Ciok-sing menahan gejolak hatinya, akhirnya dia berpakaian ketat, terus berangkat.

   "Kalau betul In San, lalu bagaimana baiknya? Ai, cukup asal aku melihatnya sekali saja, lebih baik kalau dia tidak sampai melihatku,"

   Hati Tan Ciok-sing gundah pikiran ruwet, sulit dia berkeputusan, dalam keadaan apa boleh buat ini, sementara dia tidak berkesimpulan, biarlah bekerja melihat gelagat saja.

   Di bawah cahaya bulan yang remang, diam-diam dia ngeluyur keluar hotel, segera dia kembangkan ginkang langsung lari menuju ke hotel yang lain di pojok jalanan sana.

   Baru saja dia tiba di pengkolan jalan di seberang hotel, tiba-tiba didengarnya suara lambaian pakaian orang, sebagai seorang yang sudah berpengalaman, sekali dengar Tan Ciok

   

   Tiraikasih Website
http.//kangzusi.com

   sing lantas tahu banwa seorang pejalan malam segeia akan muncul.

   Lekas dia sembunyi ke tempat gelap, tapi pejalan malam itu tidak melihat dirinya.

   Kesiur angin lekas sekali berkelebat di atas kepalanya.

   Gerakan pejalan kaki ini ternyata sebat dan enteng sekali, hanya sekejap saja dia sudah melayang jauh melampaui beberapa wuwungan rumah penduduk.

   Namun dalam sekejap itu Tan Ciok-sing yang bermata jeli sudah melihat jelas.

   Walau dia tidak melihat wajah orang, tapi dari bayangan punggung orang, Tan Ciok-sing yakin dia bukan lain adalah In San yang menyamar laki-laki.

   Hampir saja Tan Ciok-sing menjerit tertahan, untung dia sempat mengerem suaranya.

   "Aneh,"

   Demikian pikirnya.

   "kenapa dia lari ke hotel tempatku menginap itu? Memangnya dia tidak percaya jawaban pemilik hotel, aku kemari mencarinya, diapun kesana mencariku?"

   Maka secara diam-diam Tan Ciok-sing lantas menguntitnya, ginkangnya jauh lebih tinggi dari In San, jaraknya dipertahankan seratusan langkah maka In San tidak tahu dan tidak menyadari bahwa dirinya dibuntuti.

   Setiba di hotel dimana Tan Ciok-sing menginap, In San lantas berhenti, Tan Ciok-sing kira orang akan melompat masuk, t.?k kira hanya berhenti sebentar, tiba-tiba dia angkat langkah pula berlari lebih kencang, ke arah depan.

   Hal ini betul-betul berada diluar dugaan Tan Ciok-sing pula.

   "Kemana dia mau pergi?"

   Waktu dia mendongak, rembulan sudah bercokol di tengah langit, sementara bayangan In San sudah jauh ratusan langkah di depan. Tergerak hati Tan Cioksing, tiba-tiba dia teringat.

   "Bukankah rumah keluarga Liong terletak di sebelah barat kota ini?"

   Dan In San kini jelas berlari ke arah barat.

   Yang satu berlari kencang mengejar waktu, yang lain menguntit dengan ketat, tanpa terasa keduanya sudah keluar kota, akhirnya tiba di bawah sebuah bukit.

   Di bawah keremangan cahaya rembulan, tampak pagar tembok yang berliku-liku di kejauhan depan sana, memang itulah bentuk bangunan rumah keluarga Liong seperti yang pernah dilukiskan oleh pemilik hotel.

   Baru sekarang Tan Ciok-sing mengerti, kiranya tujuan In San ke rumah keluarga Liong.

   "Pulangnya Liong Bun-kong ke kampung halaman pasti merupakan berita besar untuk kota kecil ini In San tentu sudah mendapat tahu dari berita orang di hotelnya. Liong Bun-kong adalah musuh besarnya, tak heran kalau dia meluruk kemari hendak menuntut balas,"

   Demikian batin Tan Ciok.sing.

   "Sebagai Kiu-bun-te-tok, betapa banyak jago kosen Liong Bun-kong? Seorang diri nona In hendak menutut balas, apakah dia tidak terlalu-menyepelekan kekuatan lawan?"

   Tengah dia mereka-reka dilihatnya dari arah hutan lebat sana tiba-tiba muncul sesosok bayangan kebetulan mencegat jalan In San, kontan dia ulur cakar tangannya terus mencengkram pundak.

   Dalam pada itu Tan Ciok-sing sudah mempercepat langkahnya, lalu sembunyi di balik pohon tak jauh di belakang In San, begitu melihat orang itu melancarkan Kim-na-jiu-hoat, dia tahu meski In San tidak bakal kalah, tapi orang itu akan melibatnya cukup lama juga, bukan mustahil jejak kedatangan In San bisa konangan.

   Maka timbul keinginan Tan Ciok-sing untuk membantu secara diam-diam, sekenanya dia meraih ke tanah menjemput sebutir krikil terus dijentik ke depan.

   Orang itu ternyata terlalu membanggakan kepandaiannya,, dia kira sekali cengkram lawan pasti berhasil dibekuknya.

   Dia pikir dengan berhasil membekuk mata-mata musuh, setelah dikompres baru diserahkan pada majikan, supaya pahalanya tidak direbut orang lain, maka dia diam saja tidak bersuara memanggil teman.

   Tak nyana cengkramannya meleset, tahu-tahu golok In San sudah mengancam mukanya, cahaya golok yang kemilau menyilaukan matanya, tapi kepandaian orang ini memang lumayan juga, dalam keadaan kritis ini, lekas dia menekuk pinggang sambil membungkuk seperti petani yang bercocok tanam di tengah ladang, cuma gerakannya terbalik ke belakang sehingga mirip jembatan besi, secara kekerasan dia hindarkan dirinya dari bacokan golok, terpaut serambut hidungnya terpapas hilang.

   Sebat sekali kaki orang ini kembali berkisar serta menendang, begitu golok lawan berkelebat tubuhnyapun sudah melejit, ujung kakinya tahu-tahu menggantil berbareng sebelah tangannya menjojoh ketiak kiri In San dari arah yang tak terduga.

   Kepalan lawan belum lagi mengenai tubuh In San, demikian pula golok In San juga belum membelah tubuh orang itu, tibatiba tubuh orang itu sempoyongan dan "Bluk"

   Jatuh tersungkur. Kuatir orang main tipu, kontan In San layangkan kakinya, tanpa bersuara lagi orang itu terguling, tak bangun lagi. Sudah tentu In San menjadi heran dan curiga, pikirnya.

   "Menilai kepandaian orang ini, kenapa pada detik yang genting tadi tahu-tahu bisa roboh sendiri?"

   Dia tidak berani menyalakan api untuk memeriksa keadaan orang, terpaksa dia tambahi sekali tutukan pula, memangnya sudah semaput, ditutuk lagi sudah tentu keadaan orang itu lebih parah lagi.

   Padahal tanpa tutukannya ini jelas orang ini takkan mampu bergerak karena terkena tutukan sambitan krikil Tan Ciok-sing, maka pada detik-detik yang genting tadi tahu-tahu dia roboh tak berkutik.

   Setelah memilih arah In San menggeremet maju lewat kebon belakang, dilihatnya di depan pintu kebon ada dua orang penjaga yang berjalan mondar-mandir, tapi kepandaian kedua orang ini ternyata jauh lebih rendah dari seorang yang tadi, tiba-tiba In San melompat keluar dari tempat sembunyinya pada waktu yang tepat, di kala kedua orang berjalan saling berhadapan, sekaligus dia gunakan kiri kanan membentang gendewa, dengan gerakan secepat kilat menyambar sehingga sang korban tak kuasa menutup telinga, dia tutuk hiat-to kedua orang ini.

   Sebat sekali tanpa hiraukan kedua korbannya dia melesat masuk laksana seekor burung melampaui pagar tembok.

   Setiba didalam baru In San insaf bahwa dirinya menilai situasi di depannya terlalu ringan.

   Kebon bunga ini ternyata luas dan besar sekali, gardu, bangunan loteng serta menara pemandangan dibangun secara tersebar laksana pion-pion catur entah berapa banyak? Bangunan didalam pagar ternyata jumlahnya lebih banyak dan mentereng dibanding rumah penduduk didalam kota.

   Karuan In San menghirup napas dingin, di antara sekian banyak bangunan rumah hendak mencari jejak seseorang, betapa sukarnya? Jikalau satu demi satu menggeledahnya, mungkin tiga hari tiga malam juga takkan selesai.

   Di kala dia kebingungan dan tak tahu dari mana dia harus mulai bekerja tiba-tiba didengarnya langkah kaki orang di sebelah sana.

   Lekas In San sembunyi di belakang gununggunungan, dilihatnya dua dayang cantik jelita yang membawa keranjang sedang mendatangi.

   Keranjang bambu itu ada tutupnya, dibuat oleh seorang ahli kerajinan sehingga kelihatan bagus dan antik, biasanya keranjang macam itu diperuntukkan mengisi makanan bagi kaum bangsawan, agaknya dayang-dayang cantik ini malam ini bertugas menyediakan sarapan tengah malam.

   Terdengar seorang dayang berkata.

   "Jay-ci, bikin susah kau saja. Terus terang, aku agak takut, begini besar kebon ini, jauh lebih luas dari taman bunga kita di kota raja, siang hari saja terasa seram, apa lagi malam hari bikin jantung orang dak dik duk saja, kalau tidak ditemani, seorang diri aku takkan berani mondar mandir disini."

   Dayang yang dipanggil Jay-ci berkata. 'Kita kan kakak adik sendiri, kenapa harus bicara sesungkan ini. Bukan mustahil besok malam menjadi giliranku untuk menyediakan sarapan malam seperti kau ini, memangnya aku tidak akan menyeretmu ke mari juga?"

   "Loya memang keterlaluan, tengah malam buta rata masih minta dibuatkan kuah Jinsom segala, celaka adalah kaum rendah seperti kita ini?"

   Jay-ci itu menghela napas, katanya.

   "Siapa suruh kita dilahirkan sebagai budak? Tapi Loya setiap malam harus minum kuah Jinsom, ini memang ada sebabnya, apa kau tahu?"

   "Sebab apa?"

   Kebetulan kedua orang ini lewat di bawah gununggunungan, Jay-ci berbisik.

   "Semula Hujin juga tinggal di rumah tua ini, kedatangan Loya kali ini konon hendak menjemputnya pulang ke kota raja,"

   Sampai disini temannya itu menyeletuk.

   "Selamanya belum pernah aku melihat Hujin, kabarnya sejak lima tahun yang lalu dia sudah pulang kesini, apa betul?"

   Jay-ci mengiakan. Dayang yang satu berkata.

   "Kenapa setiba kita disini, seluruh penghuni rumah ini tak ada seorangpun yang pernah menyinggung Hujin? Sudah sekian lamanya, belum juga pernah kulihat nyonya besar itu?"

   Jay-ci berkata lirih.

   "Setengah bulan yang lalu, sebelum Loya tiba disini, Hujin sudah meninggalkan rumah seorang diri."

   Dayang itu kaget, katanya.

   "Jadi Hujin minggat?"

   "Betul, maka tiada orang yang berani bicara soal ini."

   "Kenapa Hujin minggat?"

   "Mana aku tahu, kalau dia sudah minggat, tentu karena persoalan yang memalukan."

   Dayang itu tertawa dingin, jengeknya.

   "Siapa nyana kaum bangsawan juga ada yang melakukan perbuatan yang memalukan."

   "Ssssstt. Jangan sembarang omong, kalau didengar orang, celakalah kau."

   "Tempat ini begini sepi mana ada orang? Penjaga malam juga berada diluar sana."

   "Lebih baik hati-hati, siapa tahu di balik dinding atau di bawah semak-semak bunga sana ada orang pasang kuping,"

   Demikian kata Jay-ci.

   "karena kejadian minggatnya Hujin inilah maka Loya amat marah dan jatuh sakit, kesehatannya jauh menurun dibanding waktu di kota raja, malam tidak bisa tidur, maka setiap malam kitalah yang harus menyiapkan kuah Jinsom."

   Bahwa mendengar kedua dayang ini membicarakan ibunya, sudah tentu tak karuan perasaan In San, tapi dia memperoleh hasil diluar dugaan juga, kini dia yakin "Loya"

   
Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Yang dimaksud dalam pembicaraan kedua dayang ini pasti adalah musuh besarnya Liong Bun-kong.

   Maka In San lantas melompat keluar, dia tutuk hiat-to Jayci baru mencengkram kuduk dayang yang lain, tajam goloknya yang kemilau dibuat ngancam di tenggorokan orang, katanya mendesis rendah.

   "Berani kau berteriak, kugorok lehermu."

   Saking ketakutan serasa arwah terbang, kaki si dayang sampai lemas lunglai hampir tak kuat berdiri kalau tidak dijinjing In San, tapi dia masih kuasa bersuara.

   "Boleh kau membunuhku saja. Cuma mohon kau tidak melaporkan diriku." -dia kira In San adalah penjaga malam dalam gedung ini yang mencuri dengar pembicaraan mereka, kini dirinya diringkus dan hendak diserahkan kepada Loya untuk terima hukuman, derita siksaan yang cukup berat pernah dia saksikan, maka dia pilih jalan pendek saja. In San tahu watak dayang cilik ini lebih keras dan tegas dari pada Jay-ci, diapun menaruh rasa dendam dan kurang senang terhadap sang Loya, maka tak tega dia menggertaknya, golok segera dia turunkan, katanya.

   "Bukan aku ingin membunuhmu, aku hendak membunuh Loyamu itu."

   Bukan main kaget si dayang, sekian lama dia melongo mengawasi In San, tanpa kuasa mengeluarkan suara. In San lantas berbisik di pinggir telinganya.

   "Jangan takut, kau tidak akan kerembet. Tapi kau harus menunjukkan jalan, setiba di tempat tinggal Loyamu, kau akan kubebaskan. Tidak jadi soal kau agak terlambat membawa kuah Jinsom itu, supaya Loyamu tidak curiga terhadapmu. Tapi kalau kau tetap hendak melindungi Loyamu, tidak mau menunjukkan tempatnya, terpaksa aku membunuhmu."

   Bingung juga si dayang, akhirnya dia berkeputusan, katanya mengertak gigi.

   "Kenapa aku harus melindungi Loya, ayahku mati karena dia tekan dan dihajar sampai luka parah karena tak kuat membayar pajak. Setelah ayah meninggal, aku diseretnya kemari untuk melunasi hutang-hutang pajak ayah. Baiklah, mari kutunjukkan tempatnya."

   Jalanan didalam kebon berliku-liku dan berputar-putar kian kemari, agaknya dayang ini sudah hapal betul akan seluk beluk kebon besar ini, tanpa banyak mengeluarkan suara mereka sudah tiba di bilangan kebon yang lain.

   Tampak gunungan yang dibangun cukup besar terdiri dari batu-batu karang lautan menjulang di depan sana, di sekeliling gunungan dipagari batu-batu beraneka ragam, sehingga bentuk bangunan gedung di sebelah dalam tidak kelihatan, agaknya didalam kebon besar ini ada pula taman kembang yang lain, setelah berada di sebelah dalam baru ketahuan bahwa disini lain pula bentuk dan corak bangunannya.

   Di tengah taman didalam kebon ini terdapat sebuah bangunan gedung berloteng, di pojok sana, jendela yang dihiasi kain paris tampak sinar lampu menyorot keluar.

   Tak jauh di samping gedung berloteng tampak sepucuk pohon besar menjulang tinggi ke angkasa, daunnya lebat, dahandahannya yang bercabang menjulur jauh ke arah loteng, sehingga pandangan In San teraling karenanya.

   Dayang cilik itu berkata lirih.

   "Loya bertempat di atas loteng yang ada lampunya itu."

   In San mengangguk, katanya.

   "Baiklah, kau keluar dulu dan sembunyi sebentar. Aku akan bertindak, setelah kau mendengar suara ribut-ribut di atas loteng, baru kau boleh keluar."

   Pohon tua yang rimbun itu kebetulan cocok untuk tempat sembunyi, In San segera kembangkan ginkangnya yang tinggi, melompat naik ke atas pohon, dahan tidak bergeming, daun tidak goyang.

   Orang didalam loteng ternyata sedikitpun tidak tahu.

   Memandang kedalam melalui jendela yang terbuka, tampak seorang laki-laki tua kurus tengah sibuk membalik-balik dan membaca surat-surat di bawah penerangan lampu.

   Sesaat lamanya In San melongo, hampir-hampir dia tidak percaya akan apa yang dilihatnya, dia kira dirinya salah mengenali orang.

   Belasan tahun yang lalu, waktu In San baru berusia lima enam tahun, dia ikut ibunya tinggal di rumah neneknya.

   Waktu itu meski ayah bundanya hidup berpisah, tapi belum cerai.

   Liong Bun-kong masih berkedudukan rendah, belum menjabat Kiu-bun-te-tok.

   Demi mempersunting ibunya, dua tiga hari sekali dia pasti datang, usia Liong Bun-kong kira-kira sebaya dengan ayahnya, waktu itu baru dua puluh tahun, boleh dikata adalah pemuda cakap ganteng yang romantis.

   Usianya masih kecil dan tidak tahu apa-apa pernah juga dia merasa senang dan punya kesan baik terhadap paman Liong yang satu ini.

   Tak nyana pemuda ganteng dan gagah serta romantis yang dulu dikenalnya, kini sudah berubah jadi kakek reyot yang buruk rupa lagi.

   Terdengar Liong Bun-kong menghela napas,' katanya seorang diri.

   "Belasan tahun sebagai suami isteri, ternyata selama ini tak pernah aku memiliki hatinya."

   In San sudah menggenggam sebatang Toh-kut-ting, entah kenapa hatinya tidak tega turun tangan, dia akan lebih senang bila musuh besarnya ini adalah laki-laki kasar yang jahat dan berwajah bengis, tapi kenyataannya orang adalah kakek kurus yang lemah dan takkan kuat sekali tonjok.

   Tapi rasa tidak tega ini hanya sebentar saja terbayang olehnya akan keluarga si dayang yang ditindas dan diperas oleh kakek kurus kering she Liong yang jahat ini, pikirnya.

   "Musang berbulu ayam akan lebih keji dan telengas dari pada musang yang menyeringai buas dan liar, bahwa dayang cilik itu saja sedemikian dendam terhadapnya, memangnya penderitaanku dan petaka yang menimpa keluargaku tidak lebih parah dari dayang itu, mana boleh aku mengampuni jiwanya, sehari dia masih hidup, orang lain akan ketimpa bencana oleh perbuatan jahamya."

   Sambil kertak gigi dia sudah siap menyambitkan Toh-kutting (paku penembus tulang), tiba-tiba sebuah suara serak yang lain terdengar berkata.

   "Liong-tayjin tidak usah gelisah, nanti setelah Kongcu keponakan kembali dari Tay-tong pasti bisa diperoleh sedikit berita."

   Ternyata di kamar itu masih ada seorang lain, karena dia duduk di pinggir sebelah sana tanpa bersuara, dari arah In San tidak kelihatan. Maka In San urungkan niatnya, didengarnya Liong Bun-kong berkata.

   "Ciang-suhu, kemarilah kau, nih kutunjukan sesuatu padamu."

   Orang itu duduk di depan Liong Bun-kong, baru sekarang In San dapat kelihatan jelas, dia adalah laki-laki tua berusia enam puluhan, tapi perawakannya jauh lebih gagah dan kekar dari Liong Bun-kong, meski usianya lebih tua tapi paras dan semangatnya kelihatan lebih muda dari Liong Bun-kong.

   Orang itu bermata juling berhidung elang, Thay-yang-hiat di kedua pelipisnya tampak menonjol, suara perkataannya mirip kicauan burung kokok beluk, sehingga risi bagi pendengaran orang lain.

   Tersirap batin In San pikirnya.

   "Orang ini agaknya ahli lwekang yang tangguh. Tapi ilmu yang diyakinkan pasti ajaran lwekang dari aliran sesat, sudah mencapai taraf yang cukup tinggi."

   Liong Bun-kong menarik laci, dari dalamnya mengeluarkan sebatang golok yang sudah terkutung jadi tiga, katanya.

   "Inilah golok pusaka yang pernah dipakai Raja Golok Ie Cunhong semasa hidupnya."

   In San tahu raja golok Ie Cun-Hong adalah salah seorang yang pernah mencelakai ayahnya, keruan hatinya kaget pula.

   "Ternyata Ie Cun-hong sudah mampus, julukannya Raja Golok meski belum tentu betul-betul raja golok, tapi ilmu goloknya yakin sudah amat tinggi dan liehay, namanya sudah cukup terkenal di Kangouw. Entah siapa yang membunuhnya?"

   Agaknya dia belum tahu bahwa Tan Ciok-singlah yang telah membunuh Raja Golok ini, Sayang waktunya bergaul dengan Tan Ciok-sing terlalu pendek sehingga peristiwa ini belum pernah dia dengar.

   "Selama beberapa tahun ini,"

   Demikian Liong Bun-kong bercerita lebih lanjut.

   "Ie Cun-hong adalah salah satu pembantuku yang paling setia dan banyak pula jasanya, jarang orang tahu asal-usul dan kedudukannya sebagai pembantuku, malah banyak orang mengira dia adalah tokoh persilatan yang sudah lama mengasingkan diri. Tak nyana tahun lalu dia terbunuh di Ciok-lin."

   Ciang-suhu itu tampak terkejut, katanya.

   "Dia terbunuh di Ciok-lin?"

   "Betul, maka aku ingin bantuan pandangan matamu yang tajam,"

   Ujar Liong Bun-kong.

   "Golok pusakanya ini tertabas kutung oleh pedang lawan, kemarin dulu sudah kuutus seorang pergi ke rumahnya menyelidiki hal ini, kabarnya putranya yang mengambil pulang jenazah ayahnya tiga hari setelah peristiwa itu terjadi, menurut cerita putranya, di tubuh Ie Cun-hong terdapat tujuh luka-luka, dilihat bentuk lukalukanya, jelas terluka oleh sejurus ilmu pedang lawan yang teramat cepat gerakannya. Coba kau periksa apakah senjata lawan bukan sebilah pedang pusaka yang tajam luar biasa? Dalam jurus permainan dapat melukai tujuh tempat di tubuh musuhnya, memangnya ilmu pedang apakah itu?"

   Semakin kaget Ciang-suhu mendengar penuturan Liong Bun-kong, katanya.

   "Kabarnya Thio Tan-hong mengasingkan diri di Ciok-lin untuk menghabiskan masa tuanya. Walau belum pernah aku melihat ilmu pedangnya, tapi dia adalah jago pedang nomor satu di kolong langit ini, menurut apa yang kutahu dia memang memiliki sebilah pedang pusaka yang dapat mengiris besi memotong emas."

   "Jadi kau berkesimpulan bahwa yang membunuh Ie Cunhong adalah Thio Tan-hong?"

   Ciang-suhu manggut, katanya.

   "Kecuali Thio Tan-hong, yakin tiada tokoh kosen lainnya yang mampu membunuh Ie Cun-hong semudah itu."

   "Ciang-suhu, konon Gun-goan-it-cu-kang yang kau yakinkan sudah berhasil. Pada hal Thi-sa-ciang yang kaulatih itu sudah terhitung nomor satu di dunia, kini ketambahan Gun-goan-it-cu-kang, boleh dikata kau sudah sempurna diluar dan didalam, keduanya sama-sama mencapai tarap tertinggi pula. Tentunya kau tak perlu gentar menghadapi Thio Tanhong?"

   Karena diumpak, kakek she Ciang ini menjadi girang mendapat muka, seketika dia' menyeringai senang seperti kera yang memperoleh buah manis. Tapi In San yang mencuri dengar diluar betul-betul kaget dan luar biasa, batinnya.

   "Ciang-suhu ini bukankah yang dulu sekolega dengan kakekku dulu, namanya Thi-hu? Kukira dia sudah mati, ternyata dia masih hidup dan kini menjadi pengawal pribadi Liong Bunkong."

   Terkaan In San menang tidak keliru, laki-laki tua ini memang bukan lain adalah Ciang Thi-hu yang pernah digenjot oleh Khu-Ti.

   Setelah Ong Ceng ambruk, dia kehilangan Cukong, maka terpaksa dia mencari Liong Bun-kong sebagai majikannya yang baru.

   Walau Ciang Thi-hu senang diumpak, tapi dia masih sadar dan dapat mengukur kekuatan awak sendiri.

   Setelah lenyap rasa senangnya, diam-diam hatinya merasa jeri juga.

   Yang ditakutkannya adalah bila Liong Bun-kong menyuruhnya pergi menghadapi Thio Tan-hong.

   "Takut sih tidak,"

   Demikian kata Ciang Thi-hu.

   "Tapi ilmu pedang Thio Tan-hong tiada tandingannya di kolong langit ini, walau aku sudah berhasil menyakinkan Gun-goan-it-cu-kang, belum tentu dapat mengalahkan dia. Kalau Tayjin ingin membunuhnya, sukalah kau bersabar beberapa waktu lamanya pula, biar kucari beberapa orang untuk membantu."

   Liong Bun-kong tertawa, katanya.

   "Kau tak usah kuatir, Thio Tan-hong sudah meninggal?"

   Ciang Thi-hu terbelalak senang, katanya.

   "Jadi bukan Thio Tan-hong yang membunuh Ie Cun-hong?"

   "Sudah tentu bukan. Aku sudah mendapat berita yang positif, empat tahun yang lalu Thio Tan-hong sudah mati, padahal kematian Ie Cun-hong belum ada satu tahun."

   Lega hati Ciang Thi-hu, segera dia menyeka keringat dingin, katanya.

   "Selama belasan tahun aku mendampingi Tayjin, belum pernah aku keluar dari kota raja, ternyata sudah empat tahun Thio Tan-hong mati, tapi aku masih belum tahu,"

   Sampai disini timbul rasa ingin tahunya, tanyanya.

   "Lalu siapakah yang membunuh Ie Cun-hong? Tentunya Tayjin juga sudah berhasil menyelidikinya?"

   Seperti tertawa tidak tertawa Liong Bun-kong berkata.

   "Ciang-suhu, jikalau kau menghadapi Thio Tan-hong mungkin kau tidak punya keyakinan, tapi bagaimana kalau kau harus menghadapi murid Thio Tan-hong?"

   Kembali Ciang Thi-hu kaget dibuatnya, katanya.

   "Murid Thio Tan-hong bernama Toh Thian-tok, sekarang adalah cikal bakal yang menjadi Ciang-bunjin Thian-san-pay..."

   "Memangnya kenapa?"

   Tanya Liong Bun-kong.

   "Konon Toh Thian-tok mencipta sendiri Thian-san-kiamhoat, kemungkinan belum mencapai tingkatan seperti gurunya, tapi dia tak boleh dipandang ringan. Apalagi Toh Thian-tok jauh berada di Thian-san, jika Tayjin ingin menuntut balas sakit hati Ie Cun-hong, kukira bukan satu pekerjaan yang mudah,"

   Dia kira setelah Toh Thian-tok tahu gurunya meninggal, tahun lalu dia berziarah ke Ciok-lin, kebetulan Ie Cun-hong si Raja Golok juga tiba disana, maka jiwanya melayang.

   Tapi sebagai Ciang-bunjin Thian-san-pay, jelas Toh Thian-tok takkan lama lagi tinggal di Ciok-lin, maka dapatlah diduga bila sekarang dia pasti sudah pulang ke Thian-san.

   Melihat orang begitu takut terhadap Thio Tan-hong, hal ini masih dapat dimaklumi oleh Liong Bun-kong, tapi Ciang Thi-hu juga jeri menghadapi Toh Thian-tok, hal ini membuat dia kurang senang.

   Katanya tawar.

   "Bukan Toh Thian-tok yang membunuh Ie Cun-hong."

   "Memangnya siapa pula?"

   Tanya Ciang Thi-hu melenggong.

   "Seorang murid Thio Tan-hong yang lain."

   "O, Thio Tan-hong masih punya seorang murid lagi? Kenapa aku tidak tahu?"

   "Hal ini sudah kuselidiki, dia bernama Tan Ciok-sing, usianya kukira belum genap dua puluh, dia adalah murid penutup Thio Tan-hong."

   Ciang Thi-hu menghela napas lega, batinnya.

   "Kiranya bocah ingusan yang masih berbau pupuk bawang, kenapa aku harus jeri padanya. Umpama bocah itu sudah memperoleh ajaran murni Thio Tan-hong, memangnya dia kuat menghadapi lwekangku yang sudah kuyakinkan puluhan tahun ini."

   "Bahwa bocah itu dapat membunuh Ie Cun-hong, kukira dia juga bukan lawan enteng. Ciang-suhu, kau..."

   Liong Bun-kong gunakan cara mengumpak lalu menghasut, dia yakin hasilnya akan lebih mantap, meski dia merasa kurang senang, betapapun Ciang Thi-hu adalah salah satu anak buahnya yang berkepandaian paling tinggi.

   Betul juga Ciang Thi-hu segera berseru.

   "Ah, hanya bocah yang masih ingusan jikalau aku tidak mampu membekuknya, betapa malunya untuk menghadap Tayjin lagi,"

   Sembari bicara tangannya menjemput salah satu kutungan golok di atas meja, begitu kedua telapak tangan terangkap lalu pelan-pelan dia menggosok naik turun, lekas sekali dia sudah membuka kedua telapak tangannya, tampak kutungan golok itu sudah menjadi bubuk di telapak tangannya dan jatuh berhamburan di lantai.

   "Kukira batok kepala bocah itu tidak akan lebih keras dari besi ini,"

   Demikian ucap Ciang Thi-hu. In San yang mencuri dengar diluar ikut terkejut, batinnya.

   "Kiranya Tan-toako yang membunuh raja golok Ie Cun-hong. Tua bangka ini memiliki tenaga tangan yang begini liehay, mungkin Tan-toako bukan tandingannya? Semoga selekasnya aku dapat menemukan Tan-toako supaya dapat kuberitahu hal ini padanya sehingga dia dapat bersiaga,"

   Diluar tahunya bahwa Tan Ciok-sing kini juga berada di tempat itu. Setelah melihat Ciang Thi-hu mendemonstrasikan ilmunya, barulah Liong Bun-kong berseri tawa, katanya tergelak-gelak.

   "Ciang-suhu ternyata memang belum kropos karena usia yang tua. Apakah itu Gun-goan-it-cu-kang yang baru berhasil kau yakinkan? Mataku betul-betul melek hari ini."

   Ciang Thi-hu tersenyum senang dan bangga, katanya sambil membusung dada.

   "Kepandaian yang biasa saja, harap Tayjin tidak mentertawakan. Entah dimana bocah she Tan itu sekarang, biar segera kucari dia menuntut balas kematian Loie."

   "Tak perlu terburu-buru,"

   Ujar Liong Bun-kong tertawa.

   "masih ada yang ingin kubicarakan dengan kau."

   Ciang Thi-hu mengiakan.

   "Silakan Tayjin jelaskan."

   "Ada berita dari Tay-tong?"

   Ciang Thi-hu tahu "berita"

   Yang dimaksud Liong' Bun-Kong adalah persoalan yang menyangkut keponakannya. Maka dengan munduk-munduk segera dia menjawab.

   "Berita sih belum ada. Tapi Tayjin tidak usah kuatir, Ciok Khong-goan dan Sa Thong-hay juga berada di Tay-tong, belakangan kuutus Huwan bersaudara menyusul pula kesana, kukira Titsauya (tuan muda keponakan) takkan kurang suatu apa. Sudah kupesan wanti-wanti kepada mereka, begitu ada perobahan harus segera mengirim berita kilat kepada Tayjin."

   "Kerjamu memang amat rapi,"

   Puji Long Bun-kong.

   "bukan aku menguatirkan keselamatan dan tugas yang kubebankan kepada Seng-bu, betapapun tinggi kepandaian budak she In itu, memangnya tarafnya bisa melebihi bapaknya -- In Hou, kalau Huwan bersaudara sudah membantu Seng-bu, pastilah budak jelita itu dapat dibekuknya dan digusur kemari."

   Diam-diam In San menyeringai dingin.

   "Kau kira aku tak kuasa lolos dari tangan mereka, sekarang aku justeru sudah lari ke mari. Hm, kini jiwamu sendiri yang berada di tanganku." --Tadi begitu melihat Liong Bun-kong yang kurus kering pernah dia merasa iba, kini setelah melihat tindak tanduknya yang keji dan jahat, berkobar pula rasa dendamnya.

   "Lalu soal apa yang Tayjin kuatirkan?"

   Liong Bun-kong menghela napas, katanya.

   Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Aku tidak tahu bagaimana maksud Seng-bu sebenarnya, dia justru kepincut budak keluarga In itu, pada hal dia tahu itu putri musuh besar kita."

   "Tapi nona In belum tentu tahu kalau ayahnya mati di tangan Tayjin."

   "Ya, tapi kertas takkan bisa membungkus api, bila Seng-bu kejadian mengawini budak she In itu, lama kelamaan, bukan mustahil rahasia ini terbongkar olehnya. Bukankah itu berarti menyimpan bibit bencana bagi keluargaku sendiri?"

   Gemeratak gigi In San, pikirnya.

   "Kau kira aku tidak tahu? Hm, aku justru sudah tahu sejak beberapa waktu lamanya. Keponakanmu ibarat kodok buduk yang kepingin mencaplok burung bangau, ingin rasanya aku dapat membelek hatinya, hm, kau malah kuatir bila aku kawin dengan keponakanmu,"

   Pada hal paku penembus tulang sudah disiapkan sejak tadi, sayang Ciang Thi-hu berdiri di depan Liong Bun-kong, terpaksa dia menunggu kesempatan.

   Agaknya Ciang Thi-hu tidak mau mencampuri urusan pernikahan Liong Seng-bu, maka dia hanya berdiri diam saja tanpa memberi komentar.

   Setelah menghela napas, Liong Bun-kong berkata pula.

   "Sudah tentu aku tidak akan membiarkan budak she In itu menjadi menantu keponakanku, tapi aku tidak punya keturunan, aku jadi kuatir tiba suatu ketika Seng-bu dicelakai oleh budak she In itu. Tapi persoalan keponakan tak mungkin aku terlalu banyak campur. Maka apa yang kubisa lakukan hanya berusaha sekuat mungkin untuk melenyapkan bibit bencana di kelak kemudian hari. Ciang-suhu, ingin aku mohon bantuanmu, sukalah kau berangkat ke Kwi-lin."

   "Pergi ke Kwi-lin?"

   Ciang Thi-hu menegas agaknya dia merasa diluar dugaan.

   "Bocah she Tan yang membunuh Ie Cun-hong itu, asalnya kelahiran Kwi-lin."

   "Apakah bocah itu sekarang tetap ada di rumah?"

   "Itu aku tidak tahu. Tapi Kwi-lin adalah tempat kelahirannya, cepat atau lambat dia pasti akan pulang."

   "Tidak sukar menangkap bocah itu, tapi jikalau nasibku jelek, entah kapan baru bisa pulang memberi laporan kepada Tayjin."

   "Waktu tidak akan kubatasi. Apalagi tugasmu bukan melulu membekuk bocah itu saja."

   Kembali Ciang Thi-hu melengak, tanyanya.

   "Masih ada orang lainnya?"

   "In Hou masih punya seorang teman, konon kedatangan In Hou ke Kwi-lin dulu itu adalah atas undangan pertemuan temannya itu. In Hou sudah mati, tapi orang itu lolos dari pengejaran kita."

   "O, jadi yang Tayjin maksudkan adalah Kim-to-thi-ciang Tam Pa-kun?"

   "Betul, Kungfu orang ini amat tangguh, tidak lebih asor dari In Hou. Kalau dia tidak dilenyapkan, makan tidur aku tidak akan tentram."

   "Tapi Tam Pa-kun kan bukan penduduk asli Kwi-lin?"

   "Aku tahu. Tapi takkan lama lagi dia pasti akan datang ke Kwi-lin."

   In San yang mencuri dengar diluar diam-diam terperanjat, pikirnya.

   "Paman Tam hendak ke Kwi-lin, bagaimana dia bisa mendapat kabar ini begitu cepat?"

   Bahwa dirinya bertugas pula menghadapi Kim-to-thi-ciang Tam Pa-kun, diam-diam perasaan Ciang Thi-hu tidak tentram, diam-diam dia membatin.

   "Konon 72 jurus Kim-na-jiu-hoat dan 64 jalan Phoan-liong-tonya amat liehay, walau aku sudah meyakinkan Gun-goan-it-cu-kang, tidak yakin aku dapat mengalahkan dia."

   Walau hati merasa kebat-kebit, tapi lahirnya dia tetap bersikap mengumpak kepada Liong Bun-kong, katanya.

   "Berita yang diterima Tayjin memang cepat dan tajam, meski jarang keluar pintu, tapi kejadian di dunia Kangouw dapat diketahui jelas. Tayjin tak usah kuatir, asal dia berada di Kwilin, dia takkan lolos dari cengkramanku."

   Liong Bun-kong tersenyum sambil mengelus jenggot kambingnya, katanya.

   "Tak usah kau pergi seorang diri mengadu jiwa, akupun sudah mempersiapkan untukmu,"

   Lalu dia mengeluarkan secarik kertas daftar, katanya lirih.

   "Yang terdaftar di sebelah kanan ini adalah orang-orang kita, yang terdaftar di sebelah kiri adalah musuh-musuh kita. Kali ini tugas pimpinan kuserahkan kepadamu, mumpung ada kesempatan, babatlah seluruh musuh-musuh kita itu. Kirimlah kabar kepada orang-orang kita dalam daftar ini supaya bantu mencari jejak bocah she Tan itu. Nah periksalah dulu daftar ini, coba berapa banyak yang sudah kau kenal? Atau siapa kiranya yang kau curigai?"

   Terbakar dada In San, pikirnya.

   "Kau bangsat tua ini, bukan saja membuat keluargaku berantakan, orang lain yang tidak berdosa juga akan kau celakai."

   Mumpung mendapat kesempatan baik ini, di kala Ciang Thihu menunduk memeriksa daftar itu, sekali ayun tangan menimpuk paku yang digenggamnya sejak tadi ke arah jendela, sasarannya adalah Thay-yang-hiat Liong Bun-kong.

   In San yakin paku penembus tulangnya itu pasti akan menamatkan jiwa Liong Bun-kong, tak nyana belakang kepala Ciang Thi-hu seakan tumbuh mata, tanpa menoleh begitu merasa angin kesiur di belakang kepala, segera dia menjentik balik, ke belakang.

   "Cring"

   Tepat dia selentik paku yang menyamber tiba mencelat balik keluar jendela, dan meluncur kembali ke arah In San pula.

   In San menggelantung di atas pohon, ujung kakinya menggantol dahan pohon, sehingga tubuhnya jungkir balik dan mendekat ke jendela sambil menimpuk senjata rahasianya.

   Lekas In San kerahkan tenaga di ujung kakinya sehingga dahan dimana dia bergelantung tak kuat menahan berat badannya begitu tubuhnya anjlok ke bawah dahan pohon itupun patah seketika, pada hal tindakan In San inipun hanya untung-untungan belaka, dia sendiri tidak tahu apakah cara yang ditempuhnya ini dapat dihindarkan samberan paku yang menyerang balik ini, tapi keadaan memang sudah mendesak, tiada cara lain terpaksa dia gunakan akalnya ini.

   Begitu dahan patah paku itupun sudah menyambar tiba dan menyerempet di atas kepala In San, tapi sasarannya menceng ke samping In San selamat tidak kurang suatu apapun.

   Cepat sekali Ciang Thi-hu sudah menubruk keluar, bentaknya.

   "Pembunuh bernyali besar, masih ingin lari?"

   Ginkang In San memang sudah tinggi, di kala tubuhnya meluncur lurus ke bawah dan hampir menyentuh tanah, mendadak dia gunakan gerakan Burung Dara Jumpalitan, dengan enteng dan tanpa mengeluarkan suara kakinya hinggap di muka bumi.

   Begitu pukulan Ciang Thi-hu menyerang tiba, golok pusaka In San juga sudah tercabut, dengan jurus Ki-hwe-lau-thian, dia memapak kedatangan lawan serta menyerang pergelangan tangannya.

   Deru angin yang kencang menyapu jatuh topi di atas kepala In San sehingga rambutnya yang panjang terurai, melihat dia seorang gadis jelita, mau tidak mau Ciang Thi-hu tertegun.

   Sudah tentu In San sendiri juga tidak kurang kagetnya, bukan saja golok pusakanya tak mampu menabas musuh, malah topi sendiri tersapu oleh angin pukulan lawan, untung dia sudah cukup mahir menggunakan golok ini, lekas dia memelintir pegangan goloknya berputar setengah lingkaran, tapi hampir saja dia tergores luka oleh golok sendiri.

   Gerakan golok In San yang lincah dan gesit ini juga membuat Ciang Thi-hu heran pikirnya.

   "Aneh, permainan golok ini agaknya pernah aku melihatnya?"

   Dan lebih mengherankan lagi lwekang In San ternyata jauh lebih rendah dari pada sebelum dia tahu bahwa In San adalah perempuan tadi, kiranya paku yang dijentiknya balik itu di tengah jalan dipukul jatuh oleh timpukan sebutir lempung orang lain, In San tidak tahu akan kejadian ini, tapi Ciang Thi-hu tahu.

   Tadi dia kira penimpuk lempung tadi pasti adalah jagoan bulim yang kosen dan jago kosen ini pasti juga seorang laki-laki, betapapun tinggi kepandaian seorang perempuan, tak mungkin memiliki lwekang setangguh ini.

   "Haya, celaka, diam-diam Ciang Thi-hu mengeluh dalam hati setelah teringat masih ada seorang kosen lagi disekitar sini, secara diam-diam telah membantu In San. Setelah berhamil meyakinkan Gun-goan-it-cu-kang, Ciang Thi-hu yakin dirinya boleh mencalonkan diri dalam deretan 10 jago tangguh di masa ini, bahwa orang itu dapat memukul jatuh jentikan paku besinya hanya dengan sebutir lempung kecil, jelas lwekangnya tidak rendah, tapi diapun yakin orang belum tentu dapat mengalahkan dirinya. Bahwa dia mengeluh bukan karena takut menghadapi orang itu, tapi bila orang itu ada di sekitar gelanggang, betapapun dia harus hati-hati dan waspada, karena itu, mending bagi In San, dia masih kuat bertahan untuk beberapa kejap lamanya. Lekas sekali belasan jurus telah berlalu, taraf kepandaian Ciang Thi-hu betapapun memang berlipat ganda lebih tinggi dari In San, meski hati merasa was-was dan harus pasang mata kuping terhadap jago lain yang sembunyi, In San toh sudah kepayahan dan terdesak oleh rabuannya yang gencar. In San tetap mengandalkan ketajaman goloknya, sekuatnya dia bertahan membela diri. Di saat-saat genting itu, '"wut"

   Mendadak Ciang Thi-hu memukul pergi golok In San, diluar dugaan dia memperlambat gerakannya lalu menghentikan gerakannya, bentaknya.

   "Kau ini putri In Hou bukan? Lekas bicara terus terang, supaya aku tidak kesalahan tangan."

   Hanya belasan jurus Ciang Thi-hu sudah meraba permainan golok In San, maka dia lantas tahu asal-usul In San.

   Maklum selama beberapa tahun dia pernah sekolega bersama In Jong didalam Gi-lim-kun maka ajaran ilmu golok keluarga In jelas takkan bisa mengelabui matanya.

   Tapi lantaran sudah terlalu lama, baru sekarang dia teringat.

   Sebaliknya In San sudah berlaku nekad hendak mengadu jiwa, bentaknya.

   "Betul, malam ini hendak kutuntut balas kematian ayah, kau rela menjadi antek Liong Bun-kong si anjing itu, biar kubunuh kau dulu."

   Setelah tahu asal-usul In San, Ciang Thihu malah tidak berani membunuhnya, gerak serangannya pun diperhitungkan. Setelah In San didesaknya mundur dua langkah, dia berseru lantang.

   "Liong-tayjin, pembunuh gelap ini adalah putri In Hou, bagaimana aku harus membereskan dia, harap Tayjin memberi petunjuk."

   Suara Liong Bun-kong kumandang dari atas loteng.

   "Bujuklah dia supaya mau menyerah. Beritahu padanya, aku tetap akan memandangnya sebagai putri kandungku sendiri."

   Ciang Thi-hu segera menekan suaranya, katanya.

   "Nona In, jangan kau tidak tahu kebaikan. Bila kau ikut Liong-tayjin, kalian ibu beranak akan hidup berkumpul, bukankah itu lebih baik?"

   Dia kira In San belum tahu bila ibunya sudah minggat dari rumah keluarga Liong.

   Diluar tahu Ciang Thi-hu pula bahwa In San sudah bertemu dengan ibunya, malah ibunya sudah mangkat di malam pertemuan yang menyedihkan dan memilukan itu.

   Kalau Liong dan Ciang tidak menyinggung ibunya masih mending, seolah-olah bara yang disiram minyak, karuan berkobar amarah In San dengan jurus Hing-to-it-hong, goloknya bergerak secepat kilat terus membacok, bentaknya.

   "Kalau aku tidak berhasil membunuh keparat she Liong itu, jadi setanpun aku tetap akan menuntut balas,"

   Serangan golok yang ganas dan nekat ini diluar dugaan Ciang Thi-hu, walau tidak sampai melukai dirinya, tapi dia kaget dan berjingkrak mundur.

   Ciang Thi-hu cukup mengeluarkan tiga bagian tenaga Gungoan- it-cu-kang, kembali dia sampuk golok In San lalu berteriak.

   "Liong-tayjin, budak ini tidak tahu tingginya langit dan tebalnya bumi, dia tegas menolak kebaikan Tayjin, bagaimana baiknya?"

   Liong Bun-kong tidak berani membuka jendela, sembunyi didalam kamar dia tarik suara.

   "Lebih baik kau bekuk dia hidup-hidup, kalau tidak bisa membekuknya hidup, kau bunuh diapun aku tidak akan salahkan kau."

   Setelah mendapat persetujuan hilang keraguan Ciang Thihu, maka serangannya lantas bertambah gencar dan kuat, begitu menyelinap maju jari tangannya segera mencengkram.

   Gerak cengkraman ini adalah tipu liehay dari Hun-kin-joh-kutjiu, dilandasi tiga puluh persen kekuatan Gun-goan-it-cu-kang, maka perbawanya lebih dahsyat lagi, jikalau sasarannya kena telak, tulang pundak In San pasti teremas hancur.

   Umpama memiliki kepandaian setinggi langit, bila tulang pundak sudah diremas hancur, berarti Kungfunya sudah punah dan selanjutnya takkan bisa bermain silat lagi.

   Tapi Ciang Thi-hu masih kuatir bila dirinya disalahkan oleh keponakan Liong Bunkong, maka dia pikir hanya ingin memunahkan ilmu silatnya saja, kalau tidak bila dia tambah tenaga serangannya, jiwa In San sudah bisa ditamatkan sejak tadi.

   Cengkraman ini kelihatan ganas, tapi daya kerjanya ternyata lamban.

   Dia pikir hendak menggertak In San supaya dia takut dan mundur teratur bukan mustahil akan merubah haluannya, mau menyerah dan tunduk pada keluarga Liong.

   Hun kin-joh-kut yang diyakinkan ini sudah mencapai taraf sempurna, walau gerakan kelihatan lamban, jelas In San takkan bisa berkelit.

   Pada hal golok In San sudah terkunci oleh telapak tangan kirinya, untuk menangkis atau balas menyerang jelas tidak mungkin, di saat-saat kritis dimana jarijari tangan Ciang Thi-hu sudah dekat tulang pundak In San.

   Ciang Thi-hu masih sempat membujuk.

   "Nona In, urusan sudah kebacut sejauh ini, kenapa kau masih kukuh pendapat? Semutpun ingin hidup, lekas kau minta maaf kepada Liong-tayjin dan memanggil Liong-tayjin..."

   Sebelum dia menyebut "ayah", sesosok bayangan orang mendadak melompat keluar dari balik gunungan.

   Semula tujuan Tan Ciok-sing hanya akan membantu secara sembunyi, tapi setelah menyaksikan beberapa jurus, dia lantas tahu bahwa kepandaian Ciang Thi-hu benar-benar tinggi, tanpa menggunakan ilmu pedang gabungan, kalau dirinya hanya membantu secara menggelap, bantuannya tidak akan berarti bagi In San.

   Di kala cengkraman tangan Ciang Thi-hu hampir menyentuh pundak In San itulah Tan Ciok-sing dipaksa untuk menerjang keluar.

   Karena tahu ada musuh tangguh lain yang berada di sekitar gelanggang, Ciang Thi-hu selalu pasang mata kuping, sejak tadi dia sudah bertindak waspada dan penuh perhitungan, begitu merasa angin kesiur menyambar dari belakang, dia tahu bahwa musuh tangguh yang tersembunyi itu tengah membokong dirinya, kuatir dirinya kecundang, mana berani dia meremas tulang pundak In San? Lekas dia gunakan Ih-sing-hoan-wi berkelit sambil melancarkan serangan susulan lainnya, kedua telapak tangan tergabung menimbulkan suatu rumpun tenaga tiga tambah tiga berarti enam puluh persen tenaga Gun-goan-it-cu-kang terhimpun dalam serangan tangannya ini.

   Maka terdengarlah suara "Cret", lengan baju Ciang Thi-hu tertusuk bolong oleh Pek-hong-po-kiam Tan Ciok-sing, tapi ujung pedang Tan Ciok-singpun menceng dan tergetar pergi oleh pukulan Gun-goan-it-cu-kang lawan, hanya terpaut dua mili hampir menusuk hiat-to Ki-ti-hiat.

   Diam-diam Tan Cioksing merasa sayang akan kegagalan serangan ini.

   Sudah tentu bukan kepalang senang dan kaget In San, seketika dia menjublek di tempatnya.

   Padahal pertempuran jago-jago silat kelas tinggi, mana boleh berlaku lena.

   Walau Gun-goan-it-cu-kang yang dilontarkan Ciang Thi-hu bukan ditujukan ke arahnya, namun dia terserempet juga oleh gelombang angin pukulannya.

   Seketika dia keterjang mundur sempoyongan, golok yang dipegang sampai jatuh berkerontang di atas batu.

   "Tan-toako, ternyata kau. Tahukah kau, aku sedang mencarimu,"

   Saking girang In San tidak pikirkan hendak menjemput goloknya. Dengan ujung kakinya Tan Ciok-sing menjungkit golok serta ditangkapnya, tapi tidak dia berikan kepada In San, teriaknya.

   "Lekas cabut Ceng-bing-po-kiam."

   In San tersentak sadar serunya.

   "Betul, menghadapi keparat tua ini, memang pantas kita menghadapinya dengan Siang-kiam-hap-pik."

   Begitu Siang-kiam-hap-pik dijalankan, situasi seketika banyak berubah.

   Ciang Thi-hu seketika terkurung di tengah kilatan sinar pedang, gerak-geriknya yang lincah tak ubahnya seperti tikus yang terjebak didalam kurungan dan lari kian kemari.

   Insaf akan keadaan dirinya yang semakin terdesak, demi keselamatan sendiri sudah tentu Ciang Thi-hu tidak sudi mati konyol, maka diapun bermain tidak kenal kasihan lagi.

   Tiba-tiba dia berputar ke kiri, In San langsung dihadapinya.

   Kedua telapak tangan bergerak membundar seperti gelang, lalu dirubah gaya seorang pemusik yang memeluk gitar, telapak tangan kiri pura-pura mencengkeram, sementara telapak tangan kanan membelah miring Gun-goan-it-cu-kang dia tambah sampai lima puluh persen kekuatannya sendiri.

   Kalau dia tahu diri sejak tadi melancarkan kekuatan Gungoan- it-cu-kang untuk menghadapi In San, umpama tidak mati In San pasti terluka parah, tapi kini keadaan sudah berubah tambah kekuatanpun sudah terlambat.

   Bukan saja permainan Siang-kiam-hap-pik teramat serasi dan tepat serta ketat, perbawa yang dikembangkanpun tiga lipat lebih besar dari pada permainan secara individu.

   Maka lima bagian kekuatan Gun-goan-it-cu-kang yang dilancarkan Ciang Thi-hu paling hanya mampu menggeser sedikit ujung pedang In San, sehingga dirinya tidak sampai tertusuk, tapi pedang lawan tak mampu diputarnya terlepas apalagi hendak balas melukainya.

   Maka Bu-bing-kiam-hoat Tan Ciok-sing segera menyelinap masuk arena, sudah tentu dia takkan memberi peluang bagi Ciang Thi-hu untuk melancarkan serangan susulan untuk melukai In San? Dalam sekejap itu dua larik sinar pedang tahu-tahu tertabur menjadi selarik cahaya pelangi, untung Ciang Thi-hu lekas mengundurkan diri, terlambat sedetik saja tubuhnya sudah terbabat menjadi dua.

   Lekas Ciang Thi-hu kerahkan tenaga terus mendorong, Gun-goan-it-cu-kang mencapai tujuh bagian, gerakan Tan Ciok-sing berhasil dibendungnya sebentar, bentaknya.

   "Anak bagus siapa kau? Kalau pemberani sebutkan namamu."

   Tan Ciok-sing tertawa dingin, jengeknya.

   "Kalau tidak kukatakan, mungkin kau mati takkan meram. Seorang laki-laki tak perlu takut menyebutkan namanya, aku bukan lain adalah duri dalam kulit daging kalian Tan Ciok-sing adanya. Hehehe, bukankah Liong Bun-kong menyuruhmu ke Kwi-lin untuk menghadapi aku? Sekarang aku datang kemari, tak usah tuan besar macam tampangmu ini susah payah mencari jejakku."

   Keruan Ciang Thi-hu kaget, tanpa merasa bulu kuduknya berdiri, pikirnya.

   "Ternyata bocah inilah murid penutup Thio Tan-hong, tak heran ilmu pedangnya begini liehay,"

   Cepat sekali gerakan kedua pedang gabungan Tan dan In sudah merabu kembali Ciang Thi-hu terkurung didalam libatan cahaya pedang.

   Ciang Thi-hu dipaksa mengerahkan seluruh kemampuannya, namun dia tetap bertahan saja tak mampu balas menyerang, diam-diam dia mengeluh, pikirnya.

   "Kalau aku tidak nekad menguras hawa murni, mungkin aku bisa kecundang oleh pedang bocah-bocah keparat ini,"

   Akan tetapi meski dia terkurung seperti binatang dalam perangkap, tapi kekuatan pukulannya masih kelihatan dahsyat dan mengejutkan, setiap kali pukulan dilontarkan, sayup-sayup terdengar gemuruh seperti guntur menggelegar di kejauhan, deru anginnya yang kencang seperti amukan angin lesus, dalam arena pertempuran seluas beberapa tombak, debu pasir beterbangan.

   Lekas sekali beberapa busu sudah diundang datang oleh suara keributan disini, sekitar gedung berloteng dimana Liong Bun-kong tinggal telah dijaga ketat, tidak sedikit di antara para busu itu yang berkepandaian cukup lumayan, tapi mereka hanya mampu menonton tiga tombak diluar kalangan, berdiripun tak tegak, sering terdesak mundur sempoyongan.

   Kilatan pedang menyambar simpang siur menyilau mata, deru angin pukulan juga laksana bunyi guntur yang memekak telinga.

   Kalau bukan jago silat kelas tinggi, mana mampu menerjunkan diri kedalam arena? Para busu itu lambat laun didesak mundur semakin jauh dari kalangan pertempuran, mereka hanya menyaksikan dengan pandangan mendelong dan kesima.

   Tiba-tiba terdengar suara genta bertalu-talu ternyata dari tempat sembunyinya Liong Bun-kong memerintahkan seorang busu membunyikan genta tanda bahaya.

   Maklum dia kuatir Ciang Thi-hu seorang diri bukan tandingan kawanan penyatron, maka diam-diam dia sudah melarikan diri melalui jalan rahasia di bawah tanah.

   Tak lama kemudian, taman kembang yang luas ini sudah benderang disinari cahaya obor, bayangan orang tampak berlari berbondong-bondong mendatangi.

   
Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Sambil kertak gigi Tan Ciok-sing membentak.

   "Bunuh dulu bangsat tua ini,"

   


Rahasia Kampung Setan -- Khu Lung/Tjan Id Elang Terbang Di Dataran Luas -- Tjan Id Tiga Maha Besar -- Khu Lung

Cari Blog Ini