Ceritasilat Novel Online

Taruna Pendekar 10


Taruna Pendekar Karya Liang Ie Shen Bagian 10



Taruna Pendekar Karya dari Liang Ie Shen

   

   Hardik Nyo toakoh cepat.

   "jika kau tidak kembali, selama hidup jangan pulang lagi untuk menjumpaiku, aku pun tak akan mengakui kau sebagai anakku, kau pun tak usah mengakui aku sebagai ibumu."

   Sejak kecil Ki See-kiat sudah kehilangan ayah, Nyo toakoh- lah yang memeliharanya hingga dewasa. Selama duapuluh tahunan, ibu dan anak hidup bersama "menuruti perkataan ibu"

   Baginya boleh dibilang sudah merupakan suaiu kebiasaan yang lumrah.

   Dengan membawa langkah kaki yang berat, bagaikan seekor anjing yang jinak, selangkah demi selangkah dia berjalan kembali ke dalam kuil bobrok itu.

   Nyo toakoh segera merasakan hatinya sangat lega, sekulum senyuman pun mulai menghiasi wajahnya.

   Inilah sekulum senyuman puas karena kewibawaannya sebagai seorang ibu masih dapat dipertahankan.

   Meski sudah berpisah selama dua tahun, bagaimanapun juga dia adalah putranya.

   Dan bagaimanapun juga, putranya masih tetap menuruti perkataan ibunya.

   Akan tetapi, ketika sinar matanya bertemu dengan sorot mata anaknya, senyuman yang semula menghiasi wajahnya itu kontan lenyap tak berbekas.

   Benar anaknya menuruti kata-katanya dan kembali, tapi "menurut"nya kali ini ternyata jauh berbeda dengan menurutnya di waktu-waktu sebelumnya.

   Kini Ki See-kiat berdiri di depan ibunya seperti seseorang yang kehilangan sukma.

   Seakan-akan orang yang berada di hadapannya adalah seorang asing, dengan mata terbelalak lebar-lebar diamengawasi ibunya tanpa berkedip.

   Itulah sorot mata yang sayu seperti kehilangan sukma membuat hati Nyo toakoh kontan saja bergidik.

   Bukan hanya bergidik saja, dari balik sorot mata putranya yang dingin itu, dia dapat merasakan pula kemarahan dan kemurungan dari putranya itu Betul putranya masih menuruti perkataannya, tapi putra yang berdiri di hadapannya sekarang pun telah berubah seperti orang asing.

   Kalau di masa lalu, meskipun dia mencaci maki putranya, dengan hati yang tulus putranya selalu menuruti perkataannya.

   Agar tidak membuat ibunya marah, kadang kala dia mengucapkan kata-kata yang enak didengar untuk membujuknya.

   Tapi sekarang.

   Sekarang dia bagaikan orang asing saja, sepatah kata pun tak berbicara, yang ada cuma sorot mata yang memancarkan kejengkelan, kemarahan serta kemendongkolan.

   Selama hidup, Nyo toakoh sudah banyak mengalami cobaan serta badai penderitaan, lebih banyak yang tidak menyenangkan daripada yang menyenangkan, tapi belum pernah merasakan kesedihan seperti apa yang dialaminya sekarang.

   Tempo dulu, dengan mengandalkan wataknya yang keras, betapapun sulitnya suatu persoalan, dia selalu dapat menghadapinya dengan baik tanpa melelehkan setitik air matapun.

   Tapi kali ini dia tidak memiliki keyakinan tersebut.

   Dia tahu, untuk meratakan kembali keretakan hubungan antara ibu dan anak, sesungguhnya beratus kali lipat lebih sukar daripada suatu usaha untuk menundukkan musuh tangguh.Hampir saja dia melelehkan air mata, untung saja hal itu masih dapat dikendalikan dengan baik olehnya.

   "Anak Kiat!"

   Ujarnya kemudian dengan lembut.

   "dengarkan dulu perkataanku."

   Tiba-tiba Ki See-kiat mendongakkan kepalanya dan tertawa terbahak-bahak.

   "Haahh haahh haahh ibu, entah apa pun yang kau katakan, aku akan menuruti perkataanmu. Aku adalah anakmu yang paling menuruti semua perkataanmu, tentunya kau sudah puas bukan? Haahh haahh haahh."

   Suara tertawanya jauh lebih tak sedap didengar daripada suara isak tangis, makin lama suara tertawanya semakin nyaring, seperti tangisan tapi bukan tangisan, seperti tertawa tapi bukan tertawa. Tiap kali suara "tertawa"

   Itu bergema, semuanya bagaikan sebatang anak panah yang menembus uluhati Nyo toakoh. Membuat perempuan yang termasyhur sebagai Lak-jiu-Koan- im ini menjadi tertegun. Oh Lian-kui paling akrab hubungannya dengan Ki See-kiat, buru-buru teriaknya.

   "Sute, jika ingin menangis, menangislah dengan sepuas-puasnya!"

   Dia jauh lebih sadar otaknya daripada Nyo toakoh, ia cukup mengerti jika kesedihan sute-nya itu tidak bisa dilampiaskan keluar, bisa jadi dia akan menjadi gila.

   Benar juga, Ki See-kiat segera menangis tersedu-sedu.

   Menanti ia telah selesai menangis, Song Peng-ci baru menghibur.

   "Sebagai lelaki sejati tak akan khawatir tak memperoleh bini, betul nona Lcng berwajah cantik berke- pribadian menarik, tapi toh bukan berarti sudah tak ada perempuan lagi yang bisa melebihinya. Menurut apa yangkuketahui, sukoh ada maksud untuk membicarakan soal pernikahanmu dengan putrinya Lau busu dari Hau-ciu dan putrinya Ciu tay-hiap dari Sik-keh-ceng."

   "Kau tahu, nona dari keluarga Lau dan nona dari keluarga Ciu termasuk juga pendekar-pendekar perempuan yang berwajah cantik dan menarik dalam dunia persilatan."

   Terhadap hiburan ini, Ki See-kiat bersikap seakan-akan tidak mendengarnya. Tapi isak tangisnya sudah semakin parau, betul belum berhenti namun sudah tidak senyaring tadi lagi. Dengan suara dingin Nyo toakoh segera menegur.

   "Sudah cukup tangisanmu itu? Sebagai seorang lelaki sejati lebih baik mengucurkan darah daripada mengucurkan air mata, untung saja di sini tak ada orang luar, kalau tidak, kau tak malu aku yang bakal malu. Aaai entah dosa apa yang telah kulakukan di masa lalu sehingga bisa mempunyai seorang anak yang tak becus macam kau."

   Langit sudah gelap, di dalam kegelapan masih tampak sepasang mata Ki See-kiat berkaca-kaca.

   Nyo toakoh mengira di situ tak ada orang luar, siapa tahu justru ada orang luar yang sedang menyadap pembicaraan mereka.

   Orang itu bersembunyi di atas sebatang pohon besar di belakang kuil itu, dengan meminjam cahaya rembulan dan bintang, secara lamat-lamat dapat terlihat semua peman- dangan di dalam kuil bobrok itu.

   Ternyata orang itu adalah Nyo Yan.Nyo Yan yang luntang-lantung tanpa tujuan, sebenarnya tak ingin kembali ke situ, tapi tanpa terasa dan tanpa dia sadari akhirnya dia telah balik kembali ke situ.

   Apakah karena ingin bersua lagi dengan sanak keluarganya? Atau karena berharap kemungkinan besar bisa bersua dengan enci Leng-nya dalam kuil bobrok itu? Atau karena ingin menyelidiki sekitar mati hidup ayahnya? Ataukah disebabkan yang lain? Dia tak tahu.

   Mungkin beberapa macam tujuan ini telah dia pikirkan tapi dalam hati kecilnya, ia tidak memiliki keberanian untuk menyelidikinya lebih jauh.

   Sayang dia datang terlambat, Leng Ping-ji telah pergi.

   Yang disaksikan olehnya hanya tragedi yang tercipta antara Nyo toakoh dengan putranya dia hanya mendengar suara tangisan dari Ki See-kiat.

   Walaupun dia tak bersua dengan Leng Ping-ji, namun apa yang telah terjadi, dapat ditebak dengan jelas olehnya.

   Sebenarnya dia menaruh rasa cemburu kepada Ki See-kiat, tapi sekarang ia turut bersedih baginya Tentu saja dia merasa lebih sedih bagi nasib Leng Ping-ji yang buruk.

   "Aku pernah bersumpah akan menemukan kebahagian bagi enci Leng. Kali ini kukira dia bakal memperoleh kebahagian dengan caranya sendiri, siapa tahu urusan baik selalu banyak cobaan dan akhirnya beginilah akibatnya! Tapi dengan cara apa pula aku dapat membantunya?"

   Ya, kendatipun dia berhasil memiliki ilmu silat yang maha dahsyat, namun setelah menghadapi situasi seperti ini, dia merasa dirinya lemah, tak berkemampuan apa-apa untuk menanggulanginya.Dia marah kepada bibinya ini, gemas kepadanya, tapi dapatkah dia menghajar bibinya dan memaksa dia agar menerima Leng Ping-ji sebagai calon menantunya? Kunci dari persoalan ini terletak pada diri Ki See-kiat sendiri, kecuali pemuda itu bisa bersikap tegas, bisa mengambil keputusan yang tegas, tentu semua persoalan akan beres.

   Tapi, apa mau di kata, Ki See-kiat hanya seorang anak yang penurut.

   0odwo0 Suara tangisan Ki See-kiat telah berhenti.

   "Anak Kiat, kau sudah cukup puas menangis kini tidurlah dengan nyenyak."

   Nyo toakoh berkata lembut.

   "besok pagi- pagi, kita masih harus melanjutkan perjalanan. Bagaimana persoalannya, kita bicarakan lagi setibanya di rumah nanti. Kau harus tahu, aku berbuat begini demi kebaikanmu."

   Ki See-kiat mengawasi wajah ibunya dengan termangu, sementara itu Oh Lian-kui sudah menyulut api, dia sedang saling membantu dengan Song Peng-ci untuk membubuhkan obat luka yang terakhir di tubuh masing-masing.

   Lewat lama kemudian, anak muda itu baru bertanya.

   "Ibu, aku hanya ingin menanyakan satu hal."

   "Baik, tanyalah."

   "Kau bilang kesemuanya ini kau lakukan demi kebaikanku, aku ingin tanya, apa jeleknya dengan nona Leng itu?"

   "Aku bukan mengatakan nona Leng itu jelek."

   "Lantas apa sebabnya kau memaksanya pergi? Memaksanya agar bersumpah dan tidak bertemu lagi denganku?""Bukan dia yang tak baik,"

   Nyo toakoh melanjutkan cepat.

   "kau harus tahu, Leng Thiat-jiau adalah pamannya."

   "Lantas kenapa?"

   "LengThiat-jiau adalah buronan nomor satu dari pihak kerajaan Cing, tahukah kau?"

   "Aku tak ambil peduli siapakah Leng Thiat-jiau itu, aku hanya ingin bertemu dengan nona Leng."

   "Kau anggap nona Leng-mu itu tak dapat mengikuti pamannya untuk menempuh jalan yang sama? Menurut apa yang kuketahui, dia justru pernah membantu pemberontak di Siau-kim-jwan untuk melawan kerajaan!"

   "Sekarang, entah berapa banyak pendekar sejati dan orang gagah yang mulai bangkit dan menentang pemerintah penjajah bangsa Boan-cing, sekalipun kita bukan kaum hiapkek, bukan kaum ksatria atau patriot pembela tanah air, apakah kita mesti munduk-munduk kepada kaum penjajah? Takluk dan menjilat pantat kaum penjajah bangsa asing?"

   Kontan Nyo toakoh menarik mukanya yang telah berubah menjadi hijau membesi segera hardiknya.

   "Kau sudah melupakan ajaran keluarga kita?"

   "Belum, ananda masih mengingat terus!"

   "Coba baca sekali lagi di hadapanku!"

   "Pusatkan semua pikiran untuk berlatih silat, menjaga diri dan hidup bebas merdeka. Tidak jadi opas, tidak jadi pencoleng. Cuma"

   "Cuma apa lagi?"

   Tukas Nyo toakoh cepat Kali ini Ki See-kiat sama sekali tidak ia dipengaruhi oleh bentakan ibunya, dia melanjutkan terus kata-katanya.

   "CumaLeng Thiat-jiau sekalian toh bukan pencoleng sembarang pencoleng"

   "Justru lantaran mereka bukan pencoleng sembarang pencoleng, maka kita lebih-lebih tak boleh mendekatinya."

   "Ananda merasa tak pernah mendengar ajaran ini!"

   "Kau ingin membantah?"

   Kembali Nyo toakoh menghardik.

   Ayah Masih Hidup "Ajaran keluarga kita hanya melarang kita jadi pencoleng, tapi tidak melarang kita berteman dengan pencoleng.

   Apalagi yang menganggap Leng Thiat-jiau sebagai pencoleng toh hanya pihak pemerintah penjajah, sedangkan para orang gagah dalam dunia persilatan rata-rata menganggap mereka sebagai patriot pembela bangsa, selain itu, kendatipun kau anggap Leng Thiat-ciu sebagai pencoleng, paling tidak keponakannya toh bukan."

   "Tak peduli dia sekarang bukan juga boleh, pencoleng juga boleh, pokoknya yang pasti dia pun termasuk orang yang dicurigai. Bagaimanapun juga, aku tak dapat menariknya sebagai menantuku!"

   "Pada hakikatnya kami belum pernah membicarakan soal perkawinan, aku tahu kalau diriku tak pantas memperoleh dia, mana berani kupunyai pikiran seperti itu. tapi hanya berhubungan dengan dia pun masa tak boleh?"

   "Tidak boleh!"

   Ki See-kiat berdiri termangu seperti sebuah patung arca, bibirnya digigit kencang-kencang, ia seperti hendak mengucapkan sesuatu tapi niat tersebut kemudian diurungkan kembali."Anak Kiat!"

   Kembali Nyo toakoh berkata dengan lembut.

   "aku berpikir demikian demi masa depanmu, masih ada saru hal kau tentunya masih belum tahu bukan?"

   "Persoalan apa?"

   "Persoalan yang menyangkut engku-mu. Dia masih hidup di dunia ini, sebelum berangkat ke Sinkiang kali ini, aku telah bersua dengannya."

   Nyo Yan yang menyadap pembicaraan tersebut dari atas pohon segera merasakan hatinya bergetar keras, hal ini membuat dedaunan berguncang keras.

   Untung saja pada waktu itu berhembus lewat segulung angin kencang sehingga Nyo toakoh tidak mengetahui akan kehadirannya.

   Buru-buru Nyo Yan menenangkan hatinya dan memperhatikan kembali pembicaraan yang sedang berlangsung di dalam.

   Terdengar Nyo toakoh berkata lebih jauh.

   "Oleh sebab itu kuajak kau pulang dulu sampai di rumah, kemudian baru membicarakan kembali persoalan ini, soal mencari jejak Nyo Yan juga boleh ditangguhkan untuk sementara waktu, mengertikah kau akan maksudku?"

   "Ibu, maksudmu kau hendak memberitahukan dulu berita tentang ditemukannya kembali jejak piaute kepada engku, lalu menyuruh dia sendiri mencari piaute?"

   "Benar asal bapaknya sendiri yang pergi mencari anaknya, pastilah anak akan menuruti perkataan ayahnya. Waktu itu kita pun tidak usah khawatir lagi bila siluman perempuan kecil itu sampai memikat adik misanmu itu."Diam-diam Nyo Yan tertawa getir, pikirnya.

   "Siluman perempuan kecil itu bukan saja tidak memikat diriku, terhadap segala tindak tandukku yang berusaha mendekat pun enggan menerima. Tapi bilamana ayahku benar-benar hendak mela- rang hubunganku dengannya, haruskah kuturuti perkataan itu?"

   Dengan cepat ia menjawab sendiri pertanyaan itu.

   "Tentu saja tidak! Sekalipun dalam kenyataan harapanku dan harapannya bertentangan, tapi mustahil kalau aku disuruh begitu penurut macam kakak misanku ini."

   Perasaan yang bergolak keras dengan cepat menjadi tenang kembali, karena waktu itu Ki See-kiat kembali berbicara, maka dia pun kesampingkan dulu soal dirinya untuk sementara waktu guna mendengarkan pembicaraan kakak misannya.

   Ketika Ki See-kiat mendengar kabar tentang engku-nya yang masih hidup, ia segera menunjukkan perasaan girang yang luar biasa.

   Hanya saja perasaan girang itu masih belum dapat mengatasi kemurungan serta kekesalan yang mencekam perasaannya.

   Tak tahan dia lantas bertanya lagi kepada ibunya.

   "Engku masih hidup di dunia, tentu saja aku turut gembira. Cuma, apa hubungannya dengan masa depanku? Apa pula hubungannya dengan nona Leng?"

   "Besar sekali sangkut pautnya, kau tahu apa kedudukan engku-mu sekarang?"

   "Dari mana aku tahu? Ibu, lebih baik kau saja yang beritahukan secara langsung kepadaku, dia seka-rang jadi apa?""Sekarang dia adalah seorang pengawal keraton, orang kepercayaan dari kaisar! Cuma saja, boleh saja kuberitahukan hal ini padamu, tapi jangan sampai kau bocorkan di luaran. Engku-mu tak ingin kalau sampai berita tentang dirinya itu sampai diketahui oleh orang rimba persilatan."

   "Apa? Engku sudah menjadi seorang pengawal pribadi sang kaisar?"

   Ki See-kiat terperanjat "Apa jeleknya? Toh kedudukan tersebut jauh lebih baik daripada seperti Leng Thiat-jiau menjadi pentolan pemberontak!"

   "Andaikata berita ini sampai diketahui para pendekar, mungkin aku sendiri pun akan kehilangan muka."

   "Ngaco belo, siapa suruh kau punya jalan pikiran seperti mereka?"

   Ki See-kiat seolah-olah tidak mendengar apa yang dikatakan ibunya, kembali dia bergumam.

   "Mengapa dia mesti jadi pengawal istana kaisar? Ya mengapa dia mesti menjadi pengawal istana."

   "Mau tak mau dia harus menjadi pengawal istana, sebab Beng Goan-cau-lah yang memaksanya. Beng Goan-cau telah merebut istrinya, bahkan tak mau melepaskan dia, padahal ilmu silatnya tak mampu menandingi Beng Goan-cau, kalau tidak menjadi pengawal istana, cara bagus apa lagi yang bisa digunakan untuk menghindarkan diri dari kejaran Beng Goan- cau?"

   Pembicaraan tersebut segera membuat Nyo Yan yang bersembunyi di luar ruangan jadi kebingungan, bagaimanapun juga dia tidak tahu jelas tentang seluk beluk pertikaian antara ayah ibunya dengan Beng Goan-cau, dia pun tak tahu siapabenar siapa salah, sehingga untuk beberapa saat sulit baginya untuk menentukan sikap.

   Ya, selihay-lihaynya toh usianya baru mencapai angka delapanbelas, seandainya dia hidup terus di gunung Thian- san, mungkin keadaannya masih agak mendingan, tapi selama tujuh tahun ini dia hidup tak menentu, lagi pula mesti belajar silat dari "yaya"nya.

   Bagaimanapun yaya-nya adalah seorang kakek yang putus asa, lagi pula termasuk antara golongan lurus dan sesat, sedikit banyak pengaruh dari tabiatnya menempel juga pada anak muda ini.

   Maka setelah mendengar cerita dari Nyo toakoh itu, meski dia merasa tak senang karena ayahnya menjadi pengawal istana raja, toh timbul juga rasa simpatinya.

   Dengan cepat dia berpikir.

   "Ayah berbuat demikian karena didesak oleh Beng Goan-cau, biarlah kuba-laskan dendam lebih dulu buat ayah, kemudian baru membujuknya agar jangan menjadi pengawal istana, kurasa dia pasti akan menuruti bujukan itu."

   Berpikir sampai di sini, perasaannya segera bergelora keras sukar tenang, jari tangannya gemetar keras, hampir saja tak sanggup untuk berpegangan erat pada dahan pohon. Terdengar Nyo toakoh berkata lebih jauh.

   "Aku telah membicarakan soal ini dengan engku-mu, asal kau sudah diajak pulang ke rumah, dia dapat mencarikan sebuah kedu- dukan untukmu entah menjadi pengawal istana, entah menjadi seorang perwira dalam pasukan pengawal raja, engku-mu dapat mengusahakannya bagimu."

   Paras muka Ki See-kiat kontan saja berubah hebat."Apa? Kau suruh aku menjadi kuku garudanya kerajaan Cing?"

   
Taruna Pendekar Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Teriaknya tertahan.

   "Ngaco belo tak keruan!"

   Damprat Nyo toakoh.

   "Siapa bilang menjadi kuku garuda? Bagi mereka yang belajar silat, kecuali menjadi perampok hanya ada tiga pilihan lain, yakni pertama menjadi piausu, kedua menjadi guru ilmu silat di bu- koan dan ketiga menjadi perwira. Sebagai seorang perwira, masa depanmu akan cerah, kau enggan jadi perwira apa ingin menjadi perampok?"

   "Ibu, kau suruh aku mencari pangkat, apakah tindakan ini tidak melanggar ajaran keluarga kita sendiri? Ajaran kita berkata, tidak menjadi pembesar, tidak menjadi perampok?"

   Nyo toakoh segera mendengus dingin.

   "Hmm, kau ini betul- betul goblok, mana bisa kau samakan seorang pengawal istana dan seorang perwira pengawal raja dengan seorang pembesar biasa? Pembesar yang dimaksudkan dalam ajaran keluarga adalah seorang opas atau seorang sipir bui, bila dibandingkan dengan seorang pengawai istana, perbedaannya ada sepuluh laksa delapan ribu li!"

   "Tidak, aku rasa kalau toh dalam ajaran keluarga melarang kita jadi pembesar kecil, tentu saja sebagai pengawal istana juga tidak boleh."

   "Itu berarti kau telah salah mengartikan ajaran keluarga kita, bila kau tidak percaya dengan perkataanku itu, sesampainya di rumah nanti, tanyakan sendiri kepada yaya- mu."

   "Besok pun aku tak akan turut kau pulang ke rumahi"

   Nyo toakoh jadi gusar sekali, teriaknya.

   "Kau, kau kau binatang yang tidak berbakti, sejak berumur tiga tahun kau sudah ditinggal mati ayahmu, dengan susah payah (dirawatdan kudidik hingga menjadi dewasa, sekarang dengan usiaku yang begini lanjut, aku masih keluar rumah sendiri untuk mencari kau, setelah ditemukan, kau malah tidak mau ibumu lagi."

   "Ibu, perkataanmu itu kelewat serius, anakmu sama sekali tidak sama sekali tidak."

   "Baik, kalau toh kau masih bermaksud mengakui aku sebagai ibumu, mengapa tidak turut aku pulang ke rumah?"

   Kata Nyo toakoh marah-marah.

   "Aku telah menyiapkan masa depan yang cerah bagimu, mengapa justru kau tidak menuruti perkataanku? Jika kau tidak menuruti, maka kau tak usah menjadi anakku lagi!"

   "Sukoh, kau jangan marah-marah dulu hingga merusak kesehatan badanmu, biar aku saja yang membujuk sute,"

   Timbrung Song Peng-ci kemudian.

   "Hmm, sejak tadi aku sudah dibikin jengkel oleh tingkah lakunya, hari ini dia harus diberi pelajaran dengan sebaik- baiknya"

   Tampaknya makian itu belum selesai dan ia masih bersiap- siap untuk melanjutkan dampratannya, tapi entah mengapa, tiba-tiba dia menghentikan makiannya sambil membentak ke arah luar ruangan.

   "Siapa yang mencuri dengar pembicaraan kami di luar? Cepat menggelinding keluar!"

   Rupanya Nyo Yan tak sanggup menahan gejolak perasaan dalam hatinya sehingga dahan pohon yang dipegangnya berguncang keras.

   Kali ini daun berguguran tanpa hembusan angin, tentu saja kejadian tersebut tak dapat mengelabui Nyo toakoh.Merasa jejaknya ketahuan, Nyo Yan merasa terkejut sekali sehingga hampir saja terjatuh dari atas dahan Dengan cepat dia melompat turun ke bawah, tapi baru saja badannya mencapai permukaan tanah, ia sudah mendengar suara desingan senjata rahasia meluncur ke arahnya.

   Merasakan datangnya desingan angin tajam dari belakang, serta merta Nyo Yan membalikkan tangannya sambil menyentil.

   Sekalipun perasaannya sedang bergolak keras, bukan berarti ilmu silatnya yang amat iihay itu terpengaruh, sentilan tersebut dilancarkan seolah-olah di belakang punggungnya tumbuh sepasang mata, dengan jitu sekali berhasil menyentil rontok sebatang paku penembus tulang.

   Pada saat itulah, suatu kejadian yang sama sekali tak diduga oleh Nyo Yan telah berlangsung.

   Dari atas sebatang pohon yang lain, tiba-tiba melompat turun sesosok bayangan manusia Dalam kegelapan, apalagi dalam keadaan tergopoh-gopoh Nyo Yan tak sempat mengenali siapa orang itu.

   Sebab orang itu berjalan dengan punggung menghadap ke arahnya, sedang kepalanya ditutup dengan secarik kain kerudung hitam.

   Bagaikan anak panah yang terlepas dari busurnya, orang berkerudung itu melompat turun dari atas pohon dan langsung menyusup masuk ke dalam kuil bobrok itu.

   Dalam keadaan seperti ini, Nyo Yan hanya mempunyai satu pikiran yakni cepat-cepat meninggalkan tempat itu.

   Apakah hal ini disebabkan dia enggan berjumpa lagi dengan bibinya yang memuakkan itu, ataukah disebabkan untuk menghindarkan diri dari Ki See-kiat?Dia tidak tahu, mungkin saja dikarenakan dua alasan tersebut.

   Ia telah memikirkan persoalan itu masak-masak, bagaimanapun juga ia tak akan bisa membantu kakak misannya, daripada setelah berjumpa dengan kakak misannya tak tahu mesti berkata apa, lebih baik cepat-cepat saja menyingkir dari situ.

   Tapi masih ada alasan lain yang lebih penting adalah dia mesti cepat-cepat mencari Leng Ping-ji.

   Sebab kedudukan Leng Ping-ji dalam hatinya jauh lebih penting daripada Ki See-kiat, bagaimanapun juga, Leng Ping-ji dianggap sanak sendiri.

   Setelah mengetahui kejadian tragis yang menimpa Leng Ping-ji, dia dapat saja menghindari Ki See-kiat, namun harus membuang jauh-jauh ingatan untuk menghindari Leng Ping-ji.

   "Entah bagaimana sedih dan murungnya pikiran dan perasaan enci Leng pada saat ini, kecuali aku, siapa pula yang dapat menghibur hatinya?"

   Demikian Nyo Yan berpikir.

   Sekarang, dia benar-benar merasa agak beruntung karena ada orang yang telah mewakili kedudukannya Untuk menghadapi orang tersebut, Nyo toakoh dan Ki See- kiat pasti membutuhkan waktu yang cukup lama, saat itu mungkin ia sudah jauh dari tempat tersebut.

   Ia cukup mengetahui sampai di manakah taraf ilmu silat yang dimiliki Ki See-kiat, dia pun pernah menyaksikan ilmu silat yang dimiliki bibinya.

   Dengan kerja sama kedua orang itu, kecuali bertemu dengan jago pedang nomor wahid di kolong langit Kim Tiok-liu, mungkin tiada manusia kedua di dunia ini yang sanggup mengalahkan gabungan dari mereka berduaDan dia tentu saja tahu, kalau orang berkerudung itu sudah pasti bukan si jago pedang nomor wahid di kolong langit Kim Tiok-liu.

   Oleh karena itu, Nyo Yan sama sekali tidak mengkhawatirkan keselamatan mereka berdua Dengan suatu gerakan yang cepat dia lari turun gunung, kemudian menempuh perjalanan dengan cepat, suatu ketika mendadak ia merasa ujung jarinya lamat-lamat terasa kaku dan gatal.

   Sekarang Nyo Yan baru teringat kalau ia sudah terluka, segera pikirnya dengan cepat.

   "Tak kusangka bibi menggunakan senjata rahasia beracun, tak heran kalau ia disebut orang sebagai Lak-jiu-Koan-im."

   Untung saja ujung jarinya tak robek dan darahnya tak sampai keracunan, begitu sadar akan bahaya mengancam, cepat-cepat ia mencuci jari tangannya ke selokan, kemudian mengerahkan hawa muminya menembus ujung jari tangan tersebut, tak lama kemudian rasa gatal-gatal tadi telah lenyap tak berbekas.

   Mengetahui kalau bininya yang bergelar Lak-jiu-Koan-im pandai pula menggunakan senjata rahasia beracun, dia semakin lega hati.

   Kini yang paling dikhawatirkan olehnya hanyalah Leng Ping- ji.

   0odwo0 Mimpi pun Nyo Yan tak pernah menyangka kalau senjata rahasia paku penembus tulang yang beracun itu sesungguhnya bukan dilepaskan oleh bibinyaOrang berkerudung hitam itulah yang melepaskan senjata rahasia untuk menghajar Nyo Yan.

   Dia datang jauh lebih awal daripada Nyo Yan, baru saja akan turun tangan menyergap Ki See-kiat, Nyo Yan telah muncul di sana.

   Keringat dingin sempat membasahi tubuh manusia berkerudung itu karena gelisah, untung saja Nyo Yan tidak bersembunyi di atas pohon yang sama.

   Malam itu gelap gulita tak berbintang, Nyo Yan hanya memusatkan semua pikirannya untuk mendengarkan pembicaraan Nyo toakoh berdua, ia tak pernah menyangka kalau di samping tubuhnya masih bersembunyi pula seorangjago lihay yang berkepandaian hampir setaraf dengan kemampuannya.

   Orang berkerudung hitam itu belum pernah menyaksikan kelihayan ilmu silat dari Ki See-kiat walaupun ia pernah mendengar hal itu dari pembicaraan beberapa orang, namun ilmu silat dari orang-orang itu masih jauh di bawah kemampuannya, hingga ia sama sekali tak memandang sebelah mata pun terhadap kemampuan Ki See-kiat.

   Meski begitu dia cukup mengetahui akan kelihayan Nyo Yan, terhadap anak muda ini mau tak mau dia mesti menaruh perasaan jeri dan waswas.

   Justru karena dia jeri dan waswas terhadap Nyo Yan inilah, maka selama ini tidak berani turun tangan.

   Sewaktu jejak Nyo Yan diketahui oleh Lak-jiu-Koan-im, mau tak mau terpaksa ia mesti turun tangan juga.

   Hal ini bukan dikarenakan dia tidak tahu kalau jejaknya belum diketahui Lak-jiu-Koan-im, melainkan dia takut jika Nyo toakoh sampai mengenali bahwa Nyo Yan adalahkeponakannya, jika hal itu sampai terjadi maka yang paling menderita kerugian sudah pasti dia sendiri.

   Tentu saja dia pun dapat memperhitungkan bahwa senjata rahasia beracun yang disambitkan belum tentu dapat melukai Nyo Yan, tapi ia mempunyai perhitungan lain yang lebih baik, yakni menggunakan kesempatan sewaktu Nyo Yan masih gugup kebingungan, dia akan menyerbu dulu ke dalam kuil bobrok itu, kalau bisa dengan suatu gerakan yang paling cepat membekuk Nyo toakoh sebagai sandera Masih ada satu hal lagi yang sama sekali tak disangka oleh Nyo Yan, yaitu peritiwa di luar dugaan yang kemudian berlangsung di dalam kuil tersebut Kejadian di luar kuil dan kejadian di dalam kuil boleh dibilang berlangsung hampir bersamaan waktunya Di kala Nyo Yan menemukan jejak manusia berkerudung itu, Ki See-kiat yang berada dalam kuil pun sedang muntah darah.

   Berbicara dari tenaga dalam yang dimiliki Ki See-kiat sekarang, sekalipun dadanya dihantam dengan martil besar pun belum tentu dia akan muntah darah, tapi sekarang dia harus menghadapi tekanan dan desakan dari ibunya yang bertubi-tubi, hal ini membuat hatinya luka parah, dadanya seperti ditekan oleh sesuatu kekuatan yang amat besar sekali, air mata yang tak sanggup meleleh keluar mengakibatkan darahlah yang dimuntahkan keluar.

   Waktu itu, Nyo toakoh baru saja akan menengok keluar kuil, ketika menyaksikan putranya muntah darah, ia menjadi terkejut sekali, buru-buru serunya dengan cemas.

   "Kiat-ji, kenapa kau?"Baru selesai dia berkata, manusia berkerudung itu sudah memunculkan diri di depan pintu. Belum lagi orangnya muncul, senjata rahasianya sudah dilepaskan lebih dulu. Dua batang paku penembus tulang yang beracun segera meluncur ke depan, satu menghajar ke arah Nyo toakoh sedang yang lain menghajar tubuh Ki See-kiat. Nyo toakoh sangat mengkhawatirkan keselamatan putranya, walaupun berada dalam keadaan kaget bercampur gugup, namun reaksinya cukup cepat. Tanpa membalikkan kepalanya dia segera melepaskan sebuah pukulan dahsyat ke depan. Ilmu Kim-kong-lak-yang-jiu yang dimilikinya merupakan ilmu sakti dalam dunia persilatan, dalam serangan tersebut pun sudah disertai dengan tenaga dalam hasil latihannya selama puluhan tahun, bisa dibayangkan betapa dahsyatnya ancaman tersebut Dua batang paku penembus tulang itu seakan-akan tergulung dalam suatu pusaran angin yang keras, dengan cepat terhenti di tengah udara, lalu berbalik arah dan melayang balik ke tempat semula Ternyata di dalam melepaskan serangan tadi, Nyo toakoh telah menyertakan dua macam kekuatan yang berbeda, tenaga keras dan tenaga lunak dilancarkan bersama, hal ini menimbulkan suatu kekuatan yang luar biasa sekali. Gerak-gerik yang dilakukan kedua belah pihak sama-sama dilakukan dengan kecepatan luar biasa, sewaktu manusia berkerudung hitam itu menerjang masuk ke dalam, secara kebetulan dia justru menyongsong datangnya kedua batang senjata rahasia yang meluncur balik itu."Kukembalikan benda milikmu itu, roboh kau!"

   Bentak Nyo toakoh.

   Ternyata manusia berkerudung itu tidak menyambut serangan itu, juga tidak berkelit, tapi dia tak roboh ke tanah.

   Dua batang paku penembus tulang itu segera menghajar bajunya, tapi tidak mengakibatkan luka apa-apa, pakaiannya pun tak robek, tahu-tahu saja senjata itu sudah rontok ke tanah.

   Sementara tubuhnya masih menerjang terus ke depan dengan kecepatan penuh.

   Padahal Nyo toakoh mengira kedua batang senjata rahasia yang dilontarkan balik dengan kekuatan keras dan lunaknya itu paling tidak pasti akan melukai lawannya, kenyataan yang kemudian terjadi, sungguh jauh di luar dugaannya Sekalipun demikian, diam-diam orang berkerudung itu pun terkejut juga, pikirnya cepat.

   "Nama besar Lak-jiu-Koan-im ternyata bukan nama kosong belaka, aku tak boleh bertindak kelewat gegabah Nyo toakoh lebih terkejut lagi, dia pun berpikir.

   "Tampaknya ilmu silat yang dimiliki orang ini jauhlebih dahsyat dan hebat bila dibandingkan siluman perempuan kecil itu, kali ini aku betul-betul bisa celaka!"

   Dia adalah seorang ahli silat yang sudah berpengalaman luas, tentu saja dia pun tahu kalau pihak lawan mempergunakan ilmu Cian-ih-cap-pwe-tiap untuk merontokkan senjata rahasia tadi.

   Kepandaian semacam ini tak mungkin bisa dimiliki seseorang bila tenaga dalam yang dimilikinya belum mencapai taraf sempurna.

   Kenyataannya, orang itu hanya bisa merontokkan paku penembus tulang tanpa bisa mementalkannya kembali, sekalipun jaraknya dengan ke-sempurnaan masih selisih setingkat, namun kenyataan tersebut sudah cukup membuat Nyo toakoh tertegun.

   Tapi, sekalipun dia tahu bukan tandingan lawan, demi melindungi keselamatan putranya Nyo toakoh bertekad akan beradu jiwa Belum lagi dia berbuat sesuatu, orang itu sudah menerjang sampai di hadapannya, sambil tertawa dingin ia membentak keras.

   "Coba kita lihat, siapa yang lebih bertangan keji!"

   Di tengah bentakan itu, sepasang telapak tangan orang berkerudung itu mulai diayunkan kian kemari melepaskan pukulan-pukulan yang amat dahsyat Nyo toakoh segera berputar untuk menghindar, kemudian telapak tangannya dibacokkan ke muka bagaikan sebilah golok.

   Ilmu Kim-kong-lak-yang-jiu memang lebih mengutamakan kekerasan dengan tenaga lunak sebagai kekuatan sampingan, sepintas lalu bacokan itu tampak lemah seolah-olah tak berisi.

   Tapi bagi seorang ahli silat, hanya dalam sekilas pandang saja dia bisa membedakan mana yang berisi mana yang tidak.

   Ketika menyaksikan serangannya yang lemah seperti orang tak bertenaga itu, dengan sikap terkejut orang berkerudung hitam itu segera bersiap siaga.

   Rupanya meski serangan tersebut tampaknya sangat enteng dan sederhana tanpa keistimewaan, padahal justru terkandung kekuatan yang mampu melukai nadi penting di dalam tubuh.

   Seandainya orang berkerudung itu beradu kekuatan dengannya, mungkin saja Nyo toakoh akan tewas oleh pukulannya, akan tetapi nadi penting Sau-yang-meh di ba-dannya juga akan terluka sehingga mengakibatkan cacat seumur hidup.

   Padahal orang berkerudung hitam itu belum lagi berusia tigapuluh tahun, masa depannya masih panjang, sudah barang tentu dia enggan beradu jiwa dengan Nyo toakoh yang sudah mendekati enampuluh tahun itu.

   Sekalipun perempuan itu mesti dibunuh, dia tak ingin menderita kerugian apa-apa, walau cuma kehilangan sebuah jari tangan pun.

   Maka dengan menggeser badannya ke samping, ia menghindarkan diri dari ancaman tersebut, jengek-nya sambil tertawa dingin.

   "Nenek pengemis, ingin adu jiwa? Sayang dengan kemampuanmu itu masih jauh dari cukup."

   Di mulut dia berbicara, gerakan tangannya sama sekali tidak melambat dalam beberapa patah kata saja dia sudah melancarkan tujuh dela-panbelas jurus serangan.

   Setiap serangan yang dilancarkan semuanya dilakukan dengan berhati-hati sekali, begitu tak mendapat hasil segera ditarik kembali, begitu terdesak cepat mundur, hal ini membuat Nyo toakoh tak dapat mengembangkan pertarungan adu jiwa yang menguntungkan baginya Coba kalau ilmu pukulan dari Nyo toakoh tidak rapat dan aneh, niscaya kesempatan tersebut sudah dimanfaatkan olehnya untuk menerobos maju ke depan.

   Dalam pertarungan yang berlangsung seru mendadak ia mengendus bau anusnya darah yang memuakkan terselip di antara hembusan angin pukulan lawan, ia jadi amat terkejut mendadak kepalanya terasa pusing sekali."Aduh celaka, rupanya bangsat ini memiliki ilmu pukulan beracun yang sangat lihay."

   Buru-buru dia mengerahkan hawa muminya untuk melindungi jantung. Pada hakikatnya dia memang bukan tandingan lawan apalagi setelah pikirannya bercabang, bagaimana mungkin ia sanggup menahan serangan musuh yang datang secara bertubi-tubi? "Sreet.,.!"

   Ujung baju sebelah kiri Nyo toakoh telah tersambar hingga robek, lengannya yang putih pun terlihat jelas.

   Masih untung cuma lengannya yang tampak, coba kalau bagian lain yang kena dirobek, jelas peristiwa ini akan sangat memalukannya.

   Nyo toakoh amat terkejut, langkahnya jadi sempoyongan, tampaknya dia akan segera terhajar oleh tenaga serangan lawan.

   Baru saja orang itu akan maju sambil melepaskan serangan, mendadak terasa olehnya ada segulung tenaga pukulan yang sangat kuat tahu-tahu menyergap tiba.

   Lalu terdengar Ki See-kiat berseru keras.

   "Ibu, untuk memotong ayam kenapa mesti memakai pisau penjagal sapi? Biar anak saja yang menghajar adat bajingan cilik ini!"

   "Anak Kiat, jangan!"

   Jerit Nyo toakoh kaget Buru-buru dia membalikkan badannya untuk mencegah. Tapi, mendadak terdengar suara bentrokan keras bergema memecahkan keheningan "Blaam!"

   Ki See-kiat dan orang berkerudung itu sudah saling beradu kekuatan satu kali.Seketika itu juga Nyo toakoh hampir pingsan saking kagetnya.

   Kalau dia sendiri saja tak sanggup menghadapi orang berkerudung itu, apalagi putranya? Dengan terjadinya bentrokan kekerasan itu, sekalipun putranya tak sampai mati, paling tidak juga bakal terluka parah.

   Siapa tahu begitu dia mengalihkan sorot matanya ke depan, tampaklah putranya berdiri tegak seperti batu karang bergeming sedikit pun, sebaliknya orang yang berkerudung itu malah terdesak mundur sejauh satu langkah lebih.....

   Di ujung bibir Ki See-kiat masih terdapat noda darah yang belum mengering, namun tidak menutupi kegagahan wajahnya, jauh berbeda sekali dengan sikap murung dan layu tadi.

   Sang ibu ingin melindungi anaknya, sang anak pun ingin melindungi ibunya.

   Setelah memuntahkan darah segar, rasa sesak dan murung yang mencekam dadanya sudah terlampiaskan sebagian, berhadapan dengan musuh tangguh tanpa terasa semangatnya berkobar kembali.

   Dengan munculnya musuh tangguh di depan mata, persoalan sebesar apa pun yang sedang dihadapinya, mau tak mau mesti disingkirkan jauh-jauh lebih dulu.

   Orang berkerudung itu merasa terkejut bukan kepalang, meski dia tak sampai dirobohkan dalam bentrokan kekerasan barusan, segera pikirnya.

   "Ilmu Liong-siu-kang milikku telah mencapai tingkat kedelapan, mengapa masih belum sanggup menandinginya?"

   Sementara itu Ki See-kiat juga merasa terkejut"Heran, kenapa orang ini pun pandai Liong-siu-kang? Bahkan kekuatannya hampir seimbang dengan diriku?"

   Tiba-tiba satu ingatan melintas dalam benaknya, dengan cepat dia berseru tertahan.

   "Kau, kau adalah Toan Kiam- ceng?"

   "Kalau benar mau apa kau?"

   Sambil berseru dia lantas melancarkan sebuah serangan mematikan.

   Kali ini dia tidak melepaskan pukulan yang menjurus beradu kekerasan, badannya berputar kencang kian kemari.

   Begitu serangan Ki See-kiat menemui sasaran yang kosong, mendadak tangannya memanjang ke depan mencengkeram wajah Ki See-kiat, gerakannya sangat aneh, lengannya lemas bagaikan tak bertulang, bahkan cengkeraman tersebut dilepaskan dari arah yang sama sekali tak terduga oleh Ki See- kiat.

   Rupanya dia telah membaurkan ilmu Yoga dari negeri Thian-tok menjadi semacam ilmu pukulan.

   Dalam anggapannya, bagaimanapun Ki See-kiat berusaha berkelit, jangan harap ia dapat meloloskan diri dari ancaman.

   Siapa tahu, akhir dari serangannya itu sama sekali di luar dugaannya.

   Rupanya meski Ki See-kiat belum pernah belajar ilmu Yoga, namun sudah menguasai penuh pelajaran silat yang ditinggalkan oleh Kui Hoa-seng.

   Ilmu silat Kui Hoa-seng bersumber dari Siau-lim-si, terutama ilmu Liong-jiau-jiu (tangan cakar naga) justru merupakan ilmu tandingan dari ilmu Coa-kun (pukulan ular).Begitu dilihatnya lengan Toan Kiam-ceng bisa melingkar- lingkar seperti ular yang mencari mangsa, tanpa berpikir panjang ia segera menghadapinya dengan ilmu Liong jiau-jiu.

   Padahal jurus serangan dari Toan Kiam-ceng yang digubah dari ilmu Yoga ini jauh lebih dahsyat daripada ilmu Ular, seandainya kepandaian tersebut telah mencapai puncak ke- sempurnaan, belum tentu ilmu Cakar Naga sanggup untuk menandinginya.

   Akan tetapi ketika ia saksikan pihak lawan mengeluarkan semacam silat aneh yang belum dikenalnya, seperti juga Ki See-kiat kaget sewaktu menjumpai ilmu Ular-nya tadi, dia pun dibikin amat terperanjat Tiga jari tangan Ki See-kiat yang membawa ilmu silat Cakar Naga sudah mengancam kepalan tangannya.

   Toan Kiam-ceng tidak mengenal perubahan jaras musuhnya, dia pun tak tahu sampai di manakah kelihayan dari jurus serangan lawan, dia khawatir bila serangan dilancarkan secara ceroboh, hal ini justru akan merugikan diri sendiri.

   Dalam keadaan begini, Toan Kiam-ceng tak berani mengambil risiko kelewat besar.

   Karena itu tangannya yang lemas bagaikan tak bertulang itu segera berputar arah, dari serangan mencengkeram kini berubah menjadi menghantam.

   Begitu pukulan dilepaskan, hawa panas yang menyengat segera berhembus, hal ini membuat Nyo toakoh yang bersembunyi di sudut ruangan pun tak tahan.

   Dengan perasaan terperanjat, perempuan itu segera berteriak.

   "Anak Kiat, hati-hati, itulah pukulan Lui-sin-ciang."Toan Kiam-ceng tertawa dingin, jengeknya.

   "Nenek pengemis, tak nyana kau pandai juga mengenali ilmu silatku, sebentar akan kusuruh kau merasakan kelihayannya."

   Siapa tahu baru selesai dia berkata, dia sendiri yang merasakan dulu kelihayan lawan.

   "Ibu tak usah khawatir, ilmu pukulan Lui-sin-ciang dari bajingan cilik ini masih belum mencapai kesempurnaan,"

   Seru Ki See-kiat dengan cepat Sementara mulutnya berbicara, jurus serangan telah dilancarkan.

   Taruna Pendekar Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Jari tangannya segera menyodok ke depan dengan kecepatan tinggi, dengan jari tangan sebagai pengganti pedang, ia lepaskan sebuah jurus serangan menusuk jalan darah yang langsung menembus lingkaran angin serangan yang diciptakan Toan Kiam-ceng.

   Perlu diketahui, ilmu Lui-sin-ciang dari Toan Kiam-ceng ini didapatkan dengan saling bertukar ilmu dengan dua bersaudara Auwyang, berhubung tenaga dalamnya sempurna, dasar silatnya juga lebih hebat maka ilmu pukulan Lui-sin- ciang tersebut dapat dilatihnya hingga sempurna.

   Jangankan dua saudara Auwyang, sekalipun leluhur mereka Auwyang Pek bangkit kembali dari liang kubur pun belum tentu sanggup menandingi kehebatannya.

   Waktu itu ia sedang merasa mendongkol sekali, pikirnya.

   "Kau mengatakan ilmu silatku belum mencapai kesempurnaan, hmm, ingin kulihat dengan kepandaian apakah kau hendak mematahkan seranganku ini?"

   Bara saja ingatan tersebut melintas lewat dalam benaknya, mendadak terasa hawa dingin yang menggidikkan hati memancar keluar dari ujung jari tangan Ki See-kiat langsung mengancam jalan darahnya.

   Dia merasa seakan-akan terdapatsebuah jalur hawa dingin yang menggidikkan hati langsung menyusup ke dalam tubuhnya dan menusuk-nusuk sekujur badannya.

   Toan Kiam-ceng segera bersin berulang kali.

   "kelihayan"

   Tersebut tak sedap rasanya, buru-buru dia mundur sejauh tiga langkah dari posisi semula.

   Tenaga dalamnya memang luar biasa, dalam tiga langkah dia mundur ke belakang itulah hawa dingin yang menyiksa badannya segera teratasi dengan cepat.

   Rupanya jurus serangan yang dilancarkan Ki See-kiat dengan mempergunakan jari tangan ini tak lain adalah jurus pedang Peng-coan-kiam-hoat yang dipelajari dari dalam gua es.

   Tenaga dalam yang dimilikinya dilatih juga di dalam gua es tersebut maka ketika jurus serangan tersebut dilancarkan, kekuatannya jadi hebat sekali.

   Toan Kiam-ceng, serapat-rapatnya bangkai dibungkus, akhirnya ketahuan juga, kau si bajingan tengik berulang kali hendak mencelakai jiwaku sebenarnya apa maksudmu."

   Bentak Ki Sec-kiat Sambil berseru dia segera menerjang ke depan.

   Toan Kiam-ceng segera menolak telapak tangan kirinya keluar dengan telapak tangan kanannya menghadap ke dalam, lalu dengan jurus Im-yang-siang-ciong (Panas Dingin Saling Menumbuk) sepasang tangannya bersama-sama melancarkan serangan balasan ke arah lawan.

   Inilah ilmu silat aliran Lan-tou-si, ilmu pukulan yang dilancarkan dengan kekuatan hawa dingin dan hawa panasyang disatukan mewujudkan pukulan angin berpusing yang hebat Ki See-kiat tertawa dingin, dengan menggunakan cara yang sama dia melepaskan sebuah pukulan dengan jurus Im-yang- siang-ciong.

   Angin pukulan segera saling bertemu di tengah udara hingga menimbulkan suara ledakan keras.

   Untuk kesekian kalinya dua sosok bayangan manusia saling berpisah, tapi kali ini Ki See-kiat lebih unggul satu tingkat ia tetap berwajah tenang seperti tak pernah terjadi suatu apa pun sebaliknya jidat Toan Kiam-ceng sudah dibasahi oleh keringat dingin.

   "Siapa yang mengajarkan ilmu silat itu kepadamu?"

   Dalam terkejutnya tiba-tiba Toan Kiam-ceng teringat akan seseorang sehingga tanpa terasa ia menjerit tertahan.

   Sambil melanjutkan serangannya Ki See-kiat menyahut "Kau masih ingat dengan Ghasam Hoatsu? Dia toh supek-mu sendiri, kau mencelakai dia dengan tipu muslihatmu yang licik itu? Hmm tindakanmu mencelakai anggota perguruan sendiri merupakan tindakan terkutuk, manusia macam kau tak boleh dibiarkan hidup terus di dunia ini."

   Tujuh tahun berselang, ketika Toan Kiam-ceng membohongi Ghasam Hoatsu untuk menelan obat beracun, dia mengira supek-nya ini sudah tewas.

   Siapa tahu pendeta tersebut justru bersembunyi dalam gua es di bawah Kota Iblis dan bisa hidup lima tahun lebih.

   Membayangkan kembali wajah Ghasam Hoatsu sewaktu menggigit bibir dan bersumpah akan jadi setan iblis untuk membalas sakit hatinya itu, tanpa terasa Toan Kiam-ceng merasa bulu kuduknya bangun berdiri, katanya dengan suaragemetar.

   "Rupanya ilmu silatmu kau pelajari dari dia, apakah dia dia sudah mampus?"

   "Betul, akhirnya dia memang tewas karena kau celakai!"

   Bentak Ki See-kiat dengan suara lantang.

   "Ia mewariskan ilmu silatnya kepadaku, karena dia minta kepadaku untuk membersihkan perguruan dari manusia-manusia durhaka macam kau!"

   Mengetahui kalau supek-nya sudah meninggal Toan Kiam- ceng segera merasakan hatinya agak lega, apalagi sesudah mendengar perkataan itu selain girang dia pun murung.

   Ia girang karena akhirrya supek-nya mati juga.

   Dia murung karena Ki See-kiat telah mewarisi ilmu silat Ghasam Hoatsu, itu berarti dia bakal memperoleh seorang musuh tangguh lagi.

   Bagaikan orang berjalan malam sambil bersiul-siul, Toan Kiam-ceng segera memaksakan diri tertawa menutupi rasa takut di dalam hatinya, katanya.

   "Kalau begitu kau masih terhitung adik seperguruanku! Ghasam supek mati karena dicelakai Han Ji-yan, kau tak dapat menyalahkan diriku. Apalagi sekarang Han Ji-yan dan Ghasam Hoatsu sama-sama sudah mati, buat apa kita sesama saudara seperguruan mesti gontok-gontokan sendiri."

   Belum habis dia berkata, Ki See-kiat telah menukas dengan penuh kemarahan.

   "Siapa yang sesama saudara seperguruan denganmu? Hmm, hari ini kalau bukan kau yang mati, akulah yang tewas!"

   Di tengah bentakan keras, secara beruntun dia melancarkan tiga buah serangan berantai, ketiga buah serangan itu semuanya dilancarkan dengan ilmu Lak-yang-jiu dari keluargaNyo, cuma disertai dengan delapan bagian ilmu Liong-siu- kang.

   Nyo toakoh yang bersembunyi di sudut ruangan menjadi terkejut bercampur girang setelah menyaksikan kejadian itu, dia tahu putranya sengaja menggunakan ilmu pukulan ajarannya untuk mengalahkan Toan Kiam-ceng, agar dia tidak sampai kehilangan muka.

   Cuma saja, sekalipun inti dari kekuatan serangan itu berasal dari ilmu Liong-siu-kang, kegunaan dari Lak-yang-jiu tak bisa dianggap enteng, sebab pada hakikatnya ilmu pukulan tersebut mempunyai perubahan yang rumit dan membingung- kan, paling cocok kalau dikombinasikan dengan ilmu Liong-siu- kang.

   Dalam keadaan seperti ini, kendatipun Toan Kiam-ceng enggan melakukan pertarungan adu tenaga, kali ini dia tak bisa menghindar lagi.

   Dengan perasaan apa boleh buat, terpaksa dia mesti menyambut datangnya ancaman tersebut dengan keras lawan keras.

   Hasil dari benturan ini semakin nyata lagi, dia mesti mundur sejauh enam tujuh langkah sebelum menghentikan gerakan tubuhnya.

   Terkejut dan marah segera menyelimuti benak Toan Kiam- ceng, pikirnya kemudian.

   "Seandainya bulan berselang aku tidak menderita kerugian di tangan Nyo Yan si bocah keparat itu, mungkinkah Liong-siu-kang milik Ki See-kiat bisa menga- lahkan aku? Tampaknya hari ini aku tak bakal bisa mengalahkan dirinya lagi."

   Ternyata ia sudah terhajar oleh sebatang Thian-san-sin- bong milik Nyo Yan pada pertarungan bulan berselang,sekalipun telah disembuhkan, tenaga dalamnya masih ada dua bagian yang belum pulih kembali.

   Tapi berbicara sebenarnya, sekalipun tenaga dalamnya tidak mengalami kerugian apa-apa, paling banter dia pun cuma bisa bertarung seimbang dengan Ki See-kiat.

   Toan Kiam-ceng tidak tahu kalau Nyo Yan sudah pergi meninggalkan tempat itu, begitu teringat kepadanya, ia jadi bergidik sendiri.

   "Sampai kini, mengapa Nyo Yan si bocah keparat itu belum juga menampakkan diri? Jangan-jangan dia sedang menunggu sampai aku dan Ki See-kiat sama-sama terluka parah, dia baru muncul untuk merenggut selembar jiwaku."

   Berpikir akan hal ini, hatinya semakin bergidik lagi.

   Tapi dia terlalu mengandalkan ilmu pukulan beracunnya, dalam anggapannya Ki See-kiat yang sudah dua kali beradu kekerasan dengannya sedikit banyak tentu akan keracunan.

   Sementara hatinya masih sangsi dan tak tahu mesti segera kabur atau menunggu sampai Ki See-kiat keracunan lalu melaksanakan rencana semula untuk membekuknya sebagai sandera, Ki See-kiat telah mengajaknya untuk sekali lagi beradu kekerasan.

   Kali ini Toan Kiam-ceng menggunakan ilmu Yoga-nya untuk memunahkan setengah dari kekuatan serangan Ki See-kiat, sehingga dia hanya mundur sejauh tiga langkah.

   Menurut perasaannya, dia dapat menyaksikan kalau tenaga dalam yang dimiliki Ki See-kiat selain tidak berkurang, bahkan agaknya makin bertarung semakin kuat Hal ini menandakan kalau Ki See-kiat sesungguhnya sama sekali tidak keracunan.Sebaliknya dia sendiri malah merasakan gejala keracunan, ketika ia mundur tiga langkah tadi, tiba-tiba kepalanya terasa pusing sekali sehingga hampir saja terjatuh.

   Rupanya ilmu pukulan beracun yang dilatihnya itu meski lihay, namun memiliki suatu titik kelemahan yang mematikan.

   Bilamana ia bertemu dengan seorang musuh yang memiliki tenaga dalam jauh lebih hebat daripada tenaga dalamnya, maka sari racun yang berada dalam telapak tangannya itu bukan saja tidak akan melukai lawan, malah sebaliknya akan membalik menghantam tubuh sendiri.

   Untung saja ilmu Liong-siu-kang miliknya maupun milik Ki See-kiat telah mencapai tingkat kedelapan, oleh karena sebulan berselang dia pernah menderita kerugian di tangan Nyo Yan sehingga tenaga dalamnya berkurang dua bagian, selisih mereka berdua tidak terhitung terlalu besar.

   Sebab itulah meski dia keracunan, namun sari racun yang mengeram dalam tubuhnya masih terhitung agak enteng.

   Cuma saja, setelah dia menyadari dirinya menunjukkan gejala keracunan, takut pula diserang oleh Nyo Yan, tentu saja dia tidak berani bertarung lebih jauh.

   Mendadak tubuhnya miring ke samping dengan sempoyongan, nyaris badannya terjengkang ke tanah.

   Ki See-kiat tidak tahu kalau dia mempunyai titik kelemahan dalam permainan ilmu pukulan beracunnya, dalam anggapannya Toan Kiam-ceng berilmu tinggi, dia mengira musuhnya sedang menggunakan siasat licik untuk menjebaknya, untuk sesaat dia menjadi agak sangsi.

   Menggunakan kesempatan itulah cepat-cepat Toan Kiam- ceng melompat keluar dari ruangan kuil, begitu tiba di depan pintu ia berseru.

   "Jelek-jelek begini kita toh sesama saudaraseperguruan, apa gunanya kita mesti gontok-gontokan sen- diri?"

   Dia khawatir Nyo Yan sedang bersiap-siap di luar kuil untuk menyergapnya, maka sambil menerjang keluar dari pintu kuil, senjata rahasia beracunnya segera dihamburkan ke mana- mana, lalu melarikan diri terbirit-birit dari situ.

   Setelah berlarian sekian waktu tanpa menjumpai bayangan tubuh Nyo Yan melakukan pengejaran, dia baru menghembuskan napas lega.

   Pengertian Antara Ibu dan Anak Ki See-kiat sangat mengkhawatirkan keselamatan ibunya, dia tak berani mengejar lawannya.

   Ketika berpaling, dijumpainya Nyo toakoh berdiri sempoyongan dengan wajah pucat pias, keadaannya mirip lentera yang terhembus angin.

   Rupanya setelah ia menyaksikan putranya berhasil meraih kemenangan, hatinya jadi lega, badannya pun jadi tak tahan.

   Dengan hati terperanjat, buru-buru Ki See-kiat berseru.

   "Ibu, kenapa kau?"

   "Ti tidak apa-apa anak baik, akhirnya kau berhasil membalaskan sakit hatiku, Lak-yang-jiu kita."

   Walaupun senyuman menghiasi bibirnya, namun wajahnya makin lama semakin pucat, suaranya makin tersendat dan napasnya lebih keras daripada kata-katanya. Buru-buru Ki See-kiat membimbing ibunya duduk, kemudian katanya.

   "Anak merasa malu sekali, sebenarnya ilmu Lak-yang-jiu yang kau wariskan kepadaku dapat melukai bajingan tersebut, sayang, anak belum berhasil melatihnya dengan sempurna, hingga keparat itu berhasil melarikan diri."

   Padahal kata "malu"

   Sepantasnya diucapkan oleb Nyo toakoh, Ki See-kiat cukup memahami watak ibunya yang ingin menang sendiri, sebab itu buru-buru dia mengutarakannya lebih dulu.

   Menggunakan sepatah kata untuk melenyapkan kekesalan dan kemurungan di dalam hatinya, hal ini sesungguhnya jauh lebih manjur daripada memberikan obat kuat kepadanya.

   Hanya dengan cara itu juga baru bisa membantu ibunya untuk memulihkan kembali semangatnya di dalam waktu yang paling singkat.

   Sudah barang tentu Nyo toakoh cukup mengetahui maksud hati dan putranya itu.

   Menyaksikan kasih sayang putranya, timbul perasaan hangat dalam hati kecilnya.

   Sambil terbatuk-batuk dia lantas berkata.

   "Anak baik, kau memang tidak menyia-nyiakan jerih payahku mendidik dirimu, keberhasilanmu sekarang sungguh sungguh luar biasa sekali. Cuma, aku aku mungkin aku besok masih belum bisa pulang pulang ke rumah"

   "Ibu, kau tak usah khawatir, beristirahatlah dulu. Kujamin besok pagi kau pasti dapat pulang ke rumah."

   Sambil berkata dia lantas menggenggam tangan ibunya dan menggunakan tenaga dalam yang dimilikinya untuk membantu menyembuhkan luka yang diderita perempuan itu.

   Nyo toakoh hanya merasakan ada segulung hawa yang panas menyusui masuk dari tangannya melewati Sau-yang-keng-meh langsung mengalir ke atas, dalam waktu singkat seluruh tubuhnya sudah dikelilingi oleh tenaga murni itu.

   Bagaikan siluman babi makan buah jinsom saja, delapanpuluh laksa empat ribu rongga badannya terasa segar semuanya.

   Pada dasarnya tenaga dalam yang dimiliki Nyo toakoh memang amat sempurna, apalagi dalam pertarungan tadi dia pun bukan terhajar langsung oleh ilmu pukulan beracun dari Toan Kiam-ceng, yang terjadi hanyalah hawa racun yang terhisap masuk ke dada, ditambah hatinya sedang gundah, maka begitu pikiran terasa tenang dan memperoleh bantuan dan luar, tak lama kemudian hawa muminya terhimpun kembali, semua nadinya tembus dan sisa racun pun keluar lewat keringat.

   Dia adalah seorang ahli silat, ia pun tahu ilmu mengurut jalan darah yang dilakukan putranya amat merugikan tenaga murni, sebenarnya dia hendak memerintahkan putranya untuk berhenti, tapi dalam keadaan seperti ini hakikatnya sukar baginya untuk bersuara.

   Dengan susah payah akhirnya hawa mumi yang dimilikinya dapat terhimpun kembali, dengan cepat dia menarik tangan anaknya sambil berbisik.

   "Cukup, cukup, anak Kiat, kau bagaimana rasamu?"

   Waktu itu wajahnya telah berubah menjadi merah padam sedang wajah Ki See-kiat menjadi pucat pias.

   Teringat bagaimana putranya baru saja menyelesaikan pertarungan, lalu menyalurkan tenaga dalam untuk mengobatinya, bahkan sebelum bertarung ia sudah muntah darah, bayangkan saja bagaimana mungkin hatinya tidak merasa risau."Aku tidak mengapa!"

   Kata Ki See-kiat. Selesai mengucapkan perkataan itu, dia segera duduk bersila untuk bersemadi, betul juga tak lama kemudian wajahnya telah berubah merah segar kembali. Sambil bangkit berdiri segera ujarnya.

   "Ibu, besok kita boleh pulang bersama!"

   "Kau bersedia ikut aku pulang ke rumah?"

   Nyo toakoh agak tertegun.

   "Ibu, kau sudah menempuh perjalanan yang begitu jauh untuk mencariku, mengapa aku tak mau mengantarmu pulang?"

   Nyo toakoh menjadi kegirangan, sambil merangkul anaknya dia berseru.

   "Anak Kiat, bagaimanapun juga kau memang anak yang baik. Bagus, kalau kau mau pulang itu bagus sekali!"

   "Tapi ibu, aku pun ingin memohon sesuatu kepadamu,"

   Kata Ki See-kiat lagi pelan.

   "Apa yang kau inginkan?"

   Tanya Nyo toakoh dengan perasaan terkesiap.

   "Ibu kumohon kepadamu janganlah memaksa aku untuk bekerja seperti engku!"

   Nyo toakoh paling takut kalau putranya ingin mengawini Leng Ping-ji, baru saja anaknya menolong selembar jiwanya, bahkan memberi muka kepadanya agar kewi bawaannya sebagai ibu tetap ditegakkan, bila putranya sampai mengajukan permintaan tersebut dia tak tahu bagaimana harus menjawab.

   Siapa tahu yang diminta Ki See-kiat agar tidak memaksanya bekerja seperti engku, meski hal ini pun bertolak belakangdengan cita-citanya tapi toh jauh lebih mendingan daripada menyetujui putranya kawin dengan keponakan perempuan dari seorang buronan pemerintah.

   Nyo toakoh menghela napas panjang katanya.

   "Aaaii aku berbuat demikian, sebenarnya demi masa depanmu, tapi kalau toh kau segan untuk menerimanya, tentu saja ibu juga tak akan terlalu memaksa"

   Kiranya Ki See-kiat bukannya tak ingin memohon kepada ibunya agar mencabut kembali larangannya untuk berhubungan dengan Leng Ping-ji, tapi dia khawatir dengan watak ibunya yang keras kepala, ia takut kalau permintaan itu yang diajukan maka ibunya bisa salah sangka kalau dia berbuat jasa dengan harapan imbalan, bila sampai Suasana menjadi kaku kembali, hal ini tak baik untuk kedua belah pihak, sebab itulah niat, tersebut tak jadi diutarakan.

   Betul dia pernah bertekad tak akan mengikuti ibunya pulang ke rumah.

   Seandainya Toan Kiam-ceng tidak melukai ibunya, tekadnya itu pasti tak akan diubah.

   Tapi sekarang telah terjadi peristiwa yang sama sekali di luar dugaan, sebagai seorang anak yang berbakti, dia merasa berkewajiban untuk mengantar ibunya sampai di rumah.

   Jika ia biarkan ibunya pulang sendiri, lalu di tengah jalan ibunya berjumpa lagi dengan Toan Kiam-ceng, apa jadinya? Boleh saja badannya pulang mengikuti ibunya, tapi hatinya telah tertambat pada Leng Ping-ji.

   Hari sudah mulai terang, dia mengikuti ibunya keluar dari kuil bobrok, tapi hatinya terasa bimbang dan kosong, berulang kali dia hanya berpikir demikian.

   "Saat ini, entah nona Leng berada di mana? Apakah dia masih membenciku? Ataukah rindu kepadaku?"0odwo0 Leng Ping-ji tidak menaruh rasa dendam atau rasa rindu yang terlalu dalam kepadanya, namun sakit hati yang dialaminya tak akan bisa dipahami oleh Ki See-kiat. Sewaktu lari keluar dari kuil bobrok itu, hatinya terasa berat, pikirannya kosong, dia tak tahu ke mana dia harus pergi, perasaan apa pun tidak dimilikinya Perasaan aneh semacam ini bukan baru pertama kali dirasakan olehnya. Delapan tahun berselang, ketika ia diceburkan ke dalam telaga salju oleh Toan Kiam-ccng dan di- tolong orang, dia pernah merasakan penderitaan semacam ini sehingga ketika orang bertanya siapa namanya, dia tak mampu menjawab. Hanya saja penderitaan yang dialaminya kali ini terasa jauh lebih mendalam daripada apa yang dialaminya dulu. Kalau tempo hari dia adalah sekuntum bunga yang diterjang angin puyuh, maka kali ini adalah pohon layu yang mulai bersemi lagi, siapa tahu kena dipapas orang secara keji. Entah sudah berapa jauh dia berlari, ketika berpaling kuil bobrok itu sudah tidak tampak lagi, saat itulah dia baru seolah-olah bangun dari impian buruk, bersandar di atas sebuah baru besar, hatinya terasa kaku, badannya turut kaku sehingga tak sanggup untuk bergerak lagi. Segulung angin bukit berhembus lewat, ia baru sadar kembali dari lamunannya dengan terkejut Fajar sudah mulai menyingsing di langit timur, perasaannya juga sudah mulai bangkit kembali meski diliputi awan mendung.Ia sama sekali tidak membenci Ki See-kiat, dia pun tidak merindukan dirinya Bagaimanapun penderitaan dan luka hati yang dideritanya sekarang, toh Ki See-kiat jauh berbeda dengan Toan Kiam-ceng. Bagaimanapun juga, Toan Kiam-ceng adalah kekasihnya yang pertama, ia pernah mencintai Toan Kiam-ceng dengan setulus hatinya, la pernah memaafkannya berulang kali, hingga Toan Kiam-ceng melakukan dosa besar yang tak ter- ampuni, sampai dia hendak dibunuh secara keji, lamunan gadisnya baru hancur berantakan, hal ini menyebabkan rasa bencinya terhadap Toan Kiam-ceng jauh melebihi rasa cinta- nya dulu. Tak peduli bagaimana cinta dan dendam buat seorang anak gadis, bila ia tak pernah merasakan cinta yang kelewat dalam, mungkin tak akan timbul rasa benci yang kelewat dalam pula Betul dia memang menaruh kesan baik terhadap Ki See- kiat, bahkan dia berharap hubungan di antara mereka bisa berkembang lebih dalam. Tapi bagaimanapun juga ia belum menaruh rasa cinta yang mendalam padanya juga kesalahan kali ini bukan terletak pada Ki See-kiat, sekalipun Ki See-kiat yang harus bertanggung jawab, dia pun tak akan membenci dirinya Mungkin perasaannya terhadap Ki See-kiat, meski ada juga perasaan cinta namun cinta tersebut baru mulai tumbuh, mulai bersemi, hingga tak bisa dibilang sudah merasuk tulang. Yang disedihkan olehnya adalah musibah yang datang beriring, kehormatannya sebagai seorang gadis yang diinjak- injak, membuat dia merasakan suatu kesepian yang aneh, membuat dia merasakan pukulan batin yang sangat hebat.Sekarang dia boleh saja tidak membutuhkan cinta, tidak membutuhkan perasaan simpatik, boleh saja tidak membutuhkan kekasih, tapi ia membutuhkan seorang teman yang serasi. Ketika angin gunung berhembus lewat, Leng Ping-ji merasakan hatinya kosong, ia merasa dirinya seperti terbuang kembali. Bayangan dari Toan Kiam-ceng telah kabur, bayangan Ki See-kiat pun hanya berlalu seperti angin segar yang berhembus lewat, yang sudah terjadi biarlah berlalu, batinya tenang, paling-paling hanya terjadi gelombang kecil. Dalam suasana beginilah bayangan dari seseorang yang lain segera muncul di dalam benaknya. Bila seseorang berada dalam kesedihan, sering kali dia teringat kepada temannya yang paling baik, mungkin banyak rahasia hati yang tak bisa disampaikan kepada orang tuanya, tapi dapat ditumpahkan kepada temannya Begitu pula keadaan dari Leng Ping-ji ketika itu. Orang yang sangat dirindukan olehnya sekarang bukan Toan Kiam-ceng, juga bukan Ki See-kiat, melainkan Beng Hoa Semua peristiwa yang pernah terjadi di masa lalu kini terlintas kembali dalam benaknya, semua kejadian pada tujuh tahun berselang seakan-akan terasa masih baru dalam ingatan. Setelah nyaris terbunuh dalam pesta Jagal Kambing yang diselenggarakan orang-orang Wana, ia berjumpa kembali dengan Toan Kiam-ceng.Waktu itu Toan Kiam-ceng memancingnya untuk mengejar sampai di bukit Soat-san, nyaris dia kembali terbunuh di tangan Toan Kiam-ceng. Tapi di saat yang sangat kritis, dari langit muncul seorang bintang penolong, mendadak Beng Hoa muncul di saat yang amat berbahaya, bukan saja telah menolongnya, juga menyembuhkan hatinya yang ter-luka Tentu saja luka tersebut sedemikian dalamnya sehingga sampai kini mulut luka baru merapat lapi paling tidak tak mengucurkan darah lagi. Seandainya tiada sahabat yang begitu baik hati seperti Beng Hoa yang selalu membakar semangatnya agar tetap melanjutkan hidup, ia tak tahu apakah masih hidup hari ini? "Sewaktu Beng toako berpisah dengan diriku dia bilang akan mencari adiknya sampai ketemu, tapi hingga kini dia belum datang juga Apakah ia sudah sampai kemari tapi sana? Dalam lima tahun ia hampir tak punya waktu antuk kemari, mungkin dia memang belum kemari? Entah dia dengan enci Bik-ki sudah kawin belum? Sayang sekali arak kegirangannya tak sempat kuminum."

   Dia sama sekali tidak cemburu kepada Kim Bik-ki, malahan dia merasa turut bahagia bagi gadis itu.

   Sekarang, tiba kembali saatnya merasakan luka dalam hatinya lagi, betapa besarnya dia berharap bisa berjumpa kembali dengan Beng Hoa, sekalipun Beng Hoa datang bersama Kim Bik-ki.

   Berpilar sampai di sini, tanpa terasa jantungnya berdebar keras.

   "Heran, mengapa aku berpikir demikian? Apakah aku tidak berharap bisa berjumpa dengan enci Kim? Tidak, aku berharap mereka bisa datang bersama-sama."Tapi dia tahu di dunia ini tak mungkin bisa terjadi suatu "kebe-tu lan"

   Yang beruntun, ketika hatinya sedang terluka dulu, Beng Hoa-lah yang menghibur hatinya, kali ini tak mungkin dia mengharapkan kemunculan Beng Hoa lagi.

   Bayangan tubuh dari Beng Hoa segera berubah menjadi bayangan orang lain.

   Orang ini pernah siang malam bersamanya, tapi bayangan tubuhnya sekarang terasa begitu buram dalam hatinya.

   Cuma rasa "buram"

   Tersebut tidak sama dengan "buram"

   Terhadap Toan Kiam ceng. Kalau terhadap Toan Kiam-ceng, dia selalu berusaha keras untuk melupakan, berusaha menekan bayangannya agar tercipta suasana "buram", sebaliknya terhadap orang ini dia selalu merindukan dirinya. Dia sampai merasa "buram"

   Karena dia hanya tahu bayangan semasa masih kecil dulu, dia tak tahu bagaimanakah tampang serta bentuk mukanya sekarang. Orang yang dipikirkan olehnya itu tak lain adalah Nyo Yan, adik tiri Beng Hoa dari ayah lain.

   "Tahun ini adik Yan telah berusia delapanbelas tahun, entah apakah wajahnya mirip dengan kakaknya?"

   
Taruna Pendekar Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Bayangan "kabur"

   Dalam benaknya sekarang tak lain adalah perpaduan antara bayangan Nyo Yan di masa kecil dengan bayangan Beng Hoa semasa masih muda.

   Sebetulnya kali ini dia dan Ki Sec-kiat sedang berusaha mencari Nyo Yan, siapa tahu Nyo Yan belum lagi ditemukan, dia malah "kehilangan"

   Ki See-kiat.Kini pikirannya sudah jauh lebih sadar, terbayang kembali tujuan dari perjalanannya kali ini, tanpa terasa ia tertawa getir.

   "Entah siapa pula siluman perempuan kecil itu? Kalau didengar dari nada ucapan ibunya Ki See-kiat, agaknya dia dengan adik Yan sudah berteman akrab?"

   Terbayang akan sikap gusar Nyo toakoh terhadap "siluman perempuan kecil"

   Itu, tanpa terasa ia merasa gembira bercampur sedih.

   "Sungguh tak kusangka Nyo Yan si bocah cilik ini pun sudah punya teman perempuan. Aah, sekarang ia sudah bukan seorang bocah cilik yang masih ingusan lagi, dia sudah merupakan seorang pemuda berusia delapanbelas tahun."

   Selama ini, dalam bayangannya Nyo Yan cilik, tapi sekarang dia baru mulai merasa dia telah menginjak dewasa. Ia jadi teringat kembali dengan cerita yang disampaikan Lomana kepadanya.

   "Aah, mungkin siluman perempuan kecil yang dimaksudkan Nyo toakoh adalah gadis aneh yang pernah dijumpai enci Lomana. Waktu itu, dia pun muncul berbareng dengan kemunculan adik Yan, tampaknya hubungan mereka berdua sudah berkembang cukup lumayan. Siluman perempuan kecil itu dapat membuat Lak-jiu-Koan-im mencak- mencak kegusaran, sudah jelas dia bukan perempuan sembarangan. Tentu Nyo Yan tak akan menim cara Ki See-kiat yang segala sesuatunya menuruti perkataan ibunya. Ya, bila aku bertemu dengan adik Yan nanti, hal ini pasti akan kutanyakan kepadanya sampai jelas, apakah dia benar-benar menyukai si siluman perempuan kecil itu? Andaikata ber- sungguh hati, aku harus menganjurkannya agar serius."Sementara dia masih berpikir ke sana kemari tanpa tujuan, mendadak dilihatnya ada sesosok bayangan manusia sedang lewat.

   "Adik Yan-kah di situ? Aku adalah."

   Leng Ping-ji memang menduga Nyo Yan masih berada di atas bukit .itu, maka ketika dilihatnya bayangan tubuh orang itu berkelebat dengan kecepatan luar biasa, apalagi dalam sekilas pandang ini sudah tahu kalau orang itu bukan Ki See- kiat, maka dia lantas mengira Nyo Yan.

   Siapa tahu belum selesai dia berkata, orang itu tertawa terbahak-bahak.

   "Haahh haahh haahh aku sudah tahu kalau kau adalah Ping-ji-ku. Kenapa? Masa kau, sudah tidak mengenali diriku lagi?"

   Ternyata orang itu bukan Nyo Yan, melainkan Toan Kiam- ceng. Begitu selesai berkata, Toan Kiam-ceng sudah muncul di hadapannya. Gemetar keras sekujur badan Leng Ping-ji menahan gusar yang membara di dalam dadanya, segera bentaknya keras- keras.

   "Kau kau masih punya muka untuk berjumpa denganku?"

   "Ping-ji,"

   Kata Toan Kiam-ceng sambil cengar-cengir seperti muka kuda.

   "aku sudah tahu tentang urusanmu dengan Ki See-kiat. Jangan bersedih hati, walaupun Ki See-kiat tidak mau, masih ada aku Toan Kiam-ceng yang bersedia menampungmu."

   Kobaran api yang membara membuat rasa kaku pada sepasang kaki Leng Ping-ji segera pulih kembali, dia segeramelompat bangun, lalu sambil mengayunkan tangan dia membentak.

   "Aku menginginkan kematianmu!"

   Toan Kiam-ceng mengayunkan telapak tangannya melepaskan sebuah bacokan, ilmu yang dipergunakan adalah ilmu pukulan Lui-sin-ciang.

   Kalau pada tujuh tahun berselang tenaga dalamnya masih belum mampu melebihi Lcng Ping-ji, maka sekarang lwekang- nya sudah jauh lebih sempurna daripada gadis tersebut apalagi ilmu pukulan Lui-sin-ciang justru merupakan ilmu tan- dingan dari peluru Peng-pok-sin-tan yang berhawa sangat dingin itu.

   Begitu serangan dilancarkan, hawa panas segera menderu- deru.

   Dua biji peluru Peng-pok-sin-tan yang dilepaskan Leng Ping-ji segera melumer dan lenyap tak berbekas oleh hawa panas yang membara itu.

   Sambil tertawa kembali Toan Kiam-ccng berkata.

   "Ping-ji, mengapa sih marah-marah kepadaku? Betul, aku pernah berbuat salah kepadamu, tapi membunuh orang tak lebih hanya menganggukkan kepala, sekarang aku toh sengaja datang kemari untuk mohon maaf kepadamu."

   "Enyah kau dari hadapanku!"

   Teriak Leng Ping-ji sambil meloloskan pedang sakti Peng-pok-han-kong-kiam.

   "Kalau tidak, bila kau berani maju selangkah lagi, maka aku aku."

   "Kau mau apa?"

   Toan Kiam-ceng tertawa.

   "mungkin kau belum tahu, jangan toh baru kau, bahkan Ki See-kiatpun bukan tandinganku. Kau ingin membunuhku? Hmm, hal ini mustahil bisa kau laksanakan. Walaupun aku pernah berbuat salah kepadamu, tapi dulu kita toh pernah bersumpah setia untuk hidup berdampingan sampai tua? Apalagi aku sengajadatang untuk minta maaf kepadamu, apakah kau sudah me- lupakan hubungan cinta kasih kita di masa lalu?"

   Walaupun di mulut dia berbicara, namun langkahnya tak pernah berhenti, bukan cuma maju selangkah saja bahkan maju sampai sejauh tiga langkah.

   Leng Ping-ji segera mengayunkan pedangnya melepaskan sebuah tusukan kilat Sekalipun Toan Kiam-ceng sudah mempersiapkan diri, tapi permainan pedang Pcng-coan-kiam-hoat tersebut memang amat sakti, tusukan tersebut datangnya dari suatu arah yang sama sekali tak diduga oleh lawannya.

   "Criiit..!"

   Bagaimanapun cepatnya Toan Kiam-ceng berusaha untuk menghindarkan diri, bahu kirinya tersentuh juga oleh ujung pedang sinona sehingga berlubang.

   Peng-pok-han-kong-kiam merupakan sebilah pedang mestika yang paling aneh di kolong langit.

   Bila pedang-pedang mestika lainnya yang diutamakan ketajamannya, tapi berbeda dengan Peng-pok-han-kong-kiam, sebab yang diandalkan adalah hawa dingin yang dipakai untuk melukai urat nadi orang.

   Seandainya Leng Ping-ji tidak menyalurkan hawa murninya ke ujung pedang tersebut, maka jangankan melukai lawan, untuk melubangi baju musuh pun tak bisa.

   Itulah sebabnya, walaupun pakaian Toan Kiam-ceng berlubang sekarang, kulit tubuhnya sama sekali tak cedera.

   Tapi pengaruh yang dipancarkan oleh pedang Peng-pok- han-kong-kiam ini justru jauh melebihi peluru Peng-pok-sin- tan.

   Pedang itu terbuat dari inti salju di dasar gua salju yang telah berusia sepuluh laksa tahun, hal ini menyebabkan begituujung pedang tersebut menyentuh badan, segera muncullah segulung hawa dingin yang luar biasa kuatnya menembus jalan darah Toan Kiam-ceng.

   Sebagai seorang jago yang pernah berlatih ilmu silat aliran Thian-tok, Toan Kiam-ceng mempunyai sejenis kepandaian yang bisa menggeser letak jalan darah.

   Maka begitu hawa dingin itu menyerang ke dalam tubuhnya, cepat-cepat dia menggeser jalan darahnya ke arah lain, kemudian barulah mengerahkan tenaga dalamnya untuk mendesak keluar hawa dingin tersebut dari dalam tubuhnya.

   Kendatipun demikian, toh tak urung Toan Kiam-ccng merasakan juga sekujur badannya gemetar keras dan bersin berulang kali.

   Sementara itu, Lcng Ping-ji telah melancarkan lagi tiga buah serangan berantai.

   Dalam keadaan demikian itu, mustahil buat Toan Kiam-ceng untuk mencabangkan pikiran dan tenaganya untuk melayani dua tempat yang berbeda, kontan ia terdesak hebat sehingga dibuat kelabakan tak keruan.

   Tapi dia sudah tahu kelihayan pedang Peng-pok-han-kong- kiam, maka ia tak berani maju secara gegabah, bila Leng Ping- ji ingin menusuknya sekali lagi, maka hal ini tak mungkin bisa dilakukan secara mudah.

   Tiga kali hawa muminya mengelilingi badan, kesehatan badan Toan Kiam-ceng telah pulih kembali seperti sediakala, sambil tertawa dia lantas berkata.

   "Ping-ji, rupanya pedang Peng-pok-han-kong-kiam milik Teng hujin telah diwariskan padamu, berarti ilmu pedang Peng-coan-kiam-hoat telah berhasil kau kuasai, kionghi kionghi! Benar-benar suatu hal yang patut diberi selamat! Tapi, kendatipun begitu kau tohbelum mampu untuk melukai diriku. Aku lihat ada baiknya kita semua rujuk kembali saja seperti sediakala, toh lebih baik menjadi sepasang sejoli daripada musuh bebuyutan? Kau memiliki pedang mestika nomor wahid di kolong langit dan aku mempunyai ilmu silat nomor satu di dunia, bila kita akhir- nya menjadi suami istri dan bersatu padu, siapa lagi yang dapat mengalahkan kita berdua?"

   Pucat pias selembar wajah Leng Ping-ji karena marah, bentaknya dengan penuh kebencian.

   "Kentut busuk, hari ini kalau bukan kau yang mati, akulah yang binasa!"

   Tujuan dari Toan Kiam-ceng dengan ucapan-ucapannya itu memang ingin membangkitkan kemarahan gadis tersebut, maka sambil tertawa dia berseru.

   "Aah, mengapa mesti berbuat begitu?"

   Mendadak ia pergunakan ilmu Yoga-nya.

   Dengan mengulurkan lengan ke depan, kemudian secara tiba-tiba mencengkeram jalan darah Ci-ti-hiat di ujung siku lawan.

   Sekalipun Leng Ping-ji mempunyai pedang mestika, namun cengkeraman lawan datangnya amat cepat seperti sambaran kilat, dalam keadaan demikian, tak sempat lagi baginya untuk menghadang datangnya ancaman tersebut Terkesiap Leng Ping-ji menghadapi kejadian itu, ia sadar bakal celaka.

   Siapa tahu di luar dugaannya, sewaktu cengkeraman sudah hampir mengenai tubuhnya, tiba-tiba secepat kilat Toan Kiam- ceng menarik kembali tangannya.

   Apa yang terjadi? Agaknya pedang Pcng-pok-han-kong- kiam-lah yang telah menyelamatkan selembar jiwanya.Di antara ayunan kalap dari si nona tadi, pengaruh pedang Peng-pok-han-kong-kiam telah terpancar keluar, padahal kelihayan dari pedang mestika tersebut justru adalah tanpa menusuk tubuh lawan pun, hawa dingin yang merasuk tulang itu sanggup melukai urat nadi lawan.

   Dengan jarak hanya tiga kaki dari rubuh Toan Kiam-ceng serta tingkat kesempurnaan tenaga dalam yang dimiliki pemuda itu, mana mungkin ia bisa tahan? Jangankan tiga kaki, meski dia berada delapan kaki jauhnya mungkin tubuhnya masih menggigil.

   Sekarang dia sudah menerjang ke muka, jaraknya dengan pedang Peng-pok-han-kong-kiam tinggal beberapa inci, dengan mempergunakan ilmu Ki-na-jiu-hoat dia centangkan telapak tangannya siap merampas senjata mestika lawan.

   Tapi dia lupa kalau jalan darah Lau-kiong-hiat pada telapak tangannya tidak terlindung, begitu teledor, langsung saja hawa dingin menyerang lagi ke dalam tubuhnya.

   Dalam waktu singkat dia merasakan darah yang mengalir di alam telapak tangannya seakan-akan menjadi beku.

   Bila jalan darah Lau-kiong-hiat terluka, akibatnya hawa mumi akan membuyar, bagaimana mungkin Toan Kiam-ceng berani menyerempet bahaya tersebut? Masih untung ilmu silatnya telah dilatih sehingga mencapai taraf yang luar biasa, di mana tenaga serangan bisa dipergunakan dan ditarik sekehendak hati, meski datangnya serangan cepat, sewaktu ditarik pun jauh lebih cepat lagi.

   Sambil menarik tangannya dia segera melompat mundur sejauh tiga kaki lebih.

   Dengan taktik pertarungan gerilya, dia kurung Leng Ping-ji rapat-rapatSetelah nyaris menderita kerugian besar, dengan cepat Leng Ping-ji memusatkan pikirannya untuk menghadapi serangan lawan dengan tenang, ia berusaha mengendalikan hawa amarah yang sedang berkobar di dalam dadanya.

   Dengan mengandalkan ilmu pedang Pcng-coan-kiam-hoat yang penuh dengan perubahan tak terduga, menyerang sambil bertahan, sekalipun sul it baginya untuk melepaskan diri dari kepungan, namun Toan Kiam-ceng pun tidak sanggup menembus lingkaran cahaya pedangnya.

   Tapi Toan Kiam-ceng yang sekali dingin itu, mendadak memperoleh sebuah akal bagus.

   Barang yang sukar diduga kadang kala akan menjadi barang yang paling baik, demikian kata orang.

   Sewaktu Leng Ping-ji masih menuruti perkataannya dan mencintainya dengan sepenuh hati dulu, ia merasa amat tidak puas, bahkan gara-gara suatu kepentingan pribadi, dia sampai tak segan untuk meninggalkan gadis itu.

   Tapi sekarang, Leng Ping-ji bersikap sedingin es kepadanya, bahkan mengajaknya untuk bertarung mati-matian, dia mulai menyesali perbuatannya itu, malah timbul Suatu tekad dalam hatinya untuk mengejar nona itu sampai dapat Tentu saja rasa menyesal yang muncul dalam hatinya bukan rasa menyesal atas perbuatan jahat yang telah dilakukannya dulu, melainkan menyesal karena telah salah melangkah.

   Di bawah kurungan cahaya pedang Peng-pok-han-kong- kiam yang sangat rapat, dia merasa Leng Ping-ji makin dipandang semakin menarik, dingin tapi ayu.

   "Padahal kecantikan wajahnya sedikit pun tidak kalah daripada Lomana, kalau Lomana cuma bak-pau yang hangat sewaktu dimakan, kenyang setelah tertelan, tidak seharusnyakusia-siakan dia Sekarang rasanya mustahil untuk bisa mem- buat dia mencintai diriku seperti dahulu lagi."

   Berpikir sampai di situ, diam-diam dia menyesali kembali kebodohannya di masa lalu, padahal ia sudah cukup lama berada berduaan saja dengan gadis yang secantik ini, tapi belum pernah terlintas satu ingatan untuk melalap kehormatannya, sekarang dia menyesal sekali.

   Tiba-tiba muncul sebuah akal jahat dalam benaknya.

   "Bodoh amat aku ini, kenapa aku melupakan bubuk obat pembangkit berahi yang ditinggalkan Han Ji-yan tempo dulu? Bila aku harus menguasainya dengan kekerasan, sekalipun telah berhasil juga kurang sedap rasanya, aku harus membuatnya menyerahkan kehormatannya atas kemauan sendiri, bila nasi sudah menjadi bubur, apakah dia tak akan menurun diriku lagi?"

   Sebaliknya ketika Leng Ping-ji menyaksikan biji mata lawannya berputar tak menentu, dia tidak begitu memikirkannya di dalam hati, hanya pikirnya di bati.

   "Entah rencana busuk apa yang sedang kau susun, aku akan mempertaruhkan selembar nyawaku untuk beradu denganmu, lebih baik aku mati daripada tertipu oleh siasatmu itu."

   Ya, dari mana dia bisa tahu kalau Toan Kiam-ceng hendak mempergunakan cara yang paling keji, rendah dan dilakukan untuk menguasai kehormatannya? Dj dalam waktu singkat ia telah melepaskan serangan dengan tiga jurus tujuh gerakan, di antara kilauan cahaya pedang yang tajam, mencecar lawannya-habis-habisan, tapi Toan Kiam-ceng masih saja dapat menghindarkan diri ke sana kemari dengan mudah, bahkan secara diam-diam, ia telah menyembunyikan bubuk obat ke dalam kukunya"Ping-ji,"

   Katanya kemudian sambil tertawa.

   "dapatkah kau mengurangi ingatanmu atas kejelekan-ku, tapi lebih banyak mengingat kebaikan-kebaikanku di masa lalu?"

   "Aku menghendakikau mampus!"

   Bentak Leng Ping-ji dengan kening berkerut Toan Kiam-ceng segera tertawa "Bagus, bagus sekali, kalau begitu mari kita mati bersama,"

   Katanya "Tentunya kau belum pernah merasakan bagaimana nikmatnya surga dunia bukan? Nah, aku pasti akan mengajakmu untuk merasakannya bersama"

   Tak terlukiskan rasa gusar Leng Ping-ji setelah mendengar kara-kata yang amat kotor itu, bentaknya keras-keras.

   "Manusia yang tak tahu malu, lihat pedang!"

   Pada saat itulah, mendadak Toan Kiam-ceng membalikkan badannya, lalu sambil mengarah tepat ke arah sasarannya ia senrjlkan jari tangannya itu.

   Asap kabut berwarna merah segera tersebar di hadapan wajahnya, dengan terkejut buru-buru Leng Ping-ji melancarkan sebuah pukulan ke depan.

   Tapi pada saat yang bersamaan Toan Kiam-ceng melepaskan pula sebuah pukulan udara kosong, walaupun asap kabut berwarna merah itu tersebar ke mana-mana oleh pukulan dahsyat tersebut, toh masih ada juga sisa bubuk yang sempat menempel di atas wajahnya maupun tubuhnya Buru-buru gadis itu menutup pernapasannya, sayang ia tak mampu untuk mencegah masuknya bau harum semerbak lewat lubang hidung.

   Terkejut dan gusar Leng Ping-ji menghadapi kejadian ini, dia segera maju tiga langkah ke depan, lalu membentak keras,"Sekalipun kau meracuni aku sampai mati, jadi setan pun aku tak akan mengampuni dirimu!"

   Sambil membalikkan badan ia segera melepaskan serangan dahsyat, ternyata jurus serangan yang dipergunakan hampir semuanya merupakan jurus serangan yang mengarah ke adu jiwa Gadis itu mengira Toan Kiam-ceng telah mempergunakan bubuk beracun keji yang sangat jahat untuk mencelakai jiwanya maka dia hendak menggunakan kesempatan di kala masih bisa bernapas untuk beradu jiwa dengan Toan Kiam- ceng, atau bila keadaan amat mendesak di mana racun keji itu mulai bekerja maka dia akan memotong nadi sendiri untuk menghabisi nyawanya Siapa tahu Toan Kiam-ceng malah mengejek sambil tertawa cabul.

   "Ping-ji, masa aku tega untuk meracunimu sampai mati? Aku berharap kau berubah pikiran dan mau kembali lagi ke sampingku, marilah kita hidup berbahagia sampai kakek nenek!"

   Sambil mengertak gigi Leng Ping-ji melancarkan terus serangan demi serangannya secara gencar dan ganas.

   Tapi kalau dibilang memang aneh sekali, sesudah pertarungan berlangsung beberapa saat, mendadak gadis itu merasakan tubuhnya agak kemalas-malasan, walaupun di hadapannya terbentang bukit bersalju yang amat dingin, namun dia justru merasa seakan-akan berada di wilayah Kanglam yang indah, hangat dengan aneka bunga yang indah serta burung nuri yang berkicau, apalagi terhembus angin lewat, dia merasakan seluruh badannya amat nyaman.

   Begitu perasaan aneh tadi muncul, rasa dendam dan benci yang berkobar dalam dadanya pun makin lama semakinmenipis, seakan-akan bisa membunuh Toan Kiam-ceng atau tidak sudah bukan merupakan suatu keharusan lagi baginya.

   Sebaliknya Toan Kiam-ceng masih saja bergerak kian kemari mengelilingi tubuhnya, sedang senyuman cabul yang menghias wajahnya pun makin lama semakin tebal.

   "Ping-ji, oohh Ping-ji masih ingatkah kau ketika kita berperahu di telaga See-oh, menikmati rembulan di bendungan Siok-ti serta memetik bunga bwce di bukit Hu-san dulu? Mari kita berpesiar kembali ke wilayah Kanglam, oya kau belum berkunjung ke desa kelahiranku di negri Tayli bukan? Di negeri Tayli terdapat angin Sang-kwan-hong, terdapat bunga Hec-gwan-hoa, salju di Ciong-san, rembulan di Oh-hay. Sampai waktunya, kita boleh; merasakan bersama semua keindahan tersebut, kau mau bukan?"

   Bisikan yang lembut, ucapan yang mesra itu membuat Leng Ping-ji terbuai kembali dalam lamunan dan keriangan, dia merasa Toan Kiam-ceng yang berada di hadapannya sekarang seakan-akan adalah Toan Kiam-ceng pada tujuh tahun berselang, di mana ia masih mencintai pemuda itu dengan setulus hati.

   Sekalipun pedang Peng-pok-han-kong-kiam di tangannya masih melancarkan tusukan berulang kali, namun tusukan tersebut makin lama semakin lamban, semakin lama semakin tidak beraturan.

   Sambil senyum tak senyum Toan Kiam-ceng maju kembali selangkah ke depan, lalu maju lagi selangkah kemudian tangannya diayunkan ke depan dan mencengkeram lengan gadis tersebut"Ping-ji ikutilah aku.

   Mari kita berpesiar ke Kanglam dan Tayli, mulai sekarang kita jangan berpisah kembali.

   Selamanya kita hidup sebagai sepasang...."

   Dia mengira kesadaran Leng Ping-ji sudah punah, siapa tahu sebelum kata "sejoli"

   Diutarakan keluar dari bibirnya, mendadak Leng Ping-ji telah membalikkan badan sambil melancarkan sebuah tusukan.

   Betul Leng Ping-ji sudah terpengaruh oleh obat pemabuk tersebut, tapi karena dendamnya kelewat dalam, sakit hatinya kelewat berat, hal ini menyebabkan dendam kesumat yang tertanam di dalam hatinya telah bersatu padu dengan kehidupannya.

   Dendam kesumat yang begitu kuat dan hebat ini tak mungkin bisa dipunahkan dengan begitu saja oleh pengaruh obat.

   Di saat yang amat kritis itulah, mendadak kesadarannya telah pulih kembali beberapa bagian.

   Sayang sekali, walaupun kesadarannya telah pulih kembali beberapa bagian, namun jurus pedang yang dilancarkan amat lemah, sama sekali tidak berkekuatan.

   "Criiing"

   Pedang mestika Peng-pok-han-kong-kiam yang berada di tangan Leng Ping-ji itu segera kena disentil sehingga mencelat terlepas dari genggaman.

   Dalam keadaan demikian, sekalipun Leng Ping-ji ingin mengerahkan tenaga dalam untuk memutuskan urat nadi sendiri pun tak mungkin bisa dilakukan.

   Untung saja Toan Kiam-ceng tidak mengerti kepandaian untuk menggenggam Peng-pok-han-kong-kiam, sekalipun jurus pedangnya tak berhasil melukainya, tetapi hawa dingin yang menusuk tulang sudah cukup membuat sekujur badannya bergetar keras.Begitu pedang Peng-pok-han-kong-kiam terjatuh ke tanah, tubuh Leng Ping-ji pun turut mundur dengan terhuyung- huyung.

   Sekarang Toan Kiam-ceng tidak merasa jeri lagi, sambil maju mendekati dia berseru.

   "Ping-ji dalam garis hidupmu telah ditetapkan bahwa kau bakal menjadi istriku, nah pasrah saja sekarang!" . Yang satu mundur yang lain maju, tampaknya jari tangan pemuda itu sudah hampir bisa mencengkeram tubuh Leng Ping-ji. Pada saat yang amat kritis itu, tiba-tiba terdengar seseorang membentak keras.

   "Siapa yang berani menganiaya enci Leng-ku?"

   Di tengah bentakan nyaring, segulung angin pukulan yang amat dahsyat telah menyergap tiba dari belakang Toan Kiam- ceng.

   Ternyata yang muncul kali ini benar-benar Nyo Yan adanya.

   Belum lagi orangnya tiba, sebatang duri Thian-san-sin-bong telah dilepaskan ke depan.

   Toan Kiam-ceng sudah pernah merasakan kelihayan Thian- san-sin-bong, dalam keadaan seperti ini, sudah barang tentu ia tak dapat melanjutkan niatnya untuk mencengkeram tubuh Leng Ping-ji.

   Dalam gugup dan tergopoh-gopohnya, terpaksa dia harus melejit ke samping untuk menghindarkan diri.

   "Sreeeeet!"

   Thian-san-sin-bong tersebut segera menghajar batu cadas. Bersamaan waktunya pula, Nyo Yan telah muncul di depan matanya.Dengan amat gusar Nyo Yan membentak keras.

   "Rupanya lagi-lagi kau si bajingan tengik, aku memang sedang mencari kau untuk membuat perhitungan!"

   "Hei, Nyo Yan, dengarkan dulu perkataanku,"

   Teriak Toan Kiam-ceng cepat "Bukankah kau hendak membersihkan noda yang dibuat ayah kandungmu? Aku dapat membantumu, dapat membantumu."

   Taruna Pendekar Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Nyo Yan paling enggan mendengar orang lain menyinggung kembali soal "aib keluarga"nya ini, tak heran kalau dia semakin gusar setelah mendengar perkataan itu, tubuhnya segera menerjang ke depan, sebuah pukulan dahsyat dilancarkan.

   Tujuan Toan Kiam-ccng memang ingin membangkitkan kemarahannya, dengan begitu serangan lawan baru bisa dihadapi dengan lebih mudah.

   Sambil tertawa terbahak-bahak kembali ia berseru.

   "Baik, kalau kau tak mau menerima ban tuanku, terpaksa aku hendak membunuhmu!"

   Dengan gerakan Im-yang-siang-cong (Im dan Yang Saling Bertumbukan) dia sambut serangan tersebut dengan mengerahkan tenaga dalam Liong-siu-kang mencapai delapan bagian.

   Walaupun Nyo Yan sedang gusar namun pikiran maupun perasaannya sama sekali tidak menjadi kacau.

   Semenjak pertarungannya dengan Toan Kiam-ceng dulu berakhir dengan sama-sama terluka, ia telah memikirkan suatu cara yang baik untuk menghadapi pemuda tersebut, maka serangan yang dilancarkan, meski dilancarkan lebih dulu namun sampai belakangan, menanti kekuatan serangan dariToan Kiam-ceng sudah mendekati titik akhir, ancaman yang mahadahsyat baru mulai menyergap tubuh lawan.

   Padahal tenaga dalam yang dimiliki kedua orang itu hampir seimbang tapi Toan Kiam-ceng lebih rugi karena tenaga dalamnya yang berkurang akibat pertarungannya melawan Ki See-kiat semalam belum pulih kembali, apalagi setelah diserang oleh Leng Ping-ji dengan pedang Pcng-pok-han- kong-ki am barusan, kekuatan Jwekang-nya boleh dibilang sangat berkurang.

   Itulah sebabnya walaupun Nyo Yan belum berhasil menemukan cara untuk mematahkan serangan Liong-siu- kang-nya itu, namun dia sudah bukan tandingan Nyo Yan.

   Ketika sepasang telapak tangan saling bertemu, ternyata sama sekali tidak menimbulkan suara apa pun, tapi akibatnya tubuh Toan Kim-ceng mencelat ke udara.

   Tapi Toan Kiam-ceng memang terhitung kosen, baru saja tubuhnya mencapai tanah, dia segera melompat bangun kembali dengan jurus Ikan Leihi Meletik, setelah itu buru-buru dia mengambil langkah seribu untuk menyelamatkan diri Leng Ping-ji yang masih berdiri dengan gontai, sekarang tak sanggup untuk mempertahankan diri lagi, tiba-tiba dia mengeluh pelan kemudian roboh ke tanah.

   Dalam keadaan seperti ini, tentu saja Nyo Yan tiada waktu lagi untuk mengejar Toan Kiam-ceng.

   "Enci Peng,"

   Teriaknya dengan kaget, cepat-cepat dia memburu mendekat dan memeluk tubuh Leng Ping-ji.

   Setelah Toan Kiam-ceng pergi, rasa takut yang mencekam di dalam dada Leng Ping-ji pun lenyap, rasa dendam kesumatyang amat kuat pun seakan-akan turut dibawa pergi oleh Toan Kiam-ceng.

   Sekalipun demikian, pengaruh obat yang ditinggalkan Toan Kiam-ceng di dalam tubuhnya masih belum hilang, maka begitu rasa takut dan rasa dendamnya hilang, obat yang mengeram di dalam tubuhnya mulai bekerja kembali.

   Kini Nyo Yan sudah dewasa, tubuhnya lebih tinggi separuh bagian daripadanya, berada dalam pelukan sepasang tangan yang kuat, Leng Ping-ji segera merasakan suatu kenikmatan dan kenyamanan yang luar biasa.

   Dia merasa seakan-akan terbuai dalam "angin sejuk"

   Yang membuat malas badan, tiba-tiba saja kesadarannya seperti tersapu hilang. Nyo Yan yang berada di hadapannya pun seakan-akan telah berubah menjadi seseorang yang lain.

   "Engkoh Hoa, engkoh Hoa."

   Bisik Leng Ping-ji dengan suara lirih.

   Kenangan pada tujuh tahun berselang sekali lagi terlintas dalam benaknya.

   Nyo Yan tidak mendengar jelas apa yang diucapkan gadis itu, dia hanya tahu kalau nama yang disebut Leng Ping-ji bukan namanya, maka setelah tertegun sejenak, serunya keras-keras.

   "Enci Leng, kenapa kau? Aku adalah adik Yan-mu, aku adalah adik Yan-mu!"

   Bagaikan baru mendusin dari impian, Leng Ping-ji segera membuka matanya lebar-lebar kemudian dengan perasaan terkejut bercampur girang teriaknya pula.

   "Kau benar-benar adik Yan?"Nyo Yan segera membangunkan Leng Ping-ji dari atas tanah dan membiarkannya duduk, kemudian sambil menggulung ujung bajunya dia berkata.

   "Enci Leng, apakah kau masih kenal tahi lalat ini?"

   Waktu itu, kesadaran Leng Ping-ji telah pulih beberapa bagian, dia tak perlu memeriksa tahi lalat tersebut pun sudah tahu kalau pemuda yang berada di hadapannya sekarang adalah Nyo Yan asli.

   Sekalipun berasal dari ibu yang sama ayah lain, namun paras Nyo Yan boleh dibilang mirip sekali dengan wajah Beng Hoa, kakak tirinya.

   Bayangan kabur yang semula menyelimuti benak Leng Ping- ji, sekarang berubah menjadi kenyataan, muncul sebagai seorang manusia nyata yang berdarah daging.

   Ternyata raut wajah Nyo Yan yang sesungguhnya tidak selisih jauh dengan Nyo Yan di dalam benaknya.

   "Ooh, adik Yan, ternyata benar-enar adalah kau! Sungguh tak kusangka kau telah menyelamatkan jiwaku! Ooh, sungguh amat baik sekali! Kini kau telah dewasa, ilmu silatmu juga telah memperoleh kemajuan yang amat pesat!"

   Saking terharunya air mata jatuh bercucuran membasahi wajah Leng Ping-ji, tangan mereka pun tanpa terasa saling menggenggam menjadi satu.

   "Enci Leng, kau tidak tcrluka bukan?"

   Tanya Nyo Yan tiba- tiba. Dia sudah merasakan suatu perubahan aneh di atas wajah Leng Ping-ji, sehingga timbul perasaan khawatirnya."Tidak, aku tidak terluka"

   Mendadak Leng Ping-ji seperti teringat akan sesuatu persoalan, tanpa terasa dia bertanya lagi.

   "Adik Yan, apakah kau pun pergi ke kuil bobrok itu?"

   Dalam kuil bobrok itulah dia mendapat penghinaan yang amat memalukan, dia sudah berusaha untuk melupakan tempat itu, lebih-lebih tak ingin menyinggung kembali tentang Nyo toakoh dan Ki See-kiat Tapi demi Nyo Yan, mau tak mau dia harus menyinggungnya kembali.

   Sebab, bagaimanapun kejinya Lak-jiu-Koan-im Nyo toakoh, dia tetap bibi kandung Nyo Yan.

   Lagi pula dengan menyerempet bahaya dari tempat yang amat jauh dia datang ke sana dengan tujuan untuk menemukan Nyo Yan.

   Tanpa terasa dia teringat kembali dengan dugaan Nyo toakoh terhadap si "pengemis cilik"

   Tersebut, tapi Nyo Yan yang berada di hadapannya sekarang sudah tidak berdandan sebagai pengemis lagi.

   Betulkah pengemis cilik itu adalah Nyo Yan? Sampai berapa jauhkah Nyo Yan telah mengetahui asal-usulnya sendiri? Banyak persoalan yang tidak diketahui olehnya tapi dia tahu kalau Nyo Yan telah dewasa, ia sudah bukan bocah cilik yang berada dalam benaknya itu.

   "Adik Yan telah berusiadelapan-belas tahun, dia berhak untuk mengetahui asal-usul sendiri."

   Ia tak ingin menyinggung persoalan yang menyangkut tentang dirinya, tapi dia merasa persoalan yang menyangkut tentang Nyo Yan, terutama mengenai asal-usulnya, tidak pantas lagi baginya untuk merahasiakan terus-menerus.

   Sementara itu Nyo Yan telah berdiri termangu-mangu, kemudian jawabnya pelan.

   "Ya aku pernah ke sana bahkanbukan cuma satu kali. Baru aku datang dari sana, enci Peng, aku sudah tahu tahu kau kau tidak usah memberitahukan kepadaku lagi."

   Dia mengira Leng Ping-ji hendak menceritakan kisah menyedihkan yang telah menimpa gadis tersebut, karena merasa tak mampu untuk menghiburnya dengan kata-kata, maka pemuda itu berusaha keras untuk menjauhi pembicaraan yang akan menyinggung kembali luka hatinya itu.

   Leng Ping-ji pun sedang kebingungan dan tak tahu bagaimana mesti buka suara maka setelah mendengar perkataan itu ia merasa seperti mendapatkan tanggung jawab yang lebih berat lagi, maka katanya kemudian.

   "Ternyata pengemis cilik itu adalah kau."

   Dia mengira Nyo Yan sudah mengetahui asal-usulnya, padahal ia tahu sebagian tak tahu bagian yang lain.

   "Ya benar, memang aku!"

   Terdengar Nyo Yan menjawab sambil menggigit bibir.

   "Kalau begitu, kau kau juga tahu kalau dia., dia adalah bibimu? Adik Yan, dia adalah satu-satunya sanak keluargamu, mengapa kau mengapa kau."

   Dia ingin bertanya kepada Nyo Yan mengapa ia tak mau mengakuinya sebagai sanak famili sendiri, baru saja akan menasihatinya Nyo Yan telah berkata lebih dulu, Tidak, tidak, enci Peng, kaulah baru merupakan satu-satunya sanak keluargaku.

   Aku tidak menyalahkan kau yang telah menipuku sekian lama sungguh, aku tidak membohongi-mu! Aku pernah menggerutu kepadamu, tapi sekarang aku sudah tahu, kau berbuat demikian demi kebaikanku! Aku tidak menghendakisanak keluarga semacam itu, enci Peng, aku hanya menghendaki kau seorang!" 0odwo0 Sesungguhnya Nyo Yan adalah seorang yang mudah terpengaruh oleh emosi, apalagi setelah ia tak sanggup mengendalikan perasaan murung dan sedih yang mencekam perasaannya sekarang.

   Yang dimaksudkan sebagai "sanak keluarga semacam itu"

   Termasuk juga di antaranya ayah kandungnya sendiri, cuma Leng Ping-ji tidak mengetahuinya Jantung Leng Ping-ji yang sebenarnya memang sudah berdebar keras itu kini berdebar lebih keras lagi, tanpa terasa dia memeluk tubuh Nyo Yan kencang-kencang sambil berkata.

   "Adik Yan, aku pun menganggap kau sebagai satu-satunya sanak keluargaku, cuma mereka-mereka"

   Sebenarnya dia hendak mengatakan kalau "mereka adalah sanak keluargamu yang sebenarnya"

   Tapi dia khawatir ucapan mana akan menusuk perasaan Nyo Yan, maka niat itu pun kemudian diurungkan. Terdengar Nyo Yan berkata dengan suara yang parau.

   "Mereka telah pulang. Enci Leng kenapa kau? Kau tak usah sedih, aku menyusul kemari untuk menemanimu!"

   Tanpa terasa titik air mata jatuh berlinang membasahi wajah Leng Ping-ji, cuma cucuran air mata tersebut sudah bukan karena rasa harunya atas sikap Nyo Yan.

   Perasaan terharu memang paling mudah menular kepada orang lain.Nyo Yan mengira Leng Ping-ji bersedih hari karena Ki See Kiat ikut pulang ke daratan Tionggoan, meski dia tidak ingin menyinggung kembali luka hatinya, tapi ia toh tak tahan berkata kembali.

   "See-kiat piauko orang yang baik. Enci Peng, tak usah bersedih hati, demi kau aku bersedia membantumu mencarinya."

   Ia teringat kembali bagaimana ayahnya telah menjadi pengawal istana raja, dia pun teringat akan tindakan bibinya yang memaksa kakak misannya untuk menjadi pembesar kaum penjajah, andaikata bukan disebabkan persoalan Leng Ping-ji, ia benar-benar merasa tak sudi untuk menjumpai bibinya lagi.

   Rencananya semula, dia hendak membalaskan dendam lebih dulu buat ayahnya lalu baru membujuk ayahnya agar melepaskan kedudukannya itu, tapi sekarang, bahkan untuk berjumpa dengan ayah kandungnya sendiri pun ia tak sudi, apalagi menjumpai bibinya? Tak tahan Leng Ping-ji berseru terharu.

   "Tidak, tidak, aku telah bersumpah tak akan bertemu dengan Ki See-kiat lagi! Bukan dikarenakan ibunya, aaai adik Yan, kau tidak memahami perasaan cici. Aku tidak menghendaki rasa kasihan dari orang lain."

   Ya, bagaimana mungkin ia dapat menerangkan segala perasaannya yang berkecamuk di dalam dadanya itu kepada Nyo Yan? "Cici, aku mengerti, aku tahu perasaanmu seperti juga perasaanku, kita memang tak membutuhkan rasa kasihan dari orang lain!"

   Kata Nyo Yan kemudian.Benar, ia memang tahu kalau Leng Ping-ji keras hati seperti dia, tinggi hati seperti dia, dia selalu mengira cukup "memahami"

   Tentang Leng Ping-ji. Tapi, perasaan Leng Ping-ji yang kalut dan rumit, bagaimana mungkin bisa dipahami olehnya dengan usia yang begitu muda?"

   Leng Ping-ji merasakan telapak tangan Nyo Yan memancarkan hawa panas, tanpa terasa dia menghela napas panjang.

   "Aaai ucapanmu memang benar, aku tidak membutuhkan rasa kasihan dari orang lain, kecuali kau!"

   Sorot matanya dialihkan ke wajah Nyo Yan, senyuman segar tersungging di ujung bibirnya Nyo Yan yang berada di hadapannya sekarang sudah bukan "adik kecil"

   Yang dulu lagi.

   Nyo Yan yang berada di hadapannya sekarang sudah merupakan duplikat Beng Hoa di masa lalu.

   Dia membutuhkan hiburan dan rasa simpati dari seorang sahabat yang memahami perasaannya dulu ia menemukan Beng Hoa dan sekarang dia menemukan Nyo Yan.

   Senyuman manis kini telah menghiasi wajahnya yang basah oleh air mata, titik air mata masih meleleh keluar.

   Cukup memandang tangisannya, sudah cukup untuk menimbulkan perasaan sedih bagi orang lain.

   Dengan menggunakan ujung bajunya Nyo Yan menyeka air mata di pipi Leng Ping-ji, lalu ujarnya.

   "Cici, berjanjilah kepadaku jangan bersedih hati lagi, asal kau bersedia, aku pun akan menemanimu untuk selamanya"

   Leng Ping-ji segera tertawa"Aah, sudah sebesar ini, masa kau masih mengucapkan kata-kata seperti omongan anak kecil?"

   "Cici, mengapa kau tidak percaya kalau aku akan mendampingimu untuk selamanya?"

   Teriak Nyo Yan.

   "Aku berbicara dengan sungguh hati, tapi aku pun tahu kau bukan berbicara dengan sesungguhnya"

   "Aku bicara dengan sungguh hati, kau memang masih terpengaruh oleh sifat kekanak-kanakan!"

   "Lantas mengapa kau masih menangis? Kau telah berkata tak akan bersedih hati lagi."

   "Benar, aku memang seharusnya merasa gembira. Kau tak usah mengkhawatirkan tentang diriku. Cuma aku tidak menginginkan kau mendampingiku untuk selamanya aku pun tak dapat mendampingimu untuk selamanya"

   "Mengapa tak dapat?"

   "Bagaimana dengan siluman perempuan kecil itu? Aku tidak tahu siapakah dia tapi bibimu mendampratnya sebagai siluman perempuan kecil, maka aku merasa dia pantas untuk mendampingimu. Bila kau harus mendampingiku untuk sela- manya, mana mungkin kau bisa mendampingi dirinya?"

   "Ooh, rupanya kau merasa senang karena persoalan ini."

   "Memangnya tak boleh digirangkan? Kau sudah dewasa sekarang, lagi pula mempunyai teman yang akrab, mengapa aku tak boleh gembira?"

   "Dia bukan temanku, dia menganggap aku sebagai musuh besarnya meski aku ingin menganggapnya sebagai teman, namun rasa dendam yang mencekam perasaannya membuat ia tak dapat memahami diriku!"

   Ucapan dari Nyo Yan ini diutarakan dengan suara parau.Mendengar perkataan itu, Leng Ping-ji amat terkejut, segera tanyanya.

   "Mengapa kau bisa mengikat tali permusuhan dengan dirinya?"

   "Bukan aku yang mengikat tali permusuhan dengannya tapi nasiblah yang telah mengatur segala sesuatunya membuat kami berdua seakan-akan berjumpa sebagai musuh saja"

   "Aku tidak mengerti"

   "Mengenai persoalannya biar kuberitahukan kepadamu pelan-pelan. Pokoknya peristiwa itu adalah suatu peristiwa yang memedihkan hati, aku tak ingin menceritakan kepadamu dalam suasana semacam ini."

   


Kait Perpisahan -- Gu Long Rahasia Hiolo Kumala Karya Gu Long Keajaiban Negeri Es -- Khu Lung

Cari Blog Ini