Ceritasilat Novel Online

Taruna Pendekar 11


Taruna Pendekar Karya Liang Ie Shen Bagian 11



Taruna Pendekar Karya dari Liang Ie Shen

   

   "Dia orang baik?"

   "Entahlah. Tapi aku rasa meski dia agak binal tapi orangnya baik. Cuma, cici kau jangan bertanya lagi tentang dia, mau bukan? Bagiku yang penting sekarang adalah jangan membuatmu bersedih hati lagi." Leng Ping-ji kembali menghembuskan napas panjang.

   "Aaai heran, mengapa semua orang baik yang kukenal selalu mempunyai persoalan yang tidak menguntungkan? Kalau kau tak ingin membicarakan kembali persoalan ini, aku pun tak bertanya lagi, tapi aku tak bisa tidak harus berpikir, sewaktu aku bersedih hati kaulah yang menghiburku, tapi kalau dia yang bersedih hati dan tak ada orang yang menghibur, bukankah dia lebih bersedih lagi?"

   Nyo Yan segera menghela napas panjang.

   "Aaai takdirlah yang telah mempermainkan kita semua, apa daya? Betul, nasibnya susah seperti juga nasib kita. Tapi aku tak dapat menghilangkan rasa dendam dan sakit hati yang mencekam dadanya, bagaimana mungkin aku bisa menghiburhatinya yang sedang lara. Cici, aku hanya berharap agar kau jangan bersedih hati lagi."

   Cinta atau Benci? "Aku tak akan sedih, mungkin air mataku masih bercucuran, tapi tak lama kemudian akan mengering sendiri. Adik Yan, sebelum kau menganjurkanku agar jangan sedih, terlebih dahulu kau jangan bersedih hati lebih dulu!"

   Rupanya ketika Nyo Yan mendengar dia mengatakan.

   "Setiap orang mempunyai kesulitan sendiri", tanpa terasa dia teringat kembali dengan asal-usul sendiri yang mengenaskan, di samping merasakan sedih untuk nasib Liong heng-cu dan Leng Ping-ji yang buruk. Gejolak perasaan yang keras membuat ia tak sanggup mempertahankan diri lagi, tak bisa dicegah lagi dia pun turut menangis. Pelan-pelan Leng Ping-ji menyeka air mata yang membasahi wajah pemuda itu, lalu ujarnya.

   "Adik Yan, kau melarang aku menangis, mengapa kau malah menangis?"

   "Enci Peng, masih ingatkah kau dengan sumpahku di hadapanmu dulu?"

   Tanya Nyo Yan sambil berhenti menangis.

   "Sumpah apa?"

   Leng Ping-ji tampak agak tertegun.

   "Waktu itu aku sama sekali belum mengerti apa yang dinamakan sedih, tapi aku tahu kau tidak gembira. Aku pernah bersumpah akan mencarikan kebahagian untukmu dan membuatmu merasa gembira."

   Leng Ping-ji segera tertawa setelah mendengar perkataan itu, serunya kemudian.

   "Ya, aku ingat sekarang, sumpah itukau ucapkan ketika merayakan ulang tahunmu yang kesebelas!"

   "Benar, waktu itu aku masih seorang bocah, tapi apa yang kuucapkan bukanlah perkataan seorang bocah!"

   "Aku tahu adik Yan, enci merasa berterima kasih kepadamu!"

   Tanpa terasa titik air mata kembali jatuh berlinang. Diam-diam ia tertawa getir dan berpikir.

   "Sayang kebahagiaan sudah tak berjodoh lagi denganku."

   Agaknya Nyo Yan dapat menebak suara hatinya itu, sambil memeluk tubuh gadis itu dan menggo-yang-goyangnyadia berkata.

   "Enci kau tidak percaya kalau aku dapat membuatmu bahagia?"

   Nyo Yan yang berada di hadapannya sekarang, makin lama terasa semakin mirip dengan Bcng Hoadi masa lalu, tanpa terasa Leng Ping-ji pun memeluknya kencang-kencang sambil berbisik.

   "Adik Yan, aku percaya kepadamu!"

   Mereka berdua tidak berbicara lagi, Leng Ping-ji segera merasakan kesadarannya makin kabur, sedangkan Nyo Yan merasakan tubuhnya menjadi panas sekali, suatu perasaan aneh yang belum pernah dialami sebelumnya tiba-tiba menguasai perasaannya.

   Ternyata ketika Leng Ping-ji terkena obat perangsang yang dilepaskan Toan Kiam-ceng tadi, masih ada sisa bubuk obat yang melekat di atas wajah dan pakaiannya, bahkan oleh karena dia menghisap pula sejumlah bubuk obat itu, dalam napasnya pun terdapat bau harum yang membetot sukma tersebutPadahal pada waktu itu Nyo Yan sedang merasakan keganasan dan kekejian orang di dunia ini terhadapnya, dan saat itulah rasa sayangnya terhadap Leng Ping-ji sedang meluap.

   Oleh karena dalam hati kecilnya dia memang tidak membawa niat jahat, maka tanpa mempersoalkan batasan antara lelaki dan perempuan, ia lantas memeluk Leng Ping-ji seperti juga dahulu ia memeluk enci-nya.

   Walaupun begitu, bagaimanapun juga ia sudah bukan seorang bocah lagi.

   Tahun ini dia sudah berusia delapanbelas tahun.

   Perasaan senasib sependeritaan ditambah lagi luapan emosi memang paling mudah mempengaruhi orang, apalagi terpengaruh oleh bubuk obat perangsang yang masih tersisa di sekitar badan Leng Ping-ji, kontan saja membuat kedua orang muda-mudi ini terlelap di dalam buaian asmara.

   Ibaratnya bendungan yang jebol dilanda air bah, tiba-tiba Nyo Yan memeluknya erat-erat, lalu menciumi wajahnya, mencium ke bawah mencium terus tiada hentinya.

   Bagaikan anak kecil dia bersandar di atas dada Leng Ping-ji dan terbuai dalam suasana yang memabukkan.

   Mereka seakan-akan lupa daratan, lupa keadaan, seakan-akan di sekitar tempat itu tiada orang lain kecuali mereka Di saat yang amat kritis itulah, mendadak Leng Ping-ji merasakan hatinya tergetar keras, seperti baru mendusin dari impian ia segera memekik keras.

   "Apa yang sedang kulakukan?"

   Dengan sepenuh tenaga dia mendorong tubuh Nyo Yan, kemudian menjejalkan sebutir peluru inti es ke dalam mulurnya Peluru inti es itu mencair di dalam mulut, Leng Ping- ji segera gemetar keras dan segera tersadar kembali.Sebaliknya Nyo Yaa masih mendesis dengan pikiran setengah sadar setengah sadar tidak.

   "Enci Peng, kau."

   Ketika pemuda itu membuka mulut, Leng Ping-ji segera menjejalkan pula sebutir peluru Peng-pok-sin-tan ke dalam mulurnya Nyo Yan tidak pernah melatih ilmu Sau-yang-smkang yang bisa melawan dinginnya Peng-pok-sin-tan, tak heran kalau ia menjadi kedinginan sampai melonjak-lonjak.

   Leng Ping-ji mengerti kalau si pemuda itu sudah melatih ilmu tenaga dalam aliran Lan-tou-si, dia merasa hal tersebut tak akan sampai mencelakainya, maka dia baru berani menggunakan peluru Peng-pok-sin-tah sebagai "obat penawar"

   Yang manjur. Kendatipun demikian, dia pun khawatir bila dugaannya meleset, maka melihat pemuda itu melompat-lompat, ia menjadi amat terkejut, buru-buru serunya sambil melompat bangun.

   "Adik Yan, kenapa kau? Cepat., cepat berbaring, biar cici."

   Dia mengira Nyo Yan terpengaruh oleh hawa dingin yang amat merasuk tulang, maka ia hendak menggunakan ilmu Sau-yang-sin-kang untuk membantunya mengusir pengaruh hawa dingin tersebut Siapa tahu belum habis dia berkata mendadak terdengar seseorang membentak keras.

   "Perempuan rendah yang tak tahu malu, bagus perbuatan yang sedang kau lakukan dengan binatang kecil itu!"

   Leng Ping-ji segera berpaling dan dikenalinya orang itu sebagai kakak seperguruannya Ciok Cing-swan.Dengan perasaan malu bercampur kaget, buru-buru dia menyembunyikan diri di belakang pohon besar, kemudian teriaknya keras-keras.

   "Ciok suheng, dengarkan dulu penjelasanku."

   "Perempuan rendah, siapa yang kesudian menjadi suheng- mu?"

   Bentak Ciok Cing-swan semakin marah.

   "Di hari-hari biasa kau berlagak seakan-akan lemah lembut, sampai aku pun mengira kau adalah seorang gadis yang suci bersih, hmmm hmmm ternyata kau begitu tak tahu malu, di belakang orang suka main lelaki? Huuuh, kehormatan orang- orang Thian-san-pay sungguh telah kau injak-injaki"

   Ternyata Ciok Cing-swan adalah orang yang berulang kali mengajukan pinangan kepada Leng Ping-ji tapi selalu ditolak gadis itu.

   Selama banyak tahun terakhir ini, Leng Ping-ji jarang pulang ke Thian-san, sekalipun tujuannya untuk mencari Nyo Yan, tapi alasan lain yang terutama adalah untuk menghindarkan pinangan suheng-nya ini.

   Ayah Ciok Cing-swan adalah Ciok Thiang-hing murid Thian- san-pay pada urutan paling atas, malah dia tersohor jauh sebelum Teng Ka-gwan ketua yang sekarang terjun ke dunia persilatan.

   Ciok Thiang-hing hanya mempunyai seorang putra tunggal, maka tak heran kalau dia amat memanjakan putranya ini.

   Sebaliknya Ciok Cing-swan sendiri pun seorang yang bun- bu-cuan-cay (menguasai ilmu sastra maupun ilmu silat) ditambah lagi mukanya ganteng, ia merupakan murid Thian- san-pay angkatan ketiga yang paling menonjol seorang.Mungkin oleh karena pandangannya yang kelewat tinggi, maka walaupun umurnya sudah melebihi tigapuluh tahun, tetapi tak beristri.

   Sejak Leng Ping-ji datang ke Thian-san, diam-diam ia sudah jauh hati padanya Ketika Ciok Thiang-hing mengetahui isi hati putranya tak terlukiskan rasa girang di dalam hatinya maka dia pun segera mengadakan pinangan kepada gurunya Leng Ping-ji, yaitu ciangbun hujin yang sekarang.

   Dalam anggapan mereka berdua pinangan tersebut pasti akan berhasil, siapa tahu.

   Setelah pinangan itu gagal, Ciok Thiang-hing pun hanya menghibur putranya saja tanpa mempunyai perasaan lain.

   Berbeda sekali dengan Ciok Cing-swan, dia menganggap kejadian itu suatu aib, suatu penghinaan yang besar, semenjak itu diam-diam ia mendendam terhadap Leng Ping-ji.

   Kali ini, berhubung dia tahu kalau Nyo toakoh datang ke Sinkiang untuk mencari Nyo Yan serta rahasia Nyo Bok menjadi pengawal istana raja maka sengaja dia menyusul kemari.

   Ia takut kedatangan Lak-jiu-Koan-im, kakak perempuan Nyo Bok untuk mencari Nyo Yan kemungkinan besar akan mendatangkan ketidakberuntungan bagi Thian-san-pay, capi ia tertambat, tidak berjumpa dengan Lak-jiu-Koan-im.

   Di luar dugaannya, dalam keadaan seperti inilah dia bertemu dengan Leng Ping-ji dan Nyo Yan.

   Cuma dia sudah tidak kenal lagi dengan Nyo Yan yang telah dewasa itu.

   Perasaan sakit hati yang sudah mencekam perasaannya sekian lama, kontan saja meledak setelah menyaksikan LengPing-ji sedang bermesraan dengan seorang pemuda, saking tak sanggup menahan emosi yang bergolak, akhirnya dia pun mencaci maki.

   Siapa tahu caci makinya itu membangkitkan pula kemarahan Nyo Yan, bahkan api amarah yang membara di dalam dada Nyo Yan jauh lebih besar Sambil meraung keras, pemuda itu segera melompat ke depan.

   "Kalau aku yang kau maki, urusan masih mendingan, atas dasar apa kau memaki enci Peng sebagai perempuan rendah? Giok Ciok-swan segera tertawa dingin.

   "Heeehh.. heeehh heeehh setelah melakukan perbuatan bagus, masih melarang orang lain memalu? Hmm, aku justru hendak memakimu, mau apa kau? Hmm, kalau dia adalah perempuan rendah yang tak tahu malu, maka kau adalah binatang kecil tak tahu malu."

   "Berlutut di depan enci Peng dan menyembah kepadanya sambil minta ampun, mungkin dengan berbuat demikian aku dapat mengampuni selembar jiwamu!"

   Bentak Nyo Yan dengan suara dalam.

   "Sreet!"

   Ciok Cing-swan segera meloloskan pedangnya sambil melancarkan tusukan, serunya lagi sambil tertawa dingin.

   "Binatang kecil yang tak tahu malu, kamu ingin membunuh orang untuk melenyapkan saksi? Hmm, belum tentu kau memiliki kepandaian seperti ini! Hmm, hmm, kau tidak membunuhku pun aku akan membunuhmu, setelah kubikin mampus si binatang kecil, baru kubereskan perempuan rendah yang tak tahu malu itu."

   Seraya berkata pedangnya secara beruntun melancarkan tujuh delapan serangan berantai ke arah Nyo Yan.Dia adalah murid angkatan ketiga dari partai Thian-san yang paling menonjol, ilmu silat yang dimilikinya amat tangguh.

   Padahal ketika itu Nyo Yan baru sadar kembali, pengaruh obat perangsang yang menguasai pikirannya juga belum punah sama sekali, kontan saja ia kena didesak mundur berulang kali sehingga keadaannya berbahaya sekali.

   "Ciok suheng, kau tidak tahu siapakah dia? Dia adalah Nyo Yan!"

   Teriak Leng Ping-ji. Kemarahan Ciok Cing-swan semakin memuncak, dia segera tertawa dingin.

   "Heeeh heeeh heeeh pantas! Naga akan melahirkan naga, burung hong akan melahirkan burung hong, anak tikus bisanya cuma mencuri dan membuat lubang, cepat atau lambat binatang cilik ini pasti akan merupakan bibit bencana pula, dibunuh lebih cepat pun ada baiknya juga. Sedang kau perempuan rendah yang tak tahu malu, kau masih punya muka untuk minta ampun?"

   Hampir gila Nyo Yan dibuatnya, karena kemarahan yang memuncak, mendadak ia membentak keras.

   "Lihat saja nanti, siapa yang akan membunuh siapa?"

   Waktu itu Ciok Cing-swan sedang melancarkan serangan dengan menggunakan serangan yang tangguh dan mematikan.

   Tiba-tiba ia merasakan pergelangannya sakit, tahu-tahu pedangnya sudah mencelat ke udara terhajar sentilan jari tangan Nyo Yan.

   Ternyata obat perangsang di dalam tubuh Nyo Yan telah punah, sekarang tenaga dalamnya sudah pulih tujuh delapan bagian.Dengan cepat Nyo Yan mencengkeram tubuhnya, kemudian tangannya diayunkan ke kanan dan ke kiri.

   "Plak, plok, plak, plok!"

   Secara beruntun ia menggaplok mukanya beberapa kali.

   Dalam gusarnya, beberapa kali tamparannya itu dilancarkan dengan kekuatan yang besar.

   Termakan oleh tamparan yang begitu keras, Ciok Cing-swan tak tahan, ia muntah darah segar berikut dua biji giginya ikut copot.

   Ciok Cing-swan benar-benar berhati sekeras baja, sekalipun ia sudah digaplok sampai muntah darah, namun mulurnya masih mencaci maki tiada hentinya.

   "Binatang cilik, perempuan rendah, kalau punya nyali bunuhlah aku, kalau tidak jangan harap perbuatan terkutuk kalian tak akan diketahui orang lain!" Kau anggap aku tak berani membunuhmu?"

   Seru Nyo Yan dengan wajah amat gusar.

   Dengan suatu kekuatan yang besar dia segera mencekik leher Ciok Cing-swan keras-keras, seketika itu juga Ciok Cing- swan ternganga lebar dengan lidah yang menjulur keluar.

   Dengan gugup Leng Ping-ji segera berteriak keras.

   "Adik Yan, tahan!"

   Tapi Nyo Yan sambil mencekik leher Ciok Cing-swan keras- keras menyahut.

   "Enci Peng, masih belum cukuplah penghinaan yang kau terima? Kalau tidak kubunuh jahanam ini, sukar rasanya untuk menghilangkan rasa benci di dalam hatiku!"

   "Bila kau membunuhnya, selama hidup aku tak akan mempedulikan dirimu lagi!"

   Ancam Leng Ping-ji dengan suara dalam.Pedang baja Ciok Cing-swan yang kena disentil oleh Nyo Yan tadi mencelat tinggi sekali ke tengah udara, baru sekarang pedang itu meluncur kembali ke bawah. Sambil menangkap pedang itu, Nyo Yan membentak keras.

   "Memandang wajah enci Peng, untuk sementara waktu kuampuni selembar jiwa anjingmu. Hukuman mati boleh dihindari, tapi hukuman hidup tak bisa dihindari! Begitu ucapan terakhir diucapkan, cahaya pedang telah berkelebat lewat, tahu-tahu lidah Ciok Cing-swan telah dikutungi olehnya. Leng Ping-ji ingin mencegah perbuatannya itu, tapi tak sempat lagi Dengan wajah yang penuh berlepotan darah sehingga tampangnya mirip iblis, Ciok Cing-swan melotot sekejap ke arah Leng Ping-ji, kemudian tanpa membuang waktu lagi berlalu dari situ, namun sorot matanya penuh dengan pancaran sinar kebencian. Memandang bayangan tubuh Ciok Cing-swan yang menjauh, Leng Ping-ji segera menghela napas panjang, katanya.

   "Adik Yan, kau kelewat berangasan, baik atau buruk dia toh kakak seperguruan kita"

   Kemarahan dalam dada Nyo Yan belum reda, ia segera berseru kembali.

   "Kakak seperguruan semacam ini lebih baik tak usah dipunyai. Kalau tidak kupotong lidahnya, ia pasti akan menfitnah orang seenaknya!"

   Leng Ping-ji segera tertawa getir.

   "Tapi dengan perbuatanmu itu, mungkin kau sudah tak bisa kembali ke Thian-san lagi.""Suhu-ku telah meninggal, ayah angkatku juga sudah banyak waktu tidak berada di atas gunung Thian-san, kecuali ayah angkat dan kau, tiada kenangan apa pun bagiku di atas gunung tersebut, tak bisa pulang juga tak mengapa, toh bukan suatu persoalan besar. Enci Peng, asal aku dapat berada bersamamu, sudah lebih dari cukup."

   Seandainya ucapan tersebut diutarakan pada dua jam berselang, Leng Ping-ji akan menganggap perkataannya itu sebagai kasih sayang seorang adik terhadap kakaknya, tapi kini, setelah peristiwa yang mimpi pun tak pernah diduga itu telah terjadi, Leng Ping-ji telah dapat merasakan pula kobaran panas yang bergelora dalam dada pemuda itu, dia dapat merasakan suatu rasa cinta yang dalam.

   Untuk sesaat lamanya Leng Ping-ji termenung, kemudian ia baru berkata.

   "Adik Yan, lupakanlah kejadian yang berlangsung tadi, di kemudian hari kita masih tetap merupakan kakak adik."

   "Mengapa harus melupakannya?"

   "Kita berdua sama-sama sudah terkena perbuatan busuk dari Toan Kiam-ceng si bajingan busuk itu sehingga melakukan kesalahan, masih untung kita tak sampai melakukan perbuatan salah yang lebih parah."

   "Enci Peng, sekarang aku berbicara dengan otak yang segar, tapi aku tidak merasa menyesal sedikit pun atas apa yang telah terjadi tadi."

   Kontan Leng Ping-ji merasa pikirannya menjadi amat kalut, serunya cepat.

   "Adik Yan, adik Yan kumohon kepadamu, anggaplah apa yang terjadi sebagai suatu impian, lebih baik lagi kalau kau dapat melupakan untuk selamanya.""Aku sama sekali tidak merasa brutal, aku tidak merasa sebagai impian. Enci Peng, kau menyesal?"

   Dengan termangu Leng Ping-ji engawasi pemuda di hadapannya itu dengan pikiran kalut, dia merasa pemuda itu seperti sangat dikenal tapi seperti pula sangat asing baginya, mendadak ia mempunyai suatu perasaan aneh, dari tubuh Nyo Yan ia seperti menangkap separuh bagian mirip Beng Hoa, tiga bagian mirip Ki See-kiat dan dua bagian mirip bayangan Toan Kiam-ceng, hanya saja kedua bagian yang terakhir itu bukan bayangan Toan Kiam-ceng yang sekarang, melainkan Toan Kiam-ceng yang dahulu.

   Itulah bayangan Toan Kiam-ceng sebelum dia menjadi sesat.

   Tapi dari sekian banyak bayangan, bayangan Beng Hoa paling tebal, bayangan Toan Kiam-ceng paling tipis, namun di dalam dasar hati yang paling dalam, mungkin dia sendiri pun belum pernah memikirkannya, bukankah dia memang menyukai orang seperti ini? Dalam waktu singkat, pelbagai pikiran serasa berkecamuk di dalam benaknya, dengan suara yang hampir cuma didengar oleh dirinya sendiri dia menyahut.

   "Aku tidak tahu."

   "Mengapa tidak tahu?"

   Tanya Nyo Yan dengan suara keras.

   "Aku tidak tahu. Aku hanya tahu bahwa kita tak dapat hidup bersama terus sepanjang masa."

   "Mengapa tak bisa?"

   Nyo Yan seperti hendak bertanya terus sampai sejelas-jelasnya. Leng Ping-ji menghela napas panjang."Sebab di dalam bayanganku kau tak lebih cuma adikku. Adik Yan, apakah kau tak dapat menganggap aku sebagai kakakmu saja?"

   "Di kemudian hari aku masih dapat menganggapmu sebagai enci-ku, tapi aku pun hendak mengawini dirimu sebagai istriku!"

   Sekarang Leng Ping-ji sudah mengetahui rahasia hatinya, tapi hatinya terkejut juga ketika dengan mata telinga sendiri ia mendengar pemuda itu meminangnya. Tidak, tidak, soal ini soal ini tidak boleh, kita tak boleh berbuat demikian."

   "Kenapa tidak boleh? Walaupun kita kakak beradik, namun di dalam kenyataan kita bukan kakak beradik yang sesungguhnya."

   "Adik Yan, tahun ini kau baru berusia dclapanbelas tahun, sedang aku sudah berumur duapuluh tujuh tahun, kita berselisih hampir sepuluh tahun."

   "Sepuluh tahun lewat bagaikan sambaran petir, apalah artinya selisih umur sesingkat itu? Apalagi umur manusia sukar diduga, siapa tahu aku bakal mati lebih dulu daripada kau?"

   Emosi Seorang Pemuda "Aku sudah banyak pengalaman dan mengalami banyak kejadian, sedang kau tak lebih hanya seorang pemuda yang baru muncul ke dalam dunia persilatan,"

   Kembali Leng Ping-ji berkata.

   "Apa salahnya? Kau boleh menjadi enci-ku, mengapa tidak boleh menjadi istriku? Boleh menjadi guru yang mendidikku, mengapa tak boleh menjadi guru dalam rumah tanggaku?"Perkataan kekanak-kanakan ini segera menggelikan Leng Ping-ji hingga tanpa terasa ia tertawa. Nyo Yan menjadi girang sekali serunya.

   
Taruna Pendekar Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Enci Peng, kau tidak mempunyai keluhan lainnya bukan?"

   Leng Ping-ji menggelengkan kepalanya.

   "Maaf, aku tak dapat meluluskan permintaanmu itu,"

   Katanya "Apa alasannya?"

   "Kau masih muda, tidak pantas tidak pantas."

   Ia segera berhenti di tengah jalan, sebab bagaimanapun dia merasa jengah juga untuk mengucapkan kata "tidak pantas memperistri diriku".

   "Aku toh tidak memintamu untuk kawin pada saat ini juga? Asal kau bersedia jadi istriku, aku bisa menantimu."

   "Adik Yan, kau baik kepadaku, membuat aku merasa amat berterima kasih, tapi." Tak usah mengucapkan kata tapi berulang kali, kecuali kau suka orang lain, aku tetap akan memperistri dirimu. Aku toh sudah bertanya kepadamu, aku hendak membantumu agar baik dengan engkoh misanku See-kiat, tapi kau mengatakan tidak."

   Leng Ping-ji tertawa getir, tukasnya.

   "Jangan kau singgung lagi dirinya. Walaupun aku tidak menganggapnya sebagai musuh, tapi aku pun tak akan menjadi sahabat yang lebih lebih baik dengannya."

   "Itulah. Kalau kau tak bersedia kawin dengannya, mengapa kau tak bersedia meluluskan permintaanku? Aku pernah bersumpah, akan memberi kebahagiaan kepadamu, apakahkau tak percaya bila kita bersatu maka kehidupan kita akan bahagia?"

   "Bukan, bukan begitu."

   "Aku mencintaimu dengan setulus hati,"

   Seru Nyo Yan.

   "dulu aku tidak tahu, tapi sekarang benar-benar sudah mengetahuinya."

   "Apa yang kauketahui hanya apa yang sekarang kau ketahui."

   Nyo Yan yang tertegun.

   "Enci Peng, apa maksud ucapanmu itu?"

   Serunya.

   "Aaaih anak muda tak mengenal arti kemurungan, apakah cinta apakah murung, cinta dibilang murung, murung dibilang cinta."

   Dari balik ucapan tersebut, jelas gadis itu hendak mengartikan demikian,- Apakah kemurungan itu? Apa pula yang dinamakan cinta? Pemuda seperti Nyo Yan mana mungkin bisa mengetahui sedalam-dalamnya? Dengan sikap mengerti seperti tak mengerti, Nyo Yan lantas berkata.

   "Enci Peng, aku meminangmu untuk menjadi istriku bukan atas dorongan emosi yang datang secara tiba-tiba, aku telah berpikir, kita sama-sama senasib sependeritaan, mengapa kita tidak mempersatukan nasib kita menjadi satu?"

   "Aku tidak percaya dengan takdir."

   "Aku pun tidak percaya, tapi aku hanya mengambil misal saja. Jika nasib kita berdua digabungkan menjadi satu dan ditanggulangi bersama, bukankah hal ini jauh lebih meng- untungkan daripada kita sengsara sendiri? Apa jeleknya?"

   Leng Ping-ji benar-benar merasa amat terharu, lama kemudian dia baru berkata.

   "Sekarang, lebih baik kita jangan membicarakan persoalan ini lebih dulu. Adik Yan, coba kau ceritakan tentang nona Liong itu, mau bukan?"Selesai mendengarkan kisah tentang Liong Leng-cu, dengan air mata bercucuran Leng Ping-ji berkata.

   "Sungguh tak kusangka nasib nona Liong jauh lebih buruk daripada kita. Aku benar-benar merasa kagum akan kekerasan hatinya! Adik Yan, apa yang kau ucapkan tadi memang betul, daripada me- nanggung derita sendiri-sendiri, lebih baik ditanggulangi bersama-sama, tapi nona Liong lebih membutuhkan keadaan tersebut daripada aku."

   "Bukankah aku telah memberitahukan kepadamu, aku tak mampu menghilangkan rasa dendam yang mencekam dalam hatinya."

   "Sakit hati generasi yang lalu tidak seharusnya menyulitkan generasi yang mendatang, bila waktu sudah lewat cukup lama, persoalan itu pasti dapat ia pecahkan sendiri." Tapi aku toh tak dapat mencintai setiap orang yang bernasib jelek seperti aku. Aku hanya berharap bisa menjadi teman karibnya, aku pun berharap bisa membantunya agar berkumpul kembali dengan kakeknya. Tapi harapanku hanya terbatas sampai di situ saja."

   "Aku ingin bertanya lagi kepadamu, setelah ini kau bermaksud hendak ke mana?"

   "Aku tidak tahu. Aku hanya tahu akan selalu berada bersamamu."

   "Untuk sementara waktu kau jangan pergi ke Thian-san lebih dulu. Tapi, apakah kau tak ingin pergi ke Jik-tat-bok untuk menjumpai ayah dan kakakmu?"

   Seakan-akan ditusuk dengan jarum, mendadak Nyo Yan berteriak keras.

   "Enci Peng, aku tidak menyalahkan dirimu ketika kau membohongi ku dulu, tapi sekarang aku sudah mengetahui asal-usulku sendiri, mengapa kau masih.""Benar, Beng tayhiap memang bukan ayahmu, Beng Hoa juga bukan kakak kandungmu, tapi sikap mereka terhadap kau."

   "Enci Peng, mau bukan jangan menyinggung tentang mereka lagi? Aku mempunyai pendapat menurut jalan pemikiranku sendiri,"

   Pinta Nyo Yan dengan suara parau.

   Leng Ping-ji tidak tahu sampai sejauh manakah Nyo Yan mengetahui tentang asal-usulnya, ia segera berpikir, Terhadap bibinya dia memang tidak mempunyai kesan baik, sekalipun Lak-jiu-Koan-im mengucapkan kata-kata yang tidak meng- untungkan Beng tayhiap, aku rasa dia pun tak akan mempercayai seratus persen.

   Sekarang gejolak perasaannya belum mantap, sedang masalah yang menyangkut hubungan keluarga Beng dan keluarga Nyo pun tidak kuketahui dengan amat jelas, lebih baik menunggu sampai ayah angkat pulang saja, biar gihu yang memberitahukan segala sesuatunya itu kepadanya."

   Sementara itu Nyo Yan telah berkata lagi.

   "Enci Peng, masih adakah pertanyaan yang hendak kau ajukan lagi? Kalau tak ada, sekarang kau harus menjawab pertanyaanku tadi, kau kau bersedia."

   "Aku tak dapat segera meluluskan permintaanmu itu, kau harus memenuhi dahulu dua buah permintaanku."

   "Ooh enci Peng, asal kau bersedia menjadi istriku, jangan toh baru dua hal, sekalipun sepuluh permintaan pun pasti akan kutuluskan."

   Leng Ping-ji segera tertawa "Baik, kalau begitumari kita bertepuk tangan mengangkat sumpah, tapi kau tak boleh menyesal!"Sungguh sulit menyaksikan Leng Ping-ji tertawa secerah ini, kontan saja Nyo Yan menjadi kegirangan setengah mati, sahurnya dengan wajah berseri.

   "Ucapan seorang kuncu ibarat bukit karang. Sekalipun adik Yan-mu bukan seorang kuncu sejati, tak nanti aku akan menyesali apa yang telah kukatakan. Enci Peng, katakanlah. Apa saja yang kau katakan pasti akan kuturuti, bila aku sampai melanggar sumpah, biarlah aku."

   Buru-buru Leng Ping-ji menutup mulurnya dengan telapak tangan, lalu tukasnya cepat.

   "Asal kau ada niat sungguh- sungguh, aku percaya kau pasti akan menurutinya, bersumpah atau tidak toh sama saja."

   Setelah saling bertepuk tangan, Nyo Yan baru berkata kembali, Terima kasih langit terima kasih bumi, akhirnya enci Peng-ku mau percaya juga dengan ketulusan hatiku.

   Baik, sekarang katakanlah, apa syaratmu yang pertama?" Terhitung mulai hari ini, kau harus berpisah selama tujuh tahun denganku."

   Mendengar perkataan itu, Nyo Yan menjadi tertegun, kontan saja dia berteriak.

   "Apa? Kita harus berpisah selama tujuh tahun lagi? Bara saja bertemu muka, kau suruh aku menunggu selama tujuh tahun lagi?"

   "Barusan toh kau bilang tidak akan menyesal?"

   "Aku bukan menyesal, aku cuma tidak mengerti kenapa kau harus berbuat demikian?"

   Leng Ping-ji segera tertawa.

   "Sudah tujuh tahun aku menunggu kedatanganmu sebelum kau kembali, tidak pantaskah bila kau pun harus menunggu kedatanganku selama tujuh tahun pula?""Seandainya selama tujuh tahun ini tanpa sengaja kita bersua lagi?"

   "Maka kau harus berusaha untuk menghindari diriku, dilarang mengajakku berbicara."

   "Apakah sepatah kata pun tak boleh?"

   Seru Nyo Yan sambil bermuram durja.

   Leng Ping-ji segera tertawa "Aah, kau ini macam anak kecil yang merengek minta gula- gula dari orang dewasa saja, sudah dapat saru minta dua.

   Baik anggap saja aku takut kepadamu, aku akan memberi kebebasan kepadamu hanya boleh bicara dua tiga patah kata saja."

   "Aku benar-benar merasa berat hati untuk meninggalkan dirimu, cuma kalau toh hanya dengan cara ini kau bara bersedia kawin denganku, aku terpaksa menuruti perkata- anmu. Aku Nyo Yan bersumpah akan mencari enci Peng tujuh tahun kemudian. Selama tujuh tahun ini bila kebetulan saling berjumpa, aku hanya boleh mengucapkan dua tiga patah kata saja tiap kali bertemu. Enci Peng, kau pun harus berjanji pula kepadaku bahwa tujuh tahun kemudian tak boleh beralasan lain lagi, kamu harus kawin denganku, menjadi istriku."

   Merah padam selembar wajah Leng Ping-ji karena jengah, sahutnya kemudian.

   "Baik, aku luluskan permintaanmu. Cuma."

   "Masih ada apa lagi?"

   Nyo Yan segera melompat sambil berteriak keras. Leng Ping-ji segera tertawa.

   "Tak usah gugup dulu, aku tidak menyesal. Cuma kumohon padamu untuk melakukan dengan bersung-guh hati adalahkau harus berpisah selama tujuh tahun denganku, soal lain tiada ikatan bagimu, kau boleh bebas untuk melakukannya. Mengertikah kau maksudku?"

   "Aku tidak mengerti."

   "Seandainya di dalam tujuh tahun ini kau sudah menemukan kekasih bati yang lain, aku rak akan menyalahkan dirimu."

   "Apakah kau inginkan aku mengorek keluar hatiku dan diperlihatkan kepadamu? Mana mungkin aku bisa mencintai orang lain lagi?"

   "Aku hanya memberi peringatan kepadamu, toh bukan memaksamu untuk mencintai orang lain."

   Nyo Yan tertawa getir.

   "Enci Peng, kau betul-betul keji,"

   Serunya.

   "Dalam tujuh tahun mendatang, entah bagaimana caraku untuk melewatinya, lapi, apa pula syaratmu yang kedua? Kuharap syaratmu jangan keterlaluan lagi seperti syaratmu yang pertama"

   "Soal ini, aku percaya kau pasti dapat melakukannya dengan senang hati,"

   Ucap Leng Ping-ji sambil tertawa walaupun senyuman menghiasi wajahnya namun sedih dan pedih dalam hatinya, diam-diam ia berpikir.

   "Adik Yan, kau anggap aku benar-benar merasa senang berpisah selama tujuh tahun denganmu? Bila aku tidak berbuat demikian, bagaimana mungkin hatimu bisa dibikin tenang? Aku terpaksa harus berbuat begini, karena hanya cara inilah yang bisa kulakukan."

   Berpikir begitu, di luaran dia pun berkata.

   "Aku minta padamu untuk mencari siluman perempuan kecil itu, juga dalam tujuh tahun."

   "Siluman perempuan kecil?"

   Tanya Nyo Yan."Maaf,"

   Ucap Leng Ping-ji sambil tertawa.

   "Lak-jiu-Koan-im berulang kali memaki nona Liong sebagai siluman perempuan kecil, tanpa terasa aku jadi ikut-ikutan memanggil begitu. Cuma, walaupun menjadi siluman perempuan kecil di mulutku, namun dalam hati kecilku dia adalah seorang anak gadis yang baik."

   Tak tahan Nyo Yan segera tertawa setelah mendengar perkataan itu, serunya.

   "Nona Liong itu jauh lebih sesat daripadaku memang cocok sekali kalau dia dipanggil siluman perempuan kecil. Cuma dia bukan milikku."

   "Dia adalah cucu perempuan yaya-mu, sedang yaya-mu adalah tuan penolongmu juga gurumu, apakah dia tak bisa dianggap sebagai salah seorang sanakmu?"

   "Ya, soal itu memang harus diakui, lapi dalam had kecilku, aku menganggapnya sebagai seorang adik kecil yang nakal."

   "Aku tahu,"

   Leng Ping-ji tertawa "Itulah sebabnya, kau si kakak harus pergi mencari si adik sampai ketemu, mengerti?"

   Sementara dalam hati kecilnya dia pun merasa geli, pikirnya.

   "Tahukah kau, aku pun selalu menganggap kau hanya seorang adik kecilku yang binal?"

   "Benar, aku memang punya rencana untuk pergi mencarinya,"

   Kata Nyo Yan cepat.

   "tapi mengapa pula harus diberi batas waktu selama tujuh tahun? Seandainya setelah tujuh tahun, aku belum juga berhasil menemukan dirinya spa pula yang harus kulakukan?"

   "Kalau sampai begitu, maka kau tak usah datang menjumpai diriku lagi.""Aah, bukankah ucapanmu sekarang sama artinya mengingkari ucapanmu yang pertama tadi?"

   Teriak Nyo Yan cepat-cepat.

   "Aku minta kedua macam syarat ini bisa kau selesaikan pada saat yang bersamaan, satu pun tak boleh kurang."

   Nyo Yan tertawa getir.

   "Kalau begitu, terpaksa aku harus menuruti perkataanmu, siapa suruh aku telah bertepuk tangan denganmu untuk, mengangkat sumpah? Baiklah, tujuh tahun ya tujuh tahun."

   Dalam hati dia pun berpikir, dengan adanya waktu selama tujuh tahun, kendatipun dunia ini amat luas, namun ia merasa harapannya untuk bertemu dengan Liong Leng-cu masih tetap besar sekali. Berpikir begitu, kembali dia berkata.

   "Enci Peng, aku telah menyetujui kedua buah permintaanmu itu, bagaimana sekarang?"

   "Masih ada bagaimana sekarang* lagi?"

   Kata Leng Ping-ji sambil tertawa.

   "Tentu saja tidak ada bagaimana-bagaimana! Sekarang, aku hanya meminta kepadamu untuk melaksanakan sumpahmu yang pertama, segera tinggalkan aku."

   "Enci Peng, kau boleh pergi dulu. Untuk sementara waktu aku akan tetap tinggal di sini dulu."

   "Mengapa?"

   "Aku ingin melihat wajahmu beberapa kejap lagi."

   Leng Ping-ji merasakan hatinya bergolak keras, dia khawatir Nyo Yan menyaksikan butiran air mata yang membasahi pipinya, tanpa berpaling lagi dia segera membalikkan badan dan berlalu dari sana Dengan termangu-mangu Nyo Yan mengawasi bayangan punggungnya yang makin lama semakinmenjauh dan semakin mengecil sebelum akhirnya lenyap dalam pandangan mata.

   "Ooh enci Peng, mengapa kau begitu tega,"

   Gumamnya "Perpisahan ini paling tidak akan bersua kembali tujuh tahun mendatang, mengapa kau tidak berpaling walau hanya memandang sekejap mata kepadaku."

   Bagaimana mungkin dia tahu kalau perasaan hati Leng Ping-ji ketika itu sedemikian sedih dan murungnya sehingga tak terlukiskan dengan kata-kata? Tujuh tahun, perpisahan selama tujuh tahun siapa yang tahu apa yang bakal terjadi selama masa ini? Berlalunya sang waktu mungkinkah bisa menawarkan gejolak perasaan dalam dada seorang pemuda? Ini yang menjadi harapan gadis itu.

   "Andaikata adik Yan bisa menemukan kembali nona Liong itu, setelah melalui tujuh tahun yang lama, mungkin dia sendiri pun bakal tertawa geli bila membayangkan kembali kejadian ini, geli atas tingkah lakunya yang kekanak-kanakan,"

   Begitulah Leng Ping-ji berpikir.

   Benarkah dia berharap demikian? la tak berani bertanya kepada diri sendiri.

   Tapi di kala dia melakukan pengharapan semacam itu, dalam hati kecilnya pun seakan-akan diliputi oleh kebingungan, kebimbangan dan kekosongan.

   Tujuh tahun yang dijanjikan sesungguhnya merupakan suatu masa percobaan bagi Nyo Yan, apakah dia berharap setelah tujuh tahun lewat, Nyo Yan akan tetap kembali ke sisi- nya dan menuntutnya untuk memenuhi janjinya itu? (Sekalipun Leng Ping-ji tidak berharap dia harus menepati janji tersebutiTiada orang tahu, termasuk juga dia sendiri pun tidak tahu.

   Tanpa terasa dia sudah turun dari bukit itu, pada saat itulah dia baru berpaling dan menengok sekejap ke belakang.

   Walaupun dia tahu tak akan bisa melihat Nyo Yan lagi, tapi bayangan Nyo Yan di dalam hatinya tak pernah lenyap dari benaknya.

   Tanpa terasa bayangan tubuh Nyo Yan telah berubah jadi bayangan rubuh dari Beng Hoa.

   "Sekarang saatnya pergi mencari Beng toako,"

   Dia berpikir di hati.

   Nyo Yan pernah berkata, dia tak akan pergi ke Jik-tat-bok untuk menjumpai Beng Goan-cau serta Beng Hoa, maka dari itu dia harus pergi ke sana.

   Sekalipun dia tak tahu kalau Nyo Yan berniat hendak membunuh Beng Goan-cau, bahkan tidak tahu kalau Nyo Yan menaruh suatu perasaan dendam yang aneh terhadap Beng Goan-cau, namun paling tidak dia sudah tahu kalau Nyo Yan tidak bersedia mengakui Beng Goan-cau sebagai ayahnya dan mengakui Beng Hoa sebagai kakaknya.

   Dia pun tahu kalau Nyo Yan sedang berusaha untuk menghindari mereka.

   Ia percaya perasaan hati Nyo Yan ini cukup dipahami olehnya, sekalipun tak dipahami secara keseluruhan.

   "Aai adik Yan, tahukah kau meski Beng Goan-cau bukan ayah kandungmu, tapi dia jauh melebihi ayah kandungmu sendiri. Beng Hoa lebih-lebih merupakan kakak seibu lain ayah yang sangat baik, dia pernah mengembara selama tiga tahun untuk mencari dirimu, rasa sayangnya kepadamu hanya aku seorang yang tahu."Dengan membawa hati yang sedih Leng Ping-ji turun dari bukit itu, tanpa terasa dia berjalan menuju ke arah selatan. Walaupun dia berjalan menuju ke selatan, tapi sorot matanya tanpa terasa dipalingkan ke utara. Apa yang terbentang di depan mata hanyalah padang rumput yang tak bertepian, tentu saja tidak nampak gunung Thian-san yang jauh nun di ujung langit sana. Sejak kecil gadis ini memang sudah tak punya rumah. Thian-san pernah ditinggalinya selama tujuh tahun, sejak semula dia telah menganggap gunung Thian-san merupakan rumahnya yang kedua. Memandang gunung Thian-san nan jauh di ujung langit, dia merasa pikiran maupun perasaannya berkecamuk tak karuan, seakan-akan buronan yang sedang melarikan diri, seperti juga si pengembara yang tak bertempat tinggal. Sekalipun dia belum dikeluarkan dari perguruan, namun di atas gunung Thian-san masih terdapat seorang guru yang bagaikan ibu kandung selalu mengharapkan kedatangannya. Ia tak berani berpikir lebih jauh, entah apa saja yang dikatakan Ciok Cing-swan sekembalinya ke gunung Thian-san? Tetapi dia dapat menduga, Ciok Cing-swan yang dipotong lidahnya oleh Nyo Yan, sudah pasti akan menggunakan tangan atau cara lain yang bisa dipakai untuk menuturkan semua kejadian yang telah dilakukan olehnya bersama Nyo Yan kepada orang-orang di perguruan, bahkan mungkin juga me- nambahi bumbu dan hasutan. Terhadap "tuduhan"

   Tersebut, Leng Ping-ji merasa tak mampu untuk membantah, diapun merasa malu sekali memberikan pembelaannya.Bagi seorang gadis yang tinggi hati seperti dia, lebih baik menghadapi ancaman kematian daripada ditempatkan dalam posisi yang serba rikuh dan memalukan itu.

   Taruna Pendekar Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Maka satu-satunya jalan yang bisa dilakukan sekarang adalah berusaha untuk menghindarkan diri dari kemungkinan terjadinya suasana seperti itu.

   Dia segera berpaling dan berangkat ke arah selatan, dia hendak pulang ke Jik-tat-bok.

   Selama ini, dia jarang berdiam di Jik-tat-bok tapi Jik-tat- bok-lah yang merupakan "rumah"nya yang sebenarnya.

   Di Jik-tat-bok terdapat pamannya Leng Thiat-jiau.

   Leng Thiat-j iau adalah komandan pasukan patriot pembela bangsa, dia selalu sibuk dengan urusan perjuangan, amat jarang memperhatikan dirinya, sedang dia semenjak kecil sudah tidak berada bersama pamannya ini lagi, namun dia tahu pamannya itu sangat menyayangi dirinya, dan dia satu-satunya sanak keluarganya yang terdekat.

   Di Jik-tat-bok terdapat pula Beng Goan-cau dan Beng Hoa.

   Seandainya kata "sanak keluarga"

   Tidak dibataskan pada orang-orang yang masih mempunyai hubungan darah dengannya, maka Beng Hoa merupakan "sanak keluarganya yang terdekat Selama banyak tahun, dia telah meng- anggapnya sebagai kakak sendiri, kakak yang dicintai dan dihormati.

   Apalagi dia kakak tiri Nyo Yan.

   "Entah mengapa hingga kini Beng toako tak pernah kembali ke Sinkiang lagi? Tapi aku tahu, dia sangat merindukan adik Yan, aku harus menyampaikan kabar tentang ditemukannya kembali adik Yan kepadanya. Sekalipun dalam tujuh tahun mendatang aku harus berusaha keras menghindari adik Yan,tapi toh aku masih dapat berusaha dari samping agar mereka ayah dan anak bisa berkumpul kembali seperti sediakala"

   Tentu saja yang dimaksudkan ayah dan anak dalam benaknya sekarang, bukanlah Nyo Bok ayah kandung Nyo Yan, melainkan Beng Goan-cau dengan Nyo Yan.

   Padahal, dia seharusnya sudah mesti pulang sedari dulu.

   Pada mulanya Teng hujin hanya menerimanya sebagai murid tanpa ikatan, yaitu dia boleh setiap saat kembali ke Jik-tat-bok serta tanpa terikat oleh peraturan perguruan yang begitu banyak.

   Waktu itu, pertama karena ia baru saja mengalami musibah dalam bercinta sehingga dia merasa sangat berat hati untuk kembali ke tempat semula, itulah sebabnya dia lebih suka menetap di Thian-san.

   Kedua dia harus pergi mencari Nyo Yan, maka akhirnya dia telah meninggalkan Jik-tat-bok selama tujuh tahun lamanya dan secara resmi masuk menjadi anggota perguruan Thian- san-pay.

   Menurut peraturan perguruan, dia harus melaporkan kejadian tersebut kepada gurunya atau paling tidak seharusnya mengutus orang untuk menyampaikan surat kepada gurunya Tapi sekarang terpaksa dia harus pulang ke Jik-tat-bok secara diam-diam, terpaksa harus mempertaruhkan kesalahpahaman serta dampratan dari gurunya Setiap kali membayangkan sorot mata penuh kebencian yang terpancar keluar dari mata Ciok Cing-swan, tanpa terasa bulu kuduknya bangun, entah berapa besarkah badai yang bakal ditimbulkan oleh ulahnya itu?Dulu dia meninggalkan Jik-tat-bok juga dikarenakan hendak "menghindarkan diri", sekarang dia kembali ke Jik-tat-bok juga karena hendak menghindarkan diri.

   Cuma walaupun ia tak pernah memikirkannya secara seksama, tapi secara lamat-lamat ia dapat merasakan bahwa penghindaran diri yang dilakukannya kali ini bisa dilakukannya di tengah saudara-saudara patriot pembela bangsa yang begitu banyak, dia pun percaya luka dalam hatinya akan semakin cepat menjadi sembuh kembali kalau dibandingkan dengan kejadian yang hampir sama di Thian-san dulu.

   Ketika melakukan "penghindaran diri"

   Dulu dia tak lebih hanya seorang gadis yang belum mencapai duapuluh tahun, sekalipun tak bisa dikatakan sekuntum bunga yang "halus dan lembut", namun dia juga bukan sekuntum bunga yang tahan diserang hujan badai.

   Tapi, setelah melewati pengalaman dan penderitaan selama tujuh tahun, sesudah melewati siksaan dan penderitaan yang penuh kesedihan dia percaya sekalipun dirinya belum berubah menjadi pohon siong di puncak salju, paling tidak ia sudah merupakan sekuntum bunga sakura yang tidak takut hempasan bunga salju.

   Tapi Nyo Yan jauh lebih muda darinya sanggupkah dia melawan siksaan di dalam hatinya? "Adik Yan adalah seorang yang berpandangan sempit, selama aku berada di sisinya, mungkin saja aku dapat melakukan pengawasan yang ketat terhadap dirinya Kini aku telah pergi meninggalkan dirinya, entah ulah apa yang bakal dilakukannya nanti?"Ia tidak menyesal atas kepu-tusannya untuk meninggalkan Nyo Yan, tapi mau tak mau dia merasa kuatir juga oleh sikap Nyo Yan yang agak berangasan serta berjiwa sempit itu.

   0odwo0 Ketika bayangan tubuh dari Leng Ping-ji lenyap dari pandangan mata Nyo Yan bara merasa seakan-akan tersadar kembali dari suaru impian yang aneh, impian burukkah? Im- pian jelekkah? Atau suatu impian yang manis, mesra dan hangat? Semuanya mirip, tapi semuanya juga tidak mirip.

   Namun ia sama sekali tidak menyesali perbuatannya yang "brutal"

   Itu, termasuk tindakannya memotong lidah Ciok Cing- swan. Sedang mengenai tekadnya untuk mengawini "enci Peng"

   Menjadi istrinya, dia lebih-lebih tak pernah merasa menyesal. Bayangan punggung Leng Ping-ji sudah tak tampak lagi, namun dia masih termenung dengan wajah termangu.

   "Enci Peng, aku pasti akan menunggumu sampai datang!"

   Walaupun perasaan hatinya jauh berbeda dengan perasaan Leng Ping-ji, tapi toh ada juga satu persamaannya Ketika ia turun dari bukit itu, sedikit banyak toh terlintas juga perasaan "meski jagat amat besar, ke mana aku harus pergi?"

   Setelah melalui pemikiran yang teramat masak, Leng Ping-ji dapat menemukan tempat berdiamnya yang tetap, sedang dia belum.

   Jik-tat-bok tidak ingin dikunjungi, apalagi gunung Thian-san.

   Kalau mengikuti janjinya dengan Leng Ping-ji, dia seharusnya pergi mencari "siluman perempuan kecil"

   Itu.

   Tetapi dunia begitu luas, dari mana ia tahu Liong Leng-cu berada di mana? Apalagi toh masih ada waktu selama tujuhtahun, rasanya dia pun tak usah terburu-buru untuk mencarinya.

   Cuma setelah teringat akan Liong Leng-cu, mau tak mau dia harus memikirkan kembali "yaya"

   Nya yang sudah tujuh tahun hidup bersamanya "Yaya"nya itu sesungguhnya ialah yaya Liong Leng-cu.

   "Sayang sekali Liong Leng-cu enggan mengakuinya sebagai yaya-nya aai, bila dia tak bersedia mengakui yaya-nya, terpaksa aku harus menggantikannya Cuma walaupun yaya mencintaiku, toh rasa cintanya kepadaku tak bisa melebihi rasa cintanya kepada cucu perempuannya sendiri.

   "Tapi bagaimanapun juga jika dia enggan mengakui yaya- nya maka aku berkewajiban untuk menganggapnya "yaya", tapi dia pun takut untuk pulang dan berjumpa dengan yaya- nya "Tentu saja aku tak dapat memberitahukan kepada yaya kalau cucu perempuannya begitu membenci dia Kalau aku berbohong? Sejak turun gunung sampai sekarang baru lewat setengah tahun, jikalau aku begitu cepat sudah pulang, yaya pasti akan menganggap aku segan membantunya dengan sepenuh tenaga Sebaliknya kalau kubuat cerita bohong, mungkinkah ceritaku ini bisa membohonginya?"

   Dengan pikiran yang kalut dan perasaan yang kusut dia melanjutkan perjalanannya ke depan.

   Tanpa terasa dia pun telah tiba di bawah bukit.

   Matahari telah condong di langit barat, senja sudah makin mendekat, seorang diri berdiri di tengah padang rumput yang luas, ia merasa dirinya begitu kecil dan tak berarti.Angin berhembus kencang, di padang rumput yang luas tak terlihat domba dan sapi.

   Tidak tampak domba dan sapi, yang tampak justru manusia Sementara dia masih melakukan perjalanannya tanpa mempedulikan keadaan sekeliling tempat itu, mendadak terdengar seseorang membentak keras.

   "Binatang cilik, berhenti kau!"

   Bentakan tersebut kontan membuat pemuda itu tersadar kembali dari lamunannya Ketika mendongakkan kepalanya Nyo Yan tertegun.

   Di hadapan matanya berdiri dua orang yang secara lamat-lamat dikenal olehnya yang seorang adalah murid kedua dari gurunya Teng Keng-thian yang bernama Kam Bu-wi, sedangkan yang lain adalah murid pertama dari supek-nya Ciong Tian yang terkenal bernama Ciok Thiang-hing.

   Sedang Ciok Thiang-hing tak lain adalah ayahnya Ciok Cing-swan.

   Rupanya Teng Ka-gwan khawatir kalau Lak-jiu-Koan-im benar-benar berhasil menemukan Nyo Yan dan mengajak bocah itu pulang ke Tionggoan, bukan saja hal ini tidak menguntungkan bagi Thian-san-pay, juga membuat mereka tak bisa memberikan pertanggungjawabannya kepada Beng Goan-cau, selain itu dia pun khawatir kalau Ciok Cing-swan tak sanggup menghadapi Lak-jiu-Koan-im.

   Ia memang mengerti watak sombong dan takabur dari Ciok Cing-swan, besar kemungkinannya dalam hal pembicaraan akan menyalahi Lak-jiu-Koan-im, padahal Lak jiu-Koan-im adalah seorang yang Lak-jiu (bertangan keji).

   Ia tak ingin di dalam masa permulaan menjabat sebagai ciangbunjin terjadi hal-hal yang tak enak.Itulah sebabnya dia lantas mengirim ketiga orang suheng- nya turun gunung guna membantu Ciok Cing-swan bilamana perlu.

   Semasa ayahnya Teng Keng-thian, masih menjabat sebagai ciangbunjin, empat orang murid utama dari Thian-san-pay memang sudah termashur dalam dunia persilatan, bahkan jauh di atas namanya sendiri, menurut urutannya keempat orang murid utama Thian-san-pay itu adalah Ciok Thiang-hing, Ting Tiau-bing, Pek Kian-seng dan Kam Bu-wi.

   Ciok Thiang-hing serta Ting Tiau-bing adalah murid kesayangan Ciong Tian, supek-nya sedangkan Pek Kian-seng dan Kam Bu-wi adalah adalah murid kesayangan ayahnya atau dengan perkataan lain toa-suheng serta ji-suheng-nya Ke- betulan pada waktu itu Ting Tiau-bing tidak berada di Thian- san karena urusan lain maka dia pun minta tiga orang suheng yang ada di gunung untuk turun dari Thian-san.

   Di antara Ciok Thiang-hing dan Kam Bu-wi bertiga, usia Ciok Thiang-hing paling tua sepening-galan Teng Keng-thian, dia telah diangkat menjadi salah seorang tianglo dari Thian- san-pay, berbicara soal kedudukan serta jabatan, boleh dibilang dia paling tinggi, lagi pula dia pun ayahnya Ciok Cing- swan maka di dalam perjalanan "tiga serangkai"

   Ini dialah yang bertindak sebagai pemimpin.

   Ketika berhasil melacak jejak Lak-jiu-Koan-im, mereka segera menyusul ke tempat kejadian.

   Tapi akhirnya kedatangan mereka erlambat sehari, Lak-jiu-Koan-im telah mengajak putranya, Ki Scc-kiat, pulang ke rumah.

   Yang membuat mereka mimpi pun tidak menyangka adalah mereka tidak berjumpa dengan Lak-jiu-Koan-im Nyo toakoh, sebaliknya justru bertemu dengan Cing-swan.Ciok Cing-swan memang ditugaskan untuk mengejar Lak- jiu-Koan-im paling dulu, maka seandainya sampai bersua dengannya, pertemuan ini tak bisa dianggap sebagai sesuatu yang di luar dugaan.

   Tapi mereka justru berjumpa dengan Ciok Cing-swan yang lidahnya telah dipotong.

   Kenyataan ini bukan saja membuat mereka tertegun karena kaget, bahkan marah sekali.

   Jagoan dari manakah yang begitu bernyali, berani menghina dan menganiaya murid Thian-san-pay? Harus diketahui, menurut peraturan dalam dunia persilatan, membunuh orang tak lebih cuma "kepala menutul tanah", bila dua orang bertarung, maka terluka atau mati adalah suatu kejadian yang lumrah, walaupun kemungkinan untuk membalas dendam tetap ada, namun hal semacam itu tak akan dianggap sebagai sesuatu yang memalukan atau suatu penghinaan.

   Berbeda sekali dengan memotong lidah, mengorek mata dan lain sebagainya, hal itu justru akan dianggap lebih menyiksa daripada membunuh orang itu sampai mati, hal itu pun dianggap sebagai suatu penghinaan terhadap perguruan.

   Sekalipun Lak-jiu-Koan-im sudah banyak melakukan pembunuhan sepanjang hidupnya, namun selama ini dia belum pernah melakukan perbuatan seperti ini.

   Pada mulanya mereka masih mengira perbuatan itu dilakukan oleh Lak-jiu-Koan-im, dengan susah payah akhirnya mereka baru bisa mengetahui "duduk persoalan"

   Yang sebenarnya, tentu saja "duduknya persoalan"

   Itu bukan diucapkan oleh Ciok Cing-swan, melainkan ditulis dengan tangan.Begitu "duduknya persoalan"

   Diketahui, kontan saja mereka menjadi amat gusar. Mimpi pun mereka tidak menyangka kalau "pembunuh"

   Yang memotong lidah Ciok Cing-swan.

   "iblis"

   Yang menghina Thian-san-pay, bukanlah iblis atau siluman dari partai sesat lain, melainkan justru adalah anak murid partai itu sendiri.

   Bahkan dia pun bukan murid sembarangan murid, orang itu justru merupakan murid terakhir yang paling disayangi oleh gurunya, dan selama tujuh tahun selalu dirindukan oleh suhu- nya, Nyo Yan.

   Seandainya perbuatan tersebut dilakukan oleh partai lain, mungkin mereka tak akan segusar ini.

   Berbeda dengan murid partai sendiri, hal itu boleh dibilang merupakan suatu dosa yang tak terampuni, suatu dosa yang harus dijatuhi hukuman dengan peraturan perguruan.

   Sambil menghela napas Pek Kian-seng berkata.

   "Untung saja suhu sudah tiada semenjak setengah tahun berselang, kalau tidak, entah bagaimanakah gusarnya beliau oleh ulah murid murtad ini."

   "Orang bilang dekat gincu menjadi merah, dekat tinta menjadi hitam,"

   Sambung Kam Bu-wi.

   "setelah hilang selama tujuh tahun, entah binatang cilik itu sudah berhubungan dengan siluman sesat dari mana?"

   Walaupun dia sama-sama mendamprat Nyo Yan, namun nadanya tak sampai sekeras dan sedendam suheng-nya, bahkan secara lamat-lamat masih bernada "membela"

   Nyo Yan. Ciok Thiang-hing segera mendengus, katanya.

   "Hmm, mungkin bukan cuma berhubungan dengan kaum iblis dan manusia sesat saja! Ayahnya, Nyo Bok, telah menjadipengawal istana bangsa penjajah, sedang dia sudah tujuh tahun hilang, siapa tahu dia telah ke mana saja?"

   Walaupun dia mengatakan "siapa tahu", tapi maksud dari perkataan itu sudah jelas menaruh curiga kalau Nyo Yan telah melakukan perbuatan yang sealiran dengan ayahnya.

   Kam Bu-wi sangat berharap kalau suheng-nya bisa memberikan hukuman yang agak ringan kepada Nyo Yan mengingat mendiang guru mereka dulu.

   lapi dalam keadaan amat gusar begini, dia tak berani mengutarakan niatnya itu kepada suheng-nya.

   Maka dengan mengikuti nada pembicaraan dari suheng- nya, dia lantas berkata.

   "Begitu bapaknya begitu pula anaknya, apa yang diucapkan nabi memang tak salah. Berbicara terus terang saja, sewaktu suhu menerimanya sebagai murid penutup dulu, aku sudah merasa hal ini kurang baik, cuma saja mengingat ayah angkatnya, Miau tayhiap, aku merasa agak enggan untuk mengutarakan hal ini kepada suhu."

   "Sekalipun binatang cilik itu bukan kuku garuda, perbuatan yang dilakukannya sudah merupakan suatu perbuatan yang tak bisa diampuni. Persoalan ini memang merupakan persoalan partai, tak bisa kita memberi muka lagi kepada siapa pun"

   Kam Bu-wi tak berani banyak berbicara lagi, terpaksa bersama Pek Kian-seng harus menyetujui.

   "Ya, tentu saja, bagaimana kita hendak menghukum binatang cilik itu, silakan suheng yang mengambil keputusan."

   Ciok Thiang-hing sebagai seorang tianglo berhak mewakili ciangbunjin untuk melakukan pembersihan terhadap perguruan, maka dia memerintahkan Pek Kian-sengmengantar putranya pulang ke Thian-san sambil melaporkan kejadian tersebut kepada ciangbunjin.

   Sedangkan dia bersama Kam Bu-wi melakukan pencarian terhadap Nyo Yan.

   Walaupun Kam Bu-wi tak ingin menghukum mati Nyo Yan, tapi dia pun merasa amat gusar terhadap dosa yang dilakukan Nyo Yan tersebut.

   Cuma kalau dibandingkan Ciok Thiang-hing, dia masih bisa berpikir dengan otak dingin, sepanjang perjalanan dia memikirkan terus persoalan itu, makin dipikir merasa semakin curiga.

   Dia tahu kalau Leng Ping-ji telah menolak lamaran dari Ciok Cing-swan, tanpa terasa pikirnya.

   "Leng Ping-ji selalu tenang, serius dan dingin, mana mungkin dia bisa melakukan perbuatan yang begitu memalukan dengan Nyo Yan? Siapa tahu kalau Ciok Cing-swan sengaja memutarbalikkan persoalan? Perbuatan Nyo Yan memotong lidahnya meski termasuk suatu dosa besar, tapi dosa tersebut belum sampai seserius itu sehingga harus dijatuhi hukuman mati___"

   Dia tak berani mintakan ampun atau mintakan keringanan hukuman bagi Nyo Yan, karena itu dia berharap jangan sampai Nyo Yan ditemukan.

   Mereka segera berangkat ke bukit di mana Ciok Cing-swan menemui peristiwa itu.

   Umumnya, setelah lewat semalam, Nyo Yan yang sudah melakukan kejahatan pasti sudah pergi meninggalkan tempat itu.

   Oleh karena mereka tidak tahu Nyo Yan telah kabur ke mana, maka mereka memutuskan untuk mencari di tempat kejadian.

   Siapa tahu belum sampai di atas bukit, mereka telah berjumpa dengan Nyo Yan.

   Mengadili Nyo YanSambil tertawa dingin Ciok Thiang-hing segera berseru.

   "Kau binatang cilik yang tak tahu diri, hmm, sekarang baru tahu takut? Kenapa kau awasi aku terus? Hayo cepat bicara, cepat bicara!"

   "Ciok susiok, apa yang harus kukatakan?1 sahut Nyo Yan. Sesungguhnya dia mempunyai kedudukan yang sejajar dengan Ciok Thiang-hing, tapi berhubung selisih umur mereka kelewat jauh, bahkan dengan usia putra Ciok Thiang-hing pun selisih banyak, maka sejak kecil ia sudah terbiasa mengikuti Leng Ping-ji yang disebutnya "enci"

   Itu menyebut Ciok Thiang- hing sebagai "susiok". Ketua Thian-san-pay yang lampau, Teng Kcng-thian, memang seseorang yang tidak terlalu mempersoalkan sebutan, terhadap panggilan antara angkatan atas dan bawah tidak mengurusinya dengan ketat.

   "Siapa yang menjadi susiok-mu?"

   Tukas Ciok Thiang-hing semakin gusar.

   "Apa yang telah kau lakukan tentunya diketahui olehmu sendiri, sekarang kau masih berani berbicara sambil berdiri di hadapanku? Hmm, hayo berlutut!"

   "Huuuh, kau saja tidak mengakui sebagai cianpwee-ku, mengapa aku harus berlutut di hadapanmu?"

   Dengus Nyo Yan dingin. Ciok Thiang-hing betul-betul naik pitam, saking gusarnya sepasang matanya sampai melotot keluar.

   "sreeet!"

   Ia segera meloloskan pedangnya sambil membentak.

   "Binatang cilik, kau kau kubunuh dirimu!" . Kam Bu-wi yang berada di sisinya buru-buru mencegah, katanya.

   "Suheng, sejak partai kita didirikan, belum pernah kita jumpai murid murtad seperti ini, jika sekait tusuk saja kita habisi jiwanya, hal ini terlalu keenakan baginya. Membersihkanperguruan dari kaum durhaka memang masalah besar, menurut pendapat siaute, lebih baik kita gunakan cara Thian- san-pay kita untuk mencari penyelesaian. Harap suheng jangan marah dulu, biar siaute mengadili dirinya."

   "Baik, adili dia, tanyakan kepadanya mengaku tidak akan dosa-dosanya?"

   Seru Ciok Thiang-hing.

   "Dosa apakah yang telah kulakukan?"

   Seru Nyo Yan cepat. Kam Bu-wi menatapnya sekejap, kemudian bertanya.

   "Kaukah yang memotong lidah Ciok Cing-swan?"

   "Benar, akulah yang memotongnya!"

   Tanpa terasa paras muka Kam Bu-wi agak berubah juga, dia segera membentak keras.

   "Mengapa kau turun tangan sekeji itu terhadap sesama anggota perguruan?"

   "Hcacch heeceehh. hceeeehh, siapa suruh dia berani menghina enci Peng?"

   Sahut Nyo Yan sambil tertawa dingin.

   "Seandainya tidak melihat wajah enci Peng, mungkin dia sudah mampus sedari tadi dan tak mampu pulang lagi untuk mengoceh yang bukan-bukan kepada kalian."

   Ciok Thiang-hing yang mendengar perkataan itu segera mencak-mencak gusar, bentaknya.

   "Siapa yang telah menghina dan membuat malu Leng Ping-ji? Hmm, tak nyana kau masih punya muka untuk berbicara sembarangan di hadapanku!"

   Dia telah salah mengartikan kata "menghina dan membuat malu"

   Tersebut Terdengar ia mendamprat lebih jauh.

   "Leng Ping-ji menyayangi dirimu sebagai adik sendiri, siapa tahu kau binatang terkutuk yang melebihi binatang terendah, berani melakukan perbuatan tak senonoh terhadapnya, tampaknya sekalipun dia rendah dan tak tahu malu, tak akan sampaibegitu tak tahu malunya, pasti kau si binatang cilik yang telah menggunakan suatu cara untuk menghilangkan kesadarannya Baik, Kam sute, setelah binatang cilik ini mengakui kalau sudah melakukan perbuatan brutalnya itu, punahkan dulu ilmu silatnya!"

   
Taruna Pendekar Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Nyo Yan yang berulang kali didamprat dan dicaci maki, lama-kelamaan amarahnya berkobar juga, tiba-tiba dia membentak keras.

   "Ciok Thiang-hing, mulut kotor dan bau! Kalau toh tidak kau akui diriku sebagai sute-mu lagi, aku pun tak akan sungkan-sungkan lagi kepadamu, kini kau selain memaki aku juga memaki enci Peng-ku, aku akan me- nyuruhmu minta maaf dulu kepadaku!"

   Baru saja perkataan terakhir diutarakan, tampak cahaya tajam berkelebatan menyilaukan mata, sebilah pedang telah melintang di depannya.

   Cuma yang mencabut pedang sambil menusuknya bukan Ciok Thiang-hing, melainkan Kam Bu-wi.

   Ternyata Kam Bu-wi tahu kalau suheng-nya pasti tidak akan tahan, maka dia berebut turun tangan lebih dulu dengan harapan bisa menyelamatkan selembar jiwa Nyo Yan.

   Tusukan pedang itu ditujukan ke arah jalan darah kaku di tubuh Nyo Yan, jurus serangannya selain mantap, tenaga serangan yang disalurkan ke ujung pedangnya sangat hebat Ia berdiri sambil membelakangi Ciok Thiang-hing, oleh karena itu Ciok Thiang-hing tak dapat melibat ke arahnya Ilmu silat yang dimiliki Nyo Yan ketika itu sudah berada di atas ilmu silat kedua suheng-nya, sekilas pandang saja ia sudah melihat apa yang terjadi.Tampaknya Kam suheng masih menaruh beberapa bagian perasaan kepadaku, aku tidak boleh menyusahkan dia,"

   Demikian pikirnya Dengan cepat ia pun menggeser langkahnya sambil berganti posisi, kemudian mengibas ujung pedang tersebut. Tindakannya itu sama sekali di luar dugaan Kam Bu-wi, segera pikirnya di hati.

   "Jangan-jangan selama tujuh tahun ini dia telah menemukan suatu penemuan aneh? Hembusan angin yang terbawa dalam kibasannya ini memiliki tenaga yang melebihi kekuatan anggota biasa yang telah berlatih puluhan tahun."

   Ia masih belum tahu kalau kibasan tersebut dilakukan dengan tenaga amat kecil coba kalau menggunakan sepenuh tenaga, mungkin pedangnya sudah terlepas dari cekalan.

   Tapi dengan melesetnya pukulan tersebut dari jalan darah Nyo Yan, hatinya merasa semakin cemas, dia khawatir jika dirinya tak sanggup menaklukkan Nyo Yan, niscaya Ciok Thiang-hing bakal turun tangan sendiri.

   Walaupun menurut peraturan perguruan untuk menjatuhkan sesuatu hukuman terhadap seorang murid yang melanggar harus dilakukan dalam suatu pertemuan besar perguruan, tapi Ciok Thiang-hing sebagai seorang tianglo berhak juga untuk menjatuhi hukuman mati kepada murid yang bersalah bilamana keadaan memerlukan.

   Jika Ciok Thiang-hing sampai melancarkan serangan dalam keadaan gusar, bukankah selembar nyawa Nyo Yan bakal lenyap? Buru-buru dia mengerlingkan matanya ke arah Nyo Yan sambil memberi tanda rahasia, kemudian tubuhnya menerjang ke muka seraya membentak nyaring.

   "Kau kau hendakmemberontak? Kau tahu apa dosa seseorang yang berani berkhianat kepada perguruan? Kuanjurkan kepadamu lebih baik cepatlah mengaku dosa dan mengikuti kami pulang ke Thian-san. Kalau tidak, mungkin bukan cuma namamu saja yang rusak, bahkan badanmu pun akan hancur binasai"

   Nyo Yan cukupmengetahui akan "maksud baik"

   Dari Kam Bu-wi, tapi bagaimanapun juga tentu saja dia tak akan membiarkan ilmu silatnya dipunahkan orang, selain itu dia pun merasa masih merasa dongkol atas dampratan-dampratan yang ditujukan Ciok Thiang-hing kepadanya Dalam keadaan gusar, tanpa memikirkan bagaimanakah akibatnya lagi, sambil tertawa dingin dia berseru.

   "Suhu-ku sudah meninggal dunia, sekalipun tidak menjadi murid Thian- san-pay juga tak mengapa!"

   Begini ucapan tersebut diutarakan, Kam Bu-wi yang sebenarnya bermaksud untuk "membela"

   Dia pun menjadi turut naik darah, dengan gusar dia membentak.

   "Nyo Yan, kau kau benar-benar hendak mengkhianati perguruan?"

   Serangan yang kemudian dilancarkan sama sekali tidak kenal ampun, yang digunakan untuk melancarkan serangan juga salah satu jurus mematikan dari ilmu pedang Tui-hong- kiam Hawa muminya disalurkan ke ujung pedang, dalam satu gerakan saja ia sudah melancarkan serangkaian ancaman ke atas tujuh buah jalan darah penting di tubuh anak muda itu.

   Jurus serangan dari ilmu pedang Tui-hong-kiam mengutamakan kecepatan gerak, walaupun secara beruntun Nyo Yan telah mempergunakan tiga macam gerakan untuk menghindarkan diri, namun dia belum berhasil juga untuk meloloskan diri dari ancaman."Sreeeet!"

   Tahu-tahu ujung baju Nyo Yan telah ditembusi oleh ujung pedang lawan.

   Coba kalau selisih sedikit saja, niscaya jalan darah Tiong- boan-hiat di antara tulang lututnya sudah ditembusi.

   Jalan darah Tiong-boan-hiat merupakan pertemuan antara urat syaraf Sau-yang-keng-meh dengan urat syaraf yang mempengaruhi gerakan di seluruh kaki, bila jalan darah mi tertusuk, maka ilmu silatnya paling tidak akan punah separuh bagian.

   Nyo Ya n tahu kalau dia tak mungkin bisa menghadapi ilmu pedang Tui-hong-kiam dari Kam Bu-wi dengan tangan kosong belaka, terpaksa dia pun mencabut keluar pedangnya dan "Traaang!"

   Ia tangkis datangnya tusukan pedang dari Kam Bu- wi. Dalam keadaan begini, Kam Bu-wi merasa sedih bercampur gusar, segera bentaknya lagi.

   "Baik, aku ingin tahu selama tujuh tahun ini ilmu pedang macam apakah yang sempat kau pelajari sehingga begitu berani mengkhianati perguruan sendiri!"

   Dengan jurus Soat-hoa-lak-jut (Bunga Salju Memancar dari Enam Penjuru) ia menyerang anak muda itu, di antara ayunan pedangnya lamat-lamat terdengar suara deru ari angin yang disertai hawa pedang sedingin salju.

   Nyo Yan yang melintangkan pedangnya sambil menangkis.

   "Trifing uang"

   Benturan nyaring bergema tiada hentinya. Lamat-lamat Kam Bu-wi merasakan pergelangan tangannya menjadi sakit dan kesemutan, diam-diam ia menjadi terperanjat, pikirnya.

   "ilmu pedang yang dimiliki bocah muda ini, selain sangat lihay, ternyata tenaga dalamnya juga amat hebat!"Padahal dia tak tahu kalau Nyo Yan hanya menggunakan tenaga dalamnya sebesar tiga bagian. Menyusul kemudian Kam Bu-wi berpikir lebih jauh.

   "Tapi aku tak boleh sampai dikalahkan olehnya, soal kalah sampai kehilangan muka sih urusan kecil, kalau sampai Ciok suheng turun tangan sendiri, niscaya selembar jiwa bocah muda ini sukar dipertahankan lagi!"

   Ia masih ingat kalau Nyo Yan adalah murid penutup yang paling disayangi gurunya semasa masih hidup dulu, karena itu dia lebih suka memunahkan ilmu silat dari Nyo Yan daripada membiarkannya tewas di ujung tangan suheng-nya.

   Tapi kini, kesempatan untuk meraih kemenangan saja tak ada, apalagi hendak memunahkan ilmu silat dari Nyo Yan? Ia tak berani beradu tenaga dengan Nyo Yan, terpaksa ilmu pedangnya dimainkan sedemikian rupa sehingga secepat sambaran petir, dia berharap dengan menggunakan kecepatan ilmu pedangnya itu bisa mencari kesempatan untuk menusuk jalan darah Nyo Yan.

   Nyo Yan tidak tahu kalau tujuan suheng-nya berbuat demikian hanya bermaksud untuk melindungi keselamatan jiwanya, melihat jurus pedangnya semakin gencar, tanpa terasa hawa amarahnya berkobar.

   Tiba-tiba ia membentak keras.

   "Kam suheng, kau mendesak diriku terus menerus, maaf kalau siaute pun tak akan sungkan-sungkan lagi kepadamu!"

   Cahaya pedangnya memancar keluar dan bergetar di udara bagaikan naga sakti.

   Begitu pemuda itu mulai mengembangkan serangannya, bukan cuma Kam Bu-wi saja yang merasakan tekanan yanghebat, bahkan Ciok Thiang-hing yang menonton jalannya pertarungan itu pun diam-diam merasa amat terperanjat Setelah memperhatikan sekian lama, dia baru merasa agak lega, pikirnya.

   "Ilmu pedang perguruan kami memang nomor satu di dunia. Walaupun ilmu pedang yang dimiliki bocah keparat ini tidak lemah, toh masih tetap kalah setingkat Dan lagi tenaga dalamnya juga rendah, rasanya tanpa aku mesti turun tangan sendiri pun ia dapat dibereskan. Heeh heh heh andaikata Kam sute memusnahkan ilmu silatnya juga lebih baik, daripada orang lain menganggap aku tidak adil."

   Padahal dari mana dia bisa menduga kalau Nyo Yan belum mengerahkan segenap tenaga dalamnya.

   Nyo Yan adalah seorang yang beradat tinggi, setelah kedua orang suheng-nya menuduh ia berkhianat, maka dia pun tak mempergunakan ilmu pedang Thian-san-pay, pertarungannya sekarang justru menggunakan ilmu pedang Liong-heng-cap- pwe-kiam yang diajarkan yaya-nya, Liong Ki-leng.

   Ilmu pedang Liong-heng-cap-pwe-kiam (Delapanbelas Jurus Ilmu Pedang Bayangan Naga) mengutamakan kekerasan, di dalam soal kesempurnaan jurus memang kalah dibandingkan dengan Thian-san-kiam-hoat, tapi berbicara sesungguhnya kedua macam kepandaian itu masing-masing mempunyai kelebihan sendiri.

   Tapi justru karena ilmu pedang Liong-heng-cap-pwe-kiam mengutamakan kekerasan, sedang Nyo Yan tak berani mempergunakan tenaga dalamnya, otomatis keadaannya menjadi amat lemah.

   Tak selang berapa saat kemudian, jurus serangan yang dilancarkan Kam Bu-wi makin lama makin cepat, beberapa kali nyaris ia berhasil menusuk tubuh Nyo Yan.Waktu itu Nyo Yan sedang ragu, dia ingin mengerahkan tenaga dalamnya lebih hebat, tapi khawatir, ilmu pedangnya keiewat keras, andaikata sampai salah turun tangan, bukankah hal mana akan menyebabkan Kam Bu-wi terluka parah? Sekalipun hawa marah menyelimuti benaknya, namun dia masih tak ingin mencelakai jiwa Kam Bu-wi.

   Belum lagi keputusannya diambil.

   "sreeet!"

   Kam Bu-wi kembali melancarkan sebuah tusukan kilat Serangan tersebut dilancarkan mana cepat juga ganas, dalam satu jurus saja sembilan buah jalan darah penting di tubuh Nyo Yan terkurung.

   Tampaknya dia telah mengeluarkan jurus serangan yang paling lihay dari ilmu pedang Tui-hong- kiam-hoat.

   Nyo Yan tahu kalau serangan itu sulit untuk dihindari lagi, dalam terdesaknya ia terpaksa mengibaskan ujung bajunya ke depan dengan menggunakan tenaga sebesar lima bagian.

   Kam Bu-wi menjadi sempoyongan, serangannya terpukul miring hingga tak sebuah jalan darah pun yang kena tertusuk.

   Menyaksikan kejadian ini, Ciok Thiang-hing segera mandengus dingin.

   "Kam suit, kenapa kau harus mengampuni binatang cilik itu?"

   Padahal akibat tenaga kebutan Nyo Yan tersebut, secara lamat-lamat Kam Bu-wi merasakan dadanya sesak, napas pun sukar dilakukan dengan lancar, ibaratnya orang bisu makan empedu, walau pahit namun tak bisa mengutarakannya keluar.

   Nyo Yan yang berulang kali dihina dan dicemooh menjadi gusar bukan kepalang, saking marahnya dia sampaimendongakkan kepalanya dan tertawa terbahak bahak.

   "Haahh haahh haahh binatang tua, jika kau kurang terima, hayolah maju sendiri untuk mencoba!"

   Sesungguhnya Ciok Thiang-hing memang sudah ingin turun tangan sendiri, ucapan itu kontan saja membuat amarahnya makin membara, hampir saja dia mencak-mencak karena mendongkol, segera bentaknya.

   "Kam sute, kau tidak berani membunuhnya, biar aku yang membunuhnya! Mundur kau dari sini!"

   Sambil meloloskan pedang dari sarung, ia segera melepaskan serangkaian serangan dahsyat.

   Walaupun Kam Bu-wi sudah tahu kalau ilmu silat yang dimiliki Nyo Yan luar biasa, tapi sampai di manakah taraf kepandaian yang sesungguhnya, tidaklah diketahui olehnya.

   Dia takut Ciok Thiang-hing membunuh Nyo Yan, dia pun takut Nyo Yan membunuh suheng-nya.

   Oleh karena itu, meski suheng-nya menitahkan kepadanya untuk mundur, namun mau tak mau dia harus maju juga sambil mengayunkan pedangnya.

   Malah serangan yang dilancarkannya makin gencar dan bertubi-tubi, dia berharap bisa mendahului suheng-nya untuk memunahkan ilmu silat Nyo Yan lebih dulu.

   Asal dia dapat memunahkan ilmu silat Nyo Yan, maka sedikit banyak kejadian ini akan mengurangi kegusaran suheng-nya atau dengan perkataan lain kemungkinan untuk mempertahankan jiwa Nyo Yan pun semakin besar.

   Setelah dua orang jago lihay dari Thian-san-pay mengerubutinya, mau tak mau Nyo Yan harus menghadapi dengan serius.Dia telah mengerahkan tenaga dalamnya sehingga mencapai tujuh bagian, keadaannya makin lama semakin kritis.

   Dia tak ingin melukai Kam Bu-wi, bahkan tak ingin pula membunuh Ciok Thiang-hing, meski Ciok Thiang-hing menjengkelkan, namun tidak sampai melebihi putranya.

   Padahal Nyo Yan pun cuma memotong lidah Ciok Cing-swan belaka Namun Ciok Thiang-hing justru sangat berhasrat mencabut selembar jiwanya.

   Tiga bilah pedang yang berada di tangan para petarung telah berubah menjadi tiga kuntum bunga pedang, tubuh mereka bertiga boleh dibilang terkurung sinar pedang yang tebal.

   Berada dalam pertarungan yang begini seru, bila Nyo Yan ingin menghindarkan suatu kesalahan agar jangan sampai melukai Kam Bu-wi, hal itu boleh dibilang sangat membutuhkan banyak tenaga.

   Walau Kam Bu-wi tidak ingin merenggut jiwanya, tapi dia berhasrat hendak memusnahkan ilmu silatnya.

   Beberapa kali tubuh Nyo Yan nyaris tertusuk oleh Ciok Thiang-hing hanya gara-gara menghindari kesalahan tangan yang bisa berakibat terlukanya Kam Bu wi.

   Nyo Yan segera membentak keras.

   "Kam suheng, cepat mundur, aku tak mau melukaimu!"

   Seandainya dia tidak berkata demikian, keadaannya masih mendingan, begitu dia berkata Kam Bu-wi menyerang semakin gencar."Trang!"

   Tiba-tiba Nyo Yan menangkis pedang Kam Bu-wi, sedang ketika itu ia hendak menusuk jalan darahnya, tetapi meleset.

   Pada saat itulah Ciok Thiang-hing telah memanfaatkan kesem patan tersebut dengan sebaik-baiknya, menggunakan jurus Thi-khi-tu-jut (Penunggang Kuda Besi Muncul Mendadak) menusuk ke arah dadanya.

   Nyo Yan segera berputar ke samping, sekalipun dadanya tidak sampai tertusuk, lengan kirinya kena tersambar juga oleh ujung pedang dan telapak tangan yang dilancarkan bersama "Traaanngg!"

   Diiringi suara dentingan nyaring, pedang Ciok Thiang-hing patah menjadi dua bagian. Kam Bu-wi amat terperanjat, cepat-cepat bentaknya keras- keras.

   "Nyo Yan, kau berani!"

   Belum habis dia berseru, tampak Ciok Thiang-hing mundur dengan sempoyongan, mendadak ia memuntahkan darah segar dan kemudian roboh terjengkang ke atas tanah.

   Belum sempat Kam Bu-wi menghardik Nyo Yan, tahu-tahu kakak seperguruannya telah terluka parah lebih dulu.

   Ternyata pada jurus serangan yang terakhir tadi, Nyo Yan telah mengerahkan seluruh tenaganya, serangan ilmu pedangnya masih mendingan, tapi tenaga pukulan yang dilancarkan di balik telapak tangannya justru mempunyai kekuatan yang maha dahsyat, bagaimana mungkin Ciok Thiang-hing dapat tahan? Ketika Nyo Yan menyaksikan suheng-nya terluka parah, timbul juga perasaan menyesal dalam harinya, tapi keadaan telah menjadi begini, ibaratnya nasi telah menjadi bubur, apakah dia harus minta ampun kepada Ciok Thiang-hing?Maka sesudah mendengus dingin, dia segera membalikkan badan dan berlalu dari situ.

   Mulut lukanya sepanjang beberapa inci di lengan kiri itu masih mengucurkan darah, betul lukanya tidak parah, tapi perlu perawatan dengan segera.

   Ciok Thiang-hing melototkan sepasang mata bulat-bulat, sambil menahan sakit, bentaknya dengan gusar.

   "Kam Bu-wi, dengan kedudukanku sebagai tianglo, aku menitahkan kepadamu untuk membunuh bajingan pengkhianat ini! Sekalipun kita tak bisa hidup lebih jauh, juga jangan biarkan dia hidup terus di dunia ini!"

   Jelas maksud dari perintahnya itu adalah memerintahkan kepada Kam Bu-wi untuk beradu jiwa dengan Nyo Yan.

   Dia pun tahu kalau Kam Bu-wi tidak berkemampuan untuk mengalahkan Nyo Yan, tapi Nyo Yan sendiri pun sudah terluka, padahal Kam Bu-wi belum terluka, andaikata Kam Bu- wi bersedia mengorbankan selembar jiwanya, maka bukan berarti dia tak punya harapan untuk mengajak Nyo Yan beradu jiwa.

   Perintah tersebut merupakan suatu perintah yang serius, demi menjaga nama baik perguruan bagaimanapun juga Kam Bu-wi harus menurutinya.

   Apalagi sekarang dia sudah mulai membenci Nyo Yan.

   Sambil membentak keras, Kam Bu-wi menerjang maju, pedang di tangannya menciptakan selapis cahaya bianglala berwarna perak langsung dibacokkan ke tubuh Nyo Yan.

   Dia khawatir tak mampu menyusul Nyo Yan, maka digunakannya jurus serangan yang paling dahsyat dari ilmu pedang Tui-hong-kiam untuk menyerang, dengan jurus serangan tersebut, maka kendatipun jaraknya selisih seratuslangkah namun "pedang terbangnya masih sanggup untuk melukai orang.

   Tapi risikonya, bila pedang itu sudah dilontarkan namun pihak lawan tak sampai terluka, akibatnya jiwa sendirilah yang akan melayang.

   Maka dari itu sewaktu gurunya mengajarkan ilmu tadi kepadanya, berulang kali dia sudah dipesan, bilamana keadaan tidak sangat gawat, jangan sekali-kali mengeluarkan jurus serangan itu, karena jurus ini ibaratnya.

   "Pedang ada orang pun ada, pedang patah orang pun mampus."

   Waktu itu pikiran maupun perasaan Nyo Yan sedang bingung, dia berjalan terus tanpa berpaling, seakan-akan tidak melihat atau pun mendengar.

   Menanti desingan angin tajam sudah mencapai belakang punggungnya, ia baru membalikkan badannya sambil menyentiIkan jari tangannya ke depan.

   "Criiiing."

   Dengan telak sentilan tersebut bersarang di ujung senjata tersebut.

   Seakan-akan punggungnya bermata, sentilan itu dengan tepat sekali menghajar di punggung pedang tersebut.

   Tapi Thian-san-kiam-hoat adalah jurus pedang yang lihay, apalagi serangan itu dilancarkan oleh Kam Bu-wi dengan mengerahkan segenap tenaga dalam yang dimilikinya.

   Memang ancaman itu berhasil disingkirkan tapi sisa tenaganya be-lum melemah, sehingga mata pedang sempat juga meninggalkan sebuah luka terbuka di lambungnya.

   Luka yang dideritanya kali ini jauh lebih parah daripada luka di lengan kirinya, kendati pun tenaga dalam yang dimiliki NyoYan amat sempurna, tak urung dia toh mengaduh juga sambil membungkukkan pinggangnya Luka di hati Nyo Yan jauh lebih parah daripada luka di tubuhnya Ternyata Kam Bu-wi yang bermaksud baik terhadapnya pun telah melancarkan serangan yang begitu keji.

   "Mungkinkah aku adalah seorang manusia yang amat berdosa sekali?"

   Dalam waktu singkat rasa rendah diri dan rasa bencinya yang membara di dalam dada kian lama kian bertambah hebat "Binatang cilik, aku akan beradu jiwa denganmu!"

   Bentak Kam Bu-wi dengan suara keras.

   Sambil menubruk ke depan dia langsung menghantam tubuh Nyo Yan.

   Nyo Yan merasa sedih juga mendongkol, tapi setelah menyaksikan seluruh wajah Kam Bu-wi diliputi oleh otot-otot hijau yang menonjol keluar serta keadaannya yang sangat gelisah, entah mengapa dia pun merasa agak kasihan.

   Luka di atas perutnya terasa makin melilit, sementara kesempatan untuk membubuhi obat luka juga tidak sempat, terpaksa dia menggunakan pertolongan pertama meno-tok dahulu beberapa buah jalan darah di sekitar mulut luka tersebut, cara ini hanya bisa digunakan untuk sementara waktu untuk menghentikan aliran darah.

   Dalam pada itu Kam Bu-wi telah menerjang tiba di sisi tubuhnya.

   "Kam suheng,"

   Dengan suara pecah Nyo Yan berkata.

   "benarkah kau hendak merenggut jiwaku?"Kam Bu-wi tertegun, tapi hanya sejenak sangsi, tahu-tahu sebuah pukulan telah dilontarkannya kembali ke depan. Sepasang mata Nyo Yan merah membara, telapak tangan kirinya diayunkan ke depan sementara tangan kanannya melepaskan cengkeraman.

   "Duuuuk!"

   Dada Nyo Yan kena terhantam telak, tapi tulang pi-pa-kut Kam Bu-wi juga kena dicengkeram. Begitu tulang pi-pa-kut tercengkeram, Kam Bu-wi tak sanggup mengerahkan tenaga dalamnya lagi.

   "Maaf Kam suheng, aku tak bisa membiarkan ilmu silatku kau punahkan!"

   Ucap Nyo Yan.

   Dalam detik itu juga, Kam Bu-wi segera merasakan timbulnya hawa dingin yang mencekam perasaannya, menyelimuti seluruh dada.

   Ia pernah mengatakan hendak memunahkan ilmu silat Nyo Yan, dan sekarang Nyo Yan berkata begitu pula, bukankah itu berarti dia bermaksud untuk memunahkan ilmu silatnya? "Siluman cilik, kau bunuhlah aku,..;"

   Belum habis dia berkata, tampak Nyo Yan dengan mata melotot telah menotok ke arah jalan darah Tay-yang-hiat-nya.

   Kam Bu-wi telah memejamkan mata untuk menunggu kematian, tiba-tiba sekujur badannya lemas dan kesemutan, ketika Nyo Yan mengendorkan tangannya, ia segera terjatuh ke tanah dan tak mampu merangkak bangun lagi.

   Ternyata barusan Nyo Yan cuma bermaksud untuk menakut-nakuti dirinya saja dan sama sekali tidak menotok jalan darah kematiannya, melainkan jalan darah lemasnya yang d i totok.Nyo Yan segera berpaling dan berjalan mendekati Ciok Thiang-hing.

   Luka dalam yang diderita Ciok Thiang-hing jauh lebih parah daripada luka yang diderita Nyo Yan, walaupun dia membawa obat luka luar serta pil Pek-leng-wan, tapi obat luka luar hanya bisa dipakai untuk menyembuhkan luka di kulit, sedang Pek- leng-wan lebih manjur untuk memunahkan racun, untuk menyembuhkan luka dalam, kemanjurannya sangat berkurang, ditambah pula sekarang sudah tak bertenaga untuk mengeluarkan obat tersebut Keadaannya ketika itu benar-benar amat lemah, tapi ketika melihat Nyo Yan berjalan mendekat, entah dari mana datangnya kekuatan.

   Keadaan badan yang sebenarnya amat lemah ternyata menjadi amat segar, ternyata ia mampu untuk mencaci maki lagi, meski suaranya kedengaran agak parau.

   "Binatang cilik, kalau punya kepandaian bunuhlah aku! Kalau tidak, selama aku masih hidup, perbuatan biadabmu itu pasti akan aku bongkar, agar kau dan perempuan rendah itu."

   Ia tahu kalau Nyo Yan paling takut jika orang lain memaki Leng Ping-ji, maka walaupun dia tak ingin mencerca Leng Ping-ji, tak urung toh bersama Nyo Yan dimaki habis-habisan.

   Taruna Pendekar Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Sekarang, dia sudah tak mampu untuk menahan rasa sakit dalam isi perutnya lagi, dia ingin mencari suatu penyelesaian yang cepat, dia ingin Nyo Yan bisa membunuhnya dalam sekali tusukan.

   Baru saja dia akan memaki lagi, terdengar Nyo Yan telah berkata lagi dengan suara dingin.

   "Bila kau memaki lagi, pertama-tama aku akan menamparmu tujuh delapanbelas kali,lalu memotong lidahmu! Heeehh heeehh heeehh kau ingin mampus bukan? Aku justru mempunyai cara untuk menyuruhmu mati tak bisa hidup pun susah!"

   Ancaman tersebut ternyata jauh lebih manjur daripada ancaman yang mana pun juga, kontan Ciok Thiang-hing menutup mulutnya rapat-rapat dan tak berani memaki lagi.

   Dia adalah murid pertama dari empat murid utama Thian- san-pay, seandainya mukanya benar-benar kena ditampar, bisa jadi dia akan ditertawakan orang.

   Penghinaan ditampar saja tak mampu ditahan, apalagi menerima penghinaan karena lidahnya dipotong, ia menutup mulutnya rapat-rapat, tapi Nyo Yan justru memaksanya untuk membuka mulut Dengan suatu gerakan cepat Nyo Yan mencengkeram dagunya lalu menjepitnya keras-keras, tanpa terasa Ciok Thiang-hing membuka mulurnya lebar-lebar.

   Dia mengira Nyo Yan benar-benar hendak memotong lidahnya, hampir saja ia menjadi pingsan saking kagetnya, siapa tahu Nyo Yan cuma menjejalkan sebutir pil ke dalam mulutnya.

   Ternyata walaupun Nyo Yan membencinya, dia pun tak ingin membiarkannya mati.

   Maka dia memaksa Ciok Thiang- hing untuk menelan pil tersebut, pil itu merupakan pil mestika pemberian "yaya"

   Nya, khasiatnya untuk menyembuhkan luka dalam dan tidak berada di bawah khasiat Siau-huan-wan dari Siau-lim-si.

   "Ciok Thiang-hing, pulanglah dan rawat lukamu baik-baik, setahun lagi kesehatanmu akan sembuh kembali. Aku melukaimu, juga menolong jiwamu, bila kau hendak membalas dendam, itu urusanmu sendiri, aku yakin tindakanku ini cukupmemberi muka untukmu. Kau adalah tianglo dari Thian-san- pay, kau hendak mengusirku dari perguruan, aku pun tak akan menjadi muridnya Thian-san-pay. Setelah aku bukan anggota Thian-san-pay, maka kata-kata seperti "hendak membersihkan perguruan"

   Dan lain sebagai nya sudah tidak cocok lagi untuk kau pakai terhadap diriku. Pokoknya mulai hari ini hubungan saudara perguruan sudah terhapus sama sekali!"

   Dengan lantang dan suara keras dia mengutarakan kemengkalan di dalam hatinya, kemudian tanpa banyak membuang waktu dia membalikkan badan dan berlalu.

   Oleh karena terlalu banyak perkataan yang diucapkan, tenaganya berkurang banyak, perutnya juga semakin sakit Darah segar kembali bercucuran dengan derasnya.

   Ia menelan sebutir pil mestika, tapi luka di perutnya adalah luka luar, yang dibutuhkan adalah obat luka luar yang baik.

   Dia tahu dalam saku Ciok Thiang-hing pasti terdapat obat luka luar; dia pun tahu obat luka luar dari Thian-san-pay jauh lebih baik daripada obat luar dari yaya-nya Tapi dia yang tinggi hati tentu saja enggan untuk mengambil obat luka luar milik Ciok Thiang-hing.

   Maka sesudah menjejalkan sebutir pil ke dalam mulut Ciok Thiang- hing, dia segera membalikkan badan dan berlalu dari situ.

   Sekeliling tempat itu sunyi senyap tak tampak sesosok bayangan manusia pun, musim dingin telah tiba, dalam keadaan seperti ini jangankan manusia, binatang pun segan datang ke situ, jadi dia pun tak usah mengkhawatirkan kesela- matan kedua orang itu lagi.

   Kendatipun luka dalam yang diderita Ciok Thiang-hing cukup parah, tapi tenaga untuk melawan hawa dingin pasti masih dimilikinyaTotokan yang dipakai untuk menotok jalan darah Kam Bu- wi pun bukan totokan berat Menurut perhitungannya satu jam kemudian totokan tersebut akan bebas dengan sendirinya Bila totokan Kam Bu-wi sudah bebas, maka dia mampu melindungi Ciok Thiang-hing.

   Atau dengan perkataan lain, walaupun ada mara-bahaya, hanya akan terjadi selama satu jam yang pertama Kini, dia sudah tidak berhasrat lagi untuk memikirkan soal keselamatan kedua orang tokoh Thian-san-pay itu lagi.

   Yang paling dikhawatirkan olehnya sekarang adalah Leng Ping-ji.

   Marabahaya apakah yang bakal dialami Leng Ping-ji? Sulit untuk diduga olehnya Pikiran maupun perasaannya terasa amat kalut, tanpa terasa pikirnya setelah tertawa getir.

   "Hanya memotong lidah Ciok Cing-swan saja sudah mengakitbatkan terjadinya keonaran seperti ini, sekarang aku telah menghajar pula ayahnya tianglo Thian-san-pay hingga terlu-ka parah, mungkin segenap anggota Thian-san-pay tak akan melepaskan diriku lagi. Cuma bagaimanapun juga aku toh sudah tak ingin lagi menjadi murid Thian-san-pay lagi, aku pun tak akan pulang ke Thian-san lagi. Kecuali mereka benar-benar mampu untuk membunuhku, kalau tidak mau ribut seperti apa pun, hal itu tiada sangkut pautnya denganku. Tapi keadaan enci Peng jauh berbeda dengan aku, bagaimanapun juga dia toh harus pulang juga, karena dia masih ingin menjadi murid Thian-san-pay. Ciok Thiang-hing dan putranya enggan melepaskan aku, tentu saja tak akan melepaskan dia pula Bila enci Peng sampai pulang ke Thian- san, niscaya dia akan mengalami banyak siksaan dan penderitaan di tangan mereka."Nyo Yan merasakan pikirannya amat kalut, dia mulai merasa agak menyesal mengapa membiarkan Leng Ping-ji meninggalkannya, dia pun merasa tidak seharusnya meng- angkat sumpah dan berjanji tak akan berjumpa selama tujuh tahun. Dia tidak tahu Leng Ping-ji telah pergi ke mana, dia hanya merasa bahwa tempat paling aman bagi Leng Ping-ji adalah berada di sisinya Dia tidak menyangka Leng Ping-ji pergi ke induk pasukan pembela bangsa (atau mungkin karena Beng Goan-cau adalah komandan pasukan patriot pembela bangsa, maka dalam pemikirannya sama sekali tak ingin membayangkan kalau enci Peng-nya bakal ke situ) dia hanya percaya dengan kekuatan sendiri.

   "Aaaai, kecuali aku di dunia ini, siapa lagi yang dapat melindungi keselamatan enci Peng?"

   Tanpa terasa tengah hari sudah tiba cahaya matahari memancarkan sinarnya dan memantul ketika menimpa permukaan salju yang putih, sayang sinar matahari tak sanggup mencairkan salju yang tebal.

   Entah dikarenakan kabut hitam dalam benaknya belum buyar, cahaya sinar matahari di tengah padang salju pun terasa dingin Terbayang keadaan Leng Ping-ji yang sangat berbahaya tanpa terasa Nyo Yan bersin berulang kali.

   Sekarang dia telah berjalan melalui padang rumput dan menuju ke bukit Sementara pelbagai ingatan masih berkecamuk dalam benaknya tiba-tiba terdengar suara derap kuda bergema datang, tampaknya yang datang bukan hanya seekor sajaNyo Yan khawatir yang datang adalah anak murid Thian- san-pay hingga terjadi lagi gelombang kekalutan.

   Dalam keadaan terluka parah ia sudah tak mampu bertarung lagi.

   Sekalipun masih ada sisa tenaga pun dia tak ingin bertarung lagi dengan sesama anggota perguruan, buru-buru dia menyembunyikan diri.

   Baru saja dia menyembunyikan diri, dari balik padang rumput yang dilapisi salju tampak muncul empat orang penunggang kuda.

   Ia mengenali salah seorang di antaranya adalah Ting Tiau- bing, Ting Tiau-bing adalah orang kedua dari antara empat murid utama partai Thian-san.

   Berbicara soal tenaga dalam, mungkin dia masih kalah dibandingkan Ciok Thiang-h ing, tapi soal ilmu pedang, dia masih jauh di atas Ciok Thiang-hing.

   Diam-diam Nyo Yan merasa terperanjat, pikirnya.

   "Untung saja aku cepat tahu gelagat, kalau tidak, cukup Ting suheng seorang, sekarang aku sudah bukan tandingannya lagi. Tapi entah siapakah tiga orang lainnya? Apakah mereka juga anggota perguruan? Siapakah mereka?"

   Belum habis ingatan tersebut melintas lewat, mendadak terdengar Ting Tiau-bing berseru tertahan.

   "Ah, coba kalian lihat, di atas permukaan salju ada noda darah?"

   Nyo Yan segera merasakan jan-ngnya berdebar keras, dia khawatir kalau mereka mengikuti noda darah itu sehingga menemukan jejaknya. Seseorang segera menyahut sambil tertawa.

   "Mungkin darah binatang yang berceceran di situ. Dalam musim salju begini, mustahil ada orang yang melakukan perjalanan di permukaan salju. Sekarang, kita kebetulan masih ada urusanmungkin tak ada waktu lagi untuk menyelidiki persoalan ini sampai tuntas, Ting susiok bagaimana menurut pendapatmu?"

   Orang ini adalah salah seorang yang termuda di antara ketiga orang itu, tampaknya dia belum berusia tigapuluh tahun.

   Kalau dibilang memang sungguh mengherankan, walaupun Nyo Yan belum sempat melihat jelas raut wajahnya, tapi dia merasa secara lamat-lamat mereka mempunyai suatu kemiripan, hanya saja walaupun sudah dipikirkan sekian lama dia masih belum dapat mengingat-ingat siapa gerangan orang itu.

   "Heran, dia menyebut Ting Tiau-bing sebagai susiok, seharusnya dia adalah anggota perguruan Thian-san-pay, tapi mengapa aku tidak kenal dengannya? Atau mungkin setelah aku pergi ada salah seorang suheng telah menerima murid baru lagi?"

   Demikian Nyo Yan berpikir.

   "Aku bukan ingin mencampuri urusan orang lain,"

   Terdengar Ting Tiau-bing menjawab.

   "hanya urusannya sedikit aneh, apa yang kau katakan memang benar, masalah besar jauh lebih penting, sekalipun benar ada orang yang terluka, kita juga tak ada waktu untuk mencarinya."

   Sebetulnya orang muda itu mengira darah itu adalah darah binatang, tapi setelah mendengar perkataan dari Ting Tiau- bing tersebut, sedikit banyak timbul juga perasaan tak tenang, maka setelah hening sejenak kembali dia berkata, Ting susiok, menolong selembar nyawa berarti menebus dosa-dosa kita tujuh tingkat, andaikata benar-benar ada yang terluka, apa salahnya kalau kita menunda perjalanan sebentar saja?"

   "Aku toh tidak mengatakan pasti darah ini adalah darah manusia, apalagi di tengah padang salju yang begini dingin,sekalipun ada yang terluka, tidak seharusnya ia bisa berjalan jauh, sudah pasti dia telah roboh di sekitar tempat ini. Tapi sejauh mata kita memandang, tidak tampak jejak Sesosok manusia pun. Oleh karena itu sekalipun ada orang yang terluka, aku duga orang ini pastilah seseorang yang berilmu silat sangat tinggi dan tak perlu perawatan kita lagi, apalagi mungkin saja dia telah pergi jauh. Kalau tidak begitu, dia tentu sudah mati dan mayatnya tertimbun salju.

   "Menurut pendapatku, kemungkinan memang demikian,"

   Orang ketiga turut berbicara.

   "Di tengah padang salju yang begini dingin, entah manusia atau binatang, kecuali kalau dia baru saja terluka, kalau tidak rasanya lebih banyak bahaya daripada rejeki. Tapi kalau orang itu baru terluka, di tengah padang salju yang datar dan luas ini kita dapat memandang sampai jauh, mengapa tidak tampak sesosok bayangan manusia pun? Oleh karena itu, tidak peduli kemungkinan manakah yang bakal kita jumpai, kalau kita mencari jejak si korban tersebut sudah pasti banyak waktu yang akan terbuang percuma, maka dari itu aku rasa lebih baik kita segera pergi saja"

   Nyo Yan mendengar pembicaraan tersebut sampai di situ, lalu terdengar suara cambuk diayunkan orang dan keempat orang itu segera melanjutkan perjalanannya kembali.

   Tak selang berapa saat kemudian bayangan tubuh mereka sudah lenyap dari pandangan mata Walaupun dalam pembicaraan Ting Tiau-bing tak berani menyimpulkan kalau darah tersebut adalah darah manusia, namun dalam hati kecilnya sembilanpuluh persen dia menarah curiga kalau darah tersebut adalah darah manusia Si anak muda itu sendiri meski pernah berpengalaman tiga kali hidup di luar perbatasan, namun pengalamannya toh takbisa mengalahkan pengalaman dari Ting Tiau-bing, Dia hanya tahu satu, tak tahu lainnya Dia hanya tahu kalau di musim dingin begini tak mungkin ada orang melakukan perjalanan di padang salju, sedang Ting Tiau-bing lebih tahu kalau binatang pun lebih-lebih tak akan turun gunung.

   Walaupun demikian, kedua kemungkinan yang diucapkannya itu bukannya bermaksud untuk membohongi si anak muda itu, kecuali si korban berilmu silat amat Khay, kalau tidak memang kecil sekali harapannya bisa hidup lebih jauh.

   Pemuda itu sebenarnya mempunyai persoalan amat penting yang harus diselesaikan, maka dia baru muncul di wilayah Sinkiang, maka dari itu dia pun enggan mencampuri urusan orang lain.

   Begitulah, menanti Nyo Yan menyaksikan bayangan punggung dari Ting Tiau-bing sekalian sudah lenyap dari pandangan mata, dia baru menghembuskan napas lega.

   Setelah melakukan perjalanan sekian jauh, dia merasa luka yang dideritanya perlu mendapat perawatan lebih dulu.

   Sambil menghimpun tenaga dia pun naik ke atas pohon, mencari sebatang pohon "Tay-kim-siu".

   Pohon semacam ini merupakan pohon istimewa di luar perbatasan, daunnya lebar dan rimbun, empat musim selalu berada dalam keadaan hijau dan permai, selain bisa dipakai untuk berteduh juga bisa dipakai untuk beristirahat.

   Bagi Nyo Yan yang teriuka, pohon semacam ini merupakan tempat yang paling cocok untuk merawat lukanya.

   Sekarang ia sudah amat lelah sekali sehingga kehabisan tenaga, sehabis membubuhi lukanya dengan obat luar, dia pun menjatuhkan diri untuk tidur.Tak selang berapa saat kemudian dia sudah tertidur dengan sangat nyenyaknya.

   Di sini Nyo Yan bisa tidur dengan nyenyak, tapi mimpi pun dia tak menyangka kalau pada saat yang bersamaan di pihak lain orang asing yang serasa pernah dikenalnya itu sedang mengalami suatu kejadian yang membuatnya serba salah, gara-gara ulahnya dia sedang merasakan kaget dan khawatir bagi keselamatan jiwanya.

   Tapi dia pun mau tak mau terpaksa harus menyatakan kesediaannya untuk menangkap dirinya.

   Penghinaan yang tak Terlupakan Setelah dipaksa Nyo Yan untuk menelan sebutir pil, pada mulanya Ciok Thiang-hing mengira racun.

   Tak selang berapa saat kemudian, dia merasa dari dalam pusarnya muncul segulung hawa panas yang menyebar ke seluruh bagian tubuh, selain rasa sakitnya berkurang, se- mangatnya pun menjadi pulih kembali.

   Sekarang dia baru percaya kalau pil tersebut kemujarabannya betul-betul melebihi kemujaraban pil Siau- huan-wan dari kuil Siau-lim-si.

   "Walaupun dalam pandangan mata bocah keparat itu sudah tidak mengakuinya sebagai suheng lagi, toh mendingan ia tak berani melakukan pembantaian sampai ke akar-akarnya! Cuma kalau dia ingin menggunakan budinya yang kecil ini untuk kuberterima kasih kepadanya, hm jangan mimpi di siang hari bolong!"

   Demikian dia berpikir.

   Padahal budi tersebut sesungguhnya tak bisa dianggap sebagai budi kecil, seandainya tiada pil tersebut, dengan lukadalam Ciok Thiang-hing yang begitu parah, sekalipun tidak mati tubuhnya pun akan menjadi setengah lumpuh.

   Tapi luka parah yang dideritanya itu pun merupakan pemberian dari Nyo Yan, penghinaan yang diterima putranya, penghinaan yang diterima dirinya, kesemuanya itu mana mungkin bisa ditebus hanya dengan pemberian sebutir obat belaka? Dengan tenaga dalam yang dimiliki Kam Bu-wi, sebenarnya dalam satu jam saja dia sudah dapat menembus totokan jalan darahnya dan membebaskan diri.

   Tapi setelah di sampingnya berbaring seorang su-heng-nya yang mati hidupnya tidak diketahui, sedikit banyak perasaannya menjadi kalut pula, dalam keadaan seperti ini mana mungkin dia bisa memusatkan pikirannya untuk mengerahkan tenaga dalam.

   Akan tetapi, walaupun jalan darah itu belum berhasil dibebaskan, dia sudah bisa buka suara untuk bercakap-cakap.

   Tiba-tiba dia menyaksikan su-heng-nya mulai menggerakkan tubuh dan membuka mata, kemudian merintih pelan.

   Ternyata Ciok Thiang-hing sedang mencoba apakah bisa merangkak bangun atau tidak.

   Dengan perasaan terkejut buru-buru Kam Bu-wi bertanya.

   "Suheng mengapa kau?"

   Ketika Nyo Yan memaksa Ciok Thiang-hing menelan pil, jalan darahnya sudah ditotok lebih dulu, maka dia tidak tahu kalau suheng-nya telah diberi pil berkhasiat luar biasa.

   Ciok Thiang-hing merasa agak terkejut juga melihat rekannya dapat bersuara, kemudian dengan gemas iamenjawab.

   "Tak bakal mampus! Apakan jalan darahmu sudah berhasil dibebaskan?"

   "Belum dapat kubebaskan, cuma sudah hampir. Tampaknya bocah itu masih cukup berbelas kasihan, dia tidak menotokku dengan totokan yang berat"

   "Hrnm, bocah keparat, itu bermaksud menggunakan budi yang kecil untuk mendapatkan pengampunan dari kita,"

   Seru Ciok Thiang-hing dengan amat gusar.

   "Hmmm. hmrnm aku tak nanti akan mengampuninya, jika kau hendak menerima bodi kebaikannya, itu urusanmu sendiri!"

   "Suheng, harap kau jangan salah paham,"

   Buru-buru Kam Bu-wi berkata.

   "sejak partai Thian-san-pay didirikan pada seratus tahun berselang, selamanya anggota perguruan kita adalah pendekar-pendekar besar dan belum pernah menjumpai murid murtad seperti dia, jangankan hari ini kita sudah menerima penghinaan yang amat besar, sekalipun dia tidak menotok jalan darahku, aku pun tak dapat mengampuni dirinya!"

   Sekulum senyuman menghiasi bibir CiokThiang-hing setelah mendengar ucapan tersebut, katanya.

   "Baik, kalau begitu kau kerahkan tenaga dalammu untuk membebaskan diri dari pengaruh totokan!"

   "Suheng, apakah kau sudah rada baikan?"

   Dengan perasaan tak tenang Kam Bu-wi bertanya lagi.

   "Sudah agak baikan. Cuma paling tidak dalam tiga hari mendatang aku belum bisa bergerak sendiri. Sebelum lukaku sembuh, terpaksa aku harus menggantungkan diri pada perawatanmu. Mengapa engkau tidak segera membebaskan diri dari pengaruh totokan?"Dengan perasaan lega Kam Bu-wi segera memuji.

   "Tenaga dalam yang suheng miliki benar-benar luar biasa sekali, coba kalau siaute yang menderita luka dalam separah ini, sudah pasti aku telah mati, mana mungkin kekuatanku bisa pulih kembali secepat ini?"

   Merah padam selembar wajah Ciok Thiang-hing.

   "Walaupun di padang salju dalam musim seperti ini jarang didatangi manusia, kita pun harus waspada menghadapi segala hal yang tidak diinginkan. Apalagi aku masih membutuhkan perawatanmu untuk mengantarku pulang ke Thian-san, tak usah banyak berbicara Jagi, cepat bebaskan pengaruh totokanmu."

   Mereka mengira dalam musim dingin separah ini tak mungkin ada orang yang muncul di situ, siapa tahu belum habis perkataan itu diselesaikan, mendadak terdengar suara derap kaki kuda yang ramai berkumandang datang.

   Dengan perasaan terkejut Kam Bu-wi segera berseru.

   "Yang datang seluruhnya berjumlah empat orang, entah siapakah mereka?"

   Tfba-tiba Ciok Thiang-hing teringat akan seseorang, rasa terkejut yang mencekam perasaannya benar-benar tak terlukiskan dengan kata-kata.

   Rupanya dia teringat akan Lak- jiu-Koan-im Nyo toakoh beserta kedua orang keponakan muridnya, dengan cepat dia berkata.

   "Jangan-jangan Nyo Yan si binatang cilik ini telah berjumpa dengan bibinya? Lak-jiu- Koan-im adalah seorang yang berpengalaman, bila ia men- dengar peristiwa itu dari Nyo Yan, sekalipun Nyo Yan tak ingin membunuhku, demi melindungi keponakannya, perempuan itu pasti akan mengajak Nyo Yan datang lagi kemari untuk menghilangkan bibit bencana di kemudian hari."Bagaimanakah caranya menghilangkan bibit bencana di kemudian hari? Tentu saja dengan jalan membunuh korbannya. Padahal sekarang dia sedang terluka parah, sedangkan totokan Kam Bu-wi belum berhasil dilepaskan, mau kabur pun tak mungkin bisa kabur lagi. Sementara perasaan khawatir menyelimuti perasaannya, keempat penunggang kuda itu sudah tiba di kaki bukit dan saling bertukar pandangan. Terkejut dan girang segera menyelimuti perasaan Kam Bu- wi, sambil berseru tertahan teriaknya keras-keras.

   "Ting suheng, rupanya kau!"

   Ting Tiau-bing lebih terperanjat lagi, serunya.

   "Yang berbaring di sisimu apakah Ciok suheng? Se sebenarnya apa yang telah terjadi?"

   Oleh karena dia berada di atas kuda maka keadaan di situ tak sempat dilihat dengan jelas, tapi dia mengetahui kalau orang yang berbaring di atas tanah itu sedang menderita luka yang amat parah.

   Dia adalah seorang ahli silat, .setelah berjumpa dengan Kam Bu-wi dan menyaksikan ia hanya duduk belaka tanpa bergerak, dengan cepat diketahui olehnya kalau jalan darah Kam Bu-wi telah ditotok orang Buru-buru dia melompat turun dari kudanya dan siap untuk membebaskan totokan sute-nya, namun pemuda itu jauh lebih cepat daripadanya, tahu-tahu dia sudah berebut di depan dan membebaskan totokan Kam Bu-wi.

   Ting Tiau-bing yang menyaksikan gerakan tubuhnya itu diam-diam merasa kagum bercampur malu sendiri, pikirnya,"Coba kalau berganti aku, paling tidak sepeminuman teh kemudian totokan jalan darah itu baru bisa kubebaskan."

   Sejak tadi Kam Bu-wi hanya memperhatikan suheng-nya saja tanpa menaruh perhatian terhadap pemuda ini, sekarang setelah mengetahui siapa gerangan dirinya, kontan saja paras mukanya berubah hebat dan untuk sesaat dia berdiri termangu.

   Ternyata pemuda itu tak lain adalah Beng Hoa, kakak Nyo Yan.

   Kiranya Ting Tiau-bing mendapat perintah dari ciangbun- sute-nya untuk berangkat ke Jik-tat-bok mewartakan berita duka, saat itu dia bersama Beng Hoa dan dua orang komandan pasukan pembela bangsa.

   Di antara empat murid utama Thian-san-pay, Ting Tiau- bing-lah yang mempunyai hubungan paling dalam dengan patriot pembela bangsa, dia pun teman karib Beng Goan- cau, itulah sebabnya Teng Ka-gwan mengutusnya ke situ.

   


Pendekar Binal -- Khu Lung Lentera Maut -- Khu Lung Amarah Pedang Bunga Iblis -- Gu Long

Cari Blog Ini