Ceritasilat Novel Online

Taruna Pendekar 13


Taruna Pendekar Karya Liang Ie Shen Bagian 13



Taruna Pendekar Karya dari Liang Ie Shen

   

   Belum sempat dia memberi petunjuk, tampak Liong Lcng-cu sudah melejit ke udara, melompat jauh lebih tinggi daripada Ting Tiau-bing.

   Melihat itu, Nyo Yan sadar, segera pikirnya.

   "Ah, betul! Aku lupa kalau ilmu meringankan tubuh yang dimilikinya jauh lebih hebat daripada ilmu meringankan tubuh Ting susiok."

   Berpikir sampai di situ, tanpa berpikir panjang lagi dia segera mengemukakan nama jurus serangannya.

   "Sam-huan Tbh-gwat"

   Baru saja dia mengucapkan dua patah kata yang pertama, cambuk lemas Liong Lcng-cu telah digetarkan membentuk lima lingkaran cahaya yang mengurung pedang Ting Tiau- bing.

   Jurus serangan yang dipergu nakan Liong Lcng-cu tak lain adalah jurus Sam-huan-tau-gwat (Tiga Gelang Mengurung Rembulan).

   Setelah mendapat petunjuk berulang kali, Liong Leng-cu bertindak lebih leluasa lagi, dia dapat berubah jurus tanpa diberi petunjuk, seakan-akan di antara mereka ada hubungan batin yang kuat.

   "Tass!"

   Cambuk lemas Liong Leng-cu putus sebagian, tapi pedang Ting Tiau-bing juga kena dihajar sampai mencelat dari genggaman.

   Dengan satu gerakan yang cepat pedang lemas Liong Leng- cu segera digetarkan, sehingga lurus dan kaku, cahayapedangnya bagaikan bintang di tengah kegelapan, memancar ke empat penjuru amat menyilaukan mata.

   "Jangan, jangan."

   Belum sempat Nyo Yan meneriakkan kata "lukai dia", Ting Tiau-bing telah roboh terkapar ke atas tanah. Sambil tertawa Liong Leng-cu segera berseru.

   "Buat apa kau mesti terburu nafsu? Dia telah menotok delapanbelas buah jalan darahmu, dan sekarang aku hanya menotok sembilan buah jalan darahnya, ini sudah terhitung cukup berbelas kasihan. Ting Tiau-bing tenaga dalammu sangat baik, tak mungkin kau akan mati kedinginan, baik-baiklah berbaring selama dua belas jam di atas permukaan salju!"

   Padahal dia sendiri pun tidak memiliki kemampuan untuk menusuk delapanbelas buah jalan darah Ting Tiau-bing dalam satu gebrakan tapi sekali tusuk bisa menotok sembilan buah jalan darah, hal itu sudah cukup membuat Nyo Yan merasa kagum sekali.

   Walaupun lengan kiri Ting Tiau-bing masih bisa berputar namun tubuhnya tak mampu berjeutik dan mulurnya tidak dapat berbicara lagi.

   Kiranya Liong Leng-cu sengaja tidak menotok jalan darah pada lengan kirinya agar bila diserang binatang buas dia masih bisa bertahan dengan sebelah tangannya.

   Nyo Yan menghembuskan nafas lega setelah menyaksikan semua itu, ia lantas berpikir.

   "Walaupun cara kerja siluman perempuan cilik ini amat sesat, tapi dia cukup memahami jalan pikiranku yang bermaksud untuk melindungi Ting susiok. Sehingga mengatur segala sesuatunya secara sempurna. Mungkin dia pun menotok jalan darah Siau Hok-nian dengan cara yang sama pula."Sementara itu Liong Leng-cu sudah melompat naik kereta dan berkata sambil tertawa.

   "Biarlah aku menjadi kusir keretamu untuk sementara waktui"

   Agaknya ilmu mengemudikan kereta yang dimilikinya masih lebih bagus bila dibandingkan dengan kepandaian Siau Hok- nian, sekalipun melalui jalan perbukitan yang curam namun kereta kuda itu masih bisa berlarian dengan kencang.

   Selang sepeminuman teh kemudian, kereta tersebut sudah tiba di bawah lembah yang datar dengan selamat, saat itulah dia baru menghentikan lari kudanya.

   Pada waktu itulah Nyo Yan baru mempunyai kesempatan untuk berbincang-bincang dengannya, ia berseru.

   "Nona Liong, terima kasih atas kesediaanmu untuk menganggap aku sebagai sahabatmu."

   Tempo hari, ketika Liong Leng-cu berpisah dengannya, dia pernah berkata tak ingin berjumpa lagi dengan pemuda tersebut. Liong Leng-cu segera menyahut dengan hambar.

   "Itu kan cuma dugaanmu belaka, aku tak pernah berkata demikian."

   "Kalau memang begitu mengapa kau datang membantu aku? Padahal tempo hari, aku hanya ingin melakukan perjalanan bersamamu saja kau melarang."

   "Kau anggap aku datang karena dirimu?"

   "Lantas kau datang karena apa?"

   "Kau lupa kalau aku mempunyai suatu kegemaran yang terhitung aneh, yaitu aku suka mencari orang kenamaan dari dunia persilatan untuk diajak beradu kepandaian.""Benarkah kau hanya ingin mencari Ting Tiau-bing untuk mencoba kepandaian dan sebelumnya tidak tahu dia membawaku?"

   "Bukan cuma tahu Ting Tiau-bing hendak membawamu pergi ke Jik-tat-bok, bahkan aku pun tahu siapa yang telah membekukmu. Berbicara terus terang, pada mulanya aku pun tidak bermaksud untuk mencari Ting Tiau-bing guna beradu kepandaian."

   "Dari mana kau bisa mengetahui hal ini?"

   "Sewaktu kau dibekuk oleh Beng Hoa, kebetulan aku bersembunyi di belakang sebuah batu besar, untung saja ia tidak mengetahui jejakku. Nyo Yan, sungguh tak kusangka cngkoh-mu adalah seorang jago pedang yang tiada keduanya di dunia ini, mengapa kau enggan untuk mengakuinya?"

   "Dia bukan kakakku. Alasan di balik kesemuanya itu tak mungkin bisa aku beritahukan kepadamu!"

   "Setiap orang memang mempunyai kesulitan masing- masing, aku pun tak mau mengakui yaya-ku, kau enggan mengakui kakakmu hal tersebut bukan sesuatu yang aneh. Jika kau memang enggan untuk mengatakannya, ya sudahlah."

   Kemudian setelah berhenti sekejap, dia berkata lebih jauh.

   "Setelah kusaksikan ilmu pedang kakakmu, sadarlah aku kalau ilmu silatku tak mungkin bisa mengalahkan dirinya, sebab itu aku harus berpikir dua kali. Sebaliknya aku pun melihat ilmu pedang Thian-san-kiam-hoat orang she Ting itu lumayan juga, sebab itu aku lantas pergi mencarinya."

   Jadi boleh dibilang kebebasannya kini hanya suatu kebetulan saja. Diam-diam Nyo Yan segera berpikir.

   "Ternyata selama beberapa hari ini secara diam-diam ia selalu menguntitkukalau begitu, sesungguhnya dia sangat mengkhawatirkan nasibku."

   Dalam hati ia merasa gembira sekali, cuma hal tersebut tak sampai diungkapkan.

   "Hei, apa yang kau tertawakan?"

   Mendadak Liong Leng-cu menegur.

   "Tidak apa-apa. Entah bagaimanapun, kau telah membantu aku, hai itu berarti kau adalah tuan penolongku. Aku tak tahu bagaimana mesti membalas budi kebaikanmu itu."

   Perkataan tersebut benar-benar muncul dari hati sanubarinya, sebab ia lebih suka mati daripada menerima "pendidikan"

   Dari Beng Goan-cau.

   "Asal kau sudah tahu, itu lebih baik,"

   Ujar Liong Leng-cu sambil tertawa lebar.

   "Dulu pernah kau membantu aku, dan aku pun pernah membantumu, berarti kita sudah impas dan tidak saling berhutang. Sekarang aku telah membantumu lagi dan budi tersebut tidak mungkin bisa dibikin impas dengan bantuan kecil yang telah kau berikan kepadaku tadi."

   "Budi tak usah dibicarakan, balas tak perlu diumumkan, bila kau membutuhkan bantuanku menyuruh aku terjun ke lautan api pun aku tak bakal menampik!"

   "Bibimu dan susiok-mu memaki aku sebagai siluman perempuan kecil, meski kau tidak mengatakan begitu sekarang, aku tahu dalam hati kecilmu kau pun berpendapat demikian."

   "Kau jangan menuduh yang bukan-bukan,"

   Buru-buru Nyo Yan berseru.

   "Dalam anggapan mereka aku adalah seorang iblis kecil, mana mungkin aku memakimu sebagai siluman perempuan kecil?"Liong Leng-cu tertawa cekikikan.

   "Baiklah, kalau begitu anggap saja kita memang sejenis, sebagai orang yang sejenis, kita boleh bicara blak-blakan tanpa perasaan sangsi lagi."

   "Aku memang ingin mendengarkan perkataanmu.! "Melepaskan budi tanpa mengharapkan pamrih adalah jiwa seorang ksatria."

   "Aku adalah seorang siluman perempuan, tak salah jika aku mengharapkan balas jasa darimu. Cuma selama hidup aku pun amat membedakan antara budi dan dendam, semua aku lakukan secara adil, berapa kau hutang kepadaku, berapa pula kau harus membayar padaku, soal mendaki gunung golok atau terjun ke lautan api sih tak perlu."

   Mendengar perkataan itu, Nyo Yan segera berpikir.

   "Permainan setannya amat banyak, entah kesulitan apa lagi yang dia persiapkan untukku?"

   Berpikir demikian, lantas dia berkata sambil tertawa.

   "Tolong tanya, pembayaran macam apakah yang kau maksudkan sebagai suatu pembayaran yang setimpal?"

   "Aku akan menyuruh kau melakukan suatu pekerjaan, asal kau merasa pekerjaan tersebut setimpal bukankah beres?"

   "Lantas pekerjaan apa yang hendak berikan padaku?"

   "Sekarang belum ada, tunggu saja sampai kutemukan cara tersebut baru akan aku beritahukan padamu."

   "Soal ini, soal ini."

   Nyo Yan agak tak tenang dibuatnya. Liong Leng-cu seperti memahami jalan pemikirannya, sambil tertawa dia pun berkata.

   "Jangan khawatir,, pertama aku takkan menyuruh kau melakukan perbuatan yangmerugikan orang lain, kedua aku tak akan menggunakan kesempatan ini untuk menyiksamu. Kau berhutang budi kepadaku, lain waktu asal kau pun melakukan sesuatu buatku, dan perbuatan tersebut cukup memberi muka padaku, hal itu sudah lebih dari cukup."

   Nyo Yan segera menghembuskan napas panjang.

   "Itu gampang,"

   Ujarnya kemudian.

   "kau sudah membantu aku, sekalipun kau menyuruh aku berlutut di hadapan orang lain, aku bersedia melakukannya."

   Merah padam selembar wajah Liong Leng-cu lantaran jengah.

   "Aah, ngaco belo tak keruan,"

   Omelnya.

   "aku toh bukan kuntilanak atau perempuan iblis, kenapa aku mesti menyuruh orang lelaki berlutut di hadapanku?"

   Nyo Yan tertawa getir.

   "Selama beberapa hari ini aku si orang lelaki benar-benar sedang sial. Cuma terus terang saja kukatakan kepadamu, sekalipun aku dipaksa oleh angkatan tua perguruanku atau kakakku, jangan harap aku akan bertekuk lutut di hadapan mereka?"

   "Wah, kalau begitu kau benar-benar memberi muka untukku,"

   Seru Liong Leng-cu tertawa.

   "Atau, benar! Aku belum sempat bertanya kepadamu, bagaimana dengan keadaan lukamu? Perlukah kubantu menyembuhkan luka tersebut? Ban tuanku kali ini adalah bantuan gratis, jangan khawatir, aku tak bakal menagih bayaran."

   "Lukaku sudah hampir baik. Cuma jalan darahku saja yang belum bebas, mungkin harus menunggu selama tiga jam lagi."Rupanya karena dia harus memecahkan perhatian untuk berbicara, selama ini dia hanya berhasil membebaskan tiga buah jalan darah saja, dengan begitu dia telah membebaskan enam buah jalan darah, berarti masih ada duabelas buah jalan darah yang belum dibebaskan. Dengan kening berkerut Liong Leng-cu lantas berseru.

   "Aku tak sabar untuk menunggu selama tiga jam lagi, biar aku yang membantu usahamu kali ini!"

   "Kali ini kau menuntut pembayaran tidak?"

   Sengaja Nyo Yan bertanya. Liong Leng-cu tertawa "Aku bukan seorang manusia yang sama sekali tak berperasaan, kalau cuma mengeluarkan sedikit tenaga tak usah dibayar."

   Dalam anggapannya membebaskan pengaruh totokan cuma suatu pekerjaan yang gampang, siapa tahu setelah dicoba hasilnya sama sekali di luar dugaan.

   0odwo0 Untuk membebaskan totokan jalan darah di tubuh seseorang, maka tenaga dalam harus berhasil menembusi hambatan pada jalan darah yang bersangkutan, berhubung waktu itu Nyo Yan sedang mengerahkan tenaga dalamnya untuk bergabung dengan tenaga dari luar untuk menembusi hambatan dalam jalan darahnya, kontan saja jari tangan itu terpental balik.

   Bukan saja jalan darah Nyo Yan yang tertotok tak berhasil dibebaskan, jari tangannya seakan tertusuk oleh jarum yang amat tajam sehingga tak ampun lagi dia menjerit kesakitan.Nyo Yan menjadi tak tega, dan katanya.

   "Nona Liong aku lupa memberitahukan satu hal kepadamu sehingga membuat kau sengsara, semua ini merupakan kesalahanku!"

   "Soal apa sih?" Tenaga dalamku bukan ajaran yaya-mu, selama ini aku melatih simhoat tenaga dalam dari Thian-san-pay."

   "Apakah tenaga dalam dari dua aliran yang berbeda akan mengakibatkan terjadinya kekuatan yang saling bertentangan?"

   "Belum tentu, hal tersebut tergantung pada perbedaan yang bagaimanakah itu, di samping harus ditinjau pula dari sempurna atau tidaknya tenaga dalam kedua belah pihak."

   "Oooh, aku mengerti sekarang, berhubung tenaga dalamku jauh tertinggal dibandinganmu, bahkan dengan Ting Tiau-bing pun kalah, maka aku sama sekali tak berdaya untuk membebaskan pengaruh totokan pada tubuhmu."

   Gadis ini dasarnya memang berwatak ingin menang sendiri, tak heran kalau nada pembicaraannya amat kesal dan tak senang hati. Tidak, aku tidak bermaksud demikian,"

   Buru-buru Nyo Yan berseru.

   "masih ada satu cara lagi bila kau ingin membantuku bebas dari pengaruh totokan dalam waktu singkat, tapi kau harus percaya kepadaku."

   Liong Leng-cu menjadi terheran-heran, katanya kemudian.

   "Bila aku membantu membebaskan pengaruh totokanmu, maka hanya kau yang tidak percaya kepadaku, takut ku- manfaatkan kesempatan tersebut untuk mencelakaimu. Masa sebaliknya akulah yang harus mempercayai dirimu?""Sulit dipahami kalau cuma dibicarakan melulu, asal kita coba nanti, kau akan mengerti dengan sendirinya."

   "Aku adalah orang yang gemar akan segala sesuatu yang baru dan aneh, cepat beri tahu, asal kau berani mempercayai aku, aku pun berani untuk melakukan percobaan."

   "Salurkan tenaga dalammu ke dalam telapak tangan, kemudian hantamlah jalan darah Siang-ing-hiat-ku keras- keras."

   Yang dimaksudkan sebagai Siang-ing-hiat adalah jalan darah kematian. Liong Leng-cu merasa amat terperanjat, cepat serunya.

   "Tenaga pukulan telapak tangan jauh lebih keras daripada pukulan jari tangan, bila harus dipukulkan keras-keras, masa kau tahan?"

   "Aku tak akan berbuat bodoh!"

   Ujar Nyo Yan tertawa "Masa kugunakan nyawaku sebagai bahan gurauan? Hantam saja sepenuh tenaga, seandainya menjumpai suatu gejala aneh kau pun tak perlu gugup atau terkejut."

   Dengan perasaan ingin tahu Liong Leng-cu segera menurut petunjuk itu dan menghantamnya keras-keras.

   Baru saja telapak tangannya menyentuh tubuh si anak muda itu, benar juga segera timbul suatu perasaan aneh dari tubuh anak muda itu.

   Liong Leng-cu merasa tenaga dalamnya seperti batu yang tercebur ke dalam samudra luas, sama sekali lenyap tak berbekas, sementara telapak tangannya melekat pada tubuh pemuda itu.

   Liong Leng-cu terkesiap dan segera berpikir di dalam hati.

   "Jangan-jangan Nyo Yan sengaja memasang perangkap iniuntuk menjebakku, kemudian dia hendak menghisap kering seluruh tenaga dalam yang kumiliki?"

   Untung saja kejadian seperti itu hanya berlangsung dalam waktu singkat, belum habis ingatan tersebut melintas lewat, gejala "aneh"

   Lainnya segera berlangsung. Kali ini Nyo Yan telah mengerahkan tenaga dalamnya sendiri menembusi telapak tangannya, bukan saja kekuatan yang "hilang"

   Mendapat gantinya, bahkan seakan-akan bertambah dahsyat.

   Meskipun ilmu silat yang dimiliki Liong Leng-cu tidak seluas Nyo Yan, akan tetapi pengetahuannya tinggi sekali.

   Sesudah tertegun, dengan cepat dia dapat memahami teori tersebut.

   Rupanya tenaga dalam Nyo Yan jauh di atas kekuatannya, tapi lantaran jalan darahnya belum bebas, maka kekuatan tersebut tak bisa dipergunakan.

   Sedang apa yang dikerahkan ke dalam tubuh anak muda tadi, tak lebih hanya suatu tenaga dalam "pancingan"

   Untuk memancing tenaga dalam yang berada di dalam tubuhnya untuk menembusi jalan darahnya yang tertotok, begitu jalan darahnya bebas, otomatis tenaga dalamnya mengalir terbalik. Diam-diam Liong Leng-cu memekik dalam hatinya.

   "Aah sungguh memalukan, aku telah salah menilai dirinya."

   Dengan cepat dia berseru.

   "Nyo toako, tenaga dalammu benar-benar amat luar biasa."

   "Jangan berbicara dulu, cepat lanjutkan usaha kita untuk menembusi jalan darah lain yang masih tertotok,"

   Tukas Nyo Yan cepat.Liong Leng-cu menurut, tak lama kemudian keduabelas buah jalan darah itu sudah berhasil dibebaskan semua.

   Setiap kali dia berhasil membebaskan sebuah jalan darah Nyo Yan, gadis itu segera meraih sebagian keuntungan.

   Sejak bertarung sengit melawan Ting Tiau-bing tadi, sebenarnya dia sudah amat lelah dan hampir saja kehabisan tenaga, tapi sekarang selain tubuhnya menjadi segar, bahkan jauh lebih segar daripada semula.

   Begitu semua jalan darahnya sudah bebas, Nyo Yan segera melompat turun dari kereta kuda dan menarik napas panjang- panjang.

   "Terima kasih banyak atas bantuanmu membebaskan totokan dalam tubuhku sebelum waktunya, setelah berbaring melulu selama beberapa hari di dalam kereta, aku benar-benar merasa kesal sekali."

   
Taruna Pendekar Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Setelah melompat turun dari kereta, dia segera menjerit dan melompat-lompat di atas permukaan salju seperti seorang anak nakal yang baru lolos dari sekapan, seperti juga seorang yang baru lolos dari penjara.

   Sambil tertawa Liong Leng-cu segera berkata.

   "Kali ini kita masing-masing tidak berhutang budi kepada pihak yang lain. Tapi kau mesti berhati-hati,"

   "Hati-hati apa?" Tahukah kau apa yang berada di bawah kakimu itu?"

   "Tanah berlumpur yang dilapisi beberapa lapis salju!"

   "Tidak, di bawahmu adalah sebuah sungai es."

   "Sungguh?""Bila kau tidak percaya, gali dan lihatlah sendiri, menurut perhitunganku asal kau menggali sedalam tiga kaki maka akan kau jumpai salju terapung di atas sungai es, bila kau gali terus lapisan salju terapung itu maka di bawahnya terdapat air, dari lubang itu kau pun bisa mengail ikan."

   Nyo Yan menjadi girang sekali setelah mendengar perkataan itu, serunya dengan cepat.

   "Aku memang sudah jemu makan ransum kering terus-menerus, kalau bisa mencicipi ikan segar memang paling sedap. Baik, kalau memang harus digali akan kugali!"

   Dengan mempergunakan pedangnya dia mulai menggali lapisan salju yang keras itu, tatkala ia menggali hingga kedalaman tiga kaki, betul juga dia menemukan salju yang mengambang dalam lapisan tanah, seperti apa yang dikatakan Liong Leng-cu, ketika lapisan salju yang mengambang itu digali kemudian melemparkan sebutir batu ke dalamnya, segera terdengar suara air.

   Nyo Yan menjadi girang sekali, serunya dengan cepat.

   "Nona Liong, pengetahuanmu benar-benar luar biasa sekali, sungguh membuat aku merasa kagum sekali."

   Saling Mengungkap Asal-Usul "Inginkah kau tahu dari mana aku mempelajari kepandaian tersebut?"

   Tanya Liong Leng-cu.

   "Bila kau bersedia menceritakan kepadaku, tentu saja hal ini merupakan suatu kebetulan bagiku." Tentunya kau masih ingat bukan cerita yang pernah kuceritakan kepadamu tentang ayah ibuku. Ketika aku berusia sebelas tahun, ayah terbunuh oleh musuh, ibu menderita lukaparah dan mengajak aku melarikan diri, waktu ibuku masih berbadan dua. Dalam perjalanan untuk melarikan diri, nasib sial menimpanya, kandungannya gugur hingga menyebabkan tubuhnya menjadi lemah, sejak itu sakitnya tak pernah sembuh kembali. Untuk menghidupi ibuku, aku pernah mengemis, pernah mencuri, pernah pula mempelajari pelbagai cara untuk melanjutkan hidup.

   "Kepandaian menangkap ikan ini kupelajari dari ibuku.

   "Dari Kanglam kami melarikan diri ke gurun utara, ibulah yang menganjurkan kepadaku agar melarikan diri ke utara, sebab ibu adalah gadis yang dibesarkan di bukit bersalju, kabur ke tengah bukit bersalju seperti pulang ke kampung halaman, kesegarannya banyak pulih kembali. Ia memberitahukan kepadaku agar jangan ketakutan oleh suasana hening di sini, sebab di balik padang salju justru terdapat banyak mestika, sandang pangan tak terhitung jum- lahnya. Menangkap ikan dari bawah lapisan salju merupakan salah satu cara yang dia ajarkan kepadaku untuk melanjutkan hidup.

   "Cuma untuk menangkap ikan dari bawah salju pun kalau dibilang gampang ya gampang, tapi kalau dibilang sukar pun ya sukar sekali. Yang sukar adalah untuk menemukan umpan ikan. Di lapisan salju memang terdapat cacing-cacing yang tidur pada musim salju, tapi sukar ditemukan. Seandainya tiada umpan yang berada di atas kail maka sukar pula untuk menemukan ikan. Ada kalanya badan sampai kaku pun belum berhasil mendapat seekor ikan pun. Cuma ikan yang berada di bawah lapisan salju memang lebih gampang dikail ketimbang ikan di sungai, sebab dia tak bisa berenang kian kemari, ada kalanya bila nasib sedang mujur, meski tiada umpan, asal kita turunkan pancing pun bisa jadi akan mendapat seekor ikan yang besar."Sayang sekali walaupun ibuku bisa mengajarkan cara untuk melanjutkan hidup, namun dia sendiri hanya bisa hidup selama dua tahun, tatkala usiaku mencapai tigabelas tahun, dia telah meninggal dunia. Sekarang tentunya kau tidak merasa kagum lagi karena aku memahami kepandaian ini, bukan? Coba kalau aku tidak memahami kepandaian tersebut, mungkin sudah lama aku mati kelaparan."

   "Maaf,"

   Ucap Nyo Yan dengan sepasang mata berkaca-kaca.

   "aku tidak seharusnya membangkitkan kembali kepedihanmu."

   "Aku tak memiliki perasaan sosial atau rasa kasihan yang begitu tebal seperti kau, mungkin hal ini karena aku sudah terlampau lama merasakan hidup menderita, sehingga aku turut menjadi kaku. Cuma lantaran kau menanyakan soal itu kepadaku, aku pun memberitahukan hal ini kepadamu. Seperti menceritakan kisah pengalaman orang lain saja, aku sudah tidak merasa sedih lagi."

   Sekalipun dia berkata demikian, tapi dari balik kekerasan hati yang terpancar dari wajah gadis itu, secara lamat-lamat Nyo Yan dapat merasakan suatu kesedihan dan penderitaan yang sangat mendalam. Nyo Yan menghela napas panjang, katanya kemudian.

   "Kita adalah orang-orang senasib sepende-ritaan, tampaknya kau jauh lebih mujur daripada aku. Terima kasih contoh yang kau berikan kepadaku, asal kau bisa menahannya, aku pun pasti dapat menahannya juga."

   Liong Leng-cu menurunkan pancingnya ke dalam lubang salju itu, lama kemudian dia baru berhasil mengail seekor ikan kecil.

   Sambil tertawa getir segera serunya, "Dasar nasib lagi jelek.

   Aku tahu di bawah situ terdapat banyak ikan, tapi apa mau dibilang kalau pancingnya kurang panjang, ditambah lagi tiada umpan, sulit memang untuk mendapat ikan.""Aku masih mempunyai suatu cara yang bagus untuk menangkap ikan tanpa mempergunakan pancing."

   "Masa ada lain? Aku tidak percaya."

   "Tidak percaya? Akan kubukti-kan!"

   Setelah menggosok-gosok sepasang telapak tangannya dia lantas menekankan telapak tangannya di atas lubang salju itu kemudian menghisapnya keras-keras ke atas.

   "Hei, pertunjukan apakah yang sedang kau lakukan?"

   Liong Leng-cu segera menegur.

   "Lihat sajal Kenapa mesti terburu nafsu? Lihatlah tanpa dipancing pun ikan-ikan akan berdatangan sendiri."

   Sesudah telapak tangannya ditekan ditarik dan ditekan ditarik sampai puluhan kali lebih, mendadak terdengar suara air yang berada di bawah permukaan salju itu bergema makin lama semakin keras, akhirnya bagaikan suara gemuruh guruh yang sangat keras, air menyembur keluar dari lubang salju itu dengan derasnya membawa beberapa ekor ikan besar.

   "Nah, cukup belum?"

   Tanya Nyo Yan kemudian sambil tertawa. Tak kuasa lagi Liong Leng-cu memuji tiada hentinya.

   "Nyo Yan, tenaga dalammu betul-betul amat sempurna, entah sampai kapan aku baru bisa melatih ilmuku hingga mencapai tingkatan seperti apa yang kau miliki."

   "Padahal tenaga dalam yang kau latih tidak lebih jelek daripada tenaga dalamku, cuma alirannya saja yang berbeda. Kalau simhoat tenaga dalammu lebih condong pada sifat merusak hingga sedikit banyak timbul juga akibat sampingan dalam tubuh, maka tenaga dalammu tak bisa memperoleh kemajuan sepesat apa yang kualami. Asal kau mengerti caramelatih Iwekang, bila dasarnya sudah kuat maka kemajuan bisa dicapai dengan cepat."

   Dengan mengucapkan perkataan tersebut, sesungguhnya dia sudah menyatakan kesanggupannya untuk memberi petunjuk tenaga dalam kepadanya, entah Liong Leng-cu memahami maksud hatinya atau tidak, dia cuma membungkam diri dalam seribu bahasa.

   Selang beberapa saat kemudian gadis itu baru berkata.

   "Kau membantuku memancing ikan besar, mari kumasakkan ikan tersebut untukmu."

   Dengan mempergunakan lumpur untuk membungkus ikan segar tersebut, Liong Leng-cu menirukan cara memasak "ayam pengemis"

   Yang merupakan hidangan termasyhur dari wilayah Kanglam, dia masak ikan tadi dengan jalan membakar.

   Tatkala lapisan lumpurnya merekah dan terkupas, daging ikan di dalamnya sudah masak, wangi dan lezatnya bukan kepalang.

   Nyo Yan segera menikmati hidangan tersebut dengan penuh kenikmatan, bahkan memuji tiada hentinya.

   "Nona Liong, ada suatu persoalan aku ingin mohon petunjukmu, bersediakah kau untuk memberi petunjuk kepadaku?"

   Setelah kenyang bersantap tiba-tiba Nyo Yan bertanya.

   "Kau ingin belajar memasak ikan dariku?"

   Tanya Liong Leng- cu sambil tertawa.

   "Bukan, aku ingin belajar ilmu silat darimu."

   Ucapan itu segera membuat Liong Leng-cu tertegun."Rupanya kau sedang mengajakku bergurau,"

   Dia berseru.

   "Bukankah ilmu silatmu lebih baik dari-padaku, masa kau ingin belajar dariku?"

   "Aku berbicara dengan hati yang jujur, ilmu pedangmu, ilmu cambukmu semuanya jurus serangan yang aneh dan luar biasa, aku mengakui tak sanggup memadai dirimu. Sean- dainya kau bersedia memberi petunjuk kepadaku, maka dalam ilmu pedang aku tidak akan takut menderita kekalahan lagi di tangan Beng Hoa."

   Pada dasarnya Liong Leng-cu adalah seorang gadis yang suka mencari menang sendiri, apalagi setelah dipuji, ia merasa bangga bukan kepalang.

   "Ilmu silat itu warisan ayah dan ibuku,"

   Demikian dia menerangkan.

   "semasa masih hidup dulu, ayah pun pernah berkata kalau ilmu pedangnya merupakan aliran tersendiri yang lain daripada yang lain. Dia bilang jika kepandaian tersebut bisa dilatih hingga mencapai puncak kesempurnaan maka pedang hanya ada di hati, bukan di tangan. Mengertikah kau?"

   "Tidak mengerti."

   "Asal pedang berada dalam hatimu, maka benda apa pun yang berada di tanganmu bisa digunakan sebagai pedang, bahkan walaupun di tangan tiada benda apa pun, kau bisa memainkan pedang."

   "Waah tbrlalu hebat kepandaian itu."

   "Padahal hal ini pun tidak terlalu sulit untuk dipahami. Pada mulanya orang harus memahami dulu caranya mengaitkan tenaga keras dan lembut, kemudian mengimbangi jurus serangan yang ringkas menjadi banyak, dan dari banyak diubah menjadi ringkas, setelah itu kau baru melatih diribagaimana menggerakkan pedang bersamaan dengan timbulnya niat"

   "Kalau begitu, kau harus mengajarkan sendiri kepadaku,"

   Ujar Nyo Yan kemudian.

   "Dengan dasar ilmu silat yang kau miliki asal diberi petunjuk sedikit saja niscaya kau akan mengerti. Cuma kalau aku ajarkan ilmu itu kepadamu, berarti aku telah menjadi gurumu, hal ini mana boleh jadi?"

   "Tentu saja aku tidak rela kalau disuruh memanggil dirimu sebagai guru, lagipula aku pun tak bisa menerima pelajaran darimu dengan begitu saja, sebab aku khawatir harus berhutang budi lagi kepadamu, itu sama artinya aku mendapat beban dan kewajiban untuk membayarnya di kemudian hari."

   Tampaknya Liong Leng-cu menangkap sesuatu di balik ucapan tersebut, dia lantas bertanya.

   "Lantas apa yang kau inginkan?"

   "Sesungguhnya aku ingin sekali melatih ilmu pedangmu, bagaimana jika kupakai simhoat tenaga dalamku sebagai bahan barter denganmu? Memang kalau dihitung kau rada rugi, tapi anggap sajalah itu seimbang, mau bukan?"

   Padahal kalau dibicarakan yang sebenarnya, barter semacam ini jauh lebih menguntungkan Liong Leng-cu, sudah barang tentu Liong Leng-cu memahami pula. Dia lantas tertawa.

   "Kau takut aku enggan menerimanya maka kau lantas ingin mempelajari ilmuku lebih dulu? Baiklah, kalau memang kau takut ragi, aku pun dengan senang hati akan mengadakan barter denganmu."Dua hari berikutnya, mereka berdua saling bertukar ilmu silat, dibimbing oleh anak muda tersebut, betul juga Liong Leng-cu segera berhasil membaurkan kedua macam simhoat tenaga dalamnya menjadi suatu kekuatan yang mahadahsyat. Nyo Yan sendiri, sehabis melatih ilmu pedangnya dan melebur ke dalam ilmu pedang Thjan-san-kiam-hoat, dengan cepat dia berhasil menciptakan jurus-jurus baru. Begitulah, setelah Nyo Yan berhasil membawa ilmu silatnya mencapai suatu tingkat tertentu, dengan sengaja tak sengaja dia berkata.

   "Di masa lalu, lantaran dasar kekuatan ilmu silatku belum teguh maka yaya melarangku membaurkan kedua macam simhoat tenaga dalam ini menjadi satu, sekarang aku berhasil memberi petunjuk kepadamu untuk membaurkan kedua macam tenaga dalam tersebut menjadi satu. Sesunguhnya hal ini merupakan penemuanku tersendiri, mungkin saja tak bakal salah, tapi sudah barang tentu jauh ketinggalan bila dibandingkan dengan kelihayan yaya. Andaikata dia memberi petunjuk sendiri kepadamu."

   Belum habis dia berkata, paras muka Liong Leng-cu telah berubah hebat katanya.

   "Untung saja bukan yaya-mu yang mengajarkan kepandaian tersebut kepadaku, kalau tidak aku lebih suka tak melatih tenaga dalam itu selamanya! Andaikata kaki ayahku tidak dihajar sampai kutung olehnya, tak mungkin dia akan mati di tangan lawan. Pokoknya, bagaimanapun juga kau tak akan bisa mengubah jalan pemikiranku lagi. Tempo hari aku toh sudah pernah bilang, jika kau menyinggung lagi soal dia, maka aku akan menganggap kau sebagai musuh besar juga!"

   Sambil menghela napas Nyo Yan menggelengkan kepalanya berulang kali, terpaksa dia membungkam dalam seribu bahasa.Tiba-tiba Liong Leng-cu tertawa.

   "Nyo Yan,"

   Dia berkata.

   "persoalanku boleh dibilang hampir kau ketahui semua, sebaliknya urusanmu hanya sedikit yang kuketahui, ini tidak adil namanya."

   "Apa yang ingin kau ketahui? Selain persoalan yang menyangkut ayah ibuku, aku bisa memberitahukan semuanya kepadamu."

   "Aku tahu riwayat hidupmu mempunyai suatu rahasia yang sulit untuk diutarakan, jangan khawatir, aku pun tak ingin menyelidiki rahasia pribadimu. Aku hanya tak kuasa menahan rasa ingin tahuku saja sehingga ingin bertanya tentang sese- orang. Orang itu tidak she Nyo, pun tidak she Beng, aku rasa dia sama sekali tak ada hubungannya dengan pantanganmu itu."

   Nyo Yan menjadi tertegun.

   "Lantas siapakah yang ingin kau tanyakan?"

   "Siapa sih enci Leng-mu itu?"

   "Oh, rupanya kau menanyakan dia?"

   "Tidak pantaskah aku bertanya kepadamu?"

   "Sekalipun tidak kau tanyakan, aku pun ingin memberitahukan persoalan itu kepadamu. Dia she Leng bernama Ping-ji, murid dari ciang-bun hujin dari Thian-san-pay kini. Sejak kecil aku dirawat olehnya, sehingga hubungan kami melebihi hubungan saudara kandung sendiri."

   "Betulkah semesra itu? Kalau memang demikian, mengapa kau lakukan perbuatan yang membuatnya sedih?"

   "Siapa yang bilang kalau aku melakukan perbuatan yang membuatnya sedih?"

   Seru Nyo Yan sambil melompat bangun."Dia adalah orang yang paling kuhormati dan paling aku sayangi, mana mungkin aku."

   "Tapi engkoh-mu Beng Hoa yang berkata demikian!"

   "Beng Hoa bukan engkoh-ku, dia ngaco belo. Apakah kau pun percaya ocehannya?"

   "Aku sama sekali tak mengetahui perbuatan apakah yang kau perbuat terhadap Leng Ping-ji, aku hanya dengar Beng Hoa memakimu berbuat kurang ajar kepadanya, bagaimana kekurangajaran tersebut tidak dikatakan Beng Hoa, sedangkan aku pun tidak menduga yang bukan-bukan. Kenapa sih kau mesti gelisah?"

   "Aku tahu kau tidak akan menerima pendapat umum. Beng Hoa dan Ting Tiau-bing memang mengaco belo belaka, padahal."

   "Padahal kenapa?"

   Nyo Yan tidak ingin mengemukakan hubungan cintanya dengan Leng Ping-ji kepada Liong Leng-cu. Akan tetapi dia toh berkata juga.

   "Tidak apa-apa. Mereka mengira aku dan enci Leng telah melakukan sesuatu yang memalukan, padahal hubungan kami berdasarkan rasa sayang dan rasa hormat, berlangsung secara terbuka. Aku suka enci Leng, apakah hal ini merupakan suatu perbuatan salah?"

   "Kau suka kepadanya, mengapa kau harus berpisah pula dengannya?"

   "Dia yang ingin demikian. Dia minta kepadaku paling tidak harus berpisah selama tujuh tahun."

   "Mengapa sedemikian anehnya?"

   "Aku sendiri pun tidak tahu,"

   Sahut Nyo Yan sambil tertawa getir."Kalau begitu aku hendak mengajukan lagi sebuah pertanyaan yang pasti bisa kaujawab.

   Tadi kau mengatakan hendak memberitahukan soal enci Leng kepadaku, mengapa kau tidak memberitahukan kepadaku bila aku tidak menanyakannya?"

   "Kau tidak tahu, walaupun enci Leng tidak pernah berjumpa denganmu, namun dia sangat menaruh perhatian kepadamu!"

   "Dia menaruh perhatian kepadaku?"

   "Benar, ketika dia menetapkan perjanjian untuk berpisah selama tujuh tahun, dia pun menyelipkan pula sebuah syarat lain."

   "Apa hubungannya antara aku dengan syarat tersebut?"

   "Justru ada sangkut pautnya, aku baru mau mengatakannya. Dia minta kepadaku untuk menemukan kau lebih dahulu dalam tujuh tahun ini."

   Paras muka Liong Leng-cu segera berubah hebat, sambil menggigit bibir dia membungkam dalam seribu bahasa. Nyo Yan tidak menaruh perhatian atas perubahan wajahnya, dengan wajah berseri sambungnya.

   "Setelah berpisah dengan enci Leng, sebetulnya aku khawatir, di dunia yang begini luasnya, entah sampai kapan aku baru dapat berjumpa denganmu. Sungguh tak disangka tak perlu Kucari dirimu, kau telah datang sendiri ada hadapanku"

   "Ooh rupanya kau ingin berjumpa denganku hanya lantaran persoalan enci Lcng-mu itu?"

   Kata Liong Lcng-cu dengan suara sedingin salju.

   "Kau jangan berpikiran sempit, sebetulnya aku bukan berharap bisa jumpa denganmu karena ingin memenuhipermintaan enci Leng saja Sekalipun tiada syarat tersebut, aku tetap akan mencarimu!"

   Liong Leng-cu segera tertawa dingin. Benar, aku adalah manusia yang berpikiran sempit, mana mungkin aku bisa menandingi enci Leng- mu?"

   "Aaai, kau pakai aturan tidak?"

   Teriak Nyo Yan kemudian.

   "Dia adalah sanakku, sedang kau pun sanakku."

   Mendadak dia teringat kalau Liong Leng-cu tak ingin mendengar nama yaya-nya disinggung kembali, maka ucapan selanjurnya secara tiba-tiba dipotong dengan begitu saja "Aku memang tak pernah memakai aturan, tapi kali ini aku ingin bicara dengan aturan.

   Setelah kau berhutang budi kepadaku, menurut pendapatmu, pantaskah jika kau lakukan suatu pekerjaan pula bagiku"

   Agak terkesiap Nyo Yan setelah mendengar perkataan itu, cepat-cepat ia bertanya.

   "Kau ingin menyuruhku melakukan pekerjaan apa?"

   "Jangan khawatir,"

   Ucap Liong Leng-cu sambil tertawa.

   "aku tak akan menyuruhmu berpisah dengan enci Leng-mu. Hutang tersebut boleh saja kutagih setelah tujuh tahun kemudian, tapi sekarang aku boleh mengambil bunganya lebih dulu bukan?"

   "Baik, katakanlah, aku pasti akan membayar bunga tersebut"

   "Kalau begitu, dekatkan telingamu kemari, aku akan memberitahukannya kepadamu!"

   Mendadak tangannya diayunkan ke muka dan "plak, ploook, plaaak, ploook!", dia menghadiahkan empat buah tempelengan keras ke wajahnya."Anggap saja keempat tamparan itu sebagai bunganya.

   Taruna Pendekar Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Sejak kini, kau melewati jalanmu dan aku menyeberangi jembatanku.

   Kau tak usah mencariku lagi, aku pun tak akan mencarimu."

   Selesai mengucapkan perkataan tersebut Liong Leng-cu segera membalikkan badan dan berlalu dari situ. Sambil meraba pipinya yang panas dan pedas, Nyo Yan segera berteriak keras.

   "Aku toh masih harus mengerjakan sesuatu untukmu, kalau tidak berjumpa denganmu, hal ini mana mungkin?"

   "Bertemu denganmu atau tidak, keputusannya berada di tanganku. Apalagi aku toh bisa mengutusmu untuk melakukan sesuatu tanpa harus bertemu denganmu!"

   Berbicara sampai di situ, Liong Leng-cu segera tertawa cekikikan.

   Suara tertawanya belum lagi hilang dari sisi telinga, bayangan tubuh Liong Leng-cu sudah lenyap dari pandangan matanya Sambil meraba pipinya yang panas dan pedas, Nyo Yan benar-benar dibikin menangis tak bisa tertawa pun tak dapat Dia tahu jelas watak gadis itu, sekalipun dikejar juga percuma karena hal ini sama halnya dengan mencari kesulitan bagi diri sendiri, itulah sebabnya terpaksa ia cuma berdiam diri belaka "Wataknya ini sungguh lucu dan membingungkan, pada hakikatnya jauh lebih sukar diraba daripada meraba perubahan cuaca Cuma, tempo hari pun dia pernah bilang tak ingin berjumpa lagi denganku, siapa tahu di kemudian hari bila sedang gembira, dia akan berbuat seperti hari ini, datang sendiri mencariku.

   Aaaai ke manakah aku harus pergi pun tidak kuketahui, peduli amat dia hendak ke mana."Tapi dunia begitu luas, jagat bukan sedaun kelor, ke manakah dia harus pergi? Nyo Yan merasakan hatinya bimbang, kosong dan kebingungan.

   Sebenarnya dia bermaksud untuk pulang dan menemani yaya-nya tapi dia tak ingin berbohong kepada yaya-nya, seandainya dia pulang sebelum berhasil menaklukkan hati Liong Leng-cu, bukankah kejadian ini akan membuat yaya-nya merasa kecewa? Sedang Jik-tat-bok? Dia tak ingin ke situ atau paling tidak dewasa ini dia masih belum berhasrat Dalam hal ini, mau tak mau dia harus berterima kasih kepada Liong Leng-cu, kini tiada orang yang bisa memaksanya untuk pergi ke Jik-tat-bok.

   Walaupun dia merasa agak lega dan enteng tapi teringat kembali tindak-tanduk ayah kandungnya seperti apa yang didengar dari Ting Tiau-bing dani Siau Hok-nian.

   kembali hatinya seperti diiris-iris dengan pisau.

   "Benarkah ayahku begitu rendah dan pengecut seperti apa yang mereka ucapkan?"

   Tanpa terasa dia menghubungkan kembali kejadian ini dengan musibah yang menimpanya selama ini.

   "Dalam pandangan mereka bukankah aku pun seorang binatang kecil* yang sudah bejat moralnya dan penuh kejahatan? Ciok Thiang-hing ingin membunuhku. Beng Hoa ingin membunuhku, bahkan Kam susiok pun hendak memunahkan ilmu silatku! "Perkataan orang tak boleh dipercaya dengan begitu saja, duduk persoalan yang sebenarnya harus kuselidiki sendiri!"Dalam keadaan perasaan dan pikiran yang serba kalut, dia masih ingin mengetahui duduk persoalan yang sebenarnya, tapi dia takut pula andaikata persoalan yang sesungguhnya terungkap.

   "Andaikata ayahku benar-benar seperti apa yang mereka katakan, apa yang harus kulakukan?"

   Walaupun ia mengemban perasaan ngeri dan takut di dalam hatinya, namun tak pernah berani mencari jelas duduknya persoalan, sebab dia khawatir tak dapat meloloskan diri lagi dari kemurungan dan kecurigaan untuk selamanya.

   Sambil mengertak gigi, akhirnya dia mengubah rencananya semula, dia bertekad hendak menyelidiki tingkah laku ayahnya Rencana pertama yang hendak dikerjakan olehnya adalah mengunjungi "desa kelahiran"

   Yang pernah dikunjunginya itu.

   Di kota Po-teng terdapat bibinya Lak-jiu-Koan-im Nyo toakoh, ada pula kakak misannya Ki See-kiat.

   Dia membenci bibinya, tapi rindu kepada Ki See-kiat "Sekalipun dia bukan kakak misanku, sudah sepantasnya aku mengunjungi dirinya,"

   Demikian Nyo Yan berpikir.

   "aku ingin mem- beritahukan keadaan enci Leng kepadanya sedang masalah dia bersedia memaafkan diriku atau tidak, itu urusan pribadinya!" ---ooo0dw0ooo--- Sudah hampir sebulan Ki See-kiat kembali ke rumah, musim semi sudah lewat. Dari utara yang dingin dan jauh dari keramaian kembali ke kampung halaman yang hangat dan permai, dari perantauanyang jauh dari sanak keluarga kembali ke pangkuan ibunda tercinta, seharusnya peristiwa ini merupakan suatu kejadian yang patut dirayakan dengan gembira Sayang keadaan tersebut bagi Ki See-kiat justru merupakan kebalikannya Walaupun suasana hangat dan pemandangan permai, namun dalam hati kecilnya masih dilapisi oleh salju dan kemurungan. Sekalipun di kampung halaman sendiri dikatakan hangat, namun baginya ibarat terkurung dalam gudang salju yang amat dingin, perasaannya benar-benar amat murung, sedih dan hampa Yang kembali ke rumah seperti hanya tubuh kasarnya belaka, sebulan lebih dia selalu murung dan bermuram durja. Sudah barang tentu Nyo toakoh mengetahui rahasia hati putranya, dia pun telah berdaya upaya untuk memulihkan kembali semangat hidup putra tunggal ini. Semua kenalan dan sanak keluarga dihubungi, berusaha mencarikan jodoh bagi putranya Mula pertama Ki See-kiat masih menurut, tapi kemudian pada hakikatnya ia menolak mentah-mentah semua usaha ibunya tersebut Malahan pernah satu dua kali dia sengaja berlagak bloon, sehingga pertemuan harus diakhiri dalam suasana yang tidak menggembirakan. Pepatah mengatakan, penyakit rindu hanya bisa diobati dengan obat rindu. Apalagi penyakit rindu putranya terjadi lantaran perbuatannya, sudah barang tentu dia berusaha keras untukmenemukan obat rindu yang baik untuk mengobati penyakit putranya Yang membuat Ki See-kiat agak terhibur adalah ibunya masih terhitung pegang janji dengan tak mendesaknya untuk bekerja bersama engku-nya Nyo Bok. Dia tahu engku-nya sudah menjadi pengawal kaisar dalam istana, cuma kedudukan engku-nya ini tak pernah diungkapkan. Kecuali sanak keluarga serta muridnya, pada hakikatnya orang lain menganggap ia sudah tiada lagi di dunia ini. Kini sudah hampir sebulan lebih ia pulang ke rumah, namun Nyo Bok tak pernah datang menengok. Antara ibu dan anak pun seakan-akan sudah terdapat suatu kesepakatan. Nyo toakoh tidak memaksa putranya untuk mengerjakan pekerjaan yang tak diingini olehnya sedangkan Ki See-kiat juga tak pernah menyinggung nama Leng Ping-ji lagi. Walaupun demikian, sang ibu sudah barang tentu mengerti kalau perasaan putranya masih tertinggal di hati Leng Ping-ji dan tidak ikut pulang ke rumah. Apa daya sekarang? Apa yang harus dilakukan untuk membuat putranya menjadi gembira? Dia pun hanya bisa menganjurkan putranya agar banyak berkumpul dan bergaul dengan teman-temannya Teman Ki See-kiat di dusun tidak terlalu banyak, semasa masih kecil dulu dia hanya sering bermain dengan keenam orang murid Nyo Bok.Murid pertama dari Nyo Bok yakni Bun Seng-liong kini sudah menjadi perwira dalam pasukan pengawal istana jabatannya amat tinggi dan terhormat Murid ketiga Pui Liang dan murid keempat Huan Kui sudah meninggalkan rumah banyak tahun, entah mereka telah pergi ke mana Ada orang mengatakan mereka sudah menggabungkan diri dengan laskar pembela bangsa namun tiada orang yang tahu apakah berita itu benar atau salah Mungkin lantaran selisih usia yang lebih sedikit, semasa masih kecilnya dulu, teman paling akrab Ki See-kiat adalah murid kelima dari Nyo Bok yakni Song Peng-ci dan muridnya yang terakhir Oh Lian-kui. Kali ini, Song Peng-ci dan Oh Lian-kui pula yang diutus ke Sin-kiang untuk mencarinya dan pulang bersama mereka, hubungan mereka boleh dibilang jauh lebih akrab daripada dahulu. Sayangnya mereka harus kembali ke ibu kota untuk menjadi piausu di perusahaan Ceng-wan piaukiok, sehingga mau tak mau mereka harus berpisah dengan Ki See-kiat. Di antara enam orang murid Nyo Bok, hanya murid kedua Pui Hou saja yang tinggal di kota Po-teng. Usianya belasan tahun lebih tua dari Ki See-kiat, tahun ini telah mencapai usia empatpuluh dua tahun. Dia merupakan seorang hartawan yang kaya raya di kota Po-teng, sawahnya beribu-ribu bau, kekayaannya melimpah, sejak lulus dari perguruan dia hidup senang di rumah dan tak melakukan apa-apa. Pui Hou paling pandai mencari hati Nyo toakoh, setiap tahun baru atau hari perayaan apa pun dia selalu mengirim sejumlah hadiah buat bibi gurunya ini. Di hari-hari biasa pun dia sering datang mengucapkan selamat, sehingga di antaraenam orang murid Nyo Bok, Nyo toakoh paling suka kepadanya. Sikap Ki See-kiat terhadap Pui Hou tidak bisa dibilang kelewat benci, tapi bukan berarti kelewat senang. Berhubung semasa kecilnya dulu, Pui Hou sering kali memberi mainan padanya, maka hubungan mereka boleh dibilang cukup rapat. Itulah sebabnya sepulang dari rantau, mereka sudah beberapa kali saling berjumpa dan berbincang. Hari ini Pui Hou telah mengutus centeng untuk mengundang mereka ibu dan anak untuk menghadiri perjamuan. Alasannya mengundang mereka untuk menikmati bunga dan diterangkan hanya mengundang beberapa orang sanak keluarga dan sobat karib, sama sekali tiada orang luar. Hal ini karena dia tahu kalau Ki See-kiat paling segan bertemu dengan orang-orang yang tak dikenalnya. Dalam gedung keluarga Pui terdapat sebuah kebun bunga yang sangat besar. Pui Hou khusus mengundang beberapa orang ahli kebun dari selatan untuk merawat kebunnya itu. Berjenis bunga dari semua penjuru berada di situ, bila musim semi tiba, sejauh mata memandang aneka bunga yang tampak. Karena keindahannya itu, maka kebun bunga keluarga Pui boleh dibilang terhitung kebun bunga indah yang termasyhur di kota Po-teng. Sebetulnya Ki See-kiat enggan pergi, tetapi Nyo toakoh segera berkata.

   "Bagaimanapun juga kau toh tak ada urusan di rumah, tcmanilah aku menikmati keindahan bunga. Apalagi dia kan sudah bilang tidak akan mengundang orang luar, kau tak usah menolak undangannya."Namun Ki See-kiat tidak sependapat dengan anjuran ibunya, di dalam hati kecilnya dia berpikir.

   "Sekalipun Pui suko bukan seorang yang mengerti akan seni, minum arak sambil menikmati bunga masih terhitung suatu perbuatan yang ber- seni pula."

   Selain itu dia pun merasa sikapnya selama beberapa bulan ini terhadap ibunya kelewat dingin dan hambar, ia merasa agak menyesal, maka permintaan ibunya pun dikabulkan.

   ---ooo0dw0ooo--- Seperti menyambut datangnya mestika saja, Pui Hou segera mengundang Nyo toakoh berdua masuk ke dalam kebun.

   Terlihat meja perjamuan telah disiapkan, sudah ada dua orang yang menanti di situ.

   Mereka adalah sepasang ayah dan putrinya, melihat kehadiran Nyo toakoh, buru-buru mereka maju menyambut.

   Tampaknya Nyo toakoh kenal betul dengan lelaki tersebut, sesudah berbasa-basi, katanya sambil tertawa.

   "Lo busu, sudah berapa tahun aku tak berjumpa dengan putrimu, tak nyana putrimu makin lama semakin bertambah cantik dan menarik, sudah ada yang punya?"

   Sementara itu Pui Hou yang berada di sisinya sedang memperkenalkan kepada Ki See-kiat "Adik Kiat, masih ingat dengan adik misanku? Sewaktu masih kecil dulu, kalian sudah pernah saling berjumpa."

   Ternyata Lo busu adalah enthio (suami bibi) Pui Hou, dia bernama Lo Hi-hong dan merupakan salah satu busu yang termasyhur di kota Po-teng, dulu dia angkat nama bersama- sama Nyo Bok.Sementara si gadis bernama Lo Pek-soat, dia adalah putri tunggal Lo Hi-hong, dua tahun lebih kecil dari Ki See-kiat, tahun ini telah berusia duapuluh lima tahun.

   Tatkala masih kecil dulu, Ki See-kiat pernah bersua muka dua tiga kali dengannya di gedung keluarga Pui, tak dapat dikatakan mempunyai suatu kesan tertentu.

   Dalam ingatannya gadis itu amat sombong, suka berbicara dan suka memerintah orang lain, ketika masih kecil dulu pun dia tak terlalu suka bermain dengannya Tampak gadis itu mengenakan bedak yang sangat tebal dengan gincu merah menempel di bibir, sambil melirik kiah kemari dengan genit, katanya tertawa.

   "Kami cuma gadis desa, mana mungkin engkoh See-kiat akan mengingatnya terus? Mungkin dia sudah melupakan aku?"

   Ki See-kiat berpaling dan memandang sekejap wajah ibunya, terpaksa untuk sopan santun dia berkata.

   "Ooh, masih ingat, sudah lama kita tak bersua muka, baik-baikkan kau nona Lo?"

   Sementara itu, Lo Hi-hong sedang menjawab pertanyaan dari Nyo toakoh.

   "Aaai, kalau dibicarakan sungguh memalukan, sampai kini siauli belum ketemu jodohnya"

   "Dandananmu saja macam siluman kesiangan, mana mungkin ada lelaki yang jatuh hati kepadamu?"

   Pikir Ki See- kiat di dalam hati.

   Padahal berbicara yang sebenarnya walaupun dandanan Lo Pek-soat agak sedikit "kelewatan", namun dia masih memiliki kecantikan yang bisa diandalkan.

   Sayangnya Ki See-kiat sudah dapat merasakan, mungkin perjumpaan yang diselenggarakan kali ini pun merupakansuatu pertemuan mencari jodoh", tak heran kalau sikapnya jadi kurang baik, kesannya terhadap Lo Pek-soat pun semakin jelek.

   Buru-buru Pui Hou menimbrung dari samping.

   "Sukoh, kau tahu adik misanku ini menilai orang kelewat tinggi, banyak orang yang telah meminangnya tapi satu per satu ditolak mentah-mentah. Cuma, hal ini tak bisa disalahkan, habis dia adalah seorang yang Bun-bu-coan-cay (ahli dalam ilmu sastra maupun ilmu silat), berbicara soal ilmu silat, kepandaiannya berasal dari ajaran keluarga berbicara soal sastra, baik ilmu memetik harpa, main catur, melukis, bersanjak, semuanya itu dikuasai dengan baik. Coba bayangkan sendiri, kalau tidak sesuai orangnya, mana mungkin dia akan memandang sebelah mata kepadanya?"

   "Hiantit, kau kelewat memuji dirinya,"

   Ucap Lo Hi-hong cepat-cepat.

   "Untung saja Nyo toakoh bukan orang asing, kalau tidak, hal ini bisa dianggap sebagai lelucon."

   Nyo toakoh segera tertawa "Aku sudah lama mengetahui kalau nona Lo adalah seorang bun-bu-coan-cay.

   Yang lebih hebat lagi adalah dia berwatak baik, sekalipun memiliki ilmu silat yang sangat lihay, namun tak pernah berkeliaran di tempat luar.

   Tidak seperti perem- puan-perempuan persilatan lainnya yang cuma mengerti memainkan golok belaka, mengakunya saja seorang pendekar perempuan, tapi nyatanya lelaki bau dari golongan apa saja digauli hmmm, perempuan macam apa itu?"

   Jelas perkataan itu tertuju kepada Leng Ping-ji, sebagai orang yang pintar Ki See-kiat juga dapat mendengarnya "Ya perkataan itu memang benar,"

   Buru-buru Lo Hi-hong menimbrung.

   "Soal ilmu silat atau ilmu sastra adalah soalkedua yang paling penting adalah wataknya Oleh karena itu sejak kecil aku sudah mendidik putriku agar mengerti adat kesopanan dan tata kehidupan seorang gadis, sebagai seorang anak dara tidak sepantasnya mempunyai kebiasaan dari seorang perempuan persilatan."

   Nyo toakoh kembali tertawa "Entah siapakah di kemudian hari yang beruntung bisa menjadi suaminya? Aku ingin sekali menjadi mak comblang untuk putrimu, cuma khawatirnya ia menolak."

   "Aah, bibi Nyo pandai amat bergurau."

   Seru Lo Pek-soat pura-pura manja "Aku tak akan kawin, cuma., piauko, kau mengatakan aku agak condong, hal ini sungguh membuat aku merasa rikuh. Apalagi ada Ki toako di sini, masa aku dibilang bun-bu-coan-cay?"

   Pui Hou dan Nyo toakoh saling berpandangan sambil tertawa, belum sempat mereka bicara, Ki See-kiat telah berkata duluan.

   "Tulisan yang kukenal belum mencapai satu keranjang, ilmu silat yang kupahami pun cuma beberapa jurus ilmu silat kucing kaki tiga, kalau ingin membicarakan soal ilmu silat atau ilmu sastra, lebih baik jangan sertakan aku. Hari ini haah haahh haahh udara amat segar. Pui suko, bunga dalam kebunmu tampaknya sedang mekar semua, sungguh menarik sekait."

   Lo Pek-soat menjadi tertegun, tapi Ki See-kiat tidak menggubrisnya, dia beranjak dan memperhatikan bunga di sekitar situ. Lo Hi-hong segera tertawa terbahak-bahak.

   "Haah haah haah, Ki sauya pandai amat bergurau. Cuma ucapan Ki siauhiap memang benar, udara hari ini sangat baik, hawa semacam ini hanya pantas untuk menikmati keindahan bunga,kalau dipakai untuk membicarakan soal ilmu sastra atau ilmu silat, rasanya kurang begitu baik."

   "Betul, betul sekali,"

   Sambung Pui Hou.

   "sebetulnya aku memang mengundang sute untuk menikmati bunga tak nyana sute begitu terpikat oleh bunga di sini, mari kita menikmati bunga lebih dulu kemudian baru minum arak."

   Sambil menebalkan muka terpaksa Lo Hi-hong harus menemani Ki See-kiat melihat bunga, sebaliknya Lo Pek-soat menjadi tersipu-sipu dan merasa rikuh sekail Nyo toakoh segera menggandeng tangannya, lalu berkata sambil tersenyum.

   "Anakku itu memang tak pandai berbicara harap nona Lo jangan marah."

   Untuk menghilangkan suasana rikuh yang menyelimuti pertemuan tersebut, Pui Hou segera memperkenalkan pelbagai macam bunga yang ditanam dalam kebun tersebut kepada Ki Scc-kiat sambil berkata.

   "inilah bunga teh yang khusus didatangkan dari negeriTaylidi wilayah In-lam, kebanyakan orang mengatakan bunga teh dari Kun-beng paling bagus, padahal hasil dari negeri Tayli ini paling hebat. Coba kau lihat inilah bunga Toa-ma-nau, dan itu Kim-leng- huay. Toa-ma-nau dan Kim-leng-huay semuanya merupakan nama bunga teh, yang disebut pertama warnanya merah seperti manau besar, sedangkan yang disebut belakangan berwarna hijau dengan besar seperti cawan."

   Walaupun Ki See-kiat sedang tak senang hati, tak urung dia memuji juga tiada hentinya Pui Hou semakin gembira, kembali ujarnya "Bunga Pau-cun- hoa ini pun berasal dari negeri Tayli.

   Betul di daerah-daerah lain pun terdapat bunga Pau-cun-hoa tapi bunga berwarna merah darah dengan putik berwarna kuning keemas-emasan ini jarang ditemukan di mana-mana kecuali di negeri Tayli,hanya di Kun-beng saja yang ada Aah, dan itu adalah bunga botan hitam, bunga itu khusus didatangkan dari kota Lok- yang, baru tahun ini berhasil kutanam."

   Menyaksikan kesemuanya itu, diam-diam Ki See-kiat berpikir.

   "Dari utara maupun selatan sungai besar, Pui suko berhasil memindahkan pelbagai macam bunga untuk ditanam di sini, entah berapa banyak tenaga dan uang yang telah dikorbankan. Untuk berhasil menanam sekuntum bunga botan hitam saja mungkin menghabiskan biaya sebesar biaya hidup seorang miskin selama setengah tahun."

   Tiba-tiba muncul seorang bocah berusia empat limabelas tahunan, sambil menarik tangan Lo Hi-hong serunya.

   "Lo kongkong, kau berjanji akan mengajarkan ilmu melepaskan peluru besi kepadaku, sudahkah kau bawa peluru besimu?"

   Bocah ini adalah putra Pui Hou yang bernama Pui Hong, sejak kecil sudah dimanja ayah ibunya sehingga lagaknya jumawa, tapi dia terhitung agak cocok dengan Ki See-kiat.

   Walaupun kadang kala Ki See-kiat membenci kenakalannya tapi dia pun menyenangi kelincahan dan kepolosannya.

   "Bawanya sih sudah kubawa,"

   Kata Lo Hi-hong.

   "cuma hari ini sedang ada tamu, beberapa hari lagi saja kuajarkan kepadamu."

   "Mana tamunya? Nenek Nyo selalu menganggap aku sebagai cucunya jadi dia dan paman Ki tak bisa disebut sebagai tamu."

   "Aku dan paman Ki-mu tentu saja tak bisa dianggap sebagai tamu,"

   Kata Nyo toakoh sambil tertawa "Sekarang paman Ki sedang menikmati bunga kau jangan mengganggu kegembiraannya"

   Sela Lo Hi-hong kemudian."Aah tidak menjadi soal,"

   Terpaksa Ki See-kiat berkata "aku pun ingin menyaksikan kelihayan ilmu peluru besi dari empek Lo."

   Sebetulnya Nyo toakoh merasa gak tersipu-sipu karena sikap kurang sopan dari putranya tadi, menggunakan kesempatan itu dia lantas mengumpak Lo Hi-hong sambil berkata.

   "Ilmu peluru baja dari keluarga Lo merupakan suatu kepandaian yang luar biasa dalam dunia persilatan, anak Kiat, kau sudah sepantasnya banyak meminta petunjuk dari empek Lo ini."

   "Aah tidak berani, tidak berani,"

   Kata Lo Hi-hong cepat- cepat dengan wajah berseri.

   "Siapa pun tahu kalau keluarga Ki dan keluarga Nyo merupakan keluarga persilatan, See-kiat terhitung seorang jagoan yang hebat. Permainan kucing kaki tigaku ini paling-paling cuma suatu permainan anak kecil saja baginya"

   Mau tak mau terpaksa Ki See-kiat harus memberi muka kepada Lo Hi-hong, katanya.

   "Empek, kau jangan sungkan-sungkan, siautit menjadi malu. Mungkin ilmu silat dari keluarga Lo tak mungkin bisa kupelajari karena sulit, empek harap kau mendemontrasikan lebih dulu agar mata siautit terbuka"

   Lo Hi-hong semakin gembira dibuatnya, ia berkata "Baiklah, atas dukungan Nyo toaci dan Ki lote, baiklah lohu akan mendemonstrasikan kejelekanku."

   Selesai berkata dia mengeluarkan dua buah peluru baja yang satu besar yang satu kecil, lalu sambil diangsurkan kepada Pui Hong, ujarnya "Sebentar aku akan melepaskan kedua biji peluru baja ini ke muka untuk menghajar batu yang ada di puncak gunung-gunungan tersebut, coba kau terka, peluru baja manakah yang tiba lebih dulu?"Pui Hong menimang-nimang berat peluru baja itu, ternyata peluru itu merupakan baja asli yang berat, yang kecil lebih enteng setengah dari yang besar, maka sahutnya, Tentu saja yang kecil ini akan tiba lebih dahulu!"

   "Benarkah itu? Baik, kalau begitu akan aku lepaskan peJuru yang kecil ini lebih dahulu."

   "Apalagi kalau begitu, tentu saja yang kecil akan sampai lebih dulu."

   Belum habis dia berkata tampak Lo Hi-hong telah mengayunkan tangannya ke depan.

   Betul juga peluru yang kecil itu dilemparkan lebih dahulu, kemudian yang besar baru dilepaskan.

   Tampaknya peluru baja yang kecil itu sudah hampir menghajar gunung-gunungan tersebut, mendadak yang besar mempercepat gerakannya dan berhasil melampaui, malahan sekejap kemudian sudah jauh melampauinya "Blaaamm, blaammm!"

   Menyusul kemudian terdengar dua kali benturan nyaring, terlihat percikan bunga api memancar keempat penjuru, batu hancur berguguran, sepotong batu besar di atas gunung-gunungan itu sudah terhajar sampai hancur.

   Tempik sorak segera berkumandang memecahkan keheningan, semua orang bersorak sorai bersama.

   "Kepandaian yang amat bagus!"

   Ki See-kiat sendiri pun diam-diam berpikir.

   "Sungguh tak kusangka tua bangka ini memiliki tenaga yang sangat kuat, cuma menghajar batu bukan sesuatu yang sulit, persoalannya adalah membedakan antara yang berat dengan yang ringan serta mengerahkan tenaga-tenaga menuruti kehendak hatiitulah yang paling sukar."

   Sehingga tanpa terasa dia pun turut bersorak sorai dan memuji tiada hentinya.

   "Aah hanya permainan jelek, hanya permainan jelek, harap jangan ditertawakan, harap jangan ditertawakan!"

   Kata Lo Hi-hong sambil mengelus jenggot dan tertawa. Di tengah gelak tertawa dan suara tepuk tangan yang ramai, tiba-tiba Ki See-kiat seperti mendengar suara hiruk pikuk dari luar. Dengan kening berkerut Pui Hou berseru.

   "Li Hay, coba kau keluar dan periksa, suara ribut-ribut apakah itu? 0odwo0 Li Hay adalah seorang pelayan, dia mengerti sedikit ilmu silat. Pui Hong yang pada dasarnya gemar melihat keramaian, menggunakan kesempatan itu, segera serunya.

   "Ayah ijinkan aku untuk melihat keadaan di luar. Seandainya ada orang hendak menerbitkan keonaran, soal berkelahi aku lebih hebat daripada Li Hay!"

   Tidak menunggu persetujuan ayahnya lagi, dia segera ngeloyor pergi meninggalkan tempat itu. Lo Pek-soat turut berkata pula sambil tertawa.

   "Aah, siapa yang berani mencari gara-gara di depan gedung tempat tinggal piauko? Mungkin anak buahmu sedang mengusir pengemis yang sedang meminta-minta."

   Ternyata Pui Hou meski kaya namun tidak sosial, dia telah menetapkan suatu peraturan, sekalipun sedang diadakan perayaan, pengemis dilarang datang berkunjung, mereka diwajibkan berbaris di depan dusun, kemudian ia baru meni-tahkan pelayannya untuk menghadiahkan sisa nasi dan sayur untuk mereka.

   Jadi soal mengusir pengemis sudah merupakan suatu kejadian yang lumrah dan sering terjadi, Lo Pek-soat pernah menjumpainya satu kali.

   Jarak antara kebun bunga dengan pintu gerbang amat jauh, akan tetapi dengan kesempurnaan tenaga dalam yang dimiliki Ki See-kiat, dia memiliki ketajaman pendengaran yang melebihi orang biasa, secara lamat-lamat dia telah mendengar suara yang sedang berkumandang di luar sana adalah suara orang yang sedang berkelahi.

   Nyo toakoh juga turut mendengar, cuma suara hiruk pikuk itu tahu-tahu sudah mereda.

   Nyo toakoh tahu, meski usia Pui Hong masih kecil, namun ilmu silat yang dimilikinya sudah mencapai beberapa bagian kepandaian yang dimiliki ayahnya, kalau cuma lelaki bengis biasa tak mungkin bisa mendekati tubuhnya.

   Oleh karena itu dia bukannya merasa khawatir kalau Pui Hong tak tahu diri hingga melukai orang-orang yang membuat keonaran tersebut.

   Baru saja Pui Hou hendak memanggil pulang putranya, Li Hay yang barusan berlarian keluar itu telah muncul kembali, dengan napas yang tersengal-sengal dia berteriak.

   "Loya, celaka aduh celaka."

   "Ada apa? Mengapa sikapmu begitu gugup?"

   "Sauya telah ditangkap mereka!"

   Tak terlukiskan rasa kaget Pui Hou setelah mendengar perkataan itu, segera bentaknya.

   "Siapa? Siapakah mereka?"

   Belum habis perkataan itu diutarakan, seseorang telah tertawa terbahak-bahak, belum lagi orangnya kelihatan, suaratertawanya telah memekakkan telinga setiap orang yang berada di dalam kebun tersebut Ki See-kiat menjadi amat terperanjat, segera pikirnya.

   "Hebat benar tenaga dalam yang dimilikinya, sudah jelas dia merupakan seorang tokoh persilatan yang berilmu tinggi, tapi mengapa dia menganiaya seorang anak-anak?"

   Belum habis ingatan tersebut melintas lewat dalam benaknya.

   
Taruna Pendekar Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"mereka"

   Yang dimaksudkan Li Hay telah melangkah masuk ke dalam pintu kebun.

   Ternyata mereka adalah seorang lelaki bercambang berusia limapuluh tahunan yang berjalan di muka, disusul seorang nyonya setengah umur berusia empatpuhih tahunan di belakangnya, meski usianya sudah menanjak namun sisa-sisa kecantikannya masih tetap ada, hal ini menunjukkan kalau semasa masih mudanya dulu, dia adalah seorang nona yang cantik sekali.

   Nyonya cantik, itu membawa sebuah ruyung lemas, ruyung tersebut menjirat lengan Pui Hong, sehingga Pui Hong boleh dibilang diseret masuk ke dalam secara paksa.

   Pui Hou adalah seorang hartawan kaya raya yang menguasai daerah di sekitar tempat itu, di hari-hari biasa hanya dia yang menganiaya orang, tapi tiada orang yang berani mengusiknya.

   Tak nyana pada hari ini dia telah tertimpa bencana yang sama sekali tidak terduga, hal tersebut kontan saja membuat hawa amarahnya berkobar.

   Cuma bagaimanapun dia termasuk seorang yang tahu keadaan, dia pun mengerti kalau pendatang tersebut tidak bermaksud baik, maka pikirnya di dalam hati,"Tampaknya ilmu silat yang dimiliki lelaki ini masih berada di atas kepandaianku, untung saja sukoh dan enthio berada di sini, jadi bagaimanapun lihaynya perampok yang datang, rasanya aku tidak usah turun tangan sendiri.

   Tapi, lebih baik aku menanyakan dulu maksud kedatangannya.

   Dalam pada itu.

   orang-orang dari keluarga Pui sudah mendapat tahu terjadinya peristiwa itu dan berbondong- bondong datang ke situ.

   Kebanyakan pelayan yang bekerja di gedung orang kaya biasanya hanya menganiaya orang, apalagi saat itu di dalam kebun mereka selain hadir majikannya, terdapat pula Nyo toakoh dan Lo Hi-hong dua orang jago kelas satu dan dunia persilatan yang menjadi tulang punggung mereka, tentu saja siapa pun tak akan membiarkan orang luar bertingkah.

   Jadinya setiap orang ingin memanfaatkan kesempatan itu untuk menunjukkan kebolehan dan kesetiaannya terhadap majikan mereka Kawanan budak yang menyaksikan majikannya tidak memberi tanda larangan, kontan saja berteriak keras dan bersama-sama maju ke depan.

   Lelaki bercambang itu berlagak seakan-akan tidak melihat ataupun mendengar, dengan langkah lebar dia tetap melanjutkan perjalanannya ke muka Mendadak saja terdengar suara jeritan kesakitan yang berkumandang saling menyusul.

   Kalau dibicarakan memang aneh sekali, kawanan budak yang sebenarnya sedang menyerbu ke depan itu tahu-tahu sudah jatuh tertelentang di atas tanah, kendatipun lelaki bercambang yang diserang sama sekali tidak melakukan suatu gerak apa pun.Bagaimanakah cara mereka sampai terjatuh? Bahkan Pui Hou sendiri pun tak sempat melihatjelas.

   Padahal sudah hampir sepuluh tahun lamanya dia belajar silat di bawah pimpinan Nyo Bok.

   Sebaliknya Nyo toakoh dan Lo Hi-hong merasa amat terkejut, mereka dapat melihat dengan jelas kalau lelaki bercambang itu telah mempergunakan ilmu Can-ih-cap-jit-lok yang merupakan ilmu tenaga dalam yang sangat lihay.

   Nyonya cantik setengah umur itu juga menunjukkan kepandaiannya ketika diserang.

   Nyonya cantik setengah umur itu tertawa, katanya.

   "Apakah kalian minta persen? Baik, walaupun aku tidak bisa dibandingkan dengan majikan kalian yang kaya uang kecil untuk memersen kalian tetap ada!"

   Begitu selesai berkata tangannya tampak diayunkan ke depan, seketika itu juga di sekeliling tubuhnya telah dipenuhi kepala-kepala manusia yang sedang berlutut di tanah.

   Rupanya kawanan budak tersebut telah dipersen sebuah mata uang yang menghajar jalan darah Wan-tiau-hiat pada lututnya ketika mereka sedang melancarkan tubrukan tadi.

   Ilmu melepaskan senjata rahasia yang begitu lihay, tentu saja tidak pernah disaksikan oleh Pui Hou, bahkan mendengar pun belum pernah, pada dasarnya ia memang sudah keder, sekarang perasaan ngeri semakin mencekam perasaannya Nyonya cantik berusia pertengahan itu segera tertawa terkekeh-kekeh, serunya.

   "Haaa haaa haaa baru saja dipersen sebuah mata uang, kalian semua telah melakukan penghormatan besar, waah tampaknya jiwa kalian semua me- mang jiwa budak. Baiklah, daripada ditolak, lebih baik kuterima saja penghormatan kalian itu."Dia lantas menarik kembali ruyung lemas yang membelenggu tubuh Pui Hong dan menyusul di belakang suaminya, di tengah gelak tertawanya dia sudah tiba di depan meja perjamuan. Sambil menahan diri Pui Hou segera menegur.

   "Saudara berasal dari mana?"

   "Utti Keng dari Koan-tang sengaja datang kemari untuk mengunjungi hartawan kaya raya,"

   Ucap lelaki bercambang itu lantang.

   Begitu mendengar nama tersebut tak terlukiskan rasa kaget Pui Hou, bahkan Nyo toakoh dan Lo Hi-hong pun turut terkesiap.

   Untuk beberapa saat lamanya, semua orang menjadi terbungkam dalam seribu bahasa, suasana menjadi hening, sepi dan tak kedengaran sedikit suara pun.

   Ternyata Utti Keng adalah seorang perampok budiman yang sudah amat termasyhur namanya di wilayah Kwangtang, selama duapu-luh tahun malang melintang dalam dunia persilatan, baik jago dari golongan putih maupun dari golongan hitam sama-sama memberi muka untuk suami istri ini.

   Entah berapa banyak pembesar korup dan saudagar pelit yang dibikin pecah nyali, entah berapa banyak piausu dan opas yang dibikin berkerut kening.

   Karena ulah dan tingkah lakunya ini, oleh para pembesar pemerintah ia dicap sebagai "perampok ulung dari Kwangtang", sebaliknya kawan-kawan persilatan menghor- matinya sebagai "pendekar besar dari Kwangtang".Hanya saja, sudah banyak tahun belakangan ini mereka jarang melakukan pekerjaan lagi, tak disangka mereka bisa muncul secara tiba-tiba di gedung keluarga Pui.

   Yang lebih hebat lagi, ia menyebut Pui Hou sebagai Pui toa- caycu (hartawan besar Pui), buat hartawan lain, sebutan itu memang tak berpengaruh apa-apa, tapi buat Pui Hou jelas hal ini merupakan suatu penghinaan.

   Sebagaimana diketahui, meskipun Pui Hou kaya raya, namun dia terhitung pula sebagai anggota persilatan, menurut peraturan dunia kangouw, setiap orang yang termasuk anggota dunia persilatan, entah tabiatnya baik atau buruk, sepantasnya bila ia dipanggil Pui suhu atau paling tidak Pui cengcu.

   Tapi sekarang, disebut toa-caycu, hal ini sama artinya dengan menganggap dia sebagai hartawan biasa.

   Sambil menahan diri Pui Hou berkata.

   "Ooh rupanya Utti Keng tayhiap yang telah datang, sudah lama kudengar namamu. Li eng-hiong ini."

   Waktu itu Nyo toakoh sedang mengawasi nyonya cantik setengah umur itu tak berkedip, mendadak ia melanjutkan.

   "Li enghiong itu tentunya Utti hujin yang disebut orang persilatan sebagai Jian-jiu-Koan-im (Koan-im Tangan Seribu) Ki Seng-in, Ki lihiap bukan?"

   "Betul, akulah Ki Seng-in,"

   Jawab nyonya cantik itu.

   "Sedang masalah Jian-jiu-Koan-im atau bukan, teman-teman persilatan yang menempelkan emas di atas wajahku, bukan suatu kenyataan."

   "Utti hujin tak usah merendah,"

   Nyo toakoh mendengus dingin.

   "dengan mengandalkan ilmu melepaskan senjata rahasia Thian-li-san-hoa (Bidadari Langit Menyebar Bunga)yang kau miliki, sudah sepantasnya bila kau menyandang julukan Jian-jiu-Koan-im, cuma hmmm hemmm aku merasa sedikit sayang bagimu."

   "Apa yang disayangkan?"

   "Bila Jian-jiu-Koan-im harus menghadapi kucing tiga kaki, apakah kau tidak merasa suatu perbuatan yang berlebih- lebihan?"

   Jelas maksud dari pembicaraan itu adalah menyindir perbuatannya yang telah merobohkan para centeng yang cuma pandai ilmu silat kucing kaki tiga, walaupun berhasil merobohkan mereka semua, juga belum bisa menunjukkan kehebatan Jian-jiu-Koan-im.

   Tapi dari pembicaraan itu, dapat disimpulkan juga kalau ia sedang menantang Ki Seng-in untuk berduel.

   Entah Ki Seng-in tidak memahami tantangan tersebut atau karena soal lain, ternyata ia hanya berkata dengan hambar.

   "Tangkeh kami ingin kemari mengunjungi Pui toa-caycu, kebetulan aku pun sedang senggang maka aku turut kemari untuk menonton keramaian. Soal kucing kaki tiga aku tak sudi untuk menggubrisnya, tapi kalau sudah berubah menjadi anjing buas yang menggigit manusia, aku tak berpeluk tangan belaka, bukankah demikian?"

   "Pui cengcu adalah murid keponakanku,"

   Kata Nyo toakoh cepat.

   "kau ingin menggebuk kucing juga boleh, menghajar anjing pun boleh, aku tak ambil peduli, lapi bila ada orang sampai menganiaya keponakan muridku, aku pun tak bisa ber- peluk tangan belaka, bukankah demikian?"

   Ucapan ini jelas ditujukan secara langsung buat Ki Seng-in, tapi tiba-tiba Utti Keng tertawa.

   "Haah haah haah, Seng-in,kau mesti berhati-hati. Kau si Jian-jiu-Koan-im telah bertemu dengan Lak-jiu-Koan-im!"

   Nyo toakoh mendengus dingin, lanjurnya.

   "Hmm, setelah kalian tahu diriku, aku rasa kalian tak usah berbicara yang tidak-tidak lagi. Aku ingin bertanya kepada Utti hujin, mengapa kau bekuk putra keponakan muridku ini?"

   "Oh, itu keinginan tangkeh kami, aku hanya menuruti permintaan suami saja. Bila kau ingin tahu silakan saja suruh orang yang bersangkutan berhubungan sendiri dengan tang- keh kami."

   Pui Hou tahu kalau Nyo toakoh bertekad untuk membantunya, tak heran kalau keberaniannya meningkat, katanya lantang.

   "Utti tayhiap, apakah putraku tak tahu diri sehingga berbuat kurang ajar kepadamu?"

   "Tidak. Lagi pula sekalipun putramu benar-benar melakukan tindakan yang bersifat kurang ajar kepadaku, orang dewasa tak akan mempersoalkan masalah anak bandel."

   "Kalau begitu kau memang sengaja mencari gara-gara denganku? Di masa lalu aku tak pernah mengikat bibit permusuhan denganmu, belakangan ini aku pun tak pernah menyalahi dirimu, apa sebabnya kau gunakan cara yang rendah dan tak tahu malu ini untuk menghadapi diriku?"

   "Ooh, jadi kau pun tahu kalau merampas putra-putri orang adalah suatu tindakan yang rendah dan tak tahu malu?"

   "Apa maksudmu berkata demikian?"

   "Kau bertanya kepadaku, kebetulan aku pun ingin bertanya kepadamu, bila aku merampas putramu sakit hatikah kau?"

   "Hei, tampaknya kau sengaja hendak membuat diriku sebagai bahan lelucon?"

   Katanya gusar.

   "Hubungan darahmelebihi hubungan apa pun, bila kau berani merampas putraku, sekalipun aku tak bisa mengalahkan dirimu, aku dapat beradu jiwa denganmu!"

   "Haah haah haah,"

   Utti Keng terbahak-bahak.

   "Kalau begitu kau merasa sakit hati sekali bukan? Kalau begitu aku ingin bertanya pula kepadamu, seandainya kau merampas anak gadis erang, dan anak gadis itu juga mempunyai orangtua, mungkinkah orangtua mereka tak sakit hati?"

   "Kapan aku pernah merampas anak gadis orang?"

   "Ccntcng-ccntengmu yang turun tangan merampas anak gadis orang, dan mereka bekerja atas perintahmu, apakah hal itu tidak sama halnya dengan kau sendiri merampas anak gadis orang?"

   Paras muka Pui Hou berubah hebat "Kau kau tak usah mengaco belo, mana., mana buktinya kalau kau berkata demikian?"

   "Ingin bukti? Itu gampang sekali."

   Berbicara sampai di situ Utti Keng lantas mencengkeram seorang pelayan yang sedang berlutut di atas tanah itu dan menepuk bebas jalan darahnya kontan pelayan itu merasakan seluruh badannya kesakitan hebat seperti ditusuk-tusuk seribu batang jarum.

   "Ceritakan sekarang semua peristiwa yang telah kau lakukan sampai bertemu denganku hari ini, jika berani berbohong hati-hati kau, akan kusuruh kau rasakan hidangan yang paling lezat di dunia!"

   "Ampun, .ampun Utti loya, ampun aku bicara, aku bicara!"

   Teriak pelayan itu.Kembali Utti Keng menepuk punggung orang itu, rasa sakit yang menyiksa badan segera jauh berkurang.

   "Aku mendapat perintah dari majikan untuk menagih hutang di rumah seorang buruh tani, di situlah aku telah berjumpa denganmu."

   "Apa yang sedang kau lakukan waktu itu?"

   "Lau Ji tak sanggup membayar pajak, maka aku membawa pulang putrinya sebagai tebusan."

   "Karena alasan apakah kau sampai melakukan perbuatan yang terkutuk ini?"

   "Majikanku yang menitahkan itu."

   "Nona cilik itu berusia hampir sebaya dengan putramu. Dan seringkah kau menangkap anak gadis orang untuk kau jadikan dayang, malah seringkah kau nodai kehormatan mereka Cuma masih untung nasibmu agak lumayan baik hari ini, akulah yang kau jumpai. Aku hanya merasa kurang leluasa tapi harus mencampuri urusan ini!"

   Kata Utti Keng.

   "Manusia-manusia dekil itu hutang kepadaku sampai harinya mereka tak punya uang membayar, apa salahnya kalau aku tangkap orang mereka sebagai tebusan? Sekarang aku tak pernah hutang kepadamu, mengapa kau merampas putraku? Dua masalah yang berbeda jangan kau campur aduk menjadi satu!"

   "Uang, uang, uang melulu. Di matamu hanya ada uang belaka!"

   Bentak Utti Keng dengan suara menggeledek.

   "Baik, bila kau bicara soal uang saja, aku pun akan mengajakmu membicarakan soal uang. Betul, kau memang tidak berhutang kepadaku, tapi kau telah berhutang kepada banyak orang!""Omong kosong. Harta kekayaanku berlimpah-limpah, mengapa aku mesti berhutang kepada orang lain?"

   "Sudah kutanyai semua petani yang berhutang kepadamu. Mereka berhutang kepadamu karena tahun berselang jatuh musim paceklik mereka minta keringanan kepadamu tapi kau menolak. Kau telah memperhitungkan utangnya sebesar sera- tus limapuluh kati beras menjadi uang satu tahi 1 delapan rence, menurut perhitunganmu hutang yang diambil tahun lalu sekarang sudah berkembang menjadi duabelas tahil lima rence perak, dan menurut perhitunganmu pula putrinya persis laku duabelas tahil lima rence uang perak, kalau caramu menghitung bunga kelewat tinggi, berapa keluarga miskin yang sudah tercekik lehernya oleh perbuatanmu itu? Berani- kah kau tidak mengatakan sebagian besar harta kekayaanmu berasal dari hasil keringat mereka?"

   "Aku tak sudi berdebat denganmu tentang persoalan ini, pokoknya perbuatan yang kulakukan itu tidak melanggar peraturan dan hukum negara!"

   Teriak Pui Hou.

   "Kau mempunyai hukum negaramu, aku mempunyai kepalanku! Bila kau hendak berbicara soal hukum, baiklah putramu akan kubawa pergi. Suruh saja para opas datang mencariku!"

   Sepasang mata Utti Keng membara dengan sorot mata tajam, sedemikian menyeramkan dan penuh kewibawaan membikin hati orang menjadi keder rasanya Pui Hou bergidik hatinya setelah menyaksikan kejadian tersebut, saking ngerinya sampai untuk sesaat lamanya dia tak berani mengucapkan sepatah kata pun.

   Buru-buru Lo Hi-hong berkata.

   "Bila ada persoalan lebih baik dibicarakan secara baik-baik saja Utti tayhiap, sebenarnyaapa keinginanmu? Harap kau utarakan terus terang, mari kita rundingkan bersama-sama" ---ooo0dw0ooo--- Walaupun Lo Hi-hong berniat untuk membela keponakannya tapi berbicara sesungguhnya dia sendiri pun menaruh perasaanjeri dan ngeri terhadap Utti Keng suami istri. Terdengar Utti Keng berkata.

   "Baik, kalau begitu bagaimana kalau aku mengajak Pui toa-caycu untuk barter saja?"

   "Bagaimana barternya?"

   "Sepuluh laksa tahil perak untuk ditukar dengan nyawa putra kesayanganmu itu, uang itu tak akan ku-kantongi sendiri, tetapi untuk membayar hutangmu sekalian menebus dosa, uang tersebut akan kubagi-bagikan kepada fakir miskin. Tapi aku pun ingin memperingatkan dirimu, bila sampai kujumpai kejadian yang sama lagi di kemudian hari, hmm, urusan tersebut tak nanti bisa diakhiri dengan pemberian uang saja!"

   Buat Pui Hou, sepuluh laksa tahil perak bukan termasuk sebuah jumlah yang besar, baginya mengeluarkan uang sebanyak itu pun bukan sesuatu yang sukar, tapi, bagaimana mungkin ia rela menyerahkan setumpuk uang peraknya untuk orang lain? Apalagi di sana hadir Nyo toakoh serta Lo Hi-hong yang akan menjadi tulang punggungnya? Maka sambil tertawa terbahak-bahak dia berkata.

   "Haah haah haah, aku paling gemar mengikat tali persahabatan dengan siapa saja, kehadiran kalian suami istri berdua pun merupakan suatu kunjungan yang tak terduga, meski Uttitayhiap tidak buka suara, sebagai tuan rumah yang baik memang sudah sepantasnya untuk memberi sedikit ongkos jalan kepadamu. Cuma, aku pikir sepuluh laksa tahil perak kelewat banyak, bagaimana kalau."

   Paras muka Utti Keng berubah hebat, tiba-tiba ia membentak keras.

   "Kau anggap aku kemari untuk mencari ongkos jalan?"

   "Utti tayhiap, aku belum mengerti jelas tentang ucapanmu itu."

   "Hm, maksud apa?"

   Dengus Utti Keng.

   "Kalau hendak berbicara cepat katakan, kalau ingin kentut cepat lepaskan!"

   Paras muka Pui Hou berubah menjadi merah padam seperti babi panggang, namun dia tak berani mengumbar hawa amarahnya "Utti sianseng,"

   Lo Hi-hong lantas berkata.

   "tuan rumah telah bersikap sopan kepadamu, harap kau pun sedikit agak sungkan!"

   "Berbicara soal sungkan pun harus memandang orang, maaf kalau aku tak punya waktu untuk membaiki Pui toa- caycu!"

   "Kalau begini harap Utti sianseng suka memberi sedikit muka kepadaku agar aku yang mewakilinya berbicara. Pui hiantit, aku rasa maksudmu tentunya ingin mengikat tali persahabatan dengan Utti sianseng bukan?"

   "Seandainya Utti sianseng bersedia mengikat tali persahabatan ini, soal berapa jumlah uangnya, hal itu masib bisa dirundingkan, bukankah demikian..,?"

   "Benar,"

   Sambung Pui Hou dengan cepat.

   "bila kita bersahabat, tentu saja masalah tersebut dapat dirundingkan.Tapi bila Utti sianseng hendak mempergunakan putraku sebagai sandera dan memaksa aku untuk menyerahkan uang sebesar sepuluh laksa tahil perak sebagai uang tebusan, sekalipun aku menyanggupi hal ini bisa jadi akan dianggap sebagai suatu penghinaan, aku tak boleh menghilangkan nama baik cianpwee-ku!"

   Hanya dengan memutar sedikit pembicaraan tersebut ke arah lain, dia telah menyeret Nyo toakoh terlibat dalam masalah ini. Utti Keng segera tertawa terbahak-bahak.

   "Haahahaa hahaha hahaa kau ini manusia macam apa, kau anggap pantas untuk bersahabat denganku? Tentang soal perguruanmu kuanjurkan kepadamu ada baiknya jangan disinggung saja, sebab nama baik perguruanmu pada hakikatnya sudah dinodai oleh gurumu sehingga sama sekali tak ada harganya lagi, jadi dia pun tidak akan ambil peduli bila kau hendak mempermalukan perguruannya lagi!"

   Nyo toakoh tak sanggup lagi menahan diri, dia lagi lantas berseru.

   "Utti Keng, baik atau buruknya adikku apa sangkut pautnya denganmu, kau tak usah ngebacot yang bukan- bukan, pokoknya bila kau berani mengganggu keponakan muridku ini, aku tidak terima, aku tak akan berpeluk tangan belaka!"

   "Baik, kalau begitu akan kusaksikan sampai di manakah kelihayan Lak-jiu-Koan-im, ayo tunjukkan keJihayanrnu!"

   "Utti Keng, bukannya aku takut kepadamu. Tapi ada beberapa patah kata kurang enak rasanya bila tidak kuutarakan, sebab itu aku harus mengatakannya lebih dahulu""Baik, kalau begitu utarakan saja cepat-cepat, daripada mati tersumbat nantinya! Akan kuperhatikan baik-baik."

   Walaupun perkataan tersebut diutarakan lebih sungkan dan tidak menggunakan lagi kata-kata kebiasaannya berupa "Bila ada perkataan cepat katakan, bila ingin kentut cepat lepaskan", tapi nada menyindir dan memandang rendah masih dapat dirasakan oleh siapa pun.

   Nyo toakoh menjadi amat gusar sampai mukanya berubah menjadi dingin seperti es, ditatapnya wajah Utti Keng lekat- lekat, kemudian katanya menegaskan.

   "Jadi kau baru mau melepaskan orang bila tersedia sepuluh laksa tahil perak?"

   Taruna Pendekar Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Harga tak bisa ditawar-tawar, kurang beberapa mata uang pun dianggap batal."

   Nyo toakoh tertawa dingin.

   "Utti Keng, baik buruk kau pun terhitung seorang jago kenamaan dalam dunia persilatan, apakah kau hendak meniru cara kerja pencoleng kecil dengan menculik orang dan minta uang tebusan? Seandainya kau tahu harga diri, harap lepaskan dulu bocah tersebut, saat itu masalah uang bisa dirundingkan lagi, kalau ingin berkelahi, kami pun pasti ada orang yang akan mengiringi kehendakmu itu!"

   Kembali Utti Keng tertawa terbahak-bahak.

   "Perbuatan manusia rendah semacam itu sudah banyak dilakukan oleh keponakan muridmu itu, sedang apa yang kulakukan hari ini tak lebih hanya menirukan cara yang sering dia lakukan. Cuma mendengar dari beberapa patah katamu tadi, bisa saja aku melepaskan dulu bocah itu. Seng-in, kendorkan cambuk lemasmu, dan Lak-j iu-Koan-im, bila kau punya kepandaian, silakan kau gandeng bocah itu pergi dari situ."Nyo toakoh cukup mengetahui kelihayan Ki Seng-in sebagai Jian-jiu-Koan-im (Koan-im Bertangan Seribu), tentu ilmu melepaskan senjata rahasianya sangat hebat, sebenarnya dia mengharapkan putranya mau turun tangan bersamanya, tapi segan untuk mengutarakannya secara langsung, maka ia lantas memberi lirikan mata sebagai tanda. Lo Pek-soat duduk di samping Ki See-kiat, dia lantas salah mengira kedipan mata Nyo toakoh itu ditujukan kepadanya. Sementara itu Ki Seng-in telah mengendorkan cambuk lemasnya, Pui Hong menuju ke arah Nyo toakoh, sebab dia tahu di antara sekian banyak orang yang hadir di sana, Nyo kohpo-nya yang berkepandaian paling hebat. Pada detik itulah, beberapa persoalan telah berlangsung dengan cepatnya secara beruntun, hampir saja semua berlangsung pada saat hampir bersamaan. Pertama-tama Lo Pek-soat yang melompat keluar lebih dulu, segera teriaknya.

   "Untuk memotong ayam buat apa memakai pisau penjagal kerbau? Biar boanpwe yang mewa- kili."

   Ternyata dia menganggap ayahnya dan Nyo toakoh pasti akan membantunya bilamana perlu, selain itu dia pun salah paham dengan mengira Nyo toakoh menyuruhnya untuk memperlihatkan ilmu silatnya hingga memberi kerlingan mata kepadanya.

   Dia menganggap jika Ki Seng-in berani turun tangan untuk menghalanginya, ayahnya dan Nyo toakoh pasti akan membantu secara diam-diam.

   "Seandainya aku dapat merobohkan bajingan perempuan ini, engkoh Kiat pasti akan berpandangan lain kepadaku."Dengan menyimpan harapan inilah dia melompat ke muka dan menarik tangan Pui Hong. Tak terlukiskan rasa kaget Lo Hi-hong ketika menyaksikan putrinya melompat ke depan, cepat-cepat dia melepaskan dua biji peluru besi ke muka. Yang besar menghantam ke arah Utti Keng sedangkan yang kecil menghantam Ki Seng-in.

   "Triing ."sebatang teratai baja yang dilemparkan Ki Seng- in saling membentur dengan peluru baja itu. Walaupun peluru baja yang dilepaskan Lo Hi-hong jauh lebih kecil bentuknya, tapi bila dibandingkan dengan teratai baja itu, entah berapa ratus kali lebih berat. Sewaktu teratai baja itu saling membentur dengan peluru, ternyata peluru baja itu yang kena tertumbuk sehingga berubah arah. Hampir pada saat yang bersamaan, Utti Keng membentak keras.

   "Sinar kunang-kunang juga ingin bertanding dengar sinar rembulan!"

   Dengan suatu gaya yang manis dia sambut peluru baja yang besar, kemudian menimpukkannya balik.

   Sewaktu peluru besi kecil yang kena ditumbuk teratai baja sampai berubah arah itu saling berbenturan dengan peluru baja besar yang ditimpukkan balik oleh Utti Keng, bunga api segera memercik di udara, gerak luncur kedua benda tersebut bertambah cepat dan langsung menghantam tubuh Lo Hi- hong.

   Sebagai seorang ahli silat yang berpengalaman, ketika Lo Hi-hong menyaksikan datangnya gerakan peluru baja tersebut, ia segera tahu kalau tenaga sambitan benda itu beberapa kali lipat lebih besar daripada kekuatannya tadi, denganmengandalkan tenaga dalam yang dimilikinya, mustahil dia bisa menyambut ancaman itu dengan keras lawan keras.

   Walaupun di meja perjamuan belum dihidangkan sayur, namun poci arak dan cawan telah disiapkan.

   Poci air teh dan cawan air teh juga belum dibereskan.

   Dalam keadaan seperti ini, Lo Hi-hong tak berani menyambut dengan kekerasan, dalam gugupnya tanpa memikirkan soal nama baik lagi, dia merendahkan badannya dan menyembunyikan diri di bawah meja.

   "Praaang prang prang."

   Bergema suara hiruk pikuk yang ramai sekali, poci arak, cawan arak, poci air teh, cawan air teh hampir semuanya kena terhajar sampai hancur berkeping-keping.

   Pada saat yang hampir bersamaan, Ki Seng-in menggetarkan ru-yung lemasnya dan menggulung tubuh Lo Pek-soat.

   "Budak busuk yang tak tahu ingginya langit dan tebalnya bumi, lebih baik kau duduk tenang saja di tempat dudukmu!"

   Seru Ki Seng-in sambil tertawa.

   Di tengah gelak tertawa, ruyung lemasnya diayunkan ke depan, tubuh Lo Pek-soat segera terlempar ke udara.

   Lemparannya itu ternyata indah dan hebat, karena secara jitu sekali melontarkan tubuh Lo Pek-soat untuk duduk kembali di tempat semula tanpa menderita luka barang sedikit pun jua.

   Meski begitu, ia sudah dibuat ketakutan setengah mati hingga mukanya pucat dan sukma serasa melayang meninggalkan raganya.Pui Hong yang sedang lari menuju ke arah Nyo toakoh, mendadak menjerit kesakitan dan meloncat mundur, kemudian menjatuhkan diri berlutut di hadapan Ki Seng-in.

   Dengan suara dingin Ki Seng-in berseru.

   "Aku toh tidak menghancurkan tulang kakimu, buat apa kau mesti bersikap aleman? Ayo cepat bangkit berdiri!"

   Nyo toakoh benar-benar tak sanggup mengendalikan kobaran api kemarahan yang membara di dalam dadanya, sambil melompat ke depan, bentaknya keras-keras.

   "Ki Seng- in, jika punya nyali lebih baik bertarung denganku, jangan beraninya menganiaya anak kecil!"

   "Bagus sekali, kau boleh menyambut senjata rahasiaku, dan aku akan menyambut pukulan Lak-yang-jiu-mu!"

   Ilmu silat yang paling lihay dari Ki Sengin adalah ilmu melepaskan senjata rahasia, sedangkan kepandaian andalan Nyo toakoh adalah ilmu pukulan Lak-yang-jiu, menurut peraturan dalam dunia persilatan, bila orang kenamaan bertarung dan sebelumnya tidak dibicarakan bagaimana pertarungan itu harus dilangsungkan, masing-masing pihak akan mengeluarkan kepandaian andalan masing-masing.

   Itulah sebabnya Ki Seng-in mengutarakan hal tersebut lebih dahulu, untuk memperlihatkan bahwa serangan senjata rahasianya nanti bukan merupakan suatu sergapan, dan seandainya dia menyerang dengan senjata rahasianya lebih dulu nanti, itu pun tak bisa dibilang melanggar peraturan bertanding.

   "Baik,"

   Seru Nyo toakoh dengan suara lantang.

   "akan kusuruh kau menyaksikan kelihayan ilmu Lak-yang-jiu-ku!"Dengan jurus Hu-hi-huan-im (Memanggil Hujan Membalik Awan), tangan kiri disertai tenaga im dan tangan kanan disertai tenaga yang, bersama-sama membacok ke depan.

   "Triing triing triing"

   Di antara suara dentingan nyaring, empat batang teratai baja sudah tersapu rontok oleh angin pukulannya.

   Tapi Ki Seng-in melepaskan tujuh batang teratai baja secara bersama-sama, walaupun ada empat batang yang kena dirontokkan, masih ada tiga batang di antaranya yang menembus lingkaran tenaga pukulan yang dipancarkan olehnya.

   Nyo toakoh terkesiap, pikirnya.

   "Sungguh tak kusangka nama baikku akan rusak dan musnah oleh senjata rahasianya!"

   Ketiga batang teratai baja itu hampir semuanya tertuju ke jalan darah kematian di tubuh Nyo toakoh.

   Buru-buru Nyo toakoh mengerahkan tenaga pukulannya ke depan, saat ini dia sudah tak sanggup lagi untuk melindungi diri.

   Teratai besi im menerobos masuk dengan kecepatan bagaikan sambaran kilat, dalam keadaan demikian, sekalipun Nyo toakoh mengerahkan segenap kepandaian yang dimiliki- nya, paling banter cuma dua batang di antaranya yang bisa dihindari, senjata rahasia yang ketiga sudah pasti akan menghajar jalan darahnya.

   Lak-jiu-Koan-im termasyhur jauh sebelum Jian-jiu-Koan-im, atau tegasnya sekalipun Ki Seng-in tak bisa dianggap "boanpwe"

   OlehNyo toakoh, paling tidak tingkatannya masih rendah setengah tingkat.Dengan watak Lak-jiu-Koan-im, andaikata begitu bergebrak lantas menderita kekalahan di tangan seorang siauwpwee, sekalipun teratai besi itu tidak sampai menghajar jalan darah kematiannya, mungkin dia pun akan mati karena mendongkol.

   Baru saja Nyo toakoh merasa terkesiap, tiba-tiba tampak ada tiga titik cahaya merah yang meluncur datang jauh lebih cepat daripada gerakan teratai besi itu.

   Dengan cepat teratai besi kena tersambar dan bersama- sama rontok ke atas tanah tanpa menimbulkan sedikit suara pun.

   Ternyata ketiga gulung bayangan merah itu adalah tiga kuntum bunga teh merah yang dipetik oleh Ki See-kiat Waktu itu dia sedang berdiri di sisi bunga teh yang sedang mekar sambil menonton jalannya pertarungan.

   Setelah menyaksikan ibunya terancam bahaya maut, sudah barang tentu dia tak bisa berpeluk tangan saja.

   Padahal dia tak mempunyai senjata rahasia, terpaksa dipetiknya bunga teh yang tumbuh di sisinya, lalu menghimpun tenaga dalamnya dan menimpukkan bunga tersebut sebagai senjata rahasia Bunga adalah sebuah benda yang lunak, tidak mudah dilontarkan dengan tenaga, akan tetapi sesudah di-saluri tenaga dalamnya yang sempurna, nyatanya benda itu bisa menyusul teratai besi yang dilancarkan oleh Ki Seng-in bahkan menggulung teratai besi itu ke tengah putik bunga Begitu dua gulung tenaga serangan saling bertumbukan, kedua-duanya hilang kekuatan dan rontok ke atas tanah.

   Mimpi pun Lo Hi-hong sekalian tidak menyangka kalau Ki See-kiat memiliki ilmu silat yang begitu lihay.Bahkan Koantang tayhiap Utti kau tahu harga diri, harap lepaskan dulu bocah tersebut, saat itu masalah uang bisa dirundingkan lagi, kalau ingin berkelahi, kami pun pasti ada orang yang akan mengiringi kehendakmu itu!"

   Kembali Utti Keng tertawa terbahak-bahak.

   "Perbuatan manusia rendah semacam itu sudah banyak dilakukan oleh keponakan muridmu itu, sedang apa yang kulakukan hari ini tak lebih hanya menirukan cara yang sering dia lakukan. Cuma mendengar dari beberapa patah katamu tadi, bisa saja aku melepaskan dulu bocah itu. Seng-in, kendorkan cambuk lemasmu, dan Lak-j iu-Koan-im, bila kau punya kepandaian, silakan kau gandeng bocah itu pergi dari situ."

   Nyo toakoh cukup mengetahui kelihayan Ki Seng-in sebagai Jian-jiu-Koan-im (Koan-im Bertangan Seribu), tentu ilmu melepaskan senjata rahasianya sangat hebat, sebenarnya dia mengharapkan putranya mau turun tangan bersamanya, tapi segan untuk mengutarakannya secara langsung, maka ia lantas memberi lirikan mata sebagai tanda.

   Lo Pek-soat duduk di samping Ki See-kiat, dia lantas salah mengira kedipan mata Nyo toakoh itu ditujukan kepadanya.

   Sementara itu Ki Seng-in telah mengendorkan cambuk lemasnya, Pui Hong menuju ke arah Nyo toakoh, sebab dia tahu di antara sekian banyak orang yang hadir di sana, Nyo kohpo-nya yang berkepandaian paling hebat.

   Pada detik itulah, beberapa persoalan telah berlangsung dengan cepatnya secara beruntun, hampir saja semua berlangsung pada saat hampir bersamaan.

   Pertama-tama Lo Pek-soat yang melompat keluar lebih dulu, segera teriaknya.

   "Untuk memotong ayam buat apamemakai pisau penjagal kerbau? Biar boanpwe yang mewa- kili."

   Ternyata dia menganggap ayahnya dan Nyo toakoh pasti akan membantunya bilamana perlu, selain itu dia pun salah paham dengan mengira Nyo toakoh menyuruhnya untuk memperlihatkan ilmu silatnya hingga memberi kerlingan mata kepadanya.

   Dia menganggap jika Ki Seng-in berani turun tangan untuk menghalanginya, ayahnya dan Nyo toakoh pasti akan membantu secara diam-diam.

   "Seandainya aku dapat merobohkan bajingan perempuan ini, engkoh Kiat pasti akan berpandangan lain kepadaku."

   Dengan menyimpan harapan inilah dia melompat ke muka dan menarik tangan Pui Hong.

   Tak terlukiskan rasa kaget Lo Hi-hong ketika menyaksikan putrinya melompat ke depan, cepat-cepat dia melepaskan dua biji peluru besi ke muka.

   Yang besar menghantam ke arah Utti Keng sedangkan yang kecil menghantam Ki Seng-in.

   "Triiing ."sebatang teratai baja yang dilemparkan Ki Seng-in saling membentur dengan peluru baja itu. Walaupun peluru baja yang dilepaskan Lo Hi-hong jauh lebih kecil bentuknya, tapi bila dibandingkan dengan teratai baja itu, entah berapa ratus kali lebih berat. Sewaktu teratai baja itu saling membentur dengan peluru, ternyata peluru baja itu yang kena tertumbuk sehingga berubah arah. Hampir pada saat yang bersamaan, Utti Keng membentak keras.

   "Sinar kunang-kunang juga ingin bertanding dengar sinar rembulan!"Dengan suatu gaya yang manis dia sambut peluru baja yang besar, kemudian menimpukkannya balik. Sewaktu peluru besi kecil yang kena ditumbuk teratai baja sampai berubah arah itu saling berbenturan dengan peluru baja besar yang ditimpukkan balik oleh Utti Keng, bunga api segera memercik di udara, gerak luncur kedua benda tersebut bertambah cepat dan langsung menghantam tubuh Lo Hi- hong. Sebagai seorang ahli silat yang berpengalaman, ketika Lo Hi-hong menyaksikan datangnya gerakan peluru baja tersebut, ia segera tahu kalau tenaga sambitan benda itu beberapa kali lipat lebih besar daripada kekuatannya tadi, dengan mengandalkan tenaga dalam yang dimilikinya, mustahil dia bisa menyambut ancaman itu dengan keras lawan keras. Walaupun di meja perjamuan belum dihidangkan sayur, namun poci arak dan cawan telah disiapkan. Poci air teh dan cawan air teh juga belum dibereskan. Dalam keadaan seperti ini, Lo Hi-hong tak berani menyambut dengan kekerasan, dalam gugupnya tanpa memikirkan soal nama baik lagi, dia merendahkan badannya dan menyembunyikan diri di bawah meja.

   "Praaang prang prang."

   Bergema suara hiruk pikuk yang ramai sekali, poci arak, cawan arak, poci air teh, cawan air teh hampir semuanya kena terhajar sampai hancur berkeping-keping.

   Pada saat yang hampir bersamaan, Ki Seng-in menggetarkan ru-yung lemasnya dan menggulung tubuh Lo Pek-soat."Budak busuk yang tak tahu tingginya langit dan tebalnya bumi, lebih baik kau duduk tenang saja di tempat dudukmu!"

   Seru Ki Seng-in sambil tertawa.

   Di tengah gelak tertawa, ruyung lemasnya diayunkan ke depan, tubuh Lo Pek-soat segera terlempar ke udara.

   Lemparannya itu ternyata indah dan hebat, karena secara jitu sekali melontarkan tubuh Lo Pek-soat untuk duduk kembali di tempat semula tanpa menderita luka barang sedikit pun jua.

   Meski begitu, ia sudah dibuat ketakutan setengah mati hingga mukanya pucat dan sukma serasa melayang meninggalkan raganya.

   Pui Hong yang sedang lari menuju ke arah Nyo toakoh, mendadak menjerit kesakitan dan meloncat mundur, kemudian menjatuhkan diri berlutut di hadapan Ki Seng-in.

   Dengan suara dingin Ki Seng-in berseru.

   "Aku toh tidak menghancurkan tulang kakimu, buat apa kau mesti bersikap aleman? Ayo cepat bangkit berdiri!"

   Nyo toakoh benar-benar tak sanggup mengendalikan kobaran api kemarahan yang membara di dalam dadanya, sambil melompat ke depan, bentaknya keras-keras.

   "Ki Seng- in, jika punya nyali lebih baik bertarung denganku, jangan beraninya menganiaya anak kecil!"

   "Bagus sekali, kau boleh menyambut senjata rahasiaku, dan aku akan menyambut pukulan Lak-yang-jiu-mu!"

   Ilmu silat yang paling lihay dari Ki Sengin adalah ilmu melepaskan senjata rahasia, sedangkan kepandaian andalan Nyo toakoh adalah ilmu pukulan Lak-yang-jiu, menurut peraturan dalam dunia persilatan, bila orang kenamaan bertarung dan sebelumnya tidak dibicarakan bagaimanapertarungan itu harus dilangsungkan, masing-masing pihak akan mengeluarkan kepandaian andalan masing-masing.

   Itulah sebabnya Ki Seng-in mengutarakan hal tersebut lebih dahulu, untuk memperlihatkan bahwa serangan senjata rahasianya nanti bukan merupakan suatu sergapan, dan seandainya dia menyerang dengan senjata rahasianya lebih dulu nanti, itu pun tak bisa dibilang melanggar peraturan bertanding.

   "Baik,"

   Seru Nyo toakoh dengan suara lantang.

   "akan kusuruh kau menyaksikan kelihayan ilmu Lak-yang-jiu- ku!"

   Dengan jurus Hu-hi-huan-im (Memanggil Hujan Membalik Awan), tangan kiri disertai tenaga im dan tangan kanan disertai tenaga yang, bersama-sama membacok ke depan.

   "Triing triing triing"

   Di antara suara dentingan nyaring, empat batang teratai baja sudah tersapu rontok oleh angin pukulannya.

   Tapi Ki Seng-in melepaskan tujuh batang teratai baja secara bersama-sama, walaupun ada empat batang yang kena dirontokkan, masih ada tiga batang di antaranya yang menembus lingkaran tenaga pukulan yang dipancarkan olehnya.

   Nyo toakoh terkesiap, pikirnya.

   "Sungguh tak kusangka nama baikku akan rusak dan musnah oleh senjata rahasianya!"

   Ketiga batang teratai baja itu hampir semuanya tertuju ke jalan darah kematian di tubuh Nyo toakoh.

   Buru-buru Nyo toakoh mengerahkan tenaga pukulannya ke depan, saat ini dia sudah tak sanggup lagi untuk melindungi diri.Teratai besi im menerobos masuk dengan kecepatan bagaikan sambaran kilat, dalam keadaan demikian, sekalipun Nyo toakoh mengerahkan segenap kepandaian yang dimiliki- nya, paling banter cuma dua batang di antaranya yang bisa dihindari, senjata rahasia yang ketiga sudah pasti akan menghajar jalan darahnya.

   Lak-jiu-Koan-im termasyhur jauh sebelum Jian-jiu-Koan-im, atau tegasnya sekalipun Ki Seng-in tak bisa dianggap "boanpwe"

   Oleh Nyo toakoh, paling tidak tingkatannya masih rendah setengah tingkat.

   Dengan watak Lak-jiu-Koan-im, andaikata begitu bergebrak lantas menderita kekalahan di tangan seorang siauwpwee, sekalipun teratai besi itu tidak sampai menghajar jalan darah kematiannya, mungkin dia pun akan mati karena mendongkol.

   Baru saja Nyo toakoh merasa terkesiap, tiba-tiba tampak ada tiga titik cahaya merah yang meluncur datang jauh lebih cepat daripada gerakan teratai besi itu.

   Dengan cepat teratai besi kena tersambar dan bersama- sama rontok ke atas tanah tanpa menimbulkan sedikit suara pun.

   Ternyata ketiga gulung bayangan merah itu adalah tiga kuntum bunga teh merah yang dipetik oleh Ki See-kiat Waktu itu dia sedang berdiri di sisi bunga teh yang sedang mekar sambil menonton jalannya pertarungan.

   Setelah menyaksikan ibunya terancam bahaya maut, sudah barang tentu dia tak bisa berpeluk tangan saja.

   Padahal dia tak mempunyai senjata rahasia, terpaksa dipetiknya bunga teh yang tumbuh di sisinya, lalu menghimpun tenaga dalamnya dan menimpukkan bunga tersebut sebagai senjata rahasiaBunga adalah sebuah benda yang lunak, tidak mudah dilontarkan dengan tenaga, akan tetapi sesudah di-saluri tenaga dalamnya yang sempurna, nyatanya benda itu bisa menyusul teratai besi yang dilancarkan oleh Ki Seng-in bahkan menggulung teratai besi itu ke tengah putik bunga Begitu dua gulung tenaga serangan saling bertumbukan, kedua-duanya hilang kekuatan dan rontok ke atas tanah.

   Mimpi pun Lo Hi-hong sekalian tidak menyangka kalau Ki See-kiat memiliki ilmu silat yang begitu lihay.

   Bahkan Koantang tayniap Utti Keng yang sudah duapuluh tahun malang melintang di dunia persilatan dan nyaris tanpa tandingan pun ikut merasa terkesiap oleh peristiwa tersebut Bila tenaga dalam seseorang dapat dilatih hingga mencapai tingkat kesempurnaan, soal "memetik daun melempar bunga bisa melukai atau membunuh orang"

   Memang bukan suatu kejadian besar, cuma kesemuanya itu hanya pernah didengar dan belum pernah mereka saksikan dengan mata kepala sendiri.

   Ilmu silat dari Ki See-kiat memang belum mencapai taraf sedemikian rupa, tapi apa yang dilakukan sudah termasuk ke dalam jenis tersebut Utti Keng sebagai ahli silat, meski belum pernah melihat, tapi sekilas pandang saja sudah mengetahuinya.

   Dengan perasaan bergetar keras Utti Keng berpikir.

   


Renjana Pendekar -- Khulung Bandit Penyulam -- Khu Lung Pedang Gadis Yueh Karya Jin Yong

Cari Blog Ini