Ceritasilat Novel Online

Kisah Dua Saudara Seperguruan 5


Kisah Dua Saudara Seperguruan Karya Liang Ie Shen Bagian 5



Kisah Dua Saudara Seperguruan Karya dari Liang Ie Shen

   

   Musuh yang bersenjatakan Siauw-tjoe-tjhio itu tertawa mengejek, ia lempar tumbaknya, ia robek bajunya, buat dipakai membungkus luka di tangannya, selagi berbuat demikian, ia menoleh pada kawan-kawannya.

   "Hei, kenapa kau orang menjublak saja? Lekas bekuk ini anak ayam! Lekas bungkus lukanya! Sayang jikalau ia sampai terbinasa!"

   Dengan sebenamya, kawan-kawan itu berdiri bengong karena saksikan kawannya dan si nona sama-sama terluka, sedang si nona sendiri rebah tak berdaya.

   Menjadi sadar, mereka lantas saja tertawa.

   Tapi, belum sempat mereka maju, untuk turun tangan, tiba-tiba mereka dengar satu ! suara nyaring dan mengaung luar biasa, disusul bentakan seorang perempuan tua.

   "Siapakah kau orang yang berani ganggu satu nona? Jangan turun tangan!"

   Semua musuhnya Bong Tiap menjadi terkejut, malah musuh yang pegang tumbak gaet sudah loncat ke arah senjatanya, untuk jumput itu, kemudian mereka semua memandang ke arah dan mana suara datang.

   Di antara remang-remang karena gclapnya lembah, mereka tampak satu pcndcta perempuan, yang usianya sudah lanjut sekali, yang tangannya mcncekal kebutan suci Hoed-rim, sedang menghampirkan mereka, serindak demi setindak.

   Musuh itu, yang sudah lama ikuti Ouw It Gok, ada mem pun ya i banyak pengaiaman, ia mempunyai pandangan yang luas.

   dari itu, ia bisa lihat bahwa si niekouw, pendeta perempuan, bukannya orang sembarangan, hingga ia tidak berani berlaku sembrono.

   "Soethay. dia mi adalah seorang perempuan Kang-ouw yang jahat!"

   Demikian ia berkata.

   "Kau lihat, dia telah Jukai lenganku! Kita adalah or-ang-orang yang ditugaskan pembesar negeri untuk menawan diaini! Sebagai orang suci. harap Soethay tidak campur urusan kita!"

   Di iuar dugaan, keterangan itu bukannya membuat si niekouw tua undurkan diri, dia justru mendesak.

   "Ngaco!"

   Katanya dengan bengis.

   "Di mana ada seorang nona begini muda dan manis menjadi penjahar? Dia punya luka melebihkan hebatnya lukamu! Sudah kau orang bikin dia pingsan, kau orang masih hendak turun tangan terlebihjauh! Jikalau kau orang bukannya bermaksud buruk, tentu kau orang adalah kawanan penjahat!"

   Selagi berkata demikian, niekouw itu be rt in dak mendekati.

   "Tidak, Itulah bukan!"

   Kata muridnya Ouw It Gok. Dengan mulutnya, dia menyangkal, diam-diam tangannya yang kin"

   Siapkan tiga batang yan-bwee-piauw, sedang tangannya yang kanan, geraki tumbaknya Siauw-tjoe-tjhio, menikam bagaikan ular menyambar, disusul sama sambarannya tiga batang piauw di tiga jurusan.

   Mereka terpisah dekat satu dengan lain, dan si niekouw tidak bersiap, maka si penjahat ini duga, pasti dia akan berhasil.

   Apa yang terjadi adalah di luar sangkaan.

   Niekouw tua itu tak dapat dipandang enteng, walaupun dia telah dibokong.

   Dia ada sangat jeli matanya, gesit gerak tubuhnya.

   Ketiga piauw melewati sasarannya, dan kebutan suci menyamppk tumbak gaetan, atas mana, tumbak itu terlepas dari cekalan, terlempar entah ke mana! Hebat adalah sampokan terlebih jauh dan ujung kebutan itu, mengenainya perlahan sekali, akan tetapi muridnya Ouw It Gok rubuh dengan segera, tubuhnya rebah tidak berkutik lagi.

   Rombongan muridnya Ouw It Gok ini terdiri dari lima orang, dengan yang satu rubuh, tinggallah empat orang.

   Mereka ini sementara itu sudah merangsek, tadinya untuk taati titah kawannya, yang sekarang untuk serang si niekouw tua.

   Hanya, belum sampai mereka datang dekat, sembari tertawa dingin, mereka lihat tangan kirinya si pendeta perempuan telah diayun ke atas, atas mana di dalam lembah segeralah terdengar suara nyaring dan mengaung seperti tadi.

   Menyusul itu, Iantas terdengar suara keren dari si niekouw, katanya.

   "Kau orang cobakan rasanya piauw Bouw-nie-tjoe!"

   Perkataannya orang suci ini ditutup berbareng dengan menyambarnya piauw terhadap sesuatu dari empat penjahat itu tanpa mereka ini sanggup bcrdaya, malah mereka seperti tak ketahui datangnya serangan, karena tak disangka, mereka pun lagi sangsikan suara mengaung.

   Lantas saja mereka rubuh.

   "Kawanan tikus, kau orang rupanya tak ketahui aku! Tetapi apapun tentang piauw Bouw-nie-tjoe, kau orang tidak pernah dengar?"

   Kata si niekouw tua sambil tertawa, sesudah ia bikin orang tak berdaya.

   "Kau orang sudah dengar suaranya piauwku tetapi kau orang masih berani hendak melawan aku, maka taklah cukup apabila kau orang tidak diajar adat! Tetapi Budha kita ada maha suci dan kasih, dari itu pinnie juga tidak inginkan jiwa kau orang! Sekarang pergilah!"

   N iekouw tua itu hampirkan empat orang, ia berikan dupakan enteng pada tubuh sesuatu dari mereka, yang rebah diam saja, atas itu, lenyap perasaan sesemutan dan beku mereka, lantas mereka bisa geraki kaki-tangan, terus mereka bangun berdiri.

   Sembari menotok jalan darah orang, sambil tertawa, si niekouw tua kata pula.

   "Pinnie tinggalkan jiwa kau orang, tetapi ilmu silat kau orang tak dapat dipertahankan karena dengan itu kau orang biasa berbuat jahat Baiklah kau orang ketahui, sejak sekarang ini, selanjutnya kau orang tidak bisa bersilat pula, kau orang tidak lagi bisa bekerja berat. maka kau orang haruslah jadi penduduk baik-baik, dengan demikian, luka dalam tubuhmu tidak bakal kumat, tapi satu kali kau orang bersilat atau bekerja dengan memakai tenaga, dalam tempo tiga hari, luka dalammu bakal kambuh, kau orang bakal muntah-muntah darah dan akhimya binasa! Pinnie telah kasih peringatan pada kau orang, jangan langgar itu, atau kau orang jangan nanti sesalkan padaku. Nan, pergilah kau orang!"

   Kawanan itu mati kutunya, mereka cuma manggurmanggut, lantas saja mereka ngeloyor pergi.

   Di antara mereka, orang yang bersenjatakan Siauw-tjoe-tjhio, yang pernah ikuti Ouw It Gok terlebih lama, di bikin sadar oleh kata-kata si niekouw tua.

   Memang, pada sepuluh tahun yang lampau, ia pemah dengar tentang senjata rahasia piauw Bouw-nie-tjoe, dengarnya dari satu soepehnya, siapa di masa muda -pernah dengar lagi dari satu sahabatnya.

   Katanya ada satu nickouw yang tidak ketahuan asal-usulnya.

   boleh jadi datangnya dari In-lam, bahwa saban kali dia ini muncul, mesti ada orang jahat yang dapat bagian.

   Ada dibilang lebih jauh, di waktu bertempur, niekouw itu tidak pernah kelihatan ada gunakan genggaman, dia cuma mengebut dengan kebutannya, atau kalau dia gunai, melainkan senjata rahasia, yaitu piauw Bouw-nie-tjoe.

   Piauw itu ada untuk menyerang jalan darah, saban kali digunakan, lebih dahulu kedengaran suaranya mengaung, baharu senjatanya menyambar sasaran, suara itu seperti juga tanda untuk orang bersiaga terlebih dahulu.

   Di samping itu.

   di waktu gunakan piauwnya itu, itu nickouw suka lepaskan dahulu satu piauw, ke arah atas, untuk disambar dengan sebatang yang lain, hingga kedua piauw bcntrok satu dengan lain, hingga bcrsuara nyaring sekali.

   Adalah biasanya, di waktu orang bertempur, apabila orang dengar suara piauw itu beradu, mereka mesti hentikan pertempuran, untuk si niekouw datang sama tengah, guna berikan pertimbangannya, apabila ada orang yang berkepala batu terhadap pertimbangannya itu, dia pasti bakal merasai akibatnya yang hebat.

   Kebutannya, atau Hoed-tim, juga luar biasa.

   Kcbutan itu lemas bagaikan segumpal bulu ekor kuda, akan tetapi, selagi digunakan, kekuatannya sanggup melawan pedang, sedang juga, orang tak ketahui, kepandaiannya menggunakan kcbutan itu entah ada kepandaian dari golongan atau cabang silat yang mana.

   Kcbutan itu pun bisa digunakan sebagai pedang Ngo-hengkiam atau ruyung Teng-tjoa-pian, terutama sebagai alat untuk menyerang jalan darah.

   Ilmu menotok jalannya darah, biasanya, ada dua rupa.

   "Tahiat"

   Atau "memukul jalan darah", biasa memakai senjata Poan-koan-pit atau batang Hoentjwee Tiat-yan-kan, dan "tiam-hiat", ialah menotok jalan darah, biasa digunakan dengan tangan kosong.

   Umpama Ouw It Gok, dia pandai "tahiat", sedang Lioe Kiam Gim, Tok-koh It Hang dan Law Boe Wie, menggunai "tiam-hiat".

   Beda daripada itu dua, kepandaiannya niekouw ini adalah "hoet-hiat"

   Atau "menutup jalan darah", karena senjata yang digunakan ada Hoed-tim atau kcbutan.

   Ada tersiar cerita, pernah dengan seorang diri, dengan kebutannya, ia telah layani tiga puluh berandal yang liehay dan scmua berandal itu kena ia rubuhkan dan taklukkan.

   Itulah kejadian pada sepuluh tahun yang berselang dan si niekouw, selewatnya itu, tidak pernah orang dapat lihat pula padanya.

   Laginya, dulu ia sudah berusia lanjut, maka orang percaya, ia sebenarnya sudah menutup mata.

   Siapa sangka, sekarang ia muncul secara tiba-tiba.

   Maka orang yang bersenjatakan tumbak gaet Siauw-tjoe-tjhio itu, sebagai kesudahan dari dikalahkannya, jadi sangat ketakutan, hingga mereka ngeloyor dengan mulut bungkam.

   Niekouw itu antap orang angkat kaki, ia hanya dekati Bong Tiap, hingga ia lihat si nona rebah dengan kedua mata meram, jalan napasnya sangat perlahan, sedang darah masih mengalir keluar dan lukanya.

   Ia lantas raba dadanya, akan dapatkan jantungnya masih memukul, atas mana nampaknya ia berhati lega.

   Segera ia bekerja, ialah periksa luka dan obati itu dengan obat luka yang.

   ia bekal.

   Bong Tiap terus tak sadar akan dirinya.

   Di samping hajaran pada dadanya, ia pun telah keluarkan tcrlalu banyak darah, maka itu, meskipun sekarang darahnya itu dapat dicegah keluarnya lebih jauh, ia masih sangat lemah.

   Niekouw tua itu kerutkan alis, akan tetapi, ia toh bersenyum.

   "Dicarinya sukar tapi toh didapatinya begini gampang"

   Kata ia seorang diri, dengan sangat perlahan.

   "Untuk belasan tahun aku cari satu nona guna dia wariskan aku, kebetulan sekali, sekarang aku dapati dia ini. Dia tidak saja berbakat, tetapi juga sudah punya dasar dan dasar dari satu ahli, jikalau aku tidak ambil dia, kemana lagi aku hendak mencari?"

   Tidak tempo lagi, pendeta ini membungkuk, akan angkat tubuh orang, buat dikasih naik atas bebokongnya, sesudah mana, ia bertindak meninggalkan tempat bekas pertempuran itu.

   Bong Tiap tidak sadar, dia hanya merasa seperti melayanglayang di tengah udara, ketika akhirnya ia merasakan dirinya lega dan ia buka matanya, itulah ada di hari keenam sejak ia dikeroyok.

   Ia pun dapatkan dirinya berada dalam sebuah ruangan suci, karena di situ ada patung Budha, api lilin memain memberikan bayangan, dan asap hio bergulunggulung mendatangkan bau harum.

   Di samping ia, satu niekouw tua sedang kebuti ia dengan perlahan-lahan.

   segera ia ingat bagai man a orang serang ia, ia rubuh, ia lupa segala apa.

   "Apakah aku sedang mimpi?"

   Tanya ia pada dirinya sendiri. Dan ia gigit bibirnya, atas mana, ia menjerit sendirinya. Ia merasakan sakit! Jadi ia bukan lagi bermimpi.

   "Nona, kau belumsembuhjangan sembarang geraki tubuh,"

   Kata .si niekouw dengan perlahan, suaranya sabar.

   "Kau juga tak boleh bicara. Kau rebah lagi beberapa hari, nanti kita orang pasang omong."

   Bong Tiap menurut.

   la pun rasakan tubuhnya sangat lemah- Lewat lagi beberapa hari, Nona Lioe sudah bisa turun dari pembaringan, ia bisa jalan dengan perlahan-lahan, maka akhirnya si niekouw tua tuntun ia, untuk diajak keluar dari dalam trail, buat pergi ke pckarangan luar.

   Tatkala itu ada di permulaan musim panas, salju telah lumer, serangan angin tidak mendatangkan hawa dingin, scbaliknya, bawa udara ada bcrsih dan menycgarkan, hingga Bong Tiap merasa hatinya terbuka.

   Ia sangat ketarik sama pemandangan jndah di luar kuil itu.

   "Tempat apakah ini?"

   Akhir-akhirnya ia tanya.

   "Inilah Soei-wan yang berada jauhnya tiga ribu lie dari Boeip,"

   Sahut si pendeta percmpuan sambil bcrsenyum.

   "fan ada daerah di luar perbatasan, ialah tepinya Sungai Tay Hek Hoo. Kau hbat itu gundukan tanah dengan rumpu tnya yang bijau? Itu ada kuburannya Ong Tjiauw Koen, si juwita kenamaan. Di sini biasa tumbuh rumput putih, melainkan itu kuburan bcrumput hijau, maka juga dinamai Tjhee-tiong, atau Kuburan Hijau."

   Bong Tiap tidak pemah merantau, ia bersekolah sedikir, ia hanya utamakan ilmu silat saja, dari itu, pemandangannya ada cupat, maka sekarang ia menjadi kagum dan ketarik hati.

   "Keadaan di sini masih tidak an eh,"

   Kata si niekouw sembari bersenyum melibat kekagumannya itu.

   "Aku punya soetjouw, di Mongolia dan Tibet sama sekali telah dirikan tiga buah kuil, ialah satu di Ie-soh-tjiauw-beng di Mongolia Luar, satu di Tjip-sip-Ioen di Tibet, dan yang ketiga ialah kuil ini."

   Lantas si niekouw ini tuturkan ten tang musim atau hawa udara di Mongolia dan Tibet, tentang gunung di Tibet, Gunung Himalaya, hingga si nona jadi semakin ketarik hati.

   "Nona, apa kau hendak turuti aku menyaksikan itu?"

   Tanya ia kemudian.

   "Tentu! Kcnapa tidak?"

   Sahut si nona.

   "Aku tidak takut udara dingin! Selama di Kho Kce Po, sekalipun di musim dingin, bersama-sama soeheng aku biasa menggayuh perahu di dalam muara!"

   Menyebut sang soeheng - dimaksudkan Ham Eng air mukanya si nona menjadi guram dengan tiba-tiba. Ia jadi ingat pada pertempurannya di Boe-ip, pada urusannya sendiri. Ia toh lagi ikuti toa-soehengnya akan pergi cari ayahnya di Utara.

   "Hanya aku tidak bisa turut sekarang juga,"

   Ia lekas menambahi, suaranya perlahan.

   "Sekarang aku hendak cari ayah di Djiat-hoo, dan hendak cari juga kedua soeheng."

   Niekouw itu usap-usap rambut orang.

   "Nona, kau kasih tahu aku,"

   Kata ia, dengan sikap tetap lemah-lembu t.

   "siapa itu ayah kau? Kau harus ketahui, sekarang ini kau belum bisa jalan, apa pula untuk pergi kc Djiat-hoo yang ada ribuan lie jauhnya. Kau belum tahu tentang bagaimana aku telah tolongi padamu. Kau telah terluka parah, kau sudah keluarkan terlalu banyak darah, maka kau perlu beristirahat di sini, sedikitnya lagi satu bulan. Lebih baik kau tuturkan aku tentang hal-ihwalmu, barangkali aku bisa bantu pikirkan dayanya."

   Bong Tiap tidak berkeberatan akan tuturkan urusannya.

   "Tentang ayahmu, aku pemah dengar,"

   Kata si pendeta setelah berdiam sekian lama.

   "Sudah tiga atau empat puluh tahun aku tidak pemah pergi ke Kwan-lwee, keadaan di sana ada asing bagiku. Kalau ayah dan soeheng kau terancam bahaya, baiklah, aku nanti cari tahu tentang mereka, kau beristirahat di sini, aku nanti pergi, Hoei Sioe boleh layani kau. Hoei Sioe ada orang Mongolia, aku terima ia di sini untuk kerjakan ini dan itu, ia pemah pelajarkan juga ilmu silat kasarkasar."

   Di hari kedua, benar-benar niekouw tua itu telah berangkat menuju ke Djiat-hoo (Yehol).

   Hoei Sioe sudah tua dan kurus, dilihat dari romannya, ia ada terlebih tua dari si niekouw, akan tetapi menurut pembilangannya, niekouw itu lebih tua daripada ia sedikitnya tiga puluh tahun.

   Bong Tiap masih belum tahu halnya si niekouw tua, ia tanyakan itu pada Hoei Sioe, pada niekouw tua itu.

   Cuma urusan ayahnya bikin ia sangsi.

   "Kau tclah banyak ikuti Soethay begitu banyak tahun, niscaya kau tidak lemah lagi,"

   Kata ia kcmudian pada Hoei Sioe.

   "Apa kau sudi perlihatkan aku satu atau dua jurus?"

   "Mana aku beratri?"

   Sahut Hoei Sioe.

   "Aku belum berarti!"

   
Kisah Dua Saudara Seperguruan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Bong Tiap tidak puas. Ia hunjuk alemannya.

   "Kau bilang kau sayang aku, tapi untuk bersilat saja kau tidak mau "

   Kata ia.

   Memang Hoei Sioe pernah bilang, ia sayangi si nona.

   Sudah puiuhan tahun ia ikuti Sim Djie, ia scnantiasa bersendirian saja, sckarang ia dapati Bong Tiap scbagai kawan, ia gembira bukan main.

   Ia tak dapat tolak lebih jauh nona itu, ia sendiri pun lagi bersemangat.

   "Man,"

   Kata ia, yang terus ajak si nona ke pekarangan di iuar ruangan pendopo, di mana ia hampirkan satu pohon sebesar pelukan. Itu ada pohon hoa yang kuat-kekar dan ulet terhadap serangan es dan salju.

   "Nona,"

   Kata ia, seraya ia tunjuk pohon itu.

   "aku tidak punya kepandaian lain kecuali sedikit tenaga. Kau lihat ."

   Ia hampirkan pohon itu, untuk dipeluk, baharu ia keluarkan tenagapya, untuk dipakai menggoyang, atau daun-daun lantas rontok, meluruk turun.

   "Cukup sebegini,"

   Kata ia kemudian.

   "Kaiau aku bikin rusak, bila nanti Soethay pulang, dia bakal teguraku"

   Ia pun bersenyum.

   Bong Tiap jadi kaget dan kagum.

   Bukan melainkan daun pohon, yang rontok jatuh, juga batangnya, telah memberikan bekas-bekas kedua telapakan tangan dan lengan, dalamnya kira-kira tiga dim.

   Itu adalah buah-hasilnya kepandaian mclatih tenaga"Kim-kong-tjhioe"

   Atau "Tiat-see-tjiang". Kcmudian kcduanya bicara pula, sckali ini, Hoei Sioe kasih tahu kenapa dia tahu Sim Ojie bemiat ambil si nona scbagai muridnya.

   "Pemah aku tanya Soethay, bcrapa usianya, dan kenapa ia nampaknya tidak jadi tua. Aku nyatakan, apa Soethay ada mempunyai ilmu panjang umur hingga tidak bisa meninggal dunia,"

   Demikian katanya.

   "Atas pertanyaanku itu, Soethay tertawa, ia jawab. Mana aku mengerti ilmu tak jadi mati? Tubuhku sehat disebabkan aku berlatih silat. Toh ada orang tani biasa, yang makan usia sampai seratus tahun lebih! Aku baharu mendekati seratus tahun. Selama beberapa tahun ini, aku juga sudah merasai perbedaan. Orang mesti menutup mata, ilmunya Budha pun tak dapat tolong membebaskannya. Soethay menghela napas ketika ia menambahkan. Aku bakal jadi lilin yang akan habis sumbunya, hanya aku belum puas karena kepandaianku belum. ada orang yang bakal mewarisinya, aku belum dapat murid yang aku cari. Selagi mengucap demikian, Soethay nampaknya Iesu. Karena katakatanya Soethay itu, aku percaya dia tidak bakal loloskan kau, Nona. Maka itu, aku anggap kau beruntung sekali!"

   Mendengar itu Bong Tiap jadi girang berbareng heran, ia gembira sekali.

   Bagaimana girang untuk jadi muridnya Sim Djie dan perolehkan kepandaian yang tinggi.

   Hanya di samping itu, ia bingung juga.

   Bagaimana bila ia dengar kabar hal ayahnya? Apa bisa ia berdiam di kuil itu tanpa pergi sambangi ayahnya? Bagaimana bila si niekouw tua itu paksa untuk ia berdiam di sini? Sementara itu, Sim Djie telah kembali setelah beberapa hari kemudian.

   Bcrsama ia, ia ada bawa kabar yang mengejutkan.

   Itu adalah peristiwa hebat di gedungnya Keluarga Soh, tentang pertempuran dcngan pahlawan-pahlawan Istana Tjeng, hingga karenanya, pemerintah Boan telah keluarkan titah penangkapan untuk Lioe Loo-kauwsoe dan kawankawannya, antaranya si orang Liauw-tong.

   Karena itu, entah ke mana menyingkirnya Kiam Gim.

   "Karena itu, baiklah kau scndiri turut diamkan diri,"

   Kata Sim Djie pada si nona.

   Bong Tiap menurut.

   Karena ini, dengan sendirinya, ia telah jadi muridnya si niekouw tua itu.

   Selang satu bulan, sesudah iasembuh benar, ia mulai diberikan pelajaran silat.

   Sekarang ia dapat pelajaran dari Kaum "Sian Tjong".

   Itulah ada warisannya Tat Mo Siansoc dari zaman Lam Pak Tiauw, Kerajaan Selatan dan Utara, semasa Kaisar Liang BoeTee.

   Menurut centa, ketika dengan mengarungi lautan, Tat Mo Siansoe datang ke Tiongkok di mana ia berunding dengan Kaisar Liang Boc Tee, karena tak cocok pendapat, ia lantas berangkat ke Kuil Siauw Lim Sie di atas Gunung Siong San, di Propinsi Hoolam di mana, untuk sepuiuh tahun, ia duduk bcrscmedi menghadapi tembok, hingga ia berhasil membangun pelajaran agamanya, hingga ia dipandang sebagai ieiuhur pertama di Tiongkok tentang agamanya itu.

   Tat Mo Siansoe tidak cuma faham agama Budha, ia juga pandai silat dan karang dua buah Kitab "Ie Kin"

   Dan "See Soei".

   Sekarang Sim Djie turunkan kepandaiannya kepada Bong Tiap, malah ia wariskan juga piauw Bouw-nie-tjoe.

   Untuk ini, Nona Lioe bisa belajar dengan cepat, karena ia sudah punya dasar Kim-tjhie-piauw.

   Pun pelajaran pedang Tjepeh lian-peh Ngo Heng Kiam, Bong Tiap dapati secara lekas, karena ilmu pedang itu hampir bersamaan dengan Thay-kekkiam.

   Tanpa merasa, tiga tahun telah lewat, sejak Bong Tiap berguru pada Sim Djie Sin-nie, selama itu, siang ia belajarsilat, malam ia yakinkan surat, dengan begitu, ia jadi peroleh kepandaian berbareng.

   Sim Djie juga pemah ajak muridnya ini berlari-lari di tanah datar dan Mongolia dan lihat Yam Ouw, Telaga Garam dari Tibet, hingga pcmandangannyasi nonajadi luas.

   Tapi walaupun semua itu, di waktu malam, apabila pikirannya scdang melayang, nona ini seperti tcrbayang dengan roman ayahnya, romannya Ham Eng dan Boe Wie, kedua soehengnya itu.

   Tiga tahun bukannya tempo yang lama, akan tetapi, suasana telah berubah, seperti "bcnda bertukar bintang berpindah".

   Dan hikayatnya Tiongkok sudah mcngikuti karcnanya.

   Kaum Gie Hoo Toan sudah turun tangan.

   tcntaranya delapan negara asing telah meluruk ke Pakkhia.

   Gcrakan Gie Hoo Toan dari Tjoc Hong Teng telah jadi dcmikian berpenganih hingga Soenboe Yok Hian dari Shoatang tak bisa tak akui sebagai gerakan "rakyat jelata", melainkan di matanya rombongan paderi tukang sebar agama Kristcn, mereka dipandang sebagai pengacau, pembuat huru-hara.

   Demikian Duta Amerika sudah paksa pemerintah Boan tukar Yok Hian.

   Pemerintah Boan jerih terhadap Gie Hoo Toan, tenaganya dia ini melulu hendak dipakai buat menghadapi pihak asing, dari itu, tidak sedikit jua pihak Boan merasakan sayang.

   Begitu permintaan Duta Amerika diterima baik, Yok Hian ditukar dengan Wan Sie Kay si tukang jagal besar-besaran.

   Wan Sie Kay ada dari golongan penjilat asing, iapun ada mempunyai pasukan "prive"

   Yang kuat.

   Setelah sampai di Shoatang, ia lakukan penindasan kejam, hingga Kaum Gie Hoo Toan jadi tercebur dalam lautan darah.

   Kekejamannya Wan Sie Kay membangkitkan perlawanan hebat dari pihak Gie Hoo Toan.

   Dalam peperangan di Shoatang itu, Tjoe Hong Teng, telah dapat kebinasaan, tapi gcrakannya bcrtambah hebat, hingga ada cerita burung yang berbunyi.

   "Sesudah dapat binasakan si telur kura-kura Wan Sie Kay, baharu kita orang dapat makan nasi"! Selagi Gie Hoo Toan di Shoatang bergulat, kawannya di Titlee pun maju ke Thian-tjin. Tjongtok Joe Lok telah lakukan perlawanan keras tapi ia terdesak, Kota Tok-tjioe kena dirampas, malah Liong-tjia, ialah Kereta Naga dari Ibusuri See Thayhouw, telah kena dibakar musnah. Karena ini, seperti Yok Hian, Joe Lok terpaksa akui Gie Hoo Toan sebagai gerakan rakyat yang sah. Setelah Tjoe Hong Teng binasa, ia digantikan oleh Lie Lay Tiong, orang sebawahannya yang tadinya ada bekas sebawahan dari Tang Hok Siang, satu orang peperangan pemerintah Boan. Lie Lay Tiong memasuki Gie Hoo Toan sesudah dalam kalangan Gie Hoo Toan ini ada rombonganrombongan yang anti pemerintah Boan, yang menunjang pemerintah Boan itu, dan yang membelai juga. Tjoe Hong Teng sendiri masuk golongan yang "bantu Tjeng Tiauw untuk membasmi bangsa asing" (Hoe Tjeng Biat Yang). Tapi Lie Lay Tiong ini, kcmudian kena disiasati juga oleh Ibusuri See Thayhouw. Dasar ia ada bekas punggawa Boan. Lioe Kiam Gim telah memasuki Gie Hoo Toan pada tiga tahun yang lalu, kcsatu karena ia sctujui gerakan itu, kedua dengan begitu ia bisa menyingkir dari tangannya pemerintah Boan, yang hendak bekuk ia. Ia masuk bersama-sama Law Boc Wie, tetapi Boe Wie tidak demikian sungguh-sungguh seperti ia, karena hatinya Boe Wie ada tawar sesudah ia dapat pengalaman yang tak memuaskan dalam kalangan Tjit Seng Hwee. Boe Wie susul gurunya sesudah ia putus asa mencari Lioe Bong Tiap. Dan Kiam Gim datang pada Tjoe Hong Teng setelah ia sambangi isterinyadi Shoasay. Hong Teng binasa belum lama sejak datangnya Boe Wie. Kemudian Boe Wie undurkan diri, sebagai alasan, ia kemukakan niatnya mencari Bong Tiap lebih jauh. Kiam Gim juga tidak lupai gadisnya, tapi karena urusan negara ada lebih besar, ia masih tetap dalam Gie Hoo Toan, malah Boe Wie ia pesan, murid ini berhasil atau tidak cari Bong Tiap, dia mesti lekas kembali. Dalam perjalanannya ini, Boe Wie tidak terlalu menank perhatian pemerintah Boan, sebab pemerintah itu lagi repot dengan gerakannya Gie Hoo Toan. Maka itu, dengan tunggang seekor kuda, Boe Wie dapat kemerdekaannya. Ia kembali ke dalam duniaperantauan. Sembari cari Bong Tiap, ia mampir di Poo-teng. Di smi ia hendak wujudkan pesannya soesioknya Teng Kiam Beng, untuk ia jadi ahli waris dari Thay Kek Pay. Dalam hal ini, seperti diketahui, ia terdesak oleh gurunya, oleh Tjiong Hay Peng dan Tok-koh It Hang, kalau tidak, pasti ia tetap mcnolak. Untuk ini, Lioe Kiam Gim dan Tok-koh It Hang tidak bisa turut meresmikannya, cuma Hay Peng seorang yang bantu merekoki, mcngurusnya. Siapa tahu, urusan pengangkatan ahli waris ini sudah terbitkan gelombang. Murid-muridnyaTeng Kiam Beng ada campur-aduk, di antara mereka itu, yang boleh diandalkan ada Kim Hoa dan Loei Hong berdua, tetapi Kim Hoa lemah dan tak bisa jadi kepala, dan Loei Hong bertabiat keras, ia tak bisa bikin saudara-saudaranya tunduk terhadapnya. Murid-murid itu tidak puas tempo Law Boe Wie muncul dengan tiba-tiba menjadi pemimpin mereka, mereka kasak-kusuk. Boe Wie tidak dikenal, cara bagaimana dia mendadakan jadi kepala? Laginya, tidak ada bukti dan Kiam Beng, siapa mau lantas percaya habis? Laginya Kiam Bcng berseiisih dengan Hay Peng, siapa mau lantas percaya Ketua Heng Ie Pay mi? Dan ketiga, Boe Wie pun belajardari Tok-koh It Hang, maka pelajarannya bukan lagi pelajaran asli dari Thay Kek Pay. Kim Hoa dan Loei Hong suka terima Boe Wie, tetapi yang Iain-lain tidak, karcna mercka berdua tak dapat lawan desakan saudara-saudara mereka, mercka tidak bcrdaya. Tentu saja, Boe Wie jadi kebogehan dan tak enak hati, sedang Tjiong Hay Peng jadi mendongkol. Hanya, dia pun mati daya. Dia tidak bisa kasih bukti untuk pesan terakhir dari Kiam Beng perihal pengangkatan ahii waris iiu. Akhirnya, karcna ia tidak sudi paksakan dni, Boe Wie hiburkan.Hay Peng, ia bicara sedikit sama murid-muridnya Kiam Beng, lantas ia undurkan diri, ia angkat kaki. Sejak itu, tanpa kepaia, murid-muridnya Kiam Beng jadi kacau, sampai kemudian Teng Hiauw, putcranya Kiam Beng, pulang dan bereskan mereka. Sekarang Boe Wie bikin pcrjalanan melulu untuk Bong Tiap. Ia telah pergi ke empat penjuru, sampaipun ke Sin-tek dan Boe-ip. Sebegitu jauh, ia tidak peroieh hasil, sampai kemudian, secara kebetulan, ia dengar salah satu muridnya Ouw It Gok murid yang pernah rasai piauw Bouw-nie-tjoe dari Sim Djie Sin-nie cerita pada kawannya hal si nona, yang mereka kepung, kenaditolongi niekouw luar biasa itu. Orang ini, dalam takutnya, tidak bcrani sebut namanya Sim Djie. Maka untuk mencari tahu, Boe Wie mesti cari beberapa orang tctua, guna dimintai kctcrangannya. Begitulah ia dengar hal Sim Djie yang kesohor pada empat pu I uh tahun yang larnpau, yang kemudian undurkan diri, entah ke mana, hanya orang duga ia tinggal bcrsunyikan diri di tanah datar di pcrbatasan. Karcna ini, Boe Wie menuju ke tapal batas. Adalah pada suatu hari, ia sampai di tepinya Sungai Tay Hek Hoo. Ketika itu sudah maghrib dan angin sedangnya men i up keras. Dalam cuaca rcmang-rcmang, Boe Wie berjalan antara pohon rumput yang tcbal dan tinggi. Ia jalan cepat, sampai di depan sebuah tanjakan bukit. Di scbclah depan ia, masihjauh, ia lihat cahaya kelak-kelik. Ia sedang jalan dertgan asyiknya, tiba-tiba ia rasai sampokan angin, lantas pundak kirinya seperti kena ditekan orang, ketika ia segera mcnolch, ia tampak bayangan berkelebat, terus lenyap dalam gombolan rumput, yang bergoyang-goyang. Lantas ia pun menyerang dengan piauw, tetapi bayangan itu sudah lenyap, suaranya pun tidak terdengar.

   "Apakah dia itu manusia?"

   Boe Wie pikir.

   Itu ada satu gerakan sangat cepat Ia telah belajar silat sejak umur tuj uh tahun, sama sekal i ia belajar buat kira-kira dua puluh enam tahun, malah gurunya sampai dua dan ia sudah dapatkan juga In Tiong Kie punya ilmu "Poan seng teng kee"

   Atau "Mendengar suara mengenal senjata", jikalau perbuatan barusan ada perbuatan manusia, sungguh aneh.

   Maka akhirnya, ia mau anggap matanya sedang kabur.

   Sedangnya pemuda ini berpikir keras, tiba-tiba ia rasai pundaknya ada yang tekan pula, sekali ini, pundak yang kanan, malah sekarang, dari samping kupingnya ia dengar ajakan.

   "Mari!"

   Ia ada seorang yang berpengalaman, dengan garapang ia bisa melesat ke kanan, untuk terus hunus pedangnya, apa mau, ketika ia bikin gerakan demikian, tangannya kena raba hanya sarung pedangnya-pedang Langin- kiam yang sudah kosong! Maka sekarang, ia terperanjat bukan main.

   Akan tetapi, sclagi demikian, di hadapannya segera terlihat satu niekouw tua yang berjubah hitam, di tangan siapa ada tercekal sebatang pedang panjang, yang berkilau-kilauan.

   "He, bocah, di sini tak dapat orang sembarangan menghunus pedang!"

   Berkata niekouw itu, sembari bersenyum dan kakinya bertindak.

   "Di sini ada tempat kediaman Budha yang tidak boleh mendengar suara alat-senjata saling beradu!"

   Bukan main herannya Boe Wie akan kenali pedangnya, dalam kaget dan heran, ia segera insyaf bahwa niekouw ini mestilah Sim Djie Sin-nie yang kesohor, yang ia sedang cari, sebab kalau tidak, di mana ada Jam pendeta perempuan yang begini liehay? Oleh karcna itu, ia segera maju menghampirkan.

   "Loo-tjianpwee, maaf,"

   Berkata ia seraya memberi hormat dengan menjura dalam. Teetjoe ada Law Boe Wie. Teetjoe mohon tanya, apakah Nona Lioe Bong Tiap ada di sini?"

   Niekouw itu berhenti bertindak, ia mengawasi dengan tajam.

   "Pernah apamu Lioe Bong, Tiap itu?"

   Ia balik tanya, tapi sambil tertawa.

   "Nona Lioe itu ada socmoaynya teetjoe,"

   Jawab Boe Wie dengan sikap sangat menghormat.

   "Loo-tjianpwee telah tolongi nona itu, maka juga teetjoe telah datang kemari, pertama-tama untuk menghaturkan terima kasih, kedua untuk mohon bertemu dengannya."

   "Kau benar-benar bersungguh hati,"

   Berkata Sim Djie sambil tertawa.

   "Kau sampai mendapat ketahui yang aku telah bawa nona itu kemari! Memang aku pernah dengar Bong Tiap bilang, kau adalah toa-soehengnya, yang berkepandaian tinggi luar biasa, dari itu, begitu melihat kau, aku menduga padarauJ aku lantas mencoba-coba, temyataj kau betul-betul liehay."

   Habis berkata, Sim Djie angsurkan pedang pada Boe Wie.

   "Simpan ini baik-baik"

   Kata ia. yang pun kembalikan bebcrapa barang Kim-tjhie-piauw pada Boe Wie Boe Wic bingung. Baharu sckarang ia ketahui.

   "di luar Iangit ada langit, di luar orang ada orang". Ialah, orang liehay tidak ada batasnya.

   "Sekarang, marilah,"

   Sim Djie berkata pula, dcngan undangannya.

   Boe Wie manggut, ia lantas ikuti pendeta perempuan ini.

   Jalanan ada dari tepi sungai menuju ke tanah da tar rumput, lalu mcndaki bukit yang pcnuh batu bcrancka warna, hingga kclihatan cahay* kelak-kelik makin lama mak i n dekat, hingga kcmudian Boc Wie tampak, di tengah bukit mi ada sebuah kuil dari mana api terlihat, ialah dari tengiolcng yang digantung di depan rumah berhala itu.

   "Adakah ini kuil Soethay?"

   Boe Wie tanya.

   "Ya, inilah tempat bernaung pinnie,"

   Sahut Sim Djie, yang bahasakan diri "pinnie", si pendeta percmpuan yang miskin. Segera ia awasi pemuda itu, dan ia tanya.

   "Mana kudamu?"

   Orang she Lauw ini memakai sepatu piranti menunggang kuda. Boe Wie keiihatannya masygul, tetapi ia bersenyum.

   "Pada bebcrapa hari yang lalu, teetjoe diserang angin dan hujan pasir, hingga kita tersesat,"

   Sahut ia.

   "Untuk dua hari kita tak peroleh air, manusia masih dapat bertahan, binatang tidak, kudaku itu mati |kehausan."

   Sim Djie tertawa.

   "Gurun pasir disini masih tidak terlalu menakuti,"

   Kata ia.

   "Jikalau berada di Mongolia luar dan kau diserang badai, sebentar saja kau bisa ditumpuki pasir hingga mcnjadi gundukan. Kuda kau pasti ada kuda dari Kwan-lwee, yang tak biasa jalan di padang pasir dan tak tahan berdahaga, maka baharu dua hari tak makan dan minum, dia binasa. Tunggu sampai kau berangkat, aku nanti carikan kau dua ekor keledai jempolan!"

   Diam-diam Boe Wie bergirang. Niekouw ini menyebut dua ekor keledai. Di dalam hatinya, ia kata.

   "Dia rupanya telah ketahui maksud hatiku, dia tcntu akan antap Bong Tiap ikut aku."

   Sementara itu, mcrcka sudah sampai di depan kuil, Sim Djie hampirkan pintu dan ketok-ketok itu.

   "Tiap-tiap, ada tetamu, kenapa kau tidak lekas menyambut?"

   Demikian katanya. Baharu ucapkan itu habis atau sebagai gantinya, di dalam terdengar tindakan kaki yang berlari-lari, disusul sama suara yang nyaring halus.

   "Soehoe, siapa itu? Bagaimana ada tetamu datang kemari? Jangan Soehoe dustakan aku."

   Boe Wie kenali baik suara itu, tapi sekarang, ia agaknya merasa rada asing. Pun berpikir.

   "Sudah sekian lama kita berpisah, adalah dia masih pikirkan soehengnya?"

   Hatinya Boc Wie tegang sendirinya.

   Segera juga daun pintu dipentang dan di muka pintu muncul tubuhnya Lioe Bong Tiap dengan koennya panjang yang putih, hingga dia mirip dengan bidadari.

   Boe Wie mengawasi soemoay itu, yang romannya sehat sckali, sampai ia lupa mcncgur.

   Adalah Bong Tiap, yang sifatnya tetap seperti biasanya.

   Ia heran tampak Boe Wie, akan tetapi, ia berseru.

   "Apa kau ada baik? Mana ayahku? Apakah Ayah datang bersama?"

   Sim Djie tertawa menampak Ieganya si nona.

   "Ah, Bong Tiap,"

   Kata ia.

   "Soehengmu baharu sampai, bukan kau undang masuk untuk beristirahat, kau sudah hujani dia dengan banyak pertanyaan."

   Dengar begitu, Boe Wie sadar, ia tertawa.

   "Soemoay, kau baik?"

   Ia balas tanya.

   Kisah Dua Saudara Seperguruan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Soehoe ada di Hoopak, tidak kurang suatu apa, jangan kau buat kuatir."

   "Mari masuk,"

   Kata Sim Djie, yang ajak tetamunya pergi ke Ruangan Hoed-tong, kemudian ia masuk ke dalam, untuk titahkan Hoei Sioe lekas siap-siapkan air teh dan barang makanan, untuk juga carikan dua ekor keledai.

   Boe Wie gunai ketika itu akan tuturkan Bong Tiap tentang pertempuran di rumahnya Soh Sian Ie, bagaimana mereka labrak pahlawanpahlawan Boan, hingga Bong Tiap gembira bukan kepalang, tetapi waktu mendengar tneninggalnya Teng Kiam Beng, nona ini sangat bcrduka.

   Di lain pihak, ia ketarik akan dengar hal Pergerakan Gie Hoo Toan, di dalam mana ada turut orangorang perempuan.

   Bahagian perempuan dari Gie Hoo Toan disebut"AngTeng Tjiauw, atau "Sinarnya Lampu Merah".

   "Jadinya kita orang-orang perempuan tak kalah dengan orang laki-laki,"

   Kata nona ini dengan gembira sekaJi,sambil tertawa* Boe Wie bersenyum.

   "Tetapi, Soeheng,"

   Kata si nona sesaat kemudian, nampaknya ia baharu ingat suatu apa.

   "Kau telah bicara banyak, kenapa kau tidak scbut-scbutsam-sochcng. Bagaimana dengan dia?"

   Bong Tiap maksudkan Ham Eng. Boe Wie tercengang sebentaran.

   "Ya, kenapa aku lupa sebut dia?"

   Kata ia dalam hatinya. Ia insyaf akan kcalpaannya. Ia lantas tertawa dengan terpaksa.

   "Cerita panjang, Soemoay, tak bisa aku lantas bicarakan tentang Tjoh-soetee,"

   Sahut ia.

   "Soemoay jangan kuatir, ia tak kurang suatu apa-apa."

   Boe Wie lantas tuturkan halnya Ham Eng.

   Seperti sudah diketahui, di waktu dipegat, Boe Wie dirintangi oleh Ouw It Gok, dan dari tiga konconya yang liehay dari It Gok itu, dan kepung Bong Tiap, yang satunya layani Ham Eng.

   Di samping seorang itu, Ham Eng dikepung kira-kica sepuluh konco lainnya dari musuh, dari itu, ia jadi sangat repot, walaupun demikian^ untuk menyingkir dari musuh-musuhnya, ia masih leluasa.

   Demikian, sembari bertempur, ia main mundur, ia menuju ke dalam rimba, sampai beberapa musuh kctinggalan sedikitjauh di sebeiah bclakang.

   hingga akhimya dengan ngamuk sedikit ia bisa tinggal pergi semua lawannya itu.

   Hanya, dalam keadaan seperti itu, dan sudah maghrib juga.

   Ham Eng tak sempat pikir untuk tengoki soehengnya dan soemoay; dengan terpaksa, ia menyingkir terus sampai di tempat belasan lie jauhnya; ia menumpang mondok pada satu penduduk tani.

   Bcsoknya baharu ia kembali ke tempat pertempuran, tapi di situ ia tak dapati Boe Wie dan Bong Tiap.

   Karena tidak berdaya, terpaksa ia menuju ke Shoatang, pulang ke rumahnya.

   akan ikuti ayahnya, Tjoh "Lian Tjhong, mclanjuti pelajaran silatnya.

   Adalah kemudian, ketika Tjoh Lian Tjhong dapat tahu Lioe Kiam Gim berada dalam kalangan Gie Hoo Toan, ayah ini antar puteranya pada itu guru silat, hingga Ham Eng ikuti pula sang guru dalam perjuangan.

   Bong Tiap tertawa setelah mendengar keterangan soehengnya.

   "Anak itu beruntung sekali!"

   Kata ia.

   "Dia pun tak sampai terluka! Tidak demikian dengan aku, bilamana tidak ada Soehoe, yang tolongi aku, hamper aku binasa!"

   Sekarang ada gilirannya Bong Tiap, akan tuturkan pengalamannya, yang berbahaya. mendengar mana, Boe Wie ulur lidah karena gegetun.

   "Sungguh berbahaya!"

   Soeheng ini kata.

   "Soeheng,"

   Kata si nona kemudian.

   "aku juga ingin turut kau pergi melihat-lihat Gie Hoo Toan, untuk sekaliantengok ayahku. Maukah Soeheng ajak aku?"

   Tapi ia berdiam dengan tiba-tiba, agaknya ia ragu-ragu.

   "Hanya,"

   Ia tambahkan kemudian.

   "cntah bagaimana pikirannya Sochoc, ia akan izinkan aku pergi atau tidak. Kau tahu, Soehoe menyayangi aku sccara luar biasa."

   "Tiap, Anak, kau hendak cari ayahmu, bagaimana aku bisa tak mengizinkan kau pergi?"

   Demikian suara tiba-tiba dari Sim Djie, yang nampak bertindak keluar. Dan ia berkata-kata sembari tertawa.

   "Keledai untuk kau pun sudah disiapkan. Mclainkan aku hendak pesan kau."

   Guru ini segera hunjuk sikapsungguh-sungguh, ia bertindak ke depan muridnya sekali, kepala siapa ia usap-usap.

   "Kita berdua adalah berjodoh. Selama tiga tahun kau juga telah dapat mempelajarkannya bukan sedikit. Sekarang ini kau baharu dapati empat atau lima bagian dari kepandaianku, meski demikian, j ikalau kau merantau, tidak nanti sembarang orang bisa perhina pada kau, maka itu aku larang kau berlaku jumawa, teristimewa jangan lancang gunai piauw Bouw-nierjoe. Inilah pesan yang pertama. Apakah kau bisa ingat itu baik-baik?"

   Bong Tiap manggut Sim Djie menghela napas.

   "Tiap, Anak, aku hendak serahkan sesuatu kepada kau, karena aku tidak tahu, kita orang bakalbertcmu pula atau tidak"

   Ia tambahkan. Bong Tiap terkejut.

   "Soehoe mengapa kau mengucap begini?"

   Kata ia.

   "Soehoe ada begini schat-walafiat, kenapa Soehoe bilang kita orang akan bisa bertemu pula atau tidak?"

   Sim Djie Sin-nie menghela napas pula.

   "Siapa bisa bilang tentang hal-hal yang bakal terjadi?"

   Ia meneruskan.

   "Tapi, kita baik jangan bicarakan itu, kita bicara urusan lain, aku mesti bicara dengan kau."

   Ia awaskan pula muridnya itu dengan tajam, lalu ia lanj utkan.

   "Kau adalah muridku, tetapi kau bukannya murid yang sucikan diri, dari itu, tak dapat aku minta kau, seperti aku, akan itinggal menyendiri di gunung yang sunyi-scpi, berdiam di kuil tua. Siapa dapat memastikan segala apa yang belum terjadi? Aku hanya hendak terangkan, andaikata lain waktu kau datang pula kemari, kuil ini dan semua kitab yang berada di dalamnya, semua adalah kepunyaan kau, apabila kau inginkan itu, kau ialah maj ikan di sini, Soetjouwmu adalah Sian Tjong Pak Pay, Ketua dari Golongan Utara, kau telah ikuti aku beberapa tahun, kau niscaya ketahui itu, tetapi baiklah aku jelaskan sedikit tentang kedua Golongan Selatan dan Utara itu Lam Pay dan Pak Pay. Ngo Tjouw dari Sian Tjong, Hong Oen, adalah yang disebut Oey Bwee Taysoe, ketika ia buka pintunya menerima murid, ia telah punyakan seribu lima ratus pengikut. Di waktu memberikan pelajaran, pemah Ngo Tjouw inginkan sesuatu muridnya menuliskan sebuah kata-kata. murid kepala, ialah Sin Stoe, sudah menulis ujar yang berbunyi.

   "Tubuh adalah pohon bodi, hati umpama kaca terang, setiap saat hams raj in dikebuti dan disusuti, agar tidak ketempelan debu". Semua murid anggap ini adalah ujar yang paling sempurna, akan tetapi satu murid pendeta, yang kerjanya menumbuk beras, yang bemama Hoei Leng, tidak setujui itu, ia telah minta orang tolong ia tuliskan lain ujar ialah.

   "Bodi bukannya pohon, kaca terang bukannya kaca, sebenamya tidak ada benda, maka dari mana datangnya debu?"

   Ngo Tjouw kagum akan ujar-ujar ini, ia lantas angkat Hoei Leng menjadi alili vvaris.

   Kedua ujar itu telah menyatakan adanya dua aliran, maka sejak itu, Sian Tjong merupakan dua aliran atau golongan, ialah Selatan (Hoei Leng) dan Utara (Sin Sioe).

   Aliran Selatan mengutamakan kesadaran lantas, tidak usah terialu berkukuh, toh akaninsyaf, dan Aliran Utara menginginkan kesadaran perlahan-lahan, artinya kemudian| setetes demi setetes, sehari demi sehari, untuk mencari kemajuan, guna mcndapat kesadaran.

   Di zaman belakangan, orang anggap Aliran Selatan lebih sempurna dari pada Aliran Utara, tapi hal yang scbcnarnya tidak demikian, karena masing-masing ad a puny a kcscmpurnaannya sendiri-sendiri.

   Aku scndiri anggap, Aliran Utara ada lebih memberi kenyataan daripada aliran Selatan, karena jarang ada orang yang baharu tcrlahir atau yang dengan tiba-tiba mcmpcrolch keinsyafan, kesadaran.

   Aliran Utara utamakan "setiap hari rajin dikcbuti dan disusuti".

   Umpama muka kau kotor, bukankah itu perlu dicuci setiap hari? Kau bukannya murid Budha, tapi aku harap kau bisa ingat baik-baik ujarnya Sin Sioe Tjouwsoe untuk setiap waktu rajin mcngebuti dan mcnyusu t, supaya tak membikin debu bergumpal.

   Terutama di saat pikiran sesat dan kusut, kau mesti dapat memikir untuk mengcbut dan meny usuti itu hingga bcrsih."

   Bong Tiap insyaf sempurnanya ujar-ujar sang guru, akan tetapi ia heran akan sifatnya pcsan itu. Itulah mirip pesan terakhir, pesan perpisahan. Tapi, ia tidak berani mengatakan apa-apa.

   "Sekarang pergilah kau orang beristirahat,"

   Kata Sim Djie akhimya.

   "Besok Hoei Sioe akan siapkan dua kelcdai, yang biasa melaiui gurun pasir."

   Bong Tiap dan Boe Wie menurut, mereka undurkan diri, akan tetapi dihari kedua, ialah besokannya, si Nona Lioe tak dapat bicara pula dengan Sim Djie, gurunya, karena waktu ia pergi kepada gurunya itu, untuk pamitan, ia dapati sang guru lagi duduk bercokol, diam saja, kedua matanya ditutup rapat, napasnya tidak bcrjalan.

   Nyata guru itu telah menutup mata.

   Mclainkan di sampi hgnya, sang guru mcninggalkan seheiai kcrtas dengan tulisan, yang bcrpcsan agar murid ini insyaf, bahwa hati adalah pusat, bahwa segala apa ada kosong bclaka, bahwa karma ada seumpama impian.

   Ia teJah lama ikuti guru itu; ia mengerti jugatentang agama Budha, dari itu, ia insyaf pentingnya pesan itu.

   Hanya, biar bagaimana, ia toh bcrduka.

   Lantas Bong Tiap urus mayatnya guru itu, untuk mana, Boe Wie dan Hoei Sioe bantui ia.

   Habis itu, tiba-tiba ia merasa, apa bukannya Sim Djie mengharap ia jadi murid sejati, untuk ia mcnjadi niekouw.

   Merasakan ini, hatinyajadi tidak tentaram, karena ia masih muda, ia adalah satu nona.

   Maka akhirnya, ia hiburkan diri, sambil bersenyum, ia kata dalam hatinya.

   "Nona tolol, kalau kau tidak sucikan diri, siapa nanti pakaikan kau jubah suci?"

   Ia pun lantas ingat tanah datar, Muara Kho Kee Po, ia ingat ayah dan ibunyadan Ham Eng juga.

   Ingat Ham Eng, air mukanya berubah sendirinya.

   Sementara itu, dalam perjalanan ini, berdua dengan soehengnya, ia dapat perasaan, sochcng ini beda dari pada dulu-dulu.

   Boe Wie tidak lagi bcrgcmbira sewajarnya, walaupun ia tetap suka bicara dan tertawa, ia scpcrti dipaksakan.

   Soeheng ini seperti pcrbataskan diri selagi mcngawani sang socmoay, kadang-kadang bicaranya tidak lancar, seperti mesti dipikirkan dahuiu.

   Bcbcrapa kali ia dapati soeheng itu menoleh dan mengawasi ia, seperti hcndak bicara, tapi kapan ia dekati, hingga mereka jalan berendeng, waktu ditanya, soeheng itu bungkam, katanya dia "menoleh karena kuatir soemoay itu ketinggalan, kuatir nanti tcrulang kejadian sehebat di Boe-ip".

   Lama Bong Tiap pikirkan sikapnya soeheng itu, yang bagaikan tcka-tcki, tetapi tidak lama, ia dapat mencrkanya.

   Hari itu mereka sampai di utara Kota Koci-soci, ibukota Propinsi Soei-wan; mereka numpang bcrmalam di rumahnya satu penduduk di kaki Gunung Tay Tjeng San.

   Puncak gunung itu setahun gelap bcrsalju, saljunya tak pernahjadi lumer.

   Malam itu Bong Tiap tak bisa tidur, pikirannya tidak tentaram, maka ia pergi kcluar rumah dan saksikan salju yang terang bergemilang.

   , ia sedang terpesona ketika ada bayangan tiba-tiba berkelebat di depannya; waktu ia hendak menegur, bayangan itu perdengarkan suara halus yang ia kenal baik.

   "Soemoay, kau belum tidur?"

   Itulah sang toa-soeheng, Law Boe Wie. Ia bcrcekat, hatinya goncang, tetapi lekas-lekas ia tetapkan itu.

   "Eh, Soeheng juga belum tidur?"

   Ia balas tanya.

   "Aku tidak dapat tidur, melihat Soemoay bangun, aku turut bangun jawab soeheng itu sembari tertawa juga- Dasar polos, Bong Tiap tak dapat kendalikan diri.

   "Soeheng,"

   Kata ia, yang menanya.

   "Selama beberapa hari ini, kau seperti ada pikirkan apa-apa, benarkah itu? Kau biasa malang-melintang, kau berhati terbuka, ada urusan apa yang membuat kau memikirkannya? Soeheng, kau biasa pandang aku sebagai adik sendiri. aku tidak punya saudara lainnya, aku pun pandang kau sebagai kanda kandungku, maka itu, apakah kau tak dapat utarakan apa yang kau pikirkan itu ke pad aku?"

   Ditanya begitu, Boe Wie mengawasi Puncak Tay Tjeng San, yang berdiri tegar. Sampai sekian lama, baharu ia bicara. Ia tunjuk puncak gunung.

   "Soemoay, lihat Gunung Tay Tjeng San ini. Aku mirip dengannya. Salju di puncak itu tak lumer setahun gelap, dan hatiku mirip dengan salju yang ber-es itu, selamanya tak pemah lumer."

   Bong Tiap bergidik sendirinya.

   "Kenapa? tanya ia, yang alisnya mengkerat.

   "Kenapa?"

   Boe Wie ulangi.

   "Aku sendin rak tahu. Kau menanya, aku menerangkan, demikian perasaanku. Kau punya ayah, kau punya ibu, kau juga ada orang-orang yang menyayanginya. Kau mirip dengan musim Tjocn yang penuh dengan kegembiraan Tidak demikian dengan aku, sekaiipun wajahnya ayah dan ibuku, aku tak ingat jelas lagi, dan biarpun ada Soehoe dan Soebo, yang berlaku sangat baik padaku, aku sebaliknya tak dapat berdiam tetap di rumahmu. Soemoay, gunung bersalju masih belum tepat melukiskan perasaan hatiku. Kau belum bersengsara, terlunta-lunta dan mcrantau sebasai aku. Pengaiamanku, penderitaanku, ada luasdan lama. Semasa aku berusia sebesar kau, aku sudah biasa hidup sendiri saja. Aku biasa mondar-mandir seorang diri, merantau ke tempat di mana tak ada manusia, di gununggunung di mana melulu ada pekiknya sang kera dan mengaungnya sang harimau, atau di tempat air mengalir. Aku bersendirian saja di waktu pagi, di waktu maghrib! Kau tahu aku biasa merantau, kau tak tahu, hatiku sebenarnya lemah, aku biasa bersendirian, toh aku jenuh akan bersendirian senantiasa. Sering-sering aku kuatirkan datangnya sang malam gelap-gulita, lebih suka aku duduk menjublek, menunggui sang malam sampai datangnya sang fajar. Aku lebih takuti dunia yang tak bersuara, yang tak beroman, hingga di waktu tengah malam yang sunyi, aku lebih suka dcngari suaranya sang raja hutan dan kera, atau mendengari berkericikannya air mengalir."

   Boe Wie bicara terus, sampai Bong Tiap potong ia.

   "Soeheng, kau biasa merantau, mustahil kau tak mempunyai sahabat?"

   Demikian si nona, yang perhatiannya ketarik bukan main.

   "Kau toh pernah tempatkan diri dalam Gie Hoo Toan. Apakah Gie Hoo Toan tak mirip dengan laut yang bergelombang?"

   "Sahabat?"

   Dan Boe Wie menyengir tertawa getir.

   "Sahabat aku mempunyai! Aku pun punya akan guru yang menyayangi aku, seperti ayahmu itu, seperti Tok-koh It Hang yang sekarang berada di Kwan-gwa. Aku punyai sahabat-sahabat kekal, seperti itu anggotaanggota dari Pie Sioe Hwee dan Gie Hoo Toan. Toh aku masih merasakan kosong, aku kesepian, aku kekurangan satu sahabat, yang bisa turut merasai kegembiraan dan kedukaanku, yang selama sisanya saat-saat pertempuran, bisa menghiburi aku, yang dapat melegakan hatiku. Lebih banyak tempoku, ya,ng aku lewati tidak bersama sahabatsahabat, aku biasa berkawan dengan pedangku saja Belum pernah ada satu sahabatku, yang tunjuki aku suatu jalanan. Soemoay, kau ketahui cara binasanya ayah dan ibuku, maka itu aku sangat benci pemerintah Boan serta budakudaknya. Toh, walaupun aku sudah cari, aku masih belum dapati tenaga untuk gempur Kerajaan Boan yang telah berakar kuat. Aku pernah dengar dongeng tentang semut yang kecil sanggup binasakan scrigala yang besar, karcna itu, aku telah cari suatu himpunan yang berpengaruh, untuk kumpuli banyak kawan. Demikian, aku telah dapati Gie Hoo Toan."

   "Mendapatkan Gie Hoo Toan, aku juga hilang harapan,"

   Boe Wie lanjuti sesudah ia bcrhcnti scbcntar.

   "Sekarang ini Gie Hoo Toan antaranya bercita-cita Hoe Tjeng, ialah menunjang Kerajaan Boan. Juga di dalamnya, aku lihat, yang bening dan keruh bercampur jadi satu, seperti naga dan ular bergumulan, hingga sukar aku melihat tegas. Soemoay, kau tanya apa yang mengganggu pikiranku. Aku tak dapat jelaskan itu, aku seperti juga lagi mimpi dan separuh mendusin."

   Mirip seperti nona yang belum "masak", Bong Tiap tak mcngcrti soeheng ini, tapi iaterharu mendengar kata-kata orang, maka kctika dengan pelahan ia angkat kepalanya, matanya mengembang air.

   "Soeheng, aku ada satu -bocah yang tidak mengerti apaapa,"

   Berkata ia.

   "Tapi aku mengasihi rumah tanggaku, aku juga mcncintai dunia, dari itu, jikalau bisa, aku ingin berikan kebahagiaanku kepada siapa yang membutuhkannya. Aku tidak tahu, dalam hal apa aku bisa bantu kau. Satu hal aku bisa terangkan, aku bersedia untuk menjadi adikmu, rumah ku juga boleh menjadi rumah kau, di saat kau merasa kesepian, selagi kau bersendirian, aku ingin layani kau sebagai kandaku sendiri. Mengenai Gie Hoo Toan, aku ada asing terhadapnya, tetapi aku juga merasa tcrtarik. Mendengar cerita kau saja, aku sudah gembira Aku ingin menemui itu rombongan entjieenijie dan adik-adik dari Hong Teng Tjiauw, aku ingin berada di antara mereka. Rupanya di antara mereka kau masih belum dapat cicipi kesenangan."

   "Oh, Soemoay, kau barangkali benar,"

   Sahut Boe Wie dengan lesu.

   
Kisah Dua Saudara Seperguruan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Kau masih sedang segarnya, aku sudah layu. Aku bersyukur untuk kebaikan hatimu. Sekarang sudah tak siang lagi, mari kita pergi beristirahat."

   Boe Wie merasakan sangat kecewa mendengar katakatanya Nona Lioe itu, orang ada baik hati tetapi orang toh cuma pandang ia sebagai kanda, dan ia tidak be rani mendesak Bong Tiap sendiri malam itu, tak dapat tidur dengan tenang, ia masih mondar-mandir, terus sampai sang fajar datang.

   IX Sadari masih kecil.

   Bong Tiap hidup diuruki kesayangannya ayah dan bundanya, selama tiga tahun yang belakangan ini, walaupun ia bidup menyendiri, ia toh dilindungi gurunya, Sim Djie Sin-nie.

   Sampai sebegitu jauh, belum pcmah ia hadapi soal-soal atau soal yang berat, baharu kali ini,| ia merasai itu.

   Samar-samar ia ingat, inilah apa yang ia dahuiu pernah dencar.

   bahwa kalau satu anak pcrcmpuan telah menjadi bcsar, masanya akan datang yang dia akan hadapi soal seperti yang ia hadapi sekarang.

   Ia asing tcrhadap "cinta"

   Tetapi ia toh ketarik "Inilah pasti bukannya!"

   Ia kata da lam hatinva. Bong Tiap iantas ingat Ham Eng. Baharu tiga tahun yang lalu, iamasih memain pcrahu sama-sama itu saudara seperguruan. Ketika itu, pernah Ham Eng tanya ia.

   "Adikku, maukah kau bcrkumpul selamanya denganku sebagai ini?"

   Ketika itu, ia tak insyaf akan pertanyaan itu, tctapi ia masih ingat baik-baik.

   Pun, selama ia ingat Ham Eng, ia gembira.

   Sekarang juga, sesudah mereka berpisahan tiga tahun lamanya, ia percaya, kalau nanti mereka bertemu pula, mereka tak akan asing satu dengan lain.

   Ia tidak tahu, apakah ini juga yang dinamai "cinta".

   Terhadap toa-soehengnya, Bong Tiap selalu merasa menghormati dan mengagumi, ia memang memandangnya sebagai kanda sejati, dan sejak soeheng itu tolongi ia serumah tangga, ia bersyukur sekali, rasa syukur ini menjadi berlipat sctclah ia ketahui, untuk tiga tahun, soeheng itu tcrus mencari ia.

   Toh bila dibanding dengan Ham Eng, ia merasa masih lebih dekat dengan saudara she Tjoh ini.

   Hanya, terhadap kesepiannya sang toa-soeheng, ia merasa tertarik.

   Ia mau percaya, walaupun dia gagah perkasa, Boe Wie mirip dengan satu bocah yang membutuhkan kesayangan ibunya.

   Ingat ini, ia sampai lupa bahwa ia telah bcrusia scmbilan belas tabun dan sang toa-soeheng sudah tiga puluh lebih.

   Maka itu, sejak waktu itu, di antara soeheng dan soemoay ini terdapat perasaan "lebih dekat"

   Tetapipun "asing".

   Itulah ada akibatnya pertemuan malam di Tay Tjeng San itu.

   Dcmikian, dalam keadaan aneh itu, sctclah meli ntasi padang pasir, gunung dan lembah-lembah, dari tepinya Sungai Tay Hek Hoo, mereka sampai di Thong-tjioe di dalam Propinsi Tit-lee.

   Kenapa mereka tidak pulang ke Shoatang hanya menuju ke Tit-lee? Itulah disebabkan markas besar dari Gie Hoo Toan, dari Shoatang sudah dipindahkan ke Tit-lee, karena Shoatang telah masuk menjadi kalangan pengaruhnya Wan Sie Kay.

   Di Shoatang itu cuma ada scdikit or-ang Gie Hoo Toan yang masih bertahan menghadapi kepaia perang Boan itu.

   Boe Wie ajak si nona ke Tit-lee karena Lioe Kiam Gim dan Tjoh Ham Eng berada di sana.

   Apa mau, mereka ini sudah tubruk tempat kosong! Sebabnya ialah, untuk urusan perkumpulan, Kiam Gim telah berangkat ke Thian-tjin, dan Ham Eng ikuti gurunya itu.

   Boleh jadi kepergiannya itu membutuhkan tempo satu bulan.

   Karena ini, Boe Wie jadi pergi menemui Lie Lay Tiong, Ketua Gie Hoo Toan yang bermarkas di Thong-tjioe itu.

   Ketika itu, Lie Lay Tiong atau lebih benar Gie Hoo Toan sedang repot, maka itu, ketua itu tak dapat bicara lama dengan Boe Wie.

   Di Tit-lee, kemajuan ada pesat sekali.

   Umpama dalam satu Distrik Tok-tjioe, anggota Gie Hoo Toan berjumiah kira-kira tiga puluh ribu jiwa.

   Maka juga di manamana di Tit-lee, orang selalu menemui orang-orang dengan pelangi kuning, ikat pinggang merah dan tumbak panjang di tangan.

   Joe Lok, Tjongtok dari Tit-lee, menjadi sibuk sekali, hingga terpaksa iasambuti rombongan Gie Hoo Toan memasuki Kota Thian-tjin dalam kedudukan sebagai orang-orang yang setingkat derajatnya.

   Pemimpin Gie Hoo Toan yang masuk ke Thian-tjin itu ada Thio Tek Seng dan Tjo Hok Thian.

   Lioe Kiam Gim pergi ke sana atas permintaannya Lie Lay Tiong, untuk meninjau keadaan.

   Begitulah, sesudah memberi keterangan, Lie Lay Tiong Iantas minta Law Boe Wie berdiam dulu di Thong-tjioe.

   Katanya, selang satu bulan, Lioe Kiam Gim bakal kembali.

   Di lain pihak, Lay Tiong minta Bong Tiap suka pimpin Barisan Hong Teng Tjiauw, yang masih kurang pemimpin yang berani dan boegeenya liehay.

   Kalau Boe Wie kurang tertarik oleh Gie Hoo Toan, Bong Tiap ada sebaliknya.

   Dia gembira melihat nona-nona Hong Teng Tjiauw tidak gemar berias, tidak ikat kaki.

   semuanya kelihatan gesit dan toapan, sedang kedua pemimpinnya, Tang Djie Kouw dan Lauw Sam Kouw, mirip dengan orang Iclaki saja, apapula Lauw Sam Kouw.

   Berdua mereka ini Bong Tiap dan Sam Kouw lantas saja bergaul rapat.

   Selama berdiam di Thong-tjioe, Boe Wie dan Bong Tiap sering bertemu.

   Dalam Gie Hoo Toan, pertemuan antara kedua pihak lelaki dan pcrcmpuan dipandang umum.

   apapula mereka ada soeheng dan soemoay dan datangnya pun bareng, orang tidak herankan yang mereka bergaul rapat.

   Selang setengah bulan, Kiam Gim masih belum kembali.

   Lie Lay Tiong sudah kirim utusan kepada Kiam Gim, mengabarkan puterinya ada di Thong-tjioe, hanya entah kenapa, ayah itu menulis surat pun tidak.

   Menurut dugaan, utusan itu mestinya sudah sampai cukup lama di Thian-tjin.

   Selama itu juga, Boe Wie dapati suatu apa yang mendukakan ia.

   Benar Bong Tiap ada sangat baik terhadapnya, tapi selagi mereka pasang omong, tanpa disengaja, si nona suka sebut-sebut Ham Eng, dan saban kali pemuda she Tjoh itu disebut, Nona Lioe nampaknya sangat gembira "Dia masih muda sekali, aku sudah tua, dan dia pun nampaknya sukai Ham Eng, aku hams mengalah,"

   Boe Wie berpikir.

   "Dia harus berbahagia, aku tidak selayaknya mencoba mengikat dia. Kenapa aku mesti melintang di antara mercka?"

   Di pihaknya Bong Tiap, dia tidak inginkan sang toa-soeheng bcrduka, ia cuma bersikap manis budi tcrhadap soeheng itu, akan ictapi, apabila ia merasa sang toa-soeheng hendak utarakan rasa hatinya, ia menyesal sendirinya.

   Ia tidak ingin terlibat taufan.

   Lauw Sam Kouw tidur sckamar dengan Bong Tiap, selagi Iain-lain or-ang tidak lihat gerak-geriknya si nona dan Boc Wie, scbagai scorang bcrmata tajam, ia tampak itu, ia sudah lantas bisa menduga.

   Maka pada suatu malam, Sam Kouw tanya Bong Tiap, dia "sukai"

   Sang toa-soeheng atau tidak. Separuh memain ia kata.

   "Kau sudah dewasa, kau harus cari mcrtua. Aku lihat toa-soehengmu itu baik dan jujur, dia pun gagah, kau orang berdua ada sembabat sekali!"

   Bong Tiap seperti dengar guntur di kupingnya, mukanya menjadi merah, tapi ia harus jawab ini, mau atau tidak, ia utarakan kesangsiannya.

   Ia nyatakan, kedua soehengnya agaknya mcncintai ia, tapi ia sukar memilih, sedang kalau ia menunda, Boc Wie bakal menjadi tcrlebih tua.

   Sulitnya, tidak ada satu soehengnya yang pernah mengutarakan isi hatinya.

   "Inilah gampang!"

   Kata Sam Kouw sambil tertawa.

   "Siapa kau cintai, dia kau nikah! Ini ada urusan kau sendiri, tak orang yang bisa paksa naiki kau kw dalam joli pengantin!"

   Nona Lauw bicara secara sewajarnya, tapi Bong Tiap tetap bersangsi. Demikian sang tempo di lewatkan, sampai lagi setengah bulan, sampai pada suatu hari, Lie Lay Tiong beritahukan Boe Wie dan Bong Tiap, katanya.

   "Besok Ham Eng akan kembali!"

   Nyatalah, ketika utusannya Lay Tiong sampai di Thian-tjin, Kiam Gim kebetulan lagi pergi mencari kawan-kawan baharu, ketika ia pulang dan Ham Eng beritahukan kabar dari Thongtjioe, jago tua itu kucurkan air mata saking girang berbareng terharu.

   "Oh, itu anak, bagaimana ia bersengsara!."

   Ia mengeluh.

   "Selama tiga tahun, setahu bagaimana dia menderita. Sekarang ia sudah selamat, hatiku lega."

   Ayah ini tidak tabu, puterinya sebenarnya tidak menderita banyak, kecuali bahaya yang mengancam kepadanya, bahwa puteri itu telah dapat kepandaian silat yang sempurna.

   Sebenarnya Kiam Gim ingin segera tengok anaknya itu, apa mau, urusan perkumpulan lagi memintatenaganya, dari itu, terpaksa ia kirim Ham Eng saja.

   Muridnya ini sekalian bisa bicarakan satu soal penting dengan Lie Lay Tiong.

   Sebaliknya, hatinya Boe Wie tidak tentaram mendengar Ham Eng bakal datang.

   Ia sayang itu soetee dengan siapa sudah bebcrapa tahun ia tidak ketemu, tapi sayangnya itu beda dengan kesayangannya terhadap Bong Tiap.

   Tentu saja, tak dapat ia bersaing dengan ntu soetee atau memusuhkan dia itu.

   Saking kusutnya pikiran, itu tengah malam ia berbangkit, ia dandan, terus ia pergi ke kemahnya Bong Tiap.

   Malam itu, rembulan sudah mulai doyong, sinarnya teduh dan indah.

   Kcmah pun ada tenang sekali, melainkan serdaduserdadu ronda yang mondar-mandir.

   Ketika Bong Tiap diwartakan datangnya sang soeheng, ia segera keluar untuk menemui.

   Ia pun seperti belum tidur dan seperti lagi nantikan soeheng itu.

   Pertemuan dilakukan di bawah terangnya si Puteri Malam.

   Sampai sekian lama, keduanya tidak lantas bicara.

   Angin ada berkesiur halus.

   Kemudian Boe Wie angkat kepalanya, ia awasi si nona.

   "Adikku,"

   Kata ia, ketika ia mulai buka mulutnya. Sejak pertemuan malam di Tay Tjeng San, Boe Wie tidak lagi memanggil soemoay, hanya adik saja.

   "Adikku, aku hendak bicara sedikit sama kau. Aku menyesal mesti ganggu ketentaramanmu. Sekarang aku sudah berpikir, Sore hari aku biasa menyendiri, sekarang juga begitu Kau suka menjadi adikku, aku puas karenanya. Aku insyaf, aku telah berusia lanjut. Lanjut usiaku, lanjut juga hatiku. Kau sebaliknya masih muda, kau ada di saat pcrmulaan. dari itu aku tak dapat, aku tak mesti ikat padamu. Aku anggap, Tjoh Soetee adalah paling sembabat dengan kau, dia sedang mudanya. Maafkan aku, aku omong terus terang. Maka kau orang mesti jadi pasangan. Tentang aku, Adikku, kau jangan buat pikiran, aku telah tertakdir mesti terus merantau!"

   "Tidak!"

   Kata si nona, tetapi suaranya terputus, air matanya berlinang.

   Ketika ia hendak buka mulutnya, Boe Wie sudah lenyap, toa-soeheng itu telah berlompat pergi dengan pesat dan sedetik saja hilang dalam gelap-gulita.

   Malam itu seterusnya, Bong Tiap berpikir, akan tetapi, ia toh bisa ambil ketetapan.

   Besokannya, di hari kedua, Tjoh Ham Eng sampai dari Thian-tjin, di memasuki markas hampir seperti berlompatan.

   Lie Lay Tiong beberapa pemimpin lainnya, berik Boe Wie dan Bong Tiap, suda menantikan ia.

   Ini penyambutan bukan karena ada orang penting dan Gie Hoo Toan, ia hanya ada utusannya Lioe Kiam Gim dan semua orang ingin dengar kabar dari Thian Ham Eng sebaliknya tidak terlalu perhatikan Lie Lay Tong, begitu masuk, ia pentang mata ke empat penjuru.

   akan cari Lioe Bong Tiap, hanya.

   apabila ia lihat nona itu, ia tercengang.

   Romannya si nona ada lesu, sepasang alisnya mengkerut, seperti orang berduka berbareng menyesal.

   Dan ketika ia dengan bersemangat memanggil "Soemoay! sang soemoay sendiri menyahuti dengan tawar, hingga soebeng ini tak dapat berkata-kata terlebih jauh Kernudian Ham Eng memandang soehengnya.

   kembah ia menjadi heran.

   Sepasang mata yang tajam dari Boe Wie seperri tidak bersinar, orangnya sendiri nampaknya tidak bersemangat.

   Hingga ia jadi bingung, Dalam keadaan seperti itu.

   Ham Eng insyaf ia sudah berlaku keliru Seharusnya.

   setelah memberi hormat pada Lie Lay Tiong.

   ia mesti dului menegur soehengnya itu.

   tetapi sebaliknya, ia lebih perhatikan Bong Tiap.

   Dengan sendirinya, air mukanya menjadi merah.

   "Urusan kita boleh dibicarakan belakangan."

   Berkata Boe Wie sambil bersenyum apabila ia tampak kelakuan tak sewajaraya dari soetee itu.

   "Baiklah kau lebih dahulu memberi laporan, karena semua saudara disini ingin sekali dengar kabar dan Thian-Boe Wie ada seorang yang berpengalaman, walaupun hatinya pepat, ia masih ingat untuk menyadarkan soeteenya. Dengan itu jalan. ia pun menolong sang soetee dari keadaannya yang sulit itu. Ham Eng lantas hampirkan Lie Lay Tiong, untuk memberi hormat pula, kemudian, dengan sungguh-sungguh, ia kata.

   "Tjong Tauwbak, kcadaan ada gen ting luarbiasa. Semua saudara di sana lagi menantikan pendapatmu."

   Ternyata dengan semakin besarnya pengaruh Gie Hoo Toan, bentrokannya dengan bangsa asing, dengan kawanan pendeta penyebar agama asing, makin bertambah banyak.

   Memang Gie Hoo Toan ada bersikap anti asing, akan tetapi scbab-musababnya adalah dari pihak asing | sendiri, sepak terjang Gie Hoo Toan ada akibat saja.

   Semasa tahun ke-5 dari Kaisar Kuang Hsu, pihak Serikat telah minta pemerintah Boan tindas Gie Hoo Toan dan Toa Too Hwee, supaya semua pemimpinnya serta yang membantu, dihukum mati.

   Permintaan itu disertai ancaman, apabila pemerintah Boan menolak, pihak asing akan kirim tentara untuk lakukan itu sendiri.

   Muianya pemerintah luiuskan permintaan itu, Tjongtok Liap Soe Seng dari Tit-iee telah dipcrintahkan basmi Gie Hoo Toan Tjongtok ini bersikap bengis, dia bunuh saban orang, dia bakar setiap rumah, hingga rakyat gusar dan pada memasuki Gie Hoo Toan, hingga Pakkhia dan Thian-tjin jadi goncang, hingga lbusuri See Thayhouw kuatir tahtanya terguling, hingga ia tegur Liap Soe Seng seraya nyatakan.

   Tjongtok itu mesti tanggung jawab sendiri apabila rakyat berontak.

   Lain dari itu, ibusuri pun lantas pikir akan gunai Gie Hoo Toan, buat lawan pihak asing, untuk mana, ia kirim utusan ke Thian-tjin guna perkenankan Gie Hoo Toan memasuki Kota Raja .

   Pakkhia.

   Gie Hoo Toan jadi hadapkan soal.

   Memasuki Pakkhia atau jangan? Pemimpin-pemimpin di Thian-tjin, ialah Thio Tek Seng dan Tjo Hok Thian, mufakat datang ke Pakkhia.

   Lioe KiamGim tidak setuju, tetapi ia ada sebagai tetamu, ia tidak leluasa untuk bicara.

   Ia tidak percaya lbusuri mau bekerja sama-sama secara sungguh-sungguh, ia kuatir nanti kena diakali dan Gie Hoo Toan akan menghadapi bencana.

   Ia pikir untuk nyelusup dulu ke Pakkhia, akan bcrunding dengan orang-orang Gie Hoo Toan di Kota Raja.

   Kisah Dua Saudara Seperguruan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Saran ini disetujui Thio Tek Seng.

   Maka ia telah ambit ketetapan, di hari kedua dari berangkatnya Ham Eng ke Thong-tjioe, baharulah ia mau berangkat.

   Di sebelah itu, Kiam Gim tidak percaya jampi-jampi dari Gie Hoo Toan bisa memunahkan senapan dan meriam asing, ia kuatir Gie Hoo Toan nanti masuk ke Pakkhia untuk antarkan jiwa secara kecewa, maka ia suruh Ham Eng tanya pendapatnya Lie Lay Tiong.

   Buat beberapa saat.

   Lie Lay Tiong berdiam.

   Diam-diam, ia perhatikan sikapnya orang-orang, yang nampaknya sebagian setuju, sebagian tidak.

   Tapi di akhirnya, dengan bersemangat, dia berbangkit seraya.

   keprak meja dan berseru .

   "Pergi ke Pakkhia! Kenapa tidak? Inilah jalan berhasilnya kita, Orang gagah bertindak tak boleh sebagai perempuan dusun atau anak-anak! Aku nanti pimpin sendiri angkatan perang kita memasuki Pakkhia!"

   Mendengar itu, Law Boe Wie menjadi serba salah dan Bong Tiap menjadi tidak gembira.

   Dan di antara orang-orang Gie Hoo Toan, separuh gembira, separuhnya lagi berduka.

   Melainkan yang tak setuju tutup mulut mereka.

   Boe Wie masygul, oleh karena Lie Lay Tiong tidak hargai pikiran gurunya, malah gurunya itu tidak.

   disebut sama sekali, gurunya itu seperti tidak dilihat mata, seperti hendak disamai dengan "orang perempuan dan anak kecil".

   Ia setujui gurunya, tapi ia pun terpaksa mesti bungkam.

   Ketidaksenangannya Bong Tiap ada lain lagi.

   Ia anggap Lie Lay Tiong memandang enteng orang perempuan, benar ia pun bungkam tetapi mulut sudah berkelemik! Pendapatnya Lie Lay Tiong adalah fein, Dia sebenamya ada bekas opsir sebawahan dari Tang Hok Slang, jendcral di Siamsay dari pemerintah Boan, dia tinggalkan pangkatnya dan memasuki Gie Hoo Toan, ia bisa nanjak terns hingga ia diangkat menjadi Tjong-tauwbak Ia anggap, memasuki Pakkhia berarti bertemu dengan Kaisar, bertemu jugadengan Ibusuri.

   dan itu adalah suatu kehormatan besar untuk ia, untuk leluhurnya.

   Dia asal opsir rendah, tapi di Pakkhia, dia bakal duduk berendeng dengan bcrbagai menteri dan jenderal, tidakkah itu memuaskan hatinya? Maka itu, ia setuju.

   Di Pakkhia, dia mau beraksi! Sebagai -orang cerdik, Lie Lay Tiong lihat Boe Wie dan Bong Tiap tidak gembira, ia lantas tunjuki kelicinannya Ia goyangi tangan pada itu tiga saudara seraya berkata.

   "Soal memasuki Pakkhia atau tidak, kita tak usah bicarakan lagi! Kau orang sudah lama tidak ketemu satu dengan lain, aku tidak hendak haiangi kau orang, nah, pergilah keluar. Untuk kau orang pasang omong dengan merdeka!"

   Pada Ham Eng sendiri. ia urusi sambil bersenyum.

   "Kau juga sudah merdeka, jikalau kau suka, kau boleh pesiar di Thong-tjioe ini barang dua bari! Kau banyak capek!"

   Demikian Lie Lay Tiong hunjuk aksi menyayang, dengan mana ia akhirkan pertcmuan itu.

   Dengan tak gembira, Ham Eng ikuti Boe Wie dan Bong Tiap keluar.

   melihat si nona acuh tak acuh, jalannya sambil tunduk saja.

   Maka terpaksa, ia bicara dengan Boe Wie.

   Boe Wie juga tetap tidak gembira, tapi satu hal membuat ia puas.

   Itu ada halnya Teng Hiauw, putcranya Teng Kiam Beng, soesioknya atau paman guru.

   Katanya, Teng Hiauw ini sudah mencmui gurunya, sudah dua kali kembali ke Poo-teng, untuk membangun Thay Kek Pay, hingga namanya jadi Icrsohor, dan dia pernah berbuat kebaikan untuk gurunya.

   Isterinya Teng Hiauw adalah cucu perempuan dari Kiang Ek Hian, Ketua dari Cabang Silat Bwce Hoa Koen, sedang Tjoe Hong Teng, pemimpin Gie Hoo Toan, ada murid kepala dari Ketua Bwee Hoa Koen itu.

   Setelah bicara sckian lama, Boe Wie lihat Bong Tiap, lalu dengan tiba-tiba, ia kata.

   "Aku mempunyai satu urusan untuk mana aku mesti berangkat lebih dulu, kau orang sudah lama tidak bertemu, pergilah kau orang bicara!"

   Dan lantas ia pergi.

   Walaupun Boe Wie sudah tidak ada, dua-dua Ham Eng dari Bong Tiap masih likat satu dengan lain.

   Ham Eng menjadi heran dan masygul, kenapa socmoay ini menjadi demikian tawar, malah seperginya Boe Wie, mukanya berubah menjadi pucat.

   Ia ada tidak sabaran.

   Maka akhirnya, ia kata.

   "Soemoay, aku heran! Dari kecil sampai besar, kita biasa memain, tapi belum pernah aku dapati kau begini adem, kau seperti tak perhatikan aku. Kau tahu, bagaimana aku pikirkan kau sclama tiga tahun! Sayang aku tidak liehay sebagai toasoeheng, yang seorang diri telah mcrantau mencari kau. Aku, siang aku mengenangi kau, malam aku mimpikan padamu. Socmoay, urusan apa membikin kau tidak senang? Kau boleh damprat dan pukul aku, tapi janganlah berlaku tawar begini. Dari kematian kita lolos, scsudah tiga tahun kita bertemu pula, maka, ada urusan apa yang membikin kau tak senangi aku?"

   Bong Tiap angkat kepalanya, air matanya menggenang.

   "Ham Eng, aku tidak gusar terhadap kau"

   Kata ia, dengan suara sedih.

   "Aku tahu, memang tidak seharusnya aku bersikap begini, tetapi sekarang pikiranku lagi kusut Kau berikan ketika untuk aku beristirahat, nanti aku bicara denganmu. Sebentar tengah malam, kau pergi ke tangsiku, untuk kita bicara."

   Nona itu kelihatan lesu dan letih sekali. Ham Eng tidak berani memaksa.

   "Kau lesu, Soemoay, baik kau beristirahat,"

   Kata ia.

   "Sebentar malam aku nanti datang padamu "

   Demikian dua saudara itu, setelah pertemuannya yang pertama kali ini scjak tiga tahun, lantas berpisahan pula.

   Bong Tiap pulang ke kemahnya untuk terus rebahkan diri, sampai sore, ia tidak tidur, ia tidak dahar.

   Sam Kouw tanya ia, apa ia sakit, iajawab tidak.

   Ia sebenamya sedang pikirkan toasoeheng dan soehengnya.

   Ham Eng berbayang di matanya nona ini sebagai satu orang nrada dan cakap, merekapun sudah bergaul rapat sekali, berat untuk tinggalkan dia itu, hatinya goncang keras.

   Di sebelah Ham Eng ada Law Boe Wie yang gagah tapi yang usianya "lanjut"

   Seperti Boe Wie akui sendiri.

   Toa-soeheng ini sudah kenyang mcrantau dan mendcrita, dia memerlukan perhatian luar biasa.

   Kalau Ham Eng pasti akan tank perhatiannya sesuatu nona, belum tentu dengan Boe Wie.

   Maka Bong Tiap anggap, pertu ia perhatikan toa-soeheng itu, untuk mana, ia layak berkorban.

   Malam itu, seperti dijanji, Ham Eng datang.

   Rembulan ada indah dan tenang.

   Akan tetapi hatinya kedua anak muda itu tidak tentaram.

   Bong Tiap lantas saja bicara, dengan cepat, seperti ia kuatir orang potong pembicaraannya.

   la utarakan ketetapan yang tadi sore ia ambil.

   "Ham Eng, tak usah kau tanya banyak-banyak padaku, aku pun tidak ingin banyak bicara. Aku tahu hatimu, tetapi aku tetap ada soemoaymu. Aku ingin terus baik dengan kau, supaya kau berbahagia, tetapi aku kuatir kau keliru mengartikan aku Di depan kau, ada satu orang yang telah mendahului padamu, yang utarakan isi hatinya kepadaku, mulanya aku tak nial terima ia, tapi sekarang aku telah pikir itu masak-masak.

   "Siapa dia?"

   Ham Eng benar-benar memotong.

   "Dia ada toa-soeheng."

   Sahut si nona sambil ia tunduk, untuk mcnyingkir dari sinar matanya sochcng itu, ia terus menghela napas.

   "Oh, toa-soeheng!"

   Ham Eng ulangi, agaknya ia heran.

   Terus ia bcrdiam.

   A pa ia mcsii bilang? Tak dapat is larang socmoay ini baik dcngan toasoeheng itu.

   Tapi ia tak dapat pertahankan kesedihannya.

   Tiba-tiba, ia putar tubuhnya dan pergi sambil berlari-lan, tak sepatah kata ia ucapkan.

   Besoknya, Bong Tiap terima suratnya Ham Eng.

   Sochcng mi bilang tidak bisa bcrdiam lebih lama di Thong-tjioe, bahwa dia tak harap menemui pula sang soemoay.

   itu hari juga ia kembali ke Thian-tjin.

   Soeheng ini pujikan kebahagiaannya sang soemoay dan toasoeheng itu! Haiinya Bong Tiap mcmukul keras.

   Memang sukar ia lupai soeheng itu, walapun ia sudah ambil ketetapan.

   Ia berdiri bengong.

   Ia mau nangis tapi tak bisa.

   Tiba-tiba tcringat dia akan suaranya Lauw Sam Kouw, di kupingnya.

   "Kau sebenamya cintai yang mana satu?"

   Bong Tiap insyaf benar, ia cintai Ham Eng, dan terhadap Boe Wie, ia mclainkan mcrasa kasihan.

   Dalam bingungnya ini, ia pun berkuatir.

   Ke mana perginya Ham Eng? Apakah soeheng itu tidak berpikiran pendek? Sekarang ia dapat pikiran lain.

   Soeheng ini masih muda dan membutuhkan perlindungan, tidak demikian sang toa-soeheng, yang bagaikan pohon tua, tidak jerih lagi hujan besar dan taufan.

   Ham Eng ada seumpama satu cabang muda yang lemas.

   Ada hebat untuk Bong Tiap akan layani keruwetan pikiran itu, dengan tiba-tiba, ia berhenti menangis, lantas ia rapikan pakaiannya.

   ia buntal bungkusannya, kemudian, setelah soren pedangnya dan simpan piauw Bouw-nie-tjoenya, ia keluar dari kemahnya, ia berangkat untuk susul Ham Eng ke Thian-tjin! Dia tidak memberi kabar pada siapa juga kccuali ia tmggalkan sccarik kcrtas untuk Lauw Sam Kouw dan Law Boe Wie.

   Malam itu, juga Boe Wie tidak tidur barang sekejap.

   Setelah berkutet keras, ia bisa ambil putusan.

   Ia suka mengalah terhadap Ham Eng.

   Dengan mehgalah, ia mcrasa terhibur juga, karena ia jadi sudah bisa bikin berbahagia soetee dan soemoaynya.

   Tapi ia menjadi kaget dan bingung, kapan kemudian dengan beruntun ia terima dua pucuk surat, masing-masing dari Ham Eng dan Bong Tiap.

   Soetee itu kasih selamat padanya, yang jodohnya bisa terangkap dengan jodohnya Bong Tiap, kemudian, setelah nyatakan ia hendak merantau, akan teladan sang toa-soeheng, Ham Eng mohon maaf yang ia pergi tanpa pamitan- Sang soemoay, dengan beberapa huruf saja, melainkan memberitahukan hendak pergi ke Thian-tjin.

   "He, kenapa Soetee salah mengerti sampai begini?"

   Ia nyatakan seorang diri.

   "Kenapa Soemoay pun berangkat? Aku menyesal menyebabkan kcdukaan mereka"

   Lantas Boe Wie berpikir lebih jauh dan akhirnya ambil putusannya, untuk menyusul mereka itu ke Thian-tjin.

   Maka besoknya pagi-pagi, ia ketemui Lie Lay Tiong dan beritahukan maksudnya, sebagai alasan, ia hunjuk perlu ia mencmui gurunya.

   Pada mulanya, Lie Lay Tiong berniat tahan ini orang gagah.

   tapi karena kemarin ada selisih anggapan soal pergi ke Pakkhia atau tidak, dan kelihatannya Boe Wie setujui Kiam Gim, ia man percaya, orang she Law ini tidak setujui ia, dari itu, dengan tawar ia jawab.

   "Karcna kau tidak ingin bcrdiam di Thong-tjioe, aku tak dapat menahannya. Harap saja kemudian kita orang nanti bertemu puladi Pakkhia!"

   Demikian Boe Wie pamitan dari Lie Lay Tiong dan berangkat ke Thian-Tjin.

   Ia bikin perjalanan dengan cepat.

   Di sepanjang jalan, ia lihat orang-orang Gie Hoo Toan dengan pelangi kuning dan ikat pinggang merah, hatinya tertank.

   Mendekati malam sampai di Thian-tjin, sesudah pintu kota ditutup.

   Ia lihat penjagaan ada keras.

   Ia tidak pergi kepintu ia hanya cari tembok kota bahagian yang sunyi disitu ia loncat naik, mau melewatinya.

   Ia tidak ingin berabe, siapa tahu..

   Baharu ia sampai di atas tembok dan hendak loncat turun ke sebelah dalam, tiba-tiba ia dengar sambaran angin, datangnyadari arah belakang.

   Ia ada berani dan berpengalaman, bukannya ia maju terus, ia hanya mundur, akan loncat ke samping, terus ia mundur pula keluar tembok.

   Ia insyaf ia bersalah dan ia tak ingin.

   timbul bentrokan.

   Di luar dugaan, orang tidak mau mengasih ampun, orang telah susul ia seraya membentak.

   "Siapa kau yang berani nyelundup masuk ke dalam kota?"

   Dan teguran itu disusul sama satu serangan lagi, ke arah pundak. Boe Wie berkelit seraya ia terus bcrsiap dengan "Gie hoe say bong"

   Atau "Nelayan menjemur jala", melulu untuk luputkan diri dari ancaman bencana. Penyerang itu bukannya seorang biasa saja, ia bersenyum seraya tangan kirinya dipentang dalam gerakan "Pek hoo Hang tjie"

   Atau "Burung Hoo putih bukasayap", lalu dengan tangan kanan, ia menyerang ke arah perut.

   Boe Wie menyedot perut seraya sedikit membungkuk, kakinyaditarik ke belakang, buat egoskan tubuh sambil mundur, akam tetapi lawan tidak mengasih tetika,dia maju pula, sekali ini, tangan kanannya dan atas turun ke bawah dalam gerakan "Slua kwa tan ian"

   Atau "Sambil miring menggantung ruyung".

   Menampak serangan hcbat itu, Boe Wie tidak mau keras lawan kcras.

   Segcra ia keluarkan kegesitan, yang ia dapat pelajarkan dari Tok-koh It Hang, mencelat ttnggi dan jauh dua-tiga tumbak.

   ia menjadi heran, hingga ia batal untuk segera perkenalkan diri.

   Lawan itu sudah gunai Thay Kek Koen yang delapan atau sembilan bagian sempurna.

   
Kisah Dua Saudara Seperguruan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
la tidak sangka, di sini ia bertemu sama ahii Thay Kek Koen itulah kepandaian, yang mirip digunai gurunya.

   Sekalipun soesioknya, Teng Kiam Beng, tidak ada sedemikian liebaynya.

   Siapa ini orang dan dari siapa dia peroleh kepandaiannya? Untuk mencoba melayani tanpa gunai Thay Kek Koen, Boe Wie lantas mainkan Pwee-pwee Lak-tjap-sie-tjhioe kim-nahoat, hingga sekarang ia bikia heran lawannya itu.

   Siapa lantas maju tetapi tanpa menyerang.

   "Kau siapa?"

   Ia tanya.

   "Lekas perkenalkan diri, supaya kita jangan salah mengeni!"

   Boe Wie tidak mau iantas perkenalkan diri, sambil bersiap, ia bilang.

   "Tidak tanya lagi hijau merah hitam putih, datangdatang kau serang aku, maka sekarang aku ingin saksikan kepandaianmu kenapa kau ada begini galak. Lawan itu bertambah heran. ia ditantang. walaupun ia mendongkol, ia menahan sabar. la pun mau menduga pada mata-mata musuh.

   "Di Kota Thian-tjin yang besar itu, belum pernah aku lihat orang berwenang-wenang seperti kau"

   Ia berseru.

   "Bagaimana aku bisa antap kau datang dan pergi menuruti sukamu send in? Apakah itu tidak akan menyebabkan orang pandang enteng pada saudara-saudara dari Gie Hoo Toan yang melindungi kota ini? Aku tidak berkepandaian tinggi, tapi aku tak dapat izinkan kau main gila!"! Lalu. ia pun bersiap sedia. Boe Wie ingin mencoba, ia tidak sangsi lagi untuk maju, membuka kedua lengannya, ia merangsek. Benar-benar ia gunai Kim-na-hoat. Ancaman Boe Wie ada hebat. Lawan itu tidak kcnali orang punya gerakan, ia bersangsi untuk menduga Pek-kwa-tjiang atau Kim-na-tjhioe yang umum. Scbcnarnya itu ada kim-na-hoat dari Eng Djiauw Boen, kcpandaian istimewa dari Tok-koh It Hang. Tapi ia tidak jerih, ia tenang dengan Thay Kek Koen. Pokoknya Thay Kek Koen memang "ketenangan menantikan gerakan". Kalau "musuh tidak bergerak, sendiri diam, sekalinya musuh bergerak, sendiri mendahului". Oleh karena ini tidak heran jikalau kedua tandingan ini Iantas saja bertarung dengan seru, tenang lawan tenang, gesit lawan gesit Cepat sekali, lima puluh jurus tclah dikasih lewat. Sampai di situ, perbedaan mulai tertampak. Boe Wie merangsek, ia tidak dapat basil, sebaliknya, bebcrapa kali, ia kena didesak, baiknya ia gesit menangkis dan berkelit, ia tidak sampai kena dirubuhkan. Kepandaian mereka berdua ada berimbang, Boe Wie menang pengalaman, kalau ia toh terdesak, itu disebabkan ia belum keluarkan Thay Kek Koen. Kalau Thay Kek Koen ia telah yakin buat dua puluh tahun, Kim-na-hoat baru lima tahun, scdang begitu, ia mesti layani Thay Kek Koen dari belasan tahun. Biasanya ia liehay karena ia gunai dua-dua kepandaiannya secara tercampur, Sekarang ia tidak gunai Thay Kek Koen. Syukur untuk ia, ia sudah dapati tujuh bagian dari kepandaiannya Tok-koh It Hang. Untuk cegah dirinya dirubuhkan, yang mana bisa mcndatangkan rasa malu dan kecewa, sampai di situ, Boe Wie ubah caranya bersilat. Lantas saja ia keluarkan Thay Kek Koen, bahagian Thay-kek-tjiang, bertangan kosong, dengan beruntun ia pergunakan "Giok lie tjoan so"

   Atau "Bidadari menenun".

   "Djie hong soe pie"

   Atau "Seperti menutup seperti merapat.

   "Sam hoan to goat"

   Atau "Tiga kali mclibat rembulan", dan "Teng san kwa houw"

   Atau Menunggang harimau mendaki gunung". Begitu lekas desakan itu, lawan yang menjadi kaget, Boe Wie melompat keluar kalangan, terus ia menegur.

   "Eh, kau juga keluaran Thay Kek Boen?"

   Law Boe Wie hentikan penyerangannya, ia bersenyum.

   "Ya, aku ada dari Thay Kek Boen!"

   Ia jawab.

   "Kau sendiri siapa wariskan kau kepandaianmu?"

   Ia balas tanya. Atas jawaban itu, sang lawan bertindak maju, untuk mengawasi, kemudian ia sambar tangan orang, buat di tarik sambil dicekal keras.

   "Loo-soehoe Lioe Kiam Gim itu apamu?"

   Ia tegaskan. Boe Wie terkejut untuk sikap dan lagu suara orang.

   "Lioe Loo-soehoe adalah guruku,"

   Ia jawab. Baharu saja dengar itu jawaban, lawan itu lantas kucurkan air mata.

   "Oh, kau jadinya ada Soeheng Law Boe Wie!"

   Kata ia, yang agaknya terperanjat.

   "Siauwtee justeru sedang cari kau! Gurumu gurumu."

   Ia tak dapat berkata terus, ia menangis sesenggukan, tersedu sedu. Boe Wie kaget, ia tarik lolos tangannya.

   "Guruku kenapa?"

   Tanya ia.

   "Bilang, bilanglah!."

   Orang itu mencoba berhenti menangis, ia susuti air matanya.

   "Gurumu .. gurumu orang aniaya hingga binasa."

   Saahut ia dengan susah. Itulah guntur di siang hari. Bagaikan orang kalap, Boe Wie jambak kedua pundak orang, ia mengawasi dengan mendelong.

   "Apakah itu benar?"

   Ia tegaskan.

   "Bagaimana kau ketahui?"

   Orang itu berdiri tegak, ia pun mengawasi dengan mata tak bergeming "Mayat gurumu itu adalah aku yang kubur dengan tanganku sendin,"

   Ia menyahui dengan pelahan, tetapi suaranya tetap.

   "Gurumu adalah soepehku sejati. Teng Kiam Beng adalah ayahku! Semasa aku bcrada dengan Lioe Soepeh. Sering aku dengar ia sebut-sebut kau. Soeheng. Itupun sebabnya kenapa aku berniat pergi ke Thong-tjioe, untuk cari kau, siapa tahu di sini kita berpapasan, kita bentrok"

   Baharu saja Teng Hiauw tutup mulutnya.

   atau Boe Wie, muka siapa pucat dengan tiba-tiba.

   rubuh seketika, kedua tangannya terpentang ia pingsan! Inilah tidak aneh.

   Sejak umur tujuh tahun.

   Kiam Gim telah rawat dan didik ia, sampai umur dua puiuh tahun lebih.

   baharu ia keluar dan perguruan.

   maka itu.

   namanya mereka ada guru dan murid.

   Kenyataannya mereka mirip ayah dan anak.

   Budi yang demikian besar tidak pernah Boe Wie lupakan Sekarang, dengan sekonyong konyong, ia dengar itu kabar celaka, bagaimana hatinya tidak mencelos! Lioe Kiam Gim ada liehay sekali, ia berpengaiaman dan sabar, mengapa ia nampak bencananya itu? Iniiah sebab ia memasuki Pakkhia.

   Gie Hoo Toan telah terpecah dalam tiga aliran, yang pertama "Hoan Tjeng" (Melawan pemerintah Boan), yang kedua "Hoe Tjeng" (Menunjang pemerintah Boan), dan yang ketiga "Poo Tjeng" -"Melindungi Kerajaan Boan".

   Kiam Gim masuk dalam Golongan "Hoan Tjeng".

   Tjoe Hong Teng dan Thio Tek Seng ada dari rombongan kedua, Hoe Tjeng.

   Di dalam Kota Pakkhia, Kota Raja, yang paJing kuat ada rombongan Poo Tjeng.

   Rombongan ini terdiri dari mentenmenteri dan mereka yang tcrhitung gundal Boan, yang sengaja nyelundup masuk dalam Gie Hoo Toan, uniuk bckcrja dalam air keruh, di antaranya ada kawanan wie-soe atau pahiawan, bekas orang-orang Kang-ouw jahat, juga guru-guru silat orang Boan dan murid-murid paderi Lhama, semuanya terdiri dari orang-orang Han dan Boan.

   Di antaranya, ada lagi buaya darat dan cabang-cabang atas yang melulu inginkanpangkat dan uang Adalah golongan yang belakangan ini yang sepak terjangnya paling rajin.

   Ketua Gie Hoo Toan di Pakkhia ada Ouw Houw Tjoe, dia bukannya Kaum Poo Tjeng, akan tetapi dia ada sangat lemah, gampang dengar saran, sudah ia tak mampu urus kumpulan, akan rapikan keadaan dalam, dia kena dilagui oleh rombongan Poo Tjeng.

   Belum lama Lioe Kiam Gim dari Thian-tjin datang ke Pakkhia, lantas ia rubuh sebagai korban.

   Sesampainya Lioe Loo-kauwsoe di Kota Raja, di mana ia berdiam dalam markas Gie Hoo Toan, di sebelahnya rnemperhatikan suasana, ia bikin perhubungan sama rombongan Hoan Tjeng.

   Di sini ia ada asing, sebaliknya orang Gie Hoo Toan ada campur-aduk, ia nampak kesulitan.

   Untuk cari kawan, mau atau tidak, ia mesti sebutkan ia asal rombongan mana.

   Ketua Ouw Houw Tjoe sambut dengan baik utusan dan Thian-tjin ini, yang diperlakukan sebagai tetamu terhormat, sering dia datang mengunjungi untuk pasang omong.

   Ia pun perkenalkan Kiam Gim dengan lain-lain pemimpin.

   Mengetahui yang Lioe Loo-kauwsoe ada ahli Thay Kek Koen, ada orang-orang yang mohon pengunjukan.

   Kiam Gim ada beda danpada Kiam Beng, ia jaga pesan baik gurunya.

   Ia suka bergaul, ia ingin dapati kepandaian lain orang, tetapi dalam hal kepandaiannya sendiri, ia biasa merendah.

   Hanya ini kali, ia bersikap lain.

   Ia ingin cari sahabat.

   Orang-orang yang minta pengunjukan itu ada orang-orang muda, ia suka layani mereka.

   Pada suatu hari, selagi Kiam Gim datang kepadanya, minta pengunjukan.

   Ia melayani seperti biasa, ia tidak menduga jelek, waktu orang minta ia "main-main ia juga tidak menampik.

   Memang, untuk memberikan pengunjukan, orang mesti "main-main", dan itu artinya, mereka harus bergebrak bergebrak sungguh-sungguh tetapi bukan benar-benar.

   Dua anak muda telah dikalahkan Kiam Gim, di antara mereka tidak terjadi apa-apa.

   Kemudian Lioe Kauwsoe mesti layani orang ketiga, yang perkenalkan diri sebagai muridnya guru silat Shong Keng Tong dari Ngo Heng Koen.

   Dengan merendah, pemuda ini berkata.

   "Aku baharu belajar, tolong Loosoehoe menghunjuki pelahattlahan, supaya aku dapat mengerti dengan baik."

   Atas itu, dengan merendah, Kiam Gim kata.

   "Gurumu ada sahabatku, dia ada Ketua dari Ngo Heng Koen, maka di sebawahan dia, tidak akan ada murid yang lemah. Jangan kau tertalu merendahkan diri."

   Meskipun begitu, permintaan itu diluluskan.

   Kapan main-main telah dimulai, Kiam Gim suruh anak muda itu keluarkan Ngo Heng Koen, ia akan pecahkan dengan Thay Kek Nampaknya gerak-gerik si anak muda ada kaku, kelihatan benar dia masih baharu, kaki tangannya sangat lambat, dari itu, ia pun diberikan pengunjukan dengan sama ayalnya.

   Dari jurus pertama, pengunjukan dibenkan terus-menerus sampai di jurus ke dua puluh dua, yang disebut "Shia hoei sie"

   Atau "Terbang miring". Dari samping kanan, pemuda itu "membacok"

   Pundak kanan Kiam G i m, siapa tangkis itu dengan tangan kifi, tentu saja dengan pelahan juga.

   Shia hoei sie ini ada tipu-tipunya.

   Umpama musuh menyerang dari samping kanan, untuk cckal lengan kanan kita, kita putar tangan, untuk mclcpaskan diri, berbareng kita menyerang dengan tangan kiri dari bawah dad a.

   Umpama musuh tarik pulang tangannya dan balas menyerang ke kiri, kita kelit sambil menurunkan lengan kiri, ialu tangan kanan menyambar leher atau tenggorokan musuh.

   Kalau serangan ini mengenai.

   akibatnya hebat.

   Demikian, dengan gembira, Lioe Kiam Gim kasih keterangan pada anak muda itu, siapa manggut-manggut, tetapi waktu Lioe Kauwsoe bilang.

   "Musuh bakal terdampar setumbak jauhnya!"

   Ia berseru.

   "Apakah benar demikian? Tak bisa jadi!"

   Mendadakan tangan kanannya, cepat luar biasa, dipakai menyerang dadanya ahli Thay Kek Koen itu! Menyusul itu, ia menjejak tanah dengan tipu "Kim lie tjoan po"

   Atau "Ikan leehie emas serbu gelombang", untuk mencelat mundur satu tumbak jauhnya, guna kabur keluar dari kalangan.

   Pemuda itu bukannya ahli waris Ngo Heng Koen, ia hanya utamakan "Tiat-see-tjiang", atau "Tangan pasir besi", yang ia telah yak in lebih dari sepuluh tahun, hingga tangannya kuat luar biasa, bisa menembusi perut kerbau.

   Di saat biasa, tidak nanti Lioe Kiam Gim kena diserang, tapi sekarang ia benarbenar tidak siap sedia, ia tidak curiga sama sekali, maka tangannya si pemuda mengenai ia dengan jitu.

   Selagi pemuda itu berlompat, Lioe Kiam Gim berseru, tubuhnya menyusul mencelat maju.

   Ia tidak rubuh karena bokongan itu, ia masih bisa mengejar.

   Ia gunai loncatan "Kauw yan tjoan lim"

   Atau "Walet tembusi rimba". Ia insyaf ia sudah terluka parah, tapi latihan dari puluhan tahun bikin ia punyakan sisa kctangguhan, dari itu, ia masih bisa mengejar. Ia ingin.

   "batu pualam dan bata hangus musnah bersama", supaya mereka bisa binasa berbareng! Berbareng dengan itu, juga kawan-kawannya si anak muda turut berseru, menyusul mana, beruntun mereka menyerang dengan senjata rahasia kepada jago tua itu. Tapi Kiam Gim sudah tidak hiraukan apa juga, ia tak perdulikan tubuhnya kena senjata-senjata rahasia itu. Ia berhasil mencandak musuh, ia menyerang dengan tangan kanan kepada bebokong musuh itu. Ia gunai "Tjit seng tjiang"

   Atau "Tangan tujuh bintang".

   Pemuda itu tidak sudi terima binasa dengan mandah saja, setelah dapat kenyataan ia tersusul, ia pun balik tubuhnya, ia balas menyerang dengan Tiat-see-tjiang.

   Ia ingin, kalau kedua tangan beradu, ia bisa pukul patah tangan musuh.

   Tapi, ketika kedua tangan bentrok, tangannya Kiam Gim jadi lemas bagaikan kapas, serangannya tidak mendapat hasil, hingga ia kaget bukan kepalang.

   Selagi ia terperanjat dan berlambat, tangan kanan Kiam Gim sudah bergerak pula, mencekal nadinya, tiga buah jan mencengkeram keras, segera seluruh tubuhnya sesemutan dan jadi habis tenaga, jinak bagaikan kambing, tubuhnya kena ditarik.

   Lalu, dengan satu suara tertawa seram yang panjang, Kiam Gim ulur tangan kirinya, menimpa kepala orang, maka tak ampun lagi, pemuda itu pecah remuk batok kepalanya! Setelah bikin mampus musuh busuk itu, Kiam Gim memutar tubuh, akan sambut beberapa kawannya si anak muda, yang menyusul ia.

   Kakinya bergerak mcndahului kepalannya, atas mana, satu musuh menjerit mengerikan, tubuhnya rubuh mental, ketika kakinya remuk patah, darahnya muncrat, tubuhnya itu tak tergeming lagi! Tidak ada satu musuh, yang sanggup menduga Kiam Gim ada demikian tangguh, maka itu, berbareng kaget dan takut, mereka putar tubuh, untuk lari.

   Kiam Gim masih hendak menyusul, akan tetapi, tenaganya sudah lantas habis, runtuh pembelaan semangatnya, maka sebelum bisa mengejar, tubuhnya lantas rubuh.

   Pada itu waktu, Teng Hiauw sedang berada di tempatnya Ong Houw Tjoe, ia dikabarkan telah terjadi keributan di tempatnya Lioe Loo-kauwsoe, ia menjadi heran sekali.

   Ia tidak mengerti, kenapa dan siapa orangnya yang berani main gila.

   Tidak tempo lagi, ia lari untuk melihat, tetapi waktu ia sampai, napasnya Kiam Gim tinggal empas-empis, mukanya pucat bagaikan kertas.

   Ia ini lihat Ong Houw Tjoe dan Teng Hiauw, yang ia kenali, pada putera soeteenya itu, ia manggut seraya kata dengan lemah.

   "Bagus kau datang!."

   Teng Hiauw lantas saja keluarkan air mata, saking terharu.

   Buru-buru, ia pimpin bangun soepeh itu.

   Ong Houw Tjoe heran hingga ia berdiri menjublek.

   Tapi ia segera insyaf, soepeh dan soetit itu tentu hendak bicara rahasia dan ia mesti menyingkir.

   Di sebelah itu.

   ia menduga pada akal-muslihat keji, makasebagai Ketua Gie Hoo Toan, ia mesti bertindak, agar tidak sampai ia berbuat kecewa terhadap tetamu jagoan dari Thian-tjin itu.

   Begitulah, ia lantas undurkan diri.

   Teng Hiauw lihat ketua itu mundur pula, ia mengerti, ia tidak mencegah, sebaliknya, ia hendak toiong Kiam Gim, buat sekalian periksa, bagaimana lukanya.

   Kisah Dua Saudara Seperguruan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Selagi ia membungkuk, ia lihat soepeh itu menghela napas, kemudian goyang-goyang kepala dan berkata.

   "Teng Hiauw, tak usah kau sibuk lagi. Tak dapat lagi bagiku untuk berlalu dari Pakkhia ini. Satu jam jua aku tak bisa lewati lagi. Di luar dugaan, aku terbokong Tiatsee- tjiang dari itu jahanam, dan dua rupa senjata rahasia yang dipakaikan racun mengenai tubuhku, umpama ada rumput leng-tjie. jiwaku tidak akan tertoiong lagi. Aku binasa dengan meminta ganti jivva, dengan mendapat bunganya juga, sebab si jahanam aku telah hajar mampus. demikian juga satu konconya!"

   Teng Hiauw percaya keterangan ini.

   karena ia lihat satu mayat menggeietak dan seorang lain rcbah tidak berkutik, tapi, walaupun soepeh itu lemah dan mukanya pucat, ia membutuhkan keterangan, untuk ketahui duduknya kejadian, buat ketahui siapa si pcnjahat.

   Lioe Kiam Gim mencoba melegakan napasnya, lalu ia terangkan duduknya ha].

   mulai dari orang datang untuk minia pengajaran, sampai ia dibokong.

   Kemudian, ia tambahkan.

   "Tidak apa aku terbinasa, hanya sayang, penjahat itu ada orang sendiri. Maka pergjlah kau beritahukan Ong Houw Tjoe, agar ia sadar, dan kemudian kau pergi kabarkan Lie Lay Tiong di Thong-tjioe, untuk ia waspada!"

   Teng Hiauw heran dan kaget. Ia pun lihat, soepeh itu mulai keteskan keringat sebesar-besar kacang kedele.

   "Soepeh, baiklah kau beristirahat,"

   Kata ia.

   "Beristirahat?"

   Kata Kiam Gim, yang kuatkan hatinya.

   "Sebentar aku akan beristirahat untuk selama-lamanya. Sekarang, aku hendak bicara. Teng Hiauw, ini bukannya perkara perseorangan, ini ada kepentingan umum. Kau tahu, ada orang yang tak sudi Gie Hoo Toan jalan benar!"

   Mukanya jago tua itu berubah jelek sinamya, tapi ia terus kuati hati. Ia tambahkan.

   "Tak usah kau can musuhku lagi, dia pun sudah aku binasakan dengan tanganku sendiri. Aku cuma mau minta kau pergi ke Thong-tjioe, akan mencari muridku yang kepala, Law Boe Wie, serta soemoay kau, Bong Tiap. Tuturkan mereka kejadian di sini, tentang suasana yang buruk ini, lantas suruh mereka nasihati Lie Lay Tiongjangan masuk ke Pakkhia, atau kalau toh dia memasukinya juga, paling dulu ia mesti bikin pembersihan di dalam kalangan sendiri!"

   Bukan main berdukanya Teng Hiauw. Ia lihat soepeh itu mulai lelah.

   "Soepeh, kau hendak pesan apa lagi?"

   Tanya ia. Lioe Kiam Gim menghela napas, dengan sangat pelahan.

   "Oh, tidak"

   Ia jawab.

   "Aku hanya pikiri Bong Tiap. Kau bilangi ia bahwa ayahnya mengharap-harap ia ada baik!."

   Habis mengucap demikian, kepalanya Lioe Loo-kauwsoe melenggak, maka secara demikian berpulanglah ke dunia lain satu ahli Thay Kek Koen yang kesohor.

   Teng Hiauw mau menangis tetapi air matanya tidak keluar! Bagaimana aneh! Pada tiga tahun yang lampau, soepeh ini telah mengubur mayat ayahnya, dan sekarang, ia menggantikan mengurus jenazahnya soepeh ini.

   Dengan sangat sepi, ia lakukan upacarapenguburan, Ong Houw Tjoe cuma kirim wakilnya, ia jadi merasa tidak tenang sendirinya.

   Sebenarnya Ong Houw Tjoe hendak bertindak mencari konconya si pembunuh, ia hendak jalankan aturan perkumpulan, apa mau, ia ada terlalu lemah, karena di sekitarnya, ia dirubungi oleh rombongan Poo Tjeng, karena kebinasaanya Kiam Gim justeru ada hasil persekutuannya rombongan pembeia Kerajaan Boan itu.

   Rombongan Poo Tjeng, atau Poo Tjeng Pay, dikepalai oleh Gak Koen Hiong, yang gagah, dan di antara sebawahannya, ada banyak wie-soe, pahlawan-pahlawan Boan, yang asalnya ada penjahat-penjahat besar dari dunia Kang-ouw.

   Begitu ia dengar kebinasaannya Lioe Kiam Gim, Gak Koen Hiong datangi Ong Houw Tjoe dan tanya bagaimana Ketua Gie Hoo Toan ini hendak bertindak.

   Dalam ilmu silat, Gak Koen Hiong menangi Ong Houw Tjoe, walaupun dia ada Hoe-tauwbak dari Gie Hoo Toan, pengaruhnya menarfgi Tjhia-tauwbak she Ong itu, oleh karenanya, Ong Houw Tjoe rada jerih terhadapnya.

   Maka itu, waktu ditanya, Houw Tjoe jadi tergugu.

   "Kau lihat bagaimana?"

   Ketua ini balik tanya.

   "Lioe Looenghiong ada dari golongan terlebih tua dan kenamaan, sekarang ia terbinasa gelap, tak dapat kita tidak melakukan penyelidikan dalam perkaranya ini."

   "Bagaimana ia terbinasa secara gelap?"

   Gak Koen Hiong membaliki dengan mata terbelalak.

   "Sudah terang, dia dapat nama besar yang kosong belaka. Dia pieboe, dia keliru kena dilukai! Aku percaya dia cuma teriuka sedikit, lalu ia turunkan tangan jahat, ia binasakan dua orang kita, karena mana, orang-orang kita bunuh padanya. Tua bangka itu ganti satu jiwanya dengan dua jiwa orang kita, apakah itu tidak cukup berharga? Apa kau hendak rusakt keakuran persaudaraan kita melulu untuk orang luar? Apakah kau tidak takut nanti membikin tawar hatinya saudara-saudara kita?"

   Ong Houw Tjoe jerih, ia kedesak.

   "Saudara, kau lakukan apa yang kau pikir baik, aku turut saja,"

   Kata ia akhirnya.

   Saking jerih, ketua ini sampai tak berani datang sembahyangi sendiri pada arwah Lioe Loo-kauwsoe, hingga diam-diam orang-orang rombongan Poo Tjeng Pay tcrtawai ia.

   Teng Hiauw ada jeli matanya dan cerdik, ia datang ke Pakkhia belum lama, tapi ia bisa lihat suasana, lantas saja ia mengerti duduknya keruwetan di Kota Raja ini.

   Ia tahu diri, ia tidak mau banyak omong.

   Rombongan Poo Tjeng Pay juga tidak bcrani ganggu pemuda she Teng ini.

   Ia ada babah mantu dari Kiang Ek Hian, Ketua dari Bwee Hoa Koen, sedang Kiang Ek Hian ada gurunya Tjoe Hong Teng, pendiri dari Gie Hoo Toan.

   Sudah bcgitu, kedudukannya Teng Hiauwdalam Gie Hoo Toan ada scparuh anggota dan separuh tctamu yang dihormati, dia pun liehay, orang jadi malui padanya.

   Meskipun demikian, Teng Hiauw anggap Pakkhia ada panas untuknya, maka itu,sesudah sclcsai raengubur jenazah Lioe Kiam Gim, ia hendak segera berlalu, untuk pergi cari Law Boe Wie dan Lioe Bong Tiap, di Thong-tjioe, apa mau selagi ia pamitan dari Ong Houw Tjoe, dia ini hadapi satu urusan Denting dan ia diminta pergi ke Thian-tjin untuk urusan rahasia itu.

   Ia terima baik tugas ini, sebab kebetulan isterinya, Kiang Hong Keng, berada di Thiantjin, hingga ia boleh sekalian ketemui isterinya itu.

   


Legenda Kematian -- Gu Long Duri Bunga Ju -- Gu Long Gelang Perasa -- Gu Long

Cari Blog Ini