Ceritasilat Novel Online

Kisah Dua Saudara Seperguruan 9


Kisah Dua Saudara Seperguruan Karya Liang Ie Shen Bagian 9



Kisah Dua Saudara Seperguruan Karya dari Liang Ie Shen

   

   Si opsir gembira sekali, ia puas telah dapat tawan orangorang Giehoo-toan dan Piesioe-hwee dengan berbareng.

   Sementara ltu, penduduk di sepanjang jalan pada ketakutan, mcreka singkirkan diri bagaikan ayam kabur dan anjing ngiprit.

   Barisan tentara ini jalan terus, ketika sang maghrib mendatangi, mereka terpisah dari Kota Anpeng tinggal lagi lima puluh lie.

   Waktu itu mereka berada ditanjakan Tjiasekkong.

   Supaya bisa sampai scbclum malam, mereka jalan dengan cepat, kuda mereka dicambuki berulang-ulang.

   Tanjakan Tjiasek-kong ada seperti bukit tersusun.

   tanahnya ada tanah merah.

   Di kedua tepi jalanan ada tumbuh pohon kaoliang yang tinggi sependirian manusia.

   Tatkala itu, angin meniup-niup, hingga pohon-pohon kaoliang jadi rebah bangun bagaikan gelombang.

   Selewatnya tanjakan ini, jalanan rata, dari situ, Kota Anpeng sudah bisa terlihat.

   Selagi barisan serdadu ini Icwati tikungan di kaki puncak, dari scbclah atas, antara pepohonan lebat, ada terdengar suara orang tertawa, yang disusul sama suara tindakan kaki yang nyata, kemudian kelihatan munculnya satu orang mcndckati umur empat puluh tahun.

   yang dandan sebagai satu anak sckolah.

   Mahasiswa ini bcrsikap anch.

   Bcberapa tumbak lagi akan sampai di depan serdadu-serdadu berkuda, yang jalan paling depan, mendadakan ia angkat kedua tangannya, ia rangkap itu, untuk memberi hormat, sedang dari mulutnya segera terdengar kata-kata| yang berirama nyanyian, katanya.

   "Jalanan ini adalah aku yang buka, gunung ini adalah aku yang rawatj maka itu siapa berlalu-lintas di sini, dia harus membayar uang sewa jalan!"

   Habis itu, dengan kipasnya dia tunjuk pasukan tentara sambil berseru.

   "Hayo, berhenti!"

   Opsir pemimpin tentara itu menjadi heran, mau atau tidak, ia berhenti.

   Ia tahu, melainkan tentara yang menawan berandal, tidak ada begal yang sebaliknya minta uang sewa jalan dari tentara.

   Dan herannya pula, orang ini cuma bersendirian.

   Orang ini bertingkah-laku mirip orang edan daripada satu penjahat.

   "Hci, orang otak miring, lekas minggir!"

   Kemudian ia berseru.

   "Atau nanti aku bekuk padamu untuk dibawa ke kantor negeri!"

   Dia anggap orang itu edan, dari itu, dia cuma menggertak.

   Anak sekolah itu tak perdulikan bentakan, ia berdiri diam.

   Opsir itu menjadi heran, dari menggertak saja, ia jadi ingin buktikan gertakannya itu, akan tetapi selagi ia hendak membuka mulut, untuk berikan titahnya, Tjiauw Tiong Yauw sudah dului ia.

   "Tongtay, awas, jagalah orang-or-ang taw an an kita!"

   Berseru orang tua ini, si orang polisi.

   Dia bermata tajam, segera ia duga, si anak sekolah bukannya orang edan.

   Dia pun sudah lantas keprak kudanya maju ke depan.

   Baharu orang polisi ini berseru atau si Tjoe Soesiok, orang yang masuk ke restoran untuk scrahkan diri dibelenggu, telah berseru juga, suaranya bagaikan harimau menggcram, menyusul mana, dia telah gcraki kaki dan tangannya, hingga dalam sekcjab saja, rantai-rantai borgolan pada putus terkutung beberapa potong, hingga berbareng dengan kemerdekaan dirinya, dia mcncelat dari atas kudanya, bagaikan kilat saja, segera ia sampai di atas kudanya Teng Hiauw, tatkala ia gunai kedua tangannya, juga tambang yang mengikat si anak muda pada terputus semua, sesudah mana, lebih jauh ia bikin putus semua rantai belengguan.

   Serdadu-serdadu pengiring sementara itu, walaupun mereka terkejut, sudah lantas bergerak, untuk menyerang, guna melakukan penangkapan.

   Tjoe Soesiok itu tak jcrih akan ancaman barisan serdadu itu, malah dia mendahului menerjang, hingga dengan gampang, dia dapat rampas dua batang golok.

   Dia bermaksud lemparkan sebatang golok kepada Teng Hiauw, untuk ini anak muda, turut tindakannya, akan tetapi kapan ia menoleh, dia tampak anak muda ini, yang sudah mcrdeka, baharu saja berhasil toyor rubuh si opsir, tombak siapa ia sambar dan rampas, hingga dengan senjata di tangan, ia bisa layani serangan.

   Pada waktu itu, si anak sekolah pun sudah turut beraksi, akan cegat sejumlah serdadu, yang hendak mclarikan diri, karcna hati mereka gentar sendirinya.

   Komandan barisan itu, yang bcrpangkat tongtay, menjadi sibuk sekali atas kejadian itu yang tidak disangka-sangka.

   Dia duduk di atas seekor kuda besar, senjatanya sebatang golok, dia lantas saja berseru, untuk kendalikan barisannya.

   Tjoe Soesiok lihat aksinya pemimpin tentara itu, ia hendak merintangi, untuk ini, ia berlompat tinggi dan jauh, guna menghampirkan.

   Ia telah gunai loncatan "Ithoo tjiongthian"

   Atau "Seekor burung hoo serbu langit".

   Selagi Tjoe Soesiok beraksi berbareng dengan si anak sekolah dan Teng Hiauw juga, kin dan kanan jalanan, di sawah kaoliang, mendadakan timbul pekik riuh-rendah, pohon-pohon kaoliang segera bergerak bagaikan gelombang.

   Di situ muncul dengan tiba-tiba serombongan besar orang, yang kepalanya semua dilibas pelangi kuning, yang tangannya pada bergegaman, mereka ini maju sambil berseru-seru.

   Mereka adalah koenbin atau pemberontak Giehoo-toan! Tjoe Soesiok telah sampai di depannya si tongtay, selagi dia ini terkejut, karena melihat barisan tcrsembuny! dari musuh, tidak tempo lagi, dentgan "Pektjoa touwsin"atau "Ular putih muntahkan bisa", ia menikam, gerakannya sangat cepat Tongtay itu terperanjat, dia kidut kudanya, untuk berlompat, dengan goloknya, dia menangkis Akan tetapi si Tjoe Soesiok ada sangat gesit, ia lompal ke samping, untuk berkelit, lain dcngan enjot tubuhnya, ia loncat tinggi ke belakang kuda sambil goloknya dipakai membabat dengan gerakan "Ganlok pengsee"

   Atau "Burung belibis turun di pasir datar".

   Tongtay itu belum sempat memutar tubuh atau berkelit, senjatanya juga tak sempat diputar, tahu-tahu batang lehernya sudah terbabat kutung.

   sambil muncratkan darah hidup, kepalanya terpental jatuh, menyusul mana, tubuhnya rubuh dari kudanya! Sekalian serdadu Boan yang melihai itu menjadi kaget, hati mereka menjadi ciut, tanpa ayal lagi, mereka berebut lari serabutan.

   Berbareng waktu itu, Tjiauw Tiong Yauw sudah tempur simahasiswa yang memegat jalan mereka.

   Dia ada bersama dua kawan, yang berusia pertengahan.

   Mereka ini ada boesoe, guru silat dari kantor tjongtok di Titlee.

   Mereka gusar sekali melihat serdadu mereka, yang terdiri dari beberapa ratus jiwa, sudah angkat kakj, maka itu, mereka segera maju, akan terjang Tjoe Soesiok.

   Senjata mereka masing-masing ada golok sebatang, Tan-too dan Thie-tjio.

   Tjoe Soesiok tertawa besar apabila ia lihat ia diterjang dari kedua pinggiran.

   Ia tampak datangnya Thie-tjio terlebih dahulu, sambil lompat ke samping, ia menyambuti, akan babat lengan.

   Penyerang itu lekas-lekas tank pulang tangannya, untuk luputkan bahaya.

   Setelah membabat dengan tidak bcrhasil, Tjoe Soesiok lanjuti ayun goloknya, untuk tangkis serangan golok dari lain musuhnya, yang sudah terus serang ia, maka segeralah ia layani dua musuh itu.

   la bcrlaku gesit.

   Meski demikian, ia masih gunai tempo, akan diam-diam link kawan-kawannya.

   Teng Hiauw sedang me layani si anak muda yang menjadi kawannya Tjiauw Tiong Yauw.

   Kacau adalah pertempuran di antara barisan kocnbin dengan tcntara negeri, yang belakangan ini banyak yang kabur, tapi yang scbagian besar berkelahi dengan sengit, hingga Tjiasek-kong menjadi satu medan pertempuran.

   Teng Hiauw mengerti ilmu berkelahi tangan kosong lawan senjata tajam, akan tetapi dia tidak sepandai si Tjioe Soesiok.

   Dia pun malu, karena sebagai keluaran dan putcra ahli Thaykek-kocn, dia mcsti ditolongi orang tak dikenal itu.

   Tapi dia penasaran, dia tidak mau kalah, maka itu, dia sudah terjang si opsir dan rampas tombaknya ia itu seraya orangnya pun dibikin rubuh.

   Dengan tombak itu, ia lantas terjang tentara negeri.

   Ia lagi panas hati, ia ngamuk dengan hebat.

   Bcbcrapa serdadu lantas saja rubuh terpel anting.

   Sedangnyaia sengit, tiba-tiba sambaran angin datang dari belakangnya.

   Ia tahu, ada serangan datang, berbareng menoleh, ia menangkis ke bclakang.

   Kedua senjata bentrok dengan kcras, si penyerang Ioncat mundur, apabila ia sudah lihat nyata, iakenali si pembokong sebagai si anak muda kasar di rumah makan.

   Ia lantas balas menycrang, walaupun tak biasa ia menggunai tombak.

   Scsudah beberapa jurus dikasih lewat, hatinya Teng Hiauw menjadi tetap.

   Di dalam hatinya, ia kata.

   "Kiranya begini saja pertempuran di kalangan Kangouw. Aku tadinya sangka semua orang mesti liehay seperti Tjoe Soesiok ini."

   Ia pun lantas lihat kckurangannya sendiri dan bagian-bagian yang liehay dari musuh itu, yang menggunai pedang, senjata pendek yang memerlukan kegesitan.

   Lekas sekali ia mengerti bagaimana harus melayani musuh ini.

   Dcmikianlah ia gunai ilmu tombak Thaykek-tjhio Djicsiesie, yang terdiri dari dua puluh empat jurus.

   Ia bersikap tenang, hingga cepat sekali, ia berada di atas angin.

   Di pihak lain, Tjiauw Tiong Yauw yang garang telah kena dibikin bemapas senin-kamis oleh si anak sekolah.

   Senjatanya yang belakangan ni adalah kipas Siauwkim-sie itu, yang terbuat dari baja, yang kedua tepinya tajam sekali, hingga kipas itu dapat digunai sebagai piehiat-kwat, penotok jalan darah, dan pedang Ngoheng-kiam, terutama sebagai aiat mencari tiga puluh enam jalan darah.

   Tjiauw Tiong Yauw telah berfatih beberapa jntfuh tahun akan tetapi dia masih belum tahu ilmu silat kipas ini.

   toyanya Tjiebie-koen kesohor untuk dua Propinsi Titlee dan Shoatang, sedang ia pun pandai pukulan "Tongpie-koen", kekuatan kcpalan.

   akan tetapi, sesudah berfempur tig apuluh jurus, ia kewatahan menghadapi si sioetjay itu.

   Ia jadi penasaran dan gusar berbareng kuatir, ia jadi sibuk sendirinya, maka itu di akhirnya, ia mendak, ia berseru, ia mengumpulkan tenaga kepalannya pada toyanya, untuk menyambar pinggang lawan dengan diterusi menyapu kaki! Anak sekolah itu tertawa panjang.

   "Ha, segala kepandaian tikus dan rase diperlihatkan bagaikan sang kunyuk!"

   Kata ia secara mengejek.

   "Sayang sakuku kosong-melompong, hingga aku tak punya uang untuk dipersenkan! Jikalau kau bcrlompat pula, aku nanti hajar padamu, jikalau tidak, aku akan menonton saja! Hayo, kau berlompat atau tidak?"

   Lucu mahasiswa ini selagi bertempur, dia masih bergurau. Memang juga, ilmu "Tongpie-koen"

   Dari Tjiauw Tiong Yauw bergerak-gerak scperti gcrakgeriknya monyet, terutama selagi ia loncat, ia mirip kunyuk.

   Tentu saja ia sangat mendongkol dipermainkan secara demikian, tetapi ia cuma jadi makin mendelu, karena semua serangannya tidak memberikan hasil.

   Si sioetjay adajauh terlcbih gesit daripada dia, tubuhnya melesat-lesat luput dan toyoran atau paparan toya.

   Jangan kata orang purrya tubuh, bajunya saja tak pernah kelanggar.

   Kalau Tiong Yauw makin lama jadi makin kecil hatinya, sebaliknya, si sioetjay jadi makin mantap, kipasnya semakinjadi bcrbahaya.

   Karena jaga diri, supaya jalan darahnya tidak sampai kena ditotok, Tiong Yauw sampai keluarkan keringat dingin.

   Kekuatirannya memuncak apabila ia dapati kenyataan, barisannya kena dikurung pasukan liar dan"

   Musuh. Diakhirnya, sambil putar tubuh, ia gunai gerakan "Lauwsie poankin"

   Atau "Pohon tua terbongkar akarnya", untuk membabat ke bawah, lalu di saat musuh loncat, untuk luputkan diri, ia pun loncat mundur, guna angkat langkah kaki panjang.

   Si sioetjay liebay sekali, ia rupanya bisa duga maksud musuh, selagi musuh loncat, ia pun loncat lebih jauh, ke sebelah depan, hingga di lain saat, ia sudah mendahuiui berada di depan musuh itu, untuk memegat, kipasnya terus menotok kepada jalan darah "Hoakay-hiat".

   Tjiauw Tiong Yauw terponggok.

   sampai ia tak sempat menangkis atau mengelakkan diri, tidak ampun lagi, ia mcnjcrit, jeritannya disusul sama rubuhnya tubuhnya, yang rubuh terlentang.

   Sesudah rubuhkan musuh, si sioetjay tidak hampirkan musuh itu, untuk melanjuti serangannya, sembari tertawa mengejek, ia hanya loncat ke belakang, akan serbu tentara musuh.

   Celaka adalah Tjiauw Tiong Yauw, dia rubuh dalam kekalutan, tidak ada satu serdadu jua, yang maju untuk menolongi dia, rnaka, di antara injakan banyak kaki serdadu dan serdadu koenbin, ia mesti kehilanganjiwanya.

   Si sioetjay sudah lantas dekati orang yang dipanggil Tjoe Soesiok itu, selagi dia ini menyerang hebat dengan goloknya, hingga goloknya merupakan bundaran perak.

   Dengan ini cara, Tjoe Soesiok bikin repot kedua orang yang kepung dia, yang duaduanya ada orang-orang polisi kesohor, hingga dalam tempo yang lekas, ia bikin dua musuh itu jadi jerih.

   Dengan satu tanda, mereka itu mcncoba tinggal kabur musuh yang Iichay ini.

   Tjoe Soesiok itu sebaliknya mendesak semakin keras.

   Musuh yang bersenjatakan Thie-tjio mau pakai senjata yang berat itu akan tekan goloknya Tjoe Soesiok, sesudah itu ia hendak loncat kabur, akan tetapi Tjoe Soesiok yang cerdik tidak mau kasih goloknya kena dibikin tak berdaya, selagi goloknya diketok keras, ia justru ke bawahkan itu, lalu ia putar, akan dipakai balas serang lengan orang dengan tipu pukulannya "Poattjo simtjoa"

   Atau "Keprak rumput untuk cari ular". Musuh yang bersenjatakan golok melihat kawannya terancam bahaya, dalam sibuknya, dia loncat, dia serang orang punya batok kepala. Hebat serangan ini, karena ia gunai pukulan "Lekpie Hoa-san"

   Atau "Dengan sekuat tenaga menggempur Gunung Hoa-san".

   Ia pun harap, dengan serangan separuh mcmbokong itu, ia bisa rubuhkan musuh.

   I tulah serangan sangat bcrbahaya.

   Akan tetapi, melayani dua musuh, Tjoe Soesiok telah berlaku waspada, terutama untuk scrangan-scrangan gelap.

   Melihat datangnya golok, dia loncat berkelit, dengan tipu "Yantjoe tjoanin"

   Atau "Burung walet tembusi awan".

   Bcgitu rupa ia berloncat, sebat sekali, tetapi tak kalah gesitnya ketika ia turun, sebelum orang sempat perbaiki diri, sembari turun, goloknya dipakai menyambar.

   Kesudahan dari ini ada sangat hebat, karena sebuah leher putus dan sebuah kepala terlempar jatuh dan darah menyemprot! Kagetnya musuh yang bersenjatakan Thie-tjio itu bukan main, hatinya scperti hancur, tidak berayal lagi, ia loncat, untuk angkat kaki.

   Tapi ia baharu menyingkir beberapa tindak, tatkala di depannya, ia lihat seorang mendatangi sambil berseru.

   "Ke mana kau hendak kabur? Di sini aku!"

   Dan orang itu belum sampai atau serupa benda mendahuiui ia, benda hitam, yang menerjang orang dengan gegaman Thie-tjio itu.

   Dia ini kaget, belum sempat dia menangkis, atau berkelit, benda itu sudah mengenai tubuhnya, yang telah kena tertotok, maka segera ia rubuh seperti Tjiauw Tiong Yauw yang buruk nasibnya.

   Sesudah rubuhkan musuh yang mau kabur ini, orang itu hampirkan si Tjoe Soesiok seraya bcrkata sambil tertawa.

   "Untuk rubuhkan dua musuh tak punya guna ini, kenapa kau sia-siakan begitu banyak tempo?"

   Tjoe Soesiok itu tertawa.

   "Manusia jail, jangan adu mulut di sini!"

   Ia mcmbentak.

   
Kisah Dua Saudara Seperguruan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Kau gunai senjatamu yang tepat dan aku senjata sambaran!"

   Sehabis menjawab demikian, ia tank tangan orang.

   "Mari aku ajak kau tengok satu pemuda Kangouw!"

   Kata ia.

   Pada waktu itu, pertempuran di antara Teng Hiauw dan si anak muda, yang mukanya hitam, sudah mulai perlihatkan tanda-tanda keputusan.

   Pedangnya si muka hitam liehay, tetapi dia kewalahan melayani tombak Teng Hiauw yang ujungnya menyambar-nyambar seperti tak hentinya, cepatnya luar biasa, sampai orang repot bukan kepalang, hingga dia seakan-akan kena dikurung.

   Pertempuran itu berjalan cepat.

   Sang Batara Surya sudah mulai doyong ke barat, terus selam di ujung gunung, hingga cuaca sore menjadi gelap.

   Tapi pertempuran mesti dilanjutkan, karcna tentara negen, daiam kekalahannya.

   masih terus melakukan perlawanan.

   Maka itu, lentera Khongbengteng lantas dinyalakan.

   Barisan kuda pemerintah tidak bisa berbuat banyak dalam pertempuran malam iru, karena di bokit, di tanjakan.

   pihak koenbin mengadakan dua pasukan lain, dalam dua rombongan tersembunyi, yang mcnggunai anak panah, hingga setiap kali pasukan negeri hendak mcnerobos, saban-saban mereka dipukul mundur hujan busur.

   Biasanya tentara negeri melakukan penangkapan dengan mengandali jumlah yang besar, akan tetapi sekarang mereka ketemu tandmgannya, dengan ccpat semangat mereka tergedor, apapula dari sana-sini Iantas terdengar teriakan anjuran.

   "Menakluk! Lekas menakluk!"

   Tjoe Soesiok teiah dapat rampas seekor kuda, ia naik ke atasnya, ia keprak kudanya itu Ian mondar-mandir seraya ia serukan berulang-ulang.

   "Saudara-saudara tentara negeri,lekas letaki senjata! Buat apa adu jiwa untuk pemerintah asing? Bukankah kau orang semua ada rakyat jelata? Jangan jual jiwamu untuk pemerintah, jangan tolol! Lekas letaki senjata! Man bekeria sama-sama kita, untuk hidup bersama, sama rata sama rasa!"

   Seruan itu teiah memberikan hasil baik, tidak antara lama, pertempuran benar-benar berhenti, waiaupun| dengan pelahan-lahan, hingga di lain saat, beberapa ratus serdadu Boan itu tidak beraksi lagi.

   Si anak muda muka hitam kaget ketika ia dengari teriakanteriakan menganjuri pihaknya meletaki senjata dan menyerah, ia berkuatir, dalam sibuknya, ia coba menyerang dengan hebat, dengan ilmu pedangnya "Patsian-kiam"

   Atau "Pedang dclapan dewa".

   Dengan ilmu itu, beberapa kali dia bcrlompatan, bergulingan, pedangnya saban-saban menikam dan mcmbabat.

   Teng Hiauw repot juga mclihat perubahan scrangan orang itu, dengan tcrpaksa, ia mclayani tak kurang gesitnya, sambil bcrkelit ke kiri dan ke kanan, tombaknya pun saban-saban melakukan serangan pembalasan, malah satu kali, ujung tombaknya menikam iga kanan orang.

   Si muka hitam kaget, ia berkelit dengan melejit ke kiri, di sini dengan gerakan Thaypeng tjiantjie"

   Atau "Garuda pentang sayap"

   Dia balas membacok ke bebokong lawan nya.

   Teng Hiauw bisa duga serangan orang itu, ia Iantas gunai akal.

   Ia maju dengan lompatan "Koaybong hoansuTatau "Ular nagajumpalitan", ia sengaja bikin musuhnya menyerang ia dengan hdti besar, tapi lalu dengan mendadakan, ia mcncelat ke samping, tombaknya turun selagi pedang musuh lewati ia, tidak tempo lagi, ia kena hajar pedang itu dengan keras sekali, tak ampun lagi, cekalannya si hitam terlepas, pedangnya terlempar beberapa tumbak jauhnya! Kejadian itu membuat si muka hitam kaget, akan tetapi dia tidak lompat, untuk lari, sebaliknya, dia berdiri diam, sambil merangkap kedua tangannya, dia berseru.

   "Aku menyerah! Terserah, kau boleh bikin apa kau suka!"

   Teng Hiauw telah bekerja terus meskipun ia sudah pukul jatuh pedang musuh, ia geraki pula tombaknya, untuk menikam.

   Gerakan nya ini ada berbarengan dengan seruannya si pemuda muka hitam itu, tidak heran kalau ada sulit untuk ia menahan tikamannya.

   Di saat yang sangat genting itu, mendadakan ada orang berlompat dari belakang, seperti burung melayang, tangannya menyambar, tiga jarinya menotok nadi kanannya, atas mana sekejab saja, tombak di tangannya terlepas dari cekalan dan jatuh ke tanah.

   Kaget dan heran adalah perasaannya Teng Hiauw itu waktu, lengannya pun sesemutan, seperti mati, tetapi ia masih dapat loncat, untuk memutar tubuh, hingga ia dapat melihat, siapa orang yang membokong ia.

   Penyerang dari belakang itu, sambil tertawa, kata padanya.

   "Adalah aturan kita, musuh yang sudah menyerah, tak dapat dibinasakan jiwanya!"

   Dan ia kenali, orang itu adalah orang yang dipanggil si Nona Baju Merah panggil Tjoe Soesiok"! lalah orang yang akui dia sebagai piauwtee, adik misan! Ia tercengang, ia malu sendirinya, mukanya menjadi bersemu merah.

   "Tjoe Soesiok, aku tak tahu aturan itu."

   Kata ia, kemekmek, dan tanpa merasa, ia ikut-ikutan si nona memanggil Tjoe Soesiok, Paman Guru Tjoe. Tjoe Soesiok tertawa pula.

   "Seharusnya kau panggil aku piauwhia!"

   Kata ia, sambil tertawa pula.

   "Dan sekarang kau nistjaya tak dapat katakan aku menjual sahabat."

   Teng Hiauw tertawa meringis.

   "Sebenamya aku tak tahu Soesiok ada orang macam apa."

   Iaakui.

   Dan ini ada hal yang sebenar-benamya.

   Tjiasek-kong teiah menjadi sunyi dan tenang karena berhentinya pertempuran, kecuali bergeraknya orang dan kuda, dari tentara Giehoo-toan, sebab dari garis kedua dan ketiga, di mana orang teiah menyalahkan lentera Khongbengteng, semua serdadu koenboen mendatangi dan merubungi Tjoe Soesiok itu.

   "Tjong-tauwbak, banswee!"

   Tiba-tiba semua serdadu itu berseru.

   ltulah bcrarti.

   Hiduplah Tjong-tauwbak! Seruan itu bergemuruh keras sekali.

   memecahkan kesunyian.

   Tiba-tiba dari dalam rombongan tentara itu loncatkcluarsatu orang siapa sambil berlari-lari menghampirkan Tjoe Socsiok itu.

   Apabila ia sodah datang dekat, ia lantas member, hormat dcngan tekuk lutut sebelah kakmya.

   Itu ada cara pemberian hormat paling hormat di dalam kalangan kaum Kangouw.

   Ia pun lantas berkata.

   "Semua saudara berkeinginan sangat akan menemui Tjongtauwbak, maka itu begitu mendengar kabar Tjong-tauwbak bakal lewat di sini, tak dapat dicegah pula, mereka semua dating kemari!"

   Tjoe Socsiok itu beri tanda dengan tangannya, akan orang itu berbangkit "Apakah kau ada Tjongto dari Anpeng?"

   Ia tanya.

   "Bagus tindakan kau ini. Sebetulnya, aku pun teringat saja kepada kewajiban kau orang di sini, sayang belum ada temponya untuk aku datang melongok. Kau orang ada sangat mencintai aku, aku sangat bersyukur. Tapi sekarang sudah membawa tawanan tentara Boan ini perlu lekas dibawa pulang, untuk diurus, maka baiklah kau orang pulang dahulu ke pusat. Di daiam perjalanan di waktu malam, mintalah semua saudara berlaku hati-hati istimewa, supaya kita tak rnembikin kaget pada rakyatdi sepanjang jalan.M Tjongto dari Anpeng itu terima pesan itu, ia undurkan diri, akan berikan titahnya, maka lantas saja semua serdadu Giehoo-toan itu mundur untuk berdiri dengan rapi dan tenang. Teng Hiauw ternganga menyaksikan kejadian itu. Tjoe Soesiok itu adalah pendiri dari Giehoo-toan, karena dia adalah Tjoc Hong Teng, seorang dari Torjioe, Shoatang. Orang bilang dia ada turunan Kerajaan Beng, tetapi dia tidak menyebutkan itu, karena tanpa keturunannya itu, rakyat toh telah tunjang dia. Rakyat membutuhkan pemimpin, yang dapat membebaskan mereka, sesudah mereka merasakan sangat tertindih sebagai akibat dari Perang Candu. Dengan gempuran meriam, negara-negara Barat telah paksa Tiongkok pentang pintunya. Rakyat merasa sebagai ketindihan gunung besar, sampai mereka sukar bernapas. Maka munculnya Tjoe Hong Teng disambut dengan tangan terbuka. Tjoe Hong Teng ini"

   Ada murid tcrsayang dari Kiang Ek Hian, Ketua dari Bweehoa-koen.

   Inilah sebabnya kenapa Angie Liehiap Kiang Hong J Keng, si Nona Serba Merah, panggil dia "soesiok".

   Hong Teng telah mewariskan semua kepandaian gurunya, sesudah itu, ia yakin terlebih jauh, sehingga dia memperoleh hasil luar biasa.

   Bcda dari kebanyakan orang, Tjoe Hong Teng tidak mau angkat nama di kalangan Rimba Persilatan, dia hendak bangunkan bangsa Han, untuk rubuhkan bangsa Boan, buat usirpengaruh bangsa asing.

   Ketika Tjoe Hong Teng bertemu dengan Teng Hiauw, ia dirikan Giehoo-toan baharu satu tahun.

   Ia datang ke Pooteng untuk menengoki gurunya, buat sckalian tanya gurunya itu suka atau tidak menunjang dia.

   Iapun ingin tarik Angie Liehiap, karena di dalam Giehoo-toan ada pasukan perempuan, yang kemudian diberi nama Hongteng-tjiauw, Sinarnya Lentera Merah, pasukan mana membutuhkan pelatih yang pandai silat.

   Kiang Ek Hian ada gagah, tetapi setelah usianya lanjut, ia kekurangan semangat pendirian.

   Sebenamya ia menyayangi Tjoe Hong Teng, tetapi ia tak berani percaya murid ini sanggup bekerja besar.

   Di sebelah itu, ia pusatkan perhatiannya kepada cucu perempuannya, yang ia ingin sekali carikan satu pasangan yang setimpal.

   Karena ini, ia tak jadi punya keinginan akan hadapi badai dan gelombang dari dunia Kangouw.

   Begitu maka ia sudah tolak undangannya sang murid, hingga Tjoe Hong Teng jadi masygul.

   Ini pun berarti, Kiang Hong Keng mesti sclalu dampingi cngkongnya, hingga tak dapat dia ikut memasuki Giehoo-toan.

   Saking masygul, Tjoe Hong Teng jadi bcrkesan.

   Sungguh sulit akan rubuhkan pemerintah Boan, banyak orang jerih mendengar perkataan "berontak", sampaipun gurunya sendiri tidak mau pusingkan diri.

   Karena ia tak dapat bantuan gurunya, Tjoe Hong Teng mau lantas pamitan pulang, tetapi Kiang Ek Hian minta murid itu suka berdiam untuk dua hari.

   Ia melul uskannya, karena ia pun dapat pikiran untuk melihat apa di Kota Pooteng itu, ada orang "berarti"

   Dalam Rimba Persilatan, yang ia boleh harapkan bantuannya.

   Adalah kebetulan, di saat Tjoe Hong Teng berdiam di Pooteng, hari itu Kiang Hong Keng karena pukul harimau sudah kena dikurung serombongan pemburu, sampai dia dapat ditolong oleh Teng Hiauw.

   Nona ini tidak berterima kasih kepada anak muda itu oleh karena dia menyangka, gum-guru silat Keluarga Soh itu adalah kawan si anak muda, dia tidak tahu, Teng Hiauw melainkan ketahui guru-guru silat itu, hubungan lainnya tidak ada.

   Ketika Hong Keng puiang dan berccrita kepada cngkongnya, Hong Teng dengar itu, dia lantas merasa pasti, Teng Hiauw bukannya tergolong guru-guru silat itu, kalau tidak, si anak muda tidak nanti berikan bantuannya.

   Maka itu, ketika Teng Hiauw satroni Keluarga Kiang, Hong Teng sengaja sembunyikan diri dan memegat di tengah jalan, untuk mempermainkan, buat patahkan kepala besar orang, untuk tarik perhatiannya dia itu.

   Kesudahan dari itu membuat Hong Teng girang.

   Ia dapat kenyataan, Teng Hiauw masih muda sekali tetapi berani dan gagah, ilmu silat pedangnya sudah bisa layani ilmunya yang dilatih dua atau tiga puluh tahun, Iapun lihat, anak muda ini, ada lain daripada ayahnya.

   Maka itu, justru Teng Hiauw masygul karena ayahnya hendak paksa ia menikah.

   Hong Teng ajak Hong Keng pergi satroni dia di rumahnya dan meninggalkan surat itu, guna "tarik"

   Ini anak muda ke pibaknya.

   Setelah si anak muda buron, Tjoe Hong Teng lantas menguntit, akan lihat sepak-terjangnya.

   untuk sekaJian melindungi padanya.

   Hong Teng sebaliknya tak mau segera perkenalkan diri, karena ia sengaja hendak latih lebih jauh pemuda ini.

   Demikian, karenanya, telah terjadilah hal-hal lucu, disebabkan Teng Hiauw masih hijau daiam pengalaman.

   Tjoe Hong Teng mengeluh ketika .

   ia lihat si anak muda ditawan polisi.

   la tidak mat mem ben pertolongan dengan kekcrasan, ia lantas dapat akal, sesudah kirim pesan untuk tjongto di Anpeng kemana ia percaya barisan Boan ini bakal lewat Kebetulan, itu waktu pun ada satu sahabat karibnya, yang berada di pusat di Anpeng, ia sekaJian minta sahabat itu bantu ia.

   Sesudah itu, ia hampirkan Teng Hiauw, yang ia akui sebagai adik misan, hingga ia pun mandah dicekuk.

   Maka kemudian, terjadi pemegatan tadi atau pertempuran di Tjiasek-kong, hingga tentara negeri harus menyerah.

   Baharu setelah itu, Teng Hiauw ketahui, Tjoe Soesiok adalah pendiri dan Ketua Pusat dari Giehoo-toan.

   Ia lantas hendak menghaturkan terima kasih, untuk sekalian tanyakan hal-hal, yang masih gelap baginya, tetapi scbclum ia buka mulut,*Hong Teng goyangi tangan dan dului ia berkata.

   "Tunggu, aku akan perkenalkan kau pada satu orang."

   Ia belum tutup mulutnya,- atau ia dengar orang telah tertawa dan dului ia.

   "Tak usah kau perkenalkan lagi! Mustahil aku tidak kenal padanya?"

   Teng Hiauw segera menoleh, hingga ia tampak seorang dengan thungsha sutera putih dan tangan mencekal kipas, satu mahasiswa, ialah orang yang memegat tentara negeri, yang meminta beelouw-tjhie atau uang sewa jalan.

   Ia tercengang, ia heran kenapa orang itu kenal ia.

   Ia toh baharu pernah merantau, baharu sekali ini ia lihat orang itu.

   Ia berniat menanyakan, akan tetapi orang itu sudah tertawa pula dan menanyakannya.

   "Bukankah ayahmu ada Sianpwee Teng Kiarm Beng Ketua dari Thaykek-boen? Bukankah namamu sendiri, Sieheng, ada Hiauw sepatah kata, yang berarti terang tanah? Begitu Iekas lihat kau mainkan ilmu tombak Thaykek-tjhio, aku lantas ketahui siapa kau ada! Aku cuma dengar nama besar dari ayahmu, tetapi tentang ilmu silat kaummu, tentang murid-muridnya, aku tahu juga."

   Tjoe Hong Teng tertawa mendengar kata-kata orang itu, ia segera memotong.

   "Oh, orang bermata pancalongok, katakata kau benar adanya! Tapi kau sendiri, dengan dandananmu yang tidak pernah ditukar, kau juga gampang sekali dikenali orang!"

   Sembari mengucap demikian, Hong Teng awasi Teng Hiauw, akan lihat, pcmuda ini ketahui atau tidak si mahasiswa itu.

   Tapi Teng Hiauw tidak kenal orang ini, yang ia cuma duga ada seorang Kangouw yang ulung.

   Di saat ia hendak tanya Tjoe Hong Teng tcntang nama orang itu, tiba-tiba ia ingat Kim Hoa, yang pernah tuturkan dia tcntang orang-orang Kangouw.

   Separuh bcrseru, segera ia bertanya.

   "Tjianpwee, apakah Tjianpwee bukannya Looenghiong Thiebian Sieseng Siangkoan Kin?"

   Mendengar demikian, dari atas kudanya, Tjoe Hong Teng tertawa bcrkakakan.

   "Nah, apa aku kata! Sekalipun ini anak, yang baharu pertama kali injak dunia Kangouw, begitu dia lihat dandananmu, ia segera kenal kau! Aku lihat, baiklah kau salin pakaian, supaya kau tidak terlalu mencolok mata!"

   Siangkoan Kin tidak gubris godaan kawan itu, ia tarik tangan si anak muda.

   "Kau ketahui namaku, siapakah yang beritahukan itu kepadamu?"

   Ia tanya.

   "Baik kau ketahui, tidak suka aku disebut-sebut tjianpwee atau looenghiong, karena untuk itu, belum sampai waktunya aku bertingkah-polah!"

   Baharu setelah itu, ia menoleh pada Tjoe Hong Teng, akan kata.

   "Dandananku ini adalah merek hidupku, aku tidak takut segala kawanan anjing kenali aku! Jikalau mereka mempunyai kepandaian, mereka boleh bekuk aku, aku tak takut!"

   Kata-kata ini ditutup sama tertawa bergelak-gelak yang nyaring.

   Tjoe Hong Teng kerutkan alisnya.

   Ia tak setujui anggapan sahabamya itu.

   Tapi sang sahabat sedang bergirang, ia tidak mau ganggu kegembiraan orang itu.

   Thiebian Sieseng Siangkoan Kin ada seorang luar biasa dalam kalangan Kangouw, sampaipun asal-usulnya, sedikit sekali orang yang ketahui, lebih-lcbih mengenai sumber ilmu silatnya.

   Orang melainkan duga, dia ada sioetjay yang gagal dalam ujian, yang lantas tukar ilmu surat dengan ilmu silat Dengan sebenarnya, Siangkoan Kin ada putera dari satu keluarga anak sekolah di Boesek, Kangsouw.

   Propinsi ini, seperti Tjiatkang, memang ada tempatnya kaum sasterawan.

   Kisah Dua Saudara Seperguruan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Maka juga, sejak masih .kecil, dia sudah dimestikan mempelajarinya.

   Dalam umur baharu sepuluh tahun lebih, karena amat cerdasnya, Siangkoan Kin sudah pandai membaca kitab-kitab Soesie Ngokeng di luar kepala, hingga gurunya, dan orang tuanya, percaya dia bakal peroleh kemajuan, akan tetapi dugaan itu meleset, sebab beberapa kali dia turat ujian, saban-saban dia gagal -tak pcmah dia berhasil.

   Ketika ayahbundanya menutup mata, dia baharu berumur dua puluh tahun, dia tetap tak peroleh gclaran atau pangkat.

   Keluarga Siangkoan Kin bukannya keluarga berharta, dia tidak punya uang atau pengaruh, maka itu, waiaupun ilmu suratnya Sempuma, dia seperti tidak ada di matanya kepaia badan ujian, siapa cuma lihat uang, bukannya kcpandaian.

   Di waktu hendak menutup mata, masih Siangkoan Kindipesan, dianjuri ayahnya, untuk bclajar tcrus dengan rajin dan ulet.

   untuk turut pula dalam ujian.

   Ayah ini tak put us harapan puteranya nanti menjulet pangkat, untuk angkat naik derajat keluarganya.

   Tapi, sehabisnya bcrkabung, ketika untuk satu kali lagi Siangkoan Kin lurut juga dalam ujian, sendirinya, semangatnya untuk peroleh gelaran atau pangkat sudah padam terlebih dahulu.

   Inilah sebabnya kembali dia rubuh, .dan yang keluar sebagai pemenang ada seorang bemama Hee Kie Tong.

   Beberapa kali Siangkoan Kin dikecewakan, dia bersusah hati, tetapi dia tidak penasaran sebagai mi kali.

   Dia heran dan penasaran, karena kaygoan baru ada si orang she Hee itu, yang ada calon sioetjay, yang biasanya kesohor paling tak punya guna.

   Di waktu biasa, karangannya, saking buruk, Siangkoan Kin sendiri tak sanggup mengubah atau memperbaikinya, sampai perriah dia mengejek.

   "Karangan lain orang, apabila dilempar ke tanah, bisa bersuara nyaring bagaikan emas, tetapi karangan kau, suaranya mirip dengan tambur yang jatuh bergeiindingan dari atas gunung."

   Toh aneh, sekarang si pemenang adalah orang yang karangannya seperti tambur yang bergeluntungan itu! Yang lebih mengherankan, Hee Kie Tong ini ada keluarga lebih mi skin daripada Keluarga Siangkoan, hingga pasti dia tidak bisa sogok si kepaia ujian itu.

   Orangnya bodoh, uangnya tidak ada, tetapi dia lulus.

   Saking heran, Siangkoan Kin pergi pada sahabatnya itu, untuk minta keterangan.

   Hee Kie Tong tertawa ketika ia menjawab.

   "Saudara Siangkoan Kin, kita sama-sama tidak punya uang, untuk menghormati kepaia ujian. Aku sendiri lulus, kau tidak, maka itulah ada bukti yang karanganku ada terlebih baik daripada karanganmu! Maka sekarang kata-kata kau ten tang tambur yang bergeiindingan dari atas gunung tinggi haruslah dihaturkan kcmbali kepadamu!"

   Siangkoan Kin mendongkol bukan kepalang, ia tak dapat berbuat apa sclain ngeloyor pulang dengan perut panas.

   Ia tetap gelap dengan duduknya hal, sampai.

   Kepala examen itu diutus dan ditugaskan di Boesek atas putusan boetay.

   Ia girang sekali.

   Ketika ia mau berangkat ke Boesek, dia kunjungi berbagai pembesar, untuk pamitan, akan ambil selamat jalan.

   Ia pun kunjungi boetay, sebagai pembesar tertinggi.

   Ia berlaku sangat hormat pada pembesar ini, yang pesan ia harus , baik-baik lakukan kewajibannya di Kangsouw, tempat kaum terpelajar.

   Selagi beri pesannya itu, tiba-tiba boetay kerutkan alisnya, ia menyingkir ke samping.

   Kepaia examen ini kira boetay hendak tinggalkan pesan perseorangan, ia mendekati, ia pasang kupingnya, atas mana, boetay kata.

   Tidak lainnya lagi, heekhi-tong."

   Tadi malamnya boetay makan besar, pencernaannya kurang baik, mendadakan ia ingin buang angin busuk, maka ia minggir dari orang banyak, tetapi si kepaia examen kelira sangka, dia mendekati, dari itu, ia jawab tidak apa-apa. Katakata "heekhie-tong"

   Itu ada kata-kata halus untuk angin busuk. Si kepaia examen keliru dengar, dia sangka boetay pesan untuk perhatikan orang nama "Hee Kie Tong,"

   Ia ingat itu baik-baik.

   Demikian sudah terjadi, ketika ada calon sioetjay nama Hee Kie Tong, tanpa banyak rewel, ia kasih lulus si tolok ini sebagai kay goan, hingga kesudahannya, Siangkoan Kin jadi mendelu! Sebagai keharusan, Hee Kie Tong kunjungi kepala examen, untuk hunjuk hormatnya, buat menghaturkan terima kasih.

   Setelah pemberian hormat, kepala examen itu tarik tangannya si kaygoan baru dan tanya dengan pelahan.

   "Sieheng, kau ada punya hubungan apa dengan Boetay Taydjin?"

   Ditanya begitu, Hee Kie Tong melengak, tak mampu ia menjawab. Masih si kepaia examen tak engah, ia puas karena ia sudah angkat "orangnya"

   Boetay. Ketika kemudian ia pula ke ibukota propinsi, selagi menghadap boetay, untuk berikan laporan kesudahan ujian, ia tambahkan bahwa ia sudah lakukan pesan boetay itu mengenai Hee Kie Tong, yang ia kasih lulus jadi kaygoan. Boetay tercengang.

   "Apa kau bilang? Siapa itu yang kau tolong?"

   Dia tanya. Kepaia examen ini kira boetay lupa, dia terangkan.

   "Ketika dulu akan pamitan, Taydjin toh bilang padaku.

   "Tidak lainnya lagi, heekhie-tong"

   Mendengar demikian, dari melengak, boetay, tertawa besar.

   "Ah, kau benar tolol!"

   Ia kata tanpa perdulikan di situ ada hadir lain-lain orang lagi.

   "Itu waktu aku sebut heekkie-tong tetapi itu bukan namanya orang, itu ada kata halus untuk gantikan angin busuk dan dalam perut."

   Kepaia examen itu mukanya merah, ia temganga.

   Ia benarbenar tidak ingat kata-kata sopan itu untuk gantikan angin busuk.

   la pun menyesal, karena dengan begitu.

   Ia bikin lenyap uang sogokan, yang mestinya akan masuk ke dalam sakunya, sedikitnya di atas seribu tail perak.

   Ia ada begitu menyesal dan penasaran, tanpa pikir panjang, ia utarakan kemenyesalannya kepada beberapa rekannya.

   Tapi justru ini, rahasia bocor, dari sepuluh mulut kepada seratus mulut, dcmikian selanjutnya, sampai kabar pun tersiar sampai di Boesek, karena itu berarti kejadian sangat lucu.

   Kapan akhimya cerita itu sampai di kupingnya Siangkoan Kin, dia ini tercengang, mulutnya ternganga, matanya terpentang iebar, ia diam sckian lama, akan kemudian, ia tcrtawa terbahak-bahak, lantas ia berseru.

   "Hei! sioetjay angin busuk, kaygoan angin busuk, tjonggoan pun angin busuk! Jadi semua. ponggan, tamhoa, itokkoen, boetay, haksoe, semuanya angin busuk juga! Ya, semua-semua angin busuk, maka tak usahlah aku repoti angin busuk!"

   Sadarlah sekarang Siangkoan Kin akan keburukan ujian ilmu surat, padam semangatnya, tak lagi ia sudi bikin examen, untuk kehidupannya, ia buka rumah perguruan, karena ia tak punya lain kepandaian.

   Tapi ia ada sioetjay yang gagal, tak ada orang hartawan yang suka masuki anak-anaknya belajar kepadanya, maka ia cuma dapati beberapa murid anaknya orang miskin.

   Pada suatu sore, sehabis lepas sekolah, ia minum arak seorang diri.

   Ia berada sendirian, ia menjadi kesepian.

   Arak itu pun ada antaranya dari satu muridnya.

   Saking iscng, tiba-tiba ia perdengarkan cabutan dari syairnya Ek-ong Tjio Tat Kay, itu pemimpin Thaypeng Thiankok yang bergelar pangeran.

   "Penjahat besar juga ada lurunannya, yang Kitab Soesie tak menghargainya. Emas kuning bagaikan tanah tak berharga, nyali keras bagaikan besi."

   Dia belum habis ucapkan itu, atau tiba-tiba ada scruan.

   "Sungguh bersemangat!"

   Menyusul mana satu orang, bertindak masuk ke dalam rumahnya! Siangkoan Kin terkejut, ia menoleh dengan segera, hingga ia lihat, orang itu ada orang sesama kampungnya, si tukang besi yang usianya sudah lanjut.

   Dengan sendirinya, hatinya menjadi lega, pikirannya menjadi tetap pula.

   Ketika itu belum cukup dua puluh tahun sejak runtuhnya Kerajaan Thaypeng Thiankok, dengan diiam-diam syairnya Tjio Tat Kay itu masih tetap tersiar di antara rakyat, tidak perduli itu ada termaksud dalam larangan pemerintah Boan.

   Siangkoan Kin nyanyikan itu tanpa merasa, tidak heran, suaranya si empeh membikin ia terkejut.

   Di lain pihak, sekarang ia heran i si empeh tukang besi itu.

   Empeh ini ada orang satu kampung dengan ia, akan tetapi, asalnya, dia ada orang perantauan dari lain tempat, yang datang ke kampungnya selang sepuluh tahun yang lampau.

   Dia ada ramah-tamah, dia pun pandai membuat segala rupa barang dari besi, juga gendewa dan peluru untuk anak-anak menjepret burung dan untuk petani petani kepung kelinci, semacam tempuling terbuat dari kayu Tjoh.

   Lama-kelamaan, orang kampung pandang dia sebagai orang kampung sendiri.

   Di mata Siangkoan Kin, dia ada satu tukang besi, maka adalah heran, sekarang tiba-tiba dia pun kagumi syairnya Tjio Tat Kay.

   "Rupanya Empeh mengerti syair,"

   Kata ia, dengan sikap menghormat. Orang tua itu bersenyum.

   "Aku ada seorang kasar, mana aku mengerti syair?"

   Ia baliki.

   "Aku dengar suaramu menarik hati, begitulah aku datang!"

   Ia lihat pelbagai kitab di atas meja, ia agaknya heran.

   "Siangkoan Sinshe, apakah kau ajarkan anak-anak dengan kitab-kitab ini?"

   Tanya ia. Pertanyaannya pun tiba-tiba.

   "Kenapa kau tidak ajarkan mereka syair yang barusan kau nyanyikan?"

   Juga pertanyaan ini aneh, hingga bertambahlah keheranan sinshe ini.

   "Pelajaran pelbagai kitab ini bisa dipakai sebagai alat mendapatkan pangkat,"

   Ia menyahut dengan sengaja.

   "Syair yang aku nyanyikan barusan, walaupun bagus, tidak ada kegunaannya."

   "Pangkat?"

   Dan orang tua itu tertawa.

   "Bukankah Sinshe telah baca ini pelbagai kitab? Kenapa Sinshe sendiri tak peroleh pangkat?"

   Kembali Siangkoan Kin menjadi heran. Ia terdesak oleh pertanyaan si empeh ini, satu tukang besi. Sesaat ini, dia tak lagi mirip dengan satu orang pertukangan! "Empeh, sebenarnya kau ada dari golongan apa?"

   Akhimya ia tanya.

   Empeh itu dongak, ia tertawa pula "Aku orang apa? Buat apa kau mempcrdulikannya? Tapi aku tahu itu orang syair siapa barusan kau nyanyikan.

   Dia pemah lulus sebagai sioetjay, hingga ia berkedudukan lebih tinggi satu t ingkat daripadamu.

   Akan tetapi dia tak perdulikan gelarannya ilmu surat itu!"

   Guru sekolah desa ini terperanjat.

   Teranglah sudah, si empeh maksudkan Ek-ong Tjio Tat Kay, pendekar kebangsaan yang gagah-pcrkasa dan pandai ilmu sastera.

   Semasa umurdua puluh.

   namanya Ek-ong sebagai sastcrawan telah kesohor di Selatan dan Utara Sungai Besar.

   Tidak tempo lagi, ia menjura dalam tcrhadap tetamunya yang tidak diundangitu.

   "Lootjianpwee, maafkan aku karena mataku lamur"

   Ia memohon.

   "Sudah belasan tahun, aku tak dapat kenali padamu. Rupanya Lootjianpwee mengerti baik sekaii syair Ek-ong ini."

   "Mengerti baik?"

   Kata si orang tua, sambil tertawatiba-tiba.

   "Sang waktu telah lewat lama, aku sudah tak ingat puia. Tapi aku pemah. lihat sendiri ketika dia menulis syairnya itu.."

   Alangkah heran Siangkoan Kin, hingga ia lari ke pintu, untuk tutup pinitu. Ia kembali dengan ccpat, ia angkat tangan bajunya, lantas ia tekuk lutut di depan orang tua ini.

   "Teetjoe adalah korban ujian ilmu surat,"

   Berkata ia, yang mengaku terus terang.

   "karena itu tak lagi teetjoe punya keinginan untuk mengharap pangkat. Tapi teetjoe adalah orang yang paling kagumi Ek-ong. Lootjianpwee, maukah Lootjianpwee beritahukan aku, Lootjianpwee sebenarnya ada Ek-ong empunya apa? Jikalau Lootjianpwee tidak memandang kebodohanku, teerjoe ingin sekaii Lootjianpwee memberikan sesuatu pengunjukan kepadaku."

   Orang tua itu tidak singkirkan diri, dia terima pemberian hormat itu, kemudian dengan ulur kedua tangannya, ia angkat bangun guru sekolah itu.

   Siangkoan Kin masih hendak menjura puia, tetapi tanpa ia merasa, tubuhnya kena diangkat secara enteng sekaii.

   "He, Lauwtee, apa artinya ini?"

   Ia dengar si orang tua tegur ia.

   "Lekas bangun, tak berani aku terima hormatmu, tak berani aku!"

   Di mulutnya, orang tua ini mengucap demikian, di hatinya, ia puas, sebagaimana air mukanya kelihatan terang.

   Ia bersenyum berseri-seri, tanpa tunggu sampai Siangkoan Kin ulangi pertanyaannyaJ tidak ragu-ragu lagi, cmpch tukang besi ini beritahukan tentang dirinya yang sebenar-benarnya.

   Nyata dia ada sal ah satu pahlawan dari Ek-ong Tjio Tat Kay, yang senantiasa berdiri mcndampingi pahlawan pencinta ncgcri itu, hingga bukanlah heran apabila ia telah saksikan sendiri ketika Ek-ong menulis syairnya yang dibuat kenang-kenangan itu.

   Ek-ong Tjio Tat Kay ada panglima perang kenamaan dari Thaypeng Thiankok, ia pernah berperang di sana-sini melalui medan perang beberapa Iaksa lie jauhnya, hingga ia telah menggetarkan pemerintah Boan, tetapi ketika ia mcninggalkan Kimleng (Lamkhia) dengan pimpin tentara tunggalnya ke Soetjoan, se lama mana ia banyak mendcrita di sepanjang jalan, karena meluapnya Sungai Kimsee-kang, hingga ia tak sanggup sebcrangi Kali Taytou w-hoo, ia kena ditawan dan kemudian menemui ajalnya karenanya, dalam usia baharu tiga puluh tiga tahun.

   Scbagian besar dari tentaranya berkorban di medan perang, sebagian yang kecil, dapat meloloskan diri.

   Dan Poei Hok Han, ialah namanya si tukang besi itu waktu, juga berhasil meluputkan diri dari bahaya.

   Tidak lama kemudian, Thaypeng Thiankok runtuh Poei Hok Han merantau, hidup dalam penyamaran.

   Ketika ketegangan mulai reda, ia sampai di Boesek, akan hidup sebagai tukang besi di desa yang kecil.

   Dua puluh tahun lewat dengan cepat, Hok Han telah menjadi satu empeh-empeh, akan tetapi semangatnya masih belum kunjung padam, dalam kesunyiannya, ia masih kenangkenangi pergerakannya, karena tcrpaksa, ia kcndalikan diri, untuk mana, kadang-kadang ia suka menepas air mata sendiri.

   Dalam usia yang lanjut, Hok Han dapat pikiran untuk mendapati mu-rid, guna wariskan ilmu silatnya.

   Ini ada urusan yang sulit.

   Selama sepuluh tahun umpetkan diri, belum pemah ia dapati murid yang ia cari.

   Ia ingin dapati murid yang berbakat dan dapat dipercaya.

   Kebetulan sekaii, selagi lewat di depan rumah Siangkoan Kin, ia dengar nyanyian orang, tak bersangsi puia, ia masuk, akan kctcmui guru sekolah desa itu.

   
Kisah Dua Saudara Seperguruan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Sejak itu, dengan diam-diam, Siangkoan Kin angkat si tukang besi menjadi gurunya.

   Ia sendiri, tetap menjadi guru sekolah.

   Tak ada orang tahu yang ia lagi belajari silat.

   Di mata penduduk lainnya, mereka ada satu sioetjay melarat dengan satu tukang besi miskin, yang menjadi sahabat kekal karena mereka senasib.

   Tidak ada satu penduduk juga yang mencurigai mereka.

   Siangkoan Kin berotak sangat terang, kalau orang lain membutuhkan tempo satu tahun, ia cuma tiga bulan, tidaklah heran, dalam tempo lima tahun, ia sudah dapatkan dasamya sempurna, pelajarannya telah maju jauh.

   Pada suatu malam terang bulan, seperti biasa, Poei Hok Han datang ke rumah muridnya, ia saksikan sang murid lagi melatih diri dalam ilmu pukulan "Bittjong-koen,"

   Setelah murid itu selesai bersilat, ia menghela napas, ia kata.

   "Kita drang telah berkumpul lima tahun lamanya, aku khawatir kita orang segera akan berpisah."

   Mendengar itu, Siangkoan Kin terkejut.

   "Kenapa, Soehoe?"

   Tanya ia.

   "Karena di kolong langit tidak ada pesta perjamuan yang tidak ada saat bubarnya,"

   Sahut sang guru.

   "Kau pun, selama lima tahun, sudah mewariskan semua kepandaianku, bakatmu ada sangat bagus. pelajaranku sebaliknya sangat rendah. tak sanggup aku mend idik kau terlebih jauh. Kau tahu, aku ada seorang perantauan, aku ada seorang gelap. Terpaksa aku hidup menyendiri. Di sebelah itu, usiaku sudah lanjut, tak banyak tempo lagi untuk aku tewati. Semcntara itu, masih ada urusan yang aku belum selesaikan. Sekarang aku memikir untuk mencari satu orang, aku masih ingin tengok pula keadaan di luar."

   Siangkoan Kin mengerti perasaan cinta negeri dari gurunya, yang tetap tak mau padam, yang sukar untuk dilupai, maka ia percaya, masih ada cita-citanyaguru ini. Tiba-tiba ia pun dapat pikiran. Maka ia kata pada guru itu.

   "Soehoe, muridrrra juga ingin merantau sebagai kau, harap Soehoe ajak aku, untuk aku peroleh pengalaman."

   Poei Hak Han pandang muridnya.

   "Kau tak dapat,"

   Jawab ia.

   "Kenapa, Soehoe?"

   Sang murid tegaskan.

   "Aku ada orang yang dicari pemerintah Boan, walaupun banyak tahun sudah lewat, namun aku tetap tcrancarn bahaya. Tidak demikian dengan kau, anak tunggal, yang belum bcrumah tangga. Bagaimana aku bisa bawa kau untuk menghadapi bencana?"

   Mendengar gurunya sebut hal rumah tangga, mukanya Siangkoan Kin merah bahna likat, tapi ia segera berbangkit, dengan hormai, dan dengan sungguh-sungguh ia kata pada gurunya itu.

   "Soehoe, mustahil sampai sekarang Soehoe masih tetap tak mempercayai aku? Jikalau aku jerih akan kesukaran dan takut akan ancaman malapetaka, tidak nanti aku berani ikuti kau! Soehoe, aku bersumpah akan teladan kau selama aku masih bernyawa, aku akan musuhkan pemerintah Boan! Tak mundur aku walaupun mesti binasa berlaksa kali! Cita-citaku masih belum tercapai, cara bagaimana bisa aku memikirkan rumah tangga? Harap Soehoe jangan bersangsi pula, mari kita pergi bersama!"

   Menampak ketetapan hati orang itu, Poei Hok Han .tertawa.

   "Jikalau demikian, tujuan kita sama!"

   Kata ia.

   "Baik, aku nanti ajak kau!"

   Kemudian ia tepuk-tepuk pundaknya, dengan roman sungguh-sungguh ia tambahkan.

   "Barangkali dengan perjalanan ini aku bisa sekalian carikan satu guru yang pandai untuk kau!"

   "Kau sangat berbudi, Soehoe, mana aku tega akan tukar guru?"

   Sahut sang murid. Orang tua itu mengawasinya, alisnya dikerutkan.

   "Kenapa kau pun jadi seperti orang biasa saja?"

   Tanya ia.

   "Kau harus tahu, pelajaran tidak ada habisnya, pelajaran hams diyakinkan terus, hingga jadi scmpurna! Tak boleh orang kukuh i satu golongan saja, i tulah kebiasaan buruk dalam kalangan Rimba Persilatan. Ada lagi, yang kukuhi diri sendiri, tidak maul mengajarkan lain pihak, atau tidak mau pelajarkan kepandaian lain orang. Aku hendak carikan kau guru yang pandai, yang lebih liehay sepuluh kali lipat daripada aku. Aku hanya sangsi, orang itu sudi terima kau atau tidak."

   Siangkoan Kin melongo, ia pandang gurunya itu.

   "Siapa orang itu, Soehoe, yang Soehoe demikian hargakan?"

   Iatanya. Poei Hok Han tidak lantas menjawab, ia tertawa.

   "Kau ingat tidak, dalam salah satu syairnya Ek-ong Tjio Tat Kay ada disebutkan hal meloloskan pedang dari pinggang, untuk haturkan itu kepada lain orang?"

   Siangkoan Kin heran sekali.

   "Aku ingat itu, Soehoe. Kenapakah?"

   Ia tegaskan. Ia lantas membacakan syair itu di luar kepala.

   "Mengangkat kepalanya, naga tua perdengarkan suara Mahasiswa berduka berkehendak mcmbasmi pengkhianat Sesudah sampai di jalan buntu, masih ingin bersahabat Persembahannya adalah ribuan tail emas berharga". Mendengar itu, si empeh buat main kumisnya, nampaknya ia terharu sekali, seperti ia ingat apa-apa yang telah lalu.

   "Guru yang aku niat carikan untuk kau itu,"

   Kata ia kemudian, dengan pelahan.

   "adalah itu orang yang di saat buntu kepada siapa Ek-ong loloskan pedangnya untiik dihaturkannya. Aku ada Ek-ong empunya pahlawan, dia adalah sahabatnya- Ek-ong"

   Ia berhenti sebentar, selagi sang murid awasi ia, ia lanjuti.

   "Dia adalah t sahabatnya Ekong, akan tetapi cita-cita mcrcka berdua beda satu dari lain. Sejak Ek-ong meninggalkan Kimleng, akan melakukan perjalanan peperangan jauh selaksa lie, dia sendiri mcnuju ke lain arah, dia tidak ikuti lebih jauh pada Ek-ong."

   Siangkoan Kin heran. Ia ada orang yang paling kagumi Ekong, mendengar ada sahabatnya raja muda itu, yang beda faham, ia merasa tidak mufakat. Ia lantas tanya gurunya.

   "Sudah terang dia bercita-cita tain dan Ek-ong, kenapa Ek-ong haturkan pedangnya kepadanya, kenapa Soehoe pun sangat hargai dia?"

   "Kau pandang urusan sangat sederhana!"

   Sang guru tertawa.

   "Faham berlainan bukan berarti bahwa orang mesti bertentangan. Ek-ong benar ada satu orang luar biasa tetapi itu bukannya bcrarti sesuatu dari sepak-terjangnya benar semua."

   Sampai di sini, Hok Han tuturkan muridnya perihal sahabatnya Tjio Tat Kay itu dan hubungannya dengan si raja muda.

   "Dia adalah Soekong Tjiauw, dia pun ada seorang luar biasa.

   Dia sangat kagumi Ek-ong untuk Ek-ong empunya kepintaran ilmu surat dan ilmu silat, ilmu pcrang yang mahir.

   yang bisa dibandingkan dengan panglima-panglima perang pandai di zaman dahulu.

   Begitulah, dengan ikhlas hati, ia kasih dirinya dipekerjakan Ek-ong.

   Sejak Ek-ong dalam usia dua puluh tiga tahun dianugerahkan sebagai pangeran, ia mendampinginya saja dalam kemah sebagai penasihat Ek-ong pun sangat hargai dia dan sangat percaya padanya.

   Adalah kapan datang suatu saat yang maha penting, keduanya nyata berbeda paham.

   keduanya lantas saja berpisahan."

   Suaranya si empeh jadi pelahan, airmatanya berlinang.

   "Itulah urusan yang membikin Thaypeng Thiankok dari makmur menjadi lemah, hingga suatu usaha demikian besar dan menggetarkan , dunia., lantas jadi hancur. Karcna bentrokan di dalam, buyarlah semua-semua.."

   Empeh ini menghela napas, suaranya sangat sedih.

   "Apakah Soehoe maksudkan bentrokan antara Yo Sioe Tjeng dengan Wie Tjiang Hoei?"

   Siangkoan Kin tegaskan.

   "Benar,"

   Jawab sang guru, setelah menghela napas panjang.

   Pada masa Thaypeng Thiankok mengangkat berbagai raja muda (pangeran) adalah Tong-ong Yo Sioe Tjeng yang kedudukannya paling agung.

   Tong-ong ini terlalu agulkan jasanya, ia sampai menindih Iain-lain rekannya, sampaipun Thian-ong Ang Sioe Tjoan sendiri, ia tidak lihat mata.

   Di sebelah pangeran yang jumawa itu, ada Pak-ong Wie Tjiang Hoei yang kouwkatie, yang irikan kedudukan orang.

   Selagi Tong-ong agui-agulan demikian rhacam, hingga dia tak disenangi Thian-ong dan Iain-Iain pangeran, Pak-ong mengatur siasatnya yang buruk.

   Dibokong dalam suatu pesta, Tong-ong kena dibinasakan.

   Sesudah ini, Pak-ongjuga bunuh habis keluarganya serta sebawahan yang berjumlah dua puluh ribu jiwa lebih.

   Ini ada perbuatan kcterlaluan.

   Walaupun bisa dianggap Tong-ong keliru, diamasih tak dapat dihukum mati, apa pula keluarga dan sebawahannya itu.

   Orang-orang sebawahan itu adalah anggota-anggota berharga dari Thaypeng Thiankok.

   Dengan pembasmiannya itu, Pak-ong seperti membantu besar sekali kepada musuh untuk memperlemah diri sendiri.

   Karena itu, Ek-ong sudah lantas buru-buru berangkat ke Kota Raja, untuk cegah pcmbunuhan itu..

   Ketika Ek-ong baharu berumur dua puluh enam tahun tapi dia telah jadi seperti jiwanya Thaypeng Thiankok, dia ada pegang kekuasaan besar atas bala tcntara, namanya pun kesohor di dalam dan di luar negeri.

   Wie Tjiang Hoei khawatir kapan ia ketahui pangeran itu pulang; ia jadi dapat niatan akan bunuh juga rekan ini.

   Beruntung buat Ek-ong, ia dengar selentingan, malam-malam juga ia kabur, ia loloskan diri dari Kota Raja.

   Tapi Pak-ong tak mau bekerja setengah jalan, dia pun basmi keluarganya Ek-ong.

   Ek-ong berjasa, dia terima nasib celaka itu, dia jadi gusar dan mendongkol.

   Thian-ong khawatir Ek-ong gusar dan nanti berontak, dia sudah lantas hukum mati pada Pak-ong Wie Tjiang Hoei, tetapi di sebelah itu, ia pakai orang-orang yang tak disukai Ek-ong, hingga perhubungannya dengan Ek-ong menjadi renggang.

   Ek-ong ketahui ini, hatinya jadi tawar.

   Maka di akhirnya, Ek-ong ambil putusan, dengan bawa beberapa laksa serdadunya, ia mcninggalkan kota Kimleng, dia menuju ke barat, untuk cari suatu pangkalan baru, untuk berusaha sendiri, untuk bisa berdiri berendeng dengan Thaypeng Thiankok, guna saling bantu.

   Di harian Ek-ong berikan titah-titah unjuk, walaupun Thianong keberangkatannya ke barat, Soekong Tjiauw menangis sangat sedih, ia cegah tindakannya Ek-ong, ia menasihatinya berulang-ulang.

   Ia menyia-nyiakannya, tetapi Thaypeng Thiankok sendiri tak boleh kehilangan Ek-ong, bahwa kepergian pangeran ini berarti memecah tenaga sendiri, hingga gampanglah scsuatu dari mereka diserang rusak tentara Boan.

   Mulanya, Ek-ong tertarik juga oleh nasihat itu, akan tetapi di akhirnya, kepercayaan atas dirinya sendiri demikian besar, hingga ia tak menghiraukannya.

   Tidak gentar dia terhadap musuh Boan.

   Malah ia hunus pedangnya dan sambil berbangkit, ia kata.

   "Di dalam tentara Boan, yang paling gagah adalah Saudara-saudaraTjan, tetapi mereka, mendengar namaku hatinya rontok, melihat bayanganku mereka lari simpang-siur! Kau lihat nanti, dari Tionggoan aku akan menyapu ke Barat dan Selatan, untuk meletaki dasar dan mendirikan usaha buat laksaan turunan guna Thian-ong!"

   Sampai di situ, Soekong Tjiauw tidak berani bilang suatu apa pula, dia cuma berlinang air mata, laiu tanpa pamitan lagi, dia pergi.

   meninggalkan raja muda itu.

   Ek-ong berangkat ke barat, ia lakukan perjalanan laksaan lie bersama beberapa puluh laksa serdadunya, tetapi akhirnya, tepat kata-katanya Soekong Tjiauw, ia telah tidak bcrhasil.

   karena tenaganya telah terpecah.

   Ketika ia hendak memasuki Propinsi Soctjoan, tidak saja tentara di Kimleng terancam bahaya, ia sendiri jadi semakin lemah.

   Tujuh tahun ia sudah berperang, sembilan propinsi ia telah sampaikan ialah Kangsee, Tjiatkang, Hokkian, Ouwlam, Kwiesay, Kwietang, Koeitjioe, Ouwpak dan Soetjoan tenaganya jadi berkurang, otot-ototnya lemah, di saat ia berada di Kali Taytouw-hoo, di depan ia menghadapi tempat berbahaya, di belakang ada musuh mengejar padanya.

   Di saat yang sangat mengancam itu, sekonyong-konyong Soekong Tjiauw muncul pula di hadapan Ek-ong; untuk menasihati raja muda ini bubarkan tentaranya, untuk menyingkir sambil menyamar.

   "Coba pikir, bagaimana Ek-ong bisa turut nasihat itu?"

   Kata Poei Hok Han sambil menghela napas pada muridnya.

   "Itu malam dengan pedang di tangan, aku damping! Ek-ong, aku dengar pembicaraan mereka berdua. Dengan keras Ek-ong kata. Aku bertanggung jawab atas seluruh tentaraku, kewajibanku adalah berperang sampai binasa, tak dapat aku menyingkirkan diri! Aku telah keliru ambil jalan, aku telah bawa semua saudara ke tempat buntu, maka aku mesti cari kehidupan dalam kematian, untuk menerobos keluar! Mana bisa aku bubarkan tentaraku untuk biarkan mereka dikejar dan dibinasakan oleh bangsa Boan? Khongtjoe toh bilang hams sempumakan perikemanusiaan dan Bengtjoe mengatakan untuk pilih kebijaksanaan. Semangatnya satu orang, di tempat berbahaya itu mesti makin ternyata. maka dari itu, pasti sekali, tidak nanti aku lari. Untuk sekian lama, Soekong Tjiauw tak kata suatu apa, adalah kemudian, dengan paksakan diri, ia bilang. Aku telah keliru memberi nasihat. Karen a Ek-ong tak sudi menyingkir, maka aku ingin temani Ek-ong binasa bersama."

   Akan tetapi Ek-ong larang ia bertindak demikian.

   Ek-ongmenyatakan.

   *Kaudengan aku adalah lain.

   Aku ada kepala perang, tanggung jawabku ada jauh terlebih berat daripada tugasmu.

   Sudah pasti aku ingin binasa, kau sendiri tak dapat.

   Kau hams, dengan tubuhmu yang berharga, selesaikan tugasmu yang belum rampung. Habis berkata demikian, Ek-ong loloskan pedang sendiri, serahkan pada sahabatnya itu,-serta ia tulis syaimya yang barusan kau ulangi di luar kepala."

   Mendengar cerita sang guru sampai di situ, tak tertahan lagi, air mataSiangkoan Kin berlinang.

   "Habis sekarang, di mana adanya Soekong Tjiauw itu?"

   Tanya ia, dengan suara sesenggukan.

   "Ek-ong tak sanggup seberangi Kali Tayhouw-hoo, dia berperang hingga dia kena ditawan,"

   Hok Han jawab muridnya.

   "Dengan gagah ia telah terima kebinasaannya. Sejak itu hingga kini sudah bcrsclang dua puluh tahun lebih, tidak pernah aku ketemu di mana adanya Soekong Tjiauw. Adalah baharu bcbcrapa hari yang lal u tiba-tiba aku terima surat satu sahabat yang menulis bahwa Soekong TjiauW tinggal sembunyi di Gunung Seegak H oa-san, bahwa dia mengharap untuk bisa bertemu dengan aku."

   Inilah keterangan yang sangat menggirangkan Siangkoan Kin.

   Begitulah di hari kedua, Poci Hok Han ajak Siangkoan Kin merantau, untuk sekalian cari Soekong Tjiauw.

   Dari Kangsouw Utara, mereka masuk ke Shoatang, terus ke Hoopak di mana mereka pesiar di Kota Raja, dari sana dengan ikuti Gunung Thayheng-san, mereka pergi ke Shoasay, sampai di Kota Tongkwan di tapal batas Siamsay-Shoasay.

   Dari situ mereka sudah lantas lihat Gunung Hoa-san yang tinggi agung.

   Ini adalah untuk pertama kali Siangkoan Kin bikin perjalanan, dia telah meninggalkan wilayah Kanglam di mana tiang-tiang layar bagaikan rimba dan layar-layarnya sendiri berbayang di permukaan air yang jernih indah, tapi sekarang ia memasuki daerah Utara dengan sawah-ladangnya ribuan lie dan tanah datarnya yang luas lebar, jalan di lamping-lamping gunung yang penuh bahaya.

   Tepian Thayheng-san ada berlugat-legot laksana cacing, ribuan lie panjangnya, lampingnya mirip dengan tembok kota.

   Ada kalanyadia memasuki lembah atau selat yang sempit dan gelap.

   Semua itu membuat hatinya si guru sekolah jadi terbuka, hingga insyaflah ia sekarang, merantau ribuan lie benar ada menang daripada membaca laksaan kitab.

   Buat dua puluh tahun lebih Poei Hok Han hidup tersembunyi, wajahnya sekarang sudah berubah, benar ia tidak tarik perhatian orang banyak, hingga merdeka ia mengajak muridnya merantau, akan akhimya sampai di Hoasan, gunung yang sejak zaman dahulu dipanggil Seegak, yang ada punya lima puncak dan tempat yang permai pemandangannya.

   Ia terus ajak sang murid memasuki rimba, menembusi pepohonan oyot, mendaki sampai di atas puncak tertengah, Lianhoa-hong.

   Kisah Dua Saudara Seperguruan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Di sini pun banyak pepohonan yang tinggi dan rumput yang lebat dan tinggi sependirian manusia, angin meniup keras, hawa udara dingin.

   Siangkoan Kin bertubuh ulet tapi ia toh merasai sejuknya hawa.

   Ia jalan dengan hati-hati tetapi ia lihat, gurunya jalan sewajarhya saja, tak perduli jalanan sukar dan berbahaya.

   Diam-diam ia insyaf bedanya kepandaian mereka berdua.

   "Itulah puncak utama dari Lianhoa-hong!"

   Akhir-akhirnya Poei Hok Han kata seraya menunjuk ke depan, ke puncak tertinggi.

   "Soekong Tjiauw dirikan gubuknya di situ} sungguh dia menderita."

   Siangkoan Kin angkat kepalanya, untuk dongak melihat, tapi tiba-tiba gurunya cekal ia seraya membisikinya.

   "Mendekam, lekas!"

   Dan ia lantas ditarik ke gombolan.

   untuk sembunyi.

   Sekejab saja, di tempat terpisahnya dua puluh tumbak lebih dari mereka, tiga orang melesat lewat, pakaiannya semua abu-abu, dan sekejab juga, mereka lenyap.

   Mereka itu telah gunai ilmu lari "Tengpeng touwsoei"

   Atau "Menyeberang sungai sambil injak kapu-kapu". Siangkoan Kin heran, tak terkecuali gurunya. la hendak tanya gurunya itu, atau Hok Han dului ia dengan berbisik.

   "Kau ikuti aku, hati-hati! Mari kitasusul mereka, mereka"

   Itu menuju ke puncak pusat Lianhoa-hong ini. Masih belum ketahuan. mereka sahabat atau musuh"

   Hok Han segera berloncat dengan pesat, untuk lari menyusul, agaknya pepohonan oyot dan duri tak menjadi rintangan bagi ia, maka kasihan Siangkoan Kin, yang tidak punya keentengan tubuh dan kegesitan sebagai gurunya itu.

   Dua* kali ia tersangkut oyot, sampai bajunya robek, sampai tcrpaksa ia minta gurunya tunggui ia.

   Siapkan scnjatamu, tetap waspada Hok Han pesan muridnya.

   Mereka menyusul dengan tak tcrlihat tiga orang di dcpan itu, karena jarak jauh juga dari mereka kedua pihak..Sebab rumput tebai dan tinggi, Hok Han juga tidak dapat I ihat mereka itu, maka dari itu, ia berlaku hati-hati sekaJi.

   Selagi si empch tukang besi ini memasang mata, tiba-tiba ia dengar suara pelahan tidak jauh di depannya.

   Ia lantas pasang teiinganya, untuk mendengari.

   Ia segera kenali satu suara, yang ia seperti kenal, akan tetapi kata-katanya ia tidak dengar nyata.

   Maka itu, ia bisiki Siangkoan Kim "Mereka berada di samping kiri kita, terpisahnya mungkin tiga puluh tumbak kira-kira, mari ikut aku, kita ambil jalan kanan, akan mutar ke belakang mereka.

   Kita mesti ada di sebeTah belakang mereka, kita mesti jaga agar mereka tak dapat meiihat kita."

   Kebetulan angin meniup keras, suaranya berisik, Hok Han barengi loncat ke samping.

   Siangkoan Kin ikuti gurunya itu.

   Sebentar kemudian, mereka sudah sampai di belakang orang-orang yang dikuntit, Hok Han, yang berada di depan, telah kisiki muridnya, yang lagi-lagi hendak menanya dia.

   Guru ini berkata.

   "Dia orang ada orang-orang Kangouw yang pandai, mereka datangi Lianhoa-hong yang penuh ancaman bahaya, mesti merekrii hendak berurusan dengan Soekongl Tjiauw. a Dari tempat mereka sembunyi, guru dan murid ini bisa lihat nyata] tiga orang itu, yang berkumpul sambil | jalan mondarmandir, sambil bicara juga dengan suara keras, angin bersiursiur.

   "Kepala hantu ini sembunyi di pusat tertinggi dari Hoasan, wj demikian Hok Han dengar.

   "maka itu ada sangat sukar untuk cari dia. Baharu dalam tahun ini, kita dengar tentang dia, tetapi sudah beberapa kali kita cari dia di sini, tak juga dia dapat diketemukan. Ini hari kita dapat cari guha tempat mengcramnya, akan tetapi dia tidak ada di sarangnya! Apakah kita bukannya menyia-nyiakan waktu saja?"

   "Kepala hantu itu sangat licin,"

   Mengulangi yang lain pula.

   "Nampaknya dia sudah ketahui ketika kita datang pada dua kali yang pertama. Aku kuatir dia sudah berlalu dari ini. Entah ke mana lagi dia sembunyikan diri."

   "Aku percaya, dia belum menyingkir pula,"

   Kata orang yang ketiga.

   "Dua kali kita datang, kita mencari di sekitarnya gunung ini, lata belum sampai di puncak tertengah ini. Kita pun datang malam dan berlalu sebelum terang tanah, cara bagaimana dia bisa mendapat tahu?"

   "

   Walaupun demikian, Sha-tee, tak dapat kita tidak berjagajaga,"

   Kata orang yang pertama.

   "Siapa tahu jikalau ia telah atur bayhok atau ia telah minta datang bala bantuan untuknya? Mari kita mencari pula di sekitar ini. Awas, jangan sampai kita kenadiakali."

   Dua kawan itu mufakat, lantas mereka mencari pula, dengan berpencaran.

   Diam-diam, Hok Han kaget dan berkuatir.

   Terang sudah, Soekong Tjiauw lagi hadapi musuh-musuhnya.

   Ia juga kuatir, seorang diri, sahabatnya itu nanti tidak sanggup melayani musuh-musuhnya itu.

   Scmcntara itu, ia ingat semakin nyata lagu suara orang, yang ia rasa kenal.

   Ia pikirkan itu, ia berpikir keras.

   Tiba-tiba, ia terkejut sendirinya dan heran.

   "Apakah mungkin dia pun telah jadi budaknya bangsa Boan?"

   Akhimya ia tanya dirinya sendiri.

   Satu di antara tiga orang itu mencari ke arah Hok Han dan muridnya sembunyi, makin lama dia datang makin dekat.

   Siangkoan Kin siapkan pedangnya di satu tangan dan senjata rahasia di tangan yang lain, meski demikian, tidak urung ia keluarkan keringat dingin.

   Ini ada pengalamannya yang pertama.

   Poei Hok Han pun siap sedia, malah ia sudah pikir untuk menerjang lebih dahuhi.

   Orang itu maju terus, gerak-geriknya hati-hati.

   Bcnar di saat Hok Han hendak lompat menyerang atau ia dengar suara bentakan orang itu "Siapa? Berhenti!"

   Suara itu disusul sama lompat munculnya satu orang, yang dengan suara dalam dan seram. balik menanya.

   "Kau siapa? Aku ada penduduk gunung sunyi ini! Adakah aku mengganggu pada kau? Aku lagi cari kelinci atau buah-buahan hutan, sebegitu jauh, aku beium memperolehnya, hingga aku berdahaga dan lapar, lalu aku hendak pulang untuk dahar momo setclah mana, aku hendak keluar pula. Kau suruh aku berhenti apakah kau mau? Itulah Soekong Tjiauw! Hok Han tidak jadi keluar, ia sembunyi terus, akan pandang sahabatnya itu dan si orang tidak dikenal. Selang dua puluh tahun lebih, roman orang she Soekong itu sudah berubah, nampaknya tindakannya kurang tegap lagi, matanya kurang bersinar, pakaiannya pun cobak-cabik, rambutnya dan kumisjenggotnya telah putih semua. Tidak lagi ia beroman gagah seperti dulu. Cuma karena lagu suaranya. dan gerak-geriknya, maka Hok Han dapat kenali sahabatnya ini. Orang asing itu, seorang tua dengan pakaiannya abu-abu, bicara pula.

   "Soekong Tjiauw, di hadapan sahabat, jangan lagi kau berpura-pura pi Ion! Mustahil kau senang untuk bikin sahabatmu nampak kesulitan?"

   Soekong Tjiauw berdin diam, sikapnya sangat sabar.

   "Apakah Kong"apakah Tjiauw?"

   Tanya ia.

   "Sahabat, katakata kau tak dapat aku mengertikan! Aku ada seorang gunung. Gunung ini tinggi, rimbanya lebat, di sini ada serigalanya, harimaunya banyak, jurangnya dalam, jalanannya sukar dan bcrbahaya. Untukku, yang biasa tinggaJ di guha. semua itu ada umum, tidak demikian dengan kau, Tuan yang terhormat. Ada urn sari apa kau datang kemari? Untuk apa kau berdiam lama-lama di sini? Di sini bukannya tempat pesiar yang indah. Buat apa kau panjat Hoa-san yang tinggi ini?"

   Selagi Soekong Tjiauw bicara, tiba-tiba muncul seorang tua lain, yang warna pakaiannya serupa dengan yang pertama itu. Dia maju ke depan, lalu dengan suara dingin dia kata.

   "Saudara Soekong Tjiauw, sudah lama kiia orang tidak pernah bertemu, apa kau ada banyak baik? Saudara, apakah kau masih ingat sahabat kekalmu ini dari Kimleng dari dua puluhtahun yang lampau?."

   Soekong Tjiauw awasi orang itu tetap akhirnya, ia goyanggoyang tangannya.

   "Maafkan aku,"jawab ia sambil tertawa dingin.

   "aku ada seorang gunung, seorang hutan, mana aku ada punya sahabat mewah seperti kau? Oh, Thayya sekalian, harap kau orang tidak mengganggu aku!."

   Orang tua itu gusar karena dijawab demikian rupa, dia anggap dia dipermainkan, hingga tak bisa ia mengendalikan hawa amarahnya. Kedua biji matanya lantas saja melotot.

   "Soekong Tjiauw!"

   Ia berseru.

   "Aku masih ingat pcrsahabatan kita, aku ingin buka jalan hidup untuk kau, aku tidak mau berlaku kejam, kenapa kau bersikap begini macam terhadapku? Ingat, jangan kau cari susah send in"! Jangan kau andali saja kegagahanmu, hingga kau jadi berani membangkang! Lihat tjoekongmu, Tjio Tat Kay! Bagaimana dia pandai dan liehay, tidak urung dia tertawan dan dapatkan kebinasaannya! Apa pengaruhnya Thaypeng Thiankok? Bukankah gerakan itu pun buyar bagaikan es? Kau sendiri, apa kau bias bikin? Soekong Tjiauw, aku sudah bicara, maka hayolah kau pikir. Jikalau kau suka secara baik bersama-sama kita pulang ke Kota Raja, aku tanggung pemerintah nanti perlakukan baik kepadamu, kau bakal dipakai dan dihargai, tetapi jikalau tidak, terpaksa kita nanti bekuk padamu! Kau dengar terang atau tidak? Kita ada sahabat-sahabat lama dari Kimleng, aku kenal kau Soekong Tjiauw, kau pun kenal aku Tang Siauw Tong, kita ada bangsa laki-laki, sekarang aku tunggu jawabanmu!"

   "Memang dia!"

   Pikir Poei Hok Han di tempat sembunyinya.

   Ia memang segera kenali orang tua itu.

   Tang Siauw Tong ada orang kepereayaan paling setia dari Pak-ong Wie Tjiang Hoei, sebilah goloknya Tan-too telah menjagoi di lima propinsi Utara, belum pernah dia temui tandingan, ketika terjadi bentrokan antara Wie Tjiang Hoei dan Yo Sioe Tjeng, dia telah membantu membinasakan Tongong, kemudian ketika Pak-ong dihukum mati, dia pergi kepada Ang Djin Kan, saudara Thian-ong Ang Sioe Tjoan.

   Supaya dia diterima, dia kasih keterangannya, bahwa dulu dia cuma turut titahnya Pak-ong Wie Tjiang Hoei, bahwa dia sebenarnya tetap setia kepada Thian-ong.

   Thian-ong Ang Sioe Tjoan bersatu pendirian dengan Ek-ong Tj io Tat Kay, dalam bentrokan Wie Tjiang Hoei dengan Yo Sioe Tjeng, yang bersalah adalah Wie Tjiang Hoei sendiri, jadi semua orang sebawahannya tak ada sangkut-pautnya.

   Karena ini, Thian-ong tidak tarik panjang halnya Tang Siauw Tong.

   Kemudian, ketika Kota Kimleng jatuh dan Thaypeng Thiankok hancur-lebur tidak ketahuan ke mana kabumya orang she Tang ini, Hok Han tidak pernah mendengarnya, sampai tahu-tahu dia muncul hari ini.

   Maka itu Hok Han percaya, dengan sikapnya itu, orang she Tang ini pasti telah jadi kaki-tangannya pemerintah Boan.

   Selagi Poei Hok Han berpikir demikian tcntang orang she Tang itu dengan penuh amarah, adalah ia dapatkan Soekong Tjiauw sendiri bersikap tenang.

   "Tang Siauw Tong?"

   Kata ia sambil tertawa, dengan dingin.

   "Ya, tidak salah! Memang dulu aku ada punya satu sahabat dengan itu nama, tetapi dia sudah mafi lama. Di harian jatuhnya Kota Kimleng, semua orang peperangan Thaypeng Thiankok dengan gagah telah mengorbankan dirinya dan Tang Siauw Tong ada satu laki-laki sejati, mana dia bisa mencuri hidup, akan menjadi budaknya si budak, akan jadi gundalnya si gundal? Kau siapa? Kenapa kau bcrani pakai namanya sahabatku itu?"

   Soekong Tjiauw tidak sudi kenal orang she Tang ini, ia berbuat demikian dengan disengaja. Ini cara ada lebih hebat daripada dampratan langsung. Tidak heran jikalau si orang she Tang jadi gusar bukan kepalang.

   "He, pithoe, begini tajam lidahmu?"

   Ia membentak.

   "Kau tidak tahu diri! Jangan kau sesalkan aku jikalau aku tidak ingat pula persahabatan kita! Terpaksa aku mesti undang kau turut pergi bersama-sama kita! Soekong Tjiauw tertawa pula secara dingin sekali.

   "Aku sudah duga, binatang, kau memang bisa mencari pangkat dengan jual sahabatmu!"

   Kata 1a.

   "Kau sekarang jadinya hendak ambil darah hidupkan untuk celup merah Icopiahmu? Tak demikian gampang, Sahabat! Kau gerakilah tanganmu! Tidak perduli kau sendirian, atau kau maju bersama semua kawanmu, aku Soekong Tjiauw bersedia untuk melayaninya!"

   Ketika itu kawan yang ketiga dari t Tang Siauw Tongjuga sudah datang, bersama kawannya, dia dampingi Siauw Tong, mereka tidak senang mendengar ejekan-ejekan Soekong Tjiauw.

   "Sahabat Soekong, jangan kau pandang terlalu hina kepada kita!"

   Kata satu di antara mereka.

   "Tidak nanti kita rebut kemenangan dengan cara keroyokan! Di antara kita bertiga, kau boleh pilih salah satu! Kita hendak bikm kau puas dan mati tanpa penyesalan!"

   Berdua mereka bcrdiri dengan sikap jumawa sekali.

   Dua kawan dari Tang Siauw Tong ini bukan orang-orang sembarangan.

   Yang satu ada TjianlieTwiehong See Beng Wan si Pengejar Angin, yang ada murid utama dari Keluarga Lou, segolong ilmu silat kesohor di Shoasay.

   Dia tidak saja telah mewariskan Keluarga Lou punya ilmu gembolan Samleng Touwkah-twie, yang terdiri dari delapan puluh satu jurus saling beruntun, ilmu entengi tubuhnya pun sangat terkenal.

   Dia bekerja kepada pemerintah Boan dengan pertolongan Jenderal Tjoh Tjong Tong.

   Ini jenderal she Tjoh, bersama-sama dengan pengkhianat besar Tjan Kok Hoan, adalah menteri-menteri yang kenamaan.

   See Beng Wan "dibeli"

   Ketika Tjoh Tjong Tong bawa pasukannya ke Sinkiang.

   Or-ang yang kedua ada Peng Tjeng It, seorang dari suku Hweehwee, yang bekerja sebagai pahlawan pilihan dalam Keraton Boantjioe, kepandaiannya adalah ilmu toyasulgj bangsanya dan senjata rahasia.

   Bertiga mereka sangat percaya kegagahan mereka, mereka tidak berniat keroyok Soekong Tjiauw.

   Mereka percaya betul yang mereka akan berhasil.

   Bukankah kalau yang satu sedang bertempur, yang dua bisa memasang mata? Mereka sudah rencanakan, dalam keadaan terpaksa, baharu mereka akan gunai senjata rahasia atau turun tangan bersama.

   Soekong Tjiauw tidak sambut tantangan itu, sebaliknya dia yang tanya, siapa di antara mereka bertiga yang hendak maju paling dulu.

   Tidak tempo lagi, Tang Siauw Tong enjot tubuhnya, akan mencelat maju ke depannya musuh.

   "Aku!"

   Ia berseru seraya terus ulur kepalan kanannya ke arah muka. Soekong Tjiauw kasih dengar tertawa panjang, selagi tangan musuh menjurus, iageser kaki kirinya ke kiri dari sini ia angkat sebelah tangannya, akan gempur lengan orang itu.

   "Bagus!"

   Berseru Siauw Tong, yang dengan sebat gunai tangan kirinya, akan halau gempuran musuh itu, sedang tangan kanannya segera ditarik pulang, buat dipakai mencengkram muka orang dengan pukulan "Kimliong tamdjiauw"

   Atau "Naga emas ulur kuku".

   Ini ada semacam serangan yang liehay, tcrutama saking cepatnya.

   Soekong Tjiauw berkelit, untuk luputkan diri, hingga serangan musuh mengenai tcmpat kosong, sesudah itu, tidak kurang gesitnya, ia menyerang dengan tangan kanan, untuk hajar kanan lawan.

   Sekali ini ia gunai tipu "Totiam kiamteng"

   Atau "Rubuhkan lampu emas". Tang Siauw Tong bcrada di dalam ancaman, akan tetapi ia mempunyai latihan dari beberapa puluh tahun, untuk tolong diri, ia lekas-lekas mengendap sambil putar tubuhnya dalam gerakan "TjhongHong kianbwee"

   Atau "Naga melilit ekor", menyusul mana, kakinya diulur, untuk meradak kuda-kuda lawan. Soekong Tjiauw tahu serangannya gagal dan ia berbalik terancam, untuk menyelamatkan diri, ia berloncat dengan "Koaybong hoansin"

   Atau "Ular naga jumpalitan".

   Tapi ia tidak berhenti dengan berkelit saja.

   Ia pun segera balas menyerang pula.

   Ia telah menyerang dengan berbareng, dengan tangan kanan dan kaki kiri.

   
Kisah Dua Saudara Seperguruan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Ia bersedia akan adu tangan dan kakinya kepada musuh.

   Tang Siauw Tong meradak dengan radakan "Poanliong djiauwpou"

   Atau "Naga mendekam menggcser kaki".

   itu sebenamya bukan kepandaiannya yang istimewa Sekarang radakan itu gagal, ia balik diserang pula, tidak ada jalan lain, ia tolong diri sambil lompat ke belakang jauhnya beberapa tindak.

   Di sini baharulah ia perbaiki ia punya diri, sesudah itu, baharu ia hadapi pula musuh, akan mulai saling serang pula.

   Hok Han kagum melihat caranya dua orang itu bertanding sedemikian hebat, saling berganti mereka hadapi ancamanancaman bencana.

   Pertempuran berlangsung, sampai tiga puluh jurus lebih, sesudah mana, Soekong Tjiauw lantas mendesak, kecuali tubuhnya melesat ke kiri dan kanan, kedua tangannya menyambar-nyambar dengan kadang-kadang diikuti tendangan.

   Temyata ia telah gabungkan Sippat Lohan-tjhioe dari Siauwlim-pay serta dia sendiri ilmu totok Tiamhiattjhioenya, dengan ini cara, dia berhasil mendesak lawan itu.

   Tang Siauw Tong terpaksa main mundur saking hebatnya desakan, tetapi ia juga tidak mau menyerah kalah mentahmentah, maka kemudian, sambil berseru keras ia keluarkan ilmu silatnya "Thianliong Sippat-tjhioe", yang terdiri dari delapan belas jurus, setiap jurusnya bisa terpecah pula jadi sembilan gerakan susulan, hingga semuanya jadi ada seratus enam puluh dua jurus.

   Maka itu, kembali mereka jadi berimbang.

   Jurus-jurus dikasih lewat dengan cepat, masing-masing dengan serangan-serangannya yang berbahaya.

   Menurut mata umum, kclihatan nyata Tang Siauw Tong dcsakannya kcras, ialah orang yang mcrasa mendongkol dan penasaran, akan tctapi di matanya ahli, ia justru yang mulai terdesak Sippat Lohan-tjhioc adalah ilmu pukuian istimcwa dari Siauwlim-pay, yang tidak sembarang murid dapat pclajarkan, yang tidak sembarang dipakai.

   di sebelah itu, Soekong Tjiauw pandai Tiamhiat-hoat, ilmu menotok jalan darah.

   Tang Siauw Tong scbaiiknya, walaupun ia liehay dcngan Thianl iong Sippat-tjiangnya.

   ia kurang pandai dalam ilmu totokan, karena itu, ia jadi mcndapat rintangan sendirinya.

   Rupanya Tang Siauw Tong merasakan sendiri bahwa ia mulai tcrdcsak.

   dari itu, ia lantas menyerang berulang-ulang, saling susul dcngan "Samboan togoat" Tiga libat mcngikat rem bu I an.

   "Lengwan hianko" Orang-hutan sakti mcnyuguhi buah, dan "Paysan oentjiang" Menolak gunung dengan telapakan tangan. Sockong Tjiauw tidak jadi keteter karcna desakan musuh ini, dengan tenang ia mclayani, menangkis atau berkelit. Paling belakang, ketika tangan musuh sampai, ia sedot pemteya hingga jadi kosong. Cuma beda setengah dim, jeriji tangan lawan akan mengenai sasarannya. Justru itu, luar biasa gesit, orang she Soekong ini gunai tangan kanannya, akan gempur pundak kanan orang, akan cari jalan darah "Djiekhie-hiat. Siauw Tong tidak sangka, terdesak demikian rupa, musuh masih bisa menyelamatkan diri dan segera membalas menyerang, ia terperanjat, lekas-lekas ia buang tubuhnya ke belakang, dengan jejakan kaki, ia mencelat jumpalitan. loncat beberapa tindak jauhnya. Tapi ia masih kalah gesit, sambaran angin mcngcnai juga pundaknya, hingga ia merasakan kesemutan.

   "Kurang ajar!"

   Ia berseru dalam hatinya, sebelah tangannya segera terayun.

   Segera ada beberapa cahaya berkeredepan yang menyambar kearah Soekong Tjiauw.

   Itulah senjata rahasia panah tangan! Soekong Tjiauw telah bcrlaku waspada, ia lihat gerakan pundak orang, lantas ia berkelit, ke kin dan kanan, cara dcmikian, bcbcrapa batang panah tangan itu tidak mcngcnai sasarannya.

   Bukan maksud Tang Siauw Tong akan bokong lawannya itu, kalau dia t oh menyerang dengan senjata rahasia, itu adalah untuk bela dirj.

   Dia khawatir nanti disusul, untuk digerebek, dari itu, dengan panah tangan itu, dia hendak mcnccgahnya.

   Secara begini pun dia jadi dapat kesempatan akan hunus golok Ganleng-too nya yang pernah menggetarkan lima propinsi Utara.

   Di waktu dihuntis, golok Tan-too ini bersinar berkilauan, lalu tak tunggu tempo lagi, Tang Siauw Tong lompat maju, akan mendahului serang musuh selagi dia ini repot berkelit dari scrangan panah tangan.

   "Pemberontak, lekas hunus senjatamu!"

   Siauw Tong menantang.

   Dia bukannya ingat persahabatan hingga dia tidak mau membokong, tetapi dia percaya benar dia punya ilmu golok.

   Sebab selainnya dari sikapnya ini, adalah tempo bcrtiga mcrcka bcrangkat dari Pakkhia, mereka dipesan sedapatdapatnya agar musuh mi dibujuk menakluk atau sedikitriya ditawan hidup-hidup.

   Adalah keinginan dari pemerintah Boan akan korek keterangan dari Soekong Tjiauw tentang di mana sembunyinya ahli waris Kerajaan Beng.

   Bukan main panas hatinya Soekong Tjiauw apabila ia saksikan sikapjumawa dari lawan she Tang ini.

   Teranglah Siauw Tong tidak cuma rela jadi budak Boan tapi dia pun tak hormati lagi persahabatan kaum Kangouw.

   Adalah satu kebiasaan, dalam keadaan seperti Siauw Tong, diasudah mesti mengaku kalah.

   Tapi, gusar atau tidak, ia sudah tidak punya kesempatan lagi.

   Sinar golok itu telah berkeredep berulang-ulang menyilaukan mata.

   Golok Siauw Tong ada golok terbuat dari baja pilihan, rambut putus bila difiupkan ke arah tajamnya.

   Itulah golok yang dipakai membelai Wie Tjiang Hoei, untuk binasakan Yo Sioe Tjeng.

   Soekong Tjiauw juga ada punya pedang pilihan, ialah pedang "Lionggim-kiarn"

   Had iah, atau tanda mata dari Ek-ong Tjio Tat Kay, yang tak kalah tajamnya dengan golok Tang Siauw Tong.

   Pedang ini ia kebetulan tidak bawa, sebab biasanya, ia simpan gegaman itu.

   Kalau ia lihat Lionggimkiam, ia jadi bcrduka, karcna ia lantas teringat kepada Ek-ong.

   Lainnya sebab lagi adalah ia paling tidak gemar merebut kemenangan dengan gunai senjata, kecuali dalam keadaan sangat terpaksa.

   Bcgitu, ia terus hadapi musuh ini dengan tangan kosong, ia cuma waspada, ia mundur.

   "Kau masih tidak mau kcluarkan senjatamu?"

   Tang Siauw Tong membentak.

   "Kau hendak tunggu apa lagi? Apa kau mau terima binasa di ujunggolokku?** Ditantang secara dcmikian takabur, bukannya dia naik darah, Soekong Tjiauw scbaiiknya tertawa besar dan lama, kemudian dengan tiba-tiba ia melejit ke samping jauhnya beberapa tumbak di mana ia hampirkan sebuah pohon yang besarnya sepelukan, ia jambret scbatang cabang, untuk potes yang panjangnya satu tumbak lebih, yang besarnya sebesar lengan seorang tua, kemudian dengan putar itu, ia hadapi orang jumawa itu. Cabang pohon itu ia hendak gunai sebagai toya Houwbwee-koen Ekor Harimau -Iguna layani golok Gan leng- too. Tang Siauw Tong tertawa di dalam hatinya apabila ia tampak orang hendak lawan iadengan gunai hanya sebatang pohon.

   "Tcrang dia mau can"

   Mampifs sendiri!"

   Pikir ia.

   "Walaupun kau gunai toyabesi, aku tak takut, apalagi segala kayu!"

   Dan ia segera loncat maju, untuk mulai dengan serangannya.

   Soekong Tjiauw putar toyanya, hingga mcncrbitkan suara angin menderu-deru, dengan itu ia hendak] sampok golok orang.

   Siauw Tong tidak kasih goloknya dihajar, ia mempunyai kegesitan luar biasa dalam hal bcrsilat dengan scnjata ini.

   Ia kasih lewat toya, lantas ia barcngi, akan mcmbabat, untuk membikin kutung.

   Tubuhnya bcrada di sampi ng.

   Scnjata toya ada panjang, tetapi menghadapi gcgaman pendek, digunainya rada sulit, karena kurang kegesitan.

   Soekong Tjiauw pandai Umu entengi tubuh, tidak urung, ia merasakan juga sedikit kesukaran.

   Adalah karena ia sudah bcrpcngalaman, ia masih bisa luputkan diri dari papasan golok lawan.

   Pertarungan bcrlangsung dengan Soekong Tjiauw berada di pihak terdesak, goloknya Tang Siauw Tong ada sangat gesit, sambarannya tidak putus-putusnya, maka juga, scsudah lewat beberapa jurus, tiba-tiba kedua senjata beradu dengan keras, lantas toya putus dengan getas, hingga tinggal scparuhnya masih dicckal.

   Siauw Tong tidak mau kalah, ia loncat terus, akan babat sekalian lengannya orang itu! Soekong Tjiauw menangkis dengan toya buntungnya, maka lagi sekali, kcdua senjata beradu keras, golok ada sangat tajam, toya kena dipapas! atas itu, dia berlompat mundur tiga tumbak.

   Apabila ia lihat toyanya, ujungnya itu pun telah jadi runcing.

   Poei Hok Han mcnonton dengan asyik sekali, hatinya tegang, ia tahu sahabatnya liehay tetapi ia tcrpcranjat mendapati sahabat itu kena didcsak dcmikian macam, hingga ia pikir, sudah datang saatnya untuk ia memberi bantuan.

   Tapi, bclum sampai ia sempat kcluar dari tempat sembunyinya, ia tampak sahabatnya sekarang berubah sikap.

   Scbal i knya dari pada jcrih, Soekong Tjiauw tertawa tcrbahak-bahak.

   "Pcngkhianat, jangan kau merasa puas!"

   Dia menegur.

   "Lihat tombakku!"

   Dengan sebenarnya, karena ujungnya runcing, toya kayu itu merupakan jadi tombak, karena mana, Soekong Tjiauw mcndahului maju. Dia sekarang bersilat dengan ilmu tombak "Kimtjhio Djiesiesie". Tang Siauw Tong tertawa dingin.

   "Dengan toyamu tinggal sepotong, kau masih berani layani aku?"

   Tanya ia dengan sikap menantang, mcnghina.

   "Lebih baik kau turut saja aku pulang ke Kota Raja, dengan pandang kau sebagai sahabat kekal, tidak nanti aku bikin susah padamu."

   Soekong Tjiauw tidak gubris bujukan yang diberikuti ancaman itu, ia malah lantas mcnusuk perut orang bahagian "Khieboen-hiat".

   Tang Siauw Tong membabat, dengan maksud menabas pula toya runcing itu, tetapi sebat sekali, Soekong Tjiauw bcrkelit ke kiri seraya barengi menikam lengan kanan orang.

   Mcnampak dcmikian, dengan tidak kurang scbatnya, Siauw Tong menangkis, malah dengan tepat, hingga lagi-lagi ia kena papas sedikit ujung toya orang itu.

   Soekong Tjiauw tetapi tidak menjadi jcrih meski juga bcrulang-ulang toyanya kena dibikin tambah pendek, scbal iknya, ia berkelahi terus dengan semakin gesit, di sebelah ancaman serangannya, sekarang lajaga agar senjata tidak lagi menjadi korban golok musuh.

   Dcmikian mcrcka bertarung terus, sampai Tang Siauw Tonglcewalahan juga, tetapi dia tidak mau mengerti, dia toh tidak takuti toya, goloknya ada tcrlalu tajam untuk itu, dia menyerang dengan scngit, hingga lagi-lagi, dia dapat babat ujung toya orang hingga cabang pohon itu jadi makin pendek, karena papasan berulang-ulang.

   Hok Han mengawasi dengan tercengang, hatinya tegang bukan main.

   Terangiah kawannya sudah terdesak sekali "Kena!"

   Mcndadakan terdengar seruannya Tang Siauw Tong, menyusul mana, kembati toyanya Soekong Tjiauw kenadibabat, hingga sekarang senjata sembatan itu jadi pendek sekali.

   Poei Hok Han keluarkan keringat dingin.

   Kcmbali ia berniat iompat keluar, akan bantui kawart itu.

   Tapi lagi sekali ia urungkan niatnya! Di antara suara tertawa yang keras dan panjang, ia tampak Soekong Tjiauw Iompat tinggi, di sebelah atasan kepala lawan, akan turun di belakangnya musuh ini, toyanya tak ada sepanjang ruyung, dan ketika Tang Siauw Tong putar tubuh, akan hadapi dia, dia kata.

   "Terima kasih kepadamu yang telah persembahkan sepotong senjata ini kepadaku!"

   Soekong Tjiauw telah gunai toya yang tcrlalu besar dan panjang, walaupun ia ada sangat gesit, senjata istimewa itu tak tepat untuknya, maka itu, selagi ia terdesak, dengan separuh disengaja, ia biarkan senjatanya saban-saban kena ditabas kutung dan dipapas sempiak, sampai akhirnya toya itu jadi sangat pendek, seperti ruyung saja, hingga cukup untuk ia pegang dengan sebeiah tangan.

   Sekarang sampailah saatnya untuk ia bikin perlawanan Icbih jauh.

   karena toya panjang itu sudah merupakan sebagai Poankoan-pit.

   Dia ada ahli menotok jalan darah, inilah senjata yang surup untuknya.

   Tang Siauw Tong tahu orang ada ahli totok tetapi ia tidak mau lantas percaya sang lawan bisa gunai punning toys itu, maka juga dengan tertawa dingin, ia kata.

   "Sockong Tjiauw, akal apa kau scdang gunai? Apakah dengan punning itu kau hendak gertak aku? Soekong Tjiauw, apabila kau ingin lindungi jiwamu, lekaslah kau menyerah!"

   Diancam secara demekian, Soekong Tjiauw ulapkan senjatanya dan tertawa besar.

   "Kematian sedang menghampirkan kau, kau masih omong besar?"

   Ia balasi.

   "Mari maju, untuk kita orang mencoba-coba pulaJ"

   Dan dengan senjatanya itu, ia menggertak, ia pun melirik. Naik darahnya Tang Siauw Tong, yang menganggap dirinya dipcrmainkan, sedang waktu itu ia percaya betul ia sudali bcrada di at as angin.

   "Baik aku habiskan sajajiwanya!"

   Demikian ia pikir saking murkahnya.

   "Tidak apa apabila aku bunuh dia schingga aku tak akan dapat upah lebih besar daripada dia ditangkap hiduphidup! Tak dapat aku antapkan diriku dipcrhinakan dia!"

   Segera ia maju, untuk menerjang.

   Sckarang ia sudah ambiI keputusan akan bikin mampus saja ini sahabat dari dua puluh tahun yang lampau.

   Selama bertempur, walaupun dia ada di pihak tcrdcsak, kelihatan Soekong Tjiauw tenang saja, tidak demikian dengan si penonton Poei Hok Han, yang hatinya berdebar-de-bar, saking khawatimya.

   Kcdua kawannya Tang Siauw Tong tetap menaruh perhatian besar, mcrcka pun heran menampak sikap luar biasa dari orang yang mcrcka kepung-kepung, tanpa mcrasa, mcrcka siap benar dengan masing-masing senjata mereka.

   Mereka mencurigainya! Hok Han mengerti bahwa sahabatnya sudah nekat, sahabat itu sudah bersedia untuk jual jiwanya, karena itu, separuh berbisik, ia pesan Siangkoan Kin.

   "Mungkin sebentar aku muncul untuk adujiwaku dengan jahanam itu, kesudahannya bisa aku beruntung, bisa jadi juga tulang-tulang dan dagingku bakal dikubur di udara terbuka di gunung sunyi ini, akan tetapi tak perduli bagaimana kesudahannya, aku larang kau sembarang bergerak! Umpama kata orang kemplang aku hingga mati, kau tetap tidak boleh to long i aku! Kcpandaianmu masih sangat jauh dari kesempurnaan, dengan munculkan diri, itu berarti kau antari jiwa.. Begitu lekas kau angkat kaki dari gunung ini, barangkali selama nyawaku belum putus, aku bisa gerecoki mereka hingga kau dapat ketika untuk meluputkan diri. Siangkoan Kin, dengarkah kau kata-kataku ini?"

   Tak dapat Siangkoan Kin setujui putusan gurunya itu, mulutnya akan utarakan tak mufakatnya itu, akan tetapi iatak bisa buka mulutnya, sang guru sudah awasi ia dengan tajam sekali, hingga ia ragu-ragu.

   Juga Poei Hok Han tidak dapat mcngawasi terus muridnya itu, untuk peroleh jawaban, karena hatinya ada pada pertempuran.

   Demikian ia sudah lantas berpaling pula, kepadadua orang yang lagi adu jiwa.

   Ia ingin ketahui, sampai di mana adanya bahaya yang mengancam sahabatnya.

   Akan tetapi, setelah ia melihat, ia menjadi heran, hingga ia berdin tercengang, mulutnya ternganga, matanya terbuka lebar! "Medan perang"

   Telah berubah seperti dalam sekejab, segera kelihatan perbedaannya antara tuan rumah dan tetamunya.

   Dengan Poankoan-pit puntung toyanya, Soekong Tjiauw telah jadi lain daripada Soekong Tjiauw yang bcrsenjatakan toy a yang panjang, besar dan berat.

   Dari didesak, ia sckarang yang menggantikan merangsang lawan.

   Dengan puntung toya itu, ia jadi sebat dan tangkas bukan main.

   Tang Siauw Tong terkejut apabila ia saksikan perubahannya silat dari lawan ini.

   Inilah ia tidak pemah sangka dari satu sahabatnya dari puluhan tahun yang telah siiam.

   Segera ia merasa bahwa ia lagi terancam bahaya, tidak perduli ia sanggup geraki goloknya dengan sempuma.

   ia pun bersangsi meskipun ia ingat kepada kedua sahabatnya, bantuan siapa ia boleh harap.

   Kulit mukanya ada terlalu tipis untuk segera minta bantuan sahabat-sahabat itu.

   ia pun masih sangat kemaruk sama jasa, ia masih sayang akan membagi jasa kepada kedua kawannya itu.

   Maka, dalam saat-saat sehabat itu, ia terus berkelahi scorang diri.

   Demikian lah ia berseru beberapa kali, ia geraki goloknya sccara sangat sebat dan berbahaya.

   Soekong Tjiauw tidak perdulikan liehaynya musuh, ia berkelahi dengan menunj ukkan kegesi tanny a, ia kurung ini dengan loncatannya ke empat penjuru, kiri dan kanan, depan dan belakang, tangannya pun menyambar-nyambar bagaikan halilintar bcrkclcbatan, saban-saban ujung "Poankoan-pit"

   Mencari jalan darah.

   Ia pun, saban-saban perdengarkan tertawanya, mengejek.

   Sckian lama lagi,Tang Siauw Tong layani musuh yang liehay ini, lantas ia punya keringat membasahkan jidatnya, matanya berkunang-kunang, kepalanya mulai pusing.

   la insyaf benar-benar akan bahaya yang mengancam padanya.

   Kisah Dua Saudara Seperguruan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Sckonyong-konyong ia mainkan tipu pukulan "Pcngscc lokgan"

   Atau "Ganlok pengscc", goloknya ditunuikan, lalu ia membabat pundak terus ke lengan.

   ke nadi! Soekong Tjiauw perdengarkan seruan panjang apabiia ia lihati serangan hebat itu, lekas-lekas ia turunkan pundak kanannya sambil Ikaki kirinya menggeser, untuk mundur sedikit, kcmudian setelah bacokan musuh lewat, ia maju pula, dengan serangannya dengan tipu silat "Siankouw songtjoe"

   Atau "Dewi mengantar anak".

   Pit istimcwanya mencari jalan darah "Hoetjoei-hiat".

   Tang Siauw Tong segera bcrkclit, menyusul mana, goloknya dari bawah mcnyambar ke atas, akan scrang tangan musuh.

   Atas ini Soekong Tjiauw berkelit, tetapi kemudian, scpcrti tadi, ia tcrusi mcrangsang pula, tangan kanannya mencari jalan darah "Hoakay-hiat".

   Sekarang tangan kirinya turut mengancam dengan cengkraman, untuk cekuk tangan lawan.

   Sambil perdengarkan jcritan "Aya!"

   Orang she Tang itu lompat mundur.

   Ia bcrlaku sangat cepat, tetapi lebih cepat lagi gerakannya lawan, selagi ia loncat, lawan itu loncat juga, akan susul ia.

   Ia bclum tctap dengan kakinya, tangannya masih bclum siap, ujung Poankoan-pit sudah menyambar.

   Di saat dari kematian itu, mcndadakan satu tubuh lompat maju, menghadang di antara dua musuh ini, hingga mau atau tidak, Soekong Tjiauw mesti batalkan serangannya dan lompat ke samping, untuk hindarkan dirt.

   Kelika ia sudah mengawasi, ia kcnali See Beng Wan, sahabatnya musuh itu.

   Ia jadi sangat mendongkol.

   | "He, orang busuk dari Rimbai Pcrsilatan!"

   Ia membentak sambil ia tuding orang she See itu.

   "Sungguh kau membikin malu pada kaum Kangouw! Apakah scbenarnya siasat kau orang? Kau orang hendakj berkelahi dengan bergiliran sebagai roda atau hendak main keroyok?"

   Tapi See Beng Wan tidak menjadi malu karena teguran itu, sebaliknya, ia tertawa haha-hihi.

   "SoekongTjiauw,"

   Kata ia dengan menebal.

   "jikalau ini hari kau masih* bisa mengharap loloskan diri, itulah sulit itulah lebih sukar dari pada naik ke langit! Kau adalah pemberontakdi matanya Pemerintah Agung, maka siapakah yang kesudian bicara tcntang. kehormatan kaum Kangouw dengan kau?"

   Setelah iamengucapkan demikian, See Beng Wan lantas menyerang, akan bcrsama-sama Tang Siauw Tong kepung musuh ini.

   Tang Siauw Tong sendiri tidak, pcrdulikan lagi kehormatan kaum Kangouw itu.

   Soekong Tjiauw sangat mendelu melihat orang ada demikian tak tahu malu, maka itu, sambil tertawa dingin, ia layani mereka bcrdua.

   Sama sekali ia tidak merasa jerih.

   Pertempuran kali ini pun ada membawa perubahan.

   Gembolannya See Beng Wan Samleng Touwkoet-twie adalah sebuah senjata yang langka, jarang sekali orang Kangouw yang bisa gunai itu, sedang gelarannya "Tjianlie Twiehong"

   Atau si Pengejar Angin, atau lebih benar.

   "mengejar angin scribu lie jauhnya", sudah mengunjuki keentcngan tubuhnya dan kegesitan, yang ada mclcbihkan Tang Siauw Tong. Kewalahanjuga Soekong Tjiauw melayani dua musuh yang tangguh itu. Sulitnya, puntung ruyung tak dapat diadu dengan golok atau dengan gembolan kedua musuh itu, ia melainkan bisa andali kegesitannya. Maka di akhirnya, ia menjadi nekat. Ia mesti berlaku cepat untuk mengakbiri pertempuran itu. Demikianlah, selagi ia berkelit dari serangannya See Beng Wan, setelah menyampingkan diri, ia terusi totok muka Tang Siauw Tong. Orang she Tang itu bcrkclit ke samping. Selagi musuh berkelit, Soekong Tjiauw tidak mendesak, hanya di lain pihak, ia loncat ke kiri, di mana ada Sec Beng Wan, yang habis terjang ia, lain ia totok jalan darahnya "Thiantie-hiat"

   Musuh.

   See Beng Wan tidak berkelit atas datangnya serangan itu, sebaliknya, ia angkat tangan kanannya, untuk balas menyerang, dengan membarengi.

   Soekong Tjiauw tidak mau adu senjata, ia mundur sambil putar tubuh, scsudah mana ia loncat, hingga ia berada di beiakang dua musuh itu.

   "Pemberontakjangan lari! Masih ada aku di sini!"

   Demikian satu teriakan tiba-tiba selagi baharu saja Soekong Tjiauw lolosdari kepungan. Seruan itu disusui sama berkeredepnya beberapa cahaya berkilau, yang datang menyambar. Tapi juga masih ada aku di sini!"

   Sekonyong-konyong datang lain seruan sebelum teriakan itu habis diucapkan.

   Soekong Tjiauw lihat serangan senjata gelap, ia segera berlompat berkelit, tetapi ternyata, semua senjata itu tak menjurus tepat, hingga ia jadi heran, apapula setelah ia tampak.

   dua tubuh muncul saiing susul.

   Itulah PekTjeng It dan Poei Hok Han.

   Pek Tjeng It telah pasang mata, ia siap dengan Djoanpiannya, ruyung lemas, yang ia bisa gunai sebagai toya.

   Ketika ia lihat Soekong Tjiauw mau loloskan diri, ia tidak mau mcmbiarkannya, maka itu, lantas ia gunai senjata rahasianya, yang ia biasa tak sembarang gunai yaitu jarum bcracun Wietok Tjitsat-teng.

   banyaknya tiga batang.

   Ia menimpuk bcruntun terus.

   Ia ada liehay dalam ilmu ini, tapi kesudahannya bikin ia heran dan penasaran.

   Sebab "cengcorang menangkap tonggcret, tak tahunya di belakangnya, ada| burung gereja".

   Poei Hok Han juga siap sembarang waktu, kctika ia lihat muncul pula satu musuh, yang bokong Soekong Tjiauw, dengan terpaksa, ia pun keluar dari tcmpat sembunyinya, untuk gagalkan bokongan, ia scrang orang itu dengan tiga batang panah tangan.

   Pek Tjeng It dapat tahu ada serangan gclap untuk ia, ia bcrkclit, tetapi justru itu, ia pun lagi bokong Soekong Tjiauw, dari itu sendirinya, scrangannya jadi tidak tepat kepada sasarannya.

   Maka itu, Soekong Tjiauw jadi teriuput dari bahaya.

   Ia pun memangnya dapat kctika untuk berkelitjuga.

   Pek Tjeng It gusar sekali terhadap orang yang bokong ia, yang bikin ia gaga].

   


Golok Bulan Sabit -- Khu Lung /Tjan Id Rahasia Ciok Kwan Im -- Gu Long Hikmah Pedang Hijau Karya Gu Long

Cari Blog Ini