Pendekar Cacad 12
Pendekar Cacad Karya Gu Long Bagian 12
Pendekar Cacad Karya dari Gu Long
"Hehehe, siapa yang mau percaya ucapanmu itu?"
"Bila Liu-sianseng tidak percaya, aku pun tak bisa berbuat apa-apa."
Mendadak Liu Khi menarik wajah, lalu berkata.
"Sebenarnya aku ingin membunuhmu, tapi aku selalu kuatir tak mampu menghabisi nyawamu dalam sekali ayunan golok."
"Di antara kita berdua boleh dibilang tiada dendam sakit hati apa pun, aku rasa kita tak perlu menyelesaikan persoalan ini dengan mempergunakan kekerasan."
"Tapi bagi umat persilatan pun tidak selalu harus membunuh orang dikarenakan ada hubungan permusuhan ataupun dendam."
"Betul,"
Bong Thian-gak mengangguk.
"tapi aku rasa tiada kepentingan bagi kita berdua melangsungkan duel menentukan mati-hidup."
"Memang begitulah kenyataannya, maka dari itu aku harus mohon diri dulu.". Selesai berkata, Liu Khi segera melejit ke tengah udara dan berlalu dari sana. Mimpi pun Bong Thian-gak tak pernah menyangka kalau Liu Khi bakal angkat kaki begitu selesai mengatakan hendak pergi, sementara dia masih tertegun, bayangan tubuh Liu Khi sudah lenyap dari pandangan mata. Menanti Bong Thian-gak berjalan keluar dari ruang kereta, mendadak muncul seseorang di hadapannya. Di bawah cahaya bintang, tampak orang itu mengenakan pakaian berwarna putih bersih, rambutnya juga berwarna putih, rambut yang panjang itu hampir menyentuh permukaan tanah. Melihat kemunculan orang tak diundang ini, Bong Thiangak merasa amat terperanjat, dia segera menghardik.
"Siapakah kau?"
Bong Thian-gak kuatir lawan itu setan atau sukma gentayangan.
Padahal kemunculan orang itu amat misterius dan sama sekali tidak menimbulkan suara, apalagi rambut putihnya yang terurai hampir menyentuh tanah, membuat bentuk orang itu mirip bayangan setan yang muncul di tengah kegelapan.
Tanpa mengeluarkan sedikit suara pun, orang berambut putih itu berdiri di hadapannya, kendati begitu sepasang matanya memancarkan cahaya tajam yang menggidikkan, sinar tajam itu mencorong dari matanya yang tertutup rambut putih dan mengawasi wajah Bong Thian-gak tanpa berkedip.
Sambil tertawa dingin Bong Thian-gak segera menegur.
"Hei, mengapa kau tidak bersuara?"
Orang berbaju putih itu masih saja membungkam, namun Bong Thian-gak dapat melihat tubuhnya bergerak seperti sukma gentayangan, tubuhnya tidak bergoyang, lututnya tidak menekuk, namun dia bergerak mendekatinya.
Melihat cara lawan menggerakkan tubuh, Bong Thian-gak terkesiap, dia sadar lawan memiliki ilmu silat yang sangat dahsyat.
Dalam terkesiapnya, cepat Bong Thian-gak mengerahkan hawa sakti Tat-mo-khi-kang untuk melindungi seluruh badannya.
Pada saat itulah tiba-tiba orang itu bergerak maju lagi.
Ketika segulung angin berkelebat, rambut putih yang panjang dan terurai ke bawah itu tiba-tiba bergerak dan langsung menggulung ke tubuh anak muda itu.
"Blam", bunyi ledakan yang keras bergema. Rambut panjang yang menggulung datang mengikuti hembusan dingin tadi segera terhajar oleh segulung hawa sakti tanpa wujud yang membuatnya terpental balik. Orang berbaju putih itu segera memutar tubuhnya sebanyak tiga kali seperti gangsingan, lalu jeritnya.
"Siapakah kau?"
"Ban-lau-loan-sin-kang (tenaga lembut selaksa serat) milikmu betul-betul pantas disebut ilmu manunggal di kolong langit,"
Ucap Bong Thian-gak sambil tersenyum.
"Seandainya aku tidak mempersiapkan diri sebelumnya, saat ini tubuhku pasti sudah penuh lubang berdarah dan tewas sejak tadi."
Ternyata sapuan rambut putih yang menggulung cepat tadi merupakan sejenis ilmu silat yang sangat hebat dalam persilatan, ketika lawan melontarkan rambutnya yang lembut tadi, sesungguhnya ibarat beribu-ribu batang jarum lembut dan pedang tajam yang menyapu tiba.
Dengan pandangan terkejut bercampur keheranan, orang itu segera bertanya.
"Hawa Sin-kang apakah yang telah kau pergunakan untuk mematahkan Ban-si-ciam (selaksa jarum lembut) tadi?"
Sekarang Bong Thian-gak dapat melihat jelas raut wajah lawan, ternyata orang itu berwajah pucat seperti salju, bentuk mukanya mirip monyet dan usianya antara enam puluh tahun. Sambil berkerut kening Bong Thian-gak bertanya.
"Siapakah nama besarmu?"
"Mengapa kau tidak menjawab dulu pertanyaanku?"
Kata orang berambut putih. Bong Thian-gak tertawa dingin.
"Hm, dilihat dari caramu melancarkan serangan keji tadi, mungkin kau telah mengetahui asal-usulku. Mengapa aku mesti memberitahukan lagi kepadamu?"
Orang berambut putih itu tertawa terkekeh-kekeh.
"Hehehe, betul, kau pasti Jian-ciat-suseng atau si Golok sakti berlengan tunggal, bukan?' "Aku adalah Jian-ciat-suseng,"
Jawab Bong Thian-gak.
"Ehm, aku sendiri adalah Pek Kau-kim (siluman monyet putih) dari gunung Thian-san,"
Orang berambut putih itu memperkenalkan diri.
"Kau bernama Pek Kau-kim?"
Tanya Bong Thian-gak sambil berkerut kening.
"Aku she Pek bernama Kau-kim, kalau tidak bernama Pek Kau-kim, lantas mesti bernama apa?"
"Rasanya di antara kita tak pernah terikat dendam kusumat atau sakit hati apa pun, bukan?"
Tanya Bong Thian-gak. Sekali lagi Pek Kau-kim tertawa terkekeh.
"Kau bukan yang membunuh kedua orang itu?"
"Bukan, bukan aku pembunuhnya,"
Bong Thian-gak menggeleng.
"Kalau bukan kau, lantas siapa yang telah membunuh mereka?"
Tiba-tiba Pek Kau-kim membentak. Bong Thian-gak termenung sebentar, kemudian dia balik bertanya.
"Boleh aku tahu, apa hubungan antara kedua korban itu dengan dirimu?"
"Mereka adalah muridku."
"Aduh celaka!"
Keluh Bong Thian-gak dalam hati.
"Kalau kedua orang itu adalah muridnya, bisa celaka!"
Berpikir sampai di situ, katanya kemudian sambil menghela napas panjang.
"Locianpwe, murid-muridmu bukan tewas di tanganku, bila kau tidak percaya, silakan meneliti kembali bekas-bekas luka mereka."
Pek Kau-kim tertawa seram.
"Kedua orang muridku ini diam-diam kabur turun gunung ketika aku sedang menutup diri, mereka memang pantas mampus. Cuma dengan kematian mereka, aku harus mencari seorang murid yang lain untuk menggantikan mereka berdua. Hm, Lohu ingin menerima kau sebagai muridku, ayo cepat ikut aku pulang ke gunung!"
Mendongkol bercampur geli Bong Thian-gak setelah mendengar perkataan itu, kemudian ujarnya.
"Walaupun aku merasa sangat gembira dapat menjadi muridmu, tapi hatiku bergidik sendiri melihat sikapmu yang acuh tak acuh dan sama sekali tidak menaruh perasaan iba mengetahui murid-muridmu mati terbunuh."
Mendadak Pek Kau-kim melotot, ia mengawasi Bong Thiangak tanpa berkedip, lalu tanyanya.
"Apakah kau menyuruh aku membalas dendam kematian mereka?"
Bong Thian-gak manggut-manggut.
"Bila murid terbunuh, sebagai guru kau wajib membalas dendam bagi kematian muridmu."
"Kalau begitu, kau memang benar-benar harus mati."
Di tengah pembicaraan itu, Pek Kau-kim segera menggetarkan tubuh, rambutnya yang panjang dengan dahsyat dan kecepatan tinggi langsung menusuk Bong Thiangak dari atas ke bawah.
Mimpi pun Bong Thian-gak tidak menyangka lawan bakal melancarkan serangan sekali lagi, kali ini dia belum sempat menghimpun hawa murni Tat-mo-khikang untuk melindungi seluruh badan, maka ia terpaksa menghindar.
Tiba-tiba Bong Thian-gak merasakan dadanya amat sakit, dia menjerit kesakitan.
Bong Thian-gak terguling jatuh dari atas kereta dan tergeletak di atas tanah.
Gelak tertawa yang aneh memanjang dan penuh nada kebanggaan bergema, Pek Kau-kim mendesak maju dengan cepat, tangan kanannya secepat kilat menyambar tubuh Bong Thian-gak sambil bentaknya.
"Aku tidak percaya kau masih bisa meloloskan diri dari serangan jarum serat Pek Kau-kim!"
Baru selesai perkataan itu, Bong Thian-gak yang sudah tergeletak di atas tanah itu, mendadak melompat sambil melepaskan sebuah tendangan dengan kaki kanannya.
Jeritan aneh seperti pekikan monyet segera berkumandang, tubuh Pek Kau-kim mencelat, lalu "blam", roboh terjungkal di tanah.
Pek Kau-kim tak pernah bisa merangkak bangun kembali dari tanah.
Sebaliknya Bong Thian-gak sendiri pun tak mampu merangkak bangun untuk sementara waktu, lengan tunggalnya digunakan untuk memegangi dada, sedangkan wajahnya pucat memperlihatkan rasa kesakitan, dia harus bergerak beberapa kali ke kiri dan kanan sebelum dapat merintih.
Setelah suara rintihan itu, rasa sakit yang menusuk dada Bong Thian-gak pun mereda dengan sendirinya.
Ia sadar bahwa dirinya selamat.
Ternyata setelah terkena babatan rambut panjang Pek Kaukim tadi, ada tujuh-delapan buah jalan darah di dada Bong Thian-gak yang nyaris tersumbat, ini menyebabkan hawa darah yang berada dalam dada berhenti untuk sesaat, napas pun ikut berhenti, membuat anak muda itu nyaris roboh tak sadarkan diri.
Ketika Bong Thian-gak berhasil menghirup udara, mendadak dari kejauhan sana muncul sesosok bayangan manusia.
Belum lagi bayangan tubuhnya berjalan mendekat, bau harum aneh yang amat menusuk penciuman telah berhembus mengikuti angin gunung.
Tatkala Bong Thian-gak menghirup udara lagi, ia sudah merasakan bau harum seperti bau bunga anggrek, air mukanya berubah hebat, dengan cepat ia melompat bangun.
Sorot matanya segera dialihkan ke arah datangnya bau harum bunga anggrek tadi.
Beberapa tombak di hadapannya kini berdiri seorang perempuan cantik bertubuh montok.
Ia mengenakan pakaian puth yang halus, rambutnya disanggul dan di atasnya dilingkari tiga butir mutiara yang memancarkan sinar gemerlapan.
Wajah perempuan itu tampak begitu angker dan serius, angkuh dan berwibawa seperti seorang ratu, terutama sorot matanya yang jeli dan tajam.
Gemetar keras sekujur tubuh Bong Thian-gak menyaksikan kehadiran perempuan itu, serunya dengan suara gemetar.
"Kau ... kau adalah Cong-kaucu."
Bong Thian-gak sudah pernah bersua dengannya, malah bagian lubuhnya yang paling rahasia pun pernah dilihatnya dengan jelas dan nyata, sudah barang tentu dia kenal Congkaucu Put-gwa-cin-kau yang amat termasyhur.
Perempuan cantik itu tertawa, tertawa amat manis.
Setelah itu ia mulai tertawa cekikikan, suaranya kian lama kian jalang, seperti suara pelacur yang sedang memperoleh puncak kenikmatan.
"Jian-ciat-suseng, kau masih mengenali aku, mengapa wajahmu pucat-pias? Hihihi, jangan harap kau dapat meloloskan diri dari cengkeramanku hari ini."
Dengan lemah-gemulai dan pinggul bergoyang, selangkah demi langkah ia berjalan mendekati Bong Thian-gak.
Sekarang Bong Thian-gak sadar, biar dia punya sayap pun, jangan harap bisa lolos dari cengkeramannya.
Dengan sorot mata tajam tanpa berkedip, ia mengawasi perempuan itu berjalan hingga tiba di hadapannya, mendadak perempuan itu mengayun tangan kanannya.
Tiga jalan darah penting di tubuhnya seketika tertotok, kemudian upa yang terjadi tak teringat lagi olehnya.
Dalam lamat-lamatnya suasana, Bong Thian-gak menangkap suara seorang perempuan yang sedang berkata dengan lembut, merdu dan manis.
"Jian-ciat-suseng, kau telah menelan sebutir pil Siau-hun-wan. Siau-hun-wan merupakan pil dewa bagi manusia, khasiatnya boleh dibilang tak terlukiskan dengan kata-kata."
Dalam keadaan tubuh yang lemah-lunglai dan kesadaran yang masih samar-samar, Bong Thian-gak membuka mata lebar-lebar.
Ternyata dia sedang berbaring di atas ranjang yang terletak dalam sebuah kamar dengan cahaya lentera berwarna merah.
Selembar wajah cantik, tapi memancar senyuman genit dan jalang terpapar tepat di depan mata.
Bong Thian-gak masih mempunyai kesadaran yang jernih, dia dapat mengenali raut wajah itu, Cong-kaucu Put-gwa-cinkau.
Tatkala sinar matanya dialihkan ke bawah, hatinya kembali berdebar, ternyata perempuan itu hanya menutupi tubuhnya yang telanjang dengan selembar kain sutera berwarna putih yang amat tipis.
Dengan cepat Bong Thian-gak mengalihkan kembali sorot matanya ke arah lain, tanyanya cepat.
"Obat apa yang telah kau cekokkan kepadaku?"
Cong-kaucu tertawa terkekeh-kekeh dengan suaranya yang amat jalang.
"Hihihi, pil Siau-hun-wan. Satu jam kemudian kau akan mengetahui dengan sendirinya manfaat obat itu."
Pucat-pias wajah Bong Thian-gak mendengar perkataan itu, dia menghela napas sedih, lalu katanya.
"Kumohon kepadamu, bunuhlah aku!"
Rupanya Bong Thian-gak tahu Siau-hun-wan merupakan sejenis obat perangsang yang bisa mengalutkan orang.
Sebagai orang pandai, sudah tentu dia tahu akibat obat itu bila mulai bekerja, dia bakal menjadi seorang berhati binatang yang kehilangan akal budi, saat itu dia hanya tahu bagaimana melampiaskan napsu birahi.
Sambil tertawa merdu Cong-kaucu kembali berkata.
"Membunuh kau? Oh, tak semudah itu. Aku harus mempermainkan dirimu sampai puas sebelum menghabisi nyawamu, sebab aku kelewat membenci dirimu, boleh dibilang kau adalah lelaki yang paling kubenci di kolong langit dewasa ini."
Dalam keadaan demikian, Bong Thian-gak terbayang kembali bagaimana dia menghina dan mencemooh perempuan itu.
Tiba-tiba Bong Thian-gak meronta bangun, tapi entah mengapa sekujur badannya terasa lemas seolah-olah tak bertenaga, keempat anggota badannya lemas, tak setitik tenaga pun yang tersisa dalam tubuhnya.
Merasakan hal itu, Bong Thian-gak baru tahu segala sesuatunya bakal berakhir.
Diiringi gelak tertawa merdu, Cong-kaucu melanjutkan kata-katanya.
"Tempo hari kau telah membiarkan aku merasakan bagaimana tersiksanya oleh kobaran api birahi, maka hari ini aku pun menyuruh kau merasakan juga bagaimana enaknya penderitaan itu."
"Siau-hun-wan adalah pil perangsang yang akan membuktikan hawa napsu kaum lelaki. Satu jam kemudian obat itu akan mulai bekerja, saat itu kau akan berubah seperti binatang yang sedang birahi, kau hanya tahu bagaimana melampiaskannya, tapi kau tak akan pernah bisa memadamkan kobaran api birahimu itu, sebab Siau-hun-wan adalah sejenis obat perangsang yang mengandung racun jahat, barang siapa berani mengadakan hubungan kelamin denganmu, maka perempuan itu akan mengisap sari racun tubuhmu yang akan berakibat kematian baginya. Oleh karena itu kau harus merasakan penderitaan kobaran api birahi untuk waktu lama tanpa memperoleh kesempatan melampiaskan.
"Penderitaan akan datang berulang-ulang. Saat kau menelan Siau-hun-wan ketiga, api birahi akan merusak semua syarafmu, saat itu kau pun akan berubah menjadi manusia tanpa sukma, tanpa pikiran, kau hanya akan menuruti perintahku, selama hidup akan tunduk dan menuruti perkataanku."
Peluh dingin jatuh bercucuran membasahi badan Bong Thian-gak srtelah mendengar perkataan itu, dia menghela napas sedih, lalu kitanya.
"Apakah Thay-kun juga menderita akibat perbuatanmu ini?"
"Benar,"
Cong-kaucu tertawa cekikikan.
"Dia pun pernah merasakan siksaan itu hingga menyebabkan kejernihan otaknya punah."
Pendekar Cacad Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Aku kuatir obat beracunmu itu bakal ketemu batunya dan tidak manjur seperti yang kau harapkan,"
Jengek Bong Thiangak sambil tertawa dingin. Sekali lagi Cong-kaucu cekikikan.
"Siau-hun-wan adalah obat mujarab yang diciptakan Gi Jian-cau, khasiatnya luar biasa dan selama hidup tidak akan meleset."
Mendengar ucapan itu, Bong Thian-gak menghela napas panjang, biarpun ia belum pernah bersua Gi Jian-cau, tapi dia pun termasuk anggota Hiat-kiam-bun.
Mengapa orang itu bersedia menciptakan obat beracun dan membantu Congkaucu mencelakai umat persilatan? Tiba-tiba Cong-kaucu bangkit, lalu dengan lemah-gemulai beranjak keluar dari dalam kamar.
Bong Thian-gak berbaring di atas pembaringan dengan tenang, sedang benaknya mencari akal bagaimana caranya melepaskan diri dari cengkeraman iblis itu.
Dia meronta dan berusaha merangkak kabur, akan tetapi sayang sekali tubuhnya lemas dan sama sekali tidak bertenaga.
Mendadak terdengar suara derap kaki manusia mendatangi, Bong Thian-gak segera menoleh.
Dari balik ruangan tiba-tiba muncul tiga orang perempuan, dua gadis berdandan genit dan seorang lagi perempuan berusia empat puluh, tubuhnya montok dan bahenol.
Sorot mata Bong Thian-gak seolah-olah tertarik atas kehadiran perempuan berbaju hijau itu, dia menatap tubuh perempuan itu tanpa berkedip.
Ketika perempuan setengah umur berbaju hijau itu melihat jelas wajah Bong Thian-gak yang berbaring di atas ranjang, dia pun nampak terkejut dan serentak menghentikan langkahnya.
Dalam pada itu kedua gadis berbaju hijau yang genit tadi telah tiba di depan pembaringan Bong Thian-gak, keempat mata mereka melirik sekejap ke wajah anak muda itu dengan pandangan memikat, kemudian tertawa cekikikan.
Setelah itu kedua gadis tadi mulai menari dengan lemahgemulai.
Sambil menari mereka melepas pakaian satu per satu.
Walaupun kedua gadis itu tidak termasuk berwajah cantik, namun potongan badan mereka betul-betul memukau siapa saja.
Apalagi kedua wanita itu membawakan tarian erotik yang sangat menggiurkan, bisa dibayangkan bagaimana menariknya keadaan itu.
Dihidangi pemandangan yang begitu erotik dan merangsang napsu birahi, lambat-laun Bong Thian-gak mulai terpengaruh, suatu perasaan aneh mendadak meliputi dirinya, dia seperti membutuhkan sesuatu yang amat mendesak.
Mendadak Bong Thian-gak memejamkan mata, lalu membentak.
"Kalian cepat mengenakan pakaian dan mengundurkan diri dari sini, aku telah menelan Siau-hun-wan, tak bisa mengadakan hubungan dengan kalian."
"Mereka memang sudah tahu kau telah menelan Siau-hunwan, tak seorang pun di antara mereka berani mengadakan hubungan dengan dirimu,"
Ucap perempuan berbaju hijau itu hambar. Ketika mendengar perkataan itu, untuk kedua kalinya Bong Thian-gak membuka mata, kali ini dia dapat melihat raut wajah perempuan itu dengan jelas, tanpa terasa jeritnya kaget.
"Kau ... kau adalah Subo."
Satu ingatan dengan cepat melintas dalam benak Bong Thian-gak, perasaan sedih, duka, marah dan benci dengan cepat menyelimuti perasaannya.
Peristiwa lampau, ketika sepuluh tahun berselang dia dikeluarkan gurunya dari perguruan ...
ketika kaki kirinya berubah menjadi pincang, semua musibah yang menimpa dirinya itu tak lain berkat hasil karya perempuan berbaju hijau itu.
Dia tidak lain adalah istri muda gurunya, almarhum Bu-lim Hengcu, si telapak tangan baja yang menggetarkan jagat Oh Ciong-hu yang bernama Pek Yan-ling.
Dengan emosi Bong Thian-gak berseru.
"Subo, kau masih kenal diriku?"
"Aku masih ingat kau adalah Bong Thian-gak. Sungguh tak kusangka Jian-ciat-suseng adalah kau."
"Dendam sakit hati apakah yang terjalin antara kita berdua? Mengapa kau mencelakai diriku hingga begini rupa?"
Teriak Bong Thian-giik sedih. Sambil berkata, pelan-pelan perempuan itu melepas pakaian yang dikenakannya satu demi satu. Tak terlukiskan rasa terkejut Bong Thian-gak setelah menyaksikan pel Istiwa ini, segera hardiknya.
"Apa yang hendak kau lakukan?"
"Bugil, untuk membawakan tarian erotik agar api birahimu bangkit."
"Bunuhlah aku, kalian bunuh aku saja!"
Teriak Bong Thiangak.
Sambil berteriak, Bong Thian-gak segera memejamkan mata.
Pada saat itulah berkumandang dua kali dengusan, untuk kedua kalinya Bong Thian-gak membuka matanya kembali.
Ternyata kedua gadis yang bugil tadi sudah tergeletak lemas di tanah, cairan darah masih nampak meleleh keluar dari ujung bibir mereka.
Sementara Pek Yan-ling sudah menggerakkan tubuhnya dengan cepat mencengkeram dua sosok mayat itu dan diletakkan di sudut ruangan, setelah itu dia mendekati Bong Thian-gak.
Sementara itu Bong Thian-gak merasakan timbulnya gulungan hawa panas di bawah perutnya, hal itu membuat peredaran darah dalam tubuhnya mengalir semakin cepat.
Kendatipun demikian, kesadaran otaknya masih tetap jernih, tiba-tiba ia bertanya.
"Kau yang telah menghabisi nyawa mereka berdua?"
"Betul!"
Pek Yan-ling mengangguk pelan.
"Akulah yang telah membunuh mereka berdua."
"Apa yang hendak kau lakukan atas diriku?"
Tanya Bong Thian-gak lagi dengan kening berkerut. Pek Yan-ling menghela napas sedih.
"Ai, aku ingin menyelamatkan jiwamu. Tindakanku sudah tentu di luar dugaanmu, bukan?"
"Kau hendak menyelamatkan jiwaku?"
Bong Thian-gak membelalakkan mata lebar-lebar mendengar perkataan itu. Dengan sedih Pek Yan-ling berkata.
"Di masa lalu, aku sudah banyak melakukan kesalahan dan kejahatan, dosaku telah berlapis-lapis, biarlah aku mati untuk menolongmu, saat ini kendati kematianku belum tentu dapat menebus semua dosa yang pernah kulakukan, namun setidak-tidaknya dengan menolong jiwamu hari ini, aku bisa mengurangi atau memperingan dosa yang pernah kuperbuat."
Saat itu kejernihan otak Bong Thian-gak sudah makin memudar, perasaannya makin kalut, matanya melotot dan kian memerah, tanyanya.
"Dengan cara apa kau akan menyelamatkan jiwaku?"
Tiba-tiba Pek Yan-ling melepas semua pakaian yang dikenakan hingga telanjang bulat, kemudian katanya pelan.
"Siau-hun-wan adalah sejenis obat perangsang yang aneh dan luar biasa, kecuali mengorbankan diriku, tiada cara lain untuk menyelamatkan jiwamu dari bahaya anaman maut."
Gemetar keras sekujur badan Bong Thian-gak menyaksikan semua Itu, kembali dia berteriak.
"Kau tidak boleh berbuat begitu untuk menolong aku."
Tapi sayang sekali, pil Siau-hun-wan sudah mulai bekerja dalam tubuh pemuda itu.
Dalam waktu singkat kejernihan otak Bong Thian-gak sudah terbakar oleh nafsu birahi sehingga tak ampun lagi anak muda itu jadi kaap dan kehilangan akal budinya lagi.
Biarpun demikian ia tidak seperti lelaki lain, biarpun nafsu birahi sudah mengusainya, ia belum melakukan sesuatu gerakan apa pun, hanya matanya melotot memandang tubuh Pek Yan-ling yang bugil tanpa berkedip.
Sedangkan Pek Yan-ling sendiri hanya ingin menyelamatkan jiwa Hong Thian-gak, tapi dia melupakan sesuatu, bagaimana pun juga dia adalah Subo Bong Thiangak, istri gurunya.
Bagaimana mungkin Bong Thian-gak bisa melakukan hubungan dengan Subonya sendiri? Bila takdir telah mengatur nasib manusia, siapa pula yang bisa menghindar.
Pek Yan-ling adalah seorang yang tidak bersih perbuatannya dan hari ini kembali dia lakukan kesalahan besar.
Dosa dan kesalahan yang dilakukan hari ini boleh dibilang tak terampuni lagi.
tapi kobaran api birahi membuat orang melupakan segalanya.
Bong Thian-gak telah melupakan siapa dirinya, dia hanya tahu bagaimana melampiaskan nafsu birahinya secepat mungkin.
Ketika hujan badai telah berlalu.
Racun jahat Siau-hun-wan telah terhisap oleh tubuh Pek Yan-ling.
Sekujur tubuh Pek Yan-ling gemetar keras, paras mukanya segera berubah pucat-pias, ternyata bagian bawah perutnya mulai terasa sakit seperti diiris pisau, sedemikian sakitnya membuat dia mulai merintih.
Setelah hujan badai lewat, semua sari racun yang mengeram dalam tubuh Bong Thian-gak telah tersapu lenyap, kobaran api birahi yang padam membuat akal budinya jernih kembali.
Dengan jernihnya pikiran, anggota badannya yang semula lemas tak bertenaga kini telah pulih seperti sedia kala.
Mendadak dia menperdengarkan jeritan kaget yang keras dan penuh nada seram.
Sebuah pukulan dahsyat langsung dilontarkan ke tubuh Pek Yan-ling.
Akibat serangan itu, tubuh Pek Yan-ling yang telanjang segera menjelat ke udara dan terbanting ke tanah.
Pek Yan-ling yang dihantam pemuda itu menjadi terheranheran, ia segera meronta bangun, dengan noda darah membasahi ujung bibirnya dan suara yang gemetar keras, bisiknya.
"Aku ... aku telah menyelamatkan jiwamu, racun keji Siau-hun-wan telah tersalur ke dalam tubuhku, kau ... mengapa kau malah menghajar aku?"
Bong Thian-gak menutupi wajah dengan tangan tunggalnya, mendadak ia menangis tersedu-sedu, katanya.
"Kau ... mengapa kau berbuat demikian? Tahukah kau, siapakah dirimu, kau ini apaku?"
Sekarang Pek Yan-ling baru teringat bahwa Bong Thian-gak adalah seorang lelaki jujur yang mengutamakan budi-pekerti dan tata-krama, dia pun mulai berpikir.
"Ya benar, aku adalah Subonya. Biarpun aku berbuat demikian demi menyelamatkan jiwanya, tapi baginya justru merupakan suatu perbuatan terkutuk, baginya peristiwa ini sama saja berbuat berzina dengan Subonya sendiri ... aduh celaka, andaikata dia memandang serius peristiwa ini, sudah dapat dipastikan dia akan menghabisi nyawanya sendiri."
Berpikir demikian, sambil tertawa pedih Pek Yan-ling segera berkata.
"Pada waktu itu, kejernihan akal budimu telah hilang. Apa pun yang telah kau lakukan tidak perlu kau pertanggungjawabkan."
"Kati telah mencelakai aku. Aku ... aku tak punya muka untuk hidup terus,"
Pekik Bong Thian-gak sedih.
Sambil berteriak, dia segera menyambar pakaiannya dan dikenakan dengan cepat.
Dalam pada itu paras muka Pek Yan-ling telah berubah pucat-pias neperti mayat, tubuhnya gemetar keras, sementara peluh bercucuran lengan deras.
Seakan-akan menahan penderitaan yang luar biasa, akhirnya dia berkata.
"Bong Thian-gak, kau harus hidup terus, kau harus melanjutkan hidupmu di dunia ini, racun jahat Siau-hun-wan telah tersalur ke dalam tubuhku, sekarang aku tak lebih hanya seorang yang sudah mendekati ajal, perbuatanku ini sama sekali tidak keliru, sebab hanya kau seorang di dunia ini yang bisa membunuh iblis perempuan itu, kau harus mempertahankan hidupmu, kalau tidak, pengorbanan nyawaku ini benar-benar pengorbanan yang tak ada artinya."
Bong Thian-gak mengawasi wajah Pek Yan-ling dengan kesedihan yang luar biasa, gumamnya tanpa terasa.
"Betul, kau berbuat demikian karena menolong jiwaku ... bila kau tidak berbuat demikian, aku pasti akan menjadi boneka Congkaucu, aku pasti akan melenyapkan gembong iblis perempuan itu dari muka bumi, kau bukan saja telah menolong aku dengan perbuatanmu tadi, kau pun telah menyelamatkan beribu-ribu jiwa umat persilatan ... tapi dapatkah aku hidup lebih lanjut dalam keadaan seperti ini?"
"Kau dapat melupakan kejadian itu,"
Pek Yan-ling berkata dengan sedih.
"Anggap saja peristiwa ini tidak pernah kau alami."
"Dapatkah aku melupakannya?"
Kata Bong Thian-gak amat pedih.
"Sepuluh tahun lalu kau pernah melakukan hubungan gelap dengan Sam suheng Siau Cu-beng, itu sebabnya kubunuh Sam-suheng, tapi hari ini siapa pula yang akan membunuhku demi membalas aib bagi Suhu."
"Bong Thian-gak, kau sudah tahu aku bukan perempuan baik-baik. Sejak dulu Oh Ciong-hu sudah tidak memiliki istri macam diriku ini,"
Ucap Pek Yan-ling sedih.
"Oleh karena itu aku bukan istri Oh Ciong-hu, juga bukan Subomu ... selain itu kau sudah sejak lama dikeluarkan dari perguruan, kau pun sudah bukan muridnya lagi. Ini berarti di antara kita berdua sama sekali tiada hubungan sebagai ibu guru dan murid lagi, kita adalah sahabat biasa ... aku sama sekali bukan ibu guru seperti apa yang kau sebut, karenanya kau tidak pernah melanggar susila, aku pun tidak pernah melakukan perbuatan yang menyalahi peraturan perguruan."
Memang benar, sepuluh tahun lalu Bong Thian-gak diusir Oh tong hu dari perguruan, jadi Pek Yan-ling sudah bukan Subonya lagi.
Apalagi selama sepuluh tahun ini dia sendiri pun tak pernah menganggap perempuan itu sebagai Subonya, karena itu dia sudah kehilangan haknya untuk dihormati sebagai seorang Subo.
Kendati demikian, dalam hati Bong Thian-gak tersiksa pula oleh penderitaan yang luar biasa.
Dalam pada itu kulit badan Pek Yan-ling yang semula berwarna putih halus, lambat-laun telah berubah menjadi hitam kemerah-merahan, beberapa kali dia bahkan kejangkejang dengan penuh penderitaan.
"Bong Thian-gak"
Kembali dia berkata sambil menahan derita.
"Sekarang isi perutku terasa seperti disayat-sayat, seperti juga ada beribu ekor binatang yang menggerogoti badanku ... ooh sangat menderita ... tolong ... tolong hadiahkan sebuah pukulan kepadaku agar aku cepat mati!"
Rintihan demi rintihan bergema tiada hentinya dari bibir Pek Yan-ling, sambil memegang dada dengan sepasang tangannya, dia mulai bergulingan kian-kemari, keadaannya amat tersiksa dan mengenaskan, membuat siapa pun yang melihat jadi amat terharu.
Bong Thian-gak tak dapat membendung air matanya lagi, dengan penuh duka katanya.
"Thian telah mengatur segala sesuatunya? Mengapa Thian selalu memaksa aku melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak kukehendaki?"
"Bong Thian-gak, ayolah cepat turun tangan,"
Pinta Pek Yan-ling sambil mengangkat wajahnya yang menyeringai seram.
"Dahulu aku telah banyak berbuat dosa kepadamu, sekarang biar kau cincang tubuhku hingga hancur berkepingkeping pun belum tentu bisa membalas luka yang pernah kuberikan kepadamu di masa lalu. Inilah hukum karma bagiku, aku memang pantas mati di bawah telapak tanganmu."
Bong Thian-gak memejamkan mata, lalu katanya.
"Yang sudah lewat biarlah lewat, aku sama sekali tidak membencimu, bahkan aku amat berterima kasih kepadamu ... karena aku telah berhutang budi kepadamu."
Tatkala kata "kepadamu"
Diucapkan, telapak tangan kanan Bong Thian-gak diayunkan ke depan melancarkan bacokan.
Dimana angin pukulan berkelebat, tubuh Pek Yan-ling mencelat ke belakang untuk kemudian tidak berkutik lagi.
Air mata sekali lagi jatuh bercucuran membasahi wajah Bong Thian-gak, diambilnya kain seprei dari atas pembaringan, lalu dibungkuskan ke atas tubuh Pek Yan-ling yang telanjang dan pemuda itu pun berdiri termangu-mangu untuk beberapa saat lamanya.
Mendadak berkumandang suara langkah kaki manusia, Bong Thian-gak bagaikan baru sadar dari mimpi, dia segera menyelinap ke belakang pintu dengan cepat.
Dalam pada itu dari luar ruangan sudah terdengar seseorang berkata.
"Cap-go-kaucu, Cong-kaucu memerintahkan kepadaku untuk mengantar dua pil Siau-hunwan, dengan pesan dalam dua belas jam mendatang harus mencekokkan pil ketiga kepada Jian-ciat-suseng."
Bong Thian-gak yang mendengar perkataan itu segera membuka pintu secara tiba-tiba, tampak seorang berbaju kuning berjalan masuk ke dalam ruangan dengan langkah cepat.
Tatkala orang berbaju kuning itu menyaksikan Bong Thiangak berdiri di hadapannya dalam keadaan segar-bugar, ia nampak amat terperanjat, mulutnya ternganga dan tak sempat berteriak, tahu-tahu cakar maut yang kuat seperti jepitan telah mencekik tenggorokannya.
"Krak", tulang leher orang berbaju kuning itu tahu-tahu patah, tidak sempat mengeluarkan suara rintihan lagi, orang itu tewas seketika. Selesai membunuh orang itu, Bong Thian-gak segera menyelinap keluar, dengan cepat sorot matanya dialihkan ke sekeliling tempat itu. Apa yang kemudian terlihat membuat Bong Thian-gak merasa sangat terkejut, ternyata dia berada di sebuah ruangan besar dan kosong, dua puluh empat buah tiang penyangga berukir naga emas berjajar tiap sudut, atap ruangan indah dan megah, bangunan itu sangat mentereng. Tempat dimana Bong Thian-gak berdiri sekarang merupakan panggung di ruangan tengah, permadani berwarna merah menghiasi lantai, boleh dibilang dimana-mana dihiasi barang antik yang tak ternilai harganya. Pot bunga berlapiskan emas di sekeliling panggung, delapan belas hu.ih hiolo perak bertebaran di bawah panggung, empat gentong emas, empat pasang kura-kura tembaga dan bangau tembaga turut menghiasi setiap sudut ruangan. Selain itu di tengah ruangan terdapat pula sebuah meja panjang, di atas meja berjajar berbagai peralatan yang terbuat dari tembaga, kemala, dan bahan keramik, di samping intan permata dan mutu manikam yang tak ternilai harganya. Pada hakikatnya bangunan itu ibarat sebuah gudang hartakarun. Pada ujung tumpukan harta-karun yang tak ternilai itu terdapat sebuah kursi yang terbuat dari emas, cahaya kekuning-kuningan memercik ke empat penjuru membuat kursi tadi menyerupai singgasana seorang kaisar. Mata Bong Thian-gak menjadi kabur menyaksikan semua itu, sesaat lamanya dia hanya bisa berdiri termangu-mangu seperti orang kehilangan ingatan. Dia tidak mengetahui tempat apakah itu? Darimana datangnya harta-karun itu? Tiada lentera di dalam ruangan itu, tapi bisa terlihat dengan jelas bahwasanya ruangan itu kosong melompong, tak nampak sesosok bayangan manusia pun, namun Bong Thiangak cukup mengerti, di luar istana itu pasti terdapat pasukan penjaga yang amat ketat dan kuat. Maka sambil menghimpun tenaga dalam untuk berjagajaga atas segala kemungkinan, dia berjalan menuju ke pintu gerbang. Pintu dalam keadaan tertutup rapat, hal ini membuat Bong Thian-gak tertegun, segera pikirnya.
"Kalau dilihat dari pintu gerbang yang tertutup rapat, berarti tiada penjaga yang meronda di luar gedung, tempat ini sungguh merupakan tempat rahasia yang menyeramkan."
Mendadak dari luar terdengar seorang menegur.
Pendekar Cacad Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Komandan regukah di situ?"
"Benar!"
Dengan cepat Bong Thian-gak menyahut.
Suara gemuruh yang amat keras segera berkumandang, pintu gerbang terbuka lebar dan dua kepala menongol dari balik pintu.
Secepat sambaran kilat telapak tangan Bong Thian-gak membacok ke bawah.
Tiada jerit kesakitan, tiada suara lain, tahu-tahu kedua orang tadi menghembuskan napas penghabisan.
Dengan gerakan tubuh yang gesit, lincah dan ringan, Bong Thian-gak segera menerobos keluar lewat celah-celah pintu itu.
Di bawah cahaya rembulan, di bawah undak-undakan batu depan pintu gerbang nampak berjajar dua puluh pengawal berbaju kuning, mereka berdiri dengan memegang tombak panjang.
Kemunculan Bong Thian-gak yang secara tiba-tiba membuat mereka tidak sempat melihat dengan jelas siapa pendatang itu.
Dalam sekejap Bong Thian-gak telah sampai di hadapan pengawal pertama.
Tanpa jeritan kaget, tanpa teriakan kesakitan, tahu-tahu orang Mu sudah roboh binasa.
Di saat pengawal baju kuning yang pertama roboh terkapar tadi, tubuh Bong Thian-gak sudah berkelebat di hadapan delapan orang pengawal dan muncul di hadapan pengawal kesembilan.
Di saat para pengawal menyadari datangnya musuh yang menakutkan itu, Bong Thian-gak telah berhasil menghabisi nyawa delapan orang pengawal baju kuning dengan kecepatan dan serangan yang mengerikan.
Serangan yang begitu dahsyat dan cepat ini pada hakikatnya (arang dijumpai di kolong langit.
Tiga orang pengawal baju kuning lainnya yang masih tersisa dengan cepat menyadari datangnya ancaman bahaya, salah seorang di antara mereka segera menghardik.
"Siapa di situ?"
Bong Thian-gak merampas tiga batang tombak dari korbannya yang tewas dan satu-per satu dilontarkan ke depan.
Tombak-tombak itupun menembus jantung tiga orang pengawal yang berada di kejauhan, tanpa penderitaan, tanpa teriak kesakitan, dua puluh empat orang pengawal berbaju kuning tahu-tahu sudah tertumpas habis di tangan Bong Thian-gak.
Kendati Bong Thian-gak telah melakukan pembunuhan dengan gerakan cepat, tindakan yang kejam dan tak membuat pengawal-pengawal itu mengeluarkan suara, namun penjagaan di seputar gedung itu sungguh kelewat ketat.
Dua puluh empat pengawal berbaju kuning yang berada di pintu gerbang sekarang tak lebih hanya sekelompok kekuatan lain yang berada di sekeliling gedung itu.
Mendadak serentetan suitan keras yang tinggi dan melengking dibunyikan orang keras-keras.
Bong Thian-gak segera menyaksikan tiga orang pengawal baju kuning melompat turun dari atas tiga batang pohon Pek yang dan menyongsong kedatangan Bong Thian-gak dengan pedang terhunus.
Bong Thian-gak sadar jejaknya sudah ketahuan, dia semakin tak ingin membuang waktu lagi, maka tubuhnya melejit ke muka dan menyambut datangnya para pengawal yang sedang menerjang datang itu Begitu bayangan kedua belah pihak saling bertemu, terdengarlah suara benturan keras yang sangat nyaring.
Tidak banyak waktu yang terbuang, dalam waktu singkat tiga orang pengawal yang baru muncul itu sudah bergelimpangan di atas tanah dalam keadaan tidak bernyawa lagi.
Lengan tunggal Bong Thian-gak kini sudah merampas ketiga batang pedang lawan.
Pada saat itulah dari sisi sebelah kiri ruangan berkumandang suara tertawa dingin yang menyeramkan.
"Hehehe, serangan yang sangat hebat dan ganas. Hm ... hm ... selama puluhan tahun terakhir belum pernah kujumpai seorang jagoan yang sedemikian tangguh!"
Mendengar ucapan itu, Bong Thian-gak segera mendongakkan kepala.
Di hadapannya kini sudah muncul delapan orang pengawal berbaju kuning yang mengiringi seorang kakek gemuk pendek, selangkah demi selangkah berjalan mendekatinya.
Dengan ketajaman mata Bong Thian-gak, ia sudah dapat melihat kakek gemuk pendek itu memiliki kepandaian silat yang hebat.
Tiba-tiba saja suara nyaring bergema di angkasa.
Ternyata kedelapan orang berbaju kuning sudah melolos cambuk panjang dari pinggangnya, lalu dengan gerakan cepat dan lincah mereka mengepung Bong Thian-gak.
Bong Thian-gak cukup mengetahui bahwa ruyung lemas itu merupakan sejenis senjata yang sangat lihai.
Oleh karena itu Bong Thian-gak tidak membiarkan kedelapan orang pengawal berbaju kuning itu melancarkan serangan lebih dahulu, sambil tertawa dingin tubuhnya berputar seperti angin puyuh dan langsung menggulung ke sisi sebelah barat.
Tatkala Bong Thian-gak berputar dengan kencang tadi, ketiga pedang yang digenggamnya secepat sambaran petir sudah menyambar ke depan.
Tahu-tahu dua pedang di antaranya sudah meluncur ke muka dengan kecepatan tinggi.
Dua kali jerit kesakitan yang memilukan segera bergema.
Empat orang pengawal baju kuning yang menerkam datang dari arah timur dan utara tahu-tahu sudah kehilangan batok kepalanya, tersambar oleh luncuran pedang itu.
Sebilah pedang berhasil membacok dua kepala, ilmu pedang terbang semacam ini benar-benar merupakan suatu kepandaian yang sangat mengejutkan.
Bong Thian-gak sendiri hanya menyambitkan kedua batang pedang dan menyisihkan sebatang baginya, pedang itu mengikuti gerakan tubuhnya berputar ke barat, segera melancarkan serangan pula, di mana cahaya pedang berkelebat, darah segar berhamburan kemana-mana dan isi perut berceceran.
Dua orang pengawal berbaju kuning kena terbabat pinggangnya hingga putus menjadi dua bagian.
Dalam waktu singkat dari delapan pengawal berbaju kuning itu sudah ada enam orang di antaranya yang tewas.
Demonstrasi kekejaman yang terjadi ini sungguh menggidikkan hati siapa pun, kontan saja dua pengawal berbaju kuning yang tersisa serta kakek gemuk pendek itu menghentikan langkah.
Sementara itu Bong Thian-gak yang dalam sekejap mata telah membunuh enam orang, kini maju selangkah demi selangkah menghampiri kakek gemuk pendek itu dengan pedang terhunus.
Sambil tertawa dingin ia berkata.
"Ruyung panjang meski merupakan senjata untuk menandingi pedang atau golok, tapi bila bertemu dengan aku, kalian tetap merupakan rombongan yang bakal berangkat ke akhirat."
"Siapakah kau?"
Bentak kakek gemuk pendek itu dengan wajah lei kejut dan ngeri.
"Ketua Hiat-kiam-bun, Jian-ciat-suseng!"
Sahut Bong Thiangak sambil tertawa dingin.
Sembari berkata, tiba-tiba saja pemuda itu melompat ke depan dan pedangnya langsung dibacokkan ke tubuh kakek gemuk pendek itu.
Serangan pedang itu dilancarkan dengan cepat, akan tetapi gerakan cambuk kakek gemuk pendek itu pun tidak kalah cepatnya.
Bong Thian-gak segera merasakan pergelangan tangannya menjadi kencang, urat nadi pada pergelangan tangannya sudah kena terbelenggu empat lingkaran oleh cambuk lawan, otomatis gerak serangan pedangnya pun mengenai tempat kosong.
Diiringi gelak tawa panjang penuh kebanggaan, kakek gemuk pendek itu segera berkata.
"Cambuk sakti bayangan aneh sudah puluhan tahun lamanya termasyhur di kolong langit. Tak ada orang bisa lolos dari cengkeramanku bila ruyung telah berada dalam genggamanku. Hehehe, Jian-ciatsuseng, lengan tunggalmu ini agaknya akan kutung pula."
Sementara itu Bong Thian-gak merasa ruyung lemas yang membelenggu urat nadinya itu makin lama makin kencang, tulang dan kulitnya terasa sakit seperti remuk.
Bong Thian-gak sadar bila lawan sekali lagi menarik ruyung lemasnya, niscaya lengan tunggalnya itu bakal lenyap tak berbekas.
Sementara ingatan itu melintas dalam benaknya, tubuh Bong Thian-gak telah terbetot oleh cambuk lemas tadi sehingga terbanting ke atas tanah.
Namun ketika Bong Thian-gak bangkit kembali dari atas tanah, suara dengusan tertahan bergema di udara.
Perut kakek gemuk pendek itu tahu-tahu sudah tersambar oleh cahaya pedang sehingga mengucurkan darah segar.
Darah mengalir keluar bersama usus dan isi perut lainnya, meleleh dari balik mulut luka yang lebar dan memanjang itu.
Kulit muka si kakek gemuk pendek itu segera mengejang keras, katanya dengan suara dipaksakan.
"Kau ... kau ... bagaimana caramu bisa meloloskan diri dari belenggu cambuk panjangku?"
Dengan wajah dingin Bong Thian-gak berdiri di hadapannya. Ketika mendengar pertanyaan itu, ia menjawab dingin.
"Permainan ruyungmu memang terhitung cambuk kilat nomor wahid di kolong langit. Tiga puluh tahun berselang, dalam dunia rimba hijau pernah termasyhur seorang pencoleng yang mahir dalam permainan cambuk, konon dia bernama Ruyung sakti bayangan setan Si-bu, mungkin kaulah orangnya?"
Penderitaan yang tebal semakin menghiasi wajah kakek gemuk pendek itu, dia berkata dengan suara gemetar.
"Nama besar Ruyung sakti bayangan setan pada saat ini sudah punah dan tak ada lagi. Jian-ciat-suseng, meski ... meskipun ilmu pedangmu tiada tandingannya di kolong langit, tapi jangan harap kau bisa menandingi kerubutan beratus-ratus pengawal perkumpulan Put-gwa-cin-kau, akhirnya kau ... kau pun akan mengalami nasib yang sama seperti aku, roboh ... roboh ke tanah dan tak akan bangun lagi."
Sampai di situ langkah kakek gemuk pendek itu sudah sempoyongan, akhirnya roboh terjungkal ke atas tanah dan tak pernah merangkak bangun kembali.
Pencoleng nomor wahid di rimba hijau itu, Si-bu, akhirnya harus mampus di ujung pedang Bong Thian-gak.
Setelah menyaksikan Si-bu tewas, pelan-pelan Bong Thiangak mendongakkan kepala dan memandang sekejap sekeliling tempat itu, tapi perasaannya segera terkesiap.
Ternyata pada saat itu seluruh lapangan yang luas di depan ruangan utama telah dikelilingi lautan manusia yang mengepung tempat itu secara berlapis-lapis, begitu rapat pengepungan di sana, hal ini membuat seramnya suasana di bawah sinar rembulan.
Agak bergidik juga Bong Thian-gak menyaksikan keadaan itu, diam-diam pikirnya.
"Bila aku harus membantai orang itu satu demi satu, biar mereka bisa kuhabiskan, akhirnya aku akan kehabisan tenaga dan mampus di tangan mereka ... hari ini lebih baik aku kabur saja dari sini atau melangsungkan pertarungan dan beradu kekuatan dengan pihak Put-gwa-cinkau?"
"Ai, apalagi kawanan pengawal itu hanya diperintah Congkaucu untuk melakukan perbuatan itu, masa aku harus membantai mereka habis-habisan."
Berpikir demikian, tiba-tiba Bong Thian-gak berteriak.
"Dengarkan saudara-saudara sekalian. Aku adalah ketua Hiatkiam- bun saat ini, Jian-ciat-suseng Bong Thian-gak. Pedang di tanganku sekarang memiliki kekuatan luar biasa, tiga puluh sosok mayat yang tergeletak di atas tanah merupakan bukti yang paling jelas.
"Selain Cong-kaucu kalian yang dapat menyambut beberapa jurus serangan pedangku, kalian boleh dibilang ibarat telur yang beradu dengan batu atau kunang-kunang yang menentang api, hanya mencari kematian bagi diri sendiri.
"Thian maha pengasih dan maha penyayang, aku tak ingin melakukan pembunuhan besar-besaran, karena itu kuanjurkan kepada kalian lebih baik menyingkirkan diri dari sini dan berilah jalan lewat kepadaku, aku tak nanti melukai seorang pun di antara kalian."
Ucapan itu diutarakan dengan suara lantang dan keras, di tengah kegelapan malam suara itu dapat tersiar sampai jauh. Baru selesai dia berkata, mendadak dari kerumunan orang banyak terdengar seorang berseru sambil tertawa dingin.
"Aku tak percaya kau seorang cacat bisa memiliki kepandaian dan kemampuan sedemikian hebatnya."
Dari kerumunan orang banyak sebelah utara segera terjadi kegaduhan, lalu nampak dua orang berjubah hitam diiringi delapan laki-laki yang menyoreng pedang berjalan menuju ke arahnya.
Tatkala mendengar nada suara orang itu, seketika itu juga timbul kobaran api dendam dalam dada Bong Thian-gak, dia segera berteriak.
"Siau Cu-beng, kedatanganmu tepat sekali!"
Sepasang mata Bong Thian-gak telah memancarkan cahaya api yang menggidikkan, dia mengawasi orang berkerudung yang menyoreng sepasang pedang itu tanpa berkedip.
Sementara itu orang berambut panjang yang berada di sebelah kanan, yang berdandan bukan lelaki bukan perempuan itu tertawa seram seraya berkata.
"Aku kira siapakah manusia cacat ini? Hm, ternyata Bong Thian-gak orangnya."
Bong Thian-gak dapat mengenali orang aneh kurus seperti mayat hidup ini adalah Liok-kaucu Put-gwa-cin-kau. Ia tertawa dingin, lalu katanya sambil manggut-manggut.
"Betul, Ko Hong adalah samaranku tiga tahun lalu. Kau sudah merupakan prajurit yang kalah perang di tanganku, hari ini kau lebih-lebih bukanlah tandinganku, hm, aku orang she Bong selalu bisa membedakan mana budi dan mana dendam, kau bukan termasuk orang yang akan kubunuh, asal kau tahu diri dan segera mengundurkan diri, aku bersedia pula mengampuni jiwamu."
Liok-kaucu tertawa seram.
"Tiga tahun berselang, sebuah pukulanmu telah membuat aku berbaring selama tiga bulan. Dendam sakit hati ini tak pernah kulupakan, sungguh tak gampang bertemu lagi dengan kau. Hm! Kau anggap aku akan melepaskan kesempatan yang sangat baik itu begitu saja?"
"Liok-kaucu, panjang amat umurmu,"
Jengek Bong Thiangak dengan suara hambar.
Liok-kaucu tertawa terbahak, suaranya amat menyeramkan, telapak tangan raksasanya mendadak diayunkan ke depan, segulung angin pukulan yang amat dingin segera menyerang ke arah Bong Thian-gak.
Sejak tadi Bong Thian-gak sudah tahu ilmu pukulan lawan merupakan ilmu jahat dan beracun, karena itu secara diamdiam dia telah menyalurkan hawa murni Tat-mo-khi-khang menyelimuti seluruh jalan darahnya.
Dimana angin pukulan menyambar, Bong Thian-gak mendengus tertahan dan sepasang bahunya bergoncang keras.
Pada saat itulah Liok-kaucu tertawa sambil berteriak keras.
"Jian-ciat-suseng, serahkan jiwa anjingmu!"
Dengan suatu gerakan yang amat cepat, dia mendesak ke muka dan melakukan gempuran. Siau Cu-beng yang berada di sisinya segera menyadari hal itu merupakan siasat lawan, dia segera berteriak.
"Hati-hati Liok-kaucu, dia tidak terluka."
Sayang sekali sebelum peringatan itu diutarakan, tubuh Liok-kaucu telah tiba di hadapan Bong Thian-gak, telapak tangannya dipentang lebar-lebar dan mencengkeram dari kiri dan kanan.
Tiba-tiba cahaya pedang berkelebat.
Menyusul kemudian jeritan keras seperti babi disembelih bergema.
Di tengah sambaran cahaya pedang, sepasang tangan Liokkaucu terbabat kutung dan rontok ke tanah, menyusul di tengah semburan darah segar, pedang Bong Thian-gak menusuk dadanya hingga tembus.
"Liok-kaucu, kali ini kau mati tanpa mengucapkan sepatah katapun?"
Ucapan Bong Thian-gak itu diutarakan dengan nada hambar.
Bersamaan itu pula pedangnya telah dicabut dari atas dada Liok-kaucu.
Darah segar segera menyembur lewat mulut lukanya, Liokkaucu memang tidak mengucapkan sepatah kata pun, dia hanya membentang matanya lebar-lebar mengawasi Bong Thian-gak tanpa berkedip.
Akhirnya robohlah tubuh Liok-kaucu ke tanah dan tak pernah bangun lagi.
Jiwanya turut melayang ke angkasa dan kembali ke akhirat.
Dalam satu gebrakan Bong Thian-gak berhasil membunuh Liok-kaucu, walaupun kemenangan yang dia raih berkat taktiknya yang jitu, akan tetapi bagaimana pun juga Liokkaucu mempunyai kepandaian silat sangat tinggi, kenyataannya dia dibunuh orang secara gampang, peristiwa ini benar-benar menggetarkan perasaan setiap orang.
"Siau Cu-beng, mengapa tidak kau lepaskan kain kerudungmu itu?"
Sambil membawa pedangnya yang berlumuran darah dan sikap yang menyeramkan, Bong Thiangak membentak keras. Komandan kedua pasukan pengawal tanpa tanding segera tertawa dingin sambil sahutnya.
"Betul, akulah Siau Cu-beng, tapi aku tidak pernah menyangka kaulah Bong Thian-gak."
Sementara itu dalam benak Bong Thian-gak melintas kembali berbagai kejadian tragis yang telah menimpanya malam ini ... darah bercampur dendam segera mendidih dalam tubuhnya.
"Siau Cu-beng, gara-gara perbuatanmu yang memalukan sepuluh tahun lalu, aku telah menjadi cacat, kaki kiriku pincang, lalu tiga tahun berselang kau pun memotong kutung sebelah lenganku, maka malam ini aku tak tahu bagaimana mesti membalas dendam berdarah ini."
Sambil berkata, pelan-pelan Bong Thian-gak mengangkat pedangnya dan bersiap melancarkan serangan. Siau Cu-beng segera tertawa ringan, katanya.
"Bong Thiangak, aku hendak mengajukan sebuah pertanyaan kepadamu, mengapa kau menghajarku sampai jatuh ke dalam jurang pada sepuluh tahun berselang? Hahaha, apakah hal ini dikarenakan kau menangkap basah hubungan gelapku dengan Pek Yan-ling, maka kau lantas hendak membersihkan aib perguruan?"
"Hm, tapi hari ini ... kau pun telah melakukan hubungan gelap dengan Pek Yan-ling, nah, giliranku sekarang untuk bertanya kepadamu, .apakah aku pun harus membunuhmu untuk membalaskan dendam aib yang menimpa perguruan kita?"
Gemetar keras tubuh Bong Thian-gak mendengar perkataan itu, pedang yang sudah disiapkan tanpa sadar terlepas dan jatuh ke tanah.
"Oh, Thian!"
Diam-diam Bong Thian-gak mengeluh dengan perasaan amat tersiksa.
"Ternyata Siau Cu-beng telah menyaksikan peristiwa itu, sepuluh tahun lalu aku telah membunuhnya karena ia telah melakukan hubungan gelap dengan Pek Yan-ling."
Perasaan sedih dan menyesal membuat pikiran dan otaknya terganggu.
Pada kesempatan yang sangat baik inilah mendadak Siau Cu-beng mengayun pedang dan tanpa menimbulkan sedikit suara pun dengan cepat menusuk dada Bong Thian-gak.
Semua peristiwa itu berlangsung dalam waktu yang amat singkat.
Pendekar Cacad Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Cepat tangan kiri Bong Thian-gak diayun ke depan untuk menghantam mata pedang lawan.
Peristiwa yang sama sekali di luar dugaan segera berlangsung, ternyata Bong Thian-gak berhasil menggetar pedang itu hingga terpental dengan tangan kosong.
Seketika itu juga Siau Cu-beng serta ratusan orang pengawal lainnya tertegun dan berdiri melongo dengan mata terbelalak lebar.
Setelah berhasil mementalkan pedang dengan tangan telanjang, Bong Thian-gak sama sekali tidak melancarkan serangan balasan, dengan cepat dia menengok sekejap ke arah Siau Cu-beng, kemudian berkata dengan hambar.
"Siau Cu-beng, persoalanku bisa kuselesaikan sendiri. Kini aku hanya ingin menanyakan satu persoalan kepadamu, Toasuheng Ho Put-ciang, Ji-suheng Yu Heng-sui dan Sumoay Oh Cian-giok, apakah masih hidup?"
Siau Cu-beng seperti baru tersadar dari impian setelah mendengar itu, dia berseru tertahan, lalu balik bertanya dengan keheranan.
"Dengan cara apakah kau telah menepuk pedangku hingga terpental?"
Bong Thian-gak tidak menjawab, sebaliknya malah membentak lagi dengan suara lantang.
"Aku bertanya kepadamu, bagaimanakah nasib Ho Put-ciang sekalian?"
Tiba-tiba Siau Cu-beng tertawa terbahak-bahak.
"Hahaha, apakah Pek Yan-ling tidak memberitahukan padamu?"
Hati Bong Thian-gak bergetar keras, dia segera berpikir.
"Bagaimana keadaan mereka? Mengapa dia bilang Pek Yanling tidak memberitahukan kepadaku? Apa yang semestinya hendak dikatakan Pek Yan-ling kepadaku?"
Sekali lagi Siau Cu-beng tertawa dingin, suaranya menyeramkan.
"Kalau Pek Yan-ling tidak memberitahukan kepadamu, baiklah biar aku yang memberitahukan kepadamu!"
"Bagaimana keadaan mereka? Cepat katakan!"
Bentak Bong Thian-gak. Siau Cu-beng sengaja berdehem, lalu dengan santai dia berkata.
"Ho Put-ciang dan Yu Heng-sui telah mengakhiri hidupnya sendiri."
"Bunuh diri? Mengapa mereka bunuh diri?"
Tanya Bong Thian-gak dengan terkejut.
"Karena tidak punya muka untuk bertemu dengan orang. Hahaha, biar kuceritakan lebih terperinci kepadamu! Pek Yanling adalah Subo mereka, Ho Put-ciang serta Yu Heng-sui pernah pula mempunyai hubungan persahabatan dan hubungan ibu guru. Akhirnya peristiwa yang sangat memalukan ini diketahui oleh Oh Cian-giok, kedua orang itu pun kehilangan muka sehingga akhirnya bunuh diri."
Sekali lagi dada Bong Thian-gak serasa dipukul martil yang berat, nyaris jatuh tak sadarkan diri.
Mimpi pun dia tak menyangka Toa-suheng dan Jisuhengnya telah tewas dalam keadaan begitu mengenaskan dan memedihkan hati.
Dia mengerti sekarang, semua ini bisa terjadi tak lain merupakan siasat membunuh yang paling keji dari perkumpulan Put-gwa-cin-kau.
Mereka tidak membiarkan seorang Enghiong mati dalam keadaan gagah dan perkasa, melainkan membiarkan mereka mati dengan sukma tak tenang dan roh gentayangan.
Perbuatan semacam ini benar-benar merupakan suatu cara membunuh yang sangat kejam dan mengerikan.
Setelah tertawa ringan, dengan suara yang dingin menyeramkan, Siau Cu-beng berkata lagi.
"Tindakan Ho Putciang dan Yu Heng-sui bunuh diri benar-benar Enghiong sejati, mereka adalah pendekar yang berani berbuat berani bertanggung-jawab sehingga bersedia menggorok leher sendiri untuk menebus dosa. Tapi sekarang, kau Bong Thiangak sama sekali tidak mempunyai keberanian untuk mati, aku betul merasa kasihan untukmu!"
Tiba-tiba Bong Thian-gak mendongakkan kepala berpekik nyaring.
"Siau Cu-beng, serahkan nyawamu!"
Bong Thian-gak memungut pedangnya dari atas tanah dan seperti seekor banteng yang terluka, dia membacok tubuh Siau Cu-beng secara ganas.
Siau Cu-beng tidak menyambut datangnya ancaman, sebaliknya delapan orang lelaki berbaju hitam yang berada di sisinya segera menggerakkan kedelapan pedangnya menciptakan selapis kabut pedang serentak mengurung Bong Thian-gak rapat-rapat.
Ilmu pedang yang dimiliki Bong Thian-gak pada hakikatnya sudah mencapai kesempurnaan, pedangnya seperti membacok kayu bakar saja, kawanan orang berbaju hitam itu dibabat satu demi satu.
Semua serangan yang dilancarkan olehnya terbatas tigaempat bacokan belaka, namun kedelapan lelaki yang semula bergerak segesit naga dan seganas harimau itu sudah roboh terkapar di atas tanah, jangan kata melawan, jerit kesakitan pun tak sempat dikumandangkan.
Siau Cu-beng bergidik menyaksikan peristiwa itu, peluh dingin bercucuran dengan deras, dia cukup mengetahui betapa lihainya ilmu pedang yang dimiliki kedelapan lelaki itu, yang merupakan pengawal andalannya, bahkan kelihaian mereka mencapai tingkatan seorang tokoh persilatan.
Tetapi setelah berjumpa dengan Bong Thian-gak hari ini, keadaan mereka seakan-akan tidak memiliki setitik ilmu silat pun, dengan cara yang begitu mudah mereka terbunuh di tangan lawan.
Peristiwa ini benar-benar mengejutkan.
"Dengarkan saudara sekalian,"
Siau Cu-beng segera berteriak.
"Bila kita biarkan orang ini lolos malam ini, aku tak akan membiarkan kalian hidup terus di dunia ini. Kepung dia sekuat tenaga, kalian boleh membacok dan mencincangnya sampai hancur berkeping-keping!"
Begitu bentakan itu lenyap, kawanan pengawal di tempat itu serentak berteriak dan membentak dengan suara gegap gempita, kemudian bersama-sama mengepung Bong Thiangak.
Sementara itu Bong Thian-gak selesai membunuh kedelapan lelaki berbaju hitam dan menyaksikan Siau Cu-beng hendak mengundurkan diri, dengan suara lantang segera teriaknya.
"Siau Cu-beng, jangan kabur!"
Tubuhnya melejit ke tengah udara dan menerjang ke muka, sebuah tusukan pedang langsung dilontarkan.
Ilmu pedang yang dimiliki Siau Cu-beng pun bukan kepandaian sembarangan.
Sepasang pedangnya dipergunakan bersama, dengan suatu gerakan aneh dan cepat bagaikan sambaran kilat dia tangkis ancaman pedang Bong Thian-gak.
Kemudian tanyanya sambil tertawa dingin.
"Tunggu saja sampai nanti, kita pasti akan berduel untuk menentukan menang kalah!"
Sementara itu serombongan orang telah menggulung datang bagaikan amukan ombak di tengah samudra.
Tombak panjang, pedang, tongkat serta tujuh-delapan macam senjata lainnya menyerang tiba.
Bong Thian-gak meraung keras, pedangnya segera diputar, hawa pedang bagaikan selapis kabut menyelimuti angkasa, djmana hawa dingin berkelebat, jeritan ngeri segera memenuhi seluruh gelanggang.
Dalam waktu singkat puluhan orang telah tewas di ujung pedang Bong Thian-gak yang tajam.
Lambat-laun Bong Thian-gak menjadi tidak tega sendiri, dia segera membentak.
"Yang hendak kubunuh sebenarnya bukan kalian, lebih baik kalian mundur saja dari sini, asal aku dapat membunuh Siau Cu-beng, memangnya dia masih dapat menghukum kalian?"
Sementara itu Siau Cu-beng telah mengundurkan diri dari gerombolan orang banyak, Bong Thian-gak melompat naik ke tengah udara, kemudian tubuhnya melayang jauh ke depan dan langsung menerkam Siau Cu-beng.
Tatkala melayang turun, ia telah berada di tengah kerumunan orang banyak, bacokan golok dan pedang serentak ditujukan ke tubuh Bong Thian-gak.
Pada hakikatnya Bong Thian-gak tidak mempunyai cukup waktu untuk melancarkan serangan ke arah Siau Cu-beng, dia sudah kena serangan lebih dahulu oleh kawanan pengawal yang berada di sekeliling tempat itu.
Berada dalam keadaan seperti ini, sekali lagi Bong Thiangak menggerakkan pedangnya melakukan pembantaian besarbesaran.
Ia perkasa seperti Lu Poh, seperti Tio Cu-liong, dimana pedangnya menyambar, seakan tiada seorang pun yang dapat membendungnya.
Jeritan ngeri, teriakan kesakitan bergema tiada hentinya.
Bong Thian-gak seperti orang kalap, darah telah membasahi seluruh pakaiannya.
Dia sendiri tak tahu berapa banyak orang yang telah terbunuh, dia hanya tahu mengayunkan pedangnya melancarkan serangan.
Percikan darah menyembur kemana-mana, isi perut berhamburan di mana-mana, teriakan keras, jeritan ngeri bergema saling susul.
Akhirnya ketika Bong Thian-gak mengayunkan pedangnya, tidak terdengar lagi jeritan kesakitan yang terdengar.
Hal itu bukan disebabkan Bong Thian-gak sudah tak memiliki kekuatan lagi untuk membunuh orang, melainkan separoh orang-orang di sekelilingnya telah mati terbunuh.
Tapi pedang Bong Thian-gak masih saja melancarkan bacokan.
Hal ini disebabkan pandangan matanya sudah menjadi kabur atau berkunang-kunang, ia seperti tidak tahu bahwa di situ sudah tak terdapat seorang hidup pun.
Bong Thian-gak melancarkan puluhan bacokan lagi secara beruntun sebelum sadar.
Napasnya tersengal, pedangnya terkulai ke bawah, dipandangnya sekejap sekeliling tempat itu, darah yang berceceran di atas tanah telah menganak sungai, mayat bergelimpangan dimana-mana, mayat-mayat itu mencapai ratusan sosok banyaknya.
Untuk beberapa saat Bong Thian-gak menjadi tertegun, segera pikirnya.
"Mana orang-orang yang lain? Kemana mereka telah menyembunyikan diri?"
Rupanya ketika Bong Thian-gak tengah melakukan pembantaian, sebagian besar kawanan pengawal berbaju kuning telah mengundurkan diri secara diam-diam ke empat penjuru. Mendadak Bong Thian-gak seperti teringat akan sesuatu, dia segera berseru tertahan.
"Ah, rupanya mereka telah mengubah taktik!"
Mendadak di tengah kegelapan malam terdengar suara anak panah berhamburan datang dengan hebatnya.
"Aduh celaka!"
Pikir Bong Thian-gak.
"Aku tak boleh berdiri termangu-mangu saja di sini."
Mendadak dia mengerahkan tenaga dalam Tat-mo-khikang, pedangnya dengan cepat memainkan selapis kabut pedang, tubuhnya secepat kilat berlari menuju ke arah utara.
Lapangan di situ cukup luas, di sana sini penuh ditumbuhi pepohonan Siong-pak dan bambu sehingga suasana gelap gulita.
Untuk menembus hutan semacam itu, bagi Bong Thian-gak pada hakikatnya lebih sukar daripada naik ke langit.
Kawanan pengawal Put-gwa-cin-kau telah mengundurkan diri ke dalam pos penjagaan di dalam hutan, dari jarak yang tak begitu jauh mereka dapat melancarkan serangan dengan mempergunakan anak panah atau senjata rahasia, sebaliknya bila musuh mendekat, mereka pun bisa melancarkan sergapan dengan mempergunakan pedang, golok atau tombak.
Oleh karena itulah baru saja Bong Thian-gak masuk ke dalam hutan, hujan panah sudah menyergap dari belakang, sementara dari kiri dan kanannya menerjang empat batang tombak.
Selama tiga tahun melatih diri di bawah air terjun dahulu, Bong Thian-gak telah berhasil pula melatih ilmu membedakan arah angin serta ilmu tenaga dalam yang menitik-beratkan pada mengatasi gerak di tengah ketenangan, merebut ketenangan di tengah gerak.
Keempat tombak itu dengan cepat dirontokkan oleh sambaran pedangnya, sedangkan hujan panah yang menyerang datang dari belakang punggungnya, melesat ke depan melewati atas punggungnya hanya dengan cara dia membungkukkan badan.
Menyusul terdengar dua kali jeritan ngeri, sekali lagi pedang Bong Thian-gak menunjukkan kehebatannya, dua orang pengawal berbaju kuning yang menyembunyikan diri di belakang pohon kena ditebas kepalanya hingga tewas seketika.
Bong Thian-gak meneruskan perjalanannya menembus hutan itu, jeritan demi jeritan pun bergema saling susul.
Berpuluh bambu ada kalanya ikut terpapas kutung oleh bacokan pedang Bong Thian-gak sehingga roboh ke atas tanah.
Pertempuran berdarah ini betul-betul merupakan pertarungan yang jarang terjadi dalam Bu-lim.
Lewat setengah jam kemudian Bong Thian-gak telah keluar dari balik hutan yang gelap.
Di bawah cahaya rembulan yang terang benderang, pembunuh yang masih muda ini telah berubah menjadi manusia darah, rambutnya kusut dan pakaiannya robek, pedangnya yang berlumuran darah masih meneteskan titiktitik darah ke atas tanah.
Berapa banyak orangkah yang telah terbunuh di tangan Bong Thian-gak dalam hutan itu? Walaupun pertempuran telah berhenti, sorot mata Bong Thian-gak masih tetap memancarkan hawa membunuh yang amat menggidikkan.
Ternyata dia tahu, pentolan penyamun pembawa bibit bencana dan segala musibah baginya selama ini adalah Siau Cu-beng yang belum menemui ajalnya di ujung pedangnya.
Bong Thian-gak sendiri pun merasa heran, sudah jelas tempat ini merupakan sarang Put-gwa-cin-kau, walau pertarungan berlangsung lama, kawanan jago lihai dari Putgwa- cin-kau yang menampakkan diri tak lebih hanya Siau Cubeng dan Liok-kaucu.
Kemana perginya Cong-kaucu serta Ji-kaucu dan Sim Tiong-kiu sekalian? Apakah mereka semua tidak berada di sini? Walaupun demikian, Bong Thian-gak pun diam-diam bersyukur, harus dia akui bila seorang saja di antara ketiga orang itu menampakkan diri, niscaya dia akan terancam bahaya maut pada malam ini.
Teringat akan hal itu, Bong Thian-gak segera berubah pikiran, dia tidak ingin meninggalkan tempat itu secepatnya, dia masih harus melanjutkan pertarungannya.
Kepalanya segera didongakkan.
Bangunan loteng yang berlapis-lapis, gedung yang megah, berdiri kekar di bawah cahaya rembulan.
Namun anehnya, semua gedung dan bangunan loteng itu berada dalam keadaan gelap, tiada cahaya lentera, tiada bayangan manusia yang nampak.
Sekeliling tempat itu berubah begitu hening, menyeramkan dan menggidikkan.
Hawa napsu membunuh Bong Thian-gak semakin berkobar, namun empat penjuru tidak nampak seorang pun, bagaimana mungkin dia dapat melanjutkan pembantaiannya.
"Siau Cu-beng, mengapa kau tidak menampakkan diri? Kau sudah ketakutan? Siau Cu-beng, ayo cepat menampakkan diri untuk menerima kematian!"
Bong Thian-gak berteriak, sudah barang tentu Siau Cu-beng dapat mendengar suara teriakan itu dengan jelas.
Akan tetapi keperkasaan Bong Thian-gak sudah menggetarkan hatinya, dia sadar pasti dirinya bukan tandingan lawan.
Markas besar Put-gwa-cin-kau yang menyeramkan dengan penjagaan yang begitu ketat, dalam waktu singkat berubah menjadi kuburan yang sepi, suasana amat menyeramkan, bagaikan kota mati ditinggal penghuninya.
Untuk beberapa saat Bong Thian-gak hanya berdiri kaku di tempat, dia tak tahu apa yang mesti dilakukannya sekarang? Mendadak suara jeritan perempuan yang melolong seperti jeritan kuntilanak terdengar bergema dari loteng di depan sana.
Jeritan itu seperti suara jeritan seseorang yang merasakan penderitaan batin yang luar biasa.
Bong Thian-gak berkerut kening, tubuhnya secepat kilat bergerak menuju ke arah bangunan loteng itu.
Sementara itu teriakan dan lengkingan perempuan itu sekali lagi bergema di angkasa.
Suaranya begitu mengerikan, membuat bulu kuduk orang berdiri dan darah serasa mendidih.
Setelah itu terdengar pula seorang dengan suara terputusputus berteriak.
"Lebih baik kalian bunuh aku, kumohon ... kumohon kepada kalian ... janganlah menyiksa aku dengan cara begini."
Setelah itu kembali bergema teriakan seperti suara lolongan serigala di tengah malam buta. Bong Thian-gak sudah terpancing tiba di bawah loteng itu, tibatiba satu ingatan terlintas di benaknya, tanpa sadar pikirnya.
"Jangan-jangan mereka sengaja memasang sebuah perangkap di tempat ini."
Karena ingatan itu, dia segera membatalkan niatnya untuk melompat naik ke atas loteng itu. Tapi ingatan lain terlintas dalam benaknya.
"Betul, jelas perangkap jahat untuk memancingku masuk jebakan ... tapi perempuan itupun sudah jelas seorang korban mereka ... padahal tempat ini sangat berbahaya, aku wajib menyelamatkan jiwanya."
Berpikir sampai di situ, Bong Thian-gak segera melompat naik ke atas loteng itu, menghantam daun jendelanya sehingga terpentang lebar.
Di balik daun jendela merupakan sebuah ruangan yang sangat lebar, terlihat seorang perempuan dalam keadaan bugil terikat kencang pada tonggak kayu di tengah ruangan.
Sedangkan di lantai terlihat ada beberapa ekor ular beracun sedang meliuk-liuk sambil menjulurkan lidahnya yang berwarna merah, dua di antaranya merayap mendekati nona bugil itu.
Perasaan kaget, ngeri dan ketakutan menyelimuti wajah gadis bugil tadi, membuatnya sekali lagi menjerit.
Tatkala perempuan bugil itu melihat Bong Thian-gak muncul di situ, sorot matanya memancarkan sinar permohonan.
"Bedebah!"
Umpat Bong Thian-gak amat gusar.
Tanpa memikirkan bagaimana akibatnya, pemuda itu segera melejit ke tengah udara dan langsung meluncur ke arah tonggak kayu dimana perempuan bugil itu terikat.
Pedangnya segera digetarkan, dan "Crit", persis menusuk di atas tonggak kayu itu.
Dengan tangan kiri menggenggam pedang, Bong Thian-gak menggantungkan diri di atas pedangnya, sementara ujung baju kanannya dikebaskan ke muka.
Akibat babatan ujung bajunya itu, dua ekor ular yang sedang merambat mendekati tonggak kayu itu segera terhajar hingga terputus menjadi beberapa bagian.
Pendekar Cacad Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pada saat itulah perempuan bugil yang terikat di atas tonggak kayu beraksi, tubuhnya bagaikan ular menggeliat, lalu ...
"Plak", Bong Thian-gak terhajar telak oleh serangannya. Mimpi pun Bong Thian-gak tak bisa membayangkan dengan cara apakah perempuan bugil itu melepaskan diri dari belenggu tali itu. Dia pun tidak tahu genggaman perempuan bugil itu mencekal seekor ular kecil yang berwarna hijau kehitamhitaman. Tahu-tahu Bong Thian-gak merasa punggungnya sakit sekali, dia tidak menyadari bahwa jiwanya sekarang sudah berada di tepi kematian. Kaki kanan Bong Thian-gak masih mengait di atas tonggak kayu, kemudian ia membopong perempuan bugil tadi dan membaringkannya di atas lantai. Ia membaringkan perempuan itu di atas lantai yang bebas dari ancaman ular, kemudian telapak tangan kanannya dikebaskan, gulungan angin pukulan segera menyambar, ularular beracun yang berada di lantai pun seekor demi seekor tersambar hingga mati semua. Sementara itu suara tawa cekikikan yang amat jalang dan cabul mulai berkumandang dari mulut perempuan bugil itu. Sambil mengerut dahi Bong Thian-gak segera berpaling. Entah sejak kapan perempuan bugil itu sudah mengenakan selembar kutang untuk menutupi payudaranya yang montok, di bawah perutnya juga sudah dilingkari gaun pendek untuk menutupi bagian rahasianya, raut wajahnya yang semula menderita dan ketakutan kini sudah kembali seperti keadaan pada umumnya. Terutama sekali seekor ular kecil berwarna hijau kehitamhitaman yang tergenggam pada tangan kanannya membuat Bong Thian-gak seperti terbangun dari impian, ia segera sadar dirinya sudah tertipu.
"Si... siapakah kau?"
Tegurnya kemudian. Dengan suara yang amat tenang perempuan bugil itu menjawab.
"Su-kaucu Put-gwa-cin-kau, Hek-coa-li-liong (gadis cantik ular hitam)!"
Tak terlukiskan rasa terkejut Bong Thian-gak setelah mendengar pengakuan itu, dia lantas teringat rasa sakit yang pernah dialaminya pada saat menolong perempuan itu tadi. Paras mukanya segera berubah hebat, hardiknya penuh gusar.
"Kurangajar! Cari mampus rupanya kau?"
Telapak tangan kirinya segera diayunkan ke muka melancarkan sebuah bacokan maut.
Hek-coa-li-liong sama sekali tidak berkelit, telapak tangan Bong Thian-gak persis menghantam di atas perut perempuan itu.
Dengan tenaga dalam yang dimiliki Bong Thian-gak, serangannya itu cukup baginya untuk menghancurkan batu gunung, tapi Hek-coa-li-liong malah tertawa terkekeh-kekeh seperti orang gila.
"Apa kau mampu membunuhku? Setiap orang yang terpagut ular kecil berwarna hijau kehitam-hitamanku ini, dalam setengah menit racunnya akan mulai bekerja dan seluruh kekuatan yang dimiliki akan punah, kau tak akan memiliki kekuatan untuk membunuh orang lain."
Betul, saat ini Bong Thian-gak memang merasa kekuatannya punah, bagaikan seseorang yang ilmu silatnya dipunahkan orang lain.
Dalam ingatan Bong Thian-gak, Su-kaucu Put-gwa-cin-kau ini, Hek-coa-li-liong, adalah seorang yang teramat asing baginya.
Itulah sebabnya ia terluka oleh serangannya, Bong Thian-gak menghela napas panjang, kemudian katanya.
"Sungguh tak kusangka, aku Bong Thian-gak telah melakukan kesalahan besar gara-gara terdorong oleh perasaan, ai, sekarang aku sudah terjatuh ke tanganmu, mau bunuh, cincang, terserah kehendakmu!"
Dalam pada itu Hek-coa-li-liong telah selesai membereskan rambutnya yang kusut, sekarang dapat dilihat dengan jelas bagaimana kulit tubuhnya begitu putih bersih, mukanya bulat telur dan berparas cantik jelita bak bidadari dari kahyangan, usianya di antara dua puluh empat tahun.
Sambil tertawa cekikikan Hek-coa-li-liong berkata kembali.
"Kau mempunyai perasaan kasihan? Hm! Dua ratus orang anggota Put-gwa-cin-kau telah kau bantai secara kejam. Kaulah manusia dalam persilatan saat ini yang membunuh orang paling banyak. Gembong iblis pembunuh manusia macam dirimu, mana mungkin mempunyai perasaan kasihan? Huh, kau tak usah membual lagi di hadapanku."
Disemprot dengan kata-kata yang begitu pedas, tanpa terasa Bong Thian-gak menundukkan kepala, ucapnya kemudian.
"Kalau ingin turun tangan, ayolah lakukan secepatnya!"
Hek-coa-li-liong tersenyum.
"Membunuhmu? Tidak akan kulakukan semudah itu."
"Kalau tidak, perbuatan apa yang hendak kau lakukan terhadap diriku?"
Tegur Bong Thian-gak mulai naik pitam.
"Sekarang kau telah kehilangan ilmu silatmu, bagaimana pun juga kau tidak bakal bisa kabur dari sini, oleh sebab itu aku hendak mencari akal lain untuk menghadapi dirimu."
Sepanjang pembicaraan, secara diam-diam Bong Thian-gak telah mencoba mengerahkan hawa murninya, tapi urat nadi serta jalan darahnya seakan-akan tersumbat oleh suatu kekuatan besar sehingga tak setitik tenaga pun yang mampu disalurkan.
Dengan menghela napas sedih pelan-pelan Bong Thian-gak bertanya.
"Apa nama ular itu? Sungguh tak nyana begitu hebat."
Hek-coa-li-liong tertawa bangga, sahutnya.
"Ular ini bukan ular sungguhan, yang benar adalah sejenis senjata tajam."
Bong Thian-gak mengalihkan sorot matanya ke ular kecil warna hijau kehitaman yang berada di tangan kanannya.
Ternyata memang sama sekali tak bergerak, kenyataan memang bukan ular sungguhan, melainkan senjata yang berbentuk ular.
Bong Thian-gak berseru tertahan, kemudian tanyanya.
"Apa nama senjata itu?"
"Hek-Jik-leng-coa (ular sakti hijau kehitam-hitaman)."
"Apakah kau telah menyembunyikan racun keji di balik lidah ular itu?"
Tanya Bong Thian-gak lagi sambil menghela napas.
"Betul, punggungmu tertusuk oleh lidah ular itu, bukan oleh pagutannya." "Apakah kau sudah mendapatkan cara terbaik untuk menghukum diriku?"
"Belum!"
Kembali Hek-coa-li-liong menggeleng kepala.
"Walau aku sudah menjadi manusia tak berilmu silat, tetapi aku tak dapat berdiam kelewat lama di sini menunggu hukuman."
"Meski ilmu silatmu telah punah, namun kau masih dapat menyelamatkan nyawamu selama tinggal di tempat ini. Andaikata kau meninggalkan loteng ini, niscaya Siau Cu-beng akan membunuhmu."
Bong Thian-gak tertegun mendengar kata-katanya itu.
"Apakah selama aku tetap mengendon di tempat ini, kau dan Siau Cu-beng tak akan merenggut nyawaku?"
Hek-coa-li-liong tertawa dingin.
"Selamanya Siau Cu-beng tak akan berani mencampuri urusanku, yang paling menakutkan apabila aku hendak merenggut jiwamu."
Bong Thian-gak menghela napas panjang.
"Ai, mati bukan sesuatu yang menakutkan, aku hanya merasa bahwa kematianku terlalu tak berharga."
"Mengapa tak berharga?"
Tanya Hek-coa-li-liong.
"Orang-orang Put-gwa-cin-kau kejam dan tidak berperasaan. Tatkala mendengar jeritanmu tadi, aku mengira orang Put-gwa-cin-kau sedang menyiksa orang dengan sangat keji. Itulah sebabnya aku terburu-buru datang kemari. Ai, sungguh tak kusangka kau pun termasuk satu di antara gembong Put-gwa-cin-kau."
Hek-coa-li-liong tertawa dingin, tiba-tiba bentaknya.
"Siau Cu-beng, jika kau berani melangkah masuk ke dalam lotengku ini, segera akan kusuruh kau mati tergigit ular beracun."
Ketika mendengar perkataan itu, Bong Thian-gak segera berpaling dan menengok sekejap keluar jendela, tampak olehnya suasana di bawah loteng terang-benderang bermandikan cahaya.
Siau Cu-beng beserta sekelompok pengawal berbaju kuning telah mengepung loteng itu.
Siau Cu-beng masih mengenakan kain berkerudung, tampak dia mendongakkan kepala dan berkata lantang.
"Sebelum memperoleh izin dari Su-kaucu, tentu saja Cu-beng tidak berani bertindak sembarangan memasuki kamar tidurmu."
Ketika itu tenaga dalam Bong Thian-gak telah punah, dia sangat kecewa dan putus asa, maka sambil berdiri di sisi arena ia memutar otak mencari akal, pikirnya.
"Biar waktu tertunda, coba kulihat apakah tenaga dalamku masih ada kemungkinan pulih atau tidak?"
Sementara itu Hek-coa-li-liong telah mendengus dingin sambil berkata.
"Kalau memang begitu, mengapa kau bawa orang-orangmu mengepung loteng ini?"
Siau Cu-beng tertawa ringan.
"Aku kuatir Su-kaucu tidak bisa menaklukkan Jian-ciatsuseng."
"Hm, sekalipun tak mampu melakukannya, aku juga tak akan memberi kesempatan kepadamu untuk menaklukkan orang itu,"
Jengek Hek-coa-li-liong dengan ketus.
"Su-kaucu,"
Mendadak Siau Cu-beng berkata dengan suara dalam.
"Malam ini, aku orang she Siau bersedia memberi kesempatan kepadamu untuk menebus dosa-dosamu yang lalu, kuharap kesempatan yang sangat bagus ini jangan kau sia-siakan begitu saja."
"Apa yang mesti kulakukan?"
Tanya Hek-coa-li-liong sambil tertawa dingin.
"Jika Su-kaucu berhasil menaklukkannya, harap kau serahkan orang itu kepadaku untuk dijatuhi hukuman."
Sekali lagi Hek-coa-li-liong tertawa dingin.
"Satu kali tergigit ular berbisa, sepuluh tahun takut tali tambang. Aku tak bakal menyerahkan jasa besar ini kepadamu begitu saja."
"Su-kaucu!"
Kembali Siau Cu-beng berkata dengan suara dingin.
"Bila kau melakukan kesalahan lagi, perkumpulan akan menggunakan peraturan yang paling ketat dan berat untuk menghukum serta menyiksa dirimu."
"Kau tak usah kuatir,"
Hek-coa-li-liong tertawa menjengek.
"Aku masih mampu mengawasinya hingga Cong-kaucu pulang."
"Kalau begitu Su-kaucu tidak bersedia menyerahkan orang itu kepadaku?"
"Kau licik dan munafik, yang kau pikirkan hanya kepentingan sendiri, aku sudah cukup banyak menerima pelajaran pahit darimu."
"Apakah Su-kaucu tak kuatir aku bakal menurunkan perintah menyerang lotengmu,"
Kata Siau Cu-beng lagi sambil tertawa dingin dengan suara menyeramkan.
"Di dalam loteng ini terpelihara beribu-ribu ular beracun, bila kau memang tidak kuatir dipagut ularku, silakan saja untuk mencoba."
"Ular paling takut dengan api,"
Jengek Siau Cu-beng sambil tertawa dingin.
"Aku masih bisa melepaskan api membakar loteng ini."
Hati Hek-coa-li-liong bergetar keras, ujarnya kemudian.
"Ular-ular beracun peliharaanku telah mendapat latihan khusus. Asal kubunyikan serulingku, maka beribu-ribu ular beracun itu akan menyerbu keluar. Aku tak percaya kau masih mampu mempertahankan hidup." "Su-kaucu,"
Teriak Siau Cu-beng semakin marah.
"tindakanmu sungguh mengkhianati peraturan yang telah ditetapkan perkumpulan."
"Yang telah melanggar peraturan bukanlah aku, melainkan kau sendiri,"
Jengek Hek-coa-li-liong sambil tertawa dingin.
"Sewaktu aku ditahan di dalam loteng ini, siapa pun tidak dibiarkan mengusik atau mengganggu ketenanganku. Apakah komandan Siau telah lupa?"
"Tapi kenyataan sekarang Su-kaucu berniat melindungi buronan penting, aku mempunyai hak penuh untuk menjatuhkan hukuman yang setimpal kepadamu."
Hek-coa-li-liong tertawa dingin.
"Siau Cu-beng, kau tidak usah banyak cerita lagi. Dendam sakit hati di antara kita sudah seperti air dan api, tidak mungkin bagi kita untuk hidup bersama, apa pun yang hendak kau lakukan terhadap diriku, boleh kau laksanakan sekarang juga!"
Siau Cu-beng mendengus dingin.
"Hm, kau tidak bersedia bekerja sama denganku. Berarti kau sendiri yang mencari jalan kematian."
Sepanjang pembicaraan, Bong Thian-gak hanya mendengarkan dengan hati dingin dan perasaan tenang. Ketika pembicaraan telah usai, dia baru menghela napas seraya berkata.
"Siau Cu-beng adalah seorang licik yang berhati keji serta buas. Kekejaman dan kebrutalannya boleh dibilang sudah mencapai titik puncak yang paling tinggi, bisa jadi kau akan musnah di tangannya."
Hek-coa-li-liong memandang sekejap ke arah Bong Thiangak, kemudian katanya dingin.
"Apakah kau berniat mempengaruhi aku agar berkhianat?"
"Ai, mungkin dengan begitu keselamatan jiwa kita berdua baru bisa dipertahankan,"
Jawab Bong Thian-gak sambil menghela napas.
Hek-coa-li-liong tertawa dingin.
"Terus terang saja kuberitahu suatu hal kepadamu, sejak aku disekap dalam loteng ini, menelan semacam obat racun yang berdaya kerja lambat, suatu ketika jika aku berani melarikan diri dari tempat ini dan dalam satu bulan tidak menelan obat penawar racunnya, maka daya kerja racun itu akan mulai beraksi, akhirnya aku bakal mampus dengan darah keluar dari ketujuh lubang indra.
Itulah sebabnya aku tak berani berkhianat ataupun melarikan diri."
Bong Thian-gak terkejut mendengar keterangan itu, sekarang ia tahu cara bagaimana Cong-kaucu Put-gwa-cin-kau mengendalikan jago-jago lihainya dan bagaimana pula cara menguasai kawanan Enghiong.
Tapi justru dari perkataan itu Bong Thian-gak pun mendapat tahu bahwa dari dasar hati gadis itu sesungguhnya sudah mempunyai niat untuk berkhianat terhadap Put-gwacin- kau.
Satu ingatan dengan cepat melintas dalam benak Bong Thian-gak, tanyanya kemudian.
"Su-kaucu, apakah kau tahu obat racun macam apakah yang telah kau makan?"
"Tidak!"
Hek-coa-li-liong menggeleng kepala berulang-kali.
"Masih berapa lama lagi Su-kaucu mesti menelan obat penawar berikutnya?"
Kembali pemuda itu bertanya.
"Empat hari. Selewat empat hari, bila obat penawar racun belum juga diserahkan kepadaku, akibatnya aku akan tewas dengan keadaan mengenaskan."
"Ai, dalam tiga tahun belakangan ini, boleh dibilang setiap waktu aku selalu kuatir bila mereka tak menyerahkan obat penawar racun kepadaku, menghadapi ancaman maut itu sungguh penderitaan batin yang betul-betul amat berat."
Menyusul gadis itu bergumam, hanya saja Bong Thian-gak tidak menangkap jelas, karena saat itu dia sedang memperhitungkan suatu masalah penting. Tiba-tiba terdengar Bong Thian-gak bergumam.
"Ai, masih ada waktu. Dalam empat hari sudah pasti akan tiba di kota Lok-yang."
"Apakah yang kau pikirkan?"
Tanya Hek-coa-li-liong sambil melirik sekejap ke arahnya. Dengan wajah berseri Bong Thian-gak berkata.
"Bila Sukaucu bertekad hendak meninggalkan cengkeraman maut Putgwa- cin-kau. Aku pun bersedia mengusahakan pengobatan racun yang mengeram dalam tubuhmu."
"Aku tidak percaya kau memiliki kemampuan semacam itu,"
Kata Hek-coa-li-liong itu.
Pendekar Cacad Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Di dunia persilatan dewasa ini, terdapat seorang tabib sakti dan kenamaan yang mampu menawarkan racun yang mengeram dalam tubuhmu sekarang."
"Obat racun yang bersifat lambat yang kutelan adalah bikinan si tabib sakti Gi Jian-cau, kecuali Gi Jian-cau sendiri, aku rasa tiada orang lain di kolong langit dewasa ini yang mampu menawarkan racun jahat itu."
Bong Thian-gak semakin girang.
"Justru orang yang kumaksud tadi tak lain adalah Gi Jiancau, aku memang berniat mengajakmu mencarinya."
"Kau tidak usah ngaco-belo tak keruan"Hek-coa-li-liong berkata dingin.
"Obat-obatan yang berada dalam kekuasaan Cong-kaucu boleh dibilang semuanya berasal dari Gi Jian-cau, mana mungkin dia mau mengobati orang yang telah menelan racun bikinannya sendiri."
Bong Thian-gak segera tersenyum.
"Memang, apa yang kau ucapkan betul sekali, tapi aku pun berani menjamin Gi Jian-cau pasti akan bersedia mengobati racun jahat yang mengeram di dalam tubuhmu." "Apa hubunganmu dengan Gi Jian-cau?"
Tanya Hek-coa-liliong.
"Dia adalah salah satu pelindung perguruan kami."
"Lantas siapakah kau?"
"Aku adalah ketua Hiat-kiam-bun ... Jian-ciat-suseng Bong Thian-gak."
Agaknya Hek-coa-li-liong menaruh pandangan yang teramat asing terhadap segala perubahan dan tokoh dalam Bu-lim. Sambil tertawa ia menggeleng kepala, kemudian ujarnya.
"Aku sudah disekap hampir tiga tahun lamanya di loteng ini. Karenanya aku sama sekali tidak jelas tentang segala masalah dan kejadian yang berlangsung di Bu-lim selama ini, walaupun begitu aku cukup mengenal nama Hiat-kiam-bun."
Kemudian sambil menarik muka, ia berkata lebih lanjut dengan suara dingin.
"Andai kata Hiat-kiam-bun benar-benar sudah muncul, maka ketua terpilihnya selain Ko Hong dan Keng-tim Suthay, mengapa bisa terjatuh ke tangan Jian-ciatsuseng?"
Diam-diam Bong Thian-gak merasa girang mendengar ucapan itu, cepat ia bertanya.
"Su-kaucu, darimana kau bisa tahu nama Ko Hong dan Keng-tim Suthay?"
Hek-coa-li-liong memandang sekejap ke arahnya, lalu jawabnya.
"tentang orang yang bernama Ko Hong, aku memang tidak kenal, tapi aku kenal Keng-tim Suthay."
Tiba-tiba Bong Thian-gak teringat suatu masalah, dia segera bedanya.
"Bagaimanakah hubungan pribadi Su-kaucu dengan Jit-kaucu Thay kun?"
Paras Hek-coa-li-liong segera berubah hebat ia balik bertanya.
"Darimana kau bisa tahu nama Jit-kaucu?"
Bong Thian-gak menghela napas panjang.
"Su-kaucu bisa tahu tentang Hiat-kiam-bun karena Jitkaucu Thay-kun yang memberitahukan hal itu kepadamu, bisa juga Thay-kun berniat menarik kau agar bergabung dengan Hiat-kiam-bun."
"Ai, bicara yang sebenarnya, Ko Hong yang muncul tiga tahun berselang tak lain adalah aku sendiri. Ko Hong adalah nama samaranku, bila Su-kaucu bersedia memenuhi permohonan tadi, harap kau segera turun tangan!"
Hek-coa-li-liong termenung dan berpikir beberapa saat, kemudian baru berkata.
"Sungguhkah perkataanmu itu?"
"Bila aku berani berbohong sedikit saja, biar Thian mengutuk diriku serta memberi kematian yang paling tragis kepadaku."
Wajah Hek-coa-li-liong baru nampak berseri setelah mendengar kata-kata terakhir tadi, katanya.
"Harap kau duduk bersila di atas tanah, segera aku berikan obat penawar racun itu untukmu."
Selesai berkata, dengan cepat Hek-coa-li-liong masuk ke ruang dalam, sekejap kemudian dia telah muncul kembali.
Pada waktu itu dia sudah mengenakan mantel yang berbuat dari kulit ular, tangan kiri membawa seruling pendek, sementara tangan kanannya membawa pisau belati.
Dia mengambil seekor bangkai ular dari antara tumpukan bangkai ular yang berserakan, kemudian pisau belatinya merobek perut bangkai tadi dengan lincah dan cekatan, tahutahu ia sudah mencongkel empedu ular berwarna hijau kehitam-hitaman.
Ujarnya pula.
"Ayo, cepat kau telan empedu ular ini, dalam setengah jam tenaga dalammu lambat-laun akan pulih seperti sedia kala."
Belum selesai ia berkata, bayangan orang berkelebat dari luar jendela, kemudian seorang berbaju hitam berkerudung telah menerjang masuk ke dalam ruangan. Hek-coa-li-liong segera membentak nyaring.
"Siau Cu-beng, kau berani melangkah masuk ke daerah terlarang?"
Di tengah bentakan itu, Hek-coa-li-liong berkelebat menghadang di depan Bong Thian-gak, lalu jari tangannya menyentil ke depan dan melemparkan empedu ular itu ke dalam mulut Bong Thian-gak.
Pada saat bersamaan pula, pisau belati di tangan kanannya menusuk Siau Cu-beng.
Dengan cekatan Siau Cu-beng menggeser langkah menghindarkan diri dari ancaman itu, lalu umpatnya dengan suara dingin.
"Perempuan rendah, kau benar-benar telah berkhianat rupanya."
Dengan gerakan cepat tangan kanannya melolos sebilah pedang panjang. Setelah melepaskan sebuah serangan dengan pisau belatinya tadi, Hek-coa-li-liong telah mengundurkan diri ke muka Bong Thian-gak. Ketika mendengar ucapan itu, segera sahutnya dingin.
"Soal berkhianat sudah kurencanakan sejak dulu, cuma belum ada kesempatan untuk mewujudkannya."
Siau Cu-beng tertawa dingin.
"Berarti kau mencari masalah. Kalau begitu, jangan salahkan lagi bila aku berhati keji dan buas terhadap dirimu!"
Siau Cu-beng mendesak maju, pedangnya berkelebat berulang kali dengan gerakan aneh, beruntun ia melancarkan tiga buah serangan.
Jurus pedang yang dipergunakan Siau Cu-beng kelihatan aneh dan ganas, Hek-coa-li-liong harus memainkan pisau belatinya dengan lihainya untuk mematahkan jurus serangan itu.
Sewaktu serangan berhasil diatasi, ia pun sudah terdesak hingga mundur ke hadapan Bong Thian-gak.
Sambil tertawa dingin Siau Cu-beng menjengek.
"Bila kau bersedia membuang pisaumu dan menyerahkan diri, masih ada kemungkinan bagimu untuk mempertahankan nyawamu itu."
Selesai berkata, sebuah serangan gencar kembali dilancarkan ke depan.
"Aku lebih suka mati daripada hidup tersiksa dan menderita,"
Bentak Hek-coa-li-liong. Serangan pedang yang amat dahsyat dan hebat, nyaris memaksa Hek-coa-li-liong kehilangan pisau belatinya, hampir saja mencelat dari genggaman.
"Aku tahu,"
Jengek Siau Cu-beng.
"Kepandaianmu yang terhebat adalah mengendalikan kawanan ular dengan irama seruling, sedang dalam ilmu silat, kau tidak akan mampu bertahan sepuluh jurus serangan pedangku."
Jurus pedang Siau Cu-beng berubah terus tiada hentinya, sebentar menotok sebentar membacok, secara beruntun dia melancarkan tiga buah serangan lagi.
Tiba-tiba terdengar suara jeritan kaget berkumandang.
Ternyata lengan kiri Hek-coa-li-liong telah tersambar oleh pedang lawan sehingga muncul sebuah luka memanjang yang cukup dalam.
Pada saat itu pula pedang panjang di tangan kiri Siau Cubeng sekali lagi melancarkan serangan.
Pisau belati yang tergenggam di tangan kanan Hek-coa-liliong segera tersontek oleh pedang lawan hingga mencelat ke tengah udara.
Pedang Siau Cu-beng kembali melakukan gerakan menyambar, ujung pedang yang tajam menempel tenggorokan Hek-coa-li-liong yang merupakan bagian mematikan di tubuh manusia.
Sambil tertawa dingin, dengan penuh kebanggaan Siau Cubeng berkata.
"Sekarang, apa lagi yang bisa kau katakan?"
Paras muka Hek-coa-li-liong masih tampak begitu tenang dan kalem, seolah-olah tak pernah terjadi sesuatu, katanya kemudian.
"Siau Cu-beng, kau sudah kehilangan kesempatan terbaik untuk membunuh aku."
Entah sejak kapan Hek-coa-li-liong telah menggenggam seekor ular kecil berwarna hijau kehitam-hitaman di tangan kanannya.
"Apa maksudmu?"
Tanya Siau Cu-beng agak seram bercampur ketakutan.
"Coba kau lihat dulu, ular kecil yang berada dalam genggamanku sekarang adalah benda apa?"
"Ular sakti hijau hitam!"
"Tahukah kau, benda apa saja yang tersimpan di dalam lambung kecil ini?"
"Tiga belas batang jarum beracun."
Hek-coa-li-liong tertawa bangga.
"Selama ular sakti hijau hitam berada di genggamanku, tujuh langkah bisa melukai orang dan tak seorang pun yang mampu untuk menghindarkan diri. Andaikata pedangmu langsung kau tusukkan ke dalam tubuhku, maka aku tak akan mempunyai kesempatan yang baik untuk mengeluarkan ular sakti hijau hitam itu."
"Tapi sekarang ... biarpun kau masih bisa menusuk mati diriku dengan pedangmu, namun aku pun dapat menyemburkan jarum-jarum beracun yang tersimpan di dalam lambung ular sakti hijau hitam ini, karenanya saat ini kita hanya bisa saling mempertahankan diri belaka."
Siau Cu-beng tertawa dingin, tiba-tiba tanyanya.
"Bagaimana dengan keadaan Jian-ciat-suseng saat ini?"
Hek-coa-li-liong sama sekali tidak berpaling, hanya jawabnya dingin.
"Kau tidak perlu menggunakan akal muslihat busuk dan licik untuk menipuku, aku tak bakal terkena siasatmu itu."
"Jika kita harus saling bertahan pada keadaan seperti ini, pada khirnya kau akan mampus juga di ujung pedangku,"
Seru Siau Cu-beng kemudian sambil tertawa dingin. Hek-coa-li-liong segera tertawa.
"Jika aku mati, kau pun jangan harap bisa meninggalkan tempat ini dalam keadaan selamat."
"Kalau memang begitu, lihat saja bagaimana akhirnya nanti!"
Mendadak Siau Cu-beng menggeser tubuh ke arah sisi kiri.
Bersamaan pedang di tangan kirinya yang terkulai menghadap ke lantai mencungkil ke atas secepat kilat.
Hek-coa-li-liong mendengus penuh amarah, sambil membentak kelima jari tangan kanannya segera menekan tombol rahasia yang berada di lambung ular sakti hijau hitamnya.
Dalam sekejap Hek-coa-li-liong merasa lengan kanannya menjadi dingin, tahu-tahu cahaya tajam pedang Siau Cu-beng telah menyambar lengan kanannya, percikan darah segar segera memancar kemana-mana.
Hek-coa-li-liong menjerit kesakitan, lengan kanannya sebatas sikut telah terbabat pedang lawan hingga kutung, bersamaan, terdengar bunyi desingan angin tajam bergema.
Pedang Siau Cu-beng yang menempel di atas tenggorokan Hek-coa Ii liong tahu-tahu sudah ditarik kembali sambil diputar menciptakan selapis cahaya pedang yang amat tebal untuk melindungi seluruh badannya.
.senjatanya menusuk tubuh Bong Thian-gak dengan kecepatan luar biasa.
Serangan yang dilancarkan itu merupakan serangan terakhir Siau Cu-beng dengan segenap tenaganya.
Bukan saja serangannya aneh susah diduga, tenaganya pun ganas luar biasa.
Sebelum serangannya tiba, hawa dingin yang menyayat badan telah menyambar kemana-mana.
Bong Thian-gak berkerut kening menyaksikan ini.
Dengan cepat pedang di tangan kirinya digerakkan menyongsong datangnya ancaman.
Suatu jeritan ngeri yang menyayat hati segera berkumandang.
Di antara percikan darah segar yang memancar kemanamana.
"Plak", lengan kiri berikut pedang Siau Cu-beng telah terpapas kutung dan rontok ke tanah. Sungguh kaget dan tercengang Hek-coa-li-liong menyaksikan itu, dia tak mengira dengan suatu gerakan yang begitu ringan, ternyata Bong Thian-gak dapat mengatasi serangan lawan yang begitu dahsyat, bahkan sekaligus mengutungi lengan kiri Siau Cu-beng. Dengan sempoyongan Siau Cu-beng mundur dua langkah, namun sebelum ia sempat berdiri tegak, kembali cahaya pedang berkelebat di hadapannya. Jeritan ngeri yang memilukan sekali lagi berkumandang, kali ini lengan kanan berikut pangkal bahunya kena terbabat kutung. Agaknya Siau Cu-beng sudah merasakan bahwa dia menghadapi jalan buntu yang membahayakan keselamatan jiwanya. Biarpun lengan kiri dan kanannya sudah kutung serta darah segar bercucuran dengan amat derasnya, saking sakitnya hampir saja ia tak sadarkan diri, namun ia masih berusaha menjejakkan kaki sekuat tenaga dan kabur melalui daun jendela. Siapa tahu bayangan orang segera berkelebat, segulung tenaga pukulan yang sangat dahsyat menghantam tubuhnya membuat dia mendengus tertahan, lalu roboh di atas tanah. Ternyata Bong Thian-gak dengan pedang terhunus sudah berdiri di hadapannya, cahaya pedang yang berkilauan tajam kini sudah menempel di atas tenggorokannya. Sambil tertawa dingin Bong Thian-gak segera berseru.
"Sebelum ajalmu tiba, ingin kulihat wajahmu, apakah kau pun memperlihatkan rasa takut dan ngeri dalam menghadapi datangnya malaikat elmaut."
Kain kerudung hitam yang menutupi wajah Siau Cu-beng segera tersambar oleh cukilan pedang hingga terlepas.
Muncul seraut wajah yang pucat-pias bagaikan kertas, potongan serta mimik mukanya tidak jauh berbeda seperti keadaan pada sepuluh tahun berselang, hanya bedanya sekarang wajah itu mengejang keras dan penuh diliputi perasaan takut, ngeri, sakit dan seram.
Bong Thian-gak mendongakkan kepala tertawa seram, kemudian katanya.
"Siau Cu-beng, andaikata kubunuh kau dengan sebuah tusukan, hal ini keenakan bagimu, karenanya aku hendak mengutungi keempat anggota tubuhmu terlebih dahulu, kemudian membiarkan darahmu mengalir keluar sampai kering dan rasakanlah bagaimana enaknya mati secara perlahan-lahan."
Cahaya pedang kembali berkelebat, jeritan ngeri yang menyayat hati bagaikan jeritan babi yang mau disembelih segera berkumandang.
Sepasang kaki Siau Cu-beng sebatas lutut kini sudah terpapas kutung menjadi dua.
Ia mulai terguling-guling di atas tanah, meraung-raung seperti singa sekarat, mulai mengeluh dan merintih, bagaikan pengemis yang meminta belas kasihan, mengenaskan sekali keadaannya waktu itu.
Dalam waktu singkat ia telah berubah menjadi seorang berdarah.
Pada saat itulah bunyi seruling yang aneh dan amat tak enak didengar berkumandang dalam ruangan.
Hek-coa-li-liong memainkan seruling pendeknya dengan tiupan Iembut, namun irama yang dihasilkan justru tinggi melengking dan amat tidak sedap didengar, kemudian katanya.
"Aku telah memainkan irama Iblis penakluk ular. Sebentar kawanan ular beracun akan bergerak merayapi tubuhnya dan akan mulai mengisap darah yang mengalir dari tubuhnya, dia akan mati karena darahnya diisap oleh ularularku. Biar siksaan semacam ini terhitung kejam dan tidak berperi-kemanusiaan, Namun termasuk pembalasan yang setimpal bagi dosa dan kejahatan yang, telah dilakukannya selama ini. Bong-siangkong, mari kita segera berangkat!"
Belum selesai dia berkata, segulung bau amis sudah berhembus, enam tujuh ekor ular berbisa menampakkan diri di depan pintu ruangan.
Hek-coa-li-liong segera menarik ujung baju Bong Thiangak, lalu mereka berdua bersama-sama melompat keluar ruangan melalui jendela.
Kawanan manusia yang semula mengepung sekeliling loteng itu secara rapat dan ketat, kini justru telah membubarkan kepungan mereka, malah tak nampak seorang pun di situ.
Belum jauh mereka pergi, dari dalam ruang loteng terdengar lagi suara jeritan ngeri Siau Cu-beng yang memilukan di tengah keheningan malam yang mencekam seluruh jagat, jeritannya sungguh menggetarkan hati setiap orang yang mendengarnya.
Seorang berhati buas bagai ular berbisa yang sepanjang hidupnya banyak melakukan kejahatan kini telah memperoleh pembalasan yang setimpal, dia harus merasakan siksaan dan penderitaan yang amat berat dimana sisa darah di dalam tubuhnya diisap oleh ular-ular beracun hingga mengering sebelum akhirnya ajal merenggut kehidupannya.
Mendengar jeritan yang begitu menyayat hati, Bong Thiangak menghela napas sedih, kemudian setelah menyarungkan pedangnya ke pinggang, ia menarik tangan Hek-coa-li-liong dan diajak melewati tiga-empat halaman rumah.
Sepanjang perjalanan mereka sama sekali tidak menjumpai suatu hadangan pun.
Tiba-tiba Bong Thian-gak bertanya.
"Kita hendak kemana?"
"Bukankah kau hendak pergi mencari adik seperguruanmu?"
Hek-coa-li-liong balik bertanya.
"Dimana dia berada? Berapa lamakah yang kita butuhkan untuk sampai di sana?"
"Bila jadi dia disekap di dalam istana cinta iblis, jaraknya dari tempat ini kurang lebih satu jam perjalanan."
Pendekar Cacad Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Mengapa tempat itu dinamakan istana cinta iblis?"
Tanya Bong Thian-gak dengan kening berkerut.
"Sebab tempat itu merupakan tempat hiburan bagi anggota Put-gwa-cin-kau." "Jadi dia sudah dinodai oleh kawanan iblis itu?"
BongThiangak merasa sedih sekali.
"Tak seorang pun bisa lolos dari perkosaan setelah berada di dalam istana cinta iblis."
Membara hawa amarah dan perasaan dendam di hati kecil Bong Thian-gak, sambil mengertak gigi menahan rasa bencinya, ia bersumpah.
"Selama Bong Thian-gak masih hidup di dunia ini, aku pasti akan menyuruh Cong-kaucu Put-gwacin- kau merasakan pembalasan yang paling kejam."
Hek-coa-li-liong melirik sekejap ke arah Bong Thian-gak, ujarnya.
"Walaupun orang yang paling berkuasa dan memegang tampuk pimpinan tertinggi dalam perkumpulan Put-gwa-cin-kau adalah Cong-kaucu, namun aku rasa bila benar-benar ingin meleyapkan Put-gwa-cin-kau dari muka bumi, bukan Cong-kaucu yang harus dibunuh terlebih dahulu."
"Apakah kita harus membunuh kuku-kuku garudanya terlebih dahulu?"
Hek-coa-li-liong mengangguk membenarkan.
"Betul, kita harus membunuh kuku-kuku garudanya lebih dahulu, tapi tahukah kau siapa saja yang merupakan kukukuku garuda andalannya?"
"Sim Tiong-kiu, Ji-kaucu, dan lain sebagainya."
Sambil tertawa, Hek-coa-li-liong menggeleng kepala berulang-kali.
"Dugaanmu keliru besar, Cong-kaucu masih mempunyai tiga orang utusan pelindung bunga yang sangat misterius identitasnya, maka bisa jadi kau akan terperanjat."
Bong Thian-gak menjadi sangat keheranan, segera tanyanya.
"Ia masih mempunyai tiga orang utusan pelindung bunga yang misterius identitasnya, siapa sebenarnya ketiga orang itu?" "Kau jangan bertanya dulu siapakah ketiga orang yang kumaksud, sekarang aku hendak bertanya dulu satu hal, saat ini si tabib sakti Gi Jian cau berada dimana?"
"Di suatu tempat rahasia di kota Lok-yang."
"Bila kau berhasil menjumpai Gi Jian-cau, kau harus segera membunuhnya,"
Mendadak gadis itu berpesan.
"Apa maksudmu berkata demikian?"
Tanya Bong Thian-gak sambil berkerut kening, ia merasa tak habis mengerti.
"Sebab dia merupakan satu di antara ketiga utusan pelindung bunga Cong-kaucu yang misterius itu."
"Ah, tidak mungkin,"
Pemuda itu menggeleng kepala berulangkah.
"Tabib sakti Gi Jian-cau tak mungkin menjadi kuku garuda Cong-kaucu."
Ketika mendengar jawaban itu, Hek-coa-li-liong nampak merasa sedih, kembali dia berkata.
"Bila kau tidak mempercayai perkataanku ini, cepat atau lambat kau akan terbunuh di tangannya."
"Gi Jian-cau adalah pelindung hukum perguruan kami,"
Kata Bong Thian-gak kemudian dengan suara dalam.
"Biarpun sampai sekarang aku belum berjumpa dengannya, namun Keng-tim Suthay dari perguruan kami sangat menaruh kepercayaan kepadanya, sudah barang tentu aku pun amat mempercayai dirinya."
"Tapi sekarang secara tiba-tiba saja kau mengutarakan kata-kata seperti ini, sungguh hal ini membuatku keheranan setengah mati."
"Kini di dalam tubuhmu masih mengeram racun yang sangat jahat, padahal batas waktunya tinggal empat hari lagi, mari sekarang juga kita berangkat ke Lok-yang dan minta Gi Jian-cau mengobati racun itu." "Aku tahu dan memang sudah kuduga sejak tadi bahwa kau tak akan percaya pada perkataanku ini, namun tujuanku tak lebih hanya ingin membuat kau tahu bahwa Gi Jian-cau adalah salah satu di antara ketiga pelindung bunga Congkaucu yang misterius."
"Asal kau mengikuti aku sampai di kota Lok-yang, segera akan kau ketahui sendiri Gi Jian-cau termasuk orang baik atau jahat."
"Tidak, aku takkan pergi ke Lok-yang."
"Kalau kau tidak ke Lok-yang, lantas hentak pergi kemana?"
"Aku ingin mempergunakan sisa waktu empat hari ini untuk mencari tempat yang ideal dan indah bagi tempat kuburku."
"Asal kita berhasil mencapai kota Lok-yang dalam empat hari, aku pun yakin Gi Jian-cau dapat mengobati racun jahat yang mengeram dalam tubuhmu itu. Kau harus tahu nyawa seorang berharga sekali, mengapa kau melepas kesempatan yang sangat baik untuk melanjutkan hidup?"
Hek-coa-li-liong menggeleng kepala berulang-kali.
"Aku sudah merasakan malaikat maut sudah mendekati diriku. Itulah sebabnya aku harus berpisah secepatnya darimu, kalau tidak, kau bakal terseret ke dalam masalah ini gara-gara aku."
"Ai, perkataanmu ini semakin membuat aku bingung dan tak habis mengerti,"
Bong Thian-gak menghela napas panjang.
"Bila bukan disebabkan menghargai jiwamu, mengapa kau mesti berkhianat untuk menyelamatkan jiwaku?"
Sekali lagi Hek-coa-li-liong menggeleng kepala.
"Sejak dulu aku memang sudah berniat berkhianat, mengapa pula aku mesti mencelakai jiwamu? Ai, terus terang saja kuberitahukan kepadamu, aku tidak akan ke Lok-yang, bukannya disebabkan aku tidak percaya kepada Gi Jian-cau." "Tapi bukankah kau pernah berkata kepadaku bahwa racun jahat yang bersarang di dalam tubuhmu itu tak akan bisa diobati siapa pun selain obat penawar racun bikinan Gi Jiancau? Kalau kedua pihak sama-sama menjumpai jalan buntu, mengapa kita tak berangkat ke Lok-yang untuk mengadu untung? Siapa tahu dewi rezeki masih berada di pihakmu?"
Gelang Perasa -- Gu Long Setan Harpa -- Khu Lung/Tjan Id Seruling Perak Sepasang Walet -- Khu Lung