Pendekar Cacad 13
Pendekar Cacad Karya Gu Long Bagian 13
Pendekar Cacad Karya dari Gu Long
Dengan pancaran mata penuh rasa terima kasih, Hek-coali- liong memandang sekejap ke arah pemuda itu, kemudian katanya.
"Asalkan aku masih dapat mempertahankan hidupku, pasti akan kusumbangkan segenap pikiran dan tenagaku demi kepentinganmu."
Dengan cepat Bong Thian-gak bisa menangkap arti sebenarnya perkataan itu, ia berseru tertahan, kemudian tanyanya.
"Kau menolak pergi ke Lok-yang, apakah karena kau sudah punya jalan kehidupan yang lain?"
Hek-coa-li-liong tertawa rawan.
"Antara hidup dan mati masing-masing setengah kesempatan."
Akhirnya Bong Thian-gak menghela napas panjang.
"Ai, kalau kau bersikeras tak akan pergi ke Lok-yang, biarlah aku mendampingimu kemana pun kau hendak pergi."
Cepat Hekcoa- li-liong menggeleng kepala.
"Siangkong adalah seorang ketua perguruan besar, aku tahu musuhmu sangat banyak dan berbagai masalah masih menantikan penyelesaian darimu. Buat apa kau mesti membuang waktu yang sangat berharga cuma dikarenakan urusanku?"
"Aku hanya ingin menemani kau selama empat hari saja, sebab bila aku tidak berbuat begini, hatiku tak akan merasa tenang."
Agaknya Hek-coa-li-liong tahu keinginan si anak muda itu tak bisa ditolak lagi, setelah menghela napas panjang katanya.
"Baiklah! Bila seandainya kau gagal mengobati racun jahat yang mengeram dalam tubuhku, paling tidak kau masih bisa membantu mengubur jenazahku nanti."
"Sekarang kita hendak kemana?"
Tanya anak muda itu.
"Kita cukup mencari sebuah tanah pegunungan yang terpencil dan jauh dari keramaian orang."
Bong Thian-gak mendongakkan kepala dan mencoba memeriksa keadaan sekeliling tempat itu, kurang lebih setengah li di depan sana, ia melihat tanah perbukitan, dengan kening berkerut tanyanya kemudian.
"Dengan cara apakah kau hendak mengobati lukamu itu?"
"Aku bermaksud menggunakan racun melawan racun."
Kedua orang itu bergerak menuju ke kaki bukit dengan cepat. Hek-coa-li-liong memilih tanah lapang berumput dan duduk di situ, kemudian sambil tersenyum katanya.
"Siangkong, tahukah kau dengan cara apa aku hendak melakukan racun melawan racun itu?"
"Aku memang berniat meminta keterangan darimu,"
Sahut Bong Thian-gak sambil menggeleng.
"Aku hendak menggunakan irama seruling untuk memancing datangnya beribu-ribu ekor ular berbisa, kemudian dengan memilih tujuh ekor ular berbisa di antaranya yang memiliki kadar racun paling tinggi untuk memagut tubuhku."
"Tapi mungkinkah kau akan berhasil dengan cara itu?"
Tanya Bong Thian-gak terkejut. Hek-coa-li-liong segera tersenyum.
"Asal waktunya tepat dan caranya benar, aku rasa kemungkinan berhasil mencapai lima puluh persen." "Rasanya cara ini tak bisa ditanggung keberhasilannya, mengapa kau enggan mengikuti aku pergi ke Lok-yang?"
Hek-coa-li-liong menggeleng kepala, sahutnya.
"Aku tahu, selama hidup Gi Jian-cau jangan harap bisa menolong jiwaku."
Sekali lagi Bong Thian-gak menghela napas panjang.
"Sekarang baiklah kuberitahukan suatu hal kepadamu, saat ini Gi Jian-cau sedang membuat semacam pil pengembali sukma di kota Lok-yang. Tujuannya adalah untuk menyelamatkan Thay-kun serta kawanan jago persilatan lainnya, oleh sebab itu kau harus percaya bahwa Gi Jian-cau sebenarnya adalah seorang pendekar dari golongan lurus."
Berubah hebat paras muka Hek-coa-li-liong mendengar perkataan Itu, serunya dengan cepat.
"Kemungkinan besar dia bukan lagi membuat pil pengembali sukma yang kau maksudkan."
"Aku mengetahui persoalan ini dari Keng-tim Suthay, aku yakin dia tak bakal salah mendengar."
Tiba-tiba Hek-coa-li-liong teringat akan sesuatu, serunya tertahan.
"Siangkong, kau harus selekasnya berangkat ke Lokyang melakukan pemeriksaan, bisa jadi di tempat itu sudah terjadi suatu musibah besar."
"Tidak, aku harus merawat dirimu, tak mungkin aku memisahkan diri dalam dua persoalan yang berbeda."
"Aku bukan sedang bergurau,"
Kata Hek-coa-li-liong dengan nada gelisah.
"Malah kemungkinan besar Keng-tim Suthay serta segenap anggota Hiat-kiam-bun lain telah tertimpa musibah yang mengenaskan."
Berubah hebat paras muka Bong Thian-gak, mendadak ia peluk pinggang Hek-coa-li-liong, lalu mengerahkan Ginkangnya meninggalkan tempat itu.
"Hei, mau apa kau?"
Hek-coa-li-liong segera menegur.
"Setelah mendengar perkataanmu tadi, mau tak mau kita harus berangkat ke Lok-yang, namun aku pun tak bisa meninggalkan dirimu begitu saja, karenanya terpaksa aku harus membawa serta dirimu."
"Sekalipun hendak berangkat ke Lok-yang aku kan masih punya sepasang kaki untuk berjalan sendiri,"
Seru si nona agak mendongkol.
"Ah, maaf, aku takut kau enggan mengikuti aku."
Cepat pemuda itu menurunkan tubuh si nona. Setelah berdiri kembali, Hek-coa-li-liong mendongakkan kepala dan memeriksa sekejap keadaan sekeliling tempat itu, kemudian ia bertanya.
"Tahukah kau kita berada dimana sekarang?"
Bong Thian-gak melongo, lalu menggeleng kepala berulang-kali.
"Tidak tahu."
"Tempat ini adalah Leng-juan di San-say, asal kita bisa melewati perbukitan Tay-heng-san yang melintang, maka kita sudah sampai di wilayah Ho-lam, berarti perjalanan dari sini sampai Lok-yang paling hanya satu hari perjalanan."
"Wah, itu lebih baik lagi,"
Kata Bong Thian-gak gembira. Dengan suara hambar kembali Hek-coa-li-liong berkata.
"Gi Jian-cau adalah seorang licik, jahat, kejam dan berhati busuk. Sejak puluhan tahun berselang, ia sudah bersekongkol dengan Cong-kaucu. Di saat Put-gwa-cin-kau mulai meracuni umat persilatan dan meneror umat manusia, racun jahat bikinan Gi Jian-cau boleh dibilang merupakan pendukung utamanya."
Bong Thian-gak menghela napas sedih.
"Dari dulu sampai sekarang, selain Nabi, siapakah umat manusia di dunia ini yang bisa luput dari kesalahan? Ai, bila ia bersedia menggunakan kemampuannya membuat obat guna menolong umat manusia, hal ini tentu akan lebih baik lagi."
"Jika Gi Jian-cau masih mempunyai jiwa yang baik dan perasaan welas asih, sejak permulaan ia tak akan membuat obat racun untuk mencelakai jiwa manusia."
Bong Thian-gak tahu gadis itu sudah telanjur mempunyai kesan buruk terhadap Gi Jian-cau, oleh sebab itu dia pun tidak mengajaknya berdebat lebih jauh, sambil mengalihkan pokok pembicaraan ke masalah lain, tanyanya.
"Hingga sekarang aku masih belum mengetahui namamu, boleh aku tahu siapa namamu?"
"Aku she Han bernama Siau-cing,"
Sahut Hek-coa-li-liong sambil tersenyum.
"Nona Han, luka pada lenganmu belum sembuh, mampukah kau menempuh perjalanan malam?"
Han Siau-cing tertawa.
"Aku adalah seorang anak gadis, tidak mungkin aku menyuruhmu menggendong diriku terus menerus."
Merah padam wajah Bong Thian-gak, cepat ia menerangkan.
"Aku tak bermaksud seperti itu. Bila kau lelah, marilah kita beristirahat sejenak sebelum melanjutkan perjalanan kita."
"Aku tidak lelah."
Maka berangkatlah Bong Thian-gak dan Han Siau-cing melewati perbukitan Tay-heng-san, lalu melalui pesisir utara sungai Huang-ho, menyeberangi sungai dan tiba di Beng-kim selewat lohor.
Menjelang magrib, di sebuah kuil bobrok di luar kota Lokyang di dusun Cho-keh-po, muncul sepasang muda-mudi berlengan tunggal.
"Bong-siangkong, apakah kau tidak salah mencari tempat?"
Tanya si gadis bermantel ular. Si pemuda mengangkat kepala dan memandang sekejap kuil bobrok itu, kemudian menjawab dengan suara dalam dan berat.
"Tak bakal salah, mari kita masuk untuk melihat!"
Dengan berjalan bersanding, mereka masuk ke kuil bobrok itu.
Daun kering berserakan di halaman, rumput liar tumbuh dimana-mana.
Tampaknya kuil itu memang sudah lama terbengkalai.
Apalagi setelah melangkah masuk ke dalam ruang tengah, sarang laba-laba tampak memenuhi sudut ruangan, debu menebal, meja altar dan segala peralatan rusak dan hancur, tak mungkin ada orang yang berdiam di tempat itu.
Ketika angin lembut berhembus, lamat-lamat terendus bau amis yang menusuk penciuman.
"Bong-siangkong apakah kau mengendus bau busuk mayat?"
Tiba-tiba Han Siau-cing bertanya. Paras pemuda itu berubah hebat, ia balik bertanya.
"Bau bangkai? bau ini adalah bau mayat yang membusuk."
Gadis berlengan tunggal alias Han Siau-cing segera mengendus sekeliling tempat itu, kemudian bertanya lagi.
"Tampaknya bau busuk itu berasal dari gedung belakang di sebelah barat laut."
Pemuda berlengan tunggal tak lain adalah Bong Thian-gak segera menggerakkan tubuh meluncur ke gedung belakang.
"Bong-siangkong, tidak usah diperiksa lagi,"
Han Siau-cing segera berseru.
Tapi Bong Thian-gak sama sekali tidak menghentikan langkahnya, karena itu terpaksa si nona menyusul ke belakang.
Waktu itu Bong Thian-gak sedang berdiri di depan pintu sambil mengawasi ruang dalam dengan pandangan mendelong dan wajah termangu-mangu.
Sambil menutup hidung, Han Siau-cing mendekati pemuda itu serta menengok ke dalam.
Mayat-mayat berserakan di dalam gedung itu, bau busuk yang amat menusuk tersebar luas, membuat orang hampir muntah.
Bila dilihat dari rambut mayat-mayat itu, dandanan dan pakaian yang dikenakan, agaknya semua mayat itu terdiri dari kaum wanita.
Sambil menghela napas sedih Han Siau-cing berkata.
"Bong-siangkong, yang kukatakan tidak salah bukan, Gi Jiancau memang seorang laknat."
Bong Thian-gak sama sekali tidak menjawab, dia beranjak dan melangkah masuk ke ruangan itu, kemudian setelah memeriksa sekejap semua mayat yang terkapar di situ, ia keluar lagi dari ruangan sambil bergumam.
"Semua yang menjadi korban adalah anggota perempuan Hiat-kiam-bun dan tak salah lagi, tapi ... mengapa tidak terlihat mayat Keng-tim Suthay serta Gi Jian-cau."
"Sudah kau periksa apa yang menyebabkan kematian mereka?"
Tanya Han Siau-cing tiba-tiba. Dengan wajah berubah hebat, sahut Bong Thian-gak.
"Aku tidak menemukan satu titik luka pun di tubuh mayat itu."
"Nah, itulah dia!"
Han Siau-cing kembali menghela napas.
"Mereka semua tentu mati diracun, jadi pembunuh kejinya sudah pasti Gi Jian-cau."
"Nona Han,"
Ujar Bong Thian-gak kemudian dengan wajah serius.
"Sebelum aku selesai dengan pemeriksaanku, janganlah menuduh siapa pun dengan sembarangan."
Tiba-tiba Han Siau-cing tertawa terkekeh-kekeh.
"Berada dalam keadaan dan situasi semacam ini pun kau masih menganggap Gi Jian-cau sebagai orang baik?"
Mendadak Bong Thian-gak membentak.
"Siapa di situ?"
Sambil membentak, tubuhnya seperti seekor elang raksasa segera melompat ke depan.
Reaksi Han Siau-cing jauh lebih lamban.
Tatkala dia menyusul ke halaman depan, Bong Thian-gak telah bentrok satu gebrakan melawan pendatang itu dan sebagai akibat dari bentrokan ini, sepasang bahunya terguncang keras, langkahnya gontai dan selangkah demi selangkah ia sedang mundur ke belakang.
Kemudian darah menyembur dari mulut Bong Thian-gak.
Sementara itu di hadapan Bong Thian-gak telah berdiri seorang kakek berjenggot hitam yang menggunakan baju berwarna hijau.
Ia menggembol sebilah pedang antik, rambutnya sudah memutih, namun matanya yang memancarkan sinar tajam sedang mengawasi anak muda itu tanpa berkedip.
Sambil membentak, Han Siau-cing bersiap hendak menerjang ke depan, tapi Bong Thian-gak segera memegang lengannya sembari berbisik.
"Jangan bertindak gegabah nona Han, ilmu silat yang dimiliki orang ini hebat sekali, kau tak akan mampu membendung serangannya."
Tiba-tiba terdengar kakek berjenggot hitam itu bertanya dengan suara nyaring.
"Kau adalah Jian-ciat-suseng?"
Bong Thian-gak terkejut, bukan karena orang itu dapat menyebut julukannya, tapi dikarenakan dalam bentrokan yang berlangsung tadi, ia bisa merasakan kekuatan dan kedahsyatan tenaga serangan kakek itu.
Sejak dia berlatih tekun selama tiga tahun di bawah air terjun, Hong Thian-gak selalu menaruh kepercayaan yang amat besar pada kemampuan ilmu silatnya, dia menganggap tiada orang yang bisa mengungguli dirinya.
Tapi hari ini untuk pertama kalinya ia menderita kekalahan di tangan orang.
Getaran tenaga pukulan yang dilancarkan kakek berjenggot hitam tadi telah melukai isi perutnya serta mengguncang rasa percayanya terhadap kemampuan sendiri.
Dengan perasaan agak tegang, gugup dan panik dia menegur, muaranya terdengar agak gemetar.
"Siapakah kau?"
Pendekar Cacad Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Han Siau-cing sendiri pun tidak mengenal siapa gerangan kakek berjenggot hitam yang berada di hadapannya sekarang. Kakek berjenggot hitam itu sama sekali tidak menyebut nama serta julukannya, hanya tanyanya lagi dengan suara hambar.
"Apakah kau murid Oh Ciong-hu?"
Bong Thian-gak tak mengerti mengapa ia mengajukan pertanyaan itu, segera jawabnya.
"Benar, aku adalah anak muridnya."
Paras muka kakek itu berubah, katanya.
"Kesempurnaan tenaga dalam yang kau miliki benar-benar jauh mengungguli kemampuan Oh Ciong-hu sendiri."
"Aku rasa kau tentunya sudah boleh menyebut identitasmu, bukan?"
Kata Bong Thian-gak kemudian dengan kening berkerut.
"Asal kau berani melancarkan sebuah serangan pedang lagi kepadaku, aku bersedia menyebut nama serta julukanku,"
Sahut si kakek hambar. Bong Thian-gak melolos pedang dan siap melancarkan serangan, katanya.
"Aku bersedia melancarkan serangan pedang lagi atas dirimu, namun perlu kujelaskan, serangan pedangku ini bisa jadi merupakan akhir dari kehidupanku, tapi mungkin juga merupakan titik hancur bagi kehidupanmu, karena itu kuanjurkan lebih baik serangan kubatalkan saja."
"Bila kau tidak berani melancarkan serangan, aku akan menyerang dirimu lebih dulu,"
Ancam si kakek.
Sembari berkata, kakek itu pelan-pelan melolos pedang antiknya, pedang itu sama sekali tidak memercikkan setitik cahaya pun, juga tidak nampak mata pedang, karena pedang itu tak lebih hanya sebilah pedang kayu, pedang kayu yang sama sekali tumpul.
Menyaksikan bentuk pedang itu, paras muka Bong Thian-gak justru berubah semakin serius.
Pedang kayu sebagai senjata andalan, Bong Thian-gak tahu ilmu pedang kakek itu sudah mencapai taraf kemampuan yang luar biasa.
Berapa orang dalam Kangouw dewasa ini yang memiliki ilmu pedang begitu sempurna? "Ah! Kau adalah ketua Kay-pang,"
Bong Thian-gak menjerit kaget.
Sebelum pemuda itu berbicara, pedang kayu yang berada dalam genggaman kakek itu sudah menusuk ke arah dadanya.
Tusukan itu dilancarkan sangat lamban tapi sangat berat.
Sekilas serangan itu amat lamban, sama sekali tidak mengandung hawa napsu pembunuh, tetapi Bong Thian-gak justru menghadapinya dengan wajah serius dan tegang.
Dalam sekejap dia seakan-akan menghadapi bahaya ancaman maut.
Bentakan keras menggeledek di angkasa.
Kemudian berkumandang suara benturan yang memekakkan telinga.
Pedang Bong Thian-gak berhasil memapas kutung pedang kayu si kakek berjenggot hitam itu.
Sebaliknya pedang kayu si kakek juga berhasil mematahkan pedang Bong Thian-gak.
Dalam pada itu Bong Thian-gak sudah berjumpalitan, lengan tunggalnya masih menggenggam kutungan pedang, sementara matanya mengawasi si kakek di hadapannya tanpa berkedip.
Suasana tegang kembali menyelimuti seluruh arena.
Tiba-tiba terdengar kakek itu menghela napas sedih, kemudian katanya.
"Serangan pedangmu itu ternyata mampu menembus hawa pedangku, ternyata kau pun berhasil melatih hawa pedang yang maha sakti. Sungguh tak nyana, dengan usiamu yang begitu muda, ternyata mampu melatih hawa pedang yang hebat, betul-betul tak kuduga."
Cucuran darah berlinang dari ujung bibir Bong Thian-gak, namun ia menjawab sambil tersenyum.
"Bila Locianpwe melancarkan serangan lagi kepadaku, niscaya Boanpwe tak bakal lolos dari ancaman bahaya maut."
"Bila serangan yang pertama tak mampu membunuhmu, hari ini aku tak akan melepaskan serangan kedua,"
Ucap si kakek hambar. Kakek itu membuang kutungan pedangnya, kemudian berkata.
"Bila kau masih mampu, sekarang silakan membunuhku."
"Locianpwe,"
Kata Bong Thian-gak lantang.
"sebetulnya di antara kita sama sekali tak terikat dendam sakit hati apa pun, mana berani Boanpwe menyerang dirimu lagi."
Bong Thian-gak pun membuang kutungan pedangnya, kemudian melanjutkan.
"Cuma Boanpwe ingin mencari tahu beberapa hal, harap Iocianpwe sudi memberi penjelasan." "Persoalan apa yang hendak kau ketahui?"
"Aku ingin tahu, sesungguhnya siapakah Locianpwe?"
"Ketua angkatan ketujuh Kay-pang, Mo-kiam-sin-kun Tio Tian-seng."
Mimpi pun Bong Thian-gak tidak menyangka Tio Tian-seng adalah ketua Kay-pang saat ini.
Rahasia itu boleh dibilang jarang di ketahui umat persilatan.
Bong Thian-gak berdiri tertegun dan melongo mendengar jawaban itu.
Dengan wajah serius Tio Tian-seng bertanya lagi.
"Apakah kau masih ada pertanyaan lain? Ayo, cepat utarakan."
Bagaikan baru sadar dari impian, cepat Bong Thian-gak bertanya.
"Ada keperluan apa Locianpwe datang kemari?"
"Mencari si tabib sakti Gi Jian-cau untuk mengobati luka yang diderita muridku, To Siau-hou."
"Apakah Locianpwe telah berhasil menemukan si tabib sakti?"
Tanya Bong Thian-gak lagi.
"Belum."
Bong Thian-gak berkerut kening, lalu katanya.
"Boanpwe juga sedang mencari Gi Jian-cau, mungkin Locianpwe sudah melihat mayat-mayat yang terkapar di ruang belakang itu!"
Tio Tian-seng mendengus.
"Hm, pertanyaanmu sudah selesai diutarakan, sekarang aku hendak pergi. Ingat pada saat kita bersua lagi bisa jadi aku akan membunuhmu."
Seusai berkata, dia menggerakkan tubuh beranjak pergi dari situ.
Belum sempat Bong Thian-gak memanggilnya, Tio Tianseng sudah lenyap dari pandangan mata.
Keadaan Bong Thian-gak saat ini benar-benar bagaikan berada dalam alam impian, dia seperti kurang percaya dengan apa yang dialaminya barusan, dia tak percaya baru saja habis bertarung melawan jagoan paling tangguh yang diakui umat persilatan selama enam puluh tahun belakangan ini, Tio Tianseng.
Dia pun tak menyangka orang paling tangguh di kolong langit dewasa ini, Tio Tian-seng tak lain adalah ketua Kaypang.
Han Siau-cing berseru kaget.
"Jadi dia adalah Tio Tianseng?"
Bong Thian-gak menghela napas panjang.
"Ai, tentu saja dalam dunia persilatan dewasa ini, bukan hanya Tio Tian-seng seorang yang mampu mematahkan pedangku dengan hanya menggunakan sebilah pedang kayu."
"Dia termasuk juga utusan pelindung bunga Cong-kaucu?"
"Bong-siangkong, masih ingat dengan perkataanku tempo hari tentang ketiga orang utusan pelindung bunga Cong-kaucu yang misterius identitasnya?"
Paras muka Bong Thian-gak menjadi amat serius, katanya.
"Kecuali Gi Jian-cau serta Tio Tian-seng, siapakah orang ketiga?"
"Agaknya orang ketiga bernama Hek-mo-ong (raja iblis hitam)."
"Hek-mo-ong? Mana mungkin dalam Bu-lim terdapat manusia dengan julukan itu?"
"Bong-siangkong,"
Kata Han Siau-cing dengan nada bersungguh-sungguh.
"sebenarnya aku sendiri kurang percaya, tapi bila teringat kata-kata terakhir seorang Bu-lim Locianpwe yang sedang mendekati ajalnya, ucapan itu memang sangat masuk akal." "Bu-lim Locianpwe manakah yang berkata kepadamu? Apa pula yang dia katakan?"
Han Siau-cing termenung dan berpikir beberapa saat lamanya, .setelah itu baru ujarnya.
"Orang itu adalah gurumu ... Oh Ciong-hu."
"Kau benar-benar telah berjumpa dengan guruku menjelang ajalnya?"
Bong Thian-gak berseru kaget. Han Siau-cing manggut-manggut.
"Menjelang ajalnya, mendiang Bu-lim Bengcu Oh Ciong-hu telah bicara banyak denganku."
"Dapatkah kau memberitahukan kepadaku semua kejadian yang dialami Suhuku menjelang ajalnya?"
Pinta sang pemuda cemas. Han Siau-cing menghela napas sedih, katanya kemudian.
"Peristiwa ini berlangsung pada tiga tahun berselang, waktu itu aku termasuk salah seorang di antara kawanan jago yang diutus Cong-kaucu untuk mencelakai jiwa Bu-lim Bengcu Oh Ciong-hu yang amat lihai itu."
Mencorong sinar tajam penuh hawa napsu membunuh dari balik mata Bong Thian-gak, ditatapnya wajah Han Siau-cing lekat-lekat, kemudian tanyanya dingin.
"Apakah kau juga termasuk salah seorang di antara pembunuh keji yang telah mencelakai guruku?"
Sekali lagi Han Siau-cing menghela napas sedih.
"Justru karena aku tidak turut menyerang Oh-locianpwe, maka Cong-kaucu menaruh curiga padaku serta menyekapku, bila Siangkong tidak percaya, aku pun tidak dapat berbuat apa-apa."
"Kalau begitu, tentunya kau masih ingat dengan jelas bukan, siapa-siapa saja yang terlibat dalam peristiwa keributan itu?"
Han Siau-cing termenung sambil berpikir sejenak, kemudian ia baru berkata.
"Coba kau dengar dulu cerita peristiwa itu."
"Cepatlah kau ceritakan!"
Han Siau-cing menarik napas panjang, kemudian katanya.
"Tiga tahun berselang kami telah mengepung Oh-locianpwe di sebuah tanah padang rumput, hampir segenap jago lihai yang tergabung dalam Put-gwa-cin-kau telah dikerahkan ke sana, maka terjadilah pertarungan berdarah yang sangat mengerikan. Oh-locianpwe almarhum dengan kemampuan seorang diri bertarung dan menerjang musuh dengan buas, ketika pertarungan berakhir, beliau telah menghabisi nyawa kedua ratus jago lihai Put-gwa-cin-kau tanpa ampun.
"Aku masih ingat ketika kujumpai Oh-locianpwe, waktu itu ia sedang duduk bersila di bawah sebatang pohon waru, di sampingnya berdiri seekor kuda berbulu emas.
"Belum sempat aku menghampiri Oh-locianpwe, beliau yang semula memejamkan mata mendadak membuka mata, kemudian setelah memandang sekejap ke arahku, ia pun menegur sambil tertawa, 'Apakah kau orang yang datang untuk memenggal batok kepalaku?'.
"Aku tertegun mendengar teguran itu, kemudian menggeleng kepala dengan mulut tetap membungkam. Saat itulah Oh-locianpwe dengan tertawa pedih berkata kembali, 'Aku sudah hampir mati, bila kau memang menginginkan batok kepalaku, silakan mencabut pedang serta memenggalnya, sebab aku tak punya bertenaga lagi untuk memberikan perlawanan ... namun sebelum ajalku tiba, aku ingin memberitahukan satu hal kepada kalian, yakni segenap anggota Put-gwa-cin-kau, kecuali Cong-kaucu, pada akhirnya akan mati dalam keadaan mengenaskan.'.
"Sewaktu mendengar keterangan itu, dengan cepat aku pun bertanya, 'Mengapa?'.
"Tampaknya kejernihan otak Oh-locianpwe mulai kabur, tapi aku mendengar ia berkata, 'Bila kau percaya, berusahalah mencari daya-upaya melepaskan diri dari belenggu Put-gwacin- kau secepatnya. Walaupun tatkala kalian memasuki perkumpulan sudah dicekoki obat racun yang berdaya kerja lambat, tapi aku beri tahukan kepadamu bahwa seseorang masih bisa menyelamatkan jiwa kalian ... dia adalah Ku-lo Sinceng dari Siau-lim-pay. Sewaktu kau bertemu beliau nanti, katakan kepadanya ketiga orang pelindung bunga Cong-kaucu yang misterius itu adalah tabib sakti Gi Jian-cau, Tio Tian-seng dan Hek-mo-ong.'.
"Tatkala bicara sampai di situ, nada suaranya terputus, ternyata Oh-locianpwe telah berpulang ke akhirat."
"Apakah kau sudah pergi menjumpai Ku-lo Sinceng?"
Tanya Bong Thian-gak.kemudian dengan wajah amat serius.
"Belum,"
Han Siau-cing menggeleng.
"Sebab tak lama setelah Oh-locianpwe meninggal dunia, Siau Cu-beng beserta segenap jagoan lihai Put-gwa-cin-kau telah berdatangan ke situ, mereka mendesakku untuk memberitahukan apa yang telah disampaikan Oh-locianpwe menjelang ajalnya tadi."
"Apakah kau telah berterus terang kepada mereka?"
Tanya Bong Thian-gak cepat.
"Tidak, aku tak pernah mengucapkan sepatah kata pun kepada mereka, justru karena itu Cong-kaucu segera menaruh curiga kepadaku dan sejak itu pula aku dikurung olehnya di loteng itu."
Bong Thian-gak menghela napas panjang.
"Ai, kalau menjelang ajalnya Suhu telah mengatakan bahwa Gi Jian-cau, Tio Tian-seng serta Hek-mo-ong bertiga adalah utusan pelindung bunga Cong-kaucu, aku rasa hal itu tak bakal salah lagi... tapi peristiwa itu sungguh membuat orang tidak habis mengerti. Ai, bila aku tidak menghilangkan kantung ketiga yang telah disiapkan Ku-lo Sinceng tempo hari dan membukanya sekarang, bisa jadi teka-teki itu dapat dipecahkan."
Bong Thian-gak teringat bahwa Ku-lo Sinceng telah menyerahkan tiga buah kantung kepadanya menjelang ajalnya tempo hari, waktu yang ditetapkan untuk membuka kantung yang terakhir ini tak lain adalah saat Tio Tian-seng menampakkan diri.
Sekarang Tio Tian-seng telah menampakkan diri, namun kantung ketiga itu telah hilang entah dimana? Sementara itu Han Siau-cing menghela napas sedih seraya berkata.
"Sekarang Gi Jian-cau bersembunyi entah dimana, tentu saja aku sudah tidak bisa menunggu dirinya lagi untuk memperoleh pengobatan."
"Seandainya Gi Jian-cau benar-benar sudah berubah pendirian, entah berapa banyak jago persilatan yang bakal berkorban di dunia saat ini. Ai! Dari tumpukan mayat yang tergeletak di sana, tampaknya mereka sudah mati belasan hari lamanya, dari pakaian yang dikenakan mayat-mayat itu tidak salah lagi mereka adalah anggota Hiat-kiam-bun, tapi mengapa tidak kutemukan jenazah Keng-tim Suthay di antara tumpukan mayat itu? Bukankah ini berarti terdapat setitik harapan."
Bong Thian-gak segera menarik tangan Han Siau-cing sambil katanya.
"Mari kita melakukan pemeriksaan di tempat lain!"
"Kita hendak pergi kemana lagi?"
Tanya Han Siau-cing tidak habis mengerti.
"Tempat yang sebenarnya untuk membuat obat."
"Kalau begitu tempat ini bukan tempat pembuatan obat yang sesungguhnya?"
Tanya Han Siau-cing terperanjat.
"Masalah pembuatan pil pengembali sukma oleh Gi Jian-cau sesungguhnya menyangkut nasib segenap umat persilatan. Sekalipun tempat ini sudah diserang musuh, tapi aku percaya orang-orang Hiat-kiam-bun masih mempunyai cara lain untuk memindahkan tabib sakti meninggalkan tempat ini."
Han Siau-cing tertegun, serunya.
"Bong-siangkong, apakah kau masih percaya bahwa Gi Jian-cau membuatkan pil pengembali sukma untukmu?"
"Peristiwa ini belum mencapai jalan buntu, tentu saja masih ada setitik harapan."
Mendadak Han Siau-cing berseru tertahan, air mukanya segera berubah pucat-pias seperti mayat, sekujur badannya ikut bergetar keras. Bong Thian-gak terkejut, buru-buru ia bertanya.
"Mengapa kau? Apakah racun yang mengeram dalam tubuhmu mulai kambuh?"
"Tidak,"
Pendekar Cacad Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Han Siau-cing segera menggeleng. Pada saat itulah segulung angin berhembus, Bong Thiangak segera mengendus bau harum semerbak yang tipis, inilah bau bunga anggrek yang amat dikenal olehnya, bau yang bukan untuk pertama kali ini terendus olehnya.
"Ah! Rupanya dia telah datang!"
Bong Thian-gak berseru kaget.
"Bong-siangkong, kau cepat kabur,"
Buru-buru Han Siaucing berseru dengan gelisah.
"Ia mengejar sampai di sini, tujuannya adalah hendak membunuh aku, kau cepatlah lari!"
Tiba-tiba Bong Thian-gak tertawa, teriaknya.
"Cong-kaucu, kalau kau sudah datang, mengapa tidak segera menampakkan diri?"
Baru selesai dia berkata, dari halaman gedung berkumandang suara irama musik yang lembut, kemudian nampak sebuah tandu besar yang megah dan mentereng digotong oleh enam belas orang perempuan kekar pelan-pelan muncul.
Di belakang tandu besar itu mengikut pula sekelompok orang.
Rombongan itu berjumlah lebih kurang dua puluh orang, tapi yang membuat Bong Thian-gak merasa terkejut adalah turut hadirnya seorang perempuan cantik, seorang sastrawan baju hijau serta seorang kakek baju hitam berlengan tunggal.
Han Siau-cing dapat melihat pula kehadiran ketiga orang itu, ia segera berseru dengan suara gemetar.
"Si-hun-mo-li, Jikaucu serta Sim Tiong-kiu ... ah, habis sudah nyawa kita kali ini!"
Bong Thian-gak juga merasa tegang, seram dan ketakutan sehabis melihat rombongan itu.
Dalam gerakannya kali ini Put-gwa-cin-kau telah mengerahkan segenap kekuatan inti terhebat yang mereka miliki.
Bagaimana pun juga dengan kekuatannya seorang diri tak mungkin bisa melawan kawanan sebanyak itu.
"Kabur!"
Ingatan itu mendadak lewat dalam benak Bong Thian-gak.
Ia tak tahu, ingatan semacam itu apakah merupakan pilihan yang bodoh atau cerdik.
Namun ia tahu, dia tak boleh mengalami nasib tragis seperti apa yang dialaminya tiga tahun berselang.
Oleh sebab itulah Bong Thian-gak segera melarikan diri.
Ia meninggalkan Han Siau-cing begitu saja, melarikan diri sendirian.
Dengan cepat bagaikan sambaran kilat, Bong Thian-gak melejit ke lengah udara kemudian kabur menuju ke arah barat daya.
Umpatan marah, sindiran sinis dan bentakan nyaring dengan cepat bergema memenuhi angkasa.
Walaupun Bong Thian-gak dapat mendengar semua itu, namun ia sama sekali tidak berpaling.
Dengan mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya yang sempurna, pemuda itu melarikan diri terbirit-birit.
Jeritan perempuan yang sangat mengerikan hati bergema dari kejauhan, seperti teriakan Thay-kun pada tiga tahun berselang.
Hancur luluh perasaan Bong Thian-gak waktu itu, ia merasa betapa hinanya perbuatan yang dilakukan olehnya sekarang, ia merasa dirinya adalah seorang pengecut yang tak berani bertanggung-jawab.
"Mengapa aku harus kabur? Mengapa aku mesti melarikan diri? Aku bukan seorang lelaki sejati, aku adalah seorang lelaki pengecut yang takut mampus. Bong Thian-gak, wahai Bong Thian-gak, dengan perbuatan yang memalukan ini, mungkinkah kau masih bisa tampil di Kangouw?"
Seperti kelinci yang melarikan diri dari terkaman harimau, Bong Thian-gak melarikan diri menembus hutan, menyeberangi jurang.
Sepanjang jalan ia merasa sedih, menyesal dan mengutuk diri sendiri.
Lalu ia berhenti secara tiba-tiba, duduk bersimpuh di atas tanah dan menangis tersedu-sedu.
Matahari tenggelam di balik bukit, sinar keemas-emasan masih menyinari padang rumput yang luas.
Saat itulah muncul seorang kakek baju hijau berjenggot hitam dari ujung padang rumput sana.
Pelan-pelan ia berjalan menghampiri Bong Thian-gak dan berhenti di hadapannya.
Bong Thian-gak mengangkat kepala, ia tersentak kaget dan melompat bangun dari atas tanah.
Sekulum senyuman menghiasi bibir kakek berbaju hijau itu, dia mengangguk pelan, lalu berkata.
"Kau memang seorang lelaki pintar yang pemberani, benar-benar hebat kau, lelaki jempolan."
Bong Thian-gak tertunduk malu, mukanya merah seperti babi panggang.
"Aku tahu, aku memang seorang pengecut, seorang lelaki konyol,"
Ia berbisik lirih.
"Tio-locianpwe tak usah menggodaku!"
"Orang yang berani melakukan perbuatan yang tak berani dilakukan orang lain dan tak terpikir orang lain. Dia barulah seorang laki-laki pintar yang pemberani, terus terang saja, siapa di kolong langit ini yang berani mengambil keputusan dan tindakan semacam kau? Apa salah kalau kukatakan kau adalah lelaki pemberani yang pintar?"
"Kau ... kau maksudkan ... tindakanku melarikan diri tadi adalah perbuatan seorang lelaki pemberani yang pintar?"
Tanya Bong Thian-gak gugup. Kakek itu manggut-manggut.
"Coba kau tidak kabur, sudah pasti kau akan menjadi lelaki konyol dan mata gelap yang akibatnya ... hm, mati konyol! Asal gunung tetap menghijau, masa takut kehabisan kayu bakar? Yang penting memang kabur dulu."
Perasaan sedih, hina dan menyesal yang semula menggeluti pikiran Bong Thian-gak kini terhapus dari perasaannya, tapi ia belum bisa melenyapkan semua perasaan sesalnya. Kembali dia berkata.
"Aku telah kabur meninggalkan seorang gadis lemah begitu saja, cara dan tindakan yang kulakukan ini bukan cara dan perbuatan seorang lelaki sejati."
Kakek tua tertawa hambar.
"Barang siapa berani mengkhianati Put-gwa-cin-kau, cepat atau lambat ia pasti akan mati."
Tiba-tiba mencorong sinar aneh dari balik mata Bong Thian-gak, di tatapnya kakek baju hijau itu lekat-lekat, kemudian tanyanya.
"Tio-locianpwe ada urusan apa kau datang kemari?"
"Mengajak kau mengantarku menemui Gi Jian-cau."
"Parah sekali luka To Siau-hou?"
"Nyawanya sudah berada di ujung tanduk."
"Tio-pangcu,"
Tiba-tiba Bong Thian-gak berkata.
"ada suatu hal ingin kutanyakan kepadamu."
"Soal apa? Cepat katakan."
"Aku dengar dewasa ini terdapat tiga orang Enghiong yang disegani orang ternyata menjadi utusan pelindung bunga Cong-kaucu Put-gwa-cin-kau."
Paras muka kakek baju hijau itu segera berubah hebat, dengan gugup ia bertanya.
"Kau tahu siapakah ketiga orang itu?"
"Tentu saja tahu."
"Apakah satu di antaranya adalah Gi Jian-cau?"
"Ya, termasuk juga Tio Tian-seng,"
Sambung pemuda itu. Paras muka kakek baju hijau itu segera berubah tak sedap dipandang, cepat ia berseru.
"Tahukah kau Tio Tian-seng hanya berjanji tak akan mencampuri urusan dunia persilatan selama sepuluh tahun?"
Bong Thian-gak menggeleng.
"Bagaimanakah duduk persoalan yang sebenarnya, aku memang tidak terlalu jelas. Aku hanya tahu ada tiga tokoh tangguh yang telah menjadi utusan pelindung bunga Congkaucu Put-gwa-cin-kau."
Kakek baju hijau tertawa dingin.
"Tiga hari berselang, janji sepuluh tahun sudah habis batas waktunya, sekarang aku sudah tidak terikat lagi dengan dirinya."
"Bagaimana dengan Gi Jian-cau?"
"Gi Jian-cau pun ada ikatan janji sepuluh tahun dengannya,"
Jawab Tio Tian-seng hambar.
"Tapi aku yakin selamanya Cong-kaucu tak bakal melepas dirinya begitu saja."
"Apakah dia akan mencelakai jiwa Gi Jian-cau?"
"Bukan tabib sakti Gi Jian-cau saja, dia pun akan mencelakai jiwaku."
Mendengar penjelasan itu, Bong Thian-gak tertawa tergelak.
"Siapa dewasa ini yang masih berkemampuan membunuh dirimu."
Tio Tian-seng menghela napas sedih, kemudian baru ia berkata.
"Hek-mo-ong. Dia adalah satu-satunya lawan tandingku."
"Siapakah Hek-mo-ong itu?"
Tanya Bong Thian-gak terkejut. Tio Tian-seng menggeleng.
"Aku sendiri pun tak tahu siapa Hek-mo-ong, aku hanya tahu orang ini bisa membunuh korbannya tanpa menampakkan wujud aslinya, gerak-geriknya selalu rahasia dan sesungguhnya dia otak di belakang layar yang menyetir Put-gwa-cin-kau selama ini."
"Sesungguhnya Hek-mo-ong inilah yang menjadi pimpinan besar Put-gwa-cin-kau, dialah dalang kekacauan dunia persilatan."
"Tio-pangcu, bila kau tak menampik, seluruh anggota Hiatkiam- bun bersedia bekerja sama dengan perkumpulan kalian menentang kekuasaan dan kelaliman Put-gwa-cin-kau." "Mengikuti perubahan situasi dan perkembangan persilatan, antara Hiat-kiam-bun dengan Kay-pang memang tak mungkin dapat dipisahkan lagi."
"Bagus kalau begitu, tetapkan dengan sepatah kata ini saja."
"Masalahnya tak bisa ditunda-tunda lagi, ayo segera antarkan aku menjumpai Gi Jian-cau."
Bong Thian-gak segera bangkit, kemudian ujarnya.
"Tiopangcu, harap ikuti diriku!"
Kuil Sam-cing-koan adalah kuil kaum Sam-cing yang terletak di sebelah utara kota Lok-yang.
Kuil itu dibangun di kaki bukit, bangunannya megah dan mentereng, tak ubahnya seperti istana.
Matahari sudah lama tenggelam, keremangan pun menyelimuti seantero jagat.
Dalam suasana seperti ini, tiba-tiba di depan pintu gerbang kuil muncul seorang pemuda berlengan tunggal serta seorang kakek baju hijau berjenggot hitam.
Pintu gerbang tertutup rapat, suasana dalam gedung pun sunyi senyap tak terdengar sedikit suara pun.
Sambil mengepal tinju tangan kirinya, pemuda berlengan tunggal itu mengetuk pintu gerbang tiga kali.
Mendadak pintu gerbang dibuka orang, empat orang Tosu berbaju kuning segera muncul, sebilah pedang tersoreng di punggung masing-masing, sementara orang yang berjalan paling depan segera menyapu pandang sekejap wajah kedua orang tamunya dengan sinar mata tajam.
"Sicu berdua hendak mencari siapa?"
Tegurnya. Pemuda berlengan tunggal tersenyum.
"Aku she Bong bernama Thian-gak, ingin berjumpa Koancu kalian."
Sekilas perubahan aneh tampak menghiasi wajah Tosu berbaju kuning itu, dengan cepat ia mengalihkan sorot matanya dan mengamati sekujur badan pemuda itu dari atas sampai ke bawah. Kemudian baru berkata dengan dingin.
"Jadi kau adalah ketua Hiat kiam-bun Jian-ciat-suseng."
"Ya, memang aku,"
Bong Thian-gak tersenyum. Tiba-tiba Tosu berbaju kuning itu menarik muka dan menegur dengan serius.
"Tolong tanya, sesungguhnya dalam Hiat-kiam-bun berapa orang Jian-ciat-suseng?"
Pertanyaan ini segera menyentak hati Bong Thian-gak, cepat ia menegur.
"Totiang, tolong tanya apa maksudmu?"
Setelah tertawa dingin, sahut Tosu berbaju kuning itu.
"Terus terang aku beritahukan kepadamu, setengah jam berselang telah datang Jian-ciat-suseng yang berkunjung dalam kuil kami."
Berubah hebat paras muka Bong Thian-gak.
Paras muka Tio Tian-seng yang berada di sampingnya turut berubah, sekali berkelebat ia sudah menerobos masuk ke dalam.
Ternyata reaksi ketiga orang Tosu lain yang berjaga-jaga di sisi pintu cukup cepat, serentak mereka melolos pedang masing-masing, kemudian di antara kilatan cahaya tajam, tiga bilah pedang berkelebat menghadang jalan pergi Tio Thian Seng.
Agaknya Bong Thian-gak sendiri pun sudah merasakan keadaan gawat dan seriusnya peristiwa ini, mendadak ia mengayun telapak tangannya melancarkan pukulan ke arah dada Tosu berbaju kuning itu.
Sesungguhnya Tosu berbaju kuning itu telah bersiap menghadapi serangan, ia tak mengira serangan musuh ternyata begitu cepat bagaikan sambaran kilat.
Tahu-tahu dadanya terasa sakit dan napasnya menjadi sesak, tak sempat lagi mengeluh, peredaran darahnya telah tersumbat dan ia pun roboh tak sadarkan diri.
Tiga orang Tosu yang mencoba menghadang jalan pergi Tio Tian-seng juga telah dirobohkan semua dengan jalan darah tertotok.
"Bong-laute, apakah Gi Jian-cau berada di dalam kuil ini?"
Tanya Tio Tian-seng dengan suara dalam.
"Benar, dia berada di ruang peracikan obat."
"Sekarang sudah ada musuh yang menyaru sebagai dirimu memasuki kuil, bisa jadi hendak mencelakai jiwa Gi Jian-cau."
Belum selesai ia berkata, dari arah kuil tiba-tiba berkumandang suara genta yang dibunyikan bertalu-talu, suaranya keras dan nyaring memenuhi seluruh bukit dan menggetarkan angkasa.
Berbareng dari balik gedung utama yang megah serentak menyerbu puluhan Tosu berpedang yang segera menuju ke arah pintu gerbang.
Bong Thian-gak mengerti, perkembangan saat ini telah berubah gawat, kecuali dia masuk ke dalam kuil dan menjumpai Sam-cing Koancu untuk menerangkan duduk permasalahan yang sebenarnya, kalau tidak, pertumpahan darah tentu akan berlangsung di situ.
Demi keselamatan Gi Jian-cau, Bong Thian-gak merasa tak mampu lagi menghindarkan diri dari bentrokan dengan orangorang Sam-cing-koan.
"Tio-pangcu!"
Pendekar Cacad Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dengan suara dalam ia berseru.
"kita serbu ke dalam, tapi kumohon kau jangan melukai jiwa mereka."
Bong Thian-gak segera melompat ke muka dan menyongsong kedatangan kawanan Tosu itu.
Puluhan orang Tosu berbaju kuning itu seperti daun kering yang terhembus angin kencang, begitu termakan pukulan Tio Tian-seng dan Bong Thian-gak, segera berjatuhan ke lantai dan roboh tak sadarkan diri.
Sementara itu Tio Tian-seng telah melompat ke atas atap rumah, lalu dengan kecepatan luar biasa meluncur ke arah gedung halaman kedua.
Dalam pada itu suara genta telah berkumandang di seluruh kuil, bayangan orang berkelebat, kembali muncul serombongan Tosu yang bersenjata lengkap dari balik gedung.
Bong Thian-gak langsung meluncur masuk ke dalam gedung utama, kemudian dengan suara keras teriaknya.
"Totiang sekalian, harap dengarkan baik-baik. Aku adalah Jian-ciat-suseng Bong Thian-gak, ketua Hiat-kiam-bun. Aku datang untuk berjumpa dengan Koancu kalian, harap kalian jangan menghalangi jalanku, bawalah aku menjumpai ketua kalian secepatnya!"
Namun kawanan Tosu itu sama sekali tidak menggubris, diiringi hentakan keras, serentak mereka menyerbu ke arah Bong Thian-gak sambil mengayunkan senjata! Dalam keadaan begini, terpaksa Bong Thian-gak harus memutar lengan tunggalnya, dimana angin pukulannya menyambar, kawanan losu itu satu demi satu segera roboh bergulingan.
Soal tenaga dalam, kemampuan Bong Thian-gak sudah mencapai puncak kesempurnaan, berat-ringannya serangan bisa dilancarkan sekehendak hati.
Oleh sebab itu meski kawanan Tosu itu terguling terkena serangan, mereka hanya roboh dengan jalan darah tertotok, sama sekali tak mempengaruhi keselamatan jiwa mereka.
Bong Thian-gak bergerak secepat hembusan angin, makin bertarung makin mendesak ke depan, dalam waktu singkat ia sudah memasuki halaman kelima.
Halaman kelima adalah lapangan tempat berkumpul dalam kuil Sam-cing-koan.
Tatkala Bong Thian-gak menyerbu masuk ke dalam lapangan itu, dengan cepat pemuda itu dibikin tertegun dan berdiri termangu-mangu.
Ternyata empat penjuru sekeliling tanah lapang itu sudah dipenuhi Tosu baju kuning dengan senjata terhunus, jumlah mereka mencapai tiga ratusan orang.
Tio Tian-seng sedang terkepung, waktu itu ia sudah menghunus sebilah pedang yang penuh berlepotan darah, sedang di sekeliling arena terlihat ada tujuh kutungan lengan berceceran, darah telah membuat tanah lapang itu menjadi merah.
Dari sorot mata ketujuh Tosu yang cacat lengannya, tampaknya mereka memiliki kepandaian silat sangat tinggi, namun sekarang mereka duduk bersila di atas tanah dengan wajah diliputi perasaan sedih, gusar dan penuh penderitaan.
Bong Thian-gak segera menerjang ke sisi Tio Tian-seng, kemudian setelah menghela napas sedih, katanya.
"Tiopangcu, seranganmu kelewat berat!"
"Aku tidak menyangka dalam kuil Sam-cing-koan terdapat tujuh orang jago pedang yang amat lihai, hampir saja aku menderita kalah oleh kepungan barisan pedang Jit-sing-kiamtin mereka,"
Sahut Tio Tian-seng dingin.
Baru saja selesai berkata, dari balik rombongan di sebelah timur sana tiba-tiba berjalan keluar Sam-cing Tosu yang membawa Hud-tim (kebutan).
Di sisi kiri dan kanannya mengikut empat Tosu kecil yang masing-masing membawa dua bilah pedang pendek.
Tosu itu berjalan dengan sangat lambat, selangkah demi selangkah berjalan ke tengah arena.
Malam sudah menjelang tiba, kegelapan mencekam seluruh jagat, Bong Thian-gak baru bisa melihat jelas paras muka Tosu itu setelah berhadapan.
Tosu ini berjenggot hitam sepanjang dada, rambutnya digulung dengan tusuk konde, sementara sepasang matanya memancarkan sinar tajam bagaikan bintang timur.
Terutama sikap si Tosu yang begitu anggun dan berwibawa, membuat setiap orang yang bertemu dengannya segera akan muncul perasaan kagum dan hormat.
Setelah Bong Thian-gak melihat Tosu tadi, segera dia menjura seraya berkata.
"Aku Bong Thian-gak, tampaknya saudara adalah Sam-cing Koancu."
Sementara itu Tosu berbaju kuning itu sudah menghentikan langkahnya, tatkala sinar matanya dialihkan dari wajah Bong Thian-gak ke wajah Tio Tian-seng, tiba-tiba saja paras mukanya berubah hebat.
Paras muka Tio Tian-seng sendiri pun agak berubah melihat wajah tosu itu, segera katanya.
"Sungguh tak kusangka Pat-kiam-hui-hiang (delapan pedang salju beterbangan) Tan Sam-cing yang telah lenyap dari dunia persilatan sejak empat puluh tahun berselang, ternyata sudah menetap dalam kuil Sam-cing-koan di kota Lok-yang ini."
Mendengar nama Pat-kiam-hui-hiang Tan Sam-cing, hati Bong Thian-gak bergetar, diam-diam ia berpikir.
"Tan Samcing? Bukankah dia adalah jago pedang Bu-tong-pay yang amat termasyhur namanya pada empat puluh tahun berselang?"
Konon kesempurnaan ilmu pedang yang dimiliki orang ini luar biasa sekali sehingga disebut sebagai orang kedua tertangguh dalam Bu-tong-pay setelah Thia Sam-hong, Cosu pendiri Bu-tong-pay.
Empat puluh tahun lalu dalam Bu-lim terdapat empat orang paling termasyhur.
Mereka adalah Ku-lo Sinceng, Oh Ciong-hu, Tio Tian-seng dan Tan Sam-cing.
Tosu berbaju kuning itu segera mengebas Hud-timnya beberapa kali, kemudian sambil tertawa ringan katanya.
"Sebenarnya aku sedang ragu dan curiga, jagoan darimanakah yang mampu melukai ketujuh muridku, tidak kusangka orang itu adalah Tio Tian-seng."
Tiba-tiba suaranya menjadi berat, sambungnya.
"Suatu serangan vang bagus, serangan yang bagus sekali, nyatanya pedang Tio Tian-seng masih kejam, buas dan tak mengenal ampun."
"Tan Sam-cing,"
Ujar Tio Tian-seng dingin.
"seandainya kita harus melangsungkan pertarungan, bisa jadi kita harus bertarung selama tiga hari tiga malam sebelum bisa ditentukan siapa lebih unggul di antara kita."
Paras muka Tan Sam-cing berubah amat serius, pelanpelan ia berseru.
"Kiam-tong, siapkan pertarungan!"
Serentak keempat Tosu yang berdiri di kiri kanan Tan Samcing melolos pedang pendek, begitu pedang dilolos dari sarungnya, delapan jalur sinar pedang yang tajam bagai lapisan kabut segera menyelimuti angkasa. Melihat itu, seru Bong Thian-gak.
"Harap jangan bertarung."
Tan Sam-cing memandang Bong Thian-gak sekejap, lalu tegurnya.
"Siapa kau?"
"Aku bernama Bong Thian-gak, ketua Hiat-kiam-bun. Berhubung Gi Jian-cau dan Keng-tim Suthay dari perguruan kami pernah berpesan kepadaku, bahwa mereka meminjam tempat dalam kuil kalian untuk membuat obat, maka aku datang kemari untuk meninjau mereka."
Berubah hebat paras Tan Sam-cing, segera tegurnya.
"Dengan cara apakah kau bisa membuktikan kau adalah Jianciat- suseng?"
"Tan-koancu,"
Dengan cepat Bong Thian-gak berseru.
"sebenarnya apa yang telah terjadi di sini? Apakah ada musuh yang telah mencatut namaku untuk mengunjungi kuil ini?"
"Sebelum kita bicara lebih jauh, alangkah baiknya bila kau bisa membuktikan dulu identitasmu. Bila kau tak mampu, berarti kau adalah manusia jahanam yang menyaru sebagai Jian-ciat-suseng."
"Apa yang Koancu inginkan?"
"Keng-tim Suthay pernah menjelaskan wajah dan identitas Jian-ciat-suseng kepadaku, tapi yang paling penting adalah terdapatnya benda kepercayaan Hiat-kiam-bun yakni Pek-hiatkiam."
Berubah paras muka Bong Thian-gak, ia segera bertanya.
"Apakah sudah ada orang datang kemari dengan membawa pedang Pek-hiat-kiam?"
"Bukan cuma membawa Pek-hiat-kiam saja, bahkan ia mempunyai raut muka dan ciri yang sama dengan dirimu."
"Sekarang orang itu berada dimana?"
"Sudah pergi menjumpai Keng-tim Suthay."
"Aduh celaka,"
Seru Bong Thian-gak dengan gelisah.
"Tolong tanya Keng-tim Suthay berada dimana sekarang? Bagaimana kalau sekarang juga Koancu mengajakku pergi menjumpainya."
"Boleh saja, asal kau sudah membuktikan kaulah Jian-ciatsuseng yang sesungguhnya,"
"Setelah bertemu Keng-tim Suthay nanti, siapa yang asli dan yang palsu akan segera diketahui."
Tan Sam-cing tertawa dingin.
"Aku telah mendapat pesan wanti-wanti dari Keng-tim Suthay bahwa pembuatan obat oleh si tabib sakti mempengaruhi keselamatan |iwa banyak orang. Kejadian ini amat penting dan tak boleh terjadi kesalahan sekecil apa pun, tentu saja aku tak berani mengambil resiko."
Bong Thian-gak menjadi gelisah sehingga mendepakdepakkan kaki berulang-kali, serunya.
"Kini musuh tangguh telah memasuki tempat pembuatan obat, bila keadaan seperti ini dibiarkan berlangsung lerus, mungkin suatu peristiwa yang sama sekali di luar dugaan bakal terjadi. Tan-koancu, bila kau menganggap masalah pembuatan obat oleh Gi Jian-cau adalah masalah besar, kau harus bertindak secepatnya."
Tio Tian-seng turut menimbrung pula.
"Pokoknya jika Gi Jian-cau sampai mengalami suatu musibah, jangan harap kau Tan Sam-cing bisa berdiam terus di tempat ini."
Pat-kiam-hui-hiang Tan Sam-cing tertawa dingin, katanya.
"Kau lelah melukai tujuh orang muridku, hari ini kau pun jangan harap bisa meninggalkan kuil Sam-cing-koan dalam keadaan aman dan selamat."
Di antara sekian orang, Bong Thian-gak yang merasa paling gelisah, cepat dia berseru lagi dengan lantang.
"Dendam permusuhan Locianpwe berdua lebih baik disingkirkan lebih dulu, hal terpenting yang harus segera kita atasi sekarang adalah menghalangi usaha kaum laknat untuk mencelakai Gi Jian-cau."
Tan Sam-cing memandang sekejap ke arah Bong Thiangak, kemudian ujarnya.
"Tempat dimana si tabib sakti Gi Jiancau mengolah obat adalah gua yang amat rahasia letaknya, orang biasa tak mungkin bisa masuk ke dalam secara mudah, apalagi di luar gua pun dijaga oleh banyak jago lihai. Bila Keng-tim Suthay merasakan hal yang tidak beres, dia pasti akan mengirim tanda rahasia kepadaku."
"Pinto justru kuatir kalian berdualah yang sesungguhnya hendak mencelakai si tabib sakti, bila kuajak kalian memasuki gua rahasia itu, tak bisa kubayangkan bagaimana akibatnya."
"Kalau begitu kau tak akan mengajak kami bertemu Gi Jiancau?"
Tegur Tio Tian-seng dengan suara dingin. Tan Sam-cing tertawa dingin pula.
"Aku akan mengajak kalian berjumpa dulu dengan Kengtim Suthay."
"Hanya dia yang dapat membuktikan keaslian kalian."
"Harap Tan-koancu segera mengajak kami menjumpainya,"
Seru Bong Thian-gak gelisah.
"Ayo ikut aku!"
Seru Tan Sam-cing kemudian sambil mengebas Hud-tim yang berada di tangan kirinya.
Ia membalik badan, lalu berjalan menuju ke arah timur.
Keempat Tosu kecil yang mendampinginya, dengan delapan bilah pedang masih terhunus segera mengikut di sekitar Tan Sam-cing dengan kewaspadaan tinggi.
Setiap langkah kaki keempat Tosu kecil itu selalu berirama dan menjaga jarak mereka dengan Tan Sam-cing, tidak terlalu cepat juga tidak terlalu lambat, biarpun lima orang berjalan bersama-sama, namun langkahnya bagaikan langkah satu orang.
Bong Thian-gak dan To Tian-seng mengikut di belakangnya, melihat cara keempat Tosu kecil dan Tan Samcing berjalan, mereka dibuat terkejut, segera pikirnya.
"Dari cara mereka berjalan, tampaknya kepandaian silat yang dimiliki keempat Tosu kecil ini sudah mencapai puncak kesempurnaan, terutama dari langkah mereka yang seirama dengan Tan Sam-cing, sudah jelas keempat Tosu kecil ini akan menjadi pembantu utama Tan Sam-cing bila melancarkan serangan nanti."
Sam-cing-koan adalah kompleks kuil yang amat luas, gedungnya dibangun searah dengan tanah perbukitan.
Ketujuh orang itu menembus tiga gedung lagi sebelum akhirnya tiba pada gedung kesembilan.
Sepanjang perjalanan Bong Thian-gak tiada hentinya mengawasi sekeliling tempat itu, tak ada bayangan manusia, agaknya segenap Tosu dalam kuil itu telah dihimpun seluruhnya ke tanah lapang di depan gedung kelima.
Gedung yang kesembilan ini berbeda corak dengan delapan gedung lainnya.
Dari kejauhan gedung itu hanya dinding melulu seputarnya tidak terdapat gedung tambahan ataupun pintu keluar, mirip sebuah gedung manunggal yang berdiri sendiri.
Tan Sam-cing serta keempat Tosu kecil menuju ke gedung itu, tak tahan Bong Thian-gak bertanya.
"Tan-koancu, apakah Keng-tim Suthay sekalian berada di dalam gedung itu?"
"Benar,"
Tan Sam-cing mengangguk.
"mereka memang berada dalam gedung ini."
Sembari berkata, ketujuh orang itu menelusuri undakundakan batu dan naik ke atas.
Setibanya pada undak-undakan terakhir, Bong Thian-gak berdua baru dapat melihat gedung itu ternyata kosong.
Sebelum Bong Thian-gak mengajukan pertanyaan, Tan Sam-cing telah menjelaskan lebih dahulu.
"Di dalam gedung terdapat gua besar yang tembus ruang bawah tanah, gua itu terbagi menjadi sembilan buah lorong yang saling bersilangan dalam perut bumi. Bila seseorang yang tidak mengenal jalan masuk ke situ, mereka akan memasuki sebuah barisan yang membingungkan dan jangan harap dapat keluar lagi dengan selamat."
Tiba-tiba Tio Tian-seng berseru.
"Tunggu dulu, jangan masuk."
"Ada apa?"
Tanya Tan Sam-cing seraya berpaling.
"Mengapa tak kulihat seorang pun dalam ruangan?"
Tan Sam-cing tertawa dingin.
"Sebelumnya kita telah melewati daerah terlarang, bagaimana mungkin bisa bertemu orang?"
"Tan Sam-cing, kami akan menunggu di sini sampai kau mengajak keng-tim Suthay keluar serta membuktikan kebenaran identitas kami, sebelum kami memasuki gedung rahasia dengan barisanmu itu."
"Tio-pangcu,"
Kata Tan Sam-cing sambil tertawa dingin.
"bila kau takut masuk, lebih baik menunggu di luar saja atau kau memang takut tak bisa keluar lagi dalam keadaan selamat?"
Tio Tian-seng segera tertawa.
"Aku berani membunuh ketujuh orang muridmu, berarti aku tak takut menghadapi balas dendammu."
"Empat puluh tahun berselang, meskipun Tio Tian-seng adalah seorang raja iblis pembunuh manusia yang ditakuti orang, namun Tan Sam-cing masih berani menantangmu bertarung secara blak-blakan."
"Tapi kenyataan tempo hari kau menghindari tantanganku untuk berduel,"
Jengek Tio Tian-seng sambil tertawa dingin.
"Sepuluh tahun sudah cukup merubah segalanya, siapa tahu justru kaulah yang akan menghindari tantanganku pada hari ini."
Pendekar Cacad Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kalau begitu, tunggu saja nanti!"
Tan Sam-cing segera memimpin keempat Tosu kecil melanjutkan perjalanan memasuki gedung.
Di ujung gedung terdapat dinding bukit yang rata bagaikan cermin, tiba-tiba Tan Sam-cing menarik sebuah gelang besi tempat obor yang terdapat di dinding.
Diiringi suara keras, dinding batu yang datar itu mendadak bergeser ke samping dan terbukalah sebuah pintu rahasia.
Dengan langkah cepat Tan Sam-cing dan keempat Tosu kecil melangkah masuk.
Menyusul kemudian terdengar lagi suara gemuruh yang sangat keras, dinding batu yang bergeser tadi kini sudah menutup kembali.
Siapa pun tak menyangka kalau di atas dinding batu yang licin bagaikan cermin itu sesungguhnya terdapat sebuah pintu rahasia.
Menyaksikan hal itu, Bong Thian-gak menghela napas panjang, katanya.
"Bila si tabib sakti memang mengolah obat di tempat ini, maka tempat ini memang sebuah tempat yang sangat aman."
Belum selesai ia berkata, tiba-tiba terdengar lagi suara gemuruh pintu terbuka lagi dan Tan Sam-cing melompat keluar dari pintu rahasia dengan wajah tegang. Tergetar perasaan Bong Thian-gak, cepat ia menyongsong sambil menegur.
"Tan-locianpwe, apa yang telah terjadi?"
"Celaka, telah terjadi peristiwa besar,"
Seru Tan Sam-cing dengan wajah kaget bercampur gugup.
"Murid-murid kami yang bertugas melakukan penjagaan di dalam sana telah mati dibunuh orang."
Mendengar itu, Bong Thian-gak dan Tio Tian-seng serentak menyelinap masuk ke dalam pintu rahasia.
Di balik pintu itu terdapat sebuah ruangan, di sana terdapat pula perabot rumah tangga, belasan orang Tosu berbaju kuning tampak roboh bergelimpangan di atas tanah dalam keadaan mengenaskan.
Di ujung dinding batu terdapat sembilan buah lorong gua, saat itu keempat Tosu kecil tadi dengan pedang terhunus berjaga di depan mulut gua, sikap mereka amat serius seakan-akan sedang menghadapi musuh besar.
Bong Thian-gak dapat merasakan betapa gawatnya situasi waktu itu, maka kepada Tan Sam-cing yang ikut masuk ke dalam ruangan, ia bertanya.
"Tan-koancu, si tabib sakti berada dimana?"
"Tempat dimana Gi Jian-cau mengolah obat terletak dalam sebuah ruang rahasia di tengah kesembilan lorong itu, Kengtim Suthay bersama beberapa orang jago lihai Hiat-kiam-bun bersama-sama menjaga di situ."
Dalam pada itu Tio Tian-seng telah memeriksa setiap mayat yang tergeletak di tempat itu, wajahnya nampak serius, ia berdiri termangu sambil memutar otak memikirkan kejadian yang sedang dihadapinya.
"Tio-pangcu, apa yang menyebabkan kematian orangorang itu?"
Tanya Bong Thian-gak kemudian dengan suara nyaring. Sebelum Tio Tian-seng sempat menjawab, Tan Sam-cing telah menjelaskan lebih dulu.
"Mereka tewas oleh pukulan tenaga dalam yang hebat dan sempurna, setiap serangan tepat mengenai isi perut."
Tio Tian-seng seperti teringat akan sesuatu, ia segera berseru tertahan, lalu membungkukkan badan dan merobek pakaian bagian dada sesosok mayat. Dengan cepat, ia menjerit kaget.
"Ah, Hek-mo-ong!"
Dengan cepat Bong Thian-gak dan Tan Sam-cing memburu ke sana, ternyata di atas dada Tosu itu terdapat sebuah cap tengkorak berwarna hitam.
"Apakah lambang tengkorak hitam ini merupakan lambang Hek-mo-ong?"
Tanya Bong Thian-gak keheranan.
Sewaktu Tan Sam-cing mendengar kata "Hek-mo-ong", dengan cepat ia menghampiri sesosok mayat yang lain serta merobek pakaian di bagian dada mereka.
Ternyata di dada mayat-mayat itu terdapat lambang tengkorak hitam.
Paras muka Tio Tian-seng berubah menjadi tak sedap dipandang, pelan-pelan ia berkata.
"Tak salah lagi, pembunuhnya adalah Hek-mo-ong, sebab setiap korban yang dibunuh Hek-mo-ong, di dadanya selalu terdapat lambang tengkorak hitam."
Setelah berhenti sejenak, kepada Tan Sam-cing ia bertanya.
"Hidung kerbau, menurut pendapatmu sudah berapa lama mereka dibunuh?"
"Ai, kurang lebih satu jam berselang,"
Kata Tan Sam-cing sambil menghela napas sedih. Tio Tian-seng menggeleng kepala berulang kali.
"Tak mungkin begitu lama."
"Lantas menurut pendapatmu mereka sudah tewas berapa lama?"
"Paling lama setengah jam berselang, paling cepat seperempat jam yang lalu."
"Pembunuhnya mungkin masih belum meninggalkan tempat ini"seru Bong Thian-gak kemudian.
"Benar,"
Tio Tian-seng mengangguk.
"Jelas orang itu belum meninggalkan gua ini, bisa jadi si pembunuh masih berada dalam lorong gua atau mungkin juga sedang mencelakai jiwa Keng-tim Suthay dan tabib sakti."
Bong Thian-gak segera berkelebat ke depan dan menyerbu ke dalam lorong gua.
"Bong-laute, jangan masuk dulu!"
Cepat Tio Tian-seng berteriak. Bong Thian-gak berhenti seraya berpaling.
"Tio-pangcu, bila kita tak segera menghalangi pembunuh itu, akibatnya sukar dibayangkan."
"Pembunuh itu mempunyai kepandaian silat luar biasa, lagi pula bersembunyi di dalam gua. Jika Bong-laute masuk ke dalam secara sembrono, niscaya keselamatan jiwamu akan terancam."
"Betul!"
Kata Tan Sam-cing pula.
"Harap Bong-sicu jangan masuk dulu, dalam gua ini hanya terdapat sebuah pintu masuk, bila pembunuh itu belum pergi dari sini, ia tidak mungkin muncul di tempat ini."
Tio Tian-seng segera menengok sekejap ke arah Tan Samcing, lalu serunya.
"He, hidung kerbau, sekarang kau baru percaya kalau dia adalah ketua Hiat-kiam-bun?"
Tan Sam-cing menghela napas panjang.
"Ai, si pendatang itu bukan hanya membawa tanda kepercayaan ketua Hiat-kiam-bun yakni Pek-hiat-kiam, dia pun cacat lengan kiri dan pincang kaki kanannya, usia hampir sebaya, cara bagaimana Pinto bisa membedakan kepalsuan dirinya?"
"Apakah dia datang seorang diri?"
Tanya Tio Tian-seng lagi dengan kening berkerut.
"Masih ada dua orang lagi, seorang gadis berusia dua puluh tahun dan seorang kakek."
"Sudah kau lihat jelas paras kakek itu?"
Tan Sam-cing segera berseru tertahan.
"Ah, sudah kulihat, tapi sama sekali tiada gambaran dalam benakku."
"Dengan ketajaman mata Tan-koancu, masa kau begitu cepat melupakan ciri wajahnya?"
"Sungguh aneh,"
Tan Sam-cing menggeleng kepala.
"Padahal bila seseorang pernah berjumpa denganku, maka sepuluh tahun lagi pun aku masih dapat mengingatnya, tapi sekarang aku sama sekali tak punya kesan apa pun tentang dirinya."
Pada saat itulah dengan wajah kereng dan serius, Tio Tianseng bertanya lagi.
"Hei, hidung kerbau, sungguhkah kau tak bisa mengingat muka kakek itu?"
Tan Sam-cing menggeleng kepala berulang kali.
"Aneh, betul-betul sangat aneh, rasanya orang itu menggerakkan tubuhnya tiada henti waktu itu ... sehingga paras mukanya tak dapat terlihat dengan jelas."
"Kalau begitu bisa jadi kakek itu adalah Hek-mo-ong,"
Ucap Tio Tian-seng kemudian dengan wajah serius.
"Hek-mo-ong? Rasanya Pinto juga pernah mendengar nama itu."
"Kapan kau mendengar nama itu? Mendengarnya dari siapa?"
"Sepuluh tahun lalu, Oh Ciong-hu pernah menyinggung nama itu, dia pun menjelaskan kemisteriusan orang itu dan perbuatannya yang sadis dan keji."
Tio Tian-seng menghela napas sedih.
"Ai, sayang sekali Oh Ciong-hu telah tewas, kalau tidak, dialah yang paling jelas mengetahui asal-usul Hek-mo-ong. Tan Sam-cing, apakah Oh Ciong-hu mengatakan kepadamu siapakah Hek-mo-ong yang sebenarnya?"
"Sama sekali tidak."
Bong Thian-gak menimbrung dengan suara dalam.
"Seandainya Hek-mo-ong dan sekalian pembunuh benar-benar masih berada dalam gua ini, menunggu kedatangan mereka di tempat ini rasanya bukan cara terbaik, entah Hek-mo-ong itu seorang berkepala tiga berlengan enam atau bukan. Bila Tiopangcu dan Koancu bersedia membantu, Boanpwe yakin masih dapat menghadapi manusia laknat itu."
Tio Tian-seng segera mengangguk.
"Betul, dengan kekuatan kita bertiga, sekalipun ada dua orang Hek-mo-ong yang tangguh pun jangan harap bisa unjuk gigi, yang kukuatirkan sekarang adalah Tan-koancu."
Belum sempat ia mengutarakan kata-kata berikutnya, Tan Sam-cing sudah mendengus dingin sembari menukas.
"Hekmo- ong telah membunuh belasan anggota kami, kau anggap Pinto akan melepaskan begitu saja?"
"Tapi aku juga telah melukai ketujuh orang muridmu,"
Sambung Tio Tian-seng. Tan Sam-cing segera tertawa dingin.
"Dendam sakit hati ini pasti akan kutuntut balas, aku tahu Tio Tian-seng tentu mengetahui hal ini dengan jelas."
"Yang kukuatirkan kau si hidung kerbau akan memanfaatkan kesempatan yang sangat baik ini untuk membalas dendam. Bila hal itu sampai terjadi, hari ini aku benar-benar akan keok di tempat ini."
"Aku pasti akan membunuh Hek-mo-ong lebih dahulu sebelum mencari balas kepadamu,"
Seru Tan Sam-cing sambil tertawa dingin. Mendengar pembicaraan yang berlangsung antara kedua orang itu, Bong Thian-gak terkesiap, segera pikirnya.
"Tampaknya Tosu tua ini seorang licik yang banyak akal muslihatnya, jelas dia bukan dari golongan lurus."
Berpikir sampai di sini, tiba-tiba Bong Thian-gak melompat ke depan dan menerobos masuk ke dalam gua nomor lima yang tepat berada di tengah.
"Bong-laute, tunggu dulu!"
Lekas Tio Tian-seng berseru dengan gelisah. Tanpa berpaling, Bong Thian-gak menyahut lantang.
"Harap Tio-pangcu berjaga-jaga di luar saja, jangan biarkan pembunuh itu melarikan diri, masalah dalam lorong biar kuhadapi seorang diri!"
Selesai berkata, Bong Thian-gak telah kabur ke dalam gua.
Suasana di dalam lorong gua gelap-gulita sehingga sukar untuk melihat kelima jari tangan sendiri.
Ketika Bong Thiangak sudah masuk dan belum jauh, di hadapannya sudah terbentur dinding batu, ternyata lorong itu berakhir sampai di situ, sedangkan di sisi kiri kanannya masing-masing terdapat lorong cabang yang entah berhubungan dengan mana, sedangkan bagian tengah adalah dinding batu.
Waktu itu Bong Thian-gak sangat menguatirkan jiwa Kengtim Buthay dan si tabib sakti, buru-buru dia berbelok menuju ke arah lorong gua sebelah kanan.
Berjalan tak jauh pula, gua tadi terbagi lagi menjadi tiga cabang, kali ini Bong Thian-gak dibuat termangu, tapi kemudian dia memilih meneruskan perjalanannya dengan menempuh gua sebelah tengah.
Kembali ia menempuh perjalanan, lorong pun terpecah lagi menjadi empat cabang, ia memilih sebuah lorong di antaranya.
Lorong bawah tanah yang gelap dan menyeramkan menimbulkan perasaan ngeri bagi siapa pun, gua itu entah berapa dalamnya dan masih terdapat berapa banyak cabang lagi? Setelah menempuh perjalanan sekian lama, Bong Thiangak merasa dirinya tersesat.
Setiap kali mencapai persimpangan jalan, terpaksa ia mesti memilih satu di antaranya untuk melanjutkan, tapi lelelah ditempuh dan menyelusuri sekian waktu, dia merasa balik ke pinisi semula.
Hal itu segera menimbulkan perasaan menyesal di hati kecilnya, ia teisesat.
Kemanakah dia harus pergi mencari Keng-tim Suthay serta si tulah sakti Gi Jian-cau? Mendadak Bong Thian-gak seperti menangkap suara langkah yang sangat lirih, suara itu datang menuju ke arahnya.
Bong Thian-gak pura-pura tidak merasakan hal itu, dia masih melanjutkan langkahnya setindak demi setindak ke arah depan.
Siapa sangka suara langkah itu mengintilnya dan tiba-tiba lenyap begitu saja.
Bong Thian-gak dibuat tertegun dan segera menghentikan langkah lemhari berpaling.
la menangkap sesosok bayangan orang berbaju hitam yang kecil ramping telah berdiri di belakang tubuhnya.
Lorong bawah tanah yang gelap gulita sudah barang tentu tak memungkinkan baginya untuk melihat raut wajah lawan secara jelas, tapi sorot mata lawan justru seperti dua titik cahaya bintang yang sedang mengawasi dirinya tanpa berkedip.
"Siapa kau?"
Bong Thian-gak menegur.
Orang berbaju hitam itu tidak menjawab, tapi Bong Thiangak dapat merasakan segulung angin pukulan berhawa dingin menyergap dirinya secara diam-diam.
Bong Thian-gak segera membentak, telapak tangan kirinya diayun ke muka sekuat tenaga, sementara tubuhnya mengikuti gerak serangan itu bergeser ke samping.
Terasa ada senjata rahasia yang terbang melalui sisi tubuhnya tanpa menimbulkan sedikit suara pun, senjata rahasia itu akhirnya menerjang dinding gua hingga permukaan dinding berguguran ke tanah.
Dengan terkejut Bong Thian-gak lantas berpikir.
"Sungguh berbahaya! Serangan senjata lawan sama sekali tidak menimbulkan sedikit suara pun. Coba kalau aku tidak menggeser ke samping, bukankah senjata rahasia itu akan bersarang di tubuhku secara telak?"
Ketika ia mencoba mendongakkan kepala, orang berbaju hitam itu nampaknya sudah berubah posisi. Sekali lagi Bong Thian-gak membentak.
"Siapa kau? Bila tak mau bersuara, jangan salahkan bila aku berbuat kurangajar kepadamu!"
Orang berbaju hitam itu masih juga belum bersuara, Bong Thian-gak mengerahkan tenaga dalam secara diam-diam, kemudian dengan cepat melepaskan sebuah pukulan yang amat dahsyat ke depan.
Serangan itu dilepaskan dengan hebat, tatkala angin serangan menderu, sesungguhnya kekuatan serangan sendiri telah mencapai setengah tombak ke hadapan musuh, pada hakikatnya sama sekali tidak memberi kesempatan kepada lawan untuk menghindar.
Namun orang itu memang terhitung jago silat berilmu tinggi, di saat angin serangan mulai menderu bagai amukan angin puyuh, tahu-tahu orang itu telah bergeser.
Bong Thian-gak baru tahu, bisa jadi orang ini adalah salah satu di antara ketiga pembunuh yang dimaksud Tan Sam-cing tadi, karenanya dia menggerakkan tubuh dan mendesak maju secara garang.
Lengan tunggalnya kembali diayun, telapak tangan yang tajam bagaikan babatan mata golok langsung diayunkan menghantam dada musuh.
Kecepatan serangan Bong Thian-gak sudah merajai persilatan dan jarang sekali ada musuh yang mampu lolos.
Pendekar Cacad Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kenyataan biarpun kecepatan serangan Bong Thian-gak sangat mengagumkan, ancaman itu cuma mengenai tempat kosong.
Orang itu segera berkelebat, kali ini tangannya yang halus mulus seakan-akan menggenggam benda yang secara langsung dihujamkan ke arah dadanya.
Bong Thian-gak amat terperanjat, serangan musuh sangat aneh dan hebat, rasanya mustahil untuk membendung ancaman itu.
Bong Thian-gak berseru tertahan, dadanya seperti dicap hingga roboh terjengkang ke belakang.
Tapi bersamaan pula Bong Thian-gak mengayunkan kaki kanan melepaskan sebuah tendangan kilat ke depan, jeritan kaget segera berkumandang, tubuh orang berbaju hitam yang kecil mungil itu seketika tertendang oleh Bong Thian-gak hingga mencelat ke belakang sana.
Begitu tubuhnya menumbuk dinding batu, segera roboh ke tanah.
Dengan gerakan yang sangat cepat Bong Thian-gak melejit dan menerjang ke arah orang itu.
Telapak tangan tunggalnya diputar dan mencengkeram urat nadi lengan kiri lawan.
Dalam anggapan Bong Thian-gak, orang itu terkena tendangannya hingga roboh terjengkang, berarti serangan yang dilancarkan olehnya malah pasti berhasil membekuk musuh.
Siapa tahu pada saat itulah, kakinya yang kecil mendadak diayun ke muka dan menghantam tubuh Bong Thian-gak hingga jatuh terejerembab ke sisi kanan.
Orang itu menghunus pisau belati yang bersinar tajam, kemudian sambil melejit dari atas tanah menyergap Bong Thian-gak.
Seketika timbul hawa membunuh Bong Thian-gak, sebenarnya semua serangan yang dilancarkan cukup hati-hati, sebab diketahuinya lawan adalah seorang wanita, dia enggan melancarkan serangan ganas untuk menyakiti musuhnya itu.
Tapi setelah mengetahui betapa sukarnya menaklukkan lawan, mau tak mau dia mesti mempersiapkan serangan yang jauh lebih ganas dan buas, sebab ia tahu, bila tidak, hal itu tak mungkin akan berhasil.
Sambil mendengus dingin Bong Thian-gak mengayun telapak tangannya dan secara beruntun melancarkan tiga serangan berantai.
Semua ancaman dilancarkan tanpa menimbulkan sedikit suara pun, tapi justru serangan itu merupakan ancaman yang dahsyat, dan mengerikan.
Perempuan berbaju hitam menjerit kesakitan, tubuhnya mundur sempoyongan kemudian membalikkan badan dan melarikan diri ke arah lorong gua.
"Kau anggap masih bisa melolos diri?"
Jengek Bong Thiangak dengan suara dingin.
Dengan cepat ia melompat ke depan dan melakukan pengejaran secara ketat.
Tapi hanya selisih satu langkah saja, perempuan berbaju hitam itu sudah menyelinap ke balik sebuah cabang lorong gua yang gelap dan menyembunyikan diri di balik kegelapan sana.
Tak terlukiskan rasa dongkol Bong Thian-gak menghadapi itu, sambil menggebrak tanah, dia mengumpat tiada hentinya.
"Pelacur busuk, akan kulihat kau bisa kabur sampai dimana?"
Lorong demi lorong segera diperiksa dan digeledahnya secara seksama dan teliti.
Namun bukan saja ia tak berhasil mengejar gadis berbaju hitam itu, ia pun gagal menemukan lorong menuju keluar, pemuda itu tersesat dalam lorong rahasia yang membingungkan itu.
Sudah hampir satu jam ia menelusuri lorong bawah tanah, rasanya kaki sudah linu dan kaku, akhirnya setelah menghela napas panjang ia duduk di atas tanah.
Sekarang baru timbul perasaan gugup bercampur ngeri dalam hati pemuda itu.
Pikirnya.
"Sekarang aku terkurung di sini, bila tiada orang yang menolong, bukankah aku bakal mati kelaparan dalam lorong sialan ini."
Tiba-tiba ia menangkap suara rintihan lirih berkumandang dari depan, rintihan itu segera memutus lamunannya.
Serta-merta anak muda itu memeriksa dan memandang sekeliling tempat itu.
Akhirnya ia lihat seseorang sedang duduk bersandar di dinding gua, Bong Thian-gak segera menyilangkan telapak tangannya untuk melindungi dada, lalu selangkah demi selangkah menghampiri.
Dugaannya memang tidak meleset, dia adalah seorang perempuan berbaju hitam.
Tiba-tiba perempuan berbaju hitam itu memuntahkan darah segar, lalu dengan suara lirih ia berkata.
"Jika kau berani mendekat lagi, segera akan kulontarkan peluru api Leng-hwe-tan."
Baru saja kata-kata itu selesai diutarakan, Bong Thian-gak sudah mendesak ke muka, kelima jari tangannya bagaikan cakar elang tahu-tahu sudah mencengkeram urat nadinya.
"Sayang sekali tindakanmu terlampau lambat,"
Ia menjengek sambil tertawa dingin.
"lagi pula kau pun tidak memiliki kekuatan lagi untuk menggerakkan jari-jari tanganmu."
Memang benar perempuan berbaju hitam itu tidak memiliki kekuatan lagi untuk menggerakkan jari-jari tangannya.
Urat nadi adalah alat penggerak peredaran darah, apabila urat nudi dicengkeram, maka segenap kekuatan akan lenyap, apalagi gadis itu memang pada dasarnya telah kehilangan kekuatan untuk melakukan perlawanan.
"Siapa kau?"
Akhirnya perempuan itu menegur dengan suara gemetar. Bong Thian-gak tertawa dingin.
"Aku justru ingin bertanya kepadamu, siapa kau?"
"Aku adalah Sam-buncu Hiat-kiam-bun,"
Suara perempuan itu masih gemetar.
"Hm, siapa yang mau percaya begitu saja?"
Jengek Bong Thian-gak sambiI tertawa dingin.
"Kumohon padamu, bersediakah kau melepas cengkeramanmu?"
"Boleh saja, asal kau bersedia juga menjawab pertanyaanku secara terus terang."
"Apa yang hendak kau tanyakan? Cepatlah kau ajukan!"
"Sesungguhnya berapa banyak anggota komplotanmu yang sudah menyelundup ke dalam lorong bawah tanah ini?"
"Komplotan? Komplotan apa?"
Bong Thian-gak kembali tertawa dingin.
"Komplotan Hek-mo-ong, komplotan yang berniat datang kemari untuk membunuh si tabib sakti Gi Jian-cau."
"Ah!"
Perempuan itu berseru tertahan, lalu buru-buru bertanya.
"Siapa kau? Cepat katakan!" "Aku adalah ketua Hiat-kiam-bun, Jian-ciat-suseng Bong Thian-gak."
Baru selesai ia berkata, tiba-tiba Bong Thian-gak merasakan datangnya segulung angin pukulan yang maha dahsyat menyergap tiba dari arah belakang tanpa menimbulkan suara.
Serta-merta Bong Thian-gak melepaskan cengkeraman pada urat nadi tangan kanan perempuan itu, kemudian dengan cekatan berkelit ke samping untuk menghindarkan diri.
Suatu benturan keras segera berkumandang, menyusul jeritan ngeri yang menyayat hati.
Ternyata angin pukulan yang amat keras dan dahsyat itu persis menghajar tubuh perempuan berbaju hitam itu.
Di saat tubuhnya berkelit ke samping tadi, Bong Thian-gak telah mengayunkan pula telapak tangannya dengan kecepatan luar biasa.
Kembali menggema suara ledakan keras yang memekakkan telinga, seseorang dengan tertawa licik yang dingin dan menggidikkan segera berkelebat dan lenyap di balik kegelapan sana.
Bong Thian-gak sama sekali tak menyangka serangannya yang cepat ternyata gagal melukai musuh, dia siap menerjang kembali, namun musuh telah kabur menyelamatkan diri.
Untuk beberapa saat lamanya Bong Thian-gak tertegun dan berdiri termangu-mangu, kemudian ia membalikkan badan memeriksa keadaan perempuan berbaju hitam itu.
Siapa tahu perempuan tadi sudah tergeletak lemas di atas tanah, tergeletak dalam keadaan tak bernyawa.
Baru sekarang Bong Thian-gak mengerti, rupanya tujuan serangan orang tadi adalah menghilangkan saksi hidup.
Memandang mayat yang tergeletak di hadapannya ini Bong Thian-gak menghela napas sedih, gumamnya tanpa terasa.
"Bila arwahmu bisa tahu, sudah tentu kau tahu siapakah orang yang telah membunuhmu, dia adalah rekanmu sendiri."
Bong Thian-gak masih menganggap perempuan berbaju hitam itu adalah rekan Hek-mo-ong, ia masih ragu dia adalah Sam-hubuncu Hiat-kiam-bun.
Lorong bawah tanah itu kembali dicekam suasana seram, ngeri serta menggidikkan.
Bong Thian-gak mengerti di dalam lorong bawah tanah itu masih tersembunyi beberapa orang musuh yang setiap saat bisa melancarkan sergapan ke arahnya, oleh sebab itu ia meningkatkan kewaspadaan nambil pelan-pelan bergerak maju.
Mendadak Bong Thian-gak menangkap lagi suara langkah yang bergerak mendekat dari sembilan penjuru yang berbeda.
Saat itu Bong Thian-gak sedang berdiri di tengah sembilan buah persimpangan.
Dengan wajah serius dan memusatkan perhatian, matanya yang dingin dan tajam mengawasi ke sekeliling tempat itu.
Terasa olehnya dari balik sembilan lorong gelap dan mengerikan Itu masing-masing berdiri seorang, delapan belas buah sorot mata yang tajam seperti api setan mengawasi wajah Bong Thian-gak tanpa berkedip.
Dengan terkejut Bong Thian-gak berpikir.
"Bukankah menurut keterangan Tan Sam-cing dalam lorong bawah tanah ini hanya terdapat liga orang musuh saja? Mengapa sekarang ada begitu banyak?"
Ia pun mendehem beberapa kali, kemudian menegur.
"Aku adalah ketua Hiat-kiam-bun Bong Thian-gak, apakah sobat bersembilan adalah anggota perguruan di bawah pimpinan Tan-koancu dari kuil Sam-cing-koan?"
Dalam hati pemuda itu kembali berpikir.
"Jangan-jangan orang-orang ini dikirim Tan Sam-cing untuk mencari diriku atau mungkin juga sedang mencari si pembunuh keji Hek-moong."
Baru selesai Bong Thian-gak berbicara, tiba-tiba ia merasakan datangnya sembilan gulungan angin pukulan dahsyat yang dilontarkan secara bersama-sama, deru angin tajam yang memekakkan telinga segera menyapu datang dengan dahsyatnya.
Bong Thian-gak dapat menangkap keanehan di balik deru angin pukulan itu, ia tak berani berdiri di tengah arena menyongsong datangnya ancaman, maka sambil bergeser ke samping, pemuda itu langsung menerjang ke salah seorang di depannya.
Tindakan yang diambilnya sekarang sungguh cerdas, andaikata ia masih berdiri di tengah persimpangan jalan menghadapi datangnya ancaman, betapa pun sempurnanya tenaga dalam yang dimilikinya akan sulit baginya membendung tenaga gabungan sembilan orang.
Dalam sekejap mata lorong itu sudah dipenuhi oleh suara deru angin pukulan yang kencang, dahsyat dan mengerikan.
Desingan angin berpusing serta pantulan tenaga pukulan yang menimbulkan suara benturan yang sangat memekakkan telinga.
Bong Thian-gak menggerakkan lengan tunggalnya dan bertarung sebanyak tiga-empat jurus dengan orang yang berada di lorong itu.
Begitu bentrokan terjadi, Bong Thian-gak segera dapat merasakan betapa lihainya ilmu silat yang dimiliki lawan, semua serangan berantai yang dilepaskannya secara beruntun berhasil dihindari lawan secara mudah.
Orang yang berada di dalam lorong rahasia itu cukup licik dan cerdik, sambil menahan datangnya ancaman, dengan cepat ia mundur.
"Siapa kau?"
Dengan suara lantang Bong Thian-gak segera membentak.
"Bila kau tak mengemukakan identitasmu, jangan salahkan bila aku melancarkan serangan keji."
Bong Thian-gak menghimpun tenaga dalamnya enam bagian, namun musuh tetap tak bersuara, malah membalikkan badan dan kabur.
Habis sudah kesabaran Bong Thian-gak, dengan menghimpun tenaga yang dahsyat ia melepaskan dua bacokan kilat ke depan.
Angin pukulan meluncur ke depan, terdengar dengusan tertahan dan orang yang melarikan diri itu jatuh terjengkang ke atas tanab, tak bangun kembali untuk selamanya.
Bong Thian-gak menerkam ke depan lalu mencengkeram urat nadi lawan, tapi denyut nadi orang sudah berhenti, jiwanya telah kembali ke akhirat.
Seruan kaget bergema, agaknya dalam kegelapan itu Bong Thian-gak relah menemukan orang itu tak lain adalah seorang Tosu tua.
Siapakah mereka? Mungkinkah anak murid Tan Sam-cing? Tapi mengapa mereka masih melancarkan serangan meski sudah kusebutkan namaku? Dengan terkesiap Bong Thian-gak berpikir.
"Jika kesembilan orang yang menyerang tadi adalah kawanan Tosu Sam-cingkoan, berarti usahaku untuk lolos dari gua ini akan menjumpai kesulitan besar."
Saat itu pikiran dan perasaan Bong Thian-gak sangat kalut, ia tak habis mengerti orang yang berada dalam lorong rahasia itu sebenarnya kawan atau lawan.
la menduga bisa jadi kesembilan Tosu yang menyerang dirinya tadi adalah jago-jago lihai Sam-cing-koan yang ditugaskan untuk melindungi si tabib sakti Gi Jian-cau mengolah obat.
Mungkin saja mereka telah salah mengira dirinya sebagai komplotan pembunuh Hek-mo-ong.
Berpikir sampai di situ, Bong Thian-gak pun merasa tekateki yang semula menyelimuti perasaan kini telah memperoleh jawaban yang benar, rasa menyesal karena membinasakan seorang sahabat pun segera timbul dalam hati kecilnya.
Tanpa terasa ia membungkukkan badan dan memberi hormat kepada jenazah itu, kemudian berdoa di hadapannya bagi ketenteraman arwah Tosu tadi.
Suasana di lorong bawah tanah kembali tercekam dalam kediaman, begitu sepinya hingga mirip kuburan.
Bong Thian-gak bersila di atas tanah dengan perasaan tenang, ia mencoba mengatur napas dan sekali lagi terdengar bergemanya suara langkah kaki dari balik lorong.
Suara langkah kaki itu seakan-akan bergema dari jauh, suaranya sangat lirih dan lembut, jika ia tidak sedang bersemedi tak nanti bisa menangkap suara itu.
Hong Thian-gak terkejut, tentu ada jago lihai yang mempunyai Ilmu tinggi sedang bergerak mendekat, malah bisa jadi orang itu adalah Hek mo-ong yang misterius.
Teringat pembunuh itu, Bong Thian-gak segera memusatkan segenap kemampuan bersiap menghadapi segala kemungkinan.
Bong Thian-gak tahu orang itu sudah memasuki lorong bawah tanah dimana ia berada sekarang dan selangkah demi selangkah sedang berjalan mendekat.
Mendadak orang itu menghentikan langkah, rupanya dia pun sudah merasakan kehadiran seseorang di tempat itu.
Ia tahu Bong Thian-gak adalah seorang jago lihai berilmu tinggi, semestinya ia sudah menangkap suara dengus napas dari jauh, kenyataan ia baru mendengar setelah jarak sudah dekat.
Kedua belah pihak segera menghimpun tenaga dalam masing-masing sambil menunggu kesempatan melancarkan serangan kilat.
Tampaknya kedua orang itu sama-sama menunggu sampai pihak lawan melancarkan serangan lebih dulu, tapi kedua orang itu sama-sama enggan menyerang lebih dulu.
Semakin lama kedua belah pihak semakin tak berani melancarkan serangan lebih dulu.
Pertarungan jago-jago yang berilmu tinggi seringkah menang-kalah hanya ditentukan oleh selisih yang kecil sekali, apalagi bila kedua belah pihak sudah tahu musuh menghadapi serangan dengan ketenangan, maka barang siapa berani melancarkan serangan lebih dulu, enam puluh persen dia berada dalam posisi kalah.
Itulah sebabnya terpaksa kedua belah pihak saling menunggu.
Pada saat itulah mendadak Bong Thian-gak merasakan tibanya rombongan lain yang berjalan mendekat dari belakang tubuh orang itu.
Agaknya orang itu pun sudah merasakan hal itu.
Dengan demikian posisi menjadi sangat tidak menguntungkan bagi orang itu.
Bong Thian-gak yang melihat keadaan itu berpikir dalam hatinya.
"Kemungkinan besar orang yang sedang bergerak mendekat itu adalah delapan orang Tosu yang menyergapku tadi, jika orang di depanku sekarang adalah Hek-mo-ong, maka dia tentu akan membalikkan badan menyerang kawanan Tosu yang mendekat itu."
Suasana dalam arena makin bertambah tegang, kini kawanan Tosu yang menghampiri tempat itu sudah semakin mendekat.
Mendadak pertarungan berkobar dengan cepat.
Ternyata orang itu membalikkan badan sambil melompat ke depan.
Pendekar Cacad Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Bong Thian-gak membentak, tubuhnya melayang menyergap orang misterius itu.
Terjangan Bong Thian-gak pada hakikatnya dilakukan dengan tepat dan garang.
Tapi kawanan musuh yang menerjang dari belakang tubuh orang misterius itu tiba lebih cepat.
Di tengah kegelapan terdengar suara bentrokan demi bentrokan berkumandang tiada hentinya.
Lalu sesosok demi sesosok orang mencelat ke belakang sambil mendengus dan mengeluh kesakitan, satu demi satu roboh terkapar.
Telapak tangan kanan Bong Thian-gak secepat sambaran kilat langsung menyodok ke dada orang misterius itu.
Orang misterius itu tak berani menyongsong datangnya ancaman Bung Thian-gak dengan kekerasan, dia bergeser mundur tapi di belakang tubuhnya sudah dinding batu, padahal babatan maut Bong Thian-gak telah meluncur datang.
Jalan mundur sudah tetutup, terpaksa orang misterius itu harus menggerakkan sepasang lengannya membendung datangnya ancaman tadi.
Siapa sangka gerak serangan yang dilancarkan Bong Thiangak aneh sekali, gerak serangannya tiba-tiba menyelinap ke samping dan berubah menjadi sodokan kepalan yang langsung meninju jalan darah Mu hay-hiat di lambung musuh.
Biarpun Bong Thian-gak dapat merubah serangannya dengan tepat, namun reaksi orang misterius itu pun cukup cepat, kaki kanannya segera diangkat ke atas.
Sodokan tinju yang dilancarkan Bong Thian-gak menghantam lutut lawan.
Akibatnya orang misterius itu roboh ke sisi kanan.
Bong Thian-gak membentak, sekali lagi telapak tangan kirinya melancarkan sebuah bacokan.
Serangan yang dilancarkan BongThian-gak kali ini menggunakan tenaga dalam delapan bagian.
Selain cepat, serangan itu pun ganas, kecuali pihak lawan menyambut ancaman itu dengan kekerasan, tiada cara lain yang bisa dipakai untuk meloloskan diri dari ancaman itu.
Telapak tangan kembali saling beradu.
Bong Thian-gak segera merasa hawa darah dalam dada bergolak, ia mundur dan hampir saja roboh terjengkang.
Sejak terjun ke dalam persilatan, baru pertama kali ini Bong Thian-gak menjumpai lawan yang memiliki tenaga dalam lebih tangguh dari kemampuannya.
Dari bentrokan itu ia merasa isi perutnya menderita sedikit luka.
Tampaknya orang misterius itu pun dibuat tergetar keras dadanya hingga darah bergolak, lama sekali ia berdiri mengatur pernapasan, kemudian dengan suara berat berkata.
"Hai, seandainya berganti orang lain, mungkin aku sudah mati di ujung tangan Bong-laute sejak tadi."
"Ah, kau adalah Tio-pangcu?"
Seru Bong Thian-gak kaget.
"Ya, memang aku."
Bong Thian-gak segera melompat bangun sambil berseru.
"Harap Tio-pangcu sudi memaafkan, Boanpwe tidak tahu kau orang tua yang sedang kuhadapi."
"Siapa pun dalam lorong bawah tanah yang gelap ini, tak akan terhindar dari kesalah-pahaman, karena kita tidak bisa membedakan kawan dan lawan bukan?"
"Tio-pangcu, tahukah kau siapa saja yang telah kau bunuh?"
Tanya Bong Thian-gak sambil menghela napas.
"Para anggota kuil Sam-cing-koan."
Jawaban itu kembali membuat Bong Thian-gak tertegun.
"Kalau Tio-pangcu sudah mengetahui identitas mereka, mengapa menghabisi nyawa mereka."
"Mereka sudah berulang kali menyergap diriku, sekarang sudah berubah jadi musuhku. Apakah kita mesti berpeluk tangan menunggu datangnya kematian?"
"Sudah berapa lama Tio-pangcu datang kemari?"
"Sesaat setelah kau masuk, aku pun segera menerobos masuk ke lorong lain,"
"Apakah Tio-pangcu telah berjumpa dengan kawanan pembunuh Hek-mo-ong?"
"Aku sudah menjumpai banyak penyergap,"
Sahut Tio Tiang-seng dengan suara dalam.
"tapi semuanya adalah kaum Tosu, sekarang aku mulai curiga."
"Apakah yang Tio-pangcu curigai?"
"Aku curiga Tan Sam-cing telah berbohong."
"Apa yang dia bohongkan?"
"Sudah kau jumpai Hek-mo-ong dalam lorong gua ini?" "Aku cuma bertemu seorang perempuan berbaju hitam, agaknya dialah salah seorang wanita pembunuh seperti yang dilukiskan oleh Tan-koancu."
"Coba kau terangkan duduk persoalannya kepadaku."
Secara ringkas Bong Thian-gak menceritakan pengalamannya sejak berjumpa perempuan berbaju hitam itu. Seusai mendengar penuturan itu, Tio Tian-seng menghela napas, katanya.
"Bisa jadi orang yang ditemui Bong-laute adalah Sam-hubuncu perguruanmu."
"Apa maksudmu?"
Tanya Bong Thian-gak dengan terkejut. Tio Tian-seng termenung sambil berpikir, kemudian sahutnya.
"Seandainya dalam lorong ini benar-benar terdapat Hek-mo-ong dan komplotannya sebagai pembunuh, maka Sam-hubuncu perguruanmu pasti mengetahui, tatkala ia mendengar kau menyinggung Hek-mo-ong, sikapnya justru menunjukkan asing dan tidak tahu-menahu."
"Tio-pangcu tidak yakin Hek-mo-ong ada dalam lorong ini?"
Tanya Hong Thian-gak lagi dengan terkejut.
"Soal ini aku sendiri tidak berani memastikan, tapi aku merasa Tan sam-cing mempunyai niat jahat."
"Jadi menurut Tio-pangcu, kawanan penyerang ini adalah pembunuh yang dikirim Tan Sam-cing untuk menghabisi nyawa kita?"
"Jika Tan Sam-cing tak bermaksud berbuat demikian, seharusnya dia sudah masuk lorong gua serta mengajak kita keluar dari sini!"
"Tapi apa salahnya jika dia tetap berjaga-jaga di luar? Bukankah maksudnya hendak menghalangi Hek-mo-ong sekalian meloloskan diri dari sini?" "Bukankah Tio-pangcu telah membuktikan bahwa para korban yang tewas di luar gedung itu akibat pukulan tengkorak Hek-mo-ong."
"Sekarang kita berada dalam keadaan berbahaya, aku curiga Tan Sam-cing sekomplotan dengan Hek-mo-ong."
Bong Thian-gak semakin terperanjat, serunya kemudian.
"Bila apa yang kau katakan memang benar, bukankah keadaan Gi Jian-cau serta Keng-tim Suthay terancam bahaya?"
"Kemungkinan besar Gi Jian-cau belum mampus. Sekalipun Hek-mo-ong berhasil menemukannya, belum tentu terbunuh di tangannya, namun selain si tabib sakti seorang, sudah tentu musuh tak segan turun tangan keji terhadap mereka."
Semakin mendengar Bong Thian-gak semakin terperanjat, dia bertanya.
"Sekarang apa yang mesti kita lakukan?"
"Tentu saja harus mencari akal agar bisa mengundurkan diri dari tempat ini."
"Aku telah menelusuri lorong bawah tanah, namun sampai sekarang masih belum juga berhasil menemukan pintu keluarnya."
"Sewaktu aku masuk tadi, sepanjang jalan telah kutinggali tanda rahasia. Ayo, Bong-laute, ikuti diriku!"
Bong Thian-gak merasa kagum atas kecerdasan Tio Tianseng, katanya.
"Untung aku bertemu Tio-pangcu, kalau tidak, bisa jadi selama hidup aku tak akan berhasil meninggalkan tempat ini."
"Bisa jadi kita akan menghadapi sergapan yang membahayakan jiwa kita, dalam menempuh perjalanan nanti paling baik jangan sampai menimbulkan sedikit suara pun."
"Baik,"
Sahut Bong Thian-gak sambil mengangguk. Kembali Tio Tian-seng berpesan.
"Seandainya kita mendapat sergapan musuh tangguh, jangan sekali-kali kau meninggalkan aku terlampau jauh, apabila sampai kehilangan kontak, aku mesti membuang banyak waktu mencari jejakmu, bila sampai kita berpisah misalnya, paling baik jika kau menanti kedatanganku di tempat semula."
Sambil bicara, Tio Tian-seng sudah melangkah, sementara Bong Thian-gak mengikut di belakangnya.
Mendadak Tio Tian-seng menghentikan langkahnya.
Bong Thian-gak pun menghentikan langkah, didengarnya suara peringatan Tio Tian-seng yang dikirim dengan mempergunakan ilmu menyampaikan suara.
"Kini musuh tangguh telah menampakkan diri, bisa jadi orang itu adalah Hek-mo-ong, hati-hatilah!"
Bong Thian-gak mengangkat kepala serta mengalihkan pandangan ke arah lorong yang gelap gulita, tampak olehnya seseorang berdiri angker di situ.
Sinar mata tajam mencorong dari balik matanya, agaknya tenaga dalam orang itu sudah mencapai tingkat kesempurnaan.
"Mungkin orang itu adalah Hek-mo-ong?"
Tanya Bong Thian-gak kemudian dengan ilmu menyampaikan suara.
"Rasa-rasanya mirip Hek-mo-ong,"
Jawab Tio Tian-seng agak tegang.
"Sayang kita bertemu di lorong bawah tanah, mustahil buat aku menggunakan pedang. Wah ... celaka! Aku bisa dipaksanya berada di bawah angin."
Mendengar suara berat yang terpancar keluar dari mulut Tio Tian-seng, kata Bong Thian-gak.
"Mengapa kita tidak bekerja sama?"
"Kepandaian silat Hek-mo-ong yang paling hebat adalah pukulan tengkorak penggempur hati. Di kolong langit dewasa ini masih belum ada seorang pun yang sanggup menghindari serangan jarak dekatnya, oleh sebab itu bila bertempur melawannya, bagaimana pun juga jangan memberi kesempatan kepadanya untuk mendekati kita, karena begitu ilmu pukulan tengkorak penggempur hati dilontarkan, tiada orang yang bisa membendungnya, sebab itu kuanjurkan kepadamu janganlah bertarung kelewat emosi melawannya."
"Sekarang bisa jadi dia belum mengetahui kehadiranmu di belakangku, maka aku ingin mempraktekkan taktik perlawanan yang amat jitu. Di saat kulancarkan pukulan, bergeserlah kau ke sisi kiri, lalu dengan menempatkan diri ke posisi belakang, lepaskanlah sebuah serangan yang paling dahsyat ke arahnya ...."
Belum habis ucapan Tio Tian-seng, bayangan iblis di hadapannya sudah bergerak mendekat.
Orang itu baru saja bergerak, namun tahu-tahu sudah berada di hadapannya.
Tio Tian-seng segera membentak, telapak tangannya diayunkan bersama, dua gulungan angin pukulan yang sangat dahsyat serta-merta menggulung ke muka dengan dahsyatnya.
Bersamaan waktunya, Tio Tian-seng segera bergeser ke sisi kiri.
Sementara itu Bong Thian-gak seperti sukma gentayangan telah meluncur ke muka serta menggantikan kedudukan Tio Tian-seng, segulung angin pukulan yang sangat dahsyat segera dilontarkan ke depan.
Sungguh tak nyana kepandaian silat iblis itu sangat luar biasa, tatkala kedua gulung angin pukulan dahsyat Tio Tianseng membentur tubuhnya, dia segera mengebaskan tangan kirinya serta memunahkan ancaman itu.
Bersamaan waktunya, secepat sambaran kilat dia mendesak maju.
Tapi serangan kilat yang dilepaskan Bong Thian-gak benarbenar di luar dugaannya.
Dalam gugup dan cemasnya, orang itu segera melepaskan sebuah serangan lagi dari jarak dekat.
Tio Tian-seng dapat menyaksikan jalannya pertarungan dengan jelas, ia segera membentak, pedang yang digembol di punggungnya segera dilolos, lalu ia lepaskan sebuah tusukan kilat ke muka.
"Trang", bentrokan keras bergema disusul munculnya percikan bunga api. Iblis itu mendengus tertahan, badannya terhajar oleh Bong Thian-gak hingga mencelat ke belakang.
"Hendak kabur kemana kau?"
Jengek Bong Thian-gak sambil tertawa dingin.
Dia mengejar ke depan dan persis menghadang di depan iblis itu.
Lengan tunggal Bong Thian-gak segera melancarkan serangkaian serangan.
Angin pukulan yang dahsyat dan kencang, bagaikan sayatan pedang mendesak iblis itu mundur ke arah dinding gua.
Pada saat itulah Bong Thian-gak serta Tio Tian-seng dari kiri kanan pelan-pelan mendesak maju.
Pedang dalam genggaman Tio Tian-seng nampak memancarkan cahaya di balik kegelapan, setitik cahaya bagaikan sinar kunang-kunang dalam pandangan Bong Thiangak berubah bagai cahaya yang terang benderang.
Sekarang mereka sudah dapat melihat dengan jelas iblis itu, ternyata seorang berkerudung berbaju hitam, tangan kanannya nampak menggunakan sarung tangan, berbentuk tengkorak manusia berwarna putih.
Tio Tian-seng menghentikan langkah di hadapan orang itu, kemudian sambil tertawa dingin ia bertanya.
"Kau adalah anak buah Hek-mo-ong?"
Iblis itu tidak menjawab, hanya matanya memancarkan bayangan aneh mengawasi Bong Thian-gak di sisi kiri dengan tak berkedip.
"Hek-mo-ong sudah datang belum?"
Bentak Tio Tian-seng lagi. Kali ini iblis itu menjawab, namun suaranya amat menggidikkan.
"Suatu saat kalian pasti akan mampus di tangan Hek-mo-ong."
Selesai berkata, tiba-tiba tubuhnya roboh terjengkang.
Bong Thian-gak serta Tio Tian-seng tertegun menghadapi situasi demikian, untuk sesaat mereka tak tahu apa yang akan dilakukan.
Mendadak Tio Tian-seng menggerakkan pedang melepas sebuah tusukan ke depan.
Iblis itu sama sekali tak menghindar, pedang langsung menembus dadanya.
"Ah, dia telah mampus!"
Seru Bong Thian-gak tertegun.
Setelah pedangnya menembus dada orang itu, Tio Tianseng turut mendesak maju, dengan cepat tangannya menyingkap kain kerudung yang menutupi wajahnya.
Noda darah masih meleleh dari bibirnya.
Tio Tian-seng adalah seorang jago silat kawakan, menyaksikan hal ini segera ia menghela napas, katanya.
"Serangan Bong-laute benar-benar tajam dan dahsyat, isi perutnya telah kau pukul hancur."
"Ai, nyatanya orang itu masih sanggup bertahan sekian lama setelah menerima pukulanku sebelum mampus. Kehebatan ilmu silatnya benar-benar sangat mengerikan!"
"Mungkin orang ini adalah pembantu utama Hek-mo-ong,"
Kata Tio Tian-seng lagi sambil menghela napas.
"Ai, seandainya bukan serangan mendadak Bong-laute yang dilancarkan di luar dugaannya, bukan pekerjaan mudah membinasakan dirinya."
"Ai, tadinya aku merasa Tio-pangcu terlalu mengada-ada setelah kau melukiskan betapa hebat dan menakutkannya Hek-mo-ong, tapi setelah kulihat betapa hebatnya kepandaian silat yang dimiliki anak buahnya, baru kubayangkan Hek-moong seorang musuh yang sangat menakutkan."
Pendekar Cacad Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Bong-laute, bukanlah aku kelewat menilai tinggi kemampuan musuh, kemampuan Hek-mo-ong memang menakutkan, aku pernah bertemu satu kali dengannya dan hampir saja jiwaku melayang."
"Apakah Tio-pangcu kenal orang ini?"
Tanya Bong Thiangak sambil menunjuk ke arah korban. Tio Tian-seng menggeleng kepala.
"Raut wajahnya asing bagiku."
"Ai, akhirnya anak buah Hek-mo-ong muncul dalam lorong bawah tanah ini, nampaknya apa yang diucapkan Tan Samcing bukan ucapan kosong belaka."
"Menurut Tan Sam-cing, orang yang berada dalam lorong bawah tanah ini adalah seorang kakek, seorang perempuan, serta seorang cacat lengan dan berkaki pincang, sedang korban yang kita jumpai sekarang adalah lelaki setengah umur yang berusia empat puluh tahunan."
"Jadi menurut Tio-pangcu, korban bukan termasuk di antara ketiga orang yang dimaksud Tan Sam-cing?"
Tio Tian-seng segera menggeleng.
"Ya, sama sekali tidak sesuai."
"Siapa tahu si kakek yang dimaksud Tan Sam-cing adalah orang ini?"
Ujar Bong Thian-gak.
"Kecuali kita bertemu perempuan serta orang yang menyaru sebagai Bong-laute itu, kalau tidak, aku tidak akan percaya perkataan Tan Sam-cing."
"Seandainya kedua orang itu menyembunyikan diri di sudut lorong bawah tanah, bagaimana mungkin kita bisa menemukan jejaknya?"
"Kita kan tak bakal meninggalkan Sam-cing-koan ini dalam waktu singkat? Sebentar kau boleh bersama-sama Tan Samcing melakukan penggeledahan di sini, sedang tugas menjaga di luar biar kugantikan untuk semenjtara."
"Baik, kita memang harus menemukan si tabib sakti dan Keng-tim Suthay sebelum pergi meninggalkan tempat ini!"
Tiba-tiba Tio Tian-seng menghela napas, kemudian tanyanya.
"Bong-laute, apakah kau sudah mengetahui asalusul Tan Sam-cing?"
"Konon dia adalah anak buah murid Bu-tong-pay."
"Bong-laute, menurut pendapatmu apakah nama besar Patkiam- hui-hiang cukup tersohor di dunia persilatan pada empat puluh tahun berselang?"
"Padri sakti dari Siau-lim-pay, guruku Oh Ciong-hu, Mokiam- sin-kun serta Pat-kiam-hui-hiang adalah tokoh silat yang paling termasyhur di Kangouw waktu itu. Mereka disebut empat tokoh persilatan, terutama kehebatan mereka di antara golongan lurus maupun sesat."
"Yang disebut pedang lurus tentulah Pat-kiam-hui-hiang Tan Sam-cing, sedang si pedang sesat adalah aku Mo-kiamsin- kun, bukan?"
"Waktu itu pedang Tio-pangcu memang penuh dengan hawa membunuh, sehingga orang menyebutnya si pedang sesat. Tapi menurut perasaan Boanpwe, sesungguhnya pedang Tio-pangcu sama sekali tidak sesat."
Tio Tian-seng menghela napas panjang.
"Ai, dengan dasar apakah orang membedakan antara sesat dan lurus, rasanya sulit untuk ditelusuri dan aku pun enggan mempersoalkan. Yang ingin kuketahui sekarang adalah tersohornya Pat-kiamhui- hiang Tan Sam-cing waktu itu, apa sebabnya ia lenyap secara tiba-tiba? Tahukah si tabib sakti serta Keng-tim Suthay bahwa Sam-cing Koancu yang sekarang sebenarnya adalah Pat-kiam-hui-hiang yang amat termasyhur namanya?"
"Apa maksud Tio-pangcu mencurigai hal itu?"
"Bong-laute, sekarang bila kubilang Tan Sam-cing adalah Hek-mo-ong yang misterius itu, apakah Bong-laute anggap hal ini mungkin?"
Bong Thian-gak segera menggeleng.
"Tan Sam-cing cukup termasyhur sebagai orang budiman, ia tak pernah mempunyai nama jelek."
"Sebaliknya bila kukatakan bahwa akulah Hek-mo-ong?"
Hati Bong Thian-gak segera bergetar keras, sahutnya kemudian.
"Jika hal ini terjadi beberapa hari berselang, jika ada orang bertanya siapakah Hek-mo-ong, maka tentu akan menduga Tio-pangcu."
Tio Tian-seng tersenyum.
"Kalau bukan begitu, lantas siapakah menurut Bong-laute yang pantas dicurigai sebagai Hek-mo-ong?"
Baru selesai perkataan itu, dari sudut lorong gua terdengar seorang menanggapi dengan suara lantang.
"Menurut perasaan Pinto, Hek-mo-ong adalah Mo-kiam-sin-kun Tio Tianseng."
Bergemanya suara itu membuat hati Bong Thian-gak maupun Tio Tian-seng bergetar.
Yang membuat mereka terkejut adalah kehadiran lawan sampai di dekat mereka, namun sama sekali tidak mereka rasakan.
Sambil tertawa dingin Mo-kiam-sin-kun Tio Tian-seng segera menegur.
"He, hidung kerbau, sudah lamakah kau datang kemari?"
Dari balik lorong gua yang gelap gulita pelan-pelan muncul seseorang, walaupun kedua belah pihak belum pernah melihat raut wajah masing-masing dengan jelas, namun Bong Thiangak serta Tio Tian-seng tahu bahwa si pendatang adalah Samcing Koancu Pat-kiam-hui-hiang Tan Sam-cing.
Tiba-tiba Tan Sam-cing menghentikan langkah, lalu menyahut dengan suara hambar.
"Sejak Bong-sicu membinasakan orang aneh tadi, Pinto telah hadir di sini."
"Kedatanganmu memang tepat sekali,"
Seru Tio Tian-seng tertawa dingin. Tan Sam-cing tertawa dingin.
"Tentu saja kedatanganku memang sangat tepat. Coba kalau aku tidak datang, sudah pasti Pinto dicurigai sebagai Hek-mo-ong."
"Biarpun kau sudah datang, bukan berarti bisa lepas dari kecurigaanku,"
Jengek Tio Tian-seng. Tan Sam-cing mendengus.
"Hm! Menubruk angin menangkap bayangan, memfitnah orang tanpa fakta yang nyata, mengadu domba di antara sesama manusia, semuanya memang watak kebiasaanmu."
"Boleh saja bila kau ingin lepas dari kecurigaan,"
Kata Tio Tian-seng dingin.
"kecuali si tabib sakti sekalian ditemukan dalam keadaan sehat dan selamat, kalau tidak, jangan harap kau bisa terlepas dari kecurigaan kami."
Tan Sam-cing naik pitam, segera bentaknya penuh amarah.
"Tio Tian-seng, kau memojokkan orang dengan kata-kata tuduhanmu itu. Bila kau lanjutkan, Pinto tak bisa menahan diri lebih jauh!"
Bong Thian-gak merasakan panasnya situasi, bila keadaan ini dibiarkan berlangsung terus, kemungkinan akan berkobar pertempuran berdarah yang mengerikan. Maka dia maju beberapa langkah, setelah menjura pada Tan Sam-cing, ujarnya dengan suara lantang.
"Tan-koancu, harap kau jangan marah dulu. Dewasa ini masih ada musuh tangguh bersembunyi dalam lorong bawah tanah. Apabila di antara kita terjadi keributan sendiri, hal itu tentu akan menggirangkan lawan."
"Bong-sicu tak usah kuatir, ketiga orang pembunuh yang menyusup masuk ke dalam lorong bawah tanah ini sudah mati terbunuh."
"Jadi Tan-koancu telah berjumpa dengan pembunuhpembunuh itu?"
"Pinto telah membunuh seorang, lalu menemukan sesosok mayat di lorong gua, ditambah mayat yang berada di hadapan kita sekarang, bukankah berarti ketiga pembunuh itu telah tertumpas?"
"Bagaimanakah bentuk wajah pembunuh yang berhasil Tan-koancu habisi nyawanya?"
"Orang yang menyaru sebagai Bong-sicu."
Seraya berkata, Tan Sam-cing melepaskan sebilah pedang berikut sarungnya dari bahu, kemudian melanjutkan.
"Pekhiat- kiam berada di sini, harap Bong-sicu menerimanya."
"Ehm, terima kasih banyak atas bantuan Tan-koancu menemukan kembali Pek-hiat-kiam ini."
Bakti Pendekar Binal Karya Khu Lung Iblis Sungai Telaga -- Khu Lung Hina Kelana Balada Kaum Kelana -- Jin Yong