Ceritasilat Novel Online

Pendekar Cacad 14


Pendekar Cacad Karya Gu Long Bagian 14



Pendekar Cacad Karya dari Gu Long

   

   Seraya berkata, ia maju ke depan.

   Tiba-tiba Tan Sam-cing mengayun tangan kanannya, pedang yang berada di dalam sarung itu tahu-tahu berkelebat ke muka dan mengancam jalan darah Sim-kan-hiat di tubuh anak muda itu.

   Tindakan itu bukan saja membuat Bong Thian-gak tak sempat menghindar, Tio Tian-seng juga sama sekali tak menyangka.

   Berubah hebat paras muka Bong Thian-gak, tanpa terasa ia berpekik dalam hati.

   "Aduh celaka!"

   Siapa tahu Tan Sam-cing hanya menutul jalan darahnya, sama sekali tidak disertai tenaga dalam. Terdengar ia berseru sambil tertawa dingin.

   "Bong-sicu memang orang yang berjiwa terbuka dan berbudi luhur, kebijakanmu membuat Pinto kagum, maaf atas kelancangan Pinto barusan."

   Rupanya Tan Sam-cing hendak menggunakan cara itu untuk mencoba mengerti apakah Bong Thian-gak menaruh curiga kepadanya atau tidak.

   Sesudah termangu-mangu beberapa saat, Bong Thian-gak baru menerima pedang itu, lalu diperiksanya dengan seksama.

   Benar juga, pedang itu memang benda kepercayaan Hiatkiam- bun, Pek-hiat-kiam, maka sekali lagi dia memberi hormat kepada Tan Sam-cing seraya berkata.

   "Seandainya Tankoancu adalah musuh, dengan seranganmu tadi niscaya habis sudah jiwaku."

   "Seandainya Bong-sicu selalu waspada dan berjaga-jaga terhadap serangan orang, niscaya kau akan berhasil menghindarkan diri dari tusukan tadi,"

   Ucap Tan Sam-cing. Bong Thian-gak menggeleng kepala.

   "Jurus serangan yang dipergunakan Tan-koancu tadi jauh berbeda dengan jurus kebanyakan orang. Aku tahu, biarpun sudah waspada dan berjaga-jaga, rasanya sulit juga menghindarkan diri."

   Tan Sam-cing tersenyum.

   "Bong-sicu memiliki kepandaian silat yang amat hebat, tapi tidak sombong, kebesaran jiwamu serta kerendahan hatimu benar-benar mengagumkan sekali."

   Tiba-tiba Mo-kiam-sin-kun Tio Tian-seng tertawa dingin, katanya.

   "Hei, hidung kerbau, kau mengatakan telah membunuh orang, dimana mayatnya sekarang?"

   "Dalam lorong bawah tanah sana."

   "Dan masih ada orang lagi?"

   "Perempuan pembunuh itu terbunuh di lorong bawah tanah, entah ia tewas oleh Bong-sicu atau mati terbunuh di tanganmu?"

   "Apakah mayat perempuan yang Tan-koancu temukan adalah perempuan berbaju hitam?"

   Pada saat itulah tiba-tiba Bong Thian-gak mendengar suara bisikan Tio Tian-seng yang disampaikan dengan ilmu menyampaikan suara.

   "Bong-laute, jangan kau katakan bahwa perempuan itu adalah Sam-hubuncu dari Hiat-kiam-bun. Aku lihat perkataan Tan Sam-cing saling bertentangan, lagi pula gerak-geriknya amat mencurigakan, kita tidak bisa mempercayainya begitu saja."

   Dalam pada itu Tan Sam-cing mengangguk seraya menjawab.

   "Benar, dia adalah perempuan berbaju hitam."

   Dengan suara dingin, Tio Tian-seng segera menimbrung.

   "Mayat yang terkapar dalam lorong bawah tanah ini rasanya bukan hanya tiga, hidung kerbau, sudah kau lihat hal ini?"

   "Sudah,"

   Sahut Tan Sam-cing dengan suara dalam.

   "Aku justru Ingin bertanya siapa yang telah membunuh kawanan Tosu itu?"

   "Aku memang ingin bertanya kepadamu, atas perintah siapa kawanan hidung kerbau itu berniat membunuhku?"

   Bantah Tio Tian-seng dingin.

   "Jika begitu mereka mati di tangan Tio-pangcu?" "Tan-koancu,"

   Tukas Bong Thian-gak.

   "semua Tosu itu bukan mati terbunuh di tangan Tio-pangcu."

   "Apakah Bong-sicu telah membunuh seorang di antaranya?"

   Ucap Tan Sam-cing hambar. Dengan perasaan bergetar keras, Bong Thian-gak membenarkan.

   "Betul, Boanpwe memang membunuh satu orang."

   "Luka pada mayat-mayat itu telah kuperiksa dengan seksama, luka yang menyebabkan kematian kesebelas mayat dilakukan oleh orang yang nama, berarti mereka terbunuh di tangan Tio-pangcu."

   Tio Tian-seng tertawa dingin.

   "Eh, hidung kerbau, apakah kau sedang mencari alasan untuk mengajakku berduel?"

   "Hm! Tanpa sebab-musabab anak murid kuil kami telah menjadi kurban, tentu saja Pinto tak akan membiarkan si pembunuh berlalu dari sini dengan bebas merdeka!"

   Jawab Tan Sam-cing sambil mendengus.

   "Aku sudah bersiap menahan seranganmu, ayolah silakan turun tangan."

   "Akhirnya kita berdua akan melangsungkan juga duel matihidup di lorong bawah tanah ini."

   Sambil berkata, pelan-pelan Tan Sam-cing melolos sebilah pedang pendek yang bersinar tajam dari belakang bahunya.

   Begitu ia melolos pedang pendek, cahaya putih yang berkilau segera memancar menerangi lorong bawah tanah itu.

   Melihat Tosu itu sudah melolos pedang, Bong Thian-gak segera melompat ke muka dan berdiri di antara kedua orang itu, cegahnya.

   "Tunggu dulu! Bila Locianpwe berdua hendak bertarung, alangkah baiknya bila pertarungan dilangsungkan setelah berhasil menemukan si tabib sakti."

   "Tio-pangcu memaksa Pinto berkelahi sekarang juga,"

   Kata Tan Sam-cing.

   "Hm, aku tidak bodoh mengajak kau berkelahi di sini,"

   Sela Tio Tian-seng sambil tertawa dingin.

   "Kalau begitu, biar Pinto simpan kembali pedangku ini,"

   Kata Tan Sam-cing. Sembari berkata, dia memasukkan kembali pedang pendeknya ke dalam sarung.

   "Tan-koancu!"

   Seru Bong Thian-gak kemudian.

   "sekarang bawalah kami bertemu Gi Jian-cau."

   "Harap kalian berdua mengikuti aku."

   Dia membalikkan badan dan beranjak pergi lebih dulu.

   Bong Thian-gak serta Tio Tian-seng mengikut di belakangnya.

   Biarpun lorong bawah tanah itu sangat gelap hingga sukar dilalui, tetapi Tan Sam-cing dapat bergerak secepat terbang, malah sewaktu berbelok pun tak pernah ragu atau pun berhenti, agaknya dia memang menguasai keadaan tempat itu.

   Sesudah melalui enam persimpangan jalan dan menelusuri tujuh lorong, mendadak Tan Sam-cing menghentikan langkah, lalu melakukan pemeriksaan di sebuah dinding batu, kemudian ia menuju ke hadapan Bong Thian-gak dan bisiknya dengan suara lirih.

   "Ada orang telah memasuki ruang gua rahasia ini, bisa jadi musuh masih bercokol di dalam ruang itu."

   "Dimanakah letak ruang gua itu?"

   Tanya Bong Thian-gak dengan terkejut. Tan Sam-cing tidak menjawab pertanyaan itu, malah dia berkata.

   "Harap kalian berdua berjaga di kedua ujung lorong gua ini, Pinto akan segera membuka pintu rahasia menuju ke ruangan dalam."

   "Hai, hidung kerbau!"

   Seru Tio Tian-seng dingin.

   "Kau tidak usah bermain setan di hadapanku, sudah kuduga sejak tadi kau akan bersikap begini."

   Tan Sam-cing tak menggubris, kembali dia berkata.

   "Seandainya ruang rahasia itu sampai kemasukan orang, keselamatan jiwa si tabib sakti dan Keng-tim Suthay benarbenar berbahaya sekali. Kalian berdua tiarap selekasnya mengikuti perkataanku tadi dan berjaga-jaga di kedua ujung lorong, kita tak boleh membuang waktu lagi."

   Dalam pada itu Bong Thian-gak telah berjalan ke depan, Tio Tian-seng juga sudah mengundurkan diri dari situ.

   Pada saat itulah tiba-tiba Tan Sam-cing melolos pedangnya dari belakang bahu, sekilas cahaya tajam menyoroti dinding.

   Dengan pedang terhunus Tan Sam-cing berjalan beberapa langkah dengan menelusuri dinding batu sebelah kanan, tibatiba ia lepaskan sebuah tusukan ke atas dinding itu.

   Suara gemuruh bergema di angkasa.

   Dinding batu di sisi kiri Tan Sam-cing mendadak bergeser ke samping, sekilas cahaya lentera memancar masuk ke dalam lorong itu lewat celah-celah pintu.

   Sementara itu Tan Sam-cing telah mencabut pedang pendeknya dari dinding batu, dengan cepat tubuhnya berkelebat dan menerobos masuk melalui celah pintu yang terbuka.

   Tio Tian-seng serta Bong Thian-gak segera menyerbu bersama, kemudian menyelinap masuk pula melalui celah pintu yang terbuka.

   Setelah memasuki pintu rahasia itu, barulah diketahui bahwa tempat itu pun merupakan sebuah lorong bawah tanah pula.

   Hanya bedanya, lorong ini terang-benderang bermandikan cahaya, hampir setiap jarak tiga kaki terdapat sebuah lentera.

   Lorong itu lurus ke depan, waktu itu Tan Sam-cing sudah berada di depan sana.

   Tio Tian-seng dan Bong Thian-gak di kiri kanan segera melakukan pengejaran dengan menelusuri kedua sisi dinding gua.

   Pada ujung lorong itu terdapat sebuah tikungan menuju sebelah kiri, bayangan tubuh Tan Sam-cing lenyap di balik tikungan itu.

   Menyusul Bong Thian-gak serta Tio Tian-seng tiba juga di ujung tikungan sana, serentak mereka mendongakkan kepala.

   Pada ujung dinding sebelah kiri terdapat sebuah pintu, di balik pintu terbentang sebuah ruangan yang luas.

   Dalam ruangan ini pun tak nampak bayangan Tan Samcing.

   Namun di atas permukaan tanah tampak mayat bergelimpangan di sana-sini, ceceran darah menodai lantai, senjata berserakan, keadaan benar-benar mengerikan dan memilukan.

   Di antara korban yang tewas dan berserakan ini, selain terdapat kaum Tosu, terdapat pula gadis-gadis muda.

   Keadaan yang menyebabkan kematian hampir sama, ada yang kehilangan kepala, pinggangnya terpapas kutung, empat anggota badan berserakan, ada pula yang tewas tanpa meninggalkan bekas luka apa pun.

   Sekilas Bong Thian-gak mengetahui bahwa para korban adalah anggota Hiat-kiam-bun yang ditugaskan melindungi si tabib sakti mengolah obat, sedang kawanan Tosu itu dari kuil Sam-cing-koan.

   Di ruang belakang masih terdapat ruangan lain, dengan cepat Bong Thian-gak melakukan pemeriksaan ke situ.

   Dalam pada itu dari balik ruangan sebelah kiri tampak Tan Sam-cing muncul, setelah menghela napas sedih, ia berkata.

   "Sicu tak perlu masuk ke dalam lagi, tak seorang hidup pun yang terdapat di ruang dalam."

   "Bagaimana dengan si tabib sakti?"

   Tanya Bong Thian-gak kejut bercampur gelisah. Tan Sam-cing menghela napas panjang.

   "Ai, Hiolo pengolah obat masih terdapat di situ, namun orangnya sudah lenyap entah kemana."

   "Bagaimana dengan Keng-tim Suthay?"

   "Ia sudah tewas terkena musibah!"

   Mendengar Keng-tim Suthay terkena musibah, Bong Thiangak langsung berteriak.

   "Dimanakah jenazahnya sekarang?"

   Pada saat itulah tiba-tiba terdengar Tio Tian-seng berteriak dari belakang.

   "Tan Sam-cing, lebih baik kita langsungkan duel mati-hidup di tempat ini saja!"

   Bong Thian-gak tidak habis mengerti, mengapa Tio Tianseng menantang Tan Sam-cing berduel dalam keadaan dan situasi seperti ini. Tan Sam-cing tertawa tergelak dengan suara menyeramkan.

   "Tio Tian-seng, cepat atau lambat kita memang harus melaksanakan duel mati-hidup untuk menentukan nasib kita berdua."

   Dalam pada itu Bong Thian-gak merasa pedih dan kehilangan semangat sesudah mengetahui Keng-tim Suthay tewas terbunuh.

   Dalam keadaan demikian dia tak bersemangat lagi memperhatikan perselisihan di antara mereka berdua.

   Badannya segera berkelebat dan masuk ke ruang belakang dengan cepat.

   Di ruang belakang terdapat dua bilik, sebuah di sebelah kiri dan yang lain di sebelah kanan.

   Mula-mula Bong Thian-gak memasuki bilik sebelah kiri, di situ terdapat dua buah pembaringan, kelambu dan seprei masih teratur rapi, pakaian dan perabotan lainnya masih utuh, hanya tak nampak seorang pun.

   Di bagian depan terdapat sederet pembaringan dan perabotan lain, di sini juga tak nampak seorang pun.

   Buru-buru Bong Thian-gak menuju ke ruang lain, tempat itu hanya ada sebuah tungku raksasa berkaki tiga, sebuah pengolah obat terdapat di atas tungku, sementara beberapa buah bantal duduk berserakan di sekelilingnya.

   Di sisi tungku, dua orang bocah cilik duduk terbungkuk, mereka tak berkutik sama sekali, jelas sudah tewas.

   Selain jenazah kedua bocah itu, di dekat tungku bagian belakang, duduk bersila seorang tokoh setengah umur di atas kasur duduk.

   Tangan kirinya masih memegang Hud-tim, sedangkan tangan kanannya diletakkan di depan dada, wajahnya pucatpias dan matanya terpejam rapat.

   Sesudah melihat dengan jelas raut wajah tokoh setengah umur itu, Bong Thian-gak segera berteriak.

   "Keng-tim Suthay!"

   Ia menubruk ke depan, air matanya bercucuran dengan deras. Mimik tokoh setengah umur itu nampak tawar, sudah barang tentu tak dapat bersuara lagi.

   "Suthay, oh Suthay ... sungguh tak nyana perpisahan kita di Ho-pak tempo hari akan menjadi perpisahan untuk selamanya. Oh Suthay, siapakah orang yang telah mencelakaimu, siapakah orangnya?"

   Sambil menangis Bong Thian-gak menggoncang-goncang jenazah Keng tim Suthay.

   Tiba-tiba jenazah itu miring dan roboh ke kiri, sementara sepatu yang dikenakan pada kaki kanannya terlepas dan jatuh ke atas tanah.

   Bong Thian-gak bermata jeli, dengan cepat ia menangkap bahwa di balik telapak kaki kanan Keng-tim Suthay tertera jelas sederet tulisan.

   Dengan perasaan bergetar, Bong Thian-gak segera mendongakkan kepala.

   
Pendekar Cacad Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Ternyata tulisan itu berbunyi.

   "Sebutir pil pengembali sukma kusembunyikan di balik Hudtim, bunuh si tabib sakti."

   Bong Thian-gak berdiri termangu-mangu mengawasi kedua baris tulisan itu, terutama sekali kata-kata terakhir.

   "Bunuh si tabib sakti". Tulisan itu membuat pikirannya bimbang dan tak habis mengerti.

   "Mengapa ia mesti membunuh si tabib sakti? Mengapa?"

   Sesudah termangu-mangu sekian lama, akhirnya Bong Thian-gak mengenakan kembali sepatu itu Keng-tim Suthay, kemudian dengan cepat melepas pula sepatu kirinya.

   Ternyata pada kaki kiri pun tertera pula kedua baris tulisan itu.

   Pada saat inilah dari luar ruangan terdengar suara bentrokan senjata yang bergema amat keras.

   Bong Thian-gak segera mengambil Hud-tim Keng-tim Suthay dan menyembunyikannya di balik pakaian, lalu dengan cepat memburu ke ruang depan.

   Di ruang muka, suasana benar-benar tegang dan mengerikan.

   Hawa pedang menyelimuti ruangan, cahaya perak berkilauan seperti sambaran petir.

   Bayangan tubuh Tio Tian-seng serta Tan Sam-cing telah terkurung rapat di balik cahaya pedang itu.

   Kedua orang jago yang sangat lihai itu, masing-masing sedang mengembangkan ilmu pedang yang dimilikinya serta melangsungkan pertarungan mati-hidup yang amat sengit.

   Pedang pendek di tangan Tan Sam-cing berputar memercikkan bayangan pedang tajam, membacok, menyapu dan membabat penuh dengan kedahsyatan.

   Mendadak bentakan keras bergema, Tio Tian-seng melepaskan sebuah tusukan balasan dari arah samping.

   Tusukan itu dilepaskan dengan sepasang tangan menggenggam pedang bersama-sama.

   Jurus serangannya aneh, namun amat tangguh, merupakan jurus serangan lain daripada yang lain.

   Tampaknya Tan Sam-cing cukup mengetahui kelihaian serangan itu.

   Sambil membentak, cahaya pedang yang semula membentuk lingkaran bulat kini lenyap, sebagai gantinya muncul sekilas sinar bening yang pelan-pelan mendorong ke depan.

   Bunyi gemerincing nyaring memenuhi angkasa.

   Sepasang pedang Tio Tian-seng serta Tan Sam-cing telah saling bentur.

   Kali ini pedang pendek Tan Sam-cing yang tajam ternyata tidak mampu mengurungi pedang Tio Tian-seng.

   Setelah kedua belah pihak saling mengadu senjata sebanyak tiga kali, kedua belah pihak tidak segera menarik kembali senjatanya, namun mereka saling mengerahkan tenaga mengisap pedang lawan.

   Akibatnya kedua bilah pedang itu saling menempel bagai besi sembrani.

   Pantangan terbesar jago persilatan yang saling bertarung adalah adu tenaga dalam.

   Dengan saling menempelkan pedang, hakikatnya Tan Samcing maupun Tio Tian-seng sudah melangkah menuju ke suatu pertarungan tenaga dalam mengadu jiwa.

   Berada dalam keadaan begini, kedua belah pihak samasama tak berani mencabut pedang, bila satu pihak mencabut pedang, maka pedang lawan akan menusuk dan langsung menghujam ke tubuh lawan secara mematikan.

   Oleh sebab itu kedua belah pihak terpaksa harus mengerahkan tenaga dalam yang disalurkan ke batang pedang untuk mempertahankan senjata.

   Pertarungan semacam ini sukar menentukan menang-kalah secara cepat, seringkali di saat menang kalah ditentukan, kedua belah pihak sudah sama-sama terluka, kehabisan tenaga dalam dan akhirnya tewas bersama.

   Pada saat itulah suara benturan nyaring berkumandang.

   Bong Thian-gak sudah mencabut Pek-hiat-kiam dan secepat kilat menusuk ke tengah-tengah antara kedua pedang yang masih saling menempel itu.

   Tio Tian-seng serta Tan Sam-cing segera terpisah dan masing-masing mundur tiga langkah.

   Pedang Tio Tian-seng kembali putus sebagian, sebaliknya pedang Tan Sam-cing masih tetap utuh.

   Bong Thian-gak dengan masih memegang Pek-hiat-kiam yang memancarkan sinar merah memberi hormat kepada Tan Sam-cing serta Tio Tian-seng, lalu ujarnya dengan lantang.

   "Locianpwe berdua, buat apa kalian saling bertarung mati-matian?"

   Paras muka Tio Tian-seng kelihatan amat kereng dan serius, tiba-tiba ia berkata dengan suara pelan.

   "Bong-laute, tidakkah kau merasa bahwa Tan Sam-cing sangat mencurigakan?"

   "Apanya yang mencurigakan?"

   Tergerak hati Bong Thiangak.

   "Sudahkah Bong-laute periksa, telah berapa lama para korban itu menemui ajalnya?"

   "Ah! Betul, tampaknya mereka sudah tewas paling tidak satu hari sebelumnya."

   "Betul! Orang-orang itu sudah mati semalam sebelumnya, tapi menurut Tan Sam-cing waktu musuh menyusup masuk kemari, baru tiga jam berselang."

   Sambil tertawa dingin, Tan Sam-cing segera berkata.

   "Sejak kapan mereka menemui ajal? Apa hubungan serta sangkut-pautnya dengan diriku?"

   "Tentu saja besar sekali hubungannya,"

   Jawab Tio Tianseng dingin.

   "Andaikata Sam-cing Koancu hanya seorang jago lihai biasa saja, hal ini lain ceritanya. Tapi kau adalah Patkiam- hui-hiang yang amat termasyhur, apakah tidak mengetahui sama sekali terdapat banyak musuh tangguh yang sudah memasuki kuilmu? Apa ini tidak lucu namanya?"

   "Tio-pangcu,"

   Kata Bong Thian-gak dengan kening berkerut.

   "Sekalipun begitu, aku rasa masih belum cukup alasan untuk menuduh Tan-koancu sebagai komplotan kawanan pembunuh itu."

   "Bong-sicu, sudahkah kau saksikan apa yang menyebabkan kematian orang-orang itu?"

   Tanya Tio Tian-seng tawar.

   "Soal itu belum Boanpwe lihat."

   "Mereka tewas akibat saling bunuh sendiri. Bila tak percaya, silakan Bong-laute periksa dengan seksama semua korban itu, kau akan jumpai luka di tubuh para korban sesuai dengan kesimpulanku tadi."

   Bong Thian-gak berseru tertahan, dengan cepat ia berpaling dan ujarnya kepada Tan Sam-cing.

   "Tan-koancu, bagaimanakah penjelasanmu terhadap keterangan yang disampaikan Tio-pangcu?"

   "Memang tak salah, orang-orang itu tewas karena saling bunuh, tapi kematian Keng-tim Suthay serta kedua bocah itu adalah disebabkan tertotok jalan darahnya oleh seseorang. Keadaan inilah yang membuat orang bingung serta tak habis pikir."

   Setelah mendengar kata-katanya itu, mendadak Bong Thian-gak teringat akan sesuatu, ia segera bertanya.

   "Cianpwe berdua, tahukah kalian dalam Bu-lim terdapat semacam obat pembingung sukma?"

   "Bong-laute, maksudmu para korban telah dicekoki semacam obat pembingung sukma terlebih dahulu sehingga kejernihan otak mereka terganggu, akibatnya mereka mati karena saling bunuh di antara rekan sendiri?"

   "Boanpwe hanya ingin tahu, benarkah dalam Bu-lim terdapat obat sejenis itu."

   "Tentu saja ada."

   Bong Thian-gak menghela napas panjang.

   "Ai, Tio-pangcu, jika aku menduga pembunuhnya adalah si tabib sakti Gi Jiancau, bagaimana menurut pendapatmu?"

   "Aku pun menduga begitu,"

   Sahut Tio Tian-seng dengan suara dalam.

   "Ada seorang jago lihai yang telah menyerbu masuk kemari, pertama-tama ia membunuh Keng-tim Suthay serta kedua bocah itu, kemudian mencuri obat pembingung sukma milik Gi Jian-cau serta mencekokkan obat tadi kepada kawanan jago lainnya, akibatnya terjadilah peristiwa saling bunuh yang mengerikan ini, entah bagaimana pula menurut pendapatmu atas dugaanku ini?"

   "Tentu saja masuk akal juga,"

   Tan Sam-cing menanggapi.

   "Dan menurut dugaanku, bisa jadi si pembunuh adalah orang-orang Sam-cing-koan."

   "Betul, bisa jadi si pembunuh sudah mengenal keadaan dalam kuil Sam-cing-koan,"

   Katanya membenarkan. Paras muka Tio Tian-seng berubah kereng dan serius, kembali ia berkata.

   "Tan-koancu, bila kau gagal menemukan sang pembunuh, maka kau sendiri sulit untuk meloloskan diri dari kecurigaan kami."

   Tan Sam-cing tertawa dingin.

   "Rupanya Tio-pangcu menuduh Pinto sebagai Hek-mo-ong?"

   "Kecuali kau dapat menunjukkan siapakah Hek-mo-ong yang sesungguhnya,"

   Sahut Tio Tian-seng sambil tertawa dingin pula.

   "Tio-pangcu, berulang kali kau menuduhku sebagai Hekmo- ong, sesungguhnya apa yang terkandung di balik tuduhan jahatmu itu?"

   "Berdasarkan berbagai kecurigaan dan bukti yang kudapat, Tan-koancu memang patut dicurigai sebagai gembong iblis terkutuk itu."

   "Seandainya aku adalah Hek-mo-ong, maka kalian berdua anggap masih bisa hidup sampai sekarang?"

   "Hari ini, seandainya aku memasuki kuil Sam-cing-koan seorang diri, besar kemungkinan sudah mengalami musibah dan terbunuh mati,"

   Kata Tio Tian-seng dingin.

   "tapi sayangnya kehadiranku sekarang justru ditemani oleh seorang jago lihai lain yakni sastrawan cacat, biarpun Hek-mo-ong berkepala tiga enam lengan, belum tentu ia mampu menghadapi diriku serta sastrawan cacat bersama-sama. Inilah yang menyebabkan kami bisa hidup sampai sekarang dalam keadaan selamat."

   "Hek-mo-ong bisa membunuh orang tanpa menunjukkan wujud serta bayangan tubuhnya,"

   Kata Tan Sam-cing dingin.

   "Seandainya Pinto adalah Hek-mo-ong, maka kalian berdua tak akan bisa lolos dari kuil Sam-cing-koan ini."

   Sementara itu Bong Thian-gak sedang memikirkan kedua baris kata yang ditinggalkan Keng-tim Suthay menjelang ajalnya.

   Berdasarkan kedua kalimat itu, bisa jadi Keng-tim Suthay telah menduga sebelumnya akan terjadi suatu peristiwa di situ.

   Itulah sebabnya dia menyembunyikan sebutir pil pengembali sukma dalam Hud-timnya sebelum dia ajal, Kengtim Suthay berpesan pula agar Gi Jian-cau dibunuh, mungkinkah si tabib sakti adalah jelmaan Hek-mo-ong? Tapi ada persoalan lain yang membingungkannya, andaikata Gi Jian-cau benar-benar adalah otak di belakang layar yang menyetir Put-gwa-cin-kau dan juga adalah Hek-moong, lantas mengapa pula dia mesti mengolah obat pengembali sukma? Bong Thian-gak tidak berani mengutarakan peristiwa itu kepada siapa pun, dia tak ingin orang lain mengetahui pesan terakhir Keng-tim Suthay.

   Menurut pendapatnya, tuduhan Tio Tian-seng kepada Tan Sam-cing sebagai Hek-mo-ong memang terdapat pula beberapa bagian yang mencurigakan.

   Maka sekarang untuk menyingkap teka-teki siapakah sebenarnya Hek-mo-ong, rasanya hanya bisa terungkap setelah Hek-mo-ong muncul.

   Apa yang dikatakan Tan Sam-cing memang benar, Hek-moong tak akan melepaskan dia serta Tio Tan-seng begitu saja, oleh karena itu mereka berdua tak perlu berdiam lebih lama lagi di sini.

   Bong Thian-gak menghela napas, kemudian katanya.

   "Tiopangcu, sekarang jejak Gi Jian-cau masih misterius, kita tak usah berdiam lebih lama lagi dalam kuil ini."

   "Justru yang kukuatirkan adalah Gi Jian-cau masih bercokol dalam Sam-cing-koan."

   "Seandainya dia masih berada dalam kuil Sam-cing-koan, sudah pasti Tan-koancu dapat mengatasinya."

   Sementara itu Tan Sam-cing masih berdiri termenung, seakan-akan sedang memikirkan sesuatu, kemudian ia menghela napas panjang dan beial, pelan-pelan katanya.

   "Hai tua bangka, sejak hari ini Pinto akan terjun kembali ke dunia Kangouw."

   Tatkala mengucapkan kata-katanya itu, mukanya memperlihatkan tanda sedih dan menderita yang tak terkirakan.

   Kata-katanya diucapkan sangat lambat seakan membutuhkan dorongan kekuatan.

   Sekulum senyuman segera menghiasi wajah Tio Tian-seng.

   Tan Sam-cing memandang sekejap ke arah Tio Tian-seng, lalu melanjutkan.

   "Namun di saat Pinto mengetahui siapakah Hek-mo-ong yang sebenarnya, maka seorang di antara kita berdua akan mampus dan pulang ke neraka."

   Tio Tian-seng tersenyum.

   "Sejak dulu, pedang lurus dan pedang sesat memang tak bisa hidup berdampingan, ibarat api dan air."

   "Kalau kau sudah mengetahui akan hal itu, mengapa mesti menggunakan berbagai akal muslihat untuk memaksaku terjun kembali ke dunia persilatan?"

   Seru Tan Sam-cing dengan penuh kepedihan.

   "Sebab untuk membunuh Hek-mo-ong, kecuali pedang lurus dan pedang sesat bersatu, rasanya tiada yang mampu membendungnya."

   "Kalau begitu tujuanmu adalah memaksaku terjun kembali ke dunia persilatan?"

   "Selain itu masih ada satu hal lagi, yakni untuk membuktikan benarkah kau bukan Hek-mo-ong."

   "Sejak puluhan tahun berselang, Pinto sudah menduga asal-usul Hek-mo-ong, di antara empat orang yang kucurigai, kau Tio Tian-seng termasuk salah seorang di antaranya."

   "Bagus, bagus sekali!"

   Kata Tio Tian-seng sambil tertawa.

   "Tan Sam-cing juga termasuk satu di antara empat orang yang kucurigai."

   Bong Thian-gak hanya mengetahui sedikit hal yang menyangkut kedua orang Bu-lim Cianpwe ini, karenanya sikap permusuhan dan bersahabat yang ditunjukkan kedua orang ini membuatnya melongo kebingungan dan tak habis mengerti.

   Setelah menghela napas panjang, kembali Tan Sam-cing berkata.

   "Apakah kalian berdua hendak meninggalkan kuil Sam-cing-koan?"

   "Aku memang menunggu Tan-koancu bertindak sebagai petunjuk jalan,"

   Sahut Tio Tian-seng.

   Di bawah petunjuk Tan Sam-cing, Bong Thian-gak dan Tio Tian-seng keluar dari gua bawah tanah dan meninggalkan kuil Sam-cing-koan.

   Di saat keduanya memasuki kuil Sam-cing-koan, waktu mendekati senja, tatkala meninggalkan tempat itu, waktu sudah tengah malam.

   Mereka berada dalam gua bawah tanah selama tiga jam lebih.

   Pengalaman yang dialaminya selama tiga jam lebih yang singkat itu penuh diliputi perasaan tegang, seram, sedih, mengenaskan serta berbagai macam perasaan lainnya.

   Kematian Keng-tim Suthay membuat Bong Thian-gak sedih, murung dan kesal atas masa depan Hiat-kiam-bun.

   Hiat-kiam-bun dari tangan Keng-tim Suthay telah diserahkan ke Bong Thian-gak.

   Walaupun hanya dalam tujuh hari yang singkat, namun sejak pertarungan berdarah di kuil Hong-kong-si, tampaknya anak murid Hiat-kiam-bun telah menderita kerugian cukup parah, hampir separoh anggota tewas dan terluka parah, terutama kematian Keng-tim Suthay dan Ang Teng-sui sekalian jago-jago tangguh saat ini, Hiatkiam- hun sedang berada di ambang kehancuran.

   Pendekar Cacad Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Ai!"

   Helaan napas berat dan pedih akhirnya keluar dari mulut Hong Thian-gak. Mo-kiam-sin-kun Tio Tian-seng menengok sekejap ke arahnya, lalu menegur.

   "Bong-laute, mengapa kau menghela napas panjang?"

   "Tidak apa-apa,"

   Sahut Bong Thian-gak sambil menggeleng.

   "Entah Tio pangcu hendak pergi kemana?"

   "Aku hendak pergi mengejar si tabib sakti."

   "Darimana kita bisa mengetahui jejaknya?"

   "Bila jejaknya sudah ketahuan, urusan akan bisa diselesaikan dengan mudah. Bong-laute, kau hendak kemana?"

   Bong Thian-gak termenung beberapa saat lalu sahutnya pula.

   "Boanpwe bermaksud berpisah dengan Locianpwe untuk sementara waktu."

   "Mau kemana? Apakah pergi ke Ho-pak?"

   "Benar, aku ingin menuju Ho-pak dan memberitahu kematian Keng tim Suthay kepada putrinya." "Bong-laute, aku hendak memberitahukan satu hal kepadamu, dalam pertarungan di kuil Hong-kong-si tempo hari, terdapat banyak sekali jago lihai yang terluka parah, keselamatan jiwanya terancam dan mereka sedang menunggu kehadiran si tabib sakti Gi Jian-cau untuk mengobati lukanya. Apakah Bong-laute bersedia meninggalkan dulu urusan pribadimu untuk mendampingi diriku mencari si tabib sakti?"

   "Ah, siapa saja yang terluka dalam pertarungan itu?"

   Tanya Bong Thian gak berseru tertahan.

   "Mereka yang lolos dari kematian adalah Hong-kong Hwesio, Mo Mui Thian, Han Siau-liong, To Siau-hou, tiga puluh empat jago kami kecuali itu Khi, yang lain terkena racun jahat yang dilepaskan Ji-kaucu sekarang keselamatan jiwa mereka terancam."

   "Ah, jika mereka gagal mendapatkan pengobatan dari si tabib sakti, bukankah jiwa mereka akan hilang?"

   Seru Bong Thian-gak sangat terkejut.

   "Ya, tentu saja sulit bagi mereka meloloskan diri dari musibah itu."

   "Lantas bagaimana cara kita menemukan si tabib sakti?"

   Tanya Bong Thian-gak sesudah temenung sebentar.

   "Lebih baik kita menunggu kabar Tan Sam-cing di kota Lokyang."

   "Apakah Tan Sam-cing mengetahui jejak si tabib sakti itu?"

   "Si tabib sakti lenyap dalam kuil Sam-cing-koan, tentu saja Tan Sam-cing seorang yang bisa mengejar dan mendapatkan jejaknya."

   Bong Thian-gak menghela napas panjang.

   "Andaikata Tan Sam-cing tidak menyampaikan kabar itu kepada kita?" "Kecuali Tan Sam-cing adalah Hek-mo-ong atau dia enggan terjun kembali ke dunia persilatan. Kalau tidak, dalam tiga hari mendatang sudah pasti kita akan memperoleh kabar dari Tan Sam-cing."

   "Tio-pangcu,"

   Kata Bong Thian-gak menghela napas panjang.

   "aku dapat merasakan bahwa di antara kau dan Tan Sam-cing, rasanya terjalin suatu hubungan budi dan dendam yang rumit."

   Mendadak Tio Tian-seng menghentikan langkah, jawabnya.

   "Benar di antara kami berdua memang terjalin hubungan budi dan dendam yang tak bisa disampaikan kepada siapa pun."

   Tio Tian-seng berhenti, Bong Thian-gak pun ikut menghentikan langkah, kemudian memandang sekeliling tempat itu.

   Malam itu kabut sangat tebal, sejauh mata memandang hanya warna putih menyelimuti padang rumput itu.

   Suasana begitu hening, sepi, tiada angin yang berhembus, tiada suara, rumput pun seakan-akan turut tak bergoyang.

   Tiba-tiba mencorong sinar tajam dari balik mata Tio Tianseng, dia mengawasi hutan di hadapannya tanpa berkedip.

   Tergetar hati Bong Thian-gak melihat hal ini, segera tegurnya.

   "Tio-pangcu, apa yang kau temukan?"

   "Bau musuh."

   "Musuh?"

   Semangat Bong Thian-gak berkobar kembali.

   "Dimana mereka?"

   "Tunggu dulu! Jika mataku belum kabur, aku yakin musuh yang kita hadapi sekarang adalah tokoh persilatan yang menakutkan."

   "Kau maksudkan Hek-mo-ong?"

   Tanya Bong Thian-gak terkejut. Tio Tian-seng manggut-manggut.

   "Ya, sebaiknya kita duduk bersila di sini menunggu datangnya fajar."

   Seusai berkata, Tio Tian-seng segera duduk bersila di atas tanah.

   "Benarkah kita akan menunggu sampai datangnya fajar?"

   Bong Thian-gak bertanya lagi dengan kening berkerut.

   "Tengah malam sudah tiba, rumah penginapan di kota sudah tutup pintu, jangan harap kita bisa mendapatkan rumah penginapan dalam keadaan begini. Apa salahnya kita menginap semalam di udara terbuka?"

   Mendengar jawaban itu, Bong Thian-gak segera berpikir.

   "Aneh, mengapa Tio Tian-seng begitu takut terhadap Hek-moong? Hanya angin yang menghembus rumput saja sudah membuatnya tegang dan salah mengira sebagai kehadiran Hek-mo-ong."

   Walaupun dalam hati dia merasa geli, namun ia pun duduk bersila di samping Tio Tian-seng.

   Padahal satu jam kemudian fajar telah menyingsing sehingga mereka tak perlu mencari tempat penginapan.

   Sementara itu suara di sekeliling sana terasa begitu hening dan sepi hingga tampak mengerikan, dua orang tokoh sakti duduk bersila di atau tanah sambil mengatur napas.

   Dalam keadaan begini, jangankan kehadiran manusia, daun rontok pun dapat mereka dengar dengan jelas.

   Namun kedua orang itu tidak mendengar sedikit suara pun, Tio Tian seng mulai berpikir.

   "Ah, mungkin aku salah melihat tadi."

   Mendadak telinganya menangkap suara dengingan nyamuk di sisi tubuhnya.

   Cepat Tio Tian-seng membuka mata.

   Bong Thian-gak yang berada di sampingnya sudah menepuk wajah sendiri, jelas ia sudah menepuk mati seekor nyamuk.

   Pada saat itu pula Tio Tian-seng merasa pipi kanannya digigit pula seekor nyamuk.

   la segera membunuh nyamuk itu.

   Perbuatan yang dilakukan kedua orang itu bersamaan waktunya dan kebetulan sekali, tapi justru itu menimbulkan kecurigaan Mo-kiamsin-kuh Tio Tian-seng yang banyak akal dan matang pengalaman ini.

   Perasaannya kontan bergetar keras, dengan cepat ia berkat "Bong-laute, tidak kau rasakan datangnya kedua ekor nyamuk tadi rada aneh."

   "Di tengah padang rumput memang banyak lalat dan nyamuk, apa yang aneh?"

   "Malam ini kabut sangat tebal, udara pun lembab, darimana bisa muncul nyamuk? Dan pula cuma dua ekor saja."

   Belum habis berkata, terdengar lagi suara dengingan nyamuk, kali ini muncul tiga ekor.

   Tio Tian-seng segera mengebas ujung bajunya melepas pukulan ke depan.

   Agaknya leher Bong Thian-gak telah tergigit oleh seekor nyamuk dia mengayun tangan dan membunuh seekor lagi.

   Mendadak Tio Tian-seng berdiri, lalu serunya dengan sua dalam.

   "Bong-laute, mari kita cepat pergi."

   "Tio-pangcu hendak kemana?"

   Tanya Bong Thian-gak tertegun.

   "Kita sudah terkena serangan gelap musuh,"

   Kata Tio Tiansen dengan paras muka berubah hebat.

   "Tio-pangcu, kau maksudkan beberapa ekor nyamuk tadi?"

   Tany sang pemuda keheranan.

   "Benar, nyamuk itu adalah nyamuk beracun yang dilepas musuh untuk menyerang kita."

   Bong Thian-gak tersenyum.

   "Bukankah Tio-pangcu telah tergigit oleh nyamuk itu? Apakah kau merasakan sesuatu gejala aneh dalam tubuhmu?"

   "Tubuhku tidak merasakan sesuatu gejala aneh, namun aku tahu nyamuk itu bukan nyamuk biasa yang banyak terdapat di padan rumput. Bong-laute, lebih baik turuti kata-kataku, mari kita tinggalkan tempat ini secepatnya."

   Bong Thian-gak tertawa ringan sambil berdiri, sahutnya.

   "Kau hendak kemana? Harap Tio-pangcu membuka jalan!"

   Tio Tian-seng mengerahkan ilmu meringankan tubuh meluncur ke arah kota Lok-yang, Bong Thian-gak mengikut di belakangnya dengan ketat.

   Sesudah menempuh perjalanan sejauh tiga li lebih, tiba-tiba Bong Thian-gak menjerit kaget.

   Tio Tian-seng segera menghentikan langkah seraya berpaling, tegurnya.

   "Kenapa kau, Bong-laute?"

   "Boanpwe mulai merasa gatal dan panas sekali di sekitar tempat yang tergigit nyamuk tadi."

   Berubah hebat paras Tio Tian-seng, serunya gelisah.

   "Benarkah perkataanmu itu?"

   "Bukankah kau sendiri juga tergigit nyamuk? Apakah kau tidak merasakan gejala itu."

   "Oh, belum."

   "Mungkin kita bukan terkena serangan musuh."

   "Lebih baik kita duduk bersemedi, kita coba mendesak keluar racun yang mengeram dalam tubuh dengan mengandal tenaga dalam."

   Bong Thian-gak mendongakkan kepala dan memandang sekejap sekeliling tempat itu, dia merasa jaraknya dengan kota Lok-yang sudah tidak jauh lagi, bahkan di depan situ sudah tampak rumah penduduk. Maka dia pun menjawab.

   "Rasa gatal dan panas tidak kurasakan, lebih baik kita berangkat ke kota Lok-yang!"

   "Nyamuk itu tak salah lagi adalah nyamuk beracun. Mumpung racunnya belum mulai bekerja, lebih baik kita coba mendesaknya keluar dengan tenaga dalam, siapa tahu masih belum terlambat."

   Siapa tahu baru selesai dia mengucapkan perkataan itu, mendadak dari belakang tubuh mereka terdengar seorang menyambung.

   "Sayang sudah terlambat, kalian sudah tergigit nyamuk beracun. Nyamuk itu merupakan nyamuk penghancur darah yang berasal dari wilayah Biau. Seandainya di tempat ini ada sinar lentera, maka kalian pasti sudah melihat kulit kalian pucat sekali."

   Mendengar perkataan itu, Tio Tian-seng dan Bong Thiangak negera membalikkan badan. Di belakang mereka, di bawah sebatang pohon di tepi jalan, tampak seseorang berdiri di situ. Sambil tertawa dingin Bong Thian-gak segera membentak.

   "Siapa Kau "

   Pelan-pelan orang itu berjalan ke depan, lalu sahutnya.

   "Wanita Biau dari bukit Bong-san, Biau-kosiu!"

   Begitu selesai berkata, ia sudah tiba di hadapan Bong Thian-gak berdua.

   Di bawah cahaya rembulan, tampak gadis suku Biau ini berwajah cantik, mengenakan pakaian pendek dan sempit, lengannya telanjang, kulit tubuhnya halus dan putih, potongan badannya tinggi semampai, mendatangkan rangsangan bagi siapa pun yang memandangnya.

   Wajah bulat telur dengan mata jeli, hidung mancung dan bibir kecil mungil, wajah yang cantik menawan hati.

   Bong Thian-gak dan Tio Tian-seng tertegun melihat kemunculan gadis muda itu, dalam hati mereka merasa keheranan.

   Sesudah tertegun beberapa saat, Bong Thian-gak menegur.

   "Kau yang melepaskan nyamuk-nyamuk beracun itu untuk melukai kami?"

   Gadis Biau yang cantik jelita itu mengedipkan matanya yang jeli, kemudian setelah memandang sekejap ke arah Bong Thian-gak, ia menggeleng.

   "Bukan."

   "Kalau begitu kau tahu siapa yang telah turun tangan mencelakai kami?"

   "Tentu saja tahu."

   "Siapakah dia? Cepat katakan."

   "Mengapa aku mesti memberitahukan kepadamu?"

   Tio Tian-seng menghela napas sedih, kemudian menimbrung.

   "Nona mengetahui begitu jelas tentang sifat dan kemampuan nyamuk penghancur darah, berarti nona pun dapat menyembuhkan racun akibat gigitan nyamuk itu bukan?" * Biau-kosiu atau gadis Biau yang cantik jelita itu memandang sekejap ke arah Tio Tian-seng, kemudian menyahut.

   "Sebagai suku Biau, jangankan aku, bocah tiga tahun pun dapat menyembuhkan, cuma sayang nyamuk penghancur darah yang menggigit kalian merupakan nyamuk penghancur darah peliharaan orang lain, jadi sifat racunnya tidak mudah disembuhkan begitu saja." "Bila nona dapat menolong kami menyembuhkan gigitan nyamuk ini, budi kebaikanmu tak akan kulupakan selamanya,"

   Ucap Tio Tian-seng dengan sedih. Mimpi pun Bong Thian-gak tidak menyangka Tio Tian-seng akan memohon pertolongan gadis itu.

   "Boleh saja kutolong kalian, cuma aku tak bakal menolong kalian berdua begitu saja,"

   Ucap si nona suku Biau dengan suara merdu.

   "Nona mempunyai syarat? Apa syaratnya?"

   "Bila aku beri obat penawar racun pada kalian, besar kemungkinan ada orang hendak turun tangan jahat kepadaku. Oleh sebab itu aku minta kalian berdua melindungi keselamatan jiwaku."

   "Syarat ini sangat gampang, kami menyanggupi permintaanmu itu,"

   Sahut Tio Tian-seng cepat.

   
Pendekar Cacad Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Orang persilatan paling mengutamakan pegang janji, kalian jangan menyesal di kemudian hari."

   Dengan suara lantang Bong Thian-gak segera berseru.

   "Sekalipun nona tidak menghadiahkan obat kepada kami, seandainya jiwa nona terancam oleh manusia laknat, kami juga bersedia membantumu."

   Gadis suku Biau itu menggeleng kepala berulang-kali.

   "Yang kumaksudkan melindungi keselamatan jiwaku adalah kalian berdua mesti selalu mendampingiku, mengawal aku kemana pun aku pergi dan mengikuti perintahku."

   "Ah, kalau soal ini sulit kukabulkan,"

   Ucap Bong Thian-gak.

   "Kalau tidak setuju, ya sudah, selamat tinggal!"

   Kata gadis suku Biau itu ketus. Seusai berkata, ia membalikkan badan dan segera beranjak pergi. Dengan suara dalam Tio Tian-seng berseru.

   "Nona, harap tunggu sebentar!"

   "Kalian setuju?"

   Tanya si gadis sambil berpaling. Tio Tian-seng tertawa rawan, ia tidak menjawab pertanyaan itu, sebaliknya bertanya.

   "Apakah nona membawa obat penawar racun itu?"

   "Apakah kalian berniat merampas dengan kekerasan?"

   "Tidak berani, aku hanya ingin bertanya dimanakah nona berdiam?"

   "Buat apa kau tanyakan hal ini?"

   "Jika suatu ketika kami berubah pendirian, kami bisa langsung pergi mencari nona!"

   "Dengan mengetahui tempat tinggalku, bukankah kalian pun mempunyai peluang untuk mencuri."

   "Nona begitu cermat, hati-hati dan cerdik. Sekalipun kami berniat mencuri, mana mungkin akan berhasil?"

   Gadis Biau itu tertawa dingin.

   "Aku berdiam di rumah penginapan Ban-heng di kota Lokyang. Selewat dua belas jam jika kalian belum juga mendapatkan obat penawar racun itu, maka racun yang mengeram dalam tubuh kalian tak akan terobati lagi."

   Habis berkata, gadis Biau itu menggoyang pinggul dan berkelebat pergi, bayangannya lenyap di balik kegelapan sana. Memandang bayangan tubuhnya, Tio Tian-seng menghela napas panjang, kemudian ujarnya.

   "Bong-laute, apakah kita mesti menunggu datangnya malaikat maut mencabut nyawa kita?"

   "Kecuali memenuhi syarat yang diajukan olehnya, terpaksa memang kita hanya bisa menunggu datangnya ajal."

   Tio Tian-seng tertawa pedih.

   "Sekarang kita cuma ada dua jalan saja yaitu menggertaknya agar mau menyerahkan obat penawar racun atau pura-pura menyanggupi permintaannya."

   "Aku takut berbuat begitu, kita akan kehilangan pamor sebagai umat persilatan."

   Sekali lagi Tio Tian-seng tertawa sedih.

   "Dalam persilatan banyak terjadi peristiwa yang merugikan pihak lain seperti ini. Bila kita berhasil merenggut nyawanya pun, aku rasa hal ini bukan suatu dosa besar, mengingat tindakannya berpeluk tangan melihat jiwa orang terancam sudah melanggar peraturan dunia persilatan."

   "Tio-pangcu,"

   Kata Bong Thian-gak kemudian sesudah menghela napas sedih.

   "sudah kau saksikan bahwa perempuan ini sangat cerdik, teliti dan seksama, caranya bicaranya pun sangat diplomatis dan tajam, aku lihat dia bukan perempuan biasa."

   "Aku memang dapat merasakan, gadis ini berbeda sekali dengan kebanyakan gadis lain, tapi kita kan tak bisa berpeluk tangan menanti tibanya ajal bukan?"

   Sekali lagi Bong Thian-gak menghela napas, setelah mengangkat kepala dan memandang cuaca, dia berkata.

   "Sekurangnya kentongan kelima telah tiba, lebih baik kita berdiam dulu di rumah penginapan Banheng sambil menunggu perkembangan situasi!"

   Tio Tian-seng menyetujui usul Bong Thian-gak, maka dengan langkah pelan berangkatlah mereka ke kota Lok-yang. Sambil berjalan Bong Thian-gak bertanya.

   "Tio-pangcu, apakah kau sudah merasakan sesuatu perubahan di dalam tubuhmu?"

   "Ya, pipiku mulai terasa panas." "Ai, aku pun mulai merasa kaku pada sekeliling mulut luka itu."

   "Berarti kita benar-benar sudah terkena racun. Bisa jadi satu jam kemudian, sekujur badan kita akan menjadi kaku dan tidak dapat bergerak lagi, mari kita percepat perjalanan kita!"

   Sambil berkata, kedua orang itu menggunakan Ginkang menuju ke arah dinding kota. Dalam perjalanan, tiba-tiba dari balik kegelapan sana terdengar suara bentakan nyaring.

   "Kalian kawanan manusia laknat darimana? Ayo cepat kalian sebutkan namamu!"

   Bong Thian-gak menjadi tertegun mendengar suara itu, katanya kemudian.

   "Tio-pangcu, nada suara ini sangat kukenal, apakah suara gadis suku Biau itu?"

   "Benar,"

   Tio Tian-seng mengangguk.

   "memang suaranya, mari kita tengok ke sana!"

   Kedua orang itu segera mengubah arah dan menuju ke sudut kota sebelah utara.

   Di sisi dinding kota, di bawah beberapa batang pohon besar, tampak delapan lelaki kekar berbaju hitam dengan pedang terhunus sedang mengepung gadis suku Biau.

   Sedang di balik kegelapan di sisi dinding kota rasanya masih berdiri pula sekelompok orang sedang mengawasi arena.

   Sebenarnya Bong Thian-gak hendak melompat keluar, tapi Tio Tan seng segera menarik tangannya sambil berbisik.

   "Tunggu dulu, mari kita selidiki dulu asal-usul gadis suku Biau itu!"

   Mereka berdua lantas menyelinap ke balik pohon besar.

   Dalam pada itu kedelapan lelaki kekar berpedang itu sudah mulai melancarkan serangan, tiga orang pertama dengan ketiga pedangnya secepat kilat melancarkan tusukan ke gadis itu.

   Dari kecepatan mereka melancarkan serangan, dapat dilihat kepandaian silat orang-orang itu cukup hebat.

   Siapa sangka baru saja ketiga lelaki itu melancarkan serangannya, tiba-tiba bergema jerit kesakitan yang memilukan seperti jeritan babi yang disembelih.

   Ketiga orang itu tahu-tahu sudah membuang pedang mereka dan menutup wajah dengan kedua belah tangan dan bergulingan di atas tanah, tak lama kemudian mengejang keras dan tak berkutik lagi untuk selamanya.

   Kejadian di depan mata ini kontan membuat semua jago lainnya berkerut kening, sebab barusan tak seorang pun di antara mereka yang melihat bagaimana gadis Biau melepaskan serangan.

   Dengan terkejut Bong Thian-gak segera bertanya.

   "Tiopangcu, sudahkah kau lihat dengan kepandaian apakah ia melukai musuh-musuhnya?"

   Tio Tian-seng menggeleng.

   "Sepasang tangannya sama sekali tidak bergerak, tapi musuh segera menjerit kesakitan. Mungkin ada orang lain yang membantunya secara diam-diam?"

   "Tempat persembunyian kita letaknya cukup strategis, semua penjuru arena bisa terlihat dengan jelas, tapi kenyataan kita tidak melihat kehadiran orang lain di seputar arena yang telah membantunya."

   "Aku rasa ketiga orang itu seperti tewas oleh serangan senjata rahasia beracun yang kecil dan lembut bentuknya, bisa jadi sebangsa jarum bunga Bwe atau sebangsanya yang melukai mata mereka. Kalau begitu gadis itu melepaskan senjata rahasia dengan menggunakan semburan mulut."

   Belum selesai ia berkata, lima lelaki berbaju hitam lainnya sudah menggerakkan pedang memainkan selapis kabut pedang, kemudian bersama-sama melancarkan bacokan kilat yang sangat hebat.

   Kali ini gadis Biau itu melakukan putaran badan satu lingkaran, jeritan demi jeritan ngeri yang menyayat hati sekali lagi berkumandang.

   Yang lebih mengerikan lagi adalah gadis Biau itu masih belum juga menggerakkan tangan melancarkan serangan, tapi hasilnya kelima orang itu sudah roboh bergulingan sambil menjerit kesakitan, bahkan jiwa mereka melayang.

   Bong Thian-gak pun berseru tertahan, lalu bisiknya.

   "Perkataan Tio-pangcu memang benar, jarum beracun itu disemburkan lewat mulut."

   Dalam pada itu rombongan orang yang berdiri di sisi dinding kota mulah menerjang tiba dengan gerakan cepat, mereka terdiri dari delapan orang lelaki berbaju hitam pula. Mendadak bergema suara bentakan.

   "Mundur!"

   Kedelapan orang yang sudah menerjang ke depan tadi serentak menghentikan langkah. Dari balik kegelapan pelan-pelan muncul seorang, setelah tertawa terbahak-bahak ia berkata.

   "Jarum beracun nona memang lihai sekali. Malam ini aku benar-benar memperoleh pengetahuan yang sangat berharga, rasanya di kolong langit dewasa ini hanya satu orang yang mampu menyebarkan racun melalui mulut, dia adalah Kui-kok Sianseng dari bukit Bongsan."

   Gadis Biau itu tertawa kecil.

   "Kau mampu melihat semburan jarum beracunku lewat mulut, ketajaman matamu memang pantas disebut jagoan persilatan. Ayo sebutkan siapa namamu!"

   Kakek bungkuk itu kembali tertawa.

   "Aku she Bu bernama Seng."

   Begitu si kakek bungkuk menyebut namanya, Tio Tian-seng segera berbisik lirih.

   "Ah, dia adalah si pukulan tanpa wujud Bu Seng."

   "Tio-pangcu apakah dia adalah pukulan tanpa wujud Bu Seng yang angkat nama bersama guruku Thi-ciang-kan-kunhoan Oh Ciong-hu pada empat puluh tahun berselang?"

   Tanya Bong Thian-gak. Tio Tian-seng mengangguk membenarkan.

   "Betul, kalau dibilang siapa-siapa saja yang termasyhur dalam Bu-lim karena ilmu pukulannya, maka orang pertama adalah gurumu Oh Hong hu almarhum, kemudian Bu Seng. Sungguh tak kusangka Bu Seng masih hidup."

   Sementara itu setelah kakek bungkuk itu menyebut namanya, sambil tersenyum gadis Biau itu berkata.

   "Pukulan tanpa wujud Bu Seng memang termasyhur dalam persilatan, namun malam ini di sini masih hadir pula seorang yang mempunyai nama besar lebih termasyhur daripadamu dan orang itu sudah menjadi pengawalku sekarang."

   Mendengar itu, si kakek bungkuk tertawa terbahak-bahak.

   "Siapa nama besar pengawal nona itu?"

   Agaknya dia belum percaya atas perkataan gadis Biau itu. Sesungguhnya berapa orangkah yang mempunyai nama dan kedudukan yang lebih tinggi daripada dirinya saat ini? "Si tua Bu, rupanya kau tidak percaya perkataanku ini,"

   Seru gadis itu sambil tertawa.

   "Coba jawab, cukup tenarkah nama besar Mo-kiam-sin-kun Tio Tian-seng dalam dunia persilatan?"

   Mendengar kata-katanya itu, Bong Thian-gak segera berpaling dan memandang sekejap ke arah Tio Tian-seng. Tampak Tio Tian-seng menggeleng kepala sambil tertawa getir.

   "Wah, agaknya dia telah menganggap kita berdua sebagai pengawalnya."

   Sementara itu si kakek bungkuk sudah dibuat serba salah oleh perkataan lawan, dengan wajah meringis katanya.

   "Tio Tian-seng adalah Kay-pang Pangcu, masakah dia pengawalmu? Benar-benar melantur dan tak bisa dipercaya."

   "Hei, si tua Bu, bagaimana kalau kita bertaruh?"

   Tantang si gadis suku Biau itu dengan suara merdu.

   "Bagaimana caranya bertaruh?"

   "Seandainya Tio Tian-seng adalah benar-benar pengawalku, kau mesti segera mengundurkan diri dan tidak lagi mencari gara-gara kepada nonamu ini, setuju?"

   Kakek bungkuk itu tertawa keras.

   "Hahaha, bagaimana caramu membuktikan bahwa Tio Tian-seng adalah pengawalmu? Apakah cuma mengandalkan bibirmu yang pandai bicara itu?"

   "Oh, soal itu mudah untuk dibuktikan. Asal aku mau, dapat kuperintahkan Tio Tian-seng menuruti perintahku."

   "Bagaimana seandainya kau yang kalah?"

   "Kalau aku kalah, maka terserah kepada perintahmu, aku tak akan melawan sedikit pun juga."

   Kakek bungkuk itu memperhatikan sekejap sekeliling tempat itu, lalu ujarnya.

   "Nona, kau sudah kalah."

   "Mau bertaruh atau tidak, terserah pada keputusanmu sendiri,"

   Jengek si nona Biau sambil tertawa dingin.

   "Nona telah membunuh delapan orang anak buahku, aku tak sudi bergurau denganmu lagi,"

   Tukas si kakek bungkuk itu ketus.

   "Aku tahu, sepasang telapak tanganmu itu lihai dan tiada tandingannya. Sekali turun tangan, maka sudah pasti aku akan tewas di tanganmu."

   Sampai di situ, tiba-tiba ia menghentikan perkataannya. Sudah jelas perkataan itu memang sengaja diucapkan agar terdengar oleh Tio Tian-seng. Pada saat itulah dengan suara lirih Bong Thian-gak bertanya.

   "Tio-pangcu, bagaimana keputusanmu?"

   "Tampaknya ia sudah tahu kita telah menyembunyikan diri di sekitar sini, maksud tujuannya jelas hendak memaksa kita menampakkan diri."

   "Tio-pangcu adalah seorang terhormat dengan kedudukan mulia, kau tak boleh memberi kesan kepada orang lain bahwa dirimu adalah pengawalnya. Biar Boanpwe saja yang tampil melihat keadaan."

   Selesai berkata, pemuda itu segera melompat ke udara dan melayang turun di sisi kiri gadis Biau itu bagaikan malaikat yang turun dan kahyangan, setibanya di situ dia membungkam.

   Diam-diam si kakek bungkuk itu terkejut menyaksikan gerakan Bong Thian-gak yang amat sempurna, diawasinya pemuda itu beberapa saat.

   kemudian tegurnya.

   "Apakah orang ini adalah pengawalmu?"

   Dengan matanya yang jeli, gadis Biau mengerling sekejap ke arah Bong Thian-gak, lalu dengan senyuman bangga yang menghiasi ujung bibirnya ia menyahut.

   "Benar, dia adalah pengawalku!"

   "Kalau begitu biar kubunuh pengawalmu ini terlebih dahulu,"

   Seru si kakek bungkuk sambil tertawa dingin.

   Tiba-tiba si kakek bungkuk mengayun telapak tangan kanannya ke depan, segulung angin pukulan yang tak berwujud bagaikan amukan ombak di tengah samudra langsung menggulung ke arah anak muda itu.

   Bong Thian-gak tidak menyangka lawan segera melepas serangan begitu selesai mengatakan akan turun tangan.

   Sambil mendengus pemuda itu mengayun lengan tunggalnya menyambut datangnya ancaman kakek bungkuk itu dengan keras melawan keras.

   Sementara itu dalam pikiran si kakek bungkuk ia justru kuatir apabila Bong Thian-gak berkelit dan tak berani menyongsong datangnya serangannya dengan kekerasan.

   Maka begitu melihat lawannya menyambut ancaman itu dengan kekerasan, ia segera berpikir sambil tertawa geli.

   "Bocah keparat, kau sudah ingin mampus rupanya."

   Pendekar Cacad Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Belum habis ingatan itu melintas, dua gulung angin pukulan tanpa wujud sudah saling bentur.

   Gelombang angin pukulan yang saling bentur itu seketika menimbulkan pusaran serta desingan angin tajam yang mengerikan dan melontarkan pasir serta debu hingga memenuhi angkasa.

   Akibat benturan yang amat keras itu sepasang bahu kakek itu bergetar keras hingga tak dapat dicegah lagi tubuhnya terdorong mundur sejauh tiga langkah.

   Sebaliknya Bong Thian-gak juga mendengus tertahan, lalu secara beruntun dia mundur tiga langkah dengan sempoyongan.

   Ketika kakek bungkuk itu melihat Bong Thian-gak masih berdiri segar bugar di tempat, paras mukanya kontan berubah hebat, setelah tertawa dingin katanya.

   "Ehm, dari kemampuanmu menyambut seranganku tadi, bisa kuduga tenaga dalam yang kau miliki benar-benar amat sempurna."

   Pada saat itu Bong Thian-gak harus menerima semuanya itu tanpa menjawab, karena itu dia berlagak bisu dan tuli serta tidak mengucapkan sepatah kata pun. Sesudah tertawa bangga, gadis suku Biau itu berkata kembali.

   "He, si tua Bu, kau jangan keburu bangga dulu dengan mengira ilmu pukulanmu sudah tiada taranya di dunia ini. Ketahuilah pada malam ini kau telah bertemu dengan lawan tandingmu, tentunya kemampuan yang dimiliki anak buahku itu tidak lebih lemah daripada kemampuan yang kau miliki bukan?"

   Sebenarnya kakek bungkuk ini memang agak bergidik dibuatnya, tapi di luar ia tetap berkata sambil tertawa dingin.

   "Siapa nama besar pengawalmu ini?"

   Gadis suku Biau itu tersenyum.

   "Jika kusebut namanya, besar kemungkinan kau akan terperanjat."

   Sekali lagi si kakek bungkuk mengawasi Bong Thian-gak sekejap, lalu dengan kening berkerut katanya.

   "Jangan kuatir, nyaliku cukup besar, coba katakan orang ternama darimanakah pengawalmu itu hingga rela bertekuk lutut menjadi budak orang."

   Bong Thian-gak kontan mengerut dahi, hawa napsu membunuh segera menyelimuti seluruh wajahnya. Kembali gadis suku Biau itu berkata sambil tersenyum.

   "Dia adalah Jian-ciat-suseng Bong Thian-gak, pernah kau dengar nama orang ini?"

   Berubah hebat paras muka si kakek bungkuk itu, segera ia berpaling ke arah Bong Thian-gak dan bertanya.

   "Benarkah kau adalah Jian-ciat-suseng?"

   "Benar, akulah orangnya,"

   Untuk pertama kalinya Bong Thian-gak bersuara dan menjawab dengan suara hambar. Tiba-tiba kakek bungkuk itu tertawa terbahak-bahak, kemudian serunya lantang.

   "Aku dengar kau telah mendirikan sebuah partai yang dinamakan Hiat-kiam-bun. Sungguh tak kusangka malam ini kau justru mengikat hubungan dengan perempuan liar ini, bahkan bersedia menjadi budaknya. Peristiwa ini benar-benar tidak kusangka."

   "Apa yang hendak kuperbuat, lebih baik kau tak usah ikut campur,"

   Kata Bong Thian-gak dengan suara dingin.

   "Bagaimana pun juga malam ini, Jian-ciat-suseng tak akan mengizinkan kau melukainya barang seujung rambut pun."

   Sekali lagi kakek bungkuk itu tertawa terbahak-bahak.

   "Sudah puluhan tahun aku belum pernah bertemu seorang lawan tanding. Malam ini Jian-ciat-suseng memang perlu merasakan kemampuan sepasang telapak tanganku ini."

   "Bu Seng, ilmu pukulan tanpa wujudmu meski sudah termasyhur di seluruh kolong langit belum tentu aku bukan tandinganmu, tapi malam ini orang yang melindungi keselamatannya bukan cuma aku seorang. Oleh sebab itu kuanjurkan kepada Bu-locianpwe agar segera mengundurkan diri, kesempatan bagi kita untuk bertarung di kemudian han masih cukup banyak."

   "Siapa lagi yang berada di sini?"

   Desak kakek bungkuk itu cepat. Dengan suara dalam Bong Thian-gak menjawab.

   "Jangan kau tanya siapa orangnya, yang jelas dia adalah seorang tokoh sakti dari persilatan yang memiliki ilmu silat lebih tangguh daripada aku."

   "Tahukah kau apa yang menjadi sengketa antara diriku dengan perempuan itu?"

   Tegur si kakek bungkuk lagi.

   "Walaupun aku tak tahu, namun kuharap Bu-locianpwe sudi memberi muka untuk kali ini saja, di kemudian hari aku pasti akan memohon maaf kepada Locianpwe."

   Kakek bungkuk itu tertawa terbahak-bahak.

   "Baiklah kalau begitu, aku mengundurkan diri untuk sementara waktu."

   Selesai berkata, dia lantas mengulap tangan, kedelapan lelaki berbaju hitam tadi serentak menggotong jenazah rekanrekannya dan berlalu mengikut di belakang kakek bungkuk itu.

   Dalam waktu singkat bayangan tubuh mereka sudah lenyap di balik kegelapan sana.

   Pada saat itulah dari bawah rindangnya pepohonan pelanpelan berjalan keluar Mo-kiam-sin-kun Tio Tian-seng.

   Dengan suara rendah dan berat, Bong Thian-gak segera berkata kepada gadis suku Biau itu.

   "Nona, sekarang aku hendak bicara secara blak-blakan padamu. Kami bersedia membantumu menghadapi musuh mana pun, tetapi enggan menuruti perintah dan menjalankan tugas yang kau berikan."

   "Tentunya nona tahu meskipun aku dan Tio-pangcu sudah keracunan, namun masih memiliki kekuatan untuk bertempur melawan musuh mana pun juga, tetapi demi keselamatan kami berdua, besar kemungkinan kami akan berbuat sewenang-wenang terhadapmu."

   Biau-kosiu tertawa.

   "Kau menyebut diri sebagai pendekar, apakah kalian benar-benar akan turun tangan keji terhadap seseorang yang sama sekali tidak ada ikatan dendam maupun sakit hati terhadap dirimu?"

   "Nona tak sudi menolong orang yang sedang susah, tiada setia kawan serta ingkar janji. Apakah kami pun akan membiarkan kau bertindak sewenang-wenang untuk keuntungan dirimu sendiri?"

   Tiba-tiba Biau-kosiu menghela napas panjang.

   "Ai, semua itu gara-gara aku telah cerewet sehingga membocorkan kepada kalian bahwa aku dapat menyembuhkan racun sengatan nyamuk penghancur darah." "Bila nona bersedia membantu kami, Bong Thian-gak tak akan melupakan budi kebaikanmu itu."

   "Baiklah, aku bersedia menghadiahkan obat penawar racun untuk kalian berdua,"

   Ucap Biau-kosiu kemudian.

   "Apakah obat penawar racun berada di rumah penginapan?"

   "Ya, silakan kalian ikut aku kembali ke rumah penginapan Ban-heng!"

   Rumah penginapan Ban-heng adalah rumah penginapan terbesar di kota Lok-yang, bangunan rumahnya bersusunsusun dan kamarnya terdiri dari ratusan bilik, letaknya di sebelah barat dekat dinding kota.

   Oleh karena itu Bong Thian-gak, Tio Tian-seng dan Biaukosiu menelusuri dinding kota menuju ke bagian barat, kemudian melompati dinding benteng dan melayang masuk ke halaman rumah penginapan Ban-heng.

   Waktu itu kentongan kelima baru saja bergema, bintang dan rembulan telah tenggelam, langit dicekam kegelapan.

   Dengan gerakan tubuh yang enteng, Biau-kosiu menelusuri halaman menuju gedung lapisan kedua dan pada akhirnya melayang turun ke muka sebuah pintu.

   Baru saja mereka muncul, dari balik gedung sudah terdengar seorang perempuan menegur tapi penuh kasih sayang.

   "Anak Siu di situ?"

   Menyusul cahaya lentera menerangi ruangan kamar.

   "Nenek, Siu-ji yang datang,"

   Biau-kosiu berseru manja. Dari balik ruangan terdengar perempuan tua itu menegur lagi.

   "Siapakah kedua orang lainnya?"

   Ketika mendengar teguran itu, paras muka Tio Tian-seng dan Hong Thian-gak sama-sama berubah hebat, pikir mereka.

   "Hebat, tajam dan cekatan benar pendengaran perempuan itu, padahal langkah kami sudah diusahakan seringan mungkin, sudah tidak menimbulkan sedikit suara pun, tapi anehnya mengapa pihak lawan bisa membedakan berapa orang yang telah datang?"

   Dapatlah diduga perempuan di dalam ruangan itu adalah seorang jagoan yang berilmu sangat tinggi.

   Diam-diam Bong Thian-gak dan Tio Tian-seng jadi kuatir, andaikata Biau-kosiu ingkar janji dan tak bersedia menyerahkan obat penawar racun, sanggupkah mereka berdua menandingi Biau-kosiu beserta perempuan tua itu? Dalam pada itu Biau-kosiu termenung sesaat, tidak langsung menjawab, mendadak dari kegelapan muncul bayangan orang, tahu-tahu ada tiga orang telah mengurung Bong Thian-gak serta Tio Tian-seng.

   Ketiga orang itu terdiri dari seorang nenek berambut putih berwajah merah, membawa toya kepala setan yang besarnya selengan bocah dan berwarna hitam pekat.

   Di sisi nenek itu adalah seorang perempuan setengah umur yang tinggi kekar bermata tunggal berparas jelek serta bertelanjang kaki yang bentuknya sebesar gajah.

   Sedang di sebelah kanannya adalah seorang lelaki kekar setengah umur yang hitam dan jelek, bermata tunggal dan berperawakan tinggi kekar, dia pun bertelanjang kaki.

   Pada hakikatnya kedua orang terakhir ini merupakan pasangan yang amat serasi, baik lelaki maupun yang perempuan sama-sama berwajah bengis, buas, bermata tunggal dan bertelanjang kaki.

   Dari kemampuan ketiga orang yang muncul tanpa menimbulkan sedikit suara, bahkan sanggup menyelinap dengan kecepatan tinggi, jelas kemampuan mereka sungguh hebat dan tak bisa dianggap enteng.

   Seketika itu juga Bong Thian-gak dan Tio Tian-seng dicekam oleh ketegangan yang luar biasa.

   Sementara itu Biau-kosiu telah bersandar dalam pelukan si nenek berambut putih itu sambil berkata dengan manja.

   "Nenek, berilah dua butir pil penawar nyamuk beracun untukku, anak Siu telah berjanji akan menghadiahkan untuk mereka berdua."

   Dengan penuh kasih sayang nenek berambut putih itu membelai rambut Biau-kosiu, lalu katanya.

   "Anak Siu, siapa kedua orang ini? Mengapa kau berjanji hendak menghadiahkan pil penawar nyamuk beracun itu kepada mereka?"

   "Nenek janganlah bertanya terus, Siu-ji telah berjanji, tentu saja aku tidak ingin ingkar janji. Nenek, ayolah ambil pil itu!"

   Tampaknya nenek berambut putih itu sangat menyayangi Biau-kosiu, ia segera menjawab.

   "Baik, nenek akan memberikan dua butir untuk mereka."

   Seusai berkata, tiba-tiba nenek berambut putih itu mengeluarkan dua pil berwarna merah dari dalam sebuah botol berwarna putih porselen, kemudian diserahkan ke tangan nona itu.

   Setelah menerima pil itu, Biau-kosiu segera menyerahkan kepada Bong Thian-gak sambil ujarnya manja.

   "Cepat kalian telan pil itu dan tinggalkan tempat ini secepatnya!"

   Bong Thian-gak menerima pil itu, baru saja hendak mengucapkan beberapa patah kata merendah, nona itu di bawah bimbingan si nenek berambut putih dan diikuti sepasang laki perempuan bermata tunggal itu sudah berlalu dari sana.

   Bong Thian-gak hanya bisa menghela napas dan menyerahkan sebutir pil ke tangan Tio Tian-seng, kemudian mereka menelan pil itu.

   Begitu pil itu masuk ke dalam mulut, bau harum semerbak memancar kemana-mana, pil segera mencair dan membaur dengan liur mengalir ke dalam perut.

   Tak lama kemudian mereka berdua merasakan semangatnya berkobar kembali, dada terasa lapang dan segar.

   Tio Tian-seng pun menarik Bong Thian-gak untuk diajak pergi dari situ.

   "Kita hendak kemana?"

   Tanya Bong Thian-gak.

   "Mari kita memesan kamar dan tinggal di rumah penginapan ini."

   Bong Thian-gak dan Tio Tian-seng pun menginap di rumah penginapan Ban-heng, jaraknya dari situ ke gedung yang ditempati Biau-kosiu sekalian cuma selisih sebuah beranda lebar.

   Di dalam gedung yang mereka pesan terdapat dua buah kamar dengan bagian tengahnya merupakan ruang tamu.

   Ketika Tio Tian-seng pergi meninggalkan penginapan, dalam ruangan itu tinggal Bong Thian-gak seorang.

   Perjalanan yang jauh semalam suntuk membuat Bong Thian-gak merasa agak lelah, ketika ia bersiap-siap masuk ke dalam kamar untuk beristirahat, mendadak dari halaman muka bergema suara langkah kaki, lalu seseorang berkelebat dan di muka pintu sudah berdiri seorang sastrawan berbaju putih.

   Dengan terkejut Bong Thian-gak menegur.

   "Kau mencari siapa?"

   Tampang sastrawan berbaju putih itu ganteng, mata jeli dan hidung mancung, mukanya putih bersih, ia menggenggam kipas putih dan menggembol sebilah pedang di punggungnya.

   Dengan sorot mata tajam ia mengawasi wajah Bong Thiangak lekat-lekat.

   Sekulum senyuman yang angkuh menghiasi ujung bibirnya, ia ganti menegur dengan lantang.

   "Kau yang bernama Jian-ciat-suseng?"

   "Benar,"

   Bong Thian-gak manggut-manggut.

   "Ada urusan apa kau datang mencariku?"

   Sastrawan berbaju putih itu tersenyum.

   "Aku she Liong bernama Oh-im."

   Sekalipun Bong Thian-gak merasa agak bingung dan heran atas kedatangan tamu tak diundang ini, namun ia segera menyahut dengan nada gembira.

   "Oh, rupanya Liong-heng. Silakan duduk."

   Tanpa sungkan sastrawan berbaju putih Liong Oh-im melangkah masuk ke dalam dan duduk di kursi tamu. Bong Thian-gak menuang secangkir teh untuk tamunya, kemudian baru bertanya lagi.

   "Apakah Liong-heng mencari aku?"

   "Benar,"

   Liong Oh-im tertawa dingin.

   "Adapun kedatanganku tak lain adalah menanyakan beberapa persoalan kepada Bong-tayhiap."

   "Liong-heng ada urusan apa, silakan saja utarakan secara terus terang,"

   Jawab Bong Thian-gak tertegun. Kembali Liong Oh-im tertawa.

   "Sebenarnya kita memang tidak saling mengenal. Karenanya bila kedatanganku telah mengganggu Bongtayhiap, harap sudi memaafkan."

   "Ah, empat penjuru adalah tetangga, empat samudra adalah saudara."

   Tiba-tiba sastrawan berbaju putih merendahkan suara, kemudian berbisik.

   "Bong-tayhiap, sebenarnya persoalan yang hendak kutanyakan adalah masalah yang menyangkut hubungan Bong-tayhiap dengan Biau-kosiu." "Kau maksudkan gadis suku Biau itu?"

   Tanya Bong Thiangak terperanjat. Liong Oh-im tersenyum.

   "Konon Bong-tayhiap menjadi salah satu pengawal Biaukosiu? Apa benar kabar ini?"

   Bong Thian-gak tidak langsung menjawab, ia termenung dan berpikir beberapa saat, kemudian balik bertanya.

   "Ada urusan apa Liongheng menanyakan hal ini?"

   Kembali Liong Oh-im tertawa kering.

   "Aku hanya ingin tahu, benarkah Bong-tayhiap sudah menjadi pengawalnya?"

   "Tidak,"

   Bong Thian-gak menggeleng dengan tegas.

   "Kalau memang Bong-heng bukan pengawal Biau-kosiu, buat apa kau tetap berada di sini untuk menyerempet bahaya?"

   
Pendekar Cacad Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Bong Thian-gak tersenyum.

   "Dengan berdiam dalam rumah penginapan ini, mungkinkah aku akan menjumpai ancaman maut?"

   "Sudah banyak jago-jago lihai persilatan yang beranggapan bahwa Bong-tayhiap adalah orang Biau-kosiu. Dengan tetap berada di sini, bukankah sama artinya menjajakan diri menjadi sasaran kemarahan orang?"

   Tiba-tiba Bong Thian-gak bertanya.

   "Apakah kau berasal dari satu aliran dengan si pukulan tanpa wujud Bu Seng?"

   "Betul, Bu Seng si tua itu tak lebih adalah panglima andalanku."

   Bong Thian-gak sangat terkejut, segera pikirnya.

   "Jadi dia adalah anak buahnya? Lantas orang macam apakah Liong Ohim?"

   Bu Seng adalah tokoh silat yang pernah menggemparkan Bu-lim pada empat puluh tahun berselang, tapi sekarang dia tak lebih cuma seorang anak buah Liong Oh-im yang masih begitu muda.

   Tentu Liong Oh-im adalah seorang yang mempunyai asalusul luar biasa.

   Bong Thian-gak berpikir beberapa saat, kemudian katanya sambil tersenyum.

   "Apakah kau hendak membuat perhitungan dengan Biau-kosiu serta rombongannya?"

   "Boleh dibilang begitu,"

   Sahut Liong Oh-im sambil tertawa ringan. Bong Thian-gak segera tertawa.

   "Aku rasa Biau-kosiu bukan manusia yang mudah dihadapi, lagi pula di sekelilingnya dilindungi oleh beberapa jago silat berilmu tinggi. Untuk menghadapi perempuan itu, kau mesti banyak membuang tenaga dan pikiran."

   "Justru karena agak sulit dihadapi, maka aku sengaja datang menjumpai Bong-tayhiap dan berharap kau tidak mencampuri urusan ini,"

   Kata Liong Oh-im sambil tertawa. Bong Thian-gak juga tertawa.

   "Ah, aku cukup terang pikiran untuk membedakan mana budi dan mana dendam. Bila ada orang melepas budi kepadaku, aku pun akan membalas kebaikan kepadanya, tapi bila orang memberi kejahatan padaku, aku pun bersumpah akan menuntut balas. Jika persoalan tiada sangkut-paut dengan budi dan dendam, maka aku pun akan berpeluk tangan."

   Liong Oh-im terbahak-bahak.

   "Jika Bong-tayhiap memang benar memegang ketat perkataanmu itu, aku pun tak usah kuatir lagi. Baiklah, aku mohon diri lebih dulu."

   Selesai berkata, dia lantas berdiri, memberi hormat dan segera membalikkan badan berlalu dari situ. Bong Thian-gak mengawasi bayangan Liong Oh-im lenyap dari pandangan, kemudian menghela napas seraya bergumam.

   "Sebenarnya orang macam apakah Liong Oh-im? Dilihat dari gerak-geriknya, dia seperti memiliki jiwa seorang pemimpin. Mungkinkah dia benar-benar seorang tokoh terkenal yang memiliki kedudukan tinggi?"

   Belum habis ingatan itu melintas, tiba-tiba dari luar pintu sudah muncul Mo-kiam-sin-kun Tio Tian-seng. Begitu memasuki ruangan, Tio Tian-seng segera bertanya.

   "Bong-laute, apakah ada tamu yang telah berkunjung kemari?"

   Sekali lagi Bong Thian-gak tertegun, kemudian baru jawabnya.

   "Ya, memang ada seorang tamu tak diundang yang telah berkunjung kemari. Dia mendatangkan kebimbangan, kecurigaan dan kemisteriusan bagiku."

   "Oya? Tamu macam apakah dia?"

   "Seorang sastrawan berbaju putih yang berusia dua puluh tujuh-delapan tahun, dia mengaku bernama Liong Oh-im."

   Mendengar nama itu, paras Tio Tian-seng berubah, kemudian serunya terkejut.

   "Liong Oh-im? Dia adalah Giokgan- suseng (sastrawan berwajah kemala) Liong Oh-im yang namanya amat tersohor di seputar wilayah Se-ih."

   Bong Thian-gak belum pernah mendengar tentang Giokgan- suseng. Oleh sebab itu dia tidak terpengaruh oleh nama ini, malah tanyanya.

   "Menakutkankah orang itu, Tio-pangcu?"

   "Mungkin Bong-laute belum begitu mengenal dan belum pernah mendengar tentang Giok-gan-suseng Liong Oh-im ini. Ketahuilah, sejak delapan belas tahun berselang, nama besar Giok-gan-suseng sudah amat termasyhur, bahkan amat menggetarkan wilayah Se-ih."

   "Delapan belas tahun berselang?"

   Bong Thian-gak terkejut.

   "Tapi aku rasa Liong Oh-im masih berusia dua puluh delapan tahunan. Ah, mana mungkin? Masakah sejak usia sepuluh tahun sudah terkenal dan menggemparkan persilatan?"

   "Bong-laute, kau salah taksir. Liong Oh-im tidak terhitung anak muda lagi, usianya sekarang sekitar empat puluh tahunan, tapi oleh karena dia telah memakan obat mustika yang disebut Ho-siu-uh yang berusia seribu tahun, maka wajahnya tetap awet muda dan menyerupai anak muda berusia dua puluh tahun, ditambah lagi parasnya memang termasuk tampan. Itulah sebabnya orang menyebut Giok-gansuseng kepadanya."

   "Ah, masakah di dunia ini benar-benar terdapat sejenis obat mustika yang bisa membuat orang awet muda?"

   Seru Bong Thian-gak heran.

   "Barusan aku telah berkunjung ke kantor cabang perkumpulan di l.ok-yang dan mendapat tahu bahwa Lok-yang telah dijadikan arena perkumpulan jago lihai dari seluruh kolong langit, seakan-akan bakal terjadi suatu peristiwa yang mengerikan di kota Lok-yang ini."

   Bong Thian-gak menghela napas ringan.

   "Setelah mendengar perkataan Liong Oh-im tadi, kemudian dicocokkan dengan perkataanmu barusan, maka aku rasa berkumpulnya para jago persilatan di kota Lok-yang ini bisa jadi hendak mencari gara-gara kepada pihak Biau-kosiu."

   Secara ringkas lantas Bong Thian-gak menceritakan apa yang dibicarakannya bersama Liong Oh-im belum lama berselang. Kata Tio Tian-seng dengan suara dalam.

   "Bong-laute, untuk menghadapi seorang Hek-mo-ong saja kita sudah cukup dibuat pusing dan kewalahan. Apakah kau hendak menanam bibit bencana lagi dengan mencari musuh baru macam Giokgan- suseng Liong Oh-im?" "Biau-kosiu telah melepas budi pertolongan kepada kita berdua, apakah kita harus berpeluk tangan membiarkan dia dipermainkan dan dianiaya orang lain?"

   "Bong-laute,"

   Tio Tian-seng berkata.

   "pernahkah kau bayangkan siapakah sebenarnya orang yang telah menyergap kita dengan nyamuk-nyamuk penghancur darah itu?"

   "Apakah hasil perbuatan Hek-mo-ong?"

   Tio Tian-seng menggeleng kepala berulang-kali.

   "Aku rasa bukan Hek-mo-ong, melainkan perbuatan Biaukosiu."

   "Bagaimana penjelasanmu tentang persoalan ini? Antara kita dengan Biau-kosiu sama sekali tidak terikat dendam sakit hati apa pun?"

   "Apabila perbuatan Hek-mo-ong, maka dia pasti tidak hanya melepaskan nyamuk penghancur darah saja dan lebihlebih tidak akan mengizinkan Biau-kosiu menyelamatkan jiwa kita. Sekarang kota Lok-yang sudah menjadi pusat jagoan dari bermacam-macam aliran dan kedatangan mereka pun untuk membuat gara-gara kepada Biau-kosiu serta rombongannya, posisi Biau-kosiu sudah terjepit dan menghadapi ancaman dari mana-mana. Betul, dia masih dilindungi nenek berambut putih serta laki-perempuan bermata tunggal itu, tapi mungkinkah baginya membendung serangan Liong Oh-im bersama kawanan jago lihai lainnya?"

   "Oleh sebab itu Biau-kosiu yang licik dan banyak tipu muslihat itu melepas nyamuk-nyamuk penghancur darah untuk mencelakai kita, kemudian menguntit dan memaksa kita menjadi pengawalnya."

   "Entah bagaimanakah pendapat Bong-laute tentang keteranganku ini? Apakah masih dapat diterima?"

   Bong Thian-gak menghela napas panjang.

   "Ai, apabila Tiopangcu tidak mengatakan lebih dahulu bahwa Hek-mo-ong bisa menyergap kita berdua, aku pun menduga seperti apa yang baru saja kau kemukakan. Cuma peristiwa ini sudah lewat, entah Biau-kosiu benar-benar melepas nyamuk-nyamuk penghancur darah secara sengaja untuk mencelakai kita atau tidak, Boanpwe sudah tidak mengingat lagi masalah itu dalam hati."

   "Bong-laute, hari ini kita masih berdiam di Lok-yang karena menunggu kabar Pat-kiam-hui-hiang Tan Sam-cing. Kita hanya secara kebetulan bertemu perselisihan antara golongan Biaukosiu dengan Giok-gan-suseng Liong Oh-im. Perkataan Bonglaute terhadap Liong Ohi m kunilai tepat sekali, kita memang tak usah mencampuri urusan orang lain, lebih baik berpeluk tangan menyaksikan mereka saling gontok."

   "Tio-pangcu,"

   Tiba-tiba Bong Thian-gak bertanya.

   "sekarang aku makin bingung. Betulkah dalam Bu-lim terdapat seorang tokoh yang disebut Hek-mo-ong?"

   "Tak heran Bong-laute merasa ragu dan sangsi terhadap peristiwa Ini. Nama Hek-mo-ong memang tidak diketahui oleh sebagian besar umat persilatan, seperti pula keberhasilan perkumpulan Put-gwa-cin-kau menguasai dunia persilatan. Hal ini pun disebabkan kemisteriusan yang menyelimuti setiap tokoh mereka."

   "Tio-pangcu, kau mempunyai dugaan atas empat orang yang kemungkinan besar adalah Hek-mo-ong, bolehkah kuketahui keempat orang yang manakah menurut kau kemungkinan besar adalah Hek-mo-ong ?"

   Tio Tian-seng termenung dan berpikir sesaat lamanya, kemudian buru menjawab.

   "Keempat orang yang mencurigakan itu adalah Pat-kiam-hui-hiang Tan Sam-cing, si tabib sakti Gi Jian-cau, Giok-gan-suseng Liong Oh-im serta Topit- coat-to Liu Khi,"

   Sebab hanya keempat orang inilah yang memiliki kepandaian silat cukup tangguh untuk memegang peranan sebagai Hek-mo-ong." "Tio-pangcu, mengapa kau mencantumkan nama wakil ketuamu, Liu Khi, dalam daftar orang-orang yang kau curigai?"

   Tanya Bong Thian-gak- "Ya, setiap orang yang kucurigai sesungguhnya mempunyai alasan dan bukti yang cukup kuat,"

   Kata Tio Tian-seng seraya manggut-manggut.

   "Walaupun Liu Khi sempat memangku jabatan sebagai wakil ketua Kay-pang, namun gerak-gerik, ilmu silat dan kecerdasannya, rasanya lebih dari cukup untuk memegang peranan sebagai Hek-mo-ong."

   Bong Thian-gak menghela napas.

   "Ai, keempat orang yang Tio-pangcu sebutkan tak begitu kukenal secara akrab. Oleh sebab itu aku tak herani berkomentar apa-apa tentang mereka, cuma Gi Jian-cau seorang yang hingga kini belum pernah kulihat raut wajahnya, seperti apakah wajah si tabib sakti Gi Jian-cau?"

   "Saat-saat Hek-mo-ong tampil mungkin tidak akan terlalu lama lagi, sebab orang yang paling dia segani satu per satu telah disingkirkan olehnya. Pada akhirnya Hek-mo-ong yang asli akan segera diketahui orangnya."

   "Tio-pangcu,"

   Bong Thian-gak bertanya.

   "hingga sekarang aku masih belum tahu asal-usul Cong-kaucu Put-gwa-cin-kau. Dapatkah Tio-pangcu memberi keterangan kepadaku?"

   Berubah paras Tio Tian-seng, dia nampak ragu, tapi akhirnya berkata.

   "Bong-laute, aku telah bersumpah takkan membocorkan asal-usulnya selama hidup. Sebagai umat persilatan yang memegang janji, aku tak ingin mengingkari sumpahku sendiri. Benar, aku berdiri pada pihak yang bermusuhan dengan dirinya, tapi aku tak bisa melanggar sumpahku."

   Bong Thian-gak tertegun, katanya.

   "Ai, sungguh tak kusangka Tio-pangcu begini memegang janji."

   "Harap Bong-laute sudi memaafkan,"

   Suara Tio Tian-seng amat sedih dan pilu.

   "Boanpwe tak akan menyalahkan dirimu, bagaimana pun juga aku telah menyaksikan paras asli Cong-kaucu."

   "Kehadiran Cong-kaucu dalam Kangouw, sedikit banyak masih dapat menandingi gerak-gerik Hek-mo-ong. Oleh sebab itu hingga sekarang kau belum melihat perlunya bentrokan secara langsung pihak mereka dan di sinilah letak hubungan yang sensitif di antara kami."

   Bong Thian-gak menjadi bingung, tanyanya kemudian.

   "Hek-mo-ong adalah otak di belakang layar yang mengatur semua perbuatan dan tindakan orang-orang Put-gwa-cin-kau, hanya Hek-mo-ong yang dapat memberi perintah kepada Cong-kaucu. Mengapa kau mengatakan Cong-kaucu justru merupakan biji catur yang sanggup menghadapi Hek-mo-ong serta membatasi gerak-geriknya?"

   "Keadaan ini tak ubahnya seperti keadaanku yang mencurigai Liu Khi, biarpun Cong-kaucu hanya seorang anak buah Hek-mo-ong, namun sesungguhnya Cong-kaucu pun punya kemungkinan merebut jabatan pimpinan tertinggi."

   Bong Thian-gak setengah mengerti arti kata-katanya itu, katanya pula.

   "Sejak dulu berapa banyak menteri setia yang akhirnya berontak terhadap kaisar dan merebut kedudukan terhormat itu. Apabila dunia persilatan memang dipenuhi berbagai orang yang berambisi besar, siapa bilang keadaan demikian tak akan terjadi?"

   Kemudian setelah berhenti sejenak, lanjutnya.

   "Ai, ambisi dan rasa lak puas seseorang memang tak bisa dipenuhi untuk selamanya. Banyak peristiwa sedih dan tragis yang terjadi di dunia selama ini, bukankah sebagian besar disebabkan oleh watak manusia yang serakah, berambisi dan perasaan tak puas?"

   Semangat Tio Tian-seng berkobar, segera katanya.

   "Bila Hek-mo-ong telah disingkirkan, aku akan segera mengumumkan kepada seluruh umat persilatan bahwa aku akan mengundurkan diri dari keramaian dan selama hidup tidak akan mencampuri urusan duniawi lagi."

   Untuk kesekian kalinya Bong Thian-gak menghela napas panjang.

   "Selama ini Boanpwe pun tidak mempunyai ambisi untuk menjadi pimpinan besar dunia persilatan atau pun ambisi untuk menguasai eluruh jagat. Asal dendam sakit hati perguruanku sudah terbalas dan Put-gwa-cin-kau bubar, Boanpwe pun berniat mengasingkan diri di suatu tempat terpencil dan tak akan lagi mencampuri urusan dunia ramai lagi."

   "Bong-laute, mari kita beristirahat. Kemungkinan besar kita akan disuguhi pertunjukan bagus malam nanti, kita tak boleh ketinggalan menyemarakkan keramaian itu."

   Bong Thian-gak manggut-manggut.

   "Benar, siang hari memang merupakan waktu beristirahat bagi orang persilatan, mari kita beristirahat."

   Maka kedua orang itu pun kembali ke kamar masingmasing untuk beristirahat.

   Bagi manusia-manusia yang berilmu tinggi seperti Tio Tianseng dan Bong Thian-gak, duduk bersemedi pun sudah cukup bagi mereka untuk menggantikan tidur, terutama Tio Tianseng yang mempunyai dasar tenaga dalam yang amat sempurna, baginya setiap hari hanya cukup bersemedi dua jam saja untuk menggantikan tidur semalam suntuk.

   Demikianlah mereka duduk bersemedi, dua jam sudah berlalu tanpa terasa.

   Waktu itu Bong Thian-gak sudah berada dalam keadaan lupa akan segalanya, hawa murni beredar dengan lancar dan napas berembus sangat beraturan.

   Tiba-tiba di luar jendela muncul seseorang, seorang gadis berbaju hijau telah menyusup masuk dari jendela.

   Ilmu yang dipelajari Bong Thian-gak adalah Tat-mo-khikang.

   Selama ia duduk bersemedi, indra perasaannya amat sensitif dan tajam, sejak nona berbaju hijau muncul di luar jendela, dia telah mengetahui kehadirannya.

   Pemuda itu membuka mata, sedang si nona berbaju hijau segera menempelkan jari tangannya di depan mulut memberi tanda agar jangan bersuara, kemudian dia mengayun tangan kirinya melemparkan sepucuk surat ke arah Bong Thian-gak, setelah itu si nona melompat keluar jendela dan lenyap di balik wuwungan rumah sana.

   Bong Thian-gak tertegun, kemudian mengawasi surat yang dilemparkan ke arahnya dengan termangu, pikirnya.

   "Aneh, siapakah perempuan ini? Mengapa dia datang menyampaikan surat untukku?"

   Pemuda itu segera memungut surat itu dan membukanya, di atas surat berwarna biru tertera tiga baris tulisan hitam, gaya tulisannya indah dan lembut, sudah jelas tulisan seorang wanita. Di atas surat itu tertera tulisan.

   "Ditujukan kepada Jian-ciat-suseng Bong Thian-gak. Surat ini disampaikan oleh seorang kepercayaanku. Harap setelah menerimanya Siangkong segera berangkat keluar kota dan menjumpai seorang perempuan berbaju hijau di sebuah kuil dewa gunung yang terletak tiga li dari barat kota."

   Selesai membaca surat itu, Bong Thian-gak merasa ragu sejenak, kemudian setelah merobek-robek surat itu hingga hancur berkeping-keping, ia berpikir.

   "Aku sudah menerima budi pertolongan darinya, berarti aku harus membantunya."

   Bong Thian-gak segera turun dari pembaringan dan menuju ke pintu. Pada saat itulah dari ruang tengah terdengar suara Tio Tian-seng menegur.

   "Bong-laute, kau sudah bangun?"

   "Ya, sudah bangun!"

   Pemuda itu mengiakan. Ia membuka pintu kamar dan menuju ke ruang tengah. Tio Tian-seng sedang duduk di ruang tengah, dia menengok sekejap ke arah Bong Thian-gak, lalu bertanya.

   "Apakah Bong-laute telah menjumpai seseorang memasuki tempat tinggal kita?"

   Bong Thian-gak terkesiap, tapi buru-buru menjawab.

   "Oh, dia adalah nona berbaju hijau, tapi dengan cepat telah meninggalkan tempat ini."

   Sementara itu paras muka Tio Tian-seng diliputi hawa dingin, pelan-pelan ia mengeluarkan sepucuk surat sampul putih dari dalam sakunya dan diserahkan kepada Bong Thiangak sambil berkata.

   "Hek-mo-ong telah mengirim kartu undangan kematian buat kita."

   "Kartu undangan kematian?"

   Bong Thian-gak bertanya dengan kening berkerut.

   "Kartu itu berada di dalam sampul surat ini, lihatlah sendiri!"

   Bong Thian-gak membuka sampul itu dan mengeluarkan isinya yang ternyata berupa dua lembar kartu undangan berwarna putih pula. Pada bagian tengah kartu itu, tertera huruf-huruf besar. Yang satu berbunyi.

   "Dipersembahkan untuk Jian-ciat-suseng Bong Thian-gak."

   Sedangkan yang lain berbunyi.

   "Dipersembahkan untuk Mo-kiam-sin-kun Tio Tian-seng."

   Pendekar Cacad Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Tulisan itu dibuat dari tinta merah darah, sehingga kelihatannya amat menyolok pandangan mata. Bong Thian-gak membuka sampul undangan yang ditujukan kepadanya dan membaca isinya, ternyata isinya berupa sebuah kalimat dengan tulisan berwarna merah.

   "Usia Jian-ciat-suseng Bong Thian-gak akan berakhir pada tahun Sim-cho, bulan delapan, tanggal delapan tengah hari tepat."

   Sedangkan bagian bawahnya tertera sebuah lambang tengkorak berwarna putih. Sambil tersenyum Bong Thian-gak segera berkata.

   "Tiopangcu, apa yang tertera pada undanganmu itu?"

   "Dia menetapkan usiaku akan berakhir pada bulan delapan tanggal sembilan persis selisih sehari darimu."

   Sekali lagi Bong Thian-gak tertawa.

   "Hari ini baru bulan delapan tanggal lima menjelang tengah hari, wah, kalau begitu usiaku masih ada tiga hari enam jam."

   "Bong-laute, selama ini kartu kematian dari Hek-mo-ong bukanlah gurauan,"

   Kata Tio Tian-seng serius.

   "Selama puluhan tahun belakangan ini, setiap orang yang telah menerima undangan kematian Hek-mo-ong belum pernah dapat hidup melebihi batas waktu yang ditentukannya di dalam kartu undangan itu."

   Bong Thian-gak tertawa terbahak-bahak.

   "Kapan Tiopangcu mendapatkan kartu undangan ini?"

   "Di saat aku sedang keluar ruangan tadi, kutemukan sampul undangan itu di atas meja."

   "Kalau begitu tunggu saja sampai saatnya tiba nanti."

   "Bong-laute, tampaknya kau tidak terlalu serius menghadapi kartu undangan kematian ini?"

   Keluh Tio Tianseng sambil menggeleng kepala dan menghela napas.

   "Sebenarnya kartu undangan kematian Hek-mo-ong ini sangat kuharapkan, sebab dengan demikian aku dapat mengenali manusia macam apakah Hek-mo-ong itu, ingin kulihat apakah benar-benar seorang yang berkepala tiga berlengan enam."

   "Selamanya Hek-mo-ong tak perlu menunjukkan wujudnya saat hendak membunuh orang,"

   Kata Tio Tian-seng lagi dengan suara dalam.

   "Bila kau melihat kemunculannya, berarti ajalmu sudah berada di depan mata, oleh sebab itulah sampai sekarang belum ada seorang pun yang mengetahui macam apakah wajah Hek-mo-ong yang sesungguhnya."

   Bong Thian-gak tersenyum.

   "Sekarang aku ingin keluar sebentar, tak ada salahnya Tiopangcu memanfaatkan kesempatan ini untuk menyusun cara guna menghadapi lawan."

   "Kau hendak pergi kemana?"

   "Mau jalan-jalan ke kota."

   Sekali lagi Tio Tian-seng berkata dengan suara dalam.

   "Di saat Hek-mo-ong mengirimkan kartu undangan kematian itu, dia sudah lama menguntit gerak-gerik kita. Tiap saat dia menanti datangnya kesempatan baik untuk turun tangan keji terhadap kita. Bong-laute, bila kau tidak ada urusan yang penting, lebih baik tak usah keluar rumah dulu."

   "Maksudmu selama batas waktu yang ditentukan belum lewat, kita harus tetap berdiam di sini dan tak boleh meninggalkan ruangan barang selangkah pun?"

   "Satu-satunya cara untuk menghadapi ancaman kartu undangan kematian itu adalah mulai sekarang kita berdua mengurung diri di dalam ruangan dan jangan keluar dulu untuk sementara waktu, kita pun tak usah makan, minum atau pun tidur sampai batas waktu yang ditentukan lewat." "Ah, Boanpwe tak percaya dengan segala macam takhayul,"

   Seru Bong Thian-gak menggeleng berulang-kali.

   "Cara membunuh orang yang paling diandalkan oleh Hekmo- ong adalah membunuh dengan jalan meracuni. Selama puluhan tahun terakhir ini, setiap saat aku selalu putar otak dan berdaya upaya untuk mencari jalan guna menghadapi Hek-mo-ong, namun usahaku selama ini lak memberikan hasil yang diharapkan."

   Menyaksikan keseriusan, kekuatiran, sikap tegang dan berat yang menyelimuti wajah Tio Tian-seng, diam-diam Bong Thian-gak berpikir.

   "Betulkah Hek-mo-ong sedemikian hebatnya?"

   Sementara itu, Tio Tian-seng segera berkata lagi sambil menghela napas sedih.

   "Aku kuatir Pat-kiam-hui-hiang Tan Sam-cing lah Hek-mo-ong. Kalau tidak, caraku menutup diri menantikan kedatangannya ini pasti berhasil mendesak Hekmo- ong menampakkan diri."

   "Batas waktu yang ditentukan bagi kematianku masih sehari lebih cepat ketimbang Tio-pangcu. Andai kata aku benar-benar tewas, Tio-pangcu pun masih mempunyai waktu satu hari satu malam untuk bersiap menghadapinya. Buat apa kau mesti gelisah dan panik mulai sekarang?"

   Tio Tian-seng menghela napas panjang.

   "Ai, apabila Bonglaute tidak percaya perkataanku ini, aku kuatir kau akan dimanfaatkan oleh Hek-mo-ong."

   "Tak usah kuatir, Boanpwe pasti sanggup menghadapinya dengan hati-hati. Bagaimana pun juga aku tak punya rencana untuk menutup diri menantikan datangnya saat kematian. Bisa juga sebelum batas waktu bulan delapan tanggal delapan tiba, aku telah tewas dibunuh Hek-mo-ong."

   Seusai berkata, pemuda itu segera membalik badan dan beranjak keluar ruangan.

   Sepeninggalnya dari penginapan Ban-heng, dia langsung menuju ke barat kota.

   Tatkala ia melangkah keluar rumah penginapan Ban-heng, Bong Thian-gak yang cekatan dan teliti segera merasakan bahwa dirinya sedang dikuntit seseorang.

   Tapi Bong Thian-gak berlagak seolah-olah tak merasa jejaknya diikuti, dengan langkah tetap dan tenang dia melanjutkan perjalanan menuju ke kota bagian barat.

   Tak selang beberapa saat ia sudah tiba di pintu kota sebelah barat.

   Sekeluarnya dari pintu kota, Bong Thian-gak menelusuri dinding kota menuju ke arah utara, benar juga ia saksikan seseorang sedang mengikutinya di belakang sana.

   Diam-diam ia tertawa dingin, mendadak di depan situ muncul sebuah tikungan yang menjorok ke dalam, maka Bong Thian-gak segera mempercepat langkahnya melewati tikungan itu, kemudian melompat naik ke atas dinding kota, dari situ ia berlari balik, kemudian dari dalam dia melompat keluar dinding kota itu.

   Seperti malaikat sakti yang turun dari kahyangan, dengan tepat Bong Thian-gak melayang turun di hadapan si penguntit.

   Kemunculannya yang mendadak ini tentu saja membuat si penguntit gugup dan gelagapan, kemudian ia mundur selangkah dan mengawasi lawannya dengan wajah kaget, gugup, panik dan cemas.

   Bong Thian-gak mengamatinya sekejap, dia adalah seorang laki-laki setengah umur bertubuh ceking dan bertampang seperti monyet, tidak nampak membawa senjata.

   Sambil tertawa dingin Bong Thian-gak menegur.

   "Sejak dari rumah penginapan Ban-heng kau telah mengikuti diriku sampai di sini. Ingin kuketahui siapa yang telah mengirimmu untuk mengikuti diriku?"

   Dalam anggapan Bong Thian-gak orang ini paling cuma seorang kurcaci yang dibayar seseorang untuk mengikutinya, oleh karenanya dia tidak segera turun tangan membekuknya.

   Lelaki setengah umur berwajah monyet itu melototkan sepasang matanya yang kecil dan memperhatikan Bong Thiangak sekejap, kemudian tanyanya kebingungan.

   "Toaya, apa kau bilang?"

   "Hm, aku menuduh kau telah mengikuti diriku,"

   Dengus Bong Thian-gak dingin. Tiba-tiba lelaki itu tertawa cekikikan, lalu serunya.

   "Toaya gemar bergurau, jalan yang kulewati kan jalan pemerintah, memangnya orang lain tak boleh mempergunakannya selain kau seorang?"

   "Tajam benar mulut orang ini,"

   Pikir Bong Thian-gak sambil tertawa dingin. Lalu katanya.

   "Kalau memang benar jalan ini adalah jalan raya milik pemerintah. Silakan kau segera angkat kaki dari sini!"

   Ucapannya ini segera membikin lelaki itu tertegun, kemudian sambil menggeleng kepalanya yang gundul dia pun mengeluyur pergi ke arah utara.

   Bong Thian-gak masih tetap berdiri di tempat sambil mengawasi orang itu pergi, kemudian baru ia menyelinap ke balik tikungan dan mengerahkan Ginkangnya menuju keluar kota.

   Dengan Ginkangnya yang sempurna sekalipun lelaki itu membalik badan dan menguntitnya lagi juga belum tentu dapat menyusulnya.

   Padahal Bong Thian-gak tidak pernah menyangka lelaki itu sesungguhnya bukan orang sembarangan, dia adalah Jian-likau (monyet seribu li) Cu Ciong yang amat termasyhur namanya di Kangouw.

   Di balik sebuah hutan waru yang sangat lebat, Bong Thiangak melihat sebuah bangunan kuil kecil.

   Kuil itu berdiri di antara bebatuan yang berserakan, daun kering berceceran, rumput ilalang memenuhi halaman, tampaknya kuil itu sudah lama terbengkalai dan tak pernah dijamah manusia lagi.

   Dengan langkah pelan Bong Thian-gak menuju ke ruang kuil, dia lihat sarang laba-laba memenuhi setiap sudut ruangan, debu menebal, dinding tembok banyak yang rontok, sedang ruang kuil itu kosong tak nampak sesosok bayangan pun.

   Dengan kening berkerut Bong Thian-gak berpikir.

   "Ah, tak mungkin Biau-kosiu sengaja mengajakku bergurau. Mungkin orang itu Mi i m datang."

   Tiba-tiba dari arah hutan terdengar suara langkah menginjak tumpukan daun kering.

   Dengan cepat Bong Thian-gak membalik badan memandang kemuka.

   Tampak seorang perempuan cantik berbaju hijau berperawakan badan aduhai muncul di hadapannya dan berjalan menuju ke hadapan Bong Thian-gak dengan langkah lemah-gemulai.

   Dengan suara lantang Bong Thian-gak segera berkata.

   "Aku Bong Thian-gak, Biau-kosiu yang memintaku datang menjumpai perempuan berbaju hijau, apakah kau?"

   Perempuan itu tidak membiarkan Bong Thian-gak menyelesaikan perkataannya, dengan cepat ia menukas.

   "Begitu lambat kau sampai di sini, apakah sudah terjadi sesuatu di tengah jalan?"

   "Ya, karena ada persoalan pribadi aku datang agak terlambat. Harap nyonya sudi memaafkan."

   Tiba-tiba perempuan itu merogoh sakunya dan mengeluarkan sebuah gulungan yang di luarnya dibungkus dengan kain hijau, dilihat dari bentuknya mirip kitab atau lukisan. Dengan wajah serius perempuan itu berkata.

   "Tolong serahkan benda itu kepada nona, jangan sampai hilang atau direbut orang."

   Bong Thian-gak menerima benda itu dan dipandang sekejap, kemudian katanya.

   "Tampaknya bungkusan ini berisi se

   Jilid kitab!"

   Perempuan berbaju hijau itu memandang sekejap ke arah Bong Thian-gak, lalu ujarnya dengan suara dalam.

   "Cepat kau simpan ke dalam saku. Selain nona seorang, jangan sekali-kali kau perlihatkan kepada orang lain."

   "Tak usah kuatir, aku pasti menyerahkan sendiri benda ini ke tangan Biau-kosiu."

   Dengan cepat ia masukkan gulungan kitab itu ke dalam sakunya. Perempuan itu memandang sekejap sekeliling tempat itu, lalu katanya lagi.

   "Berdiam lebih lama di sini berarti menambah ancaman bahaya, cepatlah kau pergi meninggalkan tempat ini!"

   "Apakah nyonya tidak mempunyai pesan-pesan lain?"

   "Tidak ada."

   "Kalau begitu aku mohon diri lebih dulu."

   Setelah memberi hormat, ia membalikkan badan dan berlalu dari tempat itu. Sambil berjalan Bong Thian-gak berpikir.

   "Mungkin kitab yang dititipkan padaku ini adalah kitab pusaka, tapi mengapa Biau-kosiu tidak datang mengambil sendiri? Atau si perempuan berbaju hijau ini mengantarkan sendiri sampai ke dalam kota?"

   Bong Thian-gak benar-benar tidak mengerti apa sebabnya secara begitu misterius Biau-kosiu meminta padanya untuk mengambil kitab itu, mendapat pesan berarti diberi kepercayaan orang itu, maka pemuda itu berpikir lagi.

   "Ah, buat apa aku memikirkan hal itu? Pokoknya kuserahkan kitab ini ke tangan Biau-kosiu, urusan kan beres."

   Tiba-tiba pemuda itu menghentikan langkah.

   Ternyata di hadapannya telah muncul seseorang menghadang jalan perginya, seorang lelaki setengah umur bertubuh ceking, berbaju abu-abu dan bertampang seperti monyet, ia mengawasi sambil tertawa bodoh.

   Berjumpa kembali orang ini, hati Bong Thian-gak bergetar keras, pikirnya.

   "Aduh celaka, barusan aku telah salah melihat, tampaknya orang ini memiliki ilmu silat yang amat tangguh."

   Bong Thian-gak mendengus dingin seraya katanya.

   "Sungguh tak kusangka kita bersua kembali."

   Lelaki bermuka monyet tertawa dingin.

   "Bumi itu bulat, aku pun tidak menyangka kita bersua kembali di sini."

   Bong Thian-gak tertawa dingin pula.

   "Tadi aku benar-benar telah salah melihat, boleh aku tahu siapakah kau?"

   "Cu Ciong,"

   Sahut lelaki itu sambil tertawa kering penuh ejek. Bong Thian-gak berseru kaget.

   "Ah, tak kusangka kau adalah seorang kenamaan."

   Cu Ciong tertawa seram lagi.

   "Di hadapan orang yang mengerti, lebih baik bicara blak-blakan. Boleh kau tunjukkan benda yang baru saja diserahkan kepadamu?"

   Diam-diam Bong Thian-gak dibuat terperanjat, pikirnya.

   "Wah, ternyata dia telah menyaksikan semua peristiwa tadi, tapi mengapa aku tak menemukan jejaknya?"

   Sambil tersenyum dia lantas berkata.

   "Aku benar-benar tidak mengerti perkataanmu itu."

   Cu Ciong menarik muka, kemudian dengan nada serius katanya.

   "Kau berada di luar persoalan ini, aku tak mengerti mengapa kau melibatkan diri?"

   "Hei, semakin bicara aku semakin bingung dan tidak mengerti perkataanmu itu."

   Cu Ciong tertawa seram lagi.

   "Barusan nyonya berbaju hijau telah menyerahkan bungkusan kepadamu, maka aku cuma berharap kau mengeluarkan bungkusan itu, serahkan padaku dan segala urusan tidak ada sangkut-pautnya lagi denganmu."

   Bong Thian-gak tahu semua sudah diketahui lawan, maka sambil tertawa dingin katanya.

   "Ehm, tak kusangka kau memiliki mata yang amat jeli, aku betul-betul merasa kagum kepadamu. Cuma gulungan kitab itu sudah di sakuku, bila kau menginginkannya silakan datangi kemari mengambilnya sendiri."

   Sekarang Bong Thian-gak teringat pesan wanti-wanti perempuafll berbaju hijau itu, pikirnya kemudian.

   "Sekarang dia telah mengetahui semua persoalan ini, maka aku tak boleh membiarkan dia pergi dari sini dalam keadaan hidup."

   Apalagi lawan bermaksud merampas kitab itu dengan kekerasan, pemuda itu bertekad akan membunuhnya bilamana perlu. Cu Ciong memutar matanya yang bulat kecil, lalu setelah tertawa licik, ia bertanya.

   "Tahukah kau benda apakah itu?"

   "Aku tidak tahu dan aku pun tak ingin tahu, yang kuketahui! hanya menyerahkan benda itu kepada orang yang berhak."

   "Kau hendak menyerahkan itu kepada Biau-kosiu rupanya?" "Benar."

   
Pendekar Cacad Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Cu Ciong terbahak-bahak.

   "Apabila kau tidak segera menyerahkan! kitab itu kepadaku, aku yakin kau tak akan berhasil memasuki kota Lok-yang dalam keadaan hidup. Percaya atau tidak?"

   "Aku bisa membuktikannya sendiri nanti!"

   Bong Thian-gak membusungkan dada dan melangkah ke depan.

   "Berhenti!"

   Dengan suara keras seperti guntur membelah bumi di tengah hari bolong Cu Ciong membentak, tubuhnya bergerak maju dan menghadang di hadapan Bong Thian-gak. Bong Thian-gak tertawa dingin.

   "Di tengah hari bolong pun kau berniat merampok aku?"

   Cu Ciong tertawa seram.

   "Membunuh, membakar atau merampok merupakan kejadian lumrah di dunia persilatan. Sekarang aku hendak memberitahu kepadamu, di sekeliling kota Lok-yang telah berkumpul ratusan jago persilatan. Sekalipun kau berhasil melewati diriku, jangan harap kau bisa lolos dari cegatan rombongan jago lihai lainnya."

   "Kau sudah melepaskan tanda bahaya?"

   Tanya Bong Thiangak sambil mengerutkan dahi.

   "Benar, sewaktu masih berada di hutan tadi, aku telah melepaskan merpati pos mengabarkan kejadian yang telah berlangsung di sini kepada mereka."

   Bong Thian-gak tertawa dingin.

   "Sebenarnya aku tidak berniat membunuhmu, tetapi sekarang tampaknya mau tak mau aku harus menghabisi nyawamu."

   Begitu selesai berkata, lengan tunggal Bong Thian-gak sudah membacok ke arah depan dengan kecepatan bagaikan sambaran kilat.

   Angin pukulan yang maha dahsyat langsung menggulung ke depan dengan sangat hebatnya, ancaman itu membuat Cu Ciong yang kurus dan ceking terlempar ke udara bagai layanglayang putus benang.

   Ia terguling sampai tiga kali di tengah udara, namun ketika melayang turun, ternyata tidak mengalami apa-apa, kecuali mukanya sedikit berubah.

   Gagal dengan serangan dahsyatnya, Bong Thian-gak tertawa dingin, lalu katanya.

   "Aku benar-benar merasa kagum dengan Ginkangmu yang lihai, tak nyana kau sanggup menghindarkan diri dari sergapanku tadi."

   Cu Ciong tertawa aneh.

   "Kedahsyatan dan kehebatan angin pukulanmu tidak kalah dari kemampuan Bu Seng. Tapi bila kau berniat membunuhku, ini bukan suatu pekerjaan yang gampang bagimu."

   Selesai berkata Cu Ciong menerjang maju pula dengan kecepatan luar biasa dan langsung menyerang Bong Thiangak.

   Bagi tokoh sakti yang sedang bertarung, dalam satu gebrakan saja akan diketahui sampai dimana kemampuan seseorang, ketika Bong Thian-gak lihat musuh bisa menghindar dan langsung menerjang ke depan, ia segera sadar musuh adalah seorang jago lihai yang berilmu tinggi.

   Jika dia tidak melancarkan serangan mematikan, sulit rasanya menaklukkan musuhnya itu.

   Oleh sebab itu di kala Bong Thian-gak menyaksikan musuh menerjang datang, dia sama sekali tidak menghindar atau menyingkir.

   Ditunggunya serangan lawan hingga di depan dada, saat itulah Bong Thian-gak mencabut pedangnya serta melepaskan babatan, pedang Pek-hiat-kiam telah menyambar.

   Dimana cahaya pedang itu berkelebat, jerit kesakitan yang memilukan segera berkumandang.

   Tubuh Cu Ciong yang sedang melayang di udara terbanting jatuh ke tanah dan tidak berkutik lagi, percikan darah segar menggenangi permukaan tanah padang rumput itu.

   Siapa jago di Kangouw saat ini yang paling cepat mencabut dan melepaskan serangan? Mungkin serangan yang dilancarkan Bong Thian-gak barusan dapat menandingi kemampuan Liu Khi.

   Ketika Bong Thian-gak selesai membacok mati Cu Ciong, Pek-hiat-kiam telah kembali ke dalam sarungnya.

   Ketika Bong Thian-gak mendongakkan kepala, Giok-gansuseng Liong Oh-im yang berwajah kereng dan gagah sudah berada di hadapannya.

   Sepasang mata Liong Oh-im yang amat tajam sedang mengawati genangan darah segar yang mengucur dari tubuh Cu Ciong, kemudian katanya.

   "Benar-benar tak kusangka, Cu Ciong yang termasyhur karena kehebatan Ginkangnya ternyata tak berhasil lolos dari bacokan pedang Jian-ciatsuseng. Peristiwa ini benar-benar mengejutkan!"

   Begitu bertemu Liong Oh-im, paras muka Bong Thian-gak segera berubah hebat. Sementara itu Liong Oh-im itu sudah memberi hormat, kemudian ujarnya lantang.

   "Bong-tayhiap, kita telah bersua kembali, aku pun dapat melihat kecepatan dan kehebatan permainan pedang Bong-tayhiap, aku benar-benar kagum sekali."

   Bong Thian-gak tersenyum.

   "Kedatangan Liong-sianseng sungguh teramat cepat."

   Liong Oh-im kembali tertawa ringan.

   "Bong-tayhiap,"

   Katanya.

   "diam-diam kita pun rasanya tak usah menyembunyikan sesuatu lagi, kedatanganku sesungguhnya karena mendapat surat yang dikirim Cu Ciong dengan merpati posnya."

   Ketika mendengar perkataan itu, Bong Thian-gak berlagak seolah-olah terkejut, ujarnya kemudian.

   "Oh, tidak kusangka Cu Ciong satu aliran dengan Liong-sianseng."

   Tiba-tiba Liong Oh-im menarik muka dan berkata dengan hambar.

   "Cu Ciong adalah salah seorang pengawal andalanku, sayang sekali dia mati terlampau cepat."

   "Apakah Liong-sianseng berniat membuat perhitungan padaku atas kematiannya?"

   Liong Oh-im tersenyum.

   "Soal itu tergantung sikap Bong-tayhiap sendiri, aku ingin melihat bagaimana sikapmu terhadap diriku!"

   "Apa maksudmu?"

   "Kematian Cu Ciong disebabkan kitab pusaka Kui-hok-khiliok, apabila Bong-tayhiap bersedia menyerahkan kitab pusaka Kui-hok-khi-liok, maka kematian Cu Ciong pun tidak perlu disesalkan lagi."

   "Jadi Biau-kosiu adalah ahli waris Mi-tiong-bun?"

   Tanya Bong Thian-gak terkejut.

   "Aku pun ahli waris Mi-tiong-bun, boleh dibilang aku dan Biau-kosiu adalah sesama saudara seperguruan."

   Sekarang Bong Thian-gak baru tahu asal-usul perguruan mereka, tapi yang membuatnya tidak mengerti adalah sebagai sesama saudara seperguruan, mengapa mereka berebut kitab pusaka perguruannya. Bong Thian-gak berkata.

   "Kalau Liong-sianseng berasal satu perguruan dengan Biau-kosiu, maka bila kitab pusaka Kui-hok-khi-liok ini diserahkan ke tangannya atau di tanganmu kan sama saja, apa bedanya?"

   "Aku telah menjelaskan asal-usul kami berdua, maka ingin kuingatkan bahwa perselisihanku dengan Biau-kosiu tidak lebih hanya perselisihan sesama anggota Mi-tiong-bun, oleh karena itu kuharap Hong-tayhiap berada di luar garis, tak usah melibatkan diri pula dalam persoalan ini."

   "Sebagai orang luar, tentu saja aku tidak berhak mencampuri urusan perguruan kalian, aku memang tidak berhasrat mencampurinya."

   "Kalau demikian, Bong-tayhiap harap mengambil keputusan yang cepat dan pintar."

   


Pendekar Kembar Karya Gan KL Perkampungan Hantu -- Khu Lung Peristiwa Burung Kenari Karya Gu Long

Cari Blog Ini