Pendekar Cacad 18
Pendekar Cacad Karya Gu Long Bagian 18
Pendekar Cacad Karya dari Gu Long
"Mungkin ... mungkin kau telah mencelakai jiwa anakku yang masih dalam kandungan."
"Ai, aku ... aku benar-benar telah khilaf. Aku ... aku kelewat ceroboh,"
Keluh Thay-kun sambil menghela napas sedih. Kakek berbaju hijau berjalan mendekat, lalu mengeluarkan sebuah botol obat menuju ke hadapan nyonya muda itu. Dengan cepat dia mengeluarkan tiga butir pil, ujarnya dengan lembut.
"Cepat kau telan pil ini. Pil itu adalah Kiu-coan-bingwan, bisa jadi akan menekan goncangan pada rahimmu."
Dengan cepat nyonya muda berbaju putih menerima pemberian itu dan sekaligus menelan ketiga butir pil itu.
Betul juga, ketika pil itu masuk ke dalam mulut, terasa harum semerbak memancar kemana-mana.
Rasa sakit dalam perut juga semakin berkurang.
Tiba-tiba Thay-kun membimbing nyonya muda berbaju putih itu, kemudian bisiknya.
"Cici, maafkanlah aku!"
Setelah menelan pil tadi, rasa sakit yang melilit perut nyonya muda berbaju putih itu pun semakin berkurang, dengan kening berkerut dia segera bertanya.
"Siapakah kau? Mengapa kau kenal padanya?"
"Apakah Cici kenal padanya?"
Thay-kun balik bertanya dengan terkesiap.
"Dia adalah suamiku,"
Jawab si nyonya muda itu dengan suara pedih. Thay-kun benar-benar terkejut sekali.
"Ah, kalau begitu kau adalah ... adalah Song Leng-hui!"
Agaknya nyonya muda berbaju putih itu sama sekali tak mengira Thay-kun bisa menyebut namanya dengan tepat, selapis sinar duka dan murung segera memancar dari balik matanya, pelan-pelan dia bertanya.
"Siapakah namamu?"
"Aku bernama Thay-kun, aku adalah adik seperguruannya."
Ternyata nyonya muda berbaju putih itu adalah Song Lenghui.
Sejak Bong Thian-gak meninggalkannya untuk turun gunung, dia hidup seorang diri di tengah pegunungan yang terpencil sambil merindukan suaminya, rasa rindu itu kian hari kian bertambah.
Setiap pagi maupun senja, dia selalu berdiri di puncak bukit sambil menunggu suaminya pulang.
Pada bulan kedua, Song Leng-hui merasa ada perubahan pada dirinya.
Perut pun makin hari makin membesar, dia tahu hubungan intim yang mereka lakukan pada malam ini telah menghasilkan benih dalam rahimnya.
Kejadian itu membuat Song Leng-hui semakin mengharapkan suaminya pulang, dia ingin turun gunung, tapi pesan orang tuanya sebelum meninggal membuatnya tak berani membangkang sumpah untuk turun gunung.
Tapi rasa rindu yang menyiksa dirinya serta perut yang semakin bertambah besar, membuat perempuan itu tak bisa berdiam diri lagi, akhirnya tanpa berpikir lebih jauh, ia segera turun gunung.
Setelah turun gunung, dia pun mulai menyusuri jejak Bong Thian-gak sepanjang jalan.
Dia pergi ke Ho-pak, lalu ke Holam, sebulan lebih dia menderita dan mengembara, namun jejak Bong Thian-gak belum juga ditemukan.
Dalam sedih dan tekanan batin yang sangat berat, akhirnya terjadi perubahan pada dirinya.
Setiap senja mulai menjelang tiba, dia mulai menyusuri tempat terpencil dan meneriakkan nama.
"Engkoh Gak ...engkoh Gak."
Akhirnya dia berhasil juga menemukan Bong Thian-gak.
Ia tergeletak di bawah pohon dalam keadaan sangat kritis, maka sambil membopong tubuhnya dan menyusuri jalanan sejauh satu li lebih, akhirnya dia berhasil menemukan gedung itu.
Song Leng-hui menghela napas sedih, pelan-pelan katanya.
"Thay-kun, aku pernah mendengar nama itu disebut olehnya, dia terjun kembali ke dunia persilatan tak lain karena ingin menolongmu. Ai, tapi dia ... dia telah berubah menjadi begini rupa sekarang."
Air mata bercucuran membasahi wajah Thay-kun, serunya lirih.
"Enci Song, maafkanlah aku, aku memang pantas mati bila kau mengalami sesuatu. Bagaimana mungkin aku bisa mempertanggungjawabkan kepada Bong-suheng."
Thay-kun menangis, menangis dengan sedihnya. Suara isak-tangisnya amat memilukan, membuat siapa pun yang mendengar turut berduka. Memandang keadaan itu, Song Leng-hui menjadi terharu pula, tanpa terasa dia segera menghibur.
"Enci Thay-kun, kau tidak usah bersedih, aku tak akan mati."
"Enci Song, tadi aku telah melancarkan serangan dengan ilmu Soh-li-jian-yang-sin-kang, aku sudah seharusnya mati."
Mendadak kakek berbaju hijau itu menghela napas panjang, lalu berkata.
"Sebenarnya ilmu pukulan Soh-li-jianyang- sin-kang adalah ilmu sakti yang sangat langka, tapi untunglah, nona Song memiliki tenaga Tay-gi-khi-kang yang melindungi badannya, sehingga luka yang dideritanya pun tidak terlampau parah."
Perkataan kakek berbaju hijau membuat kedua orang perempuan itu segera sadar bahwa di dalam ruangan itu masih hadir seorang kakek berbaju hijau. Song Leng-hui segera berpaling ke arah kakek itu, kemudian ujarnya dengan lembut.
"Terima kasih banyak atas pemberian obat Locianpwe. Maafkanlah, Siauli sedang terluka sehingga tak dapat menyampaikan rasa terima kasihku kepadamu."
"Nona Song tidak usah banyak adat."
Tiba-tiba Song Leng-hui berkata lagi.
"Tampaknya Locianpwe adalah tuan rumah gedung ini. Bila Siauli telah memasuki gedung kediamanmu pada saat yang kurang cepat dan secara gegabah, harap Locianpwe sudi memaafkan."
Sebenarnya Thay-kun mengira Song Leng-hui dan kakek berbaju hijau itu berasal dari satu jalan, dia baru tertegun sesudah mendengar perkataan itu, tanpa terasa dia memperhatikan beberapa kejap.
"Tak usah sungkan-sungkan,"
Kata kakek berbaju hijau itu sambil tersenyum.
"Kita dapat bersua berarti di antara kita memang punya jodoh."
Song Leng-hui kembali tersenyum.
"Locianpwe memang betul-betul seorang tokoh yang luar biasa. Nyatanya kau sanggup menebak asal-usul ilmu silatku secara tepat, bolehkah aku tahu siapa nama Locianpwe?"
Sambil mengelus jenggotnya yang panjang dan tertawa, kakek berbaju hijau itu berkata.
"Tay-gi-khi-kang merupakan ilmu silat yang luar biasa dalam persilatan, di kolong langit dewasa ini pun hanya Song-ciu suami-istri yang memiliki kepandaian itu. Bila dugaanku tidak salah, sudah pasti nona adalah keturunan Song-ciu."
Berubah paras muka Song Leng-hui, cepat dia bertanya.
"Siapakah Locianpwe?"
Dalam benak Song Leng-hui dengan cepat melintas pesan terakhir ayahnya sebelum meningal.
"Anak Hui, sekalipun kau berhasil melatih ilmu silat yang luar biasa, ilmu Tay-gi-khikang serta berbagai macam ilmu silat lainnya, namun bagaimana pun juga kau tidak boleh turun gunung, sebab orang tuamu mempunyai seorang musuh besar yang lihai sekali. Bukan saja dia telah berhasil melatih berbagai macam ilmu silat yang hebat di dunia ini, dia pun berhati kejam dan buas. Sekali kau menggunakan ilmu silatmu, maka dia akan segera mengenali asal-usulmu itu dan melakukan pembunuhan atas dirimu."
"Oleh karenanya aku meminta kau bersumpah dan selama hidup tidak turun gunung, selama hidup merahasiakan ilmu silat yang kau miliki itu ... sekalipun terhadap kekasihmu sendiri, kau juga tidak boleh memperlihatkan ilmu silatmu sendiri."
Hati Song Leng-hui benar-benar bergetar keras, ditatapnya kakek berbaju hijau itu lekat-lekat tanpa berkedip.
Menyaksikan ketegangan yang mencekam Song Leng-hui, diam-diam Thay-kun menegur kecerobohannya, maka dia pun memutuskan bila kakek itu bersiap melakukan serangan, maka dia akan turun tangan lebih dahulu.
Sementara itu kakek berbaju hijau sudah memandang sekejap ke arah kedua gadis itu, kemudian katanya.
"Kalian tak usah bertanya siapa namaku, kalian pun tidak perlu curiga dan takut terhadapku."
Song Leng-hui adalah seorang yang baru terjun ke dunia Kangouw, pengetahuan serta pengalaman yang dimilikinya masih cetek.
Setelah mendengar ucapan kakek itu, dia menjadi tersipu-sipu dan segera menundukkan kepala.
Sebaliknya Thay-kun segera tersenyum, seraya berkata.
"Ah, kami tidak lebih hanya merasa bahwa Locianpwe adalah seorang aneh, lain daripada yang lain."
"Melihat yang aneh jangan terasa aneh, keanehan hanya akan muncul dari dasar hati,"
Kata kakek berbaju hijau itu sambil mengelus jenggotnya dan tertawa. Kemudian dia berpaling dan memandang sekejap ke arah Bong Thian-gak yang masih terbaring di atas meja sambil berkata.
"Ilmu tusuk jarum Song-hujin yang mengandalkan dua puluh empat batang jarum emas dan perak merupakan tandingan dari berbagai macam racun yang ada di dunia ini, kini semua racun yang ada di dalam tubuhnya mungkin sudah punah oleh tusukan jarum emas dan perak itu. Nona Song, kau boleh mencabut semua jarum emas dan perak itu."
"Locianpwe, tampaknya kau seperti banyak tahu tentang segala sesuatu mengenai kedua orang tuaku?"
Tanya Song Leng-hui curiga. Kakek berbaju hijau itu segera tertawa terbahak-bahak.
"Nama besar Song-ciu suami-istri tercantum dalam deretan nama sepuluh tokoh persilatan. Nama mereka amat termasyhur, tak aneh bila diketahui setiap orang."
"Locianpwe, maaf bila aku mengajukan pertanyaan secara sembrono,"
Tukas Thay-kun.
"Aku lihat wajahmu kurang baik. Apakah kau merasa kurang sehat?"
Kembali kakek berbaju hijau itu tertawa tergelak.
"Benarbenar memiliki ketajaman mata luar biasa. Betul, aku memang menderita suatu penyakit menahun."
"Bolehkah aku tahu penyakit apakah itu?"
"Keracunan,"
Jawab si kakek sambil tersenyum.
"Apakah racun yang bersarang di dalam tubuh Locianpwe sukar untuk diobati?"
"Racun yang bersarang dalam tubuhku cuma bisa disembuhkan oleh dua orang saja di kolong langit dewasa ini."
"Aku tahu siapakah kedua orang yang kau maksudkan itu."
"Coba katakanlah!"
"Si tabib sakti Gi Jian-cau serta dua puluh empat batang jarum emas dan perak Song-hujin!"
Sekali lagi kakek berbaju hijau itu tertawa terbahak-bahak.
"Pintar sekali. Dugaanmu memang sangat tepat, tapi aku tidak habis mengerti, darimanakah kau bisa menebak isi pikiranku secara tepat."
"Sewaktu enci Song terluka tadi, aku dapat melihat bahwa kau merasa amat gelisah dan tidak tenang."
Song Leng-hui yang mendengarkan pembicaraan itu, segera mengedipkan matanya yang jeli berulang kali, kemudian ditengoknya kakek itu sekejap, katanya.
"Benarkah Locianpwe menderita luka keracunan menahun?"
"Benar,"
Kakek berbaju hijau itu mengangguk.
"Racun yang bersarang di dalam tubuhku itu sudah menyiksaku selama puluhan tahun lamanya."
"Bila Locianpwe memang terluka, sudah sepantasnya bila aku membantumu dengan segenap kemampuan yang kumiliki."
"Kalau begitu aku ucapkan banyak terima kasih lebih dulu."
Tiba-tiba Song Leng-hui berkata kepada Thay-kun.
"Enci Thay-kun, coba kau pergilah ke sana dan cabutlah kedua puluh empat batang jarum emas dan perak itu dari atas tubuh engkoh Gak."
Thay-kun segera berjalan ke hadapan Bong Thian-gak dan mencabut kedua puluh empat batang jarum emas dan perak yang menancap di tubuh Bong Thian-gak. Dengan suara lembut Song leng-hui segera berkata lagi.
"Setengah jam kemudian dia akan mendusin. Enci Thay-kun setelah termakan oleh pukulan Tay-gi-ciang tadi, kuduga isi perutmu sudah menderita luka ringan. Kau cepatlah duduk bersila untuk mengatur pernapasan, kalau tidak, bila darah sampai membeku di dalam badan sudah pasti akan menciptakan luka dalam yang tak terobati."
Thay-kun merasa berterima kasih sekali mendengar perkataan itu, kemudian katanya.
"Enci Song, aku tidak apaapa, yang penting adalah kau sendiri."
"Ketiga butir pil mujarab yang dihadiahkan Locianpwe kepadaku sangat mujarab, mungkin keadaanku sudah tidak apa-apa lagi. Sekarang biar aku beristirahat dulu sejenak, sebelum membantu menyembuhkan luka yang diderita Locianpwe."
"Tak perlu terburu napsu,"
Cepat kakek berbaju hijau berkata.
"Tak ada salahnya bila nona Song sekalian beristirahat beberapa hari dulu di sini. Bila luka yang kau derita sudah sembuh, barulah kau coba membantuku mengobati luka yang kuderita ini."
"Enci Song,"
Thay-kun segera menyambung.
"mari kita beristirahat dulu selama beberapa hari di sini."
Song Leng-hui menghela napas panjang.
"Ai, antara kita dan Locianpwe ini boleh dibilang sama sekali tidak kenal dan tak punya hubungan apa-apa. Aku merasa kurang enak untuk mengganggu ketenangan orang lain."
Si kakek berbaju hijau segera tertawa.
"Perkataan nona Song terlalu serius. Bila kau sanggup menyembuhkan penyakitku yang telah menahun ini, maka aku akan sangat berterima kasih kepadamu, bahkan budi kebaikan ini pun tak tahu bagaimana musti kubayar. O, ya .... Bukankah kalian belum bersantap malam? Sebentar biar aku masuk ke dalam dan memerintahkan orang-orangku mempersiapkan hidangan malam untuk kalian."
Selesai berkata kakek berbaju hijau segera beranjak masuk ke ruang dalam, dengan begitu dalam ruangan pun tinggal Bong Thian-gak, Song Leng-hui dan Thay-kun bertiga.
Sekalipun Thay-kun dan Song Leng-hui menaruh kecurigaan terhadap asal-usul kakek itu, namun sikap bersahabat si kakek membuat mereka tak mampu menduga secara sembarangan.
Tak lama setelah kakek itu masuk, dari ruang dalam telah muncul dua orang dayang berbaju hijau, yang seorang membawa baki berisi enam buah cawan, sedang yang lain membawa sebuah poci berisi air teh.
Kedua orang dayang itu berusia antara lima-enam belas tahun, berkulit putih, bermata jeli dan senyum manis menghiasi ujung bibirnya, membuat siapa pun yang memandang merasa tertarik.
Dayang berbaju hijau yang berada di sebelah kanan segera berkata dengan suara merdu.
"Bila pelayanan kami terlambat, harap sudi dimaafkan. Silakan nona berdua minum teh!"
Sembari berkata kedua dayang itu telah mempersembahkan dua cawan air teh dengan cepat.
Tanpa sungkan Thay-kun dan Song Leng-hui segera menerima cawan air teh itu.
Tiba-tiba Thay-kun merasa cawan teh itu dingin sekali, ketika diamati lebih seksama lagi, ternyata terbuat dari kemala asli.
Dengan terkejut Thay-kun berseru.
Pendekar Cacad Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Wah, keenam cawan ini benar-benar benda antik yang tak ternilai harganya!"
"Ketajaman mata nona sungguh mengagumkan,"
Kata dayang berbaju hijau itu sambil tersenyum.
"Keenam cawan kemala putih berusia seribu tahun ini merupakan cawan yang hanya digunakan majikan terhadap tamu agung. Konon bila menggunakan cawan ini untuk menyeduh air teh, bukan saja baunya akan lebih harum dan rasanya manis, terlebih dapat menyegarkan tubuh."
Sementara itu Song Leng-hui telah meneguk secawan. Dia segera berseru.
"Oh, sungguh harum sekali. Belum pernah aku minum air teh semacam ini."
Thay-kun segera turut mencicipi, dengan cepat dia pun memuji tiada hentinya.
"Air teh ini benar-benar lezat dan harum. Bagaikan cairan kental yang menyegarkan badan, benar-benar luar biasa."
Sementara itu dayang berbaju hijau itu sudah berdiri di samping dan memenuhi dua cawan air teh lagi.
"Mengapa adik berdua tidak mencicipi pula secawan?"
Kata Song Leng-hui tiba-tiba. Dayang berbaju hijau itu segera tersenyum.
"Air teh dalam cawan kemala putih berusia seribu tahun merupakan benda yang tak ternilai harganya. Budak tak berani meneguknya."
Thay-kun yang mendengar perkataan itu segera merasa amat terkejut, pikirnya dengan cepat.
"Mengapa mereka tak berani minum air teh itu? Jangan-jangan di balik semua itu terdapat hal-hal yang tak beres."
Belum selesai ingatan itu melintas, tiba-tiba terdengar suara gelak tawa yang sangat keras.
"Siu-kong, Siu-go, bukankah tamu telah menghadiahkan secawan teh kemala putih kepada kalian? Mengapa kalian tidak berterima kasih kepada tamu?"
Mendengar ucapan itu, kedua dayang berbaju hijau itu segera berkata bersama.
"Terima kasih banyak budak ucapkan atas pemberian teh dari nona."
Kemudian mereka meneguk habis isi cawan itu dengan lahapnya. setelah itu ia baru berseru.
"Hm, sungguh harum, sungguh manis."
Dari sikap kedua dayang itu meneguk air teh, Song Lenghui dapat melihat bahwa mereka belum pernah mencicipi air teh yang berasal dari cawan kemala berusia seribu tahun itu, maka setelah tertegun sejenak, tanyanya.
"Apakah kalian belum pernah minum air teh itu?"
Dari balik ruangan muncul kembali kakek berbaju hijau itu, sambil tersenyum ia segera berkata.
"Cawan kemala putih berusia seribu tahun merupakan benda langka yang tak ternilai harganya di dunia ini, belum pernah kuserahkan cawan itu untuk dipakai para pelayan. Oleh sebab itu harap kalian berdua jangan menertawakannya."
Song Leng-hui berkerut kening mendengar perkataan itu, diam-diam pikirnya.
"Pelit amat orang ini, tapi heran, mengapa ia justru bersikap royal kepada kami?"
Sebaliknya Thay-kun segera berkata pula sambil tertawa.
"Silakan Locianpwe pun menikmati secawan air teh bersama kami."
Thay-kun tahu bahwa kaum persilatan penuh dengan tipumuslihat serta ancaman mara bahaya, apalagi asal-usul kakek berbaju hijau itu tidak diketahui secara jelas, bagaimana pun juga ia merasa wajib untuk menjaga diri dan waspada terhadap serangan lawan.
Tampaknya kakek berbaju hijau itu dapat membaca suara hati Thay-kun, dia segera tertawa terbahak-bahak.
"Tentu saja aku harus menemani tamu minum bersama."
Sementara itu Siu-kong telah mengangsurkan pula secawan air teh ke hadapannya, kakek berbaju hijau itu segera meneguknya sampai habis, kemudian baru berkata sambil tertawa ringan.
"Siu-kiong, Siu-go, cepat masuk dan bantu Hay Cing-cu menyiapkan sayur dan arak."
Kedua dayang berbaju hijau segera menjura dan mengundurkan diri dari ruangan itu. Sementara kakek itu sudah duduk dan berkata sambil tersenyum.
"Sejak setengah tahun berselang, aku pindah kemari untuk merawat lukaku. Untuk itu aku hanya membawa tiga orang pembantu saja, itulah sebabnya gedung ini kosong dan amat sepi rasanya."
Song Leng-hui serta Thay-kun memang ingin mengajukan pertanyaan itu kepada si kakek, sungguh tak disangka ternyata dia telah memperkenalkan diri terlebih dahulu.
Dalam hati Thay-kun tanpa terasa timbul perasaan curiga dan bimbang, sambil tertawa merdu dia lantas berkata.
"Bolehkah aku tahu, siapakah nama Locianpwe?"
Kakek itu tertawa tergelak.
"Nona Thay-kun, cepat atau lambat kalian pasti akan mengetahui siapa aku."
Baru selesai dia berkata, suara rintihan pelan bergema dari mulut Bong Thian-gak yang berbaring di meja, kemudian tampak anak muda itu bangkit dan duduk.
Begitu duduk, kebetulan sekali sorot matanya tertuju ke arah Song Leng-hui yang berada di hadapannya.
Dalam tertegunnya, Bong Thian-gak segera menggosok-gosok matanya berulang kali.
Tiba-tiba terdengar Song Leng-hui berseru.
"Engkoh Gak ... ini aku!"
Dengan cepat dia sudah menubruk ke muka.
"Leng-hui ... kau? Atau aku sedang bermimpi?"
Seru Bong Thian-gak sambil menggeleng kepala berulang kali. Sementara itu Thay-kun segera bangkit dan menghampirinya sambil berkata.
"Kau bukan lagi bermimpi, enci Song turun gunung hendak menolongmu."
Saat itu Bong Thian-gak telah melihat jelas raut muka setiap orang yang berada dalam ruangan itu, jelas semua ini bukan dalam mimpi, tapi kenyataan.
Dalam ingatannya, Song Leng-hui adalah seorang gadis lemah yang sama sekali tak mengerti ilmu silat, darimana dia sanggup menyembuhkan lukanya? Tapi benarkah dia mampu menolongnya? Bukankah tiga tahun berselang, dia pun pernah menyelamatkan jiwanya dari ancaman maut? Berbagai ingatan berkecamuk dalam benak Bong Thiangak, tiba-tiba sorot matanya tertumbuk kepada perut Song Leng-hui yang membengkak besar.
Tanpa terasa ia tertegun dan bergumam lirih.
"Kau ... kau telah mengandung?"
Dalam pada itu Song Leng-hui pun sudah melihat sikap Bong Thian-gak yang bingung dan tak habis mengerti, dia malah tertegun dibuatnya, tiba-tiba saja gadis itu menangis tersedu-sedu sambil menundukkan kepala.
Tangisan yang kelewat sensitif kaum wanita.
Ketika ia lihat kegugupan pemuda itu, disangkanya si pemuda tidak menyukainya lagi, tidak suka kalau dia mengandung, maka hatinya menjadi amat sedih.
Tiba-tiba Thay-kun berkata dengan dingin.
"Bong-suheng, enci Song telah mengandung anakmu. Kau benar-benar amat kejam, membiarkan seorang gadis yang lemah hidup seorang diri di atas gunung yang terpencil, sekarang dia telah melakukan perjalanan jauh dan bersusah-payah mencari kau, bahkan menyelamatkan pula jiwamu, mengapa kau justru bersikap begitu dingin dan hambar kepadanya?"
Ketika melihat istrinya menangis, Bong Thian-gak dibuat semakin tertegun lagi, dia baru sadar dari lamunannya, tibatiba ia berteriak dan menubruk ke depan, lalu sambil memegang bahunya dia berseru dengan gembira.
"Leng-hui, kau ... kau benar-benar sudah mengandung anak kita berdua? Oh, aku gembira sekali. Belum pernah terbayang olehku akan mendapat anak, aku benar-benar merasa gembira."
Song Leng-hui ikut tertawa dengan tersipu-sipu malu, katanya lirih.
"Benarkah kau menyukai anak? Aku malah merasa jengkel karena dia datang terlalu cepat."
"Lebih cepat malahan lebih baik,"
Seru Bong Thian-gak sambil melompat kegirangan.
"Aku malah ingin sekali dia lahir saat ini juga dan memanggil ayah padaku."
"Tempat ini bukan rumah kita, kau jangan berteriak-teriak seperti anak kecil."
Mendengar itu, Bong Thian-gak baru memperhatikan sekejap sekeliling tempat itu, kemudian tanyanya heran.
"Berada dimanakah kita sekarang? Mengapa kau turun gunung? Bersediakah kau menceritakan segalanya kepadaku?"
Mendadak kakek berbaju hijau itu berkata.
"Nona Song dan Bong-laute telah bertemu kembali setelah berpisah sekian lama, tentu banyak persoalan yang hendak kalian bicarakan, biarlah aku mohon diri lebih dulu."
Kali ini Bong Thian-gak dapat melihat paras muka kakek berbaju hijau itu dengan jelas, air mukanya segera berubah. Setelah tertegun sejenak, pikirnya.
"Aku seperti pernah berjumpa orang ini? Tapi siapakah dia? Ya, siapakah dia?"
Dalam pada itu si kakek berbaju hijau sudah mengundurkan diri dari ruangan itu.
Thay-kun sendiri merasa kecut hatinya, di samping rasa cemburu yang timbul secara tiba-tiba setelah menyaksikan Song Leng-hui dan Bong Thian-gak berbicara lirih dengan sikap begitu mesra dan penuh cinta kasih, diam-diam dia segera membalikkan badan dan beranjak pergi pula dari situ.
Song Leng-hui yang menyaksikan keadaan itu segera mengejar ke depan, sambil serunya.
"Enci Thay-kun, kau hendak pergi kemana?"
Thay-kun menyahut sambil tersenyum.
"Bong-suheng sudah sehat kembali, aku ... aku hendak pergi dari sini."
"Enci, kau tak boleh pergi. Bila kau pergi, maka aku pun akan segera pulang ke gunung."
Sambil menghela napas Bong Thian-gak berkata pula.
"Thay-kun, kau jangan pergi dulu. Sekalipun hendak pergi, tak perlu tergesa-gesa. Ai, tempat apakah ini? Siapa pula kakek tadi?"
Sesungguhnya Thay-kun pun sudah melihat pula perubahan air muka Bong Thian-gak setelah melihat paras muka kakek berbaju hijau itu. Satu ingatan segera melintas dalam benaknya, segera tanyanya.
"Bong-suheng, apakah kau pernah bersua dengannya? Dia adalah tuan rumah tempat ini, gedung ini terletak di luar kota Lok-yang, di sekelilingnya tidak bertetangga."
"Jadi kalian sama sekali tidak kenal padanya?"
Tanya Bong Thian-gak dengan kening berkerut.
"Ya, kami tak pernah kenal sebelumnya."
Secara ringkas Thay-kun segera menceritakan kembali apa yang mereka alami.
Dengan kening berkerut kencang Bong Thian-gak mendengarkan kisah itu dengan penuh perhatian.
Song Leng-hui menaruh kesan baik terhadap kakek berbaju hijau itu, cepat dia berseru.
"Engkoh Gak, empek tua ini sangat ramah, gagah dan menyenangkan, dia pasti orang baik-baik."
Mendadak Bong Thian-gak berseru tertahan, paras mukanya kembali berubah hebat, serunya lirih.
"Dia agak mirip dengan..."
Dengan merendahkan suaranya hingga setengah berbisik, Bong Thian-gak berkata.
"Raut mukanya sangat mirip Samcing Totiang." "Hek-mo-ong!"
Thay-kun terkejut.
"Seandainya dia benar-benar adalah Sam-cing Totiang, kita tak boleh berdiam lama di sini."
"Siapa Hek-mo-ong?"
Tanya Song Leng-hui dengan perasaan tidak habis mengerti.
"Dia adalah seorang jago silat yang ganas dan berhati buas, sedikit pun tidak berperi-kemanusiaan."
"Engkoh Gak, kau jangan salah melihat orang."
"Benar, aku sendiri pun tidak mempunyai keyakinan untuk mengenalinya sebagai Sam-cing Totiang, namun perawakan tubuh serta bayangan punggungnya mirip Sam-cing Totiang."
Tiba-tiba Thay-kun berkata.
"Seandainya dia adalah Hekmo- ong, seharusnya dia sudah turun tangan terhadap kita sejak tadi."
Hek-mo-ong adalah seorang tokoh sakti yang dikenal namanya oleh setiap umat persilatan, namun tak seorang pun yang berhasil menjumpainya. Untuk bisa membuktikan apakah dia adalah Hek-mo-ong atau bukan, terpaksa mereka harus tetap tinggal di situ.
"Apa yang mesti kita lakukan sekarang untuk membuktikan dia benar-benar adalah Hek-mo-ong atau bukan?"
Tanya Bong Thian-gak kemudian. Thay-kun memandang sekejap ke arah Bong Thian-gak, lalu katanya.
"Sewaktu berada di Ban-jian-bong, Hek-mo-ong pernah terkena tusukan pedang Tan Sam-cing, agaknya tusukan itu telah mendatangkan luka yang cukup berat baginya."
"Jadi kita harus memeriksa tubuhnya, adakah luka bekas tusukan atau tidak?"
"Enci Leng-hui telah berjanji untuk menyembuhkan luka yang dideritanya." "Oh, benarkah itu?"
Tanya Bong Thian-gak cepat.
"Benar,"
Sahut Song Leng-hui.
"Aku telah berjanji akan mengobati penyakitnya, sudah barang tentu aku tak boleh mengingkari perkataan sendiri."
"Penyakit apa yang dideritanya?"
"Dia bilang keracunan hebat, penyakit itu sudah menyiksanya selama puluhan tahun."
"Racun keji? Racun apakah itu? Masakah dapat mengeram di dalam badan sampai puluhan tahun lamanya?"
"Hek-mo-ong adalah Thio Kim-ciok, sedang Thio Kim-ciok sudah dicelakai oleh sepuluh tokoh persilatan dan Ho Lanhiang pada tiga puluh tahun berselang, mayatnya pun telah tenggelam di dasar telaga. Andaikan Thio Kim-ciok dapat lolos dari musibah itu, maka dia tentu akan menderita pula penyakit menahun."
"Sekarang kakek berbaju hijau itu mengatakan dirinya menderita penyakit menahun, kenyataan ini sesuai dengan keadaan Thio Kim-ciok, bila dia bangkit dari hidupnya. Untuk menyingkap teka-teki ini, kita memang wajib tetap tinggal di sini."
Kemudian setelah berhenti sejenak, Thay-kun menyambung lebih jauh.
"Andaikata kakek berbaju hijau itu benar-benar adalah Hek-mo-ong Thio Kim-ciok, aku pikir dia pun tak akan turun tangan keji terhadap kita, kita tak punya dendam sakit hati apa pun dengannya?"
"Betul,"
Bong Thian-gak menghela napas panjang.
"Kita memang tak punya dendam sakit hati apa pun dengannya, tapi tersangkut pula sedikit dendam dengannya. Bukankah Oh Ciong-hu adalah guruku."
Sampai di sini dia menengok sekejap ke arah Song Lenghui, kemudian katanya sambil menghela napas.
"Tak kusangka pula, Song Leng-hui adalah keturunan Song-ciu suami-istri. Oleh sebab itu bila Hek-mo-ong benar-benar adalah Thio Kimciok, mungkin aku dan Leng-hui tak akan dilepaskan olehnya begitu saja."
Lambat-laun Song Leng-hui sudah dapat menangkap garis besar pembicaraan itu, dengan wajah berubah ia segera berseru.
Pendekar Cacad Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Sebelum meninggal dunia, ayah pernah berpesan kepadaku bahwa dia mempunyai seorang musuh besar yang sangat lihai. Engkoh Gak, kalian mengatakan sepuluh tokoh persilatan telah membinasakan Thio Kim-ciok, sebenarnya siapa Thio Kim-ciok itu?"
Sekali lagi Bong Thian-gak menghela napas panjang.
"Hingga sekarang aku sendiri pun tidak mengetahui sumber dendam kesumat itu. Biarlah kalau ada waktu senggang akan kuberitahukan persoalan itu kepadamu."
Baru selesai dia berkata, mendadak terdengar suara gelak tertawa yang amat keras. Kakek berbaju hijau telah muncul kembali dari ruang belakang sambil berkata.
"Aku cukup tahu sejarah hidup saudagar kaya-raya Thio Kim-ciok. Apabila kalian bertiga tidak merasa bosan, aku bersedia menceritakan kisahnya secara garis besar."
Bong Thian-gak dan Thay-kun menjadi melongo, sebaliknya Song Leng-hui berseru dengan merdu.
"Cepatlah ceritakan Locianpwe, orang macam apakah Thio Kim-ciok itu?"
Sambil mengelus jenggot, kakek berbaju hijau tertawa.
"Baik, aku akan bercerita, tapi panjang sekali untuk mengisahkan peristiwa itu. Bukankah kalian bertiga belum bersantap malam? Mari kita bersantap di ruang belakang lebih dulu sambil bercerita."
"Kalau begitu terpaksa kami mengganggu ketenanganmu,"
Ucap Thay-kun sambil tertawa. Kakek berbaju hijau balas tertawa.
"Setiap orang persilatan lebih mengutamakan kebebasan dan keterbukaan, apalagi kita merasa cocok sejak bertemu. Buat apa mesti sungkan-sungkan lagi? Mari ikut aku."
Selesai berkata, kakek berbaju hijau segera membalikkan badan dan beranjak lebih dulu, dia berjalan menuju ke halaman belakang, kemudian setelah melalui sebuah beranda menuju ke kebun bunga di halaman belakang.
Di dalam kebun terdapat gunung-gunungan, gardu dan aneka bunga yang menyebarkan bau harum semerbak.
Sementara itu di sebuah gardu di hadapan mereka tampak cahaya lentera bersinar terang.
Sebuah meja perjamuan yang penuh dengan berbagai macam hidangan telah disiapkan, dua orang berdiri di samping meja, mereka adalah sepasang dayang berbaju hijau yang tadi, sedangkan di sisi lain berdiri seorang aneh bermuka hijau yang bertubuh gemuk pendek dan berwajah jelek sangat menyeramkan.
Begitu mereka memasuki gardu, Sui-kiong dan Sui-go segera menyiapkan tempat duduk sambil tersenyum-simpul, sedangkan lelaki bermuka aneh itu tetap berdiri di tempat tanpa berbicara atau tertawa, wajahnya sangat kaku dan tanpa emosi.
Kakek berbaju hijau itu tertawa ringan sambil menunjuk ke arah lelaki itu, katanya.
"Dia bernama Hay Cing-cu, meski mukanya jelek dan tak sedap dipandang, namun merupakan seorang koki yang sangat hebat, dia sudah puluhan tahun lamanya melayani kebutuhanku, benar-benar seorang pembantu setia yang pantas dihormati dan disegani."
Si kakek berbaju hijau segera duduk di bangku tepat di muka Hay Cing-cu.
"Silakan duduk, tidak usah sungkan,"
Katanya lagi.
Song Leng-hui, Thay-kun dan Bong Thian-gak menganggukkan kepala lebih dulu ke arah Hay Cing-cu, siapa tahu lelaki aneh bermuka jelek itu tetap berdiri kaku tanpa emosi, sepasang matanya yang bulat sama sekali tak bergerak, dia hanya berdiri kaku saja di situ, persis seperti patung.
Kenyataan ini tentu saja membuat ketiga orang itu menjadi tertegun, diam-diam pikirnya.
"Aneh benar orang ini."
Tanpa sungkan lagi, mereka segera mengambil tempat duduk. Dalam pada itu Siu-kiong dan Siu-go telah menghampiri mereka untuk menuang arak dan menyiapkan hidangan.
"Tak perlu sungkan, setelah kita bersantap dan meneguk arak, barulah berbincang-bincang."
Tampaknya kakek berbaju hijau amat ramah, suka bersahabat dan mudah bergaul, sikapnya begitu luwes dan berpengalaman.
Hidangan yang disiapkan benar-benar mewah, hampir setiap hidangan rasanya lezat dan menggiurkan.
Bong Thian-gak bertiga memang sudah lama kelaparan, sudah tentu mereka tak sungkan lagi.
Selesai bersantap, kakek berbaju hijau berkata sambil tersenyum.
"Sekarang kita boleh mulai bercerita, tapi sebelum dimulai, aku ingin bertanya dulu, seberapa banyak yang sudah kalian ketahui tentang Thio Kim-ciok?"
"Aku sama sekali tidak tahu,"
Kata Song Leng-hui sambil menggeleng kepala. Kakek berbaju hijau itu segera mengalihkan sorot matanya ke arah Thay-kun dan Bong Thian-gak. Thay-kun termenung sejenak, kemudian katanya dengan suara merdu.
"Kami tahu Thio Kim-ciok adalah seorang saudagar kaya-raya pada tiga puluh tahun lalu, kekayaannya melebihi kekayaan sebuah negeri."
Sambil tersenyum kakek berbaju hijau manggut-manggut.
"Ya betul, kekayaan yang dimiliki Thio Kim-ciok memang sangat besar seperti apa yang tersiar selama ini dalam masyarakat luas."
"Kami pun tahu Thio Kim-ciok telah mengumpulkan semua Enghiong Hohan yang ada di kolong langit. Tapi kemudian berhubung hendak belajar silat, dia telah mengangkat sepuluh tokoh persilatan menjadi gurunya."
Kakek berbaju hijau manggut-manggut.
"Ya, termasuk istri Thio Kim-ciok sendiri, perempuan tercantik di wilayah Kanglam Ho Lan-hiang, jumlahnya sebelas tokoh persilatan."
Lalu sesudah berhenti sejenak, dia berkata lebih jauh.
"Selanjutnya bagaimana kejadian yang menimpa Thio Kim-ciok hingga dia tewas, apakah kalian tahu juga?"
"Keadaan yang sejelasnya tidak diketahui, namun kami tahu bahwa dia mati dibunuh oleh sepuluh tokoh persilatan serta Ho Lan-hiang, namun di antara kesepuluh jago itu tampaknya ada dua orang yang tidak ikut dalam peristiwa itu."
"Dua orang yang mana?"
"Menurut dugaanku, kemungkinan besar mereka adalah Liu Khi dan Tan Sam-cing."
Kembali kakek berbaju hijau tersenyum.
"Jadi menurut pendapat kalian, Thio Kim-ciok belum mati?"
"Thio Kim-ciok memang tidak pernah mati,"
Jawab Thaykun tertawa. Kakek berbaju hijau tertawa bergelak.
"Nona memang pintar sekali. Thio Kim-ciok memang belum mati, tapi nona tak pernah dapat menduga siapakah Hek-mo-ong?"
Ucapan itu kontan menggetarkan hati Thay-kun dan Bong Thian-gak, segera tanyanya.
"
Jadi Hek-mo-ong bukan Thio Kim-ciok?"
Kakek berbaju hijau memandang bintang yang bertaburan di angkasa, kemudian pelan-pelan ujarnya.
"Yang akan kita bicarakan sekarang adalah Thio Kim-ciok bukan Hek-mo-ong. Sekarang aku hendak bertanya, apa sebabnya kesepuluh tokoh persilatan dan Ho Lan-hiang hendak membunuh Thio Kim-ciok?"
"Bila apa yang dikatakan Liu Khi kepada kami adalah sejujurnya, maka kesepuluh tokoh itu membunuh Thio Kimciok karena kuatir apabila ia sudah mencapai puncak keberhasilan, maka dia pasti akan merajai persilatan."
Dengan cepat kakek berbaju hijau menggeleng kepala berulang kali, katanya.
"Alasan kesepuluh tokoh persilatan dan Ho Lan-hiang mencelakai Thio Kim-ciok rasanya tak berbeda dengan alasan yang dipikirkan masing-masing orang, kuatir ilmu silat yang dimiliki Thio Kim-ciok mengalami kemajuan amat pesat sehingga mencelakai umat manusia, tapi aku tahu yang benar-benar mempunyai pikiran demikian hanya Ku-lo Hwesio, Oh Ciong-hu, serta Song-ciu suami-istri. Sekilas orang memang merasa bahwa alasan keempat orang ini membunuh Thio Kim-ciok adalah benar dan tepat, karena demi menyelamatkan umat persilatan dari ancaman bahaya besar, namun yang mereka lakukan justru adalah termakan siasat busuk pihak lain."
"Mengapa dikatakan mereka termakan siasat busuk pihak lain?"
Tanya Thay-kun.
"Karena si perencana siasat busuk itu sesungguhnya ingin membunuh Thio Kim-ciok demi harta."
"Demi harta? Kalau begitu si perencana siasat busuk itu bukan Ho Lan-hiang?" "Bukan Ho Lan-hiang, tapi niat Ho Lan-hiang membunuh suaminya pun tak terlepas dari harta."
"Wah, semakin kudengar, aku merasa semakin bingung dan tidak mengerti. Sebetulnya siapa perencana siasat busuk itu?"
Tiba-tiba kakek berbaju hijau berkata dengan suara dalam.
"Semua orang tahu Thio Kim-ciok kaya-raya dan memiliki harta yang tak terhitung banyaknya, tapi tahukah kalian darimana Thio Kim-ciok bisa kaya-raya secara mendadak?"
"Soal itu tidak kami ketahui,"
Thay-kun segera menggeleng.
"Rasanya tak ada yang tahu darimanakah sumber harta kekayaannya itu."
"Yang menjadi alasan utama kematian Thio Kim-ciok adalah rahasia sumber kekayaannya diketahui orang lain,"
Kata kakek berbaju hijau dengan suara dalam.
"Apa rahasia sumber kekayaan Thio Kim-ciok?"
Dengan sorot mata tajam kakek berbaju hijau memandang sekejap wajah semua orang yang hadir, kemudian lanjutnya.
"Sumber kekayaan Thio Kim-ciok diperoleh dari sebuah bukit tambang emas yang dimilikinya. Oleh karena itu Thio Kim-ciok memiliki emas murni yang tak ada habisnya, yang membuat dia menjadi seorang hartawan kaya-raya yang tiada tandingannya di seluruh kolong langit."
Semua orang menghela napas panjang, baru sekarang mereka tahu apa yang menjadi penyebab Thio Kim-ciok menjadi kaya-raya. Dengan suara lembut Song Leng-hui segera bertanya.
"Dimana letak tambang emas itu? Selain Thio Kim-ciok, siapa lagi yang tahu?"
Kakek berbaju hijau menghela napas panjang.
"Ai, Thio Kim-ciok adalah seorang berotak licik dan berhati ganas. Setiap orang yang dikirimnya ke tambang emas untuk mengumpulkan emas itu, semuanya tak ada yang lolos dari pembunuhan tutup mulut sekembalinya mengirim emas murni itu. Semakin bertambah kekayaan Thio Kim-ciok, semakin banyak pula orang yang menjadi korban. Selama sepuluh tahun saja, entah berapa banyak jiwa yang telah melayang di tangannya."
Mendengar sampai di sini, Bong Thian-gak sekalian diamdiam terkesiap juga oleh kekejaman dan kebuasan Thio Kimciok. Setelah menghela napas panjang, kakek berbaju hijau berkata lebih jauh.
"Namun Thio Kim-ciok mempunyai juga kebajikan, yaitu setiap kali dia membunuh pekerja tambangnya, maka dia akan memberikan emas murni dalam jumlah yang tak akan habis digunakan oleh keluarganya sepanjang hdup sehingga anak keturunan pekerja tambang itu tak akan mengalami kelaparan atau telantar hidupnya."
Bong Thian-gak tetawa dingin, serunya.
"Thio Kim-ciok telah membunuh orang, menyiksa manusia demi kepuasan dan kekayaan sendiri. Apakah dosa sebesar ini bisa diperingan dengan kebajikannya meninggalkan emas yang cukup bagi keluarga yang ditinggalkan?"
Berubah paras kakek berbaju hijau, tapi sejenak kemudian sudah lenyap tak berbekas. Katanya lagi sambil menghela napas.
"Benar, ada sementara orang yang menyukai kehangatan keluarga daripada emas yang berlimpah. Tapi bilamana nyawa seseorang bisa dikorbankan dengan timbalbalik yang sesuai, kalau dihitung-hitung kematiannya bisa dibilang cukup berharga juga."
"Bagaimana pun juga tingkah-laku serta perbuatan Thio Kim-ciok patut dikutuk setiap orang di dunia,"
Kata Bong Thian-gak dengan suara dingin.
"Betul,"
Kakek berbaju hijau mengangguk.
"Thio Kim-ciok memang berdosa." "Locianpwe, lanjutkan kembali kisahmu itu!"
Pinta Thay-kun dengan suara lembut. Kakek berbaju hijau termenung dan berpikir sejenak, kemudian katanya.
"Oleh sebab itu tambang emas milik Thio Kim-ciok belum pernah diketahui orang kedua, tapi entah bagaimana jadinya, ternyata rahasia tambang emas miliknya itu diketahui juga."
"Pepatah kuno mengatakan, 'Burung mati karena makanan, manusia mati karena harta'. Kata-kata itu memang tepat, akibatnya entah berapa banyak orang mulai menyusun rencana busuk dan berupaya dengan segala cara untuk mendapatkan peta rahasia tambang emas itu."
"Keselamatan jiwa Thio Kim-ciok pun mulai tak terjamin. Suatu hari Thio Kim-ciok mendapat surat berisi peringatan kepadanya, surat itu berbunyi, 'Dalam waktu satu bulan, kau harus menyiapkan peta rahasia itu, kalau tidak, nyawamu tak akan terjamin'."
"Surat itu ditanda-tangani oleh Hek-mo-ong."
Ketika mendengar kisah itu sampai di sini, tiba-tiba Thaykun teringat perkataan Liu Khi. Dia segera bertanya.
"Kalau begitu Thio Kim-ciok segera mengutus Liu Khi untuk menyelidiki siapa gerangan orang yang menamakan diri sebagai Hek-mo-ong setelah menerima surat peringatan itu dan gara-gara hal itu pula Thio Kim-ciok menugaskan Liu Khi untuk membunuh Hek-mo-ong."
"Rupanya nona pun mengetahui juga tentang peristiwa itu,"
Kata kakek berbaju hijau sambil tersenyum.
"Yang dicurigai Thio Kim-ciok sebagai Hek-mo-ong waktu itu tak lain adalah satu di antara kesepuluh tokoh persilatan dan Ho Lan-hiang."
"Apakah Thio Kim-ciok mau memenuhi keinginan Hek-moong dengan melukiskan peta rahasia tambang emasnya?" "Benar, Thio Kim-ciok memang membuat peta tambang emasnya itu, tapi dengan suatu kepandaian yang luar biasa, peta itu dipecah menjadi sebelas bagian yang masing-masing dibagikan kepada kesebelas orang."
"Siapa saja kesebelas orang itu?"
"Kesebelas orang itu adalah istrinya Ho Lan-hiang beserta sepuluh tokoh persilatan."
"Ai, Thio Kim-ciok memang seorang pintar,"
Kata Thay-kun sambil menghela napas panjang.
"Langkah catur yang dilakukan olehnya ini betul-betul luar biasa. Secara tepat sekali dapat membuat para musuh yang mengincar harta kekayaannya saling bunuh demi memperebutkan bagian peta yang lain."
Kemudian setelah berhenti sejenak, katanya pula.
"Jelas kesebelas bagian peta rahasianya itu disebarkan setelah ia terbunuh."
Dengan cepat kakek berbaju hijau tertawa bangga, dia segera bertanya.
"Nona Thay-kun, darimana kau tahu Thio Kim-ciok baru menyebarkan kesebelas potongan peta rahasia sesudah dia terbunuh?"
"Thio Kim-ciok sudah tahu kalau Hek-mo-ong adalah satu di antara istrinya beserta sepuluh tokoh persilatan, namun tak dapat menentukan secara pasti siapakah orangnya, lagi pula dia pun tahu, jika batas waktu sebulan sudah lewat peta rahasia itu belum juga diserahkan, sudah pasti dia akan terbunuh di tangan Hek-mo-ong. Maka untuk membalas dendam bagi kematiannya sendiri, ia menjalankan siasat membunuh orang meminjam golok dengan menyerahkan bagian peta rahasia ke tangan orang kepercayaannya dengan pesan, bila ia mati, maka kesebelas bagian peta rahasia itu harus diserahkan pada orang-orang yang telah ditentukan."
"Ai, manusia memang mati karena harta. Ketika semua orang sudah menerima bagian peta rahasia itu, siapakah yang tidak akan saling bunuh untuk memperoleh bagian peta rahasia yang lain?"
"Kalau begitu kekacauan dunia persilatan saat ini serta kematian yang menimpa kesepuluh tokoh persilatan ini tak lain diciptakan oleh siasat Thio Kim-ciok itu?"
Tiba-tiba kakek berbaju hijau menghela napas sedih, ujarnya.
"Namun kemudian Thio Kim-ciok sendiri pun tak pernah mengira kalau tindakan Hek-mo-ong masih setingkat lebih tangguh daripada jalan pikirannya. Tatkala batas waktu satu bulan sudah lewat, nyatanya Hek-mo-ong bukan datang mencelakai dirinya, melainkan mempengaruhi kesebelas jago lihai lainnya untuk bekerja sama mencelakai Thio Kim-ciok."
"Tapi Hek-mo-ong sendiri pun tak pernah menduga tentang kesebelas bagian peta rahasia tambang emasnya."
Bong Thian-gak segera menengok sekejap ke arah Thaykun, lalu ujarnya.
"Thay-kun, bukankah dugaan kita bahwa Hek-mo-ong adalah Thio Kim-ciok adalah salah besar?"
"Benar, Thio Kim-ciok memang bukan Hek-mo-ong."
Pada saat inilah Song Leng-hui bertanya.
"Locianpwe, kau mengatakan Thio Kim-ciok belum mati, lantas dimanakah orangnya sekarang?"
Sebelum kakek berbaju hijau sempat menjawab, mendadak Hay Cing-cu yang berdiri di belakang kakek berbaju hijau telah berpekik aneh, menyusul tubuhnya secepat sambaran kilat meluncur keluar dari gardu itu.
Dengan paras muka berubah hebat kakek berbaju hijau segera berkata.
"Pembicaraan kita telah disadap orang."
Tampang Hay Cing-cu memang jelek dan tidak menarik, bulat gemuk seperti tong, namun kesempurnaan ilmu meringankan tubuhnya benar-benar mengagumkan dan mengejutkan.
Dalam sekejap bayangan tubuhnya sudah lenyap.
Tiba-tiba Bong Thian-gak bangkit seraya bertanya.
Pendekar Cacad Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Locianpwe, perlukah kubantu mengejar orang yang telah menyadap pembicaraan kita tadi?"
"Tidak usah,"
Kakek berbaju hijau menggeleng.
"Ilmu meringankan tubuh yang dimiliki pendatang itu sangat hebat. Andaikata Hay Cing-cu gagal mengejarnya, maka tak ada orang yang bisa menyusulnya lagi."
Perkataan itu membuat Bong Thian-gak merasa kurang enak, tapi dia pun duduk kembali. Tampaknya kakek berbaju hiaju itu tahu dia telah salah bicara, cepat katanya lagi.
"Bong-siauhiap, maafkan kelancanganku bicara yang bukan-bukan tadi."
"Ah, ilmu meringankan tubuh Hay Cing-cu memang sangat hebat."
Thay-kun tak ingin suasana serba kaku dan rikuh itu berlangsung lebih lanjut, sambil tertawa ringan dia segera berkata.
"Locianpwe, maafkan aku bila ternyata kelewat berterus-terang. Benarkah Locianpwe adalah Thio Kim-ciok?"
Kakek berbaju hijau menghela napas panjang.
"Rahasia tentang belum matinya Thio Kim-ciok hingga saat ini baru diketahui oleh kalian beberapa orang saja."
"Orang persilatan mengutamakan pegang janji, kami bertiga tak akan membocorkan rahasia ini kepada siapa pun,"
Thay-kun berjanji dengan suara dalam.
"Betul, akulah Thio Kim-ciok!"
Sekalipun secara lamat-lamat orang sudah tahu kakek berbaju hijau itu adalah orang kaya pada tiga puluh tahun berselang, Thio Kim-ciok, namun sebelum ada pengakuan tegas dari pribadinya, tak urung mereka tetap ragu-ragu dan tak yakin.
Namun setelah pengakuan itu diberikan, tak urung semua orang dibuat terperanjat juga, serentak Bong Thian-gak bertiga mengawasi wajah kakek berbaju hijau tanpa berkedip.
Thio Kim-ciok memang terlalu misterius dan penuh rahasia.
Pada saat itulah terdengar Song Leng-hui bertanya dengan air mata bercucuran.
"Thio-locianpwe, apakah kau yang telah mencelakai kedua orang tuaku?"
Kembali kakek berbaju hijau menghela napas sedih, katanya perlahan.
"Nona Song, aku tidak pernah mencelakai orang tuamu, aku pun tidak pernah mencelakai Ku-lo Hwesio, Oh Ciong-hu serta Kui-kok Sianseng. Namun terus terang kuakui, aku pernah membenci mereka serta pernah bersumpah akan membinasakan mereka, tapi sayang aku tak punya kemampuan berbuat demikian."
"Mengapa Thio-locianpwe mengatakan kau tidak berkemampuan berbuat demikian?"
Tanya Thay-kun cepat. Sekali lagi Thio Kim-ciok menghela napas sedih, katanya pula.
"Tiga puluh tiga tahun berselang, sepuluh tokoh persilatan serta Ho Lan-hiang telah memberikan serangan yang telak dan mematikan kepadaku. Kendati aku beruntung bisa meloloskan diri dari musibah itu, namun saat ini diriku telah berubah menjadi manusia cacat."
"Dapatkah Locianpwe menjelaskan lebih jauh?"
"Dalam usaha pembunuhan yang mereka lakukan pada waktu itu, tubuhku telah terkena tiga pukulan yang amat dahsyat dan beracun, sebuah totokan jari Thian-kang-ci, tujuh batang panah beracun penempel tulang serta tujuh buah luka bacokan pedang, yang paling hebat lagi aku dicekoki beberapa tetes obat racun Hok-teng-ang yang dapat memutus usus."
"Dengan begitu banyak luka yang kau derita, bagaimana mungkin kau masih dapat hidup hingga sekarang?"
Tanya Thay-kun dengan perasaan terkejut bercampur keheranan. Mencorong sinar aneh dari balik mata Thio Kim-ciok, dengan agak emosi katanya.
"Andaikata orang lain, biarpun punya cadangan nyawa sebanyak sepuluh lembar pun, tak dapat selembar pun dipertahankan, tapi aku harus dapat mempertahankan hidup lebih jauh."
"Liu Khi mengatakan pada kalian bahwa aku mati tenggelam di dasar telaga, padahal yang benar adalah sesudah aku dipaksa minum racun Hok-teng-ang, segera kukerahkan tenaga dalamku untuk melawan dan sempat bertarung mati-matian selama setengah jam dengan sepuluh tokoh persilatan beserta Ho Lan-hiang. Dengan badan terluka parah dan hawa murni tak mampu dihimpun kembali, ditambah pula racun jahat sudah menyusup ke dalam badan hingga darah bercucuran dari ketujuh lubang indra, waktu itu aku mengira diriku pasti mati, tapi aku tak rela membiarkan diriku tewas dibunuh mereka, maka aku pun jadi nekat dan terjun ke dalam telaga."
"Akhirnya Thio-locianpwe berhasil lolos dari mulut harimau serta dapat kembali ke kehidupan yang tenang?"
Tanya Thaykun.
"Sesudah melompat ke dasar telaga, air telaga yang dingin membekukan badan membuat keadaanku yang mulai kehilangan kesadaran menjadi segar kembali, tentu saja aku tak ingin mati begitu saja, maka aku pun mulai berjuang melawan cengkeraman malaikat elmaut. Dengan sekuat tenaga aku berenang dan menyelam ke dalam istana bawah airku yang kubangun secara rahasia."
"Mimpi pun Ho Lan-hiang serta kesepuluh tokoh persilatan tak menyangka aku telah membangun istana bawah air yang amat rahasia di dasar telaga itu, tapi justru karena itulah aku dapat hidup terus di dunia ini."
"Selama dua puluh tahun berikutnya, aku tinggal di dalam istana air sambil berjuang melawan cengkeraman malaikat elmaut, perawatan dan pengobatan hampir dua puluh tahun lamanya membuat luka pukulan, luka pedang sembuh sama sekali... ai."
"Tapi racun jahat Hok-teng-ang yang menyerang dalam tubuhku ternyata tak pernah dapat dilenyapkan untuk selamanya. Oleh sebab itulah aku tak pernah dapat memulihkan kembali tenaga dalamku seperti sediakala, tentu saja aku pun tak dapat menggunakan jurus silat tingkat tinggi yang pernah aku pelajari."
"Akibatnya aku pun tidak dapat membunuh musuh besar yang telah mencelakai diriku itu."
"Ai, waktu yang berlangsung lama kadangkala memang dapat menawarkan rasa benci dan dendam seseorang. Perjuanganku selama dua puluh tahun melawan maut membuat aku menjadi sadar dan menyesali semua perbuatanku dulu, aku merasa tanganku sudah penuh bernodakan darah. Dosa dan kesalahanku pun sudah bertumpuk. Mungkinkah semua musibah yang menimpa diriku selama ini merupakan karma atas semua perbuatanku dahulu?"
"Dendam, rasa benci yang mendarah daging dalam diriku lambat-laun pun semakin tawar dan menghilang."
"Tatkala meninggalkan istana bawah air tujuh tahun berselang, tiba-tiba aku dengar kabar bahwa Kui-kok Sianseng dari Mi-tiong-bun telah terbunuh, kemudian sepasang kekasih persilatan Song-ciu suami-istri juga tewas, disusul pula dengan kematian Oh Ciong-hu serta padri sakti dari Siau-lim-pay Ku-lo Hwesio. Semua itu membuat aku merasa terkejut, di samping pula merasa sangat...."
Sampai di sini tiba-tiba perkataannya berhenti, sambil tersenyum Thay-kun segera melanjutkan.
"Tentunya kau pun merasa sangat gembira bukan?"
Thio Kim-ciok memandang ke arah nona itu, lalu menghela napas panjang.
"Ai, apa yang diucapkan nona Thay-kun memang benar. Aku merasa gembira karena siasat meminjam golok membunuh orang yang telah aku persiapkan sejak tiga puluh tahun berselang, kini sudah mulai berkembang."
"Akibatnya api dendam dan benci yang mengeram dalam Thio-locianpwe pun menggelora dalam dada membara kembali bukan?"
Tanya Thay-kun lagi.
"Benar, aku berharap semua orang yang pernah bersekongkol mencelakai diriku, kini mendapatkan pembalasan yang setimpal."
"Padahal otak peristiwa berdarah ini adalah Hek-mo-ong. Apakah Thio-locianpwe berhasil menyelidiki siapa gerangan Hek-mo-ong?"
Kembali Thay-kun bertanya.
"Belum,"
Thio Kim-ciok menggeleng.
"Kira-kira aku sudah dapat menduga siapa gerangan Hekmo- ong itu."
"Silakan nona mengutarakan."
Thay-kun segera tersenyum.
"Padahal Thio-locianpwe sendiri pun sudah mengetahui siapa gerangan Hek-mo-ong itu?"
"Benar, secara lamat-lamat sudah kuketahui siapakah dia, tapi sebelum kesepuluh tokoh persilatan dan Ho Lan-hiang mati hingga tinggal orang terakhir, rasanya susah untuk menentukan secara tepat. Kau harus tahu kelicikan, kehebatan ilmu silat serta kemampuan menyusun rencana besar kesebelas orang itu sama-sama hebat dan luar biasa, satu dengan yang lain tak ada yang lebih lemah."
Mendadak Bong Thian-gak menyela dengan suara nyaring.
"Hek-mo-ong adalah si tabib sakti Gi Jian-cau."
"Betul,"
Thio Kim-ciok mengangguk.
"Di antara sepuluh tokoh persilatan itu, Gi Jian-cau merupakan orang paling kejam dan buas. Dia adalah manusia munafik yang berlagak suci. Racun Hok-teng-ang yang mengeram dalam tubuhku sekarang tak lain adalah hasil perbuatannya."
"Mungkin Hek-mo-ong sudah mendapat kabar tentang masih hidupnya Thio-locianpwe,"
Kata Thay-kun dengan suara dalam. Belum selesai perkataan itu diucapkan, tiba-tiba dari tengah udara berkumandang tiga kali suara pekikan panjang yang amat keras dan memekakkan telinga. Dengan wajah berubah hebat Thio Kim-ciok segera berkata.
"Hay Cing-cu telah menjumpai musuh tangguh, kemungkinan musuh tangguh akan menyerbu kemari sebentar lagi."
Sambil berkata tiba-tiba saja Thio Kim-ciok bangkit dari tempat duduknya.
"Thio-locianpwe,"
Kata Thay-kun kemudian.
"silakan duduk di sini dengan tenang. Andaikata Hay Cing-cu membutuhkan bantuan, kami bersedia membantunya."
Thio Kim-ciok menghela napas panjang.
"Seperti apa yang ditebak nona, agaknya Hek-mo-ong sudah memperoleh kabar bahwa aku belum tewas, musuh yang kini datang bisa jadi bertujuan untuk membuktikan apakah benar aku belum mati."
"Tapi menurut pendapatku, tujuan kedatangan musuh tangguh adalah untuk mengincar peta rahasia tambang emas itu."
Thio Kim-ciok tertawa rawan.
"Sekalipun di dalam tubuhku masih tersisa racun keji Hokteng- ang hingga tak mungkin bagiku untuk mengerahkan tenaga dalam dan bertarung melawan orang, tapi bila musuh ingin menaklukkan diriku secara mudah, aku rasa pihak lawan harus membayar dengan mahal."
Tiba-tiba Song Leng-hui bertanya.
"Thio-locianpwe, apakah kau minta aku membantumu untuk memusnahkan racun Hokteng- ang yang masih mengeram dalam tubuhmu itu?"
Thio Kim-ciok segera menghela napas.
"Ai, kecuali kedua puluh empat batang jarum emas perak nona Song, di kolong langit dewasa ini memang tiada cara pengobatan lain yang dapat dipergunakan untuk memusnahkan pengaruh racun Hok-teng-ang yang bersarang di dalam tubuhku."
"Locianpwe, sekarang juga aku bersedia mengobati penyakitmu itu,"
Seru Song Leng-hui.
"Sekarang tak mungkin, musuh telah datang."
Baru selesai dia berkata, terlihat Hay Cing-cu dengan sekujur badan bermandikan darah melayang turun di depan gardu itu.
Dengan ketajaman matanya, beberapa orang itu sudah melihat dengan jelas bahwa luka yang diderita Hay Cing-cu akibat tusukan tiga peluru terbang yang memancarkan sinar tajam, ketiga batang senjata rahasia itu menancap persis di dadanya dalam posisi segitiga.
Ujung peluru emas menembus dadanya.
Darah kental membasahi seluruh badannya, jelas luka yang dideritanya amat parah, namun dengan gerakan yang masih cepat Hay Cing-cu langsung menerobos masuk ke dalam gardu dan berseru cemas.
"Majikan cepat menyingkir, musuh tangguh yang menyerbu kemari sangat ganas dan luar biasa."
Pada saat itulah dari atap rumah seberang telah melayang turun dua sosok orang dengan ringannya.
Ternyata kedua orang itu adalah lelaki dan perempuan kekar bermata tunggal dan berlengan cacat.
Sesudah melihat jelas pendatang itu, Bong Thian-gak dan Thay-kun sama-sama terkesiap, pekiknya tanpa sadar.
"Ah, rupanya anak buah Biau-kosiu!"
Dengan langkah cepat Bong Thian-gak menuju ke gardu batu itu, lalu menegur dengan ketus.
"Apakah Biau-kosiu ikut datang?"
Sebelum lelaki dan perempuan kekar berlengan cacat itu sempat menjawab, dari balik kegelapan sudah terdengar seseorang menjawab dengan suara merdu.
"Jian-ciat-suseng, nyawamu betul-betul amat panjang, ternyata kau masih hidup."
Biau-kosiu dengan langkah lemah-gemulai telah muncul dan berhenti di antara lelaki dan perempuan kekar itu, sementara matanya yang jeli mengamati setiap orang yang berada di dalam gardu dengan seksama. Katanya lagi sambil tertawa.
"Orang tua yang berada di dalam gardu itu tentulah Hek-mo-ong Thio Kim-ciok bukan?"
Dalam pada itu Thio Kim-ciok dengan wajah dingin membesi dan sorot mata menggidikkan mengamati ketiga orang itu, wajahnya tetap dingin tanpa emosi, sedang mulutnya membungkam. Sebaliknya Bong Thian-gak segera menyela sambil tertawa dingin.
"Dugaan nona Biau salah besar, dia bukan Hek-moong."
"Hm!"
Biau-kosiu mendengus dingin.
"Jian-ciat-suseng, bila kau masih ingin hidup beberapa tahun lagi, kuanjurkan kepadamu agar tidak mencampuri urusan orang lain."
Bong Thian-gak balas tertawa dingin.
"Tentu aku ingin hidup seratus tahun lagi, tapi aku rasa urusan ini tak usah kau campuri."
"Jian-ciat-suseng, tahukan kau siapakah orang ini?"
Tegur Biau-kosiu dingin.
"Seorang Bu-lim Cianpwe!"
Tiba-tiba Biau-kosiu berpaling ke atap rumah dan membentak.
"Cong-kaucu, benarkah orang itu adalah suamimu, Thio Kim-ciok?"
Teriakannya yang sangat mendadak dan sama sekali di luar dugaan ini membuat semua orang tertegun.
Sorot mata mereka pun dialihkan ke atap rumah di depan situ.
Ternyata pada sisi atap rumah secara lamat-lamat ada tiga sosok bayangan orang berdiri di sana.
Bau harum bunga anggrek yang sangat tipis lamat-lamat berhembus datang, bau harum semacam ini merupakan bau khas perempuan tercantik dari Kanglam, Ho Lan-hiang.
Thio Kim-ciok dapat mengendus bau itu, tentu saja Bong Thian-gak pun dapat mengendus pula bau harum bunga itu.
Salah satu dari ketiga orang itu sudah tentu adalah Ho Lanhiang sedangkan orang yang di sebelah kiri adalah Ji-kaucu dan orang yang di sebelah kanan adalah Sim Tiong-kiu, komandan pasukan tanpa tanding.
Ketiga orang ini adalah kekuatan inti Put-gwa-cin-kau, sekalipun pada tiga puluh tahun berselang nama mereka tidak dicantumkan oleh Tio Tian-seng ke dalam urutan sepuluh tokoh persilatan, namun kepandaian silat mereka sama sekali tidak kalah dengan kepandaian silat kesepuluh tokoh persilatan itu.
Dengan suara gemetar diliputi perasaan terkejut dan ngeri, Ho Lan-hiang menyahut pelan.
"Sebenarnya aku masih belum percaya kalau dia masih hidup di dunia ini. Setelah menyaksikan dengan mata kepala sendiri hari ini, ternyata berita itu memang benar."
Yang dia maksudkan tentu adalah Thio Kim-ciok.
Sejak Biau-kosiu dan rombongan menampakkan diri, Thio Kim-ciok masih tetap membungkam, tapi sekarang agaknya dia sangat dipengaruhi oleh emosi.
Sekujur tubuhnya gemetar keras, sorot matanya memancarkan sinar amarah berapi-api dan menggidikkan.
Setelah tertawa keras dengan suara menyeramkan dia berkata.
"Benar, aku adalah Thio Kim-ciok. Perempuan rendah, tak nyana kau masih mengenali diriku."
Pengakuan Thio Kim-ciok ini membuat Biau-kosiu secepat kilat menyerbu ke muka dan menyerang ke dalam gardu batu itu.
Segera Bong Thian-gak melintangkan badan dan menghadang di depan undak-undakan batu menuju ke arah gardu.
Sambil membentak, lengan tunggalnya segera diayunkan ke depan melepaskan sebuah bacokan.
Serangan yang dilancarkan olehnya sekarang amat gencar dan dahsyat, tenaga yang disertakan pun amat mengerikan.
Dengan cekatan Biau-kosiu menghindar ke samping untuk berkelit dari serangan dahsyat itu, lalu badannya melejit dengan ringan dan bermaksud menyerang lagi dari sisi lain.
Pendekar Cacad Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Siapa tahu Bong Thian-gak dengan lengan tunggalnya yang gesit dan cepat dalam perubahan jurus, kembali melancarkan sebuah bacokan kilat, Biau-kosiu mau tak mau harus mundur.
Lama kelamaan habis sudah kesabaran Biau-kosiu.
Dengan kening berkerut, bentaknya gusar.
"Jian-ciat-suseng, apabila kau mencampuri urusanku, jangan salahkan aku bertindak keji!"
Bong Thian-gak tertawa dingin.
"Kekejian dan kebuasan nona sudah lama kurasakan, mengapa kau tak memperlihatkan kelihaianmu itu?"
Mendadak Biau-kosiu berpaling ke arah lelaki dan perempuan kekar bermata tunggal itu, kemudian bentaknya.
"Biau-han-thian suami-istri, kalian berdua jaga baik-baik Jianciat- suseng itu."
Suami-istri bermata tunggal itu menyerang Bong Thian-gak dari kiri dan kanan dengan kecepatan luar biasa, sementara Biau-kosiu sendiri sekali lagi mendesak maju.
"Mundur semua!"
Bentak Bong Thian-gak.
Badannya berputar kencang dan dua gulung angin pukulan yang sangat dahsyat menyapu ke arah suami-istri bermata tunggal itu.
Selesai melancarkan kedua buah serangan itu, Bong Thiangak bagai setan gentayangan kembali mendesak ke depan dan menghadang jalan pergi Biau-kosiu.
Tangan kirinya bagaikan cakar menyambar ke bawah dan mencengkeram urat nadi pergelangan tangan kiri nona itu.
Demikian cepat dan cekatannya serangan itu membuat siapa pun terkesiap.
Sementara itu meskipun kedua orang laki perempuan bermata tunggal itu masing-masing menyambut serangan Bong Thian-gak, namun tenaga serangannya itu sangat kuat dan dahsyat sehingga menggetarkan tubuh mereka tigaempat langkah.
Biau-kosiu menjerit kaget.
Di bawah sapuan ujung jari tangan Bong Thian-gak atas urat nadi pergelangan tangan kirinya, dengan cepat dia mengundurkan diri dengan ketakutan.
Bong Thian-gak sama sekali tidak memanfaatkan kesempatan itu untuk melakukan pengejaran, hanya tegurnya kemudian dengan wajah sedingin salju.
"Nona Biau, kuanjurkan kepadamu agar mundur dari sini. Kalau tidak, aku akan membalas air susu dengan air tuba. Bila kalian terluka nanti, jangan salahkan diriku!"
"Jian-ciat-suseng, aku ingin bertanya kepadamu, mengapa kau membantu Hek-mo-ong?"
Tanya Biau-kosiu dengan geram.
"Dia adalah Thio Kim-ciok, bukan Hek-mo-ong. Sebetulnya nona Biau ingin mencelakainya dikarenakan peta rahasia tambang emas bukan? Ataukah untuk membalas dendam bagi kematian ayahmu?"
Perempuan rase dari bukit Biau-san, Biau-kosiu, nampak tertegun dan berdiri melongo. Setelah mendengar pertanyaan itu, dia segera balik bertanya.
"Jadi kau sudah mengetahui asal-usulku?"
"Aku tahu nona adalah putri kesayangan ketua Mi-tiongbun di Tibet, Kui-kok Sianseng."
Mendadak Biau-kosiu tertawa seram, segera tanyanya.
"Tentunya kau tahu juga bukan bagaimana kejadiannya sewaktu Kui-kok Sianseng mendapatkan musibah?"
"Kui-kok Sianseng merupakan orang pertama yang tewas di tangan Hek-mo-ong."
"Dendam sakit hati terbunuhnya ayahku lebih dalam dari samudra, aku sebagai putrinya merasa wajib menuntut balas sakit hati ini. Jian-ciat-suseng, apakah kau bermaksud menghalangi niatku membalas dendam?"
"Bersediakah nona mempercayai perkataanku?"
Ujar Bong Thian-gak dengan suara hambar.
"Baik Kui-kok Sianseng, Song-ciu suami-istri maupun mendiang Bu-lim Bengcu Oh Ciong-hu dan Ku-lo Hwesio, mereka bukan tewas di tangan Thio Kim-ciok, melainkan mati di tangan Hek-mo-ong, si perencana musibah ini. Hek-mo-ong bukan Thio Kimciok, melainkan seorang yang lain."
"Bagaimana kau bisa membuktikan dia bukan Hek-moong?"
Jengek Biau-kosiu sambil tertawa dingin.
Menghadapi pertanyaan itu, jelas Bong Thian-gak tak mampu menjawab, padahal dia sendiri pun tak dapat membuktikan secara pasti bahwa Thio Kim-ciok bukanlah Hekmo- ong seperti apa yang yang dia duga.
Sebenarnya Bong Thian-gak tadinya menganggap Thio Kim-ciok sebagai Hek-mo-ong.
Setelah mendengar penjelasan Thio Kim-ciok tadi, mereka baru tahu Hek-mo-ong sebenarnya adalah orang lain.
Lantas siapakah Hek-mo-ong, si otak semua peristiwa berdarah ini? Mungkinkah orang itu adalah tabib sakti Gi Jian-cau? Tentu saja hingga sekarang belum ada seorang pun yang berani memastikan.
Biau-kosiu tertawa, lalu katanya.
"Sesudah dicelakai oleh sepuluh tokoh persilatan pada tiga puluh tahun berselang, sudah pasti Thio Kim-ciok akan menaruh perasaan dendam dan sakit hati terhadap pembunuh-pembunuhnya. Andaikata ia masih hidup di dunia ini, apakah dendam sakit hati itu tak akan dituntut balas?"
"Sebenarnya aku pun masih menaruh perasaan ragu dan tak percaya tentang berita yang mengatakan bahwa Thio Kimciok masih hidup di dunia ini. Apakah dia masih dapat meloloskan diri dari kecurigaan sebagai Hek-mo-ong?"
Perkataan itu diutarakan dengan suara tegas, bertenaga dan penuh pengertian yang mendalam.
Secara lamat-lamat Bong Thian-gak dapat merasakan bahwa apa yang diucapkan Biau-kosiu memang benar, sebab selain Thio Kim-ciok, siapa pula yang berminat membunuh kesepuluh tokoh persilatan itu? Tanpa terasa Bong Thian-gak berpaling ke arah gardu dan memandang sejenak ke arah Thio Kim-ciok.
Sementara itu Thio Kim-ciok dengan wajah dingin membeku membungkam, wajahnya kaku tanpa perubahan emosi.
Dengan langkah lemah-gemulai, Thay-kun segera maju dan pelan-pelan berkata.
"Walaupun semua perkataan nona Biau masuk akal dan bisa diterima, namun aku ingin bertanya satu hal kepada nona, siapakah yang telah memberitahu kepadamu bahwa Thio Kim-ciok belum tewas?"
"Mengapa kau menanyakan hal ini?"
Tanya Biau-kosiu dengan suara dingin.
"Sebab aku dapat membantumu menemukan Hek-mo-ong yang sebenarnya."
"Kau maksudkan Hek-mo-ong adalah salah seorang di antara kesepuluh tokoh persilatan?"
Tanya Biau-kosiu dengan suara dingin dan kaku.
"Betul, orang itu adalah salah seorang di antara kesepuluh tokoh persilatan itu."
"Omong kosong, ngaco-belo,"
Bentak Biau-kosiu dengan geram.
"Seandainya Thio Kim-ciok sudah mati pada tiga puluh tahun berselang dan tidak bangkit dari kematiannya, bisa jadi Hek-mo-ong adalah salah satu di antara kesepuluh tokoh persilatan. Tapi kini terbukti sudah kalau Thio Kim-ciok masih hidup di dunia ini, terbukti sudah kalau Hek-mo-ong sesungguhnya adalah dirinya sendiri."
"Dugaan nona Biau salah besar,"
Pelan-pelan Thay-kun menyahut.
"Apabila seorang mempunyai rencana busuk dan keji hendak melimpahkan dosa dan kesalahannya kepada orang lain, seringkah dia akan mencari titik lemah lawanlawannya, yakni pertentangan batin untuk dimanfaatkan, sebab dengan cara begitulah apa yang dicita-citakan baru dapat terwujud."
"Hek-mo-ong adalah seorang di antara kesepuluh tokoh persilatan dan kenyataan itu merupakan suatu bukti yang jelas. Apabila dugaanku tidak salah, kupastikan Hek-mo-ong akan terpaksa memberitahukan kepadamu tentang kabar belum matinya Thio Kim-ciok, karena nona Biau sudah mulai mencurigai asal-usulnya. Oleh sebab itulah mau tak mau terpaksa dia harus menyampaikan berita itu." "Benarkah berita belum matinya Thio Kim-ciok mempunyai arti begitu penting?"
Seru Biau-kosiu sambil tertawa dingin. Thay-kun memandang sekejap ke arahnya, kemudian menjawab.
"Berita mati hidup Thio Kim-ciok tentu saja mempunyai arti sangat penting bagi Hek-mo-ong."
Kemudian setelah berhenti sejenak dan menarik napas panjang, kembali dia melanjutkan.
"Hek-mo-ong sengaja menghasut kesepuluh tokoh persilatan untuk mencelakai jiwa Thio kim-ciok Locianpwe, tak lain bertujuan untuk merampas tambang emas dari tangannya. Rahasia peta tambang itu cukup dipahami setiap orang dari kesepuluh tokoh persilatan itu. Oleh karena itu apabila berita belum matinya Thio Kimciok bocor dan diketahui umum, maka sudah dapat dipastikan bahwa sisa kesepuluh tokoh persilatan beserta kawanan jago lainnya akan berdaya-upaya membunuh Thio-locianpwe dan merampas rahasia peta tambang emas itu. Itulah sebabnya dalam keadaan terpaksa mau tak mau Hek-mo-ong mengungkap padamu bahwa Thio-locianpwe sebenarnya belum mati."
Perkataan Thay-kun itu segera menggetarkan perasaan Thio Kim-ciok sendiri, dengan cepat dia bertanya.
"Nona Thaykun, jadi menurut pendapatmu Hek-mo-ong sudah lama mengetahui kalau aku belum mati?"
"Benar,"
Sahut Thay-kun sambil tersenyum.
"Sudah lama sekali Hek-mo-ong tahu kau telah menyelundup ke dalam kuil Sam-cing-koan di kota Lok-yang."
Biau-kosiu mendengus dingin, katanya pula.
"Kalau memang begitu, mengapa Hek-mo-ong tidak secara langsung datang mencari Thio Kim-ciok?"
"Hm, pertanyaan yang sangat bagus! Memang, Hek-moong sudah lama mengetahui Thio Kim-ciok Locianpwe belum mati, namun apa sebabnya tak secara langsung datang mencari Thio-locianpwe? Menurut dugaanku, Hek-mo-ong tak berani berbuat demikian lantaran dia takut dan jeri terhadap kepandaian silat Thio-locianpwe, Hek-mo-ong sadar dia tak mempunyai keyakinan untuk menang dan berhasil apabila dia menyerang Thio-locianpwe secara langsung. Karena itu dia ingin memanfaatkan kemampuan nona Biau beserta sisa kekuatan sepuluh tokoh persilatan yang masih hidup untuk sekali lagi membasmi Thio-locianpwe dari muka bumi."
Dengan suara dingin Biau-kosiu berkata.
"Sam-cing Tojin dari Sam-cing-koan adalah Thio Kim-ciok dan Thio Kim-ciok adalah Sam-cing Totiang. Berita yang mengejutkan ini baru diketahui pada malam tadi. Betul, ketika aku selidiki tentang orang-orang yang mencurigakan sebagai Hek-mo-ong sebenarnya tinggal satu orang yang terakhir, tetapi sekarang berubah menjadi dua orang. Akhirnya siapakah Hek-mo-ong yang sebenarnya, aku yakin dalam waktu singkat hal ini akan berhasil kuselidiki dengan jelas."
Selesai berkata dia lantas berpaling ke belakang dan serunya lantang.
"Biau-han-thian, ayo kita pergi!"
Dengan cepat dia menggerakkan tubuh dan melejit pergi. Tiba-tiba terdengar Bong Thian-gak berseru.
"Nona Biau, mengapa tidak kau katakan nama orang terakhir yang dicurigai itu?"
Tanpa berpaling, sahut Biau-kosiu dengan suara dingin.
"Si tabib sakti Gi Jian-cau telah membocorkan kabar tentang belum matinya Thio Kim-ciok kepada setiap orang. Mulai sekarang Thio Kim-ciok bakal diserang dan dikepung oleh para jago persilatan, lebih baik kalian hadapi mereka secara hatihati."
Biau-kosiu dan Biau-han-thian suami-istri bertiga sudah lenyap di balik kegelapan sana dengan cepat.
Di atas atap rumah di seberang gardu sana masih berdiri dengan tenang Ho Lan-hiang, Ji-kaucu serta Sim Tiong-kiu bertiga.
Mendadak Ho Lan-hiang tertawa, lalu katanya.
"Thio Kimciok, mengapa kau tak berani mengaku sebagai Hek-mo-ong?"
Thio Kim-ciok masih tetap berdiri dalam gardu batu itu dengan wajah dingin, kaku, tanpa emosi, mulut membungkam.
Hati Thay-kun serta Bong Thian-gak yang mendengar ucapan itu bergetar keras, mereka menantikan penyangkalan Thio Kim-ciok, namun suasana dalam arena masih tetap hening, sepi.
Suasana yang hening dan sepi itu berlangsung cukup lama, sebelum akhirnya Thio Kim-ciok berkata dengan pelan.
"Perempuan rendah, nyalimu benar-benar sangat besar!"
Ho Lan-hiang tertawa terkekeh-kekeh.
"Apabila Thio Kimciok mempunyai kemampuan untuk membunuhku, mungkin sudah turun tangan sejak tadi."
"Kalau sudah mengetahui bahwa aku tidak berkemampuan untuk membunuhmu, mengapa kau tidak segera turun tangan menyerang diriku?"
Thio Kim-ciok balik bertanya dengan suara dalam dan berat.
"Tiga puluh tahun berselang, kau telah dipaksa menelan beberapa tetes racun Hok-teng-ang, setelah keracunan, kau pun diserang kawanan jago. Sekalipun tiga puluh tahun kemudian kau lolos dari ancaman maut itu, tetapi aku percaya Thio Kim-ciok telah menjadi seorang manusia cacat."
Selesai berkata Ho Lan-hiang dengan matanya yang tajam dan menggidikkan mengawasi setiap gerak-gerik Thio Kimciok yang berada dalam gardu.
Sikap Thio Kim-ciok ketika itu nampak sangat tenang.
Wajahnya tidak menampilkan wajah girang, marah, sedih, murung dan berdiri membungkam di tempat tanpa bergerak.
Setelah tertawa terkekeh-kekeh, kembali Ho Lan-hiang berkata lebih jauh.
"Dugaanku tidak salah bukan? Seandainya Thio Kim-ciok masih tetap sehat dan segar-bugar, tak nanti dia akan melepaskan setiap musuh yang dijumpainya, tentu dia pun tak akan membiarkan seorang perempuan yang telah mengkhianati, mengumpat, mencemoohnya dan menyindir dirinya."
Entah mengapa pada saat dan keadaan seperti ini Thio Kim-ciok masih tetap berdiri membungkam, mulutnya seolaholah terkunci rapat seperti seorang bisu.
Thay-kun dapat melihat jelas bahwa kedua orang itu sedang beradu otak, mengapa hingga sekarang Ho Lan-hiang belum juga turun tangan? Sudah jelas hal ini disebabkan perempuan itu pun belum yakin seratus persen bahwa Thio Kim-ciok benar-benar tak berkemampuan lagi untuk membunuh mereka.
Oleh sebab itu dia berusaha mengejek, mencemooh, menyindir dan mengumpat lawan dengan harapan dari pembicaraan itu dia berhasil menyelidiki secara pasti tentang keadaan Thio Kim-ciok yang sesungguhnya.
Sebaliknya Thio Kim-ciok benar-benar seorang berotak cerdas dan lihai, setiap gerak-geriknya serta mimik wajahnya ditampilkan dengan begitu sempurna, sehingga susah diduga orang, apakah hal itu benar ataukah hanya pura-pura saja.
Pada saat itu Bong Thian-gak justru tak sanggup menahan diri, sambil tertawa dingin segera katanya.
"Ho Lan-hiang, mengapa kau tidak segera turun tangan? Kami sudah tak sabar lagi menunggumu!"
"Jian-ciat-suseng, hari ini bukannya aku bermaksud mengadu domba di antara kalian, tapi kau harus tahu bahwa Thio Kim-ciok adalah seorang licik yang berhati buas dan kejam. Kekejamannya boleh dibilang tiada orang di dunia ini yang sanggup menandinginya, dia sangat pandai memperalat orang lain, dia pun sangat memahami bagaimana caranya melenyapkan orang itu. Justru karena kekejaman dan kebuasan Thio Kim-ciok itulah maka tiga puluh tahun berselang kesepuluh orang gurunya bersepakat membinasakan dirinya daripada ia menerbitkan bencana yang lebih besar lagi di kemudian hari."
"Kau tak usah membacot lebih lanjut,"
Tukas Bong Thiangak sambil tertawa dingin.
"Sekalipun Thio Kim-ciok adalah seorang telur busuk di masa lampau, tapi sekarang rasanya dia tak akan menandingi kekejian dan kecabulanmu itu."
Kembali Ho Lan-hiang tertawa terkekeh-kekeh.
"Jian-ciatsuseng, tahukah kau akan rencana busuk yang sedang dipersiapkan Thio Kim-ciok saat ini?"
"Dia hendak membalas dendam, hendak membantai setiap orang yang pernah mencelakai jiwanya,"
Sahut Bong Thiangak hambar.
"Betul, dia ingin membantai orang yang pernah mencelakainya dahulu, tapi dia lebih-lebih berkeinginan untuk membunuh setiap jago persilatan yang membantunya."
"Kau tak usah bersilat lidah mencoba mengadu domba kami,"
Jengek Bong Thian-gak sambil tertawa dingin.
"Yang jelas, antara orang she Bong dengan Put-gwa-cin-kau kalian, terutama dengan kau, aku bersumpah tak akan hidup berdampingan secara damai."
"Jian-ciat-suseng memang termasuk seorang jago lihai di antara kaum angkatan muda,"
Ho Lan-hiang tersenyum.
"tapi bila kau berkeinginan untuk beradu kemampuan dengan kesepuluh tokoh persilatan yang pernah termasyhur di masa lampau, kemampuanmu itu masih belum cukup matang. Bila kau tak percaya, silakan kau turun tangan terhadapku!"
Bong Thian-gak berkerut kening, mendadak ia berpaling ke arah Song Leng-hui dan katanya.
"Leng-hui, pinjamkan pedang bambumu itu kepadaku!"
Ternyata di balik bahu Song Leng-hui tersoreng sebilah pedang bambu yang dibuat sendiri oleh Bong Thian-gak ketika mereka berdua hidup berdampingan di tengah gunung yang terpencil tempo dulu.
Pek-hiat-kiam milik Bong Thian-gak hilang ketika berlangsung pertarungan dalam Ban-jian-bong tempo hari, sehingga saat ini dia tak bersenjata sama sekali.
Itulah sebabnya dia meminjam pedang dari Song Leng-hui.
Dengan cepat Song Leng-hui melolos pedang itu dan berkata dengan lembut.
Pendekar Cacad Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Engkoh Gak, apakah kau mau bertarung melawannya?"
Sambil bertanya dia berjalan mendekat sambil menenteng pedang bambunya itu. Tiba-tiba Thay-kun berjalan mendekatinya, lalu berbisik pelan.
"Bong-suheng, jangan turun tangan lebih dahulu."
"Antara aku dan dia ibarat api dan air yang tak mungkin bisa hidup berdampingan, cepat atau lambat di antara kami tentu akan dilangsungkan suatu pertarungan antara mati hidup. Buat apa aku mesti menunggu lebih lanjut?"
Ucap Bong Thian-gak dengan suara dalam dan berat.
"Ucapan Bong-suheng memang benar. Apabila kita tidak berusaha membunuhnya, dia pasti akan membunuh kita, tapi hari ini rasanya kita belum perlu membunuhnya."
"Mengapa?"
Tanya anak muda itu dengan perasaan tidak habis mengerti. Tiba-tiba Thay-kun memperkeras suaranya dan berseru lantang.
"Sebab bila kita membunuhnya, berarti sudah termakan oleh siasat busuk Hek-mo-ong."
Satu ingatan dengan cepat melintas dalam benak Bong Thian-gak, katanya kemudian.
"Termakan siasat busuk Hekmo- ong? Bukankah dia adalah satu komplotan dengan Hekmo- ong?"
Agaknya perkataan terakhir Thay-kun itu membuat Ho Lanhiang merasa sangat terkejut, sesudah tertawa dingin pelanpelan dia berseru.
"Budak setan, aku ingin bertanya kepadamu, siapakah Hek-mo-ong yang sesungguhnya?"
Jelas selama ini Ho Lan-hiang menganggap Thio Kim-ciok sebagai Hek-mo-ong. Thay-kun segera tersenyum.
"Aku hanya bisa memberitahukan kepadamu, Hek-mo-ong yang sebenarnya bukan Thio Kim-ciok Locianpwe."
Kembali Ho Lan-hiang tertawa dingin.
"Sekarang perkembangannya sudah semakin bertambah, seorang bocah cilik berusia tiga tahun pun akan mengetahui bahwa Thio Kim-ciok sesungguhnya adalah Hek-mo-ong."
"Sayang sekali dugaanmu itu keliru besar,"
Thay-kun tertawa cekikikan. Kemudian setelah berhenti sejenak, tegurnya.
"Terus terang saja kuberitahukan kepadamu, Hek-mo-ong yang sesungguhnya bukan saja ingin membasmi kesepuluh tokoh persilatan, bahkan kau dan anak buahmu pun rasanya tak bakal dibiarkan hidup bebas di dunia ini. Dewasa ini Hek-moong sedang melaksanakan rencananya untuk membunuh dan membasmi kalian semua. Nah, mau percaya atau tidak terserah kepadamu."
Dengan tenang Ho Lan-hiang termenung dan berpikir sejenak, lantas ia berseru.
"Ji-kaucu, komandan Sim, ayo kita pergi dari sini!"
Di bawah seruan Ho Lan-hiang, berangkatlah kedua jago Put-gwa-cin-kau itu meninggalkan tempat itu.
Dalam waktu singkat ketiga sosok orang itu sudah lenyap di balik wuwungan rumah sana.
Malam telah pulih kembali dalam keheningan dan kesepian yang mencekam.
Pelan-pelan Bong Thian-gak menghela napas panjang, ujarnya kemudian dengan perasaan tak habis mengerti.
"Thay-kun, mengapa kau biarkan dia pergi dari sini dengan aman dan selamat?"
"Kepandaian silat Ho Lan-hiang sudah mencapai tingkatan yang tak terukur lagi. Apabila kita bertarung melawannya pada malam ini, menang kalah masih merupakan tanda tanya besar. Seandainya kedua belah pihak terlibat dalam pertarungan yang seru, tiba-tiba Hek-mo-ong muncul serta mencelakai Thio Kim-ciok Locianpwe, maka bagaimana jadinya? Itulah sebabnya lebih baik kita singkirkan dahulu dendam pribadi dan berusaha menghindari setiap bentrokan dengan orang, kecuali dengan Hek-mo-ong."
"Thay-kun, apakah kau sudah tahu siapakah Hek-mo-ong?"
Tanya Bong Thian-gak. Thay-kun mengangguk.
"Ya, aku sudah tahu siapakah dia."
"Siapakah orang itu?"
"Untuk sementara waktu belum dapat kuberitahukan kepada kalian."
Bong Thian-gak menghela napas panjang.
"Sudah kuduga sedari tadi, kau tidak akan mengutarakannya. Ai! Bagaimana rencana kita selanjutnya?"
Thay-kun berpaling dan memandang sekejap ke arah Thio Kim-ciok, lalu sahutnya.
"Untuk sementara waktu lebih baik kita berdiam di dalam bangunan ini."
"Nona Thay-kun,"
Thio Kim-ciok berkata sambil menghela napas sedih.
"Kecerdasan otakmu benar-benar mengagumkan. Seandainya tiada kau pada hari ini, bisa jadi kita semua sudah termakan oleh rencana busuk Hek-mo-ong."
Thay-kun tersenyum.
"Hek-mo-ong telah pergi meninggalkan tempat ini, aku yakin dia sendiri pun tak dapat menduga secara pasti keadaan Thio-locianpwe yang sesungguhnya sehingga untuk sementara waktu ia tak akan turun tangan terhadap kita semua."
Kembali hati Bong Thian-gak tergerak, segera tanyanya.
"Thay-kun, kau bilang barusan Hek-mo-ong berada di sekitar tempat ini?"
"Benar,"
Thay-kun mengangguk.
"
Saat Biau-kosiu dan rombongan muncul di sini, Hek-mo-ong pun muncul pula di salah satu sudut bangunan ini, hanya dia tetap diam di situ menunggu perkembangan selanjutnya, di saat Ho Lan-hiang dan rombongan meninggalkan tempat ini, secara diam-diam pun dia turut pergi dari sini."
Sampai di sini gadis itu segera berpaling dan memandang sekejap ke arah Thio kim-ciok, kemudian sambungnya.
"Thiolocianpwe, ada beberapa persoalan yang belum Boanpwe pahami. Kumohon Locianpwe sudi memberi penjelasan."
"Katakanlah, Thay-kun!"
"Aku tahu, sudah sejak dulu Locianpwe telah mengetahui siapakah Hek-mo-ong itu, lagi pula kau pun masih mempunyai tenaga dan kemampuan yang cukup untuk membinasakan dirinya. Mengapa kau orang tua enggan membalas dendam?"
"Aku pun tak ingin mengelabui kalian lagi. Sebenarnya alasanku berbuat demikian, tak lain karena dendam dan benci. Aku berharap mereka bisa saling gontok hingga akhirnya tinggal Hek-mo-ong."
"Tapi kenyataannya sekarang apa yang kau inginkan malah menghasilkan keadaan yang terbalik. Hek-mo-ong telah mengadakan persekongkolan dengan kawanan jago lihai untuk bersama-sama mengurung dan mengeroyok dirimu, sanggupkah Thio-locianpwe menghadapi mereka?"
Berkilat mata Thio Kim-ciok, sahutnya dengan lantang.
"Asal nona Song bersedia membantuku menghilangkan sisa racun keji yang masih mengeram dalam tubuhku, aku percaya masih mampu menghadapi kerubutan kawanan jago lihai persilatan."
Tiba-tiba Song Leng-hui berkata dengan merdu.
"Thiolocianpwe, kau boleh segera mencari tempat yang aman dan terlindung. Sekarang juga aku akan turun tangan menyembuhkan penyakitmu itu."
Thay-kun memandang sekejap ke arah Song Leng-hui, kemudian katanya merdu.
"Padahal dengan tubuh yang masih berpenyakit pun, aku percaya Thio-locianpwe dapat melawan keroyokan kawanan jago lihai persilatan."
Paras muka Thio Kim-ciok berubah secara tiba-tiba, dengan suara dalam ia segera bertanya.
"Nona, apakah yang ingin kau katakan, lebih baik sampaikan secara terus terang."
Thay-kun termenung beberapa lama, kemudian baru berkata.
"Bicara soal kesetia kawanan, kami memang wajib membantu Thio-locianpwe menyembuhkan penyakit menahun akibat racun keji itu. Tapi kami pun kuatir bila Thio-locianpwe sudah sembuh dari penyakit itu, maka secara tiba-tiba akan berubah menjadi seorang yang lain."
"Hm, jalan pikiranmu itu persis seperti jalan pikiran sepuluh tokoh persilatan di masa lampau,"
Kata Thio Kim-ciok sambil tertawa dingin.
"Tentu saja, sebab bila racun keji yang mengeram dalam tubuh Thio-locianpwe dihilangkan, kau akan menjelma menjadi seorang jago silat yang tiada tandingannya di dunia ini, bahkan kau pun memiliki harta kekayaan yang tidak terhitung jumlahnya." "Bagi seorang manusia yang berilmu silat tinggi dan mempunyai harta kekayaan yang tak terhitung jumlahnya, andaikan pikirannya sedikit menyeleweng saja, akibatnya tentu tak dapat dilukiskan. Itulah sebabnya mau tidak mau kami harus mempertimbangkan sampai sejauh itu."
Thio Kim-ciok segera tertawa dingin.
"Aku bukan memohon pertolonganmu, aku minta nona Song yang menyembuhkan penyakitku ini."
"Tentu saja kau boleh meminta pertolongan nona Song,"
Kata Thay-kun dengan suara pelan.
"tapi seandainya kuungkap hubunganmu dengan Hek-mo-ong, sudah dapat dipastikan Song Leng-hui tidak akan mengobati penyakitmu itu."
Baik Song Leng-hui maupun Bong Thian-gak keduanya sama-sama dibuat tertegun, melongo dan tidak habis mengerti, mereka tidak tahu apa yang sebabnya Thay-kun menolak menyembuhkan penyakit yang diderita Thio Kim-ciok.
Sesungguhnya terjalin hubungan apakah antara Thio Kimciok dan Hek-mo-ong? Segera Song Leng-hui berkata.
"Enci Thay-kun, pengetahuan serta pengalamanmu jauh lebih luas dibanding diriku, kami akan menuruti semua perintah serta petunjukmu."
Perkataan ini sudah jelas, asal Thay-kun menolak menyembuhkan penyakit yang diderita Thio Kim-ciok, maka dia pun akan menuruti perkataan Thay-kun dengan tidak mengobati penyakitnya. Berubah hebat paras muka Thio Kim-ciok, dengan suara dingin ujarnya.
"Bagi seorang persilatan, memegang janji adalah salah satu syarat utama agar dapat dipercaya orang, nona Song sudah berjanji tapi kemudian mengingkarinya, benar-benar jarang kujumpai."
Merah jengah wajah Song Leng-hui oleh dampratan itu, dia menjadi tergagap.
"Aku ... aku ... aku kan belum pernah berjanji akan menyembuhkan penyakitmu itu!"
Dengan cepat Thay-kun berkata pula dengan suara dingin.
"Thio-locianpwe, aku cukup tahu bahwa kau mempunyai rencana busuk dan maksud keji terhadap keselamatan umat persilatan. Demi menjaga agar umat persilatan tidak dibuat pecundang oleh ulahmu itu, mau tidak mau terpaksa kami harus bertindak sangat hati-hati dalam menghadapi persoalan ini."
"Apabila Thio-locianpwe tidak mempunyai rencana jelek lainnya dan khusus bertujuan membalas dendam, maka dendam harus dibalas kepada siapa yang berhutang. Jadi sepantasnya Thio-locianpwe mencari Hek-mo-ong serta melepas rasa dendammu kepadanya. Mengapa kau justru bersekongkol dengan Hek-mo-ong melakukan kejahatan?"
Beberapa patah kata itu kontan membuat Bong Thian-gak menjadi terlongong, segera tanyanya.
"Jadi dia bersekongkol dengan Hek-mo-ong melakukan berbagai kejahatan?"
"Benar,"
Thay-kun mengangguk.
"sesungguhnya antara Hek-mo-ong dan Thio Kim-ciok memang sudah terjalin hubungan pribadi yang sangat erat dan akrab."
"Benarkah nona sudah dapat menduga asal-usul serta identitas yang sebenarnya dari Hek-mo-ong?"
Tanya Thio Kimciok lagi sambil tersenyum.
"Justru karena sudah mengetahui siapakah dia, maka aku baru menaruh curiga terhadap semua gerak-gerik serta sepakterjang Thio-locianpwe."
"Mengapa tidak nona sebutkan siapakah Hek-mo-ong?"
Tanya Thio Kim-ciok "Waktunya belum tiba, tunggu sampai saatnya aku pasti akan mengungkap rahasia ini kepada semua orang."
Thio Kim-ciok mendengus dingin.
"Mengapa tidak nona katakan sekarang juga? Apakah belum dapat meyakini identitas Hek-mo-ong itu?"
"Benar,"
Thay-kun tersenyum.
"Dugaanku ini belum yakin seratus persen, tapi aku percaya selisih juga tak jauh lagi."
Tiba-tiba Thio Kim-ciok berkata dengan suara dalam dan sangat berat.
"Apakah kalian bersedia menyembuhkan penyakitku atau tidak, keputusan terserah kepada kalian sendiri dan aku pun tak bermaksud memaksakan kehendakku. Seperti apa yang dikatakan nona Thay-kun tadi, sekalipun dengan tubuh mengidap penyakit keracunan Hok-teng-ang, aku masih tetap mampu mengadu kepandaian dengan para jago persilatan itu. Tapi ada hal yang perlu kalian ketahui, di saat kesepuluh tokoh persilatan dan Ho Lan-hiang terbasmi, maka persengketaan antara Hek-mo-ong dan diriku pun akan menjadi kiamatnya dunia persilatan."
Selesai mengucapkan perkataan itu tba-tiba Thio Kim-ciok berjalan keluar dari gardu itu, Hay Cing-cu, Siu-kiong dan Siugo kedua orang dayangnya segera mengikut pula di belakangnya. Saat itulah terdengar suara Thio Kim-ciok kembali berkumandang.
"Saat kambuhnya penyakit yang kuderita sudah hampir tiba. Oleh sebab itu aku harus kembali ke dalam kamarku untuk beristirahat. Apabila kalian membutuhkan sesuatu, minta saja kepada kedua orang dayangku ini."
Habis berkata, dengan cepat Thio Kim-ciok berjalan masuk ke dalam kamarnya. Bong Thian-gak mengawasi bayangan Thio Kim-ciok lenyap di balik ruangan, kemudian ia berkata sambil menghela napas panjang.
"Ai, persoalan dalam dunia persilatan memang penuh dengan intrik jahat dan tipu-muslihat yang amat keji, perubahan demi perubahan dapat berlangsung secara mendadak hingga susah diduga sebelumnya."
Kemudian setelah berhenti sejenak, kembali ujarnya.
"Sumoay, darimana kau bisa tahu bahwa antara Thio Kim-ciok dan Hek-mo-ong sebenarnya telah terjalin hubungan kerjasama?"
"Bong-suheng, menurut pendapatmu, siapakah Hek-moong?"
Thay-kun bertanya. Bong Thian-gak tertegun sejenak, lalu sahutnya.
"Selain si tabib sakti Gi Jian-cau, masakah masih ada orang lain lagi?"
"Dugaanmu itu keliru besar,"
Kata Thay-kun sambil menggeleng.
"Tabib sakti hanya pembantu Hek-mo-ong."
"Lantas siapakah dia?"
"Liu Khi."
"Liu Khi?"
Seru BongThian-gak dengan terperanjat.
"Sumoay, apakah dugaanmu tidak salah?"
"Dari berbagai gejala dan persoalan yang kita jumpai, aku bisa menemukan petunjuk atau petanda yang menunjukkan bahwa Liu Khi merupakan Hek-mo-ong yang sesungguhnya?"
"Baik Thio Kim-ciok maupun Gi Jian-cau dan Liu Khi samasama merupakan orang yang dicurigai sebagai Hek-mo-ong, namun di antara mereka bertiga hanya seorang yang merupakan Hek-mo-ong sebenarnya dan orang ini tak lain adalah Liu Khi."
Bong Thian-gak mengerutkan dahi, selang sejenak kemudian baru bertanya.
"Sumoay, bagaimana caramu membuktikan bahwa Liu Khi adalah Hek-mo-ong yang sebenarnya?"
"Soal ini tak mungkin dapat kujelaskan seluruhnya kepadamu pada saat ini, apalagi yang penting aku hanya ingin memberitahukan kepadamu bahwa Liu Khi adalah Hek-moong, sehingga kau pun bisa berhati-hati dan jangan sampai dipecundangi olehnya." "Apakah Thio Kim-ciok sudah mengetahui akan asal-usul yang sebenarnya dari Hek-mo-ong?"
"Thio Kim-ciok merupakan seorang yang sangat lihai, sekalipun dia sudah mengetahui siapakah Hek-mo-ong, namun masih saja berlagak seakan-akan tidak tahu. Ketika aku bertanya kepada Thio Kim-ciok tadi, apa sebabnya dia tidak secara langsung mencari Hek-mo-ong untuk membalas dendam, tujuannya tak lain adalah ingin mengetahui apakah Thio Kim-ciok sudah mengetahui Liu Khi pembunuh sebenarnya, tapi Thio Kim-ciok seakan-akan tidak tahu."
"Maka aku pun mulai menaruh curiga terhadap Thio Kimciok, kita harus mempertimbangkan masak-masak rencana Song Leng-hui menyembuhkan penyakit Thio Kim-ciok itu."
Bong Thian-gak segera manggut-manggut, katanya.
"Apakah Sumoay menaruh curiga bahwa Thio Kim-ciok bersekongkol dengan Hek-mo-ong untuk membunuh kesepuluh tokoh persilatan itu?"
Thay-kun menggeleng.
Pendekar Cacad Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Mereka tidak berkomplot, sebaliknya Hek-mo-ong justru telah diperalat oleh Thio Kim-ciok."
"Kalau begitu Thio Kim-ciok benar-benar seorang licik dan banyak tipu-muslihatnya. Dari sini terbukti juga bahwa Thio Kim-ciok belum bisa menghilangkan rasa benci dan dendamnya terhadap kesepuluh tokoh persilatan serta Ho Lanhiang yang telah mencelakainya pada tiga puluh tahun berselang."
"Jelas Thio Kim-ciok memang berhasrat membunuh kesepuluh tokoh persilatan serta Ho Lan-hiang,"
Kata Thaykun lebih jauh.
"tapi di luaran, kematian Kui-kok Sianseng, Song-ciu dan Oh Ciong-hu serta Kulo Hwesio seakan-akan tewas di tangan Hek-mo-ong, padahal yang benar kematian mereka disebabkan oleh rencana busuk Thio Kim-ciok." "Ai, padahal cara yang digunakan Thio Kim-ciok untuk membalas dendam pun tidak dapat disalahkan, hanya saja yang mengerikan adalah kelicikannya itu dapat mencelakai umat persilatan di kemudian hari."
Tiba-tiba Song Leng-hui bertanya.
"Enci Thay-kun, sebenarnya kita harus menyembuhkan penyakit yang diderita Thio Kim-ciok atau tidak?"
Thay-kun termenung dan berpikir beberapa saat, kemudian dia baru menyahut sambil menghela napas.
"Kita harus membantu Thio Kim-ciok menyembuhkan penyakit yang dideritanya."
Baru selesai dia berkata, mendadak dari balik kegelapan malam terdengar seorang berkata dengan suara dingin menyeramkan.
"Bila kalian berani menolong Thio Kim-ciok, maka kalian akan mampus tanpa liang kubur."
Suara ancaman itu seakan-akan berkumandang dari kejauhan sana, tapi seperti juga berasal dari suatu tempat yang sangat dekat sekali.
Nada suara itu mengalun dan berputar-putar di tengah udara, sehingga membuat orang susah menentukan darimanakah suara itu berasal.
Bong Thian-gak segera membentak.
"Siapa kau? Mengapa tidak segera menampakkan diri?"
"Aku adalah Hek-mo-ong yang asli,"
Jawab suara itu tetap mengalun di tengah udara.
Baik Bong Thian-gak maupun Thay-kun dapat mengenali dengan segera bahwa suara itu adalah suara Hek-mo-ong, jauh berbeda dengan suara Hek-mo-ong yang dua kali telah mereka dengar sebelum ini.
Bong Thian-gak tertawa dingin.
"Apakah kau adalah Liu Khi?" "Aku adalah Hek-mo-ong, bukan Liu Khi,"
Sahut suara itu sambil tertawa tergelak. Mendadak terdengar Song Leng-hui menjerit.
"Dia bersembunyi di atas gunung-gunungan."
Bong Thian-gak serta Thay-kun serentak mengalihkan sorot mata mereka ke arah gunung-gunungan yang berada di sisi kiri mereka setelah mendengar jeritan itu, benar saja secara lamat-lamat mereka saksikan sesosok bayangan muncul dan berdiri di atas gunung-gunungan itu.
Ketajaman mata Thay-kun serta Bong Thian-gak tidak diragukan, kendati mereka masih dapat membedakan dengan jelas bayangan orang yang berdiri di balik kegelapan itu, namun saat itu mereka justru tidak dapat membedakan secara jelas tinggi-rendahnya bayangan orang itu serta ciri-ciri lain yang dapat diingat.
Jelas bayangan orang yang berada di atas gununggunungan itu tercipta oleh ilmu menghilang dari In-heng-coatkang yang merupakan kepandaian sakti.
Dengan menggerakkan sepasang bahu kiri dan kanannya hingga membuat seluruh badan tak pernah berhenti bergerak, maka pandangan orang lain tak akan bisa menangkap bentuk badan secara jelas.
Mendadak Thay-kun berteriak.
"Adik Song, jangan dekati orang itu."
Tampak Song Leng-hui tengah mendekati gununggunungan itu. Song Leng-hui menghentikan langkah, katanya sambil berpaling.
"Cici, asalkan kita bisa mendekatinya, sudah pasti akan terlihat bentuk tubuhnya dengan lebih jelas."
"Hek-mo-ong justru mengharapkan kau maju ke depan seorang diri,"
Kata Thay-kun memperingatkan.
Baik Song Leng-hui maupun Bong Thian-gak keduanya mengerti apa yang dimaksudkan Thay-kun.
Dengan suatu gerakan yang amat cekatan sekali Bong Thian-gak segera melompat ke depan dan berdiri bersiap di samping Song Leng-hui.
Sambil tertawa Thay-kun segera berkata.
"Asalkan kita bertiga maju dan mundur bersama, aku rasa kita tak usah takut lagi kepada Hek-mo-ong."
Hek-mo-ong yang berada di atas gunung-gunungan mendengus dingin sambil tertawa seram, katanya.
"Aku sudah memperingatkan kalian, jangan menyembuhkan penyakit yang diderita Thio Kim-ciok. Bila kalian tak mau menuruti nasehatku ini, kalian bertiga bakal mampus tanpa liang kubur."
Thay-kun tertawa cekikikan.
"Sebetulnya kami tak punya rencana menyembuhkan penyakit yang diderita Thio Kim-ciok, tapi setelah kau mengetahui rahasia Thio Kim-ciok yang sebenarnya, agaknya kami harus merubah rencana semula, sekarang kami harus menyembuhkan penyakit yang diderita Thio Kim-ciok."
Hek-mo-ong kembali tertawa dingin.
"Nasib Thio-kim-ciok telah ditetapkan akan berakhir sebelum kentongan kelima malam ini. Percaya atau tidak terserah pada kalian."
Satu ingatan segera melintas dalam benak Thay-kun, katanya.
"Kalau begitu Thio Kim-ciok telah ditakdirkan mati sebelum kentongan keempat?"
Hek-mo-ong yang berada di atas gunung-gunungan segera tertawa dingin.
"Bila takdir sudah menentukan bahwa Thio Kim-ciok hanya bisa hidup sampai kentongan keempat malam ini. Siapa yang bisa menolongnya?"
"Sumoay, adik Hui,"
Kata Bong Thian-gak secara tiba-tiba dengan suara dalam.
"sungguh beruntung kita dapat berjumpa dengan Hek-mo-ong pada malam ini, bagaimana pun juga kita harus menyingkap tabir rahasia Hek-mo-ong ini sampai tuntas."
"Baik,"
Sahut Thay-kun manggut-manggut "Mari kita menyerang bersama-sama."
Sambil bicara Thay-kun telah mendesak maju.
Begitu Thay-kun bergerak, Bong Thian-gak serta Song Leng-hui serentak maju pula mengikut di belakangnya.
Bong Thian-gak dengan pedang bambu di tangan tunggalnya berada di bagian tengah, sementara Thay-kun dan Song Leng-hui bergerak dari sisi kiri dan kanan.
Mereka bertiga maju secara bersama-sama secepat kilat, langsung menerjang ke arah gunung-gunungan.
Suara gelak tertawa yang amat keras bagaikan tangisan kuntilanak serta lolongan serigala di malam buta segera berkumandang.
Hek-mo-ong yang berada di atas gunung-gunungan bagaikan segulung asap tebal segera bergerak pula ke depan menyongsong kedatangan Bong Thian-gak.
Rupanya Hek-mo-ong telah memilih Bong Thian-gak sebagai sasaran pertama, kedua belah pihak sama-sama menerjang ke depan bagaikan sambaran petir, dalam waktu singkat tahu-tahu sudah saling berhadapan.
Agaknya Bong Thian-gak tidak menyangka Hek-mo-ong bakal menerjang ke arahnya.
Baru menjumpai bayangan hitam berkelebat, Bong Thian-gak telah merasakan musuh berada di depan mata.
Dalam keadaan demikian, tiada kesempatan lagi bagi Bong Thian-gak untuk berpikir panjang, pedang bambu di tangannya segera diayunkan ke depan melancarkan tusukan.
Jurus pedang yang digunakan adalah menyerang dari bawah menuju ke atas, kecepatan gerakannya luar biasa.
Mungkin Hek-mo-ong sendiri pun tidak menyangka tenaga dalam Bong Thian-gak jauh lebih tangguh daripada apa yang diduga semula, bahkan begitu serangannya dilancarkan, segera terasa segulung angin serangan yang tajam dan kuat menyambar ke depan serasa menembus badan.
Akibat pancaran hawa serangan pedang yang kuat dan dahsyat itu, Hek-mo-ong segera kehilangan kesempatan menyerang musuh lebih dulu.
Kesempatan yang lenyap untuk pertama kalinya selama hidupnya.
Dalam posisi demikian, mau tak mau dia harus menggerakkan tubuh menghindarkan diri dari serangan musuh, lalu dengan cepat mengeluarkan pukulan tengkoraknya yang amat cepat dan mengerikan itu.
Sejak melepaskan serangan pedang, mata Bong Thian-gak tak hentinya mengawasi gerak-gerik lawan tanpa berkedip, tiba-tiba ia merasa pandangan matanya menjadi kabur, lalu tubuh musuh yang meluncur datang dari tengah udara telah bergeser ke sebelah kiri.
Tentu saja serangan pedangnya mengenai tempat kosong.
Pada saat inilah secara lamat-lamat Bong Thian-gak dapat melihat di balik ujung baju sebelah kanan Hek-mo-ong kosong melompong.
"Ah! Dia benar-benar seorang berlengan tunggal!"
Pekiknya dalam hati.
Bong Thian-gak segera melihat dari balik ujung baju kanan Hek-mo-ong yang kosong melompong itu telah meluncur keluar sebuah benda dan benda itu tak lain adalah sebuah tangan.
Tangan Tengkorak! Sejak dahulu sampai sekarang, tangan tengkorak yang merupakan alat pembunuh Hek-mo-ong tak pernah meleset dari sasaran.
Hal Ini disebabkan gerakan itu terlalu cepat, sedemikian cepalnya bagaikan sambaran petir saja.
Tubuh Bong Thian-gak mencelat ke tengah udara dan bagaikan sebuah layang-layang putus benang, tubuhnya segera jatuh terjerembab dari atas.
Robohnya Bong Thian-gak segera membangkitkan rasa sedih dan gusar Thay-kun serta Song Leng-hui, serentak mereka menerjang ke muka dari kiri dan kanan.
Dua gulung tenaga serangan yang tajam dan maha dahsyat segera meluncur ke muka dan menggencet tubuh Hek-mo-ong yang mnsih melambung di tengah udara.
Terdengar gelak tawa yang menyeramkan dan menggidikkan.
Di tengah sapuan angin pukulan yang amat kencang, bayangan tubuh Hek-mo-ong melambung ke tengah udara dan melayang turun di atas gunung-gunungan.
Ketika Thay-kun dan Song Leng-hui bersama-sama melayang turun, tampak Bong Thian-gak yang masih sempoyongan berusaha bangkit dari atas tanah.
"Engkoh Gak, Suheng, bagaimana keadaanmu?"
Kedua orang gadis itu bertanya secara bersama. Dengan wajah pucat-pias seperti mayat dan mengertak gigi, sahut Bong Thiang-gak.
"Aku tidak apa-apa. Untung tidak melukai bagian mematikan, tak usah kuatir, aku tak bakal mati!"
Selama ini serangan tangan tengkorak maut Hek-mo-ong selalu mengarah jalan darah Sam-kan-hiat pada hulu hati dengan kecepatan tinggi dan ketepatan yang mengagumkan, belum pernah ada seorang jago silat pun yang dapat meloloskan diri dari ancaman yang mematikan ini.
Tapi sekarang Bong Thian-gak telah memecahkan kebiasaan itu, ia berhasil menghindari serangan musuh yang menghajar bagian lain dari badannya.
Serangan tangan tengkorak Hek-mo-ong telah menghajar telak di atas dada bagian atas puting susu kirinya.
Kendati Bong Thian-gak telah mengerahkan Tat-mo-khi-kang untuk melindungi seluruh badan, namun kuatnya serangan musuh membuat ia menderita luka cukup parah.
Hawa murni segera tersebar kemana-mana, peredaran darahnya bergolak keras, dada terasa sakit dan pedas seperti terbakar bara api.
Thay-kun dan Song Leng-hui merasa gembira karena melihat Bong Thian-gak tidak roboh pingsan akibat serangan itu Sebaliknya Hek-mo-ong justru merasa amat terkesiap.
Dengan jelas ia melihat pukulan tengkorak mautnya menghajar hulu hati musuh secara tepat dan telak, akan tetapi kenyataannya pihak musuh tidak roboh.
Padahal selama puluhan tahun malang-melintang di Kangouw belum pernah serangannya meleset, tapi kali ini dia harus menerima kegagalan itu.
"Hm,"
Tiba-tiba Hek-mo-ong memperdengarkan suara tertawa dinginnya yang rendah, berat dan menyeramkan.
"Jian-ciat-suseng, sungguh tak kusangka kau dapat lolos dari tangan tengkorakku ini. Hm, sekalipun kau dapat menghindari serangan tengkorak maut yang pertama dengan selamat, apakah kau mampu menghindari serangan pukulan tengkorak maut yang kedua?' Bong Thian-gak tertawa seram, bentaknya.
"Hek-mo-ong, akan kucoba sekali lagi menerima pukulanmu itu."
Di tengah bentakan itu, Bong Thian-gak dengan pedang terhunus telah menerjang ke depan. Mendadak dari balik ruangan dalam gedung terdengar seorang menjerit kaget dan membentak.
"Siapa di situ? Berhenti!"
Disusul kemudian terdengar suara jeritan ngeri yang memilukan. Jeritan itu sangat keras dan bergema memecah keheningan malam, membuat siapa pun yang mendengar berdiri bulu kuduknya. Dengan wajah berubah Thay-kun berseru.
"Aduh celaka! Jeritan itu berasal dari kedua orang dayang itu, ada orang yang hendak mencelakai jiwa Thio Kim-ciok!"
Perubahan yang terjadi amat tiba-tiba ini membuat Bong Thian-gak segera mengurungkan niatnya melancarkan serangan ke arah Hek-mo-ong. Sementara itu Hek-mo-ong yang berada di atas gununggunungan berseru sambil tertawa dingin.
"Sekarang aku akan memberikan sebuah kesempatan lagi bagi kalian untuk menyelamatkan hidup. Bila kalian bertiga mengundurkan diri sekarang juga, maka aku pun berjanji tak akan mencelakai kalian, tapi bila kalian berniat mencampuri urusan kami lagi, hm! Jangan salahkan aku turun tangan keji dan tak kenal ampun."
Pedang Tanpa Perasaan -- Khu Lung Golok Kumala Hijau -- Gu Long Anggrek Tengah Malam -- Khu Lung