Ceritasilat Novel Online

Pendekar Cacad 4


Pendekar Cacad Karya Gu Long Bagian 4



Pendekar Cacad Karya dari Gu Long

   

   Ketika mendengar perkataan itu, Bong Thian-gak sekalian merasa gelisah bercampur geli. Ho Put-ciang tidak menjawab pertanyaan Goan-ko Taysu, sebaliknya bertanya cemas.

   "Ko-siauhiap, bagaimana cara menyusul Ku-lo Supek?"

   Bong Thian-gak menghela napas panjang.

   "Di saat kita mengejar Goan-ko Taysu tadi, Ku-lo Locianpwe sudah pasti telah berangkat untuk memenuhi janji, kemana kita harus menemukannya sekarang?"

   "Kita sekarang berempat, mari kita berpencar ke empat penjuru mencarinya, ya ... apa boleh buat, lebih baik kita mengadu untung ...."

   Kata Thia Leng-juan kemudian. Agaknya Goan-ko Taysu masih bingung dan tak habis mengerti akan duduknya persoalan, segera tanyanya.

   "Hobengcu, sebenarnya apa yang telah terjadi?"

   "Sekarang waktu amat mendesak dan tidak mungkin diceritakan, mari kita berpencar mencari Ku-lo Supek, begitu menemukan jejaknya kita harus membantunya secara diamdiam."

   "Baik,"

   Sambung Thia Leng-juan.

   "Kita pakai gedung Bu-lim bengcu sebagai pusat, mari kita berpencar."

   Selesai berkata dia membalik tubuh dan berlalu lebih dulu. Ho Put-ciang segera melakukan pencarian ke arah utara. Kini tinggal Bong Thian-gak dan Goan-ko Taysu yang masih berdiri tak berkutik. Melihat itu, Goan-ko Taysu segera bertanya.

   "Ko-sicu hendak mencari ke arah mana?"

   "Ke arah selatan!"

   Selesai berkata, dia lantas berangkat menuju ke arah barat. Sepeninggal semua orang, Bong Thian-gak mendongakkan kepala memandang letak bintang, lalu menyapu pandang sekeliling tempat itu, akhirnya dia bergumam.

   "Ku-lo Sinceng memerintahkan Goan-ko menuju ke tenggara, menanti kita merasa tertipu dan balik kembali ... kalau begitu tempat yang dituju kalau bukan timur pasti selatan. Ke arah timur menuju ke pantai pesisir, sedang ke arah selatan merupakan kuburan dan dataran bukit... ah, betul! Sudah pasti tempat itu."

   Selesai bergumam Bong Thian-gak segera mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya yang sempurna menuju ke selatan.

   Ilmu meringankan tubuhnya sangat sempurna, tak lama kemudian dia telah menempuh perjalanan sejauh puluhan li dan tiba di sebuah tanah berbukit-bukit.

   Sejak kecil Bong Thian-gak hidup di kota Kay-hong, maka dia pun tahu tempat ini bernama Kui-thau-nia (Tebing kepala setan).

   Sejauh mata memandang, di sana-sini hanya berupa tanah berbukit yang tinggi rendah tak menentu, berlapis-lapis memanjang ke arah selatan, tiap tebing berketinggian hampir tiga puluh kaki dengan bentuk seperti kepala manusia, oleh sebab itulah tebing itu dinamakan Tebing kepala setan.

   Bong Thian-gak ragu sejenak, akhirnya dia mengerahkan Ginkang menuju tebing paling tinggi dari Kui-thau-nia, dari tempat ketinggian itulah dia mencoba memeriksa keadaan di sekitar sana.

   Sinar rembulan yang memancarkan sinar lembut membantu penerangan sekitar sana, tapi suasana di sekeliling Kui-thaunia amat sepi bagaikan kota mati saja.

   "Mungkinkah aku salah menduga?"

   Bong Thian-gak berpikir. Tapi ia segera berpikir lagi.

   "Tapi selain tempat ini, di sebelah selatan tak terdapat tempat lain yang cocok untuk melangsungkan pertarungan."

   Sementara dia masih tertegun dan berdiri termangu, mendadak dari arah bukit sebelah utara Bong Thian-gak menyaksikan ada sesosok bayangan orang sedang meluncur datang dengan kecepatan tinggi.

   Waktu itu Bong Thian-gak sudah memilih tempat persembunyian, matanya mengawasi pendatang itu tanpa berkedip.

   Sementara pendatang itu semakin mendekati bukit Kuithau- nia.

   Ternyata pendatang ini tak lain adalah Ku-lo Sinceng dari kuil Siau-lim-si.

   Ku-lo Hwesio mengenakan baju berwarna kuning, tasbihnya tergantung di depan dada, tangannya memegang Hud-tim dan berjalan naik ke atas bukit dengan langkah amat tenang.

   Ku-lo Hwesio yang bermata tajam memandang sekejap ke sekeliling tempat itu, kemudian berjalan ke tanah rumput dan duduk bersila di sana.

   Tempat persembunyian Bong Thian-gak berada di belakang batu karang di sebelah kiri Ku-lo Hwesio, di depan batu cadas itu kebetulan tumbuh dua batang pohon pinus yang rendah sehingga menutupi batu karang tadi.

   Bong Thian-gak menyangka Ku-lo Hwesio baru akan muncul pada saat ini, ketika ia mencoba mendongakkan kepala, tengah malam baru lewat seperempat jam, ia tak tahu jam berapakah Jit-kaucu menantang Ku-lo Hwesio untuk bertarung di sini? Sementara itu Ku-lo Hwesio sudah duduk bersila di situ sembari bersemedi, Bong Thian-gak juga tak berani bertindak sembarangan, dia tahu saat Ku-lo Sinceng bersemedi, telinganya yang tajam dapat menangkap suara napas yang berada dua puluh kaki sekitar tempat itu.

   Maka Bong Thian-gak segera menggunakan ilmu Kui-sihoat (ilmu napas kura-kura) dengan menempelkan diri di batu cadas itu.

   Waktu berlalu detik demi detik, menit demi menit ...

   tengah malam lewat...

   jam satu tiba ....

   Jam satu lewat, jam dua pun menjelang ...

   akhirnya malam yang panjang akan berakhir.

   Diam-diam Bong Thian-gak berpikir.

   "Aneh, mengapa Jitkaucu belum juga datang? Atau mungkin Ku-lo Hwesio akan menunggu seharian di sini?"

   Belum habis ingatan itu melintas, di keheningan yang mencekam di Kui-thau-nia, mendadak berkumandang suara teguran dingin bagai es.

   "Ku-lo Hwesio, sejak kapan kau sampai di sini?"

   Bong Thian-gak amat terkejut mendengar ucapan itu, dengan cepat dia mencoba mencari dengan mengarahkan ketajaman matanya.

   Di tengah kegelapan malam yang paling gelap menjelang tibanya fajar, Jit-kaucu menampakkan diri.

   Sesosok bayangan tubuh yang putih melayang keluar dari balik kabut yang tebal, seperti sosok bayangan setan tahutahu sudah berdiri di hadapan Ku-lo Hwesio.

   Sementara itu Ku-lo Hwesio masih tetap duduk di atas tanah, sahutnya.

   "Menjelang tengah malam, Pinceng sudah sampai."

   "Hwesio tua, begitu pagi kau sampai di sini, apakah kuatir aku memasang jebakan di sini?"

   "Pinceng tidak berani."

   Kembali Jit-kaucu tertawa dingin.

   "Sam-kaucu telah dikerubut di pagoda Leng-im-po-tah hingga menemui ajal, hari ini mengapa kau tak mengundang orang-orangmu itu, sehingga Kaucu tak usah repot-repot?"

   Bong Thian-gak yang mendengar perkataan itu terkejut, segera pikirnya.

   "Mungkinkah dia tahu aku bersembunyi di sini?"

   Sementara dia masih berpikir, Ku-lo Hwesio telah menyahut.

   "Bila ada orang yang menyembunyikan diri di sini, rasanya juga tak bakal lolos dari pengintaian Li-sicu."

   "Bagus,"

   Kata Jit-kaucu dingin.

   "Perjanjian kita pada kentongan kelima merupakan perjanjian menentukan mati hidup kita, sekarang kita boleh melangsungkan pertarungan."

   "Tunggu dulu!"

   Seru Ku-lo Hwesio tiba-tiba.

   "Apakah kau hendak meninggalkan pesan terakhirmu?"

   "Sebelum pertarungan dimulai, Pinceng ingin mengajukan beberapa pertanyaan kepada Li-sicu.

   "Persoalan apakah yang hendak kau pahami?"

   "Pertama-tama, Pinceng ingin mengetahui lebih dulu apakah Li-sicu adalah Li-siausicu yang pernah muncul di ruang belakang kuil Siau-lim-si pada delapan tahun berselang?"

   "Daya ingatmu sangat bagus!"

   Si Hwesio sudah mengira, tapi mendengar pengakuan itu, tak urung hatinya terperanjat juga. Setelah berhenti sesaat, Ku-lo Hwesio kembali berkata.

   "Delapan tahun berselang, Li-sicu telah menggunakan ilmu Jian-yang-ciang untuk menghantam Pinceng, entah perselisihan atau dendam kusumat apakah yang terjalin antara Pinceng dengan Li-sicu?"

   Jit-kaucu tertawa dingin.

   "Delapan tahun berselang, aku sudah menerangkan kepadamu bahwa aku mendapat perintah mencabut nyawamu, sama sekali tiada ikatan dendam atau sakit hati pribadi!"

   "Omitohud!"

   Puji syukur Ku-lo Hwesio untuk keagungan Sang Buddha.

   "Li-sicu memiliki ilmu silat yang amat dahsyat, namun perbuatanmu justru mencelakai orang secara sembarangan, apakah kau tak merasa bahwa tindakanmu ini melanggar norma-norma hukum Thian?" .

   "Suhuku telah membuang waktu selama dua puluh tahun untuk mendidikku siang malam, Hwesio tua, kau tak usah bersilat lidah lagi."

   "Siapakah Suhu Li-sicu? Dapatkah memberitahu kepadaku?"

   "Dia adalah Cong-kaucu Put-gwa-cin-kau."

   "Apakah Cong-kaucu itu pria atau wanita?"

   Kembali Ku-lo Hwesio bertanya sambil menghela napas panjang.

   "Perempuan! Sebenarnya persoalan itu tidak boleh kuberitahukan kepadamu, tapi mengingat kau akan kembali ke langit barat, tidak ada salahnya kuberitahukan kepadamu!"

   Sekali lagi Ku-lo Hwesio menghela napas.

   "Bila begitu, perkiraan Pinceng tak salah, kalau Li-sicu telah mengatakannya, mengapa tak kau sebutkan juga nama gurumu itu?"

   "Sudah diberi hati minta ampela ... ai, padahal aku sendiri pun tak tahu siapa namanya."

   "Masih ada satu hal lagi yang hendak kutanyakan, yaitu ilmu Soh-li jian-yang-sin-kang yang dilatih Li-sicu sudah berhasil mencapai tingkat berapa?"

   "Sudah mencapai tingkat kesembilan, Hwesio tua, buat apa kau menanyakan persoalan ini?"

   Dengan sedih Ku-lo Hwesio menghela napas panjang.

   "Sebab dalam pertarungan ini, Pinceng sama sekali tidak mempunyai keyakinan untuk menang, andai aku tewas di tangan Li-sicu, mungkin di Bu-lim dewasa ini tidak ada orang yang bisa menghadapimu lagi."

   Jit-kaucu tertawa terkekeh-kekeh.

   "Kau adalah jago lihai nomor satu dalam Bu-lim, bila aku dapat membunuhmu, apakah di Bu-lim masih ada orang yang bisa mengungguli diriku lagi?"

   Dengan suara dalam Ku-lo Hwesio berkata.

   "Ilmu silat amat luas dan dalam, sama sekali tiada batasannya. Sejak dulu pun banyak orang berbakat yang berhasil mempelajari ilmu sakti dan menganggap dirinya tanpa tanding di kolong langit, tapi akhirnya mereka justru tewas di tangan orang lain. Li-sicu adalah seorang cerdik, tentunya kau dapat memahami perkataanku bukan?"

   "Hm, kini kentongan kelima sudah lewat, kau tak usah banyak bicara lagi!"

   Tukas Jit-kaucu dingin.

   "Omitohud, para Nabi pernah berkata, tiada manusia yang tak pernah berbuat kesalahan, tapi siapa yang mau mengubah kesalahannya, dialah manusia bijaksana, Li-sicu mumpung belum terperosok lebih dalam lagi, lepaskanlah golok pembunuhmu, karena bila kau berpaling, di sanalah akan kau jumpai tepian."

   Beberapa patah kata itu diutarakan dengan suara nyaring sehingga menggetarkan seluruh bukit dan mendengung tiada hentinya. Paras muka Jit-kaucu berubah hebat, segera bentaknya.

   "Hari ini aku mengundangmu datang bukan untuk mendengarkan kuliah Taysu, bila Taysu memiliki ilmu sakti pelindung badan, gunakan saja dengan segera!"

   Sementara itu fajar telah menyingsing di ufuk timur, cahaya keemas-emasan pun mulai memancar ke empat penjuru.

   Jit-kaucu mengenakan pakaian berwarna putih dengan mantel yang terbuat dari bulu rase putih, begitu anggun, cantik dan memukau.

   Sebaliknya Ku-lo Hwesio dari Siau-lim-si duduk bersila di tanah dengan sikap kereng dan serius, ia mengenakan kain berwarna kuning dengan tasbih tergantung di leher, sepasang tangannya dirapatkan menjepit sebatang Hud-tim.

   Kini kedua tokoh sakti dari dunia persilatan ini berdiri dalam jarak dekat tempat mata memancarkan sinar tajam saling tatap, pertempuran sengit akan segera berlangsung.

   Bong Thian-gak berada puluhan kaki dari arena, matanya yang tajam mengawasi gerak-gerik kedua orang itu tanpa berkedip.

   Mendadak Jit-kaucu melejit ke tengah udara, kemudian secepat kilat menerjang ke arah Ku-lo Hwesio.

   Terhadap terjangan Jit-kaucu itu, Ku-lo Hwesio bersikap seakan-akan tidak melihat, dia tetap duduk bersila sambil memegang kebutnya tanpa bergerak.

   Ketika terjangan Jit-kaucu hampir mencapai tubuh Ku-lo Sinceng, mendadak dia melesat dengan cepat, lalu melayang turun, kemudian dengan suara dingin bentaknya.

   "Hwesio tua, tenaga dalammu benar-benar amat sempurna, rupanya kau telah menguasai ilmu Tat-mo-khi-kang!"

   Begitu selesai berkata, Jit-kaucu melejit kembali ke tengah udara.

   Pertarungan sengit dengan kecepatan tinggi pun segera berkobar.

   Tatkala tubuh Jit-kaucu telah berada dekat Ku-lo Sinceng, tangan kanannya diayun berulang-kali dan secara beruntun melancarkan empat serangan berantai.

   Ku-lo Hwesio segera melancarkan serangan balasan, sepasang telapak tangannya yang menjepit kebut mendadak menyambar ke samping, kebut tadi telah menari-nari dengan cepat.

   "Wes", hembusan tajam menderu. Untuk kedua kalinya terjangan Jit-kaucu mengalami kegagalan dan tubuhnya segera mundur. Bong Thian-gak menonton jalannya dua kali bentrokan kekerasan dari Ku-lo Sinceng dan Jit-kaucu, hatinya terperanjat, pikirnya.

   "Kalau aku yang dihadapkan dengan serangan itu, mungkin serangan yang pertama Jit-kaucu pun tak mampu kutahan."

   Setelah gagal dengan serangannya, tiba-tiba Jit-kaucu menghindar dengan wajah serius, selapis hawa dingin mencekam wajahnya, dihiasi pula dengan hawa nafsu membunuh yang mengerikan.

   Sementara itu paras muka Ku-lo Hwesio juga berubah serius.

   Mendadak Jit-kaucu mengangkat telapak tangan kirinya pelan-pelan, kemudian telapak tangan yang putih dan halus itu diluruskan ke depan, pada telapak tangannya lamat-lamat tampak cahaya merah membara seperti bola api yang berputar kencang.

   Dengan kening berkerut, Bong Thian-gak membatin.

   "Mungkin serangan inilah yang dinamakan ilmu Soh-li-jian-sinkang yang hebat itu!"

   Belum habis ingatan itu melintas, tubuh Jit-kaucu sudah melejit lagi ke tengah udara dan melancarkan tubrukan ketiga kalinya.

   Mungkin dalam serangan inilah akan ditentukan menangkalah kedua belah pihak.

   Pertarungan itu mungkin tidak akan berlangsung terlampau lama, oleh sebab itu Bong Thian-gak mengalihkan sorot matanya yang tegang mengawasi jalannya pertarungan tanpa berkedip.

   Tampak Jit-kaucu pelan-pelan bergerak ke depan dan lambat-laun mendekat ke arah Ku-lo Hwesio.

   Tiba-tiba telapak tangan kiri Jit-kaucu yang putih memancarkan cahaya merah yang amat menyilaukan mata, ibarat matahari yang baru terbit, bola api berputar-putar.

   Di saat itu pula telapak tangan Jit-kaucu segera memanfaatkan kesempatan untuk menerobos masuk.

   Kenyataan membuktikan bahwa ilmu pukulan Soh-li-jiansin- kang Jit-kaucu telah berhasil memecah pertahanan Tatmo- khi-kang yang disalurkan Ku-lo Hwesio untuk melindungi tubuhnya.

   Dalam waktu yang amat singkat itulah telapak tangan kedua belah pihak memainkan berbagai macam jurus serangan yang aneh tapi amat sakti.

   Suara jeritan keras bergema di udara dan mengakhiri pertarungan itu.

   
Pendekar Cacad Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Tubuh Jit-kaucu mencelat ke samping kanan kemudian jatuh terbanting ke tanah, kemudian tak berkutik lagi.

   Sebaliknya jubah kuning yang dipakai Ku-lo Hwesio juga banyak terdapat lubang di sana-sini, namun dia masih tetap berdiri dan diam di tempat semula.

   Bong Thian-gak yang menyaksikan adegan itu menjadi gembira, akhirnya Jit-kaucu berhasil juga dikalahkan.

   Sebenarnya ia ingin keluar dari tempat persembunyiannya untuk memburu ke depan, tapi setelah menyaksikan Ku-lo Hwesio masih tetap berdiri tak berkutik di tempat semula, ia tertegun.

   Tak lama kemudian, Ku-lo Hwesio menghembus napas panjang dengan sedih, lalu melangkah ke depan menuju ke arah Jit-kaucu yang terkapar di tanah itu.

   Kini Bong Thian-gak dapat melihat muka Ku-lo Hwesio pucat-pias seperti mayat, tampaknya dia telah banyak kehilangan hawa murninya.

   Setelah mengawasi beberapa kejap tubuh Jit-kaucu yang tak berkutik itu, Ku-lo Hwesio baru membalikkan badan dan berlalu dari situ.

   Bong Thian-gak ingin memanggil, namun setelah termenung sebentar dia lantas berpikir.

   "Entah bagaimanakah keadaan Jit-kaucu?"

   Teringat akan Jit-kaucu, Bong Thian-gak segera teringat pula keindahan tubuh si nona yang telanjang bulat itu.

   Ku-lo Hwesio berlalu dengan sangat cepat, bayangan tubuhnya sudah lenyap dari pandangan.

   Pada saat itulah Bong Thian-gak muncul dari balik batu karang dan berjalan mendekat.

   Matahari pagi telah memancarkan sinarnya menembus awan tebal dan menyoroti wajah Jit-kaucu.

   Tampak Jit-kaucu memejamkan mata rapat-rapat, wajahnya yang cantik kini pucat keabu-abuan, tiada luka di atas tubuhnya, namun ujung bibirnya tampak noda darah, pakaiannya juga penuh dengan noda darah.

   Diam-diam Bong Thian-gak menghela napas panjang, pikirnya.

   "Gadis yang begini cantik akhirnya harus menemui ajal dalam keadaan mengenaskan, tak lama kemudian dia akan berubah menjadi sekerat tulang-belulang."

   Berpikir sampai di sini, dia lantas merenung lebih jauh.

   "bagaimana pun juga dia sudah mati, kasihan jenazahnya dibiarkan telantar disinari terik matahari, ditimpa air hujan atau mungkin akan menjadi santapan serigala kelaparan .... Ai, bagaimana pun juga kematian akan mengakhiri segalagalanya, biarlah kubuatkan sebuah liang untuk mengubur jenazahnya!"

   Bong Thian-gak segera mencabut pedangnya yang tajam dan menggunakan pedang sebagai sekop untuk menggali sebuah liang kubur di situ.

   Setelah membuang waktu hampir setengah jam lamanya, dia telah berhasil membuat sebuah liang.

   Di kala Bong Thian-gak berpaling untuk mengubur jenazah Jit-kaucu, mendadak dia tertegun.

   Rupanya jenazah itu sudah lenyap entah kemana perginya.

   Sementara Bong Thian-gak terkejut, tiba-tiba terdengar seorang menegur dengan suara merdu.

   "Buat apa kau menggali liang kubur?"

   Mendengar teguran itu kembali ia berpaling, hampir saja pemuda itu menjerit keras.

   Ternyata Jit-kaucu sudah duduk di bawah pohon kurang lebih belasan kaki di hadapannya.

   Jadi dia belum mati? Bong Thian-gak sungguh terperanjat, sekali lagi ia mengawasi tubuh nona itu dengan seksama, ternyata ujung bibirnya masih penuh noda darah, pakaiannya juga masih berlepotan darah, hanya paras mukanya yang semula pucatpias, kini sudah nampak lebih baikan.

   Menyaksikan Bong Thian-gak lama sekali membungkam, Jit-kaucu menghela napas sedih, kemudian katanya.

   "Apakah kau membuat liang kubur itu untuk mengubur jenazahku?"

   "Kau ... kau belum mati?"

   Bong Thian-gak berseru tergagap.

   "Kalau sudah mati, bagaimana mungkin bisa bicara?"

   Jawab Jit-kaucu hambar. Bong Thian-gak segera menggerakkan badannya seraya berseru lantang.

   "Jika kau belum mati, maka aku harus mencabut jiwamu."

   "Mengapa engkau hendak mencabut nyawaku?"

   Tegur Jitkaucu tanpa berubah wajah. Bong Thian-gak tertegun oleh pertanyaan itu, setelah termenung sebentar, ia baru menjawab.

   "Kau adalah pentolan yang menerbitkan berbagai keonaran dalam Bu-lim, sebelum kau mati, dunia persilatan tak akan memperoleh kedamaian."

   "Ku-lo Hwesio saja tak mampu mencabut nyawaku, apalagi kau ... kau tak mungkin berhasil."

   "Jadi kau hanya pura-pura mati?"

   Tanya Bong Thian-gak dengan perasaan bergetar keras.

   "Aku jatuh tak sadarkan diri tapi tidak mati, ilmu silat Hwesio tua itu memang sangat lihai, sangat sempurna, cuma sayang dia ..."

   "Dia kenapa?"

   Seru Bong Thian-gak cepat.

   "Dia tak bisa hidup lebih tujuh hari,"

   Kata Jit-kaucu.

   "Mengapa tak dapat hidup lebih tujuh hari?"

   "Tadi dia telah menggunakan pertarungan adu jiwa yang bisa menyebabkan kedua belah pihak sama-sama terluka, pada kesempatan itu jalan darah Jin-meh dan Tok-meh Hwesio tua itu telah kulukai dengan pukulan Soh-li-jian-yangsin- kang. Dia tidak segera tewas karena tenaga dalamnya sempurna, tapi akhirnya tak akan lolos juga dari kematian."

   Bong Thian-gak benar-benar terperanjat mendengar ucapan itu.

   "Sungguh perkataanmu itu?"

   "Apa yang kuucapkan tentu saja sungguh-sungguh."

   Paras Bong Thian-gak berubah hebat, dia tak menyangka jerih-payah Ku-lo Hwesio untuk melenyapkan Jit-kaucu dari muka bumi menjadi punah tak berbekas, dia tak segan mengorbankan jiwa sendiri dengan melakukan pertarungan adu jiwa.

   Baginya, asal Jit-kaucu bisa dilenyapkan, sekali pun harus mati dia tak sayang, namun ia bertindak kurang teliti, sebelum memeriksa mati-hidup lawan, ia telah berlalu begitu saja dan akibatnya usaha yang dilakukan selama ini menjadi sia-sia belaka.

   Tadi selagi Jit-kaucu tak sadar, bila Ku-lo Hwesio mengetahui gadis itu belum mati tentu akan menambahi dengan sebuah pukulan mematikan, sudah pasti Jit-kaucu takkan bisa hidup lebih lama.

   Bong Thian-gak pun menyesal mengapa tak memeriksa lebih dulu atau mungkin Jit-kaucu memang belum ditakdirkan untuk mati? Terdengar Jit-kaucu berkata.

   "Kau yang menjumpai aku mati ternyata tak tega membiarkan jenazahku terbengkalai di tanah terbuka, bahkan menggalikan liang lahat untuk mengubur jenazahku, meski aku tak jadi mati, namun kebajikan serta kemuliaan hatimu sungguh membuat aku terharu dan tidak akan melupakan kebaikanmu itu untuk selamanya."

   Sementara itu pikiran Bong Thian-gak amat kalut, dalam keadaan dan kondisi seperti ini sudah seharusnya ia menampilkan diri dan menggunakan segenap kekuatan yang ada untuk menyelesaikan tugas Ku-lo Sinceng yang belum terselesaikan itu.

   Begitu niat itu melintas, Bong Thian-gak segera mengambil keputusan dalam hati, sesudah tertawa dingin, katanya.

   "Aku tidak peduli bagaimana ilmu silatmu, aku bertekad bertarung melawanmu."

   "Aku pun mengambil keputusan untuk tidak mencelakai jiwamu, sebagai ucapan terima kasihku atas kebaikanmu membuat liang lahat bagiku tadi."

   "Maaf kalau begitu!"

   Sambil berkata dia segera maju sembari melancarkan sebuah tusukan kilat.

   Ilmu silat Bong Thian-gak sekarang telah mencapai tingkat yang luar biasa, tusukan itu pun disertai tenaga yang amat dahsyat, itulah ilmu pedang terbang Cwan-sim-kiam-hoat (Ilmu pedang penembus hati).

   Jit-kaucu masih duduk di bawah pohon tanpa bergerak, menanti serangan itu datang, tiba-tiba saja dia menyentilkan jari tangannya ke depan.

   Bunyi bergemerincing yang memekakkan telinga berkumandang memecah keheningan.

   Sambil menarik kembali senjatanya, Bong Thian-gak mundur sejauh tiga-empat langkah, kemudian serunya dengan terperanjat.

   "Hm, ilmu jari Kiam-goan-ci!"

   "Betul, inilah Kiam-goan-ci, ilmu sakti perguruan Mi-tiongbun di Tibet. Kiu-kaucu perkumpulan kami pernah memberitahu kau punya ilmu sakti aliran Mi-tiong-bun, nampaknya apa yang dia laporkan memang benar."

   "Kau maksudkan si nona berbaju merah itu?"

   "Ya, betul! Ni Kiu-yu!"

   Bong Thian-gak memang sudah menduga gadis berbaju merah yang muncul di pagoda Leng-im-po-tah itu tentu merupakan anggota Put-gwa-cin-kau, ternyata apa yang diduga memang betul, gadis muda itu adalah Kiu-kaucu. Jit-kaucu berkata lagi.

   "Hingga sekarang aku belum berhasil menduga riwayat hidupmu, tapi dari aliran ilmu silat yang kau miliki, bukan saja memahami ilmu silat Mi-tiong-bun dan menguasai seluruh aliran ilmu silat semua partai di kolong langit, bila dugaanku tidak salah hanya dua orang di kolong langit dewasa ini yang bisa mengajar seorang murid semacam kau ini."

   "Siapakah kedua orang itu?"

   Tanya Bong Thian-gak keheranan.

   "Pertama adalah Cong-kaucu perkumpulan kami!" "Kau maksudkan Cong-kaucu Put-gwa-cin-kau?"

   Seru Bong Thian-gak tertegun.

   "Hari ini aku ingin kau bicara blak-blakan, benarkah kau utusan khusus yang dikirim Cong-kaucu untuk mengawasi diriku?"

   Semakin mendengar, Bong Thian-gak semakin bingung, tapi dari perkataan Jit-kaucu ini pula dia tahu bahwa antara sesama anggota Put-gwa-cin-kau sebenarnya saling tidak percaya dan curiga.

   Kemungkinan besar Put-gwa-cin-kau terbentuk karena usaha Cong-kaucu yang mempengaruhi orang dengan kekerasan.

   Sekarang Bong Thian-gak dihadapkan pada suatu masalah penting yang harus diputuskan dengan cepat, tanpa terasa dia berkerut kening sambil termenung.

   Dengan sorot mata tajam Jit-kaucu mengawasi wajah Bong Thian-gak lekat-lekat, gumamnya.

   "Selama puluhan tahun terakhir ini, Suhu amat baik terhadapku, mengapa aku harus mencurigai dia?"

   Mendengar perkataan itu, Bong Thian-gak mengangkat kepala dan memandang sekejap ke arah Jit-kaucu, kemudian katanya.

   "Tadi Ku-lo sanseng telah berkata kepadamu, dari dulu hingga sekarang terdapat pentolan persilatan yang ingin menjadi raja dunia persilatan, coba berapa banyak orang yang tewas dengan nama rusak dan tubuh binasa? Bilamana kau pintar, sudah seharusnya berpaling ke jalan benar, mumpung sekarang masih belum terlambat."

   "Kau menginginkan aku berbuat apa?"

   Tanya Jit-kaucu dengan suara hambar.

   "Melepas jalan sesat kembali ke jalan yang benar."

   Jit-kaucu tersenyum.

   "Kau belum menjawab pertanyaanku tadi?"

   Serunya.

   "Aku bukan anggota Put-gwa-cin-kau!"

   Jawab Bong Thiangak.

   "Oh, kalau begitu kau adalah muridnya?"

   "Murid siapa?"

   "Jian-bin-hu-li Ban Li-biau!"

   Mendengar itu kontan paras muka Bong Thian-gak berubah hebat, tanyanya.

   "Kau pun kenal nama itu?"

   "Tiada nama jago lihai di dunia ini yang tidak kukenal."

   Diam-diam Bong Thian-gak terkejut, dengan cepat dia berpikir.

   "Sebelum menemui ajal. Suhu kedua telah berkata, ada seorang lain pernah memperoleh pelajaran ilmu silat darinya, mungkinkah orang itu adalah Jit-kaucu?"

   Berpikir sampai di situ Bong Thian-gak segera bertanya.

   "Kau pernah berjumpa dengannya?"

   "Kau ini bagaimana? Mengapa tidak menjawab dulu pertanyaan orang?"

   "Ya, betul! Dia adalah guruku,"

   Jawab Bong Thian-gak kemudian dengan suara tegas. Paras muka Jit-kaucu berubah hebat, tanyanya.

   "Sudah matikah dia?"

   "Ya, baru beberapa bulan berselang."

   Jit-kaucu menghela napas.

   "Ai, pernahkah dia menceritakan sesuatu tentang diriku?"

   "Sebenarnya ada hubungan apakah antara kau dengan dia orang tua?"

   "Guru yang memberi pelajaran ilmu silat selama empat puluh sembilan hari kepadaku."

   Dengan terkejut Bong Thian-gak berkata.

   "Jit-kaucu, kau adalah orang pertama yang memperoleh warisan ilmu silat dari dia orang tua?"

   "Benar, peristiwa itu berlangsung dua puluh tahun berselang, aku hanya empat puluh sembilan hari berada bersamanya."

   "Dua puluh tahun berselang? Lantas pada umur berapa kau bertemu dengan dia orang tua?"

   "Waktu berumur lima tahun."

   Bong Thian-gak menggeleng kepala berulang-kali.

   "Sejak usia lima tahun sudah berlatih silat, bahkan memperoleh pelajaran silat selama empat puluh sembilan hari."

   "Waktu itu aku masih belum memahami ilmu silat, tapi dia orang tua membacakan teori ilmu silat dan suruh aku menghafal di luar kepala, maka aku pun ingat terus sampai sekarang."

   Bong Thian-gak menghela napas sedih.

   "Ai, sebelum meninggal, Suhu Ban Li-biau telah berkata kepadaku, 'Selama hidup Lohu hanya melakukan kejahatan, kemaruk akan nama, harta dan kedudukan, selalu berusaha mencapai harapan dengan menggunakan cara apa pun, tapi akibatnya tujuh puluh tahun hidupku di dunia ini sia-sia belaka ... Ai budi dendam dalam Bu-lim selamanya merupakan perputaran dari hukum karma, siksaan hidup yang Lohu alami selama tiga puluh tahun ini betul-betul merupakan suatu hukuman yang paling adil....'."

   "Hanya mengucapkan kata-kata itu saja?"

   Tanya Jit-kaucu.

   "Dia masih berkata bahwa ia pernah mewariskan ilmu silat kepada seorang lain, dia suruh aku baik-baik mempergunakan ilmu itu." "Ai, dia orang tua memang kelewat mengenaskan nasibnya, kelewat kesepian,"

   Ujar Jit-kaucu menghela napas.

   "Tahukah kau mengapa dia orang tua menjadi cacat seperti itu?"

   "Tidak!"

   Pendekar Cacad Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Dengan suara dalam Bong Thian-gak berkata.

   "Kau dan aku boleh dibilang berasal dari perguruan yang sama, kata-kata terakhir dari Jian-bin-hu-li Ban Li-biau sudah jelas menerangkan bagaimana akibatnya bila seseorang melakukan kejahatan, sekarang bagaimana perasaanmu?"

   Paras muka Jit-kaucu berubah.

   "Kau jangan menasehati aku,"

   Katanya.

   "Aku harus memberi peringatan padamu agar jangan bercerita kepada siapa pun bahwa kau pernah belajar ilmu silat dari Ban Li-biau, sebab bila rahasia ini sampai bocor, maka keselamatan jiwamu akan terancam."

   "Aku tidak takut menghadapi kematian, asal kematianku itu berharga, setiap saat aku bersedia mengorbankan diri demi keadilan dan kebenaran."

   "Ya, kini kau dan aku sudah menjadi Suheng-moay,"

   Ucap Jit-kaucu sedih.

   "Tapi kita pun berhadapan sebagai musuh, bagaimana aku harus menyelesaikan persoalan ini?"

   Setelah mengucapkan kata-kata itu, wajahnya menampilkan perasaan sedih dan murung yang tak berlukiskan.

   Bong Thian-gak sendiri pun merasa betapa cepatnya perubahan Itu berlangsung, sebetulnya hari ini dia bertekad akan mengadu jiwa dengannya, tapi kenyataan membuktikan bahwa mereka adalah sesama saudara seperguruan, bagaimana mungkin dia bisa turun tangan? Mendadak Bong Thian-gak menarik kembali pedangnya dan berkata dengan wajah serius.

   "Tentang usulku agar kau kembali ke jalan yang benar harap dipikirkan masak-masak, tindak-tandukmu di kemudian hari yang akan menentukan segalanya."

   Usai berkata dia membalikkan badan dan siap berlalu dari situ. Mendadak Jit-kaucu berseru.

   "Tunggu dulu!"

   Pelan-pelan Bong Thian-gak membalikkan badan, lalu bertanya.

   "Masih ada urusan apa lagi?"

   Dengan wajah dingin Jit-kaucu berkata.

   "Apabila Ku-lo Hwesio masih ingin mempertahankan jiwanya atas luka yang dideritanya, suruh dia mengutungi sepasang kakinya sebatas lutut dalam tiga jam, biarkan darah mengalir keluar hingga berubah menjadi merah segar, kemudian baru hentikan aliran darah itu, bila melewati waktu yang ditentukan, maka dia akan berubah menjadi cacat!"

   Bong Thian-gak tertegun.

   "Mungkin dia mempunyai cara pengobatan yang lebih baik,"

   Katanya kemudian.

   "Hanya cara ini saja yang bisa mempertahankan ilmu silatnya hingga tidak punah, percaya atau tidak terserah kepadamu."

   "Siapa tahu dia tidak menderita begitu parah seperti apa yang kau ucapkan?"

   "Ku-lo Sinceng memang telah berhasil menemukan ilmu silat yang bisa menandingi Soh-li-jian-yang-sin-kang, namun dia telah salah memperhitungkan kesempurnaan tenaga dalamku."

   Sampai di situ dia berhenti sejenak, lalu melanjutkan.

   "Aku bernama Thay-kun, di Bu-lim hanya kau seorang yang mengetahui namaku itu."

   "Thay-kun? Kau berasal dari marga apa?"

   Tanya Bong Thian-gak dengan kening berkerut.

   "Belum kuketahui apa margaku."

   Walaupun Bong Thian-gak agak tercengang oleh jawaban itu, namun dia juga tidak banyak bertanya, katanya kemudian.

   "Sampai jumpa lain waktu!"

   Dia membalikkan badan dan beranjak pergi dari tempat itu. Jit-kaucu Thay-kun memandangnya hingga bayangan punggung pemuda itu lenyap dari pandangan, kemudian sambil menghela napas gumamnya.

   "Mengapa aku memberitahu banyak hal kepadanya ... mengapa aku harus memberitahu namaku kepadanya ...."

   Dia pun bangkit dan mengayunkan langkah meninggalkan tebing Kui-thau-nia itu.

   Bong Thian-gak mengerahkan Ginkang menuju gedung Bulim Bengcu.

   Sepanjang jalan, banyak persoalan yang dipikirkan olehnya.

   Dia sama sekali tidak menyangka Jit-kaucu adalah ahli waris lain Jian-bin-hu-li Ban Li-biau.

   Di usia lima tahun, ternyata selama empat puluh sembilan hari dia digembleng ilmu silat oleh Ban Li-biau, peristiwa itu membuat orang sukar percaya.

   Dari keberhasilan Jit-kaucu Thay-kun menguasai ilmu silat, mau tak mau orang harus percaya juga.

   Dia adalah salah seorang ahli waris Ban Li-biau, bagaimana pun juga dia harus memberi kesempatan baginya untuk menempuh hidup baru.

   Ai, perubahan yang terjadi atas segala persoalan ini memang berlangsung sangat mendadak, perlukah masalah itu diberitahukan kepada Ku-lo Sinceng? Teringat akan Ku-lo Hwesio, Bong Thian-gak segera mempercepat langkahnya, setengah jam kemudian dia telah tiba di depan pintu gerbang gedung Bu-lim Bengcu.

   Pengawal pintu yang menyaksikan kedatangan Bong Thiangak, segera menyongsong seraya berkata dengan penuh rasa hormat.

   "Ko-siauhiap, Bengcu telah berpesan, bila Siauhiap telah kembali dipersilakan segera menuju loteng sebelah timur."

   Bong Thian-gak sudah menduga akan duduk masalahnya, dia segera menerobos ke dalam gedung dan menuju ke loteng sebelah timur.

   Begitu masuk ke loteng, ia saksikan di ruang tamu sudah menunggu Ho Put-ciang, Thia Leng-juan, Toan-jong-hong-liu Yu Heng-sui, Oh Cian-giok, Ui-hok Totiang dari Bu-tong-pay, Wan-pit-kim-to Ang Thong-lam, Hian-thian-koancu Yu Ciang-hong serta Goanko Taysu.

   Sedang di atas kasur duduk bersila Ku-lo Hwesio, saat itu dia sedang memejamkan mata dengan wajah memucat, mukanya sama sekali tidak nampak warna darah.

   Begitu Pa-ong-kiong Ho Put-ciang menyaksikan Bong Thian-gak kembali, buru-buru dia menyongsong seraya berseru.

   "Ko-siauhiap, Ku-lo Supek ada pesan yang hendak disampaikan kepadamu."

   Sorot mata Bong Thian-gak yang tajam dengan cepat menyapu semua wajah orang dengan serius, murung dan sedih, ia segera mengetahui apa gerangan yang telah terjadi. Buru-buru dia maju, menjatuhkan diri dan berlutut, ujarnya kepada Ku-lo Sinceng.

   "Wanpwe menjumpai Sinceng, entah Sinceng ada pesan apa yang hendak disampaikan?"

   Waktu itu Ku-lo Hwesio sudah memejamkan mata rapatrapat, namun bibirnya masih dapat bergerak mengeluarkan suara yang amat lirih, terdengar dia berbisik.

   "Ko-siauhiap, Pinceng sudah tak dapat hidup lebih lama lagi... Jit-kaucu juga telah mati...."

   Sebenarnya Bong Thian-gak hendak memberitahu kepadanya bahwa Jit-kaucu belum mati, namun kuatir Ku-lo Hwesio terlalu kaget, maka dia hanya berkerut kening dan untuk sementara waktu tidak berkata apa-apa. Terdengar Ku-lo Hwesio berkata lebih jauh.

   "Selanjutnya musuh-musuh tangguh dari Put-gwa-cin-kau ... harus ... harus kalian dan Ho-hiantit menghadapinya! Pinceng sengaja menunggumu karena aku hendak mewariskan ilmu Tat-mokhi- kang kepadamu ... sayang bila ilmu sakti ini sampai hilang dari dunia ini ... Tat-mo-khi-kang sudah ratusan tahun lenyap dari dunia persilatan, Pinceng pun harus mengorbankan waktu delapan tahun untuk mencapai tingkat tiga."

   "Dari tingkat empat sampai tingkat sepuluh ... kitab itu sudah hilang sejak tiga puluh tahun lalu, kitab itu dicuri orang dari tempat penyimpanan oleh orang tak dikenal... orang itu mungkin adalah ...."

   "Toa-supek, siapakah orang itu?"

   Goan-ko Taysu berseru keras. Ku-lo Hwesio tidak menjawab pertanyaan itu, sebaliknya berkata lebih lanjut.

   "Meskipun ia berhasil mencuri kitab Tatmo- khi-kang dari tingkat keempat hingga sepuluh, tapi tak pernah berhasil mempelajari ilmu sakti itu, sebab dasar utama ilmu Tat-mo-khi-kang justru terletak pada tingkat pertama dan kedua, bila dasarnya tak ada, maka sulit untuk mencapai tingkat keempat yang jauh lebih dalam isinya ...." "Bila seseorang bisa melatih ilmu Tat-mo-khi-kang hingga tingkat ketujuh, maka sudah cukup menjagoi kolong langit dan sukar untuk dicari tandingannya."

   "Bila dugaan Pinceng tak salah dan bila orang yang mencuri kitab pusaka Tat-mo-khi-kang dari tingkat keempat sampai kesepuluh itu benar-benar dia, maka Ko-siauhiap sudah pasti telah memperoleh ilmu warisan darinya."

   Ketika Ho Put-ciang dan Thia Leng-juan mendengar sampai di situ, mereka tahu siapa orang yang dimaksud Ku-lo Hwesio, sudah pasti orang yang mencuri kitab pusaka Tat-mo-khi-kang dari tingkat empat sampai sepuluh itu adalah Jian-bin-hu-li Ban Li-biau.

   Bong Thian-gak sendiri ketika mendengar ucapan itu, segera teringat suatu peristiwa di saat Ban Li-biau hendak mewariskan ilmu silat kepadanya.

   Maka dengan cepat Bong Thian-gak menjawab.

   "Apa yang diduga Sinceng memang benar, orang yang mencuri kitab itu memang dia orang tua."

   Ku-lo Hwesio memejamkan mata rapat-rapat, dia lantas bertanya.

   "Mengapa kau merasa yakin?"

   "Suatu waktu tatkala dia orang tua sedang memberi pelajaran ilmu silat kepadaku, beliau telah mewariskan ketujuh kupasan ilmu itu dengan catatan aku hanya boleh menghafal tidak boleh melatihnya dengan akibat bisa mendatangkan bibit bencana. Pada saat itu meski aku merasa heran, besar kemungkinan ilmu itu adalah Tat-mo-khi-kang."

   Paras muka Ku-lo Hwesio segera nampak berseri, tanyanya dengan cepat.

   "Ko-siauhiap, apakah kau masih hapal semua ilmu itu?"

   Bong Thian-gak menjawab.

   "Ai, waktu itu dia orang tua berkata, hanya menghapal dan jangan dilatih, karena bisa mengakibatkan bencana, oleh sebab itu Wanpwe merasa ilmu itu tak ada gunanya, maka aku tidak mengingatnya secara baik, bahkan dua-tiga bagian yang tei akhir berhubung ada huruf dan kata yang asing, seperti bukan huruf Han, pada hakikatnya sulit buatku untuk mengingatnya."

   Mendengar itu Ku-lo Hwesio menghela napas panjang.

   "Sayang, sayang sekali, kalau begitu ilmu Tat-mo-khi-kang tak pernah akan menjadi utuh ... perkataan Ko-siauhiap memang benar, kitab pusaka Tat-mo-khi-kang memang ditulis sendiri oleh Tat-mo Cosu pendiri kuil Siau-lim-si kami, ketika itu semua tulisan dicatat dalam huruf negeri Thian-tiok sehingga sulit bagi orang yang tidak memahami. Selama ratusan tahun belakangan ini, banyak sudah tokoh Siau-lim-si yang mendalami ilmu itu, namun selama ini hanya seorang saja yang berhasil hingga mendalami tingkat ketujuh, sebab kecuali tingkat satu sampai tingkat tujuh yang ada terjemahannya dalam bahasa Han, dari tingkat delapan sampai sepuluh memang ditulis dalam huruf Sansekerta!"

   "Kecuali tiga bagian yang terakhir tidak mampu Wanpwe hafalkan secara baik, empat bagian yang pertama mungkin masih bisa diingat dengan baik."

   Dengan gembira Ku-lo Hwesio berkata.

   "Bagus sekali kalau begitu, berarti dunia persilatan bisa ditolong."

   Cepat Bong Thian-gak berkata.

   "Walau Locianpwe sudah terkena pukulan Soh-li-jian-yang-sin-kang, belum tentu luka itu menyebabkan kematian, sebab Wanpwe mempunyai cara untuk menyelamatkan Locianpwe, sekarang paling baik kalau kita mengobati dulu luka yang diderita Locianpwe."

   "Ko-siauhiap, dengarkan baik-baik,"

   Ku-lo Hwesio berkata dengan cemas.

   "Kematian Pinceng tiada sesuatu yang perlu disayangkan, persoalan yang paling Pinceng kuatirkan adalah hilangnya Tat-mo-khi-kang ini dari dunia persilatan, sebab hanya ilmu Tat-mo-khi-kang yang merupakan dasar ilmu silat, asal Tat-mo-khi-kang ini bisa diwariskan kepada seseorang, maka ilmu sesat macam apa pun jangan harap bisa menandinginya."

   "Oleh sebab itu sekarang aku harus memanfaatkan kesempatan yang amat pendek ini untuk mewariskan ketiga bagian Tat-mo-khi-kang itu kepadamu, asal kau mampu menguasai ilmu itu, berarti dunia persilatan akan menemukan bintang penolong."

   Bong Thian-gak tahu Ku-lo Hwesio tidak percaya bila dia mampu menyembuhkan luka itu, dalam keadaan demikian dia tak berani lagi mengungkapkan bahwa Jit-kaucu sebetulnya belum mati.

   Kini ia dihadapkan pada persoalan yang sukar untuk diputuskan.

   Terdengar Ku-lo Hwesio berkata.

   "Pinceng pun mempunyai cara untuk mengobati luka ini, tapi tidak terlalu yakin, maka Pinceng lebih suka mengorbankan nyawaku daripada membuang waktu dengan percuma. Ko-siauhiap, kau orang pintar, kau harus mempunyai pilihan yang tepat. Sekarang cepat kau kumpulkan semua perhatian dan pikiranmu untuk mendengar pelajaranku ini .... Semua orang yang berada di loteng harap mengundurkan diri dari sini dan jaga keamanan di sekitar pagoda ini, jangan biarkan orang memasuki tempat ini."

   Begitu Ku-lo Hwesio selesai berkata, Ho Put-ciang sekalian segera beranjak dan mengundurkan diri dari situ. Bong Thian-gak segera berteriak.

   "Ho-bengcu, jangan pergi dulu, aku masih ada persoalan yang hendak disampaikan."

   Dengan paras muka serius, Pa-ong-kiong Ho Put-ciang berpaling, kemudian sahutnya.

   "Ko-siauhiap, bila kau tidak memiliki keyakinan seratus persen, lebih baik menurut saja perkataan Sinceng." "Sinceng adalah tokoh persilatan yang berilmu tinggi, apakah kita harus membiarkan dia mati begitu saja?"

   "Sinceng setia kawan dan rela mengorbankan jiwa, lebih baik Ko-siauhiap pusatkan segenap perhatianmu ...."

   Belum selesai berkata, dia sudah membalikkan badan dan mengundurkan diri dari situ.

   Bong Thian-gak berpaling ke arah Ku-lo Hwesio, dilihatnya pendeta itu sedang memejamkan mata, kulit mukanya yang kurus kering nampak kekuning-kuningan, tak tahan lagi ia berbisik.

   "Locianpwe!"

   Kembali ia menjatuhkan diri berlutut di hadapannya.

   Ternyata pada saat itu Bong Thian-gak teringat cara penyembuhan yang diajarkan Jit-kaucu Thay-kun kepadanya, untuk menyembuhkan luka Ku-lo Hwesio memang belum tentu bisa.

   Berada dalam keadaan seperti ini, dia tak berani banyak bicara, ditambah Ku-lo Sinceng telah memusatkan perhatiannya mewariskan Ilmu rahasia itu.

   "Tingkat pertama Tat-mo-khi-kang berbunyi. Dasar pernapasan melupakan akar kepandaian, kendorkan badan, atur pernapasan, aliran darah harus dasar...."

   Dalam kejutnya, cepat Bong Thian-gak duduk bersila di atas tanah dan mulai memejamkan mata mengikuti pelajaran itu dan dihapalkan dalam hati.

   Sepatah demi sepatah Ku-lo Hwesio membaca rahasia Tatmo- khi-kang dengan sabar dan jelas.

   Sementara Bong Thian-gak juga menghimpun segenap pikiran dan perhatiannya mendengarkan dan mengingat sambil memahami.

   Dalam waktu singkat kedua orang itu seakan-akan lupa akan segala persoalan, mereka memusatkan pikiran dan pendengaran dalam mempelajari kepandaian sakti Tat-mo-khikang, biar di samping mereka ada suara ledakan keras pun belum tentu mereka mendengar.

   Waktu berlalu dengan cepat....

   Tengah hari telah lewat ...

   matahari pun mulai tenggelam, Ku-lo Hwesio dan Bong Thian-gak yang berada di atas loteng masih melanjutkan pelajaran Tat-mo-khi-kang, Bong Thiangak mengulangi ketiga tingkat ilmu itu, kemudian kedua pihak saling membahas dan memecahkan.

   Dalam pada itu Pa-ong-kiong Ho Put-ciang dan para jago yang ada di luar pendopo tak berani lengah, tak pernah mengendorkan tugas mengawasi dan melindungi daerah sekitar situ, sekeliling pendopo dijaga sedemikian ketatnya ibarat sebuah benteng yang terbuat dari baja.

   Kini senja telah lewat, namun Ku-lo Hwesio dan Bong Thian-gak yang berada di atas loteng masih belum nampak sesuatu gerakan.

   Pada saat itulah dari depan halaman gedung Bu-lim Bengcu tiba-tiba berkumandang suara tambur bertalu-talu, menunjukkan keadaan dalam bahaya.

   Mendengar tanda bahaya itu, paras muka Ho Put-ciang dan sekalian jago segera berubah hebat.

   Dengan cepat Ho Put-ciang menurunkan perintah.

   "Ada musuh tangguh menyerang gedung Bu-lim Bengcu, harap semua orang tetap berjaga di sini, Yu-heng! Oh-sumoay, kalian berdua menengok keadaan di luar, segera utus orang untuk memberi laporan!"

   Toan-cong-hong-liu Yu Heng-sui dan Oh Cian-giok menerima perinlah dan segera berangkat menuju ke halaman depan. Kemudian Ho Put-ciang berkata kepada Thia Leng-juan.

   "Thiaheng, harap naik ke loteng dan bertahan di anak tangga, Goan-ko Taysu dan Ang Thong-lam berjaga di pintu gerbang, sedangkan Ui-hok Totiang, Yu-koancu dan aku bertiga masing-masing bertahan pada tiga lorong tembus halaman samping."

   Ho Put-ciang tak malu disebut pemimpin dunia persilatan, selain reaksinya cepat, perintahnya tegas.

   Begitu menerima perintah, kawanan jago segera membubarkan diri untuk melakukan tugasnya masing-masing.

   Dalam tempo singkat suasana berubah menjadi tegang, seram dan mengerikan.

   Dari depan gedung sana lamat-lamat terdengar suara benturan senjata, teriakan, jerit kesakitan serta gelak tawa melengking seperti jeritan setan dan lolong serigala.

   Begitu mendengar suara gelak tertawa yang mengerikan itu, paras muka Ho Put-ciang berubah hebat, ternyata dari gelombang suara tertawa lawan yang melengking, Ho Putciang tahu musuh memiliki tenaga dalam yang luar biasa.

   Mendadak dari luar halaman sana terdengar suara langkah kaki berlari mendekat, ternyata orang itu adalah Oh Cian-giok.

   Ho Put-ciang menyongsong kedatangannya sambil bertanya.

   "Sumoay, musuh tangguh darimanakah yang telah menyantroni kita?"

   Paras muka Oh Cian-giok pucat-pias seperti mayat, sahutnya dengan cemas.

   "Tenaga dalam pihak lawan sangat tangguh, dalam sekejap ia telah melukai dua puluh orang pengawal gedung ... Ji-suheng telah terjun ke gelanggang, tapi agaknya dia tak sanggup bertahan."

   "Hanya seorang?"

   "Ya, hanya seorang! Musuh berperawakan tinggi besar kurus seperti mayat hidup." "Yang datang pasti tak bermaksud baik, yang bermaksud baik tak akan datang, musuh berani menyerang gedung Bulim Bengcu sudah pasti kepandaian silatnya amat lihai, dengan kemampuannya sudah pasi i para pengawal gedung tak mampu bertahan, daripada korban berjatuhan lebih banyak, cepat turunkan perintah agar semua mundur ke dalam, suruh Yu-sute segera mundur kemari!"

   
Pendekar Cacad Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Baru saja Oh Cian-giok mendapat perintah dan berlalu, mendadak berkumandang gelak tawa yang tajam menyeramkan dan memekakkan telinga.

   Sesosok bayangan orang secepat sambaran kilat sudah meluncur datang dari arah depan sana.

   Dengan terkejut Pa-ong-kiong Ho Put-ciang membentak keras.

   "Siapa yang datang? Harap melaporkan nama!"

   Di tengah bentakannya, dua gulung tenaga pukulan yang maha dahsyat sudah dilontarkan ke depan.

   Ilmu silat orang itu betul-betul sangat lihai, tubuhnya yang sedang meluncur datang itu sudah berjumpalitan dan meloloskan diri dari sambaran kedua gulung serangan maut itu, kemudian tubuhnya melayang turun.

   Tidak begitu saja, mendadak lengannya yang panjang diayun melepaskan segulung pukulan hawa dingin dari kejauhan, berbareng badannya meluncur ke arah sebelah kiri.

   Ho Put-ciang adalah seorang Bu-lim Bengcu, pengetahuannya tentu saja sangat luas, begitu menyaksikan datangnya pukulan hawa dingin musuh, dia segera tahu serangan itu beracun.

   Dalam keadaan begini, dia tak berani menyambut datangnya serangan itu dengan kekerasan, cepat badannya mundur.

   Posisi dimana Ho Put-ciang mundur persis menyambut datangnya serangan musuh dari sebelah kiri.

   Agaknya orang itu tidak menyangka gerakan tubuhnya yang begitu cepat bisa dihadang oleh lawan.

   Dalam keadaan tertegun, dia segera menghentikan gerak badannya dan tak melakukan serangan lagi.

   Dengan demikian Ho Put-ciang dapat melihat jelas paras muka pendatang itu dengan jelas.

   Musuh mempunyai sepasang mata cekung ke dalam, kedua bola matanya berwarna hijau, rambutnya panjang terurai sebahu, tidak laki tidak perempuan, perawakannya tinggi ceking hingga pada hakikatnya tinggal kulit pembungkus tulang, ibarat bambu menancap di atas tanah saja.

   Yang paling istimewa adalah sepasang tangannya yang begitu panjang hingga terkulai melebihi lutut, dilihat dari kejauhan bentuknya menyerupai dua kaki cadangan.

   Makhluk aneh itu melototi wajah Ho Put-ciang dengan bola matanya yang hijau mengerikan, kemudian sambil tertawa seram, ia berkata.

   "Kaukah Bengcu baru dari gedung Bu-lim Bengcu ini?"

   Paras muka Ho Put-ciang amat serius, jawabnya cepat.

   "Benar, akulah Ho Put-ciang, tolong tanya siapa nama anda?"

   "Hehehe ...."

   Orang aneh itu tertawa seram.

   "Aku adalah Liok-kaucu (ketua nomor enam) Put-gwa-cin-kau!"

   Mendadak dari delapan penjuru gedung Bengcu berkumandang suara tambur yang dibunyikan bertalu-talu. Paras muka Ho Put-ciang segera berubah hebat, tegurnya tanpa terasa.

   "Berapa orang yang dikirim Put-gwa-cin-kau kemari hari ini?"

   "Untuk melenyapkan gedung Bu-lim Bengcu dari muka bumi, buat apa mesti mengutus banyak orang?"

   Jawab Liokkaucu dengan suara menyeramkan.

   "Liok-kaucu dan Kiu-kaucu (ketua nomor sembilan) dari Put-gwa-cin-kau pun sudah lebih dari cukup!" "Hanya kalian berdua?"

   Tegur Ho Put-ciang pula dengan kening berkerut kencang.

   Rupanya dari empat penjuru gedung Bu-lim Bengcu sudah terdengar suara pertempuran yang berlangsung amat seru, agaknya di seputar gedung sudah kedatangan musuh dalam jumlah banyak.

   Liok-kaucu tertawa.

   "Masih ada lagi tiga orang pengawal tanpa tanding yang biasanya mengawal di samping Congkaucu."

   "Kalau begitu dari perkumpulan kalian telah datang lima orang jago bukan?"

   "Benar."

   "Hm, hanya mengandalkan kekuatan lima orang perkumpulan kalian pun sudah ingin menumpas gedung Bulim Bengcu, apakah kalian tidak merasa perbuatan itu benarbenar kelewatan."

   Liok-kaucu tertawa dingin.

   "Hehehe, apabila tidak percaya, mengapa tidak dilihat sendiri?"

   Mendadak pada saat itulah dari depan sana berlarian mendekat Oh Cian-giok, dengan napas tersengal-sengal dia berkata.

   "Lapor Toa-suheng, Ji-suheng telah dilukai olehnya. Dari arah timur, barat, utara dan selatan telah muncul musuh tangguh melancarkan serbuan, pengawal gedung kita banyak yang terluka dan tewas."

   Paras muka Ho Put-ciang berubah amat serius, katanya kemudian dengan suara dalam.

   "Cepat turunkan perintah agar semua pengawal mengundurkan diri, tak usah menghalangi serbuan musuh!"

   Tindakan yang dilakukan oleh Ho Put-ciang ini memang sangat lumrah, pada saat itu segenap kekuatan inti gedung Bu-lim Bengcu dipusatkan di sekitar loteng itu untuk melindungi keselamatan Bong Thian-gak, mereka boleh dibilang tak mampu bergeser dari posisi masing-masing, itulah sebabnya satu-satunya jalan yang bisa mereka tempuh adalah membiarkan musuh menyerang sampai ke halaman itu, kemudian para jago berusaha membendung serbuan lawan.

   Jika tidak demikian, mereka akan terkena siasat memancing harimau turun gunung yang sengaja dilakukan pihak lawan.

   Liok-kaucu tertawa seram.

   "Hehehe, bocah perempuan jangan pergi dulu!"

   Di tengah bentakannya, lengan kiri diayun ke muka melancarkan sebuah pukulan dahsyat, langsung menghantam tubuh Oh Cian-giok yang berada di depannya.

   Ho Put-ciang sama sekali tidak menyangka pihak lawan bakal melancarkan serangan ke arah Oh Cian-giok, buru-buru teriaknya.

   "Sumoay, jangan kau sambut serangan itu!"

   Sayang terlambat, diiringi jeritan tertahan, tubuh Oh Ciangiok sudah tertumbuk oleh angin pukulan itu hingga mencelat dan roboh terkapar di atas tanah. Ho Put-ciang gusar, dengan suara menggeledek ia membentak nyaring.

   "Tua bangka sialan, kau berani berbuat kejahatan?"

   Dengan garang dia menubruk ke depan, kelima jari tangan kanannya diputar melepas lima gulung desiran angin tajam yang secara langsung menghajar bagian mematikan tubuh lawan.

   Serangan Ho Put-ciang yang dilancarkan dalam keadaan gusar ini menggunakan ilmu silat perguruannya yang paling hebat, yakni ilmu Thi-ciang-sin-ci (Telapak tangan baja jari sakti).

   Lima gulung desiran angin tajam dengan kecepatan tinggi langsung meluncur ke depan dan menghajar lawan.

   Liok-kaucu bukan orang bodoh, agaknya dia tahu juga kelihaian jurus ini, sambil tertawa seram, telapak tangannya secara beruntun melancarkan beberapa serangan berantai, sementara kaki juga berputar secepat sambaran petir, menjauh dari serangan lawan.

   Melihat serangan dahsyatnya tidak mengenai sasaran, Ho Put-ciang siap menerjang ke depan, tiba-tiba terdengar Ui-hok Totiang dari Bu-tong-pay berkata.

   "Ho-bengcu, cepat ke depan dan periksa luka adik seperguruanmu itu, biar Pinto yang menghadapi lawan!"

   Sementara itu Ui-hok Totiang dengan pedang terhunus sudah memburu ke depan, pedangnya diputar menciptakan beribu titik cahaya bintang, kemudian bersama-sama menggulung ke tubuh Liok-kaucu.

   Ui-hok Totiang adalah jago pedang kenamaan dari Bu-tongpay, ilmu pedangnya sudah tentu lihai sekali, begitu turun tangan dia segera mengembangkan ilmu pedang Thay-khekkiam- hoat yang lihai.

   Hawa dingin yang lembut menyusul gelombang pedang yang datang menggulung, langsung mengurung sekujur tubuh lawan secara ketat.

   Ho Put-ciang tahu akan kesempurnaan tenaga dalam Uihok Totiang, kendati bukan tandingan musuh, untuk sementara tak sampai kalah, maka buru-buru dia menghampiri Oh Cian-giok.

   Tampak paras muka si nona pucat-pias oleh penderitaan yang hebat, dia sedang meronta dari tanah dan duduk.

   Ho Put-ciang segera membimbingnya sembari menegur.

   "Sumoay, parahkah lukamu?"

   Oh Cian-giok menggerakkan bibir seperti hendak mengucapkan sesuatu, tapi kemudian dia memuntahkan darah segar dan tak sadarkan diri.

   Ho Put-ciang benar-benar sakit hati menyaksikan kejadian itu, sambil membopong tubuh Oh Ciang Giok, dengan cepat dia melayang masuk ke dalam loteng sebelah timur.

   Pendekar sastrawan dari Im-ciu Thia Leng-juan yang bertugas di loteng segera menegur dengan cemas.

   "Bagaimana keadaan Oh-sumoay?"

   "Thia-tayhiap, lindungi keselamatan Sumoayku ini, keadaan di luar amat gawat, mungkin pihak musuh akan melancarkan sergapan kilat."

   Belum habis dia berkata, Goan-ko Taysu dari Siau-lim-pay yang bertugas di depan pintu gerbang berteriak.

   "Sicu, harap berhenti!"

   Segera Ho Put-ciang membaringkan tubuh Oh Cian-giok ke atas tanah, lalu mengangkat kepala.

   Entah sejak kapan di depan pintu telah muncul orang berbaju hitam berkerudung yang menggembol sepasang pedang di punggung, orang itu sedang berjalan menuju pintu gerbang dengan langkah lebar.

   Goan-ko Taysu cepat bertindak, dia melejit ke depan dan menghadang di depan pintu gerbang.

   Orang berkerudung berbaju hitam itu membungkam dalam seribu bahasa, begitu melangkah ke depan, mendadak ia mendesak sambil melancarkan terkaman, sepasang telapak tangan diayunkan kian kemari, secara beruntun dia telah melepaskan tiga serangan berantai ke arah Goan-ko Taysu.

   Ketiga serangan itu hampir semuanya merupakan jurus serangan yang lihai, setiap gerakan dilancarkan dari sudut yang tak terduga, meluncur datang secara beruntun dalam waktu singkat, seluruh angkasa bagaikan diselimuti oleh hawa serangan yang tajam.

   Ho Put-ciang dan Thia Leng-juan yang melihat situasi itu amat terperanjat, mereka tahu Goan-ko Taysu bakal celaka.

   Betul juga, Goan-ko Taysu tak mampu menghindarkan diri dari ketiga serangan itu, bahu kirinya kena pukulan hingga mundur dengan sempoyongan dan terjatuh menindih palang pintu sebelah kiri.

   Dengan gusar Ho Put-ciang membentak.

   "Siapa kau?"

   Secepat kilat tubuhnya menerjang ke depan, telapak tangan kirinya menciptakan beribu bayangan telapak tangan yang menyelimuti angkasa, segulung demi segulung diayunkan ke depan tiada hentinya.

   Serangan yang dilancarkan ini ibarat hembusan angin lembut di musim semi, meluncur dan menyapu tiada hentinya, dalam satu gebrakan saja seolah-olah terdiri dari seribu pukulan.

   Selapis hawa pukulan yang dahsyat ibarat amukan ombak di tengah badai, menggulung ke depan mengikuti gerak serangan tadi.

   Mencorong sinar tajam yang menggidikkan dari balik mata orang berkerudung berbaju hitam itu, bentaknya dengan suara rendah.

   "Ah, Te-jian-thian-ciu-jian-jiu (Seribu telapak tangan mengguncang bumi mengaduk langit)."

   Tubuhnya tidak mundur, malah maju dan langsung menyongsong datangnya serangan itu, tiba-tiba sepasang lengannya bergetar secara aneh.

   Beberapa benturan nyaring berkumandang.

   Akibat benturan itu, orang berkerudung berbaju hitam maupun Ho Put-ciang sama-sama tergetar mundur tiga langkah.

   Paras muka Ho Put-ciang diliputi rasa kaget dan tercengang, dia tak menyangka pihak musuh dapat menyebut nama pukulan sakti yang digunakannya itu dalam waktu cepat, bahkan berhasil pula mematahkan serangan Te-jian thian-ciu-jian-jiu yang sudah puluhan tahun lamanya merajai dunia persilatan.

   Sesungguhnya siapakah orang ini? Ho Put-ciang membelalakkan mata mengawasi lawan tanpa berkedip, apa mau dikata, muka lawan ditutupi cadar hitam yang tebal menutupi seluruh wajah aslinya.

   Mendadak orang berkerudung menggerakkan telapak tangannya ke belakang bahu, dua bilah pedang pendek yang memancarkan cahaya tajam langsung digenggam di telapak tangan kiri dan kanan.

   Kemudian tubuhnya menerjang ke muka, tanpa mengucapkan sepatah kata pun sepasang pedangnya menusuk dada Ho Put-ciang.

   Ho Put-ciang tahu tenaga dalam lawan sangat lihai, gerak serangannya mungkin menggunakan jurus yang amat sederhana dan biasa, namun hakikatnya cukup mematikan siapa pun yang berani menghadapinya.

   Menyaksikan datangnya tusukan pedang yang menyambar amat cepat itu, serta-merta ia mundur dua langkah.

   Siapa tahu jurus serangan orang itu hanya jurus tipuan belaka, di saat Ho Put-ciang mundur, sepasang bahunya bergerak dan menerobos masuk melalui sisi kiri-kanan Ho Putciang, langsung menerjang ke arah mulut tangga.

   Pada waktu itu Thia Leng-juan telah bersiap siaga menghadapi segala kemungkinan, sambil menghentak kipas di tangan menciptakan berlapis-lapis bayangan serangan yang mengancam berpuluh titik darah penting di separoh bagian tubuh orang berkerudung itu.

   Dengan cekatan orang itu membalik badan menghindari serangan kipas Thia Leng-juan, bersamaan pula sepasang pedang di tangannya diputar secepat kilat, gerakan pedang bergetar bagaikan cahaya bintang membelah angkasa.

   Jurus pedang dipakai menghindar, juga untuk melancarkan serangan ini betul-betul luar biasa hebatnya.

   Thia Leng-juan merasa terkecoh oleh gerakan lawan.

   "Crit", tak ampun lengan kirinya tersambar oleh sabetan pedang lawan hingga terluka memanjang ke bawah, darah segar segera muncrat membasahi seluruh lengannya. Rasa kaget Ho Put-ciang kali ini benar-benar luar biasa, dia tak mengira pihak musuh memiliki ilmu silat yang begitu lihai, sadarlah jagoan ini bahwa keadaan yang dihadapi hari ini sangat gawat. Berada dalam situasi seperti ini, dia tidak peduli kedudukan lagi, sekali melompat tahu-tahu tubuhnya sudah melayang turun di samping Thia Leng-juan, maksudnya mereka akan menggunakan kekuatan dua orang untuk bersama-sama menghadapi serangan musuh. Orang berkerudung itu tertawa dingin, jengeknya.

   "Apabila kalian berdua tahu diri, cepatlah melarikan diri! Kalau tidak, hm ... hm ... sudah pasti kalian akan terkubur di sini!"

   "Siapa kau? Mengapa tidak kau tunjukkan paras aslimu?"

   Tegur Ho Put-ciang.

   "Hm, aku adalah komandan nomor dua pasukan pengawal tanpa tanding Put-gwa-cin-kau!"

   Ho Put-ciang tahu tak mampu memaksa lawan mengutarakan nama aslinya, maka dia bertanya lagi.

   "Apakah kau adalah pimpinan penyerbuan ke gedung Bu-lim Bengcu malam ini?"

   "Benar, akulah orangnya!"

   "Apa maksudmu menyerbu gedung Bu-lim Bengcu malam ini?"

   Orang berkerudung itu tertawa riang.

   "Untuk membalas dendam kematian Sam-kaucu!"

   Sahutnya.

   "Akulah orangnya yang telah membunuh Sam-kaucu, bila ada persoalan boleh disampaikan kepadaku,"

   Seru Ho Putciang dengan suara berat dan dalam. Orang berkerudung tertawa dingin.

   "Hehehe, hanya mengandalkan kemampuan Ho-bengcu seorang juga ingin membunuh Sam-kaucu kami? Hm ... hm ... pembunuhnya terdiri dari empat orang, yang menjadi otak pembunuhan ini adalah Ku-lo Hwesio dari Siau-lim-pay, pembunuhnya adalah Ho-bengcu, Thia Leng-juan serta seorang yang bernama Ko Hong!"

   Terkejut juga Ho Put-ciang mendengar perkataan itu, katanya dengan kening berkerut.

   "Benar, kami bertiga pembunuhnya, mau apa kau sekarang?"

   "Siapa berhutang nyawa, dia harus membayar dengan nyawa, kalian bertiga harus mengembalikan nyawa Samkaucu!"

   "Sekarang kalian harus mengundurkan diri dari gedung Bengcu lebih dulu, besok kami bertiga pasti akan menanti kedatanganmu."

   Kembali orang berkerudung tertawa dingin.

   "Hehehe, masih ada satu hal lagi, aku hendak berjumpa dengan Ku-lo Hwesio!"

   Baru selesai dia berkata, dari atas loteng berkumandang suara sahutan seseorang dengan suara nyaring.

   "Belum lama Ku-lo Sinceng telah kembali ke alam baka, sayang kedatanganmu terlambat!"

   Ucapan itu kontan membuat ketiga orang yang berada di situ menjadi amat terperanjat, Ho Put-ciang dan Thia Lengjuan serentak berpaling ke belakang.

   Ternyata orang yang barusan berbicara adalah Bong Thiangak, saat ini dia sedang berdiri di mulut anak tangga dengan wajah murung, sedih dan pedih.

   Thia Leng-juan berseru.

   "Ko-heng, apakah Ku-lo Supek dia orang tua ...."

   "Ai ... dia orang tua telah menghembuskan napasnya yang penghabisan,"

   Jawab Bong Thian-gak sambil menghela napas sedih.

   Pendekar Cacad Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Walaupun Ho Put-ciang dan Thia Leng-juan sudah tahu Kulo Hwesio bakal tewas akibat luka parah yang dideritanya, namun tidak menduga kepergiannya begitu cepat, maka mendengar jawaban itu mereka malah tertegun sampai tak tahu apa yang mesti dilakukan.

   Dengan sinar mata tajam dan menggidikkan, orang berkerudung mengawasi Bong Thian-gak dari ujung kepala sampai ujung kakinya, Kemudian menegur dengan dingin.

   "Kaukah yang bernama Ko Hong?"

   "Ya, akulah orangnya!"

   Jawab Bong Thian-gak hambar.

   Sejak tiba di situ, sikap maupun gerak-gerik orang berkerudung itu amat angkuh, jumawa dan tidak pernah memandang sebelah mata terhadap orang lain, tapi jawaban Bong Thian-gak sekarang justru terasa pula amat menghina dan memandang rendah lawan.

   Kontan dia tertawa terkekeh-kekeh seram, kemudian menegur lagi.

   "Aku dengar Sam-kaucu tewas di tanganmu, benarkah itu?"

   "Semua iblis dan siluman yang bergabung dalam Put-gwacin- kau bakal mampus di telapak tanganku!"

   Ucapan itu segera disambut orang berkerudung dengan gelak tawa.

   "Sudahkah kau mendengar suara jeritan ngeri dan lolong kesakitan yang berkumandang dari luar sana? Hahaha, tahukah kau malam ini gedung Bu-lim Bengcu akan berubah menjadi gedung mati!"

   Sementara itu suara bentrokan nyaring, jeritan ngeri dan rintih kesakitan masih berkumandang tidak hentinya dari luar sana, jelas halaman depan gedung sudah berubah menjadi ajang pertarungan yang amat sengit.

   Mendadak Bong Thian-gak berkata dengan suara dalam.

   "Ho-bengcu, Thia-tayhiap, cepat keluar membantu rekanrekan lain, serahkan orang itu kepadaku!"

   Ho Put-ciang sudah mendengar jeritan ngeri dan rintih kesakitan yang berkumandang dari kawanan jago di luar ruangan, namun dia kuatir musuh yang dihadapinya ini berilmu silat kelewat tinggi hingga Thia Leng-juan tak mampu menghadapinya, itulah sebabnya dia tak berani gegabah.

   Kini mendengar ucapan itu, segera ujarnya kepada Thia Leng-juan.

   "Thia-heng, kau tetap tinggal di sini membantu Kosiauhiap, aku akan keluar membantu mereka!"

   Seusai berkata, Ho Put-ciang segera melompat ke udara dan menerobos keluar melalui pintu gerbang utama.

   Di dalam ruang gedung bertingkat itu sekarang tinggal Thia Leng-juan, Bong Thian-gak dan orang berkerudung berbaju hitam.

   Sementara itu Bong Thian-gak sudah melangkah turun dari anak tangga, kemudian tegurnya dengan suara dingin.

   "Ada urusan apa kau hendak berjumpa dengan Ku-lo Sinceng?"

   Dengan sepasang pedang terhunus, orang berkerudung berdiri tegak di tempat, dia menjawab.

   "Aku hendak memeriksanya, apakah dia benar-benar Ku-lo Sinceng ataukah bukan!"

   "Dia adalah Ku-lo Sinceng yang keasliannya terjamin, sedikit pun tak bakal salah!"

   "Kau mengatakan Ku-lo Hwesio telah mati, sekarang dimanakah jenazahnya?" "Jenazah Sinceng tidak boleh dipertontonkan di hadapan kaum kurcaci dan sampah masyarakat seperti kau."

   Orang berkerudung tertawa seram.

   "Hehehe, aku tak percaya kau mampu menghalangi jalan pergiku."

   Bicara sampai di situ pedang pendek di tangan kirinya segera diayun menciptakan beribu bayangan pedang, sementara pedang di tangan kanannya secepat kilat menusuk ke dada Bong Thian-gak.

   Dua jurus serangan pedang yang amat dahsyat digunakan secara bersamaan, kedahsyatannya benar-benar tak boleh dianggap enteng.

   Bong Thian-gak menyaksikan jurus pedang itu dengan berkerut kening, kemudian serunya sambil tertawa dingin.

   "Mundur!"

   Dia bukannya mundur, namun malah maju, tangan kanan diayunkan ke depan menyongsong datangnya tusukan pedang kanan orang berkerudung, sementara tangan kiri secepat kilat mencengkeram urat nadi pergelangan tangan kiri lawan.

   Sekali pun serangannya dilancarkan belakangan, tetapi sampai sasaran lebih dahulu, berbareng badannya turut menerobos maju.

   Tatkala Thia Leng-juan menyaksikan orang berkerudung itu melancarkan serangan tadi, sesungguhnya dia pun hendak turun tangan mengerubut, akan tetapi setelah menyaksikan jurus serangan yang digunakan Bong Thian-gak ternyata jauh lebih tangguh dari lawan, dia malah tertegun.

   Tampaknya orang berkerudung cukup tahu kelihaian serangan itu, cepat dia menarik kembali sepasang pedangnya sambil mundur.

   Dengan sinar mata mencorong, rasa kaget dan tercengang, ia segera bertanya.

   "Ilmu silat apakah ini?"

   Bong Thian-gak tertawa dingin.

   "Hehehe, inilah ilmu Tatmo- boan-sian-jiu dari Siau-lim-pay. Hari ini jangan harap kau bisa meloloskan diri dari maut."

   Seusai berkata, tubuh Bong Thian-gak bagaikan anak panah yang terlepas dari busurnya langsung menerjang ke depan, sepasang telapak tangannya diayun berulang kali melepaskan tiga serangan berantai.

   Ketiga serangan itu seluruhnya gerakan yang aneh dan sakti, seperti pukulan telapak tangan dan juga bagai ilmu mencengkeram Kim-na-jiu yang amat dahsyat.

   Orang berkerudung membentak dingin, sepasang pedangnya meluncur ke depan dengan pancaran sinar tajam yang membias kemana-mana, dengan pedang mengunci telapak tangan, secara beruntun dia melancarkan tiga bacokan berantai dan maha dahsyat.

   Gerak serangan yang digunakan kedua orang itu samasama dilakukan dengan kecepatan luar biasa, sekali pun tenaga dalam Thia Leng-juan amat sempurna, masih susah untuk melihat perubahan jurus yang digunakan mereka.

   Kedua orang itu telah beralih dua kali dari posisi semula.

   Mendadak terdengar orang berkerudung mendengus tertahan, sambil menarik kembali pedang, ia mundur empat langkah, sepasang matanya memancarkan rasa kaget dan tercengang.

   Pada saat itulah tiba-tiba Bong Thian-gak menyaksikan Oh Cian-giok yang sedang berbaring tak berkutik di sisi kiri anak tangga, dalam kagetnya dia segera menyelinap ke depan sana sambil bertanya.

   "Thia-tayhiap, mengapa dengan nona Oh?"

   Setelah ditegur, Thia Leng-juan baru teringat pada Oh Cian-giok yang terluka parah, segera sahutnya.

   "Nona telah dihantam musuh hingga terluka parah!"

   Oh Cian-giok adalah adik seperguruan Bong Thian-gak, sejak kecil mereka dibesarkan bersama dalam gedung Bengcu, hubungan batin kedua insan ini pun boleh dibilang cukup mendalam.

   Maka sewaktu Bong Thian-gak menyaksikan gadis itu tergeletak tak berkutik di atas tanah dengan wajah pucat dan noda darah membasahi bibir, dia menjadi sangat gelisah.

   "Siapa yang telah melukainya?"

   Ia menegur.

   Dalam pada itu tangan kanan Bong Thian-gak sudah memegang nadi pergelangan tangan Oh Cian-giok, sembari memeriksa denyut nadinya, dengan sorot mata penuh amarah dia pelototi wajah orang berkerudung tanpa berkedip, hawa membunuh menyelimuti wajahnya.

   Tiba-tiba orang berkerudung berpekik nyaring, dengan sepasang pedangnya diluruskan ke depan, secepat sambaran petir ia menerjang ke arah Bong Thian-gak.

   Perubahan yang amat mendadak dan di luar dugaan ini sungguh membuat Thia Leng-juan tertegun dan dalam posisi tak memungkinkan hakikatnya mustahil baginya memberikan bantuan.

   Dalam terperanjatnya, jagoan ini segera berteriak.

   "Koheng! Terdengar Bong Thian-gak mendengus tertahan, bahu kirinya yang tak sempat menghindar kena tertusuk pedang lawan, darah segera memancar keluar bagaikan semburan mata air. Tapi di saat bersamaan tangan kanan Bong Thian-gak diayunkan pula ke depan melancarkan sebuah pukulan dahsyat. Kembali terdengar dengus tertahan menggema. Pedang pendek orang itu terlepas, sementara tubuhnya terpental ke belakang dan darah segar muntah dari mulutnya. Kemudian dengan sepasang bahu yang gemetar keras dan tubuhnya yang sempoyongan, mendadak ia membalikkan badan dan kabur dari ruangan itu. Sebenarnya Thia Leng-juan ingin mengejar, namun berhubung dia sangat menguatirkan luka yang diderita Bong Thian-gak, maka dengan cepat dihampirinya anak muda itu sembari menegur.

   "Ko-heng, parahkah luka yang kau derita?"

   Darah kental mengucur dari bahu kiri Bong Thian-gak dan membasahi lantai, sudah jelas luka yang dideritanya itu cukup parah.

   Dengan cepat Bong Thian-gak menggunakan jarinya menotok beberapa jalan darah penting di tubuh sendiri, setelah menghentikan darah yang mengalir, sahutnya sambil tertawa rawan.

   "Thia-heng, aku tidak apa-apa, dia berilmu tinggi dan sangat hebat, bila sampai keluar dari sini, sudah pasti tiada orang yang mampu menahannya, tolong kau jaga baik-baik nona Oh, aku hendak keluar menghadapi musuh."

   Jeritan ngeri yang memilukan hati berkumandang susulmenyusul di luar sana, jelas orang berkerudung sedang melakukan pembantaian secara besar-besaran di sana.

   Thia Leng-juan yang menyaksikan luka Bong Thian-gak amat parah menjadi gelisah, serunya lagi.

   "Ko-heng, luka pedang itu sangat parah, harap kau balut dahulu luka itu, biar aku saja yang menyambut serangan mereka."

   Sementara itu Bong Thian-gak sudah bangkit, mendengar ucapan itu dia segera menggeleng, kemudian katanya dengan suara nyaring.

   "Kini darah sudah berhenti mengalir, luka ini pun tak akan merenggut nyawaku."

   Tidak sampai selesai perkataan itu diutarakan, tubuhnya sudah melompat keluar dari ruangan, ketika memandang ke depan ....

   Di tengah lapangan sedang berlangsung beberapa kelompok pertarungan, sementara di atas tanah tergeletak mayat-mayat para pengawal gedung Bu-lim Bengcu, darah yang menganak sungai, mayat membukit, membuat pemandangan di situ tampak sangat mengerikan.

   Sementara itu di luar lapangan sedang berlangsung pertarungan yang amat seru.

   Ho Put-ciang sedang bertarung melawan seorang gadis berbaju merah, dia adalah Kiu-kaucu Ni Kiu-yu.

   Hian-thian-koancu Yu Ciang-hong dari Khong-tong-pay sedang bertarung melawan seorang lelaki berbaju perlente.

   Goan-ko Taysu dari Siau-lim-pay dan Ang Thong-lam dari Tiam-jong-pay bersama-sama menghadapi lelaki berbaju perlente lainnya.

   Ui-hok Totiang dari Bu-tong-pay bertarung seorang diri melawan orang aneh berambut panjang, dialah Liok-kaucu Put-gwa-cin-kau.

   Sementara di luar arena pertarungan, di sekeliling lapangan berdiri berlapis-lapis para pengawal gedung bersenjata lengkap, namun waktu itu orang berkerudung berbaju hitam sudah menerjang masuk ke dalam kelompok pengawal gedung, pedang pendeknya yang tinggal sebelah membabat kian kemari tanpa tandingan, jeritan ngeri dan lolong kesakitan bergema silih berganti, darah segar pun bercucuran menganak sungai.

   Bong Thian-gak yang menyaksikan adegan itu menjadi gusar sekali, sambil berpekik nyaring ia melejit ke udara seperti burung alap-alap dan melayang turun di depan orang berkerudung.

   Melihat munculnya pemuda sakti ini, orang berkerudung menjadi ketakutan, cepat dia berteriak dengan keras.

   "Liokkaucu, Kiu-kaucu ... semuanya mundur!"

   Begitu perintah diturunkan, dia segera melejit lebih dulu dan melarikan diri dengan terbirit-birit dari tempat itu.

   "Mau kabur kemana kau?"

   Bentak Bong Thian-gak dengan suara menggeledek.

   Tubuhnya segera melejit ke udara dan melakukan pengejaran.

   Siapa tahu pada saat itulah berkumandang suara dengusan tertahan, tertampak Ui Hiok Totiang dari Bu-tong-pay yang sedang bertarung melawan Liok-kaucu kena dihajar oleh musuh sehingga mencelat ke udara dan langsung menumbuk tubuh Bong Thian-gak.

   Bong Thian-gak berjumpalitan, tangan kanannya dengan cepat menyambar ke muka mencengkeram tubuh Ui-hok Totiang, kemudian melayang turun ke permukaan tanah dengan tenang.

   Tampak paras muka Ui-hok Totiang pucat seperti mayat, kulit wajahnya mengejang penuh penderitaan, teriaknya dengan suara parau.

   "Terima kasih banyak, Ko-siauhiap ...."

   Belum habis dia berkata, orangnya sudah roboh tak sadarkan diri di atas tanah. Mendadak terdengar Pa-ong-kiong Ho Put-ciang berseru dengan suara lantang.

   "Biarkan musuh mengundurkan diri, jangan dikejar!"

   Dengan cepat Bong Thian-gak meletakkan Ui-hok Totiang ke tanah, baru saja dia akan melakukan pengejaran, ketika mendongakkan kepala, ternyata kawanan musuh yang sedang bertarung sengit sudah membubarkan diri, pertarungan telah berhenti, di bawah sinar kegelapan nampak para musuh sedang melarikan diri terbirit-birit meninggalkan tempat itu.

   Dalam waktu singkat bayangan tubuh mereka sudah lenyap.

   Kemudian dia saksikan Ho Put-ciang sedang berjalan mendekat dengan langkah sempoyongan, lalu ujarnya kepada Bong Thian-gak.

   "Ai ... korban yang berjatuhan kelewat banyak ... korban yang berjatuhan kelewat banyak...."

   Hanya ucapan itu saja yang mampu diucapkan, sementara air matanya berderai dengan deras.

   Ya, siapa bilang Enghiong tidak bisa mengucurkan air mata? Hanya saat bersedih saja ....

   Ketika jumlah korban dihitung ...

   ternyata tujuh puluh enam pengawal mendapat celaka, dua puluh lima orang menderita luka termasuk Toan-jong-hong-liu Yu Heng-sui, Oh Cian-giok dan lainnya, semuanya mencapai seratus tujuh orang.

   Lima musuh ternyata dalam waktu satu jam berhasil menciptakan korban seratus tujuh orang, prestasi itu benarbenar merupakan suatu peristiwa yang memilukan.

   Paras muka Bong Thian-gak pucat-pias seperti mayat, dia mengangkat kepala dan memandang sekejap tumpukan mayat yang berserakan dimana-mana, mendadak mencorong sinar tajam dan buas penuh dendam dari balik matanya, ia berdiri tegak di tempat tanpa mengucapkan sepatah kata pun.

   Yu Ciang-hong, Goan-ko Taysu dan Ang Thong-lam bersama-sama berjalan mendekat pula dengan kepala tertunduk sedih.

   Untuk beberapa saat suasana di situ diliputi kesedihan yang tebal.

   Helaan napas sedih bergema memecah keheningan, Thia Leng-juan berjalan keluar dari balik ruang loteng dengan langkah perlahan, katanya.

   "Hari ini seandainya Ko-heng tidak berada di sini dan memukul mundur lawan, korban yang berjatuhan dalam gedung Bengcu sudah pasti akan lebih banyak."

   Benar, lima orang musuh dari Put-gwa-cin-kau yang muncul itu, terutama orang berkerudung berbaju hitam benarbenar berkepandaian silat amat tinggi, pada hakikatnya tiada orang yang mampu memberikan perlawanan.

   Andaikata bukan Bong Thian-gak yang memukul mundur, akibat yang timbul sukar dilukiskan dengan kata-kata.

   Selang beberapa saat kemudian, pelan-pelan Pa-ong-kiong Ho Put-ciang berhasil menenangkan kembali gejolak perasaan sedih yang mencekam hatinya, melihat darah bercucuran dengan derasnya dari bahu kiri Bong Thian-gak, buru-buru dia menegur.

   "Ko-heng, parahkah luka yang kau derita?"

   "Gara-gara mengurusi nona Oh, Ko-heng telah kena ditusuk musuh,"

   Seru Thia Leng-juan dari samping.

   "Namun pihak lawan pun terkena pukulan Ko-heng, nampaknya tidak ringan luka dalam yang dideritanya, dia kabur sambil muntah darah."

   Bong Thian-gak menghela napas panjang.

   "Ai, walaupun orang itu terkena pukulanku hingga muntah darah, namun luka pada sisi perutnya tidak seberapa parah, ai ... kawanan siluman dari Put-gwa-cin-kau memang tangguh dan rata-rata berilmu tinggi, kenyataan ini di luar dugaan siapa pun."

   Sementara itu Ho Put-ciang telah berseru kepada para pengawal dengan suara nyaring.

   "Kalian harap segera membereskan jenazah rekan-rekan lain, usahakan menolong dan menyelamatkan jiwa mereka yang terluka terlebih dulu."

   Selewatnya pertempuran itu, kekuatan gedung Bu-lim Bengcu benar-benar menderita kerugian besar.

   Setelah memperoleh pengobatan dan perawatan yang tekun, Toan-jong-hong-liu Yu Heng-sui, Ui-hok Totiang dari Bu-tong-pay berhasil diselamatkan jiwanya.

   Hanya Oh Cian-giok yang menderita luka agak parah, sehingga meski sudah memperoleh pengobatan, ternyata belum sadar.

   Dalam pada itu para jago sudah berkumpul di bawah loteng.

   Dengan seksama Bong Thian-gak memeriksa denyut nadi Oh Cian-giok, kemudian ia bertanya lirih.

   "Dia terluka di tangan siapa?"

   "Cian-giok dan Ui-hok Totiang sama-sama terluka di bawah pukulan Liok-kaucu,"

   Jawab Ho Put-ciang cepat.

   "Dasar tenaga dalam nona Oh amat cetek, pukulan musuh telah melukai isi perutnya, bila ingin menyadarkan dia, kita membutuhkan seorang jago bertenaga dalam sempurna, dengan pengerahan tenaga melalui jalan darah Ciang-tay-hiat, gumpalan darah yang menyumbat dalam tubuhnya baru akan terbebaskan."

   "Ciang-tay-hiat terletak hanya dua inci di bawah puting susu orang, padahal Oh Cian-giok adalah seorang perawan, tentu saja sulit bagi seorang pemuda untuk memberi pertolongan."

   Tentu saja Ho Put-ciang cukup mengetahui pantangan itu, tapi dengan suara dalam dia berkata.

   "Demi menyelamatkan jiwa Sumoayku, harap kalian tak usah mempersoalkan pantangan lagi."

   
Pendekar Cacad Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Ho-bengcu, nona Oh adalah adik seperguruanmu, paling baik bila Ho-bengcu sebagai Toasuhengnya yang turun tangan memberikan pertolongan,"

   Usul Bong Thian-gak cepat. Ucapan itu menyulitkan Ho Put-ciang.

   "Aku tidak pandai ilmu pengobatan, bagaimana seandainya terjadi hal-hal yang tak diinginkan?"

   Serunya.

   "Nona Oh sudah dijodohkan dengan Yu-sute, seandainya luka yang diderita Yu-sute bisa cepat sembuh dan pulih, hal ini lebih baik lagi,"

   Sambung Thia Leng-juan.

   Mengetahui Oh Cian-giok sudah bertunangan dengan Yu Heng-sui, Bong Thian-gak menjadi sedih, murung dan kosong pikirannya.

   Di samping Suheng-moay sekalian, hanya Bong Thian-gak yang berhubungan agak rapat dengan Oh Cian-giok.

   Sejak kecil mereka sudah bermain dan bergurau bersama, di antara kedua orang itu sesungguhnya sudah tertanam semacam perasaan.

   Betul di antara mereka terjalin hubungan cinta, namun semacam perasaan senang tertanam juga di dalam hati kecil masing-masing.

   Seandainya Bong Thian-gak tidak diusir dari perguruan, tentu saja antara Oh Cian-giok dan Bong Thian-gak sudah merupakan sepasang kekasih ideal.

   Dalam pada itu Pa-ong-kiong Ho Put-ciang menggeleng kepala sambil berkata.

   "Yu-sute masih terluka, sekali pun bisa disembuhkan namun paling tidak masih membutuhkan waktu tiga-empat hari, apalagi tenaga dalamnya kurang sempurna, aku pikir lebih baik kita memohon bantuan Ko-siauhiap saja untuk mengobati Sumoay, cuma Ko-siauhiap menderita luka pada bahu kirinya ... apakah kau mampu memberikan pertolongan?"

   Bong Thian-gak segera menggeleng kepala berulang-kali.

   "Sampai besok aku baru bisa mengerahkan tenaga dalamku, namun luka nona Oh amat parah dan harus diobati sekarang juga, apabila tidak dilakukan pencegahan, bisa jadi keadaan lukanya akan mengalami perubahan."

   Ho Put-ciang berkata lagi.

   "Ai, walaupun antara kaum lelaki dan wanita dibatasi norma kesusilaan, namun tabib dan sebangsanya tidak terkena batasan itu, harap Ko-siauhiap sudi memberi pertolongan!"

   Sekali lagi Bong Thian-gak menghela napas.

   "Ai, keselamatan nona Oh berada di ujung tanduk dan memang tak bisa ditunda-tunda lagi, baiklah harap Ho-bengcu suka mengundang dua orang dayang untuk membantu!"

   Tentu saja semua orang tahu maksud Bong Thian-gak memanggil dua orang dayang itu. Ho Put-ciang manggut-manggut sembari berkata.

   "Sebelumnya atas nama Sumoayku, kuucapkan banyak terima kasih atas bantuan Ko-siauhiap!"

   Maka di bawah bimbingan beberapa orang dayang, Oh Cian-giok diantar menuju sebuah ruangan dan dibaringkan di atas ranjang, kemudian kecuali menahan Siau Kiok dan Siau Hiang, dua orang dayang kepercayaan Oh Cian-giok, para dayang lainnya segera diperintahkan meninggalkan tempat itu.

   Kedua dayang ini merupakan dayang-dayang cilik yang pernah melayani Oh Ciong-hu dahulu, tentu saja Bong Thiangak kenal mereka berdua.

   Dengan suara lirih Bong Thian-gak berkata kepada Siau Kiok dan Siau Hiang.

   "Sekarang harap kalian melepaskan dulu pakaian luar nona."

   "Ko-siangkong, luka yang kau derita amat parah, apakah tidak beristirahat terlebih dahulu?"

   Seru Siau Kiok merdu. Bong Thian-gak menggeleng.

   "Ah, hanya luka luar yang tak seberapa tidak menjadi soal."

   Siau Kiok mengedipkan mata setelah memandang sekejap ke arah Bong Thian-gak, katanya.

   "Ko-siangkong, kau mirip sekali dengan seseorang."

   "Mirip siapa?"

   "Su-suheng nona!"

   Bong Thian-gak terkejut sekali, dia tak menyangka Siau Kiok memiliki ketajaman mata luar biasa, untuk menutupi rasa kagetnya itu, dia tertawa tergelak.

   "Ah, jangan bergurau lagi, ayo kita segera turun tangan."

   Tiba-tiba Siau Kiok menghela napas sedih, kembali katanya.

   "Ai, sudahlah! Seandainya Bong Thian-gak masih hidup, mungkin Yu Heng-sui akan bersedih."

   Ucapan itu segera menggigilkan sekujur tubuh Bong Thiangak, diam-diam dia berpikir.

   "Entah apa maksud Siau Kiok berkata demikian? Mungkinkah Sumoay selalu teringat akan diriku?"

   Terbayang bagaimana dia dan Sumoaynya hidup berdampingan sejak kecil...

   segala sesuatunya terasa syahdu dan nyaman ....

   Bong Thian-gak masih ingat, suatu ketika ia bersama Sumoaynya bermain jadi pengantin, mereka berdua bersamasama tidur dalam gua yang dijadikan kamar pengantin mereka ....

   "Siangkong, apa yang sedang kau pikirkan? Pakaian luar nona sudah dilepas."

   Seperti baru tersadar dari impian, Bong Thian-gak berpaling.

   Tampaklah tubuh bugil Oh Cian-giok muncul di depan mata, kulit yang halus dan putih itu membuat gairah setiap pria ....

   Buru-buru Bong Thian-gak memejamkan mata rapat-rapat, lalu berkata lagi.

   "Sekarang lepas pakaian dalamnya, kemudian letakkan tangan kananku di atas jalan darah Ciangtay- hiat di atas payudaranya."

   "Ah, Siangkong benar-benar lelaki jujur,"

   Puji Siau Kiok. Sementara itu Bong Thian-gak telah memejamkan mata dan duduk bersila di sisi pembaringan, segenap perhatian terpusat menjadi satu, sementara hawa murninya dihimpun. Selang beberapa saat kemudian Bong Thian-gak bertanya.

   "Sudah siap?"

   "Sudah siap."

   "Kalau begitu, lakukan seperti apa yang kukatakan tadi!"

   Siau Hiang segera mengangkat telapak tangan kanan Bong Thian-gak dan pelan-pelan diletakkan di atas puting susu payudara sebelah kanan Oh Cian-giok.

   Hati Bong Thian-gak tergetar begitu tangannya menyentuh tubuh Oh Cian-giok.

   Untung Bong Thian-gak memiliki tenaga dalam sempurna, buru-buru dia memusatkan seluruh perhatiannya mengerahkan tenaga dalam.

   Tak selang lama kemudian, dari dasar telapak tangannya muncul segumpal bola api yang bergetar, membakar seputar payudara si nona.

   Telapak tangannya menggosok dan memijit payudara sebelah kanan si nona hampir seperempat jam lamanya, baru kemudian beralih ke atas jalan darah Ciang-tay-hiat pada payudara sebelah kiri.

   Entah berapa lama sudah lewat, akhirnya terdengar Oh Cian-giok merintih.

   Bong Thian-gak terkejut, buru-buru dia menarik tangannya dan turun dari pembaringan, bisiknya cepat.

   "Sebentar dia akan sadar, cepat kenakan pakaiannya, harap kalian jangan memberitahu kepadanya bahwa aku telah menyembuhkan lukanya."

   Selesai berkata, masih dalam keadaan terperanjat, dengan cepat Bong Thian-gak membuka pintu kamar dan berlalu dari situ. Tak lama setelah Bong Thian-gak keluar ruangan, Oh Ciangiok membuka mata sambil berkata dengan sedih.

   "Siau Kiok, barusan apakah Ko-siangkong?"

   Siau Kiok serta Siau Hiang sama-sama terperanjat, serentak berseru tertahan.

   "Nona telah sadar kembali?"

   Sambil tetap berbaring, Oh Cian-giok manggut-manggut.

   "Ya, sebelum dia berlalu tadi, aku telah mendusin, Ai! Dia benar-benar seorang Kuncu sejati."

   "Nona, enci Kiok bilang dia mirip sekali dengan Bong Thiangak,"

   Tiba-tiba Siau Hiang berkata. Perih hati Oh Cian-giok mendengar perkataan itu, tanyanya.

   "Bong Thian-gak? Maksudmu Suheng Bong Thiangak?"

   Siau Kiok mengerling sekejap ke arah Siau Hiang, kemudian buru-buru katanya.

   "Budak hanya merasa dia agak mirip dengan Bong-siangkong, aku pun hanya iseng bertanya saja!"

   "Lantas bagaimana jawabnya?"

   Tanya Oh Cian-giok gelisah.

   "Dia tidak menjawab."

   Mendadak Oh Cian-giok berseru tertahan, katanya.

   "Ya, ya, teringat aku sekarang, waktu dia baru datang ke gedung ini tempo hari, aku pun merasa seperti raut wajahnya kukenal, seperti pernah kujumpai di suatu tempat, namun tak bisa kuingat lagi. Ya, betul! Dia memang agak mirip dengan Susuheng Bong Thian-gak."

   Setitik sinar terang itu segera mengalutkan pikiran dan perasaan Oh Cian-giok, untuk beberapa saat dia melamun seorang diri.

   Dalam pada itu Bong Thian-gak telah meninggalkan ruangan kecil dan menuju ke ruang tengah.

   Di sana para jago sudah menunggu untuk merundingkan suatu masalah besar.

   Pa-ong-kiong Ho Put-ciang yang pertama-tama berdiri lebih dulu, segera tegurnya.

   "Apakah Oh-sumoay telah mendusin?"

   Bong Thian-gak mengangguk.

   "Ya, gumpalan darahnya telah hilang, sekarang kesehatannya sudah tidak membahayakan lagi."

   "Ko-siauhiap pasti sudah banyak kehilangan tenaga murni, silakan segera beristirahat!"

   Bong Thian-gak tersenyum.

   "Kesegaranku masih baik, bukankah begitu?"

   Sambil berkata dia lantas menatap orang-orang dengan sorot mata berkilauan, sedikit pun tidak menunjukkan keletihan. Hanya paras mukanya saja yang memang berwarna kuning pucat macam orang penyakitan. Thia Leng-juan memuji.

   "Ko-heng, sungguh amat sempurna tenaga dalammu, membuat orang kagum."

   "Ai, tampaknya tenaga dalamku telah memperoleh kemajuan pesat dalam sehari saja,"

   Ucap Bong Thian-gak sedih.

   "Padahal semua ini pemberian Ku-lo Sinceng."

   Bicara sampai di situ, Bong Thian-gak menghela napas panjang.

   "Sebelum menghembuskan napas penghabisan, Kulo Sinceng telah membantuku menembus urat mati hidupku, sehingga taraf tenaga dalamku mencapai suatu keadaan yang luar biasa. Budi kebaikan yang ditanam Sinceng kepadaku benar-benar tak terlupakan selamanya."

   "Ai, sekarang aku masih ada satu persoalan penting yang hendak kusampaikan kepada kalian." "Persoalan apa? Harap Ko-siauhiap suka menerangkan secara langsung,"

   Kata Ho Put-ciang.

   "Jit-kaucu belum mati!"

   Ucapan itu bagaikan guntur di siang hari bolong, seketika saja menggetarkan hati setiap orang yang hadir dalam ruangan itu.

   "Bukankah kematian Ku-lo Supek merupakan pengorbanan yang sia-sia,"

   Teriak Thia Leng-juan dengan suara menggeledek.

   "Sebenarnya luka Ku-lo Sinceng masih bisa disembuhkan, tetapi untuk membantu ilmu silatku, dia telah mengorbankan diri."

   "Ai, waktu itu luka yang diderita Sinceng amat parah, lagi pula dia menganggap Jit-kaucu sudah tewas di bawah pukulan Tat-mo-khi-kang, maka aku tak berani memberitahu yang sebenarnya kepada dia."

   "Tindakan yang diambil Ko-siauhiap memang benar, bagi orang yang berlatih silat, jika mengetahui kegagalan yang dideritanya, maka kekecewaan dan kesedihan yang dirasakan saat itu mungkin jauh lebih parah daripada mati,"

   Kata Ho Putciang. Bong Thian-gak manggut-manggut.

   "Sudah tujuh-delapan tahun lamanya Sinceng melatih diri untuk menguasai ilmu Tat-mo-khi-kang, tujuannya tidak lain adalah untuk mematahkan ilmu Soh-li-jian-yang-sin-kang dari Jit-kaucu."

   "Ai, apa mau dikata, Soh-li-jian-yang-sin-kang terlalu sempurna, sedangkan Tat-mo-khi-kang Sinceng baru mencapai tingkat ketiga, itulah sebabnya Ku-lo Sinceng mengalami kekalahan."

   Maka secara ringkas Bong Thian-gak mengisahkan pertarungan Ku-lo Sinceng melawan Jit-kaucu Thay-kun. Selesai mendengar kisah itu, dengan wajah serius, Ho Putciang berkata.

   "Dengan masih hidupnya Jit-kaucu, berarti dunia persilatan tak akan memperoleh ketenangan untuk selamanya!"

   Bong Thian-gak termenung sambil berpikir sejenak, kemudian katanya.

   "Bibit bencana yang sebenarnya bagi umat persilatan sekarang sesungguhnya bukan Jit-kaucu!"

   "Apa maksudmu?"

   Maka Bong Thian-gak menceritakan bagaimana dia menggali liang kubur, bagaimana bertarung dan berbincang dengan. Mendengar kisah itu, Thia Leng-juan lantas bertanya.

   "Koheng, menurut kau, Jit-kaucu adalah murid Jian-bin-hu-li Ban Li-biau?"

   Bong Thian-gak mengangguk.

   "Benar, pada usia lima tahun dia telah memperoleh warisan ilmu silat guruku yang kedua."

   "Lantas atas dasar apa Ko-heng mengatakan bibit bencana bagi dunia persilatan bukan Jit-kaucu?"

   Bong Thian-gak termenung beberapa saat lamanya, kemudian haru berkata.

   "Dari pembicaraan Jit-kaucu, pentolan atau dalang semua bencana di Bu-lim dewasa ini adalah orang yang mengajarkan ilmu silat kepadanya saat ini, yakni gurunya, Cong-kaucu Put-gwa-cin-kau!"

   "Ucapan Ko-siauhiap memang benar,"

   Ho Put-ciang manggut-manggut.

   "Tentang ilmu silat, kemungkinan besar ilmu Soh-li-jian-yang-sin-kang Jit-kaucu sudah jauh melampaui Cong-kaucu Put-gwa-cin-kau, tapi dari tindakan Jit-kaucu yang memberi petunjuk kepada Ko-siauhiap agar mengobati penyakit yang diderita Ku-lo Sinceng serta pertanyaan kepada Ko-siauhiap apakah dia adalah utusan rahasia Cong-kaucu ... hal itu membuktikan watak Jit-kaucu yang sebenarnya adalah saleh dan baik, dia terpaksa membunuh orang atas petunjuk serta desakan orang lain."

   "Apabila dugaanku tidak salah, tiap kali Jit-kaucu membunuh orang, hatinya merasa menyesal."

   Bong Thian-gak mengangkat kepala dan memandang sekejap ke arah semua orang, kemudian katanya.

   "Kalau dihitung, Jit-kaucu masih terhitung Sumoayku, aku berkewajiban menyelamatkannya dari jurang kehancuran, seandainya ia tak bisa dididik jadi baik, aku yakin masih mampu menandinginya."

   Bong Thian-gak berhenti sejenak, kemudian baru sambungnya.

   "Padahal hampir setiap orang yang tergabung dalam Put-gwa-cin-kau memiliki ilmu silat yang sangat lihai, dari kepandaian silat kelima orang itu boleh dibilang mereka adalah gembong-gembong iblis berilmu tinggi."

   "Kemampuan Cong-kaucu Put-gwa-cin-kau untuk menaklukkan serta mengendalikan kaum iblis di bawah kekuasaannya, bisa diduga sampai dimanakah kemampuannya? Ai ... apa yang diucapkan Ku-lo Sinceng memang benar, musuh paling tangguh bagi kita sesungguhnya adalah Cong-kaucu Put-gwa-cin-kau ... Ku-lo Taysu adalah tokoh agung dari Siau-lim-pay, mungkin dia telah menyiapkan segala sesuatunya untuk kita."

   Ho Put-ciang manggut-manggut membenarkan.

   Pendekar Cacad Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Ucapan Ko-siauhiap memang benar, beberapa hari berselang Sinceng memang telah memberi dua buah kantung kepadaku dan berpesan agar yang satu untuk Ko-siauhiap dan satu untukku. Dia orang tua berpesan kantung hanya boleh diserahkan kepada Ko-siauhiap, bila dia sudah berpulang alam baka. Tadi oleh karena ada serangan musuh tangguh, aku telah melupakan hal ini."

   Mendengar ucapan itu, segera terlintas rasa girang di wajah Bong Thian-gak, serunya dengan cepat.

   "Ah, rupanya dugaanku memang benar, Sinceng telah menyiapkan segala sesuatunya."

   Sementara itu Pa-ong-kiong Ho Put-ciang sudah merogoh ke dalam sakunya dan mengeluarkan dua buah kantung yang terbuat dari kain yang amat indah. Ho Put-ciang mengambil satu di antaranya dan diserahkan kepada Bong Thian-gak, sambil berkata.

   "Yang ini buat Ko-siauhiap!"

   Bong Thian-gak menyambut kantung itu, lalu bertanya.

   "Apakah Ho-bengcu telah memeriksa isi kantung itu?"

   "Belum, Ku-lo Sinceng telah berpesan, apabila ia sudah kembali ke alam baka, isi kantung itu baru boleh dibuka, maka aku masih belum mengetahui apa isinya."

   "Sekarang mungkin kau sudah boleh membukanya, bukan?"

   Bong Thian-gak segera merogoh ke dalam kantung itu dan mengeluarkan isinya, ternyata di situ terdapat tiga pucuk sampul surat yang dilipat menjadi empat persegi, di antara sampul tertera huruf satu, dua dan tiga secara berurutan.

   Bong Thian-gak mengambil sampul surat pertama, kemudian membaca tulisan di atasnya.

   "Saat membuka sampul pertama, Sinceng sudah kembali ke alam baka."

   Pelan-pelan Bong Thian-gak merobek sampul itu, tampak di atas kertas dalam sampul tertulis beberapa huruf yang berbunyi.

   "Selamatkan Jit-kaucu!"

   Di sisi sebelah kiri ditulis nama, tertera pula dua deret kalimat yang ditulis dalam huruf kecil.

   "Bila Jit-kaucu sudah tewas sebelum kematian Pinceng, isi surat ini batal"

   Membaca petunjuk itu, untuk beberapa saat Bong Thiangak termenung dan mengerut dahi, dia seperti tidak memahami apa arti petunjuk itu.

   Waktu itu kendati para jago lain terdorong oleh rasa ingin tahu ingin turut membaca apa isi surat Ku-lo Sinceng, namun oleh karena bong Thian-gak bungkam seribu bahasa, maka tak seorang pun yang berani bertanya.

   Semua orang hanya mengawasi Bong Thian-gak dengan wajah termangu-mangu.

   Bong Thian-gak termenung sampai lama sekali, akhirnya dia meletakkan surat itu ke atas meja sembari berkata.

   "Silakan kalian baca isi surat itu, kemudian pikirkan apa artinya?"

   Sementara itu para jago sudah dapat melihat jelas tulisan itu, kontan semua orang mengerut dahi. Thia Leng-juan pun tidak habis mengerti, katanya kemudian.

   "Menyelamatkan Jit-kaucu? Tulisan itu mengandung dua arti yang berbeda, satu di antaranya adalah menyelamatkan roh atau jiwanya dan yang lain berarti menjaga keselamatannya."

   "Apa pula bedanya antara roh, jiwa dan keselamatan?"

   Tanya Goan-ko Taysu dari Siau-lim-pay keheranan.

   "Menyelamatkan roh atau jiwanya, berati Jit-kaucu sudah terlalu banyak membunuh orang, banyak melakukan kejahatan sehingga kita diharuskan membawanya dari jalan sesat kembali ke jalan yang benar serta tidak melakukan kejahatan lagi."

   "Kalau menolong keselamatannya berarti keselamatan jiwa Jit-kaucu terancam bahaya dan kita harus menolongnya, jangan sampai dia tewas terbunuh oleh orang lain." "Penjelasan Thia-tayhiap tepat sekali!"

   Seru Ang Thong-lam pula.

   "Memang tulisan itu bisa punya dua maksud, tapi dengan kedudukan Jit-kaucu sekarang, kecuali kita hendak membunuhnya, masa ada orang lain yang hendak membunuhnya pula?"

   "Ku-lo Supek adalah seorang pintar dan pandai menganalisa suatu keadaan, perintahnya memang mengandung arti mendalam, sehingga aku sendiri pun tak dapat memastikan."

   "Tulisan 'Selamatkan Jit-kaucu' memang mengandung arti yang dalam, untuk sementara waktu sulit bagi kita menduganya, aku rasa kita turuti saja perintahnya dan menyelamatkan Jit-kaucu,"

   Sela Ho Put-ciang. Sementara itu Bong Thian-gak sedang memejamkan mata sambil memutar otak memikirkan sesuatu. Setelah melalui pemikiran yang panjang, akhirnya Bong Thian-gak menghela napas panjang.

   "Ai, perintah Ku-lo Sinceng ini memang benar-benar sukar dipahami pikiran kita, ya, mungkin cuma waktulah yang bisa membuktikan hal ini!"

   "Kantung berisi surat yang ditinggalkan Ku-lo Supek untukku belum sempat kubuka, siapa tahu surat itu menyinggung tentang hal ini?"

   Kata Ho Put-ciang tiba-tiba. Selesai berkata dia segera mengambil kantung yang ditujukan kepadanya itu. Dalam kantung hanya tersimpan sepucuk surat saja, di atas sampul surat tertulis.

   "Surat wasiat Siau-lim Ku-lo."

   Membaca tulisan itu, hati semua orang bergetar keras, mereka berpikir.

   "Ternyata Ku-lo Hwesio telah mengetahui tentang kematiannya, maka dia sengaja menulis surat wasiatnya."

   Pelan-pelan Ho Put-ciang mengeluarkan surat dari dalam sampul dan membaca isinya yang berbunyi.

   "Siancayl Kehidupan di jagad ini berlangsung karena perputaran bumi, pertemuan antara unsur Im dan Yang serta perputaran lima unsur Ngo-heng, maka terwujudlah kehidupan yang ada di alam semesta ini dengan kehadiran manusia yang berakal budi. Takdir menetapkan kehidupan Ku-lo harus berakhir pada tahun Kau bulan Sin hari Cu dan saat Yu. Itulah sebabnya kematian Pinceng merupakan kemauan takdir. Ku-lo tahu pertempuran melawan Jit-kaucu akan lebih banyak bahayanya daripada keberuntungan, andaikata beruntung Pinceng bisa merenggut nyawa Jit-kaucu, maka pasti ia akan mati pada hari ini, kemungkinan besar situasi dunia persilatan akan berubah menjadi semakin tidak menguntungkan bagi kita. Sebaliknya jika Jit-kaucu tidak mati, sedang Ku-lo mati lebih dulu, hal ini bisa berakibat munculnya suatu perubahan besar. Cong-kaucu Put-gwa-cin-kau telah berhasil menciptakan seorang tokoh tangguh seperti Jit-kaucu dengan bekal ilmu Soh-li-jian-yang-sin-kang, bila ilmu itu mencapai tingkat kesepuluh, maka orang akan menjadi kebal dan tahan pukul maupun dibacok. Saat itulah bisa jadi Jit-kaucu akan menjadi seorang jagoan yang tak ada tandingannya di kolong langit. Itulah sebabnya bila Pinceng meninggal, sudah pasti Congkaucu Put-gwa-cin-kau akan berusaha keras melenyapkan Jit-kaucu guna menghilangkan bibit bencana di kemudian hari. Demi perubahan situasi dalam Bu-lim, terutama bagi keuntungan pihak kita, kalian harus berusaha sekuat tenaga untuk melindungi keselamatan jiwa jit-kaucu. Saat ini Cong-kaucu Put-gwa-cin-kau telah berhasil mempelajari berbagai macam ilmu sakti, hanya ilmu Soh-lijian- yang-sin-kang serta Tat-mo-khi-kang saja yang mampu membunuh biang keladi itu. Oleh sebab itu tugas pertama kalian adalah menyelamatkan Jit-kaucu terlebih dahulu. Ingati Ingati Dapatkah dunia persilatan kita dipertahankan? Semuanya tergantung pada tindakan ini."

   Setelah para jago membaca isi surat Ku-lo Hwesio, hampir semuanya terkejut bercampur kagum.

   Sudah jelas terbukti sekarang bahwa dalam pertarungan Ku-lo Hwesio melawan Jit-kaucu, agaknya pendeta itu tidak bermaksud membinasakan perempuan itu.

   Dengan kening berkerut Ho Put-ciang berkata.

   "Ku-lo Supek pandai ilmu rahasia langit, dari isi surat wasiatnya, bisa diduga dia sudah tahu siapa gerangan Cong-kaucu Put-gwacin- kau itu."

   "Ai, tak perlu ditebak lagi,"

   Ujar Bong Thian-gak sambil menghela napas panjang.

   "Mungkin dia orang tua sudah mengetahui dengan jelas segala sesuatu tentang Cong-kaucu Put-gwa-cin-kau itu."

   Mendadak Thia Leng-juan berkata.

   "Bukankah Ku-lo Supek masih memberi dua pucuk surat lagi untuk Ko-siauhiap? Bagaimana kalau Ko-siauhiap keluarkan surat itu dan sekalian diperiksa isinya?"

   Mendengar perkataan itu, Bong Thian-gak segera membuka sampul kedua dan sampul ketiga, namun di atas sampul itu ternyata sudah dicantumkan saatnya untuk membuka. Di atas sampul kedua ditulis dengan jelas saat untuk membuka surat itu.

   "Surat ini dibuka saat Mo-kiam-sin-kun Tio Tian-seng muncul."

   Sedangkan sampul ketiga bertuliskan.

   "Di buka saat hendak menaklukkan Cong-kaucu Put-gwacin- kau."

   Di samping lain sampul surat itu dicantumkan pula peringatan agar jangan membuka surat itu apabila saatnya belum sampai.

   Bong Thian-gak tentu saja tak berani melanggar peringatan itu, maka pemuda itu menyimpan kembali kedua pucuk surat itu.

   Mendadak Thia Leng-juan berseru tertahan.

   "Ah, mungkinkah Cong-kaucu Put-gwa-cin-kau adalah Mo-kiam-sinkun Tio Tian-seng?"

   "Dari surat wasiat Ku-lo Supek, tampaknya Cong-kaucu Put-gwa-cin-kau agak mirip dengan Tio Tian-seng,"

   Sahut Ho Put-ciang.

   "Aku rasa bukan Tio Tian-seng,"

   Seru Bong Thian-gak.

   "Atas dasar apa Ko-heng mengatakan bukan dia?"

   Tanya Thia Leng-juan cepat.

   "Seandainya orang itu adalah Tio Tian-seng, tak mungkin Ku-lo Sinceng jual mahal pada kita. Ai ... siapakah Cong-kaucu Put-gwa-cin-kau? Cepat atau lambat kita akan mengetahui juga. Persoalan paling penting yang harus kita hadapi sekarang adalah bagaimana caranya melaksanakan perintah Sinceng serta menyelamatkan jiwa Jit-kaucu."

   Hian-thian-koancu Yu Ciang-hong yang selama ini hanya membungkam mendadak berkata.

   "Ah, agaknya Cong-kaucu Put-gwa-cin-kau akan mulai melaksanakan rencananya membunuh Jit-kaucu begitu mendengar berita kematian Sinceng, bisa jadi saat ini Cong-kaucu sudah berada di kota Kay-hong."

   Bong Thian-gak manggut-manggut.

   "Ya, benar! Tujuan yang sesungguhnya serbuan musuh ke gedung bu-lim Bengcu hari ini adalah untuk mencari tahu mati-hidup Ku-lo Sinceng, ya ...

   segala sesuatunya memang berjalan seperti apa yang di tulis Sinceng dalam surat wasiatnya, kalau begitu kita tak boleh ayal dalam usaha kita menyelamatkan jiwa Jit-kaucu."

   "Tapi tindakan apakah yang harus kita ambil? Harap kalian semua sudi mengajukan pendapat,"

   Seru Ho Put-ciang. Dengan suara berat Thia Leng-juan berkata.

   "Ku-lo Supek telah menyerahkan isi kantung itu kepada Ko-heng, jelas tugas ini hanya Ko-heng seorang yang mampu memikulnya, mana mungkin orang lain bisa mencampurinya."

   Seperti menyadari sesuatu, Pa-ong-kiong Ho Put-ciang berkata, betul, tampaknya Ku-lo Supek sudah tahu Jit-kaucu pun ahli waris Jian-bin hu-li Ban Li-biau seperti juga halnya Ko-siauhiap."

   "Ai, Ku-lo Sinceng benar-benar merupakan tokoh sakti yang luar biasa,"

   Kata Bong Thian-gak.

   "Tampaknya ia sudah tahu asal-usul semua lnknh di Bu-lim."

   "Ai, kematiannya benar-benar merupakan suatu kerugian besar bagi dunia persilatan."

   "Dalam surat wasiatnya, Ku-lo Supek berpesan bahwa kematian merupakan kemauan takdir, apakah seorang kaisar bisa memperpanjang usianya bila saat ajalnya sudah tiba? Kosiauhiap, aku rasa kau tak perlu bersedih karena kematiannya!"

   "Jika begitu aku harus segera mencari Jit-kaucu sekarang juga."

   "Aku rasa persoalan ini pun tak perlu dikerjakan terlalu tergesa-gesa, kini luka pada bahu kiri Ko-siauhiap masih belum sembuh, lagi pula telah berjuang sehari semalam, tak ada salahnya kau beristirahat dulu selama tiga-empat hari sebelum melakukan sesuatu tindakan."

   "Luka yang kuderita tidak jadi soal. Yang kukuatirkan sekarang seandainya orang-orang Put-gwa-cin-kau melakukan penyerbuan sekali lagi kemari."

   Ho Put-ciang tertawa sedih.

   "Walaupun pada pertempuran hari ini pihak gedung Bengcu menderita kerugian besar, tapi asalkan yang datang bukan Cong-kaucu atau Jit-kaucu Put-gwa-cin-kau, gedung Bengcu yakin masih bisa mempertahankan diri."

   Bong Thian-gak termenung beberapa saat, kemudian katanya pelan-pelan.

   "Ho-bengcu, ada satu hal perlu kuingatkan kepadamu, ketahuilah bahwa dalam gedung Bu-lim Bengcu sekarang bersembunyi seorang pentolan Put-gwa-cinkau, kalau tak salah pentolan itu adalah Cap-go-kaucu! Aku harap kau bertindak lebih waspada."

   


Kaki Tiga Menjangan -- Chin Yung Beruang Salju -- Sin Liong Bandit Penyulam -- Khu Lung

Cari Blog Ini