Ceritasilat Novel Online

Pendekar Cacad 6


Pendekar Cacad Karya Gu Long Bagian 6



Pendekar Cacad Karya dari Gu Long

   

   "Jikaucu lelah datang!"

   Thay-kun tertawa getir.

   "Duduknya persoalan sudah jelas sekarang, Ji-kaucu sengaja diutus untuk menghadapi diriku."

   "Apa maksudmu berkata demikian?"

   Jit-kaucu Thay-kun menghela napas sedih.

   "Ai, Cong-kaucu tahu Ji-kaucu merupakan satu-satunya orang yang bisa menandingi diriku, ai! Aku sama sekali tidak menduga Ji-kaucu bisa begitu cepat muncul di kota Kayhong." "Aku mendapat pesan terakhir dari Ku-lo untuk melindungimu, aku bersumpah akan melaksanakan perintah ini dengan sebaik-baiknya,"

   Kata Bong Thian-gak nyaring.

   "Sekali pun Ji-kaucu memiliki tiga kepala enam lengan, aku tetap bertekad untuk bertarung sampai titik darah penghabisan dengannya."

   "Kemampuan Ji-kaucu sedikit sekali yang kau ketahui, padahal menurut taktik ilmu pertempuran dikatakan, 'Tahu kekuatan sendiri labu kekuatan lawan, setiap pertarungan tentu akan menang'. Ai, seandainya malam nanti terjadi sesuatu yang luar biasa. Keng-tim Suthay dapat menyampaikan segala sesuatunya kepadamu."

   "Barusan aku suruh He Hong mengundangmu kemari, maksudku lak lain adalah ingin menyuruh kau meninggalkan perkampungan ini secepatnya, selama hidup aku belum pernah memohon bantuan kepada orang lain, sekarang aku ingin memohon kepadamu, bersediakah kau menuruti perkataanku?"

   Mendengar perkataan itu, Bong Thian-gak tertawa.

   "Aku pun belum pernah memohon kepada orang lain, tapi sekarang aku sangat berharap kau sudi mengizinkan diriku untuk mendampingimu, bersediakah kau?"

   Tiba-tiba sepasang biji mata Jit-kaucu Thay-kun berkacakaca, hampir saja titik air mata jatuh berlinang membasahi pipinya, dengan sedih dia berkata.

   "Bila demikian, maka hanya jalan kematian saja yang akan kau peroleh, bila kau dan aku mati masih tidak menjadi masalah, tapi kalau sampai beriburibu umat persilatan diperbudak selamanya oleh orang Putgwa- cin-kau ... Suheng, selama bukit tetap hijau, tak usah takut kehabisan kayu bakar, pergilah kau!"

   "Mengapa kita tidak pergi bersama-sama?"

   Kata Bong Thian-gak dengan cepat.

   "Aku ingin melanjutkan cita-cita Ku-lo Sinceng melenyapkan Ji-kaucu dari muka bumi."

   "Bila Ji-kaucu mati bersamamu, lalu siapa yang akan melenyapkan Cong-kaucu dari muka bumi?"

   Jit-kaucu termenung sambil berpikir beberapa saat lamanya, kemudian ujarnya setelah menghela napas panjang.

   "Ai, kalau begitu, aku akan membeberkan segala sesuatu mengenai Ji-kaucu."

   Baru saja berbicara sampai di situ, dia berhenti sejenak sambil berkata dengan gelisah.

   "Mereka telah datang."

   Sembari berkata telapak tangannya segera diayunkan ke depan, serentak api lilin dipadamkan.

   Bong Thian-gak sudah beberapa kali bertemu Jit-kaucu Thay-kun, tapi setiap saat dia selalu bersikap tenang bila menghadapi persoalan, selamanya belum pernah menunjukkan kepanikan serta ketegangan seperti apa yang diperlihatkan sekarang, mungkinkah Ji-kaucu benar-benar lihai? Belum habis ingatan itu melintas, mendadak terdengar seseorang berseru dengan suara rendah.

   "Ji-kaucu tiba!"

   "Sumoay, bagaimana dengan diriku?"

   Bong Thian-gak berseru dengan cepat.

   "Tetap tinggal di sini dan jangan sembarangan bergerak, mereka masih belum mengetahui kehadiranmu dalam perkampungan petani ini."

   "Andaikata pertempuran sampai berkobar, kehadiranku di sini pasti di luar dugaan orang."

   "Suheng, kau harus ingat, bahwa sekujur tubuh Ji-kaucu penuh dengan racun keji, dia dapat melukai orang tanpa wujud."

   Selesai berkata, dia bersama kedua orang dayangnya segera beranjak dari tempat duduk.

   "Kalian hendak kemana?"

   Bong Thian-gak bertanya.

   "Kami hendak keluar menyambut kedatangan Ji-kaucu."

   Begitulah, Jit-kaucu Thay-kun diiringi kedua dayang di kiri dan kanan pelan-pelan berjalan keluar ruangan itu.

   Dengan cepat Bong Thian-gak menyelinap ke bawah jendela, kemudian mengintip melewati celah-celah jendela.

   Bayangan orang nampak bermunculan di luar pintu, dua puluhan orang mengiringi sebuah tandu yang amat besar.

   Jit-kaucu Thay-kun berdiri menanti di depan halaman.

   Ketika sampai di depan pintu gerbang, tandu besar itu baru berhenti, sementara dua puluhan orang yang berada di sekelilingnya menyebar ke kiri dan kanan membuat setengah lingkaran.

   Kepada tandu besar itu Thay-kun membungkukkan badan memberi hormat, kemudian katanya.

   "Jit-kaucu menyambut kedatangan Ji-kaucu."

   Ji-kaucu melangkah keluar dari tandunya, kemudian dengan suara menyeramkan berkata.

   "Aku ke kota Kay-hong untuk melaksanakan perintah Cong-kaucu, dipersilakan Jitkaucu mengikuti diriku kembali ke markas besar."

   Selesai berkata dia merogoh ke dalam sakunya, mengambil suatu benda dan dilemparkan ke hadapan Jit-kaucu.

   Di antara kilauan sinar lentera, ternyata benda itu adalah sebuah borgol emas.

   Jit-kaucu Thay-kun memandang borgol emas itu sekejap, kemudian dengan wajah tak berubah tanyanya.

   "Tolong tanya kesalahan apakah yang telah kulakukan? Mengapa Ji-kaucu datang menunjukkan borgol emas Put-gwa-cin-kau?"

   Sesungguhnya segenap anggota Put-gwa-cin-kau yang berada di sekeliling tempat itu, termasuk Liok-kaucu sendiri sama sekali tidak mengetahui apa maksud kedatangan Jikaucu ke tempat ini.

   Rupanya borgol ini merupakan alat hukuman tertinggi Putgwa- cin-kau, benda itu melambangkan kehadiran Cong-kaucu pribadi, oleh sebab itu siapa yang melihat borgol emas itu seperti juga mereka menjumpai Cong-kaucu pribadi.

   Dosa dan kesalahan apakah yang telah dilakukan Jit-kaucu? Tak seorang pun tahu.

   Sementara itu suasana arena diliputi keseraman dan ketegangan yang mencekam, setiap orang merasakan munculnya suatu tenaga tekanan yang amat berat menindih di atas dada masing-masing.

   Ji-kaucu membentak.

   "Setelah bertemu borgol Put-gwa-cinkau, mengapa kau tidak berlutut menerima hukuman? Tampaknya kau hendak membangkang perintah dan melakukan perlawanan?"

   "Sesudah menyaksikan borgol Put-gwa-cin-kau secara tibatiba, aku merasa seperti disambar geledek di siang bolong, itulah sebabnya aku harus menanyakan persoalan ini dengan jelas."

   Ji-kaucu tertawa dingin.

   "Baiklah, aku beritahukan kepadamu, kau telah melakukan pengkhianatan terhadap perkumpulan."

   "Pengkhianatan? Kapan aku mengkhianati perkumpulan?"

   Seru Jit-kaucu lantang. Kembali Ji-kaucu tertawa dingin.

   "Hehehe, sejak tiga tahun lalu kau sudah punya niat melakukan pengkhianatan. Bukti dan saksi semuanya sudah lengkap, apakah kau hendak membantah?" "Kalian mempunyai bukti dan saksi apa? Mengapa tidak segera diperlihatkan?"

   Mendadak Ji-kaucu berseru.

   "Undang kemari komandan Siau!"

   Seorang pengikutnya segera beranjak pergi dari situ. Suasana hening beberapa saat lamanya, kemudian terdengar Ji-kaucu berkata.

   "Secara diam-diam perkumpulan kita telah membentuk suatu organisasi kekuatan yang dipimpin langsung oleh Cong-kaucu sejak beberapa tahun berselang, adapun tugas organisasi itu adalah mengawasi gerak-gerik setiap anggota perkumpulan, komandan Siau adalah utusan khusus yang ditugaskan organisasi untuk mengawasi gerak-gerikmu, sebentar kau dapat mendengar laporannya."

   Sementara itu paras muka Jit-kaucu Thay-kun telah berubah menjadi amat serius, dia tidak nampak sesantai tadi, bukannya kuatir dia akan dijatuhi suatu tuduhan, melainkan kuatir semua rahasianya terbongkar. Mendadak terdengar seorang berseru lantang.

   "Komandan Siau tiba!"

   Tampak seorang berkerudung berjubah hitam, diiringi dua orang berbaju perlentee berkerudung pelan-pelan berjalan mendekat.

   Sepasang pedang masih tetap tersoreng di pinggang orang berkerudung berjubah hitam itu, setelah memberi hormat kepada Ji-kaucu, ujarnya kepada Jit-kaucu Thay-kun.

   "Pada tiga tahun berselang, Pun-tui-tiang (komandan) mendapat perintah dari Cong-kaucu untuk melakukan suatu tugas di Kamsiok bersama Jit-kaucu, siapa tahu Jit-kaucu lalai dalam tugas dan membiarkan musuh meloloskan diri, akibat kelalaiannya itu, tugas itu tak dapat terlaksana sebagaimana mestinya."

   Thay-kun tertawa dingin.

   "Hehehe, orang yang kulepas waktu itu adalah seorang perempuan yang bunting tua dan hampir melahirkan, darimana komandan Siau bisa membuktikan bahwa dia adalah musuh kita?"

   "Hasil dari pemeriksaan yang kemudian dilakukan membuktikan perempuan bunting tua itu adalah seorang dayang komandan ketiga pasukan pengawal tanpa tanding Nyo Li-beng yang berkhianat."

   Mendengar perkataan itu, Bong Thian-gak yang bersembunyi dalam ruangan terkesiap, segera pikirnya.

   "Nyo Li-beng? Bukankah nama asli Suthay Keng-tim adalah Nyo Libeng?"

   Sementara itu Jit-kaucu Thay-kun telah berkata lagi.

   "Bagaimana caramu membuktikan hal itu setelah berlangsungnya peristiwa itu?"

   Kembali orang berkerudung tertawa dingin.

   "Hehehe, setelah peristiwa itu, kami berhasil menangkap kembali perempuan itu, apa yang diakuinya sangat tidak menguntungkan kedudukan Jit-kaucu dalam perkumpulan."

   "Pengakuan yang diperoleh dengan cara menyiksa orang secara keji tak bisa dipercayai begitu saja."

   "Hm, sejak peristiwa itu, Jit-kaucu telah menunjukkan gejala pengkhianatan, diam-diam Cong-kaucu telah memerintahkan kepadaku unluk menyelidiki dan mengamati terus terang gerak-gerik Jit-kaucu."

   "Apa hasil penyelidikanmu itu?"

   "Aku berhasil mengetahui bahwa Nyo Li-beng masih hidup, Jit-kaucu pun mempunyai hubungan dengannya, bahkan sekarang sedang mempersiapkan suatu tindakan pengkhianatan."

   Dengan suara menyeramkan Ji-kaucu berkata pula.

   "Sejak kemarin malam aku sudah sampai di kota Kay-hong sambil secara diam-diam melakukan penyelidikan atas sejumlah persoalan, kubuktikan bahwa Jit-kaucu punya hubungan pula dengan pihak gedung Bu-lim Bengcu."

   "Beberapa hari berselang, ketika komandan Siau membawa pasukan menyerang gedung Bu-lim Bengcu, ternyata Jit-kaucu ada niat menghalangi usaha komandan Siau melakukan serangan terhadap gedung Bu-lim Bengcu."

   Jit-kaucu Thay-kun tertawa dingin.

   "Cong-kaucu telah melimpahkan kekuasaan penyerangan gedung Bu-lim Bengcu kepadaku, komandan Siau berani melakukan operasi sendiri, hal ini sudah berarti membangkang perintah. Waktu itu aku telah memperhitungkan kekuatan lawan dengan cermat, di dalam gedung Bu-lim Bengcu terhadap dua orang jago lihai yang menunjang kekuatan mereka, yakni Ku-lo Hwesio serta Ko Hong yang asal-usulnya tidak jelas. Oleh karena aku merasa bukan tandingan mereka, maka aku bermaksud mencegah mereka. Kita harus melakukan tindakan secara tidak gegabah."

   "Buktinya komandan Siau menderita luka parah di tangan Ko Hong sehingga harus menggeletak selama beberapa hari di atas ranjang, semua ini menunjukkan dugaanku sama sekali tak salah, mengapa kau malah menuduh aku melakukan suatu pelanggaran besar?"

   "Semenjak satu tahun lalu, Cong-kaucu telah memerintahkan dirimu menyusun rencana dan melenyapkan gedung Bu-lim Bengcu itu dari muka bumi, mengapa hingga kini kau masih belum menyelesaikan tugasmu itu? Tindakanmu yang sama sekali tidak mengacuhkan tugas dan tanggung-jawab ini sudah merupakan suatu kesalahan dan dosa besar." "Hehehe ...."

   Jit-kaucu Thay-kun tertawa dingin.

   "Bengcu gedung Bu-lim Bengcu yang lalu, Thi-ciang-kan-kun-hoan Oh Ciong-hu baru mati beberapa hari lalu, kini muncul seorang Ko Hong, coba kau bayangkan, dengan kekuatan yang kau miliki, bagaimana mungkin bisa menyelesaikan tugas itu secepatnya?"

   "Sejak delapan tahun berselang, Jit-kaucu telah melaporkan kematian Ku-lo Hwesio, akibat keteledoran itu Sam-kaucu kita yang berilmu tinggi harus menjadi korban, untuk keteledoran ini pun Jit-kaucu pantas menerima hukuman mati. Nah, apalagi yang hendak kau katakan sekarang? Mengapa tidak segera kau kenakan borgol emas itu? Apakah kau hendak menunggu aku turun tangan?"

   "Hm!"

   Jit-kaucu Thay-kun mendengus dingin.

   "Kecuali Cong-kaucu datang sendiri, kalau tidak, jangan harap aku sudi mengenakan borgol emas itu."

   "Hehehe, Cong-kaucu telah menduga kau akan melakukan perlawanan, ternyata dugaannya tepat. Itulah sebabnya Congkaucu melimpahkan kekuasaan paling tinggi untuk menentukan mati-hidupmu, jika kau melawan, terpaksa aku harus menurunkan perintah membinasakan dirimu!"

   Beberapa saat lamanya arena diliputi oleh suasana tegang.

   Ilmu silat Jit-kaucu Thay-kun bukan biasa-biasa saja, kecuali sekawanan jago lihai dari tingkat Kaucu, siapa yang berani mencari penyakit bagi diri sendiri?.oleh karena itu tak seorang pun dari antara kawanan jago Put-gwa-cin-kau berani mengambil tindakan secara gegabah.

   Mendadak Ji-kaucu menurunkan perintahnya.

   "Mo-ing-pathiong (Delapan jago irama iblis) terima perintah!"

   Begitu perintah diturunkan, mendadak dari balik kegelapan muncul delapan orang berjubah hijau yang membawa berbagai macam alat musik, bagaikan sukma gentayangan mereka muncul dari balik kegelapan dan secepat kilat melakukan pengepungan dari arah luar.

   Mungkin Ji-kaucu sudah menduga kemungkinan digunakannya kekerasan untuk menangkap Jit-kaucu Thaykun, maka sejak tadi kedelapan orang berjubah hijau ini sama sekali tidak menampakkan diri.

   Begitu perintah diturunkan, delapan orang berjubah hijau itu segera muncul dari arah yang berlawanan, dalam waktu singkat mereka telah mengepung Jit-kaucu serta kedua orang dayang berbaju biru itu di tengah arena.

   Peristiwa ini berlangsung sangat tiba-tiba, untuk beberapa saat Jit-kaucu Thay-kun tidak mengetahui bagaimana caranya mengatasi perubahan itu, apalagi gerakan tubuh mereka dilakukan dengan cepat.

   Menanti kedelapan orang berjubah hijau itu mengambil posisi masing-masing, gadis itu baru sadar dia sudah kalah posisi, diam-diam pekiknya dalam hati.

   "Aduh celaka!"

   Sementara itu Ji-kaucu segera mengunjuk senyuman licik penuh kebanggaan setelah menyaksikan kedelapan orang itu mengambiL-posisi masing-masing, pelan-pelan dia berkata.

   "Kini barisan Mo-ing-pat-hiong-tin telah terbentuk, jagoan yang bagaimana pun lihai jangan harap bisa meloloskan diri dari kurungan, Jit-kaucu lebih baik kenakan saja borgol emas itu tanpa melawan, siapa tahu Cong-kaucu masih mengingat hubungan kalian sebagai guru dan murid, lalu membebaskan dirimu dari hukuman mati."

   "Ji-kaucu,"

   Kata Jit-kaucu Thay-kun hambar.

   "dengan susah-payah kau menciptakan delapan manusia yang tak mirip manusia, setan tak mirip setan ini, apakah tujuannya untuk menandingiku?"

   Rupanya kedelapan orang itu semuanya berambut panjang terurai ke bahu, wajahnya jelek, betul-betul tiga bagian mirip manusia tujuh bagian mirip setan, ditambah lagi paras muka mereka berdelapan amat menyeramkan dan mengerikan, semua ini membuat bergidik bagi yang melihatnya.

   Sambil tersenyum Jit-kaucu berkata.

   "Ji-kaucu, kau orang pintar, tentunya kau tahu seluk-beluk ilmu silatku dengan jelas, namun aku tak akan membiarkan harapanmu tercapai begitu saja pada malam ini."

   "Hm, semua perkataan halus telah kugunakan, namun kau masih saja tak mau sadar akan kesalahanmu, baiklah, terpaksa aku akan membiarkan sepasang matamu terbuka."

   Bicara sampai di situ dia berpaling ke arah para jago lainnya dan menitahkan.

   "Kecuali Mo-ing-pat-hiong, yang lain diharap mundur."

   Para jago perkumpulan yang berada di sekeliling tempat itu segera menurut dan bersama-sama mengundurkan diri keluar arena.

   Hanya orang berkerudung berjubah panjang hitam dan Liok-kaucu berdua masih tetap berdiri di tempat.

   Mendadak Ji-kaucu berteriak dengan suara lantang.

   "Jitkaucu, dengarkan baik-baik, mengapa Kiu-kaucu bisa lenyap?"

   Begitu ucapan itu diutarakan, paras muka Jit-kaucu segera berubah hebat, kemudian serunya dingin.

   "Kau apakan Kiukaucu?"

   "Hm, main catur ada menang ada kalah, maka aku telah menjadikannya sebagai sandera."

   Jit-kaucu tertawa dingin.

   
Pendekar Cacad Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Hehehe, Kiu-kaucu tak pandai menjaga diri, kalau dia mati, itu kesalahannya sendiri, apa sangkut-pautnya dengan diriku?"

   Jit-kaucu Thay-kun tertawa ringan.

   "Cong-kaucu ingin melenyapkan aku seorang, tapi sudahkah dia pikirkan bahwa Put-gwa-cin-kau bakal menderita kerugian amat besar?"

   Ji-kaucu menarik napas dalam-dalam, lalu membentak dengan keras.

   "Mo-ing-pat-hiong, dengar baik-baik, tangkap perempuan ini hidup-hidup."

   Begitu perintah diturunkan, kedelapan orang berjubah hijau itu mulai bergerak maju. Mendadak terdengar Ji-kaucu membentak lagi.

   "Irama iblis mulai!"

   Perintah menggeledek disambut oleh kedelapan orang itu dengan memainkan delapan alat musik, dalam waktu singkat berkumandanglah permainan alat musik yang amat memekakkan telinga.

   Kedelapan alat musik itu adalah tambur, gembrengan, harpa, seruling dan lain sebagainya.

   Permainan irama musik mereka terdengar sangat aneh, entah irama lagu apakah yang sedang mereka bawakan.

   Pada mulanya semua orang masih belum merasakan apaapa, Thay-kun serta kedua orang dayang berbaju biru masih berdiri di tempat semula dengan gagah, semerttara mata mereka mengawasi kedelapan orang itu memainkan irama musik yang aneh dan tak sedap didengar itu.

   Mendadak suara gembreng dibunyikan bertalu-talu, menyusul kemudian tambur dipukul tiga kali....

   Mengikuti suara tambur tadi, jerit kesakitan yang memilukan bergema memecah keheningan.

   Kedua dayang berbaju biru yang berdiri di sisi Thay-kun segera memegang hulu hati masing-masing sembari berjongkok di tanah, wajah mereka pucat-pias seperti kertas, tampaknya mereka sedang merasakan suatu penderitaan yang luar biasa.

   "Aduh celaka!"

   Pekik Jit-kaucu Thay-kun setelah menyaksikan kejadian itu, ia segera membentak.

   "Cepat tutup lubang telinga kalian!"

   Baru habis berbicara, suara tambur kembali berkumandang.

   Bagaikan orang kerasukann setan, kedua dayang berbaju biru itu bergulingan di tanah sambil menjerit-jerit, tangan mereka mendekap hulu hati kencang-kencang, sementara badannya bergulingan ke sana-kemari, jelas kedua orang itu mengalami penderitaan hebat.

   Berada dalam keadaan seperti ini, Thay-kun tidak berkemampuan lagi untuk mengurusi kedua orang dayangnya, sebab di saat suara tambur itu berkumandang, dia sendiri pun merasakan semacam getaran keras yang melanda tubuhnya, serentetan pukulan keras tambur itu membuat jantungnya berdebar keras.

   Dalam posisi yang amat tidak menguntungkan ini, dia hanya bisa memusatkan segenap pikiran dan perhatiannya melawan suara itu, dia harus menenangkan pikiran dari pengaruh suara itu.

   Dengan tenaga dalamnya yang sudah sempurna, tidak sulit bagi Thay-kun untuk menghindarkan pengaruh suara iblis itu.

   Suasana menjadi tenang kembali, keadaan kini ibarat sebuah bukit batu karang, seakan-akan lupa segala-galanya.

   Tapi berbeda keadaannya dengan kedua dayang berbaju biru itu.

   Jeritan ngeri masih terdengar, sepasang tangan mereka mulai mencakar dada sendiri, sementara tubuhnya bergulingan ke sana kemari.

   Dalam waktu singkat pakaian bagian atas sudah terlepas.

   Tak selang beberapa saat kemudian kulit tubuhnya yang putih bersih itu sudah hancur oleh cakar-cakar mautnya, luka memanjang disertai cucuran darah memenuhi sekujur tubuh, sungguh mengerikan sekali keadaan mereka.

   Mendidih rasanya darah panas yang menggelora dalam dada Bone, Thian-gak menyaksikan kejadian itu, dia hendak mendobrak jendela menerobos keluar, namun setelah menyaksikan keadaan Thay-kun yang tenang dan berdiri kokoh bagaikan batu karang di tengah arena, tergetar hatinya, cepat dia berpikir.

   "Jelas kedua dayang itu sudah tak bisa tertolong lagi, satu-satunya tindakan yang harus kulakukan sekarang adalah mencari akal membongkar dan menghancurkan barisan ini, kemudian berusaha menolong Thay-kun dari ancaman bahaya."

   Sementara kedelapan orang itu menggeser barisan sembari tetap memainkan aneka alat musik itu.

   Akhirnya kedua dayang berbaju biru itu tak mampu menahan diri, mereka tewas dalam keadaan mengerikan, tubuh mereka yang telanjang bulat bermandikan darah terkapar tak berkutik di tengah arena.

   Pada saat inilah Bong Thian-gak sudah dapat melihat pergeseran barisan yang dilakukan kedelapan orang itu, menggunakan langkah Pat-kwa-tin.

   Penemuan yang di luar dugaan ini kontan menggirangkan hati Bong Thian-gak, diam-diam dia menggeser tubuhnya melompat keluar melalui jendela belakang, kemudian setelah melewati kebun ia menyusup ke balik kawanan orang yang sedang menonton jalannya pertempuran itu.

   Sementara itu para anggota Put-gwa-cin-kau yang berada di sisi arena terpukau oleh kehebatan ilmu barisan yang sedang berlangsung di tengah arena pertempuran, sudah barang tentu mereka tidak mengetahui Bong Thian-gak telah menyelundup di antara mereka.

   Bong Thian-gak lihat Thay-kun sedang bersiap melancarkan serangan.

   Berarti dia pun harus memanfaatkan kesempatan itu untuk melancarkan sergapan pula, kerja sama dalam waktu serta ketepatan tak boleh meleset sedikit pun.

   Sesungguhnya cara berpikir Bong Thian-gak ini memang benar, akan tetapi dia telah melupakan sekawanan pembunuh dari luar barisan, pembunuh yang sebenarnya bukan kedelapan orang berjubah hijau yang berdiri pada posisi barisan Pat-kwa, pembunuh yang sesungguhnya bukan lain daripada Ji-kaucu sendiri yang berada di luar barisan.

   Barisan ini bernama Pat-kwa-an-kiu-kiong-tin.

   Saat Jit-kaucu Thay-kun membuka mata itulah mendadak dia saksikan Ji-kaucu yang berada di luar arena sedang memandang ke arahnya dengan sorot mata setajam sembilu dan hawa membunuh yang menyala-nyala.

   Tergerak hatinya setelah menyaksikan kejadian itu, ia berseru tertahan dalam hati.

   "Ah, rupanya Pat-kwa-an-kiukiong- tin, habis sudah riwayatku kali ini!"

   Pat-kwa-an-kiu-kiong-tin merupakan barisan yang luar biasa, semacam siasat perang yang aneh, luar biasa, di luar dugaan dan teramat keji.

   Belum habis ingatan itu melintas dalam benak Thay-kun, tiba-tiba terdengar Ji-kaucu berpekik nyaring, kemudian tubuhnya melejit tinggi dan menerjang ke arah Jit-kaucu.

   Tak terlukiskan rasa terkejut Bong Thian-gak setelah menyaksikan kejadian ini, dengan cepat dia melejit pula ke udara dan menerjang ke tengah arena dari posisi lain.

   Dia telah mengambil keputusan untuk melakukan duel mati-hidup yang menentukan posisi kedua belah pihak.

   Arah sasaran Bong Thian-gak kali ini adalah kedelapan orang yang berada di luar arena, yang diterkam lebih dahulu adalah seorang berjubah hijau yang membawa seruling.

   Jeritan ngeri yang memekakkan segera berkumandang.

   Termakan oleh pukulan Bong Thian-gak yang maha dahsyat itu, orang berjubah hijau itu tergetar keras tubuhnya dan mencelat ke udara.

   Dengan berkurangnya salah satu kekuatan pada barisan Pat-kwa itu, kontan barisan menjadi kacau, namun pembunuh yang menempati barisan Kiu-kiong sama sekali tidak merasakan pengaruhnya.

   Tampak Ji-kaucu menerobos masuk ke dalam dengan kecepatan luar biasa.

   Diam-diam Thay-kun mengertak gigi, tangan kiri segera diangkat, cahaya merah memancar keluar dari balik telapak tangannya, ilmu Soh-li-jian-yang-sin-kang yang merajai kolong langit telah disiapkan.

   Ketiga orang itu masing-masing merupakan jagoan sakti dunia persilatan, pada saat bersamaan masing-masing mengeluarkan ilmu andalannya, untuk merobohkan musuh sebanyak mungkin.

   Untuk beberapa saat suasana menjadi kacau.

   Jerit kesakitan dan dengusan tertahan bergema, menyusul tubuh Bong Thian-gak berkelebat, satu demi satu musuh bergelimpangan.

   Munculnya Bong Thian-gak di arena pertarungan sama sekali di luar dugaan siapa pun, tak heran sergapannya segera menimbulkan kepanikan yang luar biasa.

   Sementara itu Ji-kaucu sudah menerobos masuk ke dalam arena, tampak ujung bajunya berhembus kian kemari, seperti segulung asap putih saja.

   Dalam waktu singkat tubuh Thay-kun dan Ji-kaucu sudah terkurung oleh asap tebal itu.

   Cahaya merah memancar keluar memenuhi angkasa, serangan Jian-yang-ciang dari Jit-kaucu Thay-kun tidak mengenai sasaran.

   Di tengah lapisan kabut yang sangat tebal, terdengar suara deru angin pukulan yang memekakkan telinga, jelas Jit-kaucu Thay-kun sudah terlibat dalam pertarungan yang amat seru.

   Mimpi pun Bong Thian-gak tidak mengira Ji-kaucu bakal mengeluarkan asap semacam itu, tatkala dia menyadari akan hal itu dan siap menerobos kabut itu, tubuh Thay-kun sudah mundur dari lapisan kabut dengan sempoyongan.

   Cepat Bong Thian-gak melompat maju, kemudian serunya dengan cemas.

   "Kau terluka?"

   "Aku terkena sergapan mereka, cepat kabur dari sini!"

   Seru Thay-kun gelisah.

   Dalam pada itu kawanan jago Put-gwa-cin-kau yang menonton jalannya pertarungan dari sisi arena telah melihat bayangan tubuh Bong Thian-gak, serentak mereka membentak nyaring, di tengah jeritan keras, dua puluh orang menerjang datang melakukan pengepungan.

   "Kalau harus mati biarlah kita mati bersama, kalau harus pergi kita pergi bersama,"seru Bong Thian-gak lantang. Di tengah seruan itu, Bong Thian-gak menyambar pinggangnya dengan tangan kiri, kemudian membopong tubuhnya sambil berpekik nyaring, tubuhnya melejit ke tengah udara. Serentetan suara tawa aneh bergema, Liok-kaucu melompat ke muka melakukan penghadangan. Dalam keadaan gawat dan berbahaya ini, Bong Thian-gak segera mengerahkan tenaga dalamnya, melihat datangnya terjangan itu, sebuah pukulan segera dilontarkan ke depan. Serangan pukulan ini sungguh hebat dan mengerikan. Seketika itu juga tubuh Liok-kaucu terlempar ke belakang dan jatuh terkapar di tanah. Begitu berhasil merobohkan Liok-kaucu, cepat Bong Thiangak membopong tubuh Thay-kun melejit ke atas pohon, kemudian dengan meminjam tenaga jejakan itu dia melompat naik ke atas atap rumah. Gerakan tubuhnya cepat bagaikan sambaran kilat, lincah melebihi monyet. Diiringi bentakan nyaring para anggota Put-gwa-cin-kau, mereka melakukan pengejaran serentak. Tiba-tiba Ji-kaucu muncul dari balik kabut yang tebal, lalu membentak keras.

   "Tak usah dikejar lagi, gerakan tubuhnya kelewat cepat, tak nanti kalian bisa menyusulnya."

   Ternyata keadaan waktu itu sungguh mengenaskan, bukan saja kawanan jago kelas satu Put-gwa-cin-kau telah menderita luka, Liok-kaucu serta pemimpin pasukan pengawal tanpa tanding barisan kedua pun terluka pula.

   Yang tersisa kini tinggal jago-jago kelas tiga saja, bagaimana bisa menyusul Bong Thian-gak? Padahal serangan maha dahsyat Bong Thian-gak sudah cukup membuat kawanan jago Put-gwa-cin-kau ketakutan setengah mati.

   Memandang bayangan punggung Bong Thian-gak yang berlalu sambil membopong Thay-kun itu, Ji-kaucu memperlihatkan sekulum senyuman dingin yang licik dan penuh kebanggaan, gumamnya.

   "Jit-kaucu sudah tersingkir, hehehe, kau si bocah keparat pun sudah terkena seranganku, paling lambat tiga hari kemudian kau pun akan mampus, meski kepandaian silat yang kau miliki sangat lihai."

   Mendengar gumaman itu, orang berkerudung berjubah hitam yang berdiri di sisinya segera bertanya.

   "Apakah orang itu terkena sergapan Ji-kaucu?"

   Dengan bangga Ji-kaucu tertawa terbahak-bahak.

   "Hahaha, komandan Siau, tahukah kau nama asapku itu?"

   "Asap itu amat aneh, tebalnya luar biasa dan tidak menyebar atau membuyar meski terkena hembusan angin, sudah pasti merupakan asap yang luar biasa."

   Ji-kaucu tertawa.

   "Asap ini bernama In-ing-tok-wu-im-ciang (Kabut beracun himpunan hawa langit dan bumi), barang siapa terkena kabut itu, baik manusia maupun binatang tak nanti lolos dari ancaman maut."

   "Tapi orang itu tak pernah memasuki lingkaran kabut itu?"

   "Tapi sekujur tubuh Jit-kaucu telah terkena kabut itu, sedangkan dia berlari sembari membopong tubuhnya, tanpa dia sadari sebenarnya ia pun terkena serangan racun itu."

   "Kepandaian silat orang itu amat lihai, Liok-kaucu pun terluka di tangannya, entah siapakah orang ini?"

   "Dari raut wajahnya, jelas sudah dipoles obat penyaru, besar kemungkinan orang ini adalah pemuda yang bernama Ko Hong itu."

   Orang berkerudung berbaju hitam menggeleng kepala berulangkah.

   "Pemuda Ko Hong telah terkena sebuah tusukanku, lukanya amat dalam dan terluka parah, mana mungkin kesehatan tubuhnya bisa pulih secepat itu?"

   Dalam pada itu Ji-kaucu telah berjalan mendekati Liokkaucu, kemudian menegur.

   "Parahkah lukamu, Liok-kaucu?"

   Liok-kaucu sedang duduk bersila di atas tanah dengan wajah merah membara, tiba-tiba dia memuntah darah sebanyak tiga kali.

   Darah yang keluar berwarna hitam pekat seperti warna tinta bak.

   Menyaksikan kejadian ini, berubah hebat paras muka Jikaucu, secepat kilat telapak tangan kirinya menepuk tiga buah jalan darah penting di punggung Liok-kaucu.

   Sebenarnya Liok-kaucu sudah tak mampu berkutik lagi, tapi setelah ditepuk keras punggungnya, dia baru menghembuskan napas panjang, katanya dengan suara gemetar.

   "Ji-kaucu, lukaku parah sekali, entah ilmu silat apa yang dipergunakan olehnya."

   Ji-kaucu membungkam, dia hanya mendongakkan kepala sambil berdiri termangu-mangu. Kemudian dia berpaling dan ujarnya kepada orang berkerudung itu.

   "Komandan Siau, harap kau mewakili diriku mengawasi sebentar keadaan di sini, aku hendak mengejar mereka."

   Belum selesai berkata, Ji-kaucu telah menggerakkan bahu dan meluncur ke depan, dalam waktu singkat bayangan tubuhnya sudah lenyap di balik kegelapan. Tentu saja yang dimaksud "mereka"

   Oleh Ji-kaucu adalah Bong Thian-gak berdua.

   Suasana amat hening, malam mencekam seluruh jagad, angin berhembus kencang membuat suasana terasa dingin menggigilkan.

   Dengan merangkul pinggang Jit-kaucu Thay-kun dengan tangan kirinya, Bong Thian-gak melakukan perjalanan tiada hentinya sejauh dua puluh li lebih.

   Tiba-tiba terdengar suara rintihan lirih, cepat Bong Thiangak menghentikan larinya dan menundukkan kepala.

   Tampak Thay-kun telah membuka matanya yang indah menawan sambil memandang wajah Bong Thian-gak dengan termangu.

   Memeluk gadis cantik dalam rangkulan, timbul suatu perasaan aneh, bau harum semerbak menembus lubang hidung.

   "Kau lelah?"

   Pemuda itu menegur. Thay-kun manggut-manggut.

   "Kau bisa berjalan sendiri?"

   Kembali Bong Thian-gak bertanya lirih. Thay-kun tertawa.

   "Mengapa kau tidak menurunkan aku?"

   Bong Thian-gak mengiakan dan cepat menurunkan tubuhnya ke atas tanah. Sambil menggeliat Thay-kun berkata dengan sedih.

   "Ai, aku tak mungkin bisa lolos dari kematian."

   "Mengapa?"

   Bong Thian-gak tertegun. Kembali Thay-kun menghela napas panjang.

   "Ai, karena aku telah terkena sebatang jarum beracun Hukut- tok-ciam dari Ji-kaucu."

   "Jarum beracun pelumat tulang? Terkena di bagian mana?"

   Bong Thian-gak semakin terperanjat.

   "Pada lengan kananku."

   "Tapi bukankah kau masih berada dalam keadaan baik-baik saja sekarang?"

   Sambil tertawa getir Thay-kun menggeleng kepala berulang-kali.

   "Kini lengan kananku menjadi kaku."

   Mendengar perkataan itu, Bong Thian-gak segera berpaling sambil memperhatikan lengan kanannya, betul juga, lengan kanannya itu sudah terkulai lemas ke bawah dan sama sekali tak bisa digerakkan.

   "Memangnya tiada cara untuk mengobati luka itu?"

   Thay-kun menggeleng.

   "Ji-kaucu adalah tokoh yang amat lihai dalam menggunakan racun, apalagi dia berniat membinasakan diriku, sudah dapat dipastikan jarum beracun yang dilepaskan olehnya menggunakan racun yang nanti tak dapat diobati!"

   Bong Thian-gak melihat gadis itu tetap tenang, tidak gugup, tidak panik, seakan-akan bukan dia yang terkena jarum beracun dan bakal menemui ajalnya. Maka dengan nada tak percaya dia bertanya lagi.

   "Sungguhkah perkataanmu itu?"

   "Apa gunanya kubohongi dirimu?"

   Thay-kun berkata sedih.

   "Semut pun ingin hidup apalagi manusia."

   "Tidak mungkin ... tidak mungkin,"

   Pendekar Cacad Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Gumam Bong Thiangak.

   "tak mungkin di dunia ini terdapat racun yang mematikan tanpa bisa terobati lagi."

   Sembari berkata Bong Thian-gak mengeluarkan tangan siap merangkul kembali pinggang Thay-kun. Mendadak Thay-kun menghindar sambil menyelinap mundur, tegurnya.

   "Mau apa kau?"

   Bong Thian-gak sendiri pun tertegun.

   "Aku hendak mencari orang untuk mengobati racun di lenganmu itu."

   Thay-kun menghela napas panjang.

   "Ai, bukankah sudah kukatakan kepadamu, tiada orang di dunia ini yang bisa menyelamatkan jiwaku! Sekarang aku harus memanfaatkan kesempatan yang ada untuk mengemukakan suatu rahasia dunia persilatan yang mungkin tidak diketahui oleh siapa pun."

   "Menjelang ajalnya, Ku-lo Hwesio telah berpesan kepadaku bahwa di Bu-lim hanya kau seorang yang dapat menghadapi Cong-kaucu, kau tak boleh mati, tak boleh mati begini saja."

   Thay-kun tertawa sedih.

   "Perhitungan Ku-lo Sinceng sesungguhnya memang tepat, di Bu-lim memang cuma aku seorang yang bisa menghadapinya, tapi perhitungan manusia tak mampu melawan perhitungan takdir, rupanya nasibku memang harus berakhir sampai di sini."

   Mencorong sinar aneh dari balik mata Bong Thian-gak, dia berkata.

   "Sumoay, aku telah mempelajari hampir seluruh ilmu silat yang berhasil Suhu curi sepanjang hidupnya, apakah di antara sekian banyak kepandaian itu, tak satu pun yang bisa digunakan untuk mengobati luka beracun itu?"

   Thay-kun menghela napas panjang.

   "Memang sepanjang hidup Suhu, beliau berhasil mencuri kitab pusaka berbagai perguruan dan partai mana pun, sayang di antara sekian banyak kepandaian itu tak sebuah pun yang merupakan kitab ilmu pertabiban dan ilmu beracun. Itulah sebabnya dia orang tua pun tewas akibat racun yang dideritanya."

   "Apa? Suhu pun mati akibat keracunan?"

   Bong Thian-gak terperanjat. Thay-kun manggut-manggut.

   "Benar, dia orang tua tewas karena keracunan hebat, ai! Sekarang aku sudah tiada waktu lagi untuk memberitahukan semua ini padamu, pokoknya pembunuhnya adalah Congkaucu."

   Bong Thian-gak memang telah menduga Jian-bin-hu-li Ban Li-biau tewas secara mengenaskan dalam gua akibat perbuatan Cong-kaucu, ternyata dugaannya memang tepat.

   Sebenarnya dia ingin tahu keracunan apakah Ban Li-biau sampai menemui ajal, namun Thay-kun telah mengalihkan pokok pembicaraan ke soal lain, katanya.

   "Ku-lo Hwesio dari Siau-lim-pay bisa menduga aku bermaksud mengkhianati Putgwa- cin-kau, hal ini menunjukkan semasa hidupnya dulu, ia telah berjumpa dengan Nyo Li-beng. Nyo Li-beng telah memberitahukan rencana busuk Cong-kaucu serta asalusulnya. Kalau begitu Ku-lo Sinceng pun sudah pasti telah mempunyai rencana yang matang mengatasi situasi dunia persilatan di masa mendatang, bila demikian adanya, meski aku telah memejamkan mata untuk selamanya, aku pun bisa mati dengan perasaan lega."

   Agak bingung juga Bong Thian-gak mendengar perkataan yang tiada ujung pangkalnya itu, dia tak tahu apa maksud Thay-kun berkala demikian. Maka sembari berkerut kening ujarnya kemudian.

   "Sumoay, bagaimana kalau kau kuajak menuju ke kuil Keng-tim-an?"

   Tergetar perasaan Thay-kun mendengar perkataan itu, ucapnya cepat.

   "Kuil Keng-tim-an merupakan pasukan tersembunyi kita, pasukan tersembunyi itu belum boleh muncul dalam Bu-lim pada saat ini, sebab kalau tidak, bisa jadi kekuatan tersembunyi itu bisa ditumpas ludes."

   "Mengapa? Bukankah Keng-tim Suthay telah berkata, 'Sembilan hari lagi di Bu-lim akan muncul perkumpulan baru', berarti sembilan hari lagi mereka sudah bersiap melakukan gerakan?"

   Thay-kun tersenyum.

   "Benar, hal ini akan terjadi sembilan hari lagi, bukan sekarang!" "Mengapa harus menunggu sembilan hari lagi?"

   "Sebab sampai waktunya baru akan muncul tokoh yang mampu menandingi kemampuan Cong-kaucu."

   "Aku tidak memahami maksud perkataanmu itu."

   "Sewaktu masih berada dalam gedung Bu-lim Bengcu tempo hari, bukankah pernah kau dengar dalam tiga hari setelah meninggalnya Oh Ciong-hu Bengcu, lima orang mati secara misterius, tapi beberapa hari setelah kematiannya, jenazah mereka lenyap?"

   "Ya, aku dengar kelima orang itu adalah si Pukulan nomor wahid dari kolong langit Ma Kong Loenghiong dari perguruan Sin-kun-bun, Liong-thau Pangcu dari perkumpulan Hek-huopang Kwan Bu-peng, Congpiauthau dari tujuh perusahaan ekspedisi gabungan wilayah Kanglam Lui-hong-khek (Jago angin guntur) Gi Peng-san, Loapcu dari benteng Jit-seng-po Tui-hun-pit (Pena pengejar sukma) Cia Liang dan Thi-koan-im (Koan-im baja) Han Nio-cu, tapi bukankah mereka semua lelah mati?"

   Thay-kun manggut-manggut.

   "Benar, mereka telah mati satu kali, tapi kini telah hidup kembali."

   "Masa orang yang sudah mati dapat hidup kembali?"

   Seru Bong Thian-gak terkejut bercampur keheranan.

   "Sembilan hari lagi mereka akan muncul dan hidup kembali dari kuil Keng-tim-an."

   Dengan terperanjat Bong Thian-gak mengawasi wajah Thay-kun sambil termangu-mangu, sedang di hati kecilnya berpikir.

   "Kejernihan otaknya masih tetap meyakinkan, tapi mengapa perkataannya masih sukar dipercaya."

   Sambil tersenyum manis kembali Thay-kun berkata.

   "Semua teka-leki ini akan terungkap sembilan hari lagi, bila ku tarakan sekarang kau pun belum tentu mau percaya."

   "Baik, baik ...."

   Gumam Bong Thian-gak.

   "Terpaksa aku harus menunggu sembilan hari lagi."

   Thay-kun menghela napas sedih, kembali dia berkata.

   "Apa yang hendak kusampaikan kepadamu, kini telah habis kuucapkan, nah kau boleh pergi meninggalkan tempat ini!"

   "Pergi? Aku harus pergi kemana?"

   "Makin jauh semakin baik, pokoknya kau baru boleh kembali ke kota Kay-hong sembilan hari lagi!"

   Bong Thian-gak tertawa bodoh.

   "Kau pun hendak pergi bersamaku?"

   "Ai, mengapa kau tak pernah menuruti perkataanku?"

   Keluhnya.

   "Aku mendapat perintah melindungi keselamatanmu, tak nanti aku meninggalkan dirimu begini saja."

   Tiba-tiba Thay-kun menarik muka, katanya.

   "Tahukah kau, Ji-kaucu akan segera menyusul kemari untuk membinasakan kita berdua?"

   Bong Thian-gak tertawa nyaring.

   "Mengapa kau begitu takut kepada Ji-kaucu?"

   Serunya.

   "Ai, siapa angkuh dia pasti akan kalah, kau terlalu memandang remeh kemampuan Ji-kaucu,"

   Ucap Thay-kun menghela napas.

   "Padahal Ji-kaucu telah datang kemari!"

   Kata Bong Thiangak dengan suara pelan.

   Berubah hebat paras Thay-kun mendengar perkataan itu, ia mendongakkan kepala dan memandang sekejap sekeliling tempat itu, angin malam berhembus, kabut menyelimuti permukaan tanah, kecuali suara hembusan angin dan suara binatang kecil, tak sesosok bayangan orang pun yang nampak.

   Bong Thian-gak membalikkan tubuh sembari mengayun tangan kanan ke depan, serentetan cahaya segera menyebar di tengah udara seperti deru angin.

   Semua cahaya tajam itu meluncur ke arah sebatang pohon yang terletak tak jauh dari situ.

   Pohon itu berada delapan depa jauhnya, siapa pun tak mengira senjata rahasia yang disambitkan Bong Thian-gak bisa mencapainya.

   Mendengar suara desingan senjata rahasia itu, Thay-kun berseru tertahan.

   "Ah! Jarum Lui-hong-sin-hong!"

   Setelah menyambitkan senjata rahasia, Bong Thian-gak pun memperhatikan sinar hitam yang menyusup ke dalam kegelapan itu, namun yang didapat hanya suasana hening sepi dan tiada terdengar sedikit suara pun.

   Dengan paras muka berubah hebat Bong Thian-gak segera berbisik lirih.

   "Sumoay, apakah Lui-hong-sin-hong dari Suhu dapat disambut dengan tangan kosong?"

   "Lui-hong-sin-hong mampu menembus bebatuan menghancurkan karang, keras dan tajamnya luar biasa, tiada manusia di dunia ini yang mampu menyambut ancaman, cuma jarak timpukanmu terlampau jauh.,"

   Kata Thay-kun dengan wajah berubah hebat. Bong Thian-gak tidak bicara lagi, mendadak dia beranjak dari tempatnya dan menerjang ke muka.

   "Berhenti!"

   Thay-kun berseru. Mendengar bentakan itu, Bong Thian-gak segera berhenti, tanyanya dengan cepat.

   "Ada apa?"

   "Seandainya Ji-kaucu bersembunyi di tempat gelap, mengapa dia tidak segera muncul? Jelas dia bermaksud memancing kedatanganmu ke situ, kemudian menyergap dan melukaimu."

   Bong Thian-gak tersenyum.

   "Ia telah terluka."

   "Siapa?"

   "Ji-kaucu."

   Baru selesai ia berkata, tampak sesosok bayangan orang seperti setan saja pelan-pelan berjalan keluar dari tempat kegelapan.

   Dia memakai baju model sastrawan berwarna hijau, berjenggot panjang sedada, menyoreng pedang dan bermata setajam sembilu, kalau bukan Ji-kaucu siapa lagi dia? Baik Thay-kun maupun Bong Thian-gak dapat melihat jelas, lengan kiri Ji-kaucu seakan-akan menggenggam sebuah benda, namun darah kental bercucuran dari balik sela-sela telapak tangannya dan membasahi permukaan tanah.

   Sepasang mata Bong Thian-gak seolah-olah terkena sihir, tanpa berkedip dia mengawasi Ji-kaucu maju selangkah demi selangkah.

   Walaupun suasana di sekeliling tempat itu sangat hening dan tiada suara apa pun, namun suasana penuh diliputi ketegangan dan keseraman yang menggidikkan.

   Walaupun semua orang tahu bahwa serangan yang dilancarkan Ji-kaucu pasti mengerikan dan dahsyat bukan kepalang, namun mereka tidak gentar menghadapinya, apalagi setelah menyaksikan Ji-kaucu terluka.

   Sementara itu Thay-kun telah menggeser tubuh ke samping kiri Bong Thian-gak dan bersiap menghadapi segala kemungkinan yang tak diinginkan.

   Dalam suasana hening seperti ini, Bong Thian-gak serta Thay-kun seperti mendengar suara nyamuk yang amat ramai, suara itu seperti ada seperti tiada, sedemikian lembutnya hingga tak tertangkap oleh telinga.

   Seandainya mereka tidak sedang memusatkan perhatian, sulit rasanya menangkap suara itu.

   Mendadak terdengar Thay-kun menjerit kaget.

   "Hati-hati dengan nyamuk!"

   Thay-kun segera melontarkan telapak tangan kirinya yang merah membara itu ke depan, kembali dia telah melancarkan sebuah pukulan dengan ilmu Soh-li-jian-sin-kang.

   Pukulan yang maha dahsyat itu dilontarkan tiga kaki di depan tubuh Bong Thian-gak, dimana angin pukulan itu berhembus, beberapa ratus ekor nyamuk segera rontok ke atas tanah.

   Tapi gara-gara harus memperhatikan keselamatan Bong Thian gak, akibatnya Thay-kun sendiri pun kena digigit tiga ekor nyamuk pada pergelangan tangan kirinya, rasa sakit yang kemudian timbul boleh dibilang merasuk sampai ke tulang sumsum.

   Thay-kun berseru tertahan, tubuhnya berguncang lebih keras lagi.

   Pada saat inilah mendadak Ji-kaucu mengayunkan tangan kiri, segulung cahaya berwarna hitam dengan membawa suara dengungan suara lebah laksana sambaran petir menyambar ke tubuh Thay-kun.

   Mimpi pun Bong Thian-gak tak mengira Ji-kaucu bisa menyerang Thay-kun, bahkan menggunakan Lui-hong-sinhong.

   Dalam gelisahnya, sambil membentak Bong Thian-gak mengayun telapak tangan kanannya ke depan.

   Angin serangan yang dahsyat dan kuat secara tepat menghajar rontok Lui-hong-sin-hong itu.

   Namun Lui-hong-sin-hong merupakan senjata andalan Jianbin- hu-li Ban Li-biau di masa lalu, kedahsyatannya luar biasa walaupun angin serangan Bong Thian-gak berhasil menghajar senjata rahasia itu, bukan berarti senjata itu dapat dirontokkan seluruhnya.

   Dengusan tertahan berkumandang memecah keheningan, tahu-tahu punggung kanan Thay-kun terkena serangan dan roboh tidak sadarkan diri.

   Rupanya serangan yang digunakan Ji-kaucu untuk melancarkan serangan itu telah menggunakan teknik yang tinggi, bersamaan dengan babatan telapak tangan kanan Bong Thian-gak, Ji-kaucu telah melayang maju.

   "Cring", berkumandang suara gemerincing, tahu-tahu Jikaucu telah melolos pedangnya, digunakan untuk melancarkan serangan. Kendatipun Bong Thian-gak tahu musuh akan menggunakan pedang, namun dia tak menyangka terjangan lawan dilakukan dengan kecepatan luar biasa, bahkan jurus serangan yang digunakan pun begitu sempurna dan ganas. Terdengar desingan angin tajam, tahu-tahu lengan kanan Bong Thian-gak telah mengucurkan darah, sementara tubuhnya melayang mundur, sedangkan tangan kiri melolos sebilah pedang emas. Tapi pedang antik Ji-kaucu seakan sudah puas menjilat darah dan menyusup kembali ke sarungnya, pedang telah disarungkan kembali. Benarkah serangan pedangnya begitu cepat dan dahsyat sehingga sukar diikuti pandangan mata? Benar, serangan yang dilancarkan Ji-kaucu memang hanya sejurus, jarang ada jago lihai dunia persilatan yang berhasil lolos dari ujung pedangnya dalam keadaan selamat, oleh sebab itulah ia belum pernah melancarkan serangan kedua. Suara tertawa dingin menyeramkan berkumandang dari bibir Ji-kaucu Terdengar dia berkata.

   "Sudah sepuluh tahun lamanya aku tak pernah melolos pedang, tak nyana kau telah memaksaku melanggar kebiasaanku, bahkan tidak menemui ajal dalam satu gebrakan."

   "Selama empat puluh tahun ini, kau merupakan jago lihai pertama yang kujumpai, kau pun pantas menjadi musuhku, meski akhirnya kau akan mati juga, kau boleh bangga dan gembira karena kehormatan ini."

   Kata-kata ini diucapkan tidak cepat tidak pula lambat, seperti lagi menghibur seperti juga lagi memuji, bahkan membawa keangkuhan.

   Darah segar telah membasahi lengan kanan Bong Thiangak, dalam waktu singkat separoh tubuhnya telah basah kuyup, walaupun mulut lukanya terasa sangat panas dan sakit, namun dia tak berani bersikap gegabah teledor, segenap perhatiannya dipusatkan menantikan datangnya serangan kedua Ji-kaucu.

   Saat inilah Bong Thian-gak baru merasakan betapa menakutkan Ji-kaucu, hingga kini pemuda itu belum juga mengerti bagaimana cara ia melancarkan serangannya, dia pun tak tahu bagaimana dirinya bisa terbabat oleh mata pedang lawan.

   Ketika menghindar tadi, sudah jelas dia lolos dari mata pedang itu sejauh setengah kaki, tapi mengapa pula mata pedang musuh bisa memancar setengah kaki dari arah serangan? Dengan suara tenang dan lembut kembali Ji-kaucu berkata.

   "Ia telah terkena jarum beracun pelumat tulangku, sekarang pun sudah digigit nyamuk bangkai dari wilayah Biau, ditambah pula terhajar jarum rahasia Sin-hong pada bagian mematikan, aku rasa meski ada dewa yang turun dari kahyangan pun tidak bisa menyelamatkan jiwanya. Sedang kau? Tentu saja kau pun tak bisa hidup lebih lanjut, karena tanpa kau sadari kau pun telah terkena racun jahat, paling lambat tiga hari kemudian, racun itu akan bekerja yang mengakibatkan kematian."

   "Mengapa kau tak berani melancarkan seranganmu yang kedua?"

   Jengek Bong Thian-gak sambil tertawa dingin. Sudah jelas Ji-kaucu hendak melancarkan serangan kedua, tapi berhubung pertahanan yang dilakukan Bong Thian-gak sangat ketat, hal itu membuatnya tidak berkesempatan melakukan penyerangan.

   "Kini kau ibarat seorang yang hampir mati,"

   Kata Ji-kaucu dengan lembut.

   "Mati sekarang atau mati beberapa hari lagi, apa pula bedanya!"

   "Baik, jika kau enggan menyerang, biarlah aku yang melancarkan serangan lebih dulu."

   Begitu selesai berkata, Bong Thian-gak membabatkan pedangnya bagaikan bianglala, secara beruntun dia melepaskan tiga buah serangan dahsyat.

   Tentu saja ketiga buah serangan itu dilancarkan Bong Thian-gak dengan jurus serangan yang paling tangguh, begitu serangan dilepaskan, cahaya tajam segera menyambar.

   Di bawah cecaran ketiga jurus serangan itu, dengan enteng dan cekatan Ji-kaucu menghindarkan diri ke sana kemari.

   Sementara itu Bong Thian-gak telah melompat ke sisi Thaykun setelah melancarkan ketiga buah serangannya itu, kemudian tangan kanannya menyambar dan memeluk pinggang Thay-kun, bersamaan itu juga pedang di tangan kirinya diayunkan ke muka.

   Sebilah pedang yang lemas tahu-tahu sudah berubah menjadi tujuh dalam sekali ayunan tangan, seakan-akan tujuh pisau terbang yang meluncur bersama menyerang Ji-kaucu.

   Sedangkan anak muda itu sendiri segera melompat ke udara dan kabur dari situ.

   Dia tak sempat melihat lagi apakah Ji-kaucu berhasil meloloskan diri dari sergapan mautnya atau tidak, sekarang dia hanya tahu bagaimana mengerahkan ilmu meringankan tubuh untuk melarikan diri secepatnya dari situ.

   Sudah barang tentu Ji-kaucu dapat melolos diri dari ancaman ketujuh pisau terbang itu, hanya saja dia tak melakukan pengejaran.

   Sekulum senyuman dingin penuh perasaan bangga menghiasi wajahnya, kemudian terdengar ia bergumam.

   
Pendekar Cacad Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Tiada seorang pun di dunia ini yang dapat lolos dari ujung pedangku dalam keadaan selamat, tidak terkecuali dirimu."

   Kabut fajar telah menyelimuti angkasa, begitu tebal dan padat sehingga sulit untuk melihat keadaan di sekitar tempat itu.

   Sambil membopong Thay-kun, Bong Thian-gak melakukan perjalanan dengan amat cepat.

   Tiba-tiba ia merasa kepala pening sekali, tenggorokan kering seperti mau retak, keempat anggota badannya lemas tak bertenaga.

   Keadaan ini mengejutkan Bong Thian-gak, diam-diam pikirnya.

   "Kalau aku benar sudah terkena serangannya, wah celaka! Apakah kami berdua harus tewas begini saja."

   Ia berhenti untuk memperhatikan sekeliling tempat itu, mendadak ia mendengar suara ombak memecah pantai, sayang empat penjuru diselimuti kabut tebal sehingga dia sendiri pun tak tahu sedang berada dimana.

   "Mungkin kita berada di tepi sungai,"

   Pikir Bong Thian-gak.

   Berpikir sampai di situ, mendadak perutnya terasa mual ingin muntah, sayang tak setitik benda pun yang bisa dimuntahkan.

   Mendadak kakinya terasa lemas, Bong Thian-gak bersama Thay-kun yang berada dalam bopongannya roboh terjengkang ke atas tanah.

   Waktu itu Thay-kun telah pingsan, mata terpejam rapat, wajahnya pucat-pias seperti mayat, sedangkan di bahu kanannya masih tertancap jarum Hui-hong yang masuk ke dalam daging, keadaannya mengerikan sekali.

   Waktu itu lengan kanannya sudah terkulai lemas, sementara tangan kirinya merah bengkak.

   Menyaksikan semua ini, Bong Thian-gak menghela napas panjang, kemudian gumamnya.

   "Tidak enteng luka yang diderita olehnya, ai ... sedangkan aku sendiri pun tak jauh dari kematian."

   Terbayang akan kematian, hati pemuda ini merasa pilu. Dia menundukkan kepala memandang sekejap wajah cantik dalam pelukannya, tanpa terasa dia merasa terhibur juga, gumamnya sambil tertawa bodoh.

   "Thian benar-benar suka mempermainkan umatnya, siapakah yang akan menduga aku akan mati sambil memeluk gadis tercantik di dunia saat ini, ah!"

   "Perubahan yang terjadi dalam alam semesta memang sukar diduga, sebenarnya dia terhitung musuhku yang boleh diampuni, tapi kini telah berubah menjadi sahabat karibku dalam perjalanan pulang ke alam baka, hal ini tak pernah kubayangkan sebelumnya."

   "Perhitungan Ku-lo Sinceng pun amat tepat, entah dia telah memperhitungkan keadaanku dan Thay-kun belum? Sesudah kami berdua tiada, Put-gwa-cin-kau pasti akan meraja-rela tanpa seorang pun yang bisa membendung mereka. Mungkinkah dunia persilatan akan dikuasai orang-orang Putgwa- cin-kau?"

   "Mungkinkah berbagai perguruan besar akan musnah di tangan mereka?"

   Menghadapi ajal di depan mata, tak urung berbagai macam pikiran muncul dalam benaknya, apalagi kesadaran Bong Thian-gak mulai surut, tak aneh pikirannya tambah kalut.

   Tiba-tiba terdengar suara rintihan lirih yang menghentikan jalan pikiran Bong Thian-gak, cepat dia berpaling.

   Tampak Thay-kun sedang mengerahkan tenaga lalu mengedipkan mata dan membukanya pelan-pelan.

   Ketika menyaksikan wajah Bong Thian-gak berada di hadapannya, sambil tersenyum lantas dia berkata.

   "Dalam impian aku seperti dipeluk olehmu, ternyata kau benar-benar sedang memelukku."

   Bong Thian-gak tersenyum.

   "Aku yakin kau pasti akan sadar, nyatanya kau benar-benar sadar!"

   "Tapi dengan sadarku ini, kemungkinan besar saat kematianku akan semakin dekat!"

   Ucap Thay-kun sedih.

   "Aku sendiri pun tak akan hidup lama."

   Thay-kun terkejut oleh perkataan itu, serunya pula.

   "Kau pun tak dapat hidup lama?"

   "Ya, aku telah terkena serangan Ji-kaucu."

   "Kau pun keracunan?"

   Sampai di situ si nona telah melihat lengan kanan Bong Thian-gak lerluka, buru-buru katanya lagi.

   "Luka pada lenganmu amat parah, apakah terluka oleh babatan pedang Jikaucu?"

   Bong Thian-gak tak menjawab, dia hanya manggutmanggut. Dengan sedih Thay-kun menghela napas panjang.

   "Pedang Ji-kaucu amat lihai, konon sudah direndam racun yang amat jahat, kalau begitu kau benar-benar telah terkena racun."

   Bong Thian-gak tertawa getir.

   "Memang sepantasnya kita mati bersama!"

   "Kau tak boleh mati, kau pasti tak akan mati."

   "Jika Thian menyuruh kita berpulang, siapa mampu menolak?"

   "Mari kita pergi mencari seseorang."

   "Tapi aku sudah tidak mampu bergerak lagi."

   Thay-kun menghela napas sedih.

   "Ai, kalau begitu, terpaksa kita berdua harus menunggu kematian di sini."

   "Coba tunggu sebentar, bila aku telah bertenaga lagi barulah kita lanjutkan perjalanan."

   Mendadak Thay-kun memejamkan mata, lalu berkata lembut.

   "Hingga sekarang aku belum mengetahui namamu yang sesungguhnya serta raut wajah aslimu."

   "Buat apa kau menanyakan hal ini?"

   Thay-kun tertunduk malu, bisiknya manja.

   "Sejak dilahirkan, belum pernah aku dipeluk orang seperti ini."

   "Ah!"

   Bong Thian-gak berseru tertahan.

   "Tapi aku tak bermaksud mencari keuntungan dengan cara ini."

   "Masih ingat malam itu ...."

   Bisik Thay-kun lirih, ia tak melanjutkan kata-katanya. Walau begitu Bong Thian-gak telah mengetahui apa gerangan yang dimaksud, buru-buru dia berkata.

   "Tapi aku tidak bermaksud mengintipmu."

   "Sudahlah! Sekarang aku sudah hampir mati, bersediakah kau memberitahukan nama aslimu kepadaku?"

   Bong Thian-gak menghela napas panjang.

   "Tentu saja bersedia, aku she Bong bernama Thian-gak."

   "Ah! Kalau begitu kau adalah murid keempat Thi-ciang-kankun- hoan Oh Ciong-hu!"

   "Aku telah dikeluarkan dari perguruan,"

   Bisik pemuda itu sedih.

   "Aku bisa memahami nasib tragis yang menimpa dirimu, kau ingin mempertahankan nama baik Oh Ciong-hu dengan cara begini, aku yakin arwah Oh-bengcu di alam baka tentu sudah tahu akan hal ini dan bersedia menerimamu kembali sebagai anggota perguruannya."

   "Darimana kau bisa tahu tentang pengalaman tragis yang menimpa diriku?"

   Tanya Bong Thian-gak terkejut dan keheranan. Thay-kun tertawa.

   "Tahukah kau siapakah Go-kaucu Putgwa- cin-kau yang menyelinap dalam gedung Bu-lim Bengcu? Dia tak lain adalah istri Oh Ciong-hu, Pek Yan-ling adanya!"

   Bong Thian-gak tidak mengira Go-kaucu adalah ibu gurunya sendiri, darah yang menggelora dalam dada Bong Thian-gak serasa mendidih, sambil menggigit bibir, katanya.

   "Sampai sekarang wanita cabul itu belum juga menyesal, bila aku masih dapat hidup, akan kucincang tubuhnya hingga hancur berkeping-keping."

   "Masih ada satu hal perlu aku beritahukan kepadamu, kau anggap Siau Cu-beng sudah mati?"

   Mencorong sinar tajam dari balik mata Bong Thian-gak, serunya dengan cepat.

   "Siau Cu-beng! Sam-suhengku Siau Cu-beng?"

   "Kalau bukan dia, siapa lagi?"

   Mendengar ucapan itu, hati Bong Thian-gak bergetar keras, dari nada bicara Thay-kun, agaknya ia benar-benar mengetahui amat jelas kejadian lama yang pernah menimpanya bersama semua aib yang telah menimpa perguruannya.

   Mungkinkah Sam-suhengnya Siau Cu-beng yang terjatuh ke dalam jurang benar-benar belum mati? Tapi dimanakah dia sekarang? Berpikir sampai di situ, sorot matanya segera dialihkan ke arah Thay-kun.

   "Walaupun Siau Cu-beng telah terhajar hingga tercebur ke jurang oleh pukulanmu, sesungguhnya dia tak mati,"

   Kata Thay-kun pula.

   "Ia benar-benar belum mati?"

   "Buat apa aku membohongi dirimu!"

   "Lantas dimanakah Siau Cu-beng sekarang?"

   "Sewaktu jatuh ke dalam jurang tempo hari, sesungguhnya Siau Cu-beng sudah sekarat dan tinggal menunggu ajal saja, pada saat itulah muncul seorang bintang penolong yang telah menyelamatkan jiwanya."

   "Siapakah bintang penolongnya?"

   "Cong-kaucu Put-gwa-cin-kau! Bukan saja ia telah menyelamatkan jiwanya, bahkan dalam tujuh tahun yang singkat, ia telah mewariskan ilmu silat yang maha dahsyat kepadanya." "Ah!"

   Bong Thian-gak menjerit kaget.

   "kalau begitu Siau Cu-beng adalah...."

   "Komandan nomor dua pasukan pengawal tanpa tanding Put-gwa-cin-kau atau tepatnya orang berkerudung jubah hitam itu."

   Mendadak Bong Thian-gak berteriak.

   "Aku tak boleh mati, aku harus hidup lebih lanjut, aku tak dapat membiarkan Siau Cu-beng segar-bugar di dunia ini."

   Entah darimana datangnya kekuatan, dengan cepat dia merangkul kembali tubuh Thay-kun dengan lengan kirinya, kemudian bertanya.

   "Kita harus berjalan menuju ke arah mana?"

   "Ke kota Lok-yang!"

   "Itu berarti dua perjalanan,"

   Seru Bong Thian-gak dengan tertegun. Thay-kun segera mengangguk.

   "Ya, tempat ini adalah Tio-ko, bila menempuh perjalanan sejauh satu li lagi kita akan sampai di kota, kemudian dari situ kita dapat menumpang kereta menuju ke kota Lok-yang."

   Oo Fajar baru saja menyingsing, sang surya memancarkan cahaya keemas-emasannya dari ufuk timur, di hadapan mereka terbentang sebuah sungai.

   Sambil merangkul Thay-kun, selangkah demi selangkah pelan-pelan Bong Thian-gak bergerak menuju ke depan sana, tanyanya.

   "Ke Lok-yang kita harus mencari siapa?"

   "Seorang tabib kenamaan yang mengasingkan diri di bawah bukit Cui-im-hong, asalkan dia bersedia mengobati luka kita, betapa pun parahnya luka yang kita derita, sudah pasti dia bisa menyelamatkan jiwa kita dari ancaman bahaya."

   "Seandainya dia menampik?"

   Tanya Bong Thian-gak dengan rasa kuatir. Thay-kun tersenyum.

   "Dia tak akan menampik permintaan kita!"

   Dari nadanya, tampaknya gadis itu telah lama mengenal tabib sakti itu, maka perasaannya menjadi tenang kembali.

   Yang dikuatirkan olehnya sekarang adalah seandainya dia serta Thay-kun tak bisa bertahan sampai kota Lok-yang.

   Mendadak Thay-kun berseru tertahan, lalu melanjutkan.

   "Bong-suko, di pinggangku terdapat sebuah botol kecil, tolong ambilkan!"

   "Botol? Buat apa botol itu?"

   Bong Thian-gak tertegun.

   "Di dalam botol terdapat lima butir Tok-liong-wan, pil itu berkhasiat melenyapkan berbagai macam pengaruh racun, bila orang menelan sebutir, dalam tiga tahun dia tak usah takut terrhadap serangan hawa racun, bahkan bisa menguatkan isi perut."

   Mendengar ucapannya itu, Bong Thian-gak menurut dan segera merogoh pinggangnya Benar juga di sana terdapat sebuah botol kecil berwarna putih, sambil mengambil keluar benda itu, tanyanya.

   "Botol kecil inikah yang kau butuhkan?"

   "Benar, bukalah tutup botol itu dan ambillah sebutir, langsung telan ke dalam mulut."

   Pelan-pelan Bong Thian-gak membuka tutup botol itu dan mengeluarkan sebutir pil sebesar kacang kedelai, terendus bau harum semerbak.

   Tanpa terasa dia membuka mulut dan menelan sebutir, rasanya memang agak getir namun seketika itu juga semangatnya terasa segar kembali.

   "Ehm, obat bagus, obat bagus, ai, mengapa kau tidak menelan sebutir?"

   Thay-kun menghela napas sedih.

   "Seandainya aku tidak menelan sebutir Tok-liong-wan lebih dulu, mungkin sejak tadi nyawaku sudah melayang meninggalkan raga kasarku!"

   "Benar, konon ilmu beracun Ji-kaucu tiada taranya di dunia ini, sedangkan Thay-kun telah terkena beberapa racun jahat sekaligus, nyatanya dia masih dapat hidup hingga sekarang, nampaknya kita masih ada kesempatan untuk hidup."

   Berpikir sampai di sini, tanpa terasa ia telah menunjukkan wajah berseri. Terdengar Thay-kun berkata lagi.

   "Tok-liong-wan ini merupakan hadiah tabib sakti yang hidup mengasingkan diri di bawah puncak Cui-ini-hong di luar kota Lok-yang, tiga tahun berselang ia menghadiahkan enam butir pil itu untukku."

   "Menurut dia sendiri, pil ini dibuat dengan susah-payah, bukan saja harus dimasak selama tiga tahun, juga cuma dibuat delapan belas bulir saja, itulah sebabnya Tok-liong-wan ini tak ternilai harganya."

   "Ai, ternyata ucapan itu memang benar, Tok-liong-wan telah menyelamatkan jiwa kita."

   "Walaupun Tok-liong-wan memiliki khasiat luar biasa, namun ilmu beracun Ji-kaucu bukan sembarang orang bisa menandinginya, oleh karena itu lebih baik kita secepatnya berangkat menuju ke kota Lok-yang."

   Sejak menelan Tok-liong-wan, lambat-laun Bong Thian-gak merasa betapa segar dan nyamannya sekujur tubuhnya, tidak seperti tadi perutnya selalu mual dan ingin muntah saja, penderitaannya bukan alang-kepalang.

   "Ai! Sesampainya di kota Lok-yang nanti, aku harus berterima kasih kepada tabib sakti itu!"

   "Tabib itu berwatak aneh dan suka menyendiri,"

   Pendekar Cacad Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Thay-kun menerangkan.

   "Sesampainya di sana nanti kau mesti menuruti semua perkataanku, aku kuatir bila dia menampik mengobati lukamu."

   Mendengar ucapan itu, Bong Thian-gak tertawa.

   "Asal kau dapat sampai di situ dengan selamat, soal matihidupku bukan masalah yang terlalu penting."

   "Kalau harus mati, kita mati bersama,"

   Bisik Thay-kun pelan.

   Sekali pun ucapan itu sangat sederhana dan tiada sesuatu yang luar biasa, namun jauh melebihi beribu-ribu kata lain, karena dari ucapan itu dia telah mengemukakan seluruh perasaan hatinya yang sebenarnya.

   Rupanya ucapan itu diutarakan ketika Bong Thian-gak masih berada di dusun petani, ketika mendengar perkataan itu diutarakan, hatinya tergetar, dia tak tahu haruskah merasa girang atau sedih ataukah murung? Sekali pun sedang bermimpi, Bong Thian-gak juga tak berani menyangka gadis cantik jelita ini menaruh perasaan kepadanya.

   Tapi sekarang sudah jelas kalau dia telah mengutarakan perasaan hatinya itu.

   Dia nampak begitu cantik, siapakah lelaki di dunia ini yang tak jatuh hati kepadanya, tidak ingin mempersunting dan menjadikannya istri tercinta? Justru karena dia kelewat cantik maka Bong Thian-gak berani mengutarakan perasaannya itu, dia tak tahu haruskah murung, sedih atau takut.

   Akhirnya Bong Thian-gak dan Thay-kun menyewa sebuah kereta di kota Tio-ko untuk melanjutkan perjalanannya menuju ke kota Lok-yang.

   Sebenarnya Bong Thian-gak ingin duduk bersama kusir di depan, tapi berhubung Thay-kun takut jejak mereka ketahuan lawan, terpaksa kedua orang itu harus menumpang kereta bersama-sama.

   Dengan demikian benih cinta yang baru ditanam di hati mereka berdua pun dengan cepat bersemi dan tumbuh menjadi besar.

   Mungkin inilah suratan takdir yang telah menentukan jodoh mereka.

   Sejak Bong Thian-gak menelan Tok-liong-wan, keadaannya boleh dibilang mirip orang biasa, sama sekali tidak menunjukkan gejala keracunan, bahkan luka di lengan kanannya juga tidak menunjukkan gejala merah atau bengkak.

   Thay-kun sendiri pun kelihatan amat jernih pikirannya, namun sepasang lengannya sudah tidak mau menurut perintahnya lagi, tak ubahnya seperti orang cacat.

   Kereta berlari kencang di atas jalan berbatu, guncangan di dalam kereta terasa amat kencang dan keras, membuat Thaykun yang duduk di sebelah kanan hampir saja jatuh terjengkang.

   Untung Bong Thian-gak bergerak cepat dengan menyambar pinggang kirinya, lalu membiarkan dia bersandar di pinggang sendiri.

   Tiba-tiba Thay-kun berkata sambil tertawa manja.

   "Suheng, seandainya sepasang tanganku benar-benar cacat, apakah kau masih letap mencintai diriku?"

   "Sekali pun kau telah berubah menjadi abu pun, aku akan tetap mencintai dirimu,"

   Sahut Bong Thian-gak tanpa pikir panjang.

   "Benarkah itu?"

   "Selamanya aku tak pernah berbohong, terutama di hadapan gadis, aku lebih-lebih tak ingin membohonginya."

   Tiba-tiba Thay-kun menghela napas panjang seraya berkata lembut.

   "Suheng, aku pernah membunuh banyak orang, dalam agama Buddha dikatakan, 'siapa menanam kejahatan, dia akan mendapat balasan yang setimpal'. Sekarang aku benar-benar kuatir, bila suatu ketika aku tewas dalam keadaan yang mengenaskan."

   Bong Thian-gak turut menghela napas pula.

   "Tiada manusia di dunia ini yang lolos dari kesalahan, orang yang tahu salah dan mau bertobat itulah tindakan kebajikan yang sejati! Bila sejak dulu kau telah memutuskan untuk meninggalkan Put-gwa-cin-kau, mungkin akan banyak dosa dan siksaan yang bisa dihindari."

   Mata Thay-kun berkaca-kaca menahan linangan air mata.

   "Mengapa aku tak dapat melupakan Put-gwa-cin-kau? Karena perkumpulan ini ada sangkut-pautnya dengan asalusulku."

   "Asal-usulmu?"

   "Hingga sekarang aku belum dapat membuktikan Congkaucu Put-gwa-cin-kau adalah ibu kandungku atau bukan." 'Seandainya dia benar-benar adalah ibumu?"

   Tanya Bong Thian-gak dengan perasaan tergetar.

   "Semoga saja dia bukan ibuku, seandainya dia adalah ibuku, tak nanti dia menurunkan perintah kepada Ji-kaucu untuk membunuhku."

   "Sumoay, karena ingin membuktikan hal itu maka kau ragu."

   "Sejak kecil aku sudah dibesarkan dalam lingkungan demikian, lagi pula dalam benakku sudah tertanam bahwa Cong-kaucu adalah ibu kandungku, bayangkan saja, bagaimana mungkin aku dapat lolos dari samudra penderitaan begitu saja?"

   Mendengar perkataan itu, diam-diam Bong Thian-gak menghela napas panjang, pikirnya.

   "Aku tak boleh menyalahkan dia, setiap orang bila sedang dalam keadaan begini, dia pun akan terperosok lebih jauh, hari ini dia bisa meloloskan diri dari pengaruh Put-gwa-cin-kau pun sudah merupakan sesuatu yang luar biasa."

   Seseorang bila sedang dalam tekanan dan ancaman, walau ingin melawan dan meloloskan diri dari keadaan itu, maka dibutuhkan keberanian yang sangat besar.

   Biasanya keberanian semacam ini tak dimiliki setiap orang.

   oo Cui-im-hong merupakan nama sebuah bukit yang terletak di luar kota Lok-yang sebelah utara, di depan bukit itu terdapat sebuah sungai yang berhubungan dengan sungai Lok-sui, di balik bukit merupakan rangkaian gunung berlapislapis dan sambung-menyambung tiada ujungnya.

   Menyusuri tepi sungai terbentang sebuah jalan raya yang amat lebar, semakin ke arah bukit semakin sedikit pula manusia berlalu lalang di sana.

   Di tengah keheningan malam yang mencekam jagad, tibatiba terdengar suara roda kereta yang bergema di jalan raya, lalu muncul sebuah kereta mendekati tempat itu.

   Akhirnya kereta ini berhenti di sebuah rumah.

   Bangunan itu meliputi suatu daerah yang sangat luas, empat penjuru sekeliling tempat itu penuh ditumbuhi aneka macam bunga yang beraneka warna, dari kejauhan pun sudah.

   dapat terendus bau harum bunga yang semerbak.

   Setelah berhenti sejenak, dari balik kereta kemudian berjalan keluar seorang sastrawan pincang, dalam bopongannya menggelendot seorang gadis cantik yang lumpuh sepasang lengannya.

   Dari sakunya Bong Thian-gak mengeluarkan sekeping uang perak untuk membayar ongkos kereta, kemudian dia mengangkat kepala dan memandang sekejap bangunan itu, katanya pelan.

   "Tampaknya orang sudah tidur."

   Thay-kun ikut mengangkat kepala memandang keadaan cuaca, kemudian menyahut.

   "Sekarang tak lebih kentongan pertama."

   Bicara sampai di situ, tiba-tiba firasat jelek melintas di benaknya.

   Ternyata suasana di dalam bangunan besar di kaki bukit ini gelap gulita, tiada cahaya lentera, tiada suara manusia, keadaan tak jauh berbeda dengan kota mati.

   Sementara itu kereta sudah pergi jauh, di bawah kaki bukit tinggal mereka berdua saja.

   Mendadak paras muka Bong Thian-gak berubah hebat, bisiknya.

   "Ada orang datang."

   Tampak tiga bayangan orang muncul di situ, mereka bukan keluar dari balik pintu gerbang, melainkan melompat turun dari atas atap iimiah, dalam dua kali lompatan saja mereka sudah melayang turun di hadapan Bong Thian-gak.

   Ketiga orang itu terdiri dari dua orang lelaki berperawakan tinggi besar dan seorang berkerudung berbaju hitam.

   Berhadapan dengan orang berkerudung berbaju hitam itu, kontan mencorong sinar berapi-api dari balik mata Bong Thian-gak.

   Sedangkan paras Thay-kun juga berubah hebat, tanyanya dengan suara gemetar.

   "Berapa orang di antara kalian yang telah datang?"

   Orang berkerudung berbaju hitam itu tertawa dingin.

   "Racun yang dilepaskan Ji-kaucu mungkin saja kehilangan kehebatannya di tubuh kalian berdua, namun perhitunganku tak akan pernah meleset."

   "Jit-kaucu, apabila kau tahu diri, ikutlah aku pulang, siapa tahu Cong-kaucu akan meninggalkan sebuah jalan kehidupan bagimu!"

   Sementara itu berbagai pikiran telah berkecamuk dalam benak Bong Thian-gak, dia lantas berpikir.

   "Sanggupkah aku seorang melawan mereka bertiga?"

   Seandainya dalam keadaan biasa, Bong Thian-gak percaya masih sanggup bertarung melawan ketiga orang itu, seandainya kalah, ia masih sanggup melarikan diri. Tapi sekarang dia menyadari tak mempunyai kekuatan seperti itu.

   "Gi Jian-cau berada di dalam,"

   Sahut orang berkerudung berbaju hitam hambar.

   "Kau telah melukainya?"

   "Dia pernah menyelamatkan jiwaku, dia masih terhitung tuan penolongku sendiri, karenanya aku tak mungkin berbuat demikian, kau pun tak usah berbuat demikian."

   Mendengar ucapan itu, Thay-kun menghela napas panjang.

   "Ai, kenapa aku tak pernah berpikir kau pun pernah menjadi tamu di rumah kediaman tabib sakti Gi Jian-cau."

   Orang berkerudung tertawa dingin.

   "Betul, ilmu pertabiban G i Jian-cau memang luar biasa, terutama kemampuannya membuat obat, boleh dibilang tiada duanya di dunia ini dan hal ini rasanya hanya diketahui oleh Cong-kaucu, kau dan aku bertiga saja."

   "Tapi sekarang telah bertambah banyak orang yang mengetahui rahasia ini."

   Mencorong sinar tajam dari bilik mata orang berbaju hitam itu, ujarnya kemudian sambil tertawa.

   "Apakah malam ini kalian masih ingin meninggalkan tempat ini dalam keadaan hidup?"

   Mendadak Bong Thian-gak berseru.

   "Siau Cu-beng, aku hendak membunuhmu!"

   Tergetar keras perasaan orang berbaju hitam itu setelah namanya disebut Bong Thian-gak, kemudian setelah tertawa dingin, serunya.

   "Sungguh tak kusangka Jit-kaucu telah mengingkari sumpah sendiri dengan membocorkan rahasia terbesar partai kita, kalau begitu dosa dan kesalahan Jit-kaucu sudah tak bisa dimaafkan lagi!"

   Ternyata rahasia terbesar Put-gwa-cin-kau adalah menghilangkan nama asli tokoh-tokohnya dengan mengganti namanya memakai urutan nomor, itulah sebabnya hingga kini orang-orang yang berkumpul dalam Put-gwa-cin-kau sebagai pemimpin jarang diketahui asal-usulnya oleh orang lain, bahkan dianggap misterius sekali.

   Perbuatan pertama yang harus dilakukan setiap orang yang bergabung dengan Put-gwa-cin-kau adalah bersumpah untuk tidak membocorkan rahasia tokoh-tokoh dalam perkumpulan itu, barang siapa berani melanggar sumpah itu, maka dosanya tidak terampuni lagi, malah bisa dijatuhi siksaan yang paling keji.

   Thay-kun sendiri pun terperanjat sekali mendengar Bong Thian-gak menyebutkan nama Siau Cu-beng, serunya pula.

   "Suheng, kau ... kau tidak boleh ...."

   Mendengar seruan itu Bong Thian-gak amat terperanjat, ia tahu gadis itu melarang dirinya mengungkap asal-usulnya yang sebenarnya. Akan tetapi gerak-gerik mereka ini semakin mencurigakan Siau Cu-beng, dia segera berpikir.

   "Siapakah dia? Bukankah dia adalah Ko Hong?"

   Berpikir demikian, orang berkerudung kemudian berkata.

   "Pandai amat saudara menyaru, sebenarnya siapakah dirimu?"

   "Ko Hong!"

   Jawab Bong Thian-gak hambar.

   "Kau bukan Ko Hong!"

   Bentak orang berkerudung.

   "Hm! Aku mempunyai cara untuk mengetahui asal-usulmu yang sebenarnya!"

   Begitu selesai berkata, dia lantas mengulap tangan kirinya, kedua orang yang berdiri di sisinya serentak maju dengan langkah lebar.

   Kepandaian silat pasukan berbaju perlente pengawal tanpa tanding telah dilihat dan dicoba oleh Bong Thian-gak beberapa hari lalu, di saat mereka menyerbu ke dalam gedung Bu-lim Bengcu tempo hari.

   Waktu itu Goan-ko Taysu dari Siau-lim-si serta Wan-pitkim- to (Golok emas berlengan monyet) Ang Thong-lam dari Tiam-jong-pay melakukan pertarungan sengit melawan mereka, hal ini menunjukkan betapa hebatnya ilmu mereka.

   Pada hari biasa tentu Bong Thian-gak tak takut terhadap mereka, namun berbeda sekarang ini.

   Dia sendiri telah keracunan hebat, walaupun telah menelan Tok-liong-wan yang bisa mencegah beredarnya racun menyerang isi perut, hingga pikirannya tetap jernih dan tak ubahnya seperti keadaan sehat.

   Padahal Bong Thian-gak sendiri tahu lengan kanannya yang terluka bacokan masih terasa linu dan kaku, tenaganya sama sekali tak mampu dikerahkan ke situ.

   Tapi menghadapi musuh yang semakin mendesak, dia pun sadar, bila musuh tak segera dibinasakan, akibatnya tak bisa dibayangkan.

   Ingatan itu melintas di benaknya, Bong Thian-gak segera meraung gusar, telapak tangan kiri diayun ke depan dan langkah kakinya bergeser berulang kali, kemudian melepaskan sebuah bacokan maut ke depan.

   Dimana serangannya dilancarkan seakan-akan sama sekali tak bertenaga, karena tak terdengar sedikit suara pun.

   Padahal siapa menduga dalam serangan ini Bong Thian-gak telah mengerahkan segenap kekuatannya.

   Tiba-tiba saja terdengar dua kali jeritan ngeri yang memilukan hati berkumandang memecah keheningan.

   Dua orang pengawal tanpa tanding yang maju ke muka berhenti di tengah jalan, tiba-tiba badannya berubah seperti tak bertulang, dengan lemas dan tak bertenaga mereka roboh terduduk ke tanah.

   Namun setelah terduduk, mereka pun tak pernah merangkak bangun kembali.

   Seluruh tulang mereka telah terhajar hancur oleh tenaga maha dahsyat itu, bagaimana mungkin mereka bisa merangkak bangun? Mereka tewas seketika, tewas tanpa penderitaan sedikit pun.

   Bong Thian-gak sendiri sempoyongan setelah melancarkan dua buah serangan itu, matanya berkunang-kunang dan kepala amat pening, hampir saja ia roboh tak sadarkan diri, dadanya menjadi sesak dan tak mampu bernapas.

   Sungguh suatu penderitaan yang hebat, dia sampai terbungkuk-bungkuk dibuatnya.

   Jit-kaucu Thay-kun menjerit keras.

   "Ke ... kenapa kau?"

   Dengan susah payah dia menggeser tubuh mendekati Bong Thian-gak, sementara air mata bercucuran membasahi wajahnya yang cantik. Kulit Bong Thian-gak mengencang keras, lalu serunya dengan suara gemetar.

   "Kau ... kau mundurlah ke sisiku, aku ... aku ... aku sudah tak sanggup mempertahankan diri lagi...."

   Dalam pada itu orang berkerudung sudah dibuat terpukau dan terkesiap oleh kedahsyatan serangan Bong Thian-gak yang berhasil membunuh kedua anak buahnya dalam sekali pukulan.

   Dia berdiri tak berkutik, sementara sepasang matanya mengawasi kedua sosok mayat yang tergeletak lemas di tanah tanpa berkedip.

   Dia pernah terhajar oleh serangan Bong Thian-gak, dia pernah menyaksikan pula Liok-kaucu terkena pukulannya hingga jatuh dari lengah udara dan sekarang dia menyaksikan pula bagaimana musuh membinasakan kedua pengawal tanpa tanding yang berilmu tinggi dalam sekali gebrakan saja.

   Tenaga pukulan yang begitu dahsyat dan mengerikan ini membuat hatinya terkesiap.

   Mendadak ia menyaksikan penderitaan yang dialami Bong Thian-gak, segera pikirnya dalam hati.

   "Mungkin dia pura-pura kesakitan untuk memancing keteledoranku, lalu secara tibatiba melancarkan serangan mematikan?"

   Oleh karena bersangsi, maka untuk beberapa saat orang itu tak berani berkutik, dia hanya berdiri diam.

   Thay-kun yang berada di sisinya dapat membaca suara hati orang berkerudung itu, ia memang kuatir orang itu benarbenar melancarkan serangan pada saat demikian.

   Maka sambil tertawa dingin jengeknya.

   "Siau Cu-beng, mengapa kau tidak melancarkan seranganmu?"

   
Pendekar Cacad Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Orang berkerudung tertawa dingin.

   "Jit-kaucu, berani amat kau menyebut namaku secara langsung?"

   "Mengapa tidak? Sekarang aku sudah mengundurkan diri dari Put-gwa-cin-kau, sejak kini semua perbuatan terkutuk dan memalukan yang dilakukan orang-orang Put-gwa-cin-kau akan segera terbeber di Bu-lim Belum selesai dia berkata, segulung angin berhembus membawa segulung bau harum yang aneh, bau harum mirip bau harum bunga anggrek, tapi seperti juga aroma tertentu. Bau harum itu datangnya sedikit aneh, seolah-olah disebarkan dari angkasa hingga permukaan bumi dipenuhi bau harum itu. Bong Thian-gak yang sedang duduk bersila di atas tanah pun ikut menghirup bau itu, hanya saja ia tak menaruh perhatian. Berbeda dengan Thay-kun, paras mukanya segera berubah pucat-pias seperti mayat, sekujur tubuhnya gemetar keras, sementara dari balik matanya memancar rasa kaget, seluruh wajahnya diliputi perasaan ngeri. Siau Cu-beng segera menunjukkan reaksi yang berlawanan, dari balik sorot matanya segera memancar perasaan girang, bangga dan lega. Pada saat itulah dari tengah kebun bunga tabib sakti Gi Jian-cau telah bertambah dengan sebuah tandu. Tandu yang luar biasa besarnya. Di kedua sisi tandu berdiri dua baris orang, ada lelaki ada pula perempuan, mereka berjumlah dua puluh empat orang, tapi berhubung jaraknya kelewat jauh, apalagi suasana di sekitar tempat itu gelap-gulita, sulit baginya untuk melihat dengan jelas. Padahal Thay-kun dan Siau Cu-beng tak perlu memeriksa lagi juga sudah tahu siapa gerangan yang akan muncul. Bong Thian-gak mendongakkan kepala, dia pun melihat bayangan tandu besar serta bayangan orang itu. Dengan perasaan bergetar, keluhnya dalam hati.

   "Mungkinkah dia?"

   "Siapakah dia?"

   Tentu saja yang dimaksud adalah Cong-kaucu Put-gwa-cinkau.

   Suasana sekeliling tempat itu sunyi-senyap, sedemikian heningnya sampai-sampai suara Thay-kun yang gemetar keras dapat terdengar dengan jelas.

   Pada saat inilah Thay-kun menyadari nasibnya, betapa gawai situasi yang sedang dihadapinya sekarang.

   Kematian bukan sesuatu yang menakutkan, yang patut disedihkan adalah Bong Thian-gak bakal mati pula bersama dia.

   Mendadak terdengar suara lembut dan halus berkumandang memecah keheningan.

   "Kun-ji, setelah bertemu diriku, mengapa kau malah ketakutan setengah mati?"

   Suara lembut itu berasal dari balik tandu, besar di hadapan mereka, bukan saja suaranya lembut bahkan sangat jelas, seakan-akan sedang berbicara berhadapan. Thay-kun yang dipanggil menggigit bibir, dengan suara penuh kebimbangan dia berkata.

   "Apa yang hendak kau lakukan, silakan saja dilaksanakan atas diriku, bagiku kematian bukan sesuatu yang terlalu menakutkan, dua puluh tahun lagi aku akan muncul kembali sebagai manusia...."

   "Murid murtad!"

   Tiba-tiba Siau Cu-beng membentak.

   "Berani kau bicara seperti itu terhadap Cong-kaucu."

   Sementara itu suara lembut dan merdu kembali berkumandang.

   "Kun-ji, kau benar-benar seorang yang lupa budi, sia-sia aku mendidik dan merawatmu selama dua puluh tahun, ai ... perbuatanmu membuat hatiku pedih."

   Mendadak Thay-kun mendongakkan kepala sambil tertawa terkekeh-kekeh, suaranya penuh dengan kepedihan dan penderitaan. Selesai tertawa, dengan suara dingin ucapnya.

   "Dua puluh tahun belakangan ini, sudah amat besar pengorbanan yang Thay-kun perbuat untuk membayar budi kebaikanmu itu. Thay-kun merasa sudah tidak berhutang budi lagi kepadamu, sekarang satu-satunya persoalan yang membuatku tak dapat melupakan adalah asal-usulku ... mungkinkah aku adalah putrimu?"

   Hingga sekarang Thay-kun masih belum tahu nama marganya, seingatnya dia sudah di sisi Cong-kaucu sejak kecil, tapi dia tahu bahwa dirinya pasti bukan putri perempuan itu.

   Kendati dia tahu, Thay-kun masih tetap bingung dan kuatir.

   Tampaknya Cong-kaucu enggan menjelaskan pertanyaan itu, sampai lama sekali belum terdengar juga jawabannya.

   Dalam pada itu Bong Thian-gak telah bangkit, sambil menepuk bahunya dengan tangan kiri, dia berbisik lirih.

   "Sumoay, segala sesuatunya Thian yang menentukan, kematian bukan sesuatu yang mengerikan, aku gembira sekali dapat mati bersamamu."

   Sekujur badan Thay-kun gemetar keras, bisiknya kemudian.

   "Suheng, kau tak boleh mati begitu saja, kau harus membalas dendam, balas dendam bagiku, kau pun harus membalas dendam bagi mereka yang telah dibunuh oleh orang-orang Put-gwa-cin-kau."

   Bong Thian-gak tertawa pedih.

   "Nasib kita terlalu tragis, terlalu mengenaskan ...."

   "Kau kan bisa melarikan diri."

   "Dengan kondisi sekarang, mustahil! Aku dapat melarikan diri cuma sejauh tujuh langkah!"

   Tiba-tiba Thay-kun berbisik lirih.

   "Di dalam sakuku masih terdapat empat buah butir Tok-liong-wan, pil itu memang sengaja aku sediakan untukmu. Cepat ambil dari dalam sakuku dan telanlah keempat butir itu sekaligus, siapa tahu setelah menelan keempat butir pil itu, kau akan mati seketika, tapi kemungkinan juga akan membangkitkan kekuatan dan hawa murni dalam tubuhmu."

   "Aku tahu, meskipun demikian sungguh berbahaya sekali, namun kita harus mencobanya."

   "Andaikan nasib kita kurang beruntung sehingga setelah menelan Tok-liong-wan ini kau mati, aku pun akan segera menggigit lidahku untuk bunuh diri, aku dapat mati di sisimu. Bila kau beruntung tidak mati, maka kau dapat berusaha menerjang keluar dari kepungan ini, sedangkan aku akan berusaha keras melanjutkan hidup, apabila masih ada harapan, tak nanti kau membiarkan aku begitu saja."

   Mendengar ucapan itu, ibarat orang di tengah gurun yang tiba-tiba menemukan air, walaupun harapan itu sedikit sekali, namun Bong Thian-gak dapat merasakan betapa besarnya harapan itu.

   Perkataan Thay-kun sudah cukup jelas, seandainya dia tidak berbuat demikian, berarti dia mempunyai satu jalan untuk mati.

   Atau dengan perkataan lain, persoalan sudah gawat, tiada pilihan lain lagi.

   Maka Bong Thian-gak segera menggeser tangan kirinya ke arah pinggang Thay-kun, kemudian merogoh ke dalam sakunya dan mengambil keluar botol obat itu.

   Dia tidak ragu-ragu lagi, dengan cepat tutup botol dibuka, lalu hendak menuang seluruh isi botol ke dalam mulutnya.

   Belum selesai dia mengerjakan hal itu, tiba-tiba terdengar Cong-kaucu berseru.

   "Wakil komandan Siau, bunuh dulu yang pria, sedangkan Jit-kaucu akan kuhukum sendiri."

   Siau Cu-beng bermata jeli, dapat melihat perbuatan Bong Thian-gak, secepat kilat dia melolos pedang pendeknya, kemudian secepat sambaran kilat membacok ke depan.

   Ilmu silat Siau Cu-beng sudah pernah disaksikan Bong Thian-gak beberapa hari berselang, dia pun tahu jurus pedangnya sangat aneh, ganas dan cepat.

   Bahkan beberapa hari yang lalu, karena bersikap kurang waspada, Bong Thian-gak telah merasakan tusukan pedang Siau Cu-beng, apalagi sekarang tangan kirinya sedang meraih obat untuk ditelan, sedang serangan musuh sudah meluncur tiba.

   Siau Cu-beng memang tak malu disebut seorang berakal busuk, dalam melancarkan sergapannya ini, pedang yang satu menyerang Thay-kun, pedang yang lain menyapu tubuh bagian tengah Bong Thian-gak, sekaligus menutup jalan mundurnya.

   Sebenarnya Bong Thian-gak masih dapat melompat mundur menghindar, tetapi dengan demikian Thay-kun pasti akan termakan tusukan pedang itu.

   Dalam keadaan gelisah dan cemas, Bong Thian-gak sama sekali tidak menyadari tusukan musuh terhadap Thay-kun hanya serangan tipuan saja.

   Maka dalam kaget dan cemasnya, Bong Thian-gak menumbuk tubuh Thay-kun dengan sikut kirinya, bersamaan itu pula tangan kanannya melayang ke atas menyampuk pedang musuh yang membabat ke arah urat nadi pergelangan tangan kirinya.

   Waktu itu sepasang tangan Thay-kun telah cacat, bagaimana mungkin dia dapat menghindarkan diri dari sikutan anak muda itu.

   "Aduh!"

   Di tengah teriakan kerasnya, tubuh Thay-kun roboh terjengkang.

   Namun dengan mata terbelalak Thay-kun dapat melihat tusukan pedang Siau Cu-beng yang semula ditujukan ke arahnya itu kini sudah miring ke samping, bahkan secepat kilat membacok ke arah lengan kanan Bong Thian-gak.

   Waktu itu lengan kanan Bong Thian-gak telah menjadi kaku, untuk bergerak pun tak dapat, apalagi untuk menghadapi perubahan jurus serangan Siau Cu-beng yang dilancarkan dengan begitu cepat, ganas dan berbahaya.

   Thay-kun menjerit kaget.

   Di tengah jeritan itulah, lengan kanan Bong Thian-gak telah terpapas kutung sebatas bahu.

   Darah segera mengucur dengan derasnya, sedang Bong Thian-gak sendiri pun mundur sejauh tiga langkah dengan sempoyongan.

   Mimpi pun dia tak menyangka setelah dua buah otot kaki kirinya dikutungi Siau Cu-beng pada tujuh tahun berselang hingga membuatnya pincang, tujuh tahun kemudian dia harus kehilangan lengan kanannya di tangan orang yang sama.

   Pada hakikatnya keadaannya sekarang tak ubahnya orang cacat.

   Dalam gusar dan sedihnya, cepat dia menelan empat butir Tok-liong-wan itu ke dalam mulut, kemudian telapak tangan kiri melepaskan sebuah pukulan dahsyat dari jarak jauh.

   Selama ini Siau Cu-beng cukup tahu kelihaian ilmu pukulan lawan, dia paling jeri menghadapi serangan maut Bong Thiangak.

   Begitu angin pukulan lawan dilancarkan ke depan, cepat dia menenteng pedangnya melompat ke samping untuk menghindar.

   Segulung angin pukulan yang amat dahsyat dengan membawa debu dan pasir yang beterbangan di angkasa langsung menyapu ke depan dan menyambar sejauh puluhan kaki.

   Angin pukulan yang sangat dahsyat itu benar-benar mengerikan, membuat setiap orang bergidik.

   Gagal dengan serangannya yang maha dahsyat itu, cahaya sinar pedang Siau Cu-beng segera menyusul tiba, bagaikan dua ekor naga sakti yang terbang di angkasa hebatnya.

   Pertarungan antara jago lihai, yang diutamakan adalah kelihaian memanfaatkan kesempatan, kali ini terpaksa Bong Thian-gak mundur dari balik kepungan cahaya pedang itu.

   Darah segar masih bercucuran deras dari lengannya yang kutung itu, kini Bong Thian-gak telah berubah menjadi manusia darah.

   Thay-kun merasa sakit hati menyaksikan kejadian itu, segera teriaknya keras.

   "Suheng, kenapa kau tidak melarikan diri saja?"

   Meski lengan kanan Bong Thian-gak baru kutung, darah masih bercucuran dengan amat derasnya, namun dia sama sekali tak merasa sakit karena lengannya itu sesungguhnya sudah kaku dan hilang rasa.

   Sambil mengertak gigi, untuk kesekian kalinya dia melancarkan pukulan menggunakan telapak tangan kiri.

   Tentu saja Siau Cu-beng tak berani menyambut serangan itu dengan kekerasan.

   Kali ini Bong Thian-gak bertindak lebih cerdik, baru saja dia melancarkan pukulan, tubuhnya sudah melompat ke samping Thay-kun, cepat tangan kirinya menyambar tubuh Thay-kun dan memeluknya kencang.

   Thay-kun tahu pemuda ini hendak mengajaknya kabur, dia tidak membiarkan anak muda itu mewujudkan keinginannya.

   Setelah melepaskan diri dari pelukan Bong Thian-gak, mendadak gadis itu bergulingan di tanah, teriaknya.

   "Suheng, bila kau tidak pergi, terpaksa aku menggigit lidah dan bunuh diri lebih dulu."

   Suaranya mengenaskan seperti jeritan monyet di selat Wasia atau lolongan serigala di tengah malam, keadaannya sungguh menyeramkan.

   Sementara itu Siau Cu-beng telah menerjang maju, kali ini dia mengubah taktik permainan pedangnya, sepasang pedangnya bagaikan dua buah pisau belati melepaskan serangan dengan teknik menggaet, membabat dan menjojoh.

   Dalam waktu singkat dia telah melancarkan delapan serangan dahsyat.

   Menghadapi serangan gencar musuh, Bong Thian-gak terdesak hebat hingga tiada kesempatan untuk melancarkan serangan balasan.

   Berada dalam keadaan seperti ini, terpaksa dia harus berkelit sambil mundur berulang-kali.

   Tampaknya Cong-kaucu telah mengetahui pemuda ini memiliki kepandaian silat melebihi orang lain, mustahil bagi Siau Cu-beng untuk menaklukkan dirinya.

   Maka dengan cepat perintahnya.

   "Dua belas pengawal, cepat bantu wakil komandan Siau membunuh jahanam itu!"

   Thay-kun cukup mengetahui ketangguhan kedua belas pengawal lelaki-perempuan di samping tandu Cong-kaucu, kepandaian silat mereka aneh, lihainya bukan kepalang. Dengan perasan cemas dan gelisah, kembali gadis itu berteriak.

   "Suheng, bila kau tidak pergi, kita akan mati bersama di sini!"

   Sementara itu dua belas sosok bayangan orang telah melompati dinding pendek secara beruntun dan menerjang tiba dengan kecepatan luar biasa.

   "Baik!"

   Seru Bong Thian-gak emosi.

   "Aku akan pergi! Kau tak boleh mati!"

   Tampaknya Bong Thian-gak telah berkeputusan, tubuhnya segera meloloskan diri dari kepungan cahaya pedang, kemudian melompat jauh.

   Tapi dua belas sosok bayangan orang yang menerjang tiba itu seperti sudah menduga Bong Thian-gak akan meloloskan diri dari kepungan, maka enam di antara mereka menghadang ke arah selatan, sedang enam sisanya mengepung dari arah utara.

   Mereka adalah dua orang perempuan dan seorang laki-laki, yang perempuan bersenjata pedang pendek, sedang yang laki-laki bersenjata tombak panjang.

   Pengawal bersenjata tombak melancarkan tusukan lebih dahulu.

   Tusukan itu dilancarkan dengan dahsyat.

   Waktu itu Bong Thian-gak sudah bertekad menerjang keluar dari kepungan untuk melarikan diri, tiada ingatan untuk mundur, diiringi bentakan gusar, telapak tangan kirinya segera diayunkan ke depan.

   Meskipun jurus serangan baru saja dilancarkan, namun hawa pukulan tak berwujud sudah meluncur ke depan dengan cepat.

   Pengawal bertombak itu sama sekali tak menyangka musuh bakal melancarkan serangan di saat tombak itu sudah berada di hadapannya, pertarungan ini untuk mengadu jiwa.

   Asalkan gerak serangan Bong Thian-gak selangkah lebih lambat, sudah pasti dia tak akan lolos dari tusukan tombak itu, tentu saja serangan pukulan pun ada kemungkinan membunuh lawannya.

   Hanya saja pengawal bertombak itu sudah melalaikan kecepatan angin pukulan yang dilancarkan Bong Thian-gak.

   Dengusan tertahan berkumandang, tahu-tahu pengawal itu sudah terkena pukulan tak berwujud hingga tubuh berikut tombak mencelat, tak dapat disangsikan lagi isi perutnya hancur tak keruan.

   Baru saja serangan itu dilepaskan, sepasang pedang pendek kedua pengawal perempuan sudah menyerang tiba dari kiri dan kanan.

   Keadaan Bong Thian-gak kini ibarat binatang buas yang terluka, di antara putaran telapak tangan kirinya, segulung angin pukulan telah meluncur ke depan dan menghajar orang di sebelah kanan, sedangkan kaki kanan menendang orang yang berada di sebelah kiri.

   Jurus serangan yang digunakan merupakan jurus-jurus tangguh yang jarang ditemui dalam Bu-lim.

   Benar juga, kedua orang pengawal itu segera menjerit tertahan, kemudian roboh terjengkang di atas tanah.

   Ilmu silat yang mengerikan itu menggetarkan hati, dalam waktu singkat beruntun tiga pengawal lelaki perempuan sudah roboh binasa.

   Saat pembantaian agak terhenti inilah sebilah pedang telah menyusup datang dari arah belakang punggung Bong Thiangak tanpa menimbulkan sedikit suara pun.

   Penyergapnya adalah Siau Cu-beng, hanya dia yang bisa mencapai sasaran dalam waktu singkat.

   Walau Bong Thian-gak merasakan datangnya serangan pedang itu, sayang tiada kesempatan lagi baginya untuk menghindar, terpaksa dia harus menerjang ke depan dengan sepenuh tenaga.

   Tahu-tahu pinggang kirinya sudah terasa dingin dan panas.

   Di atas tubuh Bong Thian-gak telah bertambah dengan sebuah luka memanjang, untung hanya luka ringan, namun darah segera bercucuran dengan derasnya.

   Karena terhenti, dua orang pengawal bertombak segera menyerbu, ?..itu dari kiri dan yang lain dari kanan.

   Bong Thian-gak benar-benar terdesak hebat, sambil mengertak gigi, pukulan tanpa tandingannya sekali lagi dilontarkan ke depan.

   Dimana angin pukulannya menyambar, selalu ada yang roboh lei kapar, namun setiap kali Bong Thian-gak berhasil membunuh orang, tubuhnya bertambah pula dengan sebuah tusukan pedang Siau Cu-beng.

   Secara beruntun Bong Thian-gak telah membinasakan delapan orang pengawal lelaki perempuan, namun tubuhnya pun sudah tidak ada bagian yang utuh.

   Keadaannya sekarang sudah tidak berwujud manusia lagi, dia lebih mirip sesosok manusia darah, iblis berwajah menyeramkan.

   Namun semangatnya untuk mempertahankan hidup membuat dia tak sampai roboh.

   Pertempuran yang mendebarkan hati masih berlangsung terus, berlangsung dan berkembang dengan hebatnya.

   Bayangan mereka pun makin lama semakin tertarik jauh di bawah sinar rembulan.

   Thay-kun yang menyaksikan keberanian serta kenekatan Bong Thian-gak dalam melakukan perlawanan, segera bergumam.

   "Dia pasti dapat menerjang keluar kepungan, dia pasti dapat hidup lebih jauh ...."

   Ucapan itu diulang-ulang, sementara air matanya bercucuran membuat pandangan matanya menjadi kabur, ia tak dapat menyaksikan jalannya pertarungan lagi, tidak mendengar pula suara apa pun.

   oo Cahaya rembulan menyinari tanah perbukitan.

   Air mengalir deras menyusuri sungai yang meliuk-liuk di antara celah bukit.

   Di bawah sinar rembulan, tampak sesosok bayangan sedang merangkak di atas jalanan batu di tepi sungai.

   Dia adalah sesosok manusia darah, hampir sekujur tubuhnya tubuhnya berlepotan darah.

   Pendekar Cacad Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Darah sudah hampir mengering dari sekujur tubuhnya, mulut luka yang memenuhi sekujur tubuhnya seperti sarang lebah, sedang mulut luka pada lengan kanannya yang kutung kini sudah tidak nampak darah meleleh.

   Setiap orang yang memandang luka-luka itu pasti tak akan percaya kalau dia masih bisa hidup.

   Benar, dia masih hidup, bahkan sedang merayap di sisi sungai berusaha mencari air.

   Namun keadaan tubuhnya yang begitu lemah, membuatnya sukar untuk menggerakkan badannya barang sejengkal.

   Dia hanya bisa mencengkeram sebuah batu kecil dengan kelima jari tangan kirinya yang dijulurkan ke depan, bibirnya ternganga lebar penuh noda darah, sementara sepasang matanya mengawasi air sungai tanpa berkedip.

   Dia sangat haus, luka yang memenuhi seluruh badannya membuat suhu badannya meningkat, dia membutuhkan air untuk menghilangkan dahaganya, namun dia telah kehabisan tenaga untuk maju.

   Akhirnya dia putus-asa, dia tahu ajalnya sudah berada di depan mata, segala macam penderitaan tak akan menyiksa dirinya lagi.

   Berada dalam keadaan dan situasi seperti ini, dia tidak terpengaruh oleh perasaan benci dan dendam, dia pun tak terpengaruh oleh napsu atau angkara murka.

   Dia hanya tahu kelima jari tangan kirinya makin melemas, matanya semakin kabur dan berat.

   Di saat yang kritis inilah mendadak telinganya seperti menangkap serangkaian irama nyanyian yang merdu lincah dan penuh gairah.

   Bong Thian-gak tahu dirinya sudah hampir mencapai suatu dunia yang lain, entah neraka, entah surga.

   "Ah, mungkin inilah nirwana, kalau tidak, mengapa terdengar suara nyanyian yang merdu merayu."

   Suara nyanyian itu kian lama kian bertambah dekat, namun suara itu makin lama semakin lemah dan samar-samar.

   Kejernihan otaknya makin lama semakin membuyar.

   Tak selang lama kemudian, dari ujung sungai sana benarbenar muncul seorang gadis berjalan mendekat.

   Sambil membawakan nyanyian yang merdu dan penuh gembira, dia berjalan menyusuri sungai dan menuju ke arah pemuda itu.

   Meendadak ia menjerit kaget.

   Ternyata dia telah menyaksikan Bong Thian-gak dengan sekujur tubuhnya yang penuh berlepotan darah, sepanjang hidupnya belum pernah ia jumpai darah sebanyak ini, maka saking kaget dan cemasnya, sekujur tubuhnya gemetar keras.

   Bila suatu ketika menemukan sesosok tubuh manusia yang bermandikan darah di tengah hutan belantara yang jauh dari keramaian, siapakah yang tak terperanjat? Jangankan seorang yang bernyali kecil, betapa pun besarnya nyali seorang, akan dibikin ketakutan setengah mati, apalagi seorang gadis muda.

   Tanpa banyak bicara, gadis itu membalikkan badan dan segera melarikan diri.

   Namun baru berlari empat-lima langkah, dia menghentikan langkahnya, kemudian pelan-pelan berpaling memandang tubuh Bong Thian-gak yang tak berkutik.

   "Dia kan manusia ...."

   Gumamnya.

   "mengapa aku harus takut...."

   Setelah merasa yakin yang dihadapinya adalah manusia, perasaan takutnya sedikit berkurang, bahkan pelan-pelan dia menghampiri Bong Thian-gak.

   Kejernihan pikiran Bong Thian-gak waktu itu sudah mulai pudar, sekali pun dia tahu ada orang sedang menghampirinya, namun dia sama sekali tidak punya kekuatan untuk membuka mata, apalagi kekuatan untuk bicara.

   Gadis itu membelalakkan matanya yang jeli, setelah mengawasi tubuh Bong Thian-gak, ia lihat pemuda itu masih bernapas.

   Maka sambil menghela napas, gumamnya.

   "Begini parah luka yang diderita orang ini, apakah dia masih bisa hidup."

   Dia lantas berjongkok sambil memegang jidat Bong Thiangak, namun dengan terperanjat serunya.

   "Ah, panas sekali tubuhnya."

   Bila panas, air dingin bisa menghilangkan panas itu, inilah cara kuno untuk menurunkan suhu panas tubuh manusia.

   Dengan cepat gadis itu mengambil sapu-tangannya, setelah direndam air sungai segera ditempelkan ke atas jidat Bong Thian-gak.

   Sebenarnya kesadaran Bong Thian-gak sudah mulai memudar, namun memperoleh rangsangan air dingin itu, sekujur tubuhnya segera bergetar dan pikirannya pun jernih kembali.

   "Air ... air ...."

   Serunya lirih.

   Walaupun dia mencoba berteriak, sesungguhnya tiada sedikit suara pun yang terdengar.

   Gadis itu pun dapat menyaksikan bibir orang bergetar, namun dia tak tahu apa yang diucapkan olehnya, dia hanya menunggu hingga sapu-tangan itu menjadi panas dan segera direndam kembali ke dalam air, lalu setelah sapu-tangan itu menjadi dingin, dia pun menempelkan pada jidatnya kembali.

   Akhirnya Bong Thian-gak dapat berbisik lirih.

   "Air ... air ...."

   Gadis itu berseru tertahan, dengan cepat dia berjalan menuju ke sungai, digayungnya segenggam air, kemudian dengan hati-hati sekali mengalirkan air ke mulut si pemuda melalui celah-celah jari tangannya.

   "Aku haus ... aku haus sekali... air ... air ...."

   Suara teriakan Bong Thian-gak makin lama semakin keras.

   Dengan cepat gadis itu menggayung air lagi dengan telapak tangannya dan mengalirkan ke mulut pemuda itu.

   Demikian seterusnya hingga tujuh kali sebelum akhirnya pelan-pelan Bong Thian-gak membuka matanya.

   Waktu itu kentongan kelima sudah lewat, dari ufuk timur muncul cahaya keemas-emasan, namun suasana dalam lembah itu masih agak redup dan samar-samar, namun secara lamat-lamat masih dapat melihat keadaan di sekitarnya.

   Pemuda itu tahu gadis muda itulah yang telah menyelamatkan jiwanya, dia memakai baju tipis berwarna biru.

   "Nona ...

   kau ...

   kaukah yang telah menyelamatkan jiwaku."

   "Ssst! Jangan bicara dulu, parah sekali lukamu,"

   Cepat si nona menukas dengan suaranya yang merdu.

   Sembari berkata, gadis itu kembali mencelupkan saputangannya ke sungai, kemudian mengompres kembali jidat anak muda itu.

   Lambat-laun hari semakin terang, kini si nona dapat melihat jelas keadaan luka di sekujur tubuh Bong Thian-gak.

   Menyaksikan semua itu, si gadis terbungkam saking terperanjat, t.mpa terasa dia membatin.

   "Ah, mana mungkin dia dapat hidup dalam keadaan semacam ini? Benar-benar suatu kejadian yang luar biasa?"

   Kini kesadaran Bong Thian-gak benar-benar telah jernih, dengan penuh rasa terima kasih katanya.

   "Nona, banyak terima kasih atas pertolonganmu, andai aku dapat hidup lebih lanjut, budi kebaikanmu ini pasti akan kubalas."

   "Kau telah berkelahi dengan orang?"

   Tanya si nona lembut.

   "Ai, orang-orang Put-gwa-cin-kau hendak membunuhku,"

   Sahut Bong Thian-gak dengan menghela napas panjang.

   "Apa itu Put-gwa-cin-kau?"

   Si nona membelalakkan mata. Segera Bong Thian-gak sadar dia sedang berhadapan dengan seorang gadis biasa, yang sama sekali tidak mengenal dunia persilatan. Maka sembari menghela napas, katanya kemudian.

   "Bila lukaku telah sembuh nanti, pasti akan kuceritakan semua kejadian yang sebenarnya kepadamu."

   "Aku berdiam dalam lembah sana dekat air terjun, bagaimana kalau kau merawat lukanmu di gubukku saja?" "Mungkin hidupku tak akan lama lagi,"

   Suara Bong Thiangak agak pilu.

   "Kau pasti dapat hidup terus,"

   Hibur si nona dengan suara lembut.

   "Aku tahu kau amat kuat dan gagah, kalau tidak, dengan luka yang begini parah, kau pasti sudah tewas sejak tadi."

   Dengan cepat Bong Thian-gak menggeleng.

   "Aku bukan hanya menderita luka bacokan di sekujur tubuhku, namun juga keracunan."

   Begitu mendengar tentang keracunan, gadis itu berseru pelan.

   "Ah, orang tuaku pun ajal karena keracunan."

   Sampai di situ, mata gadis itu pun memerah, hampir saja air matanya jatuh bercucuran. Agak tertegun Bong Thian-gak oleh ucapan itu, cepat dia bertanya.

   "Orang tuamu telah meninggal? Lantas kau tinggal bersama siapa?"

   "Sejak tiga tahun lalu, ketika kedua orang tuaku meninggal, aku tinggal seorang diri di tempat ini."

   Bong Thian-gak makin terharu mendengar ucapan itu, seorang gadis yang lemah ternyata berdiam seorang diri di tengah lembah yang jauh dari keramaian, sungguh kejadian ini merupakan suatu peristiwa yang aneh.

   Tiga tahun bukan jangka waktu yang pendek, namun dia dapal hidup menyendiri di sana.

   Bong Thian-gak tidak ingin memikirkan hal itu, segera sahutnya.

   "Bila nona bersedia menerimaku, untuk sementara waktu aku akan berteduh di rumahmu."

   Gadis itu gembira sekali, dengan cepat dia berseru.

   "Aku merasa kesepian hidup seorang diri di sini, bila kau bersedia menemaniku, hal ini memang jauh lebih baik."

   Tanpa mengindahkan darah yang mengotori sekujur tubuh Bong Thian-gak, ia segera memapah tubuh pemuda itu, kemudian mereka pelan-pelan berjalan menuju ke arah utara.

   oo Sebuah air terjun yang mengalir dari sembilan puncak, pelan-pelan memuntahkan airnya ke dasar lembah yang dalam.

   Air mengalir mengikuti sebuah sungai yang berliku-liku dan membentang jauh ke depan.

   Di tepi sungai di sebelah kiri air terjun, berdiri tiga buah gubuk.

   Dalam gubuk itu, berdiamlah seorang lelaki dan seorang perempuan.

   Yang lelaki adalah pemuda berlengan buntung, berkaki pincang dan berwajah tampan, hanya sayang wajahnya agak pucat.

   Sedang yang perempuan adalah seorang nona berkulit putih dan berwajah cantik.

   Setiap hari selain menebang kayu mencari kayu bakar, pemuda berlengan tunggal berkaki pincang itu menghabiskan sebagian besar waktunya duduk melamun di atas batu karang di tepi air terjun.

   


Pedang Langit Dan Golok Naga Karya Chin Yung Pedang Abadi -- Khu Lung Misteri Pulau Neraka Karya Gu Long

Cari Blog Ini