Ceritasilat Novel Online

Pendekar Cacad 9


Pendekar Cacad Karya Gu Long Bagian 9



Pendekar Cacad Karya dari Gu Long

   

   Orang itu adalah seorang pemuda berlengan tunggal berusia tiga puluhan, berwajah tampan, terutama sorot matanya yang memancarkan sinar kewibawaan.

   Melihat kemunculan pemuda berlengan tunggal itu, pemuda berbaju putih tadi berseru sambil tertawa terbahakbahak.

   "Hahaha, Jian-ciat-suseng benar-benar memegang janji tidak datang lebih awal, tidak pula terlambat, persis tengah hari."

   "To-tongcu sudah menanti lama rupanya,"

   Kata Bong Thian-gak sambil tersenyum. Rupanya tengah hari ini adalah saat dilangsungkannya duel antara Sin-tong Tongcu Kay-pang yakni To Siau-hou dan Bong Thian-gak. Mendadak To Siau-hou menarik muka, kemudian berkata.

   "Hari ini aku orang she To dapat bertarung dengan saudara, hal ini sungguh merupakan suatu kebanggaan bagiku."

   Bong Thian-gak menghela napas panjang.

   "Kedatanganku memenuhi janji ini sesungguhnya bukan untuk berduel denganmu." "Lantas mau apa kau kemari?"

   Seru To Siau-hou dengan wajah berubah.

   "Aku datang untuk minta maaf kepada To-tongcu, bila kemarin Hui-eng-su-kiam bersaudara dari perkumpulan kami telah mengusik perkumpulan kalian, harap kau sudi memaafkan."

   To Siau-hou tertawa dingin.

   "Apakah kau beranggapan sebagai ketua suatu perkumpulan besar akan kehilangan pamor dan derajat bila berduel denganku?"

   "Oh, tidak!"

   "Hm! Selama sastrawan berkelana di Bu-lim, kau selalu berusaha mencari jago-jago lihai kenamaan untuk diajak berduel, selama tiga bulan terakhir ini entah berapa banyak jago lihai yang telah keok di tanganmu ... cuma selama ini kau belum pernah mencari gara-gara terhadap jago Kay-pang, entah lantaran kau jeri pada nama besar Kay-pang ataukah memang tak ingin berselisih dengan pihak kami."

   "Aku memang tak ingin berselisih dengan orang-orang Kaypang,"

   Kata Bong Thian-gak sambil tersenyum.

   "Seandainya Jian-ciat-suseng berkeinginan menjadi tenar, maka cara yang terbaik adalah mengalahkan para jago Kaypang, dengan cara ini bisa jadi Tiong-yang-hwe akan berhasil menancapkan kaki untuk selamanya dalam Bu-lim."

   "To-tongcu masih muda dan berkepribadian, keberhasilanmu di kemudian hari pasti akan luar biasa, sebagai anak muda yang berjiwa panas, kuanjurkan janganlah kelewat banyak mencari gara-gara, sebab cara ini bukan cara yang baik."

   Bong Thian-gak mengucapkan kata-katanya dengan wajah serius dan bersungguh-sungguh. To Siau-hou tertawa dingin.

   "Sejak enam bulan lalu kuterima jabatan Tongcu bagian Sin-tong partai kami, belum pernah kujumpai seorang jago lihai yang pantas melangsungkan duel denganku, hari ini aku tertarik duel denganmu. Bila kau enggan berduel melawanku hari ini, silakan kau umumkan pembubaran perkumpulan Tiong-yanghwe dari dunia persilatan. Kau mesti tahu, tidak semua umat persilatan senang menyaksikan munculnya partai baru."

   "Bila kuterima tantangan untuk berduel ini?"

   Tanya Bong Thian-gak sambil menarik wajah. To Siau-hou tertawa terbahak-bahak.

   "Hahaha, bila kau sanggup melawanku, To Siau-hou akan mengundurkan diri dari Kay-pang dan selama hidup membaktikan diri untuk Tiong-yang-hwe."

   "To-tongcu, kau sedang bergurau rupanya?!' tanya Bong Thian-gak dengan kening berkerut.

   "Seorang lelaki sejati tak pernah bicara tanpa tanggung jawab."

   "Ai, tidakkah To-heng pikirkan bahwa taruhanmu kelewat besar?"

   To Siau-hou tertawa dingin.

   "Hehehe, jangan kuatir, aku pun mempunyai sebuah syarat."

   "Apa syaratmu?"

   "Bila kau keok, Tiong-yang-hwe harus dibubarkan dengan segera dan Jian-ciat-suseng pun harus menggabungkan diri dengan kaum pengemis."

   "Sayang aku tak bisa menerima syaratmu,"

   Kata Bong Thian-gak dengan tersenyum.

   "Mengapa kau menampik?"

   To Siau-hou berkerut kening.

   "Suatu pertandingan adu kepandaian boleh dibilang suatu perbuatan yang baik bagi kaum persilatan untuk mengukur kepandaian silatnya, buat apa kita mesti bertaruh dengan taruhan yang begitu besar? Apakah To-tongcu sudah yakin dapat menangkan diriku?"

   Tertegun si To Siau-hou mendengar perkataan itu, katanya kemudian.

   "Bila kau yakin bisa menangkan diriku, mengapa tidak kau terima keuntungan ini."

   "Bila kau melepaskan diri dari Kay-pang, sudah dapat dipastikan Pangcu kalian tak akan melepaskan diriku,"

   Ucap Bong Thian-gak dengan suara dalam.

   "Ya, betul,"

   To Siau-hou manggut-manggut.

   "tapi bila Tiong-yang-hwemu makin hari makin bertambah kuat, Kaypang pun tak dapat melepaskan dirimu."

   "To-tongcu, kalau kau sudah bertekad hendak adu kepandaian, cabut pedangmu."

   Ucapan anak muda itu hambar tanpa emosi.

   "Kau tidak melolos pedang?"

   Tanya Giok-bin-giam-lo dingin.

   "Pedangku dilolos bila keadaan sudah membutuhkan."

   Tampaknya To Siau-hou tidak sesombong Mo Sau-pak dari perkumpulan Kim-liong-kiam-san-ceng, dengan cepat tangan kanannya melolos sebilah pedang mustika yang memancarkan cahaya tajam.

   Begitu pedang dilolos, To Siau-hou segera miringkan tubuh ke samping, kemudian tubuh berikut pedangnya langsung menyerang sisi kanan Bong Thian-gak.

   Jurus serangan yang dipergunakan olehnya sangat lamban dan tiada keistimewaan, seolah-olah serangan dilancarkan dengan santai.

   Tapi Bong Thian-gak yang menyaksikan serangan itu justru hatinya begetar, batinnya.

   "Ah! Tay-kek-kiam, ilmu silatnya seperti beberapa kali lipat lebih maju daripada tiga tahun berselang."

   Seperti burung walet terbang di udara, Bong Thian-gak melejit ke atas undak-undakan batu ketiga dan meloloskan diri dari serangan itu.

   Dengan demikian posisi yang ditempati kedua belah pihak persis pada garis undak-undakan yang sama.

   Gagal dengan serangannya, To Siau-hou berseru.

   "Jianciat- suseng memang benar-benar bukan orang sembarangan!"

   Sementara berbicara pedangnya kembali diputar, pelanpelan membacok lagi ke sisi kanan Bong Thian-gak.

   Belum lagi serangannya tiba, terasa segulung hawa dingin yang menusuk tulang menyergap wajahnya.

   Sesudah menyaksikan jurus kedua ini, Bong Thian-gak baru paham apa sebabnya To Siau-hou memandang begitu serius pertaruhan yang diusulkannya tadi, ternyata Giok-bin-giam-lo yang sekarang sudah bukan Giok-bin-giam-lo tiga tahun yang lalu, kepesatan ilmu silat telah mencantumkan namanya di antara jago-jago lihai.

   Dalam tiga tahun yang singkat ternyata To Siau-hou berhasil mendalami ilmu silatnya, maju beberapa puluh kali lipat lebih hebat dari semula, maka dapat dibayangkan kepandaian silat ketua Kay-pang yang mewariskan ilmu silat itu kepadanya benar-benar tak terlukiskan.

   Tiba-tiba Bong Thian-gak bergeser dua undak-undakan lagi untuk menghindarkan diri dari tusukan lawan.

   Tapi To Siau-hou pun tak malu disebut jago lihai, dia tidak memberi kesempatan kepada Bong Thian-gak untuk menempati posisi di atas yang lebih menguntungkan.

   Dengan cepat dia bergeser berebut naik dua undakundakan, angin serangan dingin diiringi desingan cahaya tajam secara beruntun dan tiada habisnya mengurung Bong Thian-gak di bawah bungkusan kabut cahaya pedangnya.

   Ilmu pedang itu bukan lain adalah Tay-kek-kiam-hoat, adalah ilmu pedang Bu-tong-pay, ilmu pedang ciptaan Thio Sam-hong cikal-bakal Bu-tong-pay.

   Ilmu pedang ini mengutamakan tenaga lembut dan halus, dengan tenang menguasai keras.

   Seandainya ada orang bisa melatih ketenangan dan kelembutan Tay-kek-kiam-hoat hingga puncak kesempurnaan, maka jangan harap umat persilatan di dunia ini bisa meloloskan diri dari kurungan cahaya pedang itu dengan selamat.

   Tay-kek-kiam-hoat termasuk ilmu andalan Bu-tong-pay, biasanya hanya para Ciangbunjin yang memperoleh warisan ilmu itu, Bong Thian-gak sungguh tak habis mengerti darimanakah Giok-bin-giam-lo bisa mewarisi kepandaian itu.

   Jian-bin-hu-li (rase sakti seribu li) Ban Li-biau telah mencuri kitab pusaka seantero perguruan yang ada di dunia ini, sudah barang tentu Tay-kek-kiam-hoat pun tidak terkecuali, itulah sebabnya Bong Thian-gak juga menguasai taktik dan rahasia ilmu itu.

   Di tengah kepungan cahaya pedang To Siau-hou yang rapat, dengan gaya yang tak cepat maupun lambat, jurus demi jurus Bong Thian-gak memunahkan semua ancaman lawan.

   Dalam waktu singkat To Siau-hou telah mengeluarkan tiga puluh sembilan jurus Tay-kek-kiam-hoat.

   Makin bertarung To Siau-hou makin kaget, tiba-tiba dia berpekik nyaring, permainan pedangnya segera berubah, dari ilmu pedang Tay-kek-kiam kini dia pergunakan jurus-jurus pedang yang ganas, cepat dan luar biasa.

   Di bawah desakan tiga jurus serangan kilat To Siau-hou, Bong Thian-gak terdesak mundur sejauh tiga undak-undakan.

   Sekali lagi To Siau-hou berpekik nyaring, tubuh dan pedangnya bersatu-padu, kemudian dari bawah menuju ke atas secepat kilat dia lancarkan tusukan ke tubuh Bong Thiangak.

   Di dalam jurus serangannya kali ini dia telah mempergunakan ilmu pedang terbang yang merupakan ilmu pedang tingkat tinggi.

   Tergerak hati Bong Thian-gak, cahaya pedang berkelebat, mau tak mau dia harus melolos pedangnya.

   "Trang", benturan nyaring bergema memecah keheningan. Tiba-tiba saja cahaya pedang sirap, To Siau-hou terdorong sampai undak-undakan batu terakhir, dengan wajah terkejut bercampur seram dia mengawasi pedangnya yang tinggal setengah. Di atas undak-undakan ketiga belas, berdirilah Bong Thiangak dengan wajah serius. Di tangannya terpegang sebilah pedang kayu yang tak bersinar, sementara sorot mata Bong Thian-gak yang tajam sedang mengawasi pedang kayunya yang gumpil sebagian, akhirnya dia menghela napas seraya berkata.

   "To-tongcu, kau telah tertusuk pedangku ini!"

   Sembari berkata, Bong Thian-gak segera menggetarkan tangan kirinya dan patahlah pedang kayu itu menjadi dua bagian. To Siau-hou membuang juga kutungan pedangnya ke tanah, lalu berkata dengan nada yang amat sedih dan duka.

   "Aku kalah, aku kalah ... tiga tahun berlatih dengan tekun ternyata aku tak mampu menghadapi serangan pedang kayu."

   Ketika mengucapkan kata-kata yang terakhir, nada suaranya berubah menjadi sangat lemah seolah-olah setiap saat dia akan menangis tersedu-sedu. Dengan suara lantang Bong Thian-gak berkata.

   "Menang atau kalah adalah wajar dalam suatu pertarungan, To-tongcu, mengapa kau memandang begitu serius masalah menang atau kalah ini."

   To Siau-hou tertawa seram.

   "Kau berada di pihak yang menang, tentu saja tak akan kau pahami bagaimana rasanya menjadi orang yang kalah."

   "Lengan kananku pernah kutung, bukankah ini pertanda suatu kekalahan?"

   Bong Thian-gak berkata dengan suara dalam.

   "padahal To-tongcu tidak kalah di tanganku, apa yang terjadi tak lebih hanya senjata yang menjadi kutung belaka."

   Tertegun To Siau-hou mendengar perkataan itu, serunya.

   "Kau berhasil menang tapi tidak sombong maupun tinggi hati, sikapmu jauh berbeda dengan apa yang tersiar selama ini."

   Bong Thian-gak menghela napas panjang.

   "Ai, apa yang tersiar di Bu-lim memang selalu ditambah dengan bumbu di sana sini supaya kedengarannya hebat dan menggemparkan."

   Mendadak paras muka To Siau-hou berubah serius, kemudian ujarnya dengan nada bersungguh-sungguh.

   "Di antara kelompok kaum pengemis, ilmu silatku ada pada urutan keempat, seandainya kau ingin mengalahkan pula ketiga orang jago lihai kami, rasanya kau mesti berlatih diri lagi selama sepuluh tahun sebelum niatmu itu terlaksana."

   Bong Thian-gak tersenyum.

   "Menurut cerita orang, Liong-thau Pengcu dari Kay-pang adalah seorang hebat di dunia persilatan, sudah barang tentu kepandaian silatnya menempati urutan pertama, tapi siapa pula kedua jago lainnya?"

   "Dua orang jago lihai Kay-pang lainnya adalah para pelindung Pangcu, orang kedua bernama To-pit-coat-to (Golok sakti lengan tunggal) Liu Khi, sedang orang ketiga adalah kakak seperguruanku, Put-mi-kiam (pedang tanpa nyawa) Han Siau-liong."

   "Oh, tidak heran pada tiga tahun berselang pihak Kay-pang berhasil memaksa Put-gwa-cin-kau mengasingkan diri dari keramaian dunia, rupanya kalian mempunyai dukungan jagojago lihai semacam ini untuk menekan Put-gwa-cin-kau."

   To Siau-hou tertawa dingin.

   "Peristiwa Kay-pang mengalahkan orang-orang Put-gwa-cin-kau sudah lama tersebar luas dalam Bu-lim, tapi siapa pula yang tahu kalau tiga tahun berselang Put-gwa-cin-kau dan Kay-pang telah melangsungkan pertarungan besar-besaran?"

   "Aku ingin tahu duduk persoalan yang sesungguhnya dari pertarungan itu, bersediakah kau memberi keterangan kepadaku?"

   To Siau-hou termenung dan berpikir sebentar, kemudian ujarnya.

   "Sebenarnya peristiwa ini merupakan sebuah rahasia dunia persilatan, tapi bolehlah kuberitahukan kepadamu."

   "Terima kasih atas kebaikan To-tongcu."

   "Tiga tahun berselang, Cong-kaucu Put-gwa-cin-kau memimpin Ji-kaucu dan sekalian jago lihainya berangkat ke wilayah Sucwan dimana markas besar Kay-pang berada untuk mengadakan suatu pertandingan ilmu silat, taruhannya waktu itu adalah siapa yang kalah, maka dia wajib mengasingkan diri dari keramaian dunia persilatan selama tiga tahun."

   "Jadi Liong-thau Pangcu dari Kay-pang berhasil mengalahkan Cong-kaucu Put-gwa-cin-kau?"

   Kata Bong Thiangak dengan kening berkerut. To Siau-hou tertawa dingin.

   "Pangcu kami sama sekali tidak turun tangan, sedangkan pihak Put-gwa-cin-kau juga hanya menurunkan Ji-kaucu." "Kepandaian silat Ji-kaucu luar biasa sekali,"

   Seru Bong Thian-gak dengan perasaan bergetar keras. Belum habis berkata, To Siau-hou telah menyambung.

   "Tapi kepandaian silat To-pit-coat-to Liu Khi jauh lebih hebat lagi."

   "Betul, betul!"

   Bong Thian-gak mengangguk.

   "To-pit-coatto Liu Khi sanggup mengalahkan Ji-kaucu, paling tidak kepandaiannya pasti luar biasa sekali."

   "Aku bicara sebanyak ini, tujuanku adalah menganjurkan padamu untuk membubarkan Tiong-yang-hwe dan bergabung dengan pihak Kay-pang, daripada mendatangkan bibit bencana bagi diri sendiri."

   "Apa maksud perkataan To-tongcu ini?"

   Dengan wajah serius To Siau-hou berkata lagi.

   "Baik To-pitcoat- to Liu Khi, maupun kakak seperguruanku si Put-mi-kiam Han Siau-liong, keduanya sudah berhasil melatih kepandaian silat mereka hingga mencapai tingkatan yang luar biasa, kecuali Pangcu kami, mereka tidak berharap ada orang yang sanggup mengungguli mereka, oleh sebab itu cepat atau lambat mereka berdua tentu akan datang mencarimu untuk diajak adu kepandaian."

   Baru selesai ucapan itu diutarakan, mendadak terdengar seseorang berseru dengan suara nyaring.

   "Sekarang juga aku telah datang mencarinya."

   Ucapan itu sangat mengejutkan Bong Thian-gak maupun To Siau-hou, serentak mereka mendongakkan kepala.

   Pada puncak undak-undakan batu, muncul orang berbaju abu-abu yang tinggi besar, berwajah kasar dan bermata bulat, sedang melangkah menghampiri mereka.

   Pada punggungnya tersoreng sebilah pedang yang panjang tebal, bobotnya pun kelihatan amat berat, membuat setiap langkah kakinya menimbulkan suara denting nyaring.

   Lekas To Siau-hou memburu ke depan, sambil membungkukkan badan memberi hormat, katanya.

   "Suheng telah datang rupanya? Bila Sute tak menyambutmu dari jauh, harap kau sudi memaafkan."

   Sementara itu Bong Thian-gak juga sedang berpikir.

   "Agaknya si pendatang ini tak lain adalah jago lihai ketiga Kaypang ... Put-mi-kiam Han Siau-liong."

   
Pendekar Cacad Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Dari sepasang biji mata Han Siau-liong yang jeli dan berkilau, dengan cepat B6hg Thian-gak tahu bahwa ilmu silat orang ini beberapa kali lipat lebih lihai daripada To Siau-hou.

   Sepasang mata Han Siau-liong tajam dan bersinar seperti mata harimau kumbang, di balik ketajaman terselip cahaya kebuasan, kekejian dan keseraman, sementara dari tubuhnya seolah-olah memancar pula bau keliaran yang menggidikkan, membuat orang teringat bau khas binatang buas.

   Han Siau-liong memandang sekejap ke arah To Siau-hou, setelah tertawa terbahak-bahak, katanya.

   "Hahaha, Siau-hou, rupanya kau sudah memberitahukan semua kejelekan kakakmu kepadanya."

   Terhadap kakak seperguruannya ini, To Siau-hou seperti menaruh perasaan jeri, dengan sikap yang sangat hormat lekas sahutnya.

   "Siau-hou tak lebih hanya mengatakan bahwa Suheng adalah seorang yang gila ilmu."

   Gelak tawa Han Siau-liong semakin menjadi-jadi.

   "Betul, betul sekali, Suhu pun sering mengatakan aku adalah orang yang gila ilmu silat."

   Sesudah berhenti sejenak dan mendongakkan kepala memandang sekejap ke arah Bong Thian-gak, dia kembali bertanya.

   "Siau-hou, kau telah dikalahkan olehnya?"

   Dengan cepat To Siau-hou menjawab.

   "Kami baru selesai bertarung dan hasilnya adalah seimbang." "Kau bohong, apakah kau tak ingin Suhengmu membalaskan dendam bagimu?"

   Seru Han Siau-liong sambil melotot.

   "Suheng menganggap aku kalah di tangannya?"

   To Siauhou balik bertanya sambil tersenyum. Pertanyaan ini kontan membuat Han Siau-liong tertegun, segera pikirnya.

   "Benar juga perkataan ini, tiga tahun terakhir ini Sute telah memperoleh gemblengan ketat dari Suhu, bagaimana mungkin dia kalah dengan mudah di tangan orang lain."

   Sementara kedua orang itu berbicara, diam-diam Bong Thian-gak naik ke atas kudanya dan berlalu dari situ.

   Siapa tahu sesosok bayangan orang berwarna abu-abu telah menyambar ke arahnya dengan kecepatan tinggi, sementara kelima jari tangannya dengan cepat menyambar tali kudanya.

   "Mundur!"

   Bentak Bong Thian-gak.

   Lengan kirinya setajam golok langsung membacok ke arah belakang.

   Jurus-jurus serangan Bong Thian-gak ini dilepaskan belakangan, tapi tiba lebih duluan pada sasaran, bayangan orang yang sedang melambung di udara itu buru-buru menarik kembali cengkeramannya, sementara tangannya dibalik dan menyongsong datangnya ancaman telapak tangan kiri Bong Thian-gak.

   "Blam", suara benturan keras menggelegar, di tengah ringkik kuda yang nyaring, Bong Thian-gak berikut kudanya telah menerjang maju. Sebaliknya Han Siau-liong melayang turun, kini dia berdiri dengan wajah sangat terkejut. Dengan cepat To Siau-hou memburu ke depan. Bong Thian-gak yang berada di atas kudanya berkata sambil tersenyum.

   "Kekuatan serangan saudara benar-benar hebat dan kau merupakan jago lihai pertama yang kujumpai selama ini, bila kau anggap ada kepentingan untuk melangsungkan pertarungan, lebih baik kita memilih tempat lain saja di kemudian hari, kita bertarung tiga ratus gebrakan sampai puas."

   Dalam bentrokan tadi, Han Siau-liong merasakan gejolak darah dalam tubuhnya, biarpun dia nampak kasar di luar, sesungguhnya orang ini sangat cermat dan berhati-hati, walau baru satu gebrakan saja, namun dia pun sadar telah bertemu jago lihai.

   Sepanjang hidupnya, belum pernah Han Siau-liong menderita kekalahan, dia tak ingin menderita kekalahan di tangan musuh dengan cepat, ketika mendengar ucapan tadi, ia bertanya.

   "Kaukah Jian-ciat-suseng?"

   "Betul, akulah orangnya,"

   Bong Thian-gak tertawa.

   "selama berada di dalam kota terlarang, mungkin kita akan sering bertemu, nah, sampai berjumpa di lain kesempatan."

   Selesai berkata dia lantas menjura, kemudian melarikan kudanya meninggalkan tempat itu. Memandang bayangan punggungnya yang menjauh, tibatiba Han Siau-liong menghela napas panjang, lalu ujarnya.

   "Kepandaian silat orang benar-benar sangat hebat, mungkin aku atau To-pit-coat-to Liu Khi juga bukan tandingannya."

   To Siau-hou tertegun mendengar ucapan itu, serunya dengan cepat.

   "Han-suheng, kau anggap tenaga dalam Jianciat- suseng masih jauh lebih hebat daripadamu?"

   "Menurut cerita yang tersiar dalam Bu-lim, Jian-ciat-suseng saat ini bagaikan Suhu ketika terjun ke dunia persilatan puluhan tahun berselang, kedahsyatan dan kehebatannya hampir tak berbeda. Mula-mula aku tidak percaya Jian-ciatsuseng itu sanggup dibandingkan dengan kehebatan serta keampuhan Suhu di masa lampau, namun setelah bentrokan hari ini, aku baru menyadari bahwa kesempurnaan tenaga dalamnya memang tak mungkin bisa dilawan oleh siapa pun."

   To Siau-hou menyadari bahwa kepandaian silat kakak seperguruannya ini masih beberapa kali lipat lebih hebat daripada dirinya, namun dia masih tetap tidak percaya Jianciat- suseng benar-benar memiliki kemampuan seperti apa yang dikatakan Suhengnya itu, bahkan Liu Khi pun tak mampu mengungguli dirinya.

   To Siau-hou tertawa terbahak-bahak, kemudian ujarnya.

   "Suheng, nampaknya keangkuhan dan ketinggian hatimu di masa lampau telah berubah? Betul, kepandaian silat Jian-ciatsuseng memang sangat lihai, namun tak nanti sehebat apa yang dilukiskan Suheng barusan."

   "Kalau dalam melancarkan serangan tadi Suheng menyerang dari udara, dan ancaman mencengkeram berubah menjadi pukulan, tenaga yang digunakan otomatis selisih lebih banyak ketimbang lawan, apalagi Jian-ciat-suseng melepas pukulannya dengan duduk di atas pelana kuda, dengan tambahan tenaga terjangan kuda, tidak heran kekuatan yang dia hasilkan lebih sempurna daripada orang lain."

   Sesudah mendengar penjelasan To Siau-hou ini, Han Siauliong berpendapat ucapan itu memang benar, maka setelah menghela napas, katanya dengan suara rendah.

   "Semoga saja apa yang kau duga memang betul, kalau tidak, Suhu akan mendapat seorang musuh tangguh!"

   Tiba-tiba To Siau-hou berpaling dan memandang sekejap ke arahnya, lalu bertanya.

   "Suheng, Suhukah yang mengirim kau untuk membantuku?"

   "Ketika Suhu menerima surat kilat Sute yang mengatakan bahwa pihak Put-gwa-cin-kau sedang mencari sejumlah harta karun ... tampaknya dia orang tua pun segera teringat bahwa harta karun itu bisa jadi merupakan harta peninggalan raja muda Mo-lay-cing-ong seratus tahun lalu, itulah sebabnya beliau lantas mengutus aku datang membantu Sute guna melaksanakan tugas besar ini."

   To Siau-hou manggut-manggut.

   "Apa yang diduga Suheng memang tepat sekali, beberapa hari ini aku memang telah berhasil menyelidiki persoalan itu hingga jelas, harta karun yang dimaksud memang benarbenar merupakan harta karun peninggalan raja muda Mo-laycing- ong."

   "Harta karun Mo-lay-cing-ong mempunyai sangkut-paut yang sangat besar dengan Kay-pang kita, maka kita bertekad mendapatkannya walaupun dengan pengorbanan apa pun, To-sute, cepat kau tuturkan keadaan yang sebenarnya kepadaku."

   "Dalam penyelidikanku selama beberapa hari ini, dapat diketahui bahwa pihak yang mengetahui rahasia tentang harta karun Mo-lay-cin-ong ini selain Put-gwa Cin Kua tampaknya masih ada orang-orang Hiat-kiam-bun, ditambah kita berarti ada tiga kekuatan yang mengincarnya."

   Han Siau-liong termenung dan berpikir beberapa saat, lalu tanyanya.

   "Apakah Jian-ciat-suseng mengetahui rahasia ini?"

   "Tahu atau tidak bukan masalah, sebab dengan kekuatannya seorang, rasanya mustahil untuk mendapatkan harta karun Mo-lay-cing-ong itu."

   "Dimanakah letak harta karun itu dipendam?"

   "Soal ini tampaknya kita pihak Kay-pang kalah selangkah, sebab hingga kini masih belum begitu jelas. Tapi yang pasti berada pada radius sepuluh li seputar kota terlarang ini."

   "Semalam aku berhasil memperoleh berita gembira, orangorang Hiat-kiam-bun sedang mencari orang ini, seorang umat persilatan yang pertama mengetahui harta karun itu." "Siapakah dia?"

   "Long Jit-seng dari lautan timur."

   "Apakah orang ini masih berada di sekitar kota terlarang?"

   "Konon orang ini sudah berhasil menyusup masuk ke dalam wilayah harta karun itu, sudah barang tentu dia berada di seputar kota terlarang."

   "Tugas pertama kita sekarang adalah menemukan jejak Long Jit-seng,"

   Ujar Han Siau-liong kemudian dengan kening berkerut. To Siau-hou manggut-manggut.

   "Benar, konon bangunan penyimpanan harta karun Mo-laycing- ong adalah hasil bangunan Susiok-co Long Jit-seng. Tempat harta karun itu disimpan dipasang berbagai alat rahasia yang amat hebat, di dunia saat ini hanya Long Jit-seng yang sanggup mematahkan alat-alat itu, oleh sebab itulah orang-orang Hiat-kiam-bun dengan cepat telah mengadakan hubungan dengan Long Jit-seng."

   "Kalau begitu bukankah usaha kita akan sia-sia belaka?"

   To Siau-hou menggeleng.

   "Biarpun pihak Hiat-kiam-bun sudah mengadakan hubungan dengan Hek-ki-to-cu, namun syarat yang mereka kemukakan tidak ada kecocokan, sehingga kerja sama itu nampaknya batal!"

   Han Siau-liong termenung sebentar, kemudian katanya dengan suara dalam.

   "Bagaimana pun juga kita harus melindungi Long Jit-seng."

   "Telah kuutus segenap anggota ruang Sin-tong untuk menyebar diri dan mencari kabar Long Jit-seng, mari kita cepat pulang sambil menanti kabar."

   Oo Hong-kong-si adalah sebuah kompleks kuil yang terdiri dari dua ruang besar dan belasan bilik kecil, di balik tembok pekarangan yang tinggi, tumbuh rimbun pepohonan bambu nan hijau.

   Dipandang dari jauh, tempat pengasingan ini sepi dan tenang.

   Ketika orang memasuki bangunan itu, maka terlihatlah daun kering melapisi seluruh permukaan tanah, debu tebal menyelimuti lantai ruangan, sarang laba-laba menghiasi patung arca dan peralatan, pada hakikatnya kuil ini yang sudah lama terbengkalai.

   Dalam satu tahun, belum tentu nampak cahaya lentera di dalam kuil itu, tapi malam ini, dari tujuh buah bilik di belakang ruang depan berkedip cahaya lilin.

   Rupanya selewat tengah hari tadi, ada enam orang laki perempuan yang secara diam-diam masuk ke dalam kuil Hong-kong-si, mereka terdiri dari Jian-ciat-suseng Bong Thiangak, Long Jit-seng serta Hui-eng-su-kiam.

   Malam semakin bertambah larut, Long Jit-seng dan Huieng- sukiam telah memasuki bilik masing-masing untuk beristirahat, hanya tinggal Bong Thian-gak yang nampak masih duduk menepekur di depan jendela sambil mendengarkan bunyi daun bambu yang bergoyang terhembus angin.

   Sementara dalam benaknya terlintas bayangan tubuh seorang gadis yang lemah lembut tak bertenaga.

   "Ai, sudah hampir empat bulan aku meninggalkan Leng-hui, saat ini mungkin kehidupannya akan dilewati bagaikan bertahun-tahun."

   Bong Thian-gak adalah seorang lelaki sejati yang romantis, namun penuh dengan tanggung jawab, Song Leng-hui telah menjadi istrinya, setiap waktu dia selalu merindukannya, menguatirkan nasibnya ...

   terutama bila tengah malam tiba, di saat suasana menjadi hening dan tak terdengar suara sedikit pun, bayangan Song Leng-hui selalu muncul di hadapannya.

   Ada kalanya Bong Thian-gak kuatir akan keselamatan Song Leng-hui, gadis yang hidup menyendiri di tengah gunung terpencil, mungkinkah dia diserang serigala ganas, diterkam harimau buas.

   Bila semua ini mulai muncul, ingin sekali secepatnya dia kembali ke sisinya.

   "Ai, Leng-hui, wahai Leng-hui, seandainya kau bisa meninggalkan gunung dan hidup mendampingiku, betapa bahagianya aku."

   "Ah, tidak! Setiap hari aku hidup bergelimpangan di ujung golok, aku tak boleh membiarkan dia kuatir ... harus kutunggu sampai Tiong-yang-hwe kuat dan digdaya sebelum dia kujemput kemari."

   Berpikir sampai di situ, mendadak Bong Thian-gak menaruh suatu harapan aneh terhadap kuil Hong-kong-si itu.

   Andaikata Hong-kong Hwesio bersedia memberikan tempat ini kepadanya, dia hendak menjadikan tempat ini sebagai markas besar Tiong-yang-hwe.

   Teringat akan diri Hong-kong Hwesio, tanpa terasa Bong Thian-gak berpikir kembali.

   "Aku telah pindah kemari, menurut aturan, sudah sepantasnya bila kujumpai dulu Hong-kong Hwesio."

   Pelan-pelan dia bangkit, kemudian beranjak dari ruangan.

   Sejak pindah ke situ tiga hari lalu, Bong Thian-gak belum sempat memperhatikan keadaan sekeliling tempat itu, maka saat ini dia berjalan di tengah kegelapan malam dengan santai.

   Tiba di ruang tengah bagian belakang, tanpa terasa pemuda itu menghentikan langkahnya.

   Rupanya gedung belakang ini merupakan tempat tinggal Hong-kong Hwesio bersama ketiga muridnya, dari Long Jitseng diketahui bahwa Hong-kong Hwesio berempat tidak senang kalau ketenangan mereka diusik orang lain.

   Maka Bong Thian-gak tak berani maju lebih ke depan, apalagi suasana di ruangan itu gelap gulita dan tak terdengar sedikit suara pun.

   Coba kalau Long Jit-seng tidak memberitahukan hal itu lebih dahulu kepadanya, siapakah yang akan menduga kalau di dalam ruangan itu berdiam Hong-kong Hwesio dan muridmuridnya? Setelah berhenti beberapa saat di situ, Bong Thian-gak sudah siap membalikkan badan untuk berlalu dari situ.

   Mendadak dari halaman gedung sebelah selatan berkumandang suara langkah kaki seseorang.

   Dengan kening berkerut Bong Thian-gak segera menyelinap ke balik sebuah tiang penyangga gedung, tepat di samping pintu gerbang yang gelap gulita.

   Tidak selang lama kemudian dari balik pintu telah muncul dua sosok bayangan orang.

   Ketika Bong Thian-gak dapat melihat jelas wajah kedua orang itu, tanpa terasa ia berpikir dalam hati.

   "Ah, Thia Lengjuan dan Long Jit-seng."

   Benar, orang yang baru muncul dari balik pintu tak lain adalah seorang sastrawan berbaju biru berusia tiga puluh tahun serta seorang kakek berbaju hitam.

   Mereka memang Thia Leng-juan serta Long Jit-seng.

   Kedua orang itu seperti sudah saling mengenal satu sama lain, keadaan itu segera menimbulkan kecurigaan Bong Thiangak.

   Mendadak terdengar Thia Leng-juan berbisik.

   "Long-tocu, aku benar-benar tidak habis mengerti apa sebabnya kau bertindak begitu gegabah, bergabung dengan Tiong-yang-hwe memang bukan masalah, tapi mengapa kau mengajak Jianciat- suseng sekalian datang ke kuil Hong-kong-si ini?"

   Long Jit-seng tertawa dingin.

   "Jian-ciat-suseng telah mengetahui rahasia harta karun Mo-lay-cing-ong, barang siapa mengetahui rahasia itu, dia tak dapat dibiarkan hidup terus."

   "O, jadi kau ingin mempergunakan kekuatan Hong-kong Hwesio untuk membunuh Jian-ciat-suseng? "

   Tanya Thia Lengjuan. Long Jit-seng tersenyum.

   "Kepandaian silat Jian-ciat-suseng tidak di bawah kemampuan siapa pun dalam Put-gwa-cin-kau, bila ingin menghabisi nyawanya, kecuali Hong-kong Hwesio, mampukah kita menghabisi nyawanya?"

   Peluh dingin segera keluar membasahi tubuh Bong Thiangak sesudah mendengar perkataan itu, mimpi pun dia tak mengira kalau Long Jit-seng telah memperhitungkan dengan sebaik-baiknya bagaimana melenyapkan dirinya dari muka bumi.

   Coba kalau rencana keji Long Jit-seng ini tidak terbongkar secara kebetulan pada malam ini, bisa dibayangkan dia bisa terperangkap dan mati konyol.

   "Ai, aku benar-benar kelewat ceroboh dan gegabah,"

   Ia berpikir.

   "mengapa aku begitu menaruh kepercayaan kepada Long Jit-seng?"

   Saat itu juga Bong Thian-gak telah mendapat semacam pelajaran, yaitu tak boleh mempercayai orang begitu saja. Pelan-pelan Thia Leng-juan berkata lagi.

   "Setelah melalui suatu pertimbangan yang mendalam, aku pikir kita tidak usah seawal ini menghabisi nyawa Jian-ciat-suseng."

   "Mengapa?"

   "Pihak yang mengetahui harta karun ini selain Put-gwa-cinkau, masih ada lagi orang-orang Hiat-kiam-bun dan Kay-pang, orang-orang dari kedua partai itu pun sudah mulai menelusuri jejakmu sekarang, tampaknya mereka bertekad untuk mendapatkan dirimu dengan cara apa pun."

   "Bila sekarang juga kita pergunakan Hong-kong Hwesio bertiga untuk melindungimu, maka kita tak akan berhasil mendapatkan harta karun itu."

   Long Jit-seng segera manggut-manggut.

   "Benar, Hong-kong Hwesio bertiga sedang memusatkan segenap pikiran dan perhatian untuk mempelajari peta harta karun itu, mereka memang belum punya waktu untuk menampakkan diri."

   Mendengar ucapan itu, sekali lagi Bong Thian-gak berpikir.

   "Oh, rupanya Hong-kong Hwesio dan murid-muridnya bukan sedang mengasingkan diri dalam ruangan itu. Hahaha, sungguh tak kusangka pikiranku begitu polos, dengan amat mudahnya berhasil dikelabui oleh Long Jit-seng."

   "Tapi siapakah Hong-kong Hwesio yang sebenarnya? Lihaikah ilmu silatnya. Dari pembicaraan Thia Leng-juan dan Long Jit-seng, kepandaian silat Hong-kong Hwesio pasti amat sempurna."

   Belum habis ingatan itu melintas, terdengar Thia Leng-juan telah berkata lagi.

   "Itulah sebabnya untuk sementara waktu kita tak perlu menghabisi nyawa Jian-ciat-suseng."

   "Tapi bila Jian-ciat-suseng lama berdiam di sini dan suatu saat dia akan mengetahui rahasia kita, bagaimana kita mesti menghadapinya?" "Selama Hong-kong Hwesio bertiga tidak menampakkan diri, bagaimana mungkin Jian-ciat-suseng dapat mengetahui rahasia mereka bertiga?"

   Hek-ki-to-cu merasa ucapan itu ada benarnya juga, maka sesudah termenung sebentar dia bertanya lagi.

   "Benarkah Jikaucu Put-gwa-cin-kau mempunyai kemampuan untuk menghadapi alat-alat rahasia itu dan menemukan harta karun?"

   "Ji-kaucu ahli ilmu falak yang hebat, dia pun mahir ilmu bangunan tanah serta berbagai kepandaian lainnya, namun tanpa peta rahasia itu, betapa pun lihainya dia, jangan harap bisa mendahului kita."

   Pendekar Cacad Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Tampaknya Ji-kaucu sudah tidak mempercayai dirimu lagi,"

   Kembali Long Jit-seng berujar. Mendengar ucapan terakhir ini, tiba-tiba saja hati Bong Thian-gak bergetar keras, segera pikirnya.

   "Thia Leng-juan, mungkinkah dia yang menyelundup ke dalam tubuh Put-gwacin- kau?"

   Satu ingatan cepat melintas dalam benak Bong Thian-gak, ia teringat nada suara, bentuk badan serta gerak-gerik Samkaucu Put-gwa-cin-kau yang dijumpainya semalam.

   Teringat semua itu, hampir saja Bong Thian-gak menjerit keras.

   Rupanya Sam-kaucu Put-gwa-cin-kau tak lain tak bukan adalah Thia Leng-juan.

   Dalam waktu singkat teka-teki yang sukar dijawab melintas dalam benak Bong Thian-gak.

   Dengan cara apakah Thia Leng-juan menjadi Sam-kaucu Put-gwa-cin-kau? Bagaimana mungkin dia bisa memperoleh kepercayaan Cong-kaucu? Sebagaimana diketahui, Thia Leng-juan pernah bekerja sama dengan Bong Thian-gak membunuh Sam-kaucu di masa lalu, bukan saja dia musuh bebuyutan Put-gwa-cin-kau, bahkan termasuk salah seorang yang tercantum dalam daftar hitam Put-gwa-cin-kau untuk dibunuh.

   Bagaimana mungkin Cong-kaucu Put-gwa-cin-kau bisa menerima dirinya? Lantas kemana perginya Ho Put-ciang beserta segenap orang-orang dari Bu-lim Bengcu? Saat ini Bong Thian-gak sudah banyak curiga terhadap Thia Leng-juan.

   Sementara itu Thia Leng-juan telah berkata lagi.

   "Long-tocu tak perlu kuatir, ketika menjabat sebagai Sam-kaucu Put-gwacin- kau, aku masih tetap Thia Leng-juan, nyatanya Congkaucu sangat menaruh kepercayaan kepadaku, biarpun Jikaucu rada kurang percaya. Dalam anggapan Cong-kaucu, Jikaucu hanya merasa kedudukannya terancam oleh kehadiranku, jadi reaksi spontan yang wajar, mustahil dia akan mencurigai diriku."

   Dengan ucapan itu, Thia Leng-juan telah menjelaskan pula bagaimana caranya dia memperoleh kepercayaan dari Congkaucu. Long Jit-seng tertawa.

   "Apakah kau sudah berhasil menyelidiki identitas serta riwayat hidup Cong-kaucu?"

   Thia Leng-juan segera menggeleng.

   "Belum berhasil, tapi bisa jadi aku akan berhasil melihat raut wajah aslinya malam nanti."

   "Hehehe, hati-hati, kau jangan sampai terpikat olehnya,"

   Seru Long Jit-seng sambil tertawa.

   "Perempuan yang ada di dunia ini hanya Si-hun-mo-li seorang yang paling memikat hati, bagaimana mungkin aku bisa tergoda setelah saban hari bergaul dengannya? "

   "Kau ingin berjumpa dengan Hong-kong Hwesio?"

   Thia Leng-juan mendongakkan kepala memandang cuaca, lalu menjawab.

   "Saat kentongan ketiga tinggal setengah jam lagi, aku sudah tak punya banyak waktu lagi."

   "Beberapa hari ini Hong-kong Hwesio sedang sibuk, alangkah baiknya bila kita tak mengganggu konsentrasi dan perhatiannya."

   "Baiklah, kalau begitu aku mohon diri lebih dulu. Kau harus baik-baik menghadapi Jian-ciat-suseng, paling penting harus kau selidiki dulu asal-usulnya."

   Selesai berkata dia membalikkan badan dan segera berlalu.

   Long Jit-seng memperhatikan pula keadaan sekeliling tempat itu, kemudian dia pun turut berlalu dari sana.

   Bong Thian-gak sendiri seperti sukma gentayangan mengejar ke gedung belakang.

   Di bawah cahaya rembulan dia saksikan sesosok bayangan orang sedang bergerak di depan sana, Bong Thian-gak tahu orang itu adalah Thia Leng-juan, maka dia segera menguntitnya secara diam-diam.

   Dia harus mengikuti Thia Leng-juan, sebab dia ingin turut menyaksikan muka asli Cong-kaucu.

   Dia pun ingin mengetahui nasib para jago yang semula berdiam dalam gedung Bu-lim Bengcu.

   Bong Thian-gak perlu keterangan langsung dari Thia Lengjuan, tapi pemuda itu pun menaruh perasaan ngeri bercampur seram, dia kuatir Ho Put-ciang serta rekan-rekannya sudah terbunuh.

   Bagaimana pun juga dia pernah menyaksikan kekejaman serta kebuasan Thia Leng-juan ketika membunuh Kau hubuncu Hiat-kiam-bun, apalagi caranya memerintah Si-hunmo- li untuk mencelakai umat persilatan.

   Dilihat dari segala gerak-gerik serta perbuatan itu, tampaknya Thia Leng-juan bukan seorang Enghiong yang berjiwa lurus.

   Mungkin dia telah mengubah pendirian dan takluk kepada kekuasaan kaum siluman dan iblis.

   oo Di tepi jalan raya Hong-sia, tepatnya berada di sebidang tanah perkebunan yang luas, berdiri anggun sebuah gedung mungil yang indah dan megah.

   Di sebelah kiri bangunan itu berdiri sebuah loteng bertingkat tiga, cahaya lentera memancar keluar dan menyinari sekitarnya seperti siang hari saja.

   Dalam keheningan malam, tiba-tiba muncul sesosok bayangan orang melompat ke atas sebatang pohon Pek-yang dengan lincah seperti seekor monyet, tubuhnya enteng, gerakgeriknya cepat seperti kilat, dalam waktu singkat bayangan tubuhnya sudah lenyap.

   Baru saja bayangan orang itu menyembunyikan diri, seorang pemuda berbaju biru sudah muncul dari balik pepohonan dan menuju ke arah gedung itu.

   Dengan cepatnya sastrawan berbaju biru itu menuju ke arah loteng bertingkat tiga tadi.

   Melihat hal itu, orang yang berada di pohon Pek-yang tadi segera berpikir.

   "Mungkin gedung itu adalah tempat tinggal Thia Leng-juan."

   Di dalam kota terlarang ternyata Thia Leng-juan memiliki tempat tinggal sedemikian banyaknya, mau tak mau Bong Thian-gak segera berpikir dengan kening berkerut.

   "Thia Leng-juan benar-benar licik dan banyak akal muslihatnya."

   Beberapa saat kemudian, Thia Leng-juan telah muncul di tepi jendela loteng tingkat ketiga.

   Kini dia telah berganti pakaian dengan satu stel jubah biru yang baru dan di tangan kirinya membawa sebuah kipas, gayanya tak beda dengan seorang lelaki romantis.

   Senyuman cerah menghiasi wajah Thia Leng-juan pada saat itu.

   Ia mendongakkan kepala memandang keadaan cuaca, kentongan ketiga telah menjelang.

   Mendadak Bong Thian-gak yang berada di atas pohon Pekyang mengendus bau harum bunga anggrek yang tersiar kemana-mana.

   Bau harum bunga anggrek itu sangat tajam dan merupakan ciri khas kehadiran Cong-kaucu Put-gwa-cin-kau.

   Sementara itu Thia Leng-juan telah berkata dengan suara nyaring.

   "Sam-kaucu dengan hormat menantikan kehadiran Cong-kaucu!"

   Baru selesai ucapan itu, Bong Thian-gak telah menyaksikan sesosok bayangan orang melayang turun di hadapannya dan berjalan masuk ke dalam loteng tingkat tiga, langsung menuju ke depan Thia Leng-juan.

   Ilmu meringankan tubuh Peng-poh-cim-im (melangkah datar awan hijau) Cong-kaucu benar-benar sangat hebat, bagaikan bidadari yang baru turun dari kahyangan.

   Bong Thian-gak tertegun menyaksikan kejadian itu, sebab di kolong langit dewasa ini rasanya belum terdapat orang kedua yang memiliki ilmu meringankan tubuh sehebat ini.

   Di tambah lagi udara di sekeliling tempat itu seakan-akan diliputi bau harum bunga anggrek yang begitu lembut, hal itu membuat orang beranggapan Cong-kaucu adalah jelmaan dari bidadari kahyangan.

   Cong-kaucu Put-gwa-cin-kau yang serba misterius kini berdiri membelakangi jendela, sayang Bong Thian-gak tak sempat melihat jelas paras mukanya.

   Perempuan itu mengenakan pakaian sutera warna putih yang lembut, perawakan tubuhnya nampak sedikit agak gemuk, namun montok dan kenyal, mendatangkan suatu daya rangsang aneh bagi pria yang melihatnya.

   Rambutnya disanggul model keraton, untaian mutiara menghiasi lehernya, sedangkan sebutir batu kemala hijau yang tak ternilai harganya tersisip di ujung tusuk kondenya.

   Thia Leng-juan seakan-akan dibuat terkesima oleh paras muka Cong-kaucu, sepasang matanya mengawasi perempuan itu dengan terkesima, tak sepatah kata pun sanggup diucapkan.

   Bong Thian-gak ingin sekali menyaksikan paras muka Cong-kaucu, apa mau dikata, perempuan itu justru berdiri membelakanginya.

   Dari bentuk tubuhnya arah belakang, usia perempuan ini sekitar tiga puluh tujuh-delapan tahun.

   Mendadak suara merdu merayu bergema dari mulut Congkaucu.

   "Sam-kaucu, mengapa seperti bertemu orang asing saja?"

   Teguran itu segera menyadarkan Thia Leng-juan dari lamunan, dengan cepat dia berseru tertahan.

   "Paras muka Cong-kaucu benar-benar anggun, cantik dan menawan hati, jauh di luar dugaanku, ai ... mungkin hal ini disebabkan baru sekali ini kusaksikan wajah asli Cong-kaucu."

   Mendadak Cong-kaucu tertawa cekikikan.

   "Sam-kaucu tak usah banyak adat, perjumpaan malam ini hanya kita berdua."

   Suara tawanya penuh dengan kekuatan daya pikat yang membetot sukma, tidak ada pria yang tak terpengaruh oleh keadaan itu.

   Kecuali Thia Leng-juan sudah buta matanya atau dia sudah menduga maksud tujuan undangan Cong-kaucu malam ini, kalau tidak, mustahil dia bisa menahan diri.

   Sebaliknya bagi wanita yang sudah lama hidup menyendiri, perjumpaan berduaan semacam begini pasti akan menimbulkan gairah yang luar biasa, apalagi Cong-kaucu adalah perempuan berpengaruh, bagaimana mungkin dia mampu berpuasa lama? Dengan senyuman penuh arti, Thia Leng-juan segera berkata.

   "Silakan duduk Cong-kaucu, aku telah menyiapkan sayur dan arak."

   Seusai berkata, dia membalikkan badan dan masuk ke ruang dalam, beberapa saat kemudian dia telah muncul dengan membawa baki berisi hidangan yang lezat, hidangan memang telah disiapkan.

   Cong-kaucu duduk dekat jendela, sedang Thia Leng-juan duduk persis di hadapannya.

   Bong Thian-gak yang bersembunyi di luar jendela dapat menyaksikan gerak-gerik kedua orang itu dengan jelas, dia pun dapat melihat bagaimana Thia Leng-juan melayani pimpinannya itu dengan gaya sehalus mungkin.

   Setelah perjamuan berlangsung beberapa saat, rayuan Cong-kaucu kian merangsang, tiba-tiba dia berbisik.

   "Samkaucu, bersediakah kau menghiburku malam ini hingga aku puas?"

   Mendadak Thia Leng-juan bangkit, lalu merangkul tubuh Cong-kaucu dan membopongnya. Ia merasakan tubuh perempuan itu halus lembut seolaholah tidak bertulang, terutama bau harum yang teruar dari tubuhnya membuat setiap pria terangsang.

   "Cong-kaucu, kau sungguh amat cantik,"

   Bisik Thia Lengjuan sambil tertawa lirih.

   "Ehmm ... bagian yang tercantik belum sempat kau lihat..."

   "Tapi sebentar lagi akan kulihat juga."

   "Cukup satu kali, selama hidup kau takkan melupakannya."

   "Hihihi, aku rada kurang percaya."

   "Tidak percaya? Sekarang kau buktikan, kau akan mengetahui bagaimana rasanya."

   "Mimpi pun aku orang she Thia tak pernah mengira suatu hari Cong-kaucu bisa berada dalam pelukanku."

   "Aku kan seorang perempuan!"

   "Betul, kau seorang perempuan, perempuan yang paling aneh, dan misterius di dunia ini."

   "Tapi bagian yang terahasia belum kau temukan?"

   "Sebentar lagi tempat rahasiamu akan kumasuki ... ooh ... rayuan semacam ini sungguh membuat aku tak tahan."

   Sebuah pembaringan, selembar kain kelambu ....

   Kain kelambu tertutup rapat....

   Thia Leng-juan telah berubah ganas, seganas serigala atau harimau kelaparan, sedangkan Cong-kaucu berubah begitu lemah dan lembut, seperti gadis perawan yang sedang diperkosa orang.

   Suara tertawa jalang, kata-kata porno yang jorok, serta rintihan yang memikat, membuat darah orang mendidih.

   Bong Thian-gak yang bersembunyi di atas pohon Pek-yang sampai memejamkan mata, namun suara cabul yang begitu merangsang membuat pikiran dan perasaannya menjadi kacau.

   Ia sangat menyesal, kenapa bersembunyi sedemikian dekat.

   "Cong-kaucu ... ampunilah aku ... ampunilah, aku sudah hampir mati...."

   Seruan lirih mendadak bergema.

   Bong Thian-gak mendongakkan kepala dan terkejut.

   Ia saksikan tubuh Cong-kaucu sedang melilit tubuh Thia Leng-juan seperti seekor ular berbisa, melilit dengan kencangnya.

   Sekarang Bong Thian-gak baru dapat melihat jelas perawakan tubuh Cong-kaucu yang indah serta selembar wajah yang cantik molek.

   Tapi sekarang pada hakikatnya perempuan itu telah berubah menjadi seorang perempuan jalang penghisap darah.

   Suara tertawanya yang jalang serta getaran tubuhnya yang amat keras hakikatnya telah menindas Thia Leng-juan sehingga tak berwujud manusia lagi.

   Peluh sebesar kacang bercucuran membasahi tubuh Thia Leng-juan, wajahnya tampak gembira serta nikmat luar biasa.

   Bong Thian-gak tidak menyangka akan menyaksikan adegan semacam ini, Cong-kaucu benar-benar mirip iblis perempuan, siluman perempuan dan perempuan jalang....

   Mendadak satu ingatan melintas dalam benak Bong Thiangak.

   "Mengapa tak kumanfaatkan kesempatan di saat dia sedang terpengaruh hawa napsu untuk menghabisi nyawanya ... biasanya perempuan yang bagaimana pun hebatnya, bila sedang berada dalam keadaan seperti ini, kepandaian saktinya tidak nanti bisa dikembangkan."

   Belum habis ingatan itu melintas, mendadak terdengar Thia Leng-juan menjerit kaget.

   Tampak matanya terbelalak, sekujur tubuhnya gemetar keras.

   Bong Thian-gak tahu, keadaan seperti ini hanya dialami oleh seorang yang sedang mencapai puncak kenikmatan.

   "Betul-betul manusia yang tidak berguna!"

   Umpat Congkaucu sambil tertawa.

   Dengan cepat dia mendorong tubuh lelaki itu, dengan lemas tak bertenaga Thia Leng-juan segera berguling, sepasang matanya yang memukau itu tiba-tiba dialihkan ke atas pohon Pek-yang di luar jendela.

   Terkesiap hati Bong Thian-gak menyaksikan kejadian itu, pikirnya.

   "Wah, jangan-jangan dia sudah menemukan jejakku?"

   Akhirnya Cong-kaucu buka suara, katanya dengan suara lembut.

   "Aku benar-benar tidak percaya di dunia ini masih terdapat lelaki yang sama sekali tak tergerak hatinya menyaksikan adegan panas yang berlangsung di depan hidungnya."

   Mendengar perkataan ini, diam-diam Bong Thian-gak membatin.

   "Aduh celaka, ternyata dia telah mengetahui jejakku. Hmm! Aku tak percaya dalam keadaan bugil kau bisa berbuat sesuatu kepadaku ...."

   Diiringi suara tawa menyeramkan, Bong Thian-gak melompat keluar dari atas pohon Pek-yang dan menerobos masuk melalui jendela.

   Sekarang ia dapat menyaksikan dengan jelas paras muka asli Cong-kaucu, bukan hanya wajah aslinya, bahkan setiap bagian rahasia tubuhnya dapat terlihat dengan nyata.

   Cong-kaucu sungguh merupakan seorang perempuan tidak tahu malu, tanpa canggung dia turun dari pembaringan dan berjalan ke hadapan Bong Thian-gak dalam keadaan bugil.

   Bong Thian-gak tak berani memandang lebih jauh, dia meludah dan katanya dingin.

   "Kalau disuruh mencari perempuan manakah di dunia ini yang paling tak tahu malu, orang itu sudah pasti kau!"

   Cong-kaucu tertawa terkekeh-kekeh.

   "Kalau aku tak tahu malu, kau lebih-lebih tak tahu malu."

   Merah padam wajah Bong Thian-gak mendengar umpatan itu, serunya.

   
Pendekar Cacad Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Hei, mengapa kau belum juga mengenakan pakaian?"

   Cong-kaucu tertawa jalang "Sepasang matamu sudah kaku dan mendelong, aku berpakaian atau tidak, rasanya sudah bukan masalah lagi."

   "Kau tahu siapa aku?"

   Tegur Bong Thian-gak dingin.

   "Jian-ciat-suseng."

   Kembali Bong Thian-gak tertawa dingin.

   "Andaikata aku uarkan kejadian memalukan yang kusaksikan malam ini, tentu segenap umat persilatan akan tahu, akan aku lihat apakah kau punya muka untuk memimpin Put-gwa-cin-kau atau tidak?"

   "Kau tak nanti bisa berbuat demikian."

   "Mengapa?"

   "Bila kau tidak bersedia takluk kepadaku malam ini, hanya jalan kematian yang akan kau hadapi."

   "Kau yakin pasti berhasil?"

   "Tiada lelaki di dunia ini yang tidak pernah terbayang dan tergila-gila setelah bermain cinta denganku, aku yakin tiada lelaki yang akan terlepas dari cengkeramanku."

   "Tampaknya kau mempunyai keyakinan yang luar biasa atas kecantikan wajahmu?"

   Jengek Bong Thian-gak dingin.

   "Aku yakin kecantikan Se Si pun tak akan bisa mengungguli aku."

   Bong Thian-gak mengamati sejenak wajah perempuan itu, lalu manggut-manggut.

   "Ya, sayangnya kau sudah tua!"

   Gemetar keras sekujur badan Cong-kaucu sesudah mendengar perkataan itu, tanyanya.

   "Benarkah aku sudah tua?"

   Bong Thian-gak memang ada maksud menghina dan mencemooh perempuan itu, paling baik bila dapat melukai hatinya.

   "Menurut pandanganku, biarpun kau pergunakan minyak wangi dan pupur serta gincu yang terbaik dan termahal di dunia ini untuk mendandani wajahnya, tetap tidak bisa menghilangkan kerutan tuamu yang makin nyata, yang lebih menggelikan lagi, masa kau menganggap dirimu masih mempunyai daya tarik dan daya rangsang yang luar biasa? Hm, terus terang saja aku beritahukan, manusia macam Thia Leng-juan bisa takluk di bawah ketiakmu, hal ini bukan dikarenakan dia\tergiur oleh kecantikanmu, sesungguhnya dia terpesona oleh rangsangan napsu dan terbuai dalam pelampiasan hawa napsu belaka."

   Agaknya Cong-kaucu takut mendengar orang lain mengatakan dia tua dan tidak cantik.

   Sekarang ia benar-benar membenci Bong Thian-gak, sedemikian bencinya hingga kalau bisa merobek-robek tubuhnya, mencorong sorot mata tajam penuh kebencian dari balik matanya.

   Mendadak dia berkelebat maju, lalu menyambar pakaiannya yang berserakan di atas pembaringan.

   Melihat tingkah-lakunya yang konyol itu, Bong Thian-gak tertawa terbahak-bahak.

   Di tengah gelak tawanya yang keras, pemuda itu melejit dan melayang keluar jendela.

   Pada dasarnya ilmu meringankan tubuh Bong Thian-gak sudah mencapai puncaknya, dengan sikap yang sinis dan memandang rendah dia tertawa seram, secepat kilat tubuhnya berkelebat pergi dan menjauh dari situ.

   Dalam waktu singkat bayangan tubuhnya sudah lenyap di balik kegelapan malam.

   Baru pertama kali Cong-kaucu menerima hinaan dan cemoohan paling besar bagi seorang wanita.

   Selama puluhan tahun terakhir ini, seingatnya hanya seorang lelaki yang bisa membuatnya marah dan dendam, tapi hari ini telah bertambah dengan seorang lagi.

   Orang ini tidak lain adalah Jian-ciat-suseng.

   Ia bersumpah akan mencincang tubuh Jian-ciat-suseng hingga hancur-lebur, dia akan menggunakan siksaan yang paling kejam dan paling buas untuk menghukum lelaki laknat itu.

   oo Dengan mengerahkan Ginkangnya yang sempurna, Bong Thian-gak berlarian sejauh tiga-empat li sebelum berhenti.

   Ternyata di tengah jalan kecil di padang yang sunyi itu, dia saksikan munculnya serombongan orang.

   Orang-orang itu bergerak sangat enteng dan cepat bagaikan hembusan angin, sama sekali tak menimbulkan suara.

   Dalam waktu singkat mereka telah berlalu di hadapan Bong Thian-gak.

   Bong Thian-gak dapat melihat dengan jelas bahwa rombongan itu terdiri dari gadis-gadis berbaju merah, pedang pendek tersoreng di punggung dan pakaiannya amat ringkas.

   Di antara mereka terdapat delapan orang yang menggotong sebuah tandu kecil, jendela di empat penjuru tandu itu tertutup oleh selapis kain hitam, agaknya seseorang duduk di baliknya.

   Tergerak hati Bong Thian-gak menyaksikan semua itu, diam-diam ia berpikir.

   "Bukankah mereka adalah anggota Hiatkiam- bun?"

   Rasa ingin tahunya segera muncul dalam benaknya, dengan cepat pemuda itu menyusuri pepohonan yang rindang dan membuntuti secara diam-diam.

   Setelah berjalan lebih kurang tujuh-delapan li, mendadak bergema suara tawa yang amat keras bagaikan suara guntur menggelegar, sedemikian kerasnya suara itu membuat kawanan gadis berbaju merah tertegun.

   Serempak ketiga belas orang gadis berbaju merah itu melolos pedang pendek mereka, sebuah gerakan dilakukan cepat dan enteng, sebuah barisan segera terbentuk tepat di depan tandu kecil itu.

   Sementara kedelapan gadis pemikul tandu itu pun menurunkan tandu, lalu melolos pedang pendeknya berjagajaga di sekeliling tandu, sikap mereka serius seakan-akan sedang menghadapi musuh besar.

   Di bawah sinar rembulan, tampak seorang lelaki kekar berbaju abu-abu, beralis tebal, bermata besar dan bercambung seperti kawat, berdiri tegak di tengah jalan.

   Dengan mata Bong Thian-gak yang tajam, sekilas pandang saja ia sudah dapat mengenali lelaki kekar ini, Han Siau-liong dari Kay-pang, yang lebih dikenal dengan julukan Put-mi-kiam.

   Kemunculan Han Siau-liong membingungkan Bong Thiangak, pikirnya.

   "Seandainya orang yang berada di dalam tandu kecil itu bukan tokoh lihai Hiat-kiam-bun, hari ini anak murid Hiat-kiam-bun pasti akan mati konyol."

   Sementara itu Han Siau-liong telah menghardik.

   "Siapa yang duduk di dalam tandu?"

   Salah seorang gadis bertubuh langsing di antara ketiga belas gadis berkerudung merah itu segera tampil ke depan, tampaknya dia adalah pimpinan rombongan.

   "Siapa pula engkau?"

   Dia balik bertanya.

   "di dalam tandu adalah majikan kami."

   "Kalau begitu panggil Hiat-kiam-buncu agar tampil dan bicara."

   "Masa orang yang berada di dalam tandu bukan Long Jitseng, aku tahu kalian orang-orang Hiat-kiam-bun pun sedang berusaha keras menemukan jejaknya."

   Bong Thian-gak yang mengikuti jalannya pembicaraan itu amat terkejut, segera pikirnya.

   "Masakah orang yang berada di dalam tandu adalah Long Jit-seng?"

   Sementara si gadis berkerudung merah menjawab.

   "Kau salah terka, orang yang berada dalam tandu bukan Hek-ki-tocu."

   Han Siau-liong tertawa dingin.

   "Hehehe, kecuali aku diberi kesempatan untuk melihat dengan mata kepala sendiri, kalau tidak, jangan harap aku akan melepas kalian pergi begitu saja."

   Jelas anggota Hiat-kiam-bun memiliki iman yang cukup tebal, dia masih tetap sabar.

   "Boleh saja kau berniat melihatnya, tapi seandainya orang yang berada di dalam tandu itu bukan Long Jit-seng, kau harus mundur dengan segera!" "Hahaha, kalian tahu, siapakah aku?"

   "Dari bentuk badan maupun sikapmu, sudah pasti kau punya kedudukan cukup tinggi dalam Kay-pang."

   "Orang-orang persilatan menyebutku Put-mi-kiam!"

   Han Siau-liong memperkenalkan diri dengan suara dalam. Tampaknya para anggota Hiat-kiam-bun yang hadir sekarang rata-rata sudah pernah mendengar nama tokoh penting Kay-pang itu, gadis itu seperti terkejut mendengar nama itu, serunya tanpa sadar.

   "Tidak kusangka kau telah sampai di Hopak!"

   Kembali Han Siau-liong tertawa dingin.

   "Han Siau-liong, tentu kalian pernah mendengar nama ini bukan? Bila kalian bersedia menuruti perkataanku, hari ini Han Siau-liong tidak bakal melukai seorang pun di antara kalian."

   Biarpun gadis itu terkejut dan ngeri mendengar nama Putmi- kiam, namun dia bukan seorang yang sudi bertekuk lutut begitu saja, ia tertawa cekikikan.

   "Sampai sekarang pihak Hiat-kiam-bun masih belum berniat mencari permusuhan dengan pihak Kay-pang, namun bila kalian terus menerus memojokkan kami, segenap anggota Hiat-kiam-bun rela mati daripada membuat malu nama perguruan."

   Han Siau-liong tertawa terbahak-bahak.

   "Hahaha, punya semangat juga kalian, anggota Hiat-kiam-bun rata-rata adalah wanita yang bersemangat baja, sayang kalian telah salah menerima kematian pada malam ini."

   Sembari berkata, selangkah demi selangkah ia berjalan menuju ke hadapan mereka. Mendadak tiga gadis berkerudung di depannya menggetarkan pergelangan mereka, tiga batang pedang pendek dengan kecepatan bagaikan sambatan petir segera menusuk ke depan.

   "Berhenti!"

   Bentak mereka serentak.

   Mencorong cahaya membunuh yang amat tebal dari balik mata Han Siau-liong, sambil mendengus ia lepaskan sebuah pukulan dengan telapak tangan kirinya.

   Tiga kali jeritan ngeri yang memilukan hati bergema.

   Termakan segulung tenaga pukulan yang maha dahsyat, ketiga orang gadis berkerudung yang sedang menerjang ke muka itu mencelat dan kemudian roboh ke tanah sambil muntah darah.

   Beberapa saat kemudian mereka sudah tewas dalam keadaan mengerikan.

   Tenaga pukulan Han Siau-liong yang mengejutkan dan keji ini kembali membuat suasana menjadi heboh, segenap anggota Hiat-kiam-bun menjadi terkejut dan mundur selangkah tanpa terasa.

   Tak terlukiskan hawa amarah yang membara di dada si nona pemimpin rombongan itu setelah melihat kematian yang mengenaskan dari ketiga orang rekannya, ia segera membentak nyaring.

   Bagaikan kilat, pedangnya langsung ditusukkan ke muka.

   "Hm, cari mampus rupanya kau!"

   Jengek Han Siau-liong sambil tertawa dingin.

   Telapak tangan kirinya yang dibacokkan ke depan tadi, mendadak direndahkan ke bawah dan mencengkeram urat nadi pergelangan tangan kanan gadis itu.

   Gadis ini adalah Pat-hubungcu Hiat-kiam-bun, ilmu pedangnya tidak lemah, di antara perputaran pergelangan tangannya, cahaya pedang bagaikan bianglala, di tengah desingan tajam tahu-tahu hawa serangan telah menyambar ke sisi tubuh lawan, di antara titik-titik cahaya bintang, kembali mengurung seluruh badan Han Siau-liong.

   Mata Han Siau-liong terbelalak lebar, bentaknya.

   "Bagus sekali, kepandaianmu benar-benar hebat."

   Dengan mengeluarkan jurus Nu-hay-poh-liong (menangkap naga di samudra luas) dan masih tetap memakai ilmu Kim-najiu- hoat, dia berusaha merampas pedang pendek lawan.

   Biarpun serangan yang digunakan Han Siau-liong terhitung amat cepat, akan tetapi Pat-hubuncu terhitung jago nomor dua di dalam partainya, serta-merta serangan Han Siau-liong luput mengenai sasaran.

   Pat-hubuncu Hiat-kiam-bun tahu bahwa lawan adalah seorang jago yang amat lihai, dengan cepat pedang pendeknya dikembangkan, serangan itu seperti menutul, seperti juga menusuk, menggunakan aliran yang berbeda.

   Dalam waktu singkat secara beruntun dia telah melancarkan dua belas jurus serangan.

   Han Siau-liong tidak menyangka gadis ini sanggup menghindar dari dua belas jurus ilmu Kim-na-jiu-hoat yang lihai, dengan suara menggeledek ia membentak, tangan kirinya mengeluarkan jurus Kim-si-liau-wan (mencengkeram urat nadi lawan).

   "Aduh!"

   Jerit kesakitan bergema, pergelangan tangan Pathubuncu sudah tercengkeram hancur, pedang pendeknya terjatuh ke tanah, bersamaan itu pula Han Siau-liong mengayunkan telapak tangan kanannya siap menghabisi nyawa perempuan itu.

   Di saat yang amat kritis inilah tiba-tiba terdengar suara bentakan.

   "Kau telah membunuh tiga orang, apakah jumlah itu masih belum cukup?"

   Dari balik kegelapan malam, pelan-pelan berjalan keluar seorang sastrawan berlengan tunggal. Setelah dapat melihat jelas wajah pendatang itu, Han Siauliong segera menghentikan gerakan tangan kanannya, kemudian tertawa terbahak-bahak.

   "Hahaha, bagus, bagus sekali! Benar-benar tidak kusangka Jian-ciat-suseng muncul di sini."

   Bong Thian-gak memandang sekejap tangan kiri Han Siauliong yang masih menelikung lengan kanan Pat-hubuncu Hiatkiam- bun, kemudian ujarnya dengan suara dingin.

   "Kita sebagai lelaki sejati, rasanya kurang gagah bila mesti menganiaya seorang wanita lemah."

   Tiba-tiba Han Siau-liong melepas tangan kanannya dan melempar tubuh Pat-hubuncu, lalu jengeknya.

   "Bila kau memang bernyali, jangan coba kabur lagi malam ini."

   "Aku memang tak pernah bermaksud melarikan diri."

   Han Siau-liong mundur selangkah, tiba-tiba ia melolos pedang raksasanya yang tersoreng di belakang punggung, pedang ini empat kaki panjangnya, pedang itu tampaknya tumpul, berwarna hitam, persis seperti besi tua.

   Sebagai tokoh silat berkepandaian tinggi, cukup memandang pedang Han Siau-liong, Bong Thian-gak tahu musuh terhitung tokoh lihai dalam ilmu pedang.

   Keningnya berkerut, kemudian dengan suara hambar dia berkata.

   "Aku pikir masih kelewat awal bila kita mesti menentukan mati hidup di antara kita berdua sekarang juga."

   "Put-mi-kiam begitu terlolos dari sarungnya, ia tak akan kembali sebelum menjilat darah,"

   Seru Han Siau-liong ketus. Bong Thian-gak tertawa dingin.

   "Sudah sering kudengar orang berkata demikian, sebelum menjilat darah, pedang tak akan kembali ke sarungnya, namun kenyataan ... hm, pedang itu menjilat darah mereka sendiri."

   "Mengapa tidak kau lolos pedangmu?"

   Bentak Han Siauliong dengan lantang.

   "Pedangku telah dipatahkan oleh Sutemu, sekarang aku sudah tidak memiliki pedang yang bisa kucabut lagi."

   "Jadi kau hendak menghadapi pedangku dengan tangan kosong?"

   Teriak Han Siau-liong marah.

   "Oh, tidak, maksudku andai pertarungan nanti dilangsungkan, aku akan meminjam pedang orang lain."

   Kemudian dia berpaling dan memandang sekejap ke arah Pat-hubuncu Hiat-kiam-bun, tanyanya.

   "Nona, benarkah orang yang ada dalam tandu adalah Hek-ki-to-cu?"

   Pat-hubuncu Hiat-kiam-bun ini sudah dua kali bertemu Bong Thian-gak, tentu saja dia kenal pemuda ini, apalagi Bong Thian-gak telah menyelamatkan jiwanya kali ini, meski kejadiannya di luar dugaan, diam-diam dia amat berterima kasih kepada pemuda ini.

   Begitulah sambil mengedipkan matanya yang jeli, Pathubuncu berkata.

   "Benar Hek-ki-to-cu atau bukan, aku rasa kau pasti lebih mengerti daripada kami."

   Tentu saja Bong Thian-gak memahami maksud perkataannya, kemudian ia bertanya.

   "Lalu siapakah dia?"

   Pendekar Cacad Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Pat-hubuncu termenung sebentar, kemudian menjawab.

   "Dia adalah Buncu kami, ketua Hiat-kiam-bun."

   "Ketua Hiat-kiam-bun? Kalau begitu dia ...."

   Paras muka Bong Thian-gak berubah hebat. Ternyata Pat-hubuncu amat cerdik dan cekatan, dia pun bertanya.

   "Jadi... kau tahu siapa Buncu kami?"

   "Ya, aku tahu,"

   Pemuda itu mengangguk. Jawaban ini mengejutkan Pat-hubuncu, serunya.

   "Sungguh?"

   "Sungguh! Sebab aku pun sedang mencarinya." "Kalau begitu kau pun mengetahui rahasia Hiat-kiam-bun kami?"

   Tanya Pat-hubuncu semakin terkejut.

   "Aku malah mengetahui juga asal-usul Cong-hubuncu dan Ji-hubuncu perguruan kalian."

   "Aku tak pernah ditipu orang secara begini gampang,"

   Kata Pat-hubuncu dengan suara dalam.

   "Aku bukan penipu,"

   Bong Thian-gak tersenyum.

   "nona bisa membuktikannya dengan segera."

   "Bagaimana cara membuktikannya?"

   "Aku dapat menjelaskan asal-usul Cong-hubuncu dan Jihubuncu perguruan kalian."

   Pat-hubuncu termenung sebentar, kemudian dia berkata.

   "Coba kau katakan secara garis besarnya saja."

   Bong Thian-gak tersenyum.

   "Hubungan antara Cong-hubuncu dan Ji-hubuncu adalah hubungan antara ibu dan anak. Masih ada satu hal lagi, seandainya orang yang berada di dalam tandu benar-benar Buncu Hiat-kiam-bun, maka dia datang dari gedung raja muda Mo-lay-cin-ong."

   Pat-hubuncu terbungkam seketika mendengar penjelasan ini.

   "Darimana kau tahu semua ini sedemikian jelasnya?"

   Bong Thian-gak tersenyum.

   "Sebab musababnya tak mungkin bisa dijelaskan, pokoknya sudah kuterangkan sedari dulu, Tiong-yang-hwe tidak akan memusuhi Hiat-kiam-bun, itulah sebabnya aku tak pernah melukai anggota Hiat-kiam-bun seorang pun."

   "Bagaimana dengan Kiu-moayku? Bukankah Kau-hubuncu tewas di tanganmu?" "Bukan."

   Tampaknya Pat-hubuncu mempercayai kata-kata Bong Thian-gak, katanya.

   "Seandainya kau adalah sahabat Hiatkiam- bun, tolong bantu kami, bantulah kami hingga tiba di...."

   Sampai di sini, mendadak ia membungkam. Bong Thian-gak sendiri pun tidak mendesak lebih jauh, dia segera menyahut.

   "Aku sanggup melakukannya, harap nona pinjamkan pedang itu kepadaku."

   Pat-hubuncu mendekat sambil menyodorkan pedang pendeknya kepada Bong Thian-gak.

   "Pihak lawan adalah tokoh silat hebat dari Kay-pang, kau mesti menghadapinya hati-hati,"

   Ia berpesan. Setelah menyambut pedang pendek itu, Bong Thian-gak baru berpaling ke arah Han Siau-liong sambil berkata.

   "Kuharap kau suka menuruti nasehatku, apakah pertarungan kita dapat ditunda lain saat?"

   "Sejak berlatih ilmu pedang, cita-citaku adalah merebut gelar jago pedang nomor wahid, berarti cepat atau lambat kita pasti akan saling tempur, kulihat malam ini adalah malam yang tepat untuk berduel, mengapa kita mesti menyia-nyiakan kesempatan baik ini?"

   "Bila dua ekor harimau saling bertarung, satu di antaranya tentu akan terluka. Apalagi di sekitar kita sudah bersembunyi harimau ketiga."

   Baru selesai perkataan itu diutarakan, tiba-tiba terdengar seorang berkata dengan suara dingin.

   "Tajam amat penglihatanmu, agaknya kemampuanmu masih setingkat lebih unggul daripada Put-mi-kiam."

   Di tengah pembicaraan, dari balik semak belukar di sisi kanan mereka berjalan keluar seorang lelaki berbaju hijau, ciri khas yang paling menyolok daripada orang itu adalah terdapatnya sebuah tahi lalat di atas alis kirinya dan sebilah pedang tembaga tersoreng di pinggangnya.

   "Kehadiran Ji-kaucu memang tepat sekali,"

   Seru Han Siauliong sambil tertawa terbahak-bahak.

   "tiga tahun berselang aku orang she Han tidak berkesempatan mencoba kepandaian saktimu, hal ini membuatku tak senang siang dan malam, aku harap Ji-kaucu dapat memenuhi keinginanku malam ini."

   Han Siau-liong memang seorang jagoan yang gila nama, kalau dapat dia ingin menantang semua jago lihai yang ada di dunia ini, baik dari golongan putih maupun hitam, asal musuh termasuk jago lihai, dia berusaha mencoba kepandaiannya.

   Bong Thian-gak sendiri dapat mengenali orang itu adalah Ji-kaucu Put-gwa-cin-kau, cuma dia tak banyak komentar.

   Dalam pada itu Pat-hubuncu Hiat-kiam-bun merasa terkejut bercampur ngeri, tiba-tiba bisiknya kepada Bong Thian-gak.

   "Orang-orang Put-gwa-cin-kau telah mengejar sampai di sini."

   "Aku lihat hanya Ji kuacu seorang yang telah sampai, kalian cepat bersiap melarikan diri, biar aku menahan dirinya."

   Sementara itu Ji-kaucu Put-gwa-cin-kau telah menghentikan langkah, katanya dengan suara yang menyeramkan.

   "Han Siau-liong, sikapmu yang sombong dan takabur membuat dirimu tak bisa hidup lama di dunia ini."

   Han Siau-liong tertawa terbahak-bahak.

   "Hahaha, semenjak aku belajar pedang, aku memang sudah tak ingin hidup lama di dunia ini."

   Sepanjang pembicaraan berlangsung, Bong Thian-gak dengan sepasang mata yang tajam mengawasi seluruh gerakgerik Ji-kaucu tanpa berkedip. Tiba-tiba pemuda itu berteriak.

   "Cepat mundur, Ji-kaucu telah melepaskan racun jahat!"

   Ternyata Bong Thian-gak telah melihat munculnya segumpal kabut tipis yang pelan-pelan berhembus keluar dari semak belukar sebelah utara, kabut itu menggulung datang di atas permukaan rumput, tak ubahnya seperti kabut malam yang terhembus angin.

   Sejak awal Pat-hubuncu telah memerintahkan anak buahnya agar bersiap sedia.

   Begitu mendengar suara bentakan Bong Thian-gak, kedelapan gadis muda itu segera menggotong tandu kecil itu dan segera kabur menuju ke arah selatan.

   Dengan gerakan cepat Bong Thian-gak ikut mengundurkan diri pula ke arah selatan.

   Menyaksikan hal ini Ji-kaucu tergelak, pedangnya segera dilolos, kemudian bagaikan seekor bangau raksasa dia melompat dan menerkam dari tengah udara, hardiknya.

   "Kau memang benar-benar cekatan, tapi aku ingin tahu apakah kau sanggup lolos dari seranganku atau tidak."

   Di tengah pembicaraan, pedang Ji-kaucu telah membacok datang dengan membawa segulung hawa serangan dingin dan mengerikan.

   Tiga tahun berselang, Bong Thian-gak pernah terluka di ujung pedangnya, terutama disebabkan pedang Ji-kaucu ini memiliki rahasia besar.

   Maka dari itu Bong Thian-gak tidak menyambut serangan itu dengan kekerasan, sebaiknya malah melompat mundur.

   Ji-kaucu tidak menyangka Bong Thian-gak memilih mundur daripada menerima serangannya, sambil tertawa dingin dia menjengek.

   "Mengapa kau tidak menyambut seranganku?"

   Kembali pergelangan tangan kanannya digetarkan, pedangnya menciptakan selapis bunga pedang, seperti membacok dan menusuk langsung menyambar tubuh Bong Thian-gak.

   Biarpun Bong Thian-gak memegang pedang di tangan kirinya, dia masih saja mundur tanpa menyambut datangnya ancaman.

   Dia mundur dengan mengambil langkah segitiga, sebentar ke kiri sebentar ke kanan, agaknya dia berjaga-jaga atas serangan racun yang dilancarkan Ji-kaucu, itulah sebabnya dia selalu mundur dengan mengikuti arah angin.

   Ketika Ji-kaucu melancarkan serangan keempat, mendadak dari sana berkumandang beberapa kali jeritan yang menyayat hati.

   Dengan terkejut Bong Thian-gak segera berpaling, apa yang kemudian terlihat segera membuat darahnya mendidih.

   Rupanya Han Siau-liong telah memanfaatkan kesempatan itu untuk menghadang jalan pergi anggota Hiat-kiam-bun, pedang bajanya diputar sedemikian rupa membentuk gelombang angin pedang yang menderu-deru dan amat memekakkan telinga.

   Tak seorang pun di antara anggota Hiat-kiam-bun yang mampu menahan serangannya itu.

   Jerit lengking yang memilukan bergema susul menyusul, suara orang sekarat yang mendekati ajal, membikin siapa pun yang mendengar berdiri bulu kuduknya.

   Bong Thian-gak berpekik nyaring dengan nada pedih, dia melejit ke tengah udara dan meluncur ke muka, bentaknya.

   "Han Siau-liong, serahkan nyawamu!"

   Selesai bentakannya itu, secepat kilat Bong Thian-gak menyambar ke depan, cahaya pedang yang kemerah-merahan ikut menyambar pula dengan hebatnya.

   "Hahaha,"

   Han Siau-liong terbahak-bahak.

   "Jian-ciatsuseng, kau memang seharusnya turun tangan sejak tadi."

   Diiringi desingan tajam, pedang bajanya dibabatkan ke muka menyambut datangnya ancaman itu.

   "Trang", dentingan nyaring disertai percikan bunga api segera memancar ke empat penjuru. Dengan pedang pendeknya Bong Thian-gak berhasil mementalkan pedang baja lawan yang beratnya mencapai seratus kati itu. Akibat bentrok ini, Han Siau-liong mundur tiga langkah dengan sempoyongan sebelum berhasil berdiri tegak kembali. Bong Thian-gak mengunjuk rasa terkejut, rupanya dalam bentrok tadi ia merasakan pergelangan tangan kirinya sakit, linu dan kesemutan. Dari sini dapatlah diketahui tenaga serangan Han Siau-liong memang benar-benar sangat tangguh. Padahal Han Siau-liong jauh lebih terperanjat lagi ketimbang Bong Thian-gak. Seingatnya, kecuali gurunya seorang, belum pernah di dunia ini ada orang yang sanggup menggetarkan pedang bajanya sampai terpental, mimpi pun dia tak pernah menyangka laki-laki berlengan tunggal yang berwajah pucat dan penyakitan ini memiliki kekuatan begitu dahsyat. Padahal bagi dua jago yang bertarung, teledor dan kehilangan konsentrasi merupakan pantangan paling besar. Sementara dia masih terkejut bercampur keheranan, Jikaucu telah memanfaatkan kesempatan itu untuk menerobos masuk, dalam waktu singkat tujuh-delapan gadis berbaju merah telah roboh tergeletak di tanah tanpa bersuara, sementara Ji-kaucu sendiri telah menerjang ke muka tandu kecil. Bentakan nyaring bergema memecah keheningan Pathubuncu segera menyusul ke muka.

   "Nona, jangan mendekati dia,"

   Teriak Bong Thian-gak cemas. Belum lagi ucapan itu selesai, tangan kiri Ji-kaucu telah mengayun ke arah belakang. Dengusan tertahan bergema, sekujur badan Pat-hubuncu bergetar keras, kakinya menjadi lemas dan roboh terduduk ke atas tanah.

   "Lihat pedang!"

   Bentak Bong Thian-gak.

   Hawa pedang bagai bianglala menyambar dan menusuk ke depan.

   Tampaknya Ji-kaucu mengetahui kehebatan serangan itu, sambil memutar badan ia mundur ke sisi kiri.

   Akhirnya Bong Thian-gak berdiri di muka tandu kecil itu dengan pedang disilangkan di depan dada.

   Ji-kaucu memandang sekejap ke sekeliling tempat itu, lalu ujarnya.

   "Orang-orang Hiat-kiam-bun sudah banyak menjadi korban, kau anggap dengan kemampuanmu seorang bisa meneruskan perjalanan untuk melindungi tandu ini?"

   Memandang mayat yang berserakan di atas tanah, Bong Thian-gak merasa sedih sekali.

   Gadis-gadis muda yang segar dan lincah tadi dalam waktu singkat menjadi korban di tangan keji Ji-kaucu dan Han Siau-liong, peristiwa ini merupakan kejadian yang mengenaskan.

   Tiba-tiba terdengar suara rintihan lirih, Pat-hubuncu mengangkat kepala dan berbisik pelan.

   "Siangkong, kau ... kau tak usah tinggal di sini lagi... sebentar Buncu akan ... akan mendusin ... bila sampai begitu, maka dia ... dia masih tetap akan menjadi orang Put-gwa-cin-kau."

   "Aku tak dapat membiarkan dia terjatuh kembali ke tangan orang-orang Put-gwa-cin-kau,"

   Tukas Bong Thian-gak dengan suara dalam.

   "Kali ini kita gagal, tapi lain kali kita masih ada kesempatan untuk menolongnya, bila ia sadar nanti, kesadarannya tetap hilang, dia hanya tahu mentaati perintah Put-gwa-cin-kau, berarti kau akan mendapat seorang musuh tangguh lagi."

   Sementara itu Han Siau-liong telah menerjang masuk melalui belakang, pedang bajanya segera bergetar.

   "Sreet", kain hitam penutup tandu segera tersambar hingga robek dan terbuka. Orang yang berada dalam tandu pun segera terlihat jelas. Mendadak Han Siau-liong menjerit kaget.

   "Ah, rupanya dia adalah Si-hun-mo-li?"

   Mendengar seruan itu, Bong Thian-gak mendesak maju, tampak di balik tandu itu duduk seorang wanita cantik.

   Biarpun wajah perempuan itu sudah berubah menjadi abuabu, Bong Thian-gak masih dapat mengenali dengan pasti.

   Agaknya Han Siau-liong belum pernah menjumpai perempuan yang begitu cantik sepanjang hidupnya, dia tertegun dan berdiri dengan mata terbelalak.

   Perempuan itu sedang tidur, tidur amat nyenyak dan nampak begitu cantik menawan hati.

   Tak tahan Bong Thian-gak menghela napas panjang.

   "Ah, ternyata memang dia, rupanya Si-hun-mo-li adalah Thay-kun. Ai! Rupanya Cong-kaucu benar-benar telah mencelakai dirinya."

   Belum habis ingatan itu, sebilah pedang dingin menggidikkan diam-diam telah menusuk ke arah tubuhnya. Tanpa pikir panjang Bong Thian-gak memutar pedang pendeknya ke depan sementara tubuhnya berputar tiga kali.

   "Kau dapat menghindari seranganku ini?"

   Seru Ji-kaucu tertahan dengan sorot mata memancarkan rasa kaget dan tercengang. Amarah sedang berkobar dakam dada Bong Thian-gak, segera ia membentak keras.

   "Ji-kaucu, Han Siau-liong, kemari kalian berdua, biar lenganku cuma satu, aku masih mampu menandingi kedua bilah pedang kalian bersama-sama."

   Bentakan itu amat keras hingga menggetarkan seluruh angkasa.

   Han Siau-liong maupun Ji-kaucu tertegun, serentak mereka mendongakkan kepala.

   Bong Thian-gak dengan pedang terhunus di depan dada dan sorot mata memancarkan cahaya setajam sembilu sedang mengawasi mereka berdua tanpa berkedip.

   Menyaksikan sikap angker Bong Thian-gak yang berdiri bagaikan batu karang dan hawa membunuh menyelimuti seluruh wajahnya, Ji-kaucu maupun Han Siau-liong samasama terkesiap dibuatnya.

   Ternyata mereka sudah dapat melihat Bong Thian-gak sedang mempersiapkan tenaga dalamnya berniat melancarkan serangan dengan pedang terbang.

   Dalam posisi demikian, Han Siau-liong maupun Ji-kaucu menjadi ragu, mereka tak tahu apakah serangan dahsyat yang dilepaskan Bong Thian-gak itu dapat disambut oleh mereka berdua ataukah tidak.

   Sebagai jagoan yang punya nama besar, tentu saja Han Siau-liong serta Ji-kaucu enggan bekerja sama, mereka pun enggan bersama-sama menghadapi serangan dahsyat Bong Thian-gak.

   Sikap kereng dan berwibawa Bong Thian-gak sekarang memaksa keduanya mau tidak mau harus mengangkat pedang bersiap siaga.

   Keheningan yang mencekam menyelimuti sekitar tempat itu, tapi suasana seram, ngeri dan tegang menekan perasaan setiap orang dan hal ini makin lama makin menebal bersama dengan berkembangnya sang waktu.

   Pat-hubuncu Hiat-kiam-bun tidak percaya ilmu silat Bong Thian-gak dapat dipakai untuk melawan serangan gabungan Ji-kaucu serta Han Siau-liong, sambil menahan rasa sakit dari luka yang dideritanya, tanpa berkedip dia mengawasi gerakgerik mereka.

   Tiba-tiba Bong Thian-gak dengan pedang tersilang di depan dada, selangkah demi selangkah maju dan pelan-pelan mendekati kedua orang lawannya.

   Dengan cara ini, siapa mampu meloloskan diri dari sergapan Bong Thian-gak itu? Akan tetapi Ji-kaucu mampuh Han Siau-liong tetap tidak menggerakkan tubuh, seolah-olah sedang menunggu datangnya serangan lawan.

   Ji-kaucu serta Han Siau-liong terbilang tokoh silat yang sangat berpengalaman dalam Bu-lim, jangan dilihat gerak Bong Thian-gak sangat lamban, bila musuh berani bergerak, maka pedang pendek Bong Thian-gak akan meluncur bagaikan anak panah terlepas dari busurnya, tak seorang pun yang mampu menerima serangan itu.

   "Sret, sret", dua kali desingan nyaring berkumandang. Akhirnya Bong Thian-gak tiba di depan kedua orang itu, pedang pendeknya dengan sangat ringan membacok ke dada Ji-kaucu serta Han Siau-liong. Pada saat bersamaan pedang baja Han Siau-liong membacok pula ke depan, sedang pedang hijau Ji-kaucu meluncur secepat petir. Dalam waktu singkat cahaya pedang menyelimuti hawa dingin yang menusuk tulang, serasa menyakitkan. Dua kali dengusan tertahan segera bergema. Bayangan orang menyambar dan berkelebat ke samping ... diikuti lenyapnya cahaya pedang. Bong Thian-gak berjumpalitan dan mundur, cahaya tajam dari balik matanya sudah berkurang, sementara pedangnya entah sudah mencelat kemana. Pedang baja yang semula berada di tangan kanan Han Siau-liong kini sudah menancap di atas tanah, bahu kirinya tertancap sepotong kutungan pedang, darah segar bercucuran keluar dengan derasnya. Pedang kanan Ji-kaucu masih tersilang di depan dada, namun di dada kanannya tertancap sepotong kutungan pedang berikut gagangnya, darah segar pun bercucuran membasahi pakaian. Rupanya Ji-kaucu dan Han Siau-liong sama-sama terluka, kedua orang itu terkena pedang pendek Bong Thian-gak yang patah menjadi dua dan menusuk dua sasaran yang berbeda. Pat-hubuncu Hiat-kiam-bun mengikuti dengan jelas bagaimana Bong Thian-gak mematahkan pedangnya jadi dua, dan secara terpisah menancapkan di bahu kiri Han Siau-liong dan dada kanan Ji-kaucu. Ji-kaucu dan Han Siau-liong sendiri pun tidak ada tahu cara bagaimana Bong Thian-gak melukai mereka. Dalam pertarungan sengit yang berlangsung tadi, Ji-kaucu dan Han Siau-liong sama-sama menggetarkan pedang menyambut ancaman itu, mereka pun merasa seakan-akan pedang pendek Bong Thian-gak terpapas kutung oleh senjata mereka. Tapi ketika lengan tunggal Bong Thian-gak digetarkan, tahu-tahu Han Siau-liong dan Ji-kaucu telah terluka oleh tusukannya. Agaknya di saat pedang patah menjadi dua, Bong Thiangak telah mencengkeram kedua kutungan pedang itu dengan lengan tunggalnya, kemudian disambitkan ke depan. Han Siau-liong mencabut kutungan pedang dari bahunya, lalu setelah tertawa, dia berkata.

   "Lihai, benar-benar amat lihai, Jian-ciat-suseng memang terhitung manusia tangguh. Kalau ditanya senjata apa di dunia ini yang tercepat, maka itulah golok sakti si lengan tunggal, tapi kulihat ilmu pedang Jian-ciat-suseng masih berada di bawah To-pit-coat-to Liu Khi."

   
Pendekar Cacad Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Rupanya Liu Khi terhitung jago nomor dua perkumpulan kalian?"

   Jengek Bong Thian-gak tertawa dingin. Biarpun bahu kirinya sudah basah oleh darah, Han Siauliong masih tetap tertawa.

   "Hahaha, benar-benar, Liu Khi memang jago nomor dua Kay-pang, Ji-kaucu sendiri pun pernah keok di tangannya."

   Dalam pada itu Ji-kaucu telah mencabut kutungan pedang dari dadanya, tampaknya dia terluka parah, secara beruntun beberapa buah jalan darahnya telah ditotok hingga darah tidak mengalir lagi. Setelah tertawa seram, dia berkata.

   "Serangan yang kau lancarkan benar-benar cepat, pedang Ji-kaucu memang tak akan bisa melukaimu untuk selamanya."

   Bong Thian-gak tersenyum.

   "Ah, mana, aku telah mengerahkan segenap kemampuanku, namun kenyataannya tak sanggup merenggut nyawamu, setelah berpisah malam ini, entah kapan aku baru bisa membinasakan kalian."

   Di tengah pembicaraan, dengan suatu gerakan cepat Bong Thian-gak telah memungut kembali sebilah pedang pendek dari atas tanah.

   Suasana di sekeliling tempat itu segera berubah kembali menyusul gerak-gerik Bong Thian-gak, selapis hawa membunuh dengan cepat menyelimuti tempat itu.

   Dengan perasaan tegang dan serius Han Siau-liong dan Jikaucu sekali lagi bersiap menghadapi segala kemungkinan.

   Jelas Bong Thian-gak telah diliputi oleh hawa membunuh.

   Rupanya dalam bentrokan tadi, Bong Thian-gak telah berhasil mengetahui rahasia pedang panjang Ji-kaucu, dia yakin kemampuannya sanggup melenyapkan Ji-kaucu, bagaimana pun juga Ji-kaucu adalah musuh besarnya yang harus dibunuh.

   Kini kekuatan Put-gwa-cin-kau sudah meningkat hebat, mumpung dia masih berkeyakinan melenyapkan kekuatan lawan, mengapa tidak ia manfaatkan peluang itu untuk menggerogoti kekuatan musuh? Itulah sebabnya Bong Thiangak memusatkan kembali kekuatan melepaskan serangan berikut.

   Kali ini Bong Thian-gak berdiri sambil memeluk pedang di depan dada, pelan-pelan ia berkata.

   "Han Siau-liong, kau sudah keok di ujung pedangku, bila ingin membalas dendam, kesempatan masih cukup banyak, kuanjurkan kepadamu cepatlah meninggalkan tempat ini!"

   Han Siau-liong tertawa terbahak-bahak.

   "Biarpun aku sudah terluka, aku masih mampu untuk merobohkan dirimu."

   "Kau telah membunuh banyak orang, aku memang tak akan melepas kau begitu saja,"

   Ucap Bong Thian-gak dingin.

   "apalagi pihak Kay-pang memang tidak mengizinkan aku menancapkan kaki dalam Bu-lim, maka boleh dibilang setiap saat bisa jadi kita akan berduel kembali."

   "Hahaha, bagus, bagus sekali,"

   Han Siau-liong tertawa nyaring.

   "Malam ini Han Siau-liong terpaksa harus menuruti nasehatmu untuk mengundurkan diri."

   Selesai berkata, Han Siau-liong segera menggerakkan badan beranjak pergi.

   Jangan dilihat perawakannya yang tinggi besar, kehebatan ilmu meringankan tubuhnya tidak malu disebut jago lihai kelas satu dari dunia persilatan, dengan dua kali lompatan saja bayangan tubuhnya sudah lenyap dari pandangan mata.

   Sepeninggal Han Siau-liong, Bong Thian-gak baru berkata sambil tertawa dingin.

   "Ji-kaucu, hari kematianmu sudah tiba!"

   "Bukan hari kematianku, tapi hari kematianmu,"

   Sahut Jikaucu dengan suara menyeramkan.

   "Benar, siapa unggul siapa kalah memang susah untuk diketahui, tapi aku percaya kau sudah berada di tepi jurang kematian."

   "Selamanya Ji-kaucu bukan orang yang gampang mati, percaya atau tidak terserah padamu."

   Bong Thian-gak tertawa.

   "Gerak pedangmu jauh lebih lamban daripada aku, ilmu racunmu susah untuk dikembangkan lagi, bahkan rahasia pedangmu sudah dapat kuketahui, kepandaian apa lagi yang akan kau andalkan? Memangnya kau masih memiliki ilmu menyusup ke tanah atau terbang ke langit?"

   Pucat keabu-abuan paras muka Ji-kaucu mendengar perkataan itu, dia seperti belum mau percaya begitu saja, kembali tanyanya.

   "Apa benar kau sudah mengetahui rahasia pedangku?"

   "Apa sebabnya pedangmu bisa merenggut nyawa musuh? Kan karena pedangmu itu dapat menusuk setengah kaki lebih ke depan, karena di balik pedangmu itu kau sengaja menyisipkan sebilah pedang kecil setipis daun, bila tombol rahasianya kau pencet, pedang kecil itu akan melejit keluar dari ujung pedang dan menusuk korban."

   Rasa kaget dan tercengang dengan cepat menyelimuti wajah Ji-kaucu, dia terbungkam dan hanya bisa memandang anak muda itu dengan termangu.

   Malam ini merupakan kali kedua Bong Thian-gak bertarung melawan Ji-kaucu.

   Sesungguhnya yang lebih banyak bahayanya daripada selamat bukan Ji-kaucu, melainkan Bong Thian-gak.

   Sebab Bong Thian-gak masih belum mengetahui pasti akan rahasia dan kehebatan pedang Ji-kaucu itu.

   Bong Thian-gak memang tidak seharusnya kalah untuk kedua kalinya di tangan Ji-kaucu, namun pada saat itulah Sihun- mo-li yang berada di dalam tandu kecil sudah mulai membuka matanya.

   Bagaikan segulung angin perempuan itu melompat keluar dari balik tandu.

   Sepasang matanya yang jeli segera berputar kian kemari sebelum akhirnya berhenti pada tubuh Bong Thian-gak.

   "Thay-kun!"

   Bisik Bong Thian-gak.

   Ia merasa perempuan itu seperti orang baik, wajahnya cantik, matanya jeli dan manis menawan hati, terutama sekulum senyum manis yang menghiasi wajahnya.

   Begitu cantik dan lembut gadis itu, bagaikan bidadari yang baru turun dari kahyangan.

   Panggilan lembut Bong Thian-gak tentu dapat terdengar olehnya, tapi gadis itu tidak menjawab ataupun menunjukkan suatu perubahan sikap, sekulum senyuman yang menawan masih menghiasi wajahnya.

   Sepasang matanya seolah-olah sedang tertawa pula, tampak begitu indah, lembut dan menawan hati.

   Bong Thian-gak menghela napas lirih, serunya.

   "Thay-kun, kau tidak kenal aku?"

   Senyum dan pancaran sinar mata Si-hun-mo-li semakin memikat, dengan langkah gemulai dia berjalan menghampiri Bong Thian-gak. Pat-hubuncu yang menyaksikan hal itu menjadi sangat terkejut, segera serunya.

   "Bong-siangkong, kesadaran otaknya sudah punah ....kau ... kau cepat lari...."

   Jeritan yang begitu keras dan melengking ini cepat menyadarkan Bong Thian-gak bahwa orang yang dihadapi bukan Thay-kun melainkan Si-hun-mo-li.

   Dengan langkah lembut gadis itu makin lama semakin mendekati Bong Thian-gak.

   Bong Thian-gak sendiri tidak tahu bagaimana harus menghadapi semua ini, bagaimana tidak? Paras muka gadis itu sama sekali tidak memancarkan rasa gusar ataupun permusuhan, yang ada cuma senyum yang memukau.

   Siapa lelaki di dunia ini yang mampu melawan daya pesonanya? Lebih-lebih tiada seorang pun yang tega turun tangan dan menghabisi nyawa seorang gadis yang polos.

   "Cepat mundur ... cepat mundur ... dia akan membunuhmu,"

   Sekali lagi Pat-hubuncu menjerit keras.

   Bong Thian-gak terkejut, tanpa sadar ia menggeser langkahnya dan mundur setengah tindak.

   Pada saat itulah Si-hun-mo-li dengan gerakan seperti hendak menjatuhkan diri ke dalam pelukannya telah menerjang tiba.

   Pada saat yang bersamaan pula Bong Thian-gak dapat melihat betapa merah membaranya telapak tangan kirinya itu, kelima jari tangan yang direntangkan lebar langsung diarahkan ke tubuh bagian bawahnya.

   Bong Thian-gak benar-benar sangat terperanjat, dia menjatuhkan diri ke belakang, lalu melejit ke samping.

   Dengan gerakannya itu, maka serangan Kau-ji-ti-tho (monyet sakti memetik buah Tho) Si-hun-mo-li mengenai tempat kosong.

   Padahal selama ini belum pernah ada lelaki di dunia ini yang sanggup melepaskan diri dari cengkeraman tangan mautnya.

   Si-hun-mo-li kelihatan agak tertegun, lalu sambil mendongakkan kepala dia tertawa cekikikan, suaranya begitu merangsang membuat napsu birahi orang bangkit.

   Siapa pun yang mendengar suara tawa itu, hatinya pasti akan bergejolak, darahnya mendidih dan tanpa sadar akan terbayang kembali adegan hubungan mesra antara laki dan perempuan.

   Begitulah di tengah suara cekikikan yang penuh kejalangan, Si-hun-mo-li mulai melepas kancing bajunya dan membentangkannya hingga terbuka lebar.

   Yang mengejutkan adalah di balik baju luarnya ternyata ia tidak mengenakan secuwil baju pun, kulit badannya yang putih menawan, serta liukan badannya yang aduhai....

   Pokoknya Bong Thian-gak dapat menyaksikan semua bagian rahasia tubuh Si-hun-mo-li secara jelas.

   Dengan suatu gerakan cepat mendadak Bong Thian-gak mengegos ke samping, lalu melompat ke sisi tubuh Pathubuncu, dengan suatu gerakan cepat ia menyambar pinggangnya dan siap melarikan diri.

   Tapi bayangan orang kembali berkelebat, tahu-tahu Si-hunmo- li sudah mengejar ke muka.

   Terpaksa Bong Thian-gak harus bergeser ke samping kiri dan kabur kembali.

   Tapi untuk kesekian kalinya Si-hun-mo-li kembali mendesak ke muka, kali ini Bong Thian-gak sempat melihat telapak tangan gadis itu sudah muncul di hadapannya, bahkan segulung angin pukulan yang membuat sesak napas menekan ke arah dadanya.

   Bong Thian-gak merasa sekujur badannya menjadi dingin, dada kanannya termakan pukulan itu secara telak, saking sakitnya hampir saja tubuh Pat-hubuncu yang berada dalam bopongannya terjatuh ke tanah.

   Walaupun Bong Thian-gak sudah termakan oleh pukulan Sihun- mo-li, namun dia tak sampai roboh, malahan dengan memanfaatkan tenaga pantulan itu dia melejit jauh dan melarikan diri dari sana.

   Di tengah kegelapan malam, terdengar suara Ji-kaucu berseru dengan suara bangga.

   "Wahai Jian-ciat-suseng, kau tak bakal hidup melampaui satu jam lagi, sekarang kau telah termakan sebuah pukulan maut Si-hun-mo-li."

   Benar, memang tiada seorang pun di dunia yang mampu menahan serangan maut Si-hun-mo-li, bahkan Ku-lo Hwesio yang termasyhur pun akhirnya tewas setelah terkena pukulan itu tiga tahun berselang.

   Sebab pukulan yang melukainya adalah Soh-li-jian-yangsin- kang yang tiada duanya di dunia ini.

   oo Di tengah keheningan yang mencekam, terdengar seorang dengan nada lirih dan lemah berkata.

   "Siangkong, kau sudah terkena pukulan."

   Di bawah sebatang pohon di sisi hutan, duduk bersandar seorang gadis berkerudung berbaju merah. Di hadapannya berjongkok seorang pemuda berlengan tunggal.

   "Benar,"

   Bong Thian-gak manggut-manggut.

   "aku memang sudah terkena pukulannya."

   Dua baris air mata bercucuran membasahi wajah Pathubuncu yang tertutup kain kerudung, katanya sesenggukan.

   "Siangkong, gara-gara aku, kau harus mengorbankan nyawamu."

   "Aku tak bakal mati!"

   Bong Thian-gak tersenyum.

   "Aku tahu, di dunia ini belum ada seorang pun yang mampu bertahan atas pukulan Soh-li-jian-yang-sin-kang Buncu."

   Sekali lagi Bong Thian-gak mengangguk.

   "Benar, Soh-li-jian-yang-sin-kang memang ilmu pukulan hebat."

   "Oh, Siangkong,"

   Pat-hubuncu menangis tersedu-sedu.

   "mengapa kau kabur tadi? Kau kan tahu, kepandaian silat Buncu begitu lihai."

   "Sudah kubilang, aku tak bakal mati!"

   Bong Thian-gak tersenyum.

   "Kau membohongi aku."

   "Soh-li-jian-yang-sin-kang memang sangat lihai,"

   Bong Thian-gak kembali berkata dengan wajah bersungguhsungguh.

   "setiap orang yang terkena pukulannya akan merasa kesakitan pada sekujur badannya, dia akan menggigil kedinginan, wajah memucat dan seluruh kulit badan berkerut kencang, tapi kenyataan aku tetap sehat walafiat sekarang, mengapa kau belum mau percaya?"

   Pat-hubuncu segera membuka mata lebar-lebar dan mengamati paras muka Bong Thian-gak dengan seksama, lalu katanya dengan wajah tidak mengerti.

   "Dengan jelas kulihat dada kananmu terhajar oleh serangannya, mengapa kau ...."

   Bong Thian-gak menghela napas panjang.

   "Sesungguhnya aku telah berhasil melatih ilmu Tat-mo-khi-kang yang sangat dahsyat, daya serangan Soh-li-jian-yang-sin-kang tak akan mampu melukai isi perutku, itulah sebabnya aku sama sekali tidak terluka tadi."

   "Benarkah itu?"

   Pat-hubuncu kegirangan.

   "Aku tidak bermaksud membohongimu, sekarang kau tak perlu kuatir, yang perlu dirisaukan sebenarnya adalah nyawamu sendiri."

   Pat-hubuncu tertawa rawan.

   "Tiada berharga untuk merisaukan nyawaku, karena nyawaku memang tiada harganya."

   "Nyawa setiap manusia adalah sama, tidak dibedakan mana yang berharga dan yang tidak. Lepaskan kain kerudungmu, akan kulihat apakah kau keracunan atau tidak."

   Pelan-pelan Pat-hubuncu melepas kain kerudungnya, kemudian menjawab.

   "Perut bagian bawahku terkena pukulan."

   Dengan menggunakan sepasang matanya yang mampu melihat dalam kegelapan, ujarnya sambil tertawa.

   "Wajahmu amat cantik, beruntung sekali kau pun tidak terkena serangan racun Ji-kaucu."

   "Ah, Siangkong pandai menggoda orang."

   "Ayo kemarilah, kubantu dirimu mengobati luka yang kau derita."

   Sambil berkata pemuda itu lantas menempelkan telapak tangan kirinya ke atas perut bagian bawah nona itu, segulung hawa panas segera memancar keluar dari telapak tangannya dan menyusup serta menyebar ke dalam tubuh Pat-hubuncu.

   Tindakan yang diambil anak muda itu kontan saja membuat berdebar jantung Pat-hubuncu, merah padam wajahnya lantaran jengah.

   Selama hidup belum pernah dia berdempetan dengan lelaki mana pun, apalagi telapak tangan Bong Thian-gak menempel di atas perut bagian bawahnya yang merupakan daerah rawan dan menimbulkan napsu birahi.

   Dengus napas Pat-hubuncu segera bertambah cepat, dia pejamkan matanya dan hampir lupa dengan rasa sakit yang dideritanya, suatu perasaan yang tak terlukiskan dengan katakata segera menyelimuti perasaannya.

   Secara diam-diam ia menyambut kenikmatan itu tanpa berkata-kata, sayang sekali keadaan itu tidak berlangsung lama karena Bong Thian-gak menarik kembali tangannya sambil berbisik.

   "Nah, sudah selesai, keadaan lukamu sekarang sudah tidak membahayakan lagi, kau boleh pulang."

   Merah padam wajah Pat-hubuncu, untung saja pada waktu itu malam sangat gelap sehingga keadaannya tidak kentara. Diam-diam ia menarik napas panjang.

   "Betul juga, hawa sudah dapat berjalan lancar tanpa hambatan."

   Pendekar Cacad Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Hal itu membuatnya sangat kagum.

   "Budi pertolongan Siangkong takkan kulupakan untuk selamanya, aku ...."

   "Kau tak perlu memikirkan hal itu dalam hati,"

   Tukas Bong Thian-gak sambil menggeleng kepala.

   "korban yang jatuh pada malam ini cukup besar, hal itu membuat hatiku amat tak enak ... oya betul! Aku belum bertanya siapa nama nona dan jabatanmu dalam perguruan Hiat-kiam-bun."

   "Aku adalah Pat-hubuncu, sejak kecil sudah mendampingi Cong-hubuncu, dia memanggil aku Siau Gwat-ciu!"

   "Selama ini Cong-hubuncu kalian selalu mengosongkan jabatan ketua, kesetiaan kalian benar-benar mengagumkan."

   "Siangkong,"

   Tiba-tiba Pat-hubuncu bertanya.

   "Darimana kau tahu tentang asal-usul perguruan Hiat-kiam-bun kami dengan begitu jelas?"

   Bong Thian-gak tersenyum.

   "Gwat-ciu, kau cepat pulang saja, kita pasti akan bersua kembali di masa mendatang, maaf kalau aku harus mohon pamit terlebih dahulu."

   Seusai perkataannya, dia lantas pergi dari situ.

   Tentu saja dia lantas pulang ke kuil Hong-kong-si.

   Setelah menempuh perjalanan semalam suntuk, ditambah pula menderita pukulan Soh-li-jian-yang-sin-kang dari Si-hunmo- li secara telak, kendati tidak mengakibatkan Bong Thiangak terluka, dia belum lega rasanya sebelum bersemedi barang setengah jam.

   Oleh karena itu begitu usai bersemedi dia tertidur nyenyak saking lelahnya.

   Ketika ia mendusin beberapa waktu kemudian, suara ketukan pintu bergema dari luar ruangan.

   "Siapa?"

   Tegurnya kemudian.

   "Aku, Hong-hong,"

   Suara merdu terdengar dari luar.

   "Ada urusan apa?"

   "Lapor Hwecu,"

   Kata Yu Hong-hong dengan merdu.

   "di luar ada orang mohon berjumpa dengan Hwecu."

   Bong Thian-gak terkejut mendengar ucapan itu, tanyanya dengan kening berkerut.

   "Siapakah dia?"

   "Orang itu sudah berada di ruang tamu, dia telah menunggu dua jam lamanya."

   Dengan cepat Bong Thian-gak membereskan pakaiannya, lalu membuka pintu, Yu Hong-hong sudah berdiri di luar pintu dengan senyuman aneh menghias bibirnya. Begitu Bong Thian-gak muncul, dia berbisik.

   "Hwecu, jodohmu memang sangat baik." "He, Hong-hong! Apa maksudmu?"

   Tanya Bong Thian-gak. Yu Hong-hong tertawa cekikikan.

   "Ada seorang gadis yang datang berkunjung, katanya dia tak akan beranjak dari situ sebelum bertemu dengan Hwecu, bayangkan sendiri, bukankah jodoh Hwecu memang amat baik?"

   "Seorang gadis? Siapakah dia?"

   Pikir Bong Thian-gak.

   "Mengapa dia bisa tahu aku berdiam di sini?"

   Berpikir demikian, dengan dahi berkerut kencang Bong Thian-gak bertanya lagi.

   "Dia berasal dari golongan mana?"

   "Aku tidak kenal, dia pun tidak mau menerangkan asal-usul perguruannya, tapi wajahnya cantik, potongannya tinggi semampai, pinggangnya langsing lagi."

   Mengikut di belakang Yu Hong-hong, Bong Thian-gak menuju ke ruang tamu, dari kejauhan dia sudah melihat seorang gadis tinggi semampai berambut panjang sedang berdiri di depan jendela, ketika mendengar suatu langkah mendekat, ia segera berpaling.

   Bong Thian-gak baru benar-benar tertegun sesudah melihat jelas paras muka gadis itu, sebab wajah itu sangat asing baginya dan belum pernah berjumpa sebelumnya.

   Gadis cantik itu segera menjura dalam-dalam begitu bertemu pemuda itu, lalu dengan senyum di kulum katanya.

   "Bong-hwecu, rupanya kedatanganku mengganggu?"

   "Ah, mana ... mana ...."

   Sahut Bong Thian-gak tersenyum.

   "silakan duduk, silakan duduk!"

   Sementara mulutnya menjawab, dalam hati kembali dia berpikir.

   "Heran, siapa orang ini?"

   Sesudah menempati kursinya, gadis cantik itu baru menundukkan kepala dan berkata agak tersipu-sipu.

   "Adapun kedatanganku pada hari ini adalah ingin menyampaikan rasa terima kasihku atas pertolongan yang telah Hwecu berikan semalam."

   "Oh, rupanya kau adalah Pat-hubuncu Hiat-kiam-bun,"

   Bong Thian-gak berseru tertahan sesudah mendengar perkataan itu. Memang benar gadis ini tak lain adalah Pat-hubuncu yang lelah diselamatkan Bong Thian-gak tadi malam. Sesudah berhenti sejenak, sambil tertawa Bong Thian-gak berkala.

   "Pat-hubuncu, darimana kau bisa tahu bahwa aku berdiam di sini?"

   "Harap Hwecu sudi memaafkan, sesungguhnya telah kukuntit Hwecu secara diam-diam semalam?"

   Sahut Pathubuncu agak tersipu. Bong Thian-gak tertawa terbahak-bahak.

   "Hahaha, Pathubuncu memang betul-betul cerdas, aku orang she Bong sungguh merasa amat kagum."

   Kemudian sambil menunjuk ke arah Yu Hong-hong yang berdiri di sampingnya, ia memperkenalkan.

   "Dia adalah Hiangcu perkumpulan kami, Hwe-im-eng Yu Hong-hong!"

   Buru-buru Yu Hong-hong memberi hormat kepada Pathubuncu sambil menyapa.

   "Pat-hubuncu, baik-baikkah kau?"

   Setelah berhenti sejenak, tanyanya lagi sambil tersenyum.

   "Pat-hubuncu, kunjunganmu sepagi ini tentu bukan khusus menyampaikan rasa terima kasihmu kepada Hwecu kami atas pertolongannya bukan?"

   "Ucapan Yu-hiangcu memang benar,"

   Pat-hubuncu manggut-manggut.

   "kedatanganku ini, di samping hendak menyampaikan rasa terima kasihku atas pertolongan Hwecu, juga kami mendapat perintah untuk mengundang Hwecu agar bersedia mengunjungi perkumpulan kami guna suatu perbincangan." "Pat-hubuncu, bila kau ada persoalan, katakan saja terus terang,"

   Ucap Yu Hong-hong dingin. Pat-hubuncu segera menunjukkan sikap serba susah, katanya kemudian.

   "Aku hanya mendapat perintah untuk mengundang Bong-hwecu saja."

   "Apakah Ji-hubuncu partai kalian yang menyuruh kau datang kemari?"

   Tukas Bong Thian-gak. Pat-hubuncu menggeleng.

   "Bukan Ji-hubuncu, tapi Conghubuncu."

   "Oh, jadi Cong-hubuncu pun sudah tiba di Hopak?"

   Bong Thian-gak keheranan.

   "Benar,"

   Pat-hubuncu manggut-manggut.

   "dia orang tua memang telah tiba di Hopak."

   "Ada urusan apa Cong-hubuncu mencariku?"

   "Entahlah, soal ini aku sendiri pun tak tahu."

   "Sekarang dia ada dimana?"

   "Aku akan mengajak Bong-hwecu menghadapnya."

   "Baiklah,"

   Bong Thian-gak mengangguk.

   "harap Pathubuncu suka menjadi petunjuk jalan."

   Tiba-tiba Yu Hong-hong menimbrung.

   "Pat-hubuncu, aku rasa sebaiknya Cong-hubuncu kalian yang datang ke Hongkong- si!"

   "Sesungguhnya Cong-hubuncu kami mempunyai kesulitan yang tak bisa diungkapkan, mustahil baginya menempuh perjalanan jauh,"

   Kata Pat-hubuncu serba susah. Kontan saja Yu Hong-hong tertawa dingin.

   "Jadi kau anggap Hwecu kami bisa menempuh perjalanan jauh semaunya?" "Hong-hong,"

   Tiba-tiba Bong Thian-gak menyela.

   "kau tak usah kuatir, aku akan menjumpai Cong-hubuncu Hiat-kiambun itu."

   Yu Hong-hong mengangkat kepala dan memandang sekejap ke arah Bong Thian-gak, lalu katanya.

   "Bong-hwecu, pihak Hiat-kiam-bun pernah mempergunakan siasat yang amat licik hendak mencelakai Hwecu, menurut pendapatku bisa jadi mereka berniat jelek terhadapmu, apalagi mereka hanya mengundang Hwecu seorang."

   "Hong-hong, kau tak usah kuatir,"

   Kata Bong Thian-gak sambil menggeleng kepala berulang kali.

   "kau pun boleh ikut bersamaku."

   Pat-hubuncu berkerut kening mendengar perkataan itu, cepat dia menyela.

   "Bong-siangkong, Ji-hubuncu telah berpesan, mereka hanya mengharapkan kehadiran Bongsiangkong seorang diri."

   "Nah, sekarang ketahuan sudah belangnya, bukankah kalian memang berniat jahat terhadap Hwecu kami?"

   Dengus Yu Hong-hong dingin. Agaknya Pat-hubuncu mengerti bahwa hal itu tak mungkin bisa dipaksakan lagi, maka akhirnya ia menghela napas panjang.

   "Ai, kalau begitu baiklah, silakan nona ikut bersama kami."

   Sebagaimana diketahui, Bong Thian-gak sudah mengetahui jelas asal-usul perguruan Hiat-kiam-bun, dia pun tahu kedatangan Cong-hubuncu Hiat-kiam-bun untuk menjumpainya tanpa disertai niat jahat.

   Dalam pada itu Pat-hubuncu telah bangkit dan berkata lagi.

   "Siangkong, bila kau tak ada urusan lagi, mari kita segera berangkat!"

   "Silakan Pat-hubuncu!"

   Bong Thian-gak manggut-manggut.

   Dengan langkah perlahan Pat-hubuncu Siau Gwat-ciu bersama Bong Thian-gak dan Yu Hong-hong meninggalkan kuil Hong-kong-si, sepanjang jalan mereka bergerak tanpa berbicara, arah yang dituju mula-mula adalah kota terlarang, tapi di tengah jalan tiba-tiba Siau Gwat-ciu berbelok ke arah tenggara.

   "Hei, bukankah kita akan pergi ke kota terlarang?"

   Yu Hong-hong segera menegur. Pat-hubuncu Siau Gwat-ciu tersenyum.

   "Jejak Cong-hubuncu perguruan kami tak menentu, setibanya di wilayah Hopak, masa dia akan berdiam dalam rumah penginapan yang begitu gaduh dan bising?"

   "Lantas dia berdiam dimana?"

   Tanya Yu Hong-hong dengan kening berkerut.

   "Sebentar kau bakal mengetahui."

   Yu Hong-hong memang sama sekali tidak mengetahui asalusul Hiat-kiam-bun, hal itu semakin menimbulkan kecurigaan dalam hatinya, segera ia berbisik kepada Bong Thian-gak.

   "Hwecu, apakah kita harus mengikutinya?"

   "Hong-hong, bukankah kita sudah sampai di sini?"

   Sahut Bong Thian-gak sambil tersenyum.

   "kalau tidak mengikutinya, kita harus ikut siapa?"

   "Tapi... Hwecu, aku sangat kuatir."

   "Hong-hong, baiklah kuberitahukan satu hal kepadamu,"

   


Mayat Kesurupan Roh -- Khu Lung Elang Terbang Di Dataran Luas -- Tjan Id Merpati Pedang Purba -- Kauw Tan Seng

Cari Blog Ini