Anak Rajawali 3
Anak Rajawali Karya Chin Yung Bagian 3
Anak Rajawali Karya dari Chin Yung Setelah sadar apa yang terjadi, Bin Hujn menjerit-jerit memanggil para pelayan dan anak buah Bin Wan-gwe, buat mengangkat Bin Wan-gwe ke atas pembaringan. Kemudian memanggil tabib guna mengobati luka Bin Wan-gwe, luka di dalam tubuh yang parah sekali. Karena sepanjang hari itu Bin Wan-gwe tetap dalam keadaan pingsan tidak sadarkan diri, Bin Hujin dan puterinya hanya menangis terisak-isak saja dengan segala macam perasaan menggoncangkan hatinya..... Rembulan tergantung di langit dengan sinarnya yang sangat terang benderang, di samping itu juga terlihat jelas sekali pohon107 pohon yang terhembus oleh siliran malam, bagaikan bayangan raksasa. Di bawah sebatang pohon yang cukup besar di tepi jalan di luar pintu kampung sebelah barat, tampak duduk sesosok tubuh dengan bercakung diri, ke dua tanganya bertopang pada dagunya. Dia memandang dengan sikap yang muram sekali kepada rembulan, matanya yang kuyu tidak bersinar itu mengandung kepedihan yang mendalam. "Cinta..... apakah cinta itu?!" Menggumam orang tersebut dengan suara yang serak. Dia seperti juga tidak merasakan dinginnya angin malam yang menerpah tubuhnya. "Dan apakah artinya semua perjalanan hidupku ini yang hanya dipermainkan oleh cinta belaka? Atau memang dia masih mencintai aku? Ohhh, aku benar-benar seperti juga orang sinting yang mengharapkan yang tidak-tidak! Dia sangat mencintai dan menyayangi suaminya, dan diapun begitu menguatirkan suaminya..... juga dari perkawinannya telah diperoleh anak..... "Bagaimana mungkin aku masih bisa mengharapkan yang tidaktidak? Bukankah satu-satunya yang cukup bisa membahagiakan dan menghibur hatiku adalah membiarkan dia hidup bahagia di samping suami dan anaknya?!" Sosok bayangan itu menghela napas lagi beberapa kali, angin malam berhembus semakin dingin. Sosok tubuh yang tengah duduk terpekur di bawah sebatang pohon tersebut tidak lain dari Hok An, yang sikapnya bagaikan orang mabok cinta dan sinting. Dia selalu duduk terpekur begitu menangisi cintanya yang kandas. Jika sebelumnya, selama bertahun-tahun, dia begitu giat mencari jejak kekasihnya, di mana dia berusaha menyelidiki di mana beradanya Un Kim Hoa. Akan tetapi sekarang, setelah dia memperoleh kenyataan Un Kim Hoa resmi sebagai Bin Hujin, dia jadi begitu putus asa dan kecewa. Apalagi memang dilihatnya Un Kim Hoa begitu sayang dan menguatirkan keselamatan suaminya, maka semakin tawar juga hati Hok An. Dulu memang dia dengan Un Kim Hoa menjalin hubungan mesra dan juga masing-masing telah bersumpah akan tetap setia, walaupun apa yang terjadi, tidak ada suatu kekuatan apapun yang akan sanggup memisahkan mereka. Namun kenyataan yang ada, justru Un Kim Hoa melanggar sumpahnya sendiri, di mana Kim Hoa telah menjadi isteri orang lain, menjadi nyonya Bin, dan malah sekarang telah mempunyai anak hasil dari perkawinan mereka itu. Hok An menghela napas. Di bawah sinar rembulan yang redup, tampak berkilauan butir-butir air mata yang mengenai dan mengalir di pipi Hok An. Semua kenangan manis waktu ia bercinta dengan Un Kim Hoa terbayang kembali di pelupuk matanya. Akhir-akhir ini karena putus cinta ditinggal kekasih, yang kawin dengan orang lain, lagak Hok An sampai mirip-mirip orang sinting! Semua itu karena dia patah hati mengalami kegagalan cinta. Dan sekarang, dalam malam yang demikian sunyi dan sepi, justru perasaan Hok An begitu kosong dan tawar, karena sekarang dia telah memperoleh kenyataan impian telah buyar, di mana dia tidak bisa mengharapkan lagi kasih dari orang yang telah menjadi milik orang lain..... Tiba-tiba sekali, Hok An tersentak dari lamunannya, dia mendengar di kejauhan suara orang menjerit-jerit. "Kembalikan anakku! Kembalikan anakku! Ohh, biadab kau..... kembalikan anakku!" Suara jeritan itu adalah suara jeritan wanita, di mana sambil menjerit-jerit, wanita itu berlari-lari dalam kegelapan malam. Hati Hok An jadi berdebar keras sekali, tergoncang oleh peristiwa tersebut, dan bukan soal jeritan wanita itu, akan tetapi justeru dia mengenali suara wanita tersebut di samping memang diapun mengenali potongan tubuh wanita itu, yang tidak lain dari pada Un Kim Hoa! Waktu itu Un Kim Hoa berlari-lari dengan pakaian yang tidak teratur letaknya, rambutnya juga tidak tersusun rapi, telah ada yang beriap sebagian. Akan tetapi wanita itu tidak memperdulikan keadaan dirinya, malah dengan isak tangis dan air mata yang bercucuran deras, dia telah berteriak-teriak dengan jeritan yang sangat mengenaskan hati. "Kembalikan anakku! Kembalikan anakku! Oh, biadab sekali kau jika mengganggu anakku itu, terkutuklah kau.....!" Dalam keadaan seperti itu, mata Hok An yang juga tengah digenangi air mata, sebenarnya tidak melihat jelas. Akan tetapi setelah agak berkurang rasa kagetnya, segera dia menghapus air matanya, maka dia segera melihat di kejauhan berlari-lari sesosok tubuh, yang mengenakan pakaian serba hitam, dengan gerakan yang gesit sekali, tengah berlari-lari meninggalkan perkampungan itu. Di tangannya menggendong sesosok tubuh kecil. Hok An segera juga tersadar! Dia mengetahui apa yang terjadi! Tentunya Lung Hie telah menculik puteri Bin Wan-gwe dan Bin Hujin mengetahuinya, sehingga nyonya itu mati-matian mengejar Lung Hie. Akan tetapi Bin Hujin mana bisa mengejar Lung Hie, karena Lung Hie memiliki ginkang yang tinggi, walaupun di tangannya menggendong puteri Bin Wan-gwe, namun dia tetap bisa berlari cepat seperti itu. Bin Hujin semakin tertinggal jauh. Bagaikan tersengat kalajengking, tampak Hok An melompat dari tempat duduknya, dia berlari seperti terbang saja. "Kim Hoa, jangan kuatir, aku akan segera merebut kembali puterimu itu.....!" Berseru Hok An waktu dia melampaui Bin Hujin buat menyusul Lung Hie. Bin Hujin terkejut, namun kemudian berganti menjadi girang yang tidak kepalang bercampur haru. "Hok An.....!" Suaranya serak, dan dia telah berlari terus. "Tolonglah aku Hok An..... tolonglah puteriku itu.....!" Hok An sudah tidak mendengar perkataan Bin Hujin, yang suaranya tergetar dan serak seperti itu, dia terus juga mengejarnya. Sedangkan Lung Hie jadi mendongkol sekali. Semula dia girang, telah berhasil menculik puteri Bin Wan-gwe, yang kelak akan dipergunakan buat pancingan agar Bin Wan-gwe datang ke tempatnya dan nanti membinasakan hartawan itu guna membalas sakit hatinya. Akan tetapi sekarang dia mengetahui dirinya tengah dikejar oleh seseorang, yang memiliki ginkang tidak berada di sebelah bawah ginkangnya, yang dapat mengejarnya dengan cepat sekali. Gerakan orang itu juga malah lebih cepat dari larinya, karena Lung Hie merasa terganggu dengan puteri Bin Wan-gwe yang digendongnya dan selalu meronta itu, sehingga memperlambat larinya. Dalam keadaaan seperti itu, juga Lung Hie dapat mengenalinya bahwa orang tengah mengejarnya itu tidak lain dari Hok An, manusia yang seperti sinting karena mabok kepayang oleh kandasnya sang cinta..... Lung Hie mengempos semangatnya, berusaha berlari lebih cepat lagi. Akan tetapi puteri Bin Wan-gwe masih saja meronta terus menerus, maka dia telah jengkel bukan main. Dengan gusar dia mengayunkan tangan kanannya menghantam kepala gadis cilik tersebut, maka puteri Bin Wan-gwe itu tidak bisa meronta lagi dia telah jatuh pingsan. Sedangkan Hok An berlari cepat sekali, dia berlari sekuat tenaganya. Jarak antara dia dengan Lung Hie semakin dekat juga. Mengetahui bahwa dirinya jika berlari terus menerus seperti itu, akhirnya akan dapat terkejar oleh Hok An, maka segera juga Lung Hie merobah arah larinya, dia menuju ke arah sebuah gunung yang terpisah cukup jauh dari perkampungan itu. Namun Hok An tetap saja mengejarnya, mengejar dengan semakin cepat. Dengan mengambil jalan di dalam hutan-hutan tidak gampang buat Hok An menemui jejak Lung Hie. Inilah yang akhirnya menguntungkan Lung Hie, yang bisa menjauhi diri dari Hok An. Dengan panik Hok An mencari-cari ke sana ke mari, dia bingung bukan main, dan terus juga menerobos hutan-hutan yang terdapat di kaki gunung, sampai akhirnya dia menemui juga jejak Lung Hie. Dilihatnya Lung Hie sedang mendaki gunung itu, rupanya pemuda itu bermaksud hendak menghindarkan diri dari kejarannya dengan mendaki gunung tersebut. Hok An sambil berseru nyaring telah mengempos semangatnya. Dia mengejar dengan pesat sekali. Dia kuatir, kalau saja Lung Hie kurang begitu baik-baik menguasai dirinya, sehingga terjerumus ke dalam jurang, berarti puteri Bin Wan-gwe akan mengalami kecelakaan juga. Semakin lama Hok An semakin kalap, mengejar semakin cepat juga, diapun berulang kali berseru dan membentak agar Lung Hie menghentikan larinya, di mana Hok An berjanji tidak akan menganggu, asal dia bersedia memulangkan puterinya Bin Wangwe itu. Di waktu itu Lung Hie seperti kalap, sudah tidak memperdulikan suatu apapun, dia berlari terus mendaki gunung itu. Setengah harian mereka lari saling kejar di gunung itu, dan akhirnya Lung Hie tiba di tepi jurang yang curam sekali. Dia memandang bingung sekelilingnya, karena sudah tidak ada jalan lain lagi buat dia meloloskan diri, sedangkan Hok An telah mengejarnya semakin dekat. Muka Lung Hie agak pucat. Dia tidak jeri dengan Hok An, akan tetapi dia telah merasakan, betapa manusia yang otaknya seperti sinting disebabkan merana putus cintanya, sangat hebat tangannya. Maka dari itu terlebih lagi dia dalam keadaan menggendong puteri Bin Wan-gwe, jelas dia tidak akan bisa berbuat banyak menghadapi Hok An. Waktu itu Hok An telah tiba di dekat tempat itu. Dia berhenti berlari dan memandang Lung Hie dengan tajam, katanya. "Kembalikan puteri Bin Wan-gwe, dan kau boleh pergi, aku tidak akan mengganggumu......!" "Hemmm, memulangkan kembali puteri si bangsat ini? Jika kau berani maju satu tindak lagi, tentu aku akan menghantam hancur batok kepala anak si bangsat ini..... Cepat kau tinggalkan tempat ini!" Hok An mencilak-cilak matanya, dia memandang beberapa saat dengan bingung. Jika dia menerjang maju, di belakang Lung Hie terdapat jurang yang dalam. Dan jika Lung Hie terjerumus masuk ke dalam jurang itu, berarti puteri Bin Wan-gwe akan mengalami kecelakaan juga. Karena dari itu, Hok An tidak segera menyerbu maju. "Ayo, kau kembalikanlah puteri Bin Wan-gwe.....!" Kata Hok An berusaha membujuknya. "Cisss, manusia hina dan rendah, setelah kau ditinggalkan kawin, dan juga engkau telah disakiti seperti itu, engkau masih mau menolongi hartawan bangsat itu, heh?!" Sengaja Lung Hie mengeluarkan kata-kata yang pedas seperti itu, karena dia ingin mengingatkan kepada Hok An, bahwa Bin Wangwe itu seteru dan musuh Hok An yang telah mengambil kekasihnya, sehingga Hok An merana dan menderita dari tahun ke tahun. Akan tetapi Hok An menggeleng cepat. "Aku telah memutuskan, bahwa urusan yang lalu itu tidak perlu kuingat lagi! Aku ikut gembira dan bahagia melihat Kim Hoa hidup bahagia dengan suaminya, di mana mereka bisa merawat puteri mereka baik-baik.....! Nah, kau kembalikanlah puteri Bin Wan-gwe itu...... Bin Wan-gwe tentu akan berterima kasih sekali padamu!" "Bin Wan-gwe berterima kasih kepadaku?" Tanya Lung Hie tibatiba, dia tertawa dengan suara yang nyaring sekali, sampai tubuhnya tergoncang sangat keras. "Bin Wan-gwe itu seorang bangsat yang tidak punya malu, bagaimana dia bisa berterima kasih atas kebaikanku? Hemmm, sedangkan harta warisanku saja telah dirampas dan diserakahinya di mana seperti juga dia sudah menjadi setan. Ibu dan adik-adikku dibunuhnya semua.....!" Dan Lung Hie tergelak-gelak nyaring sekali. Hok An melangkah setindak-setindak mendekati Lung Hie waktu pemuda ita berkata-kata, karena jika memang terdapat kesempatan dia bermaksud hendak mempergunakannya untuk menyerbu dan merebut puteri Bin Wan-gwe. Akan tetapi, dia tidak bisa melangkah lebih jauh sebab Lung Hie telah melihat sikapnya itu, di mana Lung Hie membentak bengis. "Berhenti! Jika kau berani melangkah maju satu tindak lagi, puteri si bangsat ini akan ku lemparkan ke dalam jurang itu....." Bingung bukan main hati Hok An, karena dia menyadari, jika Lung Hie terdesak, pemuda seperti Lung Hie tentu tidak segan-segan akan membuktikan ancamannya itu. Tentu dia akan melemparkan puteri Bin Wan-gwe itu ke dalam jurang. Itulah hebat, kalau sampai hal itu terjadi, tentu Un Kim Hoa akan berduka sekali. Teringat kepada Un Kim Hoa, semangat Hok An terbangun. "Baiklah, apa yang kau kehendaki?!" Tanya Hok An kemudian. "Hemm, anak ini tetap akan kutahan, sampai manusia she Bin itu datang sendiri ke mari agar dapat kubinasakan, puterinya baru kubebaskan! Dia harus menebus jiwa puterinya ini dengan jiwanya sendiri....." Menyahuti Lung Hie. Hok An berdiri tertegun bengong di tempatnya, sampai akhirnya dia menghela napas dalam-dalam. "Bin Wan-gwe hidup bahagia dengan isteri dan puterinya itu, biarkanlah mereka hidup bahagia seterusnya. Dan aku bersedia menggantikan Bin Wan-gwe, buat menebus jiwa puteri Bin Wangwe itu. Kau boleh membunuhku, dan selanjutnya engkau tidak boleh memusuhi keluarga Bin Wan-gwe....." Waktu berkata begitu, wajah Hok An tampak murung sekali. "Cisss.....!" Meludah Lung Hie. "Siapa yang menghendaki jiwamu?!" Hok An menghela napas lagi. "Tetapi aku rela berkorban demi kebahagiaan Un Kim Hoa!" Kata Hok An dengan suara yang sayu. "Cisss, laki-laki tidak memiliki harga diri!" Bentak Lung Hie sengit. "Berkorban buat wanita yang telah menyakiti hatimu dan mengkhianati cintamu?!" Diwaktu itu Hok An melangkah lagi maju setindak, dengan mata yang memandang tajam mencari kesempatan. "Ingat, selangkah lagi engkau maju maka engkau akan menyesal seumur hidupmu, puteri Bin Wan-gwe akan kulemparkan ke jurang itu.....!" Mengancam Lung Hie. Namun Hok An nekad, dia melangkah maju terus. Dia yakin tentu Lung Hie akan gugup tidak akan membuktikan ancamannya dalam waktu yang singkat ini. "Berhenti!" Teriak Lung Hie dengan muka yang menyeringai bengis. Tetapi Hok An masih melangkah juga maju. Lung Hie mengangkat puteri Bin Wan-gwe. "Kau maju selangkah lagi, anak ini akan kulemparkan ke dalam jurang.....!" Mengancam Lung Hie dengan muka meringis seperti mau menangis, karena ancamannya seperti tidak diacuhkan oleh Hok An. Hok An terpisah dua tombak lebih dengan Lung Hie. Dia melihat, jika waktu itu Lung Hie melemparkan puteri Bin Wan-gwe dia bisa melompat dengan mengandalkan kegesitan tubuhnya dan menjambret tubuh puteri Bin Wan-gwe. Dengan begitu jelas dia masih bisa menolongi puteri Bin Wan-gwe. Akan tetapi Hok An belum berani mengambil resiko seperti itu, dia masih melangkah maju satu tindak lagi, memperdekat jarak mereka. "Ohh, kau memaksa aku membunuh anak ini?!" Berseru Lung Hie. Dan dia bukan hanya berseru saja, sebab tangannya bergerak, dia telah melontarkan puteri Bin Wan-gwe itu, yang meluncur ke tengah mulut jurang tersebut. Hok An tidak menyangka Lung Hie akan melaksanakan ancamannya dalam waktu yang begitu cepat. Dengan mengeluarkan jeritan, segera juga dia menjejakkan ke dua kakinya, tubuhnya melompat ke tengah udara, dia meluncur sambil mengulurkan ke dua tangannya buat menjambret baju puteri Bin Wan-gwe. Lung Hie melihat Hok An bermaksud menolongi puteri Bin Wangwe dengan mempertaruhkan jiwanya, karena jika Hok An gagal menjambret tepi jurang, berarti diapun akan terjerumus masuk ke dalam jurang tersebut dan terbanting mati di dasar jurang itu. Waktu itu tubuh Hok An tengah melayang di tengah udara, tangannya yang diulurkan itu hanya terpisah beberapa dim lagi dari baju puteri Bin Wan-gwe. Lung Hie mana mau membiarkan Hok An menolongi puteri Bin Wan-gwe. Mempergunakan kesempatan itu, Lung Hie telah menghantam dengan ke dua tangannya. Dia memukul dengan pukulan udara kosong, angin serangannya menghantam tubuh Hok An. Merasakan menyambarnya angin serangan tersebut, Hok An mengeluh. Dirinya tengah melayang di tengah udara, dan jika saja dia gagal menjambret baju puteri Bin Wang- gwe karena harus menangkis serangan Lung Hie, berarti sudah habislah kesempatan baginya untuk menolongi gadis cilik itu. Sedangkan waktu itu pukulan Lung Hie pun bukan pukulan yang perlahan, akan tetapi mengandung maut, mengincar ke arah punggungnya. Karena ingin menolongi puteri Bin Wan-gwe, Hok An jadi nekad. Dia telah mengempos semangatnya, dan tenaganya dikerahkan pada pundaknya, dia menerima serangan itu tanpa menangkis. Dan juga tangannya tetap terjulurkan ke depan, dia ingin menjambret baju puteri Bin Wan-gwe. Pukulan Lung Hie mengenai telak pundak Hok An, menyebabkan tubuh Hok An tergetar keras! Dan akibat gempuran itu justeru tubuh Hok An jadi mencong arah, tangannya yang diulurkan menjambret puteri Bin Wan-gwe gagal mengenai sasarannya, tubuh puteri Bin Wan-gwe terus juga meluncur masuk ke dalam jurang itu. "Ohhh....." Hok An mengeluh kecewa. Akibat pukulan dari Lung Hie, sehingga usahanya itu gagal buat menolongi puteri Bin Wangwe. Hok An segera juga berjumpalitan di tengah udara, kemudian tangan kanannya menepuk tepi jurang itu, tubuhnya melentik ke tengah udara dan hinggap kembali di atas tepi jurang tersebut tanpa kurang suatu apapun juga, dia tidak sampai terjerumus masuk ke dalam jurang itu!" Dengan muka yang merah padam karena gusar, Hok An berseru mendelik pada Lung Hie "Kau....., kau manusia kejam....., kau..... kau menyebabkan puteri Bin Wan-gwe tidak bisa tertolong....." Belum lagi habis perkataannya, Hok An telah melompat akan menghantam Lung Hie. Namun Lung Hie tidak mau melayaninya, dia memutar tubuhnya dan meninggalkan tempat itu dengan berlari cepat sekali. Hok An hendak mengejarnya, akan tetapi waktu itu, di bawah sana terdengar suara Un Kim Hoa. "Mana anakku? Ohhh Tuhan..... mana anakku yang dilarikan si biadab itu? Mana anakku......?" Sambil menjerit-jerit dan menangis seperti itu, Bin Hujin terus mendaki gunung itu. Hok An batal mengejar Lung Hie, dia menantikan kedatangan Bin Hujin. Wajah Hok An muram bukan main. Tidak lama kemudian Bin Hujin tiba di dekat tempat Hok An. Segera juga wanita tersebut menjatuhkan dirinya berlutut di hadapan Hok An dan sesambatan. "Hok..... Hok An bsgaimana dengan puteriku? Apakah engkau telah dapat menyelamatkannya?" Hok An menghela napas perlahan. "Aku gagal.....!" Kata Hok An dengan suara tersendat di tenggorokannya. "Kau..... kau gagal? Jadi..... puteriku itu?!" Suara Bin Hujin tersendat seperti juga lehernya tercekik, mukanya pucat pias dengan di wajahnya dilumuri air matanya yang mengucur deras sekali. Keadaannya sudah tidak teratur, dengan rambutnya yang terurai dan juga pakaian yang tidak benar letaknya. Anak Rajawali Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Pemuda itu..... telah melemparkan puteri kalian ke dalam..... ke dalam.....!" Hok An tidak bisa meneruskan perkataannya itu. "Maksudmu..... puteriku telah dilemparkan ke dalam jurang itu.....?!" Menegasi Bin Hujin. Hok An hanya bisa mengangguk tanpa bisa menyahuti. "Ohhh!" Mengeluh Bin Hujin, yang seketika pingsan tidak sadarkan diri, di dekat kaki Hok An. Cepat-cepat Hok An menolonginya buat menyadarkan Bin Hujin. Tidak lama kemudian Bin Hujin tersadar dari pingsannya, akan tetapi begitu siuman segera juga nyonya tersebut berseru kalap. "Mana anakku?!" Dan Bin Hujin berlari ke jurang. Hok An segera mencekal tangan Bin Hujin. "Tenang..... tenang.....," Hibur Hok An dengan segera berusaha mengatasi Bin Hujin yang tengah kalap seperti itu. Namun Bin Hujin sama sekali tidak memperdulikan Hok An, ia meronta dan menarik tangannya dari cekalan Hok An. Tidak disangka-sangka dia telah menjatuhkan dirinya duduk menangis menggerung-gerung sambil katanya. "Celakalah aku! Sungguh perempuan pembawa sial....." Sesambatan Bin Hujin. "Tenanglah..... Kim Hoa..... tenanglah..... mengapa kau harus kalap seperti itu, tokh puterimu itu akan segera kucari kalau-kalau dia masih bisa tertolong......" Hibur Hok An. Bin Hujin masih menangis dengan kepala yang digelengkan tidak hentinya dan sikap tetap kalap. "Suamiku.....! Suamiku telah meninggal dunia akibat pukulan manusia biadab itu, waktu siang itu..... di mana dia sudah tertolong walaupun aku telah memanggilkan tabib, dua jam sejak ia dilukai, ia menghela napas yg terakhir. "Dan malam ini, manusia biadab itu telah datang kembali, buat mencari suamiku. Akan tetapi tidak disangka-sangka, dia bertemu dengan puteriku, sehingga segera juga dia menangkap dan menawannya, dibawa lari. Aku berusaha mengejarnya..... Ohhh, benar-benar aku perempuan pembawa celaka..... Sekarang puteriku telah terkubur di dasar jurang itu.....!" Dan Bin Hujin menangis terisak-isak semakin hebat, dia mengucapkan beberapa patah perkataan lagi, akan tetapi Hok An tidak mendengarnya dengan jelas. Hok An juga ikut berduka dan terharu, dia hanya menundukkan kepala dalam-dalam, tidak disangkanya bahwa Bin Wan-gwe karena luka-lukanya itu, akhirnya telah menghembuskan napasnya yang terakhir. Dan juga sekarang puteri Bin Wan-gwe, telah dilemparkan masuk ke dalam jurang itu. Jurang tersebut sangat curam sekali, maka jika memang puteri Bin Wan-gwe itu telah terjatuh di dasar jurang tersebut, tidak mungkin puteri Bin Wan-gwe masih hidup dan dapat ditolong, karena tubuhnya pasti telah terbanting hancur dan remuk di dasar jurang itu.....!" Tiba-tiba Hok An terkejut, karena Bin Hujin menjerit. "Anakku, tunggulah ibu......!" Hok An dongak, dia memandang ke arah tempat duduk Bin Hujin. Semangat Hok An jadi terbang meninggalkan raganya, sebab waktu itu tubuh Bin Hujin tengah melompat ke dalam jurang itu. Rupanya Bin Hujin telah kalap, maka dia menjadi nekad begitu buat bunuh diri dengan terjun ke dalam jurang tersebut. "Kim Hoa....." Menjerit Hok An dengan suara tersendat di lehernya, dia melompat menjambret Kim Hoa. Akan tetapi gagal, dia hanya berhasil menjambret ujung badju Un Kim Hoa dan tubuh Bin Hujin telah meluncur terus masuk ke dalam jurang. Tidak lama kemudian, terdengar suara pekiknya yang menyayatkan dari dasar jurang itu, pekik kematian. Hok An menutupi mukanya dengan sepasang tangannya, dia menangis sejadi-jadinya. "Kim Hoa! Kim Hoa! Mengapa engkau begitu nekad?!" Menjerit Hok An dengan kalap. Sampai akhirnya Hok An berdiri tertegun mematung di tepi jurang itu, mengawasi ke dalam jurang dengan butir-butir air mata berlinang, dari sepasang matanya. Lama, lama sekali Hok An berdiri begitu dengan sikap seperti juga arwahnya sudah meninggalkan raganya, dan diapun tampaknya sudah tidak memiliki semangat. Waktu matahari fajar menampakkan diri, dia masih tetap berdiri mematung di tepi jurang tersebut. Sama sekali Hok An tidak memperdulikan keadaan di sekitarnya, tidak memperdulikan juga siliran angin yang begitu dingin menggigilkan tubuh. Dan hanya mulutnya yang selalu berkemakkemik perlahan, berkata-kata dengan suara tidak jelas, hanya samar-samar terdengar. "Kim Hoa....., Kim Hoa..... sekarang kau telah beristirahat dengan tenang di tempatmu..... Kim Hoa.....!" Setelah matahari naik tinggi dan udara menjadi cerah dan terik, Hok An baru seperti tersadar dari tidurnya, dia menghela napas dalam dalam, kemudian duduk numprah di tepi jurang itu. Hanya saja karena dia terlalu letih, jiwa dan raganya, akhirnya setelah mengeluh, Hok An pingsan tidak sadarkan diri. Lama juga Hok An pingsan tidak sadarkan diri, sampai akhirnya dia tersadar juga dari pingsannya. Waktu itu tepat tengah hari dan matahari sangat terik sekali. Dengan lesu, tampak Hok An telah bangkit dan berdiri di tepi jurang itu, berdiri bengong mengawasi ke arah dalam jurang itu, karena juga tidak puas untuk mengawasi jurang ini, di mana di dalam dasar jurang tersebut terdapat wanita yang sangat dicintainya, yang tentu rebah dengan sekujur tubuhnya yang remuk...... Bagaikan tersentak, tiba-tiba Hok An teringat sesuatu, segera juga dia mengangguk-angguk sambil katanya seorang diri. "Ya, mengapa aku tidak melihatnya saja ke bawah? Mengapa aku tidak turun ke dasar jurang itu?!" Lama setelah berkata seperti itu Hok An berdiri termenung di tempatnya, sampai akhirnya dia telah menghela napas. Perlahanlahan dia menuruni jurang itu. Dengan merambat dan mengandalkan ginkangnya, dia bisa menuruni jurang itu dengan mudah, dia telah dapat menuruninya sampai ke dasar jurang tersebut. Jurang itu ternyata sangat dalam sekali. Waktu Hok An tiba di dasar jurang tersebut, di saat itu hampir menjelang sore hari. Yang pertama-tama dilihatnya adalah Bin Hujin, yang rebah tengkurap dengan keadaan yang sangat mengiriskan hati. Tubuhnya hancur dan juga tentunya tulang-tulang di tubuhnya telah patah dan remuk. Hok An segera menjatuhkan dirinya berlutut di dekat mayat Bin Hujin. Dengan air mata berlinang-linang dia berkata. "Kim Hoa, Kim Hoa..... aku tidak menyangka bahwa engkau akan pergi lebih dulu meninggalkan aku..... Kim Hoa..... Kim Hoa..... mengapa engkau begitu nekad, sehingga engkau membunuh diri? Bukankah segala persoalan apapun juga masih bisa diselesaikan? Bukankah masih ada aku, yang bersedia buat melakukan suatu apapun juga demi kebahagiaanmu?!" Terus menerus Hok An menangis dan juga menyesali kenekadan Kim Hoa, sampai akhirnya dia telah menangis terisak-isak. Selama bertahun-tahun dia telah berkelana mencari jejak Kim Hoa. Selama itu pula Hok An selalu diliputi oleh khayalannya. Jika saja dia berhasil menemui jejak Kim Hoa, betapa akan membahagiakannya. Secuil kegembiraan tentu akan diperolehnya, dan juga sedikit kebahagiaan yang masih bersisa di hatinya pasti akan hidup kembali..... Tentu Kim Hoa pun akan gembira dan bahagia bisa bertemu dengannya. Masih mencintai dan mengasihinya. Akan tetapi kenyataan yang ada justeru berlainan sama sekali dengan apa yang dikhayalkannya itu, bahkan juga memang di waktu itu Kim Hoa telah menjadi milik orang. Dengan demikian membuat kandas seluruh harapan Hok An. Dan sekarang justeru diapun harus menghadapi peristiwa seperti ini, di mana Kim Hoa telah menghabisi jiwanya sendiri dengan membuang diri ke dalam jurang. Sedangkan suami Kim Hoa juga telah menghembuskan napasnya, karena telah terluka berat di tangan Lung Hie. Malah yang membuat Hok An semakin sedih, karena puteri Bin Wan-gwe pun telah terbinasa dilempar ke dalam jurang ini. Semua kehancuran keluarga Bin tersebut sejak kemunculannya, membuat Hok An menjadi menyesal bukan kepalang. Teringat kepada puteri Bin Wan-gwe, segera juga dia menoleh ke kiri ke kanan, dia mencari-cari mayat puteri Bin Wan-gwe. Di saat itu, dia tidak melihat mayat puteri Bin Wan-gwe, sehingga membuat Hok An terheran-heran. Dia berdiri dari duduknya dengan segera dan matanya telah memandang ke sana kemari mencari-cari mayat puteri Bin Wan-gwe. Tetap saja dia tidak berhasil menemui mayat puteri Bin Wan-gwe. "Ohhh, ke manakah mayat puteri Bin Wan-gwe, apakah memang mayat puteri Bin Wan-gwe telah dibawa oleh binatang buas yang mendiami dasar jurang ini?!" Menggumam Hok An dengan hati yang berdebar keras. "Apakah mayatnya telah dijadikan santapan binatang buas itu.....?!" Hok An jadi penasaran, dia telah mencari terus ke sana ke mari. Sampai akhirnya hatinya berdebar keras sekali, dia melihat sesosok tubuh kecil yang rebah di atas tumpukan rumput, rebah dalam keadaan diam tidak bergerak sedikitpun juga. Cepat-cepat Hok An melompat dan memeriksa sosok tubuh kecil itu. Seorang gadis cilik dan tidak lain dari puteri Bin Wan-gwe! Waktu Hok An memeriksa keadaannya, dia memperoleh kenyataan puteri Bin Wan- gwe itu masih bernapas. Hati Hok An semakin berdebar. Tidak terlihat luka sedikitpun juga di tubuh puteri Bin Wan-gwe. Diam-diam Hok An pun heran, mengapa puteri Bin Wan-gwe bisa terlontar dan jatuh di tempat yang sejauh ini dari sasaran tempat jatuhnya yang semula? Malah mengapa bisa jatuh di atas tumpukan rumput-rumput yang tumbuh tebal sekali di bagian tempat tersebut? Hok An dongak mengawasi ke atas, dia melihat ke mulut jurang itu, dan juga memperoleh kenyataan, seperti ada kekuatan yang tidak tampak, yang pasti telah melemparkan puteri Bin Wan-gwe ke arah tumpukan rumput ini! Dan itulah kekuasaan Tuhan, di mana puteri Bin Wan-gwe belum saatnya menemui ajal. Gembira juga hati Hok An, dia merasa agak terhibur setelah memperoleh kenyataan puteri Bin Wan-gwe itu tidak mati terbanting di dasar jurang. Akan tetapi tiba-tiba sekali Hok An teringat sesuatu. Perasaan menyesal jadi tumbuh hebat di hatinya, dia sampai membantingbanting kakinya dengan penyesalan yang hebat menggoda hatinya, dan diapun menangis dengan keras. "Kim Hoa.....! Kim Hoa! Ohhh, engkau terlalu kalap dan tergesagesa menghabisi jiwamu sendiri! Sesungguhnya, jika saja engkau mau bersabar dulu, sampai aku memeriksa keadaan di dalam jurang ini, mencari puterimu tentu kau tidak akan menemui ajalmu. Karena puterimu sendiri sesungguhnya tidak mati terbanting di dasar jurang ini.....! Kim Hoa! Kim Hoa! Ohhh, Kim Hoa.....!" Dan Hok An terus menerus menangis setengah harian dengan hati yang berduka dan luluh sekali. Di waktu itu sudah menjelang malam dan keadaan gelap sekali. Mengapa puteri Bin Wan-gwe bisa berada ditumpukan rumput yang tebal itu? Sesungguhnya, semua itu terjadi karena memang atas kekuasaan Thian juga, sehingga puteri Bin Wan-gwe tidak menemui ajalnya di dasar jurang tersebut. Waktu dia dilontarkannya, tubuh puteri Bin Wan-gwe memiliki daya lempar dari Lung Hie, dan juga waktu Hok An menjambret mengenai tempat kosong karena dihantam oleh pukulan Lung Hie, angin pukulan itu seperti juga mendorong tubuh puteri Bin Wangwe, sehingga terpental ke samping. Karena itu, waktu tubuhnya meluncur jatuh, diapun dalam keadaan pingsan, sehingga tidak melakukan gerakan yang bisa merobah arah meluncur tubuhnya. Dia telah terdorong ke samping dan tubuhnya kebetulan jatuh di atas tumpukan rumput yang tumbuh tebal sekali. Dengan demikian, walaupun terbanting keras sekali, puteri Bin Wan-gwe tidak mengalami cidera apapun juga, hanya saja dia tentu akan merasa sakit-sakit pada sekujur tubuhnya, namun tidak membahayakan keselamatan jiwanya. Lama juga Hok An menangisi kemalangan nasibnya, yang selain kandas dalam cintanya, dan juga harus menghadapi semua peristiwa yang menyedihkan ini. Dengan begitu Hok An tidak menyesali akan kemalangan diri dan nasibnya. Sedangkan puteri Bin Wan-gwe, yang telah pingsan satu hari satu malam, akhirnya bergerak perlahan mulai siuman, juga mengeluarkan suara rintihan perlahan. Hok An jadi terhenti dari tangisnya, dia telah memandang dengan penuh perhatian kepada puteri Bin Wan-gwe tersebut. Waktu itu tubuh Puteri Bin Wan-gwe telah bergerak perlahan-lahan dan kemudian bangun duduk. "Ibu..... Thia (ayah).....!" Berseru gadis kecil itu yang seketika menangis keras sekali, waktu memperoleh kenyataan di sekelilingnya gelap pekat. Hok An cepat-cepat melompat berdiri dari duduknya. Dia telah mengulurkan ke dua tangannya memegang ke dua lengan gadis cilik tersebut. "Jangan takut, jangan menangis, ada paman di sini! Jangan takut! Tidak ada orang jahat yang akan mengganggumu lagi! Diamlah, jangan menangis....!" Menghibur Hok An. Sedangkan waktu itu puteri Bin Wan-gwe masih menangis dengan keras, dia juga meronta dari cekalan tangan Hok An. "Jangan ganggu aku..... lepaskan! Kau orang jahat! Kau telah menculikku dan menganiaya ayahku dan ibuku......!" "Bukan aku..... orang itu sudah melarikan diri!" Kata Hok An dengan segera. "Kau! Kau yang telah menganiaya ayahku dan juga menculikku!" Kata puteri Bin Wan-gwe tersebut. Hok An tertawa di antara sendat tangisnya karena gembira melihat anak tersebut telah tersadar dari pingsannya. "Coba kau perhatikan dengan seksama dan baik-baik, apakah paman yang telah menganiaya ayah dan ibumu atau menculik engkau?!" Kata Hok An dengan suara yang sabar sekali. Gadis cilik tersebut berhenti menangis, dia menyusut air matanya dan memperhatikan Hok An dengan sejelas-jelasnya, dia mementang ke dua matanya lebar-lebar. Lama sekali gadis cilik itu memperhatikan Hok An, keadaan di dasar jurang itu gelap sekali, sampai akhirnya dia berkata. "Ohh..... memang bukan engkau..... bukan engkau! Lalu kau siapa..... tetapi..... tetapi engkau......engkau adalah orang yang telah datang bersama-sama dengan orang jahat itu.....!" Hok An tersenyum. "Akan tetapi aku tidak bermaksud jahat kepada keluargamu, malah aku telah berusaha menolongi engkau dari tangan orang yang menculik kau itu..... hanya sayang aku gagal, engkau telah dilemparkan masuk ke dalam jurang ini.....!" Kata Hok An menjelaskan. Gadis cilik itu jadi tidak begitu ketakutan lagi, dia telah berkata dengan suara agak ragu-ragu. "Mana ibuku..... mana ibuku?!" "Ibumu?!" Hok An seperti tersentak kaget, untuk sejenak dia raguragu dan kemudian dia telah berkata dengan suara tidak lampias. "Nanti aku akan menceritakan mengenai ibumu?!" "Mengapa tidak sekarang saja?!" Tanya puteri Bin Wan-gwe tersebut. Anak Rajawali Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Nanti..... nanti jika engkau telah sehat benar! Sekarang engkau perlu istirahat..... engkau perlu mengasoh dulu. Nanti jika engkau telah sehat kembali, di waktu itu barulah aku akan menceritakan perihal diri ibumu itu.....!" Gadis cilik tersebut berdiam diri, namun tiba-tiba sekali dia menangis terisak-isak lagi. "Sudahlah anak..... kau jangan menangis lagi, kau tidak perlu merasa takut, paman berada disini yang akan melindungi dirimu....., engkau tidak perlu takut dan tidak akan ada orang yang mengganggu dirimu.....!" Gadis cilik tersebut masih juga menangis terisak-isak memanggilmanggil ibunya. Bukan main bingungnya Hok An, dia menghela napas berulang kali dengan bingung karena tidak tahu dengan cara bagaimanakah dia harus menghibur gadis tersebut, dan juga bagaimana dia harus menghentikan tangis dari gadis cilik itu, sampai akhirnya dia bilang. "Baiklah adik kecil, jika memang engkau hendak menangis terus, menangislah..... menangis sampai puas, dan nanti setelah air matamu habis, barulah engkau berhenti!" Gadis cilik tersebut masih juga menangis dengan terisak-isak, bagaikan ia tengah dirundung kedukaan yang sangat. Sesungguhnya gadis cilik itu tengah dicekam rasa takut pula, dia mengetahui dan mengenal siapa adanya Hok An, orang yang pernah datang mengacau di rumahnya dan hendak membunuh ayahnya. Di samping itu Hok An pun pernah membantu orang yang menculiknya, untuk menimbulkan kekacauan ke dua kalinya di rumahnya. Dengan demikian jelas gadis cilik tersebut memiliki dugaan bahwa Hok An bukanlah sebangsa manusia baik-baik. Sekarang mereka berada di dasar jurang seperti ini, telah membuat gadis cilik puteri dari Bin Wan-gwe tambah ketakutan, sedih dan penasaran, karena untuk selanjutnya sulit buat dia meninggalkan dasar jurang tersebut. Sulit pula buat menghadapi Hok An, karena di dekat mereka sudah tidak ada orang lain yang bisa menolongnya jika saja Hok An hendak membunuhnya atau menyiksanya. Terlebih lagi gadis cilik ini teringat, sebelum dia diculik oleh Bin Lung Hie, yang ternyata adalah pamannya, dia mengetahui ayahnya telah meninggal akibat luka yang parah. Dan sekarang ia menangis disebabkan teringat kepada nasibnya, di mana ia telah kehilangan ayahnya. Kini dia terkurung di dasar jurang, membuat gadis cilik ini tidak mengetahui apakah dia harus menangis terus atau berhenti menangis di saat dia mendengar perkataan Hok An yang terakhir itu. Bin Wan-gwe merupakan seorang hartawan yang terkaya di kampung mereka, karena itu gadis cilik ini juga telah diperlakukan oleh penduduk kampung dengan penuh hormat dan sanjung. Dia biasa hidup mewah di dalam gedung dengan seluruh barangbarang yang serba mahal harganya, semua kebutuhannya selalu terpenuhi. Akan tetapi sekarang dia berada di dasar jurang, dengan begitu sulit buat dia mengecap kenikmatan seperti di masa yang lalu, di mana dia hidup sebagai puteri hartawan kaya raya. Sekarang dia kedinginan, ketakutan dan juga tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Gadis cilik itupun belum lagi mengetahui bahwa ibunya kini telah meninggal dunia juga menyusul ayahnya buat selama-lamanya, sehingga puteri Bin Wan-gwe itu jadi hidup sebatang kara, di masamasa mendatang sebagai anak yatim piatu. Jika memang dia mengetahui ibunya telah meninggal dunia, niscaya gadis cilik itu akan menangis keras dan jatuh pingsan. Hok An yang telah kewalahan sebab gadis cilik itu tidak juga mau berhenti menangis, telah membiarkannya saja, karena Hok An pikir jika tokh dia membujuknya akan sia-sia, gadis cilik itu tetap menangis saja. Ketika melihat Hok An berdiam diri saja, gadis cilik itu jadi sering melirik kepadanya, sampai akhirnya dia berhenti menangis dengan sendirinya. Malah kemudian gadis cilik itu yang berkata lebih dulu. "Kau..... kau harus mengantarkan aku pulang ke rumahku.....!" Melihat gadis cilik itu telah berhenti menangis, dan mau berbicara, Hok An jadi girang. "Tentu! Tentu! Jika memang kau hendak pulang ke rumahmu, aku tentu bersedia mengantarkan engkau pulang ke rumahmu..... Akan tetapi, apakah di dalam rumah itu masih ada orang yang memiliki hubungan dekat denganmu," Kata Hok An kemudian. Gadis cilik tersebut menyusut air matanya yang bersisa di pelupuk matanya, kemudian katanya. "Masih ada ibuku..... memang ayahku telah meninggal dunia, akan tetapi ibuku masih berada di sana..... Tentu ibuku berkuatir sekali memikirkan aku yang telah diculik oleh laki-laki jahat itu......!" Hok An tertegun sejenak di tempatnya, lama dia tidak bisa berkatakata, karena waktu itu dia menyadari bahwa gadis cilik ini sebenarnya memang belum mengetahui perihal kematian ibunya. Untuk menyampaikan hal itu kepada gadis cilik tersebut, Hok An merasakan bibirnya berat sekali mengucapkannya. Melihat Hok An berdiam diri, gadis cilik itu sambil membuka matanya lebar-lebar, telah bertanya. "Apakah engkau tidak bersedia menolongku dan mengantarkan pulang ke rumahku?" Hok An cepat-cepat mengangguk. "Aku bersedia..... aku bersedia. Akan tetapi ibumu.....!" "Ibuku? Ibuku tentu menantikan dengan kuatir dan tengah menangis..... karena ibuku tentu memikirkan keselamatanku!" Harap kau mau cepat-cepat mengantarkan aku pulang ke rumah agar cepat-cepat dapat bertemu dengan ibuku, sehingga ibuku tidak akan menangis terlalu lama dan berduka terus menerus......!" Hok An menghela napas dalam-dalam, kemudian katanya. "Dengarlah baik-baik, nak, sebenarnya..... sebenarnya ibumu telah meninggal dunia..... karena jika engkau pulang ke rumahmu, itupun akan sia-sia belaka, engkau tidak akan menemui ibumu itu......!" Gadis cilik itu memandang Hok An dengan mata terbuka lebarlebar, seperti juga tidak mempercayai apa yang diucapkan Hok An. "Kau..... kau bilang ibuku sudah meninggal juga? Ohhh, tentu kau ingin mendustai aku.....!" Kata gadis cilik itu kemudian dengan suara tergagap. "Sungguh...... aku tidak bermaksud mendustaimu..... memang sebenarnya ibumu telah meninggal.....! Bahkan meninggal di dasar jurang itu juga......!" Kata Hok An sambil menghela napas dalamdalam. "Gadis cilik itu jadi menangis sejadinya, katanya. "Tentu..... tentu dicelakai oleh laki-laki jahat itu.....!" "Bukan.....!" Kata Hok An ingin menjelaskan. Akan tetapi, gadis cilik itu telah memotongnya. "Tentu saja kau membela lelaki jahat itu, karena dia memang kawanmu yang ingin membunuh ayah dan ibuku! Sekarang kalian telah berhasil membinasakan ayah dan ibuku..... Kau tidak memiliki perasaan dan kejam! Kau telah mencelakai ayah dan ibuku tanpa mengenal kasihan.....!" Sambil berkata seperti itu gadis cilik tersebut menangis terisak-isak sedih sekali. Hok An jadi bengong, diapun tidak mengetahui apa yang harus dikatakannya. Sikapnya seperti orang tolol saja, hanya mengawasi bengong pada gadis cilik yang tengah menangis terisak-isak. Tiba-tiba gadis cilik tersebut mengangkat kepalanya, dengan air mata mengucur deras dari sepasang matanya, dia bilang dengan suara yang cakup nyaring. "Jika memang kalian telah berhasil membinasakan ayah dan ibuku, mengapa sekarang kau tidak membunuhku? Bunuhlah! Aku tidak takut!" Hok An masih tetap tertegun di tempatnya, dia tidak tahu apa yang harus dikatakannya, sampai akhirnya dia bilang. "Tenanglah..... tenanglah nak...... aku bukan orang jahat, dan akupun tidak bermaksud buat mencelakai ayah dan ibumu......, percayalah..... tidak pernah aku berpikir hendak mencelakai ke dua orang tuamu.....!" "Kan bohong! Kau dusta!" Teriak gadis cilik itu. "Pertama-tama engkau yang datang hendak membunuh ayahku kemudian engkau datang dengan laki-laki jahat itu, di mana ayahku terluka oleh pukulannya, akhirnya ayahku meninggal karena luka-lukanya! Kemudian malam ini, laki-laki jahat itu telah menculikku dan menurut keterangan yang kau berikan tadi, ibuku pun telah dibinasakan olehnya......" Setelah berkata begitu, gadis cilik puteri Bin Wan-gwe ini menangis terisak-isak lagi, tampaknya dia sedih bukan main. Hok An baru saja mau menghibur gadis cilik itu, tiba-tiba tubuh gadis cilik tersebut terkulai dan pingsan tidak sadarkan diri......! Cepat-cepat Hok An memeriksanya, dia berusaha menotok beberapa jalan darah gadis itu, agar kedukaan si gadis yang terlalu hebat itu tidak menyebabkannya terluka di dalam tubuhnya. Selesai menotok beberapa jalan darah di tubuh gadis cilik itu, Hok An duduk bengong. Dia jadi teringat semua peristiwa yang telah dialaminya, semua peristiwa yang begitu manis antara dia dengan Un Kim Hoa. Sampai akhirnya sekarang dia harus menghadapi kenyataan yang pahit. Dalam saat hatinya tengah hancur karena melihat Kim Hoa telah menjadi isteri Bin Wan-gwe, juga seperti tidak mengacuhkannya, lalu sekarang diapun harus melihat Un Kim Hoa menemui kematiannya yang mengenaskan seperti itu! Malah puteri Un Kim Hoa, yang merupakan keturunan yang diperoleh dari Bin Wangwe, telah menuduh dirinya sebagai manusia jahat. Angin di dasar lembah tersebut dingin sekali, Hok An menoleh kepada gadis cilik itu yang masih rebah pingsan tidak sadarkan diri. Akhirnya Hok An menghela napas dalam-dalam. Betapa miripnya wajah gadis cilik itu dengan wajah Un Kim Hoa. Perlahan-lahan Hok An bangkit dari duduknya, dia membuka baju luarnya dan menyelimuti gadis cilik tersebut, agar terhindar dari siliran angin yang begitu dingin. Barulah kemudian Hok An duduk termenung lagi mengenang seluruh pengalamannya, baik pengalaman yang manis maupun yang pahit. Akan tetapi sekarang Hok An bagaikan memiliki rasa tanggung jawab dan kasihan terhadap puterinya Bin Wan-gwe, di mana jika memang gadis cilik tersebut tidak keberatan, Hok An berhasrat melindunginya, merawat dan membesarkannya. Lama juga gadis cilik tersebut pingsan, sampai akhirnya waktu dia siuman, yang pertama-tama dilakukannya adalah menangis terisak-isak sedih sekali. "Sudahlah jangan menangis. Mari kutunjukkan padamu di mana jenasah ibumu berada.....!" Kata Hok An. Gadis cilik itu tidak menyahuti dia hanya mengawasi Hok An yang pada waktu itu tengah berdiri, dengan air mata yang tetap berlinang deras sekali dari matanya. Tanpa memperdulikan gadis cilik itu bersedia atau tidak ikut dengannya, Hok An telah melangkah untuk menuju ke tempat di mana mayat Bin Hujin berada. Gadis cilik itupun merasa takut jika harus berada di dasar jurang ini, dia kuatir kalau-kalau Hok An akan meninggalkannya. Terlebih lagi mendengar Hok An akan menunjukkan padanya tempat di mana beradanya mayat ibunya. Segera dia berdiri dan mengikuti Hok An. Berjalan belum jauh, gadis cilik itu telah melihat sesosok tubuh yang rebah di dasar jurang ini juga. Segera pula dia mengenali bahwa sosok tubuh itu tidak lain dari ibunya! Dengan disertai pekik dan tangis, gadis cilik itu menubruk mayat ibunya, yang digoncang-goncangkan dan berseru dalam menangis. "Ibu..... ibu..... mengapa kau meninggalkan aku pula? Ibu.....?!" Hok An membiarkan gadis cilik itu menangis, dia mengambil sebatang cabang pohon yang cukup besar, kemudian dia menggali tanah. Setelah menggali lobang yang cukup besar, dia bilang pada gadis cilik itu. "Sudahlah jangan ditangisi seperti itu. Walaupun engkau menangisi sampai mengeluarkan air mata darah, tetap saja ibumu tidak bisa hidup lagi...... lebih baik-baik engkau membantuku buat menguburnya." Gadis cilik itu tidak tahu apa yang harus dilakukannya, dia hanya menangis sambil memanggil-manggil ibunya. Hok An bekerja cepat, dia telah memasukkan mayat Bin Hujin ke dalam lobang yang telah digalinya, kemudian ditutupnya kembali dengan tanah. Kuburan yang sederhana sekali, sedangkan gadis cilik itu yang tidak bisa menahan kedukaan hatinya, dalam ketakutan dan kebingungan juga, akhirnya jatuh pingsan tidak sadarkan diri. Hok An menghela napas dalam-dalam sambil menghapus keringat di keningnya, karena dia pun letih sekali. Kasihan gadis cilik ini, tampaknya menderita sekali menerima gempuran perasaan harus kehilangan ke dua orang tuanya dan wajar pula dia memiliki kesan buruk padaku, di mana dia menduga akulah yang telah mencelakai ke dua orang tuanya bersama-sama dengan pemuda itu.....!" Dan Hok An menghela napas lagi beberapa kali. Kali ini gadis cilik itu pingsan tidak terlalu lama, tetapi tetap saja seperti tadi, begitu tersadar dari pingsannya ia menangis lagi. Hok An menyadarinya, tidak bisa ia membuang-buang waktu di dasar jurang yang sangat dingin ini. Jika saja gadis cilik ini masuk angin jahat dan jatuh sakit, niscaya dia yang akan menghadapi kesulitan lagi buat merawatnya. "Baiklah nona kecil.....!" Kata Hok An akhirnya. "Mari kita tinggalkan tempat ini..... nanti terserah kepadamu, apakah engkau ingin ikut serta denganku atau memang ingin kembali ke rumahmu, tetapi yang terpenting sekarang engkau bersamaku harus meninggalkan dasar jurang ini......!" Gadis cilik itu masih menangis beberapa saat lamanya, sampai akhirnya dia berdiri juga ketika melihat Hok An bersiap-siap hendak berlalu. "Kau jangan takut, pejamkan mata rapat-rapat..... aku akan menggendongmu dan membawa naik ke atas tebing ini!" Kata Hok An. Gadis cilik itu membuka matanya lebar-lebar. "Ini..... ini....." Tergagap sekali suaranya, tangisnya berkurang, tampaknya dia ketakutan sekali. "Aku....., aku tidak berani..!" Namun Hok An tanpa membuang-buang waktu pula, belum lagi gadis cilik tersebut selesai demgan kata-katanya, dia telah melompat ke dekatnya, tangannya segera menjambret pinggang gadis itu, yang dipeluknya kuat-kuat. Kemudian membawa lari dengan segera. Dengan mempergunakan ginkangnya, Hok An mudah saja membawa gadis cilik itu mendaki tebing tersebut, sebentar saja ia sudah berhasil membawa puteri Bin Wan-gwe tiba di atas tepi jurang tersebut, barulah gadis cilik itu diturunkannya!" "Kita telah sampai!" Kata Hok An kemudian. Sejak tadi gadis cilik itu telah memejamkan matanya rapat-rapat karena diapun merasakan tubuhnya seperti melayang-layang di tengah udara. Hatinya juga berdebar-debar keras sekali, waktu dia merasakan tubuhnya diturunkan oleh Hok An memberitahukan mereka telah sampai, gadis cilik tersebut membuka matanya perlahan-lahan, sedangkan tubuhnya masih bergoyang-goyang dengan kepala pening, dia masih merasakan tubuhnya seperti juga dibawa lari oleh Hok An, agak pening. Hok An tersenyum. "Sekarang apakah kau ingin kembali ke rumahmu?!" Tanya Hok An. Gadis cilik itu hanya mengangguk saja. Hok An telah mengangguk sambil katanya. "Baik! Baik! Aku akan mengantarkan kau ke rumahmu. Akan tetapi untuk mempersingkat waktu agar kita sampai ke rumah lebih cepat, aku akan menggendongmu!" Setelah berkata begitu, tanpa menantikan jawaban gadis cilik itu, Hok An telah menggendong gadis cilik itu lagi dengan tangan kanan melingkari pinggangnya. Kemudian melesat cepat sekali. Dalam waktu yang singkat mereka telah tiba di depan gedung Bin Wan-gwe. Waktu itu menjelang larut malam, rupanya mereka berada di dasar jurang tersebut selama hampir dua hari. Dan waktu itu keadaan di gedung Bin Wan-gwe sangat sunyi sekali. Hok An menjejakkan kakinya, dia memasuki gedung itu tanpa mengetuk pintu lagi, melainkan melewati dinding yang cukup tinggi itu. Setelah berada di dalam gedung Hok An melepaskan lingkaran tangannya pada pinggang gadis cilik itu. "Sudah sampai!" Kata Hok An. "Nah, masuklah kau ke dalam, aku ingin pergi lagi. Mungkin masih ada para pembantu ke dua orang tuamu.....!" Gadis cilik itu melihat keadaan di dalam gedung tersebut gelap sekali, entah mengapa dia jadi menggidik. Lebih-lebih teringat ayahnya baru saja meninggal dan tidak ada api penerangan di dalam gedung. Rupanya lilin-lilin dan lentera tidak dinyalakan oleh para pembantu rumah tangga Bin Wan-gwe. "Aku..... aku takut.....!" Kata gadis cilik itu kemudian. Hok An tersenyum. "Mari kuantarkan ke dalam.....!" Katanya sambil melangkah lebih dulu untuk masuk ke dalam gedung tersebut. Gadis cilik itu mengikuti di belakangnya dengan hati berdebar-debar. Anak Rajawali Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Waktu sampai di dekat ruangan tengah, tiba-tiba Hok An mencium bau anyir yang amis sekali. Dia jadi mengerutkan sepasang alisnya, memperhatikan sekitar tempat tersebut. Segera juga dilihatnya, sesosok tubuh menggeletak di lantai tidak bergerak. Cepat Hok An melompat mendekatinya, dan dia terkejut, sebab itulah sesosok mayat dengan luka-luka di sekujur tubuhnya. Sepasang mata mayat tersebut juga terpentang lebar-lebar seperti juga orang itu sebelum menemui ajalnya sangat menderita dan ketakutan sekali. Gadis cilik puteri Bin Wan-gwe menjerit perlahan ketakutan, dia sampai menubruk Hok An dan memegang lengan Hok An erat-erat. "Dia..... dia telah dibunuh.....!" Kata puteri Bin Wan-gwe ketakutan. "Tenang..... mari kita tanya kepada pembantu rumah tangga orang tuamu yang lainnya, tentu mereka bisa memberikan keterangan.....!" Kata Hok An. Dengan menuntun tangan gadis cilik tersebut, Hok An memasuki ruangan tersebut lebih jauh. Tiba-tiba dia melihat ada dua sosok tubuh yang menggeletak di lantai sebelah dalam, dalam keadaan tidak bergerak. Itupun dua sosok mayat! Rupanya dua orang pembantu rumah tangga dari Bin Wan-gwe telah dibinasakan orang pula! Malah bau anyir dan busuk dari tubuh mereka menerjang hidung. Tampaknya mereka telah dibinasakan dalam waktu yang lebih dari sehari. Hok An segera menduga, pasti telah terjadi sesuatu yang hebat di dalam rumah ini. Setelah memeriksa sejenak pada ke dua sosok mayat tersebut, segera juga Hok An mengajak puteri Bin Wan-gwe memasuki lebih dalam lagi. Kembali mereka menemui empat sosok mayat kemudian dua sosok mayat lagi, lalu di dekat ruangan belakang enam sosok mayat! Semuanya mati dengan mata mendelik lebar-lebar. Hok An sendiri yang menyaksikan mayat-mayat malang melintang di dalam rumah ini, dengan bau anyir dan busuk, membuatnya jadi bergidik juga. Terlebih lagi di dalam gedung ini tidak ada api penerangan. Puteri Bin Wan-gwe sudah tidak bisa menahan isak tangisnya, di samping ketakutan bukan main gadis cilik itu juga segera menduga bahwa seluruh isi rumah ini telah dibinasakan seseorang. Hok An segera mengajak gadis cilik itu memeriksa bagian lainnya dari rumah itu. Peti mati Bin Wan-gwe masih terdapat di ruang depan, dan juga di samping peti mati itu menggeletak tiga sosok mayat! Hok An menghela napas dalam-dalam. "Pembunuhan masal yang kejam luar biasa!" Menggumam Hok An dengan suara mengandung kemarahan, karena walaupun bagaimana menyaksikan kekejaman seperti itu membuat darahnya meluap juga. Tiba-tiba dari sudut ruangan yang gelap di sebelah kanan terdengar suara rintihan perlahan. Hok An gesit sekali melompat ke arah sudut ruangan itu. Sesosok bayangan menggeletak di lantai, dengan sepasang tangannya masih bisa bergerak perlahan. Orang inilah yang telah mengeluarkan suara rintihan perlahan. Gadis cilik itu yang ketakutan berada di dalam rumah yang penuh dengan mayat yang malang melintang, segera menyusul Hok An memegang tangan Hok An kuat-kuat dengan jari-jari tangan terasa dingin. Sedangkan orang yang rebah di lantai masih juga merintih perlahan, tampaknya dia menderita kesakitan, disusul lagi dengan suaranya yang lemah. "Apakah..... apakah Bin Kouwnio?" Gadis cilik itu kaget, dia memperhatikan orang itu. Ternyata seorang wanita tua yang rambutnya sudah putih. "Lo Ma.....!" Seru si gadis cilik itu yang segera menubruknya dan menangis. "Mengapa bisa terjadi semua ini, Lo Ma?" Ternyata wanita tua itu tidak lain dari pengasuh puteri Bin Wangwe ini. Rupanya dari sekian banyak pegawai rumah tangga dan pelayan Bin Wan-gwe, hanya dia yang belum menemui ajal dan hanya terluka parah. "Pemuda itu..... pemuda itu datang lagi..... dia kejam sekali..... dia..... dia yang telah menyiksa dan membunuh kami.....!" Kata Lo Ma dengan suara yang lemah. "Pemuda yang telah melukai ayahku?" Tanya puteri Bin Wan-gwe menahan isak tangisnya dan menyusut air matanya. "Benar dia..... dia..... dia begitu kejam..... ooh sungguh mengerikan sekali, seperti juga di dalam rumah ini tidak diijinkannya ada makhluk berjiwa. Dia membasmi semua penghuni rumah ini, baik laki-laki maupun perempuan, tua atau muda dan juga para binatang semuanya ingin dibinasakannya dengan kejam!" Setelah berkata sampai di situ, napas Lo Ma mendesah keras memburu seperti juga dia sangat letih. Sedangkan puteri Bin Wangwe jadi menangis terisak-isak. Pendekar Satu Jurus Karya Gan KL Pendekar Gunung Lawu Karya Kho Ping Hoo Drama Gunung Kelud Karya Kho Ping Hoo