Anak Rajawali 33
Anak Rajawali Karya Chin Yung Bagian 33
Anak Rajawali Karya dari Chin Yung Dari mana lalu tampak mendatangi melompat turun sesosok tubuh. Orang yang tengah mendatangi itu melompat jumpalitan tiga kali. Waktu dia sampai di bawah, tampak dia mengenakan baju panjang warna kuning emas, yang berkilauan di bawah sinar matahari, bagus sekali untuk dilihat. Tong Teng Bun sudah segera mengenali bahwa orang itu adalah Boan Siam Ki, yang dulunya sama terkenalnya dengan dia sendiri, karena orang pun lihay kepandaiannya. Ilmu silat pedang maupun kepalan tangan kosongnya. Demikian juga halnya dengan senjata rahasia dia sangat terampil sekali, disegani oleh orang-orang rimba persilatan. Dia adalah orang Kong-tong-pay, jadi dia merupakan seorang jago yang termasuk dalam golongan sesat dan lurus perbuatannya baik dan jahat bercampur baur. Dialah seorang di antara sembilan jago pedang di Tiong-goan. Jago nomor satu adalah seorang tokoh rimba persilatan, tokoh sakti yang jarang sekali bisa dijumpai orang. Dan justeru Boan Siam Ki termasuk yang duduk dalam urutan ke sembilan. Nama besar Tong Teng Bun yang terkenal akan kelihayan ilmu pedangnya, maka dia tidak puas dan segera juga ia mencari Tong Teng Bun, sampai tiga kali dia menantang, tapi selama itu Tong Teng Bun menolak tantangannya. Dan penampikan tantangan Tong Teng Bun atas tantangan Boan Siam Ki membuat dia tidak merasakan bahwa nama besarnya jadi jatuh di sebelah bawah. Tapi ia tetap saja tidak mau mengerti, dengan berbagai cara Siam Ki mendesak Teng Bun buat bertanding. Akhirnya permintaannya itu diterima, dia dilayani. Dengan kesudahannya Siam Ki kalah seurat, karena itu membuat Siam Ki jadi tambah penasaran. Dikala pedang beradu, dia berlaku telengas. Terpaksa akhirnya Tong Teng Bun melukai, kempolannya. Barulah setelah itu Siam Ki mau menyingkirkan diri. Tidak diduga sekali sekarang setelah urusan di masa belasan tahun itu lewat, dia muncul lagi. Tentu saja Tong Teng Bun tidak pernah menyangka akan terjadi urusan seperti ini. Dia jadi mendongkol bukan main. M i s s i n g S e b a g i a n P a g e 48 tertawa dingin" Di dalam rimba persilatan lebih baik orang mati dari pada namanya rusak! Untuk sakit hati ditikam pada kempolanku oleh pedangmu dulu itu, aku telah berdiam diri di dalam gunung sampai sepuluh tahun! Aku telah menyaksikan ilmu pedang yang lebih tinggi, maka dari itu sekarang jika kau dapat mengalahkan aku pula, nanti aku menghapus sendiri gelaranku sebagai Jago Pedang Menggentarkan Kang-ouw!" Mau atau tidak, Tong Teng Bun jadi gusar, darahnya meluap naik. "Boan Siam Ki, dengan kata-katamu ini tidak dapat kau memperdaya aku!" Katanya. Kemudian. "Jika benar kau hendak menuntut balas, engkau boleh mencari aku di kantorku, karena aku Tong Teng Bun setiap saat bersedia melayani kau! Tapi M i s s i n g S e b a g i a n P a g e 49 Ciu Tong-ke! Ciu Tong-ke telah menerima baik undangannya dari seorang sahabatnya, buat menghadapi seseorang yang baru muncul di dalam rimba persilatan, dan sudah mengirim orangnya ke berbagai penjuru menyelidikinya! Kebetulan saja aku mendengar kau tengah mengantar piauw dan lewat di sini. Dari itu aku segera melakoni perjalanan jauh untuk melakukan pertempuran yang memutuskan dan menentukan denganmu! Seorang laki-laki harus bekerja secara laki-laki. Kau mengatakan aku hendak merampas piauwmu, itulah lucu! Aku cuma kebetulan saja datang bersama Ciu Tong-ke!" Di kala ia berkata-kata begitu, tampak Boan Siam Ki bengis bukan main. Ia juga memandang dengan mata mendelik kepada Tong Teng Bun. Disaat mereka tengah mengadu mulut, Ciu Yang Cin sudah melompat maju ke depan kereta keledainya Ko Tie, mengawasi si pemuda dan Giok Hoa, terus dia tertawa. Sambil memperdengarkan suara tertawa menyeramkan, dia bilang. "Dua orang pemuda, benar-benar kalian tidak mengetahui tingginya langit dan tebalnya bumi! Cara bagaimana kalian berdua berani melukai orang-orangku? Apakah mungkin kalian tidak mengetahui peraturanku?!" Ko Tie dan Giok Hoa tertawa dengan berbareng, mendadak sekali tubuh mereka mencelat dari keretanya, lompat ke depan orang yang membuka mulut besar dan sikapnya sangat angkuh itu. Ciu Yang Cin orang yang ternama, tapi dia heran dan terkejut. Dia tidak melihat bagaimana caranya ke dua orang itu bergerak, karena tahu-tahu mereka sudah berdiri di depannya. Setelah salin pakaian, berdiri berendeng dengan Ko Tie, Giok Hoa dan Ko Tie mirip sepasang anak kembar, sama-sama muda, samasama tampan, wajah mereka mentereng dan gagah. Mengawasi mereka, jago itu pun kagum. Tapi ia mundur selangkah, dia mengawasi ngan tajam sekali. "Hemmm!" Giok Hoa memperdengarkan ejekannya. "Siapakah yang sudi memperhatikan segala peraturanmu? Sekalipun ada, aturan itu cuma untuk mengurus segala maling ayam dan pencuri anjing! Sekarang aku hendak tanya kepadamu, kau sebenarnya mau cari siapa?!" Ciu Yang Cin tertawa keras, tetapi dingin. "Aku tidak dapat menetapkannya!" Jawabnya kemudian. "Cuma satu hal sudah pasti. Siapa main gila terhadapku, dialah yang aku cari!" Suara jago dari Ong-ok-san ini belum berhenti benar atau mendadak sekali pipi kirinya memperdengarkan suara menggelepok nyaring, pada pipi itu segera terbekas telapak tangan yang memerah. Dia merasakan kepalanya pusing dan matanya kabur berkunang-kunang. Ko Tie sebal untuk kejumawaan orang, maka dia telah mengirim tamparannya itu! Semua orang jadi kaget dan heran, gerakan pemuda itu hampir tidak terlihat. Sedangkan Sun Kiam berkuatir melihat Ciu Yang Cin menghampiri kereta keledainya Ko Tie berdua. Dia kuatir mereka itu nanti bercelaka, maka diam-diam dia memberi isyarat dengan tangannya kepada dua orang piuwsu tua untuk piauw-su tersebut menghampiri, guna membantu disaat yang diperlukan. Tapi menyaksikan apa yang terjadi sekarang ini, di mana Ciu Yang Cin telah ditempeleng pipinya, ia terkejut, heran dan juga kagum sekali. Sampai ia mengawasi dengan menjublak. Tadinya ia menyangka Giok Hoa yang lihay, tidak tahunya orang she "Bie" Yang juga lihay sekali. Maka sekarang legalah hatinya. Ciu Yang Cin berdiam sekian lama karena tamparan itu, setelah tersadar ia berteriak keras, meraung, dan mementang ke dua tangannya mau melompat, untuk menyerang. "Kereplok!" Kembali terdengar suara gaplokan dan tamparan yang ke dua telah singgah di pipi kanannya sebelum ia melompat! Giok Hoa menyaksikan cara Ko Tie melompat dan menyerang, ia jadi kagum dan gatal tangannya, maka dia menggerakan kaki kirinya. Dengan tipu silat Kiu-kiong-ceng-hoan Im-yang-pou, setelah melesat bagaikan kilat menyambar, tangan kirinya terayun, mampir di pipi kanan orang, sehingga lagi-lagi Ciu Yang Cin kesakitan dan menjublak disebabkan kepalanya pening dan matanya berkunang-kunang kabur. Ciu Yang Cin seorang ternama di dalam rimba persilatan, hampir semua orang persilatan menghormatinya. Sekarang ia dihina demikian rupa, tidak dapat ia mengendalikan diri lagi. Dengan segera ke dua tangannya meraba pinggangnya, untuk meloloskan senjatanya yang istimewa, yang telah mengangkat namanya ialah rantai Kiu-cu-bo-lian-hoan. Hanya saja, belum lagi senjatanya itu terloloskan, Ko Tie sudah melompat ke depannya, memegang ke dua tangannya, sambil berbuat mana dan diiringi senyumannya. Ko Tie berkata sabar. "Ciu Yang Cin, jangan kesusu....." Terus ia menunjuk dengan tangan kirinya kepada Tong Teng Bun dan Boan Siam Ki untuk menambahkannya. "Kau tunggu sampai mereka itu sudah bertempur dan ada keputusannya, masih belum terlambat buat kau gerakan tanganmu!" Setelah berkata begitu, tanpa menantikan jawaban, Ko Tie melepaskan tangan kanannya sedang tangan kirinya menyambar Giok Hoa. Buat diajak melompat mundur ke belakang. Ciu Yang Cin berdiri diam, ke dua tangannya di pinggangnya, ia mengawasi ke dua pemuda itu, pikirannya jadi kacau. Benar-benar dia tidak mangerti. Ia menyadari bahwa ke dua pemuda ini memang sangat lihay, namun dalam usia semuda itu dan memiliki kepandaian yang demikian hebat, benar-benar baru pertama kali dilihatnya. Entah mengapa, tangannya seperti kehilangan tenaga. Seumurnya belum prrnah ia mengalami kejadian seperti sekarang ini. Sampai diakhirnya ia menghela napas dan berkata kepada dirinya sendiri. "Ciu Yang Cin, buat apa kau banyak lagak? Ke dua pemuda itu lihay sekali. Lihatlah gerakannya tadi! Apakah kepandaianmu sendiri? Kau tidak nempil terhadap mereka....." Lantas ia tunduk. Dengan lesu ia mengangkat kalinya untuk ngeloyor keluar gelanggang. Selama itu, Tong Teng Bun dan Boan Siam Ki telah berhadapan dengan pedang di tangan masing-masing. Mereka jalan berputar tanpa ada salah seorang yang mau turun tangan lebih dulu, sampai mereka itu mirip tukang latih binatang peliharaannya, di mana sebagai pelatih mereka tengah berlaku sabar sekali. Ko Tie melihat kelakuan ke dua orang, ia tertawa. Ia teringat, memang banyak sekali orang-orang rimba persilatan yang umumnya dalam pertempuran selalu bersikap seperti itu. Kemudian, dengan tiba-tiba sekali tampak Boan Siam Ki memutar pedangnya, sehingga terlihat sinarnya berkelebatan bundar, suaranya seperti mengaung dari mana bisa diduga lihaynya ilmu silat pedangnya. Menyaksikan gerakan itu, Ko Tie segera mengerti. Itulah ilmu silat pedang yang tidak rendah, kiam-hoat yang tidak boleh diremehkan. Hanya saja orang she Boan ini telah merobahnya dan dimahirkannya lebih sempurna dari ilmu pedang umumnya, kemungkinan besar ilmu pedangnya berada di atas kepandaian Tong Teng Bun. Tong Teng Bun juga sudah segera menggerakkan pedangnya, mengimbangi gerakan lawan. Ia memutar pedangnya guna menutup dirinya, sebab penyerangan segera datang bertubi-tubi. Dengan begitu berulang kali terdengar suara benturan pedang, di samping angin pedang mereka yang menderu-deru. Demikianlah jika ke dua jago bertempur, hebatnya bukan buatan. Setiap kali pedang mereka beradu, selain suaranya yang nyaring, lelatu apinyapun berpeletikan, indah dipandang di bawah sinar sang surya. Sambil menyaksikan pertempuran itu, tampak Ko Tie tertawa. Ia bilang kepada Giok Hoa. "Hebat ilmu pedang mereka itu, mereka bukan jago-jago pedang yang sembarangan. Jika dua harimau berkelahi, salah satu pasti bercelaka! Demikian juga halnya dengan mereka berdua ini. Sayang tidak perduli pihak yang mana yang terluka.......!" Giok Hoa cerdik, ia dapat menangkap maksud terlebih dalam dari kata-kata pemuda itu. Ia dianjurkan buat memisahkan juga berbareng memamerkan ilmu silatnya yang telah dipelajarinya dengan mendalam dari gurunya, yaitu ilmu pedang So-lie-kiamhoat, warisan dari Siauw Liong Lie. Maka dari itu Giok Hoa tersenyum, segera ia pinjam pedangnya salah seorang piauw-su, dengan itu ia melompat ke dalam gelanggang. Belum lagi ke dua kakinya menginjak tanah, ujung pedangnya sudah menyelak di antara ke dua batang pedang milik Tong Teng Bun dan Boan Siam Ki. Secara lincah tetapi keras, ia memaksa kedua jago pedang itu mundur masing-masing tiga tindak. Tong Teng Bun telah mengenal ke dua pemuda itu, ia tidak menjadi terlalu heran. Tapi Boan Siam Ki segera berpikir. "Entah siapa anak muda ini! Mengapa ilmu pedangnya demikian lihay? Sedangkan tampaknya ia bergerak secara sederhana sekali? Siapakah dia? Murid siapa pula dia?!" Karena berpikir, ia berdiri tertegun saja di tempatnya, berdiri dengan bungkam tidak mengeluarkan sepatah perkataanpun juga. Giok Hoa berdiri di antara mereka, sambil tertawa manis ia bilang. "Tuan-tuan, bukannya gampang kalian mengangkat nama kalian. Dari itu buat apa kalian mengumbar angkara murka kalian? Menurut aku, baiklah sekarang kalian saling menggenggam tangan, untuk kalian dan akur pula sebagai sediakala!! Gadis ini tidak mengetahui sebab bentrokan di antara mereka itu. Ia cuma menduga saja, sedang disamping itu ia telah mendengar pembicaraan mereka, maka tahulah ia si penjahat ialah Ciu Yang Cin. "Inilah urusan aku dengan si tua bangka she Tong. Dengan kau ada sangkut pautnya apa?" Boan Siam Ki menegur dengan mata mendelik, karena ia gusar bukan main. Giok Hoa tidak gusar, ia tertawa lagi. Dia bilang. "Boan Losu, antara kalian, kau dengan Tong Lopiauw-su, ada urusan apakah? Mau dan senang sekali aku mendengarkannya." Muka Boan Siam Ki jadi merah. Malu dia buat menceritakannya. Artinya ia sama saja membuka rahasianya. Lagi-lagi si "pemuda" Tertawa. "Kita semua belajar silat, tidak lain tidak bukan untuk menyehatkan tubuh, buat menjaga diri. Kalau kepandaian silat kita dipergunakan untuk sekedar merebut nama, sungguh belum pernah aku mendengarnya!" "Mengapa kau belum mendengarnya?!" Teriak Siam Ki. "Bukankah selama duaratus tahun telah terjadi pertempuran berulang-ulang di antara sembilan partai besar di puncak Hoa-san? "Bukankah kemudian disusul dengan Lima Jago Luar Biasa di puncak Hoa-san juga? Disusul lagi dengan pertempuran para pendekar lainnya yang akhirnya diakui bahwa terakhir sebagai pendekar yang nomor satu adalah Ong Tiong Yang, tosu dari Coan-cin-kauw itu? Bukankan semua itu untuk merebut nama? Dan juga untuk menentukan siapa yang terpandai?" "Itulah urusan lain, dan juga merupakan persoalan tokoh-tokoh besar, yang tengah menguji kepandaian dan ilmu silat masingmasing untuk kemajuan ilmu silat!" Menyahuti si gadis dengan tetap saja tersenyumnya manis. "Mereka itu berbeda dari kita yang perseorangan, yang hanya didorong oleh dendam dan sakit hati belaka? Apakah bukan berarti kau mengandung maksud untuk, mengacaukan rimba persilatan agar mereka bentrok satu dengan yang lainnya. Panas hati Boan Siam Ki, sampai rambut dan kumisnya bangun berdiri. "Menurut kau, jadinya sia-sia belaka aku menyepi diri selama sepuluh tahun memahamkan ilmu pedangku?" Tanyanya dengan suara berteriak. Giok Hoa tertawa, hanya kali ini ia tertawa dingin dan lenyap sikap ramahnya. "Bukannya aku tak memandang mata padamu! Sebenarnya ilmu pedangmu masih banyak yang lowong!" Bilangnya, suaranya juga jadi keras. "Jadi benar-benarlah kau kecewa sudah menyekap diri sepuluh tahun untuk meyakinkannya! "Kau menyebut dirimu adalah ahli pedang. Itu artinya kau mengutamakan kemahiran dalam menggerakkan dan menguasai pedangmu! Akan tetapi buktinya? Permainan silat pedangmu kacau, mengambang, tidak ada isinya! "Coba kau bertemu dengan ahli pedang yang melebihi kau, dengan satu tikaman saja kau akan dapat dibikin mati! Andaikata aku, walaupun aku tidak berani mengaku diri sebagai ahli pedang, namun ilmu pedangku dapat dipakai buat membela diriku! "Apakah kau tidak percaya? Mari kita coba! Mari kita bertanding selama sepuluh jurus, asal kau dapat mendekati aku dan menikam satu kali saja, aku mau menyebut dan menghormati kau sebagai ahli pedang nomor satu dalam Rimba Persilatan!" Boan Siam Ki berpikir keras. Ia mempercayai pemuda ini bukan tengah bicara tekebur. Tadi ia telah menyaksikan bagaimana ia dan Tong Teng Bun dipaksa memisahkan diri, sehingga mereka mundur tiga tindak. Tengah berpikir seperti itu, ia melihat ke arah Ko Tie. Ia memperoleh kenyataan pemuda itu berdiri tenang, mengawasi dia sambil bersenyum. Ia pikir pula. "Kalau ke dua pemuda ini maju bersama, ilmu silat mereka pasti berimbang. Yang seorang masih sulit dilawan, apa lagi dua-duanya! Jika aku kalah di tangan Tong Teng Bun, tidak apa, tetapi.....!" Anak Rajawali Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Ia jadi serba salah, tapi ia harus segera mangambil keputusan. Akhirnya ia menghela napas dan berkata. "Benar seperti katamu, laote, aku bentrok dengan Tong Teng Bun Losu melainkan disebabkan kami masing-masing membawa adat kita sendiri! Lebih tegas, kami berebut nama! "Demikianlah tigapuluh tahun lalu, demikian juga tigapuluh tahun nanti! Cuma saja, kalau orang tidak bersaing, apakah artinya? Bicaramu ini, laote menandakan kesabaranmu. "Hanya perkataanmu tentang pertandingan sepuluh jurus itu, aku sangsikan betul. Aku percaya itulah berbau ketekeburan! "Baiklah, laote, kau boleh mulai menyerang aku! Baik dijelaskan dulu, aku sama sekali tidak menghendaki nama sebagai ahli pedang nomor satu rimba persilatan! Aku cuma ingin belajar kenal dengan ilmu pedangmu yang lihay!" Giok Hoa girang. Ia telah memperoleh sebagian dari maksudnya, di mana tampaknya Boan Siam Ki sekarang telah lunak. Jago itu telah merobah pikirannya. Inilah kesempatan bagimu buat mencoba So-lie-kiam-hoat nya. Ia bersenyum dan berkata. "Boan Losu, aku cuma dapat membela diri, tidak menyerang. Silahkan losu yang mulai!" "Baiklah!" Kata jago tua itu. "Maafkan aku!" Dia tidak sabar lagi. Inipun ketikanya untuk menguji pemuda itu. Dengan mendadak sekali dia menggerakkan tangan kanannya, segera juga pedangnya meluncur. Cepat luar biasa serangannya itu. Giok Hoa tersenyum. Ia menarik mundur kaki kanannya, tubuhnya mandek sedikit. Ia pun mengangkat berdiri ujung pedangnya, buat dari kanan digeser ke kiri, lalu ditolak perlahan ke depan. Itulah sikap pembelaan diri, tidak ada maksud untuk menyerang. Tampaknya Giok Hoa bergerak perlahan sekali, tetapi pedang mereka bentrok keras, suaranya nyaring, lelatunya muncrat. Yang hebat ialah Siam Ki terpukul mundur sendirinya. Maka heranlah dia. Dia jadi penasaran bukan main. Lagi sekali dia menerjang menikam, dengan tenaga yang dikerahkan delapan bagian. Mukanya ia melangkah, terus pedangnya menikam. Giok Hoa tertawa. Kali ini ia menangkis dengan pedangnya ditudingkan ke bawah lantas dari bawah ia putar naik, terus dipakai menolak. Lantas saja Siam Ki mundur satu tindak! Jago tua itu masih penasaran, ia menyerang lagi, berulang kali. Ia mempergunakan sebagai jurus atau tipu ilmu pedang yang paling ampuh. Hanya untuk herannya, setiap kali ia menyerang, tentu selalu ia terpukul mundur. Ia tidak diberi kesempatan buat merangsek maju, sekalipun hanya untuk satu langkah saja. Dengan begitu, tidak sanggup dia mendekati tubuh "pemuda" Tersebut. Selama itu, seperti janjinya, Giok Hoa cuma membela diri. Ia tetap mempergunakan ilmu pedang So-lie-kiam-hoat, ajaran gurunya, ilmu silat pedang warisan nenek gurunya Siauw Liong Lie, yang ternyata memang benar-benar tangguh sekali. Diam-diam Giok Hoa jadi girang bukan main. Ko Tie menonton pertempuran yang aneh itu sambil tersenyumsenyum, sedangkan Tong Teng Bun mengurut-urut kumis jenggotnya. Ciu Yang Cin pun ikut menyaksikan, maka sendirinya muka begal itu jadi pucat. Hebat ilmu pedang si "pemuda". Coba dia membalas menyerang, tentu mudah saja dia merebut kemenangan. Juga pisuwsu lainnya ikut jadi kagum. Sebentar saja sudah lewat delapan jurus. Hati Siam Ki berdebaran. Wajahnya telah jadi guram dan memerah. Ia heran dan penasaran sekali. Ia jadi berkuatir. Ia berduka juga ketika ia berpikir akan runtuhlah namanya. Sudah delapan jurus tanpa ada hasilnya. Tinggal lagi dua jurus. Bagaimana hasilnya. "Akh, habislah aku, habislah aku..........!" Pikirnya pada akhirnya ia jadi putus asa. Tepat disaat jago ini mau menyerang untuk kesembilan kalinya, mendadak terlihat lari datang tujuh orang, gerakannya sangat cepat. Dengan melompat dari tempat yang tinggi sampailah orangorang tersebut di antara mereka ini. Giok Hoa dan Siam Ki mundur sendirinya. Ketika Ciu Yang Cin telah melihat jelas rombongan itu, ia jadi berseru kegirangan. "Kauw Supek!" Giok Hoa sebaliknya mengawasi tajam, sehingga dia dapat melihat jelas mereka itu. Empat orang adalah orang-orang tua yang kepalanya lanang, lanang juga alis dan kumisnya. Bajunya serupa, yaitu baju panjang berwarna kuning, cuma wajah mereka. Yang satu belang mukanya, pipi kirinya warna merah ungu, banyak bekas tapaknya. Yang kedua matanya besar-besar sipit, yang ketiga mukanya keriputan dan kulit muka itu seperti juga permukaan kawah gunung berapi. Sedangkan yang ke empat seorang pendeta muka celong dan mata yang tajam. Tiga yang pertama berusia pertengahan, berdiri di belakang yang bermata celong itu. Dan tiga orang lainnya lagi berdiri di belakang ke empat orang tersebut. Tiga orang yang lainnya itu berusia pertengahan juga, pakaian mereka hitam semuanya. Wajahnya licin. Setelah berseru memanggil, Ciu Yang Cin melompat menghampiri ke empat orang tua itu, guna memberi hormat. Si muka belang tertawa dan bertanya. "Ciu Hiantit, apakah gurumu baik-baik saja?" Kemudian matanya menyapu, lantas ia menegaskan pertanyaannya. "Mengapa kalian bentrok?" "Terima kasih supek, guruku baik!" Menyahuti Yang Cin sambil berdiri dengan sikap yang amat menghormat sekali! Ke dua tangannya diturunkan lurus. Setelah itu ia memberikan keterangannya. Orang yang mukanya belang tersebut memperdengarkan suara tertawanya. "Sudah beberapa puluh tahun aku tidak turun gunung. Aku tidak sangka sekarang ada beberapa bocah yang berani menyebut dirinya sebagai ahli pedang!" Katanya, jumawa sekali. "Dan orangpun berani berebutan!" Lagi sekali setelah berkata begitu ia tertawa keras dan lama. Ke tiga orang tua lainnya berdiam saja, wajahnya dingin, sehingga mereka mirip dengan pendeta-pendeta mayat hidup..... Waktu itu wajah Boan Siam Ki berobah, rupanya ia mendongkol sekali. Karena ia menyadari, kata-kata si pendeta muka belang itu ditujukan buat dirinya juga. Tong Teng Bun sendiri segera menghampiri Ko Tie. "Aku telah mendengar berita, dari Tiong-goan muncul banyak sekali jago-jago muda!" Terdengar lagi pendeta muka belang itu telah meneruskan kata-katanya! "Aku Kauw Hie Hweshio, terpaksa harus turun gunung untuk membuktikannya sendiri.....!" Ko Tie tertawa dingin, sikapnya memandang ringan kepada para pendeta itu. Giok Hoa yang mendengar kekasihnya tertawa dingin sampai melirik padanya. Si pendeta muka belang tertawa nyaring, dia bilang lagi. "Tidak perduli kalian pandai mempergunakan pedang dan memiliki kepandaian yang tinggi, tetap saja aku tidak akan membiarkan kalian malang melintang sesumbar sekehendak hati di dalam rimba persilatan!" "Hemmm!" Ko Tie sengaja memperkeras tertawa dinginnya, dan dengusannya. Pendeta muka belang menoleh mengawasi tajam kepada Ko Tie, karena ia mendengar suara dengusan itu, kemudian dia bilang. "Inilah yang disebut anak kijang tidak gentar pada harimau!" Dan ia melirik kepada Giok Hoa, lalu tertawa, katanya lagi. "Ke dua bocah ini sangat tampan sekali! Jika kaIian berpikir untuk menjadi jago, baiklah lewat lagi satu tahun kalian cari aku si orang tua di puncak Ku-ing-hong di gunung Bie San!" Setelah berkata, dia melompat dengan gesit sekali, diikuti oleh enam orang di belakangnya. Maka dalam waktu sebentar saja mereka sudah memisahkan diri beberapa puluh tombak. Berulang kali Ko Tie memperdengarkan suara. "Hemmm!" Seraya ia mengawasi terus dengan tajam. "Bie Laote," Kata Tong Teng Bun, yang tidak mengerti sikap pemuda ini. "Ke empat orang itu adalah orang-orang yang empatpuluh tahun lalu merupakan orang-orang terhebat, yang dapat merubuhkan lima orang pendeta sakti dari Siauw-lim-sie. "Juga mereka telah memperoleh nama di puncak Hoa-san. Cuma saja, ia rupanya masih jeri berurusan dengan Lima Jago Luar Biasa, yaitu Oey Yok Su, Ong Tiong Yang, Ang Cit Kong, It Teng Taysu dan Auwyang Hong! "Nama mereka menggetarkan rimba persilatan! Semenjak waktu itu mereka berempat hidup menyendiri, tidak pernah mereka turun gunung. Sekarang mereka telah turun gunung, tentunya mereka ingin melakukan yang hebat! Menurut penglihatanku, tentunya dunia rimba persilatan akan bermandikan darah lagi......!" "Hemmm!" Ko Tie tersenyum, tapi tidak mengucapkan kata-kata apapun. Waktu itu Boan Siam Ki menghadapi Giok Hoa, sambil tertawa ia bilang. "Laote, ilmu pedangmu benar lihay, aku kagum sekali! Baiklah, dengan memandang kau, mau aku menyudahi perselisihanku dengan Tong Lo-piauwtauw. Sampai bertemu pula!" Ia memutar tubuhnya segera ia ngeloyor pergi meninggalkan tempat itu. Selama itu Ciu Yang Cin semua sudah tidak terlihat lagi, sekalipun bayangannya. Tong Teng Bun memandang ke sekitarnya, ia mengerutkan alisnya. "Ciu Yang Cin seorang manusia yang sangat licik!" Ia bilang. "Tadi dia angkat kaki karena dia melihat gelagat! Dilain kali, Laote baiklah kalian waspada." "Terima kasih!" Kata Ko Tie menyahuti. "Sekarang ini jalanan sudah aman, karena keretaku dapat jalan lebih cepat. Ijinkanlah kami berjalan lebih dulu, agar kami dapat cepat tiba di Lok-yang. Lain waktu, bila ada kesempatan, pasti kami akan pergi berkunjung untuk unjuk hormat pada Tong Lo-piauwtauw." Tong Teng Bun tampak berat berpisah dengan Ko Tie dan Giok Hoa. "Aku harap laote berdua datang dengan pasti, karena aku si tua sangat mengharapkan dan menanti sekali!" Katanya. Ko Tie terharu, ia dipanggil laote, iapun malu sendirinya. Tidak dapat ia dipanggil dengan sebutan adik, seperti itu. Seharusnya ia dipanggil sebagai seorang boanpwe yang tingkatnya jauh di bawah jago tua tersebut. Bersama Giok Hoa, ia telah naik ke keretanya. Ia tersenyum waktu keretanya itu bergerak berangkat. Kereta dilarikan ke arah kecamatan Tiang-tie. Angin berhembus keras sekali, sedangkan hawa udara dingin bukan main, karena waktu itu hujan salju mulai turun bagaikan kapas yang berguguran ke bumi. Langit bersinar layung dan sangat indah dengan warna putih salju yang tengah turun tipis, sehingga sepanjang mata memandang, segala apa menjadi putih. Hanya warna putih belaka yang menyilaukan mata terlihat! Y Hari itu tanggal lima bulan pertama, akan tetapi di gunung Hongsan tidak terdapat suasana musim semi. Puncak gunung penuh dengan salju, pohon-pohon gundul atau kering. Hanya sang angin yang memberikan hawa dingin di samping dinginnya salju. Burung-burungpun tak terdengar suaranya. Suasana tetap merupakan suasana musim dingin. Justeru waktu itu di jalan pegunungan terdapat dua orang pemuda yang tengah berlari-lari gesit sekali, juga pakaian mereka sama, warnanya abu-abu. Di punggung masing-masing tergemblok pedang. Kepala mereka tertutup kopiah bulu. Muka mereka dilapisi dengan topeng kulit yang tipis dan buatannya sangat indah. Yang beda dari mereka ialah seorang lebih langsing tubuhnya. Anak Rajawali Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Mereka berdua tidak bicara satu dengan yang lainnya. Setelah melintasi rimba jurang barulah mereka berhenti di depannya sebuah goa. Namanya goa, sebenarnya sebuah selokan besar yang lebarnya dua tombak, Berliku-liku, ada airnya mengalir, airnya pun jernih sehingga tampak dasarnya. Memandangi selokan tersebut, pemuda yang seorangnya bersenandung dengan suara perlahan dan lembut sekali. "Air yang jernih sebenarnya tidak ada kedukaan, adalah sang angin yang membuat mukanya berkerut-kerut..... Gunung hijau sebenarnya tidak tua, adalah sang salju yang membuat kepalanya putih" Pemuda yang seorang tertawa, dia bilang. "Engko Tie, kau hebat! Di waktu seperti ini kau masih memiliki kegembiraan untuk bersyair! Sebenarnya juga selokan ini indah sekali, maka aku percaya di dekat sini pasti ada rumah orang..... Menurut dugaanku, sarang Kwee Lu, si bangsat tengik itu, tidak jauh dari sekitar tempat ini." Si pemuda berhenti bersenandung, dia tertawa. Dialah Ko Tie. Dan yang seorang lagi itu adalah Giok Hoa, kekasihnya, yang memang menyamar selama dalam perjalanan sebagai pria. "Mari kita jalan mengikuti selokan ini?" Katanya. "Sarang Kwee Lu tentu tidak jauh dari di tempat sejauh sepuluh lie di sekitar tempat ini!" Ia menengadah ke atas, melihat cuaca. Ia menduga waktu sudah mendekati tengah hari. Kawannya itu mengangguk setuju, segera mereka berjalan bersama di tepian selokan yang mirip sungai kecil. Mereka berada di Hong-san, duapuluh lima lie di selatan kota Lokyang, di kota mana mereka telah tiba. Dan segera mereka bekerja mencari tempat berdiamnya Kwee Lu. Justeru waktu mereka tiba di kota Lok-yang, mereka telah mendengar sepak terjang Kwee Lu, seorang tokoh rimba persilatan yang termasuk dalam golongan sesat. Iblis yang sangat telengas malang melintang di tempat ini. Karena dari itu, Ko Tie dan Giok Hoa bermaksud mencari iblis yang telah membanjirkan darah tidak sedikit ke bumi karena haus akan korban-korbannya! Mereka melakukan perjalanan mengikuti selokan itu dengan bernyanyi-nyanyi kecil dan juga sering menyelinginya dengan tertawa mereka yang cerah. Mereka pun telah banyak berbicara mengenai hubungan mereka berdua. Ko Tie berjalan di sebelah belakang si gadis. Ia sendiri sering bimbang hatinya, yang tergoncang sangat keras sekali, melihat lenggok dan lenggang gadis pujaannya ini, yang sangat menggiurkan. Betapa cantiknya Giok Hoa. Tiba-tiba Giok Hoa berseru perlahan. "Engko Tie, coba kau lihat!" Tangan si gadis pun telah menunjuk ke suatu arah. Ko Tie memandang ke arah yang ditunjuk itu. Di sana, tidak jauh dari ujung selokan, terdapat jurang. Dan dari jurang itu meluncur air tumpah yang cukup deras, jatuhnya keras, suaranya nyaring bergemuruh, berkumandang di lembah. Karena waktu itu angin utara berhembus santer, suaranya berisik di antara daun-daun dan cabang pohon di rimba situ. Suara berisik itu sering tersamar. Itulah sebabnya mengapa mereka tidak dapat mendengarnya dari jauh-jauh. Juga uap air merupakan seperti mega yang tebal, sehingga tidak mudah untuk melihat jelas di sekitar air tumpah itu. Ko Tie memandang tajam sekian lama. Di balik uap air terjun itu, ia melihat sebidang tempat bagaikan paso. Di tengah-tengah tempat itu ada sekelompok bangunan rumah yang cukup rapi letaknya. Giok Hoa tidak dapat melihat sejelas Ko Tie. Si pemuda jauh lebih mahir, tenaga dalamnya, itulah sebabnya mengapa Ko Tie bisa melihat lebih jelas. "Pastilah itu sarangnya si bangsat Kwee Lu!" Kata Ko Tie girang setelah mengawasi sekian lama. "Mari kita pergi melihatnya!" Ia segera juga menarik tangan si gadis, guna diajaknya berlari separuh diseret. Giok Hoa pun mulai dapat melihat lebih jelas, hatinya memukul keras. Setelah datang lebih dekat, dengan berani Ko Tie mengajak si gadis melompat turun ke tempat yang tadi mereka awasi itu, yang diduga adalah sarangnya Kwee Lu. Justru di waktu itu terdengarlah seruan yang nyaring sekali. "Tahan.....!" Ke duanya segera juga menunda gerakan mereka, bahkan mereka telah mengawasi arah dari mana datangnya suara bentakan itu. Segera dari sisi air terjun terlihat muncul tiga sosok tubuh yang merupakan tiga orang berusia pertengahan, yang tubuhnya kurus dan semua matanya tajam serta bengis. Salah seorang di antaranya memiliki apa yang biasanya disebut sebagai kumis kambing gunung. "Tuan-tuan, mengapa kalian tidak dengar kata?" Orang itu menegur, dengan suara yang bengis. "Kami memanggil beberapa kali, mengapa kalian diam saja? Apakah kalian mengira Kwee-san-cung tempat yang depat didatangi oleh sembarangan orang?" Suara orang itu keras dan dingin, juga di balik nada kata-katanya itu terdapat sikap tekeburnya. Ia tidak memandang sebelah mata pada Ko Tie dan Giok Hoa. Ko Tie jadi tidak senang, ia malah sengaja memperdengarkan suara tertawa dingin. "Tuan, mengapa kau bicara begitu tidak tahu aturan?" Ia malah balik menegur. "Kau dengar sendiri, suara air terjun demikian berisik, mana kami bisa mendengar teriakanmu yang seperti suara nyamuk?" Orang yang kumisnya seperti kambing gunung itu jadi gusar bukan main, tapi dia tertawa bergelak dengan nada yang hebat sekali, bengis dan mengandung kekejaman hatinya. "Bocah ingusan keparat, kau benar-benar tidak tahu tingginya langit dan tebalnya bumi!" Dia bilang kemudian dengan suara mengguntur. "Kami Sam-lang-hun (Arwah Tiga Serigala) bukanlah sahabat dari orang-orang Kwee-san-cung itu! Hemmm, bahkan kami adalah musuh dari Kwee Lu! "Kami telah berlaku baik hati mencegah kalian, agar kalian tidak memasuki tempat mereka. Kalian tahu, jika kalian lompat turun dan memasuki tempat itu tiga lie, kalian akan terbinasa oleh panah beracun! "Lagipula di sana, kecuali Kwee Lu, ada lagi dua orang yang sangat lihay sekali. Ialah dua orang tokoh rimba persilatan yang sangat ternama! "Kami mengetahui tentunya kedatangan kalian ke mari untuk berurusan dengan pihak Kwee Lu. Karena itu kami hendak mencapaikan lidah, agar kalian tidak tertimpah bencana!" Dua orang kawannya yang lain tertawa. "Tuan-tuan jangan kecil hati!" Kata salah seorang di antara mereka. "Bagaimana jika kita bekerja sama? Sebenarnya kamipun memiliki urusan dengan pihak Kwee-san-cung!" Ko Tie tersenyum, karena mereka adalah musuh Kwee Lu. Dengan mengajak bekerja sama, jelas mereka hendak mempergunakan dan memperalat tenaga Ko Tie dan Giok Hoa berdua. Maka dari itu iapun telah berpikir mengapa justeru ia bersama Giok Hoa tidak mau mempergunakan kesempatan ini untuk memanfaatkan tenaga mereka bertiga itu? "Sam-wi, siapakah kalian?" Tanyanya kemudian. "Apakah Sam-wi mau, menyebutkan she dan nama kalian yang mulia? Sam-wi bersedia bekerja sama, tolong Sam-wi utarakan bagaimana caranya itu?" "Kami Sam-lang-hun, dan aku bernama Liang An. Ini adikku yang kedua, Liang Ie, dan ini yang bungsu bernama Liang Oh," menjelaskan orang dengan kumis seperti kumis kambing gunung, sambil menunjuk kepada ke dua orang kawannya. "Dan ji-wi berdua siapa?" Ko Tie memberi hormat. "Terima kasih, itulah nama-nama yang telah lama kudengar sangat terkenal sekali," Katanya. "Aku sendiri she Bie bernama Lim, dan ini adik angkatku. Ia she Un dan bernama Lie." Giok Hoa berdiam saja, ia sama sekali tidak mengucapkan sepatah perkataan pun juga. Hanya di dalam hatinya ia memuji akan hebatnya engko Tie nya ini bersandiwara. "Oh Bie Siauwhiap dan Un Siauwhiap!" Kata Liang An. "Aku girang sekali dengan pertemuan ini!" Kemudian ia berhenti sebentar, baru kemudian ia menambahkan. "Waktu kami belum datang ke mari, telah kami dengar perihal lihaynya Kwee Lu! Maka dari itu, walaupun kita bekerja sama berlima, kalau memang kita tidak berhati-hati, tentu kita tidak akan berhasil. Sulit untuk diperoleh hasil yang memuaskan.....!" Ko Tie mengawasi ke rimba di samping kanannya, sikapnya acuh tak acuh, dengan segera ia berpaling lagi. "Segala apa di dunia ini tergantung kepada usaha manusia," Katanya sambil tersenyum. "Jika orang main jeri, takut kepala dan takut ekornya, lebih baik orang jangan datang kemari!" Liang An jengah, mukanya berobah merah dan kemudian memperlihatkan sinar mata yang licik sekali! Justru dikala itu di sebelah kanan mereka terdengar suara tertawa mengejek. Segera melompat keluar seorang tosu dengan wajah menyeramkan. Dia melompat ke dekat Sam-lang-hun, tetapi dia tidak memandang mata kepada ketiga jago tersebut. Dia bahkan bertindak secara angkuh dan sangat jumawa sekali. Dia bukan menghadapi mereka, justeru ia memandang ringan kepada Ko Tie dan menegurnya dengan bengis. "Bocah busuk tidak tahu mampus, besar sekali mulutmu! Benarkah kau percaya di Kwee-san-cung tidak ada orang yang dapat menguasai kau?" "Tua bangka, siapa kau?" Menegur Giok Hoa yang tidak mau kalah dengan tosu itu. Tosu itu menjadi gusar sekali, segera saja ia mengeluarkan sepuluh jari tangannya. Melihat penyerangan tosu itu, Sam-lang-hun terkejut bukan main, sampai mereka mundur tiga tindak. Dengan melihat sepuluh jari tangan yang hitam dari tosu itu, Samlang-hun segera teringat kepada seseorang. Mereka jadi takut luar biasa, bahkan Liang An segera bertanya. "Bukankah........ bukankah kau Cap-hek-cie Mo-ie Cinjin!?" Tosu itu, yang disebut Cap-hek-cie, sepuluh jari hitam, Mo-ie Cinjin, memperdengarkan suara tertawa mengejek perlahan, sedangkan sepuluh jarinya itu perlahan-lahan, ujung jari tersebut bergerak. Rupanya pertanyaan ini telah menahan gerakan tangannya. "Eh bocah, ternyata matamu tajam!" Ia menyahuti, segera ia maju lagi. Sekarang dengan langkah kakinya, yang melangkah setindak demi setindak. Mo-ie Cinjin memang sangat terkenal sekali untuk kekejaman hatinya dan telengas tangannya. Dia maju tanpa bisa diterka apa sasaran penyerangannya. Sikapnya itu dapat membuat orang bingung menerkanya. Begitu memang biasanya. Setelah datang dekat, barulah dia akan menyerang dengan yang sesungguhnya. Bahkan setiap kali ia menyerang, tentu serangannya dengan tibatiba dan gerakannya sangat aneh sekali, membuat setiap lawannya harus celaka. Sebab sepuluh jari tangannya yang hitam itupun mengandung racun yang dapat bekerja dengan cepat. Waktu itu, angin gunung berhembus keras ditambah berisiknya suara air terjun. Sam-lang-hun mengawasi dengan muka yang muram, hati mereka tegang bukan main. Giok Hoa bersikap sungguh-sungguh, ia mengawasi dengan penuh kewaspadaan menantikan serangan. Ko Tie menonton dengan ke dua tangan digendong dan mukanya tetap tenang, hanya tersenyum tawar. Tiba-tiba tangan Cap-hek-cie Mo-ie Cinjin bergerak menyambar ke muka Giok Hoa. "Ahh!" Menjerit Sam-lang-hun, karena terlalu kaget melihat cepatnya serangan itu! Mo-ie Cinjin berhenti di depan Giok Hoa, tidak ada satu kaki jaraknya, maka dari itu tangannya dapat meluncur ke muka si pemuda, dengan cepat sekali. Akan tetapi belum lagi si gadis bergerak, Ko Tie yang berdiri di sisinya sudah berseru sambil tangannya menyambar ke dua lengan Mo-ie Cinjin. Dia menyambar luar biasa cepatnya karena dia mempergunakan jurus Tie-liong-ciu atau "Mengekang Naga". "Krekkk," Demikianlah terdengar suara keras di tempat itu, maka patahlah lengan Mo-ie Cinjin. Menyusul dengan itu sebelah kaki si pemuda terangkat naik, tubuhnya Mo-ie Cinjin segera terpental melayang di tengah udara. Dari mulutnya terdengar jeritan dahsyat sekali. Tubuhnya itu jatuh ke dalam rimba jauhnya belasan tombak. Sam-lang-hun heran bukan kepalang. Bukankah Mo-ie Cinjin sangat lihay dan terkenal sekali akan kekejamannya dan ilmunya yang sangat tinggi? Mengapa dia bisa rubuh dalam hanya satu gebrakan saja? Mereka pun terkejut. Coba tadi Liang An, toako mereka, main gila terhadap pemuda itu. Bukankah berarti bahwa toako mereka sudah pergi ke neraka? Untung saja tadi, Liang Oh telah menengahi mereka. Sam-lang-hun telah banyak pengalaman! Dan mereka menganggap sepasang pemuda ini masih hijau. Dengan usia mereka yang masih muda seperti itu, tentu kepandaian mereka belum seberapa. Mereka juga berpikir lebih baik ke dua pihak bekerja sama, agar ke dua pemuda itu yang maju di depan. Mereka sendiri akan jadi si nelayan yang menerima hasil yang menguntungkan. Anak Rajawali Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Sekarang ternyata ke dua orang, pemuda itu sangat lihay luar biasa. Mereka segera bertukar siasat! "Sungguh kau sangat lihay sekali, Bie Siauwhiap," Kata Liang An, mengumpak! Ko Tie berdiam saja, demikian pula halnya dengan Giok Hoa, yang tidak melayani pujian itu. Liang An melihat ke dua pemuda itu berdiam diri saja, wajah mereka bersungguh-sungguh, ia mengetahui apa yang harus dilakukannya. Ia tertawa dan berkata. "Ji-wi, kami bertiga kenal baik tempat ini, mari kami yang membuka jalan!" Ia segera melambai kepada ke dua orang saudaranya, dan terus berjalan di sebelah depan. Dengan segera mereka bertiga melompat turun ke bawah! Sebelum menyusul tiga orang itu, Giok Hoa mencekal lengan engko Tie nya. "EngKo Tie, hebat gerakan tanganmu tadi!" Pujinya perlahan. "Dapatkah kau memberikan petunjuk kepadaku?!" "Baiklah!" Sahut Ko Tie. Tapi ia bukan segera mengajari, sebaliknya ia mencekal tangan si gadis, untuk ditarik, maka dilain saat mereka sudah bersama-sama lompat turun ke bawah. Di situ si pemuda membawa kawannya ke dalam pepohonan yang sangat lebat. "Begini!" Katanya. "Ia mempelajari jurus yang tadi, jurus "Memutuskan Otot, Memotong Nadi", yang terdiri dari tiga gerakan. Giok Hoa girang bukan kepalang, terlebih lagi ketika ia segera dapat mempergunakannya. Ia memang sangat cerdas, sedang satu jurus dengan tiga gerakan adalah pelajaran yang sangat luar biasa sekali. "Jurus ini dapat dipergunakan berbareng denpan ilmu apapun juga. Dengan begitu, engkau dapat merubuhkan lawan dengan mudah! "Kau cerdik adikku, tentu kau dapat menjalankannya tanpa petunjuk lebih jauh dariku. Nah, mari kira menerobos maju!" Pemuda itu melompat ke depan, diikuti si gadis yang sangat lincah sekali. Sedangkan Sam-lang-hun telah pergi jauh, mereka tidak terlihat bayangannya. Namun Ko Tie berdua dapat mengikuti tapak kaki mereka di tanah. Kwee-san-cung dari Kwee Lu memiliki hawa udara yang istimewa. Di sini sekalipun musim dingin, matahari keluar seperti biasa dan hawanya hangat. Di pihak lain, di dalam tiga musim semi, panas dan rontok, seluruh hari tampak kabut, jarang ada satu hari saja yang cuacanya cerah. Maka itu, tempat ini menyenangkan sekali untuk ditinggali. Letaknya rendah, tapi hawanya tidak lembab dan demak menyenangkan sekali. Di saat mereka tengah menerobos maju, Ko Tie dan Giok Hoa mendengar suara bentakan-bentakan yang samar-samar. Si pemuda memegang tangan kawannya buat diajak berhenti. Ia pun segera berkata perlahan. "Rupanya Sam-lang-hun kena dipergoki. Kita belum mengetahui maksud mereka bertiga. Lebih baik kita jangan terlalu sembrono turun tangan. "Mari kita maju dengan jalan di atas pohon. Lebih dulu kita harus melihat orang-orang lihay macam apa saja yang berada di Kweesan-cung!" Giok Hoa menyatakan setuju dengan saran pemuda ini, ia kagum sekali untuk ketelitian Ko Tie. Setelah mereka maju lagi beberapa saat, Giok Hoa mengemukakan pikirannya. "Engko Tie," Katanya. "Bukankah kau berjanji akan bekerja sama dengan Sam-lang-hun? Aku pikir, lebih baik kita bekerja begini saja. "Kau pergi menghampiri mereka, buat membantui mereka, sedangkan aku menantikan agak jauh. Jika memang aku gagal dengan usaha kita, kita bertemu di muka air terjun itu! Bagaimana, kau setuju?" "Jadi kau ingin menanti sambil bekerja, menyelesaikan anak buah orang she Kwee itu dengan jalan menyelusup dari belakang?" "Itulah yang kupikirkan! Kau pandai sekali menerka, engko Tie," Menyahuti si gadis sambil mengangguk dengan pipi yang berobah merah. "Baiklah," Mengangguk Ko Tie. Begitulah, mereka segera berpisah. Ko Tie maju terus, sedangkan Giok Hoa mengambil jalan memutar. Ko Tie menanti sampai si gadis sudah tidak terlihat lagi, barulah dia pergi ke arah dari mana bentakan-bentakan tadi datangnya. Segera juga ia telah tiba di sana, tetapi ia menyembunyikan diri di belakang lebatnya pohon-pohonan. Pertempuran tengah berlangsung antara Sam-lang-hun dengan beberapa orang. Sekarang mereka tidak lagi saling membentak, hanya tubuh mereka yang berkelebat ke sana ke mari dengan lincah dan gesit sekali. Masing-masing juga telah mengeluarkan ilmu andalan mereka, buat mendesak dan merubuhkan lawan. Di antara lawan dari Sam-lang-hun, terdapat seorang wanita tua, yang tubuhnya pendek dan kurus, mukanya telah keriputan, rambutnya juga telah ubanan semua, tangannya mencekal sebatang tongkat panjang berkepala naga-nagaan. Matanya sangat tajam dan tubuhnya dapat bergerak sangat lincah sekali, menunjukkan bahwa ia memang sangat lihay! Dalam keadaan seperti itu, Ko Tie tidak memperlihatkan diri. Ia ingin menyaksikan dulu, berapa tinggi kepandaian dari Sam-langhun, maka dari itu, ia hanya berdiam diri saja. Liang An tengah menggerakkan tangan kirinya dengan jurus "Kunci Besi Tenggelam di Sungai" Untuk menutup tangan kanan lawan lain, ia juga telah membarengi dengan menggerakkan tangan kanannya meninju kepada lawan. Ia telah mengerahkan tenaganya dan mempergunakan kecepatannya, sedang kakinya melangkah mengiringinya. Lawannya terkejut. Itulah tidak disangkanya. Tidak keburu ia menangkis. Maka itu ia melengak, lompat jumpalitan, setelah menaruh kaki di tanah, ia menekuk ke dua dengkulnya guna memasang kuda-kuda itu. Dengan demikian iapun dapat mempertahankan diri agar tidak rubuh. Liang Ie beradat keras, perangainya berangasan, ingin sekali ia segera merubuhkan lawannya dan tidak mau memberikan kesempatan kepada lawannya. Maka ia merangsek dengan hebat. Tangan kanannya diajukan ke muka, untuk menghajar lagi. Jika ia berhasil, pastilah patah atau remuk tulang-tulang dada lawannya. Sedangkan lawan Liang An bukan musuh ringan, di mana ia pun sempat memasang kuda-kuda, ia mendesak Liang An. Dua lawan Liang Ie pun sama kuatnya, ia telah menggeser tubuhnya, tangan kirinya menangkis, tangan kanannya membalas menyerang, dengan ke dua jari tangannya ia menotok jalan darah Khi-hay-hiat dari penyerangnya yang galak itu. Liang Ie terkejut. Waktu itu Liang An pun terkejut sekali, karena ia melihat betapa dirinya tengah terdesak, lalu menyaksikan Liang Ie pun terancam keselamatan jiwanya. Terlebih lagi Liang Ie. Ia tidak menyangka musuhnya demikian hebat. Ia menarik pulang tangannya sebelum mengenai sasarannya, dan memakai untuk menangkis berbareng dengan mana iapun melompat ke kiri. Waktu itu lawannya ingin menyelamatkan diri. Ia juga melompat ke kanan dengan gesit. Sedangkan Ko Tie yang tengah menyaksikan semua itu, telah memuji akan kebolehan dari Liang An dan kawan-kawannya. Kepandaian mereka memang tidak rendah. Setelah itu terdengar tertawa dingin dari Liang An, yang tertawanya menyeramkan sekali. "Aku tidak menyangka, bahwa Thian-san-ngo-kui (Lima Setan dari Thian-san) merupakan manusia tidak tahu malu. Namanya yang begitu terkenal di dalam kalangan Kang-ouw ternyata hanya siasia belaka, karena mereka merupakan manusia yang tidak tahu malu, yaitu hitam memakan hitam! "Sekarang cepat kalian mengeluarkan peti emas dan mutiara untuk membeber itu di muka kaum rimba persilatan. Dengan demikian ada jalan buat kalian berdamai dengan kami Sam-lang-hun!" Mendengar perkataan Liang An itu, diam-diam Ko Tie berkata di dalam hatinya "Hemmmmm, kiranya kalian merupakan satu bangsa dan satu aliran! Jika begitu, Sam-lang-hun juga bukan sebangsa manusia baik-baik!" Di saat itu lawan Liang An telah tertawa lebar keras sekali. Iapun telah menyambut perkataan lawannya dengan tertawa mengejek dan sikap tidak memandang sebelah mata. "Saudara Liang, kau keliru! Harta itu bagian yang menemukannya, dan siapa yang memperolehnya, dialah yang lihay! Kalian harus menyesalkan kepandaian kalian yang memang tidak mahir dan dangkal! Barang yang telah diperoleh dan telah berhasil dirampas kembali! "Siapakah yang hendak kalian sesalkan? Bahkan di waktu itu, karena mengingat kalian sesama rekan, maka kami sudah tidak mau mencelakai kalian! "Siapa duga sekarang. Perbuatan baik-baik dari kami tidak memperoleh balasan yang baik. Buktinya kalian berani datang kemari! "Hemmmm, kalian muncul ke mari untuk mengacau! Karena itu, apakah kalian berpikir bahwa kalian semua dapat berdiam lamalama di sini?!" Liang An jadi gusar bukan main, hanya belum lagi ia membuka mulut, ia sudah didului oleh Liang Oh. Dia memang paling sabar di antara Sam-lang-hun, tapi sekarang tidak menguasai diri lagi. Ia segera juga melompat ke depan musuh dan berkata nyaring. "Kau mengatakan bahwa kami rekanmu, siapakah sebenarnya rekanmu? Kami Sam-lang-hun, kamilah laki-laki sejati! Benar kami menjadi penjahat dan mengambil aliran hitam, tapi cuma merampas harta. Kami biasa menghindar untuk melukai atau membunuh orang! "Kami tidak seperti kalian, orang-orang dengan muka manusia tetapi berhati binatang! Bukan saja kalian telah merampas barang yang diperoleh kami, malah kalian juga sudah membunuh habis tua dan muda. "Segera kalian memfitnah kami! Apakah maksud yang sebenarnya dari kalian?!" Baru saja Liang Oh menutup mulutnya, lawannya sangat murka, dan melangkah maju. Namun nenek-nenek tua yang bersamanya telah melompat ke depan. Ia berada lima tombak jauhnya, tapi sekejap mata saja ia telah sampai di dekat Liang Oh. Menyaksikan kegesitan nenek tua tersebut, bukan main kagumnya Ko Tie. Itulah gin-kang yang benar-benar sangat tinggi. Sedangkan lima orang lawan dari Sam-lang-hun dengan mata yang mendelik bengis mata mereka memancarkan sinar yang mengandung hawa pembunuhan. Waktu itu si nenek tua telah berkata dengan sikap dan suara yang aseran. "Sahabat-sahabat, kalian masih belum mengetahui aturan yang diadakan di Kwee-san-cung ini," Katanya kemudian dengan suara yang dingin. "Adalah aturan kami, setelah bekerja, kami harus menutup mulut orang, guna mencegah ancaman malapetaka di belakang hari! Kalian tokh bukan orang-orang yang tersangkut dalam persoalan tersebut. Buat apa tampil ke muka, untuk mendesak kami? "Benar apa yang dikatakan anakku ini, maka cepatlah kalian angkat kaki berlalu dari sini. Karena semakin cepat kalian angkat kaki, semakin baik pula buat kalian! Hari ini aku si nenek tua tidak mau membuka larangan membunuh." Belum lagi Liang An atau juga salah seorang di antara ke dua saudaranya itu, menjawab akan perkataan nenek tua tersebut, dari arah rumah terlihat seseorang berlari-lari mendatangi. Setelah datang dekat, dia berbisik kepada salah seorang lawan Liang An tadi. Dia tampaknya jadi kaget bukan main. "Ibu....., ada bahaya di rumah kita!" Ia bilang dengan segera. "Anak Su, keadaannya terancam sekali! Ia telah diculik! Sam-lang-hun tidak dapat dibiarkan hidup, maka dari itu cepatlah bereskan mereka!" Muka Thian-san-ngo-kui tampak berobah bengis, ia terkejut berbareng marah sekali. Dengan tiba-tiba saja mereka telah mengambil sikap mengepung. Sedangkan si nenek tua itupun telah menggerakkan tongkatnya, melintang menyerang kepada Sam-lang-hun. Ia mempergunakan jurus "Naga gusar menggoyangkan ekor". Hebat serangan itu, anginnya tongkat tersebut sampai menderu-deru dahsyat sekali. Sam-lang-hun tidak menyangka mereka akan diserang secara begitu. Ketika itu mereka tengah berbaris bertiga. Tapi mereka tabah dan cukup lihay, dengan serentak mereka melompat mundur, lalu menghunus senjata masing-masing. Waktu itu Ko Tie melihat salah seorang dari Thian-san-ngo-kui telah berlari ke arah rumah. Ia menduga tentunya Giok Hoa yang berhasil untuk mengacaukan keadaan di dalam rumah itu. Ia segera bermaksud untuk menyusul. Akan tetapi belum lagi ia bertindak, ia ingat pesan si gadis, untuk tidak melenyapkan kepercayaan terhadap Sam-lang-hun. Sekarang ia memperoleh kenyataan, walaupun sama-sama beraliran hitam dan dari kalangan penjahat, Sam-lang-hun berbeda dari Thian-san-ngo-kui tampaknya memang memiliki tangan yang telengas dan hati yang kejam sekali. Ketika Ko Tie tengah berpikir seperti itu, ia melihat si nenek sudah menyerang hebat kepada Sam-lang-hun, yang seperti dikurung oleh tongkatnya nenek tersebut. Jago wanita yang sudah tua itu mau menuruti perkataan dari Thian-san-ngo-kui, karena ia tidak hendak memberikan kesempatan hidup lagi kepada Sam-langhun, di mana ia menyerang begitu hebat, karena ia bermaksud untuk membunuh ke tiga orang itu. Sedangkan Sam-lang-hun benar-benar lihay. Dengan segera mereka mengadakan perlawanan. Merekapun tidak sudi kena dikepung. Serangan mereka ganas semuanya. Demikianlah mereka bertempur sampai belasan jurus. Rupanya, setelah berselang sesaat lagi, habislah sabarnya nenek tua itu. Dia bilang dengan suara yang nyaring. "Kalian bertiga tidak tahu gelagat harus mundur atau maju. Maka kalian jangan sesalkan aku si wanita tua tidak mau berbuat baik lagi!" Kata-kata itu dibarengi dengan rambutnya pada menegak berdiri dan ke dua matanya bersinar sangat bengis. "Hemmm," Sam-lang-hun mendengus. Bukannya mereka mundur, malah mereka berusaha merangsek maju. Walaupun begitu, maka mereka tenang. Anak Rajawali Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Hati mereka saja yang gentar melihat kelihayan nenek tua tersebut. Mereka berusaha menghadapi serangan si nenek tua itu dengan sebaik-baiknya, dengan tenang, tapi di dalam hati, mereka gentar dan kuatir sekali. Sebab memang mereka mengetahui kepandaian nenek tua ini berada di atas kepandaiannya. Si nenek tua itu telah segera membuktikan ancamannya. Ia menyerang dengan tangan kanannya, yang diluncurkan dengan cepat sekali. Sam-lang-hun segera merasakan tubuhnya seperti tertolak keras, sehingga tubuh mereka terhuyung, hanya sedikit, mereka berdiri pula dengan tegak. Liang An menyerang dengan Coa-tauw-pian, cambuknya yang berkepala ular-ularan. Ia mencari jalan darah Kiebun. Sedangkan Liang Ie telah mempergunakan tempulingnya, yaitu Sam-leng-ngo Bie-ce, menikam ke jalan darah Hok-kiat. Dan Liang Oh, dengan sebat sekali telah mempergunakan tombak Long-gee-sok, menusuk jalan darah Giok-cim di batok kepala, untuk mana ia sudah mencelat dengan gerakan tubuh yang sangat ringan ke belakang si nenek. Maka terancamlah nenek tua itu. Tidak kecewa nenek tua itu menjadi jago di kalangan Kang-ouw yang disegani. Walaupun ia seorang wanita yang usianya sudah lanjut, hatinya tabah, tubuhnyapun cukup gesit, di samping memang kepandaiannya sangat tinggi. Ia telah memutar tongkat dengan jurus "Badai Mengibas Yang-liu", dengan begitu, satu kali bergerak saja ia dapat menutup dirinya membuat gagal serangan dari ke tiga orang lawannya, walaupun serangan ke tiga lawannya itu merupakan serangan yang hebat sekali dan seharusnya sulit dipunahkan. Waktu itu jago tertua dari Thian-san-ngo-kui telah pergi jauh, ia segera disusul dengan tiga orang jago Thian-san-ngo-kui lainnya. Mereka berempat meninggalkan tempat itu, karena mereka yakin nenek tua itu akan dapat menghadapi dan melayani Sam-lang-hun. Yang masih menanti adalah beberapa orang anak buah mereka, yang umumnya mengagumi akan ilmu tongkat nenek tua tersebut. Dan juga Thian-san-ngo-kui yang terkecil, yang tetap berdiam di situ, Thian-san-ngo-kui yang ke lima yang bungsu. Sam-lang-hun terkejut sekali. Ilmu silat musuh mereka yang tua ini membuat mereka tidak dapat menyerang masuk. Senjata mereka juga setiap kali tertangkis tentu terpental, sehingga sering-sering tubuh mereka jadi terbuka. Pendekar Bego Karya Can Manusia Aneh Alas Pegunungan Karya Gan Kl Pendekar Patung Emas Karya Qing Hong