Ceritasilat Novel Online

Pendekar Pemanah Rajawali 15


Pendekar Pemanah Rajawali Karya Jin Yong Bagian 15


Pendekar Pemanah Rajawali Karya dari Jin Yong   Dia tanya.   "Coba jelaskan duduknya hal, supaya kita dapat menimbangnya."   Sebelum menjawab, See Thong Thian telah berpikir.   "Imam ini lihay tak ada di bawahanku, kalau ia mengotot, bocah ini pasti tidak bisa dibiarkan tinggal tetap di sini. Untuk melayani dia, aku mesti dapat satu pembantu yang lihay"   Maka itu, ia lantas duduk pula, cawannya ia hirup kering.   Kemudian ia berkata.   "Sebenarnya aku tidak bermusuh langsung dengan anak she Kwee ini.   Aku ada punya empat murid tolol, mereka turut Yang Mulia Chao Wang pergi ke Mongolia untuk suatu urusan, selagi mereka berkerja dan nampaknya bakal berhasil, tiba-tiba mereka diganggu oleh bocah ini.   Yang Mulia Chao Wang menjadi sangat gusar karenanya.   Coba tuan-tuan pikir, kalau satu bocah begini tidak dapat dibereskan, cara bagaimana kami bisa lakukan usaha yang besar?"   Kata-kata itu berpengaruh untuk para hadirin itu.   Kecuali Cie It dan Kwee Ceng, mereka dalah orang-orang undangan Wanyen Lieh, yang diundang dengan kehormatan dan bingkisan berarti.   Dengan lantas mereka itu memikir untuk menahan si bocah, guna diserahkan pada Chao Wang.   Diam-diam Cie It bingung juga mendapatkan semua mata diarahkan kepada Kwee Ceng.   Ia lantas memikirkan daya untuk meloloskan diri bocah itu.   Ia bingung sebab musuh tangguh semuanya.   Sejak turun gunung, ia pernah menghadapi pelbagai pertempuran tetapi tidak seperti ini kali, bahkan ia berbareng mesti melindungi satu bocah.   Ia lihat, jalan yang terbuka ialah memperlambat tempo sambil mencoba mencari tahu sikap sebenarnya dari para hadirin masing-masing.   "Nama besar dari tuan-tuan telah lama pinto buat pangenan,"   Ia berkata.   "Hari ini pinto berjodoh bertemu sama tuan-tuan, itulah hal yang sangat menggembirakan pinto. Tentang bocah ini,"   Ia menambahkan, seraya menunjuk Kwee Ceng.   "Ia muda dan tidak tahu tingginya langit dan tebalnya bumi, ia mendapat salah dari Yang Mulia Chao Wang, pinto tidak dapat bilang suatu apa. Tuan-tuan berniat menahan dia, ini juga pinto tidak dapat menentangi. Cuma lebih dulu daripada itu, dengan membesarkan nyali, pinto minta tuan-tuan mempertunjuki dulu ilmu kepandaian kamu, supaya bocah ini dapat melihatnya, supaya nanti ia jangan mengatakan pinto todak sudi melindungi padanya, sedang sebenarnya pinto tidak sanggup berbuat demikian." Hauw Thong Hay sudah menahan sabar sekian lama, mendengar perkatannya Giok Yang Cu, ia mendahului berbangkit, untuk singsatkan bajunya. "Biarlah aku yang belajar kenal lebih dulu denganmu,"   Ia berkata, menentang si imam. "Kebiasaanku tidak berarti, mana berani pinto mengadu kepandaian dengan tuan-tuan,"   Ong Cie It berkata pula.   "Maka itu saudara Hauw, aku minta sukalah kau mempertunjuki sesuatu agar pinto dapat pentang mataku, sekalian untuk memberi pengajaran kepada bocah ini, supaya ia insyaf bahwa di luar langit ada langit lainnya, di atas orang pandai ada pula yang terlebih pandai lagi, supaya selanjutnya dibelakang hari, dia jangan berani pula banyak tingkah!"   Hauw Thong Hay mendongkol sekali. Ia tahu orang mengejek padanya tetapi tidak tahu ia bagaimana harus memberikan jawaban. Perkataan orang diatur dengan halus. See Thong Thian juga berpikir.   "Imam-imam dari Coan Cin Pay tidak dapat dibuat permainan, memang lebih baik tidak usah bertempur dengannya."   Maka ia lantas awasi Thong Hay dan berkata kepadanya. "Sutee, coba kau perlihatkan Soat-lie May Jin, untuk minta Ong Cinjin memberi pengajaran padamu!"   "Itulah aku tidak berani,"   Cie It membilang keras.   Ketika itu hujan salju masih belum berhenti, Hauw Thong Hay sudah lantas pergi ke lataran dimana dengan kedua tangannya ia menumpuk salju sampai tingginya tiga kaki, untuk membikin padat, ia menginjak-injak, habis itu, ia mundur tiga tindak, lalu mendadak ia lompat maju, kepala di bawah kaki di atas, kepala itu nuncap melesak ke dalam tumpukan salju itu, sampai sebatas dada.   Kwee Ceng heran.   ia tidak tahu ilmu silat apa itu, meski ia tahu namanya seperti telah disebutkan See Thong Thian, yaitu "Soat-lie May Jin"   Atau "Mengubur orang di dalam salju"   See Thong Thian lantas berkata pada pengiring-pengiringnya Wanyen Kang.   "Tolong tuan-tuan membikin padat dan keras salju disekitarnya Tuan Huaw!"   Kawanan pengiring itu girang sekali, dengan bergembira mereka luluskan permintaan itu.   Sebenarnya See Thong Thian bersama-sama Hauw Thong Hay telah menjagoi di sungai Hong Ho, mereka pandai berenang dan tahan selulup lama, karena ini Thong Hay dapat nyelusup ke dalam salju, untuk mana ia mesti menahan napas.   Orang semua heran dan akgum, tetapi mereka terus minum arak mereka.   Selang sekian lama.   barulah dua tangan Thong Hay bergerak, tubuhnya ikut, lalu sejenak saja, ia sudah keluar dari salju dan berdiri tegak.   Saking kagum, Kwee Ceng yang polos memuji sambil bertepuk tangan.   Thong Hay melirik pada bocah itu, lalu ia kembali ke kursinya.   "Kasar kepandaiannya suteeku ini, ia hanya mendatangkan tertawaan"   Berkata See Thong Thian, yang sembari bicara mengulurkan tangannya ke piring kwaci, untuk menjumput, setelah mana jari tangannya yang tengah disentilkan tak hentinya, maka biji kwaci itu meluncur ke tembok putih di hoa-thia itu, nancap di tembok merupakan satu huruf "Yauw".   Jarak ke tembok ada kira-kira tiga tembok, biji kwaci enteng, tetapi biji kwaci itu dapat disentilkan demikian rupa, itulah bukti dari tenaga dalam yang terlatih sempurna.   Kata Ong Cie It dalam hatinya.   "Tidak heran Kwie-bun Liong Ong menjagoi sungai Hong Ho, dia memang lihya sekali."   Di tembok sekarang terlihat lagi dua huruf.   "Bu"   Dan "Yang", maka itu dapat diduga See Thong Thian hendak menuliskan empat huruf "yauw bu yang wie"   Yang artinya menentang pengaruh atau menjagoi. Menyaksikan itu Peng Lian Houw manjadi bertangan gatal. Ia berkata.   "See toako, kepandaianmu ini membuatnya aku takluk sekali! Kita biasa berkerjasama, maka setelah totiang ini hendak menguji kepandaian kita, aku pun dengan meminjam pengaruhmu, ingin mempertunjuki sesuatu"   Ia lantas saja lompat ke tengah ruangan itu. Ketika itu See Thong Thian benar-benar telah membuat huruf "Wie"   Yang terakhir, akan tetapi baru huruf selesai separuhnya, Peng Lian Houw sudah memegat meluncurnya biji-biji kwaci itu, mulanya ia merintangi , lalu semua biji beruntun dikasih masuk ke dalam mulutnya, atas mana, mulutnya itu sudah lantas kermak-kermik, seperti burung menyisit, kwaci itu ia makan isinya dan kulitnya dilepehkan! "Bagus!"   Orang banyak berseru memuji. "Ah, aku tidak sanggup memakan lebih jauh!" berseru Peng Lian Houw, yang terus aja lompat balik ke kursinya. Setelah itu barulah See Thong Thian rampungkan huruf "Wie"   Itu.   Gangguannya Peng Lian Houw itu tidak membuat Thong Thian kecil hati, dia malah tersenyum.   Persahabatan mereka adalah dari persahabatan dua tigapuluh tahun, mereka telah mengenal baik satu dengan lain.   kemudian Thong Thian menoleh kepada Auwyang Kongcu, untuk mengatakan.   "Auwyang Kongcu hendak mempertunjukan apa untuk kami dapat membuka mata kami?"   Kongcu itu dengar suara orang ada mengandung nada menyindir, dia berdiam saja.   Ia tunggu sampai pelayan membawa datang tambahan barang makanan dan semua sumpit bekas ditukar dengan yang baru, sumpit bekas itu ia ambil dari tangannya si pelayan.   Segera setalah memegang, ia ayun tangannya, lantas semua sumpit dua puluh pasang terlempar ke salju dan nancap.   Apa yang luar biasa, semua sumpit nancap rapi merupakan empat tangkai bunga bwee! Kwee ceng dan Wanyen Kang kurang mengerti ilmu kepandaian itu, tidak demikian dengan Ong Cie It, See Thong Thian dan lainnya yang lihay, maka mereka ini diam-diam terkejut sendirinya.   Malah Ong Cie It segera berpikir.   "Kenapa orang-orang lihay ini dapat berkumpul di sini? Biasanya, untuk menemui satu saja sudah sukar! Apakah tak boleh jadi bahwa mereka ada mengandung sesuatu maksud?"   Selagi si imam berpikir, Som Sian Lao Koay Nio Cu Ong berbangkit sambil tertawa, haha-hihi, ia pergi ke samping tambur batu di depan hoa-thia itu, untuk ulur tangannya yang kanan ke pinggangnya batu, begitu ia kerahkan tenaganya, batu itu kena terangkat, sedang beratnya batu ada tujuh atau delapan puluh kati.   Batu itu segera diapungkan, terlepas dari tangan dan mencelat naik dua tombak tingginya.   Sebelum batu itu turun, lagi dua batu diangkat dan diapungi seperti yang pertama itu.   Dan ketika batu yang pertama turun, ia tanggapi dengan dahi, maka batu itu lantas diam di dahinya itu.   Lalu menyusul batu yang kedua dan yang ketiga, ketiganya menjadi saling susul.   Dengan rangkapi kedua tangannya, memberi hormat kepada orang banyak, Cu Ong jalan perlahan-lahan ke tengah latar.   Dengan satu lompatan, ia tiba diatasnya pelatok-pelatok sumpit Auwyang Kongcu tadi, berdiri di atas itu ia lantas bersilat, memainkan ilmu silat "Yan Ceng Kun."   Ia menjunjung tiga buah batu yang beratnya rua ratus kati lebih, tapi barang berat itu tidak mengurangi kegesitannya, dan setiap tindakan kakinya tidak pernah meleset dari ujung sumpit.   Baru setelah habis semua jurus itu, ia lompat turun dari pelatok sumpit, dan setelah turunkan ketiga batu itu, ia kembali ke kursinya.   Ia mengasih lihat senyuman, tidak ada tanda bahwa ia merasa letih.   Adalah biasa untuk tukang-tukang dangsu mempertunjukan permainan batu seperti Nio Cu Ong ini, hanya yang istimewa, ini dimainkan di atas pelatok sumpit dan sumpitnya tidak ada yang patah atau miring karena ketindihan tubuh dan batu yang berat itu.   Kwee Ceng kagum bukan main, ia memuji tak henti-hentinya.   Kelihatannya pesta bakal ditutup sampai disitu.   Pelayan-pelayan telah datang dengan baskom yang terisi air hangat, untuk semua tetamu membersihkan tangan mereka.   "Cuma Leng Siangjin yang belum mengasih lihat kepandaiannya,"   Cie It berpikir.   "Mungkin sehabis dia, mereka ini bakal turun tangan" Maka itu si imam segera melirik paderi dari Tibetb itu. Leng Tie Siangjin mencuci tangan seperti yang lain-lain, sikapnya wajar saja, hanya selagi yang lain-lain sudah selesai, ia masih merendam kedua tangannya di dalam baskom. Hal ini dapat dilihat semua orang, mereka menjadi heran. Mereka justru menantikan tanda dari paderi itu untuk bergerak. Selang lagi sesaat, Ong Cie It dan Auwyang Kongcu adalah yang paling dulu menampak perubahan. Baskomnya si paderi lantas saja menghembuskan hawa napas sebagai uap. Yang lain-lain baru dapat melihat setelah uap itu nampak semakin nyata, mirip asap, akan kemudian terdengar suara perlahan dari air bergolak. Selagi semua orang heran dan kagum, Ong Cie It terperanjat.   "Hebat tenaga dalamnya paderi ini,"   Katanya dalam hati.   "Aku tidak boleh berlambat lagi, aku mesti mendahului turun tangan terhadap dia"   Tengah semua mata diarahkan kepada Leng Tie Siangjin, Ong Cie It cenderungkan tubuhnya, melewati dua orang, tangannya menyambar kepada Wanyen Kang, yang duduk berselang daripadanya, ia menangkap nadinya siauw-ongya itu, tubuh siapa ia terus angkat, untuk digeser ke depannya.   Orang lantas melihat kejadian ini, mereka heran.   Kemudian, untuk kagetnya mereka, mereka lihat pangeran itu ditotok hingga ia menjadi tak berdaya lagi.   Kemudian lagi si imam taruh tangan kirinya di punggung pangeran itu.   See Thong Thian semua kaget berbareng gusar tetapi mereka tak segera dapat berdaya.   Dengan tangan kanannya, Ong Cinjin angkat poci arak, terus ia berkata.   "Barusan aku saksikan kepandaian mengagumkan dari tuan-tuan, maka dengan ini aku hendak menghormati kamu dengan secawan arak."   Ia tidak berbangkit tapi ia dapat menuangi arak ke dalam cawannya semua orang.   Asal tangannya digeraki, arak meluncur keluar dari mulut poci, turun ke dalam cawan, mengisi hingga penuh, tidak ada arak yang berceceran.   Leng Tie Siangjin beramai menginsyafi tenaga dalam yang terlatih baik dari imam ini, maka itu, asal tangan kirinya digeraki, celakalah Wanyen Kang.   Mereka insyaf juga, Ong Cinjin berbuat begini tentulah disebabkan dia bersendirian saja.   Paling akhir Ong Cie It isikan cawannya Kwee Ceng serta cawannya sendiri, kemudian ia letaki poci arak, untuk angkat cawannya yang ia hirup kering.   Habis itu ia berbicara.   "Pinto tidak berselisih, tidak bermusuhan dengan tuan-tuan,"   Katanya.   "Pinto juga tidak bersanak tidak bersahabat dengan anak ini, cuma pinto merasa suka kepadanya karena dia berhati polos dan pemurah, ia bersemangat. Maka itu denagn memandang kepada mukaku, pinto minta sukalah tuan-tuan melepaskan dia hari ini."   Semua orang berdiam. Mereka berdiam sejak Wanyen Kang dicekuk. "Jikalau tuan-tuan memberi ampun kepada anak ini,"   Berkata pula Ong Cie It, yang menanti jawaban.   "Maka pinto juga akan bebaskan ini siauw-ongya.   Siauw-ongya adalah seumpama cabang emas daun kumala, ini anak sebaliknya adalah satu anak rakyat jelata, dari itu jikalau mereka ditukar guling, tidakkah siauw-ongya rugi? Bagaimana?"   "Ong Totiang, kau baik sekali!"   Berkata Nio Cu Ong tertawa.   "Baiklah, beginilah kita mengambil keputusan."   Tanpa bersangsi sedikit juga, dengan sikutnya Ong Cie It bentur pinggangnya Wanyen Kang, maka pangeran itu bebas dari totokan, terus ia dikembalikan ke kursinya.   Ia percaya semua jago itu, tidak peduli mereka licin atau licik.   Habis itu ia mengangguk kepada semua orang, lalu ia tarik tangannya Kwee Ceng untuk diajak pergi.   Masih ia mengucapkannya.   "Ijinkanlah kami mengundurkan diri.   Sampai bertemu pula!"   Semua orang mengawasi denagn air muka guram.   Bukankah ikan telah masuk ke dalam jala tetapi dapat lolos pula? Tidakkah itu sayang? Wanyen Kang telah lantas dapat menenangkan hatinya.   Sambil tersenyum, ia kata kepada Ong Cinjin.   "Totiang, apabila ada tempo yang luang, silakan sembarang waktu datang untuk pasang omong di sini, supaya aku yang lebih muda dapat banyak pengajaran."   Ia lantas berbangkit, dengan sikapnya yang menghormat, ia mengantarkan keluar. "Hm!"   Bersuara si imam, yang terus bilang.   "Urusan kita telah selesai, maka itu mesti ada harinya yang kita nanti bertemu pula!"   Setibanya mereka di pintu hoa-thia, tiba-tiba Leng Tie Siangjin berbicara.   Pendekar Pemanah Rajawali Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo      "Totiang sangat lihay, yang kau membuatnya orang sangat kagum!"   Demikian katanya. Ia merangkapkan kedua tangannya, untuk memberi hormat, akan tetapi ketika ia buka kedua tangannya itu, siuran angin hebat menyambar ke arah si imam! "Celaka!"   Ong Cie It berseru di dalam hatinya dengan ia lekas-lekas angkat kedua tangannya untuk membalas hormat.   Ia kerahkan tenaga latihannya dari beberapa puluh tahun untuk memcahkan serangan hebat itu.   Sebat luar biasa, Leng Tie Siangjin mengubah tenaga dalamnya menjadi tenaga luar, tangan kanannya diulur, untuk menyambar lengannya Ong Cie It.   tetapi si imam pun tidak diam saja, ia menyambuti dengan sama kerasnya, karena ia telah lantas dapat melihat sambaran itu, ia pun berbalik menyambar lengan lawan.   Cuma hanya sekali bentrok, kedua tangan sama- sama ditarik pulang.   "Sungguh aku takluk, aku takluk!"   Berkata Leng Tie Siangjin yang air mukanya berubah, seraya melompat mundur. Ong Cie It tersenyum, ia bertanya.   "Nama Taysu bersemarak dalam dunia kangouw, mengapa kata-katanya tidak masuk hitungan?"   Leng Tie menjadi gusar.   "Aku bukan hendak menahan ini bocah she Kwee, aku hanya hendak menahan kau"   Katanya, tapi belum dapat ia meneruskan, lantas saja ia muntah darah.   Sebab bentrokan itu membuat ia terluka.   Coba ia berlaku tenang dan mainkan napasnya, darahnya itu tidak nanti menyemprot keluar, tetapi ia diejek si imam, ia tidak dapat mengendalikan diri.   Ong Cie It segera tarik tangan Kwee Ceng, buat diajak berlalu dengan cepat-cepat dari istana itu.   See Thong Thian beramai tidak berani mencegah, bukan saja memang mereka seudah berjanji, contoh dalam dirinya Leng Tie Siangjin juga membikin hati mereka gentar.   Imam ini benar-benar tidak dapat dibuat permainan, tidak berani mereka merintangi.   Sesudah belasan tombak keluar dari pintu istana, setelah melintasi sebuah tikungan dan melihat di belakangnya tidak ada orang yang menyusul mereka, dengan perlahan Giok Yang Cu berkata kepada bocah yang ia tuntun itu.   "Kau gendong aku sampai di rumah penginapan"   Kwee Ceng kaget sekali. Ia dengar suara orang sangat lemah, seperti ynag kehabisan napas. Ia juga lantas dapat melihat roman pucat dari si imam. "Adakah totiang terluka?"   Ia tanya heran.   Ong Cie It mengangguk, lalu tiba-tiba saja tubuhnya terhuyung.   Kwee Ceng mengerti, maka lantas saja ia membungkuk di depan si imam itu, untuk menggendong dia, untuk dibawa pergi denagn cepat.   Ia mau mampir di sebuah hotel yang pertama diketemukan, tetapi Cie It bilang dengan perlahan.   "Caricari tempat yang sepi dan hotel kecil"   Kwee Ceng menurut, ia maju terus, sambil berlari-lari.   Ia tahu imam ini khawatir nanti disusul musuh, yang ia terluka dan ia sendiri tidak punya guna, mereka bisa terancam bahaya.   Ia tidak tahu jalanan, ia pilih yang sepi saja.   Sementara itu ia merasai napasnya si imam semakin mendesak.   Syukur ia lantas dapat cari sebuah hotel yang kecil dan jorok, tetapi tanpa pedulikan itu, ia memasukinya.   Setibanya di dalam, ia segera turunkan imam itu di atas pembaringan.   "Lekaslekas cari sebuah jambangan besar"   Berkata Ong Cie It.   "Kau isikan penuh air bersih"   "Untuk apakah itu, totiang?"   Kwee Ceng tanya.   Cie It tidak menyahuti, ia hanya memberi tanda dengan tangannya, supaya bocah itu lekas pergi.   Kwee Ceng menurut.   Ia cari orang hotel, ia letaki sepotong perak di atas meja seraya minta lekas disediakan jambangan.   Ia juga memberi persen kepada si jongos.   Maka itu jongos kegirangan, cepat-cepat ia sediakan barang yang diminta itu, yang diletaki di cimche, terus diisikan air dingin.   Kwee Ceng lari ke dalam kamar untuk memberi kabar.   "Bagus, anak yang baik!"   Berkata Ong Cie It. "Sekarang pondong aku, kau letaki aku di dalam jambangan itu. Kau larang orang lain datang dekat padaku"   Kwee Ceng tidak mengerti tetapi ia pondong si imam itu, ia masuki tubuh orang ke dalam jambangan hingga sebatas leher, sedang jongos ia pesan untuk melarang siapa saja masuk ke cimche itu.   Ong Cie It merendam di dalam jambangan seraya memeramkan kedua matanya, dengan tenang ia mainkan napasnya.   Kira semakanan nasi lamanya, air jambangan yang bersih bening itu berubah menjadi hitam.   Di pihak lain, kulit muka si imam dari pucat pasi berubah menjadi bersemu dadu.   "Coba bantui aku bangun, air ini tukar dengan yang bersih,"   Ia minta kepada Kwee Ceng.   Permintaan itu diturut, maka sebentar kemudian, Cie It sudah berendam pula di dalam air yang baru.   Sekarang barulah Kwee Ceng ketahui orang tengah mengerahkan tenaga dalamnya, untuk menyembuhkan diri dari luka di dalam akibat pertempuran dahsyat dengan Leng Tie Siangjin.   Imam ini umpama kata cuma menang seurat.   Kwee Ceng melayani terus sampai ia tukar air tujuh kali, baru air itu tak lagi berubah hitam, atas mana Giok Yang Cu lantas saja tertawa dan berkata.   "Sudah tidak ada bahaya lagi!"   Dengan pegangi pinggiran jambangan, ia dapat merayap keluar. Tapi ia menghela napas ketika ia berkata pula.   "Paderi dari Tibet itu sangat berbahaya!"   Kwee Ceng berlega hati, ia girang sekali.   "Apakah tangannya paderi Tibet itu ada racunnya?"   Ia tanya. "Benar,"   Sahut Cie It.   "Itulah racun dari Cu-see-ciang. Ilmu semacam itu, Tangn Pasir Merah sering aku menemukan tetapi tidak ada yang lihay seperti ini. Hari ini hampir aku kehilangan jiwa"   "Totiang ingin dahar apa? Nanti aku pergi belikan,"   Kwee Ceng tanya kemudian. Cie It pinjam perabot tulis pada tuan rumah, ia menulis sehelai surat obat.   "Aku telah bebas dari bahaya jiwa,"   Berkata si imam itu.   "Tetapi hawa racun di dalam tubuh belum bersih betul, jikalau dalam duabelas jam itu tak disingkirkan, akibatnya akan menyebabkan cacad seumur hidup. Sekarang kau tolongi aku lekas membeli obat."   Kwee Ceng mengerti, ia pergi sambil terus berlari. Di jalan perapatan ia lihat rumah obat yang pertama, ia segera mampir dan serahkan resepnya itu. "Sayang tuan,"   Kata pelayan setelah ia membaca surat obat itu.   "Kebetulan saja obat hiat-kat, gu-cit, bek-yo dan hitam baru habis."   Tanpa minta penjelasan, Kwee Ceng samber resepnya, untuk lari ke rumah obat yang lain.   Di sini ia diberi tahu, empat rupa obat itu tidak ada.   Makanya ia mesti pergi ke lain toko obat lagi.   Untuk herannya, tujuh atau delapan rumah obat semua kehabisan empat rupa bahan obat itu.   Ia menjadi bingung dan mendongkol.   Malah didua tiga rumah obat yang terbesar, obat-obatan itu masih tidak kedapatan, katanya baru saja ada orang yang borong.   "Akun mengerti sekarang,"   Kata bocah ini kemudian. "Tentulah orang dari istana Chao Wang yang memborong semua obat itu, sebab mereka ketahui Ong Cinjin pasti membutuhkannya. Sungguh jahat!"   Dengan masgul, bocah ini lari pulang ke hotel, kepada Ong Cie It ia tuturkan kegagalannya.   Imam itu menghela napas, wajahnya menjadi guram.   Kwee Ceng sangat jujur dan hatinya lemah, ia lantas taruh kepalanya di atas meja dan menangis megerung-gerung.   Ia putus asa.   Ong Cie It tertawa.   "Jiwa manusia sudah ditakdirkan,"   Ia berkata.   "Kematian pun tidak harus disayangkan. Laginya belum tentu aku bakal mati, maka itu kenapa kau menangis?"   Lalu dengan suara halus ia bernyanyi. Kwee Ceng heran, ia mengawasi. Cit It tertawa pula, terus ia duduk bersemadhi di atas pembaringan. Bocah ini tidak berani mengganggu, diam-diam ia keluar dari kamar.   "Kenapa aku tidak mau pergi ke tempat yang berdekatan,"   Pikirnya kemudian.   "Di sana belum tentu obat itu telah orang beli juga"   Ingat begini, hatinya lega.   Maka ia mau tanya jongos, di dekat-dekat dimana ada toko obat.   Justru ia mau cari jongos, jongos datang dengan cepat, menyerahkan sepucuk surat kepadanya.   Surat itu dialamatkan kepadanya.   Surat itu bagus tulisannya dan kertanya berbau harum.   Ia heran.   "Siapa yang mengirim surat ini?"   Ia menanya dalam hatinya. Ia terus robek sambpul surat, untuk dibaca isinya. Surat itu berbunyi singkat saja. "Aku menunggu kau di telaga di luar kota barat, jauhnya kira-kira sepuluh lie. Ada urusan penting yang hendak aku damaikan. Lekas datang!"   Surat itu tidak memakai tanda-tanda hanya lukisan gambar dari satu pengemis bocah. Untuk kegirangannya Kwee Ceng kenali romannya Oey Yong, yang tersenyum berseri-seri. "Siapa bawa surat ini?"   Ia tanya jongos. Ia girang berbareng heran. "Seorang gelandangan di jalan besar,"   Sahut jongos itu. Kwee Ceng masuk ke dalam kamar Cie It, ia lihat imam itu lagi melatih kaki dan tangannya. Ia lantas kasih tahu bahwa ia mau pergi beli obat ditempat lain. "Kita dapat pikir ini, kenapa mereka tidak?"   Berkata si imam.   "Tidak usahlah kau pergi."   Kwee Ceng tidak menjadi putus asa, ia ingin mencoba.   Ia ingat Oey Yong cerdik sekali, mungkin ia dapat berunding dengan temannya itu.   Maka itu ia beritahu bahwa ia ingin menemui sahabatnya itu.   Ia pun beri lihat suratnya Oey Yong itu.   Ong Cie It berpikir.   "Cara bagaimana kau kenal anak itu?"   Ia tanya. Kwee ceng tuturkan pertemuannya sama Oey Yong, hingga mereka menjadi sahabat. "Aku telah saksikan caranya ia mempermainkan Sam-tauw-kauw Hauw Thong Hay,"   Berkata Ong Cinjin.   "Dia luar biasa gerak tubuhnya. Kau harus berhati-hati,"   Ia pesan.   "Di dalam ilmu kepandaian, dia jauh terlebih lihay daripada kau. Aku lihat padanya seperti ada terselip sifat-sifat kesesatan, hanya aku tidak tahu pasti apa itu"   "Kita bersahabat sangat erat, sehidup semati, tidak nanti ia celakai kau,"   Menyatakan Kwee Ceng, yang percaya betul sahabatnya itu. Ong Cinjin menghela napas.   "Baru berapa lama kamu bersahabat?"   Katanya.   "Mana itu dapat disebut persahataban sehidup semati? Jangan kau pandang enteng dia sebagai bocah! Kau tahu, jikalau ia hendak mencelakai padamu, kau tentu tidak dapat layani dia."   Di dalam hatinya, Kwee Ceng berpikir.   "Totiang membeilang begini sebab ia belum tahu sifatnya Oey Hiantee"   Ia menyebutnya "Oey Hiantee" = "adik she Oey", tanda ia sangat percaya pada Oey Yong. Lantas ia tuturkan perihal kebaikannya sahabatnya itu. Ong Cinjin tertawa.   "Baik, kau pergilah lekas!"   Katanya.   Pendekar Pemanah Rajawali Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo   "Semua anak muda berkelakuan seperti kamu. Tanpa mengalami sesuatu, tidak tambah kecerdikan kamu"   Imam ini tetap percaya Oey Yong bukan orang dari golongan yang sadar.   Bab 19.   Ada Kuping Di Balik Tembok Kwee Ceng tiada bilang apa-apa lagi, ia masuki resep ke dalam sakunya, lanats ia berlalu dari hotel.   Ia lari keluar kota barat tanpa menghiraukan salju berterbangan menyampok mukanya.   Disekitarnya yang luas, ia tampak segala apa putih meletak, disana tidak ada tapak-tapak manusia.   Sesudah hampir sepuluh lie, ia lihat sinar terang dari air telaga.   Karena hawa udara tidak sangat dingin, telaga itu tidak membeku, salju jatuh ke air, lantas lumer.   Adalah di tepian, di pepohonan, salju melulu yang tampak.   Memandang ke sekitarnya, bocah ini menjadi heran.   Tidak ada bayangan orang sekalipun.   "Apa mungkin dia sia-sia menanti aku dan dia lantas pergi duluan?"   Ia berpikir. Tapi ia buka mulutnya, akan perdengarkan suara nyaring.   "Oey Hiantee! Oey Hiantee!"   Tidak ada jawaban, cuma dua ekor burung air yang terbang gelapakan di telaga. "Oey Hiantee! Oey Hiantee!"   Ia memanggil pula, dengan hatinya masgul. Tapi ia masih dapat berpikir; "Mungkin ia belum datang, maka baiklah aku menunggu ia disini"   Maka ia lantas menantikan sambil ia pandangi keindahan telaga di musim salju itu.   Belum terlalu lama atau dari tengah telaga terdengar suara tertawa halus, kapan Kwee Ceng menoleh, ia lihat sebuah perahu muncul dari bagian telaga yang lebat dengan pepohonan.   Itulah sebuah perahu kecil dengan penumpangnya, yang duduk di belakang perahu, ada satu nona, yang rambutnya panjang meroyot melewati pundak, bajunya putih mulus, rambutnya di bagian atas ada pitanya dari emas, hingga emas itu bercahaya di antara sinar putih dari salju.   Kwee Ceng mengawasi dengan menjublak.   Ia dapatkan si nona bagaikan bidadari.   Orang berumur belum lima atau enambelas tahun, kulitnya putih halus, romannya cantik sekali dan manis, mukanya dadu segar.   Ia lantas berpaling ke lain jurusan, tidak berani ia mengawasi terus-terusan.   Ia pun bertindak dari tepian.   Si nona mengayuh perahunya sampai ke pinggir telaga.   "Kwee Koko, mari naik ke perahu!"   Tiba-tiba dia memanggil.   Dia menyebutnya "Kwee Koko" = "Engko Kwee".   Kwee Ceng terkejut.   Ia dipanggil selagi ia menoleh ke lain jurusan.   Begitu ia menoleh, begitu ia tampak satu wajah yang manis sekali, sedang tangan baju orang memain di antara sampokan angin.   Ia berdiri menjublak bagaikan orang yang tengah bermimpi, kemudian ia kucak-kucak matanya dengan kedua tangannya.   "Bagaimana, eh, engko Kwee,"   Berkata pula si nona.   "Apakah kau tidak kenal aku?"   Kwee Ceng perhatikan suara orang.   Itulah suaranya Oey Yong, sahabat eratnya, sahabat sehidup semiati..   ! Tapi sahabatnya itu adalah satu pemuda dengan muka kotor dan pakaian compang-camping.   Kenapa sekarang tercipta menjadi satu bidadari? Dalam kesangsiannya, bocah ini mengawasi dengan mendelong.   Nona itu tertawa.   "Aku adalah Oey Hianteemu!"   Ia berkata.   "Benarkah kau telah tidak kenali aku?"   Oleh karena ia menatap, Kwee Ceng kenali roman mukanya Oey Yong yang alisnya lentik dan mulutnya mungil, cuma dandannya lain.   "Kaukau."   Katanya perlahan. Oey Yong tertawa pula.   "Sebenarnya aku adalah seorang wanita,"   Ia berkata pula.   "Siapa suruh kau panggil aku Oey Hiantee dan Oey Hiantee tak sudahnya? Ayolah lekas naik ke perahu ini!"   Kwee Ceng sadar, lalu ia enjoti tubuhnya, lompat ke perahu itu.   "Oey Hiantee!"   Katanya. Oey Yong tidak menyahuti, ia hanya kayuh perahunya ke telaga. Ia lantas sajikan bekalannya, barang makanan dan arak. "Kita duduk disini, dahar dan minum arak sambil memandangi sang salju, bagus bukan?"   Katanya merdu. Kwee Ceng mencoba akan menenangi diri. "Ahaku tolol sekali!"   Katanya kemudian.   "Sampai sebegitu jauh, aku sangka kau adalah seorang pria! Selanjutnya tidak dapat aku panggil lagi kau Oey Hiantee."   Oey Yong tertawa.   "Kau juga jangan panggil aku Oey Hian-moay,"   Ia berkata.   "Aku dipanggil Yong-jie. Ayahpun selalu memanggil aku begitu."   Dengan sendirinya nona ini tidak menghendaki di panggil "Oey Hian-moay" = "adik Oey"   Dan menghendaki di sebut namanya saja.   "Yong-jie"   Berarti "anak Yong". Tiba-tiba Kwee Ceng ingat sesuatu.   "Aku membekali kau tiamsim!"   Katanya seraya terus kasih keluar tiamsim yang ia bawa dari istananya Wanyen Kang. Cuma sekarang tiamsim itu sudah pusak-pesok tiada karuan. Oey Yong mengawasi macamnya tiamsim yang tidak karuan itu, ia tertawa. Merah mukanya Kwee Ceng, ia jengah.   "Tiamsim ini tak dapat dimakan"   Katanya. Ia ambil itu, untuk dilemparkan ke air. Oey Yong sambar tiamsim itu.   "Aku bisa makan!"   Katanya.   "Aku doyan!"   Selagi si bocah tercengang, Oey Yong sudah menggayem tiamsim itu.   Kwee Ceng mengawasi, sampai ia mendadak menjadi heran sekali.   Oey Yong dahar tiamsim itu, lantas perlahan-lahan matanya menjadi merah, lalu air matanya perlahan-lahan mengalir turun "Begitu aku dilahirkan, aku sudah tidak punya ibu,"   Berkata Oey Yong yang dapat membade pikirannya sahabatnya.   "Seumurku, belum pernah ada orang yang ingat aku seperti kau ini"   Air matanya mengalir deras, ia keluarkan sapu tangannya ang putih bersih. Kwee Ceng menyangka orang hendak menyusuti air matanya, tak tahunya dengan cara hati-hati nona itu bungkus sisa tiamsim yang kemudian ia masuki ke dalam sakunya.   "Aku akan dahar ini perlahan-lahan"   Katanya, dan kali ini ia tertawa. Benar-benar aneh kelakuan bocah wanita ini, Kwee Ceng asing betul dengan tingkah lakunya ini "Oey Hiantee". "Bilangnya ada urusan penting yang kau hendak bicarakan dengan aku, urusan apakah itu?"   Kemudian ia tanya. Ia sudah lantas ingat surat si nona dan untuk apa ia datang ke telaga ini. Oey Yong tertawa ketika ia menyahuti.   "Aku panggil kau datang kemari untuk memberitahukan padamu bahwa aku bukannya Oey Hianteemu, hanya Yong-jie. Apa ini bukannya urusan penting?"   Kwee Ceng tersenyum. Orang benar-benar jenaka. "Kau begitu manis untuk dipandang, kenapa mulanya kau menyamar sebagai penemis?"   Ia tanya. Oey Yong melengos ke samping.   "Kau bilang aku manis dipandang?"   Ia tanya. "Manis sekali!"   Sahut si anak muda.   "Kau mirip dengan bidadari dari puncak gunung salju!"   Ia menghela napas. Oey Yong tertawa pula.   "Pernahkah kau melihat bidadari?"   Tanyanya. "Aku belum pernah lihat. Kalau aku dapat menemui, mana aku masih hidup lagi?"   Oey Yong heran.   "Eh, kenapa begitu?"   Ia menegaskan.   "Sebab pernah aku dengar pembilangannya orang-orang tua, siapa dapat melihat bidadari, dia tidak bakal kembali ke tanah datar, untuk selamanya ia akan duduk bengong saja di gunung salju, lalu lewat beberapa hari, dia akan mati beku."   Oey Yong tertawa pula.   "Sekarang kau melihat aku, kau bakal bengong saja atau tidak?"   Tanyanya kemudian. Mukanya Kwee Ceng menjadi merah.   "Kita toh sahabat-sahabat kekal, kita lain"   Oey Yong menganggguk. Lalu ia berkata dengan sungguh-sungguh.   "Aku tahu kau baik hati dengan sesungguhnya, terhadap aku, tidak peduli aku pria ataupun wanita, biarpun aku bagus atau jelek."   Ia berhenti sebentar.   "Dengan dandananku ini, kalau orang bersikap baik terhadap aku, apakah anehnya? Diwaktu aku menjadi pengemis, kau baik sekali dengan aku, nah itu barulah sahabat sejati."   Ia rupanya sangat girang, semabri tertawa ia kata pula.   "Aku ingin bernyanyi untukmu, sukakah kau mendengarnya?"   "Apakah tidak boleh besok saja kau bernyanyi?"   Kwee Ceng minta.   "Sekarang ini aku mesti pergi beli obat untuk Ong Totiang."   Kwee Ceng lantas tuturkan tentang adu kepandaian di istana Chao Wang, sampai Ong Cie It, yang melindungi ia, mendapat luka parah, bahwa sia-sia belaka ia mencari obat. Oey Yong mengawasi, ia tertawa.   "Aku pun heran sekali menyaksikan kau lari mondar-mandir di jalan besar dan memasuki rumah obat dari yang satu kepada yang lain, entah kau bikin apa, tidak tahunya kau hendak membeli obat,"   Katanya. Kwee Ceng menduga, selagi ia lari mondar-mandir, Oey Yong tentu telah mengintai padanya tetapi ia tidak tahu, kalau tidak, niscaya nona itu tidak ketahui ia tinggal di hotel mana. "Oey Hiantee,"   Katanya kemudian.   "Apakah boleh pinjam kuda merahmu yang kecil untuk aku pergi membeli obat?"   Oey Yong menatap.   "Ketahuilah!"   Katanya.   "Kesatu, aku bukannya si Oey Hiantee! Kedua, kuda merah yang kecil itu adalah kepunyaanmu! Apakah kau sangka benar-benar aku menghendaki kudamu itu? Aku melainkan lagi menguji hatimu. Ketiga, di tempat sekitar ini, belum tentu kau dapat mencari obat itu!"   Kwee Ceng berdiam, hatinya pepat. Ia bingung sekali. Dugaan si nona nyata cocok betul dengan dugaannya Ong Cie It. Oey Yong tertawa.   "Sekarang aku nyanyai, kau dengari!"   Dia kata.   Lalu kedua bibirnya yang merah tergerak terbuka, segera lidahnya bergerak, memperdengarkan nyanyiannya yang halus dan merdu.   Kwee Ceng mendengari dengan hati kesengsem walaupun tidak mengerti jelas artinya nyanyian itu, hatinya menjadi goncang.   Seumurnya belum pernah ia peroleh pengalaman ini.   "Inilah nyanyian Sui Ho Sian dari Sin Tayjin,"   Kata Oey Yong perlahan habis ia nyanyi.   "Bagaimana kau bilang, bagus atau tidak?"   "Aku kurang mengerti tetapi didengarnya menarik hati,"   Kwee Ceng menjawab.   Pendekar Pemanah Rajawali Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo      "Siapa itu Sin Tayjin?"   "Dialah Sin Kee Cie,"   Sahut Oey Yong.   "Menurut ayahku dialah satu pembesar jempolan yang menyinta negara dan rakyat. Ketika dulu hari utara Tionggoan terjatuh ke dalam tangan bangsa Kim dan Gak Bu Bok terbinasa di tangan dorna, tinggal Sin Tayjin sendiri yang masih berdaya untuk merampas pulang daerah-daerah yang terhilang itu."   Kwee Ceng tahu kekejaman bangsa Kim dari penuturan ibunya, karena ia hidup di Mongolia, ia kurang tahu. Ia kata.   "Belum pernah aku pergi ke Tionggoan, maka hal ini baik nanti saja perlahan-lahan kau tuturkan padaku. Sekarang kita mesti pikirkan daya menacri obat untuk Ong Totiang."   "Kau dengar aku,"   Berakta Oey Yong.   "Kita pesiar dulu disini, tak usah kau cemas tidak karuan."   "Ong Totiang bilang, kalau dalam tempo dua belas jam ia tidak dapat obat, ia bisa celaka,"   Kwee Ceng jelaskan. "Aku tanggung, kau akan dapatkan obat itu,"   Si nona bilang. Mendengar si nona bicara dengan sungguh- sungguh dan juga percaya orang memang ada terlebih pandai dan cerdik daripadanya, Kwee Ceng dapat juga melegakan hatinya. "Mungkin ia tidak akan membikin gagal,"   Pikirnya.   Maka ia lantas layani si cantik itu minum arak dan dahar makanan sambil mereka pasang omong.   Dengan gembira, dan secara menarik hati, Oey Yong tuturkan bagaimana caranya ia menggangtung Hong Ho Su Koay, bagaimana ia ganggu Hauw Thong Hay sampai si Ular Naga Kepala Tiga itu mendongkol bukan main.   "Bagus!"   Seru Kwee Ceng saking gembira. "Memang bagus!"   Kata si nona.   Dan keduanya bertepuk tangan.   Tanpa merasa sang tempo telah berlalu, Oey Yong lihat bagaimana secara perlaha-lahan sang mega atau kabut mulai menutupi air telaga yang putih.   Dengan perlahan sekali ia ulur tangannya, terus ia genggam tangannya si Kwee Ceng, sembari berbuat begitu ia kata dengan perlahan.   "Sekarang aku tidak takut apa juga!"   "Kenapa?"   Menanya si anak muda dengan heran. "Taruh kata ayah tidak menginginkan aku, kau tentunya sudi aku ikuti kau, bukankah?"   Si nona tanya tanpa ia menyahuti pertanyaan orang. "Pasti!"   Jawab Kwee Ceng sungguh-sungguh.   "Aku sendiri, belum pernah aku bergembira seperti sekarang ini!"   Oey Yong membawa tubuhnya mendekati dada si pemuda dan menempelkannya, maka Kwee Ceng lantas saja merasakan ia bagai terkurung bau harum, bau yang meliputi juga antero telaga, seluruh langit dan bumi Tanpa mengucap sepatah kata, keduanya saling berpegang tangan..   Lagi sekian lama, tiba-tiba Oey Yong menghela napas.   "Tempat ini sungguh indah, sayang kita bakal meninggalkannya"   Katanya. "Kenapa begitu?"   Kwee Ceng tanya. Ia heran. "Bukankah kita harus mencari obat untuk menolongi Ong Totiang?"   Sahut si nona. Kwee Ceng sadar, ia menjadi girang sekali.   "Ah, ke mana kita mencarinya?"   "Ke manakah perginya itu beberapa rupa obat yang dibutuhkan, yang tidak berada di rumah-rumah obat?"   Oey Yong menanya. "Tentulah semua itu dibeli oleh orangnya Chao Wang,"   Menyahut Kwee Ceng. "Benar!"   Berkata si nona. "Tetapi tidak dapat kita pergi ke sana!"   Kwee Ceng bilang.   "Pergi ke sana artinya kita mengantari jiwa kita" "Habis apakah kau tega membiarkan Ong Totiang menjadi bercacad seumur hidupnya?"   Oey Yong tanya. "Jangan-jangan, karena lukanya itu berubah menjadi berbahaya, ia pun bisa hilang jiwanya."   Darahnya Kwee Ceng bergolak.   "Baik, aku akna pergi!"   Ia bilang.   "Tapi kau jangan turut"   "Jangan turut? Kenapakah?"   Tanya si nona. Kwee Ceng berdiam. Ia tidak punyakan alasan untuk kata-katanya itu. Oey Yong mengawasi.   "Engko yang baik,"   Katanya perlahan.   "Kau kasihanilah aku. Umpama kata kau menemui bencana, apakah kau sangka aku dapat hidup seorang diri saja?"   Kwee Ceng menjadi sangat bersyukur dan bergirang.   "Baiklah!"   Katanya kemudian.   "Mari kita pergi bersama!"   Keduanya lantas mengayuh, membuatnya perahu mereka ke pinggir, setelah mendarat, mereka menuju langsung ke istana Chao Wang, ke arah belakang. Mereka memasuki pekarangan dengan melompati tembok. "Engko Ceng, sempurna sekali ilmu ringan tubuhmu!"   Oey Yong memuji selagi si anak muda mendekam di kaki tembok untuk memasang kuping dan mata.   Mendengar pujian itu, Kwee Ceng gembira bukan main.   Merdu sekali suara si nona.   Tak lama, mereka mendapat dengar tindakan kaki dibarengi sama suara bicara sambil tertawa.   Mereka menutup mulut.   "Siauw-ongya mengurung si nona di sini, kau tahu untuk apa?"   Terdengar seorang menanya.   "Siauw-ongya"   Itu ialah pangeran muda. "Buat apa lagi!"   Tertawa orang yang kedua.   "Si nona ada demikian cantik! Sejak kau dilahirkan, pernahkah kau melihat nona secantik itu?"   "Kau hati-hati, sahabat!"   Kata yang pertama.   "Melihat macammu ini, hati-hatilah, nanti siauw-ongya kutungi batang lehermu"   Kwee Ceng lantas berpikir.   "Kiranya Wanyen Kang sudah punya pacar maka juga ia tidak sudi nikahi nona Bok. Dalam hal ini, dia tidak dapat disesalkan. Cuma mengapa ia mengurung nona itu? Mustahilkah si nona menolak dan ia hendak gunai kekerasan untuk memaksa?"   Dua orang itu sudah lantas datang dekat sekali, yang satu membawa tengloleng, yang lainnya menenteng barang makanan. Yang membawa makanan itu berkata pula sambil tertawa.   "Siauw-ongya aneh! Dia mengurung orang, dia juga khawatir orang kelaparan! Lihat, sudah malam begini dia masih suruh mengantarkan barang makanan."   "Jikalau tidak berlaku manis budi, mana dia dapat merampas hati si nona?"   Berkata yang membawa lentera. Lantas mereka lewat, suara tertawa mereka masih terdengar. "Mari kita lihat!"   Berbisik Oey Yong, yang hatinya menjadi tertarik.   "Sebenarnya bagaimana sih cantiknya orang itu"   "Lebih perlu kita mencari obat,"   Kwee Ceng bilang. "Aku ingin lihat dulu si cantik!"   Kata Oey Yong, yang tertawa. Kwee Ceng heran sekali.   "Apa sih bagusnya orang perempuan untuk di lihat?"   Katanya dalam hati. Ia tidak menginsyafi sifat wanita. Kalau satu nona mendengar ada nona cantik lainnya, sebelum melihatnya, hatinya tidak nanti puas, kalau dia sendiri cantik, lebih keras lagi keinginannya melihatnya itu.   "Ah, dasar anak kecil.!"   Luas pekarangan dalam dari gedung Chao wang itu.   Mereka berdua berjalan berliku-liku menguntit dua hamba tadi.   Mereka tiba di depan sebuah gedung besar yang gelap, tapi ada yang jaga.   Mereka lantas umpatkan diri, untuk mendenagri kedua kacung itu bicara sama penjaga rumah itu, yang ialah seoarng serdadu.   Dia ini lantas membuka pintu, untuk mengijinkan orang masuk.   Oey Yong cerdik.   Ia menjumput sebutir batu, dengan itu ia menimpuk lentera orang, hingga apinya lentera itu padam seketika, membarengi mana ia tarik tangan si anak muda, untuk diajak berlompat masuk ke pintu.   Kedua kacung dan serdadu itu tidak menduga jelek, mereka cuma menyangka batu jatuh dari atas.   Sembari mengutuk, mereka nyalakan pula lenteranya.   Setelah membuka sebuah pintu dalam, yang kecil, berdua mereka masuk lebih jauh.   Oey Yong dan Kwee Ceng menempatkan diri di sebelah belakang, dengan hati-hati mereka menguntit pula, sampai mereka berada di depan sebuah ruang seperti kerangkeng binatang liar, jerujinya semua besi kasar.   Di dalam situ ada dua orang, terlihat samar-samar seperti pria dan wanita.   Satu bujang lantas memasang lilin, yang mana ia masuki ke dalam kerengkeng.   Maka sekarang terlihat tegaslah dua orang yang terkurung itu.   Mengenali mereka, Kwee Ceng terkejut.   Mereka adalah Bok Ek serta gadisnya, yang tadi siang mengadakan pibu mencari jodoh.   Bok Ek nampaknya tengah bergusar.   Liam Cu duduk di samping ayahnya dengan kepala tunduk.   "Bagaimana dengan Wanyen Kang? Sebenarnya dia sukai nona ini atau tidak?"   Kwee Ceng beragu-ragu. Kedua bujang itu memasuki barang makanan berikut araknya. Bok Ek sembat sebuah mangkok, terus ia lemparkan. Ia berseru.   "Aku telah terjatuh ke dalam tipumu yang busuk, kalau kau hendak membinasakan, binasakanlah! Buat apa kamu berpura-pura menaruh belas kasihan?!"   Belum sampai si bujang membilang apa-apa, di sebelah luar terdengar suaranya serdadu penjaga pintu yang tadi.   "Siauw-ongya baik?"   Mendengar itu, Kwee Ceng dan Oey Yong berpaling, lalu lekas-lekas mereka mencari tempat sembunyi.   Segera juga terdengar suara membentak sari Wanyen kang, yang datang dengan tindakan lebar.   "Siapa yang membikin Bok Loenghiong gusar? Awas, sebentar aku hajar patah kaki anjingmu!"   Kedua hamba itu lantas bertekuk lutut.   "Hambamu tidak berani"   Berakat mereka. "Lekas berlalu!"   Membentak pula si pangeran. "Ya, ya"   Menyahuti kedua hamba itu, yang berlalu dengan cepat.   Hanya setibanya mereka di pintu luar, mereka saling mengawasi dengan mengulurkan lidahnya masing-masing..   Wanyen Kang tunggu sampai orang telah merapatkan daun pintu, ia hampiri Bok Ek dan gadisnya.   "Jiwi silahkan kemari!"   Ia berkata, suaranya sabar sekali.   "Aku hendak membilangi sesuatu kepada kamu, harap kamu jangan salah mengerti."   "Kau telah kurung kami sebagai pesakitan, apakah artinya undanganmu ini?!"   Bok Ek menegur. Ia gusar sekali. "Maafkan aku, menyesal sekali,"   Berkata Wanyen kang.   "Untuk sementara aku minta jiwi harap bersabar. Aku pun merasa tak enak hati."   "Kau boleh akali bocah umur tiga tahun!"   Bok Ek membentak pula.   Pendekar Pemanah Rajawali Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo   "Aku tahu baik sifatnya kamu orang besar! Hm!"   Wanyen Kang hendak bicara pula, saban-saban ia terhalang oleh bentakan orang tua itu, tetapi ia sabar luar biasa, sebaliknya dari bergusar, ia tertawa. "Ayah, coba dengar dulu apa ia hendak bilang," akhirnya Liam Cu berkata dengan perlahan. "Hm!"   Orang tua itu perdengarkan suara di hidungnya. "Nona seperti putrimu, mustahil aku tidak sukai dia"   Berkata Wanyen Kang. Mendengar itu, wajahnya Liam Cu menjadi merah, ia tunduk lebih rendah. "Hanyalah aku adalah satu pangeran dan aturan rumah tanggaku keras sekali,"   Wanyen Kang berkata pula.   "Umpama kata orang mendapat tahu aku mempunyai mertua seorang kangouw, bukan cuma ayahku bisa memarahinya, malah ada kemungkinan sri baginda juga nanti menegur ayahku itu"   "Habis kau mau apa?"   Menanya Bok Ek. Ia anggap orang bicara beralasan juga. "Sekarang ini aku mau minta jiwi berdiam dulu beberapa hari di sini, untuk sekalian merawat lukamu,"   Sahut pangeran itu.   "Setelah itu barulah kamu pulang ke kampung halamanmu. Nanti, selang satu atau setengah tahun, setelah suasana sudah reda, akan aku nikahi putrimu ini, baik dengan jalan aku pergi menjemput ke rumahmu atau dengan minta locianpwee datang ke mari. Tidakkah itu lebih bagus?"   Kata pangeran ini lebih lanjut. Bok Ek berdiam. Ia tengah memikir satu hal lain. "Peristiwa ini bisa merembet ayahku,"   Wanyen Kang berkata pula, sambil tertawa.   "Oleh karena kenakalanku, beberapa kali ayah pernah ditegur sri baginda raja, maka kalau urusan ini sampai didengar oleh sri baginda, pastilah pernikahan ini gagal. Maka itu aku minta sukalah locianpwee menyimpan rahasia."   Bok Ek gusar.   "Menurut caramu ini!"   Katanya sengit.   "Kalau nanti anakku menikah sama kamu, untuk seumur hidupnya ia mesti main sembunyi-sembunyi! Dia jadinya bukan satu istri yang terang di muka umum!"   "Dalam hal ini pastilah aku akan mengatur lainnya,"   Wanyen Kang memberi keterangan.   "Sekarang pun aku sudah pikir nanti minta perantaraannya beberapa menteri sebagai orang pertengahan, supaya kita nanti menikah secara terhormat."   Wajahnya Bok Ek berubah.   "Kalau begitu, pergi kau panggil ibumu datang ke mari,"   Katanya.   "Aku ingin kita omong depan berdepan dan secara terus terang!"   Wanyen Kang tersenyum.   "Mana dapat ibuku menemui locianpwee?"   Katanya. "Jikalau aku tidak dapat bicara dengan ibumu, biar bagaimana, tidak sudi aku melayani kamu!"   Kata Bok Ek kaku, tangannya menyambar sepoci arak, yang dia timpukkan di antara jeruji besi.   Bok Liam Cu kaget dan berduka menyaksikan sikap ayahnya ini.   Sebenarnya, semenjak memulai bertanding sama pangeran itu, ia telah menaruh hati, maka juga ia senang mendengar pembicaraannya si anak muda yang ia anggap beralasan.   Ia tidak sangka, ayahnya telah ambil sikapnya yang tegas itu.   Wanynn Kang geraki tangannya menyambar poci arak itu, terus ia letaki itu ditempatnya, di atas meja.   "Menyesal tidak dapat aku menemani lebih lama,"   Katanya. Ia tertawa dan memutar tubuhnya untuk berlalu. Kwee Ceng anggap omongannya Wanyen Kang beralasan. Bukankah si pangeran ada kesulitannya sendiri? Maka itu, menyaksikan kemurkaannya Bok Ek, ia lantas berpikir;   "Baiklah aku bujuki ia"   Ia lantas geraki tubuhnya, untuk keluar dari tempat persembunyiannya. Tapi ia tidak dapat wujudkan apa yang ia pikirkan itu. Oey Yong telah tarik tangan bajunya, untuk ajak ia keluar. "Apakah sudah diambil?"   Mereka lantas dengar suaranya Wanyen Kang, yang bicara sama satu hambanya. "Sudah,"   Sahut si hamba, yang terus angkat sebelah tangannya.   Nyata ia mencekal seekor kelinci.   Wanyen Kang menyambuti dengan kedua tangannya, tiba-tiba saja ia patahkan kedua kakinya kelinci itu, yang ia terus masuki ke dalam sakunya, setelah mana ia bertindak dengan cepat.   Binatang itu berpekik satu kali, lalu kelengar.   Dua-duanya Oey Yong dan Kwee Ceng heran sekali.   Merak lantas kuntiti pangeran itu, yang jalan memutari sebuah pagar bambu, setelah mana terlihatlah sebuah rumah tembik putih yang kecil.   Itulah rumah bermodel rumah rakyat di Kanglam.   Maka heran di dalam pekarangan istana mentereng itu ada sebuah rumah yang begini sederhana.   Maka mereka jadi bertambah heran.   Wanyen Kang menolak pintu rumah itu dan masuk ke dalamnya.   Dengan lekas Kwee Ceng berdua lari ke jendela untuk memasang kuping sambil mengintai di sela-sela jendela itu.   Mereka percaya mesti ada perbuatan yang aneh dari si pangeran itu.   "Ma!"   Mereka lantas dengar suara si pangeran. "Ya..!"   Demikian suara penyahutan perlahan, suaranya seorang wanita.   Wanyen Kang lantas masuk ke dalam kamar.   Untuk bisa melihat, Kwee Ceng berdua menghampirkan sebuah jendela lain.   Maka mereka lantas tampak satu nyonya tengah berduduk di pinggiran meja, sebelah tangannya menunjang dagu, matanya mendelong.   Dia belum berumur empatpuluh tahun dan mukanya cantik sekali.   Di rambut dekat kupingnya dia memakai setangkai bunga putih.   Pakaiannya semua terdiri dari kain kasar.   "Mama, apakah hari ini kau kurang sehat?"   Tanya Wanyen Kang seraya pegangi tangan si nyonya. Nyonya itu menghela napas.   "Bukankah aku tak berlega hati untukmu?"   Sahutnya. Wanyen Kang sanderkan diri di tubuh nyonya itu, yang ia panggil ibu, agaknya ia manja sekali. "Ma, bukankah anakmu berada di sini?"   Katanya, aleman.   "Toh aku tidak kekurangan walaupun sebelah kakiku?"   "Kau mengacau, kalau ayahmu dengar itu, masih tidak apa,"   Berkata si ibu itu.   "Tetapi gurumu? Bagaimana kalau ia mendengar kabar? Tidakkah hebat?"   "Ma,"   Berkata si pangeran, tertawa.   "Tahukah kau siapa imam itu yang datang menyela untuk menolongi orang?"   "Siapakah imam itu?"   "Dialah adik seperguruan dari guruku"   "Celaka!"   Berseru si nyonya kaget.   "Pernah aku melihatnya gurumu disaat ia tengah murka! Dia dapat membunuh orang! Sungguh menakutkan!"   Wanyen Kang agaknya heran.   "Pernah mama melihat suhu membunuh orang?"   Dia tanya.   "Di manakah itu? Kenapa suhu membunuh orang?"   Nyonya itu angkat kepalanya, memandang lilin. Ia agaknya tengah memikir jauh.   "Itulah sudah lama, sudah lama,"   Katanya kemudian dengan perlahan.   "Ah, kejadian daulu hari itu hampir aku lupa."   Wanyen Kang tidak menanyakan lebih jauh, sebaliknya dengan gembira, ia kata;   "Ong Susiok itu telah mendesak aku, menanyakan bagaimana urusan pibu hendak diselsaikan. Aku telah menjanjikan untuk menerima baik. Asal si orang she Bok itu datang, apa yang diatur, aku terima baik."   "Apakah kau sudah bicara dengan ayahmu?"   Tanya si nyonya itu.   "Bersediakah dia akan memberikan perkenanannya?"   Wanyen Kang tertawa.   "Ma, kau memang baik sekali!"   Katanya.   "Dari siang-siang telah aku perdayakan orang she Bok itu dan gadisnya datang ke mari, sekarang mereka ditahan di kerangkeng di belakang sini. Mana Ong Susiok dapat mencari mereka?"   Selagi si pangeran ini demikian gembira, Kwee Ceng sebaliknya bertambah kemendongkolannya dan kemurkaannya. Kata pemuda ini dalam hatinya;   "Aku menyangka dia bermaksud baik, siapa tahu ia sebenarnya sangat licik!"   Si wanita pun tidak setujui putranya itu.   "Kau telah permainkan anak dara orang,"   Katanya kurang senang.   "Kau juga kurung mereka di sini. Apakah artinya itu? pergi lekas kau merdekakan mereka! Kau berikan mereka uang, kau menghanturkan maaf, lantas kau persilahkan mereka pulang ke kampung halaman mereka."   Kwee Ceng mengangguk-angguk. Ia setujui sikap nyonya itu.   "Begitu baru benar,"   Pikirnya. Wanyen kang tetap tertawa.   "Ma, kau belum tahu,"   Katanya.   "Orang kangouw seperti mereka tidak memandang uang! Jikalau mereka dilepaskan, setelah merdeka, tentu mereka akan buka suara lebar-lebar. Kalau itu sampai terjadi, bagaimana suhu bisa tak ketahui urusan ini?"   "Habis, apakah kau hendak kurung mereka seumur hidup mereka?"   Tanya si nyonya. Putra itu tetap tertawa.   "Akan aku bicara baik-baik dengan mereka, nanti aku perdayakan hingga mereka suka pulang ke kampung halaman mereka,"   Ia bilang.   "Biarlah di sana mereka menanti-nanti hingga mereka putus asa".   Lantas ia tertawa terbahak.   Kembali bangki hawa amarahnya Kwee Ceng, hingga ia ayun sebelah tangannya ke daun jendela dan mulutnya pun hendak dibuka.   "Jangan turuti adat!"   Demikian ia dengar bisikan di kupingnya, berbareng denagn mana sebuah tangan yang halus menutup mulutnya dan tangan yang lain menarik tangannya.   Merdu bisikan itu Cuma sejenak itu, pemuda ini insyaf akan kekeliruannya, maka ia menoleh kepada si nona manis di sisinya dan bersenyum.   Karena itulah Oey Yong yang mencegah padanya.   Kemudian ia mengintai pula ke dalam kamar.   "Tua bangka she Bok itu sangat licin,"   Terdengar pula suaranya Wanyen Kang.   "Telah aku bujuki dia, dia tak mau makan umpan. Maka biarlah dia ditahan lagi beberapa hari, untuk lihat akhirnya dia suka menurut atau tidak."   "Aku lihat nona itu bagus romannya dan gerak- gerakinya, aku suka dia,"   Berkata si nyonya.   "Aku pikir hendak bicara dengan ayahmu, supaya kau diijinkan menikah dengannya. Bukankah dengan begitu selesai sudah semuanya?"   "Ah, mama, ada-ada saja!"   Berkata sang putra sambil tertawa.   "   Kita dari keluarga apa? Cara bagaimana aku bisa menikah dengan satu nona kangouw? Ayah sering bilang padaku bahwa dia hendak mencarikan satu jodoh dari keluarga agung.   Pendekar Pemanah Rajawali Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo      Sayangnya ialah ayah bersaudara dengan raja yang sekarang"   "Apakah yang dibuat sayang?"   Nyonya itu bertanya. "Sebab,"   Menyahut sang putra.   "Kalau tidak, pasti aku kana mendapatkan putri raja dan aku bakal menjadi menantu raja!"   Nyonya itu menghela napas, ia tak bicara lagi. "Ma, ada satu lagi hal yang lucu,"   Wanyen Kang berkata pula, tak ketinggalan tertawanya.   "Tua bangka she Bok itu bilang ingin bertemu sama kau, ingin dia bicara sendiri, untuk mendapat kepastian, setelah itu barulah dia mau mempercayai aku."   "Tidak nanti aku bantui kau memperdayakan orang, itulah perbuatan yang tidak baik!"   Berkata pula si ibu.   Wanyen Kang tertawa geli, ia jalan mondar-mandir di dalam kamar.   Oey Yong dan Kwee Ceng dapat kesempatan memperhatikan kamar itu.   Semua meja dan kursi terbuat dari kayu kasar.   Pembaringan serta perlengkapannya mirip dengan kepunyaan kebanyakan petani di Kanglam, semua kasar dan jelek.   Di tembok ada tergantung tombak serta sebuah pacul.   Di pojokan ada sebuah mesin tenun.   Maka, menyaksikan semua itu, mereka menjadi heran.   "Wanita ini mulia sebagai selir, mengapa ia tinggal dalam kamar dengan perlengkapan semacam ini?"   Mereka itu berpikir. Justru itu Wanyen Kang menekan ke dadanya, ke sakunya, lalu terdengar dua kali pekikan perlahan. "Eh, apakah itu?"   Sang ibu tanya. "Oh, hampir aku lupa!"   Sahut putranya itu, agaknya ia terperanjat.   "Tadi di tengah perjalanan pulang aku melihat seekor kelinci yang terluka, aku bawa dia pulang. Mama, coba kau tolong obati dia"   Ia lantas keluarkan kelinci putih itu, diletaki di atas meja. Dengan kakinya patah, binatang itu tidak dapat jalan. "Anak yang baik!"   Berkata si nyonya.   Ia lantas mencari obat, untuk mengobati kelinci itu.    Bukit Pemakan Manusia Karya Khu Lung Geger Solo Karya Kho Ping Hoo Pendekar Patung Emas Karya Qing Hong

Cari Blog Ini