Ceritasilat Novel Online

Pendekar Pemanah Rajawali 23


Pendekar Pemanah Rajawali Karya Jin Yong Bagian 23


Pendekar Pemanah Rajawali Karya dari Jin Yong   Mendengar itu, tuan rumah menghela napas, ia berdiam.   "Aku masih muda dan tidak tahu apa-apa, aku telah sembarangan omong, harap chung-cu suka memaafkan,"   Berkata Oey Yong. "Jangan mengucap demikian, Oey Laotee,"   Berkata Liok Chung-cu.   "Apa yang tersimpan di dalam hatiku berulah hari ini dapat dilihat orang seorang sebagai kau, maka bisalah dibilang, kaulah orang yang paling mengenal aku selama hidupku ini."   Lalu ia menoleh kepada putranya, menyuruh lekas menyiapkan barang hidangan.   Oey Yong dan Kwee Ceng meminta tuan rumah jangan membikin berabe tetapi tuan rumah yang muda sudah lantas mengundurkan diri.   "Laotee, pandanganmu tajam, kau mestinya dari keluarga terpelajar, mungkin ayahmu ada seorang sastrawan besar,"   Berekat tuan rumah.   "Entah siapa ayahmu itu, bolehkah aku mengetahui nama besarnya yang mulia?"   "Aku tidak mengerti apa-apa, chung-cu terlalu memuji,"   Menyahut Oey Yong.   "Ayahku cuma membuka rumah perguruan di kampung halaman."   Tuan rumah itu menghela napas.   "Orang terpelajar tak menemui nasibnya yang baik, sejak dahulu hingga sekarang sama saja,"   Katanya.   "Oey Laotee, kita ada bagaikan sahabat lama, maka itu aku ingin minta kau melukis sesuatu untukku, sebagai tanda peringatan. Sudikah kau meluluskannya?"   Oey Yong tersenyum.   "Oh, chung-cu!"   Katanya. "Coretan buruk, cuma-cuma akan membikin kotor mata chung-chu saja!"   Mengetahui orang suka meluluskan, tuan rumah menjadi sangat girang, ia suruh kacungnya lekas menyediakan perabot tulis.   Si kacung sendiri yang menggosokan baknya.   Oey Yong tidak menampik lagi, cuma berpikir sebentar, lantas ia melukiskan gambarnya seorang mahasiswa usia pertengahan lagi berdiri di latar tengah sedang berdongak sambil menghela napas memandangi si putri malam yang cahayanya terang permai, mahasiswa itu agaknya kesepian, tetapi tangannya dia memegangi gagang pedang, romannya keren.   Di samping lukisan itu dituliskan syair.   "Siauw Tiong San"   Dari Gak Hui.   Sebagai tanda tangan ia menyebutkan dirinya si anak muda she Oey.   Liok Chung-chu girang sekali, ia memuji dan mengucapkan terima kasih.   Ia senang dengan gmabar itu.   Habis bersantap, mereka kembali ke kamar tulis, akan pasang omong pula.   Tuan rumah menyebutkan halnya kedua gua Thio Kong dan Sian Koan.   Ia minta kedua tetamunya tinggal beberapa hari lagi untuk menjenguk kedua gua itu.   "Sekarang silahkan jiwi beristirahat,"   Katanya tuan rumah akhirnya.   Kwee Ceng dan Oey Yong mengucap terima kasih, mereka berbangkit, untuk mengikuti kedua bujang yang membawa lentera, yang hendak mengantar ke kamar yang telah disediakan untuk mereka.   Selagi lewat di ambang pintu, Oey Yong mendongak, maka terkejutlah ia menampak di atas pintu ada delapan lemabr besi merupakan patkwa.   Tapi ia tidak bilang suatu apa, ia mengikuti terus pengantarnya itu.   Kamar yang disediakan diperaboti lengkap, pembaringannya dua.   Kedua bujang menyediakan the, ketika hendak mengundurkan diri mereka memberitahu apabila perlu apa-apa, kedua tetamunya boleh membunyikan kelenengan, yang diikat di pinggiran pembaringan.   Kemudian mereka memesan agar diwaktu malam jangan kedua tetamunya itu pergi keluar.   "Engko Ceng, lihat, tempat apa ini,"   Berbisik Oey Yong setelah kedua bujang menutup pintu kamar dan berlalu.   "Kenapa kita dilarang keluar di waktu malam?"   "Rumah ini luas sekali pekarangannya, berliku-liku juga, mungkin dikhawatirkan kita kesasar,"   Sahut Kwee Ceng. "Bagaimana engko lihat tuan rumah kita?"   Si nona menanya pula. "Dia mirip perwira yang telah mengundurkan diri!"   Jawab si anak muda. "Tidak salah! Dia tentu mengerti ilmu silat, bahkan lihay. Kau lihat tidak tadi itu patkwa besi di atas pintu kamar tulis?"   "Patkwa besi? Apakah itu?"   Tanya si pemuda.   "Itulah senjata yang menjadi alat untuk menyakinkan ilmu Pek-khong-ciang, latihan memukul udara kosong.   Ayah pernah ajarkan aku ilmu itu, aku bosan, selang beberapa bulan, aku mengapalkannya siapa tahu, di sini aku melihat alat itu"   "Kelihatannya Liok Chung-cu tidak bermaksud jahat, maka itu apabila dia tidak membilang sesuatu apa, kita baik perpura-pura pilon."   Oey Yong tersenyum, lalu tangannya mengebas ke lilin, memadamkan api. "Tanganmu sungguh lihay!"   Kwee Ceng memuji perlahan.   "Yong-jie, adakah ini Pek-khong-ciang?"   "Cuma sebegini pelajaranku,"   Oey Yong tertawa. "Ini ada untuk main-main, buat dipakai menyerang orang, tidak dapat."   Sampai di sini, keduanya tidur.   Mereka belum puas ketika kuping mereka dapat menangkap suara bagaikan orang meniup terompet kulit keong, terdengarnya samar-samar, tandanya jauh suara itu, kemudian datang suara yang menyambutnya, tanda terompet itu dibunyikan bukan oleh satu orang.   Suara menyambut itu pun samar-samar.   "Engko Ceng, mari kita lihat,"   Oey Yong mengajak, suaranya perlahan. Ia heran sebab terompet itu terang saling sahutan. "Lebih baik kita jangan keluar, khawatir terbit gara-gara."   Sahut si pemuda. "Siapa bilang untuk menerbitkan gara-gara? Aku mengatakan untuk melihat."   Jawab si nona bersikeras.   Kwee Ceng terpaksa menurut, maka dengan berhati-hati keduanya membuka jendela, untuk melongok dulu keluar.   Di paseban terlihat beberapa orang dengan lentera, beberapa lagi pergi datang, agaknya repot.   Di atas genteng pun ada tiga empat orang lagi mendekam.   Di antara terangnya lentera, terlihat nyata orang pada membekal senjata tajam.   Tidak lama, semua orang itu pergi keluar.   Oey Yong heran, ingin ia mencari tahu, dari itu ia tarik tangan Kwee Ceng pergi ke jendela sebelah barat.   Di luar situ tidak ada orang, keduanya lompat keluar.   Kerena kegesitannya, mereka tak terlihat orang-orang di atas genting itu.   Dengan memberi tanda dengan tangannya, si nona mengajak kawannya jalan mutar ke belakang.   Jalanan di situ dari timur belok ke barat, berliku-liku.   Heran adalah setiap paseban di tikungan, modelnya sama.   Maka dalam beberapa belokan saja, tak dapat dibedakan lagi mana timur mana barat, mana selatan mana utara.   Tapi si nona lihay, ia maju terus dengan cepat, tidak pernah ia bersangsi.   Pernah nampaknya di depan tidak ada jalanan tetapi ia menobloskan gunung-gunungan.   Heran Kwee Ceng setibanya mereka di sebuah lorong yang agaknya buntu tetapi si belakangnya pintu angin nyata ada sebuah tempat tenang dan indah, hingga ia kata pada kawannya.   "Yong-jie, rumah ini aneh, cara bagaimana kau kenal jalanannya semua?"   Oey Yong tidak menjawab, dengan tangannya ia memberi tanda supaya si pemuda tutup mulut.   Mereka melalui beberapa tikungan, baru mereka tiba di tembok belakang.   Di situ si nona menekuk-nekuk tangannya, ia maju beberapa tindak, kemudian Kwee Ceng dengar ia menyebutnya perlahan.   "Cit satutun tigaie limahiu tujuhkun."   Yang ia tak mengerti, akan akhirnya si nona kata sembari tersenyum.   "Cuma di sini ada jalan keluar, yang lainnya penuh dengan alat rahasia."   Habis berkata, ia lompat naik ke tembok. Kwee Ceng lantas mengikuti. "Pekarangan ini diatur menurut patkwa,"   Oey Yong memberi keterangan.   "Inilah keahlian ayahku. Liok Chung-cu bisa menyulitkan orang lain, tidak aku!"   Dan ia agaknya puas sekali.   Keduanya naik di tanjakan bukit kecil di belakang, memandang ke arah timur, mereka mereka melihat sebarisan lentera obor yang menuju ke tepi telaga.   Oey Yong memberi tanda, ia lari ke arah timur itu, kawannya mengikuti terus.   Lantas mereka sembunyi si belakang satu batu besar, mengintai ke tepian.   Di situ berbaris perahu-perahu nelayan, orang semua menaiki itu.   Sejenak saja, semua api dipadamkan.   Oey Yong berdua menunggu naiknya rombongan paling belakang, di dalam gelap gulita mereka keluar dari tempat persembunyiannya, lari ke sebuah perahu yang paling besar, untuk lompat naik ke gubuk perahu.   Gesit dan enteng tubuh mereka, perbuatannya itu tidak ada yang ketahui.   Mereka lantas mengintai di sela-sela gubuk.   Segera ternyata, duduk di dalam perahu ada si chung-cu muda, Liok Koan Eng.   Semua perahu itu berlayar baru satu lie kira-kira, dari tengah telaga terdengar suara terompet.   Dari perahu besar itu terlihat keluar seseorang, dia terus meniup terompet sebagai balasan.   Masih perahu berlayar terus.   Selang beberapa lie lagi, terlihat di sebelah depan berbaris-baris perahu kecil berjalan bagaikan kawanan semut, atau titik-titik di atas kertas putih, entah berapa jumlahnya.   Tukang terompet di perahu besar meniup pula terompetnya, tiga kali, lantas perahu kecil segera datang menghampirkan dari perlbagai penjuru.   Oey Yong dan Kwee Ceng heran betul.   Agaknya bakal ada pertempuran, tetapi Koan Eng tetap tenang sikapnya, tak seperti ia lagi mengahadapi musuh besar.   Lekas sekali semua perahu sudah datang dekat, dari setiap perahu berlompat pindah satu orang, dua orang, tiga empat orang, tak tentu, di dalam, mereka memberi hormat kepada Koan Eng, terus mereka duduk, sikapnya tetap menghormat, duduknya rapi.   Tempat duduknya seperti sudah diatur, sebab ada yang datang duluan duduknya di belakang atau di tengah, ada yang datang belakangan justru duduk di kursi kepala.   Sebentar saja, semua sudah berduduk.   Mereka kelihatan keren, bukan seperti nelayan.   "Thio Toako, apa kabarmu?"   Tanya Liok Koan Eng seraya ia mengangkat tangannya. Ia memecahkan kesunyian setelah semua orang sudah duduk rapi itu. Seorang yang kurus tubuhnya berbangkit. Ia menyahuti.   "Peruntusan negara Kim itu sudah mengatur sebentar pagi-pagi akan melewati telaga dan Toan Cie-hui akan tiba lagi dua jam. Dengan alasan menyambut peruntusan itu, di sepanjang jalan Cie-hui itu sudah memeras harta benda. Ini pun sebabnya dia datang terlambat."   "Berapa banyak hasilnya itu?"   "Setiap kota ada bingkisannya. Serdadu- serdadunya pun merampas di perkampungan. Aku lihat, waktu turun ke perahu, pengikutnya menurunkan duapuluh peti lebih yang semua nampaknya sangat berat."   "Berapa banyak tentaranya itu?"   Koan Eng menanya pula. "Dua ribu serdadu berkuda. Yang naik perahu semuanya adalah serdadu berjalan kaki. Karena perahu tidak banyak, yang ketinggalan ada sekitar seribu jiwa."   "Saudara semua, bagaimana pikiran kamu?"   Koan Eng tanya para hadiran. "Kami menanti titah siauw chung-cu!"   Ia mendapat jawaban serempak.   Koan Eng lantas bersidakep tangan, lalu ia berkata.   "Semua itu keringat darah rakyat, semuanya harta tak halal.   Karena mereka lewat di sini, kalau kita tak ambil, kita menentang wet Tuhan! Mari kita ambil semunya, nati separuhnya kita amalkan kepada rakyat jelata, yang separuhnya kita bagi rata antara semua markas!"   "Bagus!"   Semua hadirin setuju. Baru sekarang Oey Yong berdua ketahui, semua orang itu adalah kepala-kepala perampok dan Koan Eng rupanya adalah pemimpin umumnya! "Kita tidak dapat berayal lagi, mari segera kita turun tangan!"   Pendekar Pemanah Rajawali Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo      Berkata Koan Eng lagi.   "Thio Toako, tolong bawa lima buah perahu untuk membikin penyelidikan di depan!"   Si orang kurus menerima titah itu, ia berlalu paling dulu.   Setelah itu Koan Eng mengatur barisannya, siapa yang jadi pelopor, siapa penyambut atau pembantu, siapa mesti jadi "siluman air", akan selulup di dalam air untuk memahat perahu-perahu musuh, dan siapa mesti jadi tukang angkut harta.   Bahkan ditetapkan siapa mesti membekuk si kepala pasukan musuh.   Dia kelihatan lemah tetatpi rapi pengaturannya itu.   Maka itu, Kwee Ceng berdua bertambah kagum.   Disaat orang hendak mulai berangkat, seorang hadirin berbangkit dan berkata dengan suara dingin.   "Kita yang bekerja tanpa modal ini, sudah cukup kalau kita makan dari kaum pedagang kaya raya, tetapi dengan menempur pembesar dan tentara negeri, apa selanjutnya kita masih bisa berdiam di telaga ini?"   Kwee Ceng dan Oey Yong mengawasi orang itu, ynag suaranya mereka rasa mengenalinya.   Tidak usah mereka memandang lama, lantas mereka kenali orang ini ialah Toat-pek-pian Ma Ceng Hiong, salah satu dari keempat Hong Ho Su Koay, Empat Iblis dari sungai Hong Ho, yang adalah muridnya See Thong Thian.   Maka heran mereka, kenapa iblis itu nelusup di antara kawanan dari Thay Ouw itu.   Wajahnya Liok Koan Eng menjadi merah padam.   Belum lagi ia membuka suara, sudah ada dua tiga orang yang menegur Ceng Hiong itu.   "Ma Toako baru datang, tidak heran kau tidak ketahui aturan kami di sini,"   Kata Koan Eng mencoba bersikap sabar.   "Bagi kami, satu kali semua orang sudah mengambil keputusan, kami mesti bekerja, biarnya kami semua ludas, kami tidak menyesal!"   "Baiklah!"   Kata Ceng Hiong.   "Kamu lakuan usahamu, aku tidak dapat mencampuri air keruh kamu!"   Ia terus memutar tubuhnya, berniat berlalu. Dua orang, yang tubuhnya besar, melintang di mulut perahu.   "Ma Toako!"   Kata mereka keras.   "Kau sudah bersumpah memotong kepala ayam! Sumpah kita adalah, rejeki sama dicicipi, bencana sama diderita!"   Ma Ceng Hiong tidak menggubris cegahan itu. "Minggir!"   Ia membentak, kedua tangannya dikebaskan.   Sebagai kesudahannya, dua orang tinggi besar itu roboh terpelanting.   Disaat iblis ini hendak bertindak, ia merasakan sambaran angin pada punggungnya.   Segera ia berkelit ke samping, tangan kirinya mencabut semcama pusut dengan apa ia membalas menyerang dengan tikaman.   Penyerang yang gesit itu adalah Liok Koan Eng.   Dia menangkis, kakinya dimajukan, tangan kanannya menyerang terus.   Maka "Duk!"   Punggung Ceng Hiong kena terhajar hingga dia menjerit keras, memuntahkan darah, tubuhnya terus roboh binasa seketika. "Bagus!"   Berseru semua hadirin, diantara siapa ada yang sambar tubuh Ceng Hiong itu, untuk digayor ke tengah telaga! "Semua saudara, berebutlah maju!"   Koan Eng menyerukan tanpa menghiraukan lagi apa yang ia barusan lakukan.   Semua orang menyahuti, lantas semua kembali ke perahu masing-masing.   Sebentar kemudian, semua kenderaan air itu sudah menuju ke timur.   Perahu besar Koan Eng mengiringi dari belakang.   Tidak lama terlihatlah jauh di sebelah depan beberapa puluh buah perahu besar, yang apinya terang-terang, tengah menuju ke barat.   Di antara perahu kecil lantas terdengar suara terompet keong.   Kwee Ceng dan Oey Yong memasang mata.   Mereka tidak usah menanti lama atau kedua pihak perahu sudah datang dekat satu pada lain, lanats terdengar suara bentakan-bentakan disusul mana beradunya senjata atau tubuh yang kecemplung ke muka air.   Selang tidak lama, di pihak perahu tentara terlihat api berkobar, hingga seluruh telaga menjadi merah marong.   "Tentu mereka sudah berhasil,"   Pikir Kwee Ceng berdua. Tidak seberapa lama, beberapa perahu datang mendekati perahu besar, dari dalam situ terdengar laporan.   "Semua musuh sudah musnah, kepala perangnya sudah tertawan!"   Koan Eng girang sekali, dai pergi ke kepala perahu. Dia berseru.   "Saudara-saudara, bercapai lelahlah sedikit lagi! Silahkan kamu membekuk utusan negera Kim!"   Pembawa kabar itu bersorak, mereka lantas berlalu pula, untuk menyampaikan titah itu.   Habis itu, terdengar suara terompet dari pelbagai perahu kecil, semua perahu memasang layar, menuju ke barat, bertiup keras angin timur.   Perahu besar Koan Eng, yang tadinya berada di belakang, sekarang maju mendahului ynag lain-lain, pesat sekali lajunya.   Kwee Ceng dan Oey Yong berdiam terus, mata mereka mengawasi ke depan.   Tidak peduli angin keras mendampar-dampar punggung mereka, mereka gembira sekali.   Coba tidak lagi sembunyi, tentulah si nona sudah bernyanyi.   Pula menarik akan melihat perahu-perahu kecil mencoba melombai perahu besar itu.   Berlayar kira-kira satu jam, di depan mulai tertampak cahaya terang.   Maka dua buah perahu kecil terlihat melesat mendatangi, lalu seorang dikepala salah satu perahu, dengan tangan memegang bendera merah berteriak nyaring.   "Kita sudah menemui perahu-perahu peruntusan negera Kim itu! Hoo Cecu sudah mulai menyerang!"   "Bagus!"   Koan Eng menyahuti. Lekas sekali ada datang sebuah perahu lain, seorang memberi laporan.   "Kaki tangan negera Kim itu lihay, Hoo Cecu telah terluka! Kedua cecu Pheng dan Tang tengah mengepung mereka!"   Kapan perahu itu sudah datang dekat, dua orang memanggul Hoo Cecu ynag terluka itu naik di perahu besar.   Selagi Koan Eng hendak mengeobati cecu itu, sudah lantas datang beberapa perahu lagi, yang membawa kedua cecu Pheng dan Tang yang tadi disebutkan, ynag pun telah terluka.   Pula dilaporkan yang.   "Kwee Tauwnia dari puncak Piauw Biauw Hong telah kena ditombak mati utusan negara Kim, mayatnya kecemplung ke telaga."   Mendengar itu Liok Koan Eng jadi gusar sekali. "Anjing Kim itu demikian galak, nanti aku sendiri pergi membinasakan dia!"   Ia berseru.   Kwee Ceng dan Oey Yong sesalkan kegalakan Wanyen Kang itu, yang membunuh bangsanya, dilain pihak, mereka khawatirkan kebinasaan pangeran itu, yang tentu tidak snaggup melayani kawanan perampok yang besar jumlahnya itu, hingga kalau dia mati, bagaimana jadinya dengan Bok Liam Cu "Kita tolongi dia atau jangan?"   Oey Yong berbisik. "Kita tolongi dia tetapi dia mesti dibikin insyaf dan menyesal,"   Sahut anak muda ini. Oey Yong mengangguk. Itu waktu Koan Eng sudah membawa sebuah golok yang tajam di dua mukanya, dai berlompat ke sebuah perahu kecil.   "Lekas!"   Dia berseru. "Mari kita rampas itu perahu kecil di sampingnya!"   Oey Yong mengajak kawannya.   Disaat kedua hendak berlompat, tiba-tiba tempik sorak riuh kawanan perampok, kemudian tertampak perahu-perahu rombongan perutusan Kim itu pada karam.   Rupanya perahu mereka itu telah dipahat bolong dasarnya.   Kemudian, dengan bendera merahnya dikibar-kibarkan, dau perahu datang melapor.   "Anjing Kim itu kecemplung di air. Dia sudah dapat dibekuk!"   Koan Eng girang, dia berlompat kembali ke perahu besar.   Tidak lama, di antara berisiknya terompet, sejumlah perahu kecil datang membawa orang-orang tawanan mereka ialah si utusan Kim, sekalian pahlawan dan pengiringnya, semua sudah lantas digusur naik ke perahu besar.   Kwee Ceng dan Oey Yong mendapatkan Wanyen Kang dibelebat kaki tangannya, matanya meram saja, rupanya ia telah kena tenggak banyak air telaga.   Kebetulan itu sang fajar telah tiba, seluruh telaga mulai terang tertojohkan matahari dari timur, air telaga bersinaran, memain seperti berlugat-legotnya ular-ular emas.   Liok Koan Eng telah memberikan pengumumannya; "Semua cecu berkumpul di Kwie-in-chung untuk berjamu! Semua tauwnia pulang ke markas, untuk menanti hadiah!"   Kaum perampok bersorak-sorai, lantas tertampak mereka berpencaran, lenyap di kejauhan.   Dimuka telaga terlihat burung-burung melayang-layang, pula terlihat layar-layar putih.   Segala apa tenang sekali, hingga orang tidak nanti menyangka bahwa baru saja dilakukan pertempuran mati hidup.   Kwee Ceng berdua menantikan orang sudah pada ke darat, baru dengan diam-diam mereka pun pulang, untuk berpura-pura tidur.   Beberapa kali dua bujang pelayannya datang ke pintu kamar, mereka ini menyangka tetamunya sedang tidur nyenyak bekas letih pesiar kemarin, mereka tidak berani mengasih bangun.   Lewat lagi sesaat barulah Kwee Ceng berdua membuka pintu.   Lantas mereka diberi selamat pagi oleh kedua pelayannya, yang pun cepat menyediakan sarapan pagi seraya memberitahukan bahwa chung-cu menantikan di kamar tulis.   Keduanya menangsal perut sekedarnya, kemudian mereka pergi ke kamar tulis, di mana Liok Chung-cu sambil berduduk di pembaringan, menyambut sambil tertawa;   "Angin besar di telaga, semalam gelombang mendampar-dampar gili-gili mengganggu orang tidur! Apakah semalam jiwi dapat tidur nyenyak?"   Kwee Ceng jujur, pertanyaan itu membuat ia bungkam, tetapi Oey Yong menyahuti.   "Tadi malam aku mendengar suara terompet kulit keong, rupanya paderi atau imam tengah membaca doa."   Tuan rumah tertawa. Lantas ia mengatakan ingin ia memperlihatkan kumpulan gambar lukisannya kepada kedua tetamunya. "Tentu suka sekali kami melihat,"   Berkata Oey Yong.   "Pasti itu ada lukisan-lukisan yang sangat indah."   Liok Chung-cu menyuruh kacungnya mengambil gambarnya itu, maka sebentar kemudian Oey Yong sudah memandang menikmatinya.   Selagi hatinya sangat ketarik, mendadak Oey Yong mendengar bentakan-bentakan disusul berlari-larinya beberapa orang, seperti seorang lari dikejar beberapa orang.   Satu kali terdengar nyata bentakan.   "Kalau sudah masuk ke dalam Kwie-in-chung, untuk kabur dari sini lebih sukar daripada mendaki langit!"   Diam-diam Oey Yong melirik tuan rumah, ia mendapat kenyataan orang tenang seperti biasa, bagaikan dia tidak mendengar apa-apa, bahkan ia menanya, dari empat sastrawan besar di jamannya itu, tulisan siapa yang tetamunya paling digemari.   Selagi Oey Yong hendak memberikan jawabannya, tiba-tiba pintu kamar ada yang tabrak, seorang nerobos masuk, pakaian orang itu basah kuyup.   Ia lantas mengenali Wanyen Kang, maka ia tarik Kwee Ceng seraya membisiki.   "Lihat gambar, jangan pedulikan dia"   Keduanya segera tunduk, terus mengawasi gambar-gambar lukisan serta perlbagai tulisan.   Tuan rumah mengawasi orang yang nerobos masuk itu.   Orang itu memang Wanyen Kang adanya.   Dia tertawan karena ia kecemplung dan kena meminum banyak air.   Tempo dia mendusin, dia mendapatkan kaki tangannya terbelenggu, dan Liok Koan Eng hendak memeriksa dia.   Segera dia mengerahkan tenaganya, sekali berontak, dia membuatnya belenggunya pada putus.   Orang semua kaget, lantas mereka bergerak untuk menangkap.   Dia membuka kedua tangannya, dua orang yang terdekat terpelanting roboh.   Dia terus nerobos, untuk lari.   Tapi Kwie-in-chung diatur menurut kedudukan patkwa, siapa tidak ketahui itu, jangan harap ia dapat lolos.   Demikian dia lari tanpa tujuan sambil dikejar-kejar, sampai ia menabrak justru pintu kamar tulis.   Liok Koan Eng tidak berkhawatir orang lolos, tetapi melihat orang tawanan masuk ke kamar ayahnya, khawatir ayahnya nanti diserang, dia lompat untuk menghalang di depan ayahnya itu.   Di muka pintu segera terlihat sejumlah cecu berdiri menghalang.   Dalam kesusu dan bingung seperti itu, Wanyen Kang tidak dapat memperhatikan Oey Yong berdua, dia menuding Liok Koan Eng dan menegor.   "Perampok sangat jahat, kau sudah menggunai akal busuk membocorkan perahu! Tidakkah kamu khawatir ditertawakan kaum kangouw?!"   Koan Eng tertawa lebar.   "Kau putra raja Kim, perlu apa kau menyebut-nyebut dua huruf kangouw itu?"   Ia membaliki. "Selama di Pakhia aku telah mendengar nama besar kaum kangouw di Selatan,"   Berkata Wanyen Kang berani.   "Buktinya hm ternyata hari ini kamu hanya." "Hanya apa?!"   Koan Eng memotong. "Hanya kamu kaum hina dina yang pandai mengandalkan orang banyak!"   Pendekar Pemanah Rajawali Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo   Sahut pangeran muda iru. Koan Eng gusar sekali dihina secara demikian. Ia muda tetapi ialah kepala untuk kaum Rimba Persilatan di Kanglam. Ia kata.   "Kau ingin bertempur satu sama satu, baru kau mampus tidak menyesal?"   Inilah jawaban yang diharap Wanyen Kang. Memang ia sengaja memancing amarah orang. Maka ia kata;   "Kalau orang Kwie-in-chung ada yang sanggup mengalahkan aku, aku akan mandah dibelenggu, tidak nanti aku membilang suatu apa. Siapa yang hendak memberikan pelajaran kepadaku?!"   Ia pun bersikap temberang, matanya menyapu semua orang, kedua tangannya digendong di belakangnya.   Kata-kata tersebut itu membangkitkan amarah Cio Cecu dari puncak Bok Lie Hong, juga aseran tabiatnya, maka ia lantas majukan dirinya, malah segera dia menyerang dengan kedua tangannya.   Wanyen Kang berkelit, membikin serangan jatuh di tempat kosong, berbareng dengan itu, kedua tangannya bekerja.   Tangan kanan menyambar ke baju di punggung, tangan kiri membantui, maka tubuh cecu itu lantas terangkat, terus dilemparkan ke arah kawan-kawannya di ambang pintu! Koan Eng terkejut.   Orang lihay, mungkin tidak ada cecu lawannya.   "Tuan, kau benar lihay!"   Katanya.   "Aku ingin meminta pengajaran beberapa jurus dari kau, mari kita pergi ke thia!" Tuan rumah yang muda ini berkata demikian sebab ia duga pertandingan mesti hebat, di dalam kamar tulis itu ia khawatir nanti melukai ayahnya serta kedua tetamunya itu yang tidak mengenal ilmu silat "Untuk pibu, di manapun sama saja!"   Kata Wanyen Kang jumawa.   "Apakah halangannya di sini? Silahkan cecu memberi pengajaranmu!"   Koan Eng terpaksa, tapi ia berlaku tenang.   "Baik!"   Katanya.   "Kau tetamu, kaulah yang mulai!"   Wanyen Kang benar lihay. Mendadak ia ulur tangan kirinya, mengancam, disusul sama dengan tangan kanannya, menjambak baju orang. Ia sudah lantas menggunai jurus dari Kiu Im Pek-kut Jiauw. "Bocah kurang ajar, tahukah lihaynya chung-cu kamu!"   Kata Koan Eng di dalam hatinya.   Ia tidak berkelit, ia cuma mengkeratkan tubuhnya sedikit, untuk meluncurkan tangan kanannya menghajar lengan orang, sedang dua jari dari tangan kirinya menyambar ke sepasang mata.   Wanyen Kang pun terperanjat mengetahui orang lihay.   Inilah ia tidak sangka.   Ia lantas menarik pulang kedua tangannya, ia mundur setengah tindak, untuk memutar tangan menankap lengan lawan.   Tapi Koan Eng dapat membebaskan diri.   Melihat lihaynya tuan rumah, Wanyen Kang tidak berani memandang enteng.   Maka ia berkelahi dengan sungguh-sungguh.   Koan Eng itu sebenarnya ada murid kesayangan dari Kouw Bok Taysu dari kuil Kong Hauw Sie di Liman, ia pandai Gwa-kang yaitu ilmu luar Hoat Hoa Cong.   Ia pun mengetahui orang lihay, ia bersilat dengan hati- hati.   Ia tidak kasih tubuhnya dijambak.   Untuk Gwa-kang, kaum Gwa-kee, ialah ahli luar, ada pribahasa.   "Kepalan tiga bagian, kaki tujuh bagian", atau lagi.   "Tangan ialah kedua daun pintu, mengandal kaki menendang orang,"   Maka itu, Koan Eng bersilat mengaandal pada pribahasa itu.   Hebat pertarungan ini, sampai seratus jurus lebih belum ada yang menang atau kalah, Kwee Ceng dan Oey Yong diam-diam memuji Koan Eng demikian lihay.   Setelah bertempur lama, hati Wanyen Kang gentar.   Ia tahu, ia terkurung dan lama-lama ia bisa kehabisan tenaga, kalau ia mesti banyak menempur banyak musuh bergantian, celakalah dirinya.   Ia pun sebenarnya masih lemah bekas disebabkan menenggak terlalu banyak air.   Karena itu, ingin ia lekas mengakhirkan pertandingan itu, untuk menyingkirkan diri.   Lewat lagi beberapa jurus, Koan Eng merasa ia keteter.   Musuh telah mendesak sangat.   Satu kali ia terlambat, pundakny akena terhajar.   Tidak tempo lagi ia terhuyung mundur.   Wanyan Kang merangsak, untuk memberikan hajaran terakhir.   Justru ia maju, justru kaki kiri tuan rumah meleset ke arah dadanya.   Itulah dupakan "Kaki jahat"   Yang ebrbahaya sekali.   Wanyen Kang tidak menyangka selagi terhuyung musuh dapat mendupak, ia ketahui itu sesudah kasep, dadanya kena terhajar kaki musuhnya itu.   Ia lantas menrasakan dadanya itu sakit.   Tapi ia tidak menyerah dengan begitu saja.   Ia membalas dengan membareng menotok betis dengan lima jeriji kiri dan tangan kanannya dipakai menolak dengan keras seraya ia berseru.   "Pergilah!" Koan Eng berdiri dengan sebelah kaki, tidak heran kalau ia kena tertolak hingga mental ke arah pembaringan ayahnya, disaat tubuhnya bakal membentur pembaringan, mendadak Liok Chung-cu mengulur tangan kirinya menahan punggungnya, lalu dengan perlahan tubuhnya dikasih turun. tapi ayah itu terkejut melihat betis anaknya mengucurkan darah. "Kurang ajar!"   Ia berseru.   "Pernah apa kau dengan Hek Hong Siang Sat?!"   Tanggapan dan seruan itu membikin heran semua orang tidak terkecuali Koan Eng sendiri, anaknya.   Sebab anak ini semenjak kecil ketahui ayahnya sudah bercacad kedua kakinya, setiap hari ayah itu berdiam di kamar tulis saja berteman dengan alat tetabuhan khim, gambar dan kitab.   Ia juga heran merasakan tanggapan ayah itu kepada tubuhnya.   Tapi masih ada juga orang yang tidak heran, mereka ini ialah Oey Yong dan Kwee Ceng.   Si nona karena ia melihat besi patkwa di pintu dan si pemuda karena mendengar keterangan kekasihnya.   Wanyen Kang melengak ditanyakan halnya Hek Hong Siang Sat.   "Makhluk apa Hek Hong Siang Sat itu?"   Ia balik menanya. Ia telah diajari silat oleh Bwee Tiauw Hong tetapi Tiauw Hong tidak pernah memberitahukan asal usul dan she serta namanya. "Jangan berlagak pilon!"   Membentak pula Liok Chung-cu.   "Siapa yang ajarkan kau itu ilmu Kiu Im Pek-ku Jiauw ynag jahat?!"   Wanyen Kang bernyali besar.   "Tuan kecilmu tak sempat ngobrol denganmu, maaf tak dapat aku menemani kau!"   Katanya seraya ia memutar tubuh, bertindak ke arah pintu. Semua cecu gusar, mereka mengangkat golok merintangi. "Bagaimana kata-katamu?!"   Wanyen Kang menoleh kepada Koan Eng, romannya bengis."   Kata-katamu berharga atau tidak?!"   Muka Koan Eng pucat. Ia mengangkat tangannya. "Kami kaum Thay Ouw bangsa terhormat!"   Katanya. "Saudara-saudara, lepaskan ia pergi! Thio Toako, tolong antar ia keluar!"   Semua cecu itu tidak puas tetapi mereka tidak berani membantah pemimpinnya itu. Thio cecu pun sudah lantas membentak.   "Mari turut aku! Sendiri saja tidak nanti kau menemani jalanan bocah!"   "Mana sekalian siwi dan pengiringku?"   Wanyen Kang tanya. "Mereka semua pun dimerdekakan!"   Menyahut Koan Eng. Pangeran itu menunjuki jempolnya.   "Bagus, benar kau satu kuncu! Nah, sekalian cecu, sampai bertemu pula di belakang hari!"   Ia memutar tubuh untuk memberi hormatnya, romannya sangat puas. "Tunggu dulu!"   Chung-cu tua membentak selagi orang hendak mengangkat kaki. Wanyen kang segera menoleh.   "Bagaimana?!"   Tanya ia. "Aku si orang tua bodoh, ingin aku belajar kenal dengan Kiu Im Pek-ku Jiauwmu!"   Menyahut tuan rumah yang tua ini. "Bagus! Bagus!"   Tertawa Wanyen Kang, sedang orang lainnya terperanjat. Koan Eng sangat berbakti, ia terkejut tetapi ia lantas menceagh.   "Ayah, jangan layani binatang ini!"   Katanya. "Jangan khawatir!"   Berkata si ayah itu.   "Aku lihat belum sempurnya kepandaiannya itu."   Ia mengawasi dengan tajam kepada pangeran itu, lalu berkata pula. "Kakiku sakit, aku tidak dapat berjalan. Kau maju ke mari!"   Wanyen kang tertawa, tetapi ia tidak menghampirkan. Koan Eng habis sabar, meskipun kakinya sakit, ia tidak mau membiarkan ayahnya bertempur, maka ia lompat maju sambil berkata;   "Hendak aku mewakilkan ayahku meminta pengajaran beberapa jurus dari kau!"   "Bagus, mari kita berlatih pula!"   Tertawa Wanyen Kang. "Anak Eng, mundur!"   Mendadak Liong Chungcu berseru, sambil berseru tangan kanannya menekan pinggiran pembaringan, hingga tubuhnya mencelat maju, berbareng dengan mana dengan tangan kiri ia menyerang ke arah embun-embun si pangeran.   Semua orang terkejut, mereka berseru.   Wanyen Kang tidak takut, ia menangkis.   Tapi kesudahannya ia kaget bukan main.   Ketika kedua tangan beradu, ia merasa tangan kanannya terpegang keras, menyusul mana, tangan kanan si orang tua menyambar bahunya.   Ia lantas menangkis seraya berontak untuk melepaskan tangan kanannya itu dari cekalan lawan.   Tubuh Liok Chungcu tidak turun ke lantai, tubuh itu berdiam mengandal tenaga lengan si pangeran, yang ia terus mencekalnya dengan keras, tangan kanannya menyerang pula, beruntun hingga lima enam kali.   Wanyen Kang repot menangkis, ia berontak tapi siasia saja.   Ia mencoba menendang dengan kaki kirinya, juga tidak ada hasilnya.   Melihat itu, para cecu heran dan girang.   Semua mengawasi pertempuran ynag luar biasa itu, yang hebat sekali.   Lagi sekali tangan kanan Liok Chungcu menyerang.   Wanyen Kang menggunai lima jarinya, untuk membabat tangan lawan, atau mendadak lengan si orang tua ditekuk, sikutnya menggantikan menyerang, tepat mengenai jalan darah kinceng-hiat.   Pangeran itu kaget, ia merasakan tubuhnya seperti mati separuh hingga gerakannya menjadi lambat, karenanya, tangan kirinya lantas kena ditangkap lawannya, bahkan dengan suara meretek, sambungan tangannya kena dibikin terlepas! Liok Chungcu benar-benar sebat, ia mengandali kedua tangannya saja, dapat ia bergerak dengan lincah.   Kembali tangan kirinya menyerang, menyambar ke pinggang orang, berbareng dengan mana, cekalan tangan kanannya dilepaskan, tangan itu dipakai menekan pundak si pangeran, maka pesat sekali ia mencelat balik ke pembaringannya di mana ia bercokol pula dengan tetap dan tenang.   Bab 28.   Ular-Ular Pada Menari Koan Eng lompat ke depan pembaringan.   "Ayah, kau tidak apa-apa?"   Ia menanya. Ayahnya itu tertawa.   "Binatang ini benar-benar lihay!"   Katanya.   Dua tauwnia sudah lantas maju, untuk membelenggu kaki dan tangan Wanyen Kang.   "Dalam kantongnya perwira she Toan yang ditawan itu ada beberapa borgolan tembaga, itu dapat dipakai untuk membelenggu binatang ini, coba kita lihat, dia dapat berontak lagi atau tidak!"   Berkata Thio Cecu. "Bagus!"   Sahut beberapa orang, diantaranya ada yang lantas pergi lari, untuk mengambil borgolan itu, maka dilain detik, pangeran itu sudah diborgol tangan dan kakinya.   "Mereka sediakan ini untuk menyusahkan rakyat jelata, sekarang biarlah ia yang mencicipi sendiri!"   Kata Liok Chungcu dengan tertawa. Wanyen Kang bermandikan peluh pada dahinya, ia menahan sakit, ia tidak mengeluh atau merintih. "Bawa dia kemari!"   Kata Liok Chungcu, yang tahu orang kesakitan.   Dua tauwnia menggotong pangeran itu dekat kepada tuan rumah.   Liok Chungcu menotok tulang punggung serta dada kiri di beberapa tempat, setelah mana hilang rasa sakitnya Wanyen Kang, hingga pangeran itu mendongkol berbareng heran.   Katanya dalam hatinya.   "Gerakan tangannya orang ini sama dengan gerakan tangannya suhu, mungkinkah mereka daa hubungan satu sama lain?"   Tapi belum sempat ia bicara, Koan Eng sudah suruh orang bawa ia ke tempat tahanan.   Semua cecu pun pada lantas mengundurkan diri.   Pendekar Pemanah Rajawali Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo      Baru setelah itu, Kwee Ceng dan Oey Yong memutar tubuhnya.   Semenjak tadi mereka berdiam saja, melainkan secara diam-diam mereka melirik.   "Anak-anak gemar berkelahi, jiwi tentu menertawakan mereka,"   Kata Liok Chungcu kepada tetamunya. "Siapa dia itu?"   Tanya Oey Yong. Dia membawa sikap wajar.   "Apakah dia telah mencuri disini, maka chungcu menjadi gusar sekali?"   Di dalam hatinya, nona ini semakin curiga. Gerakan tangan dan totokannya tuan rumah ini sama dengan pelajarannya sendiri. Chungchu itu tertawa.   "Benar, dia telah mencuri tidak sedikit barang kami!"   Sahutnya.   "Mari, mari kita melihat gambar-gambar dan kitab, jangan kegembiraan kita diganggu pencuri itu."   Koan Eng sudah mengundurkan diri juga, maka dikamar tulis itu mereka tetap berada bertiga, tapi yang berbicara adalah tuan rumah dan Oey Yong berdua, Kwee Ceng tidak mengerti hal kitab dan gambar, pemuda itu tertarik sama huruf-huruf yang coret-coretannya tajam mirip dengan gerakan pedang.   Meski begitu ia berdiam saja.   Bukankah mereka toh sudah berpura-pura tidak mengerti silat? Habis bersantap tengah hari, Liok Chungcu perintah kedua bujangnya mengantarkan kedua tetamunya pesiar kedua gua Thio Kong dan Sian Kong seperti ia telah menjanjikan.   Kedua gua itu kesohor untuk pemandangan alamnya yang indah.   Sampai sore baru mereka kembali dengan merasa senang.   "Bagaimana, Yong-jie, kita tolongi dia atau jangan?"   Tanya Kwee Ceng disaat mereka hendak masuk tidur. "Kita baik tinggal dulu di sini beberapa hari,"   Sahut si nona.   "Kita masih belum ketahu jelas tentang tuan rumah kita ini."   "Ilmu silatnya sama dengan ilmu silatmu,"   Kwee Ceng memberitahukan. Oey Yong berpikir.   "Inilah anehnya,"   Katanya. "Mungkinkah ia kenal Bwee Tiauw Hong?"   Keduanya tidak dapat menerka.   Mereka pun khawatirkan tembok ada kupingnya, lantas mereka memadamkan api dan tidur.   Pada tengah malama, keduanya mendusin karena kuping mereka mendengar suara perlahan di atas genting.   Keduanya lantas lompat bangun, untuk menghampirkan jendela.   Begitu mereka mementang daun jendela, mereka menampak berkelebatnya satu bayangan orang, yang terus bersembunyi di antara pohon-pohon bunga mawar.   Setelah celingukan, orang itu bertindak ke timur, hati-hati itu sekali sikapnya, menandakan ia bukannya salah seorang penghuni rumah.   Oey Yong menarik tangan Kwee Ceng, keduanya lompat keluar dari jendela, untuk menguntit bayangan itu.   Mereka bisa lantas bekerja karena tadi, diwaktu masuk tidur, mereka tidak membuka pakaian luar.   Belasan tindak kemudian, diantara cahya bintang-bintang, kelihatan nyata bayangan itu adalah seorang nona, yang ilmu silatnya lumayan juga.   Kerana ini Oey Yong bertindak mendekati,.   Tepat orang itu menoleh, ia lantas mengenali Bok Liam Cu.   Ia lantas saja tersenyum.   Di dalam hatinya ia berkata.   "Bagus, kau hendak menolong kekasihmu! Hendak aku melihat, bagaimana caramu bertindak!"   Bok Liam Cu jalan pergi datang di taman itu, lalu dilain saat ia tersesat jalan.   Oey Yong sebaliknya kenal taman itu, yang diatur menurut patkwa.   Inilah keistimewaannya Oey Yok Su, ayahnya.   Tentang patkwa ini, ayahnya telah mengajari padanya.   Jadi taman ini diatur menurut barisan rahasia Pat-kwa-tin.   "Dengan caramu ini berjalan, sampai seratus tahun pun tidak nanti kau dapat cari kekasihmu itu,"   Kata Oey Yong dalam hatinya. Tapi ia hendak membantu. Maka ia memungut segumpal tanah, ia menimpuk.   "Ambil jalan ke sana!"   Ia menunjuki, suaranya perlahan, ia sendiri bersembunyi di belakang pohon.   Nona Bom terperanjat.   Ia menoleh, ia tidak melihat siapa juga.   Ia pun bercuriga dan bersangsi.   Lantas ia melompat ke arah darimana timpukan datang.   Tentu sekali Oey Yong telah lenyap.   "Entah ia bermaksud baik atau jahat, tapi baiklah aku turuti pengunjukannya,"   Kemudian nona Bok berpikir.   Ia terus pergi ke kiri.   Lalu habis itu, setiap ia bersangsi, ada timpukan tanah yang memberi petunjuk padanya.   Ia telah berjalan berliku-liku, sampai mendadak ada timpukan yang jauh, yang bersuara di jendelanya sebuah kamar yang di depannya.   Berbareng dengan itu, dua bayangan berkelebat dan lenyap.   Cerdas Liam Cu, segera ia lari menghampiri jendela itu, jendela dari sebuah rumah kecil.   Setibanya di depan rumah itu, dua orang lelaki tergeletak di tanah, matanya mereka mengawasi dia.   Mereka itu masih mencekal senjata, tapi tak dapat bergerak.   Terang sudah mereka itu adalah korban-korban totokan di jalan darah.   "Pasti ada orang pandai yang membantu aku,"   Berpikir Liam Cu. Ia masuk ke dalam rumah itu, kuping dan matanya dipasang. Segera ia mendapat dengar suara orang bernapas. "Engko Kang!"   Ia memanggil perlahan.   "Kau!"   "Ya, aku!"   Ada jawaban untuk itu.   Itulah suara Wanyen Kang, yang sadar sebab barusan mendengar suara tubuh roboh di luar rumah.   Dia memang lagi memasang kuping.   Dia kenali suara si nona.   Dalam gelap gulita, Liam Cu segera menghampirkan.   "Ada dua orang pandai yang membantu aku, enath siapa mereka itu,"   Kata nona ini.   "Mari kita pergi!"   "Apakah kau membawa golok pedang mustika?"   Tanya pangeran itu. "Kenapa?"   Balik tanya si noa. Wanyen Kang tidak menjawab, ia hanya perdengarkan suara borgolan. Liam Cu mengerti, ia menjadi sangat masgul. "Menyesal pisau belati mustikaku itu telah aku berikan pada adik Oey,"   Ia menyesalkan diri. Oey Yong dan Kwee Ceng yang tetap bersembunyi, mereka dapat dengar suara si nona. Di dalam hatinya, nona Oey berkata.   "Sebentar akan aku serahkan pisau mustika itu."   "Nanti aku pergi curi kunci borgolnya!"   Kata Liam Cu akhirnya. Ia bingung dan berkhawatir. "Jangan pergi, adik!"   Wanyen Kang mencegah. "Orang disini lihay, percuma kau pergi."   "Bagaimana kalau aku gentong kau?"   Tanya si nona. "Tidak dapat, orang ikat aku pada tiang."   Jawab sang pangeran. "Habis bagaimana?"   Tanya si nona lagi. Lalu terdengar suara menangis perlahan dari nona itu. "Mari kau dekati aku."   Kata Wanyen Kang tertawa. Liam Cu membanting kaki.   "Orang tengah bergelisah, kau masih bisa bergurau!"   Tegurnya. "Siapa bergurau?"   Wanyen Kang masih tertawa. "Aku omong sebenarnya."   Liam Cu tidak memperdulikannya, ia mengasah otaknya. "Kenapa kau ketahui aku berada disini?"   Wanyen Kang tanya kemudian. "Aku mengikuti kau terus-menerus"   Jawab si nona perlahan. "Oh, adik, kau baik sekali."   Suara Wanyen Kang agak tergerak.   "Mari kau dekati aku, kau menyender di tubuhku, hendak aku bicara."   Liam Cu menjatuhkan diri dan duduk, ia menurut. "Aku adalah utusan negeri Kim, tidak nanti mereka berani lancang membunuh aku,"   Berkata Wanyen Kang.   "Hanya dengan tertahan di sini, pastilah gagal urusan tentara dari ayahku. Aku bingung.Adik, baiklah kau tolongi aku?"   "Bagaimana?"   Tanya si nona. "Di leherku ada cap emas, kau loloskan itu."   Liam Cu menurut. "Inilah cap perutusan,"   Wanyen Kang memberitahukan.   "Sekarang kau lekas pergi ke Liman, di sana kau menemui Soe Mie Wan, itu perdana menteri kerajaan Song."   Nona Bok terkejut. "Aku seorang wanita biasa, cara bagaimana perdana menteri itu dapat menemui aku?"   Tanyannya. "Kalau ia melihat cap ini, apsti ia repot sekali menyambut kau!"   Kata Wanyen Kang tertawa.   "Kau beritahu padanya bahwa aku ditawan perampok di Thay Ouw ini, hingga karenanya tidak dapat aku datang padanya. Kau pesan apabila ada utusan Mongolia yang datang, suruh ia jangan menerimanya hanya segera bunuh saja si utusan itu!" "Eh, kenapa begitu?"   Si nona menanya heran.   "Inilah urusan besar dari tentara dan negera, dijelaskan pun kau tidak bakal mengerti! Pergi kau sampaikan pesanku ini kepada perdana menteri itu, itu artinya kau sudah mewakilkan aku melakukan satu pekerjaan yang besar.   Jikalau utusan Mongolia itu keburu sampai dan dapat bicara dengan raja Song, itu artinya kerugian besar bagi kami negara Kim."   "Apa itu negara Kim?"   Liam Cu tanya.   "Aku adalah rakyatnya kerajaan Song! Sebelum kau omong jelas, tidak bisa aku bekerja". "Bukankah nanti kau bakal menjadi permaisuri di negara Kim?"   Sembari berbicara, Wanyen Kang tersenyum. "Ayah angkatku ialah ayahmu sejati, adalah orang Han. Apakah kau benar-benar sudi menjadi raja Kim?"   Tanya Liam Cu.   "Aku cuma tahu, cuma."   "Kenapa?"   Wanyen Kang memotong. "Sampai sebegitu jauh aku pandang kau sebagai orang pintar dan gagah,"   Kata Liam Cu.   "Dan aku menyangka kau berpura-pura saja menjadi pangeran, bahwa kau lagi menantikan ketikanya yang baik untuk berbuat sesuatu guna kerajaan Song! Kau benar-benarkah hendak mengakui musuh sebagai ayahmu!"   Wanyen Kang bediam. Ia dapat mendengar suara lagu orang berubah, kata-katanya seperti macet di tenggorokan. Itulah tandanya orang gusar dan menyesal. Maka ia berdiam. "Negara yang indah dari kerajaan Song telah separuhnya dirampas orang asing!"   Berkata pula Liam Cu.   "Dan rakyat kita bangsa Han telah ditangkap-tangkapi, dibunuh dan dianiaya! Mustahilkah kau sendiri juga tidak memikirkan itu? Kau.kau.."   Berhenti si nona berbicara, ia lemparkan cap ke tanah, sambil menutup muka, ia bertindak pergi. Wanyen Kang terkejut, segera ia memanggil "Adik, aku salah!"   Katanya, memanggil.   Pendekar Pemanah Rajawali Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo   "Mari kembali!"   Liam Cu berhendti bertindak, ia berpaling.   "Mau apa kau?!"   Ia tanya. "Tunggulah sampai aku sudah lolos dari sini, aku akan tak lagi menjadi utusan negeri Kim,"   Berkata Wanyen Kang.   "Aku juga tidak akan kembali ke negera Kim itu, hanya bersama kau, aku akan hidup menyepi sebagai orang tani, supaya kita bisa hidup bersama dengan tenang dan berbahagia."   Ona Bok menghela napas, ia berdiri menjublak.   Semenjak pibu, ia sudah pandang Wanyen Kang sebagai pemudanya yang paling gagah.   Bahwa Wanyen Kang tidak hendak mengakui ayahnya sendiri, ia masih menyangka pada itu ada sebabnya.   Ia pun menduga orang menjadi utusan negara Kim karena ada suatu maksud tersembunyi, guna nanti melakukan suatu usaha besar untuk kerajaan Song.   Tapi siapa tahu, sekarang sia-sia saja pengharapannya itu.   Ia dapatkan kenyataan orang hanya satu manusia sekakar, yang kemaruk sama harta dan kemuliaan.   "Adikku, kau kenapa?"   Wanyen Kang tanya. Liam Cu berdiam. "Memang ibuku membilangi aku bahwa ayah angkatmu adalah ayahku yang sejati,"   Wanyen Kang berkata pula.   "Sayang sebelum aku menanya dengan jelas, keduanya mereka sudah menutup mata, karenanya sampai sekarang aku jadi ragu-ragu.."   Pikiran Liam Cu tergerak juga. "Kalau ia belum mengetahui jelas, ia dapat diberi maaf"   Pikirnya. Lalu ia berkata.   "Sekarang kau jangan sebut lagi hal aku harus pergi kepada perdana menteri Song untuk membawa capmu ini. Hendak aku mencari adik Oey untuk minta pisau mustika guna menolongi kau"   Oey Yong mendengar itu semua, kalau tadinya ia hendak menyerahkan pisaunya, segera ia menubah maskdunya.   Ia benci mendengar Wanyen Kang hendak berbuat sesuatu untuk tentara Kim.   Ia pikir.   "Baiklah aku membiarkan dia tertutup lagi beberapa hari di sini."   Ayahnya memang membenci sekali negera Kim itu. "Taman ini aneh jalannya, kenapa kau ketahui jalanannya itu?"   Kemudian Wanyen Kang menanya. "Ada seorang pandai yang memberi petunjuk padaku,"   Sahut Liam Cu.   "Dia menyembunyikan diri, aku belum tahu siapa dia."   Wanyen Kang mengasih dengar suara tidak tegas. "Adikku,"   Katanya pula.   "Kalau lain kali kau datang pula, mungkin kau kepegrok penghuni rumah ini. Kalau benar kau hendak menolongi aku, pergi kau cari satu orang"   "Aku tidak sudi mencari perdana menteri she Soe itu!"   Memotongi si nona. "Bukannya Soe Sinsiang, hanya guruku,"   Wanyen Kang memberi tahu "Oh"   Si nona terhenti suaranya. "Kau pergi membawa ikat pinggangku ini,"   Wanyen Kang berkata pula.   "Di gelang emasnya ikat pinggang itu kau ukir kata-kata. Wanyen Kang dapat susah di kwie-in-chung di tepi telaga Thay Ouw Tigapuluh lie di utara kota Souwciu ada sebuah bukit belukar, di sana kau cari sembilan buah tengkorak yang bertumpuk menjadi satu. Satu di atas, tiga di tengah dan lima di bawah. Ikat pinggangku ini, kau letakkan di bawah tenggorak itu. Liam Cu heran.   "Untuk apakah itu?"   Ia menanya. "Guruku itu telah buta kedua matanya,"   Wanyen Kang memberi keterangan.   "Kalau ia dapat memegang ikat pinggang itu serta gelang emasnya, lantas ia bakal dapat mencari aku. Setelah meletaki ikat pinggang itu, jangan kau berlambat, kau mesti lekas-lekas mengangkat kaki. Aneh tabiat guruku, apabila ia mendapatkan ada orang di dekat tumpukan tengkorak itu, mungkin ia akan membunuhmu. Guruku lihay, pasti dia bakal dapat menolongi aku. Kau tunggui saja aku di kuil Hian Biauw Koan di kota Souwciu."   "Kau bersumpah dulu, bahwa kau tidak akan akui pula bangsat menjadi ayah dan tidak menjual negara ini untuk mencelakai rakyat!"   Berkata si nona. Mendengar itu, Wanyen Kang menjadi tidak senang. Ia kata.   "Setelah urusanku beres, sudah tentu aku akan bertindak menurut kata hatiku yang benar. Sekarang kau memaksa aku mengangkat sumpah, apakah mau?!"   Liam Cu lemah hatinya.   "Baik, aku akan pergi menyampaikan warta!"   Bilangnya. Ia meloloskan ikat pinggang si anak muda. "Adikku, kau hendak pergi sekarang?"   Kata Wanyen Kang.   "Mari, adik!"   "Tidak!"   Kata si nona yang bertindak ke pintu. "Aku khawatir belum lagi guruku datang menolongi aku, mereka sudah keburu membunuh aku,"   Kata pula Wanyen Kang.   "Maka itu untuk selama-lamanya aku tidak bakal melihat pula padamu"   Liam Cu menjadi lemah hatinya. Ia kembali, ia senderkan tubuhnya dalam rangkulan pangeran itu. Ia pasrah. Kemudian, mendadak ia berkata dengan keras.   "Di belakang hari, jikalau kau tidak menjadi orang baik-baik, aku bakal mati di hadapanmu!"   Inilah Wanyen Kang tidak sangka, maka itu, ia menjadi melengak.   Liam Cu berlompat bangun, untuk berlalu.   Oey Yong sudah lantas menunjuki pula jalan secara diam-diam seperti tadi, maka setibanya di kaki tembok, Liam Cu bertekuk lutut, mengangguk tiga kali, katanya.   "Oleh karena cianpwee tidak sudi memperlihatkan diri, biarlah aku memberi hormatku ke udara saja."   "Oh, itulah aku tidak berani terima!"   Terdengar satu suara halus dibarengi sama tertawa geli.   Liam Cu segera mengangkat kepalanya tetapi tetap ia tidak melihat siapa juga kecuali bintang-bintang di langit.   Ia heran bukan main.   Ia seperti mengenali suara Oey Yong, hanya ia heran, kenapa orang berada di sini dan ketahui jalan rahasia itu.   Ia jalan belasan lie, lantas ia berhenti di bawah sebuah pohon besar untuk tidur, lalu besoknya, dengan menaik perahu, ia menyeberangi telaga Thay Ouw dan pergi ke kota Souwciu.   Souwciu adalah kota kota ramai di tenggara walaupun ia tidak dapat melawan Hangciu, di sini orang hidup secara mewah melupakan kekejaman bangsa Kim yang pernah menggilas-gilasnya.   Tapi Liam tidak pikirkan kepelesiran.   Habis bersantap di sebuah rumah makan, melihat matahari sudah doyong ke barat, ia lantas pergi keluar kota utara.   Dengan menuruti petunjuk Wanyen Kang, ia hendak mencari gurunya pemuda itu.   Makin lama jalanan makin sulit.   Matahari pun segera melenyap di belakang bukit.   Segera terdengar suara-suara aneh dari burung-burung hutan.   Sampai langit sudah gelap ia mencari di lembah, belum juga ia menemui tumpukan tengkorak seperti katanya Wanyan Kang.   "Baiklah aku cari pondokan, besok pagi aku mencari pula,"   Pikirnya.   Syukur di sebelah barat situ ada sebuah rumah, dengan kegirangan ia lari menghampirkan, hingga ia mendapatkan sebuah kuil tua dan rusak, namanya Yoh Ong Bio.   Ketika ia menolak pintu, pintu itu roboh menjeblak, debunya beterbangan.   Terang itulah sebuah kuli kosong.   Di dalamnya penuh kabang-kabang, segala apa tidak teratur.   Senang juga Liam Cu akan mendapati meja masih utuh, ia lantas bersihkan itu, untuk menempatkan diri.   Ia tutup pintu tadi, yang ia pasang pula, lantas ia mengeluarkan rangsum kering untuk menangsal perut.   Ia pakai buntalannya sebagai bantal waktu ia merebahkan diri.   Kapan ia ingat Wanyen Kang, ia menjadi berduka dan malu, tanpa merasa air matanya meleleh turun.   Karena ini, sampai kentongan yang kedua barulah ia dapat tidur.   Tiba-tiba saja ia mendusin.   Ada suara apa-apa di luar kuil, bukan suara angin, bukan suara air.   Ia berduduk untuk memasang kuping terlebih jauh.   Ketika ia mendengar suara bertambah nyaring, ia lompat ke pintu untuk melihat keluar.   Ia menjadi kaget sekali, hatinya memukul dengan keras.   Di bawah terangnya rembulan, terlihat ribuan, ya laksaan ular hijau, bergulat-legot menuju ke timur, bau amisnya masuk ke dalam kuil.   Menggelesernya ular itu, itulah yang menerbitkan suara luar biasa itu.   Di belakang pasukan ular itu nampak tiga orang pria dengan pakaian serba putih yang tangannya memegang galah panjang peranti menggiring ular itu.   Liam Cu tidak berani mengintai lebih lama, ia khawatir nan kepergok.   Sesudah mendengar suara orang pergi jauh, baru ia mengintai pula.   Sekitarnya jadi sepi pula, hingga ia merasa tengah bermimpi.   Ia membuka pintu, ai pergi ke luar.   Tidak lagi ia melihat ketiga orang dengan pakaian putih itu.   Ia merasa hatinya lega.   Ia jalan beberapa tindak ke jalan yang bekas diambil ular itu.   Disaat ia hendak membalik tubuh, untuk kembali ke kuil, ia melihat suatu barang putih tidak jauh dari dekatnya itu.   Warna putih itu bertojoh sinar rembulan, adanya di atas batu.   Ia heran, ia menghampirkan.   Ia segera melihat tumpukan tengkorak, malah bertumpuknya tepat seperti ditunjuk Wanyen Kang.   Ia kaget berbareng girang.   Dengan hati kebat-kebit, ia menghampirkan, untuk meletaki di bawah itu ikat pinggang Wanyen Kang.   Tangannya bergetar ketika ia meraba tengkorak itu.   Luar biasa sekali, lima jarinya tepat masuk ke dalam lima lubang di tulang tengkorak itu hingga ia menjerit seraya memutar tubuh untuk kabur.   Atau mendadak ia ingat tak perlu ia takut.   Ia ketakutan sendiri tanpa perlunya.   Maka sekarang ia dapat tersenyum.   Maka ia lantas merapikan menaruh ikat pinggangnya itu.   "Pasti benar gurunya luar biasa sekali, entah bagaimana romannya yang menakuti"   Pikirnya.   Ia memang belum pernah melihat Bwee Tiauw Hong, dan tempo Tiauw Hong bertempur hebat di istana, dia dan ayahnya sudah kabur lebih dulu.   Habis itu ia memuji, mengharap gurunya Wanyan Kang itu menemui ikat pinggang ini nanti segera menolongi muridnya balik ke jalan yang lurus.   Tengah si nona memuji, ia merasai pundaknya ada yang pegang.   Ia kaget sekali.   Tanpa menoleh, ia berlompat ke depan, kemudian sambil meletaki kedua tangannya di depan dadanya, baru ia memutar tubuhnya.   Di luar dugaannya, orang sudah berada di belakangnya, kembali pundaknya di pegang.   Ia berlompat pula, kembali dia disusul, kembali pundaknya di pegang.   Kejadian ini terulang empat lima kali.   Ia bermandikan keringat dingin.   Tak tahu ia, ia lagi menghadapi manusia lihay atau hantu.   "Kau siapa?!"   Akhirnya ia menanya, suaranya bergemetar. Orang itu mencium ke lehernya.   "Harum!"   Katanya.   Pendekar Pemanah Rajawali Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo      Liam Cu berbalik dengan cepat sekali, maka sekarang ia dapatkan di depannya berdiri seorang pemuda dengan dandanan sebagai mahasiswa, tangannya menggoyang-goyangkan kipas, gerak- geriknya halus.   Untuk kagetnya ia kenali Auwyang Kongcu, salah seorang yang memaksa kematian ayah dan ibu angkatnya.   Ia gusar tetapi ia tidak berdaya, maka itu ia memutar tubuhnya untuk lari.   Baru saja belasan tindak, atau Auwyang Kongcu sudah berada di hadapannya sembari tertawa haha-hihi, ia mementang kedua tangannya.   Asal ia maju lagi, ia tentu telah masuk ke dalam rangkulannya pemuda itu! Maka ia menghentikan tindaknnya, untuk lari ke kiri.   Tapi baru beberapa tindak, kembali orang berada di hadapannya.   Ketika ia mengulangi lari beberapa kaki lagi, tetap pemuda itu menyaksikan orang kaget dan takut, saban-saban dia mengulur tangannya untuk umencekuk.   Rupanya senang dia mempermainkan nona itu.   Liam Cu menjadi nekat, ia menghunus goloknya dan menyerang.   Dua kali ia membacok, dua-dua kalinya gagal.   "Ah, jangan galak!"   Seru pemuda itu tertawa, habis ia membebaskan diri.   Ia mengegos ke kiri, tangan kanannya dikebaskan, tangan kirinya di ulur.   Maka si nona sudah lantas kena dipegang pinggangnya yang ceking ramping itu.   Liam Cu berontak tetapi cuma-cuma, ia merasakan tubuhnya sakit.   Goloknya pun sudha kena dirampas si pemuda.   Ia berontak pula tetapi hanya menyebabkan tubuhnya kena dipeluk.   Ia merasakan nadinya ditekan, habis mana habislah semua tenaganya, tubuhnya menjadi lemas, tidak bisa ia meronta pula.    Rondo Kuning Membalas Dendam Karya Kho Ping Hoo Tugas Rahasia Karya Gan KH Warisan Jenderal Gak Hui Karya Chin Yung

Cari Blog Ini