Pendekar Pemanah Rajawali 3
Pendekar Pemanah Rajawali Karya Jin Yong Bagian 3
Pendekar Pemanah Rajawali Karya dari Jin Yong Pauw Sek Yok tetap bungkam. "Nah, sekarang hendak aku pergi beli pakaian," Kata Wanyen Lieh kemudian. "Tidak usah," Kata Sek Yok tunduk. Putra raja Kim itu tertawa ketika ia berkata pula. "Uang pribadi Han Sinsiang sendiri yang dibekali padaku, jikalau aku pakai itu untuk membeli pakaian, tak habis kau pakai itu selama seribu tahun, Nyonya! Kau jangan takut, di empat penjuru sini telah berjaga-jaga pasukan pribadiku, tidak nanti orang jahat yang berani ganggu padamu!" Mendengar itu Sek Yok mau menduga bahwa ia telah diancam dengan samar-samar bahwa tak dapat ia melarikan diri apabila ia memikir demikian, karena hotel itu telah dijaga rapat, ia hanya heran sekali, apa maksudnya putra raja Kim itu yang ia seorang wanita dari rakyat jelata, diperhatikan demikian macam. Itulah perlakuan istimewa. Kapan ia ingat suaminya, yang sangat mencintainya, ia lantas mendekam di pembaringannya dan menangis sedih sekali. Dengan membekal uang, Wanyen Lieh pergi ke kota di bagaian yang ramai. Ia lihat penduduk kota ada halus gerak-geriknya, walaupun kuli, nampak beda juga, maka itu diam-diam ia mengaguminya. Ia lantas memikir untuk nanti, kapan ia mengepalai angkatan perang mendatangi wilayah ini, ia akan mohon ayahnya angkat ia menjadi Gouw Ong, pangeran wilayah selatan ini, supaya dapat ia tinggal tetap di Kanglam. Dengan perasaan puas, orang bangsawan ini bertindak dengan perlahan-lahan, matanya memandangi sekitarnya hingga mendadak ia dengar larinya kuda derap. Jalan besar di situ tidak lebar, orang-orang yang berlalu lintas kebetulan banyak, dan pinggiran jalanan pun ditempati pedagang-pedagang gelar dan pikulan, kenapa ada orang yang larikan kudanya di situ. Ia lantas menyingkir ke pinggiran. Sebentar saja kuda itu telah tiba. Itulah seekor kuda kuning yang tinggi dan besar, tegap tubuhnya dan pesat gerakkannya. terang itu adalah kuda asal luar tapal batas. Menampak kuda itu, Wanyen Lieh memuji akan tetapi, kapan ia saksikan penunggangnya, ia jadi tertawa sendirinya. Penunggang kuda itu adalah seorang yang tubuhnya kate dan terokmok dan romannya jelek, dengan bercokol di atas kuda yang tinggi besar, ia mirip setumpuk daging belaka. Sudah ia pendek tangan dan pendek kaki, lehernya pun seperti tidak ada, yang kelihatan cuma kepalanya yang gede, yangmuncul mengkeret di atasan pundaknya. Di sebelah keanehan si penunggang kuda, aneh juga cara kudanya berlari-lari. Kuda itu tidak pernah menerjang barang atau menyentil orang, ia dapat bergerak merdeka, seperti kelit sana dan kelit sini, atau melompati pukulan pedagang-pedagang. Wanyen Lieh merasa ia adalah satu ahli penunggang kuda, tetapi sekarang tanpa merasa ia berseru; "Bagus!" Si kate terokmok dengar orang memuji dia, dia berpaling, maka dengan itu Wanyen Lieh dapat lihat tegas muka orang. Itulah satu muka yang merah seperti ampas arak, dengan hitung besar dan bulat seperti buah prim merah ditempel di muka. "Kuda itu jempol, baik aku beli denagn harga istimewa," Pikirnya. Hampir di itu waktu, di jalan itu muncul dua bocah berlari-lari main kejar-kejaran melintas di depan kuda. Kuda itu kaget, kakinya bergerak. Tepat di itu saat, kate terokmok angkat lesnya, tubuhnya pun terangkat dari bebokong kuda, kuda mana terus lompat melewati atas kepalanya dua bocah itu, sesudah itu, tubuh si kate turun pula, bercokol lagi di bebokong kuda seperti tadi, numprah dengan aman! Wanyen Lieh kagum hingga ia menjublak. Lihay luar biasa si cebol itu, di negaranya sendiri negera Kim tidak ada penunggang kuda sepandai dia walaupun ia ada punya banyak ahli penunggang kuda. Sekarang ia insyaf bahwa manusai tidak dapat di lihat dari romannya saja. "Jikalau dia bisa diundang ke kota rajaku, untuk jadi guru, bukankah pasukan kudaku bakal menjagoi di kolong langit ini?" Dia berpikir. Dia pun melamun, berapa besar faedahnya apabila ia berhasil membeli kuda istimewa itu. Memang putra raja Kim ini adalah seorang denagn cita-cita luhur, dan teliti sepak terjangnya. Dengan mendatangi Kanglam, ia berberang sudah perhatikan keletakan daerah, hingga ia tahu baik sekali tempat-tempat dimana ia dapat pernahkan tentaranya atau dimana dia dapat seberangi sungai. Malah ia ingat juga nama-namanya setiap pembesar setiap tempat serta kepandaiannya setiap pembesar itu. "Pemerintah di selatan ini justru buruk, sayang kalau orang pandai ini tak dapat digunai olehku," Dia negelamun terlebih jauh. Karenanya ia lantas ambil ketetapan untuk undang kate terokmok itu. Malah ia lantas lari untuk menyusul penunggang kuda itu. Selagi ia khawatir nanti tak dapat menyandak, sedangnya ia berniat mengoaki si kate itu, mendadak kuda orang itu berhenti berlari. Kembali ia menjadi heran. Tak biasanya kuda larat dapat berhenti secara demikian tiba-tiba, biasanya kuda itu mesti berlari-kari perlahan dahulu. Selagi Wanyen Lieh terheran-heran, si kate terokmok sudah lompat turun dari kudanya dengan cepat luar biasa, ia telah memasuki sebuah restoran di pinggiran mana kudanya dihentikan secara istimewa itu, maka dilain saat sudah terdengar tindakannya yang cepat di undakan tangga loteng. Putra raja Kim itu angkat kepalanya, untuk berdongak, maka matanya lantas melihat sepotong papan merek dengan bunyi empat huruf "Tay Pek Ie Hong". Jadi itu sebuah ciulauw, atau sebuah restoran. Di atas loteng ada lagi sebuah papan merek dengan tiga huruf "Cui Sian Lauw", yang hurufnya kekar dan bagus, di samping aman ada pula empat huruf kecil bunyinya. "Tong Po Kie-su". Jadi itu ada ciulauw yang pakai nama Souw Tong Po, itu penyair yang terkenal, yang aliasnya Thay-pek dan julukannya Cui Sian, Dewa Mabuk. Riasannya ciulauw pun ada istimewa. Tadinya Wanyen Lieh ingin memasuki ciulauw itu atau segera ia tampak si kate sudah keluar pula sambil tangannya membawa satu guci arak yang terus dibawa ke depan kudanya. Putra raja Kim ini ingin menontoni kelakuan, ia pun lantas berdiri di pinggiran. Berdiri di tanah si kate nampaknya semakin tak mengasih. Tingginya tak ada tiga kaki, sebaliknya lebar tubuhnya ada tiga kaki penuh. Di depan ia adalah kudanya, yang istimewa tinggidan besarnya. Dengan berdiri berdekatan, si kate tidak cukup tinggi untuk kepalanya menyundul sanggurdi. Maka inginWanyen Lieh menyaksikan orang punya sepak terjang lebih jauh. Si kate tidak lompat naik ke atas kudanya, hanya ia berdiri di depan binatang tunggangannya itu, di situ ia letak guci araknya, habis mana dengan sebelah tangannya, ia babat guci sebatas pundaknya guci itu hingga tempat arak itu menjadi terbuka bagaikan jambangan. "Ah, ia mengenal ilmu tenaga dalam yang lihay," Pikir Wanyen Lieh, Tanpa Iweekang, atau tenaga dalam yang sempurna, tidak nanti guci arak dapat ditebas kutung dengan tangan, dengan tidak pecah seluruhnya. Ia percaya ia dapat melakukan itu hanya tidak sedemikian sempurna. Begitu lekas guci telah terbuka, kuda kuning itu angkat naik kaki depannya, mulutnya dibuka untuk perdengarkan ringkikkan, setelah turunkan kedua kakinya ia terus tunduki kepalanya, mulutnya dikasih masuk ke dalam guci, untuk sedot arak itu berulang-ulang! Dalam keheranan, Wanyen Lieh segera dapat mencium baunya arak yang melulahkan terbawa angin. Ia kenali arak itu adalah arak Siauwhin yang kesohor, arak simpanan tiga atau empat puluh tahun. Pernah selama di Yan-khia, ibukotanya, ayahnya dikirimkan arak serupa oleh utusan kaisar Song dan oleh ayahnya ia dibagi beberapa guci. Ia sangat menyayangi arak jempolan itu, tak hendak ia sering-sering meminumnya, akan tetapi di sini, ia saksikan seekor kuda tunggangan diberikan arak itu! Si kate tinggalkan kudanya minum, ia kembali ke restoran, sambil kasih dengar bentakan, ia lemparkan sepotong uang ke atas meja kuasa restoran itu. Nyata itu adalah sepotong emas yang berkilau kuning. "Lekas kamu sajikan sembilan meja barang hidangan kelas satu!" Kata si kate. "Yang delapan meja makanan dengan daging, yang satu sayuran saja." "Baik, Han Samya!" Berkata si kuasa ciulauw sambil tertawa. "Kebetulan hari ini kami dapat empat ekor ikan saylouw, yang tak ada lawannya yang lainnya untuk teman arak! Tentang emas ini, aku minta sudi apakah kiranya samya simpan dahulu. Mengenai nperhitungannya nanti perlahan-lahan kita mengurusnya" Mendengar itu, matanya si kate terbelalak. "Apa?!" Serunya aneh. "Menenggak arak tanpa uangnya ? Apakah kau sangka Han Samya kamu ini tukang anglap?" Kuasa ciulauw itu tertawa haha-hihi, tanpa layani si cebol itu, ia berpaling ke dalam dan berseru. "kawan-kawan, lekas sajikan arak dan makanan untuk Han Samya!" Seruan itu sudah lantas sapat sambutan berulang-ulang. Wanyen Lieh menjadi heran sekali. "Si kate ini berpakaian tidak karuan tetapi ia sangat royal," Pikirnya. "Dan di sini orang sangat menghormatinya. Mungkinkah ia ada okpa di kota Kee-hin ini? Kalau benar, tentu sulit rasanya untuk undang ia menjadi guruBaiklah, aku tunggu dulu, hendak aku saksikan orang-orang macam bagaimana yang ia undang berjamu." Karena ini ia hampiri ciulauw itu untuk naik ke loteng dimana ia pilih satu meja di pinggir jendela. Ia minta satu poci arak serta barang makanan sekedarnya. Restoran Cui Sian Lauw ini letaknya di pinggir Lam Ouw, Telaga Selatan. Itu waktu tengah telaga nampak kabut tipis, di muka air ada beberapa buah perahu kecil lagi mundar-mandir. Di situ pun kedapatan banyak pohon lengkak yang daunnya hijau-hijau. Lega hati untuk memandang permukaan telaga itu. Di jaman dahulu, Kee-hin adalah sebuah kota negara Wat, buah lie keluaran sini kesohor manis, sama kesohornya dengan araknya. Di jaman Cun Ciu, Kee-hin dipanggil Cui Lie atau Lie Mabuk. Disini dahulu Raja Wat, Kouw Cian telah labrak Raja Gouw, Hap Lu. Telaga itu pun ada mengeluarkan hasil yang kesohor yaitu bu-kak-leng, atau lengkak yang tidak ada "tanduknya" Yang rasanya empuk dan manis, tak ada bandingannya untuk Kanglam. Itu pun sebabnya di dalam telaga tumbuh banyak pohon lengkak itu. Sambil hirup araknya perlahan-lahan, Wanyen Liaeh memandangi keindahan telaga. Dengan begitu ia pun menantikan tetamu-tetamunya si cebol. Tiba-tiba ia dengar suara beradunya sumpit da cawan-cawan arak, apabila ia menoleh, ia dapatkan beberapa jongos mulai mengatur sembilan buah meja. Hanya herannya untuk setiap meja ditaruhkan Cuma sepasang sumpit dan satu cawan arak. "Kalau yang datang cuma sembilan orang, untuk apa meja sembilan ini?" Ia menerka-nerka. "Jikalau jumlahnya banyak, mengapa Cuma disediakan sembilan cawan saja? Apa mungkin ini ada adat kebiasaan di selatan ini.? Ia memikir tetapi tidak dapat jawabannya. Si cebol sudah lantas duduk minum arak di sebuah meja, minumnya ayal-ayalan. Kembali Wanyen Lieh memandang ke telaga. Kali ini ia tampak sebuah perahu nelayan yang kecil, yang laju pesat sekali. Perahu itu kecil tatapi panjang, kepalanya terangkat naik. Di pinggiran perahu berdiri dua baris burung-burung air peranti menangkap ikan. Mulanya ia tidak menaruh perhatian, sampai sejenak saja perahu itu dapat melewati sebuah perahu kecil yang terpisah jauh darinya. Setelah perahu kecil itu datang semakin mendekat, Wanyen Lieh lihat di tengah perahu ada berduduk satu orang, sedang yang mengayuh yang berbareng menjadi pengemudi, yang duduk di belakang ada seseoarng yang memakai baju rumput. Segera ternyata ia adalah seorang wanita. Dia masuki pengayuh ke dalam air, nampaknya ia mengayuh denagn perlahan, akan tetapi perahu itu lahu melesat, tubuh perahu seperti melompat di atasan air. Tenaga mengayuh itu mungkin ada tenaga dari dua ratus kati. Seorang wanita bertenaga demikian besar inilah aneh. maka aneh juga pengayuhnya itu yang dapat dipakai mengower air demikian kuat. Lagi beberapa gayuan, kenderaan air itu segera mendekati restoran. Di sini ada sinar matahari yang menyoroti pengayuh itu, lalu tertampak suatu cahaya berkilau mengkeredep. Nyata pengayuh itu terbuat dari kuningan. Si wanita tampak perahunya dipelatok di samping tangga batu di bawah loteng restiran, habis itu ia lompat ke darat. Orang yang menumpang perahu itu satu pria, lompat mendarat juga setelah ia samber sepotong kayu pikulan yang kasar. Keduanya terus mendaki tangga loteng. "Shako!" Memanggil si nona tukang perahu setibanya di atas loteng, kepada si kate terokmok. Dia pun lantas sambil sebuah meja, sebagaimana kawannya juga duduk dikursi lainnya. "Sietee, citmoay, kamu datang siang-siang?" Kata si cebol. Wanyen Lieh diam-diam perhatikan dua pendatang baru ini. Si wanita berusia tujuh atau delapanbelas tahun, tengah remajanya. Dia beramta besar, panjang bulu matanya, kulitnya putih bagaikan salju. Itulah kulitnya orang Kanglam sejati. Ia mencekal pengayuh kuningannya dengan tangan kanan dan menenteng baju rumputnya dengan tangan kiri. Dia pun mempunyai rambut yang hitam mengkilap. "Walaupun dia tidak dapat melawan kecantikannya Pauw-sieku, dia toh menggairahkan dengan sifatnya sendiri," Berpikir putra raja Kim itu. Sekarang ia lirik si pria yang membawa-bawa kayu pikulan, yang dari romannya dari kepala sampai di kaki, mirip orang desa tulen, usianya kurang lebih tiga puluh tahun, baju dan celananya berbahan kain kasar, pinggangnya dilibat tali rumput, sedang sepatunya ada cauw-ee, sepatu rumput. Ia bertangan kasar dan kaki gede, romannya jujur polos. Ketika dia sanderkan pikulannya di samping meja, bentrok sama meja itu, terdengarlah suara beberapa kali. Meja itu menggeser sedikit. Sendirinya Wanyen Lieh terperanjat, hingga ia awasi pikulan itu, yang warnanya hitam mengkilap, kedua ujungnya muncul sedikit, rupanya peranti menjaga pikulan tidak merosot terlepas. Karena beratnya itu, pasti pikulan itu bukan terbuat dari besi entah dari bahan apa. Di pinggangnya orang itupun ada terselip sebuah kampak pendek, sama denagn kampak biasa, yang sudah sedikit gompal. Baharu dua orang itu duduk, di tangga loteng sudah terdengar lagi tindakan kaki berisik dua orang lagi. "Bagus, ngoko, liokko, kamu datang berbareng!" Menyambut si nona nelayan. Dari dua orang ini, yang jalan di depan berdedakan tinggi dan kekar, tubuhnya terlibat semacam kain, tubuh itu meminyak, karena bajunya tidak dikancing, tertampak pula dadanya berbulu gompiok. Karena ia menggulung tangan bajunya tinggi-tinggi, pun terlihat lengannya berbulu hitam seperti dadanya itu. Melihat potongannya, ia mirip satu pembantai atau penyembelih hewan, Cuma ditangannya kurang sebatang golok lancip. Orang yang berjalan di belakangnya berpotongan sedang, kepalanya ditutup kopiah kecil, kulit mukanya putih, tangannya mencekal dacin, ialah pesawat timbangan, serta sebuah keranjang bambu, hingga ia mirip seorang pedagang kecil. Mereka ini ambil masing-masing sebuah meja. "Heran!" Kata Wanyen Lieh dalam hati kecilnya. "Tiga orang yang pertama adalah orang-orang yang mungkin berkepandaian tinggi, kenapa kedua orang ini yang mirip orang-orang kalangan rendah, dibahasakan saudara?" Tengah si putra raja Kim berpikir demikian, di bawah loteng terdengar ringkikan kuda yang disusul sama jeritan kesakitan hebat dari dua orang. Si pedagang kecil lantas saja tertawa. "Shako, kembali ada orang hendak curi kuda twie-hong-mamu!" Katanya. Si cebol tertawa. "Itu namanya berbuat sendiri, makan sendiri hasilnya!" Dia bilang. Wanyen Lieh segera melongok ke bawah loteng, tampak dua orang tengah mengoser sambil merintih. Pengurus dari Cui Sian lauw tertawa, kata dia pada dua orang yang bercelaka itu. Pendekar Pemanah Rajawali Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Kamu bangsat-bangsat luar kota, kenapa kamu tidak dengar-dengar dulu namanya Han Samya? Bagus, ini namanya benturkan kepala dato! Hayo lekas naik ke loteng untuk minta ampun!" Di bawah loteng itu ada lagi orang-orang yang berbicara, satu antaranya mengatakan. "Kuda Han Samya lihay melebihkan manusia, dua jentilan kakinya cukup untuk dua pencuri ini..! Sedang seorang yang lain bilang. "Mereka datang ke Kee-hin untuk mencuri, sungguh mereka sudah bosan hidup!" "Rupanya mereka hendak mencuri kuda lalu kena kuda jentil" Pikir Wanyen Lieh. Kedua pencuri kuda itu mencoba merayap bangun,mulut mereka masih berkoak-koak beraduh-aduh. Segare suara mereka itu bercampuran sama satu suara baru, ialah tingtong-tingtong seperti besi mengadu dengan batu hinga orang pada memandang ke jurusan dari mana suara itu datang. Di tikungan jalan besar terlihat munculnya satu orang pengkor yang pakaiannya rombeng dan tangan kirinya memegang sepotong tongkat besi dengan apa dia saban-saban memukul batu-batu yang menggelari jalan besar itu. Maka teranglah ia seorang buta. Sungguh celaka, selagi bercacat di bawah, dia pun bercacat di atas, hingga ia mesti gunai tongkat besinya untuk mencari jalanan untuk sekalian menunjang diri. Sudah begitu, dipundak kanannya ia ada menggendol semacam senjata peranti memburu, yang ujungnya dibanduli seekor macan tutul. Ia mendatangi dengan tindakan dangklak-dingkluk. Wanyen Lieh menjadi bertambah-tambah heran. "Belum pernah aku dengar orang picak lagi pengkor pandai berburu binatang hutan, malah ia dapat membinasakan seekor harimau" Pikirnya. Si pengkor merangkap buta ini rupanya telah dengar pembicaraan orang banyak itu. "Bagian anggotanya yang mana yang kena didupak kuda?" Dia tanya, suaranya parau. "Tekukan dengkul kiri," Sahut salah satu pencuri kuda itu. "Hm!" Si buta pendengarkan suaranya, berbareng dengan mana dengan tiba-tiba ia totok pinggangnya si pencuri, hingga dia ini berteriak kesakitan, mana dia berkelit tetapi sudah kasep. Karena kesakitan, dia menjadi pentang mulutnya lebar-lebar. "Hei pengemis bangsat, kau juga hendak main gila sama aku!" Dan ia memburu sambil ulur tangannya untuk meninju. Kalau tadi ini pencuri sakit kakinya sampai tak dapat digeraki, sekarang denagn tiba-tiba sakitnya itu lenyap, maka setelah datang dekat si buta ia jadi berdiri menjublak. tapi ia pandai berpikir, maka tangannya yang telah diangkat tinggi segera dikasih turun pula, lalu lantas ia memberi hormat samil menjura. "Terima kasih, Tuan orang pandai," Katanya. "Aku bodoh, untuk kekasaranku barusan, aku mohon diberi maaf." Segera ia berpaling kepada kawannya dan berkata. "Saudara mari lekas, kau mohon toaya ini tolong obati padamu" Dengan meringis-ringis, pencuri itu bertindak denagn susah payah mendekati si buta dan pengkor itu. "Toaya binatang itu dupak dadaku" Katanya, dengan suara susah. Si buta pindahkan tongkatnya ke tangan kanan, dengan tangan kirinya ia usapi dadanya pencuri itu, lalu mendadak ia kitik ketiak orang. Pencuri itu kegelian, ia mencoba menahan karena mana ia jadi tertawa cekikikan. Tiba-tiba ia merasa enak perutnya, lantas ia muntah beberapa kali, mengeluarkan ludah lender. Hampir berbareng denagn itu, lenyap rasa sakit di dadanya itu. Maka lekas-lekas ia jatuhkan diri untuk berkutut untuk manggut-manggut hingga jidatnya berbunyi mengenai batu, mulutnya pun mengecoh. "Oh yaya yang sakti, sungguh." Si buta tidak menggubris pencuri itu, ia hanya bertindak memasuki restoran itu, terus mendaki tangga loteng. "Sungguh hari ini aku sangat beruntung!" Kata Wanyen Lieh dalam hatinya. "Diluar dugaanku, aku dapat menemui orang-orang berilmu" Sampai di atas loteng, si buta lemparkan macan tutulnya ke lantai. "Jongos, cepat kau urus macan ini!" Ia perintahkan. "Tulang-tulangnya kau godok menjadi kuwah yang kental! Hati-hati supaya kulitnya tidak sampai kena terpotong rusak!" Satu jongos menyahuti, lalu bersama dua kawannya, ia gotong pergi macan tutul itu. Tapi si buta menunjuk kepada Wanyen Lieh seraya ia berkata pada si jongos. "Kau mesti potongi dagingnya barang dua kati, kau suguhkan itu tuan untuk dia mencicipi rasanya" "Yaya" Sahut si jongos itu. Wanyen Lieh sendiri menjadi sangat terkejut. "Kenapa ia dapat melihat aku? Apakah dia bukan buta benar-benar?" Dia berakta di dalam hatinya. Ketika itu semua orang yang telah datang terlebih dahulu, yang tengah duduk lantas bangkit bangun. "Toako!" Mereka berseru. Lalu si nelayan wanita bertindak ke meja nomor satu di sebelah timur, berdiri di samping kursi, ia tepuk-tepuk kursi itu seraya berkata. "Toako, di sini kursimu!" "Baik!" Menyahuti si buta itu. "Apakah jietee masih belum sampai?" "Jieko sudah tiba di Kee-hin, sekarang sudah waktunya ia sampai disini" Sahut orang yang potongannya seperti pembantai itu. Sembari berbicara, si buta bertindak ke mejanya. di mana ia duduk di kursi yang ditepuk-tepuk oleh si nona nelayan. Menyaksikan perbuatan si nona, mengertilah Wanyen Lieh bahwa si buta benar-benar tak dapat melihat. Rupanya ia membutuhkan suara apa-apa untuk ketahui ke mana ia mesti pergi. Segera putra raja Kim itu ambil keputusannya untuk ikat perkenalan dan persahabatan dengan orang-orang kangkouw yang aneh ini. Ia pun segera berbangkit dari kursinya. Hanya tepat ia hendak bertindak, guna hampiri si buta, guna hanturkan terima kasihnya, untuk daging yang dibagikan kepadanya yang mana ada alasan bagus sekali untuk berkenalan tiba-tiba ia dengar tindakan kaki yang bersepatu kulit di undakan tangga loteng. Tindakan itu ada seperti separuh diseret. Ia menjadi heran pula, maka ia lantas berbalik dan memandang. Yang pertama muncul di mulut tangga loteng adalah sehelai kipas kertas minyak yang gagangnya dekil, kipas itu dikipaskan beberapa kali, habis itu menyusul munculnnya satu kepala orang yang digoyang-goyang, ialah kepalanya satu mahasiswa melarat. dan Wanyen Lieh segera kenali orang yang tadi ia ketemui di waktu lenyap uangnya. "Mungkin dia inilah yang curi uangku" Ia menerka-nerka. Hatinya lantas menjadi panas. Justru begitu, si mahasiswa itu mengawasi ke arahnya, bibirnya tersungging senyum, mukanya bertekukan menggoda, setelah mana ia menegur semua orang yang telah hadir di situ. Dia benar-benar yang dimaksudkan si jietee atau jieko, saudara yang kedua. "Semua mereka lihay, bentrok dengan mereka tiada untungnya," Wanyen Lieh berpikir. "Baiklah aku lihat gelagat dulu" Maka ia berdiam terus. Si mahasiswa sudah lantas tenggak araknya, lalu menggoyang-goyang pula kepalanya, dari mulutnya keluar suara yang bersenandung. "Uang tidak halal.. lepaskan dia.Thian yang maha kuasaumbar adatnya!" Bab 4. Mengadu Kepandaian Sembari bernyanyi si mahasiswa melarat ini meragoh sakunya, berulang-ulang, dan setiap kali ia menarik keluar tangannya, jeriji-jeriji tangannya tentu ada menjepit potongan-potongan uang perak sampai jumlahnya semua belasan potong, baharu berhentilah ia merogoh sakunya. Meluap hawa amarahnya Wanyen Lieh akan melihat uang perak itu yang ia kenali adalah kepunyaannya yang hilang lenyap itu, akan tetapi ia mencoba sebisa-bisanya untuk mengatasi dirinya, sebab berbareng dengan itu, ia heran tidak kepalang. "Dia cuma tepuk pundakku dengan kipasnya, mengapa ia bisa curi uangku?" Demikian ia berpikir tak habis herannya. "Sungguh kepandaian yang lihay.." Si nona nelayan tertawa bergelak melihat uang sebanyak itu. "Jiko, hari ini kau beruntung!" Serunya. "Tidak tahu siapa yang apes malang." Si mahasiswa melarat itu pun tertawa. "Citmoay, aku ada punya semacam tabiat buruk yang kau telah ketahui!" Katanya. "Oh, aku tahu!" Sahut si nona. "Kembali mengenai negeri Kim, bukankah?" Mahasiswa itu mengipasi uang di depannya dengan tak hentinya. "Uang orang bangsa asing ada sedikit berbau tetapi uang itu masih dapat digunai!" Katanya. Mendengar itu semua kawannya itu tertawa terbahak-bahak. Wanyen Lieh heran bukan kepalang. "Aku menyamar sebagai orang Han, mirip sekali, cara bagaimana ia masih mengenali aku?" Dia tanya dirinya sendiri. Lantas dia gapekan pelayan untuk bisiki padanya. "Semua tuan-tuan ini akulah yang undang berjamu" Dia pun lantas keluarkan dua potong emas, yang ia letaki di atas meja. "Dan kau bawa dulu kepada kuasamu, untuk dititipkan!" Katanya pula. Si buta tidak awas matanya akan tetapi kupingnya jeli luar biasa, tidak peduli orang berbisik, dan jarak mereka jauh pula, ia dapat mendengarnya, maka dengan itu lantas ia serukan kepada sudara-saudaranya. "Saudara-saudara ada orang yang mentraktir kita, maka kamu dahar dan minumlah dengan puas!" Si mahasiswa menoleh kepada Wanyen Lieh, matanya menyapu, lalu ia mengangguk-angguk, akan tetapi sembari tertawa, ia bertanya pula. "Mana si wanita baik-baik yang kau perdayakan?" Wanyen Lieh sudah putuskan untuk tidak menimbulkan kerewelan, ia lantas berpaling ke lain jurusan, ia berpura-pura tidak mendengar pertanyaan itu. Walaupun demikian hatinya tetapi berkerja. Di situ ada sembilan buah meja, sekarang baharu datang tujuh orang, dari itu masih lebih dua meja yang masih kosong. Siapa lagi dua tetamu itu? Bukankah tujuh orang yang bakal jadi tuan rumah? Sampai itu waktu, barang hidangan masih belum disajikan, baharu arak saja yang dikeluarkan, maka tujuh orang itu Cuma tenggak air kata-kata. Tengah putra raja ini berpikir, ia dengar datangnya suara memuji dari bawah loteng. "Amitabha Buddha!" Suara itu sangat jernih dan tedas, nyata terdengar hingga ke atas loteng. "Nah, Ciauw Bok Taysu tiba!" Seru si buta yang terus berbangkit, perbuatan mana diikuti oleh enam kawannya. Dengan sikap menghormati mereka berdiri untuk menyambut orang yang baharu tiba itu, yang baharu suaranya terdengar. "Ambithaba Buddha!" Kembali terdengar pujian, dan sekarang itu disusul sama munculnya satu tubuh kurus kering bagaikan pohon mampus, tetapi yang tindakannya cepat pesat seperti ia tidak menginjak lantai. Wanyen Lieh melihat satu pendeta usia empat puluh lebih, yang berkerebong jubah kasee merah dengan lapis dalamnya jubah kuning, sedang tangannya memegang sepotong kayu, yang ujungnya telah hitam bekas terbakar. Tak tahu ia apa faedahnya puntung kayu itu. Pendeta itu dan tujuh saudara tersebut saling memberi hormat dan saling menegur, habis itu si mahasiswa melarat pun pimpin tetamunya ke sebuah meja yang kosong untuk silahkan ia duduk. Si hweshio menjura, dia berkata. " Orang itu telah datang menyatroni, siauwceng merasa bahwa siauwceng bukanlah tandingannya, maka itu siauwceng bersyukur yang liat-wie telah sudi membantu. Budi yang besar ini, walaupun tubuhku hancur lebur, tak dapat siauwceng membalasnya." Pendeta itu ialah Ciauw Bok Taysu, merendahkan diri. Ia menyebutkan dirinya "siauwceng" Si pendeta yang kecil rendah. "Harap kau tidak sungkan, Ciauw Bok Taysu," Berkata si buta. "Kami tujuh bersaudara pun berterima kasih kepadamu yang biasa melimpahkan kebaikan terhadap kami. Tentang orang itu, dia memang sangat aguli kepandaiannya, tanpa sebab tanpa alasan, dia mencari gara-gara terhadap taysu. Dengan perbuatannya itu, mana dia pandang mata lagi kaum Rimba Persilatan di Kanglam ini? Karena kejumawaannya itu, meskipun dia tidak musuhkan kau, taysu, kita bersaudara pasti tak mau sudah saja" Belum lagi habis suaranya si buta ini, di tangga loteng telah terdengar suara yang sangat berat dan nyaring, seperti ada sesuatu yang mendaki, mungkin itu bukan suara gajah tetapi sedikitnya kerbau. Menyusul itu pun lantas terdengar suara kaget dari kuasa ciulauw serta jongosnya. "Benda begitu berat mana dapat dibawa naik ke atas! Eh, lantai loteng nanti kena bikin dobol! Lekas, lekas cegah dia, jangan kasih dia naik!" Suara berat itu tapinya terdengar terus, disusul mana patahnya sehelai papan undakan tangga, akan kemudian disusul sama mengerekeknya dua helai papan undakan lainnya. Bagaikan orang yang matanya kabur, Wanyen Lieh segera melihat munculnya satu tojin, satu imam yang tangannya menyangga sebuah jambangan perunggu yang besar sekali, yang mana dibawa naik ke loteng sambil imam itu berlompat, hingga dengan begitu rupanya tak usah dia bertindak lagi di undakan tangga. Dan untuk kagetnya putra raja Kim ini, ia kenali si imam adalah Tiang Cun Chu Khu Cie Kee atau Tiang Cun Cinjin! Wanyen Lieh ini mendapat tugas dari ayahnya menjadi utusan bangsa Kim ke Tionggoan, kepada kerajaan Song. Dia pun bercita-cita besar sekali, maka itu dia sudah lantas berhubungan sama menterinya kerajaan Song untuk dijadikan si menteri serta konco-konconya sebagai alat untuk menyambut dari dalam bila sudah waktunya ia turun tangan. Pendekar Pemanah Rajawali Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Utusan Song yang datang dari Yankhia menemani dia sepanjangn jalan, Ong To Kian, karena keserakahannya sudah terima sogokan besar dan berjanji suka bekerja sama, utusannya ini telah rela akan menakluk dan menjadi hambanya kerajaan Kim. Dan menteri yang bekerjasama dengan Wanyen Lieh adalah Perdana Menteri Han To Cu. Girang sekali ini putra raja Kim menampak ikhtiarnya telah berjalan baik sekali. Hanya kemudian ia menjadi sangat kaget akan mendapatkan Ong To Kian mati terbunuh secara gelap, kepalanya hilang berikut hati dan jantungnya. Han To Cu juga kaget dan ketakutan karenanya, dia khawatir sekali rahasianya nanti bocor. Oleh karena ini, untuk menjaga diri turun tangan terlebih dahulu, ingin ia merubuhkan menteri atau panglima yang paling keras kepala hendak melawan negara Kim. Yang pertama ia ingin singkirkan adalah Sien Kee Ci, Kepala dari Cip-eng-thian dan pengurus Ciong-yu-koan. Sebenarnya menteri ini tidak berkuasa atas pemerintahan, ia hanya pandai silat dan surat berbareng dan kesetiaannya terhadap negara adalah luar biasa, dia sangat mengharap dapat membangun pula kerjaan Song hingga menjadi jaya seperti semula, sedang rakyat umumnya mengandal padanya. Kalau Han To Cu anggap paling baik mengirim orang untuk membunuh menteri itu, adalah Wanyen Lieh menghendaki menawan terlebih dulu pembunuhnya Ong To Kian, guna mengompes dia, kalau mendapat tahu siapa yang menitahkan dia melakukan pembunuhan yang hebat itu. Wanyen Lieh tahu, tidak dapat ia mengandal saja kepada pihak Song, dari itu ia tugaskan enam atau tujuh pengawal pribadinya dari Lim-an. Rombongan ini dapat menyandak Khu Cie Kee di Gu-kee-cun, hanya apa lacur mereka menghadapi musuh yang terlalu tangguh untuk mereka. Wanyen Lieh sendiri belum sampai turun tangan atau pundaknya telah terkena panah, hampir ia tak dapat lolos seperti orang-orangnya, syukur ia ditolong oleh Pauw Sek Yok. Ia lari ke istananya Han To Cu, untuk sembunyikan diri sambil berobat. Sementara itu, ia lantas tak dapat melupai Pauw-sie, yang ia anggap cantik dan manis, meskipun sebagai putra raja, ia telah melihat banyak wanita elok. Setelah sembuh dari lukanya, ia perintahkan orang untuk selidiki tentang Pauw-sie itu, sesudah itu, ia minta Han To Cu mengirim orang untuk menawan Yo Tiat Sim dan Kwee Siauw Thian, sedang ia sendiri menyamar sebagi orang baik-baik sebagai penolong nyonya yang ia gilai itu. Pauw-sie tidak tahu akal muslihat orang, ia menyangka pemuda itu bermaksud baik, suka ia mengikuti, maka di luar tahunya sendiri, dia telah jatuh ke dalam genggaman putra raja Kim itu. Demikian Wanyen Lieh, bukan main kagetnya ia akan tengok Khu Cie Kee, sampai ia tak dapat menguasai dirinya lagi, tanpa merasa ia membuatnya terlepas dan jatuh sepasang sumpit yang ia lagi pegang. Syukur untuknya Khu Cie Kee tidak kenali padanya, sebab tempo ia diserang dengan panah, ia belum terlihat nyata, dia sudah lantas jatuh terguling, dan sekarang, imam itu lagi menghadapi Ciauw Bok Taysu serta tujuh orang luar biasa itu, ia tidak perhatikan putra raja itu. Lega juga hatinya Wanyen Lieh apabila selang sekian lama ia dapatkan itu imam tidak perhatikan padanya, pikirnya orang itu telah tidak kenali dia. Hanya dilain pihak, ia terkejut bukan main apabila ia sudah kenali jambangan perunggu yang dibawa-bawa si imam itu. Itu bukan jambangan biasa hanya tempat pembakaran kertas emas dalam kuil, yang beratnya tiga atau empat ratus kati, yang sekarang diisikan penuh dengan arak, hingga beratnya bertambah, melainkan di tangan si imam, nampaknya enteng sekali, imam ini seperti tidak menggunai tenaga. Akan tetapi, setiap kali si imam bertindak, tentu lantai loteng perdengarkan suara meletek nyaring, suatu bukti dari beratnya jambangan itu, sedang dibawah loteng, orang ribut ketakutan dan pada lari keluar, ke jalan besar, tak terkecuali si kuasa restoran, jongos-jongos dan koki-koki. Semua mereka itu khawatir loteng ambruk dan mereka nanti ketimpa. "Benar-benar toheng telah dapat mencari siauwceng hingga ke mari!" Terdengar suaranya Ciauw Bok Taysu keras tetapi dingin. "Sekarang mari siauwceng perkenalkan dahulu kau dengan Kanglam Cit Koay!" Khu Cie Kee menjura membungkuk tubuh. "Barusan pinto berkunjung ke kuil taysu," Ia berkata . "Disana ada pesan untukku, katanya taysu undang pinto datang ke Cui Sian Lauw ini untuk membuat pertemuan. Dengan lantas pinto meikir-mikir, mungkin taysu mengundang sahabat-sahabat, buktinya benarlah dugaan pinto itu. Sudah lama pinto dengar nama besar dari Kanglam Cit Koay, sekarang kita dapat bertemu, sungguh pinto merasa sangat beruntung! Nayatalah pengharapanku seumur hidup telah kesampaian." Ciauw Bok Taysu tidak menjawab si imam, hanya berpaling kepada tujuh kawannya yang ia sebutkan Kanglam Cit Koay itu Tujuh Manusia aneh dari kanglam dan menunjuk kepada si imam, ia memperkenalkan. " Ini dia Totiang Tiang Cun Cu Khu Cie Kee yang tuan-tuang telah lama kagumi nama besarnya!" Kemudian tanpa tunggu sesuatu dari Kanglam Cit Koay itu seraya menunjuki si buta melanjuti. "Inilah tertua dari Cit Koay, yaitu Hui Thian Pian-hok Kwa Tin Ok. Dan ini ialah." Lalu dengan terus-terusan ia perkenalkan enam orang lainnya, selama mana, selama ia menyebutkan setiap nama Khu Cie Kee menjura kepada orang-orang yang diperkenalkan itu. Selagi orang diajar kenal, Wanyen Lieh memasang kuping dan matanya, ia kerjakan otaknya akan mengingat baik-baik nama Kanglam Cit Koay itu. Selain Kwa Tin Ok yang berjuluk Hui Thian Pian-hok, si Kelelawar Terbangkan Langit, yang kedua ialah si mahasiswa melarat yang mencuri atau mencopet uangnya adalah Biauw Ciu Sie-seng Cu Cong, Mahasiswa Tangan Lihay. Orang yang datang paling dulu ke restoran yaitu si kate terokmok yang menunggang kuda jempolan, adalah Ma Ong Sin Han Po Kie atau si Malaikat Raja Kuda. Dia inilah yang tiga. Si orang tani yang membawa-bawa pikulan adalah orang yang keempat, ialah Lam San Ciauw-cu Lam Hie Jin atau si Tukang Kayu dari Lam San (Gunung Selatan). Yang kelima yang tubuhnya kekar tegap mirip sebagai pembantai adalah Siauw Mie To Thio A Seng atau si Buddha Tertawa. Yang keenam adalah orang yang mirip pedagang, namanya Coan Kim Hoat, gelarannya Lauw-sie In Hiap atau Pendekar Sembunyi di Kota. Si nona nelayan adalah Wat Lie Kiam Han Siauw Eng, atau si Ahli Pedang Gadis Wat, ialah yang termuda dari Kanglam Cit Koay. Selama Ciauw Bok Taysu memperkenalkan, Khu Cie Kee tetap pegangi tempat araknya yang istimewa itu, sama sekali ia ia tak nampak lelah, sedang beberapa orang yang melihat tak terjadi kecelakaan sesuatu, dia-diam mendaki loteng untuk bicara. Katanya. "Kami menonton" Habis perkenalan itu, Kwa Tin Ok mendahulukan bertujuh saudaranya untuk berbicara. "Sudah lama kami mendengar Totiang lihay ilmu silatnya, baik ilmu silat tangan kosong maupun bersenjatakan pedang, tidak ada tandingannya, hingga kami sangat mengaguminya. Sementara itu, ini Ciauw Bok Taysu juga adalah satu sahabat sejati, maka walaupun totiang berdua ada dari dua golongan yang berbedaan, satu Hud-kauw yang lain To-kauw, tetap kedua-duanya adalah orang-orang Rimba Persilatan. Oleh karena itu, kami tidak tahu, dalam hal apakah Taysu telah berbuat salah terhadap Totiang? Umpama kata Totiang sudi memandang muda kami bertujuh saudara, ingin sekali kami menjadi juru pendamai, supaya perselisihan dapat disingkirkan, untuk kita minum arak bersama. Sudikah kau Totiang?" "Sebenarnya pinto dengan Ciauw Bok Taysu tidak kenal satu dengan lain dan kita juga tidak punya dendaman dan tidak punya permusuhan," Menyahut Khu Cie Kee. "Oleh karena itu asal Taysu sudi menyerahkan dua orang kepada pinto, pastilah lain hari akan pinto pergi berkunjung ke Hoat Sian Sie untuk menghanturkan maaf." "Siapakah orang yang harus diserahkan?" Tanya Kwa Tin OK. "Dua sahabatku," Sahut Tiang Cun Cu, menerangkan. "Mereka telah difitnah dan dicelakai oleh pembesar negeri yang bekerjasama dengan tentera bangsa Kim, tidak beruntung untuk mereka, mereka telah mendapatkan kebinasaannya hingga mereka mesti meninggalkan janda mereka yang tidak ada lagi sanderannya, hingga mereka mesti hidup sengsara sebatang kara. Lihat, Kwa Tayhiap, pantas atau tidak permintaan pinto ini?" "Jangan kata mereka adalah jandanya sahabat- sahabat totiang," Sahut si buta. "Walaupun mereka adalah orang-orang yang tidak dikenal, asal kami ketahui perkaranya itu, pasti kami akan bekerja sekuat tenaga untuk menolongi mereka, Untuk itu kami tak bakal menampik lagi." "Jelas!" Seru si imam. "Sekarang ini pinto menghendaki Ciauw Bok taysu menyerahkan itu dua orang wanita yang bersengsara dan harus dikasihani itu!" Mendengar itu bukan hanya Kanglam Cit Koay yang heran melainkan juga Wanyen Lieh si putra raja Kim itu. "Mustahilkah dia bukannya menyebutkan istri- istrinya Yo Tiat Sim dan Kwee Siauw Thian atau wanita yang lain?" Berpikir putra raja asing ini. Mukanya Ciauw Bok taysu menjadi kuning pucat, tak dapat ia membuka mulut. "Kaukaungaco belo!" Serunya kemudian. Khu Cie Kee menjadi gusar. "Kau juga orang Rimba Persilatan yang kenamaan, bagaimana kau berani melakukan kejahatan semacam ini?" Ia menegur dengan bengis. Lantas ia ayun tangan kanannya, hingga tempat pembakaran kertas perunggu itu yang beratnya ratusan kati terbang menyambar ke kepalanya si pendeta. Semua orang menjadi kaget, mereka yang tadinya datang menonton dengan diam-diam pada lari mundur hingga mereka saling tabrak dan terguling jatuh ke tangga loteng. Di antara Kanglam Cit Koay adalah Tio A Seng yang tenaganya paling besar, percaya ia sanggup menanggapi jambangan itu, ia lantas lompat ke depannya Ciauw Bok Taysu, untuk mendahului jambangan itu yang terus ia sambuti dengan kedua tangannya sambil berbuat mana ia berseru. "Bagus!" Akan tetapi dia mesti pasang kuda-kuda teguh sekali, sedang lantai loteng tak demikian kuat, maka dengan menerbitkan suara kaki kirinya melesak mendam, hingga orang-orang di bawah loteng menjadi kaget dan semuanya menjerit. Di dalam saat yang berbahaya itu karena kakinya bisa kejeblos terus, lekas-lekas Thio A Seng kerahkan tenaganya, untuk ayun balik jambangan itu ke arah Tiang Cun Cu. Itulah gerakan "Twie chong bong goat" "Menolak daun jendela untuk memandangi si putri malam". Khu Cie Kee ulur tangan kanannya, dengan tenang ia menyambuti. "Kanglam Cit Koay bukan bernama kosong saja!" Ia memuji sambil tertawa. Ia tapinya tertawa sebentar, segera wajahnya menjadi bermuram pula. Kembali ia pandang si pendeta dan membentak dengan pertanyaan. "Bagaimana denagn dua wanita yang bercelaka itu? Hai, pendeta jahanam, jikalau kau ganggu selembar saja rambut mereka itu, akan aku patah-patahkan hingga menjadi abu semua tulang-tulangmu dan akan bakar musnah hingga menjadi tanah putih kau punya kuil Hoat Hoa Sian Sien itu!" Cu Cong tidak lantas dapat mempercayai kata-kata imam itu. "Ciauw Bok Taysu adalah satu pendeta beribadat," Katanya sambil tangannya mengipas-ngipas dan kepalanya di geleng-geleng. "Cara bagaimana dia dapat melakukan perbuatan sekeji itu? Totiang, mestinya kau telah keliru dengar omongannya segala manusia rendah! Itu ngaco belo, pasti tak dapat dipercaya!" Khu Cie Kee menjadi mendongkol. "Pinto menyaksikan itu dengan mataku sendiri, bagaimana bisa jadi dusta?!" Dia berkata. Kanglam Cit Koay melengak semuanya. "Taruh kata benar kau sengaja datang ke Kanglam ini buat untuk angkat namamu," Akhirnya Ciauw Bok Taysu dapat buka mulutnya. "Kenapa untuk itu kau mesti menodai nama baikku? Kaukaukau pergilah ke seluruh kota Kee-hin untuk menyelidiki! Mana bisa aku, Ciauw Bok Taysu, melakukan perbuatan semacam itu?!" Cie Kee tertawa mengejek. "Bagus betul yah!" Katanya dingin. "Kau telah undang banyak kawan, kau memikir menggunai jumlah yang banyak untuk mendapatkan kemenangan! Tidak, hari ini tidak nanti aku beri kau lolos!" "Sabar Totiang!" Kwa Tin Ok memotong. "Totiang menuduh Taysu menyembunyikan kedua nyonya itu, Taysu sebaliknya menyangkal, inilah sulit. Mari kita bersama pergi ke Hoat Hoa Sian Sie, untuk melihat sendiri guna buktikan siapa sebenarnya yang benar, siapa yang salah! Mataku menang tidak dapat melihat akan tetapi orang-orang di sini tidak buta semuanya" Cu Cong berenam memberikan persetujuan mereka. "Apa? Menggeledah kuil?" Kata Khu Cie Kee dengan tawar. "Pinto sudah menggeledahnya di luar dan di dalam, sampai beberapa kali, tetapi walaupun pinto melihatnya dengan mataku sendiri kedua nyonya itu masuk ke situ, buktinya mereka tidak kedapatan, hingga pinto habis daya! Tidak ada jalan lain daripada si pendeta serahkan mereka itu!" "Jadinya dua wanita itu bukannya manusia!" Berkata Cu Cong. Khu Cie Kee melengak. "Apa" Katanya. Dengan sikapnya yang wajar, Cu Cong menyahuti. "Mereka itu ada bangsa dewi, jikalau mereka bukannya menghilang tentunya mereka sudah menyingkir dengan ilmu pinjam tanah!" Mendengar ini mau tidak mau, semua orang tersenyum. Imam itu menjadi gusur. "Bagus! Kamu permainkan aku!" Dia berseru. "Kanglam Cit Koay pasti membantu pihak si pendeta, bukankah?" Kwa Tin Ok jawab imam itu; "Kami tidak punya kepandaian sesuatu apa juga akan tetapi untuk Kanglam ini nama kami terkenal juga sedikit. Mereka ynag kenal kami semua dapat mengatakan sepatah kata. Walaupun Kanglam Cit Koay sedan-edanan lagak lagunya, mereka bukannya manusia-manusia yang takut mampus. Kamu tidak berani menghina orang lain tetapi kami juga tak dapat mengijinkan orang lain perhina kami!" Khu Cie Kee tidak ingin layani tujuh orang aneh dari Kanglam itu. "Perkaraku dengan si pendeta, biarlah aku yang bereskan sendiri!" Katanya kemudian. "Maafkan pinto, tidak dapat pinto temani kau lebih lama! Eh, pendeta, mari pergi!" Ia pun ulur sebelah tangannya, dengan niatan menarik si pengikut Buddha itu. Ciauw Bok Taysu paham ilmu dalam Hoat Hoa Lam Cong, begitu ia kasih turun lengannya, ia lolos dari cekalan si pendeta. Ma Ong Sin Ho Po Kie bertabiat aseran, tak senang ia menampak orang mulai gunai kekerasan. "Sebenarnya kau hendak gunai aturan atau tidak?" Dia tegur si imam. "Habis bagaimana, Han Samya?" Imam itu membalik bertanya. "Kami percaya habis Ciauw Bok Taysu, satu kali dia bilang tidak, pasti tidak!" Kata Cit Koay yang ketiga itu. "Seorang laki-laki sejati kangouw, mana ia dapat bicara dusta?!" Cie Kee nampaknya habis sabarnya. "Pinto cari pendeta ini, itulah sudah pasti!" Dia berkata. "Tuan-tuan bertujuh hendak campur tangan urusan ini, telah pastikah itu?" "Tidak salah!" Sahut Cit Koay serempak. "Baik!" Seru si imam. "Sekarang aku hendak memberi selamat kepada Tuan bertujuh dengan seorang satu cawan arak, habis minum barulah Tuan-tuan geraki tanganmu!" Pendekar Pemanah Rajawali Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Habis berkata, imam ini kasih turun tangannya yang memegang jambangan arak itu, dengan mulutnya sendiri, ia hirup arak satu ceglukan. "Silahkan!" Katanya habis menengak. Sembari berbuat begitu, ia ayun tangannya kepada Siauw Mie To Thio A Seng. Si Buddha tertawa sudah lantas berpikir. "Jikalau aku sambuti jambangan seperti tadi, dengan dipegang dan diangkat di atasan kepalaku, cara bagaimanaaku dapat meminumnya?" Demikian katanya dalam hati kecilnya. Meski begitu ia sudah lantas mundur dua tindak, kedua tangannyaditaruh di depan dadanya. Tepat ketika jambangan menyambar ke dadanya, ia pentang kedua tangannya itu. Ia bertubuh terokmok, dadanya itu penuh dengan daging yang lembek, tetapi tempo jambangan itu sampai, ia kerahkan tenata dalamnya, untuk sambut jambangan dengan kedua dadanya itu, berbareng dengan mana kedua tangannya bergerak untuk memeluk jambangan. Adalah disaat ini dengan sebat ia tunduk, mulutnya dikasih masuk ke dalam jambangan, menghirup arak di dalamnya! "Oh, arak yang harum!" Dia memuji. Dengan cepat ia lepaskan pelukannya, ia pindahkan kedua tangannya ke bawah jambangan untuk dipakai menampa, sesudah mana berbareng dia menolak dengan dadanya, kedua tangannya menolak juga dengan gerakannya. "Sia ciang ie san" Atau "Sepasang tangan memindahkan bukit". Maka melesatlah jambangan itu ke arah Khu Cie Kee. Tenaga yang dikerahkan itu bukan kepalang besarnya. Wanyen Lieh menyaksikam itu dengan kekaguman dan terkejut juga. Ia telah menyaksikan suatu gerakan tenaga dalam dari Gwa-kee, ahli luar yang lihay sekali. Khu Cie Kee dengan tenang sambuti pulang jambangannya itu dan ia menghirup pula. "Sekarang aku hormati Kwa Toako dengan satu jambangan!" Ia berkata pula, berbareng dengan mana jambanganarak itu dilemparkan ke arah si buta. Wanyen Lieh heran dan berkhawatir pula, tapi juga keras keinginan tahunya. "Cara bagaimana dia dapat menyambutnya?" Ia berpikir. "Sudah buta ia pun pincang." Kwa Tin Ok ada tertua Kanglam Cit Koay, pasti ada punya kepandaian yang istimewa. Sekalipun senjata rahasia, ia dapat dengar suara sambarannya dan tahu tepat arahnya, apapula sebuah jambangan yang besar yang anginnya seperti menderu-deru. Diwaktu jambangan dilemparkan kepadanya, ia tetap duduk tetap dan tenang seperti juga ia tidak mengetahuinya. Wanyen Lieh berkhawatir sehingga hampir ia berseru sendirinya. Tepat ketika jambangan sampai, Kwa Tin Ok sambut itu dengan tongkat besinya, yang ia pakai menanggapi dasarnya jambangan itu, hingga jambangan jadi duduk di ujung tongkat, duduk sambil berputaran seperti tukang dangsu tengah mengasi pertunjukan. Satu kali tongkat itu miring, jambangannya turut miring juga. Hebat kalau jembangan jatuh dan menimpah batok kepalanya si buta ini. Tapi jambangan tetap tinggal miring, adalah araknya yang lantas meluncur keluar seperti pancuran, atas mana Kwa Tin Ok buka mulutnya akan menanggapi. Maka dengangitulah ia menengak arak, sampai belasan cegluk. Sesudah ini ia geraki pula tongkatnya, membuat jambangan itu berdiri tetap lagi, hanya sekarang ia tidak lagi menunda seperti tadi, tiba-tiba ia angkat naik tongkatnya dengan kaget, sampai jambangan seperti mumbul, menyusul mana tongkat itu diputar, dipakai menolak tubuh jambangan, sampai terdengar satu suara nyaring, berbareng dengan mana jambangan itu bertolak balik kepada Khu Cie Kee. Selagi melayang jambangan itu masih mengasi dengar suara menguwang. Tiang Cun Cu tunjuki jempolnya, ia tertawa. "Diwaktu mudanya pasti Kwa Toako gemar main putaran nenempan!" Kata ia. Sembari bicara, ia sambut jambangan araknya itu. "Diwaktu kecil, Siauwtee melarat, maka kepandaian ini dipakai modal mengemis nasi," Sahut Tin Ok dingin. "Tentang seorang gagah tidak ditanya asal usulnya," Berkata si imam. "Sekarang hendak aku menyuguhkan Lam Sieko sejambangan arak!" Ia lantas menghirup pula satu segluk, setelah mana jambangan itu ia lemparkan ke arah Lam Hie Jin. Lam San Ciauw-cu si Tukang kayu dari Gunung Selatang ada pendiam tak doyan berbicara, pada wajahnya tak tertera rasa girang atau murka, semikian juga kali nini, sikapnya tenang dan wajar, kapan jambangan itu tiba kepadanya, ia angkat kayu pikulannya untuk menahan itu sebelum jambangan turun. Kapan kayu pikulan dan jambangan beradu, keduanya menerbitkan suara yang keras dan nyaring. Kayu pikulan itu ternyata bukannya kayu melainkan sebangsa logam, yang terbuat dari campuran hancuran tungsten, emas hitam dan baja pilihan, karenanya mejadi berat dan kuat luar biasa. Begitu terbentur pikulan logam itu, jambangan berhenti menyambar, lalu turun ke bawah akan tetapi belum lagi tempat arak istimewa itu jatuh ke lantai, Hie Jin sudah sambar araknya dengan tangannya untuk disendok dan dihirup. Jambangan itu tertahan pikulan dan terduduk di dengkulnya orang aneh yang keempat ini, yang sudah lantas tekuk sebelah lututnya yang kiri. Habis itu, dengan dibantu tangan kanan, jambangan itu diangkat, siap untuk dilemparkan pulang! Belum lagi jambangan dikasih melayang pergi, terdengarlah tertawanya Lauw-sie In Hiap Coan Kim Hoat, yang terus berkata. "Aku si pedagang kecil suka sekali mendapat keuntungan oleh karenanya ingin aku tanpa menggunai banyak tenaga untuk turut minum arak!" Ia segera menghampiri Lam Hie Jin, yang telah kasih turun jambangan di tangannya, maka itu dengan sekali sendok saja, si Pendekar Sembunyai di kota sudah turut mencicipi arak itu. Tapi ia tidak berlaku ayal. Dengan cepat ia pasang kuda-kudanya, ia kerahkan tenaganya, maka dilain saat jambangan itu sudah terangkat naik dan terlempar terapung kearah Khu Cie Kee. "Bagus! Bagus!" Biauw Ciu Sie-seng Cu Cong memuji seraja ia goyang-goyang kipasnya. Tiang Cun Cu sambuti jambangannya itu, kembali ia mencegluk araknya. "Bagus! Bagus!" Ia pun turut memuji. "Sekarang pinto hendak menyuguhkan kepada Cu Jieko!" Belum lagi jambangan itu dilemparkan, Cu Cong sudah berjingkrak bangun. "Ayo! Tak dapat!" Dia berseru. "Jangan! Aku si mahasiswa cilik tak punya tenaga kekuatan untuk kata meringkus ayam, perutku tak dapat memuat segantang arak, maka jikalau aku disuguhkan, umpama kata aku tidak mampus ketindihan, mungkin aku bakal mati karena mabuk" Akan tetapi sia-sia saja ia unjuk roman ketakutan seperti kalap itu, jambangan sudah lantas terbang melayang kearahnya. "Tolong! Tolong!" Dia berteriak-teriak selagi jambangan itu mengancam padanya. "Orang bakal mampus ketindihan! Tolong!" Di mulut ia mengoceh tidak karuan, kipasnya tapinya ia pakai untuk mencelup ke dalam jambangan, untuk sendok araknya untuk bawa itu arak ke dalam mulutnya, kemudian dengan gagang kipas, dia segera menahan turunnya jambangan itu, yang dia barengi tolak pergi. "Brak!" Demikian satu suara nyaring, dan lantai papan pecah bolong, membuatnya satu lobang besar ke dalam mana tubuh si mahasiswa terjeblos masuk di waktu mana terdengar jeritannya berulang-ulang. "Tolong! Tolong!" Selagi jambangan mental balik, hampir tiba dimulut jendela, Wan Lie Kiam Han Siauw Eng telah lompat menyusul. Nona ini dengan tiba-tiba menjejak dengan kaki kanannya, tubuhnya lantas mencelat ke arah jendela, gerakkannya bagaikan burung walet menyambar air; ketika ia berada di atas jambangan, kepalanya ditunduki ke dalam jambangan itu, mulutnya lantas menyedot arak. Berbareng dengan itu kakinya sudah lantas menginjak palang jendela. Lincah gerakannya itu, manis dipandangnya. Ahli pedang Gadis Wat lihay ilmu pedangnya, enteng tubuhnya tetapi ia kurang tenaga, maka itu, cacat itu ditambal dengan kelincahan dan kecerdikannya. Ia insaf, kalau jambangan berat itu ditimpuki kepadanya gilirannya memang bakal tiba tidak nanti ia sanggup menganggapnya, maka itu ia gunai ketika yang baik ini untuk menengak arak tanpa tunggu Khu Cie Kee menyuguhkan kepadanya. Akal cerdik semacam ini tadi pun telah digunai oleh Coan Kim Hoat, Cuma Lauw-sie In Hiap menambahkan itu dengan memulangkan jambangan kepada Khu Cie Kee. Jambangan itu tidak ada yang tahan, maka ia melintasi jendela, terus melayang turun ke luar, ke bawah loteng. Semua orang terkejut, si imam sendiri tak terkecuali. Kalau jambangan itu jatuh ke bawah loteng, pasti ada orang yang bakal tertimpa dan menjadi korban. Berbareng kaget, Tiang Cun Cu berniat lompat, akan mendahului jambangan itu, guna mundurkan semua orang untuk mencegah kecelakaan yang tak dikehendaki itu.Justru ia baru memikir, tapi kupingnya sudah dengar seruan keras tapi halus nadanya. "Siancay!" Itu adalah suatu pujinya seorang penganut Buddha. Berbareng dengan puji itu tubuhnya Ciauw Bok Taysu lompat melecat menyusuli jambangan itu. Pendeta ini sangat beribadat dan murah hatinya, sekarang ia gunai hasil latihannya beberapa puluh tahun, untuk korbankan diri, guna menolong siapa yang dapat ditolong dari bencana ketimpa jambangan itu. Untuk itu ia perlu mendahului jambangan, karena untuk mencegahnya dengan menahan, tak sanggup ia melakukannya. Baru pendeta itu melewati jendela, lain orang telah dalui ia. Itulah seorang dengan baju kuning yang sembari melompat, telah perdengarkan satu suara bersiul. Mendengar siulan itu, kuda kuning di bawah loteng lantas saja lari ke jalan besar di betulan mulut jendela loteng itu. Semua mata segera diarahkan ke mulut loteng. Maka itu mereka dapat lihat benda bagai segumpal daging yang seperti bentrok dengan jambangan, lalu keduanya jatuh miring dengan berbareng, hingga tenaga turunnya menjadi berkurang. Tepat sekali keduanya jatuh di bebokong kuda yang lalu lari beberapa tindak, lalu kembali untuk terus lari masuk ke dalam ciaulauw dan mendaki loteng! Selagi kuda itu beraksi, Ma Ong Sin Han Po Kie, ialah segumpal daging yang tadi telah melayang menyambar jambangan sudah pernahkan dirinya dibawah perut kuda itu, kaki kirinya menyantel pada sanggurdi, kedua tangannya dibantu kaki kanannya menahan jambangan, hingga jambangan itu dapat duduk tetap di atas kuda. Kemudian, sedangnya binatang itu mendaki loteng, Han Po Kie geraki tubuhnya untuk naik sedikit, guna ulur kepalanya ke mulut jambangan, dengan begitu ia jadi bisa berbareng mencicipi juga arak itu. Warisan Jenderal Gak Hui Karya Chin Yung Pecut Sakti Bajrakirana Karya Kho Ping Hoo Ilmu Golok Keramat Karya Chin Yung