Pendekar Pemanah Rajawali 44
Pendekar Pemanah Rajawali Karya Jin Yong Bagian 44
Pendekar Pemanah Rajawali Karya dari Jin Yong Kata Tong Shia dingin. "Kamu kaum Coan Cin Kauw, kamu hendak memandang bagaimana kepadaku?" Mendengar itu, In Cie Peng kaget bukan main, hatinya berdebaran. Yauw Kee semenjak tadi diam saja menyaksikan tingkah pola orang, turut terkejut, hatinya kebat-kebit. Koan Eng turut berkhawatir, di dalam hatinya ia kata. "Tentulah kakek guruku ini dengar pembicaraanku dengan ini tosu muda. Kalau dia pun mendengar kata-kataku kepada malaikat dapur barusan, entah dia bakal menghukum bagaimana kepadaku" In Cie Peng memegang pipinya. "Kaulah pemimpin suatu partai persilatan, mengapa perbuatanmu begini cupat?" Kemudian Cie Peng menegur si Sesat dari Timur itu. "Kanglam Liok Koay adalah orang-orang gagah yang berhati mulia, mengapa kau mendesak mereka demikian rupa? Mengapakah? Jikalau bukan guruku yang memberikan kabar, bukankah mereka semua bakal bercelaka di tanganmu?" Oey Yok Su menjadi gusar. "Pantas tak ketemu aku cari mereka di mana-mana, kiranya ada orang bangsa campuran yang emngadu biru di antara kita!" Katanya nyaring. Cie Peng menjadi berani, ia berjingkrak. "Jikalau kau hendak membunuh aku, bunuhlah!" Ia menantang. "Aku tidak takut!" Oey Yok Su tertawa dingin. "Bukankah kau telah mencaci aku dibelakangku?" katanya. Imam muda itu menjadi nekat. "Di depanmu pun aku berani mencaci kau!" Katanya sengit. "Kaulah si setan alas, si siluman!" Koan Eng berkecil hati mendengar keberanian Cie Peng itu. Semenjak ia menjadi jago, Oey Yok Su ditakuti semua orang, dari kalangan Hitam dan Putih, tidak pernah ada orang yang berani berlaku kurang ajar terhadapnya, maka Cie Peng ini adalah orang yang pertama. "Hebat! Ini imam cilik bakal tak ketolongan jiwanya" Ia mengeluh. Tetapi anehnya, bukannya marah, Oey Yok Su justru tertawa. Nyata si Sesat dari Timur ini menghargai dan menyayangi hati besar bocah ini. Ia ingat pada masa mudanya, yang juga tidak kenal takut. "Jikalau kau berani, kau makilah pula padaku!" Katanya bengis sambil ia bertindak menghampirkan. "Aku tidak takut, hendak aku memaki pula padamu!" Jawab Cie Peng. "Kau iblis, kau siluman!" "Hai, binatang bernyali besar, kau berani menghina kakek guruku!" Membentak Koan Eng, yang lantas membacok. Tapi ia bukan hendak mencelakai, sebaliknya, untuk melindungi. Karena ia mengerti baik sekali, kalau kakek gurunya yang turun tangan, celakalah imam muda ini. Ia pikir, bacokannya sendiri, ke arah alis, tidak meminta jiwa orang. Ia harap perbuatannya ini nanti merendahkan kegusarannya kakek guru itu. Cie Peng berkelit yang berlompat mundur dua tindak. Ia mendelik, kembali ia pentang mulutnya lebar-lebar. "Imam kamu yang muda ini hari ini dia tak menghendaki hidup lebih lama pula!" Katanya nyaring dan sengit. "Hendak aku mencaci kau!" Koan Eng hendak membacok orang roboh, untuk menolongi jiwanya, maka tanpa membilang suatu apa, ia menyerang pula. "Traang!" Demikian satu suara nyaring. Sebab yauw Kee menalangi Cie Peng menangkis. Nona ini pun segera berkata nyaring. "Aku pun orang Coan Cin Kauw! Jikalau kau hendak membunuhnya, nah bunuhlah kami berdua saudara seperguruan!" Perbuatan nona Thia ini membuatnya Cie Peng terkejut dan kagum. "Bagus, Thia Sumoy!" Serunya. Berdua mereka berdiri berendang, mata mereka memandang tajam kepada Oey Yok Su. Sikap mereka ini membuatnya Koan Eng menghentikan sepak terjangnya. Oey Yok Su mengawasi sepasang muda-mudi ini, ia tertawa terbahak. "Bagus, kamu bersemangat!" Katanya memuji. "Memang aku Oey Lao Shia, aku ada dari bangsa sesat, maka tepatlah kau memaki aku! Gurumu masih terhitung orang di bawahan tingkat derajatku, dari itu, mana bisa aku melayani kamu bangsa sebawahanku? Nah, kau pergilah!" Sambil berkata begitu, Oey Yok Su mengulurkan sebelah tangannya menjambak dada si imam muda, terus tangannya itu dikibaskan. Cie Peng kena terjambak tanpa ia berdaya dan tahu-tahu tubuhnya sudaha melayang, terlempar ke luar. Ia kaget bukan main. Ia percaya bahwa ia bakal jatuh terbanting keras. Kesudahannya ada diluar dugaannya. Ia jatuh dengan berdiri dengan kedua kakinya, ia seperti juga dipegangi Oey Yok Su dan diksaih turun dengan perlahan-lahan! Muridnya Tiang Cun Cu ini berdiri menjublak. "Sungguh berbahaya.." Katanya dalam hatinya. Sekarang ini biar nyalinya lebih besar pula, tidak nanti ia berani mencaci pula si Sesat dari Timur itu, kepandaian siapa benar-benar luar biasa. Kemudian dengan pegangi pipinya yang bengkak-bengkak, ia memutar tubuhnya untuk ngeloyor pergi Yauw Kee memasuki pedangnya ke dalam sarungnya, ia pun membalik tubuhnya untuk berlalu. "Perlahan dulu!" Mencegah Oey Yok Su seraya ia mengangkat tangannya ke mukanya, untuk menyingkirkan topengnya. "Bukankah kau suka menikah dengannya untuk menjadi istrinya? Benarkah?" Ia menanya seraya menunjuk ke Koan Eng. Kaget nona Thia. Inilah ia tak sangka. Dengan sendirinya mukanya menjadi pucat dan kemudian berubah menjadi bersemu merah dadu "Imam cilik yang menjadi kakak seperguruanmu itu, memang tetap caciannya padaku," Berkata pula Oey Yok Su. "Bukankah ia mengatakan aku iblis dan siluman? Memang tocu dari Tho Hoa To, Tong Shia Oey Yok Su, siapakah orang kangouw yang tidak mengetahuinya? Seumurnya aku Oey Lao Shia, yang aku paling jemukan ialah segala hal wales asih dan pribadi, segala peradatan dan aturan, dan yang paling aku bencikan yakni segala nabi atau rasul, segala kehormatan atau kesucian diri! Semua itu adalah daya belaka untuk memperdayakan suami-istri tolol, dan manusia di kolong langit ini, turun menurun telah dibelesaki ke dalam situ tanpa mereka sadari! Tidakkah itu sangat menyedihakn, sangat harus dikasihani dan lucu juga? Oey Yok Su tidak percaya semua itu! Orang mengatakan Oey Yok Su sesat! Hm! Sebenarnya hatiku ada terlebih baik daripada segala nabi yang dipuja di dalam kuil!" Yauw Kee berdiam, tapi hatinya berdenyutan. Hebat kata-katanya Oey Yok Su ini. Ia tidak tahu, apa yang si sesat ini hendak perbuat atas dirinya. "Kau omonglah terus terang kepadaku," Berkata pula Oey Yok Su. "Benar bukan kau hendak menikah sama cucu muridku ini? aku paling sukai bocah yang bersemangat dan polos dan jujur! kau lihat imam cilik tadi, ia mencaci aku dibelakangku. Coba di depanku dia takut mencaci lebih jauh, coba dia justru bertekuk lutut memohon ampun, kau lihat, aku bunuh padanya atau tidak! Hm! Di saat yang sangat berbahaya kau membantu imam cilik itu, kau bersemangat, maka itu tepatlah kau dipasangi sama cucu muridkun ini! Nah, kau jawablah!" Yauw Kee girang bukan kepalang. Memang sangat ingin ia menikah sama Koan Eng. Akan tetapi cara bagaimana ia dapat membuka mulut dalam urusan yang mesti direcoki orang tua mereka? Kepada ayah ibunya sendiri ia malu untuk menjelaskannya, apa pula kepada orang asing ini, yang ia baru pertama kali menemuinya? Pula di situ Koan Eng ada beserta! Maka ia tetap berdiri diam, wajahnya tetap merah dadu Oey Yok Su mengawasi Liok Koan Eng. Juga pemuda itu, cucu muridnya, berdiam sambil tunduk. Tiba-tiba ia ingat pada putrinya. Maka ia menghela napas. "Jikalau dihendaki kamu berdua, suka aku merecoki jodoh kamu," Katanya perlahan. "Memang di dalam hal perjodohan, orang tua juga tiak dapat memaksanya." Si Sesat dari Timur ini ingat kejadian kepada putrinya. Coba ia meluluskan anak darahnya itu menikah dengan Kwee Ceng, tidak nanti anak itu mati mengenaskan di dasar laut. Karena ini, ia menjadi uring-uringan. "Koan Eng!" Katanya tiba-tiba nyaring. "Kau jawablah terus terang, sebenarnya kau menghendaki atau tidak dia ini menjadi istrimu?!" Pemuda she Liok itu kaget hingga ia mencelat. "Cauwsuya," Sahutnya cepat, gugup. "Aku hanya khawatir aku tidak setimpal dengan ini" "Tepat, cocok!" Berseru Oey Yok Su. "Kaulah cuci muridku, sekalipun putri raja, tentu dia tepat, dia setimpal denganmu!" "Ya, cucu muridmu suka," Koan Eng menjawab dengan cepat. Ia mengerti kalau ia tidak omong polos dan terus terang, ia bisa celaka di tangan kakek guru yang tabiatnya aneh ini. Kalau tadi ia beroman beringis, sekarang Oey Yok Su tersenyum. "Bagus!" Serunya. "Sekarang kau, nona?" Ia terus tanya nona Thia. Bukan main girangnya yauw Kee, manis ia mendengar suaranya Koan Eng. Akan tetapi ia masih menunduki kepala. "Tentang hal ini haruslah ayahku yang memutuskannya" Sahutnya sesaat kemudian. "Ha, apakah itu segala titah orang tua, segala perkataan comblang?" Kata Oey Yok Su keras. "Segala itu ialah angin busuknya anjing! Sekarang ini akulah yang hendak mengambil keputusan! Jikalau ayahmu tidak mupakat, suruh dia berurusan denganku!" Yauw Kee berdiam. "Kalau begitu, terang kau tidak suka!" Berkata Oey Yok Su. "Kau ada merdeka! Kita harus omong terus terang, aku Oey Lao Shia, aku larang orang menyesal kemudian!" Yauw Kee tersenyum. "Ayahku cuma pandai berhitung dan menulis, dia tidak mengerti ilmu silat," Katanya, menjelaskan. Oey Yok Su heran, melengak. "Biarlah mengadu menghitung dan menulis pun boleh!" Katanya kemudian. "Lekas kau bilang, kau suka atau tidak menikah dengan cucu muridku ini?" Nona Thia melirik Koan Eng, roman siapa gelisah. Di dalam hatinya ia kata. "Ayahku paling sayang padaku, asal kau minta orang datang melamar aku, dia tentu akan menerimanya. Kenapa kau begini bergelisah?" Oey Yok Su mengawasi cucu muridnya. "Koan Eng, mari turut aku mencari Kanglam Liok Koay!" Katanya nyaring. "Lain kali kalau kau dan nona ini bicara pula, sepatah kata saja, akan aku kuntungi lidah kamu!" Koan Eng kaget bukan main. Ia tahu benar, perkataannya si kakek guru tentu bakal diwujudkan. Maka lekas-lekas ia menghampirkan Yauw Kee, kepada siapa ia menjura seraya berkata. "Nona Thia, aku Liok Koan Eng, kepandaian ilmu silatku rendah sekali, aku pun tidak terpelajar, sebenarnya tidak setimpal aku denganmu, akan tetapi hari ini kita telah bertemu, itu tandanya kita berjodoh" "Jangan terlalu merendah, kongcu," Sahut Yauw Kee perlahan. "Akuaku bukannya." Koan Eng lekas memotong. Ia jadi ingat tadi si nona bicara dari hal mengangguk kepala untuk menggantikan jawaban. "Nona," Demikian katanya. "Jikalau kau mencela aku si orang she Liok, kau goyanglah kepalamu" Di mulut Koan Eng mengatakan demikian, hatinya sebenarnya goncang keras. Ia menatap si nona, ia khawatir nona itu benar-benar menggeleng kepala Sekian lama, Yauw Kee berdiam saja. Di atas dari kepalanya, di bawah sampai kakinya, dia tidak bergerak sedikit juga. Bukan main girangnya Koan Eng. "Nona!" Ia berseru. "Kalau kau setuju, kau menerima baik, sukalah kau mengangguk!" Tapi, nona Thia itu tetap tidak bergerak. menampak itu, Koan Eng bergelisah bukan main. Oey Yok Sun sendiri menjadi tidak sabaran. "Menggeleng kepala tidak, mengangguk pun tidak, habis bagaimana?!" Katanya. Yauw Kee tunduk, ia bersenyum ketika ia berkata. "Tidak menggeleng kepala itu berarti mengangguk" Mau tidak mau, Oey Yok Su tertawa berkakakan. "Hebat Ong Tiong Yang, dia menerima ini macam cucu murid! Sungguh lucu!" Serunya. "Bagus, bagus! Sekarang juga aku akan menikahkan kamu!" Koan Eng dan Yauw Kee terkejut. Keduanya lantas mengawasi orang tua ini, mulut mereka bungkam. "Mana itu nona tolol?" Kemudian Oey Yok Su menanya. "Hendak aku tanya dia, siapakah gurunya." Ketiganya menoleh ke sekitarnya, Sa Kouw tidak ada di antara mereka. Entah kapannya si tolol menghilang selagi orang berbicara. "Sudah, tidak usah repot mencari dia," Pendekar Pemanah Rajawali Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Kata Oey Yok Su kemudian. "Koan Eng, sekarang hayolah kau dan nona Thia sama-sama menghormati langit dan bumi, untuk menglangsungkan pernikahan kamu." "Cauwsuya," Berkata Koan Eng. "Kau menyayang cucu muridmu ini, untuk itu walaupun tubuhku hancur lebur, sukar aku membalas budimu, akan tetapi dengan aku menikah di sini, nampaknya ini terlalu tergesa-gesa" "Hus!" Membentak Tong Shia. "Kamu murid Tho Hoa To, apakah kau juga hendak mengukuhi segala aturan umum? Mari, mari, berdirilah berendeng dan memberi hormatlah ke luar kepada langit!" Berpengaruh sekali suaranya pemilik dari pulau Tho Hoa To ini. Sampai di situ, Yauw Kee dan Koan Eng bertindak satu pada lain, untuk berdiri berendeng, untuk terus menjalankan kehormatan. "Sekarang menghadap ke dalam, menghormati bumi!" Oey Yok Su berkata pula. "Nah, kau menghormatilah couwsu kamu! Bagus, bagus, sungguh aku girang! Sekarang suami istri saling memberi hormat!" Demikian KoanEng dan Yuaw Kee seperti main sandiwara di bawah pimpinan Tong Shia, selama mana Oey Yong bersama Kwee Ceng terus mengikuti dari kamar rahasia. Mereka heran dan lucu atas sepak terjangnya orang tua ini. "Bagus!" Terdengar pula suaranya Oey Yok Su. "Sekarang hendak aku menghadiahkan serupa barang kepada kamu suami-istri muda. Kamu lihat!" Seketika itu juga, di dalam ruangan ini terdengar suara angin menderu-deru, seumpama kata, tembok bergoyang-goyang Oey Yong tidak mengintai tetapi ia tahu, ayahnya tengah menjalankan ilmu silat yang dinamakan Kong-piauw-kun atau Angin Ngamuk. Sekira semakanan the, angin berhenti menderu. "Kamu lihat, sekarang kamu turuti, untuk berlatih," Berkata Oey Yok Su. "Mungkin kamu tidak dapat menangkap seluruh sarinya ilmu silat ini akan tetapi setelah menyakinkannya, meskipun cuma kulitnya saja, bila kemudian kamu bertemu pula orang sebangsa si orang she Hauw tadi, tak usah kau takut lagi. Koan Eng, pergi kau cari sepasang lilin, malam ini kamu boleh merayakan pernikahan kamu!" Koan Eng melengak. "Cauwsu," Katanya tertahan. "Apa? Habis menghormati langit-bumi, apakah bukannya merayakan pernikahan di antara lilin di dalam kamar?" Tanya kakek guru ini. "Kamu berdua ada orang-orang yang menyakinkan ilmu silat, mustahilkah untuk kamu masih dibutuhkan segala kamar yang dirias indah dan gubuk reot tak cukup?" Koan Eng terdesak. Tetapi diam-diam ia bergirang. Ia lantas pergi untuk membeli lilin sekalian membeli juga arak putih dan seekor ayam, bersama-sama Yauw Kee ia pergi ke dapur untuk mematangi itu, setelah mana mereka melayani sang kakek guru bersantap. Sejak itu Oey Yok Su tidak banyak omong lagi, bahkan ia melihat ke langit, otaknya memikirkan anak daranya. Oey Yong bersusah hati, beberapa kali hendak ia memanggil ayahnya itu, saban-saban ia membatalkannya. Ia khawatir ia nanti mengganggu lukanya Kwee Ceng. Pernah ia mengulur tangan ke pintu, lekas ia menariknya pulang. Yuaw Kee dan Koan Eng beberapa kali melirik Tong Shia, lalu mereka saling mengawasi. Mereka juga membungkam, tidak ada yang berani membuka mulut. Auwyang Kongcu rebah di atas rumput, ia merasa sangat lapar, tetapi ia menguati hatinya, untuk tak bersuara, tak bergerak. Maka itu ketika itu, di dalam tiga kamar, keenam orang itu sama-sama rapat mulutnya. Demikian cuca gelap. Dengan mulai gelapnya sang jagat, hati Yauw Kee berdebaran. "Ah, kenapa si tolol itu masih belum kembali?" Berkata Oey Yok Su. "Kawanan jahanam itu tentulah tak berani mengganggu dia." Ia menoleh pada Koan Eng. Ia menanya. "Malam ini malam pengantin, mengapa kau tidak memasang lilin?" "Ya," Menyahut Koan Eng cepat dan ia menyalakan api menyulut lilin. Maka itu di antar terangnya api ia dapat melihat wajahnya nona Thia dengan rambutnya yang bagus dan pipinya yang putih. Di luar rumah terdengar suara angin perlahan, dari memainnya daun-daun bambu. Oey Yok Su menngangkat sebuah bangku, ia lintai itu di depan pintu, lants di situ ia rebahkan dirinya. Tidak lama, dari hidungnya mulai terdengar suara menggeros perlahan, suatu tanda ia sudah tidur pulas. Yuaw Kee dan Koan Eng masih duduk tak bergeming. Sang tempo berjalan terus sampai sepasang lilin padam, habis manjadi cair beku dan sumbunya menjadi abu, hingga ruangan menadi gelap petang. Setelah ini mereka berbicara, seperti berbisik-bisik hingga Oey Yong yang memasang kuping, tidak dapat menangkap pembicaraan mereka itu. Nona Oey berhenti memasang kuping tatkala merasakan tubuh Kwee Ceng bergerak secara tiba-tiba, napasnya seperti memburu. Ia mengerti, itulah saat genting dari latihan mereka. Maka ia memusatkan perhatiannya, ia mengempos tenaga dalamnya, untuk menunjang kawan itu. Ia menanti sampai si anak muda tenang pula, baru ia mengintai keluar. Sekarang ini mulai tertampak sinar rembulan, yang molos masuk dari jendela butut. Dengan begitu kelihatan juga Koan Eng dan nona Thia duduk berbareng. Mereka duduk diatas sebuah bangku. "Tahukah kau hari ini hari apa?" Kemudian terdengar si nona Thia, suaranya perlahan. "Inilah hari baik dari kita berdua," Menyahut Koan Eng. "Itulah tak usah disebutkan lagi," Kata si nona. "Hari ini bulan tujuh tanggal dua - hari ini ialah hari lahir aku." Koan girang. "Oh, sungguh kebetulan!" Katanya. "Tidak ada hari sebaik hari ini!" Yauw Kee mengulur tangannya menutup mulut orang. "Sst, perlahan," Ia memberi ingat. "Kau lupa daratan, eh?" Hampir Oey Yong tertawa mendengar pembicaraan mereka itu. Justru itu ia pun bagaikan sadar. "Hari ini tanggal dua, dan engko Ceng baru sembuh tanggal tujuh," Demikian ia ingat. "Rapat partai Pengemis di kota Gakyang bakal dilakukan tanggal limabelas. Dalam tempo delapan hari, mana dapat kita sampai di sana?" Nona ini tengah berpikir ketika kupingnya mendengar siulan panjang di luar rumah makan, disusul tertawa nyaring yang seperti menggetarkan genteng rumah makan itu. Ia mengenali suaranya Ciu Pek Thong. "Hai, tua bangka berbisa bangkotan!" Terdengar pula suaranya si orang tua berandalan itu. "Dari Lim-an kau mengubar ke Kee-hin, dari Kee-hin kau mengejar balik ke Lim-an, sudah satu hari satu malam kau mengejarnya, sampai diakhirnya, kau masih tak dapat menyandak Loo Boan Tong! Sekarang ini sudah ada keputusannya tentang kepandaian kita berdua, apalagi hendak kau bilang?" Oey Yong terkejut. "Dari Lim-an ke Kee-hin toh perjalanan limaratus lie lebih?" Pikirnya. "Ah, bagaimana cepat larinya mereka berdua?" Itu waktu terdengar suaranya Auwyang Hong. "Meski juga kau lari ke ujung langit, akan aku kejar kau sampai di sana!" Ciu Pek Thong tertawa terbahak. "Kalau begitu, biarlah kita jangan gegares jangan tidur!" Dia berkata nyaring. "Biar kita terus kejar-kejaran untuk mendapat tahu, siapa yang larinya paling kencang, siapa yang paling ulet. Kau berani atau tidak?!" "Baik!" Menyambut Auwyang Hong. "Mari kita lihat siapa yang akan lebih dulu mampus kecapaian!" Bab 51. Ajalnya Auwyang Kongcu Sebenta saja terdengar perkataan dan tertawanya Auwyang Hong dan Ciu Pek Thong berdua, atau sejenak kemudian, suara mereka terdengar sudah jauh mungkin di luar belasan tombak. Koan Eng dan Yauw Kee duduk menjublak. Tak tahu mereka siapa kedua orang itu, mereka heran. Apa perlunya dua orang itu muncul di tengah malam buta rata? Saking ingin tahu, mereka bangun berdiri, terus sambil berpegangan tangan mereka bertindak ke pintu. Oey Yong sendiri berpikir. "Mereka berdua hendak menguji kekuatan kaki mereka, mestinya ayah menyaksikan mereka itu." Benar saja, segeralah terdengar suaranya Koan Eng. "Ah, aneh! Mana Couwcu?" "Lihat di sana!" Berkata Yauw Kee. "Bukankah di sana ada bayangan tiga orang? Bayangan yang paling belakang itu mirip sama bayangan couwsu." "Ya, benar!" Berkata Koan Eng. "Kenapa dalam sekejap saja mereka itu sudah pergi begitu jauh? Siapakah itu dua orang yang lain? Mereka lihay sekali! Sang kita tidak dapat melihat mereka" Kata Oey Yong dalam hatinya. "Tidak peduli kamu melihat si bisa bangkotan atau si bocah tua bangkotan berandalan, untuk kamu berdua tidak ada faedahnya" Habis itu, dua-dua Koan Eng dan Yauw Kee lega hatinya. Dengan kepergian Oey Yok Su sang kakek guru, mereka menganggap berdua saja di rumah makan itu. Bukankah Sa Kouw pun pergi tidak karuan paran? Koan Eng lantas merangkul pinggang langsing dari istrinya si pengantin baru. "Adikku, apakah namamu?" Ia menanya perlahan. Nona Thia tertawa. "Aku tidak hendak membilangi kamu. Kamu terkalah!" Koan Eng pun tertawa. "Kalau bukannya kucing kecil tentulah anjing cilik, !" Katanya. "Semaunya bukan!" Kata si nona, kembali tertawa. "Itulah si biang kutu gede!" Koan Eng tertawa pula. Dengan "biang kutu gede" Dimaksudkan harimau. "Oh, kalau begitu tak dapat aku menangkapnya!" Katanya. Nona Thia berontak, ia melompat ke meja. Koan Eng mengejar sambil tertawa-tawa. Demikian mereka main kejar-kejaran, berputar- putaran, suara tertawa mereka ramai. Samar-samar Oey Yong menanmpak bayangan mereka di antara sinar bintang-bintang, ia terus mengawasi, mulutnya tersenyum sendiri. "Eh, Yong-jie, coba kau terka, dapatkah dia menyandak nona Thia atau tidak?" Tiba-tiba Kwee Ceng menanya. "Dia bakal pasti tercandak!" Jawab si nona. "Kalau sudah kena ditangkap, bagaimana?" Kwee Ceng menanya pula. Oey Yong tidak dapat menjawab. Pertanyaan itu menggeraki hatinya. Justru itu terdengar suaranya Koan Eng, tandanya ia telah berhasil menyandak dan membekuk Yauw Kee, lalu keduanya saling merrangkul, kembali ke bangku mereka. Mereka bicara dan tertawa dengan perlahan. Bukan main gembiaranya mereka itu. Tangan kanan Oey Yong tetap beradu sama tangan kiri Kwee Ceng, ia merasakan telapakan tangannya si anak muda makin lama makin panas, tubuhnya pun bergoyang ke kiri dan ke kanan, bergoyangnya makin lama makin keras. Ia menjadi terkejut. "Engko Ceng, kau kenapa?" Ia menanya. Kwee Ceng masih belum sembuh totol, bersenda guraunya Koan Eng dan Yuaw Kee mengganggu pemusatan pikirannya, lebih-lebih ia berada berduaan saja sama Oey Yong. Sulit untuk dia menguasai dirinya, maka itu tanganya menjadi panas, tubuhnya bergoyang. Ia tidak jawab si nona, hanya ia ulur tangan kanannya akan memegang pundak si nona. Pendekar Pemanah Rajawali Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Oey Yong bertambah khawatir. Pemuda itu bernapas memburu keras, hawanya pun bertambah panas. "Engko Ceng, hati-hati!" Ia memperingati. "Kau tenangkan dirimu, kau tetapkan hatimu!" "Aku gagal, Yong-jie," Menyahut Kwee Ceng, yang hatinya goncang. "Akuaku.." Habis berkata, ia mencoba bangun untuk berdiri. "Jangan bergerak!" Oey Yong berteriak saking bingungnya. Ia gugup. Kwee Ceng duduk pula, ia mainkan pernapasannya. Ia merasakan hatinya ruwet, dan dadanya pun seperti hendak meledak. "Yong-jie, kau tolongi aku, tolongi" Raratpnya. Kembali ia hendak berbangkit bangun. "Jangan bergerak!" Oey Yong melarang pula. "Begitu kau gerak, akan aku totoki padamu!" "Benar, lekaslah kau totok!" Kata Kwee Ceng. "Aku tidak dapat menguasai diriku lagi" Oey Yong menjadi sangat bingung. Ia tahu, kalau ia menotok, habis sudah latihan ,mereka berdua, yang telah dilakoni dengan susah payah, dikemudian hari mereka harus berlatih dari baru pula. Tapi Kwee Ceng menghadapi bahaya, asal ia berdiri, maka terancamlah jiwanya. Tapi ia tak dapat bersangsi, ia tidak boleh berayal lagi. Dengan menggertak gigi, ia geraki tangan kirinya, dengan tipu "Lan-hoat Hut-huat-ciu", ia menotoki jalan darah ciang-bun di tulang rusuk ke sebelas dari dada kiri si pemuda itu. Tenaga dalam dari Kwee Ceng telah terlatih sempurnya sekali, ia dapat menggunai itu secara wajar, maka tempo jari si nona hampir sampai pada sasarannya, ia berkelit sendirinya. Dua kali Oey Yong menotok, dua-dua kalinya gagal. Ketika ia hendak mengulangi untuk ketiga kalinya, mendadak lengan kirinya tercekal keras, lengan itu kena ditangkap Kwee Ceng. Cuaca ketika itu sudah mulai terang. Oey Yong berpaling, mengawasi si anak muda. Ia mendapatkan sepasang mata orang merah bagaikan api. Ia terkejut. Ia pun merasa tangannya ditarik. Mulut Kwee Ceng mengasih dengar suara tak tegas, terang ia kacau otaknya. Terpaksa ia menggeraki pundaknya, membentur tangan orang. Dengan begitu duri dari baju lapisnya mengenai daging si anak muda. Kwee Ceng kaget kesakitan, ia tertegun. Justru itu waktu, kupingnya dapat menangkap keruyuknya ayam jago. Mendadak saja, otaknya menjadi terang dan sadar. Dengan perlahan ia lepaskan cekalannya, ia mengasih turun tangannya. Ia pun malu hingga ia jengah sendirinya. Oey Yong mengawasi. Di jidat anak muda terlihat keringat mengetel. Kulit muka orang pun lesu dan pucat sekali. Tapi, meskipun itu semua, ancaman bahaya sudah lenyap. Maka legalah hatinya, ia menjadi girang. "Engko Ceng, kita sudah melewati dua hari!" Katanya. "Plok!" Demikian satu suara nyaring. Nyata Kwee Ceng telah menggaplok mukanya sendiri. "Sungguh berbahaya!" Katanya. Ia maish hendak menggaplok lagi atau si nona mencegah. "Jangan, itulah tak ada artinya!" Kata Oey Yong tertawa. "Kau ketahui lihaynya Loo Boan Tong, dia masih tak sanggup mempertahankan dri dari suara seruling ayahku, apapula kau tengah terluka parah?" Tanpa merasa, karena ancaman bahaya itu, Kwee Ceng dan Oey Yong sudah memasang omong. Mereka lupa keadaan mereka, mereka tidak ingat lagi untuk main berbisik saja. Koan Eng dan Yauw Kee tengah kelelep asmara, mereka tidak mendapat dengar, tetapi tidak demikian dengan Auwyang Kongcu di ruang dalam. Pemuda ini memasang kupingnya, hingga ia mengenali suaranya Oey Yong. Ia kaget berbareng heran. Ia masih mendengar lagi tapi suara lantas sirap. Ia menjadi sangat menyesal karena kedua kakinya luka parah hingga ia tak mampu berjalan. Tetapi ia ingin berjalan pula, maka terpaksa ia menggunai kedua tangannya, yang dijadikan seperti kaki, hingga tubuhnya terangkat ke atas, kakinya naik tinggi sedangakan kepalanya berada di bawah! Koan Eng bersama pengantinya berdiri berendeng, tangan kirinya merangkul leher istrinya itu, terletak di pundak istrinya. Ia terkejut ketika kupingnya dapat mendengar suara berkerisiknya rumput, segera ia menoleh. Maka terlihatlah olehnya seorang berjalan dengan kedua tangan di jadikan kaki. Ia segera berbangkit seraya mencabut goloknya. Auwyang Kongcu telah terluka parah, ia pun sudah kelaparan, tubuhnya menjadi sangat lemah, ketika ia lihat berkelebatnya sinar golok, kagetnya tak kepalang, tidak ampu lagi ia roboh pingsan. Koan Eng melihat orang tengah sakit, ia lompat maju untuk mengasih bangun, buat dikasih duduk di atas bangku, tubuhnya disenderkan pada meja. Selahi suaminya menolongi orang, Thia Yauw Kee menjerit kaget. Ia tidak uash mengawasi lama akan mengenali orang adalah Auwyang Kongcu, yang di Poo-ceng telah menangkap padanya. Koan Eng menoleh dengan lantas karena jeritan istrinya itu. Ia terkejut akan mendapatkan muka si istri, yang seperti orang ketakutan sangat. "Jangan takut," Ia menghibur. "Dia telah patah kakinya." Tapi istrinya menyahut lain. "Dia orang jahat, aku kenali dia!" Demikian sahutnya. "Oh!" Seru Koan Eng tertahan. Auwyang Kongcu mendusin sendirinya. "Bagi aku nasi, aku lapar sekali," Ia memohon. Yauw Kee mengawasi. Ia melihat orang bermata coleng dan beroman sangat kucel, timbul rasa kasihannya. Ia memang berperangai halus dan pemurah hati, ia menjadi tidak tega. Ia menghampirkan kuali untuk mengisikan satu mangkok nasi, yang mana ia angsurkan pada pemuda yang bercelaka itu. Auwyang Kongcu menyammbuti, terus ia makan. Habis satu mangkok, ia minta pula, maka habislah tiga mangkok, setelah mana ia merasa tenaganya pulih. Ia mengawasi Yauw Kee. Mendadak timbul pula pikiran yang buruk. "Mana nona Oey," Ia tanya. "Nona Oey yang mana?" Oey Yong balik menanya. "Nona Oey putrinya Oey Yok Su dari Tho Hoa To," Auwyang Hong menjawab. "Oh, kau kenal nona Oey?" Kata Koan Eng. "Kabarnya dia sudah menutup mata" Pemuda itu tertawa. "Ah, kau hendak memperdayakan aku?" Katanya. "Terus-terang aku telah mendengar suaranya barusan!" Terus dengan mendadak ia menekan meja dengan tangan kirinya, atas mana tubuhnya melesat, hingga dilain saat ia sudah berdiri pula dengan kedua tangannya. Ia berputaran di ruang itu, untuk mencari Oey Yong. Sia-sia ia mencari, maka ia memasang mata sambil memasang kupingnya. Ia mengawasi ke arah darimana datangnya suara Oey Yong datang, ialah arah timur. Tapi di situ ada tembok, tidak ada pintu. Ia sangat cerdas, tak usah berpikir lama, ia lantas mencurigai lemari. "Mesti ada rahasianya di situ," Demikian pikirnya. Maka ia lantas menarik meja, dibawa ke depan lemari itu, habis mana ia naik ke atas meja itu, untuk segera membuka daun lemari. Ia menyangka ada pintu rahasia di situ, tapi ia kecele. Ia melihat bagian dalam lemari yang hitam dan kotor. Ia berputus asa akan tetapi pikirannya bekerja terus juga. Maka terlihatlah olehnya mangkok besi, bahkan di situ ia mendapatkan beberapa tapak jari tangan, yang masih baru. Mendadak hatinya tergerak. Segera ia mengulur tangannya, meraih mangkok itu. Ia menarik tetapi mangkok tidak bergeming. Ia tidak mau sudah, sekarang ia memutar. Mangkok itu terus bergerak, ia memutar terus. Maka segeralah terdengar suara apa-apa, disusul sama bergeraknya pintu rahasia hingga di sana terlihat Oey Yong dan Kwee Ceng lagi duduk di dalam kamar rahasia itu. Bukan main girangnya kongcu ini melihat si nona, hanya menampak Kwee Ceng ada beserta nona itu, ia berbalik menjadi kaget berbareng iri dan cemburunya lantas timbul, iri hatinya menyusul. "Adikku, apakah kau tengah berlatih?" Ia menanya. Ia melihat dua orang itu berdiam saja. Semenjak tadi Oey Yong merasa pasti rahasianya bakal ketahuan. Ia telah mengawasi setiap gerak-geriknya Auwyang Kongcu itu, ketika orang membuka lemari, ia lantas berpikir. "Jangan bergerak," Ia bisiki Kwee Ceng. "Aku akan pancing dia datang dekat, lalu kau hajar dia dengan ang Liong Sip-pat Ciang, untuk menghabiskan padanya." "Tetapi aku tidak dapat menggunai tenaga di tanganku," Kwee Ceng membilang, berbisik juga. Oey Yong masih hendak berbicara pula atau pintu sudah terbuka dan Auwyang Kongcu muncul di depan mereka, maka lekas-lekas ia mengasah otaknya. "Dengan cara bagaimana aku dapat menghalau dia hingga dia suka pergi jauh-jauh, supaya aku bisa melewatkan terus lima hari lima malam dengan tenang? Kalau aku membuka mulut, bisa celaka engko CengBagaimana sekarang?" Auwyang Kongcu jeri terhadap Kwee Ceng, melihat orang berdiam saja, ia mengawasi dengan tajam hingga ia dapat melihat roman yang lesu, mukanya pucat. Dia lantas ingat pembilangan pamannya bahwa Kwee Ceng itu pernah dihajar dengan Kuntauw Kodok di dalam istana, kalau tidak lantas mati, si anak muda mestinya terluka parah. Maka sekarang, ia melihat keadaannya Kwee Ceng dan menyaksikan sikapnya mereka berdua, sebagai orang cerdik, ia lantas dapat menduga duduknya hal. Untuk mendapat kepastian, ia hendak mencoba. "Adik, kau keluarlah," Ia berkata. "Buat apa berdiam di dalam kamar ini, cuma-cuma pikiran menjadi pepat" Sembari berkata, ia mengulur sebelah tangannya, berniat menarik ujung baju si nona. Oey Yong tidak menyahuti, hanya ia angkat tongkatnya dengan apa ia menghajar kepala orang. Auwyang Kongcu kaget, dengan lekas ia berkelit. Hebat serangan itu, sebagaimana anginnya pun berkesiur keras. Ia lompat jumpalitan, akan trun dari meja. Oey Yong menjadi sangat menyesal. Kalau dapat ia bergerak, ia bisa menyusuli dengan serangan yang kedua, yang pasti tidak bakal gagal. Sekarang ia cuma bisa numprah terus, jengkelnya bukan kepalang. Sementara itu Koan Eng dan Yauw Kee heran bukan main mendapatkan kamar rahasia itu serta di dalamnya ada orangnya, mereka sampai diam menjublak saja. Ketika kemudian mereka mengenali Oey Yong dan Kwee Ceng, itu waktu si nona Oey sudah menyerang Auwyang Kongcu, tetapi serangannya gagal. Setelah itu, pemuda itu naik pula ke meja, untuk beraksi. Ia jadi berani karena ia melihat Oey Yong tidak bergerak untuk menyusul padanya, dugaannya menjadi satu kepastian. Begitulah ia menyerang si nona, tangan siapa ia hendak tangkap untuk ditarik. Kalau Oey Yong menghajar dia dengan tongkat, ia senantiasa main berkelit. Kalau ada ketikanya, ia menotok. Oey Yong kewalahan, tidak peduli ilmu tongkatnya lihay. Ia tidak berani bangun, untuk meninggalkan Kwee Ceng. Karena ini, lama-lama ialah yang kena terdesak. Koan Eng dan istrinya melihat keadaan buruk untuk nona Oey itu, dengan serentak mereka maju untuk membantui. Mereka masing-masing menggunai golok dan pedang. Auwyang Kongcu melihat majunya suami-istri itu, ia tertawa lebar dan panjang, sambil tertawa tubuhnya bergerak, sebelah tangannya menyambar ke arah Kwee Ceng. Pendekar Pemanah Rajawali Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Pemuda itu melihat bahaya mengancam, akan tetapi ia tidak dapat menangkis atau berkelit, terpaksa ia tutup rapat kedua matanya untuk menantikan maut datang. Oey Yong kaget bukan main, ia segera menyerang. Auwyang Kongcu sudah bersiap, begitu tongkat tiba, ia menanggapi, ia mencekal, lalu ia menarik keras. Dalam tenaga, tentu saja nona Oey kalah, sedang sebelah tangannya tidak dapat ia gunakan. Bahkan ia khawatir sekali tangannya itu lepas dari tangan Kwee Ceng. Sekalipun tubuhnya terhuyung, ia berdaya untuk mempertahankan diri. Tidak ada jalan lain, terpaksa ia lepaskan tongkatnya, untuk tangannya itu dipakai merogoh ke dalam sakunya, untuk meraup jarumnya, dengan apa ia menyerang ke arah musuh yang licik itu. Auwyang Kongcu terkejut. Jarak di antara mereka cukup dekat, ketika ia melihat barang berkeliauan, ia lantas menjatuhkan diiri rebah di atas meja. Tanpa berkelit secara demikian, pastilah ia celaka. Justru itu, Koan Eng datang dengan bacokannya. Kembali Kongcu itu kaget, terpaksa ia menggulingkan diri ke kanan. Golok Koan Eng mengenai meja, sebab sasarannya lenyap. Tengah Koan Eng membacok, jarumnya Oey Yong tiba, menggenai punggungnya. Ia kaget sebab dengan segera ia merasakan separuh tubuhnya tak dapat digeraki. Maka ketika Auwyang Hong menyambar, ia kena dicekuk tanpa berdaya. Sebat luar biasa, keponakannya Auwyang Hong mencekal tangan orang. "Bagus!" Katanya. Itu waktu Yauw Kee pun menyerang. Si nona kaget dan hendak menolongi suaminya. Tapi Auwyang Kongcu ada terlalu lihay untuknya. Pemuda itu berkelit, sambil berkelit, sebelah tangannya menyambar ke dada orang. Ia kaget bukan main. Celaka kalau dadanya itu kena dipegang pemuda ceriwis itu. Lekas-lekas ia mambacok. Auwyang Kongcu menarik pulang tangannya itu, tetapi dia telah berhasil menjambret baju orang, yang kena dia robek. Saking kaget, hampir Yauw Kee membikin pedangnya terlepas, mukanya pucat. Karena ini, ia tidak dapat maju pula. Auwyang Kongcu duduk numprah di atas meja. Ketika itu, pintu lemari, atau lebih benar pintu rahasia, sudah tertutup pula. Ia bergidik sendirinya kapan ia ingat serangan jarum berbisa dari si nona tadi. "Budak ini benar-benar lihay," Pikirnya. "Tapi biarlah dia, sekarang aku permainkan saja nona Thia, aku tanggung mereka berdua bakal jadi kacau pikirannya, rusak semadhinya. Sampai itu waktu, aku tentu sudah mempunyai daya untuk menguasai mereka" Mengingat itu, bukan main girangnya pemuda itu. "Eh, nona Thia," Ia berkata kepada Yauw Kee. "Kamu menghendaki dia mati atau hidup?" Ia maksudkan Koan Eng, yang sudah tidak berdaya itu. Ia sudah pikir, nona Thia tidak dapat dilawan dengan keras, mesti dengan halus, supaya ia suka menyerah sendirinya. Jalan itu ialah Koan Eng harus dipakai sebagai alat. Yauw Kee bingung bukan main. Ia lihat suaminya menutup kedua matanya, tubuhnya tak bergeming. "Auwyang Kongcu," Katanya terpaksa. "Dia dengan kau tidak ada bermusuhan, aku minta sukalah kau merdekakan dia" "Haha!" Tertawa si anak muda. "Kiranya kamu kaum Coan Cin Pay juga ada harinya kamu minta-minta kepada lain orang!" "Diadialah murid dari Thoa hoa Ta, jangan kau celakai dia" Kata pula si nona. "Siapa suruh dia membacok aku?" Kata si anak muda tetap tertawa. "Jikalau bukannya aku berkelit dengan cepat, apakah batok kepalaku masih ada di batang leherku? Jangan kau gertak aku dengan nama Tho Hoa To! Oey Yok Su itu ialah mertuaku!" Yauw Kee tidak tahu orang bicara benar atau mendusta. "Kalau begitulah kau yang terlebih tua, kau merdekakanlah dia," Kata pula ia. "Biarlah dia menghanturkan maaf padamu." "Mana bisa gitu gampang, he?" Auwyang Kongcu pula. "Jikalau kau menghendaki juga aku melepaskan dia, kau mesti menerima baik permintaanku." Yauw Kee mengawasi paras orang, ia mendapat duga orang bermaksud tidak baik, maka itu ia lantas tunduk, ia tidak menyahuti. "Kau lihat!" Berkata Auwyang Kongcu, tiba-tiba. Ia mengangkat tangannya menghajar ujung meja hingga ujung meja itu semplak seperti bekas dibacok. Yauw Kee terkejut. "Suhu juga tidak selihay dia ini," Pikirnya. Auwyang Kongcu mewariskan kepandaiannya Auwyang Hong, sang paman, maka itu, dia menang banyak daripada Sun Put Jie. Ia senang mendapatkan si nona berkhawatir. "Begini permintaanku," Kata dia. "Inilah apa yang aku titahkan kau lakukan, kau mesti lakukan, jikalau kau tidak menurut, kau mesti lakukan, jikalau kau tidak menurut, maka leher dia akan aku bikin macam begini!" Dia mengasih contoh dengan ancaman tangannya, seperti tadi ia membacok meja, tetapi kali ini ia tujukan kepada batang leher Koan Eng. Nona Thia kaget hingga ia menjerit. "Kau menurut atau tidak?" Auwyang Kongcu tanya. Dengan terpaksa Yauw Kee mengangguk. "Bagus!" Seru keponakannya Auwyang Hong. "Begini barulah anak manis! Nah, pergilah kau menutup pintu!" Yauw Kee berdiri diam. "Kau dengar tidak kataku?" Auwyang Kongcu membentak. Takut Yauw Kee, maka dengan terpaksa, dengan hati berdebaran, ia menutup pintu. "Bagus!" Anak muda itu tertawa grang. "Tadi malam kamu berdua menikah, aku mendengarnya dengan nyata, cuma anehnya, di dalam kamar pengantin, kamu tidak membuka pakaian. Di kolong langit ini tidak ada suami-istri seperti kamu! Sekarang kau loloskanlah semua pakaianmu, sepotong juga tak boleh ketinggalan. Jikalau kau tidak menurut, segera aku kirim suamimu ke alam baka, hingga kau lantas menjadi janda muda!" Koan Eng tidak dapat menggeraki kaki tangannya, tetapi kupingnya mendengar segala apa dengan nyata dan matanya melihat segala sesuatu, maka itu ia murka bukan main, hingga matanya seperti mau melompat keluar, hatinya seperti mau meledak. Ia hendak meneriaki istrinya buat jangan menuruti permintaan itu, supaya istri itu pun melarikan diri, apa celaka, ia tidak dapat membuka mulutnya. Sementara itu Oey Yong di dalam kamarnya telah siap sedia. Ialah yang mengunci pula pintu rahasia selagi Auwyang Kongcu merobohkan Liok Koan Eng. Ia mencekal pisaunya kalau-kalau si anak muda menyerang untuk kedua kalinya. Maka ia kaget, mendongkol berbareng gusar mendengar Auwyang Kongcu menitah Yauw Kee melepaskan pakaiannya untuk bertelanjang bulat. Dilain pihak, dasar sifatnya kekanak-kanakan, ia ingin melihat Yauw Kee akan meluluskan atau tidak permintaan kongcu Auwyang itu. Maka itu masih menantikan. "Mengapa sulit untuk meloloskan pakaian?" Berkata pula Auwyang Kongcu. "Ketika kau dilahirkan dari dalam perut ibumu, apakah kau pun berpakaian? kau bilang, kau hendak melindungi mukamu atau jiwanya dia?" Kembali ia menuding kepada Koan Eng. Nona Thia berdiam, otaknya bekerja keras. "Nah, kau bunuhlah dia!" Kata dia akhirnya, suaranya dalam. Auwyang Kongcu melengak. Sungguh dia tidak menyangka si nona dapat memberikan jawaban itu. Itu menjadi terlebih kaget ketika ia melihat nona itu mengayun pedangnya ke arah lehernya sendiri. Dengan lantas ia menimpuk dengan sebatang jarumnya, jarum Touw-kut-ciam, maka jatuhlah pedang di tangannya nona itu. Yauw Kee membungkuk, untuk menjumput pula pedangnya itu. Atau tiba-tiba. "Pengurus hotel! Pengurus hotel!" Itulah suaranya seorang wanita, yang memanggil pemilik hotel. Yauw Kee menjadi dapat harapan. Setelah mencekal pedangnya, ia lompat ke pintu, untuk segera membukai itu. Maka ia melihat seorang wanita muda, yang pakaiannya putih, berdiri di muka pintu, rambutnya dibungkus dengan kain putih juga dan dipinggangnya tersoren sebatang golok. Dia beroman kucel tetapi itu tidak menutupi kecantikannya. Ia tidak kenal nona itu tetapi dia mau anggap orang adalah penolongnya. "Silahkan masuk, nona!" Katanya lekas. Nona itu berdiri bengong melihat "pemilik" Rumah berpakaian mewah tetapi tangan mencekal pedang. Ia mengawasi sekian lama, baru ia berkata. "Di luar ada dua peti mati, bolehkah itu dibawa ke dalam?" Kalau di dalam rumah orang biasa, pasti sekali jenazah orang tidak dapat dibawa masuk, lain adalah dengan rumah penginapan, bahkan kali ini dalam suasana luar biasa itu. Untuk Yauw Kee, jangan kata baru dua buah, seratus pun ia akan mengijinkannya dibawa masuk. "Baik, baik!" Sahutnya cepat. "Silahkan!" Nona itu heran mendapatkan pelayanan istimewa dari "pemilik" Rumah penginapan ini akan tetapi ia lantas menoleh keluar, untuk menggapaikan. Maka lantas juga masuk delapan orang yang menggotong dua buah peti mati, di bawa ke ruang dalam. Ketika ia berpaling ke arah Auwyang Konngcu, ia kaget sekali, dengan segera ia menghunus golok dipinggangnya. Auwyang Kongcu sudah lantas tertawa lebar. "Inilah dia jodoh yang telah ditakdirkan Thian!" Katanya nyaring. "Dari jodoh telah tertakdir itu, orang tidak dapat meloloskan diri! Inilah peruntungan baik yang diantarkan sendiri! Jikalau peruntungan ini tidak diterima, sungguh durhaka!" Nona itu bukan lain daripada Bok Liam Cu, yang pernah ia tawan. Sesudah bentrok hebat sama Yo Kang di Poo-eng, ludas sudah pengharapan nona Bok ini, hatinya menjadi tawar, cuma tinggal satu hal yang ia berati, maka itu ia lantas ke Tiong-touw (Peking) dimana ia ambil jenazah ayah dan ibunya untuk dibawa pulang ke dusun Gu-kee-cun di Lim-an, untuk dikubur di kampung halamannya itu. Hebat untuknya, seorang wanita, membawa-bawa peti mati orang tuanya disaat negara demikian kacau. Ketika itu tentara Mongolia tengah menyerang negara Kim. Ia pun, ketika ia meninggalkan kampung halamannya, usianya baru baru lima tahun, maka ia tidak ingat lagi kampung halamannya itu. Maka juga setibanya, begitu melihat pondokannya Sa Kouw, lantas ia memikir untuk singgah terlebih dahulu, sambil singgah, ia mencari keterangan. Maka adalah diluar sangkaannya, disini ia justru bertemu pula sama keponakannya Auwyang Hong itu. Tentu sekali ia tidak tahu nona itu dengan pakaian mewah itu tengah diperhina si anak muda. Ia belum pernah bertemu dangan nona Thia dan sekarang ia menyangka nona Thia itu ialah gula-gulanya pemuda itu. Dengan menghunus goloknya, ia lantas membacok si anak muda, habis mana ia berlompat untuk lari keluar. Atau ia merasakan angin menyambar, dari orang yang lompat lewat diatasan kepalanya. Ia lantas membacok ke atasan kepalanya itu. Auwyang Kongcu lihay sekali. Pendekar Pemanah Rajawali Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Dengan tangan kanannya, dengan dua jeriji, dia menekan belakang golok, dengan tangan kiri, ia menangkap lengan si nona, maka sedetik itu juga, terlepaslah goloknya Liam Cu, hingga berbareng mereka jatuh ke atas sebuah peti mati. Keempat tukang gotong kaget hingga mereka berteriak, mereka roboh, peti matinya jatuh, mereka babak belur mukanya sebab terkena pikulan dan saling tubruk. Dengan tangan kanan merangkul nona Bok, dengan tangan kanan Auwyang Kongcu menghajar tukang- tukang gotong itu hingga mereka ini menjerit-jerit dan terus merayap, untuk lari keluar, diturut oleh empat tukang gotong lainnya, hingga mereka tidak memikir untuk meminta upah pula. Selama kejadian itu, Yauw Kee lompat kepada Koan Eng, yang rebah di lantai, untuk dikasih bangun. Ia bingung sekali, tidak tahu ia bagaimana harus menyingkirkan diri mereka. Auwyang Kongcu melihat sikapnya Yauw Kee, dengan sebelah tangan menekan peti mati, sambil terus merangkul Liam Cu, ia lompat kepada nona Thia itu, yang mana ia terus peluk dengan tangan kanannya, setelah mana ia duduk di atas kursi. Sambil tertawa lebar, ia berkata. "Adik Oey, kau juga datang ke mari!" Sedangnya pemuda ini kegirangan, mendadak ada bayangan yang berlompat dari luar, masuk ke dalam, maka dilain saat ketahuanlah dia adalah Yo Kang! Yo Kang ini, sehabisnya dihinakan Oey Yok Su, tidak meninggalkan Gu-kee-cun. ia bersakit hati dan ingin sangat dapat melampiaskannya. Karena kerasnya hati, ia dengan perkenan Wanyen Lieh, ia memisahkan diri. Di luar Gu-kee-cun, dia berdiam di dalam pepohonan yang lebat. Diwaktu malam, ia melihat Oey Yok Su, Auwyang Hong dan Ciu Pek Thong bertiga mondar-mandir, tentu sekali terhadap mereka ia tidak bisa berbuat apa-apa. Lantas paginya ia melihat Bok Liam Cu membawa jenazah orang tuanya. Diam-diam ia menguntit nona ini sampai di rumahnya Sa Kouw. Baru nona ini masuk ke dalam atau lantas tukang-tukang gotong peti itu lari serabutan. Ia menjadi heran, maka lantas ia memburu ke dalam. Di pintu ia mengintai, ia tidak melihat Oey Yok Su, sebaliknya ia mendapatkan Auwyang Kongcu duduk di kursi dengan air muka terang, dirangkulannya kiri kanan ada kedua nona cantik, ialah Bok Liam Cu dan Thia Yauw Kee, yang lagi dipermainkan. Tidak ayal lagi, ia melompat masuk. "Oh, siauw-ongya, kau telah kembali!" Menegur Auwyang Kongcu kapan ia melihat pangeran itu. Yo Kang mengangguk. Auwyang Kongcu melihat muka orang muram, ia lantas menghibur. "Jangan kecil hati, jangan berduka, siauw-ongya," Katanya. "Juga di jaman dulu Han Si pernah menerima penghinaan merangkak di bawah selangkangan orang. Seorang laki-laki dia harus dapat berlaku keras dan lunak. Itulah tidak ada artinya. Kau sabar saja, kau tunggu sampai kembalinya pamanku nanti kau boleh melampiaskan sakit hatimu ini!" Ia menduga pangeran ini berduka karena bekas diperhina. Yo Kang mengangguk pula, tetapi matanya mengawasi Liam Cu. Auwyang Kongcu tertawa. "Siauw-ongya," Katanya. "Tidakkah kedua si cantik kepunyaanku ini tak ada kecelaannya?" Kembali pangeran ini mengangguk. Auwyang Kongcu tidak tahu ada hubungan apa di antara si pangeran dengan Liam Cu itu sebab tempo mereka itu berdua mengadu kepandaian di jalan besar di Tong-touw, ia tidak hadir bersama. Mulanya Yo Kang tidak memperhatikan si nona, sampai si nona itu mencintai dia dengan sungguh-sungguh hati, hingga ada janji untuk menikah, maka itu sekarang, melihat nona itu dalam rangkulan Auwyang Kongcu, hatinya panas. Ia dapat mengendalikan diri, dari itu ia tidak mengentarakan suatu apa. Lagi-lagi Auwyang Kongcu tertawa dan berkata. "Semalam ada orang menikah di sini, maka itu di dalam almari ada arak dan daging ayam! Siauw-ong tolong kau ambilkan itu, mari kita minum bersama. Nanti aku menyuruh kedua si cantik ini meloloskan semua pakaiannya, supaya mereka menari untuk menggembirakan kau minum arak!" "Itulah bagus!" Sahut Yo Kang tertawa. Bukan main panasnya hati Liam Cu melihat sikapnya Yo Kang ini, karenanya hatinya menjadi dingin, ingin ia membunuh diri di depan kekasihnya itu, supaya ia bebas dari penderitaan ini. Segera juga ia melihat Yo Kang mengambil arak dan ayam dan kemudian duduk minum dan dahar bersama Auwyang Kongcu. Auwyang Kongcu mengisikan dua cawan arak, ia bawa itu ke depan mulutnya nona itu, sembari tertawa ia kata. "Mari minum arak dulu, baru kamu menari!" Kedua nona ini gusarnya bukan main, hampir mereka pingsan. Tapi mereka tidak bisa berbuat apa-apa juga. Tubuh mereka sudah di totok pemuda itu. Ketika cawan arak ditempelkan ke mulut mereka, masih mereka tidak berdaya. Maka diakhirnya, mereka mesti menenggak air kata-kata itu. "Auwyang Sianseng," Berkata Yo Kang. "Sungguh aku mengagumi kepandaian kau! Mari aku beri selamat padamu dengan secawan arak, habis itu baru kita menonton tarian!" Auwyang Kongcu tertawa bergelak, ia menyambuti araknya itu, untuk dihirup kering. Habis itu ia menotok bebas Yauw Kee dan Liam Cu, cuma kedua tangannya masih menekann jalan darah mereka yang dinamakan sintong-hiat, yang adanya dipunggung. Ia kata. "Baik-baik saja kamu mendengar perkataanku, dengan begitu kamu tidak bakal menderita, sebaliknya, kamu akan mendapat kesenangan!" Liam Cu menunjuk kepada kedua peti mati itu. "Yo Kang!" Katanya, bengis. "Kau lihat, jenazah siapakah itu?!" Pangeran itu memandang ke peti mati yang ditunjuk itu. Yang pertama ia tampak ialah tulisan tinta merah yang berbunyi. "Tay Song Gie-su Yo Tiat Sim Sim cie-leng". Artinya. "Jenazah dari Yo Tiat Sim, orang gagah dari jaman ahala Song". Sebenarnya hatinya terkesiap, tetapi ia menguatkan diri, ia menunjuki sikap acuh tak acuh. Bahkan ia kata kepada Auwyang Kongcu. "Auwyang Sianseng, kau pegangi kedua nona manis ini, hendak aku meraba-raba kaki mereka, untuk membuktikan siapakah yang kakinya terlebih mngil" Auwyang Kongcu tertawa. "Siauw-ongya sungguh jenaka!" Katanya. "Aku lihat tentulah kaki dia ini yang terlebih mungil!" Dan ia meraba kakinya Thia Yauw Kee. "Ah, belum tentu!" Berkata Yo Kang, yang terus saja membungkuk hingga ke kolonng meja. Dua-dua Liam Cu dan Yauw Kee sudah mengambil putusan, begitu mereka diraba, mereka hendak menendang tempilingan pangeran itu. Yo Kang, tidak segera meraba, hanya ia tertawa. "Auwyang Sianseng, kau minum lagi satu cawan!" Katanya. "Habis minum nanti aku beritahu, dugaanmu cocok atau tidak." "Bagus!" Sahut Auwyang Kongcu, seraya ia mengangkat cawannya. Yo Kang sambil membungkuk melirik di saat pemuda itu dongak untuk minum, kemudian ia mengeluarkan tombak buntung dari sakunya, dengan itu dengan sekuat tenaga - sambil ia mengertak gigi - ia menikam ke arah perut orang, hingga tombak itu nancap dalam lima atau enam dim, menyusul mana, ia membaliki meja! Kejadian ini mendadak sekali dan luar biasa juga, maka itu Oey Yong dan Kwee Ceng, juga Bok Liam Cu, Liok Koan Eng dan Thia Yauw Kee menjadi kaget dan heran sekali. Auwyang Kongcu menggeraki kedua tangannya, ia membuatnya Liam Cu dan Yauw Kee terbalik dari kursinya, sedang cawan arak di tangannya ditimpuki ke arah Yo Kang! Pangeran ini berkelit sambil mendak, maka jatuhlah cawan itu ke lantai, pecah hancur dengan mengasih dengar suara nyaring. Yo Kang berkelit dengan terus menjatuhkan diri, untuk bergulingan, maksudnya buat lari ke pintu, apa mau ia terhalang peti mati. Terpaksa ia berlompat bangun dan memutar tubuhnya, mengawasi Auwyang Kongcu. Hatinya menjadi ciut kapan ia melihat pemuda itu berdiri dengan tubuh doyong ke depan, kedua tangannya berpegangan pada kursi, sepasang matanya mendelik, wajahnya seperti tertawa dan bukannya tertawa. Ia menggigil sendirinya. Sebenarnya ia berniat lari menyingkir tetapi itu sepasang mata tajam dan bengis membuatnya kakinya seperti terpaku. Auwyang Kongcu melengak dan tertawa. "Aku si orang she Auwyang telah malang melintang seumur hidupku, aku tidak menyangka bahwa hari ini aku mesti mati di tangan kau, binatang!" Katanya bengis. "Cuma satu hal yang aku tidak mengerti! Siauw-ongya, mengapa kau mencoba membunuh aku?" Yo Kang tidak menjawab, hanya dengan menenjot diri, ia hendak berlompat ke pintu, guna melarikan diri. Ia telah pikir, setelah berada di luar pintu, baru ia hendak memberikan keterangannya. Selagi tubuhnya melayang, mendadak ia merasakan belakang lehernya kena dicengkram keras sekali, bagaikan terbangkol gaetan besi, hingga ia tak mampu berlompat lebih jauh, bahkan sebaliknya, ia jatuh ke atas peti mati - jatuh bersama-sama tubuhnya Auwyang Kongcu - yang telah melompat menyambar padanya. "Kau tidak mau bicara, apakah kau hendak membikin aku mati tak meram?!" Kata Auwyang Kongcu sembari tertawa. Nyata ia masih kuat sekali. Yo Kang tahu ia ada bagian mati, hatinya menjadi besar. Ia tertawa dingin. "Baiklah, nanti aku memberi keterangan padamu!" Sahutnya. "Tahukah kau, siapa dia?" Ia menunjuk kepada nona Bok. Auwyang Kongcu memandang Liam Cu. Nona ini memegang golok di tangan, siap untuk menerjang, guna menolongi si pangeran, cuma ia masih bersangsi sebab ia khawatir nanti melukai kekasihnya. "Diadia.." Kata Auwyang Kongcu, yang terus terbatuk-batuk. "Dialah tunanganku!" Yo Kang meneruskan. "Dua kali kau menghina dia, mana aku dapat membiarkannya?" "Benar," Kata Auwyang Kongcu. Dia masih tertawa. "Mari kita sama-sama pergi ke neraka!" Dia mengangkat kepalannya, untuk di kasih turun ke batok kepalanya si pangeran. Liam Cu kaget hingga ia berteriak, hendak ia menolong tetapi sudah tidak keburu. Yo Kang memeramkan kedua matanya, ia menantikan kebinasaannya. Tapi ia menanti sekian lama, ia tidak merasakan hajaran kepada batok kepalanya. Saking herannnya, ia membuka matanya. Auwyanng Kongcu mengasih lihat senyumannya, tapi tangannya yang mencekuk leher sudah terlepas, maka tempo si pangeran berontak, ia lantas jatuh menimpa peti mati. Sebab ia sudah putus jiwa.. Yo Kang melengak, Liam Cu melongo. Hanya sejenak, lantas keduanya lari saling menghampirkan, untuk terus saling berpegangan tangan. Dalam keadaan seperti itu banyak kata-kata yang hendak dikeluarkan tetapi tak sepatah yang dapat diucapkan. ketika mereka memandang mayat Auwyang Kongcu, lantas terbayang apa yang barusan terjadi, sendirinya mereka bergidik. Yauw Kee sendiri mengasih bangun pada Koan Eng, yang totokannya ia bebaskan. Koan Eng ketahui Yo Kang adalah pangeran Kim tetapi orang telah membinasakan Auwyang Kongcu, itu artinya orang telah menolongi padanya, mak aitu ia lantas memberi hormat sambil menjura, habis mana dengan membungkam, ia tuntun tangannya istrinya untuk diajak berlalu dari situ. Sebagai laki-laki, yang mengenal budi, taidak sudi ia menyerang pangeran itu untuk membunuhnya. Senang hatinya Oey Yong menyaksikan Yo Kang dan Liam Cu bertemu pula satu dengan lain dan bertemunya dengan itu cara luar biasa. Kwee Ceng pun mengharap-harap Yo Kang itu nanti mengubah kelakuannya. Dengan Oey Yong ia saling memandang, lalu keduanya tersenyum. Legenda Pendekar Ulat Sutera Karya Huang Ying Alap Alap Laut Kidul Karya Kho Ping Hoo Satria Gunung Kidul Karya Kho Ping Hoo