Kaki Sakti Menggemparkan Dunia 1
Si Kaki Sakti Menggemparkan Dunia Persilatan Karya Hong San Khek Bagian 1
Si Kaki Sakti Menggemparkan Dunia Persilatan Karya dari Hong San Khek sumber. indozone.net Karya. Hong San Khek MCH 1.01. Belajar Silat Untuk Kesehatan. Di jaman Ahala Ceng, yaitu pada masa kaisar-kaisar Boan-ciu berkuasa di Tiongkok, di kalangan Kang-ouw 1 banyak terdapat jago-jago silat yang nama-namanya sangat masyhur di seluruh negeri. Salah seorang antaranya adalah Sin-tui Lie Poan Thian, yang ilmu tendangannya sangat dimalui orang, sehingga ia memperoleh nama julukan Sin-tui tadi, yang dalam bahasa Indonesia berarti si Kaki Sakti. Adapun Lie Poan Thian ini asalnya orang residensi Cee-lam dalam propinsi Shoa-tang, putera tunggal dari Lie Tek Hoat, seorang pabrikan beras yang kaya raya. Nama Poan Thian yang sebenarnya ialah Lie Kok Ciang, tetapi dari sebab belakangannya ia telah menjagoi di daerah lima propinsi utara dari Tiongkok, yaitu Shoatang, Ho-lam, Ho-pak, Siam-say dan Shoa-say yang lazim disebut orang "Separuh Jagat", (sedangkan seluruh Tiongkok disebut "Seluruh Jagat"), maka nama aslinya lambat-laun telah dilupakan orang dan berganti menjadi Lie "Poan Thian", yang berarti orang she Lie yang menjagoi di separuh jagat Tiongkok. Lie Poan Thian ini pada masa mudanya adalah seorang yang berbadan lemah dan kerap dihinggapi penyakit, oleh sebab itu ayahnya sangat masygul dan kuatir, kalau-kalau sang putera yang sebiji mata itu tak dapat berumur panjang. Maka dari itu juga, Tek Hoat telah berikhtiar sedapat mungkin untuk membikin puteranya menjadi seorang yang kuat sehat dan tak berpenyakitan pula, biarpun untuk itu ia mesti keluar uang yang bukan sedikit jumlahnya. Pada suatu hari ketika Tek Hoat sedang berjalanjalan ke pasar, tiba-tiba ia menampak banyak orang berkerumunan tengah menonton suatu pertunjukan. Maka Tek Hoat yang juga tertarik oleh perhatian orang banyak itu, lalu ia sendiri pun iseng-iseng maju menghampiri dan kemudian menyelesup masuk di antara 2 mereka, agar supaya dapat menonton dari tempat yang lebih dekat. Tatkala maju sampai ke baris penonton yang berdiri paling depan, di situ ia menampak seorang penjual silat yang sedang bersilat sendirian dengan amat asyiknya. Perawakan si penjual silat ini tegap dan kuat, gerak geriknya sebat dan lincah, Tek Hoat sendiri tak mengerti ilmu silat, tetapi dengan menyaksikan sambutan tepuk tangan riuh dari pihak orang banyak yang berkumpul di situ, maka ia menarik kesimpulan, bahwa permainan silat orang itu tentunya cukup baik untuk mendorong rasa kagum orang. Maka selama turut menonton, Tek Hoat jadi teringat kepada puteranya yang berbadan lemah itu. "Jikalau anakku dapat diajarkan ilmu silat," Demikianlah pikirnya. "tentulah lambat-laun ia akan menjadi seorang yang bertubuh sehat dan kuat seperti penjual silat itu." Oleh karena mendapat pikiran begitu, maka timbullah di dalam hati orang tua itu suatu keinginan akan mengundang si penjual silat akan menjadi guru puteranya. Tetapi karena pertunjukan itu masih berlangsung, maka ia pikir paling betul akan mengutarakan pikiran itu nanti saja, jikalau pertunjukan itu telah bubaran. Maka sebegitu lekas pertunjukan berakhir dan para penonton bubaran dengan perasaan puas, barulah Lie Tek Hoat menghampiri si penjual silat itu sambil memberi hormat dan berkata. "Tuan, aku ada suatu urusan yang hendak kurundingkan dengan dikau. Oleh karena itu, sudikah kiranya kau ikut aku mampir ke sebuah kedai arak, agar supaya kita dapat berunding di sana dengan secara leluasa?" 3 Si penjual silat yang mendapat tawaran begitu, sudah tentu saja jadi heran dan tak mengerti apa maksud Tek Hoat yang sebenarnya. Ia tak kenal Tek Hoat, seperti juga ia percaya Tek Hoat pun baru pernah bertemu padanya di saat itu. Tetapi karena ia melihat Tek Hoat orangnya manis budi dan sopan santun, lagi pula ia berpakaian pantas, maka ia lantas mengabulkan undangan orang tua she Lie itu. Begitulah kedua orang itu lalu mampir ke sebuah kedai arak yang terdekat. Di situ Tek Hoat lalu panggil seorang pelayan, yang lalu diminta akan menyediakan arak dan beberapa macam hidangan guna menjamu si penjual silat itu. Dalam pembicaraan yang berlangsung selama mereka makan minum itu, Tek Hoat baru mengetahui, bahwa si penjual silat itu berasal dari residensi Thaygoan dalam propinsi San-see, she An bernama Chun San. An Chun San ini sebenarnya ada seorang piauw-su atau pelindung kereta-kereta angkutan. Oleh karena kelanggar apes jatuh sakit di kampung orang sehingga sebulan lamanya, maka uang perbekalannya telah habis sama sekali, dari itu, ia terpaksa menjual silat guna mencari ongkos untuk pulang ke kampung halamannya. Akan tetapi karena ia bukan seorang yang biasa menuntut penghidupan demikian, sudah tentu saja segala caranya agak kaku dan canggung. Di waktu berbicara di hadapan para penonton, tak mampu ia memilih kata-kata yang indah-indah untuk menarik rasa simpati orang banyak, maka dari itu, hasil usahanya berkurang pula dan belum bisa mencukupi dipergunakan ongkos pulang ke kampung kelahirannya. Lie Tek Hoat yang mendengar penuturan itu, bukan 4 saja menjadi semakin simpati dan mengindahkan, tetapi juga ia semakin percaya, bahwa ilmu kepandaian silat An Chun San ini tentu cukup tinggi dan ada itu harga akan menjadi guru puteranya. Lebih-lebih karena ia ada seorang piauw-su, maka selanjutnya tak ragu-ragu pula akan ia mengutarakan maksud hatinya buat mengangkat si penjual silat itu sebagai guru puteranya. Pada hal ia tak tahu, bahwa An Chun San ini bukanlah seorang piauw-su utama yang biasa dipercayakan dalam hal melindungi kereta-kereta angkutan yang berharga mahal dan penting. Maka An Chun San yang mendengar tawaran yang dapat menjamin penghidupannya di kemudian hari itu, sudah barang tentu menjadi sangat girang dan bersyukur di dalam hati, untuk kemujuran yang sekarang terbayang di depan matanya. Tetapi buat bikin dirinya lebih diindahkan orang, maka sambil bersenyum ia lantas berkata. "Lo-sianseng, mula-mula aku menduga kau mengalami peristiwa apa-apa yang agak sulit, tidak tahunya hanya urusan begitu saja. Soal ini mudah sekali untuk diaturnya. Pada beberapa waktu ini sebenarnya aku mesti kembali dahulu ke Thay-goan, akan tetapi karena mengingat atas kebaikanmu ini yang telah begitu sungguh-sungguh mengundang aku buat menjadi guru puteramu, maka aku suka batalkan keberangkatanku itu, agar dengan begitu, aku bisa bekerja banyak guna kebaikan dan kebahagiaan rumah tangga dan puteramu itu." Mendengar jawaban itu, tentu saja Lie Tek Hoat jadi sangat girang dan berterima kasih atas kebaikan piauwsu yang baru dikenalnya itu." Sedang Chun San yang penghidupannya agak sukar, juga tak luput berterima kasih pada Thian Yang Maha 5 Kuasa, karena penghidupan selanjutnya akan jauh lebih senang dan terjamin sebagai seorang guru silat di rumahan, daripada menjadi seorang pembantu piauw-su yang hidupnya selalu terancam bahaya maut dan sangat berat tanggung jawabnya. Maka setelah membayar harga makanan dan minuman yang mereka telah dahar tadi, Tek Hoat lalu ajak Chun San berkunjung ke rumahnya. Petang hari itu di rumah pabrikan beras yang kaya raya itu telah diadakan sedikit perjamuan sebagai tanda hormat atas diri An Chun San yang menjadi guru puteranya, sedang Poan Thian pun lalu dipanggil buat mengunjuk hormatnya kepada sang guru itu. Demikianlah semenjak itu An Chun San telah menjadi gurunya Lie Kok Ciang, yang kemudian termasyhur sebagai Sin-tui Lie Poan Thian yang merupakan peranan utama dari cerita kita ini. Y Setahun telah lewat dengan tidak terasa pula. Selama itu An Chun San telah mengajarkan segala macam ilmu silat yang ia paham kepada Lie Kok Ciang, yang ternyata ada seorang yang mempunyai bakat baik untuk meyakinkan ilmu silat. Di waktu terluang Poan Thian sering membaca bukubuku cerita yang menuturkan tentang riwayat orangorang gagah yang gemar menciptakan ilmu-ilmu pukulan atas pendapat sendiri. Oleh sebab itu, maka ia sendiripun jadi tertarik sekali oleh cara-cara mereka itu. Demikianlah dengan memakai dasar-dasar pelajaran yang telah dapat diyakinkannya dari An Chun San, Poan 6 Thian telah mulai melatih diri dengan sebaik-baiknya, tanpa sang guru pernah pikir bahwa muridnya akan bertindak sekian jauhnya. Di rumah keluarga Lie, Chun San tak mengajar dengan setengah hati. Tetapi disamping itu, permintaannya pun banyak pula, karena buat sesuatu macam ilmu pukulan baru yang diajarkannya, Poan Thian harus membayar mahal sekali. Syukur juga berkat pimpinan guru dan kegiatannya sendiri, sehari demi sehari Poan Thian telah berobah, dari seorang yang lemah menjadi seorang yang bertubuh tegap, kuat dan sehat, hingga ini membikin Tek Hoat jadi semakin girang dan berterima kasih, dan selalu bersedia akan keluar uang buat turuti segala permintaannya An Chun San itu. Sementara Chun San yang melihat pekerjaannya telah berhasil baik, tidak jarang membanggakan dirinya di hadapan Tek Hoat dan muridnya. "Dengan ilmu pukulan yang kuturunkan pada Kok Ciang sekarang," Begitulah katanya pada suatu hari. "tidak kurang dari beberapa belas jagoan di kalangan Kang-ouw yang telah berhasil dapat kurobohkan. Maka jikalau kau juga suka yakinkan itu dengan segiatgiatnya," Ia menambahkan sambil melirik kepada Lie Poan Thian. "niscaya dapat juga kau berbuat begitu. Tetapi kita yang mengerti ilmu silat, janganlah suka berlaku congkak kepada sesamanya, apalagi terhadap pada orang-orang yang lemah dan tidak pandai ilmu itu. Ada satu kali pernah kualami suatu kejadian yang agak menggelikan hati. Seorang jago silat termasyhur di kalangan Kang-ouw, yang di sini kukira tidak perlu disebutkan namanya untuk tidak mencemarkan nama baiknya, pernah menyombongkan diri di hadapanku, bahwa dialah "Thian Hee Tee It" nomor wahid di 7 kolong langit dan sesumbar akan pukul jatuh semua jagoan dari segala golongan. Kepada dia ini aku telah menasehatkan, agar supaya dia jangan membuka mulut begitu besar. Orang gagah di dunia ini bukan hanya kau saja seorang," Kataku. "Tetapi nasihatku itu telah disambutnya dengan suatu ejekan yang dapat membikin seorang yang paling sabar meluap darah. Demikian juga telah kejadian dengan diriku sendiri, yang ketika itu masih muda dan berdarah panas, tetapi syukur juga aku masih dapat mengendalikan amarahku yang telah mulai berkobarkobar. Belakangan karena ia mengira aku takut kepadanya, lalu dengan tidak segan-segan pula ia menantang kepadaku untuk bertanding secara sahabat, hingga aku sendiri yang telah menjadi mual dengan tingkah-lakunya yang menengil itu, segera terima tantangan itu dengan perjanjian akan jangan saling mendendam, jikalau ada salah seorang yang luka atau bercacad. Ia terima baik syarat itu. "Maka setelah kedua pihak memilih seorang wasit, kita lalu mulai bertempur di sebidang pekarangan yang agak luas, dengan disaksikan oleh jago-jago tua kenamaan di kalangan Kang-ouw, yang sekarang hampir semua telah meninggal dunia." Tek Hoat dan Poan Thian pasang telinga mendengari "obrolan" Sang guru itu. "Dalam pertandingan persahabatan itu," An Chun San melanjutkan ceritanya. "aku telah mengalah buat kasih ia menyerang dahulu kepadaku, biarpun sekalian Lo-enghiong mengatakan ini tidak adil!" "Kau yang ditantang, maka haruslah kau dahulu yang berhak akan menyerangnya," Katanya. 8 "Tetapi aku ini memang orangnya terlalu see-jie, maka aku lebih suka mengalah daripada mendahului memukul." Begitulah pertempuran itu lalu dimulai. Sambil berkata begitu, dengan tidak terasa lagi Chun San lalu berbangkit dari tempat duduknya. "Orang itu di sini kita katakan saja si A," Katanya. "Lalu mulai menerjang dengan suatu pukulan untuk menjotos ulu hatiku." (Buat menutur dengan terlebih jelas, Chun San lalu menggerak-gerakkan badan, kaki, tangan dan kepalanya). "Aku lalu mengegos sedikit, buat kasih lewat pukulan itu, tetapi berbareng dengan itu, aku lalu maju setindak, akan mendekati kepadanya. "Sebelah kakinya tiba-tiba menyapu kakiku yang sedikit maju ke depan, tetapi tendangan itu luput, karena dengan mudah saja aku telah dapat hindarkan tendangan itu dengan mengangkat kakiku sedikit ke atas," (sambil Chun San menggerakkan kakinya sendiri). "Ia jadi mendongkol karena tendangannya luput. Lantas ia mendesak dengan cepat. Untung juga pukulanpukulan dan tendangan-tendangan yang sehebat itu ditujukan kepada diriku, jikalau ini ditujukan pada orang lain, aku percaya orang itu akan kelabakan setengah mati. Sekalian Lo-enghiong mula-mula sangat kuatir atas keselamatan diriku. Tetapi ketika dengan mudah aku telah dapat singkirkan itu semua, ada beberapa orang yang berbisik, (tetapi ini dapat didengar olehku), bahwa A itu bukan tandinganku yang setimpal. Ini akupun memang telah ketahui, A itu memanglah bukan tandinganku yang setimpal! Malah kalau aku mau, aku bisa rubuhkan padanya dengan sekali gebrak." Poan Thian yang mendengar penuturan itu jadi kelihatan tidak sabar dan lantas menanyakan. "Suhu! Aku sungguh tidak bisa mengerti apa sebab kau tidak 9 segera memukul kepadanya, sedangkan kau tahu kau bisa berbuat begitu?" "Suhu tentu ada kandung maksud lain," Kata ayahnya. Chun San tersenyum. "Mula-mula aku tak mau berbuat begitu getas," Katanya. "karena aku tahu, bahwa perbuatan itu akan mencemarkan nama baiknya di hadapan orang banyak." "Nah, itulah sebabnya mengapa Suhu tidak segera merubuhkan kepadanya," Kata Tek Hoat sambil mengacungkan jempolnya. "Itulah perbuatannya seorang budiman!" "Tetapi kesabaran itu ada batasnya," Kata Chun San pula. "Maka setelah melihat bahwa perbuatanku yang mengalah itu jadi berbalik dianggap pengecut, aku jadi sengit. Aku mulai menyerang dengan ilmu-ilmu pukulan yang ringan, tetapi semakin lama semakin berat, sehingga akhirnya aku telah keluarkan ilmu-ilmu pukulan sangat lihay seperti apa yang kupernah ajarkan kepadamu." (Sambil menggerakkan kaki tangannya, Chun San menoleh pada Lie Poan Thian). "Paling belakang, pada sebelum ia keburu berteriak meminta ampun, jari tanganku yang menyamber seperti kilat cepatnya telah tiba di bagian geger kirinya. Ia berteriak dan jatuh pingsan dengan tiga buah tulang iganya patah!" (Chun San tertawa). Lie Poan Thian kelihatan bernapas lega, hingga sambil berbangkit dari tempat duduknya ia menyoja pada An Chun San dan berkata. "Itulah justeru ada bagian paling setimpal yang ia harus dapatkan! Aku harus mengucap "Kiong-hie" Atas kemenangan guruku." 10 Chun San yang dipuji-puji jadi semakin mangkak. "Sebetulnya masih untung ia dirobohkan dalam cara begitu dan dengan disodok iganya," Ia berkata sambil pelembungi dada. "Kalau ia kena kutendang, ia akan putus jiwanya di seketika itu juga!" Mendengar penuturan itu, Poan Thian dan ayahnya jadi sangat kagum atas kepandaian sang guru yang maha dahsyat itu. "Banyak jagoan-jagoan di kalangan Kang-ouw yang mendengar betapa lihaynya ilmu tendanganku," Chun San melanjutkan ceritanya dengan penuh semangat. "telah sengaja mengunjungi kepadaku, dengan maksud buat minta diajarkan ilmu tendangan itu, tetapi aku menyatakan berkeberatan, berhubung kuatir nanti dipergunakan dengan sembarangan oleh mereka itu, hingga akhirnya aku sendirilah yang akan tanggung dosanya." Poan Thian jadi heran dan berbalik tanya kepada sang guru itu. "Suhu," Katanya. "aku sungguh tidak mengerti dengan maksud omonganmu tadi. Cara bagaimanakah perbuatan orang lain bisa ditanggung olehmu, sedangkan kau sendiri ada kemungkinan tidak tahu-menahu tentang perbuatan sesuatu orang itu?" "Ya, itu memang kelihatannya tidak menjadi soal penting," Kata An Chun San. "tetapi sudah terang bahwa setiap orang yang menerima pelajaran ilmu menendang dari aku, dengan sendirinya berarti suatu kedosaan bagi diriku, apabila besok atau lusa ia menendang orang sehingga mati, karena ilmu tendangan itu adalah aku sendiri yang menciptakannya, bukan boleh meniru dari orang lain." Lie Poan Thian mengangguk-anggukkan kepalanya 11 selaku orang yang berpikir, tetapi ia tak coba berdeging lebih jauh, meskipun di dalam hatinya ia merasa kurang puas dengan jawaban gurunya itu. Sementara An Chun San yang melihat Poan Thian berdiam sejurus, ia kuatir kalau murid itu minta diajarkan ilmu tendangan yang dikatakan olehnya tadi, maka buat mencegah kejadiankejadian lain yang akan menunjuk "tembaga" Kepandaiannya, lalu buru-buru ia tersenyum sambil mengatakan. "Ilmu tendangan ini akan kuturunkan kepadamu nanti diakhir tahun pelajaran kedua." Oleh karena Lie Poan Thian justeru hendak minta diajarkan ilmu tendangan itu, maka terpaksa ia tutup mulut dan mesti menunggu sampai lain tahun, dan itulah ada jalan pertama yang telah mendorong dia akan menciptakan ilmu tendangan baru, dengan mana dikemudian hari dia menjagoi di daerah lima propinsi utara. Lie Poan Thian yang berotak sangat terang, disamping meyakinkan ilmu silat yang diajarkan oleh An Chun San, juga dengan diam-diam ia telah coba menyempurnakan sendiri ilmu-ilmu silat yang dirasanya masih terdapat bagian yang lemah dan mudah diserang oleh ilmu silat lain. Pada suatu hari ketika Poan Thian minta diajarkan ilmu tendangan yang begitu diagulkan oleh An Chun San, dengan perasaan kurang enak sang guru itu telah berkata. "Belum boleh, belum boleh, karena ilmu-ilmu pukulan yang sekarang kau belum dapat yakinkan sehingga paham betul, cara bagaimana bisa dicampur aduk dengan pelajaran-pelajaran lain yang sifatnya jauh lebih sukar daripada itu?" Poan Thian dilahir tidak coba membantah omongan gurunya, tetapi di dalam hati ia merasa sangat kurang 12 puas, oleh sebab itu, selanjutnya ia belajar dengan terlebih giat, sehingga lama kelamaan Chun San jadi kuatir sekali, akan ilmu kepandaiannya sendiri akhirnya kena terdesak oleh sang murid. Buat mengaku yang ia sudah hampir kehabisan "kunci" Untuk mengajarkan pada sang murid, sudah tentu saja tak mau ia berbuat begitu. Karena jikalau ia berhenti mengajar ilmu silat kepada Lie Poan Thian, ia kuatir tak akan mendapat pekerjaan lain yang terlebih menyenangkan. Tetapi, apa akal sekarang? Pikir punya pikir, akhirnya didapatilah suatu akal untuk memperpanjang tempo bekerjanya dengan jalan memberikan pelajaran lebih sedikit kepada muridnya. Oleh karena itu, dapatlah Chun San berdiam enam bulan pula lamanya di rumah keluarga Lie itu. Pada suatu hari di musim dingin, selagi orang enak berminum arak yang hangat di muka perapian, adalah Lie Poan Thian sedang asyiknya melatih ilmu silat ciptaannya di tengah pelataran halaman rumahnya. Dalam pada itu An Chun San yang menyaksikan perbuatan muridnya dari kejauhan, diam-diam merasa heran dan menduga-duga, ilmu silat apa itu yang sedang diyakinkan oleh Lie Poan Thian. Ia ingat pernah mengajarkan beberapa banyak macam ilmu pukulan pada sang murid itu, tetapi ini satu agak berlainan dengan apa yang ia telah pernah ajarkan. Betul di beberapa bagian dari ilmu silat yang sedang diyakinkannya itu mirip dengan ilmu pukulan Song-congkoan, tetapi perubahan selanjutnya agak asing bagi pengetahuannya di kalangan itu. "Apakah gerangan nama aslinya ilmu pukulan ini?" An Chun San bertanya pada diri sendiri. Tetapi biarpun ia berpikir bolak-balik, tidak juga ia ketahui apa namanya ilmu pukulan yang sedang diyakinkan oleh sang murid itu. 13 Ia sama sekali tidak menyangka bahwa semua itu adalah hasil daripada ciptaan Lie Poan Thian, yang telah didapat dengan berdasarkan pelajaran-pelajaran yang telah diberikan olehnya sendiri. Lebih jauh ia telah menyaksikan bagaimana kerasnya di waktu Poan Thian menendang, hingga angin tendangan itu bersuara dan terdengar olehnya yang terpisah dari tempat berlatih kira-kira duaratus tindak jauhnya. Chun San jadi sangat memuji di dalam hatinya. Tetapi berbareng dengan itu, ia jadi kuatir juga akan mesti lekas berlalu dari rumah itu, jikalau nanti Poan Thian telah paham benar dalam pelajaran-pelajaran silatnya. Sekarang ia telah menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri, alangkah pesatnya Poan Thian telah peroleh kemajuan dalam pelajarannya. Chun San menghela napas dengan berat, apabila ia memikirkan itu semua, tetapi tidak urung akhirnya ia memanggil-manggil juga kepada Poan Thian yang sedang bersilat itu. Poan Thian lalu berhenti bersilat dan lekas menoleh ke belakang. Ketika menampak gurunya berdiri dari kejauhan, buru-buru ia mengunjukkan hormatnya dan tersenyum sambil berkata. "Oh, pada sangkaku siapa, tidak tahunya guruku sendiri. Belum tahu barusan Suhu memanggil aku ada petunjuk apakah yang hendak disampaikan kepadaku?" "Ilmu silat Song-cong-koan yang telah kau pertunjukkan tadi," Kata Chun San. "ternyata kurang benar dan banyak bagian yang masih perlu diperbaiki. Dalam waktu orang mempertunjukkan ilmu pukulan ini, 14 bukan saja tenaga yang dikeluarkan harus cukup kuat, tetapi juga segala gerakannya pun tidak boleh dilakukan menyimpang daripada ketentuan-ketentuan yang memangnya sudah ada sedari dahulu. Maka dari sebab itu juga, kau harus ketahui dan perhatikan dengan sebaik-baiknya, bahwa titik kepentingannya ilmu ini ialah untuk dipakai memukul saluran darah Kie-hun-hiat. Musuh yang kena terpukul dengan ilmu pukulan Songcong-koan ini, walaupun tidak mati seketika itu juga, akan tetapi sudah pasti dia akan menderita luka berat. Maka jikalau pemukulan itu dilakukan kurang tepat dan tidak cukup kuat, selain pihak musuh tidak sampai mengalami kesukaran apa-apa, malah diri kita sendiri bisa berbalik dicelakai olehnya. Kita pasti tak akan keburu menggunakan ilmu pukulan lain buat menjaga diri kita. Itulah bahayanya yang bisa diterbitkan oleh karena akibat kekeliruan-kekeliruan seperti apa yang telah ditunjukkan olehmu tadi." Lie Poan Thian jadi melengak ketika mendengar keterangan begitu. Karena menurut keteranganketerangan Chun San tadi, seolah-olah ia hendak mengatakan bahwa gerak-geriknya musuh harus mengimbangi jalannya ilmu pukulan Song-cong-koan itu, tetapi bukanlah ilmu pukulan itu yang harus disesuaikan jalannya untuk dapat merobohkan musuh. Musuh itu bukan boneka, dan ia pasti tidak tinggal diam apabila pihak musuh mendadak mengganti taktik dengan mengajukan lain macam ilmu pukulan. Si Kaki Sakti Menggemparkan Dunia Persilatan Karya Hong San Khek di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Tetapi dimanakah ada ilmu pukulan yang bisa dijalankan terusmenerus dari awal sehingga diakhir di dalam suatu pertempuran? Keterangan itu memang agak bo-ceng-lie dan bisa menerbitkan buah tertawaan orang, tetapi Poan Thian 15 tidak berani berbantahan dan segera mengulangi pula ilmu Song-cong-koan tadi menuruti petunjuk-petunjuk Chun San yang sudah-sudah. Dan setelah selesai menjalankan ilmu pukulan tersebut, barulah ia menanyakan pendapat gurunya tentang ilmu pukulan itu. Tetapi Chun San lalu menggelengkan kepalanya sambil berkata. "Belum sempurna, walaupun itu boleh dikatakan lebih baik daripada tadi." Lebih jauh buat membenarkan kekeliruan-kekeliruan yang telah diperbuat Poan Thian itu, maka Chun San lalu memberikan segala petunjuk yang, perlu dengan lisan dan praktek. Kemudian dengan menggunakan ilmu Song-cong-koan itu ia memukul sebuah pohon liu yang besar garis tengahnya sepelukan orang, hingga badan pohon yang bergoncang-goncang karena menerima pukulan Chun San yang begitu keras, telah menyebabkan juga banyak daunnya yang sudah tua jatuh terserak ke muka bumi. "Nah, kau lihat itu," Kata guru silat itu dengan perasaan bangga atas kekuatan tenaganya sendiri. "Dengan menyaksikan pada kejadian ini, tentulah kau bisa pikir sendiri berapa besarnya tenagaku. Maka biarpun musuh berotot besi atau bertulang tembaga juga, niscaya tak akan tahan dia menerima pukulan-pukulan semacam itu!" An Chun San tertawa bergelak-gelak sesudah berkata begitu. Sementara Lie Poan Thian yang menyaksikan kekuatannya sang guru, juga kelihatan kagum dan memuji tidak sudahnya. "Tetapi, Suhu," Kata sang murid. "cara bagaimanakah kita harus menghindarkannya, apabila pihak musuh kita yang menggunakannya ilmu 16 Song-cong-koan itu?" An Chun San lalu menjawab dengan sembarangan, karena ilmu kepandaiannya memang masih sangat terbatas. "Oleh karena ilmu pukulan demikian pasti akan dilakukan dengan tenaga sepenuh-penuhnya," Kata sang guru. "maka tidak boleh kita tangkis dengan sembarangan. Kita bisa celaka sendiri apabila kita berlaku kurang sebat untuk menghindarkannya, maka buat dapat meloloskan diri daripada pukulan itu, aku pujikan supaya kau pergunakan ilmu pukulan "Gan-lokpeng-see" (burung meliwis jatuh di pasir rata). Ini harus kau perhatikan betul-betul. Bukankah ilmu. "Gan-lokpeng-see" Ini sudah pernah kuajarkan kepadamu?" Chun San melanjutkan bicaranya. Poan Thian mengangguk. "Ya," Sahutnya. "Apakah engkau masih mempergunakannya?" Ingat cara bagaimana "Masih ingat, masih ingat," Sahut sang murid. Selanjutnya karena merasa senang pasang omong tentang ilmu silat, maka Poan Thian lalu mengajukan pertanyaan-pertanyaan lain kepada sang guru. "Suhu, bagaimana kita harus memecahkan ilmu pukulan "Sian-jin-ciauw-ciang"?" Tanyanya kemudian. (Sian-jin-ciauw-ciang artinya Sang dewa membentangkan telapak tangan). "Pergunakanlah tipu "Hun-kim-siu" (Muslihat membagi emas)," Sahut yang ditanya dengan tidak raguragu lagi. "Sebab tipu silat yang kau katakan barusan itu, pada umumnya dipergunakan untuk menyerang dengan berturut-turut di waktu bertempur dengan musuh. Maka apabila orang menggunakan ilmu pukulan Hun-kim-siu 17 buat menimpalinya, niscaya pihak musuh akan mengalami lebih banyak celaka daripada selamat!" "Tetapi Tee-cu sendiri telah mendapat suatu jalan lain yang agak berbedaan dengan pendapat Suhu tadi," Katanya. "dan cara inipun dapat dipergunakan, untuk memecahkan tipu Sian-jin-ciauw-ciang itu." An Chun San yang mendengar omongan sang murid, mendadak tampaknya jadi kurang senang. "Kurang ajar benar anak ini," Demikianlah pikirnya. "hingga baru saja belajar ilmu silat setahun lebih, ia sudah mengunjuk tingkah laku yang begitu sombong! Ia seolah-olah mau lebih menang daripadaku yang menjadi gurunya. Maka apabila aku tidak ajar sedikit adat, tentulah selanjutnya ia bisa khoa-bo (memandang enteng) kepadaku." Oleh sebab itu ia berkata. "Apakah yang kau katakan barusan itu benar-benar?" Poan Thian menetapkan mengatakan. "Ya, benar." Perkataannya dengan An Chun San jadi semakin mendongkol mendengar jawaban itu, karena itu baginya boleh dianggap sebagai suatu tantangan. "Kalau begitu, baiklah!" Katanya. "Aku hendak melihat cara bagaimana engkau akan menghindarkan dirimu, apabila aku menyerang kepadamu dengan tipu Sian-jinciauw-ciang!" Lalu ia maju mendekati kepada sang murid. Hampir dalam saat itu juga Chun San lalu mengayunkan tangan kirinya ke depan muka Lie Poan Thian, yang maksudnya untuk membikin terkesiap hati orang, sedang tangan kanannya yang menyusul dengan cepat, dimaksudkan untuk memukul jalan darah Thay-yang-hiat pada bagian 18 pilingan murid itu. Serangan itu telah dilakukan oleh An Chun San dengan gerakan yang luar biasa cepatnya! Dalam pada itu Chun San percaya, bahwa Poan Thian tidak akan mampu memecahkan seranganserangan itu, jikalau bukan menggunakan ilmu Hun-kimsiu yang pernah diajarkannya. Tetapi dugaan itu ternyata meleset. Poan Thian bukan saja tidak menggunakan tipu Hunkim-siu barang sedikit, malah gerakannya untuk menghindarkan diripun jauh berbeda daripada apa yang pernah diimpikan oleh An Chun San sendiri. Sang murid ini ternyata tidak melakukan penangkisan menurut cara yang pernah diajarkannya itu! Hal mana, sudah tentu saja, telah bikin Chun San jadi semakin mendongkol! Buat menghindarkan pukulan itu, Poan Thian bukan berkelit atau mengegos, hanyalah segera membuang diri ke belakang, tetapi berbareng dengan itu, kedua kakinya lalu dikasih bekerja untuk menyapu ke arah kakinya An Chun San. Sang guru jadi terkejut, ia tidak tahu dari mana Poan Thian dapat pelajarkan ilmu tendangan yang baginya masih agak asing ini. Buru-buru ia berlompat buat mengasih lewat sebelah kakinya Poan Thian yang menyamber kepadanya itu. Tetapi sebegitu lekas kakinya menginjak tanah, kaki Poan Thian yang menyamber balik telah bikin Chun San jadi gelagapan! "Celaka!" Ia berteriak di dalam hati. Ia sama sekali tak menduga, bahwa muridnya dapat melakukan ilmu tendangan selihay itu! 19 Akan menghindarkan diri dari tendangan musuh dengan jalan melompat ke atas, itulah bukan pekerjaan yang terlalu sukar; tetapi buat menghindarkan tendangan musuh yang menyamber di waktu kita akan menginjak tanah, itulah sesungguhnya ada saat yang paling berbahaya bagi kita. Dan itulah justeru ada di bagian ini yang Poan Thian telah mengambil ketika untuk menjajal kesebatan gurunya. Maka sebegitu lekas saat yang tegang itu telah sampai, sekonyong-konyong An Chun San terdengar berteriak. "Ayaah!" Yang kemudian disusul dengan suarasuara "plak!" .,sret!" "gedebuk!" An Chun San yang telah terkena tendangan sang murid, tidak berbeda dengan daun-daun kering yang tertiup angin, ia terlempar jauh sekali dan jatuh jumpalitan di tanah dengan kepala benjut dan mengeluarkan darah! Poan Thian sendiri tak pernah menyangka bahwa persoalan bakal terjadi begitu rupa, tak pernah ia impikan, bahwa akibat daripada tendangannya itu, sang guru bisa kejadian terlempar sejauh itu. Dari itu, buruburu ia berlari-lari, menghampiri dan mengangkatnya bangun sambil meminta maaf berulang-ulang. "Aku mohon beribu-ribu maaf atas kelancanganku itu," Kata Lie Poan Thian dengan laku gugup. "Tendangan tadi ternyata telah dilakukan terlalu cepat, sehingga aku tak menyangka sama sekali bakal menerbitkan luka kepada guruku." Sambil berkata begitu, Poan Thian cepat membungkukkan diri buat menolong kepada sang guru, tetapi Chun San yang telah keburu berbangkit, dengan muka merah karena malu dan gusar lalu menuding pada 20 sang murid sambil berkata. "Bagus benar perbuatanmu ini! Engkau telah berani menyerang guru sendiri dengan sungguh-sungguh dan selagi aku tidak bersedia!" Poan Thian yang mendengar omongan itu, dengan tak tertahan lagi jadi tertawa geli. Sebab pada pikirnya, apakah gunanya orang meyakinkan ilmu silat, apabila dalam hal melakukan penyerangan orang mesti memberitahukan terlebih dahulu kepada pihak lain yang menjadi musuhnya? Maka berhubung dengan peristiwa yang telah dialaminya pada kali ini, lambat-laun Poan Thian jadi mendusin, kalau-kalau kepandaian silat sang guru itu hanyalah terbatas sampai di situ saja, sedangkan omongan-omongan tekebur yang pernah diucapkannya dahulu, itulah melulu merupakan khayal-khayal yang tidak ada buktinya sama sekali. Dari itu, tidaklah heran jika ia jadi tertawa geli. Chun San yang ditertawai jadi sengit dan merasa sangat penasaran, biarpun Poan Thian meminta-minta maaf dan menyatakan penyesalannya telah kelepasan tangan, tetapi tidak urung dengan tidak pikir panjang lagi ia segera mengeluarkan suara bentakan keras yang dibarengi dengan serangan Go-houw-kim-yo (harimau lapar menubruk kambing) untuk menerjang kepada sang murid itu. Syukur juga Poan Thian yang terlebih siang telah menduga peristiwa apa yang bakal dialami, sudah lantas mengerti tindakan apa yang harus diambilnya seketika itu. Maka sebegitu lekas ia melihat gurunya menyerang, buru-buru ia mempergunakan siasat Pek-kee-tian-cie (Ayam putih membentangkan sayap) membentangkan kedua tangannya buat menyingkirkan pukulannya sang guru, sambil kemudian melanjutkan gerakannya dengan mengegos ke samping, hingga dengan cara ini ia bisa 21 terluput dan lompat ke suatu jurusan sambil mulutnya tidak berhenti-henti berkaok-kaok. "Suhu, tahan dulu! Sabar! Maafkanlah atas kelancangan Tee-cu!" Tetapi Chun San tidak menghiraukannya dan terus menggerakkan kaki tangannya buat memukul pada sang murid yang dianggapnya sangat kurang ajar itu. Lama-lama peristiwa ini telah dapat dilihat oleh seorang bujang tua keluarga Lie yang bernama Ong Kiu, ia jadi sangat terkejut dan buru-buru berlari-lari masuk ke dalam rumah sambil tidak henti-hentinya berkaok. "Celaka! Celaka! An Kauw-su berkelahi dengan tuan muda kita!" Mula-mula Tek Hoat tidak mau percaya dengan keterangan itu, bahkan mengomel pada si bujang tua itu yang dikatakan "edan". Tetapi ketika ia dikasih keterangan lebih jauh dengan sikap yang tergopohgopoh, orang tua itu jadi percaya juga dan terus berlarilari dengan diiringi oleh beberapa bujang yang lainlainnya. Dan ketika Tek Hoat sampai di pelataran halaman rumah, betul saja ia melihat Chun San menerjang pada anaknya dengan berulang-ulang, tetapi syukur juga Poan Thian bisa meluputkan diri sambil berkaok-kaok minta dimaafkan atas segala kekhilafannya. Tek Hoat yang merasa kuatir atas keselamatan diri anaknya, buru-buru berlari menghampiri kepada An Chun San sambil membujuk dan meminta maaf atas kelancangan dan kekhilafan anaknya itu. Oleh karena mendengar omongan orang tua itu, Chun San jadi mendusin dari perbuatannya yang semberono dan lekas-lekas balas memberi hormat kepada Tek Hoat sambil memaksakan diri buat 22 mengunjuk muka manis. "Semua ini sebetulnya cuma merupakan suatu permainan saja," Katanya. "karena Kok Ciang memang perlu diajar tabah disamping dilatih dalam hal ilmu pelajaran silatnya. Karena jikalau ia tidak diajarkan berlaku tabah dari sekarang, bagaimanakah ia bisa berhadapan dengan musuh, jikalau di kemudian hari ia sampai benar-benar bertempur dengan orang lain?" Tek Hoat mengangguk-angguk sambil membenarkan omongan guru silat itu, kemudian ia menanyakan mengapa dahi Chun San berlumuran darah dan tampak berjendul? Atas pertanyaan ini. Chun San lalu tuturkan segala sesuatu yang telah terjadi tadi, tetapi sifatnya ia sengaja perlunak buat menutup perasaan malunya. Sementara Tek Hoat yang mendengar begitu, segera memberikan comelan pada sang anak. "Kau ini sungguh amat tidak patut telah berani melukai guru sendiri," Katanya. "Maka setelah melakukan perbuatan yang begitu kurang ajar, mengapakah kau tidak lekas berlutut di hadapan An Lo-suhu buat meminta maaf?" Poan Thian menurut dan lekas menjura di hadapan An Chun San sambil menyoja dan meminta maaf hingga Chun San yang menerima permintaan maaf itu dengan perasaan hati tidak enak, lalu banguni Poan Thian sambil melanjutkan pembicaraannya dengan sang majikan tua. "Perkara kecelakaan dalam waktu melatih ilmu silat," Kata guru silat itu. "memanglah ada suatu hal lumrah yang tidak perlu banyak direcoki. Demikian juga dengan halnya kejadian sekarang ini. Perlu apakah Lo-ya mesti kuatirkan sampai begitu?" 23 Tek Hoat kelihatan puas dengan jawaban An Chun San itu. Tetapi karena melihat dahi sang guru bercucuran darah, maka ia telah tawarkan Chun San buat berobat dengan segala ongkos-ongkosnya ditanggung oleh orang tua itu. Tetapi Chun San yang merasa bahwa sendirinya ada seorang guru silat, ia pikir sangat memalukan apabila ia luka sedikit saja mesti diobati orang lain. Lagi pula ia sendiripun mengerti sedikit tentang obat-obatan, hingga dengan secara getas ia telah menampik tawaran Tek Hoat sambil berkata. "Oh, itu tidak perlu, karena aku di sini pun ada sedia obat luka yang manjur sekali, yang akan dapat menyembuhkan segala macam luka-luka dalam tempo hanya beberapa saat saja lamanya." Kemudian ia pergi mengambil obat yang dikatakannya itu, yang ternyata benar manjur dan telah dapat menahan darah yang mengucur di dahinya hampir di saat itu juga. Ketika di hari esoknya Poan Thian bangun tidur dan hendak pergi melatih ilmu silat di halaman pelataran rumahnya seperti biasa, ia menampak keadaan di situ agak berlainan dengan hari-hari yang telah lampau, karena Chun San yang telah dapat malu oleh karena telah dirobohkan oleh muridnya sendiri, ternyata dengan tak meminta diri lagi telah meninggalkan rumah itu buat selama-lamanya. Hal mana, sedikit banyak telah menerbitkan sesalan juga di dalam hati pemuda itu, yang tetap menghargai jasa-jasanya Chun San yang telah mendidiknya sehingga dapat membuka jalan akan ia menjadi seorang jago silat dan ahli menendang dengan ilmu Lian-hwan Sauw-tong-tui yang telah diciptakannya dan di kemudian hari sangat disegani oleh sekian orangorang gagah di kalangan Kang-ouw. 24 Maka seperginya Chun San dari rumah keluarga Lie, Poan Thian telah kerap meminta pada ayahnya supaya dicarikan guru silat lain untuk memberikan pelajaran kepadanya, tetapi orang tua itu selalu menolak dan memberikan comelan, hingga selanjutnya ia tidak bisa berbuat lain daripada melatih diri dengan ilmu-ilmu pelajaran yang telah didapatinya dari An Chun San, disamping memperbaiki ilmu tendangan ciptaannya, dengan mana ia telah berhasil dapat merobohkan gurunya sendiri. Setiap hari di waktu Poan Thian berlatih dengan giat di halaman pelataran rumahnya, banyak orang yang kebetulan melewat telah pada berhenti menonton dengan sorot mata yang menandakan kagum atas kekuatannya pemuda itu. Karena disaban waktu ia memukul atau menendang pohon liu yang sebesar pelukan itu, tentulah pohon itu bergoncang keras dengan daun-daunnya pada rontok dan jatuh terserak ke muka bumi. Sedang Poan Thian sendiri yang sedikit demi sedikit telah menyaksikan tentang kemajuan dan kekuatan dirinya, sudah tentu saja jadi kagum dan sering berkata pada diri sendiri. "Apabila pohon yang besar ini bisa bergoncang karena pukulan atau tendanganku, maka pastilah pukulan atau tendanganku ini akan bikin orang mati atau patah tulang, apabila nanti kucoba dalam pertempuran." Demikianlah pada pikirnya anak muda itu, yang seolah-olah anak kerbau yang baru bertanduk itu, tak takut akan harimau, juga berani menghadapi segala sesuatu dengan sikap yang angkuh, sehingga ia lupa bahwa orang gagah di kolong langit ini bukan hanya dia seorang saja. Itulah cacadnya orang yang baru mengerti ilmu silat 25 dengan serba sedikit! Sebulan telah lewat semenjak meninggalkan rumah keluarga Lie. An Chun San Pada suatu pagi hari selagi Poan Thian melatih diri seperti biasa, banyak orang telah berdiri menonton ia bersilat dari kejauhan. Di setiap waktu ia selesai bersilat, mereka itu tentulah menyambut dengan tampik sorak yang riuh, hingga hatinya Poan Thian jadi sangat gembira dan lambat laun berpendapat bahwa dirinya "Thian He Tee It", nomor wahid di kolong langit. Tetapi, apa mau, tengah orang banyak bertampik sorak, mendadak ia mendengar ada seorang yang mengejek kepadanya sambil tertawa-tawa, hingga Poan Thian yang mendengar begitu, sudah tentu saja merasa kurang senang dan lalu bercelingukan buat melihat siapa adanya orang yang telah mengejeknya itu. Dan tatkala ia memandang kian-kemari sekian lamanya, akhirnya barulah diketahui bahwa orang itu kira-kira berumur tigapuluh tahun, pakaiannya sederhana. Orangnya tidak besar, tetapi badannya tegap, ia berhidung mancung, bermulut lebar, dan apa yang terutama paling menarik perhatiannya Poan Thian, ialah sepasang matanya yang jeli dan seakan-akan mengeluarkan sinar yang bisa menusuk penglihatan orang yang diamat-amatinya. Kepada ia ini Poan Thian lalu menghampiri, memberi hormat serta menanyakan sebagai berikut. "Oleh karena barusan aku mendengar kau mengejek sambil tertawa-tawa, maka aku berpendapat bahwa kau ini tentulah ada seorang yang paham ilmu silat. Aku sendiri harus mengaku, bahwa ilmu kepandaianku belum sempurna dan masih perlu diperbaiki di bawah 26 pimpinannya seorang yang ahli. Maka apabila tuan sesungguhnya paham ilmu silat, sudikah kiranya tuan memberikan petunjuk-petunjuk yang berharga kepadaku?" Orang itu kembali tertawa, tetapi mula-mula tidak mau berkata apa-apa. Ia bersikap "masa bodoh". Dan tatkala Poan Thian mendesak akan minta jawabannya, ia lalu menggelengkan kepalanya. Ia menjawab. "Tidak, aku tidak pandai ilmu silat." Poan Thian jadi semakin tidak senang mendengar jawaban itu. "Apabila kau tidak pandai ilmu silat," Katanya. "perlu apakah kau mesti mentertawai orang lain?" "Semua orang adalah bebas buat tertawa," Sahut orang itu sambil bersenyum. "Aku tertawa dengan mulutku sendiri, seperti juga kau bersilat dengan kaki tanganmu sendiri! Ada apakah hubungannya antara mulutku dan kaki tanganmu?" "Ah, kurang ajar benar orang ini!" Pikir Lie Poan Thian di dalam hatinya. "Jikalau aku selalu mengunjukkan sikap yang mengalah, tidak mustahil orang menganggap aku pengecut. Maka buat mengunjukkan bahwa aku ini bukan seorang yang penakut, aku perlu ajar sedikit adat kepada si congkak ini." Si Kaki Sakti Menggemparkan Dunia Persilatan Karya Hong San Khek di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Kemudian dengan sikap gusar dan mata mendelik, Poan Thian menuding pada orang itu sambil membentak. "Hai, orang desa! Kau harus ketahui bahwa ejekan terhadap seorang yang mengerti ilmu silat, itulah berarti suatu hinaan yang bisa dipersamakan dengan suatu tantangan berkelahi! Tetapi karena mengingat bahwa kau tidak mengerti ilmu silat, maka aku mau sudahi saja urusan ini, apabila kau suka meminta maaf dengan 27 berlutut di tanah di hadapanku!" "Apa, berlutut?" Orang itu jadi tertawa tergelak-gelak. Suara tertawanya itu ada begitu nyaring, sehingga menerbitkan gema yang telah mendatangkan rasa herannya semua orang. "Aku tidak biasa berlutut di hadapan sembarangan orang," Katanya. "apalagi-anak yang baru lepas pupuk seperti kau ini!" Mendengar omongan itu. Lie Poan Thian bukan main marahnya, hingga dengan tidak banyak bicara lagi ia menjotos orang itu dengan menggunakan siasat Songtwie-ciang, hingga orang banyak yang setiap hari menyaksikan tenaga si pemuda yang begitu kuat, ratarata jadi pada kuatir atas nasibnya orang itu, dan pernyataan itu menjadi semakin kuat lagi, ketika orang banyak pada mengatakan. "Celaka! Celaka! Orang itu sesungguhnya tak berbeda dengan seekor ular yang mencari pentungan!" Y Tetapi sikapnya orang itu tinggal tenang-tenang saja, walaupun Poan Thian menerjang bagaikan harimau kelaparan. Ia kelihatan tersenyum sedikit, dan sebegitu lekas kepalannya Lie Poan Thian mendekati dadanya, lalu ia merangkapkan kedua tangannya sambil menggunakan tipu-tipu Hun-sui-ciang, hingga ketika ia menggerakkan tangan itu dengan kecepatan seperti kilat, Poan Thian rasakan dari pihak orang itu telah keluar semacam tenaga penolak yang telah memaksa ia mundur ke belakang sehingga beberapa tindak jauhnya. Maka dengan adanya sedikit pengalaman ini, Poan Thian segera ketahui, bahwa orang ini tentunya ada seorang 28 ahli silat yang ilmu lweekangnya sangat tinggi, tetapi oleh karena sudah ketelanjuran ia memulai membuka penyerangan, apa boleh buat ia hendak menjajal juga sampai dimana kepandaiannya orang itu. Begitulah ketika ia maju menerjang buat kedua kalinya, Poan Thian telah berlaku jauh lebih hati-hati daripada tadi, karena selain ia tidak menggunakan kepalan lagi, iapun tidak mau "menyeruduk" Dengan sekenanya saja. Lalu ia menendang dengan menggunakan tipu Tan-hui-tui, semacam ilmu menendang yang ia biasa praktekkan setiap hari. Maksud daripada mempergunakan ilmu tendangan ini, ialah untuk memancing supaya orang itu berkelit atau menghindarkan tendangan itu dengan jalan berjongkok, hingga di waktu orang itu berbuat demikian, ia segera akan merangsek dan menendang pula dengan ilmu tendangan yang sangat dibanggakannya itu, ialah ilmu tendangan Lian-hwan Sauw-tong-tui yang dahulu telah dipakai merobohkan gurunya sendiri. Tetapi, lebih cepat daripada kilat yang menyamber, Poan Thian sama sekali tak menduga, kalau-kalau perhitungannya itu meleset semua. Ia sendiri tidak melihat cara bagaimana pihak lawannya telah menyingkirkan diri dari tendangannya, seperti juga ia tidak melihat cara bagaimana pihak lawannya telah membalas menyerang kepadanya. Karena tahu-tahu ketika ia menendang dengan sepenuhnya tenaga, ia merasakan dirinya seperti juga dilemparkan ke udara, hingga pada sebelum ia bisa mengucap sepatah kata "Celaka!" Ia sudah terbanting ke suatu tempat yang terpisah kira-kira beberapa belas kaki jauhnya dari tempat ia semula melakukan penyerangan tadi! Orang banyak jadi bertampik sorak dengan riuh 29 sekali. Mereka sama sekali tak menyangka, kalau orang itu bisa merobohkan Poan Thian dalam tempo hanya sekejapan saja lamanya! Tetapi Poan Thian yang lekas insyaf akan kekeliruannya, bukan saja tidak jadi gusar mengalami kekalahan itu, malah sebaliknya lekas berbangkit dan membungkukkan badan memberi hormat pada orang itu sambil berkata. "Tuan, nyatalah bahwa aku ini ada seorang yang tak bisa mengenali seorang pandai, hingga jikalau kau tidak memberikan sedikit pengunjukkan ini, niscaya aku akan tetap buta buat menganggap bahwa diri sendiri "Thian He Tee It", paling jago dan tidak ada lawannya di kolong langit ini!" "Itu di muka adalah rumahku sendiri," Poan Thian melanjutkan omongannya. "sudikah kiranya tuan mampir sebentar buat beromong-omong dan memberikan sedikit petunjuk berharga kepada diriku yang bodoh ini?" Orang itu nampaknya tidak berkeberatan buat mengabulkan permintaan pemuda itu. "Aku yang rendah bernama Lie Kok Ciang," Begitulah Poan Thian perkenalkan dirinya sendiri. "Tetapi belum tahu apakah aku punya itu kehormatan akan mengetahui she dan nama tuan yang mulia?" "Aku bernama Hoa In Liong," Menerangkan orang yang ditanya itu. Poan Thian jadi girang dan lalu dengan berpimpin tangan ia mengajak sahabat baru itu akan berkunjung ke rumahnya. Di sana In Liong telah diperkenalkan pada ayahnya Lie Poan Thian, yang telah menanyakan she, nama dan asal usulnya. 30 In Liong terangkan she dan namanya sendiri, tetapi tampak agak berkeberatan akan menerangkan asal usulnya. Maka Tek Hoat yang seolah-olah telah dapat membaca pikiran tetamunya, lalu kesampingkan pertanyaan itu dengan pura-pura menanyakan. "Tahun ini Cong-su masuk umur berapa?" "Tigapuluh tahun," Sahut In Liong dengan pendek. Kemudian Tek Hoat perintah orang-orang sebawahannya akan menyajikan makanan dan minuman yang paling baik untuk menjamu kepada tamu yang baru datang itu. In Liong kelihatan agak see-jie (sungkan), tetapi Poan Thian lalu mendesak supaya ia suka duduk makan minum dahulu, pada sebelum mereka mengobrol lebih jauh. "Kita semua adalah orang-orang sendiri," Tek Hoat bantu membujuk. "buat apakah mesti berlaku sungkan?" In Liong apa boleh buat meluluskan juga ajakan itu dan menyampaikan terima kasihnya. Pada waktu mereka duduk makan minum, Poan Thian telah membicarakan banyak sekali tentang soalsoal yang bersangkut paut dengan ilmu silat. "Ciang-jie (dimaksudkan Kok Ciang) telah beberapa lamanya meyakinkan ilmu silat," Kata Tek Hoat pula sambil bersenyum. "tetapi hasilnya ternyata sangat menyedihkan." "Meyakinkan ilmu silat itu memang meminta sangat banyak tempo, keuletan dan kesabaran," Kata Hoa In Liong. "Banyak sekali orang yang meyakinkan ilmu itu telah jadi kandas karena kekurangan keuletan, takut 31 capai dan ingin lekas pandai. Oleh sebab itu, boleh dikata sudah bagus kalau ia kandas setengah jalan dengan tidak menderita kerugian apa-apa. Yang paling celaka adalah orang yang memaksakan diri sampai melewati batas, hingga oleh karenanya ia telah mendapat celaka atas perbuatannya sendiri. Badan rusak dan peryakinannya pun terbang sia-sia, itulah yang dinamakan menyedihkan, tetapi bukan sebagai keyakinan yang diperbuat saudara Kok Ciang ini, harap Loo-pek jangan salah paham." Tek Hoat tertawa waktu mendengar omongan itu. "Justeru karena aku sendiri hampir mirip dengan keadaan orang yang kau tuturkan itu," Poan Thian menyampuri berbicara. "maka aku mohon supaya sudilah kiranya tuan memberikan pengunjukan-pengunjukan untuk memperbaiki cacat-cacatku itu. Aku ini memanglah sesungguhnya sangat ingin lekas pandai, lekas paham untuk mempergunakan segara macam ilmu pukulan yang aku praktekkan setiap hari. Tetapi karena pada beberapa waktu ini aku tidak mempunyai guru untuk memimpin dan menilik pelajaran silatku, maka aku bermaksud mengundang tuan akan menjadi guruku. Cuma belum tahu apakah tuan sudi meluluskan atau tidak permintaanku ini?" In Liong tersenyum sambil kemudian berkata. "Saudara, dalam hal ini aku sangat menyesal tidak dapat memenuhkan permintaanmu. Karena selain aku sedang melakukan tugas yang diberikan oleh guruku, ilmu silatku pun masih mentah-mateng dan belum mempunyai kecakapan buat mengajar pada orang lain. Maka buat tidak mensia-siakan pengharapanmu yang begitu sungguh-sungguh, aku bersedia buat memperkenalkan kau kepada guruku Kak Seng Siang-jin, Lo-suhu di 32 kelenteng Liong-tam-sie. Tetapi kau harus berjanji akan tidak menyebut-nyebut namaku di hadapannya, karena aku bisa digusari oleh karena berani berlaku lancang memperkenalkan dirinya kepada orang lain. Beliau ini adalah seorang tua yang tabiatnya agak luar biasa. Beliau tidak sembarangan menerima orang sebagai muridnya, maka dari itu muridnya pun tidak banyak. Beliau terlalu cerewet dalam hal memilih murid." Tek Hoat mengangguk-angguk dengan tidak bicara barang sepatah katapun. Tetapi Poan Thian yang mendengar keterangan begitu, sebaliknya jadi semakin bernapsu buat berguru pada gurunya Hoa In Liong yang dikatakan bertabiat aneh itu. "Belum tahu apakah syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh setiap orang yang hendak berguru kepada beliau itu?" Tanya Lie Poan Thian dengan laku sungguhsungguh. "Aku percaya tuan yang pernah berdiam lama di kelenteng Liong-tam-sie, tentulah mengetahui syaratsyaratnya itu." Tetapi Hoa In Liong yang tidak mengerti maksud Lie Poan Thian, sudah tentu saja jadi heran dan balik bertanya. "Saudara, pertanyaanmu itu sungguh mengherankan hatiku. Syarat-syarat apakah itu yang hendak kau minta keterangan dariku?" Poan Thian yang merasa telah kelepasan omong, sudah tentu saja jadi gugup dan menjawab. "Maafkanlah padaku, saudara. Yang aku maksudkan dengan katakata "syarat-syarat" Itu, ialah selain syarat yang harus dipenuhi oleh setiap orang yang hendak minta berguru, juga berapakah setiap murid diharuskan membayar sebagai ongkos belajarnya?" Mendengar omongan itu, wajahnya Hoa In Liong 33 mendadak jadi merah. Ia kelihatan kurang senang dengan pertanyaan itu, yang mana dengan cara tegas dapat dilihat oleh Poan Thian dan ayahnya. Tetapi akhirnya ia terpaksa bersenyum getir dan menjawab. "Saudara! Pertanyaanmu itu sebenarnya merupakan suatu hinaan bagi nama baik guruku di Liong-tam-sie. Tetapi karena mengingat bahwa semua ini telah terjadi bukan karena disengaja, maka aku hendak memperingatkan supaya selanjutnya kau jangan menyebut-nyebut pula soal pembayaran. Guru kami betul bukan orang beruang, tetapi kami percaya beliau bukan seorang yang terlalu kemaruk dengan harta dunia! Beliau menerima murid dengan tidak mengharapkan pembayaran apa-apa. Barang siapa yang dianggap mempunyai bakat baik dan herharga buat dididik dengan mudah lantas diterima, tetapi barang siapa yang ternyata tidak berharga mendapat perhatiannya meski dia membawa "uang pembayaran" Bergudang-gudang sekalipun, niscaya akan ditolaknya dengan secara getas! Itulah syarat yang terutama buat orang berguru pada Kak Seng Siang-jin Lo-suhu, yang sama sekali tidak menitik beratkan pengajaran karena keuangan!" Perintah Maut Karya Buyung Hok Sepasang Garuda Putih Karya Kho Ping Hoo Tamu Aneh Bingkisan Unik Karya Qing Hong