Ceritasilat Novel Online

Kaki Sakti Menggemparkan Dunia 14


Si Kaki Sakti Menggemparkan Dunia Persilatan Karya Hong San Khek Bagian 14


Si Kaki Sakti Menggemparkan Dunia Persilatan Karya dari Hong San Khek   Pikirnya. Kemudian ia menggerutu di dalam hatinya..   "Kurang ajar! Sungguh tidak keliru bunji pepatah itu yang mengatakan, bahwa. air yang dalam, mudah diukur, tetapi hati manusia sungguh amat sukar untuk diukurnya. Aku sungguh tidak bisa mengerti, mengapakah toosu itu lebih suka "berperang dingin"   Dari pada bertempur padaku dengan secara terbuka, hingga dengan begitu, tidak perlu lagi kita saling mendendam satu sama lain dengan masingmasing saling memandang dari antara kabut keraguraguan yang tidak akan berakhir ini? Ah! Jikalau orang she Ca ini telah berhasil kurobohkan, kukira sebaiknya akan segera kembali ke kota Kim-leng, buat minta bertempur dengan secara berterang pada toosu itu.   Karena selain aku boleh tidak usah diganggu pikiranku karena urusan ini, peristiwa inipun bisa lantas diakhiri setelah ada salah seorang yang telah mengalami kekalahan dalam pertempuran yang menentukan ini.   Kalau tidak aku, tentulah dia.   Habis perkara."   Kemudian suatu pikiran lain telah muncul di dalam hati pemuda itu. 435 "Apabila Sin-tui Bie telah jelas bagaimana romannya,"   Pikirnya.   "siapakah itu orang muda yang dikatakan belum cukup usia duapuluh, memakai baju biru dan menyoren pedang yang telah menyampaikan surat pada pemilik kedai dahulu dan pelayan kedai yang tadi itu? Inilah ternyata ada sebuah teka-teki yang harus dipecahkan dan tentu sedikit banyak ada juga hubungannya dengan peristiwa Sin-tui Bie ini."   Begitulah, sambil berpikir, Poan Thian lalu memeriksa luka bekas tendangan yang tampak di badannya Lauw Thay.   "Syukur juga tendangan ini telah dilakukan dengan menggunakan telapak kaki,"   Kata ia.   "Jikalau tendangan ini dilakukan dengan ujung sepatunya Sin-tui Bie, kau bisa tewas, atau paling mujur. kau akan menderita luka berat. Karena dari bagian bajumu yang robek ini, aku bisa lantas ketahui dengan sejelas-jelasnya, bahwa Sintui Bie itu mengenakan sepatu yang pada bagian ujungnya dipasangi sebilah pisau kecil yang runcing!"   Lauw Thay yang mendapat keterangan begitu, diamdiam jadi bersyukur di dalam hati dan menyebut.   "O Mi To Hud!"   Walaupun ia sendiri tidak menganut agama Budha.   "Lukamu ini tidak berbahaya."   Kata Lie Poan Thian pula.   "Aku di sini ada sedia Yo-wan dan Ko-yo yang istimewa buat menyembuhkan luka-luka seperti ini."   Dan sesudah berkata demikian, Poan Thian lalu buka pauw-hoknya dan mencambil beberapa butir Yo-wan dan Ko-yo, obat-obat mana ia lantas berikan pada Lauw Thay untuk dimakan dan dibalurkan pada bagian tubuhnya yang telah tertendang oleh Sin-tui Bie tadi.   "Apabila di hari esok kau tersadar dari tidurmu,"   Ia 436 menambahkan.   "niscaya lukamu sudah sembuh sebagian dan kau boleh bergerak pula sebagaimana sediakala."   Lauw Thay mengucapkan banyak terima kasih atas kebaikan sang kawan itu.   Kemudian ia dipersilahkan naik ke atas pembaringan untuk sama-sama beristirahat.   Tetapi pada malam itu Poan Thian yang diganggu oleh pikiran-pikiran yang bersangkut-paut dengan peristiwa-peristiwa yang telah ditimbulkan oleh Sin-tui Bie itu, sudah barang tentu tak dapat tidur dengan nyenyak, malah waktu ia berbangkit dari atas pembaringan sambil menghela napas dan berkata.   "Oh, oh, apakah barangkali si pelayan itu telah menjustakan kepadaku. sehingga duduknya urusan ini jadi terputar balik untuk membingungkan pikiranku? Atau, boleh jadi juga, pelayan itu sendiri memang bukan lain dari pada kambrat si tua bangka itu, hingga mereka kedua-duanya seakanakan hendak mempersukar kepadaku?"   "Kukira jikalau aku coba gertak pelayan itu,"   Pikirnya lebih jauh.   "niscaya aku bisa mendapat keterangan lain yang akan dapat melancarkan jalannya penyelidikanpenyelidikanku ini....... Ya, ya, inilah ada suatu tindakan baru yang aku perlu lakukan pada malam ini juga."   Maka setelah ia menukar pakaian untuk berjalan di waktu malam, Poan Thian lalu keluar dari dalam kamarnya dengan melompati jendela, yang kemudian ia baru tinggalkan setelah daun jendelanya dirapatkan dari sebelah luar.   Dari situ ia segera menuju ke kedai minuman dimana ia telah menerima surat tantangan Sin-tui Bie yang telah disampaikan dengan perantaraan si pelayan yang pada umumnya dikenal orang dengan nama Mo Jie.   437 Tetapi pelayan itu ternyata tidak kelihatan mata hidungnya.   Sambil menantikan sampai Mo Jie muncul, Poan Thian lalu memesan minuman pada seorang pelayan lain yang kebetulan datang menghampiri kepadanya.   "Bawakan aku arak hangat dan dua kati daging sapi rebus,"   Kata ia. Si pelayan mengangguk sambil mengatakan.   "Ya, ya, baiklah."   Tidak antara lama ketika ia kembali dengan membawa arak dan daging yang dipesan, Poan Thian lalu menanyakan.   "Malam ini aku tidak lihat si Mo Jie. Kemanakah dia itu?"   Si pelayan kelihatan tersenyum sambil berkata.   "Hari ini ia justru minta perlop dari induk semang kita, karena salah seorang keluarganya, katanya, hendak menikahkan seorang anak perempuannya."   Poan Thian yang mendengar penyahutan itu, di dalam hatinya tidak mau percaya omongan pelayan itu, tetapi dilahir ia kelihatan tinggal tenang dan tidak mengunjuk sikap apa-apa yang dapat menimbulkan rasa curiga orang.   Si Mo Jie rupanya telah mendapat firasat, bahwa aku akan kembali pula ke sini dalam tempo yang sekonyongkonyong ini,"   Pikir pemuda kita.   Tatkala bermakan minum di situ beberapa lamanya, mendadak ia berbangkit dari kursinya, membayar harganya makanan dan minuman tadi dan terus berjalan keluar dari kedai itu dengan tidak banyak bicara lagi.   Tetapi bukannya balik kembali ke tempat penginapannya, sebaliknya ia berdiri di tempat gelap 438 sambil memperhatikan dengan teliti sekali ke arah kedai itu.   Lama-lama ia melihat juga si Mo Jie keluar, sambil tertawa-tawa dengan pelayan yang telah melayaninya tadi.   "Kurang ajar benar si Mo Jie ini,"   Menggerutu pemuda itu.   Kemudian dengan tindakan dua langkah yang dipercepat sehingga menjadi selangkah, Poan Thian cepat-cepat mendekati ke samping kedai itu sambil memasang telinga mendengari sesuatu patah perkataan yang diucapkan oleh si Mo Jie kepada kawannya itu.   "Tetamu itu sesungguhnya amat menakuti,"   Kata si Mo Jie.   "Untung juga kau dapat mencari akal yang cukup dipercaya, kalau tidak, niscaya ia tidak mau mengerti, bagaimana aku dalam tempo sekejapan saja bisa berlalu dari sini. Dengan begitu, selain aku harus mengucapkan terima kasih atas pertolonganmu itu, akupun tidak lupa, semenjak hari ini, memberikan kau gelaran Say-cu-kat, atau Kong Beng kedua!"   "Say-cu-kat"   Kelihatan jadi amat bangga dipuji-puji demikian.   "Itu boleh dikatakan masih belum semua kukeluarkan segala muslihatku,"   Katanya sambil tertawa terbahak-bahak.   "Jikalau nanti sudah tiba pada waktunya, aku bisa berbuat apa-apa yang sama sekali tidak dapat diduga orang."   Mo Jie turut tertawa. Mula-mula iapun kelihatan girang, tetapi semakin lama wajahnya jadi semakin kecut. Karena ia yang berdiri dengan menghadapi keluar kedai, tentu saja dapat 439 melihat apa-apa terlebih dahulu dari pada "Say-cu-kat"   Yang berdiri dengan membelakangi pintu kedai sambil berbicara dengan kaki tangannya digerak-gerakkan seakan-akan orang yang sedang menari.   "Ah...... itu..... itu...... ah......"   Si Mo Jie jadi kemekmek.   "Say-cu-kat"   Tampak keheran-heranan.   "Eh, eh, kenapa?"   Tanyanya, tatkala menyaksikan perubahan sikap dan wajah si Mo Jie yang sangat mendadak itu.   "Itu...... itu......"   Ia berkata dengan suara berbisik dan terputus-putus.   "Say-cu-kat"   Sekarang mengerti apa maksudnya sang kawan itu. Dan tatkala ia coba menoleh ke belakang, ia sendiripun mendadak seperti juga orang yang dipagut ular.   "Ah.....!"   Katanya dengan mata mendelong dan badan menggigil seolah-olah dihinggapi penyakit demam.   Karena di luar pengetahuan mereka berdua, Poan Thian telah tampak berdiri di hadapan mereka dengan secara tiba-tiba.   Ia tidak mengucap barang sepatah katapun, tetapi itu sudah cukup akan membikin darah kedua pelayan kedai itu dirasakan beku! Kemudian pemuda itu lalu maju menghampiri dengan tindakan agung, sehingga mereka berdua segera menjatuhkan diri berlutut sambil meratap.   "Ho-han! ampunilah kami berdua yang telah menjustakanmu tadi!"   "Aku tidak minta dan tidak perlu dengan pernyataan ampunmu itu,"   Kata Lie Poan Thian dengan suara bengis.   "Aku hanya perlu meminta keteranganmu dengan sesungguh-sungguhnya. Siapakah itu Sin-tui Bie?" 440 "Itu hamba tidak tahu,"   Sahut Mo Jie dengan badan menggigil.   "Tetapi apa sebab kau ketahui bahwa ia itu belum berusia duapuluh, memakai baju biru dan menyoren pedang!"   "Itulah...... itulah hanya suatu lukisan..... khayal, yang aku telah diperintah akan menceriterakan kepadamu oleh orang tua yang memberikan surat itu,"   Kata Mo Jie pula.   "Jadi dengan begitu,"   Kata pemuda itu.   "orang muda yang kau katakan itu sebenarnya tidak ada orangnya sama sekali?"   "Ya, benar,"   Kata Mo Jie.   "Karena aku diancam akan dicelakai apabila tidak mau menerangkan begitu, maka apa boleh buat, aku telah menjustakanmu."   "Apakah menurut keteranganmu, orang tua itu benar kau kenal dan sering datang ke sini?"   "Tidak. Tetapi ia telah menyuruh aku akan mengaku begitu di hadapanmu, apabila kau menanyakan terlebih teliti,"   Sahut Mo Jie.   "Baiklah,"   Kata Lie Poan Thian.   "Apabila dikemudian hari aku ketahui, bahwa semua omonganmu ini ternyata juga justa adanya, aku akan balik kembali ke sini untuk membikin perhitungan denganmu.   "Tetapi jikalau kau bicara benar sehingga segala urusan gelap ini dapat dibikin terang, akan kuberikan kau hadiah besar atas pengunjukan-pengunjukanmu ini. Nah, ini sedikit uang, kamu boleh terima sebagai pembayaran untuk sedikit keteranganmu tadi." 441 4.28. Mayat Memakai Pakaian Teman Walaupun Mo Jie dan kawannya berpura-pura tidak mau terima pemberian uang itu, tetapi Poan Thian telah lemparkan juga uang itu ke atas meja dan segera berlalu dengan tidak banyak bicara lagi. Dari situ Poan Thian buru-buru kembali ke tempat penginapannya, akan memberitahukan tentang hasil dari penyelidikannya ini pada Lauw Thay. Tetapi alangkah terperanjatnya hati pemuda kita ini, ketika ia sampai ke tempat penginapannya, ia menampak pintu jendela kamarnya terpentang lebar, sedangkan di atas pembaringan yang kelambunya tersingkap sebagian, tidak tampak mata hidung atau bayanganbayangannya sang kawan itu! Buru-buru ia berlompat masuk ke dalam kamar dan memeriksa segala apa yang berada di dalamnya, tetapi segala apa tinggal tetap tidak terganggu, kecuali Lauw Thay saja yang telah menghilang entah kemana perginya! Paling belakang ketika ia melihat puntung hio yang apinya sudah padam terletak di halaman kamar di bawah jendela, Poan Thian jadi membanting kaki sambil berkata.   "Celaka! Lauw Thay mungkin telah diculik orang! Rupanya ia telah dibikin tidak berdaya oleh asap Hun-hio ini! Ah! Jikalau penculiknya itu Sin-tui Bie, kukuatir jiwanya akan dicelakai oleh orang tua itu! Ia tentu marah bukan main karena telah diloloh oleh Lauw Thay sehingga mabuk dan membuka rahasia hati sendiri. Maka setelah mengetahui yang Lauw Thay ini ada seorang yang berpihak kepadaku yang dianggapnya sebagai musuh besarnya, apakah jiwanya tidak bisa diumpamakan dengan sebutir telur di ujung tanduk?" 442 Poan Thian belum sempat berpikir terus, tatkala di luar kamar ia melihat bayangan manusia yang berkelebat dan terus menyelinap di bawah jendela. Tetapi pemuda kita yang selalu bisa berpikir cepat di waktu kesusu, buru-buru padamkan api lilin di dalam kamar, kemudian ia sembat sebuah kursi yang lalu dilontarkan keluar jendela sambil membentak.   "Jangan lari! Aku mendatangi untuk membikin perhitungan atas perbuatanmu ini!"   Tetapi, meskipun ia membentak demikian, Poan Thian tinggal tetap tidak bergerak atau mengunjuk aksi apaapa.   Tahu-tahu ketika kursi itu melayang melewati pintu jendela, mendadak kelihatan sinar golok yang berkelebat dan membacok pada kursi itu dengan dibarengi suara seorang yang menandakan rasa kecewanya atau kaget.   "Aya!"   Poan Thian yang menyaksikan kejadian itu, diamdiam jadi menyebut.   "O Mi To Hud!"   Di dalam hatinya.   Karena jikalau ia berlaku ceroboh buat lantas melompat keluar, niscaya dirinya sendirilah yang akan menjadi korban bacokan yang orang telah lakukan terhadap pada kursi itu! Sementara orang yang membacok tadi karena terburu napsu dan salah mata, buru-buru berlompat ke tengah pekarangan rumah penginapan itu sambil menantang pada pemuda itu, katanya.   "Lie Poan Thian! Jikalau kau sesungguhnya seorang laki-laki sejati, marilah kita bertempur di sini sehingga ada salah seorang yang terbaring menjadi mayat!"   Poan Thian yang menyangka bahwa orang itu tentu bukan lain dari pada Sin-tui Bie, lalu cabut Joan-pian yang hampir selalu tidak terpisah dari pinggangnya, kemudian sambil membentak.   "Aku mendatangi!"   Ia 443 segera melompat keluar dengan menggunakan siasat Hie-ciok-chut-lim, atau burung kucica keluar rimba.   Orang itu tidak menunggu lagi sampai Poan Thian keburu menginjak tanah, hanyalah ia lantas maju menerjang sambil membacok ke arah kaki pemuda kita, hingga Poan Thian yang memang telah menduga bahwa pihak musuhnya bakal melakukan penyerangan kilat begitu rupa, sudah tentu saja lantas menangkis dengan Joan-pian di tangannya.   Dengan begitu, selanjutnya kedua orang itu jadi bertempur dengan sengit dan tidak banyak bicara pula.   Pihak musuh yang memang telah beraksi dengan sudah dipikir lebih dahulu, keruan saja telah melakukan serangan-serangannya dengan gencar dan hebat sekali, tetapi Poan Thian yang tidak mengetahui siapa sebenarnya musuh itu, sebaliknya tinggal berlaku tenang dan lebih banyak bersikap menjaga dari pada balas melakukan serangan-serangan sebagaimana mestinya seorang lawan yang hendak merobohkan pihak musuhnya selekas mungkin.   Maka ketika pertempuran telah berlangsung sehingga beberapa belas jurus lamanya, mendadak Poan Thian telah berlompat keluar dari kalangan pertempuran sambil berseru.   "Sahabat! Tahan dahulu! Aku ingin tahu kau ini siapa, dan buat maksud apa kau memusuhi aku begini rupa? Aku bukan takut buat bertempur, tetapi aku harus tahu dahulu, buat maksud apa sehingga pertempuran ini dipandang perlu!"   "Aku ini bukan lain dari pada Hok Cit!"   Kata orang itu.   "yang dahulu pernah bertemu denganmu di pegunungan Jie-sian-san. Kau telah bunuh pemimpinku Wie Hui dan membunuh juga saudara seperguruanku Liu Tay Hong, kemudian kau telah menghinakan juga guru kami Sin-siu444 tay-seng Bie Tiong Liong. Oleh sebab itu, apakah kau masih juga menganggap bahwa pertempuran ini tidak keruan juntrungannya?"   Poan Thian yang mendengar omongan itu, sudah tentu saja jadi heran dan balik menanyakan.   "Siapakah itu Sin-siu-tay-seng Bie Tiong Liong? Aku rasanya baru pernah kali ini mendengar nama itu. Cara bagaimanakah kau mengatakan aku menghinakan ia orang tua?"   "Kau tidak perlu banyak bacot!"   Membentak Hok Cit pula.   "Di kalangan kita orang yang hidup di kalangan Kang-ouw, namamu sudah cukup terkenal sebagai seorang yang suka mengacau jalan mata pencaharian kita. Oleh sebab itu, memanglah sudah selayaknya apabila kau dimusuhi orang, antara mana oleh sisa pendekar dari pegunungan Jie-sian-san yang telah kau obrak-abrik dengan secara keji. Dan setelah itu, kau telah melindungi juga Lauw Thay dan Lauw An yang telah berkhianat dari kita. Apakah itu semua masih belum cukup untuk membuktikan sikapmu yang sengaja mencari setori terhadap pada kita orang-orang dari golongan Rimba Hijau?"   Lie Poan Thian jadi tertawa menyindir ketika mendengar omongan itu.   "Oh, oh, kiranya kau ini ada sisa berandal dari pegunungan Jie-sian-san, yang sekarang hendak menuntut balas kepadaku?"   Katanya.   "Kalau begitu baiklah! Sekarang sudah terang apa maksudnya kau mencari padaku. Ayoh! Marilah kau boleh lanjutkan pula pertempuran ini, tetapi kau jangan menyesal, apabila Joan-pian ku ini berlaku kejam. Ayoh, maju!"   Si Kaki Sakti Menggemparkan Dunia Persilatan Karya Hong San Khek di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo      Hok Cit tidak menunggu lagi sampai Poan Thian menantang buat kedua kalinya, hanya dengan sengit ia 445 lantas menerjang dengan menggunakan siasat Pek-coatouw-sin, atau ular putih memuntahkan bisa.   Poan Thian lekas mengegos buat kasih lewat ujung golok yang menusuk ulu hatinya, kemudian ia putar Joan-pian nya dan bikin golok itu terlepas dari genggamannya Hok Cit, hingga dengan kaget bekas berandal dari Jie-sian-san itu lalu melompat dan menyambit dengan hui-piauw sehingga berturut-turut lima kali, tetapi satu persatu senjata rahasia itu telah dibikin terpental oleh Joan-pian yang berputar-putar bagaikan baling-baling cepatnya.   Maka selain dari pada berkelebatnya senjata itu yang dibarengi dengan suara yang menderu-deru, Hok Cit hampir tak dapat melihat tubuh Lie Poan Thian yang menjadi lawannya itu.   Tatkala akhirnya ia insyaf bahwa Lie Poan Thian itu sesungguhnya bukan lawannya yang setimpal, bekas berandal ini segera berlompat keluar dari kalangan pertempuran sambil berseru.   "Tunggu! Lagi tiga tahun kita akan bertemu pula. Selamat tinggal!"   Sambil berseru demikian, Hok Cit lalu menghilang dengan jalan melompat ke atas wuwungan beberapa buah rumah yang berdiri berbaris dengan rumah penginapan dimana Poan Thian menumpang.   Dan tatkala orang-orang di dalam rumah penginapan itu pada tersadar dari tidur yang nyenyak dan keluar untuk melihat peristiwa apa yang telah terjadi pertempuran itupun telah berakhir dengan Hok Cit telah tidak kelihatan pula bayang-bayangannya.   Selanjutnya, buat mengelakkan pertanyaanpertanyaan orang banyak yang pada bertanya, hal apa yang telah terjadi tadi, Poan Thian lalu berjusta dengan mengatakan, bahwa barusan kamarnya telah kemasukan seorang pencuri, yang segera lari sipat kuping ketika ia 446 tersadar dan mengejarnya keluar pekarangan rumah penginapan itu.   Syukur juga keterangan ini telah membikin orang banyak puas, maka urusanpun bisa berakhir hingga sekian saja.   Kecuali bagi diri Poan Thian sendiri, yang meski kemudian telah kembali ke dalam kamarnya, pikirannya masih tetap kuatir atas keselamatannya Lauw Thay yang ia percaya telah diculik oleh Sin-tui Bie, yang tentunya merasa sakit hati karena telah dipedayakan oleh Lauw Thay sehingga ia membuka rahasia sendiri di waktu dalam keadaan mabuk.   Maka disamping hal-hal yang telah lampau itu, sekarang timbul pula seorang bernama Sin-siu-tay-seng Bie Tiong Liong yang telah dikatakan Hok Cit tadi.   Oleh karena menilik bahwa orang itupun memakai nama yang agak seimbang dengan nama Bie Tiong Hong, diamdiam ia jadi menyangka.   Kalau-kalau orang itu tentu ada juga sangkut pautnya dengan Sin-tui Bie, hanya hal apa yang telah membuatnya ragu-ragu, adalah yang mana satu antara kedua orang itu Sin-tui Bie atau Sin-siutay-seng Bie Tiong Liong yang sebenarnya menjadi guru Liu Tay Hong? "Apabila kedua-duanya orang itu ada sangkutpautnya dari satu dengan yang lainnya?"   Pikirnya.   "Apakah itu tidak berarti bahwa dengan sekaligus aku telah mendapat musuh-musuh yang aku sama sekali tidak kenal atau tahu sebab-musabab dari pada permusuhan itu? Inilah sesungguhnya ada suatu perkara penasaran yang aku kepingin tahu bagaimana akan kesudahannya nanti!"   Akan menuruti tujuan hatinya, sebenarnya Poan Thian hendak kembali dahulu ke kota Kim-leng, buat menanyakan dengan secara terbuka pada Sin-tui Bie 447 alias Tie Hwie Taysu di kelenteng Ceng-hie-koan, tentang sikapnya yang sangat tidak memandang persaudaraan di kalangan Kang-ouw.   Menculik Lauw Thay dan melakukan perang dingin dalam cara yang begitu pengecut.   Tetapi ketika memikirkan tentang janjinya yang akan kembali lagi ke Ca-kee-chung untuk bertemu dengan Ca Tiauw Cin pada hari esok di waktu lohor, ia terpaksa urungkan niatannya.   Karena apabila ia tidak datang pada waktu yang telah ditentukan, apakah orang tidak nanti beranggapan bahwa ia takut, suatu tuduhan yang tak dapat ia terima dengan begitu saja? Sekarang pikiran-pikiran itu telah mengaduk semakin hebat di otaknya, sehingga semalaman itu hampir tak dapat ia tidur pulas.   Kemudian teringatlah olehnya pesan sang guru, ketika ia masih berdiam di kelenteng Liong-tam-sie.   "Bersemedilah,"   Sabdanya.   "jikalau kau menghadapi pikiran-pikiran yang sulit, dan cara itu akan menolong banyak bagi ketenteraman dan kecerdasan pikiranmu di hari esoknya."   Begitulah setelah menanggalkan pakaian luarnya, Poan Thian lalu bersila dengan tegak dan mulai melakukan semedi dalam cara yang telah dipelajarinya sekian tahun lamanya.   Tatkala selesai bersemedi, ia lalu membaringkan dirinya dan tidur dengan nyenyak, sehingga matahari sudah naik tinggi, barulah ia bangun dan lekas-lekas mencuci muka, membersihkan mulut dan badan dengan hati dan pikiran yang jauh lebih tenang dari pada malam kemarin.   Tetapi hatinya yang setia kawan tidak membikin ia jadi kurangan memikirkan nasib Lauw Thay yang telah diculik orang itu.   448 Begitulah sesudah menimbang bolak-balik, akhirnya teringatlah olehnya, betapa tidak baiknya jikalau perkara Lauw Thay ini diabaikan dengan begitu saja.   Maka setelah selesai sarapan pagi, lekas-lekas Poan Thian kembali ke kedai minuman yang ia telah kunjungi semalam, buat coba mencari keterangan pada Mo Jie, berhubung dengan lenyapnya sang kawan itu.   Di sana, berbeda dengan waktu kernarin, Mo Jie melayani padanya dengan laku yang sangat hormat dan telaten sekali.   "Hari ini acara makanan kami telah ditambah dengan beberapa rupa hidangan yang istimewa,"   Kata pelayan itu dengan paras muka yang berseri-seri.   "Hari ini aku bukan bermaksud akan mencari makanan,"   Sahut pemuda kita.   "Kalau begitu,"   Kata Mo Jie.   "dalam hal apakah yang aku bisa menolong kepadamu, tuan?"   "Cobalah tolong kau bawakan dahulu aku teh hangat dan sedikit buah-buahan kering,"   Kata Poan Thian dengan cepat.   "kemudian aku perlu menanyakan beberapa perkataan kepadamu."   Mo Jie menjawab.   "Baiklah, tuan,"   Sambil cepat-cepat berlalu untuk menyediakan barang yang dipesan itu. Di waktu si pelayan balik kembali dengan membawa barang tersebut, pemuda kita lalu menanyakan kepadanya.   "Apakah pada kemarin malam ada orang yang datang ke sini buat menanyakan aku?"   Mo Jie bercelingukan ke kiri kanan pada sebelum menjawab pertanyaan itu. Dan tatkala merasa cukup sentosa akan menyatakan pikiran apa-apa, barulah ia 449 menjawab.   "Ya, ada. Tetapi orang itu aku tidak kenal. Tampaknya ia kenal baik kepadamu. Katanya. ,Apakah malam ini tuan Lie tidak datang ke sini?"   "Orang itu kelihatan simpatik dan berbicara dengan lemah-lembut. Tetapi karena merasa kuatir kalau-kalau ia ada seorang yang sengaja hendak datang mencari setori padamu seperti orang tua she Bie itu, maka aku rasa lebih selamat akan menjawab.   "Tidak ada. Karena jikalau ia tidak ada urusan apa-apa dan bukan sengaja menyelidiki kepadamu, cara bagaimanakah ia bisa tahu dan menanyakan kepadaku apakah kau ada di sini?"   "Benar, benar,"   Sahut Lie Poan Thian sambil mengangguk-anggukkan kepalanya.   "Tetapi belum tahu apakah ia datang ke sini dengan seorang diri saja atau berkawan?"   "Ia datang dengan hanya bersendirian saja,"   Sahut Mo Jie, dalam suatu cara yang seakan-akan bendak memotong pembicaraan orang.   "Cobalah terangkan bagaimana bentuk perawakan orang itu,"   Poan Thian berkata sambil menghirup teh dan mengunyah sebuah tik-wee kering. Mo Jie yang pandai berbicara, lalu melukis romannya orang itu sambil menggerak-gerakkan kaki tangannya, bagaikan seorang anak wayang yang sedang beraksi di atas panggung.   "Oh, jikalau roman dan lukisan itu dibayangkan dalam pikiran,"   Kata pemuda itu di dalam hatinya.   "orang itu memana agak mirip dengan perawakan tubuh Hok Cit, kecuali misainya saja yang berbeda dengan keadaan aslinya. Apakah si Hok Cit itu barangkali menyamar dan memakai misai palsu ketika ia datang ke sini?" 450 Poan Thian merasa tidak baik buat menyatakan pikiran ini pada Mo Jie yang agak likiat itu. Kemudian ia bertanya.   "Setelah kau memberikan jawaban bahwa aku tidak datang ke sini, apakah yang selanjutnya diperbuat oleh orang itu?"   "Ia tidak menanyakan apa-apa pula,"   Sahut pelayan yang ditanyakan itu.   "tetapi segera berlalu dengan cepat dan tidak banyak bicara pula."   "Apakah orang itu membekal senjata?"   Poan Thian bertanya pula.   "Ya,"   Sahut Mo Jie.   "di atas bebokongnya ada tergantung sebilah golok yang memakai serangka yang diukir dengan bagus sekali."   "Itulah pasti ada Hok Cit yang menyamar dengan memakai misai. Tidak bisa salah lagi,"   Pikir Lie Poan Thian sambil minum kering air teh yang terisi di dalam cawannya.   Di waktu membayar harga teh dan buah-buahan kering yang ia makan tadi, mendadak ia mendengar orang-orang yang berseliweran di jalan raya ramai membicarakan tentang diketemukannya satu mayat tidak berkepala di dalam sebuah solokan di muka sebuah rumah makan yang memakai merek Eng-pin Cay-koan.   Oleh sebab itu, Poan Thian jadi terperanjat dan buruburu mengikut orang banyak buat coba turut menyaksikan peristiwa itu dengan mata kepala sendiri di sana.   "Diharap saja yang kecelakaan ini bukan seperti apa yang kukuatirkan di saat ini,"   Kata pemuda itu di dalam hatinya.   Tidak kira sesampainya di muka rumah makan 451 tersebut, ia mendapat keterangan dari orang banyak, bahwa mayat itu telah diangkut ke kelurahan untuk diperiksa lebih jauh serta dicari tahu siapa sahabat atau sanak saudaranya yang harus mengurus mayat itu.   Maka atas petunjuk beberapa orang desa yang kebetulan berada di situ, Poan Thian lalu menuju ke kelurahan untuk coba mengenali mayat tersebut.   Begitulah sesampainya di kelurahan dan memberitahukan maksud kedatangannya, lalu ia dipersilahkan masuk ke dalam sebuah kamar di mana mayat itu ditunda untuk sementara waktu, sehingga ada sanak pamilinya yang datang mengakui dan menguburnya sebagaimana mestinya.   Perasaan kaget Poan Thian sungguh bukan alang kepalang, ketika mengenali mayat itu dari pakaian yang menempel dibadannya.   "Ah, celaka!"   Pikirnya.   "itulah sesungguhnya adalah Lauw Thay yang telah dibunuh orang!"   "Apakah ini ada sanak saudaramu?"   Bertanya lurah pada pemuda kita.   Poan Thian menyatakan ingin coba periksa dahulu.   Karena biarpun pakaiannya agak sama dengan apa yang dikenakan Lauw Thay ketika keluar dari rumah, tetapi tanda-tanda yang tampak di badannya belum tentu tepat dengan apa yang pernah diketahuinya, berhubung mayat itu tidak berkepala dan sukar sekali untuk dikenalinya, tanpa adanya bagian anggauta badan itu di tempat asalnya.   Maka Poan Thian yang mengingat pada bagian baju Lauw Thay yang telah robek karena tendangan sepatu musuh yang memakai sebilah pisau itu, buru-buru ia tujukan pemeriksaannya pada bagian itu dengan hati 452 yang berdebar-debar.   Karena, dengan memperhatikan bentuk tubuh dan pakaiannya, sekarang ia mulai mengenali, bahwa mayat itu memang ada kemungkinan mayat kawannya yang telah diculik orang itu.   Dugaan Poan Thian jadi semakin keras, ketika melihat tanda robek yang tampak pada pakaian mayat itu! "Ah, inilah sesungguhnya memang Lauw Thay!"   Pikirnya. Tetapi ketika ia coba singkap bagian tubuh yang ditutup oleh pakaian yang robek itu, ia jadi menghela napas lega dan berkata.   "O Mi To Hud! Inilah bukan Lauw Thay! Karena sudah jelas bahwa pada bagian tubuh mayat ini tidak tampak bekas ditempeli koyo!"   Maka dengan berdasarkan kenyataan-kenyataan ini, Poan Thian lalu memberitahukan pada lurah itu, bahwa mayat ini bukanlah mayat familinya, yang telah diakuinya telah hilang dari rumah pada beberapa hari yang lampau, walaupun di dalam hatinya ia menanya pada diri sendiri dengan berulang-ulang.   "Mayat siapakah ini, yang ternyata mengenakan baju Lauw Thay yang dikenakannya pada malam kemarin? Dan jikalau Lauw Thay telah terlolos dari tangan musuh, bagaimanakah ia tidak lekas kembali padaku buat melaporkan peristiwa apa yang telah dialaminya pada malam kemarin? Inilah tentu ada rahasia apa-apa yang lebih sulit dan sukar dimengerti, tanpa diselidiki dengan secara teliti dan segiat-giatnya. Tetapi bersamaan dengan ini, aku jadi semakin mantap buat berhadapan dengan Ca Tiauw Cin di Ca-kee-chung, karena dengan adanya bukti-bukti ini, tak usah aku memikirkan lagi pada Lauw Thay, yang pada saat ini tentunya telah berada di suatu tempat yang lebih aman dan sentausa."   Begitulah setelah mengucapkan terima kasih dan 453 meminta diri pada pak lurah, Lie Poan Thian lalu balik kembali ke tempat penginapannya, untuk bersiap-siap akan menghadapi pertempuran hebat yang ia telah bayangkan akan terjadi sebentar menjelang magrib.   Lebih jauh karena mengingat bahwa ia hanya bersendirian saja, maka ia pikir tidak jahatnya akan bersedia apa yang perlu untuk menghadapi segala kemungkinan.   "Senjata rahasia, Joan-pian dan pedang hadiah dari In Cong Lo-siansu, kali ini aku perlu bawa buat melindungi diri dari pada bahaya pengeroyokan orang she Ca dan sekalian kambrat-kambratnya itu,"   Kata pemuda kita sambil membuka pauw-hok dan keluarkan semua senjata yang lalu ditaruhnya di atas meja.   Kemudian ia kunci pintu kamar, membuka pakaian dan duduk bersemedi untuk mengumpulkan tenaga lahir dan batin yang akan menemui ujian dalam suatu pertempuran yang tentu tidak akan kurang hebatnya dari pada pertempuran dengan Wie Hui yang ia telah alami di pegunungan Jie-sian-san.   Tetapi Poan Thian yang sudah ulung dan "matang"   Dalam pertempuran, selalu bisa berlaku hati-hati dan tidak pernah memandang ringan pada pihak musuhnya yang mana juga.   Dan itulah ada salah suatu sifat yang harus dipuji dan diindahkan benar oleh Kak Seng Siangjin yang menjadi gurunya.   Kira-kira pada waktu lohor, Poan Thian lalu turun dari pembaringan, mengenakan pakaian dan memanggil pelayan akan minta disediakan makanan.   "Malam ini jikalau aku tidak kembali,"   Ia memesan pada pelayan setelah selesai dahar.   "kau boleh tidak usah. mencari atau merasa kuatir apa-apa, karena ada 454 kemungkinan aku bermalam di rumah Ca Chung-cu. Jikalau seandainya ada tamu yang menanyakan aku, katakanlah bahwa aku keluar mencari seorang sahabat, tetapi jangan dikatakan bahwa aku pergi berkunjung ke rumah Ca Chung-cu. Jangan salah."   "Baik, tuan,"   Sahut pelayan itu, yang ternyata tidak curiga apa-apa dengan sikap dan omongan pemuda she Lie itu.   Dan tatkala matahari hampir selam ke barat, Poan Thian lalu berpakaian untuk berjalan di waktu malam, melibatkan Joan-pian di pinggangnya dan mengisi kantongnya dengan selusin Hui-piauw.   Setelah selesai berpakaian, barulah ia mengenakan baju panjang dan menyoren pedang hadiah dari In Cong Sian-su, ketua dari kelenteng Po-to-sie di pegunungan Po-to-san.   Kedatangannya Poan Thian ke Ca-kee-chung, kembali telah disambut oleh pengawal yang kemarin telah menanyakan she, nama dan gelarannya.   "Selamat sore, Lie-toako!"   Kata pengawal itu dengan sikap ramah-tamah.   "Selamat sore, saudara!"   Membalas Lie Poan Thian.   "Aku harap sore ini Ca Chung-cu telah kembali dari bepergiannya."   "Ya, benar,"   Sahut pengawal itu.   "Malah tempo aku memberitahukan tentang kedatanganmu kemarin, ia lantas mau mengunjungi tempat penginapanmu. Menyesal pada hari kemarin aku telah lupa menanyakan tempat penginapanmu itu, hingga tak dapat aku mengantarkan Chungcu-ya buat pergi menjumpai tuan di sana." 455 "Aku sungguh tidak enak buat menjusahkan ia orang tua pergi sendiri ke tempat penginapanku,"   Kata Lie Poan Thian samhil tertawa. Kemudian si pengawal lalu mengajaknya akan menjumpai Ca Tiauw Cin, yang ternyata juga telah bersedia buat menyambut kedatangan pemuda kita.   "Selamat datang, Lie-toako!"   Kata Ca Tiauw Cin ketika melihat Poan Thian berjalan mendatangi dengan diiringi oleh salah seorang pengawal kepercayaannya.   "Banyak terima kasih atas penyambutanmu yang ramah-tamah ini, Ca Lo-suhu,"   Kata Lie Poan Thian sambil balas memberi hormat pada tuan rumah.   Tatkala tamu dan tuan rumah telah mengambil tempat duduk dan diberi suguhan air teh dan kue kering, Ca Tiauw Cin lalu menyatakan kekagumannya tentang kepandaian Lie Poan Thian yang telah sekian lamanya ia dengar disohorkan orang dikalangan Kang-ouw.   Maka kalau duluan ia hanya mendengar dengan berdasarkan cerita orang, adalah sekarang ia sesungguhnya mempunyai keberuntungan akan bertemu dengan orangnya sendiri.   "Dan jikalau dugaanku ini tidak keliru,"   Kata Ca Tiauw Cin.   "kedatangan Toako ini tentulah ada sangkut-pautnya dengan satu dan lain urusan penting yang perlu diselesaikan selekas mungkin. Oleh karena itu, sudilah kiranya Toako menyampaikan maksudmu itu kepadaku dengan secara terbuka?"   Si Kaki Sakti Menggemparkan Dunia Persilatan Karya Hong San Khek di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo   "Ya,"   Sahut pemuda kita.   "Seperti juga apa yang telah kau katakan tadi, kedatanganku ini memanglah ada mengandung maksud apa-apa yang bukan saja meminta penyelesaian selekas mungkin, tetapi berbareng juga akan meminta kebijaksanaan Lo-suhu untuk bantu 456 menimbang suatu perkara, yang jikalau dipikir dengan secara adil, agak menyimpang dari pada undang-undang persaudaraan yang kita semua harus junjung tinggi di kalangan Kang-ouw.   "Soal ini sebenarnya ada soal remeh, jikalau itu boleh dianggap begitu, tetapi sebaliknya akan berakibat besar apabila kedua pihak tidak insyaf dan tidak suka saling mengalah buat suatu hal yang sekecil ini."   "Aku hargakan tinggi sekali atas omongan Toako itu,"   Kata Ca Tiauw Cin.   "tetapi dalam soal apakah yang kau katakan bisa berakibat besar apabila kita tidak insyaf dan tidak saling mengalah itu?"   "Hal ini walaupun tidak merupakan soal yang berhubungan langsung kepada diriku sendiri,"   Kata Lie Poan Thian.   "tetapi boleh dikatakan agak menyinggung perasaan dan kehormatanku yang mempunyai sangkutpaut dekat sekali terhadap orang yang mengalami peristiwa tidak enak itu. Oleh sebab itu, rasanya tidak terlalu keliru apabila aku turut campur tangan untuk memperoleh pemberesan yang seadil-adilnya dengan jalan meminta bantuanmu yang berharga itu." 4.29. Penyesalan Ca-kee-chungcu Ketika Ca Tiauw Cin mendengar begitu, sudah tentu ia jadi heran dan berbalik menanyakan.   "Toako, maafkanlah kepadaku yang bodoh ini, aku sungguh tidak bisa mengerti apa maksud omonganmu itu. Oleh sebab itu, sudilah apa kiranya Toako berbicara dengan katakata yang lebih sederhana dan jelas, sehingga dengan begitu, dapat juga aku membantu apa-apa untuk membereskan persoalan ini." 457 Pemuda kita jadi tertawa menjindir sambil berkata.   "Ca Lo-suhu, aku percaya kau juga tentu belum lupa dengan halnya piauw-su Cin Kong Houw yang bendera lambangnya maaf, Ca Lo-suhu kau telah curi dengan maksud untuk "merobohkan mereknya"   Di kalangan usaha pengangkutan. Kemudian kau telah melukakan juga padanya dengan secara bergelap.   "Perbuatan itu sebenarnya tidak bisa dimaafkan. Tetapi lantaran mengingat kepada persaudaraan di kalangan Kang-ouw, maka aku telah bujuk padanya buat bikin habis saja persoalan ini dengan jalan kau meminta maaf atas kekhilafanmu dan kembalikan juga kepadanya bendera lambangnya yang telah kau curi itu. Maka selain urusan bisa jadi beres dengan secara damai, bagi kedua pihak pun tidak sampai mengalami peristiwa-peristiwa lain yang tidak enak. Tetapi belum tahu bagaimana pendapat Ca Lo-suhu?"   Wajahnya Ca Tiauw Cin dengan mendadak jadi berubah merah tempo mendengar omongan itu.   Ia sebenarnya tidak menduga, jikalau kunjungan Lie Poan Thian ini adalah hubungannya dengan urusan Cin Kong Houw, dan jikalau ia ketahui hal ini dari di muka, sudah pasti tak mau ia bertemu dengan pemuda kita ini.   Tetapi karena urusan itu telah ketelanjuran dibicarakan, maka dengan sikap yang menandakan kurang senang ia lantas berkata.   "Tuan Lie, urusan ini sebenarnya tidak ada sangkut-pautnya meski dengan siapapun juga. Oleh karena itu, aku sangat harap supaya kau jangan campur tangan dalam urusanku ini. Aku tidak melarang atau merasa iri hati terhadap setiap orang yang pandai berusaha dengan secara jujur atau curang, asalkan itu jangan menyinggung atau membusukkan nama orang lain seperti apa yang pernah diperbuat oleh Cin Kong 458 Houw itu.   "Aku juga ada dapat dengar tentang namanya yang terkenal di kalangan Kang-ouw sebagai seorang piauwsu yang jujur dan boleh dipercaya. Tetapi janganlah menganggap bahwa diri sendiri paling jempolan di kolong langit, sehingga berani membuka mulut besar dan mengaku sanggup untuk bertanding dengan ahli silat yang mana juga di seluruh jagat Tiongkok.   "Tidak tahunya, ketika aku saksikan sendiri ilmu kepandaiannya, bukan saja masih terlalu jauh dari sempurna, bahkan orang-orangku sendiri barangkali masih banyak yang mampu tandingi padanya."   Oleh karena mendengar omongan Ca Tiauw Cin yang begitu menusuk hati, keruan saja Poan Thian jadi mendongkol dan lalu menyindir sambil berkata.   "Ya, ya, akupun bukan tidak percaya tentang ilmu kepandaianmu yang kau katakan jempolan dan paling sempurna itu, tetapi aku belum mau percaya itu seratus persen, pada sebelum menyaksikan dengan mata kepalaku sendiri.   "Aku suka mengindahkan setiap orang gagah yang jujur dan suka melakukan segala perbuatan dengan secara berterang, tetapi..... aku tidak senang dan tidak bisa menghargakan terhadap perbuatanmu yang telah kau unjukkan di hadapan Cin Piauw-su itu!"   Ca Tiauw Cin jadi sengit dan segera berbangkit dari tempat duduknya dengan wajah kemerah-merahan bagaikan kepiting direbus.   "Tuan Lie!"   Katanya dengan suara keras.   "sekarang aku ingin tahu, ada apakah hubungannya antara kau dan Cin Kong Houw itu, sehitigga kau mesti ikut-ikutan kurang senang dalam suatu hal yang sudah terang tidak ada sangkut-pautnya seperti pengakuanmu sendiri tadi?" 459 Poan Thian jadi tertawa menjindir sambil menjawab.   "Ca Lo-suhu, kau harus ketahui, bahwa Cin Kong Houw itu adalah "guruku"   Sendiri! Apabila sang guru mengalami hinaan dari orang lain, apakah orang yang jadi muridnya boleh tinggal peluk tangan saja melihat dari kejauhan dengan hati dingin? Beruntung juga peristiwa itu telah terjadi selagi aku tidak ada di Kim-leng.   Jikalau pada waktu itu aku tidak keluar bepergian ke mana-mana, aku tidak tahu apa jadinya sekarang ini."   Sementara Ca Tiauw Cin yang mendapat keterangan begitu dari Lie Poan Thian, bukan saja tidak menjadi jerih atau takut, malah sebaliknya lalu menjawab selaku mengejek, katanya.   "Ah, menurut pendapatku yang cupat, sebenarnya tuan tidak perlu terlalu besar hati dalam hal menghadapi soal ini, yang sesungguhnya bukan mudah untuk dibereskan dengan omongan saja. Aku bukan memandang rendah kepada dirimu. Apabila ilmu kepandaian seorang guru hanya baru sekian saja, cara bagaimana ilmu kepandaian muridnya bisa diharap lain dari pada begitu-begitu juga? Sekarang aku telah ketahui jelas apa maksud kunjunganmu ini. Jikalau kau belum datang ke sini, boleh jadi ini masih bisa dimaafkan, tetapi setelah kau berada di sini. apakah masih juga kau tetap akan mempertahankan niatanmu itu?"   "Ya, benar,"   Sahut Poan Thian dengan pendek.   "Apakah kau tidak menyesal, apabila nanti kau kembali dengan membawa luka-luka yang lebih hebat dari pada gurumu itu?"   Menjindir Ca Tiauw Cin sambil tertawa.   "Malah lebih dari itu,"   Kata Lie Poan Thian pula.   "aku akan rela mengangkat kau menjadi guru, apabila ilmu kepandaianmu ternyata lebih tinggi dari pada apa yang diketahui oleh guruku Cin Kong Houw." 460 "Kalau begitu,"   Kata Ca Tiauw Cin.   "marilah kau ikut padaku ke sebidang lapangan tempat aku berlatih."   Poan Thian menurut. Tatkala mereka sampai di sebidang lapangan dimana benar saja tampak beberapa orang yang sedang berlatih, dengan rupa bangga Tiauw Cin lalu menunjuk pada orang-orang itu sambil berkata.   "Tu, itulah ada muridmuridku yang sedang berlatih dengan secara giat sekali."   "Sungguh mengagumkan!"   Kata Lie Poan Thian sambil tersenyum.   "Aku harap saja yang mereka itu akan merupakan benih-benih yang subur dan jujur di antara kalangan orang-orang gagah di kemudian hari. Dan moga-moga mereka ini sebagai benih-benih baik yang ditanam dalam sebidang tanah yang kurang baik akan keluar dengan membawa sifatnya yang baik, tetapi tidak menuruti sifat tanahnya yang buruk itu!"   Ca Tiauw Cin yang selalu dipukul sindir, sudah tentu saja jadi amat marah, dan jikalau ia ada seekor harimau, niscaya ia sudah terkam pemuda ini buat ditelan bulatbulat! Begitulah setelah Tiauw Cin memerintahkan supaya murid-muridnya itu menyingkir ke satu pinggiran, lalu ia mempersilahkan Poan Thian akan menanggalkan baju luarnya.   "Tetapi belum tahu apa kita akan bertempur satu lawan satu atau seorang melawan musuh-musuh yang berjumlah banyak,"   Kata Lie Poan Thian sambil menunjuk pada murid-muridnya cabang atas she Ca itu yang berkumpul di situ.   "Sudah tentu saja kita akan bertempur satu lawan satu,"   Kata Ca Tiauw Cin dengan rupa penasaran. 461 "Kalau begitu,"   Kata pemuda kita.   "kau boleh terangkan dahulu niatanmu pada sekalian muridmuridmu, supaya jikalau nanti kau kena kurobohkan, mereka jangan turut campur tangan dalam pertempuran ini. Dan jikalau kau sudah beritahukan mereka begitu, aku jadi tahu bagaimana harus kubuat selanjutnya, kalau nanti mereka mengeroyok padaku.   "Aku sekarang ada membekal senjata lengkap di badanku, tetapi aku tidak akan gunakan itu apabila mereka suka mengindahkan perintahmu dan tidak campur tangan dalam urusan kita ini."   "Ya, baiklan,"   Kata Ca Tiauw Cin yang lantas utarakan niatannya di hadapan para muridnya yang berkumpul di situ.   "Apabila kamu sekalian tidak mendengar perintahku,"   Kata cabang atas itu pada akhirnya.   "kamu harus terima sendiri risiko-risiko yang akan diakibatkan dari perbuatanmu masing-masing, buat mana aku yang menjadi guru tidak bertanggung jawab sama sekali dalam urusan ini. Kamu mengerti?"   Hati para murid itu mendadak jadi berdebar-debar, ketika mendengar bahwa sang guru akan mengadu ilmu silat dengan tetamu yang baru pada kali itu mereka lihat romannya.   "Wah! Jikalau dua ekor harimau berkelahi,"   Kata salah seorang murid-murid itu.   "niscaya kedua-duanya akan mengalami kerusakan badan disamping seekor yang mungkin juga akan menemui kematian!"   "Itulah kita nanti lihat bagaimana kesudahannya nanti,"   Jawab yang lainnya.   Dalam pada itu, Poan Thian pun telah menanggalkan 462 baju luarnya dan kumpulkan itu di suatu tempat dengan pedang dan Joan-piannya.   Sementara Ca Tiauw Cin sendiri yang menjadi tuan rumah, iapun lalu menuruti juga teladan tetamunya dan menanggalkan baju luarnya, akan kemudian menindak ke tengah lapangan sambil melambai-lambaikan tangannya ke arah pemuda she Lie itu.   "Tuan Lie!"   Katanya dengan suara menantang.   "marilah kita boleh lantas mulai!"   Poan Thian menurut sambil menjawab.   "Aku persilahkan buat Lo-suhu membuka serangan terlebih dahulu."   "Itu tidak aturan,"   Kata Ca Tiauw Cin.   "Kau sekarang ada menjadi tetamuku. Oleh sebab itu, aku persilahkan kau buat menyerang terlebih dahulu."   Begitulah dengan ditonton oleh para murid cabang atas she Ca itu, Poan Thian lalu membungkukkan badannya memberi hormat pada Ca Tiauw Cin sambil berkata.   "Lo-suhu, aku segera akan mulai!"   "Persilahkanlah!"   Sahut Tiauw Cin dengan mata tidak berkesip.   Dan tatkala Poan Thian maju menerjang, Ca Tiauw Cin lalu mengegos buat menyingkirkan diri dengan tidak balas menyerang apa-apa terhadap pada diri pemuda kita.   Tetapi setelah mengegos dan berkelit sehingga tiga kali, barulah ia balas menerjang sambil berseru.   "Poan Thian, sekarang adalah giliranku yang akan menyerang kepadamu. Berhati-hatilah! Aku akan membuka serangan dengan menggunakan siasat Hek-liong-tam-jiauw!"   "Ya, kau boleh keluarkan segala macam siasat silat 463 yang kau rasa cukup berbahaya,"   Kata Lie Poan Thian.   "aku tak akan mundur pada sebelum mampu memenuhkan janjiku kepada Cin Kong Houw Lo-suhu!"   "Terimalah ini!"   Sambil menggaet kaki pemuda kita, Tiauw Cin lalu membarengi mencengkeram ke arah muka orang.   Tetapi Poan Thian yang menganggap bahwa cara menggaet kaki itu hanyalah merupakan siasat belaka untuk membikin terkesiap hatinya, buruburu ia angkat sebelah kakinya ke atas, seolah-olah orang yang mempertunjukkan siasat Kim-ke-tok-lip.   Dengan tangan kirinya ia menangkis tangannya Ca Tiauw Cin yang datang mencengkeram itu, sedangkan kakinya yang diangkat ke atas lantas ditendangkan ke jurusan dada musuhnya.   Ca Tiauw Cin lekas mengegos dengan jalan miringkan badannya, kemudian ia berdongko sedikit sambil menjotos pada Lie Poan Thian dengan menegunakan siasat Pa-ong-song-khek.   Tetapi Poan Thian yang bermata jeli, sudah tentu saja tidak mau kasih dirinya "dimakan mentah-mentah".   Buru-buru ia berkelit, hingga jotosan pihak lawannya mengenai tempat kosong, tetapi sebegitu lekas ia terlolos dari serangan itu, kembali Ca Tiauw Cin telah maju menerjang dengan menggunakan seruntunan ilmu pukulan yang telah membikin Poan Thian agak sibuk dan mengakui tentang kepandaian ilmu silat lawannya yang amat lihay itu.   Banyak ahli-ahli silat ia telah jajal tenaganya, tetapi ilmu kepandaian Ca Tiauw Cin ini ternyata masih jauh lebih tinggi dari pada mereka semua.   Maka kalau ilmu silat orang she Ca ini hendak diperbandingkan dengan musuh-musuh lain yang pernah dijumpainya, ia harus akui bahwa itulah tidak ada di bawah dari pada Sin-kun Louw Cu Leng, ahli silat satu-satunya yang ia anggap 464 paling jempol dalam hal berkelahi dengan tangan kosong.   Dan jikalau semulanya ia menganggap ilmu kepandaian Ca Tiauw Cin hanya terbatas pada ilmu Heksee-ciang saja yang ia memang paham, nyatalah ia telah keliru jauh sekali.   Karena sebagaimana apa yang ia bisa saksikan sekarang, ia mendapat kenyataan bahwa ia masih kalah jauh apabila hendak dibandingkan ilmu pukulannya dengan sang lawan ini.   Maka buat merubah supaya pertempuran itu jadi berimbang, Lie Poan Thian segera merubah siasat penyerangannya dengan lebih banyak menggunakan ilmu tendangan yang ia memang sangat mahir, dari pada ilmu pukulan dengan tinju yang memang ternyata ia lebih lemah.   Begitulah tatkala pertempuran telah berlangsung kirakira tigapuluh jurus lamanya, Tiauw Cin kelihatan mulai terdesak.   Lie Poan Thian merangsak dengan tendangantendangannya yang terkenal lihay dan bikin namanya tersohor di kalangan Kang-ouw sehingga memperoleh gelaran Sin-tui Lie atau Lie Si Kaki Sakti itu.   Pada suatu saat karena ia menendang dengan agak terburu napsu, Poan Thian telah terpeleset dan jatuh mengusruk ke muka bumi.   "Celaka!"   Teriak murid-muridnya Ca Tiauw Cin dengan tidak terasa pula.   Semua orang menyangka, bahwa di sinilah pertempuran itu akan berakhir, dengan Lie Poan Thian yang akan keluar sebagai pecundang.   Karena dalam jatuhnya itu, tangannya Poan Thian mendadak tidak dapat digerakkan, hal mana pun dapat dilihat oleh semua orang.   465 Tetapi Poan Thian yang memang bisa berpikir cepat di waktu kesusu, dengan menahan sakit lalu berlompat bangun dengan menggunakan siasat Lee-hie-ta-teng, sambil melakukan tendangan kilat ke arah lawannya, hingga Ca Tiauw Cin yang hendak menumbuk batok kepala musuhnya dengan menggunakan ilmu Hek-seeciang, keruan saja jadi terkesiap dan lekas hendak mengegos dari tendangan Lie Poan Thian yang menyamber ke arah kakinya dengan gerakan secepat kilat.   Kesudahannya, biarpun ia terluput dari tendangan yang pertama, tetapi ia tak berdaya untuk menjaga tendangan musuhnya yang datang menyusul belakangan.   Maka berbareng dengan tibanya kaki Lie Poan Thian yang telah menyepak dengan tepat pada tulang lututnya Ca Tiauw Cin, Chung-cu dari Ca-keechung itu segera memperdengarkan satu jeritan yang ngeri dan terlempar jatuh ke suatu tempat yang terpisah belasan kaki jauhnya.   Dan di situ, karena Ca Tiauw Cin tinggal rebah dengan rupa yang menandakan kesakitan, maka Poan Thian pun lalu menghampirinya sambil berkata.   "Ca Lo-suhu, ayolah kau lekas bangun buat melanjutkan pertempuran ini!"   Tetapi sambil meringis Ca Tiauw Cin lalu berkata.   "Lie Poan Thian Toako, sekarang aku harus akui, bahwa gelaran Sin-tui memang tepat sekali akan dipunyai olehmu......"   "Oleh karena itu,"   Kata Lie Poan Thian.   "apakah itu berarti bahwa pertempuran ini hendak dilanjutkan atau dihentikan sampai di sini saja?"   "Aku minta supaya pertempuran ini segera dihentikan saja,"   Kata Ca Tiauw Cin.   "Sekarang aku suka mengaku dengan sejujur-jujurnya. Aku menyerah kalah kepadamu! 466 Ayolah kau tolong banguni aku."   "Apakah kau bukannya hendak memperdayakan dan menumbuk kepalaku dengan ilmu Hek-see-ciang, seperti apa yang pernah kau berbuat terhadap pada guruku?"   Kata Lie Poan Thian dengan rupa masih ragu-ragu.   "Oh, tidak, tidak,"   Kata Ca Tiauw Cin.   "Aku bersumpah, Thian boleh kutuk padaku, apabila aku memperdayakan dan berbuat curang terhadap pada dirimu."   Oleh karena itu, maka apa boleh buat Poan Thian pun lalu menghampirinya, meski di dalam hati belum mau percaya ia akan kejujuran pihak musuhnya itu. Pada waktu hendak membanguninya, Poan Thian mendengar Tiauw Cin berbisik di telinganya.   "Tendanganmu telah membikin kakiku patah,"   Katanya dengan lemah dan terus jatuh pingsan.   Poan Thian meski jengkel bukan main akan kecongkakan perbuatan si tuan rumah tadi, tetapi dalam keadaan begitu ia jadi kasihan dan lalu panggil muridmuridnya Tiauw Cin, untuk menggotong guru mereka itu ke dalam rumah, sedangkan ia sendiri lalu membalut kaki Tiauw Cin yang patah kena tendangannya itu.   Si Kaki Sakti Menggemparkan Dunia Persilatan Karya Hong San Khek di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo      Maka setelah Tiauw Cin tersadar dari pingsannya dan dapatkan kakinya sudah dibalut oleh pemuda kita, ia jadi sangat berterima kasih dan berkata.   "Toako, sekarang aku baru ketahui, bahwa selain ilmu kepandaianmu sangat tinggi, kau juga ada seorang gagah yang bijaksana. Maka kalau nanti kau kembali ke kota Kim-leng dan berjumpa dengan Cin Kong Houw Piauw-su, sudilah apa kiranya kau sampaikan pernyataan menyesal dan maafku, yang pada beberapa waktu yang lalu telah memperlakukannya dengan secara 467 tidak jujur."   Dan bersamaan dengan ini, Tiauw Cin pun lalu perintah salah seorang muridnya buat mengambil bendera lambang Cin Kong Houw yang telah dicurinya itu, yang lalu diterimakan pada Lie Poan Thian sambil berkata.   "Toako, haraplah kau tolong kembalikan bendera lambang ini pada Cin Piauw-su, buat mana aku sekarang merasa sangat menyesal telah menuruti saja hasutan orang, sehingga hari ini aku telah mendapat celaka oleh karena perbuatanku sendiri. Sedang terhadap pada dirimu juga, aku harus menyatakan rasa menyesal dan maafku yang sebesar-besarnya, dan berbareng dengan itu, akupun harus mengucapkan juga terima kasih banyak-banyak, atas kesudian Toako akan menolong pada seorang lawan."   Maka Poan Thian yang mendengar omongan itu, di dalam hatinya jadi sangat menyesal, yang ia barusan telah mempergunakan ilmu Lian-hwan-sauw-tong-tui, berhubung ia sudah lupa dan hanya ingat akan merobohkan pihak musuh, dari pada dirinya sendiri yang dirobohkan oleh pihak lawannya.   Tetapi beras sudah menjadi nasi, hingga biar bagaimana ia sesalkan juga, urusan yang telah terjadi pasti tak dapat ditarik pulang kembali.   Begitulah setelah meminta diri pada tuan rumah yang sekarang seakan-akan telah menjadi cacad, Poan Thian lalu kembali ke tempat penginapannya di waktu hari telah larut malam, kemudian ia pergi masuk tidur, sesudah membaluri tangannya yang salah urat tadi, dengan yosan untuk kepukul yang terlebih dahulu dihancurkan dengan arak obat yang ia memang ada bawa di dalam pauw-hoknya.    Ratna Wulan Karya Kho Ping Hoo Darah Daging Karya Kho Ping Hoo Keris Pusaka Dan Kuda Iblis Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini