Kaki Sakti Menggemparkan Dunia 5
Si Kaki Sakti Menggemparkan Dunia Persilatan Karya Hong San Khek Bagian 5
Si Kaki Sakti Menggemparkan Dunia Persilatan Karya dari Hong San Khek "Sudah lama aku mendapat kabar, bahwa Lauw Sam-ya itu ada seorang yang tidak suka berlaku curang untuk menjatuhkan orang yang dianggap sebagai seterunya. Tetapi omongan itu sekarang kembali telah terbukti kejustaannya. Karena selain ternyata bahwa kau ada seorang yang pengecut, kaupun tidak segan akan melakukan perbuatan-perbuatan busuk seperti apa yang telah kau unjuk sekarang ini. Sedangkan menurut aturan yang patut dan sebagai seorang laki-laki sejati, kau harus mengajukan tantanganmu dengan secara berterang kepadaku, agar supaya dengan begitu, kita boleh 134 berkelahi satu lawan satu untuk menetapkan pihak mana yang sesungguhnya lebih unggul dan pandai dalam pertempuran ini!" Lauw Sam-ya yang telah didamprat di hadapan orang-orang sebawahannya, tentu saja jadi amat malu dan apa-boleh buat berlagak tertawa sambil berkata. "Saudara, sebetulnya aku bukan bermaksud hendak membokong kepadamu. Dan jikalau aku telah berlaku begitu, itulah semata-mata buat mencoba ilmu kepandaianmu saja. Maka setelah sekarang aku ketahui betul sampai berapa tinggi adanya ilmu kepandaianmu, akupun selalu bersedia buat menetapkan siapa di antara kita berdua yang sebenarnya lebih unggul atau lebih "rendah." Maka sesudah memerintahkan orang-orang sebawahannya berkumpul di suatu tempat yang terpisah sedikit jauh dari kalangan pertempuran, Lauw Sam-ya lalu memasang bee-sie (kuda-kuda) sambil berkata. "Saudara! Marilah kita boleh lantas mulai!" Lie Poan Thian mengangguk sambil kemudian maju menyerang, hingga dalam tempo beberapa saat saja kedua orang itu telah bertempur dengan amat hebatnya. Selama pertempuran itu berlangsung, Poan Thian telah mengetahui, bahwa Lauw Sam-ya ini sesungguhnya ada juga "isinya", walaupun ia belum tergolong pada seorang ahli silat dari tingkat kelas satu. Maka buat menjaga supaya dirinya jangan sampai kena diselomoti atau "dicepol" Orang, ia pikir lebih baik berlaku see-jie dahulu pada sebelum menerjang pada lawan itu dengan sekuat-kuat tenaganya. Maka biarpun Lauw Sam-ya lebih banyak menyerang daripada semula, tetapi Poan Thian tinggal tetap berlaku 135 tenang dan tidak tergesa-gesa dalam hal menghindarkan diri daripada penyerangan-penyerangan musuh, yang semakin lama telah berlangsung semakin cepat dan berbahaya itu. Akan tetapi, sebegitu lekas dapat "meloloskan diri" Dari ilmu pukulan Cong-pouw-teng-cu-siu yang Lauw Sam-ya telah jujukan kepada dirinya, Lie Poan Thian lekas-lekas menggunakan ilmu Tan-kam-ciang, guna menyabet pinggang Lauw Sam-ya dengan mempergunakan sisi telapak tangannya yang kuat dan "tajam bagaikan golok" Itu. Hal ini, sudah tentu saja telah membikin Lauw Samya jadi terperanjat. Karena selain mengetahui bagaimana lihaynya telapak tangan itu, iapun tahu juga, bahwa dalam ilmu silat pukulan dengan sisi telapak tangan itu bisa dianggap lebih berbahaya daripada pukulan dengan tinju. Karena jikalau bekerjanya tenaga pukulan dengan tinju itu hanya terbatas pada bagian kulit dan daging saja, adalah sabetan dengan sisi telapak tangan itu mampu memukul dengan tandas sehingga mengenai celah-celah tulang, apa pula kalau pukulan itu dijujukan pada bagian iga atau pinggang seperti apa yang dilakukan oleh Lie Poan Thian ketika itu. Pada waktu Lauw Sam-ya melihat Lie Poan Thian telah memukul seperti apa yang telah kita tuturkan tadi, buru-buru ia mengegos sambil menendang dengan sekuat-kuatnya tenaga, hingga ketika Poan Thian berkelit untuk meluputkan diri daripada tendangan itu, Lauw Sam-ya segera melakukan desakan kilat, untuk membikin kalut pikirannya pemuda kita. Tetapi sungguh tak dinyana, pada sebelum ia berhasil dapat melanjutkan rencana penyerangannya, tiba-tiba Poan Thian telah melompat keluar dari kalangan 136 pertempuran sambil berkata. "Hei! Orang she Lauw! Setelah kau menyerang padaku dengan sepuaspuasnya, sekarang giliranku buat balas menyerang kepadamu, dengan suatu cara yang menjadi keistimewaan dalam ilmu kepandaianku. Sekarang akan kutitik beratkan segala serangan-seranganku dengan hanya mempergunakan ilmu tendangan saja. Hal ini, perlu sekali aku beritahukan kepadamu dari di muka, agar supaya kau tidak menjadi menyesal, apabila nanti kau kena dirobohkan olehku. Dari itu, jagalah dirimu dengan sebaik-baiknya. Sekarang akan kumulai dengan siasat tendangan Tan-tui, atau menendang dengan sebelah kaki, kemudian akan kususul dengan ilmu tendangan lain yang kiranya tak perlu kusebutkan namanya satu per satu. Hati-hatilah!" Sambil berkata begitu, Poan Thian lalu mulai mengajukan serentetan tendangan-tendangan yang mula-mula dapat dihindarkan dengan baik oleh pihak lawannya. Tetapi ketika jalannya pertempuran semakin lama jadi semakin cepat, Lauw Sam-ya jadi terperanjat dan berpikir di dalam hatinya. "Sungguh tidak kunyana," Pikirnya. "bahwa omongan si budak ini ternyata bukan gertakan belaka!" Maka kalau tadi ia berpendapat, bahwa ia tak akan bisa dikalahkan mentah-mentah oleh pemuda itu, adalah sekarang ia jadi keder dan timbul rasa kuatir, kalau-kalau ia nanti dirobohkan oleh Lie Poan Thian di hadapan orang-orang sebawahannya sendiri. Dan jikalau kekuatiran itu sampai benar-benar terbukti, cara bagaimanakah ia bisa ada muka akan bertemu dengan handai taulan dan orang banyak, sedangkan di hadapan mereka ia pernah bicara tekebur mengenai pembelaan nama-nama baiknya perkumpulan 137 Sam-liong-hwee, yang pernah dikatakannya tak akan "turun merek" Sebegitu lama diketuai olehnya? Disamping itu ia telah lupa, bahwa orang gagah di dunia ini bukanlah hanya dia saja seorang. Betul telah banyak ahli-ahli silat yang telah berkunjung dan menjajal ilmu kepandaiannya Lauw Samya, tetapi mereka itu hampir rata-rata bukan ahli-ahli silat jempol yang telah sengaja datang buat "minta pelajaran" Kepada ketua Sam-liong-hwee itu, tetapi semata-mata hendak "menjilat" Dan meminta tunjangannya yang berupa uang atau makanan. Maka selama dilakukan pertempuran itu, mereka lebih banyak mengalah daripada melawan dengan sungguh-sungguh hati. Maka Lauw Sam-ya yang menyangka hahwa ilmu kepandaian silatnya sudah begitu tinggi sehingga tak dapat pula dikalahkan orang, tentu saja jadi amat bangga dan selanjutnya telah berani bicara terkebur seperti apa yang telah kita sebutkan di atas. Sementara Lie Poan Thian yang juga ingin menunjukkan kepandaiannya kepada Lauw Sam-ya dan gundal-gundalnya, bukan saja tak mau memberikan kelonggaran lebih jauh kepada sang lawan itu, tetapi juga segera menerjang dengan ilmu-ilmu tendangan lihay yang telah membikin Lauw Sam-ya kelabakan, dan tak tahu bagaimana selanjutnya ia harus menolong dirinya sendiri. "Sekarang telah tibalah saatnya akan aku merobohkan kepadamu!" Kata Lie Poan Thian, sambil mempergunakan ilmu tendangan Lian-hwan Sauw-tongtui yang sangat diandalkannya itu. Hal mana, sudah barang tentu, telah membikin Lauw Sam-ya semakin gugup dan tak sanggup pula buat 138 meladeni sang lawan yang masih muda dan jauh lebih pandai daripada dirinya itu. "Hei, anak muda! Tahan dulu!" Ucapan itu baru saja diucapkan oleh Lauw Sam-ya, ketika satu kakinya Lie Poan Thian telah menyamber bagaikan kilat cepatnya ke arah dada sang lawan itu, hingga biarpun ia berhasil dapat menghindarkan diri daripada tendangan itu tetapi tidak urung ia mesti menyerah juga dengan tendangan Poan Thian yang kedua kalinya, yang ternyata tidak kalah cepatnya dengan tendangan yang telah dilakukannya semula itu. Maka dengan mengeluarkan suara teriakan ngeri, Lauw Sam-ya segera kelihatan terpental dengan tulang iga melesak dan jatuh pingsan di suatu tempat yang terpisah kira-kira beberapa belas kaki jauhnya, dimana ia mengeluarkan banyak darah dari hidung dan mulutnya. Orang-orang sebawahan ketua Sam-liong-hwee yang telah menyaksikan peristiwa itu dan menganggap ini sebagai suatu hinaan besar bagi mereka dan perkumpulan mereka, sudah tentu saja jadi amat gusar dan lalu berniat akan mengeroyok pemuda kita dengan pentungan dan barang tajam yang dicekal dalam tangan mereka. Tetapi Lie Poan Thian yang memang tidak bermaksud akan melukai setiap orang dengan membabibuta, buru-buru menuding kepada mereka sambil berkata. "Sahabat-sahabat sabar dulu! Janganlah kamu terburu napsu dan menerbitkan persetorian-persetorian yang tidak bermanfaat bagi diri kamu sekalian. Aku Lie Kok Ciang," Pemuda kita melanjutkan sambil memperkenalkan dirinya sendiri. "bukanlah semata-mata hendak menerbitkan persetorian-persetorian dengan 139 tidak ketentuan apa maksud atau alasannya. Dan jikalau hari ini aku telah datang juga ke sini, itulah melulu akan coba "berkenalan" Dengan induk semangmu, yang amat masyhur namanya sebagai seorang hartawan jahat, pemeras, penyelundup dan "algojo" Dari rakyat yang lemah dan tidak berpengaruh. "Bahkan belum berapa hari yang lalu, ia telah mengatur suatu muslihat busuk untuk membinasakan jiwanya komandan Teng Yong Kwie dari tangsi Tokpiauw-eng, yang telah dijebaknya dengan jalan menawarkan seekor kuda yang katanya dapat berlari seribu lie seharinya. Apakah kamu tahu akan adanya muslihat yang keji ini?" Semua orang tinggal bungkem dan tidak berani bergerak barang setindak pun. "Aku tidak memaksa akan kamu menerangkan, apakah kamu tahu atau tidak tentang adanya urusan yang sekeji ini?" Poan Thian melanjutkan. "Tetapi kamu yang terlahir di Cee-lam, tentunya harus merasa malu dengan adanya peristiwa busuk serupa itu di tempat kelahiran kamu sendiri." Tetapi nasehat-nasehat itu bukan saja tak dapat diterima oleh sekelompok manusia-manusia kasar yang tak mengerti aturan itu, malah sebaliknya mereka jadi lebih gusar dan lalu bersiap-siap akan mengeroyok dengan tidak banyak bicara pula. Sementara Lie Poan Thian yang melihat gelagat tidak baik, segera hampiri Lauw Sam-ya yang belum sadar dari pingsannya, yang lalu diangkatnya ke atas sambil membentak pada orang-orang yang hendak menyerang kepadanya itu. 140 "Hei, kamu orang-orang dogol!" Katanya dengan perasaan jengkel. "Kamu sekalian janganlah mengira, bahwa karena kamu berjumlah banyak, maka kamu hendak menggertak aku yang hanya bersendirian saja. Aku bukan omong besar. Jikalau aku mau, aku bisa bikin kamu sekalian binasa dengan hanya beberapa tendangan saja. Atau, jikalau kamu tak mau percaya juga omonganku, kamu boleh coba maju dengan serentak di seketika ini juga, agar supaya aku bisa gunakan induk semangmu sebagai senjata buat membinasakan kamu sekalian! Siapakah di antara kamu sekalian yang ingin terlatih dahulu merasai dikemplang dengan induk semangmu yang sekarang menjadi senjataku ini?" Sekelompok manusia-manusia kasar itu jadi terkejut dan tinggal terbengong bagaikan mendadak kesima oleh perbuatannya pemuda kita itu. Dan selagi Poan Thian hendak berlalu dari situ sambil menyeret Lauw Sam-ya yang pingsan itu, mendadak seorang wakilnya Teng Yong Kwie telah sampai dengan membawa sepasukan orang-orang polisi, hingga sesudah Poan Thian memberitahukan peristiwa apa yang telah terjadi tadi, maka wakil komandan itu lalu memerintahkan orang-orang polisi sebawahannya buat menangkap semua orang-orangnya Lauw Sam-ya yang berada di situ, yang lalu digiring ke kantor polisi buat diperiksa perkaranya terlebih jauh. Sementara Poan Thian sendiri setelah menyerahkan Lauw Sam-ya di bawah perlindungannya wakil komandan itu, buru-buru kembali ke Hu-tong-toa-kee buat menyampaikan kabar girang ini pada Teng Yong Kwie, yang menantikan padanya di rumah Sin-kun Bu-tek Louw Cu Leng dengan hati yang tidak sabaran. Tatkala Yong Kwie mendengar kabar tentang hasil pekerjaannya 141 pemuda kita, sudah tentu saja ia jadi sangat berterima kasih, dan semenjak itu perkumpulan Sam-liong-hwee pun telah dibubarkan oleh para anggautanya, berhubung pemimpin-pemimpinnya satu per satu telah ditangkap dan dijatuhkan hukuman atau dibuang ke tempat-tempat lain. Demikianlah salah sebuah lelakon menarik yang telah terjadi dalam riwayat hidupnya Sin-tui Lie Poan Thian, yang sehingga di jaman ini masih diingat dan dijadikan orang bahan untuk beromong-omongan di waktu senggang. Y Beberapa tahun telah lewat dengan tidak terasa pula. Tatkala Tek Hoat suami-isteri dengan berturut-turut telah kembali ke alam baka, maka perusahaan pabrik Eng-tiang-chun Mo-hong pun lalu dilanjutkan oleh Lie Poan Thian yang menjadi ahliwaris satu-satunya. Tetapi berhubung pada tahun itu telah terbit bahaya banjir dahsyat yang telah menggenang sebagian besar daerah Shoa-tang dan menerbitkan kerugian yang bukan kecil bagi penduduk negeri, maka Poan Thian yang pabriknya telah termusnah seluruhnya oleh air dan tak dapat bekerja, apa boleh buat segera pindah ke Tiongciu (sekarang Tiong-cia, dalam propinsi Ho-lam) untuk menumpang tinggal pada suami kakak perempuannya di sana, yang membuka kedai garam dan memperoleh untung besar dalam perusahaannya itu. Begitulah dengan membawa dua buah pauw-hok dan "harta bendanya" Yang berupa barang-barang pemberian dari Kak Seng Siang-jin dari kelenteng Liong-tam-sie, 142 Poan Thian telah menuju ke propinsi Ho-lam dengan menyewa sebuah kereta. Tetapi karena rodanya kereta itu telah patah di tengah jalan, maka apa boleh buat Poan Thian telah membayar sewa kereta tersebut sampai di situ saja, sedangkan perjalanan selanjutnya terpaksa telah dilanjutkannya dengan berjalan kaki. Ketika itu justeru musim hujan, hingga ini membikin Poan Thian mengalami kesukaran yang tidak sedikit dalam perjalanannya. Beberapa buah kereta yang kebetulan diketemukannya melawat dalam perjalanannya, ia telah berhentikan buat coba menumpang, tetapi semua kereta itu tak ada yang kosong, hingga percobaannya itu sia-sia belaka. Oleh sebab itu, mau tak mau ia mesti melanjutkan perjalanan itu dengan berjalan kaki. Satu lie, dua lie, dan begitu selanjutnya. Dan ketika matahari telah menyelam ke barat, ia telah sampai di sebuah desa di perbatasan propinsi Shoa-tang Ho-lam, dimana ia mendapat keterangan dari salah seorang penduduk di situ, bahwa di sebelah depan perjalanannya ada dua buah rumah penginapan yang baru saja dibuka orang dalam daerah itu, oleh karena itu, buru-buru Poan Thian pergi mencari rumah penginapan tersebut untuk menumpang bermalam. Tetapi, apa celaka, rumah penginapan itu telah penuh dan tak dapat pula menerima tetamu, walaupun hanya untuk seorang saja. Kebingungan hati Lie Poan Thian jadi semakin memuncak, ketika berkunjung dari satu ke lain tempat rumah untuk menumpang bermalam, tetapi di sana-sini ia telah ditolak dan belum juga bisa mengaso meski hari telah terganti dengan malam. Kira-kira hampir tengah malam, hujan lebat telah 143 turun ke muka bumi, hingga Poan Thian yang melihat ada sebuah gardu di muka sebuah lapangan yang biasa dipergunakan orang menjemur padi atau palawija, buruburu ia berlindung di tempat itu sementara menantikan berhentinya hujan. Di situ Poan Thian menantikan sampai lewat tengah malam, tetapi sang hujan yang jail belum juga mau berhenti, hingga pemuda kita yang memang telah merasa sangat lelah dan mengantuk, pelahan-lahan telah tertidur sambil bersandar pada dua pauw-hok dan sebuah bungkusan yang dibawanya itu. Ketika mendusin di waktu fajar, Poan Thian rasakan badannya demam dan kepalanya berat bagaikan tertindas oleh sebuah besi. Lebih jauh karena penglihatannya berkunang-kunang, maka apa boleh buat ia telah pejamkan kembali matanya, agar supaya dapat tidur pula untuk meringankan sedikit rasa sakitnya. Tetapi tidak kira selagi enak menggeros di situ, mendadak ia telah dibikin kaget oleh suara seorang yang membentak. "Kurang ajar, sedangkan kita telah pada bangun tidur untuk bekerja, adalah kau di sini yang masih saja enakenakan tidur menggeros! Apakah tidak malu kau ditonton orang-orang yang berjalan mondar-mandir di sini? Ayoh, lekas bangun, kalau kau tak mau lekas bangun, akan kuseret kau ke jalan raya!" Poan Thian bukannya tidak mendengar atas bentakan itu, hanya karena badannya dirasakan amat tidak enak, maka terpaksa tinggal memejamkan saja matanya dengan tak mengucapkan barang sepatah katapun. Maka orang itu yang melihat Poan Thian tidak menghiraukan kepadanya, dengan suara yang sengit lantas membentak. "Hei, orang pekak! Apakah kau tidak 144 mendengar apa kataku tadi?" Poan Thian lalu mencoba buat memaksakan diri akan memhuka matanya, tetapi buru-buru ia memejamkan pula matanya, karena silau melihat sinar matahari yang telah mulai naik tinggi. "Tuan," Katanya. "oleh karena aku sedang menderita sakit, maka izinkanlah aku berdiam di sini buat beberapa saat pula lamanya. Jikalau rasa sakitku telah menjadi kurangan, sudah tentu akan kulekas berlalu dari sini." "Kau seorang pemalas sungguh banyak saja akalmu yang tidak-tidak!" Kata suara orang itu sambil berlalu dengan cepat. "Lihatlah bagaimana akan kubikin kau merasa kapok akan menjadi seorang pemalas pula!" Tetapi Lie Poan Thian yang sama sekali tak pernah menyangka bakal mengalami suatu peristiwa yang tidak enak, tinggal tetap memejamkan matanya sambil menahan rasa sakitnya, yang sekarang seakan-akan berkumpul menjadi satu di bagian kepalanya. Tidak antara lama, ia mendengar suara tindakan kaki yang agak tergesa-gesa. Lalu ia berniat akan membuka matanya buat melihat. Tetapi, ketika baru saja hendak membuka matanya, mendadak Poan Thian merasakan dirinya diguyuri air dingin dengan sekonyong-konyong, yang kemudian dibarengi dengan suara jengekan dan tertawa tergelakgelak. "Nah, mampus kau!" Kata orang yang tadi pula. "Apakah kau sekarang belum mau bangun juga?" Lie Poan Thian jadi gelagapan. Para pembaca tentu bisa bayangkan sendiri, alangkah tidak enaknya jikalau kita sedang demam dan 145 sakit kepala mendadak diguyuri air begitu rupa. Maka biarpun Poan Thian dalam keadaan sakit, tidak urung ia menjadi gusar juga dan lalu mendelikkan matanya sambil mendamprat. "Hei, jahaman! Sungguh amat keterlaluan perbuatanmu ini! Apakah kau tidak mendengar apa kataku tadi, bahwa karena sakit, aku menumpang tinggal di sini berapa saat lagi lamanya?" "Jangan banyak bacot!" Sambil berkata begitu, kembali orang itu telah mengguyuri air pada diri pemuda kita yang sedang sakit itu. Oleh karena melihat bahwa omongan yang baik dan mengalah tidak membikin orang itu mau mengerti tentang penderitaan seseorang yang sedang sakit, sudah tentu saja Poan Thian jadi habis kesabaran dan segera melompat bangun dengan badan gemetaran bahna gusar dan deman. Seperti juga seekor singa yang sedang tidur dan mendadak dibanguni secara kasar, ia lantas cekal orang itu sambil membentak. "Bangsat!" Karena kuatnya cekalan Poan Thian itu, maka orang itupun tak dapat bergerak dan meringis-ringis karena kesakitan. "Engkau ini ternyata ada seorang yang tidak mempunyai liang-sim!" Kata Poan Thian dengan suara gemetar. "Maka jikalau kata-kata yang baik tidak bikin seorang yang baik bisa dimengerti kebaikannya, kukira tidak ada jalan lain yang lebih tegas daripada memberikan kau sedikit pelajaran yang singkat tapi nyata!" Sambil berkata begitu, Poan Thian lalu perkuat 146 cekalannya, sehingga selain orang itu teraduh-aduh karena kesakitan, celananyapun bagian muka dan belakangnya segera tampak basah dengan warna kekuning-kuningan yang amat tidak sedap baunya! "Amp.....!" Kata-kata "Ampun" Belum lagi dapat diucapkan sebagaimana mestinya, ketika sebelah tangannya pemuda kita telah menyambar dan memberikan dia dua kali tempilingan yang nyaring dan membikin dia jatuh pingsan di seketika itu juga. Sedangkan Poan Thian sendiri yang dengan sekonyong-konyong telah merasakan sekujur badannya amat dingin dan lelah, di lain saat iapun telah jatuh pingsan juga dengan tak dapat dicegah pula. Tahu-tahu ketika coba membuka matanya, barulah ia mendusin, bahwa ia telah berbaring di sebuah ranjang di dalam sebuah kamar yang ia tak tahu berada di mana. Tidak berapa jauh dari muka ranjang itu, tampak seorang muda yang ia tidak kenal dan rupanya sedang menunggui padanya sambil duduk di atas sebuah kursi. Dan ketika melihat Poan Thian tersadar dari pingsannya, ia lantas berbangkit dan maju mendekati sambil tersenyum dan berkata. "Tuan, terlebih dahulu aku mengucapkan beribu maaf atas kekurangajaran mandorku yang telah mengganggu selagi kau tidur nyenyak tadi." Poan Thian jadi terbengong sejurus, karena ia sesungguhnya tak mengetahui bagaimana duduknya perkara yang benar. Dari itu sudah tentu saja ia lantas menanyakan. "Tuan, mohon tanya, aku ini ada dimana? Kau siapa, dan mengapa aku berada di sini?" 147 "Aku yang rendah adalah Chung-cu dari desa ini," Sahut si pemuda. "Namaku Tan Tong Goan. Barusan aku mendengar ribut-ribut di muka gardu, maka aku telah keluar melihat dan ternyata kau telah jatuh pingsan disamping mandorku, yang juga jatuh pingsan dengan mulutnya mengeluarkan banyak darah. Dari keterangan yang telah kuperoleh dari beberapa sebawahanku, aku telah diberitahukan, cara bagaimana kau telah menempiling mandorku itu, yang ternyata telah berlaku amat kurang ajar kepadamu, yang justeru ini berada dalam keadaan sakit. "Aku di sini amat gemar bergaul dengan orang-orang gagah atau ahli-ahli silat dari tempat-tempat lain. Oleh karena mendapat keterangan dari orang-orang sebawahanku tadi, maka aku lantas ketahui, bahwa kau ini tentu mengerti ilmu silat. Dari itu, aku telah perintah orang-orangku buat bawa kau ke sini, untuk dirawat penyakitmu dengan sebaik-baiknya. Namun belum tahu tuan ini berasal dari mana? She dan nama apa?" Dengan suara gemetaran Poan Thian menjawab. "Aku she Lie bernama Kok Ciang, asal orang dari kota Cee-lam dalam propinsi Shoa-tang." Si Kaki Sakti Menggemparkan Dunia Persilatan Karya Hong San Khek di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Chung-cu atau tuan-tanah itu jadi kelihatan terkejut, waktu mendengar nama yang disebutkan oleh pemuda kita itu. "Apakah tuan ini bukan Lie Kok Ciang yang terkenal dengan sebutan Sin-tui Lie? Yang dahulu pernah menjadi murid Kak Seng Siang-jin Lo-siansu dari kelenteng Liong-tam-sie, pernah mengalahkan Sin-kunBu-tek Louw Cu Leng dan mengobrak-abrik sarangnya Siauw-pa-ong Lauw Sam-ya dari perkumpulan Samliong-hwee?" 148 "Ya, itulah benar aku," Sahut Lie Poan Thian. Dengan diperolehnya keterangan-keterangan itu, Tan Tong Goan baru tahu, dengan siapa ia sekarang sedang berhadapan, oleh karena itu, buru-buru ia membungkukkan badan sambil memberi hormat dan berkata. "Lie Lauw-hia, nyatalah kau ini ada orang yang sudah sekian lamanya aku harapkan buat bisa berkenalan, yang sehingga hari ini dengan secara yang amat tidak terduga, telah dapat bertemu di sini di tempatku sendiri. Penyakit Lauw-hia ini kelihatan agak berat juga, maka aku pikir baik kau beristirahat dahulu di sini untuk beberapa hari lamanya." Poan Thian mengucap banyak terima kasih atas kebaikannya sang Chung-cu itu. "Lebih jauh," Kata Tan Tong Goan pula. "aku akan merasa girang sekali apabila Lauw-hia sudi menerangkan sebab musabab sehingga kau bisa berada di sini. Jikalau ternyata ada apa-apa yang aku bisa menolong, aku tentu akan berdaya sedapat mungkin guna menolong kepadamu." Mendengar omongan itu, Poan Thian lalu tuturkan segala sesuatu yang telah terjadi di kota kelahirannya, tetapi sama sekali tidak diterangkan olehnya, bahwa ia hendak minta menumpang tinggal kepada suami kakak perempuannya di Ho-lam. Oleh karena mendengar keterangan begitu, maka Tong Goan lalu memajukan suatu usul, supaya Poan Thian suka berdiam saja di rumahnya, untuk mengajar ilmu silat kepadanya dan orang-orang sebawahannya. "Aku di sini betul mempunyai dua orang kauw-su dan beberapa orang ahli silat lain yang kerap menemani kami berlatih," Kata Chung-cu. "tetapi kedua orang itu kukira 149 masih belum cukup untuk dapat melatih dengan sebaikbaiknya pada orang-orangku, yang sama sekali berjumlah puluhan orang banyaknya. Maka jikalau Lauwhia sudi mengabulkan permintaanku, bukan saja aku dan orang-orangku akan merasa sangat berterima kasih, bahkan desa inipun akan merasa bangga dapat memberikan kau tempat, sedangkan para penduduknya boleh belajar ilmu silat di bawah pimpinan seorang ahli silat kenamaan seperti kau ini. Hanya belum tahu, apakah kau sudi mengabulkan atas permintaanku ini?" Poan Thian yang melihat Tong Goan orangnya begitu baik dan sopan-santun, sudah tentu saja tidak berani menolak permintaan itu. Begitulah setelah menumpang tinggal beberapa hari lamanya di rumah tuan-tanah yang baik hati itu, barulah Poan Thian merasakan penyakitnya sedikit lebih baik, walaupun kewarasannya belum pulih sama sekali. Pada suatu hari ketika Tong Goan mengajak ia mengobrol tentang ilmu silat di ruangan pertengahan, mendadak seorang yang bertubuh tinggi besar kelihatan berjalan masuk dengan tindakan kaki yang berat dan bersuara. "Inilah ada salah seorang kauw-su kami yang bernama Liu Tay Hong," Tong Goan perkenalkan Poan Thian pada orang yang baru datang itu. Pemuda kita lekas berbangkit, memberi hormat dan persilahkan duduk guru silat itu. "Saudara ini orang dari mana? She dan nama apa?" T.anya Liu Tay Hong sambil mengambil tempat duduk di sebuah kursi di dampingnya si tuan-tanah. "Saudara ini bukan lain daripada orang yang menjadi 150 buah bibir kita sekalian," Tong Goan memotong pembicaraan orang sambil tersenyum dan mengacungkan ibu-jarinya. "Ia inilah Lie Kok Ciang dari Cee-lam, Sin-tui Lie, yang namanya tak asing pula dalam kalangan Rimba Persilatan!" Tay Hong tampak kurang senang mendengar Tong Goan begitu memuji tetamu yang baru ia kenal itu. "Aku dengar banyak orang kerap mengatakan," Katanya. "bahwa kelenteng Liong-sam-sie itu ada sebuah perguruan ilmu silat yang selalu mengeluarkan muridmurid yang jempolan. Aku di luaran telah berkeliaran mencari murid-murid dari kelenteng tersebut, untuk coba meminta pengunjukan, tetapi sampai sebegitu jauh, belum juga dapat diketemukan barang seorang pun. Sekarang oleh sebab mengetahui bahwa Lie Lauw-hia ini adalah salah seorang murid dari Liong-tam-sie, maka aku akan merasa berterima kasih, apabila kau sudi memberi pengunjukan kepadaku. Tetapi belum tahu, apakah Lauw-hia sudi mengabulkan permintaanku ini?" Ucapan ini bukan saja telah membikin Poan Thian jadi tidak enak, malah Tong Goan sendiripun jadi turut kurang senang dan mual mendengar omongan yang agak menantang itu. Akan tetapi, buat membikin keadaan tidak sampai menjadi tegang, Tong Goan lalu pura-pura tersenyum dan berkata. "Oleh karena kewarasan Lie Lauw-hia masih belum pulih betul, maka baiklah hal ini dibicarakan pula nanti saja di lain waktu." Tetapi Liu Tay Hong yang memangnya bersikap sombong, bukan saja tidak mau mengerti dengan alasan itu, malah sebaliknya lantas bersenyum sindir dan berkata. "Mula, kukira Sin-tui Lie itu ada seorang yang berkepala tiga dengan berlengan enam, tidak tahunya hanya seorang biasa saja yang bertubuh begini kecil dan 151 hampir tidak ada "potongan" Untuk dinamakan seorang gagah. Maka dengan menilik pada keadaan badan yang begini lemah dan kecil, kukira tidak perlu sampai aku turun tangan sendiri, karena salah seorang muridku pun akan mampu merobohkannya dengan hanya beberapa gebrakan!" Kemudian dengan melancangi Tong Goan yang menjadi induk semangnya Tay Hong lalu panggil seorang muridnya yang bernama See Tek Hun. "Orang ini bukan lain daripada apa yang khalayak ramai kenal sebagai Sin-tui-Lie," Kata si kauw-su kepada muridnya. "Apakah kiranya kau berani, apabila aku suruh kau bertempur dengannya?" Tong Goan jadi kemekmek. Poan Thian mendongkol, tetapi tidak mengatakan apa-apa selainnya bersenyum sedikit. Sedangkan See Tek Hun yang dianjurkan buat diadu bertempur dengan Lie Poan Thian, tampaknya ragu-ragu dan berpaling pada Tay Hong seperti juga orang yang hendak bertanya. "Sungguh aneh benar perintahmu ini! Dialah seorang yang kewarasan badannya belum pulih betul cara bagaimanakah aku bisa melawan seorang yang keadaannya masih separuh sakit?" "Cobalah katakan olehmu!" Kata Tay Hong sambil mendelikan matanya. "Apakah kamu berani melawan bertempur orang itu?" (Sambil menunjuk pada Lie Poan Thian). "Suhu....." Tetapi Tek Hun tidak berani melanjutkan bicaranya. "Aku inilah gurumu," Kata Tay Hong sambil menepuknepuk dadanya. "cara bagaimanakah kau berani membantah kehendakku?" 152 "Aku bukan membantah," Kata See Tek Hun. "tetapi aku malu akan bertempur dengan seorang yang aku tahu keadaannya masih separuh sakit!" "Kau jangan omong kosong!" Kata Liu Tay Hong pula. "Sekarang ia sudah separuh sembuh dari penyakitnya, ini berarti ia sudah mampu akan bertempur sebagaimana mestinya, sedangkan di waktu sakit ia masih mampu tempiling si Ah Jie sehingga jatuh pingsan. Oleh sebab itu, kau ada omongan apa lagi untuk mengeloni dia ini?" "Aku harap Liu Su-poo supaya suka bersabar sedikit," Kata Tan Tong Goan yang sekarang baru mendusin, apa sebab Tay Hong jadi begitu gusar pada Lie Poan Thian. Itulah karena Tay Hong merasa sangat kurang senang dan terhina, karena Ah Jie, mandor Tong Goan dan salah seorang muridnya, telah dihajar oleh Lie Poan Thian pada beberapa hari yang lampau! "Dari hal Ah Jie telah diberikan pengajaran oleh Lie Lauw-hia," Kata Tong Goan pula. "itulah bukan karena semata-mata dilakukan dengan secara membuta-tuli. Ini aku tahu betul dan menyaksikan dengan mata kepalaku sendiri. Ah Jie telah berlaku keterlaluan, hingga kalau aku tidak pandang ia sudah bekerja sedari jaman ayahnya masih hidup, aku tentu sudah lepas dia dari pekerjaannya!" Kata suatu peribahasa. semut yang kecil kalau sengaja dipijak, akhirnya tentulah akan menggigit juga, apalagi manusia yang mempunyai kecerdasan dan pandai timbang-menimbang perkara. Demikian juga dengan halnya Lie Poan Thian, yang telah dihinakan begitu rupa oleh Tay Hong yang sombong itu. 153 Biarpun dilahir ia kelihatan tenang dan menerima saja jengekan-jengekan itu, tetapi hatinya semakin lama jadi semakin panas. Maka setelah tak tertahan pula rasa panas hatinya, Poan Thian lalu berbangkit dari tempat duduknya dengan paras muka yang menandakan gusar. Mula-mula ia meminta maaf pada Tan Tong Goan yang menjadi tuan rumahnya, kepada siapa ia menyatakan penyesalannya akan membikin ribut di hadapannya, seolah-olah tak ada tempat lain untuk ia berbuat begitu. Kemudian ia lambai-lambaikan tangannya pada Liu Tay Hong sambil berkata. "Liu Supoo! Perbuatanmu ini sebenarnya aku boleh lewatkan dengan begitu saja. Tetapi karena mengingat bahwa cara mengalah sebagai aku ini bisa berbalik dihinakan orang sampai begitu rupa, maka sekarang kukira sudah bukan waktunya pula akan selalu tinggal mengalah. Dari itu sekarang aku persilahkan salah seorang di antara muridmu akan coba meladeni aku yang separuh sakit ini dalam pertempuran satu lawan satu. Tetapi jikalau kau masih ragu-ragu atau takut, boleh juga kamu keduaduanya maju dengan berbareng, agar supaya kamu berdua mengetahui, bahwa gelaran SIN-TUI LIE itu bukanlah sebuah gelaran kosong belaka! Ayoh, kamu boleh maju!" Sementara Liu Tay Hong yang sekarang baru melihat sikapnya Lie Poan Thian yang begitu garang, buru-buru dorongkan punggung See Tek Hun sambil berbisik. "Ayoh segeralah serang padanya dengan tak usah banyak bicara pula! Jikalau kau kalah, aku nanti labrak padanya sehingga ia mampus!" See Tek Hun yang mendapat anjuran begitu, dengan tidak banyak bicara pula segera menerjang dengan ilmu pukulan Hek-houw-touw-sim (harimau hitam 154 menyengkeram hati) pada Lie Poan Thian, siapa sebegitu lekas menghindarkan diri daripada jotosan yang menyambar ke ulu hatinya, lalu ia pergunakan kakinya menendang sambil membentak. "Pergi!" Dan berbareng dengan habisnya seruan itu, See Tek Hun telah mencelat tanpa ia mengerti karena tak dapat ia melihat dengan jalan apa Poan Thian telah "melemparkan" Padanya dan jatuh tepat di hadapannya Liu Tay Hong dengan kepala bonjok! "Suhu, tolong!" Teriaknya. Dengan hati sangat mendongkol Tay Hong lalu banguni muridnya. "Sekarang adalah giliran gurunya yang akan kuajar kenal dengan tendangan-tendanganku!" Kata Lie Poan Thian. "Tetapi karena mengingat bahwa Liu Su-poo ini bukan seorang yang sudah termasuk pada golongan ahli-ahli silat jempolan seperti aku sendiri, maka aku suka memberikan kelonggaran untuk bertempur dengan memakai beberapa syarat, yakni, yang pertama, dalam pertempuran ini aku tak akan menggunakan tinju, dan jikalau aku sampai menggunakan itu, karena terpaksa atau tidak, bolehlah terhitung aku kalah berkelahi dengan Liu Su-poo; yang kedua, dengan segala rela hati aku suka terima kalah daripadanya, apabila dia bisa meluputkan diri dari tiga kali tendanganku. Jikalau ia mampu kalahkan aku pada sebelum aku menendang sehingga tiga kali, aku rela akan membuang gelaranku "Sin-tui" Dan selanjutnya akan menjadi hweeshio dan tak campur pula segala urusan di kalangan Kang-ouw. Itulah syarat-syaratku, yang aku minta supaya Tan Chung-cu suka berlaku sebagai saksi dalam urusan ini!" Tetapi pada sebelum Tong Goan membuka mulut 155 buat menyanggupi, Liu Tay Hong telah menuding pada Lie Poan Thian sambil membentak. "Orang she Lie, janganlah kau kira bahwa orang gagah di kolong langit ini hanya kau seorang saja! Sekarang jagalah dirimu sebaikbaiknya!" Dan berbareng dengan ucapan "Aku mendatangi!" Kauw-su itu lalu menerjang pada Lie Poan Thian dengan menggunakan siasat Twe-san-jip-hay (mendorong gunung masuk ke lautan), hingga Poan Thian yang memang telah menaruh perjanjian tak akan menggunakan tinju, dengan sebat mengegos sambil menendang dan berseruh. "Satu!" Suatu tanda bahwa itulah ada tendangan pertama yang ia telah lakukan. Liu Tay Hong yang mengerti bahwa tendangan itu tidak boleh dibuat gegabah, buru-buru ia berjongkok buat meluputkan dirinya. Dan tatkala terluput dari tendangan tersebut, Tay Hong segera maju merangsek sambil menyerang dengan ilmu Lian-hwan Twan-sim-kian, yang dijujukan pada ulu-hati Lie Poan Thian, hingga pemuda kita yang kenal baik bahaya pukulan-pukulan yang akan datang dengan berturut-turut itu, dengan secara gesit ia telah meluputkan dirinya dengan jalan mengegos ke kiri atau ke kanan, kemudian sambil tersenyum ia berkata. "Oh, oh, nyatalah kau mengerti juga ilmu pukulan Lianhwan Coan-sim-tui! Sekarang cobalah kau boleh jaga tendanganku!" "Dua!" Ia membentak, sambil menendang dengan gerakan secepat kilat. Dengan ini, Tay Hong yang merasa lebih selamat akan membuang diri untuk menghindarkan tendangan itu, buru-buru ia mundur dengan maksud hendak mempertahankan diri dengan tipu Yauw-cu-hwan-sin, atau alap-alap membalikkan badan. Tetapi, apa celaka, 156 pada sebelum ia keburu berbuat begitu, Poan Thian telah terdengar berseruh. "Tiga!" Dan berbareng dengan terputusnya seruan itu, mendadak Tay Hong merasakan dunia ini bergoncang dengan amat hebatnya, hingga dengan badan terputar di udara ia telah terpental dan jatuh menimpah sebuah pot bunga yang besar, yang mana telah membuat pot tersebut hancur berarakan di seketika itu juga! Sementara See Tek Hun yang melihat gurunya pun telah kena dipecundangi oleh Lie Poan Thian, segera berlari-lari buat coba membanguni, tetapi dengan hati mendongkol Tay Hong telah menolaknya sambil berkata. "Tidak apa-apa, tidak apa-apa!" Kemudian, dengan sorot mata yang menyala-nyala, ia menuding pada pemuda kita sambil berkata. "Lie Kok Ciang! Hari ini aku mengaku kalah kepadamu, tetapi berselang beberapa tahun lagi akan kucari kau buat menetapkan siapa antara kita yang sesungguhnya lebih unggul! Selamat tinggal!" Ia menambahkan. Begitulah dengan tidak memohon diri lagi pada Tong Goan dan kawan-kawan yang lainnya, Tay Hong dan See Tek Hun telah angkat kaki dari gedung tuan-tanah itu, untuk mencari guru dan meyakinkan pula ilmu silat guna membalas dendam kepada Lie Poan Thian di masa yang akan datang. Dan tatkala berselang beberapa hari lamanya semenjak terjadinya perselisihan antara Liu Tay Hong dan Lie Poan Thian itu, mendadak salah seorang muridnya Liu Tay Hong yang bernama Lian Cong kelihatan muncul dan menghadap pada Tan Tong Goan. Maka beberapa orang yang tidak suka pada Liu Tay Hong dan bercuriga akan kauw-su pecundang itu menjalankan muslihat busuk dengan menggunakan 157 tenaga salah seorang muridnya, dengan diam-diam lalu memberitahukan kepada Lie Poan Thian agar supaya ia mengintai gerak-geriknya Lian Cong ini. Dan jikalau dia benar membawa titah-titah rahasia dari orang yang menjadi gurunya, mereka menyatakan kesediaannya untuk menangkap pada Lian Cong dan menyerahkannya pada pembesar yang berwajib. Tetapi Poan Thian yang menganggap itu sebagai suatu urusan remeh, lalu pura-pura mengucap terima kasih dan berjanji, yang ia akan berikhtiar untuk menghindarkan segala bahaya yang akan datang itu. Tidak tahunya duduknya urusan yang benar justeru bertentangan jauh daripada apa yang semula disangka orang. Demikianlah singkatnya maksud kedatangan Lian Cong pada tuan-tanah itu. Ternyata, ketika Tay Hong berselisih dengan Poan Thian, Lian Cong justeru berada di desa kelahirannya, tengah mengurus penguburan jenazah ibunya. Oleh karena tingkah lakunya Lian Cong tidak mengecewakan, maka Tong Goan menaruh simpati dan memberikan ia banyak uang untuk merawat ibunya, dari sakit sehingga meninggalnya serta dikubur menurut kebiasaan yang lazim dilakukan orang. Kepada kauw-su Liu Tay Hong, Lian Cong telah belajar ilmu silat tidak kurang dari dua-tiga tahun lamanya, maka dalam pergaulan sekian lamanya itu, Lian Cong telah ketahui, bahwa maksudnya Tay Hong mengajar ilmu silat di rumah tuan-tanah itu, bukanlah didasarkan atas mencari keuntungan, tetapi ada pula maksud lain yang tersembunyi dan dikandung di dalam hatinya. 158 Karena selain ingin mendapatkan adik perempuan Tong Goan yang bernama Giok Hwa, iapun inginkan juga harta bendanya Tong Goan yang berjumlah bukan sedikit. Tetapi karena seorang diri tak cukup untuk dapat melaksanakan pekerjaan besar itu, maka ia telah berkomplot dengan seorang kepala kampak bernama Khong Thian Liong di pegunungan Kee-jiauw-san. Liu Tay Hong telah beberapa kali berusaha untuk bergerak dengan menggunakan Ah Jie sebagai pembantu yang bekerja di dalam, tetapi pekerjaan itu selalu kandas saja, karena dirintangi oleh satu dan lain sebab, hingga waktu Poan Thian keburu datang ke desa itu. Tay Hong jadi cemburu dan sedapat mungkin berdaya upaya, agar supaya pemuda kita bisa disingkirkan atau, kalau perlu, dibinasakan jiwanya. Tetapi syukur juga pada sebelum terjadi hal-hal lain yang lebih hebat, Tay Hong tetah keburu dipecundangi dan terpaksa angkat kaki dari desa itu, walaupun rasa penasarannya hanya Allah saja yang tahu disamping dirinya sendiri. "Maka setelah aku mengajukan laporan ini," Lian Cong akhirkan penuturannya. "aku banyak harap supaya Chungcu-ya jangan membicarakan lagi urusan ini pada orang lain. Karena jikalau Liu Suhu yang sekarang sudah berada di luaran mendapat tahu tentang kebocoran rahasianya ini, di sembarang waktu ia bisa mencari dan membunuh aku untuk melampiaskan rasa penasarannya." Tong Goan berjanji akan tutup mulut guna kebaikannya orang sebawahan itu. Maka sejak hari itu dan selanjutnya, ia lantas perintah Lian Cong akan berguru pada Lie Poan Thian, yang terpaksa mesti mewakili pekerjaan mengajar silat yang telah ditinggalkan 159 oleh guru silat Liu Tay Hong itu. Y Pada suatu hari untuk melewati tempo yang terluang, Lie Poan Thian berjalan-jalan ke pekan dengan hanya seorang diri saja. Dalam pada itu Poan Thian yang sedang enak memandang kian-kemari, tiba-tiba matanya jadi tertarik oleh sekelompokan orang yang sedang mengobrol dengan amat asyiknya. "Badannya binatang itu," Kata salah seorang sambil memperumpamakan binatang itu dengan seorang kawannya. "kira-kira hampir bersamaan tingginya dengan badanmu ini, hanya dia itu lebih besar dan kuat. Bulunya putih bagaikan kapas, hingga lantaran itu dapat dilihat orang biarpun ia bergerak di tempat gelap. Banyak orang yang merasa tertarik dengan hadiah besar yang diberikan Na Thian Lun, telah coba tempur binatang itu untuk menghindarkan puterinya hartawan itu akan menjadi korban, tetapi semua telah gagal dan kena dilukai atau dibinasakan jiwanya oleh binatang aneh itu, yang ternyata pandai memainkan pedang, seperti juga kita manusia yang biasa memainkan senjata itu." Sementara salah seorang antaranya yang mendengar omongan itu, sambil tertawa lalu berkata. "Ah, apakah kau ini sudah mabuk, hingga mau main percaya saja ada kera putih yang dapat bertempur dengan menggunakan pedang? Di jaman dahulu memang benar ada dongeng-dongeng yang mengatakan begitu, tetapi di jaman kita ini yang termasuk jaman baru, dimanalah ada perkara-perkara mustahil serupa itu?" 160 "Hal ini kau jangan tidak percaya," Menyambungi seorang yang lainnya pula. Si Kaki Sakti Menggemparkan Dunia Persilatan Karya Hong San Khek di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "karena dia ini memang pernah juga satu kali ikut mengepung binatang itu serta melihat gerak-geriknya binatang gaib itu dengan mata kepalanya sendiri. Selain dari itu, kau harus jangan lupa, bahwa di kolong langit ini banyak sekali keanehankeanehan yang sukar dapat dialami oleh setiap orang." Tetapi orang yang menimbrung itu tinggal tetap tak mau percaya dengan omongan itu, hingga di antara sekelompokan orang itu lalu timbul dua macam pendapat yang menyatakan pro dan kontra dengan adanya lelakon kera putih yang bisa bermain pedang bagaikan manusia itu. Oleh karena tertarik dengan pembicaraan mereka, maka Poan Thian pun lalu ikut menimbrung, dan coba menanyakan, hal apakah yang menjadi pokok dari perdebatan mereka itu. Dari salah seorang yang berkumpul di situ, pemuda kita mendapat keterangan seperti berikut. Seorang hartawan bernama Na Thian Lun yang menjadi salah seorang penduduk tanah milik Tan Tong Goan itu, telah sekian lamanya menjadi sasaran dari gangguan seekor kera putih yang besar dan ternyata hendak merampas puterinya hartawan tersebut yang bernama Giok Tin. Tetapi berkat dari penjagaan kuat yang diadakan di sekitar tempat kera itu belum berhasil bisa menculik si nona itu keluar dari rumah orang tuanya. Tetapi walaupun pekerjaannya selalu digagalkan orang, binatang itu kelihatan tidak menjadi kapok akan mencoba dan mencoba pula buat melakukan maksudnya yang keji itu. Pada suatu hari atas anjuran salah seorang 161 keluarganya yang bernama Oey Kie Lee, Thian Lun telah mengundang seorang gagah yang bernama The Goan, seorang ahli silat dari cabang Siauw-lim. Ahli silat itu dari satu ke lain malam telah menunggu kedatangan kera itu di rumahnya keluarga Na, tetapi ternyata binatang itu tidak juga muncul walaupun ia menjaga di situ sampai kira-kira hampir satu minggu lamanya. Pada suatu malam, kera itu telah datang dalam cara yang lain dari biasa, yakni selain tidak menyatroni kamarnya nona Giok Tin pada kali ini, iapun menyoren juga pedang dan menuju langsung ke tempat jagaannya The Goan, seolah-olah ia ketahui, bahwa ia harus robohkan dahulu jago silat ini, pada sebelumnya bisa menyampaikan maksudnya yang tidak baik itu. Ketika itu The Goan yang memang selalu berjagajaga sudah tentu saja tidak berayal lagi buat menempur pada kera putih itu, sehingga tidak berapa lama kemudian, terjadilah suatu pertempuran yang amat dahsyat antara manusia dan binatang itu. Selama The Goan melawan bertempur dengan mempergunakan toya, kera itu hanya menggunakan tangan kosong saja. Dan tatkala toya itu telah kena dirampas oleh binatang tersebut, The Goan lalu mencabut golok, dengan mana ia telah menyerang pada kera putih yang menjadi lawannya itu. Sedang kera itu, yang melihat The Goan menyerang dengan menggunakan barang tajam, iapun lalu cabut pedangnya dan terus melawan bertempur dengan memainkan pedang itu seperti juga lakunya seorang yang memang sudah menjadi ahli dalam hal menggunakan senjata tersebut! 162 Maka The Goan yang melihat begitu, sudah tentu saja jadi heran dan diam, berpikir di dalam hatinya. "Jikalau ditilik dari cara berkelahinya binatang ini, apakah tidak bisa jadi bahwa dia ini hanya binatang tetiron yang diperankan oleh manusia busuk jago tinggi ilmu silatnya? Segala serangannya cukup rapih dan berbahaya, hingga cara ini dapat dikatakan terlalu mustahil, akan dapat ditiru dan dilakukan dengan sebaik-baiknya oleh seekor kera, biarpun kera itu terkenal berotak cerdas dan lekas mengerti jikalau diajarkan apa-apa." Begitulah sambil berpikir, The Goan telah bertempur dengan kera putih itu, yang ternyata telah mampu menjaga sesuatu serangannya dengan ilmu-ilmu silat yang justeru menjadi timpalan yang cocok dari sesuatu siasat silat yang diajukannya itu! "Adakah seekor kera dapat berbuat sebaik itu, dan mengerti cara bagaimana akan menghindarkan diri dengan pelbagai siasat silat yang tidak mudah dapat dipelajari oleh setiap orang?" The Goan bertanya pula kepada diri sendiri. Dalam pada itu The Goan yang bertempur sambil berpikir di dalam hatinya, sudah tentu saja tak dapat mencurahkan perhatiannya ke satu jurusan saja, hingga ketika kera itu membacok dan ia menangkis dengan goloknya, dengan tak terasa pula ia telah bikin golok itu beradu dengan pedang yang dipergunakan oleh kera putih itu. Trang! Berbareng dengan terdengarnya suara itu, di antara malam yang gelap gulita itu tampak lelatu api yang keluar dari pedang dan golok yang beradu dengan amat hebatnya itu. 163 Tatkala The Goan menarik pulang goloknya, mendadak dirasakannya golok itu menjadi lebih ringan daripada semula, hingga waktu golok itu diperiksa dalam kegelapan, ternyata bahagian ujungnya telah kutung kena terbacok oleh pedang sang kera yang sesungguhnya amat tajam itu! Maka dengan adanya pengalaman ini, selanjutnya The Goan jadi semakin hati-hati buat tidak membikin goloknya beradu dengan pedang sang kera itu. Dan ketika hari hampir terganti dengan fajar, barulah binatang itu melarikan diri, dalam keadaan belum diketahui pihak mana yang lebih tinggi atau lebih rendah ilmu kepandaiannya dalam pertempuran itu. Sementara para penjaga yang bersembunyi di sekitar tempat itu, lalu pada keluar mengejar sambil bersoraksorak, tetapi binatang itu telah dapat meloloskan dirinya setelah membabat pedang-pedang, golok, dan pentungan-pentungan para penjaga seperti juga orang yang menabas tanah liat. Demikianlah menurut penuturannya salah seorang yang sedang mengobrol itu kepada pemuda kita. Maka Poan Thian yang mendengar penuturan itu, ia sendiri pun lantas berpendapat, kalau-kalau kera itu bukanlah kera sewajarnya, hanyalah seorang ahli silat keji yang sengaja mengacau desa itu dengan menyamar sebagai seekor kera putih. "Tetapi belum tahu apakah orang she The itu sampai sekarang masih menjaga di sana atau tidak?" Bertanya Lie Poan Thian dengan hati penasaran. "Sekarang The Goan sudah tak menjaga lagi di sana," Sahut orang yang ditanya. "karena selain kuatir dengan pedang sang kera yang amat tajam itu, iapun 164 telah kena dilukai dan hampir saja jiwanya tewas dalam tangan binatang itu." Poan Thian jadi mengelah napas panjang. "Jikalau saudara-saudara sudi mengajak aku ke rumah Na Thian Lun itu," Kata pemuda kita. "aku bersedia buat menggantikan The Goan akan menjaga di sana." Mendengar omongan ini, sudah tentu saja orang banyak jadi pada mencurahkan perhatiannya kepada Lie Poan Thian yang perawakan tubuhnya tidak berapa besar, hingga mereka agak ragu-ragu, apakah hati pemuda itu cukup tabah akan berhadapan dengan seekor kera besar yang kuat dan telah membikin kewalahan sekian ahli-ahli silat itu? 2.11. Pertarungan Kera Putih Jejadian "Dengan memperhatikan sikap saudara-saudara sekalian," Kata Poan Thian pula. "memanglah ada kemungkinan serta ada juga ceng-linya, jikalau kamu merasa ragu-ragu atas kemampuanku buat bertempur dengan kera putih itu. Aku bukan omong kosong. Meskipun badanku tidak besar, tetapi aku tak akan menyerah mentah-mentah dengan segala binatang yang hina dina itu." Dan tatkala salah seorang antaranya menanyakan siapa dia dan Poan Thian memberitahukan she dan namanya sendiri, orang itu lalu memberi hormat sambil berkata. "Saudara, apakah kau ini bukan kauw-su dari keluarga Tan. Yang pada heberapa waktu yang lalu pernah merobohkan Liu Tay Hong?" "Ya, benar, itulah aku sendiri," Sahut Poan Thian. 165 "Kalau begitu," Kata orang itu pula. "nyatalah mataku tidak bisa mengenali seorang gagah." Kemudian sambil menoleh pada kawan-kawannya yang terbanyak ia memperkenalkan pemuda kita pada mereka sambil berkata. "Saudara-saudara, saudara ini ternyata bukan lain dari Sin-tui Lie, yang sekian lamanya kita dengar namanya yang termasyhur, tetapi belum kenal orangnya dan tidak tahu romannya bagaimana." Lebih jauh karena orang itu telah menuturkan juga bagaimana Poan Thian telah mampu merobohkan jago silat tua Sin-kun Bu-tek Louw Cu Leng, Siauw-pa-ong Lauw Sam-ya dan kauw-su dari keluarga Tan yang bernama Liu Tay Hong, maka orang banyak kelihatan mau percaya juga, bahwa pemuda kita akan mampu mengalahkan kera putih yang sering datang membikin ribut di rumahnya Na Thian Lun itu. Oleh sebab itu, mereka dengan beramai-ramai lalu mengantarkan Poan Thian akan berjumpa dengan Hartawan she Na itu. Tetapi seperti juga pendapat orang banyak ketika mula-mula bertemu dengan Lie Poan Thian, Na Wangwee sendiripun tampak agak ragu-ragu dan tidak percaya, kalau pemuda kita akan dapat bertempur dengan kera yang berbadan besar dan buas itu. Oleh karena itu ia lantas berkata. "Tuan Lie ini rupanya bukan orang desa ini?" "Ya, memang bukan," Sahut Lie Poan Thian. "aku berasal dari kota Cee-lam dalam propinsi Shoa-tang, dan jikalau sekarang aku berada di sini, itulah karena aku kebetulan menumpang pada Tan Chung-cu Tan Tong Goan, dimana untuk sementara lamanya aku mewakili salah seorang kawan buat mengajar ilmu silat pada orang-orang sebawahannya Tan Chung-cu tersebut." 166 Na Thian Lun kelihatan mengangguk-anggukkan kepalanya, ia tak berkata-kata. Romannya bagaikan seorang yang sedang berpikir keras. "Tetapi, maafkanlah jikalau aku mohon bertanya, belum tahu dalam pekerjaan ini tuan Lie minta upah berapa?" Kata si hartawan setelah berdiam sejurus lamanya. Poan Thian tersenyum dan menyahut. "Tuan, aku ini adalah seorang suka rela, bukan hendak minta upah berapa. Asal saja kera itu telah dapat diusir dan selanjutnya tidak berani balik kembali ke sini, itulah sudah cukup dan aku tidak bermaksud akan mengajukan permintaan apa-apa pula." Thian Lun dan orang banyak yang mendengar omongan si pemuda, semua jadi memuji dan kagum atas kebijaksanaannya. Kemudian setelah menanyakan pada waktu bagaimana kera itu biasa datang menyatroni, Na Wangwee lalu menjawab. "Itu tidak tentu. Juga tidak jarang dia tak datang sama sekali. Dan jikalau seandainya dia mau datang juga, waktunya hampir terjadi sedikit di muka tengah malam atau selewatnya itu. Itulah sebabnya mengapa orang-orang yang pernah membantu di sini jadi bingung dan tidak tahan menunggu-nunggu." Pedang Karat Pena Beraksara Karya Tjan ID Sepasang Garuda Putih Karya Kho Ping Hoo Si Angin Puyuh Tangan Kilat Karya Gan Kh