Ceritasilat Novel Online

Pedang Angin Berbisik 11


Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng Bagian 11


Pedang Angin Berbisik Karya dari Han Meng   "Ya, 12 tahun yang lalu, dalam usaha merebut Pedang Angin Berbisik, beberapa orang bertopeng telah menyerang keluarga kami, setelah sebelumnya mereka menyusupkan racun ke dalam persediaan makanan kami." "Ah, jadi benar rumor yang mengatakan Pendekar Jin Yong mati karena diracun orang" "Tidak juga, lebih tepat jika dikatakan mati dalam pertarungan, hanya saja sebelumnya tubuh mereka menjadi lemah akibat racun itu.", rasa sakit hati dan penasaran terbayang di wajah Murong Yun Hua. "Tapi, tidak pernah kudengar tentang keluarga kakak.", ujar Ding Tao dengan agak segan. "Ya, ayahku tidak menginginkan nama besar dalam dunia persilatan. Beliau lebih suka menyendiri bersama dengan buku- buku kesayangannya. Hampir tidak ada seorangpun yang tahu mengenai keluarga kami." "Apakah Kakak Yun Hua tahu identitas dari penyerang bertopeng itu? Atau setidaknya pernah menyelidikinya?"   Murong Yun Hua menggelengkan kepala perlahan.   "Tidak, sebelum meninggal, ayah berpesan untuk melupakan dendam. Orang-orang bertopeng itu tentunya punya nama dalam dunia persilatan. Kakak Jin Yong dengan Pedang Angin Berbisik di tangan bukan tokoh yang mudah dihadapi, meskipun kondisinya kurang begitu baik. Begitu juga ayah dan ibu serta paman dan bibi." "Ayah kakak bisa membuat pedang semacam Pedang Angin Berbisik, tentunya orang yang sangat cerdas. Jika belajar silat tentu mencapai tingkatan yang tinggi. Orang-orang bertopeng itu tentu bukan orang sembarangan.", desah Ding Tao yang sedang membayangkan kejadian hari itu. Termenung mereka berdua, kemudian Murong Yun Hua menggelengkan kepala perlahan.   "Entahlah, dulu kupikir juga begitu. Tapi kenyataannya meskipun cerdas, ayah terlalu banyak mempelajari segala hal, akhirnya tidak ada fokus tertentu dalam mempelajari sesuatu. Meskipun pengetahuannya luas, dalam pertarungan yang sesungguhnya, hari itu, mungkin hanya Kakak Jin Yong yang benar-benar perlu diperhitungkan."   Ding Tao diam termenung, beberapa hal yang masih belum dia ketahui dari keluarga Murong, sudah diketahuinya hari ini.   Tapi mengapa Murong Yun Hua baru menceritakannya sekarang? Tentu ada hubungannya dengan dirinya dan Pedang Angin Berbisik, karena sebelum dia bercerita tentang tugasnya dan hubungannya dengan pedang itu, Murong Yun Hua masih menyimpan rapat-rapat masalah ini.   "Adik Ding, ayah memang melarang kami untuk mencari musuh dan membalas dendam, tapi ayah juga memberi tugas pada kami untuk sebisa mungkin mendapatkan kembali Pedang Angin Berbisik.   Di tangan yang salah, pedang itu menjadi pedang yang berbahaya.   Ayah tidak ingin, ciptaannya meninggalkan noda kelam dalam dunia ini." "Ahh, paman sungguh bijaksana.", berpikir sebentar pemuda itu pun melanjutkan.   "Kakak Yun Hua, jika masalah itu yang ingin kakak bicarakan. Jangan kuatir, selekasnya aku mendapatkan kembali pedang itu, akan kukembalikan pedang itu pada keluarga kakak." "Lalu bagaimana dengan tugas yang dibebankan gurumu untuk membendung ambisi Ren Zuocan? Apakah menurutmu, kau bisa menandinginya tanpa dibantu Pedang Angin Berbisik?", tanya Murong Yun Hua, pandang matanya melekat ke arah Ding Tao. "Sesungguhnya, aku pun ragu. Tapi sejak memberikan tugas itu, secara tersirat guru sudah memberikan nasihat, bahwa yang terpenting adalah menyelamatkan dunia persilatan kita dari ancaman Ren Zuocan. Apakah dengan menggunakan Pedang Angin Berbisik atau tidak, guru tampaknya menyerahkannya pada keputusanku sendiri. Bukan hanya pada hitungan untung dan rugi, mampu atau tidak, tapi juga menurut hati nurani sebagai seorang manusia.", jawab Ding Tao menjelaskan sambil tersenyum. "Apakah Adik Ding sama sekali tidak ada rasa kuatir?", tanya Murong Yun Hua dengan nada tidak percaya. "Tentu saja ada juga rasa khawatir, tapi asalkan sudah berupaya sekeras mungkin, asalkan umur masih ada, tentu ada jalan. Kalau kakak tidak keberatan pada saatnya pertemuan lima tahunan nanti, apa boleh aku pinjam pedang itu?", jawab Ding Tao cengar-cengir. Murong Yun Hua tertawa geli melihat jawaban Ding Tao.   "Adik Ding sebenarnya, yang ingin aku bicarakan bukan meminta pedang itu darimu. Tapi" "Tapi apa Kakak Yun Hua? Jika ada permintaan katakan saja, apakah kakak mengharap aku untuk mencari pelaku pembunuhan waktu itu dan membalaskan dendam keluarga Murong? Meskipun aku tidak bisa menjanjikan apa-apa, jika memang mereka terbukti orang-orang yag perlu dibasmi dari muka bumi ini, tanpa kakak minta pun aku tidak akan segan untuk melakukannya."   Sejenak Murong Yun Hua termenung, dicobanya untuk merangkaikan kata-kata, tapi apa yang hendak diungkapkan terlalu sulit baginya untuk dikatakan.   Ding Tao dengan sabar menunggu penjelasan dari Murong Yun Hua.   "Adik Ding, sebelum aku mengatakan apa syaratnya ada satu hal lagi yang kau perlu tahu.   Di dalam kediaman kami ada satu ruangan, penuh berisi buku-buku dan tulisan yang menjadi koleksi ayahku.   Salah satu bagian memuat berbagai tulisan mengenai ilmu-ilmu silat yang ada di daratan ini.   Beberapa di antaranya bahkan memuat ilmu-ilmu rahasia dari perguruan yang ada." "Dari mana dari mana paman mendapatkannya?", tanya Ding Tao dengan terbata, matanya memandang Murong Yun Hua dengan perasaan tidak menentu.   Ding Tao khawatir Murong Yun Hua akan menjadi marah karena pertanyaannya, tapi dia tidak bisa diam saja.   Ilmu rahasia, sudah tentu dikatakan rahasia karena perguruan tersebut merahasiakannya dari orang luar.   Jika ketahuan seorang murid mengajarkan ilmu rahasia pada orang di luar perguruan, hukumannya cukup berat.   Lagipula membuka rahasia perguruan terhadap orang luar, sama saja mencari mati buat diri sendiri.   Sebuah ilmu menjadi berbahaya, karena orang tidak tahu dengan pasti bagaimana jurus itu dilakukan, sehingga sulit pula untuk memikirkan pemecahannya.   Tapi jika kunci dari ilmu itu ketahuan, maka bukan saja orang bisa mempelajarinya tapi juga orang bisa memikirkan cara memecahkannya.   Ilmu tidak ubahnya benda pusaka, mencuri belajar ilmu dipandang rendah oleh kalangan dunia persilatan.   Itu sebabnya Ding Tao merasa ragu mendengar penjelasan Murong Yun Hua.   Wajah Murong Yun Hua sedikit memerah, tentu saja dia mengerti pula hal ini.   Tapi sebagai seorang anak, orang tua adalah segalanya.   Apalagi Murong Yun Hua ditinggal kedua orang tuanya sejak umurnya masih muda.   "Bagaimana ayahku mendapatkannya, soal itu akupun tidak jelas.   Tapi Adik Ding, bukankah satu pengetahuan seharusnya jadi milik semua orang? Dengan demikian, barulah pengetahuan bisa berkembang.   Jika setiap orang menyembunyikan apa yang dia ketahui, lalu menyimpan yang penting-penting bagi dirinya sendiri, bukankah ilmu itu makin lama akan makin surut?", jawab Murong Yun Hua membela ayahnya.   Gu Tong Dang sendiri memiliki pendapat yang hampir sama.   Kebiasaan seorang guru menyimpan ilmu rahasia, bahkan dari muridnya sendiri adalah satu kebiasaan yang tidak bisa diterima oleh Gu Tong Dang.   Sebagai seorang guru, dalam hal inipun Gu Tong Dang menjelaskan pada Ding Tao mengapa dia berpendapat demikian.   "Ayah yang mencintai pengetahuan, dengan sengaja mengkoleksi setiap hasil karya seorang pandai.   Entah itu dalam hal silat, ketrampilan, pembuatan alat-alat, obat-obatan atau cara menenun dan mewarna.   Hampir setiap karya orang pandai, ayahku berusaha untuk mengumpulkannya dan keinginannya adalah agar pengetahuan itu tidak hilang begitu saja, karena kelemahan pribadi pewarisnya.   Melainkan bisa disumbangkan pada kepentingan yang lebih luas tanpa memandang golongan.   Adik Ding, coba katakan apakah itu salah?"   Ding Tao jadi serba salah, jika hendak jujur, dia berpendapat bahwa ayah Murong Yun Hua sudah melakukan kesalahan.   Di pihak lain, dia tidak ingin memojokkan Murong Yun Hua lagipula alasan Murong Yun Hua ada benarnya juga dan bersesuaian dengan pandangan gurunya.   Meskipun Gu Tong Dang tidak melangkah sejauh itu sampai mencuri belajar ilmu orang lain dan lebih menerapkan hal itu pada diri sendiri.   "Kakak Yun Hua, soal itu, bagaimanapun juga mencuri belajar, bukan sesuatu yang dapat diterima.", jawab Ding Tao dengan susah payah dan mengerahkan segenap keberaniannya.   "Adik Ding, tahukah kau tentang orang yang berjuluk Tabib Dewa? Ilmu pengobatannya begitu temahsyur dan banyak orang yang sembuh oleh ilmunya itu.   Bayangkan jika dia mau membagikan ilmunya itu kepada banyak orang.   Berapa banyak orang yang bisa diselamatkan? Tapi karena dia menyimpan ilmu itu sendiri, semantara dia bukan dewa yang bisa berada di mana saja.   Entah berapa orang yang mati karena terlambat mendapatkan pertolongan." "Atau tahukah kau dengan perusahaan peralatan dari logam, Tie Jiang Hua? Hanya orang-orang yang mempunyai uang banyak bisa menikmati hasil karya mereka.   Rahasia mereka dalam mengolah logam disimpan sendiri.   Bisakah kau bayangkan, jika pengetahuan itu dibagikan, akan ada banyak petani miskin yang bisa berkurang beban hidupnya dengan peralatan yang lebih baik dan tidak mudah rusak." "Tapi Kakak Yun Hua, para guru memiliki alasannya sendiri untuk tidak mengajarkan ilmu-ilmu itu, karena jika orang yang salah mempelajarinya, bukankah akan jadi berbahaya?", tanya Ding Tao mencoba bertahan.   "Adik Ding, kenyataannya selalu saja ada orang yang menyalah gunakan ilmunya.   Katakan coba, apakah ada satu perguruan saja, yang tidak pernah menelurkan seorang penjahat dalam dunia persilatan? Tidak, tidak ada satupun, bahkan Shaolin yang besar pun, memiliki noda hitamnya.   Tapi bayangkan jika ilmu itu diberikan secara bebas kepada umum, maka setiap orang yang mau belajar dan berlatih akan tahu bagaimana melindungi dirinya sendiri.   Dengan sendirinya orang yang memiliki niat jahat tidak dengan mudah bisa melakukannya." "Kurasa Kakak Yun Hua ada benarnya, namun tatanan yang ada tidak baik jika dilanggar begitu saja.   Adalah sesuatu yang bijak jika seorang guru mau dengan murah hati menyebarkan ilmunya, tapi jika dia tidak berkenan, rasanya tidak tepat pula jika kita mencurinya.", jawab Ding Tao dengan segan.   "Adik Ding, suatu tatanan diterima dalam masyarakat bukanlah satu hukum langit yang tidak boleh dilanggar.   Kenyataannya dari masa ke masa, nilai-nilai itu berubah.   Nilai itu berubah menyesuaikan dengan keadaan dan karena manusianya mencari bentuk yang terbaik.   Jika satu nilai ternyata kurang baik, maka perlu diubah dan harus ada orang yang berani untuk mengubahnya.   Jika tidak maka seluruh umat manusia akan terjebak pada tatanan lama yang tidak menguntungkan."   Mendengar pembelaan Murong Yun Hua yang berapi-api, Ding Tao tidak bisa menjawab. Dia hanya mengangguk-angguk dengan terpaksa. Mendesah Murong Yun Hua melihat itu.   "Adik Ding, setidaknya, pikirkan hal ini, dengan tulisan-tulisan yang ada di ruangan itu, mungkin kau bisa menemukan cara untuk menyembuhkan dirimu, tanpa tergantung dari bantuan orang lain." "Tapi Kakak Yun Hua, rasanya sedikit aneh jika aku mencuri belajar ilmu dari perguruan lain.", jawab Ding Tao dengan enggan. "Hahhh dasar keras kepala", mendesah kesal Murong Yun Hua bangkit berdiri. Gadis itu tidak habis pikir, orang lain mungkin akan melompat kegirangan bila ditawarkan hal yang sama. Tapi Ding Tao justru merasa enggan untuk mengambil keuntungan. Dengan hampir putus asa, gadis itu berbalik menghadap Ding Tao. "Adik Ding, setidaknya maukah kau mencoba melihat ke dalam ruangan itu? Tidak semuanya adalah hasil mencuri belajar dari perguruan yang ada. Ada pula, tulisan-tulisan yang pemiliknya atau penulisnya sudah lama wafat dan hilang begitu saja dari peredaran. Bagaimana apakah kau masih merasa bersalah untuk mempelajarinya, bukankah justru kasihan jika ilmu itu hilang begitu saja?", tanya Murong Yun Hua dengan harap-harap cemas. "Benarkah ada yang demikian?", tanya Ding Tao dengan rasa tertarik. Melihat ketertarikan Ding Tao, Murong Yun Hua merasa mendapat angin.   "Tentu saja ada, tidak banyak memang, tapi terkadang ilmu yang hilang itu justru merupakan dasar dari ilmu yang kemudian dikembangkan menjadi ilmu rahasia yang ada sekarang. Nah, apakah kau tertarik untuk mempelajarinya?" "Hmmm, tentu saja akan sangat menarik untuk mempelajarinya. Tapi apakah memang akan berguna untukmenyembuhkanku dari bekas pukulan Tinju 7 Luka, ilmu apapun yang dapat kupelajari saat ini, jika hawa murni tidak bisa digunakan dengan leluasa, akan berkurang artinya.", jawab Ding Tao yang mulai tertarik, namun masih ragu-ragu untuk meng-iyakan. "Adik Ding, meskipun aku sendiri tidak pernah mempelajari bagian dari ilmu silat karena aku tidak tertarik, namun pernah kubaca sekilas sebuah buku mengenai tenaga dalam, dari pengantar yang dituliskan ayah, ilmu ini adalah dasar dari ilmu Tinju 7 Luka dari perguruan Kongtong." "Apakah itu bukan miliki perguruan Kongtong?", tanya Ding Tao. "Bukan, ayah dengan jelas menuliskan hal itu, akan tetapi salah seorang yang memiliki ilmu itu mengembangkannya dan kemudia mewariskannya pada pendiri Perguruan Kongtong. Tentu saja akan ada perbedaan, tapi kukira secara mendasar kau bisa meraba-raba dan mungkin menemukan cara untuk menyembuhkan lukamu. Bagaimana?", mata Murong Yun Hua memandang penuh harap pada Ding Tao. Saat dia melihat Ding Tao masih ragu, dia cepat-cepat menambahkan.   "Adik Ding, pernahkah kau berpikir, apakah Biksu Khongzhe akan mau menerimamu begitu saja? Meskipun dikatakan sebuah biara, namun Shaolin bukan biara biasa. Jangankan Shaolin yang begitu besar, biara yang biasa-biasa pun, tidak gampang jika kau ingin bertemu dengan biksu kepalanya. Bisakah kau bayangkan jika kau, tanpa nama, tanpa surat pengantar, datang ke sana dan meminta untuk bertemu dengan Biksu Shaolin, Biksu kepala dari Biara Shaolin yang besar?"   Ding Tao pun menggigit bibir membayangkan hal itu, ya dia bukan siapa-siapa, tidak pula dia membawa surat pengantar dari orang yang kenal baik dengan ketua Shaolin tersebut.   "Adik Ding, bukannya aku mengatakan bahwa Biksu Khongzhe seorang yang sombong.   Tapi sebagai kepala dan pemimpin dari sebuah biara yang begitu besar, tentu dia akan sibuk dengan banyak tugas.   Bisakah kau bayangkan, jika setiap orang, tanpa memandang tinggi dan rendah derajatnya, tanpa memandang penting tidak urusannya, diperbolehkan menemuinya?"   Akhirnya Ding Tao pun menyerah, kata-kata Murong Yun Hua bisa diterimanya.   Selama ini dia belum pernah memikirkan apa yang akan dia lakukan setelah sampai di Shaolin nanti.   Dalam benaknya, setelah sampai di sana dia akan menceritakan apa adanya dan menanti keputusan mereka.   Tapi setelah mendengarkan uraian Murong Yun Hua, terbayanglah di benak pemuda itu, betapa sulitnya untuk menemui Biksu Khongzhe dengan keadaannya saat ini.   Bisa jadi dia harus menunggu berbulan-bulan lamanya, itu jika dia masih beruntung mendapatkan jawaban.   "Kakak Yun Hua, aku memang bodoh, tidak pernah terpikir sejauh itu.   Jika kakak memang mengijinkan aku untuk melihat tulisan itu, tentu akan sangat membantu.", ujarnya dengan pasrah.   Senyumpun mengembang di wajah Murong Yun Hua.   "Baguslah kalau begitu, tapi Adik Ding, tulisan dalam ruangan itu tidak boleh dibawa keluar, kau hanya boleh mempelajarinya di sana." "Tentu saja, apapun peraturannya aku akan mengikut saja.", jawab Ding Tao. "Tapi setelah kau mendapatkan ijin untuk memasukinya, segala tulisan yang ada di sana boleh kau baca. Mengertikah kau maksudku?", tanya Murong Yun Hua untuk menegaskan. "Ya, ya, kukira aku mengerti, Kakak Yun Hua, kau sungguh baik sekali terhadapku.", ujar Ding Tai terharu. "Dan ada satu hal lagi Adik Ding", kata Murong Yun Hua tersendat sulit untuk melanjutkan. "Ya, katakan saja kakak, jika ada satu tugas, tentu aku tidak akan lari darinya.", jawab Ding Tao dengan tulus. " hal itu bisa terjadi, hanya jika kau kau bersedia untuk menjadi penerus keluarga Murong. Dengan begitu tentu saja, baik ruangan itu, maupun Pedang Angin Berbisik sudah menjadi hakmu. Bahkan gedung bangunan dan segala isinya akan jadi milikmu.", setelah mengatakan itu, wajah Murong Yun Hua bersemu merah dan dia menundukkan kepala, tidak berani memandang Ding Tao. "M.. maksud kakak, mm apakah aku harus mengganti marga? Atau mengangkat ayah kakak sebagai ayah angkatku?", tanya Ding Tao dengan hati berdebar, entah mengapa melihat cara Murong Yun Hua mengatakannya, ada satu kemungkinan yang tidak berani dia pikirkan. Murong Yun Hua menggeleng perlahan, lama tidak ada yang berbicara. Tidak Murong Yun Hua, tidak pula Ding Tao. Kemudian dengan tersendat-sendat Murong Yun Hua menjelaskan. "Sebelum meninggal ayah berpesan, karena tidak ada lagi keturunan laki-laki dalam keluarga Murong, jika aku atau Adik Huolin menemukan lelaki yang berkepribadian baik dan berbakat bagus. Maka hendaknya kami menikahinya. Kemudian satu putra dariku akan melanjutkan garis keturunan ayah, satu putra dari Adik Huolin melanjutkan garis keturunan dari paman. Keduanya akan memakai nama marga Murong, tapi keturunan laki-laki selanjutnya bolehlah menggunakan nama marga laki-laki itu. Sebagai gantinya, seluruh harta warisan keluarga Murong akan diberikan pada laki-laki itu."   Selesai menjelaskan, Murong Yun Hua tidak punya lagi kekuatan untuk mengangkat kepalanya.   Wajahnya terasa panas karena malu, bahkan hingga leher dan pundaknya yang terlihat oleh Ding Tao pun bersemu merah.   Ding Tao sendiri merasa dunianya berputar-putar, tangannya bergerak memijit dahinya yang tiba-tiba terasa pusing.   Pemuda itu sadar, butuh keberanian yang besar bagi Murong Yun Hua untuk mengatakan itu semua.   Betapa akan hancur harga diri gadis itu jika sampai Ding Tao menolaknya.   Tapi jika Ding Tao menerimanya, bagaimana pula dengan perasaan Huang Ying Ying yang saat ini sedang menantinya? Jika hendak ditimbang-timbang, bisa juga Ding Tao beralasan, bahwa dia menerima tawaran Murong Yun Hua demi kewajibannya untuk menyelesaikan tugas yang sudah dipercayakan kepadanya.   Tapi apakah Ding Tao bisa mengatakan itu dengan hati nurani yang jujur? Jika Murong Yun Hua dan Murong Huolin adalah sepasang gadis yang buruk rupa, mungkin akan lebih mudah bagi Ding Tao untuk memutuskan.   Bahwa ini adalah pengorbanannya demi menyelesaikan tugas yang menyangkut kepentingan yang lebih luas dari kepentingan pribadi.   Ding Tao rela mati demi Huang Ying Ying, tapi demi kewajibannya dia rela mengorbankan cinta antara dirinya dengan Huang Ying Ying.   Berdasarkan pemikiran ini tentu saja berarti Ding Tao sebaiknya menerima tawaran Murong Yun Hua.   Sayang Ding Tao masih jujur pada nuraninya sendiri, adakah dia memandang ini sebagai pengorbanan atau kesempatan? Bukankah dalam hati kecilnya dia pun memiliki keinginan untuk memiliki kedua gadis yang cantik itu? Demikian benak pemuda itu dipenuhi berbagai macam pemikiran.   Seperti dalam sebuah sidang di mana hakim, jaksa penuntut dan pembela saling mengemukakan pendapatnya masing-masing.   Bedanya dalam pengadilan mereka punya waktu berjam-jam, bahkan berhari-hari sebelum mengambil keputusan, namun Ding Tao tidak memiliki waktu selama itu.   Murong Yun Hua menanti jawaban Ding Tao dengan hati yang berdebar, ada harap ada pula cemas, ada rasa malu dan ada rasa was-was.   Detik demi detik berlalu terasa begitu lambat, hanya bisa menanti dan menanti.   "Adik Ding, aku sudah mengamat-amati dirimu selama dua hari ini, aku yakin kau orang yang tepat dan sedikit keraguan yang ada, terhapus sudah saat kau mengatakan kau pernah mendapatkan Pedang Angin Berbisik, ini sungguh pertanda yang baik.   Adik Ding kau berjodoh dengan Pedang Angin Berbisik, sekian tahun aku meragu pada siapa bisa kupercayakan amanat ayah ini, tapi sekarang aku tidak ragu lagi.   Adik Ding dalam pandanganku engkaulah orang yang dikirimkan oleh ayah dan paman, untuk menolong kami keluar dari kesusahan ini.", ujar Murong Yun Hua berusaha membujuk pemuda itu untuk kesekian kalinya.   Perlahan Ding Tao membuka mulutnya, bibirnya bergetar.   Apakah jawaban Ding Tao? Pada saat yang sama, di sebuah tempat yang jauh, kejadian yang tidak kalah pentingya sedang terjadi.   ---------------------------- o ------------------------------- Tiong Fa sedang duduk termenung, menghadapi sebuah lilin kecil yang menyala menerangi ruangan kecil miliknya.   Sebuah ruangan pribadi, satu-satunya tempat di mana dirinya bisa merasa benar-benar aman.   Di luar dua orang kepercayaannya berjaga.   Di bawah tempat dia duduk ada sebuah lorong rahasia, lantai tempat kursinya berada dapat terbuka dengan cepat saat dia menekan salah satu tuas rahasia yang ada di balik mejanya.   Mejanya sendiri penuh dengan alat-alat pelontar senjata rahasia.   Dalam ruangan yang kecil ini, Tiong Fa merasa aman.   Sudah dua minggu berlalu sejak sandiwara yang dia sarankan pada Tuan besar Huang Jin akhirnya dilaksanakan.   Sejak dua minggu yang lalu, Tiong Fa bukan lagi seorang penasihat dalam keluarga Huang.   Sudah dua minggu, Tiong Fa menjadi orang buangan.   Tapi selama dua minggu itu pula Tiong Fa merasakan yang namanya kekuasaan penuh.   Jauh sebelum peristiwa Ding Tao terjadi, Tiong Fa yang bertugas membentuk jaringan mata-mata bagi keluarga Huang, sudah memiliki jaringan sendiri.   Ruangan ini adalah salah satu tempat Tiong Fa mengadakan pertemuan dengan bawahannya di luaran.   Akibat kejadian dengan Ding Tao, Tiong Fa yang "terbuang"   Dari keluarga Huang, sekarang ruangan ini pun berubah menjadi rumah bagi Tiong Fa.   Ruangan ini dibangun di sebuah kompleks pelacuran yang cukup terkenal di Luo Yang.   Sebagai ibu kota kerajaaan banyak pendekar-pendekar dari perguruan besar mencoba mencari nama atau mencari penghidupan di sini.   Segala macam golongan bisa ditemui di Luo Yang.   Sebuah tempat yang cocok bagi Tiong Fa untuk mengerjakan tugasnya, mengumpulkan data dan mencuri rahasia-rahasia ilmu perguruan di dunia persilatan.   Menjadi jagoan silat, tidak serta merta memberikan penghasilan.   Menjadi jagoan mungkin mimpi yang menarik, tapi kenyataannya jagoan silat pun butuh makan.   Ilmu silat bukanlah ilmu yang bisa dipelajari dengan setengah-setengah, mempelajari ilmu silat membutuhkan fokus dan komitmen yang tinggi.   Setelah berhasil melatih ilmunya, seorang jagoan silat yang baru terjun dalam dunia nyata, barulah sadar bila dia tidak memiliki ketrampilan lain di luar berkelahi, tidaklah mudah untuk mencari penghasilan untuk hidup.   Melihat jagoan silat berjalan dengan gagah, senjata terselip di pinggang atau di punggung, baju yang mewah dan jubah dari sutra.   Makan di rumah makan yang mewah, bersenang-senang di tempat perjudian dan pelacuran kelas tinggi.   Memancing orang-orang muda untuk menikmati kesuksesan yang sama, tidak pernah terpikir, dari mana mereka mendapatkan uang untuk memenuhi segala kesenangan itu.   Yang mereka tahu hanya belajar silat, berusaha menjadi tenar dengan keahlian mereka mengayun-ayunkan pedang, dan mereka pikir uang akan datang dengan sendirinya.   Kenyataannya tentu saja jauh dari itu.   Pertama, untuk menjadi jagoan ternama bukanlah hal yang mudah, dengan banyaknya yang tertarik untuk mempelajari ilmu silat, tentu saja tidak gampang untuk menjadi yang terbaik.   Yang kedua, mempunyai nama tidak mendatangkan uang.   Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo      Jika ingin uang tentu harus "menjual"   Keahlian itu, entah menjadi guru, menjadi pengawal atau jual jasa lainnya.   Singkatnya setinggi apapun ilmu silatmu, akhirnya kau Cuma jadi anjing penjaga untuk mereka yag punya uang dan kekuasaan.   Mereka yang memiliki gengsi tinggi dan segan untuk bekerja bagi orang lain, tidak jarang berakhir memilih jalan hitam.   Sebagian besar yang lain memilih untuk bekerja sebagai pengawal pejabat dan orang kaya, pada perusahaan pengantaran barang, sebagai guru silat atau menjual kepandaian di pinggir jalan.   Di tengah sulitnya hidup berbekal ilmu silat inilah, Tiong Fa memanfaatkan kekayaan keluarga Huang untuk menarik jago- jago yang sedang kesulitan keuangan ke dalam pengaruhnya.   Beberapa puluh tahun yang lalu Tiong Fa muda dan Huang Jin muda, menjadi jagoan di daerah sendiri, memiliki mimpi untuk menjagoi dunia persilatan.   Kemenangan-kemenangan mereka dalam pertandingn yang ada membuat mereka memiliki keyakinan untuk bermimpi.   Lupa pada nasihat kakek Huang Jin yang melarang keturunannya untuk terlalu dalam berkecimpung dalam dunia persilatan dan lebih baik menekuni urusan perdagangan.   Memiliki impian yang sama keduanya mulai bekerja sama.   Paman Huang Jin, Huang Yunshu memiliki pendapat yang bersesuaian dengan Huang Jin, meskipun selama Ayah Huang Jin hidup dia tidak berani mengemukakan pendapatnya tersebut, tapi saat kepemimpinan pindah ke tangan Huang Jin, dengan bersemangat jagoan tua itu mendukung keinginan Huang Jin.   Tapi itu puluhan tahun yang lalu.   Puluhan tahun sudah lewat dan jalan untuk menguasai dunia persilatn masih jauh dari tercapai.   Tiong Fa yang semakin kenyang dengan pengalaman, sudah lama membuang impian itu.   Sejak itu, diam-diam jalan Tiong Fa dan jalan Huang Jin tidak lagi searah.   Tiong Fa yang dalam kerjanya, lebih banyak berhubungan dengan dunia luas terbuka matanya.   Dunia persilatan lebih luas daripada yang mereka bayangkan dahulu.   Nama besar seperti Shaolin, Wudang, Hoasan, Kunlun, Kongtong, Emei dan Kaipang bukanlah nama kosong belaka.   Meskipun sebagian besar dari mereka sedang dalam masa penurunan bukan berarti keluarga Huang akan dengan mudah maju ke depan.   Huang Jin juga lebih realistis dalam menggapai mimpinya.   Bila dulu dia bayangkan dapat menggapai puncak itu dalam masanya sendiri, sekarang Tuan besar Huang Jin lebih berkonsentrasi dalam menyiapkan putra sulungnya untuk menggapai mimpi itu sementara dirinya berusaha membangun dasar yang kuat bagi putranya.   Namun hal itu tidak menarik bagi Tiong Fa, apa keuntungan bagi dirinya jika dia harus bekerja keras demi kesuksesan keturunan Huang Jin? Memang di depan Huang Jin dia pernah berkata, bahwa mengusahakan kesuksesan putra Huang Jin sama artinya dengan mengusahakan masa depan yang baik bagi keturunannya yang ada dalam keluarga Huang.   Tapi di balik itu, tersembunyi ketidak puasan, karena Tiong Fa tidak peduli dengan anak keturunannya.   Yang dia inginkan adalah kekuasaan, nama, kesenangan bagi dirinya sendiri.   Tiong Fa tidak ambil peduli dengan anak yang dia dapatkan dari isterinya.   Dia menikah dengan isterinya yang sekarang, hanya agar dia bisa masuk menjadi anggota inti keluarga Huang.   Sudah cukup lama Tiong Fa merasa ragu dengan posisinya dalam keluarga Huang, bersama dengan berjalannya waktu, Tiong Fa pun makin ragu apakah dia akan berhasil menggapai keinginan pribadinya dengan tetap bersama keluarga Huang.   Kekalahannya dari Ding Tao yang memicu Tuan besar Huang Jin untuk mengirim dirinya merebut Pedang Angin Berbisik dari Ding Tao secara paksa, membuka kesempatan yang baik baginya untuk keluar dari keluarga Huang tanpa kehilangan keuntungan yang didapatnya dari keluarga Huang.   Itu sebabnya Tiong Fa yang berotak licin bisa jatuh dalam keadaan yang kacau balau.   Inilah kehebatan Tiong Fa, dia sudah bisa melihat lubang-lubang dalam rencana Tuan besar Huang Jin yang terlalu terburu-buru.   Dengan cerdik dia membiarkan rencana itu terus berjalan dan dalam benaknya, jauh sebelum terjadi Tabib Shao Yong membongkar kelemahan itu, dia sudah menyiapkan "jalan keluar"   Bagi Tuan besar Huang Jin, tentunya "jalan keluar"   Yang menguntungkan dirinya.   Sayangnya dia gagal membujuk Tuan besar Huang Jin untuk membiarkan dia membawa Pedang Angin Berbisik bersama dirinya.   Tapi hal itu tidak terlalu membebani pikiran Tiong Fa.   Tanpa Pedang Angin Berbisik pun apa yang dia dapatkan kali ini cukuplah besar.   Modal dari keluarga Huang dia gunakan untuk membiayai organisasi rahasia bentukannya.   Dalam waktu yang terhitung singkat Tiong Fa sudah menguasai beberapa usaha perjudian dan pelacuran yang cukup besar sebagai sumber dana.   Jagoan-jagoan silat pun dengan mudah dia dapatkan, karena sudah bertahun-tahun lamanya dia membangung jaringan.   Bahkan bersama dengan dirinya, ikut pula beberapa orang jagoan dari dalam keluarga Huang sendiri.   Orang-orang yang sudah lama dia bina, untuk lebih setia pada dirinya daripada keluarga Huang.   Ya, cerita karangan Tiong Fa, bukan cerita karangan belaka, karena kenyataannya memang Tiong Fa dengan diam-diam mulai membangun kekuatan sendiri, lepas dari keluarga Huang.   Demi mempertahankan aliran modal dari keluarga Huang, Tiong Fa tidak terburu-buru membuka topengnya.   Selama sapi itu masih diperah susunya, Tiong Fa akan memerahnya.   Selama dua minggu ini, duduk di dalam ruangan kecilnya, dia merasa dirinya menjadi raja.   Tapi tidak malam ini, malam ini dia sedang menerima seorang tamu dalam ruang kecilnya.   Malam ini, duduk di atas kursi kerajaannya, Tiong Fa tidak merasa aman.   Bahkan dibalik sekian senjata rahasia dan pengamanan, Tiong Fa tidak bisa duduk tanpa merasa terancam bahaya, menghadapi tamunya malam ini.   Berdiri di depannya adalah ketua partai Kongtong generasi saat ini, Ketua Zong Weixia , tatapan matanya tajam dan liar.   Tiong Fa merasa seperti sedang berhadapan dengan seekor harimau buas.   Tidak salah jika orang mengatakan lebih baik duduk di atas punggung harimau daripada berurusan dengan Zong Weixia.   Berpakaian serba hijau model pelajar, dengan ukuran baju yang longgar, rambut dan kumis tertata rapi, jika tidak melihat sepasang mata Zong Weixia yang liar dan tajam mungkin orang akan mengira dia seorang pelajar eksentrik yang tidak berbahaya.   Tapi bahkan tanpa melihat sepasang mata Zong Weixia pun Tiong Fa yang sudah mengenal reputasi dari Ketua perguruan Kongtong ini tahu betapa berbahayanya orang di hadapannya ini, Bajunya yang longgar menyembunyikan senjatanya yang aneh bentuknya.   Sepasang roda bergerigi yang dipasang pada seutas rantai besi.   Tidak ada yang tahu seberapa panjang jangkauan senjatanya dan bagaimana persisnya Zong Weixia menggunakan senjatanya itu.   Karena setiap kali bertarung, Zong Weixia tidak pernah membiarkan lawannya hidup.   Dua cawan arak yang sudah disajikan, tidak ada yang menyentuhnya.   Sejak dari arak itu masih baru dihangatkan dan mengepulkan uap yang tipis, hingga arak itu menjadi dingin.   Keringat dingin perlahan-lahan menetes dari dahi Tiong Fa, keheningan yang mencekam memenuhi ruangan itu.   Tanpa diundang Zong Weixia datang dengan langkah penuh keyakinan mendatangi rumah pelacuran miliknya itu, tanpa banyak bicara, tokoh itu berjalan menuju ke ruangan tempat Tiong Fa berada.   Salah seorang jagoan Tiong Fa yang tidak mengenalnya, berusaha menahan Zong Weixia, tapi dengan satu serangan yang mematikan, belum sampai satu jurus lewat dia sudah tewas.   Itulah gaya serangan Zong Weixia, keji, tanpa kembangan, tapi cepat dan tepat, selalu dikerahkan dengan tenaga sepenuhnya.   Seakan-akan menang atau kalah harus ditentukan dalam satu jurus itu.   Hampir mirip dengan Ding Tao, Zong Weixia mendalami satu jurus selama bertahun-tahun.   Bedanya Zong Weixia lebih berfokus pada jurus serangan yang paling keji, paling ganas dan paling cepat.   Dilatihnya jurus-jurus itu dengan ketekunan yang mengerikan, hingga dia mampu meyakinkan kecepatan, kekuatan dan ketepatan setiap serangan.   Laporan dengan cepat sampai ke telinga Tiong Fa, tidak ingin memancing kemarahan Zong Weixia yang angin-anginan, cepat Tiong Fa memerintahkan orang-orangnya untuk memberi jalan pada ketua perguruan Kongtong itu.   Tiong Fa yakin dibalik gayanya yang angin-anginan, tidak mungkin Zong Weixia melakukan sesuatu tanpa perhitungan.   Orang yang benar- benar angin-anginan dan melakukan sesuatu tanpa perhitungan yang jelas, tidak akan bertahan dalam dunia persilatan yang kejam.   Tapi sekarang saat akhirnya dia berhadapan dengan Zong Weixia, Tiong Fa mulai merasa menyesali keputusannya.   Zong Weixia membiarkan saja Tiong Fa tertekan oleh keberadaannya, satu kepuasan bagi Zong Weixia saat dia melihat orang lain menjadi gugup berada di dekatnya.   Semakin mereka ketakutan, semakin dia senang.   Apalagi jika orang itu, orang semacam Tiong Fa, seorang yang memiliki kuasa, punya otak dan nyali, tapi tak urung gemetar di bawah pandangan matanya yang liar dan ganas.   Kepuasannya pun jadi berlipat ganda.   "Hmmm kudengar kau memisahkan diri dari keluarga Huang, apakah itu benar?", akhirnya Zong Weixia memecahkan keheningan itu.   Sudah sejak tadi Tiong Fa berpikir, bagaimana dia harus menghadapi pertanyaan-pertanyaan Zong Weixia dan dia memutuskan untuk menjawab dengan jujur.   Jika Zhong Weixia bisa tahu di mana dia berada, bahkan tahu ruangan rahasia tempat dia berdiam, maka itu berarti sudah ada kebocoran di dalam.   Tiong Fa tidak mau berjudi dengan nyawanya, dia tidak tahu sebanyak apa Zong Weixia sudah mengetahui rahasianya dan dia tidak mau mempertaruhkan nyawa dengan menceritakan kebohongan.   Lebih baik bersikap jujur sekarang, perlahan menyaring kembali orang kepercayaannya menjadi satu lingkaran yang lebih kecil lagi.   Kemudian baru menyiapkan satu atau dua kartu As yang dirahasiakan sebagai persiapan untuk menghadapi Zong Weixia di kemudian hari.   "Ya, itu benar, dari mana Tetua Zong mendengar hal itu?", jawab Tiong Fa sambil bertanya balik.   "Aku tahu dari mana, itu urusanku, sekarang ini aku yang bertanya dan kau cukup menjawab.", jawab Zong Weixia sambil menyeringai.   Menelan ludah, Tiong Fa dengan hati kesal tapi wajah ketakutan, mengangguk.   "Apakah benar urusan keluarnya dirimu dari keluarga Huang, ada hubungannya dengan Pedang Angin Berbisik?", sekali lagi Zong Weixia bertanya.   "Ya, benar.", kali ini singkat saja jawaban Tiong Fa.   "Tapi benarkah jika aku mengatakan bahwa berita di luaran yang mengatakan bahwa dirimu telah menyerang seorang pemuda bernama Ding Tao dan mengambil Pedang Angin Berbisik darinya hanyalah berita bohong saja?" "Tidak juga, berita itu ada benarnya.   Memang aku telah menyerang dan mengambil Pedang Angin Berbisik dari pemuda itu.   Tapi itu kulakukan atas perintah Tuan besar Huang Jin dan pedang itupun saat ini ada di tangannya." "Apa bisa kupegang perkataanmu?" "Tentu saja, aku tahu tidak ada gunanya aku membohong pada Tetua." "Apakah kau yakin bahwa pedang itu adalah Pedang Angin Berbisik?" "Yakin." "Apakah kau tahu di mana Huang Jin menyimpannya saat ini?" "Tidak, tapi aku yakin pedang itu masih ada dalam rumahnya."   Sejenak lamanya, pandang mata tajam dari Zong Weixia menyelidiki raut wajah Tiong Fa, mencari adakah jejak kebohongan di sana.   Wajah Tiong Fa tidak ubahnya warna kulit seekor bunglon, bisa berubah sesuai kebutuhan, sedangkan apa yang ada dalam hatinya tidak ada yang tahu.   Zong Weixia tahu persis orang sejenis Tiong Fa, tapi semua keterangannya masuk akal dan sesuai dengan berita yang dia dapatkan sebelumnya.   "Orang she Tiong, jika kau berbohong, kemanapun engkau bersembunyi, meskipun kau membuat sarang di bawah tanah.   Aku akan mencarimu, membeset kulitmu, menjemurmu di bawah matahari, mencungkil matamu, memotong lidahmu dan memotong kemaluanmu sebelum aku tinggalkan dirimu untuk mati.   Kau mengerti maksudku?" "Ya, aku mengerti." "Apakah ada keterangan yang ingin kau ubah?" "Tidak, semua keterangan yang kuberikan, memang demikian adanya." "Bagus, semoga saja begitu, demi kebaikanmu sendiri.", dengan kata-kata itu Zong Weixia mengakhiri interogasinya.   Cawan arak tidak disentuhnya sedikitpun, dia bangkit berdiri tanpa mengucapkan sepatah katapun.   Seperti sewaktu dia datang, demikian juga waktu pergi.   Dia tidak menunggu diundang dan diantar, keluar pergi semaunya, seakan-akan sedang masuk rumah sendiri.   Zong Weixia baru mencapai pintu ketika Tiong Fa tiba-tiba bertanya.   "Apakah tetua bekerja sendiri? Atau ada orang lain bekerja sama dengan tetua?"   Zong Weixia berbalik, sebelah alisnya diangkat, bertanya.   "Tetua tahu sekarang aku bekerja sendiri, lepas dari keluarga Huang, tapi Tiong Fa bukan orang bodoh, Tiong Fa tahu kekuatannya sendiri, tanpa sandaran yang kuat tidak mungkin bisa bertahan lama.   Sekiranya Tetua mau bermurah hati", membungkuk hormat Tiong Fa mengutarakan apa yang ada dalam kepalanya.   Zong Weixia tercenung sejenak, seringai kejam tidak meninggalkan wajahnya.   Bagi Tiong Fa, yg sejenak itu terasa lama, karena Zong Weixia seperti sedang berpikir, dengan cara apa dia hendak menyiksa dan membunuh Tiong Fa.   Ketika akhirnya Zong Weixia menjawab hatinya merasa lega.   "Heh, kau punya kemampuan yang bisa dipakai.   Jika aku ada perlu, aku akan datang padamu.", jawab Zong Weixia.   Setelah menjawab Zong Weixia berbalik dan pergi, seperti tidak pernah terjadi apa-apa.   Darah dari orang Tiong Fa yang tewas di tangannya masih membasahi dinding dan lantai.   Sedikitpun Zong Weixia tidak melirik.   Dia juga tidak menoleh, jadi dia tidak melihat seringai mengejek yang terbentuk di wajah Tiong Fa.   Zong Weixia tidak bisa memberikan keputusan.   Itu yang bisa ditarik Tiong Fa dari reaksi Zong Weixia terhadap pertanyaannya.   Meskipun Zong Weixia menjawab seakan-akan dia bisa memutuskan, hanya saja saat ini dia tidak ingin memutuskan.   Tapi bagi Tiong Fa masalahnya jelas, Zong Weixia tidak tahu apakah harus menerimanya atau tidak.   Itu berarti di atas Zong Weixia masih ada orang lain yang bermain.   Hal ini membuat Tiong Fa merasa bersemangat, tapi juga berdebar di saat yang sama.   Jika ada orang yang bisa menyuruh-nyuruh ketua dari perguruan Kong Tong, tentu orang ini bukan orang sembarangan.   Apakah tangan Ren Zuocan ada di balik Zong Weixia? Jika bukan Ren Zuocan, adakah tokoh lain yang memiliki kekuasaan yang cukup mengerikan hingga bisa menggunakan orang semacam Zong Weixia sebagai anak buah? Masih adakah tokoh misterius yang bergerak dalam kelamnya malam di dunia persilatan ini? Jika ya, lalu apa motivasinya? Bisakah dirinya Tiong Fa memanfaatkan tokoh misterius ini demi keuntungannya pribadi? Masalah kedua yang harus dia pikirkan adalah, siapa orang dalam yang sudah membocorkan rahasianya? Tapi itu urusan kecil dan Tiong Fa tidak ingin terlalu lama memikirkannya.   Bekerja dengan banyak orang, kebocoran pastilah ada.   Yang penting dia harus memiliki kartu As yang tidak diketahui siapapun juga.   Memandang berkeliling, Tiong Fa menyumpah-nyumpah dalam hati.   Segala kerjanya untuk membangun ruangan ini sekarang tidak ada gunanya.   Tiong Fa perlu memikirkan tempat yang baru, setidaknya dalam waktu beberapa bukan ke depan.   Berdiri mematung untuk beberapa lama, pikiran Tiong Fa bekerja dengan keras.   Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo   Tapi dia belum bisa menemukan siapa dalang di balik kunjungan Zhong Weixia.   Satu hal yang pasti keluarga Huang akan dengan segera mendapatkan kunjungan yang sama.   Tiong Fa tidak ambil peduli, tidak terpikir sama sekali untuk mengirimkan pesan agar Tuan besar Huang Jin bersiap-siap mendapatkan kunjungan persahabatan.   Yang sekarang ada di benak Tiong Fa saat ini adalah dia perlu melenyapkan kekesalan di hatinya.   "Yan De !!! Yan De !!! Kemari kau bangsat!" "Baik tuan, baik", seorang kakek tua berpakaian merah muda berlari-lari masuk ke dalam ruangan Tiong Fa sambil terbungkuk-bungkuk.   "Ada apa tuan?", tanyanya masih membungkuk hormat.   "Kudengar kau ada gadis baru yang belum siap untuk menerima tamu?" "Ya tuan, barusan ada tiga orang gadis baru dari desa." "Apakah mereka cantik-cantik?" "Lumayan tuan, tidak terlalu buruk, cuma masih perlu banyak dididik." "Apa sudah ada yang memberi didikan?" "Belum tuan, hehe, apakah tuan mau bermurah hati memberi mereka sedikit didikan?", tanya kakek tua itu dengan senyum nakal, sekarang dia sudah tahu untuk apa dia dipanggil Tiong Fa.   "Jangan cengar-cengir, kau antar mereka ke sini dan beri tahu Hong Wan dan Hong Wei jangan ada yang boleh mengganggu."   Kakek tua itu pun pergi cepat-cepat.   Tidak perlu lagi diceritakan apa yang terjadi di ruangan itu kemudian.   Tapi yang perlu diperhatikan adalah apa yang dilakukan oleh Zong Weixia.   Ketua perguruan Kongtong itu pergi ke sebuah penginapan lalu memesan sebuah kamar dengan sebuah jendela yang menghadap ke arah jalan.   Segera setelah memasuki kamarnya, Zong Weixia mengeluarkan sebuah bendera kecil.   Bendera kecil itu ditancapkannya ke daun jendela.   Setiap orang yang lewat tentu akan dapat melihat tanda itu, meskipun mereka tidak akan tahu apa maksudnya.   Larut malam, satu sosok bayangan berkelebat memasuki penginapan itu dengan diam-diam.   Berturut-turut 3 orang masuk dengan cara yang sama rahasianya.   Sejenak kemudian, Zong Weixia membuka jendela dan mencabut bendera kecil yang dipasangnya.   Beberapa lamanya tidak terjadi apa-apa, kemudian ke-4 orang yang masuk ke dalam penginapan dengan diam-diam itu pun keluar dengan cara yang sama seperti saat mereka masuk sebelumnya.   Ketegangan yang dirasakan Ding Tao saat ini, melebihi apa yang pernah dia rasakan sebelumnya.   Bahkan lebih menakutkan dan menegangkan dibanding saat-saat nyawanya ada di ujung tanduk.   "Enci Yun Hua, kurasa, aku bukan orang yang pantas untuk menerima tawaranmu.   Maafkan aku", terbata Ding Tao menolak tawaean Murong Yun Hua.   Wajah yang menunduk itupun menjadi pucat pasi, badannya bergetar, menahan malu, menahan marah atau entah perasaan apa lagi.   Ding Tao dengan ragu bangkit berdiri, ingin dia menghibur Murong Yun Hua, tapi dia tahu apa yang dia lakukan tentu sangat menyakiti hati gadis itu.   Hatinya ikut merasa hancur, melihat keadaan Murong Yun Hua saat itu.   Ding Tao berdiri termangu beberapa lama, sebelum dengan langkah yang berat dia berbalik dan hendak berjalan pergi meninggalkan Murong Yun Hua.   "Ding Tao tunggu", tiba-tiba Murong Yun Hua memanggil, menghentikan langkah kaki Ding Tao.   Langkah Ding Tao pun terhenti, hatinya tidak cukup kuat untuk meninggalkan tempat itu, meskipun otaknya mengatakan bahwa terlalu lama berada di sana hanya akan memperburuk keadaan.   "Enci Yun Hua aku", kata-kata Ding Tao terhenti saat Murong Yun Hua meletakkan jarinya di bibir Ding Tao.   Wajah yang cantik itu sudah basah oleh air mata, tapi air mata tidak membuatnya tampak buruk.   Sepasang mata yang bening berkilauan oleh air mata yang mengembeng di sana.   Pipi putih halus bagai pualam, dibasahi oleh dua jalur air mata.   Ding Tao tidak mampu beranjak pergi dari sana.   Murong Yun Hua, memegang erat tangan pemuda itu, lalu tanpa malu lagi menjatuhkan dirinya ke atas dada Ding Tao yang bidang.   Wajahnya menengadah, memohon.   "Ding Tao, apakah kau kira, harta kekayaan keluarga Murong, hanyalah bangunan kecil dan sepetak kebun? Tidak Adik Ding, ada banyak, jauh lebih banyak dari yang sudah kau lihat. Berbagai macam perhiasan dan barang seni yang tak terkira harganya tersimpan dalam ruangan rahasia keluarga kami. Itu semua akan jadi milikmu bila kau mau membantu keluarga ini. Bayangkan apa yang dapat kau lakukan dengan semua harta itu Adik Ding. Kau bahkan bisa menggunakannya untuk kepentingan umum jika kau mau."   Ding Tao menggeleng dengan sedih.   "Tidak enci, aku tidak menginginkannya, sungguh jika aku menolak bukanlah karena hal itu, enci aku ini bukan siapa-siapa, aku" "Adik Ding, bukankah kau suka mempelajari sesuatu yang baru? Lihatlah perpustakaan milik ayahku, beliau sama sepertimu, mencintai pengetahuan, haus pengetahuan, segala macam kitab yang ada di sana, tidak akan habis kau baca seumur hidupmu. Jika kau ingin melakukan percobaan, mencoba sesuatu yang baru, apa saja yang kau butuhkan bisa kami dapatkan." "Enci maafkan aku, sungguh ini pun sulit bagiku. Hatiku ikut sakit melihat enci sedih seperti sekarang." "Adik Ding apakah aku kurang cantik bagimu? Apakah karena aku seorang janda? Lihat, lihat", dengan berani Murong Yun Hua membuka jubah suteranya. Leher yang jenjang tanpa kerut dan cela, di atas pundak yang putih halus. Belahan dada yang terlihat, menjanjikan sepasang dada yang membukit di balik baju dalam Murong Yun Hua. Ding Tao terkesiap, jantungnya berdebaran, cepat dia memalingkan muka. "Enci jangan"   Air mata Murong Yun hua bercucuran, Ding Tao beribu kali lebih baik mati dirajam pedang daripada melihatnya seperti itu.   Putus asa dengan jawaban Ding Tao, Murong Yun Hua mendorong pemuda itu hingga jatuh ke atas tanah.   Diraihnya tangan pemuda itu dan diletakkan tangan Ding Tao di atas dadanya.   Terkejut, Ding Tao menarik tangannya, tapi Murong Yun Hua justru meraihnya kembali dan menarik tangannya ke bawah, ditempelkan ke miliknya yang paling pribadi.   Pinggulnya bergerak menggosok-gosokkan miliknya yang paling berharga ke tubuh Ding Tao.   "Adik Ding tubuh ini, semuanya yang paling berharga, kuberikan padamu, kumohon jangan jangan tolak diriku", sambil menangis mencucurkan air mata Murong Yun Hua menindih, menciumi Ding Tao dan bergerak-gerak memberikan seluruh tubuhnya bagi Ding Tao dengan keputus asa-an yang mematahkan hati.   Ding Tao hanya laki-laki biasa, tubuhnya mau tidak mau bereaksi terhadap perlakuan Murong Yun Hua, namun di saat yang sama, dia sadar keadaan mereka yang berada di ruang terbuka.   Teringat pula akan Huang Ying Ying, pada janji yang dia ucapkan diam-dian dalam hati.   Tubuh Murong Yun Hua tidaklah gemuk tetapi langsing dengan lekak-lekuk yang menggiurkan, cukup dengan sebelah tangan Ding Tao dapat melemparkannya sampai terguling-guling.   Namun tenaga Ding Tao seperti menghilang entah ke mana.   Hanya dengan mengerahkan segenap tenaga dan kemauan, barulah Ding Tao dapat mendorong mundur Murong Yun Hua.   "Enci, maafkan aku", ujarnya sambil mendorong Murong Yun Hua menjauh.   Secepatnya Ding Tao melompat menjauhkan diri, kakinya terasa lemas hingga dia hampir terjatuh, tapi begitu dia mendapatkan keseimbangannya, pemuda itu lari secepat dia bisa.   Lari, meninggalkan Murong Yun Hua terpekur, terbaring di tanah, menggerung dan menangis, dengan rambut terurai dan baju yang terbuka di sana-sini.   Ding Tao lari dan lari, melupakan pedang, buntalan pakaian dan bekal yang tertinggal.   Yang ada di kepalanya hanyalah lari sejauh mungkin dari Murong Yun Hua, dari tangisannya yang memilukan hati, dari tubuhnya yang menyalakan nafsu dalam dada Ding Tao.   Dia lari, hingga kakinya lemas dan tak ada kekuatan lagi yang tersisa.   Jatuh terduduk di jalan kecil yang sepi, dua tetes air mata mengalir membasahi pipi pemuda itu.   Dengan suara lirih dia berbisik.   "Enci Yun Hua maafkan aku"   Lama Ding Tao tidak mampu berpikir, hanya duduk termenung dengan dada serasa tertindih batu ribuan kati.   Akhirnya dengan mengeraskan hati, pemuda itu bangkit berdiri.   Dengan langkah gontai pemuda itu mengarahkan pandangannya ke jalan yang ada di hadapannya.   Ding Tao tidak tahu jalan itu menuju ke mana, saat lari tadi, tidak terpikir untuk memilih jalan.   Untuk berbalik kembali dia juga tidak punya keberanian, terpaksa dia berjalan ke depan, berharap bertemu dengan orang yang bisa ditanya.   Sudah cukup jauh dia berjalan, tidak juga dia menemui satu orang pun, ketika tiba-tiba terdengar deap kuda dari arah belakangnya, Ding Tao berbalik penuh harap.   Dinantinya hingga penunggang kuda itu datang mendekat.   Saat dia melihat siapa penungggan kuda itu, sudah terlambat baginya untuk bersembunyi.   Murong Huolin dengan mata yang menyala-nyala dan wajah kemerahan berderap, memacu kudanya ke arah Ding Tao.   Ding Tao berdiri di tempatnya, pasrah dengan apa yang akan terjadi.   "Keparat!!! Tidak tahu terima kasih!!", Murong Huolin berteriak mencaci, sebelum kudanya sampai dia sudah melompat ke arah Ding Tao dengan pedang terhunus.   Kilau pedang berkelebatan, baju Huolin berkibaran, dalam keadaan marah tidak membuatnya tampak buruk, Murong Huolin justru tampak makin memikat.   Sungguh gadis itu mirip seorang dewi yang turun dari kahyangan untuk membasmi kaum iblis.   Hanya saja sekarang Ding Tao-lah yang jadi iblisnya.   Pemuda itu hanya bisa mengeluh dalam hati.   Dengan mudah dia bergerak ke sana ke mari, menghindari serangan-serangan Murong Huolin.   Tidak sekalipun dia bergerak untuk membalas, hanya menghindar dan sesekali menepis serangan Murong Huolin yang menyerang dengan membabi buta.   Tingkatan Murong Huolin terpaut terlampau jauh di bawah Ding Tao.   Meskipun beberapa kali sempat juga pedangnya merobek baju Ding Tao, tapi tidak sampai menggoreskan luka sedikitpun di tubuh Ding Tao.   Jika Ding Tao mau, sudah sejak tadi dia bisa melumpuhkan gadis itu.   Ding Tao memilih untuk tidak melawan dan membiarkan saja gadis itu kehabisan tenaga.   Nafas Murong Huolin mulai tersengal, hatinya yang panas semakin panas, karena sedikitpun dia tidak berhasil melukai Ding Tao.   Sebuah derap kuda yang lain tiba-tiba terdengar, mendengar suara derap kuda, Murong Huolin menghentikan serangan.   Berdiri menunggu jantung keduanya berdebaran saat melihat siapa yang datang.   Murong Yun Hua memacu kudanya berderap, saat dilihatnya Ding Tao dan Murong Huolin tidak bertarung, ditahannya kekang kuda, dengan berderap perlahan dia mendekat.   Rambutnya sudah ditata ulang, meski terlihat helai-helai yang masih lepas dari ikatan.   Bajunya sudah dirapikan, wajahnya terlihat tenang dengan isak tangis tersimpan jauh di dalam dada.   Ding Tao menundukkan wajahnya, tidak berani memandang ke arah Murong Yun Hua.   Murong Huolin berdiri dengan tegang, apakah kakaknya marah terhadap dirinya? Dengan tidak yakinm gadis itu berdiri mematung.   Suara Murong Yun Hua terdengar dingin saat dia bertanya pada Murong Huolin.   "Adik Huolin, apa yang sedang kaulakukan di sini, mengapa kau menghunus pedang seperti itu?" "Kakak aku.. aku hendak mencincang mencincang pemuda tidak tahu terima kasih ini!", jawabnya dengan pedang teracung ke arah Ding Tao. Wajah Murong Yun Hua memucat mendengar jawaban Murong Huolin, tapi dengan kemauan yang keras, dia berusaha bersikap tetap tenang.   "Boleh aku tahu mengapa kau hendak mencincang Saudara Ding Tao?" "Dia dia, dia sudah menghina kakak", jawab Murong Huolin dengan suara lemah. Sebenarnya gadis ini tidak benar-benar tahu apa yang terjadi, hanya dia tahu keduanya sempat bercakap-cakap sebelum Ding Tao pergi meninggalkan Murong Yun Hua menangis dalam keadaan tidak keruan. Menggigit bibir Murong Yun Hua berusaha menahan isak yang hendak melompat keluar. "Gadis bodoh, dia tidak melakukan apa-apa padaku", katanya dengan mata kembali membasah. "Tapi, kulihat dia berlari dan kakak", terbata Murong Huolin berusaha membela diri. "Jangan memutuskan sesuatu jika kau belum tahu dengan jelas. Yang terjadi adalah aku aku menawarkan warisan keluarga Huang pada Saudara Ding Tao dan dia menolaknya.", jawab Murong Yun Hua dengan isak tangis tertahan di antara kata-katanya. Membelalak terkejut wajah Murong Huolin, wajahnya bersemu merah, apa arti kata Murong Yun Hua dia mengerti dengan jelas apa maksudnya. "Kakak itu ah", gadis itu menutup wajahnya dengan rasa malu yang tak tertahan. Murong Huolin tidak dapat melanjutkan perkataannya, pedangnya lepas dan jatuh ke atas tanah, gadis itu berlari kecil bersembunyi di belakang tubuh Murong Yun Hua. Murong Yun Hua menatap tajam ke arah Ding Tao yang menunduk diam. "Saudara Ding, sudah tidak ada lagi yang kusembunyikan darimu, mungkin aku memang tidak berharga di matamu, seorang janda muda yang sudah tidak suci lagi. Tapi tidakkah hatimu sedikitpun tergerak bagi Adik Huolin?" "Enci Yun Hua, sungguh bila aku menolak, hal itu bukan karena aku tidak memiliki perasaan pada kalian berdua. Masalahnya adalah aku sudah memiliki seorang kekasih.", jawab Ding Tao memohon pengertian Murong Yun Hua. Murong Huolin yang bersembunyi di belakang tubuhnya, entah mengapa merasa hatinya sakit. Saat mendengar Murong Yun Hua hendak menyerahkan warisan keluarga Murong pada Ding Tao ada perasaan senang dalam hatinya. Itu sebabnya dia merasa malu, merasa malu karena hatinya gembira mendengar dirinya hendak diberikan pada Ding Tao. Sekarang saat dia mendengar Ding Tao menolak tawaran itu karena dia sudah memiliki kekasih, timbul perasaan sedih dalam hatinya. Murong Yun Hua terdiam sejenak.   "Ding Tao jangan membuat alasan yang mengada-ada, benarkah engkau sudah memiliki kekasih. Kalaupun iya, lalu apa salahnya menerima tawaranku? Bukan suatu hal yang aneh jika seorang laki-laki memiliki lebih dari 1 isteri."   Ding Tao menggelengkan kepala perlahan.   "Mungkin itu hal yang umum, tapi dalam hati, sejak aku menyatakan rasa cintaku padanya, aku sudha berjanji akan setia pada cintaku itu, seumur hidupku, hanya mencinta dia seorang."   Ding Tao sedang menundukkan kepala dan Murong Huolin yang berdiri di belakang Murong Yun Hua sedang sibuk dengan perasaannya sendiri.   Ada rasa benci dan kesal, tapi juga rasa kagum dan cinta, jawaban Ding Tao membuatnya kecewa dan kagum pada saat yang bersamaan.   Terbata Murong Yun Hua bertanya.   "Apakah apakah dia seorang gadis yang sangat cantik? Seorang yang ahli di bidang seni? Ahli silat? Atau keluarganya kekayaan keluarganya mampu menandingi kekayaan keluarga Murong?"   Ding Tao menggelengkan kepala, sedari tadi dia terus menunduk, dia tidak memiliki keberanian untuk mengangkat wajah dan memandang ke arah Murong Yun Hua.   "Tidak, dia memang gadis yang cantik, tapi tidak secantik Enci Yun Hua atau Adik Huolin. Dia bukan ahli seni atau ahli silat, namun dia gadis yang berhati baik. Sejak kecil dia sudah baik terhadapku. Aku juga tidak peduli dengan kekayaan keluarganya, aku masih bisa mencari makan dengan kedua tanganku sendiri. Hanya satu hal yang kutahu, aku mencintainya dan dia mencintaiku. Kami sudah berjanji untuk saling setia."   Murong Huolin memaki dirinya sendiri dalam hati, entah mengapa semakin Ding Tao berkeras, justru dia semakin bersimpati pada pemuda itu, semakin dia ingin bisa membahagiakan pemuda itu, menyerahkan, mukanya menjadi panas.    Perangkap Karya Kho Ping Hoo Patung Emas Kaki Tunggal Karya Gan KH Badik Buntung Karya Gkh

Cari Blog Ini