Pedang Angin Berbisik 14
Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng Bagian 14
Pedang Angin Berbisik Karya dari Han Meng "Kalian tidak perlu terlalu kuatir, biro pengawalan kita, bisa dibilang hanya lalat kecil saja di depan orang-orang macam mereka. Tidak nanti mereka mengganggu kita, setelah aku mendapatkan kepastian, aku akan memutuskan. Kukira tidak ada salahnya Biro Pengawalan Golok Emas, dibubarkan untuk sementara waktu." Mendengar perkataan Wang Xiaho beberapa orang terlihat akan mendebat keputusannya, tapi Wang Xiaho cepat mengangkat tangan, memberi tanda agar mereka tidak berbicara. "Dengar, mungkin kalian tidak ingin membubarkan Biro Pengawalan yang sudah kita rintis selama bertahun-tahun. Tapi sebaiknya kita tahu diri, jika badai itu benar-benar datang, apalah artinya kita ini? Aku tidak ingin di antara kalian ada yang jatuh korban sia-sia. Biarlah kita menunggu keadaan tenang, baru kita pikirkan kemudian." "Bagaimana dengan Ketua Wang sendiri?", tanya A Sau. Lama Wang Xiaho tidak menjawab. "Hmm aku sudah tua, tidak ada anak, tidak ada isteri, orang tua sudah lama meninggal, saudara sudah lama tidak berjumpa. Kalau aku ada sedikit tenaga untuk disumbangkan pada negara, apalah artinya Wang Xiaho, tidak mati oleh pedangpun, paling-paling umurku tinggal beberapa tahun saja." Anggota Biro Pengawalan Golok Emas yang mendengar hal itu, menundukkan kepala dengan susah hati. Beberapa orang yang sama seperti Wang Xiaho, tidak ada keluarga yang menjadi tanggungan, dalam hati sudah membuat keputusan, ke mana Wang Xiaho pergi, mereka akan mengikut ketua mereka itu. Suasana di ruangan itu pun menjadi sendu, meskipun belum berpisah, tapi rasanya perpisahan itu sudah tidak bisa dihindari lagi. Beberapa anggota yang muda, lebih-lebih lagi merasa demikian, karena sebagian besar dari mereka, mempelajari ilmu silat dari Wang Xiaho. Bagi mereka Wang Xiaho bukan hanya seorang pimpinan tapi juga guru. Chen Wuxi hanya bisa menghela nafas, perguruannya sendiri pun menghadapi persoalan yang sama. Anak isterinya sudah dia ungsikan ke rumah mertua. Di perguruan hanya tinggal mereka yang sudah kenyang asam garamnya dunia persilatan. "Saudara Wang, tadi kaubilang Ding Tao ada di kota ini, menurutmu apakah baiknya kita undang dia kemari?", ujar Chen Wuxi memecahkan keheningan. "Apa? Oh ya, benar, ah semakin tua aku jadi semakin pikun. Kenapa sampai lupa dengan pemuda itu, berita ini entah benar entah tidak, sebaiknya dia ikut tahu. Bukan tidak mungkin orang-orang Ren Zuocan masih ada yang berkeliaran di Wuling. Bila tidak berhati-hati nasibnya bisa jadi sama seperti Pendekar besar Jin Yong.", sambil menepuk kepala Wang Xiaho memaki dirinya sendiri. "A Sau, kau dan A Chu, cepat cari Ding Tao, kalau ketemu ajak dia kemari.", perintahnya pada dua anggota termuda dalam kelompoknya, karena persamaan umur, keduanya yang paling akrab dengan Ding Tao selama perjalanan. Bergegas dua orang pemuda itu berpamitan lalu pergi mencari Ding Tao di kota. ------------------------------ o ------------------------------ Ding Tao sedang makan di sebuah rumah makan kecil di kota Jiang Ling, bekal uangnya masih cukup, tapi pemuda itu tidak suka menghamburkan uang. Membantu Wang Xiaho mengawal barang, pemuda itu justru jadi berminat untuk mengumpulkan uang sebisa mungkin. Tawaran Wang Xiaho membekas kuat dalam benak pemuda itu. Dia pun sudah membayangkan akan mengembangkan Biro Pengawalan Golok Emas milik Wang Xiaho. Selama ini dia belum pernah berpikir, apa yang akan dia kerjakan selain berusaha menyelesaikan tugas yang diberikan oleh Gu Tong Dang. Tapi setelah berkelana beberapa lamanya, melihat penghidupan yang ada, apalagi setelah hubungannya dengan Huang Ying Ying berkembang, pemuda inipun mulai memikirkan akan penghidupannya di masa depan. Tidak pernah lewat dalam benak pemuda ini untuk mendompleng kekayaan keluarga Huang, ataupun memanfaatkan kekayaan keluarga Murong. Ding Tao punya harga diri, sebagai laki-laki dia ingin bisa berdiri di atas kedua kakinya sendiri, bukan bersandar pada kesuksesan orang lain. Itu sebabnya pemuda ini berniat untuk berhemat dan mengumpulkan uang dalam perjalanannya. Supaya nanti jika dia datang untuk memenuhi tawaran Wang Xiaho, dia tidak datang dengan tangan kosong, sekedar memanfaatkan kebaikan orang. Tidak terpikir oleh Ding Tao, betapa besar artinya ilmu silat yang dia miliki bagi Biro Pengawalan Golok Emas milik Wang Xiaho, berkali-kali lipat dari uang yang berhasil dia kumpulkan. Ding Tao sedang menikmati semangkuk mie, ketika A Sau dan A Chu menemukannya. Sudah cukup lama mereka berputar- putar di kota, keringat sudah membasahi baju mereka dan tenggorokan mereka sudah mulai merasa haus. Ding Tao yang duduk menghadap jalan, melihat mereka lebih dahulu. Keduanya sudah menjadi teman akrab buat Ding Tao, karenanya tanpa banyak berpikir Ding Tao menghampiri mereka. "Hei, A Sau, A Chu, sedang mencari siapakah?", panggil Ding Tao sambil melambaikan tangan dari pintu rumah makan. Mendengar panggilan Ding Tao, keduanya dengan perasaan senang bergegas menemui pemuda itu. "Saudara Ding, akh, akhirnya ketemu juga.", sapa A Sau sambil menepuk bahu Ding Tao. "Saudara Ding, Ketua Wang meminta kami untuk mencarimu ada hal penting yang perlu disampaikan.", sambung A Chu. "Ah, ada urusan apa ya?", tanya Ding Tao sedikit heran. Raut wajah A Sau dan A Chu jadi sedikit berubah, diingatkan kembali tentang urusan pelik yang mereka hadapi. "Sebaiknya Ketua Wang saja yang bicara Ding Tao, daripada kami kesalahan bicara.", jawab A Sau dengan serius. Melihat keseriusan wajah A Sau, Ding Tao merasakan bahwa urusan yang akan dibicarakan tentu bukan masalah kecil. Tapi melihat keduanya basah oleh keringat, hatinya jadi tak tega. "He, aku sedang makan waktu melihat kalian, bagaimana kalau kuselesaikan makanku dulu, sembari kalian memesan minuman?" "Wah, boleh juga, sudah sejak tadi kami berputar-putar mencarimu, tenggorokan kami sampai terasa kering.", ujar A Chu yang kemudian tanpa sungkan-sungkan memanggil pelayan dan memesan minuman. "Dasar gembul, kau pesan minuman apa kau bawa uang?", tanya A Sau. Diingatkan A Sau, A Chu pun jadi teringat, keduanya tidak membawa uang sedikitpun. Dengan pandangan bersusah hati A Chu menoleh pada Ding Tao. "Ya " Ding Tao tertawa melihat pandangan mata A Chu yang memelas. "He, hari ini aku yang bayari minuman kalian. Ketua Wang membayarku cukup banyak. Ayo tidak usah sungkan." "Nah itu baru saudara yang baik.", ujar A Chu sambil cengengesan. "Jangan banyak-banyak, perutmu nanti kembung.", sahut A Sau sambil menendang pantat A Chu. Melihat tingkah mereka berdua Ding Tao tertawa geli, sebenarnya mie yang sudah dia pesan sudah hampur habis, tapi dimakannya perlahan-lahan sambil menunggu sampai minuman yang dipesan datang. "Eh, apakah kalian mau makan mie juga?", tawar Ding Tao. Cepat-cepat A Sau membuka mulut sebelum A Chu sempat menjawab. "Sudah-sudah, kami sudah makan di tempat orang tadi. Cuma sedikit haus saja karena berkeliling mencari dirimu. Kalau kau sudah selesai makan, baiknya kita cepat-cepat kembali." A Chu sudah membuka mulutnya untuk protes, tapi lirikan dari A Sau membuat dia tidak jadi berkata apa-apa. Cepat-cepat minuman yang sudah disediakan diminum oleh A Chu, pikirnya, lebih cepat kembali ke rumah Guru Chen, lebih baik karena lebih banyak hidangan di sana. Dalam waktu singkat ketiga pemuda dengan umur yang hampir sama itu sudah berjalan menuju ke rumah Chen Wuxi. Di jalan A Sau dan A Chu tidak henti-hentinya bertanya tentang pengalaman Ding Tao sebelum bertemu mereka. Benarkah Ding Tao pernah bertarung dengan Sepasang Iblis muka Giok? Seperti apa bentuknya Pedang Angin Berbisik itu? Apa benar ada yang merebut Pedang Angin Berbisik dari Ding Tao? Apakah sekarang Ding Tao pergi ke Wuling untuk merebut kembali pedang itu? Mengapa sebelumnya Ding Tao pergi dari Wuling? Dsb. Ding Tao pun jadi kerepotan menjawab pertanyaan mereka. Pada dasarnya dia tidak pandai menyembunyikan sesuatu, apalagi di hadapan mereka yang dipandangnya sebagai sahabat. Meskipun Ding Tao berusaha menutupi sebagian dari kisahnya, sedikit banyak gambaran yang lebih jelas terbentuk dalam angan-angan A Sau dan A Chu. Menimbulkan kekaguman yang lebih mendalam di hati kedua pemuda itu. Sambil bercakap-cakap, perjalanan jadi terasa singkat. Tiba-tiba mereka sudah sampai di gerbang rumah Peguruan Bangau Putih milik Chen Wuxi. Kedatangan mereka segera disambut oleh beberapa orang murid Perguruan Bangau Putih dan orang Biro Pengawalan Golok Emas. "He, A Sau lama sekali kau pergi, ayo cepat masuk ke dalam, Ketua Wang sudah menunggu lama.", ujar salah seorang dari mereka. "Ya, ya, kau kira gampang mencari orang di kota sebesar ini.", sahut A Sau. "Ayo Ding Tao, kita masuk ke dalam." Ding Tao mengangguk sopan pada setiap orang yang dia temui. Bagi anak-anak murid perguruan Bangau Putih, kesan yang diperlihatkan Ding Tao membuat mereka ragu, apakah ini Ding Tao yang sama dengan Ding Tao yang diceritakan guru mereka. Penampilan Ding Tao memang tidak terlampau meyakinkan untuk disebut sebagai jago pedang. Tubuh tinggi dan berotot, tentu bukan jaminan, apalagi bagi murid-murid Perguruan Bangau Putih yang mementingkan tenaga lembut. Meski mereka tetap bersikap sopan, tidak urung ada pandangan-pandangan mata yang "keaslian" Ding Tao yang datang berkunjung ini. Berbeda dengan orang-orang Biro Pengawalan Golok Emas yang sempat beberapa hari mengadakan perjalanan bersama Ding Tao. Kesan rendah hati dan keramahan pemuda itu sudah membuat mereka bersimpati, sebelum mereka mulai mendengar kisah pertarungan Ding Tao. Meskipun demikian dalam hati mereka terselip juga keraguan yang sama. Tapi keraguan itu segera saja tertutupi oleh sikap baik Ding Tao pada mereka selama ini. Apalagi ketika A Sau dan A Chu bercerita tentang penjelasan Ding Tao di sepanjang perjalanan. Dengan berbagai macam gambaran yang berbeda tentang diri pemuda ini, mereka sama-sama masuk menemui Wang Xiaho dan Chen Wuxi. Segera saja Ding Tao dipersilahkan untuk duduk di meja utama bersama Chen Wuxi dan Wang Xiaho. Dengan sungkan Ding Tao memberi hormat pada kedua orang tua itu sebelum dia duduk satu meja. Setelah berbasa-basi sebentar, Chen Wuxi yang juga merasakan keraguan pada diri pemuda itu berkata. "Ding Tao, setelah kudengar dari beberapa kawan yang menyaksikan ilmu pedangmu, aku jadi tertarik untuk melihat sedikit demonstrasi. Bagaimana menurutmu?" "Ah, tapi ilmuku belum begitu matang", ujar Ding Tao sambil menggaruk kepala. "Hahaha, Ding Tao apa benar kau sempat berhadapan dengan Sepasang Iblis Muka Giok?", tanya Wang Xiaho sambil tertawa. "Ya, begitulah, tapi tidak bisa terlalu dibanggakan, akhirnya tidak ada keputusan yang jelas siapa menang dan siapa yang kalah. Malah di pertarungan kami yang pertama, siauwtee harus lari terbirit-birit bila tidak mau jatuh ke tangan mereka.", jawab Ding Tao sambil cengar-cengir malu. "Hoo maksudmu kau sempat bertemu dan bertarung dengan mereka sebanyak dua kali?", tanya Chen Wuxi menegas, maklum pertarungan kedua antara Ding Tao dan Sepasang Iblis Muka Giok belum ada yang tahu sampai sekarang. "Eh, iya.. begitulah.", jawab Ding Tao serba salah. "Ha, apa kau tidak tahu, bisa lolos dari tangan mereka saja sudah terhitung jempolan, apalagi dua kali kau pecundangi mereka. Ding Tao, tidak perlu sungkan-sungkan, aku juga sudah tidak sabar ingin melihat ilmu silatmu.", desak Wang Xiaho dengan bersemangat. "Iya Ding Tao, peragakan saja beberapa jurus.", sahut beberapa orang anak buah Wang Xiaho. Setelah didesak beberapa kali, akhirnya Ding Tao menyerah. "Baiklah kalau kalian ingin melihatnya, aku akan coba memperagakan sejurus dua jurus yang aku punya." Chen Wuxi jadi bersemangat, sambil menepuk pahanya dia berkata. "Bagus, anak muda memang harus punya semangat. Ruang ini kecil, baiknya kita pindah ke halaman belakang." Rupanya halaman belakang rumah Chen Wuxi berfungsi juga sebagai tempat latihan murid-muridnya. Ada rak-rak senjata kayu untuk latihan, ada pula boneka kayu dan berbagai alat latihan lainnya. Halaman itu cukup luas, di satu sisi yang beratap, ada sebuah meja dan beberapa bangku. Wang Xiaho dan Chen Wuxi duduk di sana, sementara murid-murid Chen Wuxi berdiri berjajar di sebelah Chen Wuxi dan orang-orang Biro Pengawalan Golok Emas di sisi yang lain. Setelah membungkuk hormat pada Wang Xiaho dan Chen Wuxi, mulailah Ding Tao memainkan jurus-jurus yang dia pelajari dari keluarga Huang. Wang Xiaho dan Chen Wuxi yang punya pengalaman yang luas, dengan segera bisa mengenali ciri khas ilmu keluarga Huang dari jurus-jurus yang dimainkan Ding Tao. Dengan sendirinya ini sudah cukup membuktikan kalau memang benar ini Ding Tao yang sama dengan Ding Tao yang mereka dengar dari berita. Tapi baik Wang Xiaho dan Chen Wuxi kurang puas dengan peragaan yang mereka lihat. Meskipun cara Ding Tao menjalankan jurus-jurus itu memang tepat dan cepat, tapi mereka tidak bisa melihat di mana kelebihannya. Wang Xiaho yang mulai paham sifat rendah hati dari Ding Tao masih dapat memahami hal ini, berbeda dengan Chen Wuxi. Dalam benak Chen Wuxi timbul keraguan apakah benar Ding Tao mampu menghadapi jagoan sekelas Sepasang Iblis Muka Giok. Setelah peragaan jurus-jurus itu selesai, anggota Biro Pengawalan Golok Emas, terutama yang masih muda, segera saja bertepuk tangan memuji Ding Tao dengan hati yang tulus. Tapi yang lain, terutama murid-murid Chen Wuxi, bertepuk tangan hanya sekedar menghormati tamu saja, karena dalam hati mereka timbul pertanyaan yang sama, mengapa hanya begini saja. Karena tidak puas, Chen Wuxi pun memutar otak, bagaimana caranya dia bisa mengorek lebih banyak tentang tingkatan Ding Tao, akhirnya dia berkata. "Ding Tao, murid-muridku ini kurang berpengalaman di luar. Meskipun mungkin ada satu- dua yang sudah cukup lama berguru, bagaimana kalau kau bertanding dengan mereka? Sekedar meluaskan pengalaman dan menjalin persahabatan, bagaimana?" Ding Tao sedikit mengerutkan alis, tapi teringat dengan pertandingan persahabatan melawan keluarga Huang beberapa waktu yang lalu, pemuda itu jadi bersemangat. Sedikit banyak Ding Tao bisa merasakan bahwa tuan rumah ingin menjajaki ilmu silatnya dan ada juga keinginan untuk sedikit unjuk gigi. "Baiklah, kalau Guru Chen berpendapat demikian." "Bagus, ayolah segera kita mulai kalau begitu.", ajak Chen Wuxi sambil bangkit berdiri lalu pergi ke arah murid-muridnya berkumpul. Chen Wuxi memilih dua orang murid utamanya dan membisikkan sesuatu pada mereka. Saat Ding Tao sudah berdiri di tengah arena, perhatian semua orang tertuju pada dua murid utama dari Perguruan Bangau Putih, rupanya Chen Wuxi tanpa ragu-ragu mengutus dua orang muridnya sekaligus untuk melawan Ding Tao. Beberapa orang jadi berbisik-bisik melihat hal itu, tapi Wang Xiaho yang cukup paham dan percaya pada sahabatnya ini diam saja menonton. Ding Tao juga sedikit terkejut melihat lawan ada dua orang, Chen Wuxi buru-buru menjelaskan agar tidak ada salah paham, "Ding Tao, terus terang saja, aku ingin melihat sampai di mana kemampuanmu. Jika kau mampu bertahan melawan sepasang iblis itu, maka jujur saja, sebenarnya akupun bukan tandinganmu. Itu sebabnya sekaligus aku mengirim dua orang muridku untuk bertanding denganmu." "Ah Guru Chen, waktu berhadapan dengan sepasang iblis itu aku memang sedang beruntung saja." "Tidak masalah, pertandingan inipun hanya pertandingan persahabatan. Kuharap kau mau menunjukkan sejurus dua pada kedua muridku ini, supaya mereka boleh menambah pengalaman juga." Melihat dia akan menghadapi dua orang lawan, Ding Tao jadi teringat pada jurus yang baru dia ciptakan. Hingga saat ini Ding Tao belum berkesempatan untuk mencoba jurus itu dalam pertarungan yang sesungguhnya. Teringat jurus itu, terbetiklah keinginan dalam hatinya untuk menguji jurus yang dia ciptakan itu. "Baiklah Guru Chen, moga-moga aku tidak sampai mengecewakan.", jawab Ding Tao dengan sopan. Jawaban Ding Tao menumbuhkan perasaan suka dalam hati Chen Wuxi, dia juga mulai memahami mengapa Wang Xiaho memiliki perhatian yang besar pada pemuda itu. Hmmm kepribadiannya sungguh baik, semoga saja kepandaiannya tidak mengecewakan, batin guru tua itu. "Mulai !", ujarnya memberikan aba-aba. Ding Tao berdiri dengan tenang menghadapi kedua lawan tandingnya. Jika sebelumnya kedua lawannya itu meragukan kepandaian Ding Tao, sekarang begitu mereka berhadapan, tiba-tiba hati mereka disusupi oleh keraguan. Berhadapan dengan Ding Tao yang berdiri dengan tenang dan sikap yang kokoh, tiba-tiba saja mereka merasa seperti sedang berhadapan dengan gunung karang yang menjulang tinggi di hadapan mereka. Belum juga mereka bertanding mengerahkan jurus, tapi wibawa Ding Tao sudah mendesak mereka sedemikian hebat. Begitu hebatnya hingga, nafas mereka pun tiba-tiba memburu dan keringat dingin membasahi punggung mereka. Bagi yang menonton di lapangan, mereka tidak ikut merasakan tekanan yang dirasakan oleh kedua orang itu. Tapi pandangan mata yang tajam dari Chen Wuxi dan Wang Xiaho segera saja menangkap gelagat yang timbul. Mereka sudah cukup sering melihat duel antara dua orang jagoan pedang. Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Bukan sekali dua, mereka melihat bagaimana perbawa dari seorang yang sungguh-sungguh kosen bisa membuat lawan kalah sebelum bertanding. Meskipun keduanya sudah membayang-bayangkan tingkat ilmu Ding Tao, apa yang terjadi sekarang sungguh di luar dugaan mereka. Dalam usia yang masih begitu muda, Ding Tao sudah memiliki kepercayaan diri dan perbawa yang sedemikian hebat. Keduanya saling berpandangan, Chen Wuxi tersenyum kecut. "Saudara Wang, sepertinya jika mau coba menjajagi ilmu pemuda itu, harus kita berdua yang maju ke sana.", ujar Chen Wuxi dengan suara rendah. "Heheh, sepertinya begitu. Betapa menyenangkan, tidak kusangka, di usia yang sekarang ini aku bisa merasakan berhadapan dengan tokoh sekosen ini.", jawab Wang Xiaho. "Hahaha, benar juga, ini namanya kesempatan seumur hidup. Belum tentu ada kesempatan kedua untuk merasakan nikmatnya berhadapan dengan seorang jagoan kosen.", sambil tertawa Chen Wuxi menjawab dengan bersemangat. Tidak aneh jika dua orang tua ini merasakan demikian, keduanya memang bukanlah orang yang memiliki nama besar dalam dunia persilatan. Jagoan-jagoan kelas satu sudah tentu tidak pandang mata terhadap mereka, jangan harap mereka dapat kesempatan berlatih tanding. Bisa saja karena suatu sebab mereka berhadapan dalam pertarungan yang sesungguhnya, tapi kalau itu terjadi sudah bisa dipastikan nyawa mereka bakal melayang. Padahal bagi orang yang menekuni ilmu silat, berhadapan dengan jagoan yang tingkatannya lebih tinggi selalu menguntungkan, itu adalah salah satu cara untuk memperdalam pemahaman sendiri, megenali kelemahan diri sendiri dan melihat kemungkinan-kemungkinan yang bisa dikembangkan. Akan tetapi karena sifat dunia persilatan yang tidak kenal ampun, cara tersebut jadi sulit dilakukan. Seorang guru tidak akan dengan mudahnya mau memberikan petunjuk pada orang luar, jangankan pada orang luar, pada murid sendiri pun tidak jarang masih ada jurus simpanan yang dirahasiakan. Itu sebabnya tidak jarang setelah tamat belajar, seseorang pergi berkelana dari satu tempat ke tempat lain untuk mencari lawan, menambah pengalaman dan memperdalam ilmu. Beruntung mereka yang mendapatkan bimbingan dari perguruan-perguruan ternama. Sebaliknya untuk orang-orang seperti Wang Xiaho dan Chen Wuxi, sulitlah untuk mengembangkan ilmu lebih jauh lagi. Keduanya memilih senjata kesukaan masing-masing, Wang Xiaho mengambil sebuah golok kayu yang besar. Chen Wuxi sudah mengambil sepasang pedang. Perbuatan mereka tentu saja menarik perhatian, apalagi ketika mereka ikut melangkah masuk dalam arena. "Ding Tao, aku sudah bersalah padamu, terlampau memandang rendah dirimu, sepertinya tidak cukup jika hanya dua orang muridku yang maju jika kami ingin melihat kemampuanmu.", ujar Chen Wuxi menjelaskan. Halaman itu pun dipenuhi suara berbisik, tidak seorangpun yang menyangka kedua jagoan tua itu akan ikut turun ke tengah arena. Dan ini bukannya menyuruh dua orang yang sudah ada mundur, tapi mereka maju untuk menambah jumlah lawan Ding Tao. Melihat Ding Tao yang meragu, Wang Xiaho cepat memberikan penjelasan susulan. "Ding Tao, percayalah, tidak ada maksud buruk dalam hati kami. Tapi sungguh kami akan berterma kasih jika kau mau bermurah hati memberi satu atau dua petunjuk untuk meningkatkan ilmu kami." "Ah, Paman Wang, siauwtee jadi merasa tidak enak." "Heh, terhadap kawan sendiri masa aku akan memusingkan segala nama atau menyelamatkan muka. Ding Tao apa kau sungguh-sungguh tidak mau menyenangkan hati orang tua ini?", desak Wang Xiaho. "Bukan begitu paman, hanya saja kupikir paman terlalu memandang tinggi diriku. Tapi marilah, aku pun ingin menambah pengalaman.", jawab Ding Tao mengambil keputusan, setelah berpikir sejenak. Pemuda itu melihat sifat Wang Xiaho yang terbuka, Chen Wuxi yang bersahabat dengannya tentu punya sikap yang sama. Teringat pengalamannya, di mana lewat pertandingan bisa menjadi sahabat erat, Ding Tao pun tidak ragu lagi. Begitu pemuda itu mengambil sikap, ke empat lawannya kembali merasakan tekanan yang hebat. Dalam hatinya Chen Wuxi merasa kagum, jika tadi dia sempat merasa kecewa pada kedua murid utamanya. Sekarang rasa kecewa itu hilang, karena dia merasakannya sendiri, perbawa yang keluar dari Ding Tao. Hawa pedang yang tebal, terasa menyelimuti sekujur tubuhnya, membuat dia merasa sulit untuk menyerang. Bagi Ding Tao sendiri ini adalah pengalaman baru, jurus yang baru saja dia ciptakan, belum pernah dipakainya dalam satu pertarungan. Baru kali ini dia coba menerapkannya, Ding Tao sendiri tidak sadar apa akibat dari jurus yang diciptakannya itu pada lawan. Perbawa yang kuat menekan, menyulitkan lawan untuk mengembangkan serangan. Satu jurus yang menutup jalan serangan lawan, mengancam setiap lubang pertahanan, tanpa keinginan untuk membunuh atau menghabisi lawan. Tujuan utamanya, memaksa lawan menyerah tanpa harus terjadi pertumpahan darah. Jurus ini tercipta dari sari pati setiap jurus dan pengalaman yang didapatkan Ding Tao, dilambari dengan dua macam hawa murni yang berbeda sifat dan dihasilkan dari pemikiran yang dibantu ketajamannya oleh obat sakti dewa pengetahuan. Mungkin jurus ini bila sudah sepenuhnya digali dan dikembangkan, bisa disejajarkan dengan jurus-jurus legendaris dari perguruan besar, ciptaan para guru besar yang sudah tiada. Begitu hebatnya perbawa jurus ini, hingga jagoan tua seperti Chen Wuxi bisa terpaku di tempatnya. Wang Xiaho yang sudah sering mengadu nyawa pun merasakan tekanan itu. Tapi dua jagoan tua itu tidak menjadi beku ketakutan di tempatnya seperti dua orang murid Chen Wuxi yang belum sematang gurunya. Sambil menenangkan hati, perlahan-lahan dua orang jagoan tua itu mulai membajakan semangatnya yang terserang oleh perbawa jurus milik Ding Tao. Beruntung bagi mereka, ini hanyalah pertandingan persahabatan dan Ding Tao tidak berniat untuk menyerang lebih dulu. Hingga mereka punya cukup waktu untuk menenangkan hati sendiri. Mereka yang menonton di pinggir, meskipun tidak berhadapan langsung, semakin lama mengamati, semakin bisa meresapi perbawa yang dikeluarkan oleh jurus Ding Tao. Pada awalnya mereka bertany-tanya mengapa tidak ada yang menyerang. Kemudian mereka mulai mengamati kedudukan dan sikap yang diambil Ding Tao. Otak mereka mulai mereka-reka dan menganalisa alasan mengapa tidak ada seorang pun yang memulai serangan. Mulailah mereka merasakan sentuhan- sentuhan dengan jurus yang disiapkan Ding Tao. Sehingga meskipun hanya sebagian kecil dari perbawa jurus itu yang mereka rasakan, mereka mulai bisa membayangkan lawan seperti apa yang harus dihadapi oleh guru, pimpinan dan saudara mereka. Jantung setiap orang seperti ditekan oleh bukit batu, berdebar, menanti ... dan bagaikan pecah saat tiba-tiba Wang Xiaho berteriak mengiringi ledakan serangan yang disertai segenap semangat yang berhasil dia kumpulkan. Hebat sungguh serangan Wang Xiaho, perbawa dari jurus Ding Tao adalah ibarat tali yang mengikat ujung selang, sementara usaha Wang Xiaho untuk mengumpulkan semangat adalah ibaratnya terus menerus memompakan air ke dalam selang itu. Hingga pada satu waktu, semangatnya berhasil mengatasi perbawa jurus Ding Tao dan seperti air bah yang memancar dari bendungan yang pecah, serangan Wang Xiaho membadai, meluncur ke arah Ding Tao. Wang Xiaho melompat bergulingan rendah di tanah, golok yang terbuat dari kayu bergerak membelah bagai kilat, mengincar kuda-kuda Ding Tao. Di saat yang sama, Chen Wuxi berteriak dengan keras, melompat tinggi ke atas, pedang di tangannya bergetar, mengincar setiap lubang kelemahan yang ada pada bagian atas tubuh Ding Tao. Tapi Ding Tao tidak menjadi gugup, kakinya dengan lincah dan mantap menghindari serangan golok Wang Xiaho tanpa kehilangan keseimbangan. Pedangnya bergerak menutup serangan Chen Wuxi. Saat perhatian Ding Tao teralihkan oleh serangan Wang Xiaho dan Chen Wuxi, tekanannya pada dua murid Chen Wuxi jadi berkurang. Terbebas dari perbawa jurus Ding Tao, kedua orang itu segera mengumpulkan semangat dan melompat untuk menyerang Ding Tao. Sebilah golok, tiga bilah pedang, satu sasaran, bekerja sama menyerang dari empat penjuru. Bagaimana cara Ding Tao menghadapinya? Tingkatan Wang Xiaho, Chen Wuxi dan dua orang muridnya, mungkin bisa dijajarkan dengan Fu Tsun dan Xiang Long. Jika Fu Tsun dan Xiang Long yang dibantu belasan anak buahnya tidak mampu mengalahkan Ding Tao, kesempatan apa yang dimiliki Wang Xiaohu dan Chen Wuxi. Dengan gerakan kaki yang tepat, Ding Tao menyelusup keluar dari kepungan mereka berempat. Dengan serangan pedangnya dia memaksa dua orang di sisi terluar bergerak ke tengah. Setelah sasaran terkumpul dalam satu tempat, jurus pamungkas pun dikeluarkan. Jika sedang Ding Tao bersiap mengembangkan jurus saja, ke empat orang itu jatuh dalam perbawanya. Apalagi sekarang saat Ding Tao mengembangkan jurusnya untuk menyerang. Tidak ada yang bisa melihat dengan jelas gerakan Ding Tao, tapi semua bisa merasakan hawa pedang yang meliputi seluruh halaman, bahkan mereka yang berada di pinggir arena, tidak luput dari pengaruh hawa pedang. Setiap lubang dan celah tertutup oleh hawa pedang Ding Tao, ke empat lawannya terpaku di tempat. Tidak tahu harus bergerak ke mana, tidak bisa berpikir harus menyerang dengan jurus apa, tidak mampu pula memutuskan harus bertahan dengan cara apa. Setiap cara yang dipikirkan, selalu terasa salah, sementara pedang Ding Tao bergerak dengan cepat tanpa ampun menghajar seorang demi seorang. Sekilas tidak jauh bedanya dengan jurus pamungkas keluarga Huang di mana serangan pedang bergulung menyerang lawan. Tapi jurus Ding Tao tidak menyisakan tempat untuk melarikan diri, tidak ada jebakan di balik serangan. Jika hendak lari tidak ada jalan. Jika hendak melawan, hawa pedang Ding Tao terlampau jauh di atas kekuatan mereka. Selain itu hawa pedang Ding Tao tidak diikuti hawa pembunuh, sehingga serangan Ding Tao tidak membangkitkan naluri bertahan hidup dari lawan. Semangat untuk melawan dengan sendirinya jadi melemah, karena tidak ada kemungkinan untuk menang, tapi kalah pun tidak menakutkan. Dalam jurus ini, Ding Tao bukan hanya memikirkan bagaimana caranya menggunakan hawa pedang untuk menyerang dan menutup jalan lawan. Tapi Ding Tao juga memperhitungkan keadaan mental lawan. Karena itu Ding Tao juga mencari cara menghilangkan hawa pembunuh dalam jurus serangannya. Seekor tikus yang sudah terpojok akan menggigit, meskipun tikus itu tahu dia tidak punya kesempatan untuk menang. Mengapa? Karena dia merasakan adanya bahaya, nalurinya untuk bertahan hidup, membuat dia mencari jalan kehidupan, saat semua jalan buntu, maka terpiculah sifat agresifnya. Demikian juga saat Ding Tao bertarung dengan lawannya, lewat jurus-jurus yang dia miliki dan kecerdikannya, dia mampu memojokkan lawan sampai lawan berdiri di posisi tidak bisa lari lagi. Tapi hal itu tidak membuat lawan menyerah, karena lawan merasakan hawa pembunuh yang keluar dari jurus serangan Ding Tao. Sehingga di posisi itu tidak ada pilihan lain kecuali membunuh atau terbunuh. Ding Tao yang merasa muak dengan pembunuhan demi pembunuhan yang harus dia lakukan, akhirnya mendapatkan inspirasi untuk menghilangkan hawa pembunuh itu dari jurus serangannya. Sehingga lawan berada di posisi tidak mungkin menang, tapi kalaupun kalah, hal itu tidak membahayakan nyawa mereka. ------------------ o ------------------- Inspirasi yang sama bisa ditemukan dalam kisah tiga negara, dalam percakapan antara Liu Bei dengan Zhu Jun. Pada saat itu Jendral besar pasukan kerajaan Han, Zhu Jun dan Liu Bei berhasil mengepung pemberontak di kota Wang Cheng. Pemberontak ikat kepala kuning, yang kehabisan bahan makanan, mengirimkan kurir menyampaikan tawaran untuk menyerahkan diri. Namun Zhu Jun menolak penyerahan mereka itu, mendengar sikap Zhu Jun, Liu Bei bertanya. "Mengingat pendiri Dinasti Han, Nenek Moyang kita yang besar, Liu Bang, mengampuni orang-orang yang mau menyerah padanya, kenapa kita menolak penyerahan ini?" "Kondisi saat itu dan sekarang berbeda," Jawab Zhu Jun. "Di masa itu kekacauan terjadi secara menyeluruh dan tidak ada seorang pimpinan yang tetap. Itu sebabnya mereka yang mau menyerah diterima dengan baik, untuk mendorong lebih banyak lagi orang bergabung dan mempercepat penyatuan negara." "Sekarang negara sudah bersatu, dan pemberontakan Zhang Jiao adalah satu-satunya penyebab kekacauan. Memberikan pengampunan tidak akan mendorong perbuatan yang baik. Mengijinkan pemberontakan saat mereka berhasil, akan membuat mereka semakin banyak meminta. Memberikan mereka pengampunan saat mereka gagal, hanya akan memberikan keberanian untuk memberontak. Rencanamu untuk mengampuni mereka, bukanlah rencana yang baik." Liu Bei pun menjawab. "Tidaklah masalah jika kita tidak memberikan pengampunan. Tapi saat ini kota sudah terkepung dengan ketat. Jika kita menolak memberikan pengampunan, maka para pemberontak akan menjadi putus asa dan akan bertempur sampai mati. Korban yang berjatuhan dari pihak kita akan sangat besar, belum lagi terhitung penduduk sipil yang tinggal di dalam kota. Karena itu baiklah kita melonggarkan penjagaan di satu sisi dan menyerang dari sisi yang lain. Mereka pasti akan melarikan diri dan kehilangan keinginan untuk bertempur. Saat itulah kita akan menghabisi mereka." Taktik Liu Bei berjalan dengan baik, pemberontak yang melihat ada jalan untuk lari di satu sisi dan pasukan kerajaan yang sangat besar di sisi lain, kehilangan semangat untuk bertempur dan melarikan diri dari kota, di mana pasukan kerajaan yang lain sudah siap untuk membantai mereka. ------------------------ o ----------------------- Ding Tao bukan Zhu Jun, pendiriannya lebih condong pada pendirian Liu Bei, yaitu untuk memberikan pengampunan pada lawannya. Jurus Ding Tao tidak sepenuhnya sesuaii dengan taktik Liu Bei. Tapi ide dasar dari taktik ini, yaitu memberikan jalan penghidupan pada lawan demi melemahkan semangat bertempur lawan, tidaklah berbeda. Sedikit berbeda dengan kisah tiga negara di atas, yang dilakukan Ding Tao adalah serupa dengan bagaimana Zhu Jun dan Liu Bei berhasil mengepung lawan. Tapi jika Zhu Jun tidak bersedia memberikan pengampunan, Ding Tao memilih untuk memberikan pengampunan, dengan demikian pertarungan dapat diselesaikan tanpa ada korban yang jatuh. Tentu saja bisa diperdebatkan, apakah pilihan Ding Tao ini tepat atau tidak, karena tidak semua lawan Ding Tao akan bertindak seperti sepasang iblis muka giok. Akan ada mereka yang menggunakan kesempatan itu untuk memupuk kembali kekuatan dan mencoba menantang atau mencelakakan pemuda ini di kemudian hari. Seperti kata Zhu Jun, memberikan pengampunan di situasi yang tidak tepat, seringkali justru mendorong lebih banyak pelanggaran. Tapi Ding Tao bukanlah Zhu Jun. Jika serangan Ding Tao hendak dijabarkan dalam kata-kata, bisa berlembar-lembar habis untuk menjelaskan. Jika dilihat, hanya sekejap mata saja kejadiannya. Dalam sekejap setelah Ding Tao berhasil mengumpulkan lawan di satu tempat, pedang dan golok berjatuhan di lantai. 4 orang lawan, 4 wajah pucat pasi dan 4 pasang tangan terkulai lemas. Tidak ada yang membuka mulut, peristiwa itu terlalu mengejutkan. Ding Tao merasa tidak enak, cepat-cepat meletakkan pedangnya kemudian pergi untuk menyapa ke empat lawannya, "Paman, Guru Chen, saudara berdua, kalian tidak apa-apa bukan? Maaf jika aku kelepasan tangan." Sikap Ding Tao yang rendah hati dan dengan tulus mengkhawatirkan keadaan lawannya, mencairkan keadaan. Ke empat lawannya yang sedang tercekam oleh jurus Ding Tao, tiba-tiba merasa bisa bernafas dengan lega kembali. Demikian juga mereka yang menonton di tepi arena, merasakan ketegangan yang tadinya menyelimuti mereka mencair. Berbisik-bisik mereka membicarakan apa yang baru mereka lihat dengan orang di kiri dan kanan mereka. Chen Wuxi menggeleng-gelengkan kepala tak percaya dengan apa yang barusan dia alami. "Astaga, tidak kukira ada jurus semacam itu. Sungguh beruntung sudah setua ini masih sempat menyaksikan bahkan merasakan dahsyatnya jurus tuan pendekar." "Guru Chen, jangan memanggilku begitu, bukankah umurku jauh berada di bawah Guru Chen, panggil saja namaku Ding Tao seperti biasa.", ujar Ding Tao merasa tidak enak dipanggil tuan. "Hah, apa artinya umur, di dunia kita, tingkatan diukur bukan dari umur tapi dari kemampuan. Apa kata orang jika mereka tahu aku memanggilmu dengan nama, orang bisa mengatakan aku tidak tahu diri, bukankah demikian Saudara Wang?" "Ya benar sekali itu, hmm, kalau aku teringat sudah menawarimu menjadi rekanan dalam Biro Pengawalanku, betapa malu rasanya. Heh, benar-benar makin tua makin pikun, tidak lihat ada Gunung Thaisan di depan mata.", jawab Wang Xiaho sambil memandang pemuda itu penuh rasa kagum. Ding Tao menggeleng-gelengkan kepala dan menggoyang tangan menolak. "Paman, mana boleh begitu? Di antara sahabat, mana ada pandang tingkatan-tingkatan. Jika aku menghormat pada yang lebih tua itulah yang wajar." "Hmm baiklah kalau memang itu maumu.", akhirnya Chen Wuxi pun mengalah, dalam hati tumbuh perasaan kagum dan hormat yang lebih dalam lagi terhadap Ding Tao. Ding Tao memandang guru tua itu dan Wang Xiaho. Memandang berkeliling pada orang di sekitarnya, terasa cara mereka memandangnya jadi berubah.Mereka memandangnya sepertinya dia seorang tuan tanah atau seorang pendekar besar, tidak lagi sedekat sebelumnya. Dalam hati Ding Tao merasa sedikit sedih, meskipun juga bercampur rasa bangga. Ding Tao bertekad tidak akan mengubah sikapnya terhadap mereka, berharap, perlahan-lahan mereka akan menerima dirinya kembali sebagai teman segolongan tanpa ada sekat atau batasan. "Ding Tao, ayo, kita kembali ke ruang tamu.", ajak Chen Wuxi setelah dia selesai menyimpan senjata latihan dan merapikan pakaiannya. Bersama-sama mereka berjalan kembali. Ding Tao, Wang Xiaho dan Chen Wuxi berjalan di depan. Yang lain mengikut di belakang, dengan telinga dipasang baik-baik, ikut mendengarkan percakapan mereka. Di luar sepengetahuan mereka sepasang mata mengikuti jalannya pertarungan itu dari tempat yang tersembunyi.. Siapa lagi jika bukan sepasang iblis muka giok. Memang tepat kalau julukan iblis itu disematkan pada sepasang kekasih ini. Meskipun ilmu silat mereka belum tergolong nomor satu, tapi ilmu meringankan tubuh, penyamaran dan juga cara mereka datang dan pergi ke tempat yang mereka tuju tanpa diketahui orang, benar-benar nomor satu. Setelah semua orang pergi, dengan suara perlahan mereka bercakap-cakap. Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Kakak, kau benar, jurus Ding Tao hebat sekali, tidak kusangka bisa sedemikian hebatnya saat digunakan." "Hmm apakah kau tidak melihat kekurangan?" "Apakah ada kekurangannya?", tanya iblis betina kemudian terdiam sejenak untuk berpikir. Lama dia berpikir, kemudian mendesah sayang dia berkata. "Ya.. kakak benar, jurus itu belum sempurna benar. Menurut kakak bagaimana caranya menutupi kekurangan dari jurus itu?" "Heh, soal itu biarkan saja jadi urusan Ding Tao, adik, mari kita menyusup mendekat, coba mencuri dengar pembicaraan mereka di ruang dalam." Dengan gerakan gesit dan ringan keduanya menyusup ke dalam rumah, seperti sepasang arwah gentayangan, tanpa suara, tanpa terlihat orang-orang yang ada di dalam rumah. Sementara itu Wang Xiaho yang penasaran sekaligus terkagum-kagum dengan kekalahannya tadi bertanya pada Ding Tao, "Ding Tao, kalau boleh tahu, apa nama jurus yang tadi kau pakai untuk melawan kami tadi?" "Ehm entahlah Paman Wang, siauwtee belum sempat memikirkan nama untuk jurus itu, lagipula apalah artinya sebuah nama.", jawab Ding Tao sambil tersenyum. Wang Xiaho dan Chen Wuxi yang mendengar jawaban pemuda itu pun melengak keheranan. Karena itu berarti jurus ini adalah ciptaan Ding Tao sendiri. Tahu bahwa pemuda itu tidak suka disanjung-sanjung, dua orang tua itu pun menahan diri untuk tidak mengucapkan apa-apa. Tapi dalam hati mereka sudah membuat keputusan. Mereka yang berjalan di belakang ketiga orang itu tidak berani banyak bersuara, mendengar jawaban Ding Tao mereka hanya saling berpandangan, dengan wajah menyatakan keheranan dan kekaguman. A Sau dan A Chu yang sempat mendapatkan beberapa petunjuk dari Ding Tao menjadi sangat bersemangat. Mereka sudah tidak sabar ingin cepat melatih kembali jurus-jurus pedang mereka. Saat mereka tiba di ruang tamu, hari sudah menjelang sore, Chen Wuxi memerintahkan murid-muridnya untuk menyiapkan makan malam. Sambil menunggu, Chen Wuxi dan Wang Xiaho berniat untuk menyampaikan buah pikiran mereka pada pemuda itu. "Ding Tao, kudengar dari Saudara Wang, kau sedang dalam perjalanan menuju ke Wuling, benarkah itu?", tanya Chen Wuxi. "Iya, benar sekali Guru Chen." "Bolehkah aku tahu apa tujuanmu pergi ke kota Wuling?", tanya Chen Wuxi kembali. Ding Tao merasa agak ragu untuk menjawab, karena sepanjang sepengetahuannya urusan pengkhianatan Tiong Fa masih merupakan urusan dalam keluarga Huang dan belum tersiar keluar. Melihat pemuda itu ragu untuk menjawab Chen Wuxi coba menjelaskan. "Apakah salah tebakanku, jika kubilang tujuanmu pergi ke kota Wuling ada hubungannya dengan Tiong Fa yang mengkhianati keluarga Huang dan Pedang Angin Berbisik?" "Ah, jadi Guru Chen sudah tahu rupanya?", tanya Ding Tao. "Hmm, tahu persis juga tidak tapi sedikit banyak aku mendengar berita-berita dari saudara yang lain. Ding Tao jika aku tidak salah kau sempat menghilang kira-kira 5 bulan, sejak kau berhasil keluar dari Wuling. Apakah selama itu kau mendengar kabar, tentang apa yang terjadi di Wuling?" Ding Tao menggelengkan kepala. "Tidak paman, saat itu aku sedang menyepi untuk mengobati tubuhku dari luka dalam, sekaligus memperdalam ilmu. Setelah selesai aku segera melakukan perjalanan ke Wuling, belum pernah sepanjang perjalan mendengar kabar apapun dari sana." Melihat wajah Chen Wuxi dan Wang Xiaho yang serius, perasaan Ding Tao mengatakan ada kejadian yang tidak beres, dengan nada kuatir dia bertanya. "Paman, apakah terjadi sesuatu di kota Wuling?" Sejenak Chen Wuxi berpandangan dengan Wang Xiaho. "Baiknya Saudara Chen saja yang menyampaikan, aku orang tua ini kurang pandai dalam menyampaikan sesuatu.", ujar Wang Xiaho menyerahkan pada Chen Wuxi. Chen Wuxi menghela nafas, kemudian dengan lebih singkat dan serius dia sampaikan berita tentang kehancuran keluarga Huang, ceritanya runut dimulai dari sejak berpisahnya Tiong Fa dari keluarga Huang, sampai berita terakhir tentang pembunuhan besar-besaran atas segenap anggota keluarga Huang yang tinggal di Wuling. Mendengar cerita Chen Wuxi, wajah Ding Tao berubah jadi pucat pasi. Jantungnya berdebar dan dadanya terasa sesak, begitu Chen Wuxi selesai bercerita, pemuda itu bangkit berdiri dan membungkuk memberi hormat, berpamitan. "Paman Chen, Paman Wang, maafkan aku tidak dapat tinggal lebih lama. Aku harus segera pergi ke Wuling.", ujar Ding Tao berpamitan dengan suara bergetar. Reaksi Ding Tao membuat Wang Xiaho yang melihatnya menjadi cemas. "Tunggu dulu Ding Tao, apakah tujuanmu ke Wuling hendak mencari jejak Pedang Angin Berbisik dan merebutnya kembali? Karena jika demikian, mengapa tidak menunggu barang dua hari, ada dua orang sahabat yang pergi untuk mengendus-endus berita dari Kota Wuling. Dalam 2 atau 3 hari ini mereka tentu sudah sampai kemari dan kau bisa berangkat dengan persiapan yang lebih mantap." Baik Wang Xiaho maupun Chen Wuxi sudah bangkit berdiri, berusaha menahan pemuda yang jelas-jelas sedang kalut pikirannya itu. "Maaf paman, tapi ini ini bukan hanya soal pedang" "Ding Tao, setidaknya tenangkanlah dulu hatimu, jika kau pergi dalam keadaan seperti sekarang, hanya akan mengundang banyak bencana bagi dirimu. Jika bukan soal pedang soal apa? Apakah ada sahabatmu di antara keluarga huang? Jika demikian berita itu tentu bisa kaudengar setelah dua orang sahabat kami kembali.", ujar Chen Wuxi berusaha menenangkan pemuda itu. Jika dalam keadaan yang biasa mungkin Ding Tao akan kesulitan bicara, tapi hatinya saat ini sedang kalut, mana terpikir tentang malu dan sebagainya. "Maaf paman, aku mencintai puteri keluarga Huang, Huang Ying Ying. Aku harus pergi ke Wuling untuk memeriksa keadaannya. Maafkan aku, harap paman jangan berusaha menahan, aku tahu maksud baik paman sekalian, namun kali ini aku terpaksa harus menolaknya." Tanpa menunggu jawaban dari kedua orang itu, Ding Tao mengundurkan diri, dengan beberapa kali lompatan, pemuda itu sudah sampai di depan pintu dan berlari dengan cepat menuju ke Wuling, sebentar saja pemuda itu hilang dari pandangan mereka. Mereka yang ada di sana, hanya bisa memandangi kepergiannya dengan hati cemas. Tidak ada yang tega untuk mencegah, meskipun tahu dalam keadaan pikiran yang terganggu seperti saat ini, tentu tidak baik melakukan perjalanan jauh. Apalagi jika hendak dipikir dengan kepala dingin, Wuling sudah jelas tidak akan bisa dicapai dalam semalam. Kalaupun Ding Tao hendak memaksa pergi ke sana, bukankah lebih baik menunggu semalam, lalu besok pagi-pagi tuan rumah bisa meminjamkan seekor kuda untuk mempercepat perjalannya ke Wuling. Tapi melihat kecemasan yang terpampang di wajah Ding Tao, Chen Wuxi pun tidak mampu mengatakan apa-apa. Dua orang tua itu hanya bisa menghela nafas panjang. "Astaga, urusan asmara memang membuat orang muda hilang akal seorang berbakat pun tidak lepas dari jerat asmara", keluh Chen Wuxi sambil menggelengkan kepala. Wang Xiaho tiba-tiba memukul meja. "Hah, sudah hidup begini lama, masakan tidak memiliki guna. Saudara Chen bisakah kau meminjamiku dua ekor kuda? Aku akan berusaha menyusul Ding Tao, sekuat apapun anak itu, akan lebih cepat jika menunggang seekor kuda." "Hemm, tentu saja, apakah kau akan ikut pergi ke Wuling?", tanya Chen Wuxi. "Ya, kupikir sebaiknya begitu, pikirannya sedang kalut, meskipun ilmu silatku tidak ada seujung kukunya, dalam keadaan begini kepalaku lebih dingin.", Wang Xiaho mengangguk dengan tegas. Menoleh pada orang-orangnya, Wang Xiaho meninggalkan pesan. "Kalian segera kembali ke kantor kita, sesegera mungkin aku akan kembali, tapi jika sampai 3 bulan tidak ada kabar dariku, kalian bagikan saja uang yang ada dan bubarkan Biro Pengawalan Golok Emas, untuk sementara jangan ikut campur urusan dunia persilatan. Tidak usah merasa sayang, jika memang masih ada umur, kita akan bertemu lagi." Sementara Wang Xiaho memberi pesan pada orang-orangnya, salah seorang murid Chen Wuxi sedang bergegas menyiapkan kuda. Chen Wuxi bukan orang yang kaya, di rumahnya hanya ada 3 ekor kuda. Tapi 2 yang terbaik dia siapkan untuk Wang Xiaho dan Ding Tao. Inilah kelebihan Chen Wuxi, tidak pernah banyak berhitung jika itu untuk membantu teman. Dengan sendirinya banyak orang merasa suka menjadi sahabatnya. Orang pun jadi segan untuk mencari urusan dengan guru tua ini. Matahari sudah mulai tenggelam dan langit mulai gelap, saat Wang Xiaho memacu kudanya sepanjang jalan menuju Wuling, kira-kira 3-4 li di luar kota, barulah dia menyusul Ding Tao yang berlari dengan cepat di depannya. Ding Tao memang cepat, tapi kuda yang ditunggangi Wnag Xiaho lebih cepat. Begitu melihat sosok Ding Tao di depannya, Wang Xiaho tanpa ragu berteriak memanggil. "Ding Tao Ding Tao tunggu sebentar!" Mendengar suara Wang Xiaho, Ding Tao memperlambat larinya, keringat sudah bercucuran membasahi pakaiannya. Suara derap kaki kuda makin mendekat, saat suara itu sudah sangat dekat Ding Tao berhenti berlari dan menanti Wang Xiaho. "Ada apa paman? Jangan kuatir, aku memang mencemaskan keadaan Adik Ying, tapi sambil berlari pikiranku sudah mulai tenang. Meskipun hatiku tetap meronta untuk secepatnya sampai ke Wuling.", ujar Ding Tao saat mereka sudah bertatapan muka. "Hemm, kalau mau ke Wuling secepatnya, lebih baik pakai kuda, nah kau naiklah kuda ini, aku akan menyertaimu sampai ke Wuling." Jawab Wang Xiaho sambil menyerahkan tali kekang pada Ding Tao. Ding Tao memandang Wang Xiaho dengan pandangan terkejut campur berterima kasih. Wang Xiaho melihatnya dan tertawa. "Hahaha, jangan terlalku sungkan denganku, ini bukan kuda milikki, kedua kuda ini milik guru Chen." "Paman berdua sungguh terlalu baik", jawab Ding Tao sambil melompat ke atas pelana. "Hahaha, bukankah katamu di antara sahabat tidak usah banyak perhitungan. Ayo, marilah kita lanjutkan perjalanan, mumpung langit cerah." "Baiklah paman, mari.", jawab Ding Tao. Wang Xiaho tidak banyak bicara, diamatinya saja Ding Tao yang kelihatan jelas pikirannya sedang terpaku di kota Wuling. Tapi jagoan tua itu merasa lega, karena kekuatiran Ding Tao itu tidak mengabutkan penalaran anak muda itu. Ding Tao merasa cemas itu sudah jelas, tapi Ding Tao tidak kehilangan akal sehatnya, bukannya memacu kudanya secepat mungkin, pemuda itu memacu kudanya secukupnya saja, sehingga kuda tunggangannya tidak cepat lelah. Setelah yakin bahwa akal sehat Ding Tao berjalan dengan baik, Wang Xiaho membuka mulutnya. "Ding Tao, perjalanan ke kota Wuling tidaklah dekat, bagaimana dengan rencana perjalananmu?" "Ya, dengan berjalan kaki terus menerus, kutaksir butuh waktu setidaknya 1 minggu, beruntung Paman Wang menyusulku dengan membawa kuda. Jika kita bisa menjaga agar kuda kita tidak cepat lelah, sesekali menunggang kuda, sesekali berjalan. Lalu beristirahat secukupnya saja, aku berharap bisa menyingkatkan waktu jadi 3-4 hari saja." "Hmm kita langsung saja masuk ke kota?" "Tidak, kupikir begitu kota Wuling sudah tinggal setengah hari perjalanan, sebaiknya kita beristirahat dengan sebaik- baiknya, sehingga tubuh dan pikiran kita segar sewaktu memasuki kota Wuling." Wang Xiaho mengangguk puas. "Ding Tao, sebenarnya selain ingin berkenalan dan juga berbagi kabar tentang kejadian di Wuling ada hal lain yang aku dan Guru Chen ingin sampaikan. Apa kau tidak keberatan jika kita membicarakan hal ini di perjalanan?" Ding Tao menoleh, memandang wajah Wang Xiaho dan meminta maaf. "Maafkan sikapku yang kurang sopan paman, sungguh hatiku sangat kacau mendengar berita itu. Itu sebabnya tanpa mendengarkan penjelasan paman berdua lebih lanjut, aku berpamitan untuk pergi. Kuharap Paman Wang dan Guru Chen tidak merasa tersinggung oleh perbuatanku." "Tidak masalah, kami pun pernah muda, berita itu berkaitan erat dengan orang yang kau kasihi, sudah tentu kau ingin secepat mungkin pergi ke Wuling untuk melihat keadaan. Tidak usah kaupikirkan lagi." "Tentang persoalan yang ingin Paman Wang katakan, tentu saja tidak ada salahnya jika kita bicarakan sepanjang perjalanan. Mungkin lebih baik begitu, supaya pikiranku tidak terlalu keruh, mengkhawatirkan sesuatu, yang atasnya aku tidak bisa berbuat apa-apa.", ujar Ding Tao sambil menghela nafas. "Hmm.. ", jawab Wang Xiaho pendek. Untuk beberapa lama mereka menunggang kuda dalam keheningan, hanya suara derap kaki kuda yang terdengar. "Ding Tao, tentang penyerbuan terhadap keluarga Huang, menurut pendapatmu, siapakah yang mungkin melakukannya?", tanya Wang Xiaho membuka percakapan. Ding Tao mengerutkan alis, cukup lama pemuda itu berpikir, namun akhirnya dia menggelengkan kepala. "Entahlah Paman Wang, aku tidak bisa membayangkan siapa orangnya yang tega dan memiliki kekuatan untuk melakukan hal itu." "Hmm ada cukup banyak orang yang tega melakukan hal itu, demi mendapatkan Pedang Angin Berbisik." "Jika hanya ingin mendapatkan Pedang Angin Berbisik, bukankah lebih baik mencari cara untuk mencurinya diam-diam daripada melakukan pembunuhan besar-besaran?", tanya Ding Tao. "Ya, justru itulah, aku dan Guru Chen berpendapat, di balik pembunuhan ini ada masalah yang lebih besar daripada Pedang Angin Berbisik itu sendiri." Dengan sabar Ding Tao menanti penjelasan Wang Xiaho. "Ding Tao, kau pernah hidup dalam keluarga Huang cukup lama, menurutmu berapa banyak orang yang dibutuhkan untuk melakukan pembasmian terhadap keluarga Huang yang ada di Wuling?", tanya Wang Xiaho, tidak sadar bahwa pertanyaannya membut jantung Ding Tao serasa tertusuk. Berusaha mengendalikan perasaan Ding Tao memaksa dirinya untuk berpikir. "Setahuku di Wuling sendiri ada sekitar 80 sampai 90 orang yang benar-benar bisa diandalkan dalam satu pertempuran. jika seluruh laki-laki yang bisa mengangkat senjata dihitung, jumlahnya bisa mencapai 120 orang lebih. Tapi yang benar-benar patut diperhitungkan kurasa tidak lebih dari 3 atau 4 orang, Tuan besar Huang Jin, Tetua Huang Yunshu, Huang Ren Fang putera sulung Tuan besar Huang Jin dan Wei Mo. Kemudian kira-kira ada 30-an orang yang jika bekerja sama akan bisa merepotkan seorang jagoan kelas atas." Setelah berpikir sejenak, akhirnya Ding Tao memberikan jawaban. "Mungkin 20-an orang dengan tingkatan setingkat Sepasang Iblis Muka Giok." "Hmm mencari 20 orang setingkat sepasang iblis itu, yg mau bekerja sama bukan pekerjaan gampang. Kau sudah pernah bertemu sepasang iblis itu, sedikit banyak kau bisa meraba sifat mereka, bisakah kaubayangkan orang-orang dengan harga diri setinggi itu mau bekerja sama? Bahkan dalam perguruan besar seperti Shaolin dan Wudang, mungkin hanya ada 5 atau 6 orang yang setingkat dengan mereka." "Maksud paman, salah satu atau lebih dari satu perguruan besar bekerja sama, melakukan hal ini?", tanya Ding Tao. "Justru itu yang membuatmu bingung bukan? Perguruan semacam Shaolin, Wudang atau Hoasan punya reputasi yang baik, rasanya tidak masuk akal jika mereka melakukan hal semacam ini. Lebih tidak terbayangkan lagi jika mereka bekerja sama untuk melakukannya. Siapapun yang memimpin dan merencanakan penyerangan ini pastilah seorang tokoh yang sulit dicari tandingannya." Wang Xiaho diam menunggu Ding Tao sampai pada kesimpulannya sendiri, Ding Tao yang mengikuti uraian Wang Xiaho bisa merasakan itu, jadi daripada bertanya dia memilih memikirkannya sendiri. "Ren Zuocan, ketua sekte Matahari dan Bulan?", tebak Ding Tao. "Itulah kesimpulanku dan Guru Chen, demikian juga kesimpulan para sahabat yang membicarakan hal ini. Kekhawatiran kami yang paling besar adalah, bahwa kabar angin yang mengatakan ada perguruan dan orang-orang dalam perbatasan yang diam-diam bersumpah setia padanya, adalah benar. Tapi hanya itu yang bisa menjelaskan penyerangan atas keluarga Huang." "Karena Ren Zuocan menginginkan Pedang Angin Berbisik dan dia sekaligus bisa menguji kesetiaan orang-orang yang sudah bersumpah setia padanya.", bisik Ding Tao dengan kemarahan yang tersembunyi. "Ya, dan kukira bukan hanya itu saja, tapi sekaligus merupakan peringatan bagi mereka yang coba-coba menentang mereka. Keluarga Huang mungkin bukan organisasi terkuat dalam dunia persilatan, reputasi mereka masih di bawah perguruan seperti Kunlun, Hoasan dan Kongtong. Tapi juga tidak bisa diremehkan begitu saja. Tepatnya, mereka memiliki besaran kekuatan yang pas untuk dijadikan contoh bagi orang-orang dalam dunia persilatan." "Jika hal itu benar", Ding Tao tidak melanjutkan kata-katanya, tapi tidak ada rasa takut atau cemas pada wajahnya, yang terlihat adalah kegeraman dan kemarahan yang ditahan. Ekspresi Ding Tao itu membawa rasa bangga dan lega di hati Wang Xiaho. Dengan jujur dalam hati dia mengaku bahwa ketika dia mengambil kesimpulan yang sama, yang dia rasakan adalah kengerian. Memang umur Ding Tao yang masih muda, berpengaruh dengan cara dia memandang segala sesuatu. Tapi Wang Xiaho sudah merasakan kehebatan Ding Tao dan diapun meletakkan harapannya pada diri pemuda itu. Menyaksikan wajah Ding Tao yang bersemangat, dia semakin yakin bahwa pilihan dirinya dan Chen Wuxi tidaklah salah. "Ding Tao, kukira tentang siapa Ren Zuocan dan apa bahayanya orang itu bagi kita tidak perlu lagi kuutarakan. Demikian juga dengan kekuatan yang berhasil dia kumpulkan, satu orang sendirian bukanlah tandingan bagi dirinya.", ujar Wang Xiaho. "Ya, paman benar, dia memiliki anak buah yang ribuan jumlahnya. Di antara mereka banyak jagoan-jagoan kelas atas. Tapi aku akan mencoba peruntunganku di pertemuan 5 tahunan, itu adalah salah satu tugas yang dibebankan oleh guruku.", jawab Ding Tao. "Nah, apa yang aku dan Guru Chen ingin sampaikan padamu berkaitan erat dengan masalah ini." Pendekar Patung Emas Karya Qing Hong Mustika Gaib Karya Buyung Hok Keris Pusaka Dan Kuda Iblis Karya Kho Ping Hoo