Ceritasilat Novel Online

Pedang Angin Berbisik 16


Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng Bagian 16


Pedang Angin Berbisik Karya dari Han Meng   "Aku percaya padamu"   Wang Xia Ho tersenyum, Liu Chun Cao mungkin bukan pendekar pedang nomor satu, tapi tidak pernah dia bertemu orang yang berhati seteguh Liu Chun Cao.   Sedikit ada kemiripan dengan Ding Tao, tapi Liu Chun Cao bukan orang yang naif, yang tidak pernah melihat sisi buruk dari kehidupan tokoh-tokoh yang disanjung puja dalam dunia persilatan.   Liu Chun Cao adalah orang yang cenderung kritis, bahkan sinis jika harus berurusan dengan tokoh-tokoh penting dalam dunia persilatan.   Jika orang berkata-kata tentang Liu Chun Cao, baik dengan nada hormat maupun dengan nada menghina, Pendeta Pengelana Liu Chun Cao selalu dikatakan, pikirannya lurus, selurus pedang miliknya, tapi pendek sependek gagang pedangnya.   Perkataan ini dimaksudkan untuk menunjukkan, kejujuran dan sifat Liu Chun Cao yang tidak bisa dikompromikan.   Itu sebabnya adalah sangat berarti jika Liu Chun Cao sampai bersedia mendukung Ding Tao.   "Ding Tao, hendaknya kau mengerti, dunia persilatan, idealnya didirikan berdasarkan Yi dan Xin, kebenaran dan kehormatan.   Kita hidup dalam dunia kita sendiri, bebas dari aturan dan kekuasaan pemerintahan yang korup, hidup bersandar pada kebenaran dan kehormatan.   Kenyataannya kebenaran dan kehormatan, seringkali hanyalah kata-kata, yang bersandarkan pada kekuatan seseorang untuk mengartikannya.   Mengandalkan pedang di tangan, menegakkan kebenaran dan keadilan.   Kebenaran menurut siapa dan keadilan untuk siapa? Pada akhirnya kita yang berdiri di jalan pedang, bukanlah manusia yang berbeda dengan manusia lainnya.", kata Liu Chun Cao dengan sungguh-sungguh.   "Hmm benar, ilmu pedang saja tidak akan mengubah watak dasar seseorang.   Hanya karena mempalajari ilmu silat, bukan berarti menjadi orang yang mengerti kebenaran dan kehormatan.", sahut Wang Xiaho.   "Tidak ada bedanya dengan keadaan pemerintahan yang menyimpan pejabat-pejabat korup.   Dunia persilatan pun dihuni oleh orang-orang dengan sifat serakah yang sama.   Meskipun di luar dia berlaku seperti seorang yang terhormat, di baliknya tersimpan siasat licik, keegoisan yang mengorbankan orang lain demi diri sendiri." "Tentu saja paman, hal itu tidak bisa dihindari dan tugas seorang pendekar yang sejati adalah menegakkan kebenaran dan menjunjung tinggi kehormatan.", jawab Ding Tao.   "Idealnya seperti itu Ding Tao, tapi tidaklah mudah untuk memisahkan mana yang bisa disebut seorang pahlawan dan mana yang bisa disebut penjahat.   Tidak jarang mereka yang dipanggil sebagai seorang pahlawan dalam dunia persilatan adalah seorang penjahat yang sesungguhnya.   Tidak lepas pula kemungkinan mereka yang dianggap golongan sesat, hanyalah seorang pahlawan yang kalah kuat dan tersisih.", ujar Liu Chun Cao dengan mendesah sedih.   Dalam benak Ding Tao terbayang kesedihan yang terpancar dari sorot mata Sepasang Iblis Muka Giok.   Dengan tegas dia menjawab.   "Harus ada yang bersedia untuk meluruskan kesalahan-kesalahan tersebut."   Dengan senyum kecut Liu Chun Cao balik bertanya.   "Dengan apa seorang pendekar hendak meluruskan ketidak adilan itu?"   Ding Tao terdiam sejenak sebelum dengan berat hati menjawab.   "Lewat kemampuannya dalam ilmu bela diri" "Ya, atas dasar kekuatan pedang dan senjata. Cepat atau lambat, mereka akan menyadari bahwa sendirian dia tidak berarti. Untuk membuat perubahan, dia harus mengumpulkan kekuatan, dia perlu dukungan dari pendekar-pendekar lain. Kemudian demi mendapatkan kekuatan untuk membersihkan dunia dari kejahatan, mereka pun jatuh ke dalam kubangan yang sama."   Sambil menggertakkan gigi Ding Tao menjawab.   "Harus ada bedanya, kebenaran dan keadilan tidak boleh berganti arah hanya melihat siapa kuat siapa lemah. Mereka yang ingin dirinya dipanggil pahlawan akan tetap berdiri di pihak yang benar meski dirinya lebih lemah. Karena kebenaran dan kehormatan adalah prinsip dasarnya, kemampuan bertarung hanyalah alatnya. Jika kemampuan bertarung diletakkan di tempat yang lebih penting, maka itulah suatu kesalahan." "Bagaimana jika berpegang teguh pada kebenaran dan kehormatan berarti maut dan celaka? Bukan hanya untuk dirimu tapi juga bagi orang-orang yang dekat denganmu?", kejar Liu Chun Cao. Mulut Ding Tao sudah terbuka untuk menjawab, tapi tertutup kembali ketika dia berpikir lebih jauh. Jika bahaya itu hanya untuk dirinya tentu tidak jadi masalah, tapi jika ancaman itu datang pada orang-orang yang dekat dengannya, orang-orang seperti gurunya Gu Tong Dang, Huang Ying Ying, Murong Yunhua atau Murong Huolin, masih bisakah dirinya mengatakan hal yang sama. Tiba-tiba dia menangkap dan merasakan kepahitan dalam ekspresi wajah Liu Chun Cao. Kesedihan yang bisa dia rasakan, terpancar pula dari sinar wajah Sepasang Iblis Muka Giok. Dalam hati terbetiklah pertanyaan, Apakah dia juga, jangan-jangan Pendeta Liu menghadapi hal yang serupa. Itu sebabnya dia jadi begitu dingin dan sinis dalam menilai polah laku orang-orang dalam dunia persilatan. Perlahan Ding Tao menggelengkan kepala, diapun tidak bisa menjawab dengan tegas untuk hal yang terakhir itu.   "Entahlah paman, tapi sekali memutuskan sebuah jalan, maka segala pahit manisnya harus diterima. Seorang diri siauwtee bisa menjawab dengan yakin bahwa ancaman terhadap diriku akan siauwtee hadapi dengan dada tengadah" "Aku mengerti", sahut Liu Chun Cao tersenyum pahit. "Ding Tao, bukan berarti kau tidak mampu berbuat apa-apa untuk membasmi yang jahat, menolong yang lemah, menegakkan kebenaran dan berlaku sesuai kehormatan dirimu. Hanya saja seberapa jauh kau bisa melangkah, akhirnya akan tergantung pada seberapa besar kekuatanmu, baik sendiri maupun dilihat dari jumlah pendukungmu", ujar Wang Xiaho, tidak ingin Ding Tao terpengaruh oleh pandangan Liu Chun Cao yang cenderung pesimis memandang hidup ini. Merenungi perkataan Wang Xiaho, Ding Tao jadi mengerti apakah yang menjadi keberatan Liu Chun Cao. Otaknya cukup encer untuk melihat hubungan antara satu hal dengan hal yang lain. Jika seseorang terobsesi untuk melakukan perubahan dan menyadari bahwa dirinya membutuhkan kekuasaan untuk melakukan perubahan, maka bukan tidak mungkin orang tersebut akan terjerumus dalam pengejaran akan kekuasaan, hingga lupa akan motivasinya yang mula-mula. Bahaya yang kedua datang adalah ketika dia berhasil mendapatkan kekuasaan yang besar, yang dia butuhkan untuk melakukan perubahan, akankah dia tetap teguh pada pendiriannya yang semula? Apakah dia tidak akan tergoda untuk memanfaatkan kekuasaan itu demi kepentingannya sendiri? Ding Tao juga mengerti pengharapan yang diletakkan oleh Wang Xiaho pada pundaknya. Ding Tao merasa sangat berterima kasih oleh penghargaan dan kepercayaan yang diberikan Wang Xiaho pada dirinya. Tapi secara logika Ding Tao justru lebih setuju pada Liu Chun Cao. Sambil menghela nafas pemuda itu akhirnya berkata.   "Paman Wang, Pendeta Liu, kurasa siauwtee sudah mengerti sekarang. Entah siauwtee menjadi Wulin Mengzhu atau tidak. Entah siauwtee menjadi yang terkuat atau tidak. Satu hal siauwtee bisa katakan, siauwtee berjanji untuk berdiri teguh di atas dasar kebenaran dan kehormatan."   Menoleh pada Liu Chun Cao, sambil membungkuk memberi hormat dia berkata.   "Pendeta Liu, terima kasih sudah mengingatkan siauwtee pada prioritas utama dalam hidup seorang manusia."   Liu Chun Cao mengangguk puas. Wang Xiaho sebaliknya merasa sedikit kuatir dan cepat-cepat menambahkan.   "Ding Tao bukan berarti kau boleh asal-asalan dalam berusaha mendapatkan gelar Wulin Mengzhu." "Ya siauwtee mengerti, siauwtee akan berusaha sekuatnya untuk mencapai kekuatan dan kekuasaan yang diperlukan untuk mengadakan perubahan. Di saat yang sama akan selalu mengingat apa yang mendasari pengejaran itu. Tapi ketika pengejaran itu mengarah pada hal-hal yang menyalahi prinsip-prinsip yang justru sedang diperjuangkan, itu artinya sudah waktunya untuk berhenti dan mencari jalan yang lain."   Wang Xiaho awalnya merasa tidak puas dengan jawaban Ding Tao, berbeda dengan Liu Chun Cao yang semakin mantap untuk mendukung Ding Tao.   Tapi ketika Wang Xiaho merenungkan lebih jauh lagi jawaban Ding Tao itu, pada akhirnya Wang Xiaho pun mengangguk setuju.   Karena apa artinya dia mendukung Ding Tao menjadi Wuling Mengzhu, jika pada akhirnya Ding Tao tidak membawa perbaikan, jika Ding Tao berubah menjadi seorang munafik, seorang egois dan licik yang bertopengkan kehormatan? Lebih penting dari apa yang dapat dicapai pemuda itu, adalah keteguhan dari wataknya.   "Ya, akhirnya aku pun bisa mengerti"   Ujar Wang Xiaho sambil memandang Ding Tao dan Liu Chun Cao dengan senyum arif.   Liu Chun Cao merasa puas dengan perbincangan mereka itu, semangatnya yang dulu sempat layu selama bertahun-tahun, kini bangkit kembali.   "Ding Tao, aku tidak malu untuk mengatakan, bahwa selama ini kemajuan ilmuku tidak ubahnya berjalan di tempat saja.   Tapi sejak pertarungan di antara kita, baru mataku mulai terbuka, jika kau tidak keberatan, bantu aku untuk menguraikan ilmuku lebih jauh lagi.", ujarnya penuh semangat.   "Heh, aku juga.   Ding Tao bagaimana jika kita isi hari ini dengan diskusi tentang ilmu kami masing-masing?", sambung Wang Xiaho.   "Baik, bagaimana kalau kita kembali ke pelataran belakang?", jawab Ding Tao dengan bersemangat, terbawa oleh semangat kedua orang di depannya.   Sepanjang hari itu, ketiganya larut dalam pembahasan mengenai ilmu mereka dan kemungkinan-kemungkinan pengembangannya.   Baik yang masih harus dilatih lebih jauh, tapi juga yang bisa segera digunakan.   Bagi Wang Xiaho dan Liu Chun Cao, mereka merasa disegarkan kembali, sudah bertahun-tahun lamanya bagi mereka latihan-latihan yang dilakukan menjadi rutinitas yang mati.   Dengan terbukanya pikiran mereka oleh masukan-masukan Ding Tao, maka kegairahan yang dulu mereka rasakan saat mulai mempelajari ilmu silat kembali lagi.   Bagi Ding Tao sendiri, dengan keterbukaan Wang Xiaho dan Liu Chun Cao terhadap ilmu mereka, membantunya untuk menyelami lebih dalam lagi makna dan hakekat dari jurus-jurus milik kedua orang tersebut, membantunya dalam melihat kemungkinan-kemungkinan yang ada.   Ketika keesokan harinya mereka memasuki Kota Wuling, ketiganya mengawali perjalanan dengan semangat yang tinggi.   Sebuah tujuan terbentuk dalam benak ketiganya.   Bukan berarti Ding Tao tidak merasakan kekuatiran akan nasib Huang Ying Ying dan keluarga Huang yang lain.   Tapi Ding Tao akhirnya menemukan satu pegangan, apapun hasil penyelidikan mereka hari ini, Ding Tao sudah punya satu tujuan, yaitu bekerja untuk menempatkan dirinya pada posisi di mana dia bisa memastikan tidak ada kejadian seperti yang menimpa pada keluarga Huang.   Jika hal itu sudah terjadi, maka diapun ingin berada pada posisi di mana dia bisa memberikan keadilan pada korban dan meluruskan pelakunya.   Dalam semangat yang meluap ini, Ding Tao jadi semakin paham pula apa yang menyebabkan Liu Chun Cao tidak setuju dengan Wang Xiaho mengenai pemilihan Wulin Mengzhu.   Semakin pula pemuda itu berhati-hati dalam setiap dia berlaku dan berpikir.   Ding Tao berniat untuk menyisakan waktu di setiap harinya untuk kembali merenungi apa-apa yang sudah dia lakukan dan putuskan, agar jangan sampai dia terjebak pada kehinaan.   Tidak butuh lama bagi mereka bertiga untuk menemukan pengikut keluarga Huang yang berhasil lolos dari bencana.   Liu Chun Cao yang sudah pernah menemukan mereka sebelumnya dengan mudah menemukan mereka kembali.   Beberapa di antara mereka menetap di tempat yang sama, yang sudah berpindah pun, setidaknya Liu Chun Cao sudah memiliki pegangan di mana harus mulai mencari jejak mereka.   Pertemuan yang mengharukan terjadi saat mereka bertemu dengan Ding Tao.   Setelah menghadapi bencana yang mencengkam jantung mereka dan meninggalkan mereka dalam ketakutan.   Bertemu dengan Ding Tao yang mereka kenal selama bertahun-tahun membuat mereka merasakan sedikit kelegaan.   Apalagi ketika Wang Xiaho menceritakan akan kehebatan Ding Tao sekarang ini.   Mereka yang merasakan seluruh sendi-sendi kehidupan mereka runtuh bersamaan dengan runtuhnya keluarga Huang, mendapatkan kekuatan baru.   Perlahan-lahan rombongan Ding Tao menjadi semakin besar, belasan orang sisa keluarga Huang yang mereka temui, memilih untuk menyertai Ding Tao dalam perjalanannya.   Ding Tao merasakan keharuan melihat sikap mereka, seperti anak- anak ayam yang kehilangan induknya.   Tapi hatinya juga semakin kuatir akan nasib Huang Ying Ying dan Huang Ren Fu, karena sejauh ini mereka yang dia temui tidak ada yang tahu pasti nasib kedua orang itu.   "Tinggal dua orang lagi.", kata Liu Chun Cao.   Ding Tao hanya mengangguk saja tanpa mengatakan apa-apa, jantungnya berdebaran.   Apakah akan ada berita yang jelas dari dua orang yang tersisa ini? "Inilah tempatnya, jika mereka masih belum pindah tempat.", ujar Liu Chun Cao sambil menunjuk sebuah gang kecil di samping kedai minuman.   "Silahkan paman berjalan lebih dulu.", jawab Ding Tao.   Dengan Liu Chun Cao di depan, rombongan kecil itu bergerak melewati gang-gang yang sempit dan rumah yang berdesakan.   Saat mereka melihat seorang laki-laki sedang duduk berjemur sambil mengurut kaki, merekapun tahu pencarian mereka hari ini sudah berakhir.   Karena wajah orang itu sudah mereka kenal baik.   Ding Tao buru-buru maju dan menyapa orang yang ada di depan.   "Tabib Shao Yong, apa kabar?" "Ding Tao, engkaukah itu?", ujar laki-laki tua itu sambil bangkit berdiri, cepat-cepat menyambut kedatangan Ding Tao.   "Tabib Shao, syukurlah kaupun lepas dari bencana.", jawab Ding Tao.   "Astaga, Chu Xiang, A Tong, Lu Feng, kalian juga selamat.", ujar Tabib Shao Yong sambil mengucurkan air mata penuh haru, satu per satu disapanya mereka yang datang bersama Ding Tao.   Belasan anggota keluarga Huang yang selamat dan berketetapan untuk mengikut Ding Tao, disapanya satu per satu.   Rumah yang kecil itu dengan cepat menjadi sesak.   Ding Tao menunggu sampai mereka selesai menumpahkan perasaan mereka yang tertekan selama berhari-hari sejak kehancuran keluarga Huang.   Beberapa kali Ding Tao menghembuskan nafas panjang-panjang, berusaha mengurangi ketegangan yang menghimpit dadanya.   Salah seorang dari mereka melihat itu dan menggamit lengan temannya yang masih saja bicara.   Sebentar saja mereka semua terdiam dan menunduk.   Mengikuti pandangan mata mereka, Tabib Shao Yong berbalik ke arah Ding Tao.   "Anak Ding, apa ada sesuatu yang ingin kau tanyakan?", tanya Tabib Shao Yong dengan lembut.   "Oh, Tabib Shao, tahukah kau bagaimana dengan keadaan adikmaksudku Nona muda Huang?", terbata Ding Tao bertanya.   Tabib Shao Yong terdiam, dipandanginya wajah Ding Tao lama-lama.   Lidahnya terasa kelu.   Dengan berat hati dia mengerahkan tenaga untuk menjawab pendek.   "sudah meninggal."   Pendek saja apa yang diucapkan Tabib Shao Yong, tapi besar akibatnya.   Sebelum tiba di tempat Tabib Shao Yong menyembunyikan diri, Ding Tao sudah bertemu dan bertanya hal yang sama pada setiap sisa anggota keluarga Huang yang dia temui.   Saat Ding Tao bertanya, mau tidak mau, mereka yang mengikutinya ikut berdebar menunggu jawaban.   Sulit dibayangkan, bagaimana rasanya, dalam sehari harus berulang kali menanyakan satu pertanyaan yang membuat beku perasaan setiap saat menunggu jawabnya.   Saat akhirnya jawaban itu didengar, yang mereka dengar justru jawaban yang paling dia takutkan.   Semua orang diam, semua orang ikut merasakan, ada keinginan untuk menghibur Ding Tao, tapi lidah mereka pun jadi kelu saat melihat kepedihan yang terpancar dari wajah pemuda itu.   Sakitnya perasaan Ding Tao tidak bisa dibayangkan oleh siapapun saat itu.   Bukan hanya sakitnya karena kehilangan gadis yang dia kasihi.   Ding Tao juga dikejar perasaan bersalah, terbayang saat dirinya bersama dengan Murong Yun Hua, di saat Huang Ying Ying dan keluarganya menghadapi bencana, dia justru sedang bersenang-senang, mengkhianati janji setianya.   Tidak ada yang tahu akan hal itu, kecuali diri Ding Tao sendiri.   Angin berhembus meniup debu-debu, berputaran di antara jalan-jalan yang sepi.   Di pelataran belasan laki-laki berdiri termangu, membeku dengan perasaannya sendiri-sendiri.   Wajah Ding Tao menyiratkan penderitaan yang tak terkatakan, Liu Chun Cao, Wang Xiaho dan Tabib Shao Yong tidak mampu mengeluarkan kata-kata untuk menghibur hati pemuda ini.   Setiap dari mereka berpikir akan kesetiaan hati pemuda ini dan betapa dalam kasihnya pada Huang Ying Ying.   Sekilas pandang Ding Tao dapat menangkap apa yang tersirat dari pandang mata mereka, dan hatinya yang pedih semakin pedih, karena dia bukan seorang kekasih yang sungguh-sungguh setia.   Hatinya sudah mendua, ingin dia berteriak mengakui apa yang telah dia lakukan.   Tapi tidak sampai hati dia jika dia harus merusak nama Murong Yun Hua hanya untuk membuat hatinya sedikit lebih lega.   Seulas senyum pahit berkembang di wajahnya, mungkin ini hukuman yang harus dia pikul, untuk pengkhianatan yang telah dia lakukan pada Huang Ying Ying.   Sekarang, seumur hidup dia akan terus menanggung beban dosa ini dalam hati.   Ding Tao menggigit bibirnya kuat-kuat, menahan air mata yang sudah hendak tumpah.   Dia memejamkan mata dan mengatur nafas.   Perasaannya yang galau ditekannya kuat-kuat.   Perlahan-lahan Ding Tao membuka matanya dan bertanya.   "Tabib Shao Yong, bisakah kau ceritakan kejadiannya?"   Tabib Shao Yong terdiam, ragu-ragu, apakah harus dia ceritakan atau tidak.   Liu Chun Cao lah yang kemudian berkata, "Tabib Shao, lebih baik diceritakan saja, apa yang sudah Tabib lihat.   Biarlah Ding Tao menilai sendiri keadaannya.   Apakah nasib Nona muda Huang sudah dapat dipastikan atau tidak, berdasarkan cerita Tabib Shao."   Liu Chun Cao berpendapat, inilah ujian terakhir bagi Ding Tao, sejak Wang Xiaho berhasil meyakinkan dirinya, Liu Chun Cao menaruh harapan yang besar pada Ding Tao.   Tapi inilah saat yang mendebarkan bagi Liu Chun Cao, ujian terakhir bagi Ding Tao, layakkah dia untuk didukung menjadi seorang Wuling Mengzhu.   Karena sebagai pimpinan, bukan hanya dibutuhkan orang yang berperasaan halus, sehingga bisa bersimpati pada mereka yang dipimpinnya, tapi ada saatnya pula seorang pimpinan harus menunjukkan keteguhan hatinya.   Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo      Jika seorang pimpinan hanya dipermainkan perasaan, tanpa memiliki keteguhan hati untuk mengambil keputusan, maka kacaulah barisan.   Tabib Shao Yong memandang Ding Tao, lalu beralih memandang Liu Chun Cao dan Wang Xiaho.   Dua orang yang belum dia kenal, tapi dia lihat cukup akrab dan memperhatikan keadaan Ding Tao.   Liu Chun Cao sekali lagi menganggukkan kepala, mendorong Tabib Shao untuk menceritakan saja apa yang sudah dia lihat.   Akhirnya dengan suara serak, tercekat oleh kesedihan, Tabib Shao mulai bercerita.   Hari itu tidak ada seorangpun dalam keluarga Huang yang menyadari adanya bahaya sedang mengintai keluarga mereka.   Kejutan yang ditimbulkan oleh pengkhianatan Tiong Fa sudah mulai memudar.   Kegiatan berlanjut seperti biasa.   Saat malam tiba, penjagaan pun sudah tidak seketat beberapa minggu sebelumnya.   Tabib Shao Yong baru saja hendak beristirahat ketika mulai terdengar jeritan suara disusul bel tanda alarm dipukul bertalu-talu.   Mulai dari sejak itu, kekacauan pun meningkat dengan cepat.   Rupanya lawan sudah masuk ke dalam kediaman keluarga Huang melalui jalan rahasia.   Jalan rahasia yang seharusnya hanya diketahui oleh orang-orang penting dalam keluarga Huang.   Secara diam-diam, pembunuh-pembunuh ini pun menyebar dan mulai melumpuhkan para penjaga.   Saat ada penjaga yang berhasil melawan sebelum terbunuh dan sempat berteriak mengingatkan penjaga yang lain, lawan sudah berhasil menyebar ke seluruh penjuru kediaman keluarga Huang.   Sesuai dengan cerita belasan orang sebelumnya, jumlah lawan tidaklah terlalu besar, kira-kira 20-30 orang, mereka terbagi menjadi 6 kelompok.   Salah satunya dipimpin oleh Tiong Fa.   "Tiong Fa? Tabib Shao apa kau yakin Tiong Fa adalah salah satu yang ikut dalam penyerangan malam itu?", tanya Ding Tao dengan wajah kelam dan tersisip nada bengis penuh amarah dalam pertanyaannya.   Bulu kuduk Tabib Shao Yong mengkirik, mendengar nada suara Ding Tao.   Sudah belasan tahun dia mengenal pemuda itu, sejak pemuda itu masih kanak-kanak hingga dia dewasa, belum pernah Tabib Shao Yong mendengar kemarahan dalam nada suaranya.   Sambil menelan ludah tabib tua itu mengangguk.   "Ya, saat itu aku sedang bersembunyi di dekat gedung utama keluarga Huang. Dekat gedung tempat beristirahat Tuan besar Huang Jin sekeluarga." "Saat mendengar ada penyerangan, sebisa mungkin aku hendak pergi ke tempat Tuan Besar huang Jin, melihat apakah ada yang harus kukerjakan di sana sebagai tabib keluarga Huang. Sambil bersembunyi aku perlahan-lahan mencari jalan. Saat itu aku sedang lewat dekat kamar Nona muda Huang Ying Ying, bersembunyi di taman, di depan kamarnya", lanjut Tabib Shao Yong. Untuk sesaat Tabib Shao Yong terdiam, tangannya telrihat sedikit gemetar, terkenang oleh peristiwa malam itu. "Dan kulihat Tiong Fa keluar dari kamar Tuan muda Huang Ren Fu yang tidak jauh dari situ, sambil menenteng pedang yang berlumuran darah. Kemudian muncul seorang tokoh bertopeng yang bertanya pada Tiong Fa.", lanjut Tabib Shao Yong sambil menutup mata. "Orang bertopeng itu badannya tinggi besar, rambutnya panjang lebat terurai lepas tanpa diikat. Suaranya berat mengguruh saat dia bertanya pada Tiong Fa. ---------------------------------------- "Sudahkah kau bunuh anak-anak Huang Jin yang menjadi bagianmu?", tanya orang itu. "Sudah, kecuali yang sulung tidak bisa kutemukan di kamarnya", jawab Tiong Fa. "Hmph, anaknya yang sulung sedang bertarung bersama beberapa anak buahnya, menghadapi pimpinan pertama. Kau selesaikan pekerjaanmu di sini. Aku akan pergi membantu mereka.", ujar orang itu. ----------------------------------------- "Kemudian dengan gerakan yang cepat dan langkah kaki panjang-panjang, orang itu meninggalkan tempat, menuju ke tempat suara pertarungan yang sedang terjadi dengan sengit. Sesaat kemudian Tiong Fa dan anak buahnya membakar gedung utama. Aku aku tidak berani beranjak dari tempatku bersembunyi. Lama lama setelah mereka pergi baru aku berani keluar. Aku pergi membongkar puing-puing yang tersisa dari setiap kamar kutemukan mayat-mayat yang terbakar.", Tabib Shao Yong bercerita dengan suara tersendat-sendat, air mata mengembeng di pelupuk matanya. "Maafkan aku Ding Tao aku tidak punya keberanian hanya setelah mereka pergi baru aku berani keluar terlalu lambat untuk menolong seorang pun. Mereka semua sudah hangus terbakar", dengan suara lirih Tabib Tua itu jatuh bersimpuh di depan Ding Tao, air matanya mengalir tanpa bisa dibendung lagi. Ding Tao berlutut di sebelahnya, menepuk-nepuk pundak Tabib Shao Yong, tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Apa artinya kata-kata penghiburan, saat kesedihan datang, saat hati dipenuhi beban? Belasan orang laki-laki dewasa yang pantang meneteskan air mata, tapi kali ini, tenggorokan mereka pun tercekat, ingin menangis, ikut merasakan kesedihan yang ada, meski mata mereka tetap kering dan pandang mata mereka dingin tanpa menyiratkan perasaan apa pun. Cukup lama mereka terdiam dan hanya terdengar isakan Tabib Shao Yong yang meratapi ketidak mampuannya. Tentu saja tidak ada seorangpun dari mereka yang menyalahkan tabib itu. Pada dasarnya Tabib Shao Yong memang bukan orang persilatan, Tabib Shao Yong hanya seorang tabib. Beda dengan Tabib Dewa yang selain pandai ilmu pengobatan, ahli juga dalam ilmu silat. Saat isak tangis Tabib Shao Yong berkurang, Ding Tao berkata.   "Tabib Shao, kami semua mengerti keadaanmu, tidak ada yang menyalahkanmu. Karena itu, jangan pula hatimu menuduh diri sendiri terus menerus."   Tersenyum lemah Tabib Shao menjawab.   "Aku mengerti, tapi tetap saja hati ini merasa malu dan sedih. Pikiranku mengatakan hal yang sama, sudah pasti dengan kemampuanku dalam ilmu bela diri, tidak ada yang dapat kulakukan kecuali bersembunyi. Tapi hati ini tidak bisa menipu, ketakutan yang mencengkam, ketakutan yang timbul karena keegoisan."   Ding Tao tersenyum balik dan menjawab.   "Kita semua pernah berbuat salah. Tapi siauwtee bersyukur Tabib Shao masih hidup sampai sekarang. Tabib Shao, siauwtee mau bertanya, dari cerita Tabib Shao, Tabib Shao tidak melihat sendiri terbunuhnya anak-anak Tuan besar Huang Jin, melainkan hanya mendengar dari perkataan Tiong Fa semata. Benarkah demikian?"   Tabib Shao Yong berpikir sejenak sambil mengusap bekas-bekas air mata di pipinya dengan lengan baju.   "Setelah semua berakhir, aku masih menyempatkan diri bersama dengan beberapa warga dan aparat di kota Wuling, menyingkirkan puing- puing rumah yang terbakar dan mencari-cari orang di bawahnya. "Di kamar Nona muda Huang, kutemukan sesosok tubuh wanita seumuran dengan Nona muda Huang, wajahnya tidak bisa dikenali lagi karena sudah hangus terbakar. Tapi perawakannya sungguh mirip dengan Nona muda Huang. Demikian juga di tiap-tiap kamar yang lain. Memang keadaan mayat mereka sudah hangus terbakar hingga sulit dipastikan. Namun jika seluruh potongan disatukan, aku sampai pada kesimpulan bahwa memang demikianlah keadaannya."   Ding Tao menghela nafas, dipalingkannya wajah ke luar, berpikir, adakah kemungkinan bahwa Huang Ying Ying masih hidup? Ataukah dia hanya mempermainkan diri sendiri dengan mengangankan hal itu? "Tabib Shao setelah kejadian ini, apa rencana Tabib Shao untuk kehidupan Tabib Shao selanjutnya?", tanya Ding Tao, mengalihkan pikirannya dari ingatan akan Huang Ying Ying dan nasib keluarga Huang.   Tabib Shao Yong menoleh pada mereka yang mengikuti Ding Tao.   "Kalian, bagaimana dengan kalian, apa rencana kalian?"   Mereka yang ditanya saling berpandangan, lalu dengan sedikit ragu-ragu salah seorang dari mereka menjawab.   "Rencana kami sebenarnya adalah mengikuti Ding Tao, kami dengar dari Tuan Wang Xiaho dan Pendeta Liu Chun Cao, Ding Tao berniat untuk ikut maju dalam pemilihan Wulin Mengzhu. Kami ingin menyumbangkan sedikit yang kami bisa untuk mendukung Ding Tao dalam usahanya."   Terkejut Tabib Shao Yong berbalik melihat Ding Tao.   "Anak Ding, benarkah itu?"   Ding Tao tersipu malu mendengar pertanyaan itu, tapi hendak menghindar juga tidak bisa, dia sudah menyanggupi permintaan Wang Xiaho dan Liu Chun Cao.   Untuk berbohong tentu saja dia tidak bisa.   Dengan berat hati dia pun menganggukkan kepala.   "Anak Ding, bagaimana dengan luka dalam tubuhmu?" "Sudah sembuh Tabib Shao." "Benarkah? Bagaimanakah terjadinya?", tanya Tabib Shao dengan heran.   Sesaat lamanya Ding Tao tidak tahu harus menjawab apa, dia melihat berkeliling dan sadar bahwa belasan orang bekas pengikut keluarga Huang sedang melihat ke arahnya, tertarik untuk mendengar penjelasannya.   Sadar bahwa dia tidak bisa mengelak, akhirnya Ding Tao menceritakan dengan singkat, bagaimana dia mendapatkan pinjaman sebuah kitab dari keluarga Murong.   Usahanya untuk mempelajari isi kitab itu yang berujung pada penguasaannya akan dua jenis hawa murni dalam tubuhnya.   Meskipun Ding Tao hanya menceritakan garis besar dari pengalamannya saja, itu pun sudah mengundang decak kagum dari mereka yang mendengarnya.   Belasan orang yang berkeinginan menjadi pengikut Ding Tao, semakin yakin dengan keputusan mereka itu.   Selain itu sekilas mereka menangkap ada sesuatu yang disembunyikan Ding Tao tentang hubungannya dengan keluarga Murong.   Satu kitab yang penting, mengapa bisa dipinjamkan dengan mudah pada seseorang yang baru dikenal? Tentu ada sesuatu dibalik itu, namun melihat Ding Tao tidak bersedia menceritakannya, mereka pun tidak mendesak.   Apalagi keluarga Murong terdiri dari dua orang gadis muda.   Mereka yang ada di sana, semuanya laki-laki, sehingga dengan mudah menerima kemungkinan adanya hubungan antara Ding Tao dengan salah seorang gadis dari keluarga Murong, apalagi Ding Tao adalah pemuda yang belum menikah.   Memang samar-samar Ding Tao menyinggung akan hubungannya dengan Huang Ying Ying, tapi mereka hanya bisa menggelengkan kepala dalam hati, betapa pusingnya berurusan dengan cinta.   Ada pula yang diam-diam justru ingin pula bisa merasakan keberuntungan Ding Tao, bisa mendapatkan hati beberapa orang gadis.   "Jika begitu Anak Ding Tao, jika kau mengijinkan, biarlah aku ikut membantumu pula dalam usahamu itu.   Sedikit kebisaanku dalam pengobatan, tentu akan dapat terpakai pula.", ujar Tabib Shao Yong setelah mendengarkan cerita Ding Tao.   Ucapan Tabib Shao Yong, disambut dengan sorakan dari belasan orang yang sudah lebih dahulu menyatakan akan menjadi pengikut Ding Tao.   "Bagus Tabib Shao !" "Haha, begini baru seru!" "Tabib Shao, kami mengandalkanmu!"   Ding Tao tersenyum, meskipun senyuman itu terasa dipaksakan.   Saat sorakan sudah mulai mereda dengan bersungguh- sungguh Ding Tao bertanya pada Tabib Shao Yong, pertanyaan yang sama yang dia ajukan pada sisa-sisa anggota keluarga Huang yang lain.   "Tabib Shao, apakah kau sudah pikirkan baik-baik keputusanmu itu? Kau tahu, tidak seperti keluarga Huang, aku tidak memiliki apa-apa kecuali sedikit kemampuan untuk bermain pedang.   Bagaimana dengan penghidupan kalian nantinya?"   Dengan cepat Tabib Shao Yong menjawab.   "Hal itu sudah kupikirkan pula Anak Ding, sebagai seorang tabib, aku justru bisa membantumu pula dalam hal itu, aku bisa membuka praktek pengobatan yang penghasilannya dipakai untuk membiayai hidup kita semua. Dengan belasan orang yang ada di sini, kita juga bisa memulai mengumpulkan tanaman obat-obatan lalu sekaligus membuka toko obat-obatan."   Mendengar rencana Tabib Shao Yong, mereka jadi bersemangat, kenyataannya memang pertanyaan Ding Tao cukup menghantui mereka, karena meskipun pertanyaan Ding Tao tidak mempengaruhi keinginan mereka untuk menjadi pengikut Ding Tao, tapi pertanyaan Ding Tao adalah pertanyaan yang tidak bisa dihindari.   Meskipun mungkin pada awal-awalnya mereka bisa saja mendapat bantuan dari pendukung Ding Tao yang sudah mapan seperti Wang Xiaho atau Chen Wuxi, tentu tidak mungkin jika untuk seterusnya mereka menumpang pada orang lain.   Wang Xiaho sudah menawarkan mereka untuk ikut bergabung dalam biro pengawalan miliknya, namun tetap saja bukan keputusan yang bisa diterima dengan hati yang lapang, dalam hati kecil mereka ingin membentuk satu kelompok yang mandiri.   "Tabib Shao, itu sungguh rencana yang bagus.   Mengapa tidak kaulakukan saja bersama dengan saudara-saudara yang lain saja? Kalian tidak perlu menjadi pengikutku.   Bukankah rencana itu lebih baik daripada kalian ikut terjun dalam carut marutnya dunia persilatan? Mulailah hidup yang baru dan tenang", bujuk Ding Tao yang tiba-tiba melihat jalan yang lebih baik bagi mereka, lebih baik daripada mengikuti dirinya yang tidak bisa memberikan apa-apa bagi mereka.   "Anak Ding", menghela nafas Tabib Shao berusaha merangkum apa yang dia rasakan.   "Anak Ding, mengertilah, mengikutimu adalah satu-satunya jalan bagiku untuk memberi ketenangan pada hati nuraniku. Hatiku merasa bersalah, setiap kali teringat betapa aku tidak bisa berbuat apa-apa saat seluruh isi keluarga Huang dibantai orang. Selama ini aku mendapat penghidupan dari keluarga Huang, tapi saat bencana datang ternyata aku tidak dapat berbuat apa-apa."   Mengambil nafas sejenak dia melanjutkan.   "Aku percaya jika engkau berhasil menjadi Wulin Mengzhu, bukan hanya engkau akan mengusahakan keadilan bagi keluarga Huang tapi juga kau akan mengusahakan dunia persilatan yang lebih baik. Dengan membantumu, dengan menjadi pengikutmu, aku ingin ikut ambil bagian dalam semuanya itu. Menebus kediamanku saat terjadinya pembantaian di depan mataku tanpa aku dapat berbuat apa-apa."   Ketika dia melihat Ding Tao hendak menjawab, cepat-cepat Tabib Shao Yong menambahkan.   "Jangan cegah aku lagi Anak Ding, tekadku sudah bulat. Tidak tahukah dirimu, setiap malam kuhabiskan, berpikir untuk membunuh diri oleh karena rasa malu. Memang saat melihat pembunuhan-pembunuhan itu, tubuhku dicengkam oleh rasa takut. Tapi setelah akhirnya rasa takut itu hilang, tinggallah rasa malu, malu karena tidak berbuat sesuatu."   Seorang yang lain menyahuti.   "Itu benar sekali Ding Tao, hal itu juga aku rasakan dan kurasa setiap saudara yang ada di sini merasakannya pula. Itu sebabnya kami berketetapan hati untuk menjadi pengikutmu. Jika kami harus kehilangan nyawa oleh karena keputusan ini, maka kami dapat mati dengan senyum lega. Setidaknya kami mati dalam melakukan sesuatu yang baik daripada kami hidup diliputi rasa malu karena tidak bisa membalas budi keluarga Huang terhadap diri kami."   Gumaman membenarkan pernyataan kedua orang itu pun bersahut-sahutan terdengar dari belasan orang yang lain. Mendengar itu tentu saja Ding Tao tidak sampai hati untuk menolak keinginan mereka. Menghela nafas dia bertanya.   "Bagaimana dengan anak cabang keluarga Huang yang ada di kota lain?"   Salah seorang di antara mereka mendengus dengan marah.   "Huh! Berita ini tersebar sudah begitu lama dan sampai sekarang tidak ada seorangpun di antara mereka yang muncul untuk menengok keadaan kita. Kaulah yang lebih dahulu datang Ding Tao dan setelah mendengar ceritamu, kami pun bisa mengerti mengapa kedatanganmu tertunda. Bukan karena kau tidak peduli atau takut, tapi karena memang kau belum mendengar berita itu." "Ya benar, jika mereka yang di cabang masih peduli dengan keadaan keluarga Huang yang menjadi tempat mereka bergantung selama ini, tentu sudah ada yang menengok. Kenyataannya tidak seorang pun ada yang datang."   Alis Ding Tao berkerut.   "Apakah terjadi sesuatu juga dengan anak cabang keluarga Huang?"   Liu Chun Cao menggeleng dan menjawab.   "Tidak kami dengar sedikitpu tentang hal itu. Jika memang ada kejadian demikian, tentu beritanya akan menyebar cukup cepat, menilik pusat keluarga Huang baru saja diserang habis. Serangan susulan tentu akan menarik perhatian orang banyak. Sebenarnya aku sendiri juga cukup heran dengan kejadian ini." "Tidak ada yang perlu diherankan, kukira mereka semua lupa daratan dan tiba-tiba menjadi raja kecil di tempatnya masing-masing", desis seseorang dengan kesal. "Hmmm kukira tentang hal itu perlu dipastikan lebih dulu.", ujar Ding Tao perlahan. Menoleh pada Liu Chun Cao dia bertanya.   "Pendeta Liu, tinggal satu orang terakhir, apakah sebaiknya kita pergi ke sana hari ini juga?" "Kukira lebih baik begitu, dengan demikian malam ini tidak ada lagi ganjalan dan kita secepatnya bisa mulai membuat rencana, apa yang akan kita lakukan berikutnya", jawab Liu Chun Cao. "Baiklah, mari, silahkan Pendeta Liu yang menunjukkan jalan. Saudara-saudara yang lain boleh ikut atau mungkin hendak menunggu di sini?", kata Ding Tao sambil menengok ke belasan pengikutnya yang baru. "Kami akan ikut denganmu Anak Ding, kurasa kami semua ingin melihat saudara lain yang berhasil selamat dari pembantaian malam itu.", ujar Tabib Shao Yong mewakili teman-teman yang lain, didukung dengan anggukan kepala oleh mereka semua. "Baiklah, kita pergi beramai-ramai.", jawab Ding Tao pendek. Hari sudah siang, matahari sudah mulai condong ke barat. Perut beberapa orang sudah mulai lapar, tapi semangat mereka masih berkobar, meskipun matahati panas membakar. Melewati gang-gang sempit Liu Chun Cao memimpin mereka menuju keluar kota Wuling, ke sebuah desa kecil di barat kota Wuling. "Pendeta Liu, apakah dia tinggal di luar kota?", tanya Ding Tao. "Ya, saat itu kebetulan saja aku menemukannya. Baru saja selesai menyelidiki urusan di Wuling, aku dan Saudara Tong Fu ingin mengambil jalan sedikit memutar. Saat kami beristirahat di sebuah kedai teh kecil, kami bertemu dengannya. Saudara Tong Fu yang melihat bekas luka terbakar di lengan orang itu bertanya sambil lalu. Ketika dia nampak ketakutan, kami pun mulai bertanya lebih teliti. Mungkin karena baru saja mengadakan penyelidikan di Wuling hingga pikiran kami jadi lebih mudah curiga daripada biasanya.", jawab Liu Chun Cao menceritakan pertemuannya dengan orang terakhir yang akan mereka temui hari ini. "Ah.. paman berdua sungguh teliti.", puji Ding Tao. "Jika mereka tidak terkenal dengan ketelitiannya tentu Guru Chen tidak akan meminta bantuan mereka berdua untuk mencari informasi ke kota Wuling", sahut Wang Xiaho. "Hmph, jangan terlalu memuji, aku tahu kau dari tadi mengincar arak simpananku", sahut Liu Chun Cao sambil mengerling ke arah Wang Xiaho, disambut tawa oleh yang bersangkutan. Ding Tao tersenyum melihat tingkah laku kedua orang tua itu. Sesungguhnya mereka semua mengkhawatirkan keadaan Ding Tao. Pukulan yang dirasakannya akibat bencana yang menimpa Huang Ying Ying tentu tidaklah kecil. Cerita Tabib Shao Yong semakin membuat mereka yakin bahwa nona muda itu tidak selamat dari pembantaian yang terjadi malam itu. Pertemuan dengan orang terakhir yang mungkin bisa memberikan mereka informasi lebih tentang nasib nona muda itu, terasa seperti menunggu ketukan palu dari hakim, setelah sebelumnya sang hakim menyatakan keputusannya. Itu sebabnya sepanjang perjalanan, ada saja yang mencoba membuat suasana jadi lebih ringan. Mendekati kedai kecil tempat Liu Chun Cao menemukan orang yang mereka cari, Liu Chun Cao bertanya pada Ding Tao, "Hari sudah siang, bagaimana kalau kita beristirahat sebentar dan mengisi perut sejenak?"   Menengok ke arah yang lain Ding Tao jatuh kasihan dan menjawab.   "Baiklah, mari kita beristirahat sebentar."   Kedai kecil itu segera saja jadi penuh oleh kedatangan mereka, beberapa orang tidak mendapatkan tempat duduk dan memilih untuk mencari tempat yang teduh di luar sambil menunggu mie dan the pesanan mereka.   Ding Tao melihat semuanya itu dengan hati yang tidak enak.   Ingin rasanya dia ikut duduk di luar, tapi dia sadar bahwa tindakannya itu justru akan membuat yang berada di dalam merasa sungkan.   Bisa-bisa mereka semua akan duduk di luar, bahkan Tabib Shao Yong yang tertua dan terlemah di antara mereka.   Oleh karenanya dengan mengeraskan hati dia duduk juga di dalam.   Setelah itu pun, persoalan belum selesai.   Hendak makan dan minum tentu harus membayar, bagusnya selama dalam perjalanannya Ding Tao hidup berhemat, bekal uang yang didapatnya dari Huang Ren Fu hampir-hampir tak tersentuh.   Tapi untuk memastikan bahwa uangnya cukup, diam-diam Ding Tao membuka kantung uangnya dan menghitung.   Gerakan Ding Tao itu tentu tidak lepas dari mata Wang Xiaho dan juga yang lain.   Wang Xiaho pelan-pelan menepuk pundak pemuda itu dan sambil tersenyum berbisik.   "Hee makan kita kali ini, biar aku saja yang membayar."   Tersipu malu Ding Tao sadar perbuatannya diperhatikan orang, cepat-cepat dia menjawab.   "Ah, jangan paman, bukankah mereka sudah menjadi pengikutku, biarlah aku yang membayar makanan kali ini. Masih ada cukup uang untuk membayar, tidak ada masalah. Sungguh tidak ada masalah."   Wang Xiaho hendak membujuk pemuda itu untuk menerima saja pemberiannya, namun pengikut baru Ding Tao rupanya cukup cepat tanggap pula.   Ketika ada yang melihat perbuatan Ding Tao memeriksa kantung uangnya, orang itu dengan cepat menggamit bahu temannya lalu berbisik.   Tidak lama kemudian, beberapa orang di sekitarnya mengumpulkan uang masing-masing.   Uang yang terkumpul itu dibawanya pada Ding Tao.   "Ding Tao, kita sudah berniat untuk bersumpah janji menjadi satu saudara, segolongan satu perkumpulan.   Soal makan dan minum, soal penghidupan tentu kita tanggung bersama pula, ini, ambillah saat ini kita hanya mengumpulkan seadanya saja.   Untuk selanjutnya mungkin kau perlu memilih seseorang untuk menjadi bendahara dan mengurus soal keuangan kita.", ujarnya sambil mengulurkan sekantung kecil penuh uang.   Tentu saja berat bagi Ding Tao untuk menerima uang itu, tapi ketika dia membuka mulut hendak mengucap, cepat Wang Xiaho memotong.   "Ding Tao, jangan kau tolak pemberian itu. Jika kau menolak, sama saja kau meragukan kesungguhan mereka, meragukan kehormatan mereka, dan itu akan menyakitkan hati mereka."   Akhirnya dengan terharu Ding Tao berdiri lalu membungkuk pada semua orang yang mengikutinya itu.   "Terima kasih saudara sekalian, paman sekalian, kepercayaan kalian padaku tidak akan aku sia-siakan. Masalah keuangan biarlah kuserahkan pada Tabib Shao Yong saja. Tabib Shao, tolong kau pegang uang kas kita ini."   Ding Tao pun mengulurkan kantung uang itu dan kantung uangnya sendiri pada Tabib Shao Yong.   Tabib Shao Yong yang tidak menduga jadi tergopoh-gopoh menerimanya.   "Wah, apakah tidak sebaiknya kau simpan sendiri saja Ding Tao?" "Tidak Tabib Shao, lebih baik Tabib Shao Yong yang memegangnya, bukankah tadi pun Tabib Shao sudah memiliki rencana untuk membuka usaha yang nantinya akan jadi sumber pemasukan kita? Nah, kukira sudah jelas di antara kita semua Tabib Shao Yong yang paling tepat untuk mengurus soal keuangan perkumpulan kita ini", ujar Ding Tao sambil kembali mengangsurkan kantung-kantung uang tersebut.   "Hmm baiklah kalau begitu, aku akan berusaha sebaik-baiknya untuk mengatur keuangan kita.", ujar Tabib Shao sambil menghembuskan nafas panjang-panjang.   Beberapa orang yang berada di dekat Tabib Shao menepuk-nepuk pundaknya memberi selamat.   Melihat suasana yang baik, Wang Xiaho mengambil keputusan, dia berdiri dan mengangsurkan kantung uangnya pada Tabib Shao Yong yang dengan heran menerima uang itu.   "Ketua Wang apakah ini maksudnya?", tanya Tabib Shao Yong.   "Paman Wang Xiaho, jangan begitu, paman membuatku merasa semakin sungkan saja.   Persahabatan paman jauh lebih penting dari uang itu", ujar Ding Tao berusaha mengembalikan uang itu.   Tapi Wang Xiaho mengulapkan tangan, memberi tanda pada Tabib Shao Yong agar uang itu tetap dia pegang.   Kemudian dengan bersungguh-sungguh dia berbalik lalu membungkuk hormat pada Ding Tao.   "Sudah sejak melihat kemampuanmu yang mampu mengalahkan aku dan Guru Chen bersama dua orang muridnya dengan satu jurus saja, aku memiliki keinginan untuk mendukung dirimu menjadi Wulin Mengzhu.   Hari ini aku melihat ada belasan orang yang memiliki keinginan yang sama, telah mengambil keputusan untuk bersumpah setia, mendirikan satu perkumpulan di bawah pimpinanmu.   Aku Wang Xiaho, jika kau tidak memandang rendah diriku, ingin memohon agar boleh diterima pula dalam perkumpulanmu.", ujar tokoh tua itu sambil membungkuk hormat, setelah selesai berkata-kata tidak juga dia menegakkan badannya melainkan menunggu jawaban dari Ding Tao.   Sebelum Ding Tao sempat menjawab, kejutan lain sudah menunggu dirinya.   Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo   Liu Chun Cao yang sejak tadi diam saja, tiba- tiba ikut berdiri dan membungkuk hormat pada Ding Tao.   "Orang she Liu merasa ketua Ding memegang nilai-nilai yang sejalan, memiliki keinginan yang sama. Dan akan bersumpah setia, selama Ketua Ding tetap teguh dalam kebenaran dan kehormatan."   Melihat itu, belasan orang yang lainnya bersama-sama dengan bersungguh-sungguh mengucapkan sumpah yang serupa.   Ding Tao berdiri di tengah-tengah mereka, merasa canggung dengan keadaan saat itu, namun meresapi kesungguhan mereka, pemuda itu merasa terharu.   "Ding Tao tidak akan menyia-nyiakan kepercayaan kalian semua.   Aku menerima keinginan kalian dan berjanji akan berusaha sekuat tenaga untuk tidak mengecewakan harapan kalian."   Seusai mengucapkan itu, Ding Tao membungkuk dengan hormat ke empat penjuru, mengangkat cangkir teh di tangannya kemudian dengan hikmat meminumnya, diikuti oleh yang lainnya.   Meskipun hanya dengan teh dan diadakan di sebuah kedai kecil di pinggir jalan, tanpa upacara dan kata pengantar yang panjang, segala sesuatunya berjalan dengan khidmat dan sungguh-sungguh.   "Saudara-saudara, silahkan duduk semua.", ujar Ding Tao dengan perlahan namun tegas, menutup mata terhadap pemilik kedai yang menyaksikan tingkah laku mereka dengan mulut terbuka.   Sesuatu yang tidak pada tempatnya sudah sewajarnya bila jadi terasa lucu dan konyol.   Namun melihat kesungguhan mereka, mau tidak mau pemilik kedai teh itu pun jadi terdiam.   Sudah kepalang basah, Ding Tao sadar saat ini sudah tidak mungkin lagi mundur dari jalan yang dipilih bagi dirinya oleh orang-orang di sekitarnya.   Jika dia harus menjadi ketua dari sebuah perkumpulan, maka dia berniat untuk melakukannya dengan sebaik mungkin.   Pekerjaan yang setengah-setengah hanya akan mempersulit banyak pihak.   Ketika beberapa orang yang tidak mendapatkan tempat duduk hendak kembali keluar, Ding Tao cepat-cepat mencegah mereka.   "Jangan terlalu jauh, yang tidak mendapat tempat duduk, untuk sementara bisa berdiri di dalam."   Mendengar itu serentak mereka bergerak mendekat dan perhatian pun tertuju pada Ding Tao.   Ketika Ding Tao melihat ke sekelilingnya dan mendapati wajah-wajah yang serius dan bersemangat, semangatnya jadi ikut bangkit.   Meskipun bayangan kesedihan masih ada dalam hatinya, namun kesedihan itu tidak sampai membuat dirinya beku, tidak mampu untuk berpikir dan bertindak.   Sejenak dia berpikir, kemudian dia pun menyampaikan apa yang ada dalam benaknya.   "Saudara sekalian, kita sudah sepenuh hati untuk membentuk satu perkumpulan.   Sebuah organisasi, tentunya harus memiliki satu tujuan dan satu semangat yang sama jika kita menginginkan organisasi itu menjadi organisasi yang kuat.   Jika sebuah organisasi tidak memiliki tujuan yang jelas, hanya berdasarkan pada arahan pemimpinnya, maka akan ada kecenderungan organisasi itu semata-mata menjadi perpanjangan tangan dari ambisi pribadi dari ketuanya.", ujar Ding Tao membuka penjelasannya.   "Dan siauwtee tidak menginginkan organisasi semacam itu.   Di saat yang sama, siauwtee juga tidak menginginkan untuk menjadi ketua dari satu organisasi yang tujuannya tidak sejalan dengan pendirianku pribadi."   Ding Tao berhenti sejenak dan melihat ke sekelilingnya, mencoba meraba reaksi mereka yang mendengarkan.   Ketika dilihat setiap orang masih mendengarkan dengan seksama, kalaupun ada beberapa yang nampak sedikit bingung ke mana arah pembicaraan Ding Tao, tapi tidak ada tanda-tanda ketidak sukaan.   "Karena itu pada awal pendirian organisasi baru kita, yang pertama hendak aku tegaskan adalah pendirianku, prinsip dasar dari organisasi yang kita bentuk dan tujuannya.   Bila nanti ada yang merasa tidak setuju pada prinsip dasar dan tujuan dari organisasi ini, janganlah malu atau segan untuk mengundurkan diri.   Hal itu lebih baik daripada disimpan dalam hati, kemudian menjadi batu sandungan di kemudian hari."   Beberapa wajah yang tadi tampak ragu dan bingung, sekarang mengangguk-anggukkan kepala.   Tapi justru setelah mereka paham maksud perkataan Ding Tao, baru mulailah muncul pertanyaan dan keraguan dalam hati mereka.   Apa yang ada dalam pikiran Ding Tao saat ini? Tujuan dan prinsip dasar apa yang hendak ia bangun di atas organisasi yang baru mereka dirikan ini? Bagaimana jika apa yang diserukan Ding Tao nanti tidak sesuai dengan keinginan mereka? "Yang pertama, organisasi ini didirikan dengan tujuan untuk menciptakan keadaan yang damai dalam dunia persilatan.   Hal ini dilakukan dengan cara, melindungi yang lemah, menegakkan kebenaran dan memberikan perlindungan bagi yang membutuhkan.   Prinsip dasarnya adalah pengampunan, kebenaran dan kehormatan, dalam upayanya mencapai tujuan, prinsip-prinsip dasar ini tidak boleh dilanggar."   Pada awalnya ucapan Ding Tao itu dianggap biasa.   Tidak ada yang aneh atau berbeda dengan ucapan-ucapan tokoh dunia persilatan pada umumnya.   Tapi setelah kata-kata itu mulai meresap, baru muncul pertanyaan-pertanyaan dalam benak pendengarnya.   Hanya Liu Chun Cao dan Tabib Shao Yong yang tampaknya mampu menangkap maksud Ding Tao dan menyetujuinya sepenuh hati.   Wang Xiaho sedikit banyak menangkap maksud Ding Tao, namun dia merasakan sedikit ganjalan dalam penerimaannya.   Meskipun dalam hatinya, sebagai orang yang sudah berumur dia dapat menerima pemikiran Ding Tao itu.   Hanya saja, tampaknya akan ada perbedaan antara jalan yang dipilih Ding Tao dengan jalan yang biasa diambil oleh orang-orang dalam dunia persilatan.   Ketika Wang Xiaho melihat beberapa orang yang lain juga merasakan ganjalan terhadap pernyataan Ding Tao itu, Wang Xiaho memutuskan untuk menjadi perantara bagi mereka.   "Ding Tao, kukira secara umum, kita semua setuju dan sejalan dengan apa yang kau ungkapkan. Hanya saja, kata pengampunan mungkin terasa sedikit janggal bagi kita orang persilatan. Apakah maksudmu para pembuat onar akan diberikan kesempatan kedua? Bagaimana dengan pelaku kejahatan besar seperti, pembantaian atas keluarga Huang?"   Ding Tao menghela nafas, dia sadar saat itu setiap orang di dalam kedai makan itu sedang menantikan jawaban darinya.   Pada dasarnya Ding Tao tidak menginginkan kedudukan, oleh kerenanya tidak berat beban dalam diri Ding Tao untuk mengatakan apa yang ada dalam hatinya.   "Memang itu yang ada dalam pikiran siauwtee, tapi tentu saja, berat ringannya kejahatan, latar belakang, alasan mereka melakukan kejahatan, semuanya harus ikut menjadi bahan pertimbangan.   Bila pelaku pembunuhan keluarga Huang misalnya, melakukan pembantaian itu karena tekanan dari pihak lain.   Tentu hukuman yang diberikan akan berbeda dengan apabila dia melakukannya hanya karena keserakahan semata", jawab Ding Tao atas pertanyaan Wang Xiaho.   Mendengar jawaban Ding Tao mulailah terdengar bisik-bisik tidak puas di antara mereka yang tadinya dengan bersemangat bersumpah setia untuk mengikut dan mendukung Ding Tao.   Wang Xiaho melirik ke arah Liu Chun Cao, dilihatnya pendeta itu sedikit mengangguk saat dia melihat Wang Xiaho melirik ke arah dirinya.   Wang Xiaho pun kembali bertanya pada Ding Tao.   "Ding Tao, jika seseorang membunuh, bukankah adil jika kita balas membunuhnya?" "Jika kemudian, saudara atau sahabat dari orang yang kita bunuh menggunakan penalaran yang sama, maka sampai kapan bunuh membunuh itu akan berakhir?", jawab Ding Tao. "Jika demikian di manakah letaknya keadilan?", tanya Wang Xiaho. "Jika berbicara keadilan, maka pertanyaannya, siapakah yang berhak mengadili? Adakah di antara kita yang tidak pernah berbuat kesalahan? Dalam dunia di mana kekerasan sudah menjadi bagian dari kehidupan kita, ada berapa orang yang tangannya bersih dari kekerasan? Yang pasti bukanlah diriku, baru beberapa bulan yang lalu belasan nyawa orang melayang karena ulahku."   Mereka sudah mendengar tentang pertarungan Ding Tao dengan kelompok Fu Tsun dan Laba-laba kaki tujuh beberapa bulan yang lalu, sehingga cepat saja salah seorang dari mereka menjawab.   "Tidak bisa disamakan, waktu itu kau membunuh dalam upaya membela diri."   Ding Tao tersenyum.   "Setiap pembunuhan apapun alasannya, adalah tindakan yang menghilangkan nyawa sesama. Siauwtee masih muda, harus mengakui bahwa tentang kebenaran, kehormatan, keadilan, banyak hal yang tidak bisa kupahami. Namun dari sekilas pengalaman yang sudah siauwtee rasakan, ada satu keinginan untuk melihat dunia persilatan yang berbeda, bukan tempat yang dibayangi dendam dan kekerasan." "Karena itu, dirimu memilih untuk memberi kelonggaran pada bakal lawanmu?" "Kurang lebih begitu, selain itu terkadang siauwtee merasa, banyak kejadian di mana, seandainya saja situasinya sedikit berbeda. Seandainya saja ada orang yang mau mencoba mengerti. Kebanyakan dari mereka yang kita katakan sebagai iblis, mungkin tidak sampai menjadi iblis", seulas senyuman mekar di wajah Ding Tao, teringat percakapannya Sepasang Iblis Muka Giok. Ding Tao mengedarkan pandangan matanya ke orang-orang yang ada di sekitarnya, dia melihat ada beberapa orang yang tampak tidak puas dengan pandangannya, sebagian yang lain ada yang termenung memikirkan ucapannya, ada pula yang nampak mendukung pandangannya. Di antara mereka yang mendukung pandangannya adalah Tabib Shao Yong, Liu Chun Cao dan Wang Xiaho. Melihat mereka mendukung dirinya Ding Tao merasa berbesar hati. Sekali lagi dia mengedarkan pandangan, ditatapnya tiap-tiap orang, kemudian dia berkata.   "Apa artinya kemenangan, apa artinya kemuliaan, jika kita harus hidup saling membenci, dihantui dendam yang berlanjut sampai keturunan-keturunan yang berikutnya?" "Kehormatan, keadilan, kebenaran, adalah nilai-nilai yang patut diperjuangkan demi menciptakan tatanan masyarakat yang harmonis, penuh kedamaian, kuat dan maju. Suatu masa depan yang lebih baik bagi generasi yang selanjutnya. Tapi jika atas nama kehormatan, keadilan dan kebenaran kemudian manusia saling bunuh, menanamkan dendam turun temurun. Bukankah perlu dipertanyakan, apakah tidak terjadi kesalahan dalam mengartikan nilai-nilai yang sedang diperjuangkan?"   Ding Tao memandangi mereka yang sedang mendengarkan uraiannya.   "Memang benar, akan ada pihak-pihak yang tidak bersandar pada kebenaran dan kehormatan. Dan adalah tugas seorang pendekar untuk menentang kejahatan mereka. Tapi tujuannya adalah menghentikan proses perusakan tatanan masyarakat yang ada, bukan justru menambah kekacauan dengan tindakan balas dendam." "Lalu sakit hati ini, apakah tidak akan dibalaskan?", tanya seseorang dengan nada sengit. "Seseorang bisa dikatakan pahlawan jika tindakannya bukan semata-mata untuk memuaskan keinginan hatinya sendiri, melainkan untuk mencapai tujuan yang lebih besar bagi kemaslahatan banyak orang."   Orang yang bertanya itu berdiri dari tempat duduknya, pandang matanya menyorotkan kekesalan, bahkan mungkin kebencian, dengan kemarahan yang ditekan dia berkata.   "Hmph perkataanmu terlampau tinggi, kukira aku tidak sesuai berada di sini. Maafkan aku Ding Tao, kukira kau tak ada bedanya dengan orang-orang di anak cabang keluarga Huang." "Kau hanya bisa menutupi kepengecutanmu dengan kata-kata yang indah! Aku pergi!"    Patung Emas Kaki Tunggal Karya Gan KH Si Rase Hitam Karya Chin Yung Rase Emas Karya Chin Yung

Cari Blog Ini