Ceritasilat Novel Online

Pedang Angin Berbisik 2


Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng Bagian 2


Pedang Angin Berbisik Karya dari Han Meng   Kalaupun kata cinta terlintas dalam benaknya, dikuburnya kata-kata itu jauh ke dalam.   Tapi betapa sakit ketika berulang kali Wang Chen Jin mengatakan bahwa dirinya hanya sekedar tukang kebun.   Akhirnya diapun tidak tahan dan dengan tergesa-gesa dia meninggalkan pekerjaannya.   Wang Chen Jin yang melihat semua itu dari sudut matanya, tertawa terbahak-bahak.   Tawa yang seakan mengikuti Ding Tao ke mana pun dia pergi.   Bahkan ketika dia sudah jauh dari taman, di dalam biliknya yang sempit, tawa Wang Chen Jin masih mengikutinya.   Terbayang keakraban pemuda itu dengan Huang Ying Ying dan tangannya pun mengepal erat.   Kepalanya terasa berdentum- dentum dengan kencang.   "Apakah nona muda akan menikahi pemuda itu?", tanyanya dalam hati.   "Pemuda itu berwajah tampan, memiliki nama dalam dunia persilatan, lagipula dia pandai dalam ilmu surat dan ilmu pedang.   Sungguh pasangan yang serasi dengan nona muda." "Mengapa aku berpikiran sempit, jika memang cinta bukankah seharusnya aku bahagia untuk nona muda?" "Apakah harapanku, nona muda dengan aku berbeda jauh.   Seorang tukan kebun membawakan sepasang kasutnya pun aku tidak pantas." "Wang Chen Jin menjanjikan sepasang tusuk konde berhiaskan mutiara, apa yang bisa aku janjikan untuk nona muda?"   Demikianlah ribuan pertanyaan dan jawaban, berlarian dalam benaknya. Antara hati dan pikiran tidak dapat diperdamaikan. Seribu alasan dia ajukan kepada dirinya sendiri, namun kegalauan hatinya tidak juga mereda. Terkadang harapannya melambung tinggi.   "Aku memang hanya tukang kebun, tapi pak pelatih Gu mengakui bakatku."   Kemudian terhempas tatkala dia mengingat asal usulnya.   "Tidak berbapak tidak beribu, lagipula aku bukannya berbakat, jika tidak tentu tidak butuh waktu bertahun-tahun hanya untuk mempelajari jurus dasar." "Bagaimana kalau seperti yang dikatakan pemuda itu, hingga tua pun aku tidak akan pernah tamat belajar."   Tanpa terasa air matanya meleleh, dengan tangan terkepal ditinjunya lantai yang dari tanah.   Tenaganya begitu kuat, gumpalan tanah terbang bercerai berai.   "Bodoh! Lelaki sejati pantang menitikkan air mata!" "Ding Tao...   betapa bodohnya dirimu! Apa akan menangis hanya karena urusan perempuan."   Dengan menggertakkan gigi, pemuda sederhana itupun mengambil posisi meditasi.   Perlahan-lahan diaturnya napas, pikirannya yang berlari liar, perlahan-lahan mulai mengendap.   Sakit hatinya pun terasa menumpul.   Menunggu hatinya semakin tenang, mulailah dia mengatur jalan nafas dan aliran energi yang dia rasakan dalam tubuhnya.   Pada dasarnya Ding Tao adalah seorang yang peka, hatinya mudah tergerak, tapi untunglah hal itu diimbangi pula dengan kemauannya yang keras.   Hanya dengan kemauannya yang keras itulah, dia dapat mengatur gerak liar pikirannya, dengan konsentrasi yang kuat diapun mulai mengatur jalan hawa murni dalam tubuhnya.   Ilmu keluarga Huang berasal dari Shaolin, dalam hal tenaga dalam, yang diutamakan adalah ketekunan dalam memupuk hawa murni.   Tidak ada teori dan metode yang memberikan hasil besar dalam waktu singkat.   Sungguh sesuai dengan watak Ding Tao yang sederhana dan berkemauan kuat.   Tidak lama kemudian pemuda itupun larut dalam latihan menghimpun hawa murni.   Lewat satu hio, pemuda itupun membuka matanya perlahan-lahan.   Hatinya sudah terasa tenang, sungguhpun masih tergerak jika teringat akan kedekatan Wang Chen Jin dan Huang Ying Ying, tapi dengan kemauan yang kuat dia berhasil mengendalikan pikirannya.   Sadar dia belum menyelesaikan pekerjaannya, Ding Tao pun pergi kembali ke taman setelah merapikan lubang di lantai tanah yang tadi dibuatnya.   Meskipun hatinya sudah tenang tidak urung dia merasa lega ketika melihat mereka bertiga sudah tidak ada lagi di dalam taman.   Wang Chen Jin yang sudah merasa berhasil menyakiti hati Ding Tao, merasa tidak perlu lagi berlama-lama berada di sana.   ---------------- o ---------------- Akhirnya tiba hari untuk Wang Dou dan puteranya meninggalkan Wuling untuk kembali ke rumah mereka.   Ding Tao yang menyadari keadaan hatinya dengan sengaja selalu menghindar dari Wang Chen Jin bertiga.   Tapi hari itu, Tuan besar Huang Jin meminta murid- murid utama keluarga Huang untuk ikut mengantar kepergian mereka.   Sementara beberapa orang kepercayaan Wang Dou telah datang untuk menjemput ketua dan puteranya, sehingga dua kelompok itu pun bertemu untuk saling memperkenalkan diri secara singkat.   Ding Tao yang lulus sebagai peserta terbaik, telah diangkat menjadi salah satu murid utama di bawah asuhan salah seorang tetua keluarga Huang.   Dengan sendirinya diapun ikut mengantarkan Wang Dou dan puteranya.   Seandainya saja pada hari itu tidak terjadi pertemuan antara Wang Chen Jin dan Ding Tao mungkin kisah ini memang cukup ditutup pada kisah sebelumnya.   Wang Chen Jin yang sudah merasa berhasil menyakiti hati Ding Tao dan membalas kekalahannya tempo hari, menampilkan kesan sebagai seorang yang berjiwa besar.   Setelah selesai berpamitan pada Tuan besar Huang dan keluarganya, dengan tersenyum dan sopan dia menghampiri Ding Tao.   "Ah saudara Ding, waktu itu aku belum sempat meminta maaf atas perkataanku yang sembrono."   Sikapnya yang terbuka ini mengundang simpati bagi mereka yang melihatnya.   Tuan besar Huang Jin mengangguk2 sambil tersenyum, Wang Dou pun mengelus jenggotnya sambil mengangguk2 bangga.   Ding Tao yang tidak menyangka bakal disapa oleh Wang Chen Jin pun jadi tersipu dan dengan terbata-bata menjawab, "Tidak perlu sungkan Tuan muda Wang, tidak perlu, justru aku yang harus meminta maaf telah melukai pergelangan tanganmu."   Sebenarnya ungkapan Ding Tao ini keluar tulus dari dalam hati, semenjak peristiwa di taman itu, dengan kemauan yang kuat dia mengubur dalam-dalam perasaannya pada Huang Ying Ying.   Dengan kemauan yang kuat pula dia membuang jauh- jauh perasaan tidak sukanya pada Wang Chen Jin.   Tapi tidak demikian yang diterima oleh Wang Chen Jin, jantungnya berdenyut kencang saat mendengarnya, serasa bergemuruh diterjang badai.   Jawaban yang diberikan secara tulus, bagi telinga Wang Chen Jin terdengar sebagai satu sindiran yang sengaja mengingatkan dia pada kekalahannya tempo hari.   Dengan senyumnya yang manis dan tawanya yang wajar, pemuda yang cerdik itu pun membalas dengan perkataan yang berbisa.   "Haha, jangan begitu saudara Ding, justru aku harus berterima kasih untuk luka yang kau berikan itu. Gara-gara luka itu, tampaknya nona muda Huang jadi bersimpati padaku."   Sambil tertawa dia mengerling menggoda pada Huang Ying Ying, karuan saja nona muda Huang itu menjadi tersipu malu.   Sebenarnya perkataan itu bisa dianggap sebagai kekurang ajaran, namun justru di sini letak kehebatan Wang Chen Jin, godaan itu dilontarkannya dengan pembawaan yang sopan dan tawa yang wajar.   Sehingga yang mendengar pun tidak menangkap kekurang ajaran dari perkataannya, yang terlihat hanyalah seorang pemuda yang bersenda gurau, berusaha meringankan beban perasaan bersalah dari teman dekatnya.   Bukan marah yang timbul, justru yang mendengarnya pun jadi ikut tertawa, saudara tua nona muda Huang yang berdiri di dekat gadis itupun meyodok pinggang sang adik sambil tertawa, keruan nona muda Huang semakin tersipu malu dan akhirnya lari ke dalam rumah, diikuti tawa semua orang yang meledak melihat tingkah si nona muda.   Tidak ada seorangpun yang menyadari bahwa perkataan itu dilontarkan untuk menyakiti hati Ding Tao yang menyimpan perasaan suka pada nona muda Huang.   Tidak ada seorangpun yang melihat bagaimana tajam mata Wang Chen Jin mengawasi raut muka Ding Tao.   Mulutnya ikut tertawa namun sorot matanya dingin mengerikan, meskipun hal itu hanya untuk sesaat lamanya.   Ya, Wang Chen Jin semakin murka.   Seharusnya Ding Tao menjadi marah, seharusnya Ding Tao menjadi sakit hati.   Sedikitpun gerak tubuh dan raut wajah pemuda itu tidak lepas dari penilaian Wang Chen Jin, tapi sekeras apapun dia berusaha menemukan tanda-tanda itu, tidak terlihat apa yang diharapkannya.   Ding Tao sudah berhasil mengendalikan pikirannya dan merelakan gadis pujaannya untuk bersanding dengan orang yang menurutnya lebih pantas.   Apalagi ketika Wang Chen Jin meminta maaf padanya barusan, serta merta pikiran buruk yang masih tersisa atas pemuda itu pun hilang dari dalam hati Ding Tao.   Meskipun untuk sesaat, jauh di dalam lubuk hatinya ada rasa menyesakkan yang timbul, dengan cepat perasaan itu ditekannya.   Hanya karena memang dia belum terbiasa dengan kedudukannya sebagai salah satu murid utama, dia tidak ikut tertawa lepas seperti yang lain.   Pemuda itu hanya menyengir dan dengan perlahan menggelengkan kepala saja.   Demikian sifat Ding Tao yang lurus justru membuat bara api di dada Wang Chen Jin yang licin menjadi membara.   Inilah kekalahannya yang kedua.   Yang pertama belum berhasil dia balaskan, justru untuk kedua kalinya dia dikalahkan oleh si pemuda dungu.   Tidak ada jalan lain penghinaan ini harus dibalas.   Tetapi semakin dia merancangkan yang kejam, semakin manis pula raut wajahnya.   Otaknya berputar kencang, melihat perhatian orang-orang masih tertuju pada nona muda Huang yang berlari karena malu, Wang Chen Jin berbisik cepat pada Ding Tao.   "Saudara Ding, malam ini temui aku di luar gerbang utara kota Wuling, masalah penting tentang nona muda Huang."   Kemudian cepat-cepat dia kembali berdiri di samping ayahnya, tidak ada seorangpun yang memperhatikan raut wajah Ding Tao yang terlengong-lengong.   Perhatian mereka berpindah dari nona muda Huang yang berlari malu pada pasangan ayah dan anak Wang yang sekali lagi berpamitan.   Setelah pertemuan itupun kedua kelompok berpisah, yang satu ke arah utara dalam perjalanan kembali ke sisi utara sungai.   Yang satu kembali ke dalam kota.   Ding Tao, dari urutan masih merupakan salah satu yang termuda dalam kelompok keluarga Huang, lagipula latar belakangnya hanyalah seorang pelayan dan untuk hal itu masih belum mendapatkan promosi, siapa yang memperhatikannya? Perkataan Wang Chen Jin, terngiang-ngiang di benaknya.   "Malam ini, di luar gerbang utara." "Masalah penting, nona muda Huang."   Ding Tao bukan jagoan yang sudah berpengalaman malang melintang di dunia persilatan, keluar masuk gerbang kota pada waktu malam bukan urusan kecil.   Tapi jika masalah itu menyangkut nona muda Huang, jangankan melawan satu regu penjaga gerbang.   Hujan golok dan pedang pun akan dilaluinya.   Tapi Ding Tao bukan seorang yang berpikiran pendek, jika demikian tentu Gu Tong Dang tidak akan tertarik padanya.   Sungguh kombinasi yang menarik ada dalam diri pemuda ini.   Biasanya mereka yang bisa berpikir rumit, hatinya pun serumit pikirannya, cenderung bermain taktis, licin dan berkelok-kelok.   Ding Tao memiliki pemikiran yang panjang dan dalam segala pekerjaan selalu banyak pertimbangan baik dengan rasa maupun logika.   Namun hatinya justru lurus dan sederhana.   Tidak lewat dalam pikirannya bahwa Wang Chen Jin bermaksud buruk atau hendak menipu dirinya.   "Masalah penting dengan nona muda Huang"   Dalam benaknya kalau bukan Wang Chen Jin yang ingin untuk menjalin hubungan lebih mendalam dengan nona muda Huang lewat dirinya.   Mungkin Wang Chen Jin mengetahui satu perkara yang bisa mengancam jiwa nona muda itu dan sekarang dia ingin melindunginya lewat Ding Tao.   Setelah menimbang-nimbang beberapa lama, akhirnya Ding Tao memutuskan untuk pergi diam-diam keluar kota sebelum gerbang ditutup.   Dia bisa kembali keesokan harinya saat gerbang sudah dibuka kembali.   Tentu saja itu berarti dia harus menghabiskan waktu semalaman di luar, tapi saat ini musim panas, tidak perlu dia mengkhawatirkan dinginnya malam.   Berhasil mengambil keputusan pemuda itupun segera menyingkirkan segala keraguan dari benaknya.   Tidak lagi dia memikirkan masalah itu atau mencoba mereka-reka permasalahan yang sesungguhnya.   Di saat yang sama Wang Chen Jin sedang sibuk memikirkan cara untuk membalaskan sakit hatinya pada Ding Tao.   Sejak kekalahannya Wang Chen Jin sudah berulang kali memainkan ulang pertandingan itu dalam otaknya.   Otaknya tidak kalah encer dengan Ding Tao, diapun bukan orang yang buta atas kekurangan sendiri.   Berulang kali dia menganalisa pertandingan itu, hingga pada akhirnya dia pun yakin bahwa seharusnya dia dapat memenangkannya, seandainya saja dia tidak memandang remeh lawan dan tidak kehilangan kesabaran.   Pada awalnya hal ini membuat sakit hatinya jauh berkurang dan baginya adalah cukup dengan menyakiti hati pemuda itu lewat permainan lidahnya, tapi hari ini, semua sakit hati itu terungkit kembali.   Segala umpatan dan makian yang dilontarkan ayahnya, terkenang kembali.   Wang Chen Jin bukan orang yang suka berlama-lama dalam mengambil keputusan, sekali dia memutuskan maka pikirannya akan ditujukan dengan bagaimana dia berhasil menyelesaikan hal itu.   Hari itu dia sudah memutuskan untuk melenyapkan nyawa Ding Tao.   Tinggal bagaimana dia melakukannya, langkah pertama sudah dia ambil, dia mempunyai keyakinan bahwa Ding Tao akan ada di luar gerbang utara kota malam ini.   Sekarang tinggal langkah selanjutnya, dari percakapan dengan beberapa orang dalam rombongannya kali ini, Wang Chen Jin tahu bahwa mereka akan berhenti di salah satu penginapan yang dibuka di sepanjang jalan dari Wuling ke utara dan berangkat kembali keesokan harinya.   Malam ini, dia bisa dengan diam-diam mengambil salah satu kuda yang terbaik dan sampai ke gerbang utara kota Wuling sebelum tengah malam.   Masalah terakhir yang harus dipecahkan adalah, bagaimana dia membunuh Ding Tao.   Sekali ini tidak boleh ada kesalahan, karena semua topeng akan disingkapkan, jika Ding Tao berhasil lolos dari pedangnya, maka hubungan yang baru saja dijalin antara ayahnya dan Tuan besar Huang Jin bisa berantakan.   Kalaupun hubungan itu masih bisa dipertahankan, karena perhitungan untung dan rugi, adalah hubungannya dengan nona muda Huang yang sudah bisa dipastikan berakhir.   Karena itu Ding Tao harus mati, bukan hanya mati, tapi juga tidak boleh ada orang yang bisa menghubungkan kematian Ding Tao dengan dirinya.   Kematiannya juga harus berlangsung dengan cepat, karena butuh waktu untuk kembali dari Wuling ke penginapan itu, dan dia harus kembali sebelum fajar tiba.   Dari pemikiran ini, maka Wang Chen Jin sampai pada satu kesimpulan, untuk membunuh Ding Tao, dia harus meminjam pedang pusaka milik ayahnya.   Pedang pusaka ini tidak bernama, keberadaannya pun sangat dirahasiakan, kecuali ayahnya dan 2 orang kepercayaan dalam kelompok mereka, tidak ada seorangpun yang tahu mengenai keberadaan pedang pusaka ini.   Pedang pusaka ini sesungguhnya tidak tepat dinamakan pedang, panjang mata pedangnya tidak lebih dari 5 cun, tapi tajamnya luar biasa.   Seluruh bagiannya merupakan kesatuan, dari gagang hingga mata pedang, hampir tidak ada penahan yang memisahkan mata pedang dengan gagang pedang.   Jika tidak waspada dan tidak kuat menggenggam, bukan tidak mungkin jari pemakainya bisa terpotong sendiri oleh tajamnya pedang.   Pembuatnya secara tidak sengaja telah menambahkan unsur kimia dari logam lain ketika mengolah biji besi yang digunakannya.   Hal ini terjadi tanpa sengaja dan tidak disadari, hingga ketika pembuatnya mendapati pedang buatannya, jauh lebih kuat, lebih lentur dan bisa dibuat sedemikian tajamnya tanpa menjadi retas, tidak dapat pula dia untuk membuat pedang yang berkualitas sama untuk kedua kalinya.   Ditambah keahlian dari pembuat pedang, maka tidak salah jika pedang ini menjadi pedang pusaka.   Sudah tentu dulunya pedang ini memiliki nama, sebagai pedang pusaka yang tidak ada duanya.   Tapi dalam genggaman Wang Dou pedang ini berubah menjadi pedang tak bernama.   Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo      Begitu berharganya pedang ini sehingga kemanapun Wang Dou pergi, pedang ini tentu dibawanya.   Tapi tidak sekalipun pedang ini digunakannya.   Dibuatnya selongsong kayu dan disimpannya pedang itu di tengahnya.   Jika orang memandang maka yang terlihat adalah sebuah tongkat.   Dan tongkat itulah yang dipakai Wang Dou sebagai senjata, tapi tidak sekalipun dia menarik pedang yang tersembunyi dalam tongkat.   Ambisinya besar, sebelum dia yakin akan menguasai seluruh dunia persilatan, tidak akan ditariknya pedang itu.   Pun jika nyawanya sudah berada di ujung tombak.   Wang Chen Jin adalah putera satu-satunya, kepada puteranya itu tidak mau tidak, rahasia itu diberitahukan.   Harapannya kelak, jika sampai dia gagal meraih cita-citanya, maka puteranyalah yang akan meneruskan.   Pedang inilah yang menjadi kekuatan utama Wang Chen Jin untuk melenyapkan Ding Tao.   Tidak jarang seorang ahli bisa mengurai pembunuh seseorang lewat luka yang ditinggalkan.   Tapi tidak seorangpun dalam dunia persilatan yang tahu akan pedang pusaka milik ayahnya, dengan demikian jejak luka yang tertinggal di tubuh Ding Tao tidak akan merembet pada dirinya atau ayahnya.   Dari segi ilmu dia yakin dapat mengalahkan Ding Tao, ditambah dengan pedang pusaka maka kesempatannya pun meningkat berkali-kali lipat.   Selama perjalanan hal ini berulang kali dipikirkannya, dan semakin dia memikirkan rencana itu, semakin dia yakin bahwa rencananya akan berhasil.   ------------------ o ------------------ Malam sudah tiba, hari cerah tak berawan, bulan masih berbentuk sabit dan di langit tampak bertaburan bintang.   Di salah satu sudut di dekat gerbang utara kota Wuling, Ding Tao meringkuk diam, menunggu.   Sudah sejak sore tadi dia menunggu, diam, jauh dari kerumunan, di sebuah gerobak yang sudah sejak siang ditinggalkan pemiliknya, karena isi dagangannya telah habis.   Besok dia akan mengisinya dengan dagangan yang baru, tapi sekarang gerobak itu ditinggalkannya begitu saja.   Sebilah pedang, pedang yang menjadi kebanggaannya, pertanda akan hasil ketekunannya dipeluknya erat-erat.   Malam ini pedang itulah satu-satunya teman dalam penantian.   Dari sore hingga jauh tengah malam, jika bukan Ding Tao mungkin sudah lama pergi meninggalkan tempat itu, setidaknya berpindah ke tempat lain.   Tapi tidak demikian dengan Ding Tao, ditunggunya dengan sabar, jika perlu hingga fajar datang.   Sambil menunggu direnungkannya jurus-jurus baru yang dia pelajari beberapa hari ini.   Betapa dia merasa gembira karena jurus-jurus yang baru ini banyak mengungkap kemungkinan-kemungkinan dalam memainkan pedang dan tangannya.   Pertanyaan yang dulu belum terjawab saat melatih jurus-jurus dasar, dia temukan jawabannya di jurus-jurus yang baru ini.   Sejak pertarungannya dengan Wang Chen Jin, pemahaman Ding Tao akan seni bela diri mendapatkan satu terobosan.   Hampir seperti mendapatkan pencerahan, seorang siswa yang belajar dengan tekun suatu ilmu tentu pernah merasakan terobosan semacam ini.   Ketika tiba-tiba yang awalnya hanya berupa hapalan, berupa laku yang ditekuni, tiba-tiba didapatkan pemahaman.   Dan yang tadinya terasa antara ada dan tiada, dimengerti tapi tak dapat dipahami, melihat namun hanya bayang-bayang saja.   Tiba-tiba dalam satu titik tertentu terungkap dan bisa dimengerti dengan terang.   Dalam waktu yang kurang dari seminggu, Ding Tao hari ini berbeda dengan Ding Tao yang berusaha lulus dalam ujian kenaikan tingkat.   Hal ini bukanlah karena obat ajaib atau ilmu ajaib, ini adalah hasil ketekunan.   Pencerahan datangnya memang sulit diduga dan bergantung pada bakat serta keberuntungan.   Pada beberapa orang setelah bertekun berpuluh-puluh tahun barulah mendapatkan kemajuan, pada beberapa yang lain pencerahan itu datang seperti tiba-tiba.   Kedalaman pemahaman seseorang pun bervariasi tergantung dari bakat dan pengetahuan yang sudah dipupuk sebelumnya.   Tapi yang pasti pencerahan itu sendiri adalah akumulasi perenungan, laku dan usaha yang tidak kenal lelah, meskipun pelakunya sendiri terkadang tidak menyadarinya.   Dalam keadaan seperti itu, menghabiskan waktu berlama-lama dengan berduduk diam di satu tempat tidak menjadi masalah bagi Ding Tao.   Berjam-jam berlalu Ding Tao hanyut dalam renungannya.   Seperti anak kecil yang mendapatkan mainan baru, hal-hal lain jadi terlupakan.   Malam begitu sepi, derap kuda yang melambat terdengar jelas.   Ding Tao menajamkan matanya, mencoba menembus kegelapan malam, di kejauhan dilihatnya sesosok bayangan.   Siapa lagi jika bukan Wang Chen Jin, tidak ada orang lain yang berkeliaran selarut itu, Ding Tao berdiri meninggalkan bayang-bayang yang menyembunyikan dirinya, tidak lupa pedang sudah siap di tangan, karena bila bayangan itu bukan Wang Chen Jin yang ditunggunya, besar kemungkinan tentu bukan orang baik-baik.   Dengan jantung berdebar-debar dia berjalan menghampiri penunggang kuda itu.   Tanpa terasa keringat membasahi tangannya.   Penunggang kuda itu melihat Ding Tao dan turun dari kudanya, dengan dituntun dibawanya kuda itu mendekat ke arah Ding Tao, ketika jarak di antara mereka sudah tak begitu jauh, terdengar penunggan kuda itu berbisik menyapa.   "Saudara Ding Tao, engkaukah itu?"   Mendengar suara itu, hati Ding Tao pun lega. Sambil mempercepat langkah kakinya dia menjawab.   "Benar tuan muda, ini saya, Ding Tao."   Tidak terlihat dari tempat Ding Tao, Wang Chen Jin tersenyum kejam, perlahan tanngannya meraba ke arah hulu pedang yang disimpan di samping pelana.   "Apakah kau datang sendirian?" "Ya tuan muda, kupikir sebaiknya demikian, lagipula tuan muda menyampaikannya dengan berahasia.   Jadi kuputuskan untuk datang sendirian." "Bagus sekali, memang cermat pemikiranmu Saudara Ding."   Sambil saling bercakap, tak terasa mereka sudah bertatapan muka, tak sedikitpun tampak ada niat jahat di raut wajah Wang Chen Jin. "Tuan muda, sebenarnya ada masalah apa dengan nona muda Huang?"   Alis Wang Chen Jin berkerut, senyum persahabatan yang tadi terlihat di wajahnya, berubah menjadi seraut wajah yang penuh kekhawatiran.   Perubahan ini membuat Ding Tao jadi berdebar-debar, ada masalah apa dengan gadis pujaannya.   "Hmmm...   sebaiknya kita mencari tempat yang lebih baik untuk membicarakannya."   Wang Chen Jin menebarkan pandangan ke sekitar tempat itu, mencari tempat yang cukup tersembunyi sehingga dia bisa menyembunyikan mayat Ding Tao dengan cepat.   Setidaknya memberi lebih banyak waktu baginya sebelum kematian Ding Tao diketahui orang.   Ding Tao dalam hati merasa sedikit heran, apa yang dimaksud Wang Chen Jin sebagai tempat yang lebih baik.   Malam begitu sepi, sehingga rasanya di mana pun sama sepinya, atau mungkin Wang Chen Jin ingin berbicara sambil duduk-duduk dengan sedikit nyaman? Tentu itu maksudnya, pikirnya dalam hati.   Sementara itu mata Wang Chen Jin tertumbuk pada sebuah sumur yang berada di dekat tempat itu, dalam hati dia bersorak, tapi di luar wajahnya tidak berubah.   "Mari kita pergi ke sana." "Baiklah"   Berdua mereka berjalan ke arah sumur itu dalam diam.   Ding Tao yang tidak tahu apa yang akan dikatakan dan Wang Chen Jin yang dengan tegang menanti-nanti saat yang tepat untuk menghabisinya.   Semakin dekat dengan sumur itu, jantung Wang Chen Jin berdebar semakin kencang.   Ding Tao yang seharusnya tidak bisa menjenguk ke dalam hati Wang Chen Jin, tiba-tiba merasakan jantungnya berdebaran.   Seperti mendapatkan peringatan, Ding Tao bisa merasakan adanya bahaya yang mengancam dirinya.   Hal ini sulit dijelaskan, apakah memang ada pertolongan dari dewa-dewa yang melindungi orang yang baik.   Ataukah ini alam bawah sadar Ding Tao yang bekerja, menerjemahkan masukan-masukan, keanehan-keanehan dari Wang Chen Jin, dan sebelum alam sadar Ding Tao mengambil kesimpulan, intuisinya telah terlebih dahulu mencapai kesimpulan.   Jika hendak diperdebatkan antara mereka yang mempercayai keberadaan dewa-dewa dan mereka yang tidak mempercayainya, tentu tidak akan pernah ditemukan titik temu.   Tapi yang pasti intuisi Ding Tao itu telah menyelamatkan nyawanya.   Saat pedang dicabut, suara mata pedang yang bergesekan dengan sarungnya, terdengar bagaikan sambaran guruh di telinga Ding Tao yang sudah tegang sejak tadi.   Naluri Ding Tao membuatnya melompat cepat, membuang tubuhnya menjauh dari sumber suara itu.   Seandainya saja Ding Tao terlambat sesaat saja mungkin saat itu tubuhnya sudah terbelah menjadi dua.   Namun berkat kesigapannya, sambaran pedang itu tidak sampai menghabisinya, meskipun demikian segaris luka memanjang telah menghiasi dada Ding Tao.   Bajunyapun dalam waktu singkat menjadi kotor penuh debu akibat bergulingan di atas tanah, tapi tak ada waktu untuk memikirkan semua hal kecil itu.   Di hadapannya telah berdiri seorang musuh yang akan menghabisinya bila dia lalai sekejap mata saja.   Wang Chen Jin yang tidak menyangka bahwa serangannya yang tiba-tiba itu bakal meleset, terlambat beberapa detik untuk meneruskan serangannya.   Beberapa detik yang singkat itu sudah cukup untuk Ding Tao melompat berdiri dan mencabut pedang.   Sejenak keduanya berhadapan, bagaikan pengulangan dari pertarungan beberapa hari sebelumnya, untuk kedua kalinya dua orang pemuda dengan sifat yang jauh bertolak belakang berhadapan untuk mengadu tajamnya pedang dan kerasnya kepalan.   Wang Chen Jin yang lebih berhati-hati kali ini tak hendak buru-buru menyerang seperti pada pertarungan sebelumnya.   Ding Tao yang memang pada dasarnya tidak menyukai konflik dan banyak berhati-hati dalam melakukan segala sesuatu.   Keduanya berdiri diam dengan pedang di tangan.   Ding Tao bersiap dalam posisi pembukaan jurus pertama dari 3 jurus dasar pedang keluarga Huang.   Tangan kanan yang menggenggam pedang menjulur ke depan dengan ujung condong menghadap ke tanah, tangan kiri menyilang di depan dada.   Kaki kanan di depan, sementara kaki kiri di belakang, menunjang badan yang berdiri tegak berimbang.   Wang Chen Jin, berdiri tegak, kedua kaki yang agak merenggang, sedikit menekuk dan bertumpu pada ujung bagian depan telapak kaki.   Tangan kanan menggenggam pedang, bersilang di depan dada dan tangan kiri bersiap di pinggang.   Kali ini Wang Chen Jin tidak ingin gagal untuk kesekian kalinya, kegesitan Ding Tao, menghindar dari serangannya yang tiba-tiba membuat dia jauh lebih berhati-hati.   Tidak lagi dia menilai rendah pemuda itu seperti pada pertarungan yang sebelumnya.   Apalagi sekarang dia berkepentingan untuk menghabisi pemuda itu secepatnya, dalam benaknya berkelebatan jurus serangan dan bagaimana Ding Tao nanti akan berusaha mengatasinya.   Tiba-tiba disadarinya betapa kokoh pertahanan dari pemuda di hadapannya.   Berdebaran jantung Wang Chen Jin ketika menyadari hal tersebut, dari pengalaman ini terbukalah pikirannya, bahwa jurus-jurus dasar pun memiliki kedalamannya sendiri.   Mungkin ada puluhan orang yang mengambil pembukaan seperti Ding Tao, tapi apakah mereka mampu menjadikannya benteng yang kokoh seperti yang dilihatnya sekarang ini? Posisi siku, pergelangan tangan dan pedang, siap menghadang setiap serangan dari depan.   Gerakan menangkis serangan, berapa banyak kombinasinya, pada dasarnya tidak jauh berbeda, dan kedudukan tubuh atas Ding Tao secara keseluruhan memungkinkannya untuk menangkis setiap serangan dengan sebaik mungkin.   Jika Wang Chen Jin berusaha menghindari hadangan di depan dengan berpindah posisi ke sisi lain, kedudukan kaki Ding Tao pun memungkinkannya untuk berganti arah dengan cepat.   Bahkan hal itu bisa berbalik membahayakan Wang Chen Jin jika dia tidak berhati-hati, karena bisa juga terjadi Ding Tao akan bergerak cepat lurus ke depan dan memotong pergerakannya, seperti pada pertarungan yang lalu.   Dengan demikian Wang Chen Jin pun berlaku hati-hati.   Ding Tao yang terlihat bagai benteng yang kokoh di mata Wang Chen Jin, sesungguhnya tidak kalah berdebar-debar.   Diperhatikannya kuda-kuda Wang Chen Jin yang ringan, seperti anak panah siap lepas dari busurnya, tapi ke arah mana anak panah itu akan meluncur sungguh dia tidak bisa menduga.   Pedang menyilang dan kepalan tersembunyi di belakangnya.   Memandang pedang bergerak, melupakan kepalan bisa jadi berbahaya.   Tapi sebaliknya kepalan yang tersembunyi bisa menjadi pengalih perhatian sementara gerakan pedang yang menjadi pembuka serangan, justru sedang mengambil kedudukan untuk menyerang.   Dalam tegangnya Ding Tao berdiam menanti lawan mengambil inisiatif terlebih dahulu.   Yang ingin menyerang tak dapat untuk segera menyerang.   Yang sedang bertahan tak berani bergerak dan membuka peluang pada lawan untuk menyerang.   Seandainya Ding Tao memiliki lebih banyak pengalaman mungkin akan berbeda pula sikapnya.   Seandainya Wang Chen Jin mengetahui kebimbangan lawan di hadapannya, mungkin akan berbeda pula sikapnya.   Entah berapa lama sesungguhnya mereka berdiri diam, tapi jika ditanyakan pada mereka berdua, waktu yang seharusnya sama ternyata menjadi berbeda.   Bagi Wang Chen Jin waktu yang dia lalui serasa bagaikan beribu tahun lamanya, otaknya yang bergerak gesit memikirkan satu serangan ke serangan berikutnya tapi tidak juga dia menemukan jalan untuk menembus benteng pertahanan Ding Tao.   Seakan diam tapi dalam bayangannya sudah 30 jurus dia lancarkan dan setiap jurus dapat dimentahkan oleh Ding Tao.   Tentu saja itu hanya dalam bayangan, kenyataannya belum tentu Ding Tao dapat mementahkannya.   Tapi Ding Tao yang ada di dalam benaknya saat ini mampu mementahkan setiap serangannya itu.   Bagi Ding Tao waktu yang dia lalui terasa jauh lebih singkat, sejak berhadapan tidak sedetikpun dia berani melepaskan perhatiannya dari keadaan lawan.   Kebiasaan bermeditasi, melatih ketajaman rasa dan juga mengumpulkan hawa murni, tanpa sadar mengambil alih.   Pernapasannya menjadi dalam dan teratur, setiap panca inderanya menajam.   Waktu jadi tidak lagi berarti, Waktu bisa dikatakan sedang berhenti atau tidak ada sama sekali.   Perlahan-lahan sosok lawan yang menakutkan, yang dibumbui oleh ketegangannya sendiri, menjadi semakin mendekati kewajarannya.   Ketika pikirannya berjalan dengan tenang mulailah dia bisa menganalisa kedudukan dirinya dan Wang Chen Jin dengan wajar.   Kuda-kuda lawan mengandalkan kecepatan dan menitik beratkan pada serangan, tapi lawan tidak juga menyerang, dalam hal ini terjadi ketidak sesuaian, seharusnya yang dia lakukan adalah menggunakan kesempatan itu untuk balik menyerang lawan.   Berusaha memaksa lawan untuk berpindah ke kedudukan yang kurang menguntungkan, sekaligus melihat reaksi lawan, dalam usaha untuk lebih jauh mengenali tanggapan lawan atas serangan tertentu.   Atau bisa juga dia dengan sengaja menunjukkan kelemahan dalam pertahanannya, memancing lawan masuk ke arah yang dapat diperkirakannya, menyiapkan jebakan, memotong lawan pada saat yang tepat.   Tergelitik oleh berbagai kemungkinan, Ding Tao pada akhirnya justru menjadi larut dalam menjajagi berbagai kemungkinan yang akan timbul.   Untuk berapa saat lamanya, di dalam dirinya bagaikan muncul dua sosok Ding Tao, yang seorang mengawasi setiap gerak gerik dan desahan nafas lawan, yang seorang lagi sedang bermain dengan angan-angannya, seperti bermain catur dia menghitung-hitung apa yang bisa dia lakukan dan bagaimana lawan akan bereaksi.   Dalam waktu yang tidak jelas berapa lamanya tersebut, kedua pemuda itu telah bertanding puluhan jurus tanpa bergerak sedikitpun.   Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo   Perbedaannya adalah, jika Wang Chen Jin dikejar-kejar waktu, Ding Tao justru sudah melupakan berjalannya waktu.   Sekali lagi perbedaan sifat dari keduanya dan juga dasar di mana mereka berdiri dalam menghadapi pertarungan itu, turut mempengaruhi jalannya pertarungan di antara dua pemuda berbakat.   Ditilik dari segi bakat keduanya sama-sama memiliki otak yang encer dalam mendalami ilmunya masing-masing.   Dari segi pengalaman Wang Chen Jin berada di atas Ding Tao, namun masih diimbangi pula dengan ketajaman pengamatan dan kepekaan rasa Ding Tao yang melebihi orang rata-rata.   Tapi Wang Chen Jin sedang berusaha melenyapkan nyaway orang atas dasar iri hati, meskipun dia bisa membela dirinya sendiri dengan berbagai argumentasi, tapi jauh di dalam lubuk hatinya, dia sadar bahwa dia sedang menempuh jalan yang dipandang hina oleh manusia.   Apalagi dia sudah "meminjam"   Pedang pusaka ayahnya secara diam-diam, dikejar oleh perasaan bersalah, waktu menjadi musuh kedua bagi dirinya.   Sebaliknya Ding Tao dalam hatinya memiliki keyakinan bahwa dia berdiri teguh atas landasan kebenaran.   Dia datang karena keinginannya untuk melindungi keluarga Huang yang sudah banyak menanamkan budi pada dirinya, terlebih khusus nona muda Huang.   Setitik pun tak terbersit mencari keuntungan pribadi, meskipun sekarang dia sadar bahwa semuanya itu tidak lebih dari perangkap yang dibuat oleh Wang Chen Jin secara licik.   Bahwasannya dia sekarang menggenggam pedang dan mungkin akan melukai bahkan membunuh lawan, hal itupun bukan dikarenakan keinginannya sendiri, melainkan dalam kewajibannya untuk melindungi kehidupan yang sudah dikaruniakan kedua orang tuanya pada dirinya.   Tapi ada satu faktor di luar kemampuan dan kemantapan masing-masing kedua pemuda itu yang ikut menentukan hasil pertarungan.   Sebilah pedang yang tajam.   Pada saat itu, di antara mereka berdua hanya Wang Chen Jin yang menyadari kelebihan itu.   Dalam hati dia merasa sudah melakukan tindakan yang tepat dengan "meminjam"   Pedang pusaka itu, nyata bahwa perhitungannya akan kemampuan Ding Tao tidaklah tepat seperti perkiraannya.   Jika saja yang dibawanya hanyalah pedang biasa, benteng pertahanan Ding Tao adalah benteng yang tidak tertembus oleh kemampuannya sendiri.   Mengandalkan kelebihan dari pedang pusakanya itu akhirnya Wang Chen Jin sampai pada satu keputusan.   Keheningan malam itu pun tiba-tiba pecah, dalam remangnya malam yang hanya diterangi cahaya bintang dan bulan sabit, pedang pusaka berkilauan menyambar-nyambar.   Untuk sesaat tidaklah mudah mengikuti bayangan kedua pemuda itu, setelah beberapa saat lamanya melihat mereka diam mematung lalu dengan tiba-tiba mereka bergerak lincah bagai capung-capung yang bermain di padang rumput.   Suara pedang beradu pedang, suara besi mengiris besi memenuhi malam, sambung menyambung oleh cepatnya serangan dan tangkisan.   Pada beberapa benturan awal, Ding Tao sudah merasakan satu keganjilan, perasaannya yang peka menyadari ada sesuatu yang salah, sesuatu yang tidak sesuai dengan perhitungan dalam benaknya.   Dengan berjalannya waktu, diapun sadar, pedang lawan bukan hanya membentur pedang miliknya, tapi pedang lawan sudah meninggalkan luka-luka di sepanjang bilah pedang miliknya.   Hatinya mencelos, seperti jatuh ke dalam jurang yang dalam.   Betapa ulet dan kerasnya pedang hadiah dari Tuan besar Huang Jin tidak disangsikan lagi oleh Ding Tao, bahwa pedang baja pilihan itu bisa mengalami kerusakan sedemikian parah membuktikan bahwa pedang yang digunakan Wang Chen Jin tentu adalah satu pedang pusaka.   Baru belasan jurus, pedangnya sudah hampir rusak di setiap tempat, jika dia meneruskan hal cepat atau lambat tentu pedangnya akan kutung tak berguna.   Mengingat hal itu maka Ding Tao pun jadi jauh lebih berhati-hati dalam menangkis serangan lawan, dijaganya agar tiap kali pedangnya membentur pedang lawan, dia tidak membentur bagian mata pedang yang tajam.   Dengan cepat kedudukan Ding Tao pun berubah jadi terdesak.   Wang Chen Jin tentu saja tidak menyia-nyiakan kesempatan ini, serangannya semakin gencar menekan Ding Tao.   Belajar dari pengalaman sebelumya Wang Chen Jin tidak menyerang dengan sembarangan, meskipun dia sudah yakin bahwa malam itu kemenangan akan ada pada pihaknya, setiap serangan tentu diperhitungkannya baik-baik, tidak pernah lupa dia untuk menjaga pertahanannya sendiri.   Ding Tao yang berusaha mencari celah kelemahan dalam permainan pedang Wang Chen Jin pun kesulitan untuk menemukannya.   Tanpa terasa Ding Tao semakin terdesak mendekati lubang sumur yang menganga.   Peluh sudah bercucuran membasahi seluruh tubuhnya, bercampur dengan darah yang terus mengucur dari luka di dadanya.   Nafasnya semakin tidak teratur, demikian pula dengan tenaganya semakin terkuras.   Bukan saja oleh pengerahan tenaga, tapi juga dari kehilangan darah yang mengucur deras akibat pengerahan tenaga dan gerakan-gerakan yang dilakukan.   Untuk sesaat Ding Tao kehilangan harapan, tapi dia mengeraskan hati dan berusaha menujukan pikirannya sepenuhnya pada pertarungan, berusaha untuk mencapai yang terbaik tanpa memikirkan hasil akhirnya.   Laki-laki boleh mati, tapi jangan pernah melupakan budi, terngiang2 pesan akhir dari ayahnya sebelum menghembuskan nafas yang terakhir.   Ketika dia merasakan kakinya telah membentur pinggiran dari sumur itu, Ding Tao pun menggertakkan giginya, mengerahkan upaya yang terbaik yang bisa dia pikirkan.   Secara tidak sengaja, hawa murninya terbangkit dan menerobos melewati jalur energi di sepanjang tubuhnya dan mengalir, tersalur ke dalam pedangnya.   Wang Chen Jin yang tahu bahwa dia sudah sampai pada serangan terakhir tidak menyia-nyiakan kesempatan itu, disambutnya tabasan pedang Ding Tao dengan pedang pusakanya, sementara kaki kirinya bergerak pula untuk menendang dada Ding Tao.   Ding Tao yang sudah pasrah menerima kematian, hanya dapat berpikir untuk mengakhiri hidupnya dengan perjuangan sampai akhir.   Tidak melihat kesempatan untuk hidup lebih lama lagi, Ding Tao tidak berusaha menghindar dari pedang maupun tendangan Wang Chen Jin.   Ketika melihat tendangan Wang Chen Jin ke arahnya, diapun berusaha menendang Wang Chen Jin.   Sekalipun perlu berpuluh kata untuk menggambarkan serangan terakhir ini, sesungguhnya semuanya itu terjadi dalam hitungan detik bahkan sepersekian detik.   Dan terjadilah serentetan kejadian yang mengejutkan keduanya.   Pedang pusaka Wang Chen Jin, berhasil mengiris pedang Ding Tao sampai setengah dari lebar bilah pedang Ding Tao, tapi pedang Ding Tao yang sudah tersaluri tenaga dalam, mampu bertahan untuk tidak putus tertabas pedang Wang Chen Jin.   Bahkan akibat dari benturan itu pedang Wang Chen Jin terjepit oleh bilah pedang Ding Tao yang tertabas setengah.   Pada posisi itu, tendangan Wang Chen Jin telah masuk pula ke dada Ding Tao.   Pada saat yang sama, Ding Tao yang berusaha menendang ke arah perut Wang Chen Jin, justru tendangannya mengenai pergelangan Wang Chen Jin yang menggenggam pedang.   Ding Tao pun terjungkal keras, terguling melewati bibir sumur dan jatuh ke dalamnya, darah segar menyembur dari mulutnya.   Oleh tendangan Ding Tao, pedang pusaka terlepas dari tangan Wang Chen Jin dan terbawa Ding Tao ikut pula jatuh ke dalam sumur, masih terjepit pada belah pedang di tangan Ding Tao.   Untuk beberapa saat lamanya Wang Chen Jin yang berhasil membinasakan musuh bebuyutannya itu berdiri termangu.   Terhenyak melihat pedang pusaka milik ayahnya lenyap dalam lubang sumur yang gelap.   Satu hitungan, dua hitungan, hingga 20 hitungan lebih baru terdengar suara Ding Tao yang tercebur ke dalam air.   Tercenung Wang Chen Jin, berdiri memandang ke dalam kegelapan yang ada di hadapannya.   Kemenangan diraihnya, tapi hatinya tidak sedikitpun merasakan kegembiraan.   Wajahnya pucat pasi, sesaat dia berpikir untuk menuruni sumur itu.   Tapi sumur begitu dalam dan dia juga sering mendengar bahayanya turun ke dalam sumur.   Apalagi di bawah sana ada Ding Tao yang baru saja dibunuhnya.   Meskipun biasanya pemuda itu menertawakan cerita-cerita setan atau arwah penasaran yang didengarnya dari pembantu ayahnya, tapi saat itu dia tidak bisa tertawa saat membayangkan arwah Ding Tao yang penasaran sedang menanti dia di bawah sana.   Selagi dia meragu, tiba-tiba terdengar suara ayam yang berkokok, tersadarlah Wang Chen Jin, waktu sudah mendekati fajar.   Tanpa terasa pertarungannya melawan Ding Tao menghabiskan waktu lebih panjang dari yang dia perkirakan.   Dengan menggertak gigi dia berlari ke arah kudanya, lalu mencemplaknya, berpacu dengan waktu, kembali ke tempat penginapan di mana rombongannya pergi menginap.   -- o Sepanjang perjalanan jantungnya berdebar-debar, kepalanya serasa akan pecah memikirkan pedang pusaka yang hilang.   Namun dia sedikit terhibur dengan kematian Ding Tao, bila tidak ada yang menemukan mayat Ding Tao maka untuk sementara pedang itu akan aman.   Mendekati penginapan yang dituju, hatinya menjadi semakin mengkerut tatkala melihat, ayah dan pamannya sedang berduduk di sebuah pohon besar dan rindang, di depan penginapan.   Tidak ada kesempatan bagi dirinya untuk menyembunyikan diri.   Lagipula setelah berpikir di sepanjang perjalanan, Wang Chen Jin memutuskan untuk mengatakan yang sebenarnya kepada ayahnya.   Segarang-garangnya harimau tidak akan memakan anak sendiri.   Terlebih lagi dirinya adalah putra satu-satunya dari Wang Dou.   Dengan hati berdebar, Wang Chen Jin menghampiri ayahnya, meskipun sudah ada 1001 alasan yang terbentuk di benaknya, tapi semuanya menghilang saat akan dikatakan.   Terdiam dia menunduk, merasa takut, merasa malu, merasa bersalah.   Pandangan ayahnya tajam mengamati sang putera, diamnya sang ayah, membuat hati Wang Chen Jin semakin kecut.   "Hmmm...   dari Wuling ?" "Eh..   iya...", terbata Wang Chen Jin menjawab, kepalanya tertunduk, hanya bisa diam dan memandangi ujung sepatunya.   Dilihatnya noda-noda darah yang sudah mengering di sana.   Tentu bukan darahnya karena tidak ada luka-luka di sana.   Untuk sesaat tidak ada sepatah kata pun yang terucap di antara mereka.   "Di mana pedang pusakaku?"   Terkejut dengan pertanyaan ayahnya yang langsung menuju pada sasaran, tanpa terasa kedua lututnya lemas.   Pemuda itu pun dengan gemetar jatuh berlutut.   Mulutnya terkunci, pandang matanya memohon belas kasihan.   Berkerut-kerut wajah Wang Dou, tiba-tiba kepalan tangannya melayang dan menghajar kepala putera kesayangannya itu.   Wang Chen Jin pun terpelanting keras ke belakang.   Sebelum dia sempat bangun, bayangan Wang Dou sudah kembali berkelebat, siap melontarkan pukulan berikutnya.   Tapi cepat bayangan lain mengejar dan mendorong tubuh Wang Chen Jin berguling menjauh.   "ADIK WANG!! Ingat!! Ingat...   dia puteramu satu-satunya", dengan sebelah tangan menahan tubuh Wang Dou, paman Wang Chen Jin, kakak dari ibunya, Fu Tsun berusaha melindungi keponakan yang disayanginya itu.   "ANAK BODOH !!! Cepat berlutut minta ampun pada ayahmu !!!", bentaknya pada Wang Chen Jin.   Wang Chen Jin yang menyadari betapa murka ayahnya dan betapa besar kesalahannya, cepat-cepat berlutut dan menyembah-nyembah memohon ampun pada ayahnya.   Mata Wang Dou masih melotot, tapi raut wajahnya perlahan-lahan berkurang kebengisannya.   akhirnya dengan menggeram didorongnya Fu Tsun beberapa langkah mundur.   "Anak Bodoh!!! Keparat !!!"   Mendekat ke telinga Wang Chen Jin, Wang Dou berdesis.   "Diam-diam pergi dengan membawa pedang itu, kau tahu betapa penting artinya pedang itu bagi rencana kita!" "Maafkan aku ayah... maksudku hanya untuk meminjamnya saja lalu akan segera kukembalikan." "Kalau begitu di mana pedang itu sekarang?" "Pedang itu... pedang itu...   " "Tentu engkau sudah menghilangkannya, benar kan?" "Jadi... ayah sudah tahu?" "Heh... jika kau membawanya tentu sudah kau tunjukkan pedang itu sekarang ini. Dari wajahmu yang lesu dan sikapmu yang ketakutan mudah saja ditebak."   Kemarahan yang tadi meledak sudah mereda, wajah yang bengis berubah menjadi seraut wajah tua yang lelah.   Hati Wang Chen Jin pun merasa tertusuk, alangkah lebih baik bagi dirinya jika ayahnya murka.   Melihat ayahnya sedih hatinya jauh lebih teriris.   Dengan terisak dia pun meminta maaf dengan terbata-bata.   Pamannya mendekat, melihat ayah dan anak sudah kembali akur hatinya merasa tenang.   "Sudah sudah ...   hentikan tangismu, orang akan heran melihat tingkah kalian.   Sekarang ceritakan bagaimana hingga kau kehilangan pedang itu."   Dengan terbata-bata Wang Chen Jin mengisahkan kejadian semalam, sejak dari pertemuannya dengan Ding Tao hingga jatuhnya pedang itu ke dalam sumur bersama-sama dengan mayat Ding Tao.   Sesudah dia selesai bercerita, maka pamannya menepuk-nepuk pundaknya dan berusaha menyabarkan Wang Dou.   "Tidak begitu sial, pedang ada di dalam sumur, secepatnya hari ini aku akan kembali ke Wuling, melihat apakah ada yang menemukan mayat di dalam sumur.   Moga-moga sumur itu bukan sumur yang biasa dipakai umum.   Sebisanya aku akan mencegah seseorang memakainya.   Tapi jika aku gagal, aku pun akan mengawasi dengan ketat, ke manakah pedang itu dibawa." "Malam nanti, adik Wang bisa menyusulku, bersama-sama, kita akan mengambil kembali pedang itu.   Entah masih berada di sumur atau di bawah pengawasan petugas di kota Wuling."   Wang Dou mengeluh.   "Bisa juga keluarga Huang yang mendapatkannya. Ding Tao adalah orangnya, bukan tidak mungkin dia bisa mendekati petugas dan meminta agar barang-barang bukti yang ditemukan diserahkan kepadanya."   Paman Wang Chen Jin mengangguk.   "Itu adalah kemungkinan yang terburuk, tapi secepatnya aku akan pergi ke sana, sebisa mungkin akan kucoba agar tidak ada orang yang memakai sumur itu, kalaupun itu terjadi dan ada yang menemukan pedang itu, jika memungkinkan aku akan mengambil pedang itu."   Dengan pandang sedih Wang Dou memandangi puteranya.   "Bodoh... bodoh... sekali apa yang kau lakukan itu anak Jin. Kehilangan pedang, bolehlah kita anggap masalah rejeki. Tapi jika kau masih saja tidak bisa berpikir lebih tenang dan mudah menuruti keinginan hati bagaimana dengan kehidupanmu di masa depan nanti."   Suara ayahnya terdengar begitu sedih, Wang Chen Jin merasa sangat terpukul, hilang sudah ketakutannya digantikan dengan penyesalan yang tulus.   "Sebagai orang yang hidup dalam dunia yang keras, sekali berbuat kesalahan, akibatnya bisa menjadi fatal.   Kali ini urusan hilangnya pedang, seharusnya tidak perlu terjadi kalau kau bisa mengendalikan perasaanmu.   Seharusnya kekalahanmu sebelumnya kamu jadikan pelajaran untuk memperbaiki diri.   Kebencianmu pada pemuda itu sungguh tidak ada gunanya."   Fu Tsun pun segera pergi untuk mengambil kuda dan tidak lama kemudian sudah dalam perjalanan menuju ke Wuling.   Sementara itu Wang Dou memberikan nasihat-nasihat pada puteranya.   Tentang pedang pusaka yang hilang, ketiga orang itu masih menyimpan harapan besar untuk memperolehnya kembali.   Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo      Menanti malam tiba, kedua ayah beranak berusaha menampilkan wajah yang tenang meskipun hati mereka tidak sabar menantikan datangnya malam, meskipun pedang itu dengan aman tersembunyi di dalam sumur, tapi sebelum pedang itu berada di tangan kembali, hati mereka tidak bisa tenang.   Terhadap anggota rombongan yang lain, Wang Dou menjelaskan bahwa dirinya merasa sedikit lelah setelah perjalanan ke Wuling dan ingin beristirahat beberapa hari sebelum kembali ke rumah.   Meskipun ada yang bertanya-tanya dalam hati, tidak ada yang berani menanyakan keheranan mereka pada Wang Dou.   Yang bertanya-tanya ini, cukup cerdik untuk mengerti bahwa jika pun memang ada alasan tertentu, tentu ada pula alasannya sehingga Wang Dou tidak memberitahu mereka.   --------- o --------- Gu Tong Dang tidak bisa tidur dengan tenang malam itu.   Dia sendiri tidak tahu dengan jelas apa yang menyebabkan dirinya susah untuk tidur.   Seakan-akan ada sesuatu yang terlupakan dan sekarang otaknya berusaha untuk mengingat-ingat apa ada yang dia lupa untuk kerjakan hari itu.   Maklum umurnya sudah bertambah tua.   Perlahan-lahan, ditelusurinya apa saja yang dia kerjakan hari itu, tapi tidak juga teringat apa yang sebenarnya mengganggu perasaannya malam itu.   Kerja otak memang aneh, tidak jarang kita melupakan nama seseorang dan ketika kita berusaha keras untuk mengingatnya, ingatan itu tidak juga kembali.   Terasa oleh kita bahwa di suatu tempat di dalam otak kita, tersimpan nama orang itu, tapi dengan cerdiknya ingatan itu bersembunyi dari kita.   Demikian pula keadaan Gu Tong Dang waktu itu, dia tahu bahwa ada sesuatu yang penting yang terlupa olehnya, tapi apakah itu? Hal itu sangat mengganggu tidurnya dan seperti yang sering kita alami, saat kita sudah hampir menyerah tiba-tiba ingatan itu pun muncul.   Seperti seorang anak nakal yang bermain petak umpet.   Untuk sesaat Gu Tong Dang tersenyum lebar menunjukkan giginya yang masih lengkap terawat di umur yang sudah begitu lanjut, merasa senang karena ingatan yang dikejar-kejarnya itu akhirnya tertangkap juga.   Tapi tidak lama kemudian, alisnya berkerut dan wajahnya mengunjuk rasa kuatir, teringatlah kejadian saat Wang Chen Jin berbisik pada Ding Tao dan wajah Ding Tao tampak menegang.   Tentu ada suatu yang penting yang dibisikkan, demikian pikir Gu Tong Dang.   Beberapa lama guru tua itu termangu, tiba-tiba dikepalkannya tangan dan dengan gerakan yang gesit dia meloncat berdiri, "Hmm dipikirkan ke sana ke mari, kalau tidak ditanyakan langsung pada orangnya mana bisa aku tahu? Sebaiknya aku pergi menemui Ding Tao sekarang juga untuk menanyakannya, kalau tidak, sampai matahari terbit pun, mata tua ini tidak akan juga bisa terpejam." "Moga-moga Ding Tao bisa memahami kekuatiranku, dan tidak memandangku terlalu cerewet."   Sambil berlalu menuju kamar tempat Ding Tao tinggal, diapun berpikir dalam hati.   "Apakah memang semakin tua aku jadi semakin bawel?"   Terkekeh geli sendiri guru tua itu membayangkan bagaimana dirinya setelah tua menjadi seorang nenek yang bawel, tanpa terasa teringatlah dia terhadap mendiang isterinya.   Mendesah dia mengingat kenangan manis di masa lalu, sayang mereka berdua tidak kunjung diberkati keturunan.   Dengan mengenang masa lalu sampailah guru tua itu di depan kamar Ding Tao, perlahan-lahan diketuknya pintu kamar itu dan dipanggilnya murid kesayangannya.   Setelah beberapa lama dia mengetuk tidak juga mendapat jawaban, hati guru tua itupun menjadi semakin gelisah.   Dicobanya untuk mendorong pintu ke dalam dan dengan mudah pintu itu terbuka, karena tidak ada orang di dalam untuk memasang palang pintunya.   Diamat-amatinya keadaan kamar itu, guru tua itupun berusaha mengambil kesimpulan.   "Hmmm ada apa ini? Sudah lewat tengah malam, namun Ding Tao tidak ada di sini, bahkan tempat tidurnya pun masih rapi, seakan-akan dari tadi sore tidak pernah sesaatpun dia ada di sini. Apakah Ding Tao pergi untuk menemui pemuda itu? Dengan membawa pedangnya pula. Apakah tadi siang itu Wang Chen Jin menantangnya untuk bertarung?" "Jika iya, kira-kira di mana tempatnya?" "Tidak di dalam kota karena akan menarik perhatian dan jika di luar kota, tentu di sebelah utara, karena dari arah itulah yang terdekat untuk putera Wang Dou itu."   Begitu guru tua itu sampai pada kesimpulan, guru tua itu tidak mau membuang-buang waktu dengan percuma.   Segera dia pergi ke arah gerbang utara kota.   Gu Tong Dang sudah banyak pengalaman, untuk keluar dari gerbang kota dengan diam-diam mungkin cukup menyulitkan, tapi Gu Tong Dang tidak perlu keluar dengan diam-diam, ditemuinya penjaga pintu gerbang, dengan sedikit uang dan kedudukannya sebagai pengajar di rumah Tuan besar Huang, tanpa banyak kesulitan penjaga pintu gerbang membukakan jalan lewat sebuah pintu kecil yang biasa digunakan mereka atau orang lain yang memerlukan untuk keluar masuk kota di malam hari.   Begitu sampai di luar gerbang kota, Gu Tong Dang berusaha mengamati keadaan di sekitarnya.   Sayup-sayup, telinganya yang tajam masih mampu mendengar suara tapak kaki kuda yang dipacu orang.   Dengan bergegas dia pergi ke arah suara itu dan ditemukannya jejak-jejak yang masih baru.   Ada yang mengarah dari utara ke arah kota dan yang lebih baru dari arah kota menuju ke utara.   Gu Tong Dang bisa membayangkan bagaimana Wang Chen Jin memacu kudanya dari tempat dia menginap di perjalanan menuju ke Wuling, bertanding dengan Ding Tao dan kemudian memacu kudanya untuk kembali diam-diam.   "Hmmm Wang Dou mempunyai banyak kepentingan dengan kami, sudah tentu dia tidak menginginkan ada perselisihan di antara kami.   Tapi pemuda itu masih pendek pikirannya dan pula dia beradat tinggi.   Semoga anak Ding tidak mengalami celaka."   Buru-buru guru tua itu menelusuri jejak kaki kuda yang mengarah ke kota, meskipun dengan susah payah, akhirnya sampai juga dia di tempat Ding Tao dan Wang Chen Jin bertemu.   Menelusuri jejak itu, sampai pula guru tua itu di tempat mereka bertarung.   Hatinya berdebar-debar melihat ceceran darah di sekitar tempat itu.   Jejak dari pertarungan itupun akhirnya membawa guru tua itu sampai di bibir sumur dan di situlah jejak pertarungan mereka berakhir.   Dengan jantung berdebar dia berusaha melihat ke dalam sumur, tapi sumur itu terlalu gelap, lagipula hari belumlah terang.   Cahaya obor yang dibawanya tidak sampai ke dasar sumur.   Kesedihan memenuhi hati orang tua itu, dengan sedih dia berusaha memanggil, meskipun harapannya sudah demikian tipis.   "Ding Tao anak Ding apakah kau ada di sana?"   Saat tendangan Wang Chen Jin mampir di dadanya, seketika itu pula nafas Ding Tao menjadi sesak dan pandang matanya pun menjadi gelap.   Entah untuk berapa lama dia tidak sadarkan diri.   Begitu badannya menyentuh air sumur yang dingin, tersadarlah Ding Tao, meskipun dia belum teringat akan pertarungannya barusan, tapi tubuhnya dengan sendirinya bergerak, berusaha mengapung ke permukaan.   Tanpa sadar dia berusaha menusukkan pedangnya ke dinding sumur sebagai tempat bagi tangannya untuk bergantung.   Nasib baik masih melindungi Ding Tao, pedangnya menyangkut di sebuah retakan di dinding sumur dan menancap cukup dalam untuk menahan tubuh Ding Tao.   Lagipula tubuhnya masih berada di dalam air, sehingga tidak terlalu banyak beban yang ditanggung pedangnya.   Dengan pedang menahan tubuhnya agar tidak tenggelam, perlahan-lahan kesadaran Ding Tao pun kembali, teringatlah dia akan pertarungannya barusan.   Teringat pada pertarungan itu, teringat pula dia pada pedang Wang Chen Jin yang mampu mengiris-ngiris pedang bajanya seperti mengiris kayu saja.   Ketika dia melihat padang pusaka yang tajam luar biasa itu, masih terjepit oleh pedang bajanya, dengan rasa takjub pemuda itupun meletakkan pedang itu dalam genggamannya.   Lalu dengan satu sentakan dicabutnya pedang itu dari pedang bajanya.   Untuk sesaat diapun lupa pada rasa sakit di badannya, atau rasa lemas yang sebenarnya masih menguasainya.    Bintang Bintang Jadi Saksi Karya Kho Ping Hoo Raja Silat Karya Chin Hung Rase Emas Karya Chin Yung

Cari Blog Ini