Pedang Angin Berbisik 22
Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng Bagian 22
Pedang Angin Berbisik Karya dari Han Meng "Nah, kalau begitu kenapa lagi kau masih bertanya?" Lau Sau menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal sambil menyengir kuda, lalu diapun menjawab. "He A Kau, jangan terlalu bangga, semua perkataan ini tentu bukan berasal dari isi kepalamu sendiri. Benar tidak?" A Kau pun ganti menyengir kuda dan menjawab. "Hehe, memang benar, baru beberapa hari ini, setiap dari kami mendapatkan pengajaran tentang pandangan hidup dan prinsip yang ingin diterapkan oleh ketua baru kami. Aku sih hanya bisa mengulangi apa yang dikatakan oleh para pimpinan." Jawaban A Kau yang jujur tentu saja mengundang tawa mereka semua, salah seorang dari mereka kemudian menyeletuk, "Eh A Kau, kalau begitu kau sekrang tidak boleh terlalu galak. Kau kan berlatih silat bukan untuk gagah-gagahan lagi." "Ya, ya, sekarang aku pun tidak belajar silat untuk sekedar memamerkan kekuatan.", jawab A Kau dengan sungguh- sungguh meskipun dia mengatakan hal itu sambil tersenyum lebar. "Hmm.. kau bilang ketuamu yang baru, apakah pemuda yang kau bilang mengalahkan Pan eh jagoan pedang kemarin itu? Apakah setelah kemenangannya itu, kalian semua ditarik menjadi pengikutnya?", tanya Lau Sau pada A Kau. "Orangnya memang benar dia, umurnya masih sangat muda, bahkan setahun lebih muda dari diriku, tapi kepandaiannya setinggi langit. Tapi tidak tepat jika dibilang dia menarik kami untuk jadi pengikutnya. Yang terjadi justru pada awalnya dia menolak saat pimpinan kami hendak menyerahkan kekuasaan atas usaha kami pada dirinya. Tapi tergerak oleh kebaikan hatinya, maka satu per satu dari pimpinan kami secara suka rela, secara pribadi, menyatakan keinginan mereka untuk menjadi pengikutnya.", kata A Kau menjelaskan kejadian yang terjadi selama beberapa hari ini. "Oh, lalu kalian pun mengikuti pimpinan kalian dan menjadi pengikutnya pula?", kata Lau Sau. "Tidak, para pimpinan menyerahkan keputusan itu pada kami masing-masing, ada juga yang memutuskan untuk pulang kampung dan memulai usaha sendiri di sana. Keluar dari urusan dunia persilatan, tapi lebih banyak lagi yang seperti diriku ini. Kami tergerak oleh cita-cita yang dimiliki oleh Ketua Ding Tao dan memutuskan untuk menjadi pengikutnya.", ujar A Kau menjelaskan. Termenung Lau Sau mendengarkan penjelasan A Kau, kemudian dengan nada sungguh-sungguh dia berkata. "A Kau, kau memilih untuk mengikuti orang yang hebat, jika benar ceritamu itu, berarti orang ini pun sama bijaknya dengan Chen Shi dari jaman dinasti Han yang terkenal itu. Aku jadi iri terhadap dirimu yang memilih kehidupan dalam dunia persilatan." Ucapan Lau Sau diikuti oleh anggukan kepala dari teman-temannya yang lain, bahkan A Kau sendiri pun ikut merenungkan perkataan Lau Sau. Ada saat-saat di mana dalam pembicaraan, apa yang ada dalam benak dan hati bukan hanya tersampaikan lewat kata-kata. Namun dalam pembicaraan ada pula rasa yang tersampaikan. Saat ini mereka yang saling berbicara itu bisa merasakan apa rasa hati Lau Sau dan tersentuh olehnya. Dengan suara serius A Kau menjawab. "Aku mengerti, sebenarnyalah perkataanmu itu tepat adanya. Seorang laki-laki bisa mengikut orang yang tepat, kalaupun harus kehilangan nyawa bukanlah satu kerugian." Lau Sau mengangguk dan tersenyum. "Kau benar, sudahlah, kulihat kau juga sedang ada kesibukan, kau lanjutkan kerjamu. Lain kali jika kau atau kawanmu mampir di kedaiku, kalian bisa makan minum sepuasnya, jangan pikirkan soal uang." A Kau tersenyum dan mengangguk. "Tentu saja, lain kali akan kuajak kawan-kawan ke kedaimu. Kaupun tidak usah sungkan jika hendak mampir ke tempatku. Perayaan kali ini, terbuka untuk umum, jika mau kalian pun boleh datang, sama sekali tidak ada masalah." "Benarkah? Baiklah tentu kami akan datang. Omong-omong kau belum bilang ada perayaan apa hari ini?" "Oh ini upacara pembukaan perkumpulan kami secara resmi, sebelumnya ketua dan para pimpinan belum memutuskan satu nama, hanya dalam hati sudah saling berikrar. Setelah beberapa lama slaing berdiskusi, akhirnya ditetapkan nama perkumpulan kami adalah Partai Pedang Keadilan. Hari ini kami mengundang sahabat-sahabat dari dunia persilatan dan siapa saja yang mau datang, untuk merayakan kelahiran perkumpulan kami ini.", jawab A Kau dengan wajah yang cerah. "Partai Pedang Keadilan? Nama yang bagus, kalau ada waktu tentu aku kan datang. Kapan mulai diadakan dan di mana?", tanya Lau Sau dengan bersemangat. "Di gedung rumah makan keluarga Hok dan waktunya sepanjang hari, tiga hari, tiga malam kami akan menerima tamu dan membagikan makanan serta angpau pada setiap orang yang datang.", jawab A Kau. "Wah, bagus sekali, baiklah aku akan datang. Eh apa kalian mau beramai-ramai pula ke sana?", jawab Lau Sau yang kemudian berbalik pada teman-temannya dan bertanya. "Sudah, kalian datang saja, aku harus segera kembali bekerja, tapi kalian jangan lupa untuk datang.", sahut A Kau sambil melangkah masuk ke dalam gedung usaha keluarga Huang dan melambaikan tangan. Ya hari itu, perkumpulan yang didirikan Ding Tao dan rekan-rekannya, akhirnya mendapatkan bentuknya dan menyatakan keberadaannya secara resmi. Di rumah makan terbesar yang ada di kota Jiang Ling, perayaan itu diadakan. Segenap sahabat dan kenalan dalam dunia persilatan mendapatkan undangan. Bahkan orang-orang dari perguruan ternama pun ada pula yang datang, meskipun mereka tidak ikut diundang. Karena memang disiarkan bahwa perayaaan ini terbuka untuk umum dan tidak menetapkan satu undangan resmi pada kelompok tertentu. Gosip dan desas-desus akan matinya Pan Jun di tangan Ding Tao, membuat orang-orang banyak yang tertarik untuk datang dan menyaksikan keramaian. Tidak sedikit orang yang melakukan taruhan bahwa akan ada orang dari Partai Hoasan yang datang untuk mencari keributan. Meskipun banyak juga yang berpendapat, bahwa justru hal itu tidak mungkin terjadi karena bila itu terjadi, sama artinya Partai Hoasan mengakui bahwa ketua mereka terjungkal di bawah pedang Ding Tao. Hingga saat ini berita yang disebarkan oleh Partai Hoasan sendiri mengatakan bahwa Pan Jun sedang menutup diri dalam ruang rahasia, demi mempelajari salah satu ilmu rahasia, simpanan dari Partai Hoasan. Secara tidak langsung menyangkal berita yang mengatakan bahwa Pan Jun mati terbunuh di Jiang Ling dalam pertarungan melawan Ding Tao. Di saat itu, Ding Tao dan beberapa orang pengikut terdekatnya, antara lain Chou Liang, Liu Chun Cao, Fu Tong si tongkat besi, guru Chen Wuxi, Qin Hun dan pemilik kedai di perbatasan Wuling sedang beristirahat melepas lelah, sementara rekan-rekan yang lain menggantikan mereka untuk menemui tamu-tamu yang datang. Sambil beristirahat melepas lelah, pembicaraan ringan pun terjadi dan pada satu kesempatan Chou Liang bertanya pada Ding Tao. "Ketua Ding Tao, hal ini tidak pernah kita bicarakan sebelumnya, tapi ada sedikit rasa penasaran yang tidak bisa lagi kutahan-tahan." "Apakah itu Kakak Chou Liang? Kalau bisa kujawab tentu aku jawab.", ujar Ding Tao sambil tertawa geli melihat keseriusan Chou Liang. "Hal ini tentang pertarunganmu tempo hari dengan pendekar pedang pencabut nyawa itu.", ujar Chou Liang. Gelaran pendekar pedang pencabut nyawa, saat ini telah digunakan untuk menyamarkan nama besar Pan Jun, bila mereka sedang membicarakan hal itu. "Selama seharian Ketua memikirkan cara untuk mengalahkan pendekar pedang pencabut nyawa tersebut, sebenarnya cara apa yang sudah ketua temukan sehingga berhasil memenangkan pertarungan?", lanjut Chou Liang meneruskan pertanyaannya. Serentak perhatian mereka yang ada dalam ruangan itu pun tertuju pada Ding Tao. Mereka juga ingin mendengar penjelasan Ding Tao mengenai hal itu, sejak pertarungan tempo hari, mereka sibuk untuk meresmikan perkumpulan yang mereka dirikan. Baru kali ini ada kesempatan untuk berbicara secara bebas. Melihat ke sekelilingnya, Ding Tao pun sadar bahwa dia tidak bisa mengelak dari pertanyaan Chou Liang, setelah berpikir sejenak dia pun membuka mulut untuk menjelaskan. Melihat tidak ada jalan lain kecuali menceritakan apa yang terjadi saat pertarungan antara dirinya dan Pan Jun berlangsung, Ding Tao menghela nafas dan tersenyum kecut. "Yah sebenarnya kalau hendak diuraikan juga tidak terlalu rumit. Jika dibilang aku memiliki kelebihan dibanding Pendekar pedang Pan Jun, juga kurang begitu tepat." "Perbedaan menang dan kalah begitu tipis, bisa dikatakan jika ada kelebihan padaku, itu lebih pada masalah mental dan psikologis saja.", ujar Ding Tao. "Kecepatan pedang Pendekar pedang Pan Jun sangatlah tinggi dan serangannya dapat dilancarkan dari sudut-sudut yang menurut nalar sulit dilakukan. Apalagi serangannya berupa tusukan pedang dan bukan tebasan pedang, dengan demikian jalur serangannya lebih sempit dan sulit ditangkis." Mendengar penjelasan Ding Tao sampai di sini, mereka yang mendengarkan menganggukkan kepala, memahami apa yang sudah dijelaskan, meskipun masih belum melihat di mana titik pemecahannya dari kehebatan pembunuh bertopeng itu. "Pada pertarungan kami yang pertama, aku sudah merasakan betapa sulitnya untuk menghindari serangan-serangan itu. Ketika aku berusaha menentukan arah dari serangan lawan, serangan itu sudah tiba di depan mata, akibatnya akupun harus berjuang keras hanya agar dapat menghindari serangannya itu tanpa melemahkan kedudukan sendiri." "Selama ini, dalam setiap pertarungan, selalu ada kesempatan bagiku untuk mengamati jurus-jurus lawan, kemudian setelah memahami lawan, barulah aku memikirkan cara untuk mengalahkannya. Perlahan-lahan, jurus demi jurus aku menempatkan lawan pada posisi di mana aku bisa mengirimkan satu serangan terakhir untuk megalahkannya. Pendek kata, aku menciptakan kesempatan untuk menyerang. Namun berhadapan dengan Pendekar pedang kilat, Pan Jun, hal itu tak dapat kulakukan." "Kecepatan dan ketepatan serangannya melebihi semua lawan yang pernah kuhadapi sebelumnya. Jangankan untuk menggiring lawan masuk dalam situasi di mana aku bisa mengirimkan serangan terakhir. Untuk bertahan dari serangannya saja sudah cukup sulit. Tidak ada pilihan lain kecuali bertahan dan menunggu adanya kesempatan untuk menyerang. Hampir putus asa rasanya, sampai tiba-tiba terlintas dalam ingatanku, luka-luka pada mayat, korban serangan pedang kilat Pan Jun." Di antara mereka yang hadir di ruangan pada saat itu, hanya Liu Chun Cao-lah yang terus mengikuti Ding Tao dari sejak ditemukannya mayat Mao Bin hingga pertarungan Ding Tao dengan Pan Jun untuk kedua kalinya. Mendengar Ding Tao menyinggung-nyinggung masalah luka pada mayat-mayat korban Pan Jun, ditambah lagi dengan ingatannya atas pertarungan antara Pan Jun dengan Ding Tao yang kedua kalinya. Pendeta itupun tanpa terasa menepuk pahanya dan berseru. "Ah, ya benar semuanya mati oleh sebuah tusukan di kepalanya.", seru pendeta itu sambil menepuk pahanya sendiri. Mendengar seruan Liu Chun Cao, pikiran semua orang pun terbuka lebar dan mereka menangkap apa maksud dari seruan itu. Ding Tao melihat ke sekelilingnya dan tersenyum. "Ya, dengan mengetahui arah dari serangan lawan sebelum serangan itu diluncurkan, kesempatan untuk berhasil menahan serangan lawan tentu menjadi semakin besar. Dengan demikian, meskipun kecepatan serangan dan teknik serangannya sangat tinggi, yang perlu dilakukan hanyalah mengawasi datangnya serangan ke arah kepala. Meskipun kemenangan masih jauh dari jangkauan, setidaknya ada harapan besar untuk dapat bertahan hingga muncul kesempatan untuk menyerang.", ujar Ding Tao membenarkan apa yang ada dalam benak mereka semua. "Meskipun dia memiliki berbagai macam jurus serangan, namun pada puncak pengembangan jurusnya, selalu saja dia menyerang dengan sebuah tusukan ke arah kepala. Setelah semalaman kupikirkan akhirnya aku menemukan gerakan untuk menahan serangan tersebut. Jadi yang perlu kulakukan adalah bertahan sekuatnya sambil menanti dia mencapai puncak serangannya, di mana aku sudah menemukan cara untuk menangkalnya.", kata Ding Tao menjelaskan pemikirannya untuk melawan Pan Jun. Sejenak lamanya mereka merenungkan hal itu, kemudian Fu Tong si tongkat besi berkomentar. "Hmmm kedengarannya mudah dilakukan, tapi kenyataannya tentu tidak semudah kedengarannya, di antara kita semua, kecuali Ketua Ding Tao mungkin tidak ada orang lain yang mampu melakukan. Mungkin Saudara Ma Songquan dan isterinya bisa bertahan setelah mengetahui hal ini, tapi apakah bisa menggunakan kesempatan itu untuk memenangkan pertarungan masih patut dipertanyakan." Ding Tao merenung sebentar dan kemudian menjawab. "Sebenarnya akupun merasa seperti sedang melintasi jurang dengan meniti di atas tali yang tipis. Sedikit saja terlambat dalam bereaksi, bisa dipastikan kematian akan datang menjemput. Lagipula, bisa dikatakan satu pertaruhan juga, bagaimana jika tiba-tiba dia memutuskan untuk menyerang bagian lain dari tubuhku?" "Tapi 9 dari 10 bagian, tentu dia akan menyerang kepala Ketua Ding Tao. Yang pertama, harga dirinya sebagai pedang kilat tentu tidak mengijinkan dia untuk menyerang tempat lain. Yang kedua, untuk mematangkan satu serangan seperti yang dia lakukan, tentu membutuhkan waktu bertahun-tahun. Tidak bia kubayangkan berapa puluh ribu kali dia melatih gerakan- gerakan tersebut.", ujar Liu Chun Cao menjawab Ding Tao. "Ya setelah bertahun-tahun melatih dan meyakinkan jurus tusukan pedang itu, bisa dikatakan, jurus pedang ya Pan Jun, Pan Jun ya jurus pedang itu. Satu serangan yang bisa dia lakukan dalam keadaan tidak sadar sekalipun, setiap pergerakan, nafas dan pengolahan tenaga, sudah terukir kuat dalam benak, hati dan tubuhnya. Mengubah bentuk serangan di tengah pertarungan hanya akan melemahkan serangannya itu sendiri.", Qin Hun melanjutkan penjelasan Liu Chun Cao, sambil mengangguk-angguk membenarkan. Liu Chun Cao terdiam sejenak kemudian berkata. "Sebenarnya, Pan Jun harusnya bisa menyadari bahwa Ketua Ding Tao sudah memegang kelemahannya tersebut, dalam beberapa kali usahanya untuk mengakhiri perlawanan Ketua Ding Tao, dia sudah menggunakan jurus itu, meskipun belum dilakukan dengan segenap kekuatan seperti pada saat serangan yang terakhir." Chou Liang yang tidak terlatih dalam ilmu silat namun banyak membaca ajaran-ajaran dari kitab-kitab kuno bahkan kitab seni perang, ikut pula menyerap banyak pengetahuan baru dari pembicaraan mereka. "Hmm Pendekar pedang Pan Jun pasti juga dihadapkan pada kedua pilihan itu, segera setelah menyadari bahwa Ketua Ding Tao sudah bisa meraba arah serangannya. Namun di antara dua pilihan itu, akhirnya dia memilih untuk mempertaruhkan semuanya pada jurus serangan yang menjadi andalannya. Satu jurus yang diyakinkan selama bertahun-tahun, puncak dari segenap pencapaian dan kebanggan dirinya." Mereka yang mendengarkan sama-sama menganggukkan kepala, dalam hati merasa kagum pula pada Pan Jun yang mampu mengasah ilmu pedangnya hingga sehebat itu. Ada juga rasa sayang, bahwa orang sehebat itu, bisa jatuh ke jalan yang sesat. Qin Hun lah yang menyuarakan penyesalan itu. "Pendekar pedang Pan Jun sungguh orang yang hebat, tidak kusangka dia bisa memilih jalan gelap. Padahal dia terkenal jujur dan keras dalam peraturan, meskipun sedikit sombong dan memandang rendah orang lain." Ding Tao yang dalam hati merasa kagum pada Pan Jun, meskipun tidak menyetujui sikap yang diambil oleh tokoh tersebut menambahkan pula. "Benar, pilihan yang dia ambil saat pertarungan itu, memperlihatkan wataknya yang keras dan harga diri yang tinggi. Tanpa keraguan sedikitpun dia memilih, untuk menyerang dengan jurus yang sudah dia latih selama bertahun-tahun itu." Guru Chen memejamkan mata dan menghela nafas, hampir semua orang yang berada di ruangan itu merasakan penyesalan dan kegalauan yang sama. "Saudara Qin Hun benar, sungguh di luar dugaan bahwasannya Pendekar pedang Pan Jun, seorang ketua dari partai ternama, ternyata menjadi kaki tangan dari orang yang menggerakkan pembantaian atas keluarga Huang." "Bukan saja membuat orang terkejut dan merasa sayang, tapi juga membuat tulang-tulang tua ini merasakan kengerian. Musuh macam apa yang sedang kita hadapi kali ini, sampai-sampai tokoh sekosen Pendekar pedang Pan Jun pun bisa menjadi kaki tangannya?", ujar Guru Chen Wuxi menutup keluhannya. "Hmm mengetahui diri sendiri dan mengetahui lawan, maka bisa memenangkan setiap pertempuran. Dalam pertarungannya melawan Pendekar pedang Pan Jun, Ketua Ding Tao berhasil menunjukkan penerapan dari teori ini. Namun dalam cakupan yang lebih luas, ternyata justru kita sudah kalah langkah terhadap lawan. Mereka masih tersembunyi dalam kegelapan, sementara kita sudah maju ke depan.", ujar Chou Liang kemudian terdiam memikirkan kedudukan mereka saat ini. "Apakah itu berarti kekalahan sudah ada di depan mata?", tanya Fu Tong dengan suara pahit. Kemudian sambil menggeram dia menambahkan. "Kalaupun harus kalah dalam pertarungan ini, aku akan mengadu nyawa, seberapa yang bisa akan aku bawa lawan untuk menemaniku ke neraka." Liu Chun Cao tertawa mendengar geraman Fu Tong, sementara Ding tao buru-buru berusaha menenangkan Fu Tong. "Ah Saudara Fu Tong, jangan sampai gelap mata. Sebenarnya kami sudah pula membicarakan masalah ini, sebelum akhirnya memutuskan untuk melakukan serangan kepada lawan.", ujar Ding Tao menghibur Fu Tong. "Ya, itu benar, meskipun saat ini keadaan lawan masih gelap, sementara justru kekuatan kita secara keseluruhan menjadi nampak lewat serangan untuk membebaskan rekan-rekan di Jiang Ling, tapi pertaruhan kemarin memberikan suntikan kekuatan yang cukup besar bagi perkumpulan kita. Nyata hari ini kita semua bisa berkumpul sebagai satu partai yang cukup besar.", ujar Chou Liang sambil tersenyum. "Hmm tapi bukankah teori perang itu yang baru disebutkan, menunjukkan bahwa kita akan berada pada posisi yang lemah?", tanya Fu Tong dengan kening berkerut. "Ya, kita berada di posisi yang lebih lemah, tapi dengan kedudukan yang lebih kuat dibanding kedudukan kita beberapa minggu yang lalu. Lagipula lawan belum sepenuhnya mengetahui kekuatan kita, benar mereka sekarang tahu bahwa di pihak kita, orang terkuat adalah Ketua Ding Tao, Saudara Ma Songquan dan isterinya Nyonya Ma. Namun selain dalam beberapa hari ini datang tambahan-tambahan kekuatan baru, seperti Saudara Fu Tong dan Guru Chen Wuxi. Seberapa tingginya tingkatan Ketua Ding Tao sendiri belum sepenuhnya dapat mereka selami.", ujar Chou Liang menjelaskan. "Sementara mereka berusaha mengumpulkan data-data yang baru ini, kita pun tidak boleh tinggal diam. Kita harus melakukan kegiatan-kegiatan yang menyulitkan lawan untuk menghitung kekuatan kita yang sebenarnya, sembari mengumpulkan kekuatan tersembunyi yang tidak terlihat oleh lawan." "Hmm ilmu perang, sepertinya bersinggungan erat dengan ilmu silat.", ujar Fu Tong dengan kening berkerut. Liu Chun Cao tertawa melihat sahabatnya itu berpikir dengan keras. "Tentu saja ada persinggungan, jika kau mau sedikit saja menggunakan otakmu itu dan bukan hanya menggunakan tongkat besimu, tentu peringkatmu dalam dunia persilatan bisa naik beberapa tingkat." Gurauan Liu Chun Cao itu membuat mereka semua tertawa, termasuk Fu Tong sendiri, setelah tawa mereka sedikit mereda, Fu Tong berkata. "Hmph! Mau jurus tipuan atau sungguhan, justru membuat otakku pening berpikir, aku tetap saja lebih suka pukul dulu, pikir belakangan." Dan tawa mereka pun kembali meledak. Memang suasana di gedung itu pada saat ini penuh dengan kegembiraan, lepas dari tantangan yang ada di depan mata, terselip satu rasa syukur bahwasannya mereka semua boleh berkumpul juga pada hari ini. Bisa dikatakan, seandainya saat itu juga, lawan-lawan yang kuat datang menyerang dan mereka semua mati binasa, matipun mereka akan mati dengan senyum dikulum, karena mereka sudah bertemu dan mendapatkan sahabat- sahabat sejait, kawan seperjuangan yang memiliki prinsip dan harapan yang sama. Setelah tawa mereka mereda, Song Luo bertanya pula, bagi pembaca yang lupa, Song Luo adalah pemilik kedai dekat rumah Mao Bin, dia termasuk orang yang menjadi pengikut Ding Tao sejak awal didirikannya perkumpulan mereka yang saat itu belum bernama. Meskipun tidak memiliki ilmu silat, bahkan tidak tergolong orang dari dunia persilatan, Ding Tao tidak melupakan niatan baik orang ini dan pada saat perencanaan untuk mengadakan perayaan berdirinya Partai Pedang Keadilan, secara rahasia, Song luo ikut diundang untuk datang ke kota Jiang Ling. Orang tua itu bertanya pada Ding Tao. "Ketua, sebenarnya sejak kemarin ketika ketua menyatakan bahwa sebagai orang yang memutuskan untuk mengikut ketua sejak awal, diriku termasuk pula menjadi anggota inti dari Partai Pedang Keadilan, aku jadi merasa serba salah. Apa yang bisa kulakukan sebagai anggota inti dari Partai Pedang Keadilan, sedangkan kebisaanku hanyalah memasak mie saja?" Liu Chun Cao, Ding Tao dan Chou Liang saling berpandangan untuk sesaat lamanya. Kemudian Chou Liang menegakkan badannya dan berbicara dengan suara perlahan. "Untuk lebih jelasnya, akan kita bicarakan setelah perayaan ini selesai. Namun secara garis besar, dalam Partai Pedang Keadilan akan ada dua kelompok. Yang pertama adalah kelompok kecil yang terdiri dari orang-orang yang terpercaya." "Kelompok kedua adalah mereka yang berada di luar kelompok pertama ini yang secara umum dilihat sebagai anggota dari Partai Pedang Keadilan, namun sesungguhnya akan ada banyak hal yang tidak mereka ketahui tentang partai ini sendiri." "Kelompok pertama yang menjadi inti dari Partai Pedang Keadilan, justru tidak selalu menampakkan diri sebagai anggota partai. Itu sebabnya di antara mereka yang diundang ke mari untuk berikrar setia, ada juga beberapa yang datang sebagai tamu biasa, seperti Guru Chen Wuxi dan Saudara Fu Tong. Atau bahkan yang kedatangannya disamarkan dan sebisa mungkin tidak diketahui orang seperti Paman Song Luo. Tentang apa tugas dan kewajiban masing-masing anggota, hal itu pun sudah dibicarakan secara masak." "Setiap anggota inti dari Partai Pedang Keadilan, akan memiliki tugas yang khusus. Termasuk Paman Song Luo, tentu saja hal-hal itu akan kita bahas lebih lanjut dalam pertemuan dan kesempatan yang lebih sesuai.", ujar Chou Liang mengakhiri penjelasannya. Wajah Qin Hun, Song Luo, Chen Wuxi dan Fu Tong pun berubah menjadi serius setelah mendengar penjelasan Chou Liang. Bukan hanya Song Luo, yang lainpun mulai merasakan beban tanggung jawab yang harus mereka hadapi nantinya. Ada rasa bangga, tapi terselip juga pertanyaan, akankah mereka mampun menjalankan tanggung jawabnya masing-masing. Tidak ada yang bertanya lebih lanjut, penjelasan Chou Liang sudah mengisyaratkan bahwa penjelasan yang lebih terperinci haruslah dilakukan dalam situasi yang jauh lebih aman. Di saat seperti itulah tiba-tiba Tang Xiong masuk ke dalam ruangan dan langsung menghadap Ding Tao. "Ketua Ding Tao, ada tamu penting, kami rasa sebaiknya ketua keluar untuk menemuinya." Kegugupan Tang Xiong dengan cepat menyebar pada yang lain. Maklum saja, jauh-jauh hari mereka sudah menyadari, membuka satu partai persilatan dan mengundang teman-teman dari dunia persilatan untuk ikut merayakan, sudah tentu yang datang bukan hanya mereka yang ingin ikut mengucapkan selamat. Tentu akan datang pula mereka yang ingin menjajal dan menjajagi kekuatan partai yang baru lahir ini. Itu sebabnya, jika Ding Tao sedang beristirahat, tentu ada Ma Songquan dan isterinya yang menggantikan dirinya untuk ikut menyambut tamu. Seberapa tinggi ilmu silat bekas sepasang iblis itu mereka sudah sama tahu. Jika sekarang Tang Xiong datang dengan gugup, maka itu berarti tamu yang cukup penting sudah datang pula ke tempat mereka. "Baiklah, aku akan segera ke sana, Pendeta Liu Chun Cao, Paman Qin Hun dan Kakak Chou Liang baiklah ikut pula keluar, saudara yang lain sebaiknya tetap menunggu di sini saja.", ujar Ding Tao dengan tenang, sambil berdiri dan merapikan pakaian. Ketenangan Ding Tao dengan sendirinya menyebar dan membuat hati mereka pun sedikit lebih tenang. Bahkan Tang Xiong pun tampaknya ikut terhibur oleh ketenangan Ding Tao. Segera mereka yang diajak untuk ikut, bangkit pula, mengikuti Ding Tao dan Tang Xiong yang sudah mulai meninggalkan ruangan. Fu Tong, Song Luo dan Guru Chen Wuxi hanya bisa saling berpandangan dan menduga-duga. "Siapa pula gerangan yang datang berkunjung?", ujar Fu Tong sambil mengangkat alis matanya. "Entahlah, apa mungkin orang dari Perguruan Hoasan?", jawab Chen Wuxi menduga-duga. "Hmm bisa jadi, Hoasan masih menyimpan banyak tokoh tua dan desas-desus tentang kekalahan Pan Jun di tangan Ketua Ding Tao sudah pasti menjadi duri dalam daging mereka. Meskipun tidak bisa membalaskan dendam Pan Jun secara terang- terangan, bukan tidak mungkin mereka datang untuk mencari gara-gara.", geram Fu Tong ddengan wajah gelap. "Ya, satu kali rengkuh, dua tiga pulau terlampaui. Mempermalukan Ketua Ding Tao sebagai ganti balas dendam, sekaligus menutup mulut orang-orang yang menyebarkan berita busuk itu dan mengembalikan nama besar Partai Hoasan yang sempat tercoreng oleh kekalahan Pan Jun.", uar Chen Wuxi dengan nada sedih. "Kira-kira, apa Ketua Ding Tao bisa mengatasi mereka bila mereka benar-benar mencari masalah?", tanya Song Luo yang kurang tahu dengan jelas seluk beluk dunia persilatan. "Hmm sulit dikatakan, Pan Jun memang ketua dari Partai Hoasan, namun tidak berarti dia adalah orang terkuat dalam Hoasan. Lagipula jika benar yang mencari setori adalah orang dari Partai Hoasan, tentu yang datang adalah orang yang lebih kuat dari Pan Jun, tidak akan mereka mengirimkan orang yang lebih lemah darinya.", jawab Guru Chen Wuxi dengan wajah muram. "Astaga apakah Ketua Ding Tao bisa terluka nanti? Apakah kita tidak perlu keluar untuk memberikan bantuan?", tanya Song Luo dengan cemas. "Tentu saja tidak. Kalau sampai terjadi pertarungan, tentu yang terjadi adalah pertarungan satu lawan satu. Tidak mungkin bagi kita untuk ikut campur tanpa mempermalukan Ketua Ding Tao, moga-moga saja tokoh tua yang datang tidak sampai menjatuhkan tangan jahat pada Ketua Ding Tao.", jawab Fu Tong. "Aku kenal watak orang-orang Hoasan, meskipun kejayaan partai mereka sedang meredup, namun mereka memegang teguh adat kebiasaan dan peraturan yang ada. Jika yang datang benar tokoh tua dari Hoasan, maka sudah pasti dia akan memberikan keringanan pada Ketua Ding Tao dan tidak sampai menurunkan tangan keras.", ujar Chen Wuxi menanggapi Fu Tong. "Hmm tidak ada tokoh seangkatan Pan Jun yang melebihi dirinya, yang datang pasti dari angkatan tua.", jawab Fu Tong pula. "Kalau begitu kita bisa sedikit berlega hati. Moga-moga tidak terjadi apa-apa", ujar Chen Wuxi dengan nada berharap. "Apakah tidak ada kemungkinan yang datang bukan dari Hoasan?", tanya Song Luo pula. Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Kemungkinan seperti itu tentu saja ada, tapi seharusnya jika bukan dari Hoasan, masalahnya pun tidak akan sebegitu gawat. Paling-paling hanya sedikit penjajagan saja pada kekuatan kita, tidak akan sampai bersungguh-sungguh mendesak kita sebagai tuan rumah.", jawab Chen Wuxi. "Kecuali jika dia memang memiliki niat jahat untuk merusak acara ini", ujar Fu Tong. "Ya sudahlah, kita di sini hanya bisa berdoa saja, semoga tidak terjadi hal-hal yang buruk di luar sana.", jawab Chen Wuxi. Mendengar perkataan Chen Wuxi itu, Song Luo pun memejamkan matanya dan mulutnya berkomat-kamit, entah berdoa pada siapa. Kecemasan tergurat jelas pada wajahnya yang sudah mulai berkeriput. Fu Tong dan Chen Wuxi yang melihat itu tidak bisa menyembunyikan pula kerisauan dalam hati mereka, diam-diam dalam hati merekapun mengucapkan doa-doa, memohonkan keselamatan bagi mereka yang di luar. Siapa sebenarnya yang datang mengunjungi mereka, hingga Tang Xiong pun dibuat gugup saat menyampaikan berita dan Ding Tao harus keluar secara pribadi untuk menemui kedatangannya? Sambil berjalan ke pintu depan, Ding Tao pun sempat bertanya pada Tang Xiong. "Siapa yang datang sebenarnya?" Dengan suara tertekan Tang Xiong menjawab. "Ketua Partai Pengemis, Tetua Bai Chungho" "Ah, benarkah? Sungguh satu kehormatan yang besar, sudah lama aku mengagumi namanya", ujar Ding Tao dengan wajah cerah. "Dia tidak sendirian saja kan?", tanya Liu Chun Cao dengan nada rendah, jika hanya Bai Chungho yang datang, mana mungkin Tang Xiong begitu cemas. "Ya dia datang bersama seorang kakek tua kurus kering, dia hanya mengenalkan namanya Put Meng Sao. Tapi kurasa", terbata Tang Xiong saat hendak mengucapkan dugaannya. "Kurasa, dia itu tentunya Pendekar Pedang sembilan pedang, Xun Siaoma", lanjutnya dengan suara sedikit tergetar. "Xun Siaoma", desis Liu Chun Cao. "Siapa itu Pendekar pedang Xun Siaoma?", tanya Chou Liang. "Salah satu tokoh tua dari Partai Hoasan yang sudah lama mengundurkan diri dan mengurung diri di puncak Gunung Hoasan. Dijuluki sembilan pedang, karena pada masa jayanya, sembilan orang pendekar pedang ternama dari sembilan propinsi kalah di tangannya. Sejak itu dia pergi kemana-mana dengan menyandang sembilan pedang pusaka milik lawan yang berhasil dia kalahkan. Beberapa kali orang-orang itu berusaha merebut pedang mereka kembali, namun selalu berhasil dikalahkan dengan mudah.", jawab Liu Chun Cao dengan nada rawan. Ding Tao tersenyum dan menghibur mereka. "Sudahlah, kuyakin tokoh-tokoh tua seperti Pendekar pedang Xun Siaoma dan Tetua Bai Chungho, tentu bisa menilai segala sesuatunya dengan adil dan tidak sembarangan menurunkan tangan jahat. Jika perlu aku akan memohon maaf padanya atas apa yang terjadi." "Ya, semoga Tetua Bai Chungho bisa menjadi penengah yang adil", desah Qin Hun yang mengikut di belakang. "Apapun juga yang terjadi, tidak perlu kita berkecil hati, selama kita yakin kita sudah melakukan yang terbaik dan sudah berpijak pada kebenaran, kalaupun harus mati, apa yang perlu disesali?", ujar Ding Tao dengan tegas. Jantung Ding Tao sebenarnya juga ikut berdebaran, namun dari hari ke hari, dia makin menyadari apa artinya menjadi seorang ketua. Sebagai kepala dan penanggung jawab dari sebuah organisasi, dia harus menjadi teladan dan penyemangat bagi yang lain. Itu sebabnya dari hari ke hari, pemuda itu semakin berwibawa, tindakan dan kata-katanya memiliki ketegasan yang jarang terlihat sebelumnya. Jika dahulu Ding Tao seringkali malu-malu dan peragu, hari-hari ini hal itu sudah jarang lagi terlihat. Ding Tao sadar, jika sebagai pemimpin dia tampil ragu-ragu, maka keragu-raguan itu akan melemahkan semangat mereka yang mengikuti dirinya. Hal ini bukan berarti Ding Tao tidak lagi mau mendengar nasihat dari rekan-rekannya, sama sekali tidak. Ding Tao tetap menanyakan dan mendengarkan pertimbangan dari tiap-tiap orang. Bedanya adalah pada saat mengambil keputusan, dia tidak lagi menampakkan keragu-raguan. Ketegasan ini datang pula dengan pengertian yang mendalam tentang tanggung jawab dan resiko yang mungkin timbul dari kesalahan mengambil keputusan. Pada awalnya hal itu sering membuat Ding Tao takut dan ragu, tapi pada akhirnya pemuda itu pun menyadari dan menerima kelemahannya sebagai manusia, tidaklah mungkin dia mengetahui dengan pasti, akibat yang akan timbul dari keputusannya. Satu-satunya yang bisa dia lakukan hanyalah berusaha sebaik-baiknya dan selalu siap mempertanggung jawabkan akibat dari keputusan yang dia buat. Entah karena pertambahan umur, atau memang karena perubahan cara berpikirnya, wajah Ding Tao pun tampak beberapa tahun lebih tua dibanding ketika dia baru saja melarikan diri dari kediaman keluarga Huang beberapa waktu yang lalu. Perubahan ini bukannya tidak tertangkap oleh mereka-mereka yang pernah bertemu dengan Ding Tao sebelum dia menjadi Ketua Partai Pedang Keadilan. Orang-orang tua seperti Wang Xiaho, Guru Chen Wuxi dan Tabib Shao Yong memperhatikan perubahan itu dengan penuh harap tapi juga cemas. Berharap dan juga bangga karena Ding Tao semakin hari bertindak semakin dewasa dan sesuai dengan kedudukannya. Tapi juga muncul kecemasan bahwa pemuda itu akan berubah terlalu jauh, hingga ingkar dari dirinya yang mula-mula. Entah apa yang akan terjadi pada pemuda itu, hanya waktu yang akan menjawab pertanyaan mereka. Tidak lama kemudian mereka pun sampai di depan, Ma Songquan dan Chu Linhe dengan sangat sopan melayani kedua orang tetua yang datang. Namun terlihat jelas pikiran dua orang tua itu tidak tertuju pada mereka, melainkan menantikan kedatangan Ding Tao. Terlhat dari cara mereka yang sering mengalhkan perhatian ke pintu yang menuju ke ruang dalam. Bersama dua orang tetua itu, ikut juga beberapa angkatan muda baik dari Partai Hoasan sendiri, maupun dari Partai Pengemis. Sekilas melihat saja terlihat perbedaan dari kedua kelompok tersebut, angkatan muda dari Partai Pengemis bersikap lebih ramah dan terlihat keingin tahuan yang besar dari cara mereka berbisik dan melihat ke arah Ding Tao dan rekan-rekannya yang baru masuk. Sementara dari angkatan muda Partai Hoasan, meskipun bersikap sopan, terasa dingin dan meskipun berusaha ditutupi, beberapa kali tampak kilatan mata marah terlontar pada Ding Tao dan rombongannya. Permusuhan terselubung yang terpancar dari angkatan muda Partai Hoasan, tidak terlihat pada wajah Tetua Xun Siaoma, namun wajahnya yang tenang, tidaklah memberikan petunjuk apa yang ada dalam hati tokoh tua itu. Penguasaan dirinya sudah sempurna hingga yang melihat dirinya merasa seperti sedang melihat patung dewa atau patung Buddha. Wajahnya tenang tanpa memperlihatkan gejolak perasaan sedikitpun. Disandingkan dengan Tetua Bai Chungho, maka kedua orang itu bagaikan pasangan Yin dan Yang. Yang satu lembut namun beku seperti hamparan salju tebal di musim dingin, yang lain begitu hidup dan bergairah, seperti anak-anak kelinci yang berlompatan di musim semi. Gairah orang tua itu tidak kalah dengan yang mereka yang masih muda. Melihat wajahnya seketika Ding Tao merasa ingin tertawa, meskipun dia tidak melihat ada yang lucu, hanya tertawa karena senang. Itu sebabnya meskipun ada sorot bermusuhan tersembunyi yang terpancar dari orang-orang Partai Hoasan, Ding Tao menghampiri mereka dengan senyum lebar dan wajah yang cerah. Dengan ramah dan penuh hormat pemuda itu memberi salam pada tamu yang mereka lewati dan sedikit berbasa-basi. Namun merekapun tahu, siapa yang hendak ditemui Ding Tao. Bisik-bisik di antara mereka yang hadir sudah terjadi sejak Bai Chungho dan Xun Siaoma tiba. Tiap-tiap tamu yang datang memperhatikan yang sedang terjadi di hadapan mereka dengan penuh perhatian. Sesampainya di depan Bai Chungho dan Xun Siaoma, Ding Tao, sebagai generasi yang lebih muda memberi salam dengan sangat hormat. "Tetua sekalian berkenan untuk ikut datang meramaikan perayaan berdirinya perkumpulan kami yang kecil ini, sungguh membuat kami merasa sangat beruntung.", ujar Ding Tao dengan tulus. Bai Chungho dengan ramah tertawa dan menjawab. "Terlalu memuji, justru kami yang beruntung bisa melihat keramaian dan menghabiskan simpanan arak kalian." "Ah, persediaan arak yang kami punya biasa-biasa saja, jika Tetua sekalian menikmatinya, itu membuat kami senang. Perkumpulan kami baru dibuka, tentu saja masih banyak kekurangan. Tetua sekalian sudah banyak pengalaman, jika Tetua berdua mau bermurah hati memberikan nasihat dan masukan, kami akan sangat bergembira.", jawab Ding Tao merendah. "Hmm hmm...biarpun aku sudah tua, tapi aku tidak merasa lebih tahu dari kalian yang lebih muda. Kukira tidak ada apa yang bisa kunasihatkan yang kalian belum pernah mendengarnya.", ujar Bai Chungho sambil tersenyum, tidak bisa dikatakan senyum yang ramah tapi juga bukan senyum yang dingin. Melihat senyum dan cara Bai Chungho menjaga jarak, Ding Tao jadi sadar bahwa orang di depannya bukan seorang tua biasa. Meskipun berpenampilan dan bergaya apa adanya, Bai Chungho tetaplah seorang ketua dari sebuah partai yang besar. Dengan senyumnya seakan Bai Chungho berkata, tidak mudah untuk menjadi salah seorang sahabatnya. Dia tidak akan mempercayai Ding Tao sekarang ini, dia sedang melihat pemuda itu dan menilainya. Dan mungkin suatu saat nanti jika dia memandang Ding Tao dapat dia percaya, mungkin pada saat itu mereka dapat menjadi saudara. Tidak ada kata-kata, semuanya itu tidak lebih dari rasa yang muncul dari hati Ding Tao. Benarkah itu yang dimaksudkan Bai Chungho? Apa memang seperti itu yang ada dalam hatinya? Tentu saja tidak ada yang tahu. Tapi itulah yang dirasakan Ding Tao dan pemuda itu tidak menjadi benci pada Bai Chungho karenanya. Pemuda itu merasa diingatkan pada kedudukannya sebagai ketua dari satu perkumpulan. Kedudukan itu berarti, mulai sejak saat itu, setiap keputusannya akan mempengaruhi nasib dari sekian banyak orang yang mempercayakan pilihan mereka pada dirinya. Tercenung sejenak, pemuda itu kemudian mengangkat wajahnya, tersenyum dan dengan hormat berkata pada Bai Chungho. "Siauwtee mengerti Menerima tanggung jawab untuk menjadi ketua dari satu perkumpulan, entah besar atau kecil, berarti bersedia mempertanggung jawabkan pula nasib dari setiap anggota dari perkumpulan itu. Itu sebabnya seorang ketua, harus memikirkan setiap tindakan dan keputusannya dengan hati-hati." "Dia harus berusaha mencari jawaban dari persoalan yang ada di tangannya, dengan segenap akal dan hati nuraninya. Bukan bergantung pada pendapat orang lain, meskipun bukan berarti menutup telinga dari perkataan orang-orang kepercayaannya." Bai Chungho mendengarkan hingga Ding Tao selesai berbicara, kemudian dia menjawab sambil tersenyum kebapakan, "Hmmm. bukan aku yang mengatakan hal itu, kau sendiri yang membuat kesimpulan. Sebenarnya aku ke tempat ini, karena aku ingin mengantarkan sahabat di sampingku ini. Apakah kau mengenalnya?" Ding Tao mengalihkan pandangan ke arah Xun Siaoma, kemudian dengan hormat dia berkata. "Jika tidak salah, beliau ini Tetua dari Hoasan, Pendekar pedang, sembilan pedang, sembilan propinsi, Xun Siaoma. Satu kehormatan besar anda bersedia untuk berkunjung." Salah seorang dari angkatan muda Hoasan yang mendengar perkataan Ding Tao mendengus kesal. Ding Tao mendelu dalam hati, namun di luar dia tetap berusaha menampilkan ketenangan. Beda pula sikap orang-orang yang ada di belakangnya. Ma Songquan dan Chu Linhe, pada dasarnya memang dingin terhadap mereka yang mengaku-aku pendekar, sehingga raut wajah merekapun kaku tiada perubahan. Mereka yang sudah tua bisa menahan sabar, seperti Qin Hun, Tabib Shao Yong dan Li Yan Mao, paling-paling hanya mendesahkan nafas panjang, menyesali kejadian yang sudah terjadi. Yang masih muda dan berdarah panas seperti Tang Xiong atau Qin Bai Yu berbeda lagi, loncatan kemarahan terlihat meletik dari sorot pandang mata mereka. Chou Liang pandai mengatur ekspresi wajahnya, mendapat tanggapan demikian, justru wajahnya terlihat makin polos. Melihat mulai memanasnya suasana, perhatian para pesilat yang datang pun mulai terfokus pada dua kelompok yang sekarang saling berhadapan ini. Tidak ada suara percakapan yang dilakukan dengan suara lantang, tapi ruangan seperti berdengung karena mereka saling berbisik-bisik, menduga-duga dan saling memberikan pendapat tentang apa yang akan terjadi. Wajah Xun Siaoma tidak berubah, dengan tenang tokoh tua itu memperhatikan raut wajah Ding Tao dan pengikutnya. Mencoba menakar bobot mereka masing-masing, meskipun belum secara langsung, setidaknya dia mencoba mengukur kemampuan mereka mengendalikan diri. Tokoh tua inipun mulai menghitung-hitung, kekuatan yang dia bawa dan kekuatan lawan di hadapannya. Ma Songquan, Chu Linhe, Ding Tao dan Chou Liang dengan cepat naik dalam urutan orang yang dia anggap berbahaya. Selanjutnya para orang tua dan baru kemudian Tang Xiong dan Qin Bai Yu yang terlihat tidak bisa mengendalikan emosi dengan baik. Perlahan-lahan, tokoh tua itu pun berkata. "Hmm rupanya kakek pikun ini masih cukup punya ketenaran juga. Tahukah kau apa alasanku datang ke tempat perayaanmu ini?" Pertanyaan itu diajukan pada Ding Tao, dengan sendirinya yang lain tidak berani lancang menjawab. Yang seorang adalah tokoh tua yang dihormati, yang seorang lagi adalah ketua dari perkumpulan yang baru didirikan ini. Semua orang hanya bisa menunggu jawaban yang keluar dari mulut Ding Tao. Xun Siaoma sendiri bertanya demikian tentu ada tujuannya. Lewat pertanyaan itu Xun Siaoma ingin mengetahui karakter Ding Tao sebagai seorang laki-laki dan bagaimana Ding Tao menempatkan dirinya dalam hubungan antara perkumpulan yang baru didirikan dengan Partai Hoasan. Ditanya demikian, Ding Tao tidak bisa segera menjawab. Jika dia menjawab tidak tahu, hal itu terasa sebagai satu kebohongan, karena meskipun Ding Tao tidak bisa memastikan sepenuhnya, tapi 9 dari 10 bagian, kedatangan Xun Siaoma tentunya berhubungan dengan kematian Pan Jun. Sebaliknya jika Ding Tao mengutarakan apa yang ada dalam benaknya secara berterang, itu artinya pertikaian antara perkumpulan yang dia pimpin dengan Partai Hoasan tidak akan bisa dihindarkan. Selama berita tentang kematian Pan Jun di tangan Ding Tao tidak terucap oleh mulut mereka, berita itu selamanya hanyalah desas-desus. Tapi jika Ding Tao sampai mengucapkan hal itu, sekarang ini, di depan sekian banyak orang persilatan dan di depan orang-orang Hoasan sendiri. Maka seandainya Partai Hoasan, mengamini pernyataannya itu, maka terikat oleh budi dan dendam, mereka pasti akan mengadakan serangan untuk membalaskan dendam ketua mereka. Jika mereka menyatakan bahwa pernyataan Ding Tao itu sebagai kebohongan, pertikaian pun tidak bisa dihindarkan, karena itu berarti Ding Tao sudah menyebarkan kebohongan yang mencoreng nama baik partai mereka. Jadi Ding Tao terdiam untuk beberapa lama, menimbang-nimbang antara mementingkan perdamaian dengan mengorbankan integritasnya sebagai seorang laki-laki, atau mengutarakan yang benar namun membawa pertumpahan darah. Keningnya sedikit berkerut, matanya memandang ke jalan di depan rumah makan tersebut. Ding Tao tidak memilik waktu seharian untuk memikirkan jawaban yang harus dia berikan. Diapun tidak memiliki kesempatan untuk bertanya pada orang-orang kepercayaannya. Mendesah panjang pemuda itu pun mengambil keputusan. Dengan nada penuh hormat dan keseriusan, dia menjawab Xun Siaoma, suaranya tenang dan tegas tanpa keraguan. Ding Tao bisa menjawab dengan tenang bukan berarti Ding Tao sudah yakin bahwa jawaban yang dia pilih adalah yang terbaik. Bukan pula karena dia seorang ahli negosiasi dan aktor yang ulung seperti Chou Liang. Tapi pemuda itu mendasarkan keyakinannya bahwa inilah yang terbaik yang bisa dia pikirkan saat ini, dan pilihan ini dia dasarkan pada niat baik yang tulus dari hatinya. "Tetua Xun Siaoma, kurasa kedatangan tetua ini tentu berkaitan dengan beredarnya desas-desus yang mengatakan bahwa Ding Tao telah membunuh Pendekar pedang Pan Jun, ketua dari Partai Hoasan. Tentang kebenaran dari desas-desus itu, sudah tentu Tetua dan anak murid Partai Hoasan yang paling mengetahui kebenarannya, namun perkataan-perkataan dari orang yang tidak bertanggung jawab itu tanpa bisa dihindari telah menimbulkan perasaan yang tidak baik." "Baik bagi Partai Hoasan, demikian pula bagi kami. Secara pribadi siauwtee sangat menghormati dan menghargai kepahlawanan Pendekar pedang Pan Jun dari Hoasan. Sebisa mungkin kami berusaha untuk meredam berita busuk tersebut. Sayang usaha kami kurang berhasil, jika tetua merasa tersinggung dengan berita itu, siauwtee secara pribadi memohon maaf.", ujar Ding Tao dengan sopan tanpa merendahkan diri melampaui batas kewajaran, penghormatan akan seorang yang lebih muda pada orang lain yang lebih tua. Ding Tao mengucapkannya dengan cara yang wajar dan tulus, meskipun dia sadar terselip juga usaha untuk menutupi kebenaran dalam apa yang dia katakan, setidaknya apa yang dia katakan bukanlah satu kebohongan. Tapi Ding Tao pun sudah berpikir, seandainya Xun Siaoma masih mendesak juga dan bertanya apakah dia membunuh Pan Jun, mau tidak mau dia akan mengatakan kebenarannya tanpa berusaha menutupi apapun. Ada dua sebab, yang pertama Ding Tao tidak ingin mengkompromikan integritasnya dengan mengatakan kebohongan. Yang kedua, jika sampai Xun Siaoma menanyakan hal itu, maka jelas kedatangannya memang untuk memulai satu pertempuran dan apa pun yang dia coba lakukan, pihak lawan akan terus mencari-cari alasan. Pandangan Xun Siaoma melunak, ekspresi wajahnya masih dingin dan sulit menduga apa isi hatinya. Namun meskipun hanya seulas saja, tapi bagi mereka yang peka, terasalah perubahan perasaan dari tokoh tua itu. Dengan suara yang lembut dia menjawab. "Hmmm sebenarnyalah demikian. Baguslah kalau Ketua Ding Tao mampu memahami duduk persoalannya. Tadinya ada kekhawatiran dari pihak Hoasan bahwa dari Partai Pedang Keadilan, ada yang dengan sengaja menyebarkan berita itu. Tapi jawaban Ketua Ding Tao aku rasa cukup memuaskan, dengan demikian kukira tentang masalah desas-desus itu bisa kita anggap selesai sampai di sini." Percakapan kedua orang itu menimbulkan banyak pertanyaan, dugaan dan pendapat di antara mereka yang mendengarkannya. Tentu saja dilakukan dengan suara yang lirih agar tidak sampai terdengar oleh telinga tajam dari dua pihak yang sedang berhadapan. Salah seorang dari mereka adalah seorang muda yang datang menghadiri perayaan itu bersama dengan ayahnya. Pemuda itu bernama Sun Gao, sedang ayahnya bernama Sun Liang, mereka berdua berasal dari kota Luo Yang. Keluarga Sun dari Luo Yang memiliki nama yang cukup dihormati dalam dunia persilatan, jurus-jurus tendangan dari Keluarga Sun disegani kawan dan lawan. Lagipula Sun Liang adalah seorang yang berpendidikan dan berwawasan luas, ahli dalam sastra, seni dan ilmu bela diri. Sehingga ketika Sun Gao bertanya pada ayahnya, mereka yang duduk di sekitar kedua orang itu pun ikut memasang telinga untuk mendengar pandangan Sun Liang mengenai apa yang sedang terjadi saat ini. "Ayah, tadinya kupikir Pihak Hoasan datang untuk membersihkan nama mereka yang tercoreng oleh desas-desus yang beredar. Melihat mereka datang ke perayaan ini, tadinya aku menduga pasti akan terjadi pertarungan, tapi mengapa dengan mudahnya Tetua Xun Siaoma menganggap masalah ini selesai, hanya dengan mendengarkan jawaban dari Ketua Ding Tao?", tanya Sun Gao pada ayahnya. "Hmm tentu saja kita hanya bisa menduga-duga, tapi marilah coba kita uraikan duduk persoalannya.", jawab ayahnya sambil mengelus jenggot panjangnya yang tertata rapi. "Pertama tentang desas-desus itu sendiri, menurutmu apakah benar Ketua Partai Hoasan mati terbunuh dalam satu pertarungan satu lawan satu melawan ketua dari partai yang baru saja didirikan ini?", tanya Sun Liang pada anaknya. "Menurut anak Gao tentu demikianlah kejadiannya. Jika tidak demikian kejadiannya, apa sulitnya membungkam desas- desus tersebut. Bukankah dengan majunya Pan Jun ke muka umum hal itu akan dapat diselesaikan dengan cepat?", jawab Sun Gao. "Hohoho, kalian orang muda memang sangat bersemangat. Yang satu benar belum tentu yang kedua dan yang ke seterusnya juga benar. 7 dari 10 bagian, kemungkinan besar memang Pan Jun sudah terbunuh. Tapi siapa yang membunuh? Benarkah Ketua Ding Tao yang membunuhnya? Apakah benar terbunuh dalam pertarungan satu lawan satu?", jawab ayahnya sambil tertawa kecil. "Hmm ayah benar, tidak munculnya Pan Jun untuk membungkam desas-desus itu, membuktikan bahwa berita kematiannya adalah benar. Namun bukan berarti keseluruhan dari desas-desus itu kemudian dapat dipercaya. Tentang kaitannya dengan pembunuhan keluarga Huang, siapa yang membunuhnya dan bagaimana cara kematiannya, itu semua belum bisa dipastikan.", jawan Sun Gao sambil tercenung memikirkan kembali masalah yang diajukan oleh ayahnya. Rupanya inilah salah satu cara Sun Liang untuk mendidik putranya. Dia tidak memberikan jawaban saat puteranya bertanya, namun dia berusaha menuntun puteranya untuk memikirkan sendiri jawaban dari pertanyaannya. Sesaat kemudian Sun Gao berkata. "Tapi aku merasa bahwa bagian yang mengatakan bahwa pertarungan antara Ketua Ding Tao dan Ketua Pan Jun bukan atas kehendak Ketua Ding Tao. Demikian juga bagian yang mengatakan bahwa terbunuhnya Ketua Pan Jun adalah dalam pertarungan satu lawan satu, bisa dipercaya." "Mengapakah demikian?", tanya ayahnya dengan nada tertarik. Cara ayahnya bertanya, perhatian yang diberikan dan rasa tertarik ayahnya pada pemikirannya membuat Sun Gao bersemangat untuk berpikir dan mengutarakan pemikirannya. "Karena dari sekilas yang kulihat dan kudengar tentang Ketua Ding Tao, semuanya memberikan aku keyakinan bahwa Ketua Ding Tao adalah seorang tokoh yang memiliki integritas yang tinggi. Dia bukan orang yang akan mengambil jalan yang curang atau bertentangan dengan hati nuraninya.", jawab Sun Gao dengan yakinnya. "Hahaha, baik sekali jawabanmu, ada kalanya kita bisa menentukan benar tidaknya satu masalah, dengan menyelidiki karakter dari orang-orang yang terlibat di dalamnya. Jika demikian bisakah kau sekarang menjawab tiga pertanyaanku. Yang pertama, apa alasan Tetua Xun Siaoma datang kemari. Mengapakah Tetua Xun Siaoma mengajukan pertanyaan itu dan mengapa pula dia menganggap masalah desas-desus itu selesai segera setelah mendengar jawaban dari Ketua Ding Tao?", ujar ayahnya dengan suara dan ekspresi yang menunjukkan betapa dia bangga akan puteranya yang mampu memikirkan sendiri jawaban dari pertanyaannya. Sun Gao pun terdiam dan berpikir, mereka yang ikut mendengarkan percakapan ayah dan anak itu, ikut pula berpikir keras. Yang berotak encer mulai pula dapat menangkap ke arah mana Sun Liang mengarahkan puteranya. Setelah mendapatkan pegangan yang cukup, Sun Gao menjawab dengan hati-hati. "Untuk pertanyaan yang pertama, dari percakapan mereka berdua alasan dari kedatangan Tetua Xun berkaitan dengan berita terbunuhnya Pendekar pedang Pan Jun. Tapi apakah tujuannya?", ujar pemuda sambil berpikir keras. "Apakah untuk membalaskan dendam Pan Jun? Jika demikian mengapa dengan jawaban yang diberikan Ketua Ding Tao, masalahnya ditutup sampai di situ? Lagipula membalaskan dendam, kenapa tidak dilakukan secara diam-diam, sementara jelas-jelas mereka tidak mau urusan ini tersiar keluar lebih luas lagi." "Cobalah menempatkan dirimu sebagai seorang tetua dari sebuah partai yang besar, yang sedang dilanda masalah yang dihadapi oleh Hoasan saat ini", ujar ayahnya memberikan pengarahan. "Pendekar pedang Pan Jun adalah ketua dari Hoasan, kedudukannya tentu saja sangat penting, tapi jauh lebih penting lagi adalah kelanjutan dari partai itu sendiri", gumam Sun Gao. "Jika benar Ketua Pan Jun terbunuh, maka aku akan ingin memastikan siapa pelakunya dan apa alasannya. Apakah ini akibat permusuhan pribadi ataukah sasaran sebenarnya adalah Hoasan? Seberapa besar bahaya yang ditimbulkan oleh orang ini dan sebagainya." Sampai di situ, Sun Goan sedikit menegakkan badannya sambil memandangi wajah ayahnya. "Pendek kata, mencari tahu tentang diri lawan dan menentukan sikap yang terbaik dalam menghadapinya." Sun Liang tidak membenarkan atau menyalahkan tapi dia mengangguk-angguk setuju. "Lalu bagaimana dengan pertanyaan yang kedua?" Sun Gao dengan cepat menjawab pertanyaan kedua ini. "Itu mudah, setelah memikirkan pertanyaan pertama, dengan sendirinya jawaban dari pertanyaan kedua terbuka bagiku. Tetua Xun Siaoma ingin menguji Ketua Ding Tao. Sun Tzu mengatakan tentang mengenal diri sendiri dan lawan. Tetua Xun Siaoma tentu ingin menilai sendiri laki-laki seperti apakah Ketua Ding Tao itu." "Jadi bagaimana dengan pertanyaan ketiga?", tanya Sun Liang sambil tersenyum sayang pada putera bungsunya itu. "Dari cara Ketua Ding Tao menjawab, Tetua Xun Siaoma bisa mengetahui bahwa Ketua Ding Tao tidak menginginkan perselisihan antara dirinya dengan Partai Hoasan. Di saat yang sama dia juga bisa menilai bahwa Ketua Ding Tao adalah seorang pendekar yang lurus dan terhormat.", ujar Sun Gao dengan penuh keyakinan. "Jika Ketua Ding Tao membunuh Ketua Pan Jun karena ingin mencari masalah dengan Partai Hoasan, maka ada dua kemungkinan jawaban. Yang pertama dia akan menyombongkan kemenangannya atas Ketua Pan Jun dalam pertarungan tersebut." "Yang kedua, bisa jadi dia ingin menjatuhkan Partai Hoasan, namun dengan cara diam-diam dan licik. Jika demikian, tentu Ketua Ding Tao akan bisa menjawab pertanyaan Tetua Xun Siaoma dengan cepat dan jawaban yang sudah dipersiapkan sebelumnya. Jawaban seperti itu tentu akan jauh lebih bersahabat, lebih merendah dan menyanjung-nyanjung Partai Hoasan." "Ketika pertanyaan itu diajukan, jelas-jelas Ketua Ding Tao tidak siap untuk menjawab, sehingga dia terdiam cukup lama. Jika dia seorang laki-laki yang sudah biasa berbohong, tentu dengan mudah dia akan menjawab dengan kebohongan. Tapi kenyataannya, dia harus berpikir dengan keras, untuk menghindari perselisihan dengan Hoasan tanpa berbohong.", demikian Sun Gao menjelaskan setiap pertimbangannya, satu demi satu. "Jadi dari jawaban Ketua Ding Tao, Tetua Xun Siaoma bisa menyimpulkan bahwa Ketua Ding Tao bukanlah ancaman bagi Partai Hoasan, itu sebabnya beliau berkata bahwa masalah desas-desus itu sudah bisa dianggap habis sampai di sini.", ujar Sun Gao, menutup penjelasannya dengan mata berbinar-binar. Sun Liang mengangguk-angguk puas dan kemudian menambahkan. Bintang Bintang Jadi Saksi Karya Kho Ping Hoo Wanita Iblis Pencabut Nyawa Karya Kho Ping Hoo Patung Emas Kaki Tunggal Karya Gan KH