Ceritasilat Novel Online

Pedang Angin Berbisik 25


Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng Bagian 25


Pedang Angin Berbisik Karya dari Han Meng   Nafasnya mulai kembali teratur, kepercayaan dirinya kembali muncul, kebanggaannya sebagai orang yang pandai memutar lidah untuk mendapatkan keinginannya sudah mulai kembali ke tempatnya semula.   "Kau tahu, Zong Weixia yang mendatangiku dan memaksaku untuk ikut serta dalam serangan itu. Zong Weixia yang berilmu jauh lebih tinggi dariku. Dan jangan kaupikir seisi keluarga Huang adalah orang baik-baik, Tuan besar Huang Jin lah yang mengatur pencurian Pedang Angin Berbisik dari tanganmu" "Diam! Katakan saja dengan singkat, apakah mereka benar masih hidup atau tidak! Tidak ada perlunya kau memburuk- burukkan nama orang yang sudah meninggal!", bentak Ding Tao dengan marah. Pucat wajah Tiong Fa mendengar bentakan Ding Tao.   "Ah tentu tentu seperti yang kukatakan, keikut sertaanku adalah karena takut oleh ancaman Zong Weixia, tapi aku tahu, aku diikut sertakan, tentu karena mereka ingin menjadikanku sebagai kambing hitam. Sebagai orang yang dianggap telah berkhianat pada keluarga Huang, padahal apa yang terjadi sebelumnya hanyalah sandiwara yang diatur oleh.." "Apa kau masih belum mengerti perkataanku?", tanya Ding Tao dengan dingin. Keringat dingin kembali bercucuran di dahi Tiong Fa, dia tahu bahwa saat ini kesempatan untuk lepas dari tangan Ding Tao cukup luas, tapi sifat Ding Tao yang keras kepala mengenao hal-hal tertentu, menyulitkan dia untuk menggoyang lidahnya, "Ya.. ya, pokoknya malam itu aku tidak sepenuhnya mengikuti perintah mereka. Aku tahu kau sangat dekat dengan kedua bersaudara Huang itu dan kuputuskan untuk menyelamatkan mereka secara diam-diam." "Di mana mereka sekarang?", tanya Ding Tao. "Di tempat yang aman dan tersembunyi, jika tidak Zong Weixia tentu sudah membunuh mereka.", jawab Tiong Fa. "Sekarang kau ada di sini dan aku minta kau katakan di mana mereka berdua berada?", tanya Ding Tao sekali lagi. "Hanya aku yang tahu dan aku tidak akan memberitahukannya padamu.", jawab Tiong Fa dengan nada suara bergetar. Inilah pertaruhan Tiong Fa, meskipun dia cukup yakin bahwa dia akan memenangkan pertaruhan ini. Mata Ding Tao menyipit tajam, tangannya sudah bergetar menahan marah. Setiap mereka yang ada di sama sudah gatal-gatal ingin melumatkan Tiong Fa. "Jika kalian membunuhku atau menahanku lebih lama lagi di sini, kutanggung mereka berdua akan mati.", jawab Tiong Fa dengan lebih tenang, dia tahu kartua As ada di tangannya. "Apa maksudmu?", tanya Ding Tao, kemarahannya sedikit menyurut dan hatinya mulai berdegup lebih kencang. "Orang tua yang mengurus makan dan minum mereka, mendapatkan suplai bahan makanan dan kebutuhan hidup dariku. Kalian sudah menahanku selama 4 hari, 2 hari lagi tentu simpanan mereka sudah habis. Aku sudah berpesan, jika sampai pada waktu itu tidak ada kiriman lagi, maka bolehlah mereka pergi meninggalkan kedua bersaudara itu di dalam kurungannya.", ujar Tiong Fa. "Kau kau", dengan menahan kemarahan Ding Tao melangkah maju tertahan-tahan. Tiong Fa pun melangkah mundur, menjauhi Ding Tao yang sudah tampak seperti malaikat pencabut nyawa di matanya. Meskipun kepalanya mengatakan bahwa Ding Tao sudah ada dalam genggaman tangannya, hatinya menciut sekecil biji kemiri di luar kehendaknya. "Tahan ingat, nyawa mereka ada di tanganku. Jangan kau pikir bisa menemukan mereka sendiri, kau tahu seberapa cerdik diriku, tidak nanti tempat mereka bisa kau ketahui dengan mudahnya. Saat kau sampai, kujamin mereka sudah"   Terputus perkataan Tiong Fa, dia sudah mundur hingga membentur dinding dan ujung pedang Ding Tao menempel di lehernya.   " mati kelaparan..", terbata Tiong Fa menyelesaikan perkataannya.   Lama ruangan itu sunyi tanpa suara, pergolakan perasaan Ding Tao sukar dimengerti dengan pasti, meskipun bisa dibayangkan.   Wajahnya pucat, jari yang menggenggam pedang sudah memucat karena dia menggenggamnya sedemikian keras.   Tiba-tiba terdengar suara lemah berderak, gagang pedang yang dibuat dari kayu tiba-tiba hancur jadi serpihan.   Bilah pedang pun jatuh berkelontangan ke atas lantai, meskipun sempat menggores leher Tiong Fa, namun hanya goresan selapis kulit luar, yang tidak membawa kematian baginya.   "Kulepaskan kau hari ini dan kau bawa kami untuk bertemu dengan mereka", ujar Ding Tao dengan perlahan.   "Tidak, kau lepaskan aku dengan membawa uang secukupnya untuk menyambung hidup mereka.   Selanjutnya bila aku sudah merasa aman dari mata-mata kalian, baru aku akan melepaskan mereka.   Selamat atau tidaknya mereka dalam perjalanan bukan urusanku.", ujar Tiong Fa dengan berani, meskipun getaran dalam suaranya menghianati topeng keberanian yang dia pasang.   "Kau pikir aku tidak berani membunuhmu sekarang juga?", ancam Ding Tao.   "Ya karena kau tidak akan mempertaruhkan nyawa dua orang yang dekat di hatimu.", jawab Tiong Fa.   "Apa jaminannya bahwa kau tidak akan menyia-nyiakan mereka setelah aku melepaskanmu?", tanya Ding Tao.   "Karena hanya orang yang bodoh yang akan melakukannya, selama mereka hidup dan selama mereka berada di tanganku, maka nyawaku terjamin oleh tanganmu.", jawab Tiong Fa.   "Antarkan aku kepada mereka dan aku akan menjamin keamananmu!", geram Ding Tao.   "Tidak! Aku tidak percaya padamu, begitu mereka ada di tanganmu, hilang pula jaminan bagiku untuk hidup.", jawab Tiong Fa tidak kalah kerasnya.   "Jika aku melepaskanmu dan mereka tetap dalam kekuasaanmu, lalu apa keuntungan bagiku dengan melepaskanmu?", geram Ding Tao sambil menatap tajam pada Tiong Fa.   Tapi kali ini gertakan Ding Tao tidak mempan lagi, Tiong Fa sudah tidak takut lagi pada Ding Tao.   Saat-saat yang paling menakutkan sudah lewat, ketika Ding Tao tidak mampu mengeraskan hati untuk memenggal kepalanya, Tiong Fa pun tahu bahwa semua gertakan Ding Tao tidak lebih hanyalah gertak sambal.   Chou Liang yang sedari tadi menyaksikan kejadian demi kejadian, sudah memperkirakan keadaan saat ini.   Diam-diam di luar sepengetahuan yang lain, dia meninggalkan ruangan, menyiapkan satu setel baju, sejumlah uang dan sedikit bekal bagi Tiong Fa.   Dengan tenang Tiong Fa menjawab pertanyaan Ding Tao.   "Setidaknya kau tahu bahwa mereka berdua masih hidup dan masih ada harapan bagimu untuk menemukannya. Kau bisa mengirimkan orang-orangmu untuk mencari-cari, mengaduk- aduk seluruh negeri. Kau masih punya kesempatan." "Tapi jika hari ini kau tidak melepaskanku dalam keadaan yang sebaik-baiknya, maka kesempatanmu sama sekali tidak ada. Dan jangan berpikir bahwa kau bisa menyiksaku untuk mengatakan di mana mereka disekap. Karena Tiong Fa tidak takut menderita, dia cuma takut mati.", sambung Tiong Fa dengan senyum licik tersungging di wajahnya. "Jika kau berbohong", Ding Tao hendak mengancam, namun sadar dia tidak memiliki hati untuk mengambil resiko yang mempertaruhkan nyawa Huang Ying Ying dan Huang Ren Fu. "Bisa jadi aku berbohong, tapi bisa juga tidak. Jika kau memutuskan bahwa mereka berdua sudah mati terbunuh, yakinlah, apapun kebenarannya, maka itu pasti yang akan terjadi, karena mereka akan mati kelaparan. Tapi jika kau mau berpengharapan bahwa mereka masih hidup, kemungkinan itu masih ada, meskipun benar tidaknya tentu kau yang harus bekerja keras untuk mengetahui kepastiannya.", jawab Tiong Fa dengan ringan. "Kau sungguh orang yang licik", desis Ding Tao penuh kebencian. "Memang justru karena itu, kau harus berhati-hati dengan keputusanmu. Tapi pikirkanlah sekali lagi, apa keuntungannya membunuhku saat ini? Kekuasaanku sudah hancur, kekuatanku jauh di bawahmu, aku ini bukan ancaman bagimu. Apakah demi memuaskan dendammu, kau mau mempertaruhkan nyawa dua orang yang tidak berdosa? Dua orang yang sudah menanamkan begitu banyak budi baik kepadamu?", ujar Tiong Fa dengan lembut. Ding Tao pun menutup matanya dan berbalik, menjauhi Tiong Fa yang sudah memusingkan kepalanya. Saat dia membuka mata, dilihatnya Chou Liang yang berjalan menghampiri dengan membawa buntalan kain di tangannya. "Jika Ketua Ding Tao mengijinkan, biarkan aku yang mengurus masalah ini.", ujarnya dengan lembut. Sambil menghela nafas Ding Tao menganggukkan kepala dan pergi dari ruangan itu. Beberapa orang termangu menatap kepergiannya, kemudian sambil menghela nafas mereka pun pergi meninggalkan ruangan. Hingga akhirnya tinggal Chou Liang, Wang Xiaho, Liu Chuncao dan Ma Songquan berdua yang ada di ruangan. Dengan sebuah gerakan yang cepat, Chu Linhe menabaskan pedang dan membebaskan Tiong Fa dari tali yang mengikatnya. Tiong Fa pun mengebas-ngebaskan tangan dan kakinya yang hampir mati rasa. Yang lain hanya berdiri diam memandangi orang yang kelicikannya memusingkan banyak orang itu. Setelah Tiong Fa selesai melancarkan peredaran darahnya, Chou Liang mengangsurkan buntalan yang sudah dia siapkan itu. "Kau boleh periksa, di dalamnya ada pakaian yang layak pakai dan uang cukup banyak untuk membuka dua usaha baru. Kau boleh pergi dengan hati lega, karena bisa kuyakinkan bahwa tidak ada seorangpun dari kami yang akan menyakitimu. Kau juga boleh yakin bahwa akan ada orang-orang kami yang berusaha membuntutimu. Kukira kita sama-sama tahu dan tidak perlu bermain rahasia, apa yang akan kami lakukan dan apa yang akan kau lakukan.", ujarnya dengan tenang dan dingin, tidak bersahabat, tidak pula menampilkan kemarahan. Tiong Fa memandangi wajah orang yang baru pertama kali dia lihat ini. Seperti dua ekor ayam jago yang saling berputaran dan menimbang-nimbang bobot dari lawannya. Perlahan-lahan Tiong Fa menganggukkan kepala. "Hmm beruntung Ding Tao memiliki orang semacam dirimu. Kita lihat saja nanti, apakah kau berhasil lolos dari tangan kalian atau tidak.", ujarnya dengan tenang. "Jangan salah mengerti, kupandang dirimu itu tidak lebih dari sehelai daun kering yang dipermainkan oleh angin. Kau ini orang yang lupa bahwa daun memiliki arti saat dia melekat pada pohonnya. Saat dia sudah lepas dari pohonnya, maka bisa dipastikan dia akan menjadi kering dan tidak ada artinya lagi, hanya jadi permainan angin belaka. Kulepaskan dirimu hari ini, karena aku tahu, jika tidak maka Ketua Ding Tao akan dihantui oleh rasa bersalah sepanjang hidupnya, padahal dilepaskan pun orang semacam dirimu ini tidak akan bisa melakukan apa-apa.", ujar Chou Liang dengan tenang. "Jangan berpikir sedikitpun untuk membalas dendam pada Ketua Ding Tao, kehancuranmu adalah akibat perbuatanmu sendiri. Oleh kemurahan hatinya kau bebas hari ini, gunakan itu untuk membangun kembali hidupmu. Jika kau berpikir untuk mendendam" "Hmph! Hanya dengan satu jari kami akan membuatmu lenyap dari muka bumi ini.", ujar Chou Liang dengan pandangan tajam menusuk. Tergetar hati Tiong Fa oleh perkataan Chou Liang, campur baur perasaannya saat itu. Sebagian dari dirinya mengakui kebenaran perkataan Chou Liang, bahwa dengan keadaannya saat ini, dirinya sama sekali tidak memiliki arti di depan Ding Tao. Ding Tao yang sekarang berdiri sejajar dengan tokoh-tokoh semacam Bai Chungho dan Xun Siaoma. Dua orang tetua yang memandang dirinya sama rendahnya dengan cara Chou Liang memandang dirinya saat ini. Sebagian dirinya yang lain merasa marah dan terhina, tidak mampu menerima kenyataan yang terpampang di hadapannya. Di antara dua perasaan itu akhirnya perasaan yang terakhir yang menang. Benci dan dendam memang tidak pernah jauh dari hati orang yang rendah. Dengan hati geram, dia tersenyum menghina sambil menerima buntalan kain yang diberikan Chou Liang.   "Hmmm kau ini orang cerdik yang berjiwa anjing. Tidak perlu banyak cakap, kau jilati saja pantat tuanmu itu, kalian akan lihat nanti, siapa itu Tiong Fa. Kalian akan menyesal sudah membiarkannya hidup hari ini."   Sungguh tajam perkataan Tiong Fa, tapi lebih menyakitkan lagi bagi hatinya saat melihat Chou Liang dengan tenang menggeleng-gelengkan saja kepalanya, seakan sedang berususan dengan bocah kecil yang nakal, yang tidak berharga untuk didengarkan perkataannya.   "Marilah kita tinggalkan saja dia.", ujar Chou Liang pada yang lain.   Dan merekapun pergi meninggalkan Tiong Fa sendirian di ruangan itu.   Betapa pedih hati Tiong Fa, lebih pedih daripada apabila dia disiksa.   Dia dianggap bukan siapa-siapa, lebih rendah dari penghianat, setidaknya keberadaan seorang penghianat masih diakui, sedangkan dirinya dianggap ada pun tidak.   Dalam hati dia menyumpahi mereka semua, perlahan dia mengganti bajunya yang sudah kotor dengan baju bersih yang diberikan Chou Liang.   Dihitungnya jumlah uang yang diberikan.   Kemudian diapun pergi meninggalkan gedung tersebut, saat dia menoleh untuk terakhir kalinya, terucaplah sumpah, bahwa dia akan berusaha membalaskan dendamnya ini pada Ding Tao dan seluruh pengikut-pengikutnya.   Tidak jauh dia pergi, ada pula bayangan orang yang mengikuti dirinya.   Tiong Fa bukannya tidak tahu akan hal itu, tapi dia memang seorang licin yang sudah menyiapkan segala sesuatunya, jauh sebelum bahaya mendatangi.   Tiong Fa menghilang, jejaknya sulit untuk ditemukan.   Tapi bukan berarti usaha Ding Tao untuk mengendus-endus keberadaannya dan dengan demikian keberadaan Huang Ying Ying dan Huang Ren Fu terhenti.   Apakah benar kata Chou Liang bahwa Tiong Fa tidak lebih serupa dengan daun kering yang dipermainkan angin? Ataukah dia akan menjadi duri dalam daging bagi Ding Tao? Pembicaraan akan diadakannya pemilihan Wulin Mengzhu semakin santer di tengah dunia persilatan, semakin dekat mereka dengan diadakannya pertemuan lima tahunan, maka semakin kuat pula desakan yang muncul utuk diadakannya pemilihan Wulin Mengzhu yang akan mewakili dan menyatukan seluruh orang persilatan untuk menghadapi Ren Zuocan ketua Partai Bulan dan Matahari, dalam pertemuan lima tahunan itu.   Di saat yang sama, pamor dari Partai Pedang Keadilan pun semakin menanjak, persahabatan antara Partai Pedang Keadilan dengan Partai Hoasan dan Kaypang menguatkan kedudukan mereka.   Atas kerja sama Hoasan dan Kaypang pada penyerbuan sebelumnya, Chou Liang menyarankan agar Ding Tao menyerahkan dua cabang usaha, masing-masing pada Hoasan dan juga pada Kaypang.   Selain untuk semakin memperkuat persahabatan di antara mereka, Chou Liang pun juga berpendapat bahwa kekuatan mereka saat ini tidak mungkin jika harus dibagi terlalu luas.   Tiga tempat, satu pusat dan dua cabang, sudah lebih dari cukup.   Di pusat tentu saja ada Ding Tao yang didampingi Chou Liang dan Tabib Shao Yong, di cabang Jiang Ling ada Ma Songquan berdua, sementara di cabang yang lain, berkumpul Liu Chuncao, Wang Xiaho, Tang Xiong, Qin Baiyu dan yang lainnnya.   Termasuk juga memperkuat di sana adalah dua ayah beranak, Sun Liang dan Sun Gao.   Kekurangan kemampuan per orangan dari Liu Chuncao dan kawan-kawan, ditambal pula dengan mempelajari barisan pedang.   Pertarungan antara Ding Tao melawan anak murid Xun Siaoma memberikan inspirasi bagi Ding Tao untuk menciptakan semacam barisan pedang pula, bersama dengan Ma Songquan dan Chu Linhe yang sudah lebih dahulu mengenal imu barisan.   Sebaliknya Ma Songquan dan Chu Linhe pun mendapatkan banyak kemajuan dari diskusi mereka dengan Ding Tao.   Demikianlah masing-masing anggota tidak lupa untuk terus memperkuat diri.   Di luaran, jaringan mata-mata Ding Tao mulai terbentuk.   Song Luo, Chen Wuxi dan Fu Tong bekerja dengan rajin untuk memperkuat barisan yang ada di bawah mereka.   Dengan modal yang diberikan secara diam-diam oleh Qin Hun, maka kelompok bayangan dari Partai Pedang Keadilan ini pun mengalami kemajuan yang tidak sedikit.   Dari anggota-anggota Partai Pedang Keadilan sendiri, diadakan seleksi, mereka yang dinilai dapat dipercaya, mulai pula diperkenalkan dengan keberadaan bayangan partai mereka.   Mereka ini kemudian akan ditugaskan di tempat jauh atau mengundurkan diri.   Untuk kemudian bergabung dengan Song Luo, Fu Tong dan Guru Chen Wuxi.   Dengan berjalannya waktu, goncangan di hati Ding Tao yang terjadi akibat munculnya harapan bahwa Huang Ying Ying dan Huang Ren Fu pun mulai mereda.   Mereda seiring meredupnya harapan itu.   Usaha Chou Liang dan kawan-kawannya yang tidak kenal lelah, tidak juga membuahkan hasil.   Meskipun Chou Liang tidak terlalu mempercayai perkataan Tiong Fa, tapi Chou Liang bukanlah orang yang melalaikan kepercayaan yang diberikan Ding Tao pada dirinya.   Lagipula Chou Liang cukup cerdik dan bijak, untuk mengatur agar pencarian itu sendiri tidak mengganggu pembentukan jaringan mata-mata bagi Partai Pedang Keadilan.   Justru keduanya berjalan beriringan, karena toh keduanya adalah usaha untuk mengumpulkan informasi.   Sempat mereka menangkap jejak Tiong Fa di kota jauh di dekat perbatasan di selatan daratan, namun saat ditelusuri kembali mereka menemu jalan buntu.   Namun di saat yang sama mereka yang dikirim pun membuka mata dan telinga untuk mengumpulkan berita.   Sehingga mereka kembali dengan keterangan akan tingginya antusias para tokoh persilatan di selatan, untuk mendukung Partai Pedang Keadilan.   Bukan rahasia lagi jika orang-orang selatan adalah pebisnis yang unggul.   Latar belakang Partai Pedang Keadilan yang berawal dari keluarga Huang, yang juga adalah seorang pedagang, rupanya menjadi salah satu bagian dari perhitungan mereka.   Mendengar kabar itu maka dikirimkanlah Liu Chuncao untuk mendekati salah seorang tokoh yang diketahui bersimpati dengan Ding Tao.   Demikianlah segala sesuatunya berjalan, dalam hitungan bulan, pamor Partai Pedang Keadilan menanjak pesat, karena tiap anggotanya bekerja dengan keras.   Di pihak lain, pertemuan dengan Xun Siaoma yang mewakili Hoasan dan Bai Chungho sebagai ketua dari Kaypang juga berjalan secara rutin, Zong Weixia yang menjadi salah satu mata rantai dalam penyelidikan merekapun tidak lepas dari pengamatan.   Namun mengamati Zong Weixia bukanlah hal yang mudah, Zong Weixia adalah ketua dari Partai Kongtong, kebesarannya tidak berada di bawah Hoasan ataupun Kaypang.   Selain itu rantai penghubung antara Zong Weixia dengan Ren Zuocan juga belum dapat ditemukan.   Bai Chungho, ketua dari Kaypang pernah mengatakan.   "Tentang orang-orang dari Partai Matahari dan Bulan yang ada dalam perbatasan, tentu saja tidak mungkin untuk mengetahuinya satu per satu. Namun dari jajaran orang-orang penting di dalam partai itu, sudah kupastikan tiap anak buahku mengenali ciri-ciri mereka, sekalipun mereka hendak merias diri, tentu tidak akan lolos dari jaringan kami yang begitu rapat."   Atas ucapannya itu Xun Siaoma menanggapi dengan desahan nafas sedih.   "Jika demikian 4 tokoh dengan kepandaian tinggi yang menyerbu rumah keluarga Huang adalah orang sendiri."   Tapi siapa saja mereka itu, pertanyaan ini tidak mudah untuk dijawab.   Apalagi sejak diserbunya Tiong Fa hingga tak berkutik, Zong Weixia tidak pernah lagi memunculkan batang hidungnya secara terang-terangan di luaran.   Beberapa kali ada tanda-tanda dari aktivitas tokoh nyentrik tersebut, tapi terlambat diikuti.   Bagaimanapun juga luasnya jaringan Kaypang, Hoasan dan Partai Pedang Keadilan, mereka yang bertugas untuk itu, tentunya bukanlah ketua-ketua mereka sendiri.   Sementara yang dihadapi adalah seorang tokoh berkepandaian tinggi.   Ding Tao, Ma Songquan dan Chu Linhe dibatasi geraknya oleh tugas dan kewajiban mereka untuk menjaga tempat mereka masing-masing.   Di luar mereka bertiga tidak ada lagi yang bisa menandingin kecepatan dan kelicinan Zong Weixia.   Hoasan dan Kaypang terbentur pula pada masalah yang sama.   Hoasan yang ditinggalkan ketuanya, sedang sibuk membenahi diri sendiri dan menyiapkan pengganti Pan Jun.   Kaypang yang kekurangan generasi penerus, tidak memungkinkan Bai Chungho untuk bebas bergerak.   Akhirnya mau tidak mau, salah satu harapan mereka adalah apabila Ding Tao mampu maju dan merebut kedudukan sebagai Wulin Mengzhu.   Untuk soal maju dan ikut dalam pemilihan tersebut, hampir bisa dipastikan karena selain kemajuan dari Partai Pedang Keadilan sendiri, Hoasan dan Kaypang sudah menyatakan siap untuk ikut mendukung pencalonan Ding Tao.   Kepastian akan diadakannya Wulin Mengzhu itu pun menjadi jelas, saat ke-enam partai besar bertemu dan bersepakat, untuk mengadakan pemilihan Wulin Mengzhu tepat 6 bulan sebelum diadakannya pertemuan lima tahunan.   Dengan penentuan waktu itu, dari saat sekarang hingga pemilihan Wulin Mengzhu, setidaknya ada waktu 10 bulan.   10 bulan dipandang adalah waktu yang cukup lama, bagi orang-orang di dunia persilatan untuk menimbang-nimbang dan menentukan pilihan mereka.   Sehingga pada waktunya diadakan pemilihan, jumlah calon yang maju tidak terlalu banyak, tidak pula terlalu sedikit.   6 bulan juga memberikan waktu yang cukup bagi Wulin Mengzhu yang terpilih untuk mengatur barisan dan mempersiapkan diri dalam menghadapi Ren Zuocan.   Begitu Xun Siaoma sebagai perwakilan dari Hoasan pulang dari pertemuan ke-enam perguruan besar itu, dia langsung pergi menemui Bai Chungho dan bersama-sama mereka pergi menemui Ding Tao, Orang yang mereka gadang-gadang untuk menjadi calon Wulin Mengzhu dari pihak mereka.   Sejak itu pula, kesibukan dalam Partai Pedang Keadilan meningkat pesat.   Dunia persilatan tidak pernah kekurangan orang- orang muda dan berbakat, tidak kekurangan juga dengan orang-orang yang berambisi setinggi langit.   Bukan hanya semakin banyak orang dan perkumpulan yang harus dikunjungi dan dibuat menjadi pendukung Ding Tao, tapi tidak sedikit pula mereka yang ingin ikut dalam pemilihan itu yang berkunjung ke perkumpulan mereka dan menantang Ding Tao untuk mengadu kerasnya kepalan dan tajamnya pedang.   Yang tidak berani berhadapan secara berterang dan berusaha menghilangkan saingan lewat jalan gelap pun tidak kurang banyaknya.   Tidak jarang serangan ini bukan ditujukan pada Partai Pedang Keadilan secara langsung, namun pada mereka yang mendukung Partai Pedang Keadilan.   Agar wibawa Ding Tao tidak jatuh, selain juga karena Ding Tao memang merasa bertanggung jawab atas kehidupan mereka yang bersumpah setia padanya.   Maka diadakan pula pengaturna-pengaturan khusus untuk melindungi setiap mereka yang tergabung dalam Partai Pedang Keadilan.   Itu baru mengenai gangguan-gangguan yang memang muncul oleh kesengajaan.   Ada pula perkelahian antar kelompok yang terpicu semata-mata oleh kemarahan sesaat, karena tidak jarang mereka yang masih berusia muda, beradu mulut menjagokan jagoannya masing-masing.   Ini pun berusaha diredam oleh Ding Tao dan rekan-rekannya.   Pendek kata, jika ada satu kata yang bisa menggambarkan kehidupan Ding Tao dan sahabat-sahabatnya pada bulan-bulan itu, maka kata itu adalah kerja.   Hampir tidak ada waktu yang tersisa bagi mereka untuk memikirkan kehidupan pribadi mereka masing-masing.   Sepertinya setiap saat, setiap hari, selalu saja ada tugas yang harus dikerjakan.   Jika ada waktu luang, maka waktu luang itu dimanfaatkan untuk menempa diri sendiri dan membicarakan perbaikan dalam struktur organisasi mereka.   Oleh sebab itu, ketika tempat mereka kedatangan serombongan orang yang memanggul tandu, mereka yang berjaga di depan pun bereaksi dengan cepat dan dengan kewaspadaan yang tinggi.   Seorang dari mereka pun bergegas lari untuk memberi tahukan munculnya tamu yang tidak diundang kepada Ding Tao yang sedang bercakap-cakap dengan Chou Liang, Wang Xiaho, Pendeta Liu Chuncao dan Tabib Shao Yong .   Kebetulan Wang Xiaho dan Liu Chuncao baru saja pulang dari perjalanan untuk mengeratkan hubungan partai mereka dengan beberapa perguruan silat yang ada di Changsha.   Laporan itu hanyalah laporan awal, sehingga mereka pun hanya menganggukkan kepala dan melanjutkan kembali percakapan mereka.   Ketika datang kembali pembawa pesan untuk kedua kalinya, kewaspadaan mereka semua mulai meningkat, meskipun karena seringnya muncul tantangan dan juga kunjungan dari partai atau perguruan lain, hal ini sudah menjadi hal yang biasa bagi mereka.   Keingin tahuan mereka baru muncul saat melihat raut wajah si pembawa pesan yang sulit untuk digambarkan.   "Eh maaf Ketua Ding Tao tamu yang datang, berkata bahwa Ketua Ding Tao mengenalnya dan dia minta ijin untuk bertemu dengan Ketua Ding Tao secara eh..   pribadi.", ujarnya dengan sedikit tergagap.   Wajahnya bersemu merah, seperti tersipu malu, meskipun tersipu malu karena apa tentu saja sulit untuk ditebak oleh Ding Tao dan yang lainnya.   Hanya Chou Liang yang tertawa geli dan bertanya.   "Apakah tamu yang datang itu seorang gadis cantik jelita?" "Benar, bukan cuma cantik jelita tapi juga anggun seperti dewa-dewi dari kahyangan eh maksud saya, iya benar, benar kata Tuan Chou Liang", jawab pembawa pesan dengan wajah tersipu malu dan suara tergagap. Mendengar jawaban dari keanehan si pembawa pesan, meledaklah tawa mereka semua dan semakin tersipu pula wajah si pembawa pesan yang masih muda ini. Setelah tawa mereka mereda Chou Liang pun menepuk pundak pemuda itu sambil memberikan nasihat. "Kau boleh terpana melihat kecantikannya, tapi jangan sampai hilang kewaspadaan. Sudah beberapa bulan tamu yang berkunjung semuanya berwajah sangar atau setidaknya menyandang pedang. Jadi tidak heran bila dirimu sampai terpana melihat tamu yang sekarang datang. Tapi cobalah berpikir sebagai seorang penjaga yang baik. Apakah ada hal lain yang perlu kau sampaikan?"   Mendapat teguran dari Chou Liang pemuda itu pun kembali tersipu, namun dengan cepat pikirannya bekerja mengolah apa yang dia lihat sebelumnya dengan pikiran yang lebih matang.   Mereka yang ditugaskan untuk menjadi penjaga, semuanya adalah orang pilihan, bukan hanya berbakat dalam ilmu silat tapi juga dididik untuk menggunakan mata dan telinga mereka untuk mengumpulkan keterangan mengenai tamu yang datang.   Jika biasanya orang yang disuruh melapor ke dalam adalah orang dengan peringkat terendah dalam kelompok, maka Chou Liang justru menentukan agar mereka yang bermata paling tajam yang ditugaskan untuk melapor ke dalam.   Mereka yang paling tangguh dalam ilmu silat yang menemani tamu di depan sampai muncul keputusan dari dalam.   Berkerut alis pemuda itu mengumpulkan ingatan sebelum kemudian memberikan laporan yang terperinci.   "Rombongan yang datang kali ini tidak besar, selain 8 orang pemanggul tandu, ada dua orang yang berumur cukup yang mendampingi rombongan.   Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo      10 orang laki-laki ini mampu bergerak tangkas dan terlihat kuat, semuanya menyandang pedang di pinggang.   Yang ditandu dan yang meminta untuk bertemu dengan Ketua Ding Tao adalah dua orang perempuan muda.   Dari pakaian mereka bisa dilihat kalau mereka orang berada, tidak kulihat mereka membawa senjata, namun sekilas kulihat di dalam tandu ada beberapa peti yang tidak terlalu besar." "Bisa jadi peti itu berisi hadiah dan bingkisan untuk Ketua Ding Tao, bisa juga berisi senjata, salah satu yang mencolok ukurannya seukuran pedang.   Tidak akan heran jika peti itu memang dipakai untuk menyimpan pedang." "Tentang kedua orang nona itu sendiri, tidak dapat kupastikan apakah mereka memiliki kemampuan ilmu bela diri atau tidak.   Yang seorang, yang terlihat cantik dan anggun, terlihat lemah dan tidak memiliki kemampuan silat.   Yang seorang lagi, lebih muda, juga cantik dan eh menarik, terlihat mampu bergerak secara tangkas, kemungkinan dia memiliki kepandaian." "Namun cara mereka membawakan diri tidak menunjukkan ketegangan dari seseorang yang menyembunyikan niat jahat.", ujarnya mengakhiri laporan.   "Hmmm baiklah, kurasa mereka tentu utusan dari partai tertentu untuk menjalin persahabatan dengan Partai Pedang Keadilan.   Apakah pakaian mereka menunjukkan golongan tertentu?", tanya Chou Liang.   "Tidak, pakaian mereka tidak menunjukkan tanda-tanda apa-apa, juga mereka saat menyampaikan permohonan untuk bertemu dengan Ketua Ding Tao tidak menyinggung hubungan mereka dengan partai atau perguruan tertentu.   Justru urusannya dikatakan urusan pribadi sebagai sahabat Ketua Ding di masa yang lalu", ujar pemuda itu sedikit ragu.   Chou Liang melirik sekilas pada Ding Tao, dari wajah pemuda itu, Chou Liang bisa menebak, bahwa sepertinya Ding Tao sudah memiliki dugaan siapa yang datang berkunjung kali ini.   "Persilahkan tamu untuk masuk, antar mereka ke ruangan dekat taman, tempat kita menjamu tamu-tamu yang sudah dekat hubungannya dengan partai kita.", ujar Chou Liang pada si pembawa pesan.   Tidak lama kemudian setelah si pembawa pesan menghilang, Chou Liang memandangi Ding Tao yang masih terdiam dalam lamunannya sendiri.   Tabib Shao Yong yang paling dekat dengan pemuda itu, perlahan-lahan menepuk pundaknya.   "Anak Ding, apakah kau mengenal tamu yang datang?", tanya Tabib Shao Yong.   Ding Tao pun mengangkat kepalanya, keluar dari lamunan.   "Ah ya, kurasa demikian, bisa jadi salah, namun kukira kemungkinan besar aku mengenal mereka berdua." "Apa ada sesuatu yang perlu kami ketahui tentang mereka?", tanya Tabib Shao Yong. Lama Ding Tao terdiam, akhirnya dia membuka mulut dan berbicara.   "Aku bertemu dengan keluarga ini pada saat aku melarikan diri dalam keadaan terluka setelah kehilangan Pedang Angin Berbisik. Dua orang gadis yatim piatu dari Keluarga Murong mereka yang membantu kau lepas dari kejaran Sepasang Iblis Muka Giok, mereka pula yang meminjamkan se   Jilid kitab dan sekantung obat untuk menyembuhkan luka dalamku." "Selain itu", terdiam Ding Tao, tak tahu harus berkata apa untuk menjelaskan hubungannya dengan Murong Yun Hua.   "Sudahlah, mari kita temui saja dahulu mereka.   Keng Hui sudah pergi sejak tadi, seharusnya tamu-tamu kitapun sudah sampai dan sedang menunggu.   Tidak baik meninggalkan tamu terlalu lama menunggu.   Bagaimana menurut Ketua Ding Tao?", ujar Chou Liang.   "Ya, Kakak Chou benar, mari kita temui mereka.", angguk Ding Tao membenarkan.   Melihat suasana hati Ding Tao yang tidak menentu, tentu saja yang lain hanya bisa meraba saja hubungan antara Ding Tao dengan tamu yang baru datang.   Sambil berjalan mereka mengamati raut wajah Ding Tao yang berjalan sambil melamun.   Sedikit banyak mereka mulai bisa menebak-nebak adanya hubungan antara Ding Tao dengan salah satu gadis bermarga Murong itu.   Akhirnya Wang Xiaho pun memutuskan untuk bertanya dengan hati-hati pada Ding Tao.   "Ketua Ding Tao, apa kau ingin menemui tamu-tamu itu sendirian?"   Ding Tao kembali keluar dari lamunannya, perkataan Wang Xiaho tentu saja dia dengar, tapi perlu beberapa saat bagi otaknya untuk mengingat kembali apa yang baru dia dengar dan memprosesnya.   Dengan wajah tersipu Ding Tao pun menjawab.   "Tidak perlu, tidak apa, justru kuharap kalian semua mau menemaniku untuk menemui mereka berdua." "Tapi jika ada yang terlalu pribadi untuk kami dengar", jawab Wang Xiaho dengan meragu.   "Tidak, tidak apa.   Kebetulan ada Paman Wang dan Tabib Shao Yong di sini.   Kalian berdua sudah kuanggap orang-orang tua yang bijak, tempat aku bertanya, pengganti orang tuaku.   Sedang yang lain sudah kuanggap sebagai saudara tuaku sendiri.   Sudahlah, masakan aku harus lari dari perbuatanku sendiri.   Tapi tentang apakah hubungan kami itu harus dibuka atau tidak, biarlah bukan aku yang memutuskan.", ujar Ding Tao menjawab sebagian pertanyaan dalam benak mereka.   Ding Tao tidak lagi ingin menyembunyikan sesuatu, lagipula dari cara mereka bertanya, sudah tersirat bahwa tebakan mereka tidak jauh dari kejadian yang sesungguhnya.   Mencegah mereka untuk ikut mendengar justru bisa membuat tebakan mereka lebih buruk dari kejadian yang sesungguhnya.   Tapi bukan nama baik dirinya yang dia pikirkan, melainkan nama baik kedua gadis itu.   Itu sebabnya dia mengatakan, tentang hubungan mereka biarlah bukan dia yang memutuskan.   Ding Tao juga cukup percaya, bahwa mereka yang dia ajak adlah orang-orang yang cukup bijaksana untuk menimbang apa yang bisa dikatakan dan apa yang sebaiknya disimpan.   Tidak lama mereka berjalan menyusuri lorong-lorong rumah, akhirnya sampai pula mereka di bangunan tempat tamu-tamu mereka menunggu.   Bangunan kecil itu ditata dengan rapi dan sederhana, ke empat dindingnya bisa digeser, sehingga pada saat cuaca cerah seperti sekarang ini, ke empat sisi bangunan itu terbuka luas.   Angin semilir bertiup melewati ruangan, di setiap sisi terlihat pula pemandangan yang menyejukkan mata.   Hamparan rumput hijau yang tebal, semak-semak dengan bebungaan, pohon-pohon dengan buahnya yang ranum dan sungai buatan berisi ikan-ikan hias yang mengalir mengelilingi taman kecil itu.   Suara gemericik air dan kicauan burung menambah asri suasana.   Namun keindahan taman itu lebih bersinar lagi hari ini, karena di pusat taman adalah bangunan tempat tamu-tamu mereka menunggu.   Di tengah ruangan, duduklah kedua orang tamu.   Dua orang gadis cantik jelita yang sedang dilayani oleh pelayan dari rumah Ding Tao saat ini.   Kedua tamu itu begitu jelita dan ramah, hingga mereka yang melayaninya ikut tertawa lepas mendengar gurauan mereka.   Seakan tidak bosan-bosannya memandangi kedua orang tamu itu, gadis-gadis itu tidak juga beranjak pergi meskipun hidangan sudah selesai diletakkan.   Mereka terlihat begitu riang, hingga Ding Tao dan mereka yang baru datang pun merasa enggan untuk mengganggu.   Apalagi Ding Tao, begitu dia melihat kembali Murong Yun Hua, seketika itu juga ingatan yang telah lama dipendam dalam- dalam muncul kembali ke permukaan.   Siapa orangnya yang bisa mengendalikan perasaan cinta? Bahkan banyak pertapa masih tergoda olehnya.   Apalagi Ding Tao yang terlalu peka perasaannya, lebih mudah lagi diombang-ambingkan perasaan cinta.   Sejak dia menerima berita akan bencana yang menimpa keluarga Huang, ditambah lagi dengan kepercayaan yang diletakkan di atas pundaknya, perasaan cintanya pada Murong Yun Hua pun terpendam dalam-dalam.   Namun di luar kuasanya, segala perasaan yang pernah dia rasakan, memberontak keluar begitu dia bertemu dengan gadis itu kembali.   Ding Tao pun sadar, betapa dia mencintai gadis itu.   Kesadaran ini pula yang menyiksa dirinya, karena perasaan yang dia miliki ternyata lebih kuat dari kesetiaan yang sudah dia janjikan pada Huang Ying Ying.   Sebagai seorang pemuda yang romantis dan tergila-gila pada prinsip-prinsip hidup ideal yang ada dalam angannya, kegagalannya untuk tetap setia merupakan siksa sendiri baginya.   Kerumunan gadis di bangunan tempat menerima tamu itu pun pecah, saat seorang dari mereka menyadari kehadiran Ding Tao dan sahabat-sahabatnya.   Dengan menutup mulut dan tawa geli campur malu, untuk menyembunyikan rasa canggung mereka, gadis-gadis itu pun bertebaran, menghilang.   Menyisakan dua gadis jelita yang sama-sama memandang Ding Tao dengan hati penuh rindu.   Murong Huolin yang tadi bercanda penuh tawa, tiba-tiba berubah menjadi pendiam, tapi tatapan matanya tidak bisa menyembunyikan perasaan pemiliknya.   Demikian juga Murong Yun Hua yang tadi tampil begitu anggun, berubah menjadi seorang gadis yang gugup dan pendiam.   "Enci Yun Hua, Adik Huolin, bagaimana kabar kalian? Perkenalkan mereka ini sahabat-sahabatku, orang-orang yang sangat dekat dan kupercaya, bisa dikatakan tidak ubahnya keluarga sendiri bagiku.", sapa Ding Tao sambil berjalan mendekat.   Dengan sapaan itu, kekakuan yang ada jadi sedikit mencair, dilanjutkan dengan saling memperkenalkan diri.   Meskipun masih ada rasa canggung dan serba salah, namun setidaknya mereka bisa bercakap-cakap dengan lancar.   Setelah berbasa- basi beberapa lama sambil menikmati hidangan yang ada, Murong Yun Hua menggamit lengan Murong Huolin yang segera saja bangkit dari duduknya dan mengambil sebuah peti yang bila ditillik dari lebar dan panjangnya, sesuai benar untuk menyimpan sebilah pedang.   Murong Yun Hua pun membuka mulutnya dan berkata.   "Adik Ding Tao, sudah kudengar sepak terjangmu beberapa bulan terakhir. Sepak terjangmu sudah membuat gempar dunia persilatan, hingga kami yang sudah lama tidak mengikuti berita dunia persilatan akhirnya mendengar pula tentang kebesaran namamu saat ini."   Sambil tersipu Ding Tao menggoyangkan tangannya.   "Tidak ada yang bisa dibanggakan, hanya orang-orang saja yang sering membesar-besarkan. Lagipula itu adalah berkat hasil kerja keras saudara-saudara yang ada, bukan hanya hasil kerjaku seorang."   Murong Yun Hua tersenyum lembut.   "Aku mengerti bagaimanapun juga tugas yang kau sandang cukup berat, tidak mungkin dengan seorang diri kau dapat menyelesaikannya. Kudengar sampai saat inipun, kau belum berhasil menemukan Pedang Angin Berbisik. Benarkah itu?"   Ding Tao mengangguk.   "Benar, sampai sekarang jejaknya belum lagi ketahuan. Tapi dukungan dari sahabat dan saudara yang kurasakan saat ini, jauh lebih berharga dari pedang itu sendiri." "Syukurlah kalau begitu", ucap Murong Yun Hua dengan senyuman yang tidak pernah lepas dari bibirnya. Seperti agak ragu dia berhenti sejenak sebelum menyambung.   "Aku bersyukur jika benar demikian, mungkin aku terlalu banyak mengkhawatirkan dirimu tanpa sebab. Aku kuatir kehilangan pedang itu akan membuatmu kehilangan semangat." "Enci Yun Hua menghabiskan banyak waktu untuk memeriksa rumah dan bangunan-bangunan milik kami, karena dia teringat, bahwa paman, membuat sepasang pedang. Satu untuk dirinya sendiri dan satu untuk ayahku, adiknya", ujar Murong Huolin yang sudah tidak sabar untuk menceritakan penemuan mereka berdua, menyambung perkataan Murong Yun Hua. "Dan hasilnya kami menemukan pasangan dari Pedang Angin Berbisik, cobalah lihat ini", ujarnya sambil membuka peti yang dia bawa-bawa. Mendengar cerita Murong Huolin, tentu saja setiap orang jadi tertarik. Tanpa terasa mereka semua mendekat untuk melihat isi dari kotak tersebut. Sebilah pedang yang tidak terlihat istimewa tapi Ding Tao yang sudah pernah memiliki Pedang Angin Berbisik tidak kaget. Pedang itu pun tidak telrihat istimewa, sampai kau mulai mencoba menggunakannya. "Apakah apakah.. aku boleh coba memegangnya?", tanyanya dengan terbata-bata. "Tentu saja tolol, Enci Yun Hua mencarinya siang dan malam untuk diberikan padamu, mengapa pula kau tidak boleh memegangnya.", ujar Murong Huolin sambil terkekeh geli. Ding Tao merasa lucu sekaligus terharu, dengan sungguh-sungguh dia memandang Murong Yun Hua dalam-dalam dan berkata.   "Enci Yun Hua, sekali lagi dirimu menanam budi yang tidak akan pernah bisa kubalas"   Tersipu Murong Yun Hua mendengar celoteh Murong Huolin dan tanggapan Ding Tao, dengan cepat dia menjawab.   "Jangan berterima kasih padaku, sebenarnya Adik Huolin tidak kalah sibuknya denganku. Bahkan sebenarnya dia pula yang menemukan pedang tersebut."   Ding Tao yang mengetahui perasaan Murong Huolin padanya menjadi terenyuh dan dengan tulus dia menatap gadis nakal yang sekarang jadi pemalu setelah Ding Tao menatapnya dengan mesra.   "Adik Huolin, kalau begitu aku harus mengucapkan banyak terima kasih padamu."   Dengan wajah memerah dan mulut mencibir, Huolin menjawab cepat.   "Ah, aku pun tidak akan tahu kalau ada pasangan dari Pedang Angin Berbisik kalau bukan Enci Yun Hua yang bercerita dan soal aku mencarinya, itu karena aku kasihan pada Enci Yun Hua, bukan karenamu, tolol. Sudah kenapa tidak cepat kau coba saja."   Sambil tersenyum haru Ding Tao mengangguk.   "Baiklah kalau begitu coba aku lihat."   Dengan tangan sedikit gemetar dia meraih pedang itu.   Begitu pedang itu berada di dalam genggamannya, maka dia pun merasa bertemu kembali dengan sahabat lama.   Sungguh pedang ini merupakan kembaran dari Pedang Angin Berbisik.   Meskipun ukiran dan bentuk bilah dan gagang yang sedikit berbeda, namun baik dari bobot maupun perasaan saat menggenggamnya terasa begitu serupa.   Yang namanya pendekar pedang, sudah biasa jika jadi gila pedang.   Ding Tao bukan orang yang gila pedang, tapi semakin banyak pengalamannya dalam bertarung menggunakan pedang, semakin dia bisa meresapi nilai dari satu bilah pedang.   Setelah berkali-kali bertarung menggunakan pedang biasa, sekarang kembali bisa merasakan pedang pusaka di tangan, barulah terasa betapa jauh perbedaannya.   "Bagaimana? Bagus tidak? Kenapa tidak coba mainkan beberapa jurus?", seru Murong Huolin dengan nada ingin tahu.   "Benar, bagaimana kalau kau coba memainkan beberapa jurus dengan pedang itu.   Lihatlah apa kau menyukainya.", ujar Murong Yun Hua tidak kalah bersemangatnya.   Tidak sulit untuk membayangkan perasaan mereka berdua.   Setelah berminggu-minggu mereka membongkar seluruh bangunan milik keluarga Murong akhirnya mereka menemukan pula pedang itu.   Setelah menemukan pedang itu, merekapun harus memberanikan diri untuk pergi jauh dan bertatapan muka kembali dengan Ding Tao.   Sekarang akhirnya pedang itu sudah sampai di tangan Ding Tao, betapa menggelembungnya perasaan mereka saat ini.   Ding Tao tidak menjawab, hanya mengangguk singkat, lalu melompat keluar bangunan.   Di atas hamparan rumput yang hijau dia mulai bergerak-gerak, memainkan jurus-jurus pedang yang terangkai dalam ingatannya.   Ding Tao hari ini berbeda dengan Ding Tao beberapa tahun yang lalu.   Dulu dia melatih jurus-jurus yang sama berulang- ulang.   Memperhatikan rincian tiap-tiap jurus dan mengejar bentuk ideal dari jurus yang dia pelajari.   Demi mendapatkan pemahaman akan tiap-tiap jurus dia melatih bentuk yang sama berulang-ulang.   Ding Tao yang sekarang memainkan jurus menurut keadaan, tanpa tergantung patokan yang baku.   Bentuk dari tiap jurus tidaklah kaku, melainkan mengikuti keadaan yang selalu berubah.   Itu pula sebabnya setiap kali dia mendapatkan pengalaman baru, bentuk jurusnya pun berubah, hal ini terjadi justru karena sekarang dia sudah menyentuh pemahaman terdalam dari jurus-jurus yang dia miliki.   Jika dulu lewat bentuk dia berusaha mendapatkan isi.   Sekarang ini dia telah mendapatkan isi, karenanya bentuknya bisa berubah disesuaikan dengan keadaan, meskipun isinya tetap sama.   Karena itu berbeda pula cara Ding Tao berlatih, jika dulu dia melatih jurus membayangkan penggunaannya.   Sekarang dia membayangkan lawan dan keadaan, kemudian menggunakan jurus untuk bermain melawan bayangan tersebut, pada hakekatnya apakah dia berlatih sambil bergerak atau berlatih dalam keadaan duduk, tidak selisih banyak perbedaannya.   Meskipun tentu saja, latihan fisik, bentuk dan gerak tidak bisa ditinggalkan.   Masih segar dalam ingatan Ding Tao tentang pertarungannya yang diakhiri dengan kekalahan, melawan Xun Siaoma.   Kali ini adalah pertarungan antara dirinya melawan Xun Siaoma untuk kedua kalinya.   Di antara mereka yang hadir mungkin hanya Liu Chuncao yang bisa benar-benar memahami keindahan dari gerakan Ding Tao.   Meskipun demikian dilihat oleh orang awam pun gerakan Ding Tao terlihat mengesankan.   Kecepatan yang terkadang sulit diikuti mata, hawa pedang yang terasa menggores tubuh mereka padahal mereka berada cukup jauh dari pemuda itu.   Ding Tao sendiri larut dalam bayangannya.   Mereka yang menonton menjadi ikut tegang di luar pengertian mereka sendiri.   Liu Chuncao untuk kesekian kalinya terhanyut dalam permainan pedang Ding Tao.   Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo   Setelah beberapa puluh jurus, tiba-tiba Ding Tao berhenti, mengerutkan alis dan berpikir.   Pada akhirnya dia belum bisa menemukan jalan untuk mengalahkan Xun Siaoma.   Tapi ini bukan saatnya memikirkan hal itu, dia memalingkan wajah pada Murong Yun Hua dan Murong Huolin, lalu tersenyum.   "Pedang ini rasanya serupa benar dengan Pedang Angin Berbisik, meskipun ada perbedaan pada bentuk luarnya, namun dalam hal yang lain-lain, terasa sama sempurnanya.   Kukira tinggal satu ujian lagi buat dia.", ujarnya sambil mendekat ke arah Liu Chuncao.   "Pendeta Liu, bisakah kau lemparkan pedang yang biasa kubawa-bawa ke mari?", tanya Ding Tao sambil menunjuk pada pedang yang dia tinggalkan.   "Hmm, baiklah coba kita lihat.", ujar Liu Chuncao sambil menganggukkan kepala.   Dengan gerakan yang gesit dia melemparkan pedang itu ke arah Ding Tao, cara melemparkannya punya tehnik sendiri, pedang dilemparkan sehingga saat dia turun ke bawah, dia turun dengan gagang terlebih dahulu.   Di tengah udara, tepat di depan Ding Tao, saat pedang itu mulai jatuh ke bawah, pedang dan sarungnya berpisah.   Di saat yang pendek itu, terdengar desingan pedang dicabut dan dibabatkan.   Itulah gerakan Ding Tao yang dengan cepat menghunus pedang lalu menabaskannya ke bilah pedang yang sedang jatuh.   Memotong sebilah pedang dari baja pilihan, seperti sedang merajang bambu muda, sudah tentu, tidak salah lagi, pedang pusaka ini benar-benar pasangan dari Pedang Angin Berbisik.   "Pedang hebat!" "Benar-benar pedang pusaka!"   Mereka yang melihat pun sama-sama memuji dan bersorak, ketika Ding Tao kembali ke dalam ruangan, dengan serta merta mereka ikut mengamat-amati bentuk dari pedang pusaka tersebut.   Jika melihat penampilan luarnya maka tak seorangpun akan merasa bahwa pedang tersebut bisa sedemikian hebatnya.   Dengan mata berbinar, Ding Tao menghampiri Murong Yun Hua dan Murong Huolin.   "Sungguh besar budi kalian pada orang yang tidak berguna ini."   Tersipu kedua nona tersebut mendengar ucapan Ding Tao, Murong Yun Hua pun menjawab dengan lembut.   "Dirimu memikul tugas yang penting bagi seluruh negeri, jadi sewajarnya saja bila kamipun berusaha semampu kami untuk membantu tercapainya tujuanmu." "Enci Yun Hua", tercekat tenggorokan Ding Tao tak mampu menjawab. Semua yang mendengar ikut kagum oleh jawaban Murong Yun Hua, meskipun ada pemikiran juga bahwa tentunya bukan patriotisme semata yang mendorong sepasang gadis itu untuk bersusah payah sedemikian jauhnya. Tapi mereka juga merasa kikuk, sebagai pengikut yang harus menyaksikan ketuanya sedang dimabuk cinta, beralih membicarakan pedang pusaka yang baru saja mereka lihat. Liu Chuncao pun berkata.   "Ketua Ding, bolehkah aku meminjam pedang itu sebentar, aku pun jadi ingin untuk merasakan, seperti apa yang namanya pedang pusaka." "Tentu saja, eh Enci Murong tidak apa-apa kan?" "Tentu saja, pedang itu sudah jadi milikmu, dengan sendirinya, apa yang mau kau lakukan dengan pedang itu terserah pada dirimu.", jawab Murong Yun Hua dengan tersenyum manis. Pedang pun beralih ke tangan Liu Chuncao yang dengan segera dirubungi oleh penggila silat yang lain. Ding Tao hanya menyengir saja melihat kelakuan mereka, tanpa ada rasa was-was bahwa akan ada yang melarikan pedang itu. Ding Tao justru berbalik ke arah kedua gadis Murong dan bercakap-cakap dengan mereka. Kekakuan yang sempat muncul, mencair dengan cepat, meskipun dinding penghalang belum sepenuhnya bisa dihilangkan. Bagaimanapun juga apa yang sudah pernah terjadi tidak bisa dengan mudah hilang dari ingatan. Tabib Shao Yong bukan seorang pendekar silat, tentu saja beda dengan pengikut Ding Tao yang lain, yang ikut bersorak dan mengagumi pedang pusaka yang dibawa oleh Murong Yun Hua. Tabib Shao Yong sebagai orang yang sudah tua, justru lebih memperhatikan Murong Yun Hua dan Murong Huolin. Bukan maksud penulis mengatakan bahwa Tabib Shao Yong seorang yang mata keranjang, tua-tua keladi, makin tua makin jadi. Namun orang tua ini justru lebih tertarik untuk mengurai hubungan antara Ding Tao dengan kedua gadis itu. Selain Tabib Shao Yong, ada juga Chou Liang yang juga memandang pedang pusaka dengan cara pandang yang berbeda. Saat semua masih memperhatikan dan bergantian ingin ikut mencoba menggerak-gerakkan pedang itu, dia sudah teralih perhatiannya. Chou Liang melihat pandangan Tabib Shao Yong yang sesaat merenung, sesaat pula menghitung, memandang Ding Tao, kemudian Murong Yun Hua. Otak Chou Liang bekerja dengan cepat, melihat keluarga Murong ternyata adalah pembuat Pedang Angin Berbisik, Chou Liang pun sudah mulai menimbang-nimbang, keluarga seperti apakah keluarga Murong itu. Apalagi saat dia memperhitungkan pula, peti-peti kecil lain yang dibawa oleh kedua nona Murong itu. Tapi adalah Tabib Shao Yong yang terlebih dahulu menyela percakapan ramah tamah antara Ding Tao dan kedua gadis Murong itu. "Maafkan orang tua ini, nona muda, tapi kelihatannya, nona yang ini, sedikit pucat. Apakah merasa tidak enak badan?", tegurnya dengan ramah. Murong Yun Hua pun menengok ke arah Tabib Shao Yong dengan terkejut lalu menjawab dengan ramah.   "Ah, paman, aku tidak apa-apa. Hanya sedikit lelah setelah menempuh perjalanan yang jauh. Kami tidak berani terlalu lama beristirahat di satu tempat, karena cukup banyak barang berharga yang kami bawa di perjalanan. Tapi sekarang semuanya sudah sampai di tempat tujuan, tentu aku pun akan dapat beristirahat dengan nyenyak nanti malam."   Murong Huolin memandang kakak perempuannya dengan pandangan penuh perhatian.   "Itu benar sekali, beberapa hari ini, Enci Yun Hua tidak pernah bisa beristirahat dengan benar. Malam ini, Enci harus benar-benar menggunakan waktu untuk beristirahat." "Enci Yun Hua, benarkah itu? Ah tidak seharusnya Enci terlalu memaksakan diri, seharusnya Enci mengirimkan saja seorang pembawa pesan dan aku bisa pergi ke sana untuk meminjam pedang ini. Apakah benar Enci tidak apa-apa?", ujar Ding Tao dengan cemas. "Sungguh aku tidak apa-apa. Kalian tidak perlu terlalu kuatir, tubuhku tidak selemah yang kalian bayangkan.", jawab Murong Yun Hua sambil tersenyum. "Ah, kalau memang benar begitu tentu saja baik. Tapi kalau nona tidak keberatan, biarlah kuperiksa denyut nadi nona sebentar. Jelek-jelek begini, aku orang tua mengerti sedikit ilmu pertabiban.", ujar Tabib Shao Yong dengan tersenyum ramah. Murong Yun Hua tercenung dan sekilas lamanya saling bertatapan dengan Murong Huolin, kemudian dia ragu-ragu menjawab.   "Paman sungguh baik hatimu, namun sungguh aku tidak apa-apa. Rasanya tidak enak kalau sebagai tamu aku terlalu banyak menyusahkan tuan rumah."   Giliran Ding Tao yang menyela.   "Enci Yun Hua, janganlah memandang remeh kesehatan tubuh sendiri. Biarlah Tabib Shao Yong memeriksa sebentar, jika ada resep untuk memperkuat tubuh apa salahnya nanti kami menyediakan. Justru kami semua merasa sangat berhutang budi pada kalian sekeluarga. Jika sedikit apa yang bisa kami lakukan, kalian tolak, betapa kami merasa semakin susah hati saat bertemu dengan kalian." "Soal itu", Murong Yun Hua sekali lagi memandang Murong Huolin, seakan meminta pertimbangan atau bantuan. Murong Huolin pun beberapa kali membuka mulut, seakan ingin berkata, namun tidak menemukan kata-kata yang tepat. Tabib Shao Yong, tertawa ramah, kemudian dengan gerakan yang luwes, dia sudah menyentuh ringan denyut nadi Murong Yun Hua. "Wah, sudahlah tidak perlu sungkan, aku ini sudah tua, kalau tidak diikuti kemauannya bisa kualat lho kalian nanti.", ujarnya bergurau. Hanya sebentar saja Tabib Shao Yong menyentuh nadi Murong Yun Hua, Murong Yun Hua dan Murong Huolin belum sempat mengatakan apa-apa ketika Tabib Shao Yong sudah pula mengangkat tangannya dan terdiam sejenak untuk berpikir. Kedua gadis itu dan juga mereka yang ikut mendengarkan percakapan mereka hanya bisa memandang tabib tua itu dengan sedikit cemas, karena raut wajah Tabib Shao Yong yang tampak cukup serius. Sebentar kemudian Tabib Shao Yong pun menengadahkan kepala dan tersenyum pada sekalian orang yang memandangi dirinya;   "Hehehe, kalian ini kenapa? Tidak perlu cemas, Nona Murong tidak apa-apa. Tubuhnya lemah, mungkin karena perjalanan yang jauh, tapi tidak kulihat ada tanda penyakit tertentu. Kalau boleh kusarankan, sebaiknya kita sediakan salah satu bangungan yang memang disediakan untuk sahabat-sahabat dekat yang datang berkunjung. Biar kutuliskan beberapa resep untuk mengembalikan tenaga dan stamina." "Hmmm tabib tua, rupanya kau nakal juga. Jika tidak ada yang serius, mengapa berdiam diri dengna raut wajah semacam itu, menakut-nakuti kami saja.", ujar Wang Xiaho dengan gemas dan disambut tawa oleh yang lainnya. "Tabib Shao Yong benar, bagaimana menurut kalian berdua, apakah kalian berdua setuju? Kami pun akan merasa sangat senang jika nona berdua bersedia menginap beberapa lama di tempat kami. Ketua kami sudah mendapat banyak pertolongan dari kalian, biarlah kamipun membalasnya sebisa kami.", ujar Chou Liang dengan ramah. Murong Yun Hua dan Murong Huolin yang tampaknya lega oleh jawaban Tabib Shao Yong dengan cepat menyetujui usulan tersebut, tidak lupa pula mengucapkan banyak-banyak terima kasih atas keramahan mereka. Ding Tao pun menyambut kesediaan mereka untuk menginap dengan senyum senang. Memang ada kecanggungan untuk berdekatan kembali dengan kedua gadis itu, namun sulit disangkal, hatinya pun merasa berbahagia dengan kedatangan mereka. Pembicaraan antara dua orang tamu yang menyenangkan dan tuan rumah yang ramah, tentu saja berlangsung cukup lama, bercakap-cakap dengan orang yang menyenangkan memang seringkali membuat kita lupa waktu. Tapi setiap hal tentu ada waktu berakhirnya, demikian juga dengan perbincangan mereka. Apalagi Ding Tao dan para pengikutnya tidak pernah tidak, selalu memiliki tugas di tiap-tiap harinya. Setelah mereka cukup lama berbincang, akhirnya mereka pun berpisah. Murong Huolin dan Murong Yun Hua diantar ke tempat peristirahatan oleh beberapa orang pelayan wanita di tempat itu. Mereka diperlakukan dengan sangat ramah dan hormat. Sementara Ding Tao dan yang lain pergi untuk mengerjakan tugas masing-masing. Di luar sepengetahuan yang lain, diam-diam Chou Liang pergi menemui Tabib Shao Yong yang berjaga di toko obat milik Partai Pedang Keadilan yang dia kelola. "Tabib Shao Yong, apa kabar?, ujar Chou Liang sambil berjalan menuju ke meja tempat Tabib Shao Yong memeriksa pasien-pasiennya. "Saudara Chou, baik-baik. Ada keperluan apa ke mari?", tanya Tabib Shao Yong sambil tersenyum lebar. Chou Liang menunggu sampai pasien Tabib Shao Yong yang diperiksa pergi ke tempat para penjaga toko yang lain meracikkan obat sesuai resep Tabib Shao Yong sebelum membungkuk dan berbisik.    Bagus Sajiwo Karya Kho Ping Hoo Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo Pendekar Bunga Karya Chin Yung

Cari Blog Ini