Ceritasilat Novel Online

Pedang Angin Berbisik 27


Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng Bagian 27


Pedang Angin Berbisik Karya dari Han Meng   "Dua orang tentu tidak aneh jika memiliki dua pendapat yang berbeda. Seorang pengikut yang baik bukan hanya mengikuti secara membuta, tapi harus berani memberikan pendapatnya yang mungkin berbeda, jika itu demi kebaikan. Kalian mengerti?" "Ya, kami mengerti Tuan Chou Liang", jawab salah seorang dari mereka. "Baguslah kalau begitu, sekarang kalian berjagalah baik-baik, jika tidak ada persoalan yang sangat penting, maka kuminta kalian mencegah orang yang hendak menemui Ketua Ding Tao.", ujar Chou Liang berpesan. "Baik Tuan Chou.", jawab para penjaga. Sementara itu pembicaraan Tabib Shao Yong dan kedua nona dari keluarga Murong itu pun akhirnya selesai. Wajah dua gadis yang tadinya pucat saat mendapatkan kunjungan dari Tabib Shao Yong, sekarang menjadi cerah. Awan gelap yang tadinya menutupi hati sudah hilang tertiup angin dan harapan sedang berbunga dalam hati keduanya. "Kalau begitu, kurasa sudah saatnya aku pergi menemui Ketua Ding Tao, bagaimana menurut nona berdua?", tanya Tabib Shao Yong mengakhiri pembicaraan yang menyenangkan. Dengan tersipu malu, Murong Yun Hua menjawab.   "Tentu saja, aku menyerahkan segala persoalan di tangan Tabib Shao Yong. Kami hanya bisa menunggu dan berharap."   Tabib Shao Yong pun tertawa bahagia.   "Hahaha, jangan kuatir, aku mengenal Ketua Ding Tao dengan baik. Kukira tidak akan ada halangan apa pun. Baiklah kalau begitu aku pamit dahulu, entah nanti aku akan datang kembali atau Ketua Ding Tao sendiri yang akan datang ke mari." "Terima kasih Tabib Shao Yong, hati-hati dalam perjalanan.", ucap kedua gadis itu dengan wajah kemerahan. Dengan hati berdebar keduanya mengantarkan Tabib Shao Yong sampai di luar, menanti tabib tua itu lenyap dari pandangan mata, keduanya saling berpandangan. Senyum mengembang di wajah keduanya. "Hmm Enci Yun Hua sepertinya senang sekali, jangan keburu senang dulu Tabib Shao Yong kan belum bertemu dengan Kakak Ding Tao, bagaimana kalau nanti jawabannya tidak sesuai harapan.", goda Murong Huoling dengan mata berkilat, antara kata-kata dan raut wajahnya saling bertentangan. "Eh..eh.. anak nakal, bukannya dirimu yang dari tadi tersenyum-senyum.", balas Murong Yun Hua sambil memainkan mata. Semburat merah wajah Murong Huolin tapi tak mau mengalah.   "Ah aku hanya senang melihat Enci senang. Tidak ada sebab yang lain." "Oh jadi begitu ya benar tidak mau jadi isterinya Ding Tao?", goda Murong Yun Hua dengan geli. "Huuh kalau jadi isterinya bisa makan hati tiap hari, matanya kan melihat Enci terus, mana ada waktu untukku.", balas Murong Huolin dengan bibir mencibir. "Ah masa iya sih? Kulihat tadi senyumanmu lebih lebar saat Tabib Shao Yong mengatakan akan meminta Adik Ding Tao untuk menerima syaratku, yaitu dia harus menikahi kita berdua sekaligus.", ujar Murong Yun Hua tidak mau kalah. "Ahh siapa bilang? Aku tidak tersenyum kok", jawab Murong Huolin sambil mencubit kakak perempuannya. "Aduh aduh kalau tidak tersenyum ya tidak perlu mencubit. Belum jadi isteri Ding Tao aku sudah kau cubit, nanti kalau sudah menikah dengan Ding Tao jangan-jangan kau malah lupa dengan Encimu ini.", goda Murong Yun Hua sambil berlari menuju ke dalam. Murong Huolin pun mengejar sambil tersipu malu.   "Ah jangan bicara sembarangan, siapa juga yang kepingin jadi isterinya."   Salah satu pembantu di kediaman Partai Pedang Keadilan yang kebetulan sedang membawakan makanan dan minuman untuk kedua gadis itu melongokkan kepala ke dalam dan berseru.   "Wah, kenapa nona muda berdua ceria sekali, aku dengar ada yang mau kawin, siapa yang mau kawin?" "Hush bukan kawin, tapi nikah, ini adik kecilku ini yang mau menikah", jawab Murong Yun Hua dari dalam. Dengan segera ketiga gadis itu pun ramai bercanda. Murong Huolin yang termuda, meskipun pandai bicara, kali ini tidak berkutik karena diserang dari dua arah. Jika di tempat Murong Yun Hua dan Murong Huolin menginap ramai dengan canda tawa. Berbeda lagi dengan suasana di ruang kerja Ding Tao. Sesuai dengan pesan Chou Liang, para penjaga pintu terlebih dahulu menanyai urusan dari orang yang ingin bertemu dengan Ding Tao. Hari itu sudah tidak ada hal penting lain kecuali pertemuan dengan Chou Liang, dengan sendirinya tidak ada seorangpun yang diijinkan untuk menemui Ding Tao. Di dalam ruang kerjanya pemuda itu duduk sendirian ditemani dengan kesunyian. Entah sudah berapa kali pemuda itu bangkit berdiri kemudian berjalan mondar-mandir dalam ruang kerjanya, untuk kemudian duduk lagi sambil menghela nafas. Sekali lagi dia berdiri dan berjalan, mengelilingi ruang kerjanya, matanya tertumbuk pada sebilah pedang yang digantungkan di dinding. Pedang hadiah dari Murong Yun hua dan Murong Huolin, lebih tepatnya hadiah dari Murong Huolin, karena jika Pedang Angin Berbisik itu milik ayah Murong Yun Hua, pedang yang satu ini adalah milik ayah Murong Huolin. Entah apa nama pedang itu, ayah Murong Huolin tidak pernah memberikannya nama, Ding Tao sendiri sebagai pemiliknya tidak terpikirkan untuk memberikan nama. Dicabutnya pedang itu dan diamatinya baik-baik, lalu ditimangnya dan diayunkan dengan hati-hati. Tiba-tiba ditikamkannya pedang itu dengan sekuat tenaga hingga suara dengungan pedang memenuhi ruangan. Penjaga di luar terlonjak kaget mendengar dengungan yang bagai raungan seekor macan kumbang di pendengaran mereka. Sebelum para penjaga bisa memutuskan akan mencoba mengetuk pintu ataukah mendiamkan saja kejadian itu, Ding Tao terlihat melangkah keluar. Segala kebimbangan sudah dia tikam habis dengan pedang pusakanya, sekarang hanya ada satu tempat yang harus dia tuju. Melihat roman wajah Ding Tao, para penjaga tidak ada yang berani bertanya, meskipun dalam hati mereka tidak habis-habisnya menebak. Pertama pertengkaran Ding Tao dengan Chou Liang, sekarang suara raungan dari dalam ruangan. Baru beberapa langkah Ding Tao meninggalkan bangunan tempat ruang kerjanya berada, ketika dia melihat Tabib Shao Yong sedang berjalan ke arahnya. Melihat tabib tua itu berjalan ke arahnya, Ding Tao pun menghentikan langkahnya dan menunggu. "Tabib Shao Yong, apakah mencariku?", tegurnya sambil tersenyum ramah. "Ya, benar. Ada sesuatu yang ingin kubicarakan denganmu. Apakah waktunya tepat? Sepertinya Ketua Ding Tao hendak pergi ke satu tempat.", jawab tabib tua itu dengan senyum lebar, hatinya masih berbunga-bunga oleh kabar gembira yang hendak dia sampaikan. "Hmmm tidak apa, tapi jika tidak terlalu penting biarlah kita bicarakan di sini saja. Aku hendak pergi mengunjungi Nona muda Murong.", jawab Ding Tao. "Ah kedua gadis itu.., kebetulan justru aku baru saja dari sana dan hendak menemui Ketua untuk membicarakan sesuatu mengenai mereka.", ujar Tabib Shao Yong. "Apakah terjadi sesuatu dengan mereka? Apakah berkenaan dengan kesehatan Nona muda Murong Yun Hua?", tanya Ding Tao dengan cemas. Tabib Shao Yong tertawa geli melihat reaksi pemuda itu.   "Ya.. memangnya ada sesuatu terjadi pada diri Nona muda Murong Yun Hua, dan itu jelas-jelas karena kesalahanmu. Namun tidak ada yang perlu dikuatirkan, aku sudah memberikan obat yang baik bagi mereka. Asalkan tidak ada salah perhitungan tentu mereka berdua baik-baik saja." "Eh aku jadi tidak mengerti maksud Tabib Shao.", ujar Ding Tao dengan kebingungan. "Hehehe, sudahlah, kita cari tempat yang nyaman untuk bicara sebentar. Bagaimana kalau ke taman sebelah situ?", ujar Tabib Shao Yong sambil menunjuk sebuah taman kecil yang mengisi jarak antara bangunan yang satu dengan yang lain. "Baiklah, mari kita pergi ke sana. Tapi benar tidak ada apa-apa dengan kesehatan dua orang nona itu?" "Tidak ada yang perlu dikuatirkan, marilah kita pergi ke sana, setelah kujelaskan pasti Ketua Ding Tao akan paham juga.", ujar Tabib Shao Yong sambil lebih dahulu berjalan ke arah taman yang dia maksud. Ding Tao dengan tidak sabar menunggu Tabib Shao Yong yang menurunkan pantatnya perlahan-lahan ke salah satu bangku yang ada dalam taman kecil itu. Menunggu Tabib Shao Yong duduk dengan nyaman, barulah Ding Tao duduk di bangku yang lain. Dari kedudukan sudah sewajarnya bila Ding Tao yang duduk terlebih dahulu, tapi mengenai hal ini Ding Tao justru berkeras, agar mereka yang lebih tua yang lebih dahulu duduk. Pada saat awal Ding Tao menjadi ketua tentu saja beberapa kali hal ini jadi perdebatan kecil di antara mereka. Namun karena Ding Tao tidak mau mengalah, maka akhirnya orang tua- orang tua itu yang mengalah. "Tabib Shao Yong, jadi bagaimana dengan keadaan kedua nona tersebut?", tanya Ding Tao dengan tidak sabar. "Hmm baiklah pertama-tama mengenai Nona Murong Yun Hua kuharap Ketua Ding Tao jangan terburu-buru mengambil kesimpulan atau kaget mendengar berita ini.", ujar Tabib Shao Yong dengan hati-hati. "Ya ya aku mengerti, jadi ada apa dengan Enci Murong Yun Hua?" "Nona Murong Yun Hua saat ini dalam keadaan hamil", jawab Tabib Shao Yong sambil terus memperhatikan wajah Ding Tao. Pucat wajah Ding Tao mendengar berita itu, termangu pemuda itu tidak memberikan tanggapan apa-apa pada Tabib Shao Yong, otaknya dipenuhi berbagai macam pertanyaan dan dugaan, begitu sibuknya hingga Ding Tao sendiri tidak tahu apa yang dia pikirkan. Melihat Ding Tao terdiam, Tabib Shao Yong pun kembali berkata. "Menurut perhitunganku, usia kandungannya kurang lebih berumur 5 bulan, apakah kira-kira perhitunganku ini tepat dengan perhitungan Ketua Ding Tao?", tanya Tabib Shao Yong dengan lembut. Pertanyaan Tabib Shao Yong itu seperti angin yang bertiup keras menghembus semua kericuhan dalam benak Ding Tao. Pemuda itu memejamkan mata dan menghela nafas. Ketika dia membuka mata diapun berkata.   "Kukira apa yang terjadi antara diriku dengan Enci Murong Yun Hua, sudah Tabib Shao Yong ketahui. Tapi biarlah kuucapkan terus terang, kecuali Enci Murong Yun Hua berkata lain, anak dalam kandungannya itu tentu adalah anakku."   Tabib Shao Yong menganggukkan kepala.   "Nona Murong Yun Hua tidak mengatakan hal yang berlawanan, ketika aku bertanya padanya." "Apakah Enci Murong Yun Hua yang meminta Tabib Shao Yong untuk menyampaikan kabar itu padaku?". Ding Tao bertanya dengan tenang. Tabib Shao Yong pun menggelengkan kepala.   "Tidak, akulah yang pergi ke sana untuk bertanya, dan aku pula yang menawarkan diri untuk menyampaikan berita ini padamu. Tadinya kedua nona itu hendak menyembunyikan hal ini darimu, berkenaan dengan perasaanmu terhadap Nona muda Huang Ying Ying."   Termenung Ding Tao mendengar jawaban Tabib Shao Yong, kemudian dengan perlahan dia berkata.   "Syukurlah Tabib Shao Yong berpikir sampai ke sana. Jika tidak, betapa besar dosaku telah menelantarkan Enci Yun Hua dan anakku sendiri."   Kembali Tabib Shao Yong mengangguk-anggukkan kepala, teringat juga dia dengan perkataan Chou Liang, dalam hatinya tabib itu pun membenarkan pendapat Chou Liang.   "Jadi, sekarang, apa yang akan Ketua Ding Tao lakukan?" "Aku akan pergi menemui mereka. Hari ini pun sebenarnya aku sudah banyak mendengarkan pendapat Kakak Chou Liang mengenai hubunganku dengan kedua gadis itu dan akupun sudah mengambil keputusan, meskipun ada juga pertanyaan dalam hati. Tapi berita dari Tabib Shao Yong menegaskan semuanya, kukira tidak ada yang perlu dipikirkan lagi.", jawab Ding Tao sambil tersenyum. Tabib Shao Yong pun tersenyum lebar.   "Baiklah kalau begitu, nah apakah Ketua Ding Tao mau ke sana sendirian, atau perlu aku temani?"   Sambil tersipu malu Ding Tao menjawab.   "Ada beberapa hal yang ingin aku tanyakan, biarlah kali ini aku pergi sendiri. Di kali kedua tentu aku akan meminta bantuan dari Tabib Shao Yong untuk pergi mewakili diirku." "Hahahahaha, baiklah kalau begitu. Memang sebaiknya kau pergi sendiri untuk meluruskan semuanya terlebih dahulu. Aku orang tua hanya ikut ambil bagian dalam peresmiannya saja", jawab Tabib Shao Yong sambil tertawa berkepanjangan. Sambil tersipu malu Ding tao menganggukkan kepala lalu berpamitan dengan Tabib Shao Yong. Bergegas pemuda ini melangkahkan kaki menuju ke tempat menginapnya rombongan dari keluarga Murong. Langkah kakinya begitu ringan, jika tidak malu karena dlilihat orang, mungkin dia sudah berlari sekencang mungkin. Namun mengingat kedudukannya, ditahan- tahan juga langkah kakinya, meskipun setiap saat berlalu, sejumput kesabarannya juga ikut melayang. Saat akhirnya dia sampai di depan gedung justru langkah kakinya terhenti. Tadi dia begitu tak sabar ingin cepat sampai, sekarang setelah tinggal mengetuk pintu justru dia terdiam dengan jantung berdebaran. Kalau tidak ada yang kebetulan hendak pergi keluar dan melihat dirinya, entah sampai berapa lama Ding Tao akan berdiri mematung di situ. Salah seorang pengantar Murong Yun Hua dan Murong Huolin, rupanya mendapat perintah untuk mengembalikan peralatan makan yang sudah mereka pakai ke dapur. Sambil membawa keranjang berisi setumpuk mangkok dan seikat sumpit dia berjalan keluar. Saat dia melihat Ding Tao ada di sana, dengan sendirinya dia pun membungkuk dan menyapa Ding Tao.   "Eh Ketua Ding Tao selamat datang, apakah ada keperluan?" "Oh ya ya aku ingin bertemu dengan Nona Murong Yun Hua dan Nona Murong Huolin, apakah mereka ada di dalam?", jawab Ding Tao sedikit terbata. "Ada, ada, tunggulah sebentar, biar siauwtee panggilkan.", jawab orang tersebut dan dengan terburu-buru diapun masuk kembali ke dalam dan menyampaikan kedatangan Ding Tao pada kedua Nona Murong tersebut. Mendengar kedatangan Ding Tao tentu saja hati kedua gadis itu jadi berdebar makin kencang. Sejak kepergian Tabib Shao Yong, keduanya sudah dilambungkan oleh angan-angan. Sekarang orang yang ditunggu dan diimpikan sudah ada di depan pintu. "Persilahkan dia untuk masuk dan menunggu di ruang tamu, kami mau merapikan diri sebentar", ujar Murong Yun Hua pada orangnya. Ketika orangnya baru saja hendak pergi keluar, cepat-cepat pula dia menyusul dan setengah berteriak.   "Jangan lupa hidangkan makanan kecil dan minuman untuk Adik Ding Tao." "Ya, baik nona", jawab pembantunya sambil menggelengkan kepala, senyum kecil tersungging di bibirnya. Di luar diapun menemui Ding Tao dan mempersilahkan Ding Tao menunggu di ruangan yang dimaksud, tidak lupa beberapa hidangan disediakan untuk menemani Ding Tao menunggu. Setelah selesai semuanya, sambil tersenyum penuh arti diapun berpamitan pada Ding Tao. Melihat senyum di wajah orang, muka Ding Tao terasa panas dan dengan hati berdebar dia menunggu. Berapa lama Ding Tao harus menunggu, jika bertanya pada Ding Tao tentu akan dijawab sangat lama. Jika ditanya pada kedua nona tersebut, jawabnya tidak terlalu lama. Jika Ding Tao berani mendebat jawaban mereka, bisa-bisa kan dijawab, toh tidak selama kami menunggu kedatangan dirimu. Berapa lama Ding Tao menunggu bukan masalah, selama apapun itu akhirnya penantiannya pun berakhir. Murong Yun Hua dan Murong Huolin akhirnya muncul juga, sebelum terlihat, bau harum sudah terlebih dahulu sampai, diikuti dua orang nona yang berdandan sepenuh hati. Melihat mereka berdua jantung Ding Tao pun berdebaran makin kencang. Murong Yun Hua memang selalu tampil cantik dan anggun, entah memakai dandanan atau tidak Ding Tao dengan mudah dibuat terpesona olehnya. Perubahan terbesar justru ada pada Murong Huolin, dandanannya lebih dewasa dibanding biasanya, sehingga dia tampil seperti orang yang berbeda, tidak kalah anggun dengan Murong Yun Hua. Membuat Ding Tao jadi terpesona, matanya menatap kedua gadis itu bergantian. Sebelum bertemu mereka, sudah berkali- kali Ding Tao berpikir tentang apa yang akan dia katakan, sekarang tiba-tiba saja Ding Tao kehilangan kata-kata. Murong Huolin yang tadinya begitu gugup untuk bertemu, menjadi hilang kegugupannya, karena merasa geli melihat raut wajah Ding Tao, juga merasa bangga bisa membuat Ding Tao terkagum-kagum. Sambil menutup mulutnya Murong Huolin terkikik geli.   "Kakak Ding Tao, makanya kalau makan perlahan-lahan saja, jangan serakah, jangan sampai terlalu banyak yang dimasukkan ke mulut hingga sulit bicara." "Ah bukan.. bukan begitu aku hanya Adik Huolin hari ini kau cantik sekali.", ujar Ding Tao terbata-bata. Huolin yang tadinya mau menggoda Ding Tao pun jadi terbungkam dengan wajah tersipu. Murong Yun Hua yang melihat hal ini jadi tertawa geli. "Wah Adik Ding Tao, sekarang pandai merayu", ujarnya sambil melirik Huolin yang terdiam. "Eh.. bukan maksudku seperti itu, aku hanya kaget saja dan di luar mauku, tercetus begitu saja.", jawab Ding Tao dengan malu. Murong Yun Hua sebenarnya ingin menggoda Ding Tao lebih lama, namun melihat wajah pemuda itu, dia jadi jatuh kasihan dan berhenti menggoda. Murong Yun Hua segera duduk di seberang Ding Tao dan Huolin mengikutinya. "Adik Ding Tao, ada keperluan apa engkau mencari kami?", tanya Murong Yun Hua memulai. Kedua gadis itu pun memperhatikan tiap patah kata dan raut wajah Ding Tao dengan hati berdebar. Mereka sangat berharap Tabib Shao Yong sudah bertemu dan dapat mempengaruhi keputusan Ding Tao, namun di saat yang sama mereka juga berusaha menekan harapan mereka itu agar tidak terlalu kecewa jika harapan itu salah. Apalagi kedatangan Ding Tao tidak berselang terlalu lama dari kepergian Tabib Shao Yong. Ding Tao sendiri kesulitan untuk menjawab pertanyaan Murong Yun Hua, padahal sepanjang jalan dia sudah berpikir panjang dan rinci tentang apa yang akan dia sampaikan. Namun semuanya menguap begitu berhadapan dengan kedua gadis itu. Di bawah tekanan dan pikiran yang kalut, yang terucap adalah.   "Aku datang untuk menikahi kalian berdua."   Perkataan Ding Tao yang begitu langsung membuat mereka bertiga kaget, termasuk Ding Tao sendiri, karena bukan itu yang ingin dia ucapkan.   Meskipun hal itu yang ingin dia sampaikan, namun tentunya dengan perkataan yang lebih tertata.   Tergagap Ding Tao memandangi kedua gadis itu dan berusaha menjelaskan.   "Eh, maksudku aku datang untuk bertanya, apakah kalian berdua mau kunikahi" "Ah, bagaimana ya, Tabib Shao Yong dan Kakak Chou Liang, mereka membicarakan tentang perasaanku terhadap kalian berdua. Ini tentang perasaan cintaku pada Enci Yun Hua dan perasaan sukaku pada Adik Huolin. Juga tentang perasaanku pada Adik Ying Ying, sebenarnya memang memalukan, seorang lelaki bisa memiliki perasaan demikian pada tiga wanita berbeda. Tapi kenyataannya demikian dan aku tidak mau bersikap tidak jujur." "Jadi" "Jadi kau nikahi saja ketiga-tiganya, begitu maksud Kakak Ding?", tanya Huolin yang sudah pulih dari rasa kagetnya, pura-pura marah dan menikmati kecanggungan Ding Tao. "Ya. Ya, bagaimana ya", jawab Ding Tao dengan bingung. "Bagaimana kalau kami menolaknya?", tanya Murong Huolin. "Kalau demikian, tentu saja tidak apa-apa. Itu bukan maksudku mencari mauku sendiri, hanya saja kupikir" "Oh jadi rasa cintamu pada kami hanya sebesar itu, kalau mau ya iya, kalau tidak ya apa boleh buat, kalau dari 3 ada 1 yg mau ya syukur, kalau ketiganya mau ya untung. Apa begitu?, sela Murong Yun Hua ikut pura-pura marah. "Bukan begitu pula soal ini"   Melihat Ding Tao kebingungan, tidak tahan akhirnya kedua gadis itu pun tertawa terbahak-bahak.   Ding Tao pun sadar dia sudah dikerjai oleh kedua gadis itu.   "Ah.   Kalian ini sungguh aku tidak bisa menjelaskan apa maksud hatiku.   Hanya saja kuharap kalian sudah cukup mengenalku untuk mengerti isi hatiku.", keluh Ding Tao sambil menundukkan kepala.   Kedua gadis itupun saling berpandangan, kemudian dengan senyum simpul Murong Yun Hua berkata dengan lembut.   "Kami tidak mengerti isi hatimu, tapi kami percaya padamu. Lamaran itu, kau atur sajalah sesuai dengan yang seharusnya diadakan. Kami berdua akan mengikuti kemauanmu."   Dan itu adalah akhir dari bab ini, bisa saja diceritakan tanggapan Ding Tao, godaan Huolin, kebahagiaan yang terpancar di wajah ketiga orang tersebut.   Namun jika semuanya dituliskan, akan terbuang lagi beberapa lembar halaman hanya untuk menceritakan pertemuan mereka hari itu.   Apalagi jika kemudian diceritakan bagaimana Ding Tao menemui Tabib Shao Yong dan Chou Liang.   Demikian juga tanggapan setiap orang ketika mereka mendengar berita itu.   Orang-orang tua seperti Wang Xiaho dan Li Yan Mao, yang muda seperti Tang Xiong dan Qin Baiyu.   Singkat cerita, pesta pernikahan berlangsung dengan meriah, untuk menutupi kehamilan Murong Yun Hua yang sudah berjalan selama 5 bulan, maka dibuatlah cerita bahwa ketiganya sudah menikah beberapa bulan yang lalu dan pernikahan kali ini hanyalah sebuah pesta untuk merayakannya secara terbuka.   Untuk sesaat lamanya, segala kesibukan dan kerisauan ditinggalkan.   Bagi sepasang atau dua pasang atau 1 pasang mempelai itu, juga bagi mereka yang dekat dengan mereka bertiga, hari-hari itu adalah hari perayaan yang penuh tawa.   Mungkin hanya Chou Liang yang masih saja berkerut kening dan menjalankan semua urusan.   Berusaha memanfaatkan berita pernikahan Ding Tao ini untuk memperluas hubungan mereka di luaran, tanpa pernah lupa untuk berjaga-jaga terhadap adanya bahaya.   Namun hari-hari itu berjalan tanpa gangguan, hingga terkadang sebagian besar dari mereka lupa akan adanya bayangan gelap yang belum terungkap di dunia persilatan.   Tiong Fa sedang termenung di ruangan kecilnya, uang bekal yang diberikan Chou Liang cukup besar.   Meskipun kehilangan banyak pengikut, namun bahkan orang seperti Tiong Fa pun masih memiliki orang-orang kepercayaan yang setia padanya.   Kecerdikan dan kepandaiannya bermain dalam dunia persilatan yang keras, menimbulkan kekaguman di hati orang-orang tertentu.   Orang-orang yang terinspirasi oleh kekuasaan dan tidak merasa ngeri pada kelicikan.   Entah bagaimana dalam hati mereka percaya bahwa boleh saja Tiong Fa mengorbankan orang lain, tapi itu bukan mereka.   Dalam kenyataannya memang demikian, Tiong Fa pun mengerti dia membutuhkan orang-orang yang bisa dia percayai sepenuhnya, dan terhadap orang pilihannya dia tidak segan-segan mengorbankan banyak hal.   Tapi sebanyak apapun modal yang dia miliki saat ini, masih jauh dari keadaannya di masa sebelumnya.   Apalagi Tiong Fa sadar, di luaran sana, mata dan telinga Ding Tao serta sekutunya sedang mencari dirinya.   Berbagai cara dia pikirkan untuk membalaskan sakit hatinya pada Ding Tao.   Bukan hanya masalah balas dendam, tapi dia juga tahu, dia tidak bisa bergerak bebas selama Ding Tao masih memiliki kekuatan dan pengaruh yang besar.   Beruntung bagi Ding Tao dia memiliki Chou Liang, di permukaan hal ini tidak nammpak, namun sebenarnya kedua orang ini, Tiong Fa dan Chou Liang sudah bertarung ratusan kali banyaknya, dan Chou Liang selalu menang.   Bukan berarti kecerdikan Chou Liang berkali lipat di atas Tiong Fa.   Memang kedudukan Tiong Fa sudah ada posisi yang kalah, sehingga seperti tikus yang terjepit, Tiong Fa harus mati-matian untuk sekedar lepas dari genggaman tangan Chou Liang.   Sehingga hampir-hampir mustahil bagi dirinya untuk melakukan pembalasan.   Beberapa kali jejaknya tercium Chou Liang dan Tiong Fa harus melarikan diri secepatnya.   Beberapa bulan ini hidupnya selalu berpindah dari satu tempat ke tempat lain.   Tapi sesulit apapun keadaannya Tiong Fa masih merasa memiliki satu kunci penting melawan Ding Tao.   Huang Ying Ying.   Ya, Tiong Fa bukan sekedar menggertak sewaktu dia mengatakan bahwa Huang Ying Ying dan Huang Ren Fu berada dalam kekuasaannya.   Tapi sekarang muncul kabar baru yang membuat Tiong Fa risau, kesempatannya untuk membalas dendam pada Ding Tao semakin mengecil.   Berita tentang rencana pernikahan Ding Tao sudah sampai ke telinga Tiong Fa.   Segera setelah mendengar berita itu, Tiong Fa pun segera mengirimkan orang untuk menyelidiki kebenarannya dan tentu saja siapa dan apa latar belakang calon isteri Ding Tao.   Laporan baru saja masuk dan sekarang Tiong Fa merenungi kedudukan Ding Tao yang makin kuat sementara dari sisi dirinya tidak ada kemajuan yang berarti.   Dengan pernikahan ini semakin kecil pula nilai Huang Ying Ying sebagai sandera.   Orang sering mengukur orang lain dengan diri sendiri, tidak luput Tiong Fa sendiripun demikian.   Meskipun cerdik diapun tidak luput dari kebiasaan ini.   Saat ini Tiong Fa sedang mempertimbangkan ilang kepribadian Ding Tao yang dia kenal.   Dulunya Tiong Fa memandang Ding Tao sebagai pemuda tolol yang kepalanya penuh berisi ajaran-ajaran ketinggalan jaman dan roman-roman picisan.   Itu sebabnya dia yakin bahwa Huang Ying Ying sangat berharga bagi Ding Tao.   Siapa sangka, dalam keadaan kekasihnya masih disekap oleh orang semacam dirinya, Ding Tao justru menikah dengan dua orang gadis sekaligus.   Kakak dan adik dari satu keluarga yang tidak kalah kaya dengan keluarga Huang di masa kejayaannya.   Karena kejadian di luar dugaan inilah, Tiong Fa pun mulai memikirkan kembali, siapakah Ding Tao yang sedang dia hadapi saat ini.   Jangan-jangan selama ini dia sudah salah perhitungan.   Mungkin Ding Tao adalah seorang pemuda ambisius yang bertopengkan kejujuran dan kepolosan.   Jika demikian, bukankah tidak aneh jika Ding Tao berusaha merebut hati Huang Ying Ying? Merebut hati Huang Ying Ying bisa menjadi jalan pintas untuk masuk ke dalam jajaran pimpinan keluarga Huang.   Sekarang setelah keluarga Huang hancur, Ding Tao pun tanpa segan-segan, mencari incaran yang lain.   Lalu kenapa waktu itu Ding Tao melepaskan dirinya? Bisa jadi untuk merebut simpati orang-orang bekas pengikut keluarga Huang.   Bukankah dengan cara itu Ding Tao menunjukkan kasihnya yang begitu besar pada Nona muda mereka? Memikirkan itu semua membuat Tiong Fa semakin putus asa.   Dipikirkannya kembali setiap langkah dan perbuatan Ding Tao dengan kacamata yang berbeda.   Sungguh lucu cara manusia berpikir, tindakan yang sama bisa diberikan arti yang berbeda, tergantung dari siapa pelakunya.   Ketika Ding Tao sebagai pemuda lugu yang menjadi pelakunya, dan ketika Ding Tao sebagai pemuda cerdik, ambisius dan pandai berpura-pura yang menjadi pelakunya, betapa berbeda hasil dari analisa Tiong Fa.   Akhirnya dengan rahang tekatup rapat dan tangan mengepal Tiong Fa menyudahi perenungannya.   Dengan kesal dihantamnya meja yang ada di hadapannya.   "Sialan! Anak anjing! Tidak kukira dia sudah menipu aku mentah-mentah!", geram Tiong Fa dengan marahnya.   Entah sudah berapa kali dia tertawa terbahak-bahak karena berhasil menipu orang, sekarang dia menganggap orang berhasil menipu dirinya dan merasa marah luar biasa.   Perasaannya melonjak-lonjak dan Tiong Fa pun bangkit berdiri dan berjalan mondar-mandir di dalam ruangannya yang kecil untuk menenangkan perasaannya yang bergejolak.   "Apa yang harus kulakukan dengan sepasang kakak-beradik itu kalau begitu?", dengan mata berkilat oleh rasa marah Tiong Fa kembali duduk dan merenung.   "Hmph! Kubunuh saja yang lelaki dan yang gadis kujual jadi pelacur.", ujarnya dengan mata berkilat.   Untuk beberapa saat lamanya, Tiong Fa membiarkan dirinya larut dalam khayalan, Huang Ying Ying adalah gadis yang cantik dan Tiong Fa bukan orang yang bisa menghargai seorang wanita sebagai manusia.   Meskipun bisa dikatakan, selain dirinya sendiri, semua manusia lain tidak lebih seperti bidak catur dalam pandangan Tiong Fa yang egois.   Meskipun yang tercetus tadi tidak lebih dari celetukan sambil lalu, setelah berkhayal Tiong Fa diam-diam memikirkannya lebih serius.   Perlahan-lahan wajah Tiong Fa tampak makin kejam, otaknya bekerja, merajut pembalasan dendam bagi Ding Tao lewat Huang Ying Ying.   Di ruang tempat Huang Ying Ying dan Huang Ren Fu disekap, kedua besaudara itu tengah berlatih dengan tekunnya.   Keduanya sadar bahwa apa yang sudah mereka pelajari belumlah sampai pada puncak ilmu keluarga mereka.   Mereka juga berada di tengah-tengah lawan yang berjumlah jaih lebih banyak dan lebih berpengalaman, sementara mereka hanya berdua saja.   Tapi keduanya pantang untuk menyerah pada keadaan, meski harapan yang ada hanyalah selemah nyala lilin kecil, nyala yang lemah itu terus mereka pertahankan.   Saat mereka mendapatkan jatah makanan, maka Huang Ren Fu akan terlebih dahulu mencicipi setiap hidangan.   Setelah mereka yakin semuanya aman, barulah mereka menyantapnya bersama-sama.   Setiap ada waktu terluang, maka kedua bersaudara itu akan berlatih dengan keras.   Di luar itu, merekapun berusaha sebisa mungkin untuk menyelidiki situasi keberadaan mereka saat ini.   Mengenali tiap-tiap penjaga, berusaha mempelajari kebiasaan setiap orang dan sebagainya.   Keduanya memiliki waktu yang cukup panjang untuk melakukan semua itu, apalagi Tiong Fa ternyata berlaku cukup baik dalam menyediakan segala kebutuhan mereka.   Namun kebaikan Tiong Fa itu pula yang membuat mereka semakin tergerak untuk berusaha lepas dari cengkeramannya.   Mengenal tabiat Tiong Fa, mereka berpendapat bahwa tentu ada satu tujuan yang tidak baik yang dimiliki Tiong Fa atas diri mereka berdua.   Berada di dalam ruangan yang terbatas dan tertutup dari lingkungan di luar, mereka berdua sudah belajar untuk mempertajam telinga mereka.   Saat Tiong Fa dan dua orang penjaganya berjalan menuju ke ruangan mereka, Huang Ying Ying yang lebih tajam telinganya dengan segera memberi peringatan.   "Awas, ada yang datang", desis Huang Ying Ying.   Kedua orang bersaudara itu segera menghentikan latihan mereka, menggunakan handuk kecil yang ada mereka mengeringkan keringat dan perlahan-lahan mengatur nafas agar siapapun yang datang, tidak akan menyadari bahwa mereka masih berlatih dengan tekun meskipun sudah terkurung selama beberapa bulan.   Dengan berdebar keduanya menunggu, hal ini sudah terjadi berulang kali dan setiap kali mereka mendengar orang datang mendekat, seluruh urat syaraf merekapun menegang, bersiap, menantikan kesempatan untuk lolos.   Seringkali penantian mereka berakhir dengan kekecewaan, hidangan dimasukkan lewat sebuah lubang kecil yang ada di pintu besi tempat mereka dikurung.   Pernah Huang Ren Fu mencoba menangkap tangan yang memasukkan hidangan tersebut.   Siapa sangka begitu tangan itu terpegang, maka sebilah pedang berkelebat memenggal tangan itu.   Suara orang menjerit dan dengusan tawa mengejek, terdengar dari dalam ruangan.   "Hohoho, jangan harap kau lepas dari tahanan ini.   Orang yang memberimu makan hanyalah orang yang tidak mengerti apa- apa.   Jangan harap kau lepas dari tempat ini dengan melibatkan mereka, tidak akan ada yang kau dapatkan, hanya menyengsarakan nasib mereka saja.", ujar suara tersebut dari luar.   Penuh penyesalan Huang Ren Fu hanya bisa memandangi kutungan tangan yang ada di genggamannya.   Hebat akibat dari keganasan penjaga itu, bukan hanya Huang bersaudara saja yang enggan untuk melibatkan orang lain.   Orang yang dibayar untuk mengurus merekapun hilang nyalinya, jangankan berusaha membantu kedua saudara itu, berpikir untuk membantu mereka pun tidak berani mereka lakukan.   Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo      Tapi kali ini debar jantung di dada mereka tidak berakhir dengan kekecewaan.   Debar jantung di dada mereka makin mengguruh dengan semakin dekatnya suara tapak kaki yang ada di luar.   "Tiga orang", bisik Huang Ren Fu sambil melirik Huang Ying Ying.   Huang Ying Ying mengangguk membenarkan.   Biasanya jika yang datang adalah orang yang bertugas untuk mengantarkan makanan dan mengambil ember tempat mereka membuang kotoran.   Maka hanya dua orang yang datang.   Yang pertama adalah yang bertugas untuk membawa semuanya itu dan yang kedua adalah penjaga yang mengawasi setiap gerakan yang ada.   Demikian kuat debaran jantung mereka, hingga rasanya dada mereka mau pecah saat tiba-tiba pintu besi yang ada terbanting terbuka.   Suara pintu yang terbuka menggelegar, Tiong Fa dengan tangan di pinggang dan kaki terpentang lebar berdiri di sana.   Dengan wajah yang diwarnai kemarahan hebat dia menunjuk-nunjuk kedua orang bersaudara itu.   Di belakangnya berdiri dua orang penjaga dengan golok dan pedang di sarungnya.   Berbagai umpatan kasar melompat keluar dari mulut Tiong Fa, kedua orang bersaudara itu hanya bisa menatap dengan penuh keheranan.   1000 macam makian dan kutukan mereka siapkan bila saatnya bertemu dengan Tiong Fa.   Namun saat ini keheranan lebih menguasai diri mereka dibandingkan kemarahan dan dendam.   Di luar sangkaan mereka Tiong Fa akan datang dengan kemarahan yang meluap-luap.   Ada apakah gerangan? Perlahan-lahan mereka mulai menangkap sumber dari kekesalan Tiong Fa.   Mulai dari keberadaan Ding Tao, sampai keberhasilan Ding Tao dalam mengusir Tiong Fa dari setiap cabang usaha keluarga Huang yang dikuasainya.   Tanpa terasa, seulas senyuman terbentuk di wajah kedua bersaudara itu.   Melihat senyuman yang terbentuk di wajah kedua orang muda mudi itu, Tiong Fa terdiam sejenak.   Kemudian sebuah senyuman sinis terpampang di sana.   "Hehehehe, rupanya kalian merasa senang mendengar berita kekalahanku dan kemenangan Ding Tao." "Ding Tao, pahlawan kecil kalian.   Heh ! Apakah kalian tahu mengapa aku memilih untuk menyekap kalian berdua hidup- hidup daripada membunuh kalian seperti yang lain? Bisakah otak kalian yang kecil memikirkannya?", ejek Tiong Fa dengan senyum mengejek.   Huang Ying Ying dan Huang Ren Fu bukan orang bodoh, segera setelah Tiong Fa bertanya, dengan cepat mereka menghubungkannya dengan Ding Tao dan sampai pada kesimpulan yang sama.   Wajah Huang Ying Ying berubah jadi pucat, sementara Huang Ren Fu lebih tenang.   "Jangan harap kau bisa menggunakan kami untuk menekan Ding Tao.", ujar Huang Ren Fu dengan dingin.   Kedua bersaudara itu sudah menemukan kembali ketenangan mereka, dengan gagah keduanya mengambil kuda-kuda dengan kedua tangan mereka bersiap di depan dada.   Tiong Fa tertawa terbahak-bahak mendengar perkataan pemuda itu dan melihat sikap mereka berdua.   "Hahahaha, baguslah kalau kalian masih punya semangat bertarung.Memang benar kalian harus siap-siap mempertahankan diri dari kami bertiga, tapi jangan salah pikir, lakukanlah itu untuk diri kalian sendiri dan bukan untuk Ding Tao, karena Ding Tao sudah melupakan kalian berdua." "Hmph! Tutup mulutmu, Kak Ding Tao bukan orang seperti itu!", seru Huang Ying Ying dengan marah.   "Hahahaha, Kak Ding Tao mesra sekali kau memanggilnya.   Apakah kau tidak tahu, kalau sekarang ini Ding Tao sudah menikah? Bukan hanya menikah, tapi menikah dengan dua orang gadis sekaligus.   Hahahaha, hebat sekali dia, bukan saja berhasil mengangkangi harta kalian sekeluarga, diapun mampu menipu segenap orang yang ada, sehingga dia dipandang sebagai orang yang jujur." "Jujur? puih", ejek Tiong Fa sambil meludah ke atas lantai.   Tapi Huang Ying Ying tidak mendengar ejekan Tiong Fa, wajahnya sedikit pucat dan dengan gemetar dia bertanya.   "Apa maksudmu Kak Ding Tao sudah menikah?"   Tawa Tiong Fa memenuhi ruangan itu, melihat Huang Ying Ying termakan oleh perkataannya, bergiranglah hati Tiong Fa, "Sudah jelas bukan? Ding Tao menganggap dirimu sudah mati, itu sebabnya dia menikah lagi.   Atau mungkin lebih tepatnya harus kukatakan, dia sudah tidak memerlukan dirimu lagi untuk dapat menguasai harta benda keluarga Huang.   Buat dia adalah kebetulan yang baik, kalau dirimu mati atau dianggap mati.   Jadi daripada susah-susah berusaha memastikan keselamatanmu, dia memilih untuk menyiarkan kematianmu pada dunia dan menikah dengan gadis kaya untuk memperbanyak hartanya." "Hmp! Tidak perlu kau dengarkan dia Adik Ying, jika benar Ding Tao orang semacam itu, lalu apa gunanya dia menahan kita?", dengus Huang Ren Fu, sambil berbicara, matanya yang tajam tidak pernah lepas dari Tiong Fa dan kedua orang anak buahnya.   "Hohoho, justru untuk itulah kau ke mari, selama ini kupikir kalian adalah sandera yang berharga, tapi nyata sekarang bahwa kalian tidak ada harganya buatku.   Jadi kuputuskan daripada memberi makan kalian tanpa guna, lebih baik kujual saja kalian.   Yang lelaki bisa kujual pada orang asing untuk dijadikan budaknya.   Yang perempuan akan kujual ke pelacuran.", jawab Tiong Fa sambil terkekeh kejam.   Wajah kedua orang bersaudara itu pun jadi pucat membayangkan nasib yang akan menimpa mereka.   Apalagi bagi Huang Ren Fu yang mengkhawatirkan keselamatan dan kehormatan Huang Ying Ying.   Dengan desis tertahan dia berbisik pada Huang Ying Ying.   "Tenangkan dirimu tajamkan mata dan pikiran, begitu ada kesempatan, cepat lari."   Huang Ying Ying tidak menjawab hanya menganggukkan kepala. Tiong Fa tertawa saja melihat kedua orang bersaudara itu.   "Hahaha, apa kalian semudah itu untuk kabur dari sini? Kalian hanya berdua dan tidak bersenjata, sedangkan kami bertiga memegang senjata dan di luar sana masih ada banyak lagi penjaga yang lain. Jangan bermimpi, terima saja nasib kalian dan khusus untuk Puteri Ying Ying hehehe, sebelum kau kujual, aku sudah memutuskan untuk mencicipi dirimu terlebih dahulu. Hitung-hitung untuk melampiaskan kekesalanku pada Ding Tao." "Keparat!", mendengar ucapan Tiong Fa, kemarahan Huang Ren Fu dan Huang Ying Ying pun memuncak, tanpa bersepakat terlebih dahulu, keduanya sudah melompat bersama-sama untuk menyerang Tiong Fa. Gesit gerakan kedua orang bersaudara itu, tapi tidak kalah gesit Tiong Fa dan kedua orang anak buahnya. "Kalian tangkap yang lelaki, yang gadis serahkan padaku!", seru Tiong Fa sambil berkelit dari serangan kedua orang muda tersebut. Berdua menghadapi Tiong Fa saja, keduanya masih belum bisa menandinginya apalagi ketika Huang Ying Ying berhadapan sendirian dengan Tiong Fa, dari segi kecepatan, kematangan ilmu dan juga kekuatan, gadis itu berada di bawah Tiong Fa. Sehingga dalam waktu yang singkat Huang Ying Ying sudah berada di bawah angin. Lain lagi dengan Huang Ren Fu, pemuda itu mampu mempertahankan diri dengan ketat, meskipun dia tidak mampu menerobos kedua orang lawannya untuk membantu Huang Ying Ying. Namun kedua orang anak buah Tiong Fa juga menghadapi kesulitan untuk menaklukkannya. Namun mendengar teriakan Huang Ying Ying dan tawa Tiong Fa, membuat konsentrasi pemuda itu menjadi kacau dan mempengaruhi pula pertahanannya. Tiong Fa sendiri mempermainkan Huang Ying Ying seperti seekor kucing mempermainkan tikus tangkapannya. Dia tidak terburu-buru melumpuhkan gadis itu, melainkan tangannya dengan nakal menyentuh bagian-bagian tubuh dari gadis itu. "Keparat! Orang tua bejad! Berkelahilah seperti laki-laki jantan kalau kau memang laki-laki!", bentak Huang Ying Ying dengan wajah memerah karena malu dan kesal. Sebuah pukulan yang dilepaskan dengan sekuat tenaga dapat dihindari dengan mudah oleh Tiong Fa. Ketenangan yang diperlukan dalam sebuah pertarungan sudah tidak dimiliki oleh Huang Ying Ying, gerakannya hanya terdorong oleh kemarahan dan rasa putus asa. Sembari berkelit, tangan Tiong Fa pun dengan cepat mampir, meremas pantat gadis muda itu. Tidak urung Huang Ying Ying terpekik, bercampur kaget dan marah. "Hyahahaha benar-benar masih perawan, kalau laki-laki jantan bertarung dengan betina tentu berbeda caranya, hyahahaha", ujar Tiong Fa sambil tertawa. Huang Ren Fu meskipun sadar bahwa dia harus tetap tenang, namun dia tidak dapat mengingkari kemarahan yang dia rasakan. Dahinya terasa berdenyut kencang, darahnya mengalir semakin cepat. Gerakannya semakin ganas, mengiringi kemarahan yang timbul dari dalam dada. Kemarahannya memang membuat tenaganya semakin besar, jika saja lawan yang dihadapi tidak cukup berpengalaman, mungkin hal ini akan memberikan keuntungan pada dirinya. Namun lawan yang dihadapi sudah kenyang makan asam garam dunia persilatan. Sadar bahwa lawan bangkit amarahnya, mereka tidak melawan keras lawan keras. Justru mereka lebih banyak melakukan gerak tipu dan menghindar. "Wah Tuan Tiong Fa sungguh beruntung, gadis semontok itu, akupun ingin bertarung melawannya", ujar salah seorang dari mereka sambil menghindari serangan Huang Ren Fu yang datang ke arahnya. "Hahahaha, ya benar-benar, kuharap Tuan Tiong Fa mengijinkan aku juga untuk menunjukkan kejantananku.", olok-olok yang lain menimpali. Merah darah kedua bola mata Huang Ren Fu, pukulannya bertubi-tubi dilepaskan ke arah dua orang lawannya. Perkelahian pun berubah bentuknya, jika tadi mereka bertiga saling menyerang dan bertahan. Sekarang hanya Huang Ren Fu yang menyerang, sedang kedua orang yang lain hanya menghindar, bergantian mendekat dan menjauh. Jika yang seorang berkelit menghindari serangan Huang Ren Fu, maka yang lain akan mendekat dan memasang diri untuk menjadi sasaran serangan Huang Ren Fu. Dengan jalan itu, Huang Ren Fu dibuat melepaskan serangan tiada hentinya dan menghabiskan tenaga Huang Ren Fu dengan cepat. Di lain tempat Tiong Fa pun mempermainkan Huang Ying Ying semaunya, dada, pantat, pinggul, paha dan setiap bagian tubuh gadis itu pun jadi sasaran kekurang ajaran Tiong Fa. Pekikan Huang Ying Ying dan tawa ketiga orang itu, membuat nalar Huang Ren Fu hilang. Dalam satu gerakan mudah, kedua orang lawannya memasukkan serangan yang bersarang telak pada tubuh dan dahinya. Seketika itu juga pandangan Huang Ren Fu menjadi nanar, tubuhnya terlempar bergulingan. Saat pandangan matanya sudah kembali normal dan kepalanya tidak lagi terasa berputar, yang dilihatnya pertama kali adalah dua ujung golok yang teracung di hadapan matanya. Perlahan matanya bergerak dan melihat pemandangan yang membuat hatinya mengerut. Tidak berapa jauh di sana, Tiong Fa berdiri dengan senyum iblisnya. Sementara Huang Ying Ying tergeletak dengan wajah memar-memar. "Bagus, cepat juga kau sadar, kalau tidak terpaksa aku harus menyirammu dengan air dingin. Aku ingin kau melihat tontonan yang menarik.", ujar Tiong Fa memandangi Huang Ren Fu dengan sinar mata yang mengerikan. Huang Ren Fu bukan pemuda yang takut mati, tapi ketika dia menyadari apa yang akan terjadi tanpa dia bisa melakukan apa-apa, otaknya berhenti bekerja, menolak untuk menerima kenyataan. Tubuhnya pun diam membeku di tempatnya, tidak kuasa bergerak, hanya matanya yang nyalang menatap merekam kejadian yang ada di hadapannya, tanpa otaknya bisa memahami apa yang dia lihat. Tiong Fa terlihat sangat menikmati tiap saat, dia tidak terburu-buru, perlahan dia melangkah mendekati Huang Ying Ying yang masih tergeletak. Ketika dia melihat Huang Ying Ying tidak juga bergerak dia mendengus kesal dan menengok ke arah Huang Ren Fu. "Hmm aku tahu kalian berlatih dengan rajin semenjak aku menyekap kalian di sini. Jadi setidaknya aku berharap melihat sedikit kemajuan. Sayang sepertinya adikmu kurang cocok untuk berlatih bela diri. Seharusnya saat ini dia sudah mulai sadar, seperti dirimu.", ujarnya pada Huang Ren Fu. "Er Nu, ambil air dingin untuk nona muda.", ujarnya pada salah seorang anak buahnya. Yang dipanggil Er Nu segera menyarungkan kembali goloknya dan hendak melangkah untuk mengambil air seperti yang diperintahkan Tiong Fa. Baru beberapa saat dia melangkah, terdengar Huang Ying Ying mengeluh perlahan. ""Tunggu dulu", ujar Tiong Fa dan Er Nu pun menunggu, sebuah seringai kejam terlihat di wajahnya. Perlahan-lahan, Huang Ying Ying membuka matanya dan berusaha bangkit. Otaknya baru bekerja berusaha memahami situasi yang ada di sekelilingnya. Ketika dia melihat Tiong Fa berdiri di hadapannya, seluruh kesadarannya menjeritkan tanda bahaya. Serentak Huang Ying Ying melompat berdiri. Hampir saja dia terjatuh lagi, namun sekuat tenaga dia berusaha bertahan agar tidak jatuh. Tiong Fa tertawa terbahak-bahak, sambil mengedipkan mata ke arah Huang Ren Fu dia berkata.   "Jangan kuatir, adikmu masih utuh, aku sengaja menunggu sampai engkau sadar, supaya tidak ada sedikitpun yang terlewat darimu."   Berbalik ke arah Huang Ying Ying, Tiong Fa membuka jubah luarnya dan melepaskan ikat pinggangnya sambil berkata, "Nah, sekarang akan kutunjukkan bagaimana seorang lelaki jantan bertarung."   Diiringi suara tawa dari dua orang anak buahnya, tanpa malu-malu Tiong Fa melepaskan bajunya satu per satu hingga semuanya terlepas dari tubuhnya.   Tubuh Huang Ying Ying menggigil ketakutan, tenaganya sudah terkuras oleh pertarungan melawan Tiong Fa tadi.   Semangatnya pun sekarang menghilang, kakaknya terbaring tidak mampu berbuat apa-apa, sementara di hadapannya, orang yang paling ia benci hendak merenggut kehormatannya.   Dengan satu gerakan yang sebat, Tiong Fa menyapu kaki Huang Ying Ying hingga gadis itu jatuh terjerembab tanpa mampu melawan sedikit pun.   Menyusul Tiong Fa menubruk gadis itu dan menangkap kedua tangannya.   Huang Ying Ying hanya mampu menjerit dan menangis, saat Tiong Fa bertubi-tubi menciumi wajahnya.   Semakin gadis itu meronta, semakin memuncak nafsu liar Tiong Fa dan anak buahnya.   Di saat yang seperti itu, mengapakah HuangRen Fu hanya berdiam diri menonton? Apakah pemuda itu takut kehilangan nyawanya di bawah todongan mata golok yang tajam? Bukan demikian, pemuda itu bukan pemuda yang takut kehilangan nyawa dan memilih diam melihat adiknya dihina orang.   Namun saat Tiong Fa melepaskan bajunya, Tiong Fa juga melemparkan pedangnya ke atas lantai.   Melihat pedang yang tergeletak tidak berapa jauh dari dirinya, Huang Ren Fu melihat satu jalan untuk melepaskan dirinya dan menolong adiknya.   Justru karena ada harapan, maka pemuda itu tidak berani bertindak dengan gegabah.   Huang Ren Fu melihat betapa Tiong Fa dan kedua anak buahnya sudah dikuasai oleh nafsu binatang mereka.   Pengawasan terhadap dirinya tidak lagi dilakukan.   Kedua orang anak buah Tiong Fa yang seharusnya menjaga dirinya, justru lebih sibuk mengamati Tiong Fa yang berusaha menggagahi Huang Ying Ying.   Namun sesekali mereka masih melirik ke arahnya sambil menyeringai iblis.   Itu sebabnya Huang Ren Fu tidak segera bertindak, perlahan-lahan dia mengatur nafasnya, sambil matanya nanar memandang ke depan, seakan tidak memiliki semangat untuk melawan.   Pedih hatinya melihat Huang Ying Ying dihina orang, namun kesempatan yang tipis tidak ingin dia sia-siakan.   Sementara itu Tiong Fa berusaha membuka baju Huang Ying Ying, sebagian pundak dan bagian atas dada gadis itu sudah terbuka.   Namun gadis itu tidak hendak menyerah begitu saja, dia terus berjuang untuk mempertahankan kehormatannya.   Akhirnya Tiong Fa habis sabar dan berteriak pada anak buahnya.   "Er Nu, kemari, pegang kedua tangan gadis ini!", seru Tiong Fa dengan wajah yang merah padam oleh nafsu yang bergolak.   Tanpa ragu lagi, Er Nu yang juga sudah dikuasai oleh nafsu melemparkan goloknya dan bergegas pergi untuk membantu Tiong Fa melampiaskan nafsu bejatnya.   Tinggal seorang yang menjaga Huang Ren Fu, yang seorang itu pun sudah tidak lagi memperhatikan pemuda itu.   Nafasnya berat dan matanya nyalang menatap ke depan.   Seluruh perhatiannya tertuju pada Huang Ying Ying yang sekarang tidak mampu lagi melawan kehendak Tiong Fa.   Dua tangannya terpegang erat oleh Er Nu.   Diiringi tawa penuh nafsu, tangan Tiong Fa yang sekarang bebas bergerak perlahan meremas dada Huang Ying Ying yang membukit.   Puas meremas-remas, perlahan-lahan dia menarik sisa baju yang masih menutupi sebagian besar dada Huang Ying Ying, dinikmatinya ekspresi wajah Huang Ying Ying yang ketakutan.   Ketiga orang laki-laki itu tidak lagi melihat ataupun mendengar hal lain kecuali Huang Ying Ying.   Nafsu sudah memuncak memenuhi setiap reling hati dan pikiran mereka.   Di saat itulah tiba-tiba sebuah jeritan meregang nyawa menggoncang kesadaran mereka yang sedang dimabuk nafsu binatang.   Diam-diam Huang Ren Fu berhasil menggapai golok Er Nu yang tergeletak dekat dirinya, jauh lebih dekat dari pedang Tiong Fa.   Dihimpunnya hawa murni dan dengan satu hentakan dia melompat bangun sambil menebas leher penjaganya.   Darah pun memancar keras, membasahi dinding ruangan dan Huang Ren Fu yang tidak berhenti di situ saja.   Seperti seorang malaikat pencabut nyawa dia melompat cepat bagaikan terbang menyambar Tiong Fa yang masih menindih tubuh Huang Ying Ying.   Namun Tiong Fa memang bukan orang sembarangan, dalam situasi seperti itupun dia masih sempat melompat pergi, meskipun harus menyelamatkan diri sampai terguling-guling, menjauh dari golok Huang Ren Fu yang menyambar-nyambar.   Adalah Er Nu yang menjadi korban golok Huang Ren Fu yang haus darah, karena segera setelah goloknya tidak berhasil memenggal kepala Tiong Fa, Huang Ren Fu tidak mencoba nengejar orang biadab itu.   Perhatiannya yang pertama adalah melihat adik tersayangnya lepas dari cengekeraman orang.   Reaksi Er Nu tidak secepat Tiong Fa, pula wajah Huang Ren Fu yang masih dihiasi oleh darah kawannya dengan mata melotot penuh kemarahan dan mulut menyeringai bak harimau mukra, tampak begitu menakutkan, hingga Er Nu membeku di tempatnya.   Mata golok yang berkilauan dihiasi merahnya darah datang menyambar dan Er Nu hanya diam menanti kematian.   Segera setelah Huang Ying Ying lepas, Huang Ren Fu menarik adiknya itu menjauh, tapi Huang Ying Ying yang mulai hilang keterkejutannya, sekarang dikuasai oleh kemarahan.   Gadis itu menyambar pedang Tiong Fa yang tergeletak di lantai.   Seakan mendapatkan kembali kekuatannya yang tadi hilang, gadis itu berkelebat membur Tiong Fa.   Serba keripuhan Tiong Fa berusaha mengelak dan menangkis serangan gadis itu.   Tiong Fa yang tadi berada di atas angin, sekarang tiba-tiba terancam nyawanya, tapi Tiong Fa tidak kehilangan ketenangannya.   Meskipun tadi sempat terkejut namun cepat dia menguasai kembali hati dan pikirannya.   "Awas tawanan hendak kabur!", demikian dia berteriak-teriak sambil berusaha menyelamatkan diri dari serangan Huang Ying Ying dan Huang Ren Fu.   Huang Ying Ying yang sudah kalap tidak menghiraukan teriakan Tiong Fa.   Untung ada Huang Ren Fu yang lebih tenang, pemuda itu segera sadar akan keadaan mereka saat ini.   Memang benar mereka berada di atas angin, namun untuk membunuh Tiong Fa bukanlah pekerjaan mudah.   Ilmu Tiong Fa masih beberapa lapis lebih tinggi dari mereka berdua, dengan teriakannya itu tentu anak buah Tiong Fa akan berdatangan dan keadaan akan segera berbalik saat itu terjadi.   Pemuda itu pun dengan segera menarik tangan Huang Ying Ying, saat Huang Ying Ying meronta, maka dengan keras dia membentak.   "GADIS BODOH! Lepaskan dia! Apa kau mau tertawan lagi? Kita harus lari sekarang!"   Huang Ying Ying terkejut, seumur hidup belum pernah kakaknya ini memaki dia.   Namun kejutan itu justru menyadarkan gadis itu akan keadaan dirinya.   Sambil merapikan bajunya dia melompat mundur ke arah pintu.   Huang Ren Fu yang merasa lega oleh tanggapan adiknya itu dengan segera menyerbu Tiong Fa dengan begitu hebatnya hingga Tiong Fa terpaksa menyelamatkan diri, melemparkan tubuhnya mundur jauh ke belakang.   Tidak menanti Tiong Fa bangkit berdiri, Huang Ren Fu segera melompat menyusul Huang Ying Ying yang sudah keluar ruangan terlebih dahulu.   Melihat Huang Ren Fu muncul, Huang Ying Ying pun segera berlari menuju ke arah pintu keluar.   Dalam waktu dingkat Huang Ren Fu sudah menjajari adiknya itu.   Sementara Tiong Fa masih sibuk berteriak dan terburu-buru memakai pakaiannya, kedua bersaudara itu sudah semakin dekat ke arah pintu keluar dari bangunan itu.   Tiga orang penjaga yang berusaha menghadang mereka tidak sempat memberikan banyak perlawanan.   Bagaikan sepasang banteng ketaton, kedua berusadara itu menyerbu dan tidak memberikan kesempatan bagi lawan mereka untuk melawan.   Sepanjang mereka berada dalam tahanan, keduanya sudah menggunakan telinga mereka baik-baik untuk mengamati keadaan di luar.   Langkah kaki penjaga dan juga pengantar makanan mereka dengarkan baik-baik.   Dari situ mereka berusaha menggambarkan keadaan di luar.   Berhari-hari bahkan berbulan-bulan, sejak mereka ada di dalam sana, mereka sudah mendiskusikan jalan lari keluar dari bangunan itu, seandainya mereka mendapatkan kesempatan.   Sekarang kesempatan itu sudah terbuka, keduanya pun berlari dengan seluruh hidup dan mati mereka dipertaruhkan di sana.   Tidak ada waktu bagi mereka untuk meragukan rencana yang sudah mereka buat.   Teriakan Tiong Fa dan derap langkah kaki lawan yang mereka dengar, menjadi cambuk yang melecut semangat mereka berdua.   Segera setelah sampai di luar bangunan tempat mereka dikurung, barulah mereka tercenung sejenak.   Rupanya tempat itu cukup luas, dengan tembok yang mengelilingi seluruh kompleks bangunan.   Tempat mereka dikurung hanyalah salah satu dari bangunan yang ada.   Tapi Huang Ren Fu sudah memikirkan hal ini jauh sebelumnya, tanpa ragu pemuda itu segera menunjuk tembok pagar yang terdekat.   Begitu sampai di sana, dia berikan kedua tangannya bagi Huang Ying Ying sebagai tumpuan.   Tanpa ragu gadis itu pun menggunakannya sebagai pijakan untuk melompat ke atas tembok.   Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo   Huang Ren Fu pun segera melontarkan tubuh Huang Ying Ying, membantunya melompat semakin tinggi.   Tinggi tembok itu tidak sampai dua kali tinggi Huang Ren Fu, Huang Ying Ying yang sudah berada di atas tembok, segera mengulurkan tangan membantu Huang Ren Fu untuk melompat ke atas.   Di balik tembok itu mereka melihat gang kecil yang berujung ke sebuah jalan besar.   Tanpa ragu keduanya melompat ke bawah.   "Cepat hapus darah di wajah kakak!", ujar Huang Ying Ying mengingatkan Huang Ren Fu yang sudah hendak lari ke jalan besar.   Huang Ren Fu yang tersadar, cepat melepaskan baju luarnya yang juga terciprat darah dan menggunakan baju luarnya itu untuk membersihkan wajah dan tangannya dari darah yang baru mulai mengering.   Huang Ying Ying sendiri menggunakan kesempatan itu untuk merapikan dirinya.   Golok dan pedang yang tidak bersarung, menjadi ganjalan, namun tidak melihat jalan lain untuk menyamarkannya, tidak ingin pula melepaskan senjata satu-satunya, mereka putuskan membawanya saja sesamar mungkin.    Darah Daging Karya Kho Ping Hoo Karena Wanita Karya Kho Ping Hoo Merdeka Atau Mati Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini